Misteri Raja Racun 1
Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun Bagian 1
MISTERI RAJA RACUN
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Aji Saka
Serial Dewa Arak
dalam episode: Misteri Raja Racun
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 "Ck, ck, ck...!"
Ctar, ctar, ctar...!
Suara decakan pelan, lecutan cambuk, langkah kaki
kuda, dan gemeretak roda kereta kuda menggilas jalan, memecah keheningan pagi.
Saat itu suasana pagi masih menyelimuti mayapada.
Sang Surya belum begitu jauh bergeser dari tempat terbitnya.
Sinarnya masih terasa lembut menghangatkan kulit. Desir angin pun masih membawa
hawa kesegaran.
Dan lelaki yang duduk di bangku kusir kereta itu pun nampaknya tahu benar
manfaat udara pagi seperti itu.
Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengisi rongga
dadanya dengan udara bersih yang terus menerpa wajahnya.
Kusir kereta itu seorang lelaki bertubuh tegap dan
kekar. Wajahnya yang nampak segar kemerahan pertanda kalau lelaki itu memiliki
tubuh yang sehat. Meskipun sebagian rambut di kepala telah memutih, karena
usianya yang sudah tidak muda lagi.
"Ck, ck, ck...!"
Untuk kesekian kali, mulut lelaki kekar yang
mengenakan pakaian coklat itu berdecak. Kemudian dengan pelan sekali cambuknya
dilecutkan ke punggung kuda.
Lecutan itu tidak sekeras lazimnya kusir yang menghendaki kudanya agar bergerak
lebih cepat. Kereta sederhana yang ditarik seekor kuda itu terus bergerak meninggalkan jalan
berbatu-batu yang sulit untuk dilalui. Tak jauh di depan kereta yang berjalan
terseok-seok itu tampak membentang sebuah hutan lebat.
"Kalau kita telah melewati hutan itu, kau bisa beristirahat, Putih," kata lelaki
berpakaian coklat itu sambil menatap kudanya. Ternyata, kuda putih penarik
kereta itulah yang barusan dipanggil Putih.
Aneh juga tingkah laku lelaki itu. Kalau saja ada
orang melihat tingkah lakunya itu, mungkin akan merasa heran. Betapa tidak"
Seorang manusia tampak akrab
berbicara dengan seekor kuda.
Namun, rupanya kuda putih itu berbeda dengan kuda
umumnya. Kuda putih penarik kereta itu meskipun tak dapat berbicara seperti
manusia, seakan-akan mengerti benar ucapan lelaki itu. Buktinya, kuda itu
langsung meringkik pelan, dan segera mempercepat langkahnya. Padahal, lelaki
berpakaian coklat itu sama sekali tidak mencambuknya.
Tak lama kemudian, kereta kuda itu mulai memasuki
mulut hutan yang cukup besar dan menyeramkan. Pepohonan di dalam hutan itu besar-besar dan menjulang tinggi. Kelebatan
pepohonan menghalangi sinar matahari menembus ke dalam hutan itu. Sehingga
suasana pagi hari di dalam hutan terlihat begitu remang-remang.
Meskipun keadaan hutan yang bernama Hutan
Gendar itu cukup menyerarnkan, lelaki berpakaian coklat itu tidak cemas sedikit
pun. Nampaknya dia tahu pasti tentang hutan itu. Itulah sebabnya, meski
sendirian, lelaki itu dengan tenang memasuki hutan lebat itu.
Gemeretak bunyi roda, langkah kaki kuda, dan
sesekali decakan mulut lelaki itu seolah-olah memecah kesunyian hutan. Namun,
betapa kagetnya hati lelaki tua yang duduk di kereta kuda itu ketika melihat
kemunculan beberapa sosok berpakaian hitam. Wajah mereka tak dapat dikenali
karena tertutup selubung kain hitam.
Mereka langsung bergerak menyebar untuk mengepung dan menghadang kereta yang memasuki hutan itu. Seketika lelaki
berpakaian coklat itu menghentikan keretanya.
"Hhh...!"
Lelaki berpakaian coklat itu mendesah dalam hati.
Sebenarnya tadi telinganya mendengar suara berkerosakan dalam hutan itu. Tapi
dia tidak menaruh curiga sama sekali.
Diduganya, suara berkerosakan itu hanya disebabkan
binatang-binatang di dalam hutan. Sama sekali hatinya tak menduga kalau ternyata
yang muncul di hadapannya sosok-sosok berpakaian serba hitam.
"Hm... siapa kalian" Mengapa merintangi jalanku"
Kalau kalian perampok, sia-sia saja kalian! Aku tidak punya barang-barang
berharga sama sekali!" tandas lelaki berpakaian coklat itu, seolah ingin memberi tahu.
"Perampok"
Jaga mulutmu, Ki Gadung! Atau kuhancurkan mulutmu!" bentak salah satu dari tiga orang yang berdiri di depan
kereta. "Hehhh..." Jadi, kalian mengenalku" Hebat! Tidak kusangka kalau namaku demikian
terkenal! Sekarang,
kuminta buka tutup muka kalian! Dan..."
"Diam...!" bentak seseorang yang bertubuh tinggi kurus. "Turun dari keretamu!
Cepat! Atau aku harus menyeretmu turun!"
Kusir kereta yang ternyata bernama Ki Gadung itu
tercenung sejenak. Kemudian bangkit dari duduknya dan melompat turun dari
kereta. "Hap!"
Jiiggg! Tanpa menimbulkan suara keras, kedua kaki Ki
Gadung mendarat di tanah. Dari lompatannya yang indah dan cepat ini bisa
diketahui kalau Ki Gadung pun
mempunyai kepandaian silat yang perlu diperhitungkan.
Setidak-tidaknya dia menguasai ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.
"Hm...!"
Sosok berseragam hitam yang bertubuh tinggi kurus
mendengus. Sepasang mata yang terlihat melalui dua lubang pada selubung itu,
menatap sekujur tubuh Ki Gadung dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Bunuh dia!" perintah sosok tinggi kurus itu.
Perintah itu terdengar begitu datar, seperti perintah untuk membunuh nyamuk atau
tikus. Ki Gadung tentu saja terkejut mendengar uca-an
sosok tinggi kurus yang dilihat dari tindak-tanduknya dialah pemimpin gerombolan
itu. Dan keterkejutan Ki Gadung semakin menjadi-jadi ketika melihat sosok-sosok
serba hitam itu mulai bergerak mendekatinya. Sehingga keadaannya semakin
terjepit. "Tahan! Tunggu sebentar!" cegah Ki Gadung, buru-buru. "Mungkin kalian salah
orang. Kurasa kita tidak pernah bertemu dan tak ada urusan antara kita!"
Ucapan Ki Gadung membuat mereka yang tengah
bergerak mendekat, menghentikan langkah. Mereka tidak berani melancarkan
serangan terhadap Ki Gadung, karena lelaki berpakaian coklat itu kemudian
terlibat percakapan dengan pimpinan mereka.
"Ha ha ha...!"
Sosok serba hitam yang bertubuh tinggi kurus tertawa bergelak begitu mendengar
ucapan Ki Gadung.
"Kau kira kami keliru" Ha ha ha...! Bukankah
namamu Gadung" Siapa yang tidak mengenalmu" Kau
terkenal sebagai orang yang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Asalmu
Desa Gedong, kan?"
Tanpa sadar, Ki Gadung menganggukkan kepala
membenarkan. "Nah, sekarang sudah jelas. Bunuh dia!" perintah pemimpin gerombolan itu.
Orang-orang berseragam hitam itu tidak ragu-ragu
lagi bergerak ke arah Ki Gadung.
Srat, srat, srattt!
Cahaya berkilau pun segera nampak ketika sosok
berseragam serba hitam mencabut senjata masing-masing.
Golok-golok besar terhunus sudah diayun-ayunkan tangan mereka terarah ke tubuh
Ki Gadung. Sing, sing, sing!
Bunyi desing nyaring terdengar dari golok-golok besar yang terayun-ayun membelah
udara. Nampaknya ayunan
golok itu dibarengi pengerahan tenaga dalam yang cukup kuat.
Ki Gadung segera sadar kalau saat ini bukan
waktunya lagi untuk berdebat kalau dirinya masih ingin selamat. Yang harus
dilakukannya sekarang mempersiapkan perlawanan.
Ki Gadung segera mencabut sepasang pedang yang
tergantung bersilangan di punggung.
Srat, srat! Sinar-sinar yang tidak kalah terang pun keluar dari kedua batang pedang Ki
Gadung. Pedang itu mulai terayun-ayun mencoba mengatasi serangan serangan gencar
golok lawan. Trang, trang, trang!
Suara riuh rendah teriakan dan dentang senjata
memecah keheningan hutan. Percikan bunga-bunga api dari benturan senjata senjata
tajam pun menambah semarak pertarungan.
Untuk sementara Ki Gadung berhasil menangkis dan
mengelakkan setiap serangan golok-golok besar itu. Tentu saja Ki Gadung terus
mempercepat gerakannya.
Kini Ki Gadung bersikap lebih waspada. Dengan tajam kedua matanya memperhatikan
tiap gerak-gerik lawan yang berada di sekelilingnya. Lelaki berpakaian coklat
ini telah bersiap-siap
untuk menghadapi munculnya serangan mendadak yang sewaktu-waktu berkelebat ke tubuhnya.
*** Sementara itu, sosok-sosok berseragam hitam yang
masih mengepung Ki Gadung pun tidak kalah waspada
dalam bertindak. Dengan langkah hati-hati, mereka mendekati Ki Gadung. Selangkah demi selangkah kepungan itu pun semakin
menyempit. "Haaat...!"
Diawali sebuah teriakan keras, tiga dari sembilan
sosok berpakaian hitam yang mengurung, langsung melancarkan serangan. Namun Ki Gadung nampak tidak
begitu terkejut, karena sejak tadi sudah bersiap menghadapi setiap serangan.
Maka begitu serangan tiba, Ki Gadung langsung menyambutnya.
Lelaki berpakaian coklat ini secepat kilat memutar
sepasang pedangnya di atas kepala seperti baling-baling. Tak lama kemudian kedua
pedang itu diayunkan memapak
serangan lawan-lawannya.
"Hiaaat...!"
Trang! Trang! Trang!
Tiga serangan golok besar lawan berhasil dipatahkan Ki Gadung. Bahkan akibat
benturan itu, tiga penyerangnya terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Sedangkan Ki Gadung sendiri hanya tergetar saja.
Namun, lelaki berpakaian coklat itu belum sempat
berbuat sesuatu, serangan sosok-sosok berpakaian hitam lainnya datang meluncur.
Akibatnya, Ki Gadung kewalahan menghadapi serangan itu. Betapa tidak" Serangan
datang silih berganti. Namun, dalam keadaan terjepit, lelaki berpakaian coklat
ini terus mengadakan perlawanan sengit.
Pada jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung
seimbang. Kedua belah pihak belum berani membuka diri.
Serangan-serangan
dan elakan-elakan yang dilakukan sebagian besar hanya bersifat penjajakan kemampuan
terhadap lawan.
Tapi ketika pertarungan mulai menginjak jurus ketiga puluh,
Ki Gadung mulai kewalahan. Perlahan-lahan serangannya menurun dan tidak segencar pada awal-awal pertarungan. Bahkan
akhirnya Ki Gadung lebih banyak melakukan gerakan menghindar.
Sekarang keadaan Ki Gadung tak ubahnya seekor
tikus kecil yang tengah dipermainkan sekelompok kucing. Ki Gadung
rerpontang-panting
ke sana kemari berusaha menyelamatkan diri dari setiap serangan lawan. Bahkan terkadang tubuhnya
bergulingan di tanah, sementara senjata lawan terus memburunya.
Dan pada jurus keempat puluh tiga, salah seorang
lawan yang bertubuh sedang melancarkan serangan berupa sabetan mendatar ke arah
leher. Buru-buru Ki Gadung merendahkan tubuhnya.
Wuttt! Babatan golok itu lewat beberapa jari di atas kepala Ki Gadung. Tapi belum
sempat berbuat sesuatu, dari belakang sebatang golok meluncur ke punggung.
Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan... Jrottt! "Aaakh...!"
Ki Gadung terpekik keras. Darah segar muncrat dari
bagian punggungnya yang tertikam ketika golok yang
menembus punggung dicabut. Seketika itu pula tubuhnya tersungkur ke tanah, tidak
berdaya lagi. "Tahan...!"
Terdcngar suara bentakan keras mencegah, ketika
sosok berseragam hitam itu hendak menghabisi nyawa Ki Gadung. Seketika itu pula
mereka mengurungkan tindakan itu. Mereka tahu suara bentakan itu berasal dari
mulut pemimpin mereka yang sejak awal berdiri sambil menyaksikan pertarungan dari kejauhan.
Dugaan mereka tidak salah. Suara bentakan itu
berasal dari sang Pemimpin. Dan melihat anak buahnya telah menjatuhkan lawan,
lelaki tinggi kurus ini mengayunkan langkah
menuju anak buahnya. Maka, sosok-sosok berpakaian hitam yang tengah berkerumun pun menyibak, memberi jalan pada
pemimpinnya. "Ha ha ha...!"
Lelaki tinggi kurus itu tertawa bergelak penuh
kemenangan. Masih
dengan tawa yang belum putus ditatapnya Ki Gadung yang tengah mengerang kesakitan.
"Itulah ganjaran bagi orang yang terlalu usil!" ujar lelaki tinggi kurus. "Dan
perlu diketahui, kau bukan orang pertama yang kami lenyapkan. Sudah beberapa
orang yang punya keahlian sepertimu terpaksa kami lenyapkan. Kau tahu, kenapa?"
Tidak ada sambutan dari mulut Ki Gadung atas
pertanyaan lelaki tinggi kurus itu. Bagaimana mungkin Ki Gadung akan dapat
menjawabnya" Sedangkan ucapan
pimpinan gerombolan berpakaian hitam itu hanya samar-samar tertangkap
telinganya. Ditambah lagi rasa sakit yang teramat
sangat, membuat pikirannya tak mampu memperhatikan ucapan pemimpin gerombolan berpakaian serba hitam itu.
"Karena mereka mempunyai sifat seperti kau. Gemar mencampuri urusan orang lain.
Nah, sekarang terimalah kematianmu!"
Setelah berkata demikian, pemimpin gerombolan itu
mencabut golok besarnya yang tergantung di punggung.
Srat! "Hihhh...!"
Mata golok besar itu terayun siap menebas leher
Gadung. Semua mata anak buahnya telah siap menyaksikan suatu pemandangan
mengerikan, terputusnya batang leher Ki Gadung!
Tapi, tiba-tiba...
Singgg! Tukkk! Sebuah batu meluncur ke tangan pemimpin yang
tengah mengacungkan golok besarnya.
"Aaakh...!"
Jerit kesakitan keluar dari mulut pemimpin ge-
rombolan, ketika sebuah batu sebesar ibu jari menghantam punggung tangannya.
Telak dan keras. Tak aneh kalau pemimpin gerombolan itu merasa sakit bukan
kepalang. Goloknya sampai terlepas ke samping. Tubuhnya membungkuk sambil mulutnya menyeringai kesakitan. Tangan kirinya nampak memegangi
punggung tangan kanannya yang kesakitan.
Dan sebelum laki-laki tinggi kurus itu sempat berbuat sesuatu, seosok bayangan
ungu berkelebat.
Wuttt! Tappp! Begitu cepat sosok bayangan ungu itu berkelebat.
Sehingga, tak seorang pun dari mereka yang dapat melihat jelas bentuknya.
Lelaki berpakaian serba hitam begitu terkejut ketika melihat tubuh Ki Gadung
sudah tidak ada di tempat semula.
Seketika mereka menduga kalau sosok yang barusan
berkelebat begitu cepat itu yang telah membawa tubuh Ki Gadung. Siapa lagi kalau
bukan sosok ungu itu, karena tak ada orang lain yang datang ke tempat ini.
Orang-orang berseragam hitam segera mengalihkan
pandangan ke arah melesatnya sosok bayangan ungu.
Ternyata benar, sekitar enam tombak dari tempat mereka tampak dua sosok tubuh.
"Siapa kalian, Keparat"! Dan mengapa men-ampuri urusan kami"!" bentak lelaki
tinggi kurus. Tidak percuma lelaki tinggi kurus ini menjadi
pimpinan rekan-rekannya. Dia mampu menguasai perasaan.
Sehingga, meskipun kemarahan hebat melandanya, tidak langsung
mengumbarnya. Pikirannya berputar untuk mengungkap maksud campur tangan orang atas urusannya.
Sang pemimpin gerombolan ini memperhatikan dua
sosok tubuh yang berada di hadapannya. Yang satu, seorang pemuda berpakaian ungu
dengan rambut putih keperakan.
Sedangkan di sebelahnya, seorang gadis cantik berpakaian putih dengan rambut
panjang tergerai, sedang berlutut memeriksa luka Ki Gadung.
"Maaf! Bukan aku tidak mau memperkenalkan diri.
Tapi jika kalian bersedia membuka selubung, dengan senang hati akan kusebutkan
namaku!" jawab pemuda berpakaian ungu, kalem.
Ternyata pemuda itu yang telah menyambar tubuh Ki
Gadung dari kerumunan orang-orang berpakaian hitam tadi.
"Keparat! Kuberikan kesempatan sekali lagi, apabila kau dan kawanmu tetap tidak
mau memperkenalkan diri, jangan salahkan kalau kami akan menangkapmu!" ancam
laki-laki tinggi kurus.
"Sudah kukatakan, aku dan kawanku akan memperkenalkan diri. Tapi dengan syarat, kalian semua membuka selubung yang
menutup wajah kalian. Bagaimana"
Setuju dengan usul kami"!" masih tetap tenang ucapan pemuda berambut putih
keperakan itu. "Keparat! Mampuslah kau...! Hiyaaat...!"
Diiringi teriakan keras, lelaki tinggi kurus itu
melompat menerjang pemuda berambut putih keperakan.
Sambil melompat, pimpinan gerombolan berseragam hitam ini langsung mengirimkan
sebuah tendangan terbang dengan kaki kanan meluncur ke dada.
Wuttt! Tendangan yang begitu cepat dan keras itu cukup
berbahaya, karena mendapat bantuan dari tenaga lompatan.
Pemuda berambut pulih keperakan tetap bersikap
tenang meskipun agak terkejut melihat tendangan yang begitu cepat itu. Tidak
nampak tanda-tanda kalau dirinya akan melakukan tangkisan atau elakan. Baru
ketika serangan itu meluncur hampir mengenai dadanya tanpa menggeser kaki, tubuhnya
dimiringkan ke kiri.
Kemudian gerakan menghindar itu disusul dengan
gerakan tangan yang cepat. Tangan kanannya dengan cepat sekali menyambar
pergelangan kaki kanan lawan.
Tappp! Kaki kanan pimpinan gerombolan itu berhasil dicekalnya. Tentu saja lelaki tinggi kurus itu kelabakan dan begitu kaget. Belum
sempat lelaki tinggi kurus itu berbuat sesuatu, tiba-tiba pemuda berpakaian ungu
itu telah lebih dulu menarik kakinya.
Kemudian dengan cepat pemuda berpakaian ungu itu
memutar-mutarkan tubuh lawannya di atas kepala.
Wuk! Wuk! Wuk...!
"Aaa...!"
Lelaki tinggi kurus itu menjerit. Betapa tidak"
Tubuhnya yang kurus itu diputar begitu cepat, hingga semua yang berada di
sekelilingnya seolah-olah berputar-putar.
Kepalanya mulai merasa pening tidak karuan, sedang
perutnya terasa mual seperti hendak muntah.
Semua anak buahnya terlongong bengong me- nyaksikan tubuh pimpinannya diputar-putar seperti itu.
Sementara, lelaki bertubuh kurus itu merasa perutnya mual dan kepalanya pusing. Dia langsung menduga, jika pemuda itu mempercepat putarannya, sudah pasti perutnya yang mual
akan segera memuntahkan isinya.
Tapi kekhawatiran pemimpin gerombolan orang berseragam hitam ini
ternyata tidak terjadi. Pemuda
berambut putih keperakan itu tiba-tiba melepaskan cekalannya. Wuttt! "Aaa...!"
2 Untuk yang kesekian kalinya, tanpa sadar laki-laki
tinggi kurus ini terpekik keras ketika tubuhnya terlempar dengan deras. Untung
saja tubuhnya terlempar ke semak-semak yang rimbun.
Gusrakkk! Tubuh lelaki tinggi kurus itu masuk ke semak-semak
rimbun. Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Sehingga,
orang-orang berpakaian hitam yang lain tidak sempat berbuat sesuatu untuk
menolong pemimpin mereka. Baru ketika tubuh tubuh pemimpin itu terjatuh ke dalam
semak-semak, mereka tersadar.
Seiring dengan timbulnya kesadaran itu, kemarahan
pun menyeruak. Gerombolan itu pun segera menyerbu
pemuda berpakaian ungu di depan mereka.
Sing! Sing! Sing!
Desing suara ayunan golok-golok membeset udara,
terdengar ketika gerombolan berseragam hitam itu mengayunkan senjatanya dengan cepat ke bagian tubuh pemuda berpakaian ungu itu.
Tujuh dari sembilan orang berseragam hitam kini
serentak menyerbu pemuda itu. Sedangkan dua lainnya berlari ke semak-semak untuk
menolong pemimpin mereka.
Tapi seperti juga sebelumnya, pemuda berambut
putih keperakan itu begitu tenang menghadapi serangan lawan-barannya. Dia tetap
berdiri di tempat semula. Tidak nampak
tanda-tanda akan mengelak atau merubah kedudukan kaki. Bahkan hingga serangan-serangan golok itu menghujani tubuhnya.
Trak! Trak! Trak!
Suara berdetak keras terdengar seperti benturan
antara dua benda yang terbuat dari logam, ketika golok-golok itu mengenai
sekujur tubuh pemuda itu. Tak satu pun serangan golok-golok itu yang melukai
kulit tubuhnya.
Dari kejadian ini bisa diketahui kalau pemuda
berambut putih keperakan itu memiliki tenaga dalam yang amat tinggi. Dan jelas
jauh di atas tingkat tenaga dalam lawan-lawannya.
"Hehhh..."!"
Orang-orang berpakaian hitam yang menyerangnya
Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terkejut bukan kepalang. Betapa tidak" Semula mereka menduga kalau golok-golok
mereka akan merobek kulit lawan. Kulit tubuh pemuda berambut putih keperakan itu
keras bagai batu. Tidak sedikit pun luka yang menggores tubuhnya. Bahkan
beberapa mata golok mereka gompal!
Ketika ketujuh orang berpakaian serba hitam tengah
dicekam rasa kaget dan heran, tiba-tiba tangan pemuda berambut putih keperakan
mengibas dengan cepat sekali.
Sehingga orang-orang yang berusaha menyerangnya tak sempat berkelit atau
menangkis. Buk, bukkk...! "Uhk! Akh! Hugkh...!"
Suara jeritan tertahan terdengar bersahutan ketika
kedua tangan pemuda berambut putih keperakan itu
mendarat di tubuh tujuh orang lawannya. Pukulan tangan kosong itu terjadi begitu
cepat. Dalam waktu sekejap, tujuh orang berseragam hitam
itu terjengkang ke belakang. Tubuh mereka terguling-guling di tanah.
Sementara itu kedua orang yang memisahkan diri
untuk menolong sang Pemimpin, menyeruak keluar dari balik kerimbunan semak-
semak. Mereka memapah lelaki tinggi kurus yang masih dalam keadaan payah itu.
Langkahnya masih goyah dan terseok-seok.
"Badai datang, gulung layar...!" seru lelaki tinggi kurus pada tujuh orang anak
buahnya yang tengah berusaha bangkit dengan susah payah.
Kemudian tanpa menunggu ketujuh anak buahnya
siap, sang Pemimpin dan dua orang yang bersamanya segera membalikkan tubuh dan
berlari cepat meninggalkan tempat itu. Ketujuh orang anak buahnya yang baru
dipecundangi pemuda berambut putih keperakan, berlari menyusul,
meskipun dengan langkah terseok-seok.
Pemuda berambut putih keperakan hanya memperhatikan sambil tersenyum. Sama sekali tidak dicegahnya mereka melarikan diri. Kemudian wajahnya segera dipalingkan pada
rekannya yang tengah tertunduk lesu mengawasi Ki Gadung.
"Bagaimana keadaannya, Melati?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu pelan.
"Hhh...!" gadis berpakaian putih yang ternyata Melati, putri angkat Raja Bojong
Gading itu menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Tidak ada
harapan lagi, Kang Arya. Luka-Iuka yang dideritanya terlalu parah. Jadi...,
hanya tinggal menunggu saatnya saja."
Pemuda berambut putih keperakan yang d-panggil
Arya atau lebih terkenal berjuluk Dewa Arak itu ikut membungkukkan
tubuh. Kemudian
berjongkok dengan
bertumpu pada ujung-ujung jari kakinya.
Dewa Arak memperhatikan keadaan Ki Gadung
sejenak. "Kau benar, Melati. Nyawanya tidak mungkin bisa diselamatkan lagi. Kita harus
cepat mengorek keterangan dari mulutnya, untuk mengetahui penyebab bentrokan
antara dirinya dengan gerombolan berseragam hitam tadi."
"Kau benar, Kang," hanya itu yang bisa dikatakan Melati.
Dewa Arak melemparkan seulas senyum sebagai
tanggapan atas persetujuan kekasihnya. Segera perhatiannya dialihkan pada Ki
Gadung. Keadaan lelaki berpakaian coklat ini sudah payah
sekali. Napasnya sudah terengah-engah dan dadanya bergerak lambat.
"Katakan pada kami, Ki. Mengapa mereka hendak
membunuhmu" Dan siapa mereka?" tanya Arya tidak sabar.
"Hhh... hhh... hhh...!"
Lelaki berpakaian coklat itu tidak langsung menjawab pertanyaan Dewa Arak. Dia
sibuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
"A..., aku... ti... tidak tahu, Anak Muda.... Tapi..., sempat kudengar... mereka
menuduhku telah mencampuri urusannya. Hhh... hhh...!"
Sampai di sini Ki Gadung menghentikan ucapannya.
Keadaannya yang sudah payah, hingga tak mampu meneruskan ucapannya. Meskipun keinginannya untuk
menceritakan tentang kejadian yang dialami terlihat sangat besar. Terbukti,
beberapa saat kemudian ucapannya kembali dilanjutkan.
"Mereka mengatakan... hhh... hhh..., sebelum aku, telah
dibinasakan pula beberapa orang yang telah mencampuri urusan mereka... hhh... hhh...."
"Apa sebenarnya urusan yang mereka maksudkan itu, Ki?" tanya Melati yang sejak
tadi hanya diam mendengarkan.
"Aku..., aku..., akh...!"
Lelaki berpakaian coklat itu belum sempat menuntaskan ucapan, maut telah lebih dulu menjemputnya.
Seketika itu pula kepalanya terkulai.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat! Ditatapnya Melati,
yang pada saat itu juga tengah menatapnya.
"Sayang dia tidak sempat menyebutkan urusan yang dimaksudkannya itu, Kang," kata
Melati pelan. "Bukan hanya urusannya saja yang tidak sempat kita ketahui, Melati. Nama dan
tempat tinggalnya pun kita tidak tahu. Hhh...! Persoalan ini belum jelas bagi
kita," kata Arya mengeluh.
"Tapi..., aku percaya kau akan bisa mengungkapkannya, Kang," jawab Melati bernada yakin.
"Kau memang pandai membesarkan hati orang,
Melati," kata Dewa Arak sambil tersenyum.
"Persoalan ini harus segera terungkap, Kang," snmbut Melati lagi.
"Sudahlah...! Mari kita urus dulu mayat ini," ajak Arya, memutuskan pembicaraan.
Setelah itu, Dewa Arak lalu mengedarkan pandangan
ke sekeliling. Dia bermaksud mencari tempat yang layak untuk mengubur mayat
lelaki itu. "Kang, kita kubur saja di sana!" kata Melati sambil jarinya menunjuk sebatang
pohon beringin yang tumbuh di dekat situ.
"Aku pun berpendapat begitu, Melati," sahut Arya.
Lalu Dewa Arak segera bangkit sambil membopong
tubuh Ki Gadung ke arah pohon beringir itu.
*** Setelah selesai mengubur mayat Ki Gadung, Dewa
Arak dan Melati melangkah ke kereta ber kuda putih yang tidak jauh dari tempat
itu. "Kalau menurutmu, siapa pemilik kereta itu, Melati?"
tanya Arya sambil menatap kereta itu.
Melati tidak langsung menjawab pertanyaan kekasihnya. Sambil mengayunkan langkah mendekati kereta, diikutinya langkah Dewa
Arak. Pikirannya diputar untuk mencari jawaban bagi pertanyaan itu.
"Kurasa, kereta itu pasti milik lelaki yang tewas tadi, Kang," jawab Melati.
"Dugaanku juga begitu, Melati. Rasanya dugaan kita tidak keliru. Tidak mungkin
gerombolan berseragam hitam itu menggunakan kereta sepert ini."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala sambil merayapi kereta yang berkuda putih itu.
"O ya, Kang. Bagaimana kalau kita periksa isi kereta itu. Barangkali ada sesuatu
yang bisa kita dapatkan untuk menambah jelas persoalan ini!" usul Melati sambil
mendekat ke arah kereta.
"Boleh juga, Melati," sahut Arya menyetujui.
Sesaat kemudian mereka telah berada di dekat kereta itu. Dengan agak bergegas
mereka menuju bagian belakang untuk mendapatkan pintu kereta itu.
Tanpa bicara sepatah kata pun, Melati langsung
mengulurkan tangan untuk membuka daun pintu kereta.
"Tunggu! Tahan dulu, Melati! Jangan tergesa-gesa!"
Melati langsung membatalkan maksudnya. Kemudian
kepalanya menoleh ke arah Dewa Arak yang masih berdiri di belakangnya.
"Mengapa kau menahanku, Kang?" tanya Melati merasa penasaran.
"Aku tidak melarangmu, Melati. Aku hanya ingin agar kita bertindak hati-hati.
Bukan tidak mungkin, di dalam kereta itu ada sesuatu yang membahayakan kita.
Bisa jadi..., binatang. Atau, mungkin... ada senjata rahasianya."
Melati hanya terdiam. Disadari kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan
kekasihnya itu.
"Betul juga, Kang. Aku sering lupa untuk waspada.
Apalagi setelah keadaan seperti ini. Maksudku..., ketika lawan sudah kabur
seperti ini," jawab Melati mengakui keteledorannya.
"Jangan mempunyai pikiran seperti itu, Melati.
Usahakan untuk tidak meninggalkan kewaspadaanmu dalam setiap tindakan yang akan
kau lakukan. Kau mengerti maksudku?" ujar Dewa Arak.
"Mengerti, Kang," jawab Melati.
"Nah! Sekarang bukalah pintu kereta itu."
Tanpa menunggu perintah dua kali, dengan hati-hati
Melati mengulurkan tangan untuk membuka daun pintu
kereta. Sekujur otot dan urat syarafnya menegang, bersiap menghadapi kemungkinan
yang dapat terjadi.
Kreeet! Dengan sekali sentak, Melati membuka daun pintu itu sambil melompat ke belakang.
Hal itu dilakukan untuk menghadapi kemungkinan seperti yang dikatakan Dewa Arak.
Wuttt! Begitu daun pintu telah terkuak lebar, tiba-tiba dari dalam kereta melesat
dengan cepat bayangan hitam menuju leher Melati. Begitu cepat lesatan bayangan
hitam itu hingga Melati bahkan Dewa Arak tidak sempat melihat jelas
bentuknya. Namun, Melati tidak nampak gugup melihat lesatan
bayangan hitam itu. Karena gadis berpakaian putih ini telah lebih dulu bersiap
menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Bahkan, buru-buru tangannya
mencabut pedang yang tergantung di punggung.
Srattt! Secepat pedang itu tercabut, secepat itu pula
diayunkan ke arah kelebatan bayangan hitam yang tengah meluncur ke arahnya.
"Ihhh...!"
Melati kaget melihat darah muncrat ketika pedangnya berhasil membabat benda
hitam itu. Plukkk! Benda hitam itu jatuh ke tanah. Secara bersamaan,
Melati dan Dewa Arak langsung mengarahkan matanya ke benda itu. Dan seketika itu
pula mereka terperanjat. Ternyata benda hitam itu seekor ular hitam mengkilat.
Dan kini ular sebesar lengan bayi itu tergeletak tak bernyawa lagi. Darah
mengalir dari luka akibat tebasan pedang Melati.
"Minggir, Melati! Mungkin masih ada yang lainnya."
Dewa Arak yang merasa khawatir akan keselamatan
kekasihnya, segera bergerak melompat mendekati Melati yang masih berdiri di
depan pintu kereta. Matanya diedarkan merayapi bagian dalam kereta itu.
Pemuda berambut putih keperakan ini mengawasi
dengan cermat seluruh bagian dalam kereta. Bahkan sampai ke sudut-sudutnya.
Namun tak satu pun benda yang
mencurigakan dapat membahayakan dirinya. Kecuali sebuah peti coklat dan berukir
yang terletak di dalam kereta itu.
Panjang dan lebar peti itu sekitar lima jengkal tangan.
Dewa Arak mengernyitkan dahi melihat peti itu.
Apakah isi yang ada di dalamnya" Apakah ular juga" Tapi rasanya tidak mungkin.
Peti itu sama sekali tidak berlubang untuk pertukaran udara. Sehingga, tidak
mungkin kalau di dalamnya tersimpan makhluk hidup.
Setelah meyakini dugaannya benar dan setelah
menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda akan
terjadinya penyerangan, Dewa Arak memutuskan untuk
memeriksa peti itu.
Tanpa meninggalkan kewaspadaan, Dewa Arak menurunkan peti itu dari kereta. Di luar dugaan, ternyata peti itu cukup berat.
Sementara Melati hanya memperhatikan semua tindakan yang dilakukan kekasihnya. Sama seperti Dewa Arak, hatinya pun ingin
tahu isi peti itu. Maka gadis berpakaian putih itu mendekat ketika Dewa Arak
akan membuka peti. Hatinya penasaran ingin tahu makhluk atau benda di dalamnya.
Dewa Arak mulai memperhatikan sekeliling peti itu.
Melati tampaknya tahu maksudnya. Dewa Arak tengah
mencari bagian dari peti itu yang dapat dibuka.
Dugaan Melati tidak salah! Dewa Arak tengah mencari bagian yang menjadi tutup
peti. Akhirnya, pemuda berambut putih
keperakan ini berhasil menemukannya. Segera ditariknya bagian penutup peti coklat dan berukit itu.
Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kriiit...! Suara berderit pelan terdengar ketika tutup peti
terbuka. Dan seiring dengan terbukanya tutup peti, tercium bau menyengat hidung,
seperti bau rempah-rempah.
Ketika akhirnya tutup peti itu terbuka lebar, tampak benda-benda yang ada di
dalamnya. Benda-benda itu tidak lain guci-guci kecil yang besarnya tidak lebih
dari kepalan tangan. Lubang guci-guci itu tertutup rapat.
Sebenarnya, tanpa memeriksa pun Dewa Arak telah
menduga isi guci-guci itu. Bau khas yang tercium sudah menjelaskan isi guci-guci
itu. Tapi, untuk memastikan kebenaran dugaannya, Dewa Arak mengambil salah satu
guci dan membuka penyumbatnya. Kemudian guci itu didekatkan ke hidungnya.
"Apa isi guci itu, Kang" Benarkah obat-obatan?" tanya Melati tidak sabar.
Dewa Arak menganggukkan kepala membenarkan
dugaan Melati. "Jadi..., lelaki berpakaian coklat yang tewas itu seorang tabib, Kang?" tanya
Melati lagi. "Yahhh...! Kira-kira begitulah," jawab Arya.
"Berarti sebuah keterangan telah kita dapatkan, Kang.
Kemungkinan, lelaki berpakaian coklat itu tengah menuju suatu tempat untuk
mengobati orang sakit atau terluka. Tapi ternyata ada pihak yang tidak
menginginkan orang yang terluka itu diobati. Maka tabib itu dibunuh," ujar
Melati mencoba menguraikan kesimpulan yang ada dalam benaknya. "Kemungkinan besar memang demikian, Melati,"
dukung Arya. "Jadi..., dugaanmu sama denganku, Kang?" tanya Melati, setengah tak percaya.
Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Hanya dugaan itu yang paling masuk akal, Melati."
Melati terdiam, matanya memandang ke sekeliling
hutan yang sangat lebat itu. Dia pun menyadari kalau dugaan yang dikemukakannya
kemungkinan besar benar.
"Sekarang yang perlu kita ketahui, ke mana sebenarnya tujuan lelaki berpakaian coklat itu?" tanya Dewa Arak bernada
desahan. Suasana hening langsung melingkupi tempat itu.
Hanya suara burung dan angin yang bertiup terdengar. Baik Dewa Arak maupun
Melati tenggelam dalam pikirannya
sendiri. Masing-masing memikirkan pertanyaan yang dikeluarkan Dewa Arak.
"Tapi, ada satu hal yang aneh, Kang," kata Melati tiba-tiba.
"Apa itu, Melati?" tanya Arya, terpaksa menghentikan pikirannya yang tengah
berusaha memecahkan teka-teki itu.
"Mengapa di dalam kereta itu dimasukkan seekor ular" Bukankah binatang itu dapat
mengancam orang yang membuka pintu kereta?"
"Hal itu bisa dimaklumi, Melati," sahut Arya sambil tersenyum. "Obat-obatan itu
bagi seorang tabib seperti dia sangat berharga. Dan untuk melindunginya dari
tangan orang-orang
yang bermaksud tidak baik, hal itu dilakukannya. Walaupun mungkin dalam keadaan terpaksa.
Namun, aku juga tidak yakin, kalau hanya untuk itu
dimasukkan ular ke dalamnya. Aku yakin ada maksud
lainnya." Selesai berkata demikian, Dewa Arak melangkah
menuju bangkai ular hitam yang tergeletak di samping roda kereta itu. Begitu
berada dekat, tubuhnya dibungkukkan.
Sambil berjongkok dengan bertumpu pada jari-jari kakinya, Dewa Arak
memperhatikan bangkai ular hitam yang sudah tak berkepala itu.
Kurang puas hanya dengan memperhatikan, Dewa
Arak lalu memungut sebilah golok yang tergeletak dekat situ.
Kemudian dengan senjata itu, bangkai ular hitam itu dibolak-balikkan.
"Bukan ular sembarangan, Melati," kata Arya setelah cukup lama memeriksa.
"Aku belum mengerti maksudmu, Kang" Jadi..., ini ular ajaib?"
Dewa Arak menggelengkan kepala, tanpa mengalihkan
matanya dari ular hitam itu.
"Tidak, Melati. Terlalu berlebihan kalau disebut ajaib.
Tetapi, ular ini memiliki banyak kelebihan dibanding dengan ular lainnya. Darah
dan bisa ular ini bisa dijadikan untuk obat," jelas Arya.
"Ooo...,"
sambut Melati sambil mengangguk- anggukkan kepala. Rupanya itulah alasan lelaki berpakaian coklat itu membawa
ular ini, Kang."
"Kira-kira begitu, Melati."
"Kau tahu ular apa itu, Kang?" tanya Melati, setelah terdiam beberapa saat,
sambil memandangi ular hitam itu.
Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Apa, Kang?" tanya Melati lagi.
"Ular Terbang Hitam," jawab Arya. "Jenis ular yang cukup sulit didapatkan. Tidak
banyak orang yang tahu tempat hidup ular seperti ini. Apalagi untuk
menangkapnya. Ular macam ini banyak dicari jago-jago racun dan ahli obat.
Karena memang itulah kegunaan Ular Terbang Hitam seperti ini."
"Berarti..., lelaki yang kita kubur tadi seorang yang memiliki kepandaian
tinggi, Kang. Buktinya dia berhasil menangkap Ular Terbang Hitam itu," ujar
Melati membuat kesimpulan.
"Belum tentu demikian, Melati. Tidak perlu kepandaian yang terlalu tinggi untuk menangkapnya. Yang penting tahu
kelemahannya. Dan, lelaki berpakaian coklat itu rupanya memiliki keahlian itu,"
jelas Arya. Untuk yang kesekian kalinya, Melati mengangguk-
anggukkan kepala. Dia menyadari adanya kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam
ucapan Dewa Arak. Kalau benar Ki Gadung memiliki kepandaian tinggi, barangkali
gerombolan orang berseragam hitam itu tidak mampu melukainya.
Padahal, Melati sendiri yakin kalau dirinya saja mungkin akan mampu mengatasi
gerombolan berseragam hitam itu.
"Berarti tinggal satu persoalan lagi. Dan setelah itu, masalahnya akan selesai,
Kang," kata Melati bemada yakin.
"Jangan terlalu cepat menarik kesimpulan, Melati,"
kata Arya. "Bukankah yang kau maksud tempat tujuan lelaki berpakaian coklat
itu?" Melati menganggukkan kepala.
"Kalau demikian, kau terlalu cepat menarik ke-
simpulan. Kau tahu, Melati. Kalau kita berhasil menemukan tempat tujuan lelaki
berpakaian coklat itu, berarti kita baru masuk dalam persoalan. Masih banyak
liku-liku yang harus kita selesaikan."
Dewa Arak menghentikan ucapannya sebentar untuk
membasahi tenggorokannya yang kering, sambil bangkit dari jongkoknya.
"Sampai di sana nanti kita harus menyelidiki apakah orang yang bakal ditolong
lelaki berpakaian coklat itu terluka secara wajar ataukah tidak. Setelah itu,
kita masih harus menyelidiki lagi tentang orang-orang yang tadi membunuh lelaki
berpakaian coklat itu. Benarkah mereka terlibat dalam masalah ini" Dan banyak
lagi hal lain yang harus diselidiki, Melati."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti. "Sekarang mari kita memulai penyelidikan, Melati.
Aku yakin tempat orang-orang yang akan diobati tak jauh dari tempat orang-orahg
berseragam hitam berada. Dan, aku yakin kalau mereka berada di salah satu desa
sekitar sini."
"Tapi bukankah di sekitar tempat ini banyak terdapat desa, Kang" Di sebelah
barat, timur, mau pun utara, ada desa. Arah mana yang harus kita tempuh, Kang?"
tanya Melati. "Kalau melihat jejak yang ditinggalkan roda kereta, jelas berasal dari timur.
Tinggal tiga pilihan yang harus kita tuju, utara, selatan, dan barat."
"Lalu..., sekarang arah mana dulu yang harus kita tempuh, Kang?" tanya Melati
lagi. "Aku belum bisa memutuskannya. Tapi kalau menurutku, lebih baik kita coba ikuti gerombolan berseragam hitam tadi.
Barangkali mereka meninggalkan jejak yang bisa kita ikuti," jawab Arya sambil
mengarahkan matanya ke tempat gerombolan tadi pergi.
Melati sama sekali tidak memberikan tanggapan. Di
dalam hati, dia menyetujui tindakan yang akan dilakukan Dewa Arak. Namun hatinya
merasa tidak yakin mereka akan menemukan jejak orang-orang berseragam hitam
tadi. Sesaat kemudian, Dewa Arak dan Melati bergerak
meninggalkan tempat itu. Tetapi kali ini sepasang muda-mudi yang sama-sama
memiliki kepandaian tinggi itu tidak mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh
untuk mengejar gerombolan berpakaian hitam. Hal itu karena Dewa Arak dan Melati
berjalan sambil terus memeriksa ke
sekeliling. Barangkali ada jejak yang ditinggalkan gerombolan berseragam hitam
itu. Beberapa kali Dewa Arak dan Melati menghentikan
langkah ketika menemukan tanda-tanda adanya jejak yang ditinggalkan gerombolan
berseragam hitam.
3 Brakkk! Seketika sebuah meja bundar terbuat dari papan tebal hitam dan berukir, hancur
berkeping-keping. Sebuah tangan yang
tertutup sarung tangan menghantamnya. Jelas, pukulan tangan kosong itu mengerahkan tenaga dalam
tinggi. "Bodoh! Dungu! Kalian semua benar-benar buta!"
Suara bentakan terdengar menggelegar keras dari
mulut lelaki yang telah menghancurkan meja barusan.
Suaranya yang begitu keras menggelegar bagaikan halilintar itu dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Ampunkan kami, Ketua. Sebenarnya..., kalau saja tidak segera muncul
segerombolan orang yang langsung menolong Ki Gadung, tentu kepalanya akan kami
bawa kemari. Tapi, serbuan gerombolan itu terlalu kuat untuk bisa kami lawan. Namun,
kami yakin Ki Gadung akan tewas
sebelum sempat mengatakan sesuatu. Luka-luka yang
dideritanya terlalu parah," lapor salah satu dari sepuluh orang berseragam serba
hitam yang bertubuh tinggi kurus.
Sembilan orang yang berdiri di belakangnya, hanya
diam membisu. Mereka berdiri dengan kepala tertunduk.
Kepasrahan akan jatuhnya hukuman atas diri mereka,
terlihat jelas dalam sikap seperti itu.
Sang Ketua yang tengah murka, langsung terdiam
mendengar laporan laki-laki tinggi kurus itu. Hanya ada sebuah perbedaan pada
mereka, yaitu bagian dahi di
selubung sosok yang tengah murka terdapat sebuah gambar tengkorak kecil.
"Segerombolan orang"! Coba kau ceritakan dengan jelas, bagaimana mereka bisa
muncul" Bagaimana ciri-ciri pimpinan mereka?" tanya sosok hitam yang pada
dahinya terdapat gambar sebuah tengkorak.
Lelaki tinggi kurus itu tidak segera menjawab.
Ditelannya air liur yang sejak tadi terbendung di mulutnya.
"Tentang kemunculan mereka, kami tidak tahu pasti, Ketua. Mereka muncul secara
mendadak. Tapi, kalau
pemimpinnya kami tahu. Dia adalah seorang pemuda
tampan, berpakaian ungu dan rambutnya putih keperakan,"
jawab lelaki kurus yang tadi memimpin gerombolan itu.
Sekelebatan terlihat ada perubahan pada sorot mata
sang Ketua. Nampaknya cerita lelaki tinggi kurus itu berpengaruh cukup besar
terhadap dirinya.
"Hm..., jadi orang itu pemimpinnya?" tanya sang Ketua menegaskan keterangan anak
buahnya. "Benar, Ketua," jawab lelaki tinggi kurus yakin.
"Hm...!"
Sosok berseragam hitam yang dipanggil ketua mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian tatapan matanya dialihkan ke sembilan
orang berseragam hitam yang lainnya.
"Angkat wajah kalian, dan tatap aku!"
Tanpa menunggu keluarnya perintah yang kedua kali,
sembilan orang berseragam hitam itu langsung mengangkat kepala dan menatap sang
Ketua. Karena sosok yang
mempunyai tanda tengkorak di dahinya itu tengah menatap pula, maka bentrokan
pandangan pun tidak bisa dihindari lagi.
"Aku akan bertanya pada kalian. Benarkah ada yang menghalangi kalian membunuh Ki
Gadung?" lanya sang Ketua sambil mengedarkan pandangan, menatap wajah
mereka satu persatu.
"Benar, Ketua," jawab sembilan orang berseragam hitam itu serempak sambil
menganggukkan kepala.
"Apakah benar mereka
Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjumlah banyak dan dipimpin oleh seorang pemuda berambut putih keperakan?"
tanya sang Ketua lagi.
Brakkk! "Bodoh! Dungu! Kalian semua benar-benar buta!"
bentak lelaki yang telah menghancurkan meja barusan.
Suaranya terdengar keras menggelegar.
Sepuluh orang anak buahnya hanya diam membisu.
Mereka berdiri pasrah menanti hukuman yang
akan dijatuhkan sang Ketua.
Kali ini sembilan orang berseragam hitam yang berdiri di hadapannya tidak
langsung menjawab. Mereka tampak merasa ragu untuk menjawabnya. Tenntu saja hal
ini membuat lelaki tinggi kurus kebingungan. Dia mengharap rekan-rekannya turut
mendukung pengakuannya.
"Bagus! Rupanya kalian masih kepingin hidup,
sehingga tidak berani mendustaiku seperti dia!" bentak sang Ketua sambil
menuding lelaki tinggi kurus yang kini tertunduk ketakutan.
Kemudian dengan sorot mata bengis, ditatapnya
wajah lelaki tinggi kurus yang tanpa sadar melangkah mundur. Hatinya ngeri
ketika melihat sorot mata penuh ancaman.
"Kau kira aku percaya ceritamu itu, Keparat"! Untung saja yang lain tidak
mengikutimu, mencoba membohongiku.
Kalau tidak, mereka akan mengalami nasib yang sama
sepertimu!" tandas sang Ketua dengan suara berdesis.
Lelaki tinggi kurus mengetahui adanya bahaya besar
yang tengah mengancam keselamatan dirinya. Maka secepat kilat tubuhnya berbalik.
Lalu berlari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu.
"Mau lari ke mana kau, Keparat Busuk"! Jangan
harap dapat lolos dari tanganku!" seru sang Ketua dengan nada suara yang membuat
bulu kuduk berdiri. Seiring dengan ucapan itu, tangannya dikebutkan.
Srrr! Suara berdesir pelan mengiringi meluncurnya beberapa batang jarum berwarna kehijauan.
Crep! Crep! "Aaakh...!"
Tubuh laki-laki tinggi kurus itu kontan menggeliat
diiringi pekikan keras ketika jarum-jarum halus menancap tubuhnya. Tapi hal itu
hanya berlangsung sebentar. Karena kemudian lelaki tinggi kurus itu telah
kembali berlari.
Kali ini sang Ketua tidak kembali melancarkan jarum dari tangannya. Hanya
matanya yang terus memperhatikan larinya lelaki tinggi kurus itu. Apakah sang
Ketua hendak melepaskan anak buahnya vang telah berbohong begitu saja"
Ternyata tidak! Tak ada maksud sedikit pun di
henaknya untuk membiarkan anak buahnya itu lolos. Tidak dilakukannya tindakan
apa pun, karena diyakini kalau jarum-jarum yang telah mendarat di sasaran akan
mampu menghentikan anak buahnya itu.
Ternyata benar! Tubuh lelaki tinggi kurus itu seketika terjungkal hanya beberapa
langkah setelah berlari lagi.
"Akh...!"
Kembali teriakan keras terdengar seiring dengan
robohnya tubuh lelaki tinggi kurus yang berusaha kabur itu.
"Ha ha ha...!"
Sang Ketua tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa
yang mengandung kemenangan. Menilik dari tawanya yang keras dan menggelegar,
sosok dengan gambar tengkorak kecil di
dahinya ini mengerahkan tenaga dalam sewaktu mengeluarkan tawanya.
Sembilan orang berseragam hitam yang berdiri di
belakangnya, semua mendekapkan tangan pada kedua
telinga masing-masing. Suara tawa itu dirasakan telah mengguncangkan dada
mereka. Untung saja suara tawa itu tidak berlangsung lama.
Sehingga sembilan orang itu kembali tenang setelah tawa menggelegar itu
terhenti. Namun ketakutan di hati mereka belum juga reda.
"Bawa si keparat itu kemari!" perintah sang Ketua sambil menggelengkan kepala
kepada kesembilan anak
buahnya yang tengah gemetar ketakutan.
Tanpa menunggu perintah dua kali, salah satu dari
mereka yang berseragam hitam itu berlari me-nuju lelaki tinggi kurus yang
terkulai lemah di tanah.
Sosok lelaki tinggi besar yang berlari untuk menjalankan perintah itu segera membungkuk. Kemudian mengangkat tubuh lelaki
tinggi kurus yang tengah terkulai lemas.
Namun, baru saja sosok tinggi besar itu mengulurkan kedua tangannya untuk
memondong kawannya, tiba-tiba terdengar suara sang Ketua.
"Apa yang akan kau lakukan, Manusia Dungu"!"
Seketika itu pula sosok tinggi besar itu mengurungkan maksudnya. Kedua tangannya yang sudah
meluncur itu seketika terhenti.
"A..., aku... Aku hanya bermaksud melaksanakan perintahmu, Ketua," jawab lelaki
tinggi besar itu dengan gugup.
"Lalu..., apa yang akan kau lakukan"!" tanya sang Ketua lagi, dengan suara
keras. "Aku..., aku akan memondongnya..., tentu saja untuk kubawa ke hadapan Ketua,"
jawab sosok tinggi besar, juga tetap terbata-bata.
"Siapa suruh kau memondongnya"! Atau..., rupanya kau pun ingin menerima hukuman
yang sama"!" ancam sang Ketua keras.
"Tentu saja tidak, Ketua," sahut sosok tinggi besar itu lagi.
"Kalau begitu, seret dia kemari! Dia bukan anak buahku lagi! Jadi, jangan
terlalu baik kepadanya. Kau mengerti?"
"Me..., mengerti, Ketua."
"Nah! Sekarang bawa kemari!" perintah sang Ketua lagi.
"Baik, Ketua."
Dengan agak bergegas, sosok tinggi besar itu lalu
meraih kedua pergelangan kaki bekas pimpinannya. Lalu menyeretnya dengan kasar.
Sosok-sosok berseragam hitam yang lain hanya
mampu memandangi bekas pimpinannya yang diseret di atas lantai. Suara mengerang
masih terdengar dari mulut lelaki tinggi kurus itu, menahan rasa sakit akibat
tusukan jarum-jarum yang menghunjam tubuhnya.
Sosok berseragam hitam dan bertubuh tinggi besar
yang menyeret tubuh bekas pimpinannya berhenti di depan sang Ketua. Kemudian
melangkah kembali ke kelompoknya.
"Bagaimana
rasanya, Manusia Busuk" Nikmat bukan?" ejek sang Ketua sambil menatap wajah lelaki tinggi kurus dengan sorot
mata puas. Lelaki tinggi kurus itu hanya diam, tidak menjawab
pertanyaan ketuanya. Karena tengah sibuk menahan rasa sakit yang hebat akibat
jarum-jarum yang menancap di tubuhnya.
Kini beberapa saat setelah jarum-jarum itu menancap di tubuh, akibatnya mulai
terasa. Seluruh otot dan tulang-belulangnya seperti lumpuh. Semakin lama rasa
sakit itu semakin hebat menjalari seluruh tubuhnya. Kemudian, sedikit demi
sedikit muncul rasa gatal menjalari kulit tubuhnya.
Kalau menurut perasaan, ingin rasanya lelaki tinggi kurus itu menggaruk tubuhnya
untuk mengusir rasa gatal yang semakin bertambah terus. Namun sayang, hal itu
tidak bisa dilakukan karena kedua tangannya sama sekali tak mampu digerakkan.
Kedua tangannya telah lumpuh seperti juga kedua kaki dan tubuhnya.
Karena sibuk dengan rasa sakit yang tengah dideritanya, lelaki tinggi kurus ini tidak bisa memberikan tanggapan atas
pertanyaan mengejek dari sang Ketua.
"Itulah ganjaran bagi orang yang mencoba berbohong padaku!" dengus sang Ketua.
"Dengar, Manusia Busuk! Aku percaya kalau kegagalan kalian akibat campur tangan
pihak lain. Aku pun akan percaya seandainya kalian mengatakan diserbu
segerombolan orang yang jumlahnya lebih banyak dan tingkat kepandaian mereka
lebih tinggi."
Sang Ketua menghentikan ucapannya sebentar. Ditelannya air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
"Tapi kepercayaanku membuyar, ketika kudengar
pemimpin mereka seorang pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Aku mengenal..., maksudku setidak-tidaknya pernah
mendengar berita tentang orang yang kalian maksud. Tapi setahuku, pemuda itu
tidak pernah bekerja dengan gerombolan. Dia selalu bekerja sendiri. Itulah
sebabnya aku tidak percaya pada ceritamu!"
Lagi-lagi sang Ketua menghentikan ucapannya untuk
mengambil napas. Sama sekali tidak dihiraukannya lelaki tinggi kurus yang tengah
menggeliat-geliat kesakitan di bawah kakinya.
"Tanpa kau ceritakan pun aku tahu. Pemuda
berambut putih keperakan itu tidak bersama rombongannya.
Dia sendirian! Dan kau tahu siapa orang itu?"
Sang Ketua menghentikan ucapannya sejenak, lalu
melihat tanggapan dari semua anak buahnya.
Kesembilan orang itu menggelengkan kepala.
"Kalian memang bukan manusia! Tapi kerbau! Ya, kerbau-kerbau dungu! Oleh karena
itu sama sekali tidak tahu
kalau keadaan kini sangat berbahaya!
Pemuda berambut putih keperakan yang kalian temui itu adalah orang yang paling usil di
dunia ini. Dia adalah Dewa Arak!
Kalian dengar! Dewa Arak!" tandas sang Ketua, keras.
Sembilan orang berseragam hitam itu saling pandang.
Raut wajah mereka menampakkan keterkejutan yang amat sangat. Jadi, orang yang
telah mereka hadapi itu adalah pendekar muda yang telah menggemparkan dunia
persilatan. Kalau saja tidak mendengar sendiri dari sang Ketua, mereka tak akan percaya.
Padahal, sebenarnya mereka telah mendengar julukan
Dewa Arak yang menggemparkan dunia persilatan. Tahu pula kalau tokoh yang
tersohor itu masih berusia muda, dan memiliki rambut berwarna putih keperakan.
Namun sama sekali tidak disangka kalau orang yang mereka temui di Hutan Gendar
tadi adalah Dewa Arak. Seandainya pemuda berambut putih keperakan itu
memperkenalkan diri pun belum tentu mereka akan percaya. Hanya seperti itukah
penampilan Dewa Arak yang namanya telah menggegerkan rimba persilatan"
"Sudah bisa kuperkirakan kalau sekarang Dewa Arak pasti tengah berusaha
menyelidiki kalian. Hal ini berarti rencana yang telah kuatur bisa hancur
berantakan. Aku tak mau hal ini terjadi. Sebelum Dewa Arak berhasil menemukan
sesuatu, kita harus mendahuluinya lebih dulu. Dewa Arak harus disingkirkan
secepat mungkin!"
Sembilan orang berseragam hitam itu tidak memberi
tanggapan apa pun. Mereka khawatir salah tanggap dapat mengakibatkan kemarahan
ketua mereka. Sang Ketua rupanya tidak memerlukan adanya
tanggapan apa pun dari mulut sembilan orang berseragam hitam itu. Matanya
kembali beralih pada anak buahnya yang sedang kesakitan.
"Tapi sebelum aku melenyapkan Dewa Arak, terlebih dulu kau kusingkirkan, Manusia
Busuk!" Setelah berkata demikian, sang Ketua segera memasukkan tangan kanannya ke balik baju. Sebentar
kemudian, tangannya telah menggenggam sebuah guci kecil.
"He he he...!"
Sang Ketua tertawa terkekeh bernada m-nyeramkan.
Dan masih dengan tertawa, dicabutnya sumbat guci kecil itu.
Kemudian dituangkannya isi guci itu ke tubuh lelaki tinggi kurus yang tengah
mengerang kesakitan dan tak mampu bergerak sedikit pun.
Tesss! Tesss! Cairan kuning berbau tak sedap menetes dari mulut
guci kecil itu. Hanya dua tetes yang dituangkan, namun tepat mengenai tubuh
lelaki tinggi kurus yang tengah terkulai tak berdaya.
"Wuaaa...!"
Jeritan kesakitan langsung keluar dari mulut lelaki tinggi kurus. Selain itu,
tubuhnya yang sejak tadi terkulai tanpa mampu bergerak sedikit pun, kini kontan
menggelepar-gelepar seperti ikan dilemparkan ke darat. Hal ini mungkin pertanda
betapa hebatnya rasa sakit yang diderita. Tubuhnya yang sejak tadi sama sekali
tak berkutik, mampu bergerak-gerak.
"Ha ha ha...!"
Sang Ketua tertawa terbahak-bahak menyaksikan
derita yang dialami anak buahnya. Nampak begitu puas dengan hasil perbuatannya.
Sementara itu, kesembilan anak buahnya yang lain
merasa sedih dan ngeri. Bahkan nyali mereka menciut, menyaksikan derita dan rasa
Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sakit yang dialami bekas pimpinannya. Lelaki
tinggi kurus terus menjerit dan
menggelepar-gelepar kesakitan.
Betapa tidak" Dari bagian tubuh yang terkena tetesan cairan kuning itu, timbul
asap. Mula-mula tipis, tapi semakin lama semakin tebal, diikuti bau busuk yang
menusuk hidung. Tak lama kemudian, seiring dengan semakin
tebalnya asap, tubuhnya mulai meleleh bagai lilin terbakar.
Tak berapa lama kemudian, tubuh lelaki tinggi kurus itu lenyap. Sementara
sembilan anak buahnya hanya bisa diam membisu dengan perasaan takut dan ngeri
yang berkecamuk di hati.
Cukup lama sang Ketua hanyut dalam perasaan
gembira. Dan ketika tawanya terhenti, pandangannya dialihkan pada sembilan anak buahnya yang masih terpaku dengan perasaan ngeri.
Sepasang mata yang menyeramkan milik sang Ketua
menatap wajah mereka satu persatu.
"Sebenarnya aku tidak ingin melenyapkan kalian.
Tapi, karena sekarang Dewa Arak telah mengetahui masalah ini, dan sudah pasti
akan mencari kalian, aku mengambil kebijaksanaan lain. Daripada nanti kalian
membocorkan rahasiaku. Lebih baik kalian semua kulenyapkan!" tandas sang Ketua
dengan suara bergetar.
Kontan wajah sembilan orang itu berubah memucat
mendengar ucapan sang Ketua. Meskipun tidak terlihat karena wajah itu tertutup
selubung, namun bisa diketahui dari
sorot mata mereka. Mata-mata mereka saling memandang satu sama lain. Dan dengan perasaan sangat takut, mereka melangkah
mundur perlahan.
"Kami..., kami berjanji tidak akan membocorkan rahasia ini, Ketua..," ujar salah
satu dari sembilan orang berseragam hitam itu dengan suara gagap.
"Be..., benar, Ketua," sambung yang lainnya.
Dan berturut-turut semua mendukung ucapan kedua
rekan mereka dengan menganggukkan kepala. Lidah-lidah mereka terasa kelu saking
takutnya, sehingga tidak mampu mengeluarkan ucapan sepatah kata pun.
"Hmh...!" sang Ketua mendengus. "Sayang sekali, aku tidak bisa mempercayai
ucapan kalian begitu saja!"
Ringan saja ucapan sosok yang mempunyai gambar
tengkorak kecil di dahinya itu. Tapi bagi kesembilan anak buahnya yang tengah
ketakutan, ucapan itu bagaikan
halilintar di telinga mereka.
"Tapi karena kesalahan kalian tidak sebesar si keparat itu, maka kalian akan
mati tanpa menderita."
Sambil berkata begitu, tangan kanan sang Ketua
terjulur. Telunjuk dan jari tengah dihimpitkan menunjuk lurus. Lalu ditudingkan
ke arah sembilan anak buahnya.
Kesembilan orang berpakaian serba hitam yang belum
sempat tahu benar apa yang bakal terjadi, terkejut seketika.
Dan.... Cit, cit, cit! Suara mencicit nyaring seperti ada tikus terjepit,
terdengar ketika tangan itu ditudingkan. Dan hasilnya benar-benar menakjubkan.
"Akh! Akh! Akh...!"
Berturut-turut sembilan orang berseragam hitam itu
menjerit tertahan. Jerit yang belum sempat keluar seluruhnya terputus karena nyawa mereka telah lebih dulu melayang dari raga.
Bruk! Bruk! Bruk...!
Susul-menyusul tubuh mereka ambruk ke tanah dan
tak berkutik lagi. Nampak pelipis mereka sobek dan
mengeluarkan darah segar. Luka yang dilancarkan sang Ketua itu, seperti tersabet
senjata tajam. "Ha ha ha...!"
Kembali sang Ketua tertawa terbahak-bahak.
Kemudian untuk yang kedua kalinya, isi gucinya dituangkan pada tubuh sembilan
orang itu. Sesaat kemudian, kejadian yang dialami lelaki tinggi kurus tadi
berulang pada sembilan orang anak buahnya.
4 "Uh, panasnya hari ini," keluh gadis cantik jelita berpakaian putih. Rambutnya
yang hitam, panjang, dan tergerai disibakkan. Dan sesekali tangannya mengusap
keringat yang membasahi leher dan kening.
"Bukan hanya panas," sambut pemuda berambut putih keperakan yang berjalan di
sebelahnya. "Angin yang berhembus pun mengandung hawa yang tidak sedap. Tempat
ini benar-benar tidak nyaman, Melati."
"Benar, Kang," jawab gadis berpakaian putih yang tidak lain Melati. "Sepertinya
udara di tempat ini telah tercemar racun."
"Dugaanmu beralasan, Melati," jawab Arya, pemuda berambut putih keperakan yang
lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak itu. "Aku pun menduga demikian. Tapi, hal
itu kita pikirkan saja nanri. Sekarang yang penting mengisi perut. Apakah kau
tidak merasa lapar, Melati?"
"Bukan hanya lapar, Kang. Tenggorokanku juga
kering sejak tadi," sambut Melati cepat. "Hawa panas dan tidak sehat di sini
membuatku cepat merasa haus."
"Kalau begitu kita mencari kedai makan untuk
mengisi perut."
'Tapi..., mana ada kedai di sekitar sini, Kang?" sergah Melati sambil
mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Di sekeliling mereka tidak tampak satu bangunan
pun. Yang terlihat hanya hamparan tanah gersang. Tempat sepasang pendekar muda
ini berada sebuah tanah lapang luas yang sedikit berumput. Sejauh mata
memandang, yang terlihat hanyalah tanah yang di beberapa bagian ditumbuhi rumput
dan ilalang. "Di sini memang tidak ada, Melati. Tapi aku yakin di sana ada," jawab Dewa Arak
sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan.
"Kalau begitu...," Melati menggantung ucapannya.
"Yahhh..., kita harus mempercepat perjalanan kalau ingin segera tiba di sana."
Usai berkata demikian, Melati lalu menjejakkan kaki melesat mendahului Dewa
Arak. Dalam sekejap, tubuh gadis berpakaian putih itu telah melesat sejauh
sembilan tombak di depan kekasihnya.
Dewa Arak hanya menggeleng-gelengkan
kepala melihat kelakuan Melati. Namun hal itu hanya sebentar saja dilakukannya. Kakinya
segera menjejak pula dengan cepat.
Dalam sekejap saja tubuhnya telah menjajari Melati yang bergerak cepat sekali.
Sesaat kemudian, sepasang pendekar muda itu telah
nampak saling berkejaran. Keduanya melesat cepat, sehingga yang nampak hanya dua
bayangan putih dan ungu dalam bentuk tidak jelas yang terus melesat.
Dugaan Dewa Arak tidak meleset. Baru beberapa kali
lesatan, dari kejauhan mereka telah melihat banyak bangunan berdiri. Semangat mereka semakin besar untuk segera tiba di sana.
Dan ketika akhirnya jarak itu telah demikian dekat, Dewa Arak dan Melati
menghentikan lesatan mereka. Hal itu dilakukan agar tidak membuat terkejut
penduduk tempat itu.
Kini sepasang muda-mudi itu meneruskan perjalanan
dengan berjalan biasa. Pandangan mereka beredar ke
sekeliling tempat itu, menatap satu persatu bangunan-bangunan yang ada. Namun,
kedua pendekar muda itu tidak mendapatkan yang diharapkan.
"Sepi, Kang," ujar Melati memecahkan keheningan.
"Benar, Melati. Rumah-rumah ini seperti tak berpenghuni. Tapi..., tunggu dulu. Kau dengar suara gaduh itu?" tanya Dewa Arak
sambil menggerakkan kepalanya perlahan, seolah-olah tengah mempertajam
pendengarannya.
Melati terdiam sejenak. Kedua telinganya dipusatkan untuk mencoba menangkap
suara gaduh yang dikatakan
Dewa Arak. Kepalanya bergerak perlahan mencari asal suara itu.
"Kau benar, Kang. Aku pun mendengar suara-uara itu. Arahnya dari sebelah sana."
"Mari kita ke sana," sambut Arya memutuskan.
Melati langsung menganggukkan kepala dan segera
menghentakkan kaki melesat mendahului Dewa Arak.
Tak berapa lama kemudian, mereka telah sampai di
tempat asal suara riuh-rendah.
"Sebuah kedai, Kang!" ujar Melati gembira.
Perutnya merasa lapar bukan kepalang, dan sudah
dari tadi minta diisi. Maka hatinya gembira ketika melihat sebuah kedai di depan
matanya. "Mari kita masuk!"
Kemudian Dewa Arak dan Melati melangkah memasuki kedai. Dewa Arak berjalan di depan. Di Ambang pintu
kedai pemuda berambut putih keperakan itu menghentikan langkah sebentar, lalu matanya memandang ke dalam kedai.
Pengunjung kedai itu ternyata cukup ramai. Beberapa meja yang tersedia, hampir
terisi semua. Tinggal dua buah meja kosong yang terletak di tengah-tengah
ruangan. Setelah sekian lama memperhatikan ke dalam, Dewa
Arak mendekat ke salah satu meja. Melati menyikuti dari belakangnya.
"Mau makan apa, Den?" tanya seorang lelaki kira-kira empat puluh lima tahun dan
bertubuh kecil kurus ketika melihat Dewa Arak dan Melati telah duduk di bangku.
"Teh manis seguci kecil, arak seguci besar, ayam panggang, dan jagung bakar
empat buah," sebut Dewa Arak untuk pesanannya.
"Harap sabar menunggu, Den!" jawab lelaki kecil kurus yang ternyata pemilik
kedai itu. Setelah itu pemilik kedai segera beranjak ke dalam
untuk. menyiapkan pesanan Dewa Arak.
Selama menunggu pesanan, baik Dewa Arak maupun
Melati tidak berbicara sepatah kata pun. Keduanya diam sambil memperhatikan
keadaan sekitar ruangan kedai yang ramai itu.
Meskipun nampak tenang-tenang saja, Dewa Arak
tetap memasang kewaspadaan penuh. Hal ini bukan tanpa alasan,
sebab ketika memasuki kedai ini, hatinya membisikkan akan adanya bahaya yang mengancam. Dan
getaran perasaan itu semakin membesar setelah berada di dalam kedai.
Dewa Arak bukan orang yang terlalu menuruti
perasaan prasangka buruknya. Tapi kali ini lain. Bukan perasaannya menyimpulkan
demikian, tapi naluri jiwanya.
Memang, sejak belalang raksasa dari alam gaib
berhasil ditarik masuk ke tubuhnya, naluri Dewa Arak bertambah tajam. Dan
semakin seringnya belalang raksasa itu masuk ke tubuhnya, nalurinya pun semakin
bertambah tajam (Untuk jelasnya cerita mengenai belalang raksasa, silakan baca
serial Dewa Arak, dalam episode "Makhluk dari Dunia Asing" dan "Dalam
Cengkeraman Biang Iblis").
Dewa Arak tahu naluri itu sama sekali tidak pernah
meleset. Memang benar ada bahaya yang tengah mengancam.
Sayangnya, Dewa Arak belum tahu dari mana asal bahaya itu. Yang jelas, nalurinya
membisikkan adanya bahaya di tempat ini.
Dewa Arak semakin bersikap waspada. Seluruh urat
syaraf di tubuhnya menegang. Bahkan ekor matanya
beberapa kali diedarkan ke sekeliling. Barangkali ditemukan adanya tanda-tanda
mencurigakan. Tapi sampai sejauh itu belum terlihat adanya hal-hal yang
mencurigakan. Sementara itu, lelaki pemilik kedai telah datang
sambil membawa baki berisi pesanan Dewa Arak. Di
belakangnya, berjalan seorang lelaki bertubuh kekar, membawa seguci besar berisi arak.
Pemilik kedai itu meletakkan semua pesanan di meja
dengan hati-hati.
"Silakan dinikmati, Den," ujar pemilik kedai mempersilakan. "Terima kasih, Ki."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak lalu mengambil
guci araknya yang
Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tergantung di punggung. Lalu diletakkannya di atas meja. Sementara itu Melati mulai mengambil salah satu
potongan ayam panggang dan segera menyantapnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Sementara Dewa Arak sibuk menuangkan arak dari
guci besar ke dalam guci miliknya, Melati mulai mengunyah santapannya.
Di tangan Dewa Arak, guci besar yang berisi penuh
dengan arak itu, bagaikan segumpal kapas. Dengan ringan, satu tangannya
mengangkat guci itu. Padahal, lelaki bertubuh kekar tadi membawanya dengan kedua
tangan. Itu pun
nampaknya sambil mengerahkan sebagian besar tenaganya. Setelah guci miliknya penuh. Dewa Arak segera
mengambil gelas bambu yang disediakan pemilik kedai untuknya. Kemudian sisa arak
dalam guci besar itu
dituangkan ke dalam alat minum dari bambu itu. Dalam sekejapan saja arak itu
telah ditenggaknya. Kemudian, diambilnya sebuah jagung bakar dan segera digigit.
Kini nampak sepasang muda-mudi itu tengah menikmati santapannya. Namun sebelum sebatang jagung habis di tangan
Dewa Arak, tiba-tiba Melati memanggilnya.
"Kang...," suara panggilan lemah Melati membuat Dewa Arak mengalihkan perhatian
dari jagung yang tengah dinikmatinya.
"Ada apa, Melati?" tanya Dewa Arak sambil menatap wajah kekasihnya.
"Kepalaku pusing, Kang. Tubuhku gemetaran dan
lemas...," lanjut gadis berpakaian putih itu sambil memijit-mijit keningnya.
"Apa"!"
Dewa Arak terlonjak kaget bagai disengat ular berbisa.
Matanya langsung menatap tajam makanan dan minuman
yang tersaji di atas meja mereka.
"Jangan lanjutkan makan dan minummu. Makanan
ini pasti mengandung racun!" seru Dewa Arak ketika merasakan sepasang matanya
mulai berkunang-kunang.
Seketika itu juga Dewa Arak bangkit dari duduknya.
Namun tiba-tiba...
Srat! Srat! Srat!
Sinar-sinar terang berpendar ketika semua orang di
kedai itu menghunus senjatanya masing-masing. Kemudian, sambil mengacungkan
senjata, mereka bergerak menerjang Dewa Arak dan Melati.
Sing! Sing! Sing...!
Suara berdesing nyaring mengiringi ayunan senjata-
senjata itu menuju sasaran.
Sementara, keadaan sepasang pendekar muda itu
semakin parah. Terutama sekali Melati. Kepalanya semakin bertambah pening,
matanya berkunang-kunang, sehingga semua yang dilihat berputaran tidak karuan.
Kalau hanya rasa pening menyerang kepalanya, bagi
Melati mungkin bukan masalah berat. Meskipun sepasang matanya tidak mampu
melihat jelas, dia masih mempunyai pendengaran. Dengan pendengaran yang tajam,
Melati mampu mengetahui arah yang dituju. Namun sayangnya, tiba-tiba seluruh kekuatan
tenaga dalamnya bagaikan lenyap.
Tubuhnya gemetaran dan lemas. Keringat dingin pun mulai membasahi sekujur
tubuhnya. Bagaikan seorang bayi yang baru dilahirkan, tubuh
Melati tidak mampu berbuat apa pun selain berdiam diri.
Untung saja keadaan Dewa Arak tidak separah yang
dialami Melati. Mengetahui keadaan mulai berbahaya, dengan kecepatan yang sukar
diikuti mata, Dewa Arak menyambar tubuh Melati.
"Hih!"
Dewa Arak melesat dan melenting beberapa kali
melewati kepala-kepala para penyerangnya.
Jliggg! Dengan begitu ringan dan manis sekali, kedua kaki
pemuda berambut putih keperakan itu mendarat di belakang para pengeroyoknya.
Tentu saja para pengunjung kedai yang nampaknya
bermaksud hendak melenyapkan Dewa Arak dan Melati,
tidak membiarkan buruan mereka lolos. Maka begitu melihat Dewa Arak berhasil
meloloskan diri dari kepungan, mereka serentak membalikkan tubuh memburu Dewa
Arak yang memapah tubuh Melati.
Sewaktu para pengeroyok tengah membalikkan tubuh,
Dewa Arak nampak menuangkan arak dari guci ke mulutnya.
Gluk.., gluk..., gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan. Seketika itu pula hawa hangat terasa berhembus di dalam perut Arya. Perlahan-lahan hawa itu merayap ke atas. Dan
akhirnya tubuh pemuda berambut putih keperakan itu pun limbung.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak
segera menyampirkan kembali gucinya ke punggung. Karena, tangan kirinya
memanggul tubuh Melati, Dewa Arak terpaksa menggunakan
satu tangan dalam menghadapi lawan- lawannya. Dan Dewa Arak tidak perlu menunggu lama kedatangan serangan lawan-lawannya. Karena baru saja gucinya tersampir kembali
ke punggung, serangan-serangan itu datang.
Para penyerang itu ternyata tidak hanya pengunjung
kedai. Pemilik kedai dan laki-laki tinggi besar yang membawa guci juga turut
menyerang. Jelas, kalau semua kejadian itu memang telah direncanakan sebelumnya.
Dewa Arak segera mempersiapkan diri menghadapi
serangan-serangan itu. Jumlah para pengeroyoknya sepuluh orang. Namun, pemuda
berambut putih keperakan ini
nampak tidak menganggap remeh lawan-lawannya yang
memiliki kepandaian lumayan itu.
Dewa Arak merasa bahwa tubuhnya pun telah
kemasukan racun dari makanan yang tadi disantapnya.
Itulah sebabnya Dewa Arak segera menenggak arak dari gucinya, karena arak yang
telah masuk ke gucinya akan mampu menawarkan segala macam racun yang masuk ke
tubuhnya. Di samping itu dengan perantaraan arak, Arya ingin
mengerahkan ilmu 'Belalang Sakti' andalan-nya. Dewa Arak merasa perlu
mengerahkan ilmu itu untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
"Hait...!"
Dengan mempergunakan jurus 'Delapan Langkah
Belalang', Dewa Arak berhasil mengelakkan serangan lawan-lawannya. Padahal
serangan itu datang dari segala penjuru, sehingga sulit baginya untuk lolos dari
kepungan para pengeroyok. Namun ternyata kecepatan tubuhnya berkelit mampu
menyelamatkan jiwanya dan Melati yang masih tetap dalam dekapannya.
Bahkan, sesekali sambil berkelit di antara kelebatan senjata
lawan-lawannya,
tangan dan kakinya sempat bergerak cepat melancarkan serangan balasan.
Plak! Bukk! Desss!
"Akh! Ugkh...!"
Jerit kesakitan berturut-turut terdengar seiring dengan pukulan tangan dan kaki Dewa Arak yang mendarat di tubuh lawan. Dua di
antaranya bersarang di dada, sedangkan yang satu lagi menghantam perut. Seketika
ketiga tubuh lawannya terjengkang ke belakang. Nampak dari mulut ketiga
penyerang itu memuntahkan darah.
Dewa Arak tidak meneruskan serangannya kepada
ketiga lawannya yang nampak tengah memegangi dada dan perut mereka. Barangkali
karena Dewa Arak belum tahu dengan jelas mengapa tiba-tiba mereka menyerang
dirinya dan Melati.
Nampak ketiga orang yang terjungkal karena serangan balik Dewa Arak, kini
bergerak terseok-seok meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, ketujuh orang lainnya sama sekali
tidak ciut nyalinya melihat kejadian yang menimpa tiga teman mereka. Bahkan
sebaliknya mereka semakin ganas menyerang. Golok dan pedang di tangan mereka
berkelebatan ke bagian tubuh Dewa Arak.
"Hiaaat...!"
Sing! Sing! Sing!
Mata-mata senjata tajam berkilat dan meluncur dari
berbagai arah, siap mencacah tubuh Dewa Arak yang masih tetap berdiri tenang.
Namun, ketika serangan itu hampir menyambarnya, pemuda berambut putih keperakan
itu bergerak melancarkan serangan balik.
"Akh! Ukh! Hugkh...!"
Jeritan-jeritan tertahan terdengar berkali-kali. Tangan dan kaki Dewa Arak
beberapa kali tepat mendarat di tubuh lawan-lawannya.
Sesaat kemudian disusul ambruknya tubuh-tubuh mereka ke tanah dan tak mampu bangkit lagi.
Mereka hanya merintih-rintih kesakitan sambil memegangi bagian tubuh yang
terkena serangan Dewa Arak.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas lega melihat semua
lawannya telah roboh di tanah. Kejadian itu begitu cepat.
Sepasang matanya menatap tubuh-tubuh yang tergeletak dengan luka parah itu. Satu
persatu wajah-wajah kesepuluh orang itu ditatapnya.
"Katakan, mengapa kalian ingin membunuhku?"
tanya Dewa Arak dengan suara yang ditekan.
"Cuihhh...!"
Pemilik kedai membuang ludah sambil menatap tajam
ke arah Dewa Arak.
"Tidak usah banyak tanya, Dewa Arak! Kau tidak perlu tahu mengapa kami hendak
membunuhmu! Mau
bunuh, silakan bunuh! Kami tidak takut mati. Yang penting, tugas kami untuk
membunuhmu telah selesai dan berhasil dengan baik!"
"Kau terlalu berlebihan, Sobat!" sergah Dewa Arak.
"Kuakui kelicikan kalian telah berhasil melukai kawanku.
Tapi terhadapku, kalian tidak berhasil. Pimpinan kalian akan memberi hukuman
atas kegagalan tugas kalian."
Dengan cerdik Dewa Arak mengajukan pernyataan
demikian untuk memancing apakah orang-orang itu hanya suruhan. Dengan kata lain
ada tokoh yang telah mendalangi tindakan mereka.
"Mana mungkin pimpinan kami akan memberikan
hukuman pada anak-anak buahnya yang telah berhasil
menunaikan tugas dengan baik" Kau yang keliru, Dewa Arak.
Kau telah terkena racun kami, dan jangan harap dapat lolos dari maut!" ucap sang
Pemiliki kedai begitu semangat dan yakin.
"Aku keracunan..." Sayang sekali, Sobat. Kurasa keinginan kalian tidak berhasil.
Aku tadi telah minum obat untuk menawarkan pengaruh racun itu."
"Ha ha ha...! Jangan terlalu yakin dengan obat penawar racun yang kau miliki,
Keparat! Kau tahu, racun milik pimpinan kami tidak bisa dimusnahkan dengan
penawar racun apa pun," sergah pemilik kedai.
Dan ternyata benar. Dewa Arak tidak perlu menunggu
terlalu lama untuk membuktikan kebenaran ucapan lelaki kecil kurus itu. Karena
tiba-tiba dirasakan ada kabut yang meliputi sepasang matanya. Kabut itu membuat
pandangan matanya samar-samar. Bahkan perlahan-lahan tubuhnya dirasakan mulai
gemetar dan lemas. Racun itu benar-benar telah menjalar dan mulai bekerja.
"Dan jangan harap kau akan bisa lolos dari sini. Dewa Goblok! Pimpinan kami
telah memperhitungkan semuanya secara cermat...."
Bersamaan dengan ucapan lelaki kecil kurus itu,
telinga Dewa Arak segera menangkap suara langkah-langkah kaki mendekati
tempatnya. Langkah-langkah kaki yang hanya dimiliki orang-orang berkepandaian
tinggi. Bergegas Dewa Arak mengalihkan pandangan ke luar.
Dilihatnya dengan jelas, belasan orang yang menggenggam senjata terhunus di
tangan, bergerak cepat menuju kedai itu.
Dewa Arak segera menyadari keadaan yang tengah
dihadapinya tidak dapat dianggap remeh. Sepasang matanya yang telah
berpengalaman, segera mengetahui kalau orang-orang itu memiliki kepandaian yang
perlu diperhitungkan.
Kalau dalam keadaan biasa bukan soal berat untuk
berhadapan dengan orang-orang seperti itu. Tapi kini tubuh Dewa Arak telah
terkena racun ganas yang tak mampu
diatasi oleh arak dari gucinya yang selalu tersampir di punggung itu. Apalagi
kini disadarinya kalau racun itu telah mulai menyerangnya. Sehingga, tubuhnya
Kuda Binal Kasmaran 1 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Pusaka Para Dewa 3
MISTERI RAJA RACUN
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Aji Saka
Serial Dewa Arak
dalam episode: Misteri Raja Racun
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 "Ck, ck, ck...!"
Ctar, ctar, ctar...!
Suara decakan pelan, lecutan cambuk, langkah kaki
kuda, dan gemeretak roda kereta kuda menggilas jalan, memecah keheningan pagi.
Saat itu suasana pagi masih menyelimuti mayapada.
Sang Surya belum begitu jauh bergeser dari tempat terbitnya.
Sinarnya masih terasa lembut menghangatkan kulit. Desir angin pun masih membawa
hawa kesegaran.
Dan lelaki yang duduk di bangku kusir kereta itu pun nampaknya tahu benar
manfaat udara pagi seperti itu.
Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengisi rongga
dadanya dengan udara bersih yang terus menerpa wajahnya.
Kusir kereta itu seorang lelaki bertubuh tegap dan
kekar. Wajahnya yang nampak segar kemerahan pertanda kalau lelaki itu memiliki
tubuh yang sehat. Meskipun sebagian rambut di kepala telah memutih, karena
usianya yang sudah tidak muda lagi.
"Ck, ck, ck...!"
Untuk kesekian kali, mulut lelaki kekar yang
mengenakan pakaian coklat itu berdecak. Kemudian dengan pelan sekali cambuknya
dilecutkan ke punggung kuda.
Lecutan itu tidak sekeras lazimnya kusir yang menghendaki kudanya agar bergerak
lebih cepat. Kereta sederhana yang ditarik seekor kuda itu terus bergerak meninggalkan jalan
berbatu-batu yang sulit untuk dilalui. Tak jauh di depan kereta yang berjalan
terseok-seok itu tampak membentang sebuah hutan lebat.
"Kalau kita telah melewati hutan itu, kau bisa beristirahat, Putih," kata lelaki
berpakaian coklat itu sambil menatap kudanya. Ternyata, kuda putih penarik
kereta itulah yang barusan dipanggil Putih.
Aneh juga tingkah laku lelaki itu. Kalau saja ada
orang melihat tingkah lakunya itu, mungkin akan merasa heran. Betapa tidak"
Seorang manusia tampak akrab
berbicara dengan seekor kuda.
Namun, rupanya kuda putih itu berbeda dengan kuda
umumnya. Kuda putih penarik kereta itu meskipun tak dapat berbicara seperti
manusia, seakan-akan mengerti benar ucapan lelaki itu. Buktinya, kuda itu
langsung meringkik pelan, dan segera mempercepat langkahnya. Padahal, lelaki
berpakaian coklat itu sama sekali tidak mencambuknya.
Tak lama kemudian, kereta kuda itu mulai memasuki
mulut hutan yang cukup besar dan menyeramkan. Pepohonan di dalam hutan itu besar-besar dan menjulang tinggi. Kelebatan
pepohonan menghalangi sinar matahari menembus ke dalam hutan itu. Sehingga
suasana pagi hari di dalam hutan terlihat begitu remang-remang.
Meskipun keadaan hutan yang bernama Hutan
Gendar itu cukup menyerarnkan, lelaki berpakaian coklat itu tidak cemas sedikit
pun. Nampaknya dia tahu pasti tentang hutan itu. Itulah sebabnya, meski
sendirian, lelaki itu dengan tenang memasuki hutan lebat itu.
Gemeretak bunyi roda, langkah kaki kuda, dan
sesekali decakan mulut lelaki itu seolah-olah memecah kesunyian hutan. Namun,
betapa kagetnya hati lelaki tua yang duduk di kereta kuda itu ketika melihat
kemunculan beberapa sosok berpakaian hitam. Wajah mereka tak dapat dikenali
karena tertutup selubung kain hitam.
Mereka langsung bergerak menyebar untuk mengepung dan menghadang kereta yang memasuki hutan itu. Seketika lelaki
berpakaian coklat itu menghentikan keretanya.
"Hhh...!"
Lelaki berpakaian coklat itu mendesah dalam hati.
Sebenarnya tadi telinganya mendengar suara berkerosakan dalam hutan itu. Tapi
dia tidak menaruh curiga sama sekali.
Diduganya, suara berkerosakan itu hanya disebabkan
binatang-binatang di dalam hutan. Sama sekali hatinya tak menduga kalau ternyata
yang muncul di hadapannya sosok-sosok berpakaian serba hitam.
"Hm... siapa kalian" Mengapa merintangi jalanku"
Kalau kalian perampok, sia-sia saja kalian! Aku tidak punya barang-barang
berharga sama sekali!" tandas lelaki berpakaian coklat itu, seolah ingin memberi tahu.
"Perampok"
Jaga mulutmu, Ki Gadung! Atau kuhancurkan mulutmu!" bentak salah satu dari tiga orang yang berdiri di depan
kereta. "Hehhh..." Jadi, kalian mengenalku" Hebat! Tidak kusangka kalau namaku demikian
terkenal! Sekarang,
kuminta buka tutup muka kalian! Dan..."
"Diam...!" bentak seseorang yang bertubuh tinggi kurus. "Turun dari keretamu!
Cepat! Atau aku harus menyeretmu turun!"
Kusir kereta yang ternyata bernama Ki Gadung itu
tercenung sejenak. Kemudian bangkit dari duduknya dan melompat turun dari
kereta. "Hap!"
Jiiggg! Tanpa menimbulkan suara keras, kedua kaki Ki
Gadung mendarat di tanah. Dari lompatannya yang indah dan cepat ini bisa
diketahui kalau Ki Gadung pun
mempunyai kepandaian silat yang perlu diperhitungkan.
Setidak-tidaknya dia menguasai ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.
"Hm...!"
Sosok berseragam hitam yang bertubuh tinggi kurus
mendengus. Sepasang mata yang terlihat melalui dua lubang pada selubung itu,
menatap sekujur tubuh Ki Gadung dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Bunuh dia!" perintah sosok tinggi kurus itu.
Perintah itu terdengar begitu datar, seperti perintah untuk membunuh nyamuk atau
tikus. Ki Gadung tentu saja terkejut mendengar uca-an
sosok tinggi kurus yang dilihat dari tindak-tanduknya dialah pemimpin gerombolan
itu. Dan keterkejutan Ki Gadung semakin menjadi-jadi ketika melihat sosok-sosok
serba hitam itu mulai bergerak mendekatinya. Sehingga keadaannya semakin
terjepit. "Tahan! Tunggu sebentar!" cegah Ki Gadung, buru-buru. "Mungkin kalian salah
orang. Kurasa kita tidak pernah bertemu dan tak ada urusan antara kita!"
Ucapan Ki Gadung membuat mereka yang tengah
bergerak mendekat, menghentikan langkah. Mereka tidak berani melancarkan
serangan terhadap Ki Gadung, karena lelaki berpakaian coklat itu kemudian
terlibat percakapan dengan pimpinan mereka.
"Ha ha ha...!"
Sosok serba hitam yang bertubuh tinggi kurus tertawa bergelak begitu mendengar
ucapan Ki Gadung.
"Kau kira kami keliru" Ha ha ha...! Bukankah
namamu Gadung" Siapa yang tidak mengenalmu" Kau
terkenal sebagai orang yang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Asalmu
Desa Gedong, kan?"
Tanpa sadar, Ki Gadung menganggukkan kepala
membenarkan. "Nah, sekarang sudah jelas. Bunuh dia!" perintah pemimpin gerombolan itu.
Orang-orang berseragam hitam itu tidak ragu-ragu
lagi bergerak ke arah Ki Gadung.
Srat, srat, srattt!
Cahaya berkilau pun segera nampak ketika sosok
berseragam serba hitam mencabut senjata masing-masing.
Golok-golok besar terhunus sudah diayun-ayunkan tangan mereka terarah ke tubuh
Ki Gadung. Sing, sing, sing!
Bunyi desing nyaring terdengar dari golok-golok besar yang terayun-ayun membelah
udara. Nampaknya ayunan
golok itu dibarengi pengerahan tenaga dalam yang cukup kuat.
Ki Gadung segera sadar kalau saat ini bukan
waktunya lagi untuk berdebat kalau dirinya masih ingin selamat. Yang harus
dilakukannya sekarang mempersiapkan perlawanan.
Ki Gadung segera mencabut sepasang pedang yang
tergantung bersilangan di punggung.
Srat, srat! Sinar-sinar yang tidak kalah terang pun keluar dari kedua batang pedang Ki
Gadung. Pedang itu mulai terayun-ayun mencoba mengatasi serangan serangan gencar
golok lawan. Trang, trang, trang!
Suara riuh rendah teriakan dan dentang senjata
memecah keheningan hutan. Percikan bunga-bunga api dari benturan senjata senjata
tajam pun menambah semarak pertarungan.
Untuk sementara Ki Gadung berhasil menangkis dan
mengelakkan setiap serangan golok-golok besar itu. Tentu saja Ki Gadung terus
mempercepat gerakannya.
Kini Ki Gadung bersikap lebih waspada. Dengan tajam kedua matanya memperhatikan
tiap gerak-gerik lawan yang berada di sekelilingnya. Lelaki berpakaian coklat
ini telah bersiap-siap
untuk menghadapi munculnya serangan mendadak yang sewaktu-waktu berkelebat ke tubuhnya.
*** Sementara itu, sosok-sosok berseragam hitam yang
masih mengepung Ki Gadung pun tidak kalah waspada
dalam bertindak. Dengan langkah hati-hati, mereka mendekati Ki Gadung. Selangkah demi selangkah kepungan itu pun semakin
menyempit. "Haaat...!"
Diawali sebuah teriakan keras, tiga dari sembilan
sosok berpakaian hitam yang mengurung, langsung melancarkan serangan. Namun Ki Gadung nampak tidak
begitu terkejut, karena sejak tadi sudah bersiap menghadapi setiap serangan.
Maka begitu serangan tiba, Ki Gadung langsung menyambutnya.
Lelaki berpakaian coklat ini secepat kilat memutar
sepasang pedangnya di atas kepala seperti baling-baling. Tak lama kemudian kedua
pedang itu diayunkan memapak
serangan lawan-lawannya.
"Hiaaat...!"
Trang! Trang! Trang!
Tiga serangan golok besar lawan berhasil dipatahkan Ki Gadung. Bahkan akibat
benturan itu, tiga penyerangnya terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Sedangkan Ki Gadung sendiri hanya tergetar saja.
Namun, lelaki berpakaian coklat itu belum sempat
berbuat sesuatu, serangan sosok-sosok berpakaian hitam lainnya datang meluncur.
Akibatnya, Ki Gadung kewalahan menghadapi serangan itu. Betapa tidak" Serangan
datang silih berganti. Namun, dalam keadaan terjepit, lelaki berpakaian coklat
ini terus mengadakan perlawanan sengit.
Pada jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung
seimbang. Kedua belah pihak belum berani membuka diri.
Serangan-serangan
dan elakan-elakan yang dilakukan sebagian besar hanya bersifat penjajakan kemampuan
terhadap lawan.
Tapi ketika pertarungan mulai menginjak jurus ketiga puluh,
Ki Gadung mulai kewalahan. Perlahan-lahan serangannya menurun dan tidak segencar pada awal-awal pertarungan. Bahkan
akhirnya Ki Gadung lebih banyak melakukan gerakan menghindar.
Sekarang keadaan Ki Gadung tak ubahnya seekor
tikus kecil yang tengah dipermainkan sekelompok kucing. Ki Gadung
rerpontang-panting
ke sana kemari berusaha menyelamatkan diri dari setiap serangan lawan. Bahkan terkadang tubuhnya
bergulingan di tanah, sementara senjata lawan terus memburunya.
Dan pada jurus keempat puluh tiga, salah seorang
lawan yang bertubuh sedang melancarkan serangan berupa sabetan mendatar ke arah
leher. Buru-buru Ki Gadung merendahkan tubuhnya.
Wuttt! Babatan golok itu lewat beberapa jari di atas kepala Ki Gadung. Tapi belum
sempat berbuat sesuatu, dari belakang sebatang golok meluncur ke punggung.
Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan... Jrottt! "Aaakh...!"
Ki Gadung terpekik keras. Darah segar muncrat dari
bagian punggungnya yang tertikam ketika golok yang
menembus punggung dicabut. Seketika itu pula tubuhnya tersungkur ke tanah, tidak
berdaya lagi. "Tahan...!"
Terdcngar suara bentakan keras mencegah, ketika
sosok berseragam hitam itu hendak menghabisi nyawa Ki Gadung. Seketika itu pula
mereka mengurungkan tindakan itu. Mereka tahu suara bentakan itu berasal dari
mulut pemimpin mereka yang sejak awal berdiri sambil menyaksikan pertarungan dari kejauhan.
Dugaan mereka tidak salah. Suara bentakan itu
berasal dari sang Pemimpin. Dan melihat anak buahnya telah menjatuhkan lawan,
lelaki tinggi kurus ini mengayunkan langkah
menuju anak buahnya. Maka, sosok-sosok berpakaian hitam yang tengah berkerumun pun menyibak, memberi jalan pada
pemimpinnya. "Ha ha ha...!"
Lelaki tinggi kurus itu tertawa bergelak penuh
kemenangan. Masih
dengan tawa yang belum putus ditatapnya Ki Gadung yang tengah mengerang kesakitan.
"Itulah ganjaran bagi orang yang terlalu usil!" ujar lelaki tinggi kurus. "Dan
perlu diketahui, kau bukan orang pertama yang kami lenyapkan. Sudah beberapa
orang yang punya keahlian sepertimu terpaksa kami lenyapkan. Kau tahu, kenapa?"
Tidak ada sambutan dari mulut Ki Gadung atas
pertanyaan lelaki tinggi kurus itu. Bagaimana mungkin Ki Gadung akan dapat
menjawabnya" Sedangkan ucapan
pimpinan gerombolan berpakaian hitam itu hanya samar-samar tertangkap
telinganya. Ditambah lagi rasa sakit yang teramat
sangat, membuat pikirannya tak mampu memperhatikan ucapan pemimpin gerombolan berpakaian serba hitam itu.
"Karena mereka mempunyai sifat seperti kau. Gemar mencampuri urusan orang lain.
Nah, sekarang terimalah kematianmu!"
Setelah berkata demikian, pemimpin gerombolan itu
mencabut golok besarnya yang tergantung di punggung.
Srat! "Hihhh...!"
Mata golok besar itu terayun siap menebas leher
Gadung. Semua mata anak buahnya telah siap menyaksikan suatu pemandangan
mengerikan, terputusnya batang leher Ki Gadung!
Tapi, tiba-tiba...
Singgg! Tukkk! Sebuah batu meluncur ke tangan pemimpin yang
tengah mengacungkan golok besarnya.
"Aaakh...!"
Jerit kesakitan keluar dari mulut pemimpin ge-
rombolan, ketika sebuah batu sebesar ibu jari menghantam punggung tangannya.
Telak dan keras. Tak aneh kalau pemimpin gerombolan itu merasa sakit bukan
kepalang. Goloknya sampai terlepas ke samping. Tubuhnya membungkuk sambil mulutnya menyeringai kesakitan. Tangan kirinya nampak memegangi
punggung tangan kanannya yang kesakitan.
Dan sebelum laki-laki tinggi kurus itu sempat berbuat sesuatu, seosok bayangan
ungu berkelebat.
Wuttt! Tappp! Begitu cepat sosok bayangan ungu itu berkelebat.
Sehingga, tak seorang pun dari mereka yang dapat melihat jelas bentuknya.
Lelaki berpakaian serba hitam begitu terkejut ketika melihat tubuh Ki Gadung
sudah tidak ada di tempat semula.
Seketika mereka menduga kalau sosok yang barusan
berkelebat begitu cepat itu yang telah membawa tubuh Ki Gadung. Siapa lagi kalau
bukan sosok ungu itu, karena tak ada orang lain yang datang ke tempat ini.
Orang-orang berseragam hitam segera mengalihkan
pandangan ke arah melesatnya sosok bayangan ungu.
Ternyata benar, sekitar enam tombak dari tempat mereka tampak dua sosok tubuh.
"Siapa kalian, Keparat"! Dan mengapa men-ampuri urusan kami"!" bentak lelaki
tinggi kurus. Tidak percuma lelaki tinggi kurus ini menjadi
pimpinan rekan-rekannya. Dia mampu menguasai perasaan.
Sehingga, meskipun kemarahan hebat melandanya, tidak langsung
mengumbarnya. Pikirannya berputar untuk mengungkap maksud campur tangan orang atas urusannya.
Sang pemimpin gerombolan ini memperhatikan dua
sosok tubuh yang berada di hadapannya. Yang satu, seorang pemuda berpakaian ungu
dengan rambut putih keperakan.
Sedangkan di sebelahnya, seorang gadis cantik berpakaian putih dengan rambut
panjang tergerai, sedang berlutut memeriksa luka Ki Gadung.
"Maaf! Bukan aku tidak mau memperkenalkan diri.
Tapi jika kalian bersedia membuka selubung, dengan senang hati akan kusebutkan
namaku!" jawab pemuda berpakaian ungu, kalem.
Ternyata pemuda itu yang telah menyambar tubuh Ki
Gadung dari kerumunan orang-orang berpakaian hitam tadi.
"Keparat! Kuberikan kesempatan sekali lagi, apabila kau dan kawanmu tetap tidak
mau memperkenalkan diri, jangan salahkan kalau kami akan menangkapmu!" ancam
laki-laki tinggi kurus.
"Sudah kukatakan, aku dan kawanku akan memperkenalkan diri. Tapi dengan syarat, kalian semua membuka selubung yang
menutup wajah kalian. Bagaimana"
Setuju dengan usul kami"!" masih tetap tenang ucapan pemuda berambut putih
keperakan itu. "Keparat! Mampuslah kau...! Hiyaaat...!"
Diiringi teriakan keras, lelaki tinggi kurus itu
melompat menerjang pemuda berambut putih keperakan.
Sambil melompat, pimpinan gerombolan berseragam hitam ini langsung mengirimkan
sebuah tendangan terbang dengan kaki kanan meluncur ke dada.
Wuttt! Tendangan yang begitu cepat dan keras itu cukup
berbahaya, karena mendapat bantuan dari tenaga lompatan.
Pemuda berambut pulih keperakan tetap bersikap
tenang meskipun agak terkejut melihat tendangan yang begitu cepat itu. Tidak
nampak tanda-tanda kalau dirinya akan melakukan tangkisan atau elakan. Baru
ketika serangan itu meluncur hampir mengenai dadanya tanpa menggeser kaki, tubuhnya
dimiringkan ke kiri.
Kemudian gerakan menghindar itu disusul dengan
gerakan tangan yang cepat. Tangan kanannya dengan cepat sekali menyambar
pergelangan kaki kanan lawan.
Tappp! Kaki kanan pimpinan gerombolan itu berhasil dicekalnya. Tentu saja lelaki tinggi kurus itu kelabakan dan begitu kaget. Belum
sempat lelaki tinggi kurus itu berbuat sesuatu, tiba-tiba pemuda berpakaian ungu
itu telah lebih dulu menarik kakinya.
Kemudian dengan cepat pemuda berpakaian ungu itu
memutar-mutarkan tubuh lawannya di atas kepala.
Wuk! Wuk! Wuk...!
"Aaa...!"
Lelaki tinggi kurus itu menjerit. Betapa tidak"
Tubuhnya yang kurus itu diputar begitu cepat, hingga semua yang berada di
sekelilingnya seolah-olah berputar-putar.
Kepalanya mulai merasa pening tidak karuan, sedang
perutnya terasa mual seperti hendak muntah.
Semua anak buahnya terlongong bengong me- nyaksikan tubuh pimpinannya diputar-putar seperti itu.
Sementara, lelaki bertubuh kurus itu merasa perutnya mual dan kepalanya pusing. Dia langsung menduga, jika pemuda itu mempercepat putarannya, sudah pasti perutnya yang mual
akan segera memuntahkan isinya.
Tapi kekhawatiran pemimpin gerombolan orang berseragam hitam ini
ternyata tidak terjadi. Pemuda
berambut putih keperakan itu tiba-tiba melepaskan cekalannya. Wuttt! "Aaa...!"
2 Untuk yang kesekian kalinya, tanpa sadar laki-laki
tinggi kurus ini terpekik keras ketika tubuhnya terlempar dengan deras. Untung
saja tubuhnya terlempar ke semak-semak yang rimbun.
Gusrakkk! Tubuh lelaki tinggi kurus itu masuk ke semak-semak
rimbun. Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Sehingga,
orang-orang berpakaian hitam yang lain tidak sempat berbuat sesuatu untuk
menolong pemimpin mereka. Baru ketika tubuh tubuh pemimpin itu terjatuh ke dalam
semak-semak, mereka tersadar.
Seiring dengan timbulnya kesadaran itu, kemarahan
pun menyeruak. Gerombolan itu pun segera menyerbu
pemuda berpakaian ungu di depan mereka.
Sing! Sing! Sing!
Desing suara ayunan golok-golok membeset udara,
terdengar ketika gerombolan berseragam hitam itu mengayunkan senjatanya dengan cepat ke bagian tubuh pemuda berpakaian ungu itu.
Tujuh dari sembilan orang berseragam hitam kini
serentak menyerbu pemuda itu. Sedangkan dua lainnya berlari ke semak-semak untuk
menolong pemimpin mereka.
Tapi seperti juga sebelumnya, pemuda berambut
putih keperakan itu begitu tenang menghadapi serangan lawan-barannya. Dia tetap
berdiri di tempat semula. Tidak nampak
tanda-tanda akan mengelak atau merubah kedudukan kaki. Bahkan hingga serangan-serangan golok itu menghujani tubuhnya.
Trak! Trak! Trak!
Suara berdetak keras terdengar seperti benturan
antara dua benda yang terbuat dari logam, ketika golok-golok itu mengenai
sekujur tubuh pemuda itu. Tak satu pun serangan golok-golok itu yang melukai
kulit tubuhnya.
Dari kejadian ini bisa diketahui kalau pemuda
berambut putih keperakan itu memiliki tenaga dalam yang amat tinggi. Dan jelas
jauh di atas tingkat tenaga dalam lawan-lawannya.
"Hehhh..."!"
Orang-orang berpakaian hitam yang menyerangnya
Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terkejut bukan kepalang. Betapa tidak" Semula mereka menduga kalau golok-golok
mereka akan merobek kulit lawan. Kulit tubuh pemuda berambut putih keperakan itu
keras bagai batu. Tidak sedikit pun luka yang menggores tubuhnya. Bahkan
beberapa mata golok mereka gompal!
Ketika ketujuh orang berpakaian serba hitam tengah
dicekam rasa kaget dan heran, tiba-tiba tangan pemuda berambut putih keperakan
mengibas dengan cepat sekali.
Sehingga orang-orang yang berusaha menyerangnya tak sempat berkelit atau
menangkis. Buk, bukkk...! "Uhk! Akh! Hugkh...!"
Suara jeritan tertahan terdengar bersahutan ketika
kedua tangan pemuda berambut putih keperakan itu
mendarat di tubuh tujuh orang lawannya. Pukulan tangan kosong itu terjadi begitu
cepat. Dalam waktu sekejap, tujuh orang berseragam hitam
itu terjengkang ke belakang. Tubuh mereka terguling-guling di tanah.
Sementara itu kedua orang yang memisahkan diri
untuk menolong sang Pemimpin, menyeruak keluar dari balik kerimbunan semak-
semak. Mereka memapah lelaki tinggi kurus yang masih dalam keadaan payah itu.
Langkahnya masih goyah dan terseok-seok.
"Badai datang, gulung layar...!" seru lelaki tinggi kurus pada tujuh orang anak
buahnya yang tengah berusaha bangkit dengan susah payah.
Kemudian tanpa menunggu ketujuh anak buahnya
siap, sang Pemimpin dan dua orang yang bersamanya segera membalikkan tubuh dan
berlari cepat meninggalkan tempat itu. Ketujuh orang anak buahnya yang baru
dipecundangi pemuda berambut putih keperakan, berlari menyusul,
meskipun dengan langkah terseok-seok.
Pemuda berambut putih keperakan hanya memperhatikan sambil tersenyum. Sama sekali tidak dicegahnya mereka melarikan diri. Kemudian wajahnya segera dipalingkan pada
rekannya yang tengah tertunduk lesu mengawasi Ki Gadung.
"Bagaimana keadaannya, Melati?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu pelan.
"Hhh...!" gadis berpakaian putih yang ternyata Melati, putri angkat Raja Bojong
Gading itu menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Tidak ada
harapan lagi, Kang Arya. Luka-Iuka yang dideritanya terlalu parah. Jadi...,
hanya tinggal menunggu saatnya saja."
Pemuda berambut putih keperakan yang d-panggil
Arya atau lebih terkenal berjuluk Dewa Arak itu ikut membungkukkan
tubuh. Kemudian
berjongkok dengan
bertumpu pada ujung-ujung jari kakinya.
Dewa Arak memperhatikan keadaan Ki Gadung
sejenak. "Kau benar, Melati. Nyawanya tidak mungkin bisa diselamatkan lagi. Kita harus
cepat mengorek keterangan dari mulutnya, untuk mengetahui penyebab bentrokan
antara dirinya dengan gerombolan berseragam hitam tadi."
"Kau benar, Kang," hanya itu yang bisa dikatakan Melati.
Dewa Arak melemparkan seulas senyum sebagai
tanggapan atas persetujuan kekasihnya. Segera perhatiannya dialihkan pada Ki
Gadung. Keadaan lelaki berpakaian coklat ini sudah payah
sekali. Napasnya sudah terengah-engah dan dadanya bergerak lambat.
"Katakan pada kami, Ki. Mengapa mereka hendak
membunuhmu" Dan siapa mereka?" tanya Arya tidak sabar.
"Hhh... hhh... hhh...!"
Lelaki berpakaian coklat itu tidak langsung menjawab pertanyaan Dewa Arak. Dia
sibuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
"A..., aku... ti... tidak tahu, Anak Muda.... Tapi..., sempat kudengar... mereka
menuduhku telah mencampuri urusannya. Hhh... hhh...!"
Sampai di sini Ki Gadung menghentikan ucapannya.
Keadaannya yang sudah payah, hingga tak mampu meneruskan ucapannya. Meskipun keinginannya untuk
menceritakan tentang kejadian yang dialami terlihat sangat besar. Terbukti,
beberapa saat kemudian ucapannya kembali dilanjutkan.
"Mereka mengatakan... hhh... hhh..., sebelum aku, telah
dibinasakan pula beberapa orang yang telah mencampuri urusan mereka... hhh... hhh...."
"Apa sebenarnya urusan yang mereka maksudkan itu, Ki?" tanya Melati yang sejak
tadi hanya diam mendengarkan.
"Aku..., aku..., akh...!"
Lelaki berpakaian coklat itu belum sempat menuntaskan ucapan, maut telah lebih dulu menjemputnya.
Seketika itu pula kepalanya terkulai.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat! Ditatapnya Melati,
yang pada saat itu juga tengah menatapnya.
"Sayang dia tidak sempat menyebutkan urusan yang dimaksudkannya itu, Kang," kata
Melati pelan. "Bukan hanya urusannya saja yang tidak sempat kita ketahui, Melati. Nama dan
tempat tinggalnya pun kita tidak tahu. Hhh...! Persoalan ini belum jelas bagi
kita," kata Arya mengeluh.
"Tapi..., aku percaya kau akan bisa mengungkapkannya, Kang," jawab Melati bernada yakin.
"Kau memang pandai membesarkan hati orang,
Melati," kata Dewa Arak sambil tersenyum.
"Persoalan ini harus segera terungkap, Kang," snmbut Melati lagi.
"Sudahlah...! Mari kita urus dulu mayat ini," ajak Arya, memutuskan pembicaraan.
Setelah itu, Dewa Arak lalu mengedarkan pandangan
ke sekeliling. Dia bermaksud mencari tempat yang layak untuk mengubur mayat
lelaki itu. "Kang, kita kubur saja di sana!" kata Melati sambil jarinya menunjuk sebatang
pohon beringin yang tumbuh di dekat situ.
"Aku pun berpendapat begitu, Melati," sahut Arya.
Lalu Dewa Arak segera bangkit sambil membopong
tubuh Ki Gadung ke arah pohon beringir itu.
*** Setelah selesai mengubur mayat Ki Gadung, Dewa
Arak dan Melati melangkah ke kereta ber kuda putih yang tidak jauh dari tempat
itu. "Kalau menurutmu, siapa pemilik kereta itu, Melati?"
tanya Arya sambil menatap kereta itu.
Melati tidak langsung menjawab pertanyaan kekasihnya. Sambil mengayunkan langkah mendekati kereta, diikutinya langkah Dewa
Arak. Pikirannya diputar untuk mencari jawaban bagi pertanyaan itu.
"Kurasa, kereta itu pasti milik lelaki yang tewas tadi, Kang," jawab Melati.
"Dugaanku juga begitu, Melati. Rasanya dugaan kita tidak keliru. Tidak mungkin
gerombolan berseragam hitam itu menggunakan kereta sepert ini."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala sambil merayapi kereta yang berkuda putih itu.
"O ya, Kang. Bagaimana kalau kita periksa isi kereta itu. Barangkali ada sesuatu
yang bisa kita dapatkan untuk menambah jelas persoalan ini!" usul Melati sambil
mendekat ke arah kereta.
"Boleh juga, Melati," sahut Arya menyetujui.
Sesaat kemudian mereka telah berada di dekat kereta itu. Dengan agak bergegas
mereka menuju bagian belakang untuk mendapatkan pintu kereta itu.
Tanpa bicara sepatah kata pun, Melati langsung
mengulurkan tangan untuk membuka daun pintu kereta.
"Tunggu! Tahan dulu, Melati! Jangan tergesa-gesa!"
Melati langsung membatalkan maksudnya. Kemudian
kepalanya menoleh ke arah Dewa Arak yang masih berdiri di belakangnya.
"Mengapa kau menahanku, Kang?" tanya Melati merasa penasaran.
"Aku tidak melarangmu, Melati. Aku hanya ingin agar kita bertindak hati-hati.
Bukan tidak mungkin, di dalam kereta itu ada sesuatu yang membahayakan kita.
Bisa jadi..., binatang. Atau, mungkin... ada senjata rahasianya."
Melati hanya terdiam. Disadari kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan
kekasihnya itu.
"Betul juga, Kang. Aku sering lupa untuk waspada.
Apalagi setelah keadaan seperti ini. Maksudku..., ketika lawan sudah kabur
seperti ini," jawab Melati mengakui keteledorannya.
"Jangan mempunyai pikiran seperti itu, Melati.
Usahakan untuk tidak meninggalkan kewaspadaanmu dalam setiap tindakan yang akan
kau lakukan. Kau mengerti maksudku?" ujar Dewa Arak.
"Mengerti, Kang," jawab Melati.
"Nah! Sekarang bukalah pintu kereta itu."
Tanpa menunggu perintah dua kali, dengan hati-hati
Melati mengulurkan tangan untuk membuka daun pintu
kereta. Sekujur otot dan urat syarafnya menegang, bersiap menghadapi kemungkinan
yang dapat terjadi.
Kreeet! Dengan sekali sentak, Melati membuka daun pintu itu sambil melompat ke belakang.
Hal itu dilakukan untuk menghadapi kemungkinan seperti yang dikatakan Dewa Arak.
Wuttt! Begitu daun pintu telah terkuak lebar, tiba-tiba dari dalam kereta melesat
dengan cepat bayangan hitam menuju leher Melati. Begitu cepat lesatan bayangan
hitam itu hingga Melati bahkan Dewa Arak tidak sempat melihat jelas
bentuknya. Namun, Melati tidak nampak gugup melihat lesatan
bayangan hitam itu. Karena gadis berpakaian putih ini telah lebih dulu bersiap
menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Bahkan, buru-buru tangannya
mencabut pedang yang tergantung di punggung.
Srattt! Secepat pedang itu tercabut, secepat itu pula
diayunkan ke arah kelebatan bayangan hitam yang tengah meluncur ke arahnya.
"Ihhh...!"
Melati kaget melihat darah muncrat ketika pedangnya berhasil membabat benda
hitam itu. Plukkk! Benda hitam itu jatuh ke tanah. Secara bersamaan,
Melati dan Dewa Arak langsung mengarahkan matanya ke benda itu. Dan seketika itu
pula mereka terperanjat. Ternyata benda hitam itu seekor ular hitam mengkilat.
Dan kini ular sebesar lengan bayi itu tergeletak tak bernyawa lagi. Darah
mengalir dari luka akibat tebasan pedang Melati.
"Minggir, Melati! Mungkin masih ada yang lainnya."
Dewa Arak yang merasa khawatir akan keselamatan
kekasihnya, segera bergerak melompat mendekati Melati yang masih berdiri di
depan pintu kereta. Matanya diedarkan merayapi bagian dalam kereta itu.
Pemuda berambut putih keperakan ini mengawasi
dengan cermat seluruh bagian dalam kereta. Bahkan sampai ke sudut-sudutnya.
Namun tak satu pun benda yang
mencurigakan dapat membahayakan dirinya. Kecuali sebuah peti coklat dan berukir
yang terletak di dalam kereta itu.
Panjang dan lebar peti itu sekitar lima jengkal tangan.
Dewa Arak mengernyitkan dahi melihat peti itu.
Apakah isi yang ada di dalamnya" Apakah ular juga" Tapi rasanya tidak mungkin.
Peti itu sama sekali tidak berlubang untuk pertukaran udara. Sehingga, tidak
mungkin kalau di dalamnya tersimpan makhluk hidup.
Setelah meyakini dugaannya benar dan setelah
menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda akan
terjadinya penyerangan, Dewa Arak memutuskan untuk
memeriksa peti itu.
Tanpa meninggalkan kewaspadaan, Dewa Arak menurunkan peti itu dari kereta. Di luar dugaan, ternyata peti itu cukup berat.
Sementara Melati hanya memperhatikan semua tindakan yang dilakukan kekasihnya. Sama seperti Dewa Arak, hatinya pun ingin
tahu isi peti itu. Maka gadis berpakaian putih itu mendekat ketika Dewa Arak
akan membuka peti. Hatinya penasaran ingin tahu makhluk atau benda di dalamnya.
Dewa Arak mulai memperhatikan sekeliling peti itu.
Melati tampaknya tahu maksudnya. Dewa Arak tengah
mencari bagian dari peti itu yang dapat dibuka.
Dugaan Melati tidak salah! Dewa Arak tengah mencari bagian yang menjadi tutup
peti. Akhirnya, pemuda berambut putih
keperakan ini berhasil menemukannya. Segera ditariknya bagian penutup peti coklat dan berukit itu.
Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kriiit...! Suara berderit pelan terdengar ketika tutup peti
terbuka. Dan seiring dengan terbukanya tutup peti, tercium bau menyengat hidung,
seperti bau rempah-rempah.
Ketika akhirnya tutup peti itu terbuka lebar, tampak benda-benda yang ada di
dalamnya. Benda-benda itu tidak lain guci-guci kecil yang besarnya tidak lebih
dari kepalan tangan. Lubang guci-guci itu tertutup rapat.
Sebenarnya, tanpa memeriksa pun Dewa Arak telah
menduga isi guci-guci itu. Bau khas yang tercium sudah menjelaskan isi guci-guci
itu. Tapi, untuk memastikan kebenaran dugaannya, Dewa Arak mengambil salah satu
guci dan membuka penyumbatnya. Kemudian guci itu didekatkan ke hidungnya.
"Apa isi guci itu, Kang" Benarkah obat-obatan?" tanya Melati tidak sabar.
Dewa Arak menganggukkan kepala membenarkan
dugaan Melati. "Jadi..., lelaki berpakaian coklat yang tewas itu seorang tabib, Kang?" tanya
Melati lagi. "Yahhh...! Kira-kira begitulah," jawab Arya.
"Berarti sebuah keterangan telah kita dapatkan, Kang.
Kemungkinan, lelaki berpakaian coklat itu tengah menuju suatu tempat untuk
mengobati orang sakit atau terluka. Tapi ternyata ada pihak yang tidak
menginginkan orang yang terluka itu diobati. Maka tabib itu dibunuh," ujar
Melati mencoba menguraikan kesimpulan yang ada dalam benaknya. "Kemungkinan besar memang demikian, Melati,"
dukung Arya. "Jadi..., dugaanmu sama denganku, Kang?" tanya Melati, setengah tak percaya.
Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Hanya dugaan itu yang paling masuk akal, Melati."
Melati terdiam, matanya memandang ke sekeliling
hutan yang sangat lebat itu. Dia pun menyadari kalau dugaan yang dikemukakannya
kemungkinan besar benar.
"Sekarang yang perlu kita ketahui, ke mana sebenarnya tujuan lelaki berpakaian coklat itu?" tanya Dewa Arak bernada
desahan. Suasana hening langsung melingkupi tempat itu.
Hanya suara burung dan angin yang bertiup terdengar. Baik Dewa Arak maupun
Melati tenggelam dalam pikirannya
sendiri. Masing-masing memikirkan pertanyaan yang dikeluarkan Dewa Arak.
"Tapi, ada satu hal yang aneh, Kang," kata Melati tiba-tiba.
"Apa itu, Melati?" tanya Arya, terpaksa menghentikan pikirannya yang tengah
berusaha memecahkan teka-teki itu.
"Mengapa di dalam kereta itu dimasukkan seekor ular" Bukankah binatang itu dapat
mengancam orang yang membuka pintu kereta?"
"Hal itu bisa dimaklumi, Melati," sahut Arya sambil tersenyum. "Obat-obatan itu
bagi seorang tabib seperti dia sangat berharga. Dan untuk melindunginya dari
tangan orang-orang
yang bermaksud tidak baik, hal itu dilakukannya. Walaupun mungkin dalam keadaan terpaksa.
Namun, aku juga tidak yakin, kalau hanya untuk itu
dimasukkan ular ke dalamnya. Aku yakin ada maksud
lainnya." Selesai berkata demikian, Dewa Arak melangkah
menuju bangkai ular hitam yang tergeletak di samping roda kereta itu. Begitu
berada dekat, tubuhnya dibungkukkan.
Sambil berjongkok dengan bertumpu pada jari-jari kakinya, Dewa Arak
memperhatikan bangkai ular hitam yang sudah tak berkepala itu.
Kurang puas hanya dengan memperhatikan, Dewa
Arak lalu memungut sebilah golok yang tergeletak dekat situ.
Kemudian dengan senjata itu, bangkai ular hitam itu dibolak-balikkan.
"Bukan ular sembarangan, Melati," kata Arya setelah cukup lama memeriksa.
"Aku belum mengerti maksudmu, Kang" Jadi..., ini ular ajaib?"
Dewa Arak menggelengkan kepala, tanpa mengalihkan
matanya dari ular hitam itu.
"Tidak, Melati. Terlalu berlebihan kalau disebut ajaib.
Tetapi, ular ini memiliki banyak kelebihan dibanding dengan ular lainnya. Darah
dan bisa ular ini bisa dijadikan untuk obat," jelas Arya.
"Ooo...,"
sambut Melati sambil mengangguk- anggukkan kepala. Rupanya itulah alasan lelaki berpakaian coklat itu membawa
ular ini, Kang."
"Kira-kira begitu, Melati."
"Kau tahu ular apa itu, Kang?" tanya Melati, setelah terdiam beberapa saat,
sambil memandangi ular hitam itu.
Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Apa, Kang?" tanya Melati lagi.
"Ular Terbang Hitam," jawab Arya. "Jenis ular yang cukup sulit didapatkan. Tidak
banyak orang yang tahu tempat hidup ular seperti ini. Apalagi untuk
menangkapnya. Ular macam ini banyak dicari jago-jago racun dan ahli obat.
Karena memang itulah kegunaan Ular Terbang Hitam seperti ini."
"Berarti..., lelaki yang kita kubur tadi seorang yang memiliki kepandaian
tinggi, Kang. Buktinya dia berhasil menangkap Ular Terbang Hitam itu," ujar
Melati membuat kesimpulan.
"Belum tentu demikian, Melati. Tidak perlu kepandaian yang terlalu tinggi untuk menangkapnya. Yang penting tahu
kelemahannya. Dan, lelaki berpakaian coklat itu rupanya memiliki keahlian itu,"
jelas Arya. Untuk yang kesekian kalinya, Melati mengangguk-
anggukkan kepala. Dia menyadari adanya kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam
ucapan Dewa Arak. Kalau benar Ki Gadung memiliki kepandaian tinggi, barangkali
gerombolan orang berseragam hitam itu tidak mampu melukainya.
Padahal, Melati sendiri yakin kalau dirinya saja mungkin akan mampu mengatasi
gerombolan berseragam hitam itu.
"Berarti tinggal satu persoalan lagi. Dan setelah itu, masalahnya akan selesai,
Kang," kata Melati bemada yakin.
"Jangan terlalu cepat menarik kesimpulan, Melati,"
kata Arya. "Bukankah yang kau maksud tempat tujuan lelaki berpakaian coklat
itu?" Melati menganggukkan kepala.
"Kalau demikian, kau terlalu cepat menarik ke-
simpulan. Kau tahu, Melati. Kalau kita berhasil menemukan tempat tujuan lelaki
berpakaian coklat itu, berarti kita baru masuk dalam persoalan. Masih banyak
liku-liku yang harus kita selesaikan."
Dewa Arak menghentikan ucapannya sebentar untuk
membasahi tenggorokannya yang kering, sambil bangkit dari jongkoknya.
"Sampai di sana nanti kita harus menyelidiki apakah orang yang bakal ditolong
lelaki berpakaian coklat itu terluka secara wajar ataukah tidak. Setelah itu,
kita masih harus menyelidiki lagi tentang orang-orang yang tadi membunuh lelaki
berpakaian coklat itu. Benarkah mereka terlibat dalam masalah ini" Dan banyak
lagi hal lain yang harus diselidiki, Melati."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti. "Sekarang mari kita memulai penyelidikan, Melati.
Aku yakin tempat orang-orang yang akan diobati tak jauh dari tempat orang-orahg
berseragam hitam berada. Dan, aku yakin kalau mereka berada di salah satu desa
sekitar sini."
"Tapi bukankah di sekitar tempat ini banyak terdapat desa, Kang" Di sebelah
barat, timur, mau pun utara, ada desa. Arah mana yang harus kita tempuh, Kang?"
tanya Melati. "Kalau melihat jejak yang ditinggalkan roda kereta, jelas berasal dari timur.
Tinggal tiga pilihan yang harus kita tuju, utara, selatan, dan barat."
"Lalu..., sekarang arah mana dulu yang harus kita tempuh, Kang?" tanya Melati
lagi. "Aku belum bisa memutuskannya. Tapi kalau menurutku, lebih baik kita coba ikuti gerombolan berseragam hitam tadi.
Barangkali mereka meninggalkan jejak yang bisa kita ikuti," jawab Arya sambil
mengarahkan matanya ke tempat gerombolan tadi pergi.
Melati sama sekali tidak memberikan tanggapan. Di
dalam hati, dia menyetujui tindakan yang akan dilakukan Dewa Arak. Namun hatinya
merasa tidak yakin mereka akan menemukan jejak orang-orang berseragam hitam
tadi. Sesaat kemudian, Dewa Arak dan Melati bergerak
meninggalkan tempat itu. Tetapi kali ini sepasang muda-mudi yang sama-sama
memiliki kepandaian tinggi itu tidak mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh
untuk mengejar gerombolan berpakaian hitam. Hal itu karena Dewa Arak dan Melati
berjalan sambil terus memeriksa ke
sekeliling. Barangkali ada jejak yang ditinggalkan gerombolan berseragam hitam
itu. Beberapa kali Dewa Arak dan Melati menghentikan
langkah ketika menemukan tanda-tanda adanya jejak yang ditinggalkan gerombolan
berseragam hitam.
3 Brakkk! Seketika sebuah meja bundar terbuat dari papan tebal hitam dan berukir, hancur
berkeping-keping. Sebuah tangan yang
tertutup sarung tangan menghantamnya. Jelas, pukulan tangan kosong itu mengerahkan tenaga dalam
tinggi. "Bodoh! Dungu! Kalian semua benar-benar buta!"
Suara bentakan terdengar menggelegar keras dari
mulut lelaki yang telah menghancurkan meja barusan.
Suaranya yang begitu keras menggelegar bagaikan halilintar itu dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Ampunkan kami, Ketua. Sebenarnya..., kalau saja tidak segera muncul
segerombolan orang yang langsung menolong Ki Gadung, tentu kepalanya akan kami
bawa kemari. Tapi, serbuan gerombolan itu terlalu kuat untuk bisa kami lawan. Namun,
kami yakin Ki Gadung akan tewas
sebelum sempat mengatakan sesuatu. Luka-luka yang
dideritanya terlalu parah," lapor salah satu dari sepuluh orang berseragam serba
hitam yang bertubuh tinggi kurus.
Sembilan orang yang berdiri di belakangnya, hanya
diam membisu. Mereka berdiri dengan kepala tertunduk.
Kepasrahan akan jatuhnya hukuman atas diri mereka,
terlihat jelas dalam sikap seperti itu.
Sang Ketua yang tengah murka, langsung terdiam
mendengar laporan laki-laki tinggi kurus itu. Hanya ada sebuah perbedaan pada
mereka, yaitu bagian dahi di
selubung sosok yang tengah murka terdapat sebuah gambar tengkorak kecil.
"Segerombolan orang"! Coba kau ceritakan dengan jelas, bagaimana mereka bisa
muncul" Bagaimana ciri-ciri pimpinan mereka?" tanya sosok hitam yang pada
dahinya terdapat gambar sebuah tengkorak.
Lelaki tinggi kurus itu tidak segera menjawab.
Ditelannya air liur yang sejak tadi terbendung di mulutnya.
"Tentang kemunculan mereka, kami tidak tahu pasti, Ketua. Mereka muncul secara
mendadak. Tapi, kalau
pemimpinnya kami tahu. Dia adalah seorang pemuda
tampan, berpakaian ungu dan rambutnya putih keperakan,"
jawab lelaki kurus yang tadi memimpin gerombolan itu.
Sekelebatan terlihat ada perubahan pada sorot mata
sang Ketua. Nampaknya cerita lelaki tinggi kurus itu berpengaruh cukup besar
terhadap dirinya.
"Hm..., jadi orang itu pemimpinnya?" tanya sang Ketua menegaskan keterangan anak
buahnya. "Benar, Ketua," jawab lelaki tinggi kurus yakin.
"Hm...!"
Sosok berseragam hitam yang dipanggil ketua mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian tatapan matanya dialihkan ke sembilan
orang berseragam hitam yang lainnya.
"Angkat wajah kalian, dan tatap aku!"
Tanpa menunggu keluarnya perintah yang kedua kali,
sembilan orang berseragam hitam itu langsung mengangkat kepala dan menatap sang
Ketua. Karena sosok yang
mempunyai tanda tengkorak di dahinya itu tengah menatap pula, maka bentrokan
pandangan pun tidak bisa dihindari lagi.
"Aku akan bertanya pada kalian. Benarkah ada yang menghalangi kalian membunuh Ki
Gadung?" lanya sang Ketua sambil mengedarkan pandangan, menatap wajah
mereka satu persatu.
"Benar, Ketua," jawab sembilan orang berseragam hitam itu serempak sambil
menganggukkan kepala.
"Apakah benar mereka
Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjumlah banyak dan dipimpin oleh seorang pemuda berambut putih keperakan?"
tanya sang Ketua lagi.
Brakkk! "Bodoh! Dungu! Kalian semua benar-benar buta!"
bentak lelaki yang telah menghancurkan meja barusan.
Suaranya terdengar keras menggelegar.
Sepuluh orang anak buahnya hanya diam membisu.
Mereka berdiri pasrah menanti hukuman yang
akan dijatuhkan sang Ketua.
Kali ini sembilan orang berseragam hitam yang berdiri di hadapannya tidak
langsung menjawab. Mereka tampak merasa ragu untuk menjawabnya. Tenntu saja hal
ini membuat lelaki tinggi kurus kebingungan. Dia mengharap rekan-rekannya turut
mendukung pengakuannya.
"Bagus! Rupanya kalian masih kepingin hidup,
sehingga tidak berani mendustaiku seperti dia!" bentak sang Ketua sambil
menuding lelaki tinggi kurus yang kini tertunduk ketakutan.
Kemudian dengan sorot mata bengis, ditatapnya
wajah lelaki tinggi kurus yang tanpa sadar melangkah mundur. Hatinya ngeri
ketika melihat sorot mata penuh ancaman.
"Kau kira aku percaya ceritamu itu, Keparat"! Untung saja yang lain tidak
mengikutimu, mencoba membohongiku.
Kalau tidak, mereka akan mengalami nasib yang sama
sepertimu!" tandas sang Ketua dengan suara berdesis.
Lelaki tinggi kurus mengetahui adanya bahaya besar
yang tengah mengancam keselamatan dirinya. Maka secepat kilat tubuhnya berbalik.
Lalu berlari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu.
"Mau lari ke mana kau, Keparat Busuk"! Jangan
harap dapat lolos dari tanganku!" seru sang Ketua dengan nada suara yang membuat
bulu kuduk berdiri. Seiring dengan ucapan itu, tangannya dikebutkan.
Srrr! Suara berdesir pelan mengiringi meluncurnya beberapa batang jarum berwarna kehijauan.
Crep! Crep! "Aaakh...!"
Tubuh laki-laki tinggi kurus itu kontan menggeliat
diiringi pekikan keras ketika jarum-jarum halus menancap tubuhnya. Tapi hal itu
hanya berlangsung sebentar. Karena kemudian lelaki tinggi kurus itu telah
kembali berlari.
Kali ini sang Ketua tidak kembali melancarkan jarum dari tangannya. Hanya
matanya yang terus memperhatikan larinya lelaki tinggi kurus itu. Apakah sang
Ketua hendak melepaskan anak buahnya vang telah berbohong begitu saja"
Ternyata tidak! Tak ada maksud sedikit pun di
henaknya untuk membiarkan anak buahnya itu lolos. Tidak dilakukannya tindakan
apa pun, karena diyakini kalau jarum-jarum yang telah mendarat di sasaran akan
mampu menghentikan anak buahnya itu.
Ternyata benar! Tubuh lelaki tinggi kurus itu seketika terjungkal hanya beberapa
langkah setelah berlari lagi.
"Akh...!"
Kembali teriakan keras terdengar seiring dengan
robohnya tubuh lelaki tinggi kurus yang berusaha kabur itu.
"Ha ha ha...!"
Sang Ketua tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa
yang mengandung kemenangan. Menilik dari tawanya yang keras dan menggelegar,
sosok dengan gambar tengkorak kecil di
dahinya ini mengerahkan tenaga dalam sewaktu mengeluarkan tawanya.
Sembilan orang berseragam hitam yang berdiri di
belakangnya, semua mendekapkan tangan pada kedua
telinga masing-masing. Suara tawa itu dirasakan telah mengguncangkan dada
mereka. Untung saja suara tawa itu tidak berlangsung lama.
Sehingga sembilan orang itu kembali tenang setelah tawa menggelegar itu
terhenti. Namun ketakutan di hati mereka belum juga reda.
"Bawa si keparat itu kemari!" perintah sang Ketua sambil menggelengkan kepala
kepada kesembilan anak
buahnya yang tengah gemetar ketakutan.
Tanpa menunggu perintah dua kali, salah satu dari
mereka yang berseragam hitam itu berlari me-nuju lelaki tinggi kurus yang
terkulai lemah di tanah.
Sosok lelaki tinggi besar yang berlari untuk menjalankan perintah itu segera membungkuk. Kemudian mengangkat tubuh lelaki
tinggi kurus yang tengah terkulai lemas.
Namun, baru saja sosok tinggi besar itu mengulurkan kedua tangannya untuk
memondong kawannya, tiba-tiba terdengar suara sang Ketua.
"Apa yang akan kau lakukan, Manusia Dungu"!"
Seketika itu pula sosok tinggi besar itu mengurungkan maksudnya. Kedua tangannya yang sudah
meluncur itu seketika terhenti.
"A..., aku... Aku hanya bermaksud melaksanakan perintahmu, Ketua," jawab lelaki
tinggi besar itu dengan gugup.
"Lalu..., apa yang akan kau lakukan"!" tanya sang Ketua lagi, dengan suara
keras. "Aku..., aku akan memondongnya..., tentu saja untuk kubawa ke hadapan Ketua,"
jawab sosok tinggi besar, juga tetap terbata-bata.
"Siapa suruh kau memondongnya"! Atau..., rupanya kau pun ingin menerima hukuman
yang sama"!" ancam sang Ketua keras.
"Tentu saja tidak, Ketua," sahut sosok tinggi besar itu lagi.
"Kalau begitu, seret dia kemari! Dia bukan anak buahku lagi! Jadi, jangan
terlalu baik kepadanya. Kau mengerti?"
"Me..., mengerti, Ketua."
"Nah! Sekarang bawa kemari!" perintah sang Ketua lagi.
"Baik, Ketua."
Dengan agak bergegas, sosok tinggi besar itu lalu
meraih kedua pergelangan kaki bekas pimpinannya. Lalu menyeretnya dengan kasar.
Sosok-sosok berseragam hitam yang lain hanya
mampu memandangi bekas pimpinannya yang diseret di atas lantai. Suara mengerang
masih terdengar dari mulut lelaki tinggi kurus itu, menahan rasa sakit akibat
tusukan jarum-jarum yang menghunjam tubuhnya.
Sosok berseragam hitam dan bertubuh tinggi besar
yang menyeret tubuh bekas pimpinannya berhenti di depan sang Ketua. Kemudian
melangkah kembali ke kelompoknya.
"Bagaimana
rasanya, Manusia Busuk" Nikmat bukan?" ejek sang Ketua sambil menatap wajah lelaki tinggi kurus dengan sorot
mata puas. Lelaki tinggi kurus itu hanya diam, tidak menjawab
pertanyaan ketuanya. Karena tengah sibuk menahan rasa sakit yang hebat akibat
jarum-jarum yang menancap di tubuhnya.
Kini beberapa saat setelah jarum-jarum itu menancap di tubuh, akibatnya mulai
terasa. Seluruh otot dan tulang-belulangnya seperti lumpuh. Semakin lama rasa
sakit itu semakin hebat menjalari seluruh tubuhnya. Kemudian, sedikit demi
sedikit muncul rasa gatal menjalari kulit tubuhnya.
Kalau menurut perasaan, ingin rasanya lelaki tinggi kurus itu menggaruk tubuhnya
untuk mengusir rasa gatal yang semakin bertambah terus. Namun sayang, hal itu
tidak bisa dilakukan karena kedua tangannya sama sekali tak mampu digerakkan.
Kedua tangannya telah lumpuh seperti juga kedua kaki dan tubuhnya.
Karena sibuk dengan rasa sakit yang tengah dideritanya, lelaki tinggi kurus ini tidak bisa memberikan tanggapan atas
pertanyaan mengejek dari sang Ketua.
"Itulah ganjaran bagi orang yang mencoba berbohong padaku!" dengus sang Ketua.
"Dengar, Manusia Busuk! Aku percaya kalau kegagalan kalian akibat campur tangan
pihak lain. Aku pun akan percaya seandainya kalian mengatakan diserbu
segerombolan orang yang jumlahnya lebih banyak dan tingkat kepandaian mereka
lebih tinggi."
Sang Ketua menghentikan ucapannya sebentar. Ditelannya air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
"Tapi kepercayaanku membuyar, ketika kudengar
pemimpin mereka seorang pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Aku mengenal..., maksudku setidak-tidaknya pernah
mendengar berita tentang orang yang kalian maksud. Tapi setahuku, pemuda itu
tidak pernah bekerja dengan gerombolan. Dia selalu bekerja sendiri. Itulah
sebabnya aku tidak percaya pada ceritamu!"
Lagi-lagi sang Ketua menghentikan ucapannya untuk
mengambil napas. Sama sekali tidak dihiraukannya lelaki tinggi kurus yang tengah
menggeliat-geliat kesakitan di bawah kakinya.
"Tanpa kau ceritakan pun aku tahu. Pemuda
berambut putih keperakan itu tidak bersama rombongannya.
Dia sendirian! Dan kau tahu siapa orang itu?"
Sang Ketua menghentikan ucapannya sejenak, lalu
melihat tanggapan dari semua anak buahnya.
Kesembilan orang itu menggelengkan kepala.
"Kalian memang bukan manusia! Tapi kerbau! Ya, kerbau-kerbau dungu! Oleh karena
itu sama sekali tidak tahu
kalau keadaan kini sangat berbahaya!
Pemuda berambut putih keperakan yang kalian temui itu adalah orang yang paling usil di
dunia ini. Dia adalah Dewa Arak!
Kalian dengar! Dewa Arak!" tandas sang Ketua, keras.
Sembilan orang berseragam hitam itu saling pandang.
Raut wajah mereka menampakkan keterkejutan yang amat sangat. Jadi, orang yang
telah mereka hadapi itu adalah pendekar muda yang telah menggemparkan dunia
persilatan. Kalau saja tidak mendengar sendiri dari sang Ketua, mereka tak akan percaya.
Padahal, sebenarnya mereka telah mendengar julukan
Dewa Arak yang menggemparkan dunia persilatan. Tahu pula kalau tokoh yang
tersohor itu masih berusia muda, dan memiliki rambut berwarna putih keperakan.
Namun sama sekali tidak disangka kalau orang yang mereka temui di Hutan Gendar
tadi adalah Dewa Arak. Seandainya pemuda berambut putih keperakan itu
memperkenalkan diri pun belum tentu mereka akan percaya. Hanya seperti itukah
penampilan Dewa Arak yang namanya telah menggegerkan rimba persilatan"
"Sudah bisa kuperkirakan kalau sekarang Dewa Arak pasti tengah berusaha
menyelidiki kalian. Hal ini berarti rencana yang telah kuatur bisa hancur
berantakan. Aku tak mau hal ini terjadi. Sebelum Dewa Arak berhasil menemukan
sesuatu, kita harus mendahuluinya lebih dulu. Dewa Arak harus disingkirkan
secepat mungkin!"
Sembilan orang berseragam hitam itu tidak memberi
tanggapan apa pun. Mereka khawatir salah tanggap dapat mengakibatkan kemarahan
ketua mereka. Sang Ketua rupanya tidak memerlukan adanya
tanggapan apa pun dari mulut sembilan orang berseragam hitam itu. Matanya
kembali beralih pada anak buahnya yang sedang kesakitan.
"Tapi sebelum aku melenyapkan Dewa Arak, terlebih dulu kau kusingkirkan, Manusia
Busuk!" Setelah berkata demikian, sang Ketua segera memasukkan tangan kanannya ke balik baju. Sebentar
kemudian, tangannya telah menggenggam sebuah guci kecil.
"He he he...!"
Sang Ketua tertawa terkekeh bernada m-nyeramkan.
Dan masih dengan tertawa, dicabutnya sumbat guci kecil itu.
Kemudian dituangkannya isi guci itu ke tubuh lelaki tinggi kurus yang tengah
mengerang kesakitan dan tak mampu bergerak sedikit pun.
Tesss! Tesss! Cairan kuning berbau tak sedap menetes dari mulut
guci kecil itu. Hanya dua tetes yang dituangkan, namun tepat mengenai tubuh
lelaki tinggi kurus yang tengah terkulai tak berdaya.
"Wuaaa...!"
Jeritan kesakitan langsung keluar dari mulut lelaki tinggi kurus. Selain itu,
tubuhnya yang sejak tadi terkulai tanpa mampu bergerak sedikit pun, kini kontan
menggelepar-gelepar seperti ikan dilemparkan ke darat. Hal ini mungkin pertanda
betapa hebatnya rasa sakit yang diderita. Tubuhnya yang sejak tadi sama sekali
tak berkutik, mampu bergerak-gerak.
"Ha ha ha...!"
Sang Ketua tertawa terbahak-bahak menyaksikan
derita yang dialami anak buahnya. Nampak begitu puas dengan hasil perbuatannya.
Sementara itu, kesembilan anak buahnya yang lain
merasa sedih dan ngeri. Bahkan nyali mereka menciut, menyaksikan derita dan rasa
Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sakit yang dialami bekas pimpinannya. Lelaki
tinggi kurus terus menjerit dan
menggelepar-gelepar kesakitan.
Betapa tidak" Dari bagian tubuh yang terkena tetesan cairan kuning itu, timbul
asap. Mula-mula tipis, tapi semakin lama semakin tebal, diikuti bau busuk yang
menusuk hidung. Tak lama kemudian, seiring dengan semakin
tebalnya asap, tubuhnya mulai meleleh bagai lilin terbakar.
Tak berapa lama kemudian, tubuh lelaki tinggi kurus itu lenyap. Sementara
sembilan anak buahnya hanya bisa diam membisu dengan perasaan takut dan ngeri
yang berkecamuk di hati.
Cukup lama sang Ketua hanyut dalam perasaan
gembira. Dan ketika tawanya terhenti, pandangannya dialihkan pada sembilan anak buahnya yang masih terpaku dengan perasaan ngeri.
Sepasang mata yang menyeramkan milik sang Ketua
menatap wajah mereka satu persatu.
"Sebenarnya aku tidak ingin melenyapkan kalian.
Tapi, karena sekarang Dewa Arak telah mengetahui masalah ini, dan sudah pasti
akan mencari kalian, aku mengambil kebijaksanaan lain. Daripada nanti kalian
membocorkan rahasiaku. Lebih baik kalian semua kulenyapkan!" tandas sang Ketua
dengan suara bergetar.
Kontan wajah sembilan orang itu berubah memucat
mendengar ucapan sang Ketua. Meskipun tidak terlihat karena wajah itu tertutup
selubung, namun bisa diketahui dari
sorot mata mereka. Mata-mata mereka saling memandang satu sama lain. Dan dengan perasaan sangat takut, mereka melangkah
mundur perlahan.
"Kami..., kami berjanji tidak akan membocorkan rahasia ini, Ketua..," ujar salah
satu dari sembilan orang berseragam hitam itu dengan suara gagap.
"Be..., benar, Ketua," sambung yang lainnya.
Dan berturut-turut semua mendukung ucapan kedua
rekan mereka dengan menganggukkan kepala. Lidah-lidah mereka terasa kelu saking
takutnya, sehingga tidak mampu mengeluarkan ucapan sepatah kata pun.
"Hmh...!" sang Ketua mendengus. "Sayang sekali, aku tidak bisa mempercayai
ucapan kalian begitu saja!"
Ringan saja ucapan sosok yang mempunyai gambar
tengkorak kecil di dahinya itu. Tapi bagi kesembilan anak buahnya yang tengah
ketakutan, ucapan itu bagaikan
halilintar di telinga mereka.
"Tapi karena kesalahan kalian tidak sebesar si keparat itu, maka kalian akan
mati tanpa menderita."
Sambil berkata begitu, tangan kanan sang Ketua
terjulur. Telunjuk dan jari tengah dihimpitkan menunjuk lurus. Lalu ditudingkan
ke arah sembilan anak buahnya.
Kesembilan orang berpakaian serba hitam yang belum
sempat tahu benar apa yang bakal terjadi, terkejut seketika.
Dan.... Cit, cit, cit! Suara mencicit nyaring seperti ada tikus terjepit,
terdengar ketika tangan itu ditudingkan. Dan hasilnya benar-benar menakjubkan.
"Akh! Akh! Akh...!"
Berturut-turut sembilan orang berseragam hitam itu
menjerit tertahan. Jerit yang belum sempat keluar seluruhnya terputus karena nyawa mereka telah lebih dulu melayang dari raga.
Bruk! Bruk! Bruk...!
Susul-menyusul tubuh mereka ambruk ke tanah dan
tak berkutik lagi. Nampak pelipis mereka sobek dan
mengeluarkan darah segar. Luka yang dilancarkan sang Ketua itu, seperti tersabet
senjata tajam. "Ha ha ha...!"
Kembali sang Ketua tertawa terbahak-bahak.
Kemudian untuk yang kedua kalinya, isi gucinya dituangkan pada tubuh sembilan
orang itu. Sesaat kemudian, kejadian yang dialami lelaki tinggi kurus tadi
berulang pada sembilan orang anak buahnya.
4 "Uh, panasnya hari ini," keluh gadis cantik jelita berpakaian putih. Rambutnya
yang hitam, panjang, dan tergerai disibakkan. Dan sesekali tangannya mengusap
keringat yang membasahi leher dan kening.
"Bukan hanya panas," sambut pemuda berambut putih keperakan yang berjalan di
sebelahnya. "Angin yang berhembus pun mengandung hawa yang tidak sedap. Tempat
ini benar-benar tidak nyaman, Melati."
"Benar, Kang," jawab gadis berpakaian putih yang tidak lain Melati. "Sepertinya
udara di tempat ini telah tercemar racun."
"Dugaanmu beralasan, Melati," jawab Arya, pemuda berambut putih keperakan yang
lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak itu. "Aku pun menduga demikian. Tapi, hal
itu kita pikirkan saja nanri. Sekarang yang penting mengisi perut. Apakah kau
tidak merasa lapar, Melati?"
"Bukan hanya lapar, Kang. Tenggorokanku juga
kering sejak tadi," sambut Melati cepat. "Hawa panas dan tidak sehat di sini
membuatku cepat merasa haus."
"Kalau begitu kita mencari kedai makan untuk
mengisi perut."
'Tapi..., mana ada kedai di sekitar sini, Kang?" sergah Melati sambil
mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Di sekeliling mereka tidak tampak satu bangunan
pun. Yang terlihat hanya hamparan tanah gersang. Tempat sepasang pendekar muda
ini berada sebuah tanah lapang luas yang sedikit berumput. Sejauh mata
memandang, yang terlihat hanyalah tanah yang di beberapa bagian ditumbuhi rumput
dan ilalang. "Di sini memang tidak ada, Melati. Tapi aku yakin di sana ada," jawab Dewa Arak
sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan.
"Kalau begitu...," Melati menggantung ucapannya.
"Yahhh..., kita harus mempercepat perjalanan kalau ingin segera tiba di sana."
Usai berkata demikian, Melati lalu menjejakkan kaki melesat mendahului Dewa
Arak. Dalam sekejap, tubuh gadis berpakaian putih itu telah melesat sejauh
sembilan tombak di depan kekasihnya.
Dewa Arak hanya menggeleng-gelengkan
kepala melihat kelakuan Melati. Namun hal itu hanya sebentar saja dilakukannya. Kakinya
segera menjejak pula dengan cepat.
Dalam sekejap saja tubuhnya telah menjajari Melati yang bergerak cepat sekali.
Sesaat kemudian, sepasang pendekar muda itu telah
nampak saling berkejaran. Keduanya melesat cepat, sehingga yang nampak hanya dua
bayangan putih dan ungu dalam bentuk tidak jelas yang terus melesat.
Dugaan Dewa Arak tidak meleset. Baru beberapa kali
lesatan, dari kejauhan mereka telah melihat banyak bangunan berdiri. Semangat mereka semakin besar untuk segera tiba di sana.
Dan ketika akhirnya jarak itu telah demikian dekat, Dewa Arak dan Melati
menghentikan lesatan mereka. Hal itu dilakukan agar tidak membuat terkejut
penduduk tempat itu.
Kini sepasang muda-mudi itu meneruskan perjalanan
dengan berjalan biasa. Pandangan mereka beredar ke
sekeliling tempat itu, menatap satu persatu bangunan-bangunan yang ada. Namun,
kedua pendekar muda itu tidak mendapatkan yang diharapkan.
"Sepi, Kang," ujar Melati memecahkan keheningan.
"Benar, Melati. Rumah-rumah ini seperti tak berpenghuni. Tapi..., tunggu dulu. Kau dengar suara gaduh itu?" tanya Dewa Arak
sambil menggerakkan kepalanya perlahan, seolah-olah tengah mempertajam
pendengarannya.
Melati terdiam sejenak. Kedua telinganya dipusatkan untuk mencoba menangkap
suara gaduh yang dikatakan
Dewa Arak. Kepalanya bergerak perlahan mencari asal suara itu.
"Kau benar, Kang. Aku pun mendengar suara-uara itu. Arahnya dari sebelah sana."
"Mari kita ke sana," sambut Arya memutuskan.
Melati langsung menganggukkan kepala dan segera
menghentakkan kaki melesat mendahului Dewa Arak.
Tak berapa lama kemudian, mereka telah sampai di
tempat asal suara riuh-rendah.
"Sebuah kedai, Kang!" ujar Melati gembira.
Perutnya merasa lapar bukan kepalang, dan sudah
dari tadi minta diisi. Maka hatinya gembira ketika melihat sebuah kedai di depan
matanya. "Mari kita masuk!"
Kemudian Dewa Arak dan Melati melangkah memasuki kedai. Dewa Arak berjalan di depan. Di Ambang pintu
kedai pemuda berambut putih keperakan itu menghentikan langkah sebentar, lalu matanya memandang ke dalam kedai.
Pengunjung kedai itu ternyata cukup ramai. Beberapa meja yang tersedia, hampir
terisi semua. Tinggal dua buah meja kosong yang terletak di tengah-tengah
ruangan. Setelah sekian lama memperhatikan ke dalam, Dewa
Arak mendekat ke salah satu meja. Melati menyikuti dari belakangnya.
"Mau makan apa, Den?" tanya seorang lelaki kira-kira empat puluh lima tahun dan
bertubuh kecil kurus ketika melihat Dewa Arak dan Melati telah duduk di bangku.
"Teh manis seguci kecil, arak seguci besar, ayam panggang, dan jagung bakar
empat buah," sebut Dewa Arak untuk pesanannya.
"Harap sabar menunggu, Den!" jawab lelaki kecil kurus yang ternyata pemilik
kedai itu. Setelah itu pemilik kedai segera beranjak ke dalam
untuk. menyiapkan pesanan Dewa Arak.
Selama menunggu pesanan, baik Dewa Arak maupun
Melati tidak berbicara sepatah kata pun. Keduanya diam sambil memperhatikan
keadaan sekitar ruangan kedai yang ramai itu.
Meskipun nampak tenang-tenang saja, Dewa Arak
tetap memasang kewaspadaan penuh. Hal ini bukan tanpa alasan,
sebab ketika memasuki kedai ini, hatinya membisikkan akan adanya bahaya yang mengancam. Dan
getaran perasaan itu semakin membesar setelah berada di dalam kedai.
Dewa Arak bukan orang yang terlalu menuruti
perasaan prasangka buruknya. Tapi kali ini lain. Bukan perasaannya menyimpulkan
demikian, tapi naluri jiwanya.
Memang, sejak belalang raksasa dari alam gaib
berhasil ditarik masuk ke tubuhnya, naluri Dewa Arak bertambah tajam. Dan
semakin seringnya belalang raksasa itu masuk ke tubuhnya, nalurinya pun semakin
bertambah tajam (Untuk jelasnya cerita mengenai belalang raksasa, silakan baca
serial Dewa Arak, dalam episode "Makhluk dari Dunia Asing" dan "Dalam
Cengkeraman Biang Iblis").
Dewa Arak tahu naluri itu sama sekali tidak pernah
meleset. Memang benar ada bahaya yang tengah mengancam.
Sayangnya, Dewa Arak belum tahu dari mana asal bahaya itu. Yang jelas, nalurinya
membisikkan adanya bahaya di tempat ini.
Dewa Arak semakin bersikap waspada. Seluruh urat
syaraf di tubuhnya menegang. Bahkan ekor matanya
beberapa kali diedarkan ke sekeliling. Barangkali ditemukan adanya tanda-tanda
mencurigakan. Tapi sampai sejauh itu belum terlihat adanya hal-hal yang
mencurigakan. Sementara itu, lelaki pemilik kedai telah datang
sambil membawa baki berisi pesanan Dewa Arak. Di
belakangnya, berjalan seorang lelaki bertubuh kekar, membawa seguci besar berisi arak.
Pemilik kedai itu meletakkan semua pesanan di meja
dengan hati-hati.
"Silakan dinikmati, Den," ujar pemilik kedai mempersilakan. "Terima kasih, Ki."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak lalu mengambil
guci araknya yang
Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tergantung di punggung. Lalu diletakkannya di atas meja. Sementara itu Melati mulai mengambil salah satu
potongan ayam panggang dan segera menyantapnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Sementara Dewa Arak sibuk menuangkan arak dari
guci besar ke dalam guci miliknya, Melati mulai mengunyah santapannya.
Di tangan Dewa Arak, guci besar yang berisi penuh
dengan arak itu, bagaikan segumpal kapas. Dengan ringan, satu tangannya
mengangkat guci itu. Padahal, lelaki bertubuh kekar tadi membawanya dengan kedua
tangan. Itu pun
nampaknya sambil mengerahkan sebagian besar tenaganya. Setelah guci miliknya penuh. Dewa Arak segera
mengambil gelas bambu yang disediakan pemilik kedai untuknya. Kemudian sisa arak
dalam guci besar itu
dituangkan ke dalam alat minum dari bambu itu. Dalam sekejapan saja arak itu
telah ditenggaknya. Kemudian, diambilnya sebuah jagung bakar dan segera digigit.
Kini nampak sepasang muda-mudi itu tengah menikmati santapannya. Namun sebelum sebatang jagung habis di tangan
Dewa Arak, tiba-tiba Melati memanggilnya.
"Kang...," suara panggilan lemah Melati membuat Dewa Arak mengalihkan perhatian
dari jagung yang tengah dinikmatinya.
"Ada apa, Melati?" tanya Dewa Arak sambil menatap wajah kekasihnya.
"Kepalaku pusing, Kang. Tubuhku gemetaran dan
lemas...," lanjut gadis berpakaian putih itu sambil memijit-mijit keningnya.
"Apa"!"
Dewa Arak terlonjak kaget bagai disengat ular berbisa.
Matanya langsung menatap tajam makanan dan minuman
yang tersaji di atas meja mereka.
"Jangan lanjutkan makan dan minummu. Makanan
ini pasti mengandung racun!" seru Dewa Arak ketika merasakan sepasang matanya
mulai berkunang-kunang.
Seketika itu juga Dewa Arak bangkit dari duduknya.
Namun tiba-tiba...
Srat! Srat! Srat!
Sinar-sinar terang berpendar ketika semua orang di
kedai itu menghunus senjatanya masing-masing. Kemudian, sambil mengacungkan
senjata, mereka bergerak menerjang Dewa Arak dan Melati.
Sing! Sing! Sing...!
Suara berdesing nyaring mengiringi ayunan senjata-
senjata itu menuju sasaran.
Sementara, keadaan sepasang pendekar muda itu
semakin parah. Terutama sekali Melati. Kepalanya semakin bertambah pening,
matanya berkunang-kunang, sehingga semua yang dilihat berputaran tidak karuan.
Kalau hanya rasa pening menyerang kepalanya, bagi
Melati mungkin bukan masalah berat. Meskipun sepasang matanya tidak mampu
melihat jelas, dia masih mempunyai pendengaran. Dengan pendengaran yang tajam,
Melati mampu mengetahui arah yang dituju. Namun sayangnya, tiba-tiba seluruh kekuatan
tenaga dalamnya bagaikan lenyap.
Tubuhnya gemetaran dan lemas. Keringat dingin pun mulai membasahi sekujur
tubuhnya. Bagaikan seorang bayi yang baru dilahirkan, tubuh
Melati tidak mampu berbuat apa pun selain berdiam diri.
Untung saja keadaan Dewa Arak tidak separah yang
dialami Melati. Mengetahui keadaan mulai berbahaya, dengan kecepatan yang sukar
diikuti mata, Dewa Arak menyambar tubuh Melati.
"Hih!"
Dewa Arak melesat dan melenting beberapa kali
melewati kepala-kepala para penyerangnya.
Jliggg! Dengan begitu ringan dan manis sekali, kedua kaki
pemuda berambut putih keperakan itu mendarat di belakang para pengeroyoknya.
Tentu saja para pengunjung kedai yang nampaknya
bermaksud hendak melenyapkan Dewa Arak dan Melati,
tidak membiarkan buruan mereka lolos. Maka begitu melihat Dewa Arak berhasil
meloloskan diri dari kepungan, mereka serentak membalikkan tubuh memburu Dewa
Arak yang memapah tubuh Melati.
Sewaktu para pengeroyok tengah membalikkan tubuh,
Dewa Arak nampak menuangkan arak dari guci ke mulutnya.
Gluk.., gluk..., gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan. Seketika itu pula hawa hangat terasa berhembus di dalam perut Arya. Perlahan-lahan hawa itu merayap ke atas. Dan
akhirnya tubuh pemuda berambut putih keperakan itu pun limbung.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak
segera menyampirkan kembali gucinya ke punggung. Karena, tangan kirinya
memanggul tubuh Melati, Dewa Arak terpaksa menggunakan
satu tangan dalam menghadapi lawan- lawannya. Dan Dewa Arak tidak perlu menunggu lama kedatangan serangan lawan-lawannya. Karena baru saja gucinya tersampir kembali
ke punggung, serangan-serangan itu datang.
Para penyerang itu ternyata tidak hanya pengunjung
kedai. Pemilik kedai dan laki-laki tinggi besar yang membawa guci juga turut
menyerang. Jelas, kalau semua kejadian itu memang telah direncanakan sebelumnya.
Dewa Arak segera mempersiapkan diri menghadapi
serangan-serangan itu. Jumlah para pengeroyoknya sepuluh orang. Namun, pemuda
berambut putih keperakan ini
nampak tidak menganggap remeh lawan-lawannya yang
memiliki kepandaian lumayan itu.
Dewa Arak merasa bahwa tubuhnya pun telah
kemasukan racun dari makanan yang tadi disantapnya.
Itulah sebabnya Dewa Arak segera menenggak arak dari gucinya, karena arak yang
telah masuk ke gucinya akan mampu menawarkan segala macam racun yang masuk ke
tubuhnya. Di samping itu dengan perantaraan arak, Arya ingin
mengerahkan ilmu 'Belalang Sakti' andalan-nya. Dewa Arak merasa perlu
mengerahkan ilmu itu untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
"Hait...!"
Dengan mempergunakan jurus 'Delapan Langkah
Belalang', Dewa Arak berhasil mengelakkan serangan lawan-lawannya. Padahal
serangan itu datang dari segala penjuru, sehingga sulit baginya untuk lolos dari
kepungan para pengeroyok. Namun ternyata kecepatan tubuhnya berkelit mampu
menyelamatkan jiwanya dan Melati yang masih tetap dalam dekapannya.
Bahkan, sesekali sambil berkelit di antara kelebatan senjata
lawan-lawannya,
tangan dan kakinya sempat bergerak cepat melancarkan serangan balasan.
Plak! Bukk! Desss!
"Akh! Ugkh...!"
Jerit kesakitan berturut-turut terdengar seiring dengan pukulan tangan dan kaki Dewa Arak yang mendarat di tubuh lawan. Dua di
antaranya bersarang di dada, sedangkan yang satu lagi menghantam perut. Seketika
ketiga tubuh lawannya terjengkang ke belakang. Nampak dari mulut ketiga
penyerang itu memuntahkan darah.
Dewa Arak tidak meneruskan serangannya kepada
ketiga lawannya yang nampak tengah memegangi dada dan perut mereka. Barangkali
karena Dewa Arak belum tahu dengan jelas mengapa tiba-tiba mereka menyerang
dirinya dan Melati.
Nampak ketiga orang yang terjungkal karena serangan balik Dewa Arak, kini
bergerak terseok-seok meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, ketujuh orang lainnya sama sekali
tidak ciut nyalinya melihat kejadian yang menimpa tiga teman mereka. Bahkan
sebaliknya mereka semakin ganas menyerang. Golok dan pedang di tangan mereka
berkelebatan ke bagian tubuh Dewa Arak.
"Hiaaat...!"
Sing! Sing! Sing!
Mata-mata senjata tajam berkilat dan meluncur dari
berbagai arah, siap mencacah tubuh Dewa Arak yang masih tetap berdiri tenang.
Namun, ketika serangan itu hampir menyambarnya, pemuda berambut putih keperakan
itu bergerak melancarkan serangan balik.
"Akh! Ukh! Hugkh...!"
Jeritan-jeritan tertahan terdengar berkali-kali. Tangan dan kaki Dewa Arak
beberapa kali tepat mendarat di tubuh lawan-lawannya.
Sesaat kemudian disusul ambruknya tubuh-tubuh mereka ke tanah dan tak mampu bangkit lagi.
Mereka hanya merintih-rintih kesakitan sambil memegangi bagian tubuh yang
terkena serangan Dewa Arak.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas lega melihat semua
lawannya telah roboh di tanah. Kejadian itu begitu cepat.
Sepasang matanya menatap tubuh-tubuh yang tergeletak dengan luka parah itu. Satu
persatu wajah-wajah kesepuluh orang itu ditatapnya.
"Katakan, mengapa kalian ingin membunuhku?"
tanya Dewa Arak dengan suara yang ditekan.
"Cuihhh...!"
Pemilik kedai membuang ludah sambil menatap tajam
ke arah Dewa Arak.
"Tidak usah banyak tanya, Dewa Arak! Kau tidak perlu tahu mengapa kami hendak
membunuhmu! Mau
bunuh, silakan bunuh! Kami tidak takut mati. Yang penting, tugas kami untuk
membunuhmu telah selesai dan berhasil dengan baik!"
"Kau terlalu berlebihan, Sobat!" sergah Dewa Arak.
"Kuakui kelicikan kalian telah berhasil melukai kawanku.
Tapi terhadapku, kalian tidak berhasil. Pimpinan kalian akan memberi hukuman
atas kegagalan tugas kalian."
Dengan cerdik Dewa Arak mengajukan pernyataan
demikian untuk memancing apakah orang-orang itu hanya suruhan. Dengan kata lain
ada tokoh yang telah mendalangi tindakan mereka.
"Mana mungkin pimpinan kami akan memberikan
hukuman pada anak-anak buahnya yang telah berhasil
menunaikan tugas dengan baik" Kau yang keliru, Dewa Arak.
Kau telah terkena racun kami, dan jangan harap dapat lolos dari maut!" ucap sang
Pemiliki kedai begitu semangat dan yakin.
"Aku keracunan..." Sayang sekali, Sobat. Kurasa keinginan kalian tidak berhasil.
Aku tadi telah minum obat untuk menawarkan pengaruh racun itu."
"Ha ha ha...! Jangan terlalu yakin dengan obat penawar racun yang kau miliki,
Keparat! Kau tahu, racun milik pimpinan kami tidak bisa dimusnahkan dengan
penawar racun apa pun," sergah pemilik kedai.
Dan ternyata benar. Dewa Arak tidak perlu menunggu
terlalu lama untuk membuktikan kebenaran ucapan lelaki kecil kurus itu. Karena
tiba-tiba dirasakan ada kabut yang meliputi sepasang matanya. Kabut itu membuat
pandangan matanya samar-samar. Bahkan perlahan-lahan tubuhnya dirasakan mulai
gemetar dan lemas. Racun itu benar-benar telah menjalar dan mulai bekerja.
"Dan jangan harap kau akan bisa lolos dari sini. Dewa Goblok! Pimpinan kami
telah memperhitungkan semuanya secara cermat...."
Bersamaan dengan ucapan lelaki kecil kurus itu,
telinga Dewa Arak segera menangkap suara langkah-langkah kaki mendekati
tempatnya. Langkah-langkah kaki yang hanya dimiliki orang-orang berkepandaian
tinggi. Bergegas Dewa Arak mengalihkan pandangan ke luar.
Dilihatnya dengan jelas, belasan orang yang menggenggam senjata terhunus di
tangan, bergerak cepat menuju kedai itu.
Dewa Arak segera menyadari keadaan yang tengah
dihadapinya tidak dapat dianggap remeh. Sepasang matanya yang telah
berpengalaman, segera mengetahui kalau orang-orang itu memiliki kepandaian yang
perlu diperhitungkan.
Kalau dalam keadaan biasa bukan soal berat untuk
berhadapan dengan orang-orang seperti itu. Tapi kini tubuh Dewa Arak telah
terkena racun ganas yang tak mampu
diatasi oleh arak dari gucinya yang selalu tersampir di punggung itu. Apalagi
kini disadarinya kalau racun itu telah mulai menyerangnya. Sehingga, tubuhnya
Kuda Binal Kasmaran 1 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Pusaka Para Dewa 3