Pencarian

Tawanan Datuk Sesat 2

Dewa Arak 44 Tawanan Datuk Sesat Bagian 2


Mata Malaikat terkesima. Tapi waktu yang sangat
singkat itu dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Arya. Kedua kakinya kini
sudah hingga di atas dinding. Tappp!
"Hih!"
Tak sampai sekedipan mata, Dewa Arak sudah
melayang keluar laksana seekor kelelawar besar.
Jliggg! Begitu kedua kaki Dewa Arak mendarat di ta-
nah, Mata Malaikat berhasil hinggap di atas dinding.
Dan saat itulah tangannya dihentakkan.
Wusss! Bresss! Hebat bukan kepalang pukulan jarak jauh yang
dilepaskan Mata Malaikat. Dan ternyata serangan itu menghantam punggung sebelah
kiri Dewa Arak hingga
terguling-guling. Namun, tak ada keluhan sedikit pun dari mulutnya. Bahkan
dengan menggunakan bantuan
tenaga gulingan itu, dia terus melesat kabur.
"Keparat!" maki Mata Malaikat penuh geram, melihat Dewa Arak telah melesat
meninggalkan tempat
itu. Kini disadari tidak ada gunanya lagi melakukan
pengejaran. Dewa Arak telah berhasil lolos. Maka yang dapat dilakukan Mata
Malaikat hanya menatap penuh
rasa marah pada Dewa Arak yang semakin mengecil.
"Sekarang kau boleh lolos lagi, Dewa Arak! Tapi tak untuk lain saat. Cukup sudah
dua kali kau memperdayaiku," desis Mata Malaikat. Suaranya terdengar tertahan, menandakan
kemarahan. Setelah mengucapkan kata-kata bernada an-
caman, Mata Malaikat berbalik dan melompat turun.
"Perketat penjagaan! Jangan biarkan ada seo-
rang pun yang masuk kemari!"
Tanpa menunggu tanggapan anak buahnya la-
gi, Mata Malaikat melangkah ke dalam istana.
5 "Bangsat terkutuk!"
Ucapan bernada penuh rasa geram keluar dari
mulut seorang pemuda berambut putih keperakan.
Suara menggelutuk keras pun terdengar dari mulut-
nya. Jelas, dia tengah dilanda kemarahan hebat.
Pemuda itu berpakaian ungu. Rambutnya yang
panjang, berwarna putih keperakan, dan sebuah guci arak yang tergantung di
punggung, adalah ciri
khasnya. Ya! Dialah Dewa Arak!
Kali ini tampak Dewa Arak tengah murka! Ini
bisa dilihat dari tarikan wajahnya yang menegang dan sorot penuh kemarahan dari
sepasang matanya. Hal
ini tidak aneh! Di sekelilingnya ternyata tampak
rumah-rumah yang telah menjadi onggokan arang!
"Mata Malaikat! Orang seperti kau memang
harus cepat dilenyapkan! Kalau tidak, malapetaka
akan tersebar di mana-mana!" desis Dewa Arak penuh geram. Diam-diam di dalam
hati kecilnya, pemuda berambut putih keperakan ini merasa menyesal bukan
kepalang melihat keadaan sekitarnya. Dia tahu,
kejadian itu belum lama berlangsung. Baru dua hari tempat ini dilalui, dan saat
itu keadaan belum seperti sekarang ini. Kalau saja tidak terluka dalam yang
cukup parah, sehingga memaksanya tinggal di hutan
selama dua hari untuk mengobati luka, mungkin tidak akan terjadi keadaan seperti
ini. Paling tidak, akan dapat mengulurkan pertolongan.
Kini Dewa Arak sudah sehat kembali. Luka
dalamnya telah sembuh sama sekali. Maka,
sekaranglah saatnya untuk membuat perhitungan
terhadap Mata Malaikat dan gerombolannya. Meskipun tahu kalau pihak lawan amat
kuat, tapi Dewa Arak
tidak putus asa. Biar bagaimapanun, Melati harus
diselamatkan! Memang, sudah dua hari Melati menjadi
tahanan Mata Malaikat. Dan Arya tidak tahu, apa yang tengah terjadi pada
kekasihnya. Meskipun demikian, hatinya yakin Melati tidak akan menerima tindakan
tidak senonoh dari gerombolan Mata Malaikat. Apalagi dia telah mendengar sendiri
kalau Mata Malaikat
sangat membenci perbuatan itu. Dan memang, tak
pernah terdengar kalau Mata Malaikat dan
gerombolannya melakukan perbuatan rendah seperti
itu. Hal itulah yang menjadikan Dewa Arak tidak
terlalu cemas. Dia yakin, anak buah Mata Malaikat
tidak akan ada yang berani melanggar larangan
pimpinannya. Jadi, ancaman bagi Melati hanya akan
muncul dari Mata Malaikat. Dewa Arak tahu, Mata
Malaikat adalah tokoh sesat yang menguasai ilmu
sihir! Jadi, kemungkinan besar Melati akan dijadikan semacam tumbal untuk
ilmunya. Begitulah dugaan
Dewa Arak. Terkaan seperti itu semakin mengurangi
kecemasannya akan nasib Melati. Dari pengalaman,
Dewa Arak tahu kalau menuntut ilmu seperti itu tidak bisa sembarangan. Ada saat-
saat yang tepat untuk
melakukannya. Misalnya, di malam bulan purnama.
Dan yang penting, setelah sembuh tujuan
untuk menyelamatkan Melati harus dilaksanakan.
Dalam keadaan siap tarung seperti ini, kemungkinan untuk berhasil menyelamatkan
Melati menjadi lebih
besar. Teringat kembali akan Melati, membuat Dewa Arak jadi tidak sabar. Setelah
melempar pandangan
sejenak ke arah onggokan arang yang berhamparan di sana-sini, kakinya kemudian
melangkah meninggalkan tempat itu. Tujuannya sudah jelas. Tiba di Istana
Kerajaan Gambang secepat mungkin untuk
membebaskan Melati.
Perasaan tidak sabar mendorong Dewa Arak
untuk mengerahkan seluruh ilmu meringankan tu-
buhnya agar bisa segera tiba di Istana Kerajaan
Gambang. Sesaat kemudian, tubuhnya lenyap. Se-
karang yang terlihat hanya sekelebatan bayangan
ungu dalam bentuk tidak jelas, terus melesat ke depan. Karena Dewa Arak
mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh, maka dalam waktu sebentar saja
bentuk bangunan itu sudah terlihat. Tambahan lagi,
jarak antara tempat pemuda berambut putih
keperakan itu berada dengan Istana Kerajaan Gam-
bang memang tidak begitu jauh.
Di dalam hati, Dewa Arak memuji kecerdikan
orang yang telah membangun Istana Kerajaan
Gambang. Nyatanya, letak istana itu berada di tengah-tengah lapangan luas tanpa
halangan. Hal ini amat
menguntungkan, karena membuat pandangan tidak
terhalang bila datang serbuan dari mana pun.
Hanya sayangnya, Istana Kerajaan Gambang
itu kini telah jatuh ke tangan Mata Malaikat dan gerombolannya. Dewa Arak yakin,
kedatangannya telah
diketahui. Namun, hal itu tidak dipedulikan. Sepasang kakinya terus saja
diayunkan. Sambil terus melangkah, Dewa Arak
mengarahkan pandangan ke depan. Sepasang matanya
tertuju pada bangunan istana yang semakin kelihatan membesar seiring semakin
dekatnya jarak antara
dirinya dengan istana itu.
Namun, seiring semakin terlihat jelas istana itu,
kernyitan mulai timbul di dahi Dewa Arak. Dan
semakin lama, kernyitan itu semakin bertambah ba-
nyak. Jelas, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Memang, hal itu tidak salah! Ada perasaan
tidak enak yang melingkupi hati Dewa Arak ketika
mulai melihat jelas keadaan Istana Kerajaan Gambang yang sepi sekali! Tak
terlihat seorang pun di sana.
Inilah yang menimbulkan kernyitan di dahi
Dewa Arak. Bermacam-macam dugaan menyelinap di
benaknya. Mengapa Istana Kerajaan Gambang terlihat demikian sepi" Apakah memang
benar-benar tidak
ditinggali lagi" Kalau ya, ke mana Mata Malaikat dan gerombolannya pergi"
Atau..., sepinya keadaan di Istana Kerajaan
Gambang ini hanya buatan saja" Dan mereka
bersembunyi, untuk menjebaknya" Ini bukan meru-
pakan hal mustahil! Bukankah Mata Malaikat dan
gerombolannya adalah orang-orang dari golongan
hitam yang terbiasa menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan"
Dugaan yang terakhir memaksa Dewa Arak
bertindak hati-hati. Dengan sendirinya, kecepatan
larinya dikurangi. Dan sekujur urat syaraf dan otot-otot tubuhnya menegang
waspada. Dia telah bersiap-
siap menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
Semakin dekat jaraknya dengan Istana Kera-
jaan Gambang, lari Dewa Arak semakin pelan. Bahkan akhirnya berhenti sama
sekali, ketika telah berjarak lima tombak dari pintu gerbang istana.
Dewa Arak mengedarkan pandangan ke seluruh
penjuru istana yang pintu gerbangnya tertutup rapat.
Tatapannya lebih terarah pada dinding-dinding bagian atas istana. Dan ternyata
tetap sepi! "Mata Malaikat! Keluar kau!" teriak Dewa Arak sambil mengerahkan tenaga dalam.
Dan memang, tindakan pemuda berambut pu-
tih keperakan ini sama sekali tidak sia-sia. Teriakannya membahana ke seluruh
penjuru. Gema yang
ditimbulkannya terdengar bersahut-sahutan.
Dewa Arak menunggu sejenak untuk melihat
tanggapan atas teriakannya. Tapi sampai gema
suaranya habis dipantulkan, tetap saja sedikit pun tidak ada tanggapan.
Dewa Arak menajamkan telinganya. Seluruh
perhatiannya dipusatkan pada kedua belah alat
pendengarannya. Barangkali saja bisa ditangkap
adanya suara-suara mencurigakan dari balik dinding istana yang tinggi. Setidak-
tidaknya, hal itu cukup
untuk menunjukkan adanya seseorang di Istana Ke-
rajaan Gambang.
Tapi, untuk yang kesekian kalinya harapan De-
wa Arak tidak terkabul. Buktinya tidak terdengar
adanya suara-suara seperti yang diharapkannya. Yang tertangkap sepasang
pendengarannya hanya suara
desah angin! "Mata Malaikat! Keluar kau, Pengecut! Hadapi
aku! Jangan berlindung di balik panggung tahanan
wanitamu! Hadapi aku, Mata Malaikat!"
Untuk yang kedua kalinya, Dewa Arak menge-
luarkan kata-kata bernada tantangan. Kali ini, bahkan lebih keras daripada
sebelumnya. Hasil yang didapat Dewa Arak sama dengan
sebelumnya. Tidak ada sambutan sedikit pun atas
tantangan yang diajukannya, selain gema teriakannya sendiri dan desah angin.
Maka kesabaran Dewa Arak
pun habis. Dia tidak mau menunggu lebih lama lagi.
Seketika kedua lututnya ditekuk. Lalu....
"Hih!"
Tubuh Dewa Arak melayang ke atas, dan
berputaran beberapa kali di udara. Gerakannya tam-
pak indah dan manis.
Jliggg! Ringan laksana sehelai daun, sepasang kaki
tokoh muda yang menggemparkan ini hinggap di atas
dinding istana. Dan ternyata, sepanjang dinding bagian atas kosong! Tak nampak
adanya seorang pun di
sekitarnya. Dewa Arak mengedarkan pandangan ke bawah.
Tapi hanya suasana lengang dan sepi yang terlihat, tanpa ada tanda-tanda
kehidupan sama sekali. Jelas, Istana Kerajaan Gambang telah tidak berpenghuni
lagi, "Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Tanpa
memeriksa satu persatu bangunan, telah bisa
diketahui kalau Istana Kerajaan Gambang memang
sudah tidak berpenghuni lagi. Mata Malaikat dan
gerombolannya ternyata sudah tidak berada di situ, dan kemungkinan besar telah
pergi! Lalu, bagaimana nasib Melati" Apakah gadis
berpakaian putih itu ikut dibawa pergi" Dan, ke mana perginya" Lalu, mengapa
Mata Malaikat pergi"
Bukankah dia telah menjadi raja, meskipun hanya di sebuah kerajaan kecil" Tidak
sayangkah dia meninggalkan tempat yang susah payah telah
direbutnya itu"
Berbagai macam pertanyaan menggayuti benak
Dewa Arak, namun tidak ada satu pun yang dapat
terjawab. Meskipun demikian, Dewa Arak tidak putus asa. Dicobanya untuk mencari
jawaban dengan cara
menghubung-hubungkan kejadian yang dialami
belakangan ini.
"Ah!"
Dewa Arak tersentak ketika telah mendapat se-
buah jawaban, begitu mengingat-ingat tentang bekas kepala rampok yang dulu
pernah menjabat sebagai
pengawal khusus Kerajaan Gambang. Dialah Garuda
Mata Satu. Tokoh itu pemah bercerita padanya,
tentang keinginan Mata Malaikat (Untuk jelasnya,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Garuda Mata Satu").
"Ya! Pasti Mata Malaikat menuju Kerajaan
Mandau," desah Dewa Arak perlahan. "Mungkin keinginannya itu akan dilaksanakan
sekarang!"
Tapi..., apakah anak buahnya telah cukup un-
tuk memerangi sebuah kerajaan besar seperti Kerajaan Mandau" Keberhasilan Mata
Malaikat dan anak
buahnya merebut Kerajaan Gambang, tidak bisa
dijadikan patokan. Masalahnya, Kerajaan Gambang
adalah sebuah kerajaan kecil, di bawah pimpinan
seorang raja yang tidak ingin di istananya ada manusia yang berjenis wanita!
Pikiran-pikiran seperti itu membimbangkan De-
wa Arak! Memang rasanya mustahil kalau Mata
Malaikat akan menyerbu Kerajaan Mandau!
Sepertinya, itu tindakan gegabah dan terlalu terburu-buru. Tapi kalau bukan
untuk menyerbu Kerajaan
Mandau, untuk apa Istana Kerajaan Gambang
ditinggalkan"


Dewa Arak 44 Tawanan Datuk Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya setelah mempertimbangkan beberapa
saat, Dewa Arak mengambil keputusan untuk pergi ke Kerajaan Mandau. Dan kalau
ternyata dugaannya
salah, dugaan selanjutnya akan dipikirkan lagi.
Yakin akan keputusannya, Dewa Arak
melompat turun dari atas tembok. Dan begitu kedua
kakinya mendarat di tanah, langsung saja melesat menuju ke timur, tempat
Kerajaan Mandau terletak.
Tanpa ragu-ragu lagi, seluruh ilmu meringankan tu-
buhnya dikerahkan. Masalahnya dia tidak tahu, sejak kapan Mata Malaikat dan
rombongannya meninggalkan Istana Kerajaan Gambang"
Hanya dalam beberapa kali lesatan, Dewa Arak
sudah terlihat seperti sebuah benda berwarna ungu
sebesar ibu jari kaki. Semakin lama, bentuknya
semakin mengecil. Dan akhirnya, lenyap di kejauhan.
Rasa cemas akan terjadinya pertumpahan
darah besar-besaran, membuat Dewa Arak harus
mempercepat perjalanannya. Seluruh kecepatan lari
yang dimiliki dikeluarkan hingga mencapai puncaknya.
Dan pemuda berambut putih keperakan itu terus
berlari tanpa mengendurkan kecepatan sedikit pun.
Entah berapa lama berlari, Dewa Arak sama
sekali tidak mempedulikannya. Yang jelas, sewaktu
meninggalkan Istana Kerajaan Gambang, matahari
baru saja terbit.
Tapi sekarang, sang surya telah hampir berada
di atas kepala. Sinarnya sudah terasa tidak nyaman di kulit. Dan selama itu Dewa
Arak belum berhenti
berlari. Apalagi, mengendurkan kecepatannya.
Hebatnya, meskipun telah berlari sekian
lamanya, tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau De-wa Arak kelelahan. Alunan
napasnya masih biasa saja.
Peluh yang tampak pun hanya pada dahi, bawah
hidung, dan sekitar leher.
Mendadak raut wajah Dewa Arak berubah, be-
gitu matanya tertumbuk pada sesuatu kejadian, dalam jarak belasan tombak di
depan. Di kejauhan sana,
terlihat kepulan asap tebal berwarna hitam,
bergumpal-gumpal, membubung tinggi ke angkasa.
Menilik keadaan itu bisa diperkirakan kalau di ke-
jauhan sana telah terjadi kebakaran.
Perkiraan ini mengingatkan Dewa Arak akan
peristiwa yang tadi pagi disaksikan. Rumah-rumah di Desa Sekupang telah menjadi
onggokan arang. Apakah kebakaran di kejauhan itu sengaja dibuat orang" Dan,
pelakunya adalah Mata Malaikat dan gerombolannya"
Dengan benak dililit pertanyaan-pertanyaan,
Dewa Arak meneruskan larinya. Rasanya, dia ingin
segera tiba di sana. Tapi bagaimana lagi" Hanya
sampai di situlah puncak kemampuan kecepatan
larinya. Beberapa lesatan kemudian, dugaan Dewa Arak terbukti. Kebakaranlah yang
menjadi penyebab
timbulnya asap itu. Dan ternyata kebakaran itu
mengandung unsur kesengajaan. Buktinya,
segerombolan orang berpakaian prajurit kerajaan
tengah bertindak di luar batas, dengan membakari
rumah yang masih tersisa dan membunuhi
penghuninya. Dewa Arak menggeram, murka bukan kepa-
lang. Masalahnya, enak saja mereka menyebar maut
pada para pemilik rumah yang berusaha mencegah
pembakaran. Desing suara senjata, gemeretak api memakan
kayu, disertai jeritan kesakitan dan kematian ter-
dengar dari para pemilik rumah. Mereka berusaha
mencegah tempat bernaung dari si jago merah!
"Keparat! Orang-orang seperti kalian memang
tidak pantas dibiarkan hidup!" seru Dewa Arak, keras sambil melompat menerjang.
Lompatan Dewa Arak ternyata bertepatan de-
ngan seorang prajurit yang tengah mengayunkan
pedangnya ke arah leher seorang pemilik rumah.
Singgg! Takkk! Mata pedang yang hampir mengirim nyawa se-
orang pemilik rumah ke alam baka itu, berhasil
dipapak Dewa Arak dengan sentilan jari telunjuk.
Akibatnya, mata pedang itu patah jadi dua! Bahkan
patahannya malah meluncur ke arah tenggorokan
prajurit itu. Tentu saja mendapat serangan yang sama se-
kali tidak terduga, prajurit yang apes itu jadi
kelabakan dan gugup. Dengan sebisa-bisanya, pe-
dangnya yang tinggal sepotong diayunkan untuk
menangkis. Dan....
Tranggg! Usaha untung-untungan prajurit itu berhasil
juga. Nyawanya yang sudah hampir terbang,. berhasil diselamatkan. Namun prajurit
itu tidak bisa buru-buru
menarik napas lega. Karena begitu luncuran mata
pedang berhasil ditangkis, Dewa Arak cepat
melepaskan tendangan.
Wuttt! Bukkk! "Hugkh!"
Karena kejadiannya berlangsung demikian ce-
pat, prajurit itu sama sekali tidak sempat berbuat apa-apa. Dan tahu-tahu,
perutnya telah tertendang.
Kelihatannya pelan saja, tapi akibatnya cukup
dahsyat. Rasanya, perutnya seperti mendapat seru-
dukan seekor banteng liar yang paling besar!
Tak pelak lagi, tubuh prajurit itu pun terpental
ke belakang disertai jeritan menyayat. Bahkan lebih mirip lolong kematian.
Memang, tendangan Dewa Arak terlalu dahsyat untuk dapat diterima prajurit sial
itu. Seluruh isi perutnya langsung hancur berantakan.
Darah segar pun mengalir di sudut-sudut mulutnya.
Saat itu juga, nyawanya melayang ke alam baka,
sebelum tubuhnya sempat mencapai tanah.
"Dewa Arak...!"
Seruan-seruan kaget terdengar dari mulut
rekan-rekan prajurit yang malang itu. Jelas, mereka telah mengenai Dewa Arak!
Dewa Arak hanya tersenyum pahit mendengar
panggilan itu. Diperhatikannya wajah para prajurit itu sekilas. Dan seketika itu
juga, langsung dikenalinya.
"Kiranya kalian anak buah Mata Malaikat! Kali ini, jangan harap kuampuni!" ancam
Dewa Arak dengan suara berdesis.
Dewa Arak memang telah murka. Maka setelah
melihat kekejaman yang dilakukan anak buah Mata
Malaikat, langsung diputuskan untuk melenyapkan
mereka selama-lamanya.
"Hanya sekian sajakah jumlah kalian"! Mana
yang lainnya"! Dan mana pula Mata Malaikat"!"
dengus Dewa Arak tanpa menyembunyikan perasaan
heran. Tidak aneh kalau pemuda berambut putih ke-
perakan itu merasa heran. Terutama ketika melihat
jumlah gerombolan anak buah Mata Malaikat yang
hanya sedikit. Mereka tak lebih berjumlah sepuluh
orang saja! Itu pun bila digabung dengan prajurit yang tewas di tangan Dewa Arak
tadi. Kesembilan anak buah Mata Malaikat hanya
saling berpandangan satu sama lain. Tampak adanya
sorot kegentaran dalam sinar mata mereka, begitu
telah mengetahui kelihaian Dewa Arak. Jangankan
hanya sembilan. Biar ditambah lima kali lipat lagi, Dewa Arak pasti akan mampu
menggilas mereka.
"Dengar! Apabila bersedia menunjukkan di ma-
na kawanku ditahan, dengan senang hati kalian akan kubiarkan hidup! Cepat!
Jangan sia-siakan kesempatan yang kuberikan ini!" ujar Dewa Arak, memberi
penawaran. Kembali kesembilan anak buah Mata Malaikat
itu saling berpandangan sejenak. Kemudian....
"Haaat..!"
Diawali teriakan keras membahana, kesembilan
orang golongan hitam itu menerjang. Golok dan pedang yang sejak tadi tercekal di
tangan, diayunkan ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak.
"Rupanya kalian memilih mati!" kata Dewa Arak. Seiring keluarnya ucapan itu,
Dewa Arak langsung bertindak. Sekali kakinya bergerak, tubuhnya
telah menyelinap di antara kelebatan senjata lawan, tak ubahnya bayangan. Dan
ketika tangan serta kakinya mulai bergerak, tubuh anak buah Mata Malaikat
telah berpentalan ke sana kemari. Jerit kesakitan dan lolong kematian tampak
mengiringi tertemparnya
tubuh mereka. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, sudah
tidak ada lagi anak buah Mata Malaikat yang masih
berdiri tegak. Semuanya telah bergeletakan tanpa
nyawa di tanah.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Ada pera-
saan tidak enak mengganjal di hatinya ketika melihat semua lawan telah tewas.
Memang, pemuda berambut
putih keperakan ini jarang membunuh lawan kecuali terpaksa.
Setelah memperhatikan mayat lawan-lawannya
sekilas, Dewa Arak mengalihkan pandangan ke arah
para pemilik rumah yang berdiri tertegun,
memperhatikan tempat tinggal mereka yang telah
menjadi onggokan arang.
"Sebenarnya apa alasan gerombolan penjahat
itu membumihanguskan rumah-rumah ini, Kisanak?"
tanya Arya pada salah seorang di antara pemilik
rumah yang masih terkesima.
"Mereka menanyakan pada kami tentang orang
yang berjuluk Garuda Mata Satu. Karena memang
tidak tahu, kami jawab saja apa adanya. Tapi, mereka menyangka kami berbohong.
Dan akibatnya, seperti
ini!" jawab seorang laki laki berkumis tebal. Dia adalah salah seorang dari tiga
pemilik rumah yang masih
hidup. Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala.
"O ya, Kisanak. Apakah di samping sepuluh
orang ini kau melihat yang lain" Dan mereka adalah kawan dari sepuluh orang
ini," tanya Dewa Arak.
"Aku sendiri tidak tahu pasti rombongan yang
kau maksudkan, Tuan Pendekar. Tapi yang jelas, aku memang melihat serombongan
besar orang berpakaian
prajurit. Menilik arah yang ditempuh, mungkin
rombongan itu tengah menuju Kerajaan Mandau,"
jawab laki-Iaki berkumis tebal itu.
' Terima kasih, Kisanak."
Hanya itu yang diucapkan Dewa Arak, karena
sesaat kemudian tubuhnya telah lenyap dari situ. Yang dilihat tiga orang pemilik
rumah itu kini hanya
sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat ke
depan. "Luar biasa! Orang semuda itu sudah memiliki kepandaian demikian tinggi,"
desis tiga orang pemilik rumah itu hampir berbareng.
Ada nada kekaguman yang sarat dalam ucapan
tiga orang itu. Bahkan sepasang mata mereka terus
tertuju pada Dewa Arak, sampai akhirnya lenyap
ditelan kejauhan. Baru setelah itu, mereka meng-
hampiri rumah yang telah menjadi onggokan arang.
Mereka sama sekali tidak pernah mimpi akan terjadi hal seperti ini, karena
tinggal di sebuah tempat yang letaknya terpisah dari perumahan penduduk lainnya.
Segumpal kesedihan kembali membalut hati
kebga orang itu. Bukan karena tempat tinggal yang
sudah tidak karuan bentuknya, tapi karena
ditinggalkan oleh anggota keluarga yang tewas.
6 "Hm...!"
Sambil mengelus-elus jenggot yang hanya be-
berapa lembar, Raja Kerajaan Mandau yang bernama
Prabu Tanjula mengangguk-anggukkan kepala.
Tampak sekali keagungannya, saat duduk di atas
singgasana kerajaan.
"Jadi..., gerombolan yang akan menyerbu ista-
na kita adalah benar-benar gerombolan Mata Malaikat, Patih Sanggara?" tanya
Prabu Tanjula sambil menatap tajam wajah seorang laki-laki tinggi kurus yang
duduk di lantai.
Di sebelah kanan, kiri, dan depan laki-laki
tinggi kurus yang ternyata menjabat patih itu, duduk pula pejabat kerajaan lain.
"Begitulah laporan yang hamba terima dari para telik sandi, Gusti Prabu," jawab
Patih Sanggara.
"Jadi, semua laporan yang diberikan Garuda
Mata Satu benar. Ahhh...! Dia benar-benar seorang
prajurit setia," gumam Prabu Tanjula lirih sambil mengelus-elus jenggotnya.
Rupanya, orang nomor satu di Kerajaan Mandau ini memiliki kebiasaan, gemar
mengelus-elus jenggot.
Beberapa saat lamanya, Prabu Tanjula bertin-
dak seperti itu. Sementara, Patih Sanggara dan semua pejabat kerajaan yang ada
di situ menunggu keluarnya ucapan selanjutnya dari junjungan mereka dengan
sabar. "Kalau begitu, kita akan siapkan penyambutan untuk mereka. Biar mereka
tahu, kalau Kerajaan
Mandau tidak bisa dianggap remeh. Pengawal!" seru
Prabu Tanjula, agak keras.
"Hamba, Gusti Prabu," sambut salah satu dari dua orang pengawal yang menjaga
pintu ruangan. Kedua orang ini adalah prajurit pilihan yang bertugas menjaga keselamatan raja,
dan sekaligus menjadi
anggota pasukan khusus.
"Katakan pada Panglima Tungga agar segera
menghadapku!" ritah Prabu Tanjula.
"Akan hamba laksanakan, Gusti Prabu," sahut pengawal yang memiliki banyak tahi
lalat di dahi itu.
Tubuhnya dibungkukkan sedikit sambil
menyentuhkan ujung-ujung jari kedua tangan yang
dirapatkan ke hidung.
Usai berkata demikian, pengawal khusus itu
segera melangkah meninggalkan ruangan ini.
Sepeninggal pengawal khusus yang memiliki
banyak tahi lalat itu, suasana menjadi hening. Masing-masing orang hanyut dalam
alun pikiran sendiri-
sendiri. "O ya, Patih Sanggara. Apakah sudah ada berita mengenai Garuda Mata
Satu?" Pertanyaan Prabu Tanjula memecahkan
keheningan yang mencekam.


Dewa Arak 44 Tawanan Datuk Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Sampai saat
ini, pasukan telik sandi yang dikirimkan belum
mendapatkan berita mengenai Garuda Mata Satu dan
Puspa Kenaka."
"Hm...."
Hanya gumaman pelan dan anggukan Prabu
Tanjula yang menanggapi jawaban Patih Sanggara.
"Mudah-mudahan, tugas yang kuberikan
padanya bisa berhasil dengan baik," harap Prabu Tanjula lagj.
Tidak ada satu suara pun yang menyahuti.
Mereka semua diam. Namun di dalam hati, sama-sama
menginginkan agar harapan Prabu Tanjula terkabul.
Masalahnya, hal itu menyangkut keutuhan Kerajaan
Mandau. Kalau tugas Garuda Mata Satu sampai gagal, Kerajaan Mandau akan mendapat
kerugian besar!
Kembali suasana jadi hening, larut oleh pikiran
masing-masing. Tapi hal itu tidak berlangsung lama.
Keheningan itu langsung membuyar ketika terdengar
suara langkah kaki mendekati ruangan ini. Dan sesaat kemudian, tampak dua sosok
tubuh melangkah
masuk. Yang seorang pengawal khusus bertahi lalat
banyak. Sedangkan sarunya lagi, seorang laki-laki
tinggi besar dan bercambang bauk lebat. Siapa lagi kalau bukan Panglima Tungga"
"Hamba datang menghadap, Gusti Prabu," ka-ta Panglima Tungga sambil memberi
hormat Laki-laki tinggi besar ini kemudian bersimpuh.
Lutut sebelah kirinya ditekuk, dan tangan terkepal ditekankan ke bumi.
"Hm...," gumam Prabu Tanjula sambil kembali mengelus-elus jenggotnya. "Memang,
aku mempunyai sebuah rencana. Dan hanya kau dan pasukanmu saja
yang lebih cocok untuk melaksanakan tugas ini. Itulah sebabnya kau kupanggil
kemari." "Hamba siap melaksanakan tugas, Gusti Pra-
bu," sambut Panglima Tungga cepat.
"Bagus! Nah! Sekarang dengarkan baik-baik
tugas yang akan kuberikan padamu...."
Prabu Tanjula diam sebentar. Hal itu memang
disengaja agar Panglima Tungga lebih siap
mendengarnya. Dan dengan adanya kesempatan yang
diberikan Prabu Tanjula, Panglima Tungga yang
bertubuh tinggi besar itu jadi punya kesempatan
untuk memusatkan perhatian.
"Kau sudah mendengar berita akan adanya
penyerbuan terhadap Kerajaan Mandau ini, Panglima
Tungga?" tanya Prabu Tanjula, ingin tahu.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba belum
mendengarnya. Kalau boleh hamba tahu, kerajaan
manakah yang mempunyai nyali demikian besar,
hingga berani menyerang kerajaan kita?" Panglima Tungga malah balas bertanya.
"Tidak ada kerajaan yang akan menyerbu kita,
Panglima Tungga," sanggah orang nomor satu di Kerajaan Mandau ini.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba belum
mengerti...."
"Yang akan menyerbu kerajaan kita,
segerombolan tokoh golongan hitam di bawah
pimpinan Mata Malaikat. Menurut laporan mata-mata
kita, mereka berjumlah banyak. Mungkin tidak kurang dari tiga ratus orang!
Bayangkan, Panglima Tungga.
Kemampuan tokoh persilatan aliran hitam yang paling rendah pun, belum tentu
kalah menghadapi tiga orang prajurit
kita!" Prabu Tanjula mengutarakan
kekhawatirannya.
Panglima Tungga mengangguk-anggukkan ke-
pala. Cukup masuk akal juga kekhawatiran yang
melanda junjungannya.
' Tapi..., ada satu hal yang Gusti Prabu
lupakan," tegas Panglima Tungga.
"Hm.... Apa itu, Panglima Tungga?" tanya Prabu Tanjula ingin tahu. Dan memang
telah diketahuinya
kalau Panglima Tungga adalah seorang ahli siasat
perang yang ulung.
"Begini, Gusti Prabu. Dalam hal kemampuan
perseorangan, boleh jadi gerombolan Mata Malaikat
memiliki kemampuan di atas rata-rata kemampuan
pasukan kita. Tapi dalam sebuah pertempuran besar, yang memegang peranan adalah
siasat! Kalau kita
mempunyai siasat jitu, mereka akan bisa dikalahkan!"
tandas Panglima Tungga, yakin.
Seketika itu pula Prabu Tanjula terdiam.
Disadari ada kebenaran dalam ucapan Panglima Tung-
ga. "Apa siasatmu, Panglima Tungga?" tanya Prabu Tanjula, ingin tahu.
Panglima Tungga tidak langsung menjawab.
Dahinya berkernyit sejenak sebelum kepalanya
terangguk. "Jelaskan kepada kami-kami di sini, siasat apa yang akan kau gunakan, Panglima
Tungga?" tanya Prabu Tanjula.
"Tentu, Gusti Prabu," jawab Panglima Tungga.
"Tapi sebelumnya, hamba ingin tahu pendapat
Panglima Banu. Dan, ampunkan hamba bila bertindak
terlalu lancang."
"Sama sekali tidak, Panglima Tungga," sahut Prabu Tanjula sambil menyunggingkan
senyum. "Panglima Banu! Coba kemukakan siasatmu
untuk menghadapi penyerbuan gerombolan Mata
Malaikat!" titah Prabu Tanjula pada panglima yang bernama Panglima Banu.
"Ampunkan hamba kalau keliru, Gusti Prabu.
Menurut pendapat hamba, lebih baik seluruh pasukan Kerajaan Mandau berada di
dalam benteng. Lalu, kita tempatkan pasukan panah di bagian atas benteng
untuk mencegah serbuan gerombolan itu."
Panglima yang bertubuh tegap dan kekar yang
bernama Panglima Banu itu menghentikan ucapannya
untuk mengambil napas.
"Setiap kali mereka berada dalam jarak tembak anak panah, kita akan menghujani
dengan anak panah. Dengan demikian, mereka tidak bisa mendekati benteng. Dan andaikata
nekat, anak panah pasukan
kita akan banyak menelan korban dari mereka," lanjut Panglima Banu panjang
lebar. Semua orang yang berada di ruangan itu sama-
sama menganggukkan kepala. Disadari pen-jelasan
Panglima Banu ada benarnya.
"Sebuah usul yang bagus!" puji Prabu Tanjula.
"Bukankah demikian, Panglima Tungga?"
"Benar, Gusti Prabu," sahut Panglima Tungga sambil mengangguk. "Siasat yang
dikemukakan Panglima Banu memang bagus. Tapi rasanya, untuk
menghadapi gerombolan Mata Malaikat, siasat seperti itu tidak bisa
dilaksanakan."
Prabu Tanjula mengangguk-angguk, pertanda
membenarkan pendapat Panglima Tungga.
"Apa yang kau kemukakan sama sekali tidak
salah, Panglima Tungga. Siasat yang dikemukakan
Panglima Banu tidak bisa diterapkan kali ini. Garuda Mata Satu telah memberi
masukan yang berharga
sekali. Katanya, di samping Mata Malaikat, masih
banyak lagi tokoh kelas atas dari golongan hitam yang menjadi anak buahnya.
Bahkan termasuk datuk-datuk
di empat penjuru angin. Banyaknya tokoh yang
memiliki kemampuan tinggilah yang menyebabkan
siasat Panglima Banu sulit diterapkan."
Prabu Tanjula menghentikan ucapannya
sejenak untuk membasahi tenggorokannya yang
kering. "Kalau kita gunakan pasukan panah,
kemungkinan besar tokoh-tokoh kelas ataslah yang
bertugas sebagai pembuka jalan. Serbuan pasukan
anak panah kita pasti akan mudah dilumpuhkan. Nah!
Setelah pasukan panah kita lumpuh, baru mereka
akan menyerbu. Di sinilah ketidaktepatannya usul
Panglima Banu."
Panglima Tungga dan semua orang yang berada
di situ sama sekali tidak merasa heran mendengar
penjelasan Prabu Tanjula yang bisa mengupas secara demikian meyakinkan. Dan
mereka semua tahu, Prabu
Tanjula memiliki ilmu kedigdayaan yang cukup tinggi.
Hanya saja mereka tidak tahu, di mana sang
Junjungan itu belajar.
"Sekarang giliranmu, Panglima Tungga. Bisa
kau utarakan siasat yang akan kau terapkan?" tanya Prabu Tanjula ingin tahu.
"Pada dasarnya, tidak berbeda dengan siasat
Panglima Banu, Gusti Prabu. Hanya saja, ada sedikit perbedaannya. Pada siasat
hamba, pasukan kita tidak hanya bertahan. Tapi, juga mendahului."
"Maksudmu..., kita yang melakukan
penyerangan lebih dulu. Begitu maksudmu, Panglima
Tungga?" "Kira-kira demikian, Gusti Prabu. Tapi, tentu saja tidak hanya siasat itu yang
akan dijalankan.
Siasat Panglima Banu pun nanti akan diterapkan pula.
Dan itu tentu ada sedikit perbedaan di sana-sini.
Bahkan serangan yang akan dilakukan pun, tidak
untuk menghadapi pertarungan secara langsung. Yang akan kita terapkan adalah
siasat pukul dan lari."
"Bisa diutarakan secara lengkap rencana-
rencana yang akan kau buat, Panglima Tungga?" tanya Prabu Tanjula, ingin tahu
lebih banyak. "Dengan senang hati, Gusti Prabu," sambut Panglima Tungga cepat
Kemudian, Panglima Kerajaan Mandau yang
memiliki tubuh tinggi besar dan bercambang bauk
lebat ini menjelaskan secara lengkap siasat-siasat yang akan dijalankan. Prabu
Tanjula dan semua orang yang berada di situ mendengarkan penuh seksama. Tak
sekali pun ada yang menyelak sampai Panglima
Tungga menyelesaikan keterangannya.
"Begitulah rencana hamba, Gusti Prabu.
Yaaah...! Walaupun mungkin tidak memuaskan, tapi
itulah siasat yang hamba dapatkan," kata Panglima Tungga menutup keterangannya.
' Tidak mengapa, Panglima Tungga. Aku
percaya, kau telah memilihkan sebuah siasat terbaik.
Untuk selanjutnya, kau dan Panglima Banu bisa saling berembuk untuk
mempersiapkan rencana yang telah
dirancang," ujar Prabu Tanjula.
"Akan hamba laksanakan semua perintah Gusti
Prabu," hampir berbareng Panglima Tungga dan
Panglima Banu menjawabnya.
Saat yang ditunggu-tunggu disertai rasa
kecemasan pun tiba. Pasukan panah Kerajaan Mandau
yang berdiri di atas benteng istana melihat
serombongan orang yang tengah menuju ke tempat
mereka. "Beritahukan pada Panglima Tungga. Gerom-
bolan Mata Malaikat telah terlihat!" ujar kepala pasukan panah pada salah
seorang anak buahnya.
"Siap!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, anggota
pasukan panah yang memiliki tubuh kecil ramping itu meluruk turun mempergunakan
tambang-tambang
yang tersedia, menjulur hampir mencapai tanah. Dia kemudian beriari cepat ke
arah pos penjagaan.
"Lapor, Panglima!" kata prajurit itu sambil
memberi hormat ketika telah berada di pos pusat
penjagaan. Di sana terlihat Panglima Tungga dan
Panglima Banu tengah berbincang-bincang.
"Ya! Cepat sampaikan!" ucap Panglima Tungga, penuh wibawa.
"Rombongan yang kita tunggu-tunggu telah
tiba!" "Apa"!" Panglima Tungga sampai terlonjak dari kursi yang didudukl "Kalau
begitu, aku akan ke sana untuk melihatnya. Tolong siapkan segala sesuatu yang
telah dirembuk itu, Panglima Banu."
Setelah meninggalkan pesan seperti itu, Pang-
lima Tungga berlari cepat menuju dinding istana. Tidak dipedulikannya lagi anak
buahnya yang tadi
memberikan laporan.
Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, Pang-
lima Tungga telah tiba di dekat dinding istana.
"Hih!"
Tanpa menimbulkan suara yang berarti, Pang-
lima Tungga mendarat di dinding atas. Dan secepat
kedua kakinya mendarat, secepat itu pula
pandangannya dilayangkan ke luar.
"Benar..., mereka telah datang," desah Panglima Tungga pelan seperti berbicara
pada diri sendiri.
Kemudian, perhatiannya dialihkan pada prajurit
berkumis tebal yang menjadi pimpinan pasukan
panah. "Musuh telah di ambang mata. Apakah kau telah siap menyambutnya?"
"Siap, Panglima," sahut prajurit berkumis tebal itu.
"Bagus!"
Usai berkata demikian, Panglima Tungga
beranjak meninggalkan pimpinan pasukan panah itu.
Kemudian dengan tergesa-gesa dia melompat turun
dan melesat menuju tempatnya semula. Dia bahkan
sampai tidak ingat pada prajurit yang telah memberi laporan padanya. Padahal di
saat hendak turun,
prajurit itu tengah merayap naik ke dinding istana.
Sementara itu, pimpinan pasukan panah segera
mengumpulkan anak buahnya.
"Ingat! Apabila aku memberi aba-aba, baru
anak-anak panah kalian lepaskan. Yang pertama kali, adalah anak panah biasa.
Kedua, panah berapi. Dan
yang terakhir, panah-panah istimewa. Tapi, ingat!
Anak panah berapi dan istimewa jumlahnya terbatas.
Jadi, jangan langsung dihambur-hamburkan begitu
saja. Mengerti"!"
"Mengerti!" sahut prajurit-prajurit itu serempak.
"Kalau demikian, sekarang kalian kembali ke
tempat masing-masing!" perintah prajurit berkumis tebal itu.
Tanpa menungggu perintah dua kali, prajurit-
prajurit itu bubar untuk menuju tempat masing-
masing. Dan begitu telah sampai di tempat yang
dituju, masing-masing prajurit segera menyiapkan
peralatannya. Sesaat kemudian, anak-anak panah
yang siap meluncur telah berada di tangan.
Kini pasukan panah Kerajaan Mandau tinggal


Dewa Arak 44 Tawanan Datuk Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggu perintah. Pandangan mata mereka semua
tertuju ke depan menanrj hingga rombongan anak
buah Mata Malaikat tiba di tempat yang dapat
dijangkau luncuran anak panah.
Tapi penantian yang dilakukan ternyata
membutuhkan kesabaran besar. Karena ternyata, se-
belum mencapai tempat yang dapat dijangkau lun-
curan anak panah, rombongan anak buah Mata
Malaikat ternyata tidak bergerak maju lagi.
Tentu saja hal itu membuat pasukan panah Ke-
rajaan Mandau merasa heran bukan kepalang. Tanpa
sadar, mereka saling berpandangan satu sama lain,
dengan sinar mata menyorotkan pertanyaan besar.
Memang, tidak satu pun dari mereka yang tahu pasti, mengapa rombongan anak buah
Mata Malaikat berhenti bergerak. Apalagi, jaraknya masih terlalu jauh untuk bisa dilihat
jelas. Tak kurang dari pimpinan pasukan panah ikut merasa heran. Apa yang hendak
dilakukan rombongan Mata Malaikat" Begitu
pertanyaan yang bergayut di benak mereka.
Sementara itu, pihak yang menjadi bahan pe-
mikiran sama sekali tidak tahu apa-apa. Mereka
berpencar, mencari tempat-tempat yang teduh di
bawah pohon. Apalagi, saat itu udara cukup panas,
karena matahari sudah hampir berada di atas kepala.
Di tempat yang terpisah dari rombongan lain,
duduk enam sosok tubuh. Mereka adalah Mata Ma-
laikat, datuk-datuk sesat dari empat penjuru angin, dan Melati! Gadis berpakaian
putih itu sama sekali tidak terbelenggu. Bahkan sepertinya Melati telah
menjadi kawan mereka.
' Pertempuran kali ini tidak bisa disamakan de-
ngan pertempuran sebelumnya," Mata Malaikat
membuka percakapan tanpa mengalihkan pandangan
dari bangunan Istana Kerajaan Mandau yang nampak
dari kejauhan. "Kerajaan Mandau tidak bisa
disamakan dengan Kerajaan Gambang. Di samping
jumlah pasukan yang besar, kemampuan perorangan
mereka berada di atas prajurit-prajurit Kerajaan
Gambang. Bahkan Kerajaan Mandau pun memiliki
sekumpulan prajurit terlatih! Bukan begitu, Setan
Kecil?" "Benar, Yang Mulia," jawab Setan Kecil Muka
Hitam sambil menganggukkan kepala. "Berita yang kudapatkan sama seperti Yang
Mulia katakan."
"Aku pun telah mendengarnya pula," selak Setan Botak. "Kudengar, Kerajaan Mandau
memiliki prajurit-prajurit yang mampu melakukan serangan
secara berkelompok dengan kerja sama yang baik.
Sehingga meskipun serangan mereka terdiri dari
delapan orang, tapi seperti dikendalikan satu pikiran.
Kerja sama mereka demikian rapi!"
Dua datuk yang Iain mengangguk-anggukkan
kepala pertanda membenarkan ucapan rekan mereka.
"Itulah sebabnya, aku memberi kesempatan
pada rombongan kita untuk beristirahat. Meskipun
jumlah kita kali ini jauh lebih besar, tapi demi
keberhasilan, kuputuskan untuk melakukan serangan
dalam keadaan segar bugar!" urai Mata Malaikat panjang lebar.
Empat datuk golongan hitam itu mengangguk-
anggukkan kepala pertanda menyetujui ucapan Mata
Malaikat. "Lalu..., bagaimana dengan Dewa Arak, Yang
Mulia. Karena bukan hal yang mustahil kalau dia akan datang nanti. Aku yakin,
dia telah sembuh dari luka dalamnya," sergah Setan Kecil Muka Hitam tiba-tiba.
"Ha ha ha...!" mendadak Mata Malaikat tertawa. "Apalah artinya seorang Dewa
Arak" Lagi pula apabila dia benar datang mengganggu, akan kita
bungkam untuk selama-lamanya dengan perantaraan
kekasihnya! Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...!"
Setan Botak, Setan Muka Tengkorak, dan Setan
Tenaga Raksasa ikut tertawa bergelak. Di dalam hati, mereka semua memuji
kecerdikan akal Mata Malaikat.
"Bagaimana, Melati" Kau telah siap
melenyapkan Dewa Arak selama-lamanya?" tanya Mata Malaikat pada Melati yang
sejak tadi hanya diam saja.
"Siap, Yang Mulia!" jawab gadis berpakaian putih itu dengan raut wajah beku.
"Kau ingat semua rencana yang kujelaskan
padamu?" tanya Mata Malaikat lagi.
"Ingat, Yang Mulia!"
"Bagus! Ingat, Melati! Jangan sampai gagal!
Dewa Arak harus berhasil kau bunuh!" tandas Mata Malaikat
Melati hanya mengangguk.
Keheningan langsung menyelimuti mereka,
setelah Mata Malaikat tidak mengatakan apa-apa lagi.
Hal itu terjadi karena, Melati, Setan Kecil Muka Hitam, Setan Muka Tengkorak,
Setan Tenaga Raksasa, dan
Setan Botak tidak berkata-kata lagi.
Tapi keheningan itu tidak berlangsung lama,
karena Mata Malaikat bangkit dari duduknya.
"Siapkan pasukan! Sekarang juga kita akan
mengambil alih kekuasaan Istana Mandau!" ujar Mata Malaikat.
"Baik, Yang Mulia!" jawab empat datuk golongan hitam itu hampir berbareng.
Usai berkata demikian, Setan Kecil Muka Hitam
mengalihkan perhatian ke arah tokoh-tokoh golongan hitam yang berpencar-pencar
di sekitar tempat itu.
"Bangun semua! Sekarang saatnya merebut Is-
tana Mandau!"
"Horeee...!" seru seluruh anggota rombongan serempak.
"Hidup Yang Mulia Mata Malaikat!" pekik salah seorang dari mereka.
"Hidup!" sambut yang lain beramai-ramai.
"Hancurkan Kerajaan Mandau!"
"Bunuh Prabu Tanjula!"
Hanya dalam waktu sekejap, suasana di sekitar
tempat itu langsung gaduh. Masing-masing orang
berteriak semaunya. Namun ketika Setan Kecil Muka
Hitam mengangkat tangan kanan ke atas, hiruk-pikuk itu kontan terhenti.
"Siapkan perlengkapan kalian! Dan mari kita
berangkat!" perintah Setan Kecil Muka Hitam.
Tanpa membantah sama sekali, rombongan
yang terdiri dari orang-orang golongan hitam itu
bergerak maju. Sudah dapat dipastikan, sebentar lagi genangan darah akan
membasahi bumi!
Tapi ternyata tidak semua orang yang berada di
situ meninggalkan tempat ini. Masih ada yang
tertinggal! Dan dia adalah gadis cantik berpakaian putih dan berambut panjang
tergerai! Melati!
Dan ternyata, Melati pun tidak lama-lama
duduk di situ. Sesaat kemudian, dia bangkit dan
melangkah. Tapi arah yang dituju tidak searah dengan Mata Malaikat dan
rombongannya. 7 Tentu saja tindakan gerombolan Mata Malaikat
segera diketahui pasukan panah Kerajaan Mandau
yang sejak tadi sudah menunggu saat-saat yang tepat untuk meluncurkan anak
panah. Seiring semakin dekatnya jarak gerombolan
Mata Malaikat, semakin keras pula debaran jantung
masing-masing prajurit Kerajaan Mandau. Mereka
semua merasa tegang Apalagi orang yang memimpin
pasukan panah. Dialah yang paling merasa tegang.
Masalahnya, meluncurnya anak-anak panah para
prajurit, ada pada perintahnya. Dan kini, perhatian prajurit berkumis tebal itu
terpusat pada kedatangan lawan. "Seluruh pasukan...! Siaaap...! Aku akan mulai
menghitung. Dan sampai pada hitungan ketiga, baru
anak panah diluncurkan! Semua, mengerti"!"
"Mengerti!" sambut seluruh prajurit, kompak.
"Satu.... Dua.... Ti... ga!"
Twang! Twang! Twang...!
Ratusan anak panah langsung melesat dari
busurnya ketika prajurit berkumis tebal itu selesai menghitung. Bunyi
terlepasnya anak panah dari
busur, membuat telinga terasa sakit. Apalagi ketika anak-anak panah itu meluncur
membelah udara.
Kemudian tanpa menunggu hasilnya, semua
pasukan panah kembali mementangkan anak panah
lain pada busur, lalu melepaskannya kembali.
Twang! Twang! Twang...!
Kembali, tak kurang dari seratus anak panah
meluncur ke arah gerombolan Mata Malaikat. Dan
pemandangan yang terlihat mengerikan sekali. Bagi
gerombolan Mata Malaikat, anak-anak panah yang
datang laksana buriran-butiran hujan.
Namun gerombolan Mata Malaikat memang
sudah memperhitungkannya. Itulah sebabnya, mereka
tidak gugup. Senjata-senjata yang sejak tadi tercekal di tangan pun langsung
dikibaskan, untuk mematahkan
serangan anak-anak panah yang tengah mengancam
keselamatan nyawa.
Dan tentu saja tidak semua orang yang
menggunakan senjata. Tokoh-tokoh yang telah
memiliki tenaga dalam tinggi, langsung menggunakan
sepasang tangannya untuk mematahkan semua
serangan. Memang, dengan pengerahan tenaga dalam,
tangan-tangan itu sudah merupakan senjata bagiya.
Trang, trang! Takkk!
Dentang beradunya anak-anak panah dengan
senjata-senjata di tangan gerombolan Mata Malaikat, terdengar susul-menyusul.
Itu pun masih ditambah
lagi memerciknya bunga-bunga api ke sana kemari!
Tak pelak lagi, suasana hiruk pikuk pun menyelimuti.
Dan sambil terus mengibaskan tangan ke sana
kemari para tokoh golongan hitam itu terus merangsek maju. Dan setapak demi
setapak, benteng Istana
Kerajaan Mandau semakin dekat.
Mata Malaikat dan empat datuk golongan hitam
berada di baris terdepan. Sambil mengibaskan kedua tangan ke sana kemari, mereka
cepat merangsek maju.
Dan sudah pasti maksudnya adalah untuk masuk ke
dalam istana lebih dulu!
Namun sebelum maksud itu kesampaian, terja-
di suatu hal yang mengejutkan. Ternyata anak-anak
panah yang dilepaskan pasukan Kerajaan Mandau
adalah panah berapi!
Kalau Mata Malaikat dan empat anak buah
utamanya saja terkejut, apalagi para tokoh golongan hitam lain yang menjadi anak
buahnya. Mereka kini
dilanda perasaan kaget yang berlipat ganda. Dan mau tak mau, mereka harus lebih
hati-hati dalam
melancarkan tangkisan!
Trang, trang, cappp!
"Wuaaa...!"
Lolong kesakitan terdengar dari mulut seorang
tokoh golongan hitam yang kurang cepat bertindak
menangkis. Anak panah berapi menancap telak di
bahu kirinya. Dan seketika itu pula, tubuhnya ter-
huyung dengan kobaran api langsung membakar
dirinya. Tak pelak lagi, dia menggeliat-geliat menahan panas dan sakit
Sambil meraung-raung kesakitan, tokoh
golongan hitam yang sial itu berusaha mencabut anak panah yang menancap di
bahunya. Tapi, usahanya sia-sia belaka. Tubuhnya telah terlampau termakan api
demikian cepat, karena pakaiannya terbuat dari bahan yang mudah terbakar.
Dan yang lebih sial lagi, tidak seorang rekan
pun yang sudi menolongnya. Masalahnya, mereka
semua sendiri tengah sibuk menghadapi anak-anak
panah yang terus saja meluncur, seakan-akan tidak
pernah habis. Sementara, gerombolan itu terus saja bergerak
sambil terus mengibaskan tangan untuk menangkis
hujan anak panah yang sesekali berapi! Korban pun mulai berjatuhan. Jerit
kesakitan dan lolong kematian menyeruak, mencoba mengatasi bisingnya benturan
anak-anak panah dengan senjata.
Mata Malaikat dan empat datuk golongan hitam
yang mendengar jeritan-jeritan anak buahnya, menjadi murka setengah mati. Maka,
kemampuannya pun
segera dikerahkan untuk cepat bisa tiba di atas
dinding istana!
Mereka semua tahu pasti, kalau keadaan tidak
segera diperbaiki, akan banyak jatuh korban. Paling tidak, kemampuan yang
dimiliki akan menurun.
Dan dengan tekad yang bulat, Mata Malaikat
dan empat datuk sesat itu merangsek maju mendekati dinding tinggi yang
melingkari bangunan Istana
Kerajaan Mandau yang berhalaman luas. Pada
kenyataannya mereka berhasil. Bahkan tak lama lagi, dipastikan akan berhasil
naik ke atas dinding.
Dan ketika akhirnya telah berhasil mendekati
dinding istana, kelima orang pimpinan datuk hitam itu sama-sama menjejak tanah.
"Hih!"
Hanya sekali genjot, tubuh Mata Malaikat,
Setan Botak, Setan Kecil Muka Hitam, Setan Muka
Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa, telah melayang ke atas. Sementara, para
prajurit yang melihat segera melepaskan anak-anak panah. Namun semua itu sia-sia
belaka, karena dengan mudah berhasil dipapak
Mata Malaikat dan empat datuk sesat itu.
Tapi setelah berhasil memapak, Mata Malaikat
dan empat orang andalannya sama sekali tidak
menduga kalau pihak lawan telah mempersiapkan
serangan lain. Dan di saat tubuh mereka baru sete-
ngah perjalanan, dari atas meluncur jala!
Wrrr! "Hehhh..."!"
Jeritan-jeritan kaget langsung terdengar dari
mulut Mata Malaikat dan empat orang anak buahnya,
ketika melihat serangan yang sama sekali tidak
disangka-sangka. Mereka ingin mengelak, tapi
bagaimana bisa" Jala-jala itu terkembang lebar dan langsung menutupi tubuh,
tanpa mereka sempat
berbuat sesuatu.
Mau tak mau, Mata Malaikat dan empat anak
buah andalannya terpaksa membatalkan maksudnya.
Bagaimana bisa tiba di atas kalau tubuh mereka
tertutupi jala-jala" Maka yang dilakukan mereka
adalah segera mendarat kembali di tanah.


Dewa Arak 44 Tawanan Datuk Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun untuk yang kesekian kalinya, Mata Ma-
laikat dan empat datuk golongan hitam itu harus
menelan kenyataan pahit. Ternyata lawan benar-benar tidak bisa diremehkan.
Kenyataannya, sebelum kaki
menyentuh tanah, daun pintu gerbang telah terbuka
lebar. Dan dari daun pintu yang terkuak, keluar tak kurang dari seratus orang
bersenjata lengkap!
Sungguh sebuah rencana yang rapi dan matang!
Kali ini Mata Malaikat dan datuk-datuk golong-
an hitam dari empat penjuru mata angin itu benar-
benar dibuat sibuk. Padahal di saat tubuh mereka
tengah meluncur turun dengan tertutupi jala, hujan anak panah tetap tak
berkurang! Hanya saja, anak
panah yang dilepaskan bukan anak panah api! Namun
meskipun demikian, tetap saja cukup membuat kelima orang sakti itu kerepotan!
Betapa tidak" Dalam
keadaan tertutup jaring, mereka masih berusaha
menghalau serangan anak-anak panah
yang mengancam! Sementara, hujan anak panah terhadap orang-
orang golongan hitam itu tetap tidak berkurang sedikit pun! Korban di pihak anak
buah Mata Malaikat terus berjatuhan. Padahal di pihak Kerajaan Mandau
sendiri, belum ada satu pun yang jadi korban.
Sedangkan baru saja Mata Malaikat dan empat
anak buah andalannya mendarat tanpa sempat
membuka jaring, pasukan Kerajaan Mandau telah
lebih dulu menyerbu. Hebatnya, mereka tak
menyerang serampangan. Bahkan membentuk
kelompok serangan sendiri-sendiri, tanpa memberi kesempatan pada kelima orang
lawannya untuk memperbaiki diri.
Patut dipuji siasat yang diterapkan Panglima
Tungga! Mata Malaikat dan gerombolannya dibuat
kocar-kacir. Terutama sekali, di pihak anak buah Mata Malaikat yang telah banyak
jatuh korban. Sedangkan sisanya, sudah mulai dihinggapi rasa letih. Meskipun
demikian usaha mereka tidak sia-sia, karena telah
mulai mendekati dinding istana.
Tapi sebelum mampu mencapai jarak yang le-
bih dekat lagi, dari dalam pintu gerbang meluruk
serombongan besar pasukan Kerajaan Mandau dalam
jumlah yang banyak! Bahkan mungkin tak kurang dari delapan ratus orang! Dan yang
lebih hebat lagi, mereka semua mengenakan perlengkapan prajurit!
Begitu keluar, rombongan Kerajaan Mandau
langsung meluruk ke arah gerombolan anak buah
Mata Malaikat. Teriakan-teriakan bernada perang
kontan keluar dari mulut mereka.
Memang, sejak tadi pasukan Kerajaan Mandau
sudah menahan-nahan kejengkelan yang membara di
hati. Maka datangnya serbuan ini, membuka ke-
sempatan untuk melampiaskan rasa jengkelnya. Tak
pelak lagi, pertempuran besar-besaran pun tidak
terelakkan lagi.
Seketika itu pula, dentang senjata beradu,
percikan bunga api, dan jerit kesakitan serta lolong kematian segera menghiasi
pertarungan acak-acakan
yang tengah berlangsung.
*** "Ahhh...! Jangan-jangan aku telah terlambat!"
Ucapan bernada keluhan ini keluar dari mulut
Dewa Arak tanpa menghentikan ayunan langkah-
kakinya yang masih saja berlari. Sepasang matanya
yang menyiratkan kecemasan, diarahkan ke depan.
Di kejauhan, terlihat debu-debu mengepul ting-
gi ke angkasa. Juga, tampak banyak titik hitam yang jelas bergerak-gerak.
Tampaknya, itu adalah suatu
pertarungan besar. Yakin dengan dugaannya, Dewa
Arak memaksakan diri untuk terus berlari cepat bagai
kilat. Tapi baru juga beberapa lesatan...
"Kang...! Kang Arya...!"
Panggilan itu membuat Dewa Arak tersentak
bagai disengat ular berbisa! Seketika itu juga, larinya terhenti. Bahkan hampir
terjatuh, karena kedua
kakinya mendadak lemas mendengar panggilan itu.
Dan yang lebih membuatnya lemas, orang yang
memanggil adalah... Melati!
Dewa Arak yakin, kalau orang yang
memanggilnya Melati. Tapi, akal sehatnya membantah.
Bukankah kekasihnya menjadi tawanan Mata Ma-
laikat" Jadi, mana mungkin Melati yang memanggil"
Takut akan menghadapi kenyataan, meskipun
langkahnya telah berhenti, tetap saja pandangan Dewa Arak tidak berani beralih
ke tempat asal panggilan itu.
"Kang..., Kang Arya...!"
Lagi-lagi terdengar panggilan untuk Dewa Arak.
Hanya saja, kali ini lebih jelas. Mungkinkah kupingnya salah dengar" Dan hal ini
membuat Dewa Arak
menjadi penasaran. Maka dengan perlahan-lahan
Dewa Arak berpaling ke arah kanan. Dan....
"Melati...!" pekik Arya kaget campur gembira ketika melihat kekasihnya berdiri
beberapa tombak di sebelah kanan agak ke belakang.
"Kang Arya...!" orang yang tak lain Melati itu balas memanggil.
Entah siapa yang memulai, tahu-tahu Dewa
Arak maupun Melati berlari saling menghampiri de-
ngan kedua tangan sama-sama terkembang. Hanya
beberapa langkah saja saling menghampiri, karena
sesaat kemudian sepasang muda muda ini telah saling berpelukan erat.
"Melati..., ah...! Melati...!" desah Arya setengah mengeluh tanpa mengendurkan
pelukannya. "Syukur
kau selamat..."
"Aku berhasil meloloskan diri, Kang," jawab Melati lirih.
Dan seperti juga Dewa Arak, gadis berpakaian
putih ini sama sekali tidak melepaskan pelukannya.
Tapi tanpa Arya tahu, Melati mengeluarkan sebilah
pisau dari balik lengan bajunya. Sebilah pisau yang berkilat-kilat tajam dan ada
sorot kehijauan pada
batangnya. Ini menjadi pertanda kalau pisau itu
mengandung racun ganas!
Dewa Arak yang tengah dilanda rasa kaget dan
gembira, menjadi berkurang kewaspadaannya.
Tambahan lagi, dia percaya penuh pada kekasihnya.
Itulah sebabnya, Dewa Arak tidak tahu kalau maut
tengah mengancam. Dan memang, Melati hanya
tinggal menghunjamkan pisau itu ke tengkuk Dewa
Arak! Mendadak...
"Dewa Arak..! Awaaas...''
"Hih!"
8 Tepat di saat Melati hampir menikamkan pisau
di tengkuk Dewa Arak, terdengar seruan keras
memperingatkan. Karuan saja Dewa Arak tersentak
kaget. Dan ini mengakibatkan pelukannya pada Melati mengendur. Dan, saat itulah
Melati menghunjamkan
pisaunya ke tengkuk Dewa Arak. Dan...
Trakkk! Ujung pisau Melati menghunjam di tempat yang
keliru. Bukannya tengkuk Dewa Arak yang ditikam,
tapi guci araknya! Namun tak urung, beberapa helai rambut Dewa Arak terpapas.
"Melati..., kau...!" ujar Dewa Arak kaget ketika menyadari kalau serangan itu
berasal dari kekasihnya.
Dalam kagetnya, pemuda berambut putih
keperakan itu tidak bertindak apa-apa kecuali
melangkah mundur. Sorot matanya memancarkan
ketidakpercayaan yang amat sangat.
Tapi, Melati sama sekali tidak mempedulikan
keadaan Dewa Arak. Kegagalan usahanya tidak
membuatnya putus asa. Dibuangnya pisau di
tangannya begitu saja ke tanah, kemudian pedangnya dicabut.
Srattt! Wunggg!
Suara menggerung keras terdengar ketika Me-
lati langsung menerjang Dewa Arak dalam penggunaan ilmu 'Pedang Seribu Naga'.
Hal ini membuat keterkejutan Dewa Arak se-
makin menjadi-jadi. Dan disadari betul, Melati benar-benar hendak membunuhnya!
Buktinya, gadis
berpakaain putih itu langsung menggunakan ilmu
pedang andalan!
"Melati..., apa yang terjadi terhadap dirimu...,"
keluh Dewa Arak bingung.
Tapi, pemuda berambut putih keperakan ini ti-
dak bisa bingung terlalu lama, ketika serangan Melati telah meluncur. Terpaksa
ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan, dan serangan kekasihnya didakkan.
"Jangan buang-buang waktu lagi, Anak Muda.
Cepat robohkan dia. Gadis itu telah terpengaruh sihir dan obat!"
Terdengar pemberitahuan di telinga Dewa Arak.
Kini Dewa Arak mengerti, kenapa Melati
mempunyai keinginan yang demikian keras untuk
membunuhnya. Ternyata, gadis berpakaian putih itu
berada dalam pengaruh sihir dan obat! Ternyata,
begitu telah tahu penyebab keanehan tindakan Melati, Dewa Arak mulai melancarkan
serangan. Dia tahu,
orang yang memberitahukannya berkepandaian tinggi.
Terbukti, orang itu tahu keadaan yang menimpa
Melati. Dan yang lebih menegaskan kesaktian orang
itu adalah kemampuannya dalam mengirimkan suara
dari jauh. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan
tingkat kepandaiannya.
Meskipun sekarang telah melakukan perla-
wanan, namun bukan berarti hal mudah bagi Dewa
Arak untuk merobohkan Melati. Masalahnya, dia ingin merobohkan gadis itu tanpa
harus melukai. Dan hal
itu lebih mudah dibicarakan, daripada dilaksanakan.
Kenyataannya Melati memiliki kepandaian tinggi.
Tambahan lagi, gadis berpakaian putih itu menyerang tanpa mempedulikan
keselamatannya sendiri. Dan
akibatnya, pertarungan berlangsung agak lama.
Baru pada jurus kedua puluh lima, sebuah ke-
sempatan emas terbuka bagi Dewa Arak. Itu pun
setelah memancing Melati lebih dulu. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan.
Tukkk! "Uhhh...!"
Melati terkulai lemas ketika jari tangan Dewa
Arak menotoknya. Tapi sebelum tubuh gadis berpa-
kaian putih itu ambruk, Dewa Arak telah lebih dulu menangkapnya. Dan dengan
tubuh Melati berada di
pondongannya, Dewa Arak menoleh ke arah asal suara pemberitahuan itu.
"Garuda Mata Satu! Puspa Kenaka! Ah! Hendak
ke mana kalian...!" seru Arya gembira, ketika melihat dua di antara tujuh sosok
tubuh yang berada di sana.
Garuda Mata Satu dan putrinya.
Kemudian dengan langkah lebar, Dewa Arak
menghampiri Garuda Mata Satu dan Puspa Kenaka.
"Kami hendak ke Istana Kerajaan Mandau.
Tapi, terlebih dulu kuperkenalkan tokoh-tokoh sakti yang bersamaku ini. Mereka
berjuluk Lima Dewa Hati Emas...."
"Ah...!" desah Dewa Arak kaget.
Memang, nama besar Lima Dewa Hati Emas
pernah disebut-sebut gurunya sebagai tokoh yang
memiliki kepandaian amat tinggi. Tapi menurut cerita gurunya, lima dewa itu
telah mengundurkan diri dari dunia persilatan. Bahkan tempat pengasingannya tak
ada yang tahu! Maka merupakan hal yang luar biasa
kalau Garuda Mata Satu dan Puspa Kenaka bisa
bersama mereka.
"Merupakan sebuah kehormatan besar bila
bertemu kalian berlima. Terimalah salam hormatku,
Ki," kata Dewa Arak sambil membungkuk dengan
penuh rasa hormat.
"Sudahlah, Dewa Arak! Lupakan saja semua
peradatan itu. Kau pun mempunyai nama besar yang
tidak kalah dengan kami! Garuda Mata Satu banyak
bercerita tentang dirimu!" sergah salah seorang dari Lima Dewa Hati Emas.
' Tapi, mana bisa dibandingkan dengan nama
besar Lima Dewa Hati Emas," kata Dewa Arak
merendah. Pemuda berambut putih keperakan ini sama
sekali tidak heran melihat wajah, pakaian, dan
potongan tubuh Lima Dewa Hati Emas yang mirip satu sama Iain. Semuanya bertubuh
kecil kurus dan
berpakaian putih. Yang membedakan hanya alisnya
yang masing-masing berwana merah, biru, hitam,
putih, dan kuning.
"Mereka adalah guru-guru dari Gusti Prabu
Tanjula, Raja Kerajaan Mandau, Dewa Arak," jelas Garuda Mata Satu tanpa diminta.
"Dan beliau-beliau ini diminta datang oleh Gusti Prabu, karena ada
urusan yang sangat penting! Dan kamilah yang diutus menjemputnya. O ya, Dewa
Arak. Kami akan kembali
ke Kerajaan Mandau."
"Selamat, Garuda Mata Satu, Puspa," ucap Dewa Arak.
' Terima kasih, Dewa Arak...."
"Ayah!" selak Puspa Kenaka. "Jangan-jangan gerombolan Mata Malaikat telah
menyerbu Kerajaan
Mandau." "Ah! Kau benar! Mari kita ke sana sebelum
terlambat!" sambut Garuda Mata Satu, cepat.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
rombongan kecil itu langsung melesat cepat menuju
Istana Kerajaan Mandau.
*** Sementara itu, pertempuran besar-besaran
yang berlangsung tampak semakin sengit. Tempat
pertarungan pun telah bergeser. Sekarang, kancah
pertarungan sudah tidak terbagi-bagi lagi. Namun
pertarungan masih terus berlangsung acak. Bahkan
Mata Malaikat dan datuk-datuk golongan hitam kini
hanya menghadapi pasukan biasa. Maka akibatnya
bisa diduga. Setiap kali tangan atau kaki Mata
Malaikat bersama empat datuk sesat itu bergerak,
sudah dapat dipastikan akan ada nyawa yang
melayang. Dan saat Kerajaan Mandau berada dalam
keadaan terdesak, Dewa Arak, Lima Dewa Hati Emas,


Dewa Arak 44 Tawanan Datuk Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Garuda Mata Satu dan Puspa Kenaka tiba di sana.
Tanpa membuang-buang waktu, mereka semua
melesat ke dalam kancah pertarungan.
Namun sebelum Puspa Kenaka terlibat dalam
pertarungan, Dewa Arak sudah keburu memanggilnya.
' Tolong jaga Melati, Puspa," pinta Dewa Arak sambil menyerahkan tubuh
kekasihnya. Tanpa berkata apa-apa, Puspa Kenaka segera
menerima tubuh Melati. Kemudian dia menjauhkan
diri, mencari tempat yang agak jauh dari kancah
pertarungan Dan begitu telah memasuki kancah pertarung-
an, Dewa Arak, Lima Dewa Hati Emas, serta Garuda
Mata Satu langsung mencari lawan! Empat dari Lima
Dewa Hati Emas telah menghadang empat datuk
golongan hitam. Sedangkan yang satu lagi terpaksa
menghadapi anak buah Mata Malaikat lainnya.
Masalahnya, Dewa Arak telah lebih dulu menghadang
Mata Malaikat. "Ha ha ha...! Rupanya kau masih punya nyali
untuk menghadapiku, Dewa Arak"! Jangan-jangan,
kau akan melarikan diri lagi! Ha ha ha...!" ejek Mata Malaikat, sambil tertawa
bergelak. ' Tutup mulutmu, Mata Malaikat! Kali ini jangan
harap nyawamu akan kuampuni!"
Setelah berkata demikian, Dewa Arak langsung
menenggak araknya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu
melewati tenggorokan Dewa Arak, dalam perjalanan
menuju perut. Sesaat kemudian, ada hawa hangat
yang menjalar di perut Dewa Arak. Kemudian hawa
hangat itu naik ke atas. Maka seketika itu pula tubuh
pemuda berambut putih keperakan ini oleng ke kanan dan ke kiri. Ini menandakan
kalau Dewa Arak telah siap menggunakan ilmu 'Belakang Sakti'nya.
"Mampuslah kau, Dewa Arak!"
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Mata Malaikat
langsung menerjang Dewa Arak. Serangannya dibuka
dengan sebuah tendangan kaki kanan miring ke arah
leher. Wuttt! Deru angin keras yang seiring luncuran serang-
an Mata Malaikat, menjadi pertanda kekuatan tenaga dalam yang terkandung di
dalamnya. Dewa Arak menyadari kedahsyatan serangan
lawan. Maka, buru-buru kakinya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan tubuh.
Sehingga, kaki Mata
Malaikat hanya mengenai tempat kosong.
Tapi, tindakan Dewa Arak tidak hanya berhenti
sampai di situ saja. Begitu serangan lawan berhasil dikandaskan, tangan kirinya
diluncurkan untuk
menangkap pergelangan kaki Mata Malaikat yang
belum sempat ditarik kembali.
Tappp! Tangkapan Dewa Arak ternyata mengenai tem-
pat kosong, karena Mata Malaikat telah lebih dulu
menarik kakinya. Tak lupa, dikirimkannya serangan
balasan yang tak kalah dahsyat. Sesaat kemudian,
kedua tokoh yang berbeda aliran dan usia ini telah terlibat pertarungan sengit!
Ternyata, bukan hanya di kancah pertarungan
Dewa Arak dan Mata Malaikat saja yang berlangsung
sengit dan ramai. Meskipun demikian, harus diakui
kalau pertarungan antara Dewa Arak melawan Mata
Malaikat paling menarik dan seru.
Sedangkan pada pertarungan antara empat
datuk golongan hitam melawan empat dari Lima Dewa
Hati Emas, berlangsung kurang seru. Karena tak
sampai lima puluh jurus, para tokoh sesat itu telah berhasil didesak. Tak bisa
disangkal lagi kalau
anggota-anggota Lima Dewa Hati Emas terlalu kuat
untuk dilawan. Hal yang sama pun menimpa anak buah Mata
Malaikat lainnya. Memang, semula mereka berhasil
mendesak pihak Kerajaan Mandau, karena adanya
lima pentolan tokoh hitam. Dan begitu tokoh-tokoh
yang diandalkan sudah berjatuhan, mereka pun
terdesak kembali!
Apalagi, di pihak lawan ada salah seorang dari
Lima Dewa Hati Emas. Meskipun anggota Lima Dewa
Hati Emas ini tidak mau membunuh lawannya, tapi
sekali kena sentuhan atau tepakan, sudah cukup
membuat gerombolan Mata Malaikat roboh dan tidak
mampu melanjutkan pertarungan. Dan akibatnya,
gerombolan Mata Malaikat jelas akan hancur
berantakan! Tanda-tanda kehancuran gerombolan Mata
Malaikat diawali oleh robohnya satu persatu empat
datuk golongan hitam. Berturut-turut mereka
terjengkang ke belakang dan ambruk di tanah. Tewas dengan isi dada remuk!
Setelah berhasil merobohkan lawan-lawannya,
empat dari lima kakek berpakaian putih yang bergelar Lima Dewa Hati Emas ini
ikut terjun dalam kancah
pertarungan yang acak-acakan. Tentu saja hal ini
membuat keadaan anak buah Mata Malaikat semakin
kalang kabut. Belum sampai sepuluh jurus, anak buah Mata
Malaikat yang masih hidup langsung melempar senjata dan menyerah. Dan tanpa
membuang-buang waktu,
prajurit-prajurit Kerajaan Mandau langsung
meringkus. Dengan menyerahnya anak buah Mata Malai-
kat, maka Lima Dewa Hati Emas pun terpaksa harus
menganggur. Di saat prajurit-prajurit Kerajaan
Mandau sibuk membenahi keadaan di sekitar tempat
itu, lima kakek sakti ini memperhatikan jalannya
pertarungan antara Dewa Arak melawan Mata Malaikat sudah mencapai tahap-tahap
penentuan. "Guru...!"
Sebuah sapaan bernada hormat membuat Lima
Dewa Hati Emas menoleh.
"Ah! Kiranya kau, Tanjula...!" kata kakek yang beralis merah. "Kau benar. Dialah
orang yang kami cari-cari. Rupanya, Mata Malaikat julukannya. O, ya.
Dari mana kau tahu kalau dia adalah orang yang kami cari-cari, Tanjula" Padahal,
kau belum pernah
melihatnya. Dan kami hanya menceritakan tentang
matanya yang buta sebelah."
Prabu Tanjula, Raja Kerajaan Mandau itu
tersenyum lebar.
' Itu hanya dugaanku saja, Guru. O, ya. Kalau
boleh kutahu, apa urusannya Mata Malaikat dengan
Guru berlima?"
"Dia sebenarnya bekas murid kami. Tapi karena wataknya yang tidak baik, kami
mengusirnya. Dan
begitu mendengar berita yang kau bawa, kami
memutuskan untuk melenyapkannya. Syukurlah
kalau Dewa Arak telah mendahului kami," urai kakek beralis merah itu panjang
lebar. Rupanya, dialah yang paling suka banyak bicara.
"Hanya untuk masalah Mata Malaikat saja,
Guru berlima sampai datang kemari!"
' Tentu saja tidak. Kami ingin melihatmu dan
kerajaanmu. Ingat, Tanjula. Kita sudah dua puluh
tahun lebih tidak bertemu."
Prabu Tanjula hanya mengangguk-anggukkan
kepala. Tapi baru saja hendak melanjutkan
ucapannya, terdengar suara keras dari kancah
pertarungan. "Haaat...!"
"Hiyaaat...!"
Ternyata, di jurus kedua ratus sepuluh, baik
Mata Malaikat maupun Dewa Arak sama-sama saling
terjang. Dan begitu sama-sama berada di udara, Mata Malaikat langsung
mengegoskan rambu kuncir
kepalanya. Wuttt..! Rambut berujung bintang segi lima yang me-
ngandung racun jahat itu tiba-tiba meluncur ke arah pelipis Dewa Arak. Apabila
terkena sedikit saja, Dewa Arak pasti tewas.
Dan herannya, kali ini Dewa Arak mengambil
tindakan berbahaya. Lewat perhitungan matang
seorang tokoh silat berkepandaian tinggi, ditangkisnya sabetan rambut Mata
Malaikat dengan tangan kiri.
Dan tangkisannya diusahakan agar tidak mengenai
bintang segi lima Mata Malaikat
Tappp! Rrrttt! Rambut Mata Malaikat seketika membelit ta-
ngan kiri Dewa Arak. Dan tentu saja, tidak melilit secara erat. Maka, di saat
itulah Dewa Arak
menghantamkan guci araknya ke dada Mata Malaikat
disertai pengerahan tinaga dalam tinggi sekali.
Wuttt! Bukkk! Telak dan keras sekali dada Mata Malaikat
terhantam guci Dewa Arak! Akibatnya, tubuhnya
kontan melayang ke belakang. Darah segar yang
memancur dari mulut, hidung, dan telinganya lang-
sung membasahi tanah sepanjang luncuran tubuhnya
yang tanpa nyawa lagi.
Jliggg! Ringan laksana daun kering, Dewa Arak men-
darat di tanah. Kemudian, langsung dihampirinya
Puspa Kenaka untuk meminta Melati kembali. Tidak
dipedulikannya lagi mayat Mata Malaikat. Yang ada di benak Dewa Arak hanyalah
mengobati Melati
secepatnya. Dan Dewa Arak tahu, Melati akan sembuh dalam waktu dekat!
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan/E-Book : Abu Keisel
Tukang Edit : Fujidenkikagawa
Hamukti Palapa 8 Petualangan Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Pisau Kekasih 1
^