Pencarian

Misteri Raja Racun 2

Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun Bagian 2


dirasakan semakin melemah.
"Aku harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini, sebelum seluruh tenaga dalamku
lenyap," pikir Dewa Arak, sambil menatap tubuh-tubuh lelaki yang tengah bergerak
ke kedai itu. Dewa Arak segera melesat ke luar. Dan serangan
pemuda berambut putih keperakan ini langsung mendapat sambutan. Belasan orang
yang tengah menuju tempatnya siap memapak dengan senjata di tangan mereka.
Dewa Arak segera berhenti dan bersiap menghadapi
mereka. Dipapaknya serangan senjata lawan dengan ayunan gucinya.
"Hiaaat...!"
Klang! Klang....!
5 Dentang suara nyaring diiringi berpijarnya bunga-
bunga api langsung terjadi ketika senjata-senjata itu berbenturan dengan guci
Dewa Arak. Seketika tubuh para pengeroyok itu terhuyung-
huyung ke belakang. Tangan mereka terasa bergetar.
Sementara Dewa Arak pun mengalami hal yang sama. Karena belasan senjata-senjata
lawan membentur gucinya hampir bersamaan,
sehingga mengakibatkan tenaga-tenaga itu seperti bersatu. Gabungan dari belasan tenaga itu dirasakan begitu kuat
menghantam guci yang digerakkan untuk
menangkis. Lebih-lebih saat itu kekuatan Dewa Arak telah berkurang akibat
ganasnya racun yang menjalari tubuhnya.
Dewa Arak menggertakkan gigi ketika merasakan
kekuatannya semakin menurun. Dirasakan pula kedua
matanya semakin tertutup penghalang berupa lapisan putih.
Sehingga pemandangan yang dilihatnya pun semakin kabur, dan tidak jelas.
Untung saja rasa pusing yang dialami Melati, tidak
terjadi pada kepala Dewa Arak. Meskipun takaran racun yang disajikan untuk
dirinya jauh lebih besar. Namun, di samping daya tahannya yang lebih besar, Dewa
Arak pun sempat menenggak araknya. Meskipun arak itu tidak mampu
memusnahkan seluruh racun yang menjalar di tubuhnya, setidak-tidaknya mampu
mengusir rasa pening akibat racun itu.
Rupanya lawan-lawannya mengetahui keadaan yang
tengah dialami Dewa Arak. Buktinya, mereka tidak memberikan kesempatan sama sekali padanya. Begitu
kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung telah
berhasil dipatahkan, kembali serangan lanjutan dilancarkan.
Kali ini belasan orang yang menggunakan beraneka
ragam senjata itu menerapkan siasat lain dalam menghadapi Dewa Arak. Mereka
tidak langsung menyerang sekaligus. Tapi menyerang secara berganti-ganti.
Kekuatan mereka yang cukup besar dengan enam
belas orang, membuat taktik itu tidak terlalu sulit untuk diwujudkan. Delapan
orang dengan senjata terayun mulai maju menyerang lebih dulu. Sisanya, delapan
orang lagi bersiap menunggu giliran. Dengan siasat penyerangan seperti itu,
diharapkan Dewa Arak tak punya kesempatan untuk beristirahat.
"Haaat...!"
Teriakan-teriakan melengking nyaring yang susul
menyusul saling bersahutan,
seiring dengan serangan
delapan orang itu. Seketika itu pula, cicitan senjata-senjata tajam seperti
tombak, pedang, dan golok berkelebatan mengancam berbagai bagian tubuh Dewa
Arak. Mereka menyerang dari berbagai jurusan secara bersamaan.
Dewa Arak yang memang sejak tadi sudah bersiaga,
merasa kewalahan. Meskipun sepasang matanya tidak bisa diandalkan, tapi dia
masih mempunyai sepasang telinga yang dapat diandalkan. Dengan menggunakan
pendengaran, Dewa Arak mencoba meladeni serbuan lawan-lawannya.
Menyadari keadaan yang tidak menguntungkan, Dewa
Arak segera mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ilmu
'Belalang Sakti' andalannya segera dikerahkan.
Namun kali ini ilmu andalannya tidak sedahsyat
biasanya. Karena di samping kekuatan Dewa Arak telah menurun, di bahunya
terpanggul tubuh Melati. Bukan tidak mungkin kedua hal ini mengganggu
kedahsyatan ilmu
'Belalang Sakti'.
Meskipun demikian, bukan berarti kedahsyatan ilmu
'Belalang Sakti' itu pupus. Jurus-jurus dalam ilmu itu, tetap menunjukkan
keampuhannya. Dan hal itu terbukti.
"Heit!"
Dengan gerakan terhuyung-huyung seperti akan
jatuh, Dewa Arak mengelakkan serangan berbahaya lawannya. Inilah jurus 'Delapan Langkah Belalang."
Tapi, baru saja Dewa Arak berhasil mengelakkan
serangan itu, beberapa serangan susulan telah meluncur ke tubuhnya. Kali ini
dilakukan oleh kelompok kedua. Untuk yang kedua kalinya beberapa senjata tajam
mengancam keselamatan Dewa Arak dan Melati yang terkulai di bahunya.
Dewa Arak melakukan hal yang sama, hanya
mengelak. Sama sekali tidak dilancarkannya serangan balasan. Karena yang ada di
benak pemuda berambut putih keperakan itu bagaimana secepatnya meninggalkan
tempat ini sebelum seluruh tenaga dalamnya habis terkuras.
Sebagai pendekar yang telah kenyang makan asam
garam dunia persilatan, Dewa Arak tahu kalau penyebaran racun akan semakin cepat
jika peredaran darah cepat. Dan, cepatnya
peredaran darah tergantung kegiatan yang dilakukan tubuh.
Itulah sebabnya, Dewa Arak berusaha tidak melakukan perlawanan. Bahkan setiap kali berkelit, dilakukan sambil menjauhkan diri.
Usaha Dewa Arak tidak sia-sia. Lawan-lawannya yang
terlalu bersemangat untuk segera merobohkannya, sama sekali tidak menduga kalau
pemuda berambut putih
keperakan itu akan melarikan diri. Apalagi, jurus 'Delapan Langkah Belalang'
terlalu cepat untuk bisa diketahui perkembangannya oleh para pengeroyok yang
memiliki kemampuan jauh di bawah Dewa Arak. Dan akhirnya,
pemuda berambut putih keperakan ini berhasil meloloskan diri dari sergapan
lawan-lawannya.
Karuan saja hal itu membuat enam belas orang
pengeroyoknya terkejut bukan kepalang. Dengan serentak mereka bergerak mengejar.
"Mau lari ke mana kau, Dewa Pengecut"!" teriak salah seorang di antara mereka
yang berkumis melintang.
Seperti juga yang lainnya, lelaki itu memiliki raut wajah kasar dan tubuh kekar.
"Jangan harap bisa lolos dari tangan kami!" sambung lainnya yang memiliki codet
menyilang di dahi, dengan suara tak kalah keras.
Suara-suara makian dan teriakan keluar dari mulut-
mulut mereka yang terus berusaha mengejar Dewa Arak.
Sementara itu, Dewa Arak terus melesat cepat
meninggalkan lawan-lawannya. Dia tidak mempedulikan caci-maki
dan ejekan yang diteriakkan orang-orang yang mengejarnya. Hinaan, caci-maki, dan ejekan terus terdengar dari
mulut mereka. Dengan sabar, hatinya tidak menghiraukan suara-suara itu. Yang
penting bagi Dewa Arak dapat segera meninggalkan tempat itu, untuk menyelamatkan
dirinya dan Melati. Disadari benar kalau keselamatan jiwanya dalam bahaya kalau
tidak segera lolos dari mereka.
Itulah sebabnya, Dewa Arak terus mengayunkan
langkahnya, berusaha secepat mungkin meninggalkan lawan-lawannya sebelum
kekuatan yang dimilikinya lenyap.
Namun harapan memang tidak selamanya bisa
menjadi kenyataan. Ketika Dewa Arak melarikan diri, kekuatan tubuhnya telah
menurun jauh. Semakin lama, kekuatan tubuhnya semakin berkurang. Sehingga,
pemuda berambut putih keperakan itu tak mampu bergerak cepat untuk segera kabur
sejauh-jauhnya dari para pengeroyoknya.
Meskipun tenaganya terus dikerahkan sekuat tenaga, para pengejar semakin
mendekat. Dan lebih sial lagi ketika tiba-tiba seluruh tenaganya musnah! Rasa lemas yang
luar biasa melanda tubuhnya.
Seluruh tulang-tulangnya bagai dilolosi. Tubuhnya lunglai, dan....
Brukkk! Seketika tubuh Dewa Arak yang tengah memanggul
Melati, ambruk ke tanah. Dewa Arak tidak putus asa, diusahakannya untuk segera
bangkit. Semangat yang besar karena dorongan ingin menyelamatkan Melati,
membuatnya mampu terus bertahan sehingga tidak pingsan.
Berkali-kali dicobanya untuk bangkit, tapi sia-sia.
Rasa lemas yang melanda tubuhnya membuat Dewa Arak
tidak mampu berdiri lagi.
*** "Ha ha ha...!"
Tawa keenam belas orang pengejar Dewa Arak pun
meledak. Tawa kegembiraan bercampur ejekan. Mereka
merasa menang melihat tubuh Dewa Arak terkulai lemas di samping tubuh
kekasihnya. Dan masih dengan tawa yang belum tuntas, mereka
menyerbu ke arah Dewa Arak yang terkulai beberapa tombak di depan mereka.
Senjata-senjata tajam yang tergenggam di tangan, telah siap untuk diayunkan.
Srat! Srat! Srat!
Senjata-senjata mereka seketika terayun. Cahaya
berkilau bermunculan dari senjata-senjata yang tertimpa sinar matahari. Keenam
belas orang itu telah siap menebas kepala Dewa Arak! Mereka begitu bernafsu
untuk segera menghabisi
nyawa pemuda yang namanya tengah menggemparkan dunia persilatan itu. Apalagi mata mereka melihat tubuh Dewa Arak
yang terkulai tak berdaya itu.
Tapi rupanya nasib baik berpihak pada Dewa Arak.
Sebelum belasan senjata beraneka ragam itu merencah tubuhnya,
sesosok bayangan putih berkelebat cepat menyambar tubuhnya dan Melati.
Tappp, tappp! Cappp! Cappp! Kreppp! Jrebbb!
Seketika sambaran senjata-senjata itu membabat
tempat kosong. Gerakan sosok bayangan putih itu begitu cepat. Sehingga dalam
sekejap saja kedua tubuh yang terkulai lemas telah berada di tangannya.
Terlambat sedikit saja, pasti tubuh sepasang pendekar muda itu akan hancur
terbabat belasan senjata.
"Keparat!"
Laki-laki berkumis melintang
menggeram ketika
mengetahui senjatanya hanya membabat tanah. Mereka
segera tahu kalau dua orang calon korban mereka telah berhasil diselamatkan
seseorang. Keenam belas pengeroyok Dewa Arak itu melihat kelebatan sosok
bayangan putih itu, meskipun tidak begitu jelas.
Sesaat setelah hilang rasa terkejutnya, mereka
bergerak memburu bayangan putih itu. Namun enam belas orang ini kecele! Sosok
bayangan putih itu ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa.
Sehingga keenam belas lelaki berwajah kasar dan beringas itu tidak mampu
mengejarnya. Sosok bayangan putih yang membawa tubuh Dewa Arak dan Melati
melesat secepat kilat. Sampai akhirnya lenyap dari pandangan mata. Terpaksa
gerombolan pengejar itu menghentikan langkahnya.
"Keparat!"
Untuk yang kesekian kalinya, lelaki berkumis melintang mengeluarkan makian. Kegeraman yang hebat tampak jelas di wajahnya.
"Kau kenal orang usilan itu, Kang?" tanya lelaki yang memiliki codet melintang
di dahi. Lelaki berkumis melintang menggelengkan kepala.
"Aku tidak sempat melihatnya. Jangankan wajahnya, bentuk tubuhnya pun tidak
sempat kulihat secara jelas.
Keparat! Orang itu harus mendapat ganjaran atas kelancangannya!" desis lelaki berkumis melintang dengan sorot mata memancarkan
dendam. "Apa yang harus kita laporkan pada ketua, Kang?"
tanya salah seorang di antara mereka yang berkulit wajah kemerahan.
"Hhh...!" lelaki berkumis melintang menghela napas berat. "Apa lagi kalau bukan
menceritakan apa adanya" Tapi, yang jelas kita semua tidak akan lolos dari
hukuman! Hhh...!


Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal, ketua sudah yakin, kalau rencana ini akan berhasil.
Sukar dibayangkan kemurkaannya, kalau mengetahui Dewa Arak berhasil lolos."
"Tapi, Kang," sergah salah seorang yang mempunyai tahi lalat besar di pipi
kanan. "Bukankah Dewa Arak dan kawannya telah berhasil kita cekoki racun" Aku
yakin nyawa mereka akan melayang. Bukankah racun milik ketua tidak diragukan
lagi kemampuannya" Jadi, meskipun kita tidak melihat sendiri kematian Dewa Arak
dan kawannya, tapi sudah pasti mereka akan tewas!"
"Apa yang kau katakan itu benar, Wigura," kata lelaki berkumis melintang pada
rekannya yang memiliki tahi lalat besar di pipi kanan. "Menurut pengalaman
selama ini, Dewa Arak dan rekannya itu akan tewas. Tapi, aku yakin ketua tidak
akan berpendapat seperti itu. Tanpa melihat dengan mata kepala sendiri bangkai
Dewa Arak, ketua tidak akan percaya kalau Dewa Arak telah tewas. Aku sendiri pun
tidak yakin kalau Dewa Arak tewas! Bukan tidak mungkin dia tetap hidup."
Kontan semua yang mendengar ucapan lelaki berkumis melintang itu terdiam. Tidak satu pun dari mereka yang berbicara.
Disadari kebenaran dari ucapan lelaki berkumis melintang itu. Mereka nampak
mulai merasa cemas. "Lalu..., sekarang apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya lelaki yang
memiliki kulit wajah kemerahan.
"Tentu saja melaporkan semuanya pada ketua," jawab lelaki berkumis melintang,
tak bergairah. Usai berkata demikian, lelaki berkumis melintang itu segera membalikkan
tubuhnya. "Mari kita berangkat," ajak lelaki berkumis melintang itu tidak bersemangat.
Kelima belas orang kawannya segera mengayunkan
langkah, mengikuti gerakan lelaki berkumis melintang yang telah melesat lebih
dulu. 6 "Uaaah...!"
Arya membuka mulutnya lebar-lebar sambil menggeliatkan tubuh untuk melemaskan urat-uratnya yang terasa kaku. Perlahan-
lahan sepasang matanya terbuka.
Seketika dia tersentak dari berbaringnya. Tampak jelas kalau pemuda berambut
putih keperakan ini merasa kaget bukan kepalang.
Saat ini, Dewa Arak berada di sebuah ruangan yang
luas dan cukup baik, meskipun dinding-dindingnya terbuat dari bilik. Tubuhnya
pun tergolek di sebuah balai-balai dari bambu. Sementara tak jauh darinya,
tampak sebuah meja yang di atasnya terdapat kendi, dan beberapa buah gelas
bambu. Salah satu dari gelas bambu itu mengepulkan asap beraroma khas. Aroma
yang telah dikenal pemuda berambut putih keperakan itu. Aroma ramuan obat.
Kontan benak Arya berputar keras. Berbagai macam
pertanyaan muncul di benaknya. Mengapa dirinya berada di sini" Dan di mana
adanya tempat ini" Mengapa ada obat-obatan di tempat ini" Siapakah yang tengah
sakit" Pertanyaan-pertanyaan
yang timbul di benak membuat Dewa Arak penasaran. Dan karena tidak ada orang di sekitar situ,
pikirannya berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Dicobanya juga untuk
mengingat-ingat kejadian yang telah dialaminya.
Kemudian sedikit demi sedikit ingatannya kembali ke kejadian yang baru saja
dialaminya. Dia diracuni secara licik oleh pemilik kedai palsu, yang ternyata
sudah merencanakan semua itu untuk membunuhnya. Kemudian dia kabur untuk
menyelamatkan diri. Tapi, sebelum maksudnya terlaksana dia keburu jatuh, dan
akhirnya pingsan. Lalu, bagaimana dengan Melati"
Teringat akan Melati, membuat Dewa Arak tersentak
kaget. Perasaan khawatirnya pun kembali menyeruak. Dan dalam cekaman rasa cemas
yang melanda, pandangannya diedarkan ke sekeliling. Namun, Melati tidak
ditemukannya. Hal ini membuat Dewa Arak kalap.
Perasaan khawatir yang amat sangat akan keselamatan kekasihnya, membuat pemuda berambut putih keperakan itu berusaha
bangkit dari berbaringnya. Tapi....
"Uuuh...!"
Tanpa sadar sebuah keluhan tertahan keluar dari
mulut Arya ketika baru saja tubuhnya sedikit terangkat. Rasa pusing yang amat
sangat langsung melandanya, membuat pemandangan yang terlihat berputaran.
Terpaksa pemuda berambut putih keperakan itu
mengurungkan niatnya. Tubuhnya direbahkan kembali di pembaringan.
Kemudian matanya dipejamkan untuk menghilangkan rasa pusing yang melanda.
Saat itulah telinganya mendengar suara langkah-
langkah halus di luar kamar. Semakin lama semakin jelas tertangkap di
telinganya. Seseorang yang tengah menuju tempatnya, tentu memiliki kepandaian
tinggi. Ini dibuktikan dari ringannya suara langkah kaki yang menapak tanah.
Rasa ingin tahu membuat Dewa Arak membuka
matanya. Dia tidak khawatir orang yang hendak datang ke tempatnya bermaksud
buruk. Dewa Arak yakin kalau orang itu adalah orang yang membawanya kemari. Dan
menilik dari perlakuan orang itu terhadap dirinya, hatinya menduga kalau orang
itu bermaksud menolongnya. Lagi pula, sebelum pingsan Dewa Arak sempat merasakan
ada sesosok bayangan yang telah menyambar tubuhnya, tepat ketika sambaran
senjata-senjata para pengeroyok hampir menerjangnya.
Tak lama kemudian....
Kriiit...! Suara berderit pelan terdengar dari daun pintu
ruangan yang terbuka. Dan sesaat kemudian, seraut wajah tua menyembul dan balik
daun pintu itu. Seraut wajah yang terlihat masih segar meskipun telah ditumbuhi
kumis dan jenggot putih. Warna pakaian yang dikenakannya pun putih bersih.
"Rupanya kau telah sadar, Anak Muda," kata kakek berpakaian
putih itu sambil mengayunkan langkah menghampiri Dewa Arak.
"Berkat pertolonganmu, Ki," jawab Arya agak gugup.
Nampaknya pemuda berambut putih keperakan itu belum yakin benar kalau kakek
berpakaian putih itulah yang telah menolongnya. Meskipun diakui kalau samar-
samar telah melihat orang yang telah menolongnya, mengenakan pakaian putih.
"Ah! Matamu sungguh awas, Anak Muda. Dalam
keadaan gawat kau masih bisa mengenaliku" Hebat!
Benarkah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya kakek berpakaian putih itu
sambil menarik kursi yang terletak di kolong meja tempat guci dan gelas-gelas
bambu berada. Kemudian dengan perlahan-lahan pantatnya diletakkan di kursi itu.
"Apa istimewanya julukan itu, Ki" Aku yakin kau memiliki kepandaian dan julukan
yang melebihiku," sambut Arya merendah.
"Ha ha ha...!"
Kakek berpakaian putih itu tertawa lunak sambil
menatap wajah Dewa Arak.
"Kau terlalu merendah, Dewa Arak. Siapa yang belum mendengar
tentang dirimu" Julukanmu begitu menggemparkan dunia persilatan. Hampir semua tokoh
persilatan tahu kalau kau memiliki kepandaian yang tidak ada bandingannya. Tak
terhitung sudah datuk-datuk kaum sesat yang tewas di tanganmu. Tapi kau masih
bersikap begitu rendah hati. Luar biasa! Kau luar biasa, Dewa Arak!"
lanjut kakek berpakaian putih itu.
"Ah! Kau terlalu berlebihan, Ki. Toh, kenyataannya menghadapi gerombolan orang
kasar saja aku dan kawanku tak berdaya. Kalau kau tidak datang menolongku,
mungkin kami telah tewas, Ah, ya...! Apakah kau melihat kawanku, Ki?"
Langsung saja Dewa Arak menanyakannya begitu
teringat kembali akan Melati. Perasaan penuh harap tampak jelas baik dalam sorot
wajah dan sinar matanya, maupun nada suaranya.
"Apakah kawanmu itu gadis berpakaian putih yang tergeletak di sampingmu?" tanya
kakek berpakaian putih memastikan.
"Benar, Ki. Melati namanya," sambut Dewa Arak penuh semangat. "Apakah kau
melihatnya...?"
Kakek berpakaian putih itu menganggukkan kepala.
"Bukan hanya melihatnya, aku pun membawanya
kemari. Seperti kau, dia pun menderita keracunan hebat.
Kutempatkan dia di kamar sebelah, setelah kuberikan pengobatan seperlunya."
"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas lega.
"Aku tak tahu harus berkata apa untuk mengucapkan terima kasih atas pertolongan
yang telah kau berikan, Ki. Budi yang kau berikan pada kami terlalu besar...."
"He he he...!"
Kakek berpakaian putih tertawa terkekeh sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau ini aneh, Dewa Arak. Masih saja kau meributkan soal budi. Padahal,
dibandingkan dengan semua yang telah kau lakukan terhadap dunia persilatan,
tindakanku ini sama sekali tidak berarti apa-apa."
Dewa Arak hanya bisa menyunggingkan senyum
kaku. Kini disadari mengapa orang-orang yang
telah diberinya pertolongan mengucapkan terima kasih. Rupanya karena perasaan
bersyukur atas pemberian bantuan yang diberikan sang penolong.
"Kau terlalu merendahkan diri, Ki. Meskipun demikian, aku yakin kau bukan orang sembarangan.
Bolehkah aku mengenalmu lebih jauh, Ki?" tanya Dewa Arak hati-hati.
"Tentu saja boleh, Dewa Arak. Tapi hal itu nanti saja.
Sekarang, yang lebih penting menyembuhkan lukamu dulu.
Kau tahu, racun yang mengendap di tubuhmu dan juga di tubuh kawanmu itu adalah
sejenis racun yang amat
berbahaya. Racun ganas yang mematikan."
Kakek berpakaian putih itu menghentikan ucapannya
sebentar untuk mengambil napas.
"Untunglah aku berhasil menjinakkannya. Sekarang keadaanmu dan juga kawanmu
sudah tidak berbahaya lagi.
Tinggal menunggu waktu agar kau segera sembuh."
"Terima kasih atas jerih payahmu, Ki. Kebe-hasilanmu menyembuhkan kami sebagai
bukti kalau kau bukan orang sembarangan. Kalau aku tidak salah menebak, kau
pasti yang berjuluk Dewa Obat Baju Putih. Apakah dugaanku benar, Ki?"
"Kau memang cerdik, Dewa Arak. Dugaanmu sama
sekali tidak keliru. Memang, akulah yang berjuluk Dewa Obat Baju Putih. Tapi,
apa alasan yang mendorongmu menduga demikian, Dewa Arak?" tanya kakek berpakaian
putih yang ternyata berjuluk Dewa Obat Baju Putih.
"Sederhana saja, Ki. Ucapanmu dan terutama sekali keberhasilan pengobatanmu,
serta ciri-ciri yang kau miliki.
Telah kudengar kalau Dewa Obat Baju Putih adalah seorang kakek ahli obat, sakti,
dan mengenakan pakaian putih,"
jawab Arya. "Kau memang cerdik, Dewa Arak," puji Dewa Obat Baju Putih tulus.
"Rupanya kau senang memuji, Ki," sahut Arya merasa tidak enak.
Kemudian dengan mata tajam, ditatapnya wajah
kakek berpakaian putih itu lekat-lekat.
"Kurasa agar percakapan kita berjalan lebih enak, bagaimana kalau kau memanggil
namaku saja, Ki" Namaku Arya Buana. Tapi, orang-orang biasa menyapaku Arya."
"Begitu pun boleh, De..., eh Arya...!" sambut Dewa Obat Baju Putih. "Sayang
sekali, aku tidak ingat lagi nama asliku sendiri, Arya."
"Tidak mengapa, Ki. Aku pun bisa memaklumi,"
sambut Arya. Dewa Obat Baju Putih mengembangkan senyum tipis.
"O, ya Arya. Hampir saja aku lupa. Kau masih harus minum sekali lagi ramuan
obatku agar pengaruh racun yang mengendap di tubuhmu lenyap semua."
Dewa Obat Baju Putih lalu mengambil gelas bambu
berisi ramuan obat yang dibuatnya. Kemudian gelas itu didekatkan ke mulut Arya.
Semerbak aroma agak pedas tercium hidung Dewa
Arak. Tapi pemuda berambut putih keperakan itu tidak mempedulikannya.
Tanpa ragu-ragu ramuan obat itu diminumnya hingga habis.
"Sekarang beristirahatlah, Arya. Aku pergi dulu untuk menengok kawanmu. Dia pun
harus minum ramuanku sekali lagi agar terbebas dari pengaruh racun itu."
Kemudian tanpa menunggu tanggapan Arya, Dewa
Obat Baju Putih mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu. Sementara Dewa Arak
hanya memandangi punggung
kakek berpakaian putih itu. Lega sudah rasa hatinya mendengar Melati berada di
situ pula. Dan bahkan akan sembuh dari lukanya. Kini tanpa perasaan cemas lagi,
sepasang matanya dipejamkan.
*** Matahari sudah naik tinggi, bahkan sudah hampir
tegak lurus ketika tiga sosok tubuh duduk di teras depan sebuah pondok
berdinding bilik bambu. Tiga sosok itu terdiri dari dua orang lelaki dan seorang
wanita. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak, Melati, dan Dewa Obat Baju Putih. Kini
mereka duduk saling berhadapan beralaskan tikar daun kelapa.
"Aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan padamu, Ki. Dan aku ingin sekali
mendapatkan jawabannya. Tapi tentu saja, kalau kau tidak keberatan," ucap Arya.
Wajah pemuda berambut putih keperakan itu terlihat
sudah cerah kembali. Tubuhnya telah pulih seperti sediakala.
Seluruh kekuatannya pun telah pulih kembali.
"Katakan saja, Arya. Kalau bisa, tentu akan kujawab,"
ringan sambutan Dewa Obat Baju Putih.
"Terima kasih, Ki. Begini. Di perjalanan, kami bertemu seseorang
yang tengah dikeroyok segerombolan orang berseragam hitam yang mukanya tertutup kain hitam.


Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayangnya, kami agak terlambat sehingga orang itu keburu tewas."
Dewa Arak berhenti sejenak ingin melihat tanggapan
Dewa Obat Baju Putih. Tapi ternyata kakek berpakaian putih itu tetap diam
mendengarkan. "Tapi berdasarkan hasil penyelidikan kami dan
berbekal sedikit keterangan dari si korban, bisa kami ketahui kalau dia seorang
ahli obat yang bermaksud melaksanakan tugasnya. Sedangkan orang-orang
berselubung hitam itu pihak yang tidak menyenangi pekerjaan yang akan dilakukan
ahli obat itu. Sehingga ahli obat itu dibinasakan."
Kembali Dewa Arak menghentikan ucapannya sebentar untuk mengambil napas.
"Penyelidikan membawa kami ke sebuah tempat yang berhawa tidak enak. Tapi kami
belum sempat menyelidikinya lebih lanjut. Karena perut kami waktu itu sangat
lapar," lanjut Dewa Arak.
"Benar, Ki," sambung Melati ketika melihat isyarat dari Arya untuk menggantikan
melanjutkan cerita. "Kami lalu menemukan sebuah kedai. Kemudian memesan makanan
dan minuman. Siapa sangka kalau dalam makanan dan
minuman itu telah dicampuri racun. Akibatnya, yahhh...!
Seperti yang kau jumpai, Ki."
"Nah! Yang menjadi pertanyaan kami, Ki. Apakah kau mengetahui pula akan
adanya peristiwa seperti ini?"
sambung Dewa Arak seraya mengajukan pertanyaan pada kakek berpakaian putih itu.
Dewa Obat Baju Putih tidak langsung menjawab
pertanyaan Dewa Arak. Bibirnya tersenyum pada sepasang muda-mudi yang duduk di
hadapannya. Kemudian dihelanya napas panjang sebentar.
"Maksudmu peristiwa pembunuhan terhadap ahli obat itu, Arya?" kakek berpakaian
putih malah balas bertanya.
"Tidak, Ki," jawab Dewa Arak sambil menggelengkan kepala. "Yang kumaksudkan
adalah, apakah kau mengetahui adanya orang-orang yang membutuhkan pengobatan si
ahli obat itu?"
"Kalau secara pastinya..., aku tidak tahu, Arya. Tapi yang jelas di tempat kau
mencium bau tidak enak itu, memang telah terjadi malapetaka hebat," ujar Dewa
Obat Baju Putih.
"Malapetaka hebat, Ki?" selak Melati tidak sabar.
"Benar. Malapetaka hebat!" jawab Dewa Obat Baju Putih sambil menganggukkan
kepala. "Di dekat tempat itu beberapa waktu yang lalu berdiri sebuah perguruan
silat yang bernama Perguruan Naga Terbang. Ketuanya adalah sahabat lamaku.
Memang, muridnya tidak banyak. Tapi, saat ini perguruan itu sudah tidak ada
lagi. Sudah musnah!
Mereka semua tewas karena racun. Tapi, konon menurut berita yang kudengar,
sebagian dari mereka mati secara perlahan-lahan."
"Ahhh...!" desah Arya. "Kau tahu siapa pelaku tindak kekejian itu, Ki?"
"Secara pastinya, aku belum tahu. Tapi, dari hasil pemeriksaanku terhadap mayat
orang-orang Perguruan Naga Terbang, aku bisa menduga siapa pelakunya," kata Dewa
Obat Baju Putih lagi.
"Siapa, Ki?" tanya Melati ingin tahu.
Memang gadis ini memiliki watak tidak sabaran.
Bahkan kadang-kadang kewaspadaannya hilang karena
tergesa-gesa. "Raja Racun...," jawab Dewa Obat Baju Putih.
"Raja Racun?" tanya Dewa Arak dengan suara berdesah. "Kau menduga dia pelakunya,
Ki?" Dewa Obat Baju Putih menganggukkan kepala,
membenarkan pertanyaan itu.
Arya memperhatikan wajah kakek berpakaian putih
sejenak. "Maaf, kalau aku bersikap lancang, Ki. Tapi, menurut perasaanku kau tidak yakin
kalau pelakunya adalah Raja Racun. Ini hanya dugaanku saja, Ki."
"He he he...!" Dewa Obat Baju Putih tertawa lunak.
"Kau memang cerdik, Arya. Kuakui, aku tidak yakin akan dugaanku sendiri."
"Boleh aku tahu alasannya, Ki?" desak Arya lagi, sedangkan Melati hanya
mendengarkan saja percakapan yang terjadi.
Dewa Obat Baju Putih menghela napas berat.
"Sayang sekali aku tidak bisa menjelaskan alasannya, Arya. Bukannya tidak mau,
tapi memang sulit untuk
mengutarakannya. Tapi secara singkat bisa kukatakan. Aku telah lama menjalin
hubungan dengan Raja Racun. Lebih dari dua puluh tahun. Kami sering mengadakan
pertemuan untuk saling menguji kepandaian. Itu kami lakukan setiap dua tahun
sekali. Dan, aku tahu betul sifat-sifatnya. Karena itulah aku tidak percaya
kalau pelaku semua pembantaian itu adalah dia. Jelas, Arya"!"
Dewa Arak tidak langsung memberikan sambutan. Dia
tengah berusaha mencerna penjelasan Dewa Obat Baju Putih.
Hal yang sama pun dilakukan Melati.
"Mungkin keteranganku kurang jelas, Arya. Agar kau jelas, bisa kuambil
perbandingan. Andaikata kau dengar berita
yang mengatakan kawanmu melakukan tidak kejahatan. Apakah kau akan percaya begitu saja, Arya"
Misalnya saja, korban itu tewas karena ilmu yang kau tahu dimiliki kawanmu ini.
Percayakah kau, Arya?"
"Tidak, Ki," Dewa Arak menggelengkan kepala. "Tapi meskipun demikian, aku akan
menyelidiki keberarannya.
Kalau benar dia pelakunya, aku yakin ada hal-hal yang mendorongnya melakukan
tindakan seperti itu."
"Tepat! Tindakan itu pula yang tengah kulakukan, Arya!" sambut Dewa Obat Baju
Putih, cepat. "Walaupun tidak percaya akan berita yang tersebar, penyelidikan
tetap kulakukan. Sayangnya sampai sekarang, tetap saja belum kutemukan adanya
titik terang. Masalah ini masih gelap!"
"Aku dan kawanku akan membantumu menyingkap
masalah ini, Ki. Mudah-mudahan saja bantuan yang kami berikan ini ada gunanya,"
ujar Dewa Arak menawarkan diri.
"Terima kasih, Arya. Memang, aku sangat membutuhkan bantuanmu untuk menyingkap masalah ini.
Banyak hal di luar pengetahuanku yang kudengar dari mulutmu. Di antaranya adalah
pembunuhan terhadap ahli obat."
"O ya, Ki. Menurut ceritamu, kau telah menjalin hubungan cukup lama dengan Raja
Racun. Jadi..., setidak-tidaknya kau mengetahui ciri-ciri racun yang
dimilikinya. Apakah racun yang menyerang kami termasuk di antara racun yang dimiliki Raja
Racun"!" tanya Dewa Arak ingin mencari kejelasan.
"Hhh...!"
Dengan didahului helaan napas berat, Dewa Obat
Baju Putih menganggukkan kepala.
"Racun yang menyerangmu dan kawanmu memang
racun yang dimiliki Raja Racun. Tidak ada orang lain yang memilikinya kecuali
dia! Hhh...! Entah apa yang membuatnya bertindak seperti itu...?" keluh Dewa
Obat Baju Putih dengan pandang mata menerawang jauh ke atas.
"Jawaban dari pertanyaan itu hanya kita dapatkan melalui penyelidikan, Ki," ujar
Dewa Arak pelan.
Ucapan Dewa Arak membuat kakek berpakaian putih
itu tersentak. "Apa yang kau ucapkan benar, Arya. Tunggu apa lagi"
Mari kita memulainya sekarang!"
Usai berkata demikian, kakek berpakaian putih itu
bergerak bangkit. Hal yang sama pun dilakukan Dewa Arak dan Melati.
"Apakah kau telah mempunyai tujuan, Ki?" tanya Dewa Arak sambil lalu.
"Ya!" jawab Dewa Obat Baju Putih singkat.
"Ke mana, Ki?" tanya Dewa Arak lagi.
"Tempat kediaman Raja Racun!"
Kemudian, tanpa menunggu pertanyaan selanjutnya
keluar dari mulut Dewa Arak, Dewa Obat Baju Putih
mengayunkan langkah. Hanya sekali hentak, tubuhnya telah melesat jauh. Kali ini
Dewa Arak dan Melati dapat melihat kehebatan ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki kakek berpakaian putih itu. Tubuh Dewa Obat Baju Putih begitu cepat
melesat, sehingga yang nampak hanyalah sebuah bayangan putih yang melesat.
Tapi sepasang muda-mudi itu tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam
kekagumannya. Keduanya segera melesat begitu cepat menyusul Dewa Obat Baju Putih
yang telah jauh meninggalkan tempat itu.
7 "Itulah tempat kediaman Raja Racun, Arya," kata Dewa Obat Baju Putih sambil
menudingkan jari telunjuknya ke sebuah gua yang tak jauh di hadapan mereka.
Saat itu, Dewa Arak, Dewa Obat Baju Putih, dan
Melati berada di lereng Gunung Gawar. Dewa Arak dan Melati segera mengedarkan
pandangannya ke sekeliling lereng gunung itu. Kemudian kembali menatap tajam ke
gua tempat tinggal Raja Racun.
Alis sepasang pendekar muda itu sama-sama berkerut
ketika melihat gua yang ditunjukkan Dewa Obat Baju Putih.
Yang terlihat hanyalah kegelapan di sekitar mulut gua. Tidak terlihat sedikit
pun isi yang ada di dalamnya.
"Mari kita lihat lebih dekat lagi," ajak Dewa Obat Baju Putih ketika melihat
sepasang pendekar muda itu terdiam.
Dewa Arak dan Melati mengayunkan kaki mengikuti
Dewa Obat Baju Putih yang telah melangkah lebih dahulu.
Hanya dalam beberapa langkah, jarak antara mereka dengan mulut gua itu tinggal
tiga tombak lagi. Dan di sini, Dewa Obat Baju Putih menghentikan langkahnya. Mau
tak mau Dewa Arak dan Melati pun berhenti.
"Boleh aku mengajukan permohonan pada kalian
berdua?" tanya Dewa Obat Baju Putih sambil menatap wajah Dewa Arak dan Melati
bergantian. "Apa itu, Ki" Katakanlah. Apabila kami mampu dan selama tidak bertentangan
dengan kebenaran, pasti akan kami kerjakan," mantap dan tegas ucapan Dewa Arak.
Melati hanya menganggukkan kepala. Memang, gadis
berpakaian putih itu telah percaya penuh pada Arya. Dia yakin setiap keputusan
yang diambil pemuda berambut putih keperakan itu pasti benar dan sesuai dengan
pendapatnya. Seulas senyum lebar dan sorot mata kekaguman
terpancar dari sepasang mata Dewa Obat Baju Putih.
"Tentu saja tidak bertentangan dengan kebenaran, Arya. Aku hanya minta agar kau
dan Melati bersembunyi dulu. Aku khawatir, dengan keberadaan kalian, Raja Racun
tidak mau menemuiku. Paling tidak, dia tidak akan terus-terang mengutarakan hal-
hal yang mengganjal di hatinya.
Bagaimana" Kau bersedia meluluskan permintaanku ini, Arya?"
"Hanya permintaan seperti itu, apa beratnya, Ki"
Baiklah. Kami akan bersembunyi dan baru akan keluar apabila kau memberikan
isyarat, atau jika ada perkembangan lain yang tidak terduga."
"Terima kasih atas kebijaksanaan hatimu, Arya."
Dewa Arak hanya tersenyum.
"Mari, Melati," ajak Arya pada kekasihnya.
Tanpa membantah, Melati mengikuti Dewa Arak yang
telah bergerak lebih dulu menuju gundukan-gundukan batu yang terdapat di sekitar
tempat itu. Besarnya gundukan batu-batu yang sebesar kerbau itu memungkinkan
untuk dijadikan tempat bersembunyi.
Sementara itu, Dewa Obat Baju Putih mengamati
hingga Arya dan Melati menyelinap di balik batu besar itu.
Baru setelah itu, matanya menatap gua di hadapannya.
"Raja Racun....! Aku, Dewa Obat Baju Putih datang...!
Ada urusan yang harus kubicarakan denganmu. Keluarlah...!" seru kakek berpakaian putih itu.
Pandangan matanya tetap tertuju ke dalam gua.
Tenaga dalamnya dikerahkan pada teriakan itu. Hal ini dimaksudkan agar ucapan
itu terdengar sampai jauh ke dalam gua.
Namun, tidak hanya ke dalam gua suara teriakan itu
bergema. Teriakan lelaki tua itu menggema ke seluruh dataran di lereng gunung.
Gema suara menggelegar itu terdengar berulang-ulang.
Beberapa saat Dewa Obat Baju Putih menunggu. Dia
yakin teriakannya akan terdengar telinga Raja Racun, jika tokoh yang ahli racun
itu berada di dalam guanya.
Harapan Dewa Obat Baju Putih terlaksana. Tidak
perlu menunggu lama, karena sesaat kemudian dari dalam gua berkelebat sesosok
bayangan. Jliggg! Begitu cepat gerakan sosok bayangan itu. Hanya
dalam sekelebatan telah mendarat tepat di hadapan Dewa Obat Baju Putih. Jarak
dua tombak memisahkan antara mereka.
Dewa Obat Baju Putih langsung memasang sikap
waspada. Meskipun kelihatannya bersikap tenang saja, seluruh otot dan urat
syarafnya telah menegang. Jelas, kakek berpakaian
putih ini telah siap menghadapi segala kemungkinan. "Bagaimana kabarmu, Raja Racun. Baik-baik saja bukan?" sapa Dewa Obat Baju Putih
sambil menatap penuh selidik sosok yang berdiri di hadapannya.
Tokoh yang berjuluk Raja Racun itu ternyata adalah
seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun, berwajah pucat, dan bermata
sipit. Pakaian terbuat dari kulit ular membungkus tubuhnya yang tinggi kurus.
Penampilannya menimbulkan perasaan gentar di hati orang yang bernyali kecil.
Apalagi jika sampai beradu tatap dengan sepasang matanya. Betapa tidak" Sepasang
mata itu mencorong tajam dan berwarna kehijauan. Sorot seperti itu hanya
dimiliki tokoh-tokoh yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Jelas, kakek
tinggi kurus ini bukan orang sembarangan.
Raja Racun tersenyum. Tapi Dewa Obat Baju Putih
yang telah lama mengenal kakek tinggi kurus itu, tahu kalau senyum
itu adalah senyum paksaan. Sehingga kewaspadaannya semakin ditingkatkan.
"Aku baik baik saja, Dewa Obat," ujar Raja Racun berusaha terlihat gembira. "O,
ya. Pasti ada keperluan sangat penting yang kau butuhkan dariku, Dewa Obat.
Kalau tidak, mana mungkin kau mau bersusah payah datang ke
tempatku. Padahal, waktu pertandingan masih cukup lama.
Katakan, Dewa Obat. Apa keperluanmu kemari?"
Dewa Obat Baju Putih tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Malah kakek berpakaian putih itu menghela napas berat. Seolah-
olah ada sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya.
"Dugaanmu memang tidak keliru, Raja Racun. Ada keperluan sangat penting yang
memaksaku keluar dari tempat tinggalku dan menemuimu di sini. Apakah kau bisa


Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menduga keperluanku itu?"
Raja Racun mengernyitkan dahi beberapa saat sebelum akhirnya menggelengkan kepala.
"Tidak. Aku tak tahu alasan yang mendorongmu
untuk menemuiku di sini," jawab Raja Racun dengan wajah sungguh-sungguh.
"Hhh...!"
Dewa Obat Baju Putih menghela napas berat. Dia
tahu Raja Racun tidak berbohong dengan ucapannya.
Tarikan wajah kakek tinggi kurus yang terlihat bersungguh-sungguh itu telah
menjadi pertanda kebenaran ucapan yang keluar dari mulutnya.
"Apakah kau tidak mendengar berita yang menggemparkan dunia persilatan belum lama ini?" tanya Dewa Obat Baju Putih
sambil menatap wajah Raja Racun penuh selidik.
"Tidak, Dewa Obat. Aku selalu berdiam di guaku dan tidak pernah turun gunung.
Dan lagi tidak ada orang yang memberitakan padaku mengenai kejadian yang menimpa
dunia persilatan. Lain halnya dengan kau," jawab Raja Racun sambil menggelengkan
kepala. "Memangnya kenapa, Dewa Obat?"
"Perguruan
Naga Terbang dihancurkan. Ada segerombolan orang yang menyerbunya. Dan menurut berita yang
kudapatkan, keberhasilan gerombolan itu melaksanakan maksudnya karena menggunakan racun.
Mereka lebih dulu melumpuhkan perlawanan orang-orang Perguruan Naga Terbang
dengan menggunakan racun," jelas Dewa Obat Baju Putih panjang lebar.
Raja Racun mengangguk-anggukkan kepala ketika
kakek berpakaian putih itu menghentikan ceritanya. Menilik sikapnya, bisa
ditebak kalau Raja Racun telah berhasil menarik sebuah kesimpulan, setelah
mendengar cerita Dewa Obat Baju Putih. Dan itu terbukti beberapa saat kemudian.
"Sekarang aku mengerti maksud tujuanmu menemuiku, Dewa Obat Baju Putih. Bukankah kau ingin mengatakan kalau orang-orang
Perguruan Naga Terbang tewas akibat racun milikku".'" tebak Raja Racun,
langsung. Dewa Obat Baju Putih tidak terkejut mendengar
ucapan Raja Racun. Telah diketahuinya betul sifat sahabatnya yang selalu blak-blakan dan terbuka.
"Dugaanmu hampir tepat, Raja Racun. Hanya saja aku tidak menduga sekasar itu.
Yang jelas, orang-orang Perguruan Naga Terbang tewas karena racun yang mirip
dengan racun milikmu. Namun, kebenaran dugaan itu masih belum bisa kupastikan.
Itulah sebabnya, aku bersusah payah mencarimu. Kau tahu, orang-orang persilatan
belum dapat menduganya. Itu pun karena aku mengenali ciri-ciri racun yang kau
miliki," jelas Dewa Obat Baju Putih panjang lebar.
"Memangnya
kenapa kalau kalangan persilatan mengetahui penyebab kematian orang-orang Perguruan Naga Terbang itu" Mengapa
pula kalau mereka mengetahui pemilik racun itu" Mereka akan mencari-cariku, dan
kemudian menyerbu kemari" Begitu kan maksudmu?"
Tanpa sadar Dewa Obat Baju Putih menganggukkan
kepala mendengar desakan Raja Racun yang begitu berapi-api.
"Huh! Kau kira aku takut mati, Dewa Obat"!" semakin meninggi suara Raja Racun.
"Aku bukan seorang pengecut!
Biar mereka semua datang ke sini dan mengeroyok, aku tidak takut!"
"Rupanya watakmu tetap belum berubah, Raja Racun.
Masih saja keras kepala! Kau tahu yang menjadi permasalahan di sini bukannya perkara takut atau beraninya kau menghadapi
mereka. Tapi, kebenaran kenyataan yang kulihat. Benarkah kau yang telah
melakukan semua kekejian itu, Raja Racun"! Kalau bukan kau pelakunya, untuk apa
membiarkan orang-orang persilatan datang kemari untuk membinasakanmu" Katakan
saja kau bukan pelakunya.
Gampang kan"! Nah, sekarang katakan terus terang, demi persahabatan
kita, Raja Racun. Benarkah kau yang melakukan semua kekejian itu"!"
Dewa Obat Baju Putih menatap wajah Raja Racun
lekat-lekat. Hal yang sama pun dilakukan Raja Racun.
"Sayang sekali, Dewa Obat. Aku tidak bisa menjawabnya! Hanya itu yang bisa kukatakan!"
Terdengar keras dan mantap ucapan yang keluar dari
mulut Raja Racun. Tapi Dewa Obat Baju Putih yang telah berhubungan lama dengan
tokoh itu tahu kalau ucapan yang terdengar tidak sesuai dengan hatinya. Ada
keluhan yang tertangkap oleh perasaan Dewa Obat Baju Putih.
"Katakan, Raja Racun! Kau tahu, aku tidak percaya kalau kau pelaku semua
kekejian itu. Katakanlah kalau kau bukan pelaku semua kekejian itu!" desak Raja
Obat Baju Putih lagi.
"Jangan paksa aku untuk mengatakan hal yang tidak ingin kukatakan, Dewa Obat!"
tandas Raja Racun tegas.
"Atau pertarungan antara kita berlangsung lebih cepat dari rencana semula."
"Tapi..."
"Kalau begitu, jaga seranganku...! Hih!"
*** Raja Racun membuka serangannya dengan sebuah
tusukan jari-jari tangannya ke arah perut Dewa Obat Baju Putih. Bertubi-tubi
serangan itu dilancarkan. Suara mencicit nyaring
yang menyakitkan telinga, terdengar seiring meluncurnya serangan yang dikerahkan dengan tenaga
dalam tinggi. "Hehhh..."!"
Dewa Obat Baju Putih yang tidak menyangka akan
meluncurnya serangan mendadak itu menjadi terkejut.
Dengan cepat tubuhnya melakukan lompatan harimau ke samping. Dan dengan bertumpu
pada kedua tangan,
tubuhnya digulingkan. Sehingga serangan yang dilancarkan Raja Racun mengenai
tempat kosong. Akan tetapi serangan Raja Racun tidak berhenti.
Begitu berhasil dielakkan Dewa Obat Baju Putih, kembali dikirimkan serangan
lanjutan. Kakek tinggi kurus ini melakukan lompatan harimau pula. Bahkan
tubuhnya pun digulingkan pula untuk mengejar Dewa Obat Baju Putih.
"Hih!"
Begitu telah berada dalam jarak serangan, Raja Racun langsung melancarkan
kibasan kaki kanan ke tubuh Dewa Obat Baju Putih yang baru saja berhenti.
Wukkk! "Hih!"
Lagi-lagi serangan Raja Racun kandas. Dewa Obat
Baju Putih yang mengetahui serangan susulan itu langsung menjejakkan kaki,
sehingga tubuhnya melenting ke atas.
Akibatnya, sapuan Raja Racun hanya mengenai angin
kosong. Bahkan kali ini Dewa Obat Baju Pulih yang berada di udara, dengan manis
berputar. Lalu....
"Hih!"
"Kalau begitu, jaga seranganku...! Hih!" Raja Racun membuka serangannya dengan
tusukan jari-jari tangan ke arah perut Dewa Obat Baju Putih.
"Hehhh..."!" Dewa Obat Baju Putih segera melakukan lompatan harimau ke samping.
Sehingga, serangan yang dilancarkan Raja Racun mengenai tempat kosong!
Wuttt! Sebuah serangan berupa sampokan kedua tangan ke
bagian belakang kepala lawan, dilancarkan. Begitu keras dan cepat sampokan itu
dilakukan. Sehingga kalau serangan itu mengenai sasaran, mungkin nyawa lawan
akan melayang. Namun, Raja Racun bukan tokoh sembarangan.
Seperti juga Dewa Obat Baju Putih, dia pun memiliki kepandaian tinggi. Maka
menghadapi serangan itu, tidak sedikit rasa gugup di wajahnya.
Wusss! Serangan Dewa Obat Baju Putih lewat beberapa jari di atas kepala Raja Racun.
Rambut dan pakaian si ahli racun yang berkibaran keras, karena kekuatan yang
terkandung dalam serangan itu.
Sesaat kemudian, kedua belah pihak telah terlibat
dalam pertanjngan sengit.
Kejadian itu tidak lepas dari perhatian Dewa Arak dan Melati.
Kini yang bisa mereka lakukan hanyalah menyaksikan jalannya pertarungan. Apabila Dewa Obat Baju Putih dalam keadaan
bahaya, baru Dewa Arak akan turun tangan. Dewa Arak merasa hanya dirinya yang
dapat membantu jika Dewa Obat Baju Putih terdesak. Melati jelas tak mungkin mampu,
karena kepandaiannya jauh di bawah mereka.
Sementara itu pertarungan berlangsung semakin
sengit. Sampai belasan jurus pertarungan berlangsung, belum nampak salah satu
pihak yang terdesak atau kalah.
Pertarungan masih berlangsung imbang.
Suara angin menderu, mencicit terdengar setiap kali kedua belah pihak
menggerakkan tangan atau kaki. Tanah yang terbongkar di sana-sini pertanda
dahsyatnya setiap serangan yang terlontar dari tangan dan kaki kedua tokoh tua
itu. Jurus demi jurus berlangsung cepat, karena kedua
belah pihak memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan.
Dalam wakru sebentar saja lima puluh jurus telah terlewati, tapi keadaan masih
belum berubah. Pertarungan masih berlangsung imbang.
Saat itulah Dewa Arak dan Melati mendengar adanya
langkah-langkah kaki yang bergerak mendekati tempat itu.
Suara itu terdengar jelas di telinga sepasang pendekar muda itu. Nampaknya
langkah-langkah kaki seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh biasa-biasa
saja. Yang mengejutkan hati Dewa Arak dan Melati jumlah
mereka yang begitu banyak. Sehingga suara langkah mereka bergemuruh. Siapakah
mereka" Dan mengapa datang kemari" Apakah orang-orang persilatan" Dan mereka datang karena telah bisa
menduga pelaku kekejian terhadap
Perguruan Naga Terbang"
Pertanyaan demi pertanyaan itu yang menggayuti
benak Dewa Arak dan Melati. Tapi karena tahu kalau
jawaban bagi pertanyaan itu akan mereka dapatkan, segera dibuangnya semua
pertanyaan itu. Kini keduanya bersikap waspada menghadapi kemungkinan yang akan
terjadi. Dewa Arak dan Melati tidak perlu menunggu terlalu
lama untuk mendapatkan jawaban Itu. Karena sesaat
kemudian, orang-orang itu telah terlihat. Kontan Dewa Arak dan
Melati terperanjat ketika melihat mereka mulai mendekat. Rombongan itu ternyata orang-orang berpakaian
serba hitam dan berselubung hitam. Jelas, mereka mempunyai hubungan dengan orang-orang berselubung
hitam di Hutan Gendar.
"Akhirnya kita menemukan mereka kembali, Kang,"
desah Melati setengah berbisik.
Raut ketegangan
tampak jelas di wajah gadis
berambut putih itu. Karena sosok-sosok yang tengah mereka cari-cari akhirnya
berhasil diketemukan juga.
"Benar, Melati," sahut Dewa Arak sambil menganggukkan kepala. "Tapi yang membuatku bingung, untuk apa mereka kemari"


Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah ada hubungan antara mereka dengan gerombolan yang menyergap kita di kedai
dulu?" "Tak lama lagi akan kita ketahui, Kang. Sekarang, apa yang harus kita lakukan?"
"Untuk sementara kita menunggu saja, Melati. Kita lihat bagaimana perkembangan
selanjutnya. Apakah yang akan dilakukan gerombolan orang berseragam hitam itu?"
ujar Arya memutuskan.
Melati menganggukkan kepala menyetujui keputusan
yang diambil Dewa Arak. Karena disadari ada kebenaran dalam keputusan yang
diambil kekasihnya itu.
Dan sekarang, sepasang pendekar muda itu terus
memperhatikan gerombolan berseragam hitam tak jauh di hadapan mereka. Seluruh
urat syaraf menegang waspada.
Apabila keadaan menghendaki, mereka tinggal melesat menyerbu.
Tapi ternyata gerombolan serba hitam itu tidak
langsung bertindak. Mereka hanya berdiri diam sambil memperhatikan pertarungan
sengit antara kedua tokoh tua itu.
Sementara itu, meskipun tengah bertarung sengit,
Dewa Obat Baju Putih maupun Raja Racun nampaknya
mengetahui keadaan di seldtarnya.
Mereka pun mengetahui kedatangan orang-orang
berseragam hitam. Namun, Raja Racun bersikap tidak peduli.
Perhatian tetap dipusatkan pada pertarungannya menghadapi Dewa Obat Baju Putih.
Tidak demikian halnya dengan Dewa Obat Bau Putih.
Begitu mengetahui keberadaan orang-orang berselubung hitam itu, pikirannya
langsung teringat pada cerita Dewa Arak. Maka, perhatiannya pun terpecah.
Sepercik harapan untuk bisa mengungkap rahasia pembunuh besar-besaran terhadap
Perguruan Naga Terbang melalui mulut orang orang berseragam hitam itu, menyeruak
di benaknya. Sehingga dia kehilangan semangat untuk terus melanjutkan
pertarungan. Dan seiring dengan hilangnya gairah untuk terus
melangsungkan pertarungan, serangan-serangan Dewa Obat Baju Putih pun semakin
berkurang. Kini dia lebih banyak mengelak.
Kakek berpakaian putih itu ingin segera mengakhiri pertarungan. Namun, belum menemukan kesempatan untuk menjauhkan diri. Lagi pula, nampaknya Raja Racun tidak
menginginkan pertarungan itu dihentikan.
Akhirnya, pertarungan unik pun terjadi. Dewa Obat
Baju Putih terus-menerus menjauhkan diri untuk menghentikan pertarungan. Sementara, Raja Racun tak henti-hentinya berusaha
melancarkan serangan. Sehingga pertarungan berlangsung tidak manarik lagi karena
mirip dengan kejar-mengejar.
Pemandangan seperti itu berlangsung sampai hampir
sepuluh jurus. Semua itu disaksikan oleh Dewa Arak dan Melati.
"Aneh...!" gumam Dewa Arak
"Apa yang aneh, Kang?" tanya Melati.
"Tindakan Raja Racun!" jawab Dewa Arak "Menurut perhitunganku, dia tahu kalau
Dewa Obat Baju Putih tidak berminat untuk melanjutkan pertarungan lagi. Dan
kurasa dia pun tahu penyebabnya. Yaitu karena Dewa Obat Baju Putih melihat
keberadaan orang-orang berseragam hitam, tapi mengapa Raja Racun bersikap
seolah-olah keberadaan orang-orang
berseragam hitam sama sekali tidak menimbulkan masalah?"
Melati kontan terdiam. Dia tidak tahu harus memberikan tanggapan apa. Tapi, kebingungan gadis berpakaian putih itu tidak berlangsung lama.
"Kang! Lihat! Dewa Obat Baju Putih berhasil melaksanakan maksudnya...," bisik Melati dengan suara agak ditekan. Telunjuk
tangan kanannya ditudingkan ke arah pertarungan yang tengah berlangsung.
Dewa Arak melayangkan pandangan ke arah yang
ditunjukkan Melati. Tampak olehnya, Dewa Arak melentingkan tubuh ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara, sebelum
tubuhnya meluruk ke arah rombongan orang-orang berseragam hitam.
"Hih!"
Laksana seekor garuda yang menerkam mangsa,
Dewa Obat Baju Putih mengirimkan serangan dari udara.
Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar,
meluncur deras ke kepala rombongan orang berseragam hitam.
Wuttt! 8 "Hey...!"
Sosok berpakaian hitam yang mendapat serangan dari
Dewa Obat Baju Putih adalah sosok yang pada dahinya terdapat gambar tengkorak
kecil. Berarti, sosok hitam ini adalah sang Pemimpin. Dan dia merasa terkejut
bukan kepalang mendapat serangan yang tidak disangka-sangka itu.
Akibatnya, jerit kekagetan pun keluar dari mulutnya.
Meskipun demikian bukan berarti sosok berpakaian
hitam itu berdiam diri begitu saja. Walaupun sama sekali tidak menduga, tetap
saja masih bisa menyelamatkan diri.
Dan hal itu terjadi dengan sendirinya.
Wut! Wut! Plak! Plak! Sang Pemimpin itu mengibaskan kedua tangan ke
atas untuk memapak serangan yang mengancam ubun-
ubunnya. Tak pelak lagi benturan keras antara dua pasang tangan yang sama-sama
dialiri tenaga dalam tinggi pun terjadi. Sosok hitam yang memiliki tanda
tengkorak di bagian dahinya itu mengerahkan seluruh tenaga dalam pada
kibasan yang dilakukannya.
Tubuh kedua belah pihak sama-sama terpental balik.
Bedanya, Dewa Obat Baju Putih terpental ke udara, karena kedudukannya yang
memang berada di udara. Sementara sang Pemimpin terhuyung-huyupg beberapa
langkah ke belakang. Namun, tanpa kesulitan, kedua belah pihak berhasil mematahkan kekuatan
yang membuat tubuh mereka terhuyung.
Jliggg! Bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki Dewa
Obat Baju Putih secara mantap di tanah, sang Pemimpin gerombolan telah berhasil
memperbaiki kedudukannya.
"Buka kedokmu, Pengecut! Dan katakan kalau kaulah pelaku semua kekejian terhadap
Perguruan Naga Terbang"!"
bentak Dewa Obat Baju Putih penuh ancaman.
"Hmh...!"
Sosok hitam yang memiliki gambar tengkorak di dahi
mendengus mendengar perintah Dewa Obat Baju Putih.
Tampak jelas adanya nada mengejek dalam dengusannya.
"Tidak pantas makian seperti itu kau tujukan padaku, Dewa Obat Baju Putih...!"
sahut pemimpin gerombolan berpakaian hitam itu.
"Tidak usah berbelit-belit! Aku hanya ingin tahu, apakah kau yang telah
melakukan semua kekejian terhadap Perguruan Naga Terbang"!" potong Dewa Obat
Baju Putih dengan suara semakin meninggi.
"Benar! Lalu, apa maumu"!" tanya sosok berpakaian hitam menantang.
"Melenyapkanmu dari muka bumi ini!" peru Dewa Obat Baju Putih keras.
Seiring lenyapnya gema teriakan itu, Dewa Obat Baju Putih melompat menerjang
pemimpin gerombolan itu. Di udara,
tubuhnya berputar seraya mengibaskan kaki kanannya. Tidak tanggung-tanggung lagi sasaran yang ditujunya, pelipis.
Andaikata terkena, sekalipun tidak telak, sudah cukup untuk mengirim nyawa sosok
hitam itu ke neraka.
Pimpinan sosok berseragam hitam bukan orang
bodoh. Dia pun tahu betapa berbahayanya serangan yang telah dilancarkan lawan
terhadapnya. Buru-buru kaki kanannya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan
tubuh. Wuttt! Tendangan itu lewat beberapa jari di depan wajahnya.
Meskipun demikian, tendangan itu membuat selubung dan pakaian sang Pemimpin
berkibaran keras. Begitu dahsyat kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalam
kibasan kaki itu.
Namun tindakan pimpinan sosok berseragam hitam
segera bersiap kembali menghadapi lawannya. Begitu kibasan lawan berhasil
dielakkan, tangan kanannya dijulurkan ke depan untuk menangkap kaki lawan yang
masih berada di udara.
Plasss! Usaha sang Pemimpin ternyata sia-sia. Tangannya
hanya menangkap angin. Dewa Obat Baju Putih telah lebih dulu menarik kakinya
kembali. Bahkan secepat kedua
kakinya telah mendarat di tanah, secepat itu pula kembali dilancarkan
serangan terhadap pimpinan gerombolan berseragam hitam. Rupanya, kakek berpakaian putih ini begitu bersemangat untuk
dapat merobohkan lawannya
secepat mungkin.
Namun pemimpin gerombolan berpakaian hitam itu
bukan lawan yang mudah untuk dibekuk. Buktinya, mampu melakukan perlawanan
sengit. Sehingga meskipun Dewa Obat Baju Putih telah mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk secepat mungkin merobohkan lawannya, pemimpin itu masih mampu
bertahan. Mendadak Dewa Obat Baju Putih menghentikan
desakannya terhadap sosok hitam yang memiliki gambar tengkorak di dahi. Padahal,
pertarungan baru berlangsung dua belas jurus. Dan kini, kakek berpakaian putih
itu menatap mata lawannya penuh selidik.
"Siapa sebenarnya kau, Pengecut"! Cepat buka
selubungmu!" seru Dewa Obat Baju Putih, keras.
"Ha ha ha...! Mengapa kau menyuruhku, Dewa Obat"!
Apakah kau tak mampu melakukannya sendiri" Ha ha ha...!
Tak malukah dengan ucapan yang kau keluarkan itu?"
sambut sang Pemimpin sambil tertawa bergelak.
"Tutup mulutmu, Pengecut! Asal kau tahu saja,
sekarang aku tidak akan mengampunimu lagi. Kau punya tiga kesalahan besar!
Pertama, kau telah melakukan tindak kejahatan terhadap Perguruan Naga Terbang!
Kedua kau telah keterlaluan menghinaku! Dan ketiga..., kau telah mencuri ilmu-
ilmu yang kumiliki! Kau tidak bisa ingkar lagi, Pengecut! Aku belum buta! Aku
tahu pasti kalau ilmu-ilmu yang kau gunakan sebagian, merupakan ilmu milikku!
Sekarang, terimalah kematianmu!"
Srat! Srat! Seketika Dewa Obat Baju Putih mencabut sepasang
pedang yang tersampir di punggung. Inilah senjata andalan kakek berpakaian putih
itu. Dan secepat kilat pedang itu diputar-putar di depan dada, sehingga
mengeluarkan suara mengaung nyaring.
Wung! Wung! Wung...!
"Keluarkan
senjatamu kalau tidak ingin mati percuma, Pengecut!" seru kakek berpakaian putih itu memberi peringatan.
Tanpa berkata sepatah pun, sosok hitam yang
memiliki gambar tengkorak di dahi segera mengeluarkan senjatanya. Sebuah ruyung
baja yang ujung-ujungnya
dihubungkan dengan rantai terbuat dari baja. Masih tanpa mengeluarkan suara apa
pun, senjatanya diputar-putarkan di depan dada.
Wuk! Wuk! Wuk! "Terimalah kematianmu, Pengecut...!"
Diiringi suara teriakan nyaring yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat, Dewa Obat Baju Putih
melancarkan serangan. Sepasang pedangnya berputaran cepat sehingga tak jelas bentuknya. Dan kini, yang terlihat hanyalah
segulungan sinar menyilaukan mata yang meluruk ke tubuh lawan.
Namun pemimpin gerombolan berseragam hitam ini
sama sekali tidak gugup. Dia sudah bersiap siaga untuk menghadapi setiap
serangan Dewa Obat Baju Putih. Dengan ruyung andalannya, dihadapinya kakek
berpakaian putih itu.


Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak pelak lagi, pertarungan yang lebih seru dan sengit kembali berlangsung.
Suara mendesing, mengaung, dan menderu mengiringi pertarungan yang terjadi antara kedua tokoh sakti itu.
Pertarungan yang terjadi berlangsung dalam tempo
tinggi. Jurus demi jurus berlalu demikian cepat.
Pertarungan tingkat tinggi itu disaksikan puluhan
pasang mata dengan hati berdebar tegang. Termasuk di antara yang menyaksikan
pertarungan itu adalah Dewa Arak, Melati, dan Raja Racun. Tentu saja belasan
orang berseragam hitam pun menyaksikan pula. Meskipun yang mereka lihat hanyalah
bayangan hitam dan putih yang tidak jelas
bentuknya. "Menurutmu..., siapa yang akan keluar sebagai
pemenang, Kang?" tanya Melati dengan suara pelan tanpa mengalihkan pandangan
dari pertarungan sengit itu.
"Kalau tidak ada perubahan mendadak, Dewa Obat Baju Putih akan keluar sebagai
pemenang," ujar Dewa Arak pelan.
Kesimpulan yang didapat Dewa Arak memang beralasan. Setelah pertarungan menginjak jurus ke delapan puluh, perlahan-lahan
sosok hitam yang memiliki gambar tengkorak di dahi mulai terdesak. Ruyung di
tangannya yang semula sering berkelebatan ke arah bagian tubuh Dewa Obat Baju
Putih, kini mulai jarang beraksi. Sekarang, senjata itu hanya digunakan untuk
bertahan saja. Singgg, trakkk...!
"Hih!"
"Ahhh...!"
Kejadian yang berlangsung demikian cepat. Tahu-
tahu, ruyung baja itu terlepas dari pegangan dan terlempar ke udara, ketika
pimpinan sosok berseragam hitam itu menangkis serangan pedang Dewa Obat Baju
Putih. Sama sekali tidak disangka kalau Dewa Obat Baju Putih langsung
menyentakkan pedangnya sehingga ruyung itu terbabat dan lepas.
Menyadari keadaan yang sangat berbahaya itu, sang
Pemimpin buru-buru melentingkan tubuh ke belakang untuk menyelamatkan diri.
Tapi, Dewa Obat Baju Putih yang sudah berada di atas angin nampaknya tidak mau
memberikan kesempatan kepada lawan. Dikejarnya lelaki berpakaian hitam itu dan
menghujaninya dengan serangan sepasang pedangnya. Akibatnya, pimpinan sosok
berseragam hitam itu terpontang-panting
ke sana kemari menyelamatkan nyawanya. Dan sekarang, keselamatan sang Pemimpin benar-
benar, bagai telur di ujung tanduk. Sampai akhirnya, tokoh yang mukanya
berselubung ini terjepit. Dan belum sempat bangkit dari bergulingnya saat pedang
Dewa Obat Baju Putih meluncur ke tubuhnya. Maka yang bisa dilakukan hanya
menanti maut dengan sepasang mata terbelalak ngeri.
Di saat yang amat genting bagi keselamatan pemimpin gerombolan itu, terdengar
sura jeritan melengking tinggi.
"Hiyaaat...!"
Suara itu ternyata berasal dari mulut Raja Racun.
Kakek tinggi kurus itu melompat menerjang Dewa Obat Baju Putih sambil
mengayunkan senjata andalannya, sebuah tongkat yang gagangnya berbentuk kepala
ular. Wukkk! Suara mengiuk keras terdengar ketika tongkat itu
diayunkan ke kepala Dewa Obat Baju Putih.
Pada saat yang bersamaan dengan gerakan Raja Racun, puluhan sosok berseragam
hitam pun meluruk ke arah Dewa Obat Baju Putih untuk menyelamatkan sang
Pemimpin. Maka belasan senjala tajam pun berkelebatan ke tubuh Dewa Obat Baju
Putih. Dewa Arak dan Melati terkejut bukan kepalang
melihat kejadian itu. Bukan karena melihat gerombolan itu menyerbu. Tapi ikut
sertanya Raja Racun dalam penyerangan itu, benar-benar menimbulkan keterkejutan
di hati merka. Bagai diperintah, sepasang pendekar muda ini melesat keluar dari tempat
persembunyiannya untuk menolong Dewa Obat Baju Putih. Melati berusaha mencegat
puluhan sosok berseragam hitam. Sedangkan Dewa Arak meluruk ke arah Raja Racun.
Sementara itu, Dewa Obat Baju Putih telah mengetahui adanya penyerbuan terhadap dirinya. Dalam waktu yang amat singkat,
benaknya berputar cepat. Dia tahu, penyerbuan yang datang dari puluhan sosok
berseragam hitam, bukan masalah baginya. Karena menurutnya, mereka dapat
dengan mudah dihalau setelah menyelesaikan pemimpinnya. Yang perlu mendapat perhatian adalah Raja Racun yang juga tengah
melesat ke arahnya.
Memang, perhitungan kakek berpakaian putih itu
sama sekali tidak salah. Kecepatan gerak Raja Racun menyebabkan
Dewa Obat Baju Putih segera memperhitungkan tindakannya. Karena jika serangannya diteruskan, pasti kepalanya
terkena tongkat lawan.
Dalam waktu yang sangat singkat itu, Dewa Obat Baju Putih mengambil keputusan.
Serangannya terhadap sang Pemimpin tetap diteruskan dengan pedang di tangan
kanannya. Sedangkan gebukan tongkat Raja Racun ditangkisnya dengan pedang di tangan kirinya.
Wuttt....! Tranggg!
"Aaakh...!"
Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Bentrokan
antara pedang Dewa Obat Baju Putih dan tongkat Raja Racun, serta menancapnya
pedang Dewa Obat Baju Putih di perut sang Pemimpin terjadi hampir berbarengan.
Tepat seperti yang telah diperhitungkan Dewa Obat Baju Putih.
"Ludira...!"
Jeritan melengking tinggi penuh keterkejutan, keluar dari mulut Raja Racun,
seiring dengan tubuhnya yang melesat ke tubuh pemimpin gerom bolan itu. Tongkat
yang berada di tangannya di lemparkan begitu saja.
"Ludira..."!"
Ucapan yang sama keluar dari mulut Dewa Obat Baju
Putih. Ketidakpercayaan dan keterkejutan yang dalam tersirat dalam ucapannya.
Dengan wajah bingung, ditatapnya Raja Racun yang telah berjongkok di dekat
pemimpin gerombolan berpakaian hitam itu. Tokoh misterius yang mengaku sebagai pelaku
pembantaian terhadap Perguruan Naga Terbang itu kini terkulai dengan napas satu-
satu. Darah segar mengalir dari bagian perutnya yang terobek lebar.
Ternyata bukan hanya Dewa Obat Baju Putih saja
yang terpaku kaku. Puluhan sosok berseragam hitam, Dewa Arak dan Melati yang
telah berada di situ pun ikut membisu penuh perasaan bingung.
Perkembangan kejadian yang mereka saksikan sama
sekali tidak dimengerti Dewa Arak dan Melati. Mereka hanya menyaksikan semua
peristiwa yang terjadi begitu cepat di depan mata.
"Ludira...!"
Dengan kedua bahu terguncang-guncang, Raja Racun
memeluk tubuh sosok hitam yang memiliki gambar tengkorak di dahi. "Kau tidak
boleh mati, Anakku...."
"I... ibu...! Kini... hatiku... lega.... Sakit hati ibu telah berhasil
kubalaskan.... Aku tidak akan mati penasaran...,"
ujar sosok berpakaian hitam yang dipanggil Ludira, terbata-bata.
"Tidak, Ludira! Kau tidak boleh mati!" pekik Raja Racun kalap. "Kau... kau akan
sembuh!" "Be... benarkah dia Ludira, Kanti?"
Dewa Obat Baju Putih yang tiba-tiba telah berada di situ menyapa Raja Racun.
Dewa Arak dan Melati yang mendengar semua
pembicaraan itu saling pandang. Raja Racun itu ternyata seorang wanita! Buktinya
sosok hitam yang tubuhnya tengah sekarat itu memanggilnya ibu. Bahkan Dewa Obat
Baju Putih menyapanya dengan nama Kanti. Nama yang hanya dimiliki oleh seorang
wanita. Karuan saja Dewa Arak dan Melati semakin bingung. Namun, karena tahu
jawabannya ada di mulut tiga sosok yang telah berkumpul itu, mereka berdiam diri
untuk mendengarkan.
Sementara itu, sebelum Raja Racun yang ternyata
seorang wanita dan bernama Kanti menjawab, sosok hitam yang bernama Ludira
mendahului menjawabnya.
"Be..., benar, Ayah. Aku Ludira!" ujar pimpinan sosok berseragam
hitam. Kemudian dengan susah payah, dicabutnya selubung yang menutupi wajahnya.
"Ludira...!"
Seketika itu pula Dewa Obat Baju Putih terpekik
ketika melihat seraut wajah muda berwajah tampan dan berkumis tipis yang saat
itu tengah dibanjiri keringat dingin.
Wajah itu memang dikenal betul. Wajah Ludira, anaknya!
Tanpa ragu-ragu lagi Dewa Obat Baju Putih memeluk
Ludira. Penyesalan tergambar jelas di wajahnya. Dia telah kesalahan tangan
terhadap putranya sendiri. Apalagi ketika disadari nyawa Ludira tidak akan
tertolong lagi, karena luka yang dideritanya sangat parah.
"Mengapa kau lakukan ini, Ludira"!" tanyn Dewa Obat Baju Putih penuh penyesalan.
Ludira tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Keadaannya yang parahlah penyebab utamanya. Beberapa saat kemudian, dengan suara
terputus-putus Ludira mulai berbicara.
"Orang-orang Perguruan Naga Terbang memang patut dibasmi, Ayah. Mereka orang-
orang terkutuk. Tahukah Ayah, apakah yang menyebabkan ibu meninggalkan Ayah"!"
Dewa Obat Baju Putih yang sama sekali tidak
menyangka akan mendengar ucapan seperti itu, terkejut.
Apalagi saat itu penyesalan tengah melandanya. Pikirannya tak mampu mencari
kata-kata untuk menanggapi pertanyaan Ludira. Maka, kepalanya digelengkan
perlahan. "Ketua Perguruan Naga Terbang itu telah memperkosa ibu ketika menginap di rumah
kita. Sejak kejadian itu, ibu merasa tidak berharga lagi hidup bersama Ayah.
Maka ibu pergi meninggalkan Ayah dengan hati hancur. Untung ibu bertemu seorang
ahli racun yang mengangkatnya menjadi murid. Ibu pun berlatih dengan tujuan
untuk membalas dendam...."
"Hahhh...!"
Dewa Obat Baju Putih terperanjat mendengar penuturan putranya. Karena masalah itu sama sekali tidak diketahuinya. Memang,
sekitar dua puluh tahun lalu, sahabatnya yang waktu itu belum mendirikan
Perguruan Naga Terbang pernah menginap di rumahnya. Saat itu Ludira baru berusia
sepuluh tahun. "Mengapa kau tidak menceritakan peristiwa itu
padaku, Kanti?" tanya Dewa Obat Baju Putih pada Raja Racun.
"Ibu sengaja tutup mulut karena khawatir Ayah akan membuat perhitungan terhada
si keparat itu. Ibu tidak ingin Ayah mati percuma di tangan Ketua Perguruan Naga
Terbang yang jelas memiliki kepandaian di atas Ayah."
Lagi-lagi Ludira menjawab dengan suara yang semakin melemah. Sedangkan Raja Racun hanya mengangguk-angguk menahan isak tangis.
"Agar Ayah mau menambah kepandaian, Ibu sengaja meninggalkan surat yang
mengatakan, kalau Ayah sanggup mengalahkannya, ibu baru bersedia tinggal kembali
bersama Ayah. Tapi, sampai dua kali pertarungan, Ayah tetap tidak bisa
mengalahkan ibu," lanjut Ludira.
Dewa Obat Baju Putih sama sekali tidak memberikan
tanggapan. "Lalu..., dari mana kau tahu cerita itu, Ludira?" tanya Dewa Obat Baju Putih
dengan suara berat. "Apakah ibumu yang menceritakannya?"
Ludira menggelengkan kepala.
"Dulu aku melihat kejadian terkutuk itu tetapi waktu itu aku belum mengerti.
Kalau saja Ibu tidak memaksaku berjanji untuk tutup mulut, hal itu telah
kuberitahukan pada Ayah."
"Tapi, mengapa kau yang membalaskan dendam itu"
Mengapa bukan ibumu?" desak Dewa Obat Baju Putih, penasaran.
Ibu kehilangan jejaknya. Dan aku yang sejak sepuluh tahun lalu belajar pada ibu,
mengajukan diri untuk
mencarinya. Kutaklukkan orang-orang golongan hitam agar membantu rencananku.
Syukur, aku berhasil dan dendam ibu telah berhasil kubalaskan. Aku puas dan...
akh...!" Kepala Ludira terkulai sebelum menyelesaikan ucapannya. Maut telah lebih dulu menjemputnya. Ludira tewas dengan senyum
tersungging di bibir.
"Ludira...!" rintih Raja Racun.
"Ludira...!" panggil Dewa Obat Baju Putih pula sambil mengguncang-guncangkan
tubuh pemuda berkumis tipis itu.
Melihat kejadian ini, Dewa Arak segera memberi
isyarat pada Melati agar meninggalkan tempat itu. Tanpa membantah, Melati segera


Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangkit dan melangkah mengikuti Dewa Arak. Dengan hati penuh rasa haru, sepasang
pendekar muda itu beranjak pergi.
Hembusan angin lembut sama sekali tidak berhasil
mengusir rasa terenyuh di hati mereka. Dewa Arak dan Melati semakin jauh
melangkah meninggalkan keluarga yang tengah berkabung itu.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Serial Dewa Arak
dalam episode-episodenya yang menarik:
1. PEDANG BINTANG
26. RAJA TENGKORAK 2. DEWI PENYEBAR MAUT
27. KEMBALINYA RAJA TENGKORAK 3. CINTA SANG PENDEKAR
28. TEROR MACAN PUTIH 4. RAKSASA RIMBA NERAKA
29. ILMU HALIMUN 5. BANJIR DARAH DI BOJONG GADING
30. DALAM CENGKERAMAN BIANG IBLIS
6. PRAHARA HUTAN BANDAN
31. PERKAWINAN BERDARAH 7. RAHASIA SURAT BERDARAH
32. ALGOJO- ALGOJO BUKIT LARANGAN
8. PENGANUT ILMU HITAM
33. MAKHLUK DARI DUNIA ASING
9. PENDEKAR TANGAN BAJA
34. RUNTUHNYA SEBUAH KERAJAAN
10. TIGA MACAN LEMBAH NERAKA
35. KEMELUT RIMBA HIJAU 11. MEMBURU PUTRI DATUK
36. TOKOH DARI MASA SILAM 12. JAMUR SISIK NAGA
37. RAHASIA SYAIR LELUHUR 13. PENINGGALAN IBLIS HITAM
38. NERAKA UNTUK SANG PENDEKAR
14. SEPASANG ALAP-ALAP BUKIT GANTAR 39.
MISTERI DEWA SERIBU KEPALAN
15. TINJU PENGGETAR BUMI
40. GEROMBOLAN SINGA GURUN
16. PEWARIS ILMU TOKOH SESAT
41. MACAN- MACAN BETINA 17. KERIS PEMINUM DARAH
42. EMPAT DEDENGKOT PULAU KARANG
18. KELELAWAR BERACUN
43. GARUDA MATA SATU 19. PERJALANAN MENANTANG MAUT
44. TAWANAN DATUK SESAT 20. PELARIAN ISTANA HANTU
45. MISTERI RAJA RACUN 21. DENDAM TOKOH BUANGAN
46. PENDEKAR SADIS 22. MAUT DARI HUTAN RANGKONG
47. BENCANA PATUNG KERAMAT 23. SETAN MABUK
48. 24. PERTARUNGAN RAJA-RAJA ARAK
49. 25. PENGHUNI LEMBAH MALAIKAT
50. Dendam Jago Kembar 1 Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Pengelana Rimba Persilatan 9
^