Pencarian

Panggilan Ke Alam Roh 2

Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh Bagian 2


kan nama. Padahal, aku sudah memperkenalkan diri
sejak tadi."
Pemuda berambut putih keperakan hampir sa-
ja tidak kuat menahan rasa geli yang menggelitik hatinya. Baru saja Pergiwa
memujinya dengan mengata-
kan baik, tapi belakangan mengatakannya curang.
Siapa yang tidak merasa geli.
"Ayo! Cepat katakan siapa dirimu!" desak Pergiwa tidak sabar.
5 "Namaku Arya Buana. Tapi, lebih baik kau
panggil aku Arya." Pemuda berambut putih keperakan itu memperkenalkan diri
dengan suara pelan.
"Arya...." Pergiwa mengulang nama itu seraya mengernyitkan dahi. Ia tengah
mengingat-ingat sesuatu.
Melihat sikap gadis berpakaian merah, pemuda
berambut putih keperakan yang tidak lain Arya Buana atau yang lebih terkenal
dengan julukan Dewa Arak ini tahu tak lama lagi Pergiwa akan mengenal siapa
dirinya. Gadis berpakaian merah ini jelas telah mengen-al namanya.
Kekhawatiran pemuda itu memang tidak berle-
bihan. Sesaat kemudian kernyitan pada dahi yang ha-
lus itu lenyap. Wajah Pergiwa berseri-seri. Dengan sepasang matanya yang bening
dan berbinar-binar, ga-
dis berpakaian merah ini menatap Arya lekat-lekat da-ri ujung rambut sampai ke
ujung kaki. Sepasang mata itu lebih lama berhenti pada rambut dan pakaian
Arya. Kemudian, dengan sikap sungguh-sungguh Per-
giwa berjalan mengelilingi Arya. Ia berhenti di belakang pemuda itu. Arya tahu
apa yang dilakukannya.
Apalagi kalau bukan memperhatikan guci di pung-
gungnya. "Sekarang aku tahu siapa dirimu, Arya," jawab Pergiwa seraya menyunggingkan
senyum lucu setelah
kembali berada di depan Arya. "Ciri-ciri mu sering sekali kudengar dari Guru.
Beliau pernah bercerita tentang seorang pendekar muda yang memiliki kepan-
daian amat tinggi. Ia telah merobohkan banyak penjahat-penjahat sakti! Orang itu
berjuluk Dewa Arak!
Pasti kau Dewa Arak. Betul kan"!"
"Kalau boleh ku tahu siapa gurumu, Pergiwa?"
Arya berusaha mengalihkan pembicaraan karena dia
merasa tidak enak Pergiwa memuji-mujinya.
"Guruku berjuluk Harimau Terbang Berkuku
Seribu. Orang yang dicari-cari Malisang!" jawab Pergiwa kurang bersemangat.
Ingatan tentang gurunya
mengingatkan dia akan kakak seperguruannya, Guna-
ran. Dia telah dijodohkan dengan Gunaran.
Semula Pergiwa tidak terlalu menganggap pus-
ing masalah perjodohan itu. Kakak seperguruannya
tampan, lihai, dan juga baik hati. Apalagi yang ku-
rang" Tapi sekarang setelah melihat Dewa Arak, Per-
giwa mulai ragu dan menyesalkan perjodohan itu. Di-
bandingkan dengan Dewa Arak, Gunaran sama sekali
tidak ada artinya. Gunaran kalah segala-galanya.
Dewa Arak tidak hanya unggul dalam kesak-
tian. Dalam ketampanan pun pemuda berambut putih
keperakan ini tidak kalah dengan Gunaran. Malah, ketampanan Arya dianggap
Pergiwa lebih menarik. Jan-
tan dan matang! Terlihat jelas kalau pemuda beram-
but putih keperakan itu telah kenyang dengan penga-
laman hidup. Sikapnya demikian tenang dan meya-
kinkan. Kebaikan Dewa Arak pun tidak kalah dengan
Gunaran. Pemuda di hadapannya ini telah menyum-
bangkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghan-
curkan angkara murka yang merajalela di persada.
"Ada yang salah dengan ucapanku, Pergiwa?"
tanya Arya ingin tahu karena melihat gadis berpakaian merah tercenung. Ia tampak
kurang bersemangat.
"Ah...! Sama sekali tidak, Dewa Arak!" jawab Pergiwa gugup. Gadis cantik itu
berusaha tersenyum, tapi terlihat janggal.
"Syukurlah!" Meski tahu Pergiwa berbohong Dewa Arak tidak mendesak. "Aku sudah
khawatir ucapanku menyinggung perasaanmu. Dan, panggil sa-
ja aku Arya. Tidak usah Dewa Arak segala. Tidak enak rasanya."
Pergiwa diam saja. Wajahnya masih terlihat
muram. "Kau belum menceritakan mengapa kau ben-trok dengan lelaki berkulit hitam
legam tadi. Apakah dia yang bernama Malisang" Tempat tinggalmu di sini"
Dan, apa hubungannya kau dengan wanita yang tewas
itu" Jawablah kalau kau mau menjawabnya, Pergiwa.
Kalau kau tidak ingin, lupakan saja pertanyaanku."
"Tidak ada yang rahasia, Arya. Jadi, kurasa tidak ada salahnya kalau kuceritakan
padamu. Aku tinggal bersama guruku, Harimau Terbang Berkuku
Seribu dan kakak seperguruanku yang bernama Gu-
naran. Sebelum mempunyai murid kami, guruku telah
mempunyai dua orang murid yang telah cukup ter-
kenal di dunia persilatan. Mereka berjuluk Pendekar Macan Putih dan Pendekar
Macan Hitam. Gunaran
adalah anak dari Pendekar Macan Putih."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Dia telah
mendengar julukan sepasang pendekar itu, yang ter-
kenal belasan tahun lalu sebagai pembela-pembela
kebenaran. "Beberapa hari yang lalu Gunaran kedatangan
seorang kurir yang diutus ibunya. Entah apa yang terjadi sehingga Gunaran
dipanggil pulang. Aku yang
khawatir akan terjadi sesuatu segera menyusul Guna-
ran. Wanita yang tewas itu adalah ibunya Gunaran.
Sedangkan rumah ini tempat tinggal Gunaran dan ke-
luarganya. Aku tahu tempat ini karena Gunaran per-
nah menceritakannya. Sayang, aku terlampau bodoh
sehingga tidak mampu menyelamatkan nyawa ibunya
Gunaran. Bahkan kalau tidak ada kau, aku pun akan
tewas." Pergiwa menutup ceritanya dengan suara penuh rasa penyesalan.
Arya termenung sejenak memikirkan kejadian
itu. "Aku rasa ini ada hubungannya dengan Harimau Terbang Berkuku Seribu.
Bukankah Malisang, lelaki
yang tadi hendak membunuhmu, bermaksud mencari
Harimau Terbang Berkuku Seribu"!" Arya menyatakan dugaannya.
"Mungkin saja." Pergiwa menjawab tidak pasti.
"Kalau begitu mari kita kuburkan ibunya Gu-
naran. Setelah itu baru menyelidiki penyebab peristi-wa ini!" ajak Arya.
*** Usai menguburkan mayat ibunya Gunaran,
Arya dan Pergiwa meninggalkan tempat itu. Mereka
memutuskan untuk mengusut kejadian itu lewat Gu-
naran. Baik Arya maupun Pergiwa merasa yakin sebe-
lum meninggal ibunya Gunaran telah memberitahu-
kan sesuatu yang menyebabkan Gunaran di-panggil
pulang. Sesuatu itu yang telah mendorong Gunaran
pergi meninggalkan rumah.
Arya dan Pergiwa menggunakan ilmu lari cepat
agar dapat menyusul Gunaran. Mereka telah mempu-
nyai perkiraan ke mana Gunaran pergi, karena jalan
yang ada di depan rumah Gunaran hanya menuju ke
dua arah! Yang satu arah yang ditinggalkan, sedangkan yang lain arah kedatangan
Malisang. Mengetahui kepandaian Pergiwa tidak bisa di-
bandingkan dengan dirinya, Arya tidak mengerahkan
seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Hanya sekadar
untuk membuat larinya bersisian dengan Pergiwa.
"Kau yakin wanita itu murid Harimau Terbang
Berkuku Seribu, Pasu"!"
Seruan tidak keras tapi bergema ke sekitar
tempat di mana Arya dan Pergiwa berada mengagetkan
sepasang muda-mudi itu. Saat itu Arya dan Pergiwa
berada di jalan setapak yang di kanan kirinya banyak ditumbuhi pohon besar
berdaun rim-bun.
"Aku yakin, Ayah. Bukankah setiap murid ka-
kek bongkok itu mempunyai ciri khusus" Kulihat di
punggung tangan kirinya tergambar kepala seekor ha-
rimau!" Sebuah suara lain menyambuti. Sama seperti sebelumnya, suara kedua ini
pun sukar untuk diketahui dari mana asalnya. Suara itu bagaikan muncul
dari segenap penjuru.
Arya dan Pergiwa menghentikan langkah. Me-
reka mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lebih te-
patnya lagi, Arya yang mengedarkan pandangan se-
dangkan Pergiwa hanya mengikuti ke mana pemuda
berambut putih keperakan itu mengarahkan pandan-
gan. "Kau tahu di mana mereka, Arya?" tanya Pergiwa setelah melihat pemuda itu
tidak segera menujukan pandangannya ke satu arah. Pergiwa tidak meli-
hat apa pun kecuali pohon-pohon besar berdaun rim-
bun. "Belum bisa kupastikan, Pergiwa. Yang jelas
mereka mengetahui tempat kita berada. Sedangkan ki-
ta tidak mengetahui tempat mereka. Celakanya lagi
mereka mengenalmu. Dan, tampaknya mempunyai
urusan dengan Harimau Terbang Berkuku Seribu," bisik Arya lirih.
"Aneh...!" Pergiwa berujar tanpa menyembunyikan rasa herannya. "Aku tahu kau
memiliki kepandaian tinggi. Bahkan guruku amat mengagumimu.
Mengapa kau tidak bisa mengetahui di mana pemilik
suara-suara itu berada, Arya?"
"Kalau kau telah terjun ke dunia persilatan seperti aku, tentu kau tidak akan
menganggapku memi-
liki kepandaian tinggi. Asal kau tahu saja, Pergiwa. Di dunia ini amat banyak
tokoh-tokoh persilatan yang
memiliki kepandaian tinggi, bahkan jauh lebih tinggi daripada ku. Bukan tidak
mungkin orang-orang yang
baru saja bersuara itu termasuk di antara tokoh-tokoh yang lebih tinggi
kepandaiannya dari aku!"
"Tidak mungkin!" bantah Pergiwa tidak percaya. "Kalau benar banyak tokoh
persilatan yang memiliki kepandaian melebihi mu, sudah sejak lama kau tewas,
Dewa Arak! Kau terlalu merendah diri!"
"Lalu, bagaimana jawabmu mengenai ketidak-
tahuan ku akan keberadaan mereka yang tengah ber-
cakap-cakap itu?" pancing Arya ingin tahu.
Pergiwa membisu.
"Mungkin kau bisa memberitahukannya pada-
ku, Arya. Yang jelas aku tidak setuju dengan sikapmu.
Memiliki sifat sombong memang tidak baik, tapi terlalu memandang tinggi lawan
dan merendahkan diri terus
pun tidak bagus. Itu akan membuat nyali kita kecil!"
Arya tersenyum lebar mengetahui kebenaran
pendapat Pergiwa. Dia tidak memiliki nyali kecil.
Hanya hendak membuka kesadaran Pergiwa kalau di
dunia ini tidak hanya Dewa Arak saja tokoh yang paling sakti. Masih banyak
tokoh-tokoh lainnya. Agar
nanti apabila Dewa Arak roboh di tangan salah satu
tokoh persilatan, Pergiwa tidak terlampau kaget yang mengakibatkan hal-hal yang
tak diinginkan. Dia merasa bersyukur mendengar pendapat gadis berpakaian
merah itu. "Aku banyak menjumpai hal-hal seperti ini,
Pergiwa. Memang tidak selalu orang yang dapat mem-
buat sumber suaranya tidak diketahui memiliki ke-
pandaian tinggi. Tapi, yang jelas dia memiliki kepandaian luar biasa. Setidak-
tidaknya tenaga dalam yang dimilikinya amat kuat. Cara dia menyampaikan seruan
tadi menggunakan ilmu memindahkan suara,
sehingga suaranya seperti berasal dari delapan penju-ru angin."
"Ha ha ha...! Rupanya kau memang benar-
benar lihai, Dewa Arak! Berita yang kudengar menge-
nai kesaktianmu ternyata tidak berlebihan. Buktinya kau tahu ilmu yang
kupergunakan!" sambut suara pertama yang tadi terdengar.
"Tidak usah banyak bicara!" Pergiwa segera menyambuti, mendahului Dewa Arak.
"Kalau kau memang bukan seorang pengecut tunjukkan dirimu!"
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan, Wanita
Liar!" Belum juga gema ucapan itu lenyap, terdengar bunyi berkerosokan dari
sebatang pohon besar yang
berada di sebelah kanan Arya dan Pergiwa. Sesaat
kemudian, dua sosok bayangan melesat ke bawah dan
menjejak tanah tanpa menimbulkan bunyi.
Arya dan Pergiwa segera memperhatikan dua
sosok tubuh itu. Seorang kakek yang telah sangat tua.
Usianya tak kurang dari seratus tahun. Tubuhnya te-
lah bungkuk, meski terlihat agak kekar untuk ukuran
seorang kakek. Rambut kumis, alis, dan jenggotnya telah memutih! Sepintas lalu
kakek ini tidak menimbulkan kesan menyeramkan. Apalagi tegak tubuh bong-
koknya karena ditunjang sebatang tongkat pada tan-
gan kanan. Sosok kedua lebih menimbulkan keangkeran
bagi orang yang melihatnya. Tubuhnya tinggi besar.
Pakaiannya berupa rompi coklat. Kulit wajahnya me-
rah. Sekujur tangan dan dadanya yang tidak ter-tutup rompi dipenuhi bulu-bulu
hitam lebat Berbeda dengan Pergiwa, Arya tahu kakek
bongkok itu jauh lebih berbahaya daripada lelaki be-rompi coklat yang mungkin
berusia tujuh puluh ta-
hun. Pemuda berambut putih keperakan itu pun me-
musatkan perhatian pada kakek bongkok.
"Akhirnya kalian berani menunjukkan hidung
juga! Jangan kalian kira dengan demikian aku akan
menganggap kalian tidak bersikap pengecut. Aku tahu kalian merasa terpaksa
memunculkan diri. Malu karena takut kami anggap pengecut bukan" Padahal, ka-
lian memang tak lebih dari pengecut-pengecut keji!"
Tajam dan pedas bukan main kata-kata Pergi-
wa. Gadis berpakaian merah ini memang memiliki ke-
beranian yang besar. Tidak takut akan akibat apa
pun. Yang diperbuatnya hanya satu, mengeluarkan
perkataan semuanya tanpa dipikir. Arya sendiri yang tidak menduga hal itu kaget
bukan main mendengarnya. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan
ini menyesalkan sikap Pergiwa yang ceroboh. Pergiwa terlalu berani. Padahal,
Arya tahu dua tokoh yang
berdiri di depannya ini tokoh-tokoh tingkat atas. Tapi, apa daya" Nasi telah
menjadi bubur. Ucapan telah di-keluarkan. Tak mungkin ditarik kembali. Yang
dapat mereka lakukan hanya menanti akibatnya.
Arya semakin bersikap waspada ketika melihat
perubahan pada wajah kedua lelaki di hadapannya.
"Iiih...!"
Pergiwa sendiri tanpa sadar mengeluarkan pe-
kikan tertahan ketika melihat kakek bongkok yang sejak tadi menatap ke bawah
seperti mencari sesuatu
mengangkat kepalanya. Gadis berpakaian merah ini


Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat sepasang mata yang mencorong tajam, seperti mata harimau dalam gelap!
Hijau dan menyilaukan!
Pergiwa sampai melangkah mundur setindak
karena kagetnya. Sedangkan Arya yang sejak tadi bersiap siaga makin mempertebal
kewaspadaannya. Sinar
sepasang mata yang mencorong kehijauan dan seperti
itu menjadi pertanda kekuatan tenaga dalamnya yang
luar bisa. "Sungguh berani kau mengeluarkan ucapan
seperti itu, Wanita Liar!" Pelan dan satu persatu kakek bongkok mengeluarkan
kata-katanya. Tapi yang membuat hati Arya berdebar tegang adalah karena tidak
terlihat bibir kakek itu bergerak! Padahal, suara yang keluar terdengar jelas.
Meski tidak terlalu keras, tapi getarannya sampai ke dada.
"Padahal, gurumu sendiri tak akan berani ber-
kata seperti ini! Malah, sejak puluhan tahun dia bersembunyi dariku. Kalau kau
tidak mau memberi pe-
tunjuk di mana dia berada, jangan harap kau akan selamat dari tanganku! Ingin
kulihat apa yang bisa diperbuat Dewa Arak untuk menyelamatkanmu!"
"Kakek bongkok tidak tahu malu!" Pergiwa
yang tidak mudah digertak, menjadi semakin meluap
amarahnya. "Orang seusia kau seharusnya sudah tidak memikirkan kekerasan lagi.
Hidup tenang sambil
menimang-nimang cucu!"
"Mulutmu semakin kurang ajar, Wanita Liar!
Biarlah aku yang mewakili gurumu untuk menghan-
curkan mulutmu!"
Usai berkata demikian, kakek bongkok mengu-
lurkan tangan kanannya bergerak hendak mencengke-
ram mulut yang memiliki bibir indah itu. Jarak antara kakek bongkok dengan
Pergiwa tak kurang dari satu
tombak. Tapi, tangan kakek bongkok ternyata dapat
mulur dan terus mengancam mulut Pergiwa.
Pergiwa tentu saja tidak membiarkan mulutnya
diremas hancur. Dia bersiap hendak melompat ke be-
lakang ketika melihat tangan kakek bongkok bisa mu-
lur. Tapi, sebelum gerakan itu dilakukan, gadis berpakaian merah ini melihat
jari telunjuk kiri kakek bongkok menjentik perlahan. Sesaat kemudian, Pergiwa
merasakan sekujur tubuhnya lemas. Jalan darahnya
telah tertotok. Ini menyebabkan ia hanya bisa menanti tibanya serangan dengan
sepasang mata membelalak
ngeri. Sungguh tidak disangka kakek bongkok ini de-
mikian lihai. Ingin Pergiwa menjerit minta tolong pada Dewa Arak, tapi suaranya
seperti tercekik di tenggoro-kan! "Jangan terlalu kejam terhadap seorang muda,
Kek." Arya yang memiliki mata tajam dan tahu Pergiwa tidak berdaya segera
membuka suara. Dengan berani
pemuda berambut putih keperakan ini memapaki lun-
curan tangan kakek bongkok dengan hantaman tan-
gan kanan. Arya mengerahkan seluruh tenaga dalam-
nya. 6 Prattt! Tubuh kedua belah pihak terhuyung ke bela-
kang akibat benturan keras itu. Dewa Arak dua lang-
kah lebih jauh terhuyungnya dari kakek bongkok.
Kenyataan ini sangat mengejutkan Arya. Me-
mang sudah dapat diduga kakek bongkok ini memiliki
tenaga dalam luar biasa mengingat umurnya yang su-
dah sangat lanjut. Paling tidak kekuatan tenaga dalam telah dihimpun hampir
seratus tahun! Sedangkan
Arya tidak sampai dua puluh tahun.
Meski demikian, Arya sungguh tidak menyang-
ka akan sedahsyat ini tenaga dalam yang dimiliki kakek bongkok. Benturan yang
terjadi membuat tangan
Arya kesemutan dan seperti lumpuh!
"He he he...!"
Kakek bongkok terkekeh, mulutnya yang su-
dah ompong dan tidak bergigi lagi terbuka lebar.
"Hanya sampai di Situ sajakah kemampuan
yang kau miliki, Dewa Arak" Kali ini kau akan tewas di tanganku. He he he...!"
Masih dengan tawa terkekeh, kakek bongkok
melakukan gerakan mendorong dengan tangan kanan.
Dari telapak tangan yang terbuka itu meluncur se-
rangkum angin keras ke arah dada Dewa Arak.
Arya tidak berani bertindak sembrono. Berge-
gas ia melompat menghindar seraya tak lupa memba-
wa tubuh Pergiwa ke tempat yang aman dan membe-
baskan totokannya.
"Hati-hati, Pergiwa," demikian bisikan yang di-berikan oleh pemuda berambut
putih keperakan itu
sebelum melompat menjauhi Pergiwa, khawatir gadis
berpakaian merah itu akan terkena serangan nyasar.
Tahu kalau lawan yang dihadapinya bukan
orang sembarangan, Dewa Arak segera menggunakan
ilmu andalan 'Belalang Sakti'! Dengan ilmu itu amu-
kan kakek bongkok dihadapinya.
Pada awalnya Dewa Arak tidak berani mema-
paki serangan-serangan lawan. Pemuda berambut pu-
tih keperakan ini hanya berlompatan ke sana kemari
menghindar. Beberapa kali tubuhnya terhuyung-
huyung ketika angin pukulan jarak jauh kakek bong-
kok lewat di dekatnya.
Sambil terus berlompatan, Dewa Arak memutar
benaknya. Pemuda berambut putih keperakan itu
memikirkan cara untuk menangkal serangan lawan.
Memapaki dengan kekerasan hanya akan merugikan
dirinya karena tenaga dalam kakek bongkok jelas be-
rada di atasnya. Tapi, mengelak terus-menerus pun tidak baik. Bukan tidak
mungkin akhirnya ia akan ter-
kena serangan-serangan lawan yang demikian gencar.
Semula Dewa Arak bermaksud menguras tena-
ga dalam lawan. Dia tahu serangan jarak jauh banyak menguras tenaga. Tapi,
dugaan pemuda berambut putih keperakan ini keliru. Kakek bongkok meski telah
belasan kali melancarkan pukulan jarak jauh tidak
terlihat lelah. Bahkan, serangan-serangannya semakin bertubi-tubi.
Melihat kenyataan ini, Arya segera tahu kakek
bongkok agaknya telah mengkhususkan diri menda-
lami ilmu pukulan jarak jauh. Sehingga, meski sering digunakan tidak berpengaruh
buruk terhadapnya.
Bahkan, mungkin ilmu pukulan jarak jauh merupa-
kan ilmu simpanannya.
Yang membuat Dewa Arak semakin kagum
adalah tenaga dalam kakek bongkok seperti tidak pernah habis. Pukulan-pukulannya
pun tidak pernah di-
lancarkan dengan menggunakan kedua tangan, me-
lainkan dengan satu tangan tapi silih berganti. Dewa Arak jadi kewalahan karena
tidak mempunyai kesempatan untuk melancarkan serangan.
Beberapa kali, di waktu mempunyai kesempa-
tan baik, Dewa Arak melancarkan serangan balasan.
Tapi, selalu kandas karena di sekeliling tubuh kakek bongkok seperti ada dinding
kasat mata yang membuat serangannya tidak dapat mengenai tubuh kakek
itu. Akibatnya, sejak pertarungan terjadi Dewa
Arak hanya bisa bermain kucing-kucingan.
Kenyataan ini membuat kesabaran Dewa Arak
hampir habis. Ternyata perasaan yang sama pun me-
landa hati kakek bongkok.
"Ternyata julukan Dewa Arak yang terkenal
hanya kabar bohong belaka! Apakah tidak ada cara
lain yang bisa kau lakukan selain bermain kucing-
kucingan seperti ini, Dewa Arak"!"
Ejekan kakek bongkok bagaikan minyak yang
disiramkan ke api. Dewa Arak yang memang sudah
hampir habis kesabaran jadi semakin kalap. Berun-
tung, akal sehatnya masih menahannya untuk tidak
bertindak gegabah.
Sebagai seorang pemuda yang telah kenyang
pengalaman, Dewa Arak menyadari kalau kakek bong-
kok itu memiliki tenaga dalam yang demikian dahsyat tapi usia tua tidak dapat
dikalahkannya. Kakek bongkok itu akan cepat lelah dan tidak
memiliki napas panjang. Urat-uratnya pun tidak se-
kuat orang yang masih muda. Jelas, kakek bongkok
itu akan sukar untuk bergerak lincah. Apalagi mem-
buru Dewa Arak yang memiliki ilmu mukjizat 'Belalang Sakti' dengan ilmu jurus
'Delapan Langkah Belalang'!
Selain Dewa Arak dan kakek bongkok ternyata
masih ada orang lain yang tidak sabar menyaksikan
jalannya pertarungan. Orang itu adalah kakek berkulit muka merah.
"Ayah, biarlah aku yang menangkap gadis liar
itu!" Tanpa menunggu tanggapan kakek bongkok
yang menjadi ayahnya, kakek bermuka merah me-
langkah lebar menghampiri Pergiwa.
Pergiwa agak panik melihatnya. Pengalaman
dengan kakek bongkok membuatnya sadar kalau ke-
pandaian yang dimilikinya hampir tidak berarti. Rasa percaya dirinya berkurang.
Maka, ketika kakek bermuka merah yang memiliki perbawa angker meng-
hampirinya, Pergiwa menjadi gugup. Meski demikian,
gadis berpakaian merah ini tidak kehilangan akal untuk menyelamatkan diri.
"Tidak tahu malu! Pengecut hina! Apakah kau
hanya berani terhadap seorang gadis muda" Kalau
kau berani, nanti hadapi Dewa Arak setelah pendekar perkasa itu mengalahkan
ayahmu yang ringkih! Tentu
saja kalau kau takut terhadapnya dan kau memang
berwatak pengecut, aku tidak bisa berkata apa-apa!"
Langkah kakek bermuka merah terhenti. Wa-
jah putra kakek bongkok itu jadi semakin merah. Pergiwa memang ahli dalam hal
memaki-maki orang. Se-
kali ucap saja, gadis berpakaian merah itu menyebut kata-kata pengecut beberapa
kali! Makian ini membuat kakek bermuka merah bimbang. Tapi hal itu ti-
dak berlangsung lama. Kakek bermuka merah kembali
mengayunkan langkah menghampiri Pergiwa.
Pergiwa tahu makiannya tidak manjur lagi.
Maka, tanpa berani menunggu lebih lama, tangan ka-
nannya segera dimasukkan ke dalam buntalan kecil
yang berada di selipan ikat pinggangnya. Pergiwa
mengambil senjata-senjata rahasianya yang berupa jarum-jarum tajam!
"Hih!"
Sepasang mata kakek bermuka merah sekilas
memancarkan sinar kagum melihat jarum-jarum yang
dilemparkan Pergiwa. Ketika dilepaskan jarum-jarum
itu bergerombolan, tapi di pertengahan jalan mereka memisahkan diri mencari
daerah penyerangan sendiri-sendiri. Hebatnya, tiap jarum menuju jalan darah
mematikan. *** "Hmh...!"
Kakek bermuka merah mendengus. Ia meman-
dang remeh serangan Pergiwa.
"Permainan seperti ini kau pertunjukkan pada
Iblis Muka Merah"!"
Sepasang mata kakek bermuka merah sekilas
memancarkan sinar kagum melihat jarum-jarum yang dilemparkan Pergiwa. Ketika
dilepas, jarum-jarum itu bergerombolan. Tapi di pertengahan jalan mereka
memisahkan diri mencari daerah penyerangan sendiri-sendiri. Hebatnya, tiap jarum
menuju jalan darah mematikan!
Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, ka-
kek bermuka merah yang mengaku berjuluk Iblis Mu-
ka Merah mendorong kedua tangannya terbuka ke de-
pan. Tampak kedua tangan itu bergetar ketika Iblis
Muka Merah mengerahkan tenaga dalam. Sesaat ke-
mudian, pemandangan yang menakjubkan pun terja-
di. Benar-benar menakjubkan! Bahkan, sepasang
mata Pergiwa terbelalak heran. Gadis berpakaian me-
rah ini tidak percaya akan pemandangan yang ter-
pampang di hadapannya. Jarum-jarum tersedot ke
arah kedua tangan yang dijulurkan itu. Jarum-jarum
yang telah berpencar mencari sasaran serangan sendi-ri-sendiri mendadak meluncur
ke satu arah, menuju
kedua telapak tangan Iblis Muka Merah yang terbuka.
Tapi, sebelum jarum-jarum itu menembus tela-
pak tangan Iblis Muka Merah, kedua tangan yang dijulurkan itu bergetar keras.
Jarum-jarum Pergiwa sekarang berbalik arah menyerbu pemiliknya sendiri!
Pergiwa tidak mau mencari penyakit. Buru-
buru dia melompat ke samping kanan. Tapi, betapa
kaget gadis berpakaian merah itu melihat jarum-jarum beracun tetap meluncur ke
arahnya. Jarum-jarum itu
seperti mempunyai nyawa. Mereka mengejar Pergiwa.
Jarum-jarum itu meluncur mengikuti arah gerakan
tangan Iblis Muka Merah!
Pergiwa bersalto beberapa kali di udara setelah
melempar tubuhnya ke belakang. Begitu kedua ka-
kinya menjejak tanah dilihatnya jarum-jarum itu ma-
sih meluncur ke arahnya. Padahal, gadis berpakaian
merah ini telah berada cukup jauh.
Kenyataan ini menyadarkan Pergiwa kalau
mengelak tidak berguna sama sekali. Tindakan itu
hanya akan menyebabkan dirinya terus dikejar jarum-
jarum itu. Maka, kali ini Pergiwa tidak mengelak lagi.
Dengan modal nekat, gadis berpakaian merah itu men-
julurkan kedua tangannya. Dia bermaksud mencegah
laju jarum-jarum dengan tenaga dalamnya.
Pergiwa mengerahkan seluruh tenaga dalam-
nya. Usahanya ternyata tidak sia-sia. Gerakan jarum-jarum itu tertahan. Dan
terhenti sama sekali bagai ada tangan tak nampak yang menahan lajunya.
Namun hal itu hanya berlangsung sebentar sa-
ja. Begitu Iblis Muka Merah menambah kekuatan te-
naga dalamnya, jarum-jarum itu bergerak kembali ke
arah Pergiwa dengan kecepatan lebih lambat.
Pergiwa menggertakkan gigi dalam usahanya
mengerahkan tenaga dalam sampai ke puncak. Kenda-
ti demikian, usahanya boleh dibilang tidak membua-
hkan hasil. Jarum-jarum itu terus meluncur ke arah-
nya. Bahkan lebih cepat ketika Iblis Muka Merah me-
nambah sedikit tenaganya.
Keadaan Pergiwa yang terdesak hebat tidak lu-
put dari perhatian Dewa Arak. Memang, meski tengah
sibuk menghadapi hujan serangan lawan, Dewa Arak
tidak lengah terhadap nasib Pergiwa. Beberapa kali
pemuda berambut putih keperakan ini mengerling ke
arah Pergiwa.

Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa Arak tahu Pergiwa telah bermain api!
Adu tenaga dalam antara Pergiwa dan Iblis Muka Me-
rah hanya akan berakhir apabila salah satu di antara
mereka tewas. Apabila perbedaan tenaga dalam kedua
orang itu tidak terlampau jauh mungkin yang kalah
hanya akan terluka parah. Padahal, Dewa Arak tahu
pasti Iblis Muka Merah memiliki tenaga dalam jauh di atas Pergiwa. Dengan kata
lain, Pergiwa pasti akan celaka! Dewa Arak tidak menginginkan Pergiwa tewas.
Maka begitu mendapat kesempatan mengelakkan se-
rangan kakek bongkok, pemuda berambut putih kepe-
rakan itu mengirimkan pukulan jarak jauh dengan
mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang' memapaki
jarum-jarum yang semakin mendekati tubuh Pergiwa.
Bresss! Bunyi letupan tertahan terdengar. Pukulan ja-
rak jauh Dewa Arak menumbuk jarum-jarum yang
tengah dipermainkan dua kekuatan tenaga dalam.
Benturan itu menyebabkan jarum-jarum berpentalan
dan melenyapkan dua tenaga dalam yang telah saling
melekat "Uh...!"
Iblis Muka Merah maupun Pergiwa mengelua-
rkan keluhan ketika tubuh mereka terhuyung-huyung
ke belakang. Dewa Arak tanpa membuang waktu segera me-
lesat menyambar tubuh Pergiwa dan berlari secepat
mungkin meninggalkan tempat itu. Iblis Muka Merah
tidak tinggal diam. Bergegas dia melesat mengejar. Ta-pi, baru beberapa tindak
kakinya langsung dihentikan ketika mendengar seruan mencegah.
"Tidak usah dikejar! Kita masih mempunyai
urusan yang lebih penting! Membunuh seorang seperti Dewa Arak dapat dilakukan
belakangan!"
Iblis Muka Merah tidak membantah. Tubuhnya
dibalikkan dan melesat cepat meninggalkan tempat itu mengikuti langkah kakek
bongkok. "Kau yakin akan dapat menemukan tempat ke-
diaman Harimau Terbang Berkuku Seribu, Ayah?"
tanya Iblis Muka Merah tidak yakin.
"Selama wanita liar itu belum meninggalkan je-
jaknya selama tujuh hari, bekas perjalanan yang dila-luinya akan bisa ku
telusuri. Dan, tempat tinggal Harimau Terbang Berkuku Seribu pun akan dapat kita
temukan!" Iblis Muka Merah mengangguk-anggukkan ke-
pala. Entah apa arti anggukkannya. Hanya kakek ber-
kulit merah itu sendiri yang mengetahuinya.
*** Gunaran mengernyitkan alis. Heran melihat
suasana lengang yang meliputi bagian dalam bangu-
nan yang terkurung pagar kayu bulat tinggi. Daun
pintu gerbang terkuak sedikit. Dari celah-celah itu pemuda berpakaian kuning tua
mengintai. Tidak di-jumpainya seorang pun di dalam halaman yang luas
dan di bagian depan bangunan.
Gunaran mulai merasa ragu akan kebenaran
berita yang didapatnya. Benarkah ini tempat tinggal Pendekar Macan Hitam dan
anaknya yang dikuasai
oleh Gerombolan Serigala Belang" Kalau benar demi-
kian, mengapa kelihatan demikian sepi" Bukankah
menurut para penduduk yang tinggal tidak jauh dari
tempat ini Gerombolan Serigala Belang berjumlah cu-
kup banyak. Apakah ayahnya, Pendekar Macan Putih,
telah membasmi mereka semua"
Setelah tercenung beberapa saat lamanya di
depan pintu gerbang, Gunaran memutuskan untuk
masuk ke dalam. Dengan hati-hati dan penuh sikap
waspada, pemuda berpakaian kuning tua melangkah
perlahan. Urat-urat sarafnya saat itu menegang siap
menghadapi kemungkinan yang tidak diharapkan.
Tapi, kehati-hatian Gunaran ternyata tidak be-
ralasan. Tidak terjadi apa pun yang dikhawatirkannya.
Bahkan, ketika dia telah melewati pintu gerbang. Malah pemandangan tak terduga
yang menyambutnya di
halaman depan, tepat di balik pintu gerbang. Mayat-
mayat bergelimpangan dalam keadaan mengenaskan.
Semuanya sudah tidak memiliki daging lagi. Tinggal
tulang-tulang. Lebih jelasnya lagi kerangka manusia!
Gunaran sampai bergidik melihat pemandan-
gan ini. Benaknya menduga-duga. Makhluk apakah
yang telah memakan habis bagian tubuh mayat-mayat
itu" Di saat Gunaran tengah kebingungan terden-
gar jeritan menyayat hati. Jeritan kesakitan. Asalnya dari bagian belakang.
Tanpa menunggu lebih lama
Gunaran segera melesat ke belakang. Sikap hati-hati membuat pemuda berpakaian
kuning tua ini kendati
tengah tergesa-gesa tidak meninggalkan kewaspa-
daannya. Jantung Gunaran berdetak lebih cepat ketika
melihat sebuah bangunan kecil yang terletak agak
jauh dari bangunan-bangunan lainnya. Dari sinilah
suara jeritan menyayat itu berasal. Dengan langkah
semakin hati-hati pemuda itu melangkah mendekati
pintu. Sungguh suatu hal yang kebetulan. Daun pin-
tu itu memiliki lubang sebesar ibu jari tangan. Melalui lubang ini Gunaran
mengintip ke dalam. Seketika hati pemuda berpakaian kuning tua ini tercekat
ketika melihat pemandangan di dalam ruangan yang tidak be-
sar. Pemandangan yang terlihat Gunaran sungguh
mengejutkan. Terlebih berada di tempat yang me-
mungkinkan untuk dilihat jelas.
7 Di salah satu sisi dinding bangunan tampak
menempel sesosok tubuh berkulit hitam kecoklatan
dan berkumis tebal melintang. Sosok yang usianya tak kurang dari empat puluh
lima tahun ini bertelanjang dada. Pakaiannya yang berwarna putih dengan garis-
garis hitam teronggok di lantai.
Semula Gunaran mengira sosok itu bersandar
di dinding. Ternyata tidak. Ia ditempelkan di dinding dengan kedua tangan
terentang ke samping dan kaki
agak terpentang. Pada telapak tangan dan kakinya di-pakukan sebatang pisau yang
merah membara! Pisau
yang telah digarang di api panas.
Pemandangan ini saja mungkin tidak akan
membuat Gunaran terlalu ngeri. Ada pemandangan
lain yang membuat pemuda berpakaian kuning ini
bergidik. Pada sekujur tubuh telanjang itu menempel ulat-ulat bulu yang dikenal
Gunaran sebagai ulat yang gatal bukan main. Ulat-ulat itu berwarna hitam, ber-
bulu lebar, dan berjumlah tak kurang dari dua puluh ulat. Mereka berkeliaran ke
sana kemari. Lelaki berkumis melintang menggeliat-geliat dan menjerit-jerit
tersiksa perasaan gatal yang bukan main!
"Hik hik hik...!"
Tawa merdu seorang wanita muda, tapi dengan
nada yang membuat bulu kuduk merinding, terdengar
dari sudut lain. Wanita berwajah cantik dengan ben-
tuk tubuh menggiurkan. Sayang, memiliki wajah be-
ringas dan sinar mata yang menyiratkan kekejaman.
Wanita itu berpakaian hijau. Gunaran seperti
pernah melihat wajah itu. Hanya dia lupa kapan dan
di mana. "Serigala Belang! Bagaimana rasanya menjadi
orang yang kalah" Nikmat bukan" Ah...! Sekarang aku baru mengerti mengapa dulu
jeritan dan rintihanku
sedikit pun tidak kau pedulikan. Ternyata jeritan dan rintihan itu nikmat
didengar."
Gunaran terperanjat begitu mendengar lelaki
berkumis tebal yang tengah disiksa itu adalah Serigala Belang, orang yang hendak
dibunuh ayahnya. Serigala Belang ternyata masih hidup! Lalu, ke mana ayahnya"
Pertanyaan itu menimbulkan kekhawatiran di hati
Gunaran. Kalau ayahnya telah bertemu dengan Seri-
gala Belang dan tokoh sesat itu masih hidup, hanya
ada satu kemungkinan, ayahnya telah tewas di tangan Serigala Belang. Dugaan ini
membuat Gunaran gelisah. Seruan wanita berpakaian hijau yang usianya
tak lebih dari dua puluh tahun membuat Gunaran
memperhatikan lelaki berkumis tebal yang berjuluk
Serigala Belang. Tokoh sesat ini tampak tersiksa sekali. Ulat-ulat itu memang
dahsyat. Gatal dan lagi mengisap darah, meski hanya sedikit
"Kurasa siksaan yang kau alami belum seband-
ing dengan derita yang kuterima, Serigala Belang. Apalagi jika kuperhitungkan
dengan nyawa ayahku, Pen-
dekar Macan Hitam yang harus kau bayar. Siksaan
seperti ini tidak berarti sama sekali. Aku punya permainan lain yang lebih
menarik!" Wanita berpakaian hijau yang ternyata putri
Pendekar Macan Hitam yang bukan lain Arum Sari,
mengambil sebuah cambuk lemas yang ujung-
ujungnya dipasangi paku-paku berkarat berwarna ke-
hijauan, pertanda telah dialiri racun.
Wanita berpakaian hijau itu masih duduk ber-
sila. Dengan tenang, cambuk itu dilecutkan secara
sembarangan. Cambuk pun melayang ke arah Serigala
Belang dan menghantam tubuhnya dengan telak. Un-
iknya, cambuk itu bagai dilekukkan dengan tangan.
Menghantam dada Serigala Belang dengan ujungnya
yang penuh dipasang paku! Serigala Belang meraung
menyayat hati. Lecutan cambuk membuat darah men-
gucur karena dagingnya terkoyak. Bersamaan dengan
itu rasa gatal serta panas yang luar biasa langsung melanda.
Dalam cekaman rasa sakit dan gatal Serigala
Belang meronta-ronta. Tapi, karena sekujur tubuhnya telah tidak bertenaga, hanya
geliatan lemah yang
mampu dilakukannya.
Tindakan Arum Sari terus berlanjut. Gadis
berpakaian hijau itu mengulurkan tangan kanan ke
depan dan menggetarkan cambuknya yang masih be-
rada di udara. Cambuk itu melayang kembali ke ba-
gian tubuh lain dari Serigala Belang. Lelaki itu meraung kesakitan. Begitu
seterusnya. Sementara ulat-
ulat hitam terus berpesta-pora. Binatang-binatang itu tidak merasa terganggu
sama sekali. Cambuk itu tidak menghantam mereka, menyentuh sedikit pun tidak.
Semua itu telah diatur oleh Arum Sari.
Gunaran hanya bisa menatap dengan sepasang
mata terbelalak. Apalagi setelah mendengar perkataan gadis berpakaian hijau. Dia
sekarang ingat siapa wanita berpakaian hijau. Dia adalah Arum Sari, putri
Pendekar Macan Hitam.
Ingat akan Arum Sari, Gunaran merasakan
jantungnya berdetak kencang. Gurunya pernah berce-
rita tentang Arum Sari. Beliau menasihati agar bila bertemu dengan Arum Sari
supaya bersikap hati-hati.
Apabila Arum Sari memiliki watak jahat, Gunaran ha-
rus segera pulang memberitahukan Harimau Terbang
Berkuku Seribu. Barangkali saja Arum Sari dapat diselamatkan!
Gunaran yang telah mengenal Arum Sari di
waktu kecil tentu saja tidak menginginkan gadis itu menjadi orang jahat. Harimau
Terbang Berkuku Seribu pernah sedikit menyinggung kalau Arum Sari se-
benarnya tidak ingin berlaku jahat. Gadis berpakaian hijau itu bertindak
demikian karena pengaruh dari dalam tubuhnya. Karena itu, Gunaran bermaksud mem-
beritahukan Harimau Terbang Berkuku Seribu. Bu-
kankah gurunya akan mengobati gadis berpakaian hi-
jau itu" Gunaran terlalu terburu-buru bertindak. Dia memandang enteng Arum Sari.
Ketika baru saja berlari meninggalkan daun pintu, pemuda berpakaian kun-
ing tua ini hampir terlonjak saking kagetnya mendengar bentakan nyaring yang
menggetarkan jantung.
"Manusia tidak tahu diri dari mana yang berani mengintai kesenanganku" Jangan
harap kau dapat lolos dari tanganku!"
Gunaran mengenal betul suara Arum Sari ka-
rena tadi telah mendengarnya. Dan, Gunaran tidak ingin terlibat keributan dengan
Arum Sari. Ia tidak
mempedulikan seruan itu dan terus berlari.
*** Di dalam bangunan, sehabis mengeluarkan
bentakan dan tahu pengintai itu tidak kembali, Arum Sari menjadi beringas.
Sekali tangan kirinya dijulurkan ke depan dan disentakkan, cambuk yang masih
melayang-layang, di atas tubuh Serigala Belang melesat keluar dengan kecepatan
mengagumkan. Brakkk! Daun pintu hancur berantakan ketika cambuk
berujung paku itu menghantam keras. Kemudian,
cambuk melesat keluar secepat kilat. Arum Sari terpaksa menggunakan kedua
tangannya untuk men-
gendalikan cambuk itu. Kedua tangannya yang kekar
dan berotot dijulurkan ke depan dan digetarkan penuh pengerahan tenaga!
Arum Sari yang sekarang memang berbeda
dengan Arum Sari beberapa hari yang lalu. Arum Sari yang dulu biar dibantu
ayahnya, Pendekar Macan Hitam, tidak akan mampu mengungguli Serigala Belang.
Sedangkan bagi Arum Sari sekarang Serigala Belang
sama sekali tidak ada artinya!
Arum Sari mendapat kemajuan pesat Tidak
hanya kepandaian, tapi juga tenaga dalam! Karena itu, gadis berpakaian hijau ini
mampu mengendalikan
cambuk dari jauh dengan mempergunakan tenaga da-
lamnya. Luncuran cambuk terdengar oleh Gunaran
yang mempunyai telinga tajam. Ketika menengok pe-
muda berpakaian kuning tua itu kaget bukan main, ia melihat cambuk melayang
mengejarnya, sedangkan
Arum Sari telah duduk di ambang pintu yang daunnya
hancur berantakan.
Gunaran yang memang tidak ingin meladeni
keinginan Arum Sari menggertakkan gigi dan menam-
bah kecepatan larinya. Dalam sekejap saja cambuk
berujung paku milik Arum Sari tertinggal jauh.
Arum Sari menggeram menahan marah. Dia
tahu kalau tetap bersikeras menggunakan cambuk-
nya, Gunaran akan berhasil kabur. Maka, dengan
mengibaskan kedua tangannya Arum Sari melayang
ke depan mengejar Gunaran! Kedudukan tubuh Arum
Sari masih dalam keadaan bersila.
Gunaran yang tengah asyik-asyiknya berlari
agak terkejut ketika merasakan hembusan angin di
dekatnya. Tapi dia tidak ambil peduli. Dan, terus berlari.
Gunaran baru memperlambat larinya ketika
melihat sesosok tubuh telah berada di depannya, ma-
sih dalam keadaan melayang dan memunggunginya.


Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sosok tubuh berpakaian hijau dalam keadaan duduk
bersila! Siapa lagi kalau bukan Arum Sari.
Karena jalan keluar telah dihadang, Gunaran
terpaksa menghentikan langkah. Pemuda berpakaian
kuning tua ini tidak merasa gentar sedikit pun kendati tahu kepandaian Arum Sari
sungguh luar biasa. Kenyataan kalau Arum Sari mampu menyusul larinya
menunjukkan ilmu meringankan tubuh Arum Sari be-
rada di atasnya. Padahal, Arum Sari tidak menggerakkan kaki!
Ketidakgentaran sikap Gunaran di samping ka-
rena memang wataknya sebagai seorang gagah juga
karena Arum Sari bukan orang yang pantas untuk di-
takuti. Gunaran telah pernah bertemu dengan Arum
Sari sewaktu mereka masih kecil. Arum Sari seorang
gadis cilik yang menyenangkan. Perasa dan mudah
kasihan terhadap sesuatu. Jangankan membunuh
orang, membunuh tikus pun rasanya Arum Sari tidak
akan sampai hati.
Gunaran membelalakkan mata melihat Arum
Sari menjejakkan kaki di tanah hanya dengan menu-
runkan kedua kakinya dari lipatan. Gadis berpakaian hijau itu kemudian
membalikkan tubuh. Gunaran dan
Arum Sari saling beradu pandang.
"Siapa kau, Pengecut Hina..."!" Arum Sari mengajukan pertanyaan dengan suara
melengking nyaring.
Telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke wajah Gu-
naran. Sikapnya terlihat merendahkan. "Besar sekali nyalimu hingga berani
mengintai perbuatanku" Hm....
Rasanya aku pernah melihat wajahmu..."
"Bukan hanya rasanya saja, Arum Sari. Kita
memang pernah bertemu." Gunaran menjawab dengan suara pahit. Dia merasa
tersinggung sekali melihat si-
kap Arum Sari yang demikian sombong. "Ayahmu adalah sahabat karib ayahku."
"Jadi, rupanya kau Gunaran!" Tidak terdengar nada kegembiraan dan keterkejutan
dalam ucapan itu.
Biasa saja. Sehingga, Gunaran diam-diam merasa ke-
cewa. Tapi, pemuda berpakaian kuning tua ini meng-
hibur hati dengan anggapan Arum Sari memang ten-
gah dilibat masalah.
Gunaran hanya mengangguk mengiyakan per-
tanyaan Arum Sari.
"Apa maksudmu datang ke tempat ini"!" tanya Arum Sari ketus.
Memang, meskipun telah disusupi roh Mayang,
Arum Sari tidak kehilangan kesadarannya. Bahkan
gadis itu seperti mempunyai pribadi ganda. Ia dapat bersikap sebagai Arum Sari
dan Mayang secara berganti-ganti, tergantung keadaan yang dihadapi. Saat ini
Arum Sari tengah terguncang batinnya, sehingga
sifatnya jadi agak liar dan beringas. Bahkan, terhadap Gunaran yang merupakan
kawannya sewaktu kecil.
"Aku ingin mengetahui kejadian yang menimpa
kau dan ayahmu, serta melihat nasib ayahku. Asal
kau tahu saja, Arum Sari. Ayahku datang kemari un-
tuk membalaskan kematian ayahmu!"
"Hhh...!" Arum Sari mendengus. "Suatu tindakan yang tolol! Hanya mengantar nyawa
dengan per- cuma!" Merah padam wajah Gunaran. Dia tersinggung sekali mendengar ayahnya
dimaki. Boleh jadi Arum
Sari tengah dilanda masalah, tapi tetap saja Gunaran tidak akan membiarkan
ayahnya dihina orang seme-na-mena.
"Kau terlalu, Arum! Kau pikir aku takut pada-
mu"!" suara Gunaran tiba-tiba meninggi.
"Hi hi hi...!" Arum Sari malah tertawa. "Siapa
suruh kau takut padaku, Gunaran yang bodoh?"
"Kau..., sungguh tak kusangka ayahmu mem-
punyai anak sesat sepertimu, Arum! Biarlah aku me-
wakili almarhum ayahmu untuk menghukum mu!"
Usai berkata, Gunaran melompat menerjang
Arum Sari. Ia langsung mengirimkan pukulan bertubi-
tubi ke arah dada. Dalam luapan amarah Gunaran
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Angin puku-
lannya terdengar berciutan cukup nyaring.
Gunaran memperkirakan Arum Sari akan
mengelak atau menangkis. Maka, pemuda berpakaian
kuning tua ini terperanjat ketika melihat putri Pendekar Macan Hitam tidak
bergeming. Arum Sari mem-
biarkan saja serangan Gunaran.
Gunaran yang sungguh pun marah tidak ber-
niat mencelakakan Arum Sari bergegas mengurangi
tenaganya. Karena, untuk menarik pulang serangan-
nya sudah tidak memungkinkan lagi.
Buk, bukk, bukkk!
Berturut-turut tinju Gunaran bersarang di sa-
saran. Tapi akibatnya bukan Arum Sari yang roboh.
Gunaran berteriak kesakitan merasakan tangannya
seperti bukan berbenturan dengan tubuh manusia,
melainkan gumpalan baja yang amat keras.
"Hi hi hi...!" Lagi-lagi Arum Sari terkekeh. "Manusia sombong juga rupanya kau,
Gunaran! Kau kira
aku selemah kau" Tidak usah mengurangi tenagamu.
Kau kerahkan semuanya pun tidak akan berarti apa-
apa buatku!"
Gunaran yang masih merasakan sakit pada
tangannya setelah membentur dada Arum Sari tampak
terkejut mendengar ucapan itu. Arum Sari mengetahui kalau ia mengurangi
tenaganya. Gunaran tak bisa
membayangkan ketinggian ilmu Arum Sari.
Pemuda itu segera memutuskan untuk tidak
main-main lain. Di samping merasa tersinggung den-
gan ucapan gadis berpakaian hijau itu, Gunaran juga ingin membuka mata Arum Sari
kalau ia tidak memiliki kepandaian rendah.
Wuk, wuk, wuk! Bunyi menderu langsung terdengar ketika Gu-
naran memutar senjata andalannya. Ruyung berba-
tang dua yang dihubungkan dengan rantai baja. Sen-
jata andalan itu semula terselip di pinggang.
"Haaatt...!"
Diawali teriakan keras yang mendirikan bulu
roma, Gunaran menghantamkan senjatanya ke arah
kepala Arum Sari. Pukulan itu dilancarkan dari atas.
Tapi, Arum Sari tetap bertindak seperti sebe-
lumnya, memandang remeh Gunaran. Ketika ruyung
itu menyambar kepalanya, dia sedikit pun tidak berusaha mengelak. Ditangkisnya
serangan itu dengan ja-
ri-jari tangan terbuka, lalu menangkapnya.
Kreppp! Gunaran mengerahkan seluruh tenaganya un-
tuk menarik ruyungnya dari cekalan tangan Arum Sa-
ri. Tapi tidak berhasil. Padahal Gunaran telah menggunakan kedua tangannya,
sementara Arum Sari
hanya memakai tangan kiri.
"Hih!"
Di saat Arum Sari bergerak memutar tubuh,
Gunaran langsung melayang ke arah gadis itu. Saat
itulah tangan kanan Arum Sari dihentakkan ke depan.
Bresss! Tubuh Gunaran melayang ke belakang ketika
pukulan jarak jauh Arum Sari menggedor dadanya.
Ruyung yang semula tergenggam di tangan terlepas
dari pegangan. "Hukh...!"
Gunaran memuntahkan darah segar ketika tu-
buhnya jatuh ke tanah setelah melayang beberapa
tombak. Pemuda berpakaian kuning tua ini muntah
darah karena memaksakan diri untuk bangkit.
"Kalau saja kau dulu bukan sahabatku, mung-
kin nyawamu sudah kukirim ke akherat, Gunaran!
Berbahagialah karena kau pernah berkenalan dengan-
ku!" tandas Arum Sari sombong. Kemudian, ia membanting ruyung Gunaran ke tanah
hingga amblas ke
dalamnya. "Kejam sekali...!"
Sambutan lirih tapi terdengar jelas menyesal-
kan ucapan Arum Sari. Bagai telah disepakati sebe-
lumnya, Arum Sari dan Gunaran langsung mengalih-
kan pandangan ke arah asal suara. Kalau Arum Sari
belum bisa menebak siapa pemilik suara itu, tidak
demikian halnya dengan Gunaran. Pemuda berpa-
kaian kuning tua itu langsung berseri-seri wajahnya.
Pemilik suara itu adalah gurunya, Harimau Terbang
Berkuku Seribu.
"Kau..."!"
Arum Sari mengeluarkan seruan tertahan. Se-
pasang matanya membelalak lebar. Wajahnya menyi-
ratkan keterkejutan yang sangat. Gadis berpakaian hijau ini melangkah mundur
karena kagetnya.
"Kau terkejut, Mayang?"
Pemilik suara lembut itu ternyata seorang ka-
kek kecil kurus. Usianya sukar untuk ditaksir. Tapi melihat penampilannya tak
kurang dari seratus sepuluh tahun. Ia mengangguk sehingga rambutnya yang
putih dan gondrong bergoyang-goyang. Demikian pula
dengan kumis dan jenggot putihnya yang tidak teru-
rus. Kakek ini tidak hanya pandai dalam ilmu ke-
pandaian silat, tapi juga ilmu kebatinan. Dengan mata batinnya ia mampu melihat
jelas bayangan roh
Mayang dalam diri Arum Sari. Kakek ini pula yang
menyuruh Pendekar Macan Hitam untuk menan-
capkan bambu kuning pada peti mati Mayang ketika
ayah Arum Sari mengadukan perihal Mayang padanya.
"Mengapa kau mencampuri urusanku, Paru-
gi"!" sentak Arum Sari yang dipanggil Harimau Terbang Berkuku Seribu sebagai
Mayang. "Kuharap kau jangan ikut campur!"
"Bagaimana mungkin, Mayang" Tubuh orang
yang kau tumpangi itu adalah cucu muridku. Jadi,
bagaimana mungkin aku bisa tinggal diam" Apalagi
setelah kau melukai muridku juga. Aku lebih tidak bi-sa tinggal diam. Tinggalkan
raga cucu muridku itu,
Mayang. Kau akan kubiarkan pergi. Tapi, apabila pe-
ringatanku ini tidak kau indahkan, jangan salahkan
aku kalau kau akan tersiksa. Mungkin kau masih in-
gat aku adalah penangkap roh!"
8 Wajah Arum Sari berubah pucat. Sinar ma-
tanya menyiratkan rasa takut yang tidak bisa disem-
bunyikan. "Aku mohon dengan sangat, Parugi. Biarkan
aku menempati jasad ini dulu. Aku ingin memba-
laskan sakit hatiku yang tengah sekian puluh tahun
kupendam terhadap Raga Pasu dan Raga Pitu," pinta Mayang melalui mulut Arum
Sari. "Sayang sekali, Mayang. Aku tidak bisa menga-
bulkan permintaanmu. Cepat kau pergi dari raga cucu muridku sebelum aku terpaksa
bertindak kasar terhadapmu!" tegas Parugi alias Harimau Terbang Berkuku Seribu.
"Sebentar saja, Parugi," Arum Sari yang sebenarnya adalah Mayang masih berusaha
membujuk. "Jangan tunggu kesabaranku habis, Mayang.
Ini peringatan terakhir. Cepat pergi atau kau terpaksa menderita selamanya!"
Arum Sari mengeluarkan keluhan panjang
yang sarat dengan kekecewaan dan kepiluan hati.
Mayang yang berada dalam raga Arum Sari tahu tidak
ada gunanya lagi berlama-lama di sini. Tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan
raga Arum Sari. Padahal,
dendamnya belum tuntas. Baru dendam Arum Sari
yang dilampiaskannya.
Harimau Terbang Berkuku Seribu dan Guna-
ran melihat seleret sinar hijau melesat dari atas kepala Arum Sari. Kemudian,
melesat menjauh dengan kecepatan yang menakjubkan! Sekelebatan dan langsung
lenyap. Begitu seberkas sinar kehijauan keluar dari atas kepalanya dan lenyap,
Arum Sari mengeluh. Tubuhnya ambruk ke tanah tak sadarkan diri.
Gunaran hendak bergerak bangkit untuk me-
meriksa keadaan Arum Sari, tapi maksudnya segera
dihentikan oleh gurunya. Harimau Terbang Berkuku
Seribu memberikan isyarat padanya untuk diam saja,
tidak perlu melakukan tindakan apa pun.
Gunaran tidak membantah. Diperhatikannya
Harimau Terbang Berkuku Seribu mendekati tubuh
Arum Sari yang tergolek di tanah. Harimau Terbang
Berkuku Seribu berdiri dengan menekuk lutut seraya
mulutnya berkemak-kemik membaca mantera. Kemu-
dian, tangan kanannya diusapkan ke seluruh bagian
tubuh Arum Sari mulai dari ujung kepala sampai
ujung kaki. Hanya, tapak tangan kakek kecil kurus ini tidak bersentuhan dengan
kulit Arum Sari, kira-kira tiga jari di atasnya. Harimau Terbang Berkuku Seribu
tengah membuat pelindung gaib agar makhluk halus
tidak bisa masuk ke dalam tubuh gadis itu.
Beberapa saat kemudian, Harimau Terbang
Berkuku Seribu bangkit berdiri. "Sekarang Mayang tidak akan bisa masuk lagi ke
dalam raga Arum Sari.
Apa pun yang terjadi. Kalau dia memaksakan kehen-
dak, akan celaka sendiri," ujar kakek itu seraya memandang wajah Gunaran.
Belum juga Gunaran sempat memberikan
tanggapan, Harimau Terbang Berkuku Seribu menoleh
ke belakang, ke arah pintu gerbang. Gunaran pun se-
gera mengarahkan pandangannya ke sana. Dia yakin
kakek kecil kurus itu mempunyai alasan bertindak
demikian. Dugaan Gunaran tidak keliru. Dari balik pintu
gerbang muncul sesosok tubuh berkulit hitam legam.
Malisang! "Kau, Harimau Terbang Berkuku Seribu"!"
tanya Malisang seraya menghampiri kakek kecil kurus dengan tergesa. Tenang dan
tanpa ragu-ragu, kendati belum mengenal lelaki berkulit hitam legam itu.
Dari gerak-geriknya, Harimau Terbang Berku-
ku Seribu tahu orang ini bukanlah orang baik-baik.
"Siapa kau?"
"Benar," jawab Harimau Terbang Berkuku Seribu. "Aku langsung saja pada pokok
persoalannya, Harimau Terbang," sergah Malisang tidak sabar, "Aku hanya ingin
agar kau tidak mau memenuhi permintaan Raga Pasu dan Raga Pitu. Mereka ingin
meminta kau supaya menangkap roh Mayang. Atau, mengelua-
rkan roh Mayang dari dalam raga cucunya. Kuharap


Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau jangan melakukan hal itu. Biarkan Mayang me-
laksanakan pembalasan dendamnya yang bertumpuk
sejak puluhan tahun."
Harimau Terbang Berkuku Seribu menger-
nyitkan alis. "Tidak usah bertele-tele, Sobat. Aku tahu kau
bukan orang baik-baik. Tak mungkin kau melakukan
tindakan ini untuk kepentingan Mayang. Katakan apa
alasanmu yang sebenarnya sebelum kau menyudahi
pembicaraan kita."
Lelaki berkulit hitam legam itu tahu hanya
akan merugikan diri sendiri kalau menyembunyikan
persoalan dari kakek bermata tajam seperti Harimau Terbang Berkuku Seribu.
Apalagi saat ini dia tengah memerlukan bantuan kakek itu. Maka, setelah menghela
napas berat lelaki berkulit hitam legam ini mulai bercerita.
"Namaku Malisang. Aku tidak mempunyai hu-
bungan apa pun dengan Mayang. Mendengar nama
dan semua urusannya pun dari guru dan kakek se-
perguruanku. Mereka adalah Raga Pitu dan Raga Pa-
su." "Seorang murid hendak membunuh kakek se-
perguruan dan gurunya" Luar biasa!" timpal Harimau Terbang Berkuku Seribu,
tajam. Ia tidak merasa heran karena dapat memperkirakan tokoh golongan apa
Malisang. Tapi, Malisang tidak mempedulikan hal itu.
"Aku menjadi murid Raga Pitu seperti halnya
Serigala Belang. Hanya aku menjadi muridnya dua ta-
hun lebih dulu dari Serigala Belang. Ayah dan anak
itu mempunyai watak seperti iblis. Keduanya gila wanita! Entah sudah berapa
ratus wanita yang menjadi
korbannya. Bahkan, beberapa tahun lalu ketika aku
berjumpa dengan seorang wanita yang menarik hatiku
dan ingin kujadikan istriku, ayah dan anak yang telah gila itu merampasnya dan
mempermainkannya sampai
mati! Aku tidak ingin kejadian itu terulang pada wani-
ta lain yang saat ini telah mencuri hatiku. Kami ber-niat untuk menikah!"
"Agar niatmu itu tercapai, kau akan membu-
nuh guru dan kakek seperguruanmu itu"!" tukas Harimau Terbang Berkuku Seribu.
"Begitulah, Harimau Terbang." Malisang kemudian mengangguk. "Jalan satu-satunya
hanyalah Mayang. Tidak ada seorang tokoh pun yang sanggup
mengalahkan Raga Pasu. Tua bangka itu memiliki ke-
pandaian iblis!"
"Hhh...!"
Harimau Terbang Berkuku Seribu menghela
napas berat. "Sayang sekali, Malisang. Roh Mayang telah
kuusir pergi dari tubuh Arum Sari. Bahkan, tubuh
Arum Sari telah kupasangi benteng hingga roh Mayang tidak bisa masuk lagi. Perlu
waktu yang cukup lama
untuk membuka kembali benteng itu agar roh Mayang
bisa masuk. Dan...."
"Sayangnya kau tidak punya waktu untuk itu,
Harimau Terbang!" sambut sebuah suara yang disusul dengan kekehnya. Suara itu
berasal dari mulut seorang yang telah lanjut usia.
"Benar, Ayah!" sambut sebuah suara lain lebih keras. "Roh perempuan jahanam itu
tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi terhadap kita. Dan, dengan ma-tinya Harimau
Terbang Berkuku Seribu serta dua mo-
nyet kecil ini kita akan aman selama-lamanya."
Malisang langsung melompat mundur melihat
kemunculan dua sosok yang tidak lain kakek bongkok
dengan anaknya, Iblis Muka Merah. Kakek bongkok
itu bernama Raga Pitu sedangkan Iblis Muka Merah
bernama Raga Pasu.
*** Raga Pitu menatap tiga sosok yang berdiri di
hadapannya dengan sepasang matanya yang menco-
rong mengerikan. Tatapannya berhenti agak lama pa-
da Malisang. Tubuh Malisang kontan menggigil keras seperti
terkena demam tinggi. Ia bisa memperkirakan nasib
yang akan menimpanya. Dia tahu tidak ada satu ke-
kuatan pun yang sanggup melawan Raga Pitu, kecua-
li... roh Mayang! Tapi, sekarang roh Mayang telah tidak berdaya pula!
"Celaka aku sekarang, Harimau Terbang. Kita
semua akan celaka. Sungguh tidak kusangka kau
akan bertindak demikian ceroboh," sesal Malisang.
Harimau Terbang Berkuku Seribu yang berdiri
paling depan, tersenyum tenang. Nama Raga Pitu telah lama didengarnya sebagai
tokoh lihai yang memiliki
kepandaian luar biasa. Terutama tenaga dalamnya.
Tapi, Raga Pitu kemudian mengasing-kan diri. Baru
sekarang ia keluar lagi. Harimau Terbang Berkuku Seribu tidak takut dengan Raga
Pitu. Hanya saja Harimau Terbang Berkuku Seribu
mengkhawatirkan keselamatan muridnya. Gunaran
yang tengah terluka bukan tandingan Raga Pasu yang
berjuluk Iblis Muka Merah.
"Malisang!" Raga Pitu berkata keras, tapi mulutnya sama sekali tidak bergerak.
"Kau barangkali telah memiliki nyawa rangkap sehingga berani mencoba
mengkhianatiku. Kemarilah, Malisang...."
Raga Pitu memanggil dengan lemah lembut se-
bagaimana layaknya seorang kakek memanggil cu-
cunya. Tapi, Malisang malah mundur dengan wajah
pucat-pasi. Ia menyadari benar ada ancaman bahaya
maut Sepasang mata Raga Pitu berkilat-kilat menyi-
ratkan hawa maut. Kemudian, kedua tangannya di-
kembangkan. Dia melakukan gerak menarik.
"Ah...!"
Malisang menjerit tertahan ketika merasakan
ada kekuatan dahsyat menariknya ke arah Raga Pitu.
Seakan-akan ada tangan tak nampak.
Malisang tidak mau berdiam diri menghadapi
ancaman maut itu. Dia berusaha keras untuk berta-
han. Tapi hanya sebentar saja kekuatan yang menarik itu terhenti. Kemudian,
tubuhnya kembali melayang
deras ke arah Raga Pitu.
Prokkk! Malisang tidak sempat lagi menjerit. Tubuhnya
yang meluncur deras ke arah Raga Pitu disambut den-
gan tamparan tangan kanan ke pelipisnya. Kepala itu langsung pecah mengeluarkan
darah bercampur otak.
Malisang tewas seketika.
"Keji...!"
Meski Malisang bukan apa-apanya, Harimau
Terbang Berkuku Seribu geram juga melihat kekeja-
man Raga Pitu. Maka, sambil mengeluarkan auman
keras yang menggetarkan sekitar tempat itu, Harimau Terbang Berkuku Seribu
melompat menerkam Raga
Pitu. Jari-jari kedua tangannya mengambang mem-
bentuk cakar harimau. Bunyi bercicitan nyaring dari udara yang terobek kuku-kuku
jari tangan Parugi tak kalah dengan jeritan puluhan ekor tikus.
Prat, prat, prat!
Berturut-turut cakar Harimau Terbang Berku-
ku Seribu berbenturan dengan tangan Raga Pitu yang
memapaknya. Akibatnya, tubuh Harimau Terbang
Berkuku Seribu terpental ke belakang. Sedangkan Ra-
ga Pitu berdiri tidak bergeming. Kendati demikian, lengan bajunya dan baju di
bagian dadanya koyak-koyak
terkena sambaran angin serangan cakaran Harimau
Terbang Berkuku Seribu. Demikian hebatnya Parugi.
Tidak percuma dia berjuluk Harimau Terbang Berku-
ku Seribu. Angin serangannya saja cukup untuk me-
lukai kulit tubuh lawan dan merobek pakaiannya. Ta-
pi, kulit tangan Raga Pitu tidak mampu ditembus!
Raga Pitu menggeram murka. Meski kulitnya
tidak terluka tapi pakaiannya yang koyak cukup
membuatnya berang. Maka, di saat tubuh Harimau
Terbang Berkuku Seribu ke belakang, Raga Pitu
menghujaninya dengan pukulan-pukulan jarak jauh-
nya yang menggiriskan hati.
Raga Pitu memang seorang tokoh sesat yang li-
cik dan cerdik. Agar serangan lebih gencar, setiap pukulan jarak jauh dilakukan
dengan satu tangan. Hem-
busan angin keras pun silih berganti menghujani tu-
buh Harimau Terbang Berkuku Seribu. Kakek kecil
kurus itu terpontang-panting ke sana kemari menge-
lakkan serangan-serangan gancar itu. Padahal, tubuh Harimau Terbang Berkuku
Seribu tengah berada di
udara. Bresss! Harimau Terbang Berkuku Seribu menjerit ter-
tahan ketika salah satu pukulan jarak jauh lawan
menghantam paha kanannya. Seketika tubuh kakek
kecil kurus ini terlempar ke belakang dan jatuh berde-buk di tanah. Darah segar
langsung muncrat dari mu-
lutnya. "Ha ha ha...!"
Iblis Muka Merah tertawa bergelak. Ia berjalan
menghampiri tubuh Harimau Terbang Berkuku Seribu
yang kebetulan tergolek di sebelah Gunaran yang su-
dah mampu duduk dengan kedua kaki dijulurkan.
Baik Gunaran maupun Harimau Terbang Berkuku Se-
ribu berdiam diri saja, tidak berusaha melakukan perlawanan lagi. Mereka seperti
sudah pasrah akan da-
tangnya maut Tapi ketika jarak antara Iblis Muka Merah den-
gan tubuh guru dan murid itu masih sekitar empat
tombak, sesosok bayangan berkelebat. Tahu-tahu di
depan Iblis Muka Merah, membelakangi Harimau Ter-
bang Berkuku Seribu dan muridnya, Dewa Arak berdi-
ri dengan sikap gagah.
"Kau lagi"!" Iblis Muka Merah menggeram.
"Rupanya kau sudah ingin mampus!"
Iblis Muka Merah langsung mengirimkan se-
rangan dahsyat Namun Dewa Arak yang sudah sejak
tadi bersiap menyambutinya dengan ilmu 'Belalang
Sakti'. Pertarungan dahsyat pun terjadi. Iblis Muka Merah ternyata lihai bukan
main. Di lain tempat, Raga Pitu tengah beristirahat
memulihkan tenaga. Ia terlalu lelah setelah menguras sebagian besar tenaganya
dengan cecaran-cecaran
pukulan jarak jauh.
Beberapa saat setelah Dewa Arak terlibat perta-
rungan dengan Iblis Muka Merah, Pergiwa yang mela-
kukan perjalanan bersama Dewa Arak pun tiba. Gadis
itu segera menghambur ke arah guru dan kakak se-
perguruannya. Ketiga orang itu terlibat dalam pertemuan yang mengharukan.
"Sungguh tidak disangka kau telah bertemu
dengan pendekar yang nama harumnya telah meng-
goncangkan dunia persilatan, Pergiwa," ujar Harimau Terbang Berkuku Seribu tanpa
menyembunyikan rasa
kagumnya. Pergiwa hanya menundukkan kepala. Dari ba-
lik bulu matanya ia mengerling ke arah gurunya. Ingin ia mendengar Harimau
Terbang Berkuku Seribu melanjutkan pembicaraan mengenai Dewa Arak. Entah
mengapa setiap pembicaraan mengenai Dewa Arak
amat menyenangkan hati Pergiwa.
Pergiwa kecewa ketika melihat gurunya tidak
melanjutkan pembicaraan. Malah, mengalihkan perha-
tian pada pertarungan yang tengah berlangsung. Be-
berapa kali kakek kecil kurus itu memuji Dewa Arak.
Harimau Terbang Berkuku Seribu merasa kagum me-
lihat ilmu Dewa Arak yang demikian aneh.
Pergiwa yang tidak tertarik dengan jalannya
pertarungan mengedarkan pandangan berkeliling.
Dia melihat Raga Pitu tengah duduk bersila.
Kakek itu sedang bersemadi.
"Mumpung kakek sakti itu tengah sibuk den-
gan semadinya biar kubunuh saja dia, Guru. Biarlah aku dianggap pengecut
daripada kita semua tewas di
tangannya!" ujar Pergiwa. Kemudian melesat menghampiri Raga Pitu.
Harimau Terbang Berkuku Seribu terkejut bu-
kan main melihat tindakan yang dilakukan Pergiwa.
"Pergiwa! Jangan...!"
Tapi, Pergiwa tidak mempedulikan seruan gu-
runya. Dengan kedua tangan terkepal dilancarkannya
pukulan ke dada Raga Pitu.
Desss! "Akh...!"
Pergiwa menjerit keras ketika pukulannya
membentur sasaran. Ada aliran tenaga dalam yang
amat dahsyat menangkisnya. Tubuhnya melayang ke
belakang dengan darah segar berhamburan dari mu-
lutnya. Pergiwa salah menduga! Saat itu Raga Pitu
tengah dalam keadaan membahayakan karena seluruh
tenaga dalamnya sedang berputaran! Maka, Pergiwa
pun mengalami nasib naas.
"Pergiwa...!" Hampir bersamaan seruan itu keluar dari mulut Harimau Terbang
Berkuku Seribu dan
Gunaran. Harimau Terbang Berkuku Seribu tahu
nyawa muridnya tak akan bisa diselamatkan. Luka
dalam Pergiwa sangat parah.
Di saat tubuh Pergiwa tengah melayang itu,
tanpa bisa dilihat oleh seorang pun karena saking ce-patnya, sinar kehijauan
menumbuk tubuh gadis ber-
pakaian merah itu dan lenyap masuk ke dalam tubuh
Pergiwa. Roh Mayang! Akibatnya, sesaat kemudian
Pergiwa mampu melakukan salto beberapa kali ke be-
lakang dan menjejak tanah dengan ringan.
Karuan saja semua orang yang melihat keja-
dian ini menjadi heran. Tapi, Pergiwa sendiri tidak ambil peduli. Dia
mengalihkan perhatian pada Dewa
Arak yang mulai berhasil mendesak Iblis Muka Merah.
"Dewa Arak...! Mundur...!"
Seruan keras laksana guntur itu keluar dari
mulut Pergiwa. Bukan hanya keras, tapi mempunyai
pengaruh aneh yang membuat tokoh sesakti Dewa
Arak tanpa sadar bergerak mundur.
"Terimalah kematian kalian, Raga Pitu dan Ra-
ga Pasu...!" seru Pergiwa dengan suara melengking nyaring, menyeramkan. Gadis
berpakaian merah ini
mengepalkan kedua tangannya ke atas.


Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa Arak, Gunaran, dan Harimau Terbang
Berkuku Seribu menatap dengan sinar mata tak per-
caya. Sementara wajah Raga Pitu dan Raga Pasu me-
mucat mengetahui siapa yang telah mengeluarkan se-
ruan itu. Mayang! Orang yang telah mereka permain-
kan habis-habisan dulu! Raga Pitu adalah ayah tiri
Mayang. Dan Raga Pasu adalah anak dari Raga Pitu.
Mereka hafal betul dengan suara Mayang. Maka, me-
reka langsung bisa mengenalinya.
Tapi, ayah dan anak ini tidak sempat berbuat
sesuatu. Langit tiba-tiba menjadi gelap. Petir dan ba-dai bersahutan. Angin yang
luar biasa kencangnya
berhembus. Raga Pitu dan Rasa Pasu tidak tinggal diam.
Keduanya mengerahkan tenaga pada kedua kaki agar
angin keras itu tidak membuat tubuh mereka me-
layang. Mula-mula tidak terjadi apa-apa. Tapi tak lama kemudian dari mulut,
hidung, dan telinga mereka
mengalir darah segar. Agaknya kedua kakek itu telah mengerahkan tenaga dalam
sampai melewati batas.
Dengan diiringi jeritan menyayat hati, kedua tokoh
sakti yang jahat itu pun tewas mengerikan! Kulit mereka terkelupas akibat
terpaan angin yang sangat kencang. "Uh...!"
Tubuh Pergiwa ambruk ketika dari kepalanya
melesat keluar sinar kehijauan yang kemudian me-
ninggalkan tempat itu. Gunaran, Harimau Terbang
Berkuku Seribu serta Dewa Arak melihatnya. Gunaran
menatap gurunya meminta penjelasan. Tapi, Harimau
Terbang Berkuku Seribu hanya mengangkat bahu
kendati tahu mengapa Mayang yang seharusnya tidak
bisa masuk ke dalam tubuh Pergiwa karena bukan ti-
tisannya ternyata bisa masuk. Saat itu Pergiwa sudah hampir mati. Rohnya lemah.
Roh Mayang jadi bisa
masuk karena lebih kuat. Kejadian ini membuat nya-
wa Pergiwa terselamatkan.
Setelah memeriksa dan yakin kalau Pergiwa ti-
dak tewas, Dewa Arak pun mohon diri. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini tidak tahu kalau setelah sadar Pergiwa langsung
mencari-carinya. Pertanyaan
pertama yang diajukan Pergiwa pada Harimau Terbang
Berkuku Seribu dan Gunaran adalah....
"Mana, Dewa Arak?"
Harimau Terbang Berkuku Seribu terutama
Gunaran, hanya bisa menghela napas berat Kecewa,
mereka tahu Pergiwa tertarik pada Dewa Arak.
Harimau Terbang Berkuku Seribu maupun
Gunaran tidak dapat menyalahkan Pergiwa atau Dewa
Arak. Suatu hal yang wajar kalau Pergiwa jatuh hati pada Dewa Arak, seorang
pendekar yang luar biasa.
Dewa Arak pun tidak bisa disalahkan. Pemuda beram-
but putih keperakan itu tidak bermaksud menjerat
Pergiwa. Sementara di sebuah tempat yang jauh, Arya
tengah berlari cepat meski benaknya masih memikir-
kan kejadian yang menimpa Raga Pitu dan Raga Pasu.
Pemuda berambut putih keperakan ini tidak merasa
heran. Tapi, kagum. Dia tahu banyak kekuatan tak
masuk akal di alam gaib, di alam roh. Dan, Arya tahu Mayang yang telah meninggal
tidak mendapat kesulitan menggunakan ilmu-ilmu yang berada di alam gaib!
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Sang Petaka 2 Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo Rahasia Ciok Kwan Im 6
^