Pencarian

Racun Kelabang Merah 1

Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah Bagian 1


RACUN KELABANG MERAH oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode Racun Kelabang Merah
128 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Hari menjelang petang. Matahari telah con-
dong ke barat. Tampak dua sosok tubuh masih
berada di sebuah tanah lapang. Mereka tengah sibuk dengan urusannya sehingga
tidak sadar hari
perlahan mulai gelap.
"Lihat baik-baik, Ratih!"
Seorang lelaki berusia sekitar lima puluh
tahun, bertubuh tegap dan kekar, berpakaian coklat dengan wajah persegi yang
membuatnya keli-
hatan jantan, berkata setengah memberitahu.
Ucapan itu ditujukan pada sosok satunya, seorang gadis cantik berpakaian merah,
berambut dikuncir satu dan berusia sekitar dua puluh tahun.
Lelaki berwajah persegi mengambil delapan
batang pisau kecil dari balik bajunya. Kemudian, dilemparkannya ke depan. Pisau-
pisau itu meluncur dalam satu kelompok. Tapi ketika telah me-
luncur dua tombak, pisau-pisau itu menyebar
mencari arah luncuran sendiri-sendiri.
Sepasang mata gadis berpakaian merah
membelalak heran bercampur takjub. Memang ia
telah diberitahu kalau delapan batang pisau yang meluncur itu akan menghunjam
delapan tempat pada sasaran yang berupa orang-orangan dari je-
rami. Tapi sebelum delapan pisau itu mendarat
di sasaran, pohon besar berdaun lebat yang bera-da sekitar enam tombak di depan
lelaki bermuka persegi dan gadis berpakaian merah, daun-
daunnya berguguran bagai diterpa badai. Aneh-
nya, daun-daun yang rontok itu meluncur ke arah delapan batang pisau, seperti
sengaja menghadang. Prat, prat, prattt!
Delapan batang pisau itu berbenturan den-
gan daun-daun yang rontok. Terdengar bunyi cu-
kup nyaring seakan-akan daun-daun itu terbuat
dari logam. Luncuran pisau-pisau mengendur se-
dangkan daun-daun runtuh ke tanah. Delapan ba-
tang pisau itu kemudian jatuh sebelum mencapai
sasaran, Lelaki bermuka persegi dan gadis berpa-
kaian merah kelihatan terkejut Keduanya lang-
sung menoleh ke sebelah kanan. Rontoknya daun-
daun itu bukan karena sewajarnya. Sekitar tiga
tombak di sebelah kanan mereka berdiri sesosok
tubuh ramping dengan kedua tangan diseda-
kapkan di depan dada. Sikapnya terlihat jumawa
sekali! "Siapa kau gadis usilan"!" Gadis berpakaian merah yang bernama Ratih
merasa tersing-
gung melihat gangguan itu. Sepasang matanya
membelalak lebar. Ratih hendak melangkah maju
tapi segera diurungkan ketika merasakan sentu-
han pada tangannya. Ratih menoleh, menatap le-
laki berwajah persegi dengan sorot mata penasa-
ran. "Sabarlah." Lelaki berwajah persegi berujar halus. "Menuruti kemarahan
tidak akan menyele-saikan persoalan."
"Tapi, Ayah." Ratih mencoba membantah.
"Apakah kita akan mendiamkan saja tindakannya yang usil itu?"
Lelaki berwajah persegi tersenyum. Ia
memberi isyarat agar gadis berpakaian merah
yang ternyata putrinya supaya bersabar.
"Siapa kau, Nona Muda" Mengapa meng-
ganggu kami" Sepengetahuanku di antara kita ti-
dak ada permusuhan. Ataukah... kau mempunyai
suatu ganjalan denganku?" tanya lelaki bermuka
persegi dengan suara halus dan sikap sabar.
"Cuhhh!"
Jawaban dari gadis bertubuh ramping yang
usianya sebaya dengan Ratih dan mengenakan
pakaian hitam pekat adalah meludah dengan si-
kap kasar. "Keparat!"
Ratih yang memang sejak tadi sudah men-
dongkol melihat tindakan gadis berpakaian hitam tidak bisa menahan kesabaran
lagi. Ia langsung
menerjang dan mengirimkan pukulan bertubi-tubi
yang mengeluarkan bunyi bercicitan nyaring
Plak, plak, plak!
Tiga kali Ratih menyerang dan tiga kali pu-
la gadis berpakaian hitam menangkis. Akibatnya, tubuh Ratih terdorong ke
belakang dan terhuyung-huyung. Bahkan, mungkin Ratih akan
terbanting ke tanah kalau saja lelaki bermuka persegi tidak keburu mengulurkan
tangan menang- kapnya. "Kau jangan sembrono, Ratih. Gadis itu lihai bukan main," tegur lelaki
bermuka persegi, kemudian mendorong mundur tubuh putrinya. Lelaki tegap ini
menghampiri gadis berpakaian hitam yang kembali bersidekap dengan angkuh.
"Ahhh...!"
Lelaki bermuka persegi menoleh ke bela-
kang mendengar jeritan Ratih. Ucapan yang telah berada di ujung lidah dan siap
untuk dikeluarkan, ditelannya kembali.
"Ada apa, Ratih"'" tanya lelaki bermuka persegi khawatir.
"Tanganku, Ayah. Perih, panas, dan gatal,"
beritahu Ratih seraya menunjukkan kedua tan-
gannya. Wajah lelaki bermuka persegi memucat ke-
tika melihat di kedua tangan putrinya terdapat
bercak-bercak menghitam. Sekali lihat saja, lelaki bermuka persegi yang telah
kenyang pengalaman
ini bisa menduga Ratih telah keracunan. Dan, pe-nyebabnya adalah benturan dengan
kedua tangan gadis berpakaian hitam.
"Umurnya hanya sampai sepuluh hari, De-
wa Seribu Pisau. Apabila sampai sepuluh hari tidak menemukan obat yang tepat,
nyawanya akan melayang ke alam baka. Hi hi hi...!" Gadis berpakaian hitam tertawa dingin
ketika lelaki bermuka persegi menoleh ke arahnya.
"Perempuan keji!" Lelaki bermuka persegi yang berjuluk Dewa Seribu Pisau memaki.
"Cepat berikan pemunahnya atau kau kukirim ke neraka.
Cepat! Jangan sampai aku melupakan kalau kau
hanya seorang gadis muda!"
"Hi hi hi. Sombongnya...!" Gadis berpakaian hitam malah tertawa mengejek. Tidak
dipe- dulikannya ancaman Dewa Seribu Pisau. "Kalau tidak tahu siapa sebenarnya kau,
mungkin aku akan terharu mendengar ucapanmu, Dewa Seribu
Pisau!" "Apa maksudmu, Perempuan Keji"!" bentak Dewa Seribu Pisau tidak
mengerti. "Maksudku" Jadi, kau tidak tahu yang
kumaksudkan, Dewa Seribu Pisau" Tidak tahu,
atau pura-pura bodoh."
"Tutup mulutmu, Wanita Liar! Jelaskan
maksudmu, cepat!" Dewa Seribu Pisau tidak sabar.
"Baiklah." Gadis berpakaian hitam mengalah. Tapi, terlihat jelas bukan karena
takut. "Tidak kusangka dalam usia semuda ini kau sudah pi-kun. Bukankah tadi kau
katakan akan terpaksa
bertindak keras padaku kalau aku tidak memberi-
kan pemunah racun untuk putrimu. Bukankah
demikian?"
"Benar! Lalu, mengapa"!"
"Berarti kalau aku memberikan obat pe-
munah racun itu, kau merasa malu untuk menin-
dakku." "Benar." Dewa Seribu Pisau menjawab ra-gu-ragu karena tidak mengetahui
arah pembica- raan gadis berpakaian hitam.
"Berarti kau merasa malu karena tidak se-
padan bertarung dengan seorang gadis sepertiku,"
kejar gadis berpakaian hitam.
"Tentu saja!" Dewa Seribu Pisau menjawab tegas. "Aku bukan orang yang suka
melakukan tindakan kekerasan terhadap seorang gadis mu-da!"
Senyum gadis berpakaian hitam lenyap.
Sepasang mata yang bening dan indah itu berki-
lat-kilat memancarkan hawa maut.
"Pendusta! Pembohong Besar! Mulutmu tak
ubahnya tahi ayam! Yang keluar dari mulutmu
bukan ucapan melainkan kotoran!" maki gadis berpakaian hitam "Orang lain mungkin
bisa kau bohongi dengan sikap gagahmu. Tapi, aku" Aku
tidak akan bisa kau tipu. Lupakah kau dengan
seorang gadis kecil berusia delapan tahun yang
kau kejar-kejar untuk dibinasakan" Lupakah kau
kalau akhirnya salah satu pisaumu menembus
tubuhku" Itukah yang kau katakan kalau dirimu
tidak akan bertindak keras terhadap seorang gadis muda" Jangankan terhadap
seorang gadis muda.
Kepada gadis kecil pun kau sampai hati. Itukah
ucapan seorang lelaki gagah"!"
Kata-kata yang meluncur deras dari mulut
gadis berpakaian hitam bagaikan gelombang laut.
Susul-menyusul. Kata-kata yang keras dan tajam
itu membuat wajah Dewa Seribu Pisau berubah-
ubah sebentar pucat sebentar merah. Terlihat jelas ucapan itu mempunyai pengaruh
besar. "Sekarang aku ingat." Dewa Seribu Pisau menyahuti setelah terdiam beberapa saat.
Suaranya terdengar serak karena kata-kata gadis berpakaian hitam yang tajam
telah membuatnya ter-
pukul sekali. "Kau adalah putri Panangkaran yang jahat itu."
"Benar!" Gadis berpakaian hitam menjawab tegas. Lehernya ditegakkan dan dadanya
dibu-sungkan. "Namaku Pertiwi!"
Dewa Seribu Pisau tersenyum pahit. Seka-
rang dia bisa menduga maksud kedatangan putri
Panangkaran itu. Panangkaran, pemimpin gerom-
bolan penjahat yang menciptakan kekacauan di
dunia persilatan. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh golongan putih yang tewas di
tangannya. Hanya
berkat persatuan para pendekar yang di antaranya terdapat Dewa Seribu Pisau,
kelompok Panangkaran dapat dihancurkan. Bahkan, guru Panangka-
ran, seorang datuk kaum sesat dapat ditewaskan.
Sayang, Panangkaran berhasil lolos! Tapi, Dewa Seribu Pisau tidak terlalu
khawatir karena yakin Panangkaran tidak berbahaya lagi. Panangkaran
telah terluka berat.
"Jadi, kedatanganmu kemari untuk mem-
balas dendam?" Dewa Seribu Pisau mengeluarkan duga-annya.
"Tidak salah!" Pertiwi mengangguk pasti.
"Sekarang, bersiaplah untuk menerima kematian-mu, Dewa Seribu Pisau!"
*** Dewa Seribu Pisau tahu Pertiwi bukan la-
wan yang patut dipandang rendah. Telah disaksi-
kannya sendiri ketika hanya dengan segebrakan
Ratih dibuat tak berdaya. Meski demikian, dia bersikap tenang dan tidak
mendahului melakukan se-
rangan. "Hik!"
Pertiwi mengulurkan kedua tangannya ke
arah pohon besar yang tadi daun-daunnya digu-
gurkan. Dari kedua tangan yang halus dan berku-
lit putih itu keluar serangkum angin keras. Daun-daun pohon berguguran dan
melayang ke bawah.
Pertiwi mengeluarkan bentakan nyaring seraya
menggetarkan tangannya. Daun-daun itu berhenti
melayang turun, tertahan di udara bagai ditahan kekuatan kasat mata. Sekali lagi
gadis berpakaian hitam mengeluarkan pekikan nyaring, yang memaksa Ratih
menyeringai karena merasakan ke-
dua telinganya sakit dan dadanya bergetar keras.
"Uh...!"
Dewa Seribu Pisau menatap takjub melihat
daun-daun yang jumlahnya belasan ini melayang
ke arahnya. Tidak cepat. Tapi, lelaki bermuka persegi ini tahu ancaman maut di
dalam luncuran daun-daun itu tidak berkurang.
Hal lain yang membuat Dewa Seribu Pisau
takjub adalah daun-daun itu meluncur beriringan dalam satu lajur!
Dewa Seribu Pisau tidak mau kalah gertak.
Dia tahu Pertiwi memiliki tenaga dalam tinggi sehingga mampu melakukan hal
demikian. Lelaki
bermuka persegi ini tidak menjadi gentar. Bergegas tangan kanannya yang terkepal
dipukulkan ke depan. Angin luar biasa keras berhembus dari
tangan Dewa Seribu Pisau. Ia hendak meruntuh-
kan barisan daun-daun yang menuju ke arahnya.
Pertiwi mengetahui maksud lawannya. La-
gi-lagi gadis berpakaian hitam ini mengeluarkan pekikan keras. Bagai memiliki
nyawa daun-daun
itu meliuk ke atas. Masih dalam satu barisan. Pukulan jarak jauh Dewa Seribu
Pisau pun meluncur di bawah daun-daun itu!
Dewa Seribu Pisau, apalagi Ratih, terpana
melihat kenyataan ini. Pemandangan yang tercipta di hadapan mereka itu merupakan
pertunjukan tenaga dalam tingkat tinggi. Tapi meski kaget, De-wa Seribu Pisau tidak
kehilangan akal. Dia me-
lompat ke belakang untuk mempertahankan jarak.
Lalu, diambilnya delapan batang pisau dan dilemparkan ke arah barisan daun-daun.
Untuk kedua kalinya lelaki bermuka perse-
gi menunjukkan kebenaran julukan yang disan-
dangnya. Pisau-pisau yang dilepaskan secara bersamaan itu meluncur seperti
dilepaskan satu-
persatu. Terdapat tenggang waktu antara luncu-
ran pisau-pisau itu. Dan, semua pisau meluncur
ke arah daun-daun yang tengah mengarah pada
Dewa Seribu Pisau.
Tapi, betapa terkejutnya lelaki berwajah


Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persegi. Delapan batang pisaunya untuk pertama
kali gagal menjalankan tugas. Begitu Pertiwi
menggetarkan kedua tangannya, daun-daun itu
berpencar. Hal ini menyebabkan pisau-pisau Dewa Seribu Pisau mengenai tempat
kosong. Sebelum Dewa Seribu Pisau tersadar dari
perasaan kagetnya, daun-daun yang berpencaran
itu meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang
luar biasa hingga menimbulkan bunyi berciutan
nyaring. Dewa Seribu Pisau melihat adanya anca-
man maut tidak berdiam diri. Dengan mempergu-
nakan kedua tangan dilancarkannya pukulan ja-
rak jauh bertubi-tubi ke arah daun-daun itu.
Usaha Dewa Seribu Pisau memang tidak
sia-sia. Beberapa daun-daun itu berjatuhan dalam keadaan sobek dan hancur.
Sebagian kecil runtuh terserempet angin pukulan dahsyat itu. Tapi, sebagian
besar tetap meluncur ke arahnya.
Dewa Seribu Pisau yang tidak ingin kehi-
langan nyawa melompat ke belakang seraya me-
lontarkan pukulan jarak jauh.
Crap, crap, crap!
"Akh...!"
Dewa Seribu Pisau mengeluarkan jeritan
menyayat hati ketika akhirnya beberapa daun
yang tersisa menghunjam tubuhnya pada bebera-
pa bagian yang mematikan. Darah mengucur ke-
luar. Lelaki itu menggeliat-geliat sebentar sebelum diam tidak bergerak-gerak
lagi "Ayah...!"
Ratih yang sejak tadi menyaksikan jalan-
nya pertarungan memburu ke arah Dewa Seribu
Pisau. Wanita berpakaian merah ini menubruk tu-
buh ayahnya yang terkapar sambil menangis me-
milukan. Pertiwi hanya tersenyum mengejek. Dengan
sinar mata berseri dan kepuasan hati tubuhnya
dibalikkan dan mengayunkan kaki meninggalkan
tempat itu. Pertiwi sengaja tidak membunuh Ratih.
Bukan karena tidak tega atau kasihan, melainkan karena hatinya yang kejam. Ratih
telah keracunan. Dan, racun itu akan menyeret Ratih ke alam baka secara perlahan
dengan perasaan tersiksa.
*** "Aaa...!"
Jeritan panjang menyayat hati membuat le-
laki bertubuh jangkung yang tengah sibuk men-
cangkuli tanah menghentikan pekerjaannya. Pa-
dahal, saat itu lelaki setengah baya itu tengah siap menghantamkan mata
cangkulnya ke tanah.
Cangkul itu jadi berhenti di atas kepala. Ia segera mengarahkan pandangannya ke
sebuah rumah sederhana yang berada tak jauh dari tempatnya.
Lelaki tinggi kurus ini tengah berada di sawah.
"Eka." Bibir lelaki jangkung itu menggumamkan sebuah nama. Cangkulnya
dihempaskan ke tanah. Kemudian, tubuhnya melesat ke arah
pondok sederhana tempat suara jeritan tadi beras-al. Gerakan lelaki jangkung ini
begitu cepat dan ringan. "Eka...!"
Lelaki jangkung ini mengeluarkan teriakan
keras. Sepasang matanya membelalak lebar mena-
tap tidak percaya.
Di daun pintu pondok sederhana tertempel
sesosok tubuh wanita setengah baya. Kedua tan-
gan dan kakinya terpentang. Tubuhnya menempel
karena telapak tangan dan kakinya ditembus pi-
sau tajam sampai ke daun pintu.
Pemandangan itu saja sudah cukup me-
nyeramkan hati. Apalagi, ditambah dengan me-
rayapnya belasan ekor kelabang di sekujur tubuh wanita itu. Melihat wajah wanita
setengah baya yang bersemu kehijauan dan kepalanya terkulai,
lelaki Jangkung mengetahui wanita setengah baya itu telah keracunan. Sudah pasti
karena gigitan kelabang-kelabang hitam itu!
"Keparat!"
Setelah sadar dari keterkejutannya, lelaki
jangkung menghentakkan kedua tangannya ke
depan. Angin keras berhembus. Dan, kelabang-
kelabang itu berpentalan tak tentu arah.
"Eka...!"
Dengan suara seperti orang merintih, lelaki
Jangkung melesat menghampiri.
"Binatang dari mana yang telah melakukan
kekejian terhadapmu, Eka...?"
Lelaki jangkung tidak berani menyentuh
tubuh wanita setengah baya yang bernama Eka.
Tubuh Eka mengandung racun mematikan dan
dia telah tewas. Meninggal dalam keadaan amat
tersiksa. "Selamat berjumpa lagi, Bagas Pati!"
Lelaki jangkung terlonjak kaget bagai dis-
engat kalajengking mendengar teguran itu. Cepat tubuhnya dibalikkan mencari asal
suara. Sikap lelaki berpakaian sederhana ini kelihatan waspada.
Pemilik suara itu tampaknya memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa.
Kedatangannya tidak
terdengar. "Kau..."!"
Suara lelaki jangkung yang disapa dengan
nama Bagas Pati seperti tercekat di tenggorokan.
Ketidakpercayaan yang sangat membayang jelas
pada wajahnya yang cukup gagah.
"Kenapa, Bagas Pati" Kaget?"
Orang yang menyapa Bagas Pati ternyata
seorang lelaki tinggi besar berkulit hitam dan berambut panjang. Sebelah matanya
ditutup kain hitam. "Aku yakin kau tidak lupa padaku, Bagas Pati." Ucapan
bernada ejekan itu mampu mere-dam perasaan kaget Bagas Pati. Sikap dan sua-
ranya terdengar lebih tenang.
"Siapa yang bisa melupakan iblis busuk te-
ramat keji" Sungguh tidak kusangka kau bisa se-
lamat, Panangkaran"
"He he he...!" Laki-laki tinggi besar yang di-panggil Panangkaran terkekeh.
"Tentu saja, Bagas
Pati. Aku tidak akan meninggalkan dunia ini sebelum orang-orang yang telah
menghancurkan hi-
dupku menerima balasannya. Menerima pembala-
san atas kelancangan mereka terhadapku. Dan,
kau merupakan salah seorang di antaranya!"
Sepasang mata Bagas Pati menyipit men-
dengar pernyataan itu. Ada sorot mata. kebencian dan dendam di sana. Wajahnya
tampak beringas.
"Sekarang aku mengerti." Bagas Pati berkata dengan suara bergetar. "Pasti kau
yang telah melakukan kekejian terhadap istriku. Tidak ada
orang lain yang mampu bertindak sekeji ini kecua-li kau, Panangkaran!"
2 Panangkaran tertawa bergelak memperli-
hatkan kegembiraan hatinya.
"Syukur kalau kau bisa menduga demi-
kian, Bagas Pati," ujar lelaki bermata sebelah ini ringan. "Memang aku
pelakunya. Asal kau tahu saja, aku tidak mudah untuk menemukanmu.
Berhari-hari aku melacak jejakmu. Kulihat kau
tengah sibuk di sawah. Sungguh tidak kusangka
kalau di tempat ini kujumpai istrimu. Maksudku
semula hendak menunggu kedatanganmu di sini
untuk memberikan kejutan. Tapi, niat itu segera ku urungkan. Aku memancingmu
datang ke sini melalui istrimu. Sayang sekali, Bagas Pati, kau tidak melihat saat-saat istrimu
meregang maut. Ha ha ha. Menyenangkan sekali, Bagas Pati!"
"Jahanam!"
Bagas Pati tidak dapat menahan kemara-
hannya lagi mendengar Panangkaran mencerita-
kan saat-saat kematian istrinya. Meski tidak melihat, Bagas Pati dapat
membayangkan betapa
menderita istrinya sebelum maut menjemput Ke-
marahan yang melanda Bagas Pati pun tidak bisa
dibendung lagi!
Dalam cekaman perasaan marah yang
menggelegak Bagas Pati menerjang dengan ilmu-
ilmu andalan. Lelaki jangkung ini langsung men-
geluarkan serangan maut. Dia melompat dengan
tangan kanan menampar ke arah pelipis. Tangan
kiri Bagas Pati pun tidak tinggal diam. Tangan itu digerakkan mencengkeram ke
arah pusar. Dua
buah serangan maut yang amat berbahaya.
Panangkaran hanya mengeluarkan tawa
meremehkan. Begitu serangan-serangan maut itu
menyambar dekat, lelaki tinggi besar ini bergerak menangkis. Ketika terjadi
benturan keras tubuh
Bagas Pati terpental ke belakang dengan tangan
terasa sakit dan ngilu bukan main.
Bagas Pati menatap Panangkaran dengan
sepasang mata membelalak heran. Dilihatnya ti-
dak bergeming dari kedudukannya semula. Lelaki
tinggi besar ini tidak terpengaruh dengan benturan yang baru saja terjadi. Ini
mengejutkan Bagas Pati! Padahal, ia telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Dia tahu dulu Panangkaran memiliki kepandaian setingkat dengannya. Ketika
bertarung dengannya, Panangkaran terluka amat parah. Ta-pi, mengapa sekarang
Panangkaran memiliki ke-
pandaian dahsyat seakan waktu belasan tahun itu telah dipergunakan untuk melatih
diri" Bagas Pati sendiri meski telah mengasing-
kan diri dan memilih hidup sebagai petani tetap tidak melupakan ilmu silatnya
dan terus berlatih.
Bila dibandingkan dengan belasan tahun lalu dia mengalami kemajuan pesat.
Melihat Bagas Pati tidak melanjutkan se-
rangannya, malah tercenung bingung, Panangka-
ran tidak mempergunakan kesempatan itu untuk
melancarkan serangan. Sikap lelaki tinggi besar ini terlihat demikian tenang.
Tampaknya, ia merasa
yakin dengan kemampuan dirinya akan mampu
mengalahkan Bagas Pati!
"Bagas Pati, waktu untukmu menghadap
malaikat maut telah hampir tiba. Kau merupakan
orang pertama yang mendapat balasan atas han-
curnya gerombolan yang dulu kubangun dengan
susah payah!"
Panangkaran mengucapkan kata-kata itu
dengan berirama, seperti bernyanyi.
Bagas Pati yang sebelumnya sudah bersiap
untuk melancarkan serangan, mendadak meng-
hentikan gerakannya. Ucapan-ucapan yang dika-
takan secara berirama itu mengandung kekuatan
dahsyat. Setiap kata yang keluar membuat telinga Bagas Pati mendenging, seperti
mendengar leda-kan halilintar di dekatnya. Dada Bagas Pati bergetar. Bahkan,
kedua kakinya berdiri goyah.
Pengaruh yang melanda Bagas Pati sema-
kin menjadi-jadi ketika Panangkaran mengulang
perkataannya. Bagas Pati yang merupakan tokoh
persilatan dengan pengalaman segudang segera
tahu Panangkaran telah mengirim serangan tena-
ga dalam. Tentu saja Bagas Pati tidak ingin mati konyol. Dia segera duduk
bersila mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh ucapan
yang dikeluarkan dengan berirama itu.
Pertarungan adu tenaga dalam pun ber-
langsung. Panangkaran terus mengulang perka-
taannya. Bagas Pati semakin tenggelam dalam se-
madinya. Maka beberapa saat tidak terjadi apa
pun. Tapi ketika Panangkaran mengulang perka-
taannya untuk kelima kali, wajah Bagas Pati mulai dibanjiri peluh. Wajah yang
semula merah padam
tampak semakin merah. Bahkan, dari atas kepala
Bagas Pati mengepul uap putih. Semakin lama
semakin tebal. Lelaki jangkung ini telah menge-
rahkan tenaga dalam melewati batas.
*** "Menggunakan kemampuan untuk mela-
kukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang
lain merupakan perbuatan tidak terpuji!"
Perkataan yang diucapkan tidak keras tapi
mengandung getaran yang menyelusup sampai
jauh ke dalam dada terdengar di saat-saat kea-
daan Bagas Pati semakin mengkhawatirkan.
Seperti juga Panangkaran yang mengulang-
ulang perkataannya. Seruan yang terdengar bela-
kangan itu juga diulang-ulang. Pemilik suara itu mengekor ucapan Panangkaran.
Panangkaran menggeram di dalam hati.
Ada orang yang menghalangi perbuatannya untuk
membunuh Bagas Pati. Seruan orang itu mengan-
dung pengaruh yang menentang ucapan Panang-
karan. Bahkan, Panangkaran merasakan kekua-
tan tak nampak menyelusup di dalam telinga dan
menyakitkan gendang telinganya. Seruan yang ke-
luar dari orang yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Berbeda dengan Panangkaran, Bagas Pati
mendapat keuntungan. Setelah seruan-seruan ke-
dua terdengar, pengaruh yang mengungkungi Ba-
gas Pati mulai berkurang. Semakin lama pengaruh itu semakin menghilang sehingga
Bagas Pati menghentikan pengerahan tenaga dalamnya.
Sementara beberapa tombak di depan Ba-
gas Pati, Panangkaran masih sibuk mengeluarkan
perkataannya. Bahkan, Panangkaran menambah
kekuatan tenaga dalam karena pemilik seruan
yang tidak terlihat itu terus berkata-kata. Wajah Panangkaran mulai merah padam.
Dan, bertambah merah. Seruan-seruan yang keluar dari mu-
lutnya semakin melemah. Sebaliknya, seruan yang keluar belakangan semakin
menguat. Bahkan, seperti bergema ke sekitar tempat itu.
"Huakh...!"
Panangkaran memuntahkan darah segar
ketika memaksakan diri untuk melawan. Tubuh
lelaki tinggi besar ini terbungkuk-bungkuk ketika cairan merah kental itu keluar
dari mulutnya. Seiring dengan keluarnya darah dari mulut Pa-


Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nangkaran, seruan yang terdengar belakangan itu pun lenyap.
"Kalau bukan pengecut, keluar kau orang
usil...!" Tanpa mengenal takut sama sekali, Panangkaran berteriak cukup keras.
Panangkaran tidak mau mengerahkan tenaga dalam. Saat itu
dia telah terluka cukup parah. Apabila memaksa-
kan diri, luka dalam yang dideritanya akan ber-
tambah parah. Mungkin akan menyebabkan nya-
wanya melayang ke alam baka.
Baru saja Panangkaran selesai meneriak-
kan kata-katanya, dari balik kerimbunan semak-
semak melesat keluar sesosok tubuh berpakaian
ungu, Sosok itu bertubuh tegap dan kekar. Wa-
jahnya tampan, ia mengayunkan kaki dengan te-
nang menghampiri Panangkaran.
"Aku bukan seorang pengecut, Sobat. Aku
sengaja menyembunyikan diri karena tidak ingin dikenal. Aku tidak mau mencari
permusuhan,"
ujar pemuda berpakaian ungu yang memiliki ram-
but putih keperakan.
"Tidak usah bicara berputar-putar, Pemuda
Usilan!" tegas Panangkaran lantang. "Kau telah mencampuri urusanku, itu sama
dengan menan- tangku. Kali ini aku mengaku kalah. Tapi, suatu saat nanti kita akan bertemu
lagi. Aku, Panangkaran, tidak bisa menerima kekalahan! Apalagi di
tangan orang semuda kau. Kalau kau bukan pen-
gecut perkenalkan dirimu!"
Pemuda berambut putih keperakan itu
mengernyitkan alisnya dengan sikap tidak senang.
Dua kali Panangkaran berkata, dua kali pula lelaki tinggi besar itu memakinya
pengecut. Mau tidak
mau, pemuda berambut putih keperakan itu
memperkenalkan diri.
"Sudah kukatakan aku tidak ingin mencari
permusuhan. Tapi kalau kau ingin mengenalku,
namaku Arya Buana. Dunia persilatan memberi-
kan julukan padaku. Dewa Arak itu julukanku!"
tandas pemuda berambut putih keperakan.
Wajah Panangkaran berubah hebat men-
dengar jawaban itu. Meski baru kembali ke dunia ramai, lelaki tinggi besar ini
telah mendengar na-ma besar Dewa Arak yang menggemparkan dunia
persilatan. "Ternyata berita yang kudengar itu benar."
Panangkaran tersenyum pahit "Kau memang seorang pendekar yang luar biasa. Tapi
tunggulah, Dewa Arak. Saat kekalahanmu segera tiba. Sela-
mat tinggal!"
Dengan sikap yakin Dewa Arak akan mem-
biarkan pergi dengan selamat, Panangkaran mem-
balikkan tubuh dan melesat pergi dengan langkah agak terhuyung.
Dewa Arak hanya memandangi saja keper-
gian Panangkaran. Sikap Panangkaran yang terla-
lu yakin membuat Arya tidak melakukan pengeja-
ran. Panangkaran memperlihatkan sikap kalau di-
rinya mempercayai Dewa Arak.
*** Arya membalikkan tubuh dan mengalihkan
perhatian dari tubuh Panangkaran yang lenyap ditelan kejauhan ketika mendengar
bunyi menggelo-
gok. Dilihatnya Bagas Pati duduk bersila dan memuntahkan darah segar. Tampaknya,
ia mengala- mi luka dalam yang amat parah. Maka tanpa
membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut
putih keperakan ini bergegas menghampiri. Ia ingin memberi pertolongan. Dan,
cara yang paling
tepat adalah dengan menyalurkan tenaga dalam.
Tapi Arya menghentikan maksudnya ketika
melihat lelaki jangkung itu menggeliat. Ternyata seekor kelabang hitam telah
menggigit kakinya.
Kelabang itu memiliki racun yang mematikan.
Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah.
Dia tidak mau mengambil resiko mengobati kera-
cunan dengan arak dalam gucinya. Arya tahu Pa-
nangkaran sebagai pemilik kelabang pasti memili-ki pemunahnya. Pemuda berambut
keperakan ini segera melesat ke arah Panangkaran tadi pergi.
Tapi, belum berapa jauh Arya meninggal-
kan Bagas Pati yang sibuk dengan semadinya ter-
dengar suara bentakan dari belakang.
"Penjahat keji...! Jangan pergi kau...!"
Menduga seruan itu ditujukan padanya,
Arya menghentikan larinya. Tapi sebelum tubuh-
nya dibalikkan pemuda berambut putih keperakan
ini merasakan desiran angin di atas kepalanya.
Sebagai orang yang telah kenyang pengalaman,
Arya tahu pemilik seruan itu tengah melompa-
tinya. Maka, dia bersikap tenang dan mengarah-
kan pandangan ke depan.
Dua tombak di depan Arya mendarat rin-
gan sesosok tubuh tegap pemuda berpakaian cok-
lat. Arya tidak merasa terkejut melihat pemuda itu menjejakkan kaki tanpa
menimbulkan bunyi sedikit pun. Yang membuat Arya kaget, tapi tidak di tampakkan
pada wajahnya yang tetap kelihatan
tenang, adalah seruan yang ditujukan padanya.
Benak Arya segera teringat pada Bagas Pati yang ditinggalkannya. Mungkinkah
seruan tadi ada hu-bungannya dengan hal itu"
"Mengapa kau menghadang perjalananku,
Sobat" Dan, apakah maksud ucapanmu tadi" Se-
ruan itu kau tujukan padaku?" tanya Arya tenang, tidak langsung mengajukan
dugaan. "Penjahat keji terkutuk!"
Pemuda berpakaian coklat yang berusia
sekitar dua puluh satu tahun, bertubuh pendek
kekar dengan kumis tebal melintang, menggeram
keras bagai binatang buas terluka.
"Kalau tidak kau yang mati, aku yang akan
menjadi mayat di sini."
Pemuda berpakaian coklat membuka se-
rangan dengan tendangan bertubi-tubi yang dila-
kukan dengan kaki kanan dan kiri. Suara angin
menderu keras mengiringi serangan itu.
Dewa Arak tahu pemuda berpakaian coklat
ini tidak bisa diberikan penjelasan dengan kata-kata, tidak mempunyai pilihan
lain kecuali mem-
berikan perlawanan. Serangan-serangan pemuda
berpakai an coklat hebat bukan main. Arya tidak dapat menahan rasa ingin
tahunya. Melihat pemuda berpakaian coklat memiliki kepandaian he-
bat, ia memutuskan akan mengukur kekuatan la-
wan. Pemuda berpakaian coklat membuka seran-
gannya dengan tendangan bertubi-tubi. Suara angin menderu mengiringi serangan
itu. Melihat pemuda berpakaian coklat memiliki kepandaian lu-mayan, Arya jadi
timbul rasa ingin tahunya. Ia pun memutuskan ingin menjajal kekuatan lawan!
Duk, dukkk, dukkk!
Suara keras terdengar berkali-kali ketika
sepasang kaki Arya berbenturan dengan kaki pe-
muda berpakaian coklat. Tubuh pemuda berpa-
kaian coklat terhuyung-huyung ke belakang den-
gan seringai kesakitan di wajahnya. Sedangkan
Arya hanya bergetar.
Pemuda berpakaian coklat menggeram ke-
ras. Dia tampak sangat marah.
"Pantas ayahku dapat kau kalahkan. Ter-
nyata kau memiliki kepandaian hebat. Tapi, itu tidak membuatku jadi gentar,
Penjahat Keji!"
Pemuda berpakaian coklat kembali menye-
rang. Arya meladeninya. Pertarungan kedua tokoh muda. yang sama-sama lihai itu
pun berlangsung
sengit. Arya semakin mengetahui kalau kepan-
daian pemuda berpakaian coklat ini memang amat
tinggi. Sungguh pun jika mengerahkan seluruh
kemampuannya dengan ilmu 'Belalang Sakti' la-
wan akan dapat dikalahkan, tapi itu membutuh-
kan waktu yang lama. Itu pun harus melukainya
dengan cukup berat. Arya tidak menginginkan hal itu. Pemuda berpakaian coklat
ini hanya salah paham. Maka, ketika lagi-lagi pemuda berpakaian
coklat melancarkan serangan dengan pukulan te-
lapak tangan terbuka, Arya menyambutnya.
Bresss! Tubuh pemuda berpakaian coklat terjeng-
kang lalu terguling-guling di tanah. Sedangkan tubuh Arya bergoyang-goyang. Arya
yang memang tidak ingin melanjutkan pertarungan meman-
faatkan kesempatan itu untuk melempar tubuh-
nya ke belakang dan melesat meninggalkan tempat itu.
Pemuda berpakaian coklat tidak mengin-
ginkan Dewa Arak kabur. Dengan kepala masih
pusing dan pandangan berkunang-kunang dia me-
lesat mengejar.
Tapi, karena Arya telah lebih dulu dan ke-
cepatan lari pemuda berambut putih keperakan
itu di atas lawannya, dalam waktu singkat Arya telah lenyap dari pandangan.
Tinggal pemuda ber-
pakaian coklat dengan perasaan geram. Sorot ma-
ta memancarkan kebencian menatap ke arah le-
nyapnya Dewa Arak.
"Penjahat Keji, dengarlah...! Sampai ke
ujung dunia pun kau akan kucari...!"
*** "Ayaaah...! Ibuuu...!"
Sambil berseru keras seorang pemuda ber-
pakaian kuning melesat ke arah tempat di mana
tubuh Bagas Pati dan Eka berada.
Pemuda itu menatap berganti-ganti pada
Bagas Pati dan Eka. Sorot matanya penuh pera-
saan sedih dan penyesalan. Pemuda bertubuh
tinggi kekar ini melihat ibunya telah tewas. Tidak ada yang dapat dilakukannya
lagi untuk menyelamatkan Eka. Maka, pandangannya dialihkan
pada Bagas Pati yang tergolek lemah di tanah. Na-pasnya masih ada. Keadaan
lelaki jangkung ini
terlihat sangat payah. Wajahnya telah bersemu
kehijauan seperti halnya wajah Eka.
"Keparat!"
Pemuda berpakaian kuning memaki. Sepa-
sang matanya yang tajam berkilat-kilat menatap
penuh dendam pada kelabang-kelabang hitam
yang berkeliaran di sekujur tubuh Bagas Pati.
Pemuda berpakaian kuning lalu bertepuk
tangan sekali. Kelabang-kelabang yang tengah
asyik bermain itu terangkat semua. Kemudian,
melayang ke belakang menjauhi tubuh Bagas Pati.
Setelah itu kedua tangan pemuda itu digosok-
gosokkan. Sekelebatan sinar dari tangannya me-
nyambar ke arah kelabang-kelabang yang masih
tergantung di awang-awang. Terdengar bunyi letupan kecil disusul dengan bunyi
sangit seperti daging terbakar. Kelabang-kelabang itu dalam sekejap telah
menjadi arang dan hancur tertiup angin.
"Ayaaah...!"
Pemuda berpakaian kuning lalu mendekati
Bagas Pati. Ayahnya tidak bisa diselamatkan lagi.
Napas lelaki jangkung itu tinggal satu-satu.
*** 3 "Ludiga...." Hampir tidak terdengar ucapan Bagas Pati. Bibirnya yang telah pucat
bergerak pelan.
Pemuda berpakaian kuning yang tahu
ayahnya ingin menyampaikan pesan terakhir sege-
ra mendekatkan telinganya pada mulut lelaki
jangkung itu. "Syukur kau datang. Aku, terutama sekali
ibumu, sangat rindu padamu. Aku gembira masih
sempat bertemu denganmu, meski ibumu tidak
dapat bertemu muka denganmu. Sekarang kau
bukan lagi bocah berusia sepuluh tahun seperti dulu, Ludiga. Aku yakin kau telah
memiliki kepandaian tinggi. O ya, bagaimana kabar gurumu,
Eyang Sapta Geni?"
"Baik, Ayah. Guru titip salam untuk Ayah,"
jawab Ludiga dengan suara tercekat di tenggoro-
kan karena perasaan haru dan sedih. Kedatan-
gannya kurang cepat
"Kuterima salamnya, Ludiga. Dan, kuminta
kau suka menyampaikan salamku padanya bila
bertemu nanti," ucap Bagas Pati. Suaranya semakin pelan.
Ludiga mengangguk menyetujui permin-
taan ayahnya "Katakan, Ayah, siapa yang telah melakukan kekejian ini" Aku
berjanji akan menuntut balas atas kekejian yang telah dilakukannya." Sepasang
mata Bagas Pati semakin redup seakan kehilangan sinar.
"Panangkaran...."
"Panangkaran..."!" Ludiga mengulang jawaban Bagas Pati, meminta kepastian.
"Maksud Ayah, Panangkaran yang sepuluh tahun lalu per-kumpulannya dihancurkan
oleh kelompok pende-
kar" Panangkaran..." Ludiga menghentikan ucapannya ketika melihat kepala Bagas
Pati terkulai. Lelaki jangkung itu telah meninggal. "Ayah...!"
Ludiga mengguncang-guncangkan tubuh
ayahnya berharap terjadi suatu keajaiban. Ia tidak percaya Bagas Pati telah
meninggal. Pemuda ini
baru percaya ketika tubuh yang diguncang-
guncang itu tidak memberikan tanggapan.
*** Tanpa ada beban batin sama sekali Dewa
Arak melangkahkan kaki melanjutkan perjalanan.
Pemuda berambut putih keperakan ini tidak tahu
ke mana harus menuju.
Kesantaian sikap pemuda itu langsung
buyar ketika melihat beberapa sosok di depannya.
Jarak antara dua sosok itu dengan Arya tak ku-
rang dari lima puluh tombak. Tapi, itu tidak menjadi halangan bagi Arya untuk
mengenali sosok-


Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sosok yang tengah berkejaran itu. Sepasang mata Arya tajam bukan main, sehingga
bisa melihat dengan jelas. Apalagi arah yang dituju dua sosok itu adalah tempat Arya berada.
Dua sosok itu ternyata memiliki kepan-
daian tinggi. Dalam sekejap mereka telah berada dekat dengan Arya. Sosok pertama
seorang gadis cantik berpakaian serba hitam. Rambutnya dikun-
cir. Sedangkan sosok kedua seorang kakek ber-
jenggot panjang putih dan berpakaian putih.
Meski dari jenggotnya bisa diketahui kalau usia kakek ini telah sangat tua, tapi
wajahnya masih kelihatan segar.
Gadis berpakaian hitam itu tak lama lagi
akan terkejar lawannya. Arya yang tidak bisa melihat tindak ketidak-adilan
segera memutuskan
untuk campur tangan. Sekali Arya menjejakkan kaki, tubuhnya
telah berada di antara gadis berpakaian hitam dan pengejarnya. Hal ini memaksa
kakek berjenggot
putih menghentikan pengejaran.
"Tunggu sebentar, Kek," cegah Arya seraya menjulurkan tangan kanan mencegah.
Sepasang mata kakek berjenggot putih
mencorong tajam. Kalau saja sinar mata dapat di-andaikan dengan sebuah serangan,
tentu saat itu Arya tengah menghadapi serangan dahsyat.
"Pantas betina jahat itu melarikan diri kemari. Pantas juga dia berani melakukan
tindakan kejahatan. Rupanya dia mempunyai pembela. Sudah kepalang tanggung
usahaku, kau pun harus
kulenyapkan, Anak Muda!"
Tanpa mempedulikan Dewa Arak yang ti-
dak mengerti ucapan-ucapannya, kakek berjeng-
got putih menudingkan jari telunjuk kanannya.
"Menyingkirlah, Anak Muda. Jangan ha-
langi tindakanku. Atau, aku terpaksa bertindak
kasar terhadapmu."
"Sayang sekali, Kek." Arya tersenyum lebar.
"Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku tidak pernah membiarkan kesewenang-
wenangan terjadi di depan mataku."
"Kalau begitu, kau lebih dulu yang harus
kusingkirkan, Anak Muda!" Kakek berjenggot putih menggeram. Tidak bisa menahan
perasaan ti- dak sabarnya. "Lihat! Harimau milikku akan me-nyerangmu...!"
"Uh..."!"
Arya berseru kaget Tiba-tiba muncul seekor
harimau putih menerkamnya sambil mengelua-
rkan auman keras. Dewa Arak bingung. Harimau
besar itu muncul ketika kakek berjenggot putih
menudingkan jari telunjuk ke arahnya.
Arya tidak sempat berpikir panjang lagi.
Jarak yang terlalu dekat membuat terkaman ha-
rimau besar langsung mengancam keselamatan-
nya. Tanpa pikir panjang lagi, pemuda berambut
putih keperakan itu melompat ke samping dan
bergulingan di tanah. Elakannya membuat seran-
gan harimau besar itu luput
Dengan kecepatan seorang ahli silat yang
luar biasa, Arya melentingkan tubuh dan menjejak tanah dengan kedua kaki. Arya
bersiap menghadapi serangan selanjutnya.
Tapi, kesiap-siagaan pemuda berambut pu-
tih keperakan ini sia-sia. Tidak ada serangan susulan. Jangankan harimau putih
besar, kakek berjenggot putih itu pun sudah tidak berada di si-
tu lagi. Harimau putih besar lenyap tidak keta-
huan ke mana perginya. Sementara kakek ber-
jenggot putih telah berada belasan tombak di depan, mengejar gadis berpakaian
hitam yang telah pergi cukup jauh.
Arya segera sadar kakek berjenggot putih
telah mengakalinya dengan mempergunakan ilmu
sihir. Harimau besar itu hanya khayalan yang di-ciptakan dengan sepotong ranting
kering. Harimau ciptaan itu terwujud ketika kakek berjenggot putih berseru
sambil menudingkan jari telunjuknya pa-da ranting kering itu.
Arya segera melakukan pengejaran. Selu-
ruh ilmu lari cepatnya dikeluarkan, karena dia
melihat sendiri betapa cepatnya lari kakek ber-
jenggot putih. Maksud Arya menyusul kakek itu tidak ke-
sampaian. Betapa pun keras usahanya jarak anta-
ra mereka tidak berubah. Kakek itu ternyata me-
miliki ilmu lari cepat yang tidak berada di bawah kemampuan Arya.
Bahkan akhirnya ketika medan yang dilalui
kakek berjenggot putih berupa alang-alang tinggi yang lebat, Dewa Arak
kehilangan jejak. Pemuda
berambut putih keperakan ini berdiri tegak men-
gamati sekelilingnya. Arya memusatkan perhatian pada pendengaran. Barangkali
saja bisa mendengar bunyi-bunyi yang bisa dijadikan petunjuk di mana kakek
berjenggot putih berada.
Arya terkejut ketika mendengar suara-
suara aneh. Pendengarannya yang tajam menden-
garnya secara jelas.
"Arak enak...! Arak Nikmat...! Nyam, nyam, nyammm...!"
Arya tidak segera melesat ke arah asal sua-
ra itu. Dia tercenung sebentar, berpikir. Beberapa
saat kemudian, setelah diyakini tidak ada ruginya untuk melihat, pemuda berambut
putih keperakan
itu melesat ke sana.
Dalam beberapa kali lesatan Arya berhasil
menjumpai asal suara itu. Pemuda berambut pu-
tih keperakan ini tertegun heran. Ayunan kakinya terhenti.
Dalam jarak sekitar lima tombak, duduk
bersandar di bawah sebatang pohon seorang ka-
kek berkulit putih seperti dikapur. Pakaiannya
tebal. Terbuat dari bulu binatang. Kulit binatang itu juga membungkus kedua
tangan, kaki, dan
kepalanya. Hanya muka saja yang tidak tertutup.
Arya terheran-heran melihat tingkah kakek
berkulit putih. Suasana di persada tengah panas bukan main karena sang surya
saat itu berada tepat di atas kepala. Pada cuaca seperti itu seharusnya setiap
orang berpakaian ringkas kalau tidak ingin kegerahan. Tapi, kakek berkulit putih
aneh itu tidak demikian. Bahkan, terlihat beberapa kali kakek itu melipat kedua
tangannya di depan dada seperti Orang kedinginan. Aneh!
Tiba-tiba kakek yang sejak tadi menun-
dukkan kepalanya mengangkat wajah dan mena-
tap ke depan. Meski sebelumnya sudah menduga
kakek yang hampir sekujur tubuhnya tertutup pa-
kaian bu1u tebal ini bukan orang sembarangan,
Arya sempat kaget ketika melihat sepasang mata
kakek itu. Mata itu mencorong dan bersinar kehijauan seperti mata harimau dalam
gelap! "Tidak usah ragu-ragu, Pendekar Muda."
Kakek berpakaian bulu tebal membuka suara. Ti-
dak tampak rasa kaget ketika melihat Dewa Arak.
Seakan keberadaan pemuda itu sudah diketahui
sebelumnya. "Mari minum arak bersamaku!"
Kakek itu menggerakkan tangan seperti
orang mengusir nyamuk. Perlahan sekali seperti
tidak mengandung tenaga dalam. Tapi, gelas bam-
bu yang ada di dekatnya terangkat ke atas bagai ada kekuatan tidak nampak yang
mengangkatnya. Gelas bambu itu terus melayang naik sam-
pai setinggi setengah tombak, lalu berhenti. Kemudian, perlahan-lahan gelas
bambu itu bergerak miring. Arak yang berada di dalam gelas meluap
keluar dan jatuh ke bawah.
Arya yang menyaksikan pertunjukan ini
mengetahui arak itu tidak jatuh tepat di mulut
kakek berpakaian bulu tebal. Luncuran arak akan membasahi tanah di depan kakek
itu. Tapi, beberapa jengkal sebelum arak men-
cucuri tanah, terjadi pemandangan yang membuat
wajah Arya berubah. Luncuran arak itu kembali
ke atas dengan gerakan melengkung. Kemudian,
meluncur ke arah mulut kakek berpakaian bulu
tebal secara menyerong ke kanan. Dengan tepat-
nya arak itu masuk ke dalam mulut kakek berpa-
kaian bulu tebal.
"Mengapa masih berdiam diri, Pendekar
Muda?" Kakek berpakaian bulu tebal kembali mengalihkan perhatian pada Dewa Arak
ketika melihat pemuda itu berdiam diri memandangi perbuatannya. Arya belum
memberikan tanggapan. Dia ti-
dak tahu siapa kakek berpakaian bulu tebal ini, dan berasal dari golongan mana.
"Mungkin kau merasa malu, Pendekar Mu-
da. Baiklah, untuk menghilangkan perasaan itu
mungkin aku bisa membantumu sedikit."
Kakek berpakaian bulu tebal menudingkan
jari telunjuk kirinya pada guci arak yang berada di depannya. Guci arak itu
terangkat naik dan me-
layang mendekati gelas bambu yang telah kosong.
Begitu berada tepat di atas gelas bambu, guci itu bergerak miring menumpahkan
arak ke dalam gelas. Baru ketika gelas bambu telah penuh, guci itu kembali
berdiri seperti berada di atas tanah. Kemudian, guci itu melayang turun dan
mendarat di tanah dengan pelan. Isinya tidak tumpah sedikit pun. Kakek
berpakaian bulu tebal menggenggam
gelas bambu sebentar, lalu dikibaskannya. Gelas bambu yang berisi arak itu
meluncur dengan kecepatan tinggi ke arah Dewa Arak. Tidak sedikit pun arak
memercik keluar dari gelas bambu!
Arya merangkapkan kedua tangan di depan
dada, memberi hormat.
"Kau terlalu baik hati, Kek. Sebenarnya
aku sedang tidak ingin minum. Tapi, tidak ada salahnya kalau hanya segelas."
Dengan tenang, pemuda berambut putih
keperakan itu mengulurkan tangan bersiap mene-
rima gelas bambu yang meluncur ke arahnya den-
gan kecepatan tinggi.
Tappp! Gelas bambu itu berhasil ditangkap Arya.
Tangan pemuda berambut putih keperakan itu
sampai bergetar. Tapi, tidak ada arak yang tum-
pah. Di dalam hatinya, Arya terkejut bukan
main. Kakek berpakaian bulu tebal memiliki tena-ga dalam luar biasa. Bukan hanya
dari pertunjukan tenaga dalam yang disaksikannya, tapi juga
dari kuatnya lontaran gelas bambu. Arya merasa-
kan isi dadanya bergetar.
Meski sebenarnya tidak ingin main-main
dengan kakek ini, Arya tidak dapat memendam in-
gin tahunya. Timbul keinginan di hati Dewa Arak
untuk menguji dengan tenaga dalam miliknya.
Kakek itu sendiri yang telah memulainya. Dia
hanya melayani tantangan itu. Keputusan itu
membuat Arya menatap wajah kakek berpakaian
tebal dengan wajah berseri-seri.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Kek."
Setelah menganggukkan kepala mengu-
capkan terima kasih, Arya menuang gelas bambu
yang berisi arak ke mulutnya. Tidak hanya miring, tapi mulut gelas sampai
menghadap ke bawah!
Kendati demikian arak yang berada di dalam gelas tidak mau tumpah keluar.
Memercik pun tidak.
Arya membiarkan keadaan ini beberapa saat la-
manya. "Sayang sekali, Kek, rupanya arak ini tidak ingin kuminum. Jadi, aku
tidak bisa meneri-manya. Biarlah-kukembalikan padamu!"
Arya menggetarkan tangan yang meng-
genggam gelas setelah terlebih dulu membalik-
kannya kedudukan mulut gelas. Dari dalam gelas
bambu mencelat keluar arak. Tidak berupa cairan, melainkan gumpalan lonjong yang
lunak. Arak itu meluncur ke arah kakek berpakaian tebal dalam
keadaan bergoyang-goyang.
Kakek berpakaian tebal terkekeh pelan.
"Berita yang tersebar mengenai kelihaian-
mu ternyata tidak hanya kabar kosong, Dewa
Arak. Kau memang cukup lihai!"
Sambil berkata demikian, kakek berpa-
kaian tebal mengulurkan kedua tangan ke depan.
Gumpalan Arak yang semula tertuju ke wajahnya
telah berganti arah. Kini, meluncur ke bawah menuju guci yang tutupnya terbuka.
Bak dituangkan, gumpalan arak itu masuk ke dalam guci!
"Terima kasih atas pujianmu, Kek. Sayang
sekali aku tidak bisa berlama-lama di sini. Masih
ada urusan lain yang perlu kuselesaikan. Maaf!"
Setelah menjura memberi hormat, Arya
membalikkan tubuh dan siap meninggalkan tem-
pat itu. "Tunggu, Dewa Arak...!"
4 Seruan itu terdengar sangat meminta se-
hingga Arya tidak tega untuk berlalu. Pemuda berambut putih keperakan itu
menahan ayunan ka-
kinya yang slap dilangkahkan. Tubuhnya kembali
dibalikkan. "Aku akan membiarkanmu pergi apabila
kau bersedia menyambut satu seranganku. Apa-
kah kau berani, Dewa Arak?" tantang kakek berpakaian tebal sebelum Arya membuka
suara. Arya mengernyitkan alis. Dia tidak punya
pilihan lain karena kakek yang cerdik itu telah memaksanya dengan menggunakan
kata-kata, apakah dirinya berani. Bila Arya menolak, itu berarti mengaku takut. Padahal,
kata takut merupakan pantangan terbesar seorang pendekar!
"Kau tidak memberikan pilihan lain pada-
ku, Kek," jawab Arya tersenyum pahit.
"Jadi..., kau bersedia menerima tantangan-
ku, Dewa Arak?" Kakek berpakaian tebal tersenyum penuh kemenangan.
Arya hanya bisa menganggukkan kepala
sedikit tanda mengiyakan.
"Bagus! Bersiaplah menerima seranganku
ini. Perlu kau ingat, taruhannya adalah nyawamu!
Jadi, bersikap sungguh-sungguhlah kalau kau
masih ingin menghirup udara dunia ini!"
Lagi-lagi Arya hanya memberikan sambu-
tan berupa senyuman pahit
"Boleh aku mengajukan sebuah permin-
taan?" "Silakan, Dewa Arak." Kakek berpakaian tebal langsung menyanggupi.
"Selama aku bisa memenuhinya. Anggap saja ini sebagai imbalan


Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas kesediaanmu menerima tantanganku."
"Aku hanya ingin tahu, mengapa kau begi-
tu ingin bertarung denganku. Juga, siapa kau sebenarnya, Kek?"
"Heh he he...!"
Kakek berpakaian tebal terkekeh.
"Pertanyaan-pertanyaan yang bagus, Dewa
Arak. Aku akan menjawab dengan senang hati.
Aku mulai dengan siapa diriku ini. Aku tidak sete-nar dirimu, Dewa Arak. Mungkin
kau tidak pernah mendengar julukanku. Tapi, sekitar tiga puluh tahun yang lalu
orang menjulukiku Malaikat Salju!"
Wajah Arya agak berubah mendengar julu-
kan itu. Julukan Malaikat Salju telah pernah didengarnya dari tokoh-tokoh
angkatan tua. Seorang tokoh aneh yang tidak bisa ditebak sifatnya. Tapi yang
jelas seorang tokoh golongan putih. Arya tidak pernah menyangka akan berjumpa
dengan Malaikat Salju. Tokoh yang terkenal sekali puluhan tahun lalu.
"Aku pernah mendengar julukanmu, Kek.
Kau terlalu merendah. Dibandingkan dengan julu-
kanmu, julukan yang kumiliki bukan apa-apa,"
jawab Arya sejujurnya.
"Lupakanlah." Kakek berpakaian tebal mengibaskan tangan. "Maksudku bermain-main
denganmu hanya karena keisengan belaka. Aku
tertarik mendengar dunia persilatan gempar den-
gan kemunculanmu. Ingin kubuktikan sendiri ke-
lihaian seorang tokoh yang mempunyai julukan
demikian menggemparkan."
"Hanya itu, Malaikat Salju?" desak Arya menyebut julukan kakek berpakaian tebal.
Arya tidak merasa heran seandainya Ma-
laikat Salju menganggukkan kepala membenarkan
pertanyaannya. Pemuda ini telah memiliki penga-
laman luas. Di dunia persilatan banyak tokoh-
tokoh sakti yang mempunyai watak aneh. Misal-
nya, keranjingan bertarung untuk menentukan
siapa yang lebih unggul, meski taruhannya nyawa yang melekat di badan
Malaikat Salju menggelengkan kepala.
"Tidak hanya itu, Dewa Arak. Aku menan-
tangmu bertarung karena ingin merasakan sendiri kelihaianmu yang dapat
mengalahkan murid adik
kandungku."
"Siapa orang yang kau maksudkan, Malai-
kat Salju?"
"Panangkaran..."
"Panangkaran"!"
"Lelaki bermata sebelah yang belum lama
kau kalahkan." Malaikat Salju menambahkan ke-terangannya.
Kali ini Arya tidak kebingungan lagi. Pe-
muda berambut putih keperakan ini langsung te-
ringat. "Kurasa masalahnya sudah jelas. Sekarang bersiaplah, Dewa Arak!"
Malaikat Salju lalu duduk bersila. Arya
mengikuti tindakan kakek berpakaian tebal. Ia tidak berani memandang rendah
karena telah bisa
mengira-ngira Malaikat Salju merupakan lawan
yang amat tangguh.
Malaikat Salju tidak mempedulikan sikap
Dewa Arak. Bahkan, seperti tidak melihat kalau
pemuda berambut putih keperakan itu telah siap
untuk bertarung. Dengan caranya yang luar biasa kakek itu mengisi dua buah gelas
bambu di dekatnya dengan arak hingga penuh. Kemudian, di-
genggamnya gelas bambu itu dengan kedua tan-
gan. "Aku sudah sangat tua, Dewa Arak. Usiaku sudah lebih dari seratus tahun.
Jadi, bisa kau perkirakan sendiri urat-urat dan tulang-tulangku telah lemah. Aku tak akan kuat
bertanding ilmu
silat. Maka, aku hanya bisa mengajakmu berta-
rung seperti ini."
Tanpa menunggu jawaban Dewa Arak dan
seperti tidak membutuhkan persetujuan pemuda
itu, Malaikat Salju menggerakkan pahanya ke ba-
wah. Bagaikan memiliki roda pada pantatnya, tu-
buh kakek berpakaian tebal ini meluncur ke arah Dewa Arak dalam keadaan masih
bersila! Tanah yang bergurat mengeluarkan kepulan debu cukup
tebal. Arya tidak mau kalah gertak. Ia melakukan hal yang sama. Hingga, mereka
saling mendekat
dengan cara yang luar biasa. Tepat di pertengahan jalan, dalam jarak sekitar
tiga jengkal, Dewa Arak dan Malaikat Salju menghentikan gerakannya.
*** "Aku tidak mengerti permainan yang kau
maksudkan ini, Malaikat Salju. Bisakah kau
memberi penjelasan?" Arya membuka pembica-
raan. "Kurasa tidak perlu, Dewa Arak! Nanti pun kau akan mengerti sendiri."
Arya mengernyitkan alis, masih bingung
dengan aturan permainan Malaikat Salju. Kakek
berpakaian tebal yang rupanya tidak sabaran itu
memulai permainan. "Tangkap ini!"
Cepat Malaikat Salju menghantamkan dua
buah gelas bambu yang digenggamnya ke dada
Dewa Arak. Keras bukan main sehingga mengelua-
rkan bunyi berdecit nyaring.
Tap, tappp! Dewa Arak yang tidak mau mati konyol
langsung menangkis dengan cara mencengkeram
gelas-gelas bambu itu. Tangkisan Arya tidak membuat arak yang berada di dalam
gelas berpercikan.
Arak itu seakan telah bersatu dengan gelas.
Begitu mencekal gelas, Dewa Arak baru
mengerti mengapa kakek berpakaian tebal mem-
punyai julukan Malaikat Salju. Ia merasakan ge-
lombang hawa dingin yang mengalir dari kedua
tangan Malaikat Salju kemudian masuk ke dalam
gelas dan terus merasuk ke dalam tubuhnya.
Arya segera mengerahkan tenaga dalam.
Dari pusarnya mengalir keluar hawa panas yang
menghalangi hawa dingin merasuk ke dalam tu-
buhnya. Pertarungan adu tenaga dalam yang mene-
gangkan terjadi. Pertarungan yang dilakukan dengan perantara gelas-gelas bambu
berisi arak. Dua tokoh persilatan yang berbeda usia
dan jenis tenaga dalam itu tak sungkan-sungkan
lagi mengerahkan seluruh kemampuannya. Udara
di sekitar tempat mereka berada jadi berubah-
ubah. Terkadang panas seakan di tempat itu telah terjadi kebakaran besar. Tapi
tak jarang menyebar hawa dingin seakan-akan tempat itu puncak gu-nung yang
tinggi Yang merasakan akibat langsung pertarun-
gan tenaga dalam itu adalah gelas-gelas bambu
berisi arak. Arak yang berada di dalam gelas berubah-ubah. Sesekali bergolak
mendidih dan di lain
saat membeku seperti es.
Semakin lama pertarungan unik ini sema-
kin menegangkan. Wajah kedua tokoh itu tampak
berubah. Wajah Dewa Arak merah padam dan ba-
nyak dipenuhi peluh yang mengucur. Sedangkan
wajah Malaikat Salju semakin pucat bagai mayat!
Perlahan-lahan dari atas kepala Dewa Arak dan
Malaikat Salju mengepul uap. Mula-mula tipis dan sedikit, tapi kian lama menebal
dan banyak. Mereka telah mengeluarkan tenaga melewati batas ke-
mampuan. Akhir dari pertarungan ini adalah
maut! Yang kalah akan tewas, sedangkan yang
menang akan terluka dalam amat parah.
Prakkk, prakkk!
Di saat asap yang mengepul dari kepala
Dewa Arak dan Malaikat Salju semakin menebal,
gelas-gelas bambu itu hancur berkeping-keping
mengeluarkan bunyi keras.
Arak yang berada di dalam kedua gelas itu
berpercikan keluar. Keadaan arak itu masih cair.
Dewa Arak maupun Malaikat Salju tidak mampu
lagi saling mengungguli.
"Huakh...!"
Hampir berbarengan tubuh Malaikat Salju
dan Dewa Arak terbungkuk ke depan memuntah-
kan darah segar. Hancurnya gelas-gelas bambu itu karena tak kuat menahan getaran
tenaga dalam yang luar biasa. Akibatnya, tenaga dalam kedua
belah pihak saling membalik dan melukai pemiliknya. "Kau hebat, Dewa Arak. Aku
mengaku kalah," ujar Malaikat Salju penuh kagum. Kakek berpakaian tebal ini
terengah-engah karena luka yang diderita.
"Kau terlalu merendah, Malaikat Salju.
Akulah yang kalah," sambut Arya tak kalah ka-
gum. Deru napas pemuda ini pun memburu hebat.
Hanya sampai di situ saja Dewa Arak dan
Malaikat Salju berbicara. Kemudian, keduanya
memejamkan mata dan bersemadi untuk me-
nyembuhkan luka dalam tubuhnya. Mereka sadar
kalau tidak lekas diobati akan membahayakan ke-
selamatan jiwa. Dewa Arak dan Malaikat Salju
tenggelam dalam keheningan semadi.
Belum lama Dewa Arak dan Malaikat Salju
bersemadi terdengarlah suara tawa bergelak. Tawa yang mengandung getaran amat
kuat dan mampu membangunkan kedua tokoh itu dari semadinya.
*** "Panangkaran...!"
Hampir bersamaan Dewa Arak dan Malai-
kat Salju menggumamkan nama itu.
"Benar aku. Kalian kaget?" sambut Pa-
nangkaran gembira. Pandang mata lelaki bermata
satu ini langsung bisa mengetahui kalau Dewa
Arak dan Malaikat Salju telah terluka dalam. Jadi, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Malaikat Salju menatap Dewa Arak. Dalam
sorot mata kakek ini tampak sinar penyesalan.
Seperti juga dirinya, Dewa Arak dalam keadaan tidak berdaya. Dengan mudah saja
Panangkaran akan mengirim nyawa pemuda itu ke alam baka.
Itu terjadi karena Dewa Arak terpaksa meladeni tantangannya. Mau tidak mau
Malaikat Salju merasa bertanggung jawab.
"Apa maksud ucapanmu, Panangkaran"!"
bentak Malaikat Salju penuh wibawa. "Pergi kau dari sini! Apakah kau tidak ingat
siapa gurumu?"
Panangkaran malah tertawa mengejek, Ta-
wa yang mengandung lecehan terhadap peringatan
Malaikat Salju.
"Lebih baik kau tidak usah ikut campur,
tua bangka tak berguna!" Tajam dan keras sambutan Panangkaran. "Diam lebih baik
bagimu daripada aku jadi melupakan siapa adanya kau. Men-
gingat hubungan antara kau dengan guruku, ma-
ka aku tidak akan membawa-bawamu dalam per-
soalanku. Tapi apabila kau ingin ikut campur,
jangan salahkan aku!"
Panangkaran salah kalau mengira dengan
gertakan itu Malaikat Salju akan diam. Kakek berpakaian, tebal ini terkekeh
mendengar ancaman
Panangkaran. "Kau keliru kalau mengira dengan gertak
sambal itu aku akan diam, Panangkaran! Bagi
orang sepertiku, mati bukan sesuatu yang mena-
kutkan. Malah aku senang. Dengan demikian aku
akan terbebas dari tubuh tua yang mulai tidak
berguna ini, Ayo, Panangkaran. Tunggu apa lagi"
Bunuh aku! Buktikan ancamanmu yang hebat
itu!" Malaikat Salju malah mengajukan tantangan.
Panangkaran menggertakkan gigi dengan
perasaan geram. Wajahnya merah padam. Ucapan
Malaikat Salju telah membuat amarahnya berko-
bar. Sepasang mata lelaki itu memancarkan hawa
maut ketika menatap wajah Malaikat Salju yang
tetap tenang. Hanya sampai di situ saja tindakannya. Panangkaran tidak berani
bertindak lebih
lanjut. Meski demikian, Malaikat Salju dan Dewa Arak sebagai orang-orang yang
telah kenyang pengalaman menyadari betul ketidakberanian Pa-
nangkaran untuk melakukan tindakan keras ter-
hadap Malaikat Salju tidak bisa dijamin. Apabila kemarahan demikian memuncak,
bukan tidak mungkin Panangkaran akan membuktikan anca-
mannya. "Rupanya kau merasa gentar terhadapku,
Panangkaran, sehingga mengalihkan ancaman pa-
da Malaikat Salju. Bukankah kau mempunyai
urusan denganku" Tunggu apa lagi" Mengapa ti-
dak segera kau selesaikan persoalan di antara ki-ta?"
Dewa Arak memecah ketegangan yang me-
nyeruak antara Malaikat Salju dan Panangkaran.
Ia merasa khawatir kakek berpakaian tebal itu
akan tewas di tangan Panangkaran.
Bukan hanya Panangkaran saja yang me-
noleh, tapi juga Malaikat Salju. Ucapan Dewa Arak membuat Panangkaran teringat
kembali akan dendamnya dengan pemuda berambut putih kepe-
rakan itu. Sedangkan Malaikat Salju hanya bisa
menghela napas berat. Kakek ini tahu Dewa Arak
ingin menyelamatkan dirinya. Hal ini membuat
kekagumannya terhadap pemuda itu semakin ber-
tambah. Seorang pendekar muda yang hebat, puji
Malaikat Salju di dalam hati.
Sementara itu Dewa Arak tetap bersikap
tenang sekalipun pandangan mata Panangkaran
seperti hendak menelannya bulat-bulat. Tanpa
merasa takut sedikit pun pemuda ini membalas
tatapannya. "Kau benar." Panangkaran menggumam seraya mengangguk. "Kita memang mempunyai
urusan." Panangkaran tiba-tiba mengibaskan tangan kirinya secara sembarangan.
Angin deras berhembus melemparkan tubuh Arya ke belakang bagai
daun kering ditiup angin. Hampir delapan tombak tubuh pemuda itu melayang-layang
sebelum terbanting keras di tanah.
Arya menyeringai kesakitan. Ia tidak berani
mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tu-
buhnya saat terjatuh. Bahkan, ketika Panangka-


Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ran tadi menyerangnya dengan kibasan tangan.
Mengerahkan tenaga dalam sama artinya dengan
membunuh diri. Luka dalam yang dideritanya
akan bertambah parah.
"Panangkaran! Pengecut keji! Hentikan...!"
Malaikat Salju berteriak-teriak melihat siksaan terhadap Dewa Arak akan dimulai.
Panangkaran tampaknya tidak ingin lang-
sung membunuh Dewa Arak. Ia ingin menyiksa
pemuda itu dahulu. Sedangkan serangan yang di
lakukan Panangkaran pertama kali tadi hanya un-
tuk membuat tubuh Arya terlempar dan terbant-
ing. Panangkaran tidak mempedulikan seruan
Malaikat Salju. Dengan langkah lebar, lelaki bermata satu ini menghampiri Dewa
Arak. Siap me- lancarkan serangan susulan.
Berbeda dengan Malaikat Salju yang terli-
hat kalap, Arya tenang-tenang saja. Bahkan, keti-ka tubuhnya diangkat dan
dibantingkan ke tanah.
Panangkaran memang benar-benar hendak
melampiaskan dendamnya. Begitu tubuh Arya
menyentuh tanah, kembali diangkat dan dibanting dengan keras. Berkali-kali hal
itu dilakukan sampai akhirnya Dewa Arak pingsan!
Kemudian, tanpa mempedulikan Malaikat
Salju yang sejak Dewa Arak disiksa tak henti-
hentinya memaki Panangkaran, lelaki bermata sa-
tu ini menyadarkan Arya dengan wewangian dari
guci yang dibawanya.
Bau wangi yang keras membuat pemuda
berambut putih keperakan itu sadar. Panangkaran segera menyeret tubuh Arya.
Makian-makian Malaikat Salju mengiringi langkah Panangkaran yang
membawa tubuh Dewa Arak meninggalkan tempat
itu. 5 Arya menyeringai kesakitan ketika tersadar
dari pingsan dan membuka sepasang matanya.
Sekujur tubuhnya terasa sakit-sakit dan perih bukan main.
Arya berusaha untuk bangkit tapi tidak
mampu. Ada sesuatu yang membuat tubuhnya ti-
dak bisa bangun. Ketika menelitinya, ternyata pa-da pergelangan tangan dan kaki
terlilit belenggu baja yang amat tebal! Belenggu yang sama juga
melilit perutnya. Belenggu-belenggu itu menempel pada lantai.
Semula Arya merasa heran melihat kea-
daan ini. Tapi, sesaat kemudian dia mulai teringat kejadian yang telah
dialaminya. Sekarang dia dapat men-duga semua ini adalah perbuatan Pa-
nangkaran. Arya mencoba bersikap tenang, meski di-
am-diam merasa ngeri melihat ruangan tempat di-
rinya berada. Lantai tempatnya terbaring kotor
dan dipenuhi lumut. Hidung Arya mencium bau
amis yang memuakkan. Bau amis darah. Pada se-
bagian dinding dan lantai ruangan terdapat ber-
cak-bercak darah kering. Tidak ada jendela pada dinding ruangan. Sehingga, tidak
ada cahaya dan aliran udara segar. Ruangan ini lembab dan uda-ranya pengap.
Hanya ada obor di sudut ruangan
dekat pintu yang membuat suasana di dalam se-
dikit lebih baik. Satu-satunya jalan keluar adalah pintu yang kini tertutup
rapat. Ruangan ini lebih mirip kamar penyiksaan.
Sayup-sayup telinga Arya menangkap sua-
ra langkah kaki. Kedengarannya lebih dari satu
orang. Langkah-langkah itu menghilang di depan
pintu kamar. Sesaat kemudian, terdengar suara
orang bercakap-cakap. Arya tidak dapat menang-
kap dengan jelas. Setelah terdengar suara geme-
rincing kunci dan pintu dibuka, perlahan pintu
kamar didorong dari luar.
Arya memalingkan wajahnya menatap ke
arah pintu. Ketika pintu telah terbuka lebar, tam-paklah dua sosok tubuh berdiri
di ambang pintu.
Mereka tidak segera melangkah masuk, seakan in-
gin memastikan apakah keadaan di dalam ruan-
gan cukup aman. Mata mereka tertuju pada tubuh
Arya yang terbaring di lantai.
Arya mengenali kedua sosok tubuh itu.
Yang seorang adalah Panangkaran. Sedang gadis
yang mengenakan pakaian serba hitam dan berdiri di samping Panangkaran ialah
gadis yang pernah
ditolongnya ketika dikejar-kejar kakek berjenggot panjang putih beberapa saat
lalu. Gadis itu menatap ke arahnya dengan si-
nar mata heran bercampur kaget. Matanya mem-
belalak lebar seakan tak percaya. Gadis itu tetap terpaku di tempatnya ketika
Panangkaran menga-jaknya masuk ke dalam ruangan. Sehingga, Pa-
nangkaran menjadi heran dan berpaling menatap-
nya dengan penuh selidik.
"Kenapa, Pertiwi?" tanya lelaki bermata sa-tu itu. "Tidak apa-apa, Ayah;"
Pertiwi cepat-cepat menggelengkan kepalanya.
"Hm...." Panangkaran hanya menggumam
pelan dan tidak mendesak lebih jauh. Pandangan-
Pemberontakan Taipeng 7 Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 17
^