Pencarian

Penjara Langit 1

Dewa Arak 76 Penjara Langit Bagian 1


PENJARA LANGIT Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode Penjara Langit 128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Seorang kakek berpakaian coklat yang war-
nanya hampir pudar membuka matanya yang se-
jak tadi terpejam. Sorot kehijauan dan tajam mencorong dari sepasang mata yang
hampir tertutup
oleh alis putih.
"Mengapa masih bersembunyi" Tidakkah
lebih baik kalian menampakkan diri. Kalau kalian tidak ingin bertemu denganku,
aku tidak memaksa. Tapi ketahuilah, sebentar lagi aku akan me-
ninggalkan tempat ini. Jadi, kalau kalian memang bermaksud menemuiku,
sekaranglah saatnya,"
ujar kakek berpakaian coklat, lantang. Kendati bibir kakek itu tidak terlihat
bergerak sedikit pun.
Hening sejenak setelah gema ucapan kakek
berpakaian coklat tidak terdengar lagi. Keheningan itu dipecahkan oleh gemerisik
pelan. Disusul ke-luarnya dua sosok tubuh dari kerimbunan semak
yang berada di dekat kakek berpakaian coklat.
Kedua sosok itu memiliki tubuh sedang.
Wajah mereka tidak terlihat karena tertutup to-
peng dari kayu. Yang tampak hanya sepasang ma-
ta mereka yang tajam berkilat.
Dua sosok bertopeng kayu ini melangkah
dengan hati-hati mendekati kakek berpakaian coklat. Sementara kakek itu tetap
tenang dan tidak bergeming sedikit pun dari duduknya.
Kakek berpakaian coklat tengah duduk ber-
sila. Ia baru saja menyelesaikan semadinya. Kakek itu tidak duduk di atas tanah,
melainkan di atas
tumpukan tengkorak manusia yang diatur sede-
mikian rupa. Tumpukan itu semakin ke atas se-
makin berkurang jumlahnya, sehingga membentuk
kerucut. Pada bagian teratas dari tumpukan tengkorak menjadi landasan pantat
kakek berpakaian
coklat. Kakek itu memperhatikan sebentar kedua
sosok bertopeng kayu. Kemudian, dengan bibir
yang tidak bergerak dia membuka suara.
"Ada dua hal yang membuatku tidak me-
nyukai kalian. Pertama, sikap kalian. Aku tahu kalian telah cukup lama berada di
sini dan mengintai diriku. Yang kedua adalah topeng yang menutup
wajah kalian. Berdasarkan hal ini bisa diketahui kalian tidak bermaksud baik
terhadapku. Ini sudah cukup membuatku mempunyai alasan untuk
membunuh kalian. Tapi kalian memang berun-
tung, datang di saat aku tengah gembira. Jadi, kuberikan kesempatan pada kalian
untuk pergi dari sini sebelum aku berubah pikiran!"
Dua sosok yang mengenakan topeng kayu
telah menghentikan langkahnya tiga tombak dari
kakek berpakaian coklat. Mereka saling berpan-
dangan sejenak.
"Sayang sekali." Sosok bertopeng kayu yang bertubuh lebih kurus menyambuti
ucapan kakek berpakaian coklat. "Kami berdua sengaja datang ke situ untuk menjumpaimu karena
suatu maksud. Sebelum maksud itu tercapai, kami terpaksa tidak akan meninggalkan tempat ini."
Wajah kakek berpakaian coklat membesi.
Penolakan atas ancamannya membuatnya tersing-
gung. Tapi, sesaat kemudian wajah itu kembali seperti biasa. Tenang.
"Kalau begitu, aku yang akan pergi!" Kakek berpakaian coklat mencoba bersabar.
"Tidak ada yang pergi dari sini! Tidak kami.
Tidak juga kau! Kecuali, kalau tujuan kami telah tercapai!" tandas sosok
bertopeng kayu yang bertubuh lebih kurus.
Sorot ancaman maut terbayang pada sepa-
sang mata kakek berpakaian coklat.
"Rupanya kalian termasuk orang yang su-
kar diperlakukan dengan lembut. Kalian lebih su-ka dikasari! Baik kalau itu yang
kalian inginkan.
Meski saat ini aku tengah bergembira dan telah
bersumpah untuk menjauhi kekerasan, tidak be-
rarti aku merelakan saja orang menghina diriku!"
"Jangan salah sangka. Kami tidak ingin
mengajakmu bertarung. Kami akan pergi dari sini atau membiarkanmu pergi asalkan
kau mau memberikan Golok Baja Hitam pada kami!" Sosok bertopeng kayu yang lain buru-buru
menukas. "Golok Baja Hitam"!" Alis kakek berpakaian coklat berkerut. Benda yang dimaksud
orang bertopeng kayu itu memang ada padanya. Tapi, se-
pengetahuannya tidak ada hal istimewa pada ben-
da itu. Agak heran kalau ada orang yang menca-
rinya! "Benar!" Yang menjawab orang bertopeng kayu yang bertubuh lebih kurus.
"Cepat berikan Golok Baja Hitam, dan kami akan pergi dari sini!"
"He he he...!"
Tawa terkekeh yang bernada merendahkan
diperdengarkan kakek berpakaian coklat.
"Kalian kira, kalian siapa sehingga berani meminta golok itu padaku" Apakah
kalian tidak tahu siapa aku?"
"Kami tahu!" Orang bertopeng yang lebih kurus menganggukkan kepala. "Tapi, kami
tidak takut kepadamu! Memang harus kami akui orang-orang persilatan merasa
gentar terhadapmu, jan-
gan kau kira kami akan demikian. Bagi kami, ju-
lukan Iblis Tangan Maut tidak berarti apa-apa!"
"Keparat! Mulutmu terlalu berbisa. Kalau tidak dihancurkan akan semakin kurang
ajar nan- tinya!" Begitu ucapan kakek berpakaian coklat yang ternyata berjuluk Iblis
Tangan Maut selesai, beberapa tengkorak berturut-turut melesat meninggalkan
tumpukan dan meluncur ke arah
orang bertopeng yang bertubuh lebih kurus.
"Permainan anak-anak kau tunjukkan di
hadapanku...?"
Orang bertopeng itu membarengi ucapan-
nya dengan mendorong tangan kanannya ke de-
pan. Dia tidak terlihat terkejut melihat tengkorak-tengkorak itu meluncur ke
arahnya dengan kece-
patan menakjubkan. Padahal, tengkorak-
tengkorak itu berasal dari lapisan ketiga dari bawah, sementara jumlah lapisan
ke seluruhannya
delapan! Meski demikian, tumpukan tengkorak itu
tidak berantakan. Bahkan, tubuh kakek berpa-
kaian coklat tidak bergeser!
Orang bertopeng kayu itu memang tidak as-
al bicara. Dari tangannya keluar hembusan angin keras yang berciutan nyaring.
Tengkorak-tengkorak hancur berantakan sebelum mengenai
sasaran ketika terhantam angin pukulannya.
Tapi, tidak semua tengkorak dihancurkan.
Tengkorak yang terakhir dibiarkannya. Hanya
daya luncurannya ditahan dengan dorongan angin
pukulannya. Iblis Tangan Maut membelalak lebar melihat
serangannya demikian mudah dipatahkan. Sepa-
sang matanya yang tajam melotot seakan ingin ter-lompat keluar karena tidak
percaya. Rasa penasaran membuat kakek berpa-
kaian coklat mengubah bentuk penyerangannya
ketika melihat tengkorak yang terakhir tidak dihancurkan. Sambil memekik
nyaring, Iblis Tangan Maut menjulurkan tangan kanannya ke depan.
Lawan kakek itu mengeluh tertahan. Teng-
korak yang semula terhenti luncurannya, menda-
dak melesat kembali dengan kecepatan sangat
tinggi. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia pun
mengulurkan tangan dan mengerahkan tenaga da-
lam untuk menahan luncuran tengkorak. Perlahan
tengkorak itu tertahan dan berhenti.
Kakek berpakaian coklat tidak tinggal diam.
Kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan semua se-
hingga tengkorak kembali meluncur mendekati la-
wan. Orang bertopeng pun menambah tenaganya.
Sesaat kemudian, kedua tokoh itu saling mendo-
rong untuk mengalahkan.
Teman orang bertopeng tidak berani ber-
buat apa-apa. Dia hanya menyaksikan jalannya
pertarungan dengan harap-harap cemas. Sepasang
matanya tak pernah lepas dari tengkorak yang
mengapung setengah tombak dari atas tanah.
Tengkorak itu tidak pernah diam di tempat.
Terkadang meluncur lambat ke arah Iblis Tangan
Maut. Dan, di lain saat melayang ke arah orang
bertopeng. Beberapa saat lamanya hal itu terjadi, sebe-
lum akhirnya tengkorak mulai meluncur ke arah
Iblis Tangan Maut. Sedikit demi sedikit jarak antara tengkorak dengan Iblis
Tangan Maut bertambah dekat. Di balik topeng kayunya, orang bertopeng yang
menjadi penonton tunggal tersenyum lega.
Dia tahu rekannya berada di pihak yang mengun-
tungkan. Dengan jelas dilihatnya tangan Iblis Tangan Maut yang terjulur
menggigil hebat. Dari atas kepalanya mengepul uap putih yang kian menebal.
Sementara wajah tokoh itu telah dibanjiri peluh yang terus menetes bagai aliran
anak sungai. "Huakh...!"
Iblis Tangan Maut memuntahkan darah se-
gar. Tubuhnya sampai terbungkuk ke depan. Ge-
rakannya membuat tumpukan tengkorak yang se-
jak tadi tetap rapi karena kekuatan tenaga dalam Iblis Tangan Maut, buyar
berantakan! Tapi, justru hal ini yang menyelamatkan
nyawa Iblis Tangan Maut. Runtuhnya susunan
tengkorak menyebabkan tubuh Iblis Tangan Maut
terbawa jatuh. Akibatnya, tengkorak yang melun-
cur ke arahnya dengan cepat lewat beberapa jari di atas kepala Iblis Tangan
Maut. "Bagaimana, Iblis Tangan Maut" Apakah
kau masih tidak bersedia menyerahkan Golok Baja Hitam itu?"
Orang bertopeng kayu yang menjadi lawan
Iblis Tangan Maut bertanya seraya meletakkan
tangannya di ubun-ubun Iblis Tangan Maut. Sedi-
kit saja jari-jari yang dialiri tenaga dalam itu bergerak menekan, nyawa kakek
berpakaian coklat
akan melayang ke alam baka!
Iblis Tangan Maut pun bukan orang bodoh.
Dia tahu lawannya memiliki kepandaian di atas-
nya. Terus melakukan perlawanan adalah perbua-
tan bodoh! Apalagi, jika dilakukan pada saat terancam maut seperti sekarang.
Iblis Tangan Maut masih ingin hidup! Dia tidak ingin tewas karena bertindak
bodoh mempertahankan benda yang tidak terlalu berarti.
Di dalam hati Iblis Tangan Maut masih me-
rasa heran. Benarkah Golok Baja Hitam sama se-
kali tidak berarti" Kalau benar demikian, mengapa orang-orang bertopeng itu
begitu ingin menda-patkannya" Tidak mungkin orang berani memper-
taruhkan nyawa demi suatu benda yang tidak be-
rarti apa-apa! Apalagi orang-orang yang menca-
rinya tokoh-tokoh berilmu tinggi seperti orang bertopeng kayu ini.
Iblis Tangan Maut yakin Golok Baja Hitam
memiliki sesuatu yang menarik. Timbul rasa
sayang di hati kakek berpakaian coklat untuk
memberikannya pada orang bertopeng.
"Aku bukan termasuk orang yang sabar, Ib-
lis Tangan Maut!" desis orang bertopeng. "Maka, jangan coba-coba bermain gila!
Sekali lagi ku peringatkan, cepat berikan Golok Baja Hitam atau
kau akan mati tersiksa!" Iblis Tangan Maut merasakan nada kesungguhan dalam
ancaman itu. Dia
tidak berani bertindak sembarangan. Kakek itu tidak mau mempertaruhkan dirinya
dengan Golok Baja Hitam yang belum diketahui kegunaannya.
"Senjata yang kau maksud itu tidak kuba-
wa, Sobat. Tapi, kalau kau mau mengambilnya
sendiri, silakan mengambilnya di goa tempat tinggalku," jawab Iblis Tangan Maut
seraya menunjuk ke satu arah di belakangnya. Tampak gundukan
batu yang hampir menyerupai bukit. Pada salah
satu sisinya terdapat sebuah lubang.
Dengan isyarat tangan, orang bertopeng
kayu yang mengalahkan Iblis Tangan Maut mem-
beri perintah pada rekannya untuk mengambil
senjata itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi,
orang bertopeng itu melesat ke arah gundukan ba-tu. Sementara rekannya menunggu
sambil men- gawasi Iblis Tangan Maut. Kakek berpakaian cok-
lat itu telah duduk bersila dan siap melakukan
semadi untuk mengobati luka dalam di tubuhnya.
"Ingat, Iblis Tangan Maut," desis orang bertopeng. "Apabila kau mempermainkan
kami, maka nyawamu tidak akan bisa kau selamatkan lagi!"
Tidak ada jawaban sepatah pun dari mulut
Iblis Tangan Maut. Dia malah menenggelamkan di-
ri dalam keheningan semadinya. Kalau lukanya
dibiarkan terlalu lama akan semakin parah dan
dapat membawa kematian.
Tak lama kemudian, orang bertopeng yang
bertugas mengambil Golok Baja Hitam keluar dari mulut goa. Dengan cepat ia
melesat ke arah rekannya. "Mari kita pergi," ajak kawannya begitu ia tiba di
dekatnya. Tanpa mempedulikan nasib Iblis Tangan
Maut, dua orang bertopeng itu melesat ke arah ta-di mereka datang. Dalam
beberapa kali lesatan sa-ja tubuh keduanya sudah tidak terlihat lagi. Iblis
Tangan Maut tidak memperhatikan karena masih
sibuk dengan semadinya.


Dewa Arak 76 Penjara Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Entah berapa lama bersemadi, Iblis Tangan
Maut tidak mengetahuinya. Yang jelas ketika dia membuka sepasang matanya, di
depannya telah berdiri dua sosok tubuh. Sepasang muda-mudi
yang memiliki wajah elok. Mereka mengenakan
pakaian yang warnanya berlawanan. Yang wanita
mengenakan pakaian merah, sedangkan yang lela-
ki berpakaian putih!
"Apakah kau orang yang berjuluk Iblis Tan-
gan Maut?" tanya gadis berpakaian merah, ramah.
Iblis Tangan Maut mengeluh dalam hati.
Sungguh tidak disangka berturut-turut ia didatan-gi orang-orang yang mempunyai
kepentingan den-
gannya. Kakek berpakaian coklat itu tahu kendati gadis berpakaian merah
mengajukan pertanyaan
dengan ramah, tidak berarti mereka datang den-
gan maksud baik. Walaupun demikian, bukan wa-
tak kakek berpakaian coklat ini untuk berbohong.
Apalagi sampai tidak mengakui julukannya sendi-
ri. "Tidak keliru, Nona. Kau memang tengah
berhadapan dengan Iblis Tangan Maut!" jawab kakek berpakaian coklat tegas seraya
mengangguk- kan kepala. "Kalau begitu kau harus mati di tanganku,
Keparat!" bentak gadis berpakaian merah keras.
Raut wajahnya mendadak beringas.
Singng! Sinar terang menyilaukan mata mencuat
ketika gadis berpakaian merah mencabut pedang
yang tersampir di punggungnya.
"Tunggu dulu, Nona!"
Iblis Tangan Maut buru-buru mencegah ke-
tika melihat gadis berpakaian merah hendak me-
nyerangnya. Malah, pemuda berpakaian putih
yang berdiri di sebelah gadis berpakaian merah telah mencabut pedang pula.
"Mengapa kau memusuhiku" Aku yakin di
antara kita tidak ada permusuhan. Melihat wa-
jahmu pun baru kali ini. Bisa kau jelaskan alasan tindakanmu?"
"Ingatkah kau dengan seorang pendekar
yang berjuluk Dewa Tangan Sepuluh?" Gadis berpakaian merah menghentikan
gerakannya yang
sudah hampir menyerang Iblis Tangan Maut.
"Dia tewas di tanganku," jawab kakek berpakaian coklat dengan nada penuh
penyesalan. "Bagus kalau kau mengakui dosamu!" timpal gadis berpakaian merah dengan sepasang
mata berapi-api. "Dengarlah baik-baik, aku adalah putri Dewa Tangan Sepuluh!
Namaku Sutini. Kurasa
kau tahu maksud kedatanganku ke tempat ini.
Aku ingin membunuhmu, Iblis Busuk! Bersiaplah
kau, Keparat!"
Belum juga gema ucapan gadis berpakaian
merah lenyap, pedang di tangannya telah melesat menyambar leher Iblis Tangan
Maut dengan kecepatan tinggi. Bentuk pedang Sutini lenyap menjadi sekelebatan
sinar berkilauan yang disertai bunyi berdesing nyaring.
Iblis Tangan Maut mengenai serangan me-
matikan itu. Buru-buru kakek berpakaian coklat
ini melempar tubuhnya ke belakang dan bersalto
beberapa kali di udara menjauhkan diri.
Sutini yang dilanda dendam membara tidak
membiarkan lawannya lolos. Dia segera melompat
mengejar seraya mengirimkan tusukan berantai ke bagian-bagian tubuh yang
mematikan! 2 Iblis Tangan Maut sudah memperhitungkan
hal itu. Maka, sambil menjauh kedua tangannya
dikibaskan ke arah tengkorak-tengkorak yang berserakan.
Bagai dilemparkan tangan yang ahli, teng-
korak-tengkorak itu meluncur berturut-turut ke
berbagai bagian tubuh Sutini. Gadis berpakaian
merah itu terpaksa membatalkan serangannya. Bi-
la dilanjutkan hanya akan mencelakai dirinya sendiri. Sebelum ujung pedang
menghujam di tubuh
lawan, tengkorak-tengkorak itu akan lebih dulu
menghantam tubuhnya.
Trak, trak, trakkk!
Tengkorak-tengkorak berpentalan tak tentu
arah ketika Sutini menarik kembali serangannya
dan menggunakan senjatanya untuk memapaki.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Iblis Tangan Maut untuk melancar-
kan serangan balasan. Kakek berpakaian coklat ini menyadari Sutini bukan lawan
yang ringan. Apalagi dirinya belum sembuh benar dari luka dalam.
Pemuda berpakaian putih yang telah meng-
genggam pedang tidak terjun ke dalam kancah
pertarungan. Dia berdiri dengan sekujur urat-urat yang menegang penuh
kewaspadaan. Gagang pedangnya dicekal dengan kencang. Pemuda berpa-
kaian putih ini bersiap-siap menolong apabila Sutini terdesak!
Diam-diam pemuda berpakaian putih mera-
sakan gurunya dan juga guru Sutini, memang me-
reka saudara seperguruan, terlalu menganggap Iblis Tangan Maut memiliki
kepandaian tinggi. Ke-
nyataan yang dilihat pemuda itu tidak demikian.
Dengan jelas dilihatnya walaupun Sutini tak akan mampu mengalahkan Iblis Tangan
Maut, tapi kakek berpakaian coklat itu pun tidak akan mudah
mengalahkan lawannya. Kendati setelah pertarun-
gan berlangsung hampir tiga puluh jurus, Iblis
Tangan Maut mulai dapat mendesaknya.
"Kalau hanya sampai di situ saja kepan-
daian Iblis Tangan Maut," pemuda berpakaian putih berkata dalam hati, "Tidak
sepantasnya tokoh ini amat mengkhawatirkan hati Guru. Jangankan
Guru, aku dan Sutini maju bersama pun Iblis
Tangan Maut dapat dibinasakan."
Melihat keadaan Sutini semakin tidak men-
guntungkan, sambil mengeluarkan pekikan me-
lengking nyaring pemuda berpakaian putih terjun ke dalam kancah pertarungan.
Keadaan langsung
berubah. Sutini tidak terdesak lagi. Malah, Iblis Tan-
gan Maut yang terdesak. Pedang di tangan Sutini dan pemuda berpakaian putih
bagai digerakkan
oleh satu pikiran. Mereka saling melindungi dan memperkuat serangan.
Iblis Tangan Maut menjerit tertahan ketika
ujung pedang Sutini menyerempet paha kanannya.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Ke-
sempatan itu dipergunakan pemuda berpakaian
putih untuk melompat dan mengirimkan tusukan
ke dada. Hanya selisih sekejap mata saja, Sutini menusukkan pedangnya ke leher!
"Pengecut-pengecut hina yang beraninya
hanya main keroyok!"
Pada saat yang bersamaan dengan terden-
garnya bentakan itu, dua kilatan cahaya yang menyilaukan mata meluncur cepat dan
menghantam pedang Sutini dan saudara seperguruannya.
Sutini dan pemuda berpakaian putih terpe-
ranjat. Tangan mereka bergetar hebat. Dan, ham-
pir saja senjata yang tercekal, terlepas. Kilatan benda menyilaukan yang
terpaksa mereka tangkis
melayang ke satu arah. Dengan enaknya, seorang
gadis muda berwajah cantik mengulurkan tangan
menangkapnya. Kegagalan serangan itu membuat Sutini
yang paling bernafsu untuk membunuh Iblis Tan-
gan Maut menjadi sangat geram.
"Siapa kau, Wanita Liar" Sungguh berani
kau mencampuri urusanku!" bentak Sutini dengan sepasang mata mendelik. Meski
merasa heran melihat lawannya mampu membuat senjata yang di-
lontarkan kembali ke pemiliknya, rasa amarah
membuat Sutini lupa. Padahal, dia melihat bentuk senjata itu. Logam putih yang
berbentuk bulan sa-bit!
"Kaulah yang liar!"
Gadis yang baru tiba dan menggagalkan se-
rangan maut terhadap Iblis Tangan Maut tidak
mau kalah gertak. Bahkan, dia menudingkan jari
telunjuk kirinya yang lentik.
"Mengapa kau menyerang kakekku..."!"
Bukan hanya Sutini saja yang terkejut. Pe-
muda berpakaian putih pun demikian. Mereka ti-
dak pernah menyangka Iblis Tangan Maut mem-
punyai seorang cucu perempuan!
"Kakeknya orang jahat. Cucunya pun sudah
pasti bukan orang baik-baik! Lebih baik kau ku-
bunuh sebelum menyebar maut di dunia persila-
tan!" Sutini yang tengah kalap melontarkan pukulan tangan kanan dan kirinya yang
terkepal keras ke dada gadis berpakaian hijau. Jarak antara mereka sekitar lima
tombak. Tapi, itu tidak menjadi masalah. Dari kedua tangan yang dipukulkan
itu berhembus angin keras. Sutini mengirimkan
pukulan jarak jauh.
Gadis berpakaian hijau melakukan hal yang
sama. Terdengar bunyi menggelegar ketika puku-
lan-pukulan jarak jauh itu berbenturan di tengah jalan. Setiap benturan membuat
Sutini terhuyung-huyung ke belakang. Bahkan, benturan yang te-
rakhir membuat Sutini terjengkang dan hampir jatuh. Kenyataan ini sangat
mengejutkan Sutini
dan saudara seperguruannya. Mereka tidak me-
nyangka tenaga dalam gadis berpakaian hijau de-
mikian hebat. Malah lebih kuat dari Iblis Tangan Maut! Tanpa pikir panjang lagi,
pemuda berpakaian putih menerjang cucu Iblis Tangan Maut. Ia membantu Sutini
yang telah lebih dulu menyerang.
*** Permainan pedang Sutini dan saudara se-
perguruannya hebat bukan main. Bentuk pedang-
pedang itu lenyap. Yang terlihat hanya kilatan-
kilatan sinar yang meluncur ke arah cucu Iblis
Tangan Maut. Namun, gadis berpakaian hijau itu memang
benar-benar mengagumkan. Berbeda dengan ke-
dua lawannya yang bersenjatakan pedang, gadis
ini hanya menggunakan sebatang suling. Suling
bambu! Cucu Iblis Tangan Maut ini memakai sul-
ing sebagaimana orang mempergunakan golok
atau pedang. Terkadang menusuk, membabat,
atau membacok. Namun yang menakjubkan, gera-
kan suling itu selalu menimbulkan bunyi nyaring yang indah dan merdu.
Sutini dan pemuda berpakaian putih men-
jadi gelisah. Mereka memang tidak mengalami ke-
sulitan menghadapi permainan suling cucu Iblis
Tangan Maut. Tapi, suara suling itu merasuk ke
dalam telinga dan membuat jantungnya berdebar
kencang. Hal ini mempengaruhi gerakan Sutini
dan kawannya. Permainan pedang mereka agak
kacau. Tukkk, desss!
Pada suatu saat, suling cucu Iblis Tangan
Maut berhasil menotok bahu kanan Sutini. Dis-
usul dengan tendangan kaki kanan gadis itu pada paha kiri pemuda berpakaian
putih. Tubuh Sutini dan kawannya terhuyung-huyung ke belakang.
Sutini dan saudara seperguruannya menja-
di sadar cucu Iblis Tangan Maut memiliki kepan-
daian luar biasa. Terus memaksakan diri melaku-
kan perlawanan hanya akan sia-sia. Maka, tanpa
malu-malu lagi kakak dan adik seperguruan itu
melesat meninggalkan tempat itu.
Gadis berpakaian hijau yang marah pada
Sutini dan pemuda berpakaian putih karena hen-
dak membunuh kakeknya tidak membiarkan la-
wan-lawannya kabur. Dia melesat melakukan pen-
gejaran. "Karina...! Tidak usah dikejar...!"
Gadis berpakaian hijau menghentikan ayu-
nan kakinya. Ia tidak melakukan pengejaran lagi sehingga Sutini dan kawannya
leluasa melarikan
diri. Gadis berpakaian hijau yang bernama Kari-na menghentakkan kaki ke tanah
dengan kesal. Tampaknya ia tidak rela membiarkan lawan-
lawannya kabur. Dengan sorot mata penasaran,
pandangannya dialihkan ke arah Iblis Tangan
Maut, kakeknya.
"Mengapa Kakek mencegahku" Apabila tadi
kakek tidak melakukan hal itu, aku yakin akan
berhasil menangkap orang-orang yang bermaksud
membunuh Kakek!" protes Karina, marah.
Iblis Tangan Maut hanya tersenyum lebar.
Luka pada bahunya telah tidak mengganggu lagi.
Dia telah menotok jalan darah di sekitar luka
hingga aliran darah terhenti. Dengan wajah berse-ri-seri ditunggunya Karina
berada di dekatnya.
"Tenanglah, Karina." Iblis Tangan Maut memberi nasihat. "Mungkin ada baiknya kau
mendengarkan ceritaku agar hatimu tenang. Cerita
yang menyebabkan mereka berdua datang kemari
untuk membunuhku. Juga akan kuceritakan ten-
tangku serta siapa ayah dan ibumu."
Wajah Karina langsung berseri-seri.
"Tentang dirimu dan ayah ibuku, Kek! Jadi, sekarang aku telah boleh
mengetahuinya?" tanya Karina dengan gembira. Memang, Iblis Tangan
Maut selalu mengulur jawaban apabila gadis ber-
pakaian hijau itu menanyakannya. Kakek berpa-
kaian coklat ini selalu memberikan jawaban,
'belum saatnya' atau 'nanti apabila kau telah dewasa' "Duduklah dulu, Karina.
Aku akan menceritakan semuanya. Kuharap kau mau bersabar
mendengarkannya. Cerita ini cukup panjang."
"Aku akan sabar mendengarkannya, Kek,"
jawab Karina cepat. Ia duduk di salah satu tengkorak yang berserakan di
sekitarnya. Iblis Tangan Maut tidak segera bercerita.
Kakek berpakaian coklat ini malah termenung. Karina tidak tahu mengapa. Tapi,
dia tidak ambil
pusing dan menganggap kakeknya tengah mengin-
gat-ingat hal yang akan diceritakannya.
"Usiaku sekarang kurang lebih seratus ta-
hun. Sejak masih berumur dua puluh sembilan


Dewa Arak 76 Penjara Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahun aku telah menjagoi dunia persilatan. Satu demi satu tokoh persilatan yang
bentrok denganku roboh. Kalau tidak tewas, pasti terluka yang amat parah. Tapi
sebagian besar tewas. Karena itu,
hanya dalam waktu beberapa tahun saja aku su-
dah mendapat julukan Iblis Tangan Maut. Sebuah
julukan yang menyeramkan."
Iblis Tangan Maut tersenyum getir. Sorot
penyesalan memancar jelas dari wajah dan sepa-
sang matanya. Karina yang tidak pernah tahu masa lalu Ib-
lis Tangan Maut dan hanya tahu kakek berpakaian coklat ini adalah kakeknya,
diam-diam terkejut
bukan main mendengar cerita itu. Tanpa dije-
laskan lagi dia tahu kakeknya termasuk tokoh golongan sesat! Tapi karena
khawatir menyinggung
hati Iblis Tangan Maut, Karina bersikap biasa saja.
Seakan berita yang didengar tidak membuatnya
terkejut sama sekali.
Iblis Tangan Maut merasa kagum melihat
sikap Karina yang terlihat biasa saja. Padahal, kakek berpakaian coklat ini
telah mengira Karina
akan terkejut mendengar ceritanya. Bahkan, Iblis
Tangan Maut sudah siap untuk melihat keterkeju-
tan Karina. Tapi ternyata hal yang ditakutkan Iblis Tangan Maut tidak terjadi.
Kakek berpakaian coklat itu menjadi lega. Ia melanjutkan ceritanya dengan hati
lapang. "Karena kepandaian yang kumiliki, aku jadi banyak mempunyai musuh dan juga
pengikut. Musuh-musuhku sebagian besar orang-orang go-
longan putih. Sedangkan pengikutku para penjilat dan orang-orang yang ingin
mencari untung atas
nama besar yang kumiliki. Bertahun-tahun aku
hidup seperti itu. Gaya hidupku baru berubah ketika bertemu dengan seorang gadis
cantik yang hampir menjadi korban kejahatan sekelompok
penjahat. Aku menolongnya. Penjahat-penjahat
kecil itu kubasmi semua. Kemudian kunyatakan
cinta pada gadis itu, karena memang aku menyu-
kainya. Gadis itu menerimanya dengan syarat aku bersedia meninggalkan dunia
kejahatan dan ikut
bersamanya menjauhi kerasnya dunia persilatan.
Sebelum itu, gadis itu memintaku untuk memba-
laskan sakit hatinya karena ayahnya dibunuh
orang jahat. Itu pun berhasil aku penuhi. Aku dan gadis itu menikah dan hidup
dengan tenang di de-sa." Iblis Tangan Maut menghentikan ceritanya.
Sepasang matanya menerawang ke atas. Entah
apa yang dipikirkan. Mungkin kakek berpakaian
coklat ini tengah terkenang pada kehidupan te-
nangnya di masa lalu.
"Bertahun-tahun aku dan gadis itu hidup
tenang. Sampai akhirnya kami mempunyai seo-
rang anak perempuan. Sayang, ketenangan itu ti-
dak berlangsung lama. Orang-orang yang menden-
dam padaku terlalu banyak, sehingga mereka te-
rus menelusuri jejakku. Tempat persembunyianku
berhasil diketemukan. Dan sialnya saat itu aku tengah berada di sawah. Istriku
dibunuh. Anakku sedang bermain sehingga tidak ikut terbunuh. Tapi tetap saja
kejadian itu mengguncangkan hatiku.
Aku hampir gila rasanya. Setelah menitipkan
anakku pada salah seorang sahabat baikku, aku
pergi untuk mencari pembunuh-pembunuh keji
itu. Bertahun-tahun aku melacak mereka. Penca-
rianku tidak sia-sia. Mereka kutemukan. Tanpa
ampun kubantai mereka semua. Namun, sungguh
tidak kusangka kalau sepeninggalku di dunia persilatan telah muncul tokoh sesat
yang merajai golongan hitam. Siluman Dari Neraka, julukannya.
Salah satu dari tiga pembunuh istriku ternyata mempunyai hubungan baik dengan
Siluman Dari Neraka." "Ah...!"
Karina tidak tahan untuk tidak berseru ka-
get. Julukan datuk sesat itu membuat bulu ku-
duknya berdiri. Tokoh yang mempunyai julukan
seperti itu pasti memiliki kekejaman yang mendirikan bulu roma.
"Aku yang memang tidak ingin mencari
permusuhan lagi dengan orang-orang yang tidak
mempunyai masalah denganku, tidak ambil pedu-
li. Gairahku untuk berkiprah di dunia persilatan telah lenyap seiring dengan
perginya istriku ke alam baka. Aku berniat kembali pada anakku."
Iblis Tangan Maut melanjutkan ceritanya
dengan suara getir.
"Tapi ternyata kemunculanku telah me-
mancing datangnya musuh-musuhku. Mereka
orang-orang yang merasa sakit hati karena saha-
bat, kakak, atau saudaranya tewas di tanganku.
Aku tidak bisa segera kembali pada anakku karena khawatir akan keselamatannya.
Penghadangan-penghadangan dari orang-orang yang bermaksud
membunuhku senantiasa terjadi. Hari-hariku pun
seperti sebelum aku mengasingkan diri. Hanya kali ini aku tidak bertangan kejam.
Tidak ada orang
yang kubunuh kecuali sangat terpaksa. Karena serangan-serangan itu semakin
menjadi-jadi, kesa-
baranku pun lenyap. Aku kembali seperti dulu.
Aku menjadi Iblis Tangan Maut lagi! Salah seorang yang tewas di tanganku adalah
Dewa Tangan Sepuluh yang bermaksud membalaskan kematian
kawannya. Kau tahu siapa Dewa Tangan Sepuluh,
Karina?" Gadis berpakaian hijau itu menggeleng.
"Dewa Tangan Sepuluh adalah ayah gadis
berpakaian merah tadi."
Karina terperanjat. Sekarang dia tahu men-
gapa Sutini tadi demikian bernafsu untuk mem-
bunuhnya. Ternyata Sutini memendam rasa den-
dam. "Akhirnya aku berhasil berkumpul dengan anakku saat ia telah dewasa.
Bahkan, aku sempat menikahkannya dengan seorang pendekar yang
memiliki kepandaian cukup tinggi," lanjut Iblis Tangan Maut.
"Apakah mereka ayah dan ibuku?" tanya Karina dengan suara serak karena perasaan
tegang. "Benar," Iblis Tangan Maut mengangguk.
"Ibumu, yaitu anakku, bernama Umari. Sedangkan ayahmu bernama Lesmana."
"Di mana mereka sekarang, Kek?" tanya Karina tidak sabar.
Iblis Tangan Maut tidak segera menjawab.
Dia malah menatap wajah Karina dengan sinar
mata penuh rasa iba. Karina pun mendapat firasat jelek. Namun, dia tetap ingin
mendengar kepas-tiannya.
"Katakanlah, Kek. Apa yang terjadi dengan
orangtua ku" Percayalah, aku siap untuk menden-
gar sekalipun berita yang akan kau katakan itu
buruk." Iblis Tangan Maut menghela napas berat.
Dia terlihat bimbang untuk memberikan jawaban.
"Meskipun kau tidak memintanya, Karina,
aku tetap akan menceritakannya. Syukurlah kau
berhati tegar dan siap mendengarnya. Nah, den-
garlah baik-baik."
Karina merasakan jantungnya berdetak le-
bih cepat. Gadis itu tegang bukan main. Saking te-gangnya dan khawatir cerita
Iblis Tangan Maut tidak terdengar jelas, gadis berpakaian hijau ini sampai
menahan napas. "Karena Umari telah menikah, aku tidak
tinggal bersama mereka lagi. Ada orang lain yang telah menjaganya, yaitu ayahmu.
Aku juga khawatir keberadaanku bersama mereka hanya akan
menimbulkan bahaya. Baru setahun setelah per-
kawinan mereka, aku datang berkunjung. Ternya-
ta kedatanganku sangat tepat. Meskipun harus
kuakui agak terlambat."
"Aku masih kurang jelas dengan ucapanmu,
Kek?" sergah Karina tidak sabar.
3 Iblis Tangan Maut tersenyum maklum. Ia
mengerti mengapa Karina menyela pembicaraan-
nya. "Siluman Dari Neraka yang merasa perlu membunuhku untuk membuktikan kalau
dirinya lebih unggul dari Iblis Tangan Maut, mencari-
cariku. Karena tidak menemukanku, dia bermak-
sud membunuh Umari dan suaminya untuk me-
mancing kedatanganku. Tapi, seperti telah diatur oleh Yang Kuasa, aku datang dan
berhasil memer-gokinya. Siluman Dari Neraka benar-benar kejam.
Umari dan suaminya disiksa. Bahkan, anak mere-
ka yang masih bayi dan baru berumur beberapa
hari hendak dibunuhnya pula."
Wajah Karina pucat pasi. Meski tidak me-
nyaksikan sendiri, dia bisa membayangkan sik-
saan yang diderita orangtuanya. Kalau Iblis Tangan Maut saja yang telah terbiasa
membunuh orang, merasa ngeri, Karina sukar membayangkan
bentuk penyiksaan itu.
"Bayi yang baru berusia beberapa hari itu
pasti aku. Benar demikian, Kek?" tanya Karina.
Api dendam mulai berkobar di dalam dadanya.
"Benar." Iblis Tangan Maut mengangguk.
"Siluman Dari Neraka bermaksud membunuhmu
untuk menyiksa hati ayah dan ibumu, Karina. Pa-
dahal, mereka meski telah tersiksa setengah mati meratap-ratap agar kau
diampuni. Mereka meminta agar siksaan yang akan ditimpakan kepadamu
dialihkan saja pada mereka berdua. Tapi, Siluman Dari Neraka yang memang sengaja
hendak menyiksa batin mereka mana mau memenuhinya?"
Karina menutup wajahnya dengan kedua
tangan. Tidak terdengar isak tangis. Namun dari celah-celah kedua tangan itu
mengalir air mata.
Karina menangis tanpa suara. Gadis berpakaian
hijau ini merasa terharu mengingat kasih sayang ayah bundanya yang demikian
besar. "Sebelum Siluman Dari Neraka membukti-
kan ancamannya dengan menyiksamu, aku da-
tang. Meski tidak ada yang memberi penjelasan,
aku segera tahu apa yang tengah terjadi. Kutan-
tang Siluman Dari Neraka. Dia yang memang ten-
gah mencari-cariku langsung menyambuti. Kami
pun terlibat pertarungan. Sebelumnya kuperintahkan Umari dan Lesmana agar pergi
dari situ untuk menyelamatkan kau, Karina. Aku khawatir tidak
akan mampu menang melawan Siluman Dari Ne-
raka. Padahal aku tahu pasti dari luka-luka akibat siksaan yang mereka derita,
orangtua mu tidak
akan bertahan hidup. Tapi setidak-tidaknya kau
selamat, Karina."
Iblis Tangan Maut menundukkan kepala.
Sejenak kemudian diangkatnya kembali. Tidak ter-
lihat gambaran perasaan apa pun pada wajah ke-
riput yang terlihat matang oleh pengalaman hidup itu. Tapi, Karina tahu kakek
berpakaian coklat itu tengah sangat berduka. Gadis ini telah lama tinggal
bersama Iblis Tangan Maut. Sehingga, dapat
merasakan apa yang tengah dirasakan kakeknya.
"Ayah dan ibumu memenuhi perintahku.
Dengan susah-payah mereka membawamu pergi.
Aku sempat melihatnya sekilas. Dan, tidak bisa
mengawasi mereka terus karena nyawaku sendiri
tengah terancam. Siluman Dari Neraka memang
sangat hebat. Harus kuakui tingkat kepandaian-
nya berada di atasku. Betapapun telah kukuras
seluruh kemampuan yang kumiliki, tetap tidak
mampu mengubah keadaan. Perlawananku ter-
henti ketika sebuah pukulannya membuat tubuh-
ku terlempar. Pukulan itu keras sekali sehingga aku terluka dalam yang parah.
Nyawaku tinggal
melayang ke alam baka. Namun sebelum Siluman
Dari Neraka melancarkan serangan susulan yang
mematikan, muncul dua orang gagah. Mereka
langsung menyerang Siluman Dari Neraka yang te-
lah lelah bertarung denganku."
"Bagaimana hasil pertarungan itu, Kek"
Apakah Siluman Dari Neraka itu mampus"!" tanya Karina dalam rasa benci yang
menggelora. Iblis Tangan Maut bisa merasakan keben-
cian itu. "Aku tidak tahu, Karina," jawab Iblis Tangan Maut agak menyesal. "Aku
hanya menyaksikan sebentar untuk melihat kepandaian dua orang gagah itu.
Kepandaian mereka ternyata cukup
tinggi. Kalau pertarungan dilakukan satu lawan
satu, mereka bukan tandingan Siluman Dari Nera-
ka. Tapi karena, mereka berdua dan tenaga Silu-
man Dari Neraka telah terkuras, kemungkinan ke-
dua orang itu akan keluar sebagai pemenang. Aku pergi dari situ untuk menyusul
ayah dan ibumu,
Karina. Kekhawatiranku ternyata beralasan. Di
tengah jalan kulihat tubuh ayah dan ibumu tergo-lek tidak bernyawa. Kau menangis
sendirian di tengah padang rumput yang luas. Aku pun mem-
bawamu kemari setelah menguburkan mayat ayah
dan ibumu di sana."
Karina menundukkan kepala. Tidak me-
nyangka orangtuanya meninggal dengan cara de-
mikian mengenaskan. Hatinya sedih bukan main.
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan,
Karina?" tanya Iblis Tangan Maut setelah membiarkan gadis berpakaian hijau itu
terdiam beberapa saat.
"Entahlah, Kek," jawab Karina ragu. "Yang jelas aku hendak mengunjungi makam
orangtua ku. Setelah itu aku belum tahu, Kek."
Iblis Tangan Maut tidak memberikan tang-
gapan. Dia tahu Karina masih bimbang.
"Sayang sekali aku tidak bisa mengantar-
mu, Karina. Aku sudah tua. Otot-otot kakiku tidak kuat lagi untuk menempuh
perjalanan jauh. Pe-sanku, jangan kau coba-coba membalas dendam
terhadap Siluman Dari Neraka. Percuma, Karina.
Kau akan celaka di tangannya. Kendati semua il-
mu yang kumiliki telah kuberikan padamu tapi
masih terlalu jauh untuk kau pakai menandin-
ginya. Siluman Dari Neraka terlalu tangguh untuk
ditandingi, apalagi dikalahkan!"
Karina membisu. Gadis berpakaian hijau ini
tidak berani mengangguk atau menggeleng. Bisa


Dewa Arak 76 Penjara Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja untuk menyenangkan hati Iblis Tangan Maut, Karina mengangguk. Tapi, itu
tidak dilakukannya.
Karina tidak mau membohongi kakeknya.
Iblis Tangan Maut pun mengerti mengapa
Karina bersikap demikian. Maka, dia tidak mendesak cucunya untuk memberikan
jawaban. "Kapan kau akan pergi, Karina?" Dengan pandainya, Iblis Tangan Maut mengalihkan
pembicaraan. "Mungkin beberapa hari lagi, Kek. Aku ingin di sini dulu bersama Kakek."
*** Hari masih pagi ketika seorang gadis cantik
berpakaian hijau mengayunkan kaki memasuki
mulut sebuah hutan. Wajahnya terlihat murung.
Langkah kakinya pun tidak bersemangat. Gadis
itu berjalan sambil menundukkan wajahnya.
Hanya sesekali pandangannya ditujukan ke depan.
Ketika suatu saat gadis ini mengangkat wa-
jahnya, terlihat sesosok tubuh bungkuk melang-
kah tertatih-tatih. Sebatang tongkat tergenggam di tangan kanannya. Benda itu
digunakan untuk
membantunya berjalan.
Hati gadis berpakaian hijau yang tidak lain
Karina jadi tersentuh. Rasa iba terbit di hatinya melihat sosok di depannya
melangkah dengan susah payah. Bahkan, beberapa kali terhuyung se-
perti akan jatuh.
Karina memang memiliki watak pendiam.
Kendati demikian, bila tengah murka dia tidak kalah berbahayanya dengan orang
yang pemarah. Untungnya, Iblis Tangan Maut mendidiknya den-
gan baik sehingga gadis ini tumbuh menjadi seo-
rang dara yang berwatak gagah.
Karena itu, Karina tidak sampai hati mem-
biarkan sosok di hadapannya. Sosok yang menge-
nakan pakaian merah lusuh itu adalah seorang
kakek. Pandang mata Karina yang tajam dapat me-
lihat dengan jelas jalan yang ditempuh kakek itu terus menanjak. Perjalanan yang
tidak ringan bagi seorang yang telah berusia lanjut.
Karina segera melesat. Ilmu meringankan
tubuhnya dikerahkan untuk bisa menyusul sosok
di hadapannya. Karina ingin membantu kakek itu
untuk melanjutkan perjalanan.
Karina merasa heran ketika telah beberapa
kali lesatan tidak juga menyusul kakek berpakaian merah. Padahal, sekali lesatan
tak akan kurang
dari delapan tombak. Paling tidak sudah dua pu-
luh lima tombak jarak yang ditempuhnya. Sedang-
kan kakek berpakaian merah berada sepuluh tom-
bak di depannya, meskipun selama Karina melesat kakek itu terus berjalan.
Rasa penasaran dan heran membuat Karina
mengerahkan seluruh kemampuan larinya. Sambil
mengayunkan kaki, pandangannya diarahkan pa-
da sosok di depannya. Dengan jelas dilihatnya kakek itu melangkah tertatih-
tatih. Tapi anehnya, jarak antara mereka tetap tidak berubah! Betapapun
Karina bersikeras dan terus berlari. Bahkan, sampai peluh membasahi sekujur
tubuh dan napasnya
menderu-deru, kakek berpakaian merah tetap ti-
dak mampu dikejarnya.
Kenyataan ini membuat Karina menyadari
kalau kakek berpakaian merah tidak selemah se-
perti yang diduganya. Kakek itu justru seseorang yang memiliki kepandaian
tinggi. Kalau tidak, ma-na mungkin hanya dengan berjalan tertatih-tatih mampu
membuat pengejaran yang dilakukan dengan sepenuh kemampuannya tidak berarti sama
sekali" Meskipun demikian, keinginan Karina tidak menjadi surut untuk menyusul
kakek itu. Gadis
berpakaian hijau ini malah ingin berkenalan dengan kakek berpakaian merah yang
luar biasa itu.
Karina baru menghentikan pengejarannya
ketika kakek itu lenyap dari pandangan ketika berada di jalan setapak yang di
kanan kirinya ter-hampar kerimbunan semak, Gadis ini menatap ke
arah dua jalan di kanan kirinya. Hanya ada dua jalan. Karina bimbang memilih
jalan yang akan ditempuhnya. Dia tidak sempat melihat jalan mana
yang dipilih kakek berpakaian merah. Tadi tubuh kakek itu tidak terlihat karena
jalan yang meleng-kung sehingga menghalangi pandangan.
"Kau mencariku, Anak Manis?"
Teguran dari arah belakangnya membuat
Karina terlonjak dan bergegas membalikkan tu-
buh. Karina kaget bagai terpatuk ular berbisa. Da-ra ini tidak menyangka kakek
yang dicarinya telah
muncul di belakangnya. Namun sebentar kemu-
dian, perasaan kaget itu berhasil dihalaunya. Tanpa ragu-ragu dara ini
mengangguk. "Benar, Kek," jawab Karina seraya menatap kakek berpakaian merah dengan penuh
selidik. Wajah kakek itu dihiasi oleh kumis, jam-
bang, dan jenggot kasar yang putih serta tidak te-rawat. Kulit wajahnya merah
seperti udang dire-
bus. Sinar matanya yang tajam dan memancarkan
sorot mengerikan membuat kakek ini terlihat angker. Ia mengenakan pakaian merah.
"Mengapa kau mengejar-ngejarku"!" tanya kakek bermuka merah penuh ancaman.
Sepasang matanya mencorong menikam wajah Karina sea-
kan ia hendak melihat kebenaran jawaban gadis
itu. Karina merasakan jantungnya berdetak
jauh lebih cepat. Sorot mata itu membuatnya ya-
kin kalau kakek yang berdiri di hadapannya ini
memiliki kemampuan luar biasa. Sepengetahuan-
nya hanya tokoh-tokoh yang memiliki tenaga da-
lam tinggi saja yang memiliki sinar mata seperti itu. Karina melihat sorot mata
seperti ini pada kakeknya, Iblis Tangan Maut.
Gadis berpakaian hijau ini tidak merasa
gentar sedikit pun. Gemblengan kakeknya telah
membuatnya menjadi seorang dara yang tidak
kenal takut. Apalagi mengetahui dirinya tidak melakukan kesalahan.
"Sebenarnya aku tidak bermaksud demi-
kian, Kek. Kebetulan aku menempuh perjalanan
kemari. Di kejauhan kulihat kau tengah berjalan
tertatih-tatih. Karena jalan daerah ini cukup berat, aku bermaksud membantumu.
Sungguh tidak kusangka ternyata kau tidak seperti yang kuduga,"
jawab Karina lancar dan tenang.
"Tidak seperti yang kau duga" Apa mak-
sudmu, Nona Muda"!" desak kakek berpakaian merah ingin tahu.
"Kau seorang tokoh yang memiliki kepan-
daian tinggi. Jadi, apa artinya pertolongan yang hendak kuberikan?" kilah
Karina, halus. Wajah kakek berpakaian merah membesi.
Sinar matanya memancarkan kebengisan.
"Gadis Lancang! Berani kau merendahkan
aku" Sungguh berani kau memandang rendah di-
riku. Aku tidak mau menerima begitu saja penghinaan ini! Kau harus mendapat
hukuman yang se-
timpal atas kelancangan yang telah kau lakukan!"
Sepasang mata Karina berkilat-kilat Kema-
rahannya bangkit mendengar ancaman kakek itu.
Tidak disangka kakek berpakaian merah ini memi-
liki watak demikian keji! Orang beritikad baik untuk menolongnya malah dianggap
menghina. Bah- kan, hendak memberikan hukuman. Sungguh gila
dan keterlaluan!
"Kalau boleh kutahu, hukuman apa yang
hendak kau jatuhkan padaku, Kek"!"
"Ah. Kau marah kiranya.... Marah karena
aku hendak menghukummu" Bagus. Aku lebih
suka menghukum orang yang berani melawan se-
telah merendahkanku!" jawab kakek berpakaian merah. "Kau tahu, Nona Muda.
Hukuman yang in-
gin kujatuhkan padamu adalah hukuman potong
kedua telinga dan ujung hidung! Sekarang terse-
rah padamu. Kau ingin aku yang melaksanakan
hukuman itu atau kau sendiri yang melakukan-
nya!" "Kakek berhati keji!"
Karina tidak kuasa menahan kemarahan
yang meluap. Tindakan kakek itu dirasakan san-
gat kejam. Memotong kedua telinga dan ujung hi-
dungnya! Betapa kejinya. Karina seorang gadis
yang masih muda dan berwajah cantik. Apa ja-
dinya kalau hukuman itu dilaksanakan. Tentu Ka-
rina akan menjadi seorang gadis yang memiliki wajah menakutkan.
"Kau kira aku takut dengan ancamanmu"!"
"Ha ha ha...!"
Kakek berpakaian merah tertawa bergelak
sehingga tampaklah giginya yang telah ompong.
Tidak terlihat sebuah gigi pun di sana. Kebengisan dan kekejaman yang memancar
di wajahnya. "Rupanya kau seorang wanita pemberani,
heh" Bagus. Bagus. Aku ingin tahu sampai di ma-
na keberanianmu. Akan kau rasakan sendiri sik-
saan yang akan membuatmu tidak berani men-
gunjukkan diri ke dunia luar lagi. Ha ha ha...!"
Karina merasakan jantungnya seperti dire-
mas-remas ketika kakek itu tertawa. Kedua ka-
kinya menggigil keras. Bergegas tenaga dalamnya dikerahkan untuk melawan
pengaruh itu. Tapi,
tawa itu tidak terdengar terlalu lama. Rupanya kakek berpakaian merah tidak
ingin menggunakan
tawanya untuk menyerang Karina. Tawa itu keluar
karena rasa gembiranya.
Karina semakin was-was melihat kenyataan
ini. Kalau tidak ditujukan untuk menyerang saja sudah demikian dahsyat pengaruh
yang ditimbul-kan, bagaimana bila kakek itu benar-benar ingin menyerangnya. Dara
ini tidak bisa memperkirakan kedahsyatannya.
Karina tidak mau berpikir panjang. Kakek
di hadapannya ini memiliki kepandaian luar biasa, maka suling yang terselip di
pinggang segera dica-butnya. Suara merdu seperti bunyi suling ditiup langsung
terdengar. "Keluarkan senjatamu, Kakek Jahat! Kalau
tidak jangan salahkan aku jika sulingku ini me-
mukul mati kau!" Karina yang merasa tidak enak untuk menyerang lawan tidak
bersenjata, memberikan kesempatan pada kakek berpakaian merah
untuk mengeluarkan senjatanya.
Kakek berpakaian merah malah tertawa me-
ngikik. Pandang matanya penuh dengan hinaan
ketika menatap senjata Karina.
"Benda itu kau katakan senjata" Ah! Justru aku ingin mendengar bunyi yang akan
kau mainkan. Pasti merdu sekali. Sudah lama aku tidak
mendengar bunyi musik!"
"Jebol perutmu...!"
Karina membarengi teriakannya dengan tu-
sukan suling bambunya ke perut lawan. Kakek
berpakaian merah sedikit pun tidak mengelak. Ba-ru ketika ujung suling mengenai
kulit, perutnya ti-ba-tiba dikempeskan. Suling Karina ikut terbawa masuk.
Beberapa saat kemudian, kakek itu men-
gembungkan perutnya.
"Ah...!"
Karina mengeluarkan teriakan tertahan. Ia
terjengkang ke belakang akibat gerakan perut yang aneh itu. Bersamaan dengan
gerak menggendut-nya perut kakek berpakaian merah, ada kekuatan
dahsyat yang mendorong tubuh gadis itu ke bela-
kang. Karina tak mampu berbuat apa pun untuk
bertahan. Dorongan itu terlalu kuat!
Kakek berpakaian merah tertawa bergelak
melihat Karina menatap ke arahnya dengan pan-
dang mata terbelalak. Gadis itu berhasil mema-
tahkan kekuatan yang membuat tubuhnya ter-
jengkang. Untuk sesaat Karina menatap perut kakek
itu yang tidak tertutup pakaian. Pakaian yang di-kenakannya sebenarnya cukup
untuk menutupi bagian tubuh belakang dan depan. Tapi, kakek itu telah merobek bagian depannya
sedemikian rupa
sehingga mirip rompi.
"Ayo, tunggu apa lagi" Tidak ada gunanya
kau bengong-bengong seperti itu. Cepat kau bun-
tungi ujung hidung dan dua telingamu sebelum
aku yang melakukannya!" seru kakek berpakaian merah. "Jangan harap aku akan
melakukannya, Kakek Jahat!"
Karina yang masih penasaran kembali men-
girimkan serangan. Kali ini ujung sulingnya ditujukan ke arah ubun-ubun kakek
itu. Karina tahu
betapapun saktinya kakek itu tak akan mungkin
mampu melindungi ubun-ubun dengan kekuatan
tenaga dalam. Ubun-ubun merupakan bagian ter-
lemah dari tubuh manusia!
Kakek berpakaian merah tetap terkekeh. Pe-
rutnya mendadak bergerak dengan aneh. Berge-
lombang turun naik, mengembang dan mengem-
pis. Seakan ada sesuatu di dalam perut itu yang bergerak-gerak ingin keluar!
Kembali Karina mengalami kejadian yang
mengejutkan. Serangannya langsung berubah
arah! Tidak lagi menuju ubun-ubun, tapi menukik dengan kecepatan menakjubkan ke
arah perut! Ada kekuatan tak nampak yang membuat arah
suling menyeleweng.
Karina tidak membiarkan hal itu terjadi.
Kekuatannya dikerahkan untuk bertahan dan me-
neruskan serangan ke sasaran semula. Tapi tetap saja dia tidak mampu. Perut yang
bergelombang itu seperti mengeluarkan daya tarik yang luar biasa. Tanpa dapat mencegah lagi,
suling itu menan-cap di perut kakek berpakaian merah yang men-
gempis. Karina tidak tinggal diam. Ditariknya suling
itu dari perut lawan dengan sekuat tenaga. Tapi, sia-sia. Sulingnya bagai
terjepit oleh jepitan baja yang amat kuat. Tidak mampu digerakkan sama
sekali. Karina menjadi gelisah. Apalagi ketika merasakan hawa panas menjalar
dari perut kakek
itu. Mula-mula pada sulingnya, kemudian merayap ke tangan dan sekujur tubuhnya!
Suling itu seperti terjatuh dalam tungku api.
Dalam waktu singkat saja sekujur tubuh
Karina telah dibanjiri peluh. Wajahnya merah pa-
dam seperti udang rebus. Semakin lama semakin
merah. Bahkan, sepasang matanya pun mulai


Dewa Arak 76 Penjara Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memerah. Karina sadar malaikat maut sudah berada
di dekatnya. Dia akan mati dengan tersiksa. Kendati demikian, kekerasan hatinya
membuatnya ti- dak mau mengeluarkan keluhan atau kata-kata
menyerah. Dia terus bertahan. Berusaha keras
menarik sulingnya dari jepitan perut yang men-
gempis itu. "Sungguh terlalu...! Menggunakan kekuatan
dan kemampuan untuk berbuat sewenang-wenang
terhadap seorang gadis muda...!"
Bersamaan dengan terdengarnya seruan
bernada teguran itu berkelebatlah sesosok bayangan yang langsung berdiri di
belakang Karina. Sosok bayangan yang ternyata seorang pemuda be-
rambut putih keperakan itu menempelkan kedua
tangannya di punggung Karina.
"Mundurlah, Nona...."
Karina merasakan aliran tenaga dalam
mengalir melalui punggungnya. Seketika itu su-
lingnya yang terjepit perut kakek berpakaian merah berhasil ditarik! Tanpa
banyak bicara, gadis ini melangkah mundur setelah terlebih dulu mengerl-ing pada
penolongnya. Sinar mata Karina penuh
dengan rasa terima kasih.
4 Kakek berpakaian merah menatap pemuda
berambut putih keperakan yang melangkah meng-
hampirinya. Sinar mata kakek itu penuh ancaman.
Dia merasa tersinggung melihat calon korbannya
berhasil diselamatkan orang tak dikenalnya ini.
"Siapa kau, pemuda tak tahu diri" Sungguh
berani kau menentangku. Apakah kau tidak tahu
siapa aku..."!" tegur kakek itu. Suaranya keras menggelegar.
Pemuda berambut putih keperakan terse-
nyum tenang. Dia sedikit pun tidak merasa gentar mendengar ancaman itu.
"Maaf, Kek. Aku tidak bermaksud menen-
tangmu. Aku hanya tidak ingin kau membunuh
gadis yang tidak berdaya itu. Apalagi dengan cara yang demikian keji. Lagi
pula...." "Aku tidak butuh ceramahmu!" bentak kakek berpakaian merah. "Cepat katakan siapa
dirimu sebelum kuhancurkan kepalamu!"
Sepasang alis pemuda berpakaian ungu itu
berkerut. Rasa tidak senang merayapi hatinya melihat sikap kakek itu yang kasar.
Padahal, dia telah berusaha untuk berlaku sopan.
"Panggil saja aku Arya, Kek," ujar pemuda berambut putih keperakan.
"Arya..."!"
Kakek berpakaian merah mengulang nama
itu seraya mengernyitkan alisnya. Ia mencoba
mengingat-ingat barangkali pernah mendengar
nama itu. Tapi, ia tidak mampu mengingatnya.
"Kau telah lancang mencampuri urusanku,
Pemuda Sombong! Bahkan dengan sikap jumawa
berani menceramahiku. Aku tidak menerima hal
itu. Kau akan menerima balasannya. Kau akan
kusiksa. Lalu, kuberikan pada hewan-hewan peli-
haraanku. Kau pernah mendengar nama Tarantu-
la" Nah! Tubuhmu akan kujadikan santapan bina-
tang-binatang itu!"
Pemuda berambut putih keperakan yang ti-
dak lain Arya Buana atau Dewa Arak tentu saja
pernah mendengar tentang laba-laba itu. Juga
dengan kedahsyatan racunnya. Tapi, dia tidak
menjadi gentar. Arya tetap bersikap tenang.
Karina menyaksikan keributan yang terjadi
dengan hati berdebar tegang. Dia bersiap sedia untuk membantu Arya melawan kakek
berpakaian merah. Karina tidak yakin Arya akan mampu me-
nandingi kakek itu. Meski telah dibuktikannya
sendiri pemuda itu mampu membebaskannya dari
pengaruh tenaga dalam kakek berpakaian merah.
Bukan hanya Karina saja yang siap berta-
rung. Dewa Arak pun demikian. Pemuda itu me-
nyadari kakek di hadapannya ini seorang yang
memiliki kepandaian tinggi. Keberhasilannya
membebaskan Karina bukan berarti tenaga da-
lamnya lebih tinggi dari kakek itu. Karina pun ikut ambil bagian dalam usahanya
itu. Dengan kata
lain, keberhasilan usahanya karena bantuan Kari-na pula.
Sekujur urat saraf Dewa Arak telah mene-
gang waspada. Ia menghadapi segala kemungkinan
yang akan terjadi. Siap siaga terhadap serangan yang akan dilancarkan kakek
berpakaian merah.
Tapi, kakek itu tidak segera melancarkan
serangan. Dia malah tertawa geli sekali seakan me-
lihat sesuatu yang lucu. Tubuhnya sampai terguncang-guncang.
Karina dan Dewa Arak sangat heran melihat
tingkah kakek ini. Apakah kakek berpakaian me-
rah telah menjadi gila karena marahnya" Atau,
demikian anehkah wataknya sehingga saking ma-
rahnya dia malah tertawa"
Jangankan Karina, Dewa Arak yang telah
kenyang pengalaman bertarung menghadapi ber-
bagai tokoh tingkat tinggi yang memiliki ilmu
aneh-aneh saja merasa heran. Arya tidak merasa-
kan adanya kelainan dalam tawa itu. Tidak ada ge-taran kekuatan tenaga dalam
seperti tawa yang biasa digunakan untuk menyerang lawan.
Kendati demikian, Arya tidak meninggalkan
kewaspadaannya. Siapa tahu kakek ini bermaksud
mencari kelengahan lawan dengan berlaku seperti itu. Bagi seorang tokoh golongan
hitam tidak ada pantangan melakukan serangan meski lawannya
belum siap. Kakek berpakaian merah itu memang tidak
bermaksud melancarkan serangan. Dia terus ter-
tawa. Arya merasakan suatu perasaan geli di ha-
tinya, sehingga pemuda itu tersenyum. Semakin
lama senyumnya makin lebar, sampai akhirnya
pemuda berambut putih keperakan ini tertawa ke-
ras. Malah, tubuhnya sampai terbungkuk-
bungkuk dan tangannya didekapkan ke perut.
Hal serupa pun dialami Karina. Gadis ini
merasakan munculnya perasaan gembira yang
sangat. Rasa gembira yang mendorongnya untuk
ikut tertawa. Tak pelak lagi, di tempat yang semula
sunyi ini kini riuh rendah oleh gelak tawa. Tawa yang semakin lama semakin
keras. Beberapa lama kemudian, kakek berpa-
kaian merah mengganti tawanya dengan tangis.
Tangis yang demikian menyedihkan seakan tengah
menanggung derita hidup yang bertumpuk-
tumpuk. Tangis kakek itu menimbulkan keharuan
yang dalam di hati Arya dan Karina. Membuat ke-
dua muda-mudi itu teringat hal-hal yang menye-
dihkan tentang diri mereka. Karina teringat pada orangtuanya yang tewas di
tangan Siluman Dari
Neraka. Isak tangis memilukan terdengar mengi-
ringi air mata yang mengalir deras dari sepasang mata gadis itu. Kesedihannya
semakin memuncak
ketika teringat dirinya yang telah yatim piatu. Tia-da sanak keluarga lagi
kecuali kakeknya yang telah amat tua.
Arya pun demikian. Pemuda berambut pu-
tih keperakan ini teringat akan ayah dan ibunya.
Ayahnya tewas di tangan Siluman Tengkorak Pu-
tih, dan ibunya tewas secara mengerikan di tangan Darba, pemuda lihai yang
berwatak sadis. Kesedihan dan rasa haru yang sangat meremas-remas
hatinya. (Untuk lebih jelasnya mengenai kematian ayah dan ibu Dewa Arak, silakan
baca Serial Dewa Arak dalam episode: "Pedang Bintang" dan "Cinta Sang
Pendekar").
Arya merasakan dadanya sesak bukan
main. Isak tangisnya naik ke tenggorokan. Sepa-
sang matanya terasa panas. Rasa haru yang tak
terkira melanda hatinya. Di tempat lain, beberapa
tombak darinya, Karina telah menangis terisak-
isak. Air mata mengalir deras membasahi kedua
belah pipinya yang mulus. Tangis gadis ini tak kalah menyedihkan dengan tangis
kakek berpakaian
merah. Tangis Karina ternyata membuat Arya bagai diguyur air dingin. Pemuda
berambut putih keperakan ini segera menyadari keadaan yang tidak
wajar itu. Kakek berpakaian merah entah dengan
mempergunakan ilmu apa telah mempengaruhi
alam bawah sadar seseorang! Dalam tawa dan tan-
gis kakek itu terkandung pengaruh kuat yang
memaksa orang untuk bertindak seperti yang diin-ginkannya. Arya segera
mengerahkan kekuatan
batinnya untuk melawan pengaruh itu. Mula-mula
agak susah karena alam bawah sadar pemuda ini
telah terpengaruh. Tapi, lama-kelamaan usaha
Arya membuahkan hasil. Tangis kakek itu tidak
mempengaruhinya lagi. Arya berhasil membe-
baskan diri. Kakek berpakaian merah geram bukan
main melihat Dewa Arak berhasil terbebas dari
pengaruhnya. Tangis yang diperdengarkannya se-
makin diperlambat.
Tapi, Arya tidak berhasil dipengaruhi lagi.
Dia bagaikan batu karang. Meski gelombang tangis kakek itu mencoba
menghanyutkannya, ia tetap
tak bergeming! Bahkan, kini Arya sudah mampu
tersenyum. Pemuda ini kemudian bertepuk tangan
beberapa kali. Bunyi menggelegar langsung terdengar ber-
turut-turut. Suara itu mampu menutupi tangisan
kakek berpakaian merah! Tidak hanya itu saja.
Tepukan yang keras bagai gelegar halilintar itu menyadarkan Karina. Wajahnya
merah padam ketika menyadari dirinya telah menangis keras-
keras, bahkan sampai bergulingan seperti anak
kecil! Karina buru-buru bangkit. Dengan mem-
pergunakan kedua tangan, pakaiannya dibersih-
kan dari debu yang menempel. Punggung tangan-
nya mengusap air mata yang membasahi pipi. Ka-
rina yang memiliki otak cerdik segera dapat menduga apa yang telah terjadi.
Kakek berpakaian Merah yang menjadi penyebabnya. Dan, pemuda be-
rambut putih keperakan telah menyebabkan pen-
garuh aneh itu buyar.
Karina menatap kedua lelaki yang berdiri
berhadapan dalam jarak tiga tombak itu. Dia bisa memperkirakan betapa dahsyat
pertarungan yang
akan berlangsung.
Sementara itu, kakek berpakaian merah te-
lah menghentikan tangisnya. Tampaknya ia me-
nyadari bahwa tidak ada gunanya lagi jika dilanjutkan. Arya memiliki kekuatan
batin yang kuat sehingga tidak mudah dipengaruhi.
"Kau memang hebat, Anak Muda. Harus
kuakui belum pernah kutemukan seorang pemuda
selihai dirimu. Kalau kau mampu menyambut se-
ranganku tanpa kehilangan nyawa, aku mengaku
kalah dan akan pergi meninggalkan tempat ini.
Tentu saja hanya untuk saat ini. Lain kali jika kau kutemukan tak akan kuampuni!
Sekarang ada urusan lain yang lebih penting yang harus kuurus.
Bagaimana" Kau mau menyambut seranganku?"
Arya mempertimbangkan tawaran kakek itu
sebentar. Dia tidak berani segera menyanggupinya.
Menyambut serangan berarti mengadu keras den-
gan keras. Kekuatan tenaga dalam yang menjadi
taruhannya. Siapa yang lebih kuat akan lebih unggul. Dan, Arya tahu orang setua
kakek di hada- pannya ini sudah bisa diperkirakan kekuatan te-
naga dalamnya. Kalau umurnya delapan puluh ta-
hun saja, setidak-tidaknya kakek ini telah melatih tenaga dalam selama tujuh
puluh tahun! Sedangkan dia baru melatih tenaga dalamnya selama lima belas tahun.
Dari perhitungan ini saja sudah bisa diperkirakan siapa yang berada dalam
kedudukan menguntungkan. Arya menyadari benar tenaga dalam yang
dihimpunnya tidak didapat dengan cara biasa. Gurunya, Ki Gering Langit, telah
mengajarkan cara menghimpun tenaga dalam yang amat dahsyat dalam waktu singkat.
Sehingga, meski baru meng-
himpunnya sekitar lima belas tahun Arya telah
memiliki tenaga dalam luar biasa! (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial
Dewa Arak dalam episode perdana: "Pedang Bintang").
Setelah memikirkan tawaran lawan seben-
tar, pemuda berambut putih keperakan ini men-
gangguk pasti. "Kuterima tantanganmu, Kek!" jawab Arya mantap.
"Ha ha ha...!"
Kakek berpakaian merah tertawa bergelak.
Ia mengajukan pertarungan itu karena memperhi-
tungkan perbedaan usia di antara mereka. Berapa
kuat tenaga dalam yang berhasil dihimpun seo-
rang pemuda belia" Demikian pendapat kakek
berpakaian merah. Kendati telah menyaksikan
usahanya berhasil dibuyarkan Arya. Itu tidak menjadi jaminan pasti pemuda
berambut putih kepe-
rakan itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa.
Kakek berpakaian merah lalu bersiap untuk
melaksanakan rencananya. Dia berdiri dengan ka-
ki kanan. Kaki kirinya diangkat tinggi-tinggi ke belakang, membuat badan dan
kepalanya terjulur ke depan sejajar dengan bumi.
Dewa Arak pun bersiap. Tanpa ragu-ragu
lagi pemuda itu mengerahkan tenaga dalam inti
matahari. Seketika itu pula di sekujur tubuhnya mengepul uap tipis. Wajah Arya
merah padam seperti udang rebus, ia tahu lawannya telah siap
menyerang dengan jurus 'Kalajengking'.
"Hih!"
Diiringi bentakan keras, kakek berpakaian
merah menghentakkan kedua tangannya yang ter-
buka membentuk cakar. Hembusan angin yang
luar biasa kerasnya meluncur ke arah Dewa Arak.
Tanpa menunggu lebih lama, pemuda berambut
putih keperakan itu menyambutinya.
Blarrr!

Dewa Arak 76 Penjara Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bunyi keras memekakkan telinga terdengar.
Sekitar tempat itu tergetar hebat. Bahkan, Karina yang berada agak jauh
merasakan kerasnya geta-ran. Pepohonan bergoyangan dan daun-daunnya
rontok berguguran ke tanah.
Akibat yang lebih hebat terjadi pada kedua
petarung. Tubuh kakek berpakaian merah berpu-
tar dalam kedudukan masih seperti semula, sebe-
lum akhirnya jatuh terjengkang! Sedangkan Dewa
Arak, meski kuda-kudanya tidak berubah namun
ia terseret mundur beberapa tombak. Tampak gu-
ratan dalam di tanah bekas terseretnya. Seretan itu baru berhenti ketika
punggung Arya membentur sebatang pohon besar hingga pohon itu bergetar keras.
Kakek berpakaian merah bangkit berdiri.
Sinar matanya memancarkan rasa penasaran dan
kagum. "Kau hebat, Anak Muda! Aku senang sekali
dapat terus melanjutkan pertarungan ini. Tapi,
janji adalah janji. Aku tidak pernah mengingkari janji yang kubuat. Aku akan
pergi dan bila kita bertemu lagi baru nyawamu akan kuambil. Aku
sudah berjanji untuk tidak mencabut nyawa orang lain sebelum nyawa musuh besarku
kucabut! Selamat tinggal, Anak Muda!"
Setelah berkata demikian, kakek itu melesat
pergi. Dalam beberapa kali lesatan tubuhnya su-
dah tidak terlihat lagi. Pandangan ngeri Karina dan takjub Dewa Arak mengantar
kepergiannya, hingga tubuhnya tidak terlihat dari pandangan.
Arya yang telah berdiri tegak mendadak ter-
huyung-huyung ke depan. Dari mulutnya keluar
darah segar. Kemudian, tubuh itu terguling dan jatuh ke tanah dengan keras. Arya
jatuh pingsan! Memang, benturan keras tadi telah melukai
tubuh bagian dalam pemuda berambut putih ke-
perakan itu. Dengan menguatkan hati dia dapat
berdiri tegak. Tapi, tetap saja apabila kakek berpa-
kaian merah bertahan di tempat itu lebih lama,
Arya tidak akan kuat bertahan. Kekhawatiran ka-
kek itu akan mengingkari janji membuat Dewa
Arak berusaha bertahan.
Jatuhnya Arya membuat Karina bergegas
melesat menghampiri. Gadis ini tidak menduga
penolongnya terluka dalam, karena tadi terlihat demikian tegar.
*** Arya membuka mata ketika merasakan ali-
ran hawa hangat bergerak ke sekitar tubuhnya.
Dia juga merasakan dua telapak tangan halus me-
nempel di dadanya. Dari kedua telapak tangan itulah hawa hangat yang berkeliaran
ke sekujur tu- buhnya berasal. Pandang matanya yang semula
kabur perlahan dapat melihat dengan jelas pemilik kedua tangan halus itu. Seraut
wajah cantik. Wajah Karina!
Karina telah menyalurkan tenaga dalam pa-
danya. Semula Arya merasa heran. Tapi, ia segera teringat dirinya baru saja
terluka dalam setelah terjadi benturan pukulan jarak jauh dengan kakek
berpakaian merah.
"Cukup, Nona," tolak Arya. Gadis itu telah mengerahkan tenaga dalam cukup banyak
untuk memulihkan luka dalamnya. Arya merasakan rasa
sakit dan nyeri dalam dadanya telah lenyap. Ini karena pertolongan yang
diberikan Karina. Sebelumnya, dada Arya terasa sakit bukan main.
Karina segera menghentikan penyaluran te-
naga dalamnya. Arya telah lolos dari ancaman
maut, tinggal bersemadi untuk memulihkan keku-
atannya. Pemuda berambut putih keperakan itu
pasti sangat lelah, sedang sebagian besar tena-
ganya belum pulih kembali akibat luka dalam yang dideritanya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nona.
Namaku Arya. Aku berhutang nyawa padamu. Ka-
lau tidak ada kau mungkin aku hanya tinggal na-
ma saja, " ucap Arya, berterima kasih.
Karina tersenyum malu.
"Siapa yang menolong siapa" Kau yang lebih dulu menolongku. Tanpa pertolonganmu
aku akan mati dalam keadaan mengerikan," elak gadis ini dengan perasaan ngeri. Ia
teringat kembali dengan ancaman kakek berpakaian merah.
Mau tidak mau Arya tersenyum. Pemuda ini
merasa geli mengingat keadaan mereka. Masing-
masing saling memberikan dan menerima perto-
longan. Sehingga, sulit dikatakan siapa yang menolong dan siapa yang ditolong.
"Mengapa kau terlibat pertarungan dengan
kakek itu, Nona" Apakah kau mempunyai urusan
dengannya?" tanya Arya. Ia tidak berani menanyakan nama gadis itu karena melihat
Karina mem- punyai sifat pemalu.
"Gara-gara keisenganku, Arya. Namamu
Arya bukan?" Wajah Karina memerah karena telah kelepasan menyapa Dewa Arak
dengan namanya.
Meski sebenarnya pemuda itu telah memperkenal-
kan diri. "Benar." Arya berpura-pura tidak mengeta-
hui perasaan yang bergolak di hati Karina. Pemuda ini malah mempergunakan
kesempatan itu untuk
menanyakan nama gadis itu. "Namaku memang
Arya. Arya Buana. Kau sendiri siapa, Nona?"
Karina menyebutkan namanya. Dalam hati
dia merasa bersyukur Arya tidak mempedulikan
perasaan malu yang menyergap hatinya. Kemu-
dian, dengan mulai berani Karina menceritakan
semua kejadiannya. Mulai dari perpisahan dengan kakeknya sampai pertemuannya
dengan kakek berpakaian merah. Tentu saja rasa malu membuat
Karina tidak mau memperkenalkan julukan ka-
keknya. Arya pun tampaknya tidak mempersoal-
kan hal itu. Tapi, ia tahu Karina murid seorang tokoh tingkat tinggi.
Basa-basi itu tidak berlangsung lama. Dewa
Arak dan Karina menyadari keadaan mereka tidak
menguntungkan. Lebih baik mereka memulihkan
tenaga. Keduanya kemudian duduk bersila untuk
melakukan semadi.
Tapi, baru saja sepasang muda-mudi itu
memejamkan mata terdengar teriakan melengking
nyaring yang penuh kebencian.
"Rupanya kau di sini, Kuntilanak! Sekarang riwayatmu akan kuselesaikan!"
Hampir bersamaan Dewa Arak dan Karina
membuka mata mengalihkan pandangan ke arah
asal bentakan. Tampak dua sosok berkelebat cepat mendekati tempat mereka.
Dewa Arak mengerutkan alis, ia tidak men-
genal kedua sosok terdiri dari lelaki dan wanita muda itu. Mereka mengenakan
pakaian yang sal-
ing berlawanan. Yang wanita memakai pakaian
berwarna merah, sedangkan yang lelaki memakai
pakaian putih. Arya melirik ke arah Karina. Dia melihat
wajah gadis itu berubah. Karina mengenal kedua
orang muda itu. Memang, sasaran makian yang
tadi terdengar ditujukan pada seorang wanita! Siapa lagi kalau bukan Karina" Di
tempat ini yang
ada hanya Arya dan Karina.
Dugaan Arya tepat sekali. Karina memang
mengenai sepasang muda-mudi berwajah elok itu.
Mereka adalah Sutini dan saudara seperguruan-
nya, Dampit! Jantung Karina berdebar tegang. Gadis ber-
pakaian hijau ini segera mengetahui adanya an-
caman bahaya. Sutini memendam rasa dendam
terhadap kakeknya. Dan, Karina tahu Sutini terla-lu dikuasi dendam sehingga
pertimbangannya ti-
dak adil. Rasa dendam yang bergelora di dalam
dada memang kadang-kadang membuat orang ti-
dak bisa berpikir jernih. Ia hanya bisa menilai secara sepihak, yaitu hal yang
menguntungkan di-
rinya. Karina menyadari benar keadaannya seka-
rang amat tidak menguntungkan. Tenaganya yang
tersisa hanya sebagian kecil. Itu tidak cukup untuk dijadikan andalan menghadapi
Sutini yang lihai. Kendati demikian, Karina tidak menjadi gentar. Dia bangkit
dan menunggu kedatangan Sutini serta Dampit dengan sikap gagah.
"Kiranya kau..." Mengapa kau mengejar-
ngejar aku"!" tegur Karina tenang. Sikapnya me-
nunjukkan dia merasa yakin akan dirinya.
Arya mengeluh dalam hati melihat sikap Ka-
rina. Pandang mata pemuda ini segera dapat melihat kalau Karina masih lemah.
Tapi, ia masih mampu bersikap demikian gagah. Di balik sikap
pemalunya Karina memiliki watak keras hati dan
tidak takut menghadapi ancaman. Sikap seorang
wanita pendekar.
Sutini berdiri tiga tombak di depan Karina
dengan membelalakkan sepasang mata saking ke-
salnya. Seakan ia hendak menelan bulat-bulat Karina dengan sepasang matanya yang
indah itu. "Tidak usah banyak bicara lagi, Wanita
Liar!" Sutini memaki. "Katakan di mana kakekmu yang jahat itu. Ke mana dia
bersembunyi?"
"Untuk apa kau mencarinya" Percuma saja.
Sampai kapan pun kau tak akan bisa melaksana-
kan niatmu. Kalau kakekku mau, dengan mudah
kau dan kawanmu itu dibunuhnya. Tapi, beliau tidak mau melakukannya. Bahkan,
beliau berpesan
padaku supaya tidak meladenimu karena kau te-
lah keliru!"
"Tutup mulutmu, Wanita Jahat!" Sutini semakin tenggelam dalam amarahnya. Yang
ada di benak gadis ini hanya keinginan melampiaskan
dendamnya yang bertumpuk. Dia tidak ingin men-
dengar nasihat. "Kau tahu siapa yang benar dan yang salah" Kakekmu bukan orang
baik-baik. Dia seorang penjahat keji. Tokoh dunia hitam yang ke-gemarannya membunuh orang. Dan,
ayahku ada- lah salah satu korbannya! Apakah salah kalau aku ingin membalaskan
kematiannya"!"
5 Karina mengangkat dagunya dengan sikap
menantang. Kemarahannya bangkit mendengar
kakek yang dibanggakan dan disayangi, dihina
orang. "Aku tahu kakekku bukan orang baik-baik.
Dia seorang tokoh jahat. Entah sudah berapa ba-
nyak nyawa melayang di tangannya. Tapi, tidak
bolehkan orang jahat sadar dari kesesatannya dan kembali ke jalan yang benar"
Tidak bisakah orang jahat bertobat dan menghabisi sisa umurnya dengan hidup
tenang?" "Enak betul kalau begitu!" sergah Sutini sambil tersenyum sinis. Sikap dan
ucapan gadis ini jelas menunjukkan amarahnya. "Betapa enaknya" Sejak muda berlaku lalim,
menyebar maut dan kejahatan di sana sini. Kemudian, karena takut menghadapi pembalasan lawan-
lawannya lalu bertobat. Setelah tua dan tidak berdaya ingin
kembali ke jalan yang benar agar selamat dari
pembalasan! Sungguh suatu siasat yang licik!"
"Kau tahu satu tapi tidak tahu dua, Sutini,"
suara dan sikap Karina masih terlihat tenang, tidak terpengaruh oleh ucapan
Sutini. "Kau tahu, tewasnya ayahmu karena ulahnya sendiri!"
"Keparat! Mulutmu semakin lancang, Wani-
ta Liar! Kalau tidak segera disumpal, kekurangaja-ranmu akan menjadi-jadi!"
Sutini yang tidak bisa menahan kemara-
hannya lagi mendengar ucapan Karina segera
mengirimkan tendangan keras ke arah perut. Se-
buah serangan yang akan mengirim nyawa gadis
berpakaian hijau itu ke akhirat apabila sampai
mendarat di sasaran.
Arya yang sejak tadi mendengarkan per-
tengkaran kedua gadis itu sedikit banyak telah bi-sa memperkirakan masalah yang
dipertengkarkan.
Hanya karena belum jelas dia tidak berani ikut
campur. Sekarang, melihat ancaman maut terhadap
Karina, Arya tidak bisa berdiam diri lagi. Betapapun juga pemuda berambut putih
keperakan ini telah membuktikan sendiri kalau Karina bukan
gadis yang jahat. Terlepas dari siapa dan bagaimana orang yang menjadi kakeknya,
Arya berkewaji-
ban untuk menolong gadis berpakaian hijau itu.
Meskipun demikian, tidak berarti Dewa
Arak berpihak pada Karina. Memang amat mudah
untuk berpihak pada gadis berpakaian hijau itu.
Sikapnya tenang dan pengalah, membuat orang
bersimpati terhadapnya. Sifat seperti itu tidak di-tunjukkan oleh Sutini.
Bahkan, gadis berpakaian merah itu menunjukkan sikap kasar dan kejam
serta mau menang sendiri. Walau demikian, Arya
tidak mengambil kesimpulan dari masalah kecil
itu. Keinginan untuk menolong memang besar.
Tapi, keadaan yang tidak menguntungkan mem-
buat Arya tidak mampu berbuat banyak. Jangan-
kan memapaki serangan Sutini, menyambar tubuh
Karina dan membawanya mengelak dari serangan
pun ia tidak mampu. Tubuhnya masih lemas seka-
li. Arya menarik napas lega ketika melihat Ka-
rina masih mampu menyelamatkan diri. Gadis ini
melempar tubuhnya ke tanah dan bergulingan
menjauhi. Tapi, Sutini yang telah bangkit amarahnya tidak membiarkan saja. Dia
melesat mengejar tubuh Karina dan menghujaninya dengan serangan-serangan
berbahaya. Hal ini membuat Karina
kewalahan untuk menyelamatkan selembar nya-
wanya. Arya melangkah maju bersiap untuk meno-
long Karina. Padahal, sebagian besar tenaganya telah lenyap. Apa yang dapat
dilakukannya" Tinda-
kan pemuda ini telah memancing tanggapan dari
Dampit. Pemuda berpakaian putih ini ikut maju
Pedang Dan Kitab Suci 3 Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Sian Ku Po Kiam Karya Khu Lung Wisma Pedang 1
^