Raja Iblis Berhati Hitam 1
Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam Bagian 1
RAJA SIHIR BERHATI HITAM
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Ahmad Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Raja Sihir Berhati Hitam
128 haL ; 12 x 18 cm.
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 "Haaattt...!"
"Hiyaaa...!"
Teriakan-teriakan
keras menggelegar memecah kesunyian pagi di lereng Gunung Randu Alas. Beberapa burung yang bertengger di
sebuah cabang pohon di dekat tempat itu terkejut dan bergegas terbang menjauh.
Memang hebat bukan main akibat yang ditimbulkan
teriakan-teriakan itu. Sekitar tempat itu bergetar hebat.
Pertanda pemilik suara teriakan itu memiliki tenaga dalam tinggi!
Bunyi riuh-rendah itu ternyata berasal dari dua sosok tubuh tengah terlibat
pertarungan. Ciri-ciri mereka tidak tampak jelas. Sebab, keduanya sama-sama
bergerak cepat.
Yang terlihat hanya bayangan coklat dan kuning, yang tidak jelas bentuknya.
Namun yang pasti, kedua bayangan yang saling belit dan sesekali terpisah sesaat
itu mewakili sosok yang tengah bertarung.
Sungguh hebat pertarungan itu. Bunyi mendecit,
mengaung, dan menderu, menyemaraki suasana pertempuran. Suara-suara itu tcrdengar setiap kali sosok bayangan coklat dan
kuning mclancarkan serangan. Tanah pun terbongkar di sana-sini. Dan debu
mengepul tinggi ke udara. Sementara itu, tak jauh dari kancah pertarungan tampak
dua sosok tubuh berdiri tegak dengan pandangan tertuju ke arah pertempuran.
Keduanya telah berusia lanjut.
Yang seorang adalah kakek berpakaian putih dan berkepala botak. Tangan kanannya
menggenggam sebatang kipas.
Sesekali kipas yang terlipat itu dikembangkan, kemudian digunakan untuk
mengipasi wajahnya.
Sosok yang satunya lagi bertubuh kecil kurus dan
berpakaian biru. Jenggot panjang kekuningan menghias dagunya. Berkali-kali
tangan keriput itu mengusap-usap jenggotnya seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Semua itu dilakukannya tanpa melepaskan pandangan dari kancah
pertarungan. Terlihat jelas kalau kakek itu sedang dilanda rasa kagum. Itu
terbukti beberapa saat kemudian.
"Kau kini patut berbangga hati, Kidang Loka. Murid-muridmu ternyata tidak
mengecewakanmu. Tampaknya
mereka telah mewarisi seluruh kepandaianmu," ujar kakek berpakaian biru.
"He he he...!"
Kakek berpakaian putih yang dipanggil Kidang Loka
terkekeh. Kipasnya dikembangkan, dan dikebut-kebutkan ke wajah. "Kau terlalu
memuji, Kerta. Apa artinya kepandaian yang dimiliki mu rid-muridku, bila
dibandingkan dengan kemampuan murid-muridmu"!"
"He he he...!"
Kakek berjenggot kuning yang dipanggil Kerta dengan
nama sebenarnya Ganda Kerta itu tertawa pelan, tapi penuh kekuatan. Tawa itu
jelas mengandung tenaga dalam.
"Kau tidak berubah, Kidang Loka. Masih tetap rendah hati seperti dulu. Benarlah
kata pepatah, orang yang berilmu tak ubahnya padi... semakin berisi semakin
merunduk."
"He he he...! Kau bisa saja, Kerta," sambut Kidang Loka di tengah tawanya.
Ganda Kerta tidak memberikan sambutan. Hanya
tawa terkekeh yang dikeluarkannya. Hingga di tengah-tengah riuh-rendahnya
pertarungan, terdengar tawa-tawa lembut menyeruak. Tawa-tawa pelan yang penuh
getaran kuat. Tawa itu baru terhenti ketika dari kancah per-
tarungan terdengar teriakan-teriakan panjang. Itu terjadi ketika dua sosok
bayangan yang tengah bertempur sama-sama
melompat menerjang dengan kedua tangan dihentakkan! Akibatnya....
Blam! Bunyi keras seperti halilintar menyambar terdengar
ketika dua pasang tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi berbenturan. Sesaat
kemudian, tubuh dua sosok bayangan itu terjengkang ke belakang.
"Hup!"
Berbeda halnya dengan sosok kuning yang mampu
mendarat di tanah, sosok coklat terhuyung-huyung hampir jatuh. Untung, dia
segera dapat memperbaiki kedudukan.
Dari sini dapat diketahui kalau tenaga dalam sosok coklat berada di bawah lawan.
Tapi, sosok coklat tidak menjadi gentar. Begitu berhasil memperbaiki kedudukan,
secepat itu pula dia bersiap melancarkan serangan. Sosok kuning pun tidak
tinggal diam. Tampak jelas kalau dia telah siap menghadapi serangan lawan.
Tapi.... "Cukup!"
Seketika itu pula, seluruh otot sosok kuning dan
coklat yang telah menegang kaku mengendur kembali.
Mereka tidak berani membangkang cegahan itu karena tahu siapa pemiliknya. Ya!
Kidang Loka! Tanpa diberi perintah, sosok coklat dan kuning yang
ternyata dua orang pemuda berusia dua puluh tahunan itu menghampiri Kidang Loka.
Lalu, keduanya memberi hormat.
"Hhh...!"
Setelah menatap wajah murid-muridnya berganti-
ganti, Kidang Loka menghela napas berat. Sementara di sebelahnya, Ganda Kerta
berdiri diam dengan tangan kanan mengelus-elus jenggot.
"Sekali lagi perlu kutekankan. Kalian berdua adalah saudara seperguruan.
Pertarungan yang kuperintahkan tadi agar kalian tahu kemajuan masing-masing dan
tingkat yang dimiliki. Jadi bukan untuk saling bunuh! Ingat, kalian saudara
seperguruan yang seharusnya saling membantu.
Mengerti?"
"Mengerti, Guru, jawab pemuda berpakaian kuning dan coklat serempak sambil
menganggukkan kepala.
"Bagus! Aku gembira kalau kalian menyadari hal itu,"
ucap Kidang Loka gembira. "Nah! Denta! Apa yang bisa kau simpulkan dari
pertarungan tadi?"
Braja Denta, pemuda berpakaian coklat, mengangkat
kepalanya yang sejak tadi ditundukkan. Sorot matanya penuh dengan pertanyaan.
"Maafkan aku, Guru. Aku masih belum mengerti
maksudmu.... Maksudku..., aku belum mengerti hal yang harus kusimpulkan."
"Aku ingin
mendengar kesimpulanmu, mengenai
pertarunganmu dengan Salya," jelas Kidang Loka.
"Oh itu, Guru," Braja Denta mulai mengerti. "Salya lebih unggul dariku. Terutama
dalam hal tenaga dalam."
"Bagus kalau kau menyadarinya, Denta. Kau tahu
mengapa bisa demikian?" tanya Kidang Loka.
"Tahu, Guru," jawab Braja Denta mantap. "Karena Salya lebih rajin berlatih
dibandingkan aku."
"Nah! Itulah sebabnya. Salya lebih rajin berlatih. Dan sebagai imbalannya, dia
mampu mengunggulimu. Padahal dia terhitung adik seperguruanmu. Karena kau lebih
dulu menjadi muridku, di samping usiamu yang sedikit lebih tua darinya. Sebagai
kakak seperguruan, seharusnya kau
memiliki kemampuan di atasnya. Kau mengerti kekuranganmu, Denta"!"
"Mengerti,
Guru," jawab Braja Denta sambil menundukkan kepala.
Pemuda berpakaian coklat itu merasa malu mendapat
teguran. Itu berarti Kidang Loka menuduhnya telah bersikap lalai! Apalagi
teguran itu di ucapkan di depan Ganda Kerta.
Meskipun Ganda Kerta bersikap tidak peduli, tapi Braja Denta
tahu kalau kakek berjenggot kuning itu mendengarkan. Dan seiring dengan timbulnya rasa malu, menyeruak
pula perasaan marah. Marah pada Salya yang telah
menyebabkannya mendapat malu. Kalau Salya bersikap
sedikit mengalah, tentu tidak akan terjadi hal memalukan seperti ini. Diam-diam
rimbul rasa dendam di hati Braja Denta pada adik seperguruannya.
Tidak ada seorang pun yang tahu perasaan yang
berkecamuk dalam dada Braja Denta. Sebab, pemuda
berpakaian coklat itu menundukkan kepala sehingga perubahan wajahnya tidak terlihat.
*** Sementara itu, Kidang Loka telah
mengalihkan perhatiannya pada Salya yang masih menundukkan kepala.
"Salya...," sapa kakek berpakaian putih itu. "Aku bangga terhadapmu. Jerih
payahmu tidak sia-sia. Kau telah mencapai tingkat yang lumayan. Bahkan, kau
telah mampu mengalahkan kakak seperguruanmu. Aku sungguh bangga, Salya."
"Ah! itu karena Kakang Braja Denta terlalu mengalah padaku, Guru. Kalau tidak,
mana mungkin aku bisa
mendesaknya"
Mengimbanginya saja aku tidak akan mampu," jawab Salya merendahkan diri. Tidak enak rasanya mendapat pujian gurunya
sedangkan Braja Denta menerima teguran.
Deggg! Bagian dalam dada Braja Denta terguncang keras
mendengar ucapan Salya. Rasa marah yang tengah melanda membuatnya menganggap
sikap rendah diri Salya sebagai sindiran! Salya, dirinya, guru, dan Ganda Kerta
tahu kalau Salya memang lebih
unggul. Lalu, mengapa pemuda
berpakaian kuning itu mengatakan kalau dirinya mengalah padanya" Ini berarti
Salya bermaksud mengejeknya! Hingga rasa dendam dan sakit hati yang timbul pun
mulai membesar. Harus dibalasnya penghinaan ini! Demikian
keputusan yang diambil Braja Denta.
Dan kebencian Braja Denta terhadap adik seperguruannya itu semakin memuncak, ketika mendengar sambutan Kidang Loka atas
ucapan Salya. "Tidak, Salya. Braja Denta tidak melakukan tindakan seperti yang kau katakan.
Kau tidak perlu menutup-nutupinya. Kau dan Braja Denta telah mendapatkan apa
yang kalian usahakan," jelas Kidang Loka.
Salya langsung terdiam. Pemuda itu tidak berkata
apa-apa lagi. Disadarinya kalau ucapan guru nya benar!
"Salya! Denta! Dengar baik-baik!" kata Kidang Loka lagi.
Kali ini ucapan itu ditujukan pada kedua muridnya.
Mau tidak mau panggilan
itu membuat Braja Denta
mengangkat wajah. Untung pemuda berpakaian coklat itu telah berhasil menekan
perasaannya. Sehingga tidak nampak ada gambaran perasaan apa pun pada wajahnya.
' Perlu kalian ketahui..., waktu sepuluh tahun yang
kujanjikan telah kupenuhi. Berarti telah tiba saatnya bagi kita untuk berpisah.
Kalian harus meninggalkan tempat ini."
Kidang Loka menghentikan ucapannya sejenak untuk
mengambil napas. Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh kedua
muridnya. "Guru...!"
Hampir bersamaan Salya dan Braja Denta berseru
kaget. Mereka tidak menyangka akan secepat ini berpisah.
Kidang Loka memberi isyarat pada kedua muridnya
untuk tenang. Terpaksa, meskipun berat, kedua orang muda itu menahan diri untuk
tidak berbicara lagi.
"Keputusan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi," potong kakek berpakaian putih itu
cepat sebelum Salya dan Braja Denta melanjutkan keberatannya. "Tapi sebelum
kalian pergi, ada sesuatu yang ingin kuberikan."
Salya dan Braja Denta saling pandang. Sementara
Ganda Kerta hanya mengangguk-anggukkan kepala seraya melanjutkan kegemarannya
mengelus-elus jenggot Sikapnya menunjukkan kalau dia telah mengetahui keputusan
yang akan diucapkan Kidang Loka.
Kidang Loka tersenyum lebar melihat kedua muridnya
berpandangan.
Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebelum sesuatu itu kuberikan pada kalian, perlu sedikit kujelaskan asal-
usulnya. Yang harus kalian ketahui, sesuatu
itu berupa benda yang kudapatkan dalam petualanganku mengarungi dunia persllatan."
Kembali kakek berpakaian putih itu menghenti-kan
ucapannya. Mungkin dia sengaja bertindak demikian agar murid-muridnya
dapat mencerna cerita yang akan dikemukakan Dan memang, begitu Kidang Loka selesai berbicara,baik Salya maupun Braja Denta langsung bisa menebak benda yang
dimaksudkan. Mereka memang telah
mengetahui kalau kakek berpakaian putih itu memiliki dua buah pusaka. Yang satu
berupa golok dan dinamakan Golok Api. Sedangkan yang lain berupa pedang, yaitu
Pedang Embun."Kira-kira lima belas tahun lalu, di dunia persilatan muncul
seorang tokoh sesat yang amat sakti! Dia berjuluk Raja Sihir Berhati Hitam.
Sesuai dengan julukannya, dia memang memiliki ilmu sihir yang luar biasa di
samping ilmu silat. Tak terhitung lagi orang yang tewas di tangannya, terutama
tokoh-tokoh aliran putih."
Sampai di sini, Kidang Loka menghentikan ucapannya
sejenak untuk mengambil napas. Ganda Kerta yang berdiri di sampingnya,
mengangguk-anggukkan kepala membenarkan
cerita kakek berpakaian putih itu.
"Merasa tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkannya, tokoh sesaat itu semakin menjadi-jadi dalam keangkaramurkaannya.
Tiga tokoh aliran putih tidak tinggal diam. Mereka mencari Raja Sihir Berhati
Hitam. Ketika bertemu, pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi."
Kidang Loka menghentikan ceritanya sejenak. Ditelannya air liur untuk memulihkan suaranya yang
menjadi serak. Tampak jelas kalau cerita itu penyebabnya.
Hingga Salya dan Braja Denta menjadi heran. Tapi meskipun demikian, mereka tidak
memotong cerita itu. Dengan sabar ditunggunya hingga kakek berpakaian putih itu
melanjutkan ceritanya kembali.
' Ternyata Raja Sihir Berhati Hitam memang amat
tangguh. Tiga tokoh golongan putih itu menghadapi perlawanan yang amat sengit. Ratusan
jurus mereka bertarung. Baru ketika pertarungan melewati tiga ratus jurus, datuk sesat itu
dapat ditewaskan. Itu pun harus ditebus dengan mahal. Dua dari tiga tokoh
golongan putih itu tewas."
"Hah.."!"
Hampir berbarengan seruan kaget itu keluar dari
mulut Salya dan Braja Denta. Kini mereka mengerti, mengapa Kidang Loka tampak
begitu terpengaruh dengan ceritanya.
Kedua pemuda itu menduga kalau guru mereka termasuk
salah satu di antara tiga tokoh golongan putih itu. Tapi sebagai pendengar yang
baik Salya maupun Braja Denta tidak langsung mengajukan dugaan itu. Mereka
berdiam diri menunggu kelanjutan cerita Kidang Loka.
"Sebelum tewas dua tokoh golongan putih itu sempat meninggalkan amanat pada
rekannya yang masih hidup.
Dengan sangat kedua tokoh itu meminta agar rekan mereka bersedia memelihara dan
mendidik anak mereka. Tokoh yang masih
hidup itu bersedia memenuhi permintaan
itu. Keturunan dua rekannya yang saat itu masih berusia empat tahun dipelihara dan
dididiknya."
Seketika itu pula Salya dan Braja Denta saling
bertukar pandang. Sebuah dugaan kembali muncul di benak mereka. Dugaan tentang
siapa sebenarnya keturunan tokoh-tokoh golongan putih yang meninggal itu.
"Bagaimana" Apakah sudah ada kesimpulan yang
dapat kalian tarik dari ceritaku itu?" tanya Kidang Loka seraya menatap wajah
muridnya satu persatu.
Untuk kedua kalinya Salya dan Braja Denta bertukar
pandang sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Hanya ada dua kesimpulan yang kudapatkan, Guru,"
jawab Salya. "Hm...,"
Kidang Loka menggumam sambil mengangguk-anggukkan
kepala. "Kau bagaimana, Braja
Denta?" "Aku juga hanya dapat menarik dua kesimpulan,
Guru," sahut pemuda berpakaian coklat itu.
"Katakanlah, Braja Denta. Aku ingin tahu kesimpulan yang kau dapatkan dari
ceritaku tadi."
Braja Denta tercenung sejenak. Agaknya, pemuda itu
tengah memikirkan kata-kata yang tepat untuk menyatakan kesimpulannya.
"Pertama, tiga tokoh golongan putih yang Guru
maksudkan adalah Guru sendiri bersama dua orang kawan, Guru." "Hm.". Lalu..."!"
desak Kidang Loka setelah mengernyitkan kening sesaat.
"Kedua, dua orang anak dari kawan-kawan Guru itu adalah aku dan Salya," sambung
Braja Denta. Kidang Loka mengangguk-anggukkan
kepala. Kemudian perhatiannya dialihkannya pada Salya.
"Bagaimana denganmu, Salya?"
"Kesimpulan yang kudapat sama dengan kesimpulan, Kang Braja Denta, Guru," jawab
pemuda berpakaian kuning itu pelan.
Kembali Kidang Loka mengangguk-angguk. Entah
sudah berapa kali kakek berpakaian putih itu berlaku seperti itu.
Sepertinya, mengangguk-angguk
merupakan kebiasaannya. "Kesimpulan yang kalian dapatkan memang tidak
salah," ujar Kidang Loka.
"Kalau begitu..., boleh kami tahu nama atau julukan ayah kami, Guru"! Kalau bisa
juga dengan kuburannya.
Kami..., ingin berziarah ke makam mereka," pinta Braja Denta.
' Tentu saja, Denta. Tanpa kau minta pun aku akan
menceritakan segalanya tentang, ayah kalian. Itu sudah merupakan hak kalian
berdua," ujar Kidang Loka pelan.
"Maafkan aku, Guru. Aku telah bersikap terlalu
lancang terhadapmu."
"Lupakan, Denta. Aku bisa memakluminya," sahut Kidang Loka bijaksana. "Sekarang
kalian dengar baik-baik.
Kedua kawanku itu. Ayah-ayah kalian adalah tokoh sakti dan terkenal di dunia
persilatan. Tentu sudah pasti mereka memiliki julukan. Yang pertama berjuluk
Raja Pedang. Sedangkan yang satu lagi berjuluk Dewa Tangan Sakti. Orang yang kusebutkan
pertama kali adalah ayahmu, Denta."
"Jadi... ayahku berjuluk Dewa Tangan Sakti, Guru"!"
tanya Salya meminta kepastian.
"Benar, Salya," Kidang Loka menganggukkan kepala.
"Mereka dikuburkan di tempat yang terpisah. Ini atas permintaan mereka sendiri.
Masing-m-sing ingin dikubu rkan di sebelah makam istri mereka, yaitu ibu-ibu
kalian." Salya dan Braja Denta kembali saling pandang.
Sungguh tidak disangka mereka sama-sama yatim
piatu. "Makam orangtuamu di Desa Alas Ngampar, Denta.
Sedangkan makam orangtua Salya di Desa Randu. Tanyalah pada penduduk di sana.
Mereka pasti tahu," jelas Kidang Loka. "Akan kami lakukan, Guru," jawab Salya
dan Braja Denta bersamaan.
Kidang Loka mengangguk-angguk. Kemudian, kakek
itu berdiam diri. Demikian pula Salya dan Braja Denta.
Kedua pemuda itu larut dalam alun pikiran masing-masing.
Suasana di tempat itu pun menjadi hening.
Tapi keheningan itu tidak berlangsung lama.
"Ah. Rupanya ada hal yang terlewatkan, yaitu
mengenai sesuatu yang ingin kuberikan pada kalian. Benda itu berupa senjata
pusaka, yang terdiri dari pedang dan golok! Yang pertama bernama Pedang Embun.
Sedangkan yang lain Golok Api. Inilah kedua pusaka itu!"
Hampir bersamaan Salya dan Braja Denta memandang. Mereka pun melihatnya. Entah dari mana
mengambilnya, tahu-tahu di kedua tangan kakek berpakaian putih itu tergenggam
sebatang golok dan pedang.
"Pusaka ini akan kuwariskan pada kalian berdua.
Masing-masing senjata pusaka ini mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Aku
harap kalian puas dengan keputusan yang akan kuambil nanti. Jelas"!"
"Jelas, Guru," jawab Salya dan Braja Denta sambil menganggukkan kepala.
"Bagus! Nah, sekarang akan kuberikan pusaka-
pusaka ini pada kalian. Tapi, sebelum itu akan kuceritakan sedikit mengenai
keistimewaan masing-masing senjata. Apa kalian mau mendengarkannya"!"
"Mau, Guru," jawab Salya dan Braja Denta serempak.
"Kalau begitu, dengarkan baik-baik."
Tanpa diminta dua kali, Salya dan Braja Denta
langsung memusatkan perhatian pada cerita yang akan
dlkemukakan Kidang Loka.
2 "Golok ini memiliki banyak keistimewaan," ucap Kidang Loka memulai ceritanya,
sambil mengangkat ke atas tangan kirinya yang menggenggam senjata itu. "Senjata
ini sangat berbahaya bila berada di tangan seorang tokoh sesat.
Sebab, golok ini memiliki kemampuan dahsyat. Di samping memang dirancang untuk
menimbulkan keonaran."
Kidang Loka menghentikan ceritanya sejenak untuk
mengambil napas.
"Golok ini dinamakan Golok Api karena memang
mampu mengeluarkan api. Tentu saja bila orang yang
menggunakannya memiliki tenaga dalam yang mengandung hawa panas, dan cukup
tinggi tingkatannya. Sebagai senjata pusaka, tentu Golok Api terbuat dari bahan-
bahan yang amat kuat. Jarang ada senjata yang tidak putus bila berbenturan
dengannya. Yang lebih mengerikan, Golok Api ini seperti mampu
mengisap darah. Maksudku, bila golok ini ditusukkan pada tubuh seseorang dan didiamkan beberapa saat lamanya, maka orang
itu akan mati kehabisan darah!"
"Ck ck ck...!"
Tanpa sadar, Salya dan Braja Denta berdecak kagum
mendengar penuturan Kidang Loka tentang kedahsyatan
Golok Api. Tentu saja Kidang Loka mengetahui, tapi kakek itu mengacuhkannya.
Lalu tangan kirinya diturunkan. Kini tangan kanannya yang diangkat, untuk
mengunjukkan Pedang Embun. "Pedang Embun ini kalau dibandingkan dengan Golok Api seperti tidak mempunyai
kegunaan sama sekali. Karena senjata ini memang bukan dirancang untuk
penyerangan."
Sampai di sini kakek berpakaian putih itu menghentikan keterangannya. Dan seperti yang sudah
diduganya, baik Salya maupun Braja Denta kelihatan tidak begitu tertarik
mendengarnya. Tapi Kidang Loka bersikap seolah-olah tidak mengetahuinya. Dengan
nada suara sama keterangannya segera dilanjutkan.
"Walaupun demikian, pedang ini tetap merupakan
senjata ampuh! Hanya saja Pedang Embun tidak memiliki kemampuan mengerikan
seperti yang dimiliki Golok Api. Tapi meskipun demikian, bila berhadapan dengan
Pedang Embun, Golok Api akan kehilangan kemampuannya. Nah! Itulah keampuhan
kedua pusaka itu. Ada pertanyaan"!" tutur Kidang Loka menutup uraiannya.
Salya dan Braja Denta hampir bersamaan menggelengkan kepala.
"Kalau demikian sudah tiba saatnya bagiku untuk memberikan pusaka ini pada
kalian. Tapi, ada satu hal yang perlu kalian camkan! Aku tidak ingin ada yang
merasa tidak puas bila pusaka-pusaka ini kubagikan! Untuk menentukan siapa yang
berhak memiliki pusaka-pusaka ini aku tidak bertindak
sembrono.
Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semuanya telah kuperhitungkan masak-masak. Dan aku yakin keputusan yang kuambil tidak salah! Kalian
mengerti"!"
"Mengerti, Guru," jawab Salya dan Braja Denta dengan suara bergetar karena
perasaan tegang.
"Bagus! Aku gembira kalian menyadari hal itu:
Sekarang, bersiaplah untuk menerima pusaka-pusaka ini."
Lagi-lagi Kidang Loka menghentikan
ucapannya. Ditatapnya wajah kedua muridnya berganti-ganti.
"Denta...!" panggil Kidang Loka dengan suara dan sikap penuh wibawa.
"Kemari...!"
"Baik, Guru," jawab Braja Denta seraya menghampiri Kidang Loka.
Pemuda berpakaian coklat itu merasakan jantungnya
berdetak kencang. Agaknya, Braja Denta dilanda perasaan tegang. Braja Denta
menginginkan Golok Api jatuh ke
tangannya. Kidang Loka tersenyum lebar. Kemudian, diangsurkannya Pedang Embun pada pemuda berpa kaian
coklat itu. "Kupercayakan Pedang Embun ini padamu, Denta.
Aku berharap kau menggunakannya untuk menegakkan
keadilan di dunia persilatan."
Deggg! Untuk kedua kalinya Braja Denta merasakan pukulan
keras di dalam dadanya. Rasa kecewa yang sangat mendera hati pemuda itu. Tapi,
dengan pandainya pemuda berpakaian coklat itu menyembunyikan
perasaannya. Bahkan, dia
menunjukkan seri gembira di wajahnya ketika mengangsurkan tangan untuk menerima pemberian itu.
' Terima kasih, Guru!"
Kidang Loka menganggukkan kepala seraya tersenyum. "Salya...!"
Tanpa menunggu diperintah
dua kali, pemuda
berpakaian kuning itu melangkah maju.
"Kupercayakan Golok Api ini padamu. Pesanku,
jangan sembarangan mempergunakan senjata ini, Tapi,
pergunakan hanya pada saat-saat kau memerlukannya. Kau mengerti?"
"Mengerti, Guru. Kuucapkan
terima kasih atas kepercayaan yang telah Guru limpahkan padaku," jawab Salya. Disambutnya uluran
tangan Kidang Loka yang
mengangsurkan Golok Api.
Kembali Kidang Loka mengangguk-anggukkan kepala.
"Nah! Sekarang kalian boleh melanjutkan latihan. Aku dan Ganda Kerta mempunyai
urusan lain yang perlu
dibicarakan. Kami pergi dulu."
"Baik, Guru," jawab Salya dan Braja Denta berbarengan seraya membungkuk memberi hormat
Tapi Kidang Loka dan Ganda Kerta tidak sempat
melihatnya. Kedua kakek itu telah membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan
tempat itu. Tak lama kemudian, tubuh mereka lenyap di balik gundukan batu besar.
Kini tinggal Salya dan Braja Denta di tempat itu.
*** "Pembagian ini tidak adil!" desis Braja Denta tidak puas. Sepasang matanya
menatap Salya penuh perasaan iri.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kang?" ucap Salya bingung.
"Tidak mengerti"!" sinis pertanyaan Braja Denta. "Kau jangan berpura-pura dungu,
Salya! Aku yakin kau tahu ketidakadilan tindakan guru!"
"Guru bertindak tidak adil"! Ah! Mengapa kau sampai hati dan melancarkan tuduhan
seperti itu, Kang"!" sergah Salya tidak senang mendengar ucapan Braja Denta.
"Aku yakin guru telah bertindak seadil-adilnya!"
"Tentu saja kau beranggapan demikian. Sebab kau selalu dibela guru!" tandas
Braja Denta dengan suara semakin meninggi karena terbakar emosi.
"Jaga mulutmu, Kang!" sentak Salya juga dengan nada tinggi. ' Tidak sepantasnya
kau melancarkan fitnah seperti itu!"
"Aku tidak memfitnah! Semua yang kukatakan ini
kenyataan. Ada buktinya!"
"Pembagian pusaka ini maksudmu"!"
"Ini baru salah satu bukti!" ujar Braja Denta keras.
Masih banyak hal lainnya yang menjadi bukti ketidakadilan.
guru!" "Bisa kau membuktikannya"!" tantang Salya.
"Mengapa tidak"!" timpal Braja Denta dengan cepat.
"Kau ingat ucapan guru kan ketika kita selesai bertarung tadi, hehhh"! Di depan
Ganda Kerta dia memuji-mujimu setinggi langit. Tapi terhadap-ku"! Aku malah
dibodoh-bodohi! Apa itu bukan bukti nyata kalau guru bertindak tidak adil?"
"Kau salah duga, Kang! Guru tidak bermaksud
demikian. Aku yakin betul mengenai hal itu. Apa yang dikatakannya memang tidak
salah! Aku malah berani
mengatakan kalau dia amat menyayangimu. Terbukti, beliau memberi nasihat padamu.
Dan...." "Omong kosong!" potong Braja Denta keras. "Kalau guru hendak memberi nasihat,
tidak sepatutnya dilakukan di depan Ganda Kerta. Lagi pula, ucapan yang
dikeluarkannya tidak patut dikatakan nasihat! Aku yakin guru memang sengaja
merendahkanku di depan Ganda Kerta. Aku tahu apa maksudnya!"
"Kakang! Hentikan fitnahan keji itu! Tak pantas tuduhan-tuduhan itu kau
alamatkan pada guru! Ingat! Dia yang mendidik dan membimbing kita.... Dan...!"
"Cukup, Salya! Aku tidak mau mendengar ucapan
seperti itu lagi! Aku hanya ingin mengatakan ketidakadilan tindakan guru! Aku
pun tahu, mengapa dia memuji-mujimu dan menjatuhkanku di depan Ganda Kerta! Aku
tahu itu memang disengaja! Dan, aku yakin kau juga mengetahuinya!"
"Kau boleh mengutarakan fitnah sesukamu, Kang.
Tapi, aku tidak mau mendengarnya!"
Setelah berkata begitu, Salya membalikkan tubuh dan
meninggalkan tempat itu dengan langkah-langkah lebar.
Pemuda berpakaian kuning itu sadar kalau Braja Denta saat itu tidak mungkin bisa
disadarkan, karena amarah yang masih marajelela dalam jiwanya. Maka, pemuda itu
pun memutuskan untuk meninggalkannya.
Tapi baru beberapa tindak kakinya melangkah....
"Salya! Berhenti!"
Salya tahu kalau kakak seperguruannya yang menyuruhnya berhenti. Tapi Salya menulikan telinga. Dan terus saja melangkahkan
kaki. "Keparat!"
maki Braja Denta geram, melihat panggilannya tidak dihiraukan. Lalu, kakinya dijejakkan.
Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas dan berputaran beberapa kali melewati kepala Salya. Dan....
Jliggg. Ringan laksana jatuhnya sehelai daun kering, Braja
Denta mendarat di tanah dalam jarak dua tombak di depan Salya.
"Apa maumu sebenarnya, Kang"!" tanya Salya seraya menghentikan langkah. Nada
suaranya menunjukkan kalau pemuda berpakaian kuning itu mulai kehilangan
kesabaran. "Tidak banyak! Aku hanya ingin mengungkapkan
ketidakadilan guru terhadap kita berdua. Titik!" tandas Braja Denta.
"Kalau aku tidak mau mendengarnya"!" tanya Salya, ingin tahu kelanjutan tindakan
Braja Denta. "Berarti dugaanku benar! Kau telah mengetahui
ketidakadilan guru, dan mencoba menutupinya dariku!"
Terdengar bunyi gemeretak dari mulut Salya mendengar alasan yang jelas dicari-cari itu.
"Sejak tadi pun aku sudah mendengarnya!" keras dan bergetar suara Salya.
Pertanda pemuda berpakaian kuning itu tengah dilanda amarah yang menggelegak.
' Tapi kau belum mendengar alasanku menguraikan
ketidakadilan guru. Atau... kau sengaja menginginkan
persoalan ini mengambang"!"
' Terserah!"
Usai berkata demikian, Salya melesat meninggalkan
tempat itu. Rupanya, pemuda berpakaian kuning itu sudah tidak ingin mendengarkan
ucapan Braja Denta.
"Keparat!"
Braja Denta hanya bisa memaki! Disadarinya kalau
tidak ada gunanya melakukan pengejaran. Salya akan terus menghindar. Akhirnya,
Braja Denta melesat ke arah yang ditempuh gurunya.
*** Braja Denta tidak membutuhkan waktu lama untuk
menemukan Kidang Loka dan Ganda Kerta berada. Pemuda itu tahu betul tempat yang
disukai gurunya untuk bercakap-cakap, di dekat air terjun. Maka, ke sanalah dia
menuju. Braja Denta tahu gurunya akan duduk di baru besar
yang menonjol di pinggir sungai, tak jauh dari jatuhnya air terjun. Dan Braja
Denta pun tahu ada celah di bawah baru besar itu. Yang lebih penting lagi, dia
tahu jalan menuju tempat itu tanpa diketahui gurunya. Rupanya, Braja Denta
bermaksud mencuri dengar pembicaraan Kidang Loka dan Ganda Kerta. Sebab, dia
mempunyai dugaan hal yang akan dibicarakan gurunya.
Braja Denta mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuhnya. Hasilnya memang tidak mengecewakan. Bentuk tubuh pemuda berpakaian
coklat itu lenyap. Yang terlihat hanya kelebatan bayangan coklat yang melesat
seperti melayang.
Tak lama kemudian, Braja Denta telah melihat Kidang
Loka dan Ganda Kerta tengah duduk bersisian sambil
menatap air terjun. Dengan mengendap-endap
dan mengambil jalan memutar, Braja Denta mendekati tempat mereka.
Rupanya nasib baik berpihak pada Braja Denta.
Pemuda itu berhasil tiba di tempat yang diinginkan tanpa diketahui Kidang Loka
dan Ganda Kerta. Meskipun demikian, pemuda berpakaian coklat itu tetap bertindak
hati-hati. Braja Denta tahu betapa tinggi kepandaian gurunya. Bahkan
Ganda Kerta pun bukan tokoh sembarangan.
Lagi-lagi keberuntungan menyertai Braja Denta. Di
saat dia memasang pendengarannya, terdengar Kidang Loka membicarakan hal yang
diduganya. "Sekarang, ada baiknya kita masuk ke
pokok pembicaraan. Bagaimana kabarnya Wardani" Apakah dia
sudah menentukan pilihannya" Maksudku, siapa di antara muridku yang akan
dipilihnya, Salya atau Braja Denta"!"
"He he he...!" Ganda Kerta terkekeh sambil mengelus-elus jenggot. "Wardani
menyerahkan seluruh keputusannya padaku. Terserah, katanya. Dijodohkan dengan
Salya atau Braja Denta dia bersedia. Sebab, mereka sama-sama gagah.
Wardani merasa sulit untuk menentukan pilihan."
"Ooo..., begitu"! Lalu... keputusanmu sendiri bagaimana, Kerta"!" tanya Kidang Loka setelah mengangguk-anggukkan kepala
sebentar. "Kuserahkan keputusanku padamu, Kidang Loka. Aku yakin kau lebih mengetahui mana
di antara mereka yang lebih cocok untuk putriku," jawab Ganda Kerta terlihat
pasrah. "Hehhh..."! Mengapa demikian, Kerta"! Apa tidak ingin mempunyai calon menantu
pilihanmu sendiri"!"
"Kuserahkan pilihanku itu padamu, Kidang Loka.
Siapa pun di antara mereka yang kau pilih, aku setuju. Aku yakin pilihanmu tidak
keliru!" "Hm...!"
Kidang Loka menggumam pelan sambil mengangguk-
anggukkan kepala. Kakek itu tidak segera memberikan
jawaban. Kelihatan jelas kalau dia tengah mempertimbangkannya. Sementara Kidang Loka dan Ganda Kerta tidak menduga bahwa
tepat di bawah mereka, Braja Denta tengah menanti jawaban gurunya dengan
perasaan tegang.
Memang beralasan kalau Braja Denta merasa tegang.
Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebab dirinya seperti juga Salya, menyenangi Wardani, putri Ganda Kerta! Telah
beberapa kali Wardani dibawa ke tempat ini oleh kakek berjenggot kuning itu.
"Hhh...!"
Kidang Loka menghembuskan napas sebelum menentukan pilihan. "Kalau
begitu, Wardani
kujodohkan dengan Salya. Dia lebih baik dibandingkan Braja Denta."
"Kalau itu pilihanmu, aku setuju saja. Jika demikian, besok aku akan pulang
untuk mempersiapkan segala
sesuatunya," ucap Ganda Kerta setelah tercenung sesaat.
"Aku pun akan memberitahukan hal ini pada Salya.
Agar dia mempersiapkan semua yang diperlukan," timpal Kidang Loka.
"Kalau begitu, kita cukupkan
pembicaraan ini. Bukankah begitu Kidang Loka"!"
Lalu, Ganda Kerta bangklt. Diikuti kemudian oleh
Kidang Loka. Dengan langkah perlahan, mereka meninggalkan tempat itu. Kedua kakek itu tidak mengetahui kalau tepat di bawah
mereka dan hanya terhalang sebuah batu,
Braja Denta tertegun. Kedua tangan pemuda berpakaian coklat itu mengepal keras penuh kekuatan. Braja Denta tengah menahan
luapan perasaan.
Dan memang demikian yang terjadi. Saat itu batin
Braja Denta tengah dilanda berbagai macam perasaan.
Kecewa, marah, terpukul, dan sedih bercampur jadi satu.
Semua itu menyebabkannya tertegun bingung. Tak tahu
harus berbuat apa!
Cukup lama juga Braja Denta berlaku seperti itu.
Rupanya batin pemuda berpakaian coklat itu terguncang hebat. Kekecewaan demi
kekecewaan yang bertubi-tubi
melanda, membuatnya tidak kuat bertahan. Mendadak....
"Oooh...!"
Sebuah keluh keputusasaan keluar dari mulut Braja
Denta. Sekujur tubuhnya mendadak lemas. Perlahan-lahan tubuh pemuda itu melorot
turun. Hingga akhirnya....
Brukkk! Braja Denta berdiri di atas pasir basah dengan kedua lututnya. Punggungnya
memang tegak, tapi kepalanya
tertunduk dan ditutupi dengan kedua tangan. Terlihat jelas kalau Braja Denta
tengah terpukul. Beberapa saat lamanya dia berlaku seperti itu, sebelum akhirnya
secara mendadak sekujur tubuhnya mengejang. Kedua tangannya terkepal erat penuh
kekuatan! "Ketidakadilan ini tidak bisa kubiarkan! Akan kuambil semua yang menjadi hakku.
Golok Api dan Wardani! Kalau perlu secara paksa! Ya, dengan kekerasan! Jika kau
menghalangiku pula, guru, aku tidak segan-segan membunuhmu! Haaattt...!"
Braja Denta mengakhiri tekadnya dengan teriakan
keras. Karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam, keadaan di sekitar
tempat itu pun tergetar hebat
Braja Denta tidak berhenti sampai di situ. Sambil
mengeluarkan teriakan menggeledek, kedua tangannya
didorongkan ke arah batu karang yang ada di dekatnya.
Wusss! Deru angin keras terdengar seiring dengan dorongan
kedua tangan Braja Denta. Dan...
Blarrr! Batu sebesar kerbau yang dijadikan sasaran pukulan
jarak jauh Braja Denta hancur berkeping-keping. Bunyi hiruk-pikuk mengiringi
berpentalannya pecahan batu-batu itu!
"Ha ha ha...!"
Bagai orang gila, Braja Denta tertawa tergelak.
Tampak gembira sekali. Kemudian masih dengan tawa yang belum putus, kedua
tangannya kembali dihentakkan. Kali ini ditujukan pada air terjun!
Wusss! Pyarrr! Kumpulan air yang tengah meluncur jatuh langsung
buyar! Bahkan luncuran air itu terhenti sesaat. Sungguh sangat kuat tenaga dalam
Braja Denta. Tapi itu belum membuat Braja Denta puas. Bagai
orang tidak waras, dia menyerang semua yang ada di situ.
Tidak hanya dengan pukulan jarak jauh. Tapi juga dengan hantaman tangan dan
kakinya. Akibatnya sungguh hebat! Semua benda yang berbenturan dengan kaki atau tangannya hancur berantakan. Tapi Braja Denta tidak mempedulikannya. Terus dicarinya sasaran
lainnya. Braja Denta terus mengamuk.
Bahkan ketika akhirnya dia bosan menggunakan tangan
kosong, dicabutnya senjata yang baru diterima dari gurunya, Pedang Embun!
Srattt! Sinar terang menyilaukan mata berpendaran ketika
pedang itu keluar dari sarungnya. Sejenak suasana di tempat itu sedikit terang.
Tapi Braja Denta tidak sempat memperharikan
keanehan itu. Begitu pedang itu terhunus, langsung saja dipergunakan untuk
mengamuk! Dan akibatnya memang
dahsyat! Semua benda yang dihantam Pedang Embun
langsung putus!
Rupanya, Braja Denta bosan juga berlaku seperti itu.
Sesaat kemudian, Pedang Embun kembali dimasukkan ke
sarungnya. Kemudian, pemuda itu melesat meninggalkan tempat itu sambil tertawa-
tawa. Untung, saat itu Kidang Loka
dan Ganda Kerta telah berada amat jauh dari tempat itu sehingga tidak mendengar
keributan yang ditimbulkan Braja Denta.
Wusss! Deru angin keras terdengar, seiring dengan dorongan
dari kedua telapak tangan Braja
Denta. Dan.... Blarrr! Batu sebesar ukuran kerbau hancur berkeping-
keping, akibat amukan Braja Denta yang tidak mempedulikan keadaan sekitarnya. Pemuda itu benar-benar seperti orang gila!
3 Kekecewaan demi kekecewaan yang datang bertubi-
tubi membuat Braja Denta terpukul. Begitu puas termenung dan tertawa-tawa,
pemuda itu terdiam. Tarikan wajah dan sorot matanya berubah dingin. Tak nampak
ada gambaran perasaan apa pun pada wajahnya. Dalam keadaan seperti itu, Braja
Denta meninggalkan tempat gurunya. Yang ada di benaknya hanya satu, mengunjungi
makam orangtuanya!
Braja Denta melakukan perjalanan dengan cepat.
Dengan ilmu meringankan tubuhnya, bukan hal yang sulit baginya. Di sepanjang
perjalanan pemuda itu bertanya pada orang-orang yang ditemuinya, arah mana yang
harus ditempuh untuk menuju Desa Alas Ngampar. Braja Denta memang tidak mengetahui
letak desa itu.
Beberapa hari kemudian, pemuda itu sudah memasuki Desa Alas Ngampar. Tanpa membuang waktu lagi, Braja Denta segera
mencari tempat pemakaman di desa itu.
Setelah sebelumnya bertanya pada salah seorang penduduk desa. Maka, tanpa
mengalami kesulitan Braja Denta berhasil menemukannya.
Tempat pemakaman itu terletak di pinggir desa.
Bahkan hampir berada di daerah perbatasan dengan desa lain. Braja Denta
menghentikan langkahnya di luar wilayah pemakaman.
"Hhh...!"
Pemuda berpakaian coklat itu menghembuskan napas
berat. Ditatapnya hamparan gundukan tanah di depannya.
Dengan sepasang matanya, dicarinya letak makam ibu dan ayahnya di antara sekian
banyak makam yang bertebaran.
Dari salah seorang penduduk diketahui kalau makam
orangtuanya terletak di dekat pohon kamboja.
Tanda-tanda itu amat membantu Braja Denta. Tak
heran bila dalam sekejap pemuda berpakaian coklat itu dapat menemukan tempat
orangtuanya dimakamkan. Sebab, pohon kamboja di tempat itu hanya ada satu. Lalu,
Braja Denta mengayunkan kaki memasuki wilayah pemakaman itu.
Tapi baru selangkah kakinya diayunkan, tiba-tiba
pemuda itu menghentikan langkahnya. Dia mendengar suara orang bercakap-cakap.
Dan ketika kepalanya ditolehkan, tampak dua sosok tubuh tengah berjalan ke
arahnya. Kalau saja keadaan kedua sosok itu tidak terlalu
menyolok, mungkin Braja Denta tidak akan mempedulikan.
Tapi, ciri-ciri kedua sosok itu terlalu menyolok. Hingga Braja Denta
jadi mengurungkan maksudnya semula. Pandangannya ditujukan ke arah dua sosok tubuh yang
semakin dekat dengannya.
Tidak aneh bila Braja Denta sampai meluangkan
waktu untuk melihat kedua orang itu. Betapa tidak" Yang satu seorang gadis
berpakaian putih dengan wajah cantik jelita laksana bidadari. Rambutnya yang
panjang dan hitam dibiarkan terurai, hingga menambah kecantikannya. Sudah dapat
dipastikan tak akan ada seorang lelaki pun yang membiarkan pemandangan indah ini
lewat begitu saja!
Sosok kedua mempunyai ciri-ciri yang tidak kalah
menyoloknya. Sosok itu seorang pemuda tampan dan jantan.
Tubuhnya yang kekar dibungkus pakaian warna ungu. Dari keadaan tubuhnya
diperkirakan usianya tak lebih dari dua puluh satu tahun. Tapi anehnya, rambut
yang panjang hingga sebagian menutupi guci perak yang tergantung di punggung tidak berwarna
hitam seperti layaknya rambut orang muda. Rambut itu putih keperakan! Memang
kelihatan indah tapi aneh!
Sepasang muda-mudi berwajah elok itu agaknya tahu
ada orang yang tengah memperhatikan mereka. Sebab, Braja Denta
melakukannya dengan sangat menyolok. Tapi keduanya mampu menahan diri dan bersikap tidak peduli.
Kedua kaki mereka terus saja melangkah. Tak lama
kemudian, sepasang muda-mudi itu melewati tempat Braja Denta. Dan
meninggalkannya, semakin lama semakin jauh.
Saat itu, barulah Braja Denta melanjutkan mak-
sudnya yang tadi tertunda. Langkahnya diayunkan memasuki wilayah pemakaman. Braja Denta tidak tahu kalau sepasang muda-mudi itu
sempat melihat tindakannya
sebelumnya membelok ke ujung jalan.
"Apa kau lihat orang yang berada di depan pe-
makaman tadi, Kang?" tanya gadis cantik itu pada pemuda tampan yang berjalan di
sebelahnya. "Ya. Lalu kenapa, Melati?" pemuda itu balas bertanya.
"Tidak apa-apa, Kang. Hanya..., eh! Apa kau tidak tahu dia memperhatikan kita?"
tanya gadis cantik itu yang ternyata bernama Melati.
Dengan demikian, sudah dapat diterka siapa pemuda
tampan itu. Ya! Siapa lagi kalau bukan Arya yang berjuluk Dewa Arak!
' Tentu saja tahu, Melati. Tapi apa salahnya" Dia tidak berbuat sesuatu yang
merugikan kita. Lain masalahnya jika dia melakukan tindakan yang tidak kita
inginkan!" urai Arya.
Melati terdiam. Disadarinya ada kebenaran yang tidak bisa
dibantah dalam ucapan pemuda itu. Mereka meneruskan perjalanan tanpa berbincang-bancang lagi.
Hingga keheningan pun menyelimuti keduanya.
*** Sementara itu Braja Denta telah berhasii menemukan
makam kedua orangtuanya. Berbeda dengan sebagian besar makam yang ada di situ,
ma kam ayah dan ibunya terawat baik. Bahkan nisannya masih ada. Demikian pula
dengan namanya.
Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua itu dilakukan oleh penduduk Desa Alas
Ngampar. Secara bergilir mereka merawat makam-makam
itu. Sebab, mereka merasa berhutang budi pada Raja Pedang.
Berkat Raja Pedanglah Desa Alas Ngampar a man. Tidak ada seorang pun yang berani
mengganggu desa itu sejak Raja Pedang tinggal di situ. Raja Pedang selalu
melenyapkan orang-orang yang hendak menimbulkan keributan di Desa Alas Ngampar.
Itu sebabnya, mereka merasa kehilangan sekali ketika Raja Pedang tewas. Sebagai
balas jasa atas tindakan-tindakannya dulu, para penduduk bersepakat untuk
merawat makamnya dan makam ist rinya.
"A...Ayah... Ibu...," ujar Braja Denta dengan terbata-bata dan bergetar.
Dengan agak bergegas, pemuda berpakaian coklat itu
itu menjatuhkan diri bersimpuh di makam orangtuanya.
"Ayah...!"
kembali Braja Denta menggumamkan panggilan itu. "Kalau saja kau masih hidup, mungkin aku tidak akan mengalami hal
seperti ini. Kawanmu telah
bertindak tidak adil, Ayah. Dia terlalu membela Salya, putra kawan Ayah yang
lain. Aku sakit hati, Ayah. Sakit...!"
Braja Denta menelungkupkan wajahnya di gundukan
makam Raja Pedang. Kedua bahunya berguncang-guncang.
Tapi tidak terdengar isak tangls keluar dari mulutnya. Braja Denta memang tidak
menangis. Pantang baginya meneteskan air mata.
Braja Denta hanya membutuhkan tempat untuk
menumpahkan ganjalan di hatinya. Dengan mengutarakan hal-hal yang menekan
hatinya dadanya menjadi terasa
lapang. Braja Denta membutuhkan tempat untuk berbagi rasa.
"Aku tidak rela disakiti, Ayah. Aku tidak rela dihina!
Akan kubalas sakit hati ini, Ayah!" sambung Braja Denta lagi.
Kemudian diam dan tidak berkata-kata lagi.
Rupanya Braja Denta telah merasa cukup puas
mengeluarkan ganjalan hatinya. Namun, meskipun begitu dia tidak
bangkit. Pemuda berpakaian coklat itu tetap merebahkan tubuhnya dengan
berbantalkan gundukan makam ayahnya. Perasaan hati yang telah agak tenang dan suasana di
bawah pohon yang cukup sejuk membuat Braja Denta
mengantuk. Beberapa hari ini dia memang kurang tidur.
Ditambah dengan kelelahan yang mendera karena terlalu memaksakan diri dalam
melakukan perjalanan. Lebih-lebih lagi pemuda berpakaian coklat itu berbaring.
Maka, tak heran jika akhirnya dia tertidur!
Perlahah-lahan kedudukan matahari pun bergeser.
Semakin lama semakin dekat pada tempat terbenamnya. Dan Braja Denta tetap lelap
dalam tidurnya. Pemuda itu tidak terbangun sampai sang Surya tenggelam di ufuk
barat, meninggalkan bias-bias kemerahan di kaki langit.
Braja Denta baru terjaga dari tidurnya ketika sang
Dewi Malam telah menampakkan diri. Tapi walaupun begitu, pemuda berpakaian
coklat itu tetap bersikap tenang. Pemuda itu
tidak merasa takut meskipun berada di tengah pemakaman di malam hari.
"Uuuh...!"
Sambil membuka mulutnya lebar-lebar, Braja Denta
menggeliatkan tubuhnya. Terasa nikmat sekali melakukan gerakan itu. Setelah itu
Braja Denta bangkit berdiri.
Mendadak.... Wusss! Angin berhawa dingin berhembus keras. Berbeda
dengan tiupan sebelumnya. Braja Denta pun merasakannya.
Bulu kuduknya mendadak berdiri!
Dengan sedikit takut, Braja Denta mengedarkan
pandangan berkeliling. Sekujur otot dan urat sarafnya menegang. Braja Denta
telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan. Tiba-tiba...
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa keras yang menggema di sekitar tempat
itu membuat Braja Denta terperanjat kaget. Nada tawa itu begitu aneh. Pelan,
berat dan bergaung seperti bukan keluar dari mulut manusia! Melainkan dari mulut
hantu penjaga kuburan!
Dugaan itu membuat bulu-bulu di tubuh Braja Denta
berdiri. Rasa takut mulai timbul di hatinya.
Tapi segera ditekannya perasaan itu. Apa yang harus
ditakuti" Diriku memiliki kepandaian. Hibur Bra ja Denta dalam hati.
"Siapa kau"!" bentak Braja Denta memberanikan diri.
Setelah mengedarkan pandangan berkeliling, dan tidak menemukan pemulik tawa aneh
itu. Memang harus diakui kalau arah tawa itu tidak bisa
dilacaknya. Tapi Braja Denta berani bertaruh asal suara itu amat dekat dengan
tempatnya! Anehnya, mengapa dia tidak melihatnya. Padahal, suasana di tempat itu
cukup terang oleh sinar dewi malam.
"Siapa kau"! Kalau berani, tunjukan dirimu!" tantang Braja Denta lagi seraya
mengedarkan pandangan berkeliling.
Angin malam kembali bertiup. Kali ini lebih kencang
dari sebelumnya. Bersamaan dengan tiupan angin, mendadak di hadapan Braja Denta hadir sesosok tubuh
tinggi besar! "Ah!"
Tanpa sadar Braja Denta mengeluarkan jerit kekagetan. Kakinya melangkah mundur. Kehadiran sosok tinggi besar itu terlalu
mendadak hingga mengejutkannya.
Tapi hanya sebentar Braja Denta larut dalam perasaan kaget.
Sesaat kemudian, pemuda itu mulai memperhatikan sosok tinggi besar di
hadapannya. Dan Braja Denta bergidik ngeri.
Dalam siraman sinar rembulan, terlihat jelas ciri-ciri sosok tinggi besar itu.
Sosok itu berpakaian serba hitam.
Kulit wajahnya gelap. Kumis dan jenggotnya panjang dan jarang-jarang. Namun yang
membuatnya ngeri adalah sorot mata sosok berpakaian hitam itu! Sorot matanya
tajam mencorong dan bersinar kehijauan. Mirip sorot mata harimau dalam gelap!
"Jangan takut, Anak Muda. Percayalah, aku tidak akan menyakitimu," ucap sosok
berpakaian hitam berusaha menenangkan hati Braja Denta.
Seperti juga tawanya, ucapan sosok berpakaian hitam
itu terdengar aneh. Pelan, berat, dan bergaung seolah berasal dari tempat yang
amat jauh. Seakan berasal dari dunia lain!
Tentu saja hal itu semakin menambah rasa takut Braja Denta. Apalagi, ketika
pemuda berpakaian coklat itu melihat bibir sosok itu tidak bergerak saat
berbicara! Dan perlahan-lahan rasa takut yang melanda hati
Braja Denta menghilang, ketika melihat sosok berpakaian hitam tidak melakukan
tindakan apa pun terhadapnya.
Sosok berpakaian hitam itu memang tidak bermaksud jahat.
Demikian pikir pemuda berpakaian coklat itu.
"Lalu..., apa maksud kedatanganmu kemari?" tanya Braja Denta. Suaranya masih
agak bergetar karena rasa takut yang melandanya belum sepenuhnya lenyap.
"Menolongmu, Braja Denta!" jawab sosok berpakaian hitam pelan.
"Kau..., siapa sebenarnya dirimu"! Dari mana kau tahu
namaku"!"
tanya Braja Denta tanpa mampu menyembunyikan rasa kagetnya.
"Ha ha ha...!" sosok berpakaian hitam tergelak.
"Ketahuilah, Braja Denta. Bukan hanya namamu yang aku tahu. Tapi juga ayahmu,
gurumu dan adik seperguruanmu.
Bahkan juga masalah yang kau hadapi saat ini. Aku tahu semuanya, Braja Denta!"
"Aku tidak percaya!" seru Braja Denta keras. "Kau bohong!"
"Ha ha ha...! Aku bohong, Denta"! Ha ha ha...!
Baiklah, agar kau percaya akan kubuktikan. Ayahmu
berjuluk Raja Pedang. Gurumu, Kidang Loka. Dan adik
seperguruanmu bernama Salya. Saat ini kau tengah dendam pada guru dan adik
seperguruanmu karena diperlakukan tidak adil! Memang kau benar, Denta. Kidang
Loka terlalu menganak emaskan Salya!"
"Hahhh..."!"
Braja Denta tersentak mendengar pernyataan sosok
berpakaian hitam. Betapa tidak" Semua yang dikatakannya benar. Tak ada satu pun
yang salah! Lalu, dari mana sosok berpakaian hitam itu mengetahuinya"
"Siapa kau" Mengapa kau mengetahui semua masalahku.,.?" tanya Braja Denta lagi penuh perasaan heran.
"Siapa adanya aku nanti kau pun akan tahu, Braja Denta, Yang terpenting kau
harus tahu bahwa aku datang kemari ingin menolongmu. Tanpa bantuanku, kau tidak
akan dapat membalas sakit hatimu. Jangankan menghadapi
gurumu, melawan Salya saja kau tak akan menang. Tapi bila kau mau kubantu semua
sakit hatimu akan terbalas. Bukan itu saja, semua yang kau inginkan akan
tercapai. Tak terkecuali Golok Api dan Wardani! Bagaimana, Denta"!"
Braja Denta tertegun. Pemuda itu bingung. Ka lau
menuruti perasaan hati, ingin rasanya diterima bantuan yang ditawarkan
sosok berpakaian
hitam. Tapi, bagaimana mungkin dia menerima bantuan orang yang sama sekali tidak dikenalnya"! Bahkan
tidak mau mengenalkan diri" Dan sosok berpakaian hitam agaknya tahu kalau Braja
Denta merasa bimbang.
"Coba bayangkan Denta. Kedudukanmu adalah kakak seperguruan,
tapi mengapa kau justru dianaktirikan. Wardani dijodohkan dengan Salya. Tidak hanya itu saja.
Golok Api pusaka yang amat dahsyat, diberikan pada adik seperguruanmu itu.
Sedangkan kau" Hanya sebuah pedang yang tidak berguna! Tidak mempunyai
kedahsyatan sama sekali!" bujuk sosok berpakaian hitam.
Dan bujukan itu termakan Braja Denta. Pemuda itu
mengangguk-agguk membenarkan ucapan sosok itu.
"Memang aku merasa sakit hati pada mereka. Baik pada guruku maupun adik
seperguruanku. Tapi apa dayaku"
Mereka memiliki kepandaian di atasku. Walaupun kau bantu, belum tentu aku
berhasil membalas sakit hati ini!" ucap Braja Denta. Ada nada keputusasaan dalam
suaranya. "Ha ha ha...!" sosok berpakaian hitam tertawa. "Kau meragukan kemampuanku,
Denta"! Ha ha ha...! Lucu! Kau tahu, jangankan Kidang Loka dan Salya. Tiga orang
semacam Kidang Loka pun jangan harap dapat mengalahkanku!" ujar sosok berpakaian
hitam menyombongkan diri.
"Apa semua yang kau katakan itu bisa dipercaya"!"
tanya Braja Denta ragu.
"Kau boleh membuktikannya, Denta!" tanpa ragu-ragu sosok
berpakaian hitam mengajukan diri. ' Tapi aku mempunyai satu syarat!"
Sepasang alis Braja Denta langsung berkerut. Perasaan curiganya pun timbul.
"Rupanya kau hendak menipuku, hehhh"! Jangan
harap aku bisa kau tipu!"
"Kau terlalu curiga, Denta! Tapi kalau kau memang tidak mau kubantu tidak apa!
Aku tidak merasa rugi! Kau boleh mati sengsara karena memendam sakit hati,
Denta! Dan Salya akan menari-nari penuh kegembiraan di atas mayatmu! Tak lama lagi dia
akan mendapat Wardani!"
Setelah berkata demikian, sosok berpakaian hitam
membalikkan tubuh. Melihat tindakannya, kelihatannya sosok berpakaian hitam
hendak meninggalkan tempat itu.
Tapi.... "Tunggu...!" cegah Braja Denta.
"Mengapa mencegahku"!
Bukankah kau ingin memendam sakit hatimu sampai mati"!"
ejek sosok berpakaian hitam tanpa membalikkan tubuh.
"Aku minta maaf atas kecurigaanku yang terlalu
berlebihan! Kumohon kau jangan pergi," pinta Braja Denta.
Semula Braja Denta memang merasa curiga pada
sosok berpakaian hitam. Tapi, ucapan terakhir sosok itu membuat
Braja
Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Denta mengambil keputusan untuk mengetahui lebih dulu syarat yang akan diajukan sosok berpakaian hitam. Siapa
tahu syarat itu tidak berat! Dan siapa tahu sosok berpakaian hitam tidak membual
tentang kepandaiannya.
"Jadi kau menerima pertolonganku"!" tanya sosok berpakaian hitam seraya
membalikkan tubuh.
"Benar," Braja Denta mengangguk. ' Tapi aku ingin mengetahui syaratnya lebih
dahulu. Bila persyaratan itu tidak berat dan aku mampu melakukannya, maka dengan
senang hati akan kuterima pertolonganmu."
"Percayalah padaku, Denta. Syarat itu sama sekali tidak berat. Bahkan amat
ringan," sosok berpakaian hitam berusaha meyakinkan Braja Denta.
"Bisa kau katakan sekarang?"
' Tentu saja, Denta!" mantap dan tegas kata-kata yang keluar dari mulut sosok
berpakaian hitam. "Syaratnya mudah saja. Jauhkan pedang itu dari tubuhmu,"
"Hahhh..."!"
Braja Denta terperanjat mendengar
syarat yang tidak disangka-sangka itu. Agak ragu-ragu dicabutnya pedang yang
tergantung di punggung. "Apakah yang kau maksudkan pedang ini"!"
"Benar," jawab sosok berpakaian hitam singkat seraya menganggukkan kepala.
' Tapi, kenapa"!" tanya Braja Denta heran.
Sekelebat menyelinap perasaan curiga di hati Braja
Denta. Pedang yang dimaksudkan sosok berpakaian hitam itu adalah pedang pusaka
warisan gurunya, Pedang Embun!
Jangan-jangan sosok berpakaian hitam sengaja merancang siasat itu untuk mencuri
pedang itu! "Buang jauh-jauh perasaan curigamu, Denta," ujar sosok berpakaian hitam melihat
Braja Denta tercenung. "Ada alasan kuat yang membuatku sulit untuk membantumu
jika pedang itu ada pada dirimu.'
"Bisa kau jelaskan alasannya"!" tanya Braja Denta hati-hati, tidak sembarangan
menuduh seperti sebelumnya.
Sosok berpakaian hitam tidak segera memberikan
jawaban. Sosok itu tercenung sejenak seperti tengah
mempertimbangkan
pantas atau tidak pertanyaan
itu dijawabnya. "Ceritanya cukup panjang, Denta. Aku tidak yakin kau mau mendengarkannya," ujar
sosok berpakaian hitam.
' Tidak apa. Aku bersedia mendengarkan. Aku sedang
tidak terburu-buru. Ceritakan saja, agar semua menjadi jelas dan tidak ada
keraguan padaku terhadap maksud baikmu,"
timpal Braja Denta.
"Hhh...! Baiklah, kalau memang itu yang kau
inginkan," ujar sosok berpakaian hitam mengalah. Ada rasa enggan dan berat hati
pada ucapan sosok itu. untuk
menyebutkan alasannya. "Kini dengarkanlah baik-baik ceritaku ini."
4 "Puluhan tahun yang lalu aku adalah seorang tokoh yang amat ditakuti. Sebab,
kepandaian yang kumiliki sangat tinggi. Belum pernah sekali pun aku menderita
kekalahan. Padahal telah ratusan kali aku terlibat pertarungan," sosok berpakaian
hitam memulai ceritanya. "Kenyataan
itu membuat musuh-musuhku merencanakan siasat untuk
melenyapkan aku."
Sosok berpakaian hitam menghentikan ceritanya
sejenak. Secara sambil lalu, ditatapnya wajah Braja Denta.
Ingin diketahuinya tanggapan pemuda berpakaian coklat itu.
Tapi Braja Denta diam saja. Meskipun tarikan wajah dan sorot
matanya menunjukkan kalau pemuda itu mendengarkan ceritanya dengan penuh minat.
"Siasat licik mereka berhasil. Aku dapat mereka usir dari dunia ini. Tidak hanya
itu saja. Mereka menciptakan sebuah pedang yang membuatku sulit untuk kembali ke
dunia. Itulah pedang yang kumaksud," sosok berpakaian hitam mengakhiri kisahnya
dengan menunjuk Pedang Embun yang berada di tangan Braja Denta.
Braja Denta mengernyitkan
kening. Kisah yang diceritakan sosok berpakaian hitam sulit untuk diterima akal sehatnya. Banyak
hal yang masih belum dimengertinya.
"Bagaimana,
Denta" Apa kau sudah mengerti, mengapa aku menyuruhmu menjauhkan pedang itu dariku?"
tanya sosok berpakaian hitam, tak sabar melihat Braja Denta hanya tercenung.
"Hhh...!"
Hanya sedikit saja yang kumengerti. Ceritamu sulit dipahami. Aku hanya dapat menyimpulkan kalau kau takut pada
pedang ini. Bisa kau ceritakan lebih jelas lagi"!"
"Tidak, Denta. Aku sudah menceritakannya dengan terperinci agar kau dapat
mengerti. Rasanya memang, sulit untuk dimengerti. Tapi agar kau percaya dengan
kebenaran ceritaku, kau boleh menyerangku. Caranya terserah padamu, dengan
syarat kau jangan mendekatiku. Jarak terdekat antara kau dan aku sejauh dua
tombak. Bila kau memaksa lebih
dekat lagi, aku akan celaka. Pedang Embun menyebarkan hawa yang mampu membunuhku!" jelas sosok berpakaian hitam.
Melihat sikap dan nada bicara sosok berpakaian
hitam, mulai timbul rasa percaya di hari Braja Denta.
Pemuda berpakaian coklat itu melihat kesungguhan dalam ucapan dan sikap sosok
berpakaian hitam. Terlihat jelas betapa tokoh misterius itu amat takut pada
Pedang Embun! "Baik. Aku akan menyerangmu. Tapi ingat, kau yang mengajukan diri, bukan aku.
Jadi aku tidak mau disalahkan bila terjadi apa-apa atas dirimu!"
"Jangan khawatir, Denta. Aku tidak akan menyalahkanmu bila terjadi hal yang tidak diinginkan atas diriku. Percayalah.
Tidak akan terjadi hal-hal buruk padaku.
Mulailah, Denta. Aku telah siap. Ingat! Jangan ragu-ragu.
Keluarkan seluruh kemampuanmu!" ada nada keyakinan yang sangat dalam ucapan
sosok berpakaian hitam.
"Baik!"
Braja Denta segera menyilangkan kedua tangannya di
depan dada. Kemudian perlahan-lahan tapi penuh kekuatan, ditariknya kedua tangan
itu ke sisi pingang. Bunyi
berkerotokan keras seperti tulang-tulang patah terdengar ketika kedua tangan itu
bergerak menuju tempat yang dituju.
Lalu.... "Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, Braja Denta mendorong
kedua tangannya ke depan. Seketika itu pula meluncur serangkum angin berhawa
panas ke arah sosok berpakaian hitam. Tapi sosok berpakaian hitam kelihatan
tenang saja. Dia berdiri tegak di tempatnya. Diam. Tidak terlihat tanda-tanda sosok itu akan
menanggapi serangan itu. Baik dengan mengelak atau menangkis.
Dan ternyata tokoh misterius itu memang tidak
melakukan tindakan apa pun. Bahkan sampai pukulan jarak jauh Braja Denta
menghantamnya. Saat itulah terjadi
peristiwa aneh yang membuat sepasang mata murid Kidang Loka ini membelalak
lebar! Tubuh sosok berpakaian hitam tidak bergeming dari
tempatnya! Padahal, Braja Denta sangat yakin pukulan jarak jauhnya sudah
mengenai sasaran. Tapi mengapa tidak terjadi akibat apa pun" Mendadak...
Brakkk! Sebatang pohon besar yang berada tepat di belakang
sosok berpakaian hitam hancur berantakan mengeluarkan bunyi hiruk-pikuk! Apa
yang telah terjadi" Mengapa pohon itu hancur berantakan" Apakah terkena pukulan
jarak jauhnya" Kalau benar, mengapa sosok berpakaian hitam tidak mengalami kejadian
apa pun" Seharusnya, bila benar hancurnya pohon itu karena pukulan jarak jauh
Braja Denta, sebelum mengenai pohon itu, sosok berpakaian hitamlah yang terkena
lebih dulu! Karena tokoh misterius itu tepat berada di bawah pohon!
Kejadian aneh itu membuat Braja Denta kebingungan.
Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu tertegun, dengan benak dipenuhi bebagai
macam pertanyaan yang tidak
mampu dijawabnya.
"Ha ha ha...! Mengapa kau kelihatan bingung, Denta"!
Kalau ingin lebih jelas, seranglah aku dengan senjata rahasiamu.
Kidang Loka telah mengajarkan cara melemparkan pisau terbang yang baik padamu, kan"!" ujar sosok berpakaian hitam
penuh kemenangan.
Tanpa membantah sedikit pun, Braja Denta segera
melaksanakan usul sosok berpakaian hitam. Diambilnya beberapa batang pisau dari
buntalan yang selalu dibawanya.
Memang, satu-satunya cara untuk mengungkapkan keanehan tadi adalah dengan menglrimkan serangan senjata.
Kalau menggunakan senjata, dia bisa melihat apakah
serangan itu mengenai sasaran atau tidak!
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, Braja Denta mengibaskan
tangannya. Seketika itu pula tiga batang pisau terbang meluncur deras ke arah
sosok berpakaian hitam. Semua mengarah pada bagian-bagian yang berbahaya. Ulu
hati, tenggorokan, dan ubun-ubun. Ini menandakan kalau Braja Denta memang
memiliki keahlian melempar pisau terbang.
Untuk kedua kalinya terjadi peristiwa menakjubkan.
Tapi, kejadian kali ini justru berhasil menjawab semua pertanyaan yang
menggayuti benak Braja Denta. Tampak jelas ketiga pisau terbang itu mengenai
sasaran. Tapi tidak menancap ke sana, melainkan terus meluncur.
*** Cap, cap, cap! Lesatan pisau-pisau itu baru berhenti ketika menancap di sebuah pohon yang terletak di belakang pohon yang tadi hancur.
Kejadian ini telah membuat Braja Denta berhasil
menarik sebuah kesimpulan. Sosok berpakaian
hitam ternyata tidak berwujud manusia seperti dirinya. Sosok itu tak ubahnya bayangan.
Meskipun terlihat mata, tapi tidak bisa disentuh! Ataukah itu yang dinamakan
roh"! Tanya Braja Denta dalam hati.
Dan Braja Denta tidak bisa berlama-lama tenggelam
dalam alun pikirannya.
"Ha ha ha...! Bagaimana, Denta"! Apakah sekarang kau percaya kalau aku tidak
bisa dilukai"!" ucap sosok berpakaian hitam penuh kemenangan.
"Siapa kau sebenarnya" Manusia atau siluman"!"
tanya Braja Denta agak gugup.
Perasaan takut yang telah lenyap perlahan-lahan
timbul kembali.
"Hhh...!" Bukannya menjawab pertanyaan itu, sosok berpakaian hitam malah
menghela napas berat "Sebenarnya aku manusia, Denta. Manusia seperti kau. Dapat
merasakan sakit bila dipukul. Tapi sekarang tidak lagi! Dan penyebabnya seperti
yang telah kuceritakan padamu, berkat siasat musuh-musuhku! Sekarang aku hanya
berupa roh! Sehingga betapa pun saktinya aku, tanpa ada tempat berupa tubuh
manusia, aku tidak mempunyai kemampuan apa pun."
'Tapi... mengapa kau mengatakan mampu menolongku"!" tanya Braja Denta dengan alis berkernyit dalam.
Pemuda berpakaian
coklat itu kembali dilanda
kebingungan. Ucapan sosok berpakaian hitam ber-beda
dengan sebelumnya.
"Seperti telah kukatakan, kesaktianku baru akan timbul bila ada manusia yag
bersedia menjadi tempat bagi rohku! Kebetulan aku bertemu denganmu. Melihat kau
memendam rasa sakit hati, kuputuskan untuk memilihmu menjadi tempat rohku!
Dengan adanya rohku pada dirimu, kau bisa mendapatkan yang kau mau! Golok Api"!
Wardani"! Menguasai dunia persilatan"! Apa pun yang kau mau akan bisa didapatkan! Aku
seorang tokoh sakti pada puluhan tahun lalu! Bagaimana, Denta"!" jelas sosok
berpakaian hitam berusaha merayu.
Braja Denta tidak segera menjawab. Pemuda itu
Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tercenung. Sungguh tidak disangka kelanjutannya akan seperti ini. Sehingga kalau
semula dia sudah merasa mantap akan menerima tawaran sosok berpakaian hitam,
kini diputuskannya untuk mempertimbangkan
kembali. Bagaimana dia tidak bimbang" Ra ganya akan dipakai roh sosok berpakaian hitam!
Lalu, bagaimana dengan rohnya sendiri"
"Bagaimana, Denta?" tanya sosok berpakaian hitam tidak sabar. "Kau setuju dengan
usulku?" "Sebenarnya aku setuju. Tapi bila kau telah masuk ke dalam diriku, bagaimana
dengan rohku sendiri"!" Braja Denta memutuskan untuk berterus terang.
"Ha ha ha...! Jangan khawarir, Denta. Rohmu tetap ada di tubuhmu. Ragamu tetap
satu. Tapi roh yang
menempatinya ada dua. Rohmu dan rohku!" jelas sosok berpakaian hitam.
"Lalu..., siapa yang pegang peranan atas tubuhku"
Rohmu atau rohku"!" tanya Braja Denta lagi.
' Tentu saja rohmu, Denta! Sebab kau mempunyai
akal sehat. Pikiran. Dengan sendirinya, kau yang mengendalikan tubuhmu. Bukankah itu berarti rohmu yang menjadi penguasa atas
tubuhmu. Sedangkan aku hanya
membantu bila kau menghadapi lawan tangguh. Mengapa
kau menanyakan hal itu"!" sosok berpakaian hitam balas bertanya
setelah memberi penjelasan pada pemuda berpakaian coklat itu.
"Hanya ingjn tahu saja. Aku khawatir jika telah memasuki ragaku, kau akan
mengambil alih kepemimpinan.
Kemudian kau bebas memenuhi keinginanmu dengan
menggunakan ragaku. Sementara keinginanku tidak terpenuhi," jawab Braja Denta sejujurnya.
"Ha ha ha...! Rupanya itu yang membuatmu merasa bimbang, Denta"! Tidak usah
khawarir. Percayalah, aku berjanji akan membalaskan semua sakit hatimu, dan
mendapatkan semua yang kau inginkan!" janji sosok berpakaian hitam sungguh-
sungguh. "Apakah janjimu bisa dipercaya"!" Braja Denta
meminta kepastian.
"Mengapa kau masih meragukannya, Denta. Apa kau tidak membuktikan sendiri
kebenaran setiap ucapanku?"
sosok berpakaian hitam balas bertanya.
"Bukannya aku tidak percaya. Aku hanya... yahhh, khawatir saja. Dan...."
"Buang jauh-jauh perasaan khawatirmu itu," potong sosok berpakaian hitam tak
sabar. "Kau akan membuktikan sendiri kebenaran janjiku."
Braja Denta langsung terdiam.
"Bagaimana, Denta. Bisa kita mulai" Cepatlah! Sebab bila matahari telah terbit,
aku tidak akan bisa masuk ke dalam tubuhmu," terdengar jelas nada tidak sabar
dalam ucapan sosok berpakaian hitam itu.
"Baiklah, aku setuju," jawab Braja Denta tidak mempunyai pilihan lain.
"Kalau begitu, singkirkan Pedang Embun dari tubuhmu," ucap sosok berpakaian hitam cepat-cepat "Lemparkan jauh-jauh. Toh senjata itu tidak berguna sama sekali. Dibandingkan
Golok Api, dia tidak mempunyai
keistimewaan apa pun!"
Kali ini Braja Denta tidak membantah lagi. Meskipun
sebenarnya merasa sayang, dilemparkannya Pedang Embun itu. Nanti dia pun akan
mendapatkan gantinya. Sebuah pusaka yang jauh lebih ampuh, Golok Api!
"Ha ha ha...!"
Sosok berpakaian hitam tergelak melihat Pedang
Embun melayang-layang jauh. Perasaan gembira yang sangat terlihat jelas dalam
tarikan wajah dan sorot matanya.
"Bagus, bagus, Denta! Sekarang, kau bersiaplah...!"
Usai berkata demikian, tiba-tiba tubuh sosok berpakaian hitam lenyap. Dan berganti dengan seberkas sinar merah. Sinar itu
melesat masuk ke tubuh Braja Denta.
Seketika itu pula, tubuh Braja Denta yang semula
tenang menggeletar hebat. Rasa panas yang sangat merayapi sekujur tubuh pemuda
itu. Ditambah dengan rasa sakit yang tidak terperikan.
"Aaa...!"
Braja Denta melolong karena tak kuat menahan rasa
sakit dan panas yang mendera. Dalam cekaman penderitaan yang dialami, Braja
Denta mengguling-gulingkan tubuhnya ke sana kemari. Untung saja makam
orangtuanya terpisah agak jauh dengan makam lainnya. Hingga tidak satu pun makam
yang terlanda gulingan tubuhnya.
Karena tak kuat menahan rasa sakit yang mendera,
Braja Denta jatuh pingsan! Untuk kedua kalinya, tubuhnya tergolek lemas di
pemakaman itu. Kalau tadi karena tak kuat menahan
rasa kantuk, kini disebabkan tak mampu menanggung rasa sakit!
*** Entah berapa lama dirinya pingsan, Braja Denta tidak
tahu. Yang jelas, ketika terbangun
kegelapan masih menyelimuti tanah pemakaman itu. Hari masih malam!
Perlahan-lahan Braja Denta bangkit. Saat itu pula
rasa heran menggayuti hatinya. Tubuhnya terasa ringan sekali seperti melayang.
Tidak hanya itu. Di bawah pusarnya ada hawa hangat berputar.
Semua itu mengherankan Braja Denta. Dia jadi tidak
mengerti. Dicobanya untuk mengingat-ingat peristiwa yang dlalamlnya.
Braja Denta pun berhasil mengingatnya. Benarkah ini semua karena masuknya sosok berpakaian
hitam ke dalam dirinya"
"Benar, Denta. Semua keanehan yang kau rasakan
karena aku telah masuk ke dalam tubuhmu," terdengar jelas suara sosok berpakaian
Pendekar Misterius 6 Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara Tembang Tantangan 5
RAJA SIHIR BERHATI HITAM
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Ahmad Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Raja Sihir Berhati Hitam
128 haL ; 12 x 18 cm.
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 "Haaattt...!"
"Hiyaaa...!"
Teriakan-teriakan
keras menggelegar memecah kesunyian pagi di lereng Gunung Randu Alas. Beberapa burung yang bertengger di
sebuah cabang pohon di dekat tempat itu terkejut dan bergegas terbang menjauh.
Memang hebat bukan main akibat yang ditimbulkan
teriakan-teriakan itu. Sekitar tempat itu bergetar hebat.
Pertanda pemilik suara teriakan itu memiliki tenaga dalam tinggi!
Bunyi riuh-rendah itu ternyata berasal dari dua sosok tubuh tengah terlibat
pertarungan. Ciri-ciri mereka tidak tampak jelas. Sebab, keduanya sama-sama
bergerak cepat.
Yang terlihat hanya bayangan coklat dan kuning, yang tidak jelas bentuknya.
Namun yang pasti, kedua bayangan yang saling belit dan sesekali terpisah sesaat
itu mewakili sosok yang tengah bertarung.
Sungguh hebat pertarungan itu. Bunyi mendecit,
mengaung, dan menderu, menyemaraki suasana pertempuran. Suara-suara itu tcrdengar setiap kali sosok bayangan coklat dan
kuning mclancarkan serangan. Tanah pun terbongkar di sana-sini. Dan debu
mengepul tinggi ke udara. Sementara itu, tak jauh dari kancah pertarungan tampak
dua sosok tubuh berdiri tegak dengan pandangan tertuju ke arah pertempuran.
Keduanya telah berusia lanjut.
Yang seorang adalah kakek berpakaian putih dan berkepala botak. Tangan kanannya
menggenggam sebatang kipas.
Sesekali kipas yang terlipat itu dikembangkan, kemudian digunakan untuk
mengipasi wajahnya.
Sosok yang satunya lagi bertubuh kecil kurus dan
berpakaian biru. Jenggot panjang kekuningan menghias dagunya. Berkali-kali
tangan keriput itu mengusap-usap jenggotnya seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Semua itu dilakukannya tanpa melepaskan pandangan dari kancah
pertarungan. Terlihat jelas kalau kakek itu sedang dilanda rasa kagum. Itu
terbukti beberapa saat kemudian.
"Kau kini patut berbangga hati, Kidang Loka. Murid-muridmu ternyata tidak
mengecewakanmu. Tampaknya
mereka telah mewarisi seluruh kepandaianmu," ujar kakek berpakaian biru.
"He he he...!"
Kakek berpakaian putih yang dipanggil Kidang Loka
terkekeh. Kipasnya dikembangkan, dan dikebut-kebutkan ke wajah. "Kau terlalu
memuji, Kerta. Apa artinya kepandaian yang dimiliki mu rid-muridku, bila
dibandingkan dengan kemampuan murid-muridmu"!"
"He he he...!"
Kakek berjenggot kuning yang dipanggil Kerta dengan
nama sebenarnya Ganda Kerta itu tertawa pelan, tapi penuh kekuatan. Tawa itu
jelas mengandung tenaga dalam.
"Kau tidak berubah, Kidang Loka. Masih tetap rendah hati seperti dulu. Benarlah
kata pepatah, orang yang berilmu tak ubahnya padi... semakin berisi semakin
merunduk."
"He he he...! Kau bisa saja, Kerta," sambut Kidang Loka di tengah tawanya.
Ganda Kerta tidak memberikan sambutan. Hanya
tawa terkekeh yang dikeluarkannya. Hingga di tengah-tengah riuh-rendahnya
pertarungan, terdengar tawa-tawa lembut menyeruak. Tawa-tawa pelan yang penuh
getaran kuat. Tawa itu baru terhenti ketika dari kancah per-
tarungan terdengar teriakan-teriakan panjang. Itu terjadi ketika dua sosok
bayangan yang tengah bertempur sama-sama
melompat menerjang dengan kedua tangan dihentakkan! Akibatnya....
Blam! Bunyi keras seperti halilintar menyambar terdengar
ketika dua pasang tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi berbenturan. Sesaat
kemudian, tubuh dua sosok bayangan itu terjengkang ke belakang.
"Hup!"
Berbeda halnya dengan sosok kuning yang mampu
mendarat di tanah, sosok coklat terhuyung-huyung hampir jatuh. Untung, dia
segera dapat memperbaiki kedudukan.
Dari sini dapat diketahui kalau tenaga dalam sosok coklat berada di bawah lawan.
Tapi, sosok coklat tidak menjadi gentar. Begitu berhasil memperbaiki kedudukan,
secepat itu pula dia bersiap melancarkan serangan. Sosok kuning pun tidak
tinggal diam. Tampak jelas kalau dia telah siap menghadapi serangan lawan.
Tapi.... "Cukup!"
Seketika itu pula, seluruh otot sosok kuning dan
coklat yang telah menegang kaku mengendur kembali.
Mereka tidak berani membangkang cegahan itu karena tahu siapa pemiliknya. Ya!
Kidang Loka! Tanpa diberi perintah, sosok coklat dan kuning yang
ternyata dua orang pemuda berusia dua puluh tahunan itu menghampiri Kidang Loka.
Lalu, keduanya memberi hormat.
"Hhh...!"
Setelah menatap wajah murid-muridnya berganti-
ganti, Kidang Loka menghela napas berat. Sementara di sebelahnya, Ganda Kerta
berdiri diam dengan tangan kanan mengelus-elus jenggot.
"Sekali lagi perlu kutekankan. Kalian berdua adalah saudara seperguruan.
Pertarungan yang kuperintahkan tadi agar kalian tahu kemajuan masing-masing dan
tingkat yang dimiliki. Jadi bukan untuk saling bunuh! Ingat, kalian saudara
seperguruan yang seharusnya saling membantu.
Mengerti?"
"Mengerti, Guru, jawab pemuda berpakaian kuning dan coklat serempak sambil
menganggukkan kepala.
"Bagus! Aku gembira kalau kalian menyadari hal itu,"
ucap Kidang Loka gembira. "Nah! Denta! Apa yang bisa kau simpulkan dari
pertarungan tadi?"
Braja Denta, pemuda berpakaian coklat, mengangkat
kepalanya yang sejak tadi ditundukkan. Sorot matanya penuh dengan pertanyaan.
"Maafkan aku, Guru. Aku masih belum mengerti
maksudmu.... Maksudku..., aku belum mengerti hal yang harus kusimpulkan."
"Aku ingin
mendengar kesimpulanmu, mengenai
pertarunganmu dengan Salya," jelas Kidang Loka.
"Oh itu, Guru," Braja Denta mulai mengerti. "Salya lebih unggul dariku. Terutama
dalam hal tenaga dalam."
"Bagus kalau kau menyadarinya, Denta. Kau tahu
mengapa bisa demikian?" tanya Kidang Loka.
"Tahu, Guru," jawab Braja Denta mantap. "Karena Salya lebih rajin berlatih
dibandingkan aku."
"Nah! Itulah sebabnya. Salya lebih rajin berlatih. Dan sebagai imbalannya, dia
mampu mengunggulimu. Padahal dia terhitung adik seperguruanmu. Karena kau lebih
dulu menjadi muridku, di samping usiamu yang sedikit lebih tua darinya. Sebagai
kakak seperguruan, seharusnya kau
memiliki kemampuan di atasnya. Kau mengerti kekuranganmu, Denta"!"
"Mengerti,
Guru," jawab Braja Denta sambil menundukkan kepala.
Pemuda berpakaian coklat itu merasa malu mendapat
teguran. Itu berarti Kidang Loka menuduhnya telah bersikap lalai! Apalagi
teguran itu di ucapkan di depan Ganda Kerta.
Meskipun Ganda Kerta bersikap tidak peduli, tapi Braja Denta
tahu kalau kakek berjenggot kuning itu mendengarkan. Dan seiring dengan timbulnya rasa malu, menyeruak
pula perasaan marah. Marah pada Salya yang telah
menyebabkannya mendapat malu. Kalau Salya bersikap
sedikit mengalah, tentu tidak akan terjadi hal memalukan seperti ini. Diam-diam
rimbul rasa dendam di hati Braja Denta pada adik seperguruannya.
Tidak ada seorang pun yang tahu perasaan yang
berkecamuk dalam dada Braja Denta. Sebab, pemuda
berpakaian coklat itu menundukkan kepala sehingga perubahan wajahnya tidak terlihat.
*** Sementara itu, Kidang Loka telah
mengalihkan perhatiannya pada Salya yang masih menundukkan kepala.
"Salya...," sapa kakek berpakaian putih itu. "Aku bangga terhadapmu. Jerih
payahmu tidak sia-sia. Kau telah mencapai tingkat yang lumayan. Bahkan, kau
telah mampu mengalahkan kakak seperguruanmu. Aku sungguh bangga, Salya."
"Ah! itu karena Kakang Braja Denta terlalu mengalah padaku, Guru. Kalau tidak,
mana mungkin aku bisa
mendesaknya"
Mengimbanginya saja aku tidak akan mampu," jawab Salya merendahkan diri. Tidak enak rasanya mendapat pujian gurunya
sedangkan Braja Denta menerima teguran.
Deggg! Bagian dalam dada Braja Denta terguncang keras
mendengar ucapan Salya. Rasa marah yang tengah melanda membuatnya menganggap
sikap rendah diri Salya sebagai sindiran! Salya, dirinya, guru, dan Ganda Kerta
tahu kalau Salya memang lebih
unggul. Lalu, mengapa pemuda
berpakaian kuning itu mengatakan kalau dirinya mengalah padanya" Ini berarti
Salya bermaksud mengejeknya! Hingga rasa dendam dan sakit hati yang timbul pun
mulai membesar. Harus dibalasnya penghinaan ini! Demikian
keputusan yang diambil Braja Denta.
Dan kebencian Braja Denta terhadap adik seperguruannya itu semakin memuncak, ketika mendengar sambutan Kidang Loka atas
ucapan Salya. "Tidak, Salya. Braja Denta tidak melakukan tindakan seperti yang kau katakan.
Kau tidak perlu menutup-nutupinya. Kau dan Braja Denta telah mendapatkan apa
yang kalian usahakan," jelas Kidang Loka.
Salya langsung terdiam. Pemuda itu tidak berkata
apa-apa lagi. Disadarinya kalau ucapan guru nya benar!
"Salya! Denta! Dengar baik-baik!" kata Kidang Loka lagi.
Kali ini ucapan itu ditujukan pada kedua muridnya.
Mau tidak mau panggilan
itu membuat Braja Denta
mengangkat wajah. Untung pemuda berpakaian coklat itu telah berhasil menekan
perasaannya. Sehingga tidak nampak ada gambaran perasaan apa pun pada wajahnya.
' Perlu kalian ketahui..., waktu sepuluh tahun yang
kujanjikan telah kupenuhi. Berarti telah tiba saatnya bagi kita untuk berpisah.
Kalian harus meninggalkan tempat ini."
Kidang Loka menghentikan ucapannya sejenak untuk
mengambil napas. Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh kedua
muridnya. "Guru...!"
Hampir bersamaan Salya dan Braja Denta berseru
kaget. Mereka tidak menyangka akan secepat ini berpisah.
Kidang Loka memberi isyarat pada kedua muridnya
untuk tenang. Terpaksa, meskipun berat, kedua orang muda itu menahan diri untuk
tidak berbicara lagi.
"Keputusan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi," potong kakek berpakaian putih itu
cepat sebelum Salya dan Braja Denta melanjutkan keberatannya. "Tapi sebelum
kalian pergi, ada sesuatu yang ingin kuberikan."
Salya dan Braja Denta saling pandang. Sementara
Ganda Kerta hanya mengangguk-anggukkan kepala seraya melanjutkan kegemarannya
mengelus-elus jenggot Sikapnya menunjukkan kalau dia telah mengetahui keputusan
yang akan diucapkan Kidang Loka.
Kidang Loka tersenyum lebar melihat kedua muridnya
berpandangan.
Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebelum sesuatu itu kuberikan pada kalian, perlu sedikit kujelaskan asal-
usulnya. Yang harus kalian ketahui, sesuatu
itu berupa benda yang kudapatkan dalam petualanganku mengarungi dunia persllatan."
Kembali kakek berpakaian putih itu menghenti-kan
ucapannya. Mungkin dia sengaja bertindak demikian agar murid-muridnya
dapat mencerna cerita yang akan dikemukakan Dan memang, begitu Kidang Loka selesai berbicara,baik Salya maupun Braja Denta langsung bisa menebak benda yang
dimaksudkan. Mereka memang telah
mengetahui kalau kakek berpakaian putih itu memiliki dua buah pusaka. Yang satu
berupa golok dan dinamakan Golok Api. Sedangkan yang lain berupa pedang, yaitu
Pedang Embun."Kira-kira lima belas tahun lalu, di dunia persilatan muncul
seorang tokoh sesat yang amat sakti! Dia berjuluk Raja Sihir Berhati Hitam.
Sesuai dengan julukannya, dia memang memiliki ilmu sihir yang luar biasa di
samping ilmu silat. Tak terhitung lagi orang yang tewas di tangannya, terutama
tokoh-tokoh aliran putih."
Sampai di sini, Kidang Loka menghentikan ucapannya
sejenak untuk mengambil napas. Ganda Kerta yang berdiri di sampingnya,
mengangguk-anggukkan kepala membenarkan
cerita kakek berpakaian putih itu.
"Merasa tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkannya, tokoh sesaat itu semakin menjadi-jadi dalam keangkaramurkaannya.
Tiga tokoh aliran putih tidak tinggal diam. Mereka mencari Raja Sihir Berhati
Hitam. Ketika bertemu, pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi."
Kidang Loka menghentikan ceritanya sejenak. Ditelannya air liur untuk memulihkan suaranya yang
menjadi serak. Tampak jelas kalau cerita itu penyebabnya.
Hingga Salya dan Braja Denta menjadi heran. Tapi meskipun demikian, mereka tidak
memotong cerita itu. Dengan sabar ditunggunya hingga kakek berpakaian putih itu
melanjutkan ceritanya kembali.
' Ternyata Raja Sihir Berhati Hitam memang amat
tangguh. Tiga tokoh golongan putih itu menghadapi perlawanan yang amat sengit. Ratusan
jurus mereka bertarung. Baru ketika pertarungan melewati tiga ratus jurus, datuk sesat itu
dapat ditewaskan. Itu pun harus ditebus dengan mahal. Dua dari tiga tokoh
golongan putih itu tewas."
"Hah.."!"
Hampir berbarengan seruan kaget itu keluar dari
mulut Salya dan Braja Denta. Kini mereka mengerti, mengapa Kidang Loka tampak
begitu terpengaruh dengan ceritanya.
Kedua pemuda itu menduga kalau guru mereka termasuk
salah satu di antara tiga tokoh golongan putih itu. Tapi sebagai pendengar yang
baik Salya maupun Braja Denta tidak langsung mengajukan dugaan itu. Mereka
berdiam diri menunggu kelanjutan cerita Kidang Loka.
"Sebelum tewas dua tokoh golongan putih itu sempat meninggalkan amanat pada
rekannya yang masih hidup.
Dengan sangat kedua tokoh itu meminta agar rekan mereka bersedia memelihara dan
mendidik anak mereka. Tokoh yang masih
hidup itu bersedia memenuhi permintaan
itu. Keturunan dua rekannya yang saat itu masih berusia empat tahun dipelihara dan
dididiknya."
Seketika itu pula Salya dan Braja Denta saling
bertukar pandang. Sebuah dugaan kembali muncul di benak mereka. Dugaan tentang
siapa sebenarnya keturunan tokoh-tokoh golongan putih yang meninggal itu.
"Bagaimana" Apakah sudah ada kesimpulan yang
dapat kalian tarik dari ceritaku itu?" tanya Kidang Loka seraya menatap wajah
muridnya satu persatu.
Untuk kedua kalinya Salya dan Braja Denta bertukar
pandang sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Hanya ada dua kesimpulan yang kudapatkan, Guru,"
jawab Salya. "Hm...,"
Kidang Loka menggumam sambil mengangguk-anggukkan
kepala. "Kau bagaimana, Braja
Denta?" "Aku juga hanya dapat menarik dua kesimpulan,
Guru," sahut pemuda berpakaian coklat itu.
"Katakanlah, Braja Denta. Aku ingin tahu kesimpulan yang kau dapatkan dari
ceritaku tadi."
Braja Denta tercenung sejenak. Agaknya, pemuda itu
tengah memikirkan kata-kata yang tepat untuk menyatakan kesimpulannya.
"Pertama, tiga tokoh golongan putih yang Guru
maksudkan adalah Guru sendiri bersama dua orang kawan, Guru." "Hm.". Lalu..."!"
desak Kidang Loka setelah mengernyitkan kening sesaat.
"Kedua, dua orang anak dari kawan-kawan Guru itu adalah aku dan Salya," sambung
Braja Denta. Kidang Loka mengangguk-anggukkan
kepala. Kemudian perhatiannya dialihkannya pada Salya.
"Bagaimana denganmu, Salya?"
"Kesimpulan yang kudapat sama dengan kesimpulan, Kang Braja Denta, Guru," jawab
pemuda berpakaian kuning itu pelan.
Kembali Kidang Loka mengangguk-angguk. Entah
sudah berapa kali kakek berpakaian putih itu berlaku seperti itu.
Sepertinya, mengangguk-angguk
merupakan kebiasaannya. "Kesimpulan yang kalian dapatkan memang tidak
salah," ujar Kidang Loka.
"Kalau begitu..., boleh kami tahu nama atau julukan ayah kami, Guru"! Kalau bisa
juga dengan kuburannya.
Kami..., ingin berziarah ke makam mereka," pinta Braja Denta.
' Tentu saja, Denta. Tanpa kau minta pun aku akan
menceritakan segalanya tentang, ayah kalian. Itu sudah merupakan hak kalian
berdua," ujar Kidang Loka pelan.
"Maafkan aku, Guru. Aku telah bersikap terlalu
lancang terhadapmu."
"Lupakan, Denta. Aku bisa memakluminya," sahut Kidang Loka bijaksana. "Sekarang
kalian dengar baik-baik.
Kedua kawanku itu. Ayah-ayah kalian adalah tokoh sakti dan terkenal di dunia
persilatan. Tentu sudah pasti mereka memiliki julukan. Yang pertama berjuluk
Raja Pedang. Sedangkan yang satu lagi berjuluk Dewa Tangan Sakti. Orang yang kusebutkan
pertama kali adalah ayahmu, Denta."
"Jadi... ayahku berjuluk Dewa Tangan Sakti, Guru"!"
tanya Salya meminta kepastian.
"Benar, Salya," Kidang Loka menganggukkan kepala.
"Mereka dikuburkan di tempat yang terpisah. Ini atas permintaan mereka sendiri.
Masing-m-sing ingin dikubu rkan di sebelah makam istri mereka, yaitu ibu-ibu
kalian." Salya dan Braja Denta kembali saling pandang.
Sungguh tidak disangka mereka sama-sama yatim
piatu. "Makam orangtuamu di Desa Alas Ngampar, Denta.
Sedangkan makam orangtua Salya di Desa Randu. Tanyalah pada penduduk di sana.
Mereka pasti tahu," jelas Kidang Loka. "Akan kami lakukan, Guru," jawab Salya
dan Braja Denta bersamaan.
Kidang Loka mengangguk-angguk. Kemudian, kakek
itu berdiam diri. Demikian pula Salya dan Braja Denta.
Kedua pemuda itu larut dalam alun pikiran masing-masing.
Suasana di tempat itu pun menjadi hening.
Tapi keheningan itu tidak berlangsung lama.
"Ah. Rupanya ada hal yang terlewatkan, yaitu
mengenai sesuatu yang ingin kuberikan pada kalian. Benda itu berupa senjata
pusaka, yang terdiri dari pedang dan golok! Yang pertama bernama Pedang Embun.
Sedangkan yang lain Golok Api. Inilah kedua pusaka itu!"
Hampir bersamaan Salya dan Braja Denta memandang. Mereka pun melihatnya. Entah dari mana
mengambilnya, tahu-tahu di kedua tangan kakek berpakaian putih itu tergenggam
sebatang golok dan pedang.
"Pusaka ini akan kuwariskan pada kalian berdua.
Masing-masing senjata pusaka ini mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Aku
harap kalian puas dengan keputusan yang akan kuambil nanti. Jelas"!"
"Jelas, Guru," jawab Salya dan Braja Denta sambil menganggukkan kepala.
"Bagus! Nah, sekarang akan kuberikan pusaka-
pusaka ini pada kalian. Tapi, sebelum itu akan kuceritakan sedikit mengenai
keistimewaan masing-masing senjata. Apa kalian mau mendengarkannya"!"
"Mau, Guru," jawab Salya dan Braja Denta serempak.
"Kalau begitu, dengarkan baik-baik."
Tanpa diminta dua kali, Salya dan Braja Denta
langsung memusatkan perhatian pada cerita yang akan
dlkemukakan Kidang Loka.
2 "Golok ini memiliki banyak keistimewaan," ucap Kidang Loka memulai ceritanya,
sambil mengangkat ke atas tangan kirinya yang menggenggam senjata itu. "Senjata
ini sangat berbahaya bila berada di tangan seorang tokoh sesat.
Sebab, golok ini memiliki kemampuan dahsyat. Di samping memang dirancang untuk
menimbulkan keonaran."
Kidang Loka menghentikan ceritanya sejenak untuk
mengambil napas.
"Golok ini dinamakan Golok Api karena memang
mampu mengeluarkan api. Tentu saja bila orang yang
menggunakannya memiliki tenaga dalam yang mengandung hawa panas, dan cukup
tinggi tingkatannya. Sebagai senjata pusaka, tentu Golok Api terbuat dari bahan-
bahan yang amat kuat. Jarang ada senjata yang tidak putus bila berbenturan
dengannya. Yang lebih mengerikan, Golok Api ini seperti mampu
mengisap darah. Maksudku, bila golok ini ditusukkan pada tubuh seseorang dan didiamkan beberapa saat lamanya, maka orang
itu akan mati kehabisan darah!"
"Ck ck ck...!"
Tanpa sadar, Salya dan Braja Denta berdecak kagum
mendengar penuturan Kidang Loka tentang kedahsyatan
Golok Api. Tentu saja Kidang Loka mengetahui, tapi kakek itu mengacuhkannya.
Lalu tangan kirinya diturunkan. Kini tangan kanannya yang diangkat, untuk
mengunjukkan Pedang Embun. "Pedang Embun ini kalau dibandingkan dengan Golok Api seperti tidak mempunyai
kegunaan sama sekali. Karena senjata ini memang bukan dirancang untuk
penyerangan."
Sampai di sini kakek berpakaian putih itu menghentikan keterangannya. Dan seperti yang sudah
diduganya, baik Salya maupun Braja Denta kelihatan tidak begitu tertarik
mendengarnya. Tapi Kidang Loka bersikap seolah-olah tidak mengetahuinya. Dengan
nada suara sama keterangannya segera dilanjutkan.
"Walaupun demikian, pedang ini tetap merupakan
senjata ampuh! Hanya saja Pedang Embun tidak memiliki kemampuan mengerikan
seperti yang dimiliki Golok Api. Tapi meskipun demikian, bila berhadapan dengan
Pedang Embun, Golok Api akan kehilangan kemampuannya. Nah! Itulah keampuhan
kedua pusaka itu. Ada pertanyaan"!" tutur Kidang Loka menutup uraiannya.
Salya dan Braja Denta hampir bersamaan menggelengkan kepala.
"Kalau demikian sudah tiba saatnya bagiku untuk memberikan pusaka ini pada
kalian. Tapi, ada satu hal yang perlu kalian camkan! Aku tidak ingin ada yang
merasa tidak puas bila pusaka-pusaka ini kubagikan! Untuk menentukan siapa yang
berhak memiliki pusaka-pusaka ini aku tidak bertindak
sembrono.
Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semuanya telah kuperhitungkan masak-masak. Dan aku yakin keputusan yang kuambil tidak salah! Kalian
mengerti"!"
"Mengerti, Guru," jawab Salya dan Braja Denta dengan suara bergetar karena
perasaan tegang.
"Bagus! Aku gembira kalian menyadari hal itu:
Sekarang, bersiaplah untuk menerima pusaka-pusaka ini."
Lagi-lagi Kidang Loka menghentikan
ucapannya. Ditatapnya wajah kedua muridnya berganti-ganti.
"Denta...!" panggil Kidang Loka dengan suara dan sikap penuh wibawa.
"Kemari...!"
"Baik, Guru," jawab Braja Denta seraya menghampiri Kidang Loka.
Pemuda berpakaian coklat itu merasakan jantungnya
berdetak kencang. Agaknya, Braja Denta dilanda perasaan tegang. Braja Denta
menginginkan Golok Api jatuh ke
tangannya. Kidang Loka tersenyum lebar. Kemudian, diangsurkannya Pedang Embun pada pemuda berpa kaian
coklat itu. "Kupercayakan Pedang Embun ini padamu, Denta.
Aku berharap kau menggunakannya untuk menegakkan
keadilan di dunia persilatan."
Deggg! Untuk kedua kalinya Braja Denta merasakan pukulan
keras di dalam dadanya. Rasa kecewa yang sangat mendera hati pemuda itu. Tapi,
dengan pandainya pemuda berpakaian coklat itu menyembunyikan
perasaannya. Bahkan, dia
menunjukkan seri gembira di wajahnya ketika mengangsurkan tangan untuk menerima pemberian itu.
' Terima kasih, Guru!"
Kidang Loka menganggukkan kepala seraya tersenyum. "Salya...!"
Tanpa menunggu diperintah
dua kali, pemuda
berpakaian kuning itu melangkah maju.
"Kupercayakan Golok Api ini padamu. Pesanku,
jangan sembarangan mempergunakan senjata ini, Tapi,
pergunakan hanya pada saat-saat kau memerlukannya. Kau mengerti?"
"Mengerti, Guru. Kuucapkan
terima kasih atas kepercayaan yang telah Guru limpahkan padaku," jawab Salya. Disambutnya uluran
tangan Kidang Loka yang
mengangsurkan Golok Api.
Kembali Kidang Loka mengangguk-anggukkan kepala.
"Nah! Sekarang kalian boleh melanjutkan latihan. Aku dan Ganda Kerta mempunyai
urusan lain yang perlu
dibicarakan. Kami pergi dulu."
"Baik, Guru," jawab Salya dan Braja Denta berbarengan seraya membungkuk memberi hormat
Tapi Kidang Loka dan Ganda Kerta tidak sempat
melihatnya. Kedua kakek itu telah membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan
tempat itu. Tak lama kemudian, tubuh mereka lenyap di balik gundukan batu besar.
Kini tinggal Salya dan Braja Denta di tempat itu.
*** "Pembagian ini tidak adil!" desis Braja Denta tidak puas. Sepasang matanya
menatap Salya penuh perasaan iri.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kang?" ucap Salya bingung.
"Tidak mengerti"!" sinis pertanyaan Braja Denta. "Kau jangan berpura-pura dungu,
Salya! Aku yakin kau tahu ketidakadilan tindakan guru!"
"Guru bertindak tidak adil"! Ah! Mengapa kau sampai hati dan melancarkan tuduhan
seperti itu, Kang"!" sergah Salya tidak senang mendengar ucapan Braja Denta.
"Aku yakin guru telah bertindak seadil-adilnya!"
"Tentu saja kau beranggapan demikian. Sebab kau selalu dibela guru!" tandas
Braja Denta dengan suara semakin meninggi karena terbakar emosi.
"Jaga mulutmu, Kang!" sentak Salya juga dengan nada tinggi. ' Tidak sepantasnya
kau melancarkan fitnah seperti itu!"
"Aku tidak memfitnah! Semua yang kukatakan ini
kenyataan. Ada buktinya!"
"Pembagian pusaka ini maksudmu"!"
"Ini baru salah satu bukti!" ujar Braja Denta keras.
Masih banyak hal lainnya yang menjadi bukti ketidakadilan.
guru!" "Bisa kau membuktikannya"!" tantang Salya.
"Mengapa tidak"!" timpal Braja Denta dengan cepat.
"Kau ingat ucapan guru kan ketika kita selesai bertarung tadi, hehhh"! Di depan
Ganda Kerta dia memuji-mujimu setinggi langit. Tapi terhadap-ku"! Aku malah
dibodoh-bodohi! Apa itu bukan bukti nyata kalau guru bertindak tidak adil?"
"Kau salah duga, Kang! Guru tidak bermaksud
demikian. Aku yakin betul mengenai hal itu. Apa yang dikatakannya memang tidak
salah! Aku malah berani
mengatakan kalau dia amat menyayangimu. Terbukti, beliau memberi nasihat padamu.
Dan...." "Omong kosong!" potong Braja Denta keras. "Kalau guru hendak memberi nasihat,
tidak sepatutnya dilakukan di depan Ganda Kerta. Lagi pula, ucapan yang
dikeluarkannya tidak patut dikatakan nasihat! Aku yakin guru memang sengaja
merendahkanku di depan Ganda Kerta. Aku tahu apa maksudnya!"
"Kakang! Hentikan fitnahan keji itu! Tak pantas tuduhan-tuduhan itu kau
alamatkan pada guru! Ingat! Dia yang mendidik dan membimbing kita.... Dan...!"
"Cukup, Salya! Aku tidak mau mendengar ucapan
seperti itu lagi! Aku hanya ingin mengatakan ketidakadilan tindakan guru! Aku
pun tahu, mengapa dia memuji-mujimu dan menjatuhkanku di depan Ganda Kerta! Aku
tahu itu memang disengaja! Dan, aku yakin kau juga mengetahuinya!"
"Kau boleh mengutarakan fitnah sesukamu, Kang.
Tapi, aku tidak mau mendengarnya!"
Setelah berkata begitu, Salya membalikkan tubuh dan
meninggalkan tempat itu dengan langkah-langkah lebar.
Pemuda berpakaian kuning itu sadar kalau Braja Denta saat itu tidak mungkin bisa
disadarkan, karena amarah yang masih marajelela dalam jiwanya. Maka, pemuda itu
pun memutuskan untuk meninggalkannya.
Tapi baru beberapa tindak kakinya melangkah....
"Salya! Berhenti!"
Salya tahu kalau kakak seperguruannya yang menyuruhnya berhenti. Tapi Salya menulikan telinga. Dan terus saja melangkahkan
kaki. "Keparat!"
maki Braja Denta geram, melihat panggilannya tidak dihiraukan. Lalu, kakinya dijejakkan.
Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas dan berputaran beberapa kali melewati kepala Salya. Dan....
Jliggg. Ringan laksana jatuhnya sehelai daun kering, Braja
Denta mendarat di tanah dalam jarak dua tombak di depan Salya.
"Apa maumu sebenarnya, Kang"!" tanya Salya seraya menghentikan langkah. Nada
suaranya menunjukkan kalau pemuda berpakaian kuning itu mulai kehilangan
kesabaran. "Tidak banyak! Aku hanya ingin mengungkapkan
ketidakadilan guru terhadap kita berdua. Titik!" tandas Braja Denta.
"Kalau aku tidak mau mendengarnya"!" tanya Salya, ingin tahu kelanjutan tindakan
Braja Denta. "Berarti dugaanku benar! Kau telah mengetahui
ketidakadilan guru, dan mencoba menutupinya dariku!"
Terdengar bunyi gemeretak dari mulut Salya mendengar alasan yang jelas dicari-cari itu.
"Sejak tadi pun aku sudah mendengarnya!" keras dan bergetar suara Salya.
Pertanda pemuda berpakaian kuning itu tengah dilanda amarah yang menggelegak.
' Tapi kau belum mendengar alasanku menguraikan
ketidakadilan guru. Atau... kau sengaja menginginkan
persoalan ini mengambang"!"
' Terserah!"
Usai berkata demikian, Salya melesat meninggalkan
tempat itu. Rupanya, pemuda berpakaian kuning itu sudah tidak ingin mendengarkan
ucapan Braja Denta.
"Keparat!"
Braja Denta hanya bisa memaki! Disadarinya kalau
tidak ada gunanya melakukan pengejaran. Salya akan terus menghindar. Akhirnya,
Braja Denta melesat ke arah yang ditempuh gurunya.
*** Braja Denta tidak membutuhkan waktu lama untuk
menemukan Kidang Loka dan Ganda Kerta berada. Pemuda itu tahu betul tempat yang
disukai gurunya untuk bercakap-cakap, di dekat air terjun. Maka, ke sanalah dia
menuju. Braja Denta tahu gurunya akan duduk di baru besar
yang menonjol di pinggir sungai, tak jauh dari jatuhnya air terjun. Dan Braja
Denta pun tahu ada celah di bawah baru besar itu. Yang lebih penting lagi, dia
tahu jalan menuju tempat itu tanpa diketahui gurunya. Rupanya, Braja Denta
bermaksud mencuri dengar pembicaraan Kidang Loka dan Ganda Kerta. Sebab, dia
mempunyai dugaan hal yang akan dibicarakan gurunya.
Braja Denta mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuhnya. Hasilnya memang tidak mengecewakan. Bentuk tubuh pemuda berpakaian
coklat itu lenyap. Yang terlihat hanya kelebatan bayangan coklat yang melesat
seperti melayang.
Tak lama kemudian, Braja Denta telah melihat Kidang
Loka dan Ganda Kerta tengah duduk bersisian sambil
menatap air terjun. Dengan mengendap-endap
dan mengambil jalan memutar, Braja Denta mendekati tempat mereka.
Rupanya nasib baik berpihak pada Braja Denta.
Pemuda itu berhasil tiba di tempat yang diinginkan tanpa diketahui Kidang Loka
dan Ganda Kerta. Meskipun demikian, pemuda berpakaian coklat itu tetap bertindak
hati-hati. Braja Denta tahu betapa tinggi kepandaian gurunya. Bahkan
Ganda Kerta pun bukan tokoh sembarangan.
Lagi-lagi keberuntungan menyertai Braja Denta. Di
saat dia memasang pendengarannya, terdengar Kidang Loka membicarakan hal yang
diduganya. "Sekarang, ada baiknya kita masuk ke
pokok pembicaraan. Bagaimana kabarnya Wardani" Apakah dia
sudah menentukan pilihannya" Maksudku, siapa di antara muridku yang akan
dipilihnya, Salya atau Braja Denta"!"
"He he he...!" Ganda Kerta terkekeh sambil mengelus-elus jenggot. "Wardani
menyerahkan seluruh keputusannya padaku. Terserah, katanya. Dijodohkan dengan
Salya atau Braja Denta dia bersedia. Sebab, mereka sama-sama gagah.
Wardani merasa sulit untuk menentukan pilihan."
"Ooo..., begitu"! Lalu... keputusanmu sendiri bagaimana, Kerta"!" tanya Kidang Loka setelah mengangguk-anggukkan kepala
sebentar. "Kuserahkan keputusanku padamu, Kidang Loka. Aku yakin kau lebih mengetahui mana
di antara mereka yang lebih cocok untuk putriku," jawab Ganda Kerta terlihat
pasrah. "Hehhh..."! Mengapa demikian, Kerta"! Apa tidak ingin mempunyai calon menantu
pilihanmu sendiri"!"
"Kuserahkan pilihanku itu padamu, Kidang Loka.
Siapa pun di antara mereka yang kau pilih, aku setuju. Aku yakin pilihanmu tidak
keliru!" "Hm...!"
Kidang Loka menggumam pelan sambil mengangguk-
anggukkan kepala. Kakek itu tidak segera memberikan
jawaban. Kelihatan jelas kalau dia tengah mempertimbangkannya. Sementara Kidang Loka dan Ganda Kerta tidak menduga bahwa
tepat di bawah mereka, Braja Denta tengah menanti jawaban gurunya dengan
perasaan tegang.
Memang beralasan kalau Braja Denta merasa tegang.
Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebab dirinya seperti juga Salya, menyenangi Wardani, putri Ganda Kerta! Telah
beberapa kali Wardani dibawa ke tempat ini oleh kakek berjenggot kuning itu.
"Hhh...!"
Kidang Loka menghembuskan napas sebelum menentukan pilihan. "Kalau
begitu, Wardani
kujodohkan dengan Salya. Dia lebih baik dibandingkan Braja Denta."
"Kalau itu pilihanmu, aku setuju saja. Jika demikian, besok aku akan pulang
untuk mempersiapkan segala
sesuatunya," ucap Ganda Kerta setelah tercenung sesaat.
"Aku pun akan memberitahukan hal ini pada Salya.
Agar dia mempersiapkan semua yang diperlukan," timpal Kidang Loka.
"Kalau begitu, kita cukupkan
pembicaraan ini. Bukankah begitu Kidang Loka"!"
Lalu, Ganda Kerta bangklt. Diikuti kemudian oleh
Kidang Loka. Dengan langkah perlahan, mereka meninggalkan tempat itu. Kedua kakek itu tidak mengetahui kalau tepat di bawah
mereka dan hanya terhalang sebuah batu,
Braja Denta tertegun. Kedua tangan pemuda berpakaian coklat itu mengepal keras penuh kekuatan. Braja Denta tengah menahan
luapan perasaan.
Dan memang demikian yang terjadi. Saat itu batin
Braja Denta tengah dilanda berbagai macam perasaan.
Kecewa, marah, terpukul, dan sedih bercampur jadi satu.
Semua itu menyebabkannya tertegun bingung. Tak tahu
harus berbuat apa!
Cukup lama juga Braja Denta berlaku seperti itu.
Rupanya batin pemuda berpakaian coklat itu terguncang hebat. Kekecewaan demi
kekecewaan yang bertubi-tubi
melanda, membuatnya tidak kuat bertahan. Mendadak....
"Oooh...!"
Sebuah keluh keputusasaan keluar dari mulut Braja
Denta. Sekujur tubuhnya mendadak lemas. Perlahan-lahan tubuh pemuda itu melorot
turun. Hingga akhirnya....
Brukkk! Braja Denta berdiri di atas pasir basah dengan kedua lututnya. Punggungnya
memang tegak, tapi kepalanya
tertunduk dan ditutupi dengan kedua tangan. Terlihat jelas kalau Braja Denta
tengah terpukul. Beberapa saat lamanya dia berlaku seperti itu, sebelum akhirnya
secara mendadak sekujur tubuhnya mengejang. Kedua tangannya terkepal erat penuh
kekuatan! "Ketidakadilan ini tidak bisa kubiarkan! Akan kuambil semua yang menjadi hakku.
Golok Api dan Wardani! Kalau perlu secara paksa! Ya, dengan kekerasan! Jika kau
menghalangiku pula, guru, aku tidak segan-segan membunuhmu! Haaattt...!"
Braja Denta mengakhiri tekadnya dengan teriakan
keras. Karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam, keadaan di sekitar
tempat itu pun tergetar hebat
Braja Denta tidak berhenti sampai di situ. Sambil
mengeluarkan teriakan menggeledek, kedua tangannya
didorongkan ke arah batu karang yang ada di dekatnya.
Wusss! Deru angin keras terdengar seiring dengan dorongan
kedua tangan Braja Denta. Dan...
Blarrr! Batu sebesar kerbau yang dijadikan sasaran pukulan
jarak jauh Braja Denta hancur berkeping-keping. Bunyi hiruk-pikuk mengiringi
berpentalannya pecahan batu-batu itu!
"Ha ha ha...!"
Bagai orang gila, Braja Denta tertawa tergelak.
Tampak gembira sekali. Kemudian masih dengan tawa yang belum putus, kedua
tangannya kembali dihentakkan. Kali ini ditujukan pada air terjun!
Wusss! Pyarrr! Kumpulan air yang tengah meluncur jatuh langsung
buyar! Bahkan luncuran air itu terhenti sesaat. Sungguh sangat kuat tenaga dalam
Braja Denta. Tapi itu belum membuat Braja Denta puas. Bagai
orang tidak waras, dia menyerang semua yang ada di situ.
Tidak hanya dengan pukulan jarak jauh. Tapi juga dengan hantaman tangan dan
kakinya. Akibatnya sungguh hebat! Semua benda yang berbenturan dengan kaki atau tangannya hancur berantakan. Tapi Braja Denta tidak mempedulikannya. Terus dicarinya sasaran
lainnya. Braja Denta terus mengamuk.
Bahkan ketika akhirnya dia bosan menggunakan tangan
kosong, dicabutnya senjata yang baru diterima dari gurunya, Pedang Embun!
Srattt! Sinar terang menyilaukan mata berpendaran ketika
pedang itu keluar dari sarungnya. Sejenak suasana di tempat itu sedikit terang.
Tapi Braja Denta tidak sempat memperharikan
keanehan itu. Begitu pedang itu terhunus, langsung saja dipergunakan untuk
mengamuk! Dan akibatnya memang
dahsyat! Semua benda yang dihantam Pedang Embun
langsung putus!
Rupanya, Braja Denta bosan juga berlaku seperti itu.
Sesaat kemudian, Pedang Embun kembali dimasukkan ke
sarungnya. Kemudian, pemuda itu melesat meninggalkan tempat itu sambil tertawa-
tawa. Untung, saat itu Kidang Loka
dan Ganda Kerta telah berada amat jauh dari tempat itu sehingga tidak mendengar
keributan yang ditimbulkan Braja Denta.
Wusss! Deru angin keras terdengar, seiring dengan dorongan
dari kedua telapak tangan Braja
Denta. Dan.... Blarrr! Batu sebesar ukuran kerbau hancur berkeping-
keping, akibat amukan Braja Denta yang tidak mempedulikan keadaan sekitarnya. Pemuda itu benar-benar seperti orang gila!
3 Kekecewaan demi kekecewaan yang datang bertubi-
tubi membuat Braja Denta terpukul. Begitu puas termenung dan tertawa-tawa,
pemuda itu terdiam. Tarikan wajah dan sorot matanya berubah dingin. Tak nampak
ada gambaran perasaan apa pun pada wajahnya. Dalam keadaan seperti itu, Braja
Denta meninggalkan tempat gurunya. Yang ada di benaknya hanya satu, mengunjungi
makam orangtuanya!
Braja Denta melakukan perjalanan dengan cepat.
Dengan ilmu meringankan tubuhnya, bukan hal yang sulit baginya. Di sepanjang
perjalanan pemuda itu bertanya pada orang-orang yang ditemuinya, arah mana yang
harus ditempuh untuk menuju Desa Alas Ngampar. Braja Denta memang tidak mengetahui
letak desa itu.
Beberapa hari kemudian, pemuda itu sudah memasuki Desa Alas Ngampar. Tanpa membuang waktu lagi, Braja Denta segera
mencari tempat pemakaman di desa itu.
Setelah sebelumnya bertanya pada salah seorang penduduk desa. Maka, tanpa
mengalami kesulitan Braja Denta berhasil menemukannya.
Tempat pemakaman itu terletak di pinggir desa.
Bahkan hampir berada di daerah perbatasan dengan desa lain. Braja Denta
menghentikan langkahnya di luar wilayah pemakaman.
"Hhh...!"
Pemuda berpakaian coklat itu menghembuskan napas
berat. Ditatapnya hamparan gundukan tanah di depannya.
Dengan sepasang matanya, dicarinya letak makam ibu dan ayahnya di antara sekian
banyak makam yang bertebaran.
Dari salah seorang penduduk diketahui kalau makam
orangtuanya terletak di dekat pohon kamboja.
Tanda-tanda itu amat membantu Braja Denta. Tak
heran bila dalam sekejap pemuda berpakaian coklat itu dapat menemukan tempat
orangtuanya dimakamkan. Sebab, pohon kamboja di tempat itu hanya ada satu. Lalu,
Braja Denta mengayunkan kaki memasuki wilayah pemakaman itu.
Tapi baru selangkah kakinya diayunkan, tiba-tiba
pemuda itu menghentikan langkahnya. Dia mendengar suara orang bercakap-cakap.
Dan ketika kepalanya ditolehkan, tampak dua sosok tubuh tengah berjalan ke
arahnya. Kalau saja keadaan kedua sosok itu tidak terlalu
menyolok, mungkin Braja Denta tidak akan mempedulikan.
Tapi, ciri-ciri kedua sosok itu terlalu menyolok. Hingga Braja Denta
jadi mengurungkan maksudnya semula. Pandangannya ditujukan ke arah dua sosok tubuh yang
semakin dekat dengannya.
Tidak aneh bila Braja Denta sampai meluangkan
waktu untuk melihat kedua orang itu. Betapa tidak" Yang satu seorang gadis
berpakaian putih dengan wajah cantik jelita laksana bidadari. Rambutnya yang
panjang dan hitam dibiarkan terurai, hingga menambah kecantikannya. Sudah dapat
dipastikan tak akan ada seorang lelaki pun yang membiarkan pemandangan indah ini
lewat begitu saja!
Sosok kedua mempunyai ciri-ciri yang tidak kalah
menyoloknya. Sosok itu seorang pemuda tampan dan jantan.
Tubuhnya yang kekar dibungkus pakaian warna ungu. Dari keadaan tubuhnya
diperkirakan usianya tak lebih dari dua puluh satu tahun. Tapi anehnya, rambut
yang panjang hingga sebagian menutupi guci perak yang tergantung di punggung tidak berwarna
hitam seperti layaknya rambut orang muda. Rambut itu putih keperakan! Memang
kelihatan indah tapi aneh!
Sepasang muda-mudi berwajah elok itu agaknya tahu
ada orang yang tengah memperhatikan mereka. Sebab, Braja Denta
melakukannya dengan sangat menyolok. Tapi keduanya mampu menahan diri dan bersikap tidak peduli.
Kedua kaki mereka terus saja melangkah. Tak lama
kemudian, sepasang muda-mudi itu melewati tempat Braja Denta. Dan
meninggalkannya, semakin lama semakin jauh.
Saat itu, barulah Braja Denta melanjutkan mak-
sudnya yang tadi tertunda. Langkahnya diayunkan memasuki wilayah pemakaman. Braja Denta tidak tahu kalau sepasang muda-mudi itu
sempat melihat tindakannya
sebelumnya membelok ke ujung jalan.
"Apa kau lihat orang yang berada di depan pe-
makaman tadi, Kang?" tanya gadis cantik itu pada pemuda tampan yang berjalan di
sebelahnya. "Ya. Lalu kenapa, Melati?" pemuda itu balas bertanya.
"Tidak apa-apa, Kang. Hanya..., eh! Apa kau tidak tahu dia memperhatikan kita?"
tanya gadis cantik itu yang ternyata bernama Melati.
Dengan demikian, sudah dapat diterka siapa pemuda
tampan itu. Ya! Siapa lagi kalau bukan Arya yang berjuluk Dewa Arak!
' Tentu saja tahu, Melati. Tapi apa salahnya" Dia tidak berbuat sesuatu yang
merugikan kita. Lain masalahnya jika dia melakukan tindakan yang tidak kita
inginkan!" urai Arya.
Melati terdiam. Disadarinya ada kebenaran yang tidak bisa
dibantah dalam ucapan pemuda itu. Mereka meneruskan perjalanan tanpa berbincang-bancang lagi.
Hingga keheningan pun menyelimuti keduanya.
*** Sementara itu Braja Denta telah berhasii menemukan
makam kedua orangtuanya. Berbeda dengan sebagian besar makam yang ada di situ,
ma kam ayah dan ibunya terawat baik. Bahkan nisannya masih ada. Demikian pula
dengan namanya.
Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua itu dilakukan oleh penduduk Desa Alas
Ngampar. Secara bergilir mereka merawat makam-makam
itu. Sebab, mereka merasa berhutang budi pada Raja Pedang.
Berkat Raja Pedanglah Desa Alas Ngampar a man. Tidak ada seorang pun yang berani
mengganggu desa itu sejak Raja Pedang tinggal di situ. Raja Pedang selalu
melenyapkan orang-orang yang hendak menimbulkan keributan di Desa Alas Ngampar.
Itu sebabnya, mereka merasa kehilangan sekali ketika Raja Pedang tewas. Sebagai
balas jasa atas tindakan-tindakannya dulu, para penduduk bersepakat untuk
merawat makamnya dan makam ist rinya.
"A...Ayah... Ibu...," ujar Braja Denta dengan terbata-bata dan bergetar.
Dengan agak bergegas, pemuda berpakaian coklat itu
itu menjatuhkan diri bersimpuh di makam orangtuanya.
"Ayah...!"
kembali Braja Denta menggumamkan panggilan itu. "Kalau saja kau masih hidup, mungkin aku tidak akan mengalami hal
seperti ini. Kawanmu telah
bertindak tidak adil, Ayah. Dia terlalu membela Salya, putra kawan Ayah yang
lain. Aku sakit hati, Ayah. Sakit...!"
Braja Denta menelungkupkan wajahnya di gundukan
makam Raja Pedang. Kedua bahunya berguncang-guncang.
Tapi tidak terdengar isak tangls keluar dari mulutnya. Braja Denta memang tidak
menangis. Pantang baginya meneteskan air mata.
Braja Denta hanya membutuhkan tempat untuk
menumpahkan ganjalan di hatinya. Dengan mengutarakan hal-hal yang menekan
hatinya dadanya menjadi terasa
lapang. Braja Denta membutuhkan tempat untuk berbagi rasa.
"Aku tidak rela disakiti, Ayah. Aku tidak rela dihina!
Akan kubalas sakit hati ini, Ayah!" sambung Braja Denta lagi.
Kemudian diam dan tidak berkata-kata lagi.
Rupanya Braja Denta telah merasa cukup puas
mengeluarkan ganjalan hatinya. Namun, meskipun begitu dia tidak
bangkit. Pemuda berpakaian coklat itu tetap merebahkan tubuhnya dengan
berbantalkan gundukan makam ayahnya. Perasaan hati yang telah agak tenang dan suasana di
bawah pohon yang cukup sejuk membuat Braja Denta
mengantuk. Beberapa hari ini dia memang kurang tidur.
Ditambah dengan kelelahan yang mendera karena terlalu memaksakan diri dalam
melakukan perjalanan. Lebih-lebih lagi pemuda berpakaian coklat itu berbaring.
Maka, tak heran jika akhirnya dia tertidur!
Perlahah-lahan kedudukan matahari pun bergeser.
Semakin lama semakin dekat pada tempat terbenamnya. Dan Braja Denta tetap lelap
dalam tidurnya. Pemuda itu tidak terbangun sampai sang Surya tenggelam di ufuk
barat, meninggalkan bias-bias kemerahan di kaki langit.
Braja Denta baru terjaga dari tidurnya ketika sang
Dewi Malam telah menampakkan diri. Tapi walaupun begitu, pemuda berpakaian
coklat itu tetap bersikap tenang. Pemuda itu
tidak merasa takut meskipun berada di tengah pemakaman di malam hari.
"Uuuh...!"
Sambil membuka mulutnya lebar-lebar, Braja Denta
menggeliatkan tubuhnya. Terasa nikmat sekali melakukan gerakan itu. Setelah itu
Braja Denta bangkit berdiri.
Mendadak.... Wusss! Angin berhawa dingin berhembus keras. Berbeda
dengan tiupan sebelumnya. Braja Denta pun merasakannya.
Bulu kuduknya mendadak berdiri!
Dengan sedikit takut, Braja Denta mengedarkan
pandangan berkeliling. Sekujur otot dan urat sarafnya menegang. Braja Denta
telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan. Tiba-tiba...
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa keras yang menggema di sekitar tempat
itu membuat Braja Denta terperanjat kaget. Nada tawa itu begitu aneh. Pelan,
berat dan bergaung seperti bukan keluar dari mulut manusia! Melainkan dari mulut
hantu penjaga kuburan!
Dugaan itu membuat bulu-bulu di tubuh Braja Denta
berdiri. Rasa takut mulai timbul di hatinya.
Tapi segera ditekannya perasaan itu. Apa yang harus
ditakuti" Diriku memiliki kepandaian. Hibur Bra ja Denta dalam hati.
"Siapa kau"!" bentak Braja Denta memberanikan diri.
Setelah mengedarkan pandangan berkeliling, dan tidak menemukan pemulik tawa aneh
itu. Memang harus diakui kalau arah tawa itu tidak bisa
dilacaknya. Tapi Braja Denta berani bertaruh asal suara itu amat dekat dengan
tempatnya! Anehnya, mengapa dia tidak melihatnya. Padahal, suasana di tempat itu
cukup terang oleh sinar dewi malam.
"Siapa kau"! Kalau berani, tunjukan dirimu!" tantang Braja Denta lagi seraya
mengedarkan pandangan berkeliling.
Angin malam kembali bertiup. Kali ini lebih kencang
dari sebelumnya. Bersamaan dengan tiupan angin, mendadak di hadapan Braja Denta hadir sesosok tubuh
tinggi besar! "Ah!"
Tanpa sadar Braja Denta mengeluarkan jerit kekagetan. Kakinya melangkah mundur. Kehadiran sosok tinggi besar itu terlalu
mendadak hingga mengejutkannya.
Tapi hanya sebentar Braja Denta larut dalam perasaan kaget.
Sesaat kemudian, pemuda itu mulai memperhatikan sosok tinggi besar di
hadapannya. Dan Braja Denta bergidik ngeri.
Dalam siraman sinar rembulan, terlihat jelas ciri-ciri sosok tinggi besar itu.
Sosok itu berpakaian serba hitam.
Kulit wajahnya gelap. Kumis dan jenggotnya panjang dan jarang-jarang. Namun yang
membuatnya ngeri adalah sorot mata sosok berpakaian hitam itu! Sorot matanya
tajam mencorong dan bersinar kehijauan. Mirip sorot mata harimau dalam gelap!
"Jangan takut, Anak Muda. Percayalah, aku tidak akan menyakitimu," ucap sosok
berpakaian hitam berusaha menenangkan hati Braja Denta.
Seperti juga tawanya, ucapan sosok berpakaian hitam
itu terdengar aneh. Pelan, berat, dan bergaung seolah berasal dari tempat yang
amat jauh. Seakan berasal dari dunia lain!
Tentu saja hal itu semakin menambah rasa takut Braja Denta. Apalagi, ketika
pemuda berpakaian coklat itu melihat bibir sosok itu tidak bergerak saat
berbicara! Dan perlahan-lahan rasa takut yang melanda hati
Braja Denta menghilang, ketika melihat sosok berpakaian hitam tidak melakukan
tindakan apa pun terhadapnya.
Sosok berpakaian hitam itu memang tidak bermaksud jahat.
Demikian pikir pemuda berpakaian coklat itu.
"Lalu..., apa maksud kedatanganmu kemari?" tanya Braja Denta. Suaranya masih
agak bergetar karena rasa takut yang melandanya belum sepenuhnya lenyap.
"Menolongmu, Braja Denta!" jawab sosok berpakaian hitam pelan.
"Kau..., siapa sebenarnya dirimu"! Dari mana kau tahu
namaku"!"
tanya Braja Denta tanpa mampu menyembunyikan rasa kagetnya.
"Ha ha ha...!" sosok berpakaian hitam tergelak.
"Ketahuilah, Braja Denta. Bukan hanya namamu yang aku tahu. Tapi juga ayahmu,
gurumu dan adik seperguruanmu.
Bahkan juga masalah yang kau hadapi saat ini. Aku tahu semuanya, Braja Denta!"
"Aku tidak percaya!" seru Braja Denta keras. "Kau bohong!"
"Ha ha ha...! Aku bohong, Denta"! Ha ha ha...!
Baiklah, agar kau percaya akan kubuktikan. Ayahmu
berjuluk Raja Pedang. Gurumu, Kidang Loka. Dan adik
seperguruanmu bernama Salya. Saat ini kau tengah dendam pada guru dan adik
seperguruanmu karena diperlakukan tidak adil! Memang kau benar, Denta. Kidang
Loka terlalu menganak emaskan Salya!"
"Hahhh..."!"
Braja Denta tersentak mendengar pernyataan sosok
berpakaian hitam. Betapa tidak" Semua yang dikatakannya benar. Tak ada satu pun
yang salah! Lalu, dari mana sosok berpakaian hitam itu mengetahuinya"
"Siapa kau" Mengapa kau mengetahui semua masalahku.,.?" tanya Braja Denta lagi penuh perasaan heran.
"Siapa adanya aku nanti kau pun akan tahu, Braja Denta, Yang terpenting kau
harus tahu bahwa aku datang kemari ingin menolongmu. Tanpa bantuanku, kau tidak
akan dapat membalas sakit hatimu. Jangankan menghadapi
gurumu, melawan Salya saja kau tak akan menang. Tapi bila kau mau kubantu semua
sakit hatimu akan terbalas. Bukan itu saja, semua yang kau inginkan akan
tercapai. Tak terkecuali Golok Api dan Wardani! Bagaimana, Denta"!"
Braja Denta tertegun. Pemuda itu bingung. Ka lau
menuruti perasaan hati, ingin rasanya diterima bantuan yang ditawarkan
sosok berpakaian
hitam. Tapi, bagaimana mungkin dia menerima bantuan orang yang sama sekali tidak dikenalnya"! Bahkan
tidak mau mengenalkan diri" Dan sosok berpakaian hitam agaknya tahu kalau Braja
Denta merasa bimbang.
"Coba bayangkan Denta. Kedudukanmu adalah kakak seperguruan,
tapi mengapa kau justru dianaktirikan. Wardani dijodohkan dengan Salya. Tidak hanya itu saja.
Golok Api pusaka yang amat dahsyat, diberikan pada adik seperguruanmu itu.
Sedangkan kau" Hanya sebuah pedang yang tidak berguna! Tidak mempunyai
kedahsyatan sama sekali!" bujuk sosok berpakaian hitam.
Dan bujukan itu termakan Braja Denta. Pemuda itu
mengangguk-agguk membenarkan ucapan sosok itu.
"Memang aku merasa sakit hati pada mereka. Baik pada guruku maupun adik
seperguruanku. Tapi apa dayaku"
Mereka memiliki kepandaian di atasku. Walaupun kau bantu, belum tentu aku
berhasil membalas sakit hati ini!" ucap Braja Denta. Ada nada keputusasaan dalam
suaranya. "Ha ha ha...!" sosok berpakaian hitam tertawa. "Kau meragukan kemampuanku,
Denta"! Ha ha ha...! Lucu! Kau tahu, jangankan Kidang Loka dan Salya. Tiga orang
semacam Kidang Loka pun jangan harap dapat mengalahkanku!" ujar sosok berpakaian
hitam menyombongkan diri.
"Apa semua yang kau katakan itu bisa dipercaya"!"
tanya Braja Denta ragu.
"Kau boleh membuktikannya, Denta!" tanpa ragu-ragu sosok
berpakaian hitam mengajukan diri. ' Tapi aku mempunyai satu syarat!"
Sepasang alis Braja Denta langsung berkerut. Perasaan curiganya pun timbul.
"Rupanya kau hendak menipuku, hehhh"! Jangan
harap aku bisa kau tipu!"
"Kau terlalu curiga, Denta! Tapi kalau kau memang tidak mau kubantu tidak apa!
Aku tidak merasa rugi! Kau boleh mati sengsara karena memendam sakit hati,
Denta! Dan Salya akan menari-nari penuh kegembiraan di atas mayatmu! Tak lama lagi dia
akan mendapat Wardani!"
Setelah berkata demikian, sosok berpakaian hitam
membalikkan tubuh. Melihat tindakannya, kelihatannya sosok berpakaian hitam
hendak meninggalkan tempat itu.
Tapi.... "Tunggu...!" cegah Braja Denta.
"Mengapa mencegahku"!
Bukankah kau ingin memendam sakit hatimu sampai mati"!"
ejek sosok berpakaian hitam tanpa membalikkan tubuh.
"Aku minta maaf atas kecurigaanku yang terlalu
berlebihan! Kumohon kau jangan pergi," pinta Braja Denta.
Semula Braja Denta memang merasa curiga pada
sosok berpakaian hitam. Tapi, ucapan terakhir sosok itu membuat
Braja
Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Denta mengambil keputusan untuk mengetahui lebih dulu syarat yang akan diajukan sosok berpakaian hitam. Siapa
tahu syarat itu tidak berat! Dan siapa tahu sosok berpakaian hitam tidak membual
tentang kepandaiannya.
"Jadi kau menerima pertolonganku"!" tanya sosok berpakaian hitam seraya
membalikkan tubuh.
"Benar," Braja Denta mengangguk. ' Tapi aku ingin mengetahui syaratnya lebih
dahulu. Bila persyaratan itu tidak berat dan aku mampu melakukannya, maka dengan
senang hati akan kuterima pertolonganmu."
"Percayalah padaku, Denta. Syarat itu sama sekali tidak berat. Bahkan amat
ringan," sosok berpakaian hitam berusaha meyakinkan Braja Denta.
"Bisa kau katakan sekarang?"
' Tentu saja, Denta!" mantap dan tegas kata-kata yang keluar dari mulut sosok
berpakaian hitam. "Syaratnya mudah saja. Jauhkan pedang itu dari tubuhmu,"
"Hahhh..."!"
Braja Denta terperanjat mendengar
syarat yang tidak disangka-sangka itu. Agak ragu-ragu dicabutnya pedang yang
tergantung di punggung. "Apakah yang kau maksudkan pedang ini"!"
"Benar," jawab sosok berpakaian hitam singkat seraya menganggukkan kepala.
' Tapi, kenapa"!" tanya Braja Denta heran.
Sekelebat menyelinap perasaan curiga di hati Braja
Denta. Pedang yang dimaksudkan sosok berpakaian hitam itu adalah pedang pusaka
warisan gurunya, Pedang Embun!
Jangan-jangan sosok berpakaian hitam sengaja merancang siasat itu untuk mencuri
pedang itu! "Buang jauh-jauh perasaan curigamu, Denta," ujar sosok berpakaian hitam melihat
Braja Denta tercenung. "Ada alasan kuat yang membuatku sulit untuk membantumu
jika pedang itu ada pada dirimu.'
"Bisa kau jelaskan alasannya"!" tanya Braja Denta hati-hati, tidak sembarangan
menuduh seperti sebelumnya.
Sosok berpakaian hitam tidak segera memberikan
jawaban. Sosok itu tercenung sejenak seperti tengah
mempertimbangkan
pantas atau tidak pertanyaan
itu dijawabnya. "Ceritanya cukup panjang, Denta. Aku tidak yakin kau mau mendengarkannya," ujar
sosok berpakaian hitam.
' Tidak apa. Aku bersedia mendengarkan. Aku sedang
tidak terburu-buru. Ceritakan saja, agar semua menjadi jelas dan tidak ada
keraguan padaku terhadap maksud baikmu,"
timpal Braja Denta.
"Hhh...! Baiklah, kalau memang itu yang kau
inginkan," ujar sosok berpakaian hitam mengalah. Ada rasa enggan dan berat hati
pada ucapan sosok itu. untuk
menyebutkan alasannya. "Kini dengarkanlah baik-baik ceritaku ini."
4 "Puluhan tahun yang lalu aku adalah seorang tokoh yang amat ditakuti. Sebab,
kepandaian yang kumiliki sangat tinggi. Belum pernah sekali pun aku menderita
kekalahan. Padahal telah ratusan kali aku terlibat pertarungan," sosok berpakaian
hitam memulai ceritanya. "Kenyataan
itu membuat musuh-musuhku merencanakan siasat untuk
melenyapkan aku."
Sosok berpakaian hitam menghentikan ceritanya
sejenak. Secara sambil lalu, ditatapnya wajah Braja Denta.
Ingin diketahuinya tanggapan pemuda berpakaian coklat itu.
Tapi Braja Denta diam saja. Meskipun tarikan wajah dan sorot
matanya menunjukkan kalau pemuda itu mendengarkan ceritanya dengan penuh minat.
"Siasat licik mereka berhasil. Aku dapat mereka usir dari dunia ini. Tidak hanya
itu saja. Mereka menciptakan sebuah pedang yang membuatku sulit untuk kembali ke
dunia. Itulah pedang yang kumaksud," sosok berpakaian hitam mengakhiri kisahnya
dengan menunjuk Pedang Embun yang berada di tangan Braja Denta.
Braja Denta mengernyitkan
kening. Kisah yang diceritakan sosok berpakaian hitam sulit untuk diterima akal sehatnya. Banyak
hal yang masih belum dimengertinya.
"Bagaimana,
Denta" Apa kau sudah mengerti, mengapa aku menyuruhmu menjauhkan pedang itu dariku?"
tanya sosok berpakaian hitam, tak sabar melihat Braja Denta hanya tercenung.
"Hhh...!"
Hanya sedikit saja yang kumengerti. Ceritamu sulit dipahami. Aku hanya dapat menyimpulkan kalau kau takut pada
pedang ini. Bisa kau ceritakan lebih jelas lagi"!"
"Tidak, Denta. Aku sudah menceritakannya dengan terperinci agar kau dapat
mengerti. Rasanya memang, sulit untuk dimengerti. Tapi agar kau percaya dengan
kebenaran ceritaku, kau boleh menyerangku. Caranya terserah padamu, dengan
syarat kau jangan mendekatiku. Jarak terdekat antara kau dan aku sejauh dua
tombak. Bila kau memaksa lebih
dekat lagi, aku akan celaka. Pedang Embun menyebarkan hawa yang mampu membunuhku!" jelas sosok berpakaian hitam.
Melihat sikap dan nada bicara sosok berpakaian
hitam, mulai timbul rasa percaya di hari Braja Denta.
Pemuda berpakaian coklat itu melihat kesungguhan dalam ucapan dan sikap sosok
berpakaian hitam. Terlihat jelas betapa tokoh misterius itu amat takut pada
Pedang Embun! "Baik. Aku akan menyerangmu. Tapi ingat, kau yang mengajukan diri, bukan aku.
Jadi aku tidak mau disalahkan bila terjadi apa-apa atas dirimu!"
"Jangan khawatir, Denta. Aku tidak akan menyalahkanmu bila terjadi hal yang tidak diinginkan atas diriku. Percayalah.
Tidak akan terjadi hal-hal buruk padaku.
Mulailah, Denta. Aku telah siap. Ingat! Jangan ragu-ragu.
Keluarkan seluruh kemampuanmu!" ada nada keyakinan yang sangat dalam ucapan
sosok berpakaian hitam.
"Baik!"
Braja Denta segera menyilangkan kedua tangannya di
depan dada. Kemudian perlahan-lahan tapi penuh kekuatan, ditariknya kedua tangan
itu ke sisi pingang. Bunyi
berkerotokan keras seperti tulang-tulang patah terdengar ketika kedua tangan itu
bergerak menuju tempat yang dituju.
Lalu.... "Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, Braja Denta mendorong
kedua tangannya ke depan. Seketika itu pula meluncur serangkum angin berhawa
panas ke arah sosok berpakaian hitam. Tapi sosok berpakaian hitam kelihatan
tenang saja. Dia berdiri tegak di tempatnya. Diam. Tidak terlihat tanda-tanda sosok itu akan
menanggapi serangan itu. Baik dengan mengelak atau menangkis.
Dan ternyata tokoh misterius itu memang tidak
melakukan tindakan apa pun. Bahkan sampai pukulan jarak jauh Braja Denta
menghantamnya. Saat itulah terjadi
peristiwa aneh yang membuat sepasang mata murid Kidang Loka ini membelalak
lebar! Tubuh sosok berpakaian hitam tidak bergeming dari
tempatnya! Padahal, Braja Denta sangat yakin pukulan jarak jauhnya sudah
mengenai sasaran. Tapi mengapa tidak terjadi akibat apa pun" Mendadak...
Brakkk! Sebatang pohon besar yang berada tepat di belakang
sosok berpakaian hitam hancur berantakan mengeluarkan bunyi hiruk-pikuk! Apa
yang telah terjadi" Mengapa pohon itu hancur berantakan" Apakah terkena pukulan
jarak jauhnya" Kalau benar, mengapa sosok berpakaian hitam tidak mengalami kejadian
apa pun" Seharusnya, bila benar hancurnya pohon itu karena pukulan jarak jauh
Braja Denta, sebelum mengenai pohon itu, sosok berpakaian hitamlah yang terkena
lebih dulu! Karena tokoh misterius itu tepat berada di bawah pohon!
Kejadian aneh itu membuat Braja Denta kebingungan.
Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu tertegun, dengan benak dipenuhi bebagai
macam pertanyaan yang tidak
mampu dijawabnya.
"Ha ha ha...! Mengapa kau kelihatan bingung, Denta"!
Kalau ingin lebih jelas, seranglah aku dengan senjata rahasiamu.
Kidang Loka telah mengajarkan cara melemparkan pisau terbang yang baik padamu, kan"!" ujar sosok berpakaian hitam
penuh kemenangan.
Tanpa membantah sedikit pun, Braja Denta segera
melaksanakan usul sosok berpakaian hitam. Diambilnya beberapa batang pisau dari
buntalan yang selalu dibawanya.
Memang, satu-satunya cara untuk mengungkapkan keanehan tadi adalah dengan menglrimkan serangan senjata.
Kalau menggunakan senjata, dia bisa melihat apakah
serangan itu mengenai sasaran atau tidak!
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, Braja Denta mengibaskan
tangannya. Seketika itu pula tiga batang pisau terbang meluncur deras ke arah
sosok berpakaian hitam. Semua mengarah pada bagian-bagian yang berbahaya. Ulu
hati, tenggorokan, dan ubun-ubun. Ini menandakan kalau Braja Denta memang
memiliki keahlian melempar pisau terbang.
Untuk kedua kalinya terjadi peristiwa menakjubkan.
Tapi, kejadian kali ini justru berhasil menjawab semua pertanyaan yang
menggayuti benak Braja Denta. Tampak jelas ketiga pisau terbang itu mengenai
sasaran. Tapi tidak menancap ke sana, melainkan terus meluncur.
*** Cap, cap, cap! Lesatan pisau-pisau itu baru berhenti ketika menancap di sebuah pohon yang terletak di belakang pohon yang tadi hancur.
Kejadian ini telah membuat Braja Denta berhasil
menarik sebuah kesimpulan. Sosok berpakaian
hitam ternyata tidak berwujud manusia seperti dirinya. Sosok itu tak ubahnya bayangan.
Meskipun terlihat mata, tapi tidak bisa disentuh! Ataukah itu yang dinamakan
roh"! Tanya Braja Denta dalam hati.
Dan Braja Denta tidak bisa berlama-lama tenggelam
dalam alun pikirannya.
"Ha ha ha...! Bagaimana, Denta"! Apakah sekarang kau percaya kalau aku tidak
bisa dilukai"!" ucap sosok berpakaian hitam penuh kemenangan.
"Siapa kau sebenarnya" Manusia atau siluman"!"
tanya Braja Denta agak gugup.
Perasaan takut yang telah lenyap perlahan-lahan
timbul kembali.
"Hhh...!" Bukannya menjawab pertanyaan itu, sosok berpakaian hitam malah
menghela napas berat "Sebenarnya aku manusia, Denta. Manusia seperti kau. Dapat
merasakan sakit bila dipukul. Tapi sekarang tidak lagi! Dan penyebabnya seperti
yang telah kuceritakan padamu, berkat siasat musuh-musuhku! Sekarang aku hanya
berupa roh! Sehingga betapa pun saktinya aku, tanpa ada tempat berupa tubuh
manusia, aku tidak mempunyai kemampuan apa pun."
'Tapi... mengapa kau mengatakan mampu menolongku"!" tanya Braja Denta dengan alis berkernyit dalam.
Pemuda berpakaian
coklat itu kembali dilanda
kebingungan. Ucapan sosok berpakaian hitam ber-beda
dengan sebelumnya.
"Seperti telah kukatakan, kesaktianku baru akan timbul bila ada manusia yag
bersedia menjadi tempat bagi rohku! Kebetulan aku bertemu denganmu. Melihat kau
memendam rasa sakit hati, kuputuskan untuk memilihmu menjadi tempat rohku!
Dengan adanya rohku pada dirimu, kau bisa mendapatkan yang kau mau! Golok Api"!
Wardani"! Menguasai dunia persilatan"! Apa pun yang kau mau akan bisa didapatkan! Aku
seorang tokoh sakti pada puluhan tahun lalu! Bagaimana, Denta"!" jelas sosok
berpakaian hitam berusaha merayu.
Braja Denta tidak segera menjawab. Pemuda itu
Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tercenung. Sungguh tidak disangka kelanjutannya akan seperti ini. Sehingga kalau
semula dia sudah merasa mantap akan menerima tawaran sosok berpakaian hitam,
kini diputuskannya untuk mempertimbangkan
kembali. Bagaimana dia tidak bimbang" Ra ganya akan dipakai roh sosok berpakaian hitam!
Lalu, bagaimana dengan rohnya sendiri"
"Bagaimana, Denta?" tanya sosok berpakaian hitam tidak sabar. "Kau setuju dengan
usulku?" "Sebenarnya aku setuju. Tapi bila kau telah masuk ke dalam diriku, bagaimana
dengan rohku sendiri"!" Braja Denta memutuskan untuk berterus terang.
"Ha ha ha...! Jangan khawarir, Denta. Rohmu tetap ada di tubuhmu. Ragamu tetap
satu. Tapi roh yang
menempatinya ada dua. Rohmu dan rohku!" jelas sosok berpakaian hitam.
"Lalu..., siapa yang pegang peranan atas tubuhku"
Rohmu atau rohku"!" tanya Braja Denta lagi.
' Tentu saja rohmu, Denta! Sebab kau mempunyai
akal sehat. Pikiran. Dengan sendirinya, kau yang mengendalikan tubuhmu. Bukankah itu berarti rohmu yang menjadi penguasa atas
tubuhmu. Sedangkan aku hanya
membantu bila kau menghadapi lawan tangguh. Mengapa
kau menanyakan hal itu"!" sosok berpakaian hitam balas bertanya
setelah memberi penjelasan pada pemuda berpakaian coklat itu.
"Hanya ingjn tahu saja. Aku khawatir jika telah memasuki ragaku, kau akan
mengambil alih kepemimpinan.
Kemudian kau bebas memenuhi keinginanmu dengan
menggunakan ragaku. Sementara keinginanku tidak terpenuhi," jawab Braja Denta sejujurnya.
"Ha ha ha...! Rupanya itu yang membuatmu merasa bimbang, Denta"! Tidak usah
khawarir. Percayalah, aku berjanji akan membalaskan semua sakit hatimu, dan
mendapatkan semua yang kau inginkan!" janji sosok berpakaian hitam sungguh-
sungguh. "Apakah janjimu bisa dipercaya"!" Braja Denta
meminta kepastian.
"Mengapa kau masih meragukannya, Denta. Apa kau tidak membuktikan sendiri
kebenaran setiap ucapanku?"
sosok berpakaian hitam balas bertanya.
"Bukannya aku tidak percaya. Aku hanya... yahhh, khawatir saja. Dan...."
"Buang jauh-jauh perasaan khawatirmu itu," potong sosok berpakaian hitam tak
sabar. "Kau akan membuktikan sendiri kebenaran janjiku."
Braja Denta langsung terdiam.
"Bagaimana, Denta. Bisa kita mulai" Cepatlah! Sebab bila matahari telah terbit,
aku tidak akan bisa masuk ke dalam tubuhmu," terdengar jelas nada tidak sabar
dalam ucapan sosok berpakaian hitam itu.
"Baiklah, aku setuju," jawab Braja Denta tidak mempunyai pilihan lain.
"Kalau begitu, singkirkan Pedang Embun dari tubuhmu," ucap sosok berpakaian hitam cepat-cepat "Lemparkan jauh-jauh. Toh senjata itu tidak berguna sama sekali. Dibandingkan
Golok Api, dia tidak mempunyai
keistimewaan apa pun!"
Kali ini Braja Denta tidak membantah lagi. Meskipun
sebenarnya merasa sayang, dilemparkannya Pedang Embun itu. Nanti dia pun akan
mendapatkan gantinya. Sebuah pusaka yang jauh lebih ampuh, Golok Api!
"Ha ha ha...!"
Sosok berpakaian hitam tergelak melihat Pedang
Embun melayang-layang jauh. Perasaan gembira yang sangat terlihat jelas dalam
tarikan wajah dan sorot matanya.
"Bagus, bagus, Denta! Sekarang, kau bersiaplah...!"
Usai berkata demikian, tiba-tiba tubuh sosok berpakaian hitam lenyap. Dan berganti dengan seberkas sinar merah. Sinar itu
melesat masuk ke tubuh Braja Denta.
Seketika itu pula, tubuh Braja Denta yang semula
tenang menggeletar hebat. Rasa panas yang sangat merayapi sekujur tubuh pemuda
itu. Ditambah dengan rasa sakit yang tidak terperikan.
"Aaa...!"
Braja Denta melolong karena tak kuat menahan rasa
sakit dan panas yang mendera. Dalam cekaman penderitaan yang dialami, Braja
Denta mengguling-gulingkan tubuhnya ke sana kemari. Untung saja makam
orangtuanya terpisah agak jauh dengan makam lainnya. Hingga tidak satu pun makam
yang terlanda gulingan tubuhnya.
Karena tak kuat menahan rasa sakit yang mendera,
Braja Denta jatuh pingsan! Untuk kedua kalinya, tubuhnya tergolek lemas di
pemakaman itu. Kalau tadi karena tak kuat menahan
rasa kantuk, kini disebabkan tak mampu menanggung rasa sakit!
*** Entah berapa lama dirinya pingsan, Braja Denta tidak
tahu. Yang jelas, ketika terbangun
kegelapan masih menyelimuti tanah pemakaman itu. Hari masih malam!
Perlahan-lahan Braja Denta bangkit. Saat itu pula
rasa heran menggayuti hatinya. Tubuhnya terasa ringan sekali seperti melayang.
Tidak hanya itu. Di bawah pusarnya ada hawa hangat berputar.
Semua itu mengherankan Braja Denta. Dia jadi tidak
mengerti. Dicobanya untuk mengingat-ingat peristiwa yang dlalamlnya.
Braja Denta pun berhasil mengingatnya. Benarkah ini semua karena masuknya sosok berpakaian
hitam ke dalam dirinya"
"Benar, Denta. Semua keanehan yang kau rasakan
karena aku telah masuk ke dalam tubuhmu," terdengar jelas suara sosok berpakaian
Pendekar Misterius 6 Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara Tembang Tantangan 5