Pencarian

Prahara Dendam Leluhur 1

Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur Bagian 1


PRAHARA DENDAM LELUHUR Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Prahara Dendam Leluhur
128 hal. https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
SATU Di dalam sebuah gubuk tanpa dinding dan
berlantai tanah terlihat dua orang sedang duduk dengan selonjorkan kaki-kaki
masing-masing. Keduanya sama sandarkan punggung masing-
masing pada tiang gubuk. Yang berada di sebelah kanan, seraya duduk ia gerakan
tangannya pulang balik di depan dagu berkipas-kipas. Pandangannya jauh ke depan,
di mana tampak ujung ja-
lan setapak yang kemudian membelok dan hilang
di antara kerapatan pohon. Mulutnya terkancing
rapat. Malah sesekali napasnya berhembus pan-
jang-panjang, jelas jika ia sedang memikirkan sesuatu. Sementara yang berada di
sebelah kiri seraya bersandar ia tersenyum-senyum. Tangan ki-
rinya memegang sebuah batu putih mengkilat
yang seringkali didekatkan pada wajahnya. Lalu
menggerak-gerakkan kepalanya dan menyibakkan
anak rambut pada tongkatnya. Gerakannya le-
mah gemulai persis gerakan seorang perempuan,
meski ia adalah seorang laki-laki.
"Kau rupanya masih tenggelam memikir-
kan gadis itu. Apa kau benar-benar jatuh cinta
padanya"!" Orang yang di sebelah kiri berkata sambil dekatkan batu putih ke
wajahnya. Sejenak ia memperhatikan parasnya dari pantulan batu
putih. Lalu ekor matanya melirik ke kanan.
Yang dilirik tetap berkipas-kipas dan tak
segera menyahuti ucapan orang. Malah ia putar
tubuhnya hingga memunggungi orang yang baru
saja berkata. "Ah, cinta kadang-kadang bisa membuat
orang menjadi tolol!" ujar orang yang di sebelah kiri, lalu ikut putar tubuhnya
setengah lingkaran, hingga kedua orang ini saling memunggungi.
Mendengar ucapan orang, orang yang di
sebelah kanan menyeringai. Mulutnya komat-
kamit menggumam sesuatu yang tak jelas. Lalu
mulut itu membuka seakan hendak mengu-
capkan sesuatu, namun sebelum ucapannya ter-
dengar, orang di sebelah kiri telah berkata kembali.
"Pendekar Mata Keranjang.... Jika kau ma-
sih disibukkan dengan masalah kepergian gadis
itu, adanya aku mungkin menambah keruwetan
pikiranmu. Aku akan meneruskan langkah.
Mudah-mudahan kita nanti bisa bertemu lagi...."
Habis berkata begitu, orang ini segera
bangkit. Merapikan rambutnya sebentar, lalu
hendak melangkah meninggalkan gubuk itu. Na-
mun langkahnya tertahan ketika orang di sebelah kanan yang ternyata adalah Aji
alias Pendekar Mata Keranjang 108 putar tubuhnya sambil ber-
kata. "Setan Pesolek! Boleh aku tahu sesuatu darimu"!" Orang yang hendak
melangkah pergi dan ternyata adalah Setan Pesolek urungkan niat, lalu tanpa
balikkan tubuh menghadap Aji, dia berka-
ta. "Hmm.... Apa yang perlu kau ketahui"!"
Aji bangkit. Lalu melangkah mendekat.
"Aku tidak memikirkan ke mana perginya
Dewi Tengkorak Hitam. Itu adalah urusannya.
Yang jadi tanya bagiku, siapa sabenarnya dia"!"
Setan Pesolek tertawa pelan. Lalu balikkan
tubuh. Masih dengan senyum-senyum, dia ber-
tanya. "Kalian akhir-akhir ini ke mana-mana selalu berdua. Apakah kau tak sempat
menanyakan sendiri padanya"!"
"Hal itu pernah kulakukan. Namun jawa-
ban yang kuperoleh rasanya belum memuaskan.
Aku tahu, dia masih menyembunyikan sesuatu
padaku. Bisa kau menerangkan siapa dia
adanya"!"
Setan Pesolek gelengkan kepala pelan.
"Tak enak rasanya membicarakan orang.
Biarlah suatu saat kau yang akan tahu sendiri!
Hanya kalau boleh aku berkata, berhati-hatilah!
Pasang telinga kiri kanan baik-baik. Dan jangan lupa mawas diri. Karena jika
tidak, maka akan
buta mata batinmu!"
Aji usap-usap ujung hidungnya. Lalu ber-
kata dengan suara pelan.
"Tentang manusia yang bergelar Dewa
Maut, apakah sebelum ini kau pernah bertemu,
atau kau setidak-tidaknya mendengar namanya"!"
"Untuk pertama kali ini aku mendengar
dan melihat orangnya. Namun harus diakui jika
dia adalah seorang pemuda yang berilmu ting-
gi...," ujar Setan Pesolek. Ekor matanya mengerling pada Aji, lalu tersenyum-
senyum. "Aku tak mengerti, kenapa dia mendadak
muncul dan mencariku" Padahal, jangankan
membuat masalah, bertemu pun masih baru per-
tama kali.... Heran!"
"Pendekar 108! Kau tak usah heran. Kehe-
ranan hanya akan membuatmu tenggelam dalam
ketidak-pastian. Yang harus kau lakukan adalah
melihat lalu berpikir! Di sanalah nantinya kau akan mengerti!"
"Sialan!" maki Aji dalam hati. "Siapa sebenarnya manusia ini" Aku baru saja
mengenalnya. Aku tahu, dia mengetahui banyak tentang hal
yang kuhadapi. Namun dia enggan mengatakan-
nya padaku...."
Selagi Aji tercenung, tiba-tiba Setan Peso-
lek gerakan tangannya seakan melambai. Bersa-
maan dengan itu, tubuhnya berkelebat dan seke-
jap kemudian lenyap di balik kerapatan pohon.
"Luar biasa.... Gerakannya hampir tak da-
pat kuikuti!" gumam Aji sambil geleng-geleng kepala. Lalu putar tubuh. Sejenak
dia menghela napas dalam-dalam.
"Apa maksud ucapan Setan Pesolek agar
aku harus berhati-hati pada Dewi Tengkorak Hi-
tam" Selama bersama-sama dengan gadis itu, dia
sepertinya tidak menunjukkan perilaku yang
mencurigakan.... Tapi, kenapa dia mendadak per-
gi begitu saja tanpa memberitahu" Dan.... Dia se-
perti tak senang pada Setan Pesolek. Ada apa di antara kedua orang ini" Mereka
berdua tampaknya juga sudah saling kenal...," kata Aji dalam ha-ti, lalu
teringat pada perjalanan mereka yang
menghindar dari kejaran Dewa Maut.
Saat itu Dewi Tengkorak Hitam berlari di
sebelah depan. Sementara Setan Pesolek dan Aji berada di belakang. Tiba-tiba
saja Dewi Tengkorak Hitam hentikan larinya. Begitu Setan Pesolek dan Aji ikut
berhenti di sebelahnya, gadis itu
langsung memandang tajam pada Setan Pesolek.
Dadanya yang membusung terlihat turun naik, la-
lu dia berkata.
"Aku tak akan melupakan pertolonganmu.
Namun kuharap kau tak lagi mengikuti Iangkah
kami berdua. Kami berdua masih punya urusan
yang harus diselesaikan. Bukankah begitu Aji..."!"
Aji tak segera menjawab. Dia tampak bin-
gung. Sejenak memperhatikan Setan Pesolek lalu
beralih pada Dewi Tengkorak Hitam.
"Hmm.... Begitu?" gumam Setan Pesolek sambil gerakan tangannya. "Orang lagi
tertusuk cinta memang selalu tak ingin ditemani orang
lain. Hik.... Hik.... Hik...!" sambil terus tertawa cekikikan Setan Pesolek
balikan tubuh dan meninggalkan Dewi Tengkorak Hitam serta Pendekar
Mata Keranjang.
Sesaat setelah Setan Pesolek berkelebat, Aji
teringat sesuatu.
"Kipasku.... Kipasku masih dibawanya!" Aji lantas berpaling pada Dewi Tengkorak
Hitam dan berkata. "Anting Wulan. Kau tunggu sebentar di si-
ni...." Tanpa mempedulikan Anting Wulan alias Dewi Tengkorak Hitam yang
termangu-mangu tak
mengerti, Aji berkelebat ke arah mana Setan Pesolek berlari.
"Jahanam! Setan Pesolek. Kau kali ini men-
jegal langkahku. Hm.... Kau telah membuat uru-
san dengan Dewi Tengkorak Hitam. Hari-harimu
selanjutnya tidak akan lapang!" teriak Dewi Tengkorak Hitam sambil kepalkan
tangan. Dia sejenak menunggu, namun setelah agak lama yang ditunggu tak muncul,
gadis berparas cantik ini bantingkan kakinya.
"Dia mungkin telah termakan setan banci
itu...!" gumamnya, lalu termenung dengan sepasang mata memandang ke arah
berkelebatnya Aji.
Dia tampak ragu-ragu. Akan menyusul atau me-
neruskan langkah sendiri. Setelah agak lama ak-
hirnya ia balikan tubuh dan berkelebat ke arah
berlawanan dengan yang diambil Aji.
Tak lama setelah Dewi Tengkorak Hitam
berlalu, Aji kembali, namun dia sudah tak mene-
mukan Dewi Tengkorak Hitam. Selagi dia kebin-
gungan, tiba-tiba Setan Pesolek muncul lagi.
"Pendekar Mata Keranjang. Tak ada gu-
nanya dicari. Dia telah jauh berlari...," kata Setan Pesolek sambil berkaca pada
cermin batu putihnya dan bersandar pada batang pohon.
Aji keluarkan dengusan. Sebenarnya dia
ingin marah. Namun mengingat Setan Pesolek te-
lah menolongnya, maka amarah itu ditahannya.
Malah tatkala Setan Pesolek berkelebat, Aji ikut-ikutan berkelebat dan mengikuti
ke mana Setan Pesolek berlari. Ternyata Setan Pesolek menuju sebuah gubuk tak berdinding di
kaki sebuah bukit.
"Hmm.... Butuh waktu untuk mengetahui
apa sebenarnya yang ada di balik ucapan Setan
Pesolek...," pikir Aji. Lalu setelah menarik napas dalam-dalam ia melangkah
meninggalkan gubuk.
Baru saja kakinya bergerak dua tindak, ti-
ba-tiba terdengar suara deru angin disusul dengan berkelebatnya sesosok
bayangan. Pendekar
Mata Keranjang 108 hentikan Iangkah dan cepat
berpaling. Paras murid Wong Agung seketika beru-
bah. Sepasang matanya mendelik memperhatikan
pada orang yang kini berdiri tegak sepuluh Iangkah di hadapannya.
Dia adalah seorang perempuan berusia
lanjut. Sepasang matanya cekung, rambutnya pu-
tih panjang, mengenakan pakaian panjang ber-
warna hitam yang pada dadanya terlihat sekun-
tum bunga. "Dewi Bunga Iblis!" seru Aji begitu mengenali siapa adanya nenek di hadapannya.
Sang nenek yang bukan lain memang Dewi
Bunga Iblis dongakkan kepalanya. Dari mulutnya
keluar suara tawa mengekeh panjang. Tiba-tiba
suaranya terputus laksana direnggut setan. Kepa-
lanya bergerak lurus menghadap ke depan.
"Anak jahanam!" teriak si nenek dengan angkat tangannya dan jari telunjuknya
lurus menunjuk ke arah Pendekar 108.
"Ke liang semut pun jangan harap bisa lo-
los dari mataku! Kau telah digurat untuk tewas di tanganku!"
Alis mata murid Wong Agung naik ke atas.
Sepasang matanya menyipit lalu membesar. Seje-
nak ia memperhatikan sang nenek lebih seksama.
"Nyatanya dia masih hidup. Tentu ada
orang yang telah menolongnya!" kata Aji dalam hati. Di hadapannya diam-diam sang
nenek juga membatin. "Kali ini tak akan kubiarkan lagi dia meloloskan diri. Hanya dia satu-satunya
harapan un- tuk memperpanjang hidupku! Bekerjanya racun
si jahanam Gembong Raja Muda tinggal satu se-
tengah purnama lagi! Jika aku tidak berhasil
membawa kepalanya, maka hidupku tinggal em-
pat puluh lima hari! Sialan betul!"
Seperti diketahui, Dewi Bunga Iblis akhir-
akhir ini memang selalu pasang telinga baik-baik.
Mengendus berita ke sana kemari mencari jejak
beradanya Pendekar 108. Hal ini karena dalam
tubuh si nenek telah bersarang butiran beracun
Gembong Raja Muda, tokoh muda musuh Pende-
kar 108 yang terpaksa ditelan sang nenek sebagai syarat pembebasan dirinya dari
belitan selendang merah Dewi Kayangan. Dan sebagai imbalannya,
kelak dia harus dapat membawa kepala Pendekar
108 ke hadapan Gembong Raja Muda. Jika dia
gagal, maka obat penawar racun itu tidak akan
diberikan (Tentang pertemuan Dewi Bunga Iblis
dengan Gembong Raja Muda silakan baca serial
Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode :
"Manusia Titisan Dewa").
"Dewi!" seru Aji setelah agak lama terdiam.
"Kematian adalah bukan hal yang ku ta-
kutkan. Karena semua pasti akan mengalaminya!
Namun suatu hal yang pasti setiap kematian ada
sebabnya. Harap kau suka mengatakan padaku,
kenapa sejak semula kau menginginkan kema-
tianku" Padahal di antara kita tak ada masalah atau kalaupun ada, itu hanya


Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masalah sepele dan tentunya kau dapat memakluminya!"
Dewi Bunga Iblis keluarkan dengusan ke-
ras. Lalu tertawa mengekeh.
"Anak muda! Kau tak pantas mengajukan
tanya padaku! Hadapilah kematianmu!"
Habis berkata begitu, kedua tangan Dewi
Bunga Iblis terangkat ke atas. Dan didahului bentakan nyaring, kedua tangannya
segera disentak-
kan ke depan. Wuuusss! Wuuusss!
Dua gelombang angin dahsyat menghentak
laksana gelombang air laut. Hawa panas serentak menghampar. Gelombang angin ini
melebar lalu menyergap ke arah Pendekar 108 dari sisi kanan
kiri. Aji sejenak terkesiap. Niatnya yang hendak
menghindar dengan melompat ke samping dia
urungkan. Secepat kilat tanganya ditarik dan secepat itu juga disentakkan ke
samping kanan kiri.
Sinar biru membersit, lalu mengembang
dan melabrak gelombang angin.
Bumm! Bummm! Tempat itu bergetar hebat. Tiang gubuk pa-
tah lalu atapnya jatuh dan mental sebelum akhirnya berhamburan di udara. Pohon-
pohon tak jauh dari tempat bentroknya pukulan berderak
tumbang dengan kulit mengelupas dan hitam lak-
sana dipanggang! Asap tebal pun menutupi pan-
dangan. Dewi Bunga Iblis terlihat jatuh berlutut.
Tubuhnya berguncang keras. Sejenak nenek ini
salurkan tenaga dalam pada dada dan tangannya
yang berdenyut sakit dan gemetar. Wajahnya be-
rubah sedikit pucat. Sesaat kemudian dia ter-
huyung-huyung bangkit.
Lima belas langkah di hadapan Dewi Bun-
ga Iblis, Pendekar Mata Keranjang tampak duduk
bersandar pada batangan pohon yang baru saja
tumbang. Paras mukanya pias. Batangan pohon
yang dibuatnya bersandar bergerak-gerak seiring gerakan tubuhnya yang bergetar
keras. "Hmm.... Anak keparat ini benar-benar
tangguh! Dia tampaknya tak mengalami cidera
yang berarti! Aku harus segera menyelesaikan
urusan ini!" pikir Dewi Bunga iblis. Sejurus dia memperhatikan Aji. Lalu
sepasang matanya memejam rapat. Mulutnya komat-kamit. Kedua tan-
gannya perlahan diangkat dan disejajarkan dada.
Mendapati hal demikian, murid Wong
Agung tak tinggal diam. Dengan masih menahan
rasa sakit pada dada dan tangannya, dia bergerak bangkit. Tenaga dalamnya cepat
disalurkan pada
kedua telapak tangannya.
Saat itulah, di seberang sana terdengar
Dewi Bunga Iblis membentak garang. Kedua tan-
gannya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Lalu serta-merta disentakkan lurus
ke depan. Sebongkah awan hitam menggelembung
melesat cepat ke arah Pendekar 108. Di tengah jalan, bongkahan awan hitam itu
ambyar. Lalu ber-
tebaran beberapa bunga hitam! Bunga-bunga hi-
tam ini segera melesat dari segala jurusan. Setiap bunga meluncur dengan angin
dahsyat mendahului!
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat tarik
tangannya dan segera dihantamkan ke depan.
Wuuutt! Wuuuttt!
Dua larik sinar biru membersit, sekejap
kemudian mengembang. Bersamaan dengan itu
terdengar letupan beberapa kali. Setiap letupan memancarkan lidah api, lalu
terlihat berhambu-rannya bunga-bunga hitam.
Ketika pukulan Mutiara Biru yang dilepas
Aji menghantam satu persatu bunga hitam, Dewi
Bunga Iblis selinapkan tangan kanannya ke balik pakaiannya, lalu tangan kanan
itu disentakkan
ke depan. Tiga bunga hitam agak besar yang kelua-
rkan suara mendengung keras meluncur deras.
Begitu derasnya lesatan bunga hitam ini, hingga murid Wong Agung sempat
tercekat, karena tahu-tahu tiga kuntum bunga tadi telah berada satu
depa di hadapannya. Hal ini tidak memungkinkan
baginya untuk melepaskan lagi pukulan Mutiara
Biru. Hingga dengan berseru keras, dia melompat ke belakang, lalu kakinya
menjejak tanah. Tubuhnya lantas melenting ke udara mengelak dari
hujaman tiga bunga hitam.
Gerakan murid Wong Agung ini memang
berhasil menyelamatkan tubuhnya dari hujaman
dua bunga hitam yang jelas mengandung racun
ganas itu. Namun satu kuntum lainnya sempat
menyergap dan menyerempet lengan kanannya.
Brettt! Wuuusss! Baju bagian lengan Aji langsung robek dan
terbakar. Murid Wong Agung ini berteriak keras.
Begitu mendarat dia segera memeriksa. Ternyata
kulit di balik pakaiannya yang robek mengem-
bung dan berwarna hitam!
"Untung kulitnya tidak tertembus, hingga
racun bunga itu tidak masuk!" gumam Aji dengan mata berkilat-kilat. Dagunya
mengembung dan terangkat. "Keparat! Dia masih bisa menghindar dari
bunga-bungaku. Kalau tidak kuselesaikan segera, bukan tak mungkin aku yang akan
dapat celaka! Dan nyawaku makin di ujung tanduk!" Memikir sampai di situ, Dewi Bunga Iblis
cepat selinapkan
kembali tangan kanannya ke balik pakaiannya.
"Dia akan menyerang lagi dengan bunga-
bunga keparat itu! Hmm.... Kali ini tak akan kubiarkan dia berlaku semena-mena!"
bisik Aji. Lalu murid Wong Agung itu tarik tangan kirinya ke belakang. Sementara
tangan kanannya menyelinap
ke pinggang di mana tersimpan kipas ungunya.
Namun baru saja tangan Aji bergerak, Dewi
Bunga Iblis telah melompat ke depan. Di atas
udara, tubuhnya berputar, lalu lenyap dari pan-
dangan. Aji tak tinggal diam. Sambil melirik menca-
ri tahu di mana beradanya lawan. Dia pun ikut
melenting ke udara, membuat Dewi Bunga Iblis
terperanjat karena tidak menduga, dan lebih tercekat lagi, karena begitu di
udara kaki Aji cepat menerjang sementara tangan kanan kiri menyergap dari arah
samping. "Jahanam!" maki Dewi Bunga Iblis. Dalam keadaan demikian rupa, terlalu besar
resiko bagi nenek ini jika menghindar, karena serangan itu
datang dari arah depan dan samping. Maka satu-
satunya jalan adalah menyongsong serangan den-
gan sentakan tangan ke samping kiri dan kanan
sementara kakinya melejang ke depan.
Prak! Prak! Prakkk!
Terjadilah bentrok dua pasang tangan dan
kaki. Dewi Bunga Iblis berseru tertahan, tubuh-
nya terdorong ke belakang, namun nenek ini ce-
pat kerahkan tenaga dalam, hingga tubuhnya
kembali melesat ke depan. Di depan, Aji meringis,
namun begitu mendapati lawan melesat lagi, ke-
dua tangan dan kakinya segera dihentakkan me-
mapak gerakan tangan dan kaki Dewi Bunga Ib-
lis. Lagi-lagi terjadi bentrok dua pasang tangan
dan kaki. Suara beradunya makin keras, karena
kedua orang ini sama-sama keluarkan segenap
tenaga dalamnya. Dari mulut Dewi Bunga Iblis
kembali terdengar suara seruan tertahan. Tubuh-
nya terlihat bergetar lalu melayang jatuh bergulingan di atas tanah. Si nenek
yang bernafsu ingin membunuh Pendekar 108 segera bergerak bangkit
meski dia tahu, bahwa dirinya telah terluka da-
lam, karena dari sudut bibir dan hidungnya telah mengeluarkan darah kehitaman.
Namun baru sa-ja setengah tegak, tubuhnya limbung dan akhir-
nya jatuh lagi terkapar di atas tanah.
Di seberang, murid Wong Agung jatuh ter-
duduk. Untuk beberapa lama dia pejamkan sepa-
sang matanya. Setelah peredaran darahnya dirasa normal lagi, dibuka matanya dan
memandang ke depan. Dewi Bunga Iblis masih tampak terkapar,
dan berusaha menggeliat bangkit. Namun begitu
hendak duduk, tubuhnya oleng dan terkapar lagi.
Hingga pada akhirnya nenek ini hanya bisa ang-
kat tubuhnya dengan posisi miring sambil bersi-
tekan pada pinggangnya. Sepasang matanya lurus
memandang tajam ke arah Pendekar 108 yang te-
lah berdiri. "Bodohnya diriku! Kenapa aku melaya-
ninya bertukar pukulan secara langsung. Tena-
ganya tentu lebih kuat dariku yang sudah renta
ini! Sialan!" Dewi Bunga Iblis memaki dirinya sendiri. Namun diam-diam nenek ini
salurkan si-sa-sisa tenaganya begitu tampak Pendekar Mata
Keranjang 108 melangkah ke arahnya.
Tujuh langkah di depan si nenek, Aji henti-
kan langkah. Sejenak dia mengawasi keadaan
orang tua yang tak mau bangkit itu.
"Tak pantas rasanya menghabisi orang tua
yang sudah tak berdaya, meski dia menginginkan
nyawaku!" ujar Aji dalam hati. Lalu tanpa berkata-kata lagi dia balikan tubuh
dan hendak me- ninggalkan tempat itu.
'Setan alas! Apa dikira aku telah kalah"!
He..."!" rutuk Dewi Bunga Iblis. Sekonyong-konyong, dengan menggulingkan
tubuhnya, ke- dua tangannya dihantamkan ke depan.
Gelombang angin dahsyat yang keluarkan
suara menggemuruh melesat ke arah Pendekar
108 yang melangkah memunggungi.
Aji melengak tegang. Dia tak menyangka ji-
ka si nenek masih bisa lancarkan pukulan. Sece-
pat kilat dia putar tubuhnya dan hantamkan ke-
dua tangannya. Namun sebelum kedua tangan murid Wong
Agung ini menghantam, sesosok bayangan berke-
lebat. Bersamaan dengan itu, terdengar seruan.
"Nenek tak tahu malu! Dikasihani orang
malah menyerang dari belakang!" Lalu terdengar deru angin, dan tiba-tiba angin
pukulan Dewi Bunga Iblis terpencar sebelum sampai sasaran.
"Jahanam tengkik! Siapa berani ikut uru-
sanku!" teriak Dewi Bunga Iblis marah. Karena dia yakin seandainya pukulannya
tak dipatahkan orang, bukan tidak mungkin pukulannya akan
menghantam telak Pendekar Mata Keranjang.
Baik Pendekar 108 maupun Dewi Bunga
Iblis segera berpaling ke samping. Di situ berdiri sesosok tubuh. Tangan
kanannya yang baru saja
mengibaskan jubah yang dikenakannya dan
mampu mematahkan pukulan Dewi Bunga Iblis
diturunkan. Sepasang matanya lantas meman-
dang silih berganti pada Pendekar 108 dan Dewi
Bunga Iblis. DUA DIA adalah seorang anak perempuan mun-
gil berusia kira-kira sepuluh tahun. Mengenakan jubah panjang sebatas lutut
berwarna putih.
Rambutnya hitam lebat dan dikuncir banyak den-
gan diikat pita berwarna-warni. Wajahnya bulat
dengan mata bundar. Alis kedua matanya tebal,
bulu-bulu matanya lentik, sementara hidungnya
mancung. Meski anak kecil, namun dengan men-
genakan pakaian berupa jubah demikian, tam-
pang anak perempuan ini tampak anggun berwi-
bawa. Sejurus Dewi Bunga Iblis memperhatikan
si anak dengan tatapan heran bercampur kagum.
Malah dia hampir tak mempercayai pandangan
matanya ketika pukulannya begitu mudah dipa-
tahkan oleh seorang anak kecil. Namun kehera-
nannya berubah saat dia teringat bahwa dengan
kemunculan anak ini, jiwa Pendekar Mata Keran-
jang 108 bisa selamat, dan itu membuat nya-
wanya makin terancam. Apalagi keadaannya se-
karang tidak memungkinkan lagi baginya untuk
meladeni Pendekar 108.
Seraya telentang, Dewi Bunga Iblis kelua-
rkan hardikan keras.
"Anak kurang ajar! Siapa kau berani ikut
campur urusan orang tua"!"
Si anak mainkan beberapa kuncir rambut-
nya. Wajahnya tidak menampakkan perubahan
meski baru saja dibentak orang. Malah dengan
bibir sunggingkan senyum dia berkata ramah.
"Nek! Harap kau tak marah. Bukan mak-
sudku ikut campur urusan orang-orang besar.
Namun....," si anak tak teruskan ucapannya, karena saat itu juga Dewi Bunga
Iblis telah menyahut kembali dengan suara tinggi.
"Sudah! Jangan banyak bicara. Sebutkan
siapa namamu! Lalu lekas tinggalkan tempat ini!"
Si anak berjubah putih berpaling pada
Pendekar 108 seakan minta pertimbangan. Na-
mun Aji tak memberikan sambutan. Malah dia
dongakan kepala.
"Siapa anak ini" Melihat gerakannya juga
kedatangannya yang begitu tiba-tiba dan tak dapat kusiasati sebelumnya, bukan
tak mungkin anak ini mempunyai ilmu tinggi...," kata Aji dalam hati. Lalu luruskan kembali
kepalanya memandang ke arah si anak.
Saat itu si anak memandang lekat-lekat
pada Dewi Bunga Iblis, lalu berkata. Suaranya tetap rendah dan ramah.


Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nek.... Namaku Putri Kipas. Kau sendiri
siapa. Nek"!" si anak yang mengaku bernama Putri Kipas balik ajukan tanya.
Dewi Bunga Iblis mendengus keras. Sepa-
sang matanya tetap tak kesiap memandang ke
arah Putri Kipas.
"Putri Kipas.... Hmm.... Kalau benar-benar bernama itu, mana kipasnya" Atau dia
hanya mengada-ada"!" batin si nenek seraya sapukan pandangannya pada sekujur tubuh
Putri Kipas. Mencari-cari sesuatu.
Seakan tahu apa yang ada dalam benak
Dewi Bunga Iblis, Putri Kipas selinapkan kedua
tangannya ke balik jubah putihnya. Begitu ditarik keluar kembali, terlihat di
tangan kanan kiri terlihat memegang masing-masing tiga buah kipas
berwarna-warni. Dengan gerak cepat, kedua tan-
gannya lalu menyentak. Tiba-tiba enam kipas li-
pat berwarna-warni di tangannya mengembang.
Kipas itu tersusun rapi dengan dua jari masing-
masing mengepit satu ujung pangkal kipas. Lalu dengan enaknya tangan kiri
kanannya bergerak
pulang balik ke samping, membuat gerakan se-
perti orang berkipas-kipas.
"Hebat! Aku belum tentu mampu berbuat
sepertinya!" kata Aji dalam hati seraya terus memperhatikan si anak.
Sementara itu, melihat Putri Kipas seakan
bisa membaca jalan pikirannya, diam-diam Dewi
Bunga Iblis terkesiap. Sepasang matanya makin
membeliak. Dan wajahnya berubah saat Putri Ki-
pas sambil tersenyum dan tetap berkipas-kipas
melangkah ke arahnya.
"Apa yang hendak dilakukannya padaku"
Kalau dia berbuat macam-macam...," Dewi Bunga Iblis tak meneruskan kata hatinya,
karena tiba-tiba saja Putri Kipas telah berdiri tegak di sebelahnya, dan berkata
pelan. "Nek.... Kau tampaknya terluka. Hmm....
Boleh aku memijitnya"!"
Dewi Bunga Iblis menatap tajam. Mulutnya
tidak keluarkan ucapan menolak atau menerima.
Kepalanya pun tak memberi isyarat dengan
menggeleng atau mengangguk. Bahkan ketika Pu-
tri Kipas sentakan tangan kanan kirinya untuk
melipat kipasnya, dan lantas jongkok di sebelahnya, nenek ini tetap diam.
Setelah menyimpan beberapa kipasnya ke
balik jubah putihnya, tanpa melihat pada peru-
bahan wajah Dewi Bunga Iblis yang serentak be-
rubah tatkala tangan Putri Kipas mulai bergerak memijit kakinya, anak perempuan
ini terus memijit kaki si nenek.
Tiba-tiba Dewi Bunga Iblis tercekat hampir
tak percaya. Kakinya yang tadi seolah tak bisa digerakkan akibat bentrok dengan
kaki Pendekar 108 kini perlahan-lahan bisa digerakkan. Malah
rasa sakit dan nyeri di kakinya lenyap!
"Nek.... Tanganmu!" kata Putri Kipas dengan ulurkan tangannya memberi isyarat
agar De- wi Bunga Iblis julurkan kedua tangannya ke de-
pan. Dengan mata tetap tak kesiap memandang,
Dewi Bunga Iblis ulurkan kedua tangannya ke
depan. Putri Kipas mengusap-usap sebentar, lalu memijit. Dewi Bunga Iblis
merasakan darahnya
berjalan normal kembali, dan tangannya tidak terasa ngilu lagi.
"Sekarang cobalah gerakan kedua kaki dan
tanganmu!" ujar Putri Kipas seraya bergerak bangkit
Tanpa banyak bicara lagi, Dewi Bunga Iblis
gerakan kaki dan tangannya. Merasa tak lagi sa-
kit, nenek ini coba bergerak bangkit. Mula-mula perlahan-lahan, takut jika akan
roboh lagi. Dan begitu telah berdiri tegak dan tubuhnya tidak lagi limbung, Dewi
Bunga iblis segera berpaling pada Putri Kipas.
"Putri Kipas.... Terima kasih atas pertolonganmu! Kalau boleh tahu, siapakah kau
sebenar- nya" Kau pasti murid seorang tokoh rimba persi-
latan.... Betul?" katanya seraya ekor matanya melirik Pendekar 108 yang sedari
tadi tetap tegak di-am sambil melihat ke arah Putri Kipas.
Ditanya demikian, Putri Kipas tidak segera
menjawab. Malah dia serentak tertawa lebar. Lalu mempermainkan pita-pita di
rambutnya. "Nek.... Kau tadi belum jawab pertanyaan-
ku!" Putri Kipas menggumam seolah mengin-
gatkan. Sekejap paras wajah Dewi Bunga Iblis be-
rubah. Namun sesaat kemudian ia tersenyum,
meski tampak sekali jika senyumnya dipaksakan.
"Putri Kipas.... Namaku, ah! Orang-orang
memanggilku Dewi Bunga Iblis!"
Putri Kipas keluarkan seruan kecil seakan
terkejut mendengar si nenek sebutkan dirinya.
"Nama bagus, tapi menakutkan!" ujarnya sambil turunkan tangan dari mulutnya yang
tadi dibuat membekap agar seruannya tidak terden-
gar. Dewi Bunga Iblis tengadahkan kepalanya.
Dalam hati, nenek ini diam-diam membatin.
"Aku tahu, sikapnya itu hanya pura-pura.
Tak mungkin dia gentar hanya karena mendengar
nama! Hmm.... Sekarang bagaimana" Apa akan
kulanjutkan urusanku dengan pemuda itu" Atau
untuk sementara kutunda dahulu" Meski hal itu
akan mendekatkan diriku pada kematian?"
Dewi Bunga Iblis tampak bimbang. Antara
melanjutkan urusannya dengan Pendekar 108
atau menunda urusan. Nenek ini ragu-ragu, ka-
rena meski tubuhnya telah bisa tegak kembali
dan kedua tangan dan kakinya tidak terasa sakit, namun tenaga dalamnya belum
bisa sepenuhnya
pulih. Jika dia melanjutkan urusan, bukan tak
mungkin dia akan celaka sendiri, namun jika dia menunda urusan, berarti hari
kematiannya akan
lebih dekat lagi. Dan jika sampai menunda uru-
san lalu mencari jejak Pendekar 108 dan tak bisa menemukannya, maka racun yang
bersarang di tubuhnya akan perlahan-lahan membawanya ke
liang kematian.
"Nek...!" tiba-tiba Putri Kipas berseru mem-buyarkan kata hati Dewi Bunga Iblis.
"Kau memikirkan sesuatu" Atau..."!" Putri Kipas tak meneruskan ucapannya karena
Dewi Bunga Iblis telah
luruskan kembali kepalanya dan memandang le-
kat-lekat ke arahnya.
"Kalau urusan ini kuteruskan, anak ini
pasti akan membantu pemuda itu! Aku curiga,
mungkin antara keduanya sudah saling kenal!
Hanya mereka berpura-pura saling tak kenal di
hadapanku. Kalau tak saling kenal, tak mungkin
anak ini tadi mematahkan pukulanku! Hmm....
Terpaksa kali ini aku..." Dewi Bunga Iblis gelengkan kepalanya. Lalu tanpa
berkata lagi, dia berkelebat meninggalkan tempat itu.
Putri Kipas sejenak memandang ke arah
berkelebatnya Dewi Bunga Iblis, dan begitu sosok sang nenek tak terlihat lagi,
anak ini berpaling pada Pendekar Mata Keranjang yang juga sedang
memandang ke arah berkelebatnya Dewi Bunga
Iblis. Putri Kipas melangkah mendekat, lalu berkata. "Kalau tak keberatan,
sudikah memberitahu siapa kau adanya" Kulihat kau mempunyai
ilmu tinggi, dan mungkin kau adalah salah satu
tokoh dunia persilatan. Aku gembira sekali dapat
bertemu dengan tokoh berilmu tinggi yang tidak
mau bertindak semena-mena pada orang!"
"Hmm.... Kenapa kau berkata begitu?" Putri Kipas tersenyum lebar. Lalu melangkah
lebih mendekat.
"Kalau kau mau, tak sulit membuat nenek
tadi roboh untuk selamanya. Namun hal itu tak
kau lakukan, meski sebelumnya nenek tadi begitu ingin membunuhmu! Boleh tahu
siapa kau"!"
kembali Putri Kipas ajukan tanya.
Pendekar 108 usap-usap ujung hidungnya.
Sepasang matanya melirik sejenak pada Putri Ki-
pas. "Jadi anak ini sudah sejak tadi berada di sini! Aku makin yakin anak ini
bukan sembaran-gan. Pijatannya mampu membuat Dewi Bunga Ib-
lis bisa tegak kembali, dan kehadirannya di sini tak dapat kuketahui...," batin
Aji. Lalu berkata.
"Dugaanmu keliru. Aku bukan tokoh rimba
persilatan. Namaku Aji. Seorang pengelana jala-
nan yang melangkah menurutkan ke mana kaki
mengayun!"
Putri Kipas besarkan bola matanya. Me-
mandang pada Aji dari bawah hingga atas. Lalu
melangkah mengitari Aji sambil manggut-
manggut. "Boleh tahu, kenapa nenek tadi ingin sekali mencederaimu"!"
"Masalah sepele...," jawab Aji seenaknya.
"Dia hanya ingin mengajakku ke tempatnya, karena kakiku berat melangkah
mengikutinya, ter-
paksa aku menolak ajakannya!"
"Boleh tahu, kenapa nenek itu ingin sekali mengajakmu ke tempatnya"!"
"Sialan! Ini anak ingin tahu apa menyeli-
dik"!" pikir Aji seraya putar tubuhnya, karena Putri Kipas berada di
belakangnya. "Eh, kenapa kau ingin sekali tahu masa-
lahku dengan nenek itu"!" Aji balik ajukan tanya.
Putri Kipas mainkan pita pada kuncir ram-
butnya. Lalu kepalanya bergerak menggeleng.
"Tidak apa-apa. Hanya aku heran. Apakah
mungkin hanya karena ditolak ajakannya lalu dia hendak berbuat jahat padamu?"
Pendekar Mata Keranjang 108 menarik na-
pas dalam-dalam. Pandangan matanya beralih ke
tempat lain. "Itulah manusia. Selalu ingin memaksakan
kehendak meski dia tahu bahwa segalanya terba-
tas! Selalu ingin minta lebih dari apa yang telah diperoleh!"
"Ah, kau menyindirku! Baiklah. Aku tak
akan memaksamu menjawab pertanyaanku...,"
ujar Putri Kipas seakan mengerti ucapan Aji. Lalu dia tengadahkan kepalanya
memandang langit.
"Astaga!" kata Putri Kipas seakan terkejut.
"Ternyata sudah hampir tengah hari. Aku harus segera pergi.... "
Habis berkata begitu, Putri Kipas anggukan
kepalanya. Lalu putar tubuhnya dan hendak me-
langkah pergi. Namun langkahnya tertahan tatka-
la didengarnya Aji menahan.
"Tunggu!" seru Aji seraya melangkah menjajari. Putri Kipas palingkan wajahnya.
"Kau ingin mengatakan sesuatu"!" ujarnya ketika ditunggu agak lama Aji tidak
buka mulut. "Kau hendak ke mana"!" tanya Pendekar 108. Meski sebenarnya bukan pertanyaan itu
yang akan ditanyakan.
"Sepertimu. Aku juga adalah pengelana.
Tidak punya tempat tinggal. Dan melangkah ke
mana kaki bergerak! kenapa"!"
"Hmm.... Kau ini siapa sebenarnya"!" tanya Aji pada akhirnya, mengutarakan apa
yang masih mengganjal di benaknya.
Putri Kipas tertawa. Kepalanya digerakkan
menggeleng. "Jangankan kau. Aku sendiri tak tahu sia-
pa diriku! Aku sendiri heran. Tapi itulah kenya-taannya!"
Jawaban Putri Kipas membuat murid Wong
Agung tertegun. Sambil garuk-garuk tengkuknya
dia bergumam. "Ternyata bukan hanya orang-orang tua
yang bisa berbuat aneh-aneh. Anak kecil pun da-
pat melakukannya...."
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas ang-
gukan kepala, seakan memberi isyarat agar Putri Kipas melanjutkan langkahnya.
Namun baru saja
kepalanya bergerak, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara menggemuruh
dahsyat. Sesaat
kemudian melesat cepat gelombang angin ke arah
mereka berdua. Berpaling, murid Wong Agung ini tercekat.
Sambil memaki habis-habisan tangan kanannya
bergerak menggamit lengan Putri Kipas yang
hanya tegak melongo. Lalu kakinya menjejak ta-
nah. Tubuhnya melesat ke udara sambil meng-
gamit tubuh Putri Kipas. Begitu gelombang angin lewat di bawah kakinya, Aji
segera mendarat. Setelah lepaskan gamitannya pada lengan Putri Ki-
pas, sepasang matanya segera menyapu berkelil-
ing. Saat itulah, dari balik sebuah pohon mun-
cul sesosok tubuh. Paras wajah Pendekar 108 se-
rentak berubah saat mengetahui siapa adanya
orang yang muncul.
"He.... Kau tampaknya takut. Kau kenal
orang itu" Siapa dia"!" Putri Kipas menjajari dan berbisik.
Pendekar Mata Keranjang tak menyahuti
ucapan Putri Kipas. Sepasang matanya nanar
memandang ke depan. Mulutnya komat-kamit
seakan hendak mengucapkan sesuatu, namun
yang terdengar adalah gumaman tak jelas.
Sosok yang baru muncul melangkah. Lalu
berhenti delapan langkah di depan Aji. Sepasang matanya menyengat tajam
memperhatikan Aji, la-lu ke samping ke arah Putri Kipas. Tiba-tiba dari mulutnya
terdengar bentakan keras.
"Mana dia"!"
"Dia siapa"!" Aji balik bertanya.
Orang di hadapan Aji keluarkan tawa men-
gekeh panjang. Puas tertawa dia kembali meng-
hardik. "Kau jangan pura-pura! Mana manusia banci yang bergelar Pendekar Mata
Keranjang 108 itu"!"
TIGA WAH, celaka! Bagaimana sekarang" Apa
mungkin dia tahu bahwa waktu itu Setan Pesolek
pergi bersamaku" Dia pasti minta pertanggung
jawabanku! Untungnya dia masih menganggap
orang yang bergelar Pendekar Mata Keranjang
108 adalah Setan Pesolek. Hmm.... Sedapat


Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin aku harus bisa menyembunyikan kipas
ini. Karena dia hanya mengetahui bahwa orang
yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 ada-
lah orang yang memegang kipas ungu bergurat
angka 108!" kata Aji dalam hati seraya meraba pinggangnya di mana tersimpan
kipas miliknya.
"Sekali lagi kau tak jawab pertanyaanku,
kurobek mulutmu!" orang di hadapan Pendekar Mata Keranjang kembali membentak
lantang. Dia adalah seorang pemuda berwajah tam-
pan. Mengenakan jubah besar berwarna hitam
yang melapis baju warna putih. Pada dada baju
putihnya terlihat sebuah lukisan berbentuk pintu gerbang. Sepasang matanya
tajam. Dagunya kokoh. Rambutnya panjang dan dibiarkan bergerai.
"Sobatku Dewa Maut! Sewaktu terjadi per-
kelahian itu, aku buru-buru menghindar. Jadi
aku tak tahu lagi ke mana perginya Pendekar Ma-
ta keranjang 108! Malah karena begitu terburu-
buru, gadis yang kau berikan padaku sebagai im-
balan itu juga tak sempat kubawa serta! Aku me-
nyesal. Tak jadi menikmati hangat tubuhnya!" jelas Aji dengan wajah sedikit
murung. Namun ekor matanya melirik pada Putri Kipas. Dia tahu, tak pantas
mengucapkan hal demikian di muka gadis
cilik itu, namun karena ingin menyembunyikan
siapa dirinya, lebih-lebih ingin mengetahui apa sebabnya orang yang bergelar
Dewa Maut ini tiba-tiba mencarinya dan hendak membunuhnya, ma-
ka terpaksa Aji mengucapkan hal yang kurang
layak didengar anak sekecil Putri Kipas.
Putri Kipas sendiri sempat terkejut men-
dengar ucapan Aji. Namun tatkala dia melihat Aji melirik padanya begitu selesai
bicara, anak ini seakan mengerti.
Mendengar keterangan Aji, pemuda berju-
bah hitam dan bukan lain memang Dewa Maut,
keluarkan dengusan keras. Parasnya berubah
mengeras. Matanya membeliak berkilat.
"Waktu itu kau muncul bersama dengan-
nya. Bukan tak mungkin kau adalah temannya!
Sekarang tuhjukkan padaku, di mana adanya
Pendekar Mata Keranjang 108 itu!"
Seperti dituturkan pada episode : "Takha
Setan", karena ingin menyelamatkan Dewi Tengkorak Hitam yang akan dibawa Dewa
Maut, Aji yang saat itu bersembunyi bersama Setan Pesolek
keluar dari tempat persembunyiannya. Namun
sebelum dia sengaja menjatuhkan kipas ungunya
dengan harapan Setan Pesolek mengambilnya.
Dan perkiraan Aji tidak meleset. Setan Pesolek
akhirnya menemukan kipas Aji. Saat itulah Aji
menunjukkan di mana beradanya Setan Pesolek
dengan menyebutnya sebagai Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. Karena Dewa Maut hanya mengeta-
hui bahwa yang dicarinya adalah orang bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108 dengan senjata ki-
pas ungu bergurat angka 108, maka begitu Setan
Pesolek keluar dari persembunyiannya dan berki-
pas-kipas dengan kipas ungu milik Aji, Dewa
Maut tanpa pikir panjang menduga bahwa Setan
Pesolek adalah Pendekar Mata Keranjang 108.
Orang yang dicari dan sekaligus harus dibunuh-
nya! Aji dongakan kepala. Lalu dari mulutnya
terdengar suara tawa mengekeh panjang.
"Dewa Maut! Sebenarnya saat itu aku
hanya mengira-gira saja. Karena kulihat orang itu berkipas-kipas dengan kipas
ungu berangka 108.
Yang kubutuhkan saat itu sebenarnya adalah ga-
dis yang hendak kau bawa itu! Bukan karena apa, aku adalah seorang pemuda
jalanan yang tak tentu juntrungan. Melihat gadis bertubuh bahenol di pundakmu,
aku tertarik. Lalu aku coba mengira-ngira orang yang kau cari adalah orang itu.
Tak tahunya perkiraanku tidak salah. Jadi aku bukan temannya Pendekar Mata
Keranjang 108! Dan
tentu tidak tahu ke mana dia pergi...." Aji menje-
laskan seraya tetap mendongak, namun sesekali
ekor matanya melirik pada Putri Kipas.
"Seandainya aku tahu ke mana perginya
orang itu, tentu akan kukatakan padamu!" sambung Aji dengan luruskan kepalanya.
Sejenak dia menarik napas dalam-dalam. Dan saat dilihatnya
Dewa Maut masih tak menyambuti ucapannya,
Aji kembali meneruskan bicaranya.
"Hmm.... Sebenarnya apa ada silang seng-
keta antara kau dengan Pendekar Mata Keranjang
108 itu" Atau barangkali dendam"!"
Dewa Maut menyeringai dengan mata me-
mandang menyelidik.
"Kau banyak omong dan pandai bicara.
Siapa kau sebenarnya"!" Aji tertawa.
"Orang yang sedang diamuk hawa amarah
biasanya memang jadi pelupa. Sebenarnya aku
sudah pernah mengatakannya padamu saat itu.
Tapi tak apalah jika kau lupa. Namaku Aji. Seo-
rang pengelana jalanan!"
"Hm.... Aku curiga pada pemuda ini. Dia
mengaku seorang pengelana jalanan. Namun me-
lihat gerakannya saat menghindari pukulanku ta-
di, manusia ini berilmu. Tapi.... Ah, dia tak menggunakan senjata seperti orang
yang kucari!" kata Dewa Maut dalam hati. Lalu pandangannya beralih pada Putri
Kipas. "Siapa pula anak ini" Sewaktu ditarik me-
layang, oleh pemuda itu dia tak menunjukkan ra-
sa takut atau keluarkan jeritan. Jika anak biasa, mungkin sudah pucat pasi
bahkan bisa terkenc-
ing-kencing...."
Tiba-tiba sepasang mata Dewa Maut men-
delik besar. Memandang lekat-lekat pada lengan
Aji yang pakaiannya robek dan kulitnya mengem-
bung hitam. Seakan tahu apa yang dipikirkan Dewa
Maut, sebelum Dewa Maut buka mulut, Aji telah
mendahului bicara.
"Aku baru saja bergumul dengan seorang
nenek gila yang hendak membawa anak ini! Ne-
nek itu menusukkan senjatanya pada lenganku.
Untung waktu itu aku sempat menggigit tangan-
nya, hingga senjatanya hanya menyerempet!"
"Benar! Dia memang baru saja berguling-
gulingan dengan nenek gila itu!" Putri Kipas menyahut ucapan Aji.
Dewa Maut tidak menyahuti ucapan kedua.
orang di hadapannya, membuat Aji dan Putri Ki-
pas saling pandang satu sama lain. Namun Aji
cepat kerdipkan sebelah matanya begitu terlihat Putri Kipas hendak buka mulut.
Hingga gadis cilik ini urungkan niat untuk bicara.
"Dengar!" tiba-tiba Dewa Maut angkat bicara. Kepalanya berpaling memandang
jurusan lain. "Hari ini nasib baik masih berpihak pada-
mu. Tapi sekali lagi kau bertemu denganku dan
tak dapat menunjukkan di mana beradanya Pen-
dekar Mata Keranjang 108, kau tahu apa yang
akan menimpamu!"
Habis berkata begitu, Dewa Maut putar tu-
buhnya dan melesat meninggalkan tempat itu.
Begitu Dewa Maut berkelebat dan tak terli-
hat lagi, Putri Kipas melangkah ke depan. Lalu
putar tubuhnya dan kini menghadap lurus ke
arah Aji. "Kau tampaknya ketakutan sekali terhadap
pemuda itu. Siapa dia sebenarnya" Dan aku tahu, ucapanmu tadi dusta. Apa
sebenarnya yang kau
sembunyikan terhadapnya"!"
"Hmm.... Anak ini pandai menduga. Namun
untuk urusan ini tidak mungkin kuceritakan te-
rus terang padanya!" Lantas sambil tertawa pelan, Aji berkata.
"Dia mengaku bernama Dewa Maut. Siapa
sebenarnya dia aku tak tahu. Aku hanya sempat
bertemu sekali. Hanya saja dia sedang mencari
seorang pemuda bergelar Pendekar Mata Keran-
jang 108. Mana aku tahu pemuda yang dicarinya"
Dari pada ngurusi orang, kupikir lebih baik ngurusi diri sendiri. Bukankah
begitu?" Meski dengan kening mengernyit, akhirnya
Putri Kipas anggukan kepala.
"Putri Kipas. Dewa Maut tampaknya orang
yang pemarah dan mungkin saja pendiriannya
cepat berubah. Bisa saja mendadak dia muncul
lagi di sini, dan mengubah apa yang tadi dikatakannya. Sebelum hal itu terjadi,
sebaiknya aku harus lekas tinggalkan tempat ini!"
"Hmm.... Jika itu pendapatmu, aku pun
akan segera tingalkan tempat ini pula!"
Sejurus Aji memandangi anak perempuan
berjubah putih itu. Lalu setelah tersenyum dan
kerdipkan sebelah matanya, murid Wong Agung
ini berkelebat meninggalkan tempat itu.
Putri Kipas sejenak memandangi kepergian
Aji. Setelah celingak-cellnguk sebentar, anak ini pun akhirnya menghambur ke
arah mana Aji berkelebat.
EMPAT MURID Wong Agung terus berlari menuruni
kaki bukit. Namun baru saja kakinya menginjak
hamparan tanah terbuka yang hanya ditumbuhi
pohon-pohon pinus tiba-tiba terdengar suara ta-
wa tergelak-gelak, membuat Aji serentak hentikan larinya. Dan tanpa pikir
panjang lagi segera berkelebat menyelinap ke balik salah satu batang
pohon pinus. Murid Wong Agung tidak menunggu lama.
Bersamaan dengan terlindungnya tubuh ke balik
batang pohon, suara tawa berhenti. Lalu disusul dengan terdengarnya suara.
Nadanya tinggi dan
bergetar. "Hendak lari ke mana kau, Anak Jaha-
nam"!" Pendekar 108 beliakan sepasang matanya dan disapukan berkeliling. Paras
wajahnya berubah seketika. Tengkuknya merinding, karena se-
telah sekian lama mencari, matanya tak mene-
mukan siapa-siapa.
"Celaka! Rupanya dia tak pergi seperti yang kuduga sebelumnya! Bagaimana kalau
dia menge- tahui bahwa selama ini aku berdusta padanya"
Dan mengetahui bahwa orang yang dicarinya ada-
lah aku..."!"
Murid Wong Agung yang diam-diam men-
duga bahwa orang yang baru saja keluarkan tawa
dan perdengarkan suara adalah Dewa Maut, sege-
ra salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya
lalu menunggu dengan tangan siap dipukulkan.
"Tak ada jalan lain. Dia terang-terangan ingin membunuhku, aku tak akan tinggal
diam! Meski sebenarnya aku masih ingin tahu, apa se-
babnya dia menginginkan selembar nyawaku...!
Padahal, rasa-rasanya aku belum...," Aji tidak meneruskan kata-katanya, karena
saat itu dari balik pohon pinus sepuluh langkah di samping-
nya muncul sesosok tubuh.
Pendekar 108 menarik napas lega, meski
sepasang matanya mendelik besar. Ternyata yang
muncul dari balik pohon bukannya Dewa Maut.
Untuk beberapa saat Pendekar 108 mem-
perhatikan sosok yang baru muncul. Dia adalah
seorang laki-laki berusia lanjut. Tubuhnya kurus.
Rambut dan jenggotnya telah putih serta panjang.
Dia bertelanjang dada, hingga tulang-tulang pada dada serta lambungnya tampak
jelas. Pakaian bawahnya hanya merupakan sebuah celana kolor
warna putih kusam. Meski telah tampak tua ren-
ta, namun sepasang matanya terlihat tajam dan
langkahnya tegap.
"Dadung Rantak!" gumam Pendekar 108
begitu mengenali siapa adanya kakek yang baru
muncul dan kini melangkah ke arahnya.
Orang tua yang baru muncul bukan lain
memang Dadung Rantak, seorang tokoh rimba
persilatan yang seperti dituturkan dalam episode :
"Dayang Naga Puspa") unjuk diri kembali setelah sekian puluh tahun tiada kabar
berita. Kemunculannya kembali selain ingin membalas kematian
adiknya yang tewas di tangan Wong Agung juga
untuk memburu Arca Dewi Bumi. Sekaligus men-
cari Ratu Pulau Merah, bekas kekasihnya di masa muda yang telah mengkhianati
dari menipu dirinya. Merasa orang telah mengetahui di mana
dia berada, murid Wong Agung segera keluar dari tempat persembunyiannya.
Dadung Rantak tengadahkan kepala. Dari
mulutnya keluar tawa mengekeh.
"Mata Keranjang! Membunuhmu bukan
pekerjaan sulit. Namun kau masih kuberi kesem-
patan hidup jika kau serahkan arca itu padaku!
Jika tidak, kau akan terlebih dahulu kukirim ke neraka, lalu menyusul gurumu!"
"Hmm.... Ternyata selama ini telah ada si-
lang sengketa antara Eyang Wong Agung dengan
orang tua ini!" pikir Pendekar 108 dalam hati. La-lu dia berujar.
"Orang tua! Kau terlambat meminta barang
itu! Orang yang berhak telah memintanya kemba-
li!" Dadung Rantak gerakan kepalanya lurus
ke depan. Sepasang matanya menyengat tajam
memandang, ke arah Aji. Bibirnya sunggingkan
senyum seringai.
"Oh, begitu"! Agaknya kau lebih sayang ba-
rang itu daripada nyawamu.... Berarti murid dan guru memang telah ditakdirkan
untuk mati di tanganku! Ha... Ha.... Ha...!"
Sambil terus tertawa mengekeh, Dadung
Rantak ulurkan tangan kanannya membuat gera-
kan seperti orang meminta. Tiba-tiba suara ta-
wanya diputus.

Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak akan bicara lagi!" katanya seraya anggukan kepala dan dekatkan tangan
ka- nannya yang meminta pada Aji.
"Orang tua! Aku telah mengatakan sesung-
guhnya. Terserah kau mau percaya apa tidak!"
kata Pendekar 108 seraya surutkan langkah satu
tindak ke belakang.
Dadung Rantak tarik pulang tangan ka-
nannya. Tangan itu lantas bergerak mengusap-
usap wajahnya yang telah mengeriput.
"Kau telah kuberi kesempatan. Namun ru-
panya kau lebih suka berkalang tanah! Itu mau-
mu. Jangan menyesal!"
Habis berkata begitu, Dadung Rantak sen-
takan tangan kanannya ke bawah. Tubuhnya
berputar cepat. Lalu lenyap dari hadapan Pende-
kar Mata Keranjang 108.
Belum sempat Pendekar 108 mengetahui di
mana beradanya Dadung Rantak. Tiba-tiba dari
arah samping kanan menyambar gelombang an-
gin dahsyat mendahului dua tangan yang berge-
rak menghantam ke arah kepala.
Murid Wong Agung cepat rundukan kepa-
lanya. Kaki kanannya diangkat dan dilejangkan
ke arah lambung lawan yang muncul tiba-tiba da-
ri arah kanannya. Namun hantaman kaki Pende-
kar 108 meleset, karena dengan gerakan gesit,
Dadung Rantak tarik pulang kedua tangannya
dan serta-merta dihantamkan ke bawah, mema-
pak terjangan kaki Aji.
Buk! Kaki Pendekar Mata Keranjang 108 mental
balik ke bawah dan menghujam tanah dengan de-
rasnya. Tanah yang terhantam kaki Pendekar 108
langsung terbongkar. Sementara tubuh Pendekar
108 terhuyung ke depan.
Dadung Rantak tak memberi kesempatan.
Bersamaan dengan terhuyungnya tubuh Pende-
kar 108, orang tua ini membuat gerakan berpu-
tar. Begitu mendarat, kaki kirinya diangkat se-
mentara kaki kanannya dibuat tumpuan tubuh-
nya. Serta-merta dia berputar setengah lingkaran, lalu kaki kirinya menghantam.
Desss! Dari mulut murid Wong Agung terdengar
suara tertahan. Bersamaan dengan itu sosoknya
mencelat sampai dua tombak ke belakang. Kedua
tangannya memegangi bahunya yang kena han-
taman kaki. Selagi dia berusaha menguasai diri
agar tidak jatuh terjengkang, di depan sana Da-
dung Rantak telah lepaskan pukulan dengan han-
tamkan kedua tangannya sekaligus!
Pendekar 108 mendengar suara deru
menggemuruh. Namun seketika itu tubuhnya
laksana dihantam gelombang dahsyat. Sadar
akan bahaya dan sebelum tubuhnya terseret dan
dibuat mental oleh kekuatan yang tidak tampak,
murid Wong Agung ini cepat melompat mundur.
Kedua tangannya segera ditarik ke belakang, dan serta-merta dihantamkan ke
depan. Sinar biru terlihat melesat keluar dari ke-
dua telapak tangan Pendekar Mata Keranjang
108, lalu mengembang dan merangsek lurus ke
arah Dadung Rantak.
Di seberang sana, Dadung Rantak terke-
siap. Dia cepat lipat gandakan tenaga dalamnya
lalu kedua tangannya mendorong.
Tiba-tiba sinar biru yang mengembang ter-
tahan. Pendekar 108 tidak tinggal diam. Kedua
tangannya kembali dipukulkan ke depan. Dadung
Rantak juga tak mau memberi kesempatan. Ber-
samaan dengan melesatnya sinar biru yang lalu
mengembang dan kini mendorong sinar biru yang
tertahan di udara, Dadung Rantak kembali do-
rong kedua tangannya.
Maka sekejap kemudian terjadilah adu te-
naga dalam di udara. Lalu disusul dengan terdengarnya ledakan keras beberapa
kali ketika ben-
trok tenaga dalam itu terjadi. Dan ledakan itu ba-ru sirap tatkala terlihat
tubuh Dadung Rantak
dan sosok Pendekar Mata Keranjang sama-sama
terhuyung ke belakang lalu terseret sebelum ak-
hirnya sama-sama jatuh terkapar di atas tanah!
Kedua orang ini dari bibir masing-masing
tampak mengeluarkan darah. Tubuh masing-
masing bergetar keras, sementara dadanya ber-
denyut nyeri. Dadung Rantak terlihat bergerak
hendak bangkit. Namun sesaat kemudian jatuh
berlutut dengan memegangi dadanya. Di sebe-
rang, murid Wong Agung terdengar mengerang,
namun tak berusaha merambat bangkit. Dia tetap
diam terkapar. Tapi diam-diam dia kerahkan te-
naga dalam. Setelah tubuhnya agak normal, dia
menggeliat, lalu bergerak duduk.
Saat itulah, tiba-tiba Dadung Rantak tekan
siku dan lututnya ke atas tanah. Mendadak tu-
buhnya terangkat setengah tombak ke udara, lalu melayang turun lagi. Begitu
mengantuk tanah,
tubuhnya mental lagi laksana baling-baling lalu berputar dan lenyap. Bersamaan
dengan itu mendadak udara berubah panas menyengat. Angin
berhenti berhembus.
"Dia pasti kerahkan pukulan andalannya!"
pikir Aji. Lalu secepat kilat dia meraba pinggangnya di mana tersimpan kipas
ungunya. Namun belum sempat Aji keluarkan kipasnya, Dadung
Rantak telah datang menggebrak.
"Selagi nyawa di kandung badan kau tak
mau serahkan benda itu. Tapi tak jadi soal.
mungkin kau menginginkan aku mengambilnya
saat nyawamu sudah melayang!" teriak Dadung Rantak. Kedua tangannya menyentak ke
depan. Saat itu, kakek ini telah lima langkah di hadapan Pendekar 108.
Hawa panas lenyap, angin laksana topan
melesat dari kedua tangan Dadung Rantak.
Pendekar 108 tersentak kaget. Karena ja-
raknya sudah demikian dekat, maka tiada jalan
lain baginya kecuali menangkis serangan lawan.
Namun murid Wong Agung ini tercekat sendiri,
karena ternyata kedua tangannya masih sulit un-
tuk digerakkan dengan cepat, hingga baru saja
kedua tangannya ditarik ke belakang dan belum
sampai dihantamkan, serangan Dadung Rantak
telah setengah depa di depan hidungnya!
Meski Pendekar Mata Keranjang 108 mam-
pu menangkis dengan lepaskan pukulan 'Mutiara
Biru', namun karena jaraknya demikian dekat,
maka bias yang diakibatkan bentrok pukulan
akan lebih membahayakan, belum lagi beradunya
tenaga dalam yang pasti menguras tenaganya. Ji-
ka keduanya terjadi, maka bukan tak mungkin
tubuhnya akan mental dan patah-patah! Hal de-
mikian dalam keadaan terjepit begitu masih ter-
lintas di benak murid Wong Agung ini. Hingga dia urungkan niat untuk lepaskan
pukulan sakti Mutiara Biru. Sebaliknya dia bergerak hendak balikkan tubuh dan
melesat, meski dia sadar, pukulan lawan tentu masih akan menyambarnya. Namun
tidak akan setelak jika dia menangkis.
Tapi sebelum dia bergerak balikan tubuh
dan melesat menghindar, tiba-tiba dua buah ben-
da hitam dan putih menderu dari arah samping
memapasi serangan Dadung Rantak.
Byarrr! Byarrr!
Dua benda hitam putih hancur beranta-
kan. Namun dalam waktu sekejap itu membuat
murid Wong Agung bisa balikan tubuh dan mele-
sat dengan selamat, walau karena terburu-buru
dia melesat ke samping kanan di mana terdapat
batang pohon pinus. Hingga tanpa ampun lagi
tubuhnya menghantam batang pohon dan bergu-
lingan di atas tanah.
"Bangsat! Ada orang selamatkan jiwanya!"
gumam Dadung Rantak. Lalu jerengkan sepasang
matanya. Saat itulah terdengar tawa bergelak-
gelak. Dadung Rantak palingkan wajah ke arah
sumber suara tawa. Mata orang tua ini mendelik
besar. Lalu kedua tangannya diusap-usap pada
matanya seolah tak mempercayai pandangannya.
Di sebelah samping, Pendekar 108 segera
bangkit dan palingkan pula kepalanya mencari
tahu siapa adanya orang yang memapasi seran-
gan Dadung Rantak. Seperti halnya Dadung Ran-
tak, murid Wong Agung ini pun membelalak. Ke-
ningnya mengkerut dengan mulut komat-kamit.
LIMA Di atas sebuah dahan pohon pinus, tam-
pak duduk sambil uncang-uncang kaki dan ber-
kipas-kipas seorang anak perempuan kecil. Dia
mengenakan jubah putih. Rambutnya dihiasi be-
berapa pita berwarna-warni.
"Hampir tak dapat kupercaya jika anak se-
kecil dia mampu mematahkan seranganku. Jan-
gan-jangan bukan dia, tapi ada orang lain.... Tapi, jelas sekali benda tadi
melesat dari arah situ!" batin Dadung Rantak. Lalu orang tua ini sapukan
pandangannya ke sekeliling, khawatir ada orang
lain. Namun dia tak menemukan orang itu.
"Dia lagi!" seru Aji begitu mengenali siapa adanya anak perempuan di atas dahan.
"Hmm.... Tampaknya dia mengikuti perjalananku! Atau
memang tujuanku dengannya searah" Ah, tapi
yang jelas dia telah menyelamatkan untuk kedua
kalinya! Aku berhutang padanya...."
"Hei! Tikus kecil! Kalau kau tak cepat tu-
run dan sebutkan siapa dirimu tubuhmu akan
kubuat hancur berantakan!" teriak Dadung Rantak seraya angkat tangan kanannya,
membuat ge- rakan seakan hendak lepaskan pukulan.
Namun anak perempuan berjubah putih
yang bukan lain adalah Putri Kipas bukannya ta-
kut mendengar ancaman orang. Malah sambil
mempermainkan kipasnya, dia memandang seje-
nak ke arah Dadung Rantak, lalu tersenyum lebar dan dengan tangan kirinya dia
melambai. "Dia berpaling padaku. Berarti anak itu tidak tuli dan mendengar ucapanku! Dia
rupanya sengaja hendak mempermainkan aku! Kurang
ajar!" rutuk Dadung Rantak. Lalu tanpa berkata lagi, tangan kanannya dipukulkan
ke atas. Wuuttt! "Celaka! Anak itu pasti akan jatuh dan ba-
bak belur, malah kemungkinan bisa tewas!" pikir
Aji, lalu gerakan tangannya hendak memapasi
pukulan Dadung Rantak.
Namun belum sampai murid Wong Agung
ini lepaskan pukulan, Putri Kipas berseru nyaring. Pantatnya disentakkan pada
dahan yang di- dudukinya. Tubuhnya terangkat lalu melayang
dengan jungkir dua kali sebelum akhirnya men-
darat dengan berkipas-kipas!
Bersamaan dengan mendaratnya Putri Ki-
pas, pohon di mana Putri Kipas tadi duduk bergetar keras, sesaat kemudian
berderak lalu tum-
bang dengan dahan-dahan hancur berantakan.
Melihat si anak berhasil selamatkan diri,
malah sengaja memanasi dengan tanpa meman-
dang ke arahnya, Dadung Rantak hilang kesaba-
ran. Dia segera meloncat ke depan. Namun lonca-
tannya tertahan, karena bersamaan dengan itu
murid Wong Agung yang menangkap apa yang
hendak dilakukan Dadung Rantak cepat meloncat
menghadang. "Jahanam!" rutuk Dadung Rantak. Dia
berpaling pada Aji. Kemarahannya pada Putri Ki-
pas dilampiaskan pada orang yang kini di hada-
pannya. Kedua tangannya diangkat lalu dipukul-
kan ke depan. Aji yang telah waspada segera pula tarik
kedua tangannya dan dihantamkan ke depan.
Bummm! Terdengar ledakan dahsyat. Tempat itu
laksana dilanda gempa hebat. Sosok Dadung Ran-
tak dan Pendekar 108 sama-sama terseret ke be-
lakang, lalu berkaparan di atas tanah. Sementara Putri Kipas yang berada tak
jauh dari situ terdengar keluarkan seruan nyaring. Tubuhnya tersapu
deras ke belakang. Anak ini coba menahan gerak
laju tubuhnya dengan mengibaskan kipas di tan-
gan kanannya, namun tampak gagal, hingga tu-
buhnya tetap meluncur. Padahal di belakang sana menunggu jajaran batang pohon
pinus! Dadung Rantak cepat buka kelopak ma-
tanya. Lalu berpaling ke belakang. Bibirnya sunggingkan senyum seringai tatkala
mendapati anak perempuan kecil itu melayang deras dan lurus
mengarah pada sebuah pohon.
"Mampus kau anak kurang ajar!" gumam
Dadung Rantak dalam hati. Namun senyumnya
tiba-tiba pupus. Sejengkal lagi tubuh Putri Kipas menghantam batang pohon,
sebuah benda kuning
membersit dan mengantuk tubuhnya, hingga tu-
buh itu bergerak menyamping, menghindar ba-
tang pohon. Bersamaan dengan itu, sesosok
bayangan berkelebat menyambar tubuh anak pe-
rempuan berpita!


Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seraya menahan dadanya yang berdenyut
tak karuan, Dadung Rantak bergerak bangkit.
Terhuyung-huyung dia memandang berkeliling.
Darahnya laksana sirap. Tubuhnya tiba-tiba te-
gak mematung. Sosok Aji yang tadi sama-sama
terseret tak kelihatan lagi. Bayangan serta anak kecil berjubah putih dan
berpita juga tak ada di tempat itu!
"Jahanam laknat! Siapa bangsatnya yang
membawa kabur manusia keparat itu"!" desis Dadung Rantak seraya gegatkan
rahangnya hingga keluarkan suara gemeretak. Kedua tangannya
mengepal dan bergetar keras hingga bahunya
yang telanjang bergerak-gerak. Saat itulah ekor matanya menangkap gerakan satu
bayangan di balik sebuah batang pohon.
Menduga bahwa bayangan di balik itu yang
membawa kabur dan menyelamatkan Aji serta
Putri. Kipas, tanpa pikir panjang lagi Dadung
Rantak segera hantamkan kedua tangannya.
Wuuutt! Wuuuttt!
Tak terdengar suara menderunya angin.
Namun mendadak saja batang pohon di mana
Dadung Rantak menangkap adanya bayangan
berderak dan langsung tumbang.
Dadung Rantak menunggu sejenak, berha-
rap bayangan itu akan keluarkan seruan setidak-
Manusia Srigala 9 Anak Harimau Karya Siau Siau Pendekar Wanita Penyebar Bunga 15
^