Pencarian

Takhta Setan 3

Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan Bagian 3


tubuhnya seakan ketakutan dan ngeri. Namun
tinggal sedepa lagi serangan itu menghajar tu-
buhnya, dia angkat kedua tangannya dan dige-
rakkan lemah gemulai ke depan.
Dua gelombang angin yang menyongsong
ke arah Setan Pesolek tiba-tiba terhenti di udara.
Dan ketika tangan Setan Pesolek melambai kem-
bali, dua gelombang itu bergerak membalik ke
arah si Jarum Neraka!
"Kurang ajar!" maki si Jarum Neraka sambil melompat mundur dan miringkan
tubuhnya mengelak dari pukulannya sendiri yang memba-
lik. Tangan kanannya lalu menyelinap ke balik
pakaiannya. Lalu....
Wuuuttt! Beberapa puluh jarum hitam bertebaran
keluarkan suara mendengung.
Kali ini Setan Pesolek tak menunggu. Begi-
tu pukulan jarum hitam yang tentunya mengan-
dung racun itu bertebaran ke arahnya, dia putar tubuhnya dengan cepat. Terdengar
suara angin menderu-deru. Tiba-tiba sosoknya lenyap. Dan
dikejap lain terdengar suara 'taass' berpuluh-
puluh kali. Di seberang, si Jarum Neraka tersirap da-
rahnya. Senjata rahasia berupa jarum hitam mi-
liknya bermentalan dan hancur patah-patah! Be-
gitu tebaran patahan jarum hitam sirap, tampak
Setan Pesolek tadangkan kedua tangannya di atas kepala seperti orang ketakutan
hendak dipukul.
"Jahanam betul! Ternyata dugaanku mele-
set jauh. Dia bukan orang sembarangan...," bisik si Jarum Neraka dalam hati.
Pelan-pelan dia merasa kecut. Namun dia tak menunjukkan rasa
cemasnya. Malah untuk menutupi rasa kecutnya
ia sunggingkan senyum lebar, dan berkata.
"Setan banci! Dari tadi kau hanya meng-
hindar seperti monyet. Tunjukkan kehebatanmu!"
"Jangan salah tangkap, Jarum Neraka.
Orang tampak takut kadang-kadang berani.
Orang tersenyum lebar sering kali hatinya cemas!"
"Setan alas! Dia rupanya mengetahui jalan
pikiranku! Apa hendak dikata, dia harus kuhabisi sekarang juga! Daripada membuat
malu!" Berpikir begitu, kedua tangannya dika-
tupkan sejajar dada. Mulutnya komat-kamit. Se-
rentak, kedua tangannya dibuka dan dihantam
kuat-kuat ke arah Setan Pesolek yang terlihat
masih jongkok dengan menadangkan tangan di
atas kepala. Gelombang angin yang dimuati beberapa
puluh jarum hitam melesat ke depan.
Setan Pesolek cepat bangkit. Kedua ka-
kinya menjejak tanah. Tubuhnya melesat ke de-
pan dengan kedua tangan disentakkan.
Wuuutt! Wuuutt!
Dari telapak tangan Setan Pesolek keluar
asap putih bergulung-gulung. Si Jarum Neraka
melengak kaget tatkala melihat gulungan asap
putih itu membuat putaran aneh dan membung-
kus gelombang angin serta puluhan jarum hitam-
nya. Lalu gulungan asap putih yang membungkus
puluhan jarum itu melesat terus ke arahnya!
Sambil berseru tegang, Jarum Neraka me-
lompat ke samping mengelak dari hajaran puku-
lannya sendiri yang telah terbungkus asap putih.
Namun betapa terkejutnya manusia berhias ja-
rum ini, karena satu depa lagi serangan itu
menghantam, tiba-tiba bungkusan asap putih pe-
cah! Dan jarum hitam itu bertebaran!
Tak ada kesempatan lagi bagi si Jarum Ne-
raka untuk mengelak. Hingga tanpa ampun lagi
beberapa jarum hitam beracun itu menembus tu-
buhnya. Untuk beberapa saat si Jarum Neraka
tampak tegang berdiri dengan mata melotot me-
mandang ke arah Setan Pesolek yang goyang-
goyangkan pinggulnya. Namun tak lama kemu-
dian, tubuhnya roboh bergedebukan ke atas ta-
nah. "Kasihan... Senjata makan tuan...," desis Setan Pesolek. Lalu melangkah ke
arah tubuh si Jarum Neraka. Dia tersentak sendiri. Tubuh si
Jarum Neraka ternyata kaku dan hangus seperti
orang terbakar!
"Racun ganas...," gumam Setan Pesolek.
Lalu jongkok. Sepasang matanya lantas meman-
dang jauh ke tempat Manusia Titisan Dewa dan
Ratu Pulau Merah. Tiba-tiba kepalanya berputar
cepat ke arah samping. Matanya menyipit me-
nembus kegelapan malam.
"Hmm.... Ada orang berkelebat ke arah sini!
Untuk sementara aku harus sembunyi...," katanya, lalu menyeret tubuh si Jarum
Neraka dan mendekam tidak jauh dari tempat Manusia Titi-
san Dewa dan Pendekar 108 yang telah mulai sal-
ing menyerang. Tatkala melihat Pendekar Mata Keranjang
108 roboh untuk pertama kalinya, sebenarnya Se-
tan Pesolek hendak berkelebat keluar, namun ge-
rakannya tertahan karena ada selendang merah
yang ternyata selendang Dewi Kayangan terlebih
dahulu menyelamatkan murid Wong Agung.
Baru tatkala untuk kedua kalinya Manusia
Titisan Dewa hendak menghajar Pendekar 108
yang sudah pingsan, Setan Pesolek lemparkan
mayat si Jarum Neraka ke arah Manusia Titisan
Dewa, hingga Manusia Titisan Dewa urungkan
niat. SEMBILAN KETIKA Setan Pesolek muncul dari balik
ilalang setelah menyelamatkan Pendekar Mata
Keranjang, Manusia Titisan Dewa yang sudah di-
gelayuti hawa amarah langsung berkelebat dan
pukulkan dua tangannya ke arah kepala Setan
Pesolek. Setan Pesolek berseru ketakutan, namun
tak bergerak dari tempatnya. Lalu masih dengan
wajah menunjukkan rasa ngeri, kedua tangannya
diangkat. Prakkk! Terjadi bentrok dua pasang tangan. Manu-
sia Titisan Dewa tersentak tegang dan tersurut
dua langkah. Untung dia cepat kerahkan tenaga
untuk mengatasi huyungan tubuhnya, jika tidak
bukan tak mungkin dia akan jatuh terduduk. Se-
pasang matanya serentak liar menyengat. Tulang-
tulang wajahnya bergerak-gerak. Dia segera
memperhatikan tangannya. Dia menarik napas
lega, karena tangannya tidak cidera meski beru-
bah agak merah. Walau demikian, dia sudah
maklum jika lawan yang dihadapi kali ini memili-ki tenaga dalam luar biasa. Di
depannya Setan Pesolek kibas-kibaskan kedua tangannya dengan
wajah meringis.
"Setan Pesolek! Apa maumu sebenarnya"
Kenapa kau berbuat keji membunuh teman satu
golongan?"
Setan Pesolek tersenyum. Rambut di teng-
kuknya disibak ke belakang dengan menarik se-
dikit kepalanya.
"Teman satu golongan"!" ulang Setan Peso-
lek tanpa memandang.
"Aku tak pernah punya teman, dan juga
tak pernah bergolong-golongan!"
"Hmm.... Begitu" Lantas apa hubunganmu
dengan pemuda itu?"
"Hubunganku dengan pemuda itu"!" kem-
bali Setan Pesolek mengulang kata-kata Manusia
Titisan Dewa. "Aku tak punya sanak, tak punya saudara.
Teman pun tak punya! Jadi kau bisa jawab sendi-
ri pertanyaanmu!"
"Hmm.... Lalu maksudmu menyelamatkan-
nya"!" "Maksudku menyelamatkannya"!" sejenak Setan Pesolek memandang ke arah
Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa yang masih tegak
memperhatikan. Lalu menyambung ucapannya.
"Seperti kukatakan tadi, aku hanya ingin
melihat tampangnya. Namun kalian tampaknya
hendak membunuhnya. Kalau dia sampai mati,
kau yang senang, aku yang merana, karena tak
bisa lagi melihat tampangnya!"
"Dasar manusia banci!" rutuk Manusia Titisan Dewa dalam hati.
"Setan Pesolek!" kata Manusia Titisan Dewa sedikit rendahkan nada suaranya.
"Kalau kau memang hanya ingin melihat tampangnya, begini
saja. Untuk sementara biar pemuda itu kubawa
dahulu. Tiga hari di muka kau bisa menjemput-
nya di tempatku! Kau boleh memandanginya se-
puas hatimu, bahkan kau boleh membawanya!"
Setan Pesolek keluarkan tawa cekikikan.
Batu cerminnya dikeluarkan lalu tanpa mempe-
dulikan orang, dia senyum-senyum sendiri seraya pandangi wajahnya di batu
cermin. "Manusia Titisan Dewa. Siapa pun adanya
kau, Manusia Titisan Setan, Manusia Titisan Iblis, Manusia Titisan Tikus,
Manusia Titisan Bayi, jangan harap bisa mengaturku!"
"Kalau kau tak mau kuatur lekas angkat
kaki dari hadapanku!" bentak Manusia Titisan Dewa. "Aku pun tak senang
diperintah!" kata Setan Pesolek dengan suara pelan.
"Berarti kau ingin mampus!" seraya berkata, tangan kanannya dihantamkan ke
depan. Hawa panas dan dingin berganti-ganti
menghampar. Sekejap kemudian melarik seberkas
sinar pelangi. Tak ada suara yang terdengar, tak ada deru angin. Namun bersamaan
dengan itu, tanah pijakan Setan Pesolek bergetar!
"Menggiring Pelangi Menebar Hawa!" seru Setan Pesolek mengenali pukulan yang
dilancar-kan Manusia Titisan Dewa. Dia cepat simpan
cermin batunya, lalu berputar. Mendadak sosok-
nya lenyap laksana ditelan bumi!
Sinar pelangi serangan Manusia Titisan
Dewa menghajar padang ilalang di depannya. Pa-
dang ilalang itu kontan berhamburan dan lembut!
"Haram jadah! Ke mana lenyapnya manu-
sia banci itu" Heran, dari mana ia mengenali pukulanku?" batin Manusia Titisan
Dewa sambil sa-
pukan pandangannya berkeliling.
Tak ada siapa-siapa lagi di tempat ini. So-
sok Dewi Kayangan serta Gongging Baladewa pun
tak terlihat. Setelah menunggu agak lama, tak ju-ga ada orang yang muncul,
Manusia Titisan Dewa
melangkah ke arah jatuhnya Pendekar 108. Ia
menarik napas panjang dengan bibir tersenyum,
karena Pendekar 108 terlihat masih melingkar di atas tanah.
Tanpa berpaling lagi, Manusia Titisan Dewa
turunkan bahunya, tangannya menjulur. Ketika
tangan itu bergerak naik lagi, tubuh Pendekar
Mata Keranjang 108 melayang dan jatuh di pun-
daknya. "Untuk sementara akan kusimpan dulu.
Aku akan mencari Sakawuni, biar dia nanti yang
membereskannya!" batinnya, lalu berkelebat. Namun langkahnya tertahan tatkala
terdengar se- ruan tak jauh dari tempatnya.
"Kau bisa pergi. Tapi tanpa pemuda itu!"
Bersamaan dengan terdengarnya seruan, Manusia
Titisan Dewa merasakan desiran angin di bela-
kangnya. Lalu terasa ada kekuatan tak terlihat
yang membetot tubuh pemuda yang ada di pun-
daknya. Sesaat Manusia Titisan Dewa tengadah
sambil kerahkan tenaga dalam. Tiba-tiba sambil
berseru keras, tubuhnya membalik dengan kaki
kiri menyapu! Wuuutt! Namun Manusia Titisan Dewa melengak
sendiri. Tendangan kakinya hanya menghajar an-
gin! Pendekar Mata Keranjang yang ada di pun-
dak Manusia Titisan Dewa tersadar. Dia sejenak
melihat memandang ke bawah. Yang terlihat per-
tama kali adalah sepasang kaki yang tidak men-
ginjak tanah. Dia bisa menduga bahwa itu adalah kaki
Manusia Titisan Dewa. Lalu melirik ke kanan, terlihat Setan Pesolek duduk
berjongkok di balik padang ilalang. Aji belum dapat menduga apa yang
sedang dilakukan Setan Pesolek. Tiba-tiba tubuhnya berputar mengikuti putaran
tubuh Manusia Titisan Dewa. "Hm.... Berarti manusia ini mencari Setan
Pesolek!" duga Aji.
"Setan banci! Keluarlah!" bentak Manusia Titisan Dewa. Karena tak ada gerakan
juga tak ada suara yang menyahut, Manusia Titisan Dewa
angukan kepala. Matanya melirik ke samping.
Mendadak tangan kirinya bergerak memukul.
Wuuutt! Setan Pesolek berseru kaget. Tubuhnya
melenting ke udara. Membuat gerakan berputar
beberapa kali lalu menukik tepat ke arah kepala Manusia Titisan Dewa.
Manusia Titisan Dewa yang baru saja men-
dongak hendak menjajaki di mana lawan berada


Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tercekat sendiri, karena saat itu juga Setan Pesolek telah duduk di atas
tengkuknya dengan kaki
kiri menelingkung tangan kiri Manusia Titisan
Dewa ke belakang.
Manusia Titisan Dewa berseru keras. Na-
mun karena tangan kirinya tak bisa digerakkan
sementara tangan kanan memegangi tubuh Aji,
maka dia hanya bisa memaki sambil bantingkan
kaki. "Banci bangsat!" teriak Manusia Titisan Dewa. Serta-merta tubuh Pendekar
Mata keranjang 108 dicampakkan ke bawah. Lalu tangan
kanannya memukul ke atas.
Prak! Manusia Titisan Dewa berseru tegang. Tan-
gan kanannya mental lagi ke bawah karena bera-
du dengan tangan Setan Pesolek. Namun bersa-
maan dengan itu tubuh Setan Pesolek juga men-
tal dan jatuh terduduk lima langkah di samping
Manusia Titisan Dewa.
Manusia Titisan Dewa cepat putar tubuh-
nya setengah lingkaran. Dan dengan tenaga da-
lam penuh kedua tangannya dihantamkan pada
Setan Pesolek! Sinar pelangi kembali melesat, kali ini di-
dahului dengan sambaran angin dahsyat.
Setan Pesolek rangkapkan kedua telapak
tangannya, lalu disentakkan ke depan.
Asap putih bergulung-gulung menyambar
dari telapak tangan Setan Pesolek dan memapasi
sinar pelangi. Bummm! Asap hitam tebal melingkupi tempat itu be-
gitu ledakan akibat bertemunya dua pukulan ter-
jadi. Manusia Titisan Dewa terdengar keluarkan
seruan tertahan, tubuhnya terseret mundur sam-
pai dua tombak. Beberapa saat tubuhnya tampak
limbung, lalu jatuh terkapar di atas tanah!
Begitu asap hitam sirap, dan cahaya rem-
bulan dapat kembali menerangi, Manusia Titisan
Dewa tersentak. Sosok Setan Pesolek tak keliha-
tan, demikian juga Pendekar Mata Keranjang 108.
"Setan Pesolek! Kau telah melakukan dosa
besar pada Manusia Titisan Dewa! Aku tidak akan mengampuni nyawamu!" ujar
Manusia Titisan
Dewa. Lalu bergerak bangkit, dan melangkah me-
ninggalkan tempat itu seraya mengurut-urut da-
danya. Jelas jika orang ini terluka dalam akibat bentrok tenaga dalam lewat
pukulan jarak jauh
tadi. SEPULUH PENDEKAR Mata Keranjang 108 membuka
kelopak matanya, karena dia merasa ada di pun-
dak seseorang yang berlari kencang. Dia tak tahu, bagaimana dia bisa berada di
pundak orang itu.
Karena yang dia ingat adalah sewaktu terjadi ledakan, tubuhnya mencelat jauh.
Merasa akan ja-
tuh lagi menghempas tanah, dia pejamkan sepa-
sang matanya. Tapi ketika tubuhnya tak meng-
hempas tanah malah seperti terbang, murid Wong
Agung ini segera buka kelopak matanya.
Pendekar Mata Keranjang yang kepalanya
ada di punggung orang yang melarikannya, seje-
nak memperhatikan
"Rambut panjang dikepang dua.... Hm....
Setan Pesolek!" pikir Pendekar 108 dalam hati.
"Dugaanku salah. Ternyata dia tidak sejahat yang kuduga. Dan kata-katanya
menjadi kenyataan.
Dia mengatakan bahwa aku tidak akan menemu-
kan Anting Wulan, juga aku sedang diincar
orang.... Hmm.... Lalu tentang tantangan di de-
pan. Dia mengatakan aku akan menghadapi gu-
nung besar yang siap meletus. Apa artinya
itu..."!" Selagi Aji memikirkan ucapan Setan Pesolek, orang yang melarikan Aji
dan bukan lain memang Setan Pesolek memperlambat larinya.
Pada sebuah tempat sepi dan amat gelap di balik sebuah pohon besar, Setan
Pesolek hentikan larinya lalu meletakkan tubuh Aji di atas tanah.
"Setan Pesolek! Aku berterima kasih pada-
mu yang telah selamatkan jiwaku beberapa kali!"
Setan Pesolek seolah tak mendengar uca-
pan Pendekar 108. Malah dia keluarkan batu
cerminnya dan berkaca sambil rapikan rambut
dan polesan merah di bibirnya.
Pendekar 108 bangkit. Namun tubuhnya
terhuyung-huyung dan jatuh terduduk.
"Sialan! Meski dadaku tidak nyeri tapi ka-
kiku masih gemetar...," bisik Pendekar 108 sambil memandang pada Setan Pesolek.
"Hm.... Aku tadi selintas melihat Dewi
Kayangan dan Gongging Baladewa.... Apa mereka
juga sudah pergi" Hmm.... Jika pada Dewi Kayan-
gan dan Gongging Baladewa mungkin aku tak se-
gan-segan minta tolong untuk mengurut kaki-
ku...." Tiba-tiba Setan Pesolek putar tubuhnya dan melangkah gemulai ke arah
Aji. Sejenak sepasang matanya memandang sayu. Bibirnya lalu
tersenyum. Dengan gerakan lembut, dia lantas
jongkok di samping Aji. Dan tanpa berkata kedua tangannya bergerak mengurut kaki
Aji. "Setan Pesolek...," gumam Aji. Namun dia tak meneruskan ucapannya karena Setan
Pesolek memberi isyarat agar Aji tak meneruskan uca-
pannya. Akhirnya Aji hanya diam, sambil sesekali gelengkan kepala dan meringis
kesakitan. Namun hanya sekejap, begitu Setan Peso-
lek angkat kedua tangannya, kakinya terasa en-
teng. Begitu Setan Pesolek bergerak bangkit. Aji ikut-ikutan bergerak. Aji
tercengang. Kakinya tak lagi gemetar, malah tubuhnya terasa segar kembali!
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih...," ka-ta Pendekar Mata Keranjang seraya
bungkukan sedikit tubuhnya.
Melihat sikap Pendekar 108, tawa Setan
Pesolek meledak.
"Kau tak usah bersikap begitu. Meski kau
masih menduga jelek padaku, tapi aku telah
menganggapmu sebagai sahabat!"
"Maaf atas dugaanku selama ini...," sahut
Aji dengan tersenyum, karena melihat tingkah
pemuda di sampingnya yang tidak bisa berhenti
bergerak. Kalau tidak menyibak rambut di teng-
kuk, ambil batu cerminnya dan berkaca, lalu
mengelus kuku jari-jarinya yang bercat merah.
Sikapnya persis dengan perempuan.
Tiba-tiba Aji teringat pada Anting Wulan.
"Hmm.... Dia mengetahui jika aku tidak
akan menemukan Anting Wulan di tempatnya
mandi. Mungkin dia tahu ke mana Anting Wulan
pergi...," lalu murid Wong Agung ini buka mulut.
"Setan Pesolek. Kalau tak keberatan.... Bisa katakan padaku, ke mana sebenarnya
gadis temanku itu"!"
Setan Pesolek berpaling. Senyumnya me-
nyungging. Sebelah matanya mengerdip, mem-
buat murid Wong Agung ini usap-usap hidungnya
sambil alihkan pandangannya pada jurusan lain.
"Dia tak mengatakan padamu ke mana dia
akan pergi"!" Setan Pesolek balik ajukan pertanyaan, membuat Aji gelengkan
kepala, bukan se-
bagai jawaban atas pertanyaan orang, melainkan
tak habis pikir dengan ucapan orang.
"Kalau dia mengatakan padaku, aku tak
tanya padamu!" akhir Aji menjawab.
"Hmm.... Kau tidak dusta mengatakan ga-
dis itu adalah temanmu"!"
Pendekar 103 gelengkan kepala dengan wa-
jah sedikit muram.
"Aku tampak kecewa. Kau mencintai gadis
itu?" tanya Setan Pesolek.
"Aku tak bisa mengatakan cinta apa tidak.
Yang pasti, aku harus menolong jika dia dalam
keadaan bahaya...."
Setan Pesolek tertawa pelan. Kepalanya
manggut-manggut.
"Setiap sebab akan menimbulkan akibat.
Setiap sebab akan datang bersama tanda-tanda....
Kau mencemaskan gadis itu. Tanpa kau katakan,
tanda-tanda itu telah berkata, bahwa sebenarnya kau...," Setan Pesolek tak
meneruskan kata-katanya, karena Aji telah menyahut.
"Menyintainya...! Begitu terusan ucapan-
mu"!" Aji berkata sambil tertawa. "Terserah kau mau bilang apa. Yang pasti,
sekarang aku harus
segera mencarinya!"
Aji melangkah maju satu tindak menjajari
Setan Pesolek. "Terima kasih atas kebaikanmu selama ini.
Aku harus pergi sekarang!"
Habis berkata begitu, Aji putar tubuhnya
dan hendak melangkah pergi. Namun langkahnya
tertahan tatkala terdengar suara Setan Pesolek.
"Pendekar 108! Kau harus hati-hati. Se-
ringkali yang tampak di mata adalah yang palsu.
Dan cinta adalah dinding tebal penutup mata.'"
"Apa maksud kata-katamu, Setan Peso-
lek"!" kata Aji tanpa balikkan tubuh.
Setan Pesolek tak segera menjawab. Sete-
lah tertawa cekikikan, akhirnya dia berkata lagi.
"Tak baik mengatakan apa yang belum ter-
jadi. Bisa kualat! Kelak kau akan tahu sendiri....
Dan juga harus kau ingat. Jangan sampai persoa-
lan cinta membuat lengah hingga gunung besar
itu meletus dan membuat malapetaka!"
"Setan Pesolek!" sahut Pendekar Mata Keranjang sambil balikkan tubuh. Namun dia
tak teruskan ucapannya, karena terlihat Setan Peso-
lek dongakan kepala, lalu melihat pada cermin
batunya. Sesaat terdiam, lalu memberi isyarat
pada Aji untuk mengikutinya.
Meski masih bertanya-tanya dalam hati,
Pendekar Mata Keranjang 108 akhirnya menuruti
isyarat Setan Pesolek dan mengikutinya dari be-
lakang. "Sialan! Ke mana dia hendak pergi...?" batin Pendekar 108 seraya terus
mengikuti berkelebatnya Setan Pesolek.
Pada suatu tempat, Setan Pesolek hentikan
larinya dan mendekam di balik sebuah pohon.
Pendekar Mata Keranjang yang baru saja datang
dan masih berdiri segera ditarik tangannya agar ikut mendekam.
Untuk beberapa saat sepasang mata Setan
Pesolek memandang tajam pada satu tempat.
Pendekar 108 memperhatikan dengan seksama.
Dan setelah agak lama tak juga ada kejadian apa-apa, Pendekar 108 keluarkan
suara teguran. "Apa yang kau lakukan?"
Setan Pesolek tak menjawab. Berpaling pun
tidak, membuat Aji agak jengkel dan bergerak
bangkit. Namun belum sampai tubuhnya tegak,
tangan Setan Pesolek telah menariknya, hingga
Aji kembali terduduk.
"Sialan! Apa sebenarnya yang sedang kau
intip"!" "Jangan banyak mulut! Dengarkan saja!"
kata Setan Pesolek dengan suara sedikit keras,
membuat murid Wong Agung makin jengkel. Na-
mun mungkin untuk membuktikan ucapan Setan
Pesolek, akhirnya Pendekar 108 diam mendekam
tanpa keluarkan suara lagi.
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang
tertawa mengekeh panjang. Lalu disusul suara
tawa lainnya. Diam-diam Aji membatin. "Sialan betul! Dia seakan mengetahui apa yang akan
terjadi...,"
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas ikut-ikutan
memandang ke arah mana pandangan mata Se-
tan Pesolek mengarah.
Mula-mula Pendekar 108 hanya melihat
bayangan sosok yang melangkah sambil tertawa.
Lalu muncul lagi sosok di belakangnya. Kedua
orang ini adalah dua orang laki-laki bertubuh
tinggi tegap. Yang di depan mengenakan jubah
besar tanpa lengan berwarna merah. Di telin-
ganya terdapat anting-anting juga berwarna me-
rah. Sementara yang di belakang juga laki-laki tegap. Memakai jubah tanpa lengan
berwarna hi- tam. Telinganya juga mengenakan anting-anting
warna hitam. Kedua orang ini kepalanya sama
gundul. Begitu cahaya rembulan tak tertutup
awan dan menerangi tempat di mana kedua sosok
itu muncul, Pendekar 108 terkesiap. Sepasang
matanya mendelik besar. Bukan pada dua sosok
yang melangkah, melainkan pada sosok lain yang
ada di pundak kedua orang ini!
SEBELAS ANTING Wulan!" seru Aji dengan dada ber-
getar. Sepasang matanya berapi-api. Kedua tan-
gannya serentak mengepal. Pelipisnya bergerak
dengan jakun turun naik menahan gejolak ama-
rah. Mungkin masih terkesima dengan peman-
dangan yang baru saja dilihatnya, hingga untuk
beberapa saat dia hanya diam terpaku. Namun
setelah sadar, dia cepat bergerak bangkit. Namun sebelum tegak, Setan Pesolek
telah menarik lengannya. Hingga tubuhnya kembali turun ke ba-
wah, "Apa maksudmu, Setan Pesolek" Dua
bangsat itu jelas-jelas hendak berbuat tak senonoh dengan gadis itu!"
"Tahan suaramu!" kata Setan Pesolek dengan suara rendah.
"Aku harus keluar! Tak akan kubiarkan
bangsat-bangsat itu berlaku seenaknya pada ga-


Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dis itu!" kata Pendekar 108 lepaskan cekalan tangan Setan Pesolek. Namun
Pendekar 108 terkejut, meski tangan itu tidak mencengkeram, dia tak bi-sa
melepaskannya, membuat dia makin geram,
tapi akhirnya dia diam.
"Sudah kubilang, tahan suaramu! Lihat
mereka ada yang curiga!" kata Setan Pesolek tanpa alihkan pandangannya ke depan.
Salah seo- rang di antara dua orang berkepala botak tampak putar kepalanya dengan mata
menyelidik. Namun
sebentar kemudian dia sudah tertawa kembali
sambil memandangi perempuan di bawahnya.
"Apa kau kira aku juga akan tetap diam ji-
ka ada manusia berbuat tak senonoh di hada-
panku" He.,."!" Setan Pesolek menyambung ucapannya.
"Tapi kau tunggu apalagi" Apa masih me-
nunggu hingga gadis itu ditelanjangi?" kata Aji masih dengan nada berang,
melihat Setan Pesolek tak segera bergerak, padahal di depan sudah terlihat kedua
orang yang ternyata berkepala botak telah menelentangkan gadis yang tadi
dipanggul-nya dan bukan lain memang Anting Wulan alias
Dewi Tengkorak Hitam.
"Hati boleh panas, dada boleh bergolak, ta-pi mata jangan lengah!" berkata Setan
Pesolek tanpa melepaskan pegangan tangannya pada lengan Aji.
"Apa maksudmu?"
"Lihat di samping pohon itu!" Setan Pesolek arahkan telunjuk jarinya pada sebuah
pohon tak Jauh dari dua orang berkepala botak.
Mula-mula Pendekar 108 hanya melihat
kegelapan, namun setelah matanya sedikit terbia-sa dengan gelap, samar-samar
pandangannya membentur pada sesosok tubuh yang berdiri te-
gak dengan kepala menghadap ke depan, ke arah
dua orang botak yang masih tertawa bergerai-
gerai. Tiba-tiba salah seorang di antara kedua orang botak itu, yakni yang
mengenakan jubah
besar warna hitam hentikan geraian tawanya.
Tangannya bergerak menekan salah satu urat
leher Dewi Tengkorak Hitam.
"Ha.... Ha.... Ha...! Apa enaknya bersenang-senang dengan orang bisu" Sedikit
suara erangan akan menambah panasnya suasana...."
Ternyata orang berjubah hitam tadi mem-
bebaskan Dewi Tengkorak Hitam dari totokan di
lehernya, hingga Dewi Tengkorak Hitam dapat
bersuara. Dan tak lama kemudian terdengar sua-
ranya. "Jahanam! Berani kau berbuat yang bukan-bukan, dunia ini akan sempit buat
kalian! Aku akan mengejar kalian dan menanggalkan ke-
pala kalian satu persatu!"
Dua orang berkepala botak itu saling pan-
dang satu sama lain. Lalu sesaat kemudian kedu-
anya tertawa mengekeh.
"Boleh kau mengejar kami, tapi bukan ke-
pala kami yang akan kau tanggalkan. Tapi seba-
liknya, kami yang akan menanggalkan pakaianmu
lagi! Seperti ini!" yang berkata kali ini adalah yang mengenakan jubah merah.
Habis berkata tangan
kanannya mengayun pelan ke bawah.
Bret! Brettt! Pakaian bagian atas Dewi Tengkorak Hitam
robek menganga, hingga buah dadanya yang pu-
tih membusung mencuat tanpa penutup lagi. De-
wi Tengkorak Hitam memaki habis-habisan. Na-
mun karena tubuhnya tak bisa digerakkan maka
dia hanya memaki sambil mendelik! Dadanya
makin tampak turun naik. Sebaliknya orang ber-
jubah hitam dan merah yang tegak di sampingnya
tertawa makin keras.
"Kau tak usah keluarkan suara banyak-
banyak, Manis. Eranganmu nanti jadi berku-
rang.... Ha.... Ha.... Ha...! Kau tahu" Kami telah putar-putar cari tempat yang
bagus. Tempat yang bisa dibuat senang-senang dengan disaksikan bulan purnama....
Ha.... Ha .... Ha...!" kata yang berjubah merah, lalu dengan napas memburu dia
tanggalkan jubahnya.
Yang berjubah hitam tak tinggal diam.
Dengan jakun turun naik, dia pun segera tang-
galkan jubahnya.
"Aku lebih tua darimu! Aku yang menikma-
ti dahulu!" berkata yang berjubah merah begitu melihat orang yang berjubah hitam
ikut-ikutan tanggalkan jubahnya.
"Silakan kau nikmati duluan. Aku hanya
ingin dia mengusap-usapku! Terlalu sayang jika
tangannya hanya dibiarkan diam. Ha.... Ha....
Ha...!" Di balik pohon, dada Pendekar Mata Keranjang makin bergetar keras.
Matanya merah berki-
lat-kilat. Dengan mendengus keras, tangannya
menyentakkan tangan Setan Pesolek yang tetap
mencekal lengannya.
"Kalau kau tetap menghalangiku, jangan
kecewa jika aku melupakan jasamu dan memutus
lepas tanganmu!" kertak Pendekar 108 saking geramnya melihat Setan Pesolek tetap
menghalangi dengan mencekal lengannya.
"Aku tak mengharap imbalan apa-apa da-
rimu! Tapi sebelum melangkah lihat dulu kea-
daan!" berkata Setan Pesolek lalu lepaskan ceka-lannya pada lengan Pendekar 108.
Pendekar 108 tak pedulikan kata-kata Se-
tan Pesolek. Begitu lengannya tak lagi dicekal, dia segera bangkit hendak
berkelebat. Namun langkahnya terhenti tatkala matanya melihat kejadian aneh di
depan. Orang yang beranting-anting merah yang
tadi mengenakan jubah merah yang telah siap
hendak membungkuk dan menindih tubuh Dewi
Tengkorak Hitam tiba-tiba terhuyung-huyung ke
belakang, lalu jatuh terduduk, sementara yang
beranting-anting hitam yang tadi mengenakan ju-
bah hitam mencelat sampai satu tombak dan ja-
tuh berlutut. Selagi dua orang ini belum bergerak bang-
kit, satu bayangan hitam berkelebat dan tahu-
tahu telah berdiri tegak dengan kacak pinggang
lima langkah di sebelah Dewi Tengkorak Hitam.
Dua orang berkepala botak cepat bangkit
dan berteriak berbarengan.
"Siapa kau"!" "
"Kalau tak ingin mati, lekas minggat dari
hadapanku!" yang menyambung adalah yang tadi
mengenakan jubah merah. Sepasang matanya
menyengat tajam memperhatikan orang yang ba-
ru saja datang.
Dia adalah seorang pemuda berparas tam-
pan. Rambutnya panjang bergerai. Tubuhnya
tinggi tegap dengan sepasang mata tajam. Menge-
nakan jubah warna biru gelap, yang merangkapi
baju putih tanpa belahan di depan. Karena ju-
bahnya tidak dikancingkan, maka tampak dengan
jelas jika baju putih dalamnya di bagian dada ter-pampang sebuah lukisan
berbentuk pintu ger-
bang aneh. Dibentak begitu, sang pemuda tengadah-
kan kepala, lalu berkata.
"Pasang telinga kalian baik-baik! Aku ada-
lah Dewa Maut! Aku akan pergi dari sini apabila kalian dapat menunjukkan padaku
setidak-tidaknya memberi keterangan padaku tentang se-
seorang yang kucari! Tapi ingat! Jika kalian tak dapat memenuhi permintaanku,
malam ini adalah
saat ajal kalian!"
Entah karena merasa kecut karena menya-
dari orang di hadapannya berilmu tinggi sebab
tanpa terdengar suara dan deru angin, tubuh me-
reka bisa dibuat mental. Atau karena ingin agar pemuda segera pergi dan mereka
dapat meneruskan bersenang-senang, orang yang beranting-
anting merah yang tadi mengenakan jubah merah
segera angkat bicara.
"Katakan siapa orang yang kau cari! Tapi
ingat! Tidak semudah bicaramu jika kau ingin
menentukan ajal kami! Sebaiknya kami yang
akan tentukan ajalmu!"
Sang pemuda yang menyebut dirinya Dewa
Maut keluarkan tawa panjang. Tiba-tiba tawanya
diputus. Kepalanya diluruskan dan sepasang ma-
tanya memandang tajam pada kedua orang di ha-
dapannya. "Katakan padaku, di mana aku dapat me-
nemukan orang yang bergelar Pendekar Mata Ke-
ranjang 108! Seorang pemuda yang memiliki se-
buah kipas warna ungu dengan guratan angka
108!" Karena Aji berada tak jauh, maka dengan jelas dia dapat mendengar ucapan
Dewa Maut. Serentak paras wajahnya berubah. Dia meman-
dang tajam ke arah Dewa Maut. Lalu tengadah
dengan dahi mengernyit.
"Dewa Maut.... Hmm.... Aku baru kali ini
mendengar namanya. Siapa dia sebenarnya" Ke-
napa mencariku..."!"
Tak beda dengan Aji, Dewi Tengkorak Hi-
tam pun terkejut. Dadanya berdebar. "Dia mencari Aji, mendengar nada bicaranya,
dia bermaksud tidak baik!" batinnya, lalu pejamkan mata.
Selagi Aji bertanya-tanya, dari arah depan
terdengar seseorang buka suara. Ketika Aji lu-
ruskan lagi kepalanya, maka terlihat bahwa yang buka suara kali ini adalah orang
botak yang mengenakan anting-anting hitam yang tadi mengena-
kan jubah hitam.
"Dewa Maut! Kami memang pernah dengar
nama orang yang kau sebut. Tapi jangan harap
kau mengetahui dari kami di mana orang itu be-
rada! Kami bukan jongos yang mengurusi orang!"
Dewa Maut kembali keluarkan tawa pan-
jang, lalu berkata tanpa lagi memandang pada
kedua orang di hadapannya.
"Berarti kalian memilih tawaranku yang
kedua!" "Kami tak mengenalmu! Dan kau tak ber-
hak memberi tawaran pada kami!" sambung
orang botak yang beranting-anting merah.
"Peduli setan kalian mengenalku apa tidak.
Yang jelas kalian tak dapat memberi keterangan
yang kuminta. Itu nasib jelek bagi kalian!"
"Anjing kurap! Mulutmu terlalu sombong!
Lekas menyingkir atau kepalamu akan kubuat
berantakan! Kau tahu, siapa yang sedang di ha-
dapanmu sekarang"!"
"Tak perlu kujawab pertanyaanmu! Aku
butuh keteranganmu!"
Si botak beranting-anting merah meman-
dang pada botak beranting-anting hitam. Dia lantas mengangguk seakan memberi
isyarat. Lalu dia berkata.
"Pemuda sombong! Meski kau tak ingin ta-
hu siapa kami, baiklah akan kuberitahu saja,
mungkin bisa melapangkan jalanmu ke neraka!"
sejenak dia putuskan ucapannya, mungkin me-
nunggu sambutan dari pemuda di hadapannya,
namun ketika ditunggu si pemuda tak juga mem-
beri sambutan, malah memandang jurusan lain,
si botak beranting-anting merah menyambung
ucapannya. "Buka matamu lebar-lebar, Anak Muda!
Kami adalah Iblis Kembar!"
"Peduli siapa kalian! Tak bisa memberi ke-
terangan pada Dewa Maut berarti calon bangkai
manusia!" "Anjing buduk! Kepalamu memang minta
dipecah!" teriak yang beranting-anting merah.
Bersamaan dengan itu dia melompat. Yang be-
ranting-anting hitam tak tinggal diam. Dia pun
ikut meloncat ke depan. Dan secara bersamaan
kedua orang ini hantamkan kedua tangan mas-
ing-masing. Empat rangkum angin dahsyat mele-
sat mendahului sebelum dua pasang tangan da-
tang menghajar sasaran.
Yang diserang tidak bergerak dari tempat-
nya. Malah sunggingkan senyum bernada menge-
jek. Wuuut! Wuuuttt!
Wuuut! Wuuuttt!
Takk! Taakk! Taakk! Taaakkk!
Terdengar empat kali berturut-turut bentu-
ran keras ketika dua pasang tangan menghajar
telak bahu kanan kiri Dewa Maut. Yang kena ha-
jar cuma bergoyang-goyang sebentar. Sebaliknya
dua orang botak yang menyebut diri mereka Iblis Kembar mundur dua langkah dengan
mata masing-masing membeliak. Sejenak keduanya diam
tertegun. Lalu saling pandang satu sama lain.
Dua orang ini diam-diam jadi terkesiap. Mereka
sama-sama bertanya dalam hati siapa sebenarnya
pemuda di hadapannya. Karena selama malang
melintang dalam rimba persilatan baru kali ini dia menemukan orang yang tahan
terhadap pukulannya. Padahal batu besar pun akan hancur ter-
kena pukulan tadi. Apalagi dilakukan secara bersama-sama.
Selagi Iblis Kembar tercenung, Dewa Maut
keluarkan tawa ngakak.
"Ilmu masih setinggi lutut, kekuatan masih sebatas mata kaki sudah berkoar
setinggi langit!
Dasar manusia dungu! Kalau masih sedangkal itu
kenapa bermulut besar"!"
Habis berkata begitu, Dewa Maut jejakkan
kedua kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat den-
gan kaki terpentang.
Iblis Kembar cepat angkat tangan masing-
masing dan dihantamkan ke bawah namun kedu-
anya tertipu, karena sebelum kedua tangan mas-


Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ing-masing orang ini menghajar kaki, Dewa Maut
telah terlebih dahulu tarik pulang kakinya, dan serta-merta kedua tangannya
bergerak mengayun
ke bawah. Ke arah tengkuk Iblis Kembar yang
sama-sama agak menunduk mengikuti gerakan
tangannya. Deess! Deesss! Iblis Kembar sama-sama terpekik. Tubuh
keduanya terjungkal ke depan.
Dewa Maut tengadahkan kepala meman-
dang rembulan, lalu tertawa mengekeh. Kedua
tangannya diusap-usapkan satu sama lain.
Iblis Kembar sama-sama cepat bergerak
bangkit. Dan tanpa mempedulikan tengkuk mas-
ing-masing yang terasa hendak penggal, kedua
orang ini melesat ke udara. Kedua tangan masing-masing menghantam ke depan.
Wuuutt! Wuuuttt!
Empat gelombang angin yang keluarkan
suara dahsyat menggebrak ke arah Dewa Maut.
Dewa Maut putuskan suara tawanya. Ke-
dua kakinya menjejak tanah. Tubuhnya kembali
melesat ke atas. Satu tombak di atas udara, ke-
dua tangannya mendorong ke depan.
Wuuutt! Gelombang bara api merah menyala mele-
sat keluar dari telapak tangan Dewa Maut, seketi-ka itu juga tempat itu laksana
dipanggang. Ranting-ranting dan daun-daun keluarkan suara ge-
meretak laksana dibakar, lalu luruh dengan han-
gus! Iblis Kembar sama-sama keluarkan teria-
kan tegang. Bukan hanya karena melihat puku-
lannya ambyar di tengah jalan terhantam bara
api, namun juga karena tubuhnya terasa dipang-
gang! Inilah pukulan sakti yang berhasil dipelajari Dewa Maut dari Kitab Takhta
Setan, yakni pukulan 'Dewa Membakar Bumi'.
Meski pukulannya sudah ambyar, namun
Iblis Kembar tampaknya tidak begitu saja menye-
rah. Kedua tangannya kembali mereka hantam-
kan coba menghalau api yang kini melabrak ke
arah mereka. Namun untuk kedua kali, serangan
mereka ambyar, dan tanpa bisa dielakkan lagi,
bara api itu kini menggebrak ke arah mereka tan-pa penghalang!
Wuuus! Wuuusss!
Iblis Kembar keluarkan seruan keras. Tu-
buh keduanya mencelat mental ke belakang den-
gan pakaian terbakar, lalu jatuh berkaparan di
atas tanah. Sesaat kedua orang ini sama-sama guling-
kan tubuhnya ke tanah untuk mematikan api di
pakaiannya. Namun baru saja mereka bergulin-
gan, dari arah depan menderu angin dahsyat. Ke-
dua orang ini sama-sama tercekat. Namun sudah
tak bisa lagi menghindar. Hingga tak ampun lagi tubuh keduanya mencelat dan
bergedebukan di
atas tanah. Orang yang beranting-anting hitam sesaat
tampak meraung keras dengan tangan mengga-
pai-gapai. Namun raungannya tiba-tiba terputus
laksana direnggut setan. Dan tangannya pun me-
lemah sebelum akhirnya lunglai bersama terca-
butnya nyawa! Sebaliknya, orang yang beranting-anting
merah masih tampak merambat bangkit. Namun
belum setengah tegak tubuhnya telah roboh kem-
bali. Sepasang matanya lantas melirik ke arah
Dewa Maut yang tampak melangkah ke arahnya.
Diam-diam orang ini kumpulkan sisa-sisa tena-
ganya. Lalu sambil bersitekan pada siku tangan
kirinya, tangan kanannya mendorong ke arah
Dewa Maut. "Manusia keparat! Jangan mimpi bisa
membuatku cidera dengan pukulan tahi ayam-
mu!" bentak Dewa Maut marah mengetahui orang yang beranting-anting merah masih
lancarkan serangan. Kedua tangannya kembali mendorong ke
arah depan, sementara kakinya bergeser satu
langkah ke samping menghindari serangan.
Serangan orang beranting-anting merah
lewat sejengkal di sebelah pinggang Dewa Maut,
namun dia sendiri tak dapat menghindari puku-
lan Dewa Maut, hingga untuk kesekian kalinya
tubuhnya mental lalu terjerembab ke tanah tanpa bangun lagi!
Tubuhnya hangus laksana dipanggang!
"Pemuda berhati keji berwatak beringas!"
gumam Aji setelah mengetahui apa yang terjadi.
Sejenak dia berpaling pada Setan Pesolek. Namun murid Wong Agung ini menyumpah
sendiri habis-habisan dalam hati, karena dilihatnya Setan Pesolek sedang
bercermin pada batu putihnya sambil
senyum-senyum! "Dasar orang...," Aji tak meneruskan gumamannya karena dilihatnya Setan Pesolek
se- dang memandang ke arahnya.
"Dasar orang apa" Ayo teruskan ucapan-
mu! Mengapa diputus"!" tiba-tiba Setan Pesolek angkat bicara. Sepasang matanya
mendelik. "Dasar Pesolek...," kata Aji, meski sebenarnya bukan kata-kata itu yang ada
dalam hatinya. Habis menjawab, Aji kembali alihkan pandangan-
nya ke depan. Saat itu terlihat Dewa Maut melangkah
mendekati Dewi Tengkorak Hitam yang meman-
danginya dengan pandangan takut.
Satu langkah di samping Dewi Tengkorak
Hitam, Dewa Maut hentikan langkah. Memandan-
gi Dewi Tengkorak Hitam dengan tatapan tajam.
Dewi Tengkorak Hitam menyumpah habis-
habisan, karena saat itu dadanya terbuka lebar, sementara dirinya tak bisa
bergerak. Hingga dengan paras merah mengelam gadis cantik ini alih-
kan pandangannya pada jurusan lain.
Sejenak mata Dewa Maut tampak sedikit
merah, dadanya berdebar, jakunnya bergerak
naik turun. Napasnya berhembus panjang-
panjang. Jelas jika pemuda ini menahan gejolak nafsunya. Namun dia lantas
melangkah ke samping. Mengambil jubah merah yang tergeletak, dan dilempar begitu
saja ke atas tubuh Dewi Tengkorak Hitam.
Meski jengkel dengan sikap Dewa Maut,
namun Dewi Tengkorak Hitam masih berterima
kasih karena dadanya bisa tertutup.
"Terima kasih. Kalau tak keberatan, harap
kau suka membebaskan diriku dari totokan ma-
nusia-manusia jahanam itu!" kata Dewi Tengkorak Hitam sambil memandang ke arah
Dewa Maut. Dewa Maut seakan tak mendengar ucapan
Dewi Tengkorak Hitam. Dia memandang ke atas.
Dengan kacak pinggang dia berkata.
"Aku dalam perjalanan mencari seseorang.
Kalau kau bisa memberi keterangan di mana aku
bisa menemukan seorang bergelar Pendekar Mata
Keranjang 108 kau akan kubebaskan! Jika tidak
dapat memberi keterangan, sungguh malang na-
sibmu. Karena kau akan menemui ajal dengan
tubuh tegang! Ha.... Ha.... Ha...!"
"Dajal keji!" rutuk Dewi Tengkorak Hitam dalam hati.
"Hmm.... Sementara aku akan membohon-
ginya, dengan begitu aku akan dibebaskan, sete-
lah itu...," setelah berpikir sejenak, Dewi Tengkorak Hitam berkata.
"Aku tahu orang yang kau cari!"
Dewa Maut membelalak, lalu palingkan wa-
jah dan melangkah mendekat. "Bagus! Katakan di mana!"
"Di suatu tempat jauh dari sini! Perjala-
nannya kira-kira memakan waktu dua hari dua
malam!" "Hmm.... Begitu" Baiklah! Kau harus tun-
jukkan padaku!" sambil berkata Dewi Maut bung-kukkan tubuh dan hendak mengangkat
tubuh Dewi Tengkorak Hitam.
"Tunggu!" seru Dewi Tengkorak Hitam.
"Karena yang akan kita lewati jalanan ra-
mai tidak pantas jika kau memanggulku. Be-
baskan dahulu totokan ini!"
Dewa Maut menyeringai, lalu tertawa pe-
lan. "Jangan harap kau bisa menipuku! Sepu-
luh hari pun dan melewati jalan apa pun tak pe-
duli!" Habis berkata begitu, tanpa mempedulikan perubahan pada wajah Dewi
Tengkorak Hitam,
Dewa Maut angkat tubuh gadis ini dan meletak-
kan di atas pundaknya. Lalu hendak berkelebat
meninggalkan tempat itu.
Namun belum sampai bergerak berkelebat,
terdengar orang menegur. "Tunggu...!"
Dewa Maut urungkan niat. Lalu balikan
tubuh. DUA BELAS Di hadapan Dewa Maut berdiri seorang
pemuda mengenakan pakaian hijau. Untuk bebe-
rapa saat lamanya Dewa Maut memandangi orang
di hadapannya. Dahinya mengernyit. Sebelum
mulutnya membuka keluarkan suara, orang ber-
baju hijau yang bukan lain adalah Pendekar Mata Keranjang telah mendahului
berkata. "Kalau boleh tanya, apakah memang ingin
menemukan pemuda bergelar Pendekar Mata Ke-
ranjang 108?"
Dahi Dewa Maut makin mengernyit. Dia
memperhatikan pemuda di hadapannya dari atas
hingga bawah. "Hmm.... Dia mengetahui. Kalau tidak
mendengarkan di sekitar tempat ini tidak mung-
kin dia mengetahuinya! Kehadirannya di sekitar
tempat ini tak dapat diketahui. Tampaknya dia
memiliki ilmu...," batin Dewa Maut. Lalu berkata.
"Ucapanmu benar! Aku memang ingin me-
nemukannya. Kau dapat menunjukkan" Kalau
dapat, kau akan dapat imbalan pantas dariku.
Tapi jika tidak, kau dapat melihat-lihat dulu dua orang yang tergeletak itu!
Nasibmu akan sama
dengan mereka!"
Sejenak Pendekar 108 memandang silih
berganti pada dua mayat yang tergeletak hangus.
Lalu memandang pada Dewa Maut dan berkata.
"Imbalan apa yang akan kau berikan pada-
ku"!" "Kau tak berhak tanya padaku! Katakan di mana pemuda itu dapat kutemukan!"
"Bagaimana kalau gadis di pundakmu itu
saja sebagai imbalannya?" tanya Pendekar 108
tanpa mempedulikan ucapan Dewa Maut.
"Kau tak usah melakukan perjalanan lagi,
karena orang yang kau cari dekat sekitar sini!"
sambung Aji tatkala Dewa Maut masih diam.
"Hmm... Kalau itu maumu, baiklah! Tapi
ingat, sekali kau menipu Dewa Maut, kuhancur-
kan tubuhmu!"
Habis berkata, Dewa Maut turunkan tubuh
Dewi Tengkorak Hitam.
Pendekar 108 melangkah mendekat. Na-
mun baru satu langkah Dewa Maut telah mem-
bentak garang. "Tetap di tempatmu! Jangan bergerak tan-
pa perintahku!"
Dewi Tengkorak Hitam yang telah berada di
atas tanah melirik. Wajahnya berubah begitu
mengetahui siapa adanya orang yang bicara pada
Dewa Maut. Mulutnya membuka hendak mengu-
capkan sesuatu, namun buru-buru sadar, dan
takupkan kembali mulutnya. Hanya sepasang
matanya kini memperhatikan Aji dengan dahi
mengkerut. "Katakan di mana pemuda itu! Dan kau bo-
leh ambil gadis ini!" kata Dewa Maut sambil arahkan telunjuknya pada Dewi
Tengkorak Hitam.
Pendekar 108 arahkan pandangannya pada
tempat di mana Setan Pesolek berada. Lalu berka-ta.
"Kau dapat menemukannya di balik pohon
itu!" Aji menunjuk pada pohon, di mana Setan Pesolek berada di baliknya.
Sejurus Dewa Maut memandang Aji dengan
pandangan tak percaya. Hidungnya keluarkan
dengusan keras. Lalu berkata.
"Kau jangan main-main dengan nyawamu!"
Aji gelengkan kepala.
"Silakan buktikan sendiri!"
Sementara itu di balik pohon Setan Pesolek
memaki habis-habisan. Namun dia tak juga be-
ranjak dari tempatnya.
"Kurang ajar anak itu! Orang dibuat um-
pan seenak perutnya!" gumam Setan Pesolek lalu sibakan rambutnya dan
menggerakkan tangannya
pulang balik ke depan dengan gerakan lembut.
Saat itulah tiba-tiba sepasang matanya
menumbuk pada sebuah benda. Dengan dahi
berkerut, Setan Pesolek melangkah mendekat dan
memungut benda itu.
"Sialan! Dia benar-benar hendak mengerjai
diriku! Kipas ini pasti sengaja ditinggalkan!" gumamnya seraya mengawasi benda
di tangannya yang ternyata adalah kipas lipat.
"Kau tetap di sini! Satu langkah bergerak, kepalamu hancur! Kau dengar?" bentak
Dewa Maut. Lalu berkelebat ke arah pohon yang ditun-
juk Aji. Belum sampai berkelebat, dari balik pohon muncul sesosok pemuda
berambut kepang dua
dengan bibir mencorong besar. Bukan karena me-
lihat gerakan orang yang baru muncul, namun
pada tangan kanannya yang bergerak pulang ba-


Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lik di depan dagu berkipas-kipas.
Kalau Dewa Maut mendelik besar, Aji tam-
pak menarik napas lega. Sebenarnya Aji sempat
dibuat cemas. Dia khawatir Setan Pesolek tak melihat kipasnya atau melihat kipas
itu lalu dipun-gutnya dan dibawanya pergi.
"He...! Ucapanku benar, bukan" Apakah
gadis itu bisa kuambil sekarang?" kata Aji seraya melirik pada Dewi Tengkorak
Hitam. "Aku Dewa Maut! Dengar. Aku Dewa Maut!
Sekali lagi kau panggil bukan namaku, kupatah-
kan lehermu! Dan jangan bergerak tanpa perin-
tahku!" berkata Dewa Maut dengan mata tertuju pada pemuda yang berkipas-kipas.
Lalu meloncat dan berdiri tegak menghadang pemuda yang ber-
kipas-kipas yang bukan lain adalah Setan Peso-
lek. "Hmm.... Melihat lagak gayanya, tak pantas dia disebut seorang pendekar.
Tapi melihat kipasnya...." Untuk beberapa saat lamanya Dewa Maut memperhatikan
kipas ungu di tangan kanan Setan Pesolek.
"Apa mungkin.... Jangan-jangan kipas itu
palsu! Hmm.... Akan kujajaki ilmunya. Sebagai
orang yang bergelar pendekar, tak mungkin be-
rilmu cetek!" batin Dewa Maut. Lalu dia membentak. "Siapa kau"!"
Setan Pesolek tak segera menjawab. Malah
sepasang matanya memandangi Dewa Maut. Lalu
tawa cekikikannya keluar.
"Dewa Maut.... Bukankah itu gelarmu"!"
Setan Pesolek balik bertanya.
"Keparat! Kau tak layak menanyaiku! Ja-
wab pertanyaanku! Siapa kau"!"
Setan Pesolek sibakan rambut di tengkuk-
nya dengan menarik sedikit kepalanya ke bela-
kang. "Orang-orang memanggilku Pendekar Mata Keranjang 108! Kau siapa"!" kembali
Setan Pesolek ajukan pertanyaan, membuat Dewa Maut ke-
luarkan dengusan keras dan menyeringai.
Sementara Pendekar 108 menahan tawa,
dan perlahan-lahan menggeser ke arah Dewi
Tengkorak Hitam.
"Kau jangan mengaku-aku Pendekar Mata
Keranjang 108!" bentak Dewa Maut lalu melangkah lagi satu tindak.
"Aku tak mengharap kau mempercayaiku.
Bagiku tak ada untungnya kau percaya atau ti-
dak! Harap jangan menghadang. Aku tak punya
waktu banyak!"
"Hmm.... Jika kau memang Pendekar Mata
Keranjang 108, dengar! Serahkan kipas serta
nyawamu padaku!"
Seraya membentak, Dewa Maut julurkan
tangan kanannya membuat gerakan seperti me-
minta. Lalu kepalanya mengangguk.
Setan Pesolek alihkan pandangannya. Lalu
berkata dengan gerakan tangan kiri ke depan ke
belakang seperti orang melambai.
"Tiada hujan tiada panas. Malam-malam
begini kau menghadangku. Lalu meminta barang-
ku, bahkan nyawaku. Jangan-jangan kau ini se-
bangsa orang-orang yang berkeliaran menjarah
barang orang dengan paksa, alias perampok!"
Dewa Maut tertawa mengekeh.
"Kau mau bilang apa terserah! Yang pasti,
aku Dewa Maut menginginkan kipas dan nyawa-
mu!" "Kau masih muda dan tampan. Sayang...."
"Sayang apa..."!"
"Masih serakah dengan barang dan nyawa
orang lain!"
"Jahanam!" maki Dewa Maut, lalu tanpa pikir panjang lagi dia angkat kedua
tangannya dan lepaskan pukulan sakti 'Dewa Membakar
Bumi'. Seketika itu juga tempat itu panas me-
nyengat laksana dipanggang. Dari telapak tan-
gannya lalu melesat gelombang bara api merah
menyala. Setan Pesolek berteriak ngeri. Namun tan-
gan kanan kirinya segera diangkat dan seraya melompat setengah tombak kedua
tangannya dihan-
tamkan ke depan.
Asap putih bergulung-gulung melesat dari
tangan kiri, sementara dari tangan kanan asap
putih membentuk kipas menebar melengkung.
Asap putih menyongsong gelombang bara
api lalu bergerak membubung ke atas. Tiba-tiba
menukik deras ke bawah, dan....
Bummm! Dentuman keras mengguncang.
Tanah di tempat itu terbongkar dan mem-
bentuk lobang menganga sedalam setengah tom-
bak. Dewa Maut terhuyung sejenak lalu jatuh terduduk. Sementara Setan Pesolek
terseret ke belakang. Lalu cepat tangannya menyambar batang
pohon di sampingnya, hingga tubuhnya selamat
dari jatuh terjengkang.
Dewa Maut angkat alis matanya. Lalu,
memandang ke arah Setan Pesolek yang bersan-
dar pada batang pohon, dan melihat lawan masih
bertahan malah dia sendiri dibuat jatuh terduduk membuat dia merasa yakin jika
yang dihadapinya
adalah Pendekar Mata Keranjang 108. Sejenak dia memeriksa, dan begitu tak ada
yang cidera, dia
cepat bangkit. Lalu berkelebat ke arah Setan Pe-
solek dan lepaskan sekali lagi pukulan 'Dewa
Membakar Bumi'.
Wuuutt! Wuuuttt!
Setan Pesolek tak tinggal diam. Kipas ungu
milik Aji cepat disimpan di balik pakaiannya. Lalu angkat tangannya di atas
kepala. Tubuhnya lantas diputar dengan cepat. Serta-merta kedua tangannya
dikepakkan, lalu dihantamkan ke depan.
Wuuutt! Wuuuttt!
Gelombang asap putih bergulung-gulung
melesat dan serta-merta menggulung bara api se-
rangan lawan. Setan Pesolek tambah tenaga dalamnya.
Lalu dorong tangannya ke depan. Gulungan asap
putih yang memuntal bara api serangan Dewa
Maut kini bergerak ke arah Dewa Maut.
Dewa Maut berdiri tegak. Rahangnya men-
gatup rapat. Gerakan asap putih yang membung-
kus serangannya tidak mungkin lagi ditangkis-
nya, karena asap itu akan ambyar dan bara api
serangannya sendiri akan mental balik ke arah-
nya. Memikir sampai di situ, dengan gerakan
luar biasa cepat sepasang kakinya menjejak ta-
nah. Tubuhnya melesat tinggi ke udara. Namun
bersamaan dengan itu asap putih yang mem-
bungkus bara api ambyar.
Bummm! Dewa Maut terdengar keluarkan seruan
tertahan. Tubuhnya makin membubung tinggi.
Lalu menukik deras dan jatuh terjerembab pada
tanah yang telah terbongkar hingga untuk bebe-
rapa saat lamanya tubuh Dewa Maut laksana le-
nyap. Di balik asap putih yang masih melingkupi tempat itu, Setan Pesolek
terlihat terhuyung-huyung melangkah mendekati Pendekar Mata Ke-
ranjang yang ternyata telah membebaskan Dewi
Tengkorak Hitam
"Manusia sialan! Ayo panggul aku! Tinggal-
kan tempat celaka ini!" kata Setan Pesolek. Dan tanpa menunggu persetujuan Aji,
dia langsung melompat dan menggelayut pada punggung Aji.
Dewi Tengkorak Hitam anggukan kepala.
Lalu berkelebat mendahului. Sejenak Pendekar
108 masih mengawasi di mana Dewa Maut jatuh
terjerembab. "Manusia sialan! Dia sebenarnya urusan-
mu. Tapi karena kau masih cidera terpaksa untuk sementara ini aku mewakilimu.
Tapi lain kali jangan harap aku akan bisa kau jadikan umpan lagi!
Ayo jalan!"
Sambil cengar-cengir Pendekar Mata Ke-
ranjang balikan tubuh dan berkelebat dengan
menggendong Setan Pesolek.
"Setan Pesolek!" kata Aji sambil terus berlari.
"Aku rasa-rasanya tak pernah punya uru-
san dengan manusia bernama Dewa Maut. Aneh
jika tiba-tiba dia mencariku dan hendak membu-
nuhku!" Sambil mengusap-usap mulutnya pada
punggung Aji, karena ternyata dari mulutnya te-
lah keluar darah hitam, Setan Pesolek berkata.
"Pendekar 108! Arena rimba persilatan bu-
kan hanya merupakan ajang malang melintang-
nya tokoh golongan putih dan golongan hitam.
Namun juga arena subur untuk menabur benih
dendam, menebar fitnah. Benar kau tak pernah
punya urusan dengan Dewa Maut, tapi benih
dendam mungkin saja telah ditanam seseorang
padanya. Hingga meski kau tak punya masalah
dengannya, tapi dia telah menganggapmu musuh
sekaligus menginginkan nyawamu! Itulah resiko
menjadi seorang pendekar. Jika kau tak pandai-
pandai melangkah apalagi terjerat dengan kepal-
suan yang tampak di mata, maka jangan mimpi
kau dapat melaksanakan tugasmu dengan
baik...." "Ah, ternyata kau pandai juga bicara.... Ta-pi, benar juga ucapannya!" kata
Pendekar 108 dalam hati. Lalu berkelebat lebih kencang lagi.
Jauh di belakangnya, begitu asap putih si-
rap, Dewa Maut terbungkuk-bungkuk bangkit.
Sekali loncat tubuhnya telah keluar dari dalam
bongkaran tanah. Sepasang matanya memandang
berkeliling. Tiba-tiba wajahnya berubah. Mulut-
nya terkancing rapat. Rahangnya mengembung,
dengan pelipis kanan kiri bergerak-gerak.
"Keparat! Hari ini nasibmu masih baik
Pendekar Mata Keranjang 108! Tapi tidak untuk
hari-hari selanjutnya! Dewa Maut akan membuat
duniamu sempit! Dewa Maut punya kekuatan un-
tuk menggenggam dunia persilatan!" teriak Dewa Maut marah sambil kepalkan kedua
tangannya. Sejenak dia masih memandang berkeliling.
Setelah merasa benar-benar jika orang yang dicari tidak ada di sekitar tempat
itu, dia pun berkelebat meninggalkan tempat itu.
SELESAI Ikutilah kelanjutan kisah ini dalam episode:
PRAHARA DENDAM LELUHUR
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 11 Pendekar Bayangan Sukma 25 Datuk Sesat Bukit Kubur Geger Dunia Persilatan 3
^