Pencarian

Prahara Dendam Leluhur 2

Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur Bagian 2


tidaknya melesat keluar. Namun harapan Dadung
Rantak tak jadi kenyataan, malah meski sepasang matanya juga ikut-ikutan menyapu
berkeliling, bayangan itu tak ditemukannya.
"Keparat busuk! Siapa pun adanya kau,
tunjukkan dirimu!" teriak Dadung Rantak marah.
Dadanya yang telanjang terlihat bergerak cepat
turun naik. Sepasang matanya merah menyala
berkilat-kilat.
Saat itulah dia mendengar langkah-
langkah kaki dari arah belakangnya. Terkejut dan tegang, Dadung Rantak segera
putar tubuhnya.
Di hadapannya tegak seorang pemuda mengena-
kan jubah hitam yang dilapis dengan pakaian
warna putih. Karena tiga kancing jubahnya ba-
gian atas tidak dikancingkan, maka dengan jelas Dadung Rantak dapat melihat
sebuah lukisan berbentuk pintu gerbang pada baju putih sang
pemuda. Karena menduga orang inilah yang telah
ikut campur urusannya, serentak Dadung Rantak
keluarkan bentakan keras.
"Kalau tak ingin kupecahkan kepalamu, se-
rahkan dua manusia itu!"
Yang dibentak keluarkan tawa bergelak-
gelak. Dengan mengalihkan pandangan pada ju-
rusan lain, dia balas membentak.
"Manusia gila! Tak ada hujan tak ada angin bicara seenak perut. Buka matamu
lebar-lebar! Aku datang sendirian tanpa dua manusia!"
Sejurus Dadung Rantak perhatikan pemu-
da di hadapannya. Lalu keluarkan dengusan ke-
ras dari hidung dan mulutnya. Dadanya bergolak
mendengar dirinya disebut manusia gila. Mulut-
nya komat-kamit menggumam tak jelas. Tiba-tiba
saja kakinya dibanting. Tanah di bawahnya lang-
sung melesak dalam!
Sang pemuda yang ingin mengetahui cepat
palingkan wajah. Saat itulah Dadung Rantak me-
lompat, kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi
dan dihantamkan ke arah kepala si pemuda.
Mendapat serangan mendadak, sang pe-
muda tak menunjukkan rasa terkejut. Malah se-
raya tersenyum dingin dia rentangkan tangannya
lalu diangkat. Prak! Prakkk! Dadung Rantak berseru tegang. Kedua tan-
gannya yang baru saja bentrok dengan tangan si
pemuda terasa hendak penggal. Dia cepat melon-
cat mundur seraya meringis. Sementara sang pe-
muda tetap tegak di tempatnya dengan mata me-
nyorot tajam dan senyum seringai.
"Siapa bangsat ini" Baru kali ini aku bertemu dengan pemuda yang tenaga dalamnya
de- mikian tinggi selain pendekar murid Wong Agung
keparat itu! Jangan-jangan dia teman atau sau-
dara seperguruannya.... Tapi secepat apa pun gerakannya, mustahil dia bisa
sembunyikan dua
manusia tadi lantas balik ke sini. Lagi pula kawa-san ini terbuka, kalau
disembunyikan di sekitar sini pasti aku dapat menemukannya...." Berpikir sampai
di situ, Dadung Rantak lantas berkata.
"Anak muda! Waktuku cuma sedikit. Lekas
katakan siapa dirimu!"
Sang pemuda dongakan kepala meman-
dang langit. Dari mulutnya tidak keluar sepatah kata pun, membuat Dadung Rantak
geram dan katupkan rahang rapat-rapat. Orang tua ini lantas buka mulut hendak membentak
lagi. Namun belum sampai terdengar suaranya, sang pemuda
telah berpaling dan berkata.
"Orang tua! Kau tak pantas mengetahui
namaku! Yang layak kau ketahui hanyalah gelar-
ku! Namun setelah kau mengetahui gelarku, kau
harus dapat tunjukkan di mana beradanya orang
yang kucari!"
Meski hatinya dongkol mendengar ucapan
sang pemuda, namun akhirnya Dadung Rantak
berucap. "Begitu"! Cepat katakan apa gelarmu dan
siapa orang yang kau cari!"
Sang pemuda terdiam sejenak. Lalu buka
mulut. "Aku bergelar Dewa Maut! Orang yang kucari adalah pemuda bergelar
Pendekar Mata Ke-
ranjang 108!"
Sepasang mata Dadung Rantak membeliak
angker. Kedua alis matanya naik ke atas. Sesaat dipandangi sang pemuda yang
bukan lain memang Dewa Maut. Tiba-tiba dia tertawa mengekeh
panjang. Belum sampai suara tawa Dadung Ran-
tak lenyap, Dewa Maut telah menyambung uca-
pannya. "Sekarang katakan di mana aku dapat me-
nemukan orang yang kusebutbtadi! Ingat. Pemu-
da bergelar Pendekar Mata Keranjang 108!"
Mendengar ucapan Dewa Maut, Dadung
Rantak bukannya menjawab, sebaliknya makin
tertawa bergerai-gerai.
"Anak muda! Permainan konyol apa yang
kau peragakan di hadapanku" Bukankah kau ba-
ru saja menyelamatkannya"!" ujar Dadung Rantak sengaja memancing.
Kali ini Dewa Maut yang membelalak. Se-
pasang matanya menyorot penuh selidik.
"Orang tua! Seperti katamu. Waktuku juga
tak banyak. Kau jangan bersilat lidah. Aku tak
menyelamatkan siapa-siapa! Justru aku menca-
rinya untuk mengantar tubuhnya menuju alam
lain!" Dadung Rantak anggukan kepalanya. Mulutnya bergerak komat-kamit seakan
hendak mengucapkan sesuatu. Menyangka jika orang tua
di hadapannya mengetahui orang yang dicari,
Dewa Maut diam menunggu.
"Anak muda! Melihat paras wajahmu, tam-
paknya kau tidak main-main. Boleh aku tahu,
kenapa kau menginginkan nyawa orang itu"!" ujar Dadung Rantak seraya usap-usap
jenggotnya. Dewa Maut mendengus. Dalam hati pemu-
da ini memaki habis-habisan karena dugaannya
meleset. Setelah diam agak lama, akhirnya Dewa
Maut menjawab. "Kenapa kuinginkan nyawa pemuda terse-
but, bukan urusanmu! Jawab saja tanyaku!"
"Hm.... Kau tak memberitahu urusanmu
tak jadi apa! Tapi satu hal yang harus kau ketahui bukan hanya kau saja yang
menginginkan nyawa pemuda itu!"
"Maksudmu"!" kejar Dewa Maut.
"Aku, Dadung Rantak juga menginginkan
nyawanya! Bahkan sampai gurunya!"
"Hmm.... Apakah orang ini hanya ingin
nyawanya tanpa membutuhkan senjatanya" Atau
menginginkan kedua-duanya" Meski belum bisa
kuketahui tujuannya, namun manusia ini harus
segera disingkirkan. Jika tidak, bukan tak mung-
kin dia mendapatkan pemuda itu terlebih dahu-
lu...!" Berpikir begitu, Dewa Maut lantas berujar.
"Orang tua! Kau tadi mengatakan aku me-
nyelamatkan dua orang. Siapa mereka"!"
"Hmm.... Rupanya memang ada orang lain
yang menyelamatkan dua manusia tadi. Aku tak
boleh mengatakan terus terang siapa adanya dua
manusia tadi. Sebab tidak tertutup kemungkinan
pemuda ini akan menemukannya. Itu berarti
akan menghalangi langkahku untuk menda-
patkan benda yang kuinginkan! Kalau perlu ma-
nusia sombong ini harus dikirim sekalian ke akhirat!" batin Dadung Rantak.
Setelah berpikir sejenak, dia berucap.
"Mereka adalah dua orang laki-laki musuh
besarku. Mereka sebenarnya sudah hampir tewas
seandainya tidak ada orang yang berkelebat me-
nolongnya! Aku curiga padamu, jangan-jangan
kau yang menolong keduanya, karena begitu me-
reka lenyap, kau tiba-tiba muncul. Sekarang ber-terus teranglah. Di mana kau
sembunyikan mu-
suhku itu!"
"Bangsat sialan! Mulutmu sengaja minta
dirobek!" rutuk Dewa Maut.
"Bukan mulutku. Tapi mulutmu yang ha-
rus dipecahkan karena telah berani bicara sandiwara di hadapanku!"
"Tua bangka keparat! Kita buktikan mulut
siapa yang akan berantakan!" teriak Dewa Maut.
Habis berteriak begitu, dia menyergap ke depan.
Tangan kanannya diangkat ke atas kepala, se-
mentara tangan kirinya cepat mendorong ke de-
pan. Dari tangan kiri ini mencuat asap merah.
Bersamaan dengan itu udara di tempat itu beru-
bah menjadi panas menyengat laksana dijerang.
Dadung Rantak tampak tersirap kaget.
Meski dia masih terlihat tersenyum mengejek,
namun dia tak mau ambil resiko. Dia cepat pula
melompat ke samping. Tangan kanannya ikut
bergerak melepaskan pukulan. Namun bersa-
maan dengan itu, tangan kanan Dewa Maut telah
susuli pukulan pertamanya. Hingga meski Da-
dung Rantak berhasil memapak serangan perta-
ma lawan, namun serangan keduanya melabrak
tak bisa ditangkis.
Dadung Rantak untuk sesaat terlengak
menyaksikan hal itu. Dia tak menduga sama se-
kali jika serangan kedua lawan begitu cepat, malah lebih ganas, karena bersamaan
dengan itu, serangkum angin dahsyat terlebih dahulu melesat sebelum asap merah menggebrak.
Namun Dadung Rantak tak mau begitu saja membiarkan
tubuhnya terhajar serangan lawan. Tangan ki-
rinya segera diangkat dan serta-merta dipukul-
kan. Blarrr! Bentrok pukulan yang sama-sama teraliri
tenaga dalam tak dapat dihindarkan lagi. Karena terjadinya bentrok lebih dekat
dari tempat Dadung Rantak apalagi tenaga dalam orang tua ini
telah terkuras sebelumnya sewaktu melayani
Pendekar Mata Keranjang, maka saat ledakan
terdengar, sosok Dadung Rantak langsung mence-
lat mental ke belakang. Lalu telentang di atas tanah dengan sudut bibir
mengucurkan darah kehi-
taman. Di seberang sana, Dewa Maut terhuyung-
huyung lalu jatuh terduduk. Pemuda ini segera
memeriksa, dan merasa dirinya tak mengalami
cidera, dia segera bergerak bangkit. Lantas me-
langkah pelan ke arah Dadung Rantak.
Paras muka Dadung Rantak langsung be-
rubah pucat pasi. Dia menyumpah habis-habisan
dalam hati. Karena akibat bentrok dengan Pende-
kar Mata Keranjang tenaganya tak lagi sempurna.
Namun dia berusaha bangkit meski dengan tubuh
bergetar dan dada berdebar sakit.
"Tua bangka! Jawab. Kau bisa tunjukkan
orang yang kucari apa tidak"!" ujar Dewa Maut.
Meski hatinya kecut namun orang tua ini
segera menyembunyikannya dengan tertawa pe-
lan. Setelah mengusap wajah dan darah yang
mengalir dari sudut bibirnya, dia berucap.
"Manusia bodoh! Dunia ini luas. Mana bisa
orang kau suruh menunjukkan pada segelintir
manusia yang kau cari"!"
Dikatakan manusia bodoh demikian rupa,
Dewa Maut bukannya marah. Sebaliknya dia
mendongak ke langit lalu tertawa. Namun ta-
wanya mendadak diputus laksana terenggut. Ke-
palanya bergerak lurus. Dari mulutnya terdengar suara bergetar dan keras.
"Dengar, Tua Bangka Jahanam! Aku tak
peduli dunia luas atau sempil. Kau tak bisa me-
menuhi permintaanku, itu berarti nasib jelek
buatmu!" Meski diam-diam tengkuknya jadi dingin,
namun Dadung Rantak tetap sunggingkan se-
nyum. Sebenarnya diam-diam pula kakek ini se-
dang kerahkan segenap tenaga dalamnya, karena
dia merasa yakin bahwa ucapan pemuda di hada-
pannya tidak sekadar main-main. Setelah terdiam sesaat, orang tua ini alihkan
pandangannya pada jurusan lain dan berucap datar.
"Kau rupanya berteman dengan malaikat
hingga tahu nasib manusia! Apakah kau juga su-
dah tahu jika nasibmu berada di tanganku"!"
Untuk kesekian kalinya Dewa Maut kelua-
rkan tawa panjang dan keras.
"Tua bangka tolol! Dengar! Aku adalah De-
wa Maut. Manusia yang akan menebar hawa
maut pada siapa saja yang tak bisa memberi apa
yang kupinta! Kau ingin bukti"!'
Tanpa menunggu jawaban dari Dadung
Rantak, Dewa Maut angkat kedua tangannya lalu
dipukulkan. Gelombang asap merah yang menebar ha-
wa panas menyungkup di tempat itu. Suara
menggemuruh laksana air bah menggebrak ke
arah Dadung Rantak.
Dadung Rantak meski nampak tercekat te-
gang namun segera sentakan kedua tangannya,
membuat suasana di tempat itu makin panas
menyengat. Dan bersamaan dengan itu terdengar
dentuman menggelegar! Saat asap merah dihajar


Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukulan Dadung Rantak yang tak kelihatan ben-
tuknya. Kedua orang ini sama-sama keluarkan pe-
kik kesakitan. Tubuh Dewa Maut terdorong deras
ke belakang. Namun pemuda ini cepat membuat
gerakan jungkir balik, hingga meski sempat jatuh berlutut, namun tubuhnya
selamat dari menghempas menghajar tanah.
Di lain pihak, karena tenaga dalamnya su-
dah pas-pasan, Dadung Rantak tak bisa mengua-
sai gerak tubuhnya, hingga dia terjungkal dengan kepala lebih dahulu! Orang tua
ini sesaat mengerang, sepasang matanya redup menyipit. Dan
erangannya segera dia hentikan sementara ma-
tanya dia pejamkan tatkala samar-samar dilihat-
nya Dewa Maut telah melangkah ke arahnya.
Tiga langkah di depan Dadung Rantak yang
diam tak bergerak, Dewa Maut hentikan langkah-
nya. Sejurus lamanya dia memperhatikan sosok
Dadung Rantak. Dan mengira orang tua itu telah
menemui ajal, dengan senyum seringai dan ke-
butkan jubahnya, dia putar tubuh dan tinggalkan tempat itu.
Begitu sang pemuda pergi, Dadung Rantak
gerakan tangannya dan ditempelkan pada da-
danya untuk mengatasi debarannya yang nyeri.
Namun karena dia terlalu bernafsu untuk menga-
tasi cidera bagian dalam tubuhnya yang membu-
tuhkan pengerahan tenaga dalam, sementara te-
naga dalamnya telah terkuras, maka orang itu sesat terlihat megap-megap, lalu
tangannya lunglai dan sejenak kemudian dia terkulai pingsan.
ENAM PENDEKAR Mata Keranjang mula-mula ti-
dak mengetahui siapa adanya orang yang me-
manggul dan kini berkelebat membawa lari di-
rinya. Yang dia ingat dan ketahui adalah dia sedang menghadapi Dadung Rantak.
Dan sewaktu tubuhnya terseret ke belakang hendak terjeng-
kang menghajar tanah, tiba-tiba satu tangan me-
nahan gerak tubuhnya, bukan hanya selamatkan
dirinya dari terhempas di tanah, namun juga se-
cara bergerak cepat mengangkat tubuhnya dan
melemparkannya ke atas. Lalu tahu-tahu dia me-
rasa sudah ada di pundak orang, serta sudah
berkelebat. Setelah memikir sejenak, Aji buka kelopak
matanya. Yang mula-mula terlihat adalah pung-
gung orang yang membawanya lari. Ternyata pa-
kaian yang dikenakan orang itu telah robek di sa-na-sini. Lalu pandangannya
tertumbuk pada so-
sok tubuh yang juga menggelentung seperti di-
rinya di pundak kiri orang.
Pendekar 108 memperhatikan dengan sek-
sama. Dia tak bisa melihat paras wajah orang
yang di sebelahnya, namun dapat melihat bagian
kepala orang itu. Ternyata kepala itu dihiasi bebe-
rapa pita berwarna-warni yang digunakan untuk
menguncir rambutnya.
"Putri Kipas...!" gumam Pendekar 108 begitu dapat mengenali orang. Dia menarik
napas le- ga. "Hmm.... Untung anak ini juga selamat. Aku telah mengkhawatirkan
dirinya...."
Mendadak murid Wong Agung ini membaui
sesuatu lain. Keras menyengat hidung. Melirik ke bawah, ke arah datangnya bau,
Aji terperanjat.
"Astaga! Ternyata dia!" bisik Pendekar 108
dalam hati. Di bawah tubuhnya, tepatnya di bagian
pinggang orang yang membawa tubuh Aji terlihat
melingkar sebuah ikat pinggang besar yang di-
ganduli beberapa bumbung bambu. Dari bum-
bung bambu itu keluar menyengat bau arak!
Pendekar Mata Keranjang lantas berpaling
lagi pada Putri Kipas. Mungkin ingin mengetahui keadaan si anak. Tangan kirinya
bergerak menyentuh pundak Putri Kipas. Untuk beberapa
saat yang disentuh tetap diam tak bergerak. Na-
mun ketika tangan Pendekar 108 hendak me-
nyentuh kembali, kepala Putri Kipas bergerak pelan berpaling ke arah Pendekar
108. Bibir anak
ini lalu tersenyum dan meletakkan telunjuk ja-
rinya melintang di tengah mulutnya memberi
isyarat agar Pendekar 108 tak mengucapkan se-
suatu. "Sialan! Rupanya dia keenakan digendong!
Tapi aku heran. Dia sepertinya tak merasakan
bau sengatan arak ini. Padahal aku sudah mual
mau muntah! Jangan-jangan dia murid Setan
Arak...," pikir Pendekar 108. Lalu ikut-ikutan me-lintangkan jari telunjuknya di
tengah mulut. Kedua orang ini lantas sama memejamkan mata
masing-masing. "Hm.... Biarlah aku istirahat dulu di sini!
Rasanya enak juga digendong! Daripada...," Pendekar 108 tak meneruskan kata
hatinya, karena
saat itu tiba-tiba saja orang yang membawanya
lari dan bukan lain memang Setan Arak gerakan
pundak kanan kirinya. Lalu melesat mendahului
ke depan, begitu dua sosok di atas pundaknya terangkat ke atas.
Baik Pendekar 108 maupun Putri Kipas
sama-sama terkejut. Serentak dua orang ini buka mata masing-masing. Keduanya
lantas mengeluarkan seruan tatkala mengetahui tubuh mereka
menukik telungkup ke bawah.
Kedua orang ini sama-sama membuat ge-
rakan untuk menyelamatkan diri masing-masing.
Namun terlambat. Sebelum keduanya mampu
bergerak, tubuh mereka telah terjerembab di atas tanah! "Puaahhh! Anak-anak
kurang ajar! Orang tua maunya dibuat mainan!" tiba-tiba terdengar teriakan di
seberang. Pendekar Mata Keranjang 108 dan Putri
Kipas bergerak bangkit sambil pegangi dada mas-
ing-masing. Keduanya saling lirik sejurus, lalu balikan tubuh masing-masing
menghadap orang
yang baru saja keluarkan teriakan.
Sepuluh langkah di hadapan mereka, Se-
tan Arak terlihat duduk menggelosoh sambil me-
nenggak araknya silih berganti dari bumbung di
tangan kanan kirinya. Ikat pinggang besar yang
tadi melingkar di pinggangnya telah berpindah.
Kini tampak menyelempang melingkar melalui
pundaknya. Pendekar 108 dan Putri Kipas saling ber-
pandangan kembali. Putri Kipas angukkan kepa-
la. Keduanya lantas melangkah mendekat ke arah
Setan Arak. "Hmm.... Anak ini tampaknya memang su-
dah mengenal Setan Arak..." batin Pendekar 108
seraya terus melangkah. "Gerak-geriknya menunjukkan hal itu!"
Tiga langkah di hadapan Setan Arak, kedua
orang ini berhenti. Tiba-tiba Putri Kipas jatuhkan diri dan menjura dalam-dalam
seraya berkata.
"Eyang...."
"Eyang apa"!" sentak Setan Arak tanpa memandang.
"Maafkan aku. Aku bukannya mau...."
"Kau ingin ikut-ikutan temanmu itu berke-
liaran tak karuan, hah"!" kembali Setan Arak menyentak sebelum Putri Kipas
selesaikan ucapan-
nya. Putri Kipas gelengkan kepalanya. Sejenak
dia memandang Setan Arak. Setelah menarik na-
pas panjang, dia berujar.
"Aku hanya kebetulan bertemu dengannya
sewaktu jalan-jalan di kaki bukit itu. Lalu aku
mengikutinya, tapi dia tidak tahu kalau kuikuti.
Waktu...."
"Sudah. Sudah, jangan banyak omong!"
sahut Setan Arak. Lalu menenggak araknya kem-
bali, hingga matanya terpejam-pejam kemerahan.
"Betul ucapannya.. Aku memang tak sen-
gaja bertemu dengannya di kaki bukit. Jadi aku
tak mengajaknya berkeliaran...," yang buka suara adalah Pendekar 108 seraya
membungkuk hor-mat. "Puaahhh! Kalian orang sama-sama pintar bicara! Kalian
sekongkol!' "Kek! Kami tidak sekongkol. Memang itulah
yang terjadi!" sahut Pendekar 108.
Setan Arak jauhkan tangannya yang me-
megang bumbung arak dari mulutnya, sejurus
sepasang matanya yang kemerahan menatap
Pendekar 108. "Kau masih pandai omong. Apa kalian kira
aku tak tahu. Kalian saling memberi isyarat un-
tuk tidak keluarkan suara sewaktu aku terseok-
seok memanggul kalian. Apa namanya itu"! Ja-
wab!" Pendekar Mata Keranjang dan Putri Kipas saling berpandangan. Namun
keduanya tidak ada
yang keluarkan suara untuk menjawab.
"Kau juga mengapa mau mencelakakan
orang, he..."!" kembali Setan Arak ajukan tanya pada Pendekar 108.
"Mencelakakan orang?" gumam Pendekar
108. Paras wajahnya berubah. Untuk beberapa
lama murid Wong Agung ini pandangi Setan Arak
dengan tatapan tak mengerti.
"Kek! Rasanya aku tak melakukan perbua-
tan itu!" Setan Arak tertawa bergelak-gelak, hingga
bumbung arak yang bergelantungan di ikat ping-
gangnya bergerak-gerak turun naik.
"Kau mengaku bernama Aji. Tapi tak mene-
rangkan sebagai Pendekar Mata Keranjang. Ju-
stru orang lain yang kau katakan sebagai Pende-
kar Mata Keranjang! Apakah itu tak mencelaka-
kan orang lain" He..."! Apa jawabmu"!"
"Hmm.... Yang dimaksud pasti Setan Peso-
lek. Berarti dia sudah tahu semua ini!" Pendekar 108 membatin. Setelah berpikir
sejenak, dia bertanya. "Kek. Apakah yang dimaksud Setan Pesolek?" "Kau tak usah
bertanya. Aku ingin dengar jawabmu!" Setan Arak menghardik. Namun nadanya pelan
dan tanpa memandang, membuat
murid Wong Agung ini jerengkan sepasang ma-
tanya seraya menggeleng.
"Kek! Sebenarnya bukan maksudku mence-
lakakan Setan Pesolek. Karena Setan Pesolek
sendiri sudah tahu hal ini. Lagi pula dengan tan-pa mengaku sebagai Pendekar
Mata Keranjang 108, aku bisa mengorek apa sebabnya orang yang
bergelar Dewa Maut itu tiba-tiba mencariku dan
menginginkan nyawaku!"
"Memalukan!" tiba-tiba Setan Arak menya-
hut. "Apanya yang memalukan, Kek"!"
"Perbuatanmu itu! Itu adalah perlakuan
seorang pengecut! Tak mau tunjukkan dadanya
sendiri! Tapi mendorong wajah orang lain!"
"Tapi, Kek..."
Setan Arak tertawa bergelak-gelak.
"Aku tahu. Kau takut padanya. Bukankah
begitu"! Padahal apakah kau sadar, dengan per-
buatanmu itu persoalan tidak akan cepat selesai.
Belum lagi adanya korban-korban yang harus ja-
tuh!" Pendekar Mata Keranjang usap wajahnya dengan telapak tangannya.
"Lalu, menurutmu apa yang harus kulaku-
kan, Kek"!"
"Aku tak bisa memberi pendapat padamu.
Lagi pula otakmu tidak akan jalan bila terus-
terusan dituntun! Pecahkan sendiri urusanmu.
Yang penting jangan sampai berbuat pengecut
yang akhirnya membawa celaka orang lain lebih-
lebih menyeret jatuhnya beberapa orang yang tak tahu-menahu urusanmu!"
Habis berkata begitu, Setan Arak melam-
baikan tangannya pada Putri Kipas. Si anak sejurus memandang ke arah Aji. Lalu
melangkah per- lahan ke arah Setan Arak.
"Ayo. Kita pulang!" seru Setan Arak seraya bangkit begitu Putri Kipas telah
berada di depannya. Lagi-lagi Putri Kipas memandang pada Pen-
dekar 108. Wajahnya jelas menunjukkan rasa be-
rat. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa, apalagi ketika diliriknya Setan Arak
berpaling padanya
dengan mata sedikit mendelik.
"Kek, tunggu!" mendadak Pendekar 108
berseru menahan ketika Setan Arak dan Putri Ki-
pas mulai melangkah meninggalkan tempat itu.
Setan Arak berhenti. Tanpa berpaling lagi,
dia berkata. "Ada apa"!"
"Sebagai tokoh yang telah lama malang me-
lintang dalam rimba persilatan apakah kau tahu
tentang manusia yang bergelar Dewa Maut, atau
setidak-tidaknya pernah dengar berita tentang-
nya"!" Sebagai jawaban, Setan Arak tertawa bergerai-gerai. Lalu ulurkan
tangannya menyambar
tubuh Putri Kipas. Sosok Putri Kipas melayang ke udara, lalu 'plekk'. Tahu-tahu
tubuh Putri Kipas telah duduk bertengger di tengkuknya dengan kedua kaki
menjulai di depan dada.
"Kau telah digelari orang sebagai seorang
pendekar. Kalau di benakmu masih dirambahi ra-
sa takut pada orang yang jelas-jelas hendak me-
nebar maut, atau kau tak bisa menyelidiki urusan ini dengan otak sendiri,
kusarankan padamu lebih baik kau kembali ke Karang Langit. Lalu balik lagi
dengan mengenakan kebaya. Bibir dipoles
merah, muka dibedaki dan berganti nama menja-
di Siti Suminten bahenol binti Ponirah! Ha....
Ha.... Ha...!"
Habis berkata. seraya terus tertawa berge-
lak, Setan Arak melangkah meninggalkan tempat
itu. Di atas tengkuknya Putri Kipas ikut-ikutan tertawa seraya melambaikan
tangan. "Sialan!" maki Pendekar Mata Keranjang sambil bantingkan kaki, lalu melesat ke
arah ti-mur, jurusan mana tadi dia datang.
TUJUH

Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

HARI ini desa Gondang Legi lain dari bi-
asanya. Karena di alun-alun yang tak jauh dari
pasar Gondang Legi akan diadakan sebuah per-
tunjukan Gandeng Ujung. Sebuah permainan
yang mengandalkan kekuatan luar dan dalam.
Karena di situ akan berlaga dua orang yang nan-
tinya akan saling pukul berganti dengan menggu-
nakan sebuah cemeti. Pertunjukan ini memang
selalu diadakan setiap tahun sekali untuk me-
nandai dibukanya penggilingan tebu yang me-
mang menjadi penghasilan pokok penduduk Gon-
dang Legi. Maka sejak pagi hari penduduk Gon-
dang Legi telah berdatangan, malah mereka yang
tinggal jauh dari desa ikut datang berbondong-
bondong. Ketika penduduk sudah berkumpul, tak
lama kemudian pertunjukan itu pun dimulai. Dua
orang terlihat maju ke tengah lingkaran. Sorak-
sorai serta teriakan-teriakan mulai ramai bersahut-sahutan.
"Sialan! Permainan orang-orang gembel!"
gumam seorang pemuda seraya melangkah men-
jauhi hiruk-pikuknya orang-orang. Dia adalah
pemuda berwajah tampan. Berdagu kokoh dan
bermata tajam. Tubuhnya tinggi tegap. Rambut-
nya lebat dan panjang sebahu. Dan pemuda ini
terlihat lebih gagah karena dia mengenakan jubah besar berwarna hitam bergaris-
garis putih. Bersamaan dengan itu, dari arah kerumu-
nan orang banyak juga menyeruak keluar seorang
pemuda. Sosoknya tegap. Mengenakan jubah
warna hitam yang melapis baju warna putih.
Kedua pemuda ini secara kebetulan menu-
ju arah yang sama, yakni jurusan selatan. Pemu-
da yang mengenakan jubah hitam bergaris-garis
putih ada di depan sementara yang mengenakan
jubah hitam dan melapis baju warna putih ada di belakangnya.
Mungkin merasa diikuti orang, pemuda
yang di depan palingkan wajahnya ke belakang.
Cuma sesaat, lalu meneruskan langkah. Namun
dahi pemuda ini serentak mengernyit.
"Rasanya aku baru kali ini bertemu den-
gannya. Tapi kenapa dia sepertinya mengikutiku"
Atau ini hanya kebetulan menuju arah yang sa-
ma" Keparat! Kenapa aku memikirkan orang" Be-
rani macam-macam kucincang tubuhnya!" batin pemuda di sebelah depan. Lalu
melangkah lebih cepat. Pemuda yang di belakang ikut mempercepat langkahnya.
Namun pandangannya tak men-
garah ke depan, melainkan pada jurusan lain.
Namun jelas sepasang matanya sesekali memper-
hatikan pemuda di depannya.
"Hm.... Melihat langkah dan pakaian yang
dikenakannya, pasti dia seorang dari kaum persilatan. Aku akan tanya padanya.
Siapa tahu dia mengetahui orang yang kucari!" pikir pemuda yang di belakang. Lalu dia
mempercepat lagi
langkahnya. Mengetahui orang di belakang mendekat,
pemuda di sebelah depan mendadak hentikan
langkah. Tanpa balikan tubuh, malah dengan ka-
cak pinggang dia menegur. Suaranya lantang dan
bergetar. "Sebutkan siapa kau! Dan kenapa mengi-
kuti langkahku!"
Melihat sikap orang di depannya, pemuda
di belakang katupkan rahangnya rapat-rapat,
hingga keluarkan suara gemeretak. Sepasang ma-
tanya menusuk tajam, memperhatikan pemuda di
depannya dari atas hingga bawah.
Dia tidak segera menjawab pertanyaan pe-
muda di depannya yang membelakangi dengan
kacak pinggang. Bahkan sesaat kemudian pemu-
da ini keluarkan tawa pendek penuh ejekan.
"Baik. Kau tidak mau sebutkan siapa diri-
mu. Itu tidak ada ruginya bagiku! Tapi dengar.
Jangan berani beranjak melangkah dari tempat-
mu untuk mengikutiku, atau kepalamu akan pu-
tus dari lehermu!"
Habis berkata begitu, pemuda di sebelah
depan teruskan langkah. Pemuda di sebelah bela-
kang keluarkan dengusan keras. Matanya beru-
bah merah, sementara dadanya bergetar keras.
Dagunya terangkat, pertanda jika dia menahan
hawa amarah. Dan tanpa mempedulikan anca-
man orang, dia melangkah mengikuti.
Merasa ancamannya diacuhkan, pemuda di
sebelah depan kembali hentikan Iangkah. Dan se-
cepat kilat dia putar tubuhnya membalik. Pemuda di sebelah belakang ikut
hentikan langkah.
Untuk sesaat lamanya pemuda yang men-
genakan jubah hitam bergaris-garis putih yang
tadi ada di sebelah depan memandang tajam pe-
nuh selidik. Mendadak pelipis pemuda ini berge-
rak-gerak. Mulutnya bergetar. Karena pemuda
yang dipandanginya dongakan kepala tidak me-
mandang ke arahnya!
"Setan alas! Siapa gerangan manusia ini"
Nyalinya besar juga. Dia pasti mempunyai sesua-
tu yang diandalkan hingga tak takut ancaman
orang! Hm.... Kalau dia mau dijadikan sahabat,
tentu akan banyak membantu mewujudkan cita-
citaku. Menyingkirkan Pendekar Mata Keranjang
dan sekaligus menggenggam dunia persilatan!"
batin pemuda berjubah hitam bergaris-garis pu-
tih. Lalu dia mendehem beberapa kali dengan ha-
rapan pemuda di hadapannya memandang ke
arahnya. Namun apa yang menjadi harapannya
tidak terjadi. Karena pemuda di hadapannya tetap mendongak.
Meski agak jengkel, namun akhirnya pe-
muda berjubah hitam bergaris-garis putih kelua-
rkan suara. Kali ini nadanya agak rendah, meski
masih terdengar bergetar.
"Sahabat! Kau mengikuti langkahku. Ten-
tunya kau mempunyai maksud. Harap kau sudi
jelaskan apa tujuanmu!"
Pemuda berjubah hitam luruskan kepa-
lanya menghadap ke depan. Sejurus kedua pe-
muda ini saling adu pandang. Mata masing-
masing saling menusuk. Pemuda berjubah hitam
yang tadi ada di sebelah belakang ini tersenyum dingin, lalu angkat bicara.
"Aku tak akan melangkah tanpa tujuan!
Tak akan berjalan tanpa hitungan! Aku akan
menjawab pertanyaanmu. Aku mengikutimu ka-
rena ingin tanya padamu!"
Pemuda berjubah hitam bergaris-garis pu-
tih kerutkan dahi. Memperhatikan lebih seksama
lagi pada pemuda di hadapannya. Lalu berucap.
"Sayang sekali jika itu tujuanmu. Karena
aku tak akan jawab pertanyaan orang yang belum
kuketahui siapa nama atau gelarnya!"
"Hmm.... Begitu"!" sahut pemuda berjubah hitam sambil tertawa.
"Kalau itu maumu, aku tak keberatan
memberitahu padamu!" sambungnya. Lalu den-
gan busungkan dada dia menyambung lagi uca-
pannya. "Aku Dewa Maut!"
Pemuda berjubah hitam bergaris-garis pu-
tih menyeringai. Lalu dongakan kepala. Dari mu-
lutnya terdengar suara seperti orang sedang ber-syair. "Aku seorang musafir!
Melangkah tegak mencari takdir.
Pijakanku berwarna merah. Jejakku ber-
warna merah. Hembusan napasku bersaput merah.
Merah darah!"
"Hmm.... Rupanya kau seorang penyair!"
desis Dewa Maut tanpa memandang.
"Tak salah! Akulah si Penyair Berdarah!"
tandas pemuda berjubah hitam bergaris-garis pu-
tih, yang tak lain memang Penyair Berdarah. Pe-
muda berilmu tinggi murid Iblis Gelang Kematian (Tentang Penyair Berdarah serta
Iblis Gelang Kematian baca serial Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode : "Tembang Maut Alam Kematian").
Untuk beberapa lama kedua orang ini sa-
ma-sama diam tak ada yang keluarkan suara. Da-
lam hati masing-masing sama-sama menduga
siapa sebenarnya orang di hadapannya. Namun
tampaknya keduanya sama-sama tak menda-
patkan jawaban. Dan entah karena masih ada
yang harus ditanyakan, akhirnya Dewa Maut bu-
ka mulut. "Aku telah sebutkan siapa diriku. Harap
kau sekarang jawab pertanyaanku!"
"Penyair Berdarah tak suka ditekan. Kau
jangan yakin aku akan jawab pertanyaanmu. Ka-
takan apa yang hendak kau tanyakan!"
"Kau bisa katakan, di mana aku dapat me-
nemukan pemuda bergelar Pendekar Mata Keran-
jang 108! Pemuda yang selama ini malang melin-
tang dengan menggenggam sebuah kipas ungu
bergurat angka 108!"
Penyair Berdarah palingkan wajah sembu-
nyikan rasa terkejutnya. Lalu ketika berpaling la-gi, dia tunjukkan senyum lebar
namun dingin. "Kau punya urusan apa dengan pemuda
itu"!" "Urusannya tak perlu kau ketahui. Yang pasti aku menginginkan selembar
nyawanya!"
Penyair Berdarah kembali tersenyum sem-
bunyikan perubahan wajahnya. Namun diam-
diam pemuda ini merasa lega. Karena dengan ber-
tambahnya orang yang hendak membunuh Pen-
dekar Mata Keranjang, maka tujuannya untuk
menggapai jadi raja rimba persilatan akan lebih mudah lagi.
"Apa hanya itu tujuanmu"!" tanya Penyair Berdarah.
"Kau bertanya atau menyelidik"!"
Penyair Berdarah sunggingkan senyum.
Kali ini senyumnya polos.
"Terserah kau mau katakan apa. Aku
hanya ingin tahu. Siapa tahu aku dapat memban-
tu. Meski hanya sekadar keterangan!"
Sejenak Dewa Maut terdiam. Dalam hati
pemuda ini berkata,
"Hm.... Tak ada salahnya aku mengatakan
padanya. Siapa tahu memang dia bisa memberi
keterangan yang kuperlukan. Itu akan memper-
mudah perjalananku. Rupanya dia pengetahuan-
nya banyak. Lain dengan aku, yang masih buta
dengan lingkungan rimba persilatan. Namun se-
bentar lagi, aku tidak akan buta lagi! Malah dunia persilatan akan kugenggam!"
"Selain pemuda yang kusebut tadi, aku ju-
ga memerlukan keterangan tentang pemuda yang
bergelar Malaikat Berdarah Biru!"
Untuk kesekian kalinya Penyair Berdarah
terperanjat. "Apa sebenarnya tujuan manusia ini" Jan-
gan-jangan...," Penyair Berdarah gelengkan kepala. Lalu kembali ajukan tanya.
"Lantas siapa lagi"!"
"Jangan mengira aku manusia bodoh yang
bisa kau korek mulutnya! Pertanyaanmu sudah
terlalu banyak. Sekarang saatnya bagimu membe-
ri keterangan!" sergah Dewa Maut dengan menyeringai. "Melihat orang yang dicari,
pasti manusia ini telah mempersiapkan bekal! Tapi tampaknya
dia masih polos. Hmm.... Manusia seperti ini yang kucari! Mempunyai kemampuan,
berani, berwa-tak sombong namun tak punya kelicikan!" batin Penyair Berdarah.
Lalu tersenyum lebar dan berkata. "Sobatku, Dewa Maut. Masalah di mana kau dapat
menemukan orang yang kau cari, siapa
pun yang kau tanya pasti akan jawab tidak tahu!
Karena orang yang kau cari adalah orang-orang
persilatan yang tak dapat ditentukan di mana
tempatnya! Kalau tidak dicari kadang-kadang bertemu, tapi kalau dicari malah
sampai modar pun
tak berjumpa! Namun, ada cara bagaimana kau
dapat menemukan orang-orang itu! Malah mereka
yang nanti akan mencarimu!"
"Hmm.... Coba katakan bagaimana ca-
ranya!" "Sebarkan maut di mana-mana! Jangan pandang bulu. Baik golongan hitam
atau golongan putih. Baik perempuan atau laki-laki! Bahkan kalau kau berhasil
membunuh orang-orang ter-dekatnya, tak lama kau akan menemukan orang
yang kau cari!"
"Kau terlalu berbelit-belit! Aku jadi tak
mengerti!"
"Bunuh guru atau kekasih orang yang kau
cari!" tandas Penyair Berdarah.
Dewa Maut gelengkan kepala.
"Itu akan lebih sulit bagiku. Aku belum ta-hu siapa dan di mana gurunya!"
Penyair Berdarah tertawa bergelak.
"Hmm.... Pasti manusia ini baru muncul ke
rimba persilatan. Sampai tempat dan nama guru
Pendekar Mata Keranjang yang sudah banyak di-
kenal orang ia tak tahu...."
"Kau tak usah khawatir. Aku tahu siapa
dan di mana guru Pendekar Mata Keranjang 108!"
"Katakan!" sahut Dewa Maut cepat.
"Dia bernama Wong Agung. Bertempat di
sebuah karang di tengah Laut Utara yang dikenal orang dengan nama Karang
Langit!" "Wong Agung.... Hmm.... Apa dia juga banci seperti muridnya"!" gumam Dewa Maut
sambil manggut-manggut.
"Apa kau bilang"! Coba ulangi lagi agak keras!" tiba-tiba Penyair Berdarah
berseru demi mendengar gumaman Dewa Maut.
Dewa Maut memandang Penyair Berdarah
dengan tatapan heran. Tapi akhirnya dia mengu-
langi kata-katanya. Tiba-tiba Penyair Berdarah


Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa terbahak-bahak hingga keluar air ma-
tanya. "Hai! Kenapa kau tertawa" Apa yang lu-cu"!" hardik Dewa Maut.
"Banci" Ha.... Ha.... Ha...! Siapa yang kau maksud banci. He..."!" tanya Penyair
Berdarah. "Bukankah pemuda bergelar Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 itu adalah pemuda yang poton-
gan dan gayanya mirip seorang perempuan" Ka-
lau tidak banci apa namanya?"
Penyair Berdarah makin bergelak.
"Siapa yang mengatakan padamu jika pe-
muda itu adalah seorang banci?"
"Aku pernah bertemu dengannya. Sayang,
waktu itu dia lolos! Tapi tidak akan lolos jika bertemu untuk kedua kalinya!"
Penyair Berdarah pandangi tampang Dewa
Maut untuk beberapa saat lamanya, lalu tertawa
lagi. Setelah puas tertawa, dia arahkan pandan-
gannya pada jurusan lain. Seraya tersenyum
mengejek dia berucap.
"Kau salah besar, Sobat! Pendekar Mata
Keranjang 108 adalah manusia laki-laki tulen. Potongan dan gayanya juga laki-
laki! Dan seperti ka-
tamu, dia menggenggam sebuah kipas berwarna
ungu bergurat angka 108!"
"Kau tak usah menggurui aku. Pemuda
yang kusebut tadi juga menggenggam sebuah ki-
pas ungu bergurat angka 108! Kau jangan bicara
mengada-ada. Jangan-jangan keteranganmu tadi
dusta!" "Keparat! Apa untungnya mendustaimu"!"
dengus Penyair Berdarah dengan pandangan na-
nar. Namun diam-diam dalam hatinya dia ber-
tanya-tanya. "Pemuda banci menggenggam kipas ungu
bergurat angka 108. Siapa lagi ini" Baru kali ini aku mendengarnya. Tapi kata-
katanya tidak mungkin berdusta! Jahanam! Aku jadi ikut-
ikutan bingung!"
Di lain pihak, Dewa Maut pun membatin.
"Aku yakin, pemuda banci yang kutemui beberapa waktu yang lalu itu adalah
Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. Tapi kenapa dia mengatakan Pende-
kar Mata Keranjang 108 adalah laki-laki tulen"
Setan alas! Jangan-jangan dia mengelabuiku!"
Habis membatin begitu, Dewa Maut me-
langkah satu tindak ke depan. Wajahnya berubah
merah padam. Seraya menyeringai dia memben-
tak garang. "Aku curiga. Keteranganmu pasti bohong!
Dan kau akan menerima nasib buruk karena be-
rani berkata bohong pada Dewa Maut!"
Habis berkata, Dewa Maut angkat kedua
tangannya siap lancarkan pukulan.
"Kau jangan bodoh! Seperti halnya kau, se-
benarnya antara aku dengan Mata Keranjang ada
silang sengketa yang tak akan pernah selesai
sebelum salah satu dari kami ada yang terkapar
tewas! Sebagai musuh, tentunya aku tahu siapa
dia!" "Eh, jangan-jangan kau berkata begitu karena takut padaku!"
Penyair Berdarah tertawa panjang.
"Aku tak pernah gentar menghadapi siapa
saja! Aku punya kekuatan dan aku sanggup
menghadapimu! Tapi tidakkah kau akan
menyesal tewas terlebih dahulu sebelum tujuan-mu tercapai" Atau memang itu yang
kau ingin- kan"!" "Setan!" rutuk Dewa Maut, lalu bantingkan kakinya. Tanah di bawahnya
kontan terbongkar.
Penyair Berdarah terkesiap sejenak, karena dia
merasa tanah pijakannya ikut bergetar. Diam-
diam dia maklum, jika pemuda di hadapannya
bukan pemuda yang bisa dianggap sebelah mata.
"Sobat!" kata Penyair Berdarah pada akhirnya. "Kita sekarang sedang dalam
perjalanan mencari orang yang sama. Kau punya urusan,
aku pun demikian. Kalau ingin unjuk kebolehan,
kutunggu kau di lereng bukit Umbul Rejo. Satu
purnama mendatang! Baik urusanmu dengan
orang yang kau cari selesai atau belum! Kalau tak datang, sebenarnya kaulah
laki-laki banci itu!"
"Jahanam terkutuk! Kenapa tidak kita se-
lesaikan sekarang saja"!"
"Menuruti katamu, sebenarnya aku juga
ingin menghadapimu sekarang. Namun aku ma-
sih punya urusan lebih penting. Ingat! Satu purnama di depan!"
Habis berkata begitu, Penyair Berdarah ba-
likan tubuh, berkelebat meninggalkan tempat itu.
Saat bersamaan, sebenarnya Dewa Maut
hendak lepaskan pukulannya, namun dia urung-
kan. "Hmm.... Masih ada waktu untuk menghabi-sinya. Urusan mencari pendekar itu
kiranya lebih penting, dan aku ingin buktikan kebenaran kata-katanya!"
Dewa Maut mendongak pandangi langit.
Lalu hendak melangkah meninggalkan tempat itu,
namun langkahnya tertahan ketika telinganya
menangkap suara langkah-langkah berderapnya
kuda yang menuju ke arahnya.
Baru saja pemuda ini palingkan wajah, dari
arah samping muncul dua orang penunggang ku-
da dan langsung hentikan kuda masing-masing
lima langkah di depannya.
DELAPAN PENUNGGANG kuda sebelah kanan adalah
seorang gadis muda berwajah cantik jelita Berkulit putih, berambut panjang.
Bermata bulat dan
tajam. Mengenakan pakaian ketat berwarna kun-
ing, hingga dadanya yang kencang membusung
terlihat membentuk bagus. Sementara penung-
gang di sebelah kiri adalah seorang laki-laki. Tubuhnya tegap besar. Rambutnya
kaku dan pan- jang menjulai. Sepasang matanya menyengat ta-
jam. Sesekali bibirnya sunggingkan senyum se-
ringai. Meski paras wajahnya kelihatan angker
dan tubuhnya tegap besar, namun jelas sekali ji-ka laki-laki ini masih berusia
sangat muda. Untuk beberapa saat lamanya kedua pe-
nunggang kuda ini pandangi Dewa Maut dengan
pandangan menyelidik.
Mungkin karena yang memandang ke
arahnya adalah seorang gadis muda dan berparas
cantik, kali ini Dewa Maut tak mengalihkan pan-
dangannya. Dia balas memandang, malah dengan
bibir sunggingkan senyum aneh.
Tiba-tiba si gadis palingkan wajah ke arah
anak laki-laki di sampingnya. Lalu memberi isyarat untuk meneruskan perjalanan.
Namun si anak laki-laki sepertinya tak menghiraukan isyarat orang. Dia tetap diam dengan
sepasang mata menghujam tajam pada pemuda di hadapannya.
"Bukan dia!" mendadak si gadis keluarkan suara seakan menegur. Lalu tarik tali
kekang kudanya. Kepalanya kembali berpaling dan men-
gangguk pada si anak laki-laki.
Si anak laki-laki menyeringai lalu ikut tarik
tali kekang kudanya. Namun belum sampai kedua
penunggang ini menghela kuda masing-masing,
Dewa Maut membuat gerakan jumpalitan sekali
dan kini tegak dengan kacak pinggang seakan
menghadang. "Jangan berani bergerak dari tempat kalian jika tak ingin kepala kalian
penggal!" Dewa Maut keluarkan bentakan.
Sang gadis dan si anak laki-laki urungkan
niat masing-masing. Keduanya serentak meman-
dang pada Dewa Maut. Si gadis perlihatkan se-
nyum sinis, sementara si anak laki-iaki menye-
ringai, seakan menunjukkan barisan giginya yang besar-besar.
"Orang tak dikenal! Jangan hadang perja-
lanan kami! Atau tubuhmu akan tercabik-cabik
ladam kuda!" si gadis balas membentak.
Dewa Maut keluarkan tawa mengekeh pan-
jang. Puas mengumbar tawa, pemuda ini usap-
usap dadanya. Lalu berujar dingin.
"Silakan teruskan perjalanan, tapi jawab
dulu tanyaku!"
Si anak laki-iaki angkat tangannya hendak
lepaskan pukulan, namun si gadis cepat berpal-
ing dan memberi isyarat agar si anak tidak meneruskan niatnya.
"Kau tak berhak bertanya pada kami. Siapa
kau"!" si gadis ajukan tanya.
"Kau bertanya, aku akan jawab. Dengar!
Aku adalah Dewa Maut! Kalian siapa"!"
"Kami bukan siapa-siapa! Dan harap jan-
gan halangi jalan kami. Kami ada urusan yang
harus diselesaikan!" jawab si gadis.
"Kalian keberatan sebutkan diri tak apa-
apa! Tapi jawab satu pertanyaanku! Setelah itu
kalian silakan teruskan perjalanan!"
Si gadis tak menyahut. Dia hanya mem-
perhatikan pada pemuda di hadapannya lebih
seksama. Sementara si anak laki-laki tak berkesip memandang dengan tatapan
marah. Merasa orang menunggu pertanyaannya,
maka Dewa Maut segera menyambung ucapan-
nya. "Katakan padaku, pemuda tersohor bergelar Pendekar Mata Keranjang 108
seorang laki-laki
tulen apa seorang banci!"
Mendengar ucapan Dewa Maut wajah si
gadis terlihat berubah. Dia segera berpaling ke arah anak laki-laki dengan dahi
berkerut. Diam-diam dia menekan rasa terkejutnya. Dalam hati
dia berkata. "Siapa sebenarnya pemuda ini" Kenapa
menanyakan hal itu"! Melihat gerak-geriknya dia pemuda berilmu. Menilik
tampangnya dia seorang
yang beringas dan kejam. Tapi pertanyaannya itu yang membuatku heran.... Ah,
Pendekar Mata Keranjang.... Di mana dia saat ini" Sebenarnya....
Ah, aku tak pantas mengatakan hal itu.... Aku
sudah...," si gadis tak meneruskan kata hatinya.
Dia terlihat menarik napas dalam-dalam.
"Aku melihat perubahan wajahmu. Aku ya-
kin kau mengenalnya. Harap kau jawab perta-
nyaanku!" Dewa Maut berkata, lalu melangkah dua tindak ke depan.
"Hmm.... Aku harus mengetahui dahulu
apa tujuannya manusia ini! Aku khawatir dia
mempunyai niat tidak baik!" setelah membatin
begitu si gadis berkata.
"Apa hubunganmu dengan Pendekar Mata
Keranjang"!"
"Itu bukan jawaban!" sergah Dewa Maut.
"Aku ingin jawaban bukan pertanyaan!"
"Hmm.... Rupanya dia memang punya niat
jelek!" lalu si gadis anggukan kepala dan berkata.
"Aku memang tak pernah bertemu dengan
pemuda bergelar Pendekar Mata Keranjang. Na-
mun apa yang pernah kudengar dari orang-orang
yang pernah bertemu dengannya, pemuda itu
adalah seorang pemuda banci!"
"Begitu"!" gumam Dewa Maut seraya an-
gukkan kepalanya. Setelah memandang sejenak,
dia berujar datar. "Silakan teruskan perjalanan!"
Sesaat si gadis termangu. Namun tak lama
kemudian berpaling pada anak laki-laki di sam-
pingnya dan memberi isyarat dengan angukkan
kepala. Tanpa berkata-kata lagi, kedua penung-
gang ini hela kuda masing-masing meninggalkan
tempat itu. "Penyair Berdarah jahanam! Kau telah ber-
kata dusta padaku! Kau akan tahu akibatnya!"
ujar Dewa Maut sambil palingkan wajah mengiku-
ti arah kepergian dua penunggang kuda.
"Aku menangkap perubahan pada air muka
gadis itu. Hm.... Apakah dia...." Dewa Maut tak meneruskan membatin. Dia cepat
berkelebat meninggalkan tempat itu.
* * * Kedua penunggang kuda terus memacu
kuda tunggangannya dengan cepat. Pada suatu
tempat yang sepi, mendadak si gadis menarik tali kekang kudanya hingga ladam
kaki kudanya menggeruk tanah dan membentuk empat garis
berlobang. Tanah berdebu mengepul dan mem-
bumbung ke udara.
Melihat si gadis hentikan kuda tunggan-
gannya, si anak laki-laki ikut hentikan kudanya.
Kembali debu mengudara dan menutupi peman-
dangan sejenak.
Begitu debu sirap, si gadis turun dari
punggung kuda. Lalu memberi isyarat pada anak
laki-laki untuk mengikutinya. Dengan sekali loncat, si anak laki-laki telah
berada di belakangnya dan mengikuti langkahnya yang berjalan ke arah
sebuah pohon besar berdaun rindang.
"Kita istirahat dahulu. Begitu matahari
menggelincir dan tidak begitu panas, kita te-
ruskan perjalanan," kata si gadis lalu duduk bersandar pada batang pohon. Anak
laki-laki itu tak mengeluarkan suara. Dia hanya anggukan kepala
lalu ikut duduk tak jauh dari si gadis.
Untuk beberapa saat lamanya, si gadis
memandangi wajah si anak laki-laki. Dia terlihat menarik napas dalam-dalam. Lalu
alihkan pandangannya ke jurusan lain.
"Betapa malang nasibmu. Harus lahir ke
dunia tanpa seorang ayah.... Dan lebih nista lagi, penanam benihmu adalah
seorang durjana. Manusia sesat dari kaum persilatan yang di sana-
sini cuma bikin keonaran. Tapi, bagaimanapun
juga aku harus mengatakannya padamu. Kau te-
lah besar. Kau sendiri nantinya yang mengambil
jalan. Hm...,"
Si gadis lantas berpaling lagi pada anak la-
ki-laki yang masih duduk dengan sesekali mem-


Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permainkan julaian rambutnya. Setelah menarik
napas panjang mengatasi segala perasaan yang
menghimpit dadanya, dia buka mulut.
"Abilowo.... Sudah saatnya aku mengata-
kan padamu tentang hal yang selama ini sering
kau tanyakan...."
Si anak laki-laki yang dipanggil Abilowo
berpaling. Dia hanya tersenyum tanpa mengelua-
rkan kata-kata.
"Ayahmu sebenarnya adalah...," sejenak si gadis berbaju kuning ini hentikan
ucapannya, setelah menarik napas dalam-dalam dia menyam-
bung. Suaranya berubah bergetar.
"Seorang laki-laki bernama Malaikat Berda-
rah Biru! Namun jangan kau tanyakan di mana
dia berada. Aku telah lama menyelidik, namun
hingga saat ini aku tak berhasil mengeta-
huinya...."
"Tapi dia masih hidup, bukan"!" untuk pertama kalinya Abilowo buka suara.
Si gadis gelengkan kepalanya perlahan.
"Aku belum dapat memastikan. Hanya ka-
bar yang terakhir sampai padaku, dia berhasil
meloloskan diri saat terjadi pertempuran dengan Pendekar Mata Keranjang. Sejak
saat itu pula dia
tidak ada kabar beritanya...."
"Malaikat Beldalah Bilu.... Hmm.... Kalau
tidak salah, menulut apa yang pelnah kudengal
daii Lestu Canggil Lumekso, Malaikat Beldalah Bi-lu adalah seolang tokoh limba
pelsilatan belilmu tinggi. Dia mempunyai sebuah senjata pusaka be-lupa sebuah
kipas hitam. Apa betul"!"
"Apa yang kau dengar itu betul. Tapi kau
jangan salah tangkap. Meski dia berilmu tinggi, dia seperti halnya bekas gurumu
yang telah tewas itu, adalah manusia yang salah mengambil jalan!"
"Maksudnya..."!" tanya Abilowo tak mengerti. "Dia berpihak pada orang-orang
golongan sesat! Bahkan dia adalah salah satu dari pimpi-nannya sebelum dapat
ditumpas oleh Pendekar
Mata Keranjang!"
"Abilowo! Tugasmu sekarang adalah men-
cari sekaligus membunuhnya! Karena dia telah
mengabaikanmu. Dia manusia tidak bertanggung
jawab yang tega menelantarkan kau dan aku! Kau
dengar"!"
"Aku dengal. Dan akan kulakukan apa
yang kau pelintahkan!" ujar Abilowo tandas.
"Bagus! Tapi, kau harus tetap berhati-hati menghadapinya. Karena selain dikenal
sebagai seorang berilmu tinggi, dia juga adalah seorang licik!" Abilowo anggukan kepala.
Si gadis berbaju kuning ketat yang bukan lain adalah Putri Tunjung Kuning, ibu
kandung Abilowo akibat hubun-
gan paksa yang dilakukan Malaikat Berdarah Bi-
ru menghela napas panjang merasa lega karena
telah mengutarakan hal yang selama ini dipen-
dam dan ditutupnya rapat-rapat (Mengenai terja-
dinya hubungan antara Putri Tunjung Kuning
dengan Malaikat Berdarah Biru, silakan baca
serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam epi-
sede : "Pewaris Pusaka Hitam").
Putri Tunjung Kuning tengadahkan kepala,
lalu bergerak bangkit.
"Kita lanjutkan saja perjalanan ini. Kita tak usah menunggu tergelincirnya
matahari!" katanya. Lalu melangkah menuju ke arah kuda
tunggangannya. "Tunggu!" tiba-tiba Abilowo berseru.
"Ada yang masih ingin kau tanyakan"!"
tanya Putri Tunjung Kuning seraya berpaling. Abilowo anggukan kepala.
"Hmm.... Mumpung masih di sini, lekas ka-
takan!" "Saat bertemu dengan laki-laki tadi, kenapa kau sebutkan bahwa Pendekar
Mata Keranjang adalah seorang banci" Apa betul dia seorang ban-ci"!" Putri Tunjung Kuning
tertawa perlahan.
"Sebenarnya hal itu tak usah kau tanyakan
padaku. Kaupun pernah bertemu dengannya.
Menurutmu apakah dia laki-laki...," Putri Tunjung Kuning putuskan ucapannya,
ekor matanya melirik tajam ke samping kanan. Tiba-tiba dia putar tubuhnya
setengah lingkaran. Matanya menyapu
berkeliling, lalu terpaku pada sebuah batu besar.
Lalu dia berteriak lantang.
"Orang di balik batu! Lekas unjukkan diri-
mu!" Tak ada suara jawaban, tak terlihat gerakan. "Bagus! Rupanya kau ingin cari
mampus!" Putri Tunjung Kuning Menggeram. Lalu angkat
kedua tangannya dan serta-merta dihantamkan
pada batu besar itu.
Dua larik sinar kuning melesat.
Byarrr! Batu besar yang terkena hantaman tangan
Putri Tunjung Kuning hancur berkeping-keping
dan langsung bertaburan ke udara.
Bersamaan dengan melesatnya sinar kun-
ing dan sejengkal lagi pukulannya itu menghajar batu, sesosok bayangan
berkelebat dari balik ba-tu, dan tahu-tahu telah tegak berdiri di hadapan Putri
Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning tersirap dan tersurut
dua langkah ke belakang, sementara Abilowo ce-
pat melompat dan menghadang sosok di hadapan
Putri Tunjung Kuning.
SEMBILAN ABILOWO angkat kedua tangannya tinggi-
tinggi. Siap hendak lepaskan pukulan. Melihat hal ini Putri Tunjung Kuning
segera melangkah men-
jajari dan memberi isyarat agar Abilowo tidak melakukan serangan.
Abilowo perdengarkan dengusan tanda tak
senang. Namun akhirnya dia turunkan kedua
tangannya. "Kenapa kau mengikuti kami"!" bentak Putri Tunjung Kuning.
Orang yang dibentak, yang ternyata adalah
laki-laki muda mengenakan jubah hitam yang
melapis baju warna putih bergambar pintu ger-
bang yang bukan lain adalah Dewa Maut tidak
segera memberikan jawaban. Hanya sepasang
matanya yang tajam menatap satu persatu pada
Putri Tunjung Kuning dan Abilowo. Diam-diam
dalam hati pemuda ini bertanya-tanya siapa se-
benarnya dua orang di hadapannya ini. Sewaktu
bertemu tadi, dia dapat menangkap perubahan
pada Putri Tunjung Kuning saat dia menyebut
nama Pendekar Mata Keranjang 108. Merasa si
gadis menyembunyikan sesuatu, diam-diam dia
mengikuti perjalanan Putri Tunjung Kuning dan
Abilowo. Namun sayang, dia hanya lamat-lamat
mendengar percakapan dua orang ini. Namun
demikian dia masih dapat menangkap ucapan Pu-
tri Tunjung Kuning yang menyebut nama Malai-
kat Berdarah Biru. Dan ketika Putri Tunjung
Kuning menjawab pertanyaan Abilowo, mungkin
karena ingin mendengar lebih jelas, dia membuat gerakan. Namun berakibat fatal.
Selain gagal mendengarkan ucapan terakhir Putri Tunjung
Kuning, dia pun kepergok dan terpaksa meng-
hambur keluar begitu batu tempatnya bersem-
bunyi dihantam hancur oleh Putri Tunjung Kun-
ing. "Kalau kau tak menjawab, jelas kau ingin membuat masalah dengan kami! Dan
niatmu pasti jahat, karena sengaja mencuri dengar pembica-raan orang!" ujar
Putri Tunjung Kuning masih dengan suara keras.
Dewa Maut tertawa pendek. Dengan suara
yang juga keras dia berucap.
"Silakan kau duga niatku! Terserah kau
katakan ingin membuat masalah atau tidak. Yang
jelas kau telah menyebut nama Malaikat Berda-
rah Biru. Kau berarti mengenalnya. Dan kau ha-
rus beri keterangan padaku tentang orang itu!"
"Hmm.... Apa sebenarnya tujuan manusia
ini" Tadi menanyakan Pendekar Mata Keranjang,
sekarang bertanya tentang manusia keparat itu!
Hmm...," Putri Tunjung Kuning bergumam.
"Apa maksudmu sebenarnya menanyakan
tentang orang itu, he"!"
"Itu bukan urusanmu! Katakan saja di ma-
na dia berada!"
"Bial kupecahkan mulutnya agal tak see-
naknya bicala!" kali ini Abilowo ikut angkat bicara.
"Kau tak mau katakan apa maksudmu.
Jangan harap kau akan mendengar keterangan
yang kau pinta! Lekas tinggalkan tempat ini!"
"Akan kuturuti permintaanmu, setelah kau
beri keterangan!" sahut Dewa Maut seraya mena-
tap pada Abilowo.
"Kalau aku tak memberi keterangan"!"
tanya Putri Tunjung Kuning seakan menantang.
Dewa Maut tengadahkan kepala, lalu
memperdengarkan tawa mengekeh panjang.
"Akan kukorek mulutmu dengan paksa!
Bahkan kedua mulutmu sekaligus!"
Mendengar ucapan Dewa Maut, berubah-
lah paras wajah Putri Tunjung Kuning. Sepasang
matanya membeliak besar sementara tubuhnya
terguncang menahan amarah. Serta-merta kedua
tangannya diangkat. Namun sebelum kedua tan-
gannya melepaskan pukulan, Abilowo telah me-
lompat ke depan dan langsung kirimkan jotosan
ke arah kepala dan perut Dewa Maut.
Dua rangkum angin keras telah mengge-
brak mendahului sebelum kedua tangan itu
menggebuk sasaran.
Dewa Maut sunggingkan senyum menge-
jek. Dia tak bergerak dari tempatnya.
Prakkk! Dua pasang tangan beradu keras di udara
tatkala Dewa Maut angkat tangannya menangkis
serangan lawan. Pemuda ini kontan tersurut dua
langkah ke belakang dengan dahi mengkerut. Air
mukanya berubah dengan sedikit meringis mena-
han sakit dan kelu pada kedua tangannya yang
baru saja beradu. Sementara Abilowo hanya ber-
geser satu langkah ke samping sambil menyerin-
gai ganas. "Setan alas! Siapa anak itu" Tenaga da-
lamnya sangat kuat. Dan dia sepertinya tak me-
rasakan sakit, padahal tanganku terasa kebas!"
batin Dewa Maut lalu lipat gandakan tenaga da-
lamnya dan siap lancarkan pukulan.
Di seberang, Putri Tunjung Kuning segera
melangkah menjauh begitu Abilowo melakukan
serangan. Dari tempatnya berdiri sekarang, Putri Tunjung Kuning memperhatikan
Abilowo dengan pandangan bangga.
"Anak hebat. Hanya sayang bernasib tidak
baik! Hmm.... Seandainya dia bukan anak...," Putri Tunjung Kuning tak mampu
teruskan kata ha-
tinya. Yang dilakukan selanjutnya adalah menarik napas dalam-dalam seraya
gelengkan kepalanya.
Di depan, melihat lawannya mempunyai
tenaga dalam kuat, Dewa Mau tak mau lagi keda-
huluan diserang. Sebelum lawan lakukan seran-
gan, dia telah menarik kedua tangannya dan
langsung dihantamkan ke depan.
Wuuutt! Wuuuttt!
Dua asap merah menyambar cepat dengan
hamparkan hawa panas menyengat.
"Ambrol dadamu!" desis Dewa Maut begitu mengetahui lawan tidak membuat gerakan
menghindar. Di depan, Abilowo sunggingkan senyum
penuh ejekan. Sejengkal lagi serangan lawan
menghantam, dia sentakkan kedua tangannya.
Bummm! Ledakan dahsyat segera terdengar meng-
hentak di tempat itu. Tanah berhamburan ke
udara. Karena Abilowo bergerak menyentak sete-
lah serangan lawan dekat, maka tak ampun lagi
tubuhnya yang besar tegap mencelat ke belakang
sampai dua tombak dan berkaparan di atas ta-
nah. Sementara Dewa Maut hanya terhuyung-
huyung sebentar lalu segera dapat kuasai diri.
Begitu hamburan tanah sirap, Dewa Maut
segera melangkah dua tindak ke depan. Bibirnya
tersenyum melihat sosok lawannya terkapar di
tanah. Dia menduga jika lawan sudah tidak akan
bisa bangkit lagi.
Namun dugaan Dewa Maut meleset. Baru
saja senyumnya tersungging, Abilowo bergerak
bangkit, membuat matanya mendelik besar. Bu-
kan hanya merasa heran karena tubuh lawannya
tidak cidera, tapi juga merasa aneh jika pukulannya yang mampu membuat batu
besar hancur le-
bur tidak dapat mengoyak barang selembar dari
pakaian lawannya! Diam-diam Dewa Maut ter-
guncang juga. Dia segera siapkan pukulan sakti
'Dewa Membakar Bumi'.
Di depan, begitu bangkit sepasang mata
Abilowo yang telah berubah merah berkilat-kilat menyengat nanar ke arah Dewa
Maut. Mulutnya komat-kamit. Kedua tangannya dikepalkan dan
disentakkan satu sama lain. Bersamaan dengan
itu dari mulutnya terdengar bentakan keras. Tu-
buhnya lalu berputar dan serta-merta kedua tan-
gannya dihantamkan.
Wuuutt! Wuuuttt!
Dewa Maut berteriak keras. Bukan hanya
karena terdorong keras ke belakang namun juga
karena terkejut ketika dari telapak tangan lawan menyembur gelombang dahsyat
yang mengeluarkan hawa sangat panas!
Seraya menahan rasa tercengang, Dewa


Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maut cepat silangkan kedua tangan sejajar dada
dan dengan cepat pula didorong ke depan.
Mendadak asap merah melingkupi tempat
itu, udara bertambah panas. Bersamaan dengan
itu asap merah laksana bara api menyambar.
Daarrr! Dua pukulan bentrok di udara keluarkan
suara meledak keras. Tubuh Dewa Maut mencelat
dan jatuh berlutut. Parasnya berubah pucat pasi, sementara tubuhnya bergetar
keras. Dari sudut
bibirnya keluarkan darah. Dia cepat salurkan tenaga dalamnya pada dadanya yang
berdenyut tak karuan dan nyeri.
Setelah dapat mengatur jalan napasnya,
Dewa Maut cepat bangkit dan memandang ke de-
pan. "Gila! Hampir tak dapat dipercaya!" seru Dewa Maut dengan mata
dipentangkan, karena
ternyata lawan telah pula berdiri tanpa cidera sedikit pun! Malah kini telah
melangkah maju den-
gan senyum dingin dan seringaian ganas.
"Setan! Agaknya dia tak mempan pukulan.
Tapi pasti punya kelemahan. Hmm.... Mung-
kin...," Dewa Maut kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Lalu menyongsong
Abilowo dan kedua tangannya dihantamkan ke arah kepala.
Abilowo merunduk. Kedua tangannya di-
angkat untuk melindungi kepalanya. Namun De-
wa Maut yang telah memperhitungkan serangan-
nya segera tarik kedua tangannya, tangan kanan
diayun ke bawah menelusup ke arah lambung.
Sementara tangan kiri dipalangkan ke depan un-
tuk menangkis kedua tangan Abilowo yang cepat
dihantamkan ke bawah begitu mengetahui lawan
menarik kedua tangannya.
Prakkk! Bukkk! Terdengar bentroknya tangan. Lalu disusul
dengan terdengarnya suara terhantamnya benda.
Abilowo terbanting ke tanah terkena hajaran tangan kanan Dewa Maut yang
menelusup ke lam-
bungnya. Mengetahui lawan roboh terbanting, Dewa
Maut tak memberi kesempatan, dia cepat mem-
bungkuk dan hantamkan kedua tangannya seka-
ligus! Abilowo menggeliat, lalu gerakan tubuhnya bergulingan, hingga serangan
Dewa Maut hanya
menghajar tanah. Tanah itu kontan bergetar dan
berlobang dalam!
Dewa Maut gertakan rahang. Melihat lawan
masih bisa menghindar dia cepat memburu. Kaki
kanannya langsung ditendangkan ke arah kepala.
Pendekar Bloon 1 Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8 Jurus Lingkaran Dewa 2 Karya Pahlawan Jejak Di Balik Kabut 30
^