Pencarian

Rahasia Syair Leluhur 2

Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur Bagian 2


belakang. Dia bersalto beberapa kali di udara, seraya mengobat-abitkan
tongkatnya untuk mencegah serangan susulan Taliwang.
"Hup!"
Keinginan murid Ratu Tengkorak Putih terlaksana. Dia berhasil mendaratkan kedua
kakinya di tanah, tanpa ada gangguan apa pun. Memang, putaran tongkatnya telah
berhasil menggagalkan maksud Taliwang untuk mengejar-nya.
"He... he... he...! Kau mengajakku bertarung, Ratna Ningsih"! Boleh! Boleh!
Dengan senang hati kemauanmu akan kulayani!" tantang Taliwang sambil
berjingkrakan di tanah.
Kalau ditilik dari gerakan-gerakannya, Taliwang tidak ubahnya kera. Caranya
memamerkan mulut, menggaruk-garuk badan, bertepuk-tepuk tangan, berjingkrakan,
maupun menjerit-jerit, lebih mirip kera daripada manusia!
Ratna Ningsin diam. Sama sekali tidak ditanggapinya tantangan Taliwang. Topeng
yang menutupi wajahnya
menyulitkan pemuda bertubuh gendut itu untuk
mengetahui perasaan yang tengah berkecamuk di hati Rama Ningsih!
"Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya mulutmu kuhancurkan sekarang juga,
Monyet Gendut! Tapi, aku tidak sebodoh dirimu! Berikan kesempatan padaku untuk
menyelesaikan urusan dengan Adipati Subali! Baru
tantanganmu akan kulayani!" kata Ratna Ningsih, mantap.
*** 5 "He... he... he... Kau kira aku orang bodoh, Ratna Ningsih"!
Kau tahu, bukan hanya dirimu saja yang mempunyai
urusan dengan Adipati Subali! Tapi juga aku!" sergah Taliwang, sambil memamerkan
gigi-giginya yang kuning.
"Lalu..., apa maumu sekarang, Taliwang"!" sambut Ratna Ningsih, bernada
menantang. Rupanya kesabaran Ratna Ningsih sudah tidak bisa
ditahan lagi. Sikap Taliwang yang urakan membuat Ratna Ningsih mengambil
keputusan untuk melabrak murid Setan Gila itu.
"Ho... ho... ho...! Kau menginginkan Adipati Subali" Aku pun demikian. Nah!
Sekarang apa cara yang lebih tepat untuk menentukan orang yang lebih berhak atas
adipati itu" Bertarung"!" tukas Taliwang tak kalah hangat.
"Baik kalau itu maumu!" sergah Ratna Ningsih disertai perasaan geram.
Murid Ratu Tongkat Putih ini sudah memutuskan untuk menerima tantangan yang
diajukan Taliwang. Tapi sesaat kemudian, sebuah pikiran baik berkelebat di
benaknya. Pikiran itu timbul ketika matanya melihat Jaranta yang semakin terdesak oleh
Dewa Arak. Sedangkan Adipati Subali kini telah berdiri dekat Sagala dan Rara
Kunti. Matanya terus memperhartikan tingkah Ratna Ningsih dan Taliwang.
"Kita jangan bertindak bodoh, Taliwang!" desis Ratna Ningsih. "Lebih baik, kita
sekarang bekerja sama untuk mendapatkan Adipati Subali! Nanti setelah berhasil,
baru kita tentukan yang lebih berhak!"
Taliwang tercenung sambil menggaruk-garuk dadanya
yang tidak gatal dengan kedua tangan. Meskipun
kelihatannya laki-laki bertubuh pendek gemuk ini adalah orang bodoh, tapi
sebenarnya memiliki otak cerdik.
"Apa maksud kata kerja sama itu, Ratna Ningsih?" tanya Taliwang, masih tetap
melanjutkan kesibukannya menggaruk-garuk dada.
"Begini, Taliwang. Kalau berusaha sendiri-sendiri, aku yakin kita gagal! Dewa
Arak memiliki kepandaian di atas kita. Jadi jelas, dia yang akan berhasil
mendapatkan Adipati Subali! Kau mengerti, Taliwang"!" Jelas Ratna Ningsih.
Taliwang menganggukkan kepala sambil berjingkrakan.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi" Mari kita ringkus Adipati Subali!"
Usai berkata demikian, laki-laki bertubuh pendek gemuk ini langsung melesat ke
arah Adipati Subali, disusul Ratna Ningsih!
Adipati Subali memang sudah menduga sejak tadi. Tapi tak urung hatinya gentar
bukan kepalang melihat serangan itu. Jangankan dua orang. Untuk menghadapi satu
orang saja dia tidak akan mampu berbuat sesuatu! Meskipun demikian, bekas
Panglima Kerajaan Sewu ini bukan
seorang pengecut! Segera pedangnya yang tersampir di pinggang dicabut. Adipati
Subali bertekad mengadakan perlawanan.
Srattt! Sinar terang berkeredep ketika pedang itu keluar dan sarungnya.
Pada saat yang bersamaan, kepalanya menoleh ke
samping Adipati Subali bermaksud memerintahkan Sagala dan Rara Kunti untuk
menyelamatkan diri. Tapi kenyataan yang terlihat benar-benar mengejutkan hati!
Rara Kunti dan Sagala malah telah melesat kabur dari situ lebih dahulu.
Kontan benak orang nomor satu di Kadipaten Blambang ini dipenuhi pertanyaan.
Begitu tegakah Rara Kunti meninggalkan dirinya menentang maut" Meski Adipati
Subali memang tidak mengharapkan pembelaan, dan
andaikata dibelapun akan disuruhnya pergi, tapi sama sekali tidak disangka kalau
Rara Kunti akan melarikan diri seperti seorang pengecut. Kalau mengenai Sagala,
dia tidak terlalu memusingkan. Karena pertemuannya dengan adik misannya itu baru
beberapa tahun! Jadi belum bisa dipahami sikapnya.
Perasaan hati Adipati Subali benar-benar terpukul.
Benarkah Rara Kunti adalah seorang anak yang
mementingkan keselamatan sendiri.
Di samping perasaan terpukul, timbul perasaan heran di hati laki-laki tinggi
besar ini. Gerakan Rara Kunti ternyata gesit sekali. Demikian pula gerakan
Sagala. Sehingga ketika mereka melesat kabur, yang terlihat hanyalah sekelebat
bayangan kuning dan hitam yang tak jelas bentuknya. Sama sekali Adipati Subali
tidak pemah tahu kalau Rara Kunti dan Sagala memiliki ilmu lari cepat yang
demikian tinggi!
Tapi Adipati Subali tidak bisa berpikir lebih lama lagi. Dia harus bersiap-siap
menghadapi Taliwang dan Ratna
Ningsih. Maka pedangnya diputar laksana kitiran, untuk menyambut serangan yang
keroyokan itu. *** "Hei!"
Bagai telah sepakat, Ratna Ningsih dan Taliwang berseru berbarengan begitu
melihat Sagala dan Rara Kunti melarikan diri. Kedua tokoh sesat ini terkejut
bukan kepalang melihat kecepatan gerakan dua orang yang mempunyai hubungan
dengan Adipati Subali! Dan lagi, mengapa mereka meninggalkan adipati itu"
Keterkejutan inilah yang membuat Ratna Ningsih dan Taliwang mengurungkan
serangannya pada Adipati Subali.
Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, sekali lihat saja Ratna Ningsih dan Taliwang
bisa menilai kalau ilmu lari yang dimiliki Sagala dan Rara Kunti tidak di bawah
mereka! Dan ini merupakan suatu hal yang amat mengejutkan!
Apakah tingkat tenaga dalam dan mutu ilmu silat Sagala dan Rara Kunti pun setara
dengan mereka" Dan kalau benar, mengapa Rara Kunti dan Sagala malah melarikan
diri" Mengapa bukannya membantu Adipati Subali menghadapi lawan-lawannya"
Banyaknya pertanyaan yang tidak terjawab, berputarputar di dalam benak.
Sehingga, menimbulkan kecurigaan di benak Ratna Ningsih dan Taliwang. Tanpa
diperintah, Taliwang mengambil keputusan sendiri.
"Kukejar mereka, Ratna Ningsih. Kau uruslah dulu Adipati Subali!"
Usai berkata demikian, Taliwang mengambil ancang-
ancang. Kemudian jari-jari kedua tangannya saling dirapat-kan. Dan.....
Tappp! Tubuh Taliwang kembali melesat. Kali ini, arahnya
menuju arah yang ditempuh Sagala dan Rara Kunti.
Pada saat yang bersamaan, Ratna Ningsih melesat ke arah Adipati Subali. Begitu
berada di udara, langsung dilancarkannya sebuah totokan ke arah dada. Padahal
saat itu, Adipati Subali masih memutar-mutar pedangnya
laksana kitiran untuk mencegah serangan ke arah kirinya.
Wunggg, wunggg!
Suara mengaung keras mengiringi berputarnya pedang itu. Dan apabila Ratna
Ningsih terus memaksakan
serangannya, bisa diperkirakan tangannya akan terpapas putaran pedang Adipati
Subali! Adipati Subali terperanjat ketika melihat Ratna Ningsih tetap meneruskan
serangannya. Sudah gilakah wanita bertopeng tengkorak ini" Ataukah Ratna Ningsih
telah memiliki tenaga dalam yang demikian kuat, sehingga berani memapak pedangnya
dengan tangan telanjang"!
Adipati Subali bisa menduga demikian, karena leluhurnya sendiri mampu melakukan
tindakan-tindakan yang bahkan lebih dari apa yang dilakukan Ratna Ningsih!
Timbulnya pikiran demikian membuat Adipati Subali
menggertakkan gigi. Maksudnya untuk menambah
kekuatan tenaga pada putaran pedangnya.
Trak, trak! "Akh!"
Kejadiannya berlangsung demikian cepat. Tangan Ratna Ningsih langsung
berbenturan dengan putaran pedang Adipati Subali, sehingga menimbulkan suara
berdetak keras. Hebatnya tidak terjadi sesuatu pun atas tangan Ratna Ningsih.
Jangankan buntung, tergores pun tidak.
Tapi tidak demikian halnya dengan Adipati Subali. Begitu terjadi benturan,
tangannya terasa hampir lumpuh. Tanpa dapat dicegahnya lagi, pedangnya terlepas
dari cekalan. Khawatir akan munculnya serangan susulan Adipati Subali buru-buru melompat ke
belakang untuk menjaga jarak.
Tapi, ternyata kekhawatiran Adipati Subali sama sekali tidak beralasan! Ratna
Ningsih sama sekali tidak melancarkan serangan kembali. Kedua kakinya kini
tengah mendarat di tanah. Sebentar kemudian, Ratna Ningsih telah berdiri
berhadapan dengan Adipati Subali.
*** Sementara itu, Taliwang telah berhasil mencegat per-
jalanan Sagala dan Rara Kunti. Memang kedua orang itu belum terlalu jauh
berlari. Apa lagi, Taliwang telah mengambil jalan pintas, disamping ilmu lari
cepat nya juga tinggi.
Dan karena Sagala dan Rara Kunti belum terlalu jauh berlari, di samping daerah
ini terdiri dari padang ilalang, Adipati Subali masih dapat melihat keadaan
mereka. "He... he... he,..!" Taliwang tertawa terkekeh sambil melompat-lompat. "Akan ke
mana kalian" Jangan harap bisa lolos dari tangan Taliwang!"
Sagala dan Rara Kunti saling berpandangan. Sementara Taliwang masih tertawa-
tawa. Meskipun demikian,
sepasang matanya menatap dua sosok tubuh yang berdiri di hadapannya penuh
selidik. Mendadak....
"Hiyaaat..!" teriak Sagala keras seraya melesat ke arah Taliwang.
"Hiyaaa...!" Rara Kunti pun melesat pula.
Tawa Taliwang seketika terhenti. Hatinya kontan ter-cekat ketika melihat dua
orang buruannya meluruk cepat ke arahnya dengan senjata yang sudah terhunus di
tangan masing-masing. Begitu berada di udara Rara Kunti dan Sagala langsung
mengarahkan senjatanya masing-masing.
Ke bagian-bagian tubuh Taliwang yang mematikan.
Indah dan menggiriskan gerakan Sagala dan Rara Kunti.
Sehingga, Adipati Subali dan Ratna Ningsih yang tengah bertarung terkejut bukan
kepalang. Memang walaupun tengah bertarung mereka masih sempat membagi perhatian
ke sana. Mungkin karena rasa terkejut dan rasa ke-tertarikan yang menyelimuti,
entah bagaimana Adipati Subali dan Ratna Ningsih tiba-tiba menghentikan
pertarungan. Bahkan kini mereka seperti mendapat tontonan menarik, melihat
pertarungan Sagala dan Rara Kunti melawan Taliwang.
Namun di pihak Adipati Subali tersirat suatu ketidak-percayaan. Bahkan wajahnya
sampai memucat. Betapa
tidak" Gerakan yang dilakukan Rara Kunti sama sekali bukan gerakan yang
diajarkannya. Bahkan Adipati Subali belum pemah melihat gerakan seperti itu.
Yang lebih gila lagi, gerakan Rara Kunti sama dengan gerakan Sagala! Hal ini
benar-benar membuat orang nomor satu di Kadipaten Blambang ini terperanjat.
*** Begitu telah mendekati sasaran tiba-tiba Sagala bersalto beberapa kali di udara,
melewati atas kepala Taliwang. Dan ketika telah berada di belakang, pedang di
tangannya di-babatkan, seperti ingin memisahkan kepala Taliwang dari badannya.
Pada saat yang bersamaan, pedang di tangan Rara Kunti menusuk deras ke arah
tenggorokan. Suara mengaung keras mengiringi tibanya serangan kedua
senjata itu. "Gila!"
Tanpa sadar Adipati Subali mendesis tajam. Sama sekali tidak pemah diketahuinya
kalau Sagala dan Rara Kunti memiliki kepandalan setinggi itu. Sepengetahuannya,
kepandaian Sagala masih di bawah tingkatannya. Dan itu diakui sendiri oleh
Sagala. Tapi kenyataannya, ternyata tidak demikian! Mengapa Sagala
menyembunyikan kepandaiannya"
Demikian pula terhadap Rara Kunti. Berbagai per-
tanyaan benar-benar menggayut di benak Adipati Subali.
Kapan putrinya mempelajari ilmu-ilmu tingkat tinggi seperti itu" Apakah Sagala
yang mengajarinya" Kalau benar
demikian, mengapa dia tidak mengetahuinya"
Hebat dan menggiriskan serangan yang dilancarkan
Rara Kunti dan Sagala. Meskipun demikian, gerakan yang dilakukan Taliwang tidak
kalah hebat! Laki-laki bertubuh pendek gemuk ini segera menjatuhkan tubuhnya ke
tanah, sehingga serangan-serangan itu lewat beberapa jengkal di atas kepalanya.
Tidak hanya sampai di situ tindakan Taliwang. Begitu berhasil mengelakkan
serangan lawan, tubuhnya lalu bergulingan. Dan itu dilakukan Taliwang, karena
menyadari ancaman besar terhadap dirinya. Kedua lawannya ternyata memiliki
kepandaian tinggi. Sementara dirinya berada dalam keadaan yang tidak
menguntungkan. Kalau lawan-lawannya melakukan serangan susulan, jelas keadaannya
terancam bahaya besar!
Tapi, rupanya Sagala dan Rara Kunti tidak berminat melakukan serangan susulan.
Kedua orang itu malah melesat cepat, menempuh arah yang berlawanan dengan arah
gulingan Taliwang.
Taliwang yang sedang sibuk bergulingan, tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya
dapat melihat kepergian dua orang buruannya, walaupun dengan kerlingan mata.
Semakin leluasalah Sagala dan Rara Kunti melarikan diri, ketika Ratna Ningsih
ternyata tidak mengejar.
Memang, wanita bertopeng tengkorak ini lebih
mementingkan Adipati Subali daripada Sagala dan Rara Kunti.
Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh Sagala dan Rara Kunti telah lenyap dari
pandangan mata. Dan berbareng dengan lenyapnya bayangan tubuh dua orang itu,
perhatian Ratna Ningsih beralih ke arah Adipati Subali.
Sementara, Adipati Subali sendiri sama sekali tidak merasa kalau dirinya tengah
diperhatikan. Dia memang tengah dilanda bingung mengenai Sagala dan Rara Kunti.
Ratna Ningsih sama sekali tidak tahu perasaan yang tengah berkecamuk di hati
Adipati Subali. Dan andaikata tahu, sama sekali tidak dipedulikannya. Tapi
sebelum wanita itu sempat berbuat sesuatu, sesosok bayangan ungu melesat
melewati kepalanya. Dan tahu-tahu, di sebelah Adipati Subali telah berdiri Dewa
Arak Ratna Ningsih terperanjat melihat keberadaan Dewa
Arak di sebelah Adipati Subali. Dengan agak bergegas kepalanya menoleh ke tempat
pertarungan Jaranta
melawan Dewa Arak tadi. Dia ingin tahu, apa yang telah menimpa Jaranta sehingga
Dewa Arak bisa berada di
sebelah Adipati Subali
Ternyata, Jaranta sama sekali tidak cedera.
Dewa Araklah yang meninggalkan pertarungan untuk
melindungi Adipati Subali. Karena keadaan pendekar berambut aneh itu memang
menguntungkan, maka mudah saja baginya untuk meninggalkan Jaranta.
Sementara itu Ratna Ningsih tidak berani bertindak gegabah. Disadari kalau
kepandaian Dewa Arak
kemungkinan di atasnya. Dan itu terbukti dalam per-tarungannya melawan Jaranta.
Maka wanita bertopeng tengkorak ini tidak langsung bertindak.
"Untuk sementara, sebaiknya kita lupakan dulu masalah kita, Ratna Ningsih," ujar
Jaranta sambil melangkah menghampiri.
"Benar! Kita bereskan dulu Dewa Arak. Baru setelah itu urusan kita!" sambung
Taliwang, juga dengan langkah yang ter-tuju ke arah Ratna Ningsih.
"Rupanya kalian mempunyai otak juga," sambut Ratna Ningsih "Kuterima usul
kalian. Sekarang kita harus hadapi dulu Dewa Arak!"
***

Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesaat kemudian Jaranta dan Taliwang telah berada di dekat Ratna Ningsih.
Seperti juga Ratna Ningsih, Jaranta, dan Taliwang menatap Dewa Arak dengan sorot
mata tidak bersahabat. Kini Adipati Subali dan Dewa Arak berhadapan dengan
Jaranta, Taliwang, dan Ratna Ningsih!
Dewa Arak memperhatikan tiga sosok tubuh yang berdiri di hadapannya penuh
selidik. Diakui kepandaian ketiga orang itu rata-rata tinggi. Namun, kini mereka
bersatu. Sudah bisa diperkirakan kedahsyatan serangan mereka jika dilakukan bersama-sama.
Dan terus terang, Dewa Arak tidak yakin akan mampu menanggulangi mereka.
"He... he... he...! Kami ingin tahu, bagaimana kau akan bisa menghadapi kami
bertiga, Dewa Arak!" tantang Taliwang.
"Kau akan kami kirim ke akhirat, Manusia Sombong!"
desis Jaranta penuh dendam, karena tadi dirinya hampir dirobohkan Dewa Arak!
"Hik... hik... hik...! Apa yang kalian katakan, sama sekali tidak salah! Julukan
Dewa Arak pasti akan punah dari dunia persilatan!" sambung Ratna Ningsih,
gembira. Dewa Arak tidak menyambuti ucapan mereka, dan
tengah sibuk memutar otaknya. Jelas Dewa Arak tidak bisa gegabah, dan tidak mau
bertindak sembarangan. Kalau sampai terjadi pertarungan, pasti akan terjadi
jatuh korban. Padahal, dia tidak ingin hal itu terjadi. Masalahnya, persoalan yang mereka
hadapi belum terlalu jelas baginya
"Bersiap-siaplah, Kisanak. Aku akan membawamu pergi meninggalkan mereka," kata
Dewa Arak pada Adipati Subali.
Adipati Subali yang saat itu melirik ke arah Dewa Arak jadi tersentak ketika
mendengar suara di telinganya. Itu memang suara Dewa Arak pada hal jelas-jelas,
kalau pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak menggerakkan
bibirnya tadi. Karuan saja hal itu membuatnya heran bukan kepalang. Kembali
tatapannya beralih ke sekitar. Kalau musuh di hadapan mereka
rasanya tidak mungkin. Kalau orang lain, siapa orangnya"
Karena perasaan penasaran yang melanda Adipati
Subali kembali menatap Dewa Arak. Dia ingin mengetahui kepastiannya. Benarkah
tadi Dewa Arak berbicara
padanya" "Kau tidak usah memandangku seperti itu, Kisanak Bersiaplah! Kalau mereka keburu
menyerang, rasanya akan sulit bagi kita untuk menyelamatkan diri. Kau sudah
siap"!"
Kini Adipati Subali yakin kalau suara tadi adalah benar-benar Dewa Arak yang
berbicara. Maka tanpa ragu-ragu kepalanya dianggukkan, memberi tanda kalau
dirinya telah siap untuk kabur bersama Dewa Arak.
"Hih!"
Dengan gerakan yang tidak terlihat mata biasa, Dewa Arak menggamit tangan
Adipati Subali. Kemudian, kedua orang itu melesat kabur dari situ. Karuan saja
hal itu membuat Jaranta. Ratna Ningsih, dan Taliwang terkejut bukan kepalang.
"Hei!"
Hampir berbareng, ketiga orang itu berseru kaget. Dan secepat seruan itu keluar,
secepat itu pula Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang melesat mengejar. Tapi,
Dewa Arak yang telah mengetahui kelihaian lawan-lawannya tidak berani bertindak
gegabah. Langsung saja dikerahkan seluruh kemampuan ilmu larinya.
Hebat! Hanya dalam sekali langkah, Dewa Arak telah berjarak hampir dua belas
tombak di depan. Kemudian hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya telah jauh
di depan. Seperti juga Dewa Arak ketiga orang ini pun mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh yang
dimiliki. Sesaat kemudian, kejar mengejar antara dua pihak yang berbeda
kepentingan pun berlangsung.
Namun hal itu tidak berlangsung lama. Pada
kenyataannya, ilmu lari Dewa Arak memang beberapa
tingkat di atas lawan lawannya. Maka semakin lama, jarak antara mereka semakin
jauh. Sampai akhirnya, Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang kehilangan jejak
sama sekali. Dewa Arak yang lari dan masuk ke dalam Hutan Maung telah lenyap di balik
kerimbunan pepohonan dan semak-semak.
Beberapa saat kemudian, baru Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang tiba di tempat
lenyapnya Dewa Arak! Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menjulurkan kepala ke
sana kemari dengan perasaan geram.
"Keparat!" maki Jaranta keras.
"Telur busuk!" maki Taliwang sambil membanting-banting kaki kanannya.
"Dewa Arak memang hebat!" desah Ratna Ningsih, lesu.
"Dia memiliki kepandaian yang jauh di atas kita. Kalau tidak lekas-lekas
dilenyapkan, dia akan menjadi peng-halang paling berat!"
Jaranta dan Taliwang mengangguk-anggukkan kepala.
Keduanya menyadari kebenaran dalam ucapan wanita
bertopeng tengkoran itu.
"Kau benar, Ratna Ningsih! Kita harus melenyapkannya!"
dukung Jaranta.
Setelah kata sepakat didapat, ketiga orang pewaris ilmu para datuk-datuk
persilatan aliran hitam itu pun melesat meninggalkan tempat ini. Tujuan mereka
jelas, melanjutkan pengejaran kembali terhadap Dewa Arak!"
*** 6 Dewa Arak menghentikan lari ketika tidak melihat
bayangan Ratna Ningsih, Jaranta, Taliwang di belakang.
Jelas, ketiga tokoh sesat itu telah kehilangan jejak atas dirinya. Buat Arya,
hal itu sama sekali tidak mengherankan, karena memang telah direncanakan. Pemuda
berambut putih keperakan itu berlari melalui pepohonan dan semak-semak yang lebat.
Seiring berhenti larinya, Arya lalu melepaskan cekalan tangannya pada Adipati
Subali. "Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap laki-laki tinggi besar itu.
"Lupakanlah, Kisanak," sahut Arya buru-buru sambil mengulapkan tangannya.
"Tolong-menolong sesama manusia itu biasa. Jangan terlalu dibesar-besarkan. O,
ya. Boleh kutahu, mengapa tiga orang itu ingin membunuh-mu"!"
"Hhh...!"
Bukannya menjawab pertanyaan itu, Adipati Subali
malah menghembuskan napas berat. Dahinya berkernyit dalam. Sepertinya, dia ingin
membuang semua kegalauan dalam hatinya.
"Mereka menginginkan pusaka peninggalan leluhurku, Dewa Arak. Sungguh tidak
kusangka kalau mereka bisa mengenaliku," desah Adipati Subali, lirih.
"Aku belum mengerti maksudmu, Kisanak?" tanya Dewa Arak, belum mengerti.
"Puluhan tahun yang lalu, di tempat kediaman leluhurku terjadi pertarungan
antara leluhurku melawan masing-masing orang tua tiga orang itu. Hasilnya,
leluhurkau menang. Karena khawatir mereka yang dikalahkannya
masih mendendam dan akan membuat keributan lagi,
leluhurku pergi meninggalkan tempat tinggalnya.
Kemudian Adipati Subali pun menceritakan semua
kejadiannya. Mulai dari sejarah leluhurnya, sampai kabur-nya rombongan
keluarganya dari Kadipaten Blambang.
Sepertinya laki-laki tinggi besar ini telah percaya penuh pada Dewa Arak.
Sementara, Dewa Arak mendengarkan penuh perhatian.
Sekalipun cerita yang tengah dipaparkan Adipati Subali tak pernah diselaknya.
"Begirulah centanya, Arya," tutur Adipati Subali meng-akhiri ceritanya.
Laki-Laki tinggi besar ini merubah panggilannya pada Dewa Arak atas permintaan
pemuda berambut putih
keperakan itu. Dan dia pun mengajukan permintaan yang serupa, agar Dewa Arak
memanggilnya dengan sebutan kakang saja.
Dewa Arak tercenung sejenak.
"Ada sesuatu yang membuatku heran, Kang," desah Arya pelan bernada hati-hati.
"Apa itu, Arya?" tanya Adipati Subali cepat.
"Tapi, aku merasa tidak enak untuk mengutarakannya padamu," ada keraguan dalam
ucapan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Katakanlah, Arya,"' dukung Adipati Subali "Percayalah.
Aku tidak akan marah atau tersinggung."
"Mengenai Sagala dan Rara Kunti," kata Dewa Arak, pelan.
Pemuda berambut putih keperakan itu menghentikan
ucapannya sejenak. Segera ditatapnya wajah Adipati Subali sekilas. Dan seperti
yang sudah dktuga, tampak adanya perubahan pada wajah Adipati Subali.
"Maaf, kalau dugaanku ini salah, Kang. Tapi aku melihat adanya kejanggalan pada
mereka berdua. Apakah kau
tidak merasakannya" sambung pemuda putih keperakan itu lagi.
"Hhh...!"
Adipati Subali menghembuskan napas berat. Perlahan-lahan kepalanya dianggukkan.
Rupanya dia sependapat dengan ucapan Arya.
"Memang, aku tadinya melihat hal yang mencurigakan itu," desah orang nomor satu
di Kadipaten Blambang "Bisa kutahu, apa keanehan yang kau maksudkan itu, Arya?"
Walaupun bisa menduga, tak urung Adipati Subali meminta Dewa Arak agar
menjelaskannya juga.
"Tadi kau ceritakan, Sagala adalah adik misanmu.
Sedangkan Rara Kunti adalah anak kandungmu. Tapi,
mengapa mereka berdua malah melarikan diri di saat kau terancam bahaya maut"
Padahal, jelas kulihat Sagala dan Rara Kunti memiliki kepandaian tinggi. Aku
yakin, tingkat kepandaian mereka tidak di bawah tiga orang pencegatmu itu, Kang.
Dan kalau diperhitungkan, kekuatan kita berada di atas mereka. Karena Jaranta
telah menjadi lawanku,"
urai Arya tentang kecurigaannya.
"Dugaanmu sama sekali tidak salah, Arya!" sambut Adipati Subali. "Tapi, itu
hanya sebagian kecil dari keheranan yang menimpaku. Namun memang wajar,
karena kau tidak tahu jelas duduk masalahnya."
Laki-laki tinggi besar ini menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya
kuat-kuat. Rupanya, dia bermaksud mengusir kegalauan hatinya.
"Sepengetahuanku, Sagala dan Rara Kunti tidak memiliki kepandaian setinggi itu.
Sagala memiliki tingkat kepandaian di bawahku. Sedangkan Rara Kunti aku yang
mendidiknya. Jadi mustahil kalau mereka bisa memiliki kepandaian yang
melampauiku. Dan andaikata benar pun, tidak akan terpaut demikian jauh," sambung
Adipati Subali.
"Heh..."!" Dewa Arak tersentak kaget "Kalau ucapanmu itu benar, berarti ada hal-
hal yang tidak beres di sini, Kang."
"Apa maksudmu Arya?" tanya Adipati Subali, tak kalah kaget.
"Aku rasa, ada hal-hal tertentu yang menyebabkan mereka selama ini
menyembunyikan kepandaian! Lagi
pula, maaf, Kang. Menurut penglihatanku, Rara Kunti memiliki jurus yang mirip
dengan Sagala. Mungkin mereka mempelajari dari sumber yang sama...."
"Mustahil! Hal itu tidak mungkin, Arya!" tukas Adipati Subali cepat "Sejak
kecil, Rara Kunti kudidik ilmu-ilmu warisan keluargaku. Sedangkan Sagala baru
datang ke Kadipaten Blambang, dua tahun yang lalu."
Dahi Dewa Arak berkernyit dalam.
"Apakah kau telah mengenalnya sejak kecil, Kang?"
kejar pemuda berambut putih keperakan itu.
"Tidak Arya! Aku baru tahu kalau mempunyai seorang adik misan bernama Sagala,
setelah dia datang dan
mengenalkan diri padaku. Itu pun dua tahun yang lalu.
Jangankan dirinya. Pamanku saja tidak pernah kulihat, bagaimana rupanya," jelas
Adipati Subali.
"Lalu, bagaimana kau bisa yakin kalau Sagala adalah adik misanmu" Padahal, kau
belum pernah melihat wajahnya!" tanya Arya, penuh rasa heran.
"Hal itu tidak menjadi masalah, Arya. Setiap keturunan kakekku, mempunyai ciri-
ciri pada bagian punggung berupa rajahan gambar seekor ular kobra. Tanda itu ada
pada diri Sagala, dan juga pada punggung Rara Kunti. Kalau rajahan anakku,
akulah yang membuatnya."
Kali ini Arya tidak bisa membantah lagi. Pemuda
berambut putih keperakan itu hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala.
"Bisa kau ceritakan sedikit mengenai pamanmu itu, Kang?" tanya Arya.
"Mengapa tidak, Arya?" sahut Adipati Subali cepat, sambil tersenyum lebar.
"Seperti juga ayahku, paman kurang memiliki bakat untuk dapat mewarisi ilmu-ilmu
kakek. Walaupun memang, bila dibandingkan ayah, paman memiliki bakat yang lebih
baik. Apabila latihannya sungguh-sungguh, niscaya akan berhasil memiliki
tingkatan yang melampaui ayahku "
Adipati Subali menghentikan ucapannya sejenak, untuk mengambil napas.
"Sayang, kemauan paman tidak sebesar kemauan ayah.
Paman merasa jenuh, lalu pergi mengembara. Dan dia tidak pernah kembali sampai
kakek meninggal. Ayah yang merasa terpukul, lalu meninggalkan desa tempat
kelahiran kakek. Lalu, kami menetap di tempat lain sampai aku lahir.
Jadi, sampai sekarang aku belum pemah melihat rupa pamanku!"
Dewa Arak termenung ketika Adipati Subali telah
menyelesaikan ceritanya.
"Kalau Sagala rasanya masuk akal apabila meninggal-kanmu pada saat kau tengah
terancam bahaya, Kang.
Mungkin dia belum punya hubungan batin denganmu. Tapi kalau Rara Kunti, sulit
untuk bisa diterima akal sehat. Tega benar dia sampai meninggalkan dirimu.
Sekalipun dia tidak memiliki kepandaianpun, tentunya akan menunjukkan
baktinya padamu. Apalagi, dia memiliki kepandaian yang demikian tinggi. Ada
masalah tersembunyi di sini, Kang,"
jelas Arya panjang lebar.
Adipati Subali menganggukkan kepala setelah terlebih dulu menghembuskan napas
berat. Memang, dia pun
sudah menduga hal itu. Dan rasanya tidak aneh. Karena laki-laki tinggi besar ini
bukan orang sembarangan. Dia bekas Panglima Kerajaan Sewu yang disegani! Tentu
saja Adipati Subali terhitung orang yang memiliki kecerdikan.
"Kau tidak keberatan bila aku ikut menyelidikinya, Kang?" Arya menawarkan
bantuan. "Tentu saja tidak, Arya. Malah dengan senang hati akan kuterima. Hm, kita memang
harus bekerja sama untuk memecahkan masalah aneh ini," sambut Adipati Subali
gembira. "Apakah kau tidak berminat merebut kembali Kadipaten Blambang, Kang'" tanya
Arya, iseng-iseng.
"Tentu saja berminat, Arya. Dan itu akan kulakukan setelah berhasil
menyelamatkan surat peninggalan leluhurku Dan..., ah! Celaka!"
"Ada apa, Kang?" tanya Arya kaget.
Kontan sekujur urat syaraf dan otot Dewa Arak
menegang waspada. Sikap Adipati Subali-lah yang
menyebabkannya demikian.
"Surat peninggalkan kakekku telah kuberikan pada Sagala!" sentak Adipati Subali,
kalap. Memang, laki-laki tinggi besar ini merasa kalap bukan main, dugaan Dewa Araklah
yang membuatnya demikian.
Pemuda berambut putih keperakan itu menyadarkannya, akan adanya kemungkinan
maksud tidak baik dari Sagala.
Padahal, surat peninggalan leluhurnya berada di tangan Sagala!
"Ah!" desah Arya tidak kalah kaget "Surat wasiat itu kau berikan padanya?"
"Aku tidak bermaksud memberikannya, Arya. Tapi kejadian bertubi-tubi yang
menimpa, membuatku lupa."
Jelas Adipati Subali. "Padahal, aku telah menyembunyi-kannya secara rapi di..
eh..." "Ada apa lagi, Kang'" tanya Arya ketika melihat Adipati Subali untuk yang kedua
kalinya menghentikan ucapan, dan menampakkan raut wajah kaget.
"Aku telah melupakan sesuatu hal. Tapi, untungnya lupa yang menguntungkan."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kang?" tanya Arya.
Tanpa menyembunyikan perasaan tidak mengertinya.
"Aku telah membuat tiruan surat itu untuk mengaman-kannya dari kejadian yang
tidak kuinginkan. Kemudian, surat yang palsu kuletakkan di tempat yang asli. Ah!
Sama sekali tidak kusangka kalau terlupanya aku, malah
menimbulkan sebuah keuntungan."
"Jadi, surat yang asli tetap berada di tanganmu?" tanya Arya, gembira.
Adipati Subali menganggukkan kepala.
"Benar."
Usai berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu lalu me-masukkan tangannya ke
balik baju. Dan ketika
dikeluarkan, di genggaman tangannya terdapat segulungan kulit binatang.
"Inilah surat yang asli itu, Arya!" seru Adipati Subali gembira.


Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian Adipati Subali mengangsurkan ke arah Dewa Arak.
"Kau tidak ingin mengetahui isinya, Arya?"
Pemuda berambut putih keperakan itu hanya
menyunggingkan senyum di bibir.
"Sebenarnya, aku juga merasa penasaran mengenai isi surat peninggalan leluhurmu.
Ingin kutahu hal yang membuat keturunan datuk-datuk persilatan itu berniat mem-
perebutkannya. Tapi tanpa perkenanmu, aku tidak berani bertindak lancang, Kang,"
jelas Arya. "Aku mengizinkan, bahkan memohon agar kau sudi melihat surat peninggalan
leluhurku ini, Arya. Barangkali saja kau bisa menguak rahasia yang tersembunyi
di baliknya."
"Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan padaku," sambut Arya sambil
mengulurkan tangan menerima gulungan surat yang diangsurkan Adipati Subali.
Begitu kulit binatang itu telah berada di tangan, Arya lalu membuka gulungannya.
Kontan sepasang matanya ber-tumbukan dengan huruf-huruf yang tertera di atas
kulit binatang lusuh itu.
Matahari beredar....
Dari tempat hati yang pilu
Air berasal.....
Tempat yang akan dituju.
Bukti leluhur....
Awal dari kerja keras
Akhir sang Raja memberi derma....
Kunci kebahagiaan
Arya mengernyitkan dahi setelah membaca kalimat-
kalimat yang tertera sampai usai.
"Bagaimana, Arya" Bisa kau pecahkan arti kalimat-kalimat itu?" tanya Adipati
Subali ketika melihat Arya mengalihkan pandangan dari surat itu.
"Mari kita pecahkan masalah ini di sana, Kang"
Sambil berkata demikian, Arya menudingkan jari
telunjuknya ke arah sebatang pohon besar yang akarnya menyembul dari tanah.
Pohon itu berdaun rimbun,
sehingga panasnya sinar matahari tidak akan sampai ke bawah pohon. Memang, saat
itu hari sudah siang. Dan sang surya memancarkan sinarnya yang terik ke bumi.
*** Adipati Subali menatap ke arah pohon itu sejenak.
kemudian mengalihkan perhatian pada Arya.
"Sebuah usul yang baik, Arya," puji laki-laki tinggi besar itu. "Kau bisa saja,
Kang," sambut Arya sambil menyunggingkan senyum kecil.
Usai berkata demikian, pemuda berambut putih
keperakan itu melangkah menghampiri pohon, diikuti Adipati Subali.
Masih dengan dahi berkernyit dalam, pemuda berambut putih keperakan itu
menghempaskan pantatnya di akar pohon yang melintang. Sedangkan Adipati Subali
pun mengikutinya.
"Bagaimana, Arya" Bisa kau pecahkan arti teka-teki itu?"
desak lelaki tinggi besar itu lagi. Raut keingintahuan tampak jelas tersirat
pada wajahnya. Arya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia tercenung sejenak, sebelum
akhirnya menggelengkan kepala perlahan-lahan sambil menghembuskan napas berat.
"Aku tidak bisa memecahkannya, Kang," jawab Arya, pelan.
"Sedikit gambaran kasar mengenai arti dan maksud syair itu barangkali bisa kau
utarakan, Arya?" desak Adipati Subali, lagi.
Ucapan Adipati Subali membuat Arya mengalihkan
perhatian lagi pada surat yang berada di tangannya.
Dibacanya kembali baris demi baris kalimat yang tertera di atas gulungan kulit
binatang itu. "Bagaimana, Arya" Ada dugaan yang berhasil kau dapatkan?"
"Memang ada, Kang. Tapi, hanya berupa dugaan
kasar...."
"Tapi, setidak-tidaknya akan memudahkan kita untuk menyelidiki selanjutnya "
potong Adipati Subali ketika melihat Arya seperti ragu-ragu untuk mengutarakan
ucapannya. "Baiklah, Kang. Bait pertama menunjukkan tempat yang dimaksud leluhurmu,
sedangkan bait kedua menunjukkan cara untuk mendapatkannya."
"Kau hebat, Arya!" puji Adipati Subali dengan wajah berseri-seri. "Aku yakin,
teka-teki leluhurku ini akan bisa kupecahkan dengan bantuanmu "
"Tapi, itu hanya dugaan saja, Kang. Lagi pula, belum pasti kebenarannya," bantah
Arya, memperbaiki dugaan-nya.
"Aku yakin dugaanmu itu benar," sergah laki-Laki tinggi besar itu bernada yakin.
"Karena, jawaban itulah yang kudapatkan setelah memutar otak selama berbulan-
bulan. Dan hasil pemikiranku selama berbulan-bulan, ternyata sama dengan hasil
pemikiranmu yang sebentar. Kau hebat, Arya! Bisa kau utarakan pendapatmu
selanjutnya?"
"Belum. Hanya itu yang baru kudapatkan," sahut pemuda berambut putih keperakan
itu sambil menggelengkan kepala.
Adipati Subali tidak berani mendesak lagi. Bagaimana pun juga, perkembangan yang
menggembirakan telah di-dapatnya. Ternyata Dewa Arak mampu menjawab teka-teki
yang telah berhasil dijawabnya berbulan-bulan, hanya dalam waktu sebentar. Jadi,
bukan tidak mungkin kalau pemuda berambut putih keperakan itu akan berhasil
memecahkan teka-teki syair itu.
Maka meskipun keinginan untuk menyuruh Arya
memikirkan masalah itu lagi amat menggebu-gebu, Adipati Subali terpaksa
menahannya. Arya tampak sudah pusing, dan perlu beristirahat.
"O, ya, Arya. Aku belum menjawab pertanyaan yang kau ajukan tadi." Adipati
Subali sengaja mengalihkan persoalan.
"Pertanyaan yang mana, Kang?" Arya mengernyitkan alisnya. Rupanya dia terlupa.
"Kau tadi menanyakan apakah aku berminat merebut kembali Kadipaten Blambang. Dan
tadi aku akan menjawabnya, tapi.., surat peninggalan leluhurku membuatku
terlupa. Bukankah itu tadi yang kau tanyakan?"
Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Sekarang kujawab, Arya. Aku memang berminat. Dan itu kulakukan setelah
mengamankan surat peninggalan leluhurku. Aku akan kembali ke Kerajaan Sewu,
untuk meminta bantuan pasukan. Gerombolan yang telah
merebut Kadipaten Blambang dari tanganku pasti akan kugempur!"
"Jadi..., sewaktu kau bersama rombonganmu melarikan diri, ke mana tujuanmu,
Kang?" tanya Arya.
"Ke Kerajaan Sewu. Menitipkan anak istriku di sana.
Sekaligus, surat leluhur ini kuserahkan pada Rara Kunti.
Setelah itu, aku akan menggempur gerombolan yang telah merebut kadipatenku!"
Mantap dan tegas sekali ucapan yang keluar dari mulut Adipati Subali. Apalagi,
ucapan itu ditutup dengan kepalanya yang menengadah, sambil membusungkan dada.
Arya tercenung ketika Adipati Subali telah menyelesaikan ucapannya.
"Jadi, kau ingin ke Kerajaan Sewu sekarang, Kang?"
tanya Arya ingin tahu.
"Entahlah, Arya. Aku sendiri tidak tahu. Kematian istriku, dan tindakan anakku
serta Sagala, membuat keinginanku merebut kembali Kadipaten Blambang musnah!"
sahut laki-laki tinggi besar itu dengan suara berdesah.
"Bagaimana kalau kita menyelidiki keanehan itu dulu?"
usul Arya. "Aku belum mengerti maksudmu, Arya?" Adipati Subali mengernyitkan alis.
"Maaf kalau ucapanku ini tidak berkenan di hatimu.
Masalah Sagala, sama sekali tidak kupikirkan. Yang menjadi pertanyaan bagiku,
adalah Rara Kunti. Maaf, apakah kau pernah memergoki keanehan sikapnya
belakangan ini?"
"Mengapa kau menanyakan hal itu, Arya?" Adipati Subali balas bertanya.
Arya menghela napas berat.
"Ketika aku sempat memperhatikan pertarungan, aku berpikir pula kalau ilmu yang
dimiliki Rara Kunti adalah ilmu keji. Serangan maupun perkembangan Ilmu seperti
itu hanya dimiliki tokoh-tokoh beraliran hitam! Dan lagi, ilmu yang dimilikinya
mempunyai mutu yang amat tinggi.
Ilmunya bukan ilmu sembarangan. Tak cukup dua tahun untuk mempelajarinya. Aku
yakin, dia telah mempelajarinya jauh sebelum itu!" tegas Arya bemada yakin.
"Tapi... dari mana dia mendapatkannya" Padahal, aku tahu pasti Rara Kunti tidak
memiliki ilmu itu!" Adipati Subali jadi kebingungan.
"Kalau begitu, ada dugaan yang memungkinkan, Kang.
Dugaan pertama, wanita itu benar Rara Kunti. Tapi, tanpa sepengetahuan dia
mempelajari ilmu-ilmu sesat tingkat tinggi. Dan itu telah dimulai paling tidak
tujuh tahun lalu.
Dan, juga gurunya bukan Sagala, melainkan guru dari Sagala."
"Mengapa demikian, Arya"!" tanya Adipati Subali, serak.
"Sagala tidak akan bisa mengajarinya sampai setinggi itu. Yang jelas. Tingkat
kepandaian Rara Kunti hanya berselisih sedikit dengan Sagala."
Adipati Subali tercenung. Terbayang kembali di
benaknya semua kemampuan mengagumkan yang dimiliki Rara Kunti Dan diam-diam,
harus diakui kebenaran ucapan Dewa Arak.
"Lalu..., bagaimana dengan dugaan yang kedua, Arya?"
tanya Adipati Subali setengah hati.
"Wanita itu bukan Rara Kunti. Melainkan, seorang tokoh sesat yang mempunyai
kemampuan untuk menyamar,
menjadi seperti orang lain," Jawab Arya, kalem.
"Ah...!" Adipati Subali terperangah. Disadari ada kebenaran dalam ucapan Dewa
Arak. "Kalau dugaan itu benar, lalu ke mana Rara Kunti yang asli, Arya?"
"Kemungkinan sudah dibunuh. Tapi, mungkin pula hanya ditawan."
"Apa pun yang terjadi pada Rara Kunti, aku harus menemukannya! Adaikata dia
sudah mati, aku harus
menemukan mayatnya!" tandas Adipati Subali dengan suara bergetar.
"Aku ikut Kang!" sambut Arya cepat.
"Tapi, ke mana kita harus mencarinya?" keluh Adipati Subali.
Dalam cekaman perasaan cemas, laki-laki tinggi besar ini tidak bisa
mempergunakan otaknya sama sekali. Benaknya benar-benar seperti buntu.
"Kita mulai saja dan awal tempat kejadian, Kang."
"Maksudmu. Kadipaten Blambang"!" duga Adipati Subali.
"Tepat! Bagaimana"!"
Jawaban dari pertanyaan Arya, adalah berupa lesatan tubuh Adipati Subali. Jelas,
laki-laki tinggi besar itu sudah tidak sabar lagi untuk tiba di tempat yang
dituju. Tanpa berkata apa pun, pemuda berambut putih
keperakan itu melesat menyusul. Sesaat kemudian, kedua orang itu telah berlari
cepat menuju Kadipaten Blambang.
*** 7 Matahari telah tergelincir ke Barat. Angin yang berhembus pun sudah terasa tidak
terlalu panas lagi. Dan saat itulah Arya dan Adipati Subali telah berada di
wilayah perbatasan Kadipaten Blambang.
"O, ya, Kang Masih ada hal yang membuatku agak bingung," kata Arya, sambil
menoleh ke samping dan tanpa menghentikan larinya.
Pemuda berambut putih keperakan itu terus berlari. Tapi tentu saja, hanya
mengerahkan sebagian kecil dari ilmu larinya. Memang, bila dikerahkan agak
penuh, Adipati Subali jelas akan tertinggal jauh.
"Katakanlah, Arya." sambut Adipati Subali terputus-putus. Tampak jelas kalau
bekas orang nomor satu di Kadipaten Blambang ini telah lelah.
"Kau hanya menceritakan, kalau istana kadipaten diserbu. Kalau boleh kutahu,
apakah kau mengenali para penyerbu itu" Apa mungkin dari kadipaten lain" Atau
yahhh, setidak-tidaknya kau mengenalnya, barangkali "
"Hhh...!" Adipati Subali menghembuskan napas berat.
"Kalau teringat hal itu, aku masih heran dan bingung, Arya."
"Mengapa, Kang?" Arya juga merasa heran.
"Rombongan itu terdiri dari berbagai golongan aliran hitam. Aku sendiri tidak
habis pikir, mengapa mereka bersatu. Padahal, mereka tidak pernah akur. Dan yang
lebih gila lagi, mereka menyerang kadipaten! Entah, siapa yang menjadi
dalangnya," jawab laki-laki tinggi besar itu setengah berdesah.
"Berbagai aliran golongan hitam" Aku belum mengerti maksudmu, Kang?" tanya Arya
jujur. Adipati Subali menganggukkan kepala. Dia berdehem
sejenak, untuk menenangkan napasnya yang menderu-
deru. "Maksudmu.... para penyerbu itu sebenarnya terdiri dari beberapa kelompok yang
mempunyai pimpinan sendiri
sendiri. Ada yang berasal dari gerombolan perampok, maling, dan biang kerok di
sekitar Kadipaten Blambang,"
jelas Adipati Subali.
Arya mengangguk-anggukkan kepala, pertanda
mengerti. "Kau yakin, selama ini mereka tidak pernah akur, Kang"!" tanya Arya, memastikan.
"Aku yakin betul. Karena, mereka satu sama lain sering kulihat saling bentrok!"
tandas Adipati Subali.
"Kau melihat sendiri pertarungan yang berlangsung"!"
"Ya!"
"Bisa kau perkirakan, kelompok mana yang menjadi pimpinan dalam penyerbuan itu?"
kejar Arya, penuh gairah.
Adipati Subali tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Sepasang alisnya berkerut dalam. Jelas ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.
Dan memang, laki-laki tinggi besar ini tengah mengingat-ingat.
Arya sama sekai tidak mendesak. Dengan sabar,
ditunggunya ucapan yang keluar dari mulut Adipati Subali.
Dan karena laki-laki tinggi besar itu agak lama berpikir, suasana hening pun
terjadi. Yang terdengar hanyalah suara ayunan kaki Adipati Subali yang berlari.
Memang mereka masih terus berlari. Tentu saja langkah kaki Arya sama sekali
tidak terdengar, karena tingkat ilmu meringankan tubuhnya susah diukur
tingginya. "Kini aku mengerti maksudmu, Arya. Dalam pertarungan itu, jelas-jelas tidak ada
seorang pun yang bertindak sebagai pemimpin rombongan penyerbuan. Jadi mungkin
ada orang luar yang telah menyatukan mereka. Tapi, mengapa orang itu tidak
terlihat dalam penyerbuan itu?"
"Kurasa kau bisa menjawab pertanyaan itu sendiri, Kang. Mengapa orang luar yang
menjadi pemimpin
rombongan tidak ikut dalam penyerbuan" Atau lebih
tegasnya lagi, tidak berani menampakkan diri" Padahal, menilik dari bisa
bersatunya kelompok-kelompok yang selama ini suka bentrok, bisa kuperkirakan
kalau dia mempunyai pengaruh yang besar. Orang itu ditakuti oleh seluruh tokoh
yang ikut dalam penyerbuan. Jadi, dia berarti memiliki kepandaian tinggi. Tapi,
mengapa dia tidak muncul?" urai Arya panjang lebar dan penuh semangat.
Adipati Subali terdiam. Dia tidak berani menjawab.
Meskipun sudah mempunyai dugaan, tapi dia takut
menghadapi kenyataan bila jawaban yang akan
diucapkannya itu betul belaka.
"Kemungkinannya hanya ada dua, Kang," sambung Arya lagi ketika melihat Adipati
Subali sama sekali tidak ada tanggapan.
Namun, Arya, segera menghentikan ucapannya saat
melihat raut wajah Adipati Subali yang seperti tengah menderita rasa nyeri yang
hebat. "Perlukah menguraikan dua kemungkinan itu, Kang?"
tanya Arya hati-hati
Perlahan-lahan kepala Adipati Subali tergeleng.
"Tidak perlu, Arya. Aku sudah bisa menebak dua kemungkinan itu. Pertama, orang
itu gentar. Kedua, dia tidak ingin dikenal. Dan kalau aku lebih condong yang
kedua." "Jadi?"
"Tokoh yang menjadi penyebab bencana di Kadipaten
Blambang adalah Sagala, adik misanku sendiri!'" tandas Adipati Subali, sambil
menyeringai "Kini aku mengerti, mengapa setelah surat peninggalan itu kuserahkan
pada Sagala, tiba-tiba terdengar suara lolong kematian. Padahal sewaktu
kuselidiki, mayat itu tidak ada. Bahkan dalam perjalanan kembali menuju kereta,
ketika hampir tiba terdengar suara berkaok nyaring. Aku tahu, pasti itu bukan
suara burung gagak. Sayangnya, aku tidak mempedulikannya."
Adipati Subali menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas dan
menenangkan hati.
"Aku yakin, dugaanku tida salah lagi, Sagala-lah dalang semua kejadian ini!


Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang-orang berseragam hitam itu kemungkinan besar anak buahnya! Kalau benar dia
dan juga Rara Kunti berada di pihakku, gerombolan orang berseragam hitam itu
pasti akan bisa dihancurkan," sambung Adipati Subali berapi-api.
Dewa Arak sama sekali tidak memberi tanggapan,
karena memang tidak menyaksikan gerombolan ber-
seragam hitam yang menyerbu rombongan Adipati Subali.
Jadi, dia tidak bisa memperkirakan, sampai di mana tingkat kepandaian mereka.
"Mari, Arya. Kita harus secepatnya ke Istana kadipaten.
Aku sudah tidak sabar lagi mengungkap semua rahasia ini," ajak Adipati Subali
tidak sabar. "Jadi kita memulainya dengan penyelidikan mengenai Rara Kunti, Kang?"
"Ya!"
Lalu, Adipati Subali melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tampak jelas kalau
laki-laki tinggi besar itu sudah tidak sabar lagi untuk segera tiba di Istana
Kadipaten Blambang.
*** Perlahan-lahan kegelapan mulai turun menyelimuti
bumi. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Karena sang dewi malam segera dengan
sinarnya yang kuning
keemasan mulai menguak kepekatan malam.
Dalam suasana seperti itu, tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat mendekati
tembok Istana Kadipaten Blambang. Sosok bayangan yang satu berwama kuning,
sedangkan yang lain ungu.
Sekejap kemudian, tubuh dua sosok telah menempel
pada pagar tembok Istana kadipaten. Tampak dua sosok bayangan itu terdiam.
Punggung mereka sama-sama
bersentuhan dengan tembok batu.
Siraman sinar sang rembulan, membuat wajah kedua
tokoh itu jadi tampak cukup jelas. Mereka ternyata tidak lain dari Arya dan
Adipati Subali!
Adipati Subali menoleh ke arah Arya. Dan Arya pun
menganggukkan kepala sambil menunjuk dirinya sendiri, baru kemudian menujuk
Adipati Subali. Tanpa dijelaskan pun, laki-laki tinggi besar itu telah mengerti
maksudnya. Arya hendak melompat lebih dulu, baru kemudian Adipati Subali!
"Hih!"
Hanya dengan sebuah genjotan ringan, Dewa Arak telah membuat tubuhnya melayang
ke atas. Begitu ringan kakinya mendarat di atas tembok istana.
Begitu kedua kakinya hinggap, Arya langsung bersikap waspada. Pandangannya
beredar berkeliling. Lega hatinya ketika tidak menjumpai adanya sesosok tubuh
pun di sana. Ke mana perginya orang-orang yang telah menguasai
kadipaten"
Tapi Arya tidak mempedulikannya lagi. Diberinya isyarat pada Adipati Subali
untuk segera melompat menyusulnya.
Laki-laki tinggi besar itu pun melompat ke atas, dan mendarat di atas tembok di
sebelah Dewa Arak. Indah dan manis gerakannya! Memang, bekas Panglima Kerajaan
Sewu ini memiliki kepandaian lumayan juga.
"Mengapa begini sepi?" tanya Adipati Subali heran, seperti bicara untuk diri
sendiri. Setelah mengawasi sekeliling beberapa saat lamanya, tampak semua sudut begitu
sepi dan mati. Tidak tampak adanya tanda-tanda kehidupana sama sekali!
"Hm...! Kesunyian yang mencurigakan, Kang," sambut Arya yang merasa kan adanya
keanehan suasana itu.
Sambil berkata demikian, pemuda berambut putih
keperakan itu melompat rurun. Ringan tanpa suara kedua kakinya menginjak tanah.
"Mungkin ini sebuah perangkap, Arya?" duga Adipati Subali, setelah kedua kakinya
mendarat di tanah.
"Mungkin," sahut Arya menyambuti.
Meskipun ucapan dan anggukan kepalanya terlihat
menyetujui dugaan Adipati Subali, tapi tampak jelas kalau Dewa Arak merasa
bimbang. Raut wajahnya menampakkan keragu-raguan. Bukan hanya itu saja. Nada
suaranya pun terdengar sumbang, pertanda keluar dari hati yang tidak yakin.
"Sepertinya, kau tidak setuju dengan dugaanku, Arya"!"
Adipati Subali yang merasakan ada nada ketikdakyakinan dalam suara Arya,
langsung mengajukan pertanyaan.
Arya menganggukkan kepala.
"Mengapa, Arya?" kejar Adipati Subali, penasaran.
"Kalau benar mereka telah siap menjebak kita, setidak-tidaknya bisa kudengar
adanya desah napas atau langkah kaki. Tapi, sekarang aku tidak mendengarnya sama
sekali," jelas Arya. "Lalu, bagaimana maksudmu, Arya?"
"Aku khawatir ada sesuatu yang tidak kita inginkan "
Hanya itu jawaban yang dlutarakan Dewa Arak. Dan
setelah itu, pemuda berambut putih keperakan ini menghampiri sebuah bangunan
yang bentuknya paling besar dan megah. Itulah bangunan Istana Kadipaten
Blambang. Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, Arya telah berada di mulut pintu
bangunan itu. Sementara, Adipati Subali tetap mengikuti di belakangnya.
"Aku mencium bau anyir darah Arya," bisik Adipati Subali, parau. Jelas, laki-
laki tinggi besar ini merasa tegang.
Arya hanya menganggukkan kepala tanpa menoleh.
Memang, dia pun mencium bau yang sama sebelum
Adipati Subali menciumnya. Karena di samping melangkah lebih dulu. Dewa Arak
memiliki ketajaman penciuman di atas Adipati Subali!
Adipati Subali sama sekali tidak merasa tersinggung melihat Arya menganggukkan
kepala tanpa menoleh. Itu pun masih ditambah sambil berjalan. Disadari kalau
pemuda berambut putih keperakan itu tengah bersikap waspada. Dan hal itu tidak
berlebihan. Karena sudah bisa diperkirakan kalau di dalam lingkungan istana
Kadipaten Blambang ini telah terjadi peristiwa menggemparkan.
Sementara itu, Arya terus saja melangkah masuk. Tapi baru saja beberapa tindak,
langkahnya kontan terhenti.
Raut wajah maupun sorot matanya menunjukkan keter-
kejutan yang amat sangat
Betapa tidak! Di hadapan Dewa Arak, terpampang
pemandangan mengerikan! Belasan sosok tubuh tergolek dalam keadaan mengerikan.
Seluruh anggota tubuhnya tercerai-berai. Potongan-potongan tubuh, tangan, kaki,
dan kepala berserakan. Darah tampak menggenangi lantai.
Dewa Arak dan Adipati Subali sangat terperanjat! Betapa tidak"! Di hadapan
mereka terpampang pemandangan
yang mengerikan! Belasan sosok tubuh tergolek dalam keadaan mengerikan. Seluruh
anggota tubuhnya tercerai-berai! Potongan-potongan tubuh, tangan, kaki, dan
kepala berserakan!
*** 8 "Iblis dari mana yang tengah melakukan hal seperti ini?"
desis Arya, penuh kengerian.
Sambil berkata demikian, pandang matanya dilayangkan ke arah potongan-potongan
tubuh yang berserakan di lantai. Menilik dari banyaknya, mungkin puluhan orang
yang telah terbantai.
"Mmm.... mereka adalah gerombolan yang telah
menyerbu kadipaten ini, Arya," jelas Adipati Subali agak tergagap. Rupanya,
laki-laki tinggi besar ini belum bisa meredakan perasaannya yang terguncang.
"Jadi, mereka adalah gerombolan yang terdiri dari berbagai kelompok penjahat
itu, Kang?" tanya Arya setengah hati.
Tanpa diberi tahu pun, sebenarnya pemuda berambut
putih keperakan itu sudah bisa menduga kalau para
korban adalah gerombolan yang telah meruntuhkan
Kadipaten Blambang.
Adipati Subali menganggukkan kepala kepala sambil
menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang
mendadak kering. Sementara, Arya membungkukkan tubuh dan memeriksa keadaan
mayat-mayat itu. Sesaat kemudian dia bangkit kembali.
"Pembunuhan ini belum lama terjadi, Kang. Mungkin tadi sore. Bukan mustahil
pembunuhnya masih berada di sini," ujar pemuda berambut putih keperakan itu.
Kontan wajah Adipati Subali semakin menegang.
Mendadak Arya menelengkan kepala. Pendengarannya
yang tajam menangkap adanya gerakan halus di sebelah kanannya.
"Ada apa, Arya?" tanya Adipati Subali. Serak terdengar suaranya.
Pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak menjawab. Telunjuk tangan
kanannya diletakkan di bibir, memberi isyarat agar laki-laki tinggi besar itu
jangan berisik.
Adipati Subali sama sekali tidak membantah. Meskipun perasaan ingin tahunya amat
besar, tapi berusaha ditekan-nya. Disadari kalau Dewa Arak bersikap demikian,
karena mempunyai alasan kuat
Benar saja. Baru saja Dewa Arak mengembalikan jari telunjuk yang semula
diletakkan di bibir ke tempat semula, terdengar tawa keras menggelegar dan
bergaung. Karena mereka berada di dalam bangunan, gema suara jadi terdengar
panjang. Obor-obor yang cukup banyak terpasang di tiap-tiap dinding ruangan membuat
suasana di dalam bangunan itu cukup terang. Sehingga, tampak jelas perawakan dan
wajah pemilik tawa yang keras menggelegar itu.
Dia ternyata seorang laki-laki setengah tua. Pakaiannya hanya berupa rompi abu-
abu, membungkus tubuhnya yang kurus kering. Saking kurus keringnya, dia jadi
seperti cecak kelaparan. Bahkan wajahnya tampak pucat. Sepasang
matanya yang sipit, semakin menambah keras dugaan
kalau laki-laki berompi abu-abu ini seperti penyakitan.
"Siapa kau"!" tanya Adipati Subali, mantap.
Sikap dan tingkah Adipati Subali menunjukkan kalau dirinya adalah pemilik
bangunan itu. Memang, meskipun sudah terusir dari istana kadipatennya, Adipati
Subali tetap merasa sebagai pemiliknya.
"He... he... he...! Rupanya meskipun sudah tidak memiliki gigi lagi, kau masih
bisa menggonggong, Subali!" ejek laki-laki berompi abu-abu itu. "Kau ingin tahu
aku" Baik! Aku adalah Hantu Hutan Lodan!"
Adipati Subali menelan ludah, untuk membasahi
tenggorokannya yang mendadak kering. Julukan laki-Laki kurus kering itulah yang
membuat tenggorokannya kering.
Laki-laki tinggi besar ini tahu betul tokoh yang mempunyai julukan seperti itu.
Hantu Hutan Lodan adalah seorang tokoh aliran hitam yang muncul beberapa tahun
lalu. Karena sepak terjangnya yang menggemparkan, laki-laki kurus kering ini
telah berhasil mengukir nama besar. Julukannya memang
ditakuti, baik oleh tokoh-tokoh persilatan aliran hitam maupun aliran putih. Ini
disebabkan karena tindakannya yang kejam dan kepandaiannya yang tinggi.
Tak terhitung tokoh golongan hitam dan putih yang
tewas di tangannya, secara mengerikan. Hantu Hutan Lodan memang sakti disamping
wataknya yang sombong.
Dan itu terbukti ketika dengan beraninya laki-laki kurus kering ini mengajukan
tantangan pada datuk wilayah Selatan.
Tantangan yang diajukan Hantu Hutan Lodan benar-
benar menggemparkan dunia persilatan. Karena, untuk pertama kalinya ada seorang
tokoh yang berani mengajukan tantangan pada salah satu dari empat datuk itu.
Maka, berbondong-bondonglah tokoh persilatan dari
berbagai aliran datang untuk menyaksikan pertarungan antara Hantu Hutan Lodan
dan Datuk Selatan.
Namun, ternyata Datuk Selatan tidak kunjung datang.
Sehingga, Hantu Hutan Lodan pun mengukuhkan diri menjadi salah satu dari empat
orang datuk di empat penjuru angin.
"Mengapa kau membunuhi mereka, Hantu Hutan
Lodan?" tanya Adipati Subali dengan suara bergetar.
Seiring keluarnya pertanyaan yang diajukan, tangan laki-laki tinggi besar itu
ditudingkan ke arah mayat-mayat yang bergeletakan di lantai.
"Cuh!"
Hantu Hutan Lodan meludah secara kasar di tanah.
"Mereka patut dibunuh! Tindakan mereka terlalu lancang. Mereka telah menyerbu
Kadipaten Blambang, atas perintah orang datuk wilayah Selatan, yang tidak pantas
memangku kedudukan datuk!"
Laki-laki bertubuh kurus kering ini menghentikan
ucapannya sebentar. Dirayapinya dua sosok tubuh yang penuh perhatian
mendengarkan ucapannya yang terlalu berapi-api dan penuh semangat.
"Tidakkah mereka tahu, kalau aku yang telah menjadi Datuk Selatan"! Mereka
berani bertindak lancang mentaati perintah orang lain, tanpa sepengetahuanku!
Dan hukuman yang tepat bagi mereka adalah kematian!"
tandas Hantu Hutan Lodan tegas.
Usal berkata demikian, laki-laki kurus kering ini lalu menatap wajah Adipati
Subali dan Dewa Arak lekat-lekat.
Mendadak wajah Hantu Hutan Lodan berubah. Sepasang mata nya yang semula hanya
beredar pada wajah Arya, kemudian beralih ke arah rambut dan pakaian.
Arya yang sejak tadi diam mendengarkan, menjadi tahu mengapa Hantu Hutan Lodan
menatapnya demikian.
Seperti juga yang lainnya, dia tahu kalau laki-laki kurus kering tengah meneliti
ciri-ciri pada diri Dewa Arak. Dan dugaan pemuda berambut putih keperakan itu
sama sekali tidak meleset.
"Hm.... Bukankah kau, Dewa Arak"!" agak tergagap suara yang terdengar dari mulut
Hantu Hutan Lodan.
Arya menganggukkan kepala.
"Kalau memang demikian, memangnya kenapa Hantu Hutan Lodan" Aku tahu, julukanmu
tidak kalah tenar dari-padaku .
"Ha ha ha...! Itu memang betul!"
Hantu Hutan Lodan yang memang mempunyai watak
sombong dan senang diagung-agungkan, langsung
menyambuti penuh semangat Dia tertawa-tawa gembira, tapi sesaat kemudian tawanya
lenyap. Pandangannya dialihkan pada Adipati Subali.
"Kalau ingin selamat, cepat serahkan pusaka peninggalan leluhurmu padaku,
Adipati Subali"!" ancam Hantu Hutan Lodan.
"Sayang sekali, pusaka itu tidak ada padaku," kalem jawaban yang terdengar dari
mulut Adipati Subali.
Memang, laki-Laki tinggi besar ini berkata sejujurnya.
Surat wasiat leluhurnya itu sekarang ada pada Arya. Adipati Subali sendirilah
yang menyuruh Dewa Arak memegangnya dengan alasan agar lebih aman.
"Kau mencari penyakit sendiri, Adipati Subali! Kau kuberi kesempatan sekali
lagi! Serahkan pusaka itu, atau nyawamu akan kucabut"!" geram Hantu Hutan Lodan
memberi pilihan.
Adipati Subali membusungkan dada.
"Sayang sekali, Hantu Hutan Lodan. Andaikata pusaka itu ada padaku pun, tidak
akan kuberikan padamu!" jawab laki taki tinggi besar ini lantang.
"Keparat!"
Kali ini Hantu Hutan Lodan tidak bisa menahan ke-
sabarannya lagi. Tanpa bergeser dari tempat semula, tangan kanannya meluncur ke
arah dada Adipati Subali dalam sebuah cengkeraman yang menimbulkan suara
angin bercicitan.
Adipati Subali tahu, jarak antara dirinya dengan Hantu Hutan Lodan tidak mungkin
bisa dijangkau tangan. Jadi biar bagaimana pun, serangan Hantu Hutan Lodan tidak
akan mungkin bisa mencapai sasaran. Maka, dia hanya bersikap tenang. Dia yakin
tidak akan terjadi sesuatu yang membahayakan dirinya. Lain halnya, apabila Hantu
Hutan Lodan menyerang mempergunakan pukulan jarak jauh.
Seperti juga Adipati Subali, Dewa Arak pun merasa
heran pula. Hanya saja, ada perbedaannya. Pemuda
berambut putih keperakan ini langsung bisa mengetahui kalau laki-laki kurus
kering itu mempunyai maksud yang tersembunyi dalam serangannya.
Seiring timbulnya dugaan ini, Dewa Arak pun teringat sesuatu. Melati,
tunangannya, sering menggunakan
serangan seperti ini! Hal ini tidak aneh, karena gadis berpakaian putih itu
memiliki ilmu yang bisa membuat tangannya menjadi satu setengah kali lebih
panjang! Jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku", demikian namanya.
Teringat akan hal itu, membuat Dewa Arak terperanjat.
"Awas, Kang...!"
Sambil berseru demikian, Dewa Arak langsung ber-
tindak. Tangan kanannya bergerak cepat ke arah pangkal lengan kiri Adipati


Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Subali. Memang, saat ini pemuda berambut putih keperakan itu berada di sebelah
kiri Adipati Subali.
Tappp! Secepat tangan kanannya hinggap di tempat yang dituju, secepat itu pula
didorongnya. Akibatnya, tubuh Adipati Subali pun terjengkang
Tapi, justru karena itulah, Adipati Subali selamat dari maut! Pada saat yang
bersamaan, tangan Hantu Hutan Lodan meluncur ke arah dada. Dugaan Dewa Arak
memang tepat! Tangan laki-laki kurus kering itu ternyata terus terulur dengan
serangan membahayakan. Jadi, tangan itu memang bertambah panjang!
"Terkutuk!"
Untuk yang kesekian kalinya, Hantu Hutan Lodan
memaki. Tapi hal ini tidak ditujukan pada Adipati Subali, melainkan pada Dewa
Arak. Sementara, pemuda berambut putih keperakan itu tetap bersikap tenang.
Bahkan sempat mengerling sekilas ke arah Adipati Subali.
"Cepat menjauh dari sini, Kang." kata Dewa Arak bernada perintah.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Adipati Subali
segera bangkit dan bergerak menjauh. Dia tahu, mengapa Arya menyuruhnya
bertindak demikian. Karena bila terjadi pertarungan, ada kemungkinan akan
terkena serangan nyasar jika berada di daerah pertarungan.
*** "Semula, aku berniat membiarkanmu pergi, Dewa Arak.
Kau sama sekali tidak masuk hitunganku. Tapi sekarang, kau malah mencampuri
urusanku. Maka, terpaksa kau pun akan kulenyapkan!"
Puas mengucapkan kalimat bernada penuh
kesombongan, Hantu Hutan Lodan mengedarkan
pandangan berkeliling. Tampak olehnya mayat-mayat yang berserakan di sana sini.
Tentu saja hal ini akan mengganggu jalannya pertarungan. Karena, mereka berdua
akan mengalami kesulitan untuk berpindah tempat
"Biarlah ruangan ini kubuat agak luas sedikit"
Hantu Hutan Lodan lalu mengibas-ngibaskan kedua
tangannya. Kelihatannya sembarangan dan tanpa
pengerahan tenaga dalam. Tapi hebatnya, potongan-
potongan tubuh mayat itu berpentalan seperti tertiup angjn keras.
Dan ketika laki-laki kurus kering itu menghentikan gerakan tangannya, lantai
ruangan tempat mereka berada jadi bertambah luas. Karena, sebagian besar
potongan tubuh mayat telah berpindah tempat ke sudut.
"Aku bukan sejenis orang yang mau enaknya sendiri, Hantu Hutan Lodan. Biarlah
kusumbangkan kemampuanku yang tidak seberapa, untuk membuat ruangan di sekitar
tempat ini jadi bertambah luas!"
Dan begitu ucapannya selesai itu, Dewa Arak ikut
mengibas-ngibaskan tangannya pula. Sama seperti Hantu Hutan Lodan, hal itu
dilakukannya secara sembarangan.
Tapi pemandangan yang terpampang justru lebih hebat!
Potongan-potongan tubuh mayat yang masih bergeletakan memenuhi tiap ruangan,
kontan beterbangan ke sudut dan langsung berkumpul membentuk tumpukan. Hebatnya,
potongan yang berupa kepala berada di bagian atas!
Adipati Subali menggeleng-gelengkan kepala melihat pertunjukkan ini. Meskipun
tingkatannya tidak bisa disamakan dengan kedua tokoh itu, tapi bisa diketahui
kalau dalam pertunjukan tadi Dewa Arak lebih unggul, ketimbang Hantu Hutan
Lodan! Tentu saja Hantu Hutan Lodan pun menyadari hal itu.
Maka, seketika perasaan sombongnya pun bangkit. Dia tidak percaya kalau orang
semuda Dewa Arak akan mampu menyainginya! Apalagi, mengalahkannya. Mungkin tadi
ada kesalahan dalam pengerahan tenaga dalam"
"Aku belum kalah, Dewa Arak! Hiyaaa!"
Diiringi teriakan keras. Hantu Hutan Lodan mulai
melancarkan serangan. Kedua tangannya meluncur cepat dan bertubi-tubi ke arah
kedua tulang rusuk Dewa Arak, disertai angin bercicitan nyaring. Jelas sebuah
serangan berbahaya!
Tapi, orang yang diserangnya adalah Dewa Arak! Hanya dengan sebuah lompatan ke
belakang, Dewa Arak telah membuat serangan Hantu Hutan Lodan mengenai tempat
kosong. Tahu kalau lawannya bukan orang sembarangan, maka selagi tubuhnya masih
berada di udara Dewa Arak mengambil guci araknya. Lalu, isinya dituangkan ke
dalam mulut Gluk.... Gluk....Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan Arya. Sesaat kemudian, ada hawa hangat berputar di perutnya, lalu
perlahan naik ke atas kepala.
Kontan tubuh Dewa Arak limbung ketika mendarat di
tanah. Ini terjadi karena kedua kakinya tidak bisa menapak tepat di tanah.
Tapi, justru pada saat seperti inilah Dewa Arak berada dalam keadaan siap untuk
memainkan ilmu 'Belalang
Sakti' Kedua tangannya bergerak-gerak aneh di depan dada, seperti seekor
belalang yang tengah memper-mainkan kedua kaki depannya. Bukan itu saja. Tubuh
pemuda berambut putih keperakan itu pun berkelejetan.
Sementara, kedua kakinya oleng ke sana kemari.
Melihat hal ini, Hantu Hutan Lodan agak terperanjat.
Tapi sesaat kemudian, langsung bisa ditebak kalau Dewa Arak telah mulai
menggunakan ilmu andalannya. Maka tanpa ragu lagi, dia melancarkan serangan
susulan. Wuk, wuk, wuk...! Wuttt!
Entah dari mana mengambilnya tahu-tahu di tangan
Hantu Hutan Lodan telah tergenggam sebilah ganco.
Sebentar senjata itu diputar-putar di atas kepala, baru kemudian disabetkan ke
arah kepala Dewa Arak.
Tranggg! Benturan keras terdengar diiringi berpercikannya bunga-bunga api ketika Dewa
Arak menangkis serangan ganco itu dengan gucinya
Hantu Hutan Lodan menyeringai ketika merasakan
sekujur tangannya tergetar hebat, akibat benturan itu.
Bahkan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terhuyung dua langkah ke belakang.
Sementara, Dewa Arak sama sekali tidak terpengaruh.
Maka, kesempatan itu dipergunakan masing-masing
pihak untuk melihat senjata masing-masing. Memang, keduanya merasa khawatir akan
rusaknya senjata akibat benturan keras tadi.
Dan begitu melihat tidak terjadi sesuatu atas senjata masing-masing, keduanya
kembali saling gebrak. Sesaat kemudian, kedua tokoh berbeda aliran ini terlihat
dalam pertarungan sengit.
Hebat bukan kepalang pertarungan yang berlangsung.
Suara mengaung dan mencicit, diiringi tegukan ketika di tengah-tengah
pertarungan Dewa Arak menenggak
araknya, membuat suasana semakin bertambah semarak.
Akibatnya, keadaan sekitar ruangan itu lebih parah lagi.
Ubin-ubin retak-retak. Tembok-tembok mulai berguguran.
Kalau pertarungan itu terus berlangsung, bukan tidak mungkin bangunan itu akan
ambruk. Tapi begitu pertarungan menginjak jurus ke seratus, mulai tampak keunggulan Dewa
Arak. Tampaknya pemuda berambut putih keperakan ini mulai bisa menguasai keadaan.
Serangan-serangan Hantu Hutan Lodan yang semula menggebu-gebu, kini semakin ber-
kurang. Sampai akhirnya, dia hanya bisa mengelak.
"Haaat..!"
Di jurus keseratus delapan, Dewa Arak mengayunkan
guci araknya ke arah pelipis kiri Hantu Hutan Lodan.
Melihat hal ini, pentolan aliran hitam yang berjiwa kejam ini terkejut bukan
kepalang. Serangan itu meluncur demikian tiba-tiba Maka dengan agak gugup,
tubuhnya dirundukkan.
Wusss! Guci Dewa Arak meluncur lewat di atas kepala, hingga membuat rambut dan seluruh
pakaian Hantu Hutan Lodan berkibaran keras. Ini menandakan betapa kuatnya tenaga
dalam yang terkandung dalam ayunan guci itu.
Tapi, serangan Dewa Arak ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Kaki kanannya
meluncur cepat ke arah perut.
Tapi karena Hantu Hutan Lodan tengah membungkuk,
maka ujung kaki itu jadi mengarahkan ke arah dada.
Dan.... Krakkk! "Akh...!"
Hantu Hutan Lodan menjerit ngeri ketika kaki Dewa Arak menghantam telak pada
sasaran. Memang, tibanya
serangan itu hanya berselisih sedikit sekali dengan serangan guci.
Kontan tubuh laki-laki kurus kering itu terlempar ke belakang. Darah segar
seketika memancur deras dari mulutnya, dan membasahi lantai sepanjang tubuhnya
melayang. Sesaat itu juga, nyawa Hantu Hutan Lodan melayang dari raganya.
Tendangan Dewa Arak telah
membuat tulang dadanya hancur berantakan.
Brukkk! Disertai suara berdebuk keras, tubuh Hantu Hutan
Lodan jatuh ke lantai
"Hhh...!"
Dewa Arak menghembuskan napas lega. Sama sekali
tidak disesali, karena telah membunuh Hantu Hutan
Lodan. Dewa Arak tahu, tokoh seperti laki-laki kurus kering itu memang harus
dilenyapkan dari muka bumi agar tidak menyebar malapetaka lebih luas.
"Kau hebat, Arya," puji Adipati Subali sambil mendekati pemuda berambut putih
keperakan itu. "Lupakanlah, Kang. Sekarang yang penting, kita harus mencari tahu keberadaan
Rara Kunti," kata Arya mengalihkan persoalan.
"Kau benar, Arya," sambut Adipati Subali.
Lalu laki-laki tinggi besar itu mengayunkan langkah mengikuti Dewa Arak. Memang,
pemuda berambut putih keperakan itu telah melangkah lebih dulu.
Berhasilkah Dewa Arak dan Adipati Subali menguak
rahasia Rara Kunti" Benarkah Sagala yang telah
memimpin penyerbuan terhadap Kadipaten Blambang"
Kalau betul, mengapa" Murid siapakah Sagala, sehingga bisa memiliki kepandaian
yang demikian tinggi" Bagaimana akhir persekutuan keturunan datuk-datuk
persuatan yang ingin menumpas Dewa Arak" Apakah 'Rahasia Syair Leluhur" itu bisa
terungkap" Siapakah yang berhasil mengungkapnya" Dan, apakah datuk-datuk
persilatan puluhan tahun lalu pun akan ikut meninggalkan sarang untuk mengejar pusaka Eyang
Mandura" Jawaban semua itu ada di dalam episode "Neraka untuk Sang Pendekar" .
SELESAI Jaka Lola 13 Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Mustika Lidah Naga 6 2
^