Rahasia Syair Leluhur 1
Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur Bagian 1
1 Bulan bersinar penuh tampak indah di langit. Bentuknya bagai sebuah piring
tembaga, yang bersinar keperakan.
Bintang-bintang pun bertaburan menghias angkasa.
Nyanyian binatang-binatang malam semakin menambah
semaraknya suasana malam. Persada tampak terang dan meriah, layak untuk
dinikmati. Namun itu tidak berlangsung lama. Suara lecutan
cambuk, derap kaki kuda, dan gemeretak roda kereta telah mengganggu malam yang
begitu indah ini.
Sesaat kemudian, muncullah sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Beberapa
ekor kuda yang masing-masing ditunggangi laki-laki bersikap gagah, tampak
mengiringi-nya.
Jumlah laki-laki berwajah gagah itu ada dua belas orang.
Enam di depan, empat di belakang, dan masing-masing satu orang di kanan kiri
kereta. Semuanya menunggangi kuda-kuda pilihan.
"Kau yakin kita telah jauh meninggalkan bahaya, Kakang Subali?" tanya salah
seorang dari enam penunggang kuda terdepan.
Orang itu adalah seorang laki-laki tinggi kurus bermata sipit. Gagang pedangnya
tampak menyembul dari balik punggung. Menilik dari pakaiannya yang terlihat
mewah, bisa diketahui kalau laki-laki tinggi kurus itu orang kecukupan.
Penunggang kuda yang dipanggil Subali menoleh.
Sepasang matanya menatap wajah laki-laki tinggi kurus yang mengenakan pakaian
kuning. Subali ternyata seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Tubuhnya
terlihat gagah bukan kepalang. Apalagi dengan adanya cambang bauk lebat yang
menghias wajahnya. Seperti laki-laki bermata sipit, pakaian yang dikenakannya
juga tampak indah.
Hanya saja warnanya kuning keemasan. Jadi terlihat lebih indah daripada pakaian
yang dikenakan laki-laki tinggi kurus.
"Hhh....!"
Subali menghela napas panjang, sebelum menjawab
pertanyaan laki-laki tinggi kurus itu. Langkah kudanya juga tidak dihentikan,
namun tidak tergesa-gesa seperti sebelumnya.
"Kurasa untuk sementara kita aman, Adi Sagala. Kita telah cukup jauh dan
kadipaten. Keparat-keparat itu tidak mungkin bisa cepat mengejar kita. Aku
yakin, mereka tengah berpesta pora menikmati kemenangan!" ada nada kegeraman
pada kalimat-kalimat terakhir yang diucapakan Subali. Jelas, laki-laki tinggi
besar ini tengah murka.
Laki-laki berpakaian kuning yang ternyata bernama
Sagala itu mengangguk-anggukkan kepala, pertanda
menyetujui ucapan yang dikeluarkan Subali.
"Tak pemah terbayangkan di benakku kalau jabatan adipati akan lepas darimu,
Kang," keluh Sagala.
Subali yang ternyata seorang adipati ini menghela napas berat.
"Bukan hanya kau saja yang merasa tak percaya, Sagala. Aku pun masih merasa
kalau kejadian yang
menimpaku ini seperti sebuah mimpi buruk! Aku masih belum percaya kalau
Kadipaten Blambang telah lepas dari tanganku!"
Adipati Subali menghentikan ucapannya sejenak.
Kepalanya ditolehkan ke belakang, menatap kereta kuda yang bergerak tertatih-
tatih merayapi jalan penuh bebatuan dan lubang.
Rombongan berkuda yang dipimpin Adipati Subali itu terus melanjutkan perjalanan.
Dan perlahan-lahan,
rombongan ini mulai memasuki mulut Hutan Maung.
"Aku tidak pemah bermimpi akan kabur menyelamatkan diri seperti anjing hina yang
teraniaya." keluh Adipati Subali lagi. "Kalau tidak mengingat keselamatan
anakku, ter-utama sekali istriku yang tengah mengandung, aku lebih baik
bertempur sampai titik darah penghabisan!"
Kali ini Sagala tidak menyahuti ucapan Adipati Subali.
Mungkin kehabisan kata-kata atau malas menyambuti.
Dan karena Adipati Subali tidak melanjutkan ucapannya, suasana menjadi hening.
Kini yang terdengar hanyalah suara langkah kaki kuda dan gemeretak roda kereta
menggilas jalanan. Iring-iringan rombongan yang dipimpin orang nomor satu
Kadipaten Blambang ini kian masuk ke dalam hutan. Mendadak.....
"Hooop...!"
Adipati Subali mengangkat tangan kanan ke atas,
sedangkan tangan kirinya menarik tali kekang kuda hingga langkahnya berhenti.
Dengan sendirinya, iring-iringan yang berada di belakangnya pun berhenti pula.
"Kita istirahat dulu di sini." ujar Adipati Subali setelah membalikkan arah
binatang tunggangannya hingga menghadap rombongan.
Usai berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu melompat turun dari kudanya.
Indah dan manis gerakannya.
Jelas, Adipati Subali bukan orang sembarangan. Dan memang sebelum menjadi
adipati di Kadipaten Blambang, Subali adalah seorang Panglima Kerajaan Sewu. Dan
karena telah banyak berjasa pada kerajaan, Prabu Cakra Ningrat meng-hadiahkan
pangkat adipati pada Subali di Kadipaten Blambang.
*** Kesibukan melingkupi rombongan kecil itu. Belasan laki-laki bersikap gagah yang
tak lain dari prajurit pilihan Kadipaten Blambang, bergegas berlompatan dari
punggung kuda masing-masing. Gerakan mereka rata-rata lincah, pertanda memiliki
ilmu meringankan tubuh yang tidak rendah.
Begitu menjejak di tanah, belasan prajurit itu segera menambatkan kuda masing-
masing. Lalu, mereka membantu kusir untuk menempatkan kereta kuda di tempat yang
terlindung. Dan kini, kereta kuda itu ditempatkan di tengah-tengah belasan
prajurit pilihan Kadipaten
Blambang. Ini dimaksudkan, agar bila ada serangan dari arah manapun, akan
berhadapan dengan prajurit lebih dulu. Sang Kusir pun ikut pula berjaga-jaga.
Kriiit..! Terdengar suara bergerit pelan ketika daun pintu kereta sebelah kanan terbuka.
Sebuah tangan yang berkulit putih halus dan mulus menyembul dari dalam kereta.
Kemudian tampak sosok wanita cantik keluar dari dalam kereta.
Tidak terdengar suara yang berarti ketika sepasang kaki ramping itu mendarat di
tanah. Hal ini menjadi pertanda kalau si pemilik kaki itu memiliki ilmu
meringankan tubuh yang cukup tinggi.
"Akan ke mana, Gusti Ayu?"
Sebuah suara berat telah menyapa penuh hormat,
begitu wanita cantik ini baru saja merayapi sekelilingnya.
Memang, derit pintu kereta itu begitu jelas terdengar, sehingga membuat para
prajurit yang tengah berjaga langsung menolehkan kepala. Dan kini, kepala
pasukan pengawal itu pun segera menghampiri.
"Ah! Kiranya Paman Lembu Sura." desah gadis cantik yanag dipanggil Gusti Ayu
setengah terkejut.
Gadis itu tersenyum manis. Senyum seorang gadis yang paling banyak baru berusia
dua puluh tahun. Sehingga membuat siapa saja yang memandangnya, enggan me-
malingkan wajah. Kulit putih halus dan mulus. Pas sekali dengan pakaian indah
berwama hitam kelam yang dikenakannya. Rambutnya digelung ke atas dan dijepit
dengan sebuah aruel berbentuk bunga mawar.
"Benar, Gusti Ayu. Hamba Lembu Sura," jawab kepala pasukan pengawal yang
ternyata bernama Lembu Sura
sambil membungkuk sedikit.
Lembu Sura ternyata memang mempunyai tubuh hampir
sebesar lembu. Begitu kekar! Gumpalan otot dan urat yang melingkar-lingkar
menghiasi sekujur tubuhnya. Senjata golok besar yang terselip di pinggang,
semakin menambah seram penampilannya.
"Aku ingin menghirup udara malam, Paman," jawab gadis berpakain hitam itu,
pelan. "Tapi.., Gusti Adipati telah melarang keluar siapa pun yang berada di dalam
kereta," bantah Lembu Sura dengan dahi berkernyit dalam.
"Apakah aku pun termasuk dalam larangan ayah?"
desak gadis berambut digelung yang ternyata putri Adipati Subali.
"Benar. Gusti Ayu Rara Kunti termasuk di dalamnya,"
tegas Lembu Sura.
"Kalau aku tidak mau"!" tanya Rara Kunti bernada menantang.
Lembu Sura tercenung sejenak.
"Apa boleh buat. Hamba tidak berani melalaikan perintah Gusti Adipati." tegas
Lembu Sura, setengah berdesah.
"Maksudmu..., kau akan menggunakan kekerasan untuk memaksaku masuk kembali ke
dalam kereta"!"
Lembu Sura mengangguk mantap.
Rara Kunti kontan terdiam, tanpa berkata-kata lagi. Putri Adipati Subali ini
tentu saja tidak bisa menyalahkan Lembu Sura. Disadari kalau kepala pasukan
pengawal itu hanya menjalankan perintahnya.
"Tapi aku tidak betah terus menerus di dalam kereta, Paman. Sumpek rasanya! Aku
ingin keluar, menghirup udara malam dan berbincang-bincang bersama ayah."
"Hamba tidak berani mengizinkannya, Gusti Ayu," ada nada penyesalan dalam suara
Lembu Sura. "Lagi pula, perlu Gusti Ayu ketahui. Larangan itu dikeluarkan oleh
Gusti Adipati, karena khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas Gusti
Ayu sendiri. Dan...."
"Biarkan dia keluar, Lembu Sura," potong sebuah suara, sehingga membuat ucapan
kepala pasukan pengawal itu terputus di tengah jalan.
Hampir berbarengan, Lembu Sura dan Rara Kunti
menoleh ke arah yang sama. Tampak dua sosok tubuh
yang tengah menghampiri. Baik Lembu Sura, maupun Rara Kunti mengenalinya. Mereka
adalah Adipati Subali dan Sagala!
"Hamba, Gusti Adipati." sahut Lembu Sura memberi hormat.
Seusai bersikap demikian, laki-laki bertubuh kekar berotot inl lalu bergerak
menyingkir. Lembu Sura memberi jalan pada Rara Kunti untuk menghampiri ayahnya.
Maka tanpa membuang-buang waktu, Rara Kunti segera bergerak menghampiri ayahnya.
"Kau ingin bicara denganku, Kunti?" tanya Adipati Subali, orang nomor satu di
Kadipaten Blambang dengan suara lembut.
"Benar, Ayahanda." jawab Rara Kunti, gembira.
"Kalau begitu, mari kita cari tempat yang enak!"
Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti segera
melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara, belasan prajurit mulai bertugas.
Lembu Sura, selaku kepala pasukan pengawal segera mengatur anak buahnya.
Sebagian besar berjaga-jaga, sedangkan sisanya tidur setelah terlebih dahulu
mengisi perut sekadarnya.
*** "Sebenarnya, sudah cukup lama aku ingin berbicara dengan Ayah," Rara Kunti mulai
membuka pembicaraan.
Rara Kunti duduk di sisi ayahnya, Adipati Subali.
Sedangkan Sagala duduk menghadap Adipati Blambang
itu, mereka saat ini memang tengah berbincang-bincang di bawah sebatang pohon
besar berdaun rimbun yang letak-nya hanya beberapa tombak dari rombongan.
"Mengapa tidak segera kau katakan padaku, Kunti?"
tanya Adipati Subali, bernada teguran.
"Bagaimana mungkin hal itu bisa kulakukan, Ayah!
Rombongan inl bergerak hampir tanpa henti. Lagi pula, kulihat Ayah kelihatan
sibuk. Jadi, aku tidak berani mengganggu," kilah Rara Kunti.
"Ooo...! Kukira pertanyaan itu sudah kau pendam berbulan-bulan, atau tahunan.
Kiranya baru beberapa hari yang lalu"! Nah! Sekarang katakan, Kunti. Ayah akan
mendengarkannya!" sahut Adipati Subali memberi kesempatan.
Rara Kunti tidak langsung mengutarakannya. Dia malah tercenung. Mungkin tengah
memilih kata-kata yang tepat sebagai pembuka cerita. Sementara, Adipati Subali
dan Sagala menunggu dengan sabar.
"Aku merasa kecewa melihat tindakan Ayah..."
Pelan ucapan Rara Kunti, dan lebih mirip bisikan. Kalau saja Adipati Subali dan
Sagala tidak mempunyai pen-dengaran tajam, perkataan itu tidak akan terdengar.
Apalagi, Rara Kunti mengucapkannya sambil menundukkan wajah. Sehingga gerak
bibirnya tidak terlihat Adipati Subali dan Sagala.
Meskipun dikatakan pelan, tapi bagi Adipati Subali dan Sagala, perkataan Rara
Kunti bagaikan halilintar di siang hari. Begitu mengejutkan hati mereka. Tapi,
tentu saja kekagetan yang dialami Adipati Subali jauh lebih besar daripada
Sagala "Mengapa kau berkata demikian, Kunti"!" tanya Adipati Subali agak parau
suaranya. "Selama ini aku merasa bangga pada Ayah. Telah banyak cerita yang kudengar
tentang kegagahan Ayah sewaktu menjadi panglima di Kerajaan Sewu. Tapi, apa
kenyataan yang kulihat"! Di saat kadipaten diserbu orang.
Ayah malam melarikan diri sambil membawa keluarga.
Kabur pontang-panting seperti anjing digebuk orang.
Tindakan Ayah membuatku kecewa bukan kepalang! Mana cerita kegagahan Ayah yang
selama ini kudengar"!"
Rara Kunti berapi-api mengucapkan kata-katanya! Sama sekali tidak dipedulikan
kalau setiap ucapannya laksana tusukan pisau berkarat pada hati Adipati Subali.
Wajah orang nomor satu Kadipaten Blambang itu sebentar pucat, sebentar merah
sepanjang putri tunggalnya mengungkap-kan kehancuran hatinya.
"Kau pantas kecewa padaku. Kunti," sahut Adipati Subali ketika Rara Kunti telah
menghentikan ungkapan kekesalannya. "Aku memang bukan jenis orang yang patut kau
kagumi. Aku melarikan diri di saat Kadipaten
Blambang berada di ambang kehancuran! Adipati macam apa aku ini"! Di saat para
prajurit berjuang mati-matian menyelamatkan kadipaten, aku malah kabur! Hhh ...!
Aku memang seorang pengecut, Kunti!"
Rara Kunti terkejut bukan kepalang mendengar jawaban tak terduga yang
dikemukakan ayahnya. Semula dikira Adipati Subali akan mengemukakan berbagai
macam alasan, mengapa tindakan melarikan diri itu harus dilakukan. Tapi, ternyata
ayahnya itu malah membenarkan
tuduhan yang dilontarkan. Karuan saja gadis berambut digelung ini jadi
kebingungan. Bukan hanya Rara Kunti saja yang menjadi
kebingungan. Sagala pun mengalami perasaan yang sama.
Hanya saja ada sedikit perbedaan pada keduanya. Sagala tahu, mengapa Adipati
Subali sama sekali tidak mengemu-kan alasan yang menyebabkan dirinya melarikan
diri. Karena jelas, Adipati Subali merasa terpukul!
Sagala adalah adik misan Adipati Subali. Telah dua tahun dia tinggal bersama
laki-laki tinggi besar itu.
Maka tidak aneh kalau watak kakak misannya dikenalnya betul. Sagala tahu,
sebenarnya Adipati Subali merasa terpukul atas tindakannya dengan meninggalkan
Kadipaten Blambang. Namun, perasaan itu bisa di-
sembunyikan orang nomor satu di Kadipaten Blambang.
Dan kini, ucapan Rara Kunti telah membuat perasaan itu muncul. Bahkan jauh lebih
parah! "Kau keterlaluan, Kunti!" sentak Sagala, agak keras.
Sepasang matanya menatap gadis berpakaian hitam itu penuh teguran "Perkataanmu
benar-benar tak pantas diucapkan di depan ayahmu."
"Terus terang aku membenci orang yang mempunyai
sikap pengecut. Tak terkecuali ayahku!" sambut Rara Kunti tak kalah keras.
"Ayahmu bukan seorang pengecut, Kunti!" semakin meninggi kata-kata Sagala.
"Lalu apa namanya kalau di saat para prajurit mem-pertahankan istana tapi justru
sang Pemimpin malah melarikan diri"! Orang lain bergulat dengan maut,
sementara dia sendiri melarikan diri! Bukan pengecutkah itu namanya"!"
"Ayahmu mempunyai alasan kuat untuk bertindak seperti itu! Berilah kesempatan
padanya untuk mengemukakannya padamu!" sambut Sagala setengah membentak.
"Sudahlah, Adi! Tidak usah diributkan lagi masalah itu!"
Adipati Subali berusaha melerai.
"Kurasa, lebih baik kau beri tahukan padanya, Kang!"
tukas Sagala tak mau kalah.
Setelah berkata demikian. Sagala terdiam. Rara Kunti pun diam, ingin mengetahui
tanggapan Adipati Subali.
Sedangkan adipati yang bertubuh tinggi besar ini belum juga membuka pembicaraan.
Maka suasana pun menjadi hening.
"Hhh...!" Adipati Subali menghembuskan napas berat
"Kau benar, Sagala. Lebih baik kuceritakan saja masalah yang sesungguhnya.
Bukankah dengan demikian, dia bisa bersikap lebih hati-hati"
Sagala menganggukkan kepala, pertanda membenar-
kan. Sementara Rara Kunti jadi bingung. Dia tahu, Adipati Subali dan Sagala
Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah membicarakannya. Tapi, gadis itu tidak mengerti maksudnya.
"Nah, Kunti. Sekarang dengarlah baik-baik ceritaku ini.
Dan setelah itu, terserah apa tanggapanmu!"
Adipati Subali menatap wajah Rara Kunti sejenak. Tapi yang ditatap malah
menampakkan wajah beku. Tanpa ada perasaan apa-apa Adipati Kadipaten Blambang
kemudian menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Sekitar sepuluh hari yang lalu, di salah satu dinding istana kadipaten
ditemukan sebuah surat yang ditancap-kan oleh sebatang ranting sebesar jari
kelingking. Padahal, dinding itu terbuat dari batu keras. Dan hebatnya, ranting
itu menancap hingga setengahnya lebih. Beberapa orang prajurit segera melaporkan
hal itu padaku. Jelas, ini berarti ada orang telah berani masuk ke dalam istana
secara diam-diam. Dan hunjaman ranting itu membuktikan kalau pelakunya adalah
orang yang memilik tenaga dalam tinggi!
Rasanya aku sendiri tidak mampu melakukan hal seperti itu!"
Adipati Subali menghentikan cerita. Lalu tenggorokannya yang terasa kering
dibasahi dengan ludah-nya sendiri.
Sementara Rara Kunti memperhatikan semua ceritanya penuh minat. Karena, dia
memang belum mengetahui hal itu. "Mengapa aku tidak mengetahui kejadian itu?"
tanya Rara Kunti penasaran.
"Karena hal itu memang sengaja disembunyikan," kalem jawaban Adipati Subali.
"Mengapa"!" desak Rara Kunti.
"Karena, kami tidak ingin seisi Istana kadipaten gempar dan menjadi gelisah.
Hanya saja Lembu Sura kuperintah-kan agar lebih memperketat penjagaan," jelas
Adipati Kadipaten Blambang ini.
Kini Rara Kunti mengerti.
"Lalu, apa isi surat itu, Ayah?" tanya Gadis berambut digelung itu. Suaranya
kini terdengar mulai melunak.
"Surat yang tidak kuketahui dari mana asalnya itu, meminta agar aku menyerahkan
pusaka warisan kakekku!
Kalau tidak, Kadipaten Blambang akan dihancurkan!"
"Apa"!" jerit Rara Kunti kaget "Pusaka warisan kakek"!
Mengapa ayah tidak pernah bercerita padaku"! Berupa apa pusaka itu" Dan mengapa
orang yang mengirim surat itu mengetahuinya?"
*** 2 Adipati Subali tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan kembali terdiam.
Masih dicarinya beberapa kata yang tepat untuk menjawabnya. Dan sebentar
kemudian..... "Aku memang sengaja tidak menceritakannya, sampai kau telah benar-benar menjadi
dewasa. Setidak-tidaknya sudah mengerti hal-hal yang boleh dinyatakan, dan yang
perlu dirahasiakan," sahut laki-laki tinggi besar ini.
"Tapi, sekarang aku telah cukup dewasa, Ayah. Aku telah bisa membedakan hal-hal
yang bersifat rahasia atau bukan," sambut Rara Kunti. "Jadi, aku sekarang sudah
berhak mengetahui pusaka peninggalan leluhur kita."
Adipati Subali mengangguk-anggukkan kepala.
"Apa yang kau katakan itu benar, Kunti! Sekarang kau boleh mengetahui rahasia
itu. Aku pun memang sudah ingin bicara padamu, karena keadaan sudah segawat ini.
Dan aku tidak ingin mati sebelum memberitahukan hal ini padamu"
"Apakah aku boleh mendengarnya, Kang?" selak Sagala.
"Karena kau adalah adik misanku, kau pun berhak mendengarnya, Adi," kata Adipati
Subali dengan suara pelan
"Nah! Sekarang dengarkan baik-baik"
Sagala dan Rara Kunti mulai memasang telinga baik-
baik. Raut wajah mereka menyiratkan perasaan ingin tahu yang amat sangat. Bahkan
karena khawatir ucapan Adipati Subali tidak terdengar, keduanya sampai menahan
napas tanpa sadar.
"Dulu, sebelum meninggal dunia kakek telah memberi sehelai surat wasiat pada
ayahku, Adi Sagala. Lalu, surat wasiat itu diberikan lagi oleh ayahku, kepadaku.
Tak lama kemudian ayahku meninggal dunia," Adipati Subali memulai ceritanya.
"Meskipun demikian, ayahku sempat ber-pesan agar keberadaan surat ini
diberitahukan pula pada adik laki-lakinya yaitu ayahmu, Adi. Maksudnya, kalau
aku tidak berhasil memecahkan rahasianya, ayahmu atau
keturunannya diharapkan bisa memecahkannya."
"Jadi...., pusaka peninggalan kakek hanya berupa sehelai surat?" tanya Sagala.
Adipati Subali merasakan adanya kekecewaan. Baik
dalam raut wajah mapun ucapan adik misannya ini.
"Memang hanya berupa sehelai surat, tapi surat rahasia!
Apabila berhasil dipecahkan maka akan ditemukan
pusaka-pusaka peninggalan kakek," jelas Adipati Subali.
"Kalau hanya untuk sehelai surat, lalu ayah sampai merelakan Kadipaten Blambang
dihancurkan sungguh
membuatku tidak habis pikir!" tukas Rara Kunti penuh kekecewaan.
Adipati Subali tersenyum pahit.
"Bukankah sudah kukatakan kalau di balik surat peninggalan itu tersimpan pusaka-
pusaka peninggalan kakek"!" sergah orang nomor satu Kadipaten Blambang ini,
cepat. "Apakah pusaka-pusaka peninggalan kakek buyutku, Ayah?" tanya Rara Kunti
setengah hati. "Kitab-kitab ilmu silat, pengobatan, senjata-senjata, dan berbagai macam," sahut
Adipati Subali cepat. "Kau tahu, Kunti. Puluhan tahun yang lalu, datuk-datuk
persilatan di empat penjuru mata angin telah mengadakan pertemuan untuk
menentukan, siapa yang lebih lihai di antara mereka semua! Keempat datuk itu
adalah tokoh tak terkalahkan di wilayah masing-masing. Meskipun demikian, mereka
belum puas. Dan ingin menjadi jago nomor satu di kolong langit dengan bekal
surat wasiat milik kakekku itu. Itulah sebabnya, mereka mengadakan pertemuan."
Adipati Subali menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Ini
merupakan kesempatan bagi Sagala dan Rara Kunti bila ingin mengajukan
pertanyaan. Tapi, ternyata keduanya itu sama sekali tidak bicara apa-apa. Baik
Sagala maupun Rara Kunti terlalu tertarik untuk mendengarkan cerita Adipati
Subali. "Masing-masing datuk pun lalu memilih lawan dan ber-tanding. Datuk Timur
bertarung melawan Datuk Barat. Dan Datuk Utara melawan Datuk Selatan," sambung
Adipati Subali lagi. "Pertarungan berlangsung alot, tanpa ada yang keluar
sebagai pemenang. Lalu, masing-masing pihak beristirahat untuk memulihkan
tenaga. Dan kemudian,
mereka memutuskan untuk melanjutkan pertarungan di tempat lain, di sebuah lereng
gunung. Kali ini satu sama lain menukar lawan"
Untuk yang kesekian kalinya Adipati Subali meng-
hentikan cerita. Dia tercenung mencari-cari kata yang tepat untuk meneruskan
kisahnya. Sementara, Sagala dan Rara Kunti mendengarkan dengan perasaan tidak
sabar. "Tapi sebelum pertarungan dilangsungkan, muncul seorang kakek yang mencegah
mereka agar tidak bertarung di situ. Kakek itu rupanya tahu kalau orang yang
akan bertarung adalah tokoh-tokoh sakti. Makanya dia berusaha mencegah, karena
khawatir sekitar tempat itu akan longsor. Padahal, dia tinggal di sekitar tempat
itu." "Kakek itu pasti kakek Ayah, kan?" tebak Rara Kunti tidak sabar menunggu Adipati
Subali menjelaskannya.
Laki-laki tinggi besar itu menganggukkan kepala.
"Benar. Namanya, Eyang Mandura." Jawab Adipati Subali. "Dan ketika Eyang Mandura
berusaha mencegah terjadinya pertarungan, empat datuk itu malah marah-marah.
Bahkan kakek malah diancam. Karena kesabarannya hilang, kakek pun meladeni
mereka. Satu demi satu, datuk-datuk itu dirobohkannya. Sehingga karena malu,
datuk-datuk itu pergi meninggalkan tempat itu."
"Ah! Luar biasa sekali kepandaian Eyang Mandura!"
pekik Rara Kunti kaget. "Apa julukannya, Ayah!"
"Kakek tidak mempunyai julukan, Kunti. Dia bertekad tidak ingin mencampuri
urusan dunia persilatan. Penduduk sekitar gunung itu hanya mengenalnya sebagai
ahli pengobatan," tutur Adipati Subali menutup ceritanya.
"Tapi, mengapa kepandaian yang kau miliki biasa-biasa saja, Kang"!" celetuk
Sagala, heran. "Ataukah ilmu datuk-datuk itu yang masih terlampau cetek?"
Adipati Subali menghembuskan napas berat.
"Kakek memang tidak mempunyai keturunan yang ber-bakat. Ayah sebagai keturunan
kakek, ternyata memiliki bakat yang amat mengecewakan. Dia hanya menerima
sebagian kecil dari ilmu-ilmu warisan kakek. Bahkan ilmu-ilmu andalan hampir
tidak ada yang didapatkannnya. Jadi, bisa kau perkirakan sendiri tingkat
kepandaianku. Karena, aku hanya belajar dari ayah."
"Mengapa Ayah tidak belajar dari buyut saja" Apakah buyut tidak mau mengajarimu"
Atau.... Ayah juga tidak memiliki bakat seperti kakek"!" tanya Rara Kunti
bertubi-tubi. "Kakek meninggal dunia karena usia tua sewaktu aku baru berusia tiga tahun.
Kalau aku tidak salah, kakek meninggal pada usia seratus sepuluh tahun. Dan
sebelum meng-hembuskan napasnya yang penghabisan, kakek
telah membuat surat wasiat untuk diberikan pada
keturunannya."
"Kalau begitu, datuk-datuk yang menjadi lawan kakek sekarang telah tidak ada
pula, Kang"!" tanya Sagala ingin tahu.
"Dua di antara mereka kudengar sudah meninggal, Adi.
Entah meninggalkan murid atau tidak. Sedangkan yang dua lagi, kudengar masih
hidup. Mungkin sekarang umur mereka telah mencapai delapan puluh tahun lebih.
Memang, kakek jauh lebih tua daripada datuk-datuk persilatan itu."
Suasana kontan hening ketika Adipati Subali meng-
hentikan cerita. Baik Rara Kunti, Sagala, maupun Adipati Subali tenggelam dalam
alunan pikiran masing-masing.
*** "Ayah lalu berusaha sekuat tenaga memecahkan teka-teki surat wasiat kakek.
Maksudnya, andaikata dia berhasil memecahkannya, keturunannya tinggal
mempelajarinya saja. Tapi usahanya ternyata sia-sia. Surat itu tetap ter-selimut
teka- teki. Aku pun meneruskan perjuangannya, tapi nihil juga."
"Kau gagal juga, Ayah?" tanya Rara Kunti.
Bodoh sekali sebenarnya pertanyaan itu. Kalau Adipati Subali berhasil, tak akan
mungkin memiliki tingkat kepandaian seperti itu. Dan Adipati Subali hanya
menganggukkan kepala saja. Secercah senyum getir tersungging di bibirnya.
"Bisa kau perlihatkan surat peninggalan kakek pada kami, Kang?" tanya Sagala
tiba-tiba. "Mengapa tidak, Adi. Bukankah kau dan Rara Kunti merupakan keturunan Eyang
Mandura pula" Barangkali saja kau atau Rara Kunti yang berhasil menemukan
rahasia itu!"
Adipati Subali segera membungkuk kemudian meng-
gulung celananya. Karuan saja tindakannya membuat Rara Kunti dan Sagala heran.
Tapi sesaat kemudian, perasaan itu pun lenyap ketika Adipati Subali mengambil
segulung surat yang terikat di betisnya.
Begitu tubuhnya tegak kembali, Adipati Subali segera mengulurkan gulungan surat
itu pada Sagala. Tapi mendadak....
"Aaakh...!"
Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti sampai berjingkat kaget ketika mendengar
jeritan menyayat dari seseorang yang tengah menerima ajal itu. Apalagi ketika
mereka mengenali jeritan itu. Jeritan Menggala, salah seorang prajurit Kadipaten
Blambang. "Sagala! Rara Kunti! Tunggu di sini! Atur penjagaan! Biar aku yang akan melihat
sendiri, apa yang telah menimpa-nya!"
Seiring keluarnya ucapan itu, Adipati Subali melesat cepat ke depan. Gerakannya
cepat juga. Sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kuning yang
melesat cepat menuju asal teriakan tadi.
Sambil terus berlari, Adipati Subali mengulurkan tangan mencabut pedangnya.
Meskipun jeritan yang terdengar hanya sekali tapi cukup membuat Adipati
Kadipaten Blambang mengetahui asalnya. Dan kini, larinya kian dipercepat menuju arah asal
suara. Crasss! Semak-semak kontan berhamburan ketika laki-laki
tinggi besar yang tengah kalap ini membabatkan pedangnya. Memang, Adipati Subali
yakin kalau jeritan tadi keluar dari balik semak-semak ini.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya Adipati Subali
ketika tidak menemukan adanya mayat Menggala di situ.
Bahkan tidak nampak noda-noda darah di sekitar situ.
Sinar bulan yang cukup terang membantu laki-laki tinggi besar ini, tidak dapat
membantu melihat pencariannya.
Tapi Adipati Subali tidak langsung percaya begitu saja.
Meskipun mayat Menggala tidak ditemukan, dia tidak putus asa. Segera
pandangannya beredar ke sekeliling, meneliti keadaan sekitarnya. Paling tidak,
dia harus mendapatkan tanda-tanda kalau di tempat itu telah terjadi pembunuhan.
Tanah, semak-semak, dan dedaunan pun tidak luput
dari sasaran perhatian Adipati Subali. Dan perasaan heran pun merayap di hati,
ketika tidak juga menemukan tanda-tandanya! Mungkinkah dia salah tempat"
Mungkinkah Menggala tidak dibunuh, melainkan diculik" Tapi kalau diculik, mengapa harus
melolong seperti itu"! Berbagai macam pertanyaan bergayut di benak Adipati
Subali. Tengkuk Adipati Subali mendadak dingin ketika
telinganya mendengar jeritan lagi. Tapi kali ini, berasal dari tempat yang
ditinggalkannya! Hanya saja, jeritan kali ini terdengar pendek, tidak panjang
seperti tadi. Sebagai seorang bekas panglima perang, Adipati Subali tahu kalau rombongannya
telah diserbu. Namun serangan itu tampaknya tidak ingin diketahui olehnya.
Menyerang secara diam-diam, sementara Adipati Subali tengah lengah.
Buktinya para penyerang itu membungkam teriakan salah seorang prajurit Kadipaten
Blambang! Kegelisahan kini menghantui hati Adipati Subali.
Disadari kalau dirinya telah terpancing. Lawan yang tengah bersembunyi, menunggu
saat-saat yang tepat. Dan begitu Adipati Subali menjauhi rombongannya, lawan
langsung menyerang anggota-anggota rombongan itu.
Karena kekhawatiran yang amat sangat akan
keselamatan anggota rombongannya, Adipati Subali berlari seperti orang gila!
Laki-laki tinggi besar ini berlari tanpa mempedulikan apa yang ada di depannya.
Semua yang menghalangi jalannya langsung diterabas. Semak-semak lebat langsung
diterabasnya. Sedangkan semak-semak berduri dipangkas dulu dengan pedangnya
sebelum diterjang. *** Adipati Subali begitu geram ketika melihat Rara Kunti dan Sagala tengah
dikeroyok orang-orang berpakaian serba hitam. Sementara beberapa sosok tubuh
telah bergeletakan di tanah, mandi darah. Hatinya jadi geram juga ketika tidak
mendapati prajurit-prajurit Kadipaten Blambang yang lainnya. Ke manakah perginya
belasan orang prajurit Kadipaten Blambang"
Adipati Subali terus melesat ke arah pertarungan. Dan begitu tiba di tempat
Sagala dan Rara Kunti, dia segera membantu menghadapi lawan. Dan rupanya
kehadirannya memang telah diketahui orang-orang berpakaian serba hitam itu.
Terbukti tiga dari tujuh orang pengeroyok Sagala dan Rara Kunti, melompat
menjauhi pertarungan.
"Hup!"
Begitu menjejak tanah, tangan-tangan kanan mereka
bergerak mengayun.
Wusss, wuttt, wuttt!
Tiga buah benda berbentuk bulat sebesar telur bebek meluncur ke arah Adipati
Subali yang tengah membantu Sagala dan Rara Kunti. Dan pada saat yang bersamaan,
empat orang pengeroyok Rara Kunti dan Sagala juga
berbuat yang sama!
Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti bergegas
melompat menjauh. Tindakan ketiga orang itu ternyata tepat, karena.....
Darrr, darrr, darrr!
Ledakan keras terdengar ketika benda-benda bulat itu menghantam tanah. Asap
tebal dan hitam kontan
mengepul. Mau tidak mau hal ini membuat Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti
tidak bisa melihat apa-apa. Yang terlihat kini hanyalah gumpalan asap hitam. Dan
tanpa diketahui mereka, orang-orang berpakaian serba hitam itu cepat melesat
kabur. Adipati Subali yang merasa tidak sabar menunggu asap itu terusir, segera
mendorong-dorongkan tangannya. Rupanya dia bermaksud mengusir asap itu dengan
Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengerahan tenaga dalamnya.
Wusss! Hembusan angin yang cukup keras timbul dari gerakan mendorong yang dilakukan
Adipati Subali berkali-kali. Dan ternyata, usaha laki-laki tinggi besar ini sama
sekali tidak sia- sia. Kini asap yang menghalangi pandangannya lenyap.
Seiring lenyapnya tabir asap hitam itu, lawan-lawannya ternyata telah lenyap
dari situ. Jelas, mereka menggunakan tabir asap untuk memudahkan kabur.
Adipati Subali sadar, kini tidak ada yang bisa dilakukannya lagi. Orang-orang
berseragam hitam itu memang sudah tidak ada lagi. Dan dia tidak tahu, ke mana
arah yang mereka tempuh. Maka perhatiannya dipalingkan buru-buru pada Sagala dan
Rara Kunti. Untung mereka belum celaka!
Hanya Sagala yang menderita luka kecil pada bahunya yang tersayat.
"Apa yang terjadi, Adi Sagala"!" tanya Adipati Subali bergetar karena menahan
perasaan. Seiring keluarnya pertanyaan itu, laki-laki tinggi besar itu mengedarkan
pandangan berkeliling. Tampak tubuh-tubuh pengawal Kadipaten Blambang berserakan
di tanah. Jelas, mereka semua telah tewas!
"Hhh...!" Sagala menghela napas berat. "Sepeninggalmu, muncul belasan orang
berseragam hitam-hitam menyerbu kami, Kang. Mereka berkepandaian cukup tinggi.
Dalam beberapa gebrakan saja, pengawal-pengawal kita
berguguran. Bahkan aku dan Rara Kunti dibuat tidak berdaya. Kami menghadapi
keroyokan beberapa orang
seperti yang kau lihat. Kelihatan mereka membuat kami tidak sempat memperhatikan
yang lain-lain. Dan...
"Ah...!"
Adipati Subali menjerit keras seraya melesat ke arah kereta. Ucapan Sagala
mengingatkannya pada istri dan dayang-dayang kadipaten yang berada di dalam
kereta. Memang berbeda dengan adipati lainnya, Adipati Subali tidak mempunyai gundik.
Tapi lesatannya langsung terhenti ketika melihat apa yang ada di hadapannya.
Daun pintu kereta tampak telah lepas dari engselnya. Dan tepat di pintu kereta,
terjuntai sesosok mayat wanita!
"Marni...!"
Setelah beberapa saat mulutnya berkemak-kemik tanpa ada sepatah kata pun,
akhirnya keluar juga jeritan dari mulut Adipati Subali.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Adipati Subali!
Sebelum gema teriakannya lenyap, tubuhnya telah melesat ke arah sosok tubuh
wanita yang terjuntai di pintu kereta.
"Marni..., ahhh... Marni...!" ratap Adipati Subali ketika telah berjongkok di
depat mayat wanita yang tak lain dari istrinya.
Memang tidak ada air mata yang keluar dari matanya.
Bekas Panglima Kerajaan Sewu ini. Meskipun demikian rasa sedih yang menggelegak
jelas mengguncang hatinya juga. Berkali-kali Adipati Subali mengepal dan membuka
genggaman jemari tangannya, seraya menarik napas
panjang dan dihembuskannya. Tampak jelas kalau Adipati Kadipaten Blambang ini
tengah menenangkan hatinya.
"Ibu...!"
Terdengar jeritan melengking nyaring. Rupanya jeritan seorang wanita. Tanpa
menoleh pun Adipati Subali tahu, orang yang telah menjerit itu adalah putrinya,
Rara Kunti! Sekejap kemudian, Rara Kunti telah berada di sebelah Adipati Subali. Gadis
berpakaian hitam ini langsung bersimpuh. Sepasang matanya menatap ke arah mayat
ibunya. Akhirnya, Adipati Subali berhasil meredakan perasaan sedihnya. Dan kini dia
bangkit berdiri, seraya menepuk-nepuk pundak Rara Kunti.
"Hentikan semua kecengengan itu, Kunti!" ujar Adipati Subali.
Bekas Panglima Kerajaan Sewu ini bermaksud untuk
mengambil sikap wibawa. Tapi, tetap saja suaranya masih terdengar serak. Jelas,
kesedihan belum bisa sepenuhnya dihilangkan.
Rara Kunti menghentikan tangisnya. Dengan kedua
bahu masih terguncang-guncang, dia bangkit berdiri.
Kedua belah pipinya yang putih, halus, dan mulut tampak masih dibasahi air mata.
"Biarkan Kunti menyelesaikan tangisnya dulu, Kang. Biar rasa sesak di dadanya
hilang. Tangis merupakan sebuah obat yang mujarab untuk menghilangkan rasa sedih
yang menggelegak buat seorang wanita," Sagala yang ikut melangkah menghampiri,
segera angkat suara.
Adipati Subali tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kali ini gadis berambut digelung
itu tidak dilarang menangis lagi.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kang"!" tanya Sagala lagi.
"Terus melanjutkan perjalanan," sahut Adipati Subali cepat "O, ya. Kau juga
harus segera memecahkan rahasia yang tersembunyi di dalam surat peninggalan
kakek, Sagala."
"Baik Kang. Tapi, sebaiknya kita kuburkan mayat-mayat ini dulu."
Tak lama kemudian, rombongan Kadipaten Blambang
yang kini tinggal tiga orang kembali melanjutkan perjalanan. Mayat-mayat para
korban telah dikuburkan. Dan sebelum berangkat Adipati Subali sempat bersumpah
di depan kubur istrinya, untuk mencari orang-orang
berpakaian hitam itu sekaligus memusnahkannya.
Malam telah mendekati pagi. Satu-satu mulai terdengar keruyuk ayam hutan di
kejauhan. Tampaknya, sebentar lagi pagi akan tiba. Sang surya akan timbul dan
kehidupan baru dimulai kembali.
*** 3 Sang surya muncul di ufuk Timur. Sinarnya merah
membara, namun tidak menyilaukan mata. Kicau riang burung mengiringi langkah
tiga sosok tubuh keluar dari dalam Hutan Maung. Dan kini, mereka berhadapan
dengan padang ilalang yang cukup luas. Untungnya ilalang itu hanya sebatas
betis, sehingga tidak mengganggu
pemandangannya.
Semua orang itu berpakaian indah. Tampaknya mereka berasal dari golongan orang
berada. Dua di antara mereka adalah laki-laki yang telah berusia empat puluhan.
Sedangkan yang seorang lagi adalah seorang gadis dengan rambut digelung. Dan
mereka memang Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti!
Beberapa tindak sebelum melintasi padang ilalang itu Sagala, Rara Kunti, dan
Adipati Subali tiba-tiba menghentikan langkah. Pandangan mata mereka tertuju
lurus ke depan, begitu sekitar empat tombak di depan tertancap sebuah tongkat
berwarna hitam kelam. Pada bagian atas tongkat, berkibar secarik kain berbentuk
persegi berwama merah menyala. Gambar sebuah peti mati berwama hitam tampak pada
kain itu. Tampak jelas Adipati Subali, Rara Kunti, dan Sagala terkejut bukan kepalang
melihatnya. Raut wajah mereka menampakkan gambaran perasaan terkejut yang nyata.
"Benarkah Iblis Mayat Hidup berada di sini?" desis Adipati Subali. Suaranya
terdengar bergetar karena perasaan tegang yang melanda.
Sagala dan Rara Kunti menoleh. Tanpa dijelaskan pun keduanya tahu kalau tokoh
yang berjuluk Iblis Mayat Hidup itu adalah seorang datuk kaum sesat yang merajai
wilayah Utara! Dan dia juga salah satu dari empat datuk yang menguasai rimba
persilatan. "Kau mengenalnya Kang?" tanya Sagala, pelan suaranya. Sementara Rara Kunti hanya
diam mendengarkan.
"Mengenalnya sih, tidak. Aku hanya mendengar
ceritanya saja. Dan perlu kau tahu, Sagala. Iblis Mayat Hidup adalah salah satu
dari empat datuk sesat yang dikalahkan kakek kita puluhan tahun lalu." jelas
Adipati Subali.
"Ah...!" desis Sagala dan Rara Kunti kaget.
Bagai diperintah kedua orang itu saling berpandangan.
Tarikan wajah-wajah mereka menampakkan perasaan
kaget. Mereka memang pernah mendengar tentang sepak terjang tokoh lblis Mayat
Hidup itu. Tapi sungguh tak disangka, kalau tokoh itu ternyata salah satu dari
empat datuk yang pernah dikalahkan leluhur mereka.
"Jadi.., datuk-datuk sesat yang dikalahkan kakek adalah datuk-datuk sesat yang
masih merajai dunia persilatan sekarang ini, Kang?" tanya laki laki tinggi kurus
setengah tak percaya.
Adipati Subali hanya menganggukkan kepala, sementara sepasang matanya beredar
mengawasi sekeliling.
"Kalau begitu..., bisa kuperkirakan betapa tingginya kepandaian yang dimiliki
kakek..," desah Sagala penuh perasaan kagum. "Tapi, Kang...."
"Ssst..!"
Adipati Subali buru-buru memberi isyarat agar Sagala diam.
"Aku kahwatir, berita mengenai surat rahasia ini telah tersebar luas, Sagala.
Kalau tidak, Iblis Mayat Hidup tak mungkin kemari. Tempat tinggalnya terlalu
jauh dari sini.
Dia tinggal di Utara. Sedangkan kita berada di Selatan.
Kutakutkan, bukan hanya dia saja yang muncul. Tapi juga satu datuk lainnya...."
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba suara tawa keras menggelegar membuat
Adipati Subali menghentikan ucapannya. Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti
terkejut bukan kepalang. Seketika perasaan tegang menyelimuti hati mereka semua.
Benarkah Iblis Mayat Hidup yang akan datang"
Dengan jantung berdetak kencang, mereka menunggu
keluarnya si pemilik suara tawa. Tapi sampai lama
menunggu, tidak juga ada tanda-tanda kemunculannya.
Maka ketiga orang itu pun mencoba mengira-ngira tempat keberadaan pemiliknya.
Namun ternyata sia-sia. Suara tawa itu seperti berasal dari delapan penjuru.
Betapapun Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti telah mengerahkan seluruh
kemampuannya, namun tetap saja tidak mengetahuinya. Tubuh ketiga orang itu
sampai-sampai terputar-putar karena ingin bisa mendengar lebih jelas. Tapi,
tetap saja sia-sia.
"Aku tidak bisa memperkirakan, dari mana asal suara tawa ini, Kang," kata Sagala
masih terus berputar-putar.
"Iblis itu pasti menggunakan ilmu istimewanya dalam suara tawa ini," Jawab
Adipati Subali. "Tidak ada gunanya kita bertindak seperti ini. Lebih baik, diam
menunggu. Aku yakin iblis itu akan datang menemui kita."
Sagala dan Rara Kunti menyadari ada kebenaran juga dalam ucapan bekas orang
nomor satu Kadipaten
Blambang itu. Maka keduanya ikut berdiri menunggu.
"Kakek menceritakan pada Ayah mengenai ilmu-ilmu andalan yang dimiliki empat
datuk itu. Aku yakin, Iblis Mayat Hidup menggukan dasar ilmu andalan dalam
pengerahan tawanya," jelas Adipati Subali lagi.
"Aku belum mengerti maksudmu, Kang," ujar Sagala jujur.
Rara Kunti pun menganggukkan kepala.
Adipati Subali menatap adik misan dan anak
kandungnya sejenak.
"Iblis Mayat Hidup memiliki sebuah ilmu yang bernama
'Tangan Delapan Penjuru Angin'. Apabila ilmu itu digunakan lawan yang
menghadapinya seakan-akan mendapat
tekanan dari delapan arah. Nah! Aku yakin, dasar ilmu
'Tangan Delapan Penjuru Angin' digunakannya dalam
tawanya. Buktinya, kita merasakan kalau suara tawa itu sepertinya berasal dari
semua arah!"
Rara Kunti dan Sagala menganggukkan kepala.
"Lalu, mengapa iblis itu mencegat perjalanan kita.
Ayah?" tanya Rara Kunti, ingin tahu.
"Mana aku tahu," Jawab Adipati Subali sambil mengangkat bahu. "Mungkin saja juga
berminat merampas surat wasiat peninggalan kakek."
"Kalau begitu, berbahaya sekali," celetuk Rara Kunti, tanpa menyembunyikan
perasaan takutnya.
Adipati Subali dan Sagala sama sekali tidak
menyambutinya. Tapi meskipun demikian, bisa diketahui kalau mereka membenarkan
ucapan gadis berpakaian
hitam itu. Tarikan wajah dan sikap mereka menjadi
jawabannya. *** Mendadak suara tawa itu lenyap. Dan seketika itu pula, perasaan tegang
menyelimuti hati Adipati Subali, Rara Kunti, dan Sagala. Bisa diduga,
berhentinya suara tawa itu menjadi pertanda kalau orang yang diyakini sebagai
Iblis Mayat Hidup akan segera keluar dari sarangnya.
Dugaan ketiga orang itu ternyata tidak keliru. Sesaat kemudian, berkelebat
sesosok bayangan. Cepat bukan main gerakannya, sehingga tidak terlihat jelas
bentuknya. Yang terlihat hanyalah sekelebat bayangan merah, dan tahu-tahu hinggap di
sebelah tongkat berlambang peti mati itu. Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti
menatap sosok bayangan merah yang baru tiba itu lekat-lekat. Dan seketika,
sepasang mata mereka terbelalak. Sorot ketiga pasang mata itu memancarkan
keterkejutan, tapi juga kelegaan. Betapa tidak" Semula dikira di depan mereka
akan berdiri sesosok tubuh ringkih seorang kakek. Tapi ternyata dugaan itu
keliru! Di sebelah tongkat berlambang peti mati itu berdiri seorang pemuda bertubuh
kurus. Wajahnya tampan, tapi sayang terlihat pucat seperti orang penyakitan.
Pakaiannya yang berwama merah menyala dan gambar peti mati besar pada bagian
dada, semakin menambah kepucatan wajahnya. Di tangannya tampak tergenggam
sebatang cangkul!
"Siapa di antara kalian yang menjadi keturunan si keparat Eyang Mandura"!" tanya
pemuda berwajah pucat itu bemada mengancam.
Sambil berkata demikian, pemuda kurus itu
mengedarkan pandangan berkeliling. Ditatapnya wajah Adipati Subali, Rara Kunti,
dan Sagala satu persatu.
Seakan-akan ketiga orang yang menjadi turunan Eyang Mandura tengah dinilainya.
Kontan wajah Adipati Subali merah padam. Sepasang
matanya pun berkilat-kilat. Tampak jelas, laki-laki tinggi besar ini marah bukan
kepalang. Kakeknya dihina, siapa yang tidak menjadi marah" Dengan yang langkah
lebar-lebar dia maju ke depan.
"Aku! Akulah yang menjadi keturunan Eyang Mandura!
Tokoh sakti yang telah menumbangkan kesombongan Iblis Mayat Hidup! Siapa kau,
Orang Sakti"!" sahut Adipati Subali tak kalah kasar.
"Ha ha ha...! Kebetulan sekali sudah lama sekali aku ingin membuktikan
kepandaian si keparat Eyang Mandura.
Tak kusangka, aku akan bertemu keturunannya di sini! Hei, Brewok Jelek!
Ketahuilah! Aku adalah Jaranta putra tunggal Iblis Mayat Hidup, kekalahan ayahku
dulu karena terlalu mengalah! Nah! Sekarang, mari kita buktikan kenyataannya!"
Adipati Subali menggertakkan giginya menahan geram.
Untuk pertama kalinya dia menyesali diri, mengapa dulu tidak mewarisi ilmu-ilmu
kakeknya. Padahal, di depannya telah berdiri orang yang mengajaknya bertarung.
Dan bahkan lawan itu adalah keturunan orang yang telah dirobohkan kakeknya.
Meskipun sudah bisa menduga kalau Jaranta memiliki tingkat kepandaian yang jauh
di atasnya, Adipati Subali tidak gentar. Demi membela nama baik kakeknya, dia
rela mati di tangan lawannya. Maka dihampirinya Jaranta.
Baik Jaranta maupun Adipati Subali sama-sama meng-
hentikan langkah ketika telah berjarak kurang dari tiga tombak. Keduanya saling
pandangan sejenak. Mendadak...
"Haaat...!"
Diiringi suara keras melengking nyaring, Jaranta
menyerang Adipati Subali. Pemuda berwajah pucat ini membuka serangannya dengan
sebuah cengkeraman
tangan bertubi-tubi ke arah leher dan ulu hati.
Wut, wut! Suara berkesiutan nyaring mengiringi serangan Jaranta.
Hal ini menjadi pertanda kalau serangan itu dilakukan disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Adipati Subali paham kalau serangan yang dibuka
lawannya sangat berbahaya. Bukan hanya serangannya saja yang berbahaya, tapi
juga bagian yang akan dijadikan sasaran. Ternyata Jaranta lebih memilih bagian-
bagian yang mematikan. Kalau sampai terkena, Adipati Subali akan celaka!
Dan belum Juga Adipati Subali sempat berbuat sesuatu, terasakan ada sebuah
kekuatan tak nampak yang meng-gencet tubuhnya dari berbagai penjuru. Kuat sekali
tenaga yang menekan, sehingga membuat dada laki-laki tinggi besar ini terasa
sesak bukan kepalang. Dan seiring semakin mendekatnya serangan Jaranta, kekuatan
tak nampak yang menekan dadanya semakin membesar pula.
Betapapun seluruh kemampuannya telah dikerahkan untuk membebaskan diri dari
tekanan itu, tapi tetap saja tidak mampu. Kini yang dapat dilakukan Adipati
Subali hanyalah menunggu datangnya sang Maut!
Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adipati Subali pun sadar kalau kekuatan tak nampak yang menekannya dari berbagai
penjuru adalah akibat serangan lawannya. Dan seketika itu pula, dia teringat.
Ya! Jaranta pasti menggunakan ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'! Ilmu yang menjadi
andalan Datuk Utara, ayahnya.
Selama ini, Adipati Subali hanya mendengar cerita
tentang kehebatan Ilmu 'Tangan Delapan Penjuru'. Dan dia sama sekali belum
pernah membuktikannya. Sama sekali tidak disangka kalau akan sedahsyat ini!
Belum apa-apa, dia sudah dlbuat tidak berdaya. Tubuhnya bagaikan tengah digencet
kekuatan raksasa!
Memang dahsyat ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'!
Orang yang mempunyai kekuatan tenaga dalam rendah
akan celaka. Karena sewaktu ilmu ini dipergunakan untuk menyerang, sebelum
serangan itu sendiri tiba akan muncul sebuah kekuatan maha dahsyat yang menekan
lawan dari segala penjuru. Akibatnya, lawan akan sukar untuk
mengelak, hingga menjadi sasaran serangan pemakai ilmu
'Tangan Delapan Penjuru Angin'!
Kini sudah dapat diperkirakan nasib yang akan
menimpa Adipati Subali. Dia akan tewas di tangan Jaranta.
Bahkan putra Iblis Mayat Hidup itu sudah terrawa bergelak, karena yakin
serangannya akan mengenai sasaran dengan tepat.
Di saat yang gawat bagi keselamatan Adipati Subali, melesat sesosok bayangan
ungu ke arah kancah pertarungan. Lalu bayangan itu langsung memapak serangan
yang tengah dilancarkan Jaranta.
Plak plak...! Suara berderak keras terdengar berkali-kali ketika Jaranta mengalihkan serangan
ke arah bayangan yang hendak memapaknya. Akibatnya dahsyat sekali, tubuh Jaranta
kontan terhuyung-huyung ke belakang. Hampir saja, putra Iblis Mayat Hidup ini
terjengkang kalau tidak segera mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya
terhuyung-huyung.
Sementara itu, sosok bayangan ungu itu pun terpental balik ke atas! Tapi dengan
sebuah salto yang indah, kekuatan yang melontarkannya berhasil dipatahkan. Tidak
hanya itu saja yang dilakukannya. Sambil berjumpalitan di udara, disambarnya
tangan Adipati Subali.
Tappp! "Hup!"
Ringan laksana daun kering jatuh ke tanah, sosok
bayangan ungu itu mendaratkan kedua kakinya di tanah.
Menyingkirlah, Kisanak. Dia terlalu lihai untukmu," ujar sosok bayangan ungu itu
pada Adipati Subali.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," ucap orang nomor satu Kadipaten
Blambang sambil menatap wajah penolongnya.
Hanya sekilas saja Adipati Subali menatap wajah
penolongnya, lalu menghampiri Sagala dan Rara Kunti.
Adipati Subali bukan orang bodoh! Dia tahu, Jaranta terlalu sakti untuk dirinya.
Bila terus mengadakan perlawanan sama dengan mencari mati!
*** Jaranta menatap penolong Adipati Subali dengan wajah beringas. Sepasang matanya
memancarkan hawa
kematian. Dia benar-benar murka, karena sudah hampir berhasil menamatkan riwayat
Adipati Subali tapi ternyata gagal. Tentu saja pemuda berwajah pucat ini jadi
kalap ketika mengetahui ada orang yang telah menolongnya.
Kekalapannya bertambah ketika mengetahui tangkisan penolong Adipati Subali
membuat tubuhnya terhuyung-huyung dengan tangan sakit-sakit.
Sosok bayangan ungu itu yang menolong Adipati Subali ternyata seorang pemuda
tampan berusia sekitar dua puluh tahun. Pakaiannya berwarna ungu, membalut
tubuhnya yang tegap dan kekar. Rambutnya berwama
putih keperakan dan meriap sampai ke punggung. Bahkan sebagian rambutnya sampai
menutupi sebuah guci perak yang tersampir di punggung.
"Siapa kau, Keparat"!" benrak Jaranta setelah puas memperhatikan sosok yang
berdiri di hadapannya.
Ada kernyitan pada dahi Jaranta. Dan itu tercipta ketika memandang wama rambut
penolong Adipati Subali. Aneh sekali warna rambut pemuda berpakaian ungu itu!
"Namaku Arya. Dan kau siapa, Biang Keparat"!" pemuda berpakaian ungu itu balas
bertanya. Jaranta mengangguk-anggukkan kepala.
"Kini aku tahu, mengapa kau mempunyai sikap begitu sombong! Bukankah nama
lengkapmu adalah Arya
Buana"! Hm, jadi kau yang berjuluk Dewa Arak itu?" tebak pemuda berwajah pucat
disertai senyum sinis yang tersungging di bibir.
"Dugaanmu sama sekali tidak salah, Kisanak!" kalem sambutan Arya
"Ha... ha... ha...!"
Jaranta tertawa bergelak-gelak.
Tentu saja kelakuan putra Iblis Mayat Hidup itu membuat semua orang yang berada
di situ jadi terkejut bercampur heran. Mengapa Jaranta malah tertawa-tawa"
Gilakah dia"! Kini mereka semua menatap wajah Jaranta dengan dahi berkernyit.
"'Sudah lama kudengar nama besarmu. Dewa Arak! Dan sudah lama pula aku ingin
bertemu denganmu! Aku ingin tahu, apakah gema kebesaran julukanmu sebanding
kepandaian yang kau miliki"! Bersaplah kau, Dewa Arak"!"
Dewa Arak tersenyum hambar.
"Sayang sekali, Kisanak. Aku tidak suka bertarung tanpa alasan kuat," tolak Arya
sambil menggelengkan kepala.
"Kau bilang tidak mempunyai alasan, Dewa Arak"!"
sergah Jaranta dengan sepasang mata membelalak lebar.
"Apakah tindakan yang barusan kau lakukan tidak bisa dianggap sebagai alasan"!
Kau telah mencapuri urusanku, Dewa Arak! Itulah alasannya!"
Kembali Dewa Arak menggelengkan kepala.
"Itu lain, Kisanak! Aku hanya bermaksud menyelamatkan nyawa orang yang tengah
terancam. Lain tidak!"
Jaranta menggeram. Dia kehabisan akal untuk me-
maksa Arya bertarung.
"Kalau begitu, menyingkirlah dari situ, Dewa Pengecut!"
perintah Jaranta keras.
"Mengapa kau menyuruhku menyingkir dari sini, Kisanak"!" Arya masih mencoba
bersabar. "Aku ingin membunuh keturunan si keparat Eyang Mandura!"
"Sayang sekali. Kalau itu maksudmu, terpaksa aku tidak bisa menyingkir dari
sini." kalem ucapan yang keluar dari mulut Arya.
Arya mengambil keputusan untuk bertarung dengan
Jaranta. Hal itu karena didorong beberapa alasan. Satu di antaranya karena orang
di hadapannya hendak membunuh. Dan Arya sadar kalau yang dihadapinya ternyata
berpakaian seperti Iblis Mayat Hidup, seorang datuk sesat yang amat kejam. Jadi,
paling tidak pemuda berwajah pucat itu punya hubungan dekat dengan Iblis Mayat
Hidup. Dan Dewa Arak tahu, kalau Iblis Mayat Hidup adalah tokoh yang amat kejam dalam
rimba persilatan.
"Kalau begitu, kau dulu yang harus kusingkirkan, Dewa Arak!" seru Jaranta,
keras. Usai berkata demikian, Jaranta bersiap-siap melancarkan serangan. Tahu kalau
yang yang dihadapinya kali ini adalah lawan tangguh, Jaranta tidak ingin
bertindak main-main.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras, Jaranta menerjang Dewa Arak.
Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar
meluncur berbareng ke arah dada.
Cit, cit! Suara mencicit nyaring mengiringi tibanya serangan itu.
Sementara, Dewa Arak tahu, kalau ada kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam
serangan lawan.
"Heh..."!"
Dewa Arak tersentak ketika merasa ada kekuatan tak nampak yang menekan tubuhnya
dari berbagai penjuru.
Begitu kuat tekanannya, sehingga membuat dadanya
terasa sesak. Dan seiring semakin mendekat serangan Jaranta, kekuatan tak nampak
itu semakin kuat menekan.
Pemuda berambat putih keperakan itu sadar, mengapa Adipati Subali sama sekali
tidak menghindar meskipun serangan Jaranta hampir mengenai sasaran. Rupanya,
laki-laki tinggi besar itu terhimpit tenaga yang menekan, sehingga tidak bisa
mampu bergerak.
Tapi tentu saja hal yang dialami Adipati Subali tidak terus menerus menimpa Dewa
Arak. Sekali pemuda
berambut putih keperakan itu mengerahkan tenaga dalam, kekuatan yang menekannya
pun sirna. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi dipapaknya serangan yang mengancam
dada. Prakkk! "Akh!"
Jaranta memekik kesakitan. Tangannya kontan terasa sakit-sakit. Bahkan,
tubuhnyapun terhuyung tiga langkah ke belakang. Sementara, Dewa Arak hanya
terhuyung satu langkah. Jelas, tenaga dalam putra Iblis Mayat Hidup masih di
bawah Dewa Arak.
Jaranta menggeram keras. Dia sama sekali tidak pemah mimpi akan mengalami
kejadian seperti ini. Terhuyung-huyung dalam benturan tenaga dalam, melawan
seorang pemuda. Sekali pun orang itu Dewa Arak, dia tidak sudi hal itu terjadi.
Jaranta adalah putra tunggal Iblis Mayat Hidup!
Jadi, pantang baginya disaingi orang. Apalagi dikalahkan.
Perasaan geram bercampur penasaran membuat
Jaranta mengambil keputusan untuk melancarkan
serangan susulan. Tapi sebelum hal itu dilakukannya, mendadak....
"He... he... he... ho... ho... ho... hi... hi... hi...!"
Sebuah tawa aneh membuat Jaranta menghentikan
gerakan. Menilik dari gerakan yang terhenti tiba-tiba, bisa diperkirakan kalau
Jaranta merasa terkejut bukan
kepalang. Bahkan dia melangkah mundur setindak. Kepalanya,
langsung menoleh ke arah asal suara tawa aneh itu terdengar.
Krosek! Ilalang dan semak-semak yang berada di sebelah kiri berkerosakan. Sesaat
kemudian, muncul seorang pemuda berkepala botak. Tubuhnya pendek gemuk. Perutnya
yang buncit terlihat jelas, karena tidak mengenakan pakaian kecuali sebuah
celana pendek. Masih dengan tawa aneh yang tidak putus-putus
pemuda berkepala botak ini melesat ke arah Jaranta dan Arya. Sementara Adipati
Subali, Sagala, dan Rara Kunti yang agak jauh dari situ hanya memperhatikan saja
kehadiran sosok berkepala botak itu.
Gerakan sosok berkepala botak itu terlihat lucu bukan main. Karena gerakannya
seperti tidak tengah berlari, melainkan menggelinding!
Arya terkejut ketika memperhatikan wajah Jaranta,
Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti satu persatu.
Tampak wajah mereka berubah menegang ketika melihat kedatangan pemuda berkepala
botak itu. Siapakah
sebenarnya pemuda itu"
*** 4 Adipati Subali rupanya mengetahui perasaan yang bergolak di hati Dewa Arak.
Buktinya, segera dihampirinya pemuda berambut putih keperakan itu.
"Suara tawa itu hanya dipunyai seorang datuk kaum sesat wilayah Barat. Namanya
Setan Gila, Dewa Arak." jelas laki-laki tinggi besar itu.
Dan sebenarnya, Adipati Subali sungguh-sungguh tidak menyangka kalau akan bisa
bertemu Dewa Arak! Tokoh muda aliran putih yang julukannya sudah lama didengar-
nya. Terus terang, Dewa Arak adalah pendekar yang amat dikaguminya. Tadi ketika
melihatnya, Adipati Subali merasa ragu. Tapi, akhirnya dia baru percaya ketika
Jantara menerka, dan Arya tidak membantahnya. Perasaan yang sama pun bersemayam
di hati Rara Kunti dan Sagala.
Sementara itu, Arya mengangguk-anggukkan kepala
ketika mendengar penjelasan Adipati Subali. Julukan Setan Gila telah didengar.
Dia adalah seorang datuk sesat yang memiliki tingkat kepandaian sejajar dengan
Iblis Mayat Hidup.
Tapi menilik dari keadaannya, Arya tahu kalau pemuda berkepala botak ini bukan
datuk sesat yang menggiriskan itu. Jadi paling tidak kalau bukan anak, pasti
muridnya. "Cihuiii...!"
Pemuda berkepala botak berseru nyaring. Begitu larinya dihentikan, tubuhnya
langsung berbalik. Dan seketika, dia mengunjukkan pantatnya. Sesaat kemudian....
Dut! Bunyi cukup keras keluar dari pantat pemuda cebol itu.
Apalagi kalau kentut, atau angin yang berbau busuk itu"
Bagai diperintah, semua yang berada di situ melangkah mundur sambil menutupi
lubang hidung, untuk mencegah hawa busuk dari angin keras yang keluar lewat
pantat pemuda berkepala botak itu.
"Ha... ha... ha... ho... ho... ho... hi... hi... hi...! Bagaimana bunyi
siulanku"! Merdu, bukan"!"
Pemuda berperut gendut itu kembali tertawa-tawa, dan terlihat gembira sekali.
Perutnya yang buncitpun sampai terguncang-guncang. Masih belum puas juga, maka
tubuhnya langsung dijatuhkan ke tanah dan berguling-gullngan.
"Keparat'"
Jantara yang paling berangasan di antara mereka berteriak memaki. Dia murka
bukan kepalang mendapat per-lakuan seperti itu dari pemuda berkepala botak yang
diduga mempunyai hubungan dengan Setan Gila.
"Hi... hi... hi...! Lucu.. ! Lucu sekali!"
Tiba-tiba terdengar lagi sebuah seruan melengking
tinggi. Jelas seruan itu keluar dari mulut seorang wanita.
Serentak semua kepala menoleh ke arah sebuah bayangan yang berkelebatan sambil
memperdengarkan suara tawanya. Dan hebatnya akibat yang ditimbulkan suara itu
membuat telinga semua orang yang berada di situ seperti ditusuk-tusuk. Sangat
sakit! Tampak sesosok tubuh ramping berpakaian serba putih telah berdiri di sebelah
kiri pemuda berkepala botak.
Rambutnya berwarna hitam, panjang dan tergerai sampai ke bawah. Rasanya tidak
ada yang ditakutkan kalau saja tidak terlihat wajahnya yang ternyata tertutup
sebuah topeng tengkorak! Bahkan di tangannya pun tergenggam sebuah topeng yang
ujungnya dihiasi tengkorak kepala manusia dewasa.
Tidak hanya itu saja. Di lingkaran pinggang wanita bertopeng tengkorak itu pun
berjajar tengkorak kepala. Hanya saja, ukurannya jauh lebih lecil. Mungkin
tengkorak bayi yang baru lahir.
"Ha... ha... ha... ho... ho.. ho... hi... hi... hi...!" pemuda berkepala botak
tertawa terkekeh-kekeh. "Luar biasa! Tinggal satu orang lagi, maka lengkaplah
keturunan datuk-datuk di empat penjuru! Hi... hi... hi...! Ciri-cirimu mirip
sekali dengan Ratu Tengkorak Putih, ho ho ho...!"
Memang, seperti juga Jantara, wanita bertopeng
tengkorak itu juga mempunyai hubungan dengan Ratu
Tengkorak Putih, salah satu dari empat datuk kaum sesat dunia persilatan!
"Hmh!" dengus wanita bertopeng tengkorak itu.
"Tingkahmu sama sekali tidak lucu, Cebol Jelek! Padahal, guruku pernah bercerita
kalau Setan Gila memiliki tingkah amat lucu! Rupanya, kau terhitung murid bebal.
Buktinya, kau tidak bisa mewarisi kelucuan gurumu!"
"Setan Gila bukan guruku, Penghuni Kuburan!" maki pemuda berkepala botak itu
sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. "Orang tua gila itu adalah kakekku! Dan namaku pun
bukan Cebol Jelek! Tapi,
Taliwang!"
"Aku pun bukan Penghuni Kuburan! Namaku Ratna Ningsih!" balas wanita bertopeng
tengkorak tak mau kalah.
Kemudian perhatiannya dialihkan ke tempat lain, dan tidak mau menoleh kembali ke
arah Taliwang. *** Adipati Subali terkejut bukan kepalang menyaksikan
semua ini. Sungguh tidak disangka, tiga ahli waris dari tiga datuk sesat yang
merajai dunia persilatan bisa berkumpul di sini. Tinggal, seorang ahli waris
dari seorang datuk sesat lainnya yang belum muncul. Dan mereka semua
menginginkan surat wasiat yang dibawa Adipati Subali, akan celakalah jadinya.
Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang benar di situ ada Dewa Arak!
Tapi mampukah pendekar muda yang menggemparkan itu menanggulangi tiga orang
lawannya" "Sungguh tidak disangka kita semua bisa berkumpul di sini. Walaupun masih kurang
seorang lagi, tapi merupakan sebuah hal yang aneh kalau pertemuan yang terjadi
hanya secara kebetulan," kata Jaranta, sambil berusaha bersikap tenang.
"Ho... ho... ho...!"
Taliwang yang tidak bisa melucu seperti gurunya, tertawa sambil menggaruk-garuk
dadanya dengan kedua
tangan. Sikapnya mengingatkan pada seekor kera.
"Tidak usah berpura-pura seperti monyet bodoh, Jaranta!
Kami semua tahu, kau berminat memperebutkan kotoran Eyang Mandura!" keras ucapan
Taliwang. Wajah Jaranta merah padam seketika. Dia tahu, kotoran Eyang Mandura yang
dimaksud Taliwang adalah pusaka peninggalannya. Memang, Jaranta berniat
merampasnya dari tangan Adipati Subali. Makanya, dia mencegahnya di sini. Tapi
sama sekali tidak disangka kalau murid datuk-datuk pun melakukan hal yang sama.
"Jangan samakan aku dengan kalian!" sergah Jaranta keras. "Aku sama sekali tidak
berniat memperebut kotoran Eyang Mandura. Toh dengan ilmu warisan ayahku, dunia
persilatan bisa kukuasai! Aku akan menjadi jago nomor satu menggantikan ayahku!"
"Jangan harap impianmu terujud Jaranta! Selama masih ada aku, kau tidak akan
bisa menjadi jago nomor satu di kolong langit!" balas Ratna Ningsih.
"Ho... ho... ho...! Rupanya Jaranta tengah bermimpi,"
Taliwang menyambung ucapan murid Ratu Tengkorak
Putih. Kali ini sambil berjingkrak-jingkrak.
"Apakah kalian membutuhkan bukti" Silakan maju! Akan kalian lihat sendiri betapa
mudahnya bagiku untuk me-robohkan kalian!" sumbar Jaranta bernada tantangan.
"Kau benar-benar berotak udang Jaranta! Untuk apa kita cakar-cakaran sekarang"!
Masalah sepele ini bisa diurus belakangan. Yang penting sekarang, membereskan
lawan-lawan di hadapan kita. Terutama sekali, Dewa Arak!" tukas Ratna Ningsih.
Jaranta terperanjat. Dia tersadar seketika. Kalau ucapan murid Ratu Tengkorak
Putih benar belaka! Yang penting, sekarang membereskan Dewa Arak dan mendapatkan
pusaka Eyang Mandura terlebih dulu. Telah dibuktikannya sendiri kelihaian Dewa
Arak. Tingkatan tenaga dalam pemuda berambut putih keperakan itu benar-benar
berada di atasnya. Bukan mustahil keunggulan pendekar
berambut putih keperakan itu tidak hanya sampai di situ saja! "Kau benar! Lebih
baik, kita bereskan mereka lebih dulu!"
Setelah berkata demiktan, Jaranta melangkah meng-
hampiri Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti yang sejak tadi menyaksikan apa
yang terjadi. Dan langkah Jaranta segera diikuti Ratna Ningsih dan Taliwang.
Menilik dari langkah kaki mereka, bisa diketahui adanya ancaman besar yang
tengah bergerak ke arah Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti. Tapi sebelum hal
itu terjadi, Dewa Arak yang tadi menyisih ke samping segera
memotong langkah mereka. Maka hal ini membuat
Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang terpaksa menghentikan langkah. Kini di
hadapan mereka telah berdiri Dewa Arak yang membelakangi Adipati Subali, Sagala,
dan Rara Kunti.
"Keparat! Kau terlalu sombong, Dewa Arak! Mampuslah kau, hiyaaat..!"
Jaranta yang tidak bisa menahan kemarahannya lagi, langsung menerjang Dewa Arak.
Kedua tangannya
menyampok bertubi-tubi ke arah kedua pelipis Dewa Arak.
Wuttt, wuttt! Seperti kejadian sebelumnya, muncul kekuatan tak
nampak yang menekan Dewa Arak dari segala penjuru.
Dan seiring semakin dekatnya serangan Jaranta, kekuatan yang menghimpit itu
semakin membesar.
Tapi juga seperti sebelumnya, dengan mengerahkan
tenaga dalam dari bawah pusat ke seluruh tubuh, Dewa Arak berhasil membebaskan
diri dari kekuatan tak nampak yang menekannya. Tidak hanya sampai di situ saja
tindakan Dewa Arak. Sadar akan ketangguhan lawan,
apalagi tidak hanya seorang saja yang akan dihadapi, pemuda berambut putih
keperakan ini memutuskan untuk melakukan perlawanan.
Meskipun demikian, Dewa Arak belum berniat meng-
gunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya. Yang dikeluar-kannya hanya ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau dan 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'. Dan dalam
penggunaan ilmu itu, serangan Jaranta dipapaknya. Namun tak lupa, 'Tenaga Dalam
Inti Matahari'nya juga dikerahkan.
Prat, prat! "Akh...!"
Jaranta terpekik kaget. Bukan karena tubuhnya ter-
huyung akibat benturan itu, tapi ketika terasa ada hawa panas yang merayap
melalui jari-jari tangannya.
Buru-buru putra Iblis Mayat Hidup itu mengerahkan
hawa murni untuk mengusir hawa panas yang merayap.
Kemudian dengan hati panas karena perasaan amarah
dan penasaran, kembali dilancarkannya serangan pada pemuda berambut putih
keperakan itu. Perasaan yang bergolak di hati, membuat Jaranta meng-umbar serangan-serangan
dahsyat. Hebat bukan kepalang ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin' itu. Di
samping sebelum serangan itu tiba, telah didahului lebih dulu kekuatan tak
nampak yang menekan seluruh tubuh lawan.
Dalam penggunaan ilmu itu pun, tangan Jaranta seperti berubah menjadi berpasang-
pasang. Dewa Arak terperanjat melihat keistimewaan ilmu yang dipergunakan lawan. Tampak
kedua tangan Jaranta telah berjumlah banyak. Sehingga, sukar untuk diketahui
tangan yang asli. Di samping itu, tekanan kekuatan tak nampak yang menghimpit
tubuhnya cukup untuk membuat Dewa
Arak kerepotan. Setidak-tidaknya, Dewa Arak harus
mengerahkan sebagian tenaga dalamnya untuk memunahkan tekanan kekuatan tak
nampak yang menghimpit
sekujur tubuhnya.
Melihat kenyataan ini, timbul perasaan kagum dalam hati Dewa Arak. Kalau Jaranta
saja sudah mampu berbuat seperti ini, apalagi ayahnya"! Sukar dibayangkan,
sampai di mana ketinggian ilmu Iblis Mayat Hidup!
Namun Dewa Arak segera membuang pikiran-pikiran
yang menggayuti benaknya. Lalu perhatiannya dipusatkan untuk menghadapi serbuan
Jaranta. Dan pertarungan
menarik antara dua tokoh muda pun berlangsung sengit.
*** Ratna Ningsih dan Taliwang mengawasi jalannya
pertarungan penuh perhatian. Memang sebagai seorang tokoh persilatan, tidak ada
kegemaran lain bagai mereka, kecuali mengadu ilmu dan menyaksikan pertarungan.
Apalagi, bila tokoh-tokoh yang bertempur memiliki
kepandaian tinggi seperti Dewa Arak dan Jaranta.
Ternyata bukan hanya kedua orang pewaris ilmu datuk-datuk sesat itu saja yang
sibuk memperhatikan jalannya pertarungan. Sagala, Rara Kunti, dan Adipati Subali
mengarahkan pandangannya pada pertarungan yang
tengah berlangsung.
Sementara itu di kancah pertarungan, begitu menginjak jurus kelima puluh, Dewa
Arak mulai berhasil menekan lawan. Ada banyak hal yang membuat pemuda berambut
putih keperakan berhasil mendesak lawannya. Keunggulan dalam hal tenaga,
kelincahan, dan pengalaman bertarung.
Tentu saja keadaan yang tengah dialami Jaranta
diketahui secara pasti oleh Ratna Ningsih dan Taliwang.
Dahi kedua tokoh sesat ini pun berkernyit dalam. Mereka tahu, tingkat kepandaian
yang dimiliki Jaranta kurang lebih setingkatan dengan mereka. Kalau pemuda
berwajah pucat itu bisa didesak, dengan sendirinya pendekar muda yang memiliki rambut
aneh itu pun akan mampu melakukan hal yang sama pada mereka.
Perasaan khawatir melanda hati Ratna Ningsih dan
Taliwang. Hati mereka cemas kalau maksud pencegatan terhadap Adipati Subali akan
pupus. Mendadak....
"Haaat..!"
Tiba-tiba Ratna Ningsih menggenjotkan kaki. Sesaat kemudian tubuhnya melayang ke
arah Adipati Subali. Tak ada yang melihat gerakannya, kecuali satu orang
Taliwang! "Hih!"
Taliwang yang juga sudah berpikir sampai ke situ tapi telah keduluan Ratna
Ningsih, tidak mau tinggal diam.
Pemuda cebol itu pun ikut pula melesat ke arah Adipati Subali! Rupanya, dia
tidak ingin ketinggalan oleh murid Ratu Tengkorak Putih.
Tapi, rasa-rasanya usaha Taliwang ini akan pupus!
Kenyataannya Ratna Ningsih telah lebih dulu melesat, dan telah beberapa jengkal
di depannya. Biar bagaimanapun, wanita bertopeng tengkorak itu pasti akan lebih
dulu mencapai Adipati Subali. Maka benak Taliwang pun berputar.
Dan... Sing, sing, sing!
Suara berdesing nyaring terdengar ketika kedua tangan Taliwang bergerak
mengibas, setelah sebelumnya dimasuk-kan ke balik pakaiannya. Beberapa buah
gelang berwarna putih mengkilat seketika meluncur ke arah punggung dan belakang
kepala Ratna Ningsih!
Tentu saja murid Ratu Tengkorak Putih itu tahu adanya bahaya mengancam. Disadari
apabila diteruskan sebelum maksudnya tercapai, senjata-senjata yang dilepaskan
Taliwang akan merencah tubuhnya lebih dahulu. Dan, tentu saja Ratna Ningsih
tidak menginginkan hal itu terjadi.
Luar biasa! Tanpa membalikkan tubuhnya. Ratna
Ningsih mengibaskan tongkat bergagang kepala tengkorak manusia ke belakang
Maka.... Trang, tring, tring!
Bunga api berpercikan ke udara ketika geleng-gelang baja itu tertangkis kibasan
tongkat Ratna Ningsih, hingga terpental jauh! Maka, pupuslah semua serangan
Taliwang. Tapi akibatnya, luncuran tubuhnya yang tengah menuju ke arah Adipati Subali pun
terhenti. Dan kini kedua kakinya pun mendarat di tanah. Sementara, Adipati
Subali baru sadar kalau dirinya akan dijadikan sasaran gelap oleh Ratna Ningsih.
Maka, bergegas dia bersiap-siap menjaga segala kemungkinan.
"He he he...!"
Taliwang tertawa terkekeh-kekeh ketika telah men-
daratkan kedua kakinya di tanah. Serangan yang di-
lancarkannya memang tidak diharapkan akan berhasil. Hal itu dilakukan hanya
untuk mencegah Ratna Ningsih men-dahuluinya dalam meringkus Adipati Subali.
Karuan saja suara tawa Taliwang membuat kemarahan
Ratna Ningsih semakin berkobar dahsyat. Memang, sejak Taliwang mengirimkan
serangan yang membuat maksudnya kandas dia sudah murka.
"Keparat! Akan kupecahkan kepalamu yang botak itu, Taliwang! Hih!"
Wukkk! Angin berhembus keras ketika Ratna Ningsih meng-
ayunkan tongkatnya ke arah kepala Taliwang! Tapi sambil tertawa terkekeh-kekeh,
laki-laki berkepala botak itu berhasil mengelakkannya. Tubuhnya berguling ke
depan, hingga serangan itu kandas.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Taliwang.
Setelah menggulingkan tubuhnya beberapa kali dengan sebuah gerakan indah,
tubuhnya melenting ke atas.
"Kereaaah!"
Dibarengi jeritan keras laksana seekor kera murka, Taliwang melompat ke atas dan
langsung dilancarkannya sampokan bertubi-tubi ke arah pelipis, dengan kedua
tangannya yang terkembang membentuk cakar.
Ratna Ningsih terperanjat bukan kepalang. Sama sekali tidak disangka kalau dari
keadaan terancam, Taliwang masih bisa berbalik mengancam. Tindakan yang
dilakukan Taliwang sungguh menakjubkan! Dia sendiri pun mungkin tidak akan mampu
melakukan hal seperti itu. Dan dia yakin, Jaranta pun tidak akan mampu. Tapi,
Taliwang merupakan sebuah kekecualian! Ratna Ningsih tahu,
pemuda bertubuh gendut itu adalah pewaris ilmu 'Setan Gila'! Seorang datuk yang
ilmu meringankan tubuhnya telah terkenal dan menakjubkan.
Setan Gila adalah salah seorang datuk kaum sesat yang memiliki keistimewaan
dalam ilmu meringankan tubuh.
Ilmu andalannya yang bemama 'Kera Gila', memang
menitik beratkan pada meringankan tubuh, di samping serangan-serangan tiba-tiba
yang berbentuk kasar.
Sementara itu walaupun terperanjat, Ratna Ningsih
masih mampu untuk membuktikan kelihaiannya. Dalam
kesempatan yang hanya sekejap, kepalanya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan
tubuhnya ke belakang. Itu dilakukannya tanpa menggeser kaki, karena waktunya
tidak memungkinkan.
Wuttt, wuttt! Sampokan bertubi-tubi yang dilancarkan Taliwang lewat beberapa jengkal di depan
wajah Ratna Ningsih. Menilik dari sekujur pakaian dan rambut wanita bertopeng
tengkorak yang berkibar keras, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang
terkandung dalam serangan itu.
Baru setelah serangan itu berhasil dielakkan, Ratna Ningsih melempar tubuh ke
Patung Dewi Kwan Im 10 Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat Renjana Pendekar 4
1 Bulan bersinar penuh tampak indah di langit. Bentuknya bagai sebuah piring
tembaga, yang bersinar keperakan.
Bintang-bintang pun bertaburan menghias angkasa.
Nyanyian binatang-binatang malam semakin menambah
semaraknya suasana malam. Persada tampak terang dan meriah, layak untuk
dinikmati. Namun itu tidak berlangsung lama. Suara lecutan
cambuk, derap kaki kuda, dan gemeretak roda kereta telah mengganggu malam yang
begitu indah ini.
Sesaat kemudian, muncullah sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Beberapa
ekor kuda yang masing-masing ditunggangi laki-laki bersikap gagah, tampak
mengiringi-nya.
Jumlah laki-laki berwajah gagah itu ada dua belas orang.
Enam di depan, empat di belakang, dan masing-masing satu orang di kanan kiri
kereta. Semuanya menunggangi kuda-kuda pilihan.
"Kau yakin kita telah jauh meninggalkan bahaya, Kakang Subali?" tanya salah
seorang dari enam penunggang kuda terdepan.
Orang itu adalah seorang laki-laki tinggi kurus bermata sipit. Gagang pedangnya
tampak menyembul dari balik punggung. Menilik dari pakaiannya yang terlihat
mewah, bisa diketahui kalau laki-laki tinggi kurus itu orang kecukupan.
Penunggang kuda yang dipanggil Subali menoleh.
Sepasang matanya menatap wajah laki-laki tinggi kurus yang mengenakan pakaian
kuning. Subali ternyata seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Tubuhnya
terlihat gagah bukan kepalang. Apalagi dengan adanya cambang bauk lebat yang
menghias wajahnya. Seperti laki-laki bermata sipit, pakaian yang dikenakannya
juga tampak indah.
Hanya saja warnanya kuning keemasan. Jadi terlihat lebih indah daripada pakaian
yang dikenakan laki-laki tinggi kurus.
"Hhh....!"
Subali menghela napas panjang, sebelum menjawab
pertanyaan laki-laki tinggi kurus itu. Langkah kudanya juga tidak dihentikan,
namun tidak tergesa-gesa seperti sebelumnya.
"Kurasa untuk sementara kita aman, Adi Sagala. Kita telah cukup jauh dan
kadipaten. Keparat-keparat itu tidak mungkin bisa cepat mengejar kita. Aku
yakin, mereka tengah berpesta pora menikmati kemenangan!" ada nada kegeraman
pada kalimat-kalimat terakhir yang diucapakan Subali. Jelas, laki-laki tinggi
besar ini tengah murka.
Laki-laki berpakaian kuning yang ternyata bernama
Sagala itu mengangguk-anggukkan kepala, pertanda
menyetujui ucapan yang dikeluarkan Subali.
"Tak pemah terbayangkan di benakku kalau jabatan adipati akan lepas darimu,
Kang," keluh Sagala.
Subali yang ternyata seorang adipati ini menghela napas berat.
"Bukan hanya kau saja yang merasa tak percaya, Sagala. Aku pun masih merasa
kalau kejadian yang
menimpaku ini seperti sebuah mimpi buruk! Aku masih belum percaya kalau
Kadipaten Blambang telah lepas dari tanganku!"
Adipati Subali menghentikan ucapannya sejenak.
Kepalanya ditolehkan ke belakang, menatap kereta kuda yang bergerak tertatih-
tatih merayapi jalan penuh bebatuan dan lubang.
Rombongan berkuda yang dipimpin Adipati Subali itu terus melanjutkan perjalanan.
Dan perlahan-lahan,
rombongan ini mulai memasuki mulut Hutan Maung.
"Aku tidak pemah bermimpi akan kabur menyelamatkan diri seperti anjing hina yang
teraniaya." keluh Adipati Subali lagi. "Kalau tidak mengingat keselamatan
anakku, ter-utama sekali istriku yang tengah mengandung, aku lebih baik
bertempur sampai titik darah penghabisan!"
Kali ini Sagala tidak menyahuti ucapan Adipati Subali.
Mungkin kehabisan kata-kata atau malas menyambuti.
Dan karena Adipati Subali tidak melanjutkan ucapannya, suasana menjadi hening.
Kini yang terdengar hanyalah suara langkah kaki kuda dan gemeretak roda kereta
menggilas jalanan. Iring-iringan rombongan yang dipimpin orang nomor satu
Kadipaten Blambang ini kian masuk ke dalam hutan. Mendadak.....
"Hooop...!"
Adipati Subali mengangkat tangan kanan ke atas,
sedangkan tangan kirinya menarik tali kekang kuda hingga langkahnya berhenti.
Dengan sendirinya, iring-iringan yang berada di belakangnya pun berhenti pula.
"Kita istirahat dulu di sini." ujar Adipati Subali setelah membalikkan arah
binatang tunggangannya hingga menghadap rombongan.
Usai berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu melompat turun dari kudanya.
Indah dan manis gerakannya.
Jelas, Adipati Subali bukan orang sembarangan. Dan memang sebelum menjadi
adipati di Kadipaten Blambang, Subali adalah seorang Panglima Kerajaan Sewu. Dan
karena telah banyak berjasa pada kerajaan, Prabu Cakra Ningrat meng-hadiahkan
pangkat adipati pada Subali di Kadipaten Blambang.
*** Kesibukan melingkupi rombongan kecil itu. Belasan laki-laki bersikap gagah yang
tak lain dari prajurit pilihan Kadipaten Blambang, bergegas berlompatan dari
punggung kuda masing-masing. Gerakan mereka rata-rata lincah, pertanda memiliki
ilmu meringankan tubuh yang tidak rendah.
Begitu menjejak di tanah, belasan prajurit itu segera menambatkan kuda masing-
masing. Lalu, mereka membantu kusir untuk menempatkan kereta kuda di tempat yang
terlindung. Dan kini, kereta kuda itu ditempatkan di tengah-tengah belasan
prajurit pilihan Kadipaten
Blambang. Ini dimaksudkan, agar bila ada serangan dari arah manapun, akan
berhadapan dengan prajurit lebih dulu. Sang Kusir pun ikut pula berjaga-jaga.
Kriiit..! Terdengar suara bergerit pelan ketika daun pintu kereta sebelah kanan terbuka.
Sebuah tangan yang berkulit putih halus dan mulus menyembul dari dalam kereta.
Kemudian tampak sosok wanita cantik keluar dari dalam kereta.
Tidak terdengar suara yang berarti ketika sepasang kaki ramping itu mendarat di
tanah. Hal ini menjadi pertanda kalau si pemilik kaki itu memiliki ilmu
meringankan tubuh yang cukup tinggi.
"Akan ke mana, Gusti Ayu?"
Sebuah suara berat telah menyapa penuh hormat,
begitu wanita cantik ini baru saja merayapi sekelilingnya.
Memang, derit pintu kereta itu begitu jelas terdengar, sehingga membuat para
prajurit yang tengah berjaga langsung menolehkan kepala. Dan kini, kepala
pasukan pengawal itu pun segera menghampiri.
"Ah! Kiranya Paman Lembu Sura." desah gadis cantik yanag dipanggil Gusti Ayu
setengah terkejut.
Gadis itu tersenyum manis. Senyum seorang gadis yang paling banyak baru berusia
dua puluh tahun. Sehingga membuat siapa saja yang memandangnya, enggan me-
malingkan wajah. Kulit putih halus dan mulus. Pas sekali dengan pakaian indah
berwama hitam kelam yang dikenakannya. Rambutnya digelung ke atas dan dijepit
dengan sebuah aruel berbentuk bunga mawar.
"Benar, Gusti Ayu. Hamba Lembu Sura," jawab kepala pasukan pengawal yang
ternyata bernama Lembu Sura
sambil membungkuk sedikit.
Lembu Sura ternyata memang mempunyai tubuh hampir
sebesar lembu. Begitu kekar! Gumpalan otot dan urat yang melingkar-lingkar
menghiasi sekujur tubuhnya. Senjata golok besar yang terselip di pinggang,
semakin menambah seram penampilannya.
"Aku ingin menghirup udara malam, Paman," jawab gadis berpakain hitam itu,
pelan. "Tapi.., Gusti Adipati telah melarang keluar siapa pun yang berada di dalam
kereta," bantah Lembu Sura dengan dahi berkernyit dalam.
"Apakah aku pun termasuk dalam larangan ayah?"
desak gadis berambut digelung yang ternyata putri Adipati Subali.
"Benar. Gusti Ayu Rara Kunti termasuk di dalamnya,"
tegas Lembu Sura.
"Kalau aku tidak mau"!" tanya Rara Kunti bernada menantang.
Lembu Sura tercenung sejenak.
"Apa boleh buat. Hamba tidak berani melalaikan perintah Gusti Adipati." tegas
Lembu Sura, setengah berdesah.
"Maksudmu..., kau akan menggunakan kekerasan untuk memaksaku masuk kembali ke
dalam kereta"!"
Lembu Sura mengangguk mantap.
Rara Kunti kontan terdiam, tanpa berkata-kata lagi. Putri Adipati Subali ini
tentu saja tidak bisa menyalahkan Lembu Sura. Disadari kalau kepala pasukan
pengawal itu hanya menjalankan perintahnya.
"Tapi aku tidak betah terus menerus di dalam kereta, Paman. Sumpek rasanya! Aku
ingin keluar, menghirup udara malam dan berbincang-bincang bersama ayah."
"Hamba tidak berani mengizinkannya, Gusti Ayu," ada nada penyesalan dalam suara
Lembu Sura. "Lagi pula, perlu Gusti Ayu ketahui. Larangan itu dikeluarkan oleh
Gusti Adipati, karena khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas Gusti
Ayu sendiri. Dan...."
"Biarkan dia keluar, Lembu Sura," potong sebuah suara, sehingga membuat ucapan
kepala pasukan pengawal itu terputus di tengah jalan.
Hampir berbarengan, Lembu Sura dan Rara Kunti
menoleh ke arah yang sama. Tampak dua sosok tubuh
yang tengah menghampiri. Baik Lembu Sura, maupun Rara Kunti mengenalinya. Mereka
adalah Adipati Subali dan Sagala!
"Hamba, Gusti Adipati." sahut Lembu Sura memberi hormat.
Seusai bersikap demikian, laki-laki bertubuh kekar berotot inl lalu bergerak
menyingkir. Lembu Sura memberi jalan pada Rara Kunti untuk menghampiri ayahnya.
Maka tanpa membuang-buang waktu, Rara Kunti segera bergerak menghampiri ayahnya.
"Kau ingin bicara denganku, Kunti?" tanya Adipati Subali, orang nomor satu di
Kadipaten Blambang dengan suara lembut.
"Benar, Ayahanda." jawab Rara Kunti, gembira.
"Kalau begitu, mari kita cari tempat yang enak!"
Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti segera
melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara, belasan prajurit mulai bertugas.
Lembu Sura, selaku kepala pasukan pengawal segera mengatur anak buahnya.
Sebagian besar berjaga-jaga, sedangkan sisanya tidur setelah terlebih dahulu
mengisi perut sekadarnya.
*** "Sebenarnya, sudah cukup lama aku ingin berbicara dengan Ayah," Rara Kunti mulai
membuka pembicaraan.
Rara Kunti duduk di sisi ayahnya, Adipati Subali.
Sedangkan Sagala duduk menghadap Adipati Blambang
itu, mereka saat ini memang tengah berbincang-bincang di bawah sebatang pohon
besar berdaun rimbun yang letak-nya hanya beberapa tombak dari rombongan.
"Mengapa tidak segera kau katakan padaku, Kunti?"
tanya Adipati Subali, bernada teguran.
"Bagaimana mungkin hal itu bisa kulakukan, Ayah!
Rombongan inl bergerak hampir tanpa henti. Lagi pula, kulihat Ayah kelihatan
sibuk. Jadi, aku tidak berani mengganggu," kilah Rara Kunti.
"Ooo...! Kukira pertanyaan itu sudah kau pendam berbulan-bulan, atau tahunan.
Kiranya baru beberapa hari yang lalu"! Nah! Sekarang katakan, Kunti. Ayah akan
mendengarkannya!" sahut Adipati Subali memberi kesempatan.
Rara Kunti tidak langsung mengutarakannya. Dia malah tercenung. Mungkin tengah
memilih kata-kata yang tepat sebagai pembuka cerita. Sementara, Adipati Subali
dan Sagala menunggu dengan sabar.
"Aku merasa kecewa melihat tindakan Ayah..."
Pelan ucapan Rara Kunti, dan lebih mirip bisikan. Kalau saja Adipati Subali dan
Sagala tidak mempunyai pen-dengaran tajam, perkataan itu tidak akan terdengar.
Apalagi, Rara Kunti mengucapkannya sambil menundukkan wajah. Sehingga gerak
bibirnya tidak terlihat Adipati Subali dan Sagala.
Meskipun dikatakan pelan, tapi bagi Adipati Subali dan Sagala, perkataan Rara
Kunti bagaikan halilintar di siang hari. Begitu mengejutkan hati mereka. Tapi,
tentu saja kekagetan yang dialami Adipati Subali jauh lebih besar daripada
Sagala "Mengapa kau berkata demikian, Kunti"!" tanya Adipati Subali agak parau
suaranya. "Selama ini aku merasa bangga pada Ayah. Telah banyak cerita yang kudengar
tentang kegagahan Ayah sewaktu menjadi panglima di Kerajaan Sewu. Tapi, apa
kenyataan yang kulihat"! Di saat kadipaten diserbu orang.
Ayah malam melarikan diri sambil membawa keluarga.
Kabur pontang-panting seperti anjing digebuk orang.
Tindakan Ayah membuatku kecewa bukan kepalang! Mana cerita kegagahan Ayah yang
selama ini kudengar"!"
Rara Kunti berapi-api mengucapkan kata-katanya! Sama sekali tidak dipedulikan
kalau setiap ucapannya laksana tusukan pisau berkarat pada hati Adipati Subali.
Wajah orang nomor satu Kadipaten Blambang itu sebentar pucat, sebentar merah
sepanjang putri tunggalnya mengungkap-kan kehancuran hatinya.
"Kau pantas kecewa padaku. Kunti," sahut Adipati Subali ketika Rara Kunti telah
menghentikan ungkapan kekesalannya. "Aku memang bukan jenis orang yang patut kau
kagumi. Aku melarikan diri di saat Kadipaten
Blambang berada di ambang kehancuran! Adipati macam apa aku ini"! Di saat para
prajurit berjuang mati-matian menyelamatkan kadipaten, aku malah kabur! Hhh ...!
Aku memang seorang pengecut, Kunti!"
Rara Kunti terkejut bukan kepalang mendengar jawaban tak terduga yang
dikemukakan ayahnya. Semula dikira Adipati Subali akan mengemukakan berbagai
macam alasan, mengapa tindakan melarikan diri itu harus dilakukan. Tapi, ternyata
ayahnya itu malah membenarkan
tuduhan yang dilontarkan. Karuan saja gadis berambut digelung ini jadi
kebingungan. Bukan hanya Rara Kunti saja yang menjadi
kebingungan. Sagala pun mengalami perasaan yang sama.
Hanya saja ada sedikit perbedaan pada keduanya. Sagala tahu, mengapa Adipati
Subali sama sekali tidak mengemu-kan alasan yang menyebabkan dirinya melarikan
diri. Karena jelas, Adipati Subali merasa terpukul!
Sagala adalah adik misan Adipati Subali. Telah dua tahun dia tinggal bersama
laki-laki tinggi besar itu.
Maka tidak aneh kalau watak kakak misannya dikenalnya betul. Sagala tahu,
sebenarnya Adipati Subali merasa terpukul atas tindakannya dengan meninggalkan
Kadipaten Blambang. Namun, perasaan itu bisa di-
sembunyikan orang nomor satu di Kadipaten Blambang.
Dan kini, ucapan Rara Kunti telah membuat perasaan itu muncul. Bahkan jauh lebih
parah! "Kau keterlaluan, Kunti!" sentak Sagala, agak keras.
Sepasang matanya menatap gadis berpakaian hitam itu penuh teguran "Perkataanmu
benar-benar tak pantas diucapkan di depan ayahmu."
"Terus terang aku membenci orang yang mempunyai
sikap pengecut. Tak terkecuali ayahku!" sambut Rara Kunti tak kalah keras.
"Ayahmu bukan seorang pengecut, Kunti!" semakin meninggi kata-kata Sagala.
"Lalu apa namanya kalau di saat para prajurit mem-pertahankan istana tapi justru
sang Pemimpin malah melarikan diri"! Orang lain bergulat dengan maut,
sementara dia sendiri melarikan diri! Bukan pengecutkah itu namanya"!"
"Ayahmu mempunyai alasan kuat untuk bertindak seperti itu! Berilah kesempatan
padanya untuk mengemukakannya padamu!" sambut Sagala setengah membentak.
"Sudahlah, Adi! Tidak usah diributkan lagi masalah itu!"
Adipati Subali berusaha melerai.
"Kurasa, lebih baik kau beri tahukan padanya, Kang!"
tukas Sagala tak mau kalah.
Setelah berkata demikian. Sagala terdiam. Rara Kunti pun diam, ingin mengetahui
tanggapan Adipati Subali.
Sedangkan adipati yang bertubuh tinggi besar ini belum juga membuka pembicaraan.
Maka suasana pun menjadi hening.
"Hhh...!" Adipati Subali menghembuskan napas berat
"Kau benar, Sagala. Lebih baik kuceritakan saja masalah yang sesungguhnya.
Bukankah dengan demikian, dia bisa bersikap lebih hati-hati"
Sagala menganggukkan kepala, pertanda membenar-
kan. Sementara Rara Kunti jadi bingung. Dia tahu, Adipati Subali dan Sagala
Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah membicarakannya. Tapi, gadis itu tidak mengerti maksudnya.
"Nah, Kunti. Sekarang dengarlah baik-baik ceritaku ini.
Dan setelah itu, terserah apa tanggapanmu!"
Adipati Subali menatap wajah Rara Kunti sejenak. Tapi yang ditatap malah
menampakkan wajah beku. Tanpa ada perasaan apa-apa Adipati Kadipaten Blambang
kemudian menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Sekitar sepuluh hari yang lalu, di salah satu dinding istana kadipaten
ditemukan sebuah surat yang ditancap-kan oleh sebatang ranting sebesar jari
kelingking. Padahal, dinding itu terbuat dari batu keras. Dan hebatnya, ranting
itu menancap hingga setengahnya lebih. Beberapa orang prajurit segera melaporkan
hal itu padaku. Jelas, ini berarti ada orang telah berani masuk ke dalam istana
secara diam-diam. Dan hunjaman ranting itu membuktikan kalau pelakunya adalah
orang yang memilik tenaga dalam tinggi!
Rasanya aku sendiri tidak mampu melakukan hal seperti itu!"
Adipati Subali menghentikan cerita. Lalu tenggorokannya yang terasa kering
dibasahi dengan ludah-nya sendiri.
Sementara Rara Kunti memperhatikan semua ceritanya penuh minat. Karena, dia
memang belum mengetahui hal itu. "Mengapa aku tidak mengetahui kejadian itu?"
tanya Rara Kunti penasaran.
"Karena hal itu memang sengaja disembunyikan," kalem jawaban Adipati Subali.
"Mengapa"!" desak Rara Kunti.
"Karena, kami tidak ingin seisi Istana kadipaten gempar dan menjadi gelisah.
Hanya saja Lembu Sura kuperintah-kan agar lebih memperketat penjagaan," jelas
Adipati Kadipaten Blambang ini.
Kini Rara Kunti mengerti.
"Lalu, apa isi surat itu, Ayah?" tanya Gadis berambut digelung itu. Suaranya
kini terdengar mulai melunak.
"Surat yang tidak kuketahui dari mana asalnya itu, meminta agar aku menyerahkan
pusaka warisan kakekku!
Kalau tidak, Kadipaten Blambang akan dihancurkan!"
"Apa"!" jerit Rara Kunti kaget "Pusaka warisan kakek"!
Mengapa ayah tidak pernah bercerita padaku"! Berupa apa pusaka itu" Dan mengapa
orang yang mengirim surat itu mengetahuinya?"
*** 2 Adipati Subali tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan kembali terdiam.
Masih dicarinya beberapa kata yang tepat untuk menjawabnya. Dan sebentar
kemudian..... "Aku memang sengaja tidak menceritakannya, sampai kau telah benar-benar menjadi
dewasa. Setidak-tidaknya sudah mengerti hal-hal yang boleh dinyatakan, dan yang
perlu dirahasiakan," sahut laki-laki tinggi besar ini.
"Tapi, sekarang aku telah cukup dewasa, Ayah. Aku telah bisa membedakan hal-hal
yang bersifat rahasia atau bukan," sambut Rara Kunti. "Jadi, aku sekarang sudah
berhak mengetahui pusaka peninggalan leluhur kita."
Adipati Subali mengangguk-anggukkan kepala.
"Apa yang kau katakan itu benar, Kunti! Sekarang kau boleh mengetahui rahasia
itu. Aku pun memang sudah ingin bicara padamu, karena keadaan sudah segawat ini.
Dan aku tidak ingin mati sebelum memberitahukan hal ini padamu"
"Apakah aku boleh mendengarnya, Kang?" selak Sagala.
"Karena kau adalah adik misanku, kau pun berhak mendengarnya, Adi," kata Adipati
Subali dengan suara pelan
"Nah! Sekarang dengarkan baik-baik"
Sagala dan Rara Kunti mulai memasang telinga baik-
baik. Raut wajah mereka menyiratkan perasaan ingin tahu yang amat sangat. Bahkan
karena khawatir ucapan Adipati Subali tidak terdengar, keduanya sampai menahan
napas tanpa sadar.
"Dulu, sebelum meninggal dunia kakek telah memberi sehelai surat wasiat pada
ayahku, Adi Sagala. Lalu, surat wasiat itu diberikan lagi oleh ayahku, kepadaku.
Tak lama kemudian ayahku meninggal dunia," Adipati Subali memulai ceritanya.
"Meskipun demikian, ayahku sempat ber-pesan agar keberadaan surat ini
diberitahukan pula pada adik laki-lakinya yaitu ayahmu, Adi. Maksudnya, kalau
aku tidak berhasil memecahkan rahasianya, ayahmu atau
keturunannya diharapkan bisa memecahkannya."
"Jadi...., pusaka peninggalan kakek hanya berupa sehelai surat?" tanya Sagala.
Adipati Subali merasakan adanya kekecewaan. Baik
dalam raut wajah mapun ucapan adik misannya ini.
"Memang hanya berupa sehelai surat, tapi surat rahasia!
Apabila berhasil dipecahkan maka akan ditemukan
pusaka-pusaka peninggalan kakek," jelas Adipati Subali.
"Kalau hanya untuk sehelai surat, lalu ayah sampai merelakan Kadipaten Blambang
dihancurkan sungguh
membuatku tidak habis pikir!" tukas Rara Kunti penuh kekecewaan.
Adipati Subali tersenyum pahit.
"Bukankah sudah kukatakan kalau di balik surat peninggalan itu tersimpan pusaka-
pusaka peninggalan kakek"!" sergah orang nomor satu Kadipaten Blambang ini,
cepat. "Apakah pusaka-pusaka peninggalan kakek buyutku, Ayah?" tanya Rara Kunti
setengah hati. "Kitab-kitab ilmu silat, pengobatan, senjata-senjata, dan berbagai macam," sahut
Adipati Subali cepat. "Kau tahu, Kunti. Puluhan tahun yang lalu, datuk-datuk
persilatan di empat penjuru mata angin telah mengadakan pertemuan untuk
menentukan, siapa yang lebih lihai di antara mereka semua! Keempat datuk itu
adalah tokoh tak terkalahkan di wilayah masing-masing. Meskipun demikian, mereka
belum puas. Dan ingin menjadi jago nomor satu di kolong langit dengan bekal
surat wasiat milik kakekku itu. Itulah sebabnya, mereka mengadakan pertemuan."
Adipati Subali menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Ini
merupakan kesempatan bagi Sagala dan Rara Kunti bila ingin mengajukan
pertanyaan. Tapi, ternyata keduanya itu sama sekali tidak bicara apa-apa. Baik
Sagala maupun Rara Kunti terlalu tertarik untuk mendengarkan cerita Adipati
Subali. "Masing-masing datuk pun lalu memilih lawan dan ber-tanding. Datuk Timur
bertarung melawan Datuk Barat. Dan Datuk Utara melawan Datuk Selatan," sambung
Adipati Subali lagi. "Pertarungan berlangsung alot, tanpa ada yang keluar
sebagai pemenang. Lalu, masing-masing pihak beristirahat untuk memulihkan
tenaga. Dan kemudian,
mereka memutuskan untuk melanjutkan pertarungan di tempat lain, di sebuah lereng
gunung. Kali ini satu sama lain menukar lawan"
Untuk yang kesekian kalinya Adipati Subali meng-
hentikan cerita. Dia tercenung mencari-cari kata yang tepat untuk meneruskan
kisahnya. Sementara, Sagala dan Rara Kunti mendengarkan dengan perasaan tidak
sabar. "Tapi sebelum pertarungan dilangsungkan, muncul seorang kakek yang mencegah
mereka agar tidak bertarung di situ. Kakek itu rupanya tahu kalau orang yang
akan bertarung adalah tokoh-tokoh sakti. Makanya dia berusaha mencegah, karena
khawatir sekitar tempat itu akan longsor. Padahal, dia tinggal di sekitar tempat
itu." "Kakek itu pasti kakek Ayah, kan?" tebak Rara Kunti tidak sabar menunggu Adipati
Subali menjelaskannya.
Laki-laki tinggi besar itu menganggukkan kepala.
"Benar. Namanya, Eyang Mandura." Jawab Adipati Subali. "Dan ketika Eyang Mandura
berusaha mencegah terjadinya pertarungan, empat datuk itu malah marah-marah.
Bahkan kakek malah diancam. Karena kesabarannya hilang, kakek pun meladeni
mereka. Satu demi satu, datuk-datuk itu dirobohkannya. Sehingga karena malu,
datuk-datuk itu pergi meninggalkan tempat itu."
"Ah! Luar biasa sekali kepandaian Eyang Mandura!"
pekik Rara Kunti kaget. "Apa julukannya, Ayah!"
"Kakek tidak mempunyai julukan, Kunti. Dia bertekad tidak ingin mencampuri
urusan dunia persilatan. Penduduk sekitar gunung itu hanya mengenalnya sebagai
ahli pengobatan," tutur Adipati Subali menutup ceritanya.
"Tapi, mengapa kepandaian yang kau miliki biasa-biasa saja, Kang"!" celetuk
Sagala, heran. "Ataukah ilmu datuk-datuk itu yang masih terlampau cetek?"
Adipati Subali menghembuskan napas berat.
"Kakek memang tidak mempunyai keturunan yang ber-bakat. Ayah sebagai keturunan
kakek, ternyata memiliki bakat yang amat mengecewakan. Dia hanya menerima
sebagian kecil dari ilmu-ilmu warisan kakek. Bahkan ilmu-ilmu andalan hampir
tidak ada yang didapatkannnya. Jadi, bisa kau perkirakan sendiri tingkat
kepandaianku. Karena, aku hanya belajar dari ayah."
"Mengapa Ayah tidak belajar dari buyut saja" Apakah buyut tidak mau mengajarimu"
Atau.... Ayah juga tidak memiliki bakat seperti kakek"!" tanya Rara Kunti
bertubi-tubi. "Kakek meninggal dunia karena usia tua sewaktu aku baru berusia tiga tahun.
Kalau aku tidak salah, kakek meninggal pada usia seratus sepuluh tahun. Dan
sebelum meng-hembuskan napasnya yang penghabisan, kakek
telah membuat surat wasiat untuk diberikan pada
keturunannya."
"Kalau begitu, datuk-datuk yang menjadi lawan kakek sekarang telah tidak ada
pula, Kang"!" tanya Sagala ingin tahu.
"Dua di antara mereka kudengar sudah meninggal, Adi.
Entah meninggalkan murid atau tidak. Sedangkan yang dua lagi, kudengar masih
hidup. Mungkin sekarang umur mereka telah mencapai delapan puluh tahun lebih.
Memang, kakek jauh lebih tua daripada datuk-datuk persilatan itu."
Suasana kontan hening ketika Adipati Subali meng-
hentikan cerita. Baik Rara Kunti, Sagala, maupun Adipati Subali tenggelam dalam
alunan pikiran masing-masing.
*** "Ayah lalu berusaha sekuat tenaga memecahkan teka-teki surat wasiat kakek.
Maksudnya, andaikata dia berhasil memecahkannya, keturunannya tinggal
mempelajarinya saja. Tapi usahanya ternyata sia-sia. Surat itu tetap ter-selimut
teka- teki. Aku pun meneruskan perjuangannya, tapi nihil juga."
"Kau gagal juga, Ayah?" tanya Rara Kunti.
Bodoh sekali sebenarnya pertanyaan itu. Kalau Adipati Subali berhasil, tak akan
mungkin memiliki tingkat kepandaian seperti itu. Dan Adipati Subali hanya
menganggukkan kepala saja. Secercah senyum getir tersungging di bibirnya.
"Bisa kau perlihatkan surat peninggalan kakek pada kami, Kang?" tanya Sagala
tiba-tiba. "Mengapa tidak, Adi. Bukankah kau dan Rara Kunti merupakan keturunan Eyang
Mandura pula" Barangkali saja kau atau Rara Kunti yang berhasil menemukan
rahasia itu!"
Adipati Subali segera membungkuk kemudian meng-
gulung celananya. Karuan saja tindakannya membuat Rara Kunti dan Sagala heran.
Tapi sesaat kemudian, perasaan itu pun lenyap ketika Adipati Subali mengambil
segulung surat yang terikat di betisnya.
Begitu tubuhnya tegak kembali, Adipati Subali segera mengulurkan gulungan surat
itu pada Sagala. Tapi mendadak....
"Aaakh...!"
Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti sampai berjingkat kaget ketika mendengar
jeritan menyayat dari seseorang yang tengah menerima ajal itu. Apalagi ketika
mereka mengenali jeritan itu. Jeritan Menggala, salah seorang prajurit Kadipaten
Blambang. "Sagala! Rara Kunti! Tunggu di sini! Atur penjagaan! Biar aku yang akan melihat
sendiri, apa yang telah menimpa-nya!"
Seiring keluarnya ucapan itu, Adipati Subali melesat cepat ke depan. Gerakannya
cepat juga. Sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kuning yang
melesat cepat menuju asal teriakan tadi.
Sambil terus berlari, Adipati Subali mengulurkan tangan mencabut pedangnya.
Meskipun jeritan yang terdengar hanya sekali tapi cukup membuat Adipati
Kadipaten Blambang mengetahui asalnya. Dan kini, larinya kian dipercepat menuju arah asal
suara. Crasss! Semak-semak kontan berhamburan ketika laki-laki
tinggi besar yang tengah kalap ini membabatkan pedangnya. Memang, Adipati Subali
yakin kalau jeritan tadi keluar dari balik semak-semak ini.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya Adipati Subali
ketika tidak menemukan adanya mayat Menggala di situ.
Bahkan tidak nampak noda-noda darah di sekitar situ.
Sinar bulan yang cukup terang membantu laki-laki tinggi besar ini, tidak dapat
membantu melihat pencariannya.
Tapi Adipati Subali tidak langsung percaya begitu saja.
Meskipun mayat Menggala tidak ditemukan, dia tidak putus asa. Segera
pandangannya beredar ke sekeliling, meneliti keadaan sekitarnya. Paling tidak,
dia harus mendapatkan tanda-tanda kalau di tempat itu telah terjadi pembunuhan.
Tanah, semak-semak, dan dedaunan pun tidak luput
dari sasaran perhatian Adipati Subali. Dan perasaan heran pun merayap di hati,
ketika tidak juga menemukan tanda-tandanya! Mungkinkah dia salah tempat"
Mungkinkah Menggala tidak dibunuh, melainkan diculik" Tapi kalau diculik, mengapa harus
melolong seperti itu"! Berbagai macam pertanyaan bergayut di benak Adipati
Subali. Tengkuk Adipati Subali mendadak dingin ketika
telinganya mendengar jeritan lagi. Tapi kali ini, berasal dari tempat yang
ditinggalkannya! Hanya saja, jeritan kali ini terdengar pendek, tidak panjang
seperti tadi. Sebagai seorang bekas panglima perang, Adipati Subali tahu kalau rombongannya
telah diserbu. Namun serangan itu tampaknya tidak ingin diketahui olehnya.
Menyerang secara diam-diam, sementara Adipati Subali tengah lengah.
Buktinya para penyerang itu membungkam teriakan salah seorang prajurit Kadipaten
Blambang! Kegelisahan kini menghantui hati Adipati Subali.
Disadari kalau dirinya telah terpancing. Lawan yang tengah bersembunyi, menunggu
saat-saat yang tepat. Dan begitu Adipati Subali menjauhi rombongannya, lawan
langsung menyerang anggota-anggota rombongan itu.
Karena kekhawatiran yang amat sangat akan
keselamatan anggota rombongannya, Adipati Subali berlari seperti orang gila!
Laki-laki tinggi besar ini berlari tanpa mempedulikan apa yang ada di depannya.
Semua yang menghalangi jalannya langsung diterabas. Semak-semak lebat langsung
diterabasnya. Sedangkan semak-semak berduri dipangkas dulu dengan pedangnya
sebelum diterjang. *** Adipati Subali begitu geram ketika melihat Rara Kunti dan Sagala tengah
dikeroyok orang-orang berpakaian serba hitam. Sementara beberapa sosok tubuh
telah bergeletakan di tanah, mandi darah. Hatinya jadi geram juga ketika tidak
mendapati prajurit-prajurit Kadipaten Blambang yang lainnya. Ke manakah perginya
belasan orang prajurit Kadipaten Blambang"
Adipati Subali terus melesat ke arah pertarungan. Dan begitu tiba di tempat
Sagala dan Rara Kunti, dia segera membantu menghadapi lawan. Dan rupanya
kehadirannya memang telah diketahui orang-orang berpakaian serba hitam itu.
Terbukti tiga dari tujuh orang pengeroyok Sagala dan Rara Kunti, melompat
menjauhi pertarungan.
"Hup!"
Begitu menjejak tanah, tangan-tangan kanan mereka
bergerak mengayun.
Wusss, wuttt, wuttt!
Tiga buah benda berbentuk bulat sebesar telur bebek meluncur ke arah Adipati
Subali yang tengah membantu Sagala dan Rara Kunti. Dan pada saat yang bersamaan,
empat orang pengeroyok Rara Kunti dan Sagala juga
berbuat yang sama!
Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti bergegas
melompat menjauh. Tindakan ketiga orang itu ternyata tepat, karena.....
Darrr, darrr, darrr!
Ledakan keras terdengar ketika benda-benda bulat itu menghantam tanah. Asap
tebal dan hitam kontan
mengepul. Mau tidak mau hal ini membuat Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti
tidak bisa melihat apa-apa. Yang terlihat kini hanyalah gumpalan asap hitam. Dan
tanpa diketahui mereka, orang-orang berpakaian serba hitam itu cepat melesat
kabur. Adipati Subali yang merasa tidak sabar menunggu asap itu terusir, segera
mendorong-dorongkan tangannya. Rupanya dia bermaksud mengusir asap itu dengan
Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengerahan tenaga dalamnya.
Wusss! Hembusan angin yang cukup keras timbul dari gerakan mendorong yang dilakukan
Adipati Subali berkali-kali. Dan ternyata, usaha laki-laki tinggi besar ini sama
sekali tidak sia- sia. Kini asap yang menghalangi pandangannya lenyap.
Seiring lenyapnya tabir asap hitam itu, lawan-lawannya ternyata telah lenyap
dari situ. Jelas, mereka menggunakan tabir asap untuk memudahkan kabur.
Adipati Subali sadar, kini tidak ada yang bisa dilakukannya lagi. Orang-orang
berseragam hitam itu memang sudah tidak ada lagi. Dan dia tidak tahu, ke mana
arah yang mereka tempuh. Maka perhatiannya dipalingkan buru-buru pada Sagala dan
Rara Kunti. Untung mereka belum celaka!
Hanya Sagala yang menderita luka kecil pada bahunya yang tersayat.
"Apa yang terjadi, Adi Sagala"!" tanya Adipati Subali bergetar karena menahan
perasaan. Seiring keluarnya pertanyaan itu, laki-laki tinggi besar itu mengedarkan
pandangan berkeliling. Tampak tubuh-tubuh pengawal Kadipaten Blambang berserakan
di tanah. Jelas, mereka semua telah tewas!
"Hhh...!" Sagala menghela napas berat. "Sepeninggalmu, muncul belasan orang
berseragam hitam-hitam menyerbu kami, Kang. Mereka berkepandaian cukup tinggi.
Dalam beberapa gebrakan saja, pengawal-pengawal kita
berguguran. Bahkan aku dan Rara Kunti dibuat tidak berdaya. Kami menghadapi
keroyokan beberapa orang
seperti yang kau lihat. Kelihatan mereka membuat kami tidak sempat memperhatikan
yang lain-lain. Dan...
"Ah...!"
Adipati Subali menjerit keras seraya melesat ke arah kereta. Ucapan Sagala
mengingatkannya pada istri dan dayang-dayang kadipaten yang berada di dalam
kereta. Memang berbeda dengan adipati lainnya, Adipati Subali tidak mempunyai gundik.
Tapi lesatannya langsung terhenti ketika melihat apa yang ada di hadapannya.
Daun pintu kereta tampak telah lepas dari engselnya. Dan tepat di pintu kereta,
terjuntai sesosok mayat wanita!
"Marni...!"
Setelah beberapa saat mulutnya berkemak-kemik tanpa ada sepatah kata pun,
akhirnya keluar juga jeritan dari mulut Adipati Subali.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Adipati Subali!
Sebelum gema teriakannya lenyap, tubuhnya telah melesat ke arah sosok tubuh
wanita yang terjuntai di pintu kereta.
"Marni..., ahhh... Marni...!" ratap Adipati Subali ketika telah berjongkok di
depat mayat wanita yang tak lain dari istrinya.
Memang tidak ada air mata yang keluar dari matanya.
Bekas Panglima Kerajaan Sewu ini. Meskipun demikian rasa sedih yang menggelegak
jelas mengguncang hatinya juga. Berkali-kali Adipati Subali mengepal dan membuka
genggaman jemari tangannya, seraya menarik napas
panjang dan dihembuskannya. Tampak jelas kalau Adipati Kadipaten Blambang ini
tengah menenangkan hatinya.
"Ibu...!"
Terdengar jeritan melengking nyaring. Rupanya jeritan seorang wanita. Tanpa
menoleh pun Adipati Subali tahu, orang yang telah menjerit itu adalah putrinya,
Rara Kunti! Sekejap kemudian, Rara Kunti telah berada di sebelah Adipati Subali. Gadis
berpakaian hitam ini langsung bersimpuh. Sepasang matanya menatap ke arah mayat
ibunya. Akhirnya, Adipati Subali berhasil meredakan perasaan sedihnya. Dan kini dia
bangkit berdiri, seraya menepuk-nepuk pundak Rara Kunti.
"Hentikan semua kecengengan itu, Kunti!" ujar Adipati Subali.
Bekas Panglima Kerajaan Sewu ini bermaksud untuk
mengambil sikap wibawa. Tapi, tetap saja suaranya masih terdengar serak. Jelas,
kesedihan belum bisa sepenuhnya dihilangkan.
Rara Kunti menghentikan tangisnya. Dengan kedua
bahu masih terguncang-guncang, dia bangkit berdiri.
Kedua belah pipinya yang putih, halus, dan mulut tampak masih dibasahi air mata.
"Biarkan Kunti menyelesaikan tangisnya dulu, Kang. Biar rasa sesak di dadanya
hilang. Tangis merupakan sebuah obat yang mujarab untuk menghilangkan rasa sedih
yang menggelegak buat seorang wanita," Sagala yang ikut melangkah menghampiri,
segera angkat suara.
Adipati Subali tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kali ini gadis berambut digelung
itu tidak dilarang menangis lagi.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kang"!" tanya Sagala lagi.
"Terus melanjutkan perjalanan," sahut Adipati Subali cepat "O, ya. Kau juga
harus segera memecahkan rahasia yang tersembunyi di dalam surat peninggalan
kakek, Sagala."
"Baik Kang. Tapi, sebaiknya kita kuburkan mayat-mayat ini dulu."
Tak lama kemudian, rombongan Kadipaten Blambang
yang kini tinggal tiga orang kembali melanjutkan perjalanan. Mayat-mayat para
korban telah dikuburkan. Dan sebelum berangkat Adipati Subali sempat bersumpah
di depan kubur istrinya, untuk mencari orang-orang
berpakaian hitam itu sekaligus memusnahkannya.
Malam telah mendekati pagi. Satu-satu mulai terdengar keruyuk ayam hutan di
kejauhan. Tampaknya, sebentar lagi pagi akan tiba. Sang surya akan timbul dan
kehidupan baru dimulai kembali.
*** 3 Sang surya muncul di ufuk Timur. Sinarnya merah
membara, namun tidak menyilaukan mata. Kicau riang burung mengiringi langkah
tiga sosok tubuh keluar dari dalam Hutan Maung. Dan kini, mereka berhadapan
dengan padang ilalang yang cukup luas. Untungnya ilalang itu hanya sebatas
betis, sehingga tidak mengganggu
pemandangannya.
Semua orang itu berpakaian indah. Tampaknya mereka berasal dari golongan orang
berada. Dua di antara mereka adalah laki-laki yang telah berusia empat puluhan.
Sedangkan yang seorang lagi adalah seorang gadis dengan rambut digelung. Dan
mereka memang Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti!
Beberapa tindak sebelum melintasi padang ilalang itu Sagala, Rara Kunti, dan
Adipati Subali tiba-tiba menghentikan langkah. Pandangan mata mereka tertuju
lurus ke depan, begitu sekitar empat tombak di depan tertancap sebuah tongkat
berwarna hitam kelam. Pada bagian atas tongkat, berkibar secarik kain berbentuk
persegi berwama merah menyala. Gambar sebuah peti mati berwama hitam tampak pada
kain itu. Tampak jelas Adipati Subali, Rara Kunti, dan Sagala terkejut bukan kepalang
melihatnya. Raut wajah mereka menampakkan gambaran perasaan terkejut yang nyata.
"Benarkah Iblis Mayat Hidup berada di sini?" desis Adipati Subali. Suaranya
terdengar bergetar karena perasaan tegang yang melanda.
Sagala dan Rara Kunti menoleh. Tanpa dijelaskan pun keduanya tahu kalau tokoh
yang berjuluk Iblis Mayat Hidup itu adalah seorang datuk kaum sesat yang merajai
wilayah Utara! Dan dia juga salah satu dari empat datuk yang menguasai rimba
persilatan. "Kau mengenalnya Kang?" tanya Sagala, pelan suaranya. Sementara Rara Kunti hanya
diam mendengarkan.
"Mengenalnya sih, tidak. Aku hanya mendengar
ceritanya saja. Dan perlu kau tahu, Sagala. Iblis Mayat Hidup adalah salah satu
dari empat datuk sesat yang dikalahkan kakek kita puluhan tahun lalu." jelas
Adipati Subali.
"Ah...!" desis Sagala dan Rara Kunti kaget.
Bagai diperintah kedua orang itu saling berpandangan.
Tarikan wajah-wajah mereka menampakkan perasaan
kaget. Mereka memang pernah mendengar tentang sepak terjang tokoh lblis Mayat
Hidup itu. Tapi sungguh tak disangka, kalau tokoh itu ternyata salah satu dari
empat datuk yang pernah dikalahkan leluhur mereka.
"Jadi.., datuk-datuk sesat yang dikalahkan kakek adalah datuk-datuk sesat yang
masih merajai dunia persilatan sekarang ini, Kang?" tanya laki laki tinggi kurus
setengah tak percaya.
Adipati Subali hanya menganggukkan kepala, sementara sepasang matanya beredar
mengawasi sekeliling.
"Kalau begitu..., bisa kuperkirakan betapa tingginya kepandaian yang dimiliki
kakek..," desah Sagala penuh perasaan kagum. "Tapi, Kang...."
"Ssst..!"
Adipati Subali buru-buru memberi isyarat agar Sagala diam.
"Aku kahwatir, berita mengenai surat rahasia ini telah tersebar luas, Sagala.
Kalau tidak, Iblis Mayat Hidup tak mungkin kemari. Tempat tinggalnya terlalu
jauh dari sini.
Dia tinggal di Utara. Sedangkan kita berada di Selatan.
Kutakutkan, bukan hanya dia saja yang muncul. Tapi juga satu datuk lainnya...."
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba suara tawa keras menggelegar membuat
Adipati Subali menghentikan ucapannya. Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti
terkejut bukan kepalang. Seketika perasaan tegang menyelimuti hati mereka semua.
Benarkah Iblis Mayat Hidup yang akan datang"
Dengan jantung berdetak kencang, mereka menunggu
keluarnya si pemilik suara tawa. Tapi sampai lama
menunggu, tidak juga ada tanda-tanda kemunculannya.
Maka ketiga orang itu pun mencoba mengira-ngira tempat keberadaan pemiliknya.
Namun ternyata sia-sia. Suara tawa itu seperti berasal dari delapan penjuru.
Betapapun Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti telah mengerahkan seluruh
kemampuannya, namun tetap saja tidak mengetahuinya. Tubuh ketiga orang itu
sampai-sampai terputar-putar karena ingin bisa mendengar lebih jelas. Tapi,
tetap saja sia-sia.
"Aku tidak bisa memperkirakan, dari mana asal suara tawa ini, Kang," kata Sagala
masih terus berputar-putar.
"Iblis itu pasti menggunakan ilmu istimewanya dalam suara tawa ini," Jawab
Adipati Subali. "Tidak ada gunanya kita bertindak seperti ini. Lebih baik, diam
menunggu. Aku yakin iblis itu akan datang menemui kita."
Sagala dan Rara Kunti menyadari ada kebenaran juga dalam ucapan bekas orang
nomor satu Kadipaten
Blambang itu. Maka keduanya ikut berdiri menunggu.
"Kakek menceritakan pada Ayah mengenai ilmu-ilmu andalan yang dimiliki empat
datuk itu. Aku yakin, Iblis Mayat Hidup menggukan dasar ilmu andalan dalam
pengerahan tawanya," jelas Adipati Subali lagi.
"Aku belum mengerti maksudmu, Kang," ujar Sagala jujur.
Rara Kunti pun menganggukkan kepala.
Adipati Subali menatap adik misan dan anak
kandungnya sejenak.
"Iblis Mayat Hidup memiliki sebuah ilmu yang bernama
'Tangan Delapan Penjuru Angin'. Apabila ilmu itu digunakan lawan yang
menghadapinya seakan-akan mendapat
tekanan dari delapan arah. Nah! Aku yakin, dasar ilmu
'Tangan Delapan Penjuru Angin' digunakannya dalam
tawanya. Buktinya, kita merasakan kalau suara tawa itu sepertinya berasal dari
semua arah!"
Rara Kunti dan Sagala menganggukkan kepala.
"Lalu, mengapa iblis itu mencegat perjalanan kita.
Ayah?" tanya Rara Kunti, ingin tahu.
"Mana aku tahu," Jawab Adipati Subali sambil mengangkat bahu. "Mungkin saja juga
berminat merampas surat wasiat peninggalan kakek."
"Kalau begitu, berbahaya sekali," celetuk Rara Kunti, tanpa menyembunyikan
perasaan takutnya.
Adipati Subali dan Sagala sama sekali tidak
menyambutinya. Tapi meskipun demikian, bisa diketahui kalau mereka membenarkan
ucapan gadis berpakaian
hitam itu. Tarikan wajah dan sikap mereka menjadi
jawabannya. *** Mendadak suara tawa itu lenyap. Dan seketika itu pula, perasaan tegang
menyelimuti hati Adipati Subali, Rara Kunti, dan Sagala. Bisa diduga,
berhentinya suara tawa itu menjadi pertanda kalau orang yang diyakini sebagai
Iblis Mayat Hidup akan segera keluar dari sarangnya.
Dugaan ketiga orang itu ternyata tidak keliru. Sesaat kemudian, berkelebat
sesosok bayangan. Cepat bukan main gerakannya, sehingga tidak terlihat jelas
bentuknya. Yang terlihat hanyalah sekelebat bayangan merah, dan tahu-tahu hinggap di
sebelah tongkat berlambang peti mati itu. Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti
menatap sosok bayangan merah yang baru tiba itu lekat-lekat. Dan seketika,
sepasang mata mereka terbelalak. Sorot ketiga pasang mata itu memancarkan
keterkejutan, tapi juga kelegaan. Betapa tidak" Semula dikira di depan mereka
akan berdiri sesosok tubuh ringkih seorang kakek. Tapi ternyata dugaan itu
keliru! Di sebelah tongkat berlambang peti mati itu berdiri seorang pemuda bertubuh
kurus. Wajahnya tampan, tapi sayang terlihat pucat seperti orang penyakitan.
Pakaiannya yang berwama merah menyala dan gambar peti mati besar pada bagian
dada, semakin menambah kepucatan wajahnya. Di tangannya tampak tergenggam
sebatang cangkul!
"Siapa di antara kalian yang menjadi keturunan si keparat Eyang Mandura"!" tanya
pemuda berwajah pucat itu bemada mengancam.
Sambil berkata demikian, pemuda kurus itu
mengedarkan pandangan berkeliling. Ditatapnya wajah Adipati Subali, Rara Kunti,
dan Sagala satu persatu.
Seakan-akan ketiga orang yang menjadi turunan Eyang Mandura tengah dinilainya.
Kontan wajah Adipati Subali merah padam. Sepasang
matanya pun berkilat-kilat. Tampak jelas, laki-laki tinggi besar ini marah bukan
kepalang. Kakeknya dihina, siapa yang tidak menjadi marah" Dengan yang langkah
lebar-lebar dia maju ke depan.
"Aku! Akulah yang menjadi keturunan Eyang Mandura!
Tokoh sakti yang telah menumbangkan kesombongan Iblis Mayat Hidup! Siapa kau,
Orang Sakti"!" sahut Adipati Subali tak kalah kasar.
"Ha ha ha...! Kebetulan sekali sudah lama sekali aku ingin membuktikan
kepandaian si keparat Eyang Mandura.
Tak kusangka, aku akan bertemu keturunannya di sini! Hei, Brewok Jelek!
Ketahuilah! Aku adalah Jaranta putra tunggal Iblis Mayat Hidup, kekalahan ayahku
dulu karena terlalu mengalah! Nah! Sekarang, mari kita buktikan kenyataannya!"
Adipati Subali menggertakkan giginya menahan geram.
Untuk pertama kalinya dia menyesali diri, mengapa dulu tidak mewarisi ilmu-ilmu
kakeknya. Padahal, di depannya telah berdiri orang yang mengajaknya bertarung.
Dan bahkan lawan itu adalah keturunan orang yang telah dirobohkan kakeknya.
Meskipun sudah bisa menduga kalau Jaranta memiliki tingkat kepandaian yang jauh
di atasnya, Adipati Subali tidak gentar. Demi membela nama baik kakeknya, dia
rela mati di tangan lawannya. Maka dihampirinya Jaranta.
Baik Jaranta maupun Adipati Subali sama-sama meng-
hentikan langkah ketika telah berjarak kurang dari tiga tombak. Keduanya saling
pandangan sejenak. Mendadak...
"Haaat...!"
Diiringi suara keras melengking nyaring, Jaranta
menyerang Adipati Subali. Pemuda berwajah pucat ini membuka serangannya dengan
sebuah cengkeraman
tangan bertubi-tubi ke arah leher dan ulu hati.
Wut, wut! Suara berkesiutan nyaring mengiringi serangan Jaranta.
Hal ini menjadi pertanda kalau serangan itu dilakukan disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Adipati Subali paham kalau serangan yang dibuka
lawannya sangat berbahaya. Bukan hanya serangannya saja yang berbahaya, tapi
juga bagian yang akan dijadikan sasaran. Ternyata Jaranta lebih memilih bagian-
bagian yang mematikan. Kalau sampai terkena, Adipati Subali akan celaka!
Dan belum Juga Adipati Subali sempat berbuat sesuatu, terasakan ada sebuah
kekuatan tak nampak yang meng-gencet tubuhnya dari berbagai penjuru. Kuat sekali
tenaga yang menekan, sehingga membuat dada laki-laki tinggi besar ini terasa
sesak bukan kepalang. Dan seiring semakin mendekatnya serangan Jaranta, kekuatan
tak nampak yang menekan dadanya semakin membesar pula.
Betapapun seluruh kemampuannya telah dikerahkan untuk membebaskan diri dari
tekanan itu, tapi tetap saja tidak mampu. Kini yang dapat dilakukan Adipati
Subali hanyalah menunggu datangnya sang Maut!
Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adipati Subali pun sadar kalau kekuatan tak nampak yang menekannya dari berbagai
penjuru adalah akibat serangan lawannya. Dan seketika itu pula, dia teringat.
Ya! Jaranta pasti menggunakan ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'! Ilmu yang menjadi
andalan Datuk Utara, ayahnya.
Selama ini, Adipati Subali hanya mendengar cerita
tentang kehebatan Ilmu 'Tangan Delapan Penjuru'. Dan dia sama sekali belum
pernah membuktikannya. Sama sekali tidak disangka kalau akan sedahsyat ini!
Belum apa-apa, dia sudah dlbuat tidak berdaya. Tubuhnya bagaikan tengah digencet
kekuatan raksasa!
Memang dahsyat ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'!
Orang yang mempunyai kekuatan tenaga dalam rendah
akan celaka. Karena sewaktu ilmu ini dipergunakan untuk menyerang, sebelum
serangan itu sendiri tiba akan muncul sebuah kekuatan maha dahsyat yang menekan
lawan dari segala penjuru. Akibatnya, lawan akan sukar untuk
mengelak, hingga menjadi sasaran serangan pemakai ilmu
'Tangan Delapan Penjuru Angin'!
Kini sudah dapat diperkirakan nasib yang akan
menimpa Adipati Subali. Dia akan tewas di tangan Jaranta.
Bahkan putra Iblis Mayat Hidup itu sudah terrawa bergelak, karena yakin
serangannya akan mengenai sasaran dengan tepat.
Di saat yang gawat bagi keselamatan Adipati Subali, melesat sesosok bayangan
ungu ke arah kancah pertarungan. Lalu bayangan itu langsung memapak serangan
yang tengah dilancarkan Jaranta.
Plak plak...! Suara berderak keras terdengar berkali-kali ketika Jaranta mengalihkan serangan
ke arah bayangan yang hendak memapaknya. Akibatnya dahsyat sekali, tubuh Jaranta
kontan terhuyung-huyung ke belakang. Hampir saja, putra Iblis Mayat Hidup ini
terjengkang kalau tidak segera mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya
terhuyung-huyung.
Sementara itu, sosok bayangan ungu itu pun terpental balik ke atas! Tapi dengan
sebuah salto yang indah, kekuatan yang melontarkannya berhasil dipatahkan. Tidak
hanya itu saja yang dilakukannya. Sambil berjumpalitan di udara, disambarnya
tangan Adipati Subali.
Tappp! "Hup!"
Ringan laksana daun kering jatuh ke tanah, sosok
bayangan ungu itu mendaratkan kedua kakinya di tanah.
Menyingkirlah, Kisanak. Dia terlalu lihai untukmu," ujar sosok bayangan ungu itu
pada Adipati Subali.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," ucap orang nomor satu Kadipaten
Blambang sambil menatap wajah penolongnya.
Hanya sekilas saja Adipati Subali menatap wajah
penolongnya, lalu menghampiri Sagala dan Rara Kunti.
Adipati Subali bukan orang bodoh! Dia tahu, Jaranta terlalu sakti untuk dirinya.
Bila terus mengadakan perlawanan sama dengan mencari mati!
*** Jaranta menatap penolong Adipati Subali dengan wajah beringas. Sepasang matanya
memancarkan hawa
kematian. Dia benar-benar murka, karena sudah hampir berhasil menamatkan riwayat
Adipati Subali tapi ternyata gagal. Tentu saja pemuda berwajah pucat ini jadi
kalap ketika mengetahui ada orang yang telah menolongnya.
Kekalapannya bertambah ketika mengetahui tangkisan penolong Adipati Subali
membuat tubuhnya terhuyung-huyung dengan tangan sakit-sakit.
Sosok bayangan ungu itu yang menolong Adipati Subali ternyata seorang pemuda
tampan berusia sekitar dua puluh tahun. Pakaiannya berwarna ungu, membalut
tubuhnya yang tegap dan kekar. Rambutnya berwama
putih keperakan dan meriap sampai ke punggung. Bahkan sebagian rambutnya sampai
menutupi sebuah guci perak yang tersampir di punggung.
"Siapa kau, Keparat"!" benrak Jaranta setelah puas memperhatikan sosok yang
berdiri di hadapannya.
Ada kernyitan pada dahi Jaranta. Dan itu tercipta ketika memandang wama rambut
penolong Adipati Subali. Aneh sekali warna rambut pemuda berpakaian ungu itu!
"Namaku Arya. Dan kau siapa, Biang Keparat"!" pemuda berpakaian ungu itu balas
bertanya. Jaranta mengangguk-anggukkan kepala.
"Kini aku tahu, mengapa kau mempunyai sikap begitu sombong! Bukankah nama
lengkapmu adalah Arya
Buana"! Hm, jadi kau yang berjuluk Dewa Arak itu?" tebak pemuda berwajah pucat
disertai senyum sinis yang tersungging di bibir.
"Dugaanmu sama sekali tidak salah, Kisanak!" kalem sambutan Arya
"Ha... ha... ha...!"
Jaranta tertawa bergelak-gelak.
Tentu saja kelakuan putra Iblis Mayat Hidup itu membuat semua orang yang berada
di situ jadi terkejut bercampur heran. Mengapa Jaranta malah tertawa-tawa"
Gilakah dia"! Kini mereka semua menatap wajah Jaranta dengan dahi berkernyit.
"'Sudah lama kudengar nama besarmu. Dewa Arak! Dan sudah lama pula aku ingin
bertemu denganmu! Aku ingin tahu, apakah gema kebesaran julukanmu sebanding
kepandaian yang kau miliki"! Bersaplah kau, Dewa Arak"!"
Dewa Arak tersenyum hambar.
"Sayang sekali, Kisanak. Aku tidak suka bertarung tanpa alasan kuat," tolak Arya
sambil menggelengkan kepala.
"Kau bilang tidak mempunyai alasan, Dewa Arak"!"
sergah Jaranta dengan sepasang mata membelalak lebar.
"Apakah tindakan yang barusan kau lakukan tidak bisa dianggap sebagai alasan"!
Kau telah mencapuri urusanku, Dewa Arak! Itulah alasannya!"
Kembali Dewa Arak menggelengkan kepala.
"Itu lain, Kisanak! Aku hanya bermaksud menyelamatkan nyawa orang yang tengah
terancam. Lain tidak!"
Jaranta menggeram. Dia kehabisan akal untuk me-
maksa Arya bertarung.
"Kalau begitu, menyingkirlah dari situ, Dewa Pengecut!"
perintah Jaranta keras.
"Mengapa kau menyuruhku menyingkir dari sini, Kisanak"!" Arya masih mencoba
bersabar. "Aku ingin membunuh keturunan si keparat Eyang Mandura!"
"Sayang sekali. Kalau itu maksudmu, terpaksa aku tidak bisa menyingkir dari
sini." kalem ucapan yang keluar dari mulut Arya.
Arya mengambil keputusan untuk bertarung dengan
Jaranta. Hal itu karena didorong beberapa alasan. Satu di antaranya karena orang
di hadapannya hendak membunuh. Dan Arya sadar kalau yang dihadapinya ternyata
berpakaian seperti Iblis Mayat Hidup, seorang datuk sesat yang amat kejam. Jadi,
paling tidak pemuda berwajah pucat itu punya hubungan dekat dengan Iblis Mayat
Hidup. Dan Dewa Arak tahu, kalau Iblis Mayat Hidup adalah tokoh yang amat kejam dalam
rimba persilatan.
"Kalau begitu, kau dulu yang harus kusingkirkan, Dewa Arak!" seru Jaranta,
keras. Usai berkata demikian, Jaranta bersiap-siap melancarkan serangan. Tahu kalau
yang yang dihadapinya kali ini adalah lawan tangguh, Jaranta tidak ingin
bertindak main-main.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras, Jaranta menerjang Dewa Arak.
Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar
meluncur berbareng ke arah dada.
Cit, cit! Suara mencicit nyaring mengiringi tibanya serangan itu.
Sementara, Dewa Arak tahu, kalau ada kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam
serangan lawan.
"Heh..."!"
Dewa Arak tersentak ketika merasa ada kekuatan tak nampak yang menekan tubuhnya
dari berbagai penjuru.
Begitu kuat tekanannya, sehingga membuat dadanya
terasa sesak. Dan seiring semakin mendekat serangan Jaranta, kekuatan tak nampak
itu semakin kuat menekan.
Pemuda berambat putih keperakan itu sadar, mengapa Adipati Subali sama sekali
tidak menghindar meskipun serangan Jaranta hampir mengenai sasaran. Rupanya,
laki-laki tinggi besar itu terhimpit tenaga yang menekan, sehingga tidak bisa
mampu bergerak.
Tapi tentu saja hal yang dialami Adipati Subali tidak terus menerus menimpa Dewa
Arak. Sekali pemuda
berambut putih keperakan itu mengerahkan tenaga dalam, kekuatan yang menekannya
pun sirna. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi dipapaknya serangan yang mengancam
dada. Prakkk! "Akh!"
Jaranta memekik kesakitan. Tangannya kontan terasa sakit-sakit. Bahkan,
tubuhnyapun terhuyung tiga langkah ke belakang. Sementara, Dewa Arak hanya
terhuyung satu langkah. Jelas, tenaga dalam putra Iblis Mayat Hidup masih di
bawah Dewa Arak.
Jaranta menggeram keras. Dia sama sekali tidak pemah mimpi akan mengalami
kejadian seperti ini. Terhuyung-huyung dalam benturan tenaga dalam, melawan
seorang pemuda. Sekali pun orang itu Dewa Arak, dia tidak sudi hal itu terjadi.
Jaranta adalah putra tunggal Iblis Mayat Hidup!
Jadi, pantang baginya disaingi orang. Apalagi dikalahkan.
Perasaan geram bercampur penasaran membuat
Jaranta mengambil keputusan untuk melancarkan
serangan susulan. Tapi sebelum hal itu dilakukannya, mendadak....
"He... he... he... ho... ho... ho... hi... hi... hi...!"
Sebuah tawa aneh membuat Jaranta menghentikan
gerakan. Menilik dari gerakan yang terhenti tiba-tiba, bisa diperkirakan kalau
Jaranta merasa terkejut bukan
kepalang. Bahkan dia melangkah mundur setindak. Kepalanya,
langsung menoleh ke arah asal suara tawa aneh itu terdengar.
Krosek! Ilalang dan semak-semak yang berada di sebelah kiri berkerosakan. Sesaat
kemudian, muncul seorang pemuda berkepala botak. Tubuhnya pendek gemuk. Perutnya
yang buncit terlihat jelas, karena tidak mengenakan pakaian kecuali sebuah
celana pendek. Masih dengan tawa aneh yang tidak putus-putus
pemuda berkepala botak ini melesat ke arah Jaranta dan Arya. Sementara Adipati
Subali, Sagala, dan Rara Kunti yang agak jauh dari situ hanya memperhatikan saja
kehadiran sosok berkepala botak itu.
Gerakan sosok berkepala botak itu terlihat lucu bukan main. Karena gerakannya
seperti tidak tengah berlari, melainkan menggelinding!
Arya terkejut ketika memperhatikan wajah Jaranta,
Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti satu persatu.
Tampak wajah mereka berubah menegang ketika melihat kedatangan pemuda berkepala
botak itu. Siapakah
sebenarnya pemuda itu"
*** 4 Adipati Subali rupanya mengetahui perasaan yang bergolak di hati Dewa Arak.
Buktinya, segera dihampirinya pemuda berambut putih keperakan itu.
"Suara tawa itu hanya dipunyai seorang datuk kaum sesat wilayah Barat. Namanya
Setan Gila, Dewa Arak." jelas laki-laki tinggi besar itu.
Dan sebenarnya, Adipati Subali sungguh-sungguh tidak menyangka kalau akan bisa
bertemu Dewa Arak! Tokoh muda aliran putih yang julukannya sudah lama didengar-
nya. Terus terang, Dewa Arak adalah pendekar yang amat dikaguminya. Tadi ketika
melihatnya, Adipati Subali merasa ragu. Tapi, akhirnya dia baru percaya ketika
Jantara menerka, dan Arya tidak membantahnya. Perasaan yang sama pun bersemayam
di hati Rara Kunti dan Sagala.
Sementara itu, Arya mengangguk-anggukkan kepala
ketika mendengar penjelasan Adipati Subali. Julukan Setan Gila telah didengar.
Dia adalah seorang datuk sesat yang memiliki tingkat kepandaian sejajar dengan
Iblis Mayat Hidup.
Tapi menilik dari keadaannya, Arya tahu kalau pemuda berkepala botak ini bukan
datuk sesat yang menggiriskan itu. Jadi paling tidak kalau bukan anak, pasti
muridnya. "Cihuiii...!"
Pemuda berkepala botak berseru nyaring. Begitu larinya dihentikan, tubuhnya
langsung berbalik. Dan seketika, dia mengunjukkan pantatnya. Sesaat kemudian....
Dut! Bunyi cukup keras keluar dari pantat pemuda cebol itu.
Apalagi kalau kentut, atau angin yang berbau busuk itu"
Bagai diperintah, semua yang berada di situ melangkah mundur sambil menutupi
lubang hidung, untuk mencegah hawa busuk dari angin keras yang keluar lewat
pantat pemuda berkepala botak itu.
"Ha... ha... ha... ho... ho... ho... hi... hi... hi...! Bagaimana bunyi
siulanku"! Merdu, bukan"!"
Pemuda berperut gendut itu kembali tertawa-tawa, dan terlihat gembira sekali.
Perutnya yang buncitpun sampai terguncang-guncang. Masih belum puas juga, maka
tubuhnya langsung dijatuhkan ke tanah dan berguling-gullngan.
"Keparat'"
Jantara yang paling berangasan di antara mereka berteriak memaki. Dia murka
bukan kepalang mendapat per-lakuan seperti itu dari pemuda berkepala botak yang
diduga mempunyai hubungan dengan Setan Gila.
"Hi... hi... hi...! Lucu.. ! Lucu sekali!"
Tiba-tiba terdengar lagi sebuah seruan melengking
tinggi. Jelas seruan itu keluar dari mulut seorang wanita.
Serentak semua kepala menoleh ke arah sebuah bayangan yang berkelebatan sambil
memperdengarkan suara tawanya. Dan hebatnya akibat yang ditimbulkan suara itu
membuat telinga semua orang yang berada di situ seperti ditusuk-tusuk. Sangat
sakit! Tampak sesosok tubuh ramping berpakaian serba putih telah berdiri di sebelah
kiri pemuda berkepala botak.
Rambutnya berwarna hitam, panjang dan tergerai sampai ke bawah. Rasanya tidak
ada yang ditakutkan kalau saja tidak terlihat wajahnya yang ternyata tertutup
sebuah topeng tengkorak! Bahkan di tangannya pun tergenggam sebuah topeng yang
ujungnya dihiasi tengkorak kepala manusia dewasa.
Tidak hanya itu saja. Di lingkaran pinggang wanita bertopeng tengkorak itu pun
berjajar tengkorak kepala. Hanya saja, ukurannya jauh lebih lecil. Mungkin
tengkorak bayi yang baru lahir.
"Ha... ha... ha... ho... ho.. ho... hi... hi... hi...!" pemuda berkepala botak
tertawa terkekeh-kekeh. "Luar biasa! Tinggal satu orang lagi, maka lengkaplah
keturunan datuk-datuk di empat penjuru! Hi... hi... hi...! Ciri-cirimu mirip
sekali dengan Ratu Tengkorak Putih, ho ho ho...!"
Memang, seperti juga Jantara, wanita bertopeng
tengkorak itu juga mempunyai hubungan dengan Ratu
Tengkorak Putih, salah satu dari empat datuk kaum sesat dunia persilatan!
"Hmh!" dengus wanita bertopeng tengkorak itu.
"Tingkahmu sama sekali tidak lucu, Cebol Jelek! Padahal, guruku pernah bercerita
kalau Setan Gila memiliki tingkah amat lucu! Rupanya, kau terhitung murid bebal.
Buktinya, kau tidak bisa mewarisi kelucuan gurumu!"
"Setan Gila bukan guruku, Penghuni Kuburan!" maki pemuda berkepala botak itu
sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. "Orang tua gila itu adalah kakekku! Dan namaku pun
bukan Cebol Jelek! Tapi,
Taliwang!"
"Aku pun bukan Penghuni Kuburan! Namaku Ratna Ningsih!" balas wanita bertopeng
tengkorak tak mau kalah.
Kemudian perhatiannya dialihkan ke tempat lain, dan tidak mau menoleh kembali ke
arah Taliwang. *** Adipati Subali terkejut bukan kepalang menyaksikan
semua ini. Sungguh tidak disangka, tiga ahli waris dari tiga datuk sesat yang
merajai dunia persilatan bisa berkumpul di sini. Tinggal, seorang ahli waris
dari seorang datuk sesat lainnya yang belum muncul. Dan mereka semua
menginginkan surat wasiat yang dibawa Adipati Subali, akan celakalah jadinya.
Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang benar di situ ada Dewa Arak!
Tapi mampukah pendekar muda yang menggemparkan itu menanggulangi tiga orang
lawannya" "Sungguh tidak disangka kita semua bisa berkumpul di sini. Walaupun masih kurang
seorang lagi, tapi merupakan sebuah hal yang aneh kalau pertemuan yang terjadi
hanya secara kebetulan," kata Jaranta, sambil berusaha bersikap tenang.
"Ho... ho... ho...!"
Taliwang yang tidak bisa melucu seperti gurunya, tertawa sambil menggaruk-garuk
dadanya dengan kedua
tangan. Sikapnya mengingatkan pada seekor kera.
"Tidak usah berpura-pura seperti monyet bodoh, Jaranta!
Kami semua tahu, kau berminat memperebutkan kotoran Eyang Mandura!" keras ucapan
Taliwang. Wajah Jaranta merah padam seketika. Dia tahu, kotoran Eyang Mandura yang
dimaksud Taliwang adalah pusaka peninggalannya. Memang, Jaranta berniat
merampasnya dari tangan Adipati Subali. Makanya, dia mencegahnya di sini. Tapi
sama sekali tidak disangka kalau murid datuk-datuk pun melakukan hal yang sama.
"Jangan samakan aku dengan kalian!" sergah Jaranta keras. "Aku sama sekali tidak
berniat memperebut kotoran Eyang Mandura. Toh dengan ilmu warisan ayahku, dunia
persilatan bisa kukuasai! Aku akan menjadi jago nomor satu menggantikan ayahku!"
"Jangan harap impianmu terujud Jaranta! Selama masih ada aku, kau tidak akan
bisa menjadi jago nomor satu di kolong langit!" balas Ratna Ningsih.
"Ho... ho... ho...! Rupanya Jaranta tengah bermimpi,"
Taliwang menyambung ucapan murid Ratu Tengkorak
Putih. Kali ini sambil berjingkrak-jingkrak.
"Apakah kalian membutuhkan bukti" Silakan maju! Akan kalian lihat sendiri betapa
mudahnya bagiku untuk me-robohkan kalian!" sumbar Jaranta bernada tantangan.
"Kau benar-benar berotak udang Jaranta! Untuk apa kita cakar-cakaran sekarang"!
Masalah sepele ini bisa diurus belakangan. Yang penting sekarang, membereskan
lawan-lawan di hadapan kita. Terutama sekali, Dewa Arak!" tukas Ratna Ningsih.
Jaranta terperanjat. Dia tersadar seketika. Kalau ucapan murid Ratu Tengkorak
Putih benar belaka! Yang penting, sekarang membereskan Dewa Arak dan mendapatkan
pusaka Eyang Mandura terlebih dulu. Telah dibuktikannya sendiri kelihaian Dewa
Arak. Tingkatan tenaga dalam pemuda berambut putih keperakan itu benar-benar
berada di atasnya. Bukan mustahil keunggulan pendekar
berambut putih keperakan itu tidak hanya sampai di situ saja! "Kau benar! Lebih
baik, kita bereskan mereka lebih dulu!"
Setelah berkata demiktan, Jaranta melangkah meng-
hampiri Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti yang sejak tadi menyaksikan apa
yang terjadi. Dan langkah Jaranta segera diikuti Ratna Ningsih dan Taliwang.
Menilik dari langkah kaki mereka, bisa diketahui adanya ancaman besar yang
tengah bergerak ke arah Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti. Tapi sebelum hal
itu terjadi, Dewa Arak yang tadi menyisih ke samping segera
memotong langkah mereka. Maka hal ini membuat
Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang terpaksa menghentikan langkah. Kini di
hadapan mereka telah berdiri Dewa Arak yang membelakangi Adipati Subali, Sagala,
dan Rara Kunti.
"Keparat! Kau terlalu sombong, Dewa Arak! Mampuslah kau, hiyaaat..!"
Jaranta yang tidak bisa menahan kemarahannya lagi, langsung menerjang Dewa Arak.
Kedua tangannya
menyampok bertubi-tubi ke arah kedua pelipis Dewa Arak.
Wuttt, wuttt! Seperti kejadian sebelumnya, muncul kekuatan tak
nampak yang menekan Dewa Arak dari segala penjuru.
Dan seiring semakin dekatnya serangan Jaranta, kekuatan yang menghimpit itu
semakin membesar.
Tapi juga seperti sebelumnya, dengan mengerahkan
tenaga dalam dari bawah pusat ke seluruh tubuh, Dewa Arak berhasil membebaskan
diri dari kekuatan tak nampak yang menekannya. Tidak hanya sampai di situ saja
tindakan Dewa Arak. Sadar akan ketangguhan lawan,
apalagi tidak hanya seorang saja yang akan dihadapi, pemuda berambut putih
keperakan ini memutuskan untuk melakukan perlawanan.
Meskipun demikian, Dewa Arak belum berniat meng-
gunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya. Yang dikeluar-kannya hanya ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau dan 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'. Dan dalam
penggunaan ilmu itu, serangan Jaranta dipapaknya. Namun tak lupa, 'Tenaga Dalam
Inti Matahari'nya juga dikerahkan.
Prat, prat! "Akh...!"
Jaranta terpekik kaget. Bukan karena tubuhnya ter-
huyung akibat benturan itu, tapi ketika terasa ada hawa panas yang merayap
melalui jari-jari tangannya.
Buru-buru putra Iblis Mayat Hidup itu mengerahkan
hawa murni untuk mengusir hawa panas yang merayap.
Kemudian dengan hati panas karena perasaan amarah
dan penasaran, kembali dilancarkannya serangan pada pemuda berambut putih
keperakan itu. Perasaan yang bergolak di hati, membuat Jaranta meng-umbar serangan-serangan
dahsyat. Hebat bukan kepalang ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin' itu. Di
samping sebelum serangan itu tiba, telah didahului lebih dulu kekuatan tak
nampak yang menekan seluruh tubuh lawan.
Dalam penggunaan ilmu itu pun, tangan Jaranta seperti berubah menjadi berpasang-
pasang. Dewa Arak terperanjat melihat keistimewaan ilmu yang dipergunakan lawan. Tampak
kedua tangan Jaranta telah berjumlah banyak. Sehingga, sukar untuk diketahui
tangan yang asli. Di samping itu, tekanan kekuatan tak nampak yang menghimpit
tubuhnya cukup untuk membuat Dewa
Arak kerepotan. Setidak-tidaknya, Dewa Arak harus
mengerahkan sebagian tenaga dalamnya untuk memunahkan tekanan kekuatan tak
nampak yang menghimpit
sekujur tubuhnya.
Melihat kenyataan ini, timbul perasaan kagum dalam hati Dewa Arak. Kalau Jaranta
saja sudah mampu berbuat seperti ini, apalagi ayahnya"! Sukar dibayangkan,
sampai di mana ketinggian ilmu Iblis Mayat Hidup!
Namun Dewa Arak segera membuang pikiran-pikiran
yang menggayuti benaknya. Lalu perhatiannya dipusatkan untuk menghadapi serbuan
Jaranta. Dan pertarungan
menarik antara dua tokoh muda pun berlangsung sengit.
*** Ratna Ningsih dan Taliwang mengawasi jalannya
pertarungan penuh perhatian. Memang sebagai seorang tokoh persilatan, tidak ada
kegemaran lain bagai mereka, kecuali mengadu ilmu dan menyaksikan pertarungan.
Apalagi, bila tokoh-tokoh yang bertempur memiliki
kepandaian tinggi seperti Dewa Arak dan Jaranta.
Ternyata bukan hanya kedua orang pewaris ilmu datuk-datuk sesat itu saja yang
sibuk memperhatikan jalannya pertarungan. Sagala, Rara Kunti, dan Adipati Subali
mengarahkan pandangannya pada pertarungan yang
tengah berlangsung.
Sementara itu di kancah pertarungan, begitu menginjak jurus kelima puluh, Dewa
Arak mulai berhasil menekan lawan. Ada banyak hal yang membuat pemuda berambut
putih keperakan berhasil mendesak lawannya. Keunggulan dalam hal tenaga,
kelincahan, dan pengalaman bertarung.
Tentu saja keadaan yang tengah dialami Jaranta
diketahui secara pasti oleh Ratna Ningsih dan Taliwang.
Dahi kedua tokoh sesat ini pun berkernyit dalam. Mereka tahu, tingkat kepandaian
yang dimiliki Jaranta kurang lebih setingkatan dengan mereka. Kalau pemuda
berwajah pucat itu bisa didesak, dengan sendirinya pendekar muda yang memiliki rambut
aneh itu pun akan mampu melakukan hal yang sama pada mereka.
Perasaan khawatir melanda hati Ratna Ningsih dan
Taliwang. Hati mereka cemas kalau maksud pencegatan terhadap Adipati Subali akan
pupus. Mendadak....
"Haaat..!"
Tiba-tiba Ratna Ningsih menggenjotkan kaki. Sesaat kemudian tubuhnya melayang ke
arah Adipati Subali. Tak ada yang melihat gerakannya, kecuali satu orang
Taliwang! "Hih!"
Taliwang yang juga sudah berpikir sampai ke situ tapi telah keduluan Ratna
Ningsih, tidak mau tinggal diam.
Pemuda cebol itu pun ikut pula melesat ke arah Adipati Subali! Rupanya, dia
tidak ingin ketinggalan oleh murid Ratu Tengkorak Putih.
Tapi, rasa-rasanya usaha Taliwang ini akan pupus!
Kenyataannya Ratna Ningsih telah lebih dulu melesat, dan telah beberapa jengkal
di depannya. Biar bagaimanapun, wanita bertopeng tengkorak itu pasti akan lebih
dulu mencapai Adipati Subali. Maka benak Taliwang pun berputar.
Dan... Sing, sing, sing!
Suara berdesing nyaring terdengar ketika kedua tangan Taliwang bergerak
mengibas, setelah sebelumnya dimasuk-kan ke balik pakaiannya. Beberapa buah
gelang berwarna putih mengkilat seketika meluncur ke arah punggung dan belakang
kepala Ratna Ningsih!
Tentu saja murid Ratu Tengkorak Putih itu tahu adanya bahaya mengancam. Disadari
apabila diteruskan sebelum maksudnya tercapai, senjata-senjata yang dilepaskan
Taliwang akan merencah tubuhnya lebih dahulu. Dan, tentu saja Ratna Ningsih
tidak menginginkan hal itu terjadi.
Luar biasa! Tanpa membalikkan tubuhnya. Ratna
Ningsih mengibaskan tongkat bergagang kepala tengkorak manusia ke belakang
Maka.... Trang, tring, tring!
Bunga api berpercikan ke udara ketika geleng-gelang baja itu tertangkis kibasan
tongkat Ratna Ningsih, hingga terpental jauh! Maka, pupuslah semua serangan
Taliwang. Tapi akibatnya, luncuran tubuhnya yang tengah menuju ke arah Adipati Subali pun
terhenti. Dan kini kedua kakinya pun mendarat di tanah. Sementara, Adipati
Subali baru sadar kalau dirinya akan dijadikan sasaran gelap oleh Ratna Ningsih.
Maka, bergegas dia bersiap-siap menjaga segala kemungkinan.
"He he he...!"
Taliwang tertawa terkekeh-kekeh ketika telah men-
daratkan kedua kakinya di tanah. Serangan yang di-
lancarkannya memang tidak diharapkan akan berhasil. Hal itu dilakukan hanya
untuk mencegah Ratna Ningsih men-dahuluinya dalam meringkus Adipati Subali.
Karuan saja suara tawa Taliwang membuat kemarahan
Ratna Ningsih semakin berkobar dahsyat. Memang, sejak Taliwang mengirimkan
serangan yang membuat maksudnya kandas dia sudah murka.
"Keparat! Akan kupecahkan kepalamu yang botak itu, Taliwang! Hih!"
Wukkk! Angin berhembus keras ketika Ratna Ningsih meng-
ayunkan tongkatnya ke arah kepala Taliwang! Tapi sambil tertawa terkekeh-kekeh,
laki-laki berkepala botak itu berhasil mengelakkannya. Tubuhnya berguling ke
depan, hingga serangan itu kandas.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Taliwang.
Setelah menggulingkan tubuhnya beberapa kali dengan sebuah gerakan indah,
tubuhnya melenting ke atas.
"Kereaaah!"
Dibarengi jeritan keras laksana seekor kera murka, Taliwang melompat ke atas dan
langsung dilancarkannya sampokan bertubi-tubi ke arah pelipis, dengan kedua
tangannya yang terkembang membentuk cakar.
Ratna Ningsih terperanjat bukan kepalang. Sama sekali tidak disangka kalau dari
keadaan terancam, Taliwang masih bisa berbalik mengancam. Tindakan yang
dilakukan Taliwang sungguh menakjubkan! Dia sendiri pun mungkin tidak akan mampu
melakukan hal seperti itu. Dan dia yakin, Jaranta pun tidak akan mampu. Tapi,
Taliwang merupakan sebuah kekecualian! Ratna Ningsih tahu,
pemuda bertubuh gendut itu adalah pewaris ilmu 'Setan Gila'! Seorang datuk yang
ilmu meringankan tubuhnya telah terkenal dan menakjubkan.
Setan Gila adalah salah seorang datuk kaum sesat yang memiliki keistimewaan
dalam ilmu meringankan tubuh.
Ilmu andalannya yang bemama 'Kera Gila', memang
menitik beratkan pada meringankan tubuh, di samping serangan-serangan tiba-tiba
yang berbentuk kasar.
Sementara itu walaupun terperanjat, Ratna Ningsih
masih mampu untuk membuktikan kelihaiannya. Dalam
kesempatan yang hanya sekejap, kepalanya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan
tubuhnya ke belakang. Itu dilakukannya tanpa menggeser kaki, karena waktunya
tidak memungkinkan.
Wuttt, wuttt! Sampokan bertubi-tubi yang dilancarkan Taliwang lewat beberapa jengkal di depan
wajah Ratna Ningsih. Menilik dari sekujur pakaian dan rambut wanita bertopeng
tengkorak yang berkibar keras, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang
terkandung dalam serangan itu.
Baru setelah serangan itu berhasil dielakkan, Ratna Ningsih melempar tubuh ke
Patung Dewi Kwan Im 10 Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat Renjana Pendekar 4