Pencarian

Ratu Petaka Hijau 2

Pendekar Mata Keranjang 5 Ratu Petaka Hijau Bagian 2


sentak kaget mendengar kata-kata Mahesa Galuh.
Sungguh tak diduga jika Mahesa Galuh mengeta-
hui rahasia kebejatan guru mereka. Raut muka
gadis kembar ini merah padam.
"Jaga mulut kotormu, Tua Bangka!" bentak Puspasari, garang.
Mahesa Galuh tertawa sinis.
"Siapa pun telah tahu, siapa Gentapati itu!
Manusia macam dia, beserta seluruh pengikut-
nya, memang tak ada gunanya jika dibiarkan te-
rus hidup!"
Pusparani mendengus geram, lalu memberi
isyarat pada Puspasari. Sesaat kemudian....
"Hiaaa...!"
Disertai lengkingan dahsyat, Ratu Petaka
Hijau menjejak dataran pasir. Tubuh mereka me-
lenting ke udara. Dan dengan gerakan yang tak
dapat diikuti mata, kedua gadis ini mendadak
muncul. Sepasang kaki masing-masing menerjang
dari arah kanan dan kiri Mahesa Galuh yang ma-
sih tegak. Satu jengkal dua pasang kaki putih meng-
hantam, Mahesa Galuh merebahkan diri ke depan
rata dengan pasir. Lalu, seketika kedua kakinya bergerak ke atas, seperti hendak
bersalto. Plak! Plak! Kaki Pusparani dan Puspasari menghan-
tam kedua kaki Mahesa Galuh. Tubuh Ratu Peta-
ka Hijau berputar ke samping, dan melayang ke
bawah. Namun sebelum tubuh menghujam ke
bawah, serentak mereka berdua menyentakkan
tangan ke dataran pasir.
Seketika dataran pasir tersibak, terkena
hembusan angin yang keluar dari tangan dan
memantul ke atas menahan tubuh mereka. Dan
ini membuat tubuh mereka turun perlahan, lalu
menjejak dataran pasir dengan kaki kokoh.
Namun tak urung Pusparani dan Puspasari
terkejut. Kaki mereka terasa ngilu. Tapi bagai diberi aba-aba, keduanya segera
merebahkan diri
dan duduk di atas dataran pasir dengan kaki lu-
rus ke depan. Sementara tangan mereka terpen-
tang ke samping.
"Hiaaa...!"
Didahului bentakan nyaring, Ratu Petaka
Hijau menarik tangan ke belakang dengan selu-
ruh tenaga dalam dipusatkan pada pinggul. Dan
begitu pundak masing-masing menyentak, tubuh
Pusparani dan Puspasari meluncur cepat, menyu-
sur dataran pasir ke arah Mahesa Galuh yang te-
lah menarik kakinya dan rebah di atas dataran
pasir. Seketika dataran pasir menyibak dan be-
terbangan, terkena geseran pinggul Pusparani
dan Puspasari. "Mampuslah kau sekarang. Tua Bangka!"
teriak Pusparani, beringas.
Wesss! Wesss! Pada saat yang sama, Mahesa Galuh me-
nyentak kedua tangannya sambil melesat ke atas.
"Heh"!"
Pusparani dan Puspasari terkejut. Saat ka-
ki mereka yang menusuri dataran pasir, ternyata hanya menghantam tempat kosong!
Keduanya cepat menengadah ke atas dan kontan terbeliak tak percaya. Orang tua
yang dikiranya akan babak
belur terhantam kaki tampak dalam keadaan re-
bah dan mengapung di udara.
Ratu Petaka Hijau bangkit dari duduknya.
Satu tangan mereka kemudian diputar di atas ke-
pala, sementara tangan kiri membuka sejajar da-
da. Dan seketika asap berwarna hijau mengepul
di atas kepala.
Dua asap berwarna hijau itu kemudian
bergulung-gulung, lalu melesat ke atas. Dan di
lain kejap, tangan kiri mereka berdua menghan-
tam ke bawah. Mahesa Galuh terkejut. Sungguh tak dis-
angka jika serangan kedua gadis ini telah menu-
tup segala penjuru. Dan dia tak bisa lagi meng-
hindar dengan cara mendarat di atas dataran pa-
sir. Maka dengan membuat gerakan berputar-
putar di udara, Mahesa Galuh segera merentang-
kan kedua tangannya, lalu ditarik kembali dan
langsung dihadapkan ke bawah, seperti orang
menekan! Saat itu juga, asap hijau yang bergulung
dan melesat ke arah Mahesa Galuh mendadak
tertahan. Bahkan kini bergerak perlahan kembali ke bawah, ke arah Pusparani dan
Puspasari. Mengetahui hal ini, Ratu Petaka Hijau se-
gera menarik tangan kiri masing-masing, lalu
mendorong ke atas.
Kini gelombang asap hijau perlahan-lahan
bergerak kembali ke atas, ke arah Mahesa Galuh!
Sekujur tubuh Mahesa Galuh mulai diba-
sahi keringat. Baju birunya yang gombrong tam-
pak berkibar-kibar. Demikian juga rambutnya.
Sementara Pusparani dan Puspasari tak jauh
berbeda. Bahkan pakaian kedua gadis ini sudah
tampak lengket di tubuh masing-masing, mem-
bayangkan lekuk-lekuk tubuhnya.
"Hiaaa...!"
Dengan bentakan membahana, Mahesa
Galuh menambah tenaga tekanannya. Maka asap
hijau kembali menukik ke bawah. Bahkan kedua
kaki Pusparani dan Puspasari mulai masuk ke
dalam dataran pasir!
"Robohkan tiang! Dan galang dengan sem-
buran!" seru Pusparani.
Kedua tangan Ratu Petaka Hijau yang
mendorong ke atas mendadak menyentak ke ba-
wah, tepat ketika tubuh mereka melesat ke samp-
ing kanan dan kiri
Mahesa Galuh yang menekan dari atas ti-
ba-tiba merasakan bagai tersedot ke bawah. Aki-
batnya mau tak mau tubuhnya menukik deras ke
bawah! Namun belum sampai tubuhnya menyen-
tuh dataran pasir, Pusparani dan Puspasari telah meniup ke depan dari arah
samping. "Phuh...!"
Semburan asap hitam segera mengurung,
membuat dataran pasir dalam gua meredup.
Mengira Mahesa Galuh tak bisa melihat,
Pusparani segera menghantamkan pukulan jarak
jauhnya. Namun ternyata dugaannya meleset. Ka-
rena, Mahesa Galuh sempat melihat gerakan tan-
gannya. Maka sebelum gadis ini menggerakkan
tangannya, Mahesa Galuh mendahului.
Wusss...! Serangkum angin yang menderu dahsyat
melesat dari tangan Mahesa Galuh ke arah Pus-
parani. Pusparani berseru terkejut. Sungguh tak diduga kalau Mahesa Galuh dapat
melihat gera- kannya. Di lain pihak, Mahesa Galuh juga berse-
ru kaget. Karena pada saat yang sama dari arah
samping kanan gelombang panas berupa asap hi-
jau yang berkilat menerjang ke arahnya. Begitu
menoleh baru disadari ternyata yang telah mele-
pas serangan adalah Puspasari.
Desss...! "Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, terdengar pekik
tertahan dari mulut Pusparani ketika hantaman
Mahesa Galuh mendarat di tubuhnya. Gadis itu
terlempar ke belakang hingga lima tombak, lalu
terkapar di atas dataran pasir. Pakaian bagian
bahunya tampak menghitam dan koyak. Kulitnya
memerah, seperti kulit terjilat api. Dengan meringis kesakitan dia merambat
bangkit. Tampak dari sudut bibirnya mengalir darah!
Pada saat yang sama juga terdengar pula
lenguhan keras dari mulut Mahesa Galuh ketika
serangan Puspasari mendarat di sasaran. Tubuh-
nya melayang dan jatuh bergulingan di atas dataran pasir. Baju bagian
punggungnya robek men-
ganga, sementara rambutnya yang putih menghi-
tam dan mengelinting berbau sangit!
Puspasari segera menghambur ke arah
saudara kembarnya.
"Mundurlah, Rani! Biar aku sendiri yang
menghadapi tua bangka itu! Dia telah terluka.
Tak mungkin dia terus kuat bertahan!" ujar Puspasari seraya menggandeng tangan
saudara kem- barnya untuk diajak menjauh.
"Jangan anggap remeh tua bangka itu, Sa-
ri! Dia masih terlalu berbahaya jika dihadapi sendirian. Perhatiannya harus kita
pecah!" cetus Pusparani dengan mata menyengat ke arah Mahesa Galuh yang telah
berdiri sambil mengusap-
usap dadanya. "Tapi bahumu terluka. Rani!"
"Jangan hiraukan! Aku akan memancing-
nya, kau yang menyerang!" bisik Pusparani, tanpa menoleh.
Pusparani lantas mementangkan kedua
kakinya lebar-lebar dengan kedua tangan berse-
dekap sejajar dada. Sementara Puspasari melang-
kah menjauh, dan berbuat sama seperti yang di-
lakukan Pusparani.
"Hm.... Dua belas tahun menghilang, ter-
nyata Gentapati telah berhasil menjadikan gadis-gadis ini sejajar dengan tokoh-
tokoh atas. Jika muridnya demikian hebat, tentunya dia sekarang
sukar dijajaki ketinggian ilmunya...," kata batin Mahesa Galuh sambil mengawasi
kedua gadis berbaju hijau. Mata laki-laki tua ini sedikit menyipit, me-
lihat bentuk tubuh Pusparani dan Puspasari.
Apalagi kini baju bagian bawah keduanya tertarik seiring pentangan kaki
keduanya. Dada Mahesa
Galuh sedikit bergetar.
Namun belum lama Mahesa Galuh mera-
sakan getaran dadanya, mendadak Pusparani
memutar tubuhnya yang langsung berubah men-
jadi bayangan hijau. Dan sebentar kemudian, tu-
buh gadis itu berkelebat tak terlihat.
Mahesa Galuh segera sadar. Secepat kilat
tubuhnya diputar berubah jadi bayangan dan
bergerak melesat ke atas. Lalu....
Glarrr...! "Aaakh...!"
Terdengar benturan dahsyat yang disusul
jeritan panjang. Lalu, tampak tubuh Pusparani
melayang jungkir balik menukik ke bawah. Se-
mentara di lain pihak, Mahesa Galuh tampak
membuat gerakan berputar di udara. Saat itulah
tiba-tiba Puspasari membuka kedua tangannya.
"Hiaaa...!"
Disertai lengkingan nyaring, gadis itu me-
loncat ke arah Mahesa Galuh yang hendak men-
darat dengan kedua tangan berkelebat menghan-
tam. Wusss...! Angin kedatangan Puspasari begitu deras,
membuat Mahesa Galuh yang baru saja mendarat
cepat berpaling. Dan laki-laki tua ini kontan terkejut, namun segera merunduk
menghindari han-
taman tangan Puspasari. Kepalanya memang se-
lamat dari hantaman tangan Puspasari. Namun
begitu hantaman tangan lewat, kaki kanan Pus-
pasari menyapu ke arah dada. Mahesa Galuh tak
bisa lagi berkelit lagi. Dan....
Desss...! "Aaa...!"
Tubuh Mahesa Galuh terpental dengan je-
ritan panjang ketika kaki Puspasari mendarat te-
lak di dadanya. Begitu jatuh di pasir, tubuhnya langsung terkapar. Darah
kehitaman muntah dari
mulut Mahesa Galuh.
Melihat keadaan ini, Puspasari tak lagi me-
nunggu Mahesa Galuh bangkit. Tubuhnya cepat
berkelebat. Dan disertai pengerahan seluruh te-
naga dalamnya, kedua tangannya segera dihan-
tamkan ke arah Mahesa Galuh yang baru akan
bangkit. Mata Mahesa Galuh hanya mampu terbe-
liak dengan tenggorokan seperti tercekat. Ia berusaha menghindar, namun tangan
Puspasari lebih
dahulu menggebrak tubuhnya.
Desss...! "Aaa...!"
Untuk kedua kalinya Mahesa Galuh ter-
lempar dengan jeritan dari mulutnya. Di atas dataran pasir, tubuh Mahesa Galuh
masih tampak bergerak-gerak. Sebentar saja, karena kemudian
diam kaku dengan kulit sekujur tubuh membiru!
Rambutnya terpangkas hampir setengah!
Puspasari berbalik dan melesat ke arah
Pusparani. "Kita harus cari tempat untuk merawat lu-
kamu, Rani...," bisik Puspasari seraya mendu-dukkan Pusparani.
Pusparani tersenyum kecut. Tangannya
memegangi dadanya yang terasa nyeri bagai ditu-
suk Lalu kepalanya mengangguk perlahan.
4

Pendekar Mata Keranjang 5 Ratu Petaka Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang penunggang kuda berpakaian hi-
tam dengan topi lebar tampak meluncur perlahan, melintasi sebuah desa yang padat
penduduk. Karena topinya lebar, maka raut mukanya hanya
tampak sebagian. Namun yang membuat bebera-
pa orang tertarik, adalah suara denting lonceng setiap kudanya menapak tanah. Di
bawah leher orang itu memang menggandul sebuah lonceng
besar yang hanya diikat seutas tali yang melingkar di lehernya.
Penunggang kuda ini seperti tak menghi-
raukan sama sekali pandangan beberapa orang.
Dia terus menghela kuda tunggangannya.
Di depan sebuah bangunan yang dikelilingi
tembok tinggi, penunggang kuda itu berhenti. Kepalanya berputar sedikit, seperti
mengawasi ke dalam bangunan lewat pintu gerbangnya yang
tampak dijaga empat orang bersenjata golok pan-
jang. Untuk beberapa saat laki-laki bertopi lebar ini memandang ke dalam
bangunan. Sehingga
tanpa sadar, saat itu dua orang penjaga bersenja-ta golok panjang telah berada
di sampingnya. Sepasang mata mereka melotot, mengawasi gerak-
gerik penunggang kuda ini dengan curiga.
"Hei, Orang Asing! Kau sadar sedang bera-
da di mana sekarang..."!" tegur salah seorang penjaga dengan suara agak keras.
"Orang asing! Buka topi lebarmu, agar ka-
mi dapat melihat jelas tampangmu!" bentak penjaga satunya seraya mengacungkan
golok panjang di tangannya. Penunggang kuda ini memutar kepalanya,
menghadap dua orang yang menegur. Bibirnya
menyeringai, lalu kembali memutar kepala meng-
hadap pintu gerbang masuk.
"Orang asing! Kalau kau tak mau membu-
ka topimu, aku akan membuka dengan ujung go-
lok ini!" ancam pengawal yang berkumis lebat geram, karena merasa diremehkan.
"Hm.... Kalian petugas-petugas yang ra-
mah. Baiklah.... Aku menurut perintah kalian...!"
kata laki-laki bertopi lebar tanpa menoleh pada dua penjaga di sampingnya. Lalu
perlahan-lahan topi lebarnya yang menutupi sebagian mukanya
dibuka. Begitu topinya telah terbuka, penunggang
kuda itu perlahan pula memutar kepala, mengha-
dap dua penjaga yang sepertinya tak sabar meli-
hat gerakannya.
Namun mendadak dua penjaga itu surut
dua langkah ke belakang begitu mereka melihat
mata si penunggang kuda yang ternyata putih
semua, tanpa ada titik hitamnya. Memang mata
penunggang kuda itu buta!
"Orang asing! Siapa kau sebenarnya"! Dan,
apa keperluanmu ke sini"!" kata penjaga yang berkumis lebat. Suaranya agak
bergetar, pertanda menahan ketakutan.
Untuk beberapa saat penunggang kuda
yang tak lain Gentapati tak menjawab. Bahkan
matanya yang buta seperti hendak menelan bulat-
bulat kedua penjaga itu.
"Aku ingin bertemu ketua kalian!" kata Gentapati tandas.
"Siapa kau"! Dan, apa perlumu..."!" tanya penjaga satunya yang berhidung lebar
dengan tatapan menyelidik.
Teng! Teng! Teng!
Gentapati kembali tersenyum menyeringai,
lalu menggerakkan kepalanya.
Lonceng di depan dada laki-laki tua ini
berdenting tiga kali. Namun, cukup membuat dua
penjaga tersentak. Mereka berdua segera menu-
tup telinga masing-masing dengan kedua tangan.
"Aku tak butuh tanya-jawab dengan kalian!
Aku butuh bertemu dengan ketua kalian!" bentak Gentapati menggelegar.
Mendapat bentakan demikian, dua penjaga
itu mundur. "Siapa pun kau, tanpa menyebutkan nama
jangan harap bisa masuk ke dalam! Lagi pula, ketua kami saat ini sedang tak mau
diganggu!" kata penjaga berkumis setelah bisa menguasai keadaan. "Hm..., begitu"
Baik! Akan kubuktikan ucapan kalian!" desis Gentapati.
Setelah memutar tubuhnya, Gentapati
menghela kuda tunggangannya, bergerak hendak
masuk. Namun dua penjaga tadi buru-buru me-
nahan dengan melompat dan menghadang di de-
pannya. Namun baru saja mereka akan bergerak
mengayunkan senjata masing-masing, Gentapati
sudah mengebutkan telapak tangan ke depan.
Wusss...! Serangkum angin menderu kencang, mem-
buat dua penjaga kaget. Namun mereka terlambat
untuk menghindar. Dan....
Des! Des! "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Tanpa ampun lagi tubuh keduanya terlem-
par tiga tombak ke belakang disertai jeritan panjang. Melihat keadaan ini, dua
penjaga lain segera menghambur sambil acungkan senjata masing-
masing. Tapi belum sempat mereka menghujam-
kan senjata, asap berwarna kebiruan telah me-
mapak gerakan. "Aaa...!"
Dua jeritan kembali terdengar disusul ter-
lemparnya dua penjaga itu hingga menghantam
tembok yang mengelilingi bangunan.
Mendengar suara ribut-ribut di luar, bebe-
rapa orang yang ada di dalam bangunan segera
berlari ke depan. Tapi seketika mereka menghen-
tikan langkah, begitu melihat Gentapati memasu-
ki pintu gerbang dengan seulas senyum.
"Pengacau busuk! Siapa kau..."!" bentak seorang laki-laki kekar yang tampaknya
menjabat sebagai kepala penjaga.
Gentapati tidak menjawab. Sementara bi-
birnya terus tersenyum mengejek.
"Tangkap pengacau buta ini!" perintah laki-laki kekar, setengah berteriak.
Lima orang segera maju mengurung Gen-
tapati. Dan tanpa diberi aba-aba lagi, senjata
masing-masing langsung dihantamkan.
Sementara Gentapati masih tetap duduk di
atas kuda tunggangannya tanpa bergeming. Na-
mun sejengkal lagi kelima golok itu mencacah tubuhnya, kedua tangannya diputar.
Wusss...! Segelombang angin dahsyat segera berpu-
tar membuat lima golok itu serentak berpentalan.
Sedangkan lima orang yang mengurung terjerem-
bab berkaparan di atas tanah!
Beberapa orang yang melihat kejadian ini
segera beringsut mundur dengan wajah diselimuti rasa khawatir.
"Aku tak percaya kalau dia masih hidup!"
kata salah seorang dengan suara bergetar.
"Kau mengenalnya...?" tanya yang lain.
"Buka matamu lebar-lebar! Bukankah dia
Gentapati" Dialah tokoh jajaran atas dari golongan hitam yang dulu pernah
menguasai dunia
persilatan, sebelum akhirnya ditumbangkan be-
berapa tokoh dari golongan putih. Hanya saja penampilannya sekarang beda. Kini
kedua matanya buta!" jelas orang itu.
"Kalau dia memang Gentapati, kenapa
membuat kekacauan di sini..." Bukankah berarti
dia sealiran dengan ketua kita..."!" kata yang lain seraya terus mengawasi.
"Lekas panggil ketua kalian! Suruh dia ke-
luar dari bawah selimutnya!" perintah Gentapati membentak dengan kepala
memandang ke sekeliling. Belum juga gema bentakan Gentapati le-
nyap.... "Bangsat! Siapa berani menyuruh dengan
seenak dengkulnya, he..."!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras meng-
gelegar, diikuti kelebatan sesosok bayangan. Dan tahu-tahu sosok itu berdiri
tegak di hadapan Gentapati. Seketika kedua tangannya dihantamkan
ke depan. Wuttt! Mendapat serangan demikian cepat, Gen-
tapati langsung melenting ke atas. Namun....
Brakkk! "Hiekh!"
Kuda tunggangan Gentapati kontan me-
ringkik keras dan langsung bergulingan di atas
tanah begitu hantaman sosok itu mendarat di
punggungnya hingga robek meregang nyawa. Bi-
natang malang ini sebentar kemudian diam tak
bergerak lagi! Pada saat masih di udara, Gentapati mem-
buat gerakan berputar, lalu kembali menjejak tanah dengan kaki kokoh.
Sosok yang baru saja mengirimkan seran-
gan sedikit terkejut. Sungguh tak disangka jika
penunggang kuda itu begitu mudah menghindari
serangannya. Sosok yang ternyata seorang laki-laki beru-
sia lanjut, memandang dengan sorot mata tajam.
Wajahnya yang bulat, dipenuhi bopeng. Dan di
sana sini terdapat beberapa guratan bekas luka.
Matanya sipit. Kepalanya tak ditumbuhi rambut.
Dalam rimba persilatan, dia dikenal sebagai Da-
tuk Penyebar Maut. Dialah salah seorang dari sekian banyak tokoh hitam yang
disegani. "Jahanam!" bentak Datuk Penyebar Maut geram. "Siapa kau..."!"
Gentapati menyeringai. Lalu telunjuk tan-
gannya diluruskan pada mata Datuk Penyebar
Maut. "Datuk Penyebar Maut! Bukankah kau tidak buta" Lebarkan sepasang matamu!
Apa kau tidak mengenaliku lagi..."!"
Sambil berkata Gentapati gelengkan kepa-
lanya. Maka lonceng di depan dadanya bergerak
dan berdenting.
"Gentapati..."!" desis Datuk Penyebar Maut, seraya mundur dua tindak ke
belakang. Sepasang
matanya yang sipit terbeliak. Tubuhnya tampak
sedikit bergetar.
"He... he... he...!"
Gentapati tertawa mengekeh, membuat
dentingan lonceng di depan dadanya bergerak ke-
ras mengeluarkan suara memekakkan telinga.
Dari suara kekehan tawa serta dentingan
lonceng, Datuk Penyebar Maut segera tahu kalau
Gentapati yang sekarang lain dengan dua belas
tahun yang silam. Namun ada sesuatu yang
membuatnya sedikit lupa, karena kali ini sepa-
sang mata Gentapati buta.
"Datuk Penyebar Maut!" panggil Gentapati dengan senyum sinis. "Tidak disangka
kita bertemu di sini. Apa kau juga telah menjadi kaki tangan si Ganda
Mayat..."!"
Dirinya disebut kaki tangan, rahang Datuk
Penyebar Maut mengembung. Pelipisnya berge-
rak-gerak. Sepasang matanya membesar mena-
han amarah. "Dengar, Manusia Buta! Kau sekarang bu-
kanlah Gentapati dua belas tahun silam, yang
dapat mengumbar kata-kata dengan seenak
udelmu. Namun karena kita masih satu aliran,
juga karena aku masih menghormati nama be-
sarmu, tingkah lakumu masih kuampuni. Tapi,
lekaslah angkat kaki dari sini!" desis Datuk Penyebar Maut.
"Ha... ha... ha...!"
Tawa Gentapati meledak mendengar kata-
kata Datuk Penyebar Maut. Dan ini membuat
dentingan lonceng di dadanya berdenting keras.
Hingga mau tak mau Datuk Penyebar Maut harus
sedikit mengerahkan tenaga dalam untuk mena-
han getaran pada dadanya. Sementara beberapa
orang yang berada di halaman bangunan itu tam-
pak menutup telinganya. Bahkan sebagian orang
terlihat bergulingan sambil menjerit dan meme-
gangi telinga yang mengeluarkan darah!
"Phuih...!"
Gentapati meludah ke tanah, ketika ta-
wanya berhenti. Juga suara denting loncengnya.
"Dengar, Datuk Penyebar Maut! Kedatan-
ganku kemari adalah untuk membuat ketuamu
meletakkan jabatan. Dan yang lebih penting, dia harus berlutut di hadapanku dan
bersumpah masuk menjadi anggota partaiku! Tak terkecuali,
kau!" bentak Gentapati, lantang.
"Kau jangan bermimpi, Gentapati! Partaimu
telah hancur! Lagi pula, jika kau ingin berhadapan dengan Ganda Mayat, langkahi
dahulu tu- buhku!" tantang Datuk Penyebar Maut sambil mengusap-usap kepala.
"Rupanya kau jongos yang setia, Datuk!
Baiklah. Akan ku langkahi dahulu tubuhmu.
Bahkan akan ku injak-injak!" balas Gentapati, tak kalah gertak.
"Anjing buduk!" hardik Datuk Penyebar Maut marah.
Saat itu juga, Datuk Penyebar Maut meng-
hentakkan kedua tangannya.
Wesss...! Serangkum angin langsung melesat ke
arah Gentapati.
Gentapati hanya tersenyum dingin. Kemu-
dian kedua tangannya diangkat dan dibuka di de-
pan dada. Sementara loncengnya terus berdent-
ing. Blap! Tahu-tahu saja angin serangan itu berba-
lik, melesat ke arah Datuk Penyebar Maut.
Datuk Penyebar Maut mendengus geram.
Cepat tubuhnya dilempar ke samping. Namun ba-
ru saja mendarat, selarik gelombang hitam me-
nerjang ke arahnya. Kembali Datuk Penyebar
Maut harus menghindar dengan melenting ke
udara. Saat itulah mendadak Gentapati menghen-


Pendekar Mata Keranjang 5 Ratu Petaka Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

takkan bandul yang ada di loncengnya.
Tang! Seketika lonceng itu berdenting dahsyat,
membuat Datuk Penyebar Maut yang masih di
udara harus segera mengerahkan tenaga dalam
untuk menangkis tenaga dalam yang keluar dari
dentingan lonceng.
Pada saat seperti ini, tiba-tiba Gentapati
menghentakkan tangannya.
Karena saat ini sedang mengerahkan tena-
ga dalam untuk menangkis tenaga dentingan lon-
ceng, maka Datuk Penyebar Maut tak dapat lagi
menangkis sentakan tangan Gentapati. Dan dia
hanya mampu melotot dengan wajah pucat/ La-
lu.... Desss...!
"Aaakh...!"
Sesaat kemudian terdengar raungan keras
dari mulut Datuk Penyebar Maut ketika serangan
Gentapati mendarat telak di dadanya. Saat itu ju-ga tubuh Datuk Penyebar Maut
menukik, dan langsung menghantam tanah.
Bruk! Dengan rahang berkerut geram. Datuk Pe-
nyebar Maut bergerak bangkit. Hidungnya tam-
pak mengeluarkan darah. Kepalanya yang gundul
memerah. "Bangsat! Dia memang berubah banyak se-
telah menghilang beberapa tahun. Tapi...."
Belum sempat Datuk Penyebar Maut mene-
ruskan kata hatinya Gentapati telah kembali me-
nyentakkan kedua tangannya
Wusss...! Seketika dari arah gelombang asap biru
bergulung meluncur ke arah Datuk Penyebar
Maut Datuk Penyebar Maut makin blingsatan.
Namun kedua tangannya cepat dipalangkan di
depan dada dengan mulutnya berkemik-kemik.
Dan mendadak, tangannya berubah menjadi pu-
tih berkilat-kilat Sesaat kemudian, kedua tangannya didorong ke depan.
Splash! Splash! Splash!
Tiga larik sinar putih seketika melesat dari
tangan Datuk Penyebar Maut, meluruk ke arah
asap biru. Dan....
Blarrr...! Terdengar gelegar dahsyat, disertai perci-
kan bunga api membumbung ke udara. Suasana
sebentar terang benderang.
Tampak Datuk Penyebar Maut terjajar
mundur dua langkah ke belakang.
Sementara Gentapati tertawa terkekeh tan-
pa bergeming sedikit pun. Namun kekehannya ti-
ba-tiba sirna, tatkala satu larik sinar putih sempat lolos dan kini menuju ke
arahnya. *** Dengan gerakan cepat bagai kilat, Gentapa-
ti segera memiringkan tubuhnya. Lalu disertai
bentakan keras, menyemburkan ludah ke depan.
"Chuhhh...!"
Besss...! Saat itu juga larikan sinar putih kontan
musnah bagai tertelan ludah panas yang keluar
dari mulut Gentapati.
"He... he... he...!"
Sejenak kemudian terdengar kembali keke-
han Gentapati. Merasa penasaran dan marah, tubuh Da-
tuk Penyebar Maut segera berkelebat cepat. Se-
mentara Gentapati yang hanya mengandalkan in-
dera keenam segera mendongakkan kepala. Dia
mengira serangan datang dari arah atas. Namun
baru saja mendongak, tubuh Datuk Penyebar
Maut telah meluncur deras dengan kedua tangan
laksana besi hitam menyambar ke arah kepala.
Sebagai tokoh tingkat tinggi, Gentapati me-
rasakan adanya desir angin kencang di depan hi-
dungnya. Maka segera tangannya disapukan me-
nyilang ke depan.
Buk! Brak! "Aaakh...!"
Dua pasang tangan beradu disertai peki-
kan Datuk Penyebar Maut. Tubuh laki-laki bo-
peng ini terpental ke belakang, namun cepat
membuat gerakan bersalto. Dan mantap sekali
kakinya mendarat. Lalu dengan gerakan amat ce-
pat tubuhnya melesat kembali dengan kaki kanan
mengarah dada Gentapati yang terbuka. Begitu
cepat gerakannya, membuat Gentapati tak sem-
pat menutup bidang yang lowong. Dan....
Desss! "Aaakh...!"
Gentapati terhuyung ke belakang dengan
lenguhan amarah. Selagi tubuhnya masih mun-
dur terhuyung, Datuk Penyebar Maut kembali
melesat. Tangan kanannya kini terjulur ke depan, mencari sasaran....
Dalam keadaan yang demikian singkat,
Gentapati langsung menjatuhkan diri ke belakang sambil mengangkat kedua kakinya.
Begitu cepat gerakannya, sehingga Datuk Penyebar Maut sama
sekali tak pernah menduga. Dan...
Desss...! "Aaakh...!"
Telak sekali kedua kaki Gentapati menda-
rat di perut Datuk Penyebar Maut. Hantaman
yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi,
membuat tubuh laki-laki bopeng itu terpental dan Tak kuasa lagi menguasai
keseimbangan. Brak! Keras sekali tubuh Datuk Penyebar Maut
mencium tanah. Padahal pada saat yang sama,
Gentapati telah melenting dan berputaran di uda-
ra menuju ke arahnya. Dan dengan perhitungan
yang tepat, Gentapati mendaratkan kakinya di
leher Datuk Penyebar Maut.
"Khekgh...!"
*** "Dengar, Datuk Penyebar Maut! Hanya satu
hal yang dapat memperpanjang hidupmu! Ten-
tunya, kau telah tahu itu bukan..."!" desis Gentapati disertai senyum mengejek.
Sementara Datuk Penyebar Maut tak
mampu berbuat apa-apa lagi. Bila kaki Gentapati menekan disertai penambahan
tenaga dalam pasti
pada lehernya patah.
"Baiklah! Aku akan mengangkat sumpah
menjadi anggota partaimu!" desah Datuk Penyebar Maut, tersendat.
"Ha... ha... ha...!"
Gentapati tertawa tergelak-gelak. Sepasang
matanya yang berwarna putih jadi tampak menyi-
pit. Lantas dikeluarkannya kantong dari balik ba-ju hitamnya.
"Aku tak percaya dengan pernyataan mu-
lut. Datuk! Inilah yang lebih kupercaya!" kata Gentapati sambil mengeluarkan
sebutir benda bulat kecil berwarna hijau dari kantongnya.
Gentapati sedikit menekan kakinya pada
leher Datuk Penyebar Maut. Dan ini membuat
mulut laki-laki botak itu terbuka sedikit karena tergencet. Pada saat itulah
Gentapati memasuk-
kan butiran warna hijau pada mulutnya.
Begitu butiran masuk, Gentapati men-
gangkat kakinya dari leher Datuk Penyebar Maut.
Lantas tubuhnya berbalik. Pandangannya lang-
sung beredar ke sekeliling, seolah mengawasi semua orang yang masih berdiri
gemetar di tempat-
nya. "Datuk!" panggil Gentapati tanpa menoleh.
"Kumpulkan semua orang. Dan, suruh mereka
menelan satu-satu butiran yang ada di kantong
ini!" Gentapati segera melemparkan kantong ke arah Datuk Penyebar Maut yang
mulai bangkit sambil meringis kesakitan.
"Semua orang yang ada di sini, dengar! Ka-
lian satu persatu harus menelan butiran yang ada di kantong itu! Itu jika kalian
masih ingin hidup!
Nah, sekarang kalian maju!" ujar Gentapati berteriak. Beberapa orang masih
tampak ragu-ragu.
Namun tatkala melihat Datuk Penyebar Maut
mengangguk perlahan, satu persatu mulai me-
langkah ke arah Datuk Penyebar Maut.
Dengan tubuh gemetar dan wajah pucat
pasi beberapa orang menerima butiran dari kan-
tong yang berada di tangan Datuk Penyebar Maut, dan langsung menelannya.
"He... he... he...!" Gentapati tertawa mengekeh. "Butiran itu berisi racun! Dan
akan bekerja, setelah lima purnama yang akan datang. Jika pa-da saat yang
ditentukan, kalian tidak datang ke
puncak Gunung Wilangkor dan mengangkat
sumpah menjadi anggota partaiku, tubuh kalian
akan menghitam dengan kulit mengelupas!" ancam Gentapati di sela tawanya.
Beberapa orang terperanjat. Dan mereka
hanya bisa mengumpat panjang pendek dalam
hati. "Jika kalian kelak datang, aku akan memberi penawarnya!" sambung
Gentapati. Kemudian kakinya melangkah menuju pintu bangunan yang
dari tadi tampak tertutup.
Di depan pintu langkah Gentapati berhenti.
Kemudian ditariknya bandul loncengnya.
Teng! Teng! Suara berdenting keras terdengar. Namun
belum lenyap suara dentingan...
"Ganda Mayat! Keluarlah! Aku...."
Belum habis kata-katanya, sekonyong-
konyong pintu bangunan di depan Gentapati ber-
diri ambrol. Pada saat yang sama, mendadak me-
lesat sosok putih dari dalam bangunan.
Begitu mendarat lima tombak di hadapan
Gentapati, baru jelas siapa sosok ini. Dia ternyata seorang laki-laki berusia
lanjut. Rambutnya sudah memutih dan tegak kaku serta jarang. Demi-
kian juga jenggot dan kumisnya. Raut wajahnya
pucat, bagai tak pernah terkena sinar. Matanya
bulat, namun tersuruk dalam rongga yang amat
menjorok ke dalam. Kulit di wajahnya sangat tipis dan hampir tak terlihat,
membuat tulang-tulang
wajahnya bertonjolan. Tubuhnya kurus kering,
terbungkus pakaian putih yang hanya dibalutkan
di sekujur tubuhnya. Tapi yang membuat orang
segera menjauh jika berhadapan, sosok berbalut
kain putih ini ternyata menyebar bau amis seperti mayat. Karena itulah orang-
orang persilatan men-julukinya Ganda Mayat.
Dan memang, Ganda Mayat adalah salah
seorang berkepandaian tinggi dari jajaran atas golongan sesat. Dia mau bekerja
untuk siapa saja, asalkan mendapatkan bayaran. Namun dalam setiap menyelesaikan
pekerjaan, dia tak turun tangan sendiri. Jika yang dihadapi orang yang beril-mu
tinggi, barulah dia akan turun tangan. Maka
tak heran jika Ganda Mayat mempunyai beberapa
anak buah. Bahkan tempat tinggalnya pun dijaga
ketat. Dalam beberapa tahun terakhir ini. Ganda Mayat memang leluasa malang
melintang tanpa
ada yang menghadang. Hal ini terjadi, tepatnya
setelah Gentapati yang waktu itu merajalela, dapat ditumbangkan tokoh-tokoh
golongan putih.
Namun dalam beberapa hari terakhir ini,
Ganda Mayat agak begitu khawatir. Perasaan itu
timbul, setelah mendengar kabar tentang kemun-
culan dua orang gadis berilmu tinggi yang berhasil menghancurkan beberapa
perguruan silat, dan merobohkan beberapa tokoh kosen. Dan kedua
gadis itu membawa-bawa nama Gentapati!
Tadi, tatkala terdengar ribut-ribut di luar.
Ganda Mayat sengaja tidak menampakkan diri.
Dia sengaja menunggu. Tapi ketika didengarnya
yang berteriak adalah seorang laki-laki, tanpa pi-
kir panjang lagi tubuhnya melesat ke luar.
Kini sepasang mata Ganda Mayat berputar
liar. Tulang-tulang yang bertonjolan di wajahnya tampak bergerak-gerak, seiring
berkerutnya dahi.
Bahkan sesaat kemudian, sepasang kakinya
mundur satu tindak ke belakang begitu mengeta-
hui orang yang kini berdiri di hadapannya.
"Gentapati..."!" desis Ganda Mayat, seperti tersedak.
"Hm... Syukur kalau kau masih mengenali-
ku. Ganda Mayat!" gumam Gentapati dengan senyum sinis. "Ganda Mayat! Waktuku
tidak banyak. Di tempat ini, tinggal kaulah satu-satunya yang belum menyatakan
masuk menjadi anggota
partaiku! Sekarang, cepat berlututlah!"
Ganda Mayat menggeram. Pandangannya
langsung berputar ke arah beberapa anak buah-
nya. "Mereka telah bersedia masuk anggota partaiku!" usik Gentapati, selagi
Ganda Mayat menebar pandangan. Laki-laki tua berbau amis ini tersentak.
Sementara Gentapati tertawa mengekeh,
membuat loncengnya berdenting keras.
"Gentapati! Kau boleh memaksakan kehen-
dakmu atas tikus-tikus itu. Tapi terhadapku..."
Mungkin tidak semudah dugaanmu!" desis Ganda Mayat. "Aku tak butuh omong
congkakmu, Ganda Mayat! Yang ku mau, kau berlutut di hadapanku.
Dan, menjadi anggota partaiku!" hardik Gentapati.
"Sungguh sayang, aku orang yang tidak
suka dipaksa!"
Habis berkata Ganda Mayat mendongak.
Seketika bau busuk segera menebar. Beberapa
bekas anak buahnya buru-buru menutup hidung
masing-masing. "Matahari sudah tinggi. Dan aku tak suka
dengan matahari. Selagi belum terlambat, cepat-
lah angkat kaki dari mukaku, Gentapati!" sambung Ganda Mayat sambil mengelus
jenggotnya

Pendekar Mata Keranjang 5 Ratu Petaka Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang jarang. "Hm.... Jika begitu, berarti kau telah siap dengan gurat kematian, Ganda Mayat!"
"Jahanam!" bentak Ganda Mayat sambil
berbalik seakan-akan hendak kembali ke dalam
bangunan tempat tinggalnya.
Namun mendadak, tubuh laki-laki berbau
amis ini berkelebat cepat membalik sambil men-
dorongkan kedua telapak tangannya ke arah Gen-
tapati. Wusss...!
Serangkum angin menggemuruh disertai
bau busuk segera melesat.
Teng! Teng! Saat bersamaan terdengar dentingan lon-
ceng bergaung keras. Dan begitu Gentapati me-
nyentakkan tangannya, melesat asap biru yang
menderu dahsyat.
Tanah dan debu di depan halaman bangu-
nan ini berhamburan, membawa bau busuk ber-
campur aduk. Lantas....
Blarrr...! Mendadak terdengar ledakan dahsyat yang
mengguncang tempat ini. Ganda Mayat terpental
hingga membentur pintu bangunan yang telah je-
bol. Ketika mencoba bangkit mukanya bertambah
pias dan memutih. Tubuhnya tampak bergetar
hebat. Di pihak lain, Gentapati terhuyung-huyung lalu roboh ke tanah. Setelah
mengucek-ucek sepasang matanya yang buta, kepalanya segera
menggeleng-geleng.
Sementara itu Ganda Mayat tidak bisa me-
nahan geramnya. Saat itu juga sepasang kakinya
menjejak, membuat tubuhnya yang kurus kering
melayang ringan ke depan dengan kedua tangan
bergerak cepat ke sana kemari. Sementara, ka-
kinya berputar-putar liar menghantam. Pada se-
tiap gerakan tangan dan kakinya, menebar bau
busuk disertai sinar putih yang menyilaukan! Hebatnya, sebelum tangan dan
kakinya sempat me-
labrak tubuh Gentapati, larikan beberapa sinar putih telah melesat terlebih
dahulu! Namun sebegitu jauh, Gentapati masih
tampak tegak diam. Bahkan sepasang matanya
yang buta terpejam rapat. Dan satu depa larikan sinar putih berkilauan
menghantam, mendadak
Gentapati menjatuhkan diri ke samping. Dengan
tubuh miring, kedua kakinya langsung memutar
ke depan. Wusss...! Angin bersiutan melesat, memapak bebe-
rapa larik sinar putih.
Tar! Tar! Terdengar beberapa kali letusan ketika an-
gin yang dibuat Gentapati membentur sinar pu-
tih. Pada saat yang sangat singkat, tangan dan kaki Ganda Mayat datang. Seketika
Gentapati cepat mengibaskan kedua tangannya.
Plak! Plak! Dua pasang tangan saling bentrok menge-
luarkan suara benturan keras beberapa kali. Tu-
buh Ganda Mayat tampak terpental balik, lalu
bergulingan di atas tanah dengan telinga dan hidung mengucurkan darah. Sementara
Gentapati hanya terseret dua tombak menyuruk tanah.
Sambil mengusap darah Ganda Mayat
bangkit. Tapi belum juga sempurna bangkitnya,
tiba-tiba tubuh Gentapati melesat laksana kilat.
Kakinya terjulur, siap menghantam kepala. Begitu cepat dan mendadaknya serangan
itu. Dengan sebisa-bisanya Ganda Mayat mengangkat tangan
untuk melindungi kepala. Namun di luar dugaan,
tendangan Gentapati berbelok, dan tahu-tahu
menghantam dada Ganda Mayat.
Desss! "Aaakh...!"
Ganda Mayat terjengkang ke belakang dis-
ertai pekikan keras, lalu jatuh keras menimpa tanah. Dan selagi hendak merambat
bangkit, Gen- tapati telah menyentakkan kedua tangannya
kembali. Wesss...! Paras Ganda Mayat mendadak putih den-
gan mata terbeliak dan tubuh gemetar melihat
luncuran asap biru ke arahnya. Dia berusaha
mengelak, namun gerakannya lamban. Sehingga
sebelum tubuhnya dapat digerakkan, asap biru
itu telah menghantam tubuhnya.
Desss...! "Aaa...!"
Tubuh Ganda Mayat kontan melayang,
tatkala terhantam asap biru dari telapak Gentapati. Tak lama, tubuhnya telah
jatuh berdebuk di tanah. Dan tidak bergerak-gerak lagi!
Gentapati menggerak-gerakkan kepalanya,
membuat loncengnya berdenting. Lalu tubuhnya
berbalik menghadap beberapa bekas anak buah
Ganda Mayat. "Dengar! Lima purnama yang akan datang,
kalian kutunggu di puncak Gunung Wilangkor!
Dan sejak hari ini, tempat ini kuserahkan pada
kalian! Kau, Datuk Penyebar Maut, kuangkat jadi wakilku di sini! Nah, sekarang
aku perlu kuda.
Cepat ambilkan!"
"Baik, Gentapati!" jawab Datuk Penyebar Maut sambil menjura diikuti beberapa
orang lain. 5 "Rani, istirahatlah! Aku akan keluar men-
cari daun-daunan untuk mengobati luka-
lukamu!" ujar Puspasari seraya beranjak.
Saat ini dua gadis kembar berjuluk Ratu
Petaka Hijau berada dalam sebuah bangunan
rumah kayu di pinggir Hutan Sedayu yang berba-
tasan dengan Desa Jatisrono.
Pusparani yang masih merasakan luka da-
lam akibat bentrok pukulan dengan Mahesa Ga-
luh hanya mengangguk perlahan, lalu merebah-
kan diri di sebuah dipan yang beralas jerami kering. Lantas kedua matanya
dipejamkan dengan
kedua tangan menakup di atas dada. Hembusan
napasnya tampak teratur dan panjang-panjang.
Pusparani mencoba mengerahkan tenaga hawa
murni ke seluruh persendian tubuhnya yang te-
rasa ngilu. Sementara Puspasari tersenyum, lalu me-
langkah perlahan ke arah pintu. Dibukanya daun
pintu perlahan-lahan agar tidak mengusik kete-
nangan saudara kembarnya.
Begitu berada di luar, Puspasari sesaat
memandang ke sekeliling. Setelah merasa tidak
ada orang lain di tempat itu, tubuhnya segera
berkelebat ke dalam hutan. Sebentar kemudian,
tubuhnya telah lenyap di balik pohon-pohon hu-
tan serta semak belukar.
"Hm... Untung Guru juga mengajari cara
meramu daun-daunan...," gumam Puspasari.
Kini gadis itu telah berada di sebuah kawa-
san yang ditumbuhi bermacam-macam tumbuhan
yang bisa dibuat obat-obatan.
"Matahari masih baru saja beranjak dari ti-
tik tengahnya...," kata hati Puspasari sambil menengadah ke atas. "Masih cukup
waktu untuk mencari daun-daun yang kuperlukan sambil melihat suasana!"
Puspasari terus berkata-kata sendiri. Se-
mentara, angannya mulai melayang jauh.
"Ah! Kenapa sejak bertemu pemuda yang
bergelar Pendekar Mata Keranjang aku tak bisa
menepis bayangan wajahnya" Apakah aku telah
jatuh cinta..." Tapi, apakah mungkin" Dia adalah salah seorang pendekar dari
golongan putih. Se-lain itu, dia tampan yang bukan mustahil banyak gadis yang
menyukainya! Haruskah aku mengorbankan cita-cita hanya karena seorang pemuda?"
Seraya melangkah, Puspasari mengawasi
beberapa tumbuhan. Namun gerakan langkahnya
tiba-tiba terhenti ketika....
"Ha... ha... ha...!"
Terdengar derai tawa yang makin lama se-
makin dekat dengan tempat Puspasari berada. Se-
telah beberapa saat, gadis ini berpaling ke belakang, ke arah sumber suara.
Namun baru saja
menggerakkan kepala, Puspasari tersentak. Ka-
kinya langsung mundur sambil berbalik tubuh.
Ternyata di belakangnya telah berdiri seorang la-ki-laki dan seorang perempuan.
"Hm.... Suara tawanya terdengar masih
jauh. Namun, orangnya berada di sini. Siapa pun mereka, pasti berilmu tinggi!"
gumam batin Puspasari. Sepasang matanya membesar, mengawasi
dua orang di hadapannya yang masih tertawa
berderai-derai!
Yang laki-laki berpakaian putih bersih. Wa-
jahnya tampan dengan sepasang mata menyorot
tajam. Rambutnya panjang sebahu. Usianya kira-
kira masih tiga puluh tahun. Sementara yang pe-
rempuan berpakaian merah muda. Rambutnya
ikal dan panjang bergerai. Bentuk dadanya mem-
busung kencang dengan pinggul besar. Parasnya
manis. Sepasang matanya bulat dan berbinar. Ke-
tika tertawa, lesung pipitnya tampak menghiasi
kedua pipinya yang montok. Usianya kira-kira
dua puluh tahun.
"Siapa kalian..."!" tegur Puspasari, setelah berhasil menekan rasa terkejutnya.
Puspasari memandang berganti-ganti pada
dua orang di hadapannya dengan kening berker-
nyit. Laki-laki dan perempuan yang ditegur saling berpandangan, lalu tertawa.
Begitu gema tawa lenyap, laki-laki tampan itu berpaling ke arah
Puspasari. Sepasang matanya berputar liar, me-
nelusuri sekujur tubuh Puspasari dan berhenti
pada pahanya. "Gadis cantik! Kalau tak salah, kami se-
dang berhadapan dengan salah seorang dari dua
gadis yang bergelar Ratu Petaka Hijau. Apa be-
tul"!" tanya laki-laki itu.
Puspasari menyipitkan kedua matanya, la-
lu menyeringai sinis. Namun, dia tak menjawab.
Sementara gadis berbaju merah muda
mendelik saat pemuda di sampingnya meman-
dang Puspasari, seakan-akan hendak menerkam.
Lantas tatapannya beralih ke arah Puspasari.
"Gadis binal, dengar! Aku adalah Sapta Ke-
naka. Sedang kekasihku ini Gembong Batara!
Kami memang mencarimu!" bentak perempuan
berbaju merah muda yang mengaku bernama
Sapta Kenaka. Sementara Puspasari tampak terkejut,
mendengar nama mereka. Dalam dunia persila-
tan, nama Sapta Kenaka dan Gembong Batara
memang cepat dikenal dan menjadi buah bibir.
Karena mereka berdua yang dikenal sebagai sepa-
sang kekasih, ternyata telah unjuk taring dengan merobohkan beberapa tokoh
angkatan tua yang
cukup disegani. Sepak terjang sepasang kekasih
ini memang sukar ditebak arah tujuannya. Jika
dimasukkan dalam golongan lurus, mereka nya-
tanya beberapa kali terlibat bentrok dengan
orang-orang dari golongan putih. Kalau digolongkan orang sesat, mereka berdua
buktinya telah pula merobohkan beberapa tokoh hitam. Bahkan
kini, mencari jejak dua gadis yang bergelar Ratu Petaka Hijau.
"Begitu..." Lantas, apa maksud kalian
mencariku..."!" tanya Puspasari, balas membentak. Sepasang kaki gadis ini
sengaja dipentangkan agak lebar, hingga pahanya makin terlihat
hampir seluruhnya. Sementara sepasang matanya
tak memandang Sapta Kenaka, sebaliknya malah
menatap Gembong Batara sambil mengerdip sebe-
lah. Puspasari sepertinya memancing kecembu-
ruan Sapta Kenaka.
Sapta Kenaka makin mendelik. Sementara
Gembong Batara semakin tidak berkedip meman-
dang paha Puspasari.
"Kami ingin mengantarmu ke akhirat!" jawab Sapta Kenaka, galak.
Wanita ini rupanya geram melihat tingkah
kekasihnya yang seperti terpesona dengan kein-
dahan tubuh Puspasari.
Puspasari tersentak mendengar jawaban
Sapta Kenaka. Dadanya sedikit bergetar. Sungguh tak disangka kalau akan
memperoleh jawaban
demikian. Apalagi, dia baru pertama kali ini bertemu Sapta Kenaka dan Gembong
Batara. "Membunuhku...?" ulang Puspasari sambil tertawa berderai. "Lucu! Tak ada hujan
tak ada panas, mendadak sepasang kekasih datang membawa kabar buruk...."
"Kau tak usah banyak omong, Perempuan
Liar! Pasang telingamu baik-baik! Kami tak ingin siapa pun juga merajalela di
rimba persilatan.
Siapa pun yang berani menonjolkan diri, kami
pasti akan menghadapinya!" dengus Sapta Kenaka lantang.
"Oh, hebat betul bicaramu, Betina! Namun
sayang, perjalananmu kiranya hanya sampai hari
ini...!" balas Puspasari.
Begitu kata-katanya selesai, satu dari Ratu
Petaka Hijau ini melompat ke depan. Begitu bera-da setengah tombak di depan
Sapta Kenaka, ke-
dua tangannya cepat menyentak.
Wusss...! Gelombang asap hijau segera melesat ke
depan. Karena jarak yang terlalu dekat, maka tak ada waktu lagi bagi Sapta
Kenaka untuk berkelit.
"Heaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Sapta Kenaka


Pendekar Mata Keranjang 5 Ratu Petaka Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghentakkan kedua tangannya pula.
Glarrr...! Tempat itu mendadak bagai dibuncah le-
dakan dahsyat, saat dua pukulan yang sama-
sama mengandung tenaga dalam tinggi bentrok.
Tubuh Sapta Kenaka terdorong hingga tiga
tombak ke belakang dan jatuh terduduk. Da-
danya bergetar dan berdenyut nyeri. Matanya te-
rasa perih. Begitu memandang ke arah Puspasari
matanya kontan terbelalak tak percaya. Sungguh
tak disangka jika tenaga dalam salah satu gadis bergelar Ratu Petaka Hijau
demikian hebatnya.
Karena biasanya, sampai saat ini belum ada yang mampu bertahan bila bentrok
pukulan dengannya. Sementara Puspasari yang terpental satu
tombak ke belakang segera bangkit berdiri. Dia
juga tampak terkejut, karena Sapta Kenaka ter-
nyata masih bisa bertahan. Padahal waktu mengi-
rimkan serangan, setengah dari tenaga dalamnya
telah dikerahkan.
Sementara itu Gembong Batara cepat-cepat
menjauh ketika terjadi pertarungan. Tampak bi-
birnya menyeringai dengan jakun turun naik. Ge-
jolak birahinya seketika terbangkit.
"Hm.... Aku tak akan turun tangan. Akan
kutunggu hingga keduanya loyo. Lantas..., aku
akan bisa mencicipi tubuh gadis itu! Bentuk tu-
buhnya memang mempesona.... Tentunya dia ju-
ga...," gumam Gembong Batara seraya tersenyum lagi membayangkan sesuatu yang
indah nanti. Sementara itu, Puspasari telah bangkit.
"Betina! Mana omong besarmu, he..."!" bentak Puspasari.
Wajah Sapta Kenaka merah padam. Bibir-
nya saling menggegat. Dengan mengumpat tak je-
las, wanita ini bangkit. Sebentar matanya melirik Gembong Batara, sesaat
kemudian beralih pada
Puspasari dengan sorot tajam.
"Heaaa...!"
Sambil mengeluarkan seruan nyaring,
mendadak Sapta Kenaka menjejak tanah. Tubuh-
nya melesat cepat ke depan. Membawa serangan
berhawa maut. Dan satu tombak lagi tangannya
menggebrak ke arah kepala Puspasari, seko-
nyong-konyong tubuhnya membuat putaran seka-
li di udara. Lalu dengan cepat kedua kakinya menerjang.
Puspasari hanya tersenyum. Sejengkal lagi
kedua kaki Sapta Kenaka menghantam, tubuhnya
direbahkan ke tanah.
Wuttt...! Sepasang kaki Sapta Kenaka hanya meng-
hantam tempat kosong. Saat bersamaan, Puspa-
sari cepat menggerakkan kedua tangannya ke
atas. "Hih...!"
Wesss...! Serangkum angin langsung meluruk,
membuat Sapta Kenaka tersentak kaget. Untung
dia masih dalam keadaan sigap. Tatkala angin berisi tenaga dalam itu melesat,
cepat pula kedua tangannya memapak dengan sentakan.
Blarrr...! Terdengar lagi ledakan dahsyat. Namun ka-
rena Sapta Kenaka memapak serangan dari uda-
ra, tubuhnya langsung terpental dan jatuh me-
nyuruk tanah. Dari sudut bibirnya tampak men-
galir darah segar. Matanya berkunang-kunang.
Sementara itu Puspasari sempat bergulin-
gan di atas tanah. Pakaiannya tampak koyak,
sampai-sampai bahu hingga hampir buah da-
danya yang berkulit putih terlihat jelas.
Sepasang mata Gembong Batara tambah
membesar. Tenggorokannya turun naik. Sementa-
ra ujung hidungnya mengembang mengeluarkan
dengus napas memburu, penuh gejolak nafsu.
Sapta Kenaka saat ini sudah dapat mengu-
asai diri. Dan kini dia segera menarik kedua tangannya ke belakang dengan mulut
berkemik. Lan- tas dengan sebuah lompatan panjang, kedua tan-
gannya dihantamkan ke depan.
Wusss! Angin kencang yang mengandung tenaga
dalam tinggi meluruk deras. Sedangkan Puspasari yang dari tadi telah bersiaga,
segera pula meng-
hantamkan kedua tangannya.
Wusss...! Glarrr...! Kembali terdengar ledakan dahsyat meng-
gelegar saat kedua pukulan itu bertemu. Namun,
lagi-lagi kali ini Sapta Kenaka harus terjungkal.
Ini karena saat melancarkan serangan, dia me-
loncat. Sementara Puspasari menunggu dengan
sepasang kaki kokoh. Sehingga, dia hanya terjajar satu tombak ke belakang.
Sapta Kenaka tersuruk ke tanah dengan
pakaian hangus. Kulit sekujur tubuhnya meme-
rah, bagai terpanggang. Kedua matanya tampak
melotot. Sedang pipinya tertarik ke atas sedikit, meringis menahan sakit yang
mendera dadanya.
Tampaknya dia telah terluka dalam.
Melihat keadaan demikian, secepat kilat
Gembong Batara berkelebat ke arah Sapta Kena-
ka. Begitu tiba dengan cekatan jari-jarinya menotok jalan darah kekasihnya.
"Kau terluka, Sapta Kenaka. Cepat salur-
kan hawa murni. Aku akan menotok jalan darah
yang menuju arah jantung! Aku khawatir, jangan-
jangan pukulan gadis itu mengandung racun...,"
ujar Gembong Batara.
Sapta Kenaka sebenarnya mau mencegah.
Namun gerakan tangan Gembong Batara telah
terlebih dahulu bergerak. Hingga tanpa bisa dicegah lagi, tubuhnya kini diam tak
bergerak. "Hm.... Saatnya aku menghadapi gadis itu!
Aku akan menggiringnya menjauh dari sini. Den-
gan demikian, apa pun yang nanti akan kulaku-
kan terhadap gadis itu, Sapta Kenaka tidak ta-
hu...! Ah! Aku ingin rasanya segera menikmati
kehangatan tubuhnya...."
Sambil berpikir begitu, Gembong Batara
bangkit dan melangkah mendekat Puspasari. Bi-
birnya tersenyum, tak menampakkan rasa per-
musuhan sama sekali. Dan ini membuat Puspa-
sari yang tampak sudah mengangkat kedua tan-
gannya hendak melepaskan serangan, menger-
nyitkan dahi. Namun di saat itulah mendadak
Gembong Batara mengangkat tinggi-tinggi tangan
kirinya yang mengepal. Sementara tangan kanan
diselempangkan di depan dada, memegang bahu
kirinya. "Hiaaa...!"
Disertai bentakan menggelegar secepat ki-
lat Gembong Batara mendorong kedua tangannya
ke depan. Berrr...! Terdengar suara menderu bagai gulungan
ombak menerjang yang makin menggemuruh dis-
ertai badai menghempas.
Puspasari yang sudah mengurungkan se-
rangannya jadi tercekat dengan mata mendelik.
Gadis ini tak bisa lagi menghindar.
"Jahanam! Bedebah busuk! Kau penipu...!"
teriak Puspasari.
Blash...! Tubuh Puspasari kontan terpental hingga
dua tombak, begitu terhantam angin menggemu-
ruh dari serangan Gembong Batara. Dan keras
sekali tubuhnya mencium tanah setelah meng-
hantam sebuah pohon besar.
Beberapa lama Puspasari terkapar di atas
tanah. Dari sudut bibirnya tampak mengalir da-
rah. Dadanya berdenyut sakit. Kedua telinganya
berdengung, bagai ditusuk-tusuk. Dan pakaian
hijaunya koyak di sana sini.
Gembong Batara tersenyum. Sepasang ma-
tanya nanar, mengawasi tubuh Puspasari yang te-
lentang menantang.
"Hm.... Akan kubawa ke balik pohon sana.
Ha... ha...!" oceh Gembong Batara dalam hati, seraya melangkah mendekati
Puspasari. Sejenak Gembong Batara melirik Sapta Ke-
naka. Namun tatkala kekasihnya tampak meme-
jamkan kedua mata, laki-laki ini tersenyum lebar seraya mengangkat bahunya.
Begitu dekat, tangan Gembong Batara ber-
gerak cepat akan menjamah dada Puspasari yang
tampak membusung kencang, karena pakaiannya
koyak. Namun....
Wuttt! Sekonyong-konyong Puspasari melepas
pukulan dengan memutar tubuhnya. Sementara
kakinya menghantam deras
"Uts...! Sialan!" teriak Gembong Batara terkejut, langsung merebahkan diri untuk
berkelit. Dan nyatanya, terjangan kaki Puspasari melabrak tempat kosong.
Dengan gerak cepat, Gembong Batara sege-
ra bangkit. Dan tubuhnya langsung berkelebat
mengitari tubuh Puspasari. Gerakannya makin
lama makin cepat, membuat sepasang mata gadis
itu berkunang-kunang. Apalagi, putaran tubuh
Gembong Batara mengeluarkan desir angin dan
asap yang memerihkan mata.
"Aaah...!"
Puspasari mengeluh tertahan ketika di-
rinya bagai terombang-ambing bagai terbawa om-
bak dahsyat. Kedua tangan dan kakinya coba
menerabas pusaran angin dan asap. Namun, tan-
gan Gembong Batara ternyata lebih cepat berge-
rak. Tuk! Tuk! Puspasari kontan lemas tak berdaya ketika
dua totokan Gembong Batara tahu-tahu menda-
rat di punggungnya. Bahkan kini suaranya bagai
tersendat di tenggorokan.
Sementara Gembong Batara segera meng-
hentikan putaran tubuhnya dengan bibir me-
nyungging senyum. Sepasang matanya kembali
memandang ke arah kekasihnya.
Sapta Kenaka ternyata masih memejam.
Dia rupanya terluka agak parah. Melihat hal ini tawa Gembong Batara pecah. Lalu
diangkatnya tubuh Puspasari, dan dibawanya ke balik pohon
besar. Perlahan-lahan Gembong Batara memba-
ringkan tubuh Puspasari. Gadis ini coba berte-
riak, namun tak ada suara sedikit pun yang ke-
luar dari mulutnya.
Sedangkan Gembong Batara terus tertawa
bergelak-gelak. Sepasang matanya semakin mem-
beliak melihat gugusan dada Puspasari yang ter-
guncang karena suaranya tercekat di tenggorokan dan dadanya.
Lalu tanpa banyak bicara lagi, tangan
Gembong Batara bergerak. Dan....
Brettt.... Brettt!
Pakaian hijau Puspasari yang koyak di sa-
na-sini langsung tanggal dan luruh di atas tanah.
"Hm.... Baru kali ini aku melihat tubuh
yang begini montok dan mulus. Tentunya, hangat
pula... Ha... ha... ha...!" gumam Gembong Batara, seraya melepas bajunya
sendiri. Napasnya memburu, sementara matanya tak berkedip, merah,
dan melotot. Sambil menahan liurnya yang hendak ja-
tuh dari mulut, perlahan-lahan Gembong Batara
bergerak mengusap kaki dan tangan Puspasari.
Lalu dengan mendengus keras, ditindihnya tubuh
Puspasari yang sudah tampak pasrah!
Namun belum juga Gembong Batara me-
laksanakan perbuatannya
Werrr...! Mendadak, terdengar suara angin kencang
menderu bergemuruh. Dan sebelum sempat
Gembong Batara melihat apa yang terjadi, tubuh-
nya yang menindih tubuh Puspasari sudah terdo-
rong dan terguling ke samping.
Gembong Batara mencoba menahan deru
angin dengan kerahkan tenaga dalam. Namun be-
lum sampai tangannya bergerak, tubuhnya telah
terpental dan menyusup ke batang pohon.
Pada saat yang sama, sebuah bayangan
berkelebat, langsung menyambar pakaian Gem-
bong Batara. Lalu dilemparkannya pakaian itu di atas tubuh Puspasari yang sudah
hampir polos. Sementara dengan mendengus marah,
Gembong Batara berpaling ke belakang dan lang-
sung terkejut. Tak jauh dari tubuh Puspasari
yang masih tertotok ternyata telah berdiri seorang pemuda berwajah tampan.
Pakaiannya berjubah
ketat warna hijau lengan pendek dilapis pakaian dalam warna kuning lengan
panjang. Rambutnya
yang panjang dikuncir ekor kuda. Pemuda ini
berdiri sambil mengibas-ngibaskan sebuah kipas
warna ungu di depan dadanya. Rupanya kibasan
kipas itulah yang telah membuat tubuh Gembong
Batara terpental dari atas tubuh Puspasari.
"Keparat tengik!" serapah Gembong Batara keras. Laki-laki ini berusaha bangkit.
Namun sekali lagi pemuda berambut ekor kuda itu mengi-
baskan kipasnya.
Werrr...! Deruan kencang dan menggemuruh kem-


Pendekar Mata Keranjang 5 Ratu Petaka Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bali menggebrak ke arah Gembong Batara. Begitu
cepat kibasan kipasnya, hingga Gembong Batara
tak bisa lagi menghindar.
Brash! Untuk kesekian kalinya, tubuh Gembong
Batara terhempas.
Pemuda berambut kuncir ekor kuda yang
tak lain Pendekar Mata Keranjang 108 tersenyum.
"Anak manis! Perbuatanmu sungguh men-
jijikkan! Jika dalam rimba persilatan orang seper-timu dibiarkan hidup, dunia
persilatan akan ce-
mar!" desis Pendekar Mata Keranjang 108.
"Jahanam! Siapa kau..."!" hardik Gembong Batara, seraya memegangi dadanya yang
terasa bagai berhenti berdetak.
"Ha... ha... ha...!" Aji tertawa lebar. "Orang macam kau tak pantas mengenalku!
Cepat me-nyingkirlah dari hadapanku, sebelum aku muak
melihat tampangmu yang hanya pakai kolor!"
Gembong Batara yang kini telah bangkit
segera menyentakkan kedua tangannya ke depan.
Wesss...! Satu gelombang angin menderu keras me-
luruk ke arah Pendekar Mata Keranjang 108. Na-
mun karena tenaganya yang disalurkan ke tu-
buhnya telah terkuras, membuat serangannya
begitu lamban. Sementara dengan gerakan indah, melon-
cat ke samping, menghindari serangan pukulan
jarak jauh. Dan dari arah samping tangan kirinya balas menyentak. Sementara
tangan kanannya
mengebut melengkung ke depan.
Wesss! Plash...!
Serangkum angin disertai sebuah sinar
lengkung melesat ke arah Gembong Batara yang
kini tampak berdiri bengong, karena terkejut ber-campur heran. Dan tak ada waktu
lagi buatnya untuk menghindar. Sehingga....
Brashhh...! "Aaa...!"
Tubuh Gembong Batara kembali terpental,
dan melayang bagai kapas ditiup angin disertai jerit tertahan. Tubuhnya baru
berhenti, setelah
menerabas pohon besar dan terkapar di samping-
nya. Dari hidung dan telinganya darah kehitaman tampak menetes. Pakaian yang
hanya kolor, hangus dan robek.
"He! Apa lagi yang kau tunggu..." Apa kau
ingin terus menuju akhirat..."!" bentak Pendekar Mata Keranjang 108 tatkala
Gembong Batara masih menggelosor di atas tanah.
Dengan tertatih-tatih, Gembong Batara se-
gera melangkah perlahan ke arah tergeletaknya
Sapta Kenaka. Sejenak matanya melirik Aji. Da-
hinya langsung mengernyit, seperti mengingat-
ingat. Namun sebentar kemudian tubuhnya ber-
kelebat ke arah Sapta Kenaka.
Seraya masih mendengus dan bergumam
panjang pendek tak karuan, Gembong Batara se-
gera membebaskan totokan pada tubuh Sapta
Kenaka. Sapta Kenaka sejenak mengerjap-
ngerjapkan sepasang matanya. Dan tatkala meli-
hat keadaan kekasihnya, Sapta Kenaka menda-
dak berdiri dengan mata mendelik.
"Siapa yang berbuat tak senonoh padamu
ini, Kakang"!" tanya Sapta Kenaka, keras.
Gembong Batara tidak menjawab, dan
hanya mengangkat bahu.
"Kekasihku! Lebih baik kita tinggalkan
tempat ini!" ajak Gembong Batara, serak parau.
Namun, rupanya Sapta Kenaka penasaran
"Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum men-
getahui siapa yang telah berbuat seperti ini, hingga kau begini!" tolak Sapta
Kenaka, keras. "Aku yang telah memberi pelajaran pa-
danya! Karena, dia akan berbuat tak senonoh pa-
da gadis berbaju hijau itu!"
Mendengar ada suara lagi, serentak Sapta
Kenaka dan Gembong Batara sama-sama meno-
leh. Gembong Batara tersentak. Sementara
Sapta Kenaka dadanya berdesir melihat siapa
orang yang memberi jawaban.
"Hm.... Pemuda tampan. Siapa dia..." Meni-
lik dari pakaian dan ciri-cirinya, apalagi melihat kipas warna ungu bertuliskan
108 di tangannya,
pastilah dia yang bergelar Pendekar Mata Keran-
jang...," kata batin Sapta Kenaka seraya memandang tak berkedip.
"Jangan hiraukan omongannya! Ayo kita
tinggalkan tempat ini!" desak Gembong Batara seraya menggandeng tangan Sapta
Kenaka. Walau dengan wajah memberengut, akhir-
nya Sapta Kenaka mengikuti juga langkah Gem-
bong Batara yang seakan tak sabar untuk segera
meninggalkan tempat itu. Namun demikian, ma-
tanya masih saja memandang ke arah Aji.
Aji tersenyum. Bahkan mengerdipkan sebe-
lah matanya, membuat Sapta Kenaka menghenti-
kan langkahnya. Namun tarikan tangan Gembong
Batara telah membuatnya kembali melangkah,
meski dalam hatinya menyumpah-nyumpah.
Setelah dua orang itu menghilang di balik
pohon dan semak belukar, Pendekar Mata Keran-
jang 108 segera berkelebat ke arah Puspasari
yang masih tergeletak dalam keadaan tertotok.
Sepintas pandang, Aji telah dapat menge-
tahui di mana Puspasari tertotok. Segera dibe-
baskannya totokan pada gadis itu. Kemudian ce-
pat Pendekar Mata Keranjang 108 berdiri membe-
lakangi. "Pakailah pakaian seadanya itu! Dan sete-
lah itu, kalau kau mau, kembalilah ke jalan be-
nar. Aku tahu, kau berilmu tinggi. Sungguh
sayang jika ilmumu digunakan di jalan sesat.
Maaf! Aku telah menggurui mu...."
Habis berkata, Aji berkelebat pergi.
Untuk beberapa saat Puspasari masih ter-
kesima. Dadanya seperti dibuncah beberapa pe-
rasaan. Namun, gadis ini segera sadar kalau Pusparani mungkin telah mencemaskan
dirinya. Dia segera bangkit, lalu mengenakan bekas pakaian
Gembong Batara. Sejenak matanya memandang
ke arah Aji menghilang tadi. Hatinya berdegup
kencang. Sepasang matanya nampak berkaca-
kaca. Setelah dapat menguasai perasaan, Puspa-
sari cepat mencari tumbuhan yang diperlukannya
untuk mengobati Pusparani.
Bende Mataram 31 Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam Bara Diatas Singgasana 11
^