Pencarian

Pusaka Tuak Setan 1

Pendekar Mabuk 02 Pusaka Tuak Setan Bagian 1


1 Serial : Pendekar Mabuk
Judul : 02. Pusaka Tuak Setan
Pengarang : "
Penerbit : "
E-book : paulustjing
1 SEEKOR kuda berlari dengan cepat melintasi
pepohonan, menuruni lembah dan menuju ke satu arah tertentu. Kuda itu
ditunggangi oleh seorang perempuan muda bersenjatakan cambuk di
pinggangnya. Tetapi perempuan muda itu dalam
keadaan lemas, sehingga sesekali tubuhnya nyaris terjungkal dari punggung kuda.
Mata perempuan muda itu terpejam bagai tak mampu lagi untuk
memandang ke arah depan. Bahkan ketika kudanya melewati jalan menurun, tubuh
perempuan muda itu jatuh tertelungkup di belakang leher kuda.
Sekujur tubuh perempuan muda itu ternyata
memar membiru. Dari telapak kaki sampai bagian kepala seperti habis kejatuhan
pohon besar. Bahkan pada bagian wajahnya sedikit tampak membengkak.
Sebagian rambutnya pun ada yang rontok, dan
rontokan helai rambutnya berjatuhan di sekitar pundak dan punggung.
la tak mampu lagi mengendalikan kudanya. Tapi sang kuda ternyata sudah terbiasa
melewati jalur perjalanan tersebut, sehingga tanpa kendali pun sudah mengerti
arah yang dituju. Seolah-olah sang kuda mengetahui bahwa majikannya dalam
keadaan luka dalam yang cukup berat dan perlu segera dibawa pulang ke perguruan.
Itulah sebabnya begitu mendekati pintu gerbang perguruan yang bagian atasnya
bertuliskan : "Perguruan Merpati Wingit", kuda itu memperlambat sendiri langkahnya. Dan tepat
di depan pintu gerbang yang kokoh itu, sang kuda berhenti. Kedua penjaga pintu
gerbang terperanjat dengan mata membelalak.
Salah seorang berseru,
"Murbawati..."! Oh, kenapa dia"!"
"Kelihatannya terluka cukup berat!"
"Lekas antarkan dia menghadap Nyai Guru!"
Murbawati masih belum bisa bicara. Namun kedua penjaga pintu gerbang perguruan
itu mengetahui bahwa Murbawati masih bernapas. Kudanya segera dituntun oleh
salah satu dari kedua penjaga tersebut menuju ke sebuah tempat berbangunan
joglo. Di sana, murid-murid Perguruan Merpati Wingit sedang berkumpul
mendengarkan wejangan guru mereka.
Seorang perempuan berwajah cantik, namun
sebenarnya sudah cukup banyak usianya, sedang duduk di sebuah bangku berupa
kotak sederhana.
Perempuan itu mengenakan pakaian berbentuk jubah dengan warna kuning gading.
Kain itu tipis, sehingga pakaian dalamnya yang berwarna biru tua itu terlihat
membayang di balik jubah kuningnya.
Rambutnya yang panjang sebatas pinggang
dibiarkan lepas terurai ke depan, sebagian di dada kiri sebagian lagi di dada
kanan, la mengenakan ikat kepala bukan dari kain, melainkan dari tali sutera
yang berwarna merah, berbintik-bintik kuning emas.
Tali sutera itu sedikit panjang sehingga sisa ikatannya jatuh berjuntai melewati
pundak kanannya. Di tiap bagian ujung tali sutera itu mempunyai semacam logam
berbentuk mata tombak kecil, berwarna putih berkilauan.
Orang yang mengantarkan Murbawati berseru
beberapa jarak sebelum sampai di tempat berkumpul itu.
"Nyai Guru...! Murbawati terluka!"
Perempuan berselubung kain jubah kuning gading itu segera bangkit, karena memang
dia itulah yang disebut Nyai Guru Betari Ayu. Melihat Murbawati terkulai
bagaikan celana basah di atas kuda, Nyai Guru Betari Ayu segera bangkit dengan
mata terperanjat. Para murid yang sedang duduk bersila dengan rapi itu pun ikut
bergegas bangkit, dan segera mengerumuni kuda tunggangan Murbawati.
"Jangan dipakai buat tontonan!" seru Betari Ayu.
"Angkat dia dan bawa masuk dengan segera!"
Murbawati dibawa ke ruang yang khusus untuk
penyembuhan. Di sana tubuh lunglai tak berdaya itu dibaringkan di atas sebuah
pembaringan dari batu yang dilapisi kain tebal.
"Tinggalkan kami!" kata Betari Ayu kepada para penggotong tubuh Murbawati itu.
Mereka pun patuh, segera pergi meninggalkan ruang penyembuhan. Kini yang ada di
situ hanya Murbawati dan Betari Ayu.
Dipandangi sekujur tubuh Murbawati dengan sorot pandangan mata yang menyimpan
kemarahan. Gigi menggeletuk, mata pun menjadi menyipit.
Betari Ayu menarik napas, menenangkan gemuruh di dalam dadanya yang terasa
hampir meledak melihat orang utusannya terkapar dalam keadaan sedemikian menyedihkannya.
Terucap gumam, mendalam dari sudut berbibir sedikit tebal namun tampak indah itu.
"Keparat! Ini pasti perbuatan Bidadari Jalang!"
Pintu kamar penyembuhan dibuka, Betari Ayu
memanggil kedua murid kesayangannya, yaitu Dewi
Murka dan Selendang Kubur. Dua perempuan yang mempunyai tinggi sejajar namun
berwarna kulit beda itu segera masuk ke ruang penyembuhan. Wajah
mereka juga memancarkan ketegangan dan
kemarahan yang tertahan. Rasa iba melihat keadaan saudara seperguruan menderita
seperti itu, membuat hati Dewi Murka tak sabar menanti tugas
pembalasan. "Kalian tentunya tahu, apa yang membuat tubuh Murbawati membiru seperti itu!"
kata Betari Ayu tanpa memandang kedua muridnya.
Dewi Murka menjawab, "Pasti pukulan beracun yang dinamakan pukulan 'Guntur
Perkasa', milik Bidadari Jalang itu, Nyai Guru."
"Benar! Dan rupanya dia sudah campur tangan dalam urusan kita!" ujar Betari Ayu
dengan nada geram.
"Nyai Guru," sela Selendang Kubur yang mengenakan pakaian merah dadu bak buah
jambu yang ranum dengan pinggang dililit selendang putih.
la berucap kata dengan sikap hormat kepada sang guru. Mata Betari Ayu pun segera
beralih kepadanya.
"Lanjutkan kata-katamu, Selendang Kubur!"
"Menurut dugaan saya, Guru..., Murbawati bukan terkena pukulan 'Guntur Perkasa'
milik Bidadari Jalang."
Dewi Murka menyahut, "Ah, tahu apa kau tentang pukulan itu" Hanya aku dan Guru
yang mengetahui ciri pukulan itu!"
"Aku juga tahu tentang pukulan 'Guntur Perkasa'
milik Bidadari Jalang itu, Dewi! Aku pernah melihat ia menghantam musuhnya
memakai pukulan tersebut.
Tetapi, kali ini yang diterima Murbawati bukan pukulan 'Guntur Perkasa'."
"Alasanmu"!" sergah Betari Ayu.
"Kalau saja Murbawati telah menderita pukulan
'Guntur Perkasa' milik Bidadari Jalang, pasti saat ini tubuhnya sudah membusuk.
Pukulan itu selain
membuat tubuh lawan menjadi memar membiru, juga membuat tubuh lawan menjadi
cepat membusuk.
Bukankah tubuh Murbawati tidak membusuk sampai sekarang, Guru?"
"Kurasa sebentar lagi!" sahut Dewi Murka. Sikap dan wajahnya menampakkan seakan
ia sangat tahu dalam hal ini.
Betari Ayu melangkah ke bagian kepala Murbawati, memandangnya beberapa saat,
kemudian berkata
kepada kedua muridnya.
"Kurasa benar apa katamu, Selendang Kubur!"
"Benar bagaimana, Guru"!" sergah Dewi Murka.
"Jika memang Murbawati terkena pukulan 'Guntur Perkasa' dari Bidadari Jalang,
pasti saat ini tubuhnya menguarkan bau busuk. Pada bagian sudut matanya
mengeluarkan cairan hitam yang baunya sangat
menusuk hidung. Nyatanya, sudut mata Murbawati tidak melelehkan cairan hitam.
Berarti ini bukan pukulan 'Guntur Perkasa' dari Bidadari Jalang."
Dewi Murka merasa tidak bisa membantah lagi,
karena semua keputusan gurunya tak berani
disanggahnya. Dewi Murka yang berpakaian hitam dengan trisula di pinggang, hanya
diam dan memandangi tubuh Murbawati.
Sesaat berikutnya, barulah Dewi Murka bertanya,
"Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang ini, Guru?"
"Lupakan dulu tentang siapa penyerang
Murbawati. Sekarang kalian berdua bantu aku
menyalurkan hawa murni melalui telapak kaki
Murbawati. Aku akan menyalurkan tenagaku melalui bagian dadanya. Dewi, di
telapak kanan. Selendang Kubur, di telapak kiri. Jangan berhenti sebelum
kulepaskan tanganku dari dada Murbawati."
"Baik, Guru," jawab Selendang Kubur dengan sikap patuh.
"Apakah pakaian Murbawati perlu dilepas
semuanya, Guru?"
"Hmmm..., sebagian saja, sebagian atasnya saja...!"
Di luar ruang penyembuhan itu, para murid
Perguruan Merpati Wingit saling berkasak-kusuk membicarakan nasib Murbawati.
Mereka saling menduga-duga, tapi tak satu pun mempunyai
kepastian tentang siapa penyerang Murbawati
sebenarnya. Mereka saling menggeram dendam,
merasa marah melihat saudara seperguruan
mengalami nasib begitu menyedihkan. Tetapi tak satu pun dari mereka yang berani
ambil tindakan sendiri, sebelum ada keputusan dan perintah dari sang Guru yang
mereka segani itu.
Murbawati dikenal di lingkungan perguruan
sebagai murid yang cekatan dan pandai menyusup.
Sama dengan murid-murid lainnya, ia selalu bangga jika mendapat perintah dari
gurunya. Seolah-olah sebuah perintah merupakan suatu penghormatan
besar baginya. Dua hari yang lalu, Murbawati diutus menemui
Ketua Partai Perempuan Sakti yang bergelar Ratu Lembah Asmara, guna menyampaikan
undangan dari Nyai Guru Betari Ayu. Pertemuan itu akan diadakan tepat di malam
purnama. Betari Ayu meminta
kesediaan Ratu Lembah Asmara untuk
membicarakan masalah tanah di Bukit Garinda yang
dulu dipinjamkan kepada Ratu Lembah Asmara.
Tanah itu milik leluhur Betari Ayu. Karena hubungan baik, maka Betari Ayu
meminjamkan tanah tersebut kepada Ratu Lembah Asmara sebagai tempat
bercokolnya perempuan-perempuan penabur cinta.
Tetapi belakangan hari, Betari Ayu membutuhkan tanah itu untuk memperluas
wilayah perguruannya yang berkembang kian pesat itu.
Tetapi, agaknya Betari Ayu kecewa dengan sikap Ratu Lembah Asmara. Kehadiran
Murbawati sebagai utusan Perguruan Merpati Wingit disambut dengan permusuhan.
Sang utusan dilukai sedemikian
parahnya, sehingga untuk mengobatinya, Betari Ayu terpaksa mengerahkan banyak
tenaga hingga beberapa waktu lamanya.
Murbawati tersentak dan segera memuntahkan
cairan hijau kehitam-hitaman dari mulutnya. Ini pertanda racun pukulan itu
terdesak keluar, dan jiwa Murbawati tertolong. Namun perempuan muda itu belum
bisa bicara apa-apa. Tubuhnya masih lemas, hingga Betari Ayu membiarkan
Murbawati beristirahat beberapa waktu lamanya.
Menjelang malam tiba, Betari Ayu duduk di
serambi depan kamarnya. la termenung
mempertimbangkan sikap yang harus diambilnya.
Jelas, melukai muridnya sama saja menantang
pertempuran dengannya. Tetapi, apakah benar Ratu Lembah Asmara yang menyerang
Murbawati" Seingat Betari Ayu, Ratu Lembah Asmara tidak memiliki pukulan yang
mirip sekali dengan pukulan 'Guntur Perkasa' milik Bidadari Jalang.
"Jika Ratu Lembah Asmara melancarkan pukulan, selalu saja pukulan yang mematikan
yang dilancarkan. Tak pernah tanggung-tanggung seperti
ini!" pikir Betari Ayu. "Andaikata benar bahwa Murbawati menderita pukulan dari
Ratu Lembah Asmara, lantas apa maunya perempuan liar itu"
Apakah ia sudah bosan bersahabat denganku"
Apakah ia membuka pintu permusuhan denganku"
Apa alasannya ia bertindak begitu" Bukankah aku pernah menolong nyawanya dari
ancaman maut Cadaspati dalam pertempurannya di Bukit Menoreh?"
Betari Ayu diguncang oleh keresahan dalam
hatinya. la merasa harga dirinya dilangkahi oleh seseorang, tapi ia tak tahu
kepada siapa ia harus menuntut sikap yang menantang itu. Satu-satunya wajah yang
sering muncul dalam ingatannya hanyalah Bidadari Jalang. Karena antara dia
dengan Bidadari Jalang pernah terjadi bentrokan ketika
memperebutkan seorang lelaki yang bernama Datuk Marah Gadai.
Sejenak, ingatan Betari Ayu melayang pada seraut wajah pria tampan berkesan
jantan: Datuk Marah Gadai. Ada hati yang bersemi di dalam dada Betari Ayu. Ada
cinta yang tumbuh di dalam hati Betari Ayu.
Tetapi, Datuk Marah Gadai terpikat oleh godaan Bidadari Jalang. Mata jeli Betari
Ayu masih terbayang saat ia memergoki Datuk Marah Gadai bercinta
dengan Bidadari Jalang.
Terbakar hati Betari Ayu pada saat itu.
Diterjangnya Bidadari Jalang dengan amukan rasa cemburu yang mendidihkan
darahnya. Tetapi,
Bidadari Jalang cukup tangguh, tak mudah
dirobohkan. Justru Betari Ayu sendiri yang terluka dalam oleh satu pukulan
dahsyat dari Bidadari Jalang.
Pukulan itu sampai sekarang masih membekas di dalam raga Betari Ayu.
Yang lebih menyakitkan lagi, Datuk Marah Gadai
tidak peduli keadaan Betari Ayu kala itu. Datuk Marah Gadai justru pergi bersama
Bidadari Jalang,
melanjutkan cengkeramanya di tempat lain.
Sementara bekas luka pukulan tenaga dalam
Bidadari Jalang sampai sekarang masih sesekali menyumbat pernapasan Betari Ayu.
Apabila bekas pukulan itu bekerja kembali, pernapasan Betari Ayu jadi tersumbat,
membuat Betari Ayu mengalami
kejang-kejang dan sulit bernapas, terasa bagai mau mati. Sampai sekarang Betari
Ayu belum bila melenyapkan sisa pukulan Regangpati yang
bermukim di bagian jantung dan paru-parunya.
Betari Ayu bagaikan luka di kedua sisi hati,
terhadap Bidadari Jalang, juga terhadap Datuk Marah Gadai. Kedua orang itu
menjadi musuh utama Betari Ayu, yang tidak tahu kapan akan dibalaskan
dendamnya. Karena selama bekas pukulan
'Regangpati' itu belum bisa dilenyapkan, Betari Ayu belum berani menghadapi
mereka berdua. Jika bekas pukulan itu kambuh pada saat pertarungan, maka jelas
nyawa Betari Ayu akan mudah dicabut oleh salah satu dari mereka.
Selendang Kubur dan Dewi Murka itulah yang
selalu menolong Betari Ayu jika sedang kambuh.
Tanpa melalui hawa murni mereka, maka
penyumbatan pada pernapasan dan pembekuan
darah yang terjadi akibat pukulan 'Regangpati', akan menewaskan nyawa sang Guru
yang banyak menurunkan ilmu putihnya kepada para muridnya.
Malam itu, Selendang Kubur melihat sang Guru
sedang termenung. la mencoba mendekati dengan hati-hati. Agaknya sang Guru tidak
keberatan untuk didekati, sehingga sang Guru menegur lebih dulu.
"Ada yang ingin kau sampaikan padaku, Selendang
Kubur?" Langkah Selendang Kubur terhenti sejenak. la
biarkan dirinya ditatap oleh sang Guru yang segera berkata,
"Bicaralah. Tak ada yang perlu kau ragukan!"


Pendekar Mabuk 02 Pusaka Tuak Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya hanya ingin membicarakan tentang
Murbawati, Guru."
"Apa pendapatmu tentang dia?"
"Murbawati telah siuman. Agaknya ia ingin bicara dengan Guru."
Sedikit tersentak kepala Betari Ayu. Ada kelegaan di hatinya. Tanpa bicara
sepatah kata lagi, ia segera bergegas menuju ruang penyembuhan. Selendang
Kubur mengikuti langkah gurunya dari belakang. Di sebuah tikungan lorong, Dewi
Murka melihat kelebatan sang Guru dan Selendang Kubur. Hatinya segera membatin.
"Hmmm... apa yang akan dilakukan Nyai Guru dengan Selendang Kubur. Pasti
Selendang Kubur sedang cari muka agar mendapat pujian di hati Nyai Guru.
Baiklah. Aku harus segera menyusul mereka supaya Selendang Kubur tidak punya
kesempatan untuk mengambil hati Nyai Guru." Maka, bergegaslah Dewi Murka
menyusul langkah gurunya dan
Selendang Kubur.
Diam-diam Selendang Kubur mendengar langkah
kaki di belakangnya yang berjarak antara lima belas langkah. Selendang Kubur
memejamkan mata
sejenak. Suara langkah itu semakin jelas, dan ia segera mengenali langkah dan
napas yang ada di belakangnya adalah milik Dewi Murka. Selendang Kubur hanya
tersenyum sinis di dalam hatinya.
Belakangan ini, keduanya memang saling
bersaing. Persaingan itu terjadi sejak Betari Ayu
berkata, bahwa ia mau mengundurkan diri dari dunia persilatan. Dia juga akan
menyerahkan kekuasaan di perguruan tersebut kepada seseorang. Tapi sampai saat
itu dia belum punya pilihan, siapa yang akan menggantikan kedudukannya sebagai
Ketua Perguruan Merpati Wingit Itu. Jelas orang pilihannya ada dua, yaitu Dewi Murka
atau Selendang Kubur, karena hanya mereka berdualah yang mempunyai
ilmu paling tinggi dari murid-murid lainnya. Bahkan Murbawati masih berada dua
tingkat di bawah
mereka. Orang yang jelas-jelas berkeinginan keras untuk menjadi pengganti Nyai Guru
Betari Ayu adalah Dewi Murka. Dengan menjadi pewaris kedudukan Nyai
Guru, maka dialah orang yang berhak memegang
Kitab Wedar Kesuma yang selama ini menjadi kunci utama dari semua ilmu yang
dimiliki Nyai Guru. Kitab Wedar Kesuma itulah yang menjadi incaran utama bagi
Dewi Murka. Sementara itu, Selendang Kubur juga mengetahui tentang kitab tersebut. la juga
merasa menjadi calon pengganti gurunya. la juga mengincar kedudukan dan Kitab
Wedar Kesuma, tapi ia tak mau kelihatan menyolok. la tetap bersikap tenang,
walau mata hatinya penuh waspada terhadap gerak-gerik Dewi Murka.
Pada waktu Betari Ayu memasuki ruang
penyembuhan, Selendang Kubur pun segera masuk dan menutup pintunya, bahkan
menguncinya dari dalam. Maksudnya supaya Dewi Murka tidak ikut menyusul masuk
dan tak dapat membuka pintu
ruangan seenaknya saja.
Tetapi, rupanya Dewi Murka mengetahui niat licik Selendang Kubur. Maka, dengan
merabakan jemari
tangannya pada pintu tersebut, kunci pintu pun bergerak sendiri. Klik...! Dan
pintu dapat dibuka. Dewi Murka pun segera masuk. Matanya beradu pandang dengan
Selendang Kubur. Senyum sinis dipamerkan di hadapan Selendang Kubur. Perempuan
berpakaian merah dadu dengan selendang putih di pinggangnya itu hanya diam saja,
dan segera mengalihkan
pandangan kepada tubuh Murbawati yang memar
birunya sudah banyak berkurang.
"Murbawati," sapa Nyai Guru Betari Ayu dengan sikap tegasnya. "Ceritakan, siapa
orang yang menyerangmu sedemikian rupa?"
Dewi Murka menyahut dengan pertanyaan,
"Apakah Bidadari Jalang orangnya, Murbawati?"
"Bukan," jawab Murbawati masih dengan suara lemah.
"Apakah Ratu Lembah Asmara" tanya Betari Ayu.
"Juga bukan, Nyai Guru."
"Lantas siapa?"
"Pujangga Kramat," jawab Murbawati.
Tiga wajah perempuan yang sama-sama memiliki
kecantikan tersendiri itu kini saling beradu pandang.
Dahi mereka sedikit berkerut mendengar nama
tersebut. Selendang Kubur dan Dewi Murka merasa asing terhadap nama itu, tapi
Betari Ayu rupanya tidak merasa asing. Hanya sedikit heran, mengapa Murbawati
jadi punya urusan dengan Pujangga
Kramat. "Nyai Guru, mohon sudi memaafkan kelancangan saya yang telah membuat saya
terluka seperti ini,"
tutur Murbawati dengan perasaan bersalah dan sikap menyesal. Nyai Guru Betari
Ayu hanya diam saja, mata tetap memandang Murbawati, mulut terkatup rapat, kedua
tangan berlipat di dada. Murbawati
melanjutkan kata-katanya.
"Saya terpancing oleh kemunculan seorang pemuda tampan yang berkelebat melintasi
perjalanan saya, pada saat saya menuju ke Bukit Garinda. Saya ikuti pemuda
tampan yang menawan hati itu.
Ternyata dia adalah murid dari saudara perguruan Bidadari Jalang. Pemuda itu
adalah murid si Gila Tuak...."
Tersentak wajah Betari Ayu mendengar nama
tokoh tua itu disebutkan oleh Murbawati. Pandangan matanya menjadi lebih tajam
lagi. Tapi mulutnya masih tetap terkatup rapat, seakan tak mau memberi ucapan
apa pun. Sedangkan Dewi Murka dan
Selendang Kubur juga ikut terkesiap mendengar nama si Gila Tuak. Mereka juga
tidak asing lagi dengan nama tokoh tua yang sangat disegani oleh orang-orang di
rimba persilatan.
Hanya saja, mereka merasa sangat heran
mendengar si Gila Tuak mempunyai seorang murid.
Menurut kedua murid Betari Ayu itu, berita adanya si Gila Tuak mempunyai murid
jelas akan menghebohkan dunia persilatan, karena selama ini si Gila Tuak tidak pernah mau
mempunyai murid siapa pun juga.
Murbawati melihat wajah gurunya dan kedua
temannya itu mengalami sedikit ketegangan. Namun ia tetap melanjutkan kata-
katanya, "Saya sangat tertarik dengan murid si Gila Tuak itu, sehingga saya berusaha
mencuri percakapan antara si Gila Tuak dengan muridnya itu dari balik gugusan
batu cadas. Saya mendengar adanya rahasia penting yang dibicarakan oleh mereka
berdua...."
"Tentang apa?" tukas Betari Ayu.
"Sebuah pusaka yang bernama Tuak Setan."
"Hah..."!" kembali lagi Betari Ayu terperanjat kaget dengan mata makin melebar.
Sebentar matanya
singgah di wajah Dewi Murka dan Selendang Kubur, sebentar kemudian sudah kembali
menatap tajam kepada Murbawati yang masih terbaring lemah.
"Apa yang kau ketahui tentang pusaka Tuak Setan itu?"
"Gila Tuak memerintahkan muridnya itu untuk menghancurkan Pusaka Tuak Setan yang
sangat berbahaya jika jatuh ke tangan orang lain. Gila Tuak tidak ingin pusaka itu
masih berada di bumi kita, karena sangat membahayakan jika digunakan oleh orang-
orang tak bertanggung jawab. Dan... pada saat saya mencuri percakapan mereka
itu, tiba-tiba muncul di hadapan saya Pujangga Kramat, pelayan setianya si Gila
Tuak. la menyerang saya dengan dua jurus, dan saya terluka parah begini!"
Tanpa sadar tangan Betari Ayu meremas gelang
logam di tangannya. Gelang itu menjadi lumer karena asap yang mengepul dari
telapak tangannya. Buru-buru ia menyadari hal itu dan membuang gelang dari bahan
baja mengkilap dari tangannya.
"Pujangga Kramat bukan tandinganmu,
Murbawati!" geram Betari Ayu. "Dewi Murka adalah lawan yang imbang untuk
berhadapan dengan
Pujangga Kramat. Orang itu selain tidak bisa bicara dengan benar, juga tidak
bisa bersikap bijaksana dan lebih sering main hukum sendiri. Memang dia pelayan
setia si Gila Tuak, tapi aku yakin Gila Tuak tidak menyuruh dia untuk bertindak
seenaknya sendiri begitu."
"Saya dianggap pencuri, Guru," kata Murbawati sambil bernada sedih, seakan sakit
hati sekali dengan tuduhan tersebut.
Dewi Murka yang tadi disebut-sebut namanya
sebagai orang yang layak menandingi Pujangga
Kramat, segera berkata dengan hati masih merasa bangga.
"Haruskah saya berangkat sekarang, Guru"!"
"Tahan sebentar!" kata Betari Ayu, yang segera memandang ke arah Murbawati.
"Apalagi yang kamu ketahui tentang Pusaka Tuak Setan itu"!"
"Tidak banyak, Guru. Yang saya tahu Tuak Setan akan dimusnahkan oleh murid si
Gila Tuak itu."
Betari Ayu menarik napas. Sepertinya ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Lalu,
ia menggumam sendiri,
"Tuak Setan...!" Sejurus kemudian ia menatap Selendang Kubur dan Dewi Murka
secara bergantian, lalu berkata,
"Tuak Setan adalah pusaka maut yang tidak pernah digunakan oleh si Gila Tuak.
Pusaka itu disembunyikan oleh si Gila Tuak, entah di mana tempatnya. Pusaka itu
menjadi incaran setiap orang, baik dari tokoh tua maupun tokoh muda. Gila Tuak
sendiri tidak berani menghancurkan pusaka itu karena pusaka tersebut mempunyai
pertalian nyawa dengan dirinya. Tetapi jika orang lain yang
menghancurkannya, pertalian nyawa itu menjadi hilang dan Gila Tuak tidak
mengalami bahaya apa pun."
Selendang Kubur mengajukan pertanyaan, "Apa kehebatan Pusaka Tuak Setan itu,
Nyai Guru?"
"Tuak Setan berbentuk guci yang berisi tuak ribuan tahun usianya. Apabila tuak
tersebut diminum oleh seseorang, maka napas orang tersebut bisa berubah menjadi
badai yang amat dahsyat jika dihentakkan dengan sedikit dorongan tenaga dalam.
Badai itu dapat menyapu habis pohon-pohon besar di hutan,
atau menggelindingkan batu sebesar rumah
sekalipun. Karena itu, jika Tuak Setan diminum oleh orang yang punya sifat
angkara murka; maka bumi ini akan hancur sebelum waktunya. Air laut bisa meluap
dan menenggelamkan gunung setinggi apa pun. Tuak Setan memang berbahaya, seperti
bahayanya jika si Gila Tuak mengamuk."
"Mengapa si Gila Tuak tidak meminumnya
sendiri?" tanya Dewi Murka.
"Karena dia takut menghadirkan bencana besar.
Dia merasa masih bisa terpancing oleh kemarahan.
Dan Pusaka Tuak Setan lebih berbahaya lagi jika digunakan oleh seseorang yang
sedang memendam kemarahan. Sebagai tokoh golongan putih, si Gila Tuak tidak
berani menggunakan Pusaka Tuak Setan.
Mungkin berdasarkan itulah, maka ia memutuskan untuk menghancurkan Pusaka Tuak
Setan. Tapi..., mengapa muridnya yang disuruh menghancurkan"
Mengapa bukan Bidadari Jalang?"
Murbawati menyahut, "Menurut yang saya dengar, si Gila Tuak mengatakan tidak
akan ada orang yang bisa menghancurkan guci Pusaka Tuak Setan itu kecuali sang
murid itu sendiri."
"Berarti murid si Gila Tuak bukan orang
sembarangan?" gumam Betari Ayu sambil termenung.
Lalu, Dewi Murka bertanya kepada Murbawati,
"Siapa murid si Gila Tuak itu?"
"Kudengar, kakek tua itu menyebutnya Suto Sinting!"
"Suto Sinting..."!" gumam mereka berbarengan.
* * * 2 DERU suara air terjun memekakkan telinga.
Curahan airnya yang bening menghantam bebatuan, pecah dan berubah menjadi
gumpalan air yang
mengaliri sungai dangkal di Jurang Lindu itu. Sungai yang penuh dengan batu-batu
gurung berwarna hitam kelam, menjadi tempat melejitnya tubuh kekar berikat
kepala kulit ular hijau pupus.
Kaki pemuda itu melompat dari satu batu ke batu lainnya hanya menggunakan ujung
jempol kakinya saja pada waktu menapak di salah satu batu. Bekas tapakan ujung
jempol kaki itu menimbulkan asap tipis, yang lama kelamaan membuat batu itu
menjadi hancur sebagian kecil. Sepertinya batu itu mengalami kerapuhan dimakan
usia beratus-ratus tahun.
Kekuatan tenaga dalam yang tersalur melalui ujung jempol kakinya itulah yang
membuat batu menjadi rapuh dan hancur dalam bentuk serpihan lembut.
Lima buah pisau kecil melesat dari suatu tempat.
Suiiit..! Kelima pisau kecil itu melayang cepat bagaikan kilat, menuju ke arah
pemuda yang sedang bersalto dari batu ke batu. Putaran saltonya tampak lebih
cepat lagi hingga tak terlihat gerakan jungkir baliknya, sampai akhirnya pemuda
itu berdiri tegak di atas sebuah batu runcing dengan menggunakan satu kaki.
la segera memeriksa tabung bambu berisi tuak
yang digendongnya di bagian punggung. Ternyata kelima pisau terbang tadi
berhasil ditangkisnya dengan tabung bambu. Kelima pisau itu menancap berjajar
dari atas ke bawah di tabung tuak yang disebutnya bumbung itu.
Pemuda, berkemeja komprang warna hijau muda
dengan celananya yang juga berwarna hijau muda itu,
tersenyum sambil mencabuti lima pisau yang
menancap di bumbungnya. la melirik ke arah daratan, di bawah sebuah pohon,
seorang kakek berjubah kuning sedang tersenyum pula kepadanya. Kakek itulah yang
tadi melemparkan lima pisau
berkecepatan bagai kilat itu.
Pemuda yang mengenakan ikat pinggang dari kain warna merah tua tak lain adalah
Suto, si bocah tanpa pusar yang diangkat murid oleh si Gila Tuak, (baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar"). Kakek berjubah kuning yang
berdiri di bawah pohon besar itulah si Gila Tuak, yang selama ini telah
menurunkan ilmu-ilmunya kepada murid tunggalnya tersebut. la merasa puas melihat
kecepatan gerak Suto dengan ketajaman mata dan otak yang cukup tinggi, sehingga
mampu melihat dan menangkis
gerakan lima pisau tadi.
"Suto, kemari!" perintah si Gila Tuak sambil mengetukkan tongkatnya ke tanah
satu kali. "Baik, Kek...!" jawab Suto dengan tegas.
la hendak melompat dari batu itu, tetapi tiba-tiba ia merasa seluruh urat
tubuhnya menjadi kaku, kecuali di bagian kepala. la ingin menurunkan satu
kakinya yang terangkat, namun tak bisa. Bahkan untuk menggerakkan tangannya,
juga tak mampu.
Semuanya menjadi kaku dan beku.
"Uh... uh... eh....'" Suto berusaha sekuat tenaga menggerakkan anggota tubuhnya,
tapi usahanya itu sia-sia.
Si Gila Tuak terdengar terkekeh-kekeh dari
tempatnya. Suto segera memandang ke arah
gurunya. Maka, segeralah sadar bahwa dirinya
sedang ditotok dari jarak jauh oleh sang Guru.
"Sial! Dia menotokku dari sana lewat hentakan
tongkatnya tadi," kata Suto dalam hati dengan sedikit dongkol. "Baik. Akan
kutunjukkan kemampuanku melepaskan totokan dari jarak jauh itu." Suto memejamkan
mata sebentar, menarik napas dalam-dalam, dan seketika itu ia memekik panjang,
"Hiaaat...!"
Maka tubuh Suto pun berhasil melenting tinggi dan jungkir balik di angkasa. Batu
yang tadi dipijaknya menjadi hancur seketika oleh sentakan kaki Suto tadi.
Prakkk...! Batu itu menjadi bongkahan-bongkahan yang segera berjatuhan masuk ke
aliran arus sungai berair bening.
Tubuh Suto yang telah bebas dari pengaruh
totokan gurunya segera melesat ke daratan, kedua kakinya menapak di tanah tepian
sungai. Jligg...!
Tubuhnya tepat berhadapan dengan si Gila Tuak yang terkekeh-kekeh sambil
sesekali menenggak tuak yang tersimpan dari dalam tongkatnya.
"Hiaaah...!" Suto mengambil bumbung tuak dari punggungnya. Lalu, bumbung itu
dihentakkan ke tanah. Jluug...! Tepat pada saat itu tubuh si Gila Tuak tersentak
naik ke atas di luar dugaan sang guru.


Pendekar Mabuk 02 Pusaka Tuak Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh tua tersebut bagai dilemparkan ke atas
dengan kuatnya akibat tenaga dalam Suto yang
disalurkan lewat bumbung dan melalui jalan tembus tanah.
Karena cepat dan kuatnya sentakan tenaga dalam Suto, akhirnya tubuh si Gila Tuak
melayang cepat membentur dahan pohon kepalanya. Plokkk...!
"Aaauh...!" Gila Tuak menyeringai kesakitan. la segera berkelebat jungkir balik
di angkasa dalam keadaan mulutnya tersumpal bagian atas tongkat yang tadi hendak
ditenggak isinya.
Kaki si Gila Tuak mendatar di tanah dengan sigap dan tegap. Ia segera menarik
tongkatnya yang
menyumpal mulut, sementara Suto tertawa terkakak-kakak melihat wajah gurunya
merengut akibat
dipermainkan oleh sang murid.
"Hati-hati kau, Suto!" sentak si Gila Tuak sambil mengusap-usap kepalanya yang
sakit terkena benturan dahan tadi.
Suto sendiri segera membuka tutup bumbungnya, dan menenggak tuak yang tersimpan
di dalam bumbung itu. Glek... glek... glek...! Pada waktu wajah Suto terdongak menenggak
tuak itulah si Gila Tuak segera meluncurkan pukulan jarak jauhnya ke tubuh Suto.
Wusss...! Dengan sigap tangan kiri Suto yang tidak
memegang bumbung segera disentakkan ke depan.
Wuuggg...! Gelombang tenaga dalam dilancarkan pula oleh Suto. Gelombang itu
berbenturan dengan hawa pukulan jarak jauh dari si Gila Tuak, dan akibatnya
menimbulkan suara bergedebuk seperti nangka jatuh dari pohon.
Beeegh...! Suto tersentak mundur satu langkah. Tetapi si Gila Tuak tersentak mundur tiga
langkah. Rupanya Suto mengirim kekuatan tenaga dalamnya lebih besar dari pukulan
jarak jauhnya si Gila Tuak, membuat tubuh kakek berjubah kuning itu lebih besar
menerima sentakan. Tubuh itu membentur pohon. Bukkk...!
"Kurang ajar kau!" geram si Gila Tuak karena merasakan sakit pada bagian
punggungnya yang
terkena tunas pohon berbentuk seperti tangan
menggenggam. Suto tertawa keras sambil menuding-nuding
gurunya yang menyeringai kesakitan di bagian
punggung. Wajah sang Guru cemberut, dan membuat Suto semakin geli. Sang Guru
hanya menahan napas beberapa saat, sementara Suto sudah memutar-mutarkan
bumbungnya yang berukuran sedikit lebih besar dari tongkat sang Guru.
Ketika bumbung itu diputar dengan cara
memegangi talinya, timbullah suara berdengung yang membisingkan telinga. Putaran
bumbung itu pun memancarkan angin kencang bergelombang-gelombang. Rambut sang
Guru tersingkap nyaris copot dari kulit kepalanya. Jubahnya beterbangan naik dan
terkait pada salah satu patahan ranting.
"Hentikan, Suto! Itu jurus berbahaya!" sentak si Gila Tuak.
Suto memang menghentikan gerakan bumbungnya
itu, namun ia masih tertawa terbahak-bahak
memandangi gurunya yang bersungut-sungut. Sang Guru mau bergerak maju, namun
gerakannya bagai ada yang menahan dari belakang. Segera si Gila Tuak pasang
waspada, la melirik sedikit tegang ke
belakang sambil membatin,
"Siapa orang yang berani menahan gerakanku ini"!"
Si Gila Tuak segera pasang kuda-kuda, bersiap menyerang sesuatu yang menahan
gerakan majunya.
Namun melihat Suto tertawa terkakak-kakak sambil menuding-nuding ke arahnya, si
Gila Tuak menjadi ragu-ragu. Pelan-pelan ia palingkan kepalanya, dan ia pun jadi
menghempaskan napas kesal. Karena ia tahu pada saat itu jubahnya tersangkut
patahan ranting, sehingga menahan gerakan majunya.
"Kucing Kurap!" makinya dengan dongkol, segera menyentakkan jubah dan jubahnya
segera lepas dari patahan ranting.
Suto tertawa terpingkal-pingkal melihat gurunya menahan kedongkolan. Tawanya
sampai membuat Suto jongkok sambil tetap memegangi bumbung
tuaknya. "Diam, Suto! Diam....!" sentak si Gila Tuak.
Tetapi Suto masih terpingkal-pingkal, bahkan
semakin bertambah kegelian mendengar bentakan gurunya. Secepatnya si Gila Tuak
melemparkan tongkatnya ke arah Suto. Tongkat hitam itu pun meluncur cepat ke arah wajah
Suto, dengan tujuan mulut Suto.
Tetapi dengan cepat Suto berguling di rerumputan sambil mengibaskan bumbungnya.
Kibasan bumbung tuak Suto begitu cepat dan kuat, sehingga pada waktu menangkis
tongkat yang meluncur cepat itu menimbulkan bunyi bagaikan dua lonceng logam
berbenturan. Taaang...!
Bunyi itu menggema ke mana-mana, mengungguli
suara deru air terjun. Jika tanpa dialiri kekuatan tenaga dalam baik tongkat
maupun bumbung Suto, tidak mungkin bisa menimbulkan suara berdentang sedemikian
hebatnya. Bahkan tongkat yang meluncur datar tadi saat itu bisa melesat naik,
tinggi dan lebih cepat dari luncuran semula, sampai akhirnya tongkat itu
menancap pada batang pohon di bagian atas.
Jruub...! "Ambil tongkatku!" sentak si Gila Tuak setelah mengetahui tempat menancapnya
tongkat cukup tinggi. "Suto, lekas ambil tongkat itu dan kembalikan padaku!"
"Salah Guru sendiri, mengapa membuang
tongkatnya"!" bantah Suto sambil menghabiskan tawanya. Kemudian ia berdiri
dengan sedikit limbung.
Matanya mulai tampak sayu akibat pengaruh tuak
yang tadi ditenggaknya untuk yang kesekian kalinya, Si Gila Tuak bergegas
menghampiri Suto dengan langkah cepat. Suto berjalan mundur dengan limbung dan
sedikit membungkuk. la mengangkat kedua
tangannya dengan lemah. Satu tangan masih
memegangi bumbung tuak. la tahu gurunya akan
marah jika perintah itu tidak dikerjakan. Maka dengan sikap orang mabuk yang
menyerah, Suto berkata diiringi sisa tawanya.
"Iya, iya...! Baik, akan saya kembalikan pada Kakek Guru!"
"Kupelintir batang lehermu kalau tidak kau kembalikan tongkatku. Dasar murid
sinting!" Suto segera melompat dan bersalto di udara satu kali. Kakinya menjejak pohon
tempat menancapnya tongkat itu. Dengan satu sentakan keras dan
bertenaga dalam, pohon itu dijejak dan menimbulkan bunyi bergemuruh. Daun-
daunnya rontok sebagian.
Tongkat yang menancap di bagian atas itu jadi melesat mundur dan jatuh di bawah
pohon tempat si Gila Tuak tadi berdiri mengawasi latihan sang murid.
Pluk...! Tongkat itu jatuh tergeletak di rerumputan.
Si Gila Tuak bergegas memungutnya. Namun, baru saja ia membungkuk untuk
mengambil tongkat, tiba-tiba badannya bergerak mundur. Karena pada saat itu Suto
menghentakkan jari tengahnya ke depan dengan satu hembusan napas kencang.
Wuuus...! Dan tiba-tiba tongkat itu bergerak-gerak, kemudian segera berubah menjadi seekor
ular sanca. Si Gila Tuak melompat mundur karena kaget. Suto kembali tertawa terpingkal-
pingkal. Ular sanca itu menatap si Gila Tuak, sejurus kemudian segera melesat
menyambar kepala si Gila Tuak. Namun
dengan cepat tangan si Gila Tuak menangkapnya.
Hup...! Kepala ular digenggam kuat, lalu tangan kanan si Gila Tuak menarik ular
itu dari leher ke ekor, dan dengan satu tahanan napas, ternyata ular itu sudah
berubah menjadi tongkat seperti sediakala.
Suto masih tertawa. Kali ini ia duduk di
rerumputan, meletakkan bumbungnya di samping, dan ia bertepuk tangan sambil
berkata, "Bagus, bagus, bagus...! Itu baru guruku namanya.
Hebat...!"
Cepat tubuh tua berbalik menghadap Suto.
Tongkatnya digenggam dengan tangan kanan, ujung bawahnya menyentuh tanah.
"Rupanya kau telah menerima warisan ilmu sihir dari bibi gurumu; Bidadari Jalang
itu!" "Tinggal sebagian ilmu yang belum saya miliki dari Bibi Guru," kata Suto seraya
menghentikan tawanya.
"Kapan dia berjanji akan menyelesaikan
penurunan ilmunya padamu?" tanya si Gila Tuak sambil mendekati Suto.
"Bibi Guru tidak bilang pada saya, Kek. Bibi Guru hanya berkata, bahwa ia akan
memenuhi janjinya, karena saya telah melakukan penyembuhan terhadap penyakit
racun birahinya."
"Apa kau percaya dengan omongan bibi gurumu itu" Dia sudah terbiasa bertindak
curang, Suto."
"Saya tahu kelemahan Bibi Guru, Kek. Akan saya buat dia bertekuk lutut di
hadapan saya jika sampai dia membohong aku."
Si Gila Tuak menggumam lirih, "Murid gila! Bibi gurunya akan dibuat bertekuk
lutut. Kurasa..., itu bisa saja terjadi, karena seluruh ilmuku telah kuturunkan
kepadanya. Tinggal satu ilmu yang belum, yaitu
'Candra Geni' yang dapat membakar lautan walau hanya dengan cara memandang saja.
Tapi, perlukah ilmu itu kuturunkan kepada bocah sinting itu" Aku harus pertimbangkan masak-
masak," ucap si Gila Tuak di dalam hatinya.
Memang tinggal satu ilmu yang belum diturunkan oleh si Gila Tuak kepada murid
tunggalnya, tapi bukan berarti si Gila Tuak merasa sayang untuk menurunkannya.
Si Gila Tuak melihat Suto masih belum membutuhkan ilmu 'Candra Geni'. Dengan
bekal ilmu lain yang diturunkannya kepada Suto, pemuda tanpa pusar itu sudah
cukup mampu menghadapi bahaya apa pun. Apalagi sebagian ilmu Bidadari Jalang sudah
diturunkan kepada Suto, pemuda tampan yang punya senyum memikat hati
setiap perempuan itu tentu sudah lebih tangguh menghadapi musuh mana pun.
Si Gila Tuak yang menentukan perjanjian tersebut, ketika Bidadari Jalang
membutuhkan bantuan Suto untuk menghilangkan racun birahi dari dalam dirinya.
Pada waktu itu si Gila Tuak berkata,
"Boleh saja kau meminta bantuan bocah tanpa pusar itu, tapi kau harus memberinya
upah kebijakan kepadanya. Aku tak rela kalau penyembuhan yang akan dilakukan
oleh Suto terhadap dirimu nanti, justru akan membuatmu semakin gila-gilaan di
rimba persilatan."
"Aku tahu maksudmu, Sabawana," kata Bidadari Jalang dengan menyebut nama asli si
Gila Tuak. "Aku sendiri sudah menyadari, bahwa kekuatan ilmuku yang kuanggap
sangat ampuh ini ternyata masih bisa dilumpuhkan oleh ilmu lain. Racun birahi
ini semakin membuatku kehilangan banyak tenaga dan ilmuku kian hilang satu
persatu." "Jangan merasa lebih tinggi dari yang lain. Ada yang lebih tinggi dari yang
tertinggi. Ingat-ingatlah hal
itu, Nawang Tresni!"
"Ya. Aku ingat. Karenanya, setelah racun birahiku ini hilang, aku bermaksud
mengasingkan diri dari rimba persilatan. Aku sudah terlalu lelah untuk
melanglang buana lagi. Aku tidak akan turun di rimba persilatan jika tidak ada
keperluan yang penting."
"Aku mendukung rencanamu, Nawang Tresni."
"Jika begitu, izinkan aku membawa bocah tanpa pusar itu ke Lembah Badai. Akan
kudidik ia untuk pemusatan tenaga intinya, yang kelak bisa digunakan untuk
melawan racun birahiku."
"Kuizinkan kau membawa Suto, tapi tetap dalam pengawasanku. Sebab, kita sama-
sama tahu, bocah itu semakin dewasa semakin kelihatan
ketampanannya. Aku takut kau jatuh hati kepadanya."
Bidadari Jalang tertawa mengikik. "Aku tak keberatan kau mengawasinya, karena
memang aku sangat membutuhkan tenaga intinya."
Begitulah akhirnya, Suto juga dididik oleh Bidadari Jalang, yang selama ini juga
belum mempunyai murid, kecuali orang-orang suruhan, pelayan, dan beberapa anak
buah yang dibekali jurus-jurus ringannya.
Beberapa waktu lamanya Bidadari Jalang
menggembleng bocah tanpa pusar itu dalam
pengawasan Ki Sabawana yang berjuluk si Gila Tuak.
Kadang-kadang mereka melatih Suto secara
berbarengan, sehingga mereka menemukan jurus-
jurus baru yang tercipta karena perpaduan dua jurus mereka itu.
Bidadari Jalang kini telah terbebas dari racun birahi. Suto telah menyalurkan
hawa murninya ke dalam diri Bidadari Jalang. Untuk melakukan
penyembuhan itu, si Gila Tuak sengaja membuat mata Suto menjadi buta sementara
dengan racun tuak simpanannya. Hal itu dilakukan oleh si Gila Tuak, supaya murid tunggalnya
tidak tergoda pada saat melakukan penyembuhan terhadap diri Bidadari
Jalang. Sebab, cara penyembuhan tersebut dilakukan dalam keadaan Bidadari Jalang
melepas semua pakaiannya di dalam sebuah kamar.
"Letakkan telapak tanganmu dua-duanya di punggungku, Suto," kata Bidadari Jalang
waktu penyembuhan dulu. Suto melakukannya dengan
sedikit gemetar, karena ia merasakan kelembutan kulit punggung Bidadari Jalang.
"Jangan berpikiran yang bukan-bukan, Suto!
Pusatkan perhatianmu pada tenaga intimu.
Keluarkan hawa murnimu melalui kedua telapak
tanganmu itu," tuntun Bidadari Jalang.
Suto melakukan hal itu. Tubuh Bidadari Jalang menjadi menggigil pada saat hawa
murni Suto disalurkan ke dalam tubuhnya. Di dalam hati Bidadari Jalang berkata,
"Besar sekali hawa murni yang keluar darinya" Oh, tubuhku begitu dingin,
bagaikan disekap di dalam gunung es. Kalau saja ia mempunyai pusar, tidak akan
sebesar ini kekuatan hawa murni dan tenaga intinya. Oh, luar biasa kekuatan
bocah sinting ini..."!"
Bidadari Jalang tetap duduk bersila memunggungi Suto. Tubuhnya berjuang dengan
keras menahan hawa dingin yang membekukan darah. Tubuh tanpa pakaian itu gemetar menggigil,
namun tubuh Suto yang kala itu sudah berusia lima belas tahun jadi bermandikan
keringat hingga mirip orang habis kehujanan.
"Nah, sekarang lakukan di ulu hatiku. Tekan tanganmu seperti tadi. Lakukanlah,
Suto!" sambil Bidadari Jalang berbaring. Suto meraba bagian ulu
hati Bidadari Jalang. Tiba-tiba perempuan itu memekik keras.
"Hai, jangan yang itu yang kau pegang!"
"Oh, maaf. Maaf, Bibi... saya salah pegang!"
"Nakal kamu!"
Plakkk...! Wajah Suto ditampar. Tapi Suto tetap tersenyum berkesan meringis,
karena ia sadar bahwa yang dipegangnya tadi adalah gundukan dada yang sekal dan
berujung kencang. Suto menahan geli, lalu segera kembali bersungguh-sungguh
setelah menarik napas panjang-panjang.
Sekarang, usianya sudah lebih dari tujuh belas tahun. Suto sudah menjadi pria
tampan yang menggiurkan hati setiap wanita, walaupun ia sering bicara meracau karena
pengaruh minuman tuaknya.
Menurut si Gila Tuak, sudah waktunya Suto muncul di rimba persilatan sebagai
pendekar pembela
kebenaran. Tetapi karena sering diajak minum tuak oleh si Gila Tuak, maka Suto
pun tumbuh sebagai pemuda yang sering mabuk, dan ke mana-mana
selalu membawa tabung bambu yang disebut
bumbung. Benda itu berukuran satu depa
panjangnya. Besarnya sedikit lebih besar dari tongkat milik gurunya. Dalam
genggaman tangan Suto,
bumbung itu hanya sisa beberapa jari saja. Bumbung itu mempunya tali yang biasa
diselempangkan di dada jika bumbung itu sedang dibawa di
punggungnya. "Suto," kata si Gila Tuak setelah mereka selesai latihan tadi, "Ikutlah aku ke
dalam gua, akan kutunjukkan di mana letak penyimpanan Pusaka
Tuak Setan yang harus kau ambil dan kau hancurkan itu!"
Gila Tuak melesat dalam satu lompatan seperti
angin, menerobos curah air terjun, dan Suto


Pendekar Mabuk 02 Pusaka Tuak Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengikutinya. Ternyata di balik curah air terjun itu terdapat gua, sebagai
tempat bermukimnya si Gila Tuak selama ini.
* * * 3 PAGI yang cerah dihiasi dengan deru kaki kuda yang berlari cepat. Kuda putih itu
ditunggangi oleh seorang perempuan berpakaian serba hitam, berikat pinggang
sabuk lebar warna coklat. Rambutnya yang panjang disanggul ke atas dan diberi
tusuk konde dari bambu kuning. Tangan kirinya mengenakan gelang dari logam putih
mengkilat, sebagai tanda bahwa ia adalah orang Perguruan Merpati Wingit.
Tak salah lagi, perempuan yang mampu bergerak lincah bersama kuda putihnya itu
tak lain adalah Dewi Murka. Rupanya dialah yang mendapat tugas menemui si Gila
Tuak ke Jurang Lindu untuk
menyelesaikan perkara Murbawati. Nyai Guru Betari Ayu tidak ingin masalah
tersebut menjadi berbuntut panjang. Selama ini hubungannya dengan si Gila Tuak
cukup baik, sekalipun hubungannya dengan Bidadari Jalang bermusuhan. Tetapi
selama ini si Gila Tuak tidak pernah mau ikut campur urusan pribadi saudara
seperguruannya itu, sehingga permusuhan tersebut tidak membuat retak hubungan
baiknya dengan Betari Ayu. Mengingat masalah hadirnya Murbawati menjadi
masalah bagi pelayan setianya Gila Tuak, yaitu Pujangga Kramat, maka Betari Ayu
segera mengutus Dewi Murka untuk menyelesaikan secara baik-baik.
Bilamana perlu meminta maaf atas kesan buruk yang dilakukan Murbawati sebagai
pencuri kata. Sekalipun sebenarnya Betari Ayu memahami maksud hati
Murbawati yang terpikat oleh sebentuk ketampanan seorang pemuda, namun sikapnya
yang mengendap-endap dan bersembunyi itu dianggap salah oleh Betari Ayu.
Dengan diutusnya Dewi Murka untuk
menyelesaikan masalah dengan pihak Gila Tuak, ini merupakan kebanggaan yang amat
menggembirakan hati Dewi Murka. Karena, menurutnya tugas ini sudah merupakan
pertanda akan adanya kepercayaan dari Nyai Guru kepadanya. Tidak menutup
kemungkinan lagi bahwa kelak Dewi Murka lah yang dipercaya untuk memegang
jabatan sebagai Ketua Perguruan Merpati Wingit, dan berhak pula memiliki Kitab
Wedar Kesuma. Itulah sebabnya Dewi Murka sangat
bersemangat memacu kudanya menuju Jurang Lindu.
Tetapi ketika kuda melewati kaki bukit cadas yang tak seberapa tinggi itu,
mendadak kaki kuda
menyentak ke atas bagian belakangnya. Keras sekali sentakan itu, sehingga tubuh
penunggangnya pun jatuh terpental ke depan bersama ringkik suara kuda.
Beruntung gerakan naluri Dewi Murka cukup
tajam, sehingga pada waktu ia melayang karena dibuang oleh kudanya, tubuh
langsing itu segera menguasai keseimbangan. Bersalto satu kali dan segera
mendarat ke tanah dengan kaki tegak berdiri kokoh berpijak. Kedua tangannya
segera mengambil sikap menunggu serangan berikutnya.
Tapi sampai beberapa saat lamanya Dewi Murka
menunggu dengan mata memandang tajam ke
sekelilingnya, ternyata tidak ada sesuatu yang tampak mencurigakan yang akan
membahayakan dirinya. "Aku merasakan ada pukulan dari jarak jauh yang menghantam pantat kudaku," pikir
Dewi Murka dengan tetap waspada. "Tetapi penyerang gelap itu tidak segera
menyerangku lagi. Apa maksudnya dia begitu" Siapa dia sebenarnya?"
Sambil bicara dalam hati, Dewi Murka segera
mendekati kudanya yang masih sedikit liar akibat pukulan gelap tadi. Dewi Murka
segera berhasil memegangi tali kekang kuda dan mengusap-usap
bagian tengah kepala kuda agar sang kuda menjadi tenang.
"Tenang, tenang...," katanya pelan kepada sang kuda, "Dia pasti akan menampakkan
diri. Tak mungkin dia membiarkan aku lolos. Kita tunggu saja di sini sambil
beristirahat sebentar, Kliwon!" seraya ia menyebutkan kudanya.
Kliwon memang menjadi tenang setelah diusap-
usap beberapa kali oleh penunggangnya. Tetapi baru saja kuda itu tampak tenang,
kali ini kaki kuda menjadi tersentak ke depan dan naik tinggi-tinggi sambil
meringkik beberapa kali. Sentakan kaki depan kuda hampir saja mengenai wajah
Dewi Murka kalau saja ia tidak segera mundur dengan melompat dua langkah. Satu
hal yang membuat Dewi Murka terkejut adalah putusnya tali kekang kuda. Tali itu
putus hampir di dekat bagian yang digenggam tangan
kanan Dewi Murka, Putusnya tali itu menimbulkan asap yang menandakan adanya
sebuah pukulan tenaga dalam berapi yang dilancarkan dari salah satu sisi. Pukulan itu mengenai
tali kuda. Serentak mata Dewi Murka terbelalak setelah ia segera menyadari akibat dari
pukulan tersebut. la mengenali pukulan itu.
"Tapak Merpati Murka'.,.!" gumamnya menyebut nama pukulan jarak jauh tersebut.
"Pasti ada orang Merpati Wingit di sini. Karena pukulan 'Tapak Merpati Murka'
hanya dimiliki orang-orang Perguruan Merpati Wingit. Hmmm... siapa gerangan
orang yang menggunakan pukulan berbahaya itu untuk
menyerangku. Jelas, ini bukan serangan main-main.
Ini sudah merupakan serangan yang bermaksud
jahat." Dewi Murka segera memejamkan mata dengan
kedua tangannya saling bertaut di depan dada.
Beberapa saat kemudian, sepertinya ia telah
menemukan sesuatu yang dicarinya. Seketika itu tangan Dewi Murka menyentak ke
depan, tertuju pada gugusan batu cadas yang ada di lereng bukit.
Sebuah pukulan jarak jauh bertenaga dalam cukup tinggi dilancarkan.
Wuuugh...! Blaarrr...!
Gugusan batu cadas yang cukup besar itu pecah karena dihantam pukulan tanpa
wujud itu. Dari gugusan tersebut segera muncul sesosok tubuh
bergerak lincah, melenting tinggi dan bersalto di udara dua kali. Sosok itu
dalam sekilas menampakkan warna merah dadu, dan segera
mendarat dalam jarak sepuluh tombak dari tempat Dewi Murka berdiri.
"Oh, kau rupanya"!" Dewi Murka sedikit terperanjat dan segera mundur satu
tindak. la sangat mengenali penyerang gelapnya itu, yang tak lain adalah
Selendang Kubur.
"Apa maksudmu menyerangku, Selendang
Kubur"!" ketus suara Dewi Murka dengan sikap tetap siaga menerima pukulan
sewaktu-waktu. Matanya pun memandang tajam berkesan bermusuhan.
Selendang Kubur hanya memandang dengan sinis, demikian pula senyumnya yang tipis
menandakan senyum kesinisan.
"Serahkan tugas itu kepadaku, Dewi Murka. Guru telah salah memilih orang untuk
melaksanakan tugas bertemu dengan si Gila Tuak. Guru terpengaruh oleh kata-
katamu yang suka memuji diri sendiri itu."
Dewi Murka memperdengarkan suara tawanya
yang kecil dan berkesan mengejek. Setelah itu ia pun berkata dengan ketus.
"Guru bukan orang bodoh, ia tidak mungkin mengutus muridnya yang masih hijau
untuk berurusan dengan tokoh tua itu."
Selendang Kubur menggeram menahan
kemarahannya. la membatin.
"Usianya memang tiga tahun lebih tua dariku, tapi tidak layak ia mengatakan aku
sebagai murid yang masih hijau. Agaknya mulut perempuan licik ini perlu diberi
pelajaran...!"
Pelan-pelan Selendang Kubur menarik selendang putihnya sehingga terlepas dari
pinggang. Melihat gerakan seperti itu, Dewi Murka mulai bersiap mencabut
trisulanya dari pinggang, karena lepasnya selendang putih dari pinggang
merupakan tantangan maut buat dirinya, karena memang begitulah
kebiasaan Selendang Kubur jika hatinya mempunyai niat bertarung dengan siapa
pun. "Kuperingatkan satu kali lagi, Dewi...,
menyingkirlah dan serahkan tugas itu padaku. Aku lebih mampu menghadapi sikap si
Gila Tuak jika sewaktu-waktu ia bertindak keras."
"Dugaanmu salah, Selendang Kubur. Si Gila Tuak tidak akan bertindak keras kepada
siapa pun, selama ia tidak melihat sikap kita berniat kurang ajar
padanya." "Tapi aku punya rencana sendiri dalam tugas ini!"
ucap Selendang Kubur dengan nada dingin.
Senyum sinis Dewi Murka kembali mekar di sudut bibirnya yang mungil namun tampak
judes itu. "Aku tahu, ada sesuatu yang membuatmu
penasaran, Selendang Kubur. Rencana tersendiri yang kau maksudkan itu tak lain
ingin melihat dengan jelas, seperti apa murid si Gila Tuak yang menurut
pengakuan Murbawati sebagai pemuda tampan
memikat hati itu!"
"JahanamI" geram Selendang Kubur. Kemudian mulutnya terkatup rapat, hatinya
berkata, "Dia tahu jalan pikiranku. Ah, aku harus bisa menutupi niat kecilku
itu. Aku tak boleh kelihatan terlalu penasaran ingin melihat murid si Gila Tuak
yang kata Murbawati mempunyai daya tarik begitu kuat dan amat
mempesona hati itu. Atau, barangkali di dalam hati kecil Dewi Murka juga
mempunyai niat yang sama dengan niat hati kecilku ini?"
Dewi Murka sendiri berkata dalam hatinya,
"Celaka. Kurasa dugaanku itu benar. Buktinya Selendang Kubur tidak membantah
tuduhanku. Rupanya apa yang terpikir dalam otakku, terpikir pula dalam otaknya. Kabar
tentang adanya murid Gila Tuak itulah yang membuatku lebih bersemangat lagi
menunaikan tugas ini. Aku juga ingin membuktikan kebenaran kata Murbawati
tentang Suto Sinting yang mempunyai wajah menggetarkan hati setiap
perempuan itu. Aku punya rencana sendiri jika kata-kata Murbawati itu memang
benar. Tapi, ah... sayang Selendang Kubur ini berdiri sebagai calon penghalang
utamaku. Haruskah aku menyingkirkannya dengan sebentuk kematian"!"
Sepertinya percakapan batin mereka saling
didengar oleh lawannya, sehingga Selendang Kubur pun segera berkata,
"Rupanya kita punya maksud yang sama, Dewi.
Maksud pribadi yang terlepas dari urusan perguruan ini memang ada baiknya kita
selesaikan dengan cara kita sendiri!"
"Apa maumu, Selendang Kubur"! Jangan pikir aku akan mundur setapak pun
menghadapi kecuranganmu ini!"
"Sangat kebetulan jika kau tak mundur setapak pun, itu akan memudahkan diriku
untuk membunuhmu dengan cepat, Dewi!"
Dan tiba-tiba sebelum Dewi Murka mengatakan
sesuatu, selendang putih di tangan Selendang Kubur itu berkelebat cepat
menghantam ke arah dada Dewi Murka. Kibasan selendang itu mempunyai kekuatan
tenaga dalam yang tidak kecil, sehingga Dewi Murka segera melompat ke kanan
menghindarinya. Serta-merta tubuh Dewi Murka meluncur bagaikan terbang dengan
ujung trisulanya mengarah ke tubuh
Selendang Kubur. Gerakannya begitu cepat, sampai-sampai Selendang Kubur nyaris
tertikam ujung trisula yang memancarkan udara panas dalam jarak satu depa di
depannya. "Hiaaat...!" Selendang Kubur melesat naik bagaikan terbang. Ketinggiannya
melebihi tubuh Dewi Murka yang melayang menembus tempat kosong di bawahnya.
Seketika itu pula kaki Selendang Kubur dijejakkan ke bawah, tepat mengenai
punggung Dewi Murka dengan kerasnya,
Bukkk...! "Uuhg...!" Dewi Murka sempat memekik tertahan dan segera berguling di tanah.
Hampir saja tubuhnya
membentur batu runcing ketika dijejali punggungnya dari atas tadi.
Saat berikutnya, Dewi Murka telah mampu berdiri dengan kedua kaki sedikit
merendah. Trisulanya terangkat ke atas, sejajar dengan pundak kanannya.
Rasa nyeri di punggung bisa dihilangkan dengan menahan napas beberapa saat dan
menghembuskannya pelan-pelan. Kini mata Dewi
Murka memandang lebih tajam lagi ke arah
Selendang Kubur. Kemudian ia menyentakkan
trisulanya ke depan. Wuuugh...!
Ujung trisula mengeluarkan gelombang hawa
panas yang diperkirakan dapat membakar selendang putih itu. Tetapi, Selendang
Kubur justru mengibaskan selendangnya ke depan dengan
melancarkan tenaga dalamnya yang mengandung
gelombang dingin. Akibatnya, kedua pukulan tenaga dalam yang tersalur melalui
senjata masing-masing itu bertemu di pertengahan jarak dan menimbulkan bunyi
teredam yang cukup jelas. Dubbb...! Blaarrr...!
Suara ledakan pun menyusul. Tabrakan dua
tenaga dalam bergelombang berlawanan itu
mengguncangkan tanah tempat mereka berpijak.
Bebatuan kecil berguguran dari lereng bukit, daun-daun berjatuhan dari atas
pohon, seakan tanah di sekeliling mereka berdiri mengalami guncangan gempa yang
lumayan keras, kuda pun meringkik
ketakutan. Tetapi kedua murid Betari Ayu itu sama-sama
berdiri tak bergerak. Mata mereka tetap saling pandang dan tangan mereka tetap
bersikap seperti tadi. Makin lama semakin terlihat jelas, kedua lutut mereka
sama-sama bergerak ke bawah pelan-pelan.
Beberapa jurus kemudian keduanya sama-sama jatuh
terlutut di tanah. Tubuh mereka mulai kelihatan sama-sama lemah.
Dari hidung Dewi Murka mengalir darah segar.
Sedikit namun jelas terlihat oleh mata Selendang Kubur. Sedangkan mata Dewi
Murka pun melihat
jelas pula ada nya darah segar yang mengalir dari mulut Selendang Kubur bagian
sudutnya. Rupanya mereka sama-sama menahan hawa aneh
yang melesat ke segala arah akibat benturan dua tenaga dalam mereka. Hawa aneh
itu menghantam dada masing-masing dan sempat membuat luka di bagian dalam tubuh
mereka. Sekalipun luka itu tak seberapa, namun mereka sama-sama sadar jika hal
Parit Kematian 2 Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Pedang Medali Naga 16
^