Pencarian

Munculnya Pendekar Bayangan 1

Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan Bagian 1


1 BERBARENG munculnya warna semburat merah
pada langit di ambang timur, sang purnama di ufuk
barat telah separo tenggelam ke cakrawala. Kunang-
kunang pada berterbangan pulang ke sarangnya
setelah semalaman menyuluhi tempat-tempat gelap
dengan lentera-lentera pada perutnya.
Gunung Muria yang tegak perkasa itu menyaksikan
betapa sisa-sisa sinar purnama malam makin surut
dan tenggelam di kaki langit barat. Tetapi seandainya ia bisa berkata-kata,
pastilah ia akan menggertak
terhadap tiga bayangan manusia yang saling berkejaran di kaki bukitnya sebelah
selatan. Namun ternyata ia tetap membiarkan ketiga manusia yang saling
berkejaran tadi. Mungkin iapun menaruh kagum dan heran, mengapa di saat-saat
pagi buta ini, mereka saling
berkejaran. Memang saat begini adalah enak-enaknya orang menikmati sisa-sisa
tidurnya, berselimut rapat-rapat menahan kedinginan yang merasuk ke tulang
sumsum. Ketiga manusia yang berkejaran itu mempunyai
gerak yang lincah, tak ubahnya tiga ekor burung
sikatan menerobos kerimbunan semak dan kelebatan
hutan serta berloncatan dari batu ke batu. Bila mereka melewati semak-belukar
yang tidak begitu tinggi,
ketiganya cukup dengan melompat dan melewati
semak-semak tadi. Dengan begitu ketiganya seolah-
olah terbang di udara untuk beberapa saat.
Yang berlari paling belakang, mengenakan sebuah
topeng berwajah hantu. Ia tidak lain adalah Ki Topeng Reges! Sambil berlari
mengejar kedua orang yang
berada di depannya, Ki Topeng Reges berkali-kali
mengutuk dan bergerundalan.
"Setan mana yang telah mengajari mereka berlari
secepat itu"! Tetapi biarpun mereka seandainya berlari dengan aji Sapi Angin,
jangan harap dapat lolos dari tangan Ki Topeng Reges!"
Mahesa Wulung serta Ki Camar Seta yang dikejar
oleh Ki Topeng Reges, berlari dengan cepat. Mereka berpikir, bahwa semakin
menjauh dari rumah yang
mereka tinggalkan dan berisi prajurit-prajurit yang terluka parah, hati mereka
menjadi ayem seketika.
Keduanya kini merasa tenteram, sebab dengan
menjauhi rumah itu, mereka akan menjadi lebih
leluasa untuk bertempur melawan Ki Topeng Reges,
serta tidak akan membuat panik prajurit-prajurit yang tengah terbaring dengan
luka-luka. Begitulah, ketiganya saling berkejaran dan kadang-
kadang mereka berhenti sejenak untuk bertempur. Kemudian merekapun berkejaran
kembali seperti semula.
Namun, setiap kali mereka bertempur, Ki Camar
Seta dan Mahesa Wulung menjadi tergetar hatinya.
Keduanya merasakan, senjata Ki Topeng Reges yang
bernama Kiai Brahmasakti dengan nyala membara
membentur pedang-pedang mereka. Begitu memben-
tur, terasalah bahwa tangan-tangan mereka menjadi
nyeri dirayapi oleh bara api.
Dasar ketiganya adalah pendekar jagoan yang
berilmu tinggi, sambil berkejaran itu Ki Topeng Reges sekali-sekali berhenti,
bila dilihatnya Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta berhenti sejenak untuk mengatur
nafas. Ia berpendapat untuk tidak lekas-lekas membunuh
mereka. Biarlah keduanya menderita kelelahan lebih dahulu serta tersiksa. Toh
akhirnya kedua musuh itu akan dapat ditangkapnya.
Dada Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta sedikit
demi sedikit terasa panas, sebab jarak yang mereka tempuh dalam berkejaran
dengan Ki Topeng Reges
telah kelewat jauh. Betapapun kedua orang ini ter-
bilang jagoan, akhirnya segi jasmaniah terpengaruhi pula. Itulah sebabnya bila
mereka berhenti, keduanya segera mengatur nafas serta menghirup udara pagi
yang sejuk sebanyak-banyaknya agar mengalir dan
membersihkan ke dalam rongga dadanya. Dengan
begitu paru-paru mereka selalu dapat dialiri udara segar dan ini cukup baik
untuk mengatasi rasa perasaan sesak yang timbul.
Arah mereka menjadi berubah, karena kalau terus
berlarian ke arah utara, berarti mereka akan mendekati kaki Gunung Muria, yang
tentunya kurang
menguntungkan dipakai sebagai medan berlari dan
kejar-mengejar. Oleh sebab itu mereka membelok ke
arah barat. Dengan begitu ketiganya tetap menempuh daerah perbukitan yang tidak
terlalu terjal dan ber-jurang-jurang kelewat banyak.
Tetapi ketika mereka menginjak perbukitan di sebe-
lah barat daya, sepasang mata yang setajam pedang
mengawasi mereka dari balik dedaunan semak belu-
kar. Mata yang sedemikian tajam tadi menatap mereka terus-menerus tanpa
berkedip, dan menjadi lebih
tajam lagi bila ketiga manusia yang berkejaran tadi berlari ke arahnya.
Tiba-tiba semak belukar tadi terkuak dan dua
tangan yang berjari-jari kekar menyibakkan daun-
daun serta muncullah kemudian seorang yang bertu-
buh kekar agak kekurusan mengenakan pakaian serba
putih. Kain latar putih, celana dan baju berwarna abu-abu dan yang aneh, ia
mengenakan kain ikat kepala
yang menyelubungi seluruh kepala dengan warna yang
abu-abu pula. Kain ikat kepala tadi sekaligus merupakan kedok
dengan dua lobang bulatan untuk mata, sedang bagian muka lainnya tidak tampak
sama sekali. Munculnya orang yang berpakaian serba putih di
tempat yang sesepi itu memang sangat mengherankan, dan orang yang menjumpai
pastilah akan mengiranya
seorang jin atau hantu. Di tangannya tergenggam
sebuah tongkat kayu.
Orang berpakaian putih itu, dengan tenangnya
mengawasi ketiga orang yang tengah berkejaran,
seakan-akan ia tengah menonton pertandingan olah
raga. Satu perlombaan lari cepat yang benar-benar
mengagumkan. Dan ia sesaat diam membisu. Tetapi
begitu ketiga orang itu dilihatnya telah berada di sebelah barat, iapun secepat
kilat melesat menguntit mereka agak jauh di belakang. Begitulah, orang
berpakaian putih tadi seakan-akan ikut berlomba lari dan ia di garis paling
belakang. Larinya pun tidak kalah hebatnya sampai-sampai daun ilalang yang dile-
watinya seperti tidak bergoyang. Satu pertanda bahwa ia memiliki ilmu
meringankan tubuh yang hebat!
"Hmm, telah lama aku mencari cari Mahesa Wu-
lung, dan begitu ketemu sekarang ia tengah bermain kejar-kejaran dengan si
Topeng Reges!" terdengar
orang itu berguman sendiri. "Biarlah aku akan
menguntit mereka di sebelah belakang. Aku ingin
mengetahui, bagaimanakah akhirnya dengan mereka."
Kejar-mengejar terus berlangsung dengan serunya.
Sampai sebegitu jauh, Ki Topeng Reges masih belum
berusaha untuk membinasakan lawannya. Rupanya ia
masih membiarkan lawannya untuk lebih banyak
menghirup udara pagi yang segar. Namun suatu saat Mahesa Wulung dan Ki Camar
Seta berbalik dan
berhenti dengan tiba-tiba, lalu menyerang dirinya.
Karuan saja Ki Topeng Reges terperanjat sesaat dan kemudian ia cepat-cepat
menyongsong serangan lawan dengan sabetan-sabetan belati pusakanya yang bernama
Kiai Brahmasakti.
Kembali terjadi lingkaran pertempuran yang sengit.
Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta yang dapat me-
mainkan pedangnya dalam jurus-jurus Sigar Maruta
yang kembar itu dapatlah bergerak berpasangan
sangat hebat. Kedua pedang tersebut seolah-olah seperti kitiran
berpusing dengan mendesau-desau membuat Ki To-
peng Reges kerepotan juga. Untunglah ia menggeng-
gam Kiai Brahmasakti di kedua tangannya. Ditambah
dengan ilmu Netra Dahananya yang mampu membakar
lawannya dengan jilatan lidah-lidah api.
Ki Topeng Reges masih tetap tangguh, bahkan
sedikit demi sedikit ia mendesak kedua lawannya.
Ketawanya yang bernada seram terdengar bila Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta
terpaksa peringisan akibat benturan dengan Kiai Brahmasakti yang dapat
menimbulkan rasa nyeri serta percikan-percikan bunga api.
Suatu saat Mahesa Wulung berhasil menyapu kaki
Ki Topeng Reges dengan sabetan pedangnya, sementa-
ra Ki Camar Seta meloncat tinggi sambil mengirimkan satu tebasan pedangnya
mendatar ke arah kepala si
wajah hantu. Serangan beruntun dari kedua pendekar pilihan ini
tidak boleh disepelekan begitu saja, karena tebasan pedang-pedang mereka
dilambari tenaga dalam yang
telah disalurkan lewat pedang-pedang mereka. Maka
tak heran bila sambaran pedang mereka mendesau
dengan nyaring menuju ke arah sasarannya.
Jika lawan mereka bukan Ki Topeng Reges, pastilah
akan segera rontok ke tanah tak bernyawa lagi.
Dengan serangan begitu jangan diharap bisa lolos dari kedua mata pedang itu.
Namun Ki Topeng Reges
bukan orang yang mudah gugup atau putus asa dalam
menghadapi setiap peristiwa. Namanya yang telah
menghantui Laut Kidul serta daerah lereng timur
Gunung Muria itu sepadan dengan kedahsyatan ilmu-
nya. Maka begitu ia memperoleh serangan berbareng, secepat itu pula ia menjejak
tanah serta mental ke udara dengan tubuh mendatar sejajar tanah, sehingga kedua
serangan beruntun tadi hanya sempat menebas
udara kosong. Untuk ini Mahesa Wulung serta Ki
Camar Seta terpaksa bergerundalan sendiri, sebab si wajah hantu berhasil lolos
dari serangan pedang-pedang mereka.
Kemudian tubuh Ki Topeng Reges meluncur ke
depan serta jungkir balik dengan manisnya, lalu mendarat di atas tanah. Dari
balik topengnya terdengar suara ketawanya yang sember bernada mengejek
kedua lawannya.
Tiba-tiba satu teriakan nyaring terdengar dan
jilatan lidah api menyambar ke arah Mahesa Wulung
dan Ki Camar Seta, membuat kedua pendekar ini ter-
paksa berpikir dua kali. Mereka harus cepat-cepat
menghindar jikalau tidak ingin terbakar hangus oleh ilmu Netra Dahana si wajah
hantu. Maka dengan cepat Mahesa Wulung menjentik
kepada Ki Camar Seta dan sejurus kemudian kedua-
nya berloncatan meninggalkan Ki Topeng Reges menu-
ju ke arah barat laut. Melihat ini, si wajah bertopeng hantu menggeram.
"Keparat! Mereka lari lagi! Hah, biarpun mereka
akan minggat atau sembunyi di pojok jagat, tangan Ki Topeng Reges akan tetap
menjangkaunya! Hua, ha, ha,
ha, ha!" Ki Topeng Reges mengakhiri kata-katanya
kemudian melesat pula ke arah barat laut mencegat
kedua lawannya, dan kembalilah terjadi kejar-mengejar di kaki bukit Gunung
Muria. Tetapi Ki Topeng Reges kali ini sudah mendapat
suatu ketetapan, bahwa ia akan menyudahi kejar-
mengejar yang telah sekian kali berlangsung tanpa
berkesudahan. Begitulah, pendekar berwajah hantu memusatkan
segala kekuatannya dan sambil berlari itu, ia menggenjotkan kedua kakinya ke
tanah. Tubuhnya melenting
ke depan sangat cepat, melebihi cepatnya kedua mu-
suh yang tengah dikejarnya itu.
Seketika Ki Topeng Reges melesat mendahului
Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta, menyebabkan
kedua pendekar ini terkejut bukan main. Mereka tak sadar apa yang terjadi, sebab
mereka yakin bahwa Ki Topeng Reges masih jauh tertinggal di belakang. Yang
tampak oleh mereka adalah sebuah bayangan yang
melesat mencegat arah lari kedua pendekar itu.
Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta terkejut bukan
main ketika bayangan yang mencegat tadi tidak lain adalah Ki Topeng Reges.
Sepintas lalu mereka merasa mati kutu menyaksikan kehebatan si wajah hantu,
lebih-lebih bila Ki Topeng Reges langsung mengirimkan tikaman belati panjangnya
ke arah Ki Camar Seta.
Serangan yang tiba-tiba muncul di depannya itu
membuat pendekar tua ini geragapan seketika. Cepat ia menyambut tikaman belati
Ki Topeng Reges yang
sebelah kiri. Namun bersamaan itu pula pendekar
berwajah hantu ini secepat kilat menyabetkan belati kanannya ke arah Ki Camar
Seta. "Aduh!" satu jeritan kecil meloncat dari bibir Ki
Camar Seta ketika ia merasakan sebuah benda se-
panas bara menyayat lengannya.
Pendekar tua ini tak ampun lagi jatuh terpelanting diikuti oleh derai ketawa Ki
Topeng Reges yang mengumandang di udara sekeliling. "Hua, ha, ha, ha, mampus
kowe si caping bejad!"
Melihat Ki Camar Seta terjatuh itu, Mahesa Wulung
bermaksud menyerang si pendekar hantu, namun ia
tiba-tiba mendengar seruan Ki Camar Seta, "Cepat,
Angger! Lari dari sini! Biar aku sendiri yang menghadapi Topeng Reges! Larilah
selagi ada kesempatan!"
Ki Camar Seta bangkit serta menyerang kembali
dengan sabetan pedangnya, hingga Ki Topeng Reges
terpaksa menunda serangannya, ke arah Mahesa Wu-
lung. Sesaat keduanya telah terlibat dalam pertempuran. Sementara itu Mahesa
Wulung dengan hati yang
berat terpaksa memenuhi permintaan Ki Camar Seta.
Cepat ia berlari meninggalkan mereka.
Mahesa Wulung merasa bingung hatinya. Ke mana-
kah arah yang harus dituju. Maka ia terus berlari ke arah barat laut menurut
langkah kakinya, melewati
jalan-jalan rintisan di sela-sela semak-belukar.
"Hemm, mungkin kalau arahku tetap, bisa juga tiba di Jepara atau Pecangakan."
Di saat itu pula Ki Topeng Reges menyerang dengan
ganasnya terhadap Ki Camar Seta yang telah terluka.
Dalam hati ia merasa jengkel menghadapi pendekar
tua ini, sebab dendam utamanya tertuju kepada
Mahesa Wulung, sehingga tidak sepenuhnya pendekar
tua itu harus dihadapi dengan segenap tenaganya.
Demikianlah dasar Ki Camar Seta sendiri telah
merasakan luka yang ditimbulkan oleh belati pusaka Kiai Brahmasakti di tangan Ki
Topeng Reges, maka
sedikit demi sedikit tubuhnya merasa panas seperti disentuh oleh ribuan bara
api. Ia yakin kalau dirinya


Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah terkena racun jahat dari senjata itu. Akibatnya geraknya pun menjadi
terpengaruh dan lamban, kesempatan ini digunakan oleh Ki Topeng Reges dengan
sebaik-baiknya. Dengan sebuah tendangan melayang
di udara, kaki si pendekar berwajah hantu berhasil menggempur pundak Ki Camar
Seta. Seketika pendekar tua ini kembali jatuh terhempas ke tanah bergulingan
sambil merintih.
"Nah, matilah kamu dimakan semut dan binatang
buas lainnya. Sahabatmu si Mahesa pengecut itu akan segera kumampuskan juga!" Ki
Topeng Reges berseru
serta melesat ke arah barat laut mengejar Mahesa
Wulung. Pendengarannya yang tajam dan mampu
menangkap segala getaran itu, dengan cepat dapat
mengetahui arah lari Mahesa Wulung.
Meskipun lawannya telah berlari cukup jauh, Ki
Topeng Reges tidak kehilangan semangatnya. Perasaan dendam yang telah bersarang
di dalam relung-relung hatinya memaksa dirinya untuk berlari lebih cepat dan
segera membinasakan Mahesa Wulung. Dalam waktu
yang pendek, akhirnya terkejar juga Mahesa Wulung
olehnya dan untuk kedua kalinya ia kembali melenting ke depan siap menerkam
lawannya. Tetapi Mahesa Wulung tidak ingin mati secara
konyol oleh tangan pendekar hantu. Cepat ia memba-
likkan diri begitu didengarnya suara mendesau dari arah belakang. Pedang di
tangan Mahesa Wulung
berputaran menyambut terkaman Ki Topeng Reges
yang meluncur deras seperti rajawali. Kedua tangannya yang menggenggam pusaka
Brahmasakti itu
benar-benar mirip cakar-cakar yang ganas.
Ki Topeng Reges yang tidak mengira akan peruba-
han sikap Mahesa Wulung, ia agak gugup juga. Maka
ia cepat-cepat menyilangkan kedua belati panjangnya
memapaki sambaran pedang Mahesa Wulung.
Traaang! Percikan-percikan bunga api berloncatan ketika
senjata itu beradu dengan serunya, dan untuk ke
sekian kalinya, Mahesa Wulung merasakan tangannya
tergetar hebat dan nyeri! Mahesa Wulung cepat-cepat menarik pedangnya ke
belakang dan selanjutnya
ditebaskannya mendatar ke arah lawannya. Semua itu berjalan dengan cepat secepat
orang meremas tomat
dan tahu-tahu terdengar sebuah sobekan.
Weeek! Baju Ki Topang Reges tersobek dan ujung
pedang Mahesa Wulung sempat pula menyentuh kulit
dada Ki Topeng Reges.
Si pendekar berwajah hantu itu menggerung marah
demi dadanya kena tersentuh pedang Mahesa Wulung.
Sambil menjerit hebat penuh kemarahan Ki Topeng
Reges menerjang lawannya dengan gerakan yang tiba-
tiba serta cepat.
Mahesa Wulung cepat menangkis belati kanan pen-
dekar hantu. Dengan begitu sepintas lalu pertahanan kanan Mahesa Wulung terluang
dan Ki Topeng Reges
berhasil menerobosnya.
Dess! Belati kiri Ki Topeng Reges berhasil menyayat pundak kanannya dan saking
terkejutnya, padang di
tangan Mahesa Wulung tergetar lepas begitu pundak-
nya terasa panas dan sakit. Untunglah ia memakai
cincin Galuh Punar yang mampu menolak bisa racun
yang jahat, sehingga luka yang ditimbulkan oleh Kiai Brahmasakti tidak akan
cepat-cepat menimbulkan
kematiannya. Namun sekali lagi Mahesa Wulung
terpekik kecil bila belati kanan Ki Topeng Reges juga berhasil menyambar pundak
kirinya. Sengatan pusaka Brahmasakti itu cukup hebat
pengaruhnya terhadap Mahesa Wulung. Tubuhnya
terjengkang ke tanah dengan rasa yang panas dan
kesakitan. Melihat lawannya telah berhasil dirobohkan, Ki
Topeng Reges tertawa cekakakan saking panas hati-
nya. "Hua, ha, ha, ha, mampus kowe, Mahesa konyol!
Dan sekarang setelah kau mencicipi keampuhan Kiai
Brahmasakti, engkau pun patut pula merasakan
kehebatan ilmu Netra Dahanaku!" ujar Ki Topeng
Reges sambil menyelipkan kembali kedua belati pan-
jangnya ke balik baju.
"Hyaaat! Jadi sate, kowe, Mahesa konyol!" teriak Ki Topeng Reges sambil
merentangkan kedua tangannya
ke depan dan lidah-lidah api memancar dari bola
matanya serta menyambar ke arah Mahesa Wulung
dengan ganas. Untuk menghindari jilatan lidah-lidah api tadi,
Mahesa Wulung terpaksa bergulingan di atas tanah
yang penuh rerumputan dan duri semak. Meskipun
setiap kali lidah api tadi berhasil dihindari, namun diam-diam dalam hati ia
merasa kagum tapi juga ngeri.
Betapa tidak" Segala rerumputan dan semak yang
kena terjilat oleh lidah-lidah api tadi seketika menjadi kuning layu dan
kemudian hangus!
Begitulah, memang Ki Topeng Reges tidak ingin
cepat-cepat membunuh Mahesa Wulung. Ia ingin lebih dahulu menyiksa lawannya agar
mati dengan cara
yang perlahan-lahan dan kesakitan. Kalau saja ia ingin memusnahkan lawannya, hal
itu mudah sekali. Apalagi Mahesa Wulung telah terluka oleh senjatanya, Kiai
Brahmasakti. Hingga seandainya ia mau membunuh
Mahesa Wulung, itu semudah jika ia membalik telapak tangan.
Pengaruh racun dari luka-luka senjata lawan
berhasil tertahan oleh kekuatan cincin Galuh Punar, dan kini Mahesa Wulung hanya
merasakan rasa nyeri
dari luka-luka itu saja. Maka segera dengan sigap
Mahesa Wulung berdiri kembali dan mengambil sikap.
Ia mengarahkan segenap kekuatan lahir batinnya dan matanya setengah meredup.
Tangan kirinya ditekuk ke depan dengan sisi telapak tangan lurus ke depan,
sedang tangan kanannya dilipat ke samping belakang dengan teguhnya. Biarpun
begitu luka-luka kedua
lengannya mengganggu pula terhadap semua pengera-
han tenaganya. Melihat perubahan sikap Mahesa Wulung itu, Ki
Topeng Reges surut ke belakang dan bersikap pula.
"Ha, ha, ha, ha. Kau akan melancarkan ilmu pamung-
kasmu" Baik, baik! Aku pun tidak gentar untuk
menghadapinya. Aku juga punya ilmu pukulan maut
dari Perguruan Watu Semplok. Nah, Mahesa konyol,
matilah sekarang kamu!"
Ki Topeng Reges menekuk kedua tangannya di
depan dada dengan mengepal dan dengan sebatnya
pula ia menerjang ke depan ke arah Mahesa Wulung
yang telah bersiaga pula.
Glaaar! Satu letupan dahsyat mengumandang di
udara pagi, disusul oleh terpentalnya kedua pendekar itu ke belakang. Dua
pukulan maut yang sama
hebatnya telah beradu.
Kalau Ki Topeng Reges pada saat itu masih segar
dan berkekuatan penuh, sebaliknya Mahesa Wulung
sebelumnya telah terluka oleh senjata Ki Topeng Reges.
Maka pemusatan ilmunya, Lebur Waja, tersebut tidaklah seperti yang diharapkan.
Paling-paling ia hanya mampu mengerahkan tenaganya separo kurang dan
akibatnya malah merugikan dirinya sendiri. Begitu ia membentur kepalan tangan Ki
Topeng Reges, terasalah
bahwa tangannya seperti membentur sebuah tembok
dinding karang yang tebal. Tubuhnya seketika terpental ke belakang beberapa
langkah untuk kemudian
jatuh bergulingan di tanah. Tidak hanya itu saja akibatnya, malahan tubuhnya
terasa lumpuh seperti
tersedot segala tenaganya oleh pukulan maut Ki
Topeng Reges. Setelah melihat lawannya tak berdaya sama sekali,
Ki Topeng Reges meringis sambil mengelus-elus
topengnya. "Hmmm, kau lumpuh sekarang! Dan kini
terimalah kematianmu!"
Ki Topeng Reges segera menerkam ke arah Mahesa
Wulung yang telah tergeletak lumpuh. Kedua tangan-
nya dibentangkan dan jari-jemarinya siap merobek
tubuh lawannya.
Mahesa Wulung yang sadar akan bahaya di
hadapan hidungnya, segera berusaha menghindar. Ia
yakin bahwa apabila serangan Ki Topeng Reges ini
berhasil mengenai tubuhnya, pastilah bahwa tubuh
atau kepalanya akan tembus dan berlubang sedalam
jari. Tetapi alangkah kagetnya Mahesa Wulung bila
tubuhnya terasa lemas dan sedikitpun ia tak mampu
menggeserkan tubuhnya. Satu-satunya jalan ialah
menghadapi kematiannya yang bakal tiba itu dengan
hati yang tabah. Ia pasrah kepada Tuhan Yang Maha
Esa akan segala nasibnya yang akan terjadi.
Pandangan mata Mahesa Wulung sesaat berku-
nang-kunang. Sekilas terbayang wajah Pandan Arum
yang dicintainya, juga wajah-wajah para sahabatnya dan yang terakhir adalah
wajah gurunya sendiri,
Panembahan Tanah Putih dari Asemarang yang
tersenyum dengan manisnya.
Bertepatan dengan itu, tiba-tiba sebuah bayangan
putih meluncur dari arah tenggara dengan derasnya
menghadang terkaman Ki Topeng Reges.
Kejadian ini berjalan dengan cepat dan begitu tiba-tiba. Apa yang dilihat oleh
pendekar berwajah hantu adalah sesosok tubuh yang memapaki terkamannya
dengan tendangan dua buah kaki yang mengenakan
terompah kulit. Ki Topeng Reges merasa mengkal
dengan sesosok bayangan yang telah begitu lancang
mengganggu pertempurannya melawan Mahesa
Wulung. Maka Ki Topeng Regespun tak berusaha
menarik serangannya agar tendangan itu benar-benar menimpa dirinya. Ia cukup
mengepalkan jari-jarinya yang tadi masih mengembang.
Bruuuk! Dua tenaga yang hebat beradu dan tubuh
Ki Topeng Reges terpental, mencelat ke belakang
beberapa tombak jauhnya dengan jungkir balik di
tengah. Sedang bayangan itu sendiri hanya terdorong surut tidak lebih dari lima
langkah kaki. Karuan saja Ki Topeng Reges buru-buru mengetrapkan ilmu
mengentengkan tubuh, hingga tubuhnya tidak terlalu keras membentur tanah.
Dari balik topengnya terdengar gerundelan Ki
Topeng Reges, saking kagum terhadap serangan orang yang baru muncul ini. Segera
ia dapat mengukur sampai di mana tingkat kedahsyatan ilmu orang ini. Kalau
tendangan kakinya saja telah mampu menggoncangkan isi dadanya, betapa lagi
kekuatan tangannya
nanti. Belum lagi ia selesai mengagumi tenaga lawannya,
tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh bentuk tubuh orang yang berani
memapaki serangannya tadi.
Kini berdirilah di hadapan Ki Topeng Reges, seorang yang mengenakan pakaian
berwarna serba putih. Kepala orang ini seluruhnya berselubung kain ikat kepala
abu-abu dengan dua lobang bulatan untuk mata.
Dengan begitu berhadapanlah di tempat itu dua
orang pendekar yang masing-masing mengenakan
kedok. Kalau yang satu berkedok seperti hantu, yang seorang lagi hanya berkedok
kain belaka. Mahesa Wulung yang pada saat itu masih meng-
geletak di rumput terpaksa terlongoh-longoh melihat adegan yang menarik itu.
Pendekar yang baru muncul itu, secara tiba-tiba telah menggagalkan serangan
maut yang dilakukan oleh Ki Topeng Reges guna men-
cabut jiwanya. Dengan demikian terang kalau ia telah berhutang budi kepada
pendekar yang muncul seperti bayangan.
"Keparat! Siapa kamu, ha"!" teriak Ki Topeng Reges tajam. "Apa maksudmu turut
campur dengan urusan-ku sendiri"!"
"Heh, heh, he," orang berkedok abu-abu itu tertawa dalam. "Perkenalkan, sobat.
Aku adalah Pendekar
Bayangan. Maaf, kalau aku terpaksa mencampuri
urusanmu. Aku melihat kau benar-benar berminat
membunuh pemuda yang tidak berdaya itu."
"Betul ujarmu itu!" sahut Ki Topeng Reges. "Tapi
apa salahnya" Bukankah aku telah menang dalam per-
tempuranku" Dan orang yang menang berwewenang
untuk berbuat apa saja yang disukainya."
"Termasuk membunuh orang yang sudah tak
berdaya dan lumpuh misalnya?" tukas Pendekar Baya-
ngan menyindir. "Apakah itu perbuatan yang berjiwa ksatria dan jantan?"
"Persetan! Ki Topeng Reges tidak mengenal basa-
basi demikian itu. Apa yang aku anggap baik untuk
kulakukan, aku kerjakan, dan tak seorang pun yang
boleh menghalanginya!" ujar Ki Topeng Reges dengan seram.
"Dan seandainya aku yang akan mencegah perbu-
atanmu yang jahat itu, apakah sobat bersedia meme-
nuhinya?" berkata pula Pendekar Bayangan, hingga
membuat Ki Topeng Reges benar-benar marah. Dari
balik topengnya terdengar giginya gemeretak menahan kejengkelan hatinya.
"Setan!" teriak Ki Topeng Reges. "Bicaramu mirip
seorang pendeta. Aku tak butuh ocehanmu di tempat
ini. Simpanlah untuk dirimu sendiri!" Ki Topeng Reges bersiaga, sedang kedua
bola matanya menjadi merah.
"Selagi belum kasep, lekaslah menyingkir dari tempat ini. Jangan tunggu sampai
aku benar-benar marah!"
"Bagus! Boleh kau tunjukkan kemarahanmu di
hadapanku ini" Heh, he, heh. Kalau kau marah,
pastilah wajahmu akan bertambah semakin buruk,"
ujar si Pendekar Bayangan seraya memperdengarkan
ketawanya. "Hehhh, kau boleh ketawa. Tapi aku yakin bahwa
wajahmu di balik topeng yang putih kumal itu pasti menjadi pucat," terdengar Ki
Topeng Reges menyahut.
"Heh, heh, heh, sayang kita sama-sama memakai
topeng, hingga tak tahu mana yang sebenarnya lebih pucat di antara kita!" ujar
Pendekar Bayangan. "Nah, kau akan tunggu apalagi" Kalau boleh kunasehatkan,
tinggalkan pemuda itu di tempat ini. Dengan begitu tak perlu ada permusuhan di
antara kita!"
Ki Topeng Reges kedengaran mengkereotkan
giginya. "Hmm, Topeng Reges tidak kenal arti tawar-menawar. Kalau pemuda itu
telah berhasil aku robohkan, apa lagi dengan kamu"! Paling-paling kau hanya
setingkat lebih tinggi daripadanya. Kalau ternyata kau memiliki ilmu yang dua
puluh tingkat di atas pemuda itu, apa boleh buat. Mungkin aku terpaksa
mengalah!"
"Heh, heh, heh, kalau seandainya aku ternyata


Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memiliki dua puluh lima tingkat lebih tinggi dari ilmu
pemuda itu, kau mampu berbuat apa terhadapku,
Topeng Reges?"
"Dua puluh lima tingkat katamu"!" seru Ki Topeng
Reges terhenyak mundur. Sebenarnya ia tadi hanya
beromong kosong saja dengan maksud mempertakuti
lawannya, sedang dalam hati ia telah mengetahui
bahwa Mahesa Wulung yang telah berhasil dilumpuh-
kannya itu, ilmunya cukup baik meskipun masih
berada lima tingkat di bawah ilmunya. Dengan begitu, jika Pendekar Bayangan
mengatakan ilmunya dua
puluh lima tingkat di atas Mahesa Wulung dan itu
benar-benar sesungguhnya, maka berarti si Pendekar Bayangan berada dua puluh
tingkat di atas ilmunya.
"Sungguh gila!" gumam Ki Topeng Reges lirih. "Dua
puluh tingkat di atas diriku" Tak percaya, mustahil!
Tapi biarpun begitu, ia tak akan mampu menandingi
ilmu Netra Dahanaku!"
Ki Topeng Reges merentang kedua belah tangannya
ke depan, demikian pula kakinya yang kiri setengah melangkah ke depan dengan
sikap siaga. "Hai, Pendekar Bayangan! Sebelum terlanjur mengadu tenaga me-
lawan Topeng Reges ini, lihatlah ilmu Netra Dahanaku yang tak tertandingi."
Ki Topeng Reges berpaling ke samping sambil
mengerahkan segenap ilmunya dan sejurus kemudian
dari bola matanya memancar jilatan lidah api ke arah sebuah pohon sukun yang
subur buahnya dan ber-daun lebat.
Pendekar Bayangan terperanjat melihat hal ini.
Demikian pula Mahesa Wulung yang terbaring di atas rumput. Meskipun ia telah
berkali-kali menghadapi Ki Topeng Reges, namun sekali ini ia betul-betul kaget
dan ngeri. Agaknya si pendekar hantu itu mengerahkan puncak dari ilmu Netra
Dahananya. Apa yang
terjadi kemudian sangat hebat. Pohon sukun ini,
begitu kena jilatan lidah api tersebut, seketika daun-daunnya menjadi kuning
layu, sejurus kemudian me-
ngering. Begitu pula buah-buahnya, seketika beron-
tokan jatuh ke tanah. Mujurlah kalau buahnya ada
yang cukup tua, mungkin enak juga dimakan, karena
telah terpanggang oleh hawa panas yang luar biasa.
Sesudah mengering, daun-daun tadi lalu menjadi
hangus. Demikian pula batangnya. Semuanya hangus
dengan mengepulkan asap panas ke atas udara. Satu
pemandangan yang membikin ngeri hati siapa saja.
Melihat itu semua, Pendekar Bayangan melangkah
surut dan bersiaga. Ia sadar bahwa Ki Topang Reges yang dihadapi ini bukanlah
pendekar murahan yang
boleh dipandang enteng saja.
"Hua, ha, ha, lihatlah akibat ilmu Netra Dahanaku
tadi. Apakah kamu punya kelebihan ilmu, berani coba-coba menghalangi sepak
terjangku?" seru Ki Topeng
Reges sambil bertolak pinggang.
"Yah, memang hebat ilmu Netra Dahanamu tadi. Itu
aku akui. Tapi sayang ilmu itu sering kau gunakan
untuk melaksanakan pekerjaan jahatmu!" ujar Pende-
kar Bayangan sebagai jawaban yang betul-betul me-
nyentuh bilik-bilik hati Ki Topeng Reges. Namun bilik-bilik hatinya telah
disarangi oleh setan-setan yang selalu membisikkan maksud jahatnya. Dan memang-
lah hati Ki Topeng Reges sudah terlalu buntu dan sulit untuk menerima dan
merasakan sesuatu yang bersifat baik dan luhur.
"Kurang ajar! Rupanya kau hanya pandai bicara
saja. Lekas tunjukkan ilmu simpananmu, kalau tidak ingin tubuhmu menjadi dendeng
panggang!" Ki Topeng Reges berseru sambil mengangkat dagunya sombong.
Sedang lawannya tampak menggosok-gosokkan ta-
ngannya. "Baiklah, kalau kau ingin melihat ilmuku. Tapi
harap dimaafkan kalau terlalu buruk dan sederhana!"
Pendekar Bayangan berkata seraya bersiaga. Satu
tangan ditekuk di depan dada sedang tangan yang
kanan ditekuk ke belakang sejajar telinga, dengan jari-jari mengepal erat.
"Hyaat!" Pendekar Bayangan berseru hebat serta
menggenjotkan pukulan tangannya ke depan dan
akibatnya sungguh menggoncangkan dada. Pukulan
tadi menimbulkan hempasan tenaga dan angin yang
berdesau ke arah depan dan sebuah gundukan batu
hitam sebesar anak gajah seketika retak dan ambrol dengan mengepulkan asap serta
letupan kecil. Tidak hanya itu saja, selain batu hitam yang jaraknya tiga tombak
dari Pendekar Bayangan tadi ambrol, juga
beberapa semak-belukar terbetot lepas ke akar-
akarnya dari permukaan tanah.
"Hah, Bayu Bajra"!" desis Ki Topeng Reges dengan
membelalak mundur beberapa langkah saking kaget-
nya. Apa yang baru saja dilihatnya tadi sungguh di luar dugaan. Maka ia segera
mengambil keputusan
untuk lebih dulu menyerang. Ki Topeng Reges segera bersiaga penuh.
Dengan satu terkaman hebat ia melesat ke arah
Pendekar Bayangan. Namun begitu kedua tangannya
hampir serasa menjangkau kepada Pendekar Baya-
ngan, tahu-tahu kepala lawannya berkelit ke samping sekaligus mengirimkan satu
tendangan sisi telapak
kaki ke arah punggung Ki Topeng Reges. Dengan jerit tertahan si pendekar
berwajah hantu ini terhuyung ke samping berputaran seperti gasing untuk
selanjutnya rebah ke tanah. Tetapi Ki Topeng Reges adalah pendekar gemblengan
yang pilih tanding, begitu ia rebah ke
tanah, begitu pula ia cepat berdiri serta menerkam kembali dengan dahsyatnya.
Kedua belah tangan Ki Topeng Reges yang berkuku
cukup tajam siap merobek tubuh lawannya. Tapi sekali lagi ia terperanjat hebat
bila tiba-tiba saja kedua belah tangannya kena ditangkap oleh Pendekar Bayangan.
Ia hampir-hampir tak percaya. Mendadak si Pendekar
Bayangan terasa melambungkan tubuh Ki Topeng
Reges ke udara sambil diiringi oleh tertawanya yang terkekeh-kekeh.
"Heh, heh, heh, heh. Ketanggor kau sekarang, topeng burik! Rasakanlah enaknya
bertamasya di udara!" Tubuh Ki Topeng Reges yang terhempas ke udara
itu seketika berjungkir balik dan kemudian menghunjam ke tanah. Untunglah bahwa
ia cukup cekatan.
Maka begitu mendekati tanah ia segera menjatuhkan
kakinya lebih dulu.
Bluk! Ki Topeng Reges mendarat kembali dengan
manisnya, tapi tak urung iapun terhenyak bila melihat kedua kakinya agak melesak
ke dalam tanah dengan
membuat lubang cukup dalam. Padahal ia telah me-
ngerahkan ilmunya mengentengkan tubuh. Maka sa-
darlah dirinya bahwa tenaga penghempasan lawannya
sangat hebat, dan sejurus kemudian matanya terasa
berbinar-binar seperti melihat percikan-percikan bin-tang. Untuk ini, ia cepat-
cepat bersemedi mengatur nafas dan jalan darahnya.
"Hayo, topeng burik! Lanjutkan permainan kita. Aku masih banyak tenaga untuk
melayanimu!" terdengar
Pendekar Bayangan menantang.
"Keparat! Aku terima kalah sekarang. Awas lain
kali! Aku akan kembali untuk menghajarmu!" teriak Ki Topeng Reges sambil
sekaligus melancarkan serangan
ilmu Netra Dahananya ke arah Pendekar Bayangan.
Tetapi Pendekar Bayangan ini hanya cukup
melenting-lenting kesana-kemari menghindari dan
menelusup di antara celah jilatan-jilatan lidah api, tak ubahnya gerak Sang
Hanoman dalam cerita Hanoman
Obong. Rupanya serangan tadi memang hanya sekadar
untuk tabir dan maksud Ki Topeng Reges yang sejurus kemudian secepat kilat ia
telah melesat ke samping dan tubuhnya telah lenyap di balik rerimbunan semak
ilalang. Ki Topeng Reges telah lari dari tempat itu.
"Hmm, si topeng buruk telah lari! Biarlah, yang
penting aku harus cepat-cepat menolong pemuda ini!"
gumam Pendekar Bayangan seraya melangkah pelan-
pelan ke arah Mahesa Wulung yang terbaring lumpuh
di atas rumput.
Mahesa Wulung yang sejak tadi mengawasi tingkah
dan gerak pendekar berkedok itu, dalam hati ia merasa kagum dan penuh tanda
tanya. Semua jurus silat yang dipergunakan oleh Pendekar Bayangan tadi adalah
jurus-jurus dari Perguruan Tanah Putih di Asemarang.
Ah, siapakah dia" Mahesa Wulung bertanya-tanya
dalam hati. Sementara itu Pendekar Bayangan yang kini telah
berdiri di samping tubuh Mahesa Wulung segera ber-
jongkok dengan pelannya. Kemudian ia mengulurkan
tangannya ke arah lengan Mahesa Wulung.
"Hmm, kau menderita luka beracun, anak muda,"
ujar pendekar yang berkedok abu-abu itu kepada
Mahesa Wulung. "Tetapi untung engkau mempunyai
daya tahan yang luar biasa, Nak. Tubuhmu kebal juga terhadap bisa kalajengking
biru!" "Kalajengking biru"!" desis Mahesa Wulung dengan
kaget, sebab nama kalajengking biru sering ditakuti
orang sebagai binatang kecil yang sanggup membunuh lawannya dalam waktu yang
singkat. "Tapi kau tak usah takut ataupun cemas, Anak
Muda," sahut Pendekar Bayangan. "Aku akan meno-
longmu!" "Terima kasih sebelumnya, Tuan," ujar Mahesa Wu-
lung. "Tetapi bolehkah aku bertanya sesuatu, Tuan?"
"Hmm, silakan bertanya," jawab Pendekar Bayangan
dengan ramah. "Jika aku bisa menjawabnya, pasti aku akan memberikan jawabannya."
"Siapakah Tuan dan mengapa Tuan telah bersusah
payah menolongku?" tanya Mahesa Wulung.
"Seperti yang kau ketahui, Anak Muda. Akulah yang
bernama Pendekar Bayangan. Kalau aku menolongmu
itu semata-mata memenuhi darma ksatria, yaitu
menolong setiap makhluk, terutama manusia yang
sedang ditimpa bahaya," kata Pendekar Bayangan
seraya menarik nafas dalam-dalam. "Sebenarnya tidak perlu disebutkan dengan
darma seorang ksatria, sebab manusia umumnya seharusnya mengenal hal itu.
Menolong orang lain yang kemalangan adalah kewa-
jiban setiap manusia yang berbudi dan berakal. Kita hidup di dunia ini tidak
hanya sendirian, tapi bersama-sama dengan manusia-manusia dan makhluk
lainnya. Jadi kita memerlukan tatapergaulan yang baik dan luhur."
Pendekar Bayangan berhenti sejenak dengan kata-
katanya sambil menatap Mahesa Wulung dengan pan-
dangan mata yang bening dan agung, seolah-olah ia
tengah memeriksa, apakah kata-katanya yang meng-
alir tadi bisa diterima oleh Mahesa Wulung.
"Aku mengerti, Tuan," ujar Mahesa Wulung seraya
mengangguk hormat.
"Dan selanjutnya," ujar Pendekar Bayangan melan-
jutkan bicaranya, "tata pergaulan yang baik membu-
tuhkan satu kerja sama antara manusia yang satu
dengan yang lain. Satu kegotong-royongan yang telah dirintis oleh nenek moyang
kita." Mahesa Wulung masih menunduk tekun mende-
ngarkan kata-kata Pendekar Bayangan yang meresap
ke dalam sanubarinya. Merasakan kata-kata itu, tiba-tiba membersit dalam kepala
Mahesa Wulung bahwa
Pendekar Bayangan termasuk berilmu tinggi. Segala
kata-kata dan silatnya ketika melawan Ki Topeng
Reges lebih meyakinkan Mahesa Wulung bahwa kini ia tengah berhadapan dengan
seorang tokoh sakti. Ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Ki Topeng
Reges yang ganas itu kena terhajar dan terusir oleh Pendekar Bayangan.
"Anak muda, aku tadi mendengar bahwa Ki Topeng
Reges menyebutkan namamu dengan Mahesa Wulung.
Betulkah engkau yang bergelar pula dengan nama Ba-
rong Makara?" ujar Pendekar Bayangan. "Oh, rupanya masih ada yang engkau
renungkan, Anak Muda!"
"Maaf, Tuan," berkata Mahesa Wulung setengah
geragapan. "Memang sayalah yang bernama Mahesa
Wulung. Saya masih mengagumi dan heran dengan
jurus-jurus silat dan tempur yang Tuan pakai tadi."
"Mengapa dengan jurus-jurus silatku, Mahesa Wu-
lung?" tanya Pendekar Bayangan. "Apakah ada yang
aneh?" "Yah, memang aneh, Tuan. Jurus-jurus demikian
tadi aku kenal sebagai ciri dari Padepokan Tanah Putih di Asemarang. Jurus-jurus
Tuan tadi banyak menggunakan unsur angin dan tenaga pukulan dalam yang
terpusat, dan bapak guru pernah mempertunjukkan-
nya kepadaku!" ujar Mahesa Wulung.
"Heh, heh, heh, rupa-rupanya anak muda adalah
murid Panembahan Tanah Putih pula," sambung Pen-
dekar Bayangan sambil tertawa lirih. "Daya pikirmu sungguh tajam, Mahesa Wulung.
Tahukah kamu jurus
pukulan dengan menggunakan tenaga dalam tadi?"
"Tahu, Tuan," jawab Mahesa Wulung. "Panembahan
Tanah Putih menyebutnya dengan pukulan Angin Bisu
dan itu merupakan bagian dari keseluruhan ilmu dahsyat Bayu Bajra yang pada
waktu itu masih diper-
dalam oleh Panembahan Tanah Putih."
"Nah, itu kau sudah tahu semuanya. Sekarang apa
yang masih kau herankan lagi, Mahesa Wulung?"
"Persamaan gerak silat yang Tuan pakai itulah yang masih aku kurang mengerti.
Hal itu setidak-tidaknya menunjukkan adanya hubunganmu antara Padepokan
Tanah Putih dengan diri Tuan."
"Ah, kau selalu menghubung-hubungkan segala
sesuatu, Mahesa Wulung. Tapi tak apalah. Aku senang dengan sifat-sifatmu itu.
Kalau toh ada persamaan
antara gurumu dengan aku, itu tak menjadi soal
bagimu dan tentang asal-usulku pun kau tak perlu
mengetahuinya pula. Itulah sifat-sifat Pendekar Bayangan muncul disana-sini
dalam saat-saat kejahatan
sedang merajalela." Pendekar Bayangan berhenti sejenak. "Dan mulai sekarang, kau
tak perlu lagi memu-
singkan tentang diriku, Mahesa Wulung. Mungkin
suatu ketika kau akan dapat mengenalku lebih dekat lagi."
"Terima kasih, Tuan," kata Mahesa Wulung.
"Nah, tenanglah. Aku akan mengobati segala luka-
lukamu." Pendekar Bayangan berkata seraya menarik
sebuah kantong kecil dari kain putih, dikeluarkan dari balik bajunya. "Minumlah
obat ini agar rasa sakitmu hilang."
Pendekar Bayangan itu lalu mengulurkan sebuah
butiran berwarna hijau ke mulut Mahesa Wulung yang diterima oleh pendekar muda
itu dengan senyuman.
Butiran obat tadi ditelannya sekaligus. Setelah itu ia melepaskan baju Mahesa
Wulung.

Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita tunggu sesaat!" ujar Pendekar Bayangan. "Se-
telah badanmu panas, barulah mengeluarkan racun
dari dalam lukamu."
Memang benarlah kata Pendekar Bayangan. Tubuh
Mahesa Wulung dalam waktu sebentar telah berang-
sur-angsur panas serta butiran-butiran peluh menetes dari lubang kulit.
Pendekar Bayangan lalu mendudukkan Mahesa
Wulung dengan hati-hati, setelah itu kedua tangannya segera mengurut lengan
kanan Mahesa Wulung yang
terluka oleh belati Kiai Brahmasakti milik Ki Topeng Reges.
"Akhhhh!" Mahesa Wulung menjerit kecil bila
lengannya terasa dijepit dan diurut oleh Pendekar
Bayangan. "Maaf, Mahesa Wulung. Tahanlah rasa sakitmu itu,"
sela Pendekar Bayangan.
"Baik, Tuan," ujar Mahesa Wulung setengah me-
ringis menahan rasa sakit yang menyengat-nyengat
seperti sengatan berpuluh-puluh kalajengking.
Sementara itu Pendekar Bayangan mengurut-urut
lengan Mahesa Wulung ke arah bawah. Dari pangkal
lengan sampai ke siku.
"Nah, lihatlah lukamu itu, Mahesa Wulung," ujar
Pendekar Bayangan. "Racun itu akan segera keluar."
Mata Mahesa Wulung terbelalak membenarkan per-
kataan Pendekar Bayangan. Dari lukanya itu sejurus kemudian menetes darah hitam
kental ke atas rumput, yang merupakan campuran antara darah dengan
racun. Setelah itu, sekali lagi Pendekar Bayangan
mengurut lengan kiri Mahesa Wulung dan keluarlah
pula racun dari luka yang kedua. Dengan demikian
terbebaslah sudah Mahesa Wulung dari racun jahat
milik Ki Topeng Reges.
"Hmmm, lawanmu tadi memang pendekar gem-
blengan. Untunglah kau cukup memiliki daya tahan
yang baik, meskipun belum seluruhnya sempurna.
Itulah sebabnya kau hanya lumpuh saja. Kalau orang biasa, pastilah akan remuk
tubuhnya dibentur oleh tenaga pukulan Perguruan Watu Semplok."
"Benar, Tuan," ujar Mahesa Wulung. "Tenagaku
seolah-olah punah, tak bertulang lagi. Demikian pula ilmu silatku serasa lenyap
tak berbekas. Untunglah Tuan datang menolongku." Mahesa Wulung berkata
sambil memandangi tubuh penolongnya, si Pendekar
Bayangan. Dan ketika Mahesa Wulung memandangi
mata pendekar itu, hatinya berdesir dengan cepat.
Mata itu begitu bening, sebening air sumur yang dalam serta berputar-putar
dasarnya. Mahesa Wulung menjadi semakin sadar bahwa ia
berhadapan dengan orang yang berkekuatan batin sa-
ngat tinggi, sebab begitu ia memandang mata Pendekar Bayangan itu, ia menjadi
seakan-akan ikut berputar dan terhisap ke dasarnya serta tenggelam.
"Hmmm, kalau begitu, untuk memulihkan tenaga-
mu yang telah punah tadi kau harus tekun berlatih
untuk waktu yang cukup lama," ujar Pendekar
Bayangan. "Oooh," desis Mahesa Wulung dengan perasaan
hatinya yang pedih. Ia tidak menyangka bahwa
ilmunya telah larut, akibat benturan melawan tenaga Ki Topeng Reges yang
berlipat-lipat dahsyatnya. "Tak apalah, Tuan. Biarpun aku harus belajar lebih
lama lagi, sampai beruban sekalipun, aku tetap berusaha dan aku telah berjanji untuk
menghajar Ki Topeng
Reges. Demikian pula catatan rahasia panah sakti
Braja Kencar harus aku rebut kembali dari tangan
Rikma Rembyak."
"Bagus. Aku menghargai tekadmu yang sekeras gu-
nung karang itu, Mahesa Wulung," sambut Pendekar
Bayangan setengah mengangguk-angguk. "Tetapi kau
harus beristirahat lebih dulu. Marilah kita cari tempat yang cukup baik untuk
itu. Aku tahu di sekitar ini banyak terdapat lobang-lobang dinding batu yang
bisa kita pakai."
"Baik, Tuan," ujar Mahesa Wulung menyetujui.
"Tapi aku tak dapat...."
"Jangan kuatir, aku akan menolongmu, Nak," tukas
Pendekar Bayangan seraya mengulurkan kedua
tangannya ke arah punggung dan paha Mahesa
Wulung. "Aku akan memondongmu!"
Dengan enaknya Pendekar Bayangan mengangkat
serta memondong tubuh Mahesa Wulung di dadanya.
Untuk kedua kalinya Mahesa Wulung terpaksa me-
narik napas dalam-dalam. Ia menjadi semakin yakin
bahwa Pendekar Bayangan bukanlah orang yang sem-
barangan. Setidak-tidaknya ia berilmu lebih tinggi daripada gurunya, Panembahan
Tanah Putih dari
Asemarang. Tubuh Mahesa Wulung yang kelewat berat itu
dengan enak dibawa berlari serta berlompatan dari
batu ke batu, dan menerobos semak-semak oleh Pen-
dekar Bayangan. Setelah mereka melewati gerumbul-
gerumbul kecil dan rumpun pohon pisang yang banyak berserakan di kaki bukit
sebelah barat, sampailah
keduanya pada tebing-tebing batu yang menjulang
tinggi dan benarlah apa yang dikatakan oleh Pendekar
Bayangan tadi. Pada permulaan tebing batu terlihat ceruk-ceruk
akan lobang yang tidak begitu dalam dan buntu,
cukup baik untuk dipakai tempat bermalam serta
beristirahat. Malahan pertapa-pertapa, kadangkala
menggunakan tempat-tempat tadi untuk bersemadi
dan menyepi. Setelah tiba di tempat itu, Pendekar Bayangan
menurunkan tubuh Mahesa Wulung dan meletakkan-
nya di tanah, di dekat lobang dinding batu. Dipilihnya salah satu lobang yang
terbesar dan dibersihkannya sekali. Sambil berbaring Mahesa Wulung tak henti-
hentinya melihat kerja Pendekar Bayangan yang cekatan dan cepat dalam
membersihkan tempat itu. Kece-
patan geraknya benar-benar mirip sebuah bayangan.
Sejurus kemudian, tampaklah Pendekar Bayangan
telah selesai dan mengibas-kibaskan tangannya yang penuh oleh debu dan tanah,
serta membersihkannya
pada mata air yang tidak jauh letaknya.
Baju Mahesa Wulung selanjutnya dibentangkan
olehnya ke atas lantai goa buntu tadi, sebagai alas bagi tubuh Mahesa Wulung
yang akan dibaringkan. Dengan
langkah perlahan ia menghampiri Mahesa Wulung.
Mula-mula Mahesa Wulung merasa kurang menger-
ti dengan hal itu, tetapi Pendekar Bayangan yang
bijaksana ini segera berkata, "Mahesa Wulung, berba-ringlah dengan baik dan
tenang. Aku akan mencoba
mengurut badanmu. Semoga kelumpuhan tubuhmu
tidak terlalu berat."
"Terima kasih, Tuan," ujar Mahesa Wulung
menurutinya. Tubuh dan pikiran ditenangkannya
seperti sikap orang yang mengheningkan cipta. Namun bila jari-jemari tangan
Pendekar Bayangan telah mulai mengurut tubuhnya, tak tahan juga Mahesa Wulung
terpaksa meringis, sebab setiap kali jari-jari Pendekar Bayangan menyentuh kulit
serta memijit simpul-simpul sarafnya, terasalah kalau tubuhnya seperti dialiri
oleh rasa nyeri, pedih bercampur aduk tak ubahnya
sengatan dari ratusan kalajengking berbisa.
Mahesa Wulung sambil meringis menahan rasa
nyeri, pikirannya yang tajam itupun bekerja pula. Ia memang pernah mendengar
semacam ilmu yang
dipergunakan untuk menyembuhkan simpul-simpul
saraf yang rusak, yang dapat menyembuhkan kelum-
puhan tubuh. Ia pernah membacanya dari sebuah
catatan lontar kuno yang terbawa bersama penyerbuan tentara Kaisar Kubilai Khan
ke Singasari puluhan
tahun yang telah silam.
Ilmu itu telah terkenal puluhan tahun di tanah
seberang sana. Mereka menyebutnya dengan ilmu
tusuk jarum, karena mereka mempergunakan jarum
dalam menyembuhkan serta mengobati saraf-saraf
yang rusak. Sedang Pendekar Bayangan yang kini
tengah mengobati kelumpuhannya itu, sama sekali
tanpa mempergunakan sebatang jarum pun.
Begitulah Mahesa Wulung merasakan pijitan-pijitan
yang nyeri mulai dari kepala, dada, sampai ke leher. Ia tak kuasa berteriak
kecuali berdesis menahan sakit-nya, bahkan ia merasa seolah-olah seperti anak
kecil yang dipijit oleh ayahnya sehabis kelelahan bermain-main sehari penuh.
Kemudian sedikit demi sedikit rasa sakit tadi berkurang dan lenyap, untuk
selanjutnya terasa bahwa
pijitan tadi menimbulkan rasa segar dan nyaman.
"Bagaimana Mahesa Wulung, apakah kau masih
merasakan pijitan yang sakit?" tanya Pendekar Bayangan.
"Tidak lagi, Tuan," jawab Mahesa Wulung meng-
geleng. "Jangan panggil aku tuan. Panggillah bapak."
"Baik, Bapak. Terima kasih."
Pendekar Bayangan mengangguk. "Nah, Angger.
Segera akan terbuka segenap urat-uratmu menjadi
lebih hidup. Letak otot dan susunan sarafmu telah aku perbaiki. Dengan begitu
darahmu akan mengalir kembali dengan lancar. Dengan sedikit latihan nantinya,
tubuhmu akan berkekuatan berlipat-lipat. Tetapi apakah dengan sembuhnya
kelumpuhan tubuhmu itu
ilmu yang telah punah akan bisa pulih kembali" Aku tak tahu, Angger. Hal itu tak
perlu kau risaukan amat.
Aku nantilah yang akan menolong."
Pendekar Bayangan meneruskan pijitannya kem-
bali. Mahesa Wulung, lama-kelamaan merasa bahwa
tubuhnya segar kembali dengan darah yang mengalir
di segenap urat tubuhnya, merambat sampai ke ujung rambut dan ujung jari kaki,
sementara jantungnya berdetak dengan teratur. Demikian pula matanya serasa
menjadi berat seperti digantungi oleh satu kekuatan aneh dan sedikit demi
sedikit Mahesa Wulung tertidur dengan pulasnya. Melihat itu Pendekar Bayangan
mengangguk puas dengan sebuah senyuman manis di
balik topengnya.
*** 2 ANEH! MAHESA WULUNG merasa tengah berjalan
bergandengan dengan Pandan Arum. Tiba-tiba mun-
cullah sebuah kepala yang besar dan berwajah mengerikan siap mencaploknya. Wajah
itu adalah wajah Ki Topeng Reges yang tertawa dengan terkekeh-kekeh
mengumandang di segenap penjuru.
Namun dalam saat-saat yang menegangkan, sebuah
bayangan putih melesat dan memukul hancur kepala
itu. Mahesa Wulung tersentak kaget karenanya. Dilihatnya bayangan putih itu
tersenyum kepadanya. Itulah wajah Pendekar Bayangan yang telah menolong-
nya! Dalam pada itu telinganya yang tajam telah mende-
ngar satu bisikan halus, "Bangunlah. Kau telah cukup lama tidur. Tugasmu masih
banyak." Mahesa Wulung tersentak lebih hebat dan segera
meloncat berdiri. "Akh, aku telah bermimpi tadi!"
desisnya sambil memandang sekeliling. Tampaklah
matahari telah silam di sebelah barat. Di dekatnya terpasang sebuah api unggun
kecil yang cukup
menghangatkan tubuh. "Heei, aku tidak lumpuh lagi."
Digerayanginya tangan dan kakinya sendiri, sebab
ia hampir tak percaya akan kesembuhan tubuhnya
dari kelumpuhan. Tapi ia hanya berdiri dan berada di tempat itu seorang diri.
"Hmm, di manakah Pendekar Bayangan yang telah
menolongku tadi?" gumam Mahesa Wulung sambil
memeriksa tempat itu. Suasana sepi di sekeliling tempat itu, kecuali bunyi
jengkerik serta ledakan-ledakan kecil dari ranting dan dahan kayu dimakan deh
api bergemeretakan.
Mahesa Wulung terus menyelusuri. Dari api unggun
terus berpindah ke lobang dinding batu tempat ia
berbaring. Di situ, dilihatnya bajunya terhampar di lantai dan di sampingnya
tergeletak pula pedang serta kitab hijau Landean Tunggal miliknya.
Angin senja pegunungan yang bertiup dingin terasa
sekali oleh tubuh Mahesa Wulung, maka cepat-cepat ia meraih bajunya serta
dipakainya pula. Tetapi di saat itu juga telinganya yang tajam mendengar bunyi
geme-risik di sebelah selatan.
Dengan mengendap ia cepat menjangkau pedang-
nya. Ia merasa bahwa dirinya tengah diawasi oleh
sepasang mata yang tajam. Oleh sebab itu Mahesa
Wulungpun mencoba melayangkan pandangan mata-
nya ke arah sekeliling, ke semak-semak yang rimbun ataupun ke balik batu-batu
yang berserakan tersembul dari dalam tanah. Matanya yang tajam itu seakan-akan
ingin menembus kegelapan yang menghitam
pekat, untuk mengetahui ada dan tidaknya suatu
bahaya. Mendadak saja Mahesa Wulung melihat satu
bayangan yang menyambar ke arahnya dari semak-
belukar di sebelah selatan. Gerak naluriahnya menjalar cepat dan Mahesa Wulung
berkelit ke samping
serta melolos pedangnya secepat mungkin.
Taak! Sebuah batu hitam sebesar telur ayam
menabrak dinding batu dan menghunjam ke
dalamnya! "Seseorang telah melemparku dari semak-semak
itu!" desis Mahesa Wulung. "Hmm, tenaganya sungguh hebat. Batu hitam itu telah
melesak ke dinding batu."
Mahesa Wulung semakin berhati-hati. Ia yakin
bahwa si pelempar ini mempunyai ilmu yang tinggi.
Kalau tidak, masa'kan batu hitam itu bisa melesak ke
dalam dinding batu, oleh sebuah lemparan saja.
Sebelum ia selesai merenungi hal itu, dua buah
sinar kembali menyambar ke arah tubuhnya dengan
kecepatan yang luar biasa. Namun Mahesa Wulung
sekali ini tidak menunggu sampai tubuhnya terhajar oleh lemparan-lemparan batu
gelap. Pedang di tangannya segera diputarnya rapat-rapat melindungi tubuhnya.
Das! Praak! Dua benturan beruntun terdengar
ketika Mahesa Wulung berhasil mencegat kedua sinar tadi. Dua buah batu hitam
tersebut remuk dan ter-campak ke atas tanah. Mahesa Wulung menarik nafas
dalam-dalam, sementara tangannya merasa pedih,
akibat benturan pedangnya dengan kedua batu tadi.
Tiba-tiba, sekali lagi terlihat empat sinar menyambar berbareng ke arahnya.
Meskipun begitu untuk
yang ketiga kalinya, Mahesa Wulung kembali memutar pedangnya memapaki sinar-
sinar yang menyambar itu.


Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata pedangnya berhasil memukul hancur tiga buah
batu yang pertama. Tetapi pada batu yang keempat,
pedangnya tergetar dan lepas dari genggaman jarinya yang sejak tadi telah
ditahankan dari rasa pedih.
"Luar biasa!" desis Mahesa Wulung, ketika ia meli-
hat pedangnya terpental dan menghunjam ke atas
rumput. "Heh, heh, heh, heh." Suara tertawa yang lunak
terdengar ke telinganya sampai ia terhenyak kaget.
Suara itu seolah-olah bernada mengejek, menertawa-
kan dirinya yang bisa terkalahkan oleh sebuah batu biasa.
Dengan agak jengkel ia mencabut cambuknya Kiai
Naga Geni yang melilit pada ikat pinggangnya. Bersamaan ia selesai mengurai
cambuk itu, kembali pandangan matanya menangkap enam sinar yang menyam-
bar lagi ke arah badannya.
"Gila!" seru Mahesa Wulung. "Enam berbareng!" Ke-
enam sinar tadi menyambar dengan cepatnya, seakan-
akan dilemparkan oleh kekuatan raksasa.
Dalam keadaan yang sangat genting ini, Mahesa
Wulung lebih cepat lagi memutar cambuk Naga Geni-
nya yang telah terkenal ampuhnya. Suara putarannya mendesau nyaring dengan
mengeluarkan sinar kebiru-an. Sejurus kemudian, bagai kelincahan seekor naga,
cambuk itu mematuk hancur keenam batu yang
menyambar ke arahnya.
Tetapi akibat dari gerakannya tadi Mahesa Wulung
telah mengucurkan keringat dinginnya. Nafasnya ter-sendat-sendat pula. Ketika
itu terdengar pula suara tertawa yang lunak disusul oleh melesatnya bayangan
yang berkedok mukanya dari arah semak-semak yang
sama. "Pendekar Bayangan"!" seru Mahesa Wulung terpe-
ranjat. "Heh, heh, heh, maafkan aku, Angger," ujar Pende-
kar Bayangan sesaat setelah mendarat di muka Mahe-
sa Wulung tanpa menimbulkan suara. "Akulah tadi
orangnya yang telah melemparmu. Tetapi harap Angger tidak mempunyai rasa marah
ataupun kurang percaya.
Aku hanya sekedar main-main, sekedar menguji sam-
pai di manakah kesembuhan tubuhmu serta pengaruh
pijitanku."
"Tak apalah, Bapak," ujar Mahesa Wulung meyakin-
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 5 Kedele Maut Karya Khu Lung Riwayat Lie Bouw Pek 7
^