Mahesa Wulung 1
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung Bagian 1
1 PERAHU yang ditumpanginya kini
makin mendekati bandar Asemarang.
Beberapa burung camar meliuk, dan
terbang mendekati perahu, membuat
Mahesa Wulung tersenyum. Ditariknya
nafas dalam-dalam untuk menghirup
udara pantai yang dikenalnya sejak ia masih bocah yang hampir setiap hari
dijelajahi untuk berlatih renang,
mengemudikan perahu, dan kadang-kadang di pantai itulah ia dilatih pamannya
dalam tata perkelahian yang cukup
berat. Berbagai kesibukkan tampak dari
perahunya, orang-orang yang bersenjata pedang dan tombak tampak mondar mandir di
bandar itu. Begitu perahu merapat, bandar segera dua orang bersenjata
tadi mendekati. Mahesa Wulung mula-
mula menaruh curiga dengan gelagat
ini, tapi segera lenyaplah
kecurigaannya, ketika ia melihat orang itu berikat, pinggang merah, satu
ciri penjaga keamanan bandar
Asemarang. Dengan ramahnya, mereka
mendapatkan Mahesa Wulung yang kini
sudah naik ke darat.
Selamat Siang, kisanak. Sapa
mereka. Dapatlah kami mengetahui tentang
diri kisanak" Sambil tersenyum Mahesa Wulung meraba lehernya dan melepaskan
untaian kalung yang tersembunyi
dibalik bajunya lalu diacungkan kepada kedua pengawal itu sambil
memperkenalkan dirinya.
Perkenalkanlah, saya Mahesa
Wulung dari Demak. Kedua pengawal itu bukan main terkejutnya melihat medali
kalung yang dipegang oleh tamunya
berbentuk seperti cakra bergigi empat, seperti penunjuk arah mata angin.
Itulah tanda buat seorang perwira laut Kerajaan Demak.
Oh, maaf Tuan, kami tidak mengira
Tuan datang dari Demak. Seru keduanya sambil menundukkan
kepala memberi hormat. Ah bapak berdua, tidak apalah
sebab saya memang tidak secara resmi
datang ke sini. Sayapun hanya
menumpang perahu dagang saja. Balas
Mahesa Wulung sambil memberi hormat
kepada kedua pengawal itu.
Kalau begitu apakah kami dapat
membantu Tuan dalam kunjungan ke
Asemarang"
Terima kasih bapak, saya
bermaksud berlibur di kota ini, selama beberapa bulan dan tinggal dengan
paman saya Ki Sorengrana.
Jadi Tuankah Mahesa Wulung yang
sering disebut-sebut Ki Sorengrana.
Beliau sering menceriterakan Tuan
kepada kami dalam saat-saat istirahat sehabis latihan keprajuritan. Kalau
begitu sampaikan pula salam kami
kepada Ki Sorengrana jika Tuan telah
tiba di sana. Pakailah kuda kami yang tertambat itu, Tuan akan lekas sampai di
sana. Terima kasih bapak. Segera Mahesa
Wulung melepaskan seekor kuda yang
berwarna hitam dan dengan satu gerakan yang sukar diikuti mata, tahu-tahu
Mahesa Wulung telah ada di punggung
sikuda hitam dan segera dipacunya ke
arah selatan masuk ke daerah yang
berhutan pohon asam.
Kedua pengawal tadi cuma
menggeleng-gelengkan kepala sambil
mengguman. Hmm, pantaslah kalau dia
kemenakan Ki Sorengrana, dari caranya berkuda saja orang mengenalnya.
Setelah melewati pohon randu yang
besar Mahesa Wulung segera membelokkan kudanya ke arah barat dan dari
kejauhan tampaklah perkampungan kecil, sedang rumah pamannya segera dapat
dikenal dari pohon beringin yang
tumbuh subur di depan rumahnya. Tapi
rumah pamannya tampak sepi-sepi saja.
Seperti ada sesuatu yang tidak
beres dengan kampung ini, semua pintu-pintu dan jendela-jendela
ditutup rapat. Pikir Mahesa Wulung sambil
meloncat turun dari kuda. Begitu
kakinya menginjak tanah dari arah
belakang terasa ada angin dingin yang bertiup hebat bersama satu bayangan
yang berkelebat dari atas pohon
beringin. Pukulan Lebur Waja, pikir Mahesa
Wulung dengan cepat sambil memutar
tubuhnya melompat kesamping. Tangan
kiri ditekuk lurus ke depan sejajar
kepala sedang yang kanan ditekuk pula ke belakang sejajar kepala siap
mengirimkan serangan, namun tiba-tiba terdengar teriakan tahan!
Mahesa Wulung terkejut bukan
kepalang demi ia membatalkan
serangannya, didepannya berdiri
seorang gadis berparas elok. Sinar
matanya masih membayangkan rasa curiga bercampur heran
melihat pukulannya
Lebur Waja bisa dielakkan pemuda ini
dengan mudahnya, bahkan lebih heran
lagi pemuda yang biru saja datang ini akan membalasnya pula dengan pukulan
yang sama. Ha, ha, ha ! Bagus Wulung, bagus!
Kau masih tetap menguasai ilmumu
dengan baik.... terdengar suara dari samping rumah dan muncullah pamannya
yang berwajah cerah, wajah yang telah lama dirindukannya. Sebab wajah itu
bila ditentang lama ia seperti
berhadapan dengan ayahnya sendiri yang telah beberapa tahun yang lalu.
Mengapa tidak" Sorengrana adalah adik dari ayahnya Sorengyuda, hingga tidak
mengherankan bila keduanya mempunyai
wajah yang mirip. Dengan rangkulan
yang penuh rasa kasih, Sorengrana
menyambut Mahesa Wulung, dihatinya
mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Besar bahwa ia masih berjumpa lagi
dengan kemenakannya yang telah lama
meninggalkannya.
Demikianlah sampai beberapa saat
gadis itu masih berdiri kaku melihat
gurunya Ki Sorengrana beramah tamah
dengan pemuda ini. Mahesa wulung
menyadari hal ini dan iapun bertanya
kepada pamannya.
Paman, siapakah gadis ini yang
tadi tiba-tiba saja menyerangku"
E e e, ya, ya, aku sampai lupa
memperkenalkannya. Inilah muridku,
juga teman sepermainanmu sewaktu kecil dulu. Dialah Niken Pandan Arum. Kata
pamannya. Pandan Arum " Teriak Mahesa
Wulung penuh kagum.
Pandan Arum yang
dulu selalu meminta aku memanjat dan memetikkan
bunga angsoka untuk dibuat untaian
kalung. Untung paman menyebutkan
namanya kalau tidak pasti aku tak akan mengenalnya lagi.
Dan ini, Pandan. Ini kemenakanku
Mahesa Wulung. Sambil tersenyum
tersipu-sipu Pandan Arum
mencuri pandang ke arah Mahesa Wulung dan
begitu pandangnya bertumbuk pandangan pemuda tampan yang hampir menjadi
lawannya tadi, segera ia menganggukkan kepala dengan hormatnya, lalu dibalas
pula oleh Mahesa Wulung.
Mahesa Wulung harap dimaafkan
kelakuan Niken Pandan tadi. Kami
sekampung memang tengah bersiap-siap
untuk sewaktu-waktu menghadapi
gerombolan hitam dari Alas Roban.
Mereka sering membuat kekacauan-
kekacauan, terutama di daerah
sepanjang pantai utara mulai dari
Pekalongan sampai bandar Asemarang.
Dengan paksa penduduk-penduduk di situ ditariknya pajak yang tidak sedikit
jumlahnya. Hal ini terang-terangan
menentang kewibawaan kerajaan Demak, malahan lagi ada didesas-desuskan
bahwa mereka bersekutu dengan bajak-
bajak laut dari Pulau Ireng, sebuah
pulau diantara Pulau-pulau
Karimunjawa. Lho, ini tamunya kok diajak
bicara-bicara di luar saja marilah
kita lanjutkan di dalam saja. Seru
bibi Mahesa Wulung, Nyi Sorengrana
yang segera pula ikut ke luar
menyambut kemenakannya. Setelah mereka duduk-duduk dibalai-balai, Pandan Arum
pergi ke belakang untuk ikut
menyiapkan hidangan serta membantu Nyi Sorengrana yang sibuk di dapur.
Mahesa Wulung ketahuilah bahwa di
daerah ini sedang timbul gangguan
keamanan, oleh sebab itu kami sering
mengadakan latihan-latihan
keprajuritan guna menghadapi setiap
kemungkinan yang bakal terjadi. Dan
tadi seperti yang kau lihat, khusus
kepada Pandan Arum telah saya ajarkan dasar-dasar aji pukulan Lebur Waja.
Sorengrana berhenti sejenak sambil
menghirup kopi panas yang telah
dihidangkan. Maka dengan kedatanganmu ini,
saya turut berharap agar engkau
membantu menanggulangi bahaya
pengacauan serta melatih orang-orang
di daerah ini dalam menggunakan
senjata. Baik Paman, sayapun tidak
berkeberatan untuk tugas ini. Memang
kedatangan saya ke Asemarang ini di
samping berlibur juga ada tugas
tersembunyi dari pimpinan
armada Demak, yaitu menyelidiki kekacauan-
kekacauan yang terjadi disepanjang
pantai Utara, yang mungkin pula
seperti kata paman ada sangkut pautnya dengan gerombolan bajak Laut Pulo
Ireng. Mahesa Wulung menarik nafas
seperti ada sesuatu yang lama
tersembunyi di dalam kalbunya.
Selain itu Paman, dapatkah sekali
ini Paman menceriterakan sejelasnya
peristiwa gugurnya ayah, Soreng Yuda"
Ya, aku akan ceriterakan padamu,
tetapi ini disambi hidangannya yang
sederhana buatan bibimu sendiri. Maka sebentar mereka mencicipi juadah ketan
yang terhidang di atas piring
tembikar. Begini Wulung, saat itu beberapa
tahun yang lalu ketika Armada Demak di bawah pimpinan Adipati Junus atau
Pangeran Sabrang Lor dibantu oleh
Sultan Aceh dan Johor melakukan
serangan ke Malaka yang telah diduduki Portugis sejak tahun 1511. Meski
akhirnya tidak berhasil mengusir
Portugis dari Malaka tapi, cukup
menaikkan bangsa kita dan nyatanya
Portugis sejak itu tidak lagi berani
mencoba-coba untuk merebut tanah-tanah lainnya. Nah, disaat itulah sekali ia
ketika itu berada paling belakang dari sekian puluh kapal yang beriring-iring
pulang kembali kepangkalan armada
Demak yang terletak di Jepara. Begitu lewat di Selat Karimata kapal ayahmu
disergap oleh beberapa kapal galli
Portugis. Dan rupa-rupanya telah
bersekutu dengan bajak-bajak laut,
sebab waktu itu terlihat pula kapal-
kapal jung berbendera naga merah
dengan dasar hitam.
Kapal ayahmu melawan dengan
sekuat tenaga. Aku ingat kata-kata
yang pernah dilahirkan dihadapanku,
bahwa ia lebih baik hancur bersama
kapalnya dari pada menyerah kepada
Portugis. Di samping itu agaknya
ayahmu bertekad untuk mencegah agar
kapal-kapal Portugis tadi tak sempat menyerang iringan kapal kapal Demak
lainnya, sehingga ia menjadikan
dirinya perisai. Ayahmu sempat
menenggelamkan sebuah kapal Portugis, sebuah lagi terbakar oleh tembakan
meriam ayahmu. Tapi mereka jauh lebih banyak hingga akhirnya berhasil
menenggelamkan kapal ayahmu yang
dengan gagah berani bertempur sampai saat terakhir.
Ki Sorengrana sebentar berhenti
berceritera sebab tenggorokannya
terasa tersengal, saking terharunya
dan ketika ia melirik Mahesa Wulung,
terlihat olehnya butir-butir air mata yang menetes di atas pipi
kemenakannya. Tabahkan hatimu, engkaulah yang
akan meneruskan perjuangan ayahmu yang tidak sia-sia itu, armada Demak dan
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setiap armada yang ada disegenap
daerah Nusantara
ini, akan lebih
banyak membutuhkan putra-putranya yang berjuang seperti ayahmu itu.
Benar, paman. Sayapun telah
berjanji untuk melanjutkan perjuangan, ayah. Siapa tahu suatu ketika saya
dapat membekuk bajak-bajak laut yang
telah membantu Portugis si penjajah
itu. Sampai sekian percakapan mereka
terhenti, karena bibinya telah membawa nasi liwet dari dapur diikuti bleh
Pandan arum yang membawa baki berisi
sayur asem, pindang bandeng,
dan sambal jeruk. Sambil meletakkan di
atas balai-balai ia memberikan senyum manis kepada Mahesa Wulung. Begitulah,
penuh suasana keakraban
mereka berempat segera mulai makan.
Mahesa Wulung, hari telah sore.
Sebentar lagi akan gelap. Tolonglah
kau antar Pandan Arum pulang.
Kau tidak lupa bukan, itu kampung
Sekaju yang terletak disebelah selatan sana. Pasti Ki Soratani akan gembira
meiihatmu. Ya, paman aku masih ingat jalan-
jalannya" Waktu sampai di halaman
Mahesa Wulung lalu melepas tambatan
kudanya sementara itu muncul Niken
Pandan Arum dari belakang rumah
menuntun seekor kuda coklat lalu
mendekati Mahesa Wulung.
Kakang Mahesa Wulung, apakah kau
nanti sudi singgah sebentar kerumahku yang buruk itu" Pinta Pandan Arum.
Jangankan mengantarmu Pandan,
akupun masih bersedia memanjatkan
bunga-bunga soka untuk untaian kalung seperti dulu, masa kanak-kanak kita.
jawab Mahesa Wulung menggoda.
Ah, kakang Mahesa Wulung ini,
masih suka ndagel, nih, trimalah hih, hih. Seru Pandan Arum dengan gemas
sambil beberapa kali mencubit lengan
Mahesa Wulung. Keruan saja pemuda ini berteriak
peringisan. Heh, heh, sudah, sudah
Pandan, aku kapok !
Ki Sorengrana dan isterinya
memandang mereka dengan tersenyum-
senyum di depan pintu. Ah, dasar anak muda, begitu ya bune kalau dua sahabat
lama bertemu seperti kita dulu
Oooo, ini pamannya sama saja,
hih, ini lho! Nyi Sorengrana mencubit pula lengan suaminya.
Keduanya tersenyum dan kembali
masuk ke dalam setelah dua anak muda
itu melarikan kuda-kudanya ke arah
selatan serta lenyap dari pandangan
mereka. Angin senja yang segar serasa
mengusap wajah mereka. Kedua anak muda itu tidak lagi memacu kudanya, tapi
membiarkan kudanya berlari lari kecil kecil seenaknya. Mendekati semak pohon
bambu yang terlihat di depan mereka.
Cepat-cepat Mahesa Wulung berbisik
kepada Pandan Arum. - Stt, Pandan.
Waspadalah, ada sesuatu yang
mencurigai dibalik semak-semak bambu
itu. Dengarlah baik-baik.
Tapi sayang sekali ilmu Pandan
Arum belum setinggi yang dimiliki oleh Mahesa Wulung sehingga ia hanya
mendengar daun bambu yang bergeser-
geser ditiup angin lain tidak! Sedang Mahesa Wulung berkat ilmu warisan
ayahnya "Bayu Rasa" yang memungkinkan dirinya bergerak ringan seperti angin,
juga bisa mendengar sesuatu dari jarak jauh lewat angin, kali ini merasa ada
gerak lain diantara gerak-gerak daun
bambu. Yaitu gerakan daun-daun bambu
yang dikuakkan oleh tenaga lain. Bukan angin, tapi oleh tangan-tangan manusia
juga terdengar jelas oleh telinganya
ranting berderak kena injakan kaki.
Hee, siapa itu yang main sembunyi
di semak bambu! Ayo, cepat keluar!
Main-main seperti anak kecil saja!
Teriak Mahesa Wulung dilambari tenaga dalam sehingga suaranya bergetar dan
mengumandang di antara pohon-pohonan
sekeliling. Dengan tiba-tiba saja seleret
sinar putih keluar dari semak bambu. -
Awas, Pandan! - seru Mahesa Wulung.
Mendengar seruan itu Pandan Arum yang telah memasang kesiagaan sejak tadi
cepat bertindak. Ia menelungkupkan
dirinya ke leher kudanya sehingga
datar dengan punggung kuda. Sejengkal di atas kepalanya serasa anak panah lewat
dengan sambaran angin yang
hebat. Sekilas itu juga ia berpikir, bahwa Mahesa Wulung yang berkuda
disampingnya, mungkin terkena panah
karena ia tadi mendengar suara benda
yang menancap namun ia menjadi
terkejut seketika.
Hai, orang pengecut, keluarlah!
Ini panahmu telah kuterima baik-baik.
Ternyata Mahesa Wulung masih
tegak duduk di atas kudanya tidak
kurang suatu apa Tangan kanannya
teracung keatas sedang diantara jari-
jarinya terjepit sebatang anak panah.
Inilah yang membuat Pandan Arum
terkejut keheranan. Rupanya,
suara tadi suara jepitan jari-jari Mahesa
Wulung yang menangkap anak panah di
tengah perjalanannya.
Bersamaan dengan itu, Mahesa
Wulung segera memacu kudanya ke arah
semak bambu, dari mana anak panah tadi ditembakkan. Hanya sayang ia masih
kalah cepat sebab ia hanya sempat
melihat kelebatan sosok tubuh yang
seperti terbang meninggalkan tempat
itu lalu lenyap digelap senja.
Segera Mahesa Wulung menarik
kembali kekang kudanya mendapatkan
Pandan Arum yang masih saja tertegun
mengalami peristiwa yang baru saja
terjadi. Mari Pandan, kita meneruskan
perjalanan pulang, rupa-rupanya saja
ada yang tidak senang dengan
kedatanganku kemari, -ujar Mahesa
Wulung. Untunglah kita terhindar dari pokal yang jahat tadi dan ini anak
panah yang akan kita jadikan bahan
penyelidikan. Terima kasih kakang kau telah
menyelamatkan diriku. -jawab Mahesa
Wulung sambil memacu kudanya kembali
ke arah tujuan semula. Sesaat mereka
berpacu berdampingan
Hai, orang pengecut, keluarlah!
Ini panahmu telah kuterima baik-baik!
-Ternyata Mahesa Wulung masih tegak duduk di atas kudanya tidak kurang suatu
apa. Tangan kanannya teracung ke atas sedang diantara
jari-jarinya terjepit sebatang anak panah.
Nah itu kakang. Dua batang pohon
asem tua yang saling bertautan itu
adalah pintu gerbang ke desaku, desa
Sekaju, setelah mereka melewati
gerbang desa tadi kemudian Pandan Arum membelokkan kudanya ke barat yang
segera pula diikuti oleh Mahesa
Wulung. Di depan rumah yang ditumbuhi pohon sawo di kiri kanannya, keduanya
berhenti dan turun dari kuda.
Tampak seorang laki-laki tua
mendapatkan mereka. Wajahnya penuh
keramahan, sedang tubuhnya masih cukup tegap.
Ayah, inilah kakang Mahesa Wulung
yang mengantarku. Ia baru saja tiba
dari Demak. Tentu Ayah belum lupa
bukan " Ya, Ya aku tidak lupa nak, Mahesa
Wulung putra mendiang Adi Soreng Yuda, begitu kan " Baiklah, mari angger,
kita duduk-duduk di dalam. -Ajak Ki
Soratani. Lalu merekapun duduk.
Serpentara Nyi Soratani menyiapkan ubi rebus dan minuman.
Angger Mahesa Wulung aku lihat
tadi angger menggenggam sebatang anak panah - bertanya Ki Soratani.
Benar bapak, inilah - kata Mahesa
Wulung serta menunjukkan anak panah
yang sejak tadi digenggamnya,
disambung dengan ceriteranya ketika
peristiwa pencegatan tadi di semak
pohon bambu. Kedua alis dan dahi Ki
Soratani terangkat tinggi begitu ia
menatap anak panah yang kini
dipegangnya, suatu pertanda bahwa ada sesuatu yang membuatnya terkejut.
Hmm, angger Mahesa Wulung coba
mendekatlah kemari dan dekatkan kemari lampu minyak agar kita dapat seksama
meneliti anak panah ini. Kata Ki
Soratani. Ini perhatikan, mata anak
panahnya, Bergigi-gigi runcing ke
belakang dan setahu bapak, hal ini
tidak wajar sebab daerah Asemarang
sini hanya menggunakan anak panah mata biasa saja, yaitu berujung runcing
tajem tanpa gigi ke belakang. Sedang
itu hanya digunakan oleh gerombolan
hitam dari Alas Roban saja.
Mahesa Wulung terdiam sejenak
mendengar penuturan Ki Soratani itu,
lalu otaknya segera berpikir keras
menghubung-hubungkan peristiwa yang
satu dengan yang lain sejak ia tiba
dibandar Asemarang sampai saat ini.
Ya, bapak. Aku ingat sekarang,
siang tadi ketika saja tiba di bandar, seseorang tampak selalu mengawasiku
dari kedai minuman. Dialah rupanya
salah seorang anggota gerombolan Alas Roban dan peristiwa pencegatan tadi
pasti ada sangkut pautnya dengan dia.
Demikianlah setelah cukup waktu,
Mahesa Wulung segera berpamitan kepada Ki Soratani suami istri dan kepada
Niken Pandan Arum.
Jangan kapok lho nak, singgah
kemari. Bapak, ibu akan selalu dengan senang hati menerima angger Mahesa
Wulung, ujar mereka sedang Pandan Arum melepaskan pemuda itu disertai senyum
yang manis. Bila diufuk Timur matahari telah mulai melepaskan sinarnya,
tampaklah kesibukan di kampung Karang Asem pagi itu. Orang-orang yang pergi ke
sawah hanya sebagian saja, terutama yang muda-muda pada berkumpul di
halaman rumah Ki Sorengrana. Beberapa diantaranya ada yang membawa tombak,
pedang dan ada pula bersenjata panah.
Setelah Ki Sorengrana memberi
penjelasan secukupnya, maka merekapun segera mulai mengadakan latihan-latihan
menggunakan bermacam-macam
senjata. Di bawah pohon beringin rindang
tampaklah Pandan Arum melatih jurus-
jurus pukulan maut "Lebur Waja".
Didekatnya, tegak berdiri
mengawasinya, Mahesa Wulung.
Adi Pandan, marilah kita berlatih
bersama biar kita bisa saling
melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada. Seru Mahesa Wulung sambil
meloncat ke muka Pandan Arum
mengirimkan satu serangan tangan
kanannya ke arah kepala. Meski semula terkejut cepat Pandan Arum menguasai
dirinya dan dengan
lincahnya memiringkan kepala ke kanan hingga
serangan Mahesa Wulung mengenai udara kosong. Pada saat yang bersamaan itu
Pandan Arum ganti melancarkan serangan ke arah ulu hati dengan kaki kirinya.
Mendapat serangan demikian Mahesa
Wulung cepat menjejakkan kedua kakinya ke tanah sambil menyalurkan aji Bayu
Rasa. Maka yang terlihat sangat
mengagumkan. Seperti bola saja Mahesa Wulung melanting ke atas, dan ketika
turun kembali ia membentangkan kedua
tangannya dengan jari-jari yang
mencefigkam. Gerak ini dipelajarinya
dari gerak elang laut yang sering
dilihat dan diperhatikannya selama ia berlayar kemana-mana. Jika elang laut
sudah membentangkan sayapnya lebar-lebar pasti ia segera menukik ke air
dan sejurus saja jari-jari kakinya
tentu telah mencengkeram rnangsanya
seekor ikan. Diserang secara demikian Pandan
Arum segera surut ke belakang beberapa langkah lalu iapun mulai menyalurkan
aji Lebur Waja guna menyambut terkaman Mahesa Wulung. Tapi sekali lagi
hatinya dibuat terkejut oleh gerakan
Mahesa Wulung, begitu pukulannya
hampir mengenai dada, pemuda itu tiba-tiba surut pula ke belakang dengan
jungkir balik di udara dan tahu-tahu
Mahesa Wulung tiba di tanah dengan
berdiri tegak lengkap dengan memasang kuda-kudanya.
Bagus, kakang. Hebat sekali
gerakanmu. -seru Pandan Arum sedang
dihatinya iapun memberikan pujian
kepada pemuda ini.
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terima kasih Pandan. -kata Mahesa
Wulung- Kaupun pasti akan bisa
menyamaiku jika rajin-rajin berlatih.
Sementara itu terdengar bunyi
bende sekali dan merekapun berhenti
mengadakan latihan keprajuritan.
Sebagian pergi mencuci muka yang penuh dilekati debu, sebagian lagi telah
menyiapkan sekedar hidangan menjadikan saat istirahat itu tampak lebih
semarak. Demikian juga Mahesa Wulung dan
Pandan Arum tampak menikmati
istirahatnya di bawah pohon beringin.
Sungguh segar rasanya, lebih-lebih
dengan duduk-duduk sambil makan juadah ketan dan minuman air kelapa muda.
Mahesa Wulung merebahkan dirinya
ke atas akar-akar beringin sedang
matanya menatap ke atas memperhatikan sulur-sulur beringin dan daunnya yang
rindang. Betapa bahagianya aku, seandainya
bisa mencontoh makna pohon beringin.
Akar dan sulurnya yang kuat dalam-
dalam masuk ke dalam tanah menyebabkan batangnya dapat kokph berdiri. Jika
aku dan setiap orang benar-benar
berbakti kepada tanah airnya pastilah Nusantara akan menjadi satu negara
yang kokoh. Atau dari daunnya yang
rindang itu, yang dengan tulus ikhlas memberikan naungan kepada siapa saja, baik
kepada yang miskin ataupun yang
kaya, kepada yang berpangkat tinggi
dan kepada yang rendahan.
Sedemikianlah semoga aku dapat
mencontohnya. Belum lagi selesai berpikir-
pikir, terdengar suara bende lagi
sekali dan terasa tangannya digoncang-goncang.
Ayo, kakang kita berlatih lagi.
Jangan melamun saja ah. Pagi-pagi kok sudah melamun. -seru Pandan Arum.-
Kali ini paman akan melatih mereka
menggunakan panah.-sambungnya - Selama di Demak apakah kakang masih sering
menggunakan panah"
Tentu Pandan, aku masih tetap
membawa panah kemana saja dalam
mengarungi samodra. Kadang-kadang aku menggunakan panah untuk mendapatkan
ikan-ikan di laut di samping
keuntungan yang lain kudapatkan yaitu tetap berlatih panah. Sebab meskipun
kita pandai setinggi langit tapi tidak sering dilatih, lama-lama kepandaian
itu akan luntur dan surut dan musnah
pada akhirnya. Ki Sorengrana tampak sibuk
membimbing mereka yang sedang
berlatih. Kadang-kadang tak segan-
segannya dia mengulang-ulang
petunjuknya, malahan tidak jarang
disertai bentakan-bentakan. Tapi
orang-orang yang berlatihpun sadar
bahwa bentakan-bentakan Ki Sorengrana itu demi kepentingan bersama, agar
mereka dapat sempurna berlatih.
Ayo, ayo, perhatikan dalam
menarik busur panahmu arahkan sejajar mata dan jangan lupa mengatur
pernapasanmu. Tetapi tiba-tiba kesibukan mereka
berlatih itu dipecahkan oleh satu
suara yang berdengung mengikuti
seleret sinar putih meluncur dari
gerumbul pohon-pohon pisang. Rupanya
dengung itu tidak kecil pengaruhnya,
terbukti beberapa orang terlongoh-
longoh kebingungan seperti lumpuh
tanpa dapat menggerakkan tubuhnya.
Dengung tadi mempengaruhi perasaan
seseorang dan juga kesadarannya.
Namun Mahesa Wulung berkat aji
Bayu Rasanya dapatlah menebak dengan
tepat bahwa dengung itu adalah dengung panah sendaren yang tengah meluncur ke
arah sasarannya. Tapi siapakah
sasarannya"
Begitu ia mengikuti dengung itu
tahulah ia, panah itu meluncur ke arah Ki Sorengrana. Secepat kilat Mahesa
Wulung bertindak. Cepat-cepat ia
menarik sebatang anak
panah dari kantong kulit yang bergantung
dipinggangnya dan segera
ditembakkannya ke arah suara yang
berdengung itu. Hampir-hampir tidak
mungkih rasanya itu bisa terjadi, tapi itu benar-benar terjadi. Seleret sinar
putih lain memotong sinar putih
pertama yang berdengung, lalu
terdengarlah satu suara benturan yang keras, seolah-olah cabang pohon yang.
dipatahkan oleh tenaga raksasa dan
tahu-tahu jatuhlah ke atas tanah dua batang anak panah. Tapi yang sebuah
patah terpotong tepat pada leher mata panahnya, sedang kira-kira dua jangkah
tergeletak mata panahnya.
Mahesa Wulung lalu memungutnya,
dan inilah yang membuatnya
terperanjat. Hee, lihat Pandan, lihatlah.
Paman Sorengrana lihatlah ini, anak
panah yang sama seperti yang digunakan oleh pencegat kemarin terhadap kami
berdua. Menurut Ki Soratani mata panah itu biasa digunakan oleh gerombolan
hitam Alas Roban.
Ah kau telah menyelamatkan
nyawaku Mahesa Wulung. Mata Ki
Sorengrana mengamat-amati mata anak
panah yang diberikan oleh Mahesa
Wulung. Dengan berlari-lari tibalah
dua orang yang tadi mengejar ke arah
asalnya anak panah sandaren meluncur.
Ki Sorengrana, kami tidak
menemukan sesuatu, kecuali jejak-jejak kaki saja, lapor kedua orang tadi.
Bapak guru, tunggu dulu - potong
Pandan Arum sambil menunjukkan anak
panah yang terpotong matanya tadi. Ada sesuatu yang diikatkan pada batang
panah ini. Ki Sorenprana lalu menerima anak
panah itu dari Pandan Arum dan segera membuka simpul-simpul tali yang
digunakan untuk mengikat secarik kain.
Begitu dibukanya lipatan kain itu,
terlihatlah tulisan dengan warna
merah, berbau amis. Setelah diamat-
amati ternyata tulisan dengan darah.
Berbunyi. - Ki Sorengrana dan semuanya, jika masih ingin hidup lebih lama
jangan sekali-kali mencoba menghalanghalangi pekerjaan kami - . Di bawah
tulisan tertera semacam gambar, symbol kepala singa.
Hmm, benar kau Mahesa Wulung. Ini
perbuatan gerombolan hitam Alas Roban dan ketahuilah lencana kepala singa
ini sebagai ciri dari kepala
gerombolan Alas Roban, dialah
Singalodra- ujar Ki Sorengrana.
Gerombolan Singalodra" berbareng
orang-orang menyebutnya dengan nada
suara yang bergetar, pertanda bahwa
mereka cukup gentar. Mengapa tidak"
Setiap orang disepanjang pantai utara cukup mengenal keganasan Singaiodra.
Dia mempunyai senjata sakti Trisula
dan disertai dengan ilmunya "Senggara Macan" membuat dirinya merajai semua
gerombolan dari Alas Roban. Beberapa saja yang telah jatuh korban karena
berani menentang Singalodra.
Kebanyakan mereka jatuh mati sebelum
sempat mendekatinya. Karena Singalodra mempunyai kebiasaan menggertak
lawannya dari jarak yang cukup jauh
dilambari ilmunya "Senggara Macan", Sekali gertak saja, pasti lawannya
akan jatuh karena isi rongga dadanya
akan rontok. Saudara-saudara sekalian - seru
Mahesa Wulung memecah kesunyian. -
Janganlah kalian merasa takut akan hal ini. Kita tidak akan sendiri-sendiri
menghadapi gerombolan hitam Alas
Roban. Dengan persatuan yang kokoh
kita akan bersama-sama melawan mereka, saya bersedia membantu saudara-saudara.
Ya, ya kita akan tetap bersatu,
kita hancurkan mereka. Serempak orang-orang berseru sambil mengacungkan
tangannya ke atas penuh keyakinan.
Oleh sebab itu saudara-saudara,
latihan seyogyanya kita akhiri sampai di sini dahulu, sambung Mahesa Wuiung
pula. Begitulah, sehabis Ki Sorengrana mengucapkan terima kasih atas
kesungguhan mereka berlatih, maka
orang-orangpun bubar dan kembali
ketempatnya masing-masing.
Kini tempat ini lalu kembali
sepi. Yang ada disitu tinggal Ki
Sorengrana, Mahesa Wulung dan Pandan
Arum. Tampak Ki Sorengrana masih saja meneliti mata anak panah yang ada
ditangannya. Mahesa Wulung, aku merasa lega
dan bangga mempunyai kemenakan seperti kau. Semua kepandaian dan keperwiraan
ayahmu telah kau warisi dengan
sempurna. Ki Sorengrana berkata.
Tapi apakah kau telah diceritai
oleh ayahmu tentang guru-guru yang
pernah mengajarkan keperwiraan dan
kepandaian kepadanya"
Belum pernah, paman. -jawab
Mahesa Wulung- Mungkin pernah juga
tapi aku kini sudah lupa. Waktu ayah sering melatihku di pesisir bandar
Asemarang dulu, aku masih kecil hingga kadang-kadang kurang memperhatikan
ceritera-ceritera ayah. Apakah paman
mengetahui, ayah pernah mempunyai guru ketika itu"
Benar, Wulung. Ayahmu dulu pernah
berguru kepada pendekar sakti Bayu
Sekti yang menurut ceritera ayahmu
dulu, Bayu Sekti adalah masih
keturunan Majapahit. Nenek moyangnya
adalah pendekar-pendekar dari
Bhayangkara, pasukan khusus pengawal
raja. Ketika Bayu Sekti masih muda dia termasuk golongan tinggi dari tokoh-tokoh
sakti di masa itu, sehingga ia
sangat disegani. Terlebih lagi, dia
suka berbuat kebajikan. Maka tidak
jarang ia sering terlibat dalam
pertempuran melawan golongan-golongan hitam yang sering membuat kekacauan
disepanjang pantai utara Jawa.
Tapi kini ia sudah tidak muda
lagi, lalu mengasingkan diri di
sebelah selatan Asemarang. Di sana, di daerah pegunungan Tanah Putih ia
tinggal dan memberikan pelajaran-
pelajaran kebajikan serta keluhuran
budi. Oleh sebab itu, gerombolan-
gerombolan hitam merasa tidak ada lagi yang menjadi penghalang. Sehingga
mereka berani lagi melakukan
pengacauan-pengacauan yang dulu telah lama sekali terhenti akibat tindakan-
tindakan pendekar Bayu Sekti. Kalau
kau ingin menemuinya, Wulung, itu
lebih baik. Mungkin kau masih akan
mendapat lebih banyak bimbingan dari
Panembahan Bayu Sekti. Seperti ilmu
yang telah kau punyai. Bayu Rasa,
itulah hasil ciptaan Panembahan Bayu
Sekti. Kadang-kadang orang
memanggilnya pula dengan nama Pa-
nembahan Tanah Putih karena ia tinggal dipadepokan Tanah Putih. -Ki
Sorengrana berhenti sejenak sambil
menelan ludah, lalu berkata lagi-
Kalau kau ingin ke sana, berangkatlah besok pagi-pagi dari sini, Wulung.
Pesanku, kau harus waspada, sebab
rupa-rupanya gerombolan hitam Alas
Roban telah menyelinap ke mana-mana
terbukti dengan dua peristiwa yang
telah kita alami. Mungkin mereka
memata-mataimu dan telah mengetahui
maksud kita yang sesungguhnya.
Baik paman, besok aku akan
berangkat pagi-pagi sekali dari sini.
Apakah benar pegunungan Tanah Putih
itu terletak di sebelah Tenggara
arahnya dari kampung Borang" kembali
Mahesa Wulung bertanya.
Ya. -jawab Ki Sorengrana- Saya
kira ada baiknya kau tidak usah
melewati kampung itu. Siapa tahu ke-
pergianmu ini akan menarik perhatian gerombolan hitam Alas Roban. Pakailah jalan
menerobos hutan-hutan di situ
hingga kau akan cepat tiba di tanah
Putih dan juga tidak terlalu menyolok.
Dengan tidak terasa, matahari
telah condong ke Barat, sinarnya kini sudah tidak lagi sepanas bara. Malahan
angin laut yang segar bertiup ke
selatan. Beberapa gerombolan burung-
burung unggas lewat di-angkasa, pulang kembali kesarangnya setelah seharian
penuh pergi mencari makan.
Sesekali terdengar kokok ayam
jantan mengalun dengan merdunya.
Setelah meminta diri, Mahesa Wulung
pergi mengantar Pandan Arum kembali
kerumahnya. 2 MESKIPUN hari masih pagi, Mahesa
Wulung telah bangun dari tidurnya.
Demikian pula paman dan bibinya,
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sorengrana. Mereka sibuk mengatur
segala sesuatu untuk menyiapkan
perjalanan Mahesa Wulung. Setelah
sarapan, Mahesa Wulungpun
lalu memasang pelana kudanya.
Mahesa Wulung, hati-hatilah di
jalanan nak, ini panah paman bawa pula olehmu, mungkin ada gunanya nanti. -
ujar Ki Sorengrana sambil mengulurkan tangannya memberi salam. Segera Mahesa
Wulung menerima panah dan menjabat
tangan pamannya seraya tunduk memberi hormat.- Terima kasih paman, segala
nasehat akan saya perhatikan sungguh-
sungguh. Sekali lagi Mahesa Wulung
memberi hormat kepada bibinya yang
juga ikut mengantarnya sampai di
haiaman rumah. Selamat jalan Wulung. -seru
mereka berdua- Semoga engkau berhasil dan Tuhan Yang Maha Pemurah akan
menghindarkanmu dari segala mara
bahaya. Mahesa Wulung lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan memacunya ke
arah selatan. Dalam sekejap saja Ki
Sorengrana dan istrinya tinggal
melihat debu yang beterbangan, makin
lama semakin jauh dan akhirnya lenyap ditelan hutan. Kini Mahesa Wulung
telah menerobos hutan dan jalannya
mengikuti jalan rintisan yang hanya
biasa dilalui orang. Sebenarnya ada
jalan yang lebih baik dan lebar tapi
itu biasa digunakan lalu lintas umum, sering orang-orang berkuda lewat di
sana, orang-orang berdagang hasil
bumi, sekali-kali lewat pula rombongan orang-orang memikul tandu seorang
pembesar praja. Dengan demikian Mahesa Wulung merasa aman sebab ia yakin
tidak akan seorangpun yang bakal
menjumpainya di jalan rintisan ini.
Perjalanannya kini makin-jauh
masuk ke dalam hutan. Udara pagi
terasa menyegarkan rongga dada. Mahesa Wulung diam-diam merasa kagum akan
keindahan alam di sini, tapi sayang
kadang-kadang manusia sendirilah yang dikatakan makhluk termulia itu, yang
sering merusak alam yang diciptakan
oleh Tuhan Yang Maha Pengasih.
Beberapa rumpun anggrek liar
tumbuh di sana sini dengan beraneka
warnanya. Udara pagi telah membawa
baunya yang sedap itu memenuhi alam
sekelilingnya. Berkas-berkas sinar
mataharipun mulai menembus lewat
celah-celah daun menambah indahnya
panorama alam. Belum lagi Mahesa Wulung selesai
menikmati suasana pagi itu, tiba-tiba saja ketika ia akan membelokkan
kudanya menurut arah ke kiri,
telinganya yang tajam telah menangkap derap kaki kuda dari arah selatan
menuju ke utara. Terbiasa menghadapi
hal-hal yang mendadak ini, Mahesa
Wulung tidak kehilangan akal. Cepat-
cepat ia membelokkan kudanya masuk ke tepi jalan yang rimbun oleh ilalang,
dan untunglah ia bertindak dengan
cepat, kalau tidak pasti ia akan
berpapasan dengan orang yang baru
datang itu. Berkat naluriahnya yang
terlatih itu ia mengambil kesimpulan
bahwa orang yang sedang mendatang itu pasti punya maksud-maksud lain,
seperti Mahesa Wulung sendiri yang
mencoba menghindari untuk tidak
bertemu dengan siapa-siapa.
Dari balik rumput ilalang tempat
ia bersembunyi itu, ia kini dapat
melihat dengan jelas orang-orang yang berkuda itu. Semua ada lima orang
dengan mengenakan pakaian hitam-hitam.
Hampir kesemuanya bersenjata panah
tapi di pinggang mereka tergantung
pula pedang-pedang pendek.
Tidak hanya keadaan mereka saja
yang jelas tapi percakapan merekapun jelas terdengar oleh Mahesa Wulung.
Kita serahkan saja Panembahan Tua
bangka itu kepada kakang Sima Gereng
dengan keempat anak buahnya, pasti
sekejap saja kakek tua itu akan mampus olehnya. -kata seorang yang berkumis
lebat kepada keempat orang lainnya.
Pelana kudanya dialasi dengan kulit
macan tutul. Disusul suara ketawa
cekakakan yang memuakkan.
Rupa-rupanya yang berpelana kulit
macan tutul itulah kepala dari
rombongan ini -pikir Mahesa Wulung.-
Dan siapakah yang dimaksud dengan
sebutan kakek oleh mereka itu" Dilihat dari solah tingkahnya dan ciri-cirinya
setidak-tidaknya mereka dari
gerombolan penjahat, sebab untuk
menghadapi seorang kakek saja mereka
telah mengerahkan lima orang kawannya.
Seperti yang tersebut tadi dipimpin
oleh seorang yang bernama Sima Gereng.
Sejurus kemudian rombongan
berkuda tadi telah lenyap ke sebelah
utara. Sesaat setelah itu Mahesa
Wulung kembali membawa kudanya dari
rumpun ilalang ke jalan yang semula
dan cepat memacunya ke arah selatan,
kemudian belok ke timur. Jalan yang
dilaluinya tidak kini lagi mendatar
tapi mulai naik dan semakin naik
berbelok-belok. Mahesa Wulung telah
mengambah tanah pegunungan di selatan Asemmarang.
Di sini tanahnya ada yang seperti
kapur berwarna putih, pastilah saja
telah tiba di tanah Putih. Berkat
ilmunya "Bayu Rasa", telinganya yang tajam itu dapat menangkap suatu
bentrokan senjata di lembah sebelah
sana. Meskipun hal itu belum tampak
dihadapan mata, namun lewat angin yang berhembus, dapatlah Mahesa Wulung
merasakannya. Mahesa Wulung sudah tidak sabar
lagi, maka dengan ujung kendali ia
mencambuk leher kudanya untuk maju ke depan lebih cepat lagi.
Kalau mereka tadi menyebut kakek
tua yang dikeroyok oleh Sima Gereng
dengan sebuatan Panembahan, pastilah
ia tidak ada lain lagi, kecuali Panembahan Tanah Putih atau Bayu Sekti yang
harus ditemuinya. Ah, ini bahaya yang besar bagi panembahan itu. Biarpun ia
gagah perwira, tapi itu kan dulu waktu masih muda sedang sekarang ini ia
sudah tua dan lebih-lebih ia dikeroyok pula lima orang.
Mendapat pikiran demikian itu
Mahesa Wulung sudah tidak sabar lagi, cepat-cepat memacu kudanya ke arah
suara tersebut. Setelah menuruni
lembah dan membelok ke kiri maka
terlihat olehnya satu pemandangan yang mengagumkan.
Seorang tua berjenggot putih,
berjubah kelabu dan bersenjata tongkat yang bercabang ujungnya telah sibuk
dan terlibat dalam satu pertempuran
hebat melawah lima orang. Tiga orang
diantaranya bersenjata pedang pendek, seorang lagi bersenjata dua buah pisau
panjang, dan orang kelima yang
memimpin serangan keroyokan itu
bersenjata penggada yang pada
ujungnya. dipasangi dengan bola besi
berduri-duri runcing.
Hmm, ternyata dugaanku benar,
itulah pasti Panembahan Tanah Putih.
Gerakannya menggunakan unsur aji Bayu Rasa seperti yang kumiliki. Tapi yang ini
lebih hebat lagi, mungkin sudah
lebih disempurnakan oleh Panembahan
Tanah Putih. Pukulan dengan tongkatnya telah menimbulkan angin yang
bergulung-gulung.
Demikian pikir Mahesa Wulung diam-diam, penuh kagum.
Dengan penuh perhatian ia mengikuti
pertempuran ini. Untuk itu maka ia
segera turun dari atas kudanya, lalu
bersembunyi di belakang semak-semak.
Saking terpengaruhnya oleh gerak-gerak kakek yang luar biasa itu ia secara
tidak sadar turut menirukan
gerakannya, mula-mula hanya
menggerakkan tangannya, disusul
kakinya dan akhirnya keseluruhan gerak kakek itu tertiru olehnya. Mereka,
antara si kakek dan Mahesa Wulung
berilmu yang sama yaitu aji Bayu Rasa meskipun Mahesa Wulung masih dalam
tataran yang masih rendah, tapi
setidak-tidaknya mempunyai dasar-dasar yang sama, sehingga meski ada gerak-gerak
yang baru dan belum dikenalnya
tapi dengan mudah dapat segera
dikerjakannya. Panembahan Tanah Putih
bergerak dengan cepatnya ke sana, ke mari terkadang meloncat tinggi dan
turun dengan menerkam lawannya benar-benar seperti burung sikatan menyambar
belalang. Sampai saat itu Mahesa Wulung
masih sebagai penonton saja serta
berkali-kali menirukan gerak Pa-
nembahan Tanah Putih sebab tidaklah ia melihat kesukaran pada si kakek
berjenggot putih itu. Namun kini ia
sudah tidak muda lagi, jadi lama-lama ia agak kerepotan juga menghadapi lima
orang lawan tangguh sekaligus.
Salah seorang dari pengeroyok itu
secara diam-diam telah menjauhkan diri dari titik pertempuran dengan lompatan ke
belakang. Segera ia memasang panah untuk dibidikkan ke arah si kakek.
Tapi belum lagi membidik, Mahesa
Wulung bertindak lebih cepat lagi.
Dipungutnya sebutir kerikil dan serta merta dilemparkannya ke arah
sipembidik gelap itu. Yang terlihat
hanyalah seleret sinar yang menyambar kepala si pemanah yang kontan jatuh
terjungkal sambil peringisan karena
sakit dan gagallah serangannya oleh
lemparan kerikil Mahesa Wulung.
Tentu saja orang tadi terjungkal,
karena lemparan kerikil tadi juga
dilambari tenaga dalam dan jurus
pukulan maut "Lebur Waja". Walau masih geloyoran orang tersebut mencoba
berdiri dan bersiaga. Sinar matanya
penuh kemarahan, sedang pada
pelipisnya terlihat bengkak kebiru-
biruan mengandung darah sebesar buah
salak. Sejurus kemudian Mahesa Wulungpun
terjun ke dalam pertempuran itu.
Kedatangannya membuat Panembahan Bayu Sekti keheranan, lebih-lebih buat
lawan-lawannya, maka pertempuran itu
makin dahsyat. Antara gerak Mahesa
Wulung dengan Panembahan Bayu Sekti
terjalin erat saling mengisi. Jika
yang satu menerkam, yang lain meloncat tinggi. Persis dua ekor sikatan
kembar. Bagi Mahesa Wulung iapun merasa
kagum kepada kakek yang dengan lincah melayani tiga orang penyerangnya itu.
Kini kakek itu agak ringan karena
musuhnya yang dua lagi ganti menyerang si pemuda yang baru datang ini. Kini
gerak kakek itu makin ganas, sedang
jenggotnya yang putih itu melambai-
lambai lucu tertiup angin.
Setelah belasan jurus mereka
bertempur tiba-tiba terdengar satu
jerit kesakitan dan ternyata
Panembahan Bayu Sekti berhasil menotok jalan darah dari salah seorang
penyerangnya dan bagaikan sehelai kain yang dijatuhkan, orang tadi rebah di
tanah dengan tubuh yang pucat pasi
tanpa daya. Sekarang masing-masing
menghadapi dua orang lawan.
Dalam bertempur itu Panembahan
Bayu Sekti sempat pula melirik wajah
penolongnya yang baru saja datang itu.
Ia belum pernah mengenalnya.
Wah, anak muda ini hebat dan yang
tak habis-heranku, diapun menguasai
ilmu Bayurasa dengan baik. Tidak boleh tidak ia pasti ada hubunganya dengan
mendiang muridku pahlawan Sorengyuda, karena ilmu itu hanya kuajarkan
kepadanya. -demikian pikir Panembahan Bayu Sekti sekilas.
Keempat gerombolan ini terpaksa
harus bekerja mati-matian menghadapi
kedua lawannya yang berilmu kembar
ini. Sima Gereng yang menghadapi Bayu Sekti merasa kewalahan biarpun ia
menggunakan penggada berujung bola
besi berduri yang menimbulkan
sambaran-sambaran angin yang dahsyat.
Kawannya yang seorang juga berjuang
tak kalah hebatnya, dengan bersenjata pedang pendek diputarnya bagaikan
baling-baling berpijar mengeluarkan
sinar putih yang bergulung-gulung,
hingga ia mendapat julukan Kitiran.
Satu lingkaran pertempuran lagi
tak kurang dahsyatnya. Mahesa Wulung
yang dikeroyok oleh dua orang itu
dapat bergerak dengan lincahnya ke
sana ke mari. Lawannya yang seorang
bersenjata sepasang pisau panjang
berkilat-kilat bergerak cukup
mengerikan. Dengan kedua tangannya bersenjata
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pisau itu ia mampu menirukan gerak
kalajengking yang sedang menerkam
mangsanya, seperti sapitnya saja kedua pisau itu saling mencengkeram maka tak
ada salahnya kalau kawan-kawannya
memanggil dengan nama Sapit Ireng.
Sedang lawannya yang seorang lagi
bersenjata pedang pendek bergerak
disertai wajah yang merah karena
kemarahan, disebabkan pemuda yang
menjadi lawannya inilah yang telah
berani melempar kepalanya dengan
sebutir kerikil hingga bengkak. Suatu penghinaan yang besar baginya, selama ia
menjadi anggota gerombolan hitam
Alas Roban belum pernah begitu mudah
terjungkal jatuh hanya disebabkan
lemparan seorang anak muda dengan
menggunakan batu kerikil saja. Maka ia bertekat membalas sakit hatinya dengan
mencencang lumat anak muda
ini. Gerakan pedangnya sangat membingungkan pandangan, sekali membabat dari atas
tegak lurus ke bawah dan sekali
membabat dari samping mendatar sukar
dikira-kirakan antara serangannya yang satu dengan berikutnya. Karena
badannya pendek ia dipanggil Bugelan.
Tapi kali ini lawan yang
dihadapinya bukan sembarangan, meski
Mahesa Wulung berusia masih muda
sekali, tapi ia berpengalaman sangat
luas, bertempur di mana-mana bersama
armada Demak melawan orang-orang
Portugis yang berbaju besi dan ber-
senjata api. Sampai saat terakhir
belum satupun yang jatuh sebagai
korban. Tak lama kemudian Sima Gereng mengeluarkan satu suwitan yang nyaring dan
bernada tinggi, yang bagi
gerombolan Alas Roban berarti harus
secepatnya, mengakhiri pertempuran dan meninggalkan tempat itu. Dalam hati ia
mengutuk mengumpat sejadi-jadinya
kepada anak muda yang datang menolong Panembahan Tanah Putih. Kalau tidak,
pasti ia berempat dengan kawannya akan dapat mengakhiri pertempuran itu
dengan kemenangan pada pihaknya.
Maka Sima Gereng dengan ketiga
kawannya berlompatan mundur
meninggalkan arena pertempuran. Tapi
disaat itu juga Panembahan Tanah Putih sempat bergerak dengan kilat dan
memukulkan tongkatnya pada punggung
Sima Gereng yang mana lalu berteriak
dengan kesakitan dan darah merah
terlihat keluar dari mulutnya. Rupanya saja Sima Gereng meski luka-luka di
dalam ia tergolong jagoan dari
gerombolan hitam Alas Roban sehingga
ia tetap dapat berlari dengan cepatnya meninggalkan tempat itu beserta ketiga
kawannya. Sedang yang seorang lagi yang
tertotok jalan darahnya oleh
Panembahan Tanah Putih tetap
tertinggal di situ karena dirinya tak mampu bergerak. Sewaktu keempatnya
berlompatan mundur, masih terdengar
teriakan Sima Gereng mengancam: - Awas kau berdua.
Sekali waktu akan
kulumatkan batang tubuhmul -
Tapi mendengar itu Panembahan Tanah Putih
cuma tertawa terkekeh-kekeh.
Setelah keempatnya lenyap
digerumbul semak-semak, Panembahan
Tanah Putih lalu mendekati Mahesa
Wulung. - Terima kasih anak muda,
angger telah bersusah payah sudi
membantu pekerjaanku. Mereka tadi
tiba-tiba menyerangku ketika aku
pulang dari mengobati orang sakit.
Tidak apalah kakek, sayapun minta
maaf sebelumnya karena telah berani
turut campur dalam pertempuran tadi,
hanya terdorong oleh rasa keadilan,
yang merasa muak karena melihat mereka berlima mengeroyok seorang tua seperti
andika. - jawab Mahesa Wulung sambil
menghormat. Marilah kau singgah ditempatku
angger, agar kita bisa berbincang-
bincang dengan sepuasnya, ajak orang tua ini. Dan sebelum itu ada baiknya
kita menanyai orang yang tergeletak
itu, dari mana asalnya mereka.
Keduanya lalu mendekati orang itu
badannya kelihatan pucat dan mulutnya sebentar-sebentar menahan sakit,
menyeringai-nyeringai.
Kisanak, siapakah kau dan apa
maksudmu tadi mengeroyok saya" -tanya Panembahan tua itu sambil menyandarkan
orang tersebut ke sebuah batu besar.
Kami harus melenyapkanmu
panembahan busuk, karena kaulah yang
menjadi penghalang gerombolan kami
Alas Roban melakukan pekerjaan! -sahut orang itu dengan napas turun naik.
Dan lagi kami akan membalaskan
sakit hati Singalodra ketua gerombolan kami yang dulu pernah kau lukai dalam
pertempuran di pesisir Tegal.
Hmm, ya aku ingat sekarang! -
sahut orang tua itu. - Lalu siapa guru kalian " -tanyanya pula.
Guru kami tidak lain Ki Macan
Kuping. -jawab orang itu lagi.
Mendengar nama Macan Kuping,
Mahesa Wulung terkejut amat, sebab
nama itu terkenal dan sering disebut-
sebut orang semasa ia kecil sebagai
tokoh sakti yang katanya dapat merobah dirinya menjadi macan gadungan.
Makin bertambah jelas lagi kini,
iapun pernah bertempur melawanku
semasa aku masih muda. Ini semuanya
berkisar antara dendam lama yang turun temurun!
-geram kakek tua itu.
Bersamaan dengan itu terdengarlah
bunyi dengung bernada tinggi dan tahu-tahu orang itu mengeluarkan teriak
yang tertahan. Aaaaacccchhhh! -Sebatang anak panah tertunjam pada dadanya dan orang tadi mati seketika.
Gila ini! -seru Panembahan Tanah
Putih. -Mereka tega membunuh sendiri anak buahnya.
Rupanya mereka takut orang ini
berceritera lebih banyak tentang
gerombolannya. -sambung Mahesa Wulung.
Sambil lalu ia memperhatikan anak
panah itu dan juga anak panah yang
tergantung dipinggang orang yang mati itu. Ternyata ujung mata panahnya
bergigi runcing-runcing ke belakang.
Eh, ngger marilah kita berlalu
dari tempat ini. Tempatku ada di atas sana. - Lalu keduanyapun berjalan
bersama-beriring. Orang tua itu ada di sebelah depan sedang Mahesa Wulung di
belakang sambil menuntun kudanya.
Hampir-hampir tak percaya rasanya,
melihat Panembahan tua itu berjalan
didepannya disebabkan jalannya yang
terlalu cepat sedang tempat yang
dituju masih ada di sebelah atas dan
jalannya makin menanjak. Sebagai anak muda ia merasa kagum menjumpai orang
tua yang dapat berjalan cepat bagaikan angin.
Sesudah mereka sampai di pohon
randu alas yang besar, membelok ke
kiri memasuki sebuah pintu gerbang
yang terdiri dari dua buah batu besar yang muncul kepermukaan tanah. Sungguh
amat mengesankan. Kini tibalah mereka di sebuah padepokan.
Beberapa orang laki-laki murid
Panembahan ini tampak menyambut
kedatangan mereka.
Oh kyai, seru salah seorang
diantaranya. -Mengapa banyak debu yang mengotori jubah Panembahan"
Ini tadi ada sedikit main-main
dengan anak murid Ki Macan Kuping dari Alas Roban, jawab Panembahan tua itu
Dan ini perkenalkan tamuku.
Namanya .... Eh, siapa anak muda kau
tadi belum menyebutkan namamu.
Nama saya, Mahesa Wulung,
Panembahan. -kata Mahesa Wulung.
Baiklah, kita membersihkan badan
dulu, lalu kita duduk di dalam, -ajak Panembahan Tanah Putih kepada Mahesa
Wulung. Dalam ruang padepokan yang tampak
bersih itu, Panembahan Tanah Putih
duduk bersila sedang dihadapannya
duduk pula Mahesa Wulung di samping
murid-murid lainnya. Di ruang itu
tampak beberapa kitab yang disimpan
sangat rapi, diantaranya sudah ada
yang kelihatan kekuning-kuningan
karena lamanya. Terlihat pula oleh
Mahesa Wulung tulisan-tulisan pada
daun lontar yang dirangkai dengan tali berwarna merah.
Angger Mahesa Wulung kemanakah
tujuanmu yang semula sebelum engkau
bertemu dengan aku" tanya Panembahan
kepada Mahesa Wulung.
Sebenarnya tujuan saya semula
juga akan menghadap Panembahan kemari.
Saya datang dari Demak dan tinggal di Asemarang di rumah paman Ki Sorengrana.
Mendengar penuturan Mahesa
Wulung itu tampak wajah Panembahan
menjadi cerah. Jadi angger ini kemenakan Ki
Sorengrana dari Asemarang"
Benar, panembahan. Dan saya juga
putra Ki Sorengyuda.
Oooo, Allah jadi kau juga putra
mendiang muridku, Ki Sorengyuda
perwira itu. -seru panembahan tua itu dengan sukanya. Tampak matanya yang
telah tua itu berkaca-kaca. Ia merasa terharu dan dugaannya ternyata benar,
karena ketika bertempur tadi anak muda ini, tidak lain Mahesa Wulung
menggunakan unsur gerak aji "Bayu Rasa" yang pernah diajarkan kepada muridnya
kinasih Ki Sorengyuda.
Kalau begitu angger Mahesa
Wulung, tinggallah engkau di sini
beberapa lama. Kau akan kuberi
gemblengan seperti mendiang ayahmu
dahulu, -pinta Panembahan Tanah Putih kepada Mahesa Wulung.
Terima kasih Panembahan.
Hari demi hari, selama tinggal di
padepokan Tanah Putih itu, Mahesa
Wulung mendapat kemajuan yang amat
cepatnya dan Panembahan Tanah Putih
mempunyai kebiasaan yang aneh. Ia
tidak hanya mengajarkan ilmu hanya
dengan duduk-duduk di padepokan saja, tapi muridnya Mahesa Wulung dibawanya
pergi berjalan-jalan ke mana-mana.
Sekali waktu diajaknya Mahesa
Wulung berlari cepat. Bagi orang yang belum tahu pasti akan menganggap bahwa
orang tua ini kurang sehat pikirannya masakan sudah tua begitu masih suka
berlari-lari. Mahesa Wulung coba tangkap dan
kejarlah aku! -seru orang tua itu
kepada muridnya. Semula Mahesa Wulung berragu mendengar permintaan orang tua ini
tapi ketika ia menerkam orang itu itu untuk ditangkapnya, tiba-tiba
meloncat ke atas jungkir balik di
udara dan tahu-tahu ada di
belakangnya. Heee, angger Mahesa Wulung aku
ada di belakangmu. -seru sang
panembahan sambil menepuk punggung
Mahesa Wulung. Untung Mahesa Wulung
sudah terlatih, kalau tidak, ditepuk
sedemikian pasti akan terhoyong-hoyong ke depan.
Heh, heh, heh, ayo Mahesa Wulung
tangkaplah aku lekas! Kalau demikian
caramu, kau akan jatuh sekali gebrak
oleh musuhmu. Secepat kilat Mahesa Wulung
membalikkan tubuhnya dan siap menerkam ke belakang dengan jurus Lebur Waja.
Tapi yah, Panembahan itu dengan lincah meloncat mundur beberapa langkah ke
belakang sambil tidak lupa ketawanya
yang lucu menggema di udara. Kini ia
berlari-lari yang sebentar-bentar
diselingi dengan loncatan.
Melihat hal itu, Mahesa Wulung
segera mengejarnya pula dengan
mengetrapkan ilmunya Bayu Rasa
sehingga yang terlihat sangat
mengagumkan pandangan. Keduanya
seolah-olah dua ekor kijang yang
sedang berkejar-kejaran, melompati
sungai, turun ketebing sebentar naik
ke lembah, sebentar lagi melompati
jurang. Sambil berkejar-kejaran
Panembahan Tanah Putih memberikan
petunjuk-petunjuknya kepada Mahesa
Wulung. Perhatikan Wulung. Aturlah
napasmu, waktu melompat tahan dulu
napasmu, dan sebelum menginjak bumi
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali jangan keluarkan.
Suatu ketika hampir saja Mahesa
Wulung ketika melompati jurang jatuh
terperosok karena tidak sampai, tapi
terasa pinggangnya disambar oleh
Panembahan dan keduanya selamat sampai seberang.
Janganlah berbuat sesuatu dengan
merasa ragu-ragu Wulung, itu akan
mencelakakanmu nanti. Cepatlah
berpikir dan bertindak.
Terima kasih guru, -kata Mahesa
Wulung agak malu karena memang ia tadi merasa bimbang ketika akan melompati
jurang itu. Pada hari berikutnya diajarkannya
kepada Mahesa Wulung ilmu memusatkan
pikiran. Mula-mula latihan yang
ringan-ringan saja seperti berdiri
tegak lurus tanpa bergerak sampai
waktu yang tertentu, kemudian berdiri terbalik tegak lurus dengan kepala di
bawah sedang kedua tangan bertekan
pada tanah sebagai penumpu. Sepintas
lalu seperti latihan-latihan Yoga.
Terakhir ialah latihan di bawah air
terjun. Diajaknya Mahesa Wulung ke
arah selatan ke tanah yang berjurang-jurang. Di sana terdapat air terjun.
Di sisi tebingnya terlihat ada jenjang yang bertingkat-tingkat sangat tinggi.
Orang-orang disitu menyebutnya tempat itu dengan nama Ondo Rante artinya
tangga yang berantai.
Dengan sikap yang berdiri lurus
sedang kedua tangan ditekuk di muka dada dan kedua telapak tangan
ditelengkupkan menjadi satu seperti
tangan yang menyembah, Mahesa Wulung
tegak di bawah air terjun dan
memusatkan perhatiannya menjadi satu, sehingga hantaman dan deburan air yang
terjun dari atas menimpa kepala dan
tubuhnya itu tidak terasa sama sekali.
Malahan kini rasanya seperti memijat-
mijat tubuhnya dengan segar. Berbeda
dengan mula-mula waktu mencoba, Mahesa Wulung hampir terhuyung-huyung jatuh.
Ilmu atau sikap ini boleh disebut -
Tugu Wasesa- yang akan membuat
seseorang tetap tegak meski ada angin atau getaran yang keras menimpa
tubuhnya, laksana sebuah tugu yang
tidak akan retak kena panas dan tidak hanyut oleh hujan.
Begitulah Panembahan Tanah Putih
tidak tanggung-tanggung dalam melatih dan menggembleng muridnya hari demi
hari dan dari minggu ke minggu. Untuk yang terakhir ini panembahan tua itu
melatih Mahesa Wulung dengan jurus-
jurus pukulan maut yang tak kalah
hebatnya dengan aji - Lebur Waja- yang telah dimiliki oleh muridnya.
Mahesa Wulung, coba kali ini kau
akan kulatih dengan jurus-jurus
pukulan maut. Aku belum memberinya
nama terhadap aji itu, tetapi kau
boleh tetap menyebutnya seperti jurus pukulan Lebur Waja yang telah
diajarkan oleh pamanmu itu. Dengan
menggabungkan kedua unsur pukulan itu, kau akan berhasil memiliki tenaga
pukulan yang dahsyat sedahsyat aji
pukulan gada yang pernah dimiliki oleh Sang Bima penengah Pendawa ialah gada
Rujak Polo. Sang Bima itu pernah
memukul hancur sebuah gunung anakan.
Coba perhatikan, Wulung.
Salurkanlah sikap Tugu Wasesa yang
telah kau pelajari dan terkenal tak
goyah oleh benturan keras itu. Aku
akan mengujinya dengan tiga kali
pukulan dari jarak yang cukup jauh.
Nah, bersiaplah untuk percobaan ini
sebelum kau terima seluruhnya aji
pukulan maut dari saya, ini sebagai
ujian serta dasar-dasar pertama.
Ini sisi telapak tangan digunakan
untuk memukul sedang dua jari tengah, telunjuk dan penengah dirapatkan lurus ke
depan dan ketiga jari lainnya
disatukan mengepal pada telapak tangan bisa kau gunakan sebagai penusuk
setajam pedang. -kata orang tua itu
dan diperhatikan sungguh oleh Mahesa
Wulung, lanjutnya :
Dengan memusatkan perhatian dan
menyalurkan tenaga dalam serta
kekuatanmu, barulah kau memukulkan
tanganmu. Sekarang yang pertama, -
kata Sang Panembahan menggerakkan
tangannya. Pada waktu itu keduanya ada di sebuah lembah yang sepi, tak
seorangpun yang tampak. Mereka duduk
berhadapan dengan jarak yang cukup
jauhnya. Panembahan Tanah Putih memukul
dua jarinya ke depan dan akibatnya
cukup hebat. Mahesa Wulung yang telah menyalurkan sikap Tugu Wasesa itu
masih tergoyang ke belakang dari
duduknya dan hampir-hampir jatuh
terjengkang, hanya terkena angin
pukulannya saja, belum lagi sungguh-
sunggu terpukul. Kali ini Mahesa
Wulung cukup merasa ngeri,
dibayangkannya seandainya benar-benar terpukul, pasti akan luar biasa
akibatnya, mungkin ia tak akan melihat lagi sinar matahari.
Mahesa Wulung, sekarang kau boleh
bertahan dengan sikap berdiri!
Baik guru! jawab Mahesa Wulung
yang segera berdiri dan bersiaga.
Ini yang kedua! -Sang Panembahan
berganti memukulkan sisi tangannya ke depan dan yang kedua ini tak kalah
hebatnya, Mahesa Wulung terdorong mundur oleh angin pukulan gurunya ke
belakang beberapa jangkah. Tapi Mahesa Wulung yang terkenal tangguh itu
secepatnya meloncat kembali ke depan
dengan bersiaga serta menyalurkan aji Bayu Rasa dan Tugu Wasesa sekaligus
sebab ia kini telah merasakan, akibat angin pukulan gurunya untuk pukulan
yang ketiga ini Mahesa Wulung tidak
mau meremehkan kepada gurunya.
Nah, untuk yang terakhir ini,
terimalah kini pukulan yang ketiga-
seru Panembahan Tanah Putih sambil
memukulkan sisi telapak tangannya ke
depan. Tenaga angin dari pukulan yang ketiga inilah terhebat dari pada yang
pertama dan kedua. Biarpun Mahesa
Wulung telah dibentengi oleh aji Bayu Rasa dan Tugu Wasesa, tak dapat dibuat
mempertahankan dirinya dari angin
pukulan ini, maka tak ampun lagi
dirinya terpental jatuh ke belakang
jungkir balik beberapa tumbak jauhnya.
Di sini aji Bayu Rasa masih ada
perlunya, sehingga meskipun ia jatuh
jungkir balik, tidaklah terlalu keras terasa dan juga tidak menyebabkan
luka-luka yang berarti, kecuali
goresan-goresan kecil yang berdarah.
Heh, heh, memang aku percaya kau
ulet sekali Mahesa Wulung. Pada
pundakmulah aku boleh meletakkan
harapanku, agar kau menjadi seorang
yang perwira, setia dan berbudi luhur.
Baiklah, kita pulang dulu sekarang dan mengobati luka-lukamu itu. Besok kau
boleh mulai puasa mutih, sebelum
kuajarkan padamu jurus pukulan maut
ini. Hanya pesanku saja, jangan kau
sembrono dan sembarangan menggunakan
pukulan maut ini jika tidak perlu
sekali. Apakah kau bersedia
mengindahkan pesanku ini Wulung"
Baik sang Panembahan, saya akan
sungguh-sungguh mengikuti pesan-pesan Panembahan.
Ingatlah, meskipun seseorang
telah punya kesaktian ataupun
mempunyai kekuasaan yang besar, bila
ia menyombongkannya lebih-lebih
menggunakannya dengan keliru dan
sewenang-wenang pasti ia akan runtuh, sebab Tuhan tidak menyukai orang yang
demikian itu dan Ia akan menghukumnya.
Sejak zaman dahulu hal ini sudah
diceriterakan dalam ceritera-ceritera wayang, dalam kitab-kitab Mahabharata dan
Ramayana. Kenapa sang Rahwana Raja yang mula-mula sakti dan berkuasa itu runtuh,
sebab ia menggunakan
kekuasaannya sewenang-wenang serta
menyalah gunakan kesaktiannya. -begitu tutur Panembahan Tanah Putih kepada
Mahesa Wulung. Ia begitu kasih kepada muridnya
ini, karena ia melihat dari mata anak muda itu, terpancar sinar keberanian
dan keluhuran budi. Hidupnya telah
dipenuhi dengan berbagai peristiwa
yang penuh dengan suka duka,
menjadikan orang itu kaya akan
pengalaman-pengalaman hidup.
Justru itulah, ia ingin
memberikan apa-apa yang dimilikinya
itu kepada seseorang yang dapat
dipercayainya, agar dharma hidupnya
tidak terputus karena ketuaannya itu, tapi dapat dilanjutkan demi
kepentingan hidup bebrayan di dunia.
Oleh sebab itu ia tidak setengah hati dalam mendidik muridnya. Keesokan
harinya setelah mencari hari-hari yang baik, mulailah oleh Panembahan Tanah
Putih menggembleng Mahesa Wulung dalam menerima ilmunya jurus-jurus pukulan
maut. Ia merasa bangga dan puas
melihat Mahesa Wulung muridnya tekun
dalam mempelajarinya setahap demi
setahap. Berkat kerajinannya itu dan
terutama karena memangnya Mahesa
Wulung sudah mempunyai dasar, maka
dalam waktu yang tidak terlalu lama ia telah dapat menguasai jurus pukulan
maut itu. Kesemuanya itu tercapai
berkat bimbingan dan pendidikan
sempurna dari gurunya.
Pecahan sinar matahari telah
merayapi bukit-bukit di sebelah timur, mengawali matahari yang kini mulai
menjelma. Kicau-kicau burung terdengar dipagi itu sangat ramainya.
Dikesegaran udara pagi itu tampaklah
dua orang bergegas-gegas meninggalkan padepokan Tanah Putih. Mereka berjalan
beriring menuju ke arah selatan,
mendaki perbukitan. Yang depan tampak tua, mengenakan jubah dan bertongkat
sedang yang dibelakangnya berjalan
seorang yang masih muda berbadan tegap berikat kepala hitam. Setelah mereka
menerobos hutan, tibalah keduanya
dilembah yang subur, ditengahnya
mengalir sebuah sungai kecil berair
jernih. Mahesa Wulung, setelah kau
kulatih, sekarang aku ingin tahu
sampai di mana usaha yang telah aku
rintis itu. Coba kau tunjukkan aji
pukulan maut ciptaan kita yang baru
itu kepadaku Mahesa Wulung segera bersiaga,
kaki kirinya melangkah ke depan serong kiri setengah langkah, sementara
tangan kirinya ditekuk ke depan dengan sisi telapak tangan lurus ke depan
sejajar kepala sedang tangan kanannya dilipat ke samping belakang sejajar
pula dengan kepala.
Nah, sekarang cobalah dengan
tusukan dua jari. Wulung! seru
Panembahan Tanah Putih. Lihat pohon
pisang besar yang ada di depanmu itu, Pakailah ia sebagai sasaran!
Mahesa Wulung menyalurkan, segera
tenaga dalamnya dilambari dengan
pemusatan pikiran. Matanya setengah
terpejam dan redup. Maka dengan gerak yang kilat Mahesa Wulung menusukkan
kedua jarinya ke pohon pisang
didepannya dan terjadilah satu
pemandangan yang mengerikan. Begitu
jarinya menyentuh dan masuk ke dalam
batang pisang yang besar itu
terjadilah perubahan pada pohon pisang yang mula-mula segar bugar kehijauan
itu mendadak menjadi kuning layu.
Kemudian kering kerontang bagaikan
terkena panas api yang berlipat-lipat dan setelah itu makin mengering dan
menjadi abu serta runtuh ke tanah
berserak-serak ke sana kemari.
Mahesa Wulung yang mengerjakan
dan melihat sendiri akibat tusukannya dengan dua jari itu hampir-hampir tak
percaya. Selama ini meskipun ia telah diajari oleh pamannya tentang aji
Lebur Waja itu, akibat pukulannya tak sehebat ini, paling-paling hanya mampu
merubuhkan lawannya saja. Tapi kini
setelah digabungkan dengan aji pukulan maut dari Panembahan Tanah Putih,
bukan saja sasarannya roboh begitu
saja, tapi hancur menjadi abu hanya
disebabkan tusukan kedua jarinya. Maka seperti orang yang mimpi dan tidak
percaya ia menggigit bibirnya yang
ternyata terasa sakit, jadi ia benar-
benar tidak mimpi.
Heh, heh, heh, kau tidak mimpi
Wulung, itu sungguh-sungguh kau alami.
kata Panembahan Tanah Putih sambil
ketawa lucu, janggutnya yang putih dan panjang itu ikut tergerai-gerai
berguncang karena ketawanya.
Ah, Panembahan. Saya hampir-
hampir tak percaya ini semua. Kata
Mahesa Wulung. Saya tak dapat
membayangkan akibatnya seandainya
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sasaran tadi seorang lawanku seorang
manusia. Begitulah Wulung, memang
akibatnya sangat ngeri. Oleh sebab itu tak boleh pukulan aji "Lebur Waja" ini
kau gunakan sembarangan, lebih-lebih
terhadap orang-orang lumrah, maksudku orang-orang yang tidak mempunyai ilmu apa-
apa. Saya kira, setahuku hanya Ki Macan Kuping yang mempunyai ilmu
sejajar dengan aji "Lebur Waja", Dialah guru kepala gerombolan hitam
Alas Roban, si Singajodra. Ketika
sama-sama muda kami pernah terlibat
dalam satu pertempuran. Biarpun ia
kukenai pukulan mautku, tetapi
kulitnya hanya gosong-gosong saja dan ia masih sempat melarikan diri dengan
mengumpat-umpat. Entah waktu itu.
apakah karena dia memang mempunyai
daya tahan yang hebat atau mungkin
Pedang Sinar Emas 8 Gento Guyon 23 Racun Darah Banjir Darah Keraton Widung 1
1 PERAHU yang ditumpanginya kini
makin mendekati bandar Asemarang.
Beberapa burung camar meliuk, dan
terbang mendekati perahu, membuat
Mahesa Wulung tersenyum. Ditariknya
nafas dalam-dalam untuk menghirup
udara pantai yang dikenalnya sejak ia masih bocah yang hampir setiap hari
dijelajahi untuk berlatih renang,
mengemudikan perahu, dan kadang-kadang di pantai itulah ia dilatih pamannya
dalam tata perkelahian yang cukup
berat. Berbagai kesibukkan tampak dari
perahunya, orang-orang yang bersenjata pedang dan tombak tampak mondar mandir di
bandar itu. Begitu perahu merapat, bandar segera dua orang bersenjata
tadi mendekati. Mahesa Wulung mula-
mula menaruh curiga dengan gelagat
ini, tapi segera lenyaplah
kecurigaannya, ketika ia melihat orang itu berikat, pinggang merah, satu
ciri penjaga keamanan bandar
Asemarang. Dengan ramahnya, mereka
mendapatkan Mahesa Wulung yang kini
sudah naik ke darat.
Selamat Siang, kisanak. Sapa
mereka. Dapatlah kami mengetahui tentang
diri kisanak" Sambil tersenyum Mahesa Wulung meraba lehernya dan melepaskan
untaian kalung yang tersembunyi
dibalik bajunya lalu diacungkan kepada kedua pengawal itu sambil
memperkenalkan dirinya.
Perkenalkanlah, saya Mahesa
Wulung dari Demak. Kedua pengawal itu bukan main terkejutnya melihat medali
kalung yang dipegang oleh tamunya
berbentuk seperti cakra bergigi empat, seperti penunjuk arah mata angin.
Itulah tanda buat seorang perwira laut Kerajaan Demak.
Oh, maaf Tuan, kami tidak mengira
Tuan datang dari Demak. Seru keduanya sambil menundukkan
kepala memberi hormat. Ah bapak berdua, tidak apalah
sebab saya memang tidak secara resmi
datang ke sini. Sayapun hanya
menumpang perahu dagang saja. Balas
Mahesa Wulung sambil memberi hormat
kepada kedua pengawal itu.
Kalau begitu apakah kami dapat
membantu Tuan dalam kunjungan ke
Asemarang"
Terima kasih bapak, saya
bermaksud berlibur di kota ini, selama beberapa bulan dan tinggal dengan
paman saya Ki Sorengrana.
Jadi Tuankah Mahesa Wulung yang
sering disebut-sebut Ki Sorengrana.
Beliau sering menceriterakan Tuan
kepada kami dalam saat-saat istirahat sehabis latihan keprajuritan. Kalau
begitu sampaikan pula salam kami
kepada Ki Sorengrana jika Tuan telah
tiba di sana. Pakailah kuda kami yang tertambat itu, Tuan akan lekas sampai di
sana. Terima kasih bapak. Segera Mahesa
Wulung melepaskan seekor kuda yang
berwarna hitam dan dengan satu gerakan yang sukar diikuti mata, tahu-tahu
Mahesa Wulung telah ada di punggung
sikuda hitam dan segera dipacunya ke
arah selatan masuk ke daerah yang
berhutan pohon asam.
Kedua pengawal tadi cuma
menggeleng-gelengkan kepala sambil
mengguman. Hmm, pantaslah kalau dia
kemenakan Ki Sorengrana, dari caranya berkuda saja orang mengenalnya.
Setelah melewati pohon randu yang
besar Mahesa Wulung segera membelokkan kudanya ke arah barat dan dari
kejauhan tampaklah perkampungan kecil, sedang rumah pamannya segera dapat
dikenal dari pohon beringin yang
tumbuh subur di depan rumahnya. Tapi
rumah pamannya tampak sepi-sepi saja.
Seperti ada sesuatu yang tidak
beres dengan kampung ini, semua pintu-pintu dan jendela-jendela
ditutup rapat. Pikir Mahesa Wulung sambil
meloncat turun dari kuda. Begitu
kakinya menginjak tanah dari arah
belakang terasa ada angin dingin yang bertiup hebat bersama satu bayangan
yang berkelebat dari atas pohon
beringin. Pukulan Lebur Waja, pikir Mahesa
Wulung dengan cepat sambil memutar
tubuhnya melompat kesamping. Tangan
kiri ditekuk lurus ke depan sejajar
kepala sedang yang kanan ditekuk pula ke belakang sejajar kepala siap
mengirimkan serangan, namun tiba-tiba terdengar teriakan tahan!
Mahesa Wulung terkejut bukan
kepalang demi ia membatalkan
serangannya, didepannya berdiri
seorang gadis berparas elok. Sinar
matanya masih membayangkan rasa curiga bercampur heran
melihat pukulannya
Lebur Waja bisa dielakkan pemuda ini
dengan mudahnya, bahkan lebih heran
lagi pemuda yang biru saja datang ini akan membalasnya pula dengan pukulan
yang sama. Ha, ha, ha ! Bagus Wulung, bagus!
Kau masih tetap menguasai ilmumu
dengan baik.... terdengar suara dari samping rumah dan muncullah pamannya
yang berwajah cerah, wajah yang telah lama dirindukannya. Sebab wajah itu
bila ditentang lama ia seperti
berhadapan dengan ayahnya sendiri yang telah beberapa tahun yang lalu.
Mengapa tidak" Sorengrana adalah adik dari ayahnya Sorengyuda, hingga tidak
mengherankan bila keduanya mempunyai
wajah yang mirip. Dengan rangkulan
yang penuh rasa kasih, Sorengrana
menyambut Mahesa Wulung, dihatinya
mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Besar bahwa ia masih berjumpa lagi
dengan kemenakannya yang telah lama
meninggalkannya.
Demikianlah sampai beberapa saat
gadis itu masih berdiri kaku melihat
gurunya Ki Sorengrana beramah tamah
dengan pemuda ini. Mahesa wulung
menyadari hal ini dan iapun bertanya
kepada pamannya.
Paman, siapakah gadis ini yang
tadi tiba-tiba saja menyerangku"
E e e, ya, ya, aku sampai lupa
memperkenalkannya. Inilah muridku,
juga teman sepermainanmu sewaktu kecil dulu. Dialah Niken Pandan Arum. Kata
pamannya. Pandan Arum " Teriak Mahesa
Wulung penuh kagum.
Pandan Arum yang
dulu selalu meminta aku memanjat dan memetikkan
bunga angsoka untuk dibuat untaian
kalung. Untung paman menyebutkan
namanya kalau tidak pasti aku tak akan mengenalnya lagi.
Dan ini, Pandan. Ini kemenakanku
Mahesa Wulung. Sambil tersenyum
tersipu-sipu Pandan Arum
mencuri pandang ke arah Mahesa Wulung dan
begitu pandangnya bertumbuk pandangan pemuda tampan yang hampir menjadi
lawannya tadi, segera ia menganggukkan kepala dengan hormatnya, lalu dibalas
pula oleh Mahesa Wulung.
Mahesa Wulung harap dimaafkan
kelakuan Niken Pandan tadi. Kami
sekampung memang tengah bersiap-siap
untuk sewaktu-waktu menghadapi
gerombolan hitam dari Alas Roban.
Mereka sering membuat kekacauan-
kekacauan, terutama di daerah
sepanjang pantai utara mulai dari
Pekalongan sampai bandar Asemarang.
Dengan paksa penduduk-penduduk di situ ditariknya pajak yang tidak sedikit
jumlahnya. Hal ini terang-terangan
menentang kewibawaan kerajaan Demak, malahan lagi ada didesas-desuskan
bahwa mereka bersekutu dengan bajak-
bajak laut dari Pulau Ireng, sebuah
pulau diantara Pulau-pulau
Karimunjawa. Lho, ini tamunya kok diajak
bicara-bicara di luar saja marilah
kita lanjutkan di dalam saja. Seru
bibi Mahesa Wulung, Nyi Sorengrana
yang segera pula ikut ke luar
menyambut kemenakannya. Setelah mereka duduk-duduk dibalai-balai, Pandan Arum
pergi ke belakang untuk ikut
menyiapkan hidangan serta membantu Nyi Sorengrana yang sibuk di dapur.
Mahesa Wulung ketahuilah bahwa di
daerah ini sedang timbul gangguan
keamanan, oleh sebab itu kami sering
mengadakan latihan-latihan
keprajuritan guna menghadapi setiap
kemungkinan yang bakal terjadi. Dan
tadi seperti yang kau lihat, khusus
kepada Pandan Arum telah saya ajarkan dasar-dasar aji pukulan Lebur Waja.
Sorengrana berhenti sejenak sambil
menghirup kopi panas yang telah
dihidangkan. Maka dengan kedatanganmu ini,
saya turut berharap agar engkau
membantu menanggulangi bahaya
pengacauan serta melatih orang-orang
di daerah ini dalam menggunakan
senjata. Baik Paman, sayapun tidak
berkeberatan untuk tugas ini. Memang
kedatangan saya ke Asemarang ini di
samping berlibur juga ada tugas
tersembunyi dari pimpinan
armada Demak, yaitu menyelidiki kekacauan-
kekacauan yang terjadi disepanjang
pantai Utara, yang mungkin pula
seperti kata paman ada sangkut pautnya dengan gerombolan bajak Laut Pulo
Ireng. Mahesa Wulung menarik nafas
seperti ada sesuatu yang lama
tersembunyi di dalam kalbunya.
Selain itu Paman, dapatkah sekali
ini Paman menceriterakan sejelasnya
peristiwa gugurnya ayah, Soreng Yuda"
Ya, aku akan ceriterakan padamu,
tetapi ini disambi hidangannya yang
sederhana buatan bibimu sendiri. Maka sebentar mereka mencicipi juadah ketan
yang terhidang di atas piring
tembikar. Begini Wulung, saat itu beberapa
tahun yang lalu ketika Armada Demak di bawah pimpinan Adipati Junus atau
Pangeran Sabrang Lor dibantu oleh
Sultan Aceh dan Johor melakukan
serangan ke Malaka yang telah diduduki Portugis sejak tahun 1511. Meski
akhirnya tidak berhasil mengusir
Portugis dari Malaka tapi, cukup
menaikkan bangsa kita dan nyatanya
Portugis sejak itu tidak lagi berani
mencoba-coba untuk merebut tanah-tanah lainnya. Nah, disaat itulah sekali ia
ketika itu berada paling belakang dari sekian puluh kapal yang beriring-iring
pulang kembali kepangkalan armada
Demak yang terletak di Jepara. Begitu lewat di Selat Karimata kapal ayahmu
disergap oleh beberapa kapal galli
Portugis. Dan rupa-rupanya telah
bersekutu dengan bajak-bajak laut,
sebab waktu itu terlihat pula kapal-
kapal jung berbendera naga merah
dengan dasar hitam.
Kapal ayahmu melawan dengan
sekuat tenaga. Aku ingat kata-kata
yang pernah dilahirkan dihadapanku,
bahwa ia lebih baik hancur bersama
kapalnya dari pada menyerah kepada
Portugis. Di samping itu agaknya
ayahmu bertekad untuk mencegah agar
kapal-kapal Portugis tadi tak sempat menyerang iringan kapal kapal Demak
lainnya, sehingga ia menjadikan
dirinya perisai. Ayahmu sempat
menenggelamkan sebuah kapal Portugis, sebuah lagi terbakar oleh tembakan
meriam ayahmu. Tapi mereka jauh lebih banyak hingga akhirnya berhasil
menenggelamkan kapal ayahmu yang
dengan gagah berani bertempur sampai saat terakhir.
Ki Sorengrana sebentar berhenti
berceritera sebab tenggorokannya
terasa tersengal, saking terharunya
dan ketika ia melirik Mahesa Wulung,
terlihat olehnya butir-butir air mata yang menetes di atas pipi
kemenakannya. Tabahkan hatimu, engkaulah yang
akan meneruskan perjuangan ayahmu yang tidak sia-sia itu, armada Demak dan
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setiap armada yang ada disegenap
daerah Nusantara
ini, akan lebih
banyak membutuhkan putra-putranya yang berjuang seperti ayahmu itu.
Benar, paman. Sayapun telah
berjanji untuk melanjutkan perjuangan, ayah. Siapa tahu suatu ketika saya
dapat membekuk bajak-bajak laut yang
telah membantu Portugis si penjajah
itu. Sampai sekian percakapan mereka
terhenti, karena bibinya telah membawa nasi liwet dari dapur diikuti bleh
Pandan arum yang membawa baki berisi
sayur asem, pindang bandeng,
dan sambal jeruk. Sambil meletakkan di
atas balai-balai ia memberikan senyum manis kepada Mahesa Wulung. Begitulah,
penuh suasana keakraban
mereka berempat segera mulai makan.
Mahesa Wulung, hari telah sore.
Sebentar lagi akan gelap. Tolonglah
kau antar Pandan Arum pulang.
Kau tidak lupa bukan, itu kampung
Sekaju yang terletak disebelah selatan sana. Pasti Ki Soratani akan gembira
meiihatmu. Ya, paman aku masih ingat jalan-
jalannya" Waktu sampai di halaman
Mahesa Wulung lalu melepas tambatan
kudanya sementara itu muncul Niken
Pandan Arum dari belakang rumah
menuntun seekor kuda coklat lalu
mendekati Mahesa Wulung.
Kakang Mahesa Wulung, apakah kau
nanti sudi singgah sebentar kerumahku yang buruk itu" Pinta Pandan Arum.
Jangankan mengantarmu Pandan,
akupun masih bersedia memanjatkan
bunga-bunga soka untuk untaian kalung seperti dulu, masa kanak-kanak kita.
jawab Mahesa Wulung menggoda.
Ah, kakang Mahesa Wulung ini,
masih suka ndagel, nih, trimalah hih, hih. Seru Pandan Arum dengan gemas
sambil beberapa kali mencubit lengan
Mahesa Wulung. Keruan saja pemuda ini berteriak
peringisan. Heh, heh, sudah, sudah
Pandan, aku kapok !
Ki Sorengrana dan isterinya
memandang mereka dengan tersenyum-
senyum di depan pintu. Ah, dasar anak muda, begitu ya bune kalau dua sahabat
lama bertemu seperti kita dulu
Oooo, ini pamannya sama saja,
hih, ini lho! Nyi Sorengrana mencubit pula lengan suaminya.
Keduanya tersenyum dan kembali
masuk ke dalam setelah dua anak muda
itu melarikan kuda-kudanya ke arah
selatan serta lenyap dari pandangan
mereka. Angin senja yang segar serasa
mengusap wajah mereka. Kedua anak muda itu tidak lagi memacu kudanya, tapi
membiarkan kudanya berlari lari kecil kecil seenaknya. Mendekati semak pohon
bambu yang terlihat di depan mereka.
Cepat-cepat Mahesa Wulung berbisik
kepada Pandan Arum. - Stt, Pandan.
Waspadalah, ada sesuatu yang
mencurigai dibalik semak-semak bambu
itu. Dengarlah baik-baik.
Tapi sayang sekali ilmu Pandan
Arum belum setinggi yang dimiliki oleh Mahesa Wulung sehingga ia hanya
mendengar daun bambu yang bergeser-
geser ditiup angin lain tidak! Sedang Mahesa Wulung berkat ilmu warisan
ayahnya "Bayu Rasa" yang memungkinkan dirinya bergerak ringan seperti angin,
juga bisa mendengar sesuatu dari jarak jauh lewat angin, kali ini merasa ada
gerak lain diantara gerak-gerak daun
bambu. Yaitu gerakan daun-daun bambu
yang dikuakkan oleh tenaga lain. Bukan angin, tapi oleh tangan-tangan manusia
juga terdengar jelas oleh telinganya
ranting berderak kena injakan kaki.
Hee, siapa itu yang main sembunyi
di semak bambu! Ayo, cepat keluar!
Main-main seperti anak kecil saja!
Teriak Mahesa Wulung dilambari tenaga dalam sehingga suaranya bergetar dan
mengumandang di antara pohon-pohonan
sekeliling. Dengan tiba-tiba saja seleret
sinar putih keluar dari semak bambu. -
Awas, Pandan! - seru Mahesa Wulung.
Mendengar seruan itu Pandan Arum yang telah memasang kesiagaan sejak tadi
cepat bertindak. Ia menelungkupkan
dirinya ke leher kudanya sehingga
datar dengan punggung kuda. Sejengkal di atas kepalanya serasa anak panah lewat
dengan sambaran angin yang
hebat. Sekilas itu juga ia berpikir, bahwa Mahesa Wulung yang berkuda
disampingnya, mungkin terkena panah
karena ia tadi mendengar suara benda
yang menancap namun ia menjadi
terkejut seketika.
Hai, orang pengecut, keluarlah!
Ini panahmu telah kuterima baik-baik.
Ternyata Mahesa Wulung masih
tegak duduk di atas kudanya tidak
kurang suatu apa Tangan kanannya
teracung keatas sedang diantara jari-
jarinya terjepit sebatang anak panah.
Inilah yang membuat Pandan Arum
terkejut keheranan. Rupanya,
suara tadi suara jepitan jari-jari Mahesa
Wulung yang menangkap anak panah di
tengah perjalanannya.
Bersamaan dengan itu, Mahesa
Wulung segera memacu kudanya ke arah
semak bambu, dari mana anak panah tadi ditembakkan. Hanya sayang ia masih
kalah cepat sebab ia hanya sempat
melihat kelebatan sosok tubuh yang
seperti terbang meninggalkan tempat
itu lalu lenyap digelap senja.
Segera Mahesa Wulung menarik
kembali kekang kudanya mendapatkan
Pandan Arum yang masih saja tertegun
mengalami peristiwa yang baru saja
terjadi. Mari Pandan, kita meneruskan
perjalanan pulang, rupa-rupanya saja
ada yang tidak senang dengan
kedatanganku kemari, -ujar Mahesa
Wulung. Untunglah kita terhindar dari pokal yang jahat tadi dan ini anak
panah yang akan kita jadikan bahan
penyelidikan. Terima kasih kakang kau telah
menyelamatkan diriku. -jawab Mahesa
Wulung sambil memacu kudanya kembali
ke arah tujuan semula. Sesaat mereka
berpacu berdampingan
Hai, orang pengecut, keluarlah!
Ini panahmu telah kuterima baik-baik!
-Ternyata Mahesa Wulung masih tegak duduk di atas kudanya tidak kurang suatu
apa. Tangan kanannya teracung ke atas sedang diantara
jari-jarinya terjepit sebatang anak panah.
Nah itu kakang. Dua batang pohon
asem tua yang saling bertautan itu
adalah pintu gerbang ke desaku, desa
Sekaju, setelah mereka melewati
gerbang desa tadi kemudian Pandan Arum membelokkan kudanya ke barat yang
segera pula diikuti oleh Mahesa
Wulung. Di depan rumah yang ditumbuhi pohon sawo di kiri kanannya, keduanya
berhenti dan turun dari kuda.
Tampak seorang laki-laki tua
mendapatkan mereka. Wajahnya penuh
keramahan, sedang tubuhnya masih cukup tegap.
Ayah, inilah kakang Mahesa Wulung
yang mengantarku. Ia baru saja tiba
dari Demak. Tentu Ayah belum lupa
bukan " Ya, Ya aku tidak lupa nak, Mahesa
Wulung putra mendiang Adi Soreng Yuda, begitu kan " Baiklah, mari angger,
kita duduk-duduk di dalam. -Ajak Ki
Soratani. Lalu merekapun duduk.
Serpentara Nyi Soratani menyiapkan ubi rebus dan minuman.
Angger Mahesa Wulung aku lihat
tadi angger menggenggam sebatang anak panah - bertanya Ki Soratani.
Benar bapak, inilah - kata Mahesa
Wulung serta menunjukkan anak panah
yang sejak tadi digenggamnya,
disambung dengan ceriteranya ketika
peristiwa pencegatan tadi di semak
pohon bambu. Kedua alis dan dahi Ki
Soratani terangkat tinggi begitu ia
menatap anak panah yang kini
dipegangnya, suatu pertanda bahwa ada sesuatu yang membuatnya terkejut.
Hmm, angger Mahesa Wulung coba
mendekatlah kemari dan dekatkan kemari lampu minyak agar kita dapat seksama
meneliti anak panah ini. Kata Ki
Soratani. Ini perhatikan, mata anak
panahnya, Bergigi-gigi runcing ke
belakang dan setahu bapak, hal ini
tidak wajar sebab daerah Asemarang
sini hanya menggunakan anak panah mata biasa saja, yaitu berujung runcing
tajem tanpa gigi ke belakang. Sedang
itu hanya digunakan oleh gerombolan
hitam dari Alas Roban saja.
Mahesa Wulung terdiam sejenak
mendengar penuturan Ki Soratani itu,
lalu otaknya segera berpikir keras
menghubung-hubungkan peristiwa yang
satu dengan yang lain sejak ia tiba
dibandar Asemarang sampai saat ini.
Ya, bapak. Aku ingat sekarang,
siang tadi ketika saja tiba di bandar, seseorang tampak selalu mengawasiku
dari kedai minuman. Dialah rupanya
salah seorang anggota gerombolan Alas Roban dan peristiwa pencegatan tadi
pasti ada sangkut pautnya dengan dia.
Demikianlah setelah cukup waktu,
Mahesa Wulung segera berpamitan kepada Ki Soratani suami istri dan kepada
Niken Pandan Arum.
Jangan kapok lho nak, singgah
kemari. Bapak, ibu akan selalu dengan senang hati menerima angger Mahesa
Wulung, ujar mereka sedang Pandan Arum melepaskan pemuda itu disertai senyum
yang manis. Bila diufuk Timur matahari telah mulai melepaskan sinarnya,
tampaklah kesibukan di kampung Karang Asem pagi itu. Orang-orang yang pergi ke
sawah hanya sebagian saja, terutama yang muda-muda pada berkumpul di
halaman rumah Ki Sorengrana. Beberapa diantaranya ada yang membawa tombak,
pedang dan ada pula bersenjata panah.
Setelah Ki Sorengrana memberi
penjelasan secukupnya, maka merekapun segera mulai mengadakan latihan-latihan
menggunakan bermacam-macam
senjata. Di bawah pohon beringin rindang
tampaklah Pandan Arum melatih jurus-
jurus pukulan maut "Lebur Waja".
Didekatnya, tegak berdiri
mengawasinya, Mahesa Wulung.
Adi Pandan, marilah kita berlatih
bersama biar kita bisa saling
melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada. Seru Mahesa Wulung sambil
meloncat ke muka Pandan Arum
mengirimkan satu serangan tangan
kanannya ke arah kepala. Meski semula terkejut cepat Pandan Arum menguasai
dirinya dan dengan
lincahnya memiringkan kepala ke kanan hingga
serangan Mahesa Wulung mengenai udara kosong. Pada saat yang bersamaan itu
Pandan Arum ganti melancarkan serangan ke arah ulu hati dengan kaki kirinya.
Mendapat serangan demikian Mahesa
Wulung cepat menjejakkan kedua kakinya ke tanah sambil menyalurkan aji Bayu
Rasa. Maka yang terlihat sangat
mengagumkan. Seperti bola saja Mahesa Wulung melanting ke atas, dan ketika
turun kembali ia membentangkan kedua
tangannya dengan jari-jari yang
mencefigkam. Gerak ini dipelajarinya
dari gerak elang laut yang sering
dilihat dan diperhatikannya selama ia berlayar kemana-mana. Jika elang laut
sudah membentangkan sayapnya lebar-lebar pasti ia segera menukik ke air
dan sejurus saja jari-jari kakinya
tentu telah mencengkeram rnangsanya
seekor ikan. Diserang secara demikian Pandan
Arum segera surut ke belakang beberapa langkah lalu iapun mulai menyalurkan
aji Lebur Waja guna menyambut terkaman Mahesa Wulung. Tapi sekali lagi
hatinya dibuat terkejut oleh gerakan
Mahesa Wulung, begitu pukulannya
hampir mengenai dada, pemuda itu tiba-tiba surut pula ke belakang dengan
jungkir balik di udara dan tahu-tahu
Mahesa Wulung tiba di tanah dengan
berdiri tegak lengkap dengan memasang kuda-kudanya.
Bagus, kakang. Hebat sekali
gerakanmu. -seru Pandan Arum sedang
dihatinya iapun memberikan pujian
kepada pemuda ini.
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terima kasih Pandan. -kata Mahesa
Wulung- Kaupun pasti akan bisa
menyamaiku jika rajin-rajin berlatih.
Sementara itu terdengar bunyi
bende sekali dan merekapun berhenti
mengadakan latihan keprajuritan.
Sebagian pergi mencuci muka yang penuh dilekati debu, sebagian lagi telah
menyiapkan sekedar hidangan menjadikan saat istirahat itu tampak lebih
semarak. Demikian juga Mahesa Wulung dan
Pandan Arum tampak menikmati
istirahatnya di bawah pohon beringin.
Sungguh segar rasanya, lebih-lebih
dengan duduk-duduk sambil makan juadah ketan dan minuman air kelapa muda.
Mahesa Wulung merebahkan dirinya
ke atas akar-akar beringin sedang
matanya menatap ke atas memperhatikan sulur-sulur beringin dan daunnya yang
rindang. Betapa bahagianya aku, seandainya
bisa mencontoh makna pohon beringin.
Akar dan sulurnya yang kuat dalam-
dalam masuk ke dalam tanah menyebabkan batangnya dapat kokph berdiri. Jika
aku dan setiap orang benar-benar
berbakti kepada tanah airnya pastilah Nusantara akan menjadi satu negara
yang kokoh. Atau dari daunnya yang
rindang itu, yang dengan tulus ikhlas memberikan naungan kepada siapa saja, baik
kepada yang miskin ataupun yang
kaya, kepada yang berpangkat tinggi
dan kepada yang rendahan.
Sedemikianlah semoga aku dapat
mencontohnya. Belum lagi selesai berpikir-
pikir, terdengar suara bende lagi
sekali dan terasa tangannya digoncang-goncang.
Ayo, kakang kita berlatih lagi.
Jangan melamun saja ah. Pagi-pagi kok sudah melamun. -seru Pandan Arum.-
Kali ini paman akan melatih mereka
menggunakan panah.-sambungnya - Selama di Demak apakah kakang masih sering
menggunakan panah"
Tentu Pandan, aku masih tetap
membawa panah kemana saja dalam
mengarungi samodra. Kadang-kadang aku menggunakan panah untuk mendapatkan
ikan-ikan di laut di samping
keuntungan yang lain kudapatkan yaitu tetap berlatih panah. Sebab meskipun
kita pandai setinggi langit tapi tidak sering dilatih, lama-lama kepandaian
itu akan luntur dan surut dan musnah
pada akhirnya. Ki Sorengrana tampak sibuk
membimbing mereka yang sedang
berlatih. Kadang-kadang tak segan-
segannya dia mengulang-ulang
petunjuknya, malahan tidak jarang
disertai bentakan-bentakan. Tapi
orang-orang yang berlatihpun sadar
bahwa bentakan-bentakan Ki Sorengrana itu demi kepentingan bersama, agar
mereka dapat sempurna berlatih.
Ayo, ayo, perhatikan dalam
menarik busur panahmu arahkan sejajar mata dan jangan lupa mengatur
pernapasanmu. Tetapi tiba-tiba kesibukan mereka
berlatih itu dipecahkan oleh satu
suara yang berdengung mengikuti
seleret sinar putih meluncur dari
gerumbul pohon-pohon pisang. Rupanya
dengung itu tidak kecil pengaruhnya,
terbukti beberapa orang terlongoh-
longoh kebingungan seperti lumpuh
tanpa dapat menggerakkan tubuhnya.
Dengung tadi mempengaruhi perasaan
seseorang dan juga kesadarannya.
Namun Mahesa Wulung berkat aji
Bayu Rasanya dapatlah menebak dengan
tepat bahwa dengung itu adalah dengung panah sendaren yang tengah meluncur ke
arah sasarannya. Tapi siapakah
sasarannya"
Begitu ia mengikuti dengung itu
tahulah ia, panah itu meluncur ke arah Ki Sorengrana. Secepat kilat Mahesa
Wulung bertindak. Cepat-cepat ia
menarik sebatang anak
panah dari kantong kulit yang bergantung
dipinggangnya dan segera
ditembakkannya ke arah suara yang
berdengung itu. Hampir-hampir tidak
mungkih rasanya itu bisa terjadi, tapi itu benar-benar terjadi. Seleret sinar
putih lain memotong sinar putih
pertama yang berdengung, lalu
terdengarlah satu suara benturan yang keras, seolah-olah cabang pohon yang.
dipatahkan oleh tenaga raksasa dan
tahu-tahu jatuhlah ke atas tanah dua batang anak panah. Tapi yang sebuah
patah terpotong tepat pada leher mata panahnya, sedang kira-kira dua jangkah
tergeletak mata panahnya.
Mahesa Wulung lalu memungutnya,
dan inilah yang membuatnya
terperanjat. Hee, lihat Pandan, lihatlah.
Paman Sorengrana lihatlah ini, anak
panah yang sama seperti yang digunakan oleh pencegat kemarin terhadap kami
berdua. Menurut Ki Soratani mata panah itu biasa digunakan oleh gerombolan
hitam Alas Roban.
Ah kau telah menyelamatkan
nyawaku Mahesa Wulung. Mata Ki
Sorengrana mengamat-amati mata anak
panah yang diberikan oleh Mahesa
Wulung. Dengan berlari-lari tibalah
dua orang yang tadi mengejar ke arah
asalnya anak panah sandaren meluncur.
Ki Sorengrana, kami tidak
menemukan sesuatu, kecuali jejak-jejak kaki saja, lapor kedua orang tadi.
Bapak guru, tunggu dulu - potong
Pandan Arum sambil menunjukkan anak
panah yang terpotong matanya tadi. Ada sesuatu yang diikatkan pada batang
panah ini. Ki Sorenprana lalu menerima anak
panah itu dari Pandan Arum dan segera membuka simpul-simpul tali yang
digunakan untuk mengikat secarik kain.
Begitu dibukanya lipatan kain itu,
terlihatlah tulisan dengan warna
merah, berbau amis. Setelah diamat-
amati ternyata tulisan dengan darah.
Berbunyi. - Ki Sorengrana dan semuanya, jika masih ingin hidup lebih lama
jangan sekali-kali mencoba menghalanghalangi pekerjaan kami - . Di bawah
tulisan tertera semacam gambar, symbol kepala singa.
Hmm, benar kau Mahesa Wulung. Ini
perbuatan gerombolan hitam Alas Roban dan ketahuilah lencana kepala singa
ini sebagai ciri dari kepala
gerombolan Alas Roban, dialah
Singalodra- ujar Ki Sorengrana.
Gerombolan Singalodra" berbareng
orang-orang menyebutnya dengan nada
suara yang bergetar, pertanda bahwa
mereka cukup gentar. Mengapa tidak"
Setiap orang disepanjang pantai utara cukup mengenal keganasan Singaiodra.
Dia mempunyai senjata sakti Trisula
dan disertai dengan ilmunya "Senggara Macan" membuat dirinya merajai semua
gerombolan dari Alas Roban. Beberapa saja yang telah jatuh korban karena
berani menentang Singalodra.
Kebanyakan mereka jatuh mati sebelum
sempat mendekatinya. Karena Singalodra mempunyai kebiasaan menggertak
lawannya dari jarak yang cukup jauh
dilambari ilmunya "Senggara Macan", Sekali gertak saja, pasti lawannya
akan jatuh karena isi rongga dadanya
akan rontok. Saudara-saudara sekalian - seru
Mahesa Wulung memecah kesunyian. -
Janganlah kalian merasa takut akan hal ini. Kita tidak akan sendiri-sendiri
menghadapi gerombolan hitam Alas
Roban. Dengan persatuan yang kokoh
kita akan bersama-sama melawan mereka, saya bersedia membantu saudara-saudara.
Ya, ya kita akan tetap bersatu,
kita hancurkan mereka. Serempak orang-orang berseru sambil mengacungkan
tangannya ke atas penuh keyakinan.
Oleh sebab itu saudara-saudara,
latihan seyogyanya kita akhiri sampai di sini dahulu, sambung Mahesa Wuiung
pula. Begitulah, sehabis Ki Sorengrana mengucapkan terima kasih atas
kesungguhan mereka berlatih, maka
orang-orangpun bubar dan kembali
ketempatnya masing-masing.
Kini tempat ini lalu kembali
sepi. Yang ada disitu tinggal Ki
Sorengrana, Mahesa Wulung dan Pandan
Arum. Tampak Ki Sorengrana masih saja meneliti mata anak panah yang ada
ditangannya. Mahesa Wulung, aku merasa lega
dan bangga mempunyai kemenakan seperti kau. Semua kepandaian dan keperwiraan
ayahmu telah kau warisi dengan
sempurna. Ki Sorengrana berkata.
Tapi apakah kau telah diceritai
oleh ayahmu tentang guru-guru yang
pernah mengajarkan keperwiraan dan
kepandaian kepadanya"
Belum pernah, paman. -jawab
Mahesa Wulung- Mungkin pernah juga
tapi aku kini sudah lupa. Waktu ayah sering melatihku di pesisir bandar
Asemarang dulu, aku masih kecil hingga kadang-kadang kurang memperhatikan
ceritera-ceritera ayah. Apakah paman
mengetahui, ayah pernah mempunyai guru ketika itu"
Benar, Wulung. Ayahmu dulu pernah
berguru kepada pendekar sakti Bayu
Sekti yang menurut ceritera ayahmu
dulu, Bayu Sekti adalah masih
keturunan Majapahit. Nenek moyangnya
adalah pendekar-pendekar dari
Bhayangkara, pasukan khusus pengawal
raja. Ketika Bayu Sekti masih muda dia termasuk golongan tinggi dari tokoh-tokoh
sakti di masa itu, sehingga ia
sangat disegani. Terlebih lagi, dia
suka berbuat kebajikan. Maka tidak
jarang ia sering terlibat dalam
pertempuran melawan golongan-golongan hitam yang sering membuat kekacauan
disepanjang pantai utara Jawa.
Tapi kini ia sudah tidak muda
lagi, lalu mengasingkan diri di
sebelah selatan Asemarang. Di sana, di daerah pegunungan Tanah Putih ia
tinggal dan memberikan pelajaran-
pelajaran kebajikan serta keluhuran
budi. Oleh sebab itu, gerombolan-
gerombolan hitam merasa tidak ada lagi yang menjadi penghalang. Sehingga
mereka berani lagi melakukan
pengacauan-pengacauan yang dulu telah lama sekali terhenti akibat tindakan-
tindakan pendekar Bayu Sekti. Kalau
kau ingin menemuinya, Wulung, itu
lebih baik. Mungkin kau masih akan
mendapat lebih banyak bimbingan dari
Panembahan Bayu Sekti. Seperti ilmu
yang telah kau punyai. Bayu Rasa,
itulah hasil ciptaan Panembahan Bayu
Sekti. Kadang-kadang orang
memanggilnya pula dengan nama Pa-
nembahan Tanah Putih karena ia tinggal dipadepokan Tanah Putih. -Ki
Sorengrana berhenti sejenak sambil
menelan ludah, lalu berkata lagi-
Kalau kau ingin ke sana, berangkatlah besok pagi-pagi dari sini, Wulung.
Pesanku, kau harus waspada, sebab
rupa-rupanya gerombolan hitam Alas
Roban telah menyelinap ke mana-mana
terbukti dengan dua peristiwa yang
telah kita alami. Mungkin mereka
memata-mataimu dan telah mengetahui
maksud kita yang sesungguhnya.
Baik paman, besok aku akan
berangkat pagi-pagi sekali dari sini.
Apakah benar pegunungan Tanah Putih
itu terletak di sebelah Tenggara
arahnya dari kampung Borang" kembali
Mahesa Wulung bertanya.
Ya. -jawab Ki Sorengrana- Saya
kira ada baiknya kau tidak usah
melewati kampung itu. Siapa tahu ke-
pergianmu ini akan menarik perhatian gerombolan hitam Alas Roban. Pakailah jalan
menerobos hutan-hutan di situ
hingga kau akan cepat tiba di tanah
Putih dan juga tidak terlalu menyolok.
Dengan tidak terasa, matahari
telah condong ke Barat, sinarnya kini sudah tidak lagi sepanas bara. Malahan
angin laut yang segar bertiup ke
selatan. Beberapa gerombolan burung-
burung unggas lewat di-angkasa, pulang kembali kesarangnya setelah seharian
penuh pergi mencari makan.
Sesekali terdengar kokok ayam
jantan mengalun dengan merdunya.
Setelah meminta diri, Mahesa Wulung
pergi mengantar Pandan Arum kembali
kerumahnya. 2 MESKIPUN hari masih pagi, Mahesa
Wulung telah bangun dari tidurnya.
Demikian pula paman dan bibinya,
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sorengrana. Mereka sibuk mengatur
segala sesuatu untuk menyiapkan
perjalanan Mahesa Wulung. Setelah
sarapan, Mahesa Wulungpun
lalu memasang pelana kudanya.
Mahesa Wulung, hati-hatilah di
jalanan nak, ini panah paman bawa pula olehmu, mungkin ada gunanya nanti. -
ujar Ki Sorengrana sambil mengulurkan tangannya memberi salam. Segera Mahesa
Wulung menerima panah dan menjabat
tangan pamannya seraya tunduk memberi hormat.- Terima kasih paman, segala
nasehat akan saya perhatikan sungguh-
sungguh. Sekali lagi Mahesa Wulung
memberi hormat kepada bibinya yang
juga ikut mengantarnya sampai di
haiaman rumah. Selamat jalan Wulung. -seru
mereka berdua- Semoga engkau berhasil dan Tuhan Yang Maha Pemurah akan
menghindarkanmu dari segala mara
bahaya. Mahesa Wulung lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan memacunya ke
arah selatan. Dalam sekejap saja Ki
Sorengrana dan istrinya tinggal
melihat debu yang beterbangan, makin
lama semakin jauh dan akhirnya lenyap ditelan hutan. Kini Mahesa Wulung
telah menerobos hutan dan jalannya
mengikuti jalan rintisan yang hanya
biasa dilalui orang. Sebenarnya ada
jalan yang lebih baik dan lebar tapi
itu biasa digunakan lalu lintas umum, sering orang-orang berkuda lewat di
sana, orang-orang berdagang hasil
bumi, sekali-kali lewat pula rombongan orang-orang memikul tandu seorang
pembesar praja. Dengan demikian Mahesa Wulung merasa aman sebab ia yakin
tidak akan seorangpun yang bakal
menjumpainya di jalan rintisan ini.
Perjalanannya kini makin-jauh
masuk ke dalam hutan. Udara pagi
terasa menyegarkan rongga dada. Mahesa Wulung diam-diam merasa kagum akan
keindahan alam di sini, tapi sayang
kadang-kadang manusia sendirilah yang dikatakan makhluk termulia itu, yang
sering merusak alam yang diciptakan
oleh Tuhan Yang Maha Pengasih.
Beberapa rumpun anggrek liar
tumbuh di sana sini dengan beraneka
warnanya. Udara pagi telah membawa
baunya yang sedap itu memenuhi alam
sekelilingnya. Berkas-berkas sinar
mataharipun mulai menembus lewat
celah-celah daun menambah indahnya
panorama alam. Belum lagi Mahesa Wulung selesai
menikmati suasana pagi itu, tiba-tiba saja ketika ia akan membelokkan
kudanya menurut arah ke kiri,
telinganya yang tajam telah menangkap derap kaki kuda dari arah selatan
menuju ke utara. Terbiasa menghadapi
hal-hal yang mendadak ini, Mahesa
Wulung tidak kehilangan akal. Cepat-
cepat ia membelokkan kudanya masuk ke tepi jalan yang rimbun oleh ilalang,
dan untunglah ia bertindak dengan
cepat, kalau tidak pasti ia akan
berpapasan dengan orang yang baru
datang itu. Berkat naluriahnya yang
terlatih itu ia mengambil kesimpulan
bahwa orang yang sedang mendatang itu pasti punya maksud-maksud lain,
seperti Mahesa Wulung sendiri yang
mencoba menghindari untuk tidak
bertemu dengan siapa-siapa.
Dari balik rumput ilalang tempat
ia bersembunyi itu, ia kini dapat
melihat dengan jelas orang-orang yang berkuda itu. Semua ada lima orang
dengan mengenakan pakaian hitam-hitam.
Hampir kesemuanya bersenjata panah
tapi di pinggang mereka tergantung
pula pedang-pedang pendek.
Tidak hanya keadaan mereka saja
yang jelas tapi percakapan merekapun jelas terdengar oleh Mahesa Wulung.
Kita serahkan saja Panembahan Tua
bangka itu kepada kakang Sima Gereng
dengan keempat anak buahnya, pasti
sekejap saja kakek tua itu akan mampus olehnya. -kata seorang yang berkumis
lebat kepada keempat orang lainnya.
Pelana kudanya dialasi dengan kulit
macan tutul. Disusul suara ketawa
cekakakan yang memuakkan.
Rupa-rupanya yang berpelana kulit
macan tutul itulah kepala dari
rombongan ini -pikir Mahesa Wulung.-
Dan siapakah yang dimaksud dengan
sebutan kakek oleh mereka itu" Dilihat dari solah tingkahnya dan ciri-cirinya
setidak-tidaknya mereka dari
gerombolan penjahat, sebab untuk
menghadapi seorang kakek saja mereka
telah mengerahkan lima orang kawannya.
Seperti yang tersebut tadi dipimpin
oleh seorang yang bernama Sima Gereng.
Sejurus kemudian rombongan
berkuda tadi telah lenyap ke sebelah
utara. Sesaat setelah itu Mahesa
Wulung kembali membawa kudanya dari
rumpun ilalang ke jalan yang semula
dan cepat memacunya ke arah selatan,
kemudian belok ke timur. Jalan yang
dilaluinya tidak kini lagi mendatar
tapi mulai naik dan semakin naik
berbelok-belok. Mahesa Wulung telah
mengambah tanah pegunungan di selatan Asemmarang.
Di sini tanahnya ada yang seperti
kapur berwarna putih, pastilah saja
telah tiba di tanah Putih. Berkat
ilmunya "Bayu Rasa", telinganya yang tajam itu dapat menangkap suatu
bentrokan senjata di lembah sebelah
sana. Meskipun hal itu belum tampak
dihadapan mata, namun lewat angin yang berhembus, dapatlah Mahesa Wulung
merasakannya. Mahesa Wulung sudah tidak sabar
lagi, maka dengan ujung kendali ia
mencambuk leher kudanya untuk maju ke depan lebih cepat lagi.
Kalau mereka tadi menyebut kakek
tua yang dikeroyok oleh Sima Gereng
dengan sebuatan Panembahan, pastilah
ia tidak ada lain lagi, kecuali Panembahan Tanah Putih atau Bayu Sekti yang
harus ditemuinya. Ah, ini bahaya yang besar bagi panembahan itu. Biarpun ia
gagah perwira, tapi itu kan dulu waktu masih muda sedang sekarang ini ia
sudah tua dan lebih-lebih ia dikeroyok pula lima orang.
Mendapat pikiran demikian itu
Mahesa Wulung sudah tidak sabar lagi, cepat-cepat memacu kudanya ke arah
suara tersebut. Setelah menuruni
lembah dan membelok ke kiri maka
terlihat olehnya satu pemandangan yang mengagumkan.
Seorang tua berjenggot putih,
berjubah kelabu dan bersenjata tongkat yang bercabang ujungnya telah sibuk
dan terlibat dalam satu pertempuran
hebat melawah lima orang. Tiga orang
diantaranya bersenjata pedang pendek, seorang lagi bersenjata dua buah pisau
panjang, dan orang kelima yang
memimpin serangan keroyokan itu
bersenjata penggada yang pada
ujungnya. dipasangi dengan bola besi
berduri-duri runcing.
Hmm, ternyata dugaanku benar,
itulah pasti Panembahan Tanah Putih.
Gerakannya menggunakan unsur aji Bayu Rasa seperti yang kumiliki. Tapi yang ini
lebih hebat lagi, mungkin sudah
lebih disempurnakan oleh Panembahan
Tanah Putih. Pukulan dengan tongkatnya telah menimbulkan angin yang
bergulung-gulung.
Demikian pikir Mahesa Wulung diam-diam, penuh kagum.
Dengan penuh perhatian ia mengikuti
pertempuran ini. Untuk itu maka ia
segera turun dari atas kudanya, lalu
bersembunyi di belakang semak-semak.
Saking terpengaruhnya oleh gerak-gerak kakek yang luar biasa itu ia secara
tidak sadar turut menirukan
gerakannya, mula-mula hanya
menggerakkan tangannya, disusul
kakinya dan akhirnya keseluruhan gerak kakek itu tertiru olehnya. Mereka,
antara si kakek dan Mahesa Wulung
berilmu yang sama yaitu aji Bayu Rasa meskipun Mahesa Wulung masih dalam
tataran yang masih rendah, tapi
setidak-tidaknya mempunyai dasar-dasar yang sama, sehingga meski ada gerak-gerak
yang baru dan belum dikenalnya
tapi dengan mudah dapat segera
dikerjakannya. Panembahan Tanah Putih
bergerak dengan cepatnya ke sana, ke mari terkadang meloncat tinggi dan
turun dengan menerkam lawannya benar-benar seperti burung sikatan menyambar
belalang. Sampai saat itu Mahesa Wulung
masih sebagai penonton saja serta
berkali-kali menirukan gerak Pa-
nembahan Tanah Putih sebab tidaklah ia melihat kesukaran pada si kakek
berjenggot putih itu. Namun kini ia
sudah tidak muda lagi, jadi lama-lama ia agak kerepotan juga menghadapi lima
orang lawan tangguh sekaligus.
Salah seorang dari pengeroyok itu
secara diam-diam telah menjauhkan diri dari titik pertempuran dengan lompatan ke
belakang. Segera ia memasang panah untuk dibidikkan ke arah si kakek.
Tapi belum lagi membidik, Mahesa
Wulung bertindak lebih cepat lagi.
Dipungutnya sebutir kerikil dan serta merta dilemparkannya ke arah
sipembidik gelap itu. Yang terlihat
hanyalah seleret sinar yang menyambar kepala si pemanah yang kontan jatuh
terjungkal sambil peringisan karena
sakit dan gagallah serangannya oleh
lemparan kerikil Mahesa Wulung.
Tentu saja orang tadi terjungkal,
karena lemparan kerikil tadi juga
dilambari tenaga dalam dan jurus
pukulan maut "Lebur Waja". Walau masih geloyoran orang tersebut mencoba
berdiri dan bersiaga. Sinar matanya
penuh kemarahan, sedang pada
pelipisnya terlihat bengkak kebiru-
biruan mengandung darah sebesar buah
salak. Sejurus kemudian Mahesa Wulungpun
terjun ke dalam pertempuran itu.
Kedatangannya membuat Panembahan Bayu Sekti keheranan, lebih-lebih buat
lawan-lawannya, maka pertempuran itu
makin dahsyat. Antara gerak Mahesa
Wulung dengan Panembahan Bayu Sekti
terjalin erat saling mengisi. Jika
yang satu menerkam, yang lain meloncat tinggi. Persis dua ekor sikatan
kembar. Bagi Mahesa Wulung iapun merasa
kagum kepada kakek yang dengan lincah melayani tiga orang penyerangnya itu.
Kini kakek itu agak ringan karena
musuhnya yang dua lagi ganti menyerang si pemuda yang baru datang ini. Kini
gerak kakek itu makin ganas, sedang
jenggotnya yang putih itu melambai-
lambai lucu tertiup angin.
Setelah belasan jurus mereka
bertempur tiba-tiba terdengar satu
jerit kesakitan dan ternyata
Panembahan Bayu Sekti berhasil menotok jalan darah dari salah seorang
penyerangnya dan bagaikan sehelai kain yang dijatuhkan, orang tadi rebah di
tanah dengan tubuh yang pucat pasi
tanpa daya. Sekarang masing-masing
menghadapi dua orang lawan.
Dalam bertempur itu Panembahan
Bayu Sekti sempat pula melirik wajah
penolongnya yang baru saja datang itu.
Ia belum pernah mengenalnya.
Wah, anak muda ini hebat dan yang
tak habis-heranku, diapun menguasai
ilmu Bayurasa dengan baik. Tidak boleh tidak ia pasti ada hubunganya dengan
mendiang muridku pahlawan Sorengyuda, karena ilmu itu hanya kuajarkan
kepadanya. -demikian pikir Panembahan Bayu Sekti sekilas.
Keempat gerombolan ini terpaksa
harus bekerja mati-matian menghadapi
kedua lawannya yang berilmu kembar
ini. Sima Gereng yang menghadapi Bayu Sekti merasa kewalahan biarpun ia
menggunakan penggada berujung bola
besi berduri yang menimbulkan
sambaran-sambaran angin yang dahsyat.
Kawannya yang seorang juga berjuang
tak kalah hebatnya, dengan bersenjata pedang pendek diputarnya bagaikan
baling-baling berpijar mengeluarkan
sinar putih yang bergulung-gulung,
hingga ia mendapat julukan Kitiran.
Satu lingkaran pertempuran lagi
tak kurang dahsyatnya. Mahesa Wulung
yang dikeroyok oleh dua orang itu
dapat bergerak dengan lincahnya ke
sana ke mari. Lawannya yang seorang
bersenjata sepasang pisau panjang
berkilat-kilat bergerak cukup
mengerikan. Dengan kedua tangannya bersenjata
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pisau itu ia mampu menirukan gerak
kalajengking yang sedang menerkam
mangsanya, seperti sapitnya saja kedua pisau itu saling mencengkeram maka tak
ada salahnya kalau kawan-kawannya
memanggil dengan nama Sapit Ireng.
Sedang lawannya yang seorang lagi
bersenjata pedang pendek bergerak
disertai wajah yang merah karena
kemarahan, disebabkan pemuda yang
menjadi lawannya inilah yang telah
berani melempar kepalanya dengan
sebutir kerikil hingga bengkak. Suatu penghinaan yang besar baginya, selama ia
menjadi anggota gerombolan hitam
Alas Roban belum pernah begitu mudah
terjungkal jatuh hanya disebabkan
lemparan seorang anak muda dengan
menggunakan batu kerikil saja. Maka ia bertekat membalas sakit hatinya dengan
mencencang lumat anak muda
ini. Gerakan pedangnya sangat membingungkan pandangan, sekali membabat dari atas
tegak lurus ke bawah dan sekali
membabat dari samping mendatar sukar
dikira-kirakan antara serangannya yang satu dengan berikutnya. Karena
badannya pendek ia dipanggil Bugelan.
Tapi kali ini lawan yang
dihadapinya bukan sembarangan, meski
Mahesa Wulung berusia masih muda
sekali, tapi ia berpengalaman sangat
luas, bertempur di mana-mana bersama
armada Demak melawan orang-orang
Portugis yang berbaju besi dan ber-
senjata api. Sampai saat terakhir
belum satupun yang jatuh sebagai
korban. Tak lama kemudian Sima Gereng mengeluarkan satu suwitan yang nyaring dan
bernada tinggi, yang bagi
gerombolan Alas Roban berarti harus
secepatnya, mengakhiri pertempuran dan meninggalkan tempat itu. Dalam hati ia
mengutuk mengumpat sejadi-jadinya
kepada anak muda yang datang menolong Panembahan Tanah Putih. Kalau tidak,
pasti ia berempat dengan kawannya akan dapat mengakhiri pertempuran itu
dengan kemenangan pada pihaknya.
Maka Sima Gereng dengan ketiga
kawannya berlompatan mundur
meninggalkan arena pertempuran. Tapi
disaat itu juga Panembahan Tanah Putih sempat bergerak dengan kilat dan
memukulkan tongkatnya pada punggung
Sima Gereng yang mana lalu berteriak
dengan kesakitan dan darah merah
terlihat keluar dari mulutnya. Rupanya saja Sima Gereng meski luka-luka di
dalam ia tergolong jagoan dari
gerombolan hitam Alas Roban sehingga
ia tetap dapat berlari dengan cepatnya meninggalkan tempat itu beserta ketiga
kawannya. Sedang yang seorang lagi yang
tertotok jalan darahnya oleh
Panembahan Tanah Putih tetap
tertinggal di situ karena dirinya tak mampu bergerak. Sewaktu keempatnya
berlompatan mundur, masih terdengar
teriakan Sima Gereng mengancam: - Awas kau berdua.
Sekali waktu akan
kulumatkan batang tubuhmul -
Tapi mendengar itu Panembahan Tanah Putih
cuma tertawa terkekeh-kekeh.
Setelah keempatnya lenyap
digerumbul semak-semak, Panembahan
Tanah Putih lalu mendekati Mahesa
Wulung. - Terima kasih anak muda,
angger telah bersusah payah sudi
membantu pekerjaanku. Mereka tadi
tiba-tiba menyerangku ketika aku
pulang dari mengobati orang sakit.
Tidak apalah kakek, sayapun minta
maaf sebelumnya karena telah berani
turut campur dalam pertempuran tadi,
hanya terdorong oleh rasa keadilan,
yang merasa muak karena melihat mereka berlima mengeroyok seorang tua seperti
andika. - jawab Mahesa Wulung sambil
menghormat. Marilah kau singgah ditempatku
angger, agar kita bisa berbincang-
bincang dengan sepuasnya, ajak orang tua ini. Dan sebelum itu ada baiknya
kita menanyai orang yang tergeletak
itu, dari mana asalnya mereka.
Keduanya lalu mendekati orang itu
badannya kelihatan pucat dan mulutnya sebentar-sebentar menahan sakit,
menyeringai-nyeringai.
Kisanak, siapakah kau dan apa
maksudmu tadi mengeroyok saya" -tanya Panembahan tua itu sambil menyandarkan
orang tersebut ke sebuah batu besar.
Kami harus melenyapkanmu
panembahan busuk, karena kaulah yang
menjadi penghalang gerombolan kami
Alas Roban melakukan pekerjaan! -sahut orang itu dengan napas turun naik.
Dan lagi kami akan membalaskan
sakit hati Singalodra ketua gerombolan kami yang dulu pernah kau lukai dalam
pertempuran di pesisir Tegal.
Hmm, ya aku ingat sekarang! -
sahut orang tua itu. - Lalu siapa guru kalian " -tanyanya pula.
Guru kami tidak lain Ki Macan
Kuping. -jawab orang itu lagi.
Mendengar nama Macan Kuping,
Mahesa Wulung terkejut amat, sebab
nama itu terkenal dan sering disebut-
sebut orang semasa ia kecil sebagai
tokoh sakti yang katanya dapat merobah dirinya menjadi macan gadungan.
Makin bertambah jelas lagi kini,
iapun pernah bertempur melawanku
semasa aku masih muda. Ini semuanya
berkisar antara dendam lama yang turun temurun!
-geram kakek tua itu.
Bersamaan dengan itu terdengarlah
bunyi dengung bernada tinggi dan tahu-tahu orang itu mengeluarkan teriak
yang tertahan. Aaaaacccchhhh! -Sebatang anak panah tertunjam pada dadanya dan orang tadi mati seketika.
Gila ini! -seru Panembahan Tanah
Putih. -Mereka tega membunuh sendiri anak buahnya.
Rupanya mereka takut orang ini
berceritera lebih banyak tentang
gerombolannya. -sambung Mahesa Wulung.
Sambil lalu ia memperhatikan anak
panah itu dan juga anak panah yang
tergantung dipinggang orang yang mati itu. Ternyata ujung mata panahnya
bergigi runcing-runcing ke belakang.
Eh, ngger marilah kita berlalu
dari tempat ini. Tempatku ada di atas sana. - Lalu keduanyapun berjalan
bersama-beriring. Orang tua itu ada di sebelah depan sedang Mahesa Wulung di
belakang sambil menuntun kudanya.
Hampir-hampir tak percaya rasanya,
melihat Panembahan tua itu berjalan
didepannya disebabkan jalannya yang
terlalu cepat sedang tempat yang
dituju masih ada di sebelah atas dan
jalannya makin menanjak. Sebagai anak muda ia merasa kagum menjumpai orang
tua yang dapat berjalan cepat bagaikan angin.
Sesudah mereka sampai di pohon
randu alas yang besar, membelok ke
kiri memasuki sebuah pintu gerbang
yang terdiri dari dua buah batu besar yang muncul kepermukaan tanah. Sungguh
amat mengesankan. Kini tibalah mereka di sebuah padepokan.
Beberapa orang laki-laki murid
Panembahan ini tampak menyambut
kedatangan mereka.
Oh kyai, seru salah seorang
diantaranya. -Mengapa banyak debu yang mengotori jubah Panembahan"
Ini tadi ada sedikit main-main
dengan anak murid Ki Macan Kuping dari Alas Roban, jawab Panembahan tua itu
Dan ini perkenalkan tamuku.
Namanya .... Eh, siapa anak muda kau
tadi belum menyebutkan namamu.
Nama saya, Mahesa Wulung,
Panembahan. -kata Mahesa Wulung.
Baiklah, kita membersihkan badan
dulu, lalu kita duduk di dalam, -ajak Panembahan Tanah Putih kepada Mahesa
Wulung. Dalam ruang padepokan yang tampak
bersih itu, Panembahan Tanah Putih
duduk bersila sedang dihadapannya
duduk pula Mahesa Wulung di samping
murid-murid lainnya. Di ruang itu
tampak beberapa kitab yang disimpan
sangat rapi, diantaranya sudah ada
yang kelihatan kekuning-kuningan
karena lamanya. Terlihat pula oleh
Mahesa Wulung tulisan-tulisan pada
daun lontar yang dirangkai dengan tali berwarna merah.
Angger Mahesa Wulung kemanakah
tujuanmu yang semula sebelum engkau
bertemu dengan aku" tanya Panembahan
kepada Mahesa Wulung.
Sebenarnya tujuan saya semula
juga akan menghadap Panembahan kemari.
Saya datang dari Demak dan tinggal di Asemarang di rumah paman Ki Sorengrana.
Mendengar penuturan Mahesa
Wulung itu tampak wajah Panembahan
menjadi cerah. Jadi angger ini kemenakan Ki
Sorengrana dari Asemarang"
Benar, panembahan. Dan saya juga
putra Ki Sorengyuda.
Oooo, Allah jadi kau juga putra
mendiang muridku, Ki Sorengyuda
perwira itu. -seru panembahan tua itu dengan sukanya. Tampak matanya yang
telah tua itu berkaca-kaca. Ia merasa terharu dan dugaannya ternyata benar,
karena ketika bertempur tadi anak muda ini, tidak lain Mahesa Wulung
menggunakan unsur gerak aji "Bayu Rasa" yang pernah diajarkan kepada muridnya
kinasih Ki Sorengyuda.
Kalau begitu angger Mahesa
Wulung, tinggallah engkau di sini
beberapa lama. Kau akan kuberi
gemblengan seperti mendiang ayahmu
dahulu, -pinta Panembahan Tanah Putih kepada Mahesa Wulung.
Terima kasih Panembahan.
Hari demi hari, selama tinggal di
padepokan Tanah Putih itu, Mahesa
Wulung mendapat kemajuan yang amat
cepatnya dan Panembahan Tanah Putih
mempunyai kebiasaan yang aneh. Ia
tidak hanya mengajarkan ilmu hanya
dengan duduk-duduk di padepokan saja, tapi muridnya Mahesa Wulung dibawanya
pergi berjalan-jalan ke mana-mana.
Sekali waktu diajaknya Mahesa
Wulung berlari cepat. Bagi orang yang belum tahu pasti akan menganggap bahwa
orang tua ini kurang sehat pikirannya masakan sudah tua begitu masih suka
berlari-lari. Mahesa Wulung coba tangkap dan
kejarlah aku! -seru orang tua itu
kepada muridnya. Semula Mahesa Wulung berragu mendengar permintaan orang tua ini
tapi ketika ia menerkam orang itu itu untuk ditangkapnya, tiba-tiba
meloncat ke atas jungkir balik di
udara dan tahu-tahu ada di
belakangnya. Heee, angger Mahesa Wulung aku
ada di belakangmu. -seru sang
panembahan sambil menepuk punggung
Mahesa Wulung. Untung Mahesa Wulung
sudah terlatih, kalau tidak, ditepuk
sedemikian pasti akan terhoyong-hoyong ke depan.
Heh, heh, heh, ayo Mahesa Wulung
tangkaplah aku lekas! Kalau demikian
caramu, kau akan jatuh sekali gebrak
oleh musuhmu. Secepat kilat Mahesa Wulung
membalikkan tubuhnya dan siap menerkam ke belakang dengan jurus Lebur Waja.
Tapi yah, Panembahan itu dengan lincah meloncat mundur beberapa langkah ke
belakang sambil tidak lupa ketawanya
yang lucu menggema di udara. Kini ia
berlari-lari yang sebentar-bentar
diselingi dengan loncatan.
Melihat hal itu, Mahesa Wulung
segera mengejarnya pula dengan
mengetrapkan ilmunya Bayu Rasa
sehingga yang terlihat sangat
mengagumkan pandangan. Keduanya
seolah-olah dua ekor kijang yang
sedang berkejar-kejaran, melompati
sungai, turun ketebing sebentar naik
ke lembah, sebentar lagi melompati
jurang. Sambil berkejar-kejaran
Panembahan Tanah Putih memberikan
petunjuk-petunjuknya kepada Mahesa
Wulung. Perhatikan Wulung. Aturlah
napasmu, waktu melompat tahan dulu
napasmu, dan sebelum menginjak bumi
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali jangan keluarkan.
Suatu ketika hampir saja Mahesa
Wulung ketika melompati jurang jatuh
terperosok karena tidak sampai, tapi
terasa pinggangnya disambar oleh
Panembahan dan keduanya selamat sampai seberang.
Janganlah berbuat sesuatu dengan
merasa ragu-ragu Wulung, itu akan
mencelakakanmu nanti. Cepatlah
berpikir dan bertindak.
Terima kasih guru, -kata Mahesa
Wulung agak malu karena memang ia tadi merasa bimbang ketika akan melompati
jurang itu. Pada hari berikutnya diajarkannya
kepada Mahesa Wulung ilmu memusatkan
pikiran. Mula-mula latihan yang
ringan-ringan saja seperti berdiri
tegak lurus tanpa bergerak sampai
waktu yang tertentu, kemudian berdiri terbalik tegak lurus dengan kepala di
bawah sedang kedua tangan bertekan
pada tanah sebagai penumpu. Sepintas
lalu seperti latihan-latihan Yoga.
Terakhir ialah latihan di bawah air
terjun. Diajaknya Mahesa Wulung ke
arah selatan ke tanah yang berjurang-jurang. Di sana terdapat air terjun.
Di sisi tebingnya terlihat ada jenjang yang bertingkat-tingkat sangat tinggi.
Orang-orang disitu menyebutnya tempat itu dengan nama Ondo Rante artinya
tangga yang berantai.
Dengan sikap yang berdiri lurus
sedang kedua tangan ditekuk di muka dada dan kedua telapak tangan
ditelengkupkan menjadi satu seperti
tangan yang menyembah, Mahesa Wulung
tegak di bawah air terjun dan
memusatkan perhatiannya menjadi satu, sehingga hantaman dan deburan air yang
terjun dari atas menimpa kepala dan
tubuhnya itu tidak terasa sama sekali.
Malahan kini rasanya seperti memijat-
mijat tubuhnya dengan segar. Berbeda
dengan mula-mula waktu mencoba, Mahesa Wulung hampir terhuyung-huyung jatuh.
Ilmu atau sikap ini boleh disebut -
Tugu Wasesa- yang akan membuat
seseorang tetap tegak meski ada angin atau getaran yang keras menimpa
tubuhnya, laksana sebuah tugu yang
tidak akan retak kena panas dan tidak hanyut oleh hujan.
Begitulah Panembahan Tanah Putih
tidak tanggung-tanggung dalam melatih dan menggembleng muridnya hari demi
hari dan dari minggu ke minggu. Untuk yang terakhir ini panembahan tua itu
melatih Mahesa Wulung dengan jurus-
jurus pukulan maut yang tak kalah
hebatnya dengan aji - Lebur Waja- yang telah dimiliki oleh muridnya.
Mahesa Wulung, coba kali ini kau
akan kulatih dengan jurus-jurus
pukulan maut. Aku belum memberinya
nama terhadap aji itu, tetapi kau
boleh tetap menyebutnya seperti jurus pukulan Lebur Waja yang telah
diajarkan oleh pamanmu itu. Dengan
menggabungkan kedua unsur pukulan itu, kau akan berhasil memiliki tenaga
pukulan yang dahsyat sedahsyat aji
pukulan gada yang pernah dimiliki oleh Sang Bima penengah Pendawa ialah gada
Rujak Polo. Sang Bima itu pernah
memukul hancur sebuah gunung anakan.
Coba perhatikan, Wulung.
Salurkanlah sikap Tugu Wasesa yang
telah kau pelajari dan terkenal tak
goyah oleh benturan keras itu. Aku
akan mengujinya dengan tiga kali
pukulan dari jarak yang cukup jauh.
Nah, bersiaplah untuk percobaan ini
sebelum kau terima seluruhnya aji
pukulan maut dari saya, ini sebagai
ujian serta dasar-dasar pertama.
Ini sisi telapak tangan digunakan
untuk memukul sedang dua jari tengah, telunjuk dan penengah dirapatkan lurus ke
depan dan ketiga jari lainnya
disatukan mengepal pada telapak tangan bisa kau gunakan sebagai penusuk
setajam pedang. -kata orang tua itu
dan diperhatikan sungguh oleh Mahesa
Wulung, lanjutnya :
Dengan memusatkan perhatian dan
menyalurkan tenaga dalam serta
kekuatanmu, barulah kau memukulkan
tanganmu. Sekarang yang pertama, -
kata Sang Panembahan menggerakkan
tangannya. Pada waktu itu keduanya ada di sebuah lembah yang sepi, tak
seorangpun yang tampak. Mereka duduk
berhadapan dengan jarak yang cukup
jauhnya. Panembahan Tanah Putih memukul
dua jarinya ke depan dan akibatnya
cukup hebat. Mahesa Wulung yang telah menyalurkan sikap Tugu Wasesa itu
masih tergoyang ke belakang dari
duduknya dan hampir-hampir jatuh
terjengkang, hanya terkena angin
pukulannya saja, belum lagi sungguh-
sunggu terpukul. Kali ini Mahesa
Wulung cukup merasa ngeri,
dibayangkannya seandainya benar-benar terpukul, pasti akan luar biasa
akibatnya, mungkin ia tak akan melihat lagi sinar matahari.
Mahesa Wulung, sekarang kau boleh
bertahan dengan sikap berdiri!
Baik guru! jawab Mahesa Wulung
yang segera berdiri dan bersiaga.
Ini yang kedua! -Sang Panembahan
berganti memukulkan sisi tangannya ke depan dan yang kedua ini tak kalah
hebatnya, Mahesa Wulung terdorong mundur oleh angin pukulan gurunya ke
belakang beberapa jangkah. Tapi Mahesa Wulung yang terkenal tangguh itu
secepatnya meloncat kembali ke depan
dengan bersiaga serta menyalurkan aji Bayu Rasa dan Tugu Wasesa sekaligus
sebab ia kini telah merasakan, akibat angin pukulan gurunya untuk pukulan
yang ketiga ini Mahesa Wulung tidak
mau meremehkan kepada gurunya.
Nah, untuk yang terakhir ini,
terimalah kini pukulan yang ketiga-
seru Panembahan Tanah Putih sambil
memukulkan sisi telapak tangannya ke
depan. Tenaga angin dari pukulan yang ketiga inilah terhebat dari pada yang
pertama dan kedua. Biarpun Mahesa
Wulung telah dibentengi oleh aji Bayu Rasa dan Tugu Wasesa, tak dapat dibuat
mempertahankan dirinya dari angin
pukulan ini, maka tak ampun lagi
dirinya terpental jatuh ke belakang
jungkir balik beberapa tumbak jauhnya.
Di sini aji Bayu Rasa masih ada
perlunya, sehingga meskipun ia jatuh
jungkir balik, tidaklah terlalu keras terasa dan juga tidak menyebabkan
luka-luka yang berarti, kecuali
goresan-goresan kecil yang berdarah.
Heh, heh, memang aku percaya kau
ulet sekali Mahesa Wulung. Pada
pundakmulah aku boleh meletakkan
harapanku, agar kau menjadi seorang
yang perwira, setia dan berbudi luhur.
Baiklah, kita pulang dulu sekarang dan mengobati luka-lukamu itu. Besok kau
boleh mulai puasa mutih, sebelum
kuajarkan padamu jurus pukulan maut
ini. Hanya pesanku saja, jangan kau
sembrono dan sembarangan menggunakan
pukulan maut ini jika tidak perlu
sekali. Apakah kau bersedia
mengindahkan pesanku ini Wulung"
Baik sang Panembahan, saya akan
sungguh-sungguh mengikuti pesan-pesan Panembahan.
Ingatlah, meskipun seseorang
telah punya kesaktian ataupun
mempunyai kekuasaan yang besar, bila
ia menyombongkannya lebih-lebih
menggunakannya dengan keliru dan
sewenang-wenang pasti ia akan runtuh, sebab Tuhan tidak menyukai orang yang
demikian itu dan Ia akan menghukumnya.
Sejak zaman dahulu hal ini sudah
diceriterakan dalam ceritera-ceritera wayang, dalam kitab-kitab Mahabharata dan
Ramayana. Kenapa sang Rahwana Raja yang mula-mula sakti dan berkuasa itu runtuh,
sebab ia menggunakan
kekuasaannya sewenang-wenang serta
menyalah gunakan kesaktiannya. -begitu tutur Panembahan Tanah Putih kepada
Mahesa Wulung. Ia begitu kasih kepada muridnya
ini, karena ia melihat dari mata anak muda itu, terpancar sinar keberanian
dan keluhuran budi. Hidupnya telah
dipenuhi dengan berbagai peristiwa
yang penuh dengan suka duka,
menjadikan orang itu kaya akan
pengalaman-pengalaman hidup.
Justru itulah, ia ingin
memberikan apa-apa yang dimilikinya
itu kepada seseorang yang dapat
dipercayainya, agar dharma hidupnya
tidak terputus karena ketuaannya itu, tapi dapat dilanjutkan demi
kepentingan hidup bebrayan di dunia.
Oleh sebab itu ia tidak setengah hati dalam mendidik muridnya. Keesokan
harinya setelah mencari hari-hari yang baik, mulailah oleh Panembahan Tanah
Putih menggembleng Mahesa Wulung dalam menerima ilmunya jurus-jurus pukulan
maut. Ia merasa bangga dan puas
melihat Mahesa Wulung muridnya tekun
dalam mempelajarinya setahap demi
setahap. Berkat kerajinannya itu dan
terutama karena memangnya Mahesa
Wulung sudah mempunyai dasar, maka
dalam waktu yang tidak terlalu lama ia telah dapat menguasai jurus pukulan
maut itu. Kesemuanya itu tercapai
berkat bimbingan dan pendidikan
sempurna dari gurunya.
Pecahan sinar matahari telah
merayapi bukit-bukit di sebelah timur, mengawali matahari yang kini mulai
menjelma. Kicau-kicau burung terdengar dipagi itu sangat ramainya.
Dikesegaran udara pagi itu tampaklah
dua orang bergegas-gegas meninggalkan padepokan Tanah Putih. Mereka berjalan
beriring menuju ke arah selatan,
mendaki perbukitan. Yang depan tampak tua, mengenakan jubah dan bertongkat
sedang yang dibelakangnya berjalan
seorang yang masih muda berbadan tegap berikat kepala hitam. Setelah mereka
menerobos hutan, tibalah keduanya
dilembah yang subur, ditengahnya
mengalir sebuah sungai kecil berair
jernih. Mahesa Wulung, setelah kau
kulatih, sekarang aku ingin tahu
sampai di mana usaha yang telah aku
rintis itu. Coba kau tunjukkan aji
pukulan maut ciptaan kita yang baru
itu kepadaku Mahesa Wulung segera bersiaga,
kaki kirinya melangkah ke depan serong kiri setengah langkah, sementara
tangan kirinya ditekuk ke depan dengan sisi telapak tangan lurus ke depan
sejajar kepala sedang tangan kanannya dilipat ke samping belakang sejajar
pula dengan kepala.
Nah, sekarang cobalah dengan
tusukan dua jari. Wulung! seru
Panembahan Tanah Putih. Lihat pohon
pisang besar yang ada di depanmu itu, Pakailah ia sebagai sasaran!
Mahesa Wulung menyalurkan, segera
tenaga dalamnya dilambari dengan
pemusatan pikiran. Matanya setengah
terpejam dan redup. Maka dengan gerak yang kilat Mahesa Wulung menusukkan
kedua jarinya ke pohon pisang
didepannya dan terjadilah satu
pemandangan yang mengerikan. Begitu
jarinya menyentuh dan masuk ke dalam
batang pisang yang besar itu
terjadilah perubahan pada pohon pisang yang mula-mula segar bugar kehijauan
itu mendadak menjadi kuning layu.
Kemudian kering kerontang bagaikan
terkena panas api yang berlipat-lipat dan setelah itu makin mengering dan
menjadi abu serta runtuh ke tanah
berserak-serak ke sana kemari.
Mahesa Wulung yang mengerjakan
dan melihat sendiri akibat tusukannya dengan dua jari itu hampir-hampir tak
percaya. Selama ini meskipun ia telah diajari oleh pamannya tentang aji
Lebur Waja itu, akibat pukulannya tak sehebat ini, paling-paling hanya mampu
merubuhkan lawannya saja. Tapi kini
setelah digabungkan dengan aji pukulan maut dari Panembahan Tanah Putih,
bukan saja sasarannya roboh begitu
saja, tapi hancur menjadi abu hanya
disebabkan tusukan kedua jarinya. Maka seperti orang yang mimpi dan tidak
percaya ia menggigit bibirnya yang
ternyata terasa sakit, jadi ia benar-
benar tidak mimpi.
Heh, heh, heh, kau tidak mimpi
Wulung, itu sungguh-sungguh kau alami.
kata Panembahan Tanah Putih sambil
ketawa lucu, janggutnya yang putih dan panjang itu ikut tergerai-gerai
berguncang karena ketawanya.
Ah, Panembahan. Saya hampir-
hampir tak percaya ini semua. Kata
Mahesa Wulung. Saya tak dapat
membayangkan akibatnya seandainya
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sasaran tadi seorang lawanku seorang
manusia. Begitulah Wulung, memang
akibatnya sangat ngeri. Oleh sebab itu tak boleh pukulan aji "Lebur Waja" ini
kau gunakan sembarangan, lebih-lebih
terhadap orang-orang lumrah, maksudku orang-orang yang tidak mempunyai ilmu apa-
apa. Saya kira, setahuku hanya Ki Macan Kuping yang mempunyai ilmu
sejajar dengan aji "Lebur Waja", Dialah guru kepala gerombolan hitam
Alas Roban, si Singajodra. Ketika
sama-sama muda kami pernah terlibat
dalam satu pertempuran. Biarpun ia
kukenai pukulan mautku, tetapi
kulitnya hanya gosong-gosong saja dan ia masih sempat melarikan diri dengan
mengumpat-umpat. Entah waktu itu.
apakah karena dia memang mempunyai
daya tahan yang hebat atau mungkin
Pedang Sinar Emas 8 Gento Guyon 23 Racun Darah Banjir Darah Keraton Widung 1