Minyak Darah Malaikat 2
Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat Bagian 2
tak berpenerangan sedikit pun
itu mengundang gairah siapa pun untuk masuk ke
dalamnya. Sekalipun terbayang kengerian di dalam sana karena gelapnya, tapi hati
Karang Wesi sendiri berhasrat untuk masuk, sekadar ingin tahu keadaan di dalam
gua. "Karang Wesi, sepintas memang kelihatan keadaan di dalam gua ini menyeramkan dan
gelap, tapi menurut
guruku dulu, gua ini mempunyai lorong yang membelok
ke kiri dan membawa kita ke arah sebuah ruangan.
Ruangan itu sangat terang karena banyaknya tanaman
lumut yang menyerap sinar matahari dan
menampungnya dalam tiap dinding batu gua selama
berpuluh-puluh tahun. Di sanalah terdapat sebuah tempat pertapaan yang damai dan
teduh. Di sana pula terdapat guci Darah Malaikat. Tapi tidak setiap orang bisa
menggunakan kesempatan yang sembilan puluh tahun
sekali adanya ini."
"Mengapa tidak setiap orang bisa mendapatkan
Minyak Darah Malaikat, Guru?"
"Karena di sana banyak jebakan yang mematikan,
baik berbentuk senjata rahasia maupun semburan gas
beracun. Gua ini mempunyai sembilan ruangan yang
berbeda-beda jebakan mautnya. Sebab itulah, dikatakan Gua Sekat Sembilan, karena
dinding gua dari masing-masing sekat pembatas bisa mengeluarkan jebakan maut
yang sulit diatasi. Salah memasuki lorong ruangan satu kali, orang tak akan bisa
keluar lagi. Semua lorong
ruangan mempunyai cahaya yang berbeda, yaitu
sembilan warna cahaya dari sembilan bintang yang telah jatuh ke bumi."
"Lalu di ruangan yang bercahaya warna apa yang
menyimpan Minyak Darah Malaikat, Guru?"
Ki Candak Sedo cepat memandang ke belakang,
seperti merasa curiga terhadap hembusan angin yang
baru saja dirasakan aneh itu. Maka ia pun segera berkata kepada muridnya.
"Karang Wesi, aku akan segera masuk untuk
mengambil Minyak Darah Malaikat itu sebelum orang
lain mendahului kita!"
"Baik. Silakan, Guru! Saya akan menjaga di luar
gua!" jawab Karang Wesi, walau hatinya sedikit kecewa karena tidak mendapat
jawaban dari gurunya atas
pertanyaan yang diajukan tadi.
Angin memang berhembus agak kencang. Dedaunan
kering berjatuhan bagai menjauh dari depan gua
tersebut. Karang Wesi memandang sekelilingnya dengan
mata sedikit menyipit menahan hembusan angin.
Hanya deru angin itu yang ada di sekeliling gua.
Hanya deru angin itu yang meresap masuk di telinga
Karang Wesi. Pemuda bersenjata kapak tiga mata itu
kini duduk di atas sebuah batu yang melekat di bawah
pohon samping gua. Pandang matanya yang mengitari
keadaan sekeliling itu makin lama makin kosong.
Akhirnya mata itu memancang ke arah mulut gua dalam
terawang khayal batinnya. Terucap pula kecamuk di
dalam hati Karang Wesi yang ternyata punya bayangan
kasih terpendam sekian lama.
"Kalau saja aku bisa mandi Minyak Darah Malaikat, alangkah hebatnya aku bisa
kebal senjata apa pun, tak bisa ditembus oleh pukulan tenaga dalam dari jenis
ilmu apa pun! Dan itu berarti aku bisa kalahkan Siluman
Tujuh Nyawa! Orang terkutuk itu memang sudah patut
mati di tanganku. Sayang sekali Guru tak memberikan
Minyak Darah Malaikat itu kepadaku, sehingga ilmuku
masih belum seimbang dan tak bisa menandingi ilmunya
Siluman Tujuh Nyawa! Ah...! Andai aku bisa
membunuh Siluman Tujuh Nyawa, maka Gusti Mahkota
Sejati yang bernama Dyah Sariningrum itu pasti akan
mau kupersunting menjadi istriku! Oh, betapa cantik dan mempesonanya perempuan
itu! Sungguh tak pernah
akan bosan aku memandanginya sepanjang hari sambil
memangkunya dengan mesra...! Hmmm...! Rasa-rasanya
tak ada ruginya aku mengabdikan hidup dan matiku
untuk perempuan secantik Dyah Sariningrum itu!"
Seraut wajah wanita cantik yang anggun dan
bijaksana serta berkharisma tinggi itu menyelinap di
relung hati Karang Wesi. Perempuan itu adalah seorang ratu, penguasa Pulau
Serindu, di mana di pulau itu
terdapat negeri yang bernama Puri Gerbang Surgawi.
Dyah Sariningrum adalah putri dari Gusti Ratu Kartika Wangi, yang menjadi
penguasa di negeri alam gaib,
yang bernama Puri Gerbang Surgawi pula.
Karang Wesi mendapat kesempatan bertatap muka
dengan perempuan anggun dan sangat menawan hati itu,
ketika ia ikut Ki Candak Sedo berkunjung ke Pulau
Serindu. Kunjungan Ki Candak Sedo ke negeri Puri
Gerbang Surgawi di Pulau Serindu itu bukan sekadar
bertandang atau tersesat dalam perjalanan, tetapi karena dimintai bantuan oleh
kakak dari Dyah Sariningrum,
yaitu Betari Ayu, yang sekarang menjadi bertapa di
Gunung Kundalini. Pada waktu itu, Dyah Sariningrum
menderita sakit akibat pukulan 'Candra Badar' dari
Siluman Tujuh Nyawa (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Manusia Seribu Wajah" dan "Prahara Pulau Mayat"). Ki Candak Sedo
datang ke sana dengan maksud mengobati pukulan 'Candra Badar'. Tetapi ia tak
berhasil. Bahkan sampai saat ini, Ki Candak Sedo
maupun Karang Wesi belum mengetahui bahwa
seseorang telah sembuhkan penyakit ratu ayu itu. Orang yang berhasil
menyembuhkan dan melenyapkan pukulan
'Candra Badar' adalah murid si Gila Tuak dari Jurang
Lindu, yaitu Suto Sinting, si Pendekar Mabuk.
Bahkan Ki Candak Sedo maupun Karang Wesi
agaknya juga belum tahu, bahwa Dyah Sariningrum
adalah kekasih dan calon istrinya Suto. Hanya saja
pernikahan mereka belum sempat terjadi karena
Pendekar Mabuk masih harus memburu musuh
besarnya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa, ia harus
memenggal kepala Siluman Tujuh Nyawa sebagai mas
kawin untuk melamar Dyah Sariningrum. Padahal tanpa
penggalan kepala tokoh sesat yang amat jahat itu,
sebenarnya Dyah Sariningrum tidak keberatan
melangsungkan perkawinannya dengan Suto Sinting.
Namun penggalan kepala siluman itu bagaikan sebuah
ikrar dan janji Suto untuk selamatkan kehidupan di
permukaan bumi sebelum ia menginjak ke masa
perkawinannya. Sebab jika Siluman Tujuh Nyawa masih
berkeliaran di mana-mana, maka permukaan bumi ini
akan menjadi bara api neraka, kehidupan menjadi saling baku hantam tak ada
perdamaian. Dan kehidupan seperti itu jelas akan mengancam kelangsungan hidup
keturunan Pendekar Mabuk dan Dyah Sariningrum nantinya.
Tanpa mau tahu siapa kekasih Dyah Sariningrum,
pemuda tampan berkumis tipis ini makin jauh melantur
dalam khayalannya tentang perasaan cinta dan
kagumnya terhadap perempuan itu. Bahkan dalam
hatinya ia membatin kata,
"Harus kutundukkan Siluman Tujuh Nyawa itu agar
aku bisa memiliki Dyah Sariningrum! Siapa pun akan
kubunuh jika ingin merebut Dyah Sariningrum dari
hatiku! Dan untuk menundukkan mereka, sudah tentu
tidak cukup dengan ilmu yang kumiliki sekarang ini!
Siluman Tujuh Nyawa dapat mengalahkan aku dengan
kehebatan gerak tongkat El Maut-itu. Jadi, kurasa ada baiknya jika aku merebut
Minyak Darah Malaikat dari
Eyang Guru. Kalau aku hanya memintanya saja, biar
sampai merengek-rengek pasti tak akan diberikannya.
Jadi aku harus merebutnya dari tangan Guru dengan cara apa pun!"
Mendadak Karang Wesi sentakkan kaki ke tanah dan
melesat terbang, karena sekilas cahaya putih mengkilap terlihat oleh ekor
matanya sedang menyerang ke
arahnya. Wuttt...! Crakkk...! Sebuah senjata kecil
berbentuk tusuk konde menancap di batu tempat Karang
Wesi duduk. Batu itu kepulkan asap putih kebiruan dan menjadi serbuk sedikit
demi sedikit. Serbuk itu
dihembus angin sehingga makin lama batu itu menjadi
habis bagai terkikis waktu. Kilatan tusuk konde putih mengkilap dari bahan baja
itu datang dari arah kanan
Karang Wesi. Maka secepatnya Karang Wesi pandangi
keadaan sekeliling hutan di sebelah kanannya. Ternyata tak jauh dari pohon
beringin biru itu telah berdiri
seorang nenek bongkok berjubah biru. Rambutnya abu-
abu, usianya sepertinya lebih tua dari Ki Candak Sedo.
Selain bongkok juga berbadan kurus, mata cekung dan
giginya tinggal tiga. Ia bersenjata tongkat pendek
lengkung dari rotan kuning.
Karang Wesi segera dapat mengenali perempuan
kempot itu, yang dulu pernah tiga kali bertandang ke
persinggahan Ki Candak Sedo, untuk membicarakan
satu masalah yang tak diketahui Karang Wesi. Nenek
itulah yang bernama Nyai Pungkur Maut. Kali ini bukan Karang Wesi yang
menghampiri Nyai Pungkur Maut,
tapi nenek itu yang mendekati Karang Wesi, sebab
Karang Wesi sekarang sudah berdiri di depan pintu
masuk gua. Nyai Pungkur Maut segera ucapkan kata
dengan suara tuanya yang kecil dan serak itu,
"Apa yang kau lakukan di sini, Karang Wesi?"
"Apa pun yang kulakukan itu bukan urusanmu, Nyai Pungkur Maut!" jawab Karang
Wesi sengaja tak ramah, karena ia merasa nenek yang baru datang itu bermaksud
tidak baik. Serangannya yang dapat dihindari Karang
Wesi itu bukan sapaan yang ramah. Jelas nenek itu
punya maksud ingin membunuh Karang Wesi. Sebab
itulah Karang Wesi tidak mau bersikap ramah kepada
Nyai Pungkur Maut.
"Heh heh heh heh...! Aku tahu, pasti Ki Candak Sedo sudah masuk ke dalam gua
itu, Karang Wesi!"
"Itu pun bukan urusanmu, Nyai Pungkur Maut! Tak
sepatutnya kau datang dan menyerangku dengan cara
begitu!" kata pemuda tampan berkumis tipis itu.
"Jika kau ingin selamat, minggir dari tempatmu! Aku akan masuk ke dalam gua
untuk mengambil Minyak
Darah Malaikat!"
Berdebar hati Karang Wesi ketika Nyai Pungkur
Maut menyebutkan minyak itu. Karang Wesi segera
pandangi nenek bungkuk itu dengan mata tajam. Tiap
gerakannya tak lepas dari pandangan mata Karang Wesi.
"Orang ini sangat membahayakan," pikir Karang
Wesi. "Dia termasuk tokoh tua yang berilmu tinggi.
Guru pernah menceritakan tentang Nyai Pungkur Maut
padaku, yang konon jika bertarung selalu membelakangi lawannya! Dan jika ia
sudah membelakangi lawannya,
itu pertanda jurus-jurus mautnya siap dilepaskan! Aku harus hati-hati dalam berhadapan dengannya!"
Suara Nyai Pungkur Maut memekik keras, "Bocah
budek! Kubilang minggirlah dari tempatmu, aku akan
masuk!" "Tak seorang pun kuizinkan masuk gua ini, Nyai!"
"Apa ini gua milik nenek moyangmu"! Sejak kapan
nenek moyangmu membeli gua ini, sehingga kau berani-
beraninya melarangku masuk ke dalamnya, hah"! Cepat
menyingkir dari tempatmu!''
"Kau yang harus tinggalkan tempat ini!"
"Bocah Goblok! Jangan bikin kesabaranku habis,
Nak. Nanti kau bisa kehilangan nyawamu!" geram Nyai Pungkur Maut.
"Kurasa akan terjadi kebalikannya, Nyai! Nyawamu sendiri yang akan hilang jika
tidak segera pergi dari hadapanku, Nyai!"
"Bocah Bangsat! Hiaaat...!"
Serta-merta Nyai Nyai Pungkur Maut sentakkan
tongkat rotannya lurus ke depan. Dari ujung tongkat itu melesat jarum hitam
lebih dari lima puluh jumlahnya.
Karang Wesi segera sentakkan tangannya, dan keluarlah asap merah bergulung-
gulung. Asap merah itu
membungkus puluhan jarum beracun. Lalu terdengar
ledakan teredam, blapp...! Jarum-jarum itu pecah, asap
merah seperti yang dimiliki Ki Candak Sedo itu mulai
menipis dan hilang dihembus angin.
"Kau benar-benar menantangku jika sudah berani
menggunakan jurus 'Kabut Berdarah' itu, Karang Wesi!
Heaaah...!"
Nyai Pungkur Maut tak kelihatan sentakkan kakinya
ke tanah, tapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang cepat ke arah Karang Wesi.
Tongkatnya dikibaskan ke leher
Karang Wesi. Wuttt...! Karang Wesi merundukkan
kepala, dan tongkat itu mengenai sebongkah batu.
Prakk...! Batu pecah menjadi puluhan bagian kecil-kecil.
Karang Wesi cepat mencabut kapaknya, lalu dengan satu pekikan keras ia pun
menyerang Nyai Pungkur Maut.
"Hiaaat...!"
Wuttt wuttt wuttt...! Tiga kali Karang Wesi
mengibaskan kapaknya ke arah dada dan pundak Nyai
Pungkur Maut. Tapi kibasan itu selalu ditangkis dengan ringan menggunakan
tongkat rotan tersebut,
Tak tak tak...! Beggk...!"Tangan kiri Nyai Pungkur Maut menghentak ke dada
Karang Wesi. Terpental
seketika tubuh Karang Wesi hingga lima langkah dari
tempatnya berdiri tadi. Ia berguling-guling sebentar, lalu segera berdiri dengan
napas ditarik dalam-dalam. Suatu penyembuhan terhadap luka dalam telah dilakukan
dengan cepat oleh Karang Wesi, caranya dengan hanya
menarik napas dalam-dalam, menyalurkan hawa
murninya ke bagian yang terasa sakit.
Dalam sekejap Karang Wesi siap menghadapi Nyai
Pungkur Maut. Tapi nenek bungkuk itu tiba-tiba
membalikkan diri, memunggungi Karang Wesi. Seketika
itu dari punggungnya yang bungkuk itu keluar sinar biru di luar dugaan Karang
Wesi. Sinar biru itu sebesar
genggaman tangan melesat cepat ke arah Karang Wesi.
Jelas ini jurus yang berbahaya dan tak mungkin bisa
dihadang dengan jurus tenaga dalam lainnya. Maka,
Karang Wesi pun segera lompatkan diri menghindari
sinar biru itu..
Zlapp zlapp zlapp zlapp zlappp...! Sinar biru sebesar genggaman tangan itu
menerjang lebih dari sepuluh
pohon di belakang Karang Wesi. Pohon itu lenyap tak
berbekas sedikit pun bagai ditelan bumi. Kurang dari
dua kejap lebih dari sepuluh pohon yang lenyap
dihantam sinar biru besar dari punggung Nyai Pungkur Maut. Barangkali karena
Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jurus dahsyat yang keluar dari punggungnya itulah maka nenek kempot itu bergelar
Nyai Pungkur Maut. Memang maut yang terjadi jika ia
telah memunggungi lawan dan melepaskan sinar birunya
itu. Kepala Nyai Pungkur Maut berpaling sebentar ke
belakang. Agaknya ia ingin melepaskan kembali sinar
birunya. Karang Wesi segera berguling ke tanah menuju ke arahnya. Lalu, dengan
cepat kapaknya dikibaskan ke betis Nyai Pungkur Maut. Wutt...! Sattt...!
Dengan lincah Nyai Pungkur Maut mengangkat
kakinya itu dan menendang wajah Karang Wesi dengan
cepat. Wusss...! Tabb...! Karang Wesi berhasil menepak telapak kaki lawannya
yang hampir mengenai wajah.
"Uhg...!" Nyai Pungkur Maut tersentak dengan suara tertahan. Tiba-tiba wajahnya
menjadi merah sekejap lalu hitam kelam. Sekujur tubuhnya menjadi hitam, juga
pakaiannya yang mengeras hitam, dan rambutnya pun
keras berwarna hitam bagaikan kawat.
Karang Wesi menendangnya dengan pelan. Wuttt...!
Brusss...! Tubuh Nyai Pungkur Maut ternyata sudah
menjadi arang karena Karang Wesi menggunakan
pukulan 'Angin Lahar' yang cukup dahsyat itu. Hanya
dengan menepak telapak kaki, maka tubuh lawannya
bisa menjadi hangus dan menjadi arang, seperti pohon
yang dipakai berlatih pada malam kemarinnya itu.
Karang Wesi segera menendang tumpukan arang itu
hingga melayang jatuh ke jurang. Tetapi sisa rambut dan pakaiannya masih
tertinggal sebagian di tempat
pertarungan. Karang Wesi lalu menginjaknya
menjadikan arang itu hancur lebur sambil ia menggeram gemas,
"Habislah riwayat kesaktianmu, Nenek kempot!
Hih...!" Tapi tiba-tiba punggung Karang Wesi bagai dilempar
dengan sebongkah batu besar dari belakang. Bukk....!
Wrutt...! Karang Wesi hampir tersungkur dengan
menyakitkan jika tidak segera menggulingkan diri
cepat-cepat. "Uh, punggungku seperti jebol rasanya. Siapa yang menyerangku" Mungkinkah
arwahnya Nyai Pungkur
Maut yang kubuang ke jurang?"
Karang Wesi berdiri tegak kembali, ia segera
mencabut kapaknya. Matanya melirik sekeliling.
Ternyata sepi tak ada orang. Buru-buru ia melompatkan badan tinggi-tinggi dan
bersalto satu kali. Jlegg! Ia berada di depan pintu mulut gua. Siap melepaskan
serangan kepada siapa saja yang muncul di depannya.
Serta-merta Karang Wesi sentakkan kapaknya ke
samping kiri. Wuttt...! Tring...! Sebuah sinar merah
sebesar uang logam melesat ke arahnya dan tertangkis
oleh mata kapak itu, lalu sinar tersebut memantul balik ke arahnya semula.
Blarr...! Brusss...!
Dahan sebuah pohon yang jadi sasarannya langsung
pecah. Dari pohon itu pula sesosok tubuh berkain merah melompat turun dengan
sebatang kayu penumbuk padi
di tangannya. Jlegg...! Alu Amah telah berdiri di depan Karang Wesi.
"Kuakui, hebat pula serangan tangkismu itu, Nak!"
"Siapa kau"!" Karang Wesi memandang dingin.
"Aku si Alu Amah. Gurumu pasti kenal aku! Kau
murid Ki Candak Sedo, bukan"!"
"Apa perlumu datang kemari" Dan apa maksudmu
menyerangku"!"
"Kau penjaga gua ini! Aku yakin, Ki Candak Sedo
ada di dalam sana! Aku harus masuk ke dalam juga!"
"Boleh. Asal kau bisa bikin aku bersujud di
hadapanmu!"
"Aih, kurang ajar betul kau. Anak Muda! Tak kau
dengarkah kesaktian si Alu Amah yang begitu ganas
itu"!"
''Tak ada orang sakti kecuali Karang Wesi!" Ia
menepuk dadanya.
Panas hati si Alu Amah dikatakan begitu. Merasa
disepelekan oleh anak semuda itu, Alu Amah pun segera menggeram dengan matanya
yang cekung memandang
penuh kemarahan.
"Rupanya kau bocah yang patut diberi pelajaran,
supaya tidak mudah tepuk dada di depan orang tua!
Hiaaah...!"
Alu Amah melesat terbang dengan senjata alunya
meluncur cepat bagai ingin menggempur wajah Karang
Wesi. Dengan gerakan berputar cepat, Karang Wesi
membabatkan kapaknya ke atas, tepat membelah kayu
penumbuk padi itu. Crakkk...! Kapak tiga mata menyala merah, dalam gerakan cepat
telah membelah kayu itu
sampai ke bagian yang dipegang tangan Alu Amah.
"Auh...!" Alu Amah terpekik karena pergelangan tangannya terpotong oleh kapak
Karang Wesi. Dengan
cepat Karang Wesi sentakkan telapak tangan kirinya ke telinga Alu Amah. Dess...!
Prakk...! Terdengar tulang kepala patah bagai tempurung buah
kelapa yang dikeprak memakai senjata besi. Darah pun
mengalir dari telinga dan hidung Alu Amah. Dalam
keadaan limbung begitu, kapak Karang Wesi ditebaskan
dari bawah ke atas dalam satu ayunan tangan yang kuat.
"Hiattt..!"
Crasss...! Kapak menebas leher dan leher itu pun
putus. Kepala Alu Amah menggelinding di tanah.
Pluk...! Dan raganya pun menyusul rubuh dalam kejap
berikutnya. Kembali tubuh lawannya yang sudah tak berkepala
itu ditendang dalam satu sentakan kuat dan
menggelinding jatuh ke jurang depan gua. Sementara itu kepalanya pun diangkat
rambutnya dan dilemparkan
begitu saja sambil Karang Wesi menggeram,
"Jangan coba-coba melawan Karang Wesi jika
ilmumu tak melebihi ilmu guruku!"
Wusss...! Kepala Alu Amah dilemparkan ke jurang.
Tapi sebelum Karang Wesi membersihkan kapaknya,
tiba-tiba kepala Alu Amah kembali menggelinding di
depan kaki Karang Wesi. Pluk...!
"Hahh..."!" Karang Wesi terkesiap dengan mulut terlongong. Segera ia lemparkan
pandangan ke arah
jurang depan, dan ia makin terkesiap lagi, karena di sana sudah berdiri seorang
berjubah abu-abu yang menutup
pakaian serba kuningnya itu. Orang itu sedikit agak
gemuk, berkumis, brewok dan berjanggut putih.
Karang Wesi menggumam, "Setan mana lagi yang
muncul ini"!"
Dengan kalem orang brewok putih yang tak lain
adalah Ki Cagar Nyawa maju tiga tindak. Kemudian
dengan suaranya yang masih cukup lantang untuk orang
seusia dia, berserulah Ki Cagar Nyawa dari tempatnya yang berjarak antara tujuh
langkah dari Karang Wesi.
"Kau telah memenggal musuh bebuyutanku, Anak
Muda!" "Apakah itu salahku?"
"Memang tidak. Dan aku berterima kasih padamu.
Tapi aku sangsi apakah kau juga akan memenggalku jika
aku ingin masuk ke dalam gua itu, Anak Muda?"
"Pandangilah kepala musuhmu ini, Pak Tua. Nasibmu akan seperti dia jika kau
nekat mau masuk ke dalam gua ini!"
"O, ya"! Kau penjaga gua yang sakti tentunya! Tapi belum tentu kau bisa menahan
pukulan tongkatku yang
bernama 'Belut Penyebar Maut'! Hiaaah...!"
Wuttt...! Sinar merah melesat dari tongkat lengkung
itu. Sinar merah ini yang dilepaskan untuk menyerang si Alu Amah kemarin malam,
tapi akhirnya menghantam
pohon, dan pohon itu menjadi terpotong-potong menjadi tiga puluh bagian lebih.
Kali ini sinar merah dari jurus
'Belut Penyebar Maut' itu dilepaskan untuk menghantam tubuh Karang Wesi. Tetapi
dengan cepat Karang Wesi
menghadangkah kapak tiga mata itu ke depan, dan sinar merah tersebut menghantam
kapak tiga mata,
Trangngng...! Zrrrubb...!
Sinar merah padam seketika. Hilang entah ke mana.
Sedangkan kapak tiga mata masih utuh dengan kilauan
cahaya logamnya yang terkena pantulan sinar matahari.
"Edan bocah ini!" Ki Cagar Nyawa terbelalak matanya. "Kapaknya bisa menahan
jurus 'Belut Penyebar Maut'-ku! Ini sungguh-sungguh mengagumkan bagiku!
Tak pernah ada yang bisa menahan sinar merah itu,
selain hanya menghindarinya! Tapi sekarang apa yang
ku lihat ini bukanlah mimpi!" ucap Ki Cagar Nyawa dalam hatinya.
Kapak itu terbagi tiga mata, kanan-kiri dan tengah.
Yang tengah sama lebarnya dengan mata kampak kanan-
kiri. Dan sekarang Karang Wesi menebaskan kapaknya
dari kanan ke kiri, tapi mendadak berhenti di depan
dada. Zlappp...! Sinar hijau pijar melesat dari mata
kapak yang tengah dan menyerang Ki Cagar Nyawa
dengan cepatnya.
"Hiaaat...!" Ki Cagar Nyawa sentakkan kaki dan menghindari sinar hijau itu
dengan tubuh melompat ke
atas. Tapi ia sedikit terlambat sehingga, crass...! Sinar itu menyerempet bagian
betisnya. Ki Cagar Nyawa segera
memekik. "Aaahg...!" matanya terpejam kuat dan ia pun rubuh tak bisa berdiri. Betisnya
koyak tanpa keluarkan darah merah, melainkan mengeluarkan lendir hitam yang
berbau busuk. "Sebaiknya kau minggat secepatnya dari sini, Pak Tua! Kuberi waktu kau tiga
helaan napas, jika tidak
kubunuh kau seperti si Alu Amah itu! Mengerti"!"
"Baiklah! Kau unggul sekarang, Anak Muda! Tapi
sepergiku nanti, ingatlah... kau tak akan aman! Karena banyak tokoh sakti yang
sedang menuju kemari untuk
perebutkan Minyak Darah Malaikat di dalam gua itu!
Ingatlah, lebih dari ratusan tokoh mungkin akan datang,
.dan kau tak akan sanggup menghadapi mereka satu
persatu!" Wuttt...! Setelah berkata demikian, Ki Cagar Nyawa
berkelebat pergi, tanpa pedulikan diri Karang Wesi yang tertegun dan menggumam,
"Seratus tokoh sakti harus kuhadapi..."!"
* * * 5 SUNGAI yang mengalir melewati relung celah dua
tebing tinggi itu, konon berasal dari mata air di lereng Gunung Kundalini. Air
itu bening dan menyegarkan.
Kesegaran airnya sungguh menggiurkan para pengelana
yang dipanggang terik matahari siang itu. Bebatuan yang timbul di sana-sini
dalam ukuran besar, merupakan
tempat nyaman untuk beristirahat. Karena di pinggiran sungai bening itu banyak
terdapat pohon berdaun
rindang yang meliuk ke arah sungai. Bila angin datang menebarkan dedaunan,
seakan angin telah mengaturnya
agar dedaunan tidak jatuh di air sungai, melainkan di tepiannya. Bahkan lebih
sering daun jatuh di dataran
yang menyerupai tanggul berhutan itu.
Di atas salah satu batu hitam yang ada di pinggiran
sungai, tampaklah seorang pemuda yang sedang
mencuci wajahnya dengan air tersebut. Pemuda itu
berambut panjang tanpa ikat kepala, wajahnya tampan
mengagumkan setiap lawan jenisnya, ia menyandang
bumbung tuak di punggung, dengan mengenakan baju
tanpa lengan warna coklat dan celana putih. Pemuda itu bertubuh tinggi, tegap
dan tampak gagah jika berjalan.
Buat kalangan tokoh wanita di rimba persilatan,
pemuda itu sudah tak asing lagi bagi mereka, karena
daya pikatnya yang luar biasa sering membuat mereka
terbuai oleh khayalan sendiri. Pemuda tampan itu tak
lain adalah murid sinting si Gila Tuak, yaitu Pendekar Mabuk, yang punya nama
panggilan Suto Sinting.
Dalam perjalanan pengejarannya terhadap musuh
utamanya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa, Suto agaknya
merasa lelah dan butuh istirahat beberapa waktu. Tepian sungai yang teduh
menjadi pilihannya, ia menenggak
tuaknya beberapa kali. Lalu sandarkan duduknya ke batu datar. Hatinya pun
membatin. "Siluman Tujuh Nyawa kurasa tak jauh dari tempat ini! Kulihat ia tadi menghilang
di ujung sungai sana.
Mungkinkah di sekitar sini tempat persembunyiannya"!
Ah, tak perlu terlalu memburu, nanti dia akan muncul
sendiri atau akan kutemukan tempat persembunyian
manusia terkutuk itu! Aku butuh istirahat dulu,
menyegarkan diri agar tak terlalu tegang dalam
pengejaranku nantinya!"
Tetapi tiba-tiba Suto memiringkan kepalanya, ia
seperti mendengar suara orang membentak. Dahinya
berkerut untuk menangkap suara itu. Hatinya kembali
membatin, "Sepertinya ada suara orang di sekitar sini. Tak jauh dari tempat ini! Hmmm...
seperti suara dua orang
perempuan bertengkar saling debat dan saling bentak! Di sebelah mana kira-kira"
O, di sebelah kiriku! Berarti arah menuju ke hulu sungai"! Sebaiknya aku ke sana
untuk melihat kejadian itu! Apa yang sedang mereka
pertengkarkan?"
Pendekar Mabuk memang sering punya keusilan kecil
yang tak merugikan orang lain. Kadang ia sering
menguping pertengkaran orang, lalu mengambil
hikmahnya bagi hidupnya sendiri. Kadang ia juga
menggoda hati perempuan dengan senyumnya, lalu
menyadarkan perempuan itu agar tak mudah tergoda
oleh ketampanan yang tidak semuanya mendatangkan
bahagia di hati mereka. Seperti halnya kali ini, Suto bermaksud mencuri dengar
pertengkaran dua perempuan
yang sedang dicari sumbernya itu.
Kedua perempuan itu sebenarnya baru saja tiba di
tepian sungai, arah ke hulu. Bahkan tak seberapa jauh dari Suto beristirahat.
Tapi karena mereka berada di
balik gugusan cadas tebing rendah, maka Pendekar
Mabuk tak sempat melihat kedatangan mereka di tempat
itu. Andai dinding tebing cadas itu tak ada, maka Suto bisa menyaksikan
pertengkaran dua gadis itu dari tempat duduk semula.
Dua gadis itu agaknya berselisih dengan tegang.
Yang berbaju ungu melepaskan serangan melalui
pukulan jarak jauhnya. Tetapi pukulan itu bisa dihindari dengan kelincahan gerak
Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
salto gadis berpakaian hijau
muda. Pakaian pinjung sebatas dada yang menampakkan
kemontokan buah dadanya itu tanpa dilapisi jubah apa
pun. Dengan berpakaian pinjung hijau sebatas dada dan celana ketat hijau
bersabuk merah, gadis bersanggul
tinggi itu tampak lebih ramping dan menantang lekuk-
lekuk tubuhnya. Ia
menyandang pedang di
punggungnya. Usianya sekitar tiga puluh tahun,
sedangkan yang berbaju ungu longgar itu berusia dua
tahun lebih muda.
Kali ini yang berbaju ungu serukan kata, "Andini!
Kalau kau nekat berangkat ke sana, terpaksa aku
bertindak lebih kasar lagi padanku! Jangan kau salahkan aku jika aku lebih kasar
bertindak padamu, Andini!"
"Apa hakmu melarangku pergi, Gayatri"! Kita sudah dewasa dan punya urusan
masing-masing!"
Gayatri, si gadis berbaju ungu itu, memandang
dengan wajah cemberut marah kepada Andini, yang
menyandang pedang di punggungnya. Gayatri berambut
panjang sebatas lewat punggung sedikit dan dilepas
meriap begitu saja, sehingga sesekali rambut itu meriap di depan wajahnya,
membuat kecantikannya tampak
samar-samar. Gayatri mempunyai kecantikan lembut,
berbeda dengan Andini yang berkesan cantik-cantik
genit. Yang jelas ia tidak kelihatan lembut seperti
Gayatri. Tetapi melihat gerak saltonya yang tadi
menghindari pukulan lawan dapat dilihat bahwa ia
berilmu tinggi.
"Ingat, Gayatri! Sekali lagi kau masih mengejarku, kuhabisi nyawamu di mana saja
kita bertemu!"
"Aku tak takut dengan gertakanmu!"
"Kau akan menyesal kalau aku sudah melepaskan
pukulan mautku!"
"Tak seberapa hebat pukulanmu itu, Andini!
Lakukanlah kalau memang kau mampu melukaiku!"
"Anak tak tahu diuntung kau! Hiaaat...!" Andini melesat terbang ke arah Gayatri.
Dengan satu sentakan Gayatri melambung tinggi dan menyambut pukulan
telapak tangan Andini dengan cepat.
Plak plak plak plak...!
Pukulan itu saling beradu, saling tangkis, cepat sekali
kelebatan gerak tangan mereka, sehingga ketika
keduanya sama-sama mendarat di tanah berpasir sungai
itu, mereka sudah sama-sama
menyelesaikan pertarungan satu jurus. Keduanya tak ada yang terluka.
Keduanya sama-sama pandangi lawan masing-masing
dengan mata tak berkedip.
Tetapi tiba-tiba tubuh Andini melesat lompat dan
berputar cepat bagaikan pusaran angin beliung. Wuttt...
plokk! Rupanya Andini mengirimkan tendangan
kipasnya dengan sangat kuat dan tepat mengenai
sasaran. Wajah Gayatri bagai tertampar kuat-kuat hingga ia terlempar ke samping
dan berguling-guling.
Kepalanya menjadi pusing, pandangan matanya gelap, ia berdiri dengan meraba-
raba. Serrt...! Pedang dihunus dari sarungnya, Andini
segera lompatkan diri ke arah Gayatri yang buta sejenak itu dengan pedang siap
ditebaskan. Tetapi pada saat
pedang ditebas ke depan, tiba-tiba sebuah kilatan sinar hijau melesat cepat dari
arah samping dan menghantam
mata pedang itu. Trangng...! Pedang itu pun terpental jatuh ke air sungai.
Andini terkejut bukan kepalang.
Lalu, cepat-cepat ia melompat dan mengambil
pedangnya di dasar air yang dangkal itu. Tinggi air
hanya sebatas mata kaki lewat sedikit.
Gayatri sendiri buru-buru meraba permukaan air dan
mencuci matanya dengan air bening tersebut. Kebutaan akibat jurus 'Tendangan
Gelap Sampar' itu memang bisa membutakan lawan, tapi setelah mata dicuci dengan
air biasa, maka pengaruh 'Tendangan Gelap Sampar' sirna
seketika, dan mata bisa kembali melihat dengan terang.
Sementara Andini masih bingung mencari-cari
pemilik sinar hijau, tiba-tiba datang serangan dari
Gayatri yang mencabut trisula dari pinggangnya. Trisula itu cepat ditusukkan ke
dada Andini. Trangng...!
Andini menahan trisula itu dengan pedangnya,
Pedang masuk ke sela-sela trisula dan Gayatri
mendorongnya lebih kuat lagi. Dalam kesempatan itu,
Andini menggunakan kakinya untuk kembali
menendang lawannya dengan sasaran ulu hati. Bukk...!
"Ehhg...!" Gayatri terpekik tertahan. Tubuhnya terbuang ke belakang dan jatuh
terkapar dengan susah
bernapas. Andini segera mengayunkan pedangnya untuk
menusuk perut Gayatri. Tetapi tiba-tiba sebuah pukulan jarak jauh tanpa sinar
menghantam kuat lengan kanan
Andini. Buggh...! Brusss...!
Andini jatuh terpental, bahkan sempat melayang dulu
beberapa saat. Cukup jauh jatuhnya, antara tujuh langkah dari tempat semula.
Bahkan sekarang tubuh itu
membentur batu besar dengan kuat. Beggh!
"Uuh...!" Andini mengeluh, meringis kesakitan.
Tulang punggungnya bagai terasa patah, ia tak bisa
bangkit dalam waktu cepat, ia menggeliat-geliat dulu
dalam keadaan duduk sambil masih memegangi
pedangnya. Sementara itu, Gayatri memandangi Andini
dengan dahi berkerut dan terheran-hefan.
"Pasti ada orang ketiga!" pikir Gayatri. Lalu, ia berpaling ke belakang tempat
diperkirakan datangnya
serangan itu. Dan ternyata di sana sudah berdiri seorang pemuda tampan
berpakaian coklat dan putih celananya.
Gayatri buru-buru bangkit setelah merasakan
kesesakan napasnya terkuasai. Suto Sinting sunggingkan senyum. Rambut Gayatri
tersirat ke depan sebagian.
Matanya jelas menatap tajam pada Suto dengan wajah
sengit. Sedikit menyipit tanda bermusuhan.
Pendekar Mabuk melebarkan senyum dan berkata,
"Maaf, aku tidak bermaksud mengganggu kegembiraan bertarungmu, tapi aku hanya
menyelamatkan pedang itu
jangan sampai melukai tubuhmu, Nona!"
"Manusia lancang! Hiaaat...!"
Gayatri bahkan menyerang Pendekar Mabuk dengan
pukulan tenaga dalam yang bisa keluarkan cahaya ungu
dari telapak tangannya itu. Suto menjadi kaget, dan cepat sentakkan bumbung
tuaknya ke depan dada untuk
menghadang sinar ungu yang tidak disangka-sangka itu.
Wuttt...! Trasss...! Zlubb...!
Sinar ungu itu bagai benda keras menghantam
sebidang karet yang sangat lentur. Sinar itu berbalik ke arah semula dengan
ukuran lebih besar dan lebih cepat gerakannya. Hal itu membuat Gayatri
tercengang dalam
sekejap, lalu cepat sentakkan kaki, tubuhnya tersentak terbang ke atas dan
bersalto satu kali di udara.
Sedangkan sinar ungu itu akhirnya menghantam sebuah
batu besar. Blarrr...!
Batu itu pecah menjadi bongkahan-bongkahan
sebesar genggaman tangan. Padahal sebelumnya batu itu berukuran sebesar kerbau
gemuk. Hal itu membuat
Gayatri makin melebarkan matanya, tercengang-
cengang, karena ia tidak merasa punya pukulan sinar
ungu yang bisa bikin batu besar pecah menjadi kecil-
kecil seperti kepalan tangannya. Biasanya jika sinar ungu itu menghantam batu,
yang terjadi kemudian batu
itu pecah menjadi dua atau tiga bagian. Tapi mengapa
sekarang sinar ungunya itu menjadi lebih dahsyat dari biasanya"
Hal yang makin membuat Gayatri tak bergeming dari
tempatnya itu, ternyata pecahan batu sekepalan manusia itu telah menjadi arang
yang kropos. Mudah diremas,
bahkan hancur begitu terbentur batu lainnya. Gumpalan-gumpalan batu itu
mengambang di permukaan air sungai
dan satu demi satu hanyut terbawa air sungai, bagaikan benda tanpa mempunyai
berat sedikit Keadaan seperti itu membuat Andini juga mendelik,
ia sama sekali tak menyangka bahwa Gayatri
mempunyai ilmu sehebat itu. Sementara ilmu
terhebatnya tidak bisa membuat batu besar pecah dan
pecahannya menjadi arang yang terapung-apung di atas
permukaan air. Melihat hal itu dalam hati Andini jadi bertanya, "Dari mana dia
memiliki ilmu itu" Sejak kapan Gayatri memilikinya"!"
"Mengapa kau menyerangku, Nona Manis"!" tanya Pendekar Mabuk memecah kesunyian
mereka bertiga.
Gayatri tidak menjawab, hanya memandang dengan
wajah cemberut manis. Lalu, tiba-tiba ia sentakkan
kakinya ke samping dengan tinggi, arah tendangan kaki itu menuju ke wajah Suto.
Maka, dengan kibasan dua
jari Suto menangkis tendangan itu. Mata kaki si gadis terkena jari Suto.
Takkk...! "Auuhh...!" Gayatri pejamkan mata sambil meringis kesakitan.
Tiba-tiba sebelum Suto mendekat untuk
menolongnya, Andini melompat tinggi-tinggi bagaikan
terbang, dan pedangnya berkelebat untuk ditebaskan ke leher Suto Sinting.
Wuttt...! Pendekar Mabuk sentakkan bumbung tuaknya naik ke
atas. Trang...! Pedang Andini bagai menebas sebatang
besi baja. Bahkan pedang itu terpental jatuh dari tangan Andini, karena pada
saat itu tangan Andini merasa
seperti kesemutan. Seolah-olah pedangnya menyentuh
benda yang mempunyai getaran petir melumpuhkan
persendian dan urat-uratnya.
Andini jatuh, dengan buru-buru pedangnya diambil
oleh Gayatri, dan sekarang pedang itu ditodongkan ke
leher Suto Sinting seraya Gayatri berseru,
"Lepaskan bumbung keparat itu atau kurobek
lehermu dengan pedang ini!"
"Sabar, Nona...!"
"Lepaskan bumbung keparat itu! Buang!" bentak Gayatri makin melotot matanya.
"Robeklah leherku kalau kau memang tega!"
Andini berseru, "Robek dia, Gayatri! Robek!"
"Diam...!" bentak Gayatri kepada Andini. Matanya mendelik kepada wanita
berpakaian hijau muda. itu.
Pendekar Mabuk segera sentilkan jarinya dari bawah
ke atas. Tass...! Itulah jurus 'Jari Guntur'. Sebuah
sentilan bertenaga dalam mengenai pergelangan tangan Gayatri dan pedang itu pun
terlepas jatuh ketika tangan itu tersentak kesakitan. Plukk...!
Pendekar Mabuk segera menendang pelan bagian
ujung pedang, dan ternyata pedang melesat dengan cepat melewati atas kepala
Andini yang masih terduduk lemas di tanah. Zlappp...! Crusss...!
Sekali lagi kedua perempuan itu saling
membelalakkan matanya. Pedang itu menancap hampir
separo bagian pada sebuah batu besar. Batu itu
sepertinya sebatang pohon pisang yang empuk, bisa
ditancap dengan mata pedang mudah sekali. Dalam tiga
helaan napas, mata kedua gadis itu tak berkedip. Gayatri berkata dalam hatinya,
"Hebat sekali tendangannya! Atau, barangkali pedang Andini telah menjadi pedang
sakti yang bisa membelah
batu?" Sementara itu, Andini segera pula berucap dalam
hatinya, "Sejak kapan pedangku bisa dipakai menembus batu sekeras itu"!"
Suto Sinting menenggak tuaknya dengan santai. Pada
saat itu, Andini mulai pulih kekuatannya, ia segera
bangkit dan melompat ke samping batu besar, lalu
mencabut pedangnya dengan mengerahkan tenaga cukup
besar. Breusss...! Tak disangka seberat itu mencabut
pedang dari dalam batu.
"Urus orang itu!" katanya kepada Gayatri, lalu Andini melesat pergi tinggalkan
Gayatri. "Andini! Tahan...!" seru Gayatri, tapi dianggap angin
lalu saja. Pendekar Mabuk menyahut, "Apakah kau mau aku
mengejarnya"!"
Gayatri bimbang memberi jawaban, ia pandangi
pemuda tampan berwajah bersih itu. Suto jadi kikuk
dipandangi dalam jarak hanya dua langkah, ia cuma
tersenyum-senyum sambil mengalihkan pandangan
mata. Lalu, untuk menutup kekikukannya, Suto
bertanya, "Aku membelamu, tapi mengapa kau menyerangku?"
"Karena kau mau mencelakakan dia!" jawab Gayatri dengan ketus.
"Bukankah dia musuhmu?"
"Dia kakakku!"
"Ooo... pantas!" Pendekar Mabuk manggut-manggut.
"Lalu mengapa kau melarangnya pergi" Akan ke mana dia?"
Gayatri mendenguskan napas lewat hidungnya. Kejap
berikutnya terdengar suaranya melemah, tak seketus
tadi. Bahkan sekarang lebih bernada cemas.
"Aku tak ingin dia terluka! Aku sayang kepadanya, dan takut ia celaka di sana!"
"Di mana maksudmu?"
"Di Gua Sekat Sembilan!"
Suto kerutkan dahi. Agaknya nama Gua Sekat
Sembilan pernah didengarnya, tapi entah dari siapa dan kapan saat mendengarnya.
Maka, Suto pun ajukan tanya,
"Ada apa dengan Gua Sekat Sembilan?"
Gayatri berpaling memandang Suto, rambutnya
sebagian meriap di wajari cantiknya, kemudian ia
berkata, "Kau masih hijau di rimba persilatan, rupanya!"
"Anggap saja begitu, Tapi aku butuh jawabanmu, ada apa dengan Gua Sekat
Sembilan?"
"Para tokoh rimba persilatan sekarang pasti sedang menuju ke sana untuk
mengambil minyak keramat yang
bernama Minyak Darah Malaikat! Minyak itu jika
dipakai mandi bisa membuat tubuh kita kebal senjata dan pukulan tenaga dalam apa
pun! Bahkan minum
racun pun tak akan mati, sekalipun racun berkadar
tinggi! Kakakku ingin mendapatkan Minyak Darah
Malaikat, tapi aku ingin mencegahnya. Sebab dengan
begitu ia pasti akan bertarung dengan tokoh sakti dari berbagai penjuru dunia.
Dan aku tak mau kakakku
celaka!" "O, begitu"!" Suto manggut manggut. "Lalu, mengapa kau tidak mendampinginya saja
Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
supaya dia tidak celaka oleh pertarungan di sana" Bukankah kau
bisa menjadi pelindungnya secara diam-diam?"
"Ilmu kami tak akan mampu mengalahkan para tokoh sakti. Sebab gua itu pasti akan
dipenuhi orang berilmu tinggi, yang tidak tanggung-tanggung ilmunya."
"Hmmm...!" Pendekar Mabuk manggut-manggut.
"Bagaimana kalau kuantarkan kau pergi ke Gua Sekat Sembilan, untuk melindungi
kakakmu itu?"
Gayatri tertegun. Tak menyangka Suto akan tawarkan
diri begitu. * * * 6 SEPERTI yang dikatakan Gayatri, para tokoh sakti
pasti akan datang ke gua itu. Dan memang benar.
Mereka datang silih berganti. Mati satu, muncul satunya lagi. Pergi satu, datang
yang lainnya lagi. Sampai-sampai Karang Wesi merasa muak menghadapi mereka
secara berganti-gantian. Hampir-hampir Karang Wesi
tak punya waktu untuk beristirahat.
Berulangkali Karang Wesi melontarkan keluh,
"Mengapa jadi aku yang kerepotan sendiri menghadapi mereka" Kalau hanya
jumlahnya dua-tiga orang
mungkin tak seberapa. Tapi ini... mungkin sudah ada dua puluh orang yang
kukalahkan, baik mati di tanganku
atau lari karena luka! Lantas sampai kapan serangan
mereka akan berhenti"! Kapan aku akan beristirahat?"
Mereka yang mati, langsung dibuang oleh Karang
Wesi ke jurang. Bahkan ada yang belum mati, tapi
masuk jurang karena terpeleset. Kapak bermata tiga itu tak pernah kering oleh
darah. Baru saja mau dikeringkan sudah datang mangsa lagi yang mendesaknya untuk
berkelebat merobek bagian tubuh lawan atau memenggal
kepala lawan. Pada umumnya mereka yang datang
bukan berilmu rendah. Tapi beruntung sekali Karang
Wesi, karena semua ilmu milik Ki Candak Sedo telah
diturunkan kepadanya, sehingga mereka yang datang
sama saja bertarung melawan kesaktian Ki Candak Sedo.
Bahkan kali ini kesaktian Ki Candak Sedo berada di
tangan orang perkasa dan lebih kekar lagi dari pemilik aslinya.
"Lama sekali Guru berada di dalam" Jangan-jangan dia mati karena salah masuk
ruang bercahaya sembilan
itu?" pikir Karang Wesi. Maka, ia pun bergegas masuk ke dalam gua untuk menyusul
gurunya. Tapi baru saja ia melangkahkan kaki satu tindak, tiba-tiba sebuah pukulan jarak
jauh telah melesat
menghantam punggungnya. Wuttt...! Buhgg...!
Karang Wesi terpelanting dan membentur tepian
mulut gua. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tapi dengan menarik napas
dalam-dalam rasa sakit itu
terkuasai dengan segera. Itulah cara pengobatan yang
dimiliki oleh Ki Candak Sedo.
Cepat-cepat Karang Wesi membalikkan badan dan
memandang ke arah depan. Ternyata seorang berpakaian
loreng macan dan memegang senjata tombak trisula
telah berdiri dengan sikap menantang Karang Wesi.
Sejenak hidung Karang Wesi dienduskan karena
mencium bau busuk yang tadi tak ada, tapi sejak
kemunculan tokoh berpakaian macan loreng itu hawa
busuk menjadi tercium. Itulah tanda bahwa si Macan
Bangkai hadir di situ. Setiap kehadiran si Macan
Bangkai selalu didului oleh bau busuk dari tubuhnya.
Selalu ada udara tak sedap jika Macan Bangkai ada di suatu tempat. Dan hal itu
menggelisahkan orang-orang, termasuk Karang Wesi sendiri sekarang menjadi
gelisah karena terganggu bau busuk itu.
"Mayat dari mana kau, datang-datang menyerangku, hah"!" bentak Karang Wesi
sambil maju empat tindak dari mulut gua.
"Tak perlu kau tanyakan dari mana aku dan siapa
aku! Yang jelas aku tahu kau adalah penjaga gua itu dan tidak akan izinkan aku
masuk, terbukti dari banyaknya mayat yang kau lemparkan ke jurang itu, serta
tanah yang berubah menjadi lembab karena darah!"
"Lantas apa maumu?" Karang Wesi bersikap
menantang, ia masih menggenggam kapaknya yang
belum dibersihkan dari darah itu.
"Sama seperti mereka, aku ingin membunuhmu untuk masuk ke dalam gua itu! Karena
aku ingin mendapatkan
Minyak Darah Malaikat!"
Karang Wesi menghempaskan napas lagi, seperti
orang kesal, namun juga seperti orang membuang bau
tak sedap yang terhirup hidungnya.
"Sebenarnya aku sudah bosan membunuh orang,"
katanya. "Tapi kalau kau memaksaku, apa boleh buat!
Mungkin terpaksa aku harus melakukannya demi
kebanggaanmu!"
"Manusia sombong! Terimalah tombak 'Tiga Setan'-
ku ini! Hiaah...!"
Wussst...! Macan Bangkai melemparkan tombaknya dengan
gerakan cepat. Tombak itu melayang dengan kecepatan
sama dengan cepatnya anak panah yang melesat.
Karang Wesi menghadangnya dengan kampak yang
segera ditebaskan ke depan. Wuttt...! Trangng...! Kapak
itu masuk di celah-celah tiga mata tombak. Tetapi
tombak itu tak mau jatuh melainkan punya kekuatan
dorong yang sangat besar.
Karang Wesi segera kerahkan tenaganya untuk
menahan dorongan tombak tersebut. Tubuhnya sampai
gemetar. Ketiga mata tombak tepat ada di depan
lehernya. Meleset sedikit pasti habislah leher Karang Wesi diterobos mata tombak
berkekuatan besar itu. Kaki Karang Wesi merendah dan salah satunya
dikebelakangkan. Ini untuk menahan daya dorong dari
tombak 'Tiga Setan' itu. Tapi daya dorong yang ada
seolah-olah semakin besar saja. Tubuh Karang Wesi
sedikit mulai tergeser ke belakang. Srekk... srekk...!
Dengan kedua tangan ia bertahan memegangi gagang
kapaknya. Tapi masih saja tombak itu makin berat dan
makin kuat daya dorongnya. Sementara pemiliknya di
seberang sana hanya terkekeh-kekeh menertawakan
kepanikan Karang Wesi.
Bahkan sekarang Macan Bangkai sentakkan tangan
kirinya, ia melepaskan pukulan jarak jauh ke perut
Karang Wesi. Wuttt...! Buehgg!
"Ahg...!" Karang Wesi tersentak ke belakang, perutnya seperti ditendang banteng
mengamuk. Akibatnya pegangan tangannya sedikit lemah. Tombak
Tiga Setan makin mendesak dan sekarang ujungnya ada
persis di depan dagu Karang Wesi. .
"Bangsaaat...!" Karang Wesi menggeram sambil kian kerahkan tenaganya,
keringatnya membanjir di
perlukaan wajah.
"Kau tak bisa menghindari Tombak Tiga Setan-ku,
Kunyuk Bocah! Kau pasti mati, karena tombakku tak
akan mau berhenti menyerang jika sudah lepas dari
tanganku! He he he he...!" sambil berkata begitu, Macan Bangkai melangkahkan
kaki mendekati Karang Wesi.
Tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat melintas
di depan Karang Wesi. Wuttt...! Sett!
Tahu-tahu tombak itu telah hilang dari depan Karang
Wesi. Bahkan daya dorong Karang Wesi yang bertahan
tadi kini membuat Karang Wesi tersungkur jatuh ke
depan. Burkk...!
Sementara itu Karang Wesi segera mendengar suara
orang memekik dengan suara tertahan. Jrubb...!
"Aaahg...!"
Cepat-cepat ia dongakkan kepala memandang ke
depan dalam keadaan masih telungkup jatuh. Dan mata
Karang Wesi pun terkesiap pandangi sesuatu yang di
luar dugaan. Tombak itu ada di tangan seseorang yang telah
dikenal oleh Karang Wesi, yaitu Cambuk Guntur.
Tombak tersebut diambil oleh Cambuk Guntur, lalu
dihujamkan langsung ke dada Macan Bangkai. Tentu
saja Macan Bangkai tak mampu menghindar lagi karena
hal itu terjadi sangat di luar dugaan dan tak pernah
terpikirkan sama sekali olehnya. Akibatnya, ia terpaksa menerima ajal di ujung
tombak senjatanya sendiri. Dan itulah yang dikatakan senjata makan tuan.
Macan Bangkai sempat mengerang ketika napasnya
belum lepas dari raga. Bahkan ia masih berusaha ingin
mencabut tombak mata tiga yang menembus dadanya
itu. Tapi oleh Cambuk Guntur ujung tombak itu makin dihantam dengan telapak
tangannya, membuat tombak
makin masuk ke dalam tubuh dan tembus ke belakang.
Cambuk Guntur pandangi lawannya dengan bengis,
sementara sang lawan mendelik sambil muntahkan darah
dan tak bisa ucapkan kata lagi, lalu rubuh tanpa nyawa.
Dua kali Karang Wesi bertemu dengan Cambuk
Guntur, yaitu pada saat ia diajak pergi oleh Ki Candak Sedo ke sebuah pertemuan
orang-orang sakti di Bukit
Jagal, dan ketika Cambuk Guntur datang sendiri untuk
satu keperluan dengan Ki Candak Sedo di
persemayamannya. Karang Wesi mengenal Cambuk
Guntur sebagai pengelana tanpa tujuan yang pasti.
"Bagaimana keadaanmu, Karang Wesi?" tanya
Cambuk Guntur ketika Karang Wesi telah berdiri
kembali. "Tak apa! Aku hanya tersungkur karena tenagaku
sendiri!" "Kau memang melawan tenagamu sendiri sejak tadi."
"Apa maksudmu?" Karang Wesi kerutkan dahi.
"Tombak Tiga Setan itu kalau semakin dilawan
semakin punya kekuatan dorong semakin besar. Karena
sebenarnya yang keluar dari tombak itu bukan kekuatan tenaga dalam si Macan
Bangkai, melainkan kekuatan
kita sendiri yang memutar balik ke arah kita melalui
tombak tersebut. Kalau kau tadi tidak mendorongnya,
maka tombak itu tidak akan sampai kepadamu."
"Setan Belang! Berarti tadi aku telah bergelut
melawan tenagaku sendiri"!"
"Benar!" Cambuk Guntur tertawa dalam gumam.
"Tapi sudahlah, dia sudah kulenyapkan! Kebetulan aku juga punya masalah pribadi
dengan manusia busuk itu!
Cuih...!" Cambuk Guntur meludah. Segera ia membuang mayat si Macan Bangkai ke
jurang dengan cara
menyeretnya memakai ujung tombak yang masih
menancap kuat itu. Setelah membuangnya ke jurang, ia
pun segera menemui Karang Wesi di depan pintu gua
yang sedang membersihkan kapaknya dari darah lawan
sebelumnya. "Bagaimana kabar Eyang Guru Candak Sedo, Karang
Wesi?" "Beliau dalam keadaan baik-baik saja!"
"Apakah beliau sekarang ada di dalam gua?"
"Ya."
"Apakah aku bisa menemui beliau, Karang Wesi?"
Dahi pemuda itu berkerut dengan mata mulai curiga.
Kemudian ia ajukan tanya,
"Untuk apa" Kau punya keperluan dengan guruku?"
"Ya. Ada kepentingan yang tak bisa kutunda karena sangat pentingnya! Aku pun tak
mau berlama-lama
menunggu di sini, aku harus segera pergi untuk
selesaikan satu masalah lagi, Karang Wesi!"
Tertegun sejenak Karang Wesi
mempertimbangkannya. Setelah itu ia bertanya dengan
nada bimbang, "Kalau boleh aku ingin tahu keperluan itu, supaya aku yakin kau bukan orang
seperti si Macan Bangkai
itu!" "Hmm... begini," kata lelaki berpakaian biru dengan dirangkap rompi kuning itu,
ia sangat rapi dalam
berpenampilan, sehingga timbulkan kesan meyakinkan.
Bicaranya pun tidak kasar, bahkan bersikap penuh
persaudaraan. "Aku bertemu dengan Nyai Sirih Wangsit beberapa
hari yang lalu, dan beliau titip pesan padaku supaya
disampaikan kepada Eyang Candak Sedo. Soal isi
pesannya, tak bisa kusebutkan, karena memang Nyai
Sirih Wangsit melarangku bicara kepada siapa pun
kecuali kepada Ki Candak Sedo. Jadi..., maaf saja, aku tak bisa sebutkan
kepadamu mengenai isi pesan itu!
Yang jelas sangat penting dan berbahaya, jadi harus
secepatnya aku bertemu dengan Ki Candak Sedo dan
berbicara langsung dengan beliau!"
"Begitu?"
"Ya. Kalau bukan pesan penting, aku tak akan
mampir kemari! Karena aku harus segera temui
seseorang di pesisir!" jawab Cambuk Guntur dengan bersungguh-sungguh. Bahkan ia
tambahkan kata,
"Kalau memang sekiranya aku tak bisa temui beliau, ya sudahlah, aku pergi saja
sekarang dan tak perlu
sampaikan pesan itu!"
Bingung juga Karang Wesi mengambil keputusan.
Nyai Sirih Wangsit adalah bekas kekasih Ki Candak
Sedo semasa mudanya. Mereka berpisah karena Nyai
Sirih Wangsit mempunyai penyakit yang sangat
menular, dan perempuan itu tak mau Ki Candak Sedo
menjadi tertular penyakit itu. Tetapi sampai sekarang, sebenarnya mereka masih
saling mencintai, hanya saja Nyai Sirih Wangsit sudah tidak mau bertemu dengan
Ki Candak Sedo, takut tersiksa batinnya. Tentang di mana persembunyian atau tempat
tinggal Nyai Sirih Wangsit, tak seorang pun tahu, sehingga Ki Candak Sedo tak
pernah bisa berkunjung menemui kekasihnya itu.
Mungkin saja sekarang keadaan sudah lain. Mungkin
Nyai Sirih Wangsit ingin memberitahukan kepada Ki
Candak Sedo tentang tempat tinggalnya melalui mulut
Cambuk Guntur. Atau mungkin saja Nyai Sirih Wangsit
rindu ingin berjumpa Ki Candak Sedo di suatu tempat,
dan beliau menyuruh Cambuk Guntur merahasiakan
pertemuan tersebut. Atau mungkin ada urusan pribadi
lainnya yang tak bisa diduga siapa pun, kecuali Cambuk Guntur sebagai si pembawa
dan penyampai berita itu.
Karang Wesi benar-benar dalam kebimbangan. Jika
Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia izinkan Cambuk Guntur masuk ke gua dan temui
gurunya, nanti Karang Wesi disalahkan oleh sang Guru, mungkin kehadiran Cambuk
Guntur justru mengganggu
upayanya menemukan Minyak Darah Malaikat itu. Tapi
jika tidak diizinkan, jangan-jangan Karang Wesi juga yang dimarahi oleh Ki
Candak Sedo karena menahan
pesan dari Nyai Sirih Wangsit" Sedangkan pesan itu
tidak bisa disampaikan melalui murid Ki Candak Sedp,
sehingga mau tak mau Cambuk Guntur harus bertemu
langsung dengan Ki Candak Sedo dan bicara empat
mata. Dalam kebimbangannya itu, Cambuk Guntur se gera
memberi keputusan kepada Karang Wesi,
"Begini saja! Aku akan segera tinggalkan tempat ini untuk mengurus kepentinganku
sendiri! Tapi kuminta
jangan sampai Ki Candak Sedo marah padaku karena
pesan dari kekasihnya ini tidak kusampaikan! Kau harus bertanggung jawab, Karang
Wesi!" "Eh, jangan begitu!" sergah Karang Wesi. "Jangan kau limpahkan kesalahan
kepadaku!"
"Habis kelihatannya kau keberatan jika aku masuk untuk temui Ki Candak Sedo!
Sedangkan urusanku
bukan soal pesan ini! Kalau toh tidak kusampaikan,
bukan aku yang rugi!"
"Baiklah," Karang Wesi menghembuskan napas kesal
"Masuklah dan temui dia. Tapi kalau dia merasa
terganggu dan marah, kau yang bertanggung jawab!
Jangan aku yang menjadi pelampiasan kemarahan
Guru!" "Baik. Aku yang bertanggung jawab!"
"Masuklah!" Karang Wesi menyingkir dan
mengizinkan Cambuk Guntur masuk ke dalam gua untuk
menemui Ki Candak Sedo.
Tetapi tiba-tiba ada sesuatu yang membuat Karang
Wesi tersentak kaget. Lekas-lekas ia menahan lengan
Cambuk Guntur seraya berkata dengan nada pelan,
"Cambuk Guntur, aku mau bicara sebentar tentang
seseorang, kuharap kau tidak keberatan!"
"Tentang seseorang siapa maksudmu?" Cambuk
Guntur kerutkan dahi.
Sambil menuntun lengan Cambuk Guntur, Karang
Wesi berkata, "Kapan kau bertemu Nyai Sirih Wangsit?"
"Kira-kira satu bulan yang lalu, di Lembah Cupu
Hasta?" Keadaan Cambuk Guntur sudah berada di luar gua,
bahkan mereka bicara di bawah pohon berwarna kuning
dari batang sampai daunnya.
"Apakah kau bisa temukan tempat tinggal Nyai Sirih Wangsit?"
"Tidak. Aku bertemu beliau di jalan."
"Benar satu bulan yang lalu?"
"Ya. Benar! Kira-kira satu bulan yang lalu. Ada apa?"
"Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu tempat tinggal beliau."
"Pesan ini tidak menyangkut masalah tempat tinggal beliau."
"Oo...!" Karang Wesi manggut-manggut. "Ya sudah, masuklah sana!"
Cambuk Guntur mulai melangkahkan kaki menuju
pintu mulut gua., Tapi tiba-tiba Karang Wesi mencabut kapaknya dan ditebaskan ke
punggung Cambuk Guntur.
Crasss...! "Heggh...!"
Terhenti dan terpekik Cambuk Guntur seketika itu
juga. Punggungnya menjadi sasaran empuk bagi kapak
tiga mata itu. Salah satu sisi mata kapak menancap
masuk hampir seluruh bagian. Karang Wesi segera
mencabutnya dengan satu sentakan kaki menjejak.
Brukk..!! Tubuh Cambuk Guntur rubuh dengan mulut
ternganga-nganga,
"Modarlah kau, Penipu! Hampir saja aku terkena tipu muslihatmu! Untung aku
segera ingat bahwa Nyai Sirih
Wangsit sudah meninggal enam bulan yang lalu!" geram Karang Wesi sambil pandangi
wajah sekarat Cambuk
Guntur. Di sela napas terakhirnya Cambuk Guntur sempat
ucapkan kata pelan, "Hampir saja kudapatkan minyak itu tapi sayang... kau cerdas
dan... dan.... "Dan tak mudah kau kelabuhi dengan bualanmu!"
sentak Karang Wesi. Tapi pada saat itu Cambuk Guntur
telah menghembuskan napas yang terakhir. Untuk
selanjutnya ia diam tak berkutik sampai selama-lamanya.
* * * 7 DUA hari dua malam, Karang Wesi menjaga mulut
gua itu dengan melayani pertarungan setiap orang yang datang kepadanya.
Sementara dalam hatinya sendiri
penuh kesangsian, apakah gurunya masih ada di dalam
atau sudah pergi lewat jalan lain" Apakah sang Guru
masih hidup atau mati terkena jebakan" Kesangsian itu toh tetap dipendamnya
karena tak berani mengambil
keputusan sendiri. Setiap Karang Wesi ingin menengok
masuk ke dalam gua, selalu saja ada tamu yang
mengancam jiwanya. Mau tak mau Karang Wesi harus
melayani mereka.
Lebih dari tujuh kali nyawa Karang Wesi hampir saja
melayang karena menghadapi musuh yang tangguh.
Empat kali sudah, Karang Wesi menghadapi tipuan yang
nyaris membuatnya kebobolan. Anehnya dari mereka tak
ada yang bersatu menyerangnya. Seandainya ada yang
bersatu menyerangnya, Karang Wesi sendiri sudah
perkirakan bahwa dirinya
tidak akan mampu
membendung kekuatan yang bersatu. Karena selama dua
hari dua malam ia bertarung terus, kerahkan tenaga
terus, sehingga ia merasakan kekuatannya mulai
menurun. Apalagi selama dua malam ia tak tidur, rasa
kantuknya mulai menyerang mata secara bertubi-tubi.
Namun Karang Wesi tetap berusaha agar tidak jatuh
tertidur. Tapi pagi itu, wajah lesu dan kuyu yang ada pada
Karang Wesi menjadi segar kembali. Rasa kantuknya
pun menjadi hilang. Malahan hati Karang Wesi pun
menjadi lega bercampur gembira, sebab Ki Candak Sedo
sudah keluar dari dalam gua. Orang itu keluar sambil
membawa sebuah guci hitam tak terlalu besar.
"Karang Wesi, lihatlah apa yang kubawa ini"!"
katanya dengan tersenyum bangga.
"Guru..."! Bagaimana" Jadi Guru sudah mendapatkan minyak itu?"
"Sudah! Di dalam guci inilah Minyak Darah Malaikat tertampung."
"Oh, syukurlah...! Saya khawatirkan keadaan Guru di dalam sana. Mengapa sampai
selama ini, Guru?"
"Aku harus menundukkan seekor ular sebesar
pahamu! Ular itu tak bisa ditembus dengan pukulan
tenaga dalamku. Bahkan kugunakan pukulan 'Angin
Lahar', tapi ular itu tidak bisa hangus dan menjadi arang seperti yang lainnya."
"Lantas bagaimana cara Guru mengalahkannya?"
"Dengan kekuatan batin aku menundukkan dia, dan
ternyata ular itu lenyap begitu saja. Kemudian aku
dihadapkan pada pilihan yang membuatku bimbang."
"Pilihan apa itu, Guru?" desak Karang Wesi ingin tahu banyak tentang pengalaman
memperoleh Minyak
Darah Malaikat itu.
"Sebelumnya aku sudah tahu bahwa dari kesembilan ruang bersekat itu, hanya ruang
yang memiliki cahaya
hijau yang menyimpan minyak ini! Tetapi ternyata
sembilan ruang itu memancarkan sinar hijau semuanya.
Mau tak mau aku harus memilih mana yang punya sinar
hijau asli. Aku hampir saja mati terjebak gas beracun yang ternyata ruangan itu
adalah ruangan bersinar gelap alias tanpa sinar. Aku juga hampir mati dihujam
seratus tombak, dan ternyata ruangan itu bersinar kuning.
Sampai empat kali aku hampir mati di dalam sana, lalu akhirnya kutemukan ruangan
hijau yang asli, maka aku
harus melakukan semadi beberapa waktu sampai guci ini muncul sendiri di
depanku!" "Hebat sekali! Kalau bukan Guru yang mengambil
minyak itu, tak mungkin orang lain bisa melakukan
seperti apa yang dilakukan Guru!" ujar Karang Wesi dengan pujian yang
membanggakan hatinya sendiri.
"Mari kita pulang, Muridku! Aku akan mandi minyak ini!"
Belum lagi mereka sempat melangkahkan kaki, tiba-
tiba sekelebat bayangan menyambar tangan Ki Candak
Sedo dengan cepat. Wutt! Guci Minyak Darah Malaikat
hampir saja berpindah tangan. Untung dengan cepat Ki
Candak Sedo segera kelebatkan tangannya yang
memegang guci itu, sehingga terhindar dari sambaran
'maling' tak disangka-sangka.
"Bangsat!" suara besar terdengar dari arah bawah pohon jati merah itu. Suara
tersebut milik orang
berkumis tebal, bermata lebar, rambutnya panjang
dibungkus kain merah, wajahnya angker dan hidungnya
tergolong besar. Orang itu tidak memakai baju,
celananya hitam dengan sabuk hitam besar mempunyai
tempat keris sendiri. Orang itu berkulit hitam, dan
kulitnya tampak tebal. Badannya tinggi, kekar dengan
kuku jarinya runcing-runcing.
"O, kau rupanya, Warok Kober"!" ucap Ki Candak Sedo.
"Syukur kalau kau masih mengenaliku, Candak
Sedo!" katanya dengan suara besar.
"Aku memang mengenalmu, tapi tak menyangka kau
ingin merebut minyak ini dariku, Warok Kober!"
"Ha ha ha ha...! Kau memang perlu memperhitungkan kehadiranku, Candak Sedo.
Memang selama ini kita
berhubungan baik, tak pernah ada perselisihan apa pun.
Pertemuan Di Kotaraja 4 Manusia Harimau Marah Karya S B. Chandra Serikat Serigala Merah 1
tak berpenerangan sedikit pun
itu mengundang gairah siapa pun untuk masuk ke
dalamnya. Sekalipun terbayang kengerian di dalam sana karena gelapnya, tapi hati
Karang Wesi sendiri berhasrat untuk masuk, sekadar ingin tahu keadaan di dalam
gua. "Karang Wesi, sepintas memang kelihatan keadaan di dalam gua ini menyeramkan dan
gelap, tapi menurut
guruku dulu, gua ini mempunyai lorong yang membelok
ke kiri dan membawa kita ke arah sebuah ruangan.
Ruangan itu sangat terang karena banyaknya tanaman
lumut yang menyerap sinar matahari dan
menampungnya dalam tiap dinding batu gua selama
berpuluh-puluh tahun. Di sanalah terdapat sebuah tempat pertapaan yang damai dan
teduh. Di sana pula terdapat guci Darah Malaikat. Tapi tidak setiap orang bisa
menggunakan kesempatan yang sembilan puluh tahun
sekali adanya ini."
"Mengapa tidak setiap orang bisa mendapatkan
Minyak Darah Malaikat, Guru?"
"Karena di sana banyak jebakan yang mematikan,
baik berbentuk senjata rahasia maupun semburan gas
beracun. Gua ini mempunyai sembilan ruangan yang
berbeda-beda jebakan mautnya. Sebab itulah, dikatakan Gua Sekat Sembilan, karena
dinding gua dari masing-masing sekat pembatas bisa mengeluarkan jebakan maut
yang sulit diatasi. Salah memasuki lorong ruangan satu kali, orang tak akan bisa
keluar lagi. Semua lorong
ruangan mempunyai cahaya yang berbeda, yaitu
sembilan warna cahaya dari sembilan bintang yang telah jatuh ke bumi."
"Lalu di ruangan yang bercahaya warna apa yang
menyimpan Minyak Darah Malaikat, Guru?"
Ki Candak Sedo cepat memandang ke belakang,
seperti merasa curiga terhadap hembusan angin yang
baru saja dirasakan aneh itu. Maka ia pun segera berkata kepada muridnya.
"Karang Wesi, aku akan segera masuk untuk
mengambil Minyak Darah Malaikat itu sebelum orang
lain mendahului kita!"
"Baik. Silakan, Guru! Saya akan menjaga di luar
gua!" jawab Karang Wesi, walau hatinya sedikit kecewa karena tidak mendapat
jawaban dari gurunya atas
pertanyaan yang diajukan tadi.
Angin memang berhembus agak kencang. Dedaunan
kering berjatuhan bagai menjauh dari depan gua
tersebut. Karang Wesi memandang sekelilingnya dengan
mata sedikit menyipit menahan hembusan angin.
Hanya deru angin itu yang ada di sekeliling gua.
Hanya deru angin itu yang meresap masuk di telinga
Karang Wesi. Pemuda bersenjata kapak tiga mata itu
kini duduk di atas sebuah batu yang melekat di bawah
pohon samping gua. Pandang matanya yang mengitari
keadaan sekeliling itu makin lama makin kosong.
Akhirnya mata itu memancang ke arah mulut gua dalam
terawang khayal batinnya. Terucap pula kecamuk di
dalam hati Karang Wesi yang ternyata punya bayangan
kasih terpendam sekian lama.
"Kalau saja aku bisa mandi Minyak Darah Malaikat, alangkah hebatnya aku bisa
kebal senjata apa pun, tak bisa ditembus oleh pukulan tenaga dalam dari jenis
ilmu apa pun! Dan itu berarti aku bisa kalahkan Siluman
Tujuh Nyawa! Orang terkutuk itu memang sudah patut
mati di tanganku. Sayang sekali Guru tak memberikan
Minyak Darah Malaikat itu kepadaku, sehingga ilmuku
masih belum seimbang dan tak bisa menandingi ilmunya
Siluman Tujuh Nyawa! Ah...! Andai aku bisa
membunuh Siluman Tujuh Nyawa, maka Gusti Mahkota
Sejati yang bernama Dyah Sariningrum itu pasti akan
mau kupersunting menjadi istriku! Oh, betapa cantik dan mempesonanya perempuan
itu! Sungguh tak pernah
akan bosan aku memandanginya sepanjang hari sambil
memangkunya dengan mesra...! Hmmm...! Rasa-rasanya
tak ada ruginya aku mengabdikan hidup dan matiku
untuk perempuan secantik Dyah Sariningrum itu!"
Seraut wajah wanita cantik yang anggun dan
bijaksana serta berkharisma tinggi itu menyelinap di
relung hati Karang Wesi. Perempuan itu adalah seorang ratu, penguasa Pulau
Serindu, di mana di pulau itu
terdapat negeri yang bernama Puri Gerbang Surgawi.
Dyah Sariningrum adalah putri dari Gusti Ratu Kartika Wangi, yang menjadi
penguasa di negeri alam gaib,
yang bernama Puri Gerbang Surgawi pula.
Karang Wesi mendapat kesempatan bertatap muka
dengan perempuan anggun dan sangat menawan hati itu,
ketika ia ikut Ki Candak Sedo berkunjung ke Pulau
Serindu. Kunjungan Ki Candak Sedo ke negeri Puri
Gerbang Surgawi di Pulau Serindu itu bukan sekadar
bertandang atau tersesat dalam perjalanan, tetapi karena dimintai bantuan oleh
kakak dari Dyah Sariningrum,
yaitu Betari Ayu, yang sekarang menjadi bertapa di
Gunung Kundalini. Pada waktu itu, Dyah Sariningrum
menderita sakit akibat pukulan 'Candra Badar' dari
Siluman Tujuh Nyawa (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Manusia Seribu Wajah" dan "Prahara Pulau Mayat"). Ki Candak Sedo
datang ke sana dengan maksud mengobati pukulan 'Candra Badar'. Tetapi ia tak
berhasil. Bahkan sampai saat ini, Ki Candak Sedo
maupun Karang Wesi belum mengetahui bahwa
seseorang telah sembuhkan penyakit ratu ayu itu. Orang yang berhasil
menyembuhkan dan melenyapkan pukulan
'Candra Badar' adalah murid si Gila Tuak dari Jurang
Lindu, yaitu Suto Sinting, si Pendekar Mabuk.
Bahkan Ki Candak Sedo maupun Karang Wesi
agaknya juga belum tahu, bahwa Dyah Sariningrum
adalah kekasih dan calon istrinya Suto. Hanya saja
pernikahan mereka belum sempat terjadi karena
Pendekar Mabuk masih harus memburu musuh
besarnya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa, ia harus
memenggal kepala Siluman Tujuh Nyawa sebagai mas
kawin untuk melamar Dyah Sariningrum. Padahal tanpa
penggalan kepala tokoh sesat yang amat jahat itu,
sebenarnya Dyah Sariningrum tidak keberatan
melangsungkan perkawinannya dengan Suto Sinting.
Namun penggalan kepala siluman itu bagaikan sebuah
ikrar dan janji Suto untuk selamatkan kehidupan di
permukaan bumi sebelum ia menginjak ke masa
perkawinannya. Sebab jika Siluman Tujuh Nyawa masih
berkeliaran di mana-mana, maka permukaan bumi ini
akan menjadi bara api neraka, kehidupan menjadi saling baku hantam tak ada
perdamaian. Dan kehidupan seperti itu jelas akan mengancam kelangsungan hidup
keturunan Pendekar Mabuk dan Dyah Sariningrum nantinya.
Tanpa mau tahu siapa kekasih Dyah Sariningrum,
pemuda tampan berkumis tipis ini makin jauh melantur
dalam khayalannya tentang perasaan cinta dan
kagumnya terhadap perempuan itu. Bahkan dalam
hatinya ia membatin kata,
"Harus kutundukkan Siluman Tujuh Nyawa itu agar
aku bisa memiliki Dyah Sariningrum! Siapa pun akan
kubunuh jika ingin merebut Dyah Sariningrum dari
hatiku! Dan untuk menundukkan mereka, sudah tentu
tidak cukup dengan ilmu yang kumiliki sekarang ini!
Siluman Tujuh Nyawa dapat mengalahkan aku dengan
kehebatan gerak tongkat El Maut-itu. Jadi, kurasa ada baiknya jika aku merebut
Minyak Darah Malaikat dari
Eyang Guru. Kalau aku hanya memintanya saja, biar
sampai merengek-rengek pasti tak akan diberikannya.
Jadi aku harus merebutnya dari tangan Guru dengan cara apa pun!"
Mendadak Karang Wesi sentakkan kaki ke tanah dan
melesat terbang, karena sekilas cahaya putih mengkilap terlihat oleh ekor
matanya sedang menyerang ke
arahnya. Wuttt...! Crakkk...! Sebuah senjata kecil
berbentuk tusuk konde menancap di batu tempat Karang
Wesi duduk. Batu itu kepulkan asap putih kebiruan dan menjadi serbuk sedikit
demi sedikit. Serbuk itu
dihembus angin sehingga makin lama batu itu menjadi
habis bagai terkikis waktu. Kilatan tusuk konde putih mengkilap dari bahan baja
itu datang dari arah kanan
Karang Wesi. Maka secepatnya Karang Wesi pandangi
keadaan sekeliling hutan di sebelah kanannya. Ternyata tak jauh dari pohon
beringin biru itu telah berdiri
seorang nenek bongkok berjubah biru. Rambutnya abu-
abu, usianya sepertinya lebih tua dari Ki Candak Sedo.
Selain bongkok juga berbadan kurus, mata cekung dan
giginya tinggal tiga. Ia bersenjata tongkat pendek
lengkung dari rotan kuning.
Karang Wesi segera dapat mengenali perempuan
kempot itu, yang dulu pernah tiga kali bertandang ke
persinggahan Ki Candak Sedo, untuk membicarakan
satu masalah yang tak diketahui Karang Wesi. Nenek
itulah yang bernama Nyai Pungkur Maut. Kali ini bukan Karang Wesi yang
menghampiri Nyai Pungkur Maut,
tapi nenek itu yang mendekati Karang Wesi, sebab
Karang Wesi sekarang sudah berdiri di depan pintu
masuk gua. Nyai Pungkur Maut segera ucapkan kata
dengan suara tuanya yang kecil dan serak itu,
"Apa yang kau lakukan di sini, Karang Wesi?"
"Apa pun yang kulakukan itu bukan urusanmu, Nyai Pungkur Maut!" jawab Karang
Wesi sengaja tak ramah, karena ia merasa nenek yang baru datang itu bermaksud
tidak baik. Serangannya yang dapat dihindari Karang
Wesi itu bukan sapaan yang ramah. Jelas nenek itu
punya maksud ingin membunuh Karang Wesi. Sebab
itulah Karang Wesi tidak mau bersikap ramah kepada
Nyai Pungkur Maut.
"Heh heh heh heh...! Aku tahu, pasti Ki Candak Sedo sudah masuk ke dalam gua
itu, Karang Wesi!"
"Itu pun bukan urusanmu, Nyai Pungkur Maut! Tak
sepatutnya kau datang dan menyerangku dengan cara
begitu!" kata pemuda tampan berkumis tipis itu.
"Jika kau ingin selamat, minggir dari tempatmu! Aku akan masuk ke dalam gua
untuk mengambil Minyak
Darah Malaikat!"
Berdebar hati Karang Wesi ketika Nyai Pungkur
Maut menyebutkan minyak itu. Karang Wesi segera
pandangi nenek bungkuk itu dengan mata tajam. Tiap
gerakannya tak lepas dari pandangan mata Karang Wesi.
"Orang ini sangat membahayakan," pikir Karang
Wesi. "Dia termasuk tokoh tua yang berilmu tinggi.
Guru pernah menceritakan tentang Nyai Pungkur Maut
padaku, yang konon jika bertarung selalu membelakangi lawannya! Dan jika ia
sudah membelakangi lawannya,
itu pertanda jurus-jurus mautnya siap dilepaskan! Aku harus hati-hati dalam berhadapan dengannya!"
Suara Nyai Pungkur Maut memekik keras, "Bocah
budek! Kubilang minggirlah dari tempatmu, aku akan
masuk!" "Tak seorang pun kuizinkan masuk gua ini, Nyai!"
"Apa ini gua milik nenek moyangmu"! Sejak kapan
nenek moyangmu membeli gua ini, sehingga kau berani-
beraninya melarangku masuk ke dalamnya, hah"! Cepat
menyingkir dari tempatmu!''
"Kau yang harus tinggalkan tempat ini!"
"Bocah Goblok! Jangan bikin kesabaranku habis,
Nak. Nanti kau bisa kehilangan nyawamu!" geram Nyai Pungkur Maut.
"Kurasa akan terjadi kebalikannya, Nyai! Nyawamu sendiri yang akan hilang jika
tidak segera pergi dari hadapanku, Nyai!"
"Bocah Bangsat! Hiaaat...!"
Serta-merta Nyai Nyai Pungkur Maut sentakkan
tongkat rotannya lurus ke depan. Dari ujung tongkat itu melesat jarum hitam
lebih dari lima puluh jumlahnya.
Karang Wesi segera sentakkan tangannya, dan keluarlah asap merah bergulung-
gulung. Asap merah itu
membungkus puluhan jarum beracun. Lalu terdengar
ledakan teredam, blapp...! Jarum-jarum itu pecah, asap
merah seperti yang dimiliki Ki Candak Sedo itu mulai
menipis dan hilang dihembus angin.
"Kau benar-benar menantangku jika sudah berani
menggunakan jurus 'Kabut Berdarah' itu, Karang Wesi!
Heaaah...!"
Nyai Pungkur Maut tak kelihatan sentakkan kakinya
ke tanah, tapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang cepat ke arah Karang Wesi.
Tongkatnya dikibaskan ke leher
Karang Wesi. Wuttt...! Karang Wesi merundukkan
kepala, dan tongkat itu mengenai sebongkah batu.
Prakk...! Batu pecah menjadi puluhan bagian kecil-kecil.
Karang Wesi cepat mencabut kapaknya, lalu dengan satu pekikan keras ia pun
menyerang Nyai Pungkur Maut.
"Hiaaat...!"
Wuttt wuttt wuttt...! Tiga kali Karang Wesi
mengibaskan kapaknya ke arah dada dan pundak Nyai
Pungkur Maut. Tapi kibasan itu selalu ditangkis dengan ringan menggunakan
tongkat rotan tersebut,
Tak tak tak...! Beggk...!"Tangan kiri Nyai Pungkur Maut menghentak ke dada
Karang Wesi. Terpental
seketika tubuh Karang Wesi hingga lima langkah dari
tempatnya berdiri tadi. Ia berguling-guling sebentar, lalu segera berdiri dengan
napas ditarik dalam-dalam. Suatu penyembuhan terhadap luka dalam telah dilakukan
dengan cepat oleh Karang Wesi, caranya dengan hanya
menarik napas dalam-dalam, menyalurkan hawa
murninya ke bagian yang terasa sakit.
Dalam sekejap Karang Wesi siap menghadapi Nyai
Pungkur Maut. Tapi nenek bungkuk itu tiba-tiba
membalikkan diri, memunggungi Karang Wesi. Seketika
itu dari punggungnya yang bungkuk itu keluar sinar biru di luar dugaan Karang
Wesi. Sinar biru itu sebesar
genggaman tangan melesat cepat ke arah Karang Wesi.
Jelas ini jurus yang berbahaya dan tak mungkin bisa
dihadang dengan jurus tenaga dalam lainnya. Maka,
Karang Wesi pun segera lompatkan diri menghindari
sinar biru itu..
Zlapp zlapp zlapp zlapp zlappp...! Sinar biru sebesar genggaman tangan itu
menerjang lebih dari sepuluh
pohon di belakang Karang Wesi. Pohon itu lenyap tak
berbekas sedikit pun bagai ditelan bumi. Kurang dari
dua kejap lebih dari sepuluh pohon yang lenyap
dihantam sinar biru besar dari punggung Nyai Pungkur Maut. Barangkali karena
Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jurus dahsyat yang keluar dari punggungnya itulah maka nenek kempot itu bergelar
Nyai Pungkur Maut. Memang maut yang terjadi jika ia
telah memunggungi lawan dan melepaskan sinar birunya
itu. Kepala Nyai Pungkur Maut berpaling sebentar ke
belakang. Agaknya ia ingin melepaskan kembali sinar
birunya. Karang Wesi segera berguling ke tanah menuju ke arahnya. Lalu, dengan
cepat kapaknya dikibaskan ke betis Nyai Pungkur Maut. Wutt...! Sattt...!
Dengan lincah Nyai Pungkur Maut mengangkat
kakinya itu dan menendang wajah Karang Wesi dengan
cepat. Wusss...! Tabb...! Karang Wesi berhasil menepak telapak kaki lawannya
yang hampir mengenai wajah.
"Uhg...!" Nyai Pungkur Maut tersentak dengan suara tertahan. Tiba-tiba wajahnya
menjadi merah sekejap lalu hitam kelam. Sekujur tubuhnya menjadi hitam, juga
pakaiannya yang mengeras hitam, dan rambutnya pun
keras berwarna hitam bagaikan kawat.
Karang Wesi menendangnya dengan pelan. Wuttt...!
Brusss...! Tubuh Nyai Pungkur Maut ternyata sudah
menjadi arang karena Karang Wesi menggunakan
pukulan 'Angin Lahar' yang cukup dahsyat itu. Hanya
dengan menepak telapak kaki, maka tubuh lawannya
bisa menjadi hangus dan menjadi arang, seperti pohon
yang dipakai berlatih pada malam kemarinnya itu.
Karang Wesi segera menendang tumpukan arang itu
hingga melayang jatuh ke jurang. Tetapi sisa rambut dan pakaiannya masih
tertinggal sebagian di tempat
pertarungan. Karang Wesi lalu menginjaknya
menjadikan arang itu hancur lebur sambil ia menggeram gemas,
"Habislah riwayat kesaktianmu, Nenek kempot!
Hih...!" Tapi tiba-tiba punggung Karang Wesi bagai dilempar
dengan sebongkah batu besar dari belakang. Bukk....!
Wrutt...! Karang Wesi hampir tersungkur dengan
menyakitkan jika tidak segera menggulingkan diri
cepat-cepat. "Uh, punggungku seperti jebol rasanya. Siapa yang menyerangku" Mungkinkah
arwahnya Nyai Pungkur
Maut yang kubuang ke jurang?"
Karang Wesi berdiri tegak kembali, ia segera
mencabut kapaknya. Matanya melirik sekeliling.
Ternyata sepi tak ada orang. Buru-buru ia melompatkan badan tinggi-tinggi dan
bersalto satu kali. Jlegg! Ia berada di depan pintu mulut gua. Siap melepaskan
serangan kepada siapa saja yang muncul di depannya.
Serta-merta Karang Wesi sentakkan kapaknya ke
samping kiri. Wuttt...! Tring...! Sebuah sinar merah
sebesar uang logam melesat ke arahnya dan tertangkis
oleh mata kapak itu, lalu sinar tersebut memantul balik ke arahnya semula.
Blarr...! Brusss...!
Dahan sebuah pohon yang jadi sasarannya langsung
pecah. Dari pohon itu pula sesosok tubuh berkain merah melompat turun dengan
sebatang kayu penumbuk padi
di tangannya. Jlegg...! Alu Amah telah berdiri di depan Karang Wesi.
"Kuakui, hebat pula serangan tangkismu itu, Nak!"
"Siapa kau"!" Karang Wesi memandang dingin.
"Aku si Alu Amah. Gurumu pasti kenal aku! Kau
murid Ki Candak Sedo, bukan"!"
"Apa perlumu datang kemari" Dan apa maksudmu
menyerangku"!"
"Kau penjaga gua ini! Aku yakin, Ki Candak Sedo
ada di dalam sana! Aku harus masuk ke dalam juga!"
"Boleh. Asal kau bisa bikin aku bersujud di
hadapanmu!"
"Aih, kurang ajar betul kau. Anak Muda! Tak kau
dengarkah kesaktian si Alu Amah yang begitu ganas
itu"!"
''Tak ada orang sakti kecuali Karang Wesi!" Ia
menepuk dadanya.
Panas hati si Alu Amah dikatakan begitu. Merasa
disepelekan oleh anak semuda itu, Alu Amah pun segera menggeram dengan matanya
yang cekung memandang
penuh kemarahan.
"Rupanya kau bocah yang patut diberi pelajaran,
supaya tidak mudah tepuk dada di depan orang tua!
Hiaaah...!"
Alu Amah melesat terbang dengan senjata alunya
meluncur cepat bagai ingin menggempur wajah Karang
Wesi. Dengan gerakan berputar cepat, Karang Wesi
membabatkan kapaknya ke atas, tepat membelah kayu
penumbuk padi itu. Crakkk...! Kapak tiga mata menyala merah, dalam gerakan cepat
telah membelah kayu itu
sampai ke bagian yang dipegang tangan Alu Amah.
"Auh...!" Alu Amah terpekik karena pergelangan tangannya terpotong oleh kapak
Karang Wesi. Dengan
cepat Karang Wesi sentakkan telapak tangan kirinya ke telinga Alu Amah. Dess...!
Prakk...! Terdengar tulang kepala patah bagai tempurung buah
kelapa yang dikeprak memakai senjata besi. Darah pun
mengalir dari telinga dan hidung Alu Amah. Dalam
keadaan limbung begitu, kapak Karang Wesi ditebaskan
dari bawah ke atas dalam satu ayunan tangan yang kuat.
"Hiattt..!"
Crasss...! Kapak menebas leher dan leher itu pun
putus. Kepala Alu Amah menggelinding di tanah.
Pluk...! Dan raganya pun menyusul rubuh dalam kejap
berikutnya. Kembali tubuh lawannya yang sudah tak berkepala
itu ditendang dalam satu sentakan kuat dan
menggelinding jatuh ke jurang depan gua. Sementara itu kepalanya pun diangkat
rambutnya dan dilemparkan
begitu saja sambil Karang Wesi menggeram,
"Jangan coba-coba melawan Karang Wesi jika
ilmumu tak melebihi ilmu guruku!"
Wusss...! Kepala Alu Amah dilemparkan ke jurang.
Tapi sebelum Karang Wesi membersihkan kapaknya,
tiba-tiba kepala Alu Amah kembali menggelinding di
depan kaki Karang Wesi. Pluk...!
"Hahh..."!" Karang Wesi terkesiap dengan mulut terlongong. Segera ia lemparkan
pandangan ke arah
jurang depan, dan ia makin terkesiap lagi, karena di sana sudah berdiri seorang
berjubah abu-abu yang menutup
pakaian serba kuningnya itu. Orang itu sedikit agak
gemuk, berkumis, brewok dan berjanggut putih.
Karang Wesi menggumam, "Setan mana lagi yang
muncul ini"!"
Dengan kalem orang brewok putih yang tak lain
adalah Ki Cagar Nyawa maju tiga tindak. Kemudian
dengan suaranya yang masih cukup lantang untuk orang
seusia dia, berserulah Ki Cagar Nyawa dari tempatnya yang berjarak antara tujuh
langkah dari Karang Wesi.
"Kau telah memenggal musuh bebuyutanku, Anak
Muda!" "Apakah itu salahku?"
"Memang tidak. Dan aku berterima kasih padamu.
Tapi aku sangsi apakah kau juga akan memenggalku jika
aku ingin masuk ke dalam gua itu, Anak Muda?"
"Pandangilah kepala musuhmu ini, Pak Tua. Nasibmu akan seperti dia jika kau
nekat mau masuk ke dalam gua ini!"
"O, ya"! Kau penjaga gua yang sakti tentunya! Tapi belum tentu kau bisa menahan
pukulan tongkatku yang
bernama 'Belut Penyebar Maut'! Hiaaah...!"
Wuttt...! Sinar merah melesat dari tongkat lengkung
itu. Sinar merah ini yang dilepaskan untuk menyerang si Alu Amah kemarin malam,
tapi akhirnya menghantam
pohon, dan pohon itu menjadi terpotong-potong menjadi tiga puluh bagian lebih.
Kali ini sinar merah dari jurus
'Belut Penyebar Maut' itu dilepaskan untuk menghantam tubuh Karang Wesi. Tetapi
dengan cepat Karang Wesi
menghadangkah kapak tiga mata itu ke depan, dan sinar merah tersebut menghantam
kapak tiga mata,
Trangngng...! Zrrrubb...!
Sinar merah padam seketika. Hilang entah ke mana.
Sedangkan kapak tiga mata masih utuh dengan kilauan
cahaya logamnya yang terkena pantulan sinar matahari.
"Edan bocah ini!" Ki Cagar Nyawa terbelalak matanya. "Kapaknya bisa menahan
jurus 'Belut Penyebar Maut'-ku! Ini sungguh-sungguh mengagumkan bagiku!
Tak pernah ada yang bisa menahan sinar merah itu,
selain hanya menghindarinya! Tapi sekarang apa yang
ku lihat ini bukanlah mimpi!" ucap Ki Cagar Nyawa dalam hatinya.
Kapak itu terbagi tiga mata, kanan-kiri dan tengah.
Yang tengah sama lebarnya dengan mata kampak kanan-
kiri. Dan sekarang Karang Wesi menebaskan kapaknya
dari kanan ke kiri, tapi mendadak berhenti di depan
dada. Zlappp...! Sinar hijau pijar melesat dari mata
kapak yang tengah dan menyerang Ki Cagar Nyawa
dengan cepatnya.
"Hiaaat...!" Ki Cagar Nyawa sentakkan kaki dan menghindari sinar hijau itu
dengan tubuh melompat ke
atas. Tapi ia sedikit terlambat sehingga, crass...! Sinar itu menyerempet bagian
betisnya. Ki Cagar Nyawa segera
memekik. "Aaahg...!" matanya terpejam kuat dan ia pun rubuh tak bisa berdiri. Betisnya
koyak tanpa keluarkan darah merah, melainkan mengeluarkan lendir hitam yang
berbau busuk. "Sebaiknya kau minggat secepatnya dari sini, Pak Tua! Kuberi waktu kau tiga
helaan napas, jika tidak
kubunuh kau seperti si Alu Amah itu! Mengerti"!"
"Baiklah! Kau unggul sekarang, Anak Muda! Tapi
sepergiku nanti, ingatlah... kau tak akan aman! Karena banyak tokoh sakti yang
sedang menuju kemari untuk
perebutkan Minyak Darah Malaikat di dalam gua itu!
Ingatlah, lebih dari ratusan tokoh mungkin akan datang,
.dan kau tak akan sanggup menghadapi mereka satu
persatu!" Wuttt...! Setelah berkata demikian, Ki Cagar Nyawa
berkelebat pergi, tanpa pedulikan diri Karang Wesi yang tertegun dan menggumam,
"Seratus tokoh sakti harus kuhadapi..."!"
* * * 5 SUNGAI yang mengalir melewati relung celah dua
tebing tinggi itu, konon berasal dari mata air di lereng Gunung Kundalini. Air
itu bening dan menyegarkan.
Kesegaran airnya sungguh menggiurkan para pengelana
yang dipanggang terik matahari siang itu. Bebatuan yang timbul di sana-sini
dalam ukuran besar, merupakan
tempat nyaman untuk beristirahat. Karena di pinggiran sungai bening itu banyak
terdapat pohon berdaun
rindang yang meliuk ke arah sungai. Bila angin datang menebarkan dedaunan,
seakan angin telah mengaturnya
agar dedaunan tidak jatuh di air sungai, melainkan di tepiannya. Bahkan lebih
sering daun jatuh di dataran
yang menyerupai tanggul berhutan itu.
Di atas salah satu batu hitam yang ada di pinggiran
sungai, tampaklah seorang pemuda yang sedang
mencuci wajahnya dengan air tersebut. Pemuda itu
berambut panjang tanpa ikat kepala, wajahnya tampan
mengagumkan setiap lawan jenisnya, ia menyandang
bumbung tuak di punggung, dengan mengenakan baju
tanpa lengan warna coklat dan celana putih. Pemuda itu bertubuh tinggi, tegap
dan tampak gagah jika berjalan.
Buat kalangan tokoh wanita di rimba persilatan,
pemuda itu sudah tak asing lagi bagi mereka, karena
daya pikatnya yang luar biasa sering membuat mereka
terbuai oleh khayalan sendiri. Pemuda tampan itu tak
lain adalah murid sinting si Gila Tuak, yaitu Pendekar Mabuk, yang punya nama
panggilan Suto Sinting.
Dalam perjalanan pengejarannya terhadap musuh
utamanya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa, Suto agaknya
merasa lelah dan butuh istirahat beberapa waktu. Tepian sungai yang teduh
menjadi pilihannya, ia menenggak
tuaknya beberapa kali. Lalu sandarkan duduknya ke batu datar. Hatinya pun
membatin. "Siluman Tujuh Nyawa kurasa tak jauh dari tempat ini! Kulihat ia tadi menghilang
di ujung sungai sana.
Mungkinkah di sekitar sini tempat persembunyiannya"!
Ah, tak perlu terlalu memburu, nanti dia akan muncul
sendiri atau akan kutemukan tempat persembunyian
manusia terkutuk itu! Aku butuh istirahat dulu,
menyegarkan diri agar tak terlalu tegang dalam
pengejaranku nantinya!"
Tetapi tiba-tiba Suto memiringkan kepalanya, ia
seperti mendengar suara orang membentak. Dahinya
berkerut untuk menangkap suara itu. Hatinya kembali
membatin, "Sepertinya ada suara orang di sekitar sini. Tak jauh dari tempat ini! Hmmm...
seperti suara dua orang
perempuan bertengkar saling debat dan saling bentak! Di sebelah mana kira-kira"
O, di sebelah kiriku! Berarti arah menuju ke hulu sungai"! Sebaiknya aku ke sana
untuk melihat kejadian itu! Apa yang sedang mereka
pertengkarkan?"
Pendekar Mabuk memang sering punya keusilan kecil
yang tak merugikan orang lain. Kadang ia sering
menguping pertengkaran orang, lalu mengambil
hikmahnya bagi hidupnya sendiri. Kadang ia juga
menggoda hati perempuan dengan senyumnya, lalu
menyadarkan perempuan itu agar tak mudah tergoda
oleh ketampanan yang tidak semuanya mendatangkan
bahagia di hati mereka. Seperti halnya kali ini, Suto bermaksud mencuri dengar
pertengkaran dua perempuan
yang sedang dicari sumbernya itu.
Kedua perempuan itu sebenarnya baru saja tiba di
tepian sungai, arah ke hulu. Bahkan tak seberapa jauh dari Suto beristirahat.
Tapi karena mereka berada di
balik gugusan cadas tebing rendah, maka Pendekar
Mabuk tak sempat melihat kedatangan mereka di tempat
itu. Andai dinding tebing cadas itu tak ada, maka Suto bisa menyaksikan
pertengkaran dua gadis itu dari tempat duduk semula.
Dua gadis itu agaknya berselisih dengan tegang.
Yang berbaju ungu melepaskan serangan melalui
pukulan jarak jauhnya. Tetapi pukulan itu bisa dihindari dengan kelincahan gerak
Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
salto gadis berpakaian hijau
muda. Pakaian pinjung sebatas dada yang menampakkan
kemontokan buah dadanya itu tanpa dilapisi jubah apa
pun. Dengan berpakaian pinjung hijau sebatas dada dan celana ketat hijau
bersabuk merah, gadis bersanggul
tinggi itu tampak lebih ramping dan menantang lekuk-
lekuk tubuhnya. Ia
menyandang pedang di
punggungnya. Usianya sekitar tiga puluh tahun,
sedangkan yang berbaju ungu longgar itu berusia dua
tahun lebih muda.
Kali ini yang berbaju ungu serukan kata, "Andini!
Kalau kau nekat berangkat ke sana, terpaksa aku
bertindak lebih kasar lagi padanku! Jangan kau salahkan aku jika aku lebih kasar
bertindak padamu, Andini!"
"Apa hakmu melarangku pergi, Gayatri"! Kita sudah dewasa dan punya urusan
masing-masing!"
Gayatri, si gadis berbaju ungu itu, memandang
dengan wajah cemberut marah kepada Andini, yang
menyandang pedang di punggungnya. Gayatri berambut
panjang sebatas lewat punggung sedikit dan dilepas
meriap begitu saja, sehingga sesekali rambut itu meriap di depan wajahnya,
membuat kecantikannya tampak
samar-samar. Gayatri mempunyai kecantikan lembut,
berbeda dengan Andini yang berkesan cantik-cantik
genit. Yang jelas ia tidak kelihatan lembut seperti
Gayatri. Tetapi melihat gerak saltonya yang tadi
menghindari pukulan lawan dapat dilihat bahwa ia
berilmu tinggi.
"Ingat, Gayatri! Sekali lagi kau masih mengejarku, kuhabisi nyawamu di mana saja
kita bertemu!"
"Aku tak takut dengan gertakanmu!"
"Kau akan menyesal kalau aku sudah melepaskan
pukulan mautku!"
"Tak seberapa hebat pukulanmu itu, Andini!
Lakukanlah kalau memang kau mampu melukaiku!"
"Anak tak tahu diuntung kau! Hiaaat...!" Andini melesat terbang ke arah Gayatri.
Dengan satu sentakan Gayatri melambung tinggi dan menyambut pukulan
telapak tangan Andini dengan cepat.
Plak plak plak plak...!
Pukulan itu saling beradu, saling tangkis, cepat sekali
kelebatan gerak tangan mereka, sehingga ketika
keduanya sama-sama mendarat di tanah berpasir sungai
itu, mereka sudah sama-sama
menyelesaikan pertarungan satu jurus. Keduanya tak ada yang terluka.
Keduanya sama-sama pandangi lawan masing-masing
dengan mata tak berkedip.
Tetapi tiba-tiba tubuh Andini melesat lompat dan
berputar cepat bagaikan pusaran angin beliung. Wuttt...
plokk! Rupanya Andini mengirimkan tendangan
kipasnya dengan sangat kuat dan tepat mengenai
sasaran. Wajah Gayatri bagai tertampar kuat-kuat hingga ia terlempar ke samping
dan berguling-guling.
Kepalanya menjadi pusing, pandangan matanya gelap, ia berdiri dengan meraba-
raba. Serrt...! Pedang dihunus dari sarungnya, Andini
segera lompatkan diri ke arah Gayatri yang buta sejenak itu dengan pedang siap
ditebaskan. Tetapi pada saat
pedang ditebas ke depan, tiba-tiba sebuah kilatan sinar hijau melesat cepat dari
arah samping dan menghantam
mata pedang itu. Trangng...! Pedang itu pun terpental jatuh ke air sungai.
Andini terkejut bukan kepalang.
Lalu, cepat-cepat ia melompat dan mengambil
pedangnya di dasar air yang dangkal itu. Tinggi air
hanya sebatas mata kaki lewat sedikit.
Gayatri sendiri buru-buru meraba permukaan air dan
mencuci matanya dengan air bening tersebut. Kebutaan akibat jurus 'Tendangan
Gelap Sampar' itu memang bisa membutakan lawan, tapi setelah mata dicuci dengan
air biasa, maka pengaruh 'Tendangan Gelap Sampar' sirna
seketika, dan mata bisa kembali melihat dengan terang.
Sementara Andini masih bingung mencari-cari
pemilik sinar hijau, tiba-tiba datang serangan dari
Gayatri yang mencabut trisula dari pinggangnya. Trisula itu cepat ditusukkan ke
dada Andini. Trangng...!
Andini menahan trisula itu dengan pedangnya,
Pedang masuk ke sela-sela trisula dan Gayatri
mendorongnya lebih kuat lagi. Dalam kesempatan itu,
Andini menggunakan kakinya untuk kembali
menendang lawannya dengan sasaran ulu hati. Bukk...!
"Ehhg...!" Gayatri terpekik tertahan. Tubuhnya terbuang ke belakang dan jatuh
terkapar dengan susah
bernapas. Andini segera mengayunkan pedangnya untuk
menusuk perut Gayatri. Tetapi tiba-tiba sebuah pukulan jarak jauh tanpa sinar
menghantam kuat lengan kanan
Andini. Buggh...! Brusss...!
Andini jatuh terpental, bahkan sempat melayang dulu
beberapa saat. Cukup jauh jatuhnya, antara tujuh langkah dari tempat semula.
Bahkan sekarang tubuh itu
membentur batu besar dengan kuat. Beggh!
"Uuh...!" Andini mengeluh, meringis kesakitan.
Tulang punggungnya bagai terasa patah, ia tak bisa
bangkit dalam waktu cepat, ia menggeliat-geliat dulu
dalam keadaan duduk sambil masih memegangi
pedangnya. Sementara itu, Gayatri memandangi Andini
dengan dahi berkerut dan terheran-hefan.
"Pasti ada orang ketiga!" pikir Gayatri. Lalu, ia berpaling ke belakang tempat
diperkirakan datangnya
serangan itu. Dan ternyata di sana sudah berdiri seorang pemuda tampan
berpakaian coklat dan putih celananya.
Gayatri buru-buru bangkit setelah merasakan
kesesakan napasnya terkuasai. Suto Sinting sunggingkan senyum. Rambut Gayatri
tersirat ke depan sebagian.
Matanya jelas menatap tajam pada Suto dengan wajah
sengit. Sedikit menyipit tanda bermusuhan.
Pendekar Mabuk melebarkan senyum dan berkata,
"Maaf, aku tidak bermaksud mengganggu kegembiraan bertarungmu, tapi aku hanya
menyelamatkan pedang itu
jangan sampai melukai tubuhmu, Nona!"
"Manusia lancang! Hiaaat...!"
Gayatri bahkan menyerang Pendekar Mabuk dengan
pukulan tenaga dalam yang bisa keluarkan cahaya ungu
dari telapak tangannya itu. Suto menjadi kaget, dan cepat sentakkan bumbung
tuaknya ke depan dada untuk
menghadang sinar ungu yang tidak disangka-sangka itu.
Wuttt...! Trasss...! Zlubb...!
Sinar ungu itu bagai benda keras menghantam
sebidang karet yang sangat lentur. Sinar itu berbalik ke arah semula dengan
ukuran lebih besar dan lebih cepat gerakannya. Hal itu membuat Gayatri
tercengang dalam
sekejap, lalu cepat sentakkan kaki, tubuhnya tersentak terbang ke atas dan
bersalto satu kali di udara.
Sedangkan sinar ungu itu akhirnya menghantam sebuah
batu besar. Blarrr...!
Batu itu pecah menjadi bongkahan-bongkahan
sebesar genggaman tangan. Padahal sebelumnya batu itu berukuran sebesar kerbau
gemuk. Hal itu membuat
Gayatri makin melebarkan matanya, tercengang-
cengang, karena ia tidak merasa punya pukulan sinar
ungu yang bisa bikin batu besar pecah menjadi kecil-
kecil seperti kepalan tangannya. Biasanya jika sinar ungu itu menghantam batu,
yang terjadi kemudian batu
itu pecah menjadi dua atau tiga bagian. Tapi mengapa
sekarang sinar ungunya itu menjadi lebih dahsyat dari biasanya"
Hal yang makin membuat Gayatri tak bergeming dari
tempatnya itu, ternyata pecahan batu sekepalan manusia itu telah menjadi arang
yang kropos. Mudah diremas,
bahkan hancur begitu terbentur batu lainnya. Gumpalan-gumpalan batu itu
mengambang di permukaan air sungai
dan satu demi satu hanyut terbawa air sungai, bagaikan benda tanpa mempunyai
berat sedikit Keadaan seperti itu membuat Andini juga mendelik,
ia sama sekali tak menyangka bahwa Gayatri
mempunyai ilmu sehebat itu. Sementara ilmu
terhebatnya tidak bisa membuat batu besar pecah dan
pecahannya menjadi arang yang terapung-apung di atas
permukaan air. Melihat hal itu dalam hati Andini jadi bertanya, "Dari mana dia
memiliki ilmu itu" Sejak kapan Gayatri memilikinya"!"
"Mengapa kau menyerangku, Nona Manis"!" tanya Pendekar Mabuk memecah kesunyian
mereka bertiga.
Gayatri tidak menjawab, hanya memandang dengan
wajah cemberut manis. Lalu, tiba-tiba ia sentakkan
kakinya ke samping dengan tinggi, arah tendangan kaki itu menuju ke wajah Suto.
Maka, dengan kibasan dua
jari Suto menangkis tendangan itu. Mata kaki si gadis terkena jari Suto.
Takkk...! "Auuhh...!" Gayatri pejamkan mata sambil meringis kesakitan.
Tiba-tiba sebelum Suto mendekat untuk
menolongnya, Andini melompat tinggi-tinggi bagaikan
terbang, dan pedangnya berkelebat untuk ditebaskan ke leher Suto Sinting.
Wuttt...! Pendekar Mabuk sentakkan bumbung tuaknya naik ke
atas. Trang...! Pedang Andini bagai menebas sebatang
besi baja. Bahkan pedang itu terpental jatuh dari tangan Andini, karena pada
saat itu tangan Andini merasa
seperti kesemutan. Seolah-olah pedangnya menyentuh
benda yang mempunyai getaran petir melumpuhkan
persendian dan urat-uratnya.
Andini jatuh, dengan buru-buru pedangnya diambil
oleh Gayatri, dan sekarang pedang itu ditodongkan ke
leher Suto Sinting seraya Gayatri berseru,
"Lepaskan bumbung keparat itu atau kurobek
lehermu dengan pedang ini!"
"Sabar, Nona...!"
"Lepaskan bumbung keparat itu! Buang!" bentak Gayatri makin melotot matanya.
"Robeklah leherku kalau kau memang tega!"
Andini berseru, "Robek dia, Gayatri! Robek!"
"Diam...!" bentak Gayatri kepada Andini. Matanya mendelik kepada wanita
berpakaian hijau muda. itu.
Pendekar Mabuk segera sentilkan jarinya dari bawah
ke atas. Tass...! Itulah jurus 'Jari Guntur'. Sebuah
sentilan bertenaga dalam mengenai pergelangan tangan Gayatri dan pedang itu pun
terlepas jatuh ketika tangan itu tersentak kesakitan. Plukk...!
Pendekar Mabuk segera menendang pelan bagian
ujung pedang, dan ternyata pedang melesat dengan cepat melewati atas kepala
Andini yang masih terduduk lemas di tanah. Zlappp...! Crusss...!
Sekali lagi kedua perempuan itu saling
membelalakkan matanya. Pedang itu menancap hampir
separo bagian pada sebuah batu besar. Batu itu
sepertinya sebatang pohon pisang yang empuk, bisa
ditancap dengan mata pedang mudah sekali. Dalam tiga
helaan napas, mata kedua gadis itu tak berkedip. Gayatri berkata dalam hatinya,
"Hebat sekali tendangannya! Atau, barangkali pedang Andini telah menjadi pedang
sakti yang bisa membelah
batu?" Sementara itu, Andini segera pula berucap dalam
hatinya, "Sejak kapan pedangku bisa dipakai menembus batu sekeras itu"!"
Suto Sinting menenggak tuaknya dengan santai. Pada
saat itu, Andini mulai pulih kekuatannya, ia segera
bangkit dan melompat ke samping batu besar, lalu
mencabut pedangnya dengan mengerahkan tenaga cukup
besar. Breusss...! Tak disangka seberat itu mencabut
pedang dari dalam batu.
"Urus orang itu!" katanya kepada Gayatri, lalu Andini melesat pergi tinggalkan
Gayatri. "Andini! Tahan...!" seru Gayatri, tapi dianggap angin
lalu saja. Pendekar Mabuk menyahut, "Apakah kau mau aku
mengejarnya"!"
Gayatri bimbang memberi jawaban, ia pandangi
pemuda tampan berwajah bersih itu. Suto jadi kikuk
dipandangi dalam jarak hanya dua langkah, ia cuma
tersenyum-senyum sambil mengalihkan pandangan
mata. Lalu, untuk menutup kekikukannya, Suto
bertanya, "Aku membelamu, tapi mengapa kau menyerangku?"
"Karena kau mau mencelakakan dia!" jawab Gayatri dengan ketus.
"Bukankah dia musuhmu?"
"Dia kakakku!"
"Ooo... pantas!" Pendekar Mabuk manggut-manggut.
"Lalu mengapa kau melarangnya pergi" Akan ke mana dia?"
Gayatri mendenguskan napas lewat hidungnya. Kejap
berikutnya terdengar suaranya melemah, tak seketus
tadi. Bahkan sekarang lebih bernada cemas.
"Aku tak ingin dia terluka! Aku sayang kepadanya, dan takut ia celaka di sana!"
"Di mana maksudmu?"
"Di Gua Sekat Sembilan!"
Suto kerutkan dahi. Agaknya nama Gua Sekat
Sembilan pernah didengarnya, tapi entah dari siapa dan kapan saat mendengarnya.
Maka, Suto pun ajukan tanya,
"Ada apa dengan Gua Sekat Sembilan?"
Gayatri berpaling memandang Suto, rambutnya
sebagian meriap di wajari cantiknya, kemudian ia
berkata, "Kau masih hijau di rimba persilatan, rupanya!"
"Anggap saja begitu, Tapi aku butuh jawabanmu, ada apa dengan Gua Sekat
Sembilan?"
"Para tokoh rimba persilatan sekarang pasti sedang menuju ke sana untuk
mengambil minyak keramat yang
bernama Minyak Darah Malaikat! Minyak itu jika
dipakai mandi bisa membuat tubuh kita kebal senjata dan pukulan tenaga dalam apa
pun! Bahkan minum
racun pun tak akan mati, sekalipun racun berkadar
tinggi! Kakakku ingin mendapatkan Minyak Darah
Malaikat, tapi aku ingin mencegahnya. Sebab dengan
begitu ia pasti akan bertarung dengan tokoh sakti dari berbagai penjuru dunia.
Dan aku tak mau kakakku
celaka!" "O, begitu"!" Suto manggut manggut. "Lalu, mengapa kau tidak mendampinginya saja
Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
supaya dia tidak celaka oleh pertarungan di sana" Bukankah kau
bisa menjadi pelindungnya secara diam-diam?"
"Ilmu kami tak akan mampu mengalahkan para tokoh sakti. Sebab gua itu pasti akan
dipenuhi orang berilmu tinggi, yang tidak tanggung-tanggung ilmunya."
"Hmmm...!" Pendekar Mabuk manggut-manggut.
"Bagaimana kalau kuantarkan kau pergi ke Gua Sekat Sembilan, untuk melindungi
kakakmu itu?"
Gayatri tertegun. Tak menyangka Suto akan tawarkan
diri begitu. * * * 6 SEPERTI yang dikatakan Gayatri, para tokoh sakti
pasti akan datang ke gua itu. Dan memang benar.
Mereka datang silih berganti. Mati satu, muncul satunya lagi. Pergi satu, datang
yang lainnya lagi. Sampai-sampai Karang Wesi merasa muak menghadapi mereka
secara berganti-gantian. Hampir-hampir Karang Wesi
tak punya waktu untuk beristirahat.
Berulangkali Karang Wesi melontarkan keluh,
"Mengapa jadi aku yang kerepotan sendiri menghadapi mereka" Kalau hanya
jumlahnya dua-tiga orang
mungkin tak seberapa. Tapi ini... mungkin sudah ada dua puluh orang yang
kukalahkan, baik mati di tanganku
atau lari karena luka! Lantas sampai kapan serangan
mereka akan berhenti"! Kapan aku akan beristirahat?"
Mereka yang mati, langsung dibuang oleh Karang
Wesi ke jurang. Bahkan ada yang belum mati, tapi
masuk jurang karena terpeleset. Kapak bermata tiga itu tak pernah kering oleh
darah. Baru saja mau dikeringkan sudah datang mangsa lagi yang mendesaknya untuk
berkelebat merobek bagian tubuh lawan atau memenggal
kepala lawan. Pada umumnya mereka yang datang
bukan berilmu rendah. Tapi beruntung sekali Karang
Wesi, karena semua ilmu milik Ki Candak Sedo telah
diturunkan kepadanya, sehingga mereka yang datang
sama saja bertarung melawan kesaktian Ki Candak Sedo.
Bahkan kali ini kesaktian Ki Candak Sedo berada di
tangan orang perkasa dan lebih kekar lagi dari pemilik aslinya.
"Lama sekali Guru berada di dalam" Jangan-jangan dia mati karena salah masuk
ruang bercahaya sembilan
itu?" pikir Karang Wesi. Maka, ia pun bergegas masuk ke dalam gua untuk menyusul
gurunya. Tapi baru saja ia melangkahkan kaki satu tindak, tiba-tiba sebuah pukulan jarak
jauh telah melesat
menghantam punggungnya. Wuttt...! Buhgg...!
Karang Wesi terpelanting dan membentur tepian
mulut gua. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tapi dengan menarik napas
dalam-dalam rasa sakit itu
terkuasai dengan segera. Itulah cara pengobatan yang
dimiliki oleh Ki Candak Sedo.
Cepat-cepat Karang Wesi membalikkan badan dan
memandang ke arah depan. Ternyata seorang berpakaian
loreng macan dan memegang senjata tombak trisula
telah berdiri dengan sikap menantang Karang Wesi.
Sejenak hidung Karang Wesi dienduskan karena
mencium bau busuk yang tadi tak ada, tapi sejak
kemunculan tokoh berpakaian macan loreng itu hawa
busuk menjadi tercium. Itulah tanda bahwa si Macan
Bangkai hadir di situ. Setiap kehadiran si Macan
Bangkai selalu didului oleh bau busuk dari tubuhnya.
Selalu ada udara tak sedap jika Macan Bangkai ada di suatu tempat. Dan hal itu
menggelisahkan orang-orang, termasuk Karang Wesi sendiri sekarang menjadi
gelisah karena terganggu bau busuk itu.
"Mayat dari mana kau, datang-datang menyerangku, hah"!" bentak Karang Wesi
sambil maju empat tindak dari mulut gua.
"Tak perlu kau tanyakan dari mana aku dan siapa
aku! Yang jelas aku tahu kau adalah penjaga gua itu dan tidak akan izinkan aku
masuk, terbukti dari banyaknya mayat yang kau lemparkan ke jurang itu, serta
tanah yang berubah menjadi lembab karena darah!"
"Lantas apa maumu?" Karang Wesi bersikap
menantang, ia masih menggenggam kapaknya yang
belum dibersihkan dari darah itu.
"Sama seperti mereka, aku ingin membunuhmu untuk masuk ke dalam gua itu! Karena
aku ingin mendapatkan
Minyak Darah Malaikat!"
Karang Wesi menghempaskan napas lagi, seperti
orang kesal, namun juga seperti orang membuang bau
tak sedap yang terhirup hidungnya.
"Sebenarnya aku sudah bosan membunuh orang,"
katanya. "Tapi kalau kau memaksaku, apa boleh buat!
Mungkin terpaksa aku harus melakukannya demi
kebanggaanmu!"
"Manusia sombong! Terimalah tombak 'Tiga Setan'-
ku ini! Hiaah...!"
Wussst...! Macan Bangkai melemparkan tombaknya dengan
gerakan cepat. Tombak itu melayang dengan kecepatan
sama dengan cepatnya anak panah yang melesat.
Karang Wesi menghadangnya dengan kampak yang
segera ditebaskan ke depan. Wuttt...! Trangng...! Kapak
itu masuk di celah-celah tiga mata tombak. Tetapi
tombak itu tak mau jatuh melainkan punya kekuatan
dorong yang sangat besar.
Karang Wesi segera kerahkan tenaganya untuk
menahan dorongan tombak tersebut. Tubuhnya sampai
gemetar. Ketiga mata tombak tepat ada di depan
lehernya. Meleset sedikit pasti habislah leher Karang Wesi diterobos mata tombak
berkekuatan besar itu. Kaki Karang Wesi merendah dan salah satunya
dikebelakangkan. Ini untuk menahan daya dorong dari
tombak 'Tiga Setan' itu. Tapi daya dorong yang ada
seolah-olah semakin besar saja. Tubuh Karang Wesi
sedikit mulai tergeser ke belakang. Srekk... srekk...!
Dengan kedua tangan ia bertahan memegangi gagang
kapaknya. Tapi masih saja tombak itu makin berat dan
makin kuat daya dorongnya. Sementara pemiliknya di
seberang sana hanya terkekeh-kekeh menertawakan
kepanikan Karang Wesi.
Bahkan sekarang Macan Bangkai sentakkan tangan
kirinya, ia melepaskan pukulan jarak jauh ke perut
Karang Wesi. Wuttt...! Buehgg!
"Ahg...!" Karang Wesi tersentak ke belakang, perutnya seperti ditendang banteng
mengamuk. Akibatnya pegangan tangannya sedikit lemah. Tombak
Tiga Setan makin mendesak dan sekarang ujungnya ada
persis di depan dagu Karang Wesi. .
"Bangsaaat...!" Karang Wesi menggeram sambil kian kerahkan tenaganya,
keringatnya membanjir di
perlukaan wajah.
"Kau tak bisa menghindari Tombak Tiga Setan-ku,
Kunyuk Bocah! Kau pasti mati, karena tombakku tak
akan mau berhenti menyerang jika sudah lepas dari
tanganku! He he he he...!" sambil berkata begitu, Macan Bangkai melangkahkan
kaki mendekati Karang Wesi.
Tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat melintas
di depan Karang Wesi. Wuttt...! Sett!
Tahu-tahu tombak itu telah hilang dari depan Karang
Wesi. Bahkan daya dorong Karang Wesi yang bertahan
tadi kini membuat Karang Wesi tersungkur jatuh ke
depan. Burkk...!
Sementara itu Karang Wesi segera mendengar suara
orang memekik dengan suara tertahan. Jrubb...!
"Aaahg...!"
Cepat-cepat ia dongakkan kepala memandang ke
depan dalam keadaan masih telungkup jatuh. Dan mata
Karang Wesi pun terkesiap pandangi sesuatu yang di
luar dugaan. Tombak itu ada di tangan seseorang yang telah
dikenal oleh Karang Wesi, yaitu Cambuk Guntur.
Tombak tersebut diambil oleh Cambuk Guntur, lalu
dihujamkan langsung ke dada Macan Bangkai. Tentu
saja Macan Bangkai tak mampu menghindar lagi karena
hal itu terjadi sangat di luar dugaan dan tak pernah
terpikirkan sama sekali olehnya. Akibatnya, ia terpaksa menerima ajal di ujung
tombak senjatanya sendiri. Dan itulah yang dikatakan senjata makan tuan.
Macan Bangkai sempat mengerang ketika napasnya
belum lepas dari raga. Bahkan ia masih berusaha ingin
mencabut tombak mata tiga yang menembus dadanya
itu. Tapi oleh Cambuk Guntur ujung tombak itu makin dihantam dengan telapak
tangannya, membuat tombak
makin masuk ke dalam tubuh dan tembus ke belakang.
Cambuk Guntur pandangi lawannya dengan bengis,
sementara sang lawan mendelik sambil muntahkan darah
dan tak bisa ucapkan kata lagi, lalu rubuh tanpa nyawa.
Dua kali Karang Wesi bertemu dengan Cambuk
Guntur, yaitu pada saat ia diajak pergi oleh Ki Candak Sedo ke sebuah pertemuan
orang-orang sakti di Bukit
Jagal, dan ketika Cambuk Guntur datang sendiri untuk
satu keperluan dengan Ki Candak Sedo di
persemayamannya. Karang Wesi mengenal Cambuk
Guntur sebagai pengelana tanpa tujuan yang pasti.
"Bagaimana keadaanmu, Karang Wesi?" tanya
Cambuk Guntur ketika Karang Wesi telah berdiri
kembali. "Tak apa! Aku hanya tersungkur karena tenagaku
sendiri!" "Kau memang melawan tenagamu sendiri sejak tadi."
"Apa maksudmu?" Karang Wesi kerutkan dahi.
"Tombak Tiga Setan itu kalau semakin dilawan
semakin punya kekuatan dorong semakin besar. Karena
sebenarnya yang keluar dari tombak itu bukan kekuatan tenaga dalam si Macan
Bangkai, melainkan kekuatan
kita sendiri yang memutar balik ke arah kita melalui
tombak tersebut. Kalau kau tadi tidak mendorongnya,
maka tombak itu tidak akan sampai kepadamu."
"Setan Belang! Berarti tadi aku telah bergelut
melawan tenagaku sendiri"!"
"Benar!" Cambuk Guntur tertawa dalam gumam.
"Tapi sudahlah, dia sudah kulenyapkan! Kebetulan aku juga punya masalah pribadi
dengan manusia busuk itu!
Cuih...!" Cambuk Guntur meludah. Segera ia membuang mayat si Macan Bangkai ke
jurang dengan cara
menyeretnya memakai ujung tombak yang masih
menancap kuat itu. Setelah membuangnya ke jurang, ia
pun segera menemui Karang Wesi di depan pintu gua
yang sedang membersihkan kapaknya dari darah lawan
sebelumnya. "Bagaimana kabar Eyang Guru Candak Sedo, Karang
Wesi?" "Beliau dalam keadaan baik-baik saja!"
"Apakah beliau sekarang ada di dalam gua?"
"Ya."
"Apakah aku bisa menemui beliau, Karang Wesi?"
Dahi pemuda itu berkerut dengan mata mulai curiga.
Kemudian ia ajukan tanya,
"Untuk apa" Kau punya keperluan dengan guruku?"
"Ya. Ada kepentingan yang tak bisa kutunda karena sangat pentingnya! Aku pun tak
mau berlama-lama
menunggu di sini, aku harus segera pergi untuk
selesaikan satu masalah lagi, Karang Wesi!"
Tertegun sejenak Karang Wesi
mempertimbangkannya. Setelah itu ia bertanya dengan
nada bimbang, "Kalau boleh aku ingin tahu keperluan itu, supaya aku yakin kau bukan orang
seperti si Macan Bangkai
itu!" "Hmm... begini," kata lelaki berpakaian biru dengan dirangkap rompi kuning itu,
ia sangat rapi dalam
berpenampilan, sehingga timbulkan kesan meyakinkan.
Bicaranya pun tidak kasar, bahkan bersikap penuh
persaudaraan. "Aku bertemu dengan Nyai Sirih Wangsit beberapa
hari yang lalu, dan beliau titip pesan padaku supaya
disampaikan kepada Eyang Candak Sedo. Soal isi
pesannya, tak bisa kusebutkan, karena memang Nyai
Sirih Wangsit melarangku bicara kepada siapa pun
kecuali kepada Ki Candak Sedo. Jadi..., maaf saja, aku tak bisa sebutkan
kepadamu mengenai isi pesan itu!
Yang jelas sangat penting dan berbahaya, jadi harus
secepatnya aku bertemu dengan Ki Candak Sedo dan
berbicara langsung dengan beliau!"
"Begitu?"
"Ya. Kalau bukan pesan penting, aku tak akan
mampir kemari! Karena aku harus segera temui
seseorang di pesisir!" jawab Cambuk Guntur dengan bersungguh-sungguh. Bahkan ia
tambahkan kata,
"Kalau memang sekiranya aku tak bisa temui beliau, ya sudahlah, aku pergi saja
sekarang dan tak perlu
sampaikan pesan itu!"
Bingung juga Karang Wesi mengambil keputusan.
Nyai Sirih Wangsit adalah bekas kekasih Ki Candak
Sedo semasa mudanya. Mereka berpisah karena Nyai
Sirih Wangsit mempunyai penyakit yang sangat
menular, dan perempuan itu tak mau Ki Candak Sedo
menjadi tertular penyakit itu. Tetapi sampai sekarang, sebenarnya mereka masih
saling mencintai, hanya saja Nyai Sirih Wangsit sudah tidak mau bertemu dengan
Ki Candak Sedo, takut tersiksa batinnya. Tentang di mana persembunyian atau tempat
tinggal Nyai Sirih Wangsit, tak seorang pun tahu, sehingga Ki Candak Sedo tak
pernah bisa berkunjung menemui kekasihnya itu.
Mungkin saja sekarang keadaan sudah lain. Mungkin
Nyai Sirih Wangsit ingin memberitahukan kepada Ki
Candak Sedo tentang tempat tinggalnya melalui mulut
Cambuk Guntur. Atau mungkin saja Nyai Sirih Wangsit
rindu ingin berjumpa Ki Candak Sedo di suatu tempat,
dan beliau menyuruh Cambuk Guntur merahasiakan
pertemuan tersebut. Atau mungkin ada urusan pribadi
lainnya yang tak bisa diduga siapa pun, kecuali Cambuk Guntur sebagai si pembawa
dan penyampai berita itu.
Karang Wesi benar-benar dalam kebimbangan. Jika
Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia izinkan Cambuk Guntur masuk ke gua dan temui
gurunya, nanti Karang Wesi disalahkan oleh sang Guru, mungkin kehadiran Cambuk
Guntur justru mengganggu
upayanya menemukan Minyak Darah Malaikat itu. Tapi
jika tidak diizinkan, jangan-jangan Karang Wesi juga yang dimarahi oleh Ki
Candak Sedo karena menahan
pesan dari Nyai Sirih Wangsit" Sedangkan pesan itu
tidak bisa disampaikan melalui murid Ki Candak Sedp,
sehingga mau tak mau Cambuk Guntur harus bertemu
langsung dengan Ki Candak Sedo dan bicara empat
mata. Dalam kebimbangannya itu, Cambuk Guntur se gera
memberi keputusan kepada Karang Wesi,
"Begini saja! Aku akan segera tinggalkan tempat ini untuk mengurus kepentinganku
sendiri! Tapi kuminta
jangan sampai Ki Candak Sedo marah padaku karena
pesan dari kekasihnya ini tidak kusampaikan! Kau harus bertanggung jawab, Karang
Wesi!" "Eh, jangan begitu!" sergah Karang Wesi. "Jangan kau limpahkan kesalahan
kepadaku!"
"Habis kelihatannya kau keberatan jika aku masuk untuk temui Ki Candak Sedo!
Sedangkan urusanku
bukan soal pesan ini! Kalau toh tidak kusampaikan,
bukan aku yang rugi!"
"Baiklah," Karang Wesi menghembuskan napas kesal
"Masuklah dan temui dia. Tapi kalau dia merasa
terganggu dan marah, kau yang bertanggung jawab!
Jangan aku yang menjadi pelampiasan kemarahan
Guru!" "Baik. Aku yang bertanggung jawab!"
"Masuklah!" Karang Wesi menyingkir dan
mengizinkan Cambuk Guntur masuk ke dalam gua untuk
menemui Ki Candak Sedo.
Tetapi tiba-tiba ada sesuatu yang membuat Karang
Wesi tersentak kaget. Lekas-lekas ia menahan lengan
Cambuk Guntur seraya berkata dengan nada pelan,
"Cambuk Guntur, aku mau bicara sebentar tentang
seseorang, kuharap kau tidak keberatan!"
"Tentang seseorang siapa maksudmu?" Cambuk
Guntur kerutkan dahi.
Sambil menuntun lengan Cambuk Guntur, Karang
Wesi berkata, "Kapan kau bertemu Nyai Sirih Wangsit?"
"Kira-kira satu bulan yang lalu, di Lembah Cupu
Hasta?" Keadaan Cambuk Guntur sudah berada di luar gua,
bahkan mereka bicara di bawah pohon berwarna kuning
dari batang sampai daunnya.
"Apakah kau bisa temukan tempat tinggal Nyai Sirih Wangsit?"
"Tidak. Aku bertemu beliau di jalan."
"Benar satu bulan yang lalu?"
"Ya. Benar! Kira-kira satu bulan yang lalu. Ada apa?"
"Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu tempat tinggal beliau."
"Pesan ini tidak menyangkut masalah tempat tinggal beliau."
"Oo...!" Karang Wesi manggut-manggut. "Ya sudah, masuklah sana!"
Cambuk Guntur mulai melangkahkan kaki menuju
pintu mulut gua., Tapi tiba-tiba Karang Wesi mencabut kapaknya dan ditebaskan ke
punggung Cambuk Guntur.
Crasss...! "Heggh...!"
Terhenti dan terpekik Cambuk Guntur seketika itu
juga. Punggungnya menjadi sasaran empuk bagi kapak
tiga mata itu. Salah satu sisi mata kapak menancap
masuk hampir seluruh bagian. Karang Wesi segera
mencabutnya dengan satu sentakan kaki menjejak.
Brukk..!! Tubuh Cambuk Guntur rubuh dengan mulut
ternganga-nganga,
"Modarlah kau, Penipu! Hampir saja aku terkena tipu muslihatmu! Untung aku
segera ingat bahwa Nyai Sirih
Wangsit sudah meninggal enam bulan yang lalu!" geram Karang Wesi sambil pandangi
wajah sekarat Cambuk
Guntur. Di sela napas terakhirnya Cambuk Guntur sempat
ucapkan kata pelan, "Hampir saja kudapatkan minyak itu tapi sayang... kau cerdas
dan... dan.... "Dan tak mudah kau kelabuhi dengan bualanmu!"
sentak Karang Wesi. Tapi pada saat itu Cambuk Guntur
telah menghembuskan napas yang terakhir. Untuk
selanjutnya ia diam tak berkutik sampai selama-lamanya.
* * * 7 DUA hari dua malam, Karang Wesi menjaga mulut
gua itu dengan melayani pertarungan setiap orang yang datang kepadanya.
Sementara dalam hatinya sendiri
penuh kesangsian, apakah gurunya masih ada di dalam
atau sudah pergi lewat jalan lain" Apakah sang Guru
masih hidup atau mati terkena jebakan" Kesangsian itu toh tetap dipendamnya
karena tak berani mengambil
keputusan sendiri. Setiap Karang Wesi ingin menengok
masuk ke dalam gua, selalu saja ada tamu yang
mengancam jiwanya. Mau tak mau Karang Wesi harus
melayani mereka.
Lebih dari tujuh kali nyawa Karang Wesi hampir saja
melayang karena menghadapi musuh yang tangguh.
Empat kali sudah, Karang Wesi menghadapi tipuan yang
nyaris membuatnya kebobolan. Anehnya dari mereka tak
ada yang bersatu menyerangnya. Seandainya ada yang
bersatu menyerangnya, Karang Wesi sendiri sudah
perkirakan bahwa dirinya
tidak akan mampu
membendung kekuatan yang bersatu. Karena selama dua
hari dua malam ia bertarung terus, kerahkan tenaga
terus, sehingga ia merasakan kekuatannya mulai
menurun. Apalagi selama dua malam ia tak tidur, rasa
kantuknya mulai menyerang mata secara bertubi-tubi.
Namun Karang Wesi tetap berusaha agar tidak jatuh
tertidur. Tapi pagi itu, wajah lesu dan kuyu yang ada pada
Karang Wesi menjadi segar kembali. Rasa kantuknya
pun menjadi hilang. Malahan hati Karang Wesi pun
menjadi lega bercampur gembira, sebab Ki Candak Sedo
sudah keluar dari dalam gua. Orang itu keluar sambil
membawa sebuah guci hitam tak terlalu besar.
"Karang Wesi, lihatlah apa yang kubawa ini"!"
katanya dengan tersenyum bangga.
"Guru..."! Bagaimana" Jadi Guru sudah mendapatkan minyak itu?"
"Sudah! Di dalam guci inilah Minyak Darah Malaikat tertampung."
"Oh, syukurlah...! Saya khawatirkan keadaan Guru di dalam sana. Mengapa sampai
selama ini, Guru?"
"Aku harus menundukkan seekor ular sebesar
pahamu! Ular itu tak bisa ditembus dengan pukulan
tenaga dalamku. Bahkan kugunakan pukulan 'Angin
Lahar', tapi ular itu tidak bisa hangus dan menjadi arang seperti yang lainnya."
"Lantas bagaimana cara Guru mengalahkannya?"
"Dengan kekuatan batin aku menundukkan dia, dan
ternyata ular itu lenyap begitu saja. Kemudian aku
dihadapkan pada pilihan yang membuatku bimbang."
"Pilihan apa itu, Guru?" desak Karang Wesi ingin tahu banyak tentang pengalaman
memperoleh Minyak
Darah Malaikat itu.
"Sebelumnya aku sudah tahu bahwa dari kesembilan ruang bersekat itu, hanya ruang
yang memiliki cahaya
hijau yang menyimpan minyak ini! Tetapi ternyata
sembilan ruang itu memancarkan sinar hijau semuanya.
Mau tak mau aku harus memilih mana yang punya sinar
hijau asli. Aku hampir saja mati terjebak gas beracun yang ternyata ruangan itu
adalah ruangan bersinar gelap alias tanpa sinar. Aku juga hampir mati dihujam
seratus tombak, dan ternyata ruangan itu bersinar kuning.
Sampai empat kali aku hampir mati di dalam sana, lalu akhirnya kutemukan ruangan
hijau yang asli, maka aku
harus melakukan semadi beberapa waktu sampai guci ini muncul sendiri di
depanku!" "Hebat sekali! Kalau bukan Guru yang mengambil
minyak itu, tak mungkin orang lain bisa melakukan
seperti apa yang dilakukan Guru!" ujar Karang Wesi dengan pujian yang
membanggakan hatinya sendiri.
"Mari kita pulang, Muridku! Aku akan mandi minyak ini!"
Belum lagi mereka sempat melangkahkan kaki, tiba-
tiba sekelebat bayangan menyambar tangan Ki Candak
Sedo dengan cepat. Wutt! Guci Minyak Darah Malaikat
hampir saja berpindah tangan. Untung dengan cepat Ki
Candak Sedo segera kelebatkan tangannya yang
memegang guci itu, sehingga terhindar dari sambaran
'maling' tak disangka-sangka.
"Bangsat!" suara besar terdengar dari arah bawah pohon jati merah itu. Suara
tersebut milik orang
berkumis tebal, bermata lebar, rambutnya panjang
dibungkus kain merah, wajahnya angker dan hidungnya
tergolong besar. Orang itu tidak memakai baju,
celananya hitam dengan sabuk hitam besar mempunyai
tempat keris sendiri. Orang itu berkulit hitam, dan
kulitnya tampak tebal. Badannya tinggi, kekar dengan
kuku jarinya runcing-runcing.
"O, kau rupanya, Warok Kober"!" ucap Ki Candak Sedo.
"Syukur kalau kau masih mengenaliku, Candak
Sedo!" katanya dengan suara besar.
"Aku memang mengenalmu, tapi tak menyangka kau
ingin merebut minyak ini dariku, Warok Kober!"
"Ha ha ha ha...! Kau memang perlu memperhitungkan kehadiranku, Candak Sedo.
Memang selama ini kita
berhubungan baik, tak pernah ada perselisihan apa pun.
Pertemuan Di Kotaraja 4 Manusia Harimau Marah Karya S B. Chandra Serikat Serigala Merah 1