Pencarian

Setan Rawa Bangkai 2

Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai Bagian 2


berduri. Guzraak...!
ia bagaikan tersapu badai yang sulit dihindar!
lagi. Bahkan semak yang diterabasnya menjadi rusak, akar-akarnya
berhamburan keluar dari tanah.
"Siapa yang menyerangnya"!" pikir Suto Sinting sambil berusaha memandang keadaan
sekeliling. Tapi tak ada
bayangan manusia yang berdiri di
sekitar tempat itu.
"Ah, persetan dengan penyerangnya itu! Tuak harus kuminum lebih dulu
supaya mengembalikan tenagaku!"
Glek, glek, glek...!
Tiga teguk tuak sudah cukup
menyegarkan tubuh Pendekat Mabuk.
Tenaganya yang pulih secara sedikit demi sedikit itu membuatnya lekas
bangkit berdiri dan memandang ke arah jatuhnya Setan Rawa Bangkai. Tampak kepala
Setan Rawa Bangkai tersumbul dari ketinggian semak ilalang. Agaknya tokoh
berilmu tinggi itu ingin lakukan serangan kembali kepada Suto Sinting.
Zaaap...! ia muncul dalam gerakan
secepat kilat, dan tahu-tahu sudah
berada di depan Suto Sinting.
Namun lagi-lagi sebuah serangan
yang tak berbentuk dan tak berwarna itu datang kepadanya membuat tubuhnya
tumbang ke belakang dan berguling-guling bagai
dilanda badai. Wut,
brruuus...! Wes, wes, wes...!
Guzraaak...! "Siapa orang yang menyerangnya"!"
pikir Suto Sinting dengan rasa heran.
"Sepertinya serangan itu ditujukan untuk membelaku. Hmmm... kurasa dia adalah
orang yang membantuku
menghindari bahaya saat aku ada di
pantai dan saat aku bertarung melawan Dewa Tengkorak. Oh, ya... sebaiknya
kuselamatkan dulu Ki Tumbang Laga yang sedang sekarat itu!"
Weeess...! Suto Sinting menyambar
tubuh Ki Tumbang Laga. Zlaaap...! Ia pun segera membawa pergi Ki Tumbang Laga
yang sekarat itu dengan
pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Ia tinggalkan Setan Rawa Bangkai demi menyelamatkan Ki Tumbang Laga dan
tidak mempedulikan siapa orang yang membelanya itu.
Jauh dari kaki Gunung Babat,
Pendekar Mabuk meletakkan tubuh Ki
Tumbang Laga yang sudah seperti kertas putih itu,
ia paksakan mulut Ki
Tumbang Laga untuk menerima kucuran tuaknya. Beberapa teguk tuak masuk ke
tenggorokan Ki Tumbang Laga, hingga akhirnya Ki Tumbang Laga tersedak dan
terbatuk-batuk. Darah kental keluar dari mulut itu bercampur dahak. Tapi
beberapa saat kemudian, napas Ki
Tumbang Laga menjadi lega dan wajah pucatnya berangsur-angsur pudar. Tokoh tua
itu pun membuka mata pelan-pelan.
* * * 6 NODA hitam di dada KI Tumbang
Laga yang membentuk telapak tangan
itu, telah lenyap sejak Ki Tumbang
Laga meneguk tuak saktinya Pendekar Mabuk. Bahkan rasa sakit di sekujur tubuhnya
pun telah hilang sama sekali.
Ki Tumbang Laga merasa lebih segar dan lebih sehat dari sebelum lakukan
pertarungan dengan Setan Rawa Bangkai.
"Terima kasih atas
pertolonganmu," kata Ki Tumbang Laga
dengan pandangi Suto Sinting penuh
rasa kagum. "Aku hanya menuangkan tuak ke
mulutmu, Ki. Tak ada lain yang
kulakukan kecuali itu."
"Itulah sebabnya aku berterima kasih padamu, karena kau tidak
menyiramkan tuak ke mukaku," ujar KI Tumbang Laga dalam nada kelakar.
"Seandainya kau tidak datang dan membawaku pergi dari sana, mungkin
saat ini aku hanya bisa melambaikan tangan padamu dari pintu neraka."
Pendekar Mabuk hanya tertawa
kecil tanpa suara.
"Tadi aku sudah sempat melihat pintu neraka, tapi masih tertutup. Aku tak berani
mengetuk, takut dipaksa
masuk ke sana oleh penjaganya."
Tawa Pendekar Mabuk kian melebar
dan kali ini disertai suara seperti orang menggumam. Ki Tumbang Laga pun tampak
tidak seperti memendam dendam kepada lawannya, ia justru seperti
orang yang tidak pernah lakukan
pertarungan maut dengan siapa pun.
"Mengapa sampai terlibat
bentrokan dengan Setan Rawa Bangkai, Ki?"
"Dari mana kau tahu kalau lawanku
tadi adalah Setan Rawa Bangkai?"
"Ciri-cirinya kudengar dari
penjelasan Nyai Kidung Laras."
"O, si cantik dari Lembah Hijau itu?" ujar Ki
Tumbang Laga yang
rupanya kenal dengan Nyai Kidung
Laras. Tokoh tua itu manggut-manggut dalam senyumnya yang membuat wajahnya
tampak lucu. "Dia memang pernah bertemu dan beradu ilmu dengan Marundang, tapi ia hampir mati
kalau tak segera larikan diri. Aku kenal baik dengannya. Dulu aku pernah naksir
dia, tapi karena dia tidak naksir diriku, akhirnya aku
terusir dari hatinya. Kasihan, ya?"
"Siapa yang kasihan?"
"Diriku ini!" jawabnya sambil tertawa kecil. "O, ya... boleh aku minta tuakmu
sedikit lagi, Suto?"
"Mengapa tidak, Ki" Silakan minum sepuas hatimu! Tuakku masih tersedia cukup
banyak, separuh bumbung lebih."
Pendekar Mabuk serahkan bumbung
tuaknya, kemudian Ki Tumbang Laga
menenggaknya beberapa teguk, ia
menghembuskan napas kelegaan melalui mulutnya dan sempat bertahak panjang tanda
kekenyangan minum tuak.
"Seroja Putih, adiknya Kenanga
Pilu, dibunuhnya saat Dewa Tengkorak menyerang Perguruan Tapak Dewa,"
ujarnya membuat Suto Sinting terkejut.
"Jadi Kenanga Pilu punya adik
bernama Seroja Putih?"
Ki Tumbang Laga anggukkan kepala
dengan wajah duka sebentar.
"Kala itu aku dan kakakku;
gurunya Seroja Putih, sedang tidak ada di tempat. Dewa Tengkorak dibantu
Setan Rawa Bangkai lakukan pembantaian di Perguruan Tapak Dewa."
"Mengapa sampai terjadi begitu?"
"Seroja Putih pernah hampir
membuat Dewa Tengkorak mati hangus.
Rupanya dendam itu masih membekas di hati Dewa Tengkorak. Tanpa dukungan Setan
Rawa Bangkai, Dewa Tengkorak tak akan berani menyerang Perguruan Tapak Dewa."
Pendekar Mabuk angguk-anggukkan
kepala. "Agaknya kemunculan Setan Rawa Bangkai benar-benar dimanfaatkan oleh
Dewa Tengkorak untuk membalas dendam terhadap musuh-musuhnya," pikir Suto
Sinting. "Keganasan Dewa Tengkorak timbul secara liar karena merasa
mendapat dukungan kuat dari Setan Rawa Bangkai. Seandainya si Setan Rawa
Bangkai dapat dilenyapkan, maka Dewa
Tengkorak akan kehilangan nyali dan tak berani bertindak seenak bodongnya
begitu!" Ki Tumbang Laga berkata dengan
memandang ke arah lain, "Tentu saja sepak terjang Dewa Tengkorak disambut baik
dan didukung penuh oleh Setan
Rawa Bangkai, sebab orang terkutuk
berbau busuk itu memang kehendaki agar tokoh-tokoh aliran putih hancur semua.
Ia ingin tampil sebagai tokoh
tertinggi di rimba persilatan yang
kelak akan mempunyai pengikut dalam jumlah banyak."
"Jika boleh kusimpulkan, kunci kekejaman Dewa Tengkorak itu terletak pada
kesaktian Setan Rawa Bangkai,
Ki?" . "Benar. Sedangkan si Setan Rawa Bangkai sendiri sebenarnya lebih kejam dan lebih
ganas dari Dewa Tengkorak.
Jika tokoh sesat itu tidak dilenyapkan dengan segera, maka dunia persilatan kita
akan diselimuti kabut hitam.
Setiap perguruan akan mengalami masa berkabung yang tiada habisnya."
"Jika begitu, kusarankan agar Ki Tumbang Laga kembali menghadap Eyang Darah
Guntur dan jangan pergi ke mana-mana. Serahkan persoalan ini padaku.
Aku akan mengatasi kekejian Setan Rawa Bangkai dan Dewa Tengkorak."
Ki Tumbang Laga tertawa terkekeh-
kekeh, membuat Suto Sinting memandang dengan berkerut dahi karena merasa
heran. Rasa penasaran terhadap tawa itu membuat Suto Sinting akhirnya
ajukan tanya, "Mengapa kau menertawakan kata-kataku, Ki?"
"Karena aku tak yakin bahwa kau bisa mengungguli ilmunya Setan Rawa Bangkai.
Orang itu bukan tandinganmu, Nak. Satu-satunya orang yang bisa
ungguli kesaktian Setan Rawa Bangkai adalah gurumu sendiri: si Gila Tuak."
"Tidak mungkin!" sergah Pendekar Mabuk. "Guru tidak akan turun tangan lagi di
rimba persilatan! Seandainya harus turun tangan lagi, maka aku
adalah orang pertama yang akan
mengawali pertarungan dengan Setan
Rawa Bangkai. Aku tak ingin bertumpang tangan sementara Guru lakukan
pertarungan dengan lawannya. Siapa pun yang menjadi musuh Guru harus
berhadapan denganku lebih dulu."
"Dan kau akan mati konyol di
tangan Setan Rawa Bangkai!"
"Itu sudah menjadi bagian dari
tanggung jawabku!" sahut Suto Sinting dengan tegas. "Mati konyol ataupun mati
tidak konyol bagiku sama saja."
"Jiwa kependekaranmu begitu
kuat," kata Ki Tumbang Laga sambil menepuk-nepuk pundak Pendekar Mabuk.
"Kuakui nyalimu sangat besar, tak ubahnya seperti gurumu: si Tua Bangka dan
Bidadari Jalang. Tetapi perlu
diingat, Suto... melawan kekejian itu tidak harus dengan modal keberanian
belaka. Otak pun harus ikut bekerja agar kita tidak mati konyol tapi
kekejaman itu bisa tersingkirkan."
"Melawan orang seperti Setan Rawa Bangkai tak perlu harus menggunakan siasat
yang memeras otak, Ki. Keberanian dan kecepatan gerak
merupakan modal utama untuk tumbangkan Setan Rawa Bangkai dan pengikutnya,
seperti si Dewa Tengkorak itu."
Ki Tumbang Laga manggut-manggut
sambil tertawa terkekeh.
"Boleh, boleh... kau boleh saja bilang begitu. Tapi percayalah, ilmu yang kau
miliki belum cukup untuk
melawan Setan Rawa Bangkai, apalagi sekarang ia mempunyai ilmu 'Sukma Sakti' dan
'Cakar Belah Jagat' yang berbahaya itu. Kau harus punya ilmu
tandingannya, Suto. Kau bisa
memintanya dari gurumu; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Kurasa mereka
punya ilmu tandingan tersebut."
Tiba-tiba sebuah suara terdengar
menyahut dari belakang mereka,
"Mereka tidak punya ilmu
tandingan!"
Suto Sinting dan Ki Tumbang Laga
sama-sama terkejut, keduanya sama-sama segera menengok ke belakang. Ternyata
seseorang telah berdiri di sana dalam jarak lima langkah dari tempat mereka
berdiri. Orang yang kini berhadapan dengan
mereka itu mengenakan pakaian serba putih; jubah dan celana putih, sabuk putih,
tanpa baju. Kulit wajahnya
pucat dan tampak sekali ketuaannya, ia berusia sekitar sembilan puluh tahun.
Rambutnya yang panjang acak-acakan itu berwarna putih rata. Alisnya pun putih
rata. Matanya sedikit cekung, tanpa kumis dan jenggot. Tapi ia mempunyai kuku-
kuku yang panjang. Saat melangkah tiga tindak, ia tampak tertatih-tatih.
Tokoh tua serba putih ini dikenal
Suto Sinting sebagai tokoh sakti dari Gunung Kemuning, ia mempunyai nama
asli: Murdawira, tapi lebih dikenal
dengan nama Setan Merakyat, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Tabib Darah Tuak").
"Bapa Guru..."!" sapa Suto Sinting, karena memang dari dulu Suto Sinting selalu
memanggil dengan
sebutan 'Bapa Guru'. Hal itu dilakukan Suto sebagai penghormatan tinggi
kepada tokoh sakti yang menjadi
sahabat si Gila Tuak. Tak heran jika Suto Sinting saat itu sedikit
bungkukkan badan sebagai tanda memberi hormat kepada Setan Merakyat.
"Bagaimana kabar Bapa Guru
Murdawira?"
"Aku sehat-sehat saja. Kalau aku tak sehat aku tak bisa mengikutimu
sejak dari pantai sampai kemari,"
jawab Setan Merakyat dengan suara
tuanya. "Salam hormatku untuk
kedatanganmu, Kakang Setan Merakyat!"
Ki Tumbang Laga pun memberi salam dan hormat kepada tokoh serba putih yang
selalu berpenampilan kalem.
"Tumbang Laga, salam hormatmu
kuterima. Tapi aku ikut berbela
sungkawa atas kematian murid dari
kakakmu, si Darah Guntur."
Pendekar Mabuk membatin, "Rupanya
Bapa Guru Setan Merakyat ini yang
selalu membelaku dalam pertarungan di pantai, dan dalam menghadapi Dewa
Tengkorak, serta sampai saat aku
menghadapi Setan Rawa Bangkai tadi.
Hmmm...! Tak disangka dialah
orangnya."
Ki Tumbang Laga tak merasa heran
lagi jika Setan Merakyat mengetahui kematian Seroja Putih, karena tokoh yang
satu ini memang mempunyai
ketajaman indera ketujuh cukup luar biasa. Namun Ki Tumbang Laga segera
bicarakan tentang kemunculan Setan
Rawa Bangkai. "Apakah kehadiranmu di sini ada hubungannya dengan kemunculan Setan Rawa


Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bangkai"!"
"Bisa dikatakan ya dan tidak,"
jawab Setan Merakyat.
"Sekarang baru kuingat," kata Ki Tumbang Laga, "Bahwa ada orang lain yang dapat
ungguli kehebatan ilmunya Setan Rawa Bangkai, yaitu kau sendiri, Kakang
Murdawira. Kau dan Marundang adalah tokoh berilmu tinggi yang sama-sama punya
julukan 'Setan', jadi
kurasa...."
"Jadi maksudmu 'setan' bertarung melawan 'setan', begitu"!"
Ki Tumbang Laga tertawa kecil
sambil garuk-garuk kepala. Suto
Sinting hanya tersenyum-senyum saja.
Tetapi si Setan Merakyat hanya diam tanpa senyum, namun wajahnya tidak
tampak tersinggung atau memendam
kedongkolan. Setan Merakyat justru
tampak kalem bagai tak pedulikan
ucapannya sendiri tadi.
"Kehadiranku memang ada
hubungannya dengan kemunculan Setan Rawa Bangkai. Tetapi aku tidak akan melawan
dia, Tumbang Laga. Aku punya jago sendiri yang akan kuandalkan,
yaitu Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak."
Ki Tumbang Laga dan Suto Sinting
sama-sama terperanjat. Keduanya saling beradu pandangan mata. Tetapi Ki
Tumbang Laga segera berkata kepada
Setan Merakyat.
"Apakah kau tidak salah pilih
jago, Kakang Murdawira"! Pendekar
Mabuk masih muda dan ilmunya...."
"Aku sudah bicarakan dengan si Gila Tuak dan Bidadari Jalang," sahut Setan
Merakyat. "Lalu, apa kata mereka?" desak Ki Tumbang Laga.
"Mereka setuju jika kita, para
tokoh aliran putih, mengajukan
Pendekar Mabuk sebagai
lawan tandingnya si Marundang. Tetapi tentu saja aku berada di belakang Pendekar
Mabuk." "Apa maksudnya 'berada di
belakang' Pendekar Mabuk?"
Setan Merakyat melangkah ke
samping, memperhatikan serumpun
tanaman liar yang sedang berbunga.
Bunganya berwarna merah segar dan enak dipandang mata. Setan Merakyat
menghampirinya dan memetik sekuntum bunga yang mirip terompet kecil itu.
Sambil memperhatikan bunga tersebut, Setan Merakyat bicara kepada Pendekar
Mabuk, "Suto, masih ingatkah kau pada pertemuan kita sebelum ini?"
"Tentu saja masih, Bapa Guru."
"Aku pernah mengatakan bahwa
salah satu ilmuku yang akan kuturunkan padamu, dan ilmu
itu tidak bisa kuturunkan kepada orang lain kecuali orang yang tanpa pusar. Dan kebetulan saja
orang tanpa pusar itu adalah kau sendiri. Jadi, ilmu itu akan
kuturunkan padamu atas seizin kedua gurumu; Gila Tuak dan Bidadari
Jalang." Hati pemuda itu berdebar-debar
dalam kegirangan. Wajahnya tampak
berseri dan senyumnya begitu indah
menawan menyambut kabar gembira
tersebut. Ki Tumbang Laga masih
bingung pandangi Suto yang menurutnya seperti mendapat durian runtuh.
"Beruntung sekali kau, seperti dapat durian runtuh. Tahu-tahu akan diberi ilmu
dari tokoh sesakti beliau itu, Suto. Kalau aku masih muda,
tentunya aku iri dengan
keberuntunganmu."
Suto Sinting hanya tertawa pelan
namun memanjang.
Ki Tumbang Laga bicara kepada
Setan Merakyat, "Bagaimana mungkin kau mempunyai
ilmu yang hanya bisa
diturunkan kepada orang tanpa pusar, Kang" Bukankah kau sendiri manusia
yang mempunyai pusar?"
"Coba kulihat dulu...." Setan Merakyat segera menyingkapkan kain
penutup perutnya. "O, iya... aku sendiri punya pusar. Tapi... Suto
Sinting jelas tak punya pusar. Kalau kau tak percaya, cobalah kau periksa
sendiri dia."
"Bukan soal tak percaya tentang punya pusar atau tidak, tapi yang
kuherankan adalah syarat penurunan
ilmu itu. Mengapa hanya bisa diterima oleh orang yang tanpa pusar" Padahal kau
sendiri sebagai pemilik ilmu itu mempunyai pusar?"
"Tumbang Laga," kata Setan Merakyat sambil jarinya memainkan
bunga kecil yang diputar-putar dalam gerak memelintir.
".... Ilmu itu adalah ilmu
temuanku sendiri. Sebenarnya siapa
saja bisa memiliki ilmu itu, namun
harus melalui cara berlatih selama
tiga puluh tahun lebih. Karena ilmu itu kudapatkan setelah berlatih selama tiga
puluh tahun lebih. Dan sekarang tinggal diwariskan kepada seseorang, anggaplah
orang itu adalah muridku.
Tetapi selama ini kucoba memasukkan ilmu itu ke raga seseorang yang
mempunyai pusar, ternyata tidak
sedikit pun bagian dari kekuatan ilmu itu dapat masuk ke dalam raga orang
tersebut. Pilihanku adalah seseorang yang tanpa pusar. Sebab dengan tanpa pusar
maka ketahanan tubuh seseorang dapat menerima dengan kokoh kehadiran ilmu itu
dalam sukma dan raganya."
Ki Tumbang Laga manggut-manggut
pertanda memahami maksud Setan
Merakyat. Kejap berikutnya terdengar suara Suto Sinting yang tampak tak
sabar lagi, "Bapa Guru, kapan saja saya akan siap menerima warisan ilmu itu
darimu." "Bagus. Aku tahu bahwa kau sejak dulu telah menunggu penurunan ilmuku ini
kepadamu. Tapi pada waktu itu aku belum bertemu dengan gurumu. Sekarang setelah
bertemu dengan gurumu, serta meminta izin menurunkan ilmu padamu, apakah kau mau
menerimanya, Suto?"
"Dengan senang hati saya
menerimanya."
* * * 7 SETAN Rawa Bangkai kebingungan
mencari lawan yang menyerangnya, ia tak tahu bahwa lawannya telah pergi
meninggalkan dirinya untuk menemui
Suto Sinting dan Ki Tumbang Laga. Rasa penasaran yang memancing murkanya
membuat Setan Rawa Bangkai mengamuk di hutan itu, melepaskan pukulan tenaga
dalam ke segala arah. Ledakan yang
menggelegar sambung-menyambung itu
membuat Gunung Babat bergetar bagai ingin meletus.
"Marundang sedang mengamuk," ujar Ki Tumbang Laga kepada Setan Merakyat.
"Biarkan saja," jawab Setan Merakyat dengan santainya. "Aku butuh tempat yang
sunyi untuk menurunkan
ilmuku kepada Suto Sinting. Dapatkah kau membantuku, Tumbang Laga?"
Ki Tumbang Laga diam sebentar,
memikirkan sebuah tempat yang
diinginkan Setan Merakyat. Kejap
berikutnya Ki Tumbang Laga pun
berkata, "Bagaimana kalau kita pergi ke Lembah Celaka?"
"Jangan. Aku takut kita bertiga malah celaka sendiri," kata Setan Merakyat.
"Bapa Guru," ujar Suto Sinting menyela pembicaraan, "Mengapa kita tidak pergi ke
Gunung Kemuning saja"
Bukankah tempat kediaman Bapa Guru
adalah tempat yang tenang dan sunyi?"
"O, iya! Hampir saja aku lupa
kalau aku punya tempat yang tenang dan sunyi di puncak Kemuning." Setan Merakyat
garuk-garuk kepala.
Ki Tumbang Laga berkata kepada
Suto Sinting, "Kalau tempat yang lebih sunyi dan tenang lagi ya masuk ke
liang kubur saja."
Setan Merakyat menyahut, "Kalau kau masuk ke sana lebih dulu, silakan saja. Aku
belum ingin ke sana, Tumbang Laga."
Pendekar Mabuk dan Ki Tumbang
Laga sama-sama tertawa. Kemudian
mereka bertiga bergegas pergi
tinggalkan tempat itu menuju puncak Gunung Kemuning yang selalu diselimuti kabut
tebal itu. Ki Tumbang Laga
sebenarnya ingin pulang ke Perguruan Tapak Dewa untuk menemui Eyang Darah
Guntur, kakaknya. Tetapi niatnya
dicegah Setan Merakyat.
"Aku butuh bantuanmu, Tumbang
Laga. Ikutlah bersamaku ke puncak
Kemuning. Soal menghadap kakakmu, biar nanti aku yang menjelaskan alasannya,
mengapa kau ikut aku. Jangan takut
kalau kakakmu marah, nanti aku yang akan meredakan amarahnya."
Tentu saja Setan Merakyat berani
bilang begitu, karena Eyang Darah
Guntur sangat hormat kepadanya.
Kesaktian Setan Merakyat lebih tinggi dari kesaktian Eyang Darah Guntur,
sehingga Eyang Darah Guntur tak berani menentang segala keputusan Setan
Merakyat. Pendekar Mabuk merasa hari itu
adalah hari keberuntungannya.
Seandainya ia tidak nekat menentang larangan Pakis Ratu, mungkin ia tidak akan
segera pergi ke puncak Gunung
Kemuning. Seandainya ia tidak pergi secara diam-diam dari Lembah Hijau
tanpa diketahui Pakis Ratu dan Nyai Kidung Laras, mungkin Setan Merakyat tidak
segera muncul dan menurunkan
ilmunya. "Biarlah Pakis Ratu tinggal di pondok gurunya sendiri. Nanti jika
urusanku sudah selesai akan kuhampiri lagi untuk pererat persahabatan,"
pikir Suto Sinting dalam perjalanan menuju puncak Gunung Kemuning.
Sesuatu yang sangat tidak diduga-
duga ternyata terjadi di pertengahan jalan. Mereka melihat pertarungan
antara Dewa Tengkorak melawan seorang gadis cantik berusia dua puluh enam tahun,
mengenakan jubah kuning dalaman merah. Rambutnya dikonde dua tempat, sisanya
meriap ke bawah dengan
gemulai. Gadis itu berwajah mungil, bermata bundar indah, dan berkulit
kuning langsat, ia menggunakan
seruling sebagai senjata yang dapat menyemburkan cahaya merah api ke tubuh
lawannya. Gadis itu tak lain adalah Dinada, mantan orang Bukit Kasmaran, murid
dari Mendiang Nyai Guntur Ayu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Gelang Naga Dewa").
"Bapa Guru, saya kenal dengan
gadis itu!" kata Suto Sinting. Mereka ada di ketinggian bukit cadas yang
dapat melihat bebas ke arah bawah.
"Saya kenal sekali dengannya,
Bapa Guru."
"Gadis mana yang tidak kau kenal"
Semua gadis pasti kau kenal. Matamu memang mata keranjang," kata Setan Merakyat
yang membuat Suto Sinting
malu. "Ingat, kau adalah calon jodohnya Dyah Sariningrum. Jangan
sembarang melotot kalau melihat
perempuan."
"Maksud saya, gadis itu adalah Dinada, sahabat saya, Bapa Guru.
Bolehkah saya membantunya" Sebab
menurut saya, Dinada bukan
tandingannya Dewa Tengkorak."
Ki Tumbang Laga menyahut, "Nyawa Dewa Tengkorak adalah jatahku. Jangan kau
serobot seenaknya saja, Suto! Aku
yang akan menghadapi Dewa Tengkorak untuk bikin perhitungan."
"Tidak bisa! Dinada adalah
sahabatku, Ki. Aku wajib membantunya.
Sebab...."
"Dinada memang sahabatmu, tapi Dewa Tengkorak itu jatahku!" sahut Ki Tumbang
Laga agak ngotot.
Setan Merakyat akhirnya berkata,
"Apa yang kalian perebutkan" Nyawa si Dewa Tengkorak"! Hmm...!"
Claaap...! Tiba-tiba jari tangan
Setan Merakyat menunjuk ke depan. Dari jari itu melesat seberkas sinar putih
perak bagaikan cahaya bintang. Sinar kecil itu menghantam dada Dewa
Tengkorak pada saat si Dewa Tengkorak sedang lakukan lompatan untuk
menerjang Dinada yang sempoyongan
terkena pukulannya.
Zeeeb...! Sinar itu menghantam
dada Dewa Tengkorak dengan jelas
sekali. Orang kurus itu segera
terpental ke belakang bagai
dilemparkan begitu saja dan jatuh
terpuruk tak berkutik lagi. Pekikan suaranya pun tak ada.
Dinada terkejut melihat keadaan
lawannya tahu-tahu jatuh terpuruk tak berkutik. Lebih terkejut lagi melihat
lawannya berasap, semakin lama semakin tebal, dan ketika angin berhembus asap
pun pudar. "Ooh..."!" Dinada semakin melebarkan
matanya karena terkejut
melihat tubuh Dewa Tengkorak benar-
benar menjadi tengkorak berjubah abu-abu dan bercelana merah.
"Ajaib sekali"! Mengapa dia tiba-tiba tinggal tulang-belulang tanpa
rambut dan tanpa daging sedikit pun"
Oh, siapa orang yang telah membantuku dalam pertarungan ini"!" Dinada segera
lemparkan pandangan matanya ke atas perbukitan, ia terperanjat lagi
melihat tiga orang berdiri di sana, satu di antaranya adalah pemuda tampan yang
dikenalnya dengan nama Suto
Sinting. "Oooh, ternyata si Pendekar Mabuk itu yang telah menolongku"!" pikir Dinada.
Lalu, dalam keadaan masih
menahan luka di pundaknya yang terasa mau patah itu, ia pergi ke puncak
perbukitan tersebut.
Sementara itu, di puncak
perbukitan yang tak seberapa tinggi itu, Ki
Tumbang Laga melontarkan
gerutuan yang cukup menggelikan bagi Pendekar Mabuk.
"Sial! Pembalasanku belum sempat kulampiaskan, eeeh... sudah kabur
lebih dulu nyawa si Dewa Tengkorak."
Setan Merakyat berkata, "Sekarang apa kalian mau berebut tulang-belulangnya"!
Berebutlah sana, biar sama-sama seperti serigala!"
Suto Sinting hanya tertawa pendek


Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan berkata, "Mengapa waktu Dewa Tengkorak melawanku, Bapa Guru tidak lakukan
hal seperti tadi?"
"Dewa Tengkorak masih punya jatah untuk hidup setengah hari lagi dari sananya.
Jadi aku tak berani
mendahului kehendak sang takdir.
Sekarang jatah untuk hidup baginya
sudah habis, maka aku berani
melepaskan jurus pencabut nyawa."
"Hmm... mentang-mentang yang bisa mengetahui takdir manusia!" Ki Tumbang Laga
bersungut-sungut dengan dongkol, Suto Sinting menertawakan sampai
datangnya Dinada ke tempat itu.
"Suto, terima kasih atas
pertolonganmu. Kalau kau tidak segera bertindak, mungkin aku sudah mati di
tangan Dewa Tengkorak. Aku sudah
hampir tak berdaya menghadapi
serangannya yang serba cepat tadi."
Suto Sinting jadi tak enak hati.
Matanya melirik ke arah Setan
Merakyat. Ternyata tokoh sakti itu
sedang bicara kepada Ki Tumbang Laga dengan suara seperti orang menggumam.
"Jadi anak muda itu enak, ya"
Selalu menjadi bahan pujaan para
gadis. Walaupun tidak lakukan apa-apa, tetap saja dianggap sebagal orang
berjasa." "Kita dulu juga pernah muda dan pernah mengalami hal seperti itu,
Kang." Mendengar percakapan itu,
Pendekar Mabuk makin tak enak hati, lalu berkata kepada Dinada,
"Sebenarnya tadi yang...."
Setan Merakyat segera menyahut,
"Nona cantik, barangkali memang belum waktumu untuk mati pada hari ini.
Karena kebetulan saja kami lewat dan Suto melepaskan pukulan jarak jauhnya yang
memang dahsyat itu. Kurasa tidak ada sesuatu yang perlu dibanggakan, walaupun
sebenarnya jurus maut Suto tadi memang sangat mengagumkan."
"Iya, Eyang... saya memang sangat kagum dengan jurus-jurusnya Suto
Sinting." "Ya, ya... silakan mengagumi
sepuas hatimu, karena sebentar lagi
aku harus membawanya pergi dan kau tak boleh ikut."
"Lho, kau akan pergi ke mana,
Suto?" Suto Sinting belum menjawab,
Setan Merakyat sudah menyahut lebih dulu, "Mau membasmi kejahatan lagi, seperti
tadi!" "Ah, Bapa Guru jangan begitu...,"
bisik Suto Sinting.
"Biar saja. Biar gadis itu makin terkagum-kagum padamu," bisik Setan Merakyat
membuat Suto Sinting menjadi salah tingkah.
"Dinada, mengapa kau terlibat
pertarungan dengan Dewa Tengkorak?"
"Dulu, semasa mendiang guruku
masih hidup, perguruanku pernah
bentrok dengan perguruannya. Tapi
pihakku lebih unggul, dan sekarang
agaknya ia masih mengenaliku, lalu
ingin membalas dendam atas kekalahan pihaknya dulu," tutur Dinada dengan
pandangan mata tak lepas dari wajah Pendekar Mabuk yang rupawan itu.
Setelah terdengar suara gumam dari
Suto Sinting yang manggut-manggut itu, Dinada ganti ajukan pertanyaan.
"Kau sendiri mau pergi ke mana sebenarnya?"
"Aku harus mengikuti Bapa Guru Setan Merakyat ini ke puncak Gunung Kemuning."
"Apakah aku boleh ikut denganmu, Suto" Kita sudah lama tidak jumpa,
bukan?" "Hmmm... iya, memang sudah lama kita tidak jumpa. Tetapi keputusan
boleh dan tidaknya ada di tangan Bapa Guru Setan Merakyat."
Karena Pendekar Mabuk segera
melempar pandangan mata kepada Setan Merakyat, mau tak mau Setan Merakyat segera
memberi jawaban bagi Dinada.
"Nona, perjalanan kami bukan
untuk berlibur dan bersenang-senang.
Jadi kurasa kali ini kami tak bisa
mengajakmu. Mungkin di lain waktu kau boleh ikut kami pergi ke pantai,
mengail ikan atau belajar mendayung.
Kuharap kau tidak kecewa, Nona
Cantik." Dinada tampak kecewa, namun
segera disembunyikan dengan senyum
manisnya, ia segera berkata kepada
Suto Sinting, "Maukah kau datang padaku jika urusanmu sudah selesai nanti" Aku...
aku rindu bercanda denganmu, Suto."
Ki Tumbang Laga menyahut, "Itu
soal gampang, Nona. Kalau Suto tak menemuimu untuk bercanda, biar aku
saja yang menemuimu. Aku pun punya
canda yang lebih menarik dari Suto."
Setan Merakyat menyenggol
pinggang Ki Tumbang Laga dengan
sikunya, "Tua-tua masih iri juga kau!"
"He, he, he.". Aku hanya sekadar bercanda kok, Kang."
Pendekar Mabuk tersenyum geli,
kemudian berkata kepada Dinada, "Jika sudah selesai urusanku, aku akan
menemuimu secepatnya Dinada. Maaf,
sekarang aku tak bisa mengajakmu pergi karena Bapa Guru tidak izinkan siapa pun
ikut kecuali hanya kami bertiga."
Gadis cantik itu mencoba untuk
memahami keadaan Suto Sinting, waiau sebenarnya ia ingin tahu persoalan
sebenarnya dan Suto tak mau
menceritakan, tetapi ia tetap mencoba untuk tidak penasaran. Rasa kecewanya
dipendam dalam-dalam bersama lambaian tangan mengiringi kepergian Suto
Sinting bersama dua tokoh tua itu.
Perjalanan menuju puncak Gunung
Kemuning terpaksa dilakukan dengan
menggunakan jurus peringan tubuh yang membuat mereka berkelebat bagaikan
badai. Ternyata jurus 'Gerak Siluman'-
nya Suto Sinting mampu menyamai jurus serupa yang
dimiliki oleh Setan
Merakyat. Sedangkan gerakan Ki Tumbang Laga tertinggal tak seberapa jauh di
belakang mereka. Ki Tumbang Laga tak sampai kehilangan jejak, sehingga
ketika mereka tiba di puncak Gunung Kemuning, Ki Tumbang Laga menyusul
beberapa saat kemudian.
Puncak gunung itu cukup dingin.
Jika seseorang tidak mempunyai jurus pemanas tubuh, maka darah mereka akan
membeku tinggal di puncak gunung itu selama seperempat hari. Dedaunan
maupun batang tumbuh-tumbuhan dilapisi busa salju hingga sampai pada tanah
tempat mereka berpijak. Jika mereka bicara uap dingin keluar bersama
hembusan napas mereka. Suto Sinting sudah terlatih hidup di tempat dingin,
sehingga ia tidak kaget lagi
menghadapi cuaca seperti itu.
"Tumbang Laga," ujar Setan Merakyat, "Aku butuh tempat yang tidak berhubungan
dengan tanah. Bisakah kau mencarikan tempat seperti itu di
sini?" "Kakang Murdawira, wilayah ini adalah wilayahmu. Tentunya yang tahu
seluk-beluk tempat ini adalah kau
sendiri, Kakang. Bagaimana mungkin aku bisa mencarikan tempat yang tidak
berhubungan dengan tanah daerah ini?"
"Betul juga kata-katamu, Tumbang Laga. Tetapi aku lupa, di mana tempat yang
tidak menyentuh tanah di daerah ini" Seingatku memang ada, tapi di
mana tempat itu" Aku benar-benar lupa.
Maklum usia sudah sangat tua membuat ingatanku makin hari semakin rapuh, Tumbang
Laga." Ki Tumbang Laga diam sejenak,
berpikir tentang tempat yang tidak
menyentuh tanah. Tiba-tiba Suto
Sinting ajukan tanya kepada Setan
Merakyat, "Untuk apa tempat yang tidak
menyentuh tanah itu, Bapa Guru?"
"Akan kau gunakan sebagai alas berpijak. Karena nanti pada saat kau menerima
jurus warisanku itu, tubuhmu tak boleh berhubungan dengan tanah.
Jika kau berhubungan dengan tanah,
maka seluruh bumi ini akan mengalami getaran gelombangnya yang dapat
mengeringkan darah mereka."
"Saya mempunyai jurus 'Layang
Raga" Bapa Guru. Dapatkah kita gunakan jurus itu?"
"O, ya... aku ingat si Gila Tuak mempunyai jurus 'Layang Raga', tapi...
tapi benarkah kau sudah mewarisi jurus itu pula" Coba tunjukkan padaku,
Suto." Maka Pendekar Mabuk pun menarik
napasnya pelan-pelan dengan mata
sedikit terpejam. Tiba-tiba tubuhnya terangkat ke atas sedikit, telapak
kakinya tidak menyentuh tanah. Makin lama makin tinggi, sampai sebatas
pinggang si Setan Merakyat.
"Bagus, bagus...." Setan Merakyat angguk-anggukkan kepala. "Sekarang turunlah
dulu, jangan mengambang di udara begitu. Kurang sopan
kelihatannya, Suto."
Setelah Pendekar Mabuk menapakkan
kakinya kembali ke tanah, Setan
Merakyat bicara kepada Ki Tumbang
Laga. "Tumbang Laga, kumohon bantuanmu untuk menjaga keamanan kami berdua pada saat
ilmu itu kuturunkan."
"Maksudmu bagaimana, Kakang"!"
"Selama kusalurkan inti ilmu
'Pranasukma', baik aku maupun Suto
Sinting tak boleh diganggu oleh apa pun, tak boleh disentuh oleh siapa pun.
Bahkan lebih bagus lagi jika kami
tak diganggu oleh
hembusan angin maupun suara desah apa pun. Jadi
kuharap kau bisa menjaga ketenangan dan keamanan kami."
Ki Tumbang Laga diam sebentar
merenungi kata-kata Setan Merakyat.
Pendekar Mabuk pun ikut bungkam,
seakan menurut saja apa perintah si tokoh sakti yang dipanggilnya Bapa
Guru itu. "Kakang Murdawira," ujar Ki Tumbang Laga, "Kalau yang kau butuhkan adalah
keamanan seperti itu, berarti aku harus bisa melindungi kalian dari hembusan
angin segala. Satu-satunya cara aku harus menggunakan jurus
"Surya Perisai', yang nantinya akan membuat kalian berdua terselubungi
lapisan seperti kaca. Keadaannya
sangat rapat dan kokoh. Tetapi
waktunya tak bisa lama-lama karena tak ada udara di dalam lapisan kaca
nanti." "Aku tak membutuhkan waktu
terlalu lama. Setelah Inti
'Pranasukma' kusalurkan habis ke dalam galih napas dan pusat roh dalam diri
Suto, selanjutnya kami tak butuh lagi keheningan yang murni. Kau bisa
melepaskan lapisan kaca itu."
"Tunggu dulu," sergah Suto
Sinting. "Bapa Guru, kalau boleh saya ingin tahu, apa kegunaan jurus
'Pranasukma' itu?"
Setelah menarik napas satu kali,
Setan Merakyat pun segera menjelaskan kegunaan dan kehebatan jurus atau ilmu
"Pranasukma' itu kepada Suto Sinting.
Tetapi Ki Tumbang Laga ikut
mendengarkannya. Sebab dari semula
sebenarnya ia ingin menanyakan tentang ilmu apa yang akan diturunkan Setan
Merakyat kepada Pendekar Mabuk itu, tetapi ia tak pernah punya keberanian untuk
ajukan pertanyaan tersebut.
Sebelum mulai bicara, Setan
Merakyat berbalik badan hingga
berhadapan dengan Ki Tumbang Laga.
Suto Sinting ada di samping Ki Tumbang Laga menunggu jawaban dari rasa ingin
tahunya tadi. "Suto, kau melihat batu putih
sebesar anak kuda di belakangku itu?"
"Ya, saya melihatnya, Bapa Guru,"
jawab Suto Sinting setelah
memperhatikan sebongkah batu yang
dilapisi salju, ukurannya sebesar anak kuda yang sedang berdiri.
"Perhatikan terus batu itu, dan jangan heran jika ia pindah ke bawah
pohon berjajar tiga yang ada di
belakangmu sana!"
Pendekar Mabuk dan Ki Tumbang
Laga sama-sama menoleh memandang pohon yang ditunjuk Setan Merakyat. Tetapi
dalam benak mereka masih diliputi
kebingungan tentang apa maksud ucapan Setan Merakyat tadi.
Keduanya kembali pandangi batu
sebesar anak kuda yang ada dalam jarak tujuh langkah di belakang Setan
Merakyat. Batu itu tiba-tiba lenyap bagai ditelan bumi. Zaaab...! Pendekar Mabuk
dan Ki Tumbang Laga sama-sama terperanjat dengan mata melebar. Kini keduanya
sama-sama berpaling ke
belakang, memandang ke arah pohon yang tadi ditunjuk Setan Merakyat. Mereka
sama-sama terkejut dalam hati melihat batu tadi ternyata sudah berpindah
tempat, berada di bawah pohon tersebut dalam keadaan tidak pecah atau retak
sedikit pun. Bahkan busa-busa saljunya masih utuh tak bergeser sedikit pun.
"Luar biasa...!" gumam Ki Tumbang Laga bagai bicara pada diri sendiri.
Setan Merakyat pun segera menyahut,
"Itulah ilmu 'Pranasukma' yang akan kau terima. Batinmu bisa
memindahkan benda apa pun dari
tempatnya semula. Bahkan menghancurkan benda itu pun bisa kau lakukan tanpa
menyentuh sedikit pun. Tetapi ilmu
'Pranasukma' ini hanya dipakai dalam keadaan terpaksa sekali. Jika tidak
terpaksa, jika masih ada cara lain, pergunakan cara lain dulu. Sebab ilmu
'Pranasukma' hanya bisa digunakan
seratus kali. Sedangkan aku baru
menggunakan empat kali. Jadi masih ada kesempatan sembilan puluh enam kali untuk
menggunakan kekuatan ilmu
'Pranasukma' itu."
Pendekar Mabuk dan Ki Tumbang
Laga sama-sama manggut-manggut. Dalam hati mereka tetap menyimpan kekaguman,
tapi dalam hati Suto Sinting ditambah rasa girang yang tiada habis-habisnya.
Ilmu kekuatan batin seperti itu jarang dimiliki orang. Bahkan mungkin Gila Tuak
dan Bidadari Jalang tidak
memiliki ilmu seperti 'Pranasukma'


Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. "Sebelum matahari tenggelam,
kuharap pekerjaan ini sudah selesai.
Jadi kita harus mulai dari sekarang, Suto."
"Baik Bapa Guru. Saya sudah
siapkan diri untuk menerima ilmu
tersebut."
"Jangan minum tuak dulu, Suto.
Kosongkan raga dan pikiranmu."
"Baik, Bapa Guru!"
"Duduklah bersila tapi jangan
sampai menempel di tanah."
Pendekar Mabuk anggukkan kepala
dengan sikap patuhnya. Namun ketika ia ingin duduk di tanah, Setan Merakyat
menahan lengannya dan berkata,
"Sebelumnya, buka seluruh
pakaianmu. Jangan sampai ada benda
lain yang menempel pada tubuhmu."
"Bu... buka..."! Maksudnya, buka semuanya, Bapa Guru?"
"Tenang saja, di sini tak ada
perempuan. Seorang pun tak ada."
Sebenarnya Pendekar Mabuk agak
malu, tapi demi mendapatkan ilmu dan kesaktian seperti yang dicontohkan
tadi, Suto Sinting akhirnya melepas seluruh pakaiannya. Bahkan bumbung
tuaknya dilepaskan pula, disandarkan di bawah pohon tak jauh dari Ki
Tumbang Laga berdiri.
Setelah melepaskan pakaiannya,
Suto Sinting segera duduk bersila.
Jurus 'Layang Raga' dipergunakan oleh Suto, membuat tubuhnya terangkat
mengambang di udara dalam keadaan
tetap duduk bersila. Ketinggian duduknya itu tak lebih dari batas
perut si Setan Merakyat.
"Pejamkan matamu," perintah Setan Merakyat, dan pemuda yang tidak
mempunyai pusar sedikit pun itu segera turuti perintah tersebut, ia
memejamkan mata dengan tenang.
"Pusatkan perhatian benak pada gerakan napasmu," perintah si Setan Merakyat.
"Selama belum selesai jangan bicara apa-apa dulu."
"Baik, Bapa Guru!"
"Tumbang Laga, lakukan seperti yang kuperintahkan tadi."
"Baik, Kakang...!" jawab Ki Tumbang Laga dengan tegas dan patuh.
Kedua jari tengah Ki Tumbang Laga
sama-sama berdiri mengeras. Kemudian ujung-ujung jari tengah itu
dipertemukan di depan dada: Lama
kelamaan kedua tangan yang saling
bertemu itu bergerak pelan ke atas, hingga kini keberadaannya melebihi
ketinggian kepala si Tumbang Laga.
Claaap...! Wuuurrrsss...!
Pertemuan dua jari tengah itu
akhirnya memancarkan sinar merah
bening. Sinar itu meluncur ke atas dan berhenti di atas kepala Suto Sinting dan
Setan Merakyat. Sinar merah itu
akhirnya menyebar ke bawah dalam
keadaan melebar, sehingga tubuh Suto Sinting dan Setan Merakyat dilapisi oleh
cahaya merah yang turun dari atas kepala mereka itu. Lama kelamaan
cahaya merah itu menjadi bening,
membentuk seperti kurungan besar, dan warna merahnya pun punah menjadi warna
putih yang kian lama menjadi kian
bening. Sinar merah di atas kepala mereka
telah lenyap. Kedua tubuh mereka
menjadi seperti berada dalam tabung berkaca putih bening. Pada saat itulah tubuh
Setan Merakyat pun terangkat
naik dengan sendirinya dan mengambang di udara, sama seperti yang dilakukan Suto
Sinting, ia segera keraskan kedua jari pada tiang tangannya.
Classs, claasss...!
Dari masing-masing kedua jari
keluar sinar ungu bening. Satu sinar ungu mengarah pada perut Suto Sinting
tempat biasanya seseorang berpusar.
Satu sinar ungu lagi mengarah pada ulu hati Suto Sinting.
Kedua sinar ungu itu membuat
tubuh Suto Sinting menjadi menyala
ungu bening bagai terbuat dari beling kristal ungu. Tubuh tersebut diam
mengejang kaku bagaikan patung.
Zuuub, zuuub...!
Kedua sinar ungu itu pun segera
padam setelah lebih dari dua puluh
helaan napas memancar ke tubuh Suto Sinting. Tapi sayang mereka yang ada di
dalam tabung kaca itu tidak
bernapas, sehingga tidak bisa
menghitung berapa helaan lamanya kedua sinar ungu itu terpancar dari kedua
tangan Setan Merakyat.
Tetapi walaupun kedua sinar ungu
itu telah padam dari ujung jari Setan Merakyat, keadaan Suto Sinting masih
seperti patung dari batuan bening
warna ungu. Tubuh tersebut tetap
mengambang di udara dan tidak bergerak sedikit pun.
Setan Merakyat memberikan isyarat
kepada Ki Tumbang Laga agar melepaskan jurus 'Surya Perisai' yang
menyelubunginya. Ki Tumbang Laga yang sejak tadi menempelkan kedua jari
tengahnya di atas kepala itu segera bergerak mundur satu langkah, kemudian
telapak tangannya dihentakkan ke
depan. Selarik sinar merah menghantam lapisan dinding kaca tersebut.
Claaap...! Pyaaar...! Lapisan dinding kaca itu hancur
seketika dihantam sinar merah dari
telapak tangan. Tetapi sisa kehancuran itu tidak berserakan di tanah. Tak
satu pun terlihat pecahan beling
tergeletak di tanah. Pecahan beling itu bagaikan lenyap begitu hendak
menyentuh tanah.
Setan Merakyat menghirup udara
segar panjang-panjang. Tetapi keadaan Suto Sinting tetap menjadi patung ungu
bening dalam keadaan mengambang di udara. Ki Tumbang Laga memandang
dengan heran, kemudian ketika Setan Merakyat mendekatinya untuk memandang Suto
Sinting dari jarak tujuh langkah, Ki Tumbang Laga pun segera ajukan
tanya bernada cemas.
"Mengapa ia masih dalam keadaan seperti patung batu bening begitu,
Kakang"!"
"Peresapan dari cahaya sakti
'Pranasukma' membutuhkan waktu
beberapa saat lamanya. Tapi usaha ini termasuk cepat dan lancar. Aku yakin jika
bukan Suto Sinting yang menerima cahaya sakti itu, tubuhnya akan pecah menjadi
serpihan-serpihan daging yang layak dijadikan sate."
"Lalu, sampai berapa lama ia akan
menjadi seperti patung bening begitu, Kakang?"
"Tergantung, kekuatan tubuhnya.
Bisa tujuh hari, bisa empat belas hari lamanya. Dan selama itu ia tak boleh
disentuh oleh siapa pun, kecuali oleh angin. Bahkan ia tak boleh terkena
percikan air walau setetes pun, karena hal itu dapat membuat tubuhnya menjadi
pecah. Karenanya kita harus menjaganya terus sampai ia sadar dan wujudnya
berubah seperti sediakala."
Glegaaar...! Tiba-tiba terdengar
suara guntur menggelegar pertanda
hujan akan turun di puncak Gunung
Kemuning. Ki Tumbang Laga mulai cemas, matanya memandang ke arah langit yang
hanya bisa dilakukan melalui celah-celah dedaunan. Langit bersih dan
putih tiba-tiba mulai diselimuti mega hitam. Mendung menggantung di langit,
pertanda tak lama lagi hujan pun akan turun dengan deras.
"Celaka! Hujan akan turun,
Kakang! Berbahaya sekali untuk
keselamatan Suto Sinting, ia akan
pecah jika terkena rintik gerimis
sekalipun."
Setan Merakyat pun tampak
gelisah. Matanya memandang ke langit
dengan tegang. Tetapi
ia segera berkata kepada Ki Tumbang Laga,
"Bantu aku menolak hujan, Tumbang Laga!"
"Aduh, maaf sekali, Kakang.
Sungguh aku tak bisa lakukan hal itu.
Aku belum pernah menjadi
pawang hujan." "Bantulah dengan sebisa-bisamu!"
Setan Merakyat agak membentak.
* * * 8 EMBUN pagi belum sempat kering
sudah harus digenangi oleh darah
korban ilmu 'Sukma Sakti' yang cukup ganas itu. Kali ini korban ilmu 'Sukma
Sakti' adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun yang
mengenakan pinjung penutup dada warna merah dengan celana sebetis dibungkus kain
putih. Gadis itu mengenakan rompi panjang berwarna kuning emas,
rambutnya dikuncir tinggi sisanya
berjuntai seperti ekor kuda. Gadis itu adalah Syair Kusumi, murid dari Nini
Kalong, si Penjaga Hutan Rawa Kotek.
Kepala gadis itu pecah ketika tiba-
tiba tubuhnya terbanting membentur
dinding tebing karena kekuatan ilmu
'Sukma Sakti'nya si Setan Rawa
Bangkai. Rupanya pertarungan Syair Kusumi
dengan Setan Rawa Bangkai terjadi di ujung pagi, ketika Syair Kusumi dalam
perjalanan pulang dari suatu tempat menuju kediaman gurunya di Hutan Rawa Kotek.
Ia kepergok Setan Rawa Bangkai yang menaruh dendam kepada Nini Kalong karena
persoalan masa muda mereka.
Mengetahui Syair Kusumi adalah murid pertama dari Nini Kalong, maka Setan Rawa
Bangkai pun segera menyerangnya.
Syair Kusumi mencoba lakukan
perlawanan dengan jurus 'Pedang
Gangsing', yaitu kibasan pedang
beruntun yang timbulkan dengung yang biasanya bisa bikin darah lawan
muncrat dari lubang-lubang di bagian kepalanya. Tetapi kali ini jurus
'Pedang Gangsing' tidak mempan bagi Setan Rawa Bangkai. Justru Syair
Kusumi yang dibanting ke sana-sini
sampai akhirnya dibenturkan dinding tebing dengan keras dan kepala pun
pecah tak berbentuk lagi.
Pertarungan itu dilihat oleh
seseorang dari tempat yang
tersembunyi. Orang tersebut mengenal Syair Kusumi sebagai murid Nini
Kalong. Tetapi orang itu tidak berani bertindak lakukan pembelaan, sebab ia
hanya mempunyai ilmu pas-pasan.
Karenanya, ia hanya segera larikan
diri ke arah Hutan Rawa Kotek yang tak jauh dari tempat pertarungan tersebut
Lelaki berusia sekitar empat
puluh tahun, berambut pendek, ikat
kepala berwarna putih, ia mengenakan baju hijau tua yang membungkus
badannya yang kurus dan agak pendek, ia tak lain adalah Kadal Ginting,
pelayannya Resi Pakar Pantun.
Sebenarnya Kadal Ginting tidak
bermaksud memergoki pertarungan
tersebut, ia diutus oleh Resi Pakar Pantun untuk mencari Kertapaksi, murid Resi
Pakar Pantun, dan mengingatkan agar menghindari bentrokan dengan
tokoh yang berjuluk Setan Rawa
Bangkai. Sebab sang Resi khawatir jika muridnya yang mudah terpancing
kemarahan itu akan berhadapan dengan Setan Rawa Bangkai, dan tentu saja
Setan Rawa Bangkai bukan tandingannya Kertapaksi. Dalam perjalanan mencari
Kertapaksi itulah, Kadal Ginting
melihat pertarungan Syair Kusumi
dengan Setan Rawa Bangkai, sehingga ia sempatkan diri untuk mengabarkan hal itu
kepada Nini Kalong.
"Kadal buntung!" geram Nini Kalong. "Apa maksudmu pagi-pagi begini membangunkan
tidurku, hah"! Bocah tak tahu sopan! Begitukah ajaran dari
tuanmu, si Pakar Pantun"!"
"Sabar, Nini... kumohon simpanlah dulu omelanmu!"
"Tidak bisa! Aku harus ngomel
karena kau mengganggu tidurku.
Biasanya aku bangun bila matahari
sudah di tengah langit, tapi sekarang matahari baru menggeliat tapi aku
harus sudah terbangun oleh seruanmu yang urakan itu! Dasar kadal kurang
kerjaan!" "Nini, aku membawa berita penting untukmu. Berita tentang kematian...."
"Kematian siapa" Si Pakar Pantun tuanmu itu" Aku tak pedulikan dia
lagi, Kadal! dia mau mati atau hidup, atau mau setengah mati setengah hidup, itu
urusannya! Dia sudah cukup tua, sudah pasti bisa membedakan mana yang lebih
enak; hidup atau mati!"
Kadal Ginting menarik napas
menahan kejengkelan. Tapi Nini Kalong segera berkata lagi dengan sisa
berangnya. "Kenapa dia mati" Bunuh diri atau keracunan pantun"!?"
"Bukan Eyang Resi yang meninggal, Nini!" sergah Kadal Ginting dengan jengkel.
"Lalu, siapa yang meninggal jika bukan dia" Sebab menurutku sudah
waktunya dia meninggal, mengapa masih ngotot hidup terus"! Siapa yang mati
maksudmu?"
"Muridmu sendiri; si Syair
Kusumi!" "Apaa..."!" Nini Kalong terpekik dengan mata melotot. Kadal Ginting
takut hingga mundur dua langkah.
"Jangan bicara seenak mulutmu
yang bau comberan itu, Kadal Ginting!
Bisa kurobek mulutmu menjadi delapan lembar kalau kau bicara seenaknya di
depanku!" "Ak... aku... aku tidak... tidak bohong, Nini," Kadal Ginting gugup sekali
sambil pegangi mulutnya yang takut dirobek menjadi delapan lembar itu.
"Ak... aku melihat sendiri.
Melihat dengan mata kepala sendiri,
bukan dengan mata kaki! Syair Kusumi kepalanya pecah dibenturkan dinding tebing
oleh... oleh...."
"Oleh siapa"!" bentak Nini Kalong dengan berangnya.
"Oleh... Setan... Setan Rawa
Bangkai!" "Keparat! Maksudmu si Marundang yang membunuh muridku itu, hah"!"


Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kadal Ginting menganggukkan
kepala dengan perasaan takut sambil melangkah mundur karena Nini Kalong maju
mendekatinya. Wajah perempuan
kurus bermata cekung itu menjadi
menyeramkan. Rambutnya yang putih meriap
membuat wajahnya tampak semakin
angker. Ketika menggeram penuh
kemarahan, perempuan tua berusia
sekitar sembilan puluh tahun itu
mengeluarkan asap dari hidungnya. Asap tipis tersebut adalah lambang
kemurkaan darahnya yang menjadi
mendidih mendengar kematian murid
pertamanya. "Di mana dia sekarang?"
"Terakhir kali kulihat dia... dia di... di sekitar Tanah Tebing Tebas,"
jawab Kadal Ginting dengan grogi.
Blaaasss...! Tanpa diduga-duga,
Nini Kalong melesat pergi dengan
kecepatan tinggi, nyaris menabrak
tubuh Kadal Ginting. Untung lelaki
bernyali ciut itu segera menghindar ke kiri, jika tidak pasti akan terpental
diterjang lompatan Nini Kalong.
Sekalipun ia sudah menghindar, tetap saja tubuhnya jatuh terpelanting ke
belakang karena hembusan angin
kepergian Nini Kalong.
Dalam beberapa kejap saja, Nini
Kalong sudah sampai di Tanah Tebing Tebas, ia buktikan dengan mata kepala
sendiri salah seorang dari keempat
muridnya itu telah tak bernyawa dalam keadaan kepala hancur nyaris tak
berbentuk lagi. Darah perempuan tua itu makin mendidih, kulit wajahnya
kian memerah. "Keparat!" geramnya penuh murka.
Lalu ia berseru,
"Di mana kau, Manusia
Bangkaaaiii...!" Jlegaaar...! Sebuah pukulan tenaga dalam dilepaskan
sebagai pelampiasan dari murkanya.
Pukulan itu menghantam dinding tebing dan menimbulkan ledakan cukup keras,
hingga menggema ke mana-mana bersama reruntuhan batu dinding yang hancur
sebagian ittu. Blaaas...! Nini Kalong pergi
tinggalkan mayat muridnya demi memburu dendam yang telah dibakar murka, ia
menggunakan getaran batin untuk
menemukan di mana Setan Rawa Bangkai berada saat itu.
Ternyata pencarian tersebut
sampai mendekati tengah hari bolong belum juga berhasii. Nini Kalong tak tahu
kalau Setan Rawa Bangkai kala itu sedang berhadapan dengan seorang lawan yang
sengaja mencarinya juga. Orang tersebut adalah seorang perempuan
cantik berjubah ungu bintik-bintik
emas. Kutang dan pakaian penutup
bawahnya berwarna kuning emas.
Perempuan cantik itu mengenakan
perhiasan lengkap, termasuk mahkota kecil di kepalanya. Kesan wibawa
terlihat jelas di wajah yang berkulit putih mulus itu, karena ia adalah
penguasa Bukit Esa yang menobatkan
diri sebagai pendeta aliran hitam,
dikenal dengan nama Nyi Mas Gandrung Arum, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Misteri Bayangan Ungu").
Nyi Mas Gandrung Arum lakukan
lompatan bagai terbang dengan kedua telapak tangan terbuka dan mengarah ke
depan. Dari telapak tangan itu keluar sepasang sinar hijau yang masing-masing
berukuran sebesar tongkat
gembala. Wuuut, wuuuut...!
Tetapi Setan Rawa Bangkai tetap
berdiri di tempatnya. Kedua tangannya juga disentakkan ke depan, dan dari tengah
kedua telapak tangan itu
melesat sepasang sinar merah terang sebesar lidi. Sinar sebesar lidi itu
menghantam sinar hijau di pertengahan jarak. Clap, claap...! Jegaaarrr...!
Ledakan amat dahsyat menggema
bagai ingin memecahkan langit. Ledakan itu membuat tubuh Nyi Mas Gandrung
Arum terpental tanpa keseimbangan
tubuh, ia jatuh terbanting di kaki
sebatang pohon beringin liar.
Brrrus...! Sedangkan Setan Rawa Bangkai
hanya terdorong mundur tiga tindak.
Hampir saja jatuh kalau tak buru-buru berpegangan pada batang pohon yang
kemudian pohon itu roboh ke arah
berlawanan. Brrruk...! Tiga pohon
lainnya tumbang pula akibat getaran gelombang ledak yang sangat kuat tadi.
Bahkan di tempat lain ada empat pohon yang ikut tumbang tak tentu arah, ada pula
yang patah di pertengahan
batangnya. Nyi Mas Gandrung Arum segera
bangkit berdiri karena khawatir
diserang lawannya dalam keadaan belum siap kembali. Dengan berdiri tegak Nyi Mas
Gandrung Arum menghirup udara
panjang-panjang, menyalurkan hawa
murni pada bagian dalam tubuhnya yang terasa sakit. Sedangkan Setan Rawa
Bangkai segera berkelebat mendekati Nyi Mas Gandrung Arum. Kini keduanya saling
berhadapan kembali dalam jarak kurang dari tujuh langkah. Mata mereka saling
pandang dengan tajam, penuh
pancaran hasrat membunuh.
"Sia-sia saja kau melawanku,
Gandrung Arum! Kau akan kehilangan
nyawa jika masih nekat ingin membalas dendam padaku!" geram Setan Rawa Bangkai.
"Aku tak akan pergi dalam keadaan bernyawa jika tak bisa membalaskan
kematian dua puluh tiga anak buahku yang kau bunuh dengan keji dua hari yang
lalu itu! Lebih baik aku
kehilangan nyawa daripada pulang ke Bukit Esa tanpa menenteng kepalamu, Setan
Busuk!" ucap Nyi Mas Gandrung Arum dengan penuh kebencian.
"Mereka layak mati, karena telah
lancang, berani melarangku melewati batas wilayah kekuasaanmu. Mereka
belum tahu siapa si Marundang ini!
Jadi mereka perlu mendapat pelajaran alakadarnya, Gandrung Arum!"
"Kau memang keparat, Marundang!
Seenaknya saja bicara dan bertindak, maka aku pun akan memperlakukan hal yang
sama terhadap dirimu, Marundang!"
Blluuk ..! Tiba-tiba Nyi Mas
Gandrung Arum memukul dadanya sendiri.
Jurus 'Tapak Ungu' dipergunakan,
membuat kulit mulusnya membekas
telapak tangan warna kebiru-biruan.
Biasanya jurus 'Tapak Ungu' akan
membekas di dada lawan walau Nyi Mas Gandrung Arum memukul dadanya sendiri.
Dan jurus itu mempunyai racun yang
amat berbahaya, sukar disembuhkan jika bukan dengan air Sendang Ketuban.
Tetapi agaknya kali ini lawan Nyi
Mas Gandrung Arum orang yang cukup paham dengan jurus 'Tapak Ungu'
tersebut. Maka ketika Nyi Mas Gandrung Arum memukul dadanya sendiri, Setan Rawa
Bangkai segera menempelkan
telapak tangan ke dadanya sendiri.
Tangan itu menyala biru, lalu berubah menjadi hijau. Secepatnya tangan itu
disentakkan ke depan, dan sinar hijau
yang menyala di telapak tangan Setan Rawa Bangkai melesat bagai terbuang.
Weeess...! Sasaran sinar hijau itu
adalah dada Nyi Mas Gandrung Arum.
Wuuuut, weees...!
Nyi Mas Gandrung Arum tahu bahwa
pukulan 'Tapak Ungu'-nya sedang
dikembalikan oleh lawan. Maka ia
segera melenting ke atas, bersalto
satu kali dan sinar hijau itu lolos dari tubuhnya, menghantam sebatang
pohon yang segera kering dan menjadi keropos.
Jleeg...! Nyi Mas Gandrung Arum
mendaratkan kakinya ke tanah. Tapi
sebelum ia melepaskan pukulan
berbahaya lagi, tiba-tiba tubuhnya
terlempar ke samping dan berputar-
putar di udara bagaikan baling-baling.
Wut, wut, wut, wut, wut, wut...!
Weeeerr...! Brrrruk, praaak...!
Nyi Mas Gandrung Arum dilemparkan
dengan kekuatan ilmu 'Sukma Sakti'
hingga kepalanya membentur batang
pohon dengan kuatnya. Batang pohon itu sempat hancur sebagian bagai ditumbuk
oleh gada besi. Jika batang itu saja sampai hancur sebagian, tentunya
kepala Nyi Mas Gandrung Arum pun
menjadi ikut hancur.
Tapi karena pengaruh lapisan
tenaga dalam yang menyelimuti sekujur tubuhnya, maka Nyi Mas Gandrung Arum hanya
mengalami luka kecil pada
pelipisnya. Hanya saja, pandangan mata menjadi berkunang-kunang dan sekujur
tulangnya seperti remuk setelah
tubuhnya jatuh terkulai di tanah.
Setan Rawa Bangkai masih tetap
diam di tempat. Tiba-tiba kedua
tangannya diangkat dan kesepuluh
kukunya yang runcing itu menyala merah bagaikan bara. Kuku yang menyala merah
itu memancarkan kilatan cahaya seperti lidah petir yang berkerliap dari kuku
yang satu ke kuku yang lain. Kemudian lidah petir itu menjadi panjang
bagaikan sepuluh cambuk membara. Setan Rawa Bangkai mengibaskan tangannya
dengan gerakan mencakar, maka lidah-lidah petir itu berkelebat bagaikan
mencambuk tubuh Nyi Mas Gandrung Arum.
Cralaaap...! Blegaarrr...! Tubuh Nyi Mas Gandrung Arum
disambar seseorang, sehingga lidah-
lidah petir itu mengenai tempat
kosong. Akibatnya tanah di tempat itu menjadi retak panjang dan sebagian
sisi bongkahan tanah itu longsor masuk
ke dalam bumi. Sedangkan pohon-pohon di sekitar tanah yang terbelah itu
menjadi tumbang tak karuan bagai
dilanda kiamat kecil. Itulah
kedahsyatan jurus 'Cakar Belah Jagat'
yang menjadi jurus andalan nomor dua bagi Setan Rawa Bangkai.
Sosok bayangan hitam yang
menyambar tubuh Nyi Mas Gandrung Arum itu ternyata adalah sosok tua berambut
putih, yang tak lain adalah Nini
Kalong. Melihat kehadiran Nini Kalong yang baru saja letakkan tubuh Nyi Mas
Gandrung Arum di tempat yang aman,
Setan Rawa Bangkai menjadi menggeram diliputi cahaya murka dari sorot
sepasang mata cekungnya itu.
"Gggrrrmmm...!" geramnya dengan sangar. "Kau muncul juga akhirnya, Nini Kalong!"
"Aku datang bukan sekadar untuk selamatkan si Gandrung Arum, tapi
untuk membalas kematian muridku; Syair Kusumi!" seru Nini Kalong yang bisa
sampai di tempat itu karena suara
ledakan dahsyat tadi.
"Sebenarnya kau adalah orang
terakhir yang ingin kuhancurkan, Nini Kalong. Tapi karena kau muncul lebih dulu
dari yang lain, maka aku terpaksa
mengakhiri hidupmu sekarang juga!"
"Gandrung Arum boleh kau anggap ringan, tapi Nini Kalong jangan kau samakan
dengan Gandrung Arum,
Marundang! Jangan anggap aku tak bisa menandingi kesaktianmu. Terimalah
jurus pertamaku ini! Heeeaaah...!"
Jurus 'Tolak Tujuh' dilepaskan
oleh Nini Kalong. Sinar hijau sebesar jeruk nipis keluar dari tangannya,
melesat cepat hendak menghantam kepala Setan Rawa Bangkai. Claaap...!
Weeess...! Namun Setan Rawa Bangkai hanya
diam saja, sunggingkan senyum sinis yang benar-benar tak sedap dipandang mata.
Sinar hijau yang melesat ke
arahnya itu segera ditangkap dengan tangannya. Sinar itu segera
dilemparkan kembali ke arah Nini
Kalong. Wuuuut...! Blegaaarr...!
Nini Kalong loncat ke atas dan
melambung di udara beberapa saat.
Sinar hijau yang dikembalikan itu
menghantam tanah di belakangnya. Tanah itu menjadi hancur dan berlubang cukup
besar, asap mengepul bagai keluar dari dalam tanah yang telah menjadi hangus
itu. Ketika tubuh Nini Kalong hendak
mendarat ke bumi, tiba-tiba ia merasa mendapat pukulan di ulu hatinya dengan
sangat keras. Beeehg...! Maka tubuhnya pun terdorong ke belakang dengan suara
pekik tertahan menyertainya,
"Heeegh..."!" mata Nini Kalong mendelik dengan mulut ternganga.
Mulutnya itu mulai mengepulkan asap tipis bagai ada sesuatu yang terbakar di
dalam tubuhnya.
Setan Rawa Bangkai sejak tadi
hanya diam saja, ia menghantam ulu hati lawannya dengan menggunakan
kekuatan batin dari ilmu 'Sukma
Sakti'-nya itu. Tentu saja Nini Kalong tak bisa menghindar atau menangkis
karena tak dapat melihat datangnya
pukulan tersebut.
Wajah Nini Kalong mulai membiru
agak kemerah-merahan, sepertinya
sekujur kepala itu menjadi bisul yang amat menyakitkan.
Sekalipun demikian, Nini Kalong
masih memaksakan diri untuk bangkit dan lakukan penyerangan kembali.
Sedangkan Setan Rawa Bangkai mulai
mengangkat tangannya yang berjari
keras membentuk cakar. Kilatan cahaya merah berkerilap dari kuku-kuku
hitamnya. Begitu tangan dikibaskan
bagai mencakar udara kosong di
depannya, sinar merah yang menyerupai lidah petir itu berkerilap menyambar tubuh
Nini Kalong. Jurus 'Cakar Belah Jagat' digunakan lagi untuk hancurkan tubuh Nini
Kalong. Dalam keadaan sempoyongan sambil
menahan rasa sakit, Nini Kalong tak mampu hindari lima sinar merah itu.
Tetapi tiba-tiba sekelebat sinar biru besar memotong jalannya lima sinar
merah tersebut. Akibatnya kelima sinar merah yang mirip cambuk lidah petir itu
menghantam sinar biru besar


Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersebut. Blegaaarrr...! Gleeerrr...!
Tanah berguncang walau tak sempat
retak terbelah seperti tadi. Pepohonan ikut bergetar dan sebagian dahan ada yang
patah akibat gelombang ledakan yang menghentak kuat itu. Setan Rawa Bangkai
sendiri terpental ke belakang dan jatuh berguling satu kali, lalu cepat
sentakkan tangan ke bumi dan
tubuhnya melambung ke atas dengan
ringannya. Wuuuus...! Jleeeeg...!
Ketika ia menapakkan kakinya ke
tanah, wajahnya tampak terkejut karena ternyata di tempat itu sudah hadir
tokoh lain. Seorang anak muda
berpakalan coklat-putih, menyilangkan bumbung tuak di punggungnya, ia
berdiri membelakangi Nini Kalong yang terpental akibat ledakan tadi dan
sekarang sedang mengerang menahan
sakit dalam keadaan terkapar.
"Siapa kau..."!" hardik Setan Rawa Bangkai.
"Aku adalah orang yang akan
menjadi tandinganmu, Setan Rawa
Bangkai!" "Sebutkan namamu!" bentak Setan Rawa Bangkai.
Bukan pemuda itu yang menjawab,
tetapi seseorang yang muncul dari
balik semak di samping kanan
Marundang. "Dia bernama Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk, murid Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"
Dengan gerakan cepat kepala Setan
Rawa Bangkai berpaling memandang orang yang menjawab itu. Ternyata di sana telah
berdiri tokoh berpakaian serba putih yang tak lain adalah Setan
Merakyat. Di belakang Setan Merakyat tampak Ki Tumbang Laga berdiri dengan
tenang dan berlagak acuh tak acuh.
"Murdawira..., ternyata kau pun tak sabar menunggu kematianmu tiba!"
ucap Setan Rawa Bangkai.
Tiba-tiba sebuah suara menyahut
dari samping lain, "Justru kau yang tak sabar menunggu kematianmu tiba,
Marundang!"
Kepala berambut panjang warna
abu-abu itu berpaling cepat ke arah lain. Ternyata di sana sudah berdiri dua
tokoh tua lainnya: Resi Pakar
Pantun dan si Tua Bangka.
Rupanya bunyi ledakan menggelegar
yang pertama tadi dijadikan tanda bagi mereka untuk mencari tahu di mana
Setan Rawa Bangkai berada. Bahkan kali ini segumpal asap pun muncul di depan
Setan Rawa Bangkai. Buuusss...! Ketika asap itu hilang, tampaklah sesosok
tubuh gemuk berkepala gundul,
mengenakan pakalan biksu warna kuning dan berkalung tasbih putih sepanjang
perut. Kemunculan tokoh itu membuat Setan Rawa Bangkai menggeram dengan
memancarkan pandangan tajam.
"Ggrrmm...! Kau pun hadir juga, Badranaya"!"
Setelah melirik Nyi Mas Gandrung
Arum yang terkapar menahan luka itu, Resi Badranaya pun berkata kepada
Marundang, "Kau telah melukai kakakku,
Marundang! Kau harus menerima
pembalasan dariku!"
"Tidak! Bukan kau lawan yang
pantas untuknya, tapi dia... Pendekar Mabuk.
Itulah lawan yang imbang
baginya, Badranaya!" sahut Setan Merakyat dengan nada tegas.
Resi Badranaya menjadi ragu,
sebab ia menaruh hormat kepada Setan Merakyat. Tetapi bagi Marundang,
keadaan itu justru semakin memancing murkanya, ia menggeram dengan pandangi
mereka satu persatu.
"Siapa pun kalian yang ingin mati lebih dulu silakan maju!" ujarnya menantang
Pendekar Mabuk segera berkelebat
menerjang tanpa banyak bicara lagi.
Zlaaap...! Brrus...! Tubuhnya menabrak Setan Rawa Bangkai, tapi justru ia
sendiri yang terpental mundur dan
jatuh terjungkal ke belakang. Setan Rawa Bangkai tetap berdiri tegak
dengan menarik kedua tangan yang tadi digunakan menghadang terjangan
Pendekar Mabuk.
"Cepat bangkit, Suto!" seru Ki Tumbang Laga memberi semangat.
Wuuuut...! Suto Sinting sentakkan
badan dan tubuhnya melambung ke atas,
lalu berdiri tegak menapakkan kakinya di tanah. Setan Rawa Bangkai
pergunakan jurus 'Sukma Sakti'-nya
untuk melemparkan Suto Sinting ke arah samping. Wuuut...! Tubuh anak muda itu
terlempar dengan ringannya dan
pundaknya membentur batang pohon
dengan keras. Ouuuhg...!
"Auh...!" pekiknya pendek.
"Ayo, hajar dia, Suto!" seru Ki Tumbang Laga dengan gemas. "Percuma lima hari
aku dan Kakang Murdawira
menjagamu selama menjadi patung
kristal ungu kalau akhirnya kau akan tumbang juga, Suto!"
Pendekar Mabuk bangkit kembali.
Saat itu Setan Rawa Bangkai menghantam dada Suto Sinting dengan keadaan tetap
diam tak bergerak. Batinnya memukul keras pemuda tampan itu menggunakan ilmu
'Sukma Sakti'-nya.
Tetapi Suto Sinting cepat-cepat
pergunakan jurus 'Pranasukma' untuk menahan gelombang naluri yang
menghantamnya. Zeeebb...! Pukulan
keras itu tertahan di pertengahan
jarak. Setan Rawa Bangkai terperanjat karena merasakan pukulan batinnya
ditahan oleh suatu kekuatan yang sukar dikalahkan.
Beehg...! Setan Rawa Bangkai
terjengkang ke belakang sendiri.
Pukulan batinnya bagaikan membalik
arah mengenai dirinya. Suto Sinting berdiri tak bergerak memandangi
lawannya. Tiba-tiba lawannya terlempar ke atas dan membentur dahan pohon
besar. Brruk...! Krrrak...! Dahan itu patah akibat benturan keras kepala
Setan Rawa Bangkai.
Wuuut...! Brrrak...! Wuuuss...!
Prraak...! Setan Rawa Bangkai dilempar-
lemparkan oleh kekuatan 'Pranasukma'-
nya Suto Sinting. Tubuh kurus kering itu dibanting-banting lebih dari
sepuluh kali, hingga tulang-tulangnya menjadi patah. Walau memekik berkali-kali,
tapi Suto Sinting tetap
membanting-banting tubuh itu dengan jurus 'Pranasukma'-nya.
"Aaahgg...!" Setan Rawa Bangkai memekik panjang ketika tubuhnya
melayang ke arah Suto Sinting. Tangan Suto berkelebat menyambar bumbung
tuak, dan bumbung tuak itu segera
dihantamkan ke tubuh yang melayang
itu. Wuuut, praak! Duaaar...!
Hantaman bumbung tuak itu
timbulkan ledakan cukup keras.
Ternyata ledakan itulah yang
mengakhiri riwayat hidup Setan Rawa Bangkai. Tubuh kurus itu terkulai di tanah
dalam keadaan seluruh tulangnya patah, dan tentu saja nyawanya pun
melayang bersama kepulan asap pada
pinggangnya yang terhantam bumbung
tuak tersebut. Beberapa tokoh tua menampakkan
kelegaannya, sebagian ada yang
bertepuk tangan pelan sebagai tanda pujian bagi sang Pendekar Mabuk.
"Kuhitung sudah tujuh belas kali kau menggunakan jurus 'Pranasukma'
tadi. Ingat-ingatlah sisanya, jangan sampai kau kehabisan kekuatan
'Pranasukma' itu, Suto," ujar Setan Merakyat sambil menepuk-nepuk pundak Suto
Sinting. "Setelah saya pikir-pikir,
sebenarnya Bapa Guru bisa lakukan
sendiri perlawanan seperti tadi,
karena Bapa Guru memiliki ilmu
'Pranasukma'. Tapi mengapa justru Bapa Guru turunkan kepada saya ilmu itu,
sehingga sayalah yang melawan kekuatan si Setan Rawa Bangkai itu?"
"Kalau ilmu itu tak segera kuturunkan, maka aku akan mengalami
susah mati. Padahal aku sudah jenuh hidup dan ingin segera mencapai alam
keabadian. Kupilih waktu yang tepat untuk turunkan ilmu itu padamu, dan saat
sekarang inilah saat yang tepat karena ada alasan bagimu untuk mencoba
kedahsyatan ilmu 'Pranasukma' itu."
Resi Pakar Pantun sibuk menolong
Nini Kalong, karena perempuan tua itu memang bekas kekasihnya. Resi
Badranaya sibuk menolong Nyi Mas
Gandrung Arum yang sebenarnya adalah kakaknya sendiri. Tapi semua
pertolongan mereka sia-sia. Hanya tuak Suto yang bisa sembuhkan segala luka pada
tubuh kedua perempuan itu.
Selesai sembuhkan mereka, Suto
Sinting segera dibawa menghadap Gila Tuak bersama-sama para tokoh tua itu.
Kebetulan hari itu adalah hari yang sudah disepakati oleh para tokoh tua aliran
putih untuk mengadakan
pertemuan yang kedua di Bukit Sekal, dalam rangka membahas masalah
kemunculan Setan Rawa Bangkai. Satu-satunya orang yang tak mau ikut ke
Bukit Sekal adalah Nyi Mas Gandrung Arum, karena ia merasa bukan tokoh
aliran putih, tapi karena bujukan Suto Sinting, akhirnya perempuan cantik dan
berdada montok itu akhirnya pergi juga ke Bukit Sekal, untuk selanjutnya ia
masuk ke dalam golongan putih.
SELESAI Pendekar Mabuk Segera terbit!!!
MISTERI MALAIKAT PALSU
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Golok Naga Kembar 3 Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah Hina Kelana 38
^