Pencarian

Altar Setan 3

Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan Bagian 3


Pendekar Naga Putih berhasil merobohkan lebih dari sepuluh orang. Lesatan pisau-
pisau beracun itu ternyata beberapa kali lipat dari kecepatan semula. Sehingga
sulit untuk dapat dihindari.
"Itulah hukuman bagi manusia-manusia curang
dan pengecut!" seru Pendekar Naga Putih dengan men-
gerahkan tenaga dalamnya. Sehingga, gema suaranya
bergaung memenuhi tempat itu. "Keluarlah...! Ayo, hadapi aku secara ksatria...!"
Panji tidak perlu menunggu lama untuk melihat pa-
ra penyerang gelap itu. Namun dia terkejut bukan
main, ketika dilihatnya hutan yang semula gelap itu
mendadak terang-benderang tak ubahnya di waktu
siang. Obor-obor bermunculan di sekeliling tempat itu.
Dan diperkirakan kurang lebih seratus obor. Belum la-gi mereka yang muncul tanpa
memegang obor. Sedi-
kitnya orang yang mengepung tempat itu berjumlah ti-ga ratus orang. Tentu saja
Panji terperanjat menyaksikan kejadian yang sungguh di luar dugaannya itu.
"Gila...! Kalau begitu mereka sudah menunggu ke-
datanganku! Keparat...!" geram Panji yang meskipun
tak merasa gentar, hatinya sempat bergetar. Karena
jumlah lawan demikian banyak. Jelas tidak mungkin
dirinya sanggup menghadapi lawan sebanyak itu. Be-
lum lagi kemungkinan adanya orang-orang berkepan-
daian tinggi di antara mereka. Satu-satunya jalan, dia harus berusaha untuk
lolos dan pergi meninggalkan
Hutan Rawandaka. Untuk itu dirinya harus membuka
jalan darah. Setelah pasukan yang jumlahnya ratusan orang itu
bergerak semakin dekat, Pendekar Naga Putih segera
mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Ha-
tinya yang sempat kaget sudah mulai tenang. Karena
dia teringat akan rencana yang telah diatur bersama Senapati Jata Logaya,
Kenanga, dan juga Perwira Suranggala. Ingatan itu membuatnya merubah maksud
semula. Kalau tadi Panji sudah mengambil keputusan
untuk mencari jalan keluar, kini justru hendak berusaha untuk mengulur waktu,
dengan melakukan per-
lawanan terhadap gerombolan itu.
"Ha ha ha...! Kali ini kau tak mungkin dapat lolos
dari kematian, Pendekar Naga Putih! Meskipun kesak-
tianmu sangat tinggi, sebagai manusia tenagamu pasti terbatas. Dan itulah
saatnya kematianmu...!"
Seorang lelaki tua berusia sekitar lima puluh tahun tampil ke depan menghadapi
Panji. Kelihatannya dia
begitu yakin kalau malam ini akan berhasil mele-
nyapkan Pendekar Naga Putih yang dianggapnya me-
rupakan penghalang besar bagi cita- citanya. Itulah sebabnya mengapa dia tidak
berputus asa dan berusaha keras untuk melenyapkan Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih menatap tajam lelaki tua yang
pernah dirobohkannya di Desa Gending itu. Kali ini lelaki tua itu bukan hanya
ditemani dua orang berkepala botak Masih ada seorang lelaki tinggi besar
berpakaian merah, yang tak lain Beruang Cakar Baja, serta seorang lelaki kurus
yang membuat wajah Panji merah
menyimpan kemarahan. Karena lelaki kurus itu adalah orang yang pernah menawarkan
rumahnya untuk di-pakai bermalam oleh Panji dan Kenanga. Baru disadari sekarang,
bahwa peristiwa di Desa Gending telah diatur sebelumnya.
"He he he...! Kau masih ingat padaku, Pendekar Na-
ga Putih"!" tegur lelaki kurus itu menyiratkan ejekan yang membuat Pendekar Naga
Putih semakin geram.
"Hm.... Rupanya waktu itu kau memang sengaja
hendak mencelakakan kami berdua. Keparat! Dasar
manusia licik yang tak kenal budi!" desis Panji penuh kemarahan. Sama sekali tak
disangka kalau lelaki
yang saat pertama kali bertemu mendatangkan pera-
saan kasihan itu ternyata menjebaknya. Tentu saja kalau ingat peristiwa itu dia
menjadi geram. "He he he...! Makilah sepuasmu sebelum kematian
datang menjemputmu, Pendekar Naga Putih...!" ejek lelaki kurus itu yang ternyata
termasuk salah seorang pentolan pemberontak. Bahkan lelaki kurus itu pasti
berkepandaian tinggi. Hal itu bisa dilihat dari orang-orang di kiri dan
kanannya, yang merupakan pentolan-pentolan pemberontak. Mereka berlima memang
meru- pakan kaki tangan utama Darmanggala, pimpinan
pemberontak. Pendekar Naga Putih menggertakkan gigi menahan
kemarahannya. Ditekannya segala kejengkelan dan ke-
geraman dalam hati. Karena disadari perasaan itu
hanya akan membuatnya lengah. Tentu saja hal itu
akan sangat berbahaya mengingat banyaknya jumlah
lawan. Dia berusaha untuk tidak mempedulikan lelaki kurus itu. Dan siap untuk
menghadapi serbuan lawan.
"Hmh...!"
Beruang Cakar Baja melompat maju, setelah men-
dapat isyarat dari lelaki tua yang menjadi pimpinannya. Demikian pula dengan
lelaki kurus yang berjuluk Ular Hitam, serta dua orang berkepala botak yang
menjadi pembantunya.
Pendekar Naga Putih menggeser langkahnya ketika
melihat empat orang lawan sudah berlompatan men-
gepungnya. Sepasang matanya bergerak mengikuti
langkah kaki keempat pengepungnya. Sekali pandang
saja dia langsung dapat menilai kalau lelaki tinggi besar dan lelaki kurus
itulah yang lebih berbahaya. Sedang dua orang berkepala botak itu tak begitu
diperhatikan. Karena pendekar muda itu sudah tahu sampai
di mana kehebatan kedua orang lelaki botak.
"Heaaah...!"
Teriakan keras menggelegar terdengar ketika Be-
ruang Cakar Baja melompat seraya mengayunkan ke-
dua cakarnya yang siap mencabik tubuh lawan. Tokoh
tinggi besar itu sudah mengerahkan seluruh kekua-
tannya. Karena disadari bahwa lawannya kali ini seorang pendekar besar yang
berkepandaian sangat tinggi.
Dan Beruang Cakar Baja tak ingin bertindak gegabah.
"Heaaa...!"
Ular Hitam menyusul gerak kawannya. Tubuhnya
yang kurus melesat ringan ke depan. Kedua tangannya
membentuk paruh ular. Gerakannya demikian gesit.
Terutama kedua telapak tangannya yang meliuk lincah dan memagut-magut disertai
sambaran angin berkesiutan. Jelas serangan lelaki kurus itu tak kalah hebat
dengan serangan Beruang Cakar Baja.
"Hiaaa.,.!"
Ketika serangan kedua lawannya mendekat, Pende-
kar Naga Putih melompat ke samping sambil mengi-
baskan tangan kanan untuk memapaki sambaran ca-
kar Beruang Cakar Baja. Kemudian segera melontar-
kan serangan balasan dengan tak kalah hebatnya.
"Yeaaah...!"
Wret! Wuuut..! Dengan cakar naganya, Pendekar Naga Putih senga-
ja mencecar Ular Hitam. Karena hatinya sangat geram terhadap lelaki kurus yang
pernah menjebaknya itu.
Tentu saja Ular Hitam kelabakan, lalu berusaha menghindari serangan lawan sambil
sesekali mengirimkan
serangan balasan.
"Heaaa...!"
Wret! "Heaaah...!"
Dua orang lelaki botak yang semula masih menung-
gu kesempatan, langsung menerjang maju ketika meli-
hat Ular Hitam terdesak dan beberapa kali hampir tersambar cakar lawan. Pendekar
Naga Putih terpaksa
menunda serangan dan menarik mundur tubuhnya.
Kemudian mengirimkan bacokan sisi telapak tangan-
nya ke salah seorang lelaki botak itu.
"Heaaa...!"
Kreeekh...! "Akh!"
Terdengar bunyi seperti tulang patah ketika tebasan tangan Pendekar Naga Putih
menghajar tengkuk la-
wannya. Karuan saja lelaki berkepala botak itu ter-
sungkur, dan tewas seketika.
*** 7 "Kurang ajar...!" geram lelaki tua, pemimpin rom-
bongan itu. Hatinya marah ketika melihat salah seo-
rang tangan kanannya tewas di tangan Pendekar Naga
Putih. "Mundur...! Mundur kalian semua...!"
Serentak para tangan kanannya yang tengah mela-
kukan serangan terhadap Pendekar Naga Putih segera
berhamburan mundur, menjauhi lawan.
"Hujani dengan anak panah...!" perintahnya dengan
suara menggelegar. Sesaat kemudian....
Wuuung! Wuuung...!
Seketika itu juga terdengarlah suara mengaung ta-
jam laksana ribuan lebah marah. Dan ratusan anak
panah meluncur begitu cepat memburu tubuh Pende-
kar Naga Putih.
"Haits...! Heaaa...!"
Sadar bahwa 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' tak
mungkin dapat menahan anak panah sebanyak itu,
bergegas Pendekar Naga Putih mengerahkan tenaga
gabungannya. Sehingga, tubuhnya terselimut sinar
kuning keemasan dan sinar putih keperakan.
Hawa dingin dan panas menyebar sejauh dua tom-
bak lebih dari tempat pendekar muda itu berdiri. Gembong-gembong pemberontak itu
berlompatan mundur
dengan wajah pucat. Mereka terkejut bukan main keti-ka melihat keadaan tubuh
lawan yang dengan hawa
gabungannya mampu menggetarkan kekuatan tenaga
dalam lawan. Dengan kekuatan tenaga gabungan yang luar biasa
itu, Pendekar Naga Putih tidak gentar untuk menerima serbuan hujan anak panah.
Sedikit pun tubuhnya tak
bergeser dari tempatnya.
Wuing! Wuing...!
Trak! Trak...! Puluhan anak panah yang hampir mendarat pada
sasaran tiba-tiba berpentalan jatuh ke tanah. Belasan anak panah patah. Ada pula
yang melesat berbalik.
Benda-benda tajam itu seakan tertahan oleh dinding
baja yang tak tampak. Bahkan hampir separo di anta-
ranya runtuh dalam keadaan hangus bagaikan terba-
kar. Gelombang cahaya yang membungkus tubuh Pen-
dekar Naga Putih, seakan tak mampu ditembus senjata apa pun.
"Gila!" Sepantasnya pemuda itu adalah jelmaan ib-
lis neraka!" desis lelaki tua pimpinan pasukan itu. Dia benar-benar hampir tak
percaya dengan apa yang terjadi di depan mata. Bahkan sempat tertegun untuk
sesaat lamanya.
"Serbuuu...!"
Begitu sadar, lelaki tua itu kembali memberikan pe-
rintah agar menyerbu Pendekar Naga Putih. Tapi....
"Hiii...!"
Sebelum ratusan pasukan itu menyerbu Pendekar
Naga Putih, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang
yang menggetarkan jantung. Disusul dengan muncul-
nya sosok-sosok tubuh berjubah dan berselubung ke-
pala hitam. Mereka langsung melayang turun di dekat pendekar muda itu dan
melontarkan serangan hebat
secara beramai-ramai.
"Hiii...!"
Whuuut! Whuuut...!
"Hah..."!"
Sosok tinggi kurus yang tiba lebih dulu, langsung
melepaskan serangkaian serangan maut. Terdengar
deru angin yang keras dan tajam, pertanda bahwa pe-
nyerangnya memiliki tenaga dalam yang tinggi dan sulit diukur. Pendekar Naga
Putih pun sempat terkejut dengan serangan dahsyat yang begitu cepat dan tiba-
tiba itu. Pendekar Naga Putih mengangkat tangannya me-
mapaki. Sadar kalau kekuatan tenaga serangan itu
sangat hebat, dia pun telah mengerahkan separo lebih dari tenaga gabungannya.
Namun, rupanya serangan
itu menebarkan hawa aneh yang membuat dirinya
sempat tersihir. Hatinya segera menyadari kalau se-
rangan itu juga menggunakan kekuatan gaib, yang bi-
sa membuat lawan merasa tak sadar akan datangnya
ancaman maut. Namun, hal itu tak berlaku bagi Panji.
Glarrr...! Ledakan keras menggelegar terdengar ketika dua
gelombang kekuatan saling beradu. Pendekar muda itu pun sempat tergetar.
Tubuhnya terdorong beberapa
langkah. Sedang wajahnya berubah seketika. Sama
sekali tidak disangka kalau sosok berjubah hitam itu ternyata mampu mengimbangi
kedahsyatan tenaga gabungannya. Padahal jarang tokoh yang akan mampu
menghadapi gabungan tenaga mukjizatnya itu. Bahkan
meski sempat terdorong mundur, sosok berjubah hi-
tam itu masih mampu melancarkan serangan berikut-
nya. Mengetahui gerak cepat lawan, Pendekar Naga Putih segera melompat mundur
menghindari serangan
lawan. Plak! Glarrr...!
Kedua pasang tangan yang berisikan hawa mukjizat
itu saling bentur, menimbulkan ledakan yang meme-
kakkan telinga. Tubuh keduanya terjajar mundur be-
berapa langkah. Kemudian saling meneliti gerak langkah masing-masing. Seperti
dua ekor ayam jago yang
tengah mengukur kekuatan lawan.
"Hiii...!"
Kembali Panji dikejutkan lengkingan panjang yang
memekakkan telinga. Cepat langkahnya digeser ketika melihat belasan orang yang
mengenakan jubah hitam
berlompatan ke tengah arena, dan langsung menye-
rangnya dengan pukulan-pukulan berhawa maut.
"Gila...! Baru seorang saja sudah sedemikian sak-
tinya" Sekarang malah belasan orang yang datang me-
nyerang! Mungkinkah malam ini akhir dari hi-
dupku...?" desis Panji yang tentu saja sempat tergetar hatinya melihat datangnya
belasan orang memakai jubah hitam sepanjang mata kaki.
Whuuut! Whuuut...!
Meski tidak sedahsyat tokoh yang pertama kali di-
hadapi, bagi Pendekar Naga Putih serangan belasan
orang lawan itu tetap sangat berbahaya. Sehingga, untuk beberapa saat Panji


Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibuat sibuk oleh serangan
yang datang laksana air bah itu. Tubuhnya melompat
ke sana kemari untuk menghindar sambil sesekali me-
lepaskan serangan balasan. "Haaat...!"
Suara pekikan keras menggelegar terdengar meme-
kakkan telinga ketika Pendekar Naga Putih tiba-tiba berteriak dengan ilmu
'Pekikan Naga Marah'. Kemudian beberapa kali kedua lengannya yang telah terisi
tenaga gabungan, dikibaskan dan didorongkan untuk
menyerang lawan-lawannya.
Bukkk! Desss...!
Dua orang pengeroyok tak sempat menghindarkan
pukulan maut yang dilancarkan Pendekar Naga Putih.
Akibatnya tubuh mereka terlempar deras sampai bebe-
rapa tombak jauhnya. Darah segar seketika muncrat
dari mulut mereka. Keduanya terbanting jatuh ke ta-
nah dengan keras. Kemudian diam tak bergerak sete-
lah kembali memuntahkan darah segar.
Sedangkan pengeroyok yang lainnya berloncatan
mundur. Karena dalam kemarahannya, Pendekar Naga
Putih mengerahkan hampir seluruh tenaga gabungan-
nya. Dan tentu saja tak ada yang sanggup menahan
gempuran dahsyat itu. Sehingga Pendekar Naga Putih
dapat menarik napas lega kendati hanya untuk sesaat lamanya.
"Bedebah...!" geram sosok tinggi kurus yang perta-
ma kali menggempur Pendekar Naga Putih. Wajahnya
tampak murka sekali. Rupanya orang inilah pimpinan
sosok-sosok berjubah hitam. Karena kepandaiannya
memang paling tinggi di antara sosok-sosok berjubah hitam lainnya.
Pendekar Naga Putih menggeser langkahnya dengan
menyiapkan jurus andalannya. Sekarang dia baru da-
pat menduga siapa sebenarnya sosok- sosok berjubah
hitam itu. Karena dari bentuk dan warna pakaiannya, mereka memang tak ubahnya
kaum pemuja setan.
"Hm..., mereka inilah rupanya yang selalu memper-
sembahkan gadis-gadis di atas Altar Setan pada setiap purnama. Sudah kuduga
kalau mereka mempunyai
hubungan dengan gerombolan pemberontak yang di-
pimpin Darmanggala...," gumam Panji sambil tetap
menatap sosok-sosok berjubah hitam yang mengelilin-
ginya. Dan kembali menggeser langkah ketika para
pengepungnya mulai bergerak merapat.
Baru saja sosok-sosok berjubah hitam itu siap me-
nerjang Pendekar Naga Putih, tiba-tiba terdengar suara terompet dari kejauhan.
Ditingkahi suara derap kaki kuda yang bergemuruh. Tentu saja hal itu membuat
lawan-lawan Panji mengurungkan serangan. Bahkan
pimpinan pasukan pemberontak itu tampak berubah
parasnya. Jelas sekali kalau lelaki tua bertubuh gagah itu sangat terkejut.
Lain halnya dengan Pendekar Naga Putih. Menden-
gar suara terompet di kejauhan, wajahnya berubah cerah. Dia memang telah
berpesan kepada Senapati Jata Logaya agar mengirim pasukan ke Hutan Rawandaka
untuk menyusulnya. Karena pendekar muda itu telah
bertekad ingin menangkap penyebab korban Altar Se-
tan. Sama sekali tidak disangka kalau akhirnya terjebak ke dalam perangkap
gerombolan Darmanggala.
Untung saja Pendekar Naga Putih telah menyuruh pa-
sukan untuk menyusul. Kalau tidak, kemungkinan be-
sar dirinya akan terbunuh. Setidaknya tertawan mu-
suh. Jumlah pasukan yang dikirim Senapati Jata Logaya
jauh dari perkiraan Panji. Semula dia menyangka pa-
sukan yang dikirim paling banyak sekitar seratus
orang, ternyata pasukan yang dipimpin Perwira Su-
ranggala berjumlah seribu orang. Rupanya Senapati
Jata Logaya khawatir kalau Pendekar Naga Putih akan menghadapi halangan dari
pihak pemberontak, seperti pada waktu menyelidik di Desa Gending. Itu sebabnya
Senapati Jata Logaya mengirim pasukan tidak kurang
dari seribu orang untuk menyusul ke Hutan Rawanda-
ka. "Celaka, Ki Lawaleng! Kali ini kita sendiri yang ter-jebak!" desis Beruang
Cakar Baja yang wajahnya kelihatan pucat.
Tidak berapa lama kemudian, dari sekeliling tempat
itu telah bermunculan prajurit-prajurit Kadipaten Tumapel. Rupanya mereka datang
dengan jalan menye-
bar. Sehingga, pasukan pemberontak terkepung dari
segala penjuru.
"Serbuuu...!"
Suranggala sendiri tidak banyak cakap lagi. Melihat banyaknya pasukan
pemberontak yang berada di hutan itu, dia langsung memerintahkan pasukannya agar
menyerbu. Ki Lawaleng, lelaki tua bertubuh gagah yang menja-
di pimpinan gerombolan pun tak tinggal diam. Karena sudah tak ada jalan untuk
lolos, dia pun memberikan perintah untuk menyambut serbuan pasukan pemerin-tah.
Dan perang besar pun tak terhindari lagi.
Hutan Rawandaka yang biasanya sunyi dan menye-
ramkan, malam itu berubah ramai oleh dentang senja-
ta dan jerit kematian. Pasukan Kadipaten Tumapel
yang jumlahnya hampir empat kali lipat dari pasukan pemberontak, menggasak
musuh-musuhnya tanpa
ampun. Darah pun mengalir membasahi tanah be-
rumput. Mayat-mayat bergelimpangan tumpang tindih
dengan tubuh bersimbah darah segar. Hutan Rawan-
daka berubah menjadi lautan darah.
"Hei, mau lari ke mana kalian..."! Heaaa...!"
Pendekar Naga Putih yang melihat sosok-sosok ber-
jubah hitam itu berlompatan pergi meninggalkan are-
na, bergegas menghadang. Tubuhnya langsung berke-
lebat menyambar dua orang yang berlari paling bela-
kang. Sekali mengibaskan tangan, tubuh kedua orang
itu terjungkal mencium tanah. Meskipun mereka beru-
saha mengelak dan menangkis, tak urung sambaran
tangan pendekar berjubah putih itu mendarat di tubuh mereka. Tanpa ampun lagi,
nyawa kedua orang itu pun langsung melayang.
"Hiii...!"
Tiba-tiba pemimpin gerombolan berpakaian hitam
itu mengeluarkan suara melengking yang keras dan
memekakkan telinga. Seketika itu pula tubuhnya le-
nyap menjadi gumpalan asap putih yang kemudian
sirna ditiup angin malam.
"Hah...! Kurang ajar...!" Panji menggeram marah
melihat hal itu. Dia tidak bisa mencegah, karena saat itu sisa gerombolan
manusia sesat telah mengeroyok-nya. Sehingga pemuda berjubah putih itu terpaksa
melayani dengan mengamuk agar dapat merobohkan la-
wan. *** Sementara itu, pasukan kadipaten pun sudah ber-
hasil mendesak lawan mereka. Karena jumlah pasukan
Suranggala jauh lebih banyak, dalam waktu yang
singkat, gerombolan pemberontak sudah lebih dari se-paronya yang tewas. Dan
dapat dipastikan kalau pihak Kadipaten Tumapel segera memperoleh kemenangan.
Di tempat lain, Perwira Suranggala tengah berjuang
untuk merobohkan Ki Lawaleng dan pembantu-
pembantunya. Bersama delapan orang perwira dan pu-
luhan prajurit, Suranggala mendesak gembong-
gembong pemberontak itu. Kendati telah kehilangan
belasan orang prajurit dan dua orang perwira, perwira tinggi itu tidak mundur
setapak pun. Dengan sikap
ksatria, Suranggala memimpin kawan-kawannya un-
tuk menghabisi pentolan-pentolan pemberontak itu.
Namun, Ki Lawaleng, Beruang Cakar Baja, Ular Hi-
tam, dan laki-laki berkepala botak yang berperawakan kekar itu tak mau menyerah
begitu saja. Mereka mengamuk dengan mengerahkan seluruh kemampuan un-
tuk dapat melepaskan diri dari kepungan lawan. Tentu saja menghadapi lawan yang
berkemampuan tinggi,
pihak Kadipaten Tumapel tidak sedikit yang menemui
kematian. Namun dengan gigih dan semangat membela
kadipaten para pasukan yang dipimpin Suranggala te-
rus berusaha menggempur pertahanan lawan.
Sementara itu Pendekar Naga Putih yang telah me-
nyelesaikan pertarungan terhadap belasan gerombolan yang hendak kabur, segera
menoleh ke pertarungan
pihak Suranggala. Menyadari keadaan yang mengkha-
watirkan dari amukan lawan yang hebat, pendekar
muda itu langsung melesat untuk membantu. Dengan
cepat langsung dilancarkannya serangan dahsyat ke
tubuh Ki Lawaleng yang merupakan pimpinan gerom-
bolan itu. "Pendekar Naga Putih, harap orang tua itu ditang-
kap hidup-hidup! Kita masih memerlukannya untuk
mengetahui persembunyian Darmanggala dan pasu-
kannya yang lain...!" Suranggala langsung saja berse-ru, ketika melihat Pendekar
Naga Putih telah memasu-ki arena pertempuran.
"Baik, Paman Suranggala...!" sahut Panji yang tentu saja maklum betapa
pentingnya lelaki tua yang bernama Ki Lawaleng itu. Karena pihak Kadipaten Tuma-
pel belum menemukan di mana markas pemberontak
Darmanggala. Ki Lawaleng sendiri merasa geram bukan main keti-
ka mendengar ucapan perwira bertubuh tinggi dan ga-
gah itu. Dan amukannya semakin bertambah hebat.
Seolah dia lebih baik mati di medan pertempuran dari-pada tertawan musuh.
Namun tampaknya Pendekar Naga Putih tak ingin
membiarkan amukan Ki Lawaleng semakin merajalela.
"Heaaa...!"
"Hiaaa...!" Wuttt!
Dengan serangan cepat dan beruntun, Pendekar
Naga Putih terus melancarkan serangan guna mence-
gah jatuhnya korban yang terlalu banyak pada pihak
Kadipaten Tumapel. Sehingga pada jurus kedua belas
lelaki tua yang memimpin gerombolan berpakaian hi-
tam itu tampak mulai terdesak. Bahkan akhirnya....
"Hih...!"
Tuk! Tuk...! "Akh...!"
Ki Lawaleng terpekik pelan ketika totokan Pendekar
Naga Putih mendarat di beberapa bagian tubuhnya.
Lelaki tua kurus itu tampaknya tak sempat melihat gerakan cepat lawan. Tubuhnya
yang tinggi dan berjubah hitam seketika terkulai lemas.
"Heaaat...!"
Teriakan keras menggelegar terdengar ketika seso-
sok tubuh berpakaian merah melesat cepat memburu
Pendekar Naga Putih. Sosok itu ternyata Beruang Ca-
kar Baja, yang murka melihat kawannya roboh tertotok serangan lawan. Sesaat
kemudian Ular Hitam pun menyusul dengan serangan dahsyat. Kedua pentolan ge-
rombolan itu dengan cepat dan ganas menggempur
Pendekar Naga Putih.
"Hih...! Ini untukmu, Bajingan Busuk!" dengus Panji seraya melancarkan serangan,
mendahului kecepatan
kedua lawannya.
Wuttt! Wuttt! "Hah...!"
Gerakan yang sangat cepat dilakukan pendekar ber-
jubah putih itu tak mampu dielakkan kedua lawannya.
Beruang Cakar Baja dan Ular Hitam tersentak kaget.
Mata keduanya terbelalak heran. Akhirnya mereka
hanya mampu menggerakkan tangan untuk menang-
kis serangan secepat kilat Pendekar Naga Putih.
Plakkk! "Aaakh...!"
Ular Hitam terpekik kesakitan ketika tangannya
membentur cengkeraman tangan kanan Pendekar Na-
ga Putih. Hawa panas yang mengalir dari cakar naga
Panji membuat kulit lengannya langsung melepuh ba-
gaikan tersentuh api. Tubuhnya terjengkang dan ter-
banting ke tanah.
Brukkk! Gerakan Pendekar Naga Putih tak berhenti sampai
di situ. Tangan kirinya sudah berputar dan meluncur dengan kecepatan tinggi
memburu tubuh Beruang Cakar Baja, yang merupakan tokoh kedua di Perguruan
Beruang Merah. Wuttt! "Ahhh..."!"
Lelaki tinggi besar itu terpekik kaget ketika melihat cengkeraman lawan
mengejarnya. Dengan cepat tokoh
bertubuh tinggi besar itu melemparkan tubuhnya ke
belakang, lalu bergulingan menyelamatkan diri di tanah. Namun....
"Hiaaa...!"
Deggg! "Aaakh...!"
Baru saja Beruang Cakar Baja melompat bangkit,
hantaman telapak tangan Panji melesat dan mendarat
telak di tubuhnya. Akibatnya, tokoh tinggi besar yang tangguh itu terlempar
deras sejauh dua tombak lebih.
Darah segar seketika muncrat dari mulutnya. Tubuh-
nya terbanting ke tanah dan menggigil hebat bagaikan terserang demam tinggi.
Sebentar kemudian diam tak
bergerak. Tubuhnya yang terbungkus pakaian merah
terkapar kaku. Beruang Cakar Baja menghembuskan
napas terakhir, tak sanggup menahan hantaman tan-
gan kiri Pendekar Naga Putih yang berisikan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Melihat Beruang Cakar Baja tewas, Ular Hitam me-
lompat mendekati Ki Lawaleng yang rebah tak bergerak
karena masih dalam pengaruh totokan Pendekar Naga
Putih. Kemudian mengayunkan telapak tangannya ke
batok kepala lelaki tua itu.
"Hih!"
Prakkk! "Aaakh...!"
Ki Lawaleng mengeluh tertahan. Batok kepalanya
langsung retak terkena hantaman Ular Hitam. Nafas-
nya pun langsung putus saat itu juga. Rupanya Ular Hitam tak rela kalau
pimpinannya sampai tertawan
musuh. "Heh! Keparat!" dengus Suranggala yang marah bu-
kan main melihat tindakan Ular Hitam. Kemudian
dengan geram perwira itu mengayunkan pedang mem-
buru tubuh lelaki berjubah hitam itu.
"Heaaa...!"
Crakkk! Pedang Suranggala menebas leher Ular Hitam yang
tak sempat menghindar. Kepala lelaki berpakaian hi-
tam itu terpental dan menggelinding di samping tu-
buhnya yang ambruk berlumuran darah.


Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rupanya setelah merobohkan lelaki botak yang
menjadi pembantu Ki Lawaleng, Suranggala sempat
melihat perbuatan Ular Hitam. Sehingga dia lupa kalau tokoh kurus itu pun sama
pentingnya dengan Ki Lawaleng. Perwira bertubuh gagah itu baru menyesal setelah
melihat Ular Hitam tewas dengan kepala terpisah dari badan.
"Sudahlah, Paman. Semua ini tidak perlu disesa-
li...," ujar Panji ketika melihat Suranggala masih ter-paku menatapi mayat Ular
Hitam dan Ki Lawaleng.
"Hhh.... Aku benar-benar lupa diri, Pendekar Naga
Putih...," ujar Suranggala dengan disertai helaan napas beratnya. Disesali
dirinya yang telah membunuh tokoh
penting. Hal itu karena sampai saat ini tempat sem-
bunyi gembong pemberontak belum diketahui pihak
kadipaten. "Kita bisa menyelidikinya lewat Perguruan Beruang
Merah. Karena kalau tak salah lelaki berpakaian me-
rah itu salah seorang tokoh Perguruan Beruang Me-
rah...," ujar Panji seraya menunjuk mayat Beruang
Cakar Baja. Pendekar Naga Putih mengetahui ciri-ciri Beruang Cakar Baja dari
Senapati Jata Logaya. Bahkan juga mengenal nama ketua perguruan itu berikut
ciri-cirinya. "Benar, Pendekar Naga Putih. Dia Beruang Cakar
Baja yang dikenal sebagai tokoh kedua di Perguruan
Beruang Merah. Dia pula yang diserahi tugas untuk
mengurus perguruan. Karena Ki Kala Herang jarang
menampakkan diri. Dia lebih banyak mengurung diri
di kamar semadinya. Maklumlah usianya sudah tujuh
puluh tahun lebih...," tutur Suranggala yang kemudian mengalihkan perhatiannya
ke sekitar tempat itu. Ternyata pertempuran telah usai. Kemenangan berada di
pihaknya. "Jadi, ada kemungkinan Ki Kala Herang tak menge-
tahui tindakan murid utamanya itu...!" tukas Panji setelah mendengar ucapan
perwira bertubuh tinggi besar itu. 'Ya..., kemungkinan besar begitu. Apalagi
belakan-gan ini dia nyaris tidak pernah keluar dari ruang semadinya...," jelas
Suranggala, menjawab pertanyaan
Pendekar Naga Putih.
"Kalau begitu, Beruang Cakar Baja mengajak mu-
rid-muridnya untuk berpihak kepada pemberontak,
tanpa setahu Ki Kala Herang?" tanya Panji lagi memin-ta ketegasan.
"Kemungkinan besar begitu. Tapi aku tidak bisa
memastikannya," jawab Suranggala ragu.
Panji tak berkata apa-apa lagi. Dia tahu Suranggala tidak berbohong. Kemudian
melangkah mengikuti perwira bertubuh tinggi besar itu yang tengah mengum-
pulkan seluruh pasukannya. Dalam pertempuran be-
sar itu, pihaknya kehilangan tak kurang dari seratus lima puluh orang prajurit
Meskipun demikian, Suranggala merasa puas. Karena pihak pemberontak yang be-
rada di Hutan Rawandaka dapat disapu habis, tidak
terkecuali semua pimpinannya. Jelas, kemenangan itu cukup besar artinya bagi
Suranggala. "Paman, sebaiknya kita segera kembali ke kadipa-
ten...," usul Panji setelah seluruh prajurit berkumpul.
Suranggala hanya mengangguk tanpa kata. Kemu-
dian perwira itu segera memberikan perintah kepada
pasukannya untuk meninggalkan Hutan Rawandaka
yang telah bau amis darah itu. Setelah itu dengan cepat tubuhnya melompat ke
atas punggung kuda. Keti-
ka Suranggala menoleh pada Pendekar Naga Putih un-
tuk menawarkan seekor kuda, hatinya terperanjat.
Pendekar berjubah putih itu sudah tak berada di tempatnya, sudah lebih dahulu
melesat menuju Kadipaten Tumapel.
*** 8 Setelah peristiwa di Hutan Rawandaka, yang telah
menewaskan ratusan pasukan pemberontak berikut
beberapa gembongnya, keadaan mulai agak tenang.
Tidak terdengar lagi adanya gangguan di desa-desa di wilayah Kadipaten Tumapel.
Kenyataan itu sempat
membuat Senapati Jata Logaya menduga kalau kepala
pemberontak yang bernama Darmanggala telah patah
semangat sehingga membubarkan pasukannya. Terle-
bih setelah orang-orang Perguruan Beruang Merah
yang mengabdi pada Kadipaten Tumapel ditangkap.
Semua itu atas usul Panji yang telah menyelidiki Perguruan Beruang Merah, dan
mendapati bangunan per-
guruan itu telah kosong. Bahkan menemukan ruang
rahasia yang menembus ke tengah Hutan Rawandaka.
Semua itu merupakan bukti kuat bahwa Perguruan
Beruang Merah bukanlah perkumpulan beraliran lu-
rus. "Padahal selama ini mereka menunjukkan sikap se-
bagaimana layaknya para pendekar pembela keadilan.
Sungguh tak kusangka kalau mereka ternyata sama
dengan sekumpulan serigala berbulu domba! Jelas ka-
lau mereka orang-orang golongan sesat yang selalu
menyerahkan korban pada setiap malam purnama.
Benar-benar tak masuk di akal!" ujar Senapati Jata
Logaya setelah mendengar keterangan Panji yang baru kembali dari
penyelidikannya. Sehingga, semua murid Perguruan Beruang Merah yang berada di
lingkungan kadipaten ditangkapi.
Hasil penyelidikan Pendekar Naga Putih membuat
semua rahasia nyaris terbongkar. Siapa lagi yang melakukan pembakaran di dalam
lingkungan kadipaten
saat upacara di Altar Setan berlangsung" Dan siapa
lagi yang membukakan gerbang utara saat pasukan
Darmanggala datang menyerbu. Semua itu ternyata
perbuatan murid-murid Perguruan Beruang Merah
yang membantu dari dalam. Sehingga Senapati Jata
Logaya menjatuhkan hukum gantung kepada para
pemberontak yang berhasil menyelundup.
"Sudah berapa lama perguruan itu berada di dalam
kota kadipaten ini, Paman?" tanya Panji ketika bersa-
ma Kenanga diundang ke tempat kediaman senapati
gagah itu. "Belum terlalu lama. Ada kira-kira tiga tahun. Se-
dangkan peristiwa Altar Setan baru sekitar satu setengah tahun. Mengapa kau
bertanya demikian, Panji?"
Senapati Jata Logaya balik bertanya.
"Hanya ingin tahu saja, Paman," sahut Panji seraya
tersenyum. "Apa Paman tahu dari mana mereka sebe-
lumnya...?"
"Aku tak tahu secara jelas. Tapi, kalau tak salah
dengar, mereka berasal dari selatan. Sebuah wilayah terpencil yang bisa memakan
waktu setengah purnama
dari tempat ini...," jelas Senapati Jata Logaya. Hatinya merasa heran mendengar
pertanyaan Pendekar Naga
Putih, tapi tetap memberikan penjelasan seperti yang diketahuinya.
Setelah mendengar jawaban dari Senapati Jata Lo-
gaya, Pendekar Naga Putih tak berkata apa-apa lagi.
Pemuda itu melanjutkan makan dan minumnya den-
gan tenang. Namun, suasana gembira itu tiba-tiba terganggu oleh datangnya
seorang prajurit yang minta
bertemu dengan Senapati Jata Logaya.
"Ada apa...?" tanya Senapati Jata Logaya kelihatan
kurang senang, karena merasa terganggu ketenangan-
nya. Sementara Panji dan Kenanga yang berdiri men-
gapit Senapati Jata Logaya hanya mendengarkan.
"Ampun, Kanjeng Senapati," ujar prajurit itu setelah menjura hormat.
"Hm...!" sambut Senapati Jata Logaya seraya men-
gangguk. Matanya menatap tajam pada prajurit itu.
"Kami melihat pasukan dalam jumlah besar tengah
bergerak dari segala penjuru. Mereka menuju kota kadipaten....'"
"Apa..."!" Senapati Jata Logaya tersentak kaget
mendengar laporan prajuritnya. Wajahnya seketika berubah merah padam.
Tampak Pendekar Naga Putih dan Kenanga pun ter-
peranjat mendengar laporan itu.
"Hm.... Apakah Perwira Suranggala sudah mengeta-
huinya?" tanya Senapati Jata Logaya setengah mem-
bentak. "Sudah, Kanjeng. Bahkan beliau telah mengerahkan
seluruh prajurit untuk bersiaga. Dan hamba diperin-
tah agar melapor kepada Kanjeng Senapati," jawab
prajurit itu terbata-bata dengan wajah berubah pucat.
Tanpa banyak bicara lagi, Senapati Jata Logaya
memerintahkan prajurit itu untuk kembali ke induk
pasukannya. Setelah itu tampak panglima perang Tu-
mapel itu mengenakan pakaian kebesarannya, lalu
menyambar pedangnya. Kemudian bersama Pendekar
Naga Putih dan Kenanga, bergegas pergi untuk me-
mimpin pasukannya dalam menghadapi serbuan mu-
suh, yang kali ini sepertinya mengadakan serangan besar-besaran.
Tiba di alun-alun kadipaten, Senapati Jata Logaya
melihat pasukannya telah berbaris rapi. Dia segera
memerintahkan para prajurit menyebar memperkuat
penjagaan di empat gerbang kota. Senapati Jata Lo-
gaya sendiri memimpin lima ratus prajurit menuju
gerbang timur. Karena tempat itulah yang paling mu-
dah dimasuki musuh.
Kenanga mendampingi pasukan yang dipimpin em-
pat orang perwira gagah, menuju gerbang sebelah ba-
rat. Suranggala bersama tiga orang perwira lainnya
menuju gerbang selatan. Masing-masing membawa li-
ma ratus orang prajurit.
Pendekar Naga Putih pun tidak ketinggalan. Bersa-
ma dua orang perwira yang membawa lima ratus orang
prajurit, bergerak untuk memperkuat pertahanan di
gerbang utara. Genderang perang tak henti-hentinya
ditabuh guna membakar semangat pasukan. Seluruh
tentara Kadipaten Tumapel telah siap menghadapi mu-
suh yang menyerbu kota.
*** Sementara itu, pihak musuh semakin mendekati
kota kadipaten. Mereka langsung berada di bawah
pimpinan Darmanggala. Lelaki tinggi besar berusia
empat puluh tahun itu tampak gagah duduk di atas
punggung kuda hitamnya. Di belakangnya berbaris ra-
pi sekitar lima ratus orang. Kendati mereka tak mengenakan seragam, namun
terlihat gagah dan penuh
semangat. Tampaknya mereka telah benar-benar siap
untuk menghadapi pertempuran besar.
Seperti telah diatur sebelumnya, Darmanggala
membawa tentara menuju gerbang timur. Tentu saja
mereka akan bertemu dengan pasukan yang dipimpin
langsung Senapati Jata Logaya.
"Serbu...!"
"Heaaa...!"
Dalam jarak tiga tombak dari gerbang timur, Dar-
manggala, lelaki tinggi besar berwajah tampan itu,
langsung memberi perintah kepada pasukannya untuk
menyerbu. Bagaikan sekumpulan hewan lapar yang menemu-
kan mangsa, ratusan orang bersenjata itu meluruk
maju. Namun, Senapati Jata Logaya telah siap bersa-
ma pasukannya. Ketika pihak lawan bergerak, pangli-ma bertubuh gagah itu
langsung memerintahkan pa-
sukan panahnya untuk menyerang.
"Seraaang...!"
Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika ra-
tusan batang anak panah meluncur dan merenggut
nyawa puluhan orang pasukan Darmanggala. Sehing-
ga, pemimpin pemberontakan itu memerintah pasu-
kannya untuk mundur.
"Hujani dengan panah api...!" teriaknya lantang dan penuh wibawa.
Seketika itu juga, meluncurlah panah-panah berapi
yang membuat pasukan Senapati Jata Logaya kalang
kabut. Apalagi ketika panah-panah itu jatuh di atas rumah-rumah penduduk.
Kebakaran pun mulai menjalar. Sang Jago Merah dengan perkasanya melahap
segala yang ada di dekatnya. Dan, pada saat itu juga, Darmanggala memerintahkan
pasukannya untuk menyerbu kota.
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!"
Disertai pekikan-pekikan gegap-gempita, ratusan
tentara Darmanggala berlarian dengan senjata di tangan. Kali ini tak ada lagi
anak panah yang menghalangi gerak mereka. Sehingga, pasukan Darmanggala berhasil
mendekati gerbang. Pertempuran pun pecah! Suara denting senjata dan jerit
kematian meningkahi pertempuran besar itu. Mayat-mayat mulai berjatuhan dari
kedua belah pihak. Sedangkan kedua orang pemimpin
pasukan masih berdiri di atas punggung kuda me-
nyaksikan jalannya pertarungan.
Darmanggala yang masih tegak di atas punggung
kuda, tampak mengerutkan keningnya. Prajurit-
prajurit kadipaten yang memang terlatih baik, tampak mulai mendesak pasukannya.
Hal itu tidak aneh, karena pasukan Darmanggala terdiri dari orang-orang
liar yang tak terlatih dalam berperang. Menyaksikan itu Darmanggala tak tinggal
diam. "Heaaa...!"
Dengan pedang terhunus, Darmanggala menggebah
kudanya memasuki kancah pertempuran.
Dengan gerakan yang cepat dan kuat, pedang di
tangannya mulai memangsa korban. Sebentar saja, be-
lasan orang prajurit terpental roboh tersambar pedang lelaki gagah itu.
Amukannya benar-benar mengiriskan.
Sehingga, dalam waktu singkat, telah dua puluh orang lebih yang menjadi korban
sambaran pedangnya.
"Hmh...!"
Senapati Jata Logaya menggeram gusar. Panglima
Perang Kadipaten Tumapel ini pun tidak tinggal diam.
Melihat pasukannya banyak yang roboh di tangan
Darmanggala, langsung saja kudanya digebah mema-
suki kancah pertempuran.
Seperti berlomba, Senapati Jata Logaya pun men-
gamuk hebat. Pedang di tangannya laksana tangan
malaikat maut yang merenggut nyawa lawannya. Sam-
pai akhirnya dia langsung berhadapan dengan Dar-
manggala. "Terimalah kematianmu, Pemberontak Keparat...!"
Dengan sebuah teriakan keras, Senapati Jata Lo-
gaya menyabetkan pedangnya mengancam tubuh la-
wan. Diiringi suara berdesing tajam, senjata di tangannya meluncur secepat
kilat. Darmanggala tentu sa-ja tidak sudi dijadikan sasaran pedang lawan. Cepat


Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipapaknya serangan itu dengan tebasan dan ayunan
kuat "Heaaa...!"
Trang! Trang...!
"Hiaaat...!"
Bunga api berpijar saat kedua batang pedang itu
saling berbenturan. Keduanya sama-sama terkejut ke-
tika merasakan telapak tangan mereka panas. Dan
sama-sama mengagumi kekuatan masing-masing.
"Yeaaat...!"
Kali ini Darmanggala yang lebih dulu membuka se-
rangan. Pedang di tangannya lenyap membentuk se-
gunduk sinar putih yang berkeredepan menyilaukan
mata. Jelas, kalau kali ini Darmanggala telah mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya untuk me-
robohkan lawan.
Namun Senapati Jata Logaya pun bukan orang
sembarangan. Dengan tak kalah ganas, pedang di tan-
gannya diputar sedemikian rupa mengimbangi seran-
gan lawan. Sebentar saja kedua pemimpin itu saling
terjang dengan sengitnya. Masing-masing berusaha keras untuk dapat merobohkan
lawan secepatnya.
*** Di gerbang barat, utara, dan selatan pun telah pula
terjadi peperangan. Nampaknya kali ini Darmanggala
melakukan penyerbuan besar-besaran. Sepertinya in-
gin membalas apa yang telah di lakukan pasukan ka-
dipaten terhadap pengikut-pengikutnya pada beberapa hari lalu di Hutan
Rawandaka. Namun, tentu saja hal itu tidaklah semudah apa yang dibayangkan,
karena pihak kadipaten demikian gigih dan bertempur dengan penuh semangat. Terlebih di
bawah pimpinan perwira-perwira gagah berani, yang masih dibantu pasangan
tokoh muda, Pendekar Naga Putih dan Kenanga.
Pasukan kadipaten yang menghadang musuh di
gerbang utara, bertempur bagaikan singa terluka.
Adanya Pendekar Naga Putih di antara mereka, jelas
berpengaruh besar. Namun, pendekar muda itu sendiri tak dapat berbuat banyak.
Karena di pihak musuh terdapat seorang tokoh sakti bertubuh tinggi kurus yang
sangat mengiriskan. Sehingga, Panji tak tinggal diam ketika melihat amukan tokoh
itu. Tubuhnya langsung
melesat ke tempat tokoh tinggi besar itu mengamuk
membantai prajurit-prajurit kadipaten.
Ketika tiba di dekat tokoh tinggi kurus itu, Pendekar Naga Putih langsung
mengirimkan serangan kilat. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga berke-
lebatan cepat disertai suara angin mencicit tajam. Sehingga, tokoh tinggi kurus
itu mengalihkan perhatiannya pada pendekar muda itu. Dengan cepat langsung
dipapaknya serangan Pendekar Naga Putih.
Plak! Plak...! Benturan sepasang lengan kedua tokoh itu menim-
bulkan ledakan keras yang memekakkan telinga. Ke-
duanya sama-sama terdorong mundur. Karena dalam
pertemuan pertama itu kekuatan mereka berimbang!
Pendekar Naga Putih menatap wajah lawan dengan
kening berkerut. Sepasang matanya mencorong tajam
meneliti sosok dan wajah tokoh tinggi kurus itu. Seakan-akan dia tengah menduga
siapa sebenarnya tokoh
itu. "Orang tua," ujar Panji tetap tak melepaskan pandang dari wajah lawan.
"Kalau aku tak salah menerka, kau pastilah Ketua Perguruan Beruang Merah yang
bernama Ki Kala Herang...."
Tokoh tinggi kurus berusia sekitar tujuh puluh ta-
hun itu tampak sedikit kaget. Namun, akhirnya men-
jawab juga pertanyaan pemuda berjubah putih itu.
"Matamu sungguh tajam, Pendekar Naga Putih...."
"Dan kau jugalah tokoh berjubah hitam yang men-
jadi pimpinan upacara biadab di Hutan Rawandaka.
Aku mengenali gerakanmu...," desak Panji lagi dengan sorot mata tajam menusuk
jantung. "Ha ha ha...! Kau benar-benar hebat, Pendekar Naga
Putih! Sayang, hari ini kau harus menerima kematian di tanganku...!" ujar lelaki
tinggi kurus itu seraya ter-
tawa, ketika mendengar ucapan Pendekar Naga Putih.
Dia benar-benar merasa kagum atas ketajaman mata
pemuda tampan berjubah putih itu.
"Hm.... Kepandaianmu memang sangat tinggi, Ki.
Aku tak akan menyesal jika sampai tewas di tangan-
mu. Tapi, sebelum kau membunuhku, katakanlah,
mengapa kau begitu merendahkan diri dengan menjadi
antek pemberontak seperti Darmanggala. Padahal ka-
lau kau menginginkan jabatan, rasanya Kadipaten
Tumapel akan menerimamu dengan tangan terbuka...,"
tanya Panji yang ingin mengetahui alasan tokoh sakti itu membantu pemberontak.
"Agar kau mati tanpa membawa rasa penasaran,
baiklah ku jelaskan," sahut kakek itu. seraya tersenyum mengejek. "Darmanggala
adalah adik seperguru-
anku. Selain itu, kami masih ada hubungan keluarga, meskipun cukup jauh. Dan
pemberontakan ini sudah
lama kami rencanakan, jauh sebelum aku datang dan
membuka perguruan di Kadipaten Tumapel ini. Setelah berhasil menarik simpati
pihak kadipaten yang mengira Perguruan Beruang Merah sebagai perkumpulan be-
raliran lurus, maka tak sulit untuk memasukkan mu-
rid-muridku ke kadipaten dengan berpura-pura men-
gabdi. Selain itu, aku pun mulai menciptakan keka-
cuan dengan mengadakan persembahan pada setiap
malam purnama. Dengan berbagai cara aku berusaha
merongrong pihak kadipaten. Sayang, usaha yang nya-
ris berhasil dengan baik mulai mendapat tantangan
dengan kehadiranmu, Pendekar Naga Putih. Itu sebab-
nya kami berusaha keras untuk melenyapkan dirimu.
Nah, apa kau sudah puas...?"
Kakek bertubuh tinggi kurus itu menutup penjela-
sannya, dan bersiap untuk menggempur Pendekar Na-
ga Putih. "Tunggu dulu, Ki Kala Herang...!" cegah Panji seraya mengangkat kedua tangannya.
Sehingga kakek itu
menunda gerakannya.
"Hm..., apa kau masih menyimpan pertanyaan" Ka-
takanlah!" tukas Ki Kala Herang mulai tak sabar.
"Satu pertanyaan lagi, Ki. Apa keuntungan yang
kau dapatkan dari persembahan gila itu?" tanya Panji.
"Selain untuk membuat pusing pihak kadipaten,
darah perawan membuat kekuatanku semakin ber-
tambah!" jawab Ki Kala Herang agak jengkel.
"Rasanya tak ada lagi yang perlu ku jelaskan kepa-
damu, Pendekar Naga Putih! Nah, bersiaplah...!"
Belum lagi gema suara kakek itu lenyap, tahu-tahu
tubuhnya sudah melayang memburu Pendekar Naga
Putih dengan serangkaian serangan maut. Sepasang
tangannya berputaran cepat sekali hingga menimbul-
kan deruan angin keras laksana amukan badai. Bah-
kan serangan itu masih dicampur dengan pengerahan
ilmu sihir yang membuat kecepatan dan kedahsyatan
serangannya berlipat ganda.
Namun, Ki Kala Herang salah alamat kalau hendak
mempergunakan sihirnya untuk merobohkan pemuda
berjubah putih itu. Pendekar Naga Putih yang sadar
akan kesaktian lawan, telah mengerahkan tenaga ga-
bungannya. Sehingga, hawa menggetarkan jantung
yang mengiringi datangnya serangan sama sekali tidak tampak di matanya.
"Heaaa...!"
Plak! Plak! Plak!
Tiga serangan beruntun berhasil digagalkan Pende-
kar Naga Putih. Meskipun kuda-kudanya sempat ter-
gempur, tubuh pemuda itu sudah melesat dengan se-
rangkaian serangan maut.
"Haaat...!"
"Hih!"
Ki Kala Herang bergeser ke kiri saat cengkeraman
cakar naga lawan hampir menyambar tubuhnya. Ber-
samaan dengan itu langsung jari-jari tangannya men-
geluarkan asap tipis kemerahan. Bau harum mema-
bukkan tercium, tanda bahwa asap tipis itu mengan-
dung racun yang mematikan.
Namun, semua itu sama sekali tidak membuat Pen-
dekar Naga Putih gentar. Dengan pengerahan tenaga
gabungannya, hawa beracun itu sama sekali tak berar-ti baginya. Tanpa ragu-ragu
segera disambutnya tusukan jari-jari tangan lawan yang mengeluarkan asap beracun
itu. Bahkan masih sanggup melancarkan seran-
gan balasan kendati tidak terlalu gencar.
Merasakan kehebatan lawannya yang masih sangat
muda itu, Ki Kala Herang tampak sangat cemas. Se-
rangan yang dilakukannya semakin ganas dan dah-
syat. Bahkan telah dikerahkan seluruh kecepatannya.
Sehingga, sepasang tangannya berputaran laksana
baling-baling dan sukar menentukan arah mana yang
menjadi sasaran serangannya. Dan serangan tokoh
mengiriskan itu ternyata tak sia-sia. Pendekar Naga Putih yang sempat terdesak
oleh gencarnya serangan
lawan, tak sempat menghindari sebuah tusukan jari-
jari tangan lawan yang mengincar dadanya.
"Hih...!"
Bukkk! Pada saat terakhir Pendekar Naga Putih masih sem-
pat memiringkan tubuh hingga tusukan itu tak terlalu telak menghantam dada.
Tetap saja kuda- kudanya
tergempur. Dan tubuhnya terhuyung sampai enam
langkah ke belakang. Pemuda tampan itu merasakan
dadanya panas. Bahkan pada sudut bibirnya tampak
cairan merah merembes ke luar. Jelas serangan itu
sempat membuat bagian dalam dadanya terguncang.
"Yeaaah...!"
Ki Kala Herang tak mau menyia-nyiakan kesempa-
tan emas itu. Tubuhnya langsung melesat dengan se-
rangan maut, siap menghabisi nyawa Pendekar Naga
Putih. Tapi...,
"Haiiit...!"
Disertai 'Pekikan Naga Marah', tiba-tiba tubuh Pen-
dekar Naga Putih melenting ke udara. Dengan jurus
'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', tubuhnya me-
luncur turun menyambar secepat kilat. Sinar putih
keperakan dan kuning keemasan berpendar menyeli-
muti tubuhnya. Sehingga sukar bagi Ki Kala Herang
untuk menentukan arah serangan lawannya.
Dan... Breeet! Desss! "Aaarghhh...!"
Ki Kala Herang terpekik parau. Sambaran cakar na-
ga dan hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih
membuat tubuh tinggi kurus itu terlempar bagaikan
terhempas badai. Darah segar membanjir keluar dari
luka menganga di bagian lambungnya, yang tercabik
cakar naga pendekar muda berjubah putih.
Pendekar Naga Putih tak berhenti sampai di situ.
Sadar kalau dibiarkan hidup kakek itu merupakan an-
caman bagi orang banyak, pemuda itu pun menyusuli
dengan tendangan maut untuk menghabisi lawannya.
Blukkk! "Aaa...!"
Bagai dihantam palu godam, tubuh yang tengah
melayang di udara itu kembali terhempas dengan ke-
ras, lalu membentur dinding hingga menimbulkan sua-
ra berderak, tanda bahwa tulang-tulang di tubuh ka-
kek itu remuk. Setelah menewaskan Ki Kala Herang, Pendekar Na-
ga Putih memandang pertempuran. Setelah melihat pi-
hak pemberontak tampak mulai terdesak oleh pasukan
kadipaten, tubuhnya melesat menuju gerbang timur.
Hatinya menduga kalau Darmanggala pasti memimpin
penyerbuan dari gerbang utama kota.
*** Ketika sampai di dekat gerbang timur, Pendekar
Naga Putih melihat Senapati Jata Logaya tengah bertarung sengit melawan seorang
lelaki bertubuh gagah.
Sekilas saja dia tahu kalau Senapati Jata Logaya dapat mengatasi lawannya. Lalu
kepalanya berpaling menatap pertempuran kedua pasukan. Hatinya merasa lega
ketika mendapat kenyataan bahwa pihak kadipaten
berada di atas angin.
"Aaa...!"
Ketika mendengar lengking kematian yang panjang
merobek suasana tegang itu, Pendekar Naga Putih me-
noleh. Dilihatnya tubuh lelaki gagah, lawan Senapati Jata Logaya terbanting
roboh bermandikan darah. Dugaannya tidak meleset. Senapati Jata Logaya berhasil
membunuh Darmanggala yang menjadi pemimpin
pemberontakan. Kematian Darmanggala, membuat semangat pasu-
kannya kian mengendur. Mereka semakin kacau dan
terdesak hebat dari pihak kadipaten. Bahkan tak sedikit yang kabur meninggalkan
medan pertempuran,
menyelamatkan diri. Sehingga tak lama kemudian,
pemberontakan besar itu dapat dilumpuhkan. Karena
sisanya yang masih hidup langsung membuang senjata
dan menyatakan menyerah kalah.
"Ampun..., ampun Kanjeng Senapati! Ampunkanlah
perbuatan kami...!"
"Ampun, Kanjeng Adipati! Ampunkan hamba, Kan-
jeng Adipati...!"
Teriakan-teriakan memohon ampunan terdengar
bersahutan dari segala arah. Para pasukan pemberon-
tak itu serta-merta berlutut dan membuang senjata
mereka ke tanah. Di antara para pemberontak, ternya-ta ada pula yang tak tahu
kalau Adipati Tumapel tidak berada di tempat itu, sehingga Jata Logaya dikira
sang Adipati. Bukan hanya di gerbang utama saja musuh dapat
dilumpuhkan. Di tiga gerbang lainnya pun pihak kadipaten memperoleh kemenangan
yang gemilang. Pembe-
rontakan dapat dipatahkan. Dan Senapati Jata Logaya benar-benar merasa puas.
Saat itu, tampak dari arah utara, selatan, dan barat berdatangan Pendekar Naga
Putih, Kenanga, Suranggala dan pasukannya.
"Rasanya selama berada di sini aku belum pernah
melihat Kanjeng Adipati" Ke manakah beliau, Pa-
man...?" tanya Panji saat melangkah bersama Senapati Jata Logaya dan Kenanga,


Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan prajurit-prajurit kadipaten yang tengah membereskan bekas-
bekas pertempuran.
"Beliau sedang mengalami sakit yang cukup parah,
Panji. Keadaan Kanjeng Adipati sengaja ku rahasiakan, agar pasukanku tak
kehilangan semangat. Marilah kita jenguk beliau! Aku sudah mendengar kalau kau
pun memiliki ilmu pengobatan yang tinggi...," ujar Senapati Jata Logaya yang
langsung membawa pasangan pendekar muda itu untuk menjenguk Adipati Tumapel
yang tengah menderita sakit.
Pendekar Naga Putih sama sekali tak berusaha me-
nolak. Karena tugas menyembuhkan orang sakit, juga
merupakan kewajibannya. Bersama dengan Kenanga,
pemuda berjubah putih itu melangkah mengikuti Se-
napati Jata Logaya menuju bangunan utama Kadipa-
ten Tumapel. SELESAI Colaboration Ebook by:
Scan by Clickers
Edited by Culan Ode
PDF by Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Document Outline
Uhttp://duniaabukeisel.blogspot.comU
1 *** *** 2 *** *** 3 *** 4 *** *** 5 *** *** 6 *** *** 7 *** *** 8 *** *** *** SELESAI Uhttp://duniaabukeisel.blogspot.comU
Pendekar Super Sakti 10 Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah Liang Pemasung Sukma 1
^