Pencarian

Badai Rimba Persilatan 2

Pendekar Naga Putih 44 Badai Rimba Persilatan Bagian 2


lekat Sepertinya, ia masih menunggu jawaban Panji.
"Kalau kalian percaya, kami sama sekali tidak
mempunyai hubungan dengan pengemis-pengemis itu.
Dan kalau sudah tidak ada pertanyaan lagi, maaf, ka-mi harus melanjutkan
perjalanan...," pamit Panji seraya membungkuk hormat kepada ketiga orang lelaki
gagah itu. Sementara, Kenanga sama sekali tidak perduli.
Bahkan sepasang matanya yang indah sempat men-
gerling tajam. Rupanya Kenanga masih merasa tidak
puas oleh perlakuan ketiga orang lelaki gagah yang dianggapnya kurang sopan dan
agak sombong. Tapi. ka-
rena Panji sendiri tidak merasa tersinggung, gadis jelita itupun tidak bisa
berbuat apa-apa.
Demikian pula halnya Wira Yudha, Waluja, dan Ga-
la Campa. Mereka tidak bisa menahan kepergian sepa-
sang pendekar muda yang memang Pendekar Naga Pu-
tih dan kekasihnya. Selain pertanyaan-pertanyaan mereka sudah terjawab dengan
baik, mereka pun tidak
mempunyai hak mencegah kepergian Panji dan Kenan-
ga. "Kisanak, tunggu dulu...!" tiba-tiba saja Wira Yudha berseru ketika Panji
dan Kenanga baru sampai di ambang pintu kedai.
Bergegas lelaki gagah itu menghampiri ketika meli-
hat pasangan muda itu menunda langkah dan memu-
tar balik tubuhnya.
"Ada apa lagi, Kisanak...?" tanya Panji, tetap dengan nada dan raut wajah tidak
berubah. Pemuda tampan itu masih saja ramah dan tenang.
Sehingga, Wira Yudha sendiri menjadi agak rikuh, karena lelaki merasa adanya
pancaran perbawa pada wa-
jah maupun sikap pemuda tampan bernama Panji itu.
"Hm ... Kami bertiga merasa khawatir sekali pada
keselamatan kalian berdua. Dengan adanya kejadian
tadi, rasa-rasanya para pengemis itu pasti akan men-gamuk dan mencelakai apa
yang ditemukannya. Dan
jika kalian pergi dari desa ini, aku khawatir akan jadi sasaran mereka...,"
jelas Wira Yudha.
Sebenarnya, dia memang merasa khawatir atas ke-
selamatan pasangan muda itu.
"Mengapa kau menduga demikian" Bukankah kami
tidak punya kesalahan terhadap mereka"
Maka tidak ada alasan bagi pengemis-pengemis itu
untuk mencelakai kami. Tapi biar bagaimanapun, aku
merasa sangat berterima kasih atas perhatian kalian yang mau mencemaskan nasib
kami. Maaf, aku harus
pergi...,"
Setelah berkata demikian, Panji kembali memutar
tubuhnya dan melangkah meninggalkan kedai bersa-
ma kekasihnya. "Hhh.... Mudah-mudahan saja mereka tidak menja-
di sasaran kemarahan pengemis-pengemis keparat
itu...," Wira Yudha lirih disertai helaan napas beratnya.
Apa yang dikhawatirkan oleh Wira Yudha ternyata
tidak berlebihan. Saat Panji dan Kenanga baru bebera-pa tombak meninggalkan
kedai, terlihat puluhan orang pengemis berlarian mendatangi tempat terjadinya
awal perkelahian.
"Berhenti...!"
Terdengar hardikan salah seorang dari puluhan
pengemis terhadap Panji dan Kenanga yang tengah
menyusuri jalan utama desa. Tapi, kedua orang muda
itu terus saja mengayun langkah, bagai tidak mendengar hardikan tadi. Karuan
saja, sikap itu memancing kemarahan si pengemis.
"Bedebah! Rupanya, kalian lebih suka pada tongkat
ini...!" Sambil menggeram gusar, pengemis berbaju hitam
yang usianya sekitar empat puluh tahun itu men-
gayunkan tongkat hitamnya ke arah kepala Panji.
Maksudnya jelas, bukan sekedar memberikan hajaran,
tapi memang ingin menamatkan riwayat pemuda tam-
pan berjubah putih itu dengan sekali pukul.
"Hei...!"
Wira Yudha yang sempat melihat kejadian itu berse-
ru mencegah. Tangannya hanya menggapai tanpa be-
rani mendekat, karena bisa berbahaya baginya. Masa-
lahnya, sebagian besar dari kelompok para pengemis
telah berada di sekitar kedai. Sehingga, Wira Yudha dan kawan-kawan hanya bisa
mengharap agar pemuda
itu bisa menyelamatkan diri.
*** Panji sama sekali tidak berusaha menghindari sam-
baran tongkat pengemis itu. Bahkan Kenanga yang
semula sudah hendak bergerak, terpaksa diam ketika
jemari tangannya agak sedikit ditekan oleh kekasih-
nya. Terpaksa gadis jelita itu mengambil sikap tak perduli, dan terus mengayun
langkah mengikuti kekasih-
nya. Whuuukkk! Tongkat hitam sebesar lengan yang terbuat dari
kayu besi itu menderu tajam, mengancam kepala Pan-
ji. Sementara pemuda itu terlihat hanya menarik napas agak panjang, dan...,
Deeebbb! "Aaakkkh...!"
Tongkat pengemis itu telak dan keras sekali meng-
hantam batok kepala Pendekar Naga Putih. Tapi aneh-
nya, bunyi yang ditimbulkan pukulan tongkat seperti bunyi sebuah benda kenyal
yang dihantam oleh pukulan keras. Dan yang dialami pengemis itu tubuhnya
kontan terjajar ke belakang hingga beberapa langkah jauhnya. Sedangkan tongkat
hitamnya entah terbang
ke mana, karena ia sendiri tidak melihatnya.
"Uuuhhh..."!"
Sambil merintih kesakitan, pengemis bertubuh se-
dang itu memijat-mijat kedua tangannya bergantian.
Jelas, ia merasa kesakitan setelah melancarkan pukulan ke arah Panji tadi.
Regentaran mulai terbayang pa-da sepasang matanya. Sehingga ketika pemuda itu
me- lanjutkan langkah, ia hanya memandang tanpa berani
mencegah. Ternyata, bukan hanya pengemis bertubuh sedang
itu saja yang berusaha menyerang terhadap Panji. Sedangkan Kenanga sama sekali
tidak pernah diganggu.
Hal itu bisa saja, karena kecantikannya. Tidak heran bila berkali-kali pemuda
itu menjadi sasaran pukulan tongkat para pengemis. Dan tentu saja Panji sadar
akan maksud orang-orang itu.
Tapi, para pengemis yang melontarkan pukulan
tongkatnya ke arah Panji satu-persatu minggir men-
jauh. Betapa tidak" Meskipun melihat jelas-jelas kalau tongkat mereka mengenai
sasaran, tapi pemuda itu tetap saja melangkah tenang tanpa mengalami cidera.
Bahkan justru merekalah yang kesakitan.
"Pemuda itu pasti jelmaan malaikat! Bayangkan sa-
ja, dia sama sekali tidak merasa sakit meskipun kepalanya telah dipukul berkali-
kali dengan tongkat..!" kata salah seorang yang telah merasakan akibatnya,
dengan suara bergetar.
"Mungkin juga ia orang sakti yang memiliki tenaga
dalam tidak terukur. Aku merasakan sendiri, betapa
kuat tenaga dalamnya sehingga pukulanku berbalik.
Bahkan telapak tanganku, sampai berdarah...," timpal pengemis lain yang tubuhnya
tampak kokoh bagai ba-tu karang.
Sambil berkata demikian, ia memperlihatkan tela-
pak tangannya yang pecah-pecah dan mengeluarkan
darah. Hal itu terjadi karena kekuatan yang diguna-
kannya untuk memukul jauh lebih kuat dari pada ka-
wan-kawannya. Tentu saja, akibatnya pun lebih buruk lagi.
Akhirnya, satu-persatu pengemis-pengemis itu ber-
gerak meninggalkan Panji dan Kenanga. Sehingga, ti-
dak ada lagi yang mengganggu perjalanan mereka. Ke-
duanya melangkah tenang, menyusuri jalan utama de-
sa. Sayangnya, saat itu Wira Yudha dan yang lain tidak sempat menyaksikan
keanehan yang dialami para pe-nyerang pemuda berjubah putih tadi. Karena, para
pengemis berbaju hitam sudah bergerak mengurung
kedai. Tentu saja, ketiga lelaki gagah yang tidak ingin isi kedai porak-poranda,
segera melesat keluar untuk menghadapi mereka. Sementara di lain hal, para
pengemis berbaju hitam tampaknya sangat marah terha-
dap Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa yang telah
mencelakai kawan-kawan mereka. Entah, dari mana
datangnya para pengemis itu. Tak seorang pun yang
tahu. Hal-hal seperti itulah yang ditakuti para penduduk desa.
"Kau boleh pilih, manusia lancang. Menyerah secara
suka rela, atau terpaksa kami menggunakan kekera-
san untuk menyeret tubuh kalian ke hadapan pimpi-
nan kami..."!"
Terdengar suara menggelegar dari seorang pengemis
berkepala gundul yang selebar wajahnya dipenuhi
brewok. Nadanya terdengar demikian sombong. Seo-
lah-olah, dirinya .adalah seorang penguasa yang tengah berbicara kepada
rakyatnya. "Hm.... aku tidak perduli cara apa yang akan kalian pergunakan! Kalau memang
ingin dengan kekerasan,
silakan lakukan. Jangan bisanya hanya mengumbar
bacot yang tak berguna! Aku pun memang mempunyai
urusan dengan kalian, pengemis-pengemis kurap!"
tantang Wira Yudha sambil melolos pedang dari sa-
rungnya. Memang, saat itu mereka bertiga telah dikepung
oleh paling sedikit tujuh puluh orang pengemis. Mera-sa sudah terlanjur, Wira
Yudha, Waluja, dan Gala
Campa memutuskan untuk melawan sampai titik da-
rah yang terakhir.
"Serbuuu...!"
Setelah mendengar tantangan Wira Yudha, lelaki
berkepala botak yang selebar wajahnya ditumbuhi
brewok langsung saja memberi aba-aba kepada kawan-
kawannya untuk menyerbu ketiga orang lelaki gagah
itu. Bagaikan semut-semut menemukan manisan, pu-
luhan pengemis berbaju hitam itu meluruk ke arah Wi-ra Yudha dan kawan-kawannya.
Sebentar saja, lenyap-
lah tubuh ketiga orang lelaki gagah itu ditelan keru-munan sosok hitam.
Sedangkan pengemis brewok ber-
kepala botak itu tidak ikut maju mengeroyok. Ia hanya tertawa-tawa menyaksikan
amukan ketiga lawan yang
tengah membendung serangan puluhan orang penge-
mis, anak buahnya.
"Heaaattt..!"
Waluja berteriak mengguntur sambil memutar se-
kuat tenaga pedang di tangannya. Maka terbentuklah
gulungan sinar memanjang yang bergerak turun naik
membendung tusukan serta hantaman puluhan ba-
tang tongkat yang meluruk ke arahnya!
Terdengar teriakan-teriakan ngeri yang dibarengi
percikan darah segar, saat pedang di tangan Waluja
mulai meminta korban. Meskipun begitu, para penge-
mis berbaju hitam sama sekali tidak bergerak mundur.
Mereka terus menggempur maju, tanpa takut terkena
sambaran pedang lelaki tegap itu. Maka tentu saja Waluja agak terdesak
karenanya. Wira Yudha pun tidak ketinggalan. Pedang di tan-
gannya dikelebatkan dengan kekuatan menggetarkan.
Setiap kali pedangnya berkelebat, selalu saja ada darah memercik disertai
robohnya lawan. Tapi karena
jumlah lawan sangat banyak dan terus menggempur
maju, lama-kelamaan Wira Yudha terpaksa bermain
mundur sambil tetap mengelebatkan pedangnya.
Begitu juga Gala Campa. Lelaki gemuk murid tertua
Perguruan Cakar Basi itu juga hanya bermain mun-
dur. Meskipun pedang di tangannya telah berlumuran
darah segar, tapi jumlah lawan yang seperti tidak pernah habis itu membuatnya
agak terdesak. Padahal
sambaran pedangnya terus meminta korban.
Serbuan para pengemis berbaju hitam itu memang
benar-benar hebat. Tanpa perduli terhadap kawan-
kawannya yang berjatuhan mandi darah, mereka terus
menggusur ketiga orang lelaki gagah itu dengan han-
taman-hantaman tongkat. Dan ketika lawan-lawan te-
lah dapat dikepung, barulah serbuan para pengemis
itu berkurang. Bahkan mereka terlihat bergerak mun-
dur meninggalkan Wira Yudha, Waluja, dan Gala
Campa. Maka, kontan benak mereka dipenuhi berma-
cam pertanyaan.
Belum lagi ketiga orang lelaki gagah itu dapat me-
nemukan jawaban atas sikap aneh para pengeroyok,
para pengemis berbaju hitam telah bergerak dan mem-
bentuk barisan berlapis-lapis. Semua itu tentu saja atas perintah pengemis
brewok berkepala gundul, yang sepertinya hanya mendapat tugas untuk berteriak-
teriak mengatur kawan-kawannya.
"Mulai...!"
Begitu mendapat perintah dari pengemis gundul,
serentak saja barisan pengemis yang berlapis-lapis itu bergerak maju. Gerakan
mereka benar-benar mengejutkan hati Wira Yudha dan kawan-kawannya.
"Gila...! Sepertinya mereka hendak menguras tenaga
kita agar dapat di tangkap hidup-hidup...!" desis Wira Yudha.
Tampak barisan pengemis itu bergerak maju den-
gan tetap membentuk barisan. Tentu saja serangan
seperti itu memang bisa membuat tenaga lawan terku-
ras habis. "Hm.... Tidak perduli apa yang akan mereka laku-
kan! Yang penting, mereka kita babat habis...!" geram Gala Campa dengan semangat
tinggi. Sehingga, kedua
temannya merasa terbakar semangatnya.
"Kau benar, Kakang Gala Campa. Meskipun harus
mati di tangan pengemis-pengemis biadab itu, tapi kita harus habisi mereka
sebanyak mungkin!" Sahut Waluja, tidak kalah bersemangatnya.
Setelah berkata demikian, lelaki tegap itu segera sa-ja memutar senjatanya.
Seketika, tubuhnya melesat
menyambut kedatangan lawan.
"Heaaattt..!"
Beuuuttt..! Selarik sinar putih berkeredep ketika pedang di tangan Waluja bergerak mendatar,
membabat perut lima
orang pengeroyok di barisan depan.
"Haaaiiittt..!"
Barisan pengemis berbaju hitam di bagian depan itu


Pendekar Naga Putih 44 Badai Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berseru serentak sambil menarik tumbuhnya ke bela-
kang. Berbarengan dengan itu, para pengemis di barisan belakang berlompatan ke
atas disertai babatan
tongkat yang menderu tajam, mengancam kepala dan
beberapa bagian tubuh Waluja.
Whuuuk! Whuuuk! Whuuuk!
"Hm....; Rupanya lelaki tegap itu sudah cermat memperhi-
tungkan serangannya. Maka, begitu melihat sasaran-
nya sama-sama bergerak mundur, Waluja sudah me-
mutar senjatanya dari bawah ke atas dengan kuda-
kuda rendah. Akibatnya...,
Traaakkk! Traaakkk!
Craaasss! Breeettt!
"Aaaakkk...!"
Terdengar benturan yang diselingi suara mata pe-
dang mengenai sasaran! Terdengar jerit kematian saling susul disertai semburan
darah segar yang sebagian menodai pakaian dan pedang Waluja. Tiga orang pengemis
berbaju hitam kontan ambruk mandi darah! Se-
dangkan tiga lainnya terpental balik, akibat tangkisan lelaki tegap itu.
"Hm.... Majulah kalian, manusia-manusia busuk!
Hari ini aku akan menghirup darah kalian satu persa-tu dengan senjataku...!"
desis Waluja, semakin ber-
tambah semangat begitu melihat gebrakannya telah
memakan korban di pihak lawan.
Namun, pengemis berbaju hitam itu sama sekali ti-
dak menjadi gentar. Diiringi teriakan-teriakan ribut, mereka kembali menerjang
lelaki gagah itu dengan
tongkat-tongkat di tangan. Pertempuran pun kembali
berlanjut dengan sengit!
*** 6 Perlawanan Wira Yudha dan kawan-kawannya
membuat kening pengemis brewok berkepala gundul
itu berkerut-kerut. Meskipun anak buahnya telah ba-
nyak yang menjadi korban, tapi belum juga terlihat
ada keinginan di hatinya untuk maju. Ia masih saja
berdiri tegak, menyaksikan anak buahnya menggem-
pur ketiga orang lelaki gagah itu.
"Hm.... Jadi mereka orang-orang Perguruan Cakar
Besi dan Ular Emas...," gumam lelaki gundul itu seorang diri. Kepalanya tampak
terangguk-angguk sambil mengelus jenggot yang meranggas di dagunya.
Saat itu, Wira Yudha , Waluja, dan Gala Campa ter-
lihat telah bermandikan darah dan keringat Meskipun darah itu bukan dari tubuh
mereka, namun penampilan ketiga orang tokoh persilatan itu benar-benar me-
nyeramkan. Mereka tak ubahnya manusia-manusia
haus darah yang tidak pernah puas dengan korban-
nya. Korban-korban lain yang masih hidup terus dibu-ru. Meskipun saat itu jumlah
pengemis berbaju hitam sudah separuh lebih yang menjadi korban, namun si-sanya
tetap saja menerjang maju tanpa rasa ngeri. Pa-ra pengemis itu tetap melancarkan
gempuran- gempuran yang bagaikan gelombang di lautan. Selalu
bersambungan dan tidak pernah putus!
Deeesss! "Aaakkkh...!"
Suatu ketika, Gala Campa yang gerakannya terlihat
mulai melambat karena lelah, terpaksa harus meneri-
ma hantaman sebatang tongkat. Akibatnya, pung-
gungnya terasa panas. Dan belum lagi lelaki gemuk itu sempat membalasnya, sebuah
tongkat lain datang me-nubruk dada kanannya.
Duuuggg! "Ughhh...!"
Tubuh Gala Campa terjajar limbung! Dari sudut bi-
birnya tampak lelehan darah segar. Jelas, hantaman
dua batang tongkat yang sangat keras itu membuatnya tersiksa. Dadanya terasa
sesak, dan napasnya jadi ter-sengal.
"Bangsat..!"
Sambil memaki kalang kabut, Gala Campa menya-
betkan pedangnya ke depan secara serampangan. Hal
itu dilakukan semata-mata hanya untuk membendung
serangan lain yang kemungkinan menyusul. Tapi, ha-
silnya sungguh membuat hati lelaki gemuk bersorak!
Ternyata sambaran pedang yang dilakukannya secara
serampangan telah merobek tubuh dua orang penge-
mis yang memang tengah menyodokkan ujung tong-
katnya ke tubuh Gala Campa! Tanpa ampun lagi, ke-
dua orang pengemis itu ambruk bermandikan darah!
"Mampus kalian...!" dengus Gala Campa yang ke-
mudian tertawa berkakakan.
Lega hati lelaki gemuk itu, karena telah dapat
membalas apa yang barusan dilakukan lawan terha-
dap dirinya. "Gelombang surut...!"
Tiba-tiba saja terdengar seruan keras yang mening-
kahi ramainya teriakan-teriakan dan denting senjata di arena pertempuran.
Sesaat setelah teriakan itu berkumandang, barisan
pengemis itu serentak bergerak mundur bagaikan ge-
lombang yang surut. Hal itu tentu saja membuat Wira Yudha, Waluja, dan Gala
Campa menarik napas lega.
Meskipun belum merasa terbebas, namun waktu yang
sedikit itu rasanya dapat dipergunakan untuk meng-
himpun tenaga yang telah menyusut jauh.
"Hei, orang-orang Perguruan Cakar Besi dan Ular
Emas! Kali ini kalian kuberi napas. Tapi kuperin-
gatkan, setelah kejadian ini harap kalian berhati-hati.
Karena, kami selalu siap mencabut nyawa kalian se-
tiap saat...!"
Setelah ucapan itu selesai, pengemis berkepala
gundul ini mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Ke-
mudian dia bergerak meninggalkan tempat itu diiringi para pengikutnya. Tentu
saja hal itu membuat Wira
Yudha, Waluja, dan Gala Campa menjadi setengah tak
percaya. Padahal kalau saja pertarungan dilanjutkan, bisa-bisa mereka akan tewas
di tangan para pengemis itu. Tapi tanpa disangka-sangka, para pengemis itu
justru bergerak mundur dan meninggalkan lawan-
lawannya yang telah kepayahan.
"Hhh.... Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ka-
kang...?" tanya Waluja seraya menghempaskan tubuh-
nya ke atas tanah. Tanpa memperdulikan sekeliling,
tubuhnya yang terasa lelah luar biasa langsung saja direbahkan.
Wira Yudha tidak menanggapi pertanyaan adik se-
perguruannya, karena juga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Lelaki gagah itu
ikut menjatuhkan tubuhnya, dan rebah terlentang kelelahan. Gala Campa juga
melakukan hal serupa. Sehingga, tubuh mereka terjajar tak bergerak-gerak seperti
tiga sosok mayat
"Ada sesuatu yang aneh terhadap para pengemis
berbaju hitam itu..." tiba-tiba saja terdengar suara Waluja yang memecah
keheningan di antara mereka.
"Apa maksud ucapanmu itu, Adi Waluja..." Apakah
sikap mereka yang tiba-tiba meninggalkan kita secara
tiba-tiba yang kau anggap aneh...?" timpal Gala Cam-pa. Lelaki gemuk itu pun
masih belum mengerti, men-
gapa serangan para pengemis itu harus berhenti, dan kemudian meninggalkan
mereka. Padahal kalau pertarungan dilanjutkan, pasti para pengemis itu dapat me-
nawan atau membunuh mereka. Maka tentu saja hal
itu membuat benak ketiganya bertanya-tanya.
"Bukan, bukan itu maksudku. Tapi, rasanya ada
kelainan antara pengemis berbaju hitam yang kita hadapi, dengan pengemis yang
menggempur kita bebera-
pa waktu yang lalu. Padahal saat itu, jumlah mereka jauh lebih sedikit Tapi,
kita harus mengerahkan kemampuan sepenuhnya untuk dapat melawan. Selain
itu, pengemis yang pernah mengeroyok kita dulu ba-
nyak menggunakan senjata beracun. Lalu, mengapa
sekarang mereka tidak menggunakannya...?" Bukan-
kah itu aneh...?" desah Waluja yang segera bangkit
duduk. Hal itu baru terpikir saat tubuhnya dibiarkan beristirahat tenang di atas
rerumputan kering.
"Ah, benar! Mengapa aku tidak pernah berpikir ke
arah itu. Jadi, apa kita telah salah menuduh" Janganjangan penyelidikan kita
selama ini sia-sia...,"
Gala Campa menepuk keningnya ketika Waluja
mengingatkan tentang pengemis-pengemis yang per-
nah hampir membunuh mereka di tempat pertemuan
beberapa waktu yang lalu.
"Hm.... Menurutku tidak begitu, Gala Campa.
Mungkin saja pengemis-pengemis yang dikirim ke tem-
pat pertemuan guru-guru kita merupakan orang pili-
han yang memang bertugas untuk melakukan hal-hal
seperti itu. Masalahnya kalau semua anggota pengemis berbaju hitam sehebat
pengemis-pengemis yang pernah mengeroyok kita di tempat pertemuan, wah...! Ra-
sa-rasanya, Perkumpulan Pengemis Baju Hitam bisa
menjadi sebuah perkumpulan nomor satu di seluruh
negeri. Bahkan bukan tidak mungkin kalau ketuanya
menjadi jago nomor satu yang tak tertandingi. Jadi
menurutku, penyelidikan kita belum bisa dibilang sia-sia. Hanya saja, kita sama
sekali belum jelas tentang tokoh yang telah membunuh guru-guru kita itu. Nah!
Setelah kejadian barusan, apalagi yang harus kita lakukan...?" tanya Wira Yudha,
setelah menguraikan
pendapatnya secara panjang lebar. Dan penjelasan itu memang bisa diterima Waluja
dan juga Gala Campa.
Terbukti, kedua lelaki gagah itu sama-sama mengang-
guk-anggukkan kepala.
"Hhh.... Setelah mengalami pertempuran barusan,
aku menjadi ragu. Apakah mungkin kita bisa memba-
las kematian guru-guru kita" Sebab, jumlah yang
mengeroyok tadi masih belum sepersepuluhnya dari
anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Sedang-
kan untuk mencari pembunuh itu, sudah pasti harus
mendatangi pusat perkumpulan itu. Bukankah itu
sama saja memasuki mulut harimau lapar...?" desah
Waluja, yang meluncur begitu saja dari mulutnya.
Sehingga, baik Wira Yudha maupun Gala Campa
jadi termenung dengan wajah keruh. Jelas, mereka
pun merasakan kesulitan itu.
"Hm..., sebaiknya kita temui saja Ki Damang.
Mungkin dia bisa memberi jalan keluar. Kita memang
butuh keterangannya, karena setelah kejadian baru-
san, untuk mendatangi markas pengemis itu sudah ti-
dak mungkin. Kita telah dianggap sebagai musuh oleh mereka. Apabila kita muncul,
mungkin tanpa banyak
tanya lagi mereka langsung akan menggempur habis-
habisan. Bagaimana" Apakah kalian setuju dengan
usulku itu...?" tanya Wira Yudha, meminta pendapat
kedua orang itu.
"Yah.... Memang tidak ada jalan lain lagi. Satu-
satunya yang terbaik saat ini adalah usulmu itu. Wira Yudha. Aku jelas setuju
sekali...," sahut Gala Campa dengan wajah berseri.
"Kalau begitu, mengapa kita tidak berangkat seka-
rang saja?" kata Waluja seraya bangkit dan siap meninggalkan tempat itu.
"Bagaimana dengan mayat-mayat pengemis itu...?"
Gala Campa merayapi mayat-mayat yang bergelim-
pangan saling tumpah tindih itu. Diam-diam hatinya
bergidik menyaksikan korban mereka bertiga.
"Biarkan saja. Nanti pun ada orang yang mengu-
rusnya," jawab Wira Yudha cepat
Kemudian, ketiganya pun berangkat meninggalkan
tempat itu untuk menemui Ki Damang.
*** Sinar matahari pagi merambah permukaan bumi,
menghangatkan enam sosok tubuh gagah yang me-
langkah ringan memasuki wilayah Hutan Grambang.
Langkah mereka tampak begitu bergegas, seperti ten-
gah memburu sesuatu. Ranting-ranting pohon dan de-
daunan yang menghalangi jalan dikibaskan dengan
tangan-tangan, mereka terus bergerak menuju hutan
sebelah Barat. Tidak berapa lama kemudian, keenam orang lelaki
gagah itu mulai melintasi jalan yang agak rata dan lebih mudah dilewati. Di
depan mereka, sudah tampak
sebuah bangunan besar yang lebih mirip sebuah per-
guruan. Tampaknya tujuan mereka adalah Perkumpu-
lan Pengemis Baju Hitam. Namun, langkah mereka se-
gera tertunda ketika terdengar bentakan mengejutkan!
"Berhenti...!"
Melihat dari gerakan yang nampak sigap saat mela-
kukan langkah mundur, jelas kalau keenam orang itu
merupakan tokoh-tokoh persilatan. Bahkan kelihatan-
nya kepandaian yang dimiliki tidak bisa dipandang
ringan. Sosok terdepan adalah lelaki setengah baya bertu-
buh kurus. Dia segera saja melangkah maju dan mem-
beri hormat kepada seorang lelaki gemuk berkepala botak yang memegang senjata
tongkat yang matanya
berbentuk bulan sabit. Di kiri kanan lelaki gemuk berpakaian hitam itu, tampak
belasan orang pengemis
siap dengan tongkat di tangan.
"Hm.... Kalau aku tidak salah lihat, kau pasti Ki
Damang yang mempunyai perguruan Elang Putih?" te-
gur lelaki botak yang juga berpakaian hitam dan pe-
nuh tambalan dengan suara parau.
Anehnya, meskipun dipenuhi tambalan, namun
tampak jelas kalau pakaian itu masih baru. Bahkan
tambalannya seperti sengaja diatur sedemikian rupa.
Sekali lihat saja, orang akan tahu kalau kain-kain pe-nambal itu bukan dijahit,
melainkan dilekatkan saja.
"Dugaanmu tidak meleset sama sekali, Kisanak.
Dan kau pasti tokoh pengemis Tongkat Bulan Sabit.
Julukanmu memang sangat dikenal oleh kalangan
persilatan, karena permainan tongkatmu yang menga-
gumkan. Sungguh beruntung aku dapat berjumpa
denganmu, Kisanak...," balas lelaki kurus yang me-
mang tak lain dari Ki Damang, Ketua Perguruan Elang Putih yang sudah cukup
tersohor di kalangan rimba
persilatan. "Hm.... Bagus kalau kau sudah mengenalku, Ki
Damang. Sekarang, katakan apa tujuanmu datang ke
wilayah kami ini" Ingat! Bila jawabanmu tidak jujur, tahu sendiri akibatnya...,"
lanjut Tongkat Bulan Sabit
setengah mengancam.
Nada bicara laki-laki botak itu tidak lagi seramah


Pendekar Naga Putih 44 Badai Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semula. Sehingga, orang-orang di belakang Ki Damang tampak tegang. Mereka tentu
saja dapat melihat gela-gat tidak baik dari sorot mata lelaki gemuk berjuluk
Tongkat Bulan Sabit itu.
"Kedatanganku ke wilayah kalian ini, sudah pasti
mempunyai tujuan yang sangat penting. Sahabat-
sahabat baikku telah tewas terbunuh secara gelap pa-da beberapa waktu yang lalu.
Dan...," "Langsung saja Ki Damang, tidak perlu bertele-
tele...!" potong Tongkat Bulan Sabit cepat dengan wajah menunjukkan keangkuhan.
Sehingga, Ki Damang
terpaksa harus menelan kedongkolannya.
"Baik! kedatanganku hendak meminta tanggung ja-
wab Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam," tan-
das Ki Damang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya.
"Gila! Hati-hati bicaramu, Ki Damang! Tanpa hujan
tanpa angin, tahu-tahu ingin meminta tanggung jawab ketua kami. Apa yang telah
ketua atau anggota kami
lakukan?" tanya Tongkat Bulan Sabit dengan wajah
merah karena merasa geram mendengar tuduhan Ki
Damang. "Hm..., Kau sendiri yang meminta ku untuk menga-
takan langsung maksud kedatanganku ke sini, bukan"
Nah, mengapa ketika kusampaikan kau malah ber-
tanya" Apa kau ingin agar aku bertele-tele?" tukas Ki Damang tidak mau kalah
gertak. Hasilnya, Tongkat Bulan Sabit langsung bungkam,
karena merasa kalah dalam berbicara.
"Seperti yang kukatakan tadi, dua orang sahabat
baikku yang berjuluk Pendekar Ular Emas dan Cakar
Penghancur Tulang, terbunuh secara gelap. Mereka
tewas dengan kepala pecah, karena 'Ilmu Tongkat Pe-
nakluk Naga' yang hanya dimiliki Pengemis Berbaju
Hitam. Itulah sebabnya aku datang ke tempat ini," jelas Ki Damang, sambil
menandaskan ucapannya pada
kalimat terakhir.
Tentu saja, keterangan itu membuat Tongkat Bulan
Sabit terperangah dengan wajah pucat! Jelas, hatinya sangat terkejut oleh
penjelasan itu.
"Mustahil! Kau pasti salah, Ki Damang. Tidak
mungkin!" sentak Tongkat Bulan Sabit sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Rupanya, dia tidak mau mene-
rima tuduhan itu.
"Tidak ada yang mustahil, dan aku tidak salah me-
nilai. Aku tahu betul tanda akibat pukulan ilmu tongkat itu. Nah! Karena ciri
itulah, maka aku berani datang ke tempat ini. Sekarang, bawa aku menghadap Ki
Parewang, agar bisa menanyakan langsung kepada beliau," bantah Ki Damang yang
memang merasa yakin
akan penilaiannya.
"Kubilang mustahil!" Tongkat Bulan Sabit pun tidak
mau kalah. "Apa kau tahu apa sebabnya kubilang
mustahil, orang tua goblok"! Sebab, yang memiliki 'Il-mu Tongkat Penakluk Naga'
hanya Ketua Pengemis Ba-
ju Hitam yaitu Ki Parewang. Sedangkan selama ini,
aku tahu kalau ketua kami tidak pergi kemana-mana.
Nah, sekarang kau mengerti, bukan?" sergah lelaki
gemuk itu lagi.
Tapi, Ki Damang tetap tidak mengerti.
"Justru itulah bawa aku menghadap beliau untuk
mendapat keterangan secara langsung dan lebih jelas.
Kau tahu, kedua sahabatku itu bukan orang semba-
rangan. Dan hanya orang-orang tertentu sajalah yang sanggup membunuh mereka
sekaligus!" Ki Damang tidak mau mengalah dan tetap pada keputusannya.
"Kau menuduh ketua kami yang melakukan pem-
bunuhan itu, Ki Damang...?" tanya Tongkat Bulan Sa-
bit yang segera mengerti, ke mana arah pembicaraan
orang tua itu. "Ya! Terus terang, aku merasa curiga. Mengingat
kepandaian ketuamu memang pantas kalau kedua sa-
habatku sampai terbunuh. Untuk itu, aku harus ber-
bicara dengan Ki Parewang agar permasalahan ini
menjadi lebih jelas lagi," desak Ki Damang yang berkeras hendak menemui Ketua
Pengemis Baju Hitam.
"Hm.... Karena kau keras kepala aku terpaksa men-
gatakannya. Sebenarnya, hal ini tidak boleh diketahui orang luar. Tapi karena
masalah ini kuanggap sangat penting, biarlah kukatakan terus terang padamu.
Sejak beberapa bulan yang lalu, ketua kami telah bertapa membersihkan hati dan
pikirannya. Itu sebabnya, kubilang mustahil kalau beliau melakukan pembunuhan.
Dan semenjak memasuki ruang pertapaan, Ki Pare-
wang belum muncul sampai sekarang. Maka, sebaik-
nya kau kaji kembali dari awal. Siapa tahu, kau akan menemukan petunjuk
lain...," jelas Tongkat Bulan Sabit menghela napas panjang. Sepertinya, apa yang
dis-ampaikan Tongkat Bulan Sabit barusan memang me-
rupakan rahasia yang tidak boleh dibocorkan.
"Pembohong! Kau pikir aku akan percaya dengan
keterangan palsumu itu! Kau sengaja mengarang cerita bohong itu agar kami segera
angkat kaki dari tempat ini. Hm.... Tidak semudah itu babi gendut! Aku tetap
akan memaksa untuk memenuhi Ki Parewang. Setelah
itu, baru aku merasa puas setelah mendapat keteran-
gan darinya!"
Tiba-tiba sebuah bentakan dan ucapan berapi-api
memotong pembicaraan Tongkat Bulan Sabit Dan ru-
panya, bentakan itu datangnya dari Wira Yudha. Lelaki gagah berusia empat puluh
lima tahun itu kemudian
melangkah sambil menatap tajam Tongkat Bulan Sa-
bit. Sementara, Ki Damang diam saja tidak berusaha
mencegah. Sepertinya, dia memiliki dugaan yang sama dengan Wira Yudha.
"Bedebah! Siapa kau"! Tutup bacotmu yang semba-
rangan bicara itu! Meskipun kami bukan golongan bersih seperti kalian, tapi
untuk berdusta tak akan pernah kami lakukan! Buat kami, itu menandakan sikap
seorang pengecut!" bentak Tongkat Bulan Sabit dengan tidak kalah kerasnya.
Sehingga, suasana pun semakin bertambah runyam.
"Siapa yang percaya mulut pengemis busuk seperti
kalian! Aku tetap akan menemui Ki Parewang, apapun
yang terjadi...!" tegas Wira Yudha seraya melangkah hendak menuju bangunan besar
yang merupakan tempat tinggal Pengemis Baju Hitam.
"Berhenti! Selangkah lagi kau menindak, jangan sa-
lahkan kalau kepalamu akan terpisah dari badan...!"
ancam Tongkat Bulan Sabit sambil melintangkan
tongkat di depan dada. Jelas, lelaki gemuk itu tidak main-main dengan ucapannya.
"Hm...!"
Tapi, ancaman itu disambut dengan kejantanan
oleh Wira Yudha. Dengan sigapnya, lelaki gagah itu
menarik gagang pedang yang tergantung di pinggang.
Sriiiing! "Begitu lebih baik...!" jawab Wira Yudha yang lang-
sung memutar senjatanya secara bersilangan.
Suasana panas semakin memuncak. Sepertinya,
perkelahian tidak mungkin dapat dihindari lagi. Bahkan kedua belah pihak sudah
melangkah saling berpu-
tar, siap saling terjang!
*** 7 "Heaaattt..!"
Wira Yudha yang sudah tidak bisa menahan sabar,
segera saja melesat disertai putaran pedangnya yang menderu-deru. Ki Damang sama
sekali tidak mencegah, karena sudah bisa menilai kepandaian murid tertua Ki
Jasminta. Dan ia yakin, Wira Yudha belum ten-tu kalah oleh lawannya.
"Hmmmhhh...!"
Tongkat Bulan Sabit mendengus kasar melihat se-
rangan maut lawannya. Sesaat lamanya, ia masih te-
tap tidak bergeming dari tempatnya. Hanya sepasang
matanya saja yang menyorot tajam, meneliti kelema-
han ilmu pedang lawannya.
"Yaaattt...!"
Tepat pada saat pedang di tangan Wira Yudha me-
nusuk dengan kecepatan kilat mengancam dada,
Tongkat Bulan Sabit berseru nyaring. Tubuhnya lang-
sung melenting ke udara dan melakukan pukulan den-
gan tongkat mengancam punggung Wira Yudha. Be-
nar-benar sebuah perhitungan yang sangat cermat dan tepat. Sehingga, Ki Damang
sempat mencemaskan nasib Wira Yudha.
Tapi Wira Yudha tentu saja tidak begitu mudah di-
kalahkan lawan dalam segebrakan saja. Cepat bagai
kilat, tubuhnya digulingkan, menjauhi tempat itu. Sehingga, tongkat lawan hanya
menghantam angin ko-
song. "Hm.... Ternyata permainanmu lumayan juga, orang
gagah...," puji Tongkat Bulan Sabit.
Kelihatannya, laki-laki botak itu sangat senang
mendapat lawan seperti Wira Yudha. Maka semangat-
nya pun berpendar dari sepasang matanya. Jelas lelaki gemuk itu merupakan
seorang pecandu ilmu silat
Sesaat kemudian, keduanya kembali saling berge-
rak mendekati. Mereka saling menatap tajam, dalam
meneliti gerak langkah maupun gerak tangan satu sa-
ma lain. "Haaattt...!"
"Yaaattt...!"
Seiring pekikan-pekikan membahana, kedua tokoh
itu kembali saling menerjang hebat. Maka pertarungan pun kembali berlanjut lebih
seru dan menegangkan!
Sementara itu, belasan anggota Perkumpulan Pen-
gemis Baju Hitam yang semula memang telah siap
menghadapi perkelahian, menatap curiga ketika meli-
hat Ki Damang dan empat orang lainnya bergerak hen-
dak melewati mereka. Serentak, belasan pengemis itu menggenggam erat tongkat
hitam masing-masing. Salah seorang dari mereka menengadah sambil memper-
dengarkan suara melengking sebagai panggilan kepada kawan-kawannya yang lain.
"Uuu...!"
Ki Damang yang sadar kalau siulan itu sangat ber-
bahaya artinya bagi keselamatan mereka, segera saja melesat dan melontarkan
pukulan ke arah belasan
orang pengemis yang telah siap tempur.
Deeesss! Bugggg!
Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika
pukulan Ki Damang yang mengandung kekuatan tena-
ga dalam tinggi menghantam tubuh beberapa orang
pengemis. Maka langsung saja korban pukulan maut
berjatuhan dengan nyawa melayang.
"Heeeaaattt...!"
Melihat kawan-kawannya telah menjadi korban pu-
kulan maut lawan, para pengemis yang lain segera saja
berlompatan melayangkan pukulan tongkat ke arah le-
laki setengah baya bertubuh kurus itu!
Wuuukkk! Whuuukkk!
Enam batang tongkat berkelebatan mengancam tu-
buh Ki Damang. Tapi, Ketua Perguruan Elang Putih
sama sekali tidak gugup. Dengan tenang, dinantinya
sambaran tongkat lawannya. Kemudian cepat bagai ki-
lat, tubuhnya yang kurus merendah sambil mengang-
kat kedua tangannya secara menyilang.
Kraaakkk! Enam batang tongkat yang terbuat dari kayu besi
langsung berpatahan ketika bertemu lengan Ketua
Perguruan Elang Putih.
"Heaaahhh!"
Sambil mengeluarkan bentakan keras, Ki Damang
membuka kedua lengannya bagaikan kepak sayap
elang jantan. Akibatnya...,
"Aaa...!"
Enam orang pengemis berbaju hitam terpelanting ke
segala arah, dan jatuh dengan suara berdebuk keras.
Namun, wajah-wajah cemas para pengemis itu be-
rubah lega ketika mendengar suara orang berlarian
mendatangi tempat itu. Dan tak berapa lama kemu-
dian, muncullah puluhan orang pengemis berbaju hi-
tam yang langsung mengurung tempat pertarungan.
Cepat-cepat Ki Damang melompat mundur dan ber-
satu dengan yang lain. Sedangkan pertempuran antara Wira Yudha dan Tongkat Bulan
Sabit masih terus berlangsung sengit.
"Hua ha ha...! Ternyata kita kedatangan tamu yang
tak diundang. Benar-benar menggembirakan. Selamat
datang Ketua Perguruan Elang Putih...!"
Terdengar suara yang melengking tinggi bagaikan
suara seorang wanita. Sedangkan orang yang mengu-
capkannya sangat berlawanan dengan suaranya.
Orang itu adalah lelaki pendek gemuk, hampir menye-
rupai bulatan. Pada wajah dan lehernya tampak lemak bergelantungan. Sehingga
apabila tertawa sepasang
matanya menjadi dua buah garis kecil yang terhimpit lemak-lemak di wajahnya.
"Tongkat Malaikat...?" seru Ki Damang dengan wa-
jah tegang. Ketua Perguruan Elang Putih itu kenal betul dengan
tokoh pengemis berbaju hitam yang satu ini. Tapi seke-lebatan tadi, ia hampir-
hampir tidak bisa mengena-
linya lagi. Sebab beberapa tahun yang lalu, Tongkat Malaikat tidak sampai
segemuk sekarang. Maka tentu
saja Ki Damang pangling karenanya.
"Hm...," gumam lelaki pendek gemuk berjuluk
Tongkat Malaikat.
Wajah bulat yang semula cerah, tampak berubah
gelap ketika menerima laporan dari salah seorang pengemis yang menyampaikan
keperluan Ki Damang.
"Setan kurang ajar kau, Ki Damang! Berani benar
menghina ketua kami dengan fitnah kejimu itu! Kalau begitu, kesalahanmu tidak
bisa dimaafkan...!" dengus Tongkat Malaikat, langsung melesat dengan sambaran
tongkat hitamnya yang mengaung tajam!
Luar biasa! Sungguh mengherankan kalau tubuh
gemuk bagai bola itu dapat bergerak demikian cepat.
Bahkan Ki Damang sendiri sempat terkejut dibuatnya.
Sehingga, terlambat sedikit saja menyadari bahaya, belum tentu nyawanya masih
selamat! Bweeeettt! "Haaahhh!"
Disertai bentakan keras, Ki Damang melenting jauh
ke belakang. Tubuhnya berputaran di udara sebelum
mendarat di tanah! Tapi...,
Buuuggg! "Huaaakh...!"


Pendekar Naga Putih 44 Badai Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Darah segar langsung saja menyembur dari mulut
Ki Damang! Tubuh orang tua itu terjerunuk deras ke
depan. Untunglah, keseimbangan tubuhnya masih bi-
sa terjaga. Sehingga dia tidak sampai terbanting jatuh!
"Tongkat Setan Hitam..."!" seru Ki Damang kembali
terperangah dengan wajah semakin tegang melihat ha-
dirnya tokoh-tokoh puncak Pengemis Baju Hitam.
Tokoh yang satu itu adalah kepala cabang di wi-
layah Selatan. Ki Damang menduga, tokoh itu mung-
kin datang ke pusat untuk melaporkan keadaan wi-
layah kekuasaanya. Maka semakin cemaslah Ki Da-
mang akan keselamatan kawan-kawannya.
"Bunuh orang-orang kurang ajar itu...!"
Tiba-tiba terdengar perintah Tongkat Malaikat yang
menggeletar dan melengking bagai memenuhi seluruh
pelosok hutan. Tapi sebelum semuanya terjadi, tiba-tiba saja ter-
dengar suara tawa berkepanjangan bagaikan menyam-
but perintah Tongkat Malaikat Karuan saja, suara ta-wa yang didorong tenaga
dalam maha dahsyat itu
membuat semua orang yang berada di tempat ini men-
jadi terkejut setengah mati. Bahkan yang sedang bertarung, langsung menghentikan
pertarungannya, dan
kembali ke barisan masing-masing. Namun sebelum
mereka sempat mengerahkan tenaga untuk menolak
gelombang tenaga dahsyat itu, tiba-tiba saja suara ta-wa itu lenyap secara
mendadak. Sehingga, orang-orang yang hanya memiliki tenaga dalam rendah menjadi
le-ga. Dada mereka yang semula bagikan terhimpit batu
besar, kini kembali terasa lapang.
Untuk beberapa saat lamanya, keadaan di arena
menjadi hening. Seorang pun tak ada yang mengelua-
rkan suara. Sepertinya, mereka masih merasa belum
terbebas dari pengaruh suara tawa yang maha dahsyat tadi.
Ki Damang, Wira Yudha, Waluja, Gala Campa, dan
orang lainnya merasa sangat tersiksa oleh keheningan itu. Ketegangan dan
kecemasan kian memuncak
menggeluti perasaan mereka. Sebab mereka tidak ta-
hu, apakah yang datang itu masih dari pihak lawan,
atau kawan. "Menurut Ki Damang, siapakah orang yang menge-
luarkan suara tawa mengerikan itu...?"
Seperti tak tahan dengan suasana yang demikian
mencekam, Wira Yudha berbisik lirih bagai tercekat di kerongkongan. Nyata sekali
ketegangan hati lelaki gagah itu dari suaranya.
"Entahlah. Tapi kemungkinan besar orang itu pasti
dari pihak lawan. Karena, aku sendiri belum pernah
mendengar ada seorang tokoh golongan putih yang
memiliki tenaga sakti sedahsyat itu...," sahut Ki Damang, juga berupa bisikan. .
"Tapi.... Bukankah Pendekar Naga Putih kabarnya
juga memiliki kesaktian dahsyat yang menggiriskan"
Apa tidak mungkin kalau yang mengeluarkan suara
tawa adalah pendekar besar itu, Ki...?" tanya Wira
Yudha. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja Wira
Yudha teringat pendekar muda yang menggemparkan
hampir seluruh pelosok negeri itu.
"Sulit untuk menjawab pertanyaanmu itu, Wira. Ta-
pi sebaiknya, kita berdoa saja. Mudah-mudahan, suara itu memang milik Pendekar
Naga Putih...," ujar Ki Damang yang akhirnya mengharapkan kehadiran pende-
kar muda yang khabarnya memiliki kesaktian sangat
tinggi dan sulit dijajaki.
*** Kesunyian itu masih saja berlangsung bagai tak
berkesudahan. Baru saja tokoh yang berjuluk Tongkat Malaikat hendak membuka
suara, tiba-tiba semua ma-ta menoleh ke arah dua sosok tubuh yang tampak ten-
gah menghampiri tempat itu. Sayang, kegelapan
bayang pepohonan menyembunyikan bayang-bayang
keduanya. Sehingga, tidak seorangpun yang bisa men-
duga, siapa kedua sosok tubuh itu.
"Hei..."!"
Hampir berbarengan suara itu keluar dari mulut
Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa. Wajah mereka
sama-sama tertegun, begitu kedua sosok tubuh itu
sudah tidak terlindung bayang pohon. Mereka tentu
saja segera dapat mengenali kedua sosok bayangan itu dengan baik.
"Bukankah pemuda itu yang pernah kita temui di
kedai tempat pengemis-pengemis brengsek itu mencari perkara" Bagaimana dia bisa
sampai ke tempat ini"
Ada keperluan apa pemuda itu dengan Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam" Atau..., jangan-jangan ia benar mata-mata mereka...?" desis
Gala Campa. Dia tentu
saja menjadi heran ketika mengenali kedua sosok tu-
buh pasangan muda itu.
Apa yang dikatakan Gala Campa memang tidak sa-
lah. Kedua sosok tubuh itu tak lain Panji dan Kenanga.
Pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpa-
kaian hijau itu melangkah tenang, tanpa mempeduli-
kan tatapan mata orang-orang yang berada di tempat
itu. Yang mengandung arti berlainan.
"Ah...! Sepertinya harapanmu terkabul, Wira Yud-
ha...," ucap Ki Damang dengan helaan napas lega.
Wajah laki-laki setengah baya yang semula cemas,
kini nampak berseri. Dengan langkah bergegas, segera disambutnya kedatangan
Pendekar Naga Putih dan
Kenanga, yang memang sangat diharapkan.
"Ki, apa maksudmu...?"
Wira Yudha yang merasa heran melihat tingkah Ki
Damang, segera saja menyambar tangan orang tua itu.
Hingga, langkah Ki Damang tertahan karenanya.
"Ah...! Dasar kau yang bodoh, Wira Yudha. Kau ka-
takan tadi sudah pernah bertemu dan berkenalan den-
gan pemuda itu. Lalu, sekarang malah bertanya. Jan-
gan katakan kalau kau tidak tahu tentang pemuda
tampan berjubah putih itu...," ujar Ki Damang cepat.
Begitu ucapannya selesai, lelaki setengah baya itu
melepaskan cekalan tangan Wira Yudha. Kemudian,
dia bergegas mendekati Panji dan Kenanga.
"Aku pasti tidak akan salah terka. Kau pastilah
Pendekar Naga Putih yang tersohor itu, Anak muda...,"
kata Ki Damang ketika telah dekat, seraya menjabat
tangan Panji erat-erat. Ucapannya meluncur deras,
menunjukkan betapa gembiranya perasaan Ki Damang
saat itu. "Dugaanmu tidak salah, Ki. Orang-orang memberi
julukan itu kepadaku...," sahut Pendekar Naga Putih tersenyum melihat wajah
orang tua itu tampak berseri-seri.
Meskipun saat itu tidak tengah mengunjungi se-
buah gedung megah, hangatnya sambutan Ki Damang
benar-benar membuat Panji merasa senang.
"Jadi..., kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?"
tanya Wira Yudha seperti meminta kepastian.
Sedangkan Waluja, Gala Campa, dan dua orang
murid Ki Damang menatap wajah pemuda tampan itu
penuh selidik. "Benar, Kisanak...," sahut Pendekar Naga Putih.
Panji tersenyum melihat wajah kelima lelaki gagah
itu tampak demikian ketololan ketika mengangguk-
anggukkan kepala. Terlebih, ketiga orang yang pernah berjumpa dengan Panji dan
Kenanga. Tentu saja mereka merasa sangat tolol. Sebab meski sudah berjumpa
dan saling bertegur sapa, ternyata mereka masih juga belum mengenali. Padahal,
orang yang ditegur dan di-ajak bicara itu sesungguhnya seorang pendekar besar
yang sangat mereka kagumi sepak terjangnya. Mengingat akan hal itu, baik Wira
Yudha, Waluja, maupun
Gala Campa merasa malu hati terhadap Panji.
"Tapi..., mengapa kau tidak memperkenalkan diri
kepada kami saat itu, Panji...?"
Karena tidak tahu harus berkata apa, akhirnya
hanya pertanyaan bodoh itulah yang keluar dari mulut Gala Campa.
"Hei" Bukankah aku sudah memperkenalkan diri
kepada kalian. Bahkan kawanku ini juga telah ku perkenalkan kepada kalian,
bukan" Jangan katakan ka-
lau kalian lupa...," tukas Panji,
Hal ini jelas membuat Gala Campa bertambah ke-
bingungan. Karena, baru dirasakan kalau pertanyaan-
nya sangat bodoh.
"Maksudku..., mengapa kau tidak memperkenalkan
julukanmu kepada kami" Bukankah kalau hal itu kau
katakan, ceritanya tidak akan jadi sekacau ini?" tanya Gala Campa seperti hendak
membela diri. Sayangnya,
pertanyaan itu masih juga merupakan pengulangan
kebodohannya. "Tentu saja tidak, Kisanak. Apakah aku harus
memperkenalkan julukanku kepada setiap orang yang
bertanya tentang namaku" Lalu, apakah orang akan
percaya dengan pengakuan ku" Aku khawatir orang-
orang akan menuduhku sebagai pemuda gila...," Panji tertawa perlahan setelah
menjawab pertanyaan Gala
Campa. "Ooo...,"
Gala Campa sendiri hanya memonyongkan mulut-
nya, membentuk bulatan. Kepalanya terangguk-
angguk menyadari betapa pertanyaannya ini pun ter-
dengar sangat bodoh.
Sementara itu, Tongkat Malaikat, Tongkat Setan Hi-
tam, Tongkat Bulan Sabit, serta hampir dua ratus anggota Pengemis Baju Hitam,
seperti sengaja memberi
kesempatan kepada orang-orang yang menamakan diri
golongan putih itu untuk saling bertukar sapa. Ketiga orang pentolan Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam
hanya tertawa saja melihat kemunculan pemuda tam-
pan berjubah putih itu. Meskipun mereka pernah
mendengar julukan Pendekar Naga Putih diributkan
orang, tapi karena belum menyaksikan kepandaian
pemuda itu dengan tangan sendiri, tentu saja mereka belum percaya. Apalagi,
penampilan Panji memang tidak menunjukkan kekuatan hebat ada dalam dirinya.
Sehingga, tokoh-tokoh berpakaian jembel itu hanya
memandang remeh.
"Hua ha ha...! Kalau kalian sudah cukup puas sal-
ing bertegur sapa, minggirlah!" kata Tongkat Malaikat tiba-tiba dengan suara
melengking tinggi. Sengaja suaranya disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga
me-nyakitkan telinga.
"Aaahhh...!"
Orang-orang yang tidak kuat tenaga dalamnya kon-
tan mengeluh dengan wajah berkerut-kerut Bahkan
beberapa anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam
ada yang langsung terjatuh akibat suara yang dikeluarkan Tongkat Malaikat.
Sehingga tawanya semakin
menjadi-jadi, seolah-olah ingin membalas suara tawa yang mungkin berasal dari
pemuda berjubah putih ta-di. "Hm.... kau sungguh keterlaluan, Tongkat Malaikat
Untuk apa menunjukkan tenaga dalammu di depan-ku" Sampai perutmu kempes pun, aku
tidak akan ter-
pengaruh," Pendekar Naga Putih sengaja mengucapkan
kata-kata yang sedikit sombong, dengan maksud agar
Tongkat Malaikat tidak melanjutkan perbuatannya.
"Bedebah! Kau sombong sekali, Pendekar Naga Pu-
tih! Apa dikira hanya kau yang memiliki tenaga dalam tinggi"! Huh! dasar pemuda
ingusan yang tidak tahu
luasnya dunia...!" maki Tongkat Malaikat
Rupanya dia merasa jengkel, karena kekuatan tena-
ga saktinya diremehkan pemuda yang pantas menjadi
muridnya. "Tongkat Malaikat," sebut Panji dengan wajah dan
sikap tetap tenang dan tidak menunjukkan tanda-
tanda permusuhan. "Ki Damang menceritakan padaku,
kalau ingin berjumpa Ki Parewang yang menjadi ketua perkumpulan pengemis. Lalu,
mengapa kau dan kawan-kawanmu tidak mengijinkannya?"
"Dengar Pendekar Naga Putih, apapun keperluan
kalian, aku tidak akan ijinkan guruku diganggu kero-co-keroco macam kalian!"
tegas Tongkat Malaikat dengan wajah gelap.
Tokoh itu sama sekali tidak tahu kalau Tongkat Bu-
lan Sabit telah menyampaikan kepada Ki Damang ten-
tang keadaan Ki Parewang.
"Hm.... Mengapa, Tongkat Malaikat" Padahal menu-
rut Ki Damang, persoalan ini sangat berat Bahkan bisa membuat tokoh-tokoh
golongan putih marah, dan
mungkin akan meratakan pusat perkumpulan penge-
mis. Jelas persoalan ini kupandang penting...," desak
Pendekar Naga Putih lagi, yang memang sudah diceri-
takan tentang keperluan Ki Damang dan kawan-
kawannya datang ke tempat itu.
"Tidak! Sekali kukatakan tidak, sampai kiamat pun
tetap tidak! Dan apapun akibatnya akan kuhadapi!"
tegas Tongkat Malaikat yang berkeras hati tidak ingin mengatakan tentang keadaan
Ki Parewang. Jelas Tongkat Malaikat bukan mempertahankan
keadaan itu karena dirinya, tapi karena telah mendapat pesan dari Ki Parewang
yang tidak ingin diganggu.
Itulah sebabnya, mengapa Tongkat Malaikat tetap berkeras, meski untuk itu harus
mengorbankan nya-
wanya. Dan memang, Tongkat Malaikat mendapat pe-
san langsung dari gurunya.
*** 8 Sikap keras kepala Tongkat Malaikat tentu saja
membuat jengkel Pendekar Naga Putih. Apapun alasan
yang mungkin menyebabkan Tongkat Malaikat bersi-
kap demikian, Panji tidak bisa lagi memakluminya. Karena yang didengarnya dari
Ki Damang, persoalan itu sangat berat dan penting!
"Baiklah, Tongkat Malaikat. Karena kau tetap keras
kepala, terpaksa harus kulakukan dengan jalan keke-
rasan...," tegas Pendekar Naga Putih yang segera me-nyilangkan kedua tangannya
di depan dada. Wuuuttt! Wuuuttt!
Seiring terdengarnya suara bercuitan yang ditim-
bulkan gerakan tangannya, muncullah lapisan sinar
putih keperakan menyelimuti sekujur tubuh Pendekar
Naga Putih. Ciri itulah yang membuat Ki Damang dan
tokoh-tokoh Perkumpulan Pengemis Baju Hitam sema-
kin bertambah yakin kalau pemuda itu memang berju-
luk Pendekar Naga Putih.


Pendekar Naga Putih 44 Badai Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heaaahhh...!"
Seperti tidak mau kalah gertak, Tongkat Malaikat
memutar senjata di tangan sekuat tenaga. Setelah melihat adanya lapisan kabut
yang menyelimuti sekujur tubuh calon lawannya, Tongkat Malaikat terlihat mulai
ada penilaian lain terhadap Panji. Itu sebabnya, tenaga saktinya langsung saja
dikerahkan. Weeerrr! Weeerrr!
Tidak percuma tokoh gemuk bulat itu dijuluki
Tongkat Malaikat. Putaran senjatanya memang benar-
benar menggetarkan! Hal itu tergambar jelas pada gerakan-gerakan pembuka yang
dilakukannya. Selain
bentuk tongkat jadi tak terlihat mata biasa, deru angin yang ditimbulkannya pun
bukan main hebatnya. Sehingga, orang-orang yang berada dalam jarak satu
tombak lebih harus bergerak mundur. Bahkan putaran
angin yang ditimbulkannya membuat debu dan de-
daunan beterbangan. Jangankan daun-daun yang di
tanah, bahkan yang masih di atas pohon pun ikut ter-betot rontok dari
rantingnya. Menyaksikan kedua orang tokoh sakti itu sudah
siap saling gempur, Ki Damang, segera memerintahkan kawan-kawan dan muridnya
untuk mundur menjauh.
Dan dia sendiri juga terlihat sudah menghunus senja-ta, siap menghadapi
pertempuran. Sepertinya, Ki Da-
mang sadar kalau pertempuran pasti akan segera pe-
cah! Begitu pula halnya Kenanga. Dara jelita itu terlihat sudah menggenggam erat
gagang Pedang Sinar Bulan-nya. Sekali lihat saja, sudah dapat dipilih, siapa
yang harus dihadapinya. Kenanga sudah mengincar Setan
Tongkat Hitam! Menurutnya, lelaki gemuk brewok ber-
kepala botak itulah yang paling berbahaya di antara tokoh Pengemis Baju Hitam,
selain Tongkat Malaikat
yang telah siap tempur dengan Pendekar Naga Putih.
"Yeaaattt...!"
Mendadak saja, suasana yang semakin tegang, se-
ketika pecah oleh teriakan melengking tinggi dari
Tongkat Malaikat. Tubuh tokoh itu sendiri telah meluruk ke arah Panji dengan
kecepatan mengagumkan.
Kalau saja tidak menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, mungkin Panji sukar mempercayainya! Sebab, tubuh pendek gemuk yang
bulat seperti sebuah bola
ternyata dapat bergerak cepat. Sungguh berlawanan
dengan bentuk tubuhnya yang terlihat berat bila diba-wa berjalan. Apalagi, untuk
berlari. Tapi, nyatanya gerakan Tongkat Malaikat sama sekali tidak lamban!
Beuuuttt...! Pendekar Naga Putih menarik mundur kaki kanan-
nya ke belakang dengan kuda-kuda jinjit pada kaki ki-ri. Sedangkan tubuhnya agak
doyong ke belakang. Se-
pasang tangannya tampak bergerak berputar secara
menyilang. Kemudian begitu sambaran tongkat lawan
lewat di depan tubuhnya, Panji langsung bergerak ke depan. Seketika sepasang
telapak tangannya dido-rongkan ke tubuh lawan!
Whuuusss...! Serangkum angin dingin menusuk tulang langsung
berhembus keras, menerpa tubuh Tongkat Malaikat
Untunglah tokoh pengemis yang merupakan orang ke-
dua dalam perkumpulannya, memiliki kegesitan dan
perhitungan matang. Sehingga meskipun hantaman
lawan meluncur siap menghajar tubuhnya, dia dapat
bertindak cepat dengan lompatan pendek ke samping.
Kemudian dengan gerakan sangat cepat, tongkat di
tangannya diputar setengah lingkaran, untuk kemu-
dian bergerak menyodok perut Pendekar Naga Putih!
"Bagus...!"
Panji yang, melihat serangan lawan memang sangat
mengagumkan, tanpa ragu langsung saja mengelua-
rkan pujian. Memang, apa yang dilakukan Tongkat
Malaikat merupakan sebuah gerakan bagus. Bahkan
menunjukkan kejelian mata tokoh bertubuh pendek
gemuk itu. Kali ini, Pendekar Naga Putih sepertinya tidak ber-
niat menghindar. Tampak sikapnya tetap tenang me-
nanti datangnya sambaran tongkat yang meluncur lu-
rus ke arah perutnya. Desingan yang bagaikan membe-
lah udara itu, sama sekali tidak mengganggu pemusa-
tan pikirannya. Dan begitu ujung tongkat telah tiba dekat...,
Plaaak! Tiba-tiba saja, Pendekar Naga Putih mengangkat te-
lapak tangannya dengan tubuh merendah. Karuan sa-
ja, terdengar ledakan keras yang bagai gelegar petir membelah angkasa!
"Aaahhh"!"
Tangkisan itu benar-benar mengejutkan bagi Tong-
kat Malaikat Tokoh pendek gemuk yang selama ini se-
lalu mengagungkan kepandaiannya, hampir tidak per-
caya kalau serangannya sampai tertangkis lawan.
Bahkan kuda-kudanya pun sampai tergempur, hingga
tubuhnya harus terhuyung limbung sampai satu tom-
bak lebih. "Gila...! Bagaimana mungkin pemuda seusianya bi-
sa memiliki tenaga sakti yang demikian tinggi"! Rasa-rasanya, tenaga sakti guru
pun belum tentu di atas
pemuda itu"! Benar-benar sukar dipercaya! Entah, bagaimana caranya ia dapat
menghimpun tenaga sakti
yang sedemikian hebat dalam waktu singkat..?" desis Tongkat Malaikat dengan mata
terbelalak, menatap sosok Pendekar Naga Putih. Kini baru dipercayainya kalau
cerita tentang pendekar muda itu memang tidak
berlebihan. Tapi, Tongkat Malaikat tidak bisa berpikir panjang
tentang lawannya. Panji yang memang ingin segera
bertemu Ki Parewang untuk menyelesaikan masalah Ki
Damang, sudah melesat dan menerjangnya dengan ju-
rus-jurus cepat dan berbahaya. Tanpa banyak berpikir lagi, Tongkat Malaikat pun
menyambut terjangan lawan. Bedanya, kali ini tokoh bertubuh pendek itu terlihat
bertindak lebih hati-hati. Bahkan kelihatannya malah terlalu berhati-hati.
Sehingga jarang sekali serangannya terlontar, kecuali mencoba bertahan selama
mungkin. Tanpa disadari keduanya, arena pertempuran su-
dah bergeser jauh dari tempat semula. Sehingga, tidak ada lagi yang merasa
khawatir oleh angin pukulan
nyasar dari kedua tokoh sakti itu. Di samping itu pertempuran-pertempuran lain
juga telah terpisah, beberapa tombak dari pertarungan semula
*** Sementara itu, Kenanga juga telah mendapat lawan
yang cukup seimbang. Setan Tongkat Hitam ternyata
memiliki ilmu tongkat yang cukup mengejutkan. Maka
mau tak mau Kenanga harus mengerahkan jurus-
jurus andalan dalam mengimbangi permainan tongkat
lawan. "Yeaaattt..!"
Whuuukkk! Whuuukkk!
Dengan jurus-jurus pedang andalan, barulah Ke-
nanga dapat mengimbangi permainan lawan. Bahkan
pada jurus-jurus selanjutnya, dara jelita itu terlihat mulai berada di atas
angin. Kini Tongkat Setan Hitam-lah yang merasa kalang-kabut menyelamatkan diri
dari sambaran pedang lawan.
"Keparat! Ilmu pedang gadis gila ini ternyata sangat tinggi! Entah murid siapa
dia...?" maki Tongkat Setan Hitam panjang-pendek dalam hati Sebagai tokoh
kawakan nomor tiga dalam perkumpulannya, tentu saja
Tongkat Setan Hitam belum bisa menerima kenyataan
pahit itu. Apalagi hanya menghadapi seorang dara
muda yang patut menjadi putrinya. Padahal, dia sudah malang-melintang dalam
rimba persilatan, tapi dapat dibuat kalang-kabut Tentu saja kenyataan itu
terlalu mengejutkan baginya.
"Heaaahhh!"
Ketika pertarungan mereka telah menginjak jurus
keenam puluh, Tongkat Setan Hitam yang sudah tidak
tahan akan tekanan-tekanan berat lawan tiba-tiba
memekik keras mengejutkan. Berbarengan dengan itu,
tubuhnya bergerak naik menghindari sebuah tusukan
pedang yang mengancam jantungnya. Sambil melent-
ing ke udara, senjatanya diayunkan dengan kecepatan kilat ke arah batok kepala
lawan. Sayang, gerakan lawan jauh lebih cepat dan tidak
pernah diduga. Ternyata pedang yang luput menusuk
tubuhnya, langsung berputar ke atas dalam gerak
membelah. Karuan saja, wajah Tongkat Setan Hitam
pucat pasi seketika! Dan...,
Whuuukkk! Breeettt!
"Arggghhh...!"
Tongkat Setan Hitam meraung setinggi langit! Mata
pedang gadis jelita itu kontan membeset tubuhnya
dengan kecepatan tinggi. Tubuhnya yang tersayat me-
manjang di bagian depan, kontan mengeluarkan darah
segar. Bahkan sampai membasahi pakaian Kenanga,
karena saat itu memang tepat berada di bawah lawan-
nya. Dengan suara berdebuk nyaring, tubuh Tongkat Se-
tan Hitam langsung ambruk ke tanah dan langsung
tewas dengan mata mendelik. Kelihatannya tokoh itu
mati penasaran!
Di pihak lain, Ki Damang, Wira Yudha, Waluja, Gala
Campa, dan dua orang murid Elang Putih tengah
mempertaruhkan nyawa menghadapi keroyokan pen-
gemis-pengemis yang bagaikan orang kemasukan se-
tan! Sehingga, keenam lelaki gagah itu harus mempertahankan diri mati-matian.
Memang, sehebat apapun
kepandaian yang mereka miliki, tentu saja mempunyai keterbatasan. Apabila hal
itu sampai terjadi, rasanya mereka sukar selamat dari keroyokan Pengemis Baju
Hitam itu. Buuukkk! Deeesss!
"Aaakhhh...!"
Salah seorang murid Ki Damang tersungkur akibat
hantaman dua batang tongkat pengeroyoknya. Lelaki
muda berusia tiga puluh lima tahun itu sepertinya telah kelelahan, sehingga
tidak sempat lagi menghindari datangnya dua batang tongkat yang mengancam
punggung dan dada kirinya!
"Mampuuus kau, bangsat..!"
Terdengar teriakan-teriakan sumpah serapah dari
pengemis-pengemis yang siap merejam hancur tubuh
musuhnya. Puluhan batang tongkat meluncur seperti
saling berebutan untuk menghantam tubuh lelaki mu-
da itu. "Heaaattt...!"
Breeet! Breeet!
"Aaa...!"
Tiba-tiba saja, terdengar jerit kematian susul-
menyusul berbarengan dengan beterbangannya tubuh
pengemis-pengemis yang tengah siap merejam murid
termuda Ki Damang. Darah segar kontan berhambu-
ran menyertai kilatan pedang bersinar putih keperakan yang tergenggam di tangan
seorang gadis jelita berpakaian hijau. Rupanya dalam keadaan yang sangat ber-
bahaya itu, Kenanga yang sudah menyelesaikan perta-
rungannya dengan Tongkat Setan Hitam cepat dang
membaurkan dirinya ke dalam kancah pertempuran.
Perbuatan gadis jelita itu tentu saja membuat lega
Ki Damang. Memang ia sendiri jelas tidak mungkin
mampu menyelamatkan nyawa muridnya, karena ten-
gah sibuk menghadapi keroyokan lawan-lawannya.
Hadirnya Kenanga ke dalam kancah pertempuran
berdarah itu, membuat yang lain merasa sedikit lega.
Buktinya amukan gadis jelita itu benar-benar mengerikan! Setiap kali Pedang
Sinar Bulan di tangannya berkelebat, paling sedikitnya dua atau tiga orang lawan
akan roboh mandi darah. Tentu saja, hal itu membuat para pengemis enggan
mengeroyoknya. Sepertinya,
amukan Kenanga yang menggiriskan itu telah mem-
bangkitkan kegentaran di hati para anggota Perkum-
pulan Pengemis Baju Hitam.
Sementara itu, pertempuran antara Panji melawan
Tongkat Malaikat telah mencapai puncaknya. Setelah
bertarung selama enam puluh jurus, Tongkat Malaikat semakin sadar kalau
kesaktian Pendekar Naga Putih
ternyata memang bukan hanya khabar burung belaka.
Sayangnya, pada saat tubuhnya telah dibuat jatuh
bangun, kesadarannya baru bangkit Sehingga, untuk
memperbaiki kesalahannya tentu sudah terlambat.
"Haaaiii...!"
Tiba-tiba Pendekar Naga Putih yang terus mencecar
lawan dengan jurus-jurus andalan, mengeluarkan pe-
kikan nyaring mengejutkan! Karuan saja, Tongkat Ma-
laikat terhuyung limbung dengan wajah berkerut-
kerut. Jelas, pekikan keras itu telah membuat gera-
kannya semakin kacau. Akibatnya...,
Plaaag! Breeettt!
"Aaakhhh...!"
Tanpa dapat menghindar lagi, Tongkat Malaikat ter-
paksa harus menerima sebuah hantaman pada dada,
dan sambaran cakar pada lambungnya! Kontan saja
tubuh gendut itu terbanting menggelinding di atas tanah!
Pendekar Naga Putih yang ingin segera menyelesai-
kan pertempuran, cepat melesat hendak menyusuli se-
rangannya. Namun pada saat itu juga, tampak sesosok bayangan hitam melesat dari
arah berlawanan. Langsung saja serangan Pendekar Naga Putih dipapaknya.
Dan..., Bressshhh...! "Uuuhhh...!?"
"Aaahhh...!?"
Luar biasa sekali benturan yang terjadi kali ini! Dua gelombang tenaga raksasa
yang bertemu pada satu titik itu, membuat tanah di sekitar Hutan Grambang
laksana dilanda gempa! Sehingga, pertempuran berda-
rah yang tengah berlangsung beberapa belas tombak di sebelah kanannya, langsung kocar-kacir! Puluhan
anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam berjatu-
han saling tumpang tindih. Untunglah, pihak Ki Da-
mang bertindak cepat. Mereka dapat menguasai diri,
sehingga tidak sampai terjatuh akibat getaran itu.
Kejadian yang tidak disangka-sangka itu tentu saja
membuat pertempuran berhenti mendadak. Tongkat
Bulan Sabit yang merupakan satu-satunya tokoh di
barisan pengemis, mengedarkan pandangan seperti in-
gin mencari penyebab semua kejadian itu. Dan wajah
pengemis bertubuh gemuk itu kontan berseri begitu
sepasang matanya menangkap sosok tinggi kurus ber-


Pendekar Naga Putih 44 Badai Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pakaian hitam penuh tambalan.
"Guru...," desis Tongkat Bulan Sabit perlahan.
Kemudian, ia menoleh ke belakang, ke arah seratus
lebih anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam yang
tersisa. "Mundur...!"
Terdengar perintah Tongkat Bulan Sabit yang mem-
buat seratus lebih pengemis menjadi heran. Namun,
mereka sama sekali tidak membantah perintah tokoh
itu. Melihat para pengeroyok telah bergerak mundur
tanpa sebab yang dimengerti, Ki Damang dan Kenanga
segera bergerak mundur bersama yang lain. Kening
para tokoh itu agak berkerut ketika melihat ke arah pertempuran Pendekar Naga
Putih yang juga telah terhenti. Tampak Tongkat Malaikat juga tengah melang-
kah tertatih-tatih ke arah seorang lelaki tua bertubuh tinggi kurus yang
wajahnya kehitaman. Sedang orang
tua itu tengah saling bertatapan dengan Pendekar Na-ga Putih.
"Tongkat Sakti Tanpa Tanding..."!"
Ucapan terkejut penuh getaran keluar dari bibir Ki Damang. Jelas, dia mengenali
sosok tinggi kurus itu.
"Apa maksudmu, Ki Damang...?" tanya Kenanga
yang belum mengerti arti ucapan Ki Damang.
Gadis jelita itu memandang ke arah sosok tinggi ku-
rus yang tengah berhadapan dengan kekasihnya. Lalu, dia kembali menatap Ki
Damang dengan sinar mata
menuntut jawaban.
"Orang tua itu adalah Ki Parewang yang berjuluk
Tongkat Sakti Tanpa Tanding. Dialah Ketua Perkum-
pulan Pengemis Baju Hitam," sahut Ki Damang.
Mendengar jawaban itu, Kenanga mengangguk-
anggukkan kepala. Kini baru dimengerti mengapa to-
koh pengemis bertubuh gemuk itu menarik mundur
anggotanya dari arena pertempuran.
"Hm.... Aku ingin melihat lebih dekat..., kata Ke-
nanga. Tanpa menunggu jawaban lagi, gadis itu segera saja
melesat ke arah kekasihnya. Memang, jarak antara
tempatnya dengan pertarungan Panji terpisah sekitar enam tombak.
*** Saat itu, Ki Parewang atau yang terkenal sebagai
Tongkat Sakti Tanpa Tanding tengah berdiri mengawa-
si pemuda tampan berjubah putih di depannya. Lelaki tinggi kurus berusia sekitar
delapan puluh tahun itu tampak menatap penuh selidik sosok Pendekar Naga
Putih. Dan dia memang hampir tidak percaya kalau
pemuda yang pantas menjadi cucunya itu ternyata
sanggup membuat tubuhnya terdorong pada perte-
muan tenaga dalam tadi. Kalau tidak merasakannya
sendiri, sulit bagi kakek itu untuk dapat memper-
cayainya. "Hm.... Pantas dalam waktu singkat namamu men-
julang mengalahkan tokoh-tokoh tua seperti aku. Ternyata, kepandaian yang kau
miliki memang sangat
luar biasa. Meskipun aku baru merasakan segebrakan, tapi aku yakin kau masih
menyimpan kejutan-kejutan
lain yang belum kulihat Sekarang, terangkanlah kepadaku tentang kelakuanmu yang
tidak menghormati
tempatku ini" Apabila alasanmu tidak masuk akal,
aku tidak akan ragu-ragu memotes batang lehermu...!"
ujar Ki Parewang dengan wajah dingin dan tanpa perasaan. Wajahnya yang berkulit
kehitaman tetap kaku.
Pendekar Naga Putih menatap tenang wajah kakek
tinggi kurus yang telah menyambut serangannya baru-
san. Diam-diam, hatinya juga sangat terkejut saat merasakan kehebatan tenaga
sakti yang dimiliki kakek
itu. Meskipun Panji yakin tenaganya tidak akan kalah, tapi jarang sekali ada
orang yang mampu membuatnya
terdorong meski beberapa langkah. Dan, kakek itu bisa melakukannya.
"Orang tua! Kalau tidak salah, kau pasti Ki Pare-
wang yang menjadi Ketua Perkumpulan Pengemis Baju
Hitam di negeri ini. Kau boleh dengar alasan kedatanganku dan menggempur
perguruanmu. Semula, aku
sudah meminta secara baik-baik untuk berjumpa den-
ganmu. Tapi karena Tongkat Malaikat lebih suka bertarung daripada
mengijinkannya, kami terpaksa ber-
tempur. Ketahuilah, Ki Parewang. Dua orang ketua
perguruan terkenal telah tewas oleh pukulan 'Ilmu
Tongkat Penakluk Naga' yang hanya dimiliki olehmu.
Maka tidak heran bila Ki Damang yang merupakan sa-
habat kedua ketua perguruan silat yang tewas itu datang untuk meminta
pertanggungjawaban mu. Karena,
hanya kaulah yang dinilai mampu membunuh kedua
tokoh itu sekaligus." jelas Pendekar Naga Putih.
Panji terdiam sebentar menunggu tanggapan dari Ki
Parewang. Tapi, kakek itu tetap saja terpaku bagai sebatang tonggak yang
ditancapkan ke dalam tanah. Wa-
jahnya pun tetap dingin tanpa hawa amarah.
"Nah! Karena Tongkat Malaikat tidak mengijinkan Ki
Damang dan yang lain untuk dapat berjumpa den-
ganmu, kami menjadi lebih curiga. Kemudian, terjadilah pertempuran berdarah
ini...," jelas Pendekar Naga Putih melanjutkan ceritanya yang barusan terhenti
se- jenak. "Hm...," Ki Parewang bergumam lirih sambil menge-
lus jenggotnya yang menjuntai hingga ke dada. Setelah penjelasan Panji memang
benar-benar telah selesai,
baru kakek itu terlihat akan membuka suara yang disertai rasa penasaran.
"Pendekar Naga Putih! Meskipun aku bukan golon-
gan putih, tapi tidak akan pernah melakukan kejaha-
tan seperti layaknya tokoh sesat. Darahku sendiri bukan golongan sesat. Apabila
aku memang harus mem-
bunuh, tentu ada alasan yang lebih tepat Tapi untuk membunuh kedua orang yang
kau sebutkan barusan,
rasanya aku tidak mempunyai alasan. Hanya karena
terbunuhnya dua orang tokoh itulah maka kau dan
kawan-kawanmu yang telah merusak tempat ini ku
maafkan. Sayang bukan aku yang melakukan pembu-
nuhan itu...," desak kakek itu sambil menundukkan
wajah seperti hendak mengingat sesuatu.
"Tapi hanya kaulah satu-satunya yang memiliki il-
mu itu, Ki, kalau bukan kau yang membunuh, lalu ke-
pada siapa tuduhan itu hendak kulemparkan?" tanya
Pendekar Naga Putih.
Panji tentu saja tidak percaya dengan jawaban tadi, karena Ki Parewang tidak
ubahnya seorang tokoh sesat. Tidak bisa dipercaya!
"Sudah kukatakan, bukan aku yang membunuh-
nya! Selain aku, masih ada seorang lagi yang memiliki
'Ilmu Tongkat Penakluk Naga' Bahkan lebih sempurna
dari yang kumiliki. Orang itu adalah Setan Tenaga Gajah yang tak lain adalah
adik seperguruanku sendiri.
Dia adalah seorang tokoh sesat dan bertentangan denganku. Entah, di mana dia
sekarang?" jawab Ki Pare-
wang seraya melepaskan napas panjang seperti me-
nyesali sesuatu.
"Jadi, bagaimana kau mempertanggung-jawabkan
hal ini, Ki?" desak Panji lagi.
"Bukan tanggung jawabku! Carilah setan sesat itu
sendiri, Pendekar Naga Putih! Sekarang, tinggalkan
tempat ini. Suatu hari kelak, setelah kau dapat menemukan dan menundukkan Setan
Tenaga Gajah, aku
akan menentangmu bertarung,"
Setelah berkata demikian, Ki Parewang mengajak
Tongkat Malaikat kembali ke markasnya. Demikian pu-
la Tongkat Bulan Sabit dan seluruh anggota Perkum-
pulan Pengemis Baju Hitam. Semuanya bergerak me-
ninggalkan Panji dan kawan-kawannya.
"Pendekar Naga Putih, apakah ucapan orang tua itu
dapat dipercaya" Lalu, apa tindakan kita selanjut-
nya...?" tanya Ki Damang yang sepertinya belum per-
caya penuh akan ucapan Ki Parewang.
"Kali ini, aku melihat kesungguhan dalam matanya.
Tindakan kita selanjutnya, mencari Setan Tenaga Ga-
jah. Dialah biang keladi semua kejadian ini. Dan sepertinya, Ki Parewang
mempunyai masa lalu yang pahit
dengan adik seperguruan itu. Ayolah kita segera mencari tempat persembunyian
manusia keji itu...," ajak Pendekar Naga Putih.
Kemudian Panji segera melangkah meninggalkan
Hutan Grambang. Sementara, Kenanga segera saja
mengiringi langkah kekasihnya. Sedangkan Ki Damang
dan para tokoh lain berjalan di belakang sepasang
pendekar muda itu.
Siapakah Setan Tenaga Gajah sesungguhnya" Apa
maksudnya dia membantai Ki Jasminta dan Ki Raksa
Mala" Berhasilkah Panji, Kenanga, Ki Damang, dan
yang lain dalam menyelesaikan kemelut ini" Untuk ja-wabannya silakan ikuti
serial Pendekar Naga Putih dalam episode Petualangan di Alam Roh.
SELESAI http://duniaabukeisel.blogspot.com
Scan by Clickers
E-Book by Abu Keisel
Editor by Culan Ode
Document Outline
*** *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** *** 5 *** *** 6 *** *** 7 *** *** 8 *** *** SELESAI Bunga Ceplok Ungu 4 Pendekar Naga Mas Karya Yen To Terjerat Asmara Mistik 1
^