Pencarian

Pengemban Dosa Turunan 1

Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan Bagian 1


PENGEMBAN DOSA TURUNAN Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Suhardi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Pengemban Dosa Turunan
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Matahari sudah hampir tenggelam di kaki langit se-
belah Barat. Cahaya kemerahan tampak menyala ba-
gaikan kobaran api membakar cakrawala. Senja mulai datang menyapa bumi.
Dalam suasana yang mulai remang-remang itu,
tampak dua sosok tubuh bergerak menuju Pantai Ti-
mur Laut Bandan. Gerakan keduanya yang sangat rin-
gan dan cepat hanya menimbulkan bayangan yang tak
jelas. Meskipun demikian, jelas terlihat kalau kedua sosok bayangan itu adalah
lelaki dan perempuan. Hal ini dapat dikenali dari perawakan mereka.
Sosok pertama bertubuh tinggi kurus dan ter-
bungkus jubah panjang berwarna coklat. Bila dilihat secara jelas, tampaklah raut
wajahnya yang keras dan memancarkan perbawa yang kuat. Dalam usianya
yang kira-kira sekitar enam puluh tahun, lelaki itu terlihat sangat angker dan
matang. Bahkan, raut wajah angker itu masih ditambah lagi dengan kumis dan
jenggot yang tertata rapi, meski sebagian tampak telah memutih. Jelas, sosok
pertama ini adalah orang yang selalu menjaga kesehatan dan kebersihan dirinya.
Berbeda dengan penampilan sosok pertama, sosok
kedua yang berlari di sebelah kiri sosok tinggi kurus itu memiliki bentuk tubuh
yang langsing dan padat.
Secara selintas, orang akan menduga bahwa sosok kedua itu pastilah seorang gadis
remaja. Tapi, dugaan ini sama sekali tidak betul. Sebab, sosok ramping padat itu
adalah seorang wanita yang telah cukup berumur.
Usianya sekitar empat puluh lima tahun. Meskipun
demikian, baik wajah maupun tubuhnya tampak ma-
sih demikian segar, tak ubahnya seorang gadis remaja.
Kedua sosok yang tengah bergerak menuju Pantai
Timur Laut Bandan itu jangan dikira hanya merupa-
kan pasangan suami-istri yang hendak pesiar. Bagi
kaum rimba persilatan, sepasang pria-wanita yang
memang merupakan pasangan suami-istri itu tidaklah asing lagi. Selain sangat
terkenal dan memiliki kepandaian yang sangat tinggi, keduanya juga merupakan
pemimpin tokoh-tokoh persilatan di daerah Timur.
Bahkan, mereka memiliki julukan yang cukup mengge-
tarkan, yaitu Sepasang Ular Perak. Demikian-lah julukan yang didapat dari tokoh-
tokoh persilatan, baik dari golongan hitam maupun golongan putih. Dan, julukan
itu pun telah tersebar di empat penjuru angin.
Tidak berapa lama kemudian, kedua sosok pende-
kar itu pun tibalah di suatu tempat berpasir putih. Mereka tampak menghentikan
langkah dan berdiri tegak menatap ombak lautan. Bagaikan hendak menembus
keremangan senja, bola-bola mata kedua tokoh itu terus melepaskan pandangannya
ke tengah laut dengan
sorot tajam. Jelas, ada sesuatu yang membuat sepa-
sang pendekar itu melakukannya.
"Yakinkah kau bahwa iblis keji itu akan memenuhi
janjinya, Kakang...?"
Sosok wanita cantik yang mengenakan pakaian
berwarna hijau muda itu terdengar bertanya dengan
suara agak keras. Karena, jika tidak, deburan ombak yang saling bersahutan dan
menimbulkan gemuruh
bisa menelan ucapannya.
Sosok tinggi kurus yang berjuluk Ular Perak Jantan tidak segera menjawab
pertanyaan istrinya. Sepasang matanya masih tetap mengawasi air laut sambil
menarik napas perlahan. Beberapa saat kemudian, baru lelaki itu menoleh dan
berkata. "Hhhh..., sebenarnya aku pun tidak begitu yakin
akan janji seorang tokoh sesat seperti Elang Laut Utara itu, Nyai. Tapi, entah
mengapa, saat ini aku masih percaya terhadap ucapannya. Sepertinya aku benar-
benar yakin kalau iblis itu akan muncul untuk menepati janjinya. Sebab, dialah
yang mengajukan tantangan ini, bukan kita...."
Demikian jawaban yang keluar dari mulut Ular Pe-
rak Jantan. Kini semakin jelaslah, apa sebenarnya maksud Sepasang Ular Perak
mendatangi Pantai Timur Laut Bandan.
"Sebenarnya, lima belas tahun yang lalu, kita dapat saja melenyapkan iblis itu
untuk selamanya, Kakang.
Sayang, iblis itu memiliki lidah yang tajam dan pandai memutar kata-kata,
sehingga kita berdua dapat diti-punya mentah-mentah. Kalau tidak, rasanya hari
ini tidak perlu kita bersusah payah mendatangi tempat
itu...," kata Ular Perak Betina dengan nada sedikit menyesali masa lalunya, yang
tampaknya berhubungan
dengan kedatangan mereka pada senja ini.
"Sudahlah. Tidak baik menyesali sesuatu yang telah lewat. Sebaiknya kita tunggu
saja kedatangan iblis itu dengan hati tenang. Lima belas tahun bukanlah waktu
yang singkat. Siapa tahu Elang Laut Utara telah mempersiapkan dirinya jauh-jauh
hari. Dan, bukan tidak mungkin kalau justru kita berdualah yang akan dika-
lahkannya hari ini. Untuk itu, sebaiknya kau berhati-hati, Nyai. Jangan pandang
remeh sebelum mengeta-
hui kepandaiannya yang sekarang...."
Ular Perak Jantan terdengar menasehati istrinya
dengan ucapan yang sengaja ditekan, agar istrinya tidak meremehkan orang yang
mereka tunggu. Sayang,
ucapan Ular Perak Jantan dianggap sebagai tanda takut. Sehingga, wanita cantik
yang wajahnya tampak
jauh lebih muda dari usianya itu terlihat mencebikkan
bibir. Jelas sekali kalau Ular Perak Betina tidak men-gindahkan nasihat
suaminya. Hal ini tampaknya me-
mang wajar. Karena, seperti terdengar dari pembicaraan mereka tentang pertemuan
dengan 'iblis' pada li-ma belas tahun yang lalu itu, kelihatannya orang yang
kini sedang mereka tunggu tidaklah terlalu memba-hayakan. Bahkan, tampaknya
orang itu pernah kalah atau dipecundangi oleh keduanya. Alasan inilah yang
mungkin membuat Ular Perak Betina tidak begitu
mempedulikan kemungkinan-kemungkinan yang dija-
barkan suaminya.
Ular Perak Betina, yang semula terlihat hendak
mengungkapkan rasa penasaran hatinya, menunda
ucapannya. Sebab, pada saat itu, terlihat suaminya menunjuk ke satu titik yang
terombang-ambing dipermainkan ombak lautan.
"Apa itu, Kakang...?" tanya Ular Perak Betina sambil mengerutkan kening dan
mencoba mempertajam pandangan matanya. Sayang, karena ombak laut terka-
dang seperti menelan untuk kemudian memuntahkan
kembali benda itu, dia mengalami kesulitan untuk melihatnya secara jelas.
Namun, berbeda dengan istrinya, lelaki tinggi kurus yang memang memiliki
tingkatan ilmu lebih tinggi itu segera dapat mengenali benda di tengah laut itu.
Tentu saja setelah ia mengerahkan kekuatan tenaga saktinya melalui pandangan
mata. Ular Perak Jantan pun mulai dapat menebak, benda apa sebenarnya yang
tengah dipermainkan ombak itu.
"Tampaknya benda itu merupakan sosok seorang
manusia, Nyai. Dan, kalau pandangan mataku tidak
salah, sosok manusia itu adalah orang yang kita tunggu-tunggu. Kau terkejut,
bukan...?" tanya Ular Perak Jantan, mengakhiri keterangannya dengan sebuah
pertanyaan yang agak bernada sinis.
Ular Perak Betina memang cukup terkejut men-
dengar keterangan suaminya tentang benda yang ten-
gah dipermainkan ombak itu. Bahkan, sinar matanya
memancarkan rasa tidak percaya atas ucapan sua-
minya. "Maksudmu..., benda itu sebenarnya adalah Elang
Laut Utara, musuh yang sedang kita nanti-nanti...?"
tanya Ular Perak Betina, meminta ketegasan suami-
nya. "Hhhh..., tampaknya memang begitulah, Nyai. Bah-
kan, yang lebih membuatku terkejut, Elang Laut Utara tampaknya sama sekali tidak
menggunakan perahu
untuk mencapai daratan ini dari pulau tempat tinggalnya. Sepertinya ia hanya
menggunakan dua potong
bambu yang mungkin diikatkan pada kedua telapak
kakinya. Kalau saja hal ini benar, iblis itu pastilah telah menggembleng dirinya
selama lima belas tahun terakhir ini. Dan, mungkin ia telah memiliki kemajuan
yang mengejutkan...," desis Ular Perak Jantan.
Lelaki tua itu tampak termangu sambil tetap men-
gawasi sosok yang semakin jelas, karena semakin dekat ke arah mereka. Terdengar
Ular Perak Jantan menarik napas berat yang menunjukkan kekhawatiran-
nya. "Huh! Biarpun kepala iblis itu bertambah menjadi
sepuluh dan lengannya menjadi dua puluh pasang,
aku tidak akan pernah gentar menghadapinya. Kalau
Kakang takut, biar aku saja yang akan menghajar manusia keparat itu! Kali ini ia
tidak akan kuberi ampun, agar lain hari tidak lagi membuat susah...!" kata Ular
Perak Betina dengan suara lantang, meski agak terkesan sedikit sombong.
Kemudian, wanita tua itu melangkah maju bebera-
pa tindak, semakin mendekati gelombang air laut yang berlarian ke pantai.
"Sabar, istriku. Tidak usah terburu nafsu. Kita
tunggu saja kedatangannya dengan hati tenang. Usa-
hakan agar kita jangan sampai terpengaruh oleh
omongan ataupun tingkahnya yang mungkin saja sen-
gaja ditunjukkan untuk membuat kita lengah. Karena, hal itu akan merugikan diri
kita sendiri...."
Ular Perak Jantan kembali mengingatkan istrinya
yang keras kepala. Dicegahnya langkah wanita cantik itu dengan memegang bahunya
perlahan. Sehingga,
mau tidak mau, Ular Perak Betina pun menahan lang-
kahnya. Terdengar tarikan napas barat yang berkepanjangan dari wanita cantik
itu. Jelas sekali kalau ia terpaksa menuruti kehendak suaminya. Dan, untuk itu,
ia harus menekan rasa penasaran di dalam dadanya
yang masih saja menggelora.
"Huak hak hak.... Selamat bertemu lagi, Sepasang
Ular Perak! Terutama kau, Ular Betina! Kelihatannya semakin lama wajah dan
tubuhmu semakin menarik
saja. Apakah kau sengaja memeliharanya agar aku bi-sa melihatnya pada pertemuan
ini...?" Terdengar suara terbahak parau yang kemudian
disambung lontaran kata-kata tak sopan dari sosok lelaki berusia sekitar lima
puluh tahun. Saat itu tubuhnya tampak masih mengapung dan tengah me-luncur
satu setengah tombak lagi dari daratan berpasir.
Ular Perak Jantan segera mengajak istrinya untuk
bergerak mundur beberapa langkah. Hal itu dilaku-
kannya ketika deburan ombak tampak semakin jauh
menjilati bibir pantai, yang terjadi seiring dengan semakin dekatnya sosok
lelaki gemuk yang tengah me-
luncur di lautan itu.
"Huppp...!"
Tepat ketika hampir tiba di tepi pantai, tiba-tiba sa-ja sosok lelaki gemuk itu
mengeluarkan sebuah bentakan nyaring. Kemudian, tubuhnya melambung setinggi tiga
batang tombak dari atas pasir. Setelah berputaran sebanyak lima sampai enam
kali, barulah sosok lelaki yang memang adalah Elang Laut Utara itu melayang
turun dengan dua bilah bambu di tangan kanannya.
Sepasang bambu itu telah dilepaskan dari ikatannya sewaktu tubuh Elang Laut
Utara tengah melambung di udara. Jelas sudah bahwa apa yang diduga Ular Perak
Jantan tidaklah berlebihan. Elang Laut Utara ternyata memang mendatangi daratan
dengan menggunakan
dua bilah bambu sebagai pijakan sepasang kakinya.
Tentu saja hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi. Dan, terbukti Elang Laut Utara memang memi-
likinya. "Kurang ajar...! Mulutmu ternyata masih saja tetap kotor, Setan Hitam!
Sepertinya kau sengaja memamerkan ilmu. meringankan tubuhmu agar kami gentar,
begitu...?"
Tanpa mempedulikan lagi cegahan suaminya, Ular
Perak Betina segera saja menudingkan telunjuknya ke wajah lelaki gemuk berkulit
hitam itu. Dan, kata-katanya langsung meluncur sebagai tanda kekesalan
hatinya yang semenjak tadi hanya dipendam. Tapi,
Elang Laut Utara hanya tertawa-tawa sambil men-
gangkat-angkat kedua alisnya dengan sepasang mata
berbinar. Tampaknya ia merasa senang menyaksikan
wanita cantik itu marah-marah. Tentu saja tingkah lelaki gemuk itu semakin
membuat hati Ular Perak Beti-na kian terbakar.
"Keparat...! Kau rupanya sudah tidak sabar untuk
merasakan kerasnya kepalanku...!" kata Ular Perak Be-
tina, sambil langsung melontarkan sebuah pukulan lurus menuju dada Elang Laut
Utara. Whuuukkk...! Hembusan angin keras yang menandakan bahwa
pukulan Ular Perak Betina bukanlah main-main ter-
dengar mendesis mengiringi datangnya pukulan itu.
"Heh heh heh...!"
Elang Laut Utara memperdengarkan tawanya yang
serak saat bersiap menerima pukulan lawan. Dilihat dari sikapnya yang terlihat
masa bodoh itu, jelas bahwa ia memandang remeh serangan lawan yang sebe-
narnya mampu untuk meremukkan batok kepala
orang biasa. Tapi, sikap itu bisa saja hanya merupakan suatu pancingan agar
lawan terpengaruh dan menjadi kacau pikirannya.
"Nyai, tahan...!"
Ular Perak Jantan berseru keras untuk mencoba
mencegah serangan istrinya. Sayang, teriakannya sedikit terlambat. Karena, saat
itu kepalan Ular Perak Betina sudah tinggal satu jengkal lagi jaraknya dari
tubuh lawan. Dan....
Bukkk! "Akkk...!?"
Aneh, meskipun pukulan Ular Perak Betina tepat
menghantam dada lawannya secara telak, ternyata justru wanita cantik itulah yang
memekik kesakitan
sambil memegangi tangannya yang terlihat agak bengkak. Bahkan, tubuh keduanya
terlihat sama-sama tergetar mundur sejauh satu batang tombak. Tentu saja
kenyataan itu membuat Ular Perak Jantan ternganga
setengah tak percaya.
"Gila...!" Ilmu apa yang dipelajari Elang Laut Utara selama lima belas tahun
belakangan ini...! Mustahil kemajuannya sampai sedemikian pesat. Mungkinkah
ada seorang manusia sakti yang sudi membimbing-
nya..." Atau... ia menemukan suatu ilmu langka secara kebetulan?"
Ular Perak Jantan tak henti-hentinya bertanya da-
lam hati. Kenyataan yang baru dilihatnya itu telah menimbulkan berbagai macam
dugaan di kepalanya.
Sayangnya, tak satu pun dugaan yang dapat men-


Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelaskan kejadian yang baru disaksikannya tadi.
"Hei, mengapa kau hanya manggut-manggut seperti
burung pelatuk. Ular Perak Jantan..." Apa kau tidak ingin mencoba melawanku
seperti yang dilakukan is-trimu barusan" Atau kau takut...?" ejek Elang Laut
Utara, yang jelas sengaja memamerkan kekuatannya
untuk mengacaukan pikiran lawan.
"Hm..., kau ingin agar aku mencoba kekebalan tu-
buhmu" Aku justru khawatir, kau akan terluka. Se-
baiknya segera kita mulai saja urusan lama di antara kita. Siapa yang menang dan
siapa yang kalah, aku tidak lagi peduli. Yang jelas, apabila kau kembali dapat
kami pecundangi, jangan harap kau bisa menikmati
hangatnya matahari esok...."
Ular Perak Jantan berkata dengan wajah yang tam-
pak kembali tenang. Bahkan, sorot matanya kini telah menunjukkan perbawa seperti
biasanya. Jelas sekali, lelaki tua itu telah berhasil meredam rasa terkejutnya.
Ular Perak Betina melangkah ke samping suaminya.
Tangan kirinya terlihat masih sibuk memijat-mijat kepalan kanannya yang bengkak
akibat membentur tu-
buh Elang Laut Utara. Dan, gambaran rasa pena-saran masih terpeta jelas di wajah
cantik itu. "Kakang.... Aku yakin, kekebalan tubuh iblis licik itu disebabkan oleh sebuah
benda, dan bukan semata-mata oleh kekuatan tenaga saktinya. Harap engkau
sedikit berhati-hati, agar tidak mengalami kejadian se-
perti aku barusan...," bisik Ular Perak Betina, yang rupanya dapat langsung
merasakan, apa sebenarnya
yang terjadi dengan serangannya tadi.
Meskipun tidak tahu secara pasti, benda apa yang
telah terbentur oleh kepalannya, ternyata Ular Perak Betina bisa mengira-ngira
adanya benda itu dan langsung memperingati suaminya. Sehingga, bila akan
menyerang, Ular Perak Jantan sudah mempunyai gamba-
ran tentang benda penolak yang dimiliki Elang Laut Utara, yang mungkin juga bisa
melukai lelaki berjubah coklat itu apabila kurang berhati-hati.
"Hm..., aku pun sudah bisa menduganya. Seperti-
nya, ada sesuatu yang membuat ia berani menerima
pukulanmu tanpa takut terluka. Akan ku coba untuk mengetahuinya...," desis Ular
Perak Jantan dengan suara lirih.
Setelah berkata demikian, lelaki tinggi kurus itu
melangkah beberapa tindak ke dekat tubuh lawannya.
"Heh he he.... Ular Perak Jantan. Setelah sekian belas tahun tidak berjumpa,
apakah pertemuan ini tidak kita gunakan beberapa jenak untuk bersenang-senang"
tentang persoalan yang lampau, sebaiknya ki-ta tunda saja dulu. Mengapa harus
terburu-buru...?"
Elang Laut Utara menyambut Ular Perak Jantan
dengan tawa sesumbar. Tampaknya lelaki gemuk itu
merasa sangat yakin bahwa Sepasang Ular Perak be-
lum mengetahui rahasia kekebalan tubuhnya. Sehing-
ga, ia masih saja tertawa-tawa meremehkan lawannya.
"Oh, kalau memang itu kemauanmu, bersiaplah.
Mungkin pukulanku agak sedikit keras dari yang ba-
rusan kau terima...."
Sadar bahwa kesempatan emas untuk menyingkap
rahasia kekebalan tubuh lawannya telah terbuka le-
bar, Ular Perak Jantan pun segera memanfaatkan-nya.
"Silakan.... Tapi, hati-hatilah agar kau tidak sampai terjatuh karenanya...,"
ejek Elang Laut Utara sambil bertolak pinggang, seolah-olah menyuruh lawannya
memilih bagian yang terlunak dari tubuh gemuknya
itu. "Hm...."
Ular Perak Jantan bergumam dengan tatapan mata
tajam sebelum melontarkan pukulannya. Jelas sekali kalau lelaki tua bertubuh
tinggi kurus itu tengah menduga, apa yang akan dilakukan Elang Laut Utara
apabila ia melontarkan serangannya.
"Haaattt...!"
Setelah mengambil keputusan yang dianggapnya
tepat, Ular Perak Jantan pun segera berseru nyaring.
Berbarengan dengan teriakan itu, tubuhnya yang ting-gi kurus melesat ke depan
dengan kuda-kuda rendah.
Sekilas pandang saja dapat diketahui bahwa Ular Perak Jantan langsung
menggunakan jurus andalannya
dalam melancarkan serangan pertama. Tentu saja ge-
rakan yang gesit dan sulit diketahui perubahannya itu membuat Elang Laut Utara
terlihat mengerutkan keningnya karena khawatir.
"Tunggu...!"
Tiba-tiba saja, sebelum serangan Ular Perak Jantan datang, Elang Laut Utara
berseru mencegah sambil
melangkah mundur menjauhi tempat berdirinya semu-
la. Jelas sekali kalau lelaki berkulit hitam itu tidak berani menganggap remeh
serangan 'Jurus Ular' yang dilancarkan lawannya.
*** 2 "Hmh...! Mengapa kau menghindar, Elang Laut Uta-
ra" Bukankah kau sendiri yang menyuruhku untuk
menyerangmu" Mengapa kini kau mencegah-nya"
Apakah kau berubah pikiran karena takut tubuhmu
akan terluka...?" kata Ular Perak Jantan.
Lelaki tua bertubuh kurus itu tampaknya sengaja
memancing-mancing kemarahan lawannya dengan ka-
ta-kata ejekan, yang rupanya sangat mengena. Elang Laut Utara terlihat menggeram
jengkel menahan ke-dongkolan hatinya.
"Setan! Kau pikir, aku takut dengan jurus ular je-
lekmu itu" Ayo, tunjukkanlah kehebatannya di depan-ku...!"
Elang Laut Utara berteriak-teriak dengan hati jengkel. Kesombongannya bangkit
seketika begitu mendengar ejekan yang menyakitkan dari Ular Perak Jantan.
Ia pun terpaksa menantang-nantang jurus andalan lawannya yang tadi siap
terlontar ke arah tubuhnya.
"Kau tidak akan mengelak...?" desak Ular Perak
Jantan. Pertanyaan yang bernada menantang itu tentu saja
sangat sukar dijawab oleh Elang Laut Utara, yang sudah terikat janjinya tadi.
Wajahnya pun tampak semakin gelap.
"Hmmmh....Mengelak atau tidak, itu terserah kepa-
daku! Kalau kau mau menyerang, seranglah! Tidak
perlu banyak bacot lagi...!"
Akhirnya Elang Laut Utara yang tentu saja tidak
mau celaka, terpaksa tidak mempedulikan lagi janjinya. Jelas bahwa tokoh sesat
Pantai Timur itu tidak ingin nyawanya melayang hanya karena memper-
tahankan sebuah janji.
"Ha ha ha...! Rupanya kau benar-benar tidak berani menahan pukulanku dengan
kekebalan tubuhmu. Du-gaanku ternyata tidak meleset. Kau hanya besar mulut dan
tidak mempunyai pendirian tetap, Elang Laut Utara...," ujar Ular Perak Jantan
sambil tertawa berkakakan memegangi perutnya.
Tentu saja suara tawa dan tingkah lelaki tinggi kurus itu membuat wajah Elang
Laut Utara semakin bertambah merah.
"Keparat...! Kubunuh kau...!"
Elang Laut Utara, yang sudah tidak sanggup lagi
membendung amarahnya, langsung membentak keras
sambil melesat dengan serangkaian serangan maut-
nya. Beeettt! Beeet! Beeet!
Sesuai dengan julukan yang diberikan untuknya, le-
laki gemuk berkulit hitam itu menerjang dengan mempergunakan cakar-cakar yang
membentuk cengkera-
man elang. Jari tengah, telunjuk, dan ibu jarinya yang membentuk segitiga
langsung menyambar-nyambar
dengan kecepatan kilat. Datangnya sambaran cakar
elang itu selalu dibarengi dengan suara bercuitan. Hal ini menandakan bahwa
kekuatan yang tersembunyi di
dalamnya sangatlah hebat.
Ular Perak Jantan sendiri sempat mengerutkan ken-
ing ketika menyaksikan kecepatan dan angin samba-
ran cakar lawannya. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, langsung saja lelaki tinggi kurus itu bergerak menghindar. Dan,
dilancarkannya serangan balasan
dengan tidak kalah sengitnya.
"Yeeeattt...!"
Lelaki tinggi kurus yang berjuluk Ular Perak Jantan itu bergerak dengan kuda-
kuda rendah. Sesekali tan-
gannya tampak membentuk paruh ular. Dan, tubuh-
nya terlihat melesat dengan kecepatan mengejutkan.
Gerakannya yang luwes dengan pagutan-pagutan tak
terduga sempat pula membuat Elang Laut Utara ke-
bingungan beberapa saat lamanya.
"Yiaaattt...!"
Belum lagi Elang Laut Utara sempat menguasai
keadaannya, terdengar lengking nyaring yang disusul dengan terjunnya Ular Perak
Betina ke kancah pertarungan. Tentu saja kehadiran wanita cantik ini membuat
tokoh sesat berkulit hitam itu terdesak semakin hebat
"Setan belang...!"
Sambil melontarkan makian kalang-kabut, Elang
Laut Utara berusaha keras keluar dari kepungan sepasang suami istri pendekar
itu. Namun, usahanya bahkan mengakibatkan sebuah pagutan jari tangan Ular
Perak Jantan telak menghantam bagian iganya.
Tuggg! "Aaakkk..."!"
Keanehan pun kembali terjadi. Ular Perak Jantan,
yang berhasil menyarangkan pukulannya, justru me-
ngeluarkan pekik tertahan. Untungnya, meskipun pu-
kulan jari-jari tangannya mengenai tubuh lawan seca-ra telak, Ular Perak Jantan
masih sempat mengurangi tekanan tenaga dalamnya, bahkan masih sempat pula
memiringkan jari-jari tangannya. Sehingga, akibat
yang dirasakannya pun tidak terlalu parah.
Sambil menarik napas panjang dan meluruskan
tangan kanannya ke atas, Ular Perak Jantan menatap tajam ke arah tubuh lawannya.
Ia masih tampak terkejut ketika ujung jari tangannya terasa bagai mematuk sebuah
benda lunak yang dapat membalikkan tenaga
pukulannya. Untunglah ia tadi sempat menyadarinya
dan segera menarik kembali tenaganya.
"Hm.", Elang Laut Utara pasti menggunakan sema-
cam baju pusaka di balik pakaian luarnya. Entah dari mana iblis ini bisa
mendapatkan pusaka yang sangat ampuh itu...," desis Ular Perak Jantan, yang
sempat melihat kilauan cahaya perak dari balik sobekan pakaian lawan yang
terkena patukan ujung jarinya.
Pada saat itu, Elang Laut Utara sudah bertarung
menghadapi serbuan Ular Perak Betina. Wanita cantik yang sebelah tangannya tidak
lagi dapat digunakan secara utuh itu ternyata masih juga sanggup melepaskan
serangkaian serangan maut yang bisa membuat nyawa
lawannya melayang. Elang Laut Utara pun merasa
agak kerepotan. Apalagi, serangan-serangan lawannya tertuju ke arah seputar
leher dan kedua matanya. Tentu saja serangan-serangan berbahaya itu tidak bisa
di-diamkannya. "Haaahhh!"
Elang Laut Utara membentak keras sambil men-
gangkat tubuhnya. Akibatnya, totokan jari tangan lawan yang semula mengincar
matanya kini meluncur ke arah dadanya. Tentu saja serangan itu tidak dipedulikan
Elang Laut Utara. Sebab, bagian dadanya telah terlindung oleh pakaian pusakanya,
Baju Mustika. Tuuuggg! Ular Perak Betina, yang tidak sempat lagi menarik
kembali serangannya, berteriak kesakitan saat tenaganya membalik. Kesempatan itu
dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Elang Laut Utara, yang langsung saja
mendorongkan sepasang telapak tangannya ke dada
lawan. Akibatnya....
Breeehsss...! "Aaarghhh...!"
Bagaikan selembar daun kering yang diterbangkan
angin, tubuh Ular Perak Betina terhempas akibat dorongan sepasang telapak tangan
yang berkekuatan hebat itu. Darah segar pun langsung menyembur mengi-
ringi jerit melengking yang keluar dari mulut wanita cantik itu.
"Nyai...!"
Ular Perak Jantan terkejut bukan main menyaksi-
kan kenyataan dihadapannya. Cepat bagaikan kilat, tubuh lelaki tinggi kurus itu
langsung melayang ke arah lawannya. Kemarahan dan rasa sedih melihat istrinya
yang terlempar itu membuat Ular Perak Jantan tidak lagi memikirkan keselamatan
dirinya. Terjangan yang dilakukannya kali ini benar-benar merupakan serangan
yang mematikan.
Elang Laut Utara, yang melihat datangnya serangan
lawan, segera menarik kedua tangannya ke sisi pinggang. Dibarengi sebuah
teriakan nyaring, tokoh sesat bertubuh pendek itu bergerak menyambut terjangan
lawan dengan dorongan sepasang telapak tangannya.
Tampaknya ia ingin mengulangi keberhasilannya se-
perti yang dilakukan terhadap Ular Perak Betina tadi.
"Yeaaattt...!"
"Haaattt...!"
Diiringi teriakan yang berkepanjangan tubuh kedua
tokoh sakti itu sama-sama melambung ke udara. Dan, pada saat yang bersamaan,
keduanya saling mendorongkan telapak tangan masing-masing ke depan.
Whuuusss...! Whuuukkk...! Sambaran angin keras mengiringi datangnya puku-
lan jarak jauh yang sama-sama dilontarkan oleh kedua tokoh sakti itu.
Akibatnya.... Blaaarrr...! Benturan keras terdengar bagaikan hendak meng-
guncangkan bumi. Bukit karang yang berdiri dalam jarak sepuluh batang tombak
dari kancah pertarungan
pun tampak bergetar. Dan, disusul dengan bergugu-
rannya bebatuan kecil akibat ledakan dari benturan tenaga kedua orang sakti itu.
"Aaahhh...!"
Tubuh Ular Perak Jantan dan Elang Laut Utara sa-
ma-sama terlempar deras ke belakang. Pada saat tu-
buh keduanya tengah melayang di udara, Elang Laut
Utara yang rupanya memiliki tenaga sedikit lebih kuat dibanding lawannya segera
melepaskan jarum-jarum
halus yang tampaknya memang telah dipersiapkan se-
belumnya. Akibatnya, jarum-jarum halus yang jelas
mengandung racun itu langsung melesat ke arah tu-
buh Ular Perak Jantan, yang tidak kuasa lagi meng-
hindarinya. Crabbb! Crabbb!
"Aaakhhh...!"
Terdengar pekik kesakitan ketika jarum-jarum ha-
lus amblas ke dalam tubuh Ular Perak Jantan. Begitu tubuhnya terbanting di atas
tanah, darah segar pun langsung termuntah dari mulutnya. Belum lagi rasa
sesak akibat benturan tenaga dengan lawannya mere-
da, tiba-tiba Ular Perak Jantan merasakan sakit yang tidak wajar. Tubuhnya
langsung meregang.
"Auuuhhh.... Auuuhhh...!?"
Ular Perak Jantan terus saja berteriak-teriak sambil menggaruk-garuk beberapa
bagian tubuhnya. Sambil
terus mendesis-desis, lelaki tinggi kurus itu sibuk menggaruki semua bagian


Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya. Bahkan, sampai
kulit tubuhnya menjadi lecet dan mengalirkan darah, Ular Perak Jantan tetap
tidak peduli, la tetap menggaruk sambil mendesis-desis. Jelas, semua itu akibat
be-kerjanya racun dari jarum-jarum halus yang dile-
paskan Elang Laut Utara.
"Heh heh heh.... Kau rasakanlah akibat racun
'Ubur-Ubur Laut'ku, Ular Perak Jantan...."
Elang Laut Utara terdengar mengeluarkan pula ta-
wa terkekeh serak. Namun, setelah itu, darah segar termuntah pula dari mulutnya.
Dari caranya tertawa dan langkahnya yang tertatih-tatih, tampak jelas bahwa
tokoh sesat itu pun mengalami luka dalam yang
sangat parah. Sambil memperdengarkan tawa serak-
nya yang sesekali diselingi suara batuk, Elang Laut Utara meninggalkan tubuh
kedua lawannya yang sudah tidak berdaya lagi.
Ular Perak Betina terbujur kaku dengan wajah pu-
cat. Dan, cairan merah terlihat masih terus mengalir melalui sudut bibirnya.
Jelas bahwa pukulan tenaga dalam Elang Laut Utara telah menghancurkan bagian
dalam tubuh wanita cantik itu dan menewaskannya
dengan seketika.
Keadaan Ular Perak Jantan pun tampak sangat me-
nyedihkan. Pakaian yang dikenakan lelaki tinggi kurus itu sudah dibasahi darah
segar. Bahkan, jubah pan-jangnya kini terlihat compang-camping, karena kedua
tangannya tidak pernah berhenti menggaruki sekujur tubuhnya. Dengan meninggalkan
rupa tubuh yang
mengerikan, Ular Perak Jantan pun tidak lama kemu-
dian tewas setelah mengalami siksaan rasa gatal yang tak tertahankan itu.
Ombak Laut Bandan kembali berdebur menuju
pantai. Untungnya, letak mayat Sepasang Ular Perak cukup jauh dari tepian
pantai. Sehingga, air laut tidak dapat menjangkaunya. Kalau tidak, tubuh kedua
orang itu pasti akan terseret dan mungkin pula akan lenyap ditelan dalamnya Laut
Bandan. *** Kokok ayam hutan terdengar bersahutan menyam-
but datangnya fajar. Perlahan kemudian, kegelapan
pun mulai terusir oleh sinar kemerahan yang kian me-nerangi tanah. Sang matahari
telah memulai tugasnya.
Pagi itu, daerah Pantai Timur Laut Bandan yang bi-
asanya selalu sepi tampak didatangi serombongan
orang. Gerak mereka rata-rata terlihat gesit dan sangat ringan. Tampak jelas
bahwa rombongan itu tidaklah
terdiri dari orang-orang kebanyakan. Singkatnya, mereka adalah orang-orang dari
kalangan rimba persilatan.
"Kakang, lihat itu...!"
Sosok yang berada di sebelah kiri seorang lelaki terdepan berseru sambil
menunjuk ke satu arah ketika
baru saja menginjakkan kakinya di Pantai Timur. Setelah berkata demikian, tubuh
lelaki berperawakan sedang itu langsung bergerak mendahului rekan-
rekannya yang lain.
"Adi Wilang, tunggu...!"
Lelaki terdepan yang tampaknya merupakan pe-
mimpin rombongan itu berseru mencegah perbuatan
kawannya yang dipanggil dengan nama Wilang.
Sayang, seruannya sedikit terlambat la pun hanya
menghela napas ketika melihat sosok Wilang telah bergerak ke arah dua onggok
benda yang juga telah dilihatnya.
Lelaki gagah berusia sekitar empat puluh lima ta-
hun yang menjadi pemimpin rombongan itu segera me-
lesat menyusul Wilang. Sebentar saja tubuhnya telah menjajari rekannya. Hal ini
menandakan bahwa kepandaian yang dimilikinya masih berada di atas ke-
pandaian Wilang. Padahal, kalau dilihat dari gerakannya, Wilang saja sudah bisa
dibilang cukup hebat.
Tentu saja dapat dibayangkan, sampai di mana kehe-
batan lelaki gagah pemimpin rombongan persilatan itu.
"Biadab...!"
Begitu tiba di dekat dua onggok tubuh yang ternya-
ta adalah dua sosok mayat itu, lelaki gagah itu terdengar menggeram sambil
mengepalkan tinjunya kuat-
kuat. Jelas sekali kalau ia sangat marah melihat keadaan mayat-mayat di
depannya. "Bangsat keji...!"
Wilang pun tidak kalah marahnya melihat keadaan
kedua sosok mayat itu. Bahkan, sepasang matanya
sempat terpejam manakala melihat sosok mayat lelaki tinggi kurus yang keadaannya
benar-benar menyedih-kan. Sehingga, seorang lelaki gagah dan terlatih baik
seperti Wilang pun harus bergerak mundur dan membuang muka. Jelas bahwa lelaki
bertubuh sedang ini tidak sampai hati menyaksikan keadaan mayat berperawakan
tinggi kurus itu.
"Tenanglah, Adi Wilang. Lebih baik kita urus mayat ketua kita ini sebaik-
baiknya," hibur lelaki gagah pemimpin rombongan itu sambil menepuk-nepuk pelan
bahu Wilang. "Di mana mayat manusia keparat itu, Kakang..."
Mengapa kita tidak melihatnya di sekitar pantai ini"
Apakah mayatnya telah diseret binatang buas" Sebab, kalau sampai bisa membunuh
kedua pemimpin kita,
mustahil jika ia sendiri bisa selamat," ujar Wilang seraya menoleh ke kiri dan
ke kanan dengan sepasang
mata mencari-cari.
Wilang kemudian bergerak meninggalkan pemimpin
rombongannya dan langsung mengelilingi sekitar pantai dengan mengerahkan ilmu
lari cepatnya. Sedang-
kan lelaki gagah itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala tanpa berusaha untuk
mencegah kepergiannya.
Delapan orang lelaki gagah lainnya yang tiba bela-
kangan di dekat kedua sosok mayat itu membelalak
sesaat bagaikan belum bisa percaya dengan apa yang dilihatnya. Tampak sekali
kalau pemandangan yang
terpampang di depan mata mereka masih belum bisa
dipercayai sepenuhnya.
"Mungkinkah ketua kita tewas di tangan Elang
Laut Utara..." Rasanya..., aku belum bisa memper-
cayainya. Pasti iblis licik itu mengundang tokoh lain untuk membantunya. Kalau
tidak, mana mungkin ia
dapat menewaskan kedua ketua kita...," kata seorang lelaki tinggi kurus yang
berjenggot seperti kambing dengan nada penasaran. Sepasang matanya yang men-
jorok ke dalam tampak mengawasi sekeliling dengan
sorot tajam. "Elang Laut Utara sama sekali tidak membawa ka-
wan seorang pun, Adi Langga. Dari jejak kaki yang ter-tinggal di atas pasir
putih ini, aku kira jumlah yang bertarung tidak lebih dari tiga orang. Mereka
pasti Elang Laut Utara dan Sepasang Ular Perak, ketua kita.
Sepertinya pertarungan berlangsung jujur. Karena itu, sulit bagi kita untuk
menyalahkan Elang Laut Utara dalam hal ini. Tapi, tentu saja kita harus
melenyapkan tokoh sesat itu, karena keberadaannya sangat berbahaya bagi orang
banyak. Untuk itu, kita harus men-
carinya tapi bukan berdasarkan dendam atas kematian ketua kita...," kata lelaki
gagah itu, mengingatkan rekan-rekannya yang lain. Hal ini diutarakannya karena
ia melihat sorot dendam terpancar jelas pada raut wajah rekan-rekannya.
"Kakang Lunggara. Mana bisa iblis keji itu dibilang jujur dalam melakukan
pertarungan dengan ketua ki-ta" Jelas-jelas ia menggunakan racun keji untuk
menewaskan Ular Perak Jantan. Jadi, menurutku, iblis licik itu memang tidak
jujur. Dia harus dilenyapkan
dengan ataupun tanpa alasan yang tepat!" bantah lelaki berjenggot kambing yang
bernama Langga itu den-
gan suara tandas. Langga kelihatan sangat menaruh
dendam terhadap Elang Laut Utara yang menyebabkan
tewasnya Sepasang Ular Perak. Dan, tampaknya tekad lelaki tinggi kurus itu sudah
tidak bisa ditawar lagi.
"Menurutku, apa yang dikatakan Langga sama se-
kali tidak salah. Sebab, tewasnya ketua kita sudah pasti akan mengundang
berbagai tanggapan dari kalangan sesat. Dan, bukan mustahil kalau mereka akan
semakin berani melakukan tindakan sesat Untuk itu, tentunya kita harus bekerja
lebih keras. Apalagi, saat ini kita sama sekali belum tahu, bagaimana keadaan
Elang Laut Utara. Syukur-syukur kalau ia pun tewas.
Tapi, kalau tidak, bagaimana...?"
Seorang lelaki bertubuh gemuk dan berkepala sepa-
ruh botak ikut angkat bicara. Sikap dan ucapan-nya jelas-jelas mendukung tekad
Langga. Sehingga, lebih dari separuh tokoh-tokoh yang berada di tempat itu sama-
sama menganggukkan kepala. Tentu saja hal ini membuat Lunggara, si pemimpin
rombongan, hanya
bisa mengusap dada.
Lunggara, yang sedianya ingin membantah ucapan
lelaki gemuk yang separuh kepalanya botak itu, menunda niatnya ketika melihat
Wilang bergerak datang dengan wajah gelap. Jelas sudah kalau lelaki berperawakan
sedang itu tidak berhasil mendapatkan apa yang dicarinya.
"Kita harus mendatangi Pulau Elang untuk me-
mastikan keadaan Elang Laut Utara. Kita harus tahu, tokoh sesat itu masih hidup
atau sudah mati. Kalau memang masih hidup, ia harus merasakan kematian
yang paling mengerikan dan tidak pernah terbayang-
kan sebelumnya...!"
Begitu tiba di tempat rekan-rekannya berkumpul,
Wilang langsung mengutarakan dendam di hatinya.
Tentu saja ucapan itu disambut dengan teriakan-
teriakan setuju.
"Tapi, bagaimana kalau iblis keji itu juga telah tewas...?" celetuk salah
seorang di antara mereka.
Para tokoh lainnya langsung berpandangan satu
sama lain. Sebab, apabila Elang Laut Utara memang
telah tewas, sulit sekali bagi mereka untuk menen-
tukan tindakan.
"Hm..., kalau memang iblis keji itu telah tewas, tentu keturunannyalah yang akan
menanggung dosa per-
buatannya selama ini...!" tandas Langga.
Kata-kata yang diucapkan dengan suara berat dan
bergetar itu sempat membuat para tokoh lainnya ber-gidik ngeri. Sebab, suara
lelaki kurus itu demikian kuat menimbulkan pengaruh.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi..." Ayo, kita segera berangkat..."
Kesunyian yang sekejap tadi langsung pecah oleh
suara Wilang yang terdengar penuh semangat. Tanpa banyak cakap lagi, para tokoh
persilatan itu pun bergegas meninggalkan Pantai Timur Laut Bandan me-
nuju perkampungan nelayan untuk mencari perahu.
Sebab, tempat kediaman Elang Laut Utara hanya da-
pat dicapai melalui jalan laut.
*** 3 Tanah pekuburan di ujung Desa Gemparan tampak
sunyi. Panasnya sinar matahari yang memancar terik membuat suasana di sekitar
tempat itu semakin len-gang. Tak satu manusia pun terlihat di jalan lebar yang
membelah pemakaman itu.
Namun, dalam suasana siang yang terik dan kesu-
nyian yang mencekam itu, tampak sesosok tubuh
ramping terpekur di sisi sebuah tanah kuburan yang masih merah. Jelas sekali
kalau makam yang tengah
dihadapinya itu masih baru. Paling tidak, baru beberapa jam makam itu ditimbun.
"Ibu...."
Bibir mungil yang basah kemerahan itu terdengar
menggerimit perlahan. Wajahnya yang tertunduk ter-
angguk lemah. Sedangkan jemari tangannya menabur-
kan kembang di atas tanah makam. Sesaat kemudian,
sosok yang jelas adalah seorang gadis muda itu men-gangkat tubuhnya dan berdiri
tegak. "Doakanlah agar aku dapat bertemu dengan Ayah,
Bu. Maaf kalau selama ini aku tidak pernah mem-
beritahukanmu perihal kedatangan Ayah, yang men-
didikku dengan pelajaran ilmu silat setiap kali datang.
Semua kulakukan karena janjiku kepada Ayah untuk
tidak memberitahukan kedatangannya kepada siapa
pun, termasuk juga kepada Ibu. Semoga Ibu mau me-
maafkan kesalahanku selama ini. Aku pamit untuk
mencari Ayah. Mudah-mudahan Ayah masih tetap
tinggal di tempat yang Ibu tunjukkan kepadaku...."
Usai berkata demikian, gadis yang tampak baru be-
rusia tujuh belas tahun lebih itu membalikkan tubuhnya, lalu berjalan lambat-
lambat menyusuri tanah pe-
kuburan. Gadis muda berwajah manis yang bernama
Surni itu kemudian mengangguk sekilas ke-pada pen-
jaga makam yang berdiri di ujung pekuburan, lalu terus melangkah meninggalkan
tempat itu. "Hm..., menurut keterangan Ibu, aku harus berjalan ke arah Selatan. Apabila
sudah menemukan Laut Bandan, aku tinggal mencari pantai sebelah Timurnya. Da-ri
sanalah baru aku bisa mencapai tempat tinggal Ayah secara lebih mudah. Kalaupun
sulit untuk men-cari
tempat tinggalnya, aku harus bertanya tentang seo-
rang tokoh yang berjuluk Elang Laut Utara. Begitu pesan Ayah pada kedatangannya
yang terakhir kali. Sedangkan Ibu sendiri hampir tidak pernah mem-
beritahukan apa-apa perihal Ayah kepadaku...."
Setelah berpikir demikian, Surni menggunakan ilmu
lari cepatnya. Hal itu dilakukannya ketika ia sudah tidak berpapasan lagi dengan
seorang pun penduduk
Desa Gemparan. Sebab, para penduduk selama ini
hanya mengenalnya sebagai gadis desa yang ramah.
Tak seorang pun tahu bahwa gadis cantik yang kelihatan lembut itu sebenarnya
menyimpan ilmu kepan-
daian yang tidak sembarangan.
Surni terus bergerak menyusuri jalan lebar yang
menuju ke arah Selatan. Tanpa terasa, beberapa jam telah dilaluinya. Gadis itu
menghentikan langkahnya sejenak. Perjalanan yang sebenarnya bisa memakan
waktu seharian ini ternyata dapat ditempuhnya dua
kali lebih cepat. Bahkan, tanpa merasa lelah sedikit pun, Surni langsung
melanjutkan perjalanannya. Sebab, pikirnya, ia baru akan beristirahat apabila
hari telah menjadi gelap. Selama hari masih terang, gadis muda berparas manis
itu tidak akan lama-lama menghentikan perjalanannya. Bayang kerinduan terhadap
ayahnya dan keingintahuannya tentang pendapat
orang tua itu mengenai kematian ibunya semakin
membuat Surni ingin segera menjumpai ayahnya, yang selama ini secara diam-diam
menjenguk dan meng-ajarkannya ilmu-ilmu silat tingkat tinggi. Sekaranglah Surni
baru merasakan, betapa pentingnya mempelajari ilmu silat Kalau saja ayahnya dulu
tidak bersungguh-sungguh mendidiknya, belum tentu ia akan memiliki
kepandaian setinggi sekarang. Dan, baru kini dirasakan Surni hal itu.
Pengalaman kedua yang membuat gadis itu merasa-
kan betapa pentingnya memiliki ilmu silat adalah ketika ia tengah melewati
sebuah hutan. Di tengah perjalanan, pada tengah hari itu, Surni dikejutkan oleh
sebuah bentakan keras yang terdengar parau.
"Berhenti...!"
Karena telah terbiasa dengan gerak-gerak alat yang dipelajarinya, kedua kaki
Surni langsung bergerak
mundur dalam kuda-kuda siap tempur. Sepasang ma-
tanya yang bulat dan jernih berputar mengawasi sekitar. Rupanya, setelah
melakukan perjalanan se-lama dua malam, gadis itu menjadi agak terbiasa hidup di
alam bebas. Kecerdikan otaknya membuat apa yang
didengar dan dilihatnya dapat dipelajarinya dengan baik. Sehingga, secara tak


Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sadar, nalurinya telah bekerja dengan sempurna.
"Heh heh heh...! Hari ini benar-benar merupakan
hari keberuntungan bagiku. Siapa sangka pada tengah hari seperti ini ada seekor
kelinci yang tersasar...!"
Suara serak dan berat itu disusul oleh munculnya
sesosok tubuh jangkung terbungkus pakaian berwarna gading. Sepasang matanya yang
lebar tampak berputar mengawasi sekujur tubuh Surni. Lagaknya persis seperti
pedagang yang hendak menawar barang daga-
ngan. Surni sendiri, yang belum sadar akan kedahsyatan
ilmu-ilmu yang diturunkan ayahnya, bergerak ke ka-
nan dalam sikap yang tetap siap tempur. Padahal, kalau saja ia tahu siapa
sebenarnya orang tua yang telah mendidiknya berlatih ilmu silat, gadis manis itu
belum tentu akan setegang ini. Sebab, Elang Laut Utara merupakan seorang tokoh
sesat yang kepandaian-nya se-jajar dengan datuk-datuk golongan hitam. Tapi,
karena Elang Laut Utara lebih sering berada di tempat kediamannya di luar
daratan, namanya jarang ter-dengar di kalangan rimba persilatan. Hanya orang-
orang golongan ataslah yang memperhitungkan nama tokoh ge-
muk berkulit hitam itu. Sedangkan bagi tokoh-tokoh biasa, nama Elang Laut Utara
tidak begitu dikenal.
"Siapa kau, Kisanak" Apa maksud ucapanmu
itu...?" Dengan sikap yang tetap tidak meninggalkan ke-
waspadaannya, Surni mencoba menegur lelaki Jang-
kung bermata besar itu. Sedangkan lelaki bertampang kasar itu terlihat
menertawakan sikap Surni. Sebab, dengan memasang kuda-kuda siap tempur seperti
itu, Surni kelihatan bagai orang yang baru mempelajari
beberapa gerak ilmu silat. Hal inilah yang membuat lelaki bermata besar itu
tertawa bergelak-gelak.
Meski tawa yang jelas-jelas mengandung nada eje-
kan itu membuat wajahnya memerah, Surni tetap be-
rusaha untuk menekan rasa marahnya dan terus ber-
sikap tenang, penuh kewaspadaan. Ingatan tentang
nasihat ayahnya, yang seringkali mengatakan perihal kelicikan dan kebusukan hati
manusia, membuatnya
semakin hati-hati menghadapi laki-laki yang tampak seperti seorang perampok
tunggal ini. "Heh heh heh.... Seharusnya akulah yang mengaju-
kan pertanyaan kepadamu, karena daerah ini merupa-
kan daerah kekuasaanku. Tapi, karena kau sangat
menarik hatiku, maka biarlah aku berbaik hati dengan menjawab pertanyaanmu itu.
Aku dikenal sebagai Macan Hutan Jengger. Sedangkan maksudku sudah jelas
hendak berkawan denganmu, Gadis Cantik. Mari sing-
gah di tempat kediamanku. Kau pasti akan merasa senang...," ujar lelaki jangkung
itu dengan nada suara yang terdengar demikian angkuh, seolah-olah kepandaian
dirinya jauh berada di atas.
"Hm..., maaf. Aku tidak mempunyai banyak waktu
untuk singgah di tempatmu, Kisanak. Biarkanlah aku lewat. Lain kali bila ada
kesempatan, mungkin tawa-ranmu bisa kupertimbangkan...."
Setelah berkata demikian, Surni melangkah menyisi
hendak melewati lelaki jangkung yang berjuluk Macan Hutan Jengger itu.
"Haiiittt...! Hendak ke mana kau, Nlsanak" Tidak
semudah itu kau boleh pergi dari sini!"
Macan Hutan Jengger rupanya tidak bersedia mem-
berikan jalan lewat bagi Surni. Lelaki jangkung itu segera melesat menghadang
jalan begitu Surni ber-gerak hendak meninggalkan tempat itu. Sehingga, gadis
manis itu kembali melesat ke belakang dengan sikap seperti semula, siap tempur.
"Hm..., jelas sudah sekarang, apa sebenarnya mak-
sudmu menghadang jalanku! Kalau begitu, terpaksa
aku harus menggunakan kekerasan!"
Usai berkata demikian, Surni yang sudah habis ke-
sabarannya segera bergerak maju dengan langkah-
langkah ringan, tapi jelas menunjukkan kematangan-
nya berlatih. Macan Hutan Jengger pun sempat tertegun dibuatnya.
"Heh heh heh.... Rupanya kau memiliki kepandaian
yang lumayan. Pantas kau berani melawan kepada-
ku...," ujar Macan Hutan Jengger seraya melangkah ke kanan guna mengimbangi
gerak langkah Surni yang
bergerak ke kiri. Sikap yang diambil lelaki jangkung ini jelas menandakan
kesombongan hatinya. Kalau tidak, tentu ia akan bergerak ke kiri dan bukan ke
kanan yang malah menyambut gerak maju lawan.
"Haaaiiittt...!"
Dibarengi teriakan nyaring, Surni yang sudah tidak bisa menahan sabar itu
langsung saja melontarkan
pukulan satu dua yang mendatangkan angin berciu-
tan. Bweeettt! Bweeettt!
Macan Hutan Jengger sempat terkejut merasakan
kuatnya angin pukulan gadis muda itu. Namun, begitu melihat betapa Surni masih
ragu-ragu dalam melancarkan serangan-serangannya, sadarlah lelaki jangkung itu
kalau gadis remaja yang dihadapinya sama
sekali belum berpengalaman menghadapi pertarungan.
Dan, tentu saja hal ini merupakan suatu keuntungan baginya.
Dengan gerak langkah yang cukup gesit, Macan Hu-
tan Jengger menggeser tubuhnya menghindari seran-
gan satu dua yang dilontarkan Surni. Kemudian, dicobanya melontarkan serangan
balasan dengan gerak ti-pu yang tak terduga. Sehingga, untuk beberapa jurus
lamanya, Surni kelihatan sibuk menghindari serangan-serangan yang dilancarkan
Macan Hutan Jengger. Pa-
dahal, serangan-serangan yang dilancarkan lelaki
jangkung itu tidak terlalu berbahaya. Bahkan, terkadang serangan itu hanya
merupakan gertakan kosong.
Tapi, karena memang belum berpengalaman, Surni
sama sekali tidak mengetahuinya.
"Heaaahhh!"
Sambil membentak keras, suatu ketika Surni nekat
bermaksud menyambut sebuah kepalan lawan dengan
dorongan telapak tangan kanannya. Dan belum lagi
dorongan telapak tangan kanannya tiba, ia langsung menyusulinya dengan sambaran
tangan kiri. Tentu sa-ja semua itu dilakukan Surni hanya karena rasa jeng-
kelnya. Macan Hutan Jengger yang belum mengetahui ke-
hebatan gadis remaja itu tentu saja malah mengeluarkan dengusan mengejek. Tanpa
ragu-ragu lagi, ke-
palannya terus saja meluncur ke dada lawan. Jelas
bahwa perampok tunggal ini merasa yakin bahwa gadis itu pasti akan segera dapat
dilumpuhkannya.
Plakkk! "Aaahhh"!"
Bukan main terperanjatnya hati Macan Hutan Jeng-
ger saat pukulannya bertumbukan dengan telapak
tangan kanan gadis cantik itu. Ia semula mengira,
Surni akan terjengkang akibat pertemuan tenaga itu.
Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Pekik tertahan justru keluar dari mulut
Macan Hutan Jengger, seiring terpentalnya tubuh perampok tunggal itu sejauh dua
batang tombak lebih. Tentu saja kenyataan ini hampir tidak dipercayainya
sendiri. Lain halnya dengan Surni. Gadis cantik putri tokoh sesat itu menjadi bertambah
percaya akan kepandaian yang dimilikinya. Dengan pengerahan tenaga dalam
sepenuhnya, tubuh gadis cantik itu pun terbang me-
lanjutkan hantaman telapak tangan kiri sebagai susu-lan dari tangkisannya.
Whuuuttt...! "Aaahhh..."!"
Datangnya sambaran angin berciutan itu tent saja
membuat Macan Hutan Jengger terbelalak pucat Apa-
lagi, saat tangan kiri Surni datang, ia baru saja beru-
saha untuk memperbaiki kedudukannya yang tadi ter-
gempur telapak tangan kanan lawannya. Akibat-nya....
Desss...! "Huggghhh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, hantaman telapak tangan
yang mengandung kekuatan hebat itu pun telak bersarang di tubuh Macan Hutan
Jengger. Darah segar
langsung menyembur seiring tertolaknya tubuh jang-
kung itu ke belakang.
Bruuuggg...! Dengan menimbulkan suara berdebuk keras, tubuh
Macan Hutan Jengger terbanting di atas tanah berum-put kering. Lelaki jangkung
itu menggeliat dengan sekujur tubuh terasa remuk.
"Huaaakhhh...!"
Darah segar kembali termuntah ketika lelaki jang-
kung itu mencoba bergerak bangkit Sesaat setelah tubuhnya menggeliat dengan
rintihan tak jelas, akhirnya Macan Hutan Jengger diam tak bergerak-gerak la-gi.
Perampok tunggal yang selama ini malang melintang menguasai sekitar wilayah
Hutan Jengger harus menerima kematian di tangan seorang gadis remaja
yang belum tahu apa-apa perihal dunia persilatan.
Dengan wajah setengah curiga, takut terpancing ke-
licikan lawan, Surni melangkah hati-hati mendekati tubuh Macan Hutan Jengger.
Gadis remaja yang belum tahu bahwa lawannya telah tewas itu terus memandang
sosok lawannya dengan tatapan tajam. Sepasang tangannya siap melontarkan pukulan
dengan sekuat tenaga. Kening Surni mulai berkerut ketika dalam jarak dua langkah lagi, tubuh lawannya
masih tetap terlihat tidak bergerak. Terdengar tarikan napas penuh ke-
legaan saat gadis itu mengamati napas lawannya yang
sudah tidak ada lagi.
"Matikah dia...?" desah Surni yang belum menge-
tahui kehebatan ilmu warisan ayahnya.
Perlahan gadis remaja itu membungkuk dan meme-
riksa tubuh lawannya secara lebih teliti. Beberapa saat kemudian, barulah Surni
bangkit dengan wajah berse-ri. "Ayah.... Rupanya ilmu yang kau turunkan untukku
memang sangat berguna dan hebat. Hari ini, diriku selamat dari kejahatan
seseorang dengan mengguna-kan ilmu-ilmu yang kau ajarkan. Aaah..., mulai seka-
rang, aku tidak akan pernah takut lagi terhadap apa pun!"
ujar Surni sambil menengadahkan kepalanya menatap
langit yang tampak cerah.
Beberapa saat kemudian, gadis remaja itu kembali melanjutkan perjalanannya. Kali
ini sikapnya lebih tenang dan penuh rasa percaya diri. Semua ini disebabkan oleh
pengalaman yang sangat berharga yang didapatnya hari itu.
*** Siang itu, matahari di atas Pantai Timur Laut Ban-
dan memancar garang. Sinarnya yang kuning keema-
san terasa panas bagaikan hendak membakar permu-
kaan bumi. Ditambah lagi, desiran angin laut ikut
membawa hawa panas. Sehingga, siapa pun yang be-
rada di tempat itu, sama saja seperti memanggang dirinya dengan sengaja.
Tapi, suasana yang demikian panas itu, bagi bebe-
rapa sosok tubuh yang tengah bergerak mendekati
Pantai Timur ternyata sama sekali tidak terasa. Sepuluh sosok tubuh tampak
bergerak menuju ke arah laut
dengan membawa dua buah perahu yang biasa digu-
nakan nelayan untuk mencari ikan.
"Heaaahhh...!"
Begitu air laut mulai terasa menyapu kaki mereka,
kesepuluh orang lelaki gagah itu sama-sama mem-
bentak sambil melemparkan perahu yang dibawanya
ke tengah laut. Bersamaan dengan meluncurnya kedua perahu itu, kembali terdengar
bentakan susul-menyusul yang dibarengi berlompatannya kesepuluh sosok
tubuh itu mengikuti perahu yang baru dilemparkan tadi.
Hebat! Cara unik yang dipergunakan kesepuluh
orang gagah itu untuk menaiki perahu memang benar-
benar mengagumkan. Begitu kedua perahu terjatuh di atas air laut, secara hampir
bersamaan kesepuluh sosok tubuh itu pun sama-sama menjejakkan kakinya di lantai
perahu. Mereka terbagi dalam dua kelompok
dengan masing-masing lima orang dalam tiap perahu.
Sesaat kemudian, perahu-perahu itu terlihat mulai
bergerak mengarungi lautan luas.
"Berapa lama kira-kira kita bisa mencapai Pulau
Elang Hitam, Kakang?" ujar seorang lelaki bertubuh gemuk, yang berambut botak
pada bagian tengah kepalanya. Meskipun demikian, wajahnya tampak gagah
dan memancarkan wibawa yang cukup kuat. Sambil
bertanya demikian, kepalanya menoleh ke arah seo-
rang lelaki tinggi gagah yang tampaknya merupa-kan pemimpinnya.
Lelaki tinggi gagah yang bernama Lunggara itu tidak segera menjawab pertanyaan
rekannya. Sejenak ia melepaskan pandangannya ke tengah laut dengan tarikan napas
panjang. "Hm..., mungkin menjelang sore nanti, kita bisa tiba di Pulau Elang Hitam. Tapi,
kita harus berhati-hati.
Siapa tahu Elang Laut Utara sudah menduga kedatan-
gan kita. Dan, jika benar, manusia sesat itu pasti telah mempersiapkan sebuah
penyambutan untuk kita...."
Ucapan Lunggara terdengar timbul tenggelam ka-
rena terhantam oleh kerasnya tiupan angin laut.
Meskipun demikian, karena menggunakan tenaga da-
lamnya, suara lelaki gagah itu dapat tertangkap jelas oleh rekan-rekannya,
termasuk juga deh kelima orang yang berada dalam perahu di sebelah kiri perahu
yang ditumpangi Lunggara.
"Kalau benar demikian, berarti kita harus mencari
tempat mendarat yang tersembunyi. Dengan cara itu, baru kita bisa menghindari
jebakan-jebakan yang
mungkin saja telah dipersiapkan Elang Laut Utara...!"
usul seorang lelaki bertubuh sedang berusia sekitar empat puluh tahun kepada
Lunggara. "Tidak, Adi Wilang," sahut Lunggara dari perahu sebelah, karena keduanya memang
tidak berada dalam
satu perahu. "Sebab, kalau memang tokoh sesat itu telah mempersiapkan
penyambutan untuk kita, ia pasti telah menjaga tempat-tempat yang menurutnya
cukup tersembunyi untuk dijadikan sebagai tempat pendaratan di atas pulau. Menurutku,
sebaiknya kita datang secara terang-terangan. Kurasa hal itu lebih baik. Sebab,
Elang Laut Utara pasti tidak menduga kalau kita berani datang secara
terbuka...."
"Hm..., rasanya itu pun tidak jelek. Tapi, ada baiknya kita mendarat secara
terpisah. Dengan begitu, mungkin saja Elang Laut Utara dapat kita kecoh.
Bagaimana menurutmu, Kakang...?" usul Wilang, yang
tampaknya masih berkeras mempertahankan penda-
patnya. "Boleh saja. Tapi ingat, jangan bertindak sendiri-
sendiri! Kita harus tetap waspada, meskipun suasana
yang akan kita temui nanti terlihat tenang dan
aman...." Ki Lunggara menyetujui usul Wilang sambil me-
nyampaikan pesan-pesan yang diucapkannya dengan
tegas dan sejelas-jelasnya. Hal itu dilakukannya agar apa yang disampaikan dapat
diingat oleh Wilang dan keempat kawannya yang berada di atas perahu terpisah.
Sesaat kemudian, suasana kembali hening. Masing-
masing dari mereka tidak lagi berkata-kata. Pandangan mata kesepuluh orang itu
kini tertuju lurus ke sebuah gundukan daratan berwarna kehitaman, yang berbentuk
seperti seekor elang raksasa tengah mengembangkan sayapnya. Itulah Pulau Elang


Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hitam. *** 4 "Hm..., bersiap-siaplah...."
Ki Lunggara mengeluarkan kata-kata peringatan
saat melihat Pulau Elang Hitam sudah terpampang beberapa belas tombak di
depannya. Wilang, yang men-
dengar peringatan pemimpinnya, segera berpencar
bersalto diikuti kawan seperahunya. Mereka memisahkan diri dari kelompok Ki
Lunggara. "Kita berpisah, Kakang...," ujar Wilang sebelum
memisahkan diri dan bergerak ke kanan. Rupanya le-
laki bertubuh sedang yang gerak-geriknya gesit itu tetap hendak melaksanakan
niatnya untuk mendatangi
pulau secara sembunyi-sembunyi.
Ki Lunggara hanya menganggukkan kepalanya me-
nyahuti ucapan Wilang. Kemudian ia terus bergerak
maju mempercepat laju perahunya. Jelas maksudnya
hendak mengalihkan perhatian penghuni pulau jika
memang telah menanti kedatangannya.
Tidak lama kemudian, kelompok Ki Lunggara pun
telah mencapai daratan Pulau Elang Hitam. Ketega-
ngan kelima orang lelaki gagah itu berubah menjadi rasa keheranan yang besar.
Karena, apa yang mereka duga ternyata meleset.
"Aneh..., mengapa sunyi sekali keadaan pulau ini"
Apakah Elang Laut Utara tidak mempunyai pengikut"
Atau jangan-jangan semua ini merupakan jebakan un-
tuk kita...?" desah seorang lelaki jangkung berjenggot dengan sepasang mata yang
berputar liar meng-awasi sekitar tempat pendaratannya.
"Hm..., yang penting tetap siaga. Sebab, mungkin
ini merupakan jebakan agar kita lengah...," gumam Ki Lunggara lirih, menyahuti
ucapan salah seorang rekannya.
Lelaki gagah itu sendiri sudah melangkah dengan
diapit dua orang rekannya. Sedangkan dua rekannya
yang lain menyeret perahu dan menyembunyikannya
di tempat yang aman. Sebab, jika perahu itu sampai lenyap, ada kemungkinan
mereka akan tinggal terus di atas pulau itu.
"Jangan berkelompok. Usahakan di antara kita sal-
ing mengatur jarak...."
Ki Lunggara kembali mengingatkan rekan-rekannya
ketika mereka mulai menyusuri pulau. Ucapan itu
membuat yang lain segera sadar akan kedudukan me-
reka. Sebab, dalam keadaan berkelompok, mereka
akan lebih mudah diserang secara gelap. Tanpa di-
peringatkan dua kali, keempat orang tokoh persilatan itu segera mengatur jarak
masing-masing. Ki Lunggara, yang berjalan di tengah, kian berkerut
keningnya. Sebab, meski sudah jauh ke dalam pulau, mereka belum juga menemukan
tanda-tanda yang
mencurigakan. Bahkan, sampai kelompok Ki Lunggara
bertemu dengan kelompok Wilang, tetap saja tidak ada tanda-tanda bahaya yang
menyambut kehadiran mereka.
"Hm..., mungkinkah Elang Laut Utara tidak menge-
tahui kedatangan kita..." Atau ia memang sengaja menunggu di tempat
kediamannya...?" Wilang yang mera-sa penasaran bergumam lirih sambil melepaskan
pan- dangannya ke sebuah bangunan yang berada bebe-
rapa belas tombak di depan mereka.
"Rasanya tidak mungkin, Adi. Tapi, ada baiknya ka-
lau kita periksa bangunan itu...," ujar Ki Lunggara, yang segera melangkah
mendekati bangunan tempat
tinggal Elang Laut Utara. Dan, serentak rekan-rekannya bergerak menyebar tanpa
diperintah. Wilang dan empat orang rekannya bergerak dari
gerbang depan. Suasana bangunan itu terlihat sunyi.
Sehingga, lelaki bertubuh sedang ini mengira bahwa bangunan itu memang telah
ditinggalkan penghuninya. Tapi, baru saja kelimanya bergerak mendekati
pintu utama, tiba-tiba dari sebelah dalam melangkah keluar dua orang berpakaian
serba hitam. Tanpa dapat dicegah lagi, kedua belah pihak pun berpapasan satu
sama lain. "Hei, siapa kalian...!"
Salah seorang dari lelaki berseragam hitam itu
membentak sambil mencabut senjata dari pinggang-
nya. Tentu saja tidak ada jalan lain bagi Wilang dan kawan-kawannya kecuali
menghadapi kedua orang lelaki itu.
"Hm..., kami ingin berjumpa dengan majikanmu
yang berjuluk Elang Laut Utara. Cepat kau beri-
tahukan majikanmu kedatangan kami...!"
Dengan nada suara tegas, Wilang langsung me-
nyampaikan maksud kedatangannya. Sebab, memang
tidak ada jalan lain baginya kecuali menjawab pertanyaan penghuni Pulau Elang
Hitam itu. "Keparat! Manusia-manusia lancang dari mana ka-
lian" Berani benar kalian berkata seenaknya di pulau ini! Untuk kesalahan-
kesalahan itu, kalian harus menerima hukuman yang setimpal!"
Setelah berkata demikian, kedua orang lelaki ber-
seragam hitam itu melompat dengan senjata terhunus.
"Tunggu...!"
Meskipun hatinya merasa terbakar, Wilang masih
mencoba untuk menghindari pertarungan. Semua itu
bukan dikarenakan ia masih bersabar. Tapi, justru Wilang ingin mengetahui
kesalahan apa yang dituduh-
kan kepadanya dan rekan-rekannya.
"Hm..., apa lagi yang kalian inginkan...?"
Salah seorang yang bertubuh tinggi besar dengan
wajah terhias brewok bertanya kasar. Jelas sekali, lelaki itu sengaja
mengandalkan keseraman wajahnya
untuk membuat ciut nyali lawan. Sayang, hal itu tidak berlaku bagi Wilang dan
kawan-kawannya. Terbukti
mereka tetap tenang menghadapi pertanyaan bernada
kasar itu. "Hm..., tidak banyak yang ingin kuketahui. Per-
tama, kesalahan apa yang telah kami perbuat, sehing-ga harus dihukum" Kedua,
kalian harus mengatakan,
apakah majikan kalian ada di pulau ini" Atau telah lari terbirit-birit karena
kedatangan kami" Nah, kurasa pertanyaanku cukup dan pantas, bukan?" ujar Wilang
dengan nada seenaknya. Sepertinya ia sama sekali tidak terpengaruh oleh lawan
yang sengaja memancing
emosinya. "Bangsat! Sudah memasuki pulau tanpa izin dan
berani minta menghadap majikan pulau dengan uca-
pan seenaknya, ternyata kalian juga berani menghina majikan kami! Rasanya hanya
kematian yang pantas
untuk orang-orang seperti kalian! Nah, terimalah...!"
Usai berkata demikian, lelaki tinggi besar itu langsung melompat dan menerjang
dengan ayunan golok
besarnya ke arah Wilang yang memang berada paling
depan. Whyuukkk...! "Aiiih, luput..."
Dengan gerak sembarangan, Wilang menggeser tu-
buhnya. Dihindarinya serangan golok besar lawan.
Bahkan, mulutnya masih sempat melontarkan ucapan
mengejek. Tentu saja hati lawan semakin bertambah
panas. "Mampus kau...!"
Dengan kemarahan yang meluap-luap, lelaki tinggi
besar berwajah brewok itu kembali melontarkan serangannya dengan tidak kepalang
tanggung. Sekali lompat saja, lelaki itu langsung melancarkan serangkaian ba-
cokan dan tusukan yang mematikan. Dari suara de-
singan senjata itu, dapat ditebak kalau tenaga yang di-pergunakannya sangat
berbahaya bagi keselamatan
nyawa lawan. Tapi, Wilang sama sekali tidak menjadi gugup. Den-
gan sikap yang tetap sengaja mempermainkan lawan-
nya, lelaki bertubuh sedang itu bergerak kian kemari dengan mempergunakan
kegesitannya untuk menge-coh lawan. Sehingga, lelaki brewok itu semakin bernaf-
su untuk segera mencincang tubuh lawannya yang
ternyata sangat gesit itu.
Sementara itu lelaki berseragam hitam yang seorang lagi tiba-tiba mengeluarkan
suitan panjang yang me-
lengking tinggi. Jelas bahwa suitan itu merupakan
isyarat bagi kawan-kawannya yang masih berada di
dalam bangunan. Sedangkan lelaki itu sendiri lang-
sung melompat. Diterjangnya tokoh persilatan yang terdekat dengannya.
"Heeeaaattt...!"
Bwettt..! Golok besar lelaki tinggi kurus itu langsung ber-
desing mengancam batang leher seorang tokoh ber-
tubuh gemuk, yang bagian tengah kepalanya botak.
"Hm...."
Sambil bergumam pelan, lelaki gemuk itu langsung
merendahkan tubuhnya. Dan, dilontarkannya sera-
ngan balasan berupa tendangan kilat yang lurus mengancam perut lawannya.
Zzzebbb! "Aiiihhh..."!"
Lelaki berseragam hitam, yang sama sekali tidak
menyangka kalau lawan dapat melakukan serangan
balasan secepat itu, tentu saja terperanjat. Untunglah ia sempat menyadarinya.
Tubuhnya langsung ditarik
ke belakang. Sehingga, tendangan kaki kanan lawan
tidak sampai mencapai tubuhnya. Kemudian, dengan
merendahkan badannya lelaki berseragam hitam itu
langsung menyabetkan senjatanya secara mendatar.
Sasarannya adalah kaki kiri lawan.
"Hm...."
Untuk kedua kalinya, lelaki gagah berkepala sepa-
ruh botak itu bergumam perlahan. Tubuhnya melesat ke udara dengan sebuah
lompatan panjang. Berbarengan dengan gerakan itu, sepasang tangannya melaku-
kan tamparan susul-menyusul.
Plakkk! Plakkk!
"Auuughhh...!"
Tamparan yang demikian cepat dan mengejutkan
itu tak sempat lagi dihindari lawannya. Langsung saja tubuh lelaki berpakaian
serba hitam itu terguling terkena tamparan keras yang telak menghantam kepala-
nya. "Heattt..!"
Lelaki gagah bertubuh gemuk itu kembali berseru
nyaring sebelum lawannya dapat berdiri tegak. Sebuah tendangan kilat kembali
dilontarkan ke dada lawannya. Dan...
Buggg! "Huaaakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki berseragam hitam
itu langsung terjungkal disertai semburan darah segar dari mulutnya. Dengan
suara keras, tubuh lelaki berseragam hitam itu ambruk ke tanah. Setelah meregang
sesaat dengan rintihan parau, sosok itu pun diam untuk selamanya, mati.
"Hiaaattt...!"
Lelaki gemuk berkepala separuh botak itu menoleh-
kan kepalanya saat mendengar teriakan nyaring yang panjang dan memekakkan
telinga. Namun, gerakan sosok tubuh yang berteriak nyar-
ing tadi ternyata datang lebih cepat ketimbang gerakan kepala lelaki gemuk itu.
Sehingga, tanpa sempat di-hindarkan lagi, sebuah tendangan telak membuat lela-ki
gemuk itu terpelanting sejauh satu setengah batang tombak.
"Gila...!?"
Sambil memaki kalang kabut, lelaki gemuk itu sege-
ra melompat bangkit dengan sigapnya. Sepasang ma-
tanya hampir tidak percaya ketika melihat sesosok tubuh ramping berparas cantik
menatap tajam kepa-
danya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya ia
hanya bisa berdiri bengong dengan bibir komat-kamit tanpa sepatah pun ucapan
keluar dari mulurnya.
"Hm..., kau harus menerima hukuman yang be-
rat...!" Terdengar desis bernada dingin yang keluar dari se-la-sela bibir tipis berbentuk
indah itu. Dan, begitu ucapannya selesai, tiba-tiba sebilah pedang berkilat
telah tergenggam di tangannya.
"Hiaaahhh...!"
Dengan dibarengi bentakan nyaring, sosok ramping
berparas cantik itu langsung melesat disertai kibasan pedangnya.
Bweeettt! "Aaahhh...!"
Lelaki gemuk itu baru tersadar saat ia merasakan
adanya sambaran hawa maut yang mengancam leher-
nya. Cepat-cepat ia melempar tubuhnya berguli-ngan untuk menghindari sambaran
pedang yang cepat bagai kilat itu.
Namun, sosok ramping berparas cantik itu tidak
menghentikan serangannya sampai di situ saja. Den-
gan gerakan yang lincah dan mengagumkan, ia kemba-
li mengibaskan senjatanya dengan serangkaian serangan maut. Hingga....
Breeet! Breeettt!
"Arkkkhhh...!"
Karena serangan gadis remaja berparas cantik itu
demikian gencar dan sangat cepat, akhirnya lelaki gemuk itu harus merelakan
tubuhnya dijadikan sasaran sambaran senjata tajam gadis itu.
"Hm.... Hanya dengan kepandaian secetek itu kau
hendak jual lagak di depanku...."
Terdengar suara dingin yang mendirikan bulu roma.
Benar-benar menyeramkan suara yang dikeluarkan bi-
bir mungil dan indah itu. Senyum dinginnya tersirat saat menyaksikan tubuh
korbannya menggelepar ber-gelimang darah segar.
*** "Haaattt...!"
Dua belas orang berseragam hitam, yang datang
beberapa saat setelah kemunculan gadis cantik itu, segera menghambur ke arah
delapan orang tokoh per-
silatan. Sehingga, mereka yang semenjak tadi tertegun melihat kekejaman dara
cantik itu segera mencabut
senjata dan melakukan perlawanan. Sebentar saja,
pertempuran kacau pun berlangsung seru.
Sementara itu, Wilang yang meladeni lelaki tinggi
besar berbrewok ternyata mendapat kenyataan yang
hampir tidak dipercayainya. Ia, yang semula menganggap rendah lelaki brewok itu,
kini harus bekerja keras untuk menundukkan lawannya. Sebab, kepandaian
lawannya itu ternyata cukup tangguh.
"Heaaattt...!"
Untuk kesekian kalinya, lelaki brewok itu kembali
melontarkan serangan dengan gerakan-gerakan yang
aneh dan mengejutkan. Gerakannya yang terkadang
membuka dan menutup itu sempat membuat Wilang


Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sibuk. Padahal, lelaki bertubuh sedang itu bukan
orang sembarangan dalam kalangan persilatan. Bah-
kan, di wilayah Timur, Wilang merupakan seorang tokoh yang pantas untuk
diperhitungkan. Sebagai tokoh keempat di wilayahnya, tentu saja kepandaian yang
dimilikinya pun tidak bisa dianggap remeh. Jadi, wajar saja kalau Wilang merasa
penasaran bukan main ketika dalam tiga puluh jurus ia belum juga dapat menun-
dukkan lawannya. Padahal, menurut dugaannya, lelaki tinggi besar itu paling-
paling hanya merupakan penja-ga atau pembantu rendahan yang melayani segala ke-
perluan Dang Laut Utara.
Sayang, Wilang terlalu menganggap remeh lawan-
nya. Sehingga, ia tidak tampak mengeluarkan ilmu-
ilmu andalannya dalam pertarungan itu. Kesadaran-
nya baru bangkit setelah lebih dari tiga puluh jurus, lawan masih tidak dapat
ditundukkannya. Ketika menyadari kenyataan itu, barulah Wilang mengeluarkan
ilmu-ilmu simpanannya untuk menggempur lawan.
"Haaattt...!"
Diiringi pekikan nyaring, Wilang merangsek maju
dengan pukulan yang berubah-ubah bentuk. Sehingga, dalam lima jurus saja, lelaki
tinggi besar berpakaian serba hitam itu terdesak dan hanya bisa bergerak
mundur. Jangankan untuk melontarkan serangan ba-
lasan. Untuk menghindari serangan lawan saja, ia benar-benar hampir tidak
sanggup. Whuuukkk...! Tiba-tiba datang hantaman telapak tangan Wilang
yang mengincar lambung lawannya. Tentu saja lawan
yang kedudukannya memang sudah tidak tetap itu
terhuyung limbung beberapa langkah ke belakang. Kesempatan itu tidak disia-
siakan Wilang untuk melontarkan pukulan mautnya.
"Jeaaahhh...!"
Berbarengan dengan bentakan keras, Wilang melon-
tarkan sebuah pukulan lurus ke pelipis lawan.
Whuuuttt..! Plaaaggg...! "Aaahhh...!?"
Wilang, yang merasa yakin akan dapat mem-
bereskan lawannya, merasa kaget bukan kepalang. Se-
bab, pada saat pukulannya hampir menewaskan la-
wan, tahu-tahu berkelebat sesosok bayangan ram-ping yang langsung menyambut
pukulannya. Akibat-nya,
Wilanglah yang terpekik kesakitan dan terdorong
mundur hingga sejarak satu setengah tombak. Tentu
saja kenyataan itu membuat Wilang terbelalak
"Gila...!?" maki Wilang sambil mencoba mengetahui, siapa gerangan sosok yang
telah membuatnya sangat
terkejut tadi. Selintas bayangan Elang Laut Utara terbayang di benaknya. Karena,
hanya tokoh sesat itulah menurutnya yang dapat membuatnya gagal melanjutkan
serangan. Tapi, apa yang disaksikan Wilang benar-benar
membuatnya hampir tidak percaya. Sesosok tubuh
ramping berparas cantik yang pantas menjadi anaknya tampak berdiri angkuh dengan
seulas senyum dingin
menghias wajahnya. Kening Wilang semakin berkerut
ketika melihat si lelaki tinggi besar brewok mengangguk hormat kepada gadis
remaja itu. "Terima kasih, Nona Muda...," ucap lelaki brewok
itu. Dan, ketika gadis remaja itu memberikan isyarat dengan kepalanya, cepat-
cepat lelaki tinggi besar itu membaurkan dirinya ke dalam pertempuran yang
tengah berlangsung di dekatnya.
"Kau..., siapakah Nisanak..." Mengapa kau mem-
bela orang-orang sesat itu...?" tegur Wilang sambil melangkah maju untuk
meneliti lebih dekat sosok ramping berwajah cantik itu.
"Hm..., seharusnya akulah yang bertanya kepada-
mu, Kisanak. Ada keperluan apa kau mendatangi tem-
pat ini" Akulah yang kini menjadi pemilik Pulau Elang Hitam. Wajar kalau kau
tidak mengetahuinya. Karena, aku pun baru kemarin tiba di pulau ini. Ayahku yang
menjadi pemilik pulau ini belum kembali, maka aku
mewakilinya menjaga tempat ini dari tangan-tangan
jahil seperti kau dan kawan-kawanmu," ujar gadis remaja berwajah cantik yang
tidak lain dari Surni itu.
Rupanya gadis itu telah lebih dahulu tiba di Pulau Elang Hitam, yang menjadi
tempat kediaman ayahnya.
Kedatangan Surni ke pulau itu pun sesungguhnya
tidak diterima dengan mudah oleh para penghuninya.
Tapi, berkat kepandaian yang dimilikinya, akhirnya para penghuni pulau itu
percaya bahwa Surni adalah putri majikan mereka. Sebab, gadis remaja itu memang
menguasai semua ilmu tinggi yang juga dimiliki Elang Laut Utara. Bahkan, ilmu-
ilmu rahasia Elang Laut
Utara pun dapat dimainkan gadis remaja berwajah
cantik itu. Semua itulah yang membuat seluruh penghuni Pulau Elang Hitam percaya
akan keterangan
Han Bu Kong 8 Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Penakluk Iblis 1
^