Setan Pantai Timur 3
Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur Bagian 3
diterimanya. Kendati belum tahu apa jenis bantuan yang diminta Setan Pantai
Timur kepadanya.
"Kau tidak usah khawatir, Ki Tambak Rejo," lanjut Sagotra sewaktu melihat Ki
Tambak Rejo tersenyum-senyum, "Sebagian harta yang kukumpulkan selama ini, akan
kuberikan kepadamu. Tapi dengan syarat, kau harus melaksanakan semua apa yang
ku-perintahkan! Dan tidak perlu bertanya apa-apa! Kau paham...?"
Ki Tambak Rejo mengangguk senang. Karena biar bagaimanapun orang seperti dirinya
tak lepas dari keinginan untuk mendapatkan imbalan. Sekalipun yang meminta
bantuan rekan segolongan, dan mempunyai nama besar seperti Setan Pantai Timur.
Perlahan-lahan, Sagotra mengutarakan rencana yang sudah diatur dalam otaknya.
Sedang Ki Tambak Rejo cuma mengangguk dan mengiyakan saja.
"Aku ingin kau lakukan pada hari ini juga...!" tegas Sagotra setelah membeberkan
rencananya. "Baik!" tukas Ki Tambak Rejo, kemudian bangkit dan mengumpulkan orang-orangnya,
yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang. Setelah menjelaskan tentang
apa yang disebutnya sebagai 'pekerjaan besar' dan 'terhormat' itu, Ki Tambak
Rejo pun berangkat bersama anak buahnya, menuju Gunung Dampit, yang letaknya
kira-kira setengah hari perjalanan dari Hutan Pagar Jurang.
Lewat tengah hari, Ki Tambak Rejo dan rombongannya sudah mulai menginjak daerah
kaki Gunung Dampit. Setelah berhenti sebentar, meneliti sekitar, ia kembali
membawa rombongannya
menuruni sebuah lembah, yang terletak di sebelah timur kaki gunung itu.
"Ki Tambak Rejo...!"
Suara panggilan itu membuat Ki Tambak Rejo menarik tali kekang kudanya, menoleh
ke arah asal suara. Wajahnya yang semula agak berkerut, tampak bersinar cerah
sewaktu ia mengenali siapa orang yang memanggilnya itu.
"Harimau Gila, kaukah itu, Sahabatku..."!" Tanyanya memastikan sosok pendek
gemuk, yang melangkah menghampirinya. Dan tawanya terdengar berkepanjangan
sewaktu lelaki pendek gemuk itu semakin dekat dan jelas.
Lelaki pendek gemuk, yang berjuluk Harimau Gila ini, juga tertawa gembira.
Kendati demikian, ia tidak bisa menyembunyikan keheranannya melihat Ki Tambak
Rejo diiringi para pengikutnya dalam jumlah yang cukup besar. Rasa heran itu
langsung diungkapkannya melalui pertanyaan.
"Sebaiknya kau jelaskan dulu tentang keberadaan-mu di daerah ini, Harimau Gila.
Kelibatannya keadaanmu tidak begitu menyenangkan" Mana pengikut-pengikutmu,
apakah mereka tidak menyer-taimu...?" tanya Ki Tambak Rejo, sebelum memberikan
jawaban atas pertanyaan Harimau Gila.
Karena keadaan Harimau Gila yang kusut dan terdapat noda darah pada pakaiannya
yang koyak di beberapa tempat, membuat hati Ki Tambak Rejo menjadi ingin tahu.
"Beginilah keadaanku sekarang...," ujar Harimau Gila, yang kemudian menceritakan
tentang penyerbuan tentara kerajaan, hingga markasnya hancur berantakan. Harimau
Gila juga menjelaskan bahwa selain dirinya, tak ada lagi yang selamat. Dan ia
sendiri saat itu sedang dalam pelarian.
"Wah, nasibmu benar-benar sedang sial, Sobat..."
Ki Tambak Rejo menghela napas panjang, seperti ikut merasa berduka atas apa yang
telah menimpa gerombolan sahabatnya itu, "Sebaliknya denganku.
Aku kini sedang dalam tugas untuk menyelesaikan suatu pekerjaan besar! Sebab
imbalannya tidak akan habis meski dimakan sampai ke anak cucuku dan seluruh
pengikutku! Nah, karena kulihat kau sedang susah, maka aku menawarkanmu untuk
bekerja sama," lanjut Ki Tambak Rejo, yang kemudian menjelaskan tentang
pekerjaan besar yang dikatakannya itu.
Kening Harimau Gila tampak berkerut. Wajahnya jelas menggambarkan keheranan
besar sewaktu mendengar penjelasan Ki Tambak Rejo. Karena ia tentu saja kenal
baik dengan Setan Pantai Timur, dan tahu kalau tokoh sesat yang juga merupakan
kawan dekatnya itu, paling tidak suka membagi-bagikan hartanya kepada orang
lain. Namun semua itu tidak diceritakannya kepada Ki Tambak Rejo. Harimau Gila
cuma mengangguk-angguk, meski pikirannya berputar dan ingin tahu apa tujuan
Setan Pantai Timur sampai menyewa Ki Tambak Rejo untuk melakukan tugas itu.
"Sebenarnya aku ingin sekali dapat ikut denganmu, Ki Tambak Rejo. Tapi, karena
aku sedang dalam kejaran musuh-musuhku, terpaksa menolak ke-baikanmu. Aku tidak
ingin kau ikut susah nantinya.
Nah, lanjutkanlah perjalananmu, Sobat...! Semoga pekerjaan besar ini dapat kau
selesaikan dengan baik!" tolak Harimau Gila, yang kemudian bergerak mundur
memberikan jalan kepada Ki Tambak Rejo dan rombongan.
Ki Tambak Rejo mengerti akan keadaan sahabatnya itu. Maka ia tidak berusaha
memaksa. Sambil menggelengkan kepala mengingat nasib sial yang menimpa
sahabatnya, ia membawa rombongan melanjutkan perjalanan. Kepala rampok dan para
pengikutnya ini sama sekali tidak menduga kalau Harimau Gila mengikuti
perjalanan mereka dengan menjaga jarak, agar perbuatannya tidak sampai
diketahui. *** 7 "Kakang..."
Panggilan lembut yang menelusup masuk ke dalam telinganya, membuat lelaki gagah
ini terbangkit kesadarannya. Perlahan ia menolehkan kepala, setelah terlebih
dulu menarik napas panjang-panjang.
"Beberapa hari belakangan ini aku sering men-jumpai Kakang sedang termenung.
Adakah sesuatu yang mengganggu pikiran Kakang" Tidakkah sebaiknya Kakang berbagi
beban itu denganku" Siapa tahu dengan menceritakannya kepadaku, beban itu akan
terasa lebih ringan...," lanjut sosok perempuan cantik ini, yang kemudian ikut
duduk di samping lelaki gagah itu.
"Ke mana Andari...?" tanya lelaki ini mengalihkan pembicaraan itu.
"Dia baru saja tidur, Kakang...," sahut perempuan cantik ini seraya memandang
bola mata suaminya, seakan menunggu jawaban permintaannya tadi.
"Ceritamu tentang laki-laki yang menolong putri kita itulah, yang membuat
ketenanganku agak terganggu." Lelaki gagah ini mulai mengungkapkan apa yang
menjadi beban pikirannya. "Dari ciri-ciri yang kau gambarkan, rasanya aku dapat
menduga siapa adanya lelaki itu...," mendadak ucapannya terhenti.
Kemudian tubuhnya bergerak bangkit, membuat istrinya tersentak kaget.
"Ada apa, Kakang.."!"
"Aku mendengar suara derap kaki kuda dalam jumlah yang cukup banyak...," jawab
lelaki gagah yang
dalam dunia persilatan dujuluki sebagai Garuda Kuku Baja ini, dengan kening
berkerut. Karena sebagai seorang tokoh silat berpengalaman luas, nalurinya
mengisyaratkan ada ancaman bahaya bagi keluarganya. Perasaan seperti ini memang
sulit dijabarkan.
Namun, hampir setiap tokoh silat berpengalaman memilikinya. Dan, baru saja ia
selesai bicara, tiba-tiba terdengar sebuah seruan keras yang mengandung tenaga
dalam kuat. "Garuda Kuku Baja, keluar kau! Aku Ki Tambak Rejo datang untuk mengirimmu ke
akherat...!"
"Kurang ajar...! Mengapa tiba-tiba perampok busuk itu mendatangi tempat
ini..."!" desis Garuda Kuku Baja, yang menjadi geram bukan main. Lalu menoleh ke
arah istrinya. "Kau masuklah ke kamar, dan jaga anak kita...!" Sebelum istrinya
menjawab, tubuh Garuda Kuku Baja sudah melesat ke luar dengan gejakan yang
mengagumkan. Whuukkk, whuuukkk!
Baru saja tubuhnya melewati pintu, empat benda runcing, yang merupakan mata
tombak, langsung menyambut kemunculannya. Namun Garuda Kuku Baja tidak menjadi
gugup. Dengan ketenangan luar bisa, sepasang tangannya mengibas dengan jurus
'Garuda Sakti Membuka Sayap'. Karuan saja empat penyerang itu terlempar ke kiri-
kanan. Sedang senjata mereka telah patah menjadi tiga bagian!
"Sebagian kepung rumah ini, yang lainnya habisi pendekar sombong itu...!"
Tanpa banyak basa-basi lagi, Ki Tambak Rejo segera memberi perintah. Ia sendiri
sudah melayang turun dari atas kudanya. Dengan senjata berupa sepasang trisula
perak, kepala rampok itu menerjang Garuda Kuku Baja.
"Keparat kau, Ki Tambak Rejo...! Akan kuhabisi kalian semua...! Heaaattt...!"
Dengan kemarahan yang meledak-ledak, Garuda Kuku Baja melesat ke depan menyambut
serangan Ki Tambak Rejo dan para pengikutnya. Kedua tangannya yang membentuk
cakar garuda, menyambar-nyambar disertai suara angin berkesiutan. Sekali dua
lengannya bergerak, terdengar suara jerit kesakitan, yang disusul dengan
robohnya dua orang pengeroyoknya.
Mereka tewas seketika dengan tenggorokan terkoyak jari-jari sekeras baja itu.
Siuuttt! Cwittt...!
Sepasang trisula perak Ki Tambak Rejo menyambar dengan kecepatan tinggi. Namun
dua serangan itu tidak mengenai sasaran. Karena Garuda Kuku Baja telah menggeser
langkahnya ke kanan. Sembari menghindar, cakar garudanya kembali beraksi
merobohkan seorang pengeroyok, hingga terbanting tewas dengan luka menganga pada
bagian Iambung-nya. Kemudian disusul dengan beberapa orang lawan lagi, yang tak
sempat menghindari sambaran kuku sekeras baja lelaki gagah ini. Sehingga
amukannya sempat membuat kepungan merenggang.
"Pengecut, ayo maju...!" Ki Tambak Rejo kembali berteriak-teriak memberi
perintah kepada para pengikutnya. Kemudian mengayunkan sepasang trisulanya ke
tubuh Garuda Kuku Baja.
"Hmmhh...!"
Garuda Kuku Baja benar-benar marah sekali kepada Ki Tambak Rejo. Namun ia tidak
sempat untuk mencecar kepala rampok itu dengan serangannya. Karena para pengikut
Ki Tambak Rejo menghambur maju dengan sambaran senjatanya masing-masing. Hal itu
membuat Garuda Kuku Baja harus
membagi perhatiannya, tak bisa cuma mengurusi seorang saja.
Selagi mengamuk dengan keampuhan cakarnya, tiba-tiba saja wajah Garuda Kuku Baja
berubah pucat! Bayangan para pengikut Ki Tambak Rejo yang tengah berusaha untuk memasuki
rumahnya, membuat Garuda Kuku Baja melenting ke udara, meninggalkan lawan-
lawannya. Sambil membagi-bagi sambaran jari-jari bajanya, lelaki gagah itu
menerobos masuk ke rumah. Karena ia merasa khawatir akan keselamatan anak dan
istrinya. Cappp! Crabbb! Garuda Kuku Baja terpekik ketika dua ujung tombak menancap di tubuh bagian
belakangnya, ketika dia berusaha masuk ke rumah. Secepat kilat tubuhnya berputar
disertai suara menggereng yang menggetarkan jantung. Sepasang cakarnya meluncur
deras, dan mencekal tenggorokan dua orang penyerangnya. Kedua orang itu
mendelik, karena jalan napasnya tercekik!
"Jiaaahhh...!"
Sembari membentak, Garuda Kuku Baja membetot jari-jarinya yang terbenam di
tenggorokan lawan.
Hingga, kedua lengannya berlumuran darah. Dan pa-da tiga buah jari kedua
tangannya, yang membentuk cakar garuda, terdapat serpihan kulit dan daging kedua
orang lawannya, yang telah tersungkur dengan napas putus!
Ki Tambak Rejo tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi tubuh Garuda Kuku Baja
menegang, sehabis mencabut nyawa kedua orang pengikutnya. Sepasang trisulanya
bekerja cepat menusuk kedua lambung yang terbuka itu. Karena saat itu Garuda
Kuku Baja tengah berdiri dengan kedua tangan dikembangkan.
Tanpa ampun lagi, senjata bermata tiga itu langsung menembus sasarannya.
Seketika Garuda Kuku Baja menjerit setinggi langit Tubuhnya limbung disertai
semburan darah ketika Ki Tambak Rejo mencabut senjatanya yang menancap cukup
dalam. "Kakang..."!"
Istri Garuda Kuku Baja, yang berdiri di depan pintu kamarnya, menjerit,
menyaksikan tubuh suaminya terhuyung dengan percikan darah yang membasahi
lantai. Perempuan cantik ini sudah mengikat tubuh putrinya di punggung dengan
sehelai kain. Dia bergegas menyambut tubuh suaminya, dan melepaskan pedang yang
dipegangnya. Namun, ia tak sempat lagi untuk mengurusi sang Suami, karena tiga
orang perampok menerobos masuk dengan senjata di tangan. Cepat wanita cantik ini
menyambar pedangnya yang tergeletak di lantai.
"Pergilah kalian ke neraka, manusia-manusia busuk...!" pekik istri Garuda Kuku
Baja sambil menyabetkan pedangnya mengarah perut ketiga perampok itu.
Terdengar jeritan kematian susul menyusul ketika pedang itu merobek sasarannya.
Darah pun seketika muncrat membanjiri lantai rumahnya.
Namun robohnya ketiga perampok itu bukan berarti istri Garuda Kuku Baja sudah
bisa bernapas lega, karena enam perampok menyusul masuk ke dalam rumah.
Sehingga, wanita cantik yang menggendong putrinya di punggung ini, harus
berjuang keras menghadapi enam orang perampok yang menyerangnya. Sebagai istri
seorang tokoh kenama-an, tentu saja dirinya bukanlah perempuan lemah.
Kendati ilmunya berada jauh di bawah Garuda Kuku Baja, namun serangan enam orang
perampok itu masih dapat ditanggulanginya. Sayangnya lawan yang harus dihadapi bukan cuma
enam orang itu.
Beberapa orang perampok yang telah menerobos masuk, ikut bergabung mengeroyok.
Sehingga wanita ini mulai kewalahan dan terdesak ke sudut ruangan.
"Manusia-manusia keji, tak tahu malu melakukan pengeroyokan terhadap seorang
wanita...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan marah, yang disusul dengan melayangnya sesosok
tubuh, menerobos atap rumah. Belum lagi kakinya menginjak tanah, sebatang pedang
yang tergenggam di tangannya, telah datang menyambar para pengeroyok istri
Garuda Kuku Baja. Seketika itu pula empat orang perampok terlempar mandi darah!
"Pergilah, selamatkan dirimu dan anakmu! Biar aku yang akan menghadapi perampok-
perampok busuk itu...!" ujar sosok tubuh berpakaian serba hitam yang sebagian
wajahnya juga tertutup selembar kain hitam.
"Tapi..., suamiku...," wanita cantik itu masih juga belum bergerak dari
tempatnya. Sepasang matanya yang basah menatap sayu tubuh sang Suami yang tampak
sudah tidak bergerak.
"Percuma, Nyi, suamimu sudah tewas...," tukas sosok berpakaian serba hitam
seraya menghela napas penuh sesal melihat sosok Garuda Kuku Baja, yang sudah
tidak bernapas lagi.
Wanita cantik ini mengeluh dengan air mata yang kembali meluncur membasahi
wajahnya. Kepalanya menggeleng perlahan, seolah tak dapat menerima kematian
suaminya. Jiwanya mengalami guncangan hebat, membuat tubuhnya terhuyung mundur.
Seolah bumi yang dipijaknya ikut berguncang. Untung lelaki berpakaian serba
hitam yang barusan menyelamat-
kan dirinya sempat melihat dan langsung
menyambar. Sehingga tubuh wanita itu tidak sampai terbanting roboh.
"Nyi, jumlah mereka terlampau banyak. Kurasa aku pun tidak akan sanggup
menghadapinya. Kita harus cepat tinggalkan tempat ini...!" bisik sosok
berpakaian serba hitam sambil menahan tubuh wanita malang itu agar tidak jatuh.
Namun lagi-lagi istri Garuda Kuku Baja menggelengkan kepala disertai isak tangis
yang me-milukan. Hatinya masih berat meninggalkan tubuh sang suami meski sudah
tidak bernyawa lagi itu.
"Pikirkanlah keselamatan putrimu, Nyi...! Apakah kau menghendaki ia dibantai
perampok-perampok biadab itu..."!" lanjut lelaki berpakaian serba hitam, sambil
menusukkan pedangnya dua kali ke tubuh dua orang perampok yang datang menyerang.
Korban pun kembali jatuh terkapar berlumur darah.
Ucapan penolongnya membuat istri Garuda Kuku Baja baru sadar kalau saat itu ia
masih menggendong putrinya. Ia pun mengangguk setuju, setelah kembali menatap
mayat suaminya. Wanita ini tidak berusaha memberontak sewaktu tubuhnya dibawa
melayang naik, menerobos atap rumah. Kemudian terus dibawa pergi oleh
penolongnya ke arah selatan.
Matahari sudah naik semakin tinggi, sewaktu lelaki berpakaian serba hitam yang
membawa istri dan putri Garuda Kuku Baja tiba di sebuah desa. Dia langsung
membawa kedua orang yang ditolongnya ke sebuah rumah penginapan, yang
dianggapnya cukup aman untuk sementara waktu.
"Mengapa kau menolongku, Tuan...?" tanya istri Garuda Kuku Baja, setelah
mengenali penolongnya.
Dia ternyata lelaki yang pernah dijumpainya, sewaktu
ia sedang bermain-main dengan putrinya. Lelaki berpakaian serba hitam ini memang
tak lain Sagotra.
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong sesama, selama pertolongan yang
kita berikan bukanlah untuk berbuat jahat..." jawab Sagotra sambil tersenyum
tipis, "Untuk sementara waktu, tempat ini cukup aman. Aku akan pergi sebentar
untuk melihat keadaan di sana. Siapa tahu masih ada harta yang tersisa, yang aku
yakin akan berguna banyak untuk kalian berdua. Tunggulah di tempat ini, dan
jangan sekali-kali keluar sebelum aku kembali!"
lanjutnya, berpesan kepada kedua ibu dan anak itu.
"Tuan..., hati-hatilah...!" ujar wanita cantik ini dengan suara menggambarkan
kecemasan hatinya.
Sagotra menunda langkah dan menoleh ke
belakang. Dia tersenyum untuk menenangkan hati wanita cantik itu. Kemudian
mengangguk dan melesat pergi meninggalkan rumah penginapan.
***
Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, Sagotra melesat menuju Hutan Pagar
Jurang. Hatinya benar-benar gembira karena rencana yang diaturnya berjalan
lancar. Kini tidak ada halangan lagi baginya untuk selalu dekat dengan perempuan
cantik yang membuatnya tergila-gila itu. Membayangkan wajah cantik dengan tubuh
molek itu berada dalam pelukannya, hati Sagotra berdebar nikmat. Rasanya ia tak
sabar untuk segera kembali bertemu dan berkumpul dengan wanita cantik itu.
Bayangan wajah cantik itu membuat Sagotra semakin mempercepat larinya. Hingga
akhirnya ia tiba di Hutan Pagar Jurang, markas gerombolan perampok yang
disewanya untuk
membunuh Garuda Kuku Baja.
Ki Tambak Rejo yang sudah menunggu-nunggu kedatangan Setan Pantai Timur,
bergegas menyambut begitu melihat sosok bayangan hitam berlari mendatangi
markasnya. Mulutnya tersenyum dan memperdengarkan kekeh senang. Karena Setan
Pantai Timur tampak membawa buntalan besar dan terlihat sangat berat
Pimpinan Perampok Hutan Pagar Jurang itu meng-gosok kedua telapak tangan seraya
membayangkan imbalan yang bakal diterimanya. Meski untuk itu telah kehilangan
beberapa orang pengikutnya, Ki Tambak Rejo sama sekali tidak terlihat menyesal.
Yang penting dirinya selamat. Mengenai pengikutnya ia tidak mau ambil pusing.
Sebab, semua itu memang sudah menjadi resiko pekerjaan.
"Pekerjaanmu membuat aku bangga dan gembira, Ki Tambak Rejo...," ujar Setan
Pantai Timur memperlihatkan wajah berseri. "Garuda Kuku Baja tewas dalam
penyerbuan itu. Dan aku pun sudah mendapatkan istrinya yang cantik. Sekarang kau
boleh menerima imbalannya...," berkata demikian, Setan Pantai Timur segera
membuka buntalan, memperlihatkan kepingan emas, dalam jumlah banyak.
Ki Tambak Rejo terkekeh dengan mata berkilat-kitat. Bersama para pengikutnya,
kepala rampok ini mengelilingi Setan Pantai Timur.
"Ini hanya untuk membuktikan janjiku. Selain ini, masih ada sepuluh kotak besar
penuh emas permata yang akan membuat kalian semua hidup senang.
Oleh karena ini merupakan permulaan, maka aku akan membagikannya kepada kalian
semua," lanjut Setan Pantai Timur, yang memang telah banyak
mengumpulkan harta selama belasan tahun malang melintang melakukan perbuatan
jahatnya. Ucapannya disambut sorak-sorai para pengikut Ki Tambak Rejo.
"Kau tidak perlu khawatir, Ki Tambak! Kau akan mendapat dua puluh kali lipat
dari pengikut-pengikutmu."
Ki Tambak Rejo yang semula mengerutkan kening mendengar Setan Pantai Timur akan
membagi-bagikan kepingan emas itu, kini tersenyum lebar.
Kepalanya mengangguk-angguk mendengar tentang bagian yang akan diperolehnya.
Setan Pantai Timur mempersilakan Ki Tambak Rejo lebih dulu untuk mengambil
kepingan emas dalam kantong besar itu. Sambil terkekeh-kekeh, kepala rampok ini
meraup kepingan emas sebanyak-banyaknya dengan kedua tangan. Baru kemudian para
pengikutnya bergantian maju meraup hanya dengan satu tangan, seperti yang
diperintahkan Setan Pantai Timur. Sampai akhirnya seluruh isi kantong ludes
tanpa sisa. Dengan bibir menyunggingkan senyum licik, Sagotra alias Setan Pantai Timur
bergerak mundur menjauhi Ki Tambak Rejo dan pengikutnya yang tengah menari-nari
sambil tertawa-tawa seperti orang gila.
"Aakhh..."!"
Tiba-tiba saja, Ki Tambak Rejo yang tengah tertawa-tawa menatap kepingan emas
kedua telapak tangannya, memekik keras. Tubuhnya terhuyung dengan wajah pucat!
Kepingan emas di kedua tangannya dilemparkan ke tanah. Mulutnya menjerit-jerit
ketika melihat kedua telapak tangannya telah berubah kehitaman. Ki Tambak Rejo
memutar tubuhnya ke tempat Setan Pantai Timur berada.
"Kau... keparat...! Emas-emas ini telah kau lumuri racun jahat...!" desis Ki
Tambak Rejo, yang wajahnya juga mulai berwarna kehitaman.
Setan Pantai Timur tertawa berkakakan. Ia sama sekali tidak khawatir meski Ki
Tambak Rejo sudah bergerak maju dengan sepasang trisulanya. Karena sebelum tiba
dekat, kepala rampok ini sudah roboh ke tanah, tak sanggup melangkah lebih jauh.
"Hua ha ha...! Apa kau kira aku rela membagi-bagikan harta hasil jerih payahku
kepadamu, Ki Tambak Rejo" Dan apa kau pikir aku percaya kau bisa menjaga
rahasiaku" Tidak, Ki Tambak! Semua yang tahu rahasiaku harus mampus! Aku tak
ingin kau akan mendatangkan kesulitan kepadaku di kemudian hari nanti...!" ujar
Setan Pantai Timur sambil tertawa terbahak-bahak. Tawanya semakin keras ketika
Ki Tambak Rejo berkelojotan hingga akhirnya tewas dengan tubuh mengejang.
Kemalangan yang menimpa Ki Tambak Rejo juga dialami semua pengikutnya. Puluhan
anggota perampok itu roboh bergelimpangan dengan mulut berbusa dan kulit
kehitaman. Dalam beberapa saat saja, Ki Tambak Rejo dan seluruh pengikutnya
telah tewas oleh kelicikan dan kekejaman Setan Pantai Timur.
Setelah agak lama, dan yakin kalau semuanya sudah tewas, Setan Pantai Timur
melangkah perlahan, mengumpulkan kepingan uang yang berserakan di tanah.
Kemudian dimasukkan kembali ke kantong yang masih dipegangnya. Tokoh sesat yang
licik dan kejam ini tentu saja tidak terpengaruh oleh racun itu. Karena ia telah
menelan obat penangkal, selain melumuri kedua belah telapak tangannya dengan
bubuk putih, yang merupakan obat
penawar racun. Setelah semua keping emas terkumpul, Setan Pantai Timur melesat pergi sambil
memperdengarkan tawa iblisnya. Sebentar saja sosoknya telah jauh dan merupakan
bayangan samar, sampai akhirnya lenyap ditelan kelebatan pohon Hutan Pagar
Jurang. Tidak berapa lama sepeninggal Setan Pantai Timur, muncullah sesosok tubuh pendek
gemuk dari balik rimbunan semak. Sosok itu tak lain Harimau Gila, yang telah
menyaksikan semua kejadian tadi sejak awal.
"Hm..., sejak semula aku memang sudah menaruh curiga kepada manusia satu itu.
Sebab, setahuku ia sangat sayang terhadap harta hasil jerih-payahnya.
Sekarang terbukti apa yang membuatku penasaran.
Hm... hati-hati, Sagotra! Rahasia kebusukanmu ada di tanganku...!" setelah
berkata demikian, Harimau Gila pun meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
*** "Mengapa begitu lama Tuan pergi" Membuat aku cemas memikirkannya...," ujar wanita
cantik bekas istri Garuda Kuku Baja, menyambut kedatangan Sagotra. Kecemasan
pada wajahnya perlahan lenyap saat melihat penolongnya kembali dengan selamat.
Hampir dua hari ia menunggu-nunggu kedatangan penolongnya itu.
"Maaf, aku harus mengurus mayat suamimu dulu.
Kemudian mencari-cari kalau-kalau ada yang terlewatkan dari perampok-perampok
busuk itu. Sayang aku tidak menemukan satu pun benda berharga yang masih tersisa. Sedangkan
aku cuma memiliki ini saja...," jawab Sagotra menjelaskan.
Kemudian memperlihatkan sekantong uang yang dibawanya sebagai bekal. Sedang
selebihnya ia sembunyikan di tempat tinggalnya. Itu yang menyebabkan Sagotra
sampai hampir dua hari baru kembali.
"Tuan begitu baik kepada kami. Entah bagaimana aku bisa membalasnya...," ujar
wanita cantik ini seraya menundukkan wajahnya. Karena Sagotra, yang tidak bisa
menyembunyikan rasa kagum dan tertariknya, terus menatapnya tak berkedip.
Kendati demikian, istri Garuda Kuku Baja tidak marah, karena penolongnya itu
tidak berbuat kurang ajar, selain memandangnya dengan sorot mata kagum.
Selebihnya sikap Sagotra memang terlihat sopan, membuat wanita ini tidak merasa
khawatir. "Aku tidak mengharapkan balasan darimu, Nyai."
"Namaku Nilam, Tuan. Panggil saja dengan nama itu. Tidak enak rasanya mendengar
Tuan terus-menerus menyebutkan Nyai...," sela wanita cantik ini menyebutkan
namanya. "Nilam...," desis Sagotra beberapa kali, seperti hendak mengukir nama itu di
dalam hatinya. Hal itu membuat wajah istri Garuda Kuku Baja kemerahan karena
jengah. "Sebuah nama yang indah. Aku suka mengucapkannya. Sangat cocok sekali
dengan parasmu yang laksana dewi, Nyai... eh, Nilam. Dan kau boleh panggil aku
dengan nama Sagotra, tanpa embel-embel Tuan seperti yang sering kau ucapkan,"
lanjut Sagotra tersenyum lembut, bagai tak pernah puas menikmati wajah cantik di
hadapannya. "Terima kasih, Sagotra. Mmm..., malam sudah semakin larut Aku ingin
beristirahat...," ucap Nilam mengangkat wajah dan mengangguk kepada Sagotra.
"Baiklah, Nilam. Dan besok pagi-pagi sekali kita
harus segera meninggalkan desa ini. Aku khawatir para perampok itu masih akan
mengincarmu. Terlebih putrimu. Menurut dugaanku, mereka akan membunuhnya. Khawatir kalau-
kalau ia akan menjadi penyakit di kemudian hari...," ujar Sagotra mengingatkan
Nilam dalam bahaya yang masih akan terus membayangi.
Agak kaget juga hati Nilam mendengar ucapan Sagotra. Membuat langkahnya
terhenti, dan memutar tubuh menghadapi penolongnya itu. Sebagai seorang istri
tokoh silat, tentu saja Nilam mengerti bahwa ancaman itu ada kemungkinan akan
datang lagi."Ke mana tujuan kita selanjutnya. ..?" tanya Nilam yang tidak tahu harus
bagaimana, dan menyerahkan keputusannya kepada Sagotra. Karena ia tidak
mempunyai tempat lagi untuk berlindung kecuali kepada lelaki penolongnya itu.
"Ke mana saja yang kira-kira aman untuk kau dan putrimu, Nilam. Dan kau tidak
perlu khawatir karena aku akan melindungi kalian berdua dengan taruhan nyawa,"
janji Sagotra untuk menenangkan hati Nilam.
"Mengapa... mengapa kau sampai mau berkorban nyawa untuk kami berdua, Sagotra"
Sedangkan kita baru saling mengenal...?" Agak kaget juga hati Nilam telanjur
melontarkan pertanyaan itu. Namun untuk menariknya sudah terlambat. Terpaksa ia
menunggu jawaban Sagotra dengan hati berdebar. Sebagai wanita, terlebih sudah
pernah bersuami, tentu saja Nilam menangkap getaran perasaan dan pancaran mata
Sagotra. "Karena... terus terang sejak pertama kali berjumpa, aku merasa kagum dan
tertarik kepadamu, Nilam. Tapi, bukan berarti aku merasa senang melihat kau
kehilangan suamimu. Aku pun turut
menyesal mengapa aku datang terlambat waktu itu.
Kalau saja aku tiba lebih cepat, kemungkinan besar kau masih akan bersama-sama
suamimu..."
Nilam menghela napas perlahan, menenangkan gemuruh di dalam dadanya.
"Aku baru saja kehilangan suamiku, Sagotra...,"
ucapnya lemah, teringat kembali akan kematian suaminya.
"Maafkan aku, Nilam...."
Nilam tidak berkata apa-apa lagi. Beberapa saat keheningan menyelimuti mereka
berdua, sampai akhirnya Nilam minta diri untuk istirahat.
Sagotra hanya mengangguk lemah. Setelah sosok Nilam lenyap di balik pintu,
Sagotra pun melangkah memasuki kamarnya, yang bersebelahan letaknya dengan kamar
wanita cantik itu.
*** Bayangan kejadian masa lalu yang melintas jelas dalam benak Sagotra, membuat
wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri di dadanya. Langkah kakinya terhuyung
seperti tak dapat menapak dengan baik.
"Nilam... Andari... ampuni dosa-dosaku...!" rintih suara parau Sagotra
mengungkapkan kedukaan hatinya. Kakinya terus melangkah lambat-lambat melintasi
jalan setapak. Sudah dua hari dua malam Sagotra menempuh perjalanan tanpa mempedulikan keadaan
dirinya, yang kini tak ubahnya dengan seorang gembel.
Pakaiannya kotor dan koyak di beberapa tempat.
Demikian pula dengan rambut dan wajahnya. Kotor dan dipenuhi debu. Sepasang
matanya sayu, me-
mandang kosong ke depan. Keadaan ini menunjukkan betapa hati Sagotra tengah
dilanda kedukaan hebat! Bayangan anak dan istri yang akan membenci dan memusuhi
dirinya, membuat hatinya tidak bisa tenang tinggal di rumah. Akhirnya ia
memutuskan untuk pergi meninggalkan anak istrinya. Karena menurutnya lebih baik
meninggalkan daripada ditinggalkan.
Tanpa disadari, langkahnya telah membawa Sagotra jauh meninggalkan Desa
Kranggan. Kini langkahnya terhenti. Di hadapannya membentang sebatang sungai
berair deras berwarna keruh kecoklatan. Lebar sungai kurang lebih sekitar tiga
tombak lebih. Di sini Sagotra termenung. Terdengar tarikan napasnya yang panjang
dan berat. "Hua ha ha...! Sagotra... Sagotra...! Kau tak ubahnya seekor ular yang
menghampiri peng-gebuk...!"
Sebuah suara yang besar dan berat membuat Sagotra tersadar dari lamunannya.
Bergegas ia memutar tubuh. Didapatinya sesosok tubuh pendek gemuk berdiri
sekitar dua tombak di hadapannya.
Selain lelaki itu, juga masih terdapat empat lelaki lain.
"Harimau Gila..."!" desis Sagotra terkejut dan juga heran, "Rupanya kau masih
juga belum puas hingga terus membayangi langkahku...!" lanjutnya dengan nada
geram! "Hmmhh...! Kau telah mengingkari janjimu, Sagotra. Sehingga, niat untuk membunuh
Pendekar Clurit Perak terpaksa batal! Dan kaulah yang menjadi penyebab
utamanya!" ujar Harimau Gila tanpa mempedulikan perkataan Sagotra, "Aku telah
menulis surat kepada istri dan anakmu. Dan melihat keadaanmu, aku bisa menebak
kalau kau pasti
melarikan diri, karena mereka hendak membunuhmu!
Itu akibatnya, karena kau tidak mau membantuku!"
"Hm..., lalu apa lagi yang kau kehendaki dariku sekarang?" tukas Sagotra menatap
wajah Harimau Gila dengan penuh kebencian.
"Mengajakmu untuk bergabung. Dan kau tidak punya pilihan lain. Saat ini tokoh-
tokoh golongan putih sedang mencari-cari pembunuh Kakek Jubah Hitam!
Itu sebabnya kami berkumpul di tempat ini. Karena kami harus menyembunyikan diri
di tempat yang aman sampai keadaan kembali tenang. Dan perlu kau ketahui,
Sagotra! Kami telah menyebar berita bahwa yang membunuh Kakek Jubah Hitam adalah
Setan Pantai Timur! Tapi, karena tanpa sengaja kau telah menginjak daerah
persembunyian kami, dan mengingat hubungan lama kita, aku merasa kasihan
kepadamu. Jawabannya terserah kepadamu. Kami tak aka memaksa...," Harimau Gila
yang mengakhiri ucapannya dengan tawa bergelak.
"Tidak! Lebih baik mati daripada bergabung dengan manusia licik dan kejam
sepertimu, Harimau Gila! Malah aku akan membawamu untuk bergabung dengan
malaikat maut!" usai berkata demikian, Sagotra menghunus pedangnya. Ia menjadi
nekat, karena merasa hidupnya sekarang tak ubahnya orang yang telah mati.
Sagotra merasa kematian jauh lebih baik ketimbang menjalani hidup dengan beban
yang baginya terasa sangat berat.
"Hm..., sebenarnya aku sudah tidak berminat untuk membunuhmu, Sagotra. Aku lebih
suka melihat keadaanmu sekarang, yang tak ubahnya mayat berjalan. Hatimu akan
terus digerogoti penderitaan, yang kelak akan menghantarmu ke akherat. Tapi,
karena tanpa sengaja kau telah mengetahui tempat
persembunyian ini, terpaksa aku harus membunuhmu...!" sahut Harimau Gila, lalu
segera memberi isyarat kepada empat orang kawannya, yang dua di antaranya
ternyata Penjagal Kepala dan Ronggawu.
Mereka telah bergabung di tempat persembunyian itu.
Sagotra memutar pedang di sekeliling tubuhnya membentuk gulungan sinar menderu-
deru. Dan dengan diiringi sebuah teriakan panjang, tubuhnya melesat menerjang
Harimau Gila, yang memang sangat dibencinya.
Harimau Gila dan empat kawannya pun tidak tinggal diam. Dengan senjata di
tangan, mereka mengeroyok Setan Pantai Timur. Hingga, sebentar saja pertempuran
seru pun berlangsung!
Namun setelah pertarungan lewat dari tiga puluh jurus, terlihat Sagotra mulai
kewalahan. Hal itu disebabkan keadaannya yang memang tidak
memungkinkan. Rasa lelah lahir dan batin, membuat ketangkasannya jauh berkurang.
Kini dirinya harus bertahan mati-matian dari desakan lima orang pengeroyoknya
itu. "Haiiittt...!"
Di saat keadaan Sagotra semakin payah, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang,
yang disusul dengan melayangnya sesosok bayangan hijau ke tengah arena. Begitu
tiba, sosok bayangan hijau itu langsung membuat desakan Harimau Gila dan kawan-
kawannya terhadap Sagotra menjadi berantakan!
Sambaran sinar putih keperakan yang disertai gelombang angin dingin menusuk
tulang, membuat lima orang kepala rampok itu berlompatan. Mereka mundur
meninggalkan Sagotra yang tampak
kepayahan dengan sekujur tubuh dibanjiri peluh.
Kini sosok bayangan hijau yang menyelamatkan nyawa Sagotra, telah berdiri dengan
kedua kaki terpentang. Di tangannya tergenggam sebatang pedang bersinar putih
keperakan yang menyebarkan hawa dingin. Sosok itu ternyata seorang wanita muda
berparas jetita, yang mengenakan pakaian serba hijau. Siapa lagi dara jelita ini
kalau bukan Kenanga.
*** 8 Melihat paras cantik jelita dengan bentuk tubuh mengundang selera itu, Harimau
Gila dan keempat kawannya sama terbelalak menelan air liur. Mereka tak jadi
marah. Bahkan kelimanya kemudian menyeringai, sambil menjilati wajah dan tubuh
Kenanga dengan pandang matanya.
"Aku kebetulan lewat di tempat ini dan mendengar semua pembicaraan kalian. Aku
Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memang belum mendengar tentang kematian Kakek Jubah Hitam.
Tapi, mendengar pembicaraan kalian, yang mengatakan bahwa tokoh-tokoh golongan
putih tengah mencari-cari si Pelaku Pembunuhan, hatiku pun tergerak.
Aku terpaksa turun tangan membela lelaki yang kalian sebut sebagai Setan Pantai
Timur ini. Karena ia ikut terlibat dan menjadi saksi pembunuhan itu.
Selain itu, aku membelanya karena mendengar sikapnya yang menentang kalian
semua. Aku pernah dengar nama besar Setan Pantai Timur. Tapi, melihat keadaan
dan perkataannya sekarang, aku bisa menduga kalau ia telah sadar dari
kesesatannya. Dan orang yang telah sadar patut dibela!" ujar Kenanga tidak
mempedulikan pandangan kelima orang kepala rampok itu.
"Celaka...!" desis Harimau Gila setelah mendengar ucapan dara jelita itu.
Seleranya langsung lenyap seketika, berganti dengan kecemasan. Kini ia tidak
lagi memandang Kenanga sebagai sosok yang meng-giurkan, melainkan orang
berbahaya yang juga harus dilenyapkan! Maka, Harimau Gila kembali memberi
isyarat kepada kawan-kawannya untuk mengeroyok dan membunuh Kenanga serta Setan.
Pantai Timur! Kenanga dan Sagotra seolah sudah saling sepakat untuk maju bersama. Maka, mereka
pun bergerak maju untuk menghadapi keroyokan lima orang lawan itu.
"Hih hih hih...!"
Kedua belah pihak yang sudah siap saling terjang ini sama tertegun, ketika
mendadak terdengar suara tawa mengikik, yang bagaikan datang dari delapan
penjuru angin. "Bibi Guru..."!"
Tiba-tiba saja Harimau Gila berseru dengan wajah berseri. Kemudian bergegas lari
menyambut ketika melihat adanya sesosok bayangan yang mendatangi tempat itu.
"Hih hih hih...! Kau rupanya, Harimau Gila!" seru seorang nenek bertelanjang
dada. Perempuan tua renta itu tak lain Kalong Wewe. "Sedang apa kau di sini?"
tanyanya kepada Harimau Gila, yang rupanya dikenal baik oleh nenek sinting ini.
Harimau Gila, yang menjatuhkan diri di depan Kalong Wewe, bergegas bangkit.
Mereka berdua memang memiliki hubungan yang cukup dekat.
Karena guru dari Harimau Gila adalah adik seperguruan Kalong Wewe. Itu sebabnya
mengapa mereka berdua saling kenal satu sama lain. Dan Harimau Gila tentu saja
sangat gembira dengan kemunculan bibi gurunya itu. Karena dengan adanya nenek
sinting ini, pihaknya jelas bertambah kuat
"Aku sedang mendapat kesulitan, Bibi Guru," jawab Harimau Gila separo melapor,
"Dan aku terpaksa bersembunyi karena tengah dicari-cari tokoh-tokoh golongan
putih. Mereka berdua termasuk di antara
orang-orang yang memburuku..."
"Aiihh..., kalau begitu, kaulah yang telah membunuh tua bangka Kakek Jubah
Hitam"!" tukas Kalong Wewe memperlihatkan seringai senang.
Tawanya terdengar berkepanjangan ketika melihat Harimau Gila mengangguk pasti.
"Bagus... bagus...!
Orang-orang seperti tua bangka sombong itu memang sudah seharus-nya dilenyapkan.
Karena mereka hanya membuat susah gerakan kita saja. Kalau begitu, biar kedua
orang itu menjadi bagianku...!"
lanjutnya yang kemudian menghampiri Kenanga dan Sagotra.
Kemunculan Kalong Wewe, tentu saja membuat Kenanga merasa terkejut. Terlebih
Sagotra yang telah mendengar kesaktian nenek sinting itu. Hatinya menjadi
tegang. Wajahnya agak pucat. Meski ia tidak takut menghadapi kematian, namun
menghadapi nenek yang tidak lumrah manusia itu, hatinya merasa gentar juga.
"Kalian berdua bersiaplah untuk meninggalkan dunia ini...!" ujar Kalong Wewe.
Begitu ucapan itu selesai, dia langsung menyerang Kenanga dan Sagotra dengan
menggunakan kuku-kukunya yang panjang dan runcing. Kuku-kuku sekeras besi ini
meluncur disertai suara angin berkesiutan.
Kenanga dan Sagotra bergerak menyebar ke kiri dan kanan. Sambaran kuku-kuku
runcing itu langsung dipapaki Kenanga dengan sambaran Pedang Sinar Bulannya.
Namun, betapa terkejut Kenanga ketika pedangnya berbenturan dengan kuku nenek
sinting itu, lengannya bergetar keras. Bahkan tubuhnya terjajar beberapa langkah
ke belakang. Sedangkan tubuh Kalong Wewe terlihat cuma bergetar dan masih tetap
di tempatnya. Kuku-kuku jari tangan nenek
sinting itu terlihat tetap utuh, menandakan bahwa tenaga dalam yang
melindunginya sangatlah kuat.
Sesaat setelah benturan itu terjadi, Sagotra memekik keras sambil menusukkan
pedangnya ke tubuh Kalong Wewe. Namun, nenek tanpa baju itu sudah memiringkan
tubuh, membuat ujung pedang Sagotra lewat di depannya. Dan sebelum Sagotra
sempat menarik senjatanya tangan kanan Kalong Wewe sudah terulur hendak merampas
pedang itu. Sedang tangan kirinya menusuk ke arah ulu hati Sagotra. Gerakan nenek ini sangat
cepat bukan main, membuat Sagotra sadar bahwa kalau mau selamat, ia harus
merelakan senjatanya dirampas. Sayang gerakannya kalah cepat. Sebelum ia
bergerak melempar tubuh ke belakang, pedangnya telah tercengkeram jari-jari
tangan lawan. Untung saja ia masih sempat memiringkan tubuh saat jari-jari yang
mengandung racun pelumpuh itu menyambar ulu hatinya. Sehingga, meski ia tidak
berhasil menghindar, namun tusukan itu meleset dari sasaran, dan hanya menggores
iga kanannya. Namun, alangkah terkejut hati Sagotra ketika merasakan tenaganya mendadak
lenyap. Sekeliling-nya terasa berputaran, membuat ia tak sanggup lagi
mempertahankan dirinya. Sagotra pun roboh tak sadarkan diri!
Melihat kenyataan itu, Kenanga tentu saja menjadi kaget bukan main. Tak
disangkanya kalau nenek sinting itu ternyata mampu merobohkan Setan Pantai
Timur, yang menurut penglihatannya memiliki ilmu cukup tangguh. Hal itu membuat
hatinya geram. Maka, pedang di tangannya kembali diputar, membentuk gundukan sinar putih
keperakan berhawa dingin. Serangan datang bertubi-tubi mengancam
bagian-bagian terlemah di tubuh Kalong Wewe.
Namun sampai lima belas jurus lebih ia mencecar, pedangnya sama sekali tidak
mampu mengenai sasaran. Ternyata Kalong Wewe selalu dapat menghindar dengan
mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya, yang memang mengagumkan sekali.
Bahkan ketika pertarungan memasuki jurus yang keempat puluh, serangan-serangan
Kalong Wewe membuat Kenanga tak sempat lagi untuk mem-bangun serangan. Kenanga
terdesak dan hanya bisa melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.
"Hiiihhh...!"
Kalong Wewe yang merasakan penasaran karena benteng pertahanan lawannya sangat
sukar untuk diterobos, tiba-tiba mengeluarkan pekikan nyaring menyakitkan
telinga. Seketika Kenanga tersentak mundur, karena ia harus membagi tenaga untuk
melindungi telinganya. Perbuatan ini tentu saja membuat pertahanannya menjadi
kendor. Dia baru sadar ketika melihat kuku-kuku jari tangan lawan meluncur pada
saat putaran pedangnya melambat.
Whuuuttt...! Plakkk!
Mendadak Kalong Wewe terpekik kesakitan!
Karena pada saat serangannya hampir merenggut tubuh Kenanga, tahu-tahu ada
sesosok bayangan putih yang datang dan memapaki serangannya.
Seketika itu pula benturan keras pun tak dapat dihindarkan. Tubuh Kalong Wewe
terdorong mundur sejauh satu setengah tombak. Meski masih dapat menguasai
keseimbangan tubuhnya, namun paras nenek sinting itu tampak memucat. Mulutnya
menyeringai, menahan rasa sakit pada lengannya yang untuk beberapa saat bagaikan
lumpuh, tak bisa digerakkan.
"Kau... Pendekar Naga Putih..."!" desis Kalong Wewe dengan mata terbelalak.
Dilihatnya sosok pemuda tampan berjubah putih telah berdiri di sebelah Kenanga.
Rasa jerih tampak jelas pada sepasang matanya. Hingga, mendadak ia memutar
tubuhnya dan melesat pergi meninggalkan tempat itu diiringi lengkingan panjang
yang mirip suara tangisan.
"Kakang...!" Begitu mengenali penolongnya, Kenanga langsung saja menghambur ke
dalam pelukan Pendekar Naga Putih. Karena penolongnya ternyata Panji,
kekasihnya. "Kenanga...," desah Panji tak dapat menahan gejolak kerinduan di hatinya.
Dipeluknya tubuh dara jelita itu erat-erat. "Senang sekali melihatmu kembali.
Aku sendiri hendak menyusulmu. Sayang per-jalananku selalu terhambat oleh
persoalan-persoalan yang kutemui," lanjut Panji, yang kemudian menanyakan
tentang pertemuan tokoh-tokoh silat yang dihadiri Kenanga.
"Nanti saja, Kakang. Waktu untuk itu masih banyak. Sedangkan sekarang kita
tengah menghadapi pembunuh-pembunuh Kakek Jubah Hitam...,"
ujar Kenanga mengingatkan Panji, bahwa mereka tidak cuma berdua di tempat itu.
Harimau Gila dan keempat kawannya menjadi pucat, melihat Pendekar Naga Putih
menoleh ke arah mereka.
"Berhenti...!" bentak Panji ketika melihat kelima orang itu hendak melarikan
diri. Sambil berseru demikian, tubuhnya langsung melayang berputaran di udara.
Kemudian meluncur turun di hadapan Harimau Gila dan kawan-kawannya.
Harimau Gila dan kawan-kawannya yang sadar bahwa mereka tidak mungkin dapat
menghindar dari
Pendekar Naga Putih, langsung menerjang maju dengan senjata terhunus. Mereka
merasa lebih baik mati ketimbang tertawan dan diadili di hadapan tokoh-tokoh
persilatan golongan putih.
Wuttt! Tusukan pedang Harimau Gila, yang dibarengi dua kawannya tak menemui sasaran.
Dengan menggeser mundur kakinya Pendekar Naga Putih dapat mengelakkan serangan
yang mengarah ketiga tempat di tubuhnya. Kemudian dikibaskan kedua tangannya
dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Bressshh...! Terdengar jerita kesakitan susul-menyusul.
Kibasan yang sangat kuat itu membuat tubuh Harimau Gila dan dua orang kawannya
terhumbalang ke kiri dan kanan. Berturut-turut tubuh ketiganya terbanting keras
ke tanah. Mereka tak sanggup langsung bangkit. Karena hantaman itu membuat tubuh
mereka menggigil bagaikan terserang demam tinggi.
Sedangkan saat itu, Pendekar Naga Putih sudah menghadapi sisa pengeroyoknya.
Tubuhnya berlompatan menghindari sambaran pedang kedua orang lawannya. Lewat
sepuluh jurus kemudian, Panji yang melihat adanya peluang, langsung mengirimkan
hantaman dua kali berturut-turut Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang pengeroyok
itu pun terlempar deras dengan memuntahkan darah segar. Keduanya jatuh terduduk
dengan senjata terlepas dari genggaman, tergeletak di samping tubuh mereka.
"Pendekar Naga Putih, jangan bunuh mereka...!"
Saat Panji melangkah mendekati tubuh lawan-lawannya yang tergeletak di tanah,
terdengar sebuah seruan. Panji menoleh, menunggu kedatangan dua
orang yang dikenalinya sebagai Sepasang Elang Laut Utara.
"Sebaiknya kita bawa mereka untuk diadili di hadapan tokoh-tokoh persilatan...!"
Begitu tiba, Banadri langsung saja mengusulkan.
"Aku setuju," jawab Panji, "Penjahat-penjahat itu aku serahkan kepada
kalian...."
Harimau Gila dan dua orang kawannya yang masih sadar, tentu saja menjadi pucat.
Mereka menoleh ke arah Sagotra yang masih tergeletak pingsan. Namun, sebelum
ketiga orang kepala rampok ini membuka suara, totokan Kenanga telah tiba lebih
dulu, membuat lidah mereka kaku. Karena Kenanga telah menotok urat gagu mereka.
"Bawalah mereka pergi...!" ujar Kenanga tersenyum kepada Sepasang Elang Laut
Utara. Meski agak sedikit heran dengan perbuatan dara jelita berpakaian serba hijau
itu, Banadri maupun Sandrila tidak berkata apa-apa. Mereka langsung membawa
pergi Harimau Gila dan empat orang kepala rampok itu, setelah berpamit kepada
Pendekar Naga Putih.
Beberapa saat setelah Sepasang Elang Laut Utara pergi, Panji dan Kenanga yang
tengah menyadarkan Sagotra sama menolehkan kepalanya ke arah yang sama. Tiba-
tiba mereka mendengar adanya suara langkah kaki mendatangi tempat itu. Ketika
melihat sosok dua orang perempuan yang kelihatannya hendak menghampiri mereka,
Kenanga dan Panji pun bangkit berdiri.
Sagotra yang saat itu baru tersadar dari pingsan-nya, mendadak pucat! Ia
langsung saja melompat bangkit dan berlari ke arah dua orang perempuan yang tak
lain istri dan putrinya. Karuan saja sikap
Sagotra membuat Panji dan Kenanga saling bertukar pandang dengan wajah heran.
"Nilam... Andari..., ampuni aku...!" Begitu tiba, Sagotra langsung saja
menjatuhkan tubuhnya di hadapan istri dan putrinya.
"Hm..., jadi isi surat yang dikirimkan Harimau Gila kepada kami bukan cuma
fitnahan belaka...," desis Nilam menarik napas panjang dan menengadahkan
wajahnya menatap langit. "Ahh..., betapa besar dosaku terhadap mendiang suamiku.
Ternyata selama ini aku hidup bersama seorang pembunuh biadab...!"
Andari sendiri tidak bisa berkata apa-apa.
Kenyataannya itu terlalu mengejutkan baginya.
Karena orang yang selama ini menjadi tempatnya bermanja, ternyata orang yang
telah membunuh ayah kandungnya.
"Aku... aku terlalu mencintaimu, Nilam. Dan karena ingin memilikimu aku pun
menjadi mata gelap...," aku Sagotra menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Sekarang terserah kalian. Aku siap menerima hukuman dari kalian berdua...,"
lanjutnya dengan suara parau dan bergetar.
"Keparat busuk kau, Sagotra...!"
Tiba-tiba saja, Andari yang sejak tadi hanya diam dengan air mata bercucuran,
mendesis tajam.
Secepal kilat, tahu-tahu di tangannya telah tergenggam sebatang pedang.
"Tahan...!"
Melihat pedang yang sudah siap memenggal kepala Sagotra, Panji berseru mencegah.
Sekali berkelebat, ia telah berdiri di dekat ketiga orang itu.
"Jangan ikut campur dengan urusan kami! Kau tidak tahu duduk persoalannya...!"
hardik Andari, menatap Panji dengan sorot mata tajam me-
mancarkan ketidaksenangan hatinya.
"Dik...," ujar Panji tenang "Apa pun bentuk persoalannya, sebaiknya dicari
penyelesaian yang paling baik."
"Hm..., kau tahu, lelaki jahat ini adalah pembunuh Ayah kandungku! Dan dia
melakukannya dengan menggunakan kelicikan! Lalu berpura-pura menjadi penolong
kami. Hingga kami menganggapnya sebagai dewa penolong, yang mempunyai budi besar
dan tidak mungkin dapat kami balas. Sampai akhirnya ia melamar ibuku untuk
menjadi istrinya. Karena hendak membalas jasa, Ibu terpaksa menerima lamarannya.
Sayang, perbuatan busuknya ada yang menyaksikan tanpa sepengetahuannya. Nah, apa
jawabmu sekarang setelah mengetahui persoalannya?" ujar Andari setelah
menjelaskan persoalannya kepada Panji dan Kenanga.
"Benar ia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar," jawab Kenanga,
yang telah melihat sendiri bagaimana sikap Sagotra sewaktu menghadapi Harimau
Gila. "Tapi, setahuku ia telah sadar akan kesesatannya. Bahkan sewaktu Harimau
Gila mengajaknya untuk bergabung, ia lebih memilih mati.
Jadi, sebaiknya pikirkanlah apa yang bakal kalian perbuat, sebelum menyesal di
belakang hari!"
Mendengar ucapan Kenanga, Andari menghela napas panjang. Kemudian menoleh kepada
ibunya, yang kebetulan juga tengah memandangnya.
"Pergilah! Aku tak ingin melihat wajahmu lagi, Sagotra!" Akhirnya Nilam
memutuskan, setelah berpikir agak lama. Lalu dia berpaling kepada putrinya.
"Mari, kita tinggalkan tempat ini, Andari...!"
"Nilam...!" Sagotra berteriak parau. Ia langsung melompat dan memeluk kedua kaki
istrinya. Terdengar suara tangis penyesalannya. "Aku tak mungkin dapat hidup tanpa kalian.
Berilah aku kesempatan untuk menebus dosa-dosaku di masa lalu. Meski jadi
pelayan sekalipun, aku bersedia asalkan tetap berada dekat dengan kalian...."
Sekeras apa pun hati Nilam, dan bagaimanapun bencinya kepada Sagotra saat itu,
akhirnya luluh juga.
Masa belasan tahun yang dilewati bersama-sama, telah menimbulkan rasa cinta di
hatinya. Apalagi selama menjadi suami dan ayah dari putrinya, Sagotra
memperlihatkan rasa tanggung jawab dan kasih sayang yang sangat besar. Kalau
saja sejak dulu ia mengetahui bahwa Sagotra ternyata pembunuh suaminya, mungkin
akan jadi lain persoalannya. Bahkan kemungkinan besar akan dibunuhnya Sagotra.
Namun, peristiwa itu sudah sangat lama berlalu. Hingga, dendam dan kebencian
yang dirasakannya tidak terlalu dalam.
"Aku belum bisa memaafkan kesalahanmu se-penuhnya, Sagotra. Sebaiknya, untuk
sementara waktu, kau pergilah menjauh! Aku tidak tahu kapan bisa menerima
kehadiranmu kembali...," ujar Nilam, yang kemudian melepaskan pelukan Sagotra
pada kedua kakinya. Lalu bergerak meninggalkan tempat itu.
"Ibu..."
Panggilan Andari membuat langkah Nilam kembali terhenti. Perempuan cantik ini
menoleh ke arah putrinya. Sekali pandang saja dirinya tahu kalau Andira telah
memaafkan perbuatan Sagotra di masa silam. Baginya hal itu tidak aneh, karena
Andari hampir tidak pernah mengenal ayah kandungnya sendiri. Dia tahu kalau
putrinya sudah terlalu dekat
kepada Sagotra. Hingga, sosok seorang ayah, bagi Andari lebih jelas adalah
Sagotra, yang semenjak dia masih kecil telah memberikan kasih sayang dan
kenangan yang tidak mudah untuk dihapusnya. Hal inilah yang membuat sosok ayah
kandungnya sendiri hanya merupakan bayang-bayang yang tak jelas.
Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nilam maklum dengan apa yang ada dalam hati dan pikiran putrinya.
"Maafkanlah Ayah, Ibu...!" pintanya setengah memohon, "Berilah ia kesempatan
untuk menebus dosa-dosanya di masa lalu...!"
Nilam menghela napas beberapa saat Lalu mengangguk dan tersenyum. Dan tanpa
berkata apa-apa lagi, ia mengayun langkah mendahului Andari.
"Mari, Ayah...!" ajak Andari sambil mengangkat tubuh Sagotra. Kemudian
membawanya menyusul langkah ibunya.
Panji dan Kenanga memandangi kepergian ketiga sosok tubuh itu, hingga lenyap di
kejauhan. Keduanya saling berpandangan sebentar dan tersenyum lega.
Dan, entah siapa yang lebih dulu bergerak, tahu-tahu saja keduanya telah
berpelukan erat.
"Kau belum menceritakan tentang pertemuan para pendekar yang kau hadiri itu,
Kenanga...," Panji menagih janji Kenanga tanpa melepaskan pelukannya.
"Tidak ada yang terlalu penting, Kakang. Singkat-nya, pertemuan yang semula
dimaksudkan untuk memilih seorang pemimpin bagi seluruh golongan putih, belum
bisa diputuskan. Karena banyak tokoh tua yang belum hadir. Akhirnya pertemuan
ditunda sampai purnama depan."
Meskipun semua ucapan itu terdengar jelas, mata Panji lebih terpaku pada bibir
kekasihnya sewaktu
berbicara. Melihat tantangan terbentang di depan mata dan begitu dekat, Panji
tak bisa lagi menahan diri. Seolah kerinduan di hati mereka masih belum
terpuaskan! SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (kucinglistrik)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Seruling Gading 13 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Kisah Para Pendekar Pulau Es 1
diterimanya. Kendati belum tahu apa jenis bantuan yang diminta Setan Pantai
Timur kepadanya.
"Kau tidak usah khawatir, Ki Tambak Rejo," lanjut Sagotra sewaktu melihat Ki
Tambak Rejo tersenyum-senyum, "Sebagian harta yang kukumpulkan selama ini, akan
kuberikan kepadamu. Tapi dengan syarat, kau harus melaksanakan semua apa yang
ku-perintahkan! Dan tidak perlu bertanya apa-apa! Kau paham...?"
Ki Tambak Rejo mengangguk senang. Karena biar bagaimanapun orang seperti dirinya
tak lepas dari keinginan untuk mendapatkan imbalan. Sekalipun yang meminta
bantuan rekan segolongan, dan mempunyai nama besar seperti Setan Pantai Timur.
Perlahan-lahan, Sagotra mengutarakan rencana yang sudah diatur dalam otaknya.
Sedang Ki Tambak Rejo cuma mengangguk dan mengiyakan saja.
"Aku ingin kau lakukan pada hari ini juga...!" tegas Sagotra setelah membeberkan
rencananya. "Baik!" tukas Ki Tambak Rejo, kemudian bangkit dan mengumpulkan orang-orangnya,
yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang. Setelah menjelaskan tentang
apa yang disebutnya sebagai 'pekerjaan besar' dan 'terhormat' itu, Ki Tambak
Rejo pun berangkat bersama anak buahnya, menuju Gunung Dampit, yang letaknya
kira-kira setengah hari perjalanan dari Hutan Pagar Jurang.
Lewat tengah hari, Ki Tambak Rejo dan rombongannya sudah mulai menginjak daerah
kaki Gunung Dampit. Setelah berhenti sebentar, meneliti sekitar, ia kembali
membawa rombongannya
menuruni sebuah lembah, yang terletak di sebelah timur kaki gunung itu.
"Ki Tambak Rejo...!"
Suara panggilan itu membuat Ki Tambak Rejo menarik tali kekang kudanya, menoleh
ke arah asal suara. Wajahnya yang semula agak berkerut, tampak bersinar cerah
sewaktu ia mengenali siapa orang yang memanggilnya itu.
"Harimau Gila, kaukah itu, Sahabatku..."!" Tanyanya memastikan sosok pendek
gemuk, yang melangkah menghampirinya. Dan tawanya terdengar berkepanjangan
sewaktu lelaki pendek gemuk itu semakin dekat dan jelas.
Lelaki pendek gemuk, yang berjuluk Harimau Gila ini, juga tertawa gembira.
Kendati demikian, ia tidak bisa menyembunyikan keheranannya melihat Ki Tambak
Rejo diiringi para pengikutnya dalam jumlah yang cukup besar. Rasa heran itu
langsung diungkapkannya melalui pertanyaan.
"Sebaiknya kau jelaskan dulu tentang keberadaan-mu di daerah ini, Harimau Gila.
Kelibatannya keadaanmu tidak begitu menyenangkan" Mana pengikut-pengikutmu,
apakah mereka tidak menyer-taimu...?" tanya Ki Tambak Rejo, sebelum memberikan
jawaban atas pertanyaan Harimau Gila.
Karena keadaan Harimau Gila yang kusut dan terdapat noda darah pada pakaiannya
yang koyak di beberapa tempat, membuat hati Ki Tambak Rejo menjadi ingin tahu.
"Beginilah keadaanku sekarang...," ujar Harimau Gila, yang kemudian menceritakan
tentang penyerbuan tentara kerajaan, hingga markasnya hancur berantakan. Harimau
Gila juga menjelaskan bahwa selain dirinya, tak ada lagi yang selamat. Dan ia
sendiri saat itu sedang dalam pelarian.
"Wah, nasibmu benar-benar sedang sial, Sobat..."
Ki Tambak Rejo menghela napas panjang, seperti ikut merasa berduka atas apa yang
telah menimpa gerombolan sahabatnya itu, "Sebaliknya denganku.
Aku kini sedang dalam tugas untuk menyelesaikan suatu pekerjaan besar! Sebab
imbalannya tidak akan habis meski dimakan sampai ke anak cucuku dan seluruh
pengikutku! Nah, karena kulihat kau sedang susah, maka aku menawarkanmu untuk
bekerja sama," lanjut Ki Tambak Rejo, yang kemudian menjelaskan tentang
pekerjaan besar yang dikatakannya itu.
Kening Harimau Gila tampak berkerut. Wajahnya jelas menggambarkan keheranan
besar sewaktu mendengar penjelasan Ki Tambak Rejo. Karena ia tentu saja kenal
baik dengan Setan Pantai Timur, dan tahu kalau tokoh sesat yang juga merupakan
kawan dekatnya itu, paling tidak suka membagi-bagikan hartanya kepada orang
lain. Namun semua itu tidak diceritakannya kepada Ki Tambak Rejo. Harimau Gila
cuma mengangguk-angguk, meski pikirannya berputar dan ingin tahu apa tujuan
Setan Pantai Timur sampai menyewa Ki Tambak Rejo untuk melakukan tugas itu.
"Sebenarnya aku ingin sekali dapat ikut denganmu, Ki Tambak Rejo. Tapi, karena
aku sedang dalam kejaran musuh-musuhku, terpaksa menolak ke-baikanmu. Aku tidak
ingin kau ikut susah nantinya.
Nah, lanjutkanlah perjalananmu, Sobat...! Semoga pekerjaan besar ini dapat kau
selesaikan dengan baik!" tolak Harimau Gila, yang kemudian bergerak mundur
memberikan jalan kepada Ki Tambak Rejo dan rombongan.
Ki Tambak Rejo mengerti akan keadaan sahabatnya itu. Maka ia tidak berusaha
memaksa. Sambil menggelengkan kepala mengingat nasib sial yang menimpa
sahabatnya, ia membawa rombongan melanjutkan perjalanan. Kepala rampok dan para
pengikutnya ini sama sekali tidak menduga kalau Harimau Gila mengikuti
perjalanan mereka dengan menjaga jarak, agar perbuatannya tidak sampai
diketahui. *** 7 "Kakang..."
Panggilan lembut yang menelusup masuk ke dalam telinganya, membuat lelaki gagah
ini terbangkit kesadarannya. Perlahan ia menolehkan kepala, setelah terlebih
dulu menarik napas panjang-panjang.
"Beberapa hari belakangan ini aku sering men-jumpai Kakang sedang termenung.
Adakah sesuatu yang mengganggu pikiran Kakang" Tidakkah sebaiknya Kakang berbagi
beban itu denganku" Siapa tahu dengan menceritakannya kepadaku, beban itu akan
terasa lebih ringan...," lanjut sosok perempuan cantik ini, yang kemudian ikut
duduk di samping lelaki gagah itu.
"Ke mana Andari...?" tanya lelaki ini mengalihkan pembicaraan itu.
"Dia baru saja tidur, Kakang...," sahut perempuan cantik ini seraya memandang
bola mata suaminya, seakan menunggu jawaban permintaannya tadi.
"Ceritamu tentang laki-laki yang menolong putri kita itulah, yang membuat
ketenanganku agak terganggu." Lelaki gagah ini mulai mengungkapkan apa yang
menjadi beban pikirannya. "Dari ciri-ciri yang kau gambarkan, rasanya aku dapat
menduga siapa adanya lelaki itu...," mendadak ucapannya terhenti.
Kemudian tubuhnya bergerak bangkit, membuat istrinya tersentak kaget.
"Ada apa, Kakang.."!"
"Aku mendengar suara derap kaki kuda dalam jumlah yang cukup banyak...," jawab
lelaki gagah yang
dalam dunia persilatan dujuluki sebagai Garuda Kuku Baja ini, dengan kening
berkerut. Karena sebagai seorang tokoh silat berpengalaman luas, nalurinya
mengisyaratkan ada ancaman bahaya bagi keluarganya. Perasaan seperti ini memang
sulit dijabarkan.
Namun, hampir setiap tokoh silat berpengalaman memilikinya. Dan, baru saja ia
selesai bicara, tiba-tiba terdengar sebuah seruan keras yang mengandung tenaga
dalam kuat. "Garuda Kuku Baja, keluar kau! Aku Ki Tambak Rejo datang untuk mengirimmu ke
akherat...!"
"Kurang ajar...! Mengapa tiba-tiba perampok busuk itu mendatangi tempat
ini..."!" desis Garuda Kuku Baja, yang menjadi geram bukan main. Lalu menoleh ke
arah istrinya. "Kau masuklah ke kamar, dan jaga anak kita...!" Sebelum istrinya
menjawab, tubuh Garuda Kuku Baja sudah melesat ke luar dengan gejakan yang
mengagumkan. Whuukkk, whuuukkk!
Baru saja tubuhnya melewati pintu, empat benda runcing, yang merupakan mata
tombak, langsung menyambut kemunculannya. Namun Garuda Kuku Baja tidak menjadi
gugup. Dengan ketenangan luar bisa, sepasang tangannya mengibas dengan jurus
'Garuda Sakti Membuka Sayap'. Karuan saja empat penyerang itu terlempar ke kiri-
kanan. Sedang senjata mereka telah patah menjadi tiga bagian!
"Sebagian kepung rumah ini, yang lainnya habisi pendekar sombong itu...!"
Tanpa banyak basa-basi lagi, Ki Tambak Rejo segera memberi perintah. Ia sendiri
sudah melayang turun dari atas kudanya. Dengan senjata berupa sepasang trisula
perak, kepala rampok itu menerjang Garuda Kuku Baja.
"Keparat kau, Ki Tambak Rejo...! Akan kuhabisi kalian semua...! Heaaattt...!"
Dengan kemarahan yang meledak-ledak, Garuda Kuku Baja melesat ke depan menyambut
serangan Ki Tambak Rejo dan para pengikutnya. Kedua tangannya yang membentuk
cakar garuda, menyambar-nyambar disertai suara angin berkesiutan. Sekali dua
lengannya bergerak, terdengar suara jerit kesakitan, yang disusul dengan
robohnya dua orang pengeroyoknya.
Mereka tewas seketika dengan tenggorokan terkoyak jari-jari sekeras baja itu.
Siuuttt! Cwittt...!
Sepasang trisula perak Ki Tambak Rejo menyambar dengan kecepatan tinggi. Namun
dua serangan itu tidak mengenai sasaran. Karena Garuda Kuku Baja telah menggeser
langkahnya ke kanan. Sembari menghindar, cakar garudanya kembali beraksi
merobohkan seorang pengeroyok, hingga terbanting tewas dengan luka menganga pada
bagian Iambung-nya. Kemudian disusul dengan beberapa orang lawan lagi, yang tak
sempat menghindari sambaran kuku sekeras baja lelaki gagah ini. Sehingga
amukannya sempat membuat kepungan merenggang.
"Pengecut, ayo maju...!" Ki Tambak Rejo kembali berteriak-teriak memberi
perintah kepada para pengikutnya. Kemudian mengayunkan sepasang trisulanya ke
tubuh Garuda Kuku Baja.
"Hmmhh...!"
Garuda Kuku Baja benar-benar marah sekali kepada Ki Tambak Rejo. Namun ia tidak
sempat untuk mencecar kepala rampok itu dengan serangannya. Karena para pengikut
Ki Tambak Rejo menghambur maju dengan sambaran senjatanya masing-masing. Hal itu
membuat Garuda Kuku Baja harus
membagi perhatiannya, tak bisa cuma mengurusi seorang saja.
Selagi mengamuk dengan keampuhan cakarnya, tiba-tiba saja wajah Garuda Kuku Baja
berubah pucat! Bayangan para pengikut Ki Tambak Rejo yang tengah berusaha untuk memasuki
rumahnya, membuat Garuda Kuku Baja melenting ke udara, meninggalkan lawan-
lawannya. Sambil membagi-bagi sambaran jari-jari bajanya, lelaki gagah itu
menerobos masuk ke rumah. Karena ia merasa khawatir akan keselamatan anak dan
istrinya. Cappp! Crabbb! Garuda Kuku Baja terpekik ketika dua ujung tombak menancap di tubuh bagian
belakangnya, ketika dia berusaha masuk ke rumah. Secepat kilat tubuhnya berputar
disertai suara menggereng yang menggetarkan jantung. Sepasang cakarnya meluncur
deras, dan mencekal tenggorokan dua orang penyerangnya. Kedua orang itu
mendelik, karena jalan napasnya tercekik!
"Jiaaahhh...!"
Sembari membentak, Garuda Kuku Baja membetot jari-jarinya yang terbenam di
tenggorokan lawan.
Hingga, kedua lengannya berlumuran darah. Dan pa-da tiga buah jari kedua
tangannya, yang membentuk cakar garuda, terdapat serpihan kulit dan daging kedua
orang lawannya, yang telah tersungkur dengan napas putus!
Ki Tambak Rejo tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi tubuh Garuda Kuku Baja
menegang, sehabis mencabut nyawa kedua orang pengikutnya. Sepasang trisulanya
bekerja cepat menusuk kedua lambung yang terbuka itu. Karena saat itu Garuda
Kuku Baja tengah berdiri dengan kedua tangan dikembangkan.
Tanpa ampun lagi, senjata bermata tiga itu langsung menembus sasarannya.
Seketika Garuda Kuku Baja menjerit setinggi langit Tubuhnya limbung disertai
semburan darah ketika Ki Tambak Rejo mencabut senjatanya yang menancap cukup
dalam. "Kakang..."!"
Istri Garuda Kuku Baja, yang berdiri di depan pintu kamarnya, menjerit,
menyaksikan tubuh suaminya terhuyung dengan percikan darah yang membasahi
lantai. Perempuan cantik ini sudah mengikat tubuh putrinya di punggung dengan
sehelai kain. Dia bergegas menyambut tubuh suaminya, dan melepaskan pedang yang
dipegangnya. Namun, ia tak sempat lagi untuk mengurusi sang Suami, karena tiga
orang perampok menerobos masuk dengan senjata di tangan. Cepat wanita cantik ini
menyambar pedangnya yang tergeletak di lantai.
"Pergilah kalian ke neraka, manusia-manusia busuk...!" pekik istri Garuda Kuku
Baja sambil menyabetkan pedangnya mengarah perut ketiga perampok itu.
Terdengar jeritan kematian susul menyusul ketika pedang itu merobek sasarannya.
Darah pun seketika muncrat membanjiri lantai rumahnya.
Namun robohnya ketiga perampok itu bukan berarti istri Garuda Kuku Baja sudah
bisa bernapas lega, karena enam perampok menyusul masuk ke dalam rumah.
Sehingga, wanita cantik yang menggendong putrinya di punggung ini, harus
berjuang keras menghadapi enam orang perampok yang menyerangnya. Sebagai istri
seorang tokoh kenama-an, tentu saja dirinya bukanlah perempuan lemah.
Kendati ilmunya berada jauh di bawah Garuda Kuku Baja, namun serangan enam orang
perampok itu masih dapat ditanggulanginya. Sayangnya lawan yang harus dihadapi bukan cuma
enam orang itu.
Beberapa orang perampok yang telah menerobos masuk, ikut bergabung mengeroyok.
Sehingga wanita ini mulai kewalahan dan terdesak ke sudut ruangan.
"Manusia-manusia keji, tak tahu malu melakukan pengeroyokan terhadap seorang
wanita...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan marah, yang disusul dengan melayangnya sesosok
tubuh, menerobos atap rumah. Belum lagi kakinya menginjak tanah, sebatang pedang
yang tergenggam di tangannya, telah datang menyambar para pengeroyok istri
Garuda Kuku Baja. Seketika itu pula empat orang perampok terlempar mandi darah!
"Pergilah, selamatkan dirimu dan anakmu! Biar aku yang akan menghadapi perampok-
perampok busuk itu...!" ujar sosok tubuh berpakaian serba hitam yang sebagian
wajahnya juga tertutup selembar kain hitam.
"Tapi..., suamiku...," wanita cantik itu masih juga belum bergerak dari
tempatnya. Sepasang matanya yang basah menatap sayu tubuh sang Suami yang tampak
sudah tidak bergerak.
"Percuma, Nyi, suamimu sudah tewas...," tukas sosok berpakaian serba hitam
seraya menghela napas penuh sesal melihat sosok Garuda Kuku Baja, yang sudah
tidak bernapas lagi.
Wanita cantik ini mengeluh dengan air mata yang kembali meluncur membasahi
wajahnya. Kepalanya menggeleng perlahan, seolah tak dapat menerima kematian
suaminya. Jiwanya mengalami guncangan hebat, membuat tubuhnya terhuyung mundur.
Seolah bumi yang dipijaknya ikut berguncang. Untung lelaki berpakaian serba
hitam yang barusan menyelamat-
kan dirinya sempat melihat dan langsung
menyambar. Sehingga tubuh wanita itu tidak sampai terbanting roboh.
"Nyi, jumlah mereka terlampau banyak. Kurasa aku pun tidak akan sanggup
menghadapinya. Kita harus cepat tinggalkan tempat ini...!" bisik sosok
berpakaian serba hitam sambil menahan tubuh wanita malang itu agar tidak jatuh.
Namun lagi-lagi istri Garuda Kuku Baja menggelengkan kepala disertai isak tangis
yang me-milukan. Hatinya masih berat meninggalkan tubuh sang suami meski sudah
tidak bernyawa lagi itu.
"Pikirkanlah keselamatan putrimu, Nyi...! Apakah kau menghendaki ia dibantai
perampok-perampok biadab itu..."!" lanjut lelaki berpakaian serba hitam, sambil
menusukkan pedangnya dua kali ke tubuh dua orang perampok yang datang menyerang.
Korban pun kembali jatuh terkapar berlumur darah.
Ucapan penolongnya membuat istri Garuda Kuku Baja baru sadar kalau saat itu ia
masih menggendong putrinya. Ia pun mengangguk setuju, setelah kembali menatap
mayat suaminya. Wanita ini tidak berusaha memberontak sewaktu tubuhnya dibawa
melayang naik, menerobos atap rumah. Kemudian terus dibawa pergi oleh
penolongnya ke arah selatan.
Matahari sudah naik semakin tinggi, sewaktu lelaki berpakaian serba hitam yang
membawa istri dan putri Garuda Kuku Baja tiba di sebuah desa. Dia langsung
membawa kedua orang yang ditolongnya ke sebuah rumah penginapan, yang
dianggapnya cukup aman untuk sementara waktu.
"Mengapa kau menolongku, Tuan...?" tanya istri Garuda Kuku Baja, setelah
mengenali penolongnya.
Dia ternyata lelaki yang pernah dijumpainya, sewaktu
ia sedang bermain-main dengan putrinya. Lelaki berpakaian serba hitam ini memang
tak lain Sagotra.
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong sesama, selama pertolongan yang
kita berikan bukanlah untuk berbuat jahat..." jawab Sagotra sambil tersenyum
tipis, "Untuk sementara waktu, tempat ini cukup aman. Aku akan pergi sebentar
untuk melihat keadaan di sana. Siapa tahu masih ada harta yang tersisa, yang aku
yakin akan berguna banyak untuk kalian berdua. Tunggulah di tempat ini, dan
jangan sekali-kali keluar sebelum aku kembali!"
lanjutnya, berpesan kepada kedua ibu dan anak itu.
"Tuan..., hati-hatilah...!" ujar wanita cantik ini dengan suara menggambarkan
kecemasan hatinya.
Sagotra menunda langkah dan menoleh ke
belakang. Dia tersenyum untuk menenangkan hati wanita cantik itu. Kemudian
mengangguk dan melesat pergi meninggalkan rumah penginapan.
***
Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, Sagotra melesat menuju Hutan Pagar
Jurang. Hatinya benar-benar gembira karena rencana yang diaturnya berjalan
lancar. Kini tidak ada halangan lagi baginya untuk selalu dekat dengan perempuan
cantik yang membuatnya tergila-gila itu. Membayangkan wajah cantik dengan tubuh
molek itu berada dalam pelukannya, hati Sagotra berdebar nikmat. Rasanya ia tak
sabar untuk segera kembali bertemu dan berkumpul dengan wanita cantik itu.
Bayangan wajah cantik itu membuat Sagotra semakin mempercepat larinya. Hingga
akhirnya ia tiba di Hutan Pagar Jurang, markas gerombolan perampok yang
disewanya untuk
membunuh Garuda Kuku Baja.
Ki Tambak Rejo yang sudah menunggu-nunggu kedatangan Setan Pantai Timur,
bergegas menyambut begitu melihat sosok bayangan hitam berlari mendatangi
markasnya. Mulutnya tersenyum dan memperdengarkan kekeh senang. Karena Setan
Pantai Timur tampak membawa buntalan besar dan terlihat sangat berat
Pimpinan Perampok Hutan Pagar Jurang itu meng-gosok kedua telapak tangan seraya
membayangkan imbalan yang bakal diterimanya. Meski untuk itu telah kehilangan
beberapa orang pengikutnya, Ki Tambak Rejo sama sekali tidak terlihat menyesal.
Yang penting dirinya selamat. Mengenai pengikutnya ia tidak mau ambil pusing.
Sebab, semua itu memang sudah menjadi resiko pekerjaan.
"Pekerjaanmu membuat aku bangga dan gembira, Ki Tambak Rejo...," ujar Setan
Pantai Timur memperlihatkan wajah berseri. "Garuda Kuku Baja tewas dalam
penyerbuan itu. Dan aku pun sudah mendapatkan istrinya yang cantik. Sekarang kau
boleh menerima imbalannya...," berkata demikian, Setan Pantai Timur segera
membuka buntalan, memperlihatkan kepingan emas, dalam jumlah banyak.
Ki Tambak Rejo terkekeh dengan mata berkilat-kitat. Bersama para pengikutnya,
kepala rampok ini mengelilingi Setan Pantai Timur.
"Ini hanya untuk membuktikan janjiku. Selain ini, masih ada sepuluh kotak besar
penuh emas permata yang akan membuat kalian semua hidup senang.
Oleh karena ini merupakan permulaan, maka aku akan membagikannya kepada kalian
semua," lanjut Setan Pantai Timur, yang memang telah banyak
mengumpulkan harta selama belasan tahun malang melintang melakukan perbuatan
jahatnya. Ucapannya disambut sorak-sorai para pengikut Ki Tambak Rejo.
"Kau tidak perlu khawatir, Ki Tambak! Kau akan mendapat dua puluh kali lipat
dari pengikut-pengikutmu."
Ki Tambak Rejo yang semula mengerutkan kening mendengar Setan Pantai Timur akan
membagi-bagikan kepingan emas itu, kini tersenyum lebar.
Kepalanya mengangguk-angguk mendengar tentang bagian yang akan diperolehnya.
Setan Pantai Timur mempersilakan Ki Tambak Rejo lebih dulu untuk mengambil
kepingan emas dalam kantong besar itu. Sambil terkekeh-kekeh, kepala rampok ini
meraup kepingan emas sebanyak-banyaknya dengan kedua tangan. Baru kemudian para
pengikutnya bergantian maju meraup hanya dengan satu tangan, seperti yang
diperintahkan Setan Pantai Timur. Sampai akhirnya seluruh isi kantong ludes
tanpa sisa. Dengan bibir menyunggingkan senyum licik, Sagotra alias Setan Pantai Timur
bergerak mundur menjauhi Ki Tambak Rejo dan pengikutnya yang tengah menari-nari
sambil tertawa-tawa seperti orang gila.
"Aakhh..."!"
Tiba-tiba saja, Ki Tambak Rejo yang tengah tertawa-tawa menatap kepingan emas
kedua telapak tangannya, memekik keras. Tubuhnya terhuyung dengan wajah pucat!
Kepingan emas di kedua tangannya dilemparkan ke tanah. Mulutnya menjerit-jerit
ketika melihat kedua telapak tangannya telah berubah kehitaman. Ki Tambak Rejo
memutar tubuhnya ke tempat Setan Pantai Timur berada.
"Kau... keparat...! Emas-emas ini telah kau lumuri racun jahat...!" desis Ki
Tambak Rejo, yang wajahnya juga mulai berwarna kehitaman.
Setan Pantai Timur tertawa berkakakan. Ia sama sekali tidak khawatir meski Ki
Tambak Rejo sudah bergerak maju dengan sepasang trisulanya. Karena sebelum tiba
dekat, kepala rampok ini sudah roboh ke tanah, tak sanggup melangkah lebih jauh.
"Hua ha ha...! Apa kau kira aku rela membagi-bagikan harta hasil jerih payahku
kepadamu, Ki Tambak Rejo" Dan apa kau pikir aku percaya kau bisa menjaga
rahasiaku" Tidak, Ki Tambak! Semua yang tahu rahasiaku harus mampus! Aku tak
ingin kau akan mendatangkan kesulitan kepadaku di kemudian hari nanti...!" ujar
Setan Pantai Timur sambil tertawa terbahak-bahak. Tawanya semakin keras ketika
Ki Tambak Rejo berkelojotan hingga akhirnya tewas dengan tubuh mengejang.
Kemalangan yang menimpa Ki Tambak Rejo juga dialami semua pengikutnya. Puluhan
anggota perampok itu roboh bergelimpangan dengan mulut berbusa dan kulit
kehitaman. Dalam beberapa saat saja, Ki Tambak Rejo dan seluruh pengikutnya
telah tewas oleh kelicikan dan kekejaman Setan Pantai Timur.
Setelah agak lama, dan yakin kalau semuanya sudah tewas, Setan Pantai Timur
melangkah perlahan, mengumpulkan kepingan uang yang berserakan di tanah.
Kemudian dimasukkan kembali ke kantong yang masih dipegangnya. Tokoh sesat yang
licik dan kejam ini tentu saja tidak terpengaruh oleh racun itu. Karena ia telah
menelan obat penangkal, selain melumuri kedua belah telapak tangannya dengan
bubuk putih, yang merupakan obat
penawar racun. Setelah semua keping emas terkumpul, Setan Pantai Timur melesat pergi sambil
memperdengarkan tawa iblisnya. Sebentar saja sosoknya telah jauh dan merupakan
bayangan samar, sampai akhirnya lenyap ditelan kelebatan pohon Hutan Pagar
Jurang. Tidak berapa lama sepeninggal Setan Pantai Timur, muncullah sesosok tubuh pendek
gemuk dari balik rimbunan semak. Sosok itu tak lain Harimau Gila, yang telah
menyaksikan semua kejadian tadi sejak awal.
"Hm..., sejak semula aku memang sudah menaruh curiga kepada manusia satu itu.
Sebab, setahuku ia sangat sayang terhadap harta hasil jerih-payahnya.
Sekarang terbukti apa yang membuatku penasaran.
Hm... hati-hati, Sagotra! Rahasia kebusukanmu ada di tanganku...!" setelah
berkata demikian, Harimau Gila pun meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
*** "Mengapa begitu lama Tuan pergi" Membuat aku cemas memikirkannya...," ujar wanita
cantik bekas istri Garuda Kuku Baja, menyambut kedatangan Sagotra. Kecemasan
pada wajahnya perlahan lenyap saat melihat penolongnya kembali dengan selamat.
Hampir dua hari ia menunggu-nunggu kedatangan penolongnya itu.
"Maaf, aku harus mengurus mayat suamimu dulu.
Kemudian mencari-cari kalau-kalau ada yang terlewatkan dari perampok-perampok
busuk itu. Sayang aku tidak menemukan satu pun benda berharga yang masih tersisa. Sedangkan
aku cuma memiliki ini saja...," jawab Sagotra menjelaskan.
Kemudian memperlihatkan sekantong uang yang dibawanya sebagai bekal. Sedang
selebihnya ia sembunyikan di tempat tinggalnya. Itu yang menyebabkan Sagotra
sampai hampir dua hari baru kembali.
"Tuan begitu baik kepada kami. Entah bagaimana aku bisa membalasnya...," ujar
wanita cantik ini seraya menundukkan wajahnya. Karena Sagotra, yang tidak bisa
menyembunyikan rasa kagum dan tertariknya, terus menatapnya tak berkedip.
Kendati demikian, istri Garuda Kuku Baja tidak marah, karena penolongnya itu
tidak berbuat kurang ajar, selain memandangnya dengan sorot mata kagum.
Selebihnya sikap Sagotra memang terlihat sopan, membuat wanita ini tidak merasa
khawatir. "Aku tidak mengharapkan balasan darimu, Nyai."
"Namaku Nilam, Tuan. Panggil saja dengan nama itu. Tidak enak rasanya mendengar
Tuan terus-menerus menyebutkan Nyai...," sela wanita cantik ini menyebutkan
namanya. "Nilam...," desis Sagotra beberapa kali, seperti hendak mengukir nama itu di
dalam hatinya. Hal itu membuat wajah istri Garuda Kuku Baja kemerahan karena
jengah. "Sebuah nama yang indah. Aku suka mengucapkannya. Sangat cocok sekali
dengan parasmu yang laksana dewi, Nyai... eh, Nilam. Dan kau boleh panggil aku
dengan nama Sagotra, tanpa embel-embel Tuan seperti yang sering kau ucapkan,"
lanjut Sagotra tersenyum lembut, bagai tak pernah puas menikmati wajah cantik di
hadapannya. "Terima kasih, Sagotra. Mmm..., malam sudah semakin larut Aku ingin
beristirahat...," ucap Nilam mengangkat wajah dan mengangguk kepada Sagotra.
"Baiklah, Nilam. Dan besok pagi-pagi sekali kita
harus segera meninggalkan desa ini. Aku khawatir para perampok itu masih akan
mengincarmu. Terlebih putrimu. Menurut dugaanku, mereka akan membunuhnya. Khawatir kalau-
kalau ia akan menjadi penyakit di kemudian hari...," ujar Sagotra mengingatkan
Nilam dalam bahaya yang masih akan terus membayangi.
Agak kaget juga hati Nilam mendengar ucapan Sagotra. Membuat langkahnya
terhenti, dan memutar tubuh menghadapi penolongnya itu. Sebagai seorang istri
tokoh silat, tentu saja Nilam mengerti bahwa ancaman itu ada kemungkinan akan
datang lagi."Ke mana tujuan kita selanjutnya. ..?" tanya Nilam yang tidak tahu harus
bagaimana, dan menyerahkan keputusannya kepada Sagotra. Karena ia tidak
mempunyai tempat lagi untuk berlindung kecuali kepada lelaki penolongnya itu.
"Ke mana saja yang kira-kira aman untuk kau dan putrimu, Nilam. Dan kau tidak
perlu khawatir karena aku akan melindungi kalian berdua dengan taruhan nyawa,"
janji Sagotra untuk menenangkan hati Nilam.
"Mengapa... mengapa kau sampai mau berkorban nyawa untuk kami berdua, Sagotra"
Sedangkan kita baru saling mengenal...?" Agak kaget juga hati Nilam telanjur
melontarkan pertanyaan itu. Namun untuk menariknya sudah terlambat. Terpaksa ia
menunggu jawaban Sagotra dengan hati berdebar. Sebagai wanita, terlebih sudah
pernah bersuami, tentu saja Nilam menangkap getaran perasaan dan pancaran mata
Sagotra. "Karena... terus terang sejak pertama kali berjumpa, aku merasa kagum dan
tertarik kepadamu, Nilam. Tapi, bukan berarti aku merasa senang melihat kau
kehilangan suamimu. Aku pun turut
menyesal mengapa aku datang terlambat waktu itu.
Kalau saja aku tiba lebih cepat, kemungkinan besar kau masih akan bersama-sama
suamimu..."
Nilam menghela napas perlahan, menenangkan gemuruh di dalam dadanya.
"Aku baru saja kehilangan suamiku, Sagotra...,"
ucapnya lemah, teringat kembali akan kematian suaminya.
"Maafkan aku, Nilam...."
Nilam tidak berkata apa-apa lagi. Beberapa saat keheningan menyelimuti mereka
berdua, sampai akhirnya Nilam minta diri untuk istirahat.
Sagotra hanya mengangguk lemah. Setelah sosok Nilam lenyap di balik pintu,
Sagotra pun melangkah memasuki kamarnya, yang bersebelahan letaknya dengan kamar
wanita cantik itu.
*** Bayangan kejadian masa lalu yang melintas jelas dalam benak Sagotra, membuat
wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri di dadanya. Langkah kakinya terhuyung
seperti tak dapat menapak dengan baik.
"Nilam... Andari... ampuni dosa-dosaku...!" rintih suara parau Sagotra
mengungkapkan kedukaan hatinya. Kakinya terus melangkah lambat-lambat melintasi
jalan setapak. Sudah dua hari dua malam Sagotra menempuh perjalanan tanpa mempedulikan keadaan
dirinya, yang kini tak ubahnya dengan seorang gembel.
Pakaiannya kotor dan koyak di beberapa tempat.
Demikian pula dengan rambut dan wajahnya. Kotor dan dipenuhi debu. Sepasang
matanya sayu, me-
mandang kosong ke depan. Keadaan ini menunjukkan betapa hati Sagotra tengah
dilanda kedukaan hebat! Bayangan anak dan istri yang akan membenci dan memusuhi
dirinya, membuat hatinya tidak bisa tenang tinggal di rumah. Akhirnya ia
memutuskan untuk pergi meninggalkan anak istrinya. Karena menurutnya lebih baik
meninggalkan daripada ditinggalkan.
Tanpa disadari, langkahnya telah membawa Sagotra jauh meninggalkan Desa
Kranggan. Kini langkahnya terhenti. Di hadapannya membentang sebatang sungai
berair deras berwarna keruh kecoklatan. Lebar sungai kurang lebih sekitar tiga
tombak lebih. Di sini Sagotra termenung. Terdengar tarikan napasnya yang panjang
dan berat. "Hua ha ha...! Sagotra... Sagotra...! Kau tak ubahnya seekor ular yang
menghampiri peng-gebuk...!"
Sebuah suara yang besar dan berat membuat Sagotra tersadar dari lamunannya.
Bergegas ia memutar tubuh. Didapatinya sesosok tubuh pendek gemuk berdiri
sekitar dua tombak di hadapannya.
Selain lelaki itu, juga masih terdapat empat lelaki lain.
"Harimau Gila..."!" desis Sagotra terkejut dan juga heran, "Rupanya kau masih
juga belum puas hingga terus membayangi langkahku...!" lanjutnya dengan nada
geram! "Hmmhh...! Kau telah mengingkari janjimu, Sagotra. Sehingga, niat untuk membunuh
Pendekar Clurit Perak terpaksa batal! Dan kaulah yang menjadi penyebab
utamanya!" ujar Harimau Gila tanpa mempedulikan perkataan Sagotra, "Aku telah
menulis surat kepada istri dan anakmu. Dan melihat keadaanmu, aku bisa menebak
kalau kau pasti
melarikan diri, karena mereka hendak membunuhmu!
Itu akibatnya, karena kau tidak mau membantuku!"
"Hm..., lalu apa lagi yang kau kehendaki dariku sekarang?" tukas Sagotra menatap
wajah Harimau Gila dengan penuh kebencian.
"Mengajakmu untuk bergabung. Dan kau tidak punya pilihan lain. Saat ini tokoh-
tokoh golongan putih sedang mencari-cari pembunuh Kakek Jubah Hitam!
Itu sebabnya kami berkumpul di tempat ini. Karena kami harus menyembunyikan diri
di tempat yang aman sampai keadaan kembali tenang. Dan perlu kau ketahui,
Sagotra! Kami telah menyebar berita bahwa yang membunuh Kakek Jubah Hitam adalah
Setan Pantai Timur! Tapi, karena tanpa sengaja kau telah menginjak daerah
persembunyian kami, dan mengingat hubungan lama kita, aku merasa kasihan
kepadamu. Jawabannya terserah kepadamu. Kami tak aka memaksa...," Harimau Gila
yang mengakhiri ucapannya dengan tawa bergelak.
"Tidak! Lebih baik mati daripada bergabung dengan manusia licik dan kejam
sepertimu, Harimau Gila! Malah aku akan membawamu untuk bergabung dengan
malaikat maut!" usai berkata demikian, Sagotra menghunus pedangnya. Ia menjadi
nekat, karena merasa hidupnya sekarang tak ubahnya orang yang telah mati.
Sagotra merasa kematian jauh lebih baik ketimbang menjalani hidup dengan beban
yang baginya terasa sangat berat.
"Hm..., sebenarnya aku sudah tidak berminat untuk membunuhmu, Sagotra. Aku lebih
suka melihat keadaanmu sekarang, yang tak ubahnya mayat berjalan. Hatimu akan
terus digerogoti penderitaan, yang kelak akan menghantarmu ke akherat. Tapi,
karena tanpa sengaja kau telah mengetahui tempat
persembunyian ini, terpaksa aku harus membunuhmu...!" sahut Harimau Gila, lalu
segera memberi isyarat kepada empat orang kawannya, yang dua di antaranya
ternyata Penjagal Kepala dan Ronggawu.
Mereka telah bergabung di tempat persembunyian itu.
Sagotra memutar pedang di sekeliling tubuhnya membentuk gulungan sinar menderu-
deru. Dan dengan diiringi sebuah teriakan panjang, tubuhnya melesat menerjang
Harimau Gila, yang memang sangat dibencinya.
Harimau Gila dan empat kawannya pun tidak tinggal diam. Dengan senjata di
tangan, mereka mengeroyok Setan Pantai Timur. Hingga, sebentar saja pertempuran
seru pun berlangsung!
Namun setelah pertarungan lewat dari tiga puluh jurus, terlihat Sagotra mulai
kewalahan. Hal itu disebabkan keadaannya yang memang tidak
memungkinkan. Rasa lelah lahir dan batin, membuat ketangkasannya jauh berkurang.
Kini dirinya harus bertahan mati-matian dari desakan lima orang pengeroyoknya
itu. "Haiiittt...!"
Di saat keadaan Sagotra semakin payah, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang,
yang disusul dengan melayangnya sesosok bayangan hijau ke tengah arena. Begitu
tiba, sosok bayangan hijau itu langsung membuat desakan Harimau Gila dan kawan-
kawannya terhadap Sagotra menjadi berantakan!
Sambaran sinar putih keperakan yang disertai gelombang angin dingin menusuk
tulang, membuat lima orang kepala rampok itu berlompatan. Mereka mundur
meninggalkan Sagotra yang tampak
kepayahan dengan sekujur tubuh dibanjiri peluh.
Kini sosok bayangan hijau yang menyelamatkan nyawa Sagotra, telah berdiri dengan
kedua kaki terpentang. Di tangannya tergenggam sebatang pedang bersinar putih
keperakan yang menyebarkan hawa dingin. Sosok itu ternyata seorang wanita muda
berparas jetita, yang mengenakan pakaian serba hijau. Siapa lagi dara jelita ini
kalau bukan Kenanga.
*** 8 Melihat paras cantik jelita dengan bentuk tubuh mengundang selera itu, Harimau
Gila dan keempat kawannya sama terbelalak menelan air liur. Mereka tak jadi
marah. Bahkan kelimanya kemudian menyeringai, sambil menjilati wajah dan tubuh
Kenanga dengan pandang matanya.
"Aku kebetulan lewat di tempat ini dan mendengar semua pembicaraan kalian. Aku
Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memang belum mendengar tentang kematian Kakek Jubah Hitam.
Tapi, mendengar pembicaraan kalian, yang mengatakan bahwa tokoh-tokoh golongan
putih tengah mencari-cari si Pelaku Pembunuhan, hatiku pun tergerak.
Aku terpaksa turun tangan membela lelaki yang kalian sebut sebagai Setan Pantai
Timur ini. Karena ia ikut terlibat dan menjadi saksi pembunuhan itu.
Selain itu, aku membelanya karena mendengar sikapnya yang menentang kalian
semua. Aku pernah dengar nama besar Setan Pantai Timur. Tapi, melihat keadaan
dan perkataannya sekarang, aku bisa menduga kalau ia telah sadar dari
kesesatannya. Dan orang yang telah sadar patut dibela!" ujar Kenanga tidak
mempedulikan pandangan kelima orang kepala rampok itu.
"Celaka...!" desis Harimau Gila setelah mendengar ucapan dara jelita itu.
Seleranya langsung lenyap seketika, berganti dengan kecemasan. Kini ia tidak
lagi memandang Kenanga sebagai sosok yang meng-giurkan, melainkan orang
berbahaya yang juga harus dilenyapkan! Maka, Harimau Gila kembali memberi
isyarat kepada kawan-kawannya untuk mengeroyok dan membunuh Kenanga serta Setan.
Pantai Timur! Kenanga dan Sagotra seolah sudah saling sepakat untuk maju bersama. Maka, mereka
pun bergerak maju untuk menghadapi keroyokan lima orang lawan itu.
"Hih hih hih...!"
Kedua belah pihak yang sudah siap saling terjang ini sama tertegun, ketika
mendadak terdengar suara tawa mengikik, yang bagaikan datang dari delapan
penjuru angin. "Bibi Guru..."!"
Tiba-tiba saja Harimau Gila berseru dengan wajah berseri. Kemudian bergegas lari
menyambut ketika melihat adanya sesosok bayangan yang mendatangi tempat itu.
"Hih hih hih...! Kau rupanya, Harimau Gila!" seru seorang nenek bertelanjang
dada. Perempuan tua renta itu tak lain Kalong Wewe. "Sedang apa kau di sini?"
tanyanya kepada Harimau Gila, yang rupanya dikenal baik oleh nenek sinting ini.
Harimau Gila, yang menjatuhkan diri di depan Kalong Wewe, bergegas bangkit.
Mereka berdua memang memiliki hubungan yang cukup dekat.
Karena guru dari Harimau Gila adalah adik seperguruan Kalong Wewe. Itu sebabnya
mengapa mereka berdua saling kenal satu sama lain. Dan Harimau Gila tentu saja
sangat gembira dengan kemunculan bibi gurunya itu. Karena dengan adanya nenek
sinting ini, pihaknya jelas bertambah kuat
"Aku sedang mendapat kesulitan, Bibi Guru," jawab Harimau Gila separo melapor,
"Dan aku terpaksa bersembunyi karena tengah dicari-cari tokoh-tokoh golongan
putih. Mereka berdua termasuk di antara
orang-orang yang memburuku..."
"Aiihh..., kalau begitu, kaulah yang telah membunuh tua bangka Kakek Jubah
Hitam"!" tukas Kalong Wewe memperlihatkan seringai senang.
Tawanya terdengar berkepanjangan ketika melihat Harimau Gila mengangguk pasti.
"Bagus... bagus...!
Orang-orang seperti tua bangka sombong itu memang sudah seharus-nya dilenyapkan.
Karena mereka hanya membuat susah gerakan kita saja. Kalau begitu, biar kedua
orang itu menjadi bagianku...!"
lanjutnya yang kemudian menghampiri Kenanga dan Sagotra.
Kemunculan Kalong Wewe, tentu saja membuat Kenanga merasa terkejut. Terlebih
Sagotra yang telah mendengar kesaktian nenek sinting itu. Hatinya menjadi
tegang. Wajahnya agak pucat. Meski ia tidak takut menghadapi kematian, namun
menghadapi nenek yang tidak lumrah manusia itu, hatinya merasa gentar juga.
"Kalian berdua bersiaplah untuk meninggalkan dunia ini...!" ujar Kalong Wewe.
Begitu ucapan itu selesai, dia langsung menyerang Kenanga dan Sagotra dengan
menggunakan kuku-kukunya yang panjang dan runcing. Kuku-kuku sekeras besi ini
meluncur disertai suara angin berkesiutan.
Kenanga dan Sagotra bergerak menyebar ke kiri dan kanan. Sambaran kuku-kuku
runcing itu langsung dipapaki Kenanga dengan sambaran Pedang Sinar Bulannya.
Namun, betapa terkejut Kenanga ketika pedangnya berbenturan dengan kuku nenek
sinting itu, lengannya bergetar keras. Bahkan tubuhnya terjajar beberapa langkah
ke belakang. Sedangkan tubuh Kalong Wewe terlihat cuma bergetar dan masih tetap
di tempatnya. Kuku-kuku jari tangan nenek
sinting itu terlihat tetap utuh, menandakan bahwa tenaga dalam yang
melindunginya sangatlah kuat.
Sesaat setelah benturan itu terjadi, Sagotra memekik keras sambil menusukkan
pedangnya ke tubuh Kalong Wewe. Namun, nenek tanpa baju itu sudah memiringkan
tubuh, membuat ujung pedang Sagotra lewat di depannya. Dan sebelum Sagotra
sempat menarik senjatanya tangan kanan Kalong Wewe sudah terulur hendak merampas
pedang itu. Sedang tangan kirinya menusuk ke arah ulu hati Sagotra. Gerakan nenek ini sangat
cepat bukan main, membuat Sagotra sadar bahwa kalau mau selamat, ia harus
merelakan senjatanya dirampas. Sayang gerakannya kalah cepat. Sebelum ia
bergerak melempar tubuh ke belakang, pedangnya telah tercengkeram jari-jari
tangan lawan. Untung saja ia masih sempat memiringkan tubuh saat jari-jari yang
mengandung racun pelumpuh itu menyambar ulu hatinya. Sehingga, meski ia tidak
berhasil menghindar, namun tusukan itu meleset dari sasaran, dan hanya menggores
iga kanannya. Namun, alangkah terkejut hati Sagotra ketika merasakan tenaganya mendadak
lenyap. Sekeliling-nya terasa berputaran, membuat ia tak sanggup lagi
mempertahankan dirinya. Sagotra pun roboh tak sadarkan diri!
Melihat kenyataan itu, Kenanga tentu saja menjadi kaget bukan main. Tak
disangkanya kalau nenek sinting itu ternyata mampu merobohkan Setan Pantai
Timur, yang menurut penglihatannya memiliki ilmu cukup tangguh. Hal itu membuat
hatinya geram. Maka, pedang di tangannya kembali diputar, membentuk gundukan sinar putih
keperakan berhawa dingin. Serangan datang bertubi-tubi mengancam
bagian-bagian terlemah di tubuh Kalong Wewe.
Namun sampai lima belas jurus lebih ia mencecar, pedangnya sama sekali tidak
mampu mengenai sasaran. Ternyata Kalong Wewe selalu dapat menghindar dengan
mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya, yang memang mengagumkan sekali.
Bahkan ketika pertarungan memasuki jurus yang keempat puluh, serangan-serangan
Kalong Wewe membuat Kenanga tak sempat lagi untuk mem-bangun serangan. Kenanga
terdesak dan hanya bisa melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.
"Hiiihhh...!"
Kalong Wewe yang merasakan penasaran karena benteng pertahanan lawannya sangat
sukar untuk diterobos, tiba-tiba mengeluarkan pekikan nyaring menyakitkan
telinga. Seketika Kenanga tersentak mundur, karena ia harus membagi tenaga untuk
melindungi telinganya. Perbuatan ini tentu saja membuat pertahanannya menjadi
kendor. Dia baru sadar ketika melihat kuku-kuku jari tangan lawan meluncur pada
saat putaran pedangnya melambat.
Whuuuttt...! Plakkk!
Mendadak Kalong Wewe terpekik kesakitan!
Karena pada saat serangannya hampir merenggut tubuh Kenanga, tahu-tahu ada
sesosok bayangan putih yang datang dan memapaki serangannya.
Seketika itu pula benturan keras pun tak dapat dihindarkan. Tubuh Kalong Wewe
terdorong mundur sejauh satu setengah tombak. Meski masih dapat menguasai
keseimbangan tubuhnya, namun paras nenek sinting itu tampak memucat. Mulutnya
menyeringai, menahan rasa sakit pada lengannya yang untuk beberapa saat bagaikan
lumpuh, tak bisa digerakkan.
"Kau... Pendekar Naga Putih..."!" desis Kalong Wewe dengan mata terbelalak.
Dilihatnya sosok pemuda tampan berjubah putih telah berdiri di sebelah Kenanga.
Rasa jerih tampak jelas pada sepasang matanya. Hingga, mendadak ia memutar
tubuhnya dan melesat pergi meninggalkan tempat itu diiringi lengkingan panjang
yang mirip suara tangisan.
"Kakang...!" Begitu mengenali penolongnya, Kenanga langsung saja menghambur ke
dalam pelukan Pendekar Naga Putih. Karena penolongnya ternyata Panji,
kekasihnya. "Kenanga...," desah Panji tak dapat menahan gejolak kerinduan di hatinya.
Dipeluknya tubuh dara jelita itu erat-erat. "Senang sekali melihatmu kembali.
Aku sendiri hendak menyusulmu. Sayang per-jalananku selalu terhambat oleh
persoalan-persoalan yang kutemui," lanjut Panji, yang kemudian menanyakan
tentang pertemuan tokoh-tokoh silat yang dihadiri Kenanga.
"Nanti saja, Kakang. Waktu untuk itu masih banyak. Sedangkan sekarang kita
tengah menghadapi pembunuh-pembunuh Kakek Jubah Hitam...,"
ujar Kenanga mengingatkan Panji, bahwa mereka tidak cuma berdua di tempat itu.
Harimau Gila dan keempat kawannya menjadi pucat, melihat Pendekar Naga Putih
menoleh ke arah mereka.
"Berhenti...!" bentak Panji ketika melihat kelima orang itu hendak melarikan
diri. Sambil berseru demikian, tubuhnya langsung melayang berputaran di udara.
Kemudian meluncur turun di hadapan Harimau Gila dan kawan-kawannya.
Harimau Gila dan kawan-kawannya yang sadar bahwa mereka tidak mungkin dapat
menghindar dari
Pendekar Naga Putih, langsung menerjang maju dengan senjata terhunus. Mereka
merasa lebih baik mati ketimbang tertawan dan diadili di hadapan tokoh-tokoh
persilatan golongan putih.
Wuttt! Tusukan pedang Harimau Gila, yang dibarengi dua kawannya tak menemui sasaran.
Dengan menggeser mundur kakinya Pendekar Naga Putih dapat mengelakkan serangan
yang mengarah ketiga tempat di tubuhnya. Kemudian dikibaskan kedua tangannya
dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Bressshh...! Terdengar jerita kesakitan susul-menyusul.
Kibasan yang sangat kuat itu membuat tubuh Harimau Gila dan dua orang kawannya
terhumbalang ke kiri dan kanan. Berturut-turut tubuh ketiganya terbanting keras
ke tanah. Mereka tak sanggup langsung bangkit. Karena hantaman itu membuat tubuh
mereka menggigil bagaikan terserang demam tinggi.
Sedangkan saat itu, Pendekar Naga Putih sudah menghadapi sisa pengeroyoknya.
Tubuhnya berlompatan menghindari sambaran pedang kedua orang lawannya. Lewat
sepuluh jurus kemudian, Panji yang melihat adanya peluang, langsung mengirimkan
hantaman dua kali berturut-turut Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang pengeroyok
itu pun terlempar deras dengan memuntahkan darah segar. Keduanya jatuh terduduk
dengan senjata terlepas dari genggaman, tergeletak di samping tubuh mereka.
"Pendekar Naga Putih, jangan bunuh mereka...!"
Saat Panji melangkah mendekati tubuh lawan-lawannya yang tergeletak di tanah,
terdengar sebuah seruan. Panji menoleh, menunggu kedatangan dua
orang yang dikenalinya sebagai Sepasang Elang Laut Utara.
"Sebaiknya kita bawa mereka untuk diadili di hadapan tokoh-tokoh persilatan...!"
Begitu tiba, Banadri langsung saja mengusulkan.
"Aku setuju," jawab Panji, "Penjahat-penjahat itu aku serahkan kepada
kalian...."
Harimau Gila dan dua orang kawannya yang masih sadar, tentu saja menjadi pucat.
Mereka menoleh ke arah Sagotra yang masih tergeletak pingsan. Namun, sebelum
ketiga orang kepala rampok ini membuka suara, totokan Kenanga telah tiba lebih
dulu, membuat lidah mereka kaku. Karena Kenanga telah menotok urat gagu mereka.
"Bawalah mereka pergi...!" ujar Kenanga tersenyum kepada Sepasang Elang Laut
Utara. Meski agak sedikit heran dengan perbuatan dara jelita berpakaian serba hijau
itu, Banadri maupun Sandrila tidak berkata apa-apa. Mereka langsung membawa
pergi Harimau Gila dan empat orang kepala rampok itu, setelah berpamit kepada
Pendekar Naga Putih.
Beberapa saat setelah Sepasang Elang Laut Utara pergi, Panji dan Kenanga yang
tengah menyadarkan Sagotra sama menolehkan kepalanya ke arah yang sama. Tiba-
tiba mereka mendengar adanya suara langkah kaki mendatangi tempat itu. Ketika
melihat sosok dua orang perempuan yang kelihatannya hendak menghampiri mereka,
Kenanga dan Panji pun bangkit berdiri.
Sagotra yang saat itu baru tersadar dari pingsan-nya, mendadak pucat! Ia
langsung saja melompat bangkit dan berlari ke arah dua orang perempuan yang tak
lain istri dan putrinya. Karuan saja sikap
Sagotra membuat Panji dan Kenanga saling bertukar pandang dengan wajah heran.
"Nilam... Andari..., ampuni aku...!" Begitu tiba, Sagotra langsung saja
menjatuhkan tubuhnya di hadapan istri dan putrinya.
"Hm..., jadi isi surat yang dikirimkan Harimau Gila kepada kami bukan cuma
fitnahan belaka...," desis Nilam menarik napas panjang dan menengadahkan
wajahnya menatap langit. "Ahh..., betapa besar dosaku terhadap mendiang suamiku.
Ternyata selama ini aku hidup bersama seorang pembunuh biadab...!"
Andari sendiri tidak bisa berkata apa-apa.
Kenyataannya itu terlalu mengejutkan baginya.
Karena orang yang selama ini menjadi tempatnya bermanja, ternyata orang yang
telah membunuh ayah kandungnya.
"Aku... aku terlalu mencintaimu, Nilam. Dan karena ingin memilikimu aku pun
menjadi mata gelap...," aku Sagotra menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Sekarang terserah kalian. Aku siap menerima hukuman dari kalian berdua...,"
lanjutnya dengan suara parau dan bergetar.
"Keparat busuk kau, Sagotra...!"
Tiba-tiba saja, Andari yang sejak tadi hanya diam dengan air mata bercucuran,
mendesis tajam.
Secepal kilat, tahu-tahu di tangannya telah tergenggam sebatang pedang.
"Tahan...!"
Melihat pedang yang sudah siap memenggal kepala Sagotra, Panji berseru mencegah.
Sekali berkelebat, ia telah berdiri di dekat ketiga orang itu.
"Jangan ikut campur dengan urusan kami! Kau tidak tahu duduk persoalannya...!"
hardik Andari, menatap Panji dengan sorot mata tajam me-
mancarkan ketidaksenangan hatinya.
"Dik...," ujar Panji tenang "Apa pun bentuk persoalannya, sebaiknya dicari
penyelesaian yang paling baik."
"Hm..., kau tahu, lelaki jahat ini adalah pembunuh Ayah kandungku! Dan dia
melakukannya dengan menggunakan kelicikan! Lalu berpura-pura menjadi penolong
kami. Hingga kami menganggapnya sebagai dewa penolong, yang mempunyai budi besar
dan tidak mungkin dapat kami balas. Sampai akhirnya ia melamar ibuku untuk
menjadi istrinya. Karena hendak membalas jasa, Ibu terpaksa menerima lamarannya.
Sayang, perbuatan busuknya ada yang menyaksikan tanpa sepengetahuannya. Nah, apa
jawabmu sekarang setelah mengetahui persoalannya?" ujar Andari setelah
menjelaskan persoalannya kepada Panji dan Kenanga.
"Benar ia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar," jawab Kenanga,
yang telah melihat sendiri bagaimana sikap Sagotra sewaktu menghadapi Harimau
Gila. "Tapi, setahuku ia telah sadar akan kesesatannya. Bahkan sewaktu Harimau
Gila mengajaknya untuk bergabung, ia lebih memilih mati.
Jadi, sebaiknya pikirkanlah apa yang bakal kalian perbuat, sebelum menyesal di
belakang hari!"
Mendengar ucapan Kenanga, Andari menghela napas panjang. Kemudian menoleh kepada
ibunya, yang kebetulan juga tengah memandangnya.
"Pergilah! Aku tak ingin melihat wajahmu lagi, Sagotra!" Akhirnya Nilam
memutuskan, setelah berpikir agak lama. Lalu dia berpaling kepada putrinya.
"Mari, kita tinggalkan tempat ini, Andari...!"
"Nilam...!" Sagotra berteriak parau. Ia langsung melompat dan memeluk kedua kaki
istrinya. Terdengar suara tangis penyesalannya. "Aku tak mungkin dapat hidup tanpa kalian.
Berilah aku kesempatan untuk menebus dosa-dosaku di masa lalu. Meski jadi
pelayan sekalipun, aku bersedia asalkan tetap berada dekat dengan kalian...."
Sekeras apa pun hati Nilam, dan bagaimanapun bencinya kepada Sagotra saat itu,
akhirnya luluh juga.
Masa belasan tahun yang dilewati bersama-sama, telah menimbulkan rasa cinta di
hatinya. Apalagi selama menjadi suami dan ayah dari putrinya, Sagotra
memperlihatkan rasa tanggung jawab dan kasih sayang yang sangat besar. Kalau
saja sejak dulu ia mengetahui bahwa Sagotra ternyata pembunuh suaminya, mungkin
akan jadi lain persoalannya. Bahkan kemungkinan besar akan dibunuhnya Sagotra.
Namun, peristiwa itu sudah sangat lama berlalu. Hingga, dendam dan kebencian
yang dirasakannya tidak terlalu dalam.
"Aku belum bisa memaafkan kesalahanmu se-penuhnya, Sagotra. Sebaiknya, untuk
sementara waktu, kau pergilah menjauh! Aku tidak tahu kapan bisa menerima
kehadiranmu kembali...," ujar Nilam, yang kemudian melepaskan pelukan Sagotra
pada kedua kakinya. Lalu bergerak meninggalkan tempat itu.
"Ibu..."
Panggilan Andari membuat langkah Nilam kembali terhenti. Perempuan cantik ini
menoleh ke arah putrinya. Sekali pandang saja dirinya tahu kalau Andira telah
memaafkan perbuatan Sagotra di masa silam. Baginya hal itu tidak aneh, karena
Andari hampir tidak pernah mengenal ayah kandungnya sendiri. Dia tahu kalau
putrinya sudah terlalu dekat
kepada Sagotra. Hingga, sosok seorang ayah, bagi Andari lebih jelas adalah
Sagotra, yang semenjak dia masih kecil telah memberikan kasih sayang dan
kenangan yang tidak mudah untuk dihapusnya. Hal inilah yang membuat sosok ayah
kandungnya sendiri hanya merupakan bayang-bayang yang tak jelas.
Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nilam maklum dengan apa yang ada dalam hati dan pikiran putrinya.
"Maafkanlah Ayah, Ibu...!" pintanya setengah memohon, "Berilah ia kesempatan
untuk menebus dosa-dosanya di masa lalu...!"
Nilam menghela napas beberapa saat Lalu mengangguk dan tersenyum. Dan tanpa
berkata apa-apa lagi, ia mengayun langkah mendahului Andari.
"Mari, Ayah...!" ajak Andari sambil mengangkat tubuh Sagotra. Kemudian
membawanya menyusul langkah ibunya.
Panji dan Kenanga memandangi kepergian ketiga sosok tubuh itu, hingga lenyap di
kejauhan. Keduanya saling berpandangan sebentar dan tersenyum lega.
Dan, entah siapa yang lebih dulu bergerak, tahu-tahu saja keduanya telah
berpelukan erat.
"Kau belum menceritakan tentang pertemuan para pendekar yang kau hadiri itu,
Kenanga...," Panji menagih janji Kenanga tanpa melepaskan pelukannya.
"Tidak ada yang terlalu penting, Kakang. Singkat-nya, pertemuan yang semula
dimaksudkan untuk memilih seorang pemimpin bagi seluruh golongan putih, belum
bisa diputuskan. Karena banyak tokoh tua yang belum hadir. Akhirnya pertemuan
ditunda sampai purnama depan."
Meskipun semua ucapan itu terdengar jelas, mata Panji lebih terpaku pada bibir
kekasihnya sewaktu
berbicara. Melihat tantangan terbentang di depan mata dan begitu dekat, Panji
tak bisa lagi menahan diri. Seolah kerinduan di hati mereka masih belum
terpuaskan! SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (kucinglistrik)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Seruling Gading 13 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Kisah Para Pendekar Pulau Es 1