Tujuh Satria Perkasa 1
Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa Bagian 1
TUJUH SATRIA PERKASA Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putin
dalam episode:.
Tujuh Satria Perkasa
128 hal. ; 12x18 cm
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 Sang Surya bergeser semakin jauh ke barat. Sinarnya telah memudar, pertanda
sebentar lagi senja akan
tiba. Waktu yang semestinya merupakan isyarat bagi
manusia untuk beristirahat itu, ternyata malah dibisingkan oleh teriakan-
teriakan membahana yang ditingkahi beradunya senjata tajam.
Suara-suara pertempuran Ini berasal dari sebelah
timur di tepi Hutan Burangrang. Tampak sesosok tubuh sedang yang setengah
wajahnya tertutup selembar
kain hitam, tengah menghadapi keroyokan empat
orang laki-laki bersenjata. Sosok bertubuh tegap mengenakan pakaian kuning itu
terlihat cukup tangguh
dalam mengadakan perlawanan. Padahal di beberapa
bagian tubuhnya tampak luka-luka bekas goresan dan
tusukan senjata tajam.
Tidak jauh dari arena pertempuran, tampak dua
buah kereta barang. Selain itu, juga terlihat adanya
sosok-sosok tubuh bergeletak bersimbah darah. Dari
warna pakaian yang melekat pada tubuh mayat-mayat
itu, dapat diduga bahwa mereka merupakan pihak dari
empat orang lelaki bersenjata yang tengah mengeroyok
sosok bertutup wajah kain hitam. Jelas sudah kalau
keenam orang mayat merupakan korban senjata di
tangan sosok bertubuh sedang yang setengah wajahnya tertutup kain hitam.
"Perampok busuk, mampuslah...!" Sambil mengeluarkan bentakan demikian, salah
seorang pengeroyok
melesat ke depan. Pedang di tangannya bergerak menusuk disertai suara berdesing
tajam. Whuuuttt...! Mata pedang meluncur begitu cepat mengancam
lambung kanan itu, dapat dielakkan lawan dengan
lompatan pendek ke samping kiri. Namun, begitu kedua kaki orang yang setengah
wajahnya tertutup kain
hitam ini menginjak tanah, ujung pedang pengeroyok
lainnya sudah menyambut dengan sebuah sambaran
kilat ke punggungnya.
"Hyaaahhh...!"
Meskipun dalam kedudukan yang sulit, sosok bertubuh sedang namun padat berisi
ini, masih sempat
mengibaskan pedangnya memapaki serangan. Terdengar suara benturan keras yang
menimbulkan percikan
bunga api. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa
langkah. Namun sosok misterius yang sudah menderita banyak luka ini tampak lebih
parah dari lawannya.
Tubuhnya terhuyung sampai satu tombak lebih. Hal
itu karena tenaganya telah banyak berkurang. Terutama sekali luka-lukanya yang
terus meneteskan darah,
membuat tubuhnya semakin melemah.
Breeettt! "Aaakh...!"
Sebuah sambaran mata pedang menyambut datangnya tubuh penuh luka yang tengah
terhuyung itu. Terdengar jerit kesakitan yang disertai tubuh yang
nyaris terpelanting jatuh. Sementara mata pedang
lainnya datang mengancam ke arah tenggorokan. Siap
membunuh sosok yang nyaris tak berdaya ini.
Namun lelaki yang setengah wajahnya tersembunyi
di balik kain hitam masih sempat memutar pedang
memapaki datangnya ancaman maut itu.
Bahkan dengan cerdik ia menggunakan benturan
itu untuk melompat ke belakang. Dengan meminjam
tenaga lawan, sosok tubuh penuh luka itu dapat melepaskan diri dari kepungan
lawan. Dan terus melarikan
diri ke dalam semak belukar hutan.
"Kejar, jangan biarkan bangsat itu lolos.,.!" salah
satu dari keempat pengeroyoknya yang berkumis melintang, berteriak memerintah.
Tubuhnya langsung
melesat melakukan pengejaran.
Tiga orang lainnya langsung berlari menyusul. Mereka menerobos semak belukar
memasuki hutan. Namun kelebatan pepohonan hutan membuat mereka
kehilangan jejak buruannya. Dan terpaksa berhenti setelah tak juga menemukan
lelaki berpakaian kuning
tadi. "Kita berpencar!" seru lelaki berkumis lebat yang
menjadi pimpinan dari ketiga kawannya, "Bangsat itu
sudah terluka parah, dan tidak mungkin dapat lari
jauh. Untuk mencari jejaknya kita dapat meneliti rerumputan. Tetesan darah yang
keluar dari lukalukanya akan memudahkan kita untuk menentukan
ke arah mana keparat itu melarikan diri," lanjutnya
memberikan petunjuk. Ketiga kawannya sama mengangguk kepala. Kemudian mereka pun
berpencar untuk mencari jejak buruannya.
"Hei, Kawan-kawan, cepat kemari...!"
Tidak berapa lama kemudian, terdengar salah satu
dari keempat lelaki berteriak memanggil kawankawannya. Sedang orang yang
berteriak nampak tengah meneliti rimbunan semak, yang di satu bagian
tampak dinodai warna merah. Darah.
Tiga lelaki lainnya berdatangan, lalu ikut memeriksa noda darah yang menetes di
dedaunan. Noda darah itu memang masih baru.
"Heh heh heh...! Sudah kuduga kalau kita akan
dapat menemukannya. Ayo, kita kejar bangsat itu...!"
ajak lelaki berkumis melintang dengan sepasang mata
berkilat penuh ejekan. Seolah ia merasa pasti akan
dapat menemukan dan membekuk buruannya.
Namun, jejak-jejak berdarah itu ternyata masih terus mereka temukan sampai di
luar hutan. Keempatnya mendengus jengkel dan sama-sama menghentikan
langkah setelah beberapa tombak meninggalkan mulut
hutan. "Kita tidak bisa meneruskan pencarian. Sebab di
sebelah depan sana merupakan wilayah peternakan
Juragan Mahinta. Dia pasti tidak akan memperbolehkan kita melewati batas-batas
wilayah peternakannya.
Sebaiknya kita laporkan saja hal itu kepada majikan
kita...," usul lelaki berkumis tebal melintang disertai
helaan napas panjang. Kemudian membalikkan tubuh
dan memasuki hutan, menelusuri jalan yang semula
mereka lalui. *** Hari menjelang pagi. Perlahan-lahan suasana mulai
terang walau hembusan angin masih terasa dingin
menusuk. Seiring dengan kemunculan sang Surya di
kaki langit sebelah timur, terlihat kesibukan di sebuah
tanah peternakan.
Dua orang lelaki muda tampak berjalan menuju
kandang kuda di bagian belakang sebuah bangunan
yang cukup besar. Kandang itu terlihat sangat luas
dengan puluhan ekor kuda di dalamnya. Kedua orang
lelaki muda ini adalah pekerja-pekerja Juragan Mahinta, yang bertugas mengurus
ternak kuda. Seperti biasanya, mereka memberi makan kuda-kuda itu setiap
pagi harinya. Tanah peternakan yang dimiliki Juragan Mahinta
terhitung sangat luas. Selain beternak kuda, dia memiliki ternak sapi yang
jumlahnya lebih dari seratus ekor.
Tanah peternakannya berada di sebuah padang rum-
put yang luas, terletak di selatan Desa Sindang Laya.
Namun masih berada di wilayah desa itu, meskipun
hampir di perbatasan sebelah selatan.
"Semalam rasanya aku mendengar ternak-ternak
kuda kita meringkik gelisah. Entah apa yang menyebabkannya...," salah satu dari
kedua laki-laki muda itu
berkata kepada kawannya.
"Aku juga mendengarnya," tukas pemuda satunya
menimpali, "Tapi aku enggan untuk memeriksanya.
Udara semalam sangat dingin, selain itu selama kita
bekerja di tempat ini, tak pernah ada gangguan apaapa. Jadi, menurutku tidak ada
yang perlu kita khawatirkan," lanjutnya sambil terus melangkah menuju
kandang kuda. "Hm..., kau benar, Saranggi. Itu sebabnya aku juga
tidak mempunyai keinginan untuk memeriksanya,"
ujar pemuda yang pertama kali bicara, membenarkan
ucapan Saranggi.
Namun, pembicaraan dan langkah keduanya terhenti tepat setengah tombak dari
pintu kandang. Mereka saling bertukar pandang sesaat. Kemudian membungkuk
memeriksa tanah di depan kandang itu. Karena di tanah itu terlihat bercak-bercak
yang mencurigakan.
Saranggi mengulurkan tangannya mengambil tanah berdebu di depan itu. Lalu
mendekatkan ke hidungnya.
"Bau darah manusia..."!" desis Saranggi dengan
kening berkerut. Dia segera bergerak bangkit sambil
mencabut golok besar di pinggangnya, "Ada sesuatu
yang tidak beres terjadi semalam. Sebaiknya kita periksa semua tempat ini,
terutama kandang kuda. Karena binatang-binatang itu yang meringkik-ringkik ribut
semalam." Tanpa banyak cakap lagi, pemuda satunya langsung menghunus golok. Kemudian
keduanya membuka pintu kandang perlahan-lahan. Dan.., keduanya
melompat mundur beberapa tindak dengan wajah terkejut. Beberapa langkah di depan
mereka, tampak sesosok tubuh terbujur menelungkup. Sekujur tubuh
sosok itu dipenuhi luka yang darahnya hampir mengering. Tentu saja kedua pemuda
ini menjadi kaget
bukan main. "Hm... jadi ini yang membuat kuda-kuda kita menjadi gelisah...!" desis Saranggi
yang masih merasa tegang melihat sosok berlumur darah di dalam kandang
kuda. Wajah pemuda jangkung ini tampak agak pucat.
Kelihatannya ia tidak terbiasa dengan pemandangan
itu. Lain halnya dengan pemuda satunya yang wajahnya dihiasi brewok halus. Ia cuma
terkejut sesaat, kemudian berganti dengan rasa penasaran. Bahkan
otaknya bekerja cepat mengambil keputusan.
"Saranggi, kau pergilah dan laporkan kepada Juragan Mahinta! Biar aku menunggu
di sini! Kelihatannya
orang ini belum mati. Aku masih melihat gerak pernafasannya. Menurutku orang ini
sedang dalam keadaan
sekarat. Kita harus cepat menolongnya," ujar pemuda
brewok ini kepada Saranggi.
"Baik, aku akan melaporkan kepada juragan. Berhati-hati dan jangan dulu kau
bertindak sebelum kami
datang," ujar Saranggi berpesan kepada kawannya sebelum berlari meninggalkan
tempat itu. Letak kandang kuda dengan bangunan induk tempat kediaman Juragan Mahinta memang
agak jauh. Namun pemuda bernama Saranggi ini rupanya bukan
pekerja sembarangan. Dari caranya berlari dapat dilihat kalau dalam hal
kepandaian, tampaknya ia terbi-
lang lihai. Karena tubuhnya dapat bergerak dengan
ringan dan cepat. Tiba di depan tempat tinggal majikannya, Saranggi langsung
saja masuk untuk melaporkan apa yang dilihatnya.
Tidak berapa lama kemudian, tampak Saranggi melangkah ke luar diikuti seorang
lelaki setengah baya.
Dapat dipastikan kalau lelaki setengah baya yang masih tampak gagah inilah
Juragan Mahinta. Lelaki dengan wajah terhias kumis dan jenggot yang sebagian
sudah memutih ini, terlihat tetap tenang, kendati sudah mendengar laporan
Saranggi. Bukan cuma mereka berdua yang setengah berlari
menuju ke kandang kuda. Empat orang lelaki mengikuti di belakang Juragan Mahinta
dan Saranggi. Mereka sebaya dengan Saranggi, berusia rata-rata dua puluh dua
tahun. Dan memang cuma enam pemuda itulah yang bekerja kepada Juragan Mahinta.
Meskipun selain mereka masih terdapat pembantu-pembantu
lain, namun mereka wanita setengah baya yang bekerja sebagai pelayan ataupun
juru masak. "Bagaimana keadaan orang itu, Sudana?" Tanya
Juragan Mahinta kepada pemuda berwajah brewok,
begitu tiba bersama pekerja lainnya.
"Belum kuperiksa, Ki. Tapi kelihatannya ia masih
hidup...," jawab Sudana yang bergegas menyingkir,
memberi jalan kepada majikannya.
Juragan Mahinta, yang memang meminta agar para pekerja menyebutnya dengan
panggilan Ki Mahinta,
bergegas mendekat. Kemudian memeriksa bagian leher
dan nadi sosok tubuh yang menelungkup dalam keadaan terluka itu.
"Hm... daya tahan tubuh orang ini terhitung sangat
kuat. Meskipun luka yang dideritanya cukup parah,
namun sampai sekarang dia masih bertahan hidup,"
ujar Juragan Mahinta, kemudian menoleh kepada para
pekerjanya. "Bawalah ke barak. Siapa pun adanya
orang ini, kita harus menolongnya. Walaupun mungkin
ia bukan orang baik-baik," lanjut Juragan Mahinta
memerintah. Ia menduga demikian karena melihat
adanya kain hitam di leher sosok tubuh itu, yang
mungkin dilepaskan untuk memudahkannya bernapas.
Wajah sosok tubuh yang tengah terluka itu selain
masih muda juga berparas tampan, meski terlihat pucat. Sudana segera membopong
tubuh lelaki muda itu
sesuai dengan perintah majikannya. Kemudian dibawanya ke barak, tempat tinggal
para pekerja lainnya.
Juragan Mahinta sendiri yang memberikan perawatan
dan pengobatan kepada pemuda yang terluka itu.
*** "Sambil menyantap hidangan, tidak ada salahnya
kalau kau memperkenalkan namamu kepada kami
semua, Anak Muda," ucapan itu keluar dari mulut Juragan Mahinta, saat bersantap
malam bersama para
pekerjanya. Pertanyaan itu diajukan kepada pemuda
yang selama beberapa hari ini dirawatnya dengan baik,
Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sampai akhirnya tubuhnya cukup kuat dan dapat bersantap bersama-sama dengan
Juragan Mahinta serta
para pekerjanya.
Juragan Mahinta memang tidak dapat disamakan
dengan juragan-juragan lain. Hatinya terlalu baik dan
tidak ingin menjaga jarak dengan para pekerja. Dirinya
selalu menyempatkan diri untuk makan malam bersama dengan pekerja yang jumlahnya
enam orang, dan
rata-rata masih muda. Sudah tentu sikapnya yang seperti itu membuat para pekerja
semakin menaruh
hormat dan segan kepada majikannya yang baik hati
itu. "Namaku Ekalana, Ki...," jawab pemuda itu singkat. Kemudian kembali menundukkan
wajahnya menekuri meja. Sikapnya menimbulkan kesan dingin dan
angkuh, membuat enam orang pekerja Juragan Mahinta saling bertukar pandang
mencibirkan bibir.
Juragan Mahinta sendiri cuma mengangguk tipis.
"Ekalana," lanjut Juragan Mahinta, "Aku tak ingin
tahu tentang apa yang sudah kau alami, karena setiap
orang berhak untuk menyimpan rahasia dirinya. Dan
pertolonganku jangan kau anggap suatu hutang yang
harus dibayar. Aku tidak mengharapkan apa pun darimu. Kau boleh pergi kapan saja
kau mau. Tapi aku
pun tak keberatan jika kau ingin tetap tinggal di sini."
Ekalana mengangkat wajah dan menatap Juragan
Mahinta untuk beberapa saat. Sorot matanya tetap
dingin dan terkesan angkuh. Lalu mengalihkan pandang dan menatapi enam orang
lainnya satu persatu.
"Kalau diizinkan aku ingin tinggal dan bekerja di
sini, Ki," ujar Ekalana sambil kembali menatap Juragan Mahinta, menunggu jawaban
atas keinginannya
itu. Ia sadar bahwa Juragan Mahinta adalah orang
baik. Kebaikan itu membuat Ekalana berjanji pada dirinya sendiri untuk mengabdi
kepadanya, dan akan
meninggalkan segala perbuatannya yang lalu.
"Kau boleh tinggal bersama mereka...," jawab Juragan Mahinta. Lelaki setengah
baya itu kemudian bangkit dari kursinya, melangkah meninggalkan ruangan
makan. Sebentar saja sosoknya sudah lenyap di balik
pintu. "He he he...! Beruntung kau bertemu dengan orang
sebaik majikan kami, Ekalana," seorang pekerja bernama Maladi membuka suara,
"Tapi mengapa kau
memilih untuk tetap tinggal dan bekerja di sini" Bukankah sebaiknya kau pergi
meninggalkan tempat ini"
Atau kau sengaja hendak menjadikan tempat ini untuk
menyembunyikan diri?"
Ucapan Maladi terdengar begitu sinis, dan dilontarkan dengan nada menghina.
Namun Ekalana tidak menyahut. Ia melanjutkan makannya dengan tenang. Wajahnya
tetap dingin dan angkuh. Bahkan menoleh pun tidak.
"Ha ha ha...! Rupanya ia tuli, Maladi. Mungkin juga
lidahnya menjadi kelu setelah merasakan nikmatnya
makanan yang ia santap. Atau jangan-jangan ia seorang buronan yang baru saja
membunuh orang," seorang pekerja bertubuh gemuk menimpali, juga dengan
nada yang jelas-jelas menunjukkan perasaan tak sukanya terhadap Ekalana.
Ekalana tetap bungkam. Maladi semakin penasaran dibuatnya. Ia mendengus kasar.
"Hmh, benarkah kau telah membunuh orang?"
Tanya Maladi tak percaya akan perkataan kawannya.
Pertanyaan itu sengaja dilontarkan dengan nada agak
tinggi, hingga Ekalana agak tersentak.
Ekalana mengangkat kepala dengan gerakan perlahan. Sepasang matanya yang
bersinar dingin, menatap
wajah Maladi lekat-lekat.
"Aku memang baru saja membunuh orang," jawabnya dingin, membuat Maladi dan
kawan-kawannya meneguk air liur dengan wajah berubah tegang.
"Apa yang menyebabkan kau melakukan hal itu?"
kali ini Sudana yang bertanya. Sepertinya lelaki brewok ini merasa tertarik
ketika mendengar jawaban
Ekalana. "Karena ia telah berani menghina aku!'' jawab Ekalana dengan suara berdesis.
Sepasang matanya tam-
pak berkilat aneh saat berkata demikian.
Glek! Maladi dan pekerja bertubuh gemuk sama-sama
meneguk air liur. Wajah keduanya pun berubah agak
pucat. Jelas mereka sangat terkejut dengan jawaban
Ekalana. Dan percaya bahwa pemuda tampan berwajah dingin itu tidak berdusta.
Dengan agak gugup, kedua orang ini menundukkan wajah mengalihkan perhatiannya
pada hidangan di atas meja.
Ekalana kembali melanjutkan makannya. Sikapnya
tetap tenang dan dingin. Seolah jawabannya barusan
sama sekali tidak berarti apa-apa baginya.
Lain halnya bagi keenam orang pekerja Juragan
Mahinta. Bagi mereka nyawa manusia sangatlah berarti. Karena peternakan Juragan
Mahinta yang termasuk
dalam wilayah Desa Sindang Laya, tidak begitu jauh letaknya dari kotaraja. Yang
berarti masih terjangkau
oleh tangan-tangan hukum. Selain itu, mereka memang bukan kaum rimba persilatan,
meski-pun bukan
orang-orang lemah. Itu sebabnya mengapa mereka merasa terkejut mendengar
pengakuan Ekalana.
*** 2 Ekalana tidak kehilangan sikap angkuh dan wajah
dinginnya, kendati telah beberapa hari bekerja di peternakan Juragan Mahinta.
Dirinya lebih suka menyendiri ketimbang berkumpul dengan pekerja lain.
Meskipun demikian, Juragan Mahinta maupun rekanrekan kerjanya harus mengakui,
bahwa Ekalana sangat rajin dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibe-
rikan. Tidak pernah terdengar keluhan yang keluar dari mulutnya. Bahkan tidak
jarang Ekalana terlihat masih sibuk mengurus kuda-kuda yang dipercayakan
kepadanya, kendati hari telah mulai gelap, dan para pekerja lain sudah pergi
beristirahat. Ketekunan Ekalana
mau tidak mau membuat rekan-rekan kerjanya merasa
kagum. Juga telah menarik simpati Juragan Mahinta,
majikannya. Semenjak luka-lukanya sembuh dan tenaganya pulih, setiap siang Ekalana selalu
berlatih ilmu silat di
dalam kandang tertutup. Hal itu dilakukan setelah tugas untuk membersihkan
kandang selesai dikerjakan.
Rekan-rekan kerjanya sudah tahu apa yang dilakukan
Ekalana di dalam kandang pada setiap siang. Ekalana
sendiri sama sekali tidak peduli. Bah-kan sama sekali
tidak menanggapi ejekan yang kerap kali dilontarkan
mereka kepadanya.
Siang itu Ekalana tengah berlatih ilmu pedang. Gerakannya terlihat semakin
mantap dan terarah. Tampaknya ketekunan pemuda tampan berwajah dingin ini
memang tidak percuma. Meskipun masih jauh dari
sempurna, namun kemajuan yang didapatnya terhitung cukup pesat Namun tiba-
tiba.... Siut! "Haits...!"
Wut! Trang! Trang! Ekalana yang tengah memusatkan seluruh perhatiannya dalam memainkan pedang,
memutar tubuh dengan kecepatan yang mengagumkan. Pedang di tangannya berkelebat dua kali
mematahkan serangan dua
bilah pisau terbang yang meluncur mengancam tubuhnya. Terdengar suara berdentang
nyaring, yang disusul dengan runtuhnya kedua bilah pisau terbang
itu. "Hebat.., hebat...!" terdengar suara pujian disertai
tepukan tangan yang cukup ramai. Kemudian muncul
pemuda jangkung yang tak lain Saranggi. Di belakangnya tampak lima orang pekerja
lain. Ekalana sama sekali tidak merasa bangga dengan
pujian rekan-rekan kerjanya itu. Segera dihentikan
permainannya lalu berdiri dengan kaki terpentang,
menatapi wajah mereka satu persatu. Wajah dan sinar
matanya tetap dingin tanpa menggambarkan perasaan
apapun. Mulutnya terkatup rapat tanpa kata.
"Ilmu pedangmu benar-benar membuat kami kagum, Ekalana. Dari mana kau
mempelajarinya?" Saranggi, pemuda bertubuh jangkung kembali membuka
suara. "Benar, Ekalana. Bolehkah kami ikut mempelajarinya?" Sudana ikut menimpali.
"Dan tentu sangat ampuh bila digunakan untuk
membantai tikus-tikus got! Hua ha ha...!" Maladi yang
memang sejak semula tidak menyukai Ekalana, menimpali dengan nada menghina.
Ucapan Maladi langsung disambut gelak tawa kelima rekannya. Bahkan dua di antara
mereka sampai mengeluarkan air mata saking tak sanggup menahan
tawa. Maladi sendiri sampai terbungkuk-bungkuk.
Dan suara tawanya paling keras di antara mereka.
Kali ini Ekalana benar-benar tersinggung. Wajah
yang biasanya tanpa perasaan kini tampak mengelam,
meski hanya sesaat. Hanya sinar matanya yang masih
menunjukkan bahwa pemuda tampan ini merasa terhina. Sedangkan wajahnya kembali
seperti semula.
Dingin tanpa perasaan apapun!
"Hm... apakah kalian tidak mempunyai pekerjaan
lain kecuali mengganggu kesenanganku" Tidakkah ka-
lian sadar kalau benda yang ada di tanganku ini sangat tajam dan membahayakan"
Atau kalian ingin mencoba sendiri ketajaman pedang ini?" ujar Ekalana
mengingatkan. Sambil berkata demikian ia menimangnimang pedang di tangannya.
Saranggi yang merasa bahwa ucapan Ekalana lebih
ditujukan kepadanya, sama sekali tidak kelihatan gentar. Kakinya melangkah maju
dengan sikap siap tempur. Di kedua tangannya telah tergenggam dua bilah
pisau terbang. Rupanya pemuda jangkung inilah yang
menyerang Ekalana dengan pisau terbang. Itu sebabnya ia merasa bahwa tantangan
Ekalana memang ditujukan kepadanya.
"Rupanya kau merasa sudah menjadi jagoan, heh"!
Apa pikir mu cuma kau saja yang bisa memegang dan
memainkan pedang" Ayo, kita buktikan bahwa permainan pedangmu memang cuma pantas
digunakan untuk membantai tikus got!" ujar Saranggi dengan sikap menantang. Wajah pemuda
jangkung ini tampak
berang. Dirinya memang selalu mencari alasan agar
bisa menghajar Ekalana. Saranggi tidak suka dengan
sikap dingin dan angkuh pemuda tampan itu. Sudah
beberapa kali ia memancing keributan. Namun baru
kali ini Ekalana meladeninya. Suatu kesempatan yang
sudah lama dinantikannya.
Ekalana menarik sudut bibirnya, membentuk senyum mengejek. Sepasang matanya
tampak bersinarsinar, seolah merasa gembira tantangannya mendapati
sambutan. Pemuda tampan itu pun me-langkah maju
dua tindak, hingga jarak keduanya hanya terpisah kurang dari satu tombak.
Lima orang pekerja lainnya tidak berusaha mencegah. Mereka malah sengaja
menjauh, agar arena
perkelahian bertambah luas. Kemudian masing-masing
mencari tempat yang enak untuk menyaksikan perkelahian yang kelihatannya memang
akan segera berlangsung itu.
Saranggi dan Ekalana sendiri sudah berdiri tegak
saling tatap dengan kaki terpentang. Berbeda dengan
Ekalana, yang terlihat tetap dingin dan angkuh, Saranggi tampak agak tegang. Hal
itu disebabkan Saranggi memang hampir tidak pernah bertarung. Lain
halnya dengan Ekalana, yang sebelum bekerja di peternakan Juragan Mahinta, telah
banyak mengalami
pertempuran. Dan menganggap perkelahian yang bakal dihadapinya hanyalah sekadar
permainan anakanak.
Namun sebelum keduanya bergerak saling gebrak,
tiba-tiba terdengar suara gemuruh derap kaki kuda di
kejauhan. Sudana dan empat orang pekerja lainnya
sudah berlompatan ke luar dari kandang. Karena tidak
biasa peternakan itu didatangi orang luar, kelimanya
tidak mempedulikan Saranggi dan Ekalana yang sudah
siap saling gebrak. Mereka bergegas untuk melihat
siapa rombongan berkuda yang berkunjung ke peternakan.
Saranggi sendiri kelihatan gelisah. Beberapa kali ia
menoleh ke luar kandang. Sampai akhirnya mengambil
keputusan untuk menunda persoalan itu, lalu melompat ke luar tanpa berkata
sepatah kata pun. Karena rombongan penunggang kuda itu sudah mulai terlihat
sebagian. Tidak demikian halnya dengan Ekalana. Pemuda
tampan berwajah dingin ini malah menutup rapat pintu kandang. Kemudian merunduk
dan mengintai dari
celah-celah pintu, yang memang dibuat tidak rapat.
Sementara itu, di luar kandang terlihat Juragan
Mahinta berdiri tegak menyambut kedatangan rom-
bongan orang berkuda yang datang ke tempatnya. Saranggi dan kawan-kawannya
berdiri di kiri dan kanan
Juragan Mahinta, siap melindungi majikan mereka kalau-kalau terjadi hal yang
tidak diinginkan.
"Hm... angin apa yang membawamu sampai ke
tempat ini, Ki Baswara?" sapa Juragan Mahinta kepada penunggang kuda terdepan,
yang berhenti di hadapannya. Kemudian Juragan Mahinta mengangguk kepada seorang
lelaki lain, di sebelah kanan Juragan
Baswara. "Selamat datang, Ki Windudarta!" lanjutnya
menyapa lelaki gagah berusia lima puluh tahun, yang
merupakan Kepala Desa Sindang Laya.
"Maaf, kalau kedatangan kami mengejutkanmu, Ki
Mahinta. Aku sendiri tidak mempunyai kepentingan
khusus kecuali menemani Ki Baswara. Beliau ingin
menanyakan sesuatu kepadamu," jelas Ki Windudarta
menerangkan kepada Juragan Mahinta setelah balas
mengangguk. "Ki Mahinta," ujar Juragan Baswara dengan sikap
angkuh, dan tetap duduk di atas punggung kuda. "Sebenarnya sudah lama aku
menaruh curiga ter-hadap
dirimu. Beberapa kali kiriman uang pembayaran dari
langganan-langganan ku tak sampai ke tanganku. Baru beberapa hari yang lalu aku
menerima laporan
bahwa perampok yang selama ini menjarah uang kiriman itu, melarikan diri ke
tempat ini! Orang-orangku
tak berani melanggar batas wilayah kekuasaanmu. Mereka hanya melaporkan kepadaku
bahwa perampok itu
menghilang di daerah peternakan ini! Dan sekarang
aku merasa yakin bahwa kaulah yang menjadi biang
keladi dari semua perampok itu! Kau pasti merasa iri
dengan usahaku lebih maju daripada usahamu!"
Wajah Juragan Mahinta memerah karena merasa
Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaget mendengar tuduhan Juragan Baswara. Saat itu
juga ia sudah dapat menebak siapa orang yang dimaksudkan Juragan Baswara,
saingan dagangnya itu. Siapa lagi pelaku perampok itu kalau bukan Ekalana.
Dugaannya semakin kuat ketika tidak menemukan
pemuda tampan itu di antara pekerja-pekerjanya.
Namun bukan berarti bahwa Juragan Mahinta
akan sudi menyerahkan Ekalana kepada Juragan
Baswara. Hal itu tidak akan dilakukan, karena ia tahu
betul siapa sebenarnya Juragan Baswara. Seorang juragan licik, yang tidak segan-
segan berlaku curang untuk menyingkirkan saingan dagangnya. Selain itu, dirinya
pun tahu bahwa Ki Windudarta berada di pihak
Juragan Baswara, yang dengan hartanya telah membuat Kepala Desa Sindang Laya
tunduk dan selalu
berpihak kepadanya.
Kecuali itu, Juragan Mahinta juga tahu bahwa Juragan Baswara merupakan seorang
pemeras ter-hadap
golongan lemah. Tak seorang pun yang berani menentang kekuasaannya. Karena
secara tidak langsung, Juragan Baswara merupakan penguasa Desa Sindang
Laya. Memang semua kekejamannya tidak dilakukan
secara terang-terangan. Kendati demikian, hal itu sudah bukan rahasia lagi.
Hanya saja tidak pernah ada
orang yang berani menentangnya.
Juragan Mahinta sendiri belum lama mendirikan
peternakan di tempat itu. Dirinya merupakan pendatang dari daerah selatan.
Keberadaannya di tempat itu
bukan tanpa gangguan. Pada awalnya, seringkali terjadi kebakaran ataupun
pencurian ter-hadap binatang
ternaknya. Namun sejauh itu hatinya tetap tabah
menghadapi berbagai gangguan. Dengan bantuan
enam pekerjanya yang terdiri dari orang-orang muda,
akhirnya dia berhasil melewati masa-masa sulit. Bahkan lama-kelamaan dia dapat
menebak siapa dalang
dari semua kejadian itu. Hal itu baru diketahui dari
beberapa orang pelanggannya yang membatalkan pesanan, dan menyeberang kepada
Juragan Baswara.
Namun Juragan Mahinta tidak pernah patah semangat. Dirinya terus berusaha dan
mencari langganan-langganan baru, serta menyediakan kuda-kuda pilihan yang sehat
dan kuat, ataupun sapi-sapi gemuk
yang tidak berpenyakitan. Dan usahanya berjalan lancar, meskipun Juragan Baswara
masih terus berusaha
untuk menghancurkan.
Kali ini Juragan Baswara melemparkan fitnah kepadanya sebagai dalang dari
perampokan atas kiriman
uang juragan itu. Namun Juragan Mahinta nampak tetap tenang. Sebab tuduhan itu
tidak mempunyai dasar
yang kuat. Dan ia percaya bahwa Ki Windudarta masih
merasa segan kepadanya. Sehingga ia harus tetap tenang agar tidak mudah
terpancing oleh tuduhan tak
berdasar itu. "Ki Baswara," ujar Juragan Mahinta setelah menarik napas beberapa kali.
"Tuduhanmu sama sekali tidak berdasar. Aku sama sekali tidak tahu menahu soal
perampokan yang kau katakan itu. Harap kau tarik
kembali fitnah yang bisa jadi bumerang bagi dirimu."
"Hm..., kau masih hendak menyangkal?" tukas Juragan Baswara yang kemudian
berpaling ke arah delapan orang pengikutnya, "Kalian geledah seluruh tempat
ini!" perintahnya dengan suara lantang.
"Tunggu...!" seru Juragan Mahinta ketika melihat
keenam orang pekerjanya sudah siap untuk mencegah
perbuatan para pengikut Juragan Baswara. Kemudian
berpaling ke arah Ki Windudarta. "Aku jelas keberatan
dengan apa yang akan dilakukan Juragan Baswara.
Harap kau mempertimbangkannya, Ki Windudarta."
Ki Windudarta menghela napas sesaat. Kemudian
berpaling menatap Juragan Baswara.
"Sebaiknya kita jangan terburu nafsu, Ki," ujar Ki
Windudarta kepada Juragan Baswara, "Persoalan ini
sama sekali belum jelas. Aku tidak ingin sampai terjadi
pertumpahan darah hanya karena sesuatu yang belum
tentu dilakukan Juragan Mahinta. Sebaiknya kita selidiki dulu kebenarannya. Dan
kalau akhirnya ternyata
Juragan Mahinta yang menjadi dalang dari semua perampokan itu, rasanya belum
terlambat bagi kita untuk bertindak."
"Hm...," Juragan Baswara menggeram tak puas, tapi tidak bisa berkata apa-apa.
Karena tuduhannya
memang tanpa bukti-bukti yang kuat. Dan kalaupun
ia berkeras melakukan penggeledahan, sudah pasti
pertumpahan darah akan terjadi. Memang ia tahu pihaknya pasti akan memperoleh
kemenangan. Namun,
ia tidak ingin namanya tercemar dan dikecam orang
banyak. Maka, segera diputuskan untuk menerima saran Ki Windudarta, tentu saja
hanya ucapan di mulut.
Karena dalam kepalanya telah muncul sebuah rencana
jahat! "Baiklah. Kali ini aku masih bermurah hati. Tapi
ingat! Apabila suatu hari nanti terbukti bahwa kau
yang menjadi dalang dari perampokan itu, akan kau
rasakan akibatnya!"
Setelah berkata demikian, Juragan Baswara mengajak para pengikutnya untuk
meninggalkan tempat
itu. "Kuharap kau benar-benar bersih, Ki Mahinta...,"
ucap Ki Windudarta sebelum meninggalkan tempat itu.
Baru kemudian memutar kudanya dan bergerak menyusul rombongan Juragan Baswara.
"Lanjutkan pekerjaan kalian masing-masing...!" perintah Juragan Mahinta kepada
Saranggi dan ka-wan-
kawannya, setelah rombongan Juragan Baswara semakin jauh dan lenyap dari
pandangan. *** "Hendak ke mana kita, Ki" Mengapa hari ini kau
memberikan pakaian-pakaian bagus untuk kami kenakan?" Tanya Saranggi kepada
majikannya ketika Juragan Mahinta memerintahkan para pekerjanya, termasuk
Ekalana untuk berpakaian rapi.
"Malam nanti ada pesta di Desa Sindang Laya. Ki
Windudarta mengirimkan undangan kepadaku, dan
mengajak kalian semua untuk ikut menghadirinya,"
jawab Juragan Mahinta, yang saat itu sudah mengenakan pakaian indah dan terlihat
masih baru. "Pesta apa, Ki?" Sudana yang juga sudah mengenakan pakaian baru dan bagus,
pemberian majikannya, bertanya ingin tahu.
"Tahun ini hampir semua penduduk panennya
berhasil. Sebagai tanda rasa kegembiraan, warga desa
hendak mengadakan pesta semacam syukuran," jawab
Juragan Mahinta menjelaskan, "Ayo, kita segera berangkat!" lanjutnya setelah
semua pekerja sudah siap
untuk berangkat.
Saranggi dan kawan-kawannya tampak demikian
gembira, kecuali Ekalana yang sama sekali tidak berubah. Wajahnya tetap dingin
dan angkuh. Kendati demikian, ia tetap menyertai majikannya untuk menghadiri
pesta yang diadakan oleh penduduk Desa Sindang
Laya. "Ki, apakah ini bukan suatu jebakan" Tindakkah
sebaiknya satu atau dua orang dari kami tinggal untuk
menjaga peternakan?" ujar Saranggi sebelum mereka
berangkat dengan menunggang kuda. Pemuda jang-
kung ini mendekati majikannya yang duduk di dalam
kereta kuda. "Kau tidak perlu khawatir, Saranggi. Ki Windudarta
sudah memberikan jaminan bahwa peternakan kita tidak bakal ada yang mengganggu.
Ia bertanggung jawab
jika ada sesuatu yang terjadi pada tempat ini," jelas
Juragan Mahinta menenangkan hati Saranggi.
Jawaban Juragan Mahinta sudah tentu membuat
Saranggi tidak lagi merasa khawatir. Rombongan pun
langsung berangkat seiring dengan cuaca yang mulai
remang-remang. Setelah melewati Hutan Burangrang,
yang memang tidak terlalu luas, rombongan Juragan
Mahinta pun tiba di desa, tempat pesta dilangsungkan.
Saat itu kegelapan telah menyelimuti permukaan bumi. Ki Windudarta sendiri yang
menyambut kedatangan rombongan Juragan Mahinta.
Pesta baru saja dimulai. Seluruh warga desa berkumpul di tempat itu dengan wajah
berseri-seri. Mejameja panjang dengan bermacam-macam hidangan telah tersedia di
beberapa tempat. Siapa saja bebas memilih dan mengambil makanan yang diinginkan,
tanpa harus dilayani. Para penduduk membentuk sebuah kelompok dan meramaikan pesta
dengan bermacam cara.
Demikian pula dengan anak-anak, yang terlihat berlarian kian kemari. Tampaknya
warga Desa Sindang
Laya benar-benar menikmati keramaian pesta panen
itu. Juragan Mahinta melangkah perlahan di tengah
keramaian pesta. Sesekali ia mengangguk dan tersenyum kepada warga desa yang
menyapanya. Terkadang langkahnya terhenti beberapa saat untuk menyaksikan
pertunjukan salah satu kelompok yang dibuat penduduk. Kemudian kembali melangkah
perlahan untuk menyaksikan pertunjukan lainnya.
Sementara itu, Saranggi dan kawan-kawannya ikut
berbaur dengan penduduk. Ketujuh pekerja ini memang diberi kebebasan oleh
Juragan Mahinta untuk
ikut larut dalam suasana pesta. Sehingga, mereka tidak mau melewatkan kesempatan
untuk menari bersama gadis-gadis desa yang malam itu sengaja berhias
secantik mungkin untuk menarik lawan jenisnya. Bukan suatu hal yang aneh kalau
arena pesta juga merupakan ajang untuk mencari jodoh.
"Ekalana, mengapa dalam keramaian seperti ini
kau masih saja lebih suka menyendiri" Bergembiralah,
carilah pasangan untuk menari!" salah seorang pekerja
Juragan Mahinta melangkah ke arah Ekalana yang
tampak lebih suka duduk menyaksikan keramaian
sambil sesekali meneguk tuak dengan tempat minum
dari bambu. Ekalana tersenyum tipis. Ditatapnya wajah pekerja
yang ia kenal bernama Jirana. Usia mereka tidak berselisih jauh. Selama bekerja
di peternakan Juragan
Mahinta, hanya Jirana inilah yang agak dekat dengannya. Meskipun Ekalana tetap
menjaga jarak dan tertutup, Jirana tidak merasa tersinggung. Dan masih tetap
suka menemani Ekalana.
"Kau pun sepertinya tidak mendapatkan pasangan
untuk menari, Jirana?" tukas Ekalana.
Jirana memang tidak mendapat pasangan untuk
menari. Pemuda yang berperawakan kekar ini tampak
kebingungan. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan.
Namun yang dicarinya tak juga didapatkan. Tak seorang gadis pun yang terlihat
sendiri. Mereka sudah
mendapatkan pasangan masing-masing.
"Rupanya nasibku sedang sial hari ini...," desah Jirana menghela napas panjang.
Bam saja hendak menjatuhkan tubuhnya duduk di sebelah Ekalana, tiba-
tiba matanya menangkap sosok gadis cantik yang terlihat tidak ikut menari
seperti lainnya. Kecantikan gadis yang terlihat murung itu sempat menggetarkan
hati Jirana. Membuat pemuda ini bagaikan terkena sihir.
Menatap lurus tanpa berkedip.
Sikap Jirana tentu saja membuat kening Ekalana
berkerut Karena sosok pemuda kekar itu berdiri tepat
di depan hidungnya, seperti patung. Ekalana baru
mengerti ketika matanya mengikuti pandangan Jirana.
Dan merasa maklum mengapa rekannya seperti orang
yang terkena pengaruh sihir. Sosok gadis yang tengah
dipandangi Jirana memang sangat cantik dan mempesona. Sayangnya Ekalana
menemukan sosok lain, yang
berdiri di samping gadis cantik itu. Dan sosok itu ia
kenal sebagai Juragan Baswara. Sekali pandang saja
Ekalana sadar bahwa gadis cantik itu tentu milik Juragan Baswara, saingan
majikannya. "Gadis itu memang cantik..," desis Ekalana. Perkataan itu tentu saja ditujukan
kepada rekannya.
"Sayang ia mungkin milik Juragan Baswara. Tapi kalau kau memintanya baik-baik
untuk pasangan menari, kurasa Juragan Baswara akan memperbolehkannya," lanjutnya
memberi dorongan kepada Jirana.
'Tapi... aku tidak ingin membuat pesta ini kacau...,"
tukas Jirana meragu. Namun sepasang matanya jelas
menunjukkan keinginan yang besar untuk mengikuti
anjuran Ekalana.
"Kau tak perlu membuat kekacauan, Jirana. Katakan saja kepada Juragan Baswara,
bahwa kau cuma menginginkan gadis itu sebagai pasangan menari. Aku
yakin jawabannya akan diserahkan kepada gadis itu.
Karena Juragan Baswara pun tidak menghendaki keributan di depan orang banyak"
ujar Ekalana lagi memberi harapan kepada kawannya.
Jirana berpikir sesaat Kemudian menganggukkan
kepala dan mengayunkan langkah menghampiri tempat gadis itu berada.
Kening Juragan Baswara langsung berkerut ketika
melihat seorang pemuda kekar menghentikan langkah
di depannya. Ia ingat pemuda itu merupakan salah
seorang pekerja Juragan Mahinta. Namun ia tidak berbuat apa-apa, kecuali hanya
memandang tajam dan
ingin tahu apa tujuan Jirana mendatanginya.
Jirana yang menghentikan langkahnya tepat di depan si gadis cantik, sama sekali
tidak menoleh ke arah
Juragan Baswara. Dan tanpa mempedulikan keberadaan Juragan Baswara, dia langsung
saja meminta kesediaan gadis cantik itu untuk menari bersamanya.
"Dik maukah kau menemaniku menari...?" Tanya
Jirana menatap lekat-lekat wajah cantik di depannya.
Gadis cantik berwajah murung itu sudah merasa
heran ketika melihat ada seorang pemuda menghampirinya. Kini hatinya kaget
mendengar permintaan yang
sama sekali di luar dugaannya.
Permintaan Jirana membuat sepasang matanya
yang semula redup tampak berbinar. Namun hanya
sesaat, karena kembali sayu tak bergairah. Kemudian
wajahnya berpaling ke arah Juragan Baswara. Tidak
seperti apa yang dibayangkannya, Juragan Baswara
ternyata mengangguk, memberi kesempatan untuk
memenuhi permintaan Jirana. Karuan saja wajah cantik itu berseri-seri. Tanpa
menunggu lagi, langsung
disambutnya uluran tangan Jirana. Lalu mengikuti
langkah pemuda kekar itu ke tempat yang agak lapang. Membaurkan diri bersama
orang banyak yang
tengah menari, diiringi tetabuhan gamelan yang riuh
rendah. Ekalana yang sejak tadi memperhatikan Jirana
mengulas senyum tipis. Hatinya ikut merasa gembira
melihat Jirana telah berhasil mendapatkan pasangan
Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menari. Ketika melihat Jirana menoleh dan melempar
senyum ke arahnya, Ekalana mengangkat gelas bambunya. Lalu meneguk tuak harum di
dalamnya. *** 3 Juragan Baswara mengalihkan perhatiannya dari
Jirana dan gadis cantik yang berkebaya putih itu. Karena ia menangkap adanya
sosok lain yang baginya
jauh lebih menarik. Setelah mengerling kepada lelaki
tinggi besar di samping kanannya dia memberikan
isyarat dengan gerakan kepala.
Lelaki tinggi besar itu rupanya salah seorang tukang pukul Juragan Baswara.
Paham apa yang diinginkan majikannya, ia bergegas melangkah men-dekati
sosok yang menjadi perhatian Juragan Baswara. Dengan sengaja lelaki tinggi besar
membenturkan tubuhnya keras-keras.
"Uhhh..."!"
Juragan Mahinta berseru tertahan. Tubuhnya terhuyung mundur, nyaris terjengkang.
Untung ia masih
sempat menyelamatkan diri, hingga tidak sampai terjatuh.
"Bangsat, apa matamu buta! Atau kau sengaja
hendak mencari keributan?" lelaki tinggi besar ini
membentak marah dan langsung melayangkan tinjunya ke wajah Juragan Mahinta.
Tentu saja Juragan Mahinta menjadi kaget dibuatnya. Merasa bersalah karena dalam
melangkah tadi ia tidak begitu memperhatikan orang di depannya, Juragan Mahinta tidak mau
meladeni. Sambaran
kepalan tangan lelaki tinggi besar itu dielakkan dengan
menarik tubuhnya ke belakang. Sehingga pukulan
yang menimbulkan angin menderu itu lewat di depan
wajahnya. "Maaf, aku terima salah...," ujar Juragan Mahinta
meminta maaf atas kejadian itu. Dirinya sama sekali
tidak menyangka kalau lelaki tinggi besar itu kaki tangan Juragan Baswara, yang
sengaja mencari perkara.
"Aku terima permintaan maafmu, Manusia Buta!
Tapi sebelumnya kau harus menerima sebuah pukulanku!" tukas lelaki tinggi besar
yang langsung merangsek maju sambil melayangkan tinjunya dengan
sekuat tenaga. "Hei, tahaan..!"
Dan.... Plak! Orang yang berseru mencegah langsung menyeruak, dan mengangkat lengan menangkis
pukulan tukang pukul Juragan Baswara. Sehingga, terdengar suara dua batang
lengan yang saling berbenturan.
"Kurang ajar! Rupanya kau ingin membela majikanmu, heh?" bentak tukang pukul
Juragan Baswara
penuh kegeraman. Sepasang matanya melotot bagai
hendak menelan lelaki berwajah brewok yang menggagalkan serangannya.
Namun lelaki brewok yang ternyata Sudana, sama
sekali tidak merasa gentar. Dia berdiri tegak dengan
kedua kaki terpentang, siap melindungi majikannya
dengan taruhan nyawa! Sudana ingat lelaki tinggi besar itu, pernah dilihatnya
bersama Juragan Baswara,
ketika mendatangi peternakan Juragan Mahinta. Itu
sebabnya ia langsung meninggalkan gadis pasangan
menarinya ketika melihat majikannya tengah menghadapi kesulitan.
"Hei, Kerbau Gila! Aku tahu siapa dirimu! Dan aku
juga tahu kalau kau sengaja mencari perkara dengan
majikanku. Tapi, meskipun tubuhmu sebesar kerbau
bunting, aku, Sudana sama sekali tidak gentar! Nah,
kalau kau memang belum puas, hayo, akulah lawan
mu! Tapi kalau kau takut, menyingkirlah dan minta
perlindungan dengan tuan besarmu sana!" ujar Sudana tanpa rasa takut sama
sekali. Padahal ukuran tubuh tukang pukul Juragan Baswara hampir dua kali
lipat besarnya. Bahkan tinggi tubuh Sudana hanya
sampai sebatas bahunya. Tentu saja perkelahian yang
tidak sebanding itu menarik perhatian orang banyak.
Namun bukannya melerai, mereka malah membuat
lingkaran hingga membentuk sebuah arena yang cukup luas. Kemudian terdengar
tepuk sorai warga desa,
memberikan semangat kepada kedua orang yang siap
saling bertarung.
Sudana tersenyum-senyum penuh kebanggaan,
sambil melangkah mondar-mandir dengan dada dibusungkan. Tarikan bibirnya
membentuk senyum
mengejek, yang membuat lawannya mendengus bagaikan banteng liar.
"Kupecahkan
batok kepalamu, Bangsat...! Yeaattt..!"
Whuuuttt..! Kepalan yang besar dan kekar bergerak menyambar kepala Sudana. Namun, dengan
sebuah gerakan yang manis, pemuda brewok ini merunduk disertai geseran kaki
kanannya ke depan. Tubuhnya langsung menyeruak melalui ketiak lawan. Seketika
itu pula kepalan tangannya langsung bekerja dengan baik.
Buk! "Hukh...!"
Tukang pukul Juragan Baswara melenguh tertahan. Wajahnya menyeringai kesakitan
karena lambungnya tersengat kepalan Sudana. Dan ketika tubuhnya terhuyung
mundur, Sudana melompat berputar, mengirimkan sebuah tendangan keras!
Lagi-lagi tubuh lelaki tinggi besar itu terjajar limbung. Tendangan Sudana yang
singgah di tengkuknya
membuat tukang pukul Juragan Baswara menjerit kesakitan. Dengan sekuat tenaga,
ia berusaha mengimbangi tubuhnya agar tidak sampai jatuh. Kemudian
menyergap Sudana dengan serangkaian pukulan yang
membabi-buta, persis kerbau gila yang mengamuk.
Namun Sudana ternyata cukup lincah. Setiap serangan pukulan lawan selalu dapat
dihindarinya dengan baik. Bahkan satu dua pukulannya mendapatkan
sasaran yang tepat, membuat lawan semakin kalap.
Hal itu justru membuat Sudana semakin bersemangat.
Sampai akhirnya ia mendapatkan kesempatan baik
untuk melompat dan melepaskan tamparan dengan
kedua telapak tangannya ke kedua telinga lawan.
Plak! Tubuh tukang pukul Juragan Baswara langsung
oleng. Tamparan kedua telapak tangan Sudana terasa
bagai hentakan palu godam di kepalanya, membuat
tubuh raksasa ini langsung berdebam ambruk tak sadarkan diri.
Kemenangan Sudana yang di luar dugaan langsung
disambut warga desa berteriak dengan bertepuk dan
sorak-sorai. Bahkan Saranggi dan Maladi sudah melompat ke tengah arena dan
mengangkat tinggi-tinggi
tubuh rekannya sambil berteriak-teriak gembira.
Demikian juga dengan orang-orang yang gila judi.
Mereka tadi langsung saling bertaruh ketika melihat
ada dua orang yang sudah siap tarung. Dan yang bertaruh untuk kemenangan Sudana,
melampiaskan kegembiraannya dengan macam-macam cara. Bahkan
beberapa orang petaruh yang menang, bergegas menghampiri Sudana. Masing-masing
dari mereka memberikan sekantung uang kepada pemuda brewok itu. Karena peluang
untuk menang bagi Sudana sangat tipis,
ada beberapa orang yang berani bertarung satu banding lima untuk kemenangan
lawan Sudana. Kemenangan yang cukup banyak, membuat mereka tak segansegan
memberikan sekantung uang kepada pemuda
itu, sebagai tanda kegembiraan.
"Saranggi, kumpulkan kawan-kawanmu!" perintah
Juragan Mahinta kepada Saranggi, orang kepercayaannya, "Kita kembali!"
lanjutnya, lalu memutar tubuh
meninggalkan balai desa, tempat diadakannya pesta
itu. Tanpa membantah, Saranggi segera mengajak kawan-kawannya untuk kembali ke
peternakan. Rombongan Juragan Mahinta pun bergerak meninggalkan
balai desa, diiringi pandang mata penuh dendam dari
Juragan Baswara.
"Keparat itu harus segera dilenyapkan...!" desis Juragan Baswara penuh
kebencian. Kemudian melanjutkan dengan suara berbisik kepada empat orang
tukang pukul yang berada di kiri dan kanannya.
Keempat orang tukang pukul itu sama-sama menganggukkan kepala. Dua orang di
antaranya bergerak
meninggalkan balai desa. Sedangkan dua lagi mengiringi langkah majikannya sambil
menggotong tubuh
kawannya, si lelaki tinggi besar yang belum sadarkan
diri. *** Brak! Daun pintu rumah besar itu langsung jebol terkena tendangan seorang lelaki gemuk
berkumis lebat,
yang kemudian langsung menerobos masuk dengan
wajah beringas.
"Siapa... siapa kalian..."! Mau apa kalian..."!"
Dua orang perempuan berumur sekitar empat puluh tahun, berpakaian seperti
pelayan, tampak kebingungan mengetahui kedatangan lelaki gemuk.
"Minggir kalian! Mana itu si Keparat Mahinta..."!"
bentak lelaki gemuk berkumis lebat sambil mengibaskan kedua tangannya. Karuan
saja kedua orang
perempuan itu terlempar membentur dinding, dan
langsung tak sadarkan diri. Sedangkan lelaki tinggi besar itu terus berjalan. Di
belakangnya tampak dua
orang lelaki lain berwajah beringas.
Juragan Mahinta yang saat itu tengah berada di
dalam kamarnya, bergegas menutup buku yang tengah
dibacanya. Kemudian buru-buru keluar, setelah menyimpan buku daftar pesanan yang
tengah diteliti-nya.
Suara ribut-ribut di luar kamar, membuatnya merasa
perlu untuk memeriksa. Namun betapa terkejutnya hati lelaki setengah baya itu
ketika melihat tiga orang lelaki berwajah beringas tengah berjalan
menghampirinya.
"Siapa kalian" Apa maksud kalian membuat keributan di rumahku?" tegur Juragan
Mahinta, meskipun
ia tahu dari tarikan wajah tamu tak di-undang itu, jelas bermaksud tidak baik.
Tubuhnya melompat ke
samping kanan, mendekati rak senjata berada. Kemudian menyambar sebatang golok
besar yang terdapat di
rak senjata. "Siapa adanya kami kau tak perlu tahu, Mahinta!
Yang jelas kami datang untuk membunuhmu! Bersiap-
lah untuk melayat ke neraka!" tukas lelaki gemuk berkumis lebat, yang langsung
memerintah dengan gerakan tangan agar kedua rekannya menyebar.
"Kisanak. Di antara kita belum pernah berjumpa,
apalagi bermusuhan. Kalau sekarang kau hendak
membunuhku, tentu ada sebab-sebabnya. Dapatkah
kau jelaskan sebab-sebab itu...?" ujar Juragan Mahinta sambil berusaha mengenali
salah satu dari ketiga
tamunya. Terutama lelaki gemuk berkumis lebat, yang
ia duga merupakan pimpinan dari dua orang lainnya.
"Huh, aku tak punya banyak waktu dengan segala
macam keterangan, Mahinta! Sekarang terimalah kematianmu...!" usai berkata
demikian, lelaki gemuk
berkumis lebat langsung menerjang maju dengan senjata berupa sebuah clurit
berwarna hitam.
Sedangkan dua lelaki yang mengapit Juragan Mahinta tidak terlihat hendak
membantu pimpinan-nya.
Mereka hanya berjaga-jaga agar jangan sampai pemilik
peternakan itu sempat melarikan diri. Meskipun demikian, di tangan keduanya
terlihat senjata yang serupa
dengan apa yang digunakan pimpinan mereka.
*** Sementara itu, Saranggi yang tengah menggembalakan sapi bersama tiga orang
rekannya, tampak
agak gelisah. Tidak seperti biasanya, hari ini dadanya
selalu berdebar tanpa sebab. Dan ada suatu perasaan
aneh yang mendorongnya agar segera kembali ke peternakan.
"Maladi!" panggil Saranggi kepada Maladi, yang
sama dengan dirinya, menunggang seekor kuda, berada sekitar tiga tombak di
sebelah kirinya.
Maladi menggerakkan kudanya menghampiri Sa-
ranggi "Entah mengapa, hari ini hatiku selalu berdebar.
Bagaimana kalau kita kembali saja ke peternakan" Hatiku khawatir kalau-kalau ini
merupakan suatu pertanda tidak baik," ujar Saranggi berterus terang kepada
rekannya. "Aneh..."!" desis Maladi yang wajahnya mendadak
cemas. "Hatiku pun merasa tak karuan. Sebaiknya
kembali dulu ke peternakan agar hati kita merasa tenang. Mudah-mudahan ini cuma
perasaan kita saja...."
Saranggi mengangguk. Kemudian berpaling ke arah
Sudana, yang berada sekitar empat tombak di sebelah
kanannya. "Sudana, aku dan Maladi akan pulang sebentar!
Kau dan Rapati tetaplah di sini! Sebentar kami akan
kembali lagi ke sini...!" teriak Saranggi kepada Sudana,
yang disambut dengan menganggukkan kepala, meski
merasa heran. Kemudian, tanpa membuang-buang waktu, Saranggi segera menggebah kudanya, yang
langsung melesat bagaikan dikejar setan. Di samping kirinya terlihat Maladi
melakukan hal yang serupa. Kedua pemuda
itu seperti berlomba untuk tiba di peternakan, yang
berjarak cukup jauh dari padang rumput tempat mereka menggembalakan sapi-sapi
majikan-nya. Di tengah perjalanan, keduanya berjumpa dengan
tiga pedati yang dikendarai Ekalana, Jirana, dan Sabung Waluya. Ketiganya baru
saja kembali dari menyabit rumput untuk makanan kuda.
"Hei, hendak ke mana kalian" Mengapa memacu
kuda seperti dikejar setan belang?" Jirana berteriak
menegur Saranggi dan Maladi, yang melewati ketiga
pedati berisi rumput itu tanpa menegur, Keduanya
hanya menoleh sekilas.
Namun, baik Saranggi maupun Maladi sama sekali
tidak menyahut. Mereka terus membedal binatang
tunggangannya, meninggalkan ketiga pedati pembawa
rumput. Ekalana yang mengendarai pedati paling depan,
mengerutkan keningnya. Ia merasa aneh melihat sikap
Saranggi dan Maladi yang dianggapnya tidak wajar. Setelah berpikir sesaat, ia
langsung saja berseru kepada
kedua orang kawannya di belakang.
"Jirana, Sabung Waluya, kita harus mengejar mereka! Mendadak saja perasaanku
tidak enak melihat
sikap mereka yang tidak seperti biasanya itu...!"
Tanpa menunggu jawaban, Ekalana mencambuk
Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuda penarik pedati berkali-kali. Membuat binatang
itu terlonjak kaget, lalu segera berlari lebih cepat. Karuan saja pedati yang
dibawa lari cepat itu berdetak
dan melonjak-lonjak. Namun Ekalana sama sekali tidak peduli. Pecut di tangannya
masih meledak-ledak
mencambuki badan kuda. Pemuda berwajah dingin ini
ternyata cukup ahli menjaga keseimbangan pedatinya.
Dengan pengerahan tenaga dalam yang diatur sedemikian rupa, pedati itu terus
meluncur, kendati beberapa
kali nyaris terbanting.
Berbeda dengan Jirana dan Sabung Waluya. Keduanya tak mampu mengatur
keseimbangan pedati. Maka, tanpa ampun lagi, pedati yang dikendarai Jirana
ambruk, ketika rodanya melindas batu sebesar kepala
manusia. Begitu pula pedati Sabung Waluya setelah
rodanya menelusup ke lubang. Untung keduanya cukup sigap, melempar tubuh dan
bergulingan di tanah
berumput kering pinggir jalan. Sehingga, mereka selamat dari bahaya tertimpa
pedati. "Sial..!"
Jirana memaki kesal. Bergegas ia melompat ban-
gun dan membersihkan debu serta rumput kering yang
mengotori pakaiannya. Ketika melihat kuda penarik
pedati berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri, otaknya langsung bekerja cepat.
Setelah memutus tali yang
menghubungkan badan kuda dengan dua batang kayu
gagang pedati, dia langsung me-lompat ke punggung
kuda. Kemudian menggebahnya disertai bentakan
nyaring. "Heaaa...!"
Sabung Waluya, yang juga berhasil menyelamatkan diri, segera mengikuti perbuatan
rekannya. Kemudian melarikan binatang tunggangannya secepat
terbang. Meski tidak mengerti mengapa ia mesti terburu-buru seperti itu, namun
tetap saja dilakukannya.
*** Niat Saranggi untuk kembali ke peternakan, memang bersamaan waktunya dengan
kedatangan lelaki
gemuk berkumis lebat, yang hendak melenyapkan Juragan Mahinta. Sewaktu Saranggi
bersama Maladi hampir tiba di peternakan, tampak tubuh majikan mereka tengah diseret ke luar
dari dalam rumah oleh dua
orang lelaki kasar. Di beberapa bagian tubuh Juragan
Mahinta tampak terdapat luka yang masih mengalirkan darah. Meskipun masih hidup,
namun keadaan Juragan Mahinta sudah setengah mati.
Saranggi yang dari kejauhan sempat menyaksikan
tubuh majikannya diseret dua orang lelaki, bergegas
menarik tali kekang kudanya. Karena di depan rumah
majikannya terdapat kurang lebih dua puluh orang
penunggang kuda. Saranggi tentu saja tidak ingin berlaku nekat, yang sama
artinya dengan bunuh diri. Pemuda jangkung ini melompat turun dari punggung
kuda, lalu bersembunyi di balik sebatang pohon, menyaksikan apa yang bakal
terjadi. "Apa yang akan dilakukan orang-orang biadab itu
terhadap majikan kita, Saranggi...?" Tanya Maladi berbisik parau. Hatinya
dilanda ketegangan hebat menyaksikan Juragan Mahinta diseret-seret seperti
binatang. Seperti halnya Saranggi, Maladi pun tidak ingin
bertindak bodoh dengan berlaku nekat menyelamatkan
majikannya. Karena jumlah lawan sangat banyak. Sehingga, ia hanya bisa mengutuk
menyaksikan perbuatan orang-orang tak dikenal itu.
"Entahlah, Maladi...," sahut Saranggi parau dan
hampir menangis karena merasa tak berdaya untuk
menolong majikannya.
Keduanya terdiam dengan wajah pucat bersimbah
keringat dingin. Tiba-tiba Saranggi melompat mengejutkan Maladi, karena
mendengar suara berderakderak dari belakangnya yang semakin jelas. Sadar
bahwa itu suara roda pedati yang dikendarai salah
seorang kawannya, Saranggi berlari menyambut untuk
mencegah dan menghentikannya. Khawatir suara ribut
itu bisa menarik perhatian para penunggang kuda
yang berkumpul di depan rumah majikannya.
"Ekalana, berhenti...!" teriak Saranggi berdiri
menghadang jalan seraya mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
Ekalana, yang melihat Saranggi berdiri menghadang di tengah jalan, segera
menarik tali kekang kudanya. Karuan saja pedati itu terlonjak-lonjak dengan
suara ribut. Sampai akhirnya berhenti tepat di depan
Saranggi. "Mengapa" Ada apa, Saranggi" Kau tampak seperti
orang yang baru saja melihat setan?" tegur Ekalana setelah melompat turun dari
atas pedati dan mengham-
piri Saranggi. Saranggi tidak berkata apa-apa. Lidahnya terasa
kelu untuk menceritakan apa yang disaksikannya.
Tanpa menjawab pemuda jangkung ini memutar tubuhnya, dan mengisyaratkan agar
Ekalana mengikutinya. Namun, langkah keduanya tertunda oleh suara
derap kaki kuda yang datang dari belakang mereka.
Ketika melihat penunggang kuda ternyata Jirana. Saranggi menghentikannya dan
mengisyaratkan agar Jirana segera turun.
Sesaat kemudian, kuda yang ditunggangi Sabung
Waluya menyusul datang. Melihat tiga orang kawannya
berkumpul di tempat itu, Sabung Waluya langsung
menghentikan kudanya dan melompat turun tanpa diperintah. Kemudian bergegas
mengikuti langkah kawan-kawannya tanpa sempat bertanya.
Saranggi mengajak ketiga orang kawannya untuk
mengintai dari tempat yang tersembunyi. Saat itu mereka menyaksikan tubuh
Juragan Mahinta diseret ke
arah kandang kuda oleh dua orang lelaki. Tampak pula seorang lelaki berpakaian
hitam membawa segulung
tali. "Ini tidak bisa didiamkan! Kita harus menolong Ki
Mahinta!" Ekalana yang merasa geram karena sadar
apa yang akan dilakukan orang-orang itu terhadap
majikannya, bergegas bangkit. Sepasang matanya berkilat menakutkan. Dan ia sudah
melompat ke luar dari
tempat persembunyian.
Saranggi dan yang lainnya terkejut bukan main
melihat perbuatan Ekalana. Sadar bahwa apa yang
Akan dilakukan Ekalana sangat berbahaya, Saranggi
langsung melompat dan menerkam kedua kaki Ekalana. Sehingga, keduanya terjatuh
bergulingan. "Jangan bertindak bodoh, Ekalana! Jumlah mereka
terlalu banyak dan tak mungkin dapat kita lawan!"
bentak Saranggi dengan suara ditekan rendah. la marah bukan main melihat
tindakan Ekalana yang dianggapnya sebagai perbuatan bodoh.
"Saranggi!" tukas Ekalana yang tak kalah geramnya. Keduanya masih rebah di
tanah. "Aku tak takut
mati! Ki Mahinta sudah begitu baik kepadaku! Selama
ini tak seorang pun yang peduli dengan diriku, karena
aku anak haram! Aku lahir dari rahim seorang pelacur!
Ibuku saja tidak peduli dengan diriku. Aku hidup dari
satu pelacur ke pelacur lain. Sampai ketika aku berusia dua belas tahun aku
nekat pergi merantau. Ibuku
sendiri meninggal sewaktu rumah pelacur tempatnya
bekerja terbakar habis. Sekarang ada orang yang begitu baik kepadaku. Aku
berhutang nyawa kepadanya.
Sekarang saatnya aku untuk membalas budi kebaikan
Ki Mahinta. Kalau kau takut, menyingkirlah! Biar aku
sendiri yang menghadapi manusia-manusia keparat
itu!" "Otak kerbau! Kau pikir cuma kau saja yang tak
takut mati"! Jangan sombong Ekalana! Aku pun rela
mempertaruhkan nyawa demi keselamatan Ki Mahinta!
Tapi, melihat jumlah mereka terlalu banyak, aku jadi
berpikir lain...."
"Jangan berdalih, Saranggi!" sahut Ekalana tak sabar, "Katakan saja terus terang
bahwa kau takut mati,
meski untuk membela orang yang sangat baik kepadamu! Jangan samakan aku
denganmu, Saranggi!
Nah, menyingkirlah, biar kubunuh bangsat-bangsat
itu...!" "Bodoh! Dungu!" Saranggi benar-benar merasa
jengkel terhadap Ekalana yang keras kepala itu, "Pikir
baik-baik, Manusia Sombong! Kalau kita semua maju
dan tewas di tangan mereka, lalu siapa yang bakal
membalas sakit hati majikan kita, yang akan mereka
gantung hidup-hidup itu"! Gunakan akal sehatmu,
Ekalana! Bukan dengan amarah yang hanya akan
membuat kita tidak bisa berpikir jernih!" tandas Saranggi, yang telah melepaskan
kedua tangannya dari
kaki Ekalana. "Apa yang dikatakan Saranggi memang tidak salah,
Ekalana," Jirana ikut menimpali. la sudah duduk di
dekat kedua orang kawannya yang tengah bersitegang
itu. "Sepertinya kita memang tak bisa berbuat apa-apa
sekarang. Tapi bukan berarti aku akan tinggal diam
dan melupakan semua ini begitu saja. Tidak! Mereka
harus mendapat balasan yang setimpal!"
Ekalana menghembuskan nafasnya keras-keras.
Pikirannya baru terbuka setelah mendengar ucapan
Saranggi, yang diperkuat oleh Jirana. Kepalanya mengangguk tipis. Kemudian
bangkit berdiri dan kembali
ke tempat semula untuk menyaksikan kelanjutan nasib Juragan Mahinta.
Dan apa yang terjadi selanjutnya, membuat tubuh
mereka menggigil menahan rasa marah yang menggelegak. Tubuh majikan mereka telah
tergantung di pintu
kandang kuda. Kelima pemuda ini sama menundukkan kepala. Mereka tak sanggup
menyaksikan Juragan
Mahinta yang digantung dengan kepala di bawah, dan
masih menerima cambukan pada tubuhnya.
"Celaka...!" tiba-tiba saja Saranggi berseru mengejutkan. Wajahnya tampak
tegang, tertuju ke arah rombongan dua puluh orang penunggang kuda, yang tengah
memandang ke arah tempat mereka bersembunyi.
Terlihat salah seorang anggota rombongan menudingkan jari tangannya. Rupanya
orang itu melihat kuda
dan pedati mereka, lalu memberitahukan kawankawannya.
"Cepat tinggalkan tempat ini...!" seru Saranggi, lalu
bergegas menghampiri kudanya.
Perbuatan Saranggi dituruti Maladi, Jirana, dan
Sabung Waluya. Sedangkan Ekalana tampak masih
berdiri menyaksikan rombongan berkuda itu datang
mendekat. "Ekalana, jangan tolol kau...!" Saranggi berseru
mengingatkan kawannya dengan hati jengkel.
"Tidak perlu cemas, Saranggi. Aku cuma ingin melihat lebih dekat agar bisa
mengenali siapa adanya
manusia-manusia biadab itu. Pergilah kalian, aku
akan menyusul...!" jawab Ekalana, tanpa mengalihkan
perhatiannya dari rombongan orang berkuda itu.
Saranggi tidak berkata apa-apa lagi. Ia segera
menggebah kudanya, diikuti Maladi, Sabung Waluya,
dan Jirana. Mereka melarikan kuda menuju padang
rumput tempat Sudana dan Rapati menunggu.
Tidak lama setelah Saranggi dan ketiga kawannya
pergi, Ekalana menghampiri pedatinya. Kemudian melepaskan pengikat kuda. Sekali
lompat saja tubuh-nya
melayang dan mendarat ringan di punggung kuda.
Dengan cepat dipacu kudanya ke arah lain dengan
arah yang diambil Saranggi dan ketiga kawannya. Ekalana sengaja berbuat demikian
untuk mengecoh rombongan penunggang kuda yang tidak jauh di belakangnya. Ia
sudah dapat melihat beberapa orang terdepan dari rombongan yang telah membunuh
majikannya. Segera dapat dikenali siapa dan dari mana
pembunuh-pembunuh majikannya itu berasal. Sebagai
orang yang punya pengalaman berpetualang di kalangan persilatan, Ekalana
mengenal berbagai tokoh silat
dan golongan. Segera digebah kudanya meninggalkan
rombongan yang memburunya. Setelah merasa cukup
jauh, baru ia memutar arah menuju tempat Saranggi
Romantika Sebilah Pedang 1 Pendekar Bayangan Sukma Iblis Berbaju Hijau Memburu Iblis 20
TUJUH SATRIA PERKASA Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putin
dalam episode:.
Tujuh Satria Perkasa
128 hal. ; 12x18 cm
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 Sang Surya bergeser semakin jauh ke barat. Sinarnya telah memudar, pertanda
sebentar lagi senja akan
tiba. Waktu yang semestinya merupakan isyarat bagi
manusia untuk beristirahat itu, ternyata malah dibisingkan oleh teriakan-
teriakan membahana yang ditingkahi beradunya senjata tajam.
Suara-suara pertempuran Ini berasal dari sebelah
timur di tepi Hutan Burangrang. Tampak sesosok tubuh sedang yang setengah
wajahnya tertutup selembar
kain hitam, tengah menghadapi keroyokan empat
orang laki-laki bersenjata. Sosok bertubuh tegap mengenakan pakaian kuning itu
terlihat cukup tangguh
dalam mengadakan perlawanan. Padahal di beberapa
bagian tubuhnya tampak luka-luka bekas goresan dan
tusukan senjata tajam.
Tidak jauh dari arena pertempuran, tampak dua
buah kereta barang. Selain itu, juga terlihat adanya
sosok-sosok tubuh bergeletak bersimbah darah. Dari
warna pakaian yang melekat pada tubuh mayat-mayat
itu, dapat diduga bahwa mereka merupakan pihak dari
empat orang lelaki bersenjata yang tengah mengeroyok
sosok bertutup wajah kain hitam. Jelas sudah kalau
keenam orang mayat merupakan korban senjata di
tangan sosok bertubuh sedang yang setengah wajahnya tertutup kain hitam.
"Perampok busuk, mampuslah...!" Sambil mengeluarkan bentakan demikian, salah
seorang pengeroyok
melesat ke depan. Pedang di tangannya bergerak menusuk disertai suara berdesing
tajam. Whuuuttt...! Mata pedang meluncur begitu cepat mengancam
lambung kanan itu, dapat dielakkan lawan dengan
lompatan pendek ke samping kiri. Namun, begitu kedua kaki orang yang setengah
wajahnya tertutup kain
hitam ini menginjak tanah, ujung pedang pengeroyok
lainnya sudah menyambut dengan sebuah sambaran
kilat ke punggungnya.
"Hyaaahhh...!"
Meskipun dalam kedudukan yang sulit, sosok bertubuh sedang namun padat berisi
ini, masih sempat
mengibaskan pedangnya memapaki serangan. Terdengar suara benturan keras yang
menimbulkan percikan
bunga api. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa
langkah. Namun sosok misterius yang sudah menderita banyak luka ini tampak lebih
parah dari lawannya.
Tubuhnya terhuyung sampai satu tombak lebih. Hal
itu karena tenaganya telah banyak berkurang. Terutama sekali luka-lukanya yang
terus meneteskan darah,
membuat tubuhnya semakin melemah.
Breeettt! "Aaakh...!"
Sebuah sambaran mata pedang menyambut datangnya tubuh penuh luka yang tengah
terhuyung itu. Terdengar jerit kesakitan yang disertai tubuh yang
nyaris terpelanting jatuh. Sementara mata pedang
lainnya datang mengancam ke arah tenggorokan. Siap
membunuh sosok yang nyaris tak berdaya ini.
Namun lelaki yang setengah wajahnya tersembunyi
di balik kain hitam masih sempat memutar pedang
memapaki datangnya ancaman maut itu.
Bahkan dengan cerdik ia menggunakan benturan
itu untuk melompat ke belakang. Dengan meminjam
tenaga lawan, sosok tubuh penuh luka itu dapat melepaskan diri dari kepungan
lawan. Dan terus melarikan
diri ke dalam semak belukar hutan.
"Kejar, jangan biarkan bangsat itu lolos.,.!" salah
satu dari keempat pengeroyoknya yang berkumis melintang, berteriak memerintah.
Tubuhnya langsung
melesat melakukan pengejaran.
Tiga orang lainnya langsung berlari menyusul. Mereka menerobos semak belukar
memasuki hutan. Namun kelebatan pepohonan hutan membuat mereka
kehilangan jejak buruannya. Dan terpaksa berhenti setelah tak juga menemukan
lelaki berpakaian kuning
tadi. "Kita berpencar!" seru lelaki berkumis lebat yang
menjadi pimpinan dari ketiga kawannya, "Bangsat itu
sudah terluka parah, dan tidak mungkin dapat lari
jauh. Untuk mencari jejaknya kita dapat meneliti rerumputan. Tetesan darah yang
keluar dari lukalukanya akan memudahkan kita untuk menentukan
ke arah mana keparat itu melarikan diri," lanjutnya
memberikan petunjuk. Ketiga kawannya sama mengangguk kepala. Kemudian mereka pun
berpencar untuk mencari jejak buruannya.
"Hei, Kawan-kawan, cepat kemari...!"
Tidak berapa lama kemudian, terdengar salah satu
dari keempat lelaki berteriak memanggil kawankawannya. Sedang orang yang
berteriak nampak tengah meneliti rimbunan semak, yang di satu bagian
tampak dinodai warna merah. Darah.
Tiga lelaki lainnya berdatangan, lalu ikut memeriksa noda darah yang menetes di
dedaunan. Noda darah itu memang masih baru.
"Heh heh heh...! Sudah kuduga kalau kita akan
dapat menemukannya. Ayo, kita kejar bangsat itu...!"
ajak lelaki berkumis melintang dengan sepasang mata
berkilat penuh ejekan. Seolah ia merasa pasti akan
dapat menemukan dan membekuk buruannya.
Namun, jejak-jejak berdarah itu ternyata masih terus mereka temukan sampai di
luar hutan. Keempatnya mendengus jengkel dan sama-sama menghentikan
langkah setelah beberapa tombak meninggalkan mulut
hutan. "Kita tidak bisa meneruskan pencarian. Sebab di
sebelah depan sana merupakan wilayah peternakan
Juragan Mahinta. Dia pasti tidak akan memperbolehkan kita melewati batas-batas
wilayah peternakannya.
Sebaiknya kita laporkan saja hal itu kepada majikan
kita...," usul lelaki berkumis tebal melintang disertai
helaan napas panjang. Kemudian membalikkan tubuh
dan memasuki hutan, menelusuri jalan yang semula
mereka lalui. *** Hari menjelang pagi. Perlahan-lahan suasana mulai
terang walau hembusan angin masih terasa dingin
menusuk. Seiring dengan kemunculan sang Surya di
kaki langit sebelah timur, terlihat kesibukan di sebuah
tanah peternakan.
Dua orang lelaki muda tampak berjalan menuju
kandang kuda di bagian belakang sebuah bangunan
yang cukup besar. Kandang itu terlihat sangat luas
dengan puluhan ekor kuda di dalamnya. Kedua orang
lelaki muda ini adalah pekerja-pekerja Juragan Mahinta, yang bertugas mengurus
ternak kuda. Seperti biasanya, mereka memberi makan kuda-kuda itu setiap
pagi harinya. Tanah peternakan yang dimiliki Juragan Mahinta
terhitung sangat luas. Selain beternak kuda, dia memiliki ternak sapi yang
jumlahnya lebih dari seratus ekor.
Tanah peternakannya berada di sebuah padang rum-
put yang luas, terletak di selatan Desa Sindang Laya.
Namun masih berada di wilayah desa itu, meskipun
hampir di perbatasan sebelah selatan.
"Semalam rasanya aku mendengar ternak-ternak
kuda kita meringkik gelisah. Entah apa yang menyebabkannya...," salah satu dari
kedua laki-laki muda itu
berkata kepada kawannya.
"Aku juga mendengarnya," tukas pemuda satunya
menimpali, "Tapi aku enggan untuk memeriksanya.
Udara semalam sangat dingin, selain itu selama kita
bekerja di tempat ini, tak pernah ada gangguan apaapa. Jadi, menurutku tidak ada
yang perlu kita khawatirkan," lanjutnya sambil terus melangkah menuju
kandang kuda. "Hm..., kau benar, Saranggi. Itu sebabnya aku juga
tidak mempunyai keinginan untuk memeriksanya,"
ujar pemuda yang pertama kali bicara, membenarkan
ucapan Saranggi.
Namun, pembicaraan dan langkah keduanya terhenti tepat setengah tombak dari
pintu kandang. Mereka saling bertukar pandang sesaat. Kemudian membungkuk
memeriksa tanah di depan kandang itu. Karena di tanah itu terlihat bercak-bercak
yang mencurigakan.
Saranggi mengulurkan tangannya mengambil tanah berdebu di depan itu. Lalu
mendekatkan ke hidungnya.
"Bau darah manusia..."!" desis Saranggi dengan
kening berkerut. Dia segera bergerak bangkit sambil
mencabut golok besar di pinggangnya, "Ada sesuatu
yang tidak beres terjadi semalam. Sebaiknya kita periksa semua tempat ini,
terutama kandang kuda. Karena binatang-binatang itu yang meringkik-ringkik ribut
semalam." Tanpa banyak cakap lagi, pemuda satunya langsung menghunus golok. Kemudian
keduanya membuka pintu kandang perlahan-lahan. Dan.., keduanya
melompat mundur beberapa tindak dengan wajah terkejut. Beberapa langkah di depan
mereka, tampak sesosok tubuh terbujur menelungkup. Sekujur tubuh
sosok itu dipenuhi luka yang darahnya hampir mengering. Tentu saja kedua pemuda
ini menjadi kaget
bukan main. "Hm... jadi ini yang membuat kuda-kuda kita menjadi gelisah...!" desis Saranggi
yang masih merasa tegang melihat sosok berlumur darah di dalam kandang
kuda. Wajah pemuda jangkung ini tampak agak pucat.
Kelihatannya ia tidak terbiasa dengan pemandangan
itu. Lain halnya dengan pemuda satunya yang wajahnya dihiasi brewok halus. Ia cuma
terkejut sesaat, kemudian berganti dengan rasa penasaran. Bahkan
otaknya bekerja cepat mengambil keputusan.
"Saranggi, kau pergilah dan laporkan kepada Juragan Mahinta! Biar aku menunggu
di sini! Kelihatannya
orang ini belum mati. Aku masih melihat gerak pernafasannya. Menurutku orang ini
sedang dalam keadaan
sekarat. Kita harus cepat menolongnya," ujar pemuda
brewok ini kepada Saranggi.
"Baik, aku akan melaporkan kepada juragan. Berhati-hati dan jangan dulu kau
bertindak sebelum kami
datang," ujar Saranggi berpesan kepada kawannya sebelum berlari meninggalkan
tempat itu. Letak kandang kuda dengan bangunan induk tempat kediaman Juragan Mahinta memang
agak jauh. Namun pemuda bernama Saranggi ini rupanya bukan
pekerja sembarangan. Dari caranya berlari dapat dilihat kalau dalam hal
kepandaian, tampaknya ia terbi-
lang lihai. Karena tubuhnya dapat bergerak dengan
ringan dan cepat. Tiba di depan tempat tinggal majikannya, Saranggi langsung
saja masuk untuk melaporkan apa yang dilihatnya.
Tidak berapa lama kemudian, tampak Saranggi melangkah ke luar diikuti seorang
lelaki setengah baya.
Dapat dipastikan kalau lelaki setengah baya yang masih tampak gagah inilah
Juragan Mahinta. Lelaki dengan wajah terhias kumis dan jenggot yang sebagian
sudah memutih ini, terlihat tetap tenang, kendati sudah mendengar laporan
Saranggi. Bukan cuma mereka berdua yang setengah berlari
menuju ke kandang kuda. Empat orang lelaki mengikuti di belakang Juragan Mahinta
dan Saranggi. Mereka sebaya dengan Saranggi, berusia rata-rata dua puluh dua
tahun. Dan memang cuma enam pemuda itulah yang bekerja kepada Juragan Mahinta.
Meskipun selain mereka masih terdapat pembantu-pembantu
lain, namun mereka wanita setengah baya yang bekerja sebagai pelayan ataupun
juru masak. "Bagaimana keadaan orang itu, Sudana?" Tanya
Juragan Mahinta kepada pemuda berwajah brewok,
begitu tiba bersama pekerja lainnya.
"Belum kuperiksa, Ki. Tapi kelihatannya ia masih
hidup...," jawab Sudana yang bergegas menyingkir,
memberi jalan kepada majikannya.
Juragan Mahinta, yang memang meminta agar para pekerja menyebutnya dengan
panggilan Ki Mahinta,
bergegas mendekat. Kemudian memeriksa bagian leher
dan nadi sosok tubuh yang menelungkup dalam keadaan terluka itu.
"Hm... daya tahan tubuh orang ini terhitung sangat
kuat. Meskipun luka yang dideritanya cukup parah,
namun sampai sekarang dia masih bertahan hidup,"
ujar Juragan Mahinta, kemudian menoleh kepada para
pekerjanya. "Bawalah ke barak. Siapa pun adanya
orang ini, kita harus menolongnya. Walaupun mungkin
ia bukan orang baik-baik," lanjut Juragan Mahinta
memerintah. Ia menduga demikian karena melihat
adanya kain hitam di leher sosok tubuh itu, yang
mungkin dilepaskan untuk memudahkannya bernapas.
Wajah sosok tubuh yang tengah terluka itu selain
masih muda juga berparas tampan, meski terlihat pucat. Sudana segera membopong
tubuh lelaki muda itu
sesuai dengan perintah majikannya. Kemudian dibawanya ke barak, tempat tinggal
para pekerja lainnya.
Juragan Mahinta sendiri yang memberikan perawatan
dan pengobatan kepada pemuda yang terluka itu.
*** "Sambil menyantap hidangan, tidak ada salahnya
kalau kau memperkenalkan namamu kepada kami
semua, Anak Muda," ucapan itu keluar dari mulut Juragan Mahinta, saat bersantap
malam bersama para
pekerjanya. Pertanyaan itu diajukan kepada pemuda
yang selama beberapa hari ini dirawatnya dengan baik,
Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sampai akhirnya tubuhnya cukup kuat dan dapat bersantap bersama-sama dengan
Juragan Mahinta serta
para pekerjanya.
Juragan Mahinta memang tidak dapat disamakan
dengan juragan-juragan lain. Hatinya terlalu baik dan
tidak ingin menjaga jarak dengan para pekerja. Dirinya
selalu menyempatkan diri untuk makan malam bersama dengan pekerja yang jumlahnya
enam orang, dan
rata-rata masih muda. Sudah tentu sikapnya yang seperti itu membuat para pekerja
semakin menaruh
hormat dan segan kepada majikannya yang baik hati
itu. "Namaku Ekalana, Ki...," jawab pemuda itu singkat. Kemudian kembali menundukkan
wajahnya menekuri meja. Sikapnya menimbulkan kesan dingin dan
angkuh, membuat enam orang pekerja Juragan Mahinta saling bertukar pandang
mencibirkan bibir.
Juragan Mahinta sendiri cuma mengangguk tipis.
"Ekalana," lanjut Juragan Mahinta, "Aku tak ingin
tahu tentang apa yang sudah kau alami, karena setiap
orang berhak untuk menyimpan rahasia dirinya. Dan
pertolonganku jangan kau anggap suatu hutang yang
harus dibayar. Aku tidak mengharapkan apa pun darimu. Kau boleh pergi kapan saja
kau mau. Tapi aku
pun tak keberatan jika kau ingin tetap tinggal di sini."
Ekalana mengangkat wajah dan menatap Juragan
Mahinta untuk beberapa saat. Sorot matanya tetap
dingin dan terkesan angkuh. Lalu mengalihkan pandang dan menatapi enam orang
lainnya satu persatu.
"Kalau diizinkan aku ingin tinggal dan bekerja di
sini, Ki," ujar Ekalana sambil kembali menatap Juragan Mahinta, menunggu jawaban
atas keinginannya
itu. Ia sadar bahwa Juragan Mahinta adalah orang
baik. Kebaikan itu membuat Ekalana berjanji pada dirinya sendiri untuk mengabdi
kepadanya, dan akan
meninggalkan segala perbuatannya yang lalu.
"Kau boleh tinggal bersama mereka...," jawab Juragan Mahinta. Lelaki setengah
baya itu kemudian bangkit dari kursinya, melangkah meninggalkan ruangan
makan. Sebentar saja sosoknya sudah lenyap di balik
pintu. "He he he...! Beruntung kau bertemu dengan orang
sebaik majikan kami, Ekalana," seorang pekerja bernama Maladi membuka suara,
"Tapi mengapa kau
memilih untuk tetap tinggal dan bekerja di sini" Bukankah sebaiknya kau pergi
meninggalkan tempat ini"
Atau kau sengaja hendak menjadikan tempat ini untuk
menyembunyikan diri?"
Ucapan Maladi terdengar begitu sinis, dan dilontarkan dengan nada menghina.
Namun Ekalana tidak menyahut. Ia melanjutkan makannya dengan tenang. Wajahnya
tetap dingin dan angkuh. Bahkan menoleh pun tidak.
"Ha ha ha...! Rupanya ia tuli, Maladi. Mungkin juga
lidahnya menjadi kelu setelah merasakan nikmatnya
makanan yang ia santap. Atau jangan-jangan ia seorang buronan yang baru saja
membunuh orang," seorang pekerja bertubuh gemuk menimpali, juga dengan
nada yang jelas-jelas menunjukkan perasaan tak sukanya terhadap Ekalana.
Ekalana tetap bungkam. Maladi semakin penasaran dibuatnya. Ia mendengus kasar.
"Hmh, benarkah kau telah membunuh orang?"
Tanya Maladi tak percaya akan perkataan kawannya.
Pertanyaan itu sengaja dilontarkan dengan nada agak
tinggi, hingga Ekalana agak tersentak.
Ekalana mengangkat kepala dengan gerakan perlahan. Sepasang matanya yang
bersinar dingin, menatap
wajah Maladi lekat-lekat.
"Aku memang baru saja membunuh orang," jawabnya dingin, membuat Maladi dan
kawan-kawannya meneguk air liur dengan wajah berubah tegang.
"Apa yang menyebabkan kau melakukan hal itu?"
kali ini Sudana yang bertanya. Sepertinya lelaki brewok ini merasa tertarik
ketika mendengar jawaban
Ekalana. "Karena ia telah berani menghina aku!'' jawab Ekalana dengan suara berdesis.
Sepasang matanya tam-
pak berkilat aneh saat berkata demikian.
Glek! Maladi dan pekerja bertubuh gemuk sama-sama
meneguk air liur. Wajah keduanya pun berubah agak
pucat. Jelas mereka sangat terkejut dengan jawaban
Ekalana. Dan percaya bahwa pemuda tampan berwajah dingin itu tidak berdusta.
Dengan agak gugup, kedua orang ini menundukkan wajah mengalihkan perhatiannya
pada hidangan di atas meja.
Ekalana kembali melanjutkan makannya. Sikapnya
tetap tenang dan dingin. Seolah jawabannya barusan
sama sekali tidak berarti apa-apa baginya.
Lain halnya bagi keenam orang pekerja Juragan
Mahinta. Bagi mereka nyawa manusia sangatlah berarti. Karena peternakan Juragan
Mahinta yang termasuk
dalam wilayah Desa Sindang Laya, tidak begitu jauh letaknya dari kotaraja. Yang
berarti masih terjangkau
oleh tangan-tangan hukum. Selain itu, mereka memang bukan kaum rimba persilatan,
meski-pun bukan
orang-orang lemah. Itu sebabnya mengapa mereka merasa terkejut mendengar
pengakuan Ekalana.
*** 2 Ekalana tidak kehilangan sikap angkuh dan wajah
dinginnya, kendati telah beberapa hari bekerja di peternakan Juragan Mahinta.
Dirinya lebih suka menyendiri ketimbang berkumpul dengan pekerja lain.
Meskipun demikian, Juragan Mahinta maupun rekanrekan kerjanya harus mengakui,
bahwa Ekalana sangat rajin dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibe-
rikan. Tidak pernah terdengar keluhan yang keluar dari mulutnya. Bahkan tidak
jarang Ekalana terlihat masih sibuk mengurus kuda-kuda yang dipercayakan
kepadanya, kendati hari telah mulai gelap, dan para pekerja lain sudah pergi
beristirahat. Ketekunan Ekalana
mau tidak mau membuat rekan-rekan kerjanya merasa
kagum. Juga telah menarik simpati Juragan Mahinta,
majikannya. Semenjak luka-lukanya sembuh dan tenaganya pulih, setiap siang Ekalana selalu
berlatih ilmu silat di
dalam kandang tertutup. Hal itu dilakukan setelah tugas untuk membersihkan
kandang selesai dikerjakan.
Rekan-rekan kerjanya sudah tahu apa yang dilakukan
Ekalana di dalam kandang pada setiap siang. Ekalana
sendiri sama sekali tidak peduli. Bah-kan sama sekali
tidak menanggapi ejekan yang kerap kali dilontarkan
mereka kepadanya.
Siang itu Ekalana tengah berlatih ilmu pedang. Gerakannya terlihat semakin
mantap dan terarah. Tampaknya ketekunan pemuda tampan berwajah dingin ini
memang tidak percuma. Meskipun masih jauh dari
sempurna, namun kemajuan yang didapatnya terhitung cukup pesat Namun tiba-
tiba.... Siut! "Haits...!"
Wut! Trang! Trang! Ekalana yang tengah memusatkan seluruh perhatiannya dalam memainkan pedang,
memutar tubuh dengan kecepatan yang mengagumkan. Pedang di tangannya berkelebat dua kali
mematahkan serangan dua
bilah pisau terbang yang meluncur mengancam tubuhnya. Terdengar suara berdentang
nyaring, yang disusul dengan runtuhnya kedua bilah pisau terbang
itu. "Hebat.., hebat...!" terdengar suara pujian disertai
tepukan tangan yang cukup ramai. Kemudian muncul
pemuda jangkung yang tak lain Saranggi. Di belakangnya tampak lima orang pekerja
lain. Ekalana sama sekali tidak merasa bangga dengan
pujian rekan-rekan kerjanya itu. Segera dihentikan
permainannya lalu berdiri dengan kaki terpentang,
menatapi wajah mereka satu persatu. Wajah dan sinar
matanya tetap dingin tanpa menggambarkan perasaan
apapun. Mulutnya terkatup rapat tanpa kata.
"Ilmu pedangmu benar-benar membuat kami kagum, Ekalana. Dari mana kau
mempelajarinya?" Saranggi, pemuda bertubuh jangkung kembali membuka
suara. "Benar, Ekalana. Bolehkah kami ikut mempelajarinya?" Sudana ikut menimpali.
"Dan tentu sangat ampuh bila digunakan untuk
membantai tikus-tikus got! Hua ha ha...!" Maladi yang
memang sejak semula tidak menyukai Ekalana, menimpali dengan nada menghina.
Ucapan Maladi langsung disambut gelak tawa kelima rekannya. Bahkan dua di antara
mereka sampai mengeluarkan air mata saking tak sanggup menahan
tawa. Maladi sendiri sampai terbungkuk-bungkuk.
Dan suara tawanya paling keras di antara mereka.
Kali ini Ekalana benar-benar tersinggung. Wajah
yang biasanya tanpa perasaan kini tampak mengelam,
meski hanya sesaat. Hanya sinar matanya yang masih
menunjukkan bahwa pemuda tampan ini merasa terhina. Sedangkan wajahnya kembali
seperti semula.
Dingin tanpa perasaan apapun!
"Hm... apakah kalian tidak mempunyai pekerjaan
lain kecuali mengganggu kesenanganku" Tidakkah ka-
lian sadar kalau benda yang ada di tanganku ini sangat tajam dan membahayakan"
Atau kalian ingin mencoba sendiri ketajaman pedang ini?" ujar Ekalana
mengingatkan. Sambil berkata demikian ia menimangnimang pedang di tangannya.
Saranggi yang merasa bahwa ucapan Ekalana lebih
ditujukan kepadanya, sama sekali tidak kelihatan gentar. Kakinya melangkah maju
dengan sikap siap tempur. Di kedua tangannya telah tergenggam dua bilah
pisau terbang. Rupanya pemuda jangkung inilah yang
menyerang Ekalana dengan pisau terbang. Itu sebabnya ia merasa bahwa tantangan
Ekalana memang ditujukan kepadanya.
"Rupanya kau merasa sudah menjadi jagoan, heh"!
Apa pikir mu cuma kau saja yang bisa memegang dan
memainkan pedang" Ayo, kita buktikan bahwa permainan pedangmu memang cuma pantas
digunakan untuk membantai tikus got!" ujar Saranggi dengan sikap menantang. Wajah pemuda
jangkung ini tampak
berang. Dirinya memang selalu mencari alasan agar
bisa menghajar Ekalana. Saranggi tidak suka dengan
sikap dingin dan angkuh pemuda tampan itu. Sudah
beberapa kali ia memancing keributan. Namun baru
kali ini Ekalana meladeninya. Suatu kesempatan yang
sudah lama dinantikannya.
Ekalana menarik sudut bibirnya, membentuk senyum mengejek. Sepasang matanya
tampak bersinarsinar, seolah merasa gembira tantangannya mendapati
sambutan. Pemuda tampan itu pun me-langkah maju
dua tindak, hingga jarak keduanya hanya terpisah kurang dari satu tombak.
Lima orang pekerja lainnya tidak berusaha mencegah. Mereka malah sengaja
menjauh, agar arena
perkelahian bertambah luas. Kemudian masing-masing
mencari tempat yang enak untuk menyaksikan perkelahian yang kelihatannya memang
akan segera berlangsung itu.
Saranggi dan Ekalana sendiri sudah berdiri tegak
saling tatap dengan kaki terpentang. Berbeda dengan
Ekalana, yang terlihat tetap dingin dan angkuh, Saranggi tampak agak tegang. Hal
itu disebabkan Saranggi memang hampir tidak pernah bertarung. Lain
halnya dengan Ekalana, yang sebelum bekerja di peternakan Juragan Mahinta, telah
banyak mengalami
pertempuran. Dan menganggap perkelahian yang bakal dihadapinya hanyalah sekadar
permainan anakanak.
Namun sebelum keduanya bergerak saling gebrak,
tiba-tiba terdengar suara gemuruh derap kaki kuda di
kejauhan. Sudana dan empat orang pekerja lainnya
sudah berlompatan ke luar dari kandang. Karena tidak
biasa peternakan itu didatangi orang luar, kelimanya
tidak mempedulikan Saranggi dan Ekalana yang sudah
siap saling gebrak. Mereka bergegas untuk melihat
siapa rombongan berkuda yang berkunjung ke peternakan.
Saranggi sendiri kelihatan gelisah. Beberapa kali ia
menoleh ke luar kandang. Sampai akhirnya mengambil
keputusan untuk menunda persoalan itu, lalu melompat ke luar tanpa berkata
sepatah kata pun. Karena rombongan penunggang kuda itu sudah mulai terlihat
sebagian. Tidak demikian halnya dengan Ekalana. Pemuda
tampan berwajah dingin ini malah menutup rapat pintu kandang. Kemudian merunduk
dan mengintai dari
celah-celah pintu, yang memang dibuat tidak rapat.
Sementara itu, di luar kandang terlihat Juragan
Mahinta berdiri tegak menyambut kedatangan rom-
bongan orang berkuda yang datang ke tempatnya. Saranggi dan kawan-kawannya
berdiri di kiri dan kanan
Juragan Mahinta, siap melindungi majikan mereka kalau-kalau terjadi hal yang
tidak diinginkan.
"Hm... angin apa yang membawamu sampai ke
tempat ini, Ki Baswara?" sapa Juragan Mahinta kepada penunggang kuda terdepan,
yang berhenti di hadapannya. Kemudian Juragan Mahinta mengangguk kepada seorang
lelaki lain, di sebelah kanan Juragan
Baswara. "Selamat datang, Ki Windudarta!" lanjutnya
menyapa lelaki gagah berusia lima puluh tahun, yang
merupakan Kepala Desa Sindang Laya.
"Maaf, kalau kedatangan kami mengejutkanmu, Ki
Mahinta. Aku sendiri tidak mempunyai kepentingan
khusus kecuali menemani Ki Baswara. Beliau ingin
menanyakan sesuatu kepadamu," jelas Ki Windudarta
menerangkan kepada Juragan Mahinta setelah balas
mengangguk. "Ki Mahinta," ujar Juragan Baswara dengan sikap
angkuh, dan tetap duduk di atas punggung kuda. "Sebenarnya sudah lama aku
menaruh curiga ter-hadap
dirimu. Beberapa kali kiriman uang pembayaran dari
langganan-langganan ku tak sampai ke tanganku. Baru beberapa hari yang lalu aku
menerima laporan
bahwa perampok yang selama ini menjarah uang kiriman itu, melarikan diri ke
tempat ini! Orang-orangku
tak berani melanggar batas wilayah kekuasaanmu. Mereka hanya melaporkan kepadaku
bahwa perampok itu
menghilang di daerah peternakan ini! Dan sekarang
aku merasa yakin bahwa kaulah yang menjadi biang
keladi dari semua perampok itu! Kau pasti merasa iri
dengan usahaku lebih maju daripada usahamu!"
Wajah Juragan Mahinta memerah karena merasa
Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaget mendengar tuduhan Juragan Baswara. Saat itu
juga ia sudah dapat menebak siapa orang yang dimaksudkan Juragan Baswara,
saingan dagangnya itu. Siapa lagi pelaku perampok itu kalau bukan Ekalana.
Dugaannya semakin kuat ketika tidak menemukan
pemuda tampan itu di antara pekerja-pekerjanya.
Namun bukan berarti bahwa Juragan Mahinta
akan sudi menyerahkan Ekalana kepada Juragan
Baswara. Hal itu tidak akan dilakukan, karena ia tahu
betul siapa sebenarnya Juragan Baswara. Seorang juragan licik, yang tidak segan-
segan berlaku curang untuk menyingkirkan saingan dagangnya. Selain itu, dirinya
pun tahu bahwa Ki Windudarta berada di pihak
Juragan Baswara, yang dengan hartanya telah membuat Kepala Desa Sindang Laya
tunduk dan selalu
berpihak kepadanya.
Kecuali itu, Juragan Mahinta juga tahu bahwa Juragan Baswara merupakan seorang
pemeras ter-hadap
golongan lemah. Tak seorang pun yang berani menentang kekuasaannya. Karena
secara tidak langsung, Juragan Baswara merupakan penguasa Desa Sindang
Laya. Memang semua kekejamannya tidak dilakukan
secara terang-terangan. Kendati demikian, hal itu sudah bukan rahasia lagi.
Hanya saja tidak pernah ada
orang yang berani menentangnya.
Juragan Mahinta sendiri belum lama mendirikan
peternakan di tempat itu. Dirinya merupakan pendatang dari daerah selatan.
Keberadaannya di tempat itu
bukan tanpa gangguan. Pada awalnya, seringkali terjadi kebakaran ataupun
pencurian ter-hadap binatang
ternaknya. Namun sejauh itu hatinya tetap tabah
menghadapi berbagai gangguan. Dengan bantuan
enam pekerjanya yang terdiri dari orang-orang muda,
akhirnya dia berhasil melewati masa-masa sulit. Bahkan lama-kelamaan dia dapat
menebak siapa dalang
dari semua kejadian itu. Hal itu baru diketahui dari
beberapa orang pelanggannya yang membatalkan pesanan, dan menyeberang kepada
Juragan Baswara.
Namun Juragan Mahinta tidak pernah patah semangat. Dirinya terus berusaha dan
mencari langganan-langganan baru, serta menyediakan kuda-kuda pilihan yang sehat
dan kuat, ataupun sapi-sapi gemuk
yang tidak berpenyakitan. Dan usahanya berjalan lancar, meskipun Juragan Baswara
masih terus berusaha
untuk menghancurkan.
Kali ini Juragan Baswara melemparkan fitnah kepadanya sebagai dalang dari
perampokan atas kiriman
uang juragan itu. Namun Juragan Mahinta nampak tetap tenang. Sebab tuduhan itu
tidak mempunyai dasar
yang kuat. Dan ia percaya bahwa Ki Windudarta masih
merasa segan kepadanya. Sehingga ia harus tetap tenang agar tidak mudah
terpancing oleh tuduhan tak
berdasar itu. "Ki Baswara," ujar Juragan Mahinta setelah menarik napas beberapa kali.
"Tuduhanmu sama sekali tidak berdasar. Aku sama sekali tidak tahu menahu soal
perampokan yang kau katakan itu. Harap kau tarik
kembali fitnah yang bisa jadi bumerang bagi dirimu."
"Hm..., kau masih hendak menyangkal?" tukas Juragan Baswara yang kemudian
berpaling ke arah delapan orang pengikutnya, "Kalian geledah seluruh tempat
ini!" perintahnya dengan suara lantang.
"Tunggu...!" seru Juragan Mahinta ketika melihat
keenam orang pekerjanya sudah siap untuk mencegah
perbuatan para pengikut Juragan Baswara. Kemudian
berpaling ke arah Ki Windudarta. "Aku jelas keberatan
dengan apa yang akan dilakukan Juragan Baswara.
Harap kau mempertimbangkannya, Ki Windudarta."
Ki Windudarta menghela napas sesaat. Kemudian
berpaling menatap Juragan Baswara.
"Sebaiknya kita jangan terburu nafsu, Ki," ujar Ki
Windudarta kepada Juragan Baswara, "Persoalan ini
sama sekali belum jelas. Aku tidak ingin sampai terjadi
pertumpahan darah hanya karena sesuatu yang belum
tentu dilakukan Juragan Mahinta. Sebaiknya kita selidiki dulu kebenarannya. Dan
kalau akhirnya ternyata
Juragan Mahinta yang menjadi dalang dari semua perampokan itu, rasanya belum
terlambat bagi kita untuk bertindak."
"Hm...," Juragan Baswara menggeram tak puas, tapi tidak bisa berkata apa-apa.
Karena tuduhannya
memang tanpa bukti-bukti yang kuat. Dan kalaupun
ia berkeras melakukan penggeledahan, sudah pasti
pertumpahan darah akan terjadi. Memang ia tahu pihaknya pasti akan memperoleh
kemenangan. Namun,
ia tidak ingin namanya tercemar dan dikecam orang
banyak. Maka, segera diputuskan untuk menerima saran Ki Windudarta, tentu saja
hanya ucapan di mulut.
Karena dalam kepalanya telah muncul sebuah rencana
jahat! "Baiklah. Kali ini aku masih bermurah hati. Tapi
ingat! Apabila suatu hari nanti terbukti bahwa kau
yang menjadi dalang dari perampokan itu, akan kau
rasakan akibatnya!"
Setelah berkata demikian, Juragan Baswara mengajak para pengikutnya untuk
meninggalkan tempat
itu. "Kuharap kau benar-benar bersih, Ki Mahinta...,"
ucap Ki Windudarta sebelum meninggalkan tempat itu.
Baru kemudian memutar kudanya dan bergerak menyusul rombongan Juragan Baswara.
"Lanjutkan pekerjaan kalian masing-masing...!" perintah Juragan Mahinta kepada
Saranggi dan ka-wan-
kawannya, setelah rombongan Juragan Baswara semakin jauh dan lenyap dari
pandangan. *** "Hendak ke mana kita, Ki" Mengapa hari ini kau
memberikan pakaian-pakaian bagus untuk kami kenakan?" Tanya Saranggi kepada
majikannya ketika Juragan Mahinta memerintahkan para pekerjanya, termasuk
Ekalana untuk berpakaian rapi.
"Malam nanti ada pesta di Desa Sindang Laya. Ki
Windudarta mengirimkan undangan kepadaku, dan
mengajak kalian semua untuk ikut menghadirinya,"
jawab Juragan Mahinta, yang saat itu sudah mengenakan pakaian indah dan terlihat
masih baru. "Pesta apa, Ki?" Sudana yang juga sudah mengenakan pakaian baru dan bagus,
pemberian majikannya, bertanya ingin tahu.
"Tahun ini hampir semua penduduk panennya
berhasil. Sebagai tanda rasa kegembiraan, warga desa
hendak mengadakan pesta semacam syukuran," jawab
Juragan Mahinta menjelaskan, "Ayo, kita segera berangkat!" lanjutnya setelah
semua pekerja sudah siap
untuk berangkat.
Saranggi dan kawan-kawannya tampak demikian
gembira, kecuali Ekalana yang sama sekali tidak berubah. Wajahnya tetap dingin
dan angkuh. Kendati demikian, ia tetap menyertai majikannya untuk menghadiri
pesta yang diadakan oleh penduduk Desa Sindang
Laya. "Ki, apakah ini bukan suatu jebakan" Tindakkah
sebaiknya satu atau dua orang dari kami tinggal untuk
menjaga peternakan?" ujar Saranggi sebelum mereka
berangkat dengan menunggang kuda. Pemuda jang-
kung ini mendekati majikannya yang duduk di dalam
kereta kuda. "Kau tidak perlu khawatir, Saranggi. Ki Windudarta
sudah memberikan jaminan bahwa peternakan kita tidak bakal ada yang mengganggu.
Ia bertanggung jawab
jika ada sesuatu yang terjadi pada tempat ini," jelas
Juragan Mahinta menenangkan hati Saranggi.
Jawaban Juragan Mahinta sudah tentu membuat
Saranggi tidak lagi merasa khawatir. Rombongan pun
langsung berangkat seiring dengan cuaca yang mulai
remang-remang. Setelah melewati Hutan Burangrang,
yang memang tidak terlalu luas, rombongan Juragan
Mahinta pun tiba di desa, tempat pesta dilangsungkan.
Saat itu kegelapan telah menyelimuti permukaan bumi. Ki Windudarta sendiri yang
menyambut kedatangan rombongan Juragan Mahinta.
Pesta baru saja dimulai. Seluruh warga desa berkumpul di tempat itu dengan wajah
berseri-seri. Mejameja panjang dengan bermacam-macam hidangan telah tersedia di
beberapa tempat. Siapa saja bebas memilih dan mengambil makanan yang diinginkan,
tanpa harus dilayani. Para penduduk membentuk sebuah kelompok dan meramaikan pesta
dengan bermacam cara.
Demikian pula dengan anak-anak, yang terlihat berlarian kian kemari. Tampaknya
warga Desa Sindang
Laya benar-benar menikmati keramaian pesta panen
itu. Juragan Mahinta melangkah perlahan di tengah
keramaian pesta. Sesekali ia mengangguk dan tersenyum kepada warga desa yang
menyapanya. Terkadang langkahnya terhenti beberapa saat untuk menyaksikan
pertunjukan salah satu kelompok yang dibuat penduduk. Kemudian kembali melangkah
perlahan untuk menyaksikan pertunjukan lainnya.
Sementara itu, Saranggi dan kawan-kawannya ikut
berbaur dengan penduduk. Ketujuh pekerja ini memang diberi kebebasan oleh
Juragan Mahinta untuk
ikut larut dalam suasana pesta. Sehingga, mereka tidak mau melewatkan kesempatan
untuk menari bersama gadis-gadis desa yang malam itu sengaja berhias
secantik mungkin untuk menarik lawan jenisnya. Bukan suatu hal yang aneh kalau
arena pesta juga merupakan ajang untuk mencari jodoh.
"Ekalana, mengapa dalam keramaian seperti ini
kau masih saja lebih suka menyendiri" Bergembiralah,
carilah pasangan untuk menari!" salah seorang pekerja
Juragan Mahinta melangkah ke arah Ekalana yang
tampak lebih suka duduk menyaksikan keramaian
sambil sesekali meneguk tuak dengan tempat minum
dari bambu. Ekalana tersenyum tipis. Ditatapnya wajah pekerja
yang ia kenal bernama Jirana. Usia mereka tidak berselisih jauh. Selama bekerja
di peternakan Juragan
Mahinta, hanya Jirana inilah yang agak dekat dengannya. Meskipun Ekalana tetap
menjaga jarak dan tertutup, Jirana tidak merasa tersinggung. Dan masih tetap
suka menemani Ekalana.
"Kau pun sepertinya tidak mendapatkan pasangan
untuk menari, Jirana?" tukas Ekalana.
Jirana memang tidak mendapat pasangan untuk
menari. Pemuda yang berperawakan kekar ini tampak
kebingungan. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan.
Namun yang dicarinya tak juga didapatkan. Tak seorang gadis pun yang terlihat
sendiri. Mereka sudah
mendapatkan pasangan masing-masing.
"Rupanya nasibku sedang sial hari ini...," desah Jirana menghela napas panjang.
Bam saja hendak menjatuhkan tubuhnya duduk di sebelah Ekalana, tiba-
tiba matanya menangkap sosok gadis cantik yang terlihat tidak ikut menari
seperti lainnya. Kecantikan gadis yang terlihat murung itu sempat menggetarkan
hati Jirana. Membuat pemuda ini bagaikan terkena sihir.
Menatap lurus tanpa berkedip.
Sikap Jirana tentu saja membuat kening Ekalana
berkerut Karena sosok pemuda kekar itu berdiri tepat
di depan hidungnya, seperti patung. Ekalana baru
mengerti ketika matanya mengikuti pandangan Jirana.
Dan merasa maklum mengapa rekannya seperti orang
yang terkena pengaruh sihir. Sosok gadis yang tengah
dipandangi Jirana memang sangat cantik dan mempesona. Sayangnya Ekalana
menemukan sosok lain, yang
berdiri di samping gadis cantik itu. Dan sosok itu ia
kenal sebagai Juragan Baswara. Sekali pandang saja
Ekalana sadar bahwa gadis cantik itu tentu milik Juragan Baswara, saingan
majikannya. "Gadis itu memang cantik..," desis Ekalana. Perkataan itu tentu saja ditujukan
kepada rekannya.
"Sayang ia mungkin milik Juragan Baswara. Tapi kalau kau memintanya baik-baik
untuk pasangan menari, kurasa Juragan Baswara akan memperbolehkannya," lanjutnya
memberi dorongan kepada Jirana.
'Tapi... aku tidak ingin membuat pesta ini kacau...,"
tukas Jirana meragu. Namun sepasang matanya jelas
menunjukkan keinginan yang besar untuk mengikuti
anjuran Ekalana.
"Kau tak perlu membuat kekacauan, Jirana. Katakan saja kepada Juragan Baswara,
bahwa kau cuma menginginkan gadis itu sebagai pasangan menari. Aku
yakin jawabannya akan diserahkan kepada gadis itu.
Karena Juragan Baswara pun tidak menghendaki keributan di depan orang banyak"
ujar Ekalana lagi memberi harapan kepada kawannya.
Jirana berpikir sesaat Kemudian menganggukkan
kepala dan mengayunkan langkah menghampiri tempat gadis itu berada.
Kening Juragan Baswara langsung berkerut ketika
melihat seorang pemuda kekar menghentikan langkah
di depannya. Ia ingat pemuda itu merupakan salah
seorang pekerja Juragan Mahinta. Namun ia tidak berbuat apa-apa, kecuali hanya
memandang tajam dan
ingin tahu apa tujuan Jirana mendatanginya.
Jirana yang menghentikan langkahnya tepat di depan si gadis cantik, sama sekali
tidak menoleh ke arah
Juragan Baswara. Dan tanpa mempedulikan keberadaan Juragan Baswara, dia langsung
saja meminta kesediaan gadis cantik itu untuk menari bersamanya.
"Dik maukah kau menemaniku menari...?" Tanya
Jirana menatap lekat-lekat wajah cantik di depannya.
Gadis cantik berwajah murung itu sudah merasa
heran ketika melihat ada seorang pemuda menghampirinya. Kini hatinya kaget
mendengar permintaan yang
sama sekali di luar dugaannya.
Permintaan Jirana membuat sepasang matanya
yang semula redup tampak berbinar. Namun hanya
sesaat, karena kembali sayu tak bergairah. Kemudian
wajahnya berpaling ke arah Juragan Baswara. Tidak
seperti apa yang dibayangkannya, Juragan Baswara
ternyata mengangguk, memberi kesempatan untuk
memenuhi permintaan Jirana. Karuan saja wajah cantik itu berseri-seri. Tanpa
menunggu lagi, langsung
disambutnya uluran tangan Jirana. Lalu mengikuti
langkah pemuda kekar itu ke tempat yang agak lapang. Membaurkan diri bersama
orang banyak yang
tengah menari, diiringi tetabuhan gamelan yang riuh
rendah. Ekalana yang sejak tadi memperhatikan Jirana
mengulas senyum tipis. Hatinya ikut merasa gembira
melihat Jirana telah berhasil mendapatkan pasangan
Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menari. Ketika melihat Jirana menoleh dan melempar
senyum ke arahnya, Ekalana mengangkat gelas bambunya. Lalu meneguk tuak harum di
dalamnya. *** 3 Juragan Baswara mengalihkan perhatiannya dari
Jirana dan gadis cantik yang berkebaya putih itu. Karena ia menangkap adanya
sosok lain yang baginya
jauh lebih menarik. Setelah mengerling kepada lelaki
tinggi besar di samping kanannya dia memberikan
isyarat dengan gerakan kepala.
Lelaki tinggi besar itu rupanya salah seorang tukang pukul Juragan Baswara.
Paham apa yang diinginkan majikannya, ia bergegas melangkah men-dekati
sosok yang menjadi perhatian Juragan Baswara. Dengan sengaja lelaki tinggi besar
membenturkan tubuhnya keras-keras.
"Uhhh..."!"
Juragan Mahinta berseru tertahan. Tubuhnya terhuyung mundur, nyaris terjengkang.
Untung ia masih
sempat menyelamatkan diri, hingga tidak sampai terjatuh.
"Bangsat, apa matamu buta! Atau kau sengaja
hendak mencari keributan?" lelaki tinggi besar ini
membentak marah dan langsung melayangkan tinjunya ke wajah Juragan Mahinta.
Tentu saja Juragan Mahinta menjadi kaget dibuatnya. Merasa bersalah karena dalam
melangkah tadi ia tidak begitu memperhatikan orang di depannya, Juragan Mahinta tidak mau
meladeni. Sambaran
kepalan tangan lelaki tinggi besar itu dielakkan dengan
menarik tubuhnya ke belakang. Sehingga pukulan
yang menimbulkan angin menderu itu lewat di depan
wajahnya. "Maaf, aku terima salah...," ujar Juragan Mahinta
meminta maaf atas kejadian itu. Dirinya sama sekali
tidak menyangka kalau lelaki tinggi besar itu kaki tangan Juragan Baswara, yang
sengaja mencari perkara.
"Aku terima permintaan maafmu, Manusia Buta!
Tapi sebelumnya kau harus menerima sebuah pukulanku!" tukas lelaki tinggi besar
yang langsung merangsek maju sambil melayangkan tinjunya dengan
sekuat tenaga. "Hei, tahaan..!"
Dan.... Plak! Orang yang berseru mencegah langsung menyeruak, dan mengangkat lengan menangkis
pukulan tukang pukul Juragan Baswara. Sehingga, terdengar suara dua batang
lengan yang saling berbenturan.
"Kurang ajar! Rupanya kau ingin membela majikanmu, heh?" bentak tukang pukul
Juragan Baswara
penuh kegeraman. Sepasang matanya melotot bagai
hendak menelan lelaki berwajah brewok yang menggagalkan serangannya.
Namun lelaki brewok yang ternyata Sudana, sama
sekali tidak merasa gentar. Dia berdiri tegak dengan
kedua kaki terpentang, siap melindungi majikannya
dengan taruhan nyawa! Sudana ingat lelaki tinggi besar itu, pernah dilihatnya
bersama Juragan Baswara,
ketika mendatangi peternakan Juragan Mahinta. Itu
sebabnya ia langsung meninggalkan gadis pasangan
menarinya ketika melihat majikannya tengah menghadapi kesulitan.
"Hei, Kerbau Gila! Aku tahu siapa dirimu! Dan aku
juga tahu kalau kau sengaja mencari perkara dengan
majikanku. Tapi, meskipun tubuhmu sebesar kerbau
bunting, aku, Sudana sama sekali tidak gentar! Nah,
kalau kau memang belum puas, hayo, akulah lawan
mu! Tapi kalau kau takut, menyingkirlah dan minta
perlindungan dengan tuan besarmu sana!" ujar Sudana tanpa rasa takut sama
sekali. Padahal ukuran tubuh tukang pukul Juragan Baswara hampir dua kali
lipat besarnya. Bahkan tinggi tubuh Sudana hanya
sampai sebatas bahunya. Tentu saja perkelahian yang
tidak sebanding itu menarik perhatian orang banyak.
Namun bukannya melerai, mereka malah membuat
lingkaran hingga membentuk sebuah arena yang cukup luas. Kemudian terdengar
tepuk sorai warga desa,
memberikan semangat kepada kedua orang yang siap
saling bertarung.
Sudana tersenyum-senyum penuh kebanggaan,
sambil melangkah mondar-mandir dengan dada dibusungkan. Tarikan bibirnya
membentuk senyum
mengejek, yang membuat lawannya mendengus bagaikan banteng liar.
"Kupecahkan
batok kepalamu, Bangsat...! Yeaattt..!"
Whuuuttt..! Kepalan yang besar dan kekar bergerak menyambar kepala Sudana. Namun, dengan
sebuah gerakan yang manis, pemuda brewok ini merunduk disertai geseran kaki
kanannya ke depan. Tubuhnya langsung menyeruak melalui ketiak lawan. Seketika
itu pula kepalan tangannya langsung bekerja dengan baik.
Buk! "Hukh...!"
Tukang pukul Juragan Baswara melenguh tertahan. Wajahnya menyeringai kesakitan
karena lambungnya tersengat kepalan Sudana. Dan ketika tubuhnya terhuyung
mundur, Sudana melompat berputar, mengirimkan sebuah tendangan keras!
Lagi-lagi tubuh lelaki tinggi besar itu terjajar limbung. Tendangan Sudana yang
singgah di tengkuknya
membuat tukang pukul Juragan Baswara menjerit kesakitan. Dengan sekuat tenaga,
ia berusaha mengimbangi tubuhnya agar tidak sampai jatuh. Kemudian
menyergap Sudana dengan serangkaian pukulan yang
membabi-buta, persis kerbau gila yang mengamuk.
Namun Sudana ternyata cukup lincah. Setiap serangan pukulan lawan selalu dapat
dihindarinya dengan baik. Bahkan satu dua pukulannya mendapatkan
sasaran yang tepat, membuat lawan semakin kalap.
Hal itu justru membuat Sudana semakin bersemangat.
Sampai akhirnya ia mendapatkan kesempatan baik
untuk melompat dan melepaskan tamparan dengan
kedua telapak tangannya ke kedua telinga lawan.
Plak! Tubuh tukang pukul Juragan Baswara langsung
oleng. Tamparan kedua telapak tangan Sudana terasa
bagai hentakan palu godam di kepalanya, membuat
tubuh raksasa ini langsung berdebam ambruk tak sadarkan diri.
Kemenangan Sudana yang di luar dugaan langsung
disambut warga desa berteriak dengan bertepuk dan
sorak-sorai. Bahkan Saranggi dan Maladi sudah melompat ke tengah arena dan
mengangkat tinggi-tinggi
tubuh rekannya sambil berteriak-teriak gembira.
Demikian juga dengan orang-orang yang gila judi.
Mereka tadi langsung saling bertaruh ketika melihat
ada dua orang yang sudah siap tarung. Dan yang bertaruh untuk kemenangan Sudana,
melampiaskan kegembiraannya dengan macam-macam cara. Bahkan
beberapa orang petaruh yang menang, bergegas menghampiri Sudana. Masing-masing
dari mereka memberikan sekantung uang kepada pemuda brewok itu. Karena peluang
untuk menang bagi Sudana sangat tipis,
ada beberapa orang yang berani bertarung satu banding lima untuk kemenangan
lawan Sudana. Kemenangan yang cukup banyak, membuat mereka tak segansegan
memberikan sekantung uang kepada pemuda
itu, sebagai tanda kegembiraan.
"Saranggi, kumpulkan kawan-kawanmu!" perintah
Juragan Mahinta kepada Saranggi, orang kepercayaannya, "Kita kembali!"
lanjutnya, lalu memutar tubuh
meninggalkan balai desa, tempat diadakannya pesta
itu. Tanpa membantah, Saranggi segera mengajak kawan-kawannya untuk kembali ke
peternakan. Rombongan Juragan Mahinta pun bergerak meninggalkan
balai desa, diiringi pandang mata penuh dendam dari
Juragan Baswara.
"Keparat itu harus segera dilenyapkan...!" desis Juragan Baswara penuh
kebencian. Kemudian melanjutkan dengan suara berbisik kepada empat orang
tukang pukul yang berada di kiri dan kanannya.
Keempat orang tukang pukul itu sama-sama menganggukkan kepala. Dua orang di
antaranya bergerak
meninggalkan balai desa. Sedangkan dua lagi mengiringi langkah majikannya sambil
menggotong tubuh
kawannya, si lelaki tinggi besar yang belum sadarkan
diri. *** Brak! Daun pintu rumah besar itu langsung jebol terkena tendangan seorang lelaki gemuk
berkumis lebat,
yang kemudian langsung menerobos masuk dengan
wajah beringas.
"Siapa... siapa kalian..."! Mau apa kalian..."!"
Dua orang perempuan berumur sekitar empat puluh tahun, berpakaian seperti
pelayan, tampak kebingungan mengetahui kedatangan lelaki gemuk.
"Minggir kalian! Mana itu si Keparat Mahinta..."!"
bentak lelaki gemuk berkumis lebat sambil mengibaskan kedua tangannya. Karuan
saja kedua orang
perempuan itu terlempar membentur dinding, dan
langsung tak sadarkan diri. Sedangkan lelaki tinggi besar itu terus berjalan. Di
belakangnya tampak dua
orang lelaki lain berwajah beringas.
Juragan Mahinta yang saat itu tengah berada di
dalam kamarnya, bergegas menutup buku yang tengah
dibacanya. Kemudian buru-buru keluar, setelah menyimpan buku daftar pesanan yang
tengah diteliti-nya.
Suara ribut-ribut di luar kamar, membuatnya merasa
perlu untuk memeriksa. Namun betapa terkejutnya hati lelaki setengah baya itu
ketika melihat tiga orang lelaki berwajah beringas tengah berjalan
menghampirinya.
"Siapa kalian" Apa maksud kalian membuat keributan di rumahku?" tegur Juragan
Mahinta, meskipun
ia tahu dari tarikan wajah tamu tak di-undang itu, jelas bermaksud tidak baik.
Tubuhnya melompat ke
samping kanan, mendekati rak senjata berada. Kemudian menyambar sebatang golok
besar yang terdapat di
rak senjata. "Siapa adanya kami kau tak perlu tahu, Mahinta!
Yang jelas kami datang untuk membunuhmu! Bersiap-
lah untuk melayat ke neraka!" tukas lelaki gemuk berkumis lebat, yang langsung
memerintah dengan gerakan tangan agar kedua rekannya menyebar.
"Kisanak. Di antara kita belum pernah berjumpa,
apalagi bermusuhan. Kalau sekarang kau hendak
membunuhku, tentu ada sebab-sebabnya. Dapatkah
kau jelaskan sebab-sebab itu...?" ujar Juragan Mahinta sambil berusaha mengenali
salah satu dari ketiga
tamunya. Terutama lelaki gemuk berkumis lebat, yang
ia duga merupakan pimpinan dari dua orang lainnya.
"Huh, aku tak punya banyak waktu dengan segala
macam keterangan, Mahinta! Sekarang terimalah kematianmu...!" usai berkata
demikian, lelaki gemuk
berkumis lebat langsung menerjang maju dengan senjata berupa sebuah clurit
berwarna hitam.
Sedangkan dua lelaki yang mengapit Juragan Mahinta tidak terlihat hendak
membantu pimpinan-nya.
Mereka hanya berjaga-jaga agar jangan sampai pemilik
peternakan itu sempat melarikan diri. Meskipun demikian, di tangan keduanya
terlihat senjata yang serupa
dengan apa yang digunakan pimpinan mereka.
*** Sementara itu, Saranggi yang tengah menggembalakan sapi bersama tiga orang
rekannya, tampak
agak gelisah. Tidak seperti biasanya, hari ini dadanya
selalu berdebar tanpa sebab. Dan ada suatu perasaan
aneh yang mendorongnya agar segera kembali ke peternakan.
"Maladi!" panggil Saranggi kepada Maladi, yang
sama dengan dirinya, menunggang seekor kuda, berada sekitar tiga tombak di
sebelah kirinya.
Maladi menggerakkan kudanya menghampiri Sa-
ranggi "Entah mengapa, hari ini hatiku selalu berdebar.
Bagaimana kalau kita kembali saja ke peternakan" Hatiku khawatir kalau-kalau ini
merupakan suatu pertanda tidak baik," ujar Saranggi berterus terang kepada
rekannya. "Aneh..."!" desis Maladi yang wajahnya mendadak
cemas. "Hatiku pun merasa tak karuan. Sebaiknya
kembali dulu ke peternakan agar hati kita merasa tenang. Mudah-mudahan ini cuma
perasaan kita saja...."
Saranggi mengangguk. Kemudian berpaling ke arah
Sudana, yang berada sekitar empat tombak di sebelah
kanannya. "Sudana, aku dan Maladi akan pulang sebentar!
Kau dan Rapati tetaplah di sini! Sebentar kami akan
kembali lagi ke sini...!" teriak Saranggi kepada Sudana,
yang disambut dengan menganggukkan kepala, meski
merasa heran. Kemudian, tanpa membuang-buang waktu, Saranggi segera menggebah kudanya, yang
langsung melesat bagaikan dikejar setan. Di samping kirinya terlihat Maladi
melakukan hal yang serupa. Kedua pemuda
itu seperti berlomba untuk tiba di peternakan, yang
berjarak cukup jauh dari padang rumput tempat mereka menggembalakan sapi-sapi
majikan-nya. Di tengah perjalanan, keduanya berjumpa dengan
tiga pedati yang dikendarai Ekalana, Jirana, dan Sabung Waluya. Ketiganya baru
saja kembali dari menyabit rumput untuk makanan kuda.
"Hei, hendak ke mana kalian" Mengapa memacu
kuda seperti dikejar setan belang?" Jirana berteriak
menegur Saranggi dan Maladi, yang melewati ketiga
pedati berisi rumput itu tanpa menegur, Keduanya
hanya menoleh sekilas.
Namun, baik Saranggi maupun Maladi sama sekali
tidak menyahut. Mereka terus membedal binatang
tunggangannya, meninggalkan ketiga pedati pembawa
rumput. Ekalana yang mengendarai pedati paling depan,
mengerutkan keningnya. Ia merasa aneh melihat sikap
Saranggi dan Maladi yang dianggapnya tidak wajar. Setelah berpikir sesaat, ia
langsung saja berseru kepada
kedua orang kawannya di belakang.
"Jirana, Sabung Waluya, kita harus mengejar mereka! Mendadak saja perasaanku
tidak enak melihat
sikap mereka yang tidak seperti biasanya itu...!"
Tanpa menunggu jawaban, Ekalana mencambuk
Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuda penarik pedati berkali-kali. Membuat binatang
itu terlonjak kaget, lalu segera berlari lebih cepat. Karuan saja pedati yang
dibawa lari cepat itu berdetak
dan melonjak-lonjak. Namun Ekalana sama sekali tidak peduli. Pecut di tangannya
masih meledak-ledak
mencambuki badan kuda. Pemuda berwajah dingin ini
ternyata cukup ahli menjaga keseimbangan pedatinya.
Dengan pengerahan tenaga dalam yang diatur sedemikian rupa, pedati itu terus
meluncur, kendati beberapa
kali nyaris terbanting.
Berbeda dengan Jirana dan Sabung Waluya. Keduanya tak mampu mengatur
keseimbangan pedati. Maka, tanpa ampun lagi, pedati yang dikendarai Jirana
ambruk, ketika rodanya melindas batu sebesar kepala
manusia. Begitu pula pedati Sabung Waluya setelah
rodanya menelusup ke lubang. Untung keduanya cukup sigap, melempar tubuh dan
bergulingan di tanah
berumput kering pinggir jalan. Sehingga, mereka selamat dari bahaya tertimpa
pedati. "Sial..!"
Jirana memaki kesal. Bergegas ia melompat ban-
gun dan membersihkan debu serta rumput kering yang
mengotori pakaiannya. Ketika melihat kuda penarik
pedati berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri, otaknya langsung bekerja cepat.
Setelah memutus tali yang
menghubungkan badan kuda dengan dua batang kayu
gagang pedati, dia langsung me-lompat ke punggung
kuda. Kemudian menggebahnya disertai bentakan
nyaring. "Heaaa...!"
Sabung Waluya, yang juga berhasil menyelamatkan diri, segera mengikuti perbuatan
rekannya. Kemudian melarikan binatang tunggangannya secepat
terbang. Meski tidak mengerti mengapa ia mesti terburu-buru seperti itu, namun
tetap saja dilakukannya.
*** Niat Saranggi untuk kembali ke peternakan, memang bersamaan waktunya dengan
kedatangan lelaki
gemuk berkumis lebat, yang hendak melenyapkan Juragan Mahinta. Sewaktu Saranggi
bersama Maladi hampir tiba di peternakan, tampak tubuh majikan mereka tengah diseret ke luar
dari dalam rumah oleh dua
orang lelaki kasar. Di beberapa bagian tubuh Juragan
Mahinta tampak terdapat luka yang masih mengalirkan darah. Meskipun masih hidup,
namun keadaan Juragan Mahinta sudah setengah mati.
Saranggi yang dari kejauhan sempat menyaksikan
tubuh majikannya diseret dua orang lelaki, bergegas
menarik tali kekang kudanya. Karena di depan rumah
majikannya terdapat kurang lebih dua puluh orang
penunggang kuda. Saranggi tentu saja tidak ingin berlaku nekat, yang sama
artinya dengan bunuh diri. Pemuda jangkung ini melompat turun dari punggung
kuda, lalu bersembunyi di balik sebatang pohon, menyaksikan apa yang bakal
terjadi. "Apa yang akan dilakukan orang-orang biadab itu
terhadap majikan kita, Saranggi...?" Tanya Maladi berbisik parau. Hatinya
dilanda ketegangan hebat menyaksikan Juragan Mahinta diseret-seret seperti
binatang. Seperti halnya Saranggi, Maladi pun tidak ingin
bertindak bodoh dengan berlaku nekat menyelamatkan
majikannya. Karena jumlah lawan sangat banyak. Sehingga, ia hanya bisa mengutuk
menyaksikan perbuatan orang-orang tak dikenal itu.
"Entahlah, Maladi...," sahut Saranggi parau dan
hampir menangis karena merasa tak berdaya untuk
menolong majikannya.
Keduanya terdiam dengan wajah pucat bersimbah
keringat dingin. Tiba-tiba Saranggi melompat mengejutkan Maladi, karena
mendengar suara berderakderak dari belakangnya yang semakin jelas. Sadar
bahwa itu suara roda pedati yang dikendarai salah
seorang kawannya, Saranggi berlari menyambut untuk
mencegah dan menghentikannya. Khawatir suara ribut
itu bisa menarik perhatian para penunggang kuda
yang berkumpul di depan rumah majikannya.
"Ekalana, berhenti...!" teriak Saranggi berdiri
menghadang jalan seraya mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
Ekalana, yang melihat Saranggi berdiri menghadang di tengah jalan, segera
menarik tali kekang kudanya. Karuan saja pedati itu terlonjak-lonjak dengan
suara ribut. Sampai akhirnya berhenti tepat di depan
Saranggi. "Mengapa" Ada apa, Saranggi" Kau tampak seperti
orang yang baru saja melihat setan?" tegur Ekalana setelah melompat turun dari
atas pedati dan mengham-
piri Saranggi. Saranggi tidak berkata apa-apa. Lidahnya terasa
kelu untuk menceritakan apa yang disaksikannya.
Tanpa menjawab pemuda jangkung ini memutar tubuhnya, dan mengisyaratkan agar
Ekalana mengikutinya. Namun, langkah keduanya tertunda oleh suara
derap kaki kuda yang datang dari belakang mereka.
Ketika melihat penunggang kuda ternyata Jirana. Saranggi menghentikannya dan
mengisyaratkan agar Jirana segera turun.
Sesaat kemudian, kuda yang ditunggangi Sabung
Waluya menyusul datang. Melihat tiga orang kawannya
berkumpul di tempat itu, Sabung Waluya langsung
menghentikan kudanya dan melompat turun tanpa diperintah. Kemudian bergegas
mengikuti langkah kawan-kawannya tanpa sempat bertanya.
Saranggi mengajak ketiga orang kawannya untuk
mengintai dari tempat yang tersembunyi. Saat itu mereka menyaksikan tubuh
Juragan Mahinta diseret ke
arah kandang kuda oleh dua orang lelaki. Tampak pula seorang lelaki berpakaian
hitam membawa segulung
tali. "Ini tidak bisa didiamkan! Kita harus menolong Ki
Mahinta!" Ekalana yang merasa geram karena sadar
apa yang akan dilakukan orang-orang itu terhadap
majikannya, bergegas bangkit. Sepasang matanya berkilat menakutkan. Dan ia sudah
melompat ke luar dari
tempat persembunyian.
Saranggi dan yang lainnya terkejut bukan main
melihat perbuatan Ekalana. Sadar bahwa apa yang
Akan dilakukan Ekalana sangat berbahaya, Saranggi
langsung melompat dan menerkam kedua kaki Ekalana. Sehingga, keduanya terjatuh
bergulingan. "Jangan bertindak bodoh, Ekalana! Jumlah mereka
terlalu banyak dan tak mungkin dapat kita lawan!"
bentak Saranggi dengan suara ditekan rendah. la marah bukan main melihat
tindakan Ekalana yang dianggapnya sebagai perbuatan bodoh.
"Saranggi!" tukas Ekalana yang tak kalah geramnya. Keduanya masih rebah di
tanah. "Aku tak takut
mati! Ki Mahinta sudah begitu baik kepadaku! Selama
ini tak seorang pun yang peduli dengan diriku, karena
aku anak haram! Aku lahir dari rahim seorang pelacur!
Ibuku saja tidak peduli dengan diriku. Aku hidup dari
satu pelacur ke pelacur lain. Sampai ketika aku berusia dua belas tahun aku
nekat pergi merantau. Ibuku
sendiri meninggal sewaktu rumah pelacur tempatnya
bekerja terbakar habis. Sekarang ada orang yang begitu baik kepadaku. Aku
berhutang nyawa kepadanya.
Sekarang saatnya aku untuk membalas budi kebaikan
Ki Mahinta. Kalau kau takut, menyingkirlah! Biar aku
sendiri yang menghadapi manusia-manusia keparat
itu!" "Otak kerbau! Kau pikir cuma kau saja yang tak
takut mati"! Jangan sombong Ekalana! Aku pun rela
mempertaruhkan nyawa demi keselamatan Ki Mahinta!
Tapi, melihat jumlah mereka terlalu banyak, aku jadi
berpikir lain...."
"Jangan berdalih, Saranggi!" sahut Ekalana tak sabar, "Katakan saja terus terang
bahwa kau takut mati,
meski untuk membela orang yang sangat baik kepadamu! Jangan samakan aku
denganmu, Saranggi!
Nah, menyingkirlah, biar kubunuh bangsat-bangsat
itu...!" "Bodoh! Dungu!" Saranggi benar-benar merasa
jengkel terhadap Ekalana yang keras kepala itu, "Pikir
baik-baik, Manusia Sombong! Kalau kita semua maju
dan tewas di tangan mereka, lalu siapa yang bakal
membalas sakit hati majikan kita, yang akan mereka
gantung hidup-hidup itu"! Gunakan akal sehatmu,
Ekalana! Bukan dengan amarah yang hanya akan
membuat kita tidak bisa berpikir jernih!" tandas Saranggi, yang telah melepaskan
kedua tangannya dari
kaki Ekalana. "Apa yang dikatakan Saranggi memang tidak salah,
Ekalana," Jirana ikut menimpali. la sudah duduk di
dekat kedua orang kawannya yang tengah bersitegang
itu. "Sepertinya kita memang tak bisa berbuat apa-apa
sekarang. Tapi bukan berarti aku akan tinggal diam
dan melupakan semua ini begitu saja. Tidak! Mereka
harus mendapat balasan yang setimpal!"
Ekalana menghembuskan nafasnya keras-keras.
Pikirannya baru terbuka setelah mendengar ucapan
Saranggi, yang diperkuat oleh Jirana. Kepalanya mengangguk tipis. Kemudian
bangkit berdiri dan kembali
ke tempat semula untuk menyaksikan kelanjutan nasib Juragan Mahinta.
Dan apa yang terjadi selanjutnya, membuat tubuh
mereka menggigil menahan rasa marah yang menggelegak. Tubuh majikan mereka telah
tergantung di pintu
kandang kuda. Kelima pemuda ini sama menundukkan kepala. Mereka tak sanggup
menyaksikan Juragan
Mahinta yang digantung dengan kepala di bawah, dan
masih menerima cambukan pada tubuhnya.
"Celaka...!" tiba-tiba saja Saranggi berseru mengejutkan. Wajahnya tampak
tegang, tertuju ke arah rombongan dua puluh orang penunggang kuda, yang tengah
memandang ke arah tempat mereka bersembunyi.
Terlihat salah seorang anggota rombongan menudingkan jari tangannya. Rupanya
orang itu melihat kuda
dan pedati mereka, lalu memberitahukan kawankawannya.
"Cepat tinggalkan tempat ini...!" seru Saranggi, lalu
bergegas menghampiri kudanya.
Perbuatan Saranggi dituruti Maladi, Jirana, dan
Sabung Waluya. Sedangkan Ekalana tampak masih
berdiri menyaksikan rombongan berkuda itu datang
mendekat. "Ekalana, jangan tolol kau...!" Saranggi berseru
mengingatkan kawannya dengan hati jengkel.
"Tidak perlu cemas, Saranggi. Aku cuma ingin melihat lebih dekat agar bisa
mengenali siapa adanya
manusia-manusia biadab itu. Pergilah kalian, aku
akan menyusul...!" jawab Ekalana, tanpa mengalihkan
perhatiannya dari rombongan orang berkuda itu.
Saranggi tidak berkata apa-apa lagi. Ia segera
menggebah kudanya, diikuti Maladi, Sabung Waluya,
dan Jirana. Mereka melarikan kuda menuju padang
rumput tempat Sudana dan Rapati menunggu.
Tidak lama setelah Saranggi dan ketiga kawannya
pergi, Ekalana menghampiri pedatinya. Kemudian melepaskan pengikat kuda. Sekali
lompat saja tubuh-nya
melayang dan mendarat ringan di punggung kuda.
Dengan cepat dipacu kudanya ke arah lain dengan
arah yang diambil Saranggi dan ketiga kawannya. Ekalana sengaja berbuat demikian
untuk mengecoh rombongan penunggang kuda yang tidak jauh di belakangnya. Ia
sudah dapat melihat beberapa orang terdepan dari rombongan yang telah membunuh
majikannya. Segera dapat dikenali siapa dan dari mana
pembunuh-pembunuh majikannya itu berasal. Sebagai
orang yang punya pengalaman berpetualang di kalangan persilatan, Ekalana
mengenal berbagai tokoh silat
dan golongan. Segera digebah kudanya meninggalkan
rombongan yang memburunya. Setelah merasa cukup
jauh, baru ia memutar arah menuju tempat Saranggi
Romantika Sebilah Pedang 1 Pendekar Bayangan Sukma Iblis Berbaju Hijau Memburu Iblis 20