Pencarian

Darah Perawan Suci 2

Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci Bagian 2


tombak dari dirinya tampak sinar terang yang disusul dengan munculnya para
peronda desa. Rupanya mereka mendengar suara ribut-ribut dan segera langsung
bergegas mencari sumber suara itu. Kemunculan me-
reka yang bertepatan dengan sosok Panji yang meng-
gendong seorang gadis tentu saja menimbulkan pra-
sangka yang tidak pernah terduga oleh Panji sebelum-
nya. "Kepung manusia iblis itu...!"
Terdengar suara perintah yang bergaung. Seben-
tar kemudian, tubuh Panji telah terkurung dalam lingkaran puluhan orang peronda
Desa Pegatan. Tentu sa-
ja kenyataan ini membuat Panji terkejut.
"Tahan...! Kalian salah mengenali orang. Aku bu-
kanlah orang yang kalian maksudkan...!" ujar Panji,
berusaha menjelaskan persoalan yang sebenarnya.
Tapi, para peronda desa yang pernah melihat so-
sok berjubah putih tentu saja tidak mau mendengar-
kan omongan pemuda itu. Segalanya sudah tampak je-
las bagi orang-orang itu. Di depan mereka kini berdiri sosok berjubah putih
bersama seorang gadis dalam
pondongannya. Bahkan, pada saat itu rambut Panji
tampak agak berantakan. Sehingga, para peronda Desa
Pegatan itu tak mau mengerti walaupun Panji berusa-
ha menerangkan keadaan yang sebenarnya.
"Ayo, tangkap iblis keji itu...!"
Seorang lelaki bertubuh sedang yang memiliki
sepasang mata tajam bagai mata elang segera saja
memberi perintah. Dan, tanpa diperintah dua kali, pa-ra peronda Desa Pegatan pun
serentak menghambur
dengan senjata terhunus ke arah Pendekar Naga Putih.
Sedangkan Panji menjadi semakin bertambah geram
terhadap Cakar Setan. Jelas, iblis licik itulah yang telah membuatnya susah.
"Yeeaaa...!"
Diiringi teriakan-teriakan yang membahana, hu-
jan senjata pun tidak lagi dapat dicegah oleh Panji. Belasan batang pedang para
peronda desa datang dengan
suara berdesing-desing. Panji, yang khawatir kalau gadis dalam pondongannya
terluka, segera berlompatan
menghindari serangan senjata-senjata itu.
Sayang, ke mana pun Panji mengelak, selalu saja
ada sambaran senjata tajam yang mengancam tubuh-
nya. Pemuda itu pun terpaksa mengerahkan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan' untuk melindungi kulit tubuh-
nya dari luka bacokan pedang. Dan, munculnya kabut
putih keperakan yang berpendar menyelubungi tubuh
Pendekar Naga Putih dan gadis dalam pondongannya
sempat memancing berbagai seruan dari orang-orang
desa yang mengeroyoknya.
"Aaahhh...!?"
Beberapa pengeroyok terdekat yang berada dalam
jarak setengah tombak dari Panji langsung berlarian
mundur. Mereka tampak ketakutan melihat lapisan
kabut bersinar putih keperakan yang menebarkan ha-
wa dingin menggigit tulang. Sedangkan para penge-
royok yang sempat menghindarkan diri terlihat berja-
tuhan dengan tubuh menggigil.
"Mundur...! Iblis itu mulai menggunakan ilmu si-
hirnya...!"
Lelaki bertubuh sedang bermata setajam elang
rupanya menjadi pemimpin para peronda Desa Pega-
tan segera berteriak memerintahkan kawan-kawannya
untuk mundur. Karena, lapisan kabut berhawa dingin
yang muncul dari dalam tubuh Pendekar Naga Putih
telah membuat para pengepungnya porak poranda.
Sedangkan lelaki bermata elang itu sendiri bergerak
maju dengan ditemani beberapa peronda lainnya.
Tampak, mereka yang memiliki tenaga dalam cukup
tinggi untuk melawan pengaruh hawa dingin itu mem-
beranikan diri menghadapi Panji yang dianggap seba-
gai pembunuh keji.
"Sahabat, tahan senjata kalian! Dengarkanlah
dahulu kata-kataku. Setelah itu, barulah kalian boleh menyerangku...."
Panji kembali mencoba menyadarkan para pe-
ronda desa dengan menyuruh mereka mendengarkan
penjelasannya lebih dulu. Tapi, tak seorang pun yang mau mendengarkan kata-kata
Pendekar Naga Putih.
Sebab, pada saat mereka menemukan Panji, penampi-
lan pemuda itu memang sangat mirip dengan Cakar
Setan yang telah banyak memakan korban. Kalaupun
ada beberapa perbedaan, mana mau orang-orang desa
itu memusingkannya.
"Tidak perlu banyak cakap lagi, Iblis Keji! Se-
baiknya kau serahkan wanita itu pada kami. Setelah
itu, mungkin aku akan mendengarkan kata-
katamu...."
Lelaki bermata elang yang menjadi pemimpin pa-
ra peronda Desa Pegatan mencoba membujuk Panji
yang disangkanya sebagai iblis jahat. Tentu saja lelaki gagah ini mengharapkan
pemuda itu dapat terbujuk
dan menyerahkan gadis dalam pondongannya.
"Jangan khawatir, Kisanak. Gadis yang kutolong
dari cengkeraman pembunuh keji ini sama sekali tidak terluka. Ia hanya pingsan
terkena totokan. Nah, kau
sambutlah tubuh gadis ini...."
Panji yang sedikit lega mendengar janji lelaki ga-
gah bermata elang itu segera saja menuruti perintah
tadi. Dilemparkannya tubuh gadis yang tengah tak sa-
darkan diri itu kepada para peronda Desa Pegatan.
"Huuppp!"
Dengan gerakan yang tangkas, lelaki gagah ber-
mata elang segera menyambut tubuh gadis itu. Kemu-
dian, tubuhnya kembali melayang turun dengan gera-
kan yang ringan. Wajah lelaki gagah bermata elang itu tampak berbinar gembira,
karena ia dapat membujuk
pemuda yang dianggapnya sebagai iblis keji itu untuk menyerahkan wanita yang
ditawannya. "Nah, sekarang kuharap kalian mau percaya dan
mendengarkan keteranganku..."
Tapi, baru saja Panji hendak menerangkan per-
soalan yang sebenarnya, tiba-tiba lelaki gagah bermata elang itu menukas cepat,
"Ayo, bunuh pemuda iblis
itu. Jangan biarkan dia lolos...!"
Setelah berseru demikian, lelaki bermata elang
itu sendiri langsung mencabut kembali senjata yang
sempat disimpannya saat menangkap gadis yang di-
lemparkan Panji.
"Kurang ajar! Apa artinya ini, Kisanak" Mengapa
kau mengingkari kata-katamu" Keparat! Ternyata kau
bukanlah orang gagah yang lebih bersedia mati dari-
pada harus menjilat ludahnya sendiri," umpat Panji.
Pendekar Naga Putih tampak geram karena me-
rasa dibohongi oleh lelaki gagah bermata elang. Benar-benar ia tidak mengerti,
kenapa orang itu sampai berbuat demikian.
"Cuhh! Jangan menyebut-nyebut orang gagah,
Iblis Keji! Kami orang-orang gagah memang patut di-
percaya. Tapi, kami tidak akan pernah mau memper-
cayai iblis terkutuk sepertimu. Kami pun tidak bodoh untuk kau tipu mentah-
mentah...," sahut lelaki gagah bermata elang, yang memang belum mempercayai
Panji, atau bahkan mungkin tidak akan pernah percaya
pada keterangan pemuda itu.
Panji tersentak mendengar ejekan lelaki itu. Na-
mun, ia segera menyadari kedudukannya saat ini.
Ucapan lelaki gagah bermata elang memang tidak sa-
lah. Jangankan lelaki itu yang hanya seorang kepala
peronda desa. Panji sendiri, kalau berada di pihak lelaki di hadapannya ini,
tidak akan mau percaya pada
keterangannya sendiri, sebab sama sekali tidak ada
bukti yang mendukungnya.
"Yeeaaat..! Mampus kau, Iblis Terkutuk...!"
Lelaki gagah bermata elang memulai serangan
dengan kelebatan pedangnya. Senjata di tangan lelaki gagah itu berdesing
mengancam beberapa bagian tubuh Panji dengan gerakan yang cepat dan kuat
Beuuuttt! Wuueett..!
Namun, serangan yang sebenarnya sangat ber-
bahaya itu, ternyata belum apa-apa bagi Pendekar Na-
ga Putih. Bagi Panji, gerakan lelaki itu masih terlalu lambat dan tidak terlalu
sulit untuk diatasi. Tapi, bukan itu yang tengah dipikirkannya. Ia hendak
mencari jalan untuk meloloskan diri tanpa harus melukai para peronda desa itu.
Sebab, biar bagaimanapun, menurut
Panji, orang-orang itu sama sekali tidak bersalah. Mereka hanya tidak tahu. Dan,
Panji pun harus memaaf-
kannya. "Heeaatt..!"
Wuuut! Beeet! Beeet!
Belasan senjata kembali berkeredepan dari segala
penjuru mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Tapi,
Panji sama sekali tidak merasa gentar. Cepat bagaikan
kilat, tubuh pemuda itu berkelebatan di antara sambaran belasan batang pedang
pengeroyoknya. Dan, ter-
nyata tak satu pun senjata yang mampu melukai tu-
buhnya. Jangankan mengenai, menyerempet pun ti-
dak. Tentu saja semua itu tidak aneh. Sebab, ilmu meringankan tubuh Pendekar
Naga Putih memang tidak
ada bandingannya dalam dunia persilatan.
Setelah merasa terbebas dari kurungan sinar pe-
dang, Panji terus melompat jauh dan langsung melari-
kan diri menerobos kegelapan malam. Maka para pen-
geroyoknya hanya bisa berdiri bengong, menatap tem-
pat yang kosong ditinggalkan pemuda itu.
"Aku kenal pemuda itu. Kalau tidak salah, ia
tinggal di kediaman Ki Ganda Buana. Dan, kegempa-
ran ini terjadi semenjak pemuda itu tinggal di Desa Pegatan. Jelas, dialah
pelaku dari semua kejadian yang menimpa desa kita..." kata seorang pemuda
berusia sekitar dua puluh dua tahun yang bertubuh tegap ke-
pada lelaki gagah bermata elang, yang tampak lega
mendengar keterangan pemuda itu.
"Jadi, Tuan Muda Gutawa pernah melihatnya...?"
tanya lelaki gagah bermata elang sambil menatap ta-
jam wajah pemuda yang ternyata adalah putra Ki San-
gaji, Kepala Desa Pegatan.
"Benar. Aku pernah melihatnya setelah peristiwa
terbantainya Juragan Wanaba. Saat itu dia ada bersa-
ma putri Ki Ganda Buana yang bernama Wulandari,"
jelas Gutawa lagi dengan sorot mata memancarkan ke-
bencian. "Hm..., kalau begitu, besok pagi kita geledah
tempat kediaman Ki Ganda Buana. Biarpun orang tua
itu merupakan orang terpandang di desa kita, kita tetap harus bertindak..." ujar
lelaki gagah bermata elang yang dikenal dengan nama Ki Bawung Sati.
Setelah berkata demikian, Ki Bawung Sati segera
mengajak kawannya kembali meronda Desa Pegatan.
*** Matahari pagi baru saja muncul menampakkan
kekuasaannya. Cahayanya masih redup dan belum
menyinari bumi secara merata. Dalam suasana seperti
itu, serombongan lelaki bergerak menuju tempat ke-
diaman Ki Ganda Buana. Mereka dipimpin oleh seo-
rang lelaki gagah yang merupakan kepala keamanan
Desa Pegatan. Di sebelah kanan lelaki gagah itu, terlihat seo-
rang pemuda bertubuh tegap yang melangkah agak
terburu-buru. Tampaknya pemuda itulah yang paling
berkepentingan dalam masalah ini. Sorot matanya ta-
jam dengan kilatan kebencian dan dendam.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah rombongan
yang terdiri dari sekitar lima puluh orang itu di depan rumah Ki Ganda Buana.
Bawung Sati, lelaki gagah
bermata elang yang bertindak sebagai pemimpin
orang-orang itu segera saja mengangkat tangan ka-
nannya sebagai isyarat untuk berhenti. Ia sendiri kemudian melangkah beberapa
tindak mendekati pintu
utama rumah besar itu.
"Ki Ganda Buana, keluar kau...! Kami utusan Ki
Sangaji ingin bertemu...!" Teriakan lelaki gagah bermata elang itu bergaung,
karena disertai dengan pengerahan tenaga dalamnya. Dan, gaung suara Bawung Sati
ini tentu saja terdengar hingga ke dalam rumah. Tidak lama kemudian, muncullah
Ki Ganda Buana, Wulandari dan Panji. Ketiganya tampak melangkah tenang
menghampiri rombongan keamanan desa yang disertai
beberapa belas orang penduduk yang ikut bergabung.
Ki Ganda Buana melangkah maju beberapa tin-
dak mendekati Bawung Sati. Sedangkan Panji dan Wu-
landari dicegah oleh orang tua itu agar tidak mengikutinya. Sehingga, baik Panji
maupun Wulandari hanya
dapat menatap dari jarak dua tombak.
"Ah, Ki Bawung Sati, selamat datang. Ada keper-
luan apakah hingga sepagi ini kau sudah datang ber-
kunjung" Dan, mengapa membawa orang begitu ba-
nyak" Apakah keperluanmu itu begitu penting hingga
melibatkan banyak orang...?" tanya Ki Ganda Buana
setelah menyapa lelaki gagah itu dengan sedikit meng-hormat.
Padahal sesungguhnya Ki Ganda Buana telah
mengetahui, apa keinginan Ki Bawung Sati dan orang-
orangnya. Karena, Panji telah menceritakan semua pe-
ristiwa yang dialaminya semalam kepada ayah Wulan-
dari ini. "Hm..., maaf kalau kedatanganku sepagi ini
membuatmu terkejut, Ki Ganda Buana. Baiklah, lang-
sung saja ku utarakan maksud kedatanganku. Aku in-
gin agar kau menyerahkan pemuda berjubah putih itu
kepadaku! Karena, semua kejadian yang menimpa De-
sa Pegatan adalah akibat ulahnya. Kau tidak perlu
mungkir lagi. Aku telah menangkap basah pemuda ib-
lis itu semalam...."
Ki Bawung Sati langsung saja menyatakan keper-
luannya tanpa basa-basi. Sehingga, Ki Ganda Buana
mengerutkan keningnya dalam-dalam. Jelas, orang tua
itu tentu berpihak kepada Panji.
"Ki Bawung Sati, harap kau teliti dulu sebelum
menjatuhkan tuduhanmu. Sebab, keponakanku sama


Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali tidak melakukan segala perbuatan yang kau tu-
duhkan itu. Dan, tahukah kau, siapa adanya pemuda
yang kau tuduh sebagai orang jahat ini...?" ujar Ki
Ganda Buana dengan nada yang tetap tenang.
"Kami tidak peduli siapa pun adanya pemuda itu!
Yang jelas, ia telah bersalah dan patut dihukum gan-
tung! Kalau kau tidak bersedia menyerahkannya, kami
terpaksa akan menggunakan kekerasan...!"
Gutawa, yang semenjak tadi menatap sosok Panji
dengan penuh kebencian, berkata dengan nada penuh
emosi. Tentu saja ucapan ini membuat Ki Ganda Bua-
na agak tersinggung.
"Ki Bawung Sati dan para sahabat sekalian, ka-
lian ingin tahu, siapa adanya pemuda yang kalian tu-
duh sebagai penjahat keji ini" Dia adalah seorang pendekar besar yang namanya
telah menggetarkan rimba
persilatan. Adakah di antara kalian yang belum men-
genal nama Pendekar Naga Putih...?" ujar Ki Ganda
Buana lagi tanpa memperdulikan ucapan Gutawa,
bahkan sama sekali tidak memandangnya.
"Hahh...?" Ki Ganda Buana, maksudmu pemuda
itu adalah orang yang berjuluk Pendekar Naga Pu-
tih...?" desah Ki Bawung Sati dengan wajah agak pu-
cat. Tentu saja lelaki gagah bermata elang itu telah mendengar nama Pendekar
Naga Putih. Semalam pun
sebenarnya ia telah merasa curiga ketika melihat ka-
but bersinar putih keperakan yang menyelubungi tu-
buh pemuda itu. Tapi, karena suasananya tidak tepat, tentu saja Ki Bawung Sati
segera mengusir dugaannya
sendiri. Dan, kali ini Ki Bawung Sati benar-benar terkejut. Ditatapinya wajah
dan penampilan pemuda yang
berdiri tenang di belakang Ki Ganda Buana. Lelaki gagah bermata elang itu yakin,
semua ciri-ciri Pendekar Naga Putih memang ada pada pemuda tampan berjubah putih
itu. "Tapi... tapi...."
Ki Bawung Sati sampai tidak bisa berbicara lagi.
Ia tampaknya benar-benar terpukul oleh kejadian se-
malam. Ia telah menuduh pendekar besar itu, bahkan
sempat pula memaki-makinya dengan kata-kata yang
sangat menyakitkan. Teringat kesabaran yang diperli-
hatkannya semalam, sadarlah Ki Bawung Sati bahwa
pemuda yang berdiri dengan tenang agak jauh di ha-
dapannya ini adalah Pendekar Naga Putih.
"Tidak bisa...!"
Tiba-tiba Gutawa membentak keras hingga men-
gejutkan semua orang yang berada di tempat itu. Seca-ra serempak semua mata
menoleh dan langsung me-
mandang Gutawa dengan sinar mata penuh perta-
nyaan. "Apa maksudmu Gutawa...?" tanya Ki Bawung
Sati, dengan sorot mata yang menunjukkan rasa he-
ran. "Siapa pun pemuda itu adanya, dia tetap meru-
pakan seorang manusia keji yang berlindung di balik
kependekarannya. Dan aku sama sekali tidak takut!
Kita harus tetap membawa dia untuk dihukum, Ki.
Jangan kau terpengaruh hanya karena pemuda itu
merupakan seorang pendekar besar yang disanjung
banyak orang. Biar bagaimanapun, kita telah melihat
buktinya sendiri semalam. Lalu, apa lagi yang kita ragukan...?" ujar Gutawa,
yang masih berkeras tidak
mau menarik tuduhannya terhadap Panji.
Sesungguhnya semua itu diucapkan Gutawa ka-
rena ia memang merasa benci kepada Panji semenjak
pertama kali melihatnya.
Namun, terlihat Panji sama sekali tidak terpenga-
ruh oleh kata-kata penuh emosi tadi. Dan, Panji pun
langsung teringat pada sepasang mata penuh keben-
cian yang disaksikannya ketika Kepala Desa Pegatan
tengah berbicara tentang kejadian yang menimpa ke-
luarga Juragan Wanaba.
Setelah mengenali pemuda yang berkata keras
tadi, Panji melangkahkan kakinya dengan sikap yang
tetap tenang mendekati pemuda itu. Sehingga, Gutawa
segera mencabut pedang di pinggangnya. Rupanya ia
mengira Panji akan menyerangnya.
"Sabar, Gutawa...," cegah Panji sambil mengang-
kat tangannya tinggi-tinggi.
Pendekar Naga Putih rupanya ingin menunjuk-
kan bahwa ia sama sekali tidak bermaksud untuk ber-
kelahi. Meskipun demikian, Gutawa tetap menggeng-
gam pedangnya erat-erat dengan sorot mata tajam me-
nikam jantung. "Hm..., meskipun kau adalah seorang pendekar
besar yang berjuluk Pendekar Naga Putih, aku tidak
takut menghadapimu! Menurutku, kau tetap manusia
keji yang bersembunyi di balik nama besarmu. Dengan
nama besar itu, tentu tak seorang pun yang akan per-
nah menduga kalau penjahat keji yang selama bebera-
pa hari ini berkeliaran di Desa Pegatan adalah Pendekar Naga Putih...," desis
Gutawa. "Gutawa! Jaga mulutmu...!"
Karena merasa terkejut, Ki Bawung Sati sampai
membentak Gutawa begitu saja. Tampaknya orang tua
itu khawatir kalau-kalau Pendekar Naga Putih menjadi marah dan menghajar putra
kepala desanya.
"Paman, kalau memang gentar menghadapi Pen-
dekar Naga Putih, tidak mengapa. Tapi, jangan coba
kau mempengaruhiku. Aku tetap berkeyakinan bahwa
pemuda inilah yang menjadi biang keladi semua ke-
gemparan di Desa Pegatan...," tegas Gutawa.
Entah, masalah apa yang membuat Gutawa de-
mikian membenci Panji. Sementara itu, Panji tetap tersenyum sabar menatap pemuda
itu. Sebagai orang
yang banyak pengalaman, Pendekar Naga Putih sadar
bahwa kebencian Gutawa bukan semata-mata dis-
ebabkan oleh peristiwa yang terjadi di Desa Pegatan, tapi oleh suatu masalah
pribadi yang mulai bisa tera-ba. "Gutawa, semua apa yang kau ucapkan sama se-
kali tidak salah. Tapi, tentu saja kalau kau memang
berdiri pada jalan kebenaran," ujar Panji dengan wajah tetap tenang dan bibir
tersenyum. Gutawa tampak menjadi salah tingkah melihat
tatapan Panji yang seperti bisa membaca isi hatinya.
"Apa maksudmu, Pendekar Naga Putih...?"
Dalam kegugupannya, Gutawa sampai terlupa
hingga ia menyebut nama julukan Panji. Tentu saja
ucapan itu membuat senyum Panji semakin merekah.
"Maksudku, janganlah kau membenciku karena
persoalan pribadi," jawab Panji dengan tenang. "Aku
tidak ingin menjelaskannya di tempat ini. Tapi, kalau kau ingin berbicara secara
pribadi denganku, tentu sa-ja aku tidak akan menolak...."
Gutawa merasa ditelanjangi isi hatinya menjadi
merah padam wajahnya karena malu. Jelas Panji telah
tahu, apa sebabnya putra kepala desa itu memben-
cinya. Maka, tanpa banyak cakap lagi, Gutawa berge-
gas meninggalkan kediaman Ki Ganda Buana tanpa
pamit kepada siapa pun. Tapi, meski hanya sekilas,
Panji sempat melihat pemuda itu melirik khawatir ke
arah Wulandari.
"Kami mohon maaf, Ki, Pendekar Naga Putih....
Mungkin malam nanti aku akan berkunjung lagi dalam
suasana yang lebih baik...," kata Ki Bawung Sati.
Lelaki gagah bermata elang itu pun segera saja
berpamitan begitu melihat putra kepala desanya telah bergegas tanpa diketahui
sebabnya. Ki Ganda Buana dan Panji menganggukkan kepa-
la ketika Ki Bawung Sati berpamitan. Mereka menatapi kepergian rombongan itu
dengan perasaan lega karena
masalahnya telah bisa diselesaikan.
*** 5 Matahari siang itu memancar terik. Sinarnya
yang kuning keemasan menerobos dedaunan memang-
gang permukaan bumi. Namun, dua orang lelaki gagah
yang tengah melangkah tegap sama sekali tidak mera-
sa terganggu oleh teriknya sang Mentari. Mereka terlihat begitu terburu-buru
menuju sebelah Timur Desa
Pegatan. Tidak berapa lama kemudian, langkah kedua
orang itu pun mulai memasuki sebuah rumah besar
yang halaman sebelah kirinya dipenuhi pepohonan
bambu kuning. "Selamat datang, Ki Sangaji, Ki Bawung Sati,"
sambut seorang lelaki gagah kira-kira berusia lima puluh tahunan, dengan nada
bersahabat. "Mari, sila kan masuk...."
Dua orang lelaki gagah yang ternyata memang Ki
Sangaji dan Ki Bawung Sati itu membalas penghorma-
tan tuan rumah yang tidak lain dari Ki Ganda Buana.
Segera saja keduanya bergegas mengikuti Ki Ganda
Buana memasuki ruang tengah.
"Maaf mengenai kejadian pagi tadi yang mungkin
telah mengganggu ketenanganmu, Ganda Buana.
Hm...., kalau kau tidak keberatan, aku ingin bertemu dengan keponakanmu yang
kabarnya berjuluk Pendekar Naga Putih...," Ki Sangaji langsung saja mengutarakan
maksud kedatangannya setelah basa-basi se-
bentar. "Ah, tidak perlu terlalu dipikirkan, Kakang San-
gaji. Kesalahpahaman itu tentu saja merupakan hal
yang wajar. Tapi, kalau Kakang hendak berjumpa den-
gan Pendekar Naga Putih sendiri, tunggulah sebentar.
Dia sedang melatih adiknya, Wulandari. Mungkin se-
bentar lagi selesai...," ujar Ki Ganda Buana.
"Kalau begitu, biarlah kami tunggu..," sahut Ki
Sangaji. Baru beberapa saat Ki Sangaji memutuskan un-
tuk menunggu, terdengarlah langkah-langkah dua
orang mendatangi ruang tengah, tempat ketiga tokoh
itu berkumpul. Panji dan Wulandari muncul di ambang pintu
dengan wajah cerah. Keduanya mengangguk hormat ke
arah Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati yang segera berdiri menyambut kedatangan
pemuda tampan itu. Panji pun
segera mengambil tempat di antara ketiga lelaki gagah itu. "Maaf kalau
kedatangan kami telah membuatmu
terganggu, Pendekar Naga Putih.... Dan, harap engkau tidak sakit hati dengan
sikap kasar orang-orangku dalam beberapa hari ini...," kata Ki Sangaji sambil
menatap sosok di hadapannya dengan penuh kekaguman.
Ki Sangaji yang semula merasa ragu mendengar
keterangan Ki Bawung Sati, kini benar-benar gembira
begitu melihat sosok Pendekar Naga Putih. Sebab, pe-
nampilan pemuda itu memang mengingatkan Ki San-
gaji akan ciri-ciri Pendekar Naga Putih.
"Ah, jangan terlalu dipikirkan, Ki. Aku pun tidak
menyalahkan Ki Bawung Sati dan yang lainnya. Sebab,
mereka menemukan aku memang persis di malam ke-
jadian itu. Dan, pada saat itu ada seorang gadis dalam pondonganku. Apalagi,
warna pakaian dan potongan
tubuhku tidak jauh berbeda dengan Cakar Setan. Wa-
jar kalau mereka melemparkan tuduhan itu kepada-
ku...," jelas Panji yang memang sama sekali tidak merasa kecewa ataupun dendam
terhadap Ki Bawung Sati
dan orang-orang Desa Pegatan lainnya.
"Terima kasih atas pengertianmu, Panji . Selain
itu, aku ingin juga memberitahukan bahwa ternyata
tidak hanya sekedar penculikan terhadap gadis yang
kau tolong itu. Tapi, tadi pagi, setelah kepergian Ki Bawung Sati dan yang
lainnya ke tempat ini, aku menerima laporan empat orang wargaku. Putri mereka
yang rata-rata berusia sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun telah tewas
dalam keadaan yang benar-benar mengerikan. Aah..., malang sekali nasib gadis-
gadis yang tak berdosa itu. Mereka tewas tanpa setetes pun darah yang masih
tersisa di tubuhnya. Semuanya
habis terhisap oleh makhluk biadab yang sempat kau
pergoki itu...!" Benar-benar keji!" desis Ki Sangaji.
Kepala Desa Pegatan itu menundukkan wajahnya
yang terlihat jelas menggambarkan kedukaan. Sedang-
kan Panji tampak terkejut begitu mendengarnya.
"Hm...," Gumam lirih Panji menatap ke depan.
Pendekar Naga Putih teringat ketika membayangi
pembunuh keji itu semalam. Saat itu, meskipun dalam
pondongan sosok berpakaian putih itu telah ada tubuh gadis yang dibawanya,
terlihat ia masih memasuki rumah-rumah penduduk dan keluar lagi tanpa membawa
gadis lain. Rupanya manusia licik itu telah membunuh korbannya dengan cara
menghisap seluruh darah di
tubuh mereka. "Kurang ajar....!" desis Panji tanpa sadar bahwa
saat itu ia berada bersama Ki Sangaji, Ki Bawung Sati, dan Ki Ganda Buana. Tentu
saja desis kemarahan
Pendekar Naga Putih membuat ketiga tokoh itu tersen-
tak kaget. "Ada apa, Panji...?" Ki Ganda Buana langsung
mencekal lengan Panji ketika melihat pemuda itu se-
perti merenung.
"Ah, tidak ada apa-apa, Paman. Aku hanya terin-
gat kejadian semalam. Betapa iblis keji itu telah men-gecohku, hingga aku
tertangkap basah seperti pencuri oleh Ki Bawung Sati dan para penduduk desa
lainnya, sahut Panji seraya tersenyum.
Kemudian Pendekar Naga Putih menoleh ke arah
Ki Sangaji. "Kata Ki Sangaji tadi, gadis-gadis tewas tanpa se-
tetes pun darah yang tersisa di dalam tubuhnya. Lalu, adakah tanda-tanda luka di
tubuh gadis-gadis yang
tewas itu...?"
"Hm..., ya. Aku menemukan luka yang kau mak-
sudkan itu. Tapi, hanya berupa dua buah tanda kecil
seperti bekas tusukan jarum pada bagian lehernya.
Mungkinkah makhluk yang kau temukan itu merupa-
kan iblis peminum darah...?" Ki Sangaji balas ber-
tanya, karena ia memang merasa sangat bingung da-
lam menghadapi kejadian beberapa hari ini yang telah meminta korban beberapa
nyawa gadis desanya.


Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aneh...," desah Panji setelah mendengar penjela-
san Ki Sangaji tentang tanda-tanda luka yang terdapat pada leher korban.
Pendekar Naga Putih menduga, tidak mungkin
kalau pembunuh yang dipergokinya semalam merupa-
kan iblis peminum darah. Kalau memang betul, men-
gapa gadis itu tidak dibunuhnya" Ataukah ada pem-
bunuh lain yang menghisap darah korbannya"
Melihat Pendekar Naga Putih kembali termenung
setelah mendengar keterangan Ki Sangaji, ketiga tokoh itu tampak berpandangan
dengan wajah bodoh. Tentu
saja mereka tidak tahu, apa yang tengah dipikirkan
Panji saat itu.
"Hm..., Pendekar Naga Putih...," panggil Ki Sanga-
ji hati-hati, seperti enggan mengganggu lamunan pe-
muda itu. Sebab, mungkin saja Panji tengah berusaha
menyingkap rahasia pembunuhan keempat gadis yang
baru diceritakannya itu.
"Ya..," sahut Panji sambil menolehkan kepalanya
ke arah Ki Sangaji.
Ketenangan wajah dan sorot mata Pendekar Naga
Putih membuat Kepala Desa Pegatan semakin bertam-
bah kagum. Pemuda tampan berjubah putih itu sama
sekali tidak tampak terpengaruh, meskipun Ki Sangaji dan dua tokoh lainnya
terlihat berwajah tegang karena sama-sama menduga ada seorang pembunuh baru lagi
yang berkeliaran di Desa Pegatan.
"Kedatanganku kemari sebenarnya hendak me-
minta bantuanmu untuk menangani masalah ini. Kami
harap, kau tidak keberatan. Dan semoga kau juga ti-
dak sakit hati dengan kejadian yang tidak mengenak-
kan di antara kita sebelum ini..."
Ki Sangaji akhirnya menyampaikan juga, apa tu-
juan kedatangannya ke tempat Ki Ganda Buana.
"Tentu saja aku bersedia, Ki. Menurutku, persoa-
lan ini bukan saja merupakan tanggung jawab kepala
desa ataupun tetua desa lainnya. Tapi, justru merupakan kewajiban kita semua
yang merasa terganggu den-
gan kejadian-kejadian seperti ini. Aku akan berusaha semampu ku. Mudah-mudahan
saja semua kejadian
ini dapat kita selesaikan bersama-sama...," jawab Pen-
dekar Naga Putih tanpa nada kesombongan sedikit
pun. Ucapan Pendekar Naga Putih terdengar agak me-
rendah. Sehingga, baik Ki Sangaji maupun Ki Bawung
Sati semakin bertambah kagum terhadap kebesaran
hati pemuda itu. Semakin lama berbicara dengan Pen-
dekar Naga Putih, semakin yakinlah mereka bahwa
pemuda itu memang pantas dikagumi dan disanjung
oleh tokoh-tokoh rimba persilatan. Selain sikapnya selalu tenang, Panji pun
memiliki kesabaran yang tinggi dan pandangan yang luas.
Lega hati Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati setelah
mendengar jawaban Panji. Mereka pun berpamitan pa-
da saat hari menjelang sore. Tentu saja semua rencana telah mereka atur bersama-
sama. Terlihat tadi, Ki
Ganda Buana pun begitu bersemangat ingin memban-
tu menyelesaikan masalah ini.
*** Ketika malam telah datang dan kegelapan merata
menyelimuti permukaan bumi Desa Pegatan, Panji ke-
luar dari tempat kediaman pamannya. Pemuda itu
berharap, pembunuh yang pernah dipergokinya itu
muncul kembali. Meskipun harapan itu sangat tipis,
Panji tidak berkecil hati. Memang, bukan tidak mung-
kin pembunuh keji itu menghentikan tindakan jahat-
nya setelah dipergokinya semalam.
Panji berputar-putar meronda desa. Hatinya se-
dikit lega ketika pada sudut-sudut yang dianggap ra-
wan, pemuda itu banyak melihat peronda yang berja-
ga-jaga. Bahkan, tampak lebih banyak peronda desa
yang berkeliling malam ini dibanding hari-hari sebe-
lumnya. Mereka bergerombol dalam jumlah cukup ba-
nyak dengan membawa kentongan yang akan dibunyi-
kan sebagai tanda apabila bertemu dengan orang-
orang yang mencurigakan.
Rupanya, Pendekar Naga Putih yang ikut menan-
gani persoalan ini membuat para keamanan desa se-
makin bertambah berani. Sebab, mereka telah mera-
sakan sendiri betapa hebatnya kepandaian pemuda
itu. Mereka tidak perlu merasa takut apabila bertemu dengan pembunuh yang
berkeliaran di Desa Pegatan.
Pendekar Naga Putih berputar hingga ke ujung
Selatan desa. Dalam kegelapan yang semakin pekat
karena cahaya rembulan terhalang awan hitam, Panji
terus bergerak tanpa merasa bosan. Ketika hampir tiba di ujung Desa Pegatan
sebelah Selatan, pemuda itu
bergerak merunduk di semak-semak. Sepasang ma-
tanya yang tajam memandang lurus ke arah depannya.
"Hm..., iblis itu rupanya kali ini membawa ka-
wan-kawannya. Mungkinkah kedua temannya itu me-
lakukan pembunuhan dengan cara menghisap darah
korban...?" desah Panji saat pandangannya menang-
kap tiga sosok bayangan yang bergerak menuju tengah
desa. Tubuh Pendekar Naga Putih kemudian bergerak
cepat memotong jalan tiga sosok berjubah putih yang
dilihatnya. Dan, ketiga sosok bayangan putih yang
bergerak menuju ke tengah Desa Pegatan sama-sama
menahan langkahnya saat melihat sosok bayangan pu-
tih lain berdiri tegak menghadang jalan mereka. Jelas, pemuda tampan berjubah
putih itu memang sengaja
menghadang. "Hm.., selamat bertemu lagi Cakar Setan. Ru-
panya kali ini kau membawa serta dua orang rekanmu.
Kau takut untuk melakukan kejahatan sendirian, bu-
kan...?" sap" Panji saat ketiga sosok bayangan putih
menghentikan langkah dalam jarak sekitar dua tom-
bak dari dirinya.
Sinar bulan yang tampaknya tidak lagi terhalang
awan hitam menyoroti wajah ketiga sosok bayangan
putih. Meskipun tidak terlalu jelas, rupanya Panji dapat melihat sosok mereka.
Lelaki tegap yang bercakar baja runcing sepan-
jang satu jengkal pada kedua jari tangannya itu tampak menatap Panji dengan
sorot mata penuh dendam.
Jelas bahwa kejadian semalam yang membuat dirinya
hampir dipecundangi pemuda itu menjadikannya sakit
hati dan ingin segera membalas.
Sementara itu dua sosok bayangan putih di kiri
kanan Cakar Setan ikut pula menatap Panji dengan
sorot mata tajam. Wajah keduanya hampir tidak jauh
berbeda dengan Cakar Setan. Panji menduga, usia ke-
duanya sekitar empat puluh tahun. Rambut mereka
yang hitam tampak tergerai jatuh di atas bahu. Ru-
panya ketiga orang pembunuh itu memang sengaja
berdandan mirip satu sama lain. Hal ini membuat Pan-
ji menduga, adanya kelompok orang sesat yang ber-
sembunyi di sekitar daerah Desa Pegatan.
"Pendekar Naga Putih, desis Cakar Setan dengan
suara menggetar penuh kegeraman, "Namamu boleh
jadi ditakuti oleh tokoh-tokoh persilatan. Tapi, kami akan menamatkan
petualanganmu malam ini...."
Cakar Setan segera bergerak mendekati Panji.
Dan, kedua orang berpakaian putih lainnya ikut bergerak menyebar ke kiri kanan.
Di tangan mereka masing-
masing telah menggenggam senjata berbentuk aneh.
Orang kedua Cakar Setan berwajah putih. Jelas
sekali kalau orang itu menggunakan cat agar wajahnya tidak begitu dikenali. Di
tangan kanannya, tergenggam sebuah senjata berupa golok bergerigi tajam. Sedang-
kan wajah orang ketiga memakai cat merah. Senjata
yang tergenggam di tangan kanannya berupa sebuah
bola berduri yang diikat dengan tali. Kini ketiganya telah mengepung Panji dari
tiga penjuru. "Hm...."
Panji hanya bergumam melihat lawannya menge-
pung dan siap menggempurnya. Pemuda itu terlihat
sama sekali tidak menyentuh senjatanya. Hal ini bu-
kan dikarenakan ia menganggap lawannya enteng. Ta-
pi, selama ini Pendekar Naga Putih memang jarang se-
kali menggunakan pedangnya kalau tidak betul-betul
merasa perlu. Kali ini pun, Panji memutuskan untuk
menghadapi lawannya dengan tangan kosong.
Whuuuk! Whuuuk!
Bandul besi berduri di tangan sosok berwajah
merah berputar di atas kepalanya hingga menimbul-
kan suara mengaung-ngaung bising. Orang sesat itu
bergerak dengan langkah-langkah menyilang mendeka-
ti Pendekar Naga Putih.
Sedangkan Cakar Setan bergerak dari sebelah
depan. Cakar baja di tangannya menimbulkan suara
ribut ketika tokoh itu menggerakkan jarinya membuka
dan menutup. Jelas, hal itu dimaksudkan untuk
membuyarkan pikiran lawan, karena bisa dipastikan
siapa pun akan terpana melihat bentuk senjata yang
mengerikan itu.
"Yeeaatt...!"
Pembunuh bermuka putih bergerak melesat
sambil memutar-mutar golok bergeriginya sedemikian
rupa. Suara mengaung tajam mengiringi datangnya se-
rangan orang sesat itu.
Pada saat yang hampir bersamaan, pembunuh
bermuka merah telah pula membuka serangan dengan
bandul berduri di tangannya. Senjata itu siap melun-
cur ke arah batok kepala Pendekar Naga Putih. Kalau
saja senjata itu sampai mengenai sasarannya, otak
Panji pasti akan berceceran di tanah.
Demikian pula halnya dengan Cakar Setan. Sen-
jata cakar baja di tangannya berdecit-decit saat tokoh sesat itu bergerak maju
dari arah depan Panji. Senjata itu terus bergerak kian kemari dengan kecepatan
yang sulit ditangkap dengan mata biasa. Kilatan cahayanya yang tertimpa sinar
rembulan membuat pandangan
lawan akan sulit untuk menangkap dari mana datang-
nya serangan sepasang cakar baja itu.
"Hm...."
Sambil bergumam dengan sepasang mata yang
tak lepas menatap ketiga lawannya, Panji menarik
mundur kaki kanannya dengan kuda-kuda rendah.
Tangan kanannya bergerak melewati wajahnya dalam
bentuk cakar. Sedangkan tangan kirinya yang juga
berbentuk cakar bergerak turun secara bersamaan.
Itulah jurus pembukaan yang keenam dari 'Ilmu Silat
Naga Sakti' yang menjadi andalan Pendekar Naga Pu-
tih. Wuuut! Wuuut! Wuuut!
Dengan langkah pendek dalam kedudukan tela-
pak kaki menjinjit, Pendekar Naga Putih melangkah
maju diiringi sambaran cakarnya yang menyelubungi
tubuh pemuda itu, membentuk sebuah benteng hawa
dingin yang kokoh.
Swiinggg! Panji menarik tubuhnya ke samping kanan saat
serangan golok bergerigi datang menyambar tubuhnya
dari sebelah kiri. Lolos dari ancaman golok pembunuh bermuka putih, bandul
berduri dari sebelah kanan datang mengincar batok kepala pemuda itu. Dan, pada
saat yang hampir bersamaan, Cakar Setan melontar-
kan sambaran cakar bajanya dengan suara mengaung.
"Heeaahhh!"
Sikap Panji dalam menyambut kedua serangan
pengeroyoknya itu sempat membuat kening lawan-
lawannya berkerut. Sebab, biasanya lawan akan berge-
rak menghindar apabila datang serangan. Dan, pasti
lawan akan melakukannya dengan mundur ke bela-
kang atau menggeser tubuhnya ke samping. Tapi, yang
dilakukan Pendekar Naga Putih justru sangat berlawa-
nan. Tubuh pemuda itu malah bergerak ke depan me-
nyongsong sambaran cakar baja lawannya. Tentu saja
gerakan pemuda itu membuat Cakar Setan terkejut.
Sebab, pada saat cakar bajanya hampir menyentuh
lawan, Pendekar Naga Putih mengegos secara tiba-tiba, yang tentu saja di luar
dugaan. Belum lagi Cakar Setan menyadari serangannya yang luput, tubuh Panji
sudah melenting ke atas menekuk kedua kakinya hingga me-
lekat di dada. "Yiiaahhh...!"
Dari sebelah atas, panji mengarahkan cakar ka-
nannya ke batok kepala Cakar Setan. Lelaki bertubuh
sedang itu menjadi terkejut. Sebab, dari suara sambaran cakar pemuda itu, Cakar
Setan bisa menduga,
pasti batok kepalanya akan remuk apabila ia tidak segera menyelamatkan diri.
Wuueettt..! Rupanya nasib Cakar Setan masih beruntung.
Dengan menggulingkan tubuhnya ke tanah, serangan
lawan pun luput dan hanya mengenai angin kosong.
Panji sendiri, yang masih hendak melanjutkan seran-
gannya, terpaksa menahan langkah ketika bola berduri dari pembunuh bermuka merah
datang meluncur
mengancam dadanya.
"Haaiittt...!"
Tubuh Pendekar Naga Putih melenting dan ber-
jumpalitan melampaui luncuran bandul berduri yang
mengerikan itu. Dan, baru saja kedua kakinya me-
nyentuh permukaan tanah, sambaran golok bergerigi
dari pembunuh bermuka putih datang mengaung
membabat ke arah kedua kakinya. Panji pun harus
kembali melenting ke udara guna menghindari anca-
man maut itu. Pertarungan terlihat semakin seru dan mende-
barkan. Ketiga pembunuh itu kelihatannya sangat
bernafsu untuk membunuh Pendekar Naga Putih. Pan-
ji sendiri tentu saja tidak sudi jika tubuhnya dijadikan sasaran senjata lawan-
lawannya. Pemuda itu bergerak
cepat dengan mengandalkan ilmu meringankan tu-
buhnya yang memang sukar dicari bandingannya.
Meskipun hanya menggunakan tangan kosong,
Panji sama sekali tidak kelihatan terdesak. Malah, ia sudah mulai membagi-
bagikan serangannya yang disertai suara mencicit tajam. Jelas bahwa pemuda itu


Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah mengerahkan tenaga saktinya untuk mengimbangi
ketiga orang lawannya yang memang rata-rata memili-
ki kepandaian tinggi. Ketiga pengeroyoknya pun tam-
pak tidak berani menganggap remeh setiap serangan
yang dilontarkan Pendekar Naga Putih.
*** 6 "Haiiit...!"
Pertarungan seru yang telah berlangsung dari li-
ma puluh jurus itu tampaknya membuat Cakar Setan
semakin penasaran. Maka, seiring dengan teriakannya,
tubuh tokoh sesat itu meluncur deras disertai samba-
ran cakar bajanya yang susul menyusul.
Bwettt! Bwettt!
"Hm...."
Panji menggumam lirih melihat serangan maut
itu. Segera saja pemuda itu menarik kedua tangannya
dalam keadaan menyilang di depan dada. Dan, begitu
serangan lawan datang, Pendekar Naga Putih langsung
menyambut dengan dorongan kedua telapak tangan-
nya. Whuttt! Bressshhh...!
"Aaahhh...!"
Hebat sekali benturan keras yang terjadi ketika
sepasang tangan Panji tepat menyambut datangnya se-
rangan lawan. Cakar Setan langsung memekik terta-
han dengan tubuh terdorong ke belakang hingga se-
jauh dua tombak lebih. Wajahnya tampak pucat dan
berkerut-kerut menahan sakit pada bagian dalam tu-
buhnya "Huaakkhhh...!"
Segumpal darah segar yang kental menyembur
keluar dari mulut Cakar Setan. Rupanya hal inilah
yang menyebabkan wajahnya tampak berkerut-kerut
Jelas bahwa tokoh sesat itu telah mengalami luka pa-
rah akibat dorongan telapak tangan lawannya. Bah-
kan, tubuhnya terlihat masih menggigil, karena hawa
dingin yang menusuk tulang telah menyerap masuk.
Untungnya saat itu Cakar Setan tidak sendirian
menghadapi Panji. Kalau tidak, mungkin nyawanya ti-
dak akan berumur panjang. Sebab, Panji yang saat itu siap melontarkan pukulan
mautnya untuk mengakhiri
riwayat Cakar Setan terpaksa menunda serangannya.
Sepasang tangan Pendekar Naga Putih yang semula
siap merenggut nyawa Cakar Setan segera beralih begi-
tu melihat sambaran golok bergerigi dan bandul berdu-ri telah mengancam dari dua
arah. Whuttt...! Whunggg...! "Yeahhh...!"
Kedua senjata maut itu berhasil dielakkan Panji
dengan menggeser tubuhnya dalam kuda-kuda ren-
dah. Sesaat setelah kedua senjata itu lewat, tubuh pemuda itu langsung bergerak
dengan geseran langkah
cepat yang mengejutkan. Pembunuh bermuka putih
yang melihat tubuh Pendekar Naga Putih bergerak ke
arahnya segera menyambut dengan tebasan golok.
Namun, Panji telah memperhitungkan hal itu masak-
masak. Begitu serangan golok lawan datang menyam-
butnya, dengan cepat Panji merendahkan tubuh. Ke-
mudian, tangan kirinya dikibaskan menepis pergelan-
gan tangan pembunuh bermuka putih. Lalu, hanta-
man telapak tangan kanannya langsung dilontarkan
dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
Plakkk! Deesss...!
"Aaakkhhh...!"
Terdengar teriakan parau ketika telapak tangan
Panji telak menggedor dada pembunuh itu. Akibatnya,
tubuh tokoh sesat itu terlempar diiringi jerit kematian, lalu terbanting jatuh
ke tanah dengan suara berde-bum. Untuk beberapa saat lamanya, tubuh pembunuh
bermuka putih tampak berselimut lapisan kabut putih
keperakan. Itulah suatu tanda hantaman telapak tan-
gan Panji mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
tingkat tinggi, yang bisa menewaskan lawan.
"Aahhh...!?"
Pembunuh bermuka merah terkejut bukan main
melihat lawannya tewas dengan tubuh kaku terselimut
kabut Kenyataan seperti ini tentu saja tidak pernah
terbayang di benaknya.
"Bangsat! Kau .harus membayar mahal kematian
kawanku, Pendekar Naga Putih...!" teriak pembunuh
bermuka merah sambil memutar-mutar bandul berdu-
rinya di atas kepala.
"Heaattt..!"
Dibarengi teriakan yang menggelegar, pembunuh
bermuka merah melontarkan bandul berdurinya ke
arah Pendekar Naga Putih.
Whuuung! Senjata mengerikan itu terdengar mengaung ba-
gaikan suara sekelompok lebah yang sedang marah,
kemudian meluncur turun ke arah Panji.
Buuummm...! Debu mengepul tinggi seiring dengan debumam
jatuhnya senjata maut itu. Ternyata Panji telah lebih dulu lompat ke samping.
Sehingga, bola berduri itu
hanya menghantam tanah tempat Panji berpijak tadi.
"Bedebah...! Kali ini kau tidak akan luput lagi da-
ri kematian...!" ujar pembunuh bermuka merah, kesal.
Diawali teriakan nyaring, pembunuh bermuka
merah kembali memutar bandulnya.
"Hm...."
Panji menggumam lirih melihat datangnya kem-
bali serangan lawan. Kali ini pemuda itu tampak sama sekali tidak berniat
menghindarkan diri. Dengan tatapan tajam, Panji menanti datangnya bandul berduri
yang berderu mengancam tubuhnya.
Whuuunng...! Senjata maut itu kembali mengaung menuju sa-
sarannya. Panji tetap tenang. Ditunggunya kedatangan senjata maut itu dengan
tatapan tajam. "Heaattt...!"
Pada saat bandul tinggal sejengkal di depan ke-
palanya, Panji merunduk dengan gerakan secepat ki-
lat. Kemudian, dengan hentakan keras, tangan kanan-
nya menangkap rantai yang mengikat senjata maut itu.
Wrrttt...! Begitu rantai bandul berduri melibat di dalam
lengannya, Panji menyentakkannya sambil berteriak
nyaring. "Heaaahhh...!"
"Hekkk...!"
Pembunuh bermuka merah tampak terkejut bu-
kan main menyaksikan perbuatan pemuda itu. Segera
ia memaku kuda-kudanya di atas tanah begitu mera-
sakan ada sentakan yang membetot tubuhnya.
"Aaahhh...!?"
Bukan main kagetnya tokoh sesat itu ketika tu-
buhnya masih juga tertarik ke depan. Meskipun ia te-
lah menggunakan ilmu untuk memberatkan tubuh,
ternyata Panji tetap dapat menariknya ke depan.
Tubuh tokoh sesat itu terus bergerak ke depan
tanpa mampu dicegah. Guratan-guratan sedalam satu
jengkal tampak jelas di atas tanah karena pembunuh
bermuka merah itu berusaha menanamkan kaki-
kakinya ke dalam bumi. Kekuatan tenaganya memang
masih berada jauh di bawah Panji. Sehingga, tetap saja ia tidak mampu
mempertahankan diri.
Namun nasib pembunuh bermuka merah ru-
panya masih lebih beruntung ketimbang pembunuh
bermuka putih. Sebab, pada saat yang gawat itu, Ca-
kar Setan telah bangkit kembali langsung menerjang
dengan cakar-cakar bajanya untuk menyelamatkan re-
kannya. "Yeaaattt...!"
Diiringi teriakan panjang, tubuh Cakar Setan me-
luncur dengan cakar-cakar mautnya ke arah Pendekar
Naga Putih. Panji pun bukan tidak sadar akan keadaannya
yang cukup sulit ini. Dengan disertai sebuah bentakan mengguntur, pemuda itu
menyentakkan rantai yang
melibat tangannya dengan sekuat tenaga.
"Yeaaahhh...!"
Bukan main hebatnya akibat yang terjadi dari
hentakan keras Pendekar Naga Putih kali ini. Tubuh
pembunuh bermuka merah yang semula masih men-
coba bertahan langsung terangkat naik dan meluncur
deras ke arah Cakar Setan. Rupanya Pendekar Naga
Putih hendak menggunakan tubuh lawannya itu untuk
menghadang serangan Cakar Setan.
"Aaaa...!"
Pembunuh bermuka merah berteriak ngeri sam-
bil memejamkan kedua matanya. Jelas, ia merasa ke-
takutan melihat tubuhnya meluncur deras tanpa dapat
dicegah lagi. Bukan hanya pembunuh bermuka merah yang
merasa ketakutan. Cakar Setan pun membelalak begi-
tu melihat tubuh kawannya meluncur menyambut ca-
kar-cakar bajanya. Karena tidak mungkin menarik
kembali serangannya, Cakar Setan segera menekuk
cakar bajanya ke dalam.
Blaggg...! Terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh
pembunuh bermuka merah membentur punggung tan-
gan Cakar Setan. Keduanya telah menarik kembali se-
rangannya, tentu saja benturan itu tidak membuat ke-
duanya terluka dalam. Sehingga, begitu terjatuh, me-
reka kembali segera bangkit dengan cepat.
"Lari...!"
Sadar bahwa mereka tidak mungkin menang
menghadapi Pendekar Naga Putih, Cakar Setan segera
mengajak pembunuh bermuka merah untuk mening-
galkan lawannya. Tubuh keduanya pun langsung me-
lesat meninggalkan tempat itu. Sebelumnya, terlihat
Cakar Setan menaburkan bubuk berwarna hijau ke
tubuh mayat pembunuh bermuka putih.
"Berhenti...! Mau lari ke mana kalian, Bangsat-
bangsat Keji...!"
Pendekar Naga Putih yang tidak ingin melihat
pembunuh-pembunuh itu lolos, segera berlari melaku-
kan pengejaran. Tubuhnya melesat bagai melebihi
sambaran kilat.
Karena tingkat ilmu lari Pendekar Naga Putih itu
memang masih berada di atas lawan-lawannya. Maka,
dalam waktu yang tidak terlalu lama, jarak di antara mereka pun sudah semakin
dekat. Sekali lompatan la-gi, Pendekar Naga Putih berhasil menghadang kedua
lawannya. Cakar Setan pun bukan tidak tahu akan hal itu.
Secepat kilat, tiba-tiba tubuhnya membalik dan tan-
gannya langsung mengibas ke arah Panji.
Whuuusss...! Terkejut juga Panji begitu melihat bubuk berwar-
na hijau bagaikan gumpalan kabut telah menghadang
larinya. "Aaahhh...!?"
Panji menahan langkahnya ketika dadanya terasa
sesak akibat bubuk berwarna hijau itu terhisap mela-
lui hidungnya. Pendekar Naga Putih pun terpaksa
menghentikan pengejaran terhadap lawan-lawannya.
*** Sementara itu, tidak jauh dari tempat Panji me-
nahan sakit dalam dadanya, terdengar derap langkah
bergemuruh mendatangi tempat pertarungan maut ta-
di. Rupanya pertempuran itu sempat terdengar oleh
orang-orang yang tengah meronda desa. Sebentar ke-
mudian, terlihat cahaya obor yang terang benderang
mengusir kegelapan di tempat bekas pertarungan.
Tiga orang lelaki gagah yang tidak lain adalah Ki
Ganda Buana, Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati tampak
memimpin para penjaga keamanan desa mendatangi
tempat itu. "Hm..., Pendekar Naga Putih rupanya berhasil
memergoki pembunuh itu. Tapi, ke mana perginya pe-
muda itu sekarang...?" desah Ki Sangaji sambil mena-
tap sesosok tubuh berpakaian putih yang tergeletak
tak bernyawa. Namun, ketika tubuh mayat berpakaian putih itu
hendak diperiksa oleh Ki Bawung Sati, tiba-tiba saja Ki Ganda Buana berteriak
mencegah. Sebab, orang tua
gagah itu sempat melihat adanya lapisan asap tipis
yang mengepul dari tubuh mayat.
"Jangan mendekat..!".
Sambil berkata demikian, Ki Ganda Buana cepat-
cepat menarik tubuh Ki Bawung Sati agar menjauhi
mayat berpakaian serba putih itu. Dan, semua orang
yang berada di tempat itu sama-sama membelalakkan
mata saat melihat kepulan asap yang berasal dari tu-
buh mayat itu semakin menebal dan menebarkan bau
busuk yang menyengat.
"Mundur...!" Ki Ganda Buana kembali berseru
memperingatkan yang lainnya agar menjauhi mayat
itu. Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati sama-sama membelalakkan mata
begitu menyaksikan
apa yang tengah terjadi dengan sosok mayat itu.
Kepulan asap yang semakin menebal kini diiringi
bunyi seperti air mendidih. Kemudian, tubuh mayat itu sendiri tampak mulai basah
berlendir. Lendir-lendir itu lalu membentuk gelembung-gelembung seperti air yang
tengah masak. "Awaaass...!"
Untuk ketiga kalinya, Ki Ganda Buana berteriak.
Orang tua itu mengembangkan tangannya dan lang-
sung bergerak mundur. Orang-orang lainnya pun ter-
dorong mundur semakin menjauhi mayat yang sangat


Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerikan itu.
Gelembung-gelembung lendir itu kemudian mele-
tup-letup menimbulkan ledakan-ledakan kecil. Untun-
glah Ki Ganda Buana telah menarik mundur semua
orang yang berada di belakangnya. Kalau tidak, mung-
kin akan ada di antara mereka yang terkena lendir ke-hijauan yang berpercikan ke
segala arah itu.
"Gila...!" desis Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, dan
Ki Bawung Sati hampir bersamaan.
Tubuh mayat yang semula utuh itu kini hanya
tinggal seonggok tulang yang tidak mungkin bisa dikenali lagi. Rupanya bubuk
yang ditebarkan Cakar Setan sebelum melarikan diri tadi memang dimaksudkan untuk
menghapus jejak agar mereka tidak bisa dikenali
lagi. Mayat pembunuh bermuka putih benar-benar le-
nyap dan kini berganti dengan cairan hijau berbau busuk dan seonggok tulang.
Baik kulit daging maupun
pakaian pembunuh bermuka putih telah mencair aki-
bat terkena racun ganas si Cakar Setan.
"Aahhh...!"
Teriakan parau yang jelas keluar dari mulut se-
seorang yang sedang merasa kesakitan tiba-tiba ter-
dengar menggetarkan keheningan malan. Ki Ganda
Buana dan orang-orang yang lainnya terkejut dengan
dada berdebar tegang. Baik Ki Ganda Buana, Ki Sanga-
ji, maupun Ki Bawung Sati rupanya tahu teriakan itu
adalah suara Pendekar Naga Putih. Ketiganya tampak
saling bertukar pandang dengan hati berdebar tegang.
Seperti mendapat perintah, ketiga tokoh itu sege-
ra melesat ke arah sumber jeritan memilukan itu. Dan, tanpa diperintah lagi para
peronda yang lainnya pun
segera mengikuti ketiga orang pemimpin mereka.
"Panji....!?"
Ki Ganda Buana, yang melihat tubuh Panji berge-
rak limbung bagaikan orang mabuk, bergegas meng-
hampiri. Jelas bahwa orang tua itu sangat cemas melihat keadaan keponakan yang
telah dianggapnya seba-
gai putra kandung sendiri itu.
"Pendekar Naga Putih...!?"
Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati pun tidak kalah
terkejutnya begitu melihat keadaan Panji yang seperti orang kesetanan itu.
Segera saja mereka mengiringi Ki Ganda Buana yang tengah bergerak mendekat.
"Jangan mendekat...!"
Ketika jarak ketiga tokoh Desa Pegatan itu tinggal
dua tombak lagi dari Panji tiba-tiba pendekar muda itu berseru mencegah. Kedua
tangannya tampak dikibas-kibaskan menyuruh mereka segera menjauhinya.
Tentu saja ketiga orang itu menjadi semakin bin-
gung. Apa lagi, saat itu tubuh Panji tampak merah
membara, dengan hawa panas menebar hingga sejarak
satu setengah tombak. Bahkan, kedua tangan pemuda
itu mengibas dengan maksud mencegah mereka men-
dekatinya, ada sambaran angin panas yang membuat
ketiganya tersentak kaget.
Tanpa diperintahkan dua kali, Ki Ganda Buana
dan yang lainnya segera saja bergerak mundur men-
jauhi pemuda itu. Untung saja yang maju mendekat
tadi hanya ketiga orang yang memiliki tenaga sakti untuk menahan hawa panas
kibasan tangan Panji. Kalau
saja tenaga dalam mereka belum kuat betul, ketiganya tentu akan tewas terkena
hawa panas yang luar biasa
itu. Ki Ganda Buana dan yang lainnya memandang
sosok Panji dengan hati tegang. Mereka hanya dapat
menatap bingung tanpa tahu harus berbuat apa. Dan,
mereka pun tidak tahu, apa yang saat itu tengah di-
alami Pendekar Naga Putih. Bahkan, mereka merasa
ngeri melihat tubuh Pendekar Naga Putih yang berko-
baran api itu. "Kakang Panji...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara nyaring yang men-
gejutkan semua orang yang berada di tempat itu. Seca-ra serentak, mereka
berpaling ke arah asal suara nyaring itu.
"Wulandari...!?"
Ki Ganda Buana, yang mengenali sosok putrinya,
langsung menghambur menyambut kedatangan seo-
rang gadis cantik yang ternyata adalah putrinya sendi-ri. Tentu saja orang tua
itu menjadi heran melihat kehadiran Wulandari.
"Ayah..., apa yang terjadi dengan Kakang Panji..."
Mengapa Ayah tidak berusaha menolongnya...?"
Wulandari meronta hendak melepaskan diri dari
ayahnya. Hatinya cemas bukan main melihat tubuh
Panji seperti terbakar itu. Tapi yang membuat Wulan-
dari heran, api itu justru tidak membakar Panji. Api itu terlihat hanya berkobar
di luar tubuh Pendekar Naga
Putih. "Tenanglah, Wulandari. Ayah pun tidak tahu, apa sebenarnya yang tengah
terjadi dengan kakangmu itu.
Kami semua pun baru saja tiba dan melihat keadaan-
nya sudah demikian. Ketika Ayah dan yang lainnya
hendak mendekat, Panji malah menyuruh agar kami
menjauh. Ah, mudah-mudahan saja ia selamat. Ber-
doalah, Anakku...," ujar Ki Ganda Buana dengan pera-
saan yang juga sangat cemas.
"Ayah..., aku takut Kakang Panji akan mati...."
Wulandari menangis sambil menyandarkan kepa-
lanya di dada Ki Ganda Buana. Orang tua itu pun si-
buk menghibur anaknya yang tinggal seorang ini.
"Aarrrkkhhh...!"
Untuk kesekian kalinya, terdengar Panji meraung
dahsyat. Ki Ganda Buana dan tokoh lainnya terjajar
limbung. Bahkan, Wulandari sampai jatuh terduduk
dengan wajah pucat. Sedangkan para keamanan desa
lainnya terbanting pingsan akibat mendengar teriakan dahsyat tadi.
Seiring dengan teriakan dahsyat itu, api yang
mengelilingi tubuh Pendekar Naga Putih kian berkobar, untuk kemudian mengecil
dan lenyap. Panji sendiri jatuh terduduk bagai orang yang tidak lagi mempunyai
tulang. "Kakang...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, Wulandari berlari
menghambur ke arah Panji. Gadis itu sama sekali ti-
dak merasa takut. Rasa takut akan kehilangan Panji
tampaknya jauh lebih besar daripada rasa takutnya
akan kematiannya sendiri.
Panji mengangkat kepalanya dan mencoba terse-
nyum ketika mengenali Wulandari. Pemuda itu mem-
biarkan saja ketika Wulandari menubruk dan menan-
gis di dadanya.
"Tenanglah, Adikku. Bahaya sudah lewat. Aku ti-
dak apa-apa," bisik Panji seraya membelai rambut ga-
dis itu dengan penuh kasih. Hatinya sempat merasa
terharu melihat kekhawatiran Wulandari terhadap ke-
selamatannya. "Aku takut kehilanganmu, Kakang..." sahut Wu-
landari di sela-sela isak tangisnya yang terputus-
putus. "Apa sebenarnya yang sudah terjadi, Panji" Kami
sungguh tidak mengerti dengan kejadian barusan...?"
Rahasia Si Badju Perak 7 Boma Gendeng 4 Muridku Macho Dedel Duel 1
^