Terjebak Di Perut Bumi 2
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi Bagian 2
datuk sesat itu.
"He he he he...."
Terdengar gema tawa perlahan yang lembut dari
sosok bertubuh jangkung yang tak lain Petapa Gunung
Kulon. Datuk sesat yang menyembunyikan kekejaman-
nya di balik sifat lembut dan pakaian pertapanya, kelihatannya sama sekali tidak
tersinggung oleh ucapan
Panji. "Pendekar Naga Putih! Orang-orang seperti kami
yang berdiri di barisan golongan sesat, tidak ada lagi kata licik atau sifat
rendah. Bagi kami, semua yang
kami lakukan adalah halal. Jadi, tidak ada gunanya
memancing harga diri kami agar membebaskan gadis-
mu itu. Lebih baik, putuskanlah. Nyawamu, atau nya-
wa kekasihmu yang jelita itu...," ujar Pertapa Suci dengan suara lembut dan
terkesan penuh kesabaran.
"Bangsat rendah...!" maki Panji sambil bergerak
maju mendekat. Hati pemuda itu merasa geram sekali karena di-
sodorkan pilihan yang sangat sulit.
"Jangan dekat..!" bentak seorang lelaki bertubuh gemuk dan berkepala botak. Pada
telinga kirinya
menggantung anting-anting dari emas. Dan dia lang-
sung memerintahkan dua orang anak buahnya yang
memegang gadis berpakaian hijau itu, untuk menjauh.
"Hm..., Datuk Naga Hitam!" sentak Panji dengan suara garang, "Kau tidak pantas
menjadi seorang datuk kaum sesat, dengan jiwa yang sangat kerdil dan
pengecut!"
"He he he.... Makilah sampai mulutmu berbusa,
Pendekar Naga Putih. Semua ini kaulah yang mencari-
nya. Beberapa hari yang lalu, kau telah membunuh
saudara seperguruanku di Hutan Sindang. Jadi, seka-
rang rasakanlah pembalasanku...," sahut Datuk Naga Hitam, kalem. Bahkan makian
Pendekar Naga Putih
malah disambut dengan gelak tawa yang berkepan-
jangan. "Keparat! Pantas kau tidak jauh berbeda dengan
tokoh gila pemabukan itu! Rupanya kau ingin mem-
balas dendam terhadapku. Tapi, sayangnya hatimu li-
cik dan rendah. Kau tidak berani menghadapiku seca-
ra jantan. Sehingga, harus melakukan perbuatan sehi-
na ini!" geram Panji lagi.
Kini, Pendekar Naga Putih mulai mengerti, me-
ngapa Datuk Naga Hitam sampai ingin membunuh-
nya. Rupanya datuk sesat itu merupakan saudara se-
perguruan dari Pemabuk Berhati Iblis yang di-
bunuhnya beberapa hari yang lalu.
"Sudah! Tidak perlu banyak cakap! Cepat kau pilih!
Nyawamu, atau nyawa kekasihmu...! Ku hitung sampai
tiga...!" bentak Datuk Naga Hitam yang tidak ingin
memberi kesempatan kepada Pendekar Naga Putih un-
tuk berpikir lebih jauh.
*** Panji menggeram gusar. Jelas, untuk mengambil
keputusan itu sangat sulit baginya. Sejenak ditatapi-
nya wajah sosok tubuh ramping itu dengan sorot ta-
jam. Seolah-olah ia ingin melihat wajah gadis yang tertutup rambut itu. Sayang,
Kenanga tidak sadarkan di-
ri. Kalau saja sadar, ada kemungkinan gadis itu mem-
berikan pilihan untuk mengambil keputusan. Kini be-
ban itu harus ditanggung sendiri. Sehingga, tentu saja sukar sekali bagi Panji
untuk memutuskannya.
"Dua...! terdengar Datuk Naga Hitam kembali me-
lanjutkan hitungannya.
Pendekar Naga Putih menatap wajah datuk sesat
itu berganti-ganti. Kemudian, tatapannya beralih ke
arah sosok Kenanga. Seolah-olah dia mengharapkan
agar gadis itu sadar dari pingsannya.
"Bawa gadis itu kemari...!" kembali Datuk Naga Hitam memberi perintah ketika
Panji belum juga menja-
wab. Segera saja kedua orang berseragam hitam itu
membawa sosok Kenanga ke dekat tebing, siap untuk
dijatuhkan ke bawah sungai yang mengalir deras.
"Ti...,"
Tahaan..!"
Cepat Panji berteriak mencegah sambil melesat
hendak mendekati tebing. Namun delapan orang ber-
seragam hitam yang sejak tadi memperhatikannya, se-
gera saja membentuk barisan menghadang Pendekar
Naga Putih agar tidak mendekat.
Tentu saja perbuatan orang-orang berseragam hi-
tam itu membuat Panji jengkel. Bahkan tangannya te-
lah siap terangkat untuk melontarkan pukulan maut.
Melihat Pendekar Naga Putih siap mengamuk, ce-
pat Datuk Naga Hitam memerintahkan untuk me-
lemparkan gadis tawanannya ke dalam sungai. Se-
hingga, Panji terpaksa menelan kembali kemarahan-
nya. "Bangsat licik...!" umpat Pendekar Naga Putih, diiringi suara berkerotokan
dari jari-jarinya yang me-
ngepal. Pendekar Naga Putih benar-benar dibuat tak ber-
daya oleh golongan sesat itu, dengan adanya Kenanga
di tangan mereka.
"Sekarang melompatlah ke dalam sungai itu, Pen-
dekar Naga Putih. Jika masih juga membantah, keka-
sihmu inilah yang akan kulemparkan ke bawah sana!"
Datuk Naga Hitam yang sepertinya merasa kha-
watir kalau-kalau pemuda itu akan membantah kem-
bali, segera mendorong tubuh gadis tawanannya se-
makin dekat ke tepi.
'Tunggu...!" seru Panji dengan wajah merah padam, karena tidak berdaya
menghadapi kelicikan datuk sesat itu. "Baiklah. Aku akan menuruti perintah
kalian, asalkan kekasihku dibebaskan terlebih dahulu."
"Ingat, Pendekar Naga Putih! Bukan kau saja yang berhak mengajukan syarat. Tapi
juga kami. Untuk itu,
kaulah yang harus menuruti perintah kami," timpal Petapa Gunung Kulon.
Sepertinya, datuk sesat yang
satu itu juga sudah tidak sabar melihat kebandelan
Pendekar Naga Putih.
"Hmmmhhh...!"
Panji mengeram gusar mendengar ucapan lawan-
nya. Tidak ada pilihan lain baginya, kecuali menuruti kemauan lawan-lawannya.
"Rupanya, sampai di sinilah akhir petualangan-
ku," gumam Panji dalam hati sambil melangkah ke tepi jurang.
Pendekar Naga Putih semakin melangkah men-
dekati jurang yang dibelah oleh sungai yang tampak
deras sekali. Langkahnya tampak mantap, penuh ke-
pasrahan pada Yang Maha Pencipta.
"Ingat, manusia-manusia licik! Apabila aku telah tewas dan kalian tidak
membebaskan kekasihku maka
aku bersumpah akan mengejar kalian! Meskipun, aku
sudah berada di alam Iain ...! Aku tidak akan pernah
puas sebelum menghirup darah hitam kalian...!"
Demikian kata-kata terakhir pemuda itu, sehingga
membuat bulu roma para tokoh sesat sampai berdiri,
Jelas nyali mereka terasa ngeri mendengar sumpah
yang dikeluarkan dengan suara dingin dan datar itu.
Datuk-datuk sesat itu sama sekali tidak menjawab
kata-kata Panji. Mereka hanya berdiri menatap pemu-
da itu, yang kemudian menerjunkan dirinya ke dalam
aliran sungai yang sangat deras.
"Ha ha ha...! Dengan lenyapnya Pendekar Naga Pu-
tih, maka tidak akan ada lagi yang berani mengha-
langi kita...!"
Tawa Datuk Naga Hitam berderai, seiring dengan
melayangnya tubuh Pendekar Naga Putih ke dasar
sungai. Gadis tawanan yang sejak tadi tak sadarkan diri,
terlihat mengangkat kepalanya. Matanya menatap ta-
jam ke arah tubuh Pendekar Naga Putih yang masih
melayang-layang. Sekilas, terlihat senyum dingin
menghiasi wajahnya yang masih tertutup sebagian
rambutnya yang panjang terurai.
Diiringi gelak tawa yang berkepanjangan, gem-
bong-gembong golongan sesat itu pun pergi mening-
galkan tepian sungai. Sementara tubuh Pendekar Naga
Putih telah jatuh ke dalam air, dan terus hanyut ter-
bawa arus sungai yang demikian deras.
*** Sementara itu, tubuh Pendekar Naga Putih terus
terseret arus sungai yang mengalir deras. Panji sendiri mencoba menggapai-gapai
untuk mencari pegangan,
namun arus sungai sangatlah kuat. Di samping itu, di
sungai rupanya tidak ada satu pun yang dapat dibuat
pegangan. Apalagi, keadaan sangatlah gelap. Sehingga, Panji bagaikan orang buta
yang menggapai di kegelapan.
Air sungai yang ganas itu terus menyeret tubuh
Pendekar Naga Putih tanpa ampun. Sedangkan pe-
muda itu sendiri sama sekali tidak berdaya mengha-
dapi keganasan alam, Hingga, akhirnya dia hanya pa-
srah sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk me-
lindungi tubuh agar tidak sampai mengalami luka pa-
rah. Meskipun sungai itu dengan ganasnya meng-
ombang-ambingkan dan melemparkan tubuhnya kian
kemari, Panji tetap berusaha sadar. Karena kalau
sampai jatuh pingsan maka kemungkinan untuk hidup
sangatlah tipis.
Entah, sudah berapa lama tubuh pemuda itu di-
permainkan air sungai. Yang jelas, Panji merasakan
tubuhnya sangat lelah, dan tenaganya seperti terkuras habis. Sehingga, batu-batu
padas yang bertonjolan di
dinding sungai mulai menggores tubuhnya. Darah pun
mulai mengalir dari luka-luka kecil yang terasakan
sangat perih. Pakaiannya sendiri sudah compang-
camping tidak karuan. Hingga akhirnya, pemuda itu
terus terbawa sebuah muara yang terdapat pusaran
maut. Rupanya, pusaran air itulah yang membuat
Lembah Bintang sangat ditakuti. Memang tidak sedikit
tokoh persilatan yang tewas di dalam pusaran maut
itu. Panji yang keadaan tubuhnya sudah semakin me-
lemah, mengeluh ketika tahu kalau tubuhnya terseret
ke dalam pusaran maut itu. Hingga akhirnya, tubuh
pemuda itu tenggelam dan lenyap ke dalam pusaran
maut. Pada saat tubuhnya tersedot ke dalam pusaran
maut, Panji menarik napas dalam-dalam. Karena, dis-
adari, kalau tubuhnya akan tenggelam ke dalam air
yang bagaikan tidak berdasar. Sehingga pada suatu
saat, tubuhnya bagaikan dilemparkan air ke daratan!
Bruuuggg! "Aaakh...!"
Panji menjerit kesakitan ketika tubuhnya mem-
bentur benda keras yang dasarnya tidak rata. Karena
tidak sanggup menahan rasa sakit dan rasa lelah, ak-
hirnya Panji jatuh tak sadarkan diri.
Cukup lama tubuh pemuda perkasa itu tergolek
pingsan setelah dipermainkan air sungai yang ganas.
Keadaan sekeliling yang remang-remang, membuat
Panji yang mulai sadarkan diri itu tidak tahu, apakah hari masih malam atau
pagi. Yang jelas, pemuda itu
merasakan seluruh tubuhnya seperti remuk dan sakit-
sakit. Maka meskipun telah sadarkan diri, pemuda itu
masih belum sanggup untuk bangkit berdiri.
"uh...!"
Panji mengerang ketika mencoba bergerak, se-
kujur tubuhnya dirasakan sangat linu. Goresan-go-
resan di seluruh tubuhnya pun menimbulkan rasa pe-
rih yang luar biasa. Akhirnya, pemuda itu tidak beru-
saha bangkit, dan tetap rebah terlentang tanpa berge-
rak sedikit pun.
Dalam keadaan setengah sadar, Pendekar Naga Pu-
tih mencoba mengatur napas dengan maksud me-
mulihkan tenaganya. Hatinya mulai merasa lega ketika
tenaga saktinya mulai bergerak menyebar ke seluruh
tubuhnya. Meskipun tenaga itu belum dapat diguna-
kan untuk membuatnya sanggup berdiri, tapi Pende-
kar Naga Putih sudah mulai merasa tenang. Perlahan
perhatiannya mulai dialihkan ke sekeliling tempat itu.
"Di manakah sebenarnya aku berada...?" desis Pendekar Naga Putih itu dengan
wajah keheranan. Karena, sekelilingnya hanya terdapat dinding-dinding
berbatu sangat kasar, persis seperti keadaan dinding goa. Merasa belum percaya
akan apa yang dialaminya,
Pendekar Naga Putih kembali memejamkan matanya,
dan mengatur pernafasannya.
*** 6 Begitu kesehatannya terasa sudah hampir pulih,
Panji bergerak bangkit perlahan. Pemuda itu berdiri tegak sambil mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
nya. Sebentar kemudian, tampaklah lapisan kabut
bersinar putih keperakan menyelubungi sekujur tu-
buhnya. "Hhh...," Panji menarik napas penuh kelegaan.
Dengan wajah yang mulai nampak segar, pemuda
itu merayapi daerah sekitarnya. Namun sejauh mata-
nya memandang, yang terlihat hanyalah dinding-
dinding batu kasar yang bertonjolan. Lubang-lubang
besar yang terdapat batu-batu runcing di langit-langitnya, membuat Panji sadar
kalau dirinya berada di da-
lam perut bumi. Selain itu ia merasa hawa lembab
berbau tanah basah, juga menandakan kalau ia bera-
da jauh di bawah tanah.
Masih dengan pikiran tidak menentu, Panji me-
langkah menyusuri jalan berair dangkal. Satu-satunya
pikiran yang memenuhi benaknya saat itu ialah, men-
cari jalan keluar untuk mengetahui nasib kekasihnya.
Jalan berair dangkal yang semula disusurinya,
makin lama semakin dalam. Sehingga, Panji meng-
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ambil jalan melalui sebuah gua yang cukup besar. Da-
taran di dalam gua itu sangat berbeda jauh dengan
yang barusan dilaluinya. Tanah di tempat itu tampak
gembur, seperti mengandung pasir. Meski demikian,
Panji bertekad untuk mengetahui ke mana lorong gua
itu akan membawanya.
"Eh...!?"
Panji menancapkan kakinya kuat-kuat ketika ta-
nah yang dipijaknya terasa bergetar. Semula getaran
itu dikira ditimbulkan oleh gempa. Namun ketika meli-
hat adanya sesuatu yang menyembul dari dalam ta-
nah, sadarlah Panji bahwa makhluk itulah yang telah
membuat tanah di bawahnya bergetar. Cepat pemuda
itu melangkah mundur dengan hati tegang!
"Earrrggghhh. ..I"
Makhluk yang bentuknya sangat aneh dan me-
nyeramkan itu meraung, menatap Panji dengan se-
pasang mata yang merah menyala. Tubuhnya yang
panjang dan dihiasi gelang-gelang di sepanjang ba-
dannya, membuat Panji sempat terbelalak dengan ken-
ing berkerut. "Gila! Binatang apa ini...?" desis Panji sambil melangkah mundur.
Makhluk yang bentuknya mirip seekor ular rak-
sasa itu benar-benar mengerikan. Taring-taringnya
yang tajam dengan lendir-lendir di sekitar mulutnya,
membuat Panji hendak berbalik dan lari keluar gua.
Tapi, niat itu ditundanya ketika dari belakangnya
pun mulai bermunculan makhluk-makhluk serupa.
"Aaahhh"!"
Panji kembali terpekik mundur melihat makhluk-
makhluk menyeramkan itu terus bermunculan di seke-
lilingnya. Sadar kalau tidak mempunyai jalan lain untuk ke-
luar kecuali menghadapinya, Panji segera menge-
rahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' nya. Untunglah
tenaga saktinya telah dapat bekerja kembali dengan
baik. Kalau tidak, rasanya riwayat Pendekar Naga Pu-
tih akan berakhir amat mengenaskan!
"Hmmmhhh...!"
Disertai geraman yang menggetarkan langit-langit
gua, Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya
ke depan! Serangkum angin dingin yang menusuk tu-
lang, berhembus keras. Tubuhnya pun telah pula ter-
lindungi lapisan kabut bersinar putih keperakan.
Broolll...! Terkejut bukan main hari Pendekar Naga Putih ke-
tika dari bawahnya, tiba-tiba muncul seekor makhluk
yang langsung menggigit kaki kanannya. Cepat pemu-
da itu bertindak, mengayunkan tangannya dengan ge-
rakan membacok!
"Hiaaahhh...!"
Whuuuttt....! Deeesss...!.
Makhluk yang berupa seekor ular raksasa dengan
tubuh bergelang-gelang itu meraung ketika sisi telapak tangan Panji menghajar
telak lehernya. Namun, Panji
sendiri sangat terkejut merasakan telapak tangannya
bagaikan menghantam sebatang benda kenyal, bagai
bongkahan karet saja.
"Gila! Tubuh makhluk celaka ini ternyata sangat
kuat dan memiliki kekebalan yang aneh...!?" desis Panji sambil melangkah mundur.
Sungguh tidak disangka kalau pukulannya hanya
membuat makhluk itu meraung kesakitan. Padahal
menurut perkiraannya, makhluk aneh itu seharusnya
tewas akibat tebasan telapak tangannya.
Pendekar Naga Putih terus berpikir keras mencari
cara untuk mengalahkan makhluk-makhluk mengeri-
kan itu. Hingga akhirnya, diputuskannya untuk meng-
gunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi', yang memiliki sifat panas.
"Hm..., mengapa tidak?" desis Panji sambil menarik kembali 'Tenaga Sakti
Gerhana' Bulan' nya, "Bukankah makhluk-makhluk celaka ini memiliki tubuh yang
dingin dan kenyal. Satu-satunya jalan untuk melenyap-
kan hanyalah menggunakan tenaga yang bersifat pa-
nas...." Dengan mengandalkan pikiran itu, Panji segera
memancing keluar 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang
tercipta dari Pedang Naga Langit.
"Hhh...!"
Diiringi helaan nafasnya, muncullah sinar kuning
keemasan yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Se-
ketika itu juga, hawa panas pun menebar memenuhi
lorong gua yang luas itu.
"Earrrggghhh...!
Binatang-binatang aneh itu terlihat marah ketika
merasakan adanya hawa panas yang menebar dari tu-
buh Pendekar Naga Putih. Tanpa memperdulikan ke-
marahan binatang-binatang itu, Panji segera saja
mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan.
"Heaaahhh...!"
Whuuusss...! Blaaarrr...!
Hebat dan sangat mengerikan sekali akibat do-
rongan sepasang tangan Panji. Balasan makhluk-
makhluk mengerikan itu langsung terlempar seiring
ledakan keras yang meruntuhkan langit-langit gua.
Cepat Panji melompat menghindari batu-batu runcing
yang berjatuhan dari langit-langit gua.
Melihat pukulannya berhasil membuat makhuk-
makhluk itu hancur berkeping-berkeping, Panji cepat
melesat ke depan meninggalkan gua itu. Kemudian, dia
terus berlari tanpa memperdulikan air yang mem-
basahi hingga ke lututnya.
Entah sudah berapa lama pemuda itu berlari tanpa
henti. Langkahnya baru melambat ketika sudah me-
masuki tempat yang cukup luas. Cepat ia melompat ke
darat, ketika melihat adanya tanah lembab di tepi aliran air itu.
"Haaaff!?"
Ketika lewat di depan sebuah mulut gua yang le-
bar, tiba-tiba saja Panji memekik kaget. Cepat Pen-
dekar Naga Putih menancapkan kedua kakinya di atas
tanah hingga melesak melewati mata kaki. Memang
pemuda itu merasakan adanya suatu tenaga aneh
yang menyeretnya ke dalam gua.
"Gila! apa lagi ini...!?" seru Panji membayangkan makhluk-makhluk aneh yang
mungkin akan muncul
kembali entah dalam bentuk apa. .
Tapi, kekuatan aneh itu semakin kuat menarik tu-
buhnya. Sehingga Panji terpaksa mengerahkan selu-
ruh kekuatan tenaga saktinya, untuk bertahan. Meski
demikian, karena tanah yang dipijaknya sangat lembab
dan licin, akhirnya tubuhnya terseret ke dalam gua beserta tanah yang memendam
kakinya. "Hi hi hi...!"
Bulu roma di tengkuk Panji meremang ketika telin-
ganya menangkap suara tawa mengikik yang berke-
panjangan. "Gila! Makhluk seperti apa lagi yang akan kutemui di dalam perut bumi ini...?"
desis Panji. Akhirnya Pendekar Naga Putih membiarkan tu-
buhnya tersedot ke dalam gua besar itu. ia hanya
mengimbangi agar tubuhnya tidak sampai terjerunuk
ke depan. *** Kegelapan dan bau tanah lembab menyambut ke-
datangan Pendekar Naga Putih di dalam gua itu. Na-
mun, tubuhnya terus tersedot hingga ke sebuah ruan-
gan lebar yang agak terang. Panji sendiri tidak menger-ti, apa yang membuat
ruangan lebar itu tidak gelap seperti lorong gua yang baru dilaluinya. Ketika
tenaga yang menyedot tubuhnya terasa telah lenyap, Panji se-
gera mengendurkan tenaganya. Untuk bebe-rapa saat
lamanya, dia seperti merasa silau oleh pantulan ca-
haya yang berasal dari dinding dan langit-langit gua.
Pancaran sinar kekuningan itu membuat Pendekar
Naga Putih sadar, apa yang terkandung di dalam dind-
ing dan langit-langit gua itu.
"Hi hi hi...! Selamat datang, anak manusia...! Akhirnya ada juga orang yang akan
menemaniku di perut
bumi ini...!"
Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ke-
tika mendengar suara nyaring yang bagai menusuk te-
linga. Cepat wajahnya menoleh ke arah sumber suara.
Dan..., hampir tidak dipercayainya ketika melihat se-
sosok tubuh ringkih yang rambut putihnya sudah
hampir tidak tersisa. Satu-satunya yang mem-buat
Panji mengenali kalau sosok itu wanita adalah buah
dada yang menggantung bagai baton kempes di tubuh
sosok tulang terbalut kulit keriput itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Panji hanya berdiri
bengong menatapi sosok wanita yang sangat tua itu.
Nenek yang entah usianya sudah berapa ratus tahun
itu hanya mengenakan selembar kain usang, menutupi
bagian pinggang hingga ke lututnya. Sedangkan tubuh
bagian atasnya polos tanpa selembar benang pun.
"Hei, mengapa menatap ku seperti itu" Kau mem-
punyai pikiran jelek, ya" Kau suka dengan tubuhku,
ya" Ayo, jawab! Mengapa kau diam saja" Berbicaralah!
Sudah puluhan tahun aku tidak pernah mendengar
suara manusia di sini. Aku rindu sekali mendengar
suara manusia untuk kuajak bercakap-cakap. Ber-
bicaralah, Anak Muda tampan! Jangan menyiksaku
dengan membisu seperti itu...."
Dari marah, suara nenek itu akhirnya terdengar
memelas. Dia meminta Panji untuk berbicara atau
mengatakan sesuatu agar telinganya bisa mendengar
suara makhluk sejenisnya kembali. Jelas, otak nenek
itu kurang waras.
Sebenarnya Panji merasa geli mendengar nenek itu
menuduhnya mempunyai pikiran jelek dan menyukai
tubuhnya. Tapi, dia tidak berusaha menyinggung pe-
rasaan nenek itu dengan senyumnya. Apalagi dengan
tawanya. "Nenek yang baik. Aku tidak tahu, siapa adanya
Nenek. aku berada di sini bukan atas kemauanku sen-
diri. Tapi, orang-orang jahat di luar sanalah yang
membuatku sampai di tempat celaka ini. Namaku Pan-
ji. Kau sendiri siapa, Nek...?" tanya Panji sambil berdiri tegak, karena nenek
itu tengah menghampiri-nya.
"Bodoh! Kau tidak pantas menyebutku Nenek, Pe-
muda tolol! Panggil aku, Uyut. Karena, usiaku jauh lebih tua daripada nenekmu
yang berada jauh di atas
sana. Dan bukan di luar! Huh! Sial betul aku ini. Da-
pat teman, ternyata seorang pemuda sinting yang bero-
tak udang!" umpat nenek itu menyalahkan ucapan dan sebutan Panji.
Bahkan tanpa memperdulikan perasaan Panji,
enak saja nenek itu memakinya sebagai pemuda sint-
ing berotak udang. Tentu saja Panji menjadi kaget
mendengarnya. "Sinting...!" desis Panji.
Pendekar Naga Putih sempat merasa kesal karena
dirinya dimaki sedemikian rupa. Namun dia tidak be-
rani mengucapkannya, karena khawatir tingkah nenek
itu akan semakin menggila. Biar bagaimanapun, ia ha-
rus bersyukur dapat bertemu manusia Iain di dalam
perut bumi ini.
"Eh, dasar pemuda sinting! Mengapa kau malah di-
am" Ayo, panggil aku Uyut! Atau, kau tidak suka ke-
padaku, ya" Kau ingin minggat, ya" Ingin me-
ninggalkan aku sendirian, ya" Huh! Tidak bisa..., tidak bisa...," dengus nenek
itu sambil menggoyang-goyang-kan tangan dengan kepala menggeleng-geleng keras.
"Celaka ...!" desis Panji.
Sepertinya, nenek gila itu tidak akan membiarkan
Panji pergi dari alam bawah tanah itu. Tentu saja hal itu membuatnya cemas.
"Maaf, Uyut. Aku memang tidak akan pergi dari perut bumi ini. Lagi pula, mana
ada jalan keluar dari Neraka ini" Kalaupun ada, pastilah Uyut tidak akan tinggal
di sini, bukan?" sahut Panji dengan suara yang cukup keras.
Sengaja semua itu dikatakannya untuk memancing
pendapat nenek itu. Dan kalau memang ada jalan ke-
luar, pasti nenek itu akan mengatakannya.
"Bagus, kalau kau tidak akan meninggalkan tem-
pat ini. Tapi jangan dikira tidak ada jalan...eh"! Pasti tidak ada jalan keluar.
Ya, tidak ada jalan keluar!" kata nenek itu berulang-ulang seperti baru
menyadari kalau dirinya telah terpancing untuk me-ngatakan ada ti-daknya jalan
keluar. "Ya, tidak ada jalan keluar. Dan, aku akan ter-
kubur hidup-hidup di sini. Atau, menanti datangnya
kematian tanpa mampu mencegah kejahatan yang ber-
langsung di atas sana...," desah Panji kembali hendak memancing perhatian nenek
itu tentang kejahatan
yang masih terus berkelanjutan mengotori bumi.
"Kejahatan di atas sana...?" gumam nenek itu termenung sejenak, mengulang ucapan
Panji. "Aku tidak perduli dengan segala manusia yang berada di atas sa-na! Huh!
Selama ini mereka pun tidak perduli dengan
nasibku! Tidak ada seorang pun yang menolong ku!
Aku dibiarkan terkubur hidup-hidup di tempat ini
berteman cacing-cacing raksasa dan makhluk-
makhluk lain yang tidak bisa kuajak bicara. Lalu, un-
tuk apa harus memikirkan orang-orang sinting di atas
sana?" Mendadak saja nenek itu berteriak-teriak, seolah-
olah ingin mengungkapkan perasaan yang selama ini
terpendam di dalam hatinya. Ketika diingatkan Panji,
maka meluncurlah semua rasa ketidakpuasan dan
dendamnya terhadap orang-orang di atas bumi yang
dianggap tidak mau menolongnya.
Panji terdiam tanpa menjawab sepatah pun. Di-
biarkannya nenek itu mengungkapkan segala isi ha-
tinya yang selama ini terpendam. la menunggu nenek
itu menyelesaikan segala perasaannya. Panji berharap,
agar perasaan dendam dan tertekan dalam diri nenek
itu dapat tersalur lewat ucapan-ucapannya.
"Uyut..," panggil Panji setelah nenek itu menghentikan ucapan dan tangisnya.
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa ragu-ragu lagi, dipeluknya tubuh renta itu
penuh rasa iba. Sebab, apa yang selama ini dialami
nenek itu bukan tidak mungkin akan dialaminya juga.
Hanya bedanya, ia kini ditemani nenek itu.
Cukup lama nenek itu menangis di dada Panji.
Sementara Pendekar Naga Putih membiarkannya, dan
membelai-belai punggung nenek itu dengan lembut
"Aaahhh...!"
Mendadak saja, nenek itu menarik tubuhnya dan
menjauh dari Panji. Pemuda itu tetap saja tenang, me-
nanti apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh nenek
penghuni perut bumi itu.
"Uyut..!?"
Panji yang melihat tubuh nenek itu tiba-tiba lim-
bung dan hendak jatuh, segera saja melesat me-
nangkap tubuh renta itu. Sehingga, tubuh kurus yang
hanya tulang terbalut kulit keriput itu tidak sampai
terbanting jatuh.
Perlahan-lahan Panji merebahkan tubuh nenek itu
di atas sebuah batu pipih, tempat semula nenek itu
duduk bersila. Hatinya merasa cemas ketika me-
rasakan denyut jantung yang kian terdengar lemah.
Tentu saja kenyataan itu membuatnya menjadi he-
ran. Sebab, semula nenek itu kelihatan demikian kuat
dan tidak menunjukkan tanda-tanda menderita sakit.
"Pan... ji....Itukah namamu, Cucuku...?" tiba-tiba terdengar suara nenek itu
lemah. Maka bergegas Panji
mendekat "Benar, Uyut. Itulah namaku...," sahut Panji dengan suara sedikit keras, agar
bisa terdengar nenek
itu. "Pan...ji. Kau jangan merasa heran melihat keadaan ku ini. Kalau selama ini
aku kuat bertahan, itu hanya karena tekadku demikian kuat untuk berjumpa
dengan bangsaku. Dan setelah melihatmu, penyakit
tua yang telah lama ku derita ini, kembali kambuh,"
tutur nenek itu dengan suara lirih dan hampir tidak
terdengar. Panji menjadi merasa perlu mendekatkan telin-
ganya agar dapat menangkap jelas setiap kata yang di-
ucapkan nenek itu. Dengan sabar, dinantinya kata-
kata yang akan meluncur dari bibir tua itu.
'Tahukah kau, Panji" Berapa umurku sekarang"
Hampir genap seratus lima puluh tahun! Jadi seratus
tahun lebih aku terkubur di dalam perut bumi ini."
Nenek itu kembali menghentikan ucapannya. Ter-
dengar tarikan nafasnya yang berulang-ulang. Jelas
sekali kalau untuk berbicara pun ia sudah me-rasa
sangat lelah. "Kuatkanlah hatimu, Uyut. Aku akan mencoba
mengobati dan menyembuhkan mu?" ujar Panji yang
tiba-tiba merasa iba, dan memutuskan untuk tinggal
menemani sisa-sisa umur nenek itu.
"Tidak perlu, Cucuku. Ah..., aku bisa melihat bah-wa kau adalah seorang pemuda
jujur dan sangat baik.
Kepandaian yang kau miliki pun sangat tinggi. Jauh
lebih tinggi sebelum aku terlempar ke neraka ini. Tadi pun, aku hampir tidak
sanggup menyeret mu kemari.
Kau harus keluar dari tempat ini, Cucuku. harus!" tegas nenek itu yang kemudian
terbatuk hebat.
Cepat Panji mengurut leher bagian belakang nenek
itu perlahan. 'Tapi..., bagaimana dengan Uyut sendiri" Tidak.
Aku tidak bisa meninggalkan Uyut sendirian di sini.
Biarlah aku tidak usah melihat dunia lagi. Aku akan
tinggal di sini menemani Uyut," jawab Panji tegas.
Meskipun semula hendak keluar dari dalam neraka
bumi itu, tapi hati Pendekar Naga Putih tidak tega melihat nenek itu tinggal
sendiri tanpa ada yang mene-
mani. "Terima kasih, Cucuku. Tapi, umurku hanya ting-
gal beberapa hari lagi. Dan aku tidak ingin kau mengalami apa yang selama ini
kujalani. Seratus tahun lebih aku harus menekan semua penderitaan ini, akibat
ulah musuhku yang mengalahkan aku dalam sebuah
pertarungan mati-matian. Selama itu, aku telah mem-
buat jalan keluar dengan menggunakan tanganku sen-
diri. Sayang, ketika aku berhasil membuat jalan keluar itu, umurku kira-kira
sudah seratus empat puluh delapan tahun. Dan aku tidak ingin akan menjadi bahan
ejekan orang kalau aku keluar kelak. Untuk itulah aku menetapkan tinggal di
perut bumi ini sambil menunggu, kalau-kalau akan ada orang yang datang. Setelah
kepergianku yang kurasa tidak lama lagi, pergilah berjalan ke Utara, Cucuku.
Kelak kau akan tiba di sebuah pantai. Nah, dari sanalah kau baru bisa menemukan
dunia luar. Jangan sia-siakan umurmu di tempat cela-
ka ini...," jelas nenek itu.
Namun, kegembiraan Panji sudah lenyap sejak
mengetahui kalau nenek itu ternyata tidak akan beru-
sia lama lagi. Maka iapun memutuskan untuk mene-
mani sisa hidup nenek itu. Karena tanpa nenek itu,
bukan tidak mungkin ia akan tetap tinggal di dalam
perut bumi menanti kematian datang men-jemputnya.
"Biarlah, Uyut. Lupakan tentang jalan keluar itu.
Aku ingin pada saat-saat akhir hidup Uyut, akan ada
seorang yang menemani dan merawat secara baik. Un-
tuk itu, aku akan tinggal di tempat ini dan merawat
Uyut" jawab Panji.
Pendekar Naga Putih terpaksa menundukkan wa-
jahnya, karena tidak ingin kalau nenek itu sempat me-
nangkap adanya binar kekecewaan di matanya.
Cukup lama Panji tertunduk sambil menggenggam
telapak tangan nenek itu. Kesadarannya baru bangkit
setelah merasakan, betapa telapak tangan yang di-
genggamnya, mulai dingin dan tidak terasa adanya de-
nyutan. "Uyut..," panggil Panji dengan suara cemas.
Namun, nenek itu tetap diam. Dan dia masih ter-
baring dengan wajah mengukir senyum bahagia.
"Uyut...!"
Dengan suara yang penuh rasa cemas, Panji meng-
guncangkan tubuh nenek itu. Namun nenek penghuni
perut bumi itu tetap terdiam tanpa menunjukkan tan-
da-tanda akan terbangun. Sadarlah Panji kalau nenek
itu telah tiada.
"Aaah.... Uyut. Betapa besarnya budimu kepadaku.
Tanpa adanya kau di tempat ini, rasanya aku tidak
mungkin dapat menemukan jalan keluar," desah Panji dengan suara berduka.
Dengan perasaan yang masih tidak menentu, Panji
mengangkat mayat nenek itu. Kemudian dikuburkan-
nya nenek itu di dalam gua.
"Uyut. Maafkan, kalau aku tidak bisa tinggal lebih lama. Setelah kepergianmu,
rasanya aku lebih baik
pergi meninggalkan tempat ini. Aku pamit, Uyut..," desah Panji, duduk di samping
makam nenek penghuni
perut bumi itu.
Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu pun me-
langkah ke arah Utara seperti yang dikatakan nenek
penghuni perut bumi sebelum kematiannya.
*** 7 Setelah berhari-hari menelusuri lorong yang sulit
dan berliku-liku, tibalah Panji di sebuah dinding tebing karang yang menjorok ke
pantai. Debur ombak yang
terdengar dari kejauhan, membuat pemuda itu se-
makin bersemangat melihat dunia luar kembali. Tidak
berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih tampak
berdiri sambil menarik napas sepuas-puasnya. Di-
tatapinya air laut yang bagaikan tidak bertepi.
'Ya, Tuhan.... Akhirnya aku bisa juga melihat dunia
kembali...," desah Panji mengucap syukur karena masih bisa keluar dari dalam
perut bumi. Puas menatap laut lepas sambil menghirup udara
segar, Panji mulai mengalihkan perhatiannya ke se-
kitar tempat itu. Ia melihat kalau dirinya berada di bawah sebuah dinding tebing
setinggi kira-kira se-puluh tombak dari daratan. Segera saja pemuda itu merayap
naik, dengan menanamkan jari-jari tangan-nya ke
dinding tebing. Tentu saja perbuatan itu tidak mudah.
Untunglah tenaga sakti yang dimilikinya sudah demi-
kian tinggi, sehingga Panji bisa tiba di atas daratan berbatu karang.
Pendekar Naga Putih yang terlalu merasa gembira
karena dapat terbebaskan dari kurungan perut bumi,
sama sekali tidak menyadari keadaan dirinya. Pakaian-
nya yang lebih mirip gelandangan, tidak sempat di-
ingatnya. Rambut dan wajahnya pun tampak kotor ba-
gaikan tidak pernah dibersihkan. Rasanya, kalau saat
itu ia mengaku sebagai Pendekar Naga Putih, orang
pasti akan senantiasa menertawakannya. Memang
keadaan pemuda itu tentu saja sangat jauh berbeda,
sebelum terjebak di dalam perut bumi.
Dengan langkah ringan, Panji mengayunkan kaki-
nya menuju ke arah perkampungan nelayan, yang di-
duganya pasti tidak jauh dari tempatnya berada saat
itu. Pemuda itu pun sama sekali tidak menyadari be-
tapa tubuhnya telah menyusut dalam beberapa hari.
Sebab, selama berada di dalam perut bumi, dia jarang
sekali menemukan makanan untuk mengisi perutnya.
Kalau beruntung, dalam dua hari barulah ia bisa men-
dapatkan seekor ikan yang kebetulan tersasar, atau
terjebak di ceruk tanah. Jadi, tidak aneh kalau tubuhnya jauh lebih kurus dari
semula. Ketika memasuki perkampungan nelayan, barulah
Pendekar Naga Putih menyadari keadaannya. Beberapa
gadis-gadis nelayan yang berpapasan dengannya, ber-
gegas menyingkir sambil memijat hidungnya. Sehing-
ga, pemuda itu tersenyum kecut menyaksikan sikap
mereka. Panji yang semula berniat menyingkir untuk mem-
bersihkan diri, menahan langkahnya ketika mendengar
jeritan yang diiringi gemuruh derap kaki kuda. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, segera saja tubuhnya
melesat secepat kilat. Kedua kakinya bagaikan tidak
menyentuh permukaan pantai berpasir. Sehingga, be-
berapa orang nelayan yang tengah berlarian sempat
terjatuh lemas ketika tubuh Pendekar Naga Putih lewat di sampingnya.
"Tolooong...! Tolooong...!"
Terdengar jeritan-jeritan ketakutan yang membuat
suasana semakin bising. Darah pemuda itu mendidih
seketika begitu melihat serombongan orang berkuda
mengenakan seragam serba hitam, tengah menyeret-
nyeret seorang lelaki tua. Tentu saja lelaki tua itu menjerit-jerit kesakitan
sambil memegangi tali yang menje-
rat tubuhnya. Sedangkan orang berpakaian hitam
yang berada di atas punggung kuda malah ter-bahak-
bahak, seperti merasa gembira melihat penderitaan le-
laki tua itu. "Biadab...!" desis pemuda itu menggertakkan gi-ginya, menahan geram.
Hati Pendekar Naga Putih semakin terbakar begitu
mengenali kalau para penunggang kuda itu tak lain
adalah gerombolan Naga Hitam! Cepat bagai kilat, tu-
buh pemuda itu melayang dan langsung melakukan
tamparan keras ke arah wajah si penunggang kuda.
Whuuuttt! Plakkk!
"Aaakkkh...!"
Laki-laki itu tak sempat lagi menghindari Tam-
paran telak itu tepat menghantam kepalanya. Diiringi
jerit kematian, tubuh penunggang kuda itu terjungkal
dan tewas seketika dengan kepala retak!
Panji sendiri sudah langsung menyambar tubuh
nelayan setengah baya itu, setelah dilepaskan dari ikatan yang membelit
tubuhnya. Kemudian dia lang-sung
melarikannya ke tempat yang aman.
Setelah meletakkan tubuh lelaki setengah tua itu,
Panji kembali melesat ke luar. Sepasang matanya ber-
putar dengan sorot menggetarkan ketika men-dengar
jeritan seorang wanita.
"Biadab...! Rupanya setan-setan keparat itu se-
makin merajalela ke berbagai tempat!" desis Panji melihat salah seorang anggota
rombongan penunggang
kuda itu tengah berusaha menodai seorang gadis putri
nelayan. Peristiwa yang terjadi di depan sebuah rumah ne-
layan itu, merupakan satu bukti kalau kelompok kaum
sesat yang semula tak dikenal itu sudah me-
nampakkan diri secara terang-terangan, sejak mereka
menganggap Pendekar Naga Putih telah tewas di Lem-
bah Bintang. Tanpa membuang-buang waktu, Panji kembali me-
lesat ke dekat lelaki yang hendak memperkosa gadis
nelayan itu secara biadab. Begitu tiba, tangannya
langsung mengangkat naik tubuh lelaki itu.
"Heaaahhh!"
Dibarengi bentakan keras, Panji melemparkan tu-
buh lelaki itu sekuat tenaga!
Braaakkk...! Lemparan Panji yang sekuat tenaga, tentu saja be-
rakibat sangat hebat! Tubuh orang itu melayang deras, dan membentur tiang
penyangga rumah hingga berde-rak patah! Bahkan tubuh orang itu langsung
tertancap di patahan tiang!
"Aaa...!"
Darah segar menyembur seiring jerit kematian yang
melengking merobek udara! Sebentar kemudian, tubuh
lelaki itu pun terkulai tewas.
Tanpa memperdulikan korbannya, Panji kembali
mengamuk menggiriskan! Para penunggang kuda yang
berjumlah dua puluh orang itu beterbangan bagaikan
diamuk badai! Tak satu pun dari mereka yang selamat
dari tangan maut Pendekar Naga Putih! Sehingga da-
lam waktu sebentar saja, habislah seluruh anggota
pembunuh bayaran Naga Hitam!
Para nelayan beserta keluarganya yang semula
bersembunyi di dalam rumah, bergegas keluar. Mereka
bersorak menyambut kemenangan Panji. Bahkan, ga-
dis-gadis nelayan yang semula menyingkir ketika pe-
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muda itu lewat di sampingnya, kini malah berebutan
mengerumuninya.
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum tanpa tahu
harus berkata apa. Perlahan kemudian, tangan pe-
muda itu terangkat ke atas. Anehnya, isyarat itu langsung membuat teriakan-
teriakan gembira lenyap. Ru-
panya penduduk perkampungan nelayan itu sangat
mengagumi pemuda berwajah kotor dengan pakaian
seperti jembel itu.
Pada saat suasana hening itu, tampak dua orang
lelaki gagah menyeruak mendekati Panji. Begitu ber-
hadapan, keduanya langsung membungkuk hormat ke
arah Pendekar Naga Putih.
"Kisanak, kepandaianmu sangat hebat. Kami be-
nar-benar sangat kagum dan berterima kasih ke-
padamu. Perlu kau tahu, orang-orang yang berpa-
kaian hitam itu adalah kelompok kaum sesat yang saat
ini tengah merajalela tanpa ada yang berani men-
cegahnya," jelas salah satu dari kedua orang itu tanpa diminta.
Rupanya kedua orang itu sempat melihat sepak
terjang Panji yang menggiriskan, ketika menghadapi
gerombolan pembunuh bayaran Naga Hitam tadi.
"Benar, Kisanak. Melihat kepandaianmu, rasanya
orang seperti kaulah yang selama ini kami cari-cari.
Bersediakah Kisanak bergabung dengan kami untuk
memberantas gerombolan manusia laknat itu...?"
tanya orang bertubuh gemuk pendek dengan sepasang
alis hitam berbentuk golok.
"Sebenarnya kami tengah berusaha menghubungi
seorang pendekar pengelana yang berjuluk Pendekar
Naga Putih. Sayangnya kami mendapat khabar, pen-
dekar muda yang sakti itu telah tewas di tangan Datuk Naga Hitam dan Petapa
Gunung Kulon. Padahal, saat
ini dunia persilatan sangat memerlukan orang seperti
dia...," ujar orang pertama lagi, yang tubuhnya tinggi kurus dengan sepasang
mata cerdik. "Mmm... Kalau kalian melihatku sewaktu mem-
basmi gerombolan sesat itu, mengapa tidak turun tan-
gan untuk mencegah mereka" Apakah kaum golongan
putih telah demikian pengecut hingga membiarkan ke-
jahatan merajalela di mana-mana...?" tukas Panji, me-nyahuti sebelum salah
seorang di antara kedua orang
itu berbicara kembali. Nada ucapan pemuda itu jelas-
jelas sebuah teguran.
"Maaf, kami berdua datang terlambat," sahut lelaki pendek gemuk dengan nada
bersalah, "Kami terpaksa hanya menyaksikan ketika kau menghabisi manusia-manusia
laknat itu. Selain itu, mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Meskipun
kami berdua tidak takut mati, tapi untuk menghadapi gerombolan itu ra-
sanya tidak akan sanggup," jawab lelaki itu membela diri. "Hm.... Kalau begitu,
mari bawa aku kepada ketua kelompok kalian...," ujar Panji tetap dengan nada
yang datar. Pendekar Naga Putih sengaja tidak memperkenal-
kan diri sebagai Pendekar Naga Putih, karena ingin
melihat, apakah ada di antara para tokoh golongan pu-
tih yang akan mengenalnya dalam keadaan demikian.
"Aaah...! Marilah, Kisanak. Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar Gunung Batur,
pasti akan gembira menyambut kedatanganmu...," sambut lelaki tinggi kurus itu
cepat. Kelihatan sekali kalau ia merasa sangat gembira
mendengar pernyataan pemuda yang telah disaksikan
sendiri kesaktiannya.
Sambil melangkah meninggalkan perkampungan
nelayan, Panji meminta agar kedua orang lelaki gagah
itu menceritakan apa-apa yang telah terjadi dalam du-
nia persilatan.
Kedua orang lelaki gagah itu sendiri nampaknya
sangat bangga bisa menceritakan kepada pemuda itu
tentang peristiwa yang telah membuat golongan putih
kalang kabut. Pendekar Naga Putih sendiri hanya
menganggukkan kepala sambil menoleh ke arah kedua
orang itu berganti-ganti. Memang kedua lelaki gagah
itu bercerita secara bergantian.
*** Panji berhenti sejenak di depan sebuah rumah be-
sar yang terletak di dalam sebuah hutan. Diam-diam
bibirnya tersenyum sendiri. Ingin rasanya pemuda itu
segera bertemu Pendekar Garuda Sakti. Panji ber-
maksud tidak akan memperkenalkan dirinya, karena
ingin melihat apakah lelaki gagah yang pernah ber-
jumpa dengannya di Desa Jipang masih dapat menge-
nali dirinya yang telah berubah ini.
"Mari, Kisanak...!"
Lamunan Panji tentang pertemuan pertamanya
dengan Pendekar Garuda Sakti buyar, ketika lelaki ga-
gah bertubuh pendek gemuk itu mempersilakannya
masuk. Segera saja pemuda itu melangkah meng-
ikutinya. Kening pemuda itu sempat berkerut melihat ba-
nyaknya tokoh persilatan yang telah berkumpul di
tempat itu. Melihat semua itu, Pendekar Naga Putih
mulai dapat meraba kejadian yang melanda negeri itu
semenjak dirinya lenyap di dalam perut bumi.
"Selamat datang di tempat ini, Kisanak...," sapa seorang lelaki gagah berusia
sekitar lima puluh tahun lebih yang duduk di kursi terbuat dari kayu tebal.
Lelaki gagah itu segera bangkit diiringi orang di sebelah kanannya. Meskipun
telah berumur, namun orang itu
terlihat masih tampan dan segar. Kedua orang itu
membungkuk hormat ke arah Panji yang segera mem-
balasnya. 'Terima kasih atas kesediaan kalian menerima-
ku...," sahut Panji menyembunyikan senyumnya.
Ternyata lelaki gagah yang dikenali sebagai Pen-
dekar Garuda Sakti itu sama sekali tidak mengenali-
nya. Hanya saja, lelaki gagah yang dikenal Panji ber-
nama Gumang itu seperti menatapnya penuh selidik.
Tapi, Panji berpura-pura bodoh.
"Kami telah mendengar laporan tentang dirimu, Kisanak. Syukurlah kau bersedia
membantu kami. Ka-
rena pada saat-saat seperti ini, kami memang sangat
membutuhkan orang-orang pandai untuk me-
nanggulangi kaum sesat yang semakin merajalela.
"Oh.... Inikah pemuda yang telah membantai habis orang-orang biadab itu...?"
Tiba-tiba terdengar suara bening dan merdu yang
membuat wajah Panji agak pucat. Karena dikenalinya
betul suara merdu itu.
Panji yang menoleh ke arah asal suara itu, men-
jadi berdebar tegang. Ditahannya keinginan untuk me-
nyebut nama seorang dara jelita berpakaian serba hi-
jau, yang tengah berdiri menatapnya dengan wajah te-
gang. "Kau... ah...! Kau Kakang Panji...!?"
Tiba-tiba saja, sebelum Panji sempat menyebutkan
nama seorang dara jelita, gadis itu sudah keburu
menghambur ke dalam pelukan Panji. Gadis yang tak
lain dari Kenanga itu tampaknya dapat mengenal Pan-
ji, bagaimanapun rupa kekasihnya saat itu.
"Kakang...!"
Tanpa ragu-ragu lagi, Kenanga langsung memeluk
tubuh pemuda berpakaian gembel itu erat-erat. Ter-
dengar ledakan tangisnya yang tidak bias dibendung.
"Kenanga...,"
Akhirnya keluar juga suara itu dari mulut Panji.
Pemuda itu memeluk tubuh kekasihnya penuh ke-
rinduan. Mereka sama sekali lupa kalau saat itu ba-
nyak orang di sekeliling yang memandang bingung.
"Kakang, ke mana saja kau selama ini" Apa yang
telah terjadi denganmu" Menurut khabar yang ku-
dengar, kau telah tewas di dalam Lembah Bintang. La-
lu, mengapa kau tiba-tiba muncul dalam keadaan se-
perti ini...?" Kenanga langsung memberondong kekasihnya dengan pertanyaan-
pertanyaan, begitu mereka
saling melepaskan rangkulan.
Mendengar pertanyaan kekasihnya, tentu saja Pan-
ji menjadi heran. Tapi Pendekar Naga Putih segera
mengerti. Dia ingat ketika disuruh memilih oleh datuk-datuk sesat itu, Kenanga
tengah tak sadarkan diri. Ja-di wajar saja kalau gadis itu tidak tahu.
"Hm.... Syukurlah Datuk Naga Hitam dan Petapa
Gunung Kulon memenuhi janjinya untuk membe-
baskan mu. Saat itu, kau tengah pingsan dalam tawa-
nan mereka dan...,"
"Aku pingsan..." Ditawan mereka..." Apa maksud
mu, Kakang" Aku sama sekali tidak pernah ter-tawan
mereka. Karena, saat aku dikeroyok sewaktu di pengi-
napan Desa Jipang, ada Pendekar Gunung Batur yang
kebetulan menyelamatkanku. Karena saat itu aku ja-
tuh pingsan akibat racun mereka, maka Pen-dekar
Gunung Batur membawaku ke tempat tinggal-nya. Ja-
di, aku sama sekali tidak tertawan seperti katamu itu,"
sergah Kenanga.
"Hm..., aku ingat sekarang. Pantas saja kedua iblis itu tidak memperlihatkan
secara jelas gadis yang dita-wannya. Gadis itu rupanya sengaja diberi pakaian
hi- jau yang serupa dengan pakaianmu. Rambutnya yang
panjang ditutupi ke wajahnya. Bangsat! kalau begitu
aku telah tertipu mentah-mentah!" geram Panji.
Panji langsung teringat saat mendekati gadis tawa-
nan berpakaian serba hijau itu, Datuk Naga Hitam dan
kawan-kawannya selalu mencegah dan berusaha agar
tidak sampai melihat jelas wajah gadis yang dikiranya sebagai Kenanga.
"Untunglah kau selamat, Pendekar Naga Putih. Se-
jak pertama kali kau datang tadi, aku sudah me-rasa
curiga. Tapi, aku tidak yakin kalau itu adalah kau. Sebab, tak seorang pun yang
pernah selamat dari pusa-
ran maut di muara sungai Lembah Bintang. Syukurlah
Tuhan masih melindungimu dan kita semua." Pende-
kar Garuda Sakti yang memang pernah mengenal pe-
muda itu, segera saja menya-huti.
Tentu saja kedatangan pemuda yang ternyata Pen-
dekar Naga Putih itu, disambut meriah tokoh-tokoh
persilatan yang tergabung di bawah pimpinan Pen-
dekar Garuda Sakti dan Pendekar Gunung Batur.
'Terima kasih, Gumang. Dan aku pun telah men-
dengar semua dari dua orang tokoh yang mengajakku
ke mari tadi. Rasanya, memang sudah saatnya ke-
jahatan manusia-manusia sesat itu kita berantas...,"
ucap Panji yang masih tak lepas dari pelukan Kenan-
ga. Sepertinya gadis jelita itu sama sekali tidak peduli, meskipun tubuh
kekasihnya mengeluarkan bau tak
sedap saat itu. Semua itu lenyap ditelan kerinduan
dan rasa cintanya yang mendalam.
"Kalau begitu, kita harus menyusun rencana untuk menghancurkan Datuk Naga Hitam
dan begundal-begundalnya...," ujar Pendekar Naga Putih lagi.
"Rasanya, kita tidak perlu menyatroni mereka,
Pendekar Naga Putih. Menurut beberapa orang tokoh
yang menyelidiki kegiatan gerombolan pembunuh
bayaran Naga Hitam, mereka melihat adanya dua
orang anggota gerombolan itu yang sempat melarikan
diri pada waktu kau memberantas kawan-kawannya di
perkampungan nelayan. Jadi menurut perkiraan ku,
mereka sendirilah yang akan datang ke tempat kita
ini," jelas Pendekar Garuda Sakti.
"Kalau begitu, kita hanya tinggal menunggu mere-
ka saja. Hm..., apakah kau sudah mempersiapkan pe-
nyambutan untuk mereka, Gumang?" tanya Panji dengan sorot mata kagum.
Pemuda itu merasa agak bersalah, karena sempat
mencurigai Gumang pada waktu di Desa Jipang. Tapi
kini Panji tahu, lelaki gagah itu memang merupakan
seorang pendekar yang pantas dikagumi. Terbukti, ia
dapat menyatukan tokoh-tokoh persilatan yang di-
musuhi kelompok kaum sesat Naga Hitam.
'Tentu saja aku sudah mempersiapkannya dengan
baik, Panji. Hanya satu hal yang ku takutkan...," Gumang tidak segera
menyelesaikan kalimatnya. Seper-
tinya, ia hendak melihat sambutan Pendekar Naga Pu-
tih. "Oh, ya. Tentu saja aku akan bersiap untuk itu...,"
sahut Panji. Pendekar Naga Putih segera saja mengetahui, kalau
yang dimaksudkan Pendekar Garuda Sakti adalah ke-
hadiran dua datuk sesat yang memang tidak mungkin
dapat ditandingi oleh Gumang maupun Pendekar Gu-
nung Batur. Tentu saja Panji mengerti.
"Hm..., Kalau begitu, bagaimana apabila kau mem-
bersihkan tubuhmu dulu, Kakang" Menurutku, kau
pasti tidak pernah membersihkan tubuhmu sejak le-
nyap ditelan pusaran maut Lembah Bintang," Ke-
nanga mengingatkan.
Gadis jelita itu menutup hidungnya untuk meng-
goda Panji. Semua itu jelas dari pancaran matanya
yang berbinar. "Hm.... Tapi kau tetap suka kan...," bisik Panji yang tentu saja hanya bisa
didengar oleh gadis jelita itu. Kenanga sendiri hanya tersenyum mendengar ucapan
Panji. Setelah berpamitan kepada Gumang dan Pendekar
Gunung Batur, Kenanga pun mengantarkan pemuda
itu untuk membersihkan tubuhnya dan berganti pa-
kaian. *** 8 Saat itu, senja baru menampakkan kekuasaan-
nya. Semburat cahaya kemerahan tampak menghias
kaki langit sebelah Barat. Hembusan angin bersilir
lembut, bagai elusan tangan bidadari.
Di tengah siraman senja, bangunan tua yang men-
jadi tempat tinggal tokoh persilatan, tampak sunyi.
Hanya satu dua orang yang terlihat hilir-mudik dengan senjata di pinggang. Sikap
mereka tampak sedikit tegang, karena menurut perhitungan Pendekar Garuda
Sakti kemungkinan malam atau senja hari itu pihak
golongan sesat akan mendatangi mereka.
Sedangkan di bagian dalam bangunan tua yang
terletak di sebelah Timur Hutan Bajang, tampak bebe-
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rapa orang berkumpul mengelilingi sebuah meja bulat.
Sepertinya, mereka tengah merencanakan untuk men-
gatur siasat dan pembagian tugas dalam meng-hadapi
musuh yang akan menyerang.
"Jika Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon
memang akan muncul, biarlah jadi bagian Pendekar
Naga Putih. Kita harus mengakui, kalau tidak mungkin
sanggup menghadapi kedua datuk sesat itu, kecuali
Pendekar Naga Putih. Justru karena adanya saudara
kita. Pendekar Naga Putih-lah, maka aku berani me-
nanggung akibatnya untuk menghadapi mereka. Kalau
tidak, mungkin aku akan mengajak kalian semua un-
tuk mengungsi, seperti yang selama ini kita laku-kan.
Rasanya, sekaranglah saatnya bagi golongan putih un-
tuk bangkit!" kata Pendekar Garuda Sakti penuh semangat.
Tokoh lainnya hanya menganggukkan kepala tanda
setuju. Karena, apa yang dikatakan lelaki gagah itu
memang tidak berlebihan. Dan mereka semua tahu
akan hal itu. Pendekar Garuda Sakti menatapi rekan-rekannya,
seolah menunggu pendapat dari tokoh lainnya. Setelah
beberapa saat tidak ada yang angkat suara, lelaki ga-
gah itu pun melanjutkan ucapannya.
"Kalau begitu, pertemuan ini kututup. Sebagai-
mana yang telah kita bicarakan tadi, semua harus sia-
ga di tempat masing-masing. Tidak ada seorang pun
yang boleh bergerak, sebelum mendengar tanda dari-
ku. Kurasa cukup sekian...."
Setelah berkata demikian, Pendekar Garuda Sakti
bangkit dari duduknya diikuti para tokoh lain. Satu
persatu mereka meninggalkan ruang pertemuan untuk
melaksanakan apa yang barusan dibicarakan.
Baru saja Pendekar Garuda Sakti membubarkan
pertemuan itu, mendadak dari depan telah terdengar
suara ribut-ribut. Segera saja para tokoh itu berlompatan keluar dengan senjata
di tangan. Rupanya, perhi-
tungan mereka meleset! Padahal dugaan se-belumnya
musuh akan menyerang saat malam datang.
"Aku pergi dulu...,"
Panji yang memang tidak ikut bergabung dengan
para tokoh persilatan lain, segera saja berpamitan. Belum lagi gaung suaranya
hilang, tubuhnya telah lenyap seperti asap tertiup angin.
Setelah tubuh Pendekar Naga Putih lenyap, Pen-
dekar Garuda Sakti, Pendekar Gunung Batur, Ke-
nanga, serta para tokoh lainnya segera saja berlari
menuju gerbang depan. Di tangan mereka telah ter-
genggam senjata terhunus.
Begitu tiba di gerbang depan, para tokoh itu lang-
sung saja menerjunkan diri ke dalam kancah pertem-
puran yang telah ramai berkobar. Meskipun rencana
mereka ternyata berantakan, namun para tokoh persi-
latan itu tetap berjuang gigih! Tidak ada lagi rasa takut dalam hati mereka.
Yang terpikirkan saat itu hanyalah mengusir musuh secepatnya, atau membunuh
lawan sebanyak-banyaknya.
Pendekar Garuda Sakti sendiri sudah menghadapi
seorang lelaki bertubuh gemuk yang wajahnya ter-
lindung kain hitam. Melihat betapa laki-laki gemuk itu banyak menewaskan rekan-
rekannya, langsung saja
Pendekar Garuda Sakti menggempurnya dengan pe-
dang telanjang!
"Hiaaattt..!"
Dibarengi sebuah teriakan keras, Gumang yang
berjuluk si Pendekar Garuda Sakti mengibaskan senja-
tanya, memapak sambaran pedang lelaki gemuk itu
yang hendak mencelakakan salah seorang rekan-nya.
Sehingga, lelaki gemuk itu membatalkan sera-ngan,
dan memutar senjatanya menyambut serangan Gu-
mang. Sebentar saja, mereka segera terlibat dalam se-
buah pertarungan sengit!
Gumang yang telah menyaksikan kehebatan lawan,
segera saja mengerahkan seluruh kepandaian untuk
menundukkan lawan secepat mungkin.
Beeettt! Beeettt!
Senjata yang berupa golok besar di tangan lelaki
gagah berkumis tebal itu berputar dan meliuk-liuk ce-
pat. Tidak percuma Gumang mendapat julukan seba-
gai Pendekar Garuda Sakti. Hal ini terbukti dari gem-
puran-gempurannya yang cepat dan kuat laksana
amukan seekor garuda yang sedang marah!
Tapi, lelaki gemuk berseragam hitam itu pun ter-
nyata bukan orang lemah. Senjata di tangannya yang
berupa sebilah pedang lemas, mengaung-ngaung men-
gincar tubuh lawan. Gerakannya pun tak kalah cepat
dibanding Gumang. Apalagi, senjata yang digunakan-
nya dapat pula digunakan untuk melibat. Sehingga,
pertarungan di antara kedua orang tokoh itu pun ber-
langsung seru dan terlihat seimbang!
Di tempat lain, Kenanga juga mendapat seorang
lawan yang cukup tangguh. Wanita cantik berambut
panjang yang menjadi lawannya, ternyata seorang to-
koh berilmu tinggi. Julukannya cukup membuat orang
gentar. Yakni, Peri Sungai Alur!
Sayangnya yang kali ini dihadapi Peri Sungai Alur
tidak dapat disamakan dengan lawan-lawannya yang
terdahulu, Sebelum bertemu dengan Pendekar Naga
Putih pun, Kenanga merupakan seorang gadis yang
sulit dicari tandingannya. Baik dalam ilmu silat mau-
pun kejelitaannya. Apalagi, setelah bertemu dan me-
lakukan petualangan bersama Pendekar Naga Putih.
Tentu saja kepandaian yang dimilikinya pun maju pe-
sat. Dalam menghadapi Peri Sungai Alur, Kenanga yang
menggunakan Pedang Sinar Bulan, mulai mendesak
lawannya melalui jurus-jurus andalan. Bahkan dalam
kesempatan itu, dicobanya menggunakan ilmu 'Pedang
Naga Sakti' yang diajarkan kekasihnya.
Kehebatan ilmu 'Pedang Naga Sakti', tentu saja ti-
dak dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu pedang lain
yang ada di kolong langit ini. Meskipun Kenanga baru
mempelajarinya beberapa jurus, namun kehebatannya
tampak jelas. Terbukti, Peri Sungai Alur tampak ke-
labakan menghadapi serangan gadis jelita itu. Se-
hingga dalam tiga puluh jurus saja, Peri Sungai Alur
hanya bisa bermain mundur tanpa mampu me-
lancarkan serangan balasan.
"Yiaaattt..!"
Kenanga kembali mengeluarkan bentakan nyaring,
disertai tusukan pedangnya yang mengaung tajam! Ki-
latan sinar putih yang berpendar dari badan pedang,
membuat Peri Sungai Alur semakin kewalahan!
"Aaahhh...!"
Peri Sungai Alur memekik tertahan ketika hampir
saja pedang lawan menggores lengan atasnya. Untung-
lah tubuhnya sempat dimiringkan, sehingga pedang itu
lewat dua jari dari sasarannya.
Tapi, Kenanga rupanya jauh lebih cerdik dari la-
wan. Begitu tusukannya luput, cepat pedangnya dita-
rik pulang dengan geseran ke arah sasaran. Dan...
Breeettt..! "Aaakh...!"
Mata pedang Kenanga langsung menggores pangkal
lengan Peri Sungai Alur yang tak sempat lagi meng-
hindar. Tubuh wanita cantik itu terjajar limbung beberapa langkah ke samping.
Dan Kenanga tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Cepat tubuhnya
melesat dengan jurus 'Bidadari Menabur Bunga'.
"Yeaaattt...!"
Sinar putih keperakan yang bergulung-gulung itu
tentu saja membuat Peri Sungai Alur menjadi gugup
bukan main! Akibatnya, ia tidak sanggup lagi meng-
hindari gulungan sinar pedang gadis jelita yang menja-di lawannya.
Breeettt! Breeettt!
"Aaa...!"
Peri Sungai Alur meraung keras ketika gulungan
sinar putih keperakan yang ditimbulkan Pedang Sinar
Bulan di tangan Kenanga merobek-robek tubuhnya!
Darah segar kontan menyembur dari beberapa luka
berlubang di tubuh wanita cantik pengikut Datuk Naga
Hitam. Kenanga menatap tajam tubuh lawannya yang ter-
banting berlumuran darah. Setelah yakin kalau Peri
Sungai Alur tidak bernyawa lagi, gadis itu pun segera berpindah ke arena lain
untuk membantu rekan-rekannya
*** Setelah berpamitan kepada kawan-kawannya, Panji
segera bergerak menuju ke luar bangunan. Kemudian,
terus melesat ke arah samping dan terus ke depan. Ke-
tika melihat beberapa orang berpakaian serba hitam
hendak menghadangnya, Pendekar Naga Putih lang-
sung merobohkan lawan-lawannya dengan pukulan-
pukulan maut Enam orang berseragam hitam yang bernasib sial
langsung saja beterbangan bagaikan lalat menghampiri
pelita. Mereka tewas seketika akibat pukulan maut
yang dilontarkan Pendekar Naga Putih. Kemudian,
Panji terus melesat ke depan.
Pendekar Naga Putih baru menghentikan larinya
ketika dari kejauhan terlihat dua sosok tubuh yang tidak mungkin dapat
dilupakannya. Mereka tak lain
adalah Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon.
Rupanya, mereka hanya menyaksikan para pengikut-
nya yang tengah bertarung melawan tokoh-tokoh go-
longan putih. Tanpa membuang-buang waktu lagi, se-
gera dikerahkannya 'Ilmu Mengirim Suara Dari Jauh'
kepada kedua orang tokoh sesat itu.
"Hei, badut-badut konyol! Tidakkah kalian ingin
ikut meramaikan suasana denganku...?"
Suara bisikan Panji ternyata terdengar jelas di te-
linga kedua orang gembong kaum sesat itu.
Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon, se-
gera saja menoleh dengan wajah terkejut. Hati mereka
semakin berdebar tegang saat melihat sesosok tubuh
berjubah putih, tengah berdiri menatap mereka dari jarak sepuluh tombak di
belakang. "Pendekar Naga Putih..."!" desis Datuk Naga Hitam dengan suara agak bergetar.
Jelas sekali kalau tokoh sesat bertubuh gemuk itu
terkejut melihat sosok Panji. Padahal setahunya pe-
muda itu telah tewas di dalam pusaran maut.
"Mustahil..."! Pasti ada orang yang hendak menakut-nakuti kita...," terdengar
suara Petapa Gunung Kulon yang hampir-hampir tidak terdengar.
Tokoh sesat bertubuh jangkung itu menelan lu-
dahnya yang terasa pahit dan kering. Rupanya tokoh
yang ukuran tubuhnya melebihi manusia biasa itu me-
rasa gentar melihat sosok Pendekar Naga Putih.
Tapi walaupun hati agak berdebar, kedua datuk
sesat itu melangkah juga menghampiri sosok Pen-
dekar Naga Putih. Mereka mencoba meyakini, kalau-
kalau itu adalah orang lain yang menyamar sebagai
Pendekar Naga Putih. Padahal menurut mereka, Pen-
dekar Naga Putih telah tewas kurang lebih sebulan
yang lalu. Dan, mereka pun menyaksikannya dengan
mata kepala sendiri.
"Hm.... Kalian terkejut melihatku, Badut-badut konyol...?" tegur Panji begitu
kedua orang gembong kaum sesat itu datang mendekat.
"Haaahhh..."!"
Baik Datuk Naga Hitam maupun Petapa Gunung
Kulon sama-sama terbelalak kaget, tak ubahnya me-
lihat hantu di siang bolong! Mereka terpaku menatap
sosok Pendekar Naga Putih yang tersenyum membalas
tatapan kedua gembong kaum sesat itu.
"Kau.... Kau, Pendekar Naga Putih...! Bagaimana
kau bisa selamat dari pusaran maut itu...?" desis Datuk Naga Hitam, setengah tak
percaya dengan kebera-
daan pemuda di depannya.
"Mustahil...! Kau pasti orang lain yang sengaja menyamar sebagai Pendekar Naga
Putih untuk me-nakuti
kami. Hm.... Kau tahu, Kisanak. Tidak satu makhluk
pun yang dapat selamat dari pusaran maut itu...," kata Petapa Gunung Kulon
sambil meyakinkan hatinya
bahwa pemuda itu bukanlah Pendekar Naga Putih.
Apalagi, sosok tubuh Panji sekarang memang lebih ku-
rus dari semula.
"Hm.... Aku tidak perduli pendapat kalian, Ma-
nusia-manusia keji! Yang penting, sekarang kedatan-
gan ku untuk membunuh kalian. Hhh...! Kalian ber-
dua telah membuat kesalahan besar yang tidak mung-
kin dapat ku maafkan. Malah, kehadiran kalian di mu-
ka bumi ini hanya membuat orang-orang lain celaka.
Jadi, tidak perlu banyak bicara lagi. Sebaik-nya, ber-siaplah menerima hukuman!"
ujar Panji de-ngan tekanan nada datar dan dingin. Sorot matanya juga tam-
pak berkilat menatap kedua orang lawannya.
"Setan! Siapa pun adanya kau, Datuk Naga Hitam
tidak takut! Dan kaulah yang akan kukirim ke nera-
ka...!" Sambil berkata demikian, Datuk Naga Hitam men-
cabut keluar sebuah pedang berwarna hitam yang jelas
mengandung racun mematikan. Kemudian pedang itu
dilintangkan di depan dadanya, siap untuk bertarung.
Begitu pula sikap yang diambil Petapa Gunung Ku-
lon. Tokoh sesat bertubuh tinggi luar biasa itu meloloskan tasbih yang selalu
menghias lehernya. Jangan
dipandang ringan senjata itu. Meskipun ha-nya terdiri dari kayu, namun telah
direndam dalam ramuan khusus. Sehingga, kayu-kayu bulat sebesar kelereng itu
menjadi sekeras besi.
Melihat kedua orang lawan sudah saling menge-
luarkan senjata, Pendekar Naga Putih memejamkan
matanya sejenak, untuk memusatkan tenaga batinnya.
Sekejap kemudian, terciptalah sebatang pedang ber-
sinar kekuningan di tangan kanannya.
"Nah, mulailah...," desis Panji tanpa mempedulikan keterkejutan lawan-lawannya.
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung
Kulon melihat kapan tangan pemuda itu bergerak
mencabut senjata.
"Heaaahhh...!"
Tanpa mempedulikan dari mana pemuda itu mem-
peroleh pedang, Datuk Naga Hitam segera saja me-
mulai serangan diiringi sebuah teriakan nyaring! Tu-
buh lelaki gemuk berusia sekitar lima puluh lima ta-
hun lebih itu segera melesat disertai putaran pedangnya yang mengaung bagai
ratusan lebah marah!
Bersamaan dengan itu, Petapa Gunung Kulon tidak
mau telah dengan rekannya. Tokoh bertubuh tinggi
luar biasa itu bergerak dengan langkah-langkah pan-
jang, mendekati Pendekar Naga Putih. Tasbih di tan-
gannya berputaran, menyambar-nyambar menim-
bulkan suara yang menyakitkan telinga. Jelas tenaga
sakti kedua orang tokoh itu tidak bisa dipandang rin-
gan. Tapi, Panji tidak mau berdiam diri menanti da-
tangnya serangan kedua orang datuk sesat itu. Cepat
bagai kilat, pemuda itu melesat memapak serangan
pedang Datuk Naga Hitam. Pendekar Naga Putih sama
sekali tidak merasa gentar dengan racun ganas di ba-
dan pedang lawan. Karena, Pedang Naga Langitnya
sendiri adalah sebuah senjata langka yang dapat me-
musnahkan segala macam jenis racun.
"Yeaaattt..!"
Diiringi pekikan mengguntur, Pendekar Naga Putih
memutar senjatanya dengan jurus ilmu 'Pedang Naga
Sakti'nya. Langsung saja cahaya kekuningan berpen-
dar menyilaukan mata. Sebentar saja pertarungan an-
tara tokoh-tokoh sakti dunia persilatan itu ber-
langsung mendebarkan!
Ketiga orang tokoh menggiriskan itu saling terjang
dengan dahsyatnya! Sehingga, tubuh mereka tidak lagi
dapat terlihat mata. Mereka hanya merupakan tiga so-
sok bayangan yang saling desak dan saling libat!
Debu dan bebatuan yang berada di sekitar arena
pertempuran ketiga tokoh sakti itu, berpentalan ke segala arah, karena terkena
sepakan dan angin samba-
ran senjata. Bahkan, saking hebatnya sambaran serta
gerakan kaki mereka, batu-batu yang terpental jauh,
langsung mengenai tubuh orang-orang yang ber-
tempur di arena lain. Padahal, jarak antara pertem-
puran ketiga orang tokoh itu dengan pertempuran lain
terpisah sekitar delapan tombak. Maka dapat di-
bayangkan, betapa mengerikannya pertarungan tokoh-
tokoh sakti itu.
Beberapa orang tokoh persilatan yang tengah ber-
tarung melawan kelompok Naga Hitam, tiba-tiba ter-
pental roboh akibat batu sebesar kepalan tangan yang
mampir ke tubuh dan kepala mereka. Tidak sedikit di
antaranya yang terluka mengalirkan darah. Tentu saja, kejadian itu membuat yang
lain bergegas lari menjauh, agar tidak terkena batu-batu nyasar.
"Hiaaattt..!"
Ketika pertarungan itu telah lewat dari enam puluh
jurus, tiba-tiba saja Datuk Naga Hitam memekik nyar-
ing dan menggetarkan! Orang-orang yang tidak terlalu
tinggi tenaga dalamnya, langsung roboh sambil mene-
kap kedua telinga. Padahal, mereka berada se-puluh
tombak lebih dari ketiga tokoh itu. Maka dapat di-
bayangkan, betapa mengerikannya akibat pekikan Da-
tuk Naga Hitam!
Tapi bagi Panji sendiri, pekikan itu tidak terlalu berarti. Tubuhnya yang
terselimut lapisan kabut ber-
sinar putih keperakan, tentu saja tidak bisa ditembus pekikan yang bagaimanapun
kerasnya. Walaupun begitu, Pendekar Naga Putih tidak me-
mandang enteng serangan yang dilancarkan Datuk
Naga Hitam. Maka seiring pekikan dahsyat dari lawan,
tubuh pemuda itu segera bergeser dengan lompatan
pendek. Sehingga sambaran pedang lawan hanya me-
nembus angin kosong saja. Dan begitu senjata lawan
lewat, segera saja dilontarkan serangan balasan den-
gan kecepatan sukar diikuti mata.
Syuuuttt..! Terdengar suara berdecit tajam mengiringi lun-
curan sinar kuning yang berasal dari pedang Pendekar
Naga Putih! "Aaa...!?"
Datuk Naga Hitam memekik tertahan ketika pe-
dang di tangan Panji meluruk deras ke arah jantung-
nya. Tanpa pikir panjang lagi, tokoh sesat bertubuh
gemuk itu langsung melempar tubuhnya ke belakang,
dan terus berjumpalitan beberapa kali untuk menye-
lamatkan selembar nyawanya.
Pendekar Naga Putih yang hendak menyusuli se-
rangannya yang gagal itu, terpaksa menundanya keti-
ka mendengar dengungan tajam dari arah kanan. Ce-
pat tubuhnya menunduk, menghindari sambaran biji-
biji tasbih yang mungkin bisa meremukkan kepala-
nya. Kemudian, tubuh pemuda itu berputar secepat ki-
lat disertai sebuah tendangan mengejutkan!
Petapa Gunung Kulon yang tidak sempat lagi
menghindari diri, segera saja mengangkat tangan ki-
rinya untuk menangkis tendangan yang mengancam
kepalanya. Tapi akibatnya...
Plaaakkk! "Aaahhh...!?"
Kakek itu kontan memekik kaget! Bahkan akibat
tangkisannya, kuda-kudanya jadi tergempur hingga
tubuhnya terjajar mundur sejauh satu tombak! Dan
tanpa diduga, telapak tangannya yang digunakan un-
tuk menangkis terasa demikian nyeri disertai hawa
dingin yang merembes masuk sebatas siku. Hal itu
langsung membuat lengan kiri Petapa Gunung Kulon
serasa lumpuh untuk beberapa saat lamanya!
Pendekar Naga Putih sendiri tidak mau menyia-
nyiakan kesempatan baik ini selagi tubuh lawannya
terjajar mundur. Cepat ia kembali melompat, meng-
gunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk Ke Dalam Bumi'
yang merupakan jurus terampuh dari 'Ilmu Silat Naga
Sakti' nya. Wueeettt! Wueeettt!
"Aaahhh...!?"
Untuk kedua kalinya, Petapa Gunung Kulon me-
mekik kaget! Pendaran sinar kuning keemasan yang
membentuk bulatan-bulatan menyilaukan mata, mem-
buatnya terjajar mundur beberapa langkah sambil me-
lindungi matanya. Akibatnya...,
Breeettt! Breeettt!
Breeettt! Breeettt!
"Arrrggghhh...!"
Petapa Gunung Kulon meraung panjang ketika pe-
dang Pendekar Naga Putih merobek-robek tubuhnya!
Pada saat itu, rupanya Datuk Naga Hitam malah
mengambil kesempatan. Dia berusaha menusuk Panji
dari belakang! "Arrrggghhh...!"
Bagai binatang luka, Petapa Gunung Kulon me-
raung parau saat pedang lawan merobek-robek tubuh-
nya! Darah segar kontan menyembur, membasahi ta-
nah berumput kering. Dan begitu tubuh kakek jang-
kung itu ambruk ke tanah, terdengar suara berdebuk
keras disertai lepasnya nyawa dari raganya.
Datuk Naga Hitam rupanya hendak memperguna-
kan kesempatan, sewaktu Panji menikamkan pedang-
nya ke tubuh Petapa Gunung Kulon tampak tubuh
orang tua gemuk itu meluncur dengan ujung pedang
tertuju lurus ke punggung Pendekar Naga Putih yang
saat itu membelakanginya!
Wuuuttt..! Ujung pedang hitam di tangan Datuk Naga Hitam
meluncur lurus dengan suara mengaung tajam!
Sayang Pendekar Naga Putih tidak semudah itu di-
bokong. Telinganya yang tajam, sempat menangkap
adanya bahaya yang datang dari belakang. Maka den-
gan gerakan tak terduga, saat ujung pedang hitam itu
tinggal sejengkal dari punggungnya, tubuh Pendekar
Naga Putih cepat melenting berputar ke belakang me-
lampaui kepala lawan. Gerakan itu masih dibarengi
pula dengan tusukan pedangnya yang tepat mendarat
di tengkuk Datuk Naga Hitam!
Craaabbb...! "Highhh...!"
Datuk Naga Hitam hanya bisa mengeluarkan suara
seperti orang tercekik, karena pedang di tangan lawannya amblas hingga tembus ke
leher depan! Darah segar
segera menyembur, saat Pendekar Naga Putih men-
cabut kembali pedangnya. Kemudian, pemuda itu ma-
sih juga sempat mengirimkan sebuah jejakan ke tubuh
belakang lawannya. Karuan saja tubuh tokoh sesat itu
ambruk ke tanah disertai semburan darah dan mulut!
Bagaikan seekor ayam yang disembelih, tubuh Da-
tuk Naga Hitam menggelepar-gelepar sebelum ke-
mudian melepaskan nyawa yang hanya satu-satunya
itu. "Hhh...,"
Terdengar helaan napas kelegaan dari mulut Pen-
dekar Naga Putih ketika melihat kedua orang lawannya
telah tewas. Ketika tidak mendengar suara-suara per-
tarungan di tempat lain, Panji segera menolehkan ke-
pala. Tampak pertarungan telah berakhir. Tiba-tiba
ada suara yang memanggil.
"Kakang...,"
Kenanga datang berlari-lari kecil menghampiri pe-
muda itu. "Aku sudah menemukan, siapa orang yang me-
nyamar sebagai diriku ketika di Lembah Bintang...,"
lapor gadis jelita itu dengan napas masih memburu.
Rupanya, Kenanga baru saja menyelesaikan per-
tarungan terakhirnya. Tampak pedang di tangannya
masih berlumuran darah.
"Oh ya..." Siapa wanita itu...?" tanya Panji dengan wajah setengah tak percaya.
"Wanita itu berwajah cantik dan berambut pan-
jang. Dia adalah Peri Sungai Alur. Aku bisa menduga,
karena hanya dialah satu-satunya wanita dari sekian
banyak anggota Datuk Naga Hitam...," jelas Kenanga penuh kepuasan, karena bisa
menemukan penyebab
celakanya pemuda pujaan hatinya.
"Lalu, ke mana sekarang wanita itu...?" tanya Pendekar Naga Putih lagi.
"Dia sudah kubunuh sejak tadi...," jawab Kenanga singkat. Sepertinya, dia tidak
begitu suka jika Panji menanyakan wanita cantik itu.
"Hm.... Lebih baik, kita segera pergi. Bukankah tidak ada persoalan lagi di
tempat ini...?" ujar Panji.
Pendekar Naga Putih menatap gadis jelita itu untuk
mendapat kepastian. Ketika melihat anggukan Kenan-
ga, pemuda itu segera saja mengajaknya pergi.
"Pendekar Naga Putih.... Tunggu...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan yang menahan
langkah Panji dan Kenanga. Mereka menoleh ke arah
dua orang lelaki gagah yang tak lain dari Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar
Gunung Batur. "Maaf, sahabat-sahabat. Kami harus melanjutkan
perjalanan!" sahut Panji sambil melambaikan tangan kepada kedua orang gagah itu.
Kenanga juga ikut melambaikan tangannya. Setelah itu, tubuh mereka sege-
ra berkelebat, menerobos kegelapan malam.
Tinggallah Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar
Gunung Batur yang hanya dapat menggeleng-geleng-
kan kepala menatap kepergian pasangan pendekar
muda yang sakti itu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Adnan
Kucing Suruhan 12 Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Karya Kho Ping Hoo Tiga Maha Besar 5
datuk sesat itu.
"He he he he...."
Terdengar gema tawa perlahan yang lembut dari
sosok bertubuh jangkung yang tak lain Petapa Gunung
Kulon. Datuk sesat yang menyembunyikan kekejaman-
nya di balik sifat lembut dan pakaian pertapanya, kelihatannya sama sekali tidak
tersinggung oleh ucapan
Panji. "Pendekar Naga Putih! Orang-orang seperti kami
yang berdiri di barisan golongan sesat, tidak ada lagi kata licik atau sifat
rendah. Bagi kami, semua yang
kami lakukan adalah halal. Jadi, tidak ada gunanya
memancing harga diri kami agar membebaskan gadis-
mu itu. Lebih baik, putuskanlah. Nyawamu, atau nya-
wa kekasihmu yang jelita itu...," ujar Pertapa Suci dengan suara lembut dan
terkesan penuh kesabaran.
"Bangsat rendah...!" maki Panji sambil bergerak
maju mendekat. Hati pemuda itu merasa geram sekali karena di-
sodorkan pilihan yang sangat sulit.
"Jangan dekat..!" bentak seorang lelaki bertubuh gemuk dan berkepala botak. Pada
telinga kirinya
menggantung anting-anting dari emas. Dan dia lang-
sung memerintahkan dua orang anak buahnya yang
memegang gadis berpakaian hijau itu, untuk menjauh.
"Hm..., Datuk Naga Hitam!" sentak Panji dengan suara garang, "Kau tidak pantas
menjadi seorang datuk kaum sesat, dengan jiwa yang sangat kerdil dan
pengecut!"
"He he he.... Makilah sampai mulutmu berbusa,
Pendekar Naga Putih. Semua ini kaulah yang mencari-
nya. Beberapa hari yang lalu, kau telah membunuh
saudara seperguruanku di Hutan Sindang. Jadi, seka-
rang rasakanlah pembalasanku...," sahut Datuk Naga Hitam, kalem. Bahkan makian
Pendekar Naga Putih
malah disambut dengan gelak tawa yang berkepan-
jangan. "Keparat! Pantas kau tidak jauh berbeda dengan
tokoh gila pemabukan itu! Rupanya kau ingin mem-
balas dendam terhadapku. Tapi, sayangnya hatimu li-
cik dan rendah. Kau tidak berani menghadapiku seca-
ra jantan. Sehingga, harus melakukan perbuatan sehi-
na ini!" geram Panji lagi.
Kini, Pendekar Naga Putih mulai mengerti, me-
ngapa Datuk Naga Hitam sampai ingin membunuh-
nya. Rupanya datuk sesat itu merupakan saudara se-
perguruan dari Pemabuk Berhati Iblis yang di-
bunuhnya beberapa hari yang lalu.
"Sudah! Tidak perlu banyak cakap! Cepat kau pilih!
Nyawamu, atau nyawa kekasihmu...! Ku hitung sampai
tiga...!" bentak Datuk Naga Hitam yang tidak ingin
memberi kesempatan kepada Pendekar Naga Putih un-
tuk berpikir lebih jauh.
*** Panji menggeram gusar. Jelas, untuk mengambil
keputusan itu sangat sulit baginya. Sejenak ditatapi-
nya wajah sosok tubuh ramping itu dengan sorot ta-
jam. Seolah-olah ia ingin melihat wajah gadis yang tertutup rambut itu. Sayang,
Kenanga tidak sadarkan di-
ri. Kalau saja sadar, ada kemungkinan gadis itu mem-
berikan pilihan untuk mengambil keputusan. Kini be-
ban itu harus ditanggung sendiri. Sehingga, tentu saja sukar sekali bagi Panji
untuk memutuskannya.
"Dua...! terdengar Datuk Naga Hitam kembali me-
lanjutkan hitungannya.
Pendekar Naga Putih menatap wajah datuk sesat
itu berganti-ganti. Kemudian, tatapannya beralih ke
arah sosok Kenanga. Seolah-olah dia mengharapkan
agar gadis itu sadar dari pingsannya.
"Bawa gadis itu kemari...!" kembali Datuk Naga Hitam memberi perintah ketika
Panji belum juga menja-
wab. Segera saja kedua orang berseragam hitam itu
membawa sosok Kenanga ke dekat tebing, siap untuk
dijatuhkan ke bawah sungai yang mengalir deras.
"Ti...,"
Tahaan..!"
Cepat Panji berteriak mencegah sambil melesat
hendak mendekati tebing. Namun delapan orang ber-
seragam hitam yang sejak tadi memperhatikannya, se-
gera saja membentuk barisan menghadang Pendekar
Naga Putih agar tidak mendekat.
Tentu saja perbuatan orang-orang berseragam hi-
tam itu membuat Panji jengkel. Bahkan tangannya te-
lah siap terangkat untuk melontarkan pukulan maut.
Melihat Pendekar Naga Putih siap mengamuk, ce-
pat Datuk Naga Hitam memerintahkan untuk me-
lemparkan gadis tawanannya ke dalam sungai. Se-
hingga, Panji terpaksa menelan kembali kemarahan-
nya. "Bangsat licik...!" umpat Pendekar Naga Putih, diiringi suara berkerotokan
dari jari-jarinya yang me-
ngepal. Pendekar Naga Putih benar-benar dibuat tak ber-
daya oleh golongan sesat itu, dengan adanya Kenanga
di tangan mereka.
"Sekarang melompatlah ke dalam sungai itu, Pen-
dekar Naga Putih. Jika masih juga membantah, keka-
sihmu inilah yang akan kulemparkan ke bawah sana!"
Datuk Naga Hitam yang sepertinya merasa kha-
watir kalau-kalau pemuda itu akan membantah kem-
bali, segera mendorong tubuh gadis tawanannya se-
makin dekat ke tepi.
'Tunggu...!" seru Panji dengan wajah merah padam, karena tidak berdaya
menghadapi kelicikan datuk sesat itu. "Baiklah. Aku akan menuruti perintah
kalian, asalkan kekasihku dibebaskan terlebih dahulu."
"Ingat, Pendekar Naga Putih! Bukan kau saja yang berhak mengajukan syarat. Tapi
juga kami. Untuk itu,
kaulah yang harus menuruti perintah kami," timpal Petapa Gunung Kulon.
Sepertinya, datuk sesat yang
satu itu juga sudah tidak sabar melihat kebandelan
Pendekar Naga Putih.
"Hmmmhhh...!"
Panji mengeram gusar mendengar ucapan lawan-
nya. Tidak ada pilihan lain baginya, kecuali menuruti kemauan lawan-lawannya.
"Rupanya, sampai di sinilah akhir petualangan-
ku," gumam Panji dalam hati sambil melangkah ke tepi jurang.
Pendekar Naga Putih semakin melangkah men-
dekati jurang yang dibelah oleh sungai yang tampak
deras sekali. Langkahnya tampak mantap, penuh ke-
pasrahan pada Yang Maha Pencipta.
"Ingat, manusia-manusia licik! Apabila aku telah tewas dan kalian tidak
membebaskan kekasihku maka
aku bersumpah akan mengejar kalian! Meskipun, aku
sudah berada di alam Iain ...! Aku tidak akan pernah
puas sebelum menghirup darah hitam kalian...!"
Demikian kata-kata terakhir pemuda itu, sehingga
membuat bulu roma para tokoh sesat sampai berdiri,
Jelas nyali mereka terasa ngeri mendengar sumpah
yang dikeluarkan dengan suara dingin dan datar itu.
Datuk-datuk sesat itu sama sekali tidak menjawab
kata-kata Panji. Mereka hanya berdiri menatap pemu-
da itu, yang kemudian menerjunkan dirinya ke dalam
aliran sungai yang sangat deras.
"Ha ha ha...! Dengan lenyapnya Pendekar Naga Pu-
tih, maka tidak akan ada lagi yang berani mengha-
langi kita...!"
Tawa Datuk Naga Hitam berderai, seiring dengan
melayangnya tubuh Pendekar Naga Putih ke dasar
sungai. Gadis tawanan yang sejak tadi tak sadarkan diri,
terlihat mengangkat kepalanya. Matanya menatap ta-
jam ke arah tubuh Pendekar Naga Putih yang masih
melayang-layang. Sekilas, terlihat senyum dingin
menghiasi wajahnya yang masih tertutup sebagian
rambutnya yang panjang terurai.
Diiringi gelak tawa yang berkepanjangan, gem-
bong-gembong golongan sesat itu pun pergi mening-
galkan tepian sungai. Sementara tubuh Pendekar Naga
Putih telah jatuh ke dalam air, dan terus hanyut ter-
bawa arus sungai yang demikian deras.
*** Sementara itu, tubuh Pendekar Naga Putih terus
terseret arus sungai yang mengalir deras. Panji sendiri mencoba menggapai-gapai
untuk mencari pegangan,
namun arus sungai sangatlah kuat. Di samping itu, di
sungai rupanya tidak ada satu pun yang dapat dibuat
pegangan. Apalagi, keadaan sangatlah gelap. Sehingga, Panji bagaikan orang buta
yang menggapai di kegelapan.
Air sungai yang ganas itu terus menyeret tubuh
Pendekar Naga Putih tanpa ampun. Sedangkan pe-
muda itu sendiri sama sekali tidak berdaya mengha-
dapi keganasan alam, Hingga, akhirnya dia hanya pa-
srah sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk me-
lindungi tubuh agar tidak sampai mengalami luka pa-
rah. Meskipun sungai itu dengan ganasnya meng-
ombang-ambingkan dan melemparkan tubuhnya kian
kemari, Panji tetap berusaha sadar. Karena kalau
sampai jatuh pingsan maka kemungkinan untuk hidup
sangatlah tipis.
Entah, sudah berapa lama tubuh pemuda itu di-
permainkan air sungai. Yang jelas, Panji merasakan
tubuhnya sangat lelah, dan tenaganya seperti terkuras habis. Sehingga, batu-batu
padas yang bertonjolan di
dinding sungai mulai menggores tubuhnya. Darah pun
mulai mengalir dari luka-luka kecil yang terasakan
sangat perih. Pakaiannya sendiri sudah compang-
camping tidak karuan. Hingga akhirnya, pemuda itu
terus terbawa sebuah muara yang terdapat pusaran
maut. Rupanya, pusaran air itulah yang membuat
Lembah Bintang sangat ditakuti. Memang tidak sedikit
tokoh persilatan yang tewas di dalam pusaran maut
itu. Panji yang keadaan tubuhnya sudah semakin me-
lemah, mengeluh ketika tahu kalau tubuhnya terseret
ke dalam pusaran maut itu. Hingga akhirnya, tubuh
pemuda itu tenggelam dan lenyap ke dalam pusaran
maut. Pada saat tubuhnya tersedot ke dalam pusaran
maut, Panji menarik napas dalam-dalam. Karena, dis-
adari, kalau tubuhnya akan tenggelam ke dalam air
yang bagaikan tidak berdasar. Sehingga pada suatu
saat, tubuhnya bagaikan dilemparkan air ke daratan!
Bruuuggg! "Aaakh...!"
Panji menjerit kesakitan ketika tubuhnya mem-
bentur benda keras yang dasarnya tidak rata. Karena
tidak sanggup menahan rasa sakit dan rasa lelah, ak-
hirnya Panji jatuh tak sadarkan diri.
Cukup lama tubuh pemuda perkasa itu tergolek
pingsan setelah dipermainkan air sungai yang ganas.
Keadaan sekeliling yang remang-remang, membuat
Panji yang mulai sadarkan diri itu tidak tahu, apakah hari masih malam atau
pagi. Yang jelas, pemuda itu
merasakan seluruh tubuhnya seperti remuk dan sakit-
sakit. Maka meskipun telah sadarkan diri, pemuda itu
masih belum sanggup untuk bangkit berdiri.
"uh...!"
Panji mengerang ketika mencoba bergerak, se-
kujur tubuhnya dirasakan sangat linu. Goresan-go-
resan di seluruh tubuhnya pun menimbulkan rasa pe-
rih yang luar biasa. Akhirnya, pemuda itu tidak beru-
saha bangkit, dan tetap rebah terlentang tanpa berge-
rak sedikit pun.
Dalam keadaan setengah sadar, Pendekar Naga Pu-
tih mencoba mengatur napas dengan maksud me-
mulihkan tenaganya. Hatinya mulai merasa lega ketika
tenaga saktinya mulai bergerak menyebar ke seluruh
tubuhnya. Meskipun tenaga itu belum dapat diguna-
kan untuk membuatnya sanggup berdiri, tapi Pende-
kar Naga Putih sudah mulai merasa tenang. Perlahan
perhatiannya mulai dialihkan ke sekeliling tempat itu.
"Di manakah sebenarnya aku berada...?" desis Pendekar Naga Putih itu dengan
wajah keheranan. Karena, sekelilingnya hanya terdapat dinding-dinding
berbatu sangat kasar, persis seperti keadaan dinding goa. Merasa belum percaya
akan apa yang dialaminya,
Pendekar Naga Putih kembali memejamkan matanya,
dan mengatur pernafasannya.
*** 6 Begitu kesehatannya terasa sudah hampir pulih,
Panji bergerak bangkit perlahan. Pemuda itu berdiri tegak sambil mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
nya. Sebentar kemudian, tampaklah lapisan kabut
bersinar putih keperakan menyelubungi sekujur tu-
buhnya. "Hhh...," Panji menarik napas penuh kelegaan.
Dengan wajah yang mulai nampak segar, pemuda
itu merayapi daerah sekitarnya. Namun sejauh mata-
nya memandang, yang terlihat hanyalah dinding-
dinding batu kasar yang bertonjolan. Lubang-lubang
besar yang terdapat batu-batu runcing di langit-langitnya, membuat Panji sadar
kalau dirinya berada di da-
lam perut bumi. Selain itu ia merasa hawa lembab
berbau tanah basah, juga menandakan kalau ia bera-
da jauh di bawah tanah.
Masih dengan pikiran tidak menentu, Panji me-
langkah menyusuri jalan berair dangkal. Satu-satunya
pikiran yang memenuhi benaknya saat itu ialah, men-
cari jalan keluar untuk mengetahui nasib kekasihnya.
Jalan berair dangkal yang semula disusurinya,
makin lama semakin dalam. Sehingga, Panji meng-
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ambil jalan melalui sebuah gua yang cukup besar. Da-
taran di dalam gua itu sangat berbeda jauh dengan
yang barusan dilaluinya. Tanah di tempat itu tampak
gembur, seperti mengandung pasir. Meski demikian,
Panji bertekad untuk mengetahui ke mana lorong gua
itu akan membawanya.
"Eh...!?"
Panji menancapkan kakinya kuat-kuat ketika ta-
nah yang dipijaknya terasa bergetar. Semula getaran
itu dikira ditimbulkan oleh gempa. Namun ketika meli-
hat adanya sesuatu yang menyembul dari dalam ta-
nah, sadarlah Panji bahwa makhluk itulah yang telah
membuat tanah di bawahnya bergetar. Cepat pemuda
itu melangkah mundur dengan hati tegang!
"Earrrggghhh. ..I"
Makhluk yang bentuknya sangat aneh dan me-
nyeramkan itu meraung, menatap Panji dengan se-
pasang mata yang merah menyala. Tubuhnya yang
panjang dan dihiasi gelang-gelang di sepanjang ba-
dannya, membuat Panji sempat terbelalak dengan ken-
ing berkerut. "Gila! Binatang apa ini...?" desis Panji sambil melangkah mundur.
Makhluk yang bentuknya mirip seekor ular rak-
sasa itu benar-benar mengerikan. Taring-taringnya
yang tajam dengan lendir-lendir di sekitar mulutnya,
membuat Panji hendak berbalik dan lari keluar gua.
Tapi, niat itu ditundanya ketika dari belakangnya
pun mulai bermunculan makhluk-makhluk serupa.
"Aaahhh"!"
Panji kembali terpekik mundur melihat makhluk-
makhluk menyeramkan itu terus bermunculan di seke-
lilingnya. Sadar kalau tidak mempunyai jalan lain untuk ke-
luar kecuali menghadapinya, Panji segera menge-
rahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' nya. Untunglah
tenaga saktinya telah dapat bekerja kembali dengan
baik. Kalau tidak, rasanya riwayat Pendekar Naga Pu-
tih akan berakhir amat mengenaskan!
"Hmmmhhh...!"
Disertai geraman yang menggetarkan langit-langit
gua, Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya
ke depan! Serangkum angin dingin yang menusuk tu-
lang, berhembus keras. Tubuhnya pun telah pula ter-
lindungi lapisan kabut bersinar putih keperakan.
Broolll...! Terkejut bukan main hari Pendekar Naga Putih ke-
tika dari bawahnya, tiba-tiba muncul seekor makhluk
yang langsung menggigit kaki kanannya. Cepat pemu-
da itu bertindak, mengayunkan tangannya dengan ge-
rakan membacok!
"Hiaaahhh...!"
Whuuuttt....! Deeesss...!.
Makhluk yang berupa seekor ular raksasa dengan
tubuh bergelang-gelang itu meraung ketika sisi telapak tangan Panji menghajar
telak lehernya. Namun, Panji
sendiri sangat terkejut merasakan telapak tangannya
bagaikan menghantam sebatang benda kenyal, bagai
bongkahan karet saja.
"Gila! Tubuh makhluk celaka ini ternyata sangat
kuat dan memiliki kekebalan yang aneh...!?" desis Panji sambil melangkah mundur.
Sungguh tidak disangka kalau pukulannya hanya
membuat makhluk itu meraung kesakitan. Padahal
menurut perkiraannya, makhluk aneh itu seharusnya
tewas akibat tebasan telapak tangannya.
Pendekar Naga Putih terus berpikir keras mencari
cara untuk mengalahkan makhluk-makhluk mengeri-
kan itu. Hingga akhirnya, diputuskannya untuk meng-
gunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi', yang memiliki sifat panas.
"Hm..., mengapa tidak?" desis Panji sambil menarik kembali 'Tenaga Sakti
Gerhana' Bulan' nya, "Bukankah makhluk-makhluk celaka ini memiliki tubuh yang
dingin dan kenyal. Satu-satunya jalan untuk melenyap-
kan hanyalah menggunakan tenaga yang bersifat pa-
nas...." Dengan mengandalkan pikiran itu, Panji segera
memancing keluar 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang
tercipta dari Pedang Naga Langit.
"Hhh...!"
Diiringi helaan nafasnya, muncullah sinar kuning
keemasan yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Se-
ketika itu juga, hawa panas pun menebar memenuhi
lorong gua yang luas itu.
"Earrrggghhh...!
Binatang-binatang aneh itu terlihat marah ketika
merasakan adanya hawa panas yang menebar dari tu-
buh Pendekar Naga Putih. Tanpa memperdulikan ke-
marahan binatang-binatang itu, Panji segera saja
mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan.
"Heaaahhh...!"
Whuuusss...! Blaaarrr...!
Hebat dan sangat mengerikan sekali akibat do-
rongan sepasang tangan Panji. Balasan makhluk-
makhluk mengerikan itu langsung terlempar seiring
ledakan keras yang meruntuhkan langit-langit gua.
Cepat Panji melompat menghindari batu-batu runcing
yang berjatuhan dari langit-langit gua.
Melihat pukulannya berhasil membuat makhuk-
makhluk itu hancur berkeping-berkeping, Panji cepat
melesat ke depan meninggalkan gua itu. Kemudian, dia
terus berlari tanpa memperdulikan air yang mem-
basahi hingga ke lututnya.
Entah sudah berapa lama pemuda itu berlari tanpa
henti. Langkahnya baru melambat ketika sudah me-
masuki tempat yang cukup luas. Cepat ia melompat ke
darat, ketika melihat adanya tanah lembab di tepi aliran air itu.
"Haaaff!?"
Ketika lewat di depan sebuah mulut gua yang le-
bar, tiba-tiba saja Panji memekik kaget. Cepat Pen-
dekar Naga Putih menancapkan kedua kakinya di atas
tanah hingga melesak melewati mata kaki. Memang
pemuda itu merasakan adanya suatu tenaga aneh
yang menyeretnya ke dalam gua.
"Gila! apa lagi ini...!?" seru Panji membayangkan makhluk-makhluk aneh yang
mungkin akan muncul
kembali entah dalam bentuk apa. .
Tapi, kekuatan aneh itu semakin kuat menarik tu-
buhnya. Sehingga Panji terpaksa mengerahkan selu-
ruh kekuatan tenaga saktinya, untuk bertahan. Meski
demikian, karena tanah yang dipijaknya sangat lembab
dan licin, akhirnya tubuhnya terseret ke dalam gua beserta tanah yang memendam
kakinya. "Hi hi hi...!"
Bulu roma di tengkuk Panji meremang ketika telin-
ganya menangkap suara tawa mengikik yang berke-
panjangan. "Gila! Makhluk seperti apa lagi yang akan kutemui di dalam perut bumi ini...?"
desis Panji. Akhirnya Pendekar Naga Putih membiarkan tu-
buhnya tersedot ke dalam gua besar itu. ia hanya
mengimbangi agar tubuhnya tidak sampai terjerunuk
ke depan. *** Kegelapan dan bau tanah lembab menyambut ke-
datangan Pendekar Naga Putih di dalam gua itu. Na-
mun, tubuhnya terus tersedot hingga ke sebuah ruan-
gan lebar yang agak terang. Panji sendiri tidak menger-ti, apa yang membuat
ruangan lebar itu tidak gelap seperti lorong gua yang baru dilaluinya. Ketika
tenaga yang menyedot tubuhnya terasa telah lenyap, Panji se-
gera mengendurkan tenaganya. Untuk bebe-rapa saat
lamanya, dia seperti merasa silau oleh pantulan ca-
haya yang berasal dari dinding dan langit-langit gua.
Pancaran sinar kekuningan itu membuat Pendekar
Naga Putih sadar, apa yang terkandung di dalam dind-
ing dan langit-langit gua itu.
"Hi hi hi...! Selamat datang, anak manusia...! Akhirnya ada juga orang yang akan
menemaniku di perut
bumi ini...!"
Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ke-
tika mendengar suara nyaring yang bagai menusuk te-
linga. Cepat wajahnya menoleh ke arah sumber suara.
Dan..., hampir tidak dipercayainya ketika melihat se-
sosok tubuh ringkih yang rambut putihnya sudah
hampir tidak tersisa. Satu-satunya yang mem-buat
Panji mengenali kalau sosok itu wanita adalah buah
dada yang menggantung bagai baton kempes di tubuh
sosok tulang terbalut kulit keriput itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Panji hanya berdiri
bengong menatapi sosok wanita yang sangat tua itu.
Nenek yang entah usianya sudah berapa ratus tahun
itu hanya mengenakan selembar kain usang, menutupi
bagian pinggang hingga ke lututnya. Sedangkan tubuh
bagian atasnya polos tanpa selembar benang pun.
"Hei, mengapa menatap ku seperti itu" Kau mem-
punyai pikiran jelek, ya" Kau suka dengan tubuhku,
ya" Ayo, jawab! Mengapa kau diam saja" Berbicaralah!
Sudah puluhan tahun aku tidak pernah mendengar
suara manusia di sini. Aku rindu sekali mendengar
suara manusia untuk kuajak bercakap-cakap. Ber-
bicaralah, Anak Muda tampan! Jangan menyiksaku
dengan membisu seperti itu...."
Dari marah, suara nenek itu akhirnya terdengar
memelas. Dia meminta Panji untuk berbicara atau
mengatakan sesuatu agar telinganya bisa mendengar
suara makhluk sejenisnya kembali. Jelas, otak nenek
itu kurang waras.
Sebenarnya Panji merasa geli mendengar nenek itu
menuduhnya mempunyai pikiran jelek dan menyukai
tubuhnya. Tapi, dia tidak berusaha menyinggung pe-
rasaan nenek itu dengan senyumnya. Apalagi dengan
tawanya. "Nenek yang baik. Aku tidak tahu, siapa adanya
Nenek. aku berada di sini bukan atas kemauanku sen-
diri. Tapi, orang-orang jahat di luar sanalah yang
membuatku sampai di tempat celaka ini. Namaku Pan-
ji. Kau sendiri siapa, Nek...?" tanya Panji sambil berdiri tegak, karena nenek
itu tengah menghampiri-nya.
"Bodoh! Kau tidak pantas menyebutku Nenek, Pe-
muda tolol! Panggil aku, Uyut. Karena, usiaku jauh lebih tua daripada nenekmu
yang berada jauh di atas
sana. Dan bukan di luar! Huh! Sial betul aku ini. Da-
pat teman, ternyata seorang pemuda sinting yang bero-
tak udang!" umpat nenek itu menyalahkan ucapan dan sebutan Panji.
Bahkan tanpa memperdulikan perasaan Panji,
enak saja nenek itu memakinya sebagai pemuda sint-
ing berotak udang. Tentu saja Panji menjadi kaget
mendengarnya. "Sinting...!" desis Panji.
Pendekar Naga Putih sempat merasa kesal karena
dirinya dimaki sedemikian rupa. Namun dia tidak be-
rani mengucapkannya, karena khawatir tingkah nenek
itu akan semakin menggila. Biar bagaimanapun, ia ha-
rus bersyukur dapat bertemu manusia Iain di dalam
perut bumi ini.
"Eh, dasar pemuda sinting! Mengapa kau malah di-
am" Ayo, panggil aku Uyut! Atau, kau tidak suka ke-
padaku, ya" Kau ingin minggat, ya" Ingin me-
ninggalkan aku sendirian, ya" Huh! Tidak bisa..., tidak bisa...," dengus nenek
itu sambil menggoyang-goyang-kan tangan dengan kepala menggeleng-geleng keras.
"Celaka ...!" desis Panji.
Sepertinya, nenek gila itu tidak akan membiarkan
Panji pergi dari alam bawah tanah itu. Tentu saja hal itu membuatnya cemas.
"Maaf, Uyut. Aku memang tidak akan pergi dari perut bumi ini. Lagi pula, mana
ada jalan keluar dari Neraka ini" Kalaupun ada, pastilah Uyut tidak akan tinggal
di sini, bukan?" sahut Panji dengan suara yang cukup keras.
Sengaja semua itu dikatakannya untuk memancing
pendapat nenek itu. Dan kalau memang ada jalan ke-
luar, pasti nenek itu akan mengatakannya.
"Bagus, kalau kau tidak akan meninggalkan tem-
pat ini. Tapi jangan dikira tidak ada jalan...eh"! Pasti tidak ada jalan keluar.
Ya, tidak ada jalan keluar!" kata nenek itu berulang-ulang seperti baru
menyadari kalau dirinya telah terpancing untuk me-ngatakan ada ti-daknya jalan
keluar. "Ya, tidak ada jalan keluar. Dan, aku akan ter-
kubur hidup-hidup di sini. Atau, menanti datangnya
kematian tanpa mampu mencegah kejahatan yang ber-
langsung di atas sana...," desah Panji kembali hendak memancing perhatian nenek
itu tentang kejahatan
yang masih terus berkelanjutan mengotori bumi.
"Kejahatan di atas sana...?" gumam nenek itu termenung sejenak, mengulang ucapan
Panji. "Aku tidak perduli dengan segala manusia yang berada di atas sa-na! Huh!
Selama ini mereka pun tidak perduli dengan
nasibku! Tidak ada seorang pun yang menolong ku!
Aku dibiarkan terkubur hidup-hidup di tempat ini
berteman cacing-cacing raksasa dan makhluk-
makhluk lain yang tidak bisa kuajak bicara. Lalu, un-
tuk apa harus memikirkan orang-orang sinting di atas
sana?" Mendadak saja nenek itu berteriak-teriak, seolah-
olah ingin mengungkapkan perasaan yang selama ini
terpendam di dalam hatinya. Ketika diingatkan Panji,
maka meluncurlah semua rasa ketidakpuasan dan
dendamnya terhadap orang-orang di atas bumi yang
dianggap tidak mau menolongnya.
Panji terdiam tanpa menjawab sepatah pun. Di-
biarkannya nenek itu mengungkapkan segala isi ha-
tinya yang selama ini terpendam. la menunggu nenek
itu menyelesaikan segala perasaannya. Panji berharap,
agar perasaan dendam dan tertekan dalam diri nenek
itu dapat tersalur lewat ucapan-ucapannya.
"Uyut..," panggil Panji setelah nenek itu menghentikan ucapan dan tangisnya.
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa ragu-ragu lagi, dipeluknya tubuh renta itu
penuh rasa iba. Sebab, apa yang selama ini dialami
nenek itu bukan tidak mungkin akan dialaminya juga.
Hanya bedanya, ia kini ditemani nenek itu.
Cukup lama nenek itu menangis di dada Panji.
Sementara Pendekar Naga Putih membiarkannya, dan
membelai-belai punggung nenek itu dengan lembut
"Aaahhh...!"
Mendadak saja, nenek itu menarik tubuhnya dan
menjauh dari Panji. Pemuda itu tetap saja tenang, me-
nanti apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh nenek
penghuni perut bumi itu.
"Uyut..!?"
Panji yang melihat tubuh nenek itu tiba-tiba lim-
bung dan hendak jatuh, segera saja melesat me-
nangkap tubuh renta itu. Sehingga, tubuh kurus yang
hanya tulang terbalut kulit keriput itu tidak sampai
terbanting jatuh.
Perlahan-lahan Panji merebahkan tubuh nenek itu
di atas sebuah batu pipih, tempat semula nenek itu
duduk bersila. Hatinya merasa cemas ketika me-
rasakan denyut jantung yang kian terdengar lemah.
Tentu saja kenyataan itu membuatnya menjadi he-
ran. Sebab, semula nenek itu kelihatan demikian kuat
dan tidak menunjukkan tanda-tanda menderita sakit.
"Pan... ji....Itukah namamu, Cucuku...?" tiba-tiba terdengar suara nenek itu
lemah. Maka bergegas Panji
mendekat "Benar, Uyut. Itulah namaku...," sahut Panji dengan suara sedikit keras, agar
bisa terdengar nenek
itu. "Pan...ji. Kau jangan merasa heran melihat keadaan ku ini. Kalau selama ini
aku kuat bertahan, itu hanya karena tekadku demikian kuat untuk berjumpa
dengan bangsaku. Dan setelah melihatmu, penyakit
tua yang telah lama ku derita ini, kembali kambuh,"
tutur nenek itu dengan suara lirih dan hampir tidak
terdengar. Panji menjadi merasa perlu mendekatkan telin-
ganya agar dapat menangkap jelas setiap kata yang di-
ucapkan nenek itu. Dengan sabar, dinantinya kata-
kata yang akan meluncur dari bibir tua itu.
'Tahukah kau, Panji" Berapa umurku sekarang"
Hampir genap seratus lima puluh tahun! Jadi seratus
tahun lebih aku terkubur di dalam perut bumi ini."
Nenek itu kembali menghentikan ucapannya. Ter-
dengar tarikan nafasnya yang berulang-ulang. Jelas
sekali kalau untuk berbicara pun ia sudah me-rasa
sangat lelah. "Kuatkanlah hatimu, Uyut. Aku akan mencoba
mengobati dan menyembuhkan mu?" ujar Panji yang
tiba-tiba merasa iba, dan memutuskan untuk tinggal
menemani sisa-sisa umur nenek itu.
"Tidak perlu, Cucuku. Ah..., aku bisa melihat bah-wa kau adalah seorang pemuda
jujur dan sangat baik.
Kepandaian yang kau miliki pun sangat tinggi. Jauh
lebih tinggi sebelum aku terlempar ke neraka ini. Tadi pun, aku hampir tidak
sanggup menyeret mu kemari.
Kau harus keluar dari tempat ini, Cucuku. harus!" tegas nenek itu yang kemudian
terbatuk hebat.
Cepat Panji mengurut leher bagian belakang nenek
itu perlahan. 'Tapi..., bagaimana dengan Uyut sendiri" Tidak.
Aku tidak bisa meninggalkan Uyut sendirian di sini.
Biarlah aku tidak usah melihat dunia lagi. Aku akan
tinggal di sini menemani Uyut," jawab Panji tegas.
Meskipun semula hendak keluar dari dalam neraka
bumi itu, tapi hati Pendekar Naga Putih tidak tega melihat nenek itu tinggal
sendiri tanpa ada yang mene-
mani. "Terima kasih, Cucuku. Tapi, umurku hanya ting-
gal beberapa hari lagi. Dan aku tidak ingin kau mengalami apa yang selama ini
kujalani. Seratus tahun lebih aku harus menekan semua penderitaan ini, akibat
ulah musuhku yang mengalahkan aku dalam sebuah
pertarungan mati-matian. Selama itu, aku telah mem-
buat jalan keluar dengan menggunakan tanganku sen-
diri. Sayang, ketika aku berhasil membuat jalan keluar itu, umurku kira-kira
sudah seratus empat puluh delapan tahun. Dan aku tidak ingin akan menjadi bahan
ejekan orang kalau aku keluar kelak. Untuk itulah aku menetapkan tinggal di
perut bumi ini sambil menunggu, kalau-kalau akan ada orang yang datang. Setelah
kepergianku yang kurasa tidak lama lagi, pergilah berjalan ke Utara, Cucuku.
Kelak kau akan tiba di sebuah pantai. Nah, dari sanalah kau baru bisa menemukan
dunia luar. Jangan sia-siakan umurmu di tempat cela-
ka ini...," jelas nenek itu.
Namun, kegembiraan Panji sudah lenyap sejak
mengetahui kalau nenek itu ternyata tidak akan beru-
sia lama lagi. Maka iapun memutuskan untuk mene-
mani sisa hidup nenek itu. Karena tanpa nenek itu,
bukan tidak mungkin ia akan tetap tinggal di dalam
perut bumi menanti kematian datang men-jemputnya.
"Biarlah, Uyut. Lupakan tentang jalan keluar itu.
Aku ingin pada saat-saat akhir hidup Uyut, akan ada
seorang yang menemani dan merawat secara baik. Un-
tuk itu, aku akan tinggal di tempat ini dan merawat
Uyut" jawab Panji.
Pendekar Naga Putih terpaksa menundukkan wa-
jahnya, karena tidak ingin kalau nenek itu sempat me-
nangkap adanya binar kekecewaan di matanya.
Cukup lama Panji tertunduk sambil menggenggam
telapak tangan nenek itu. Kesadarannya baru bangkit
setelah merasakan, betapa telapak tangan yang di-
genggamnya, mulai dingin dan tidak terasa adanya de-
nyutan. "Uyut..," panggil Panji dengan suara cemas.
Namun, nenek itu tetap diam. Dan dia masih ter-
baring dengan wajah mengukir senyum bahagia.
"Uyut...!"
Dengan suara yang penuh rasa cemas, Panji meng-
guncangkan tubuh nenek itu. Namun nenek penghuni
perut bumi itu tetap terdiam tanpa menunjukkan tan-
da-tanda akan terbangun. Sadarlah Panji kalau nenek
itu telah tiada.
"Aaah.... Uyut. Betapa besarnya budimu kepadaku.
Tanpa adanya kau di tempat ini, rasanya aku tidak
mungkin dapat menemukan jalan keluar," desah Panji dengan suara berduka.
Dengan perasaan yang masih tidak menentu, Panji
mengangkat mayat nenek itu. Kemudian dikuburkan-
nya nenek itu di dalam gua.
"Uyut. Maafkan, kalau aku tidak bisa tinggal lebih lama. Setelah kepergianmu,
rasanya aku lebih baik
pergi meninggalkan tempat ini. Aku pamit, Uyut..," desah Panji, duduk di samping
makam nenek penghuni
perut bumi itu.
Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu pun me-
langkah ke arah Utara seperti yang dikatakan nenek
penghuni perut bumi sebelum kematiannya.
*** 7 Setelah berhari-hari menelusuri lorong yang sulit
dan berliku-liku, tibalah Panji di sebuah dinding tebing karang yang menjorok ke
pantai. Debur ombak yang
terdengar dari kejauhan, membuat pemuda itu se-
makin bersemangat melihat dunia luar kembali. Tidak
berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih tampak
berdiri sambil menarik napas sepuas-puasnya. Di-
tatapinya air laut yang bagaikan tidak bertepi.
'Ya, Tuhan.... Akhirnya aku bisa juga melihat dunia
kembali...," desah Panji mengucap syukur karena masih bisa keluar dari dalam
perut bumi. Puas menatap laut lepas sambil menghirup udara
segar, Panji mulai mengalihkan perhatiannya ke se-
kitar tempat itu. Ia melihat kalau dirinya berada di bawah sebuah dinding tebing
setinggi kira-kira se-puluh tombak dari daratan. Segera saja pemuda itu merayap
naik, dengan menanamkan jari-jari tangan-nya ke
dinding tebing. Tentu saja perbuatan itu tidak mudah.
Untunglah tenaga sakti yang dimilikinya sudah demi-
kian tinggi, sehingga Panji bisa tiba di atas daratan berbatu karang.
Pendekar Naga Putih yang terlalu merasa gembira
karena dapat terbebaskan dari kurungan perut bumi,
sama sekali tidak menyadari keadaan dirinya. Pakaian-
nya yang lebih mirip gelandangan, tidak sempat di-
ingatnya. Rambut dan wajahnya pun tampak kotor ba-
gaikan tidak pernah dibersihkan. Rasanya, kalau saat
itu ia mengaku sebagai Pendekar Naga Putih, orang
pasti akan senantiasa menertawakannya. Memang
keadaan pemuda itu tentu saja sangat jauh berbeda,
sebelum terjebak di dalam perut bumi.
Dengan langkah ringan, Panji mengayunkan kaki-
nya menuju ke arah perkampungan nelayan, yang di-
duganya pasti tidak jauh dari tempatnya berada saat
itu. Pemuda itu pun sama sekali tidak menyadari be-
tapa tubuhnya telah menyusut dalam beberapa hari.
Sebab, selama berada di dalam perut bumi, dia jarang
sekali menemukan makanan untuk mengisi perutnya.
Kalau beruntung, dalam dua hari barulah ia bisa men-
dapatkan seekor ikan yang kebetulan tersasar, atau
terjebak di ceruk tanah. Jadi, tidak aneh kalau tubuhnya jauh lebih kurus dari
semula. Ketika memasuki perkampungan nelayan, barulah
Pendekar Naga Putih menyadari keadaannya. Beberapa
gadis-gadis nelayan yang berpapasan dengannya, ber-
gegas menyingkir sambil memijat hidungnya. Sehing-
ga, pemuda itu tersenyum kecut menyaksikan sikap
mereka. Panji yang semula berniat menyingkir untuk mem-
bersihkan diri, menahan langkahnya ketika mendengar
jeritan yang diiringi gemuruh derap kaki kuda. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, segera saja tubuhnya
melesat secepat kilat. Kedua kakinya bagaikan tidak
menyentuh permukaan pantai berpasir. Sehingga, be-
berapa orang nelayan yang tengah berlarian sempat
terjatuh lemas ketika tubuh Pendekar Naga Putih lewat di sampingnya.
"Tolooong...! Tolooong...!"
Terdengar jeritan-jeritan ketakutan yang membuat
suasana semakin bising. Darah pemuda itu mendidih
seketika begitu melihat serombongan orang berkuda
mengenakan seragam serba hitam, tengah menyeret-
nyeret seorang lelaki tua. Tentu saja lelaki tua itu menjerit-jerit kesakitan
sambil memegangi tali yang menje-
rat tubuhnya. Sedangkan orang berpakaian hitam
yang berada di atas punggung kuda malah ter-bahak-
bahak, seperti merasa gembira melihat penderitaan le-
laki tua itu. "Biadab...!" desis pemuda itu menggertakkan gi-ginya, menahan geram.
Hati Pendekar Naga Putih semakin terbakar begitu
mengenali kalau para penunggang kuda itu tak lain
adalah gerombolan Naga Hitam! Cepat bagai kilat, tu-
buh pemuda itu melayang dan langsung melakukan
tamparan keras ke arah wajah si penunggang kuda.
Whuuuttt! Plakkk!
"Aaakkkh...!"
Laki-laki itu tak sempat lagi menghindari Tam-
paran telak itu tepat menghantam kepalanya. Diiringi
jerit kematian, tubuh penunggang kuda itu terjungkal
dan tewas seketika dengan kepala retak!
Panji sendiri sudah langsung menyambar tubuh
nelayan setengah baya itu, setelah dilepaskan dari ikatan yang membelit
tubuhnya. Kemudian dia lang-sung
melarikannya ke tempat yang aman.
Setelah meletakkan tubuh lelaki setengah tua itu,
Panji kembali melesat ke luar. Sepasang matanya ber-
putar dengan sorot menggetarkan ketika men-dengar
jeritan seorang wanita.
"Biadab...! Rupanya setan-setan keparat itu se-
makin merajalela ke berbagai tempat!" desis Panji melihat salah seorang anggota
rombongan penunggang
kuda itu tengah berusaha menodai seorang gadis putri
nelayan. Peristiwa yang terjadi di depan sebuah rumah ne-
layan itu, merupakan satu bukti kalau kelompok kaum
sesat yang semula tak dikenal itu sudah me-
nampakkan diri secara terang-terangan, sejak mereka
menganggap Pendekar Naga Putih telah tewas di Lem-
bah Bintang. Tanpa membuang-buang waktu, Panji kembali me-
lesat ke dekat lelaki yang hendak memperkosa gadis
nelayan itu secara biadab. Begitu tiba, tangannya
langsung mengangkat naik tubuh lelaki itu.
"Heaaahhh!"
Dibarengi bentakan keras, Panji melemparkan tu-
buh lelaki itu sekuat tenaga!
Braaakkk...! Lemparan Panji yang sekuat tenaga, tentu saja be-
rakibat sangat hebat! Tubuh orang itu melayang deras, dan membentur tiang
penyangga rumah hingga berde-rak patah! Bahkan tubuh orang itu langsung
tertancap di patahan tiang!
"Aaa...!"
Darah segar menyembur seiring jerit kematian yang
melengking merobek udara! Sebentar kemudian, tubuh
lelaki itu pun terkulai tewas.
Tanpa memperdulikan korbannya, Panji kembali
mengamuk menggiriskan! Para penunggang kuda yang
berjumlah dua puluh orang itu beterbangan bagaikan
diamuk badai! Tak satu pun dari mereka yang selamat
dari tangan maut Pendekar Naga Putih! Sehingga da-
lam waktu sebentar saja, habislah seluruh anggota
pembunuh bayaran Naga Hitam!
Para nelayan beserta keluarganya yang semula
bersembunyi di dalam rumah, bergegas keluar. Mereka
bersorak menyambut kemenangan Panji. Bahkan, ga-
dis-gadis nelayan yang semula menyingkir ketika pe-
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muda itu lewat di sampingnya, kini malah berebutan
mengerumuninya.
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum tanpa tahu
harus berkata apa. Perlahan kemudian, tangan pe-
muda itu terangkat ke atas. Anehnya, isyarat itu langsung membuat teriakan-
teriakan gembira lenyap. Ru-
panya penduduk perkampungan nelayan itu sangat
mengagumi pemuda berwajah kotor dengan pakaian
seperti jembel itu.
Pada saat suasana hening itu, tampak dua orang
lelaki gagah menyeruak mendekati Panji. Begitu ber-
hadapan, keduanya langsung membungkuk hormat ke
arah Pendekar Naga Putih.
"Kisanak, kepandaianmu sangat hebat. Kami be-
nar-benar sangat kagum dan berterima kasih ke-
padamu. Perlu kau tahu, orang-orang yang berpa-
kaian hitam itu adalah kelompok kaum sesat yang saat
ini tengah merajalela tanpa ada yang berani men-
cegahnya," jelas salah satu dari kedua orang itu tanpa diminta.
Rupanya kedua orang itu sempat melihat sepak
terjang Panji yang menggiriskan, ketika menghadapi
gerombolan pembunuh bayaran Naga Hitam tadi.
"Benar, Kisanak. Melihat kepandaianmu, rasanya
orang seperti kaulah yang selama ini kami cari-cari.
Bersediakah Kisanak bergabung dengan kami untuk
memberantas gerombolan manusia laknat itu...?"
tanya orang bertubuh gemuk pendek dengan sepasang
alis hitam berbentuk golok.
"Sebenarnya kami tengah berusaha menghubungi
seorang pendekar pengelana yang berjuluk Pendekar
Naga Putih. Sayangnya kami mendapat khabar, pen-
dekar muda yang sakti itu telah tewas di tangan Datuk Naga Hitam dan Petapa
Gunung Kulon. Padahal, saat
ini dunia persilatan sangat memerlukan orang seperti
dia...," ujar orang pertama lagi, yang tubuhnya tinggi kurus dengan sepasang
mata cerdik. "Mmm... Kalau kalian melihatku sewaktu mem-
basmi gerombolan sesat itu, mengapa tidak turun tan-
gan untuk mencegah mereka" Apakah kaum golongan
putih telah demikian pengecut hingga membiarkan ke-
jahatan merajalela di mana-mana...?" tukas Panji, me-nyahuti sebelum salah
seorang di antara kedua orang
itu berbicara kembali. Nada ucapan pemuda itu jelas-
jelas sebuah teguran.
"Maaf, kami berdua datang terlambat," sahut lelaki pendek gemuk dengan nada
bersalah, "Kami terpaksa hanya menyaksikan ketika kau menghabisi manusia-manusia
laknat itu. Selain itu, mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Meskipun
kami berdua tidak takut mati, tapi untuk menghadapi gerombolan itu ra-
sanya tidak akan sanggup," jawab lelaki itu membela diri. "Hm.... Kalau begitu,
mari bawa aku kepada ketua kelompok kalian...," ujar Panji tetap dengan nada
yang datar. Pendekar Naga Putih sengaja tidak memperkenal-
kan diri sebagai Pendekar Naga Putih, karena ingin
melihat, apakah ada di antara para tokoh golongan pu-
tih yang akan mengenalnya dalam keadaan demikian.
"Aaah...! Marilah, Kisanak. Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar Gunung Batur,
pasti akan gembira menyambut kedatanganmu...," sambut lelaki tinggi kurus itu
cepat. Kelihatan sekali kalau ia merasa sangat gembira
mendengar pernyataan pemuda yang telah disaksikan
sendiri kesaktiannya.
Sambil melangkah meninggalkan perkampungan
nelayan, Panji meminta agar kedua orang lelaki gagah
itu menceritakan apa-apa yang telah terjadi dalam du-
nia persilatan.
Kedua orang lelaki gagah itu sendiri nampaknya
sangat bangga bisa menceritakan kepada pemuda itu
tentang peristiwa yang telah membuat golongan putih
kalang kabut. Pendekar Naga Putih sendiri hanya
menganggukkan kepala sambil menoleh ke arah kedua
orang itu berganti-ganti. Memang kedua lelaki gagah
itu bercerita secara bergantian.
*** Panji berhenti sejenak di depan sebuah rumah be-
sar yang terletak di dalam sebuah hutan. Diam-diam
bibirnya tersenyum sendiri. Ingin rasanya pemuda itu
segera bertemu Pendekar Garuda Sakti. Panji ber-
maksud tidak akan memperkenalkan dirinya, karena
ingin melihat apakah lelaki gagah yang pernah ber-
jumpa dengannya di Desa Jipang masih dapat menge-
nali dirinya yang telah berubah ini.
"Mari, Kisanak...!"
Lamunan Panji tentang pertemuan pertamanya
dengan Pendekar Garuda Sakti buyar, ketika lelaki ga-
gah bertubuh pendek gemuk itu mempersilakannya
masuk. Segera saja pemuda itu melangkah meng-
ikutinya. Kening pemuda itu sempat berkerut melihat ba-
nyaknya tokoh persilatan yang telah berkumpul di
tempat itu. Melihat semua itu, Pendekar Naga Putih
mulai dapat meraba kejadian yang melanda negeri itu
semenjak dirinya lenyap di dalam perut bumi.
"Selamat datang di tempat ini, Kisanak...," sapa seorang lelaki gagah berusia
sekitar lima puluh tahun lebih yang duduk di kursi terbuat dari kayu tebal.
Lelaki gagah itu segera bangkit diiringi orang di sebelah kanannya. Meskipun
telah berumur, namun orang itu
terlihat masih tampan dan segar. Kedua orang itu
membungkuk hormat ke arah Panji yang segera mem-
balasnya. 'Terima kasih atas kesediaan kalian menerima-
ku...," sahut Panji menyembunyikan senyumnya.
Ternyata lelaki gagah yang dikenali sebagai Pen-
dekar Garuda Sakti itu sama sekali tidak mengenali-
nya. Hanya saja, lelaki gagah yang dikenal Panji ber-
nama Gumang itu seperti menatapnya penuh selidik.
Tapi, Panji berpura-pura bodoh.
"Kami telah mendengar laporan tentang dirimu, Kisanak. Syukurlah kau bersedia
membantu kami. Ka-
rena pada saat-saat seperti ini, kami memang sangat
membutuhkan orang-orang pandai untuk me-
nanggulangi kaum sesat yang semakin merajalela.
"Oh.... Inikah pemuda yang telah membantai habis orang-orang biadab itu...?"
Tiba-tiba terdengar suara bening dan merdu yang
membuat wajah Panji agak pucat. Karena dikenalinya
betul suara merdu itu.
Panji yang menoleh ke arah asal suara itu, men-
jadi berdebar tegang. Ditahannya keinginan untuk me-
nyebut nama seorang dara jelita berpakaian serba hi-
jau, yang tengah berdiri menatapnya dengan wajah te-
gang. "Kau... ah...! Kau Kakang Panji...!?"
Tiba-tiba saja, sebelum Panji sempat menyebutkan
nama seorang dara jelita, gadis itu sudah keburu
menghambur ke dalam pelukan Panji. Gadis yang tak
lain dari Kenanga itu tampaknya dapat mengenal Pan-
ji, bagaimanapun rupa kekasihnya saat itu.
"Kakang...!"
Tanpa ragu-ragu lagi, Kenanga langsung memeluk
tubuh pemuda berpakaian gembel itu erat-erat. Ter-
dengar ledakan tangisnya yang tidak bias dibendung.
"Kenanga...,"
Akhirnya keluar juga suara itu dari mulut Panji.
Pemuda itu memeluk tubuh kekasihnya penuh ke-
rinduan. Mereka sama sekali lupa kalau saat itu ba-
nyak orang di sekeliling yang memandang bingung.
"Kakang, ke mana saja kau selama ini" Apa yang
telah terjadi denganmu" Menurut khabar yang ku-
dengar, kau telah tewas di dalam Lembah Bintang. La-
lu, mengapa kau tiba-tiba muncul dalam keadaan se-
perti ini...?" Kenanga langsung memberondong kekasihnya dengan pertanyaan-
pertanyaan, begitu mereka
saling melepaskan rangkulan.
Mendengar pertanyaan kekasihnya, tentu saja Pan-
ji menjadi heran. Tapi Pendekar Naga Putih segera
mengerti. Dia ingat ketika disuruh memilih oleh datuk-datuk sesat itu, Kenanga
tengah tak sadarkan diri. Ja-di wajar saja kalau gadis itu tidak tahu.
"Hm.... Syukurlah Datuk Naga Hitam dan Petapa
Gunung Kulon memenuhi janjinya untuk membe-
baskan mu. Saat itu, kau tengah pingsan dalam tawa-
nan mereka dan...,"
"Aku pingsan..." Ditawan mereka..." Apa maksud
mu, Kakang" Aku sama sekali tidak pernah ter-tawan
mereka. Karena, saat aku dikeroyok sewaktu di pengi-
napan Desa Jipang, ada Pendekar Gunung Batur yang
kebetulan menyelamatkanku. Karena saat itu aku ja-
tuh pingsan akibat racun mereka, maka Pen-dekar
Gunung Batur membawaku ke tempat tinggal-nya. Ja-
di, aku sama sekali tidak tertawan seperti katamu itu,"
sergah Kenanga.
"Hm..., aku ingat sekarang. Pantas saja kedua iblis itu tidak memperlihatkan
secara jelas gadis yang dita-wannya. Gadis itu rupanya sengaja diberi pakaian
hi- jau yang serupa dengan pakaianmu. Rambutnya yang
panjang ditutupi ke wajahnya. Bangsat! kalau begitu
aku telah tertipu mentah-mentah!" geram Panji.
Panji langsung teringat saat mendekati gadis tawa-
nan berpakaian serba hijau itu, Datuk Naga Hitam dan
kawan-kawannya selalu mencegah dan berusaha agar
tidak sampai melihat jelas wajah gadis yang dikiranya sebagai Kenanga.
"Untunglah kau selamat, Pendekar Naga Putih. Se-
jak pertama kali kau datang tadi, aku sudah me-rasa
curiga. Tapi, aku tidak yakin kalau itu adalah kau. Sebab, tak seorang pun yang
pernah selamat dari pusa-
ran maut di muara sungai Lembah Bintang. Syukurlah
Tuhan masih melindungimu dan kita semua." Pende-
kar Garuda Sakti yang memang pernah mengenal pe-
muda itu, segera saja menya-huti.
Tentu saja kedatangan pemuda yang ternyata Pen-
dekar Naga Putih itu, disambut meriah tokoh-tokoh
persilatan yang tergabung di bawah pimpinan Pen-
dekar Garuda Sakti dan Pendekar Gunung Batur.
'Terima kasih, Gumang. Dan aku pun telah men-
dengar semua dari dua orang tokoh yang mengajakku
ke mari tadi. Rasanya, memang sudah saatnya ke-
jahatan manusia-manusia sesat itu kita berantas...,"
ucap Panji yang masih tak lepas dari pelukan Kenan-
ga. Sepertinya gadis jelita itu sama sekali tidak peduli, meskipun tubuh
kekasihnya mengeluarkan bau tak
sedap saat itu. Semua itu lenyap ditelan kerinduan
dan rasa cintanya yang mendalam.
"Kalau begitu, kita harus menyusun rencana untuk menghancurkan Datuk Naga Hitam
dan begundal-begundalnya...," ujar Pendekar Naga Putih lagi.
"Rasanya, kita tidak perlu menyatroni mereka,
Pendekar Naga Putih. Menurut beberapa orang tokoh
yang menyelidiki kegiatan gerombolan pembunuh
bayaran Naga Hitam, mereka melihat adanya dua
orang anggota gerombolan itu yang sempat melarikan
diri pada waktu kau memberantas kawan-kawannya di
perkampungan nelayan. Jadi menurut perkiraan ku,
mereka sendirilah yang akan datang ke tempat kita
ini," jelas Pendekar Garuda Sakti.
"Kalau begitu, kita hanya tinggal menunggu mere-
ka saja. Hm..., apakah kau sudah mempersiapkan pe-
nyambutan untuk mereka, Gumang?" tanya Panji dengan sorot mata kagum.
Pemuda itu merasa agak bersalah, karena sempat
mencurigai Gumang pada waktu di Desa Jipang. Tapi
kini Panji tahu, lelaki gagah itu memang merupakan
seorang pendekar yang pantas dikagumi. Terbukti, ia
dapat menyatukan tokoh-tokoh persilatan yang di-
musuhi kelompok kaum sesat Naga Hitam.
'Tentu saja aku sudah mempersiapkannya dengan
baik, Panji. Hanya satu hal yang ku takutkan...," Gumang tidak segera
menyelesaikan kalimatnya. Seper-
tinya, ia hendak melihat sambutan Pendekar Naga Pu-
tih. "Oh, ya. Tentu saja aku akan bersiap untuk itu...,"
sahut Panji. Pendekar Naga Putih segera saja mengetahui, kalau
yang dimaksudkan Pendekar Garuda Sakti adalah ke-
hadiran dua datuk sesat yang memang tidak mungkin
dapat ditandingi oleh Gumang maupun Pendekar Gu-
nung Batur. Tentu saja Panji mengerti.
"Hm..., Kalau begitu, bagaimana apabila kau mem-
bersihkan tubuhmu dulu, Kakang" Menurutku, kau
pasti tidak pernah membersihkan tubuhmu sejak le-
nyap ditelan pusaran maut Lembah Bintang," Ke-
nanga mengingatkan.
Gadis jelita itu menutup hidungnya untuk meng-
goda Panji. Semua itu jelas dari pancaran matanya
yang berbinar. "Hm.... Tapi kau tetap suka kan...," bisik Panji yang tentu saja hanya bisa
didengar oleh gadis jelita itu. Kenanga sendiri hanya tersenyum mendengar ucapan
Panji. Setelah berpamitan kepada Gumang dan Pendekar
Gunung Batur, Kenanga pun mengantarkan pemuda
itu untuk membersihkan tubuhnya dan berganti pa-
kaian. *** 8 Saat itu, senja baru menampakkan kekuasaan-
nya. Semburat cahaya kemerahan tampak menghias
kaki langit sebelah Barat. Hembusan angin bersilir
lembut, bagai elusan tangan bidadari.
Di tengah siraman senja, bangunan tua yang men-
jadi tempat tinggal tokoh persilatan, tampak sunyi.
Hanya satu dua orang yang terlihat hilir-mudik dengan senjata di pinggang. Sikap
mereka tampak sedikit tegang, karena menurut perhitungan Pendekar Garuda
Sakti kemungkinan malam atau senja hari itu pihak
golongan sesat akan mendatangi mereka.
Sedangkan di bagian dalam bangunan tua yang
terletak di sebelah Timur Hutan Bajang, tampak bebe-
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rapa orang berkumpul mengelilingi sebuah meja bulat.
Sepertinya, mereka tengah merencanakan untuk men-
gatur siasat dan pembagian tugas dalam meng-hadapi
musuh yang akan menyerang.
"Jika Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon
memang akan muncul, biarlah jadi bagian Pendekar
Naga Putih. Kita harus mengakui, kalau tidak mungkin
sanggup menghadapi kedua datuk sesat itu, kecuali
Pendekar Naga Putih. Justru karena adanya saudara
kita. Pendekar Naga Putih-lah, maka aku berani me-
nanggung akibatnya untuk menghadapi mereka. Kalau
tidak, mungkin aku akan mengajak kalian semua un-
tuk mengungsi, seperti yang selama ini kita laku-kan.
Rasanya, sekaranglah saatnya bagi golongan putih un-
tuk bangkit!" kata Pendekar Garuda Sakti penuh semangat.
Tokoh lainnya hanya menganggukkan kepala tanda
setuju. Karena, apa yang dikatakan lelaki gagah itu
memang tidak berlebihan. Dan mereka semua tahu
akan hal itu. Pendekar Garuda Sakti menatapi rekan-rekannya,
seolah menunggu pendapat dari tokoh lainnya. Setelah
beberapa saat tidak ada yang angkat suara, lelaki ga-
gah itu pun melanjutkan ucapannya.
"Kalau begitu, pertemuan ini kututup. Sebagai-
mana yang telah kita bicarakan tadi, semua harus sia-
ga di tempat masing-masing. Tidak ada seorang pun
yang boleh bergerak, sebelum mendengar tanda dari-
ku. Kurasa cukup sekian...."
Setelah berkata demikian, Pendekar Garuda Sakti
bangkit dari duduknya diikuti para tokoh lain. Satu
persatu mereka meninggalkan ruang pertemuan untuk
melaksanakan apa yang barusan dibicarakan.
Baru saja Pendekar Garuda Sakti membubarkan
pertemuan itu, mendadak dari depan telah terdengar
suara ribut-ribut. Segera saja para tokoh itu berlompatan keluar dengan senjata
di tangan. Rupanya, perhi-
tungan mereka meleset! Padahal dugaan se-belumnya
musuh akan menyerang saat malam datang.
"Aku pergi dulu...,"
Panji yang memang tidak ikut bergabung dengan
para tokoh persilatan lain, segera saja berpamitan. Belum lagi gaung suaranya
hilang, tubuhnya telah lenyap seperti asap tertiup angin.
Setelah tubuh Pendekar Naga Putih lenyap, Pen-
dekar Garuda Sakti, Pendekar Gunung Batur, Ke-
nanga, serta para tokoh lainnya segera saja berlari
menuju gerbang depan. Di tangan mereka telah ter-
genggam senjata terhunus.
Begitu tiba di gerbang depan, para tokoh itu lang-
sung saja menerjunkan diri ke dalam kancah pertem-
puran yang telah ramai berkobar. Meskipun rencana
mereka ternyata berantakan, namun para tokoh persi-
latan itu tetap berjuang gigih! Tidak ada lagi rasa takut dalam hati mereka.
Yang terpikirkan saat itu hanyalah mengusir musuh secepatnya, atau membunuh
lawan sebanyak-banyaknya.
Pendekar Garuda Sakti sendiri sudah menghadapi
seorang lelaki bertubuh gemuk yang wajahnya ter-
lindung kain hitam. Melihat betapa laki-laki gemuk itu banyak menewaskan rekan-
rekannya, langsung saja
Pendekar Garuda Sakti menggempurnya dengan pe-
dang telanjang!
"Hiaaattt..!"
Dibarengi sebuah teriakan keras, Gumang yang
berjuluk si Pendekar Garuda Sakti mengibaskan senja-
tanya, memapak sambaran pedang lelaki gemuk itu
yang hendak mencelakakan salah seorang rekan-nya.
Sehingga, lelaki gemuk itu membatalkan sera-ngan,
dan memutar senjatanya menyambut serangan Gu-
mang. Sebentar saja, mereka segera terlibat dalam se-
buah pertarungan sengit!
Gumang yang telah menyaksikan kehebatan lawan,
segera saja mengerahkan seluruh kepandaian untuk
menundukkan lawan secepat mungkin.
Beeettt! Beeettt!
Senjata yang berupa golok besar di tangan lelaki
gagah berkumis tebal itu berputar dan meliuk-liuk ce-
pat. Tidak percuma Gumang mendapat julukan seba-
gai Pendekar Garuda Sakti. Hal ini terbukti dari gem-
puran-gempurannya yang cepat dan kuat laksana
amukan seekor garuda yang sedang marah!
Tapi, lelaki gemuk berseragam hitam itu pun ter-
nyata bukan orang lemah. Senjata di tangannya yang
berupa sebilah pedang lemas, mengaung-ngaung men-
gincar tubuh lawan. Gerakannya pun tak kalah cepat
dibanding Gumang. Apalagi, senjata yang digunakan-
nya dapat pula digunakan untuk melibat. Sehingga,
pertarungan di antara kedua orang tokoh itu pun ber-
langsung seru dan terlihat seimbang!
Di tempat lain, Kenanga juga mendapat seorang
lawan yang cukup tangguh. Wanita cantik berambut
panjang yang menjadi lawannya, ternyata seorang to-
koh berilmu tinggi. Julukannya cukup membuat orang
gentar. Yakni, Peri Sungai Alur!
Sayangnya yang kali ini dihadapi Peri Sungai Alur
tidak dapat disamakan dengan lawan-lawannya yang
terdahulu, Sebelum bertemu dengan Pendekar Naga
Putih pun, Kenanga merupakan seorang gadis yang
sulit dicari tandingannya. Baik dalam ilmu silat mau-
pun kejelitaannya. Apalagi, setelah bertemu dan me-
lakukan petualangan bersama Pendekar Naga Putih.
Tentu saja kepandaian yang dimilikinya pun maju pe-
sat. Dalam menghadapi Peri Sungai Alur, Kenanga yang
menggunakan Pedang Sinar Bulan, mulai mendesak
lawannya melalui jurus-jurus andalan. Bahkan dalam
kesempatan itu, dicobanya menggunakan ilmu 'Pedang
Naga Sakti' yang diajarkan kekasihnya.
Kehebatan ilmu 'Pedang Naga Sakti', tentu saja ti-
dak dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu pedang lain
yang ada di kolong langit ini. Meskipun Kenanga baru
mempelajarinya beberapa jurus, namun kehebatannya
tampak jelas. Terbukti, Peri Sungai Alur tampak ke-
labakan menghadapi serangan gadis jelita itu. Se-
hingga dalam tiga puluh jurus saja, Peri Sungai Alur
hanya bisa bermain mundur tanpa mampu me-
lancarkan serangan balasan.
"Yiaaattt..!"
Kenanga kembali mengeluarkan bentakan nyaring,
disertai tusukan pedangnya yang mengaung tajam! Ki-
latan sinar putih yang berpendar dari badan pedang,
membuat Peri Sungai Alur semakin kewalahan!
"Aaahhh...!"
Peri Sungai Alur memekik tertahan ketika hampir
saja pedang lawan menggores lengan atasnya. Untung-
lah tubuhnya sempat dimiringkan, sehingga pedang itu
lewat dua jari dari sasarannya.
Tapi, Kenanga rupanya jauh lebih cerdik dari la-
wan. Begitu tusukannya luput, cepat pedangnya dita-
rik pulang dengan geseran ke arah sasaran. Dan...
Breeettt..! "Aaakh...!"
Mata pedang Kenanga langsung menggores pangkal
lengan Peri Sungai Alur yang tak sempat lagi meng-
hindar. Tubuh wanita cantik itu terjajar limbung beberapa langkah ke samping.
Dan Kenanga tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Cepat tubuhnya
melesat dengan jurus 'Bidadari Menabur Bunga'.
"Yeaaattt...!"
Sinar putih keperakan yang bergulung-gulung itu
tentu saja membuat Peri Sungai Alur menjadi gugup
bukan main! Akibatnya, ia tidak sanggup lagi meng-
hindari gulungan sinar pedang gadis jelita yang menja-di lawannya.
Breeettt! Breeettt!
"Aaa...!"
Peri Sungai Alur meraung keras ketika gulungan
sinar putih keperakan yang ditimbulkan Pedang Sinar
Bulan di tangan Kenanga merobek-robek tubuhnya!
Darah segar kontan menyembur dari beberapa luka
berlubang di tubuh wanita cantik pengikut Datuk Naga
Hitam. Kenanga menatap tajam tubuh lawannya yang ter-
banting berlumuran darah. Setelah yakin kalau Peri
Sungai Alur tidak bernyawa lagi, gadis itu pun segera berpindah ke arena lain
untuk membantu rekan-rekannya
*** Setelah berpamitan kepada kawan-kawannya, Panji
segera bergerak menuju ke luar bangunan. Kemudian,
terus melesat ke arah samping dan terus ke depan. Ke-
tika melihat beberapa orang berpakaian serba hitam
hendak menghadangnya, Pendekar Naga Putih lang-
sung merobohkan lawan-lawannya dengan pukulan-
pukulan maut Enam orang berseragam hitam yang bernasib sial
langsung saja beterbangan bagaikan lalat menghampiri
pelita. Mereka tewas seketika akibat pukulan maut
yang dilontarkan Pendekar Naga Putih. Kemudian,
Panji terus melesat ke depan.
Pendekar Naga Putih baru menghentikan larinya
ketika dari kejauhan terlihat dua sosok tubuh yang tidak mungkin dapat
dilupakannya. Mereka tak lain
adalah Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon.
Rupanya, mereka hanya menyaksikan para pengikut-
nya yang tengah bertarung melawan tokoh-tokoh go-
longan putih. Tanpa membuang-buang waktu lagi, se-
gera dikerahkannya 'Ilmu Mengirim Suara Dari Jauh'
kepada kedua orang tokoh sesat itu.
"Hei, badut-badut konyol! Tidakkah kalian ingin
ikut meramaikan suasana denganku...?"
Suara bisikan Panji ternyata terdengar jelas di te-
linga kedua orang gembong kaum sesat itu.
Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon, se-
gera saja menoleh dengan wajah terkejut. Hati mereka
semakin berdebar tegang saat melihat sesosok tubuh
berjubah putih, tengah berdiri menatap mereka dari jarak sepuluh tombak di
belakang. "Pendekar Naga Putih..."!" desis Datuk Naga Hitam dengan suara agak bergetar.
Jelas sekali kalau tokoh sesat bertubuh gemuk itu
terkejut melihat sosok Panji. Padahal setahunya pe-
muda itu telah tewas di dalam pusaran maut.
"Mustahil..."! Pasti ada orang yang hendak menakut-nakuti kita...," terdengar
suara Petapa Gunung Kulon yang hampir-hampir tidak terdengar.
Tokoh sesat bertubuh jangkung itu menelan lu-
dahnya yang terasa pahit dan kering. Rupanya tokoh
yang ukuran tubuhnya melebihi manusia biasa itu me-
rasa gentar melihat sosok Pendekar Naga Putih.
Tapi walaupun hati agak berdebar, kedua datuk
sesat itu melangkah juga menghampiri sosok Pen-
dekar Naga Putih. Mereka mencoba meyakini, kalau-
kalau itu adalah orang lain yang menyamar sebagai
Pendekar Naga Putih. Padahal menurut mereka, Pen-
dekar Naga Putih telah tewas kurang lebih sebulan
yang lalu. Dan, mereka pun menyaksikannya dengan
mata kepala sendiri.
"Hm.... Kalian terkejut melihatku, Badut-badut konyol...?" tegur Panji begitu
kedua orang gembong kaum sesat itu datang mendekat.
"Haaahhh..."!"
Baik Datuk Naga Hitam maupun Petapa Gunung
Kulon sama-sama terbelalak kaget, tak ubahnya me-
lihat hantu di siang bolong! Mereka terpaku menatap
sosok Pendekar Naga Putih yang tersenyum membalas
tatapan kedua gembong kaum sesat itu.
"Kau.... Kau, Pendekar Naga Putih...! Bagaimana
kau bisa selamat dari pusaran maut itu...?" desis Datuk Naga Hitam, setengah tak
percaya dengan kebera-
daan pemuda di depannya.
"Mustahil...! Kau pasti orang lain yang sengaja menyamar sebagai Pendekar Naga
Putih untuk me-nakuti
kami. Hm.... Kau tahu, Kisanak. Tidak satu makhluk
pun yang dapat selamat dari pusaran maut itu...," kata Petapa Gunung Kulon
sambil meyakinkan hatinya
bahwa pemuda itu bukanlah Pendekar Naga Putih.
Apalagi, sosok tubuh Panji sekarang memang lebih ku-
rus dari semula.
"Hm.... Aku tidak perduli pendapat kalian, Ma-
nusia-manusia keji! Yang penting, sekarang kedatan-
gan ku untuk membunuh kalian. Hhh...! Kalian ber-
dua telah membuat kesalahan besar yang tidak mung-
kin dapat ku maafkan. Malah, kehadiran kalian di mu-
ka bumi ini hanya membuat orang-orang lain celaka.
Jadi, tidak perlu banyak bicara lagi. Sebaik-nya, ber-siaplah menerima hukuman!"
ujar Panji de-ngan tekanan nada datar dan dingin. Sorot matanya juga tam-
pak berkilat menatap kedua orang lawannya.
"Setan! Siapa pun adanya kau, Datuk Naga Hitam
tidak takut! Dan kaulah yang akan kukirim ke nera-
ka...!" Sambil berkata demikian, Datuk Naga Hitam men-
cabut keluar sebuah pedang berwarna hitam yang jelas
mengandung racun mematikan. Kemudian pedang itu
dilintangkan di depan dadanya, siap untuk bertarung.
Begitu pula sikap yang diambil Petapa Gunung Ku-
lon. Tokoh sesat bertubuh tinggi luar biasa itu meloloskan tasbih yang selalu
menghias lehernya. Jangan
dipandang ringan senjata itu. Meskipun ha-nya terdiri dari kayu, namun telah
direndam dalam ramuan khusus. Sehingga, kayu-kayu bulat sebesar kelereng itu
menjadi sekeras besi.
Melihat kedua orang lawan sudah saling menge-
luarkan senjata, Pendekar Naga Putih memejamkan
matanya sejenak, untuk memusatkan tenaga batinnya.
Sekejap kemudian, terciptalah sebatang pedang ber-
sinar kekuningan di tangan kanannya.
"Nah, mulailah...," desis Panji tanpa mempedulikan keterkejutan lawan-lawannya.
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung
Kulon melihat kapan tangan pemuda itu bergerak
mencabut senjata.
"Heaaahhh...!"
Tanpa mempedulikan dari mana pemuda itu mem-
peroleh pedang, Datuk Naga Hitam segera saja me-
mulai serangan diiringi sebuah teriakan nyaring! Tu-
buh lelaki gemuk berusia sekitar lima puluh lima ta-
hun lebih itu segera melesat disertai putaran pedangnya yang mengaung bagai
ratusan lebah marah!
Bersamaan dengan itu, Petapa Gunung Kulon tidak
mau telah dengan rekannya. Tokoh bertubuh tinggi
luar biasa itu bergerak dengan langkah-langkah pan-
jang, mendekati Pendekar Naga Putih. Tasbih di tan-
gannya berputaran, menyambar-nyambar menim-
bulkan suara yang menyakitkan telinga. Jelas tenaga
sakti kedua orang tokoh itu tidak bisa dipandang rin-
gan. Tapi, Panji tidak mau berdiam diri menanti da-
tangnya serangan kedua orang datuk sesat itu. Cepat
bagai kilat, pemuda itu melesat memapak serangan
pedang Datuk Naga Hitam. Pendekar Naga Putih sama
sekali tidak merasa gentar dengan racun ganas di ba-
dan pedang lawan. Karena, Pedang Naga Langitnya
sendiri adalah sebuah senjata langka yang dapat me-
musnahkan segala macam jenis racun.
"Yeaaattt..!"
Diiringi pekikan mengguntur, Pendekar Naga Putih
memutar senjatanya dengan jurus ilmu 'Pedang Naga
Sakti'nya. Langsung saja cahaya kekuningan berpen-
dar menyilaukan mata. Sebentar saja pertarungan an-
tara tokoh-tokoh sakti dunia persilatan itu ber-
langsung mendebarkan!
Ketiga orang tokoh menggiriskan itu saling terjang
dengan dahsyatnya! Sehingga, tubuh mereka tidak lagi
dapat terlihat mata. Mereka hanya merupakan tiga so-
sok bayangan yang saling desak dan saling libat!
Debu dan bebatuan yang berada di sekitar arena
pertempuran ketiga tokoh sakti itu, berpentalan ke segala arah, karena terkena
sepakan dan angin samba-
ran senjata. Bahkan, saking hebatnya sambaran serta
gerakan kaki mereka, batu-batu yang terpental jauh,
langsung mengenai tubuh orang-orang yang ber-
tempur di arena lain. Padahal, jarak antara pertem-
puran ketiga orang tokoh itu dengan pertempuran lain
terpisah sekitar delapan tombak. Maka dapat di-
bayangkan, betapa mengerikannya pertarungan tokoh-
tokoh sakti itu.
Beberapa orang tokoh persilatan yang tengah ber-
tarung melawan kelompok Naga Hitam, tiba-tiba ter-
pental roboh akibat batu sebesar kepalan tangan yang
mampir ke tubuh dan kepala mereka. Tidak sedikit di
antaranya yang terluka mengalirkan darah. Tentu saja, kejadian itu membuat yang
lain bergegas lari menjauh, agar tidak terkena batu-batu nyasar.
"Hiaaattt..!"
Ketika pertarungan itu telah lewat dari enam puluh
jurus, tiba-tiba saja Datuk Naga Hitam memekik nyar-
ing dan menggetarkan! Orang-orang yang tidak terlalu
tinggi tenaga dalamnya, langsung roboh sambil mene-
kap kedua telinga. Padahal, mereka berada se-puluh
tombak lebih dari ketiga tokoh itu. Maka dapat di-
bayangkan, betapa mengerikannya akibat pekikan Da-
tuk Naga Hitam!
Tapi bagi Panji sendiri, pekikan itu tidak terlalu berarti. Tubuhnya yang
terselimut lapisan kabut ber-
sinar putih keperakan, tentu saja tidak bisa ditembus pekikan yang bagaimanapun
kerasnya. Walaupun begitu, Pendekar Naga Putih tidak me-
mandang enteng serangan yang dilancarkan Datuk
Naga Hitam. Maka seiring pekikan dahsyat dari lawan,
tubuh pemuda itu segera bergeser dengan lompatan
pendek. Sehingga sambaran pedang lawan hanya me-
nembus angin kosong saja. Dan begitu senjata lawan
lewat, segera saja dilontarkan serangan balasan den-
gan kecepatan sukar diikuti mata.
Syuuuttt..! Terdengar suara berdecit tajam mengiringi lun-
curan sinar kuning yang berasal dari pedang Pendekar
Naga Putih! "Aaa...!?"
Datuk Naga Hitam memekik tertahan ketika pe-
dang di tangan Panji meluruk deras ke arah jantung-
nya. Tanpa pikir panjang lagi, tokoh sesat bertubuh
gemuk itu langsung melempar tubuhnya ke belakang,
dan terus berjumpalitan beberapa kali untuk menye-
lamatkan selembar nyawanya.
Pendekar Naga Putih yang hendak menyusuli se-
rangannya yang gagal itu, terpaksa menundanya keti-
ka mendengar dengungan tajam dari arah kanan. Ce-
pat tubuhnya menunduk, menghindari sambaran biji-
biji tasbih yang mungkin bisa meremukkan kepala-
nya. Kemudian, tubuh pemuda itu berputar secepat ki-
lat disertai sebuah tendangan mengejutkan!
Petapa Gunung Kulon yang tidak sempat lagi
menghindari diri, segera saja mengangkat tangan ki-
rinya untuk menangkis tendangan yang mengancam
kepalanya. Tapi akibatnya...
Plaaakkk! "Aaahhh...!?"
Kakek itu kontan memekik kaget! Bahkan akibat
tangkisannya, kuda-kudanya jadi tergempur hingga
tubuhnya terjajar mundur sejauh satu tombak! Dan
tanpa diduga, telapak tangannya yang digunakan un-
tuk menangkis terasa demikian nyeri disertai hawa
dingin yang merembes masuk sebatas siku. Hal itu
langsung membuat lengan kiri Petapa Gunung Kulon
serasa lumpuh untuk beberapa saat lamanya!
Pendekar Naga Putih sendiri tidak mau menyia-
nyiakan kesempatan baik ini selagi tubuh lawannya
terjajar mundur. Cepat ia kembali melompat, meng-
gunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk Ke Dalam Bumi'
yang merupakan jurus terampuh dari 'Ilmu Silat Naga
Sakti' nya. Wueeettt! Wueeettt!
"Aaahhh...!?"
Untuk kedua kalinya, Petapa Gunung Kulon me-
mekik kaget! Pendaran sinar kuning keemasan yang
membentuk bulatan-bulatan menyilaukan mata, mem-
buatnya terjajar mundur beberapa langkah sambil me-
lindungi matanya. Akibatnya...,
Breeettt! Breeettt!
Breeettt! Breeettt!
"Arrrggghhh...!"
Petapa Gunung Kulon meraung panjang ketika pe-
dang Pendekar Naga Putih merobek-robek tubuhnya!
Pada saat itu, rupanya Datuk Naga Hitam malah
mengambil kesempatan. Dia berusaha menusuk Panji
dari belakang! "Arrrggghhh...!"
Bagai binatang luka, Petapa Gunung Kulon me-
raung parau saat pedang lawan merobek-robek tubuh-
nya! Darah segar kontan menyembur, membasahi ta-
nah berumput kering. Dan begitu tubuh kakek jang-
kung itu ambruk ke tanah, terdengar suara berdebuk
keras disertai lepasnya nyawa dari raganya.
Datuk Naga Hitam rupanya hendak memperguna-
kan kesempatan, sewaktu Panji menikamkan pedang-
nya ke tubuh Petapa Gunung Kulon tampak tubuh
orang tua gemuk itu meluncur dengan ujung pedang
tertuju lurus ke punggung Pendekar Naga Putih yang
saat itu membelakanginya!
Wuuuttt..! Ujung pedang hitam di tangan Datuk Naga Hitam
meluncur lurus dengan suara mengaung tajam!
Sayang Pendekar Naga Putih tidak semudah itu di-
bokong. Telinganya yang tajam, sempat menangkap
adanya bahaya yang datang dari belakang. Maka den-
gan gerakan tak terduga, saat ujung pedang hitam itu
tinggal sejengkal dari punggungnya, tubuh Pendekar
Naga Putih cepat melenting berputar ke belakang me-
lampaui kepala lawan. Gerakan itu masih dibarengi
pula dengan tusukan pedangnya yang tepat mendarat
di tengkuk Datuk Naga Hitam!
Craaabbb...! "Highhh...!"
Datuk Naga Hitam hanya bisa mengeluarkan suara
seperti orang tercekik, karena pedang di tangan lawannya amblas hingga tembus ke
leher depan! Darah segar
segera menyembur, saat Pendekar Naga Putih men-
cabut kembali pedangnya. Kemudian, pemuda itu ma-
sih juga sempat mengirimkan sebuah jejakan ke tubuh
belakang lawannya. Karuan saja tubuh tokoh sesat itu
ambruk ke tanah disertai semburan darah dan mulut!
Bagaikan seekor ayam yang disembelih, tubuh Da-
tuk Naga Hitam menggelepar-gelepar sebelum ke-
mudian melepaskan nyawa yang hanya satu-satunya
itu. "Hhh...,"
Terdengar helaan napas kelegaan dari mulut Pen-
dekar Naga Putih ketika melihat kedua orang lawannya
telah tewas. Ketika tidak mendengar suara-suara per-
tarungan di tempat lain, Panji segera menolehkan ke-
pala. Tampak pertarungan telah berakhir. Tiba-tiba
ada suara yang memanggil.
"Kakang...,"
Kenanga datang berlari-lari kecil menghampiri pe-
muda itu. "Aku sudah menemukan, siapa orang yang me-
nyamar sebagai diriku ketika di Lembah Bintang...,"
lapor gadis jelita itu dengan napas masih memburu.
Rupanya, Kenanga baru saja menyelesaikan per-
tarungan terakhirnya. Tampak pedang di tangannya
masih berlumuran darah.
"Oh ya..." Siapa wanita itu...?" tanya Panji dengan wajah setengah tak percaya.
"Wanita itu berwajah cantik dan berambut pan-
jang. Dia adalah Peri Sungai Alur. Aku bisa menduga,
karena hanya dialah satu-satunya wanita dari sekian
banyak anggota Datuk Naga Hitam...," jelas Kenanga penuh kepuasan, karena bisa
menemukan penyebab
celakanya pemuda pujaan hatinya.
"Lalu, ke mana sekarang wanita itu...?" tanya Pendekar Naga Putih lagi.
"Dia sudah kubunuh sejak tadi...," jawab Kenanga singkat. Sepertinya, dia tidak
begitu suka jika Panji menanyakan wanita cantik itu.
"Hm.... Lebih baik, kita segera pergi. Bukankah tidak ada persoalan lagi di
tempat ini...?" ujar Panji.
Pendekar Naga Putih menatap gadis jelita itu untuk
mendapat kepastian. Ketika melihat anggukan Kenan-
ga, pemuda itu segera saja mengajaknya pergi.
"Pendekar Naga Putih.... Tunggu...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan yang menahan
langkah Panji dan Kenanga. Mereka menoleh ke arah
dua orang lelaki gagah yang tak lain dari Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar
Gunung Batur. "Maaf, sahabat-sahabat. Kami harus melanjutkan
perjalanan!" sahut Panji sambil melambaikan tangan kepada kedua orang gagah itu.
Kenanga juga ikut melambaikan tangannya. Setelah itu, tubuh mereka sege-
ra berkelebat, menerobos kegelapan malam.
Tinggallah Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar
Gunung Batur yang hanya dapat menggeleng-geleng-
kan kepala menatap kepergian pasangan pendekar
muda yang sakti itu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Adnan
Kucing Suruhan 12 Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Karya Kho Ping Hoo Tiga Maha Besar 5