Pencarian

Dewa Tangan Api 2

Pendekar Naga Putih 23 Dewa Tangan Api Bagian 2


Matahari semakin naik tinggi ketiga ketiga orang itu sudah melewati tengah
hutan. Meskipun sampai sejauh itu belum ditemukan petunjuk sedikit pun namun
mereka sama sekali tidak berputus asa. Turangga tetap tenang di atas punggung
kudanya. Sepertinya, lelaki berusia empat puluh tahun yang masih terlihat gagah
itu merasa yakin akan menemukan yang tengah dicarinya. Sehingga, ia sama sekali
tidak terlihat gelisah.
Lain halnya Balung dan Panjawa. Kedua orang pem-
bantu Turangga ini tampak sudah mulai tak sabar. Sesekali mereka menyusut peluh
yang berlelehan di wajah.
Bahkan tidak jarang mata mereka melirik kepada Turangga yang tampak tenang dan
sama sekali tidak merasa letih itu. Kalau saja Balung dan Panjawa tidak bersama
pimpinannya, rasanya sudah meninggalkan hutan dan
kembali ke desa. Tapi, rasa segan terhadap pimpinannya yang sangat tenang dan
penyabar itu membuat mereka terpaksa menahan rasa lelah dan terus mengiringi
langkah kaki kuda Turangga.
"Sebentar...," bisik Turangga tiba-tiba.
Ucapan laki-laki gagah itu masih diikuti gerakan tangannya. Seketika, langkah
kaki kuda kedua orang pembantunya tertahan. Karena baik Balung maupun Panjawa
sudah menarik tali kekang secara berbarengan.
"Ada apa, Kakang...?" Tanya Balung juga berbisik lirih.
Seketika wajah lelaki pendek gempal berkepala botak itu menegang ketika sepasang
matanya mengikuti arah telunjuk Turangga. Kalau saja lelaki gagah itu tidak
segera menaruh telunjuknya didepan mulut, mungkin Balung sudah bertanya lagi.
"Kalian berdua tunggu di sini, dan tunggu isyarat dariku. Mengerti...?" Bisik
Turangga, perlahan. Sehingga, kedua orang pembantunya itu hanya dapat mengangguk
dengan wajah tegang!
Hati-hati sekali Turangga melompat turun dari atas punggung kuda. Kemudian
dengan langkah perlahan,
kaki lelaki gagah itu pun mulai melangkah mendekati sosok tubuh berambut panjang
yang tengah terbaring di atas rerumputan.
Turangga mengambil jalan memutar untuk memasti-
kan kalau sosok tubuh itu mungkin tengah terlelap. Namun, kening lelaki gagah
yang biasanya penuh ketenangan itu berkerut ketika matanya menangkap cairan
merah di belakang kepala sosok tubuh ramping di depannya. Setelah dapat
memastikan kalau cairan mengering itu benar-benar darah manusia, Turangga segera
melesat mendekatinya.
Setelah memeriksa sejenak dan memastikan kalau
sosok tubuh ramping itu sudah tidak bernapas lagi, laki-laki gagah itu pun
mengangkat tangan kanannya me-
manggil Balung dan Panjawa.
"Dapatkah kalian mengenali, siapa mayat wanita mu-da ini?" Tanya Turangga,
seolah-olah ingin memastikan dugaannya. Pertanyaan itu dilontarkan setelah kedua
orang pembantunya turun dan mendekat.
Sosok mayat yang mulai menebarkan aroma tak sedap
itu, digulingkan Turangga dengan menggunakan ujung alas kakinya. Sehingga, mayat
wanita muda yang semula menelungkup itu kini membalik dan dapat terlihat jelas
wajahnya. "Ya, Tuhan.... Bukankah wanita ini istri Barta"! Siapa pula manusia biadab yang
telah membunuhnya secara
keji ini"!" Geram Balung dengan tangan terkepal erat.
Jelas, lelaki berkepala botak itu merasa sangat marah dengan apa yang
disaksikannya. Napasnya seketika memburu menahan kegeraman.
"Dia bukan hanya dibunuh, Balung. Perhatikanlah baik-baik pakaian yang dikenakan
wanita muda ini," ujar Turangga yang memang memiliki pandangan lebih awas dan
teliti daripada kedua pembantunya.
"Biadab...! Iblis keji itu rupanya telah memperkosa wanita malang ini terlebih
dahulu sebelum membunuhnya! Benar-benar perbuatan keji!" Maki Balung dengan
wajah merah padam.
Panjawa dapat bersikap lebih tenang. Ia hanya me-
neliti sekujur tubuh wanita muda yang malang itu dalam jarak beberapa langkah.
Melihat dari pancaran matanya, jelas kalau dia tengah dilanda kegeraman hebat.
Namun, ia masih dapat menahan dirinya disertai helaan napas.
*** 4 Turangga termenung memikirkan kejadian yang telah
menimpa desa yang menjadi tanggungjawabnya. Sebagai tangan kanan Kepala Desa
Jagalan, yang juga menjadi kepala keamanan desa, tentu tanggung jawabnya sangat
besar. Dan tugasnya kali ini terasa sangat berat, karena pelaku pembunuhan yang
sekaligus pemerkosaan itu
masih gelap. Lelaki gagah itu belum tahu dari mana harus memulai
penyelidikannya.
"Bagaimana, Kakang" Apakah mayat istri Barta ini kita bawa ke desa?" Tanya
Balung mengusir lamunan yang mengganggu pikiran Turangga.
"Mmm...."
Lelaki gagah itu hanya bergumam perlahan, seolah-
olah hendak mencari jawaban atas pertanyaan Balung.
Padahal, sebenarnya ia tidak begitu mendengar pertanyaan pembantunya tadi. Maka,
ia sengaja bergumam
agak panjang agar Balung mengulangi kembali pertanyaannya.
"Kakang, bagaimana dengan pertanyaan Adi Balung tadi" Apakah kita akan membawa
pulang mayat ini, atau pendam saja di sini secara sederhana. Kita tidak bisa
mendiamkannya terlalu lama, Kakang," Panjawa tiba-tiba mengulangi pertanyaan
yang diajukan Balung tadi.
Mendengar pertanyaan itu, Turangga tersenyum. Dan
senyum di wajahnya itu perlahan memudar diiringi gerakan tubuhnya yang bangkit
berdiri. Lalu pandangannya beredar ke sekitarnya dengan maksud mencari tempat
yang cocok untuk istirahat panjang wanita malang itu.
"Kita kuburkan saja di tempat itu...," sahut Turangga sambil menunjuk tanah
gembur di bawah sebatang pohon besar. Kemudian kakinya melangkah ke arah pohon
itu. Tanpa diperintah dua kali, Balung dan Panjawa segera mengangkat mayat wanita
malang itu dan meletakkannya di bawah pohon. Mereka kemudian mulai menggali
dengan menggunakan senjata masing-masing. Karena pe-
kerjaan itu dilakukan dengan menggunakan tenaga dalam, maka sebentar saja
terciptalah sebuah lubang yang cukup besar.
Kini Balung dan Panjawa kembali mengangkat mayat
wanita itu untuk dimasukkan ke dalam lubang. Namun, sebelum tubuh kaku itu
sempat mereka turunkan, tiba-tiba terdengar bentakan keras mengejutkan.
"Keparat keji! Rupanya kalianlah yang menjadi biang keladi kerusuhan di desa
kami!" seru sebuah suara berat menggetarkan.
Sesaat kemudian, berloncatan belasan sosok tubuh
yang segera mengurung Turangga, Balung, dan Panjawa.
Sehingga ketiga orang itu menjadi terkejut dibuatnya.
"Hei! Apa-apaan ini...?" Seru Balung yang segera me-nurunkan kembali tubuh mayat
wanita muda itu.
Hati laki-laki botak itu memang tengah dilanda ke-
kesalan, sehingga membuatnya cepat sekali menjadi marah. Dengan wajah merah
padam, diambilnya golok besar yang tadi diletakkan di atas rerumputan. Dia
langsung bersiaga menghadapi orang-orang yang mengurungnya.
"Sabar, Balung. Ini pasti hanya kesalahpahaman saja," bisik Turangga mencoba
menyabarkan Balung agar persoalannya tidak menjadi bertambah rumit.
"Tidak perlu banyak cakap lagi! Jelas sudah, kalian adalah iblis-iblis keji yang
selama ini kami cari-cari! Ser-buuu...!"
Tanpa memberi kesempatan kepada Turangga dan
kawan-kawannya untuk membela diri, lelaki bertubuh kekar langsung meluruk maju
disertai tebasan golok ber-geriginya. Sepertinya, dia merupakan pimpinan belasan
orang itu. Wuuuttt! "Hei, tahan...!"
Turangga yang menjadi sasaran utama sambaran
golok bergerigi, langsung merendahkan kepala sambil mencoba menyadarkan lelaki
brewok bertubuh kekar itu.
Namun, lelaki brewok itu sepertinya sudah tida bisa disabarkan lagi. Tanpa
mempedulikan seruan Turangga, goloknya kembali berputar dan berkelebat dari atas
ke bawah. Kecepatan serangannya demikian dahsyat dan
menggetarkan. Sambaran angin menderu yang ditimbulkannya menandakan kalau
serangan itu dialiri tenaga dalam tinggi. Sehingga, mau tidak mau Turangga harus
melompat ke belakang untuk rnenghindari ancaman
maut itu. "Kisanak, sabarlah. Ini hanya kesalahpahaman saja!"
bujuk Turangga.
Laki-laki setengah baya itu mendaratkan kakinya sejauh dua batang tombak, sambil
mencoba mengingatkan lawan. Tapi sambaran yang amat kuat dan bertubi-tubi,
memaksanya untuk melakukan perlawanan. Jelas, Turangga pun tidak sudi tubuhnya
dijadikan sasaran senjata mengerikan yang digunakan lawan.
"Heaaat..!"
Dibarengi seruan nyaring, Turangga mencabut pedang yang selaki berada di
pinggangnya. Sekali berkelebat senjata di tangan laki-laki gagah itu telah
melakukan serangkaian tangkisan untuk mematahkan serangan lawan.
Trang! Trang...l
Terdengar suara keras yang diwarnai percikan-percikan bunga api berkilauan.
Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Setelah memeriksa
senjata masing-masing, keduanya kembali saling menerjang hebat- Pertarungan pun
semakin ramai setelah Turangga terpaksa membalas serangan lawan, daripada mati
konyol! Di tempat lain, Balung dan Panjawa tengah disibuki oleh keroyokan dua belas
orang pengikut lelaki brewok bertubuh kekar itu. Baik Balung raaupun Panjawa
tampak terdesak hebat akibat keroyokan lawan. Apalagi, kepandaian yang dimiliki
para pengeroyok rata-rata cukup tinggi. Maka dapat dibayangkan, betapa sibuknya
kedua orang pembantu Turangga itu dibuatnya.
"Yeaaat..!"
Salah seorang pengeroyok bertubuh jangkung yang
berada di sisi kiri Panjawa tiba-tiba berseru nyaring. Dan pada saat itu juga,
tubuhnya langsung melesat disertai tebasan pedang yang bergerak mendatar
mengancam perut Panjawa. Belum lagi Panjawa sempat menghindari ancaman
maut itu, dari depan dan sisi kanan terdengar suara ber-desing nyaring. Masing-
masing serangan itu mengancam belakang telinga dan lambung kanannya. Tentu saja
Panjawa menjadi semakin sibuk dan terjepit.
"Heaaat..!"
Sadar kalau untuk lolos dari ketiga serangan itu
sudah tidak mungkin, Panjawa segera berteriak nyaring.
Pedangnya langsung diputar, sehingga membentuk gulungan sinar melindungi tubuh.
Maksudnya, jelas. Untuk menghalau semua serangan ketiga orang lawannya yang
meluncur disertai hawa maut mematikan.
Trang! Trang! Brettt!
"Aaakh...!"
Pertahanan Panjawa rupanya tidak terlalu sia-sia.
Dua bilah senjata lawan yang menyerang dari kiri dan kanan, berhasil diparahkan.
Tapi sayang, seorang penye-rang dari depan berhasil menyarangkan senjata itu di
lambung kanannya.
Diiringi jerit kesakitan yang menggema, tubuh Pan-
jawa melintir, ketika ujung pedang yang menancap di lambungnya disentakkan ke
atas secara tiba-tiba. Dapat dibayangkan, betapa sakitnya luka akibat tusukan
pedang lawannya.
Darah segar seketika mengucur keluar dari luka yang memanjang dan dalam. Panjawa
terhuyung-huyung sambil menekap luka yang terus saja mengucurkan darah segar.
Wajahnya pun sudah pucat karena banyaknya darah yang keluar.
"Panjawa...."
Balung yang sempat mendengar teriakan Panjawa,
menjadi hilang pertahanannya. Belum lagi kekeliruannya sempat disadari, tahu-
tahu saja ujung-ujung pedang dari dua lawannya melesak menembus bahu dan iganya.
Cara yang dilakukan kedua orang itu sama dengan yang dilakukan lawan Panjawa.
Ujung-ujung pedang yang menancap itu langsung disentakkan, sehingga sebagian
daging dan kulit tubuh Balung ikut tersentak keluar. Darah segar pun kembali
mengucur membasahi rerumputan
kering. "Ohhh...."
Balung merintih menahan rasa pedih pada luka di tubuhnya. Tangan kirinya pun
sibuk menutupi luka-luka di tubuhnya. Wajahnya yang semula merah terbakar,
menjadi pucat karena terlalu banyak kehilangan darah.
Kedua orang pembantu Turangga yang tampaknya
sudah tidak bisa bertahan lama lagi, segera merapatkan punggungnya untuk saling
menjaga. Rupanya baik Balung maupun Panjawa sudah bertekad untuk mati ber-
sama-sama. Meskipun tanpa ucapan, namun dari sinar mata mereka jelas terpancar
tekad bulat. "Habisi kedua iblis keji itu...!"
Salah seorang pengeroyok yang mengenakan ikat
kepala berwarna merah, menuding dengan ujung pedang ke arah Balung dan Panjawa.
Kemudian tubuhnya langsung meluruk, disertai sambaran senjatanya yang siap
melumatkan tubuh kedua orang pembantu Turangga itu.
Serangan sosok berikat kepala merah itu segera di-
susuli kawan-kawannya. Mereka langsung meluruk disertai ayunan dan sabetan
senjata. Rasanya, kali ini Balung dan Panjawa tidak mungkin selamat. Dan memang,
serangan kedua belas orang itu datang dari empat penjuru.
Maka sangat sulit bagi Balung dan Panjawa untuk dapat lolos.
"Jangan sampai kematian kita sias-sia, Balung! Kita harus mengajak, paling tidak
dua orang untuk ikut melayat bersama ke akhirat!" tekad Panjawa.
Panjawa menggenggam gagang senjatanya erat-erat.
Sepasang matanya tajam tak berkedip menunggu tibanya serangan. Jelas kalau dia
berniat menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk melakukan perlawanan terakhir.
"Baik, Kakang. Aku pun tidak ingjn mati sia-sia!" sahut Balung, mantap.
Sepasang mata Balung menatap lurus ke depan. la
hanya menggunakan ekor matanya untuk mengamati ge-
rakan pedang lawan yang siap akan merencah tubuhnya.
Kedua tangannya bergetar. Jelas, Balung telah mengerahkan seluruh kekuatannya di
saat terakhir kehidupannya.
"Yeaaat..!"
Teriakan membahana yang dimaksudkan untuk me-
lemahkan semangat lawan, terdengar mengiringi luncuran senjata-senjata belasan
orang itu. Namun meskipun demikian, baik Balung maupun Panjawa tetap tak ber-
geming dari tempat semula. Hanya saja, mereka telah benar-benar siap membabatkan
senjata secara berbarengan pada saat serangan lawan datang. Dengan demikian,
mereka berharap dapat membawa serta beberapa orang lawan untuk menghadap
Malaikat Maut. Tapi pada saat yang sangat berbahaya bagi keselamatan Balung dan Panjawa, tiba-
tiba sesosok bayangan putih melesat cepat bagai kilat. Sepasang tangannya
langsung mendorong ke arah belasan tubuh yang siap me-
rejam Balung dan Panjawa.
Wusss! "Aaah...!"
Serangkum angin dingin yang menusuk tulang me-
nyambar keluar dari sepasang telapak tangan sosok bayangan putih itu. Dan
akibatnya hebat sekali! Belasan sosok tubuh yang semula meluruk kedepan itu
langsung ter-tolak balik, bagai tersapu angin topan dahsyat.
Bagaikan karung basah, tubuh belasan orang itu
jatuh saling tumpang tindih. Terdengar suara gigi berge-meretak akibat hawa
dingin yang menusuk tulang belasan orang itu. Wajah-wajah mereka pun pucat
bagaikan tak dialiri darah. Siapa lagi orang yang mempunyai pukulan seperti itu
kalau bukan Panji atau yang lebih dikenal beijuluk Pendekar Naga Putih.
Sosok bayangan putih yang memang Pendekar Naga
Putih itu langsung turun tangan begitu melihat bayangan kematian yang mengancam
Balung dan Panjawa. Pendekar Naga Putih langsung dapat menduga kalau kedua
orang itu bukan orang jahat. Maka ia segera turun tangan menolong. Sikap gagah
yang ditunjukkan kedua orang itulah yang membuat Pendekar Naga Putih turun
tangan. Dan sepanjang pengetahuannya, hanya orang-orang ber-jiwa bersihlah yang
menghadapi kematian dengan sikap gagah. Lain halnya dengan golongan sesat, yang


Pendekar Naga Putih 23 Dewa Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selalu merengek ketakutan apabila menghadapi kematian.
Pendekar Naga Putih langsung memberi totokan pada
luka di tubuh Balung dan Panjawa agar darah berhenti mengalir. Juga,
diberikannya obat pulung untuk memulihkan dan menghilangkan rasa sakit di tubuh
mereka. Tak berapa lama setelah Pendekar Naga Putih meng-
obati Balung dan Panjawa, datang sesosok tubuh ramping mengenakan pakaian serba
hijau. Siapa lagi sosok itu kalau bukan Kenanga, kekasih Pendekar Naga Putih.
Sementara itu, Balung dan Panjawa segera melangkah kedepan Pendekar Naga Putih.
Kedua orang itu langsung membungkuk disertai ucapan terima kasih atas
pertolongan pemuda tampan berjubah putih itu.
"Kisanak, kami berdua mengucapkan ribuan terima kasih atas pertolonganmu.
Rasanya hidup kami tinggal seujung rambut lagi. Tanpa pertolongan yang kau
berikan, mungkin kami berdua tidak akan menikmati sinar matahari esok pagi.
Sekali lagi, kami mengucapkan banyak terima kasih...," ucap Balung. Sedangkan
Panjawa hanya mengangguk-angguk menyetujui ucapan rekannya itu.
"Janganlah terlalu berlebihan, Kisanak. Apa yang ku-lakukan tadi hanya suatu
kewajiban saja. Jadi, Janganlah dianggap suatu budi yang harus dibalas," sambut
Panji yang membungkuk membalas penghormatan Balung dan Panjawa. Senyum ramahnya terkembang meng-
hias wajah. Balung dan Panjawa semakin bertambah kagum me-
lihat sikap ramah dan sopan dari pemuda penolongnya.
Dari cara pemuda tampan itu membalas sikap hormatnya saja, sudah benar-benar
membuat kedua orang itu tidak merasa rendah diri. Padahal, mereka tahu secara
jelas kalau belasan orang pengeroyok itu dibuat tidak berdaya hanya dalam
sekejap mata saja.
Tapi, sikap pemuda itu sama sekali tidak menunjuk-
kan kesombongan. Diam-diam Balung dan Panjawa me-
ngukir dalam hati sikap pemuda penolongnya.
"Mmm.... Maaf, Kisanak. Kalau boleh tahu, apakah yang menyebabkan kalian sampai
bertempur mati-matian" Bukankah kalau ada masalah bisa dibicarakan secara kepala
dingin?" Tanya Panji mengorek keterangan dari Balung yang memang lebih banyak
bicara daripada Panjawa.
Pendekar Naga Putih yang tengah terlibat pembica-
raan dengan Balung dan Panjawa, tiba-tiba menolehkan kepala ke arah pertarungan
lain. Ia yang semula berniat melerai kedua orang yang tak lain Turangga dan
lelaki kekar berwajah brewok itu, segera mengurungkan niat-nya. Dan memang,
Kenanga lebih dahulu menghentikan pertarungan itu.
"Lelaki brewok itulah yang lebih dahulu memulai per-kelahian ini, Kisanak. Kami
terpaksa membela diri karena tidak ingin terbunuh di tangan mereka," jelas
Balung me-ngadukan kejadian yang menyebabkan pertarungan mati-matian itu.
"Hm.... Mari kita kesana. Nampaknya mereka masih sama-sama dipengaruhi amarah.
Bisa-bisa, pertarungan akan kembali terulang apabila masalahnya tidak segera
diselesaikan. Padahal menurut dugaanku, kalian semua adalah orang baik-baik yang
selalu berpikiran dingin,"
ujar Pendekar Naga Putih.
Kata-kata itu diucapkan Pendekar Naga Putih sambil melangkah mendekati tempat
Turangga yang lengah bersitegang dengan lelaki brewok.
"Maaf kalau aku bersikap lancang dengan mencampuri urusan kalian," ucap Panji
begitu tiba di tempat kedua orang yang tengah bersitegang.
Sambil berkata demikian, Panji menelirik lelaki brewok dan Turangga tanpa
kentara. Sehingga, kedua orang itu tidak sadar kalau Pendekar Naga Putih tengah
menilai mereka.
"Hhh.... Susah sekali mendamaikan mereka, Kakang.
Lebih baik biarkan saja mereka bertempur sampai puas.
Barangkali saja, dengan begitu baru tidak ada yang perlu diributkan lagi!"
dengus Kenanga. Jelas sekali kalau hatinya jengkel menghadapi kebandelan kedua
orang yang hendak didamaikannya itu.
Panji hanya tersenyum melihat kekesalan hati keka-
sihnya dalam menghadapi kedua orang itu. Namun, ia tidak menyalahkan Kenanga,
karena jalan untuk berbuat kebaikan memang sangat sulit dan banyak menuntut
pengorbanan. Meskipun demikian, Panji tetap bertekad mendamaikan kedua belah
pihak yang tengah bersitegang itu. "Hm.... Siapa kau, Anak Muda"! Dan apa hakmu
mencampuri urusan kami" Kami tidak memerlukan seorang penengah di sini. Apalagi
orang seusiamu!" tegas lelaki kekar berwajah brewok itu dengan sikap memandang
rendah dan nada mengejek.
Tapi, Pendekar Naga Putih hanya tersenyum menang-
gapinya. Sedikit pun tidak tampak kemarahan pada wajahnya yang tampan.
Sepertinya, sikap yang ditunjukkan lelaki brewok itu merupakan hal yang wajar
saja. Lain halnya dengan Kenanga. Mendengar kekasihnya
diejek dengan nada yang amat tidak enak, gadis jelita itu melangkah maju sambil
bertolak pinggang. Sepasang
mata yang biasanya indah bagai bintang pagi itu, kini nampak menggetarkan hati
yang memandangnya. Hal itu wajar saja, karena gadis jelita itu tanpa sadar telah
mengerahkan kekuatan tenaga sakti melalui pancaran sinar matanya.
"Hei, Brewok! Tahukah kau, dengan siapa saat ini ber-hadapan"! Sikapmu itu sama
sekali tidak menunjukkan sikap kependekaran! Tapi, lebih tepat sikap golongan
sesat yang memang selalu mengandalkan kepandaian
untuk menekan orang lemah! Tapi aku yakin, apabila kau tahu sosok di hadapanmu,
kau pasti akan berlutut minta ampun! Tahu"!" Semprot Kenanga tanpa merasa gentar
sedikitpun. Sepertinya, dia memang sudah siap menghadapi kemarahan lelaki brewok
itu. Lelaki kekar berwajah brewok yang ternyata bernama Danar Pari itu, memang
memiliki sifat berangasan. Dia kini malah sudah siap membalas makian Kenanga.
Sepasang matanya melotot penuh ancaman. Wajah yang di-
penuhi brewok itu pun merah terbakar amarah.
Lain halnya dengan Turangga. Begitu mendengar pe-
negasan Kenanga, sepasang matanya segera saja menatap Panji penuh selidik.
Sepasang mata lelaki setengah baya itu tampak menyipit, seperti hendak
inengingat-ingat sesuatu. Meskipun ada semacam dugaan dalam benaknya, tapi
rupanya ia masih meragukan dugaannya. Maka
tanpa ragu-ragu lagi, Turangga negera bertanya kepada Panji.
"Kisanak. Bagiku tidak ada masalah, apakah kau akan menjadi penengah bagi kami
atau tidak. Tapi kalau boleh tahu, siapakah kau sebenarnya" Dan mengapa
mencampuri urusan yang tidak ada sangkut pautnya
denganmu ini?" Tanya Turangga yang ingin mengetahui, sampai di mana kepandaian
pemuda tampan itu dalam
mengelakkan ucapannya.
Kenanga yang juga mendengar pertanyaan itu menjadi tidak sabar. Tubuh ramping
itu langsung berbalik dan menghadap ke arah Turangga dengan sinar mata galak.
Sepertinya, gadis jelita itu hendak melampiaskan kejengkelan hatinya kepada
siapa saja. Dan kali ini yang jadi sasarannya adalah Turangga.
Panji yang memang hafal terhadap sikap keras keka-
sihnya, segera melangkah mendekat. Ditepuknya bahu gadis itu perlahan, seperti
hendak menyabarkan. Apa yang dilakukan pemuda itu ternyata berhasil. Sebab,
Kenanga yang merasakan tepukan kekasihnya langsung membalikkan tubuh dan tidak
lagi mempedulikan Turangga. Jelas, Kenanga hendak menyerahkan masalah itu kepada
kekasihnya. *** 5 Turangga yang sejak tadi mengikuti tindak-tanduk
gadis jelita itu menjadi kagum hatinya. Diam-diam dipuji-nya sifat gadis jelita
itu, yang meski dalam keadaan marah bagaimanapun ternyata masih menuruti kemauan
pemuda tampan berjubah putih itu. Melihat semua ini, Turangga menduga kalau
kedua anak muda itu pasti
mempunyai hubungan istimewa.
Panji melangkah semakin mendekati tempat Turangga
berdiri. Langkah pemuda itu yang ringan dan kokoh, diam-diam diperhatikan
Turangga. Dan hal ini membuat laki-laki setengah baya itu terkejut. Sebagai
orang yang memiliki pengalaman Iuas, ia tahu kalau pemuda tampan berjubah putih
itu pass bukan orang sembarangan. Apalagi, sikapnya terlihat tenang dan penuh
percaya diri. Ma-ka, Turangga semakin bertambah kagum saja dibuatnya.
"Paman," panggil Panji sambil memutar otak memilih kata yang tepat untuk
disampaikannya kepada Turangga.
"Namaku Panji. Dan orang-orang rimba persilatan menge-nalku sebagai Pendekar
Naga Putih.'' "Jadi, kaukah pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih" Dugaanku ternyata tidak
meleset! Terimalah hormat dari orang tua yang bodoh dan buta ini, Pendekar Naga
Putih," sahut Turangga yang tanpa ragu-ragu membungkukkan tubuhnya didepan
Panji. Jelas, sikap yang ditunjukkan lelaki setengah baya itu tidak dibuat-buat.
Mendengar kalau pemuda tampan itu adalah Pende-
kar Naga Putih, maka semua orang yang berada di tempat itu langsung
membungkukkan tubuhnya dengan sikap
hormat Tidak ketinggatan lelaki brewok yang bernama Danar Pati. Dia juga
membungkuk hormat ketika mengetahui julukan pemuda tampan berjubah putih itu.
Bahkan tubuhnya dibungkukkan paling dalam di antara lainnya. Jadi biarpun Danar
Pati seorang lelaki yang memiliki sifat berangasan, namun memiliki watak jujur
yang sudi mengakui kesalahannya.
"Sudahlah, jangan terlalu berlebihan," cegah Panji merendah.
Pendekar Naga Putih menjadi merasa tidak enak me-
lihat sikap orang-orang itu yang demikian menaruh hormat kepadanya. Diam-diam,
hati pemuda itu semakin
mantap untuk mengetahui apa yang membuat kedua
belah pihak bertarung sengit.
"Aku tadi melihat Paman dan yang lainnya bertarung mati-matian. Jadi aku merasa
tertarik untuk mencam-purinya. Setelah memperhatikan agak lama, aku merasa yakin
kalau Paman sekalian pasti tokoh-tokoh golongan putih. Nah! Dengan berpegang
pada dugaan itulah aku memberanikan diri untuk menengahi urusan ini. Dan kalau
boleh, aku ingin mengetahui jelas pokok persoalannya. Mudah mudahan saja
persoalan ini dapat diselesaikan dengan jalan damai tanpa harus mengorbankan
nyawa percuma," jelas Panji tentang ikut campurnya dalam masalah ini.
Sekarang, Danar Pati yang angkat bicara. Dan tanpa ragu-ragu lagi, persoalan
yang tengah dihadapinya segera dlceritakan. Dalam nada suaranya, jelas sekali
tergambar kegeraman hati dan rasa penasaran yang amat sangat.
Sehingga, beberapa kali ceritanya harus dihentikan karena tak sanggup menahan
amarah yang menggemuruh
dalam dada. "Bayangkan saja. Bagaimana hatiku tidak penasaran, Pendekar Naga Putih. Entah
sudah berapa banyak gadis yang lenyap tanpa dapat diketemukan lagi. Beberapa
kali iblis-iblis itu muncul, dan sengaja memancing kemarahan kami. Tapi, mereka
selalu lenyap tanpa jejak. Tidak sedikit tokoh persilatan yang menjadi korban
karena ingin mengungkapkan peristiwa yang sangat pelik ini. Itulah sebabnya,
mengapa tanpa banyak cakap lagi kami langsung menyerang saudara Turangga dan
kedua orang kawannya. Hal itu kami lakukan, karena takut kalau
mereka akan lenyap lagi. Jadi, terpaksa kami menye-rangnya tanpa bertanya lagi,"
tutur Danar Pati. Dia juga segera meminta maaf kepada Turangga, Balung, dan
Panjawa. Kedua orang pembantu Turangga itu tampaknya
telah pulih kesehatannya.
"Hm.... Jadi, Paman sudah cukup lama mengejar iblis-iblis penculik wanita itu?"
Tanya Pendekar Naga Putih.
"Benar. Dan sampai saat ini, kami belum juga berhasil menangkap iblis itu.
Jangankan menangkapnya, untuk melihat wajahnya saja, belum mampu. Sebab, setiap
kali menunjukkan diri, iblis itu selalu saja berada dalam tempat gelap.
Sehingga, kami hanya bisa melihat baya-ngannya saja," jelas Danar Pati sambil
menundukkan wajahnya dengan hati penasaran.
"Lalu, bagaimana dengan Paman Turangga" Apakah persoalan yang Paman hadapi
sama?" Tanya Panji me-ngalihkan pandangannya kepada Turangga yang semen-
jak tadi hanya diam mendengar penuturan Danar Pati.
Turangga tidak segera menjawab pertanyaan pemuda
tampan itu. Ditariknya napas terlebih dahulu sebelum memulai ceritanya. Sebab,
apa yang akan diceritakannya masih belum jelas benar. Dan memang, ia sendiri
belum mengetahui apa yang menyebabkan kematian Barta dan istrinya.
"Persoalan yang kuhadapi, memang tidak serumit apa yang tengah dihadapi Danar
Pati. Kejadian ini baru pertama sekali menimpa desa kami, dan tanpa seorang
saksi pun yang memergokinya. Jadi, kami masih belum mengetahui secara pasti,
siapa dan apa yang menjadi penyebab kematian Barta dan istrinya. Yang jelas,
istri Barta diculik dan diperkosa secara biadab di dalam hutan ini, sebelum
dibunuh manusia berwatak keji itu," jeias Turangga.
"Hm... Persoalan ini ternyata masih sangat gelap. Tapi yang jelas, ada
kemungkinan pelaku yang dimaksud
Paman Danar Pari dan Paman Turangga memiliki suatu pertalian atau hubungan.
Meskipun belum bisa kupasti-kan, namun aku akan berusaha membantu Paman ber-
dua dalam memecahkan persoalan ini. Sekarang, ada
baiknya kalau kita menyusun rencana untuk menjebak penculik dan pemerkosa biadab
itu," usul Panji setelah mendengarkan keterangan Danar Pati maupun Turangga.
*** Matahari sudah semaldn bergeser ke arah Barat,
ketika dua sosok tubuh bergerak cepat melintasi padang rumput luas. Menilik dari
gerakannya, jelas kalau kedua orang itu merupakan tokoh persilatan tingkat atas.
Dan memang, ilmu lari cepat yang digunakan telah mencapai tingkat tinggi.
Yang seorang bertubuh pendek gemuk, dan berperut
buncit Dia berlari tanpa mempedulikan sekitarnya. Tatapan matanya yang bulat dan
menyiratkan ketidak-wajaran, menyorot tajam. Siapa saja yang beradu pandang
dengannya pasti bergidik ngeri. Wajahnya yang dipenuhi bulu hitam itu membuatnya
terlihat semakin angker.
Apalagi, di pipi kirinya terdapat segaris luka melintang.
Sehingga, semakin lengkaplah keangkeran wajahnya.
Sedangkan yang seorang lagi, tubuhnya tampak tegap dan gagah. Wajahnya
mencerminkan kekerasan. Sedangkan sepasang matanya memancar licik, menandakan
kalau ia memiliki otak cerdik. Dalam usianya yang paling jauh baru sekitar dua
puluh satu tahun, ia terlihat matang pemikirannya. Apalagi kegesitan dan
keringanan gerakannya tidak kalah dengan orang tua di sebelahnya.
Benar-benar seorang pemuda yang bisa dikatakan berbahaya.
"Ke mana kita, Guru...?" Tanya pemuda itu, ketika tiba pada sebuah persimpangan
jalan. Pemuda itu memperlambat larinya, untuk kemudian
berhenti sama sekali. Dari caranya bertanya, jelas kalau dia belum mengetahui
arah tujuannya.
"Hm...."
Laki-laki berperut buncit yang juga telah menghen-
tikan larinya, memandang bingung ke arah persimpangan jalan itu. Sejenak
kepalanya berpaling kepada pemuda di sebelahnya, seolah-olah meminta
pertimbangan mengenai arah yang akan ditempuh.
Pemuda berwajah keras itu menggelengkan wajahnya
sambil mengangkat bahu. Sepertinya persoalan Itu ingin diserahkannya kepada
lelaki gendut yang dipanggil guru itu. Tampaknya ia tidak mengetahui kebingungan
gurunya, dan hanya memandang berkeliling menikmati ke-
indahan alam sekitarnya.
"Hei! Ayo bantu aku berpikir. Jangan hanya diam saja seperti kerbau!"
Sambil membentak pemuda itu, si lelaki gendut me-
layangkan tangan kanannya menampar perlahan kepala pemuda itu.
Tamparan perlahan dan bentakan rupanya cukup me-
ngejutkan pemuda itu. Cepat kepalanya menoleh dengan kening berkerut. Jelas, ia
merasa tidak suka dengan apa yang diperbuat gurunya tadi.
"Ah! Mengapa aku yang harus diajak berpikir" Kalau aku disuruh memilih, maka
akan kupilih jalan yang di sebelah kanan. Sebab, jalan itu terlihat lebih enak.
Apalagi, di kiri kanannya banyak terdapat pepohonan dan sawah yang padinya telah
menguning. Tentu rasanya menggem-birakan melakukan perjalanan sambil menikmati
keindahan di sekeliling tempat itu," sahut pemuda berwajah keras itu sekenanya.
Ucapan itu memang bukan berdasarkan pemikiran, tapi berdasarkan kesenangan
dirinya sendiri.
Tapi anehnya, lelaki gendut yang dipanggil guru itu sama sekali tidak
mempedulikannya. Bahkan malah tertawa terkekeh-kekeh dan mengangguk-anggukkah
kepala sebagai tanda kepuasan hatinya atas pilihan muridnya.
Melihat dari tindak tanduknya yang aneh dan wajahnya yang selalu terhias senyum
aneh itu, jelas kalau pikirannya tidak waras sebagaimana mestinya.
"Bagus...! Kau memang benar-benar seorang murid berbakti, Palawa. Jalan yang kau
tunjukkan ltu memang tepat sekali. Karena, di sanalah Perguruan Ruyung Maut
berdiri. Jadi, jalan yang kau tunjukkan itu memang betul!" Seru lelaki berperut


Pendekar Naga Putih 23 Dewa Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gendut yang tak lain adalah Dedemit Bukit Saji. Entah apa maksudnya ia hendak
mengunjungi Perguruan Ruyung Maut seperti yang di-
ucapkannya tadi.
Dedemit Bukit Saji dan muridnya yang bernama Pa-
lawa sudah cukup lama turun gunung setelah berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang
terkandung dalam Kitab Telapak Darah. Hanya sayangnya, otak lelaki gendut
berusia sekitar lima puluh tahun lebih itu agak terganggu setelah menamatkan isi
kitab. Padahal, ada beberapa bagian isi kitab itu yang hilang. Sepertinya, itu
memang sengaja dihilangkan. Entah apa sebabnya. Yang mengetahuinya hanyalah
seorang kakek sakti yang berjuluk Dewa Tangan Api, karena dialah yang lelah
menciptakan ilmu pukulan 'Telapak Darah* yang sangat ganas dan berbahaya.
Untungnya Palawa dapat bersikap lebih cerdik dari-
pada gurunya. Sengaja seluruh kandungan isi kitab itu tidak dipelajarinya. Yang
dipelajarinya hanya beberapa bagian yang penting-penting saja, sehingga otaknya
tidak mengalami gangguan sebagaimana yang dialami gurunya.
Dan kini, setelah genap hampir setengah tahun guru dan murid itu menggembleng
diri dengan ilmu yang
kabarnya sangat mengerikan itu, mereka pun turun ke dunia ramai. Tujuan mereka
kali ini adalah Perguruan Ruyung Maut.
Tak berapa lama kemudian, mereka bergegas meng-
genjot tubuhnya melintasi jalanan berdebu yang dipenuhi pula oleh bebatuan
bertonjolan. Tapi, semua itu sama sekali tidak menghambat lari mereka. Padahal,
jalan yang dilewati cukup sulit karena tertutup debu tebal.
Namun, kedua orang itu sama sekali tidak pedulikan jalan yang dilalui. Dedemit
Bukit Saji dan Palawa kini terus melintasi daerah persawahan cukup luas.
Setelah melewati persawahan, kini langkah kaki sosok tubuh itu berhenti didepan
sebuah pintu gerbang yang terbuat dari kayu gelondongan.
"Hm.... Aku yakin, di sinilah tempatnya monyet jelek yang berjuluk Ruyung
Delapan Bayangan. Ayolah, kita harus menemuinya," ajak Dedemit Bukit Saji. Tanpa
menunggu jawaban muridnya, dia segera melompat melewati pintu gerbang yang cukup
tinggi. Enak saja tubuh gendut itu melambung bagai sebuah
bola karet yang ringan. Ketika berada di atas pintu gerbang yang ujungnya
runcing, mendadak tubuh gendut itu berputar seperti sengaja mempertontonkan
kebolehannya. Sepasang tangannya terkembang dan perlahan menepak ujung-ujung pintu gerbang
itu. Sesaat kemudian, tubuhnya kembali melenting manis, dan hinggap di tengah
halaman depan. Ringan, dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Hebat memang
ilmu meringankan tubuh
yang dipertunjukkannya. Rasanya, jarang ada orang yang mampu melakukan hal
seperti itu. Palawa yang masih berdiri menyaksikan pertunjukan
gurunya, hanya tersenyum dikulum. Begitu tubuh gurunya lenyap, kakinya segera
dijejakkan ke tanah. Sesaat kemudian, tubuhnya langsung melayang. Bagaikan
seekor burung besar. Dan gerakan itu masih ditambah
gerakan kedua tangannya yang mengembang ke kiri dan kanan. Tingkah pemuda itu
memang benar-benar mirip seekor burung, apabila tengah mengembangkan sayap-nya.
Seperti juga yang tadi dilakukan gurunya, sepasang tangan Palawa bergerak cepat
melakukan tepukan perlahan pada ujung-ujung pintu gerbang Perguruan Ruyung Maut.
Setelah melenting dan berputaran beberapa kali, kedua kakinya menjejak tanah
tanpa suara sedikit pun.
"Ha ha ha...! Guru ternyata semakin hebat saja gerakannya. Aku jadi kagum sekali
melihatmu melewati pintu gerbang sialan itu," ujar Palawa tertawa memuji
kehebatan gurunya.
"Hm... Kau pun sudah memiliki kemajuan yang sangat pesat, Palawa. Gerakanmu
ternyata telah hampir menya-maiku. Jangan-jangan kau sudah metewatiku. He he
he...!" Setelah berkata demikian, Dedemit Bukit Saji meng-
umbar tawanya berkepanjangan. Namun anehnya, meskipun tawa tokoh sesat itu
bergema sampai jauh, tapi tak seorang pun yang tampak datang menyambutnya. Tentu
saja hal itu membuat keduanya menjadi keheranan. Dan hal ini baru mereka sadari.
"Kurang ajar...! Apakah Ruyung Delapan Bayangan sudah melarikan diri" Mengapa
sunyi sekali" Bahkan seorang murid pun Udak tampak batang hidungnya!"
umpat Dedemit Bukit Saji, geram.
"Kalau memang tidak ada, ya kita pergi. Untuk apa di sini lama-lama," sahut
Palawa seena tanpa mempedulikan perasaan gurunya.
Memang sifat guru dan murid ini tidak lumrah! Ter-
kadang saling berbantahan hanya karena persoalan
sepele, tapi semua itu lenyap begitu saja setelah salah satu merasa disenangkan
oleh yang lain. Sikap yang ditunjukkan Palawa memang sangat berbeda dengan mu-
rid-murid lain pada umumnya. Sikapnya tampak bebas dan tidak terikat peraturan
apa pun. "Kau mencariku, Dedemit Bukit Saji...?" Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara
menggetarkan, yang disalurkan kekuatan tenaga dalam. Bersamaan terdengamya suara
lantang itu, tiga sosok tubuh keluar dari dalam rumah besar di tengah perguruan.
Mereka langsung melangkah ke arah demit Bukit Saji dan Palawa.
"Ha ha ha...! Akhirnya kau muncul juga Ruyung Delapan Bayangan! Hei" Ada
Pendekar Golok Sakti juga, rupanya! Dan.... Ha ha ha... Bukankah yang seorang
lagi itu Ki Bardala si Tendangan Maut..! Ha ha ha.... Tidak kusangka, ternyata
kau telah mengundang mereka hanya untuk menjaga selembar nyawamu, Ruyung Delapan
Bayangan?" ejek Dedemit Bukit Saji sambil tertawa terbahak-bahak, melihat
lawannya ternyata telah memanggil bantuan.
Tapi, lelaki gemuk pendek yang sombong itu sama
sekali tidak kelihatan gentar. Sepertinya ia sangat percaya dengan kepandaian
yang sekarang dimiliki.
"Hm.... Kau jangan mengada-ada, Dedemit Bukit Saji.
Aku sama sekali tidak mengundang mereka. Saat ini kami bertiga memang tengah
berembuk sehubungan adanya
penculikan-penculikan dan juga perkosaan yang tengah terjadi belakangan ini.
Secara kebetulan, kedatangan mereka sangat bertepatan dengan kedatanganmu. Dan
jangan berpikir kalau aku akan mengeroyokmu. Tidak! Aku akan tetap menghadapimu
seorang diri, seperti sepuluh tahun yang lalu. Kuharap, kau sudah mempersiapkan
diri sebaik mungkin. Dan kali ini, jangan harap aku akan membebaskanmu seperti
waktu itu," balas Ruyung Delapan Bayangan yang segera melolos senjatanya dari
balik punggung.
Wungngng! Wungngng...!
Terdengar suara mengaung nyaring ketika ruyung
emas di tangan pendekar berusia lima puluh tahun itu berputaran di atas kepala.
Dedemit Bukit Saji tertawa terbahak-bahak melihat
kelakuan lawannya Dengan langkah lebar, dia maju beberapa tjndak ke depan.
"Lebih baik kau ajak kedua orang temanmu itu untuk maju bersama-sama, Ruyung
Delapan Bayangan. Jangan sampai kau menyesal karena tidak meng-kuti anjuranku.
Cepatlah, sebelum semuanya terlambat!" tantang Dedemit Bukit Saji, pongah.
"Hm.... Jangan sesumbar dulu, Dedemit Bukit Saji.
Nanti kau akan kecewa, karena kubuat jungkir balik seperti pada waktu sepuluh
tahun yang lalu....," balas Ruyung Delapan Bayangan tersenyum menimpati ejekan
lawan. "Hmh...!"
Dedemit Bukit Saji tidak mengatakan apa-apa lagi.
Langkahnya segera bergeser membenruk kuda-kuda yang terlihat kokoh kuat bagai
sebuah gunung karang. Sepasang tangannya terkembang ke kiri dan kanan menim-
bulkan deru angin ribut.
"Mulailah, Dedemit Bukit Saji. Aku sudah ber siap...,"
tantang Ruyung Delapan Bayangan.
Ketua Perguruan Ruyung Maut itu memainkan sen-
jatanya hingga menimbulkan angin tajam yang ber-
kesiutan. Jelas, pendekar itu tidak ingin membuka serangan terlebih dahulu.
Sepertinya, ia lebih suka bersikap menunggu serangan lawan.
"Tidak bisa, Ruyung Delapan Bayangan. Sebagai Tuan rumah, seharusnya kaulah yang
memulainya. Tapi kalau kau memang takut, tentu saja aku akan menyerang meski
terpaksa," sahut Dedemit Bukit Saji balik menantang lawannya.
"Baik! Nah, sambutlah...!" bentak Ruyung Delapan Bayangan.
Pendekar itu segera melcmpat disertai sambaran ru-
yung emasnya yang kadang-kadang berputar memben-
tuk lingkaran. Dan di satu saat, ruyung itu mampu meluncur lurus bagai sebatang
tongkat yang diluncurkan.
Benar-benar sebuah pemnainan senjata yang indah dan dahsyat.
Melihat lawan sudah mulai membuka serangan, De-
demit Bukit Saji bergerak mundur sambil menyiapkan dirinya. Serangan yang
melewati samping tubuhnya langsung dibalas oleh sebuah tendangan kilat yang
sangat mengejutkan.
Zebbb! Tendangan Dedemit Bukit Saji yang meluncur lurus
menuju perut lawannya, hanya mengenai tempat kosong.
Lalu, kembali datang serangan, berupa sambaran ruyung emas yang mengancam tubuh
Dedemit Rukit Saji.
Namun, gerakan yang dilakukan Dedemit Bukit Saji
benar-benar mengejutkan. Tendangan yang semula me-
ngenai angin kosong itu tiba-tiba berputar dari dalam ke luar. Maksudnya untuk
mematahkan serangan ruyung
lawan dan sekaligus mengancam batang leher Ruyung
Delapan Bayangan.
Wuttt! Wuttt! Desss! Plakkk! Hantaman ruyung emas itu terpental balik akibat
putaran kaki Dedemit Bukit Saji. Tokoh sesat berperut buncit yang rupanya sudah
memperhitungkan kekuatan tenaganya, terus saja membabatkan kaki mengincar
belakang leher Ruyung Delapan Bayangan.
Wuttt...! "Akh...!"
Ruyung Delapan Bayangan berseru tertahan melihat
kaki lawannya masih terus meluncur setelah mematahkan serangan ruyungnya. Sadar
akan bahaya yang mengancam, maka pendekar itu segera melempar tubuhnya ke
belakang. Dia langsung melakukan beberapa kali salto di udara, untuk menjauhi
lawannya. Dedemit Bukit Saji rupanya teiak ingin kehilangan kesempatan begitu saja. Ketika
lawannya terlihat melempar tubuh ke belakang, kaki yang menendang itu cepat di-
tekuk dan langsung menjejak tanah! Saat itu, tubuhnya yang gendut melayang ke
arah Ruyung Delapan Bayangan yang masih mengapung di udara. Dengan sikap tubuh
lurus bagai tonggak, tokoh sesat itu mendorongkan sepasang telapak tangannya ke
arah dada lawan.
Bukan main terkejutnya hati Ruyung Delapan Ba-
yangan ketika melihat serangan datang. Karena sudah tidak mungkin lagi mengelak,
maka seluruh kekuatan tenaga dalamnya bergegas dikerahkan untuk melindungi tubuh
agar jangan sampai terluka parah.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Ru-
yung Delapan Bayangan, Ki Bardala yang semenjak tadi mengikuti jalannya
pertarungan langsung melesat cepat untuk menyelamatkan kawannya. Begitu
menyerang, sepasang kakinya langsung berputaran mengirim serangkaian tendangan
maut! Perbuatan Ki Bardala tentu saja membuat Dedemit
Bukit Saji menjadi geram. Tindakan itu membuat tokoh sesat berperut buncit itu
terpaksa harus menunda serangannya. Kini perhatiannya beralih kepada Ki Bardala
untuk menghadapi tendangan maut kakek itu. Cepat
sepasang tangannya yang terbuka berputar memapak
tendangan lawan.
Plak! Plak! Plak!
"Akh...!"
Terdengar seruan tertahan ketika tiga buah tenda-
ngan Ki Bardala berhasil dipatahkan Dedemit Bukit Saji dengan tamparan telapak
tangannya. Tubuh pendekar
berusia enam puluh tahun itu terpentil balik, karena tenaga dalamnya masih kalah
kuat dengan lawannya.
Tapi, Ki Bardala segera menunjukkan kebolehannya
dengan mematahkan daya luncur tubuhnya. Dengan be-
berapa kali gerakan berputar, tubuh kakek Itu dapat mendarat di tanah dengan
kedua kaki terlebih dahulu.
Sehingga, tubuhnya tidak sampai terbanting.
"Hm.... Kau semakin hebat saja, Dedemit Bukit Saji..,"
puji Ki Bardala tulus.
Ucapan kakek itu bukan hanya sekadar bualan saja.
Harus diakui kalau tangkisan yang dilakukan tokoh sesat itu begitu dahsyat.
Padahal sepuluh tahun yang lalu, tokoh sesat berperut buncit itu dapat
dipecundangi Ruyung Delapan Bayangan hanya dalam empat puluh jurus. Tapi
sekarang, justru Dedemit Bukit Saji-lah yang hampir menundukkan lawannya hanya
dalam waktu kurang dari
tiga puluh jurus. Benar-benar suatu kemajuan yang sangat pesat.
"He he he.... Sudah kukatakan sejak semula, majulah kalian bersama-sama. Tapi,
kalian ternyata merasa terlalu tinggi untuk mengeroyokku. Dan sebagai akibat
kesombongan itu, nyawa Ruyung Delapan Bayangan hampir saja meninggalkan
raganya," ejek Dedemit Bukit Saji tertawa bergelak.
Sepertinya tokoh sesat yang dulu pernah dipecun-
dangi Ruyung Delapan Bayangan merasa bangga dengan hasil yang dicapai selama
ini. Dan itu telah dibuktikannya dengan membuat Ruyung Delapan Bayangan, kalang-
kabut dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus. Tentu saja hatinya menjadi
semakin sombong saja.
*** 6 "Hm... Jangan terlalu bangga dulu, Iblis Gendut! Meskipun tadi aku terdesak, itu
karena aku merasa kasihan melihat dirimu. Terus terang, tadi aku tidak
bersunguh-sungguh menyerang. Tapi sekarang, jangan harap dapat kesempatan
seperti tadi lagi. Mari kita buktikan!" gertak Ruyung Delapan Bayangan memancing
amarah lawan. Setelah berkata demikian, pendekar itu melompat ke depan. Ruyung emasnya kembali
diputar-putar dengan gerakan indah dan cepat.
Wungngng! Wungngng...!
Putaran ruyung yang menimbulkan angin menderu-
deru itu sama sekali tidak membuat Dedemit Bukit Saji gentar. Dengan tatapan
tajam menusuk jantung, tokoh sesat berperut buncit Itu menarik mundur kakinya.
Kemudian tubuhnya direndahkan dengan menekuk lutut.
Sepasang tangannya terkembang ke kiri dan kanan, terus berputar ke atas untuk
kemudian turun di bawah pinggang.
"Hm.... Hadapilah ilmu 'Telapak Darah' yang baru ku-rampungkan ini..," geram
Dedemit Bukit Saji dingin, namun mengandung getaran yang mempengaruhi daya pikir
lawan. Bent! Bent! Serangkum angin panas yang amat kuat menebar
mengiringi gerakan tangan tokoh sesat itu. Sekilas, terlihat kedua telapak
tangan Dedemit Bukit Saji mengepul-kan asap samar yang juga berhawa panas.
Sepertinya, ia sudah tidak sabar untuk menamatkan nyawa lawannya.
"Yeaaat...!"
Dibarengi bentakan menggeledek, tubuh gendut itu
meluruk ke arah Ruyung Delapan Bayangan. Sepasang
tangannya yang menebarkan uap panas menyambar-
nyambar dahsyat.
Wuttt! Wuttt! Sambaran angin panas yang menimbulkan suara
mencicit tajam menulikan telinga, mengiringi serangan tokoh sesat itu. Sepintas
saja, jelas terlihat kalau serangan yang dilancarkannya memang benar-benar
berba- haya dan mengandung hawa maut.
Menyadari bahayanya serangan lawan, maka lelaki
gagah yang menjadi Ketua Perguruan Ruyung Maut itu cepat memutar senjatanya
semakin cepat. Seluruh tenaga sakdnya dikerahkan ketika merasakan sambaran hawa
panas yang menerpa tubuhnya. Kali ini, ia benar-benar harus menggunakan ilmu
andalan untuk menghadapi
serangan itu. Wungngng! Wungngng..!
Putaran ruyung yang semakin kuat dan menimbulkan
suara mengaung, ternyata masih belum dapat mengalahkan deru angin pukulan


Pendekar Naga Putih 23 Dewa Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dedemit Bukit Saji. Sehingga suara mencicit tajam yang dibarengi hawa panas itu
tetap saja mengganggu perhatiannya.
Kedua tokoh yang merupakan musuh bebuyutan itu
kembali saling menerjang dahsyat. Ruyung emas di tangan lelaki gagah berusia
lima puluh tahun itu berputaran cepat dan menyambar-nyambar bagaikan seekor
burung wallet. Setiap kali sambarannya selalu diiringi suara mengaung
menggetarkan dada. Benar-benar tidak bisa diremehkan kali ini. Jelas, ucapan
yang dikeluarkannya tadi bukan merupakan bualan belaka.
Tapi, Dedemit Bukit Saji pun tidak tinggal diam. Ilmu
'Telapak Darah' yang dikatakannya tadi memang benar-benar luar biasa. Setiap
sambaran telapak tangannya selalu disertai hembusan hawa panas menyengat.
Sehingga dalam waktu beberapa jurus saja, tubuh Ruyung Delapan Bayangan sudah
dibanjiri peluh. Bahkan setiap sambaran ruyung emasnya selalu saja bertolak
balik ketika hampir menyentuh lawannya. Tentu saja hal itu membuatnya terdesak
hebat "Heaaah...!"
Ketika pertarungan memasuki Jurus yang kelima be-
las, tiba-tiba Dedemit Bukit Saji mengeluarkan bentakan mengejutkan. Berbarengan
suara bentakan itu, tubuh gendut itu melayang disertai hantaman telapak tangan
secara bergantian dan susul-menyusul.
Tentu saja rangkaian serangan Dedemit Bukit Saji
membuat Ruyung Delapan Bayangan menjadi tercekat.
Sambaran-sambaran hawa panas yang semula terasa
tidak begitu kuat, kini mulai terasa menyentuh permukaan kulit. Sebab, hantaman-
hantaman telapak tangan lawan seperti mengelilingi tubuhnya. Maka pendekar itu
hanya dapat bertarung mundur tanpa melakukan serangan balasan.
Meskipun demikian, Ruyung Delapan Bayang sama
sekali tidak merasa putus harapan. Ruyung emasnya tetap digerakkan walaupun
sadar kalau hal itu tidak berguna banyak. Sebab setiap kali senjatanya
menyambar, ruyung itu selalu saja berbalik dan meng-ancam dirinya sendiri. Hal
itu disebabkan kuatnya sambaran hawa
panas yang juga menebar dari tubuh lawan. Sehingga, dapat dtpastikan kalau
Ruyung Delapan Bayangan tidak dapat bertahan lebih lama lagi.
Ki Bardala dan Pendekar Golok Sakti yang mengikuti jalannya pertarungan, tentu
saja menjadi cemas. Sadar akan keselamatan nyawa kawannya, maka kedua orang
pendekar itu pun memutuskan untuk ikut menerjunkan diri dalam pertempuran itu.
"Dedemit Bukit Saji...! Sambutlah seranganku...!"
Setelah memberikan peringatan kepada lawannya,
tubuh kedua orang pendekar itu meluruk terjun ke dalam kancah pertarungan.
Tapi sayang niat kedua orang itu tidak tercapai. Selagi tubuh keduanya meluruk
ke arah pertarungan Dedemit Bukit Saji dan Ruyung Delapan Bayangan, tahu-tahu
saja sesosok bayangan lain telah melesat memotong arus lun-curan tubuh mereka.
Siapa lagi bayangan itu kalau
bukan Palawa yang sejak tadi juga mengikuti jalannya pertarungan seru itu.
"Jangan ganggu mereka...! Kalau tangan kalian ludah gatal, marilah lota bermain-
main sejenak...!" tantang Palawa sebelum melompat untuk menyambut KI Bardala dan
Pendekar Golok Sakti yang bermaksud masuk ke
dalam pertarungan.
Bukan main geramnya hati kedua tokoh golongan
putih itu Karena dengan datangnya anak muda yang
menjegal serangannya, berarti telah hilanglah kesempatan untuk menolong Ruyung
Delapan Bayangan. Maka
dengan kemarahan yang meluap-luap, mereka segera
menerjang Palawa dengan serangkaian serangan gencar.
Hal itu dimaksudkan agar salah seorang dari mereka bisa pergi.
"Bedebah, kau! Minggir...!" bentak Ki Bardala. Serta-merta laki-laki tua Itu
mengayunkan kedua kakinya
melakukan serangkaian tendangan maut. Sekali bergerak saja, kedua kakinya telah
melancarkan delapan kali tendangan dengan sasaran berbeda-beda. Sehingga mau tak
mau, Palawa menjadi terperangah dibuatnya.
Pendekar Golok Sakti pun tidak ketinggatan. Sepa-
sang golok perak yang tergenggam di tangannya berkeredep menyilaukan mata.
Sepasang senjata ampuh itu berkelebatan menyambar-nyambar di sekitar tubuh
Palawa. Tapi pemuda itu sama sekali tidak kelihatan gentar.
Meskipun serangan yang dilancarkan kedua orang tokoh tua itu begitu dahsyat
namun Palawa dapat berslkap tenang dalam menghadapinya.
Palawa yang memang sudah bersiap menghadapi per-
tarungan, langsung saja mengumbar pukulan telapak tangan yang juga menimbulkan
hawa panas seperti halnya Dedemit Bukit Saji. Rupanya, Palawa pun sudah pula
mengeluarkan ilmu 'Telapak Darah' yang sangat ampuh.
"Yeaaat...!"
Dibarengi teriakan parau, sepasang telapak tangan
pemuda itu meluncur deras ke dada Ki Bardala. Sejenak laki-laki tua itu
terperangah, namun segera memutar kaki kanan untuk menghalau serangan itu. Maka
tanpa dapat dicegah lagi, dua gelombang tenaga sakti yang sama-sama kuat itu
sating berbenturan keras.
Blarrr...! Terdengar ledakan keras yang disusul terlemparnya
tubuh Ki Bardala ke belakang. Namun, tubuh kakek itu dapat berjumpalitan dan
langsung mendaratkan kakinya ke tanah, tanpa menderita luka sedikit pun! Hanya
saja, wajahnya agak sedikit pucat! Dirasakan ada selaput hawa hangat yang
meresap ke dadanya. Tapi karena rasa itu tidak begitu menyakitkan, maka pendekar
itu pun tidak mempedulikannya.
Sedangkan tubuh Palawa sendiri, hanya terjajar mundur sejauh empat langkah ke
belakang. Hal itu menandakan kalau tenaga dalamnya berada dua tingkat di atas
tenaga dalam Ki Bardala. Tentu saja kakek itu hampir tak percaya melihatnya.
"Gila...! Hebat sekali tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu. Entah apa
hubungannya dengan Dedemit Bukit Saji" Mungkinkah pemuda itu muridnya" Tapi,
mengapa kepandaian dan kekuatan tenaga dalamnya hampir me-nyamai iblis itu
sendiri?" gumam Ki Bardala tak habis mengerti ketika merasakan betapa kuatnya
tenaga dalam yang dimiliki Palawa.
Tentu saja ia tidak tahu kalau guru dan murid itu sa-ma-sama mempelajari ilmu
'Telapak Darah' secara berbarengan. Sehingga tenaga dalam yang dimiliki tidak
Jala Pedang Jaring Sutra 7 Panji Sakti Karya Khu Lung Bu Kek Kang Sinkang 1
^