Pencarian

Dewa Tangan Api 1

Pendekar Naga Putih 23 Dewa Tangan Api Bagian 1


T. Hidayat DEWA TANGAN API
CINTAMEDIA penerbit buku silat bermutu
DEWA TANGAN API
Oleh T. Hidayat
Cefakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Dewa Tangan Apit
128 hal : 12 x 18 cm
1 "He he he...! Akan lari ke mana kau, Setan Cilik..."!"
Terdengar teriakan bernada meremehkan yang diiringi tawa terkekeh nyaring.
Sosok tubuh berperut buncit yang mengeluarkan
suara itu berlari cepat mendaki lereng Gunung Bulangkang. Langkah kakinya
terlihat demikian ringan dan gesit. Sungguh tak cocok dengan bentuk tubuhnya
yang pendek gemuk. Belum lagi, perutnya yang bagaikan
wanita hamil. Tapi, semua itu ternyata sama sekali tidak menghambat gerakannya.
Dari sini saja sudah dapat
dinilai kalau kepandaian orang itu cukup tinggi.
Sedangkan sosok tubuh lain yang dikejar memiliki
perawakan tegap dan gagah. Dia terus saja berlari tanpa mempedulikan ejekan
pengejarnya. Kelihatannya, usia orang itu paling jauh sekitar dua puluh tahun.
Namun, kepandaian ilmu larinya ternyata lumayan juga. Sehingga, jarak di antara
mereka tidak berubah.
Lelaki berperut buncit yang berusia sekitar lima puluh tahun itu seperti memang
sengaja tidak sungguh-sungguh mengejar. Dia sudah memperhitungkan kalau orang
yang dikejar tidak akan tolos dari tangannya. Itulah sebabnya, mengapa ia tidak
berusaha memperpendek jarak di antara mereka.
Dan, apa yang diperhitungkan lelaki gendut itu
ternyata memang tidak meleset. Pemuda berwajah keras yang memiliki sepasang mata
licik itu terlihat bingung ketika telah tiba di atas puncak Gunung Bulangkang.
Dia kemudian menghentikan larinya. Dan memang, yang
dilewatinya kini adalah jalan satu-satunya untuk menuju puncak gunung. Sedangkan
di kiri kanannya terdapat tebing-tebing curam yang tertutup semak belukar.
Rasanya, tebing itu siap menelan mentah-mentah tubuhnya.
"Gila! Rasanya aku memang harus mati di tangan iblis gendut itu!" Umpatnya
dengan wajah pucat. Tubuhnya hanya terpaku, menanti kedatangan orang yang menge-
jarnya. "He he he...! Sudah kukatakan, kau tidak akan mungkin lolos dari tanganku, Setan
Cilik! Nah, bukan-kah ucapanku sekarang terbukti?" Ejek lelaki setengah baya
berperut buncit itu tertawa penuh kemenangan
ketika telah dekat dengan pemuda itu. Kaki-kakinya yang pendek kini hanya
melangkah perlahan-lahan semakin mendekati pemuda itu.
"Ha... Dedemit Bukit Saji! Jangan dikira aku akan menyerah begitu saja! Meskipun
aku bukan tandinganmu, tapi jangan harap untuk bisa menangkapku!" geram pemuda
itu. Kaki kanan pemuda itu bergeser ke belakang dan
langsung merendahkan tubuh. Sedangkan tangan kanannya dengan telapak terbuka
melindungi ubun-ubun kepala. Sementara tangan kirinya yang mengepal menjulur ke
depan. Jelas kalau pemuda itu tidak sudi menyerah begitu saja kepada laki-laki
gendut yang dipanggil Dedemit Bukit Saji itu.
"Hei"! Kau masih belum menyerah juga rupanya?"
ejek Dedemit Bukit Saji. Langkah kakinya pun berhenti ketika melihat buruannya
telah bersiap menghadapi pertarungan mati-matian.
Dengan langkah pendek-pendek, Dedemit Bukit Saji
mengintari pemuda itu disertai kekehnya yang berkepanjangan. Sepasang matanya
yang bulat dan tajam meneliti bentuk kuda-kuda yang dipergunakan pemuda itu.
Jelas kalau lelaki gendut itu sangat memandang rendah lawannya.
"Hmh...!"
Disertai geraman kasar, mendadak tubuh Dedemit
Bukit Saji berbalik dan membentuk kuda-kuda dengan telapak kaki depan tergantung
di atas tanah. Melihat lawannya sudah bersiap bertarung, pemuda
itu kembali bergerak. Sepasang tangannya berputar sejenak disertai geseran
kakinya, namun tetap dalam bentuk kuda-kuda kokoh.
"Hiyaaat..!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh pemuda itu lang-
sung melesat ke arah lawannya. Sepasang tangannya bergerak susul-menyusul dalam
bentuk pukulan dan tusukan jari-jari tangan. Sekali serang saja, la telah
melontarkan serangkaian pukulan yang menimbulkan samba-
ran angin tajam.
Wuttt! Wuttt! Heberapa buah kepalan dan tusukan jari-jari pemuda itu meluruk di sekitar tubuh
Dedemit Bukit Saji. Tapi dengan gerakan cepat, lelaki gendut itu dapat menghin-
darinya. Bahkan dua buah pukulan yang mengarah ke
dada dan leher berhasil dipapaknya.
Plakkk! Plakkk!
"Uuugh...!"
Lelaki muda itu mengeluh pendek ketika dua buah
pukulannya terasa bagai membentur besi panas. Kuda-kudanya tergempur mundur,
akibat tangkisan lawan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Mulut pemuda itu
kontan menyeringai. Jelas, rasa sakit akibat benturan dengan lawan telah mendera
tangannya. "Heaaah...!"
Sambil membentak kesal, pemuda itu menjejakkan
kaki ke tanah kuat-kuat untuk mematahkan daya dorong tangkisan lawan. Sepasang
tangannya bergerak cepat agar keseimbangannya terjaga, sekaligus menyalurkan
tenaga dalam untuk menghilangkan rasa linu pada tulang lengannya.
"Happp...!"
Saat itu Dedemit Bukit Saji sudah melompat dan langsung mengirimkan pukulan
lurus ke dada lawan. Sedangkan tangan kirinya berada di sisi telinga, siap
melontarkan tamparan.
Melihat serangan yang mengincar dadanya datang,
pemuda itu memutar tubuh dengan menggunakan gera-
kan pinggang. Seketika kaki kirinya juga terangkat naik melakukan tendangan
lurus ke perut Iawan. Benar-benar sebuah serangan yang patut dipuji. Karena itu
dilakukan sekaligus untuk menghindari pukulan Dedemit Bukit
Saji. Namun, gerakan yang dilakukan Dedemit Bukit Saji
pun tidak kalah hebatnya. Kaki kirinya segera melangkah kedepan membentuk kuda-
kuda silang. Gerakan itu dibarengi putaran tubuhnya ke samping. Lalu, tangan
kiri yang semula berada di dekat telinga bergerak turun, untuk menghantam tulang
kering Iawannya. Tidak berhenti sampai di situ saja. Dedemit Bukit Saji yang
habis menangkis kembali menggerakkan tangannya menghantam dada lawan dengan
menggunakan punggung tangan.
Desss! Buggg! "Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tangkisan dan hantaman
punggung tangan Dedemit Bukit Saji telak menemui
sasaran. Tubuh pemuda itu langsung tersentak kuat ke belakang. Darah segar
langsung menyembur membasahi tanah berumput di sekitar tempat itu.
Tubuh pemuda itu terbanting keras di atas permu-
kaan tanah. Untuk sesaat lamanya dia hanya terduduk sambil terbatuk-batuk.
Rupanya hantaman punggung
tangan Dedemit Bukit Saji bukan sebuah pukulan ringan.
Buktinya, akibat yang dirasakan pemuda itu ternyata cukup parah.
"He he he...! Kematian sudah berada di ambang pintu.
Lekaslah berlutut dan memohon ampun kepadaku.
Mungkin saja aku akan berbaik hati dengan memukul
pecah kepalamu. Sebuah kematian yang enak dan tidak menyakitkan, bukan?" ejek
Dedemit Bukit Saji sambil melangkah lebar mendekati tubuh lawan yang masih
terduduk lesu. "Phuih...!"
Dengan sikap kasar, pemuda itu meludah ke atas
tanah. Saat itu juga, la langsung bergerak bangkit dengan wajah geram.
Hilang sudah kesabaran Dedemit Bukit Saji begitu
melihat sikap keras kepala lawannya. Tangannya langsung bergerak cepat bagai
kilat ke arah kepala pemuda itu.
Wuuuttt! Plakkk! Plakkk!
"Aaakh...!"
Dua kali tamparan keras telak menghajar kepala
pemuda itu. Tubuhnya kontan terpelanting ke atas tanah berumput. Dari mulut dan
hidungnya tampak mengalir darah segar. Untunglah tamparan itu tidak sampai
membunuhnya, sehingga sampai saat ini dia masih bisa bernapas.
"Bunuh saja aku, Iblis Gendut! Jangan dikira aku takut menghadapi kematian!"
Teriak pemuda itu dengan wajah bersimbah darah. Ditentangnya pandangan mata
Dedemit Bukit Saji tanpa rasa gentar sedikit pun.
Namun, tiba-tiba saja Dedemit Bukit Saji menenga-
dahkan kepala memandang langit. Sepasang matanya
yang bulat itu tampak menyipit. Sepertinya dia tengah menajamkan telinganya
untuk memastikan sesuatu yang didengarnya secara samar-samar. Dan sesaat
kemudian, senyum liciknya pun mengembang.
"Baiklah! Kalau memang itu sudah menjadi kemau-anmu, bersiaplah untuk segera
kukirim ke neraka..!" Ujar lelaki berperut buncit itu dengan suara agak keras.
Dia sengaja berbuat demikian, sepertinya untuk memancing sesuatu yang tengah
diduganya. "Lakukanlah! Jangan hanya mulutmu saja yang besar!" Tantang pemuda itu, siap
menghadapi maut yang akan menjemput.
"Bangsat..!" sambil memaki marah, Dedemit Bukit Saji melompat diiringi kibasan
tangan. Dari angin pukulannya, bisa diduga kalau serangan itu mengandung tenaga
dalam tinggi. Wuttt! Serangkum angin tajam berhembus mengiringi tela-
pak tangan Dedemit Bukit Saji. Tamparan itu meluncur deras mengancam kepala
pemuda itu. Dapat dipastikan, kalau kepala orang itu akan pecah!
Namun pada saat yang amat menentukan bagi nasib
pemuda gagah itu, tiba-tiba saja sesosok bayangan hitam berkelebat cepat bagai
kilat. Tangannya Iangsung terulur disertai bentakannya yang menggetarkan isi
dada. Wuttt! Tiupan angin keras yang tidak kalah kuatnya dengan tamparan Dedemit Bukit Saji,
menyambar cepat dan
menggetarkan. Maka....
"Harm"
Hebat bukan main akibat pertemuan dua gelombang
tenaga sakti yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu. Ledakan keras
terdengar menggelegar bagaikan sambaran petir di angkasa.
"Akh...!"
Keluhan pendek terdengar dari mulut lelaki berperut buncit yang tubuhnya
terlempar tanpa dapat dicegah lagi.
Brakkk...! Sebatang pohon besar yang berada di belakangnya,
berderak ribut ketika tubuh gendut yang masih terlindungi hawa sakti itu
menghantamnya. Pohon itu langsung tumbang diiringi suara bergemuruh.
"Gila...! Setan dari mana yang berani main-main dengan Dedemit Bukit Saji"!"
Umpat lelaki setengah baya bertubuh gendut itu marah
Dengan tertatih-tatih, Dedemit Bukit Saji langsung bangkit meski dengan langkah
agak limbung. Di sudut bibirnya terlihat cairan merah yang mengalir turun.
Sedangkan kedua tangannya menekap dada yang terasa sesak dan panas membakar.
Cepat tokoh sesat itu menghirup udara banyak dan
mengerahkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan-
nya. Tak berapa lama kemudian, gerakan-gerakan ta-
ngannya berhenti, lalu kepalanya menoleh ke arah tempat pemuda buruannya tadi
berada. *** Sementara itu, sosok tubuh tinggi kurus yang mengenakan jubah hitam telah
berdiri tegak didepan pemuda itu. Setelah melepaskan pandangan sejehak ke arah
Dedemit Bukit Saji yang tengah sibuk mengobati lukanya, sosok berjubah hitam itu
pun berbalik dan merunduk.
Tangan kanannya yang berjari-jari kurus terulur hendak memeriksa luka si pemuda.
Namun, begitu tubuh tinggi kurus yang ternyata
orang kakek itu semakin membungkuk, tiba-tiba saja pemuda yang hendak
ditolongnya malah melontarkan
sesuatu dari tangan.
Kakek tinggi kurus yang sama sekali tidak me-
nyangka kalau orang yang ditolongnya akan berbuat
demikian, tentu saja menjadi terkejut setengah mati! Tapi karena jarak di antara
keduanya terlampau dekat, maka
tidak mungkin lagi baginya untuk bisa mengelak. Akhirnya kakek itu mengibaskan
lengan yang terulur untuk menghalau benda halus yang belum diketahuinya itu.
Wusss! Crab! Crab! "Aaah...!"
Malang! Karena jaraknya terlampau dekat, maka per-
buatan kakek itu pun tidak seluruhnya berhasil. Beberapa benda halus yang
seperti jarum langsung mengenai tubuhnya. Akibatnya, dia terjajar mundur sejauh
beberapa langkah.
Sedangkan pemuda yang semula terduduk lemah itu
telah menggulingkan tubuhnya, menjauhi kakek
Wusss! Crab! Crab!
"Aaah...!" Kakek tinggi kurus yang tadinya bermaksud menolong pemuda ltu tidak
bisa mengelak lagi. Sebab dia tidak menyangka sama sekali kalau pemuda itu akan
melepaskan jarum-jarum rahasianya!
tinggi kurus yang jelas sangat lihai. Kemudian, tubuhnya langsung melenting
bangkit dengan gerak sangat cekatan. Entah apa yang menyebabkan pemuda itu
sampai tega menyerang penolongnya.
"He he he...! Bagus, Palawa! Ternyata pengorbanan kita tidak sia-sia...!"
Terdengar gelak tawa penuh kemenangan dari Dedemit Bukit Saji. Tokoh sesat itu
terus saja terbahak-bahak sambil tersenyum dan mengangguk-angguk puas.
"Ha ha ha...! Jadi, sandiwara yang aku perankan tadi sudah bagus, Guru?" Tanya
pemuda yang dipanggil Palawa juga tertawa-tawa penuh kepuasan.
Sementara itu, kakek tinggi kurus yang ternyata
berjuluk Dewa Tangan Api terduduk lemah dengan wajah pucat Jelas kalau jarum-
jarum halus yang menancap di tubuhnya mengandung racun ganas.
"Hm.... Dedemit Bukit Saji. Lagi-lagi kau datang mengganggu ketenanganku, dengan
cara menjebak. Kau masih tetap belum berubah. Bahkan sekarang kau bawa anak muda
itu untuk mengikuti kesesatanmu. Apa yang kau kehendaki dariku kali ini, Dedemit
Bukit Saji...?"
Tanya kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun, dengan napas tersengal.
Wajah tua yang semakin pucat itu terlihat dibasahi peluh. Dari mimik wajahnya
yang bergetar, jelas kalau ia tengah berusaha menahan rasa sakit yang diderita.
"Ha... Jangan berpura-pura bodoh, Tua Bangka!
Seperti pada lima tahun yang lalu, kedatanganku kemari masih dengan maksud yang
sama. Aku menginginkan
Kitab Telapak Darah yang kau ciptakan. Cepat, katakan di mana kitab itu"!"
bentak Dedemit Bukit Saji.
Laki-laki berperut buncit itu kemudian melangkah
lebar mendekati kakek itu. Dari sikapnya yang tanpa curiga, sudah dapat ditebak


Pendekar Naga Putih 23 Dewa Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau ia tahu akan keadaan Dewa Tangan Api, sehingga kelihatan tidak perlu
khawatir. "Hhh.... Sudah beberapa kali kukatakan, Kitab Telapak Darah itu telah
kumusnahkan. Karena kusadari
kalau ilmu ciptaanku itu sangat berbahaya dan dapat membawa kesesatan bagi siapa
saja yang mempelajari-nya. Jangan desak aku, Dedemit Bukit Saji. Percuma!
Kau tidak akan mendapatkannya dariku...," sahut Dewa Tangan Api.
Napas kakek itu tampak semakin memburu. Selebar
wajahnya telah berubah kemerahan. Sepertinya, racun akibat jarum yang
dilemparkan Palawa semakin menunjukkan pengaruhnya.
"He he he...! Kau tidak tahu, racun apa yang sekarang mengeram dalam tubuhmu,
Peot! Tak satu obatpun yang dapat menyembuhkanmu. Ia akan terus menyiksa selama
satu tahun. Dan setelah lewat dari waktu itu, kau akan mati secara perlahan-
lahan dengan daging terkelupas sedikit demi sedikit. Bahkan semua persendianmu
akan terlepas satu persatu. Nah! Dapat kau bayangkan, betapa menyedihkan akhir
hidupmu, Dewa Tangan Api...," kata Dedemit Bukit Saji sambil tertawa terbahak-
bahak melihat wajah kakek itu menjadi semakin pucat ketika mendengar
keterangannya. "Jadi..., maksudmu racun ini..., racun... racun....
Aaah...!" Dedemit Bukit Saji tak sanggup lagi untuk menerus-
kan ucapannya. Wajahnya nampak sangat cemas ketika mulai dapat menduga tentang
racun yang mengeram
dalam tubuhnya.
"Benar! Racun itu berasal dari laba-laba biru dan kumbang merah, yang telah
berusia puluhan tahun. Aku berhasil menemukannya di gua tempat kediaman men-
diang guruku. Sayang, beliau keburu meninggal sebelum menciptakan obat
penawarnya. Dan kau pasti pernah
dengar tentang kehebatan racun itu, bukan" Nah! Sekarang kau boleh menikmatinya
seumur hidupmu," jelas Dedemit Bukit Saji sambil tersenyum penuh kemenangan.
Kemudian, laki-laki gendut itu membalikkan tubuh-
nya dan berpaling kepada Palawa, anak muda yang ternyata adalah murid
tunggalnya. "Mart kita pergi, Palawa. Meskipun Kitab Telapak Darah telah dimusnahkan, aku
yakin kakek peot itu masih menyimpan salinannya. Ayo kita cari!" ujar Dedemit
Bukit Saji mengajak muridnya untuk memeriksa tempat kediaman Dewa Tangan Api.
"Dedemit Bukit Saji...! Kau benar-benar manusia Iblis yang melebihi segala macam
lblis! Kau..., kau..., Iiladab...!
Ohhh...." Setelah memaki-maki dengan suara serak dan terpu-
tus-putus, Dewa Tangan Api roboh tak sanggup menahan derita yang menyiksa. Rasa
panas, dan gatal yang amat hebat, akhirnya membuat tokoh tua itu jatuh tak
sadar-kan diri.
Sedangkan Dedemit Bukit Saji dan Palawa menerus-
kan langkah menuju pondok tempat kediaman Dewa
Tangan Api. Tak sedikit pun rasa iba di hati mereka terhadap kakek renta itu.
Tak dipedulikan lagi teriakan-teriakan dan makian yang dilontarkan kakek itu
kepada mereka. Sepertinya, hati kedua orang itu memang telah mati karena nafsu
dan keserakahan.
2 Matahari sudah berada tepat di atas kepala ketika Dedemit Bukit Saji dan Palawa
memasuki pondok kediaman Dewa Tangan Api. Begitu berada di dalam, seluruh isi
pondok langsung diobrak-abrik. Sebentar saja, seluruh ruangan pondok itu sudah
mirip kapal pecah.
"Bedebah! Di mana si peot itu menyembunyikan Kitab Telapak Darahnya" Rasanya
tidak mungkin kalau dimusnahkan begitu saja! Pasti kitab itu disembunyikan di
suatu tempat," umpat Dedemit Bukit Saji.
Seluruh ruangan telah habis diperiksanya. Namun,
kitab yang dicari belum juga dapat diketemukan. Tentu eaja hatinya menjadi
berang. "Tapi, apa tidak mungkin kalau Dewa Tangan Api memang benar-benar sudah
memusnahkannya, Guru" Dan,
menurut cerita Guru sendiri, ilmu ciptaan Dewa Tangan Api itu sangat berbahaya.
Bahkan bisa melumpuhkan
syaraf-syaraf penting di kepala orang yang tidak kuat menerimanya. Jadi mungkin
saja kakek itu benar-benar telah memusnahkannya," sergah Palawa mengemukakan
pendapatnya. "Hm.... Jangan bodoh, Palawa. Sekarang, coba pikir-lah dengan otakmu yang
jernih! Si tua peot itu telah menghabiskan waktu selama kurang lebih lima tahun,
untuk menciptakan ilmu 'Telapak Darah'. Nah! Apakah setelah berhasil
menciptakan, lalu sudi memusnahkannya begitu saja" Bukankah itu perbuatan bodoh
namanya?" Sentak Dedemit Bukit Saji dengan suara agak keras.
Sepertinya, kejengkelan hatinya ingin dilepaskan melalui ucapan-ucapannya. Dan
kebetulan hanya Palawalah yang berada bersamanya. Maka sudah tentu kejengkelan
hatinya itu ditumpahkan kepada muridnya.
"Kalau begitu, ia pasti mempunyai tempat lain untuk menyembunyikan kitab itu.
Apakah di sekitar tempat ini ada gua atau semacam itu, Guru?" Tanya Palawa yang
tiba-tiba saja mengeluarkan pendapatnya.
"Ahhh...! Betapa tololnya aku!" Seru Dedemit Bukit Saji sambil menampar
kepalanya perlahan. "Benar apa yang kau ucapkan itu, Palawa. Sudah pasti si peot
itu mempunyai ruangan khusus yang dipergunakan untuk
bersemadi atau menciptakan ilmu itu. Ayo, mari kita periksa seluruh pelosok
puncak ini."
Setelah berkata demikian, Dedemit Bukit Saji lang-
sung melesat keluar meninggalkan pondok itu.
"Biar aku mencari ke sebelah Barat..!" ujar Palawa yang keluar belakangan.
Dan, tanpa menunggu jawaban dari gurunya, pemuda
itu segera melesat ke arah Barat.
Dedemit Bukit Saji pun tak ambil peduli dengan pendapat muridnya. la terus saja
berlari ke sebelah Timur puncak. Ditelitinya setiap sudut puncak Gunung itu
langsung untuk mencari tempat-tempat seperti yang dimaksud muridnya.
Cukup lama Dedemit Bukit Saji memutari seluruh
daerah puncak Gunung Bulangkang sebelah Timur.
Namun sampai sebegitu jauh, tempat yang dimaksudkan belum juga dapat ditemukan.
Sehingga, kemendongkolan hatinya pun kembali terusik.
"Huh! Benar-benar setan, si tua bangka itu! Awas kau!
Dalam jangka waktu beberapa hari, akan kau ra-sakan betapa jahatnya pengaruh
racun yang mengeram dalam tubuhmu!" Geram Dedemit Bukit Saji kembali memaki-
maki. Setelah lelah mencari namun belum juga menemukan
apa-apa, lelaki berperut buncit itu bergegas kembali ke pondok. Wajah yang
dipenuhi brewok itu tampak semakin tak sedap dipandang mata.
"Guru...! Aku sudah menemukan tempat itu...!"
Dedemit Bukit Saji yang tengah termenung itu, ter-
sentak ketika mendengar teriakan muridnya. Tanpa membuang-buang waktu iagi,
tokoh sesat berperut buncit itu segera melesat menuju asal teriakan Palawa.
Tak berapa lama kemudian, Dedemit Bukit Saji sudah aba di dekat sebuah aliran
sungai. Tampak Palawa tengah berdiri menanti di dekat sebatang pohon besar di
tepi sungai. Cepat ia berlari menghampirinya.
"Di mana kau menemukannya, Palawa..."!" Seru Dedemit Bukit Saji tak sabar, walau
masih berada beberapa tombak jauhnya dari tempat Palawa berdiri menunggu.
Palawa hanya tersenyum melihat ketidaksabaran gu-
runya. Tapi, ia sama sekali tidak menjawab. Pemuda itu hanya berdiri menanti
sampai sang Guru tiba di dekatnya.
"Di mana tempat itu, Palawa..." Mengapa kau diam saja" Hayo, cepat tunjukkan
tempat itu!"
Begitu tiba di dekat muridnya, Dedemit Bukit Saji
langsung memberondong Palawa dengan serentetan pertanyaan yang membuat senyum di
wajah pemuda itu
semakin melebar.
"Sabarlah, Guru. Lagi pula, belum tentu tempat yang kutemukan merupakan tempat
semadi Dewa Tangan Api.
Dan belum tentu pula ada Kitab Telapak Darah di dalamnya. Jadi, jangan terlalu
gembira dulu. Jangan-jangan, hanya kekecewaan lagi yang kita dapatkan di tempat
itu," sambut Palawa, tenang. Tentu saja sikapnya itu membuat Dedemit Bukit Saji
semakin marah. "Diam kau, Anak Bodoh! Kau memang tidak tahu
betapa hebatnya ilmu yang diciptakan Dewa Tangan Api!
Kalau saja kita tidak menggunakan siasat, tidak mungkin kesaktian tua bangka
peot itu dapat ditandingi. Nah! Bisa kau bayangkan, betapa hebatnya ilmu Telapak
Darah' yang diciptakannya. Sebab, ilmu itu merupakan inti dari keseluruhan ilmu yang
dimilikinya. Dapatkah kau mem-bayangkannya, Otak Kerbau"!" Bentak Dedemit Bukit
Saji sewot. Dan memang, dia merasa tersinggung melihat
muridnya seperti tidak tertarik pada kitab itu.
"Baiklah, Guru. Mari, kita periksa gua di balik semak belukar itu," sahut
Palawa. Pemuda itu menjadi terkejut juga melihat kemarahan gurunya. Tapi, ketika
mendengar alasan-alasan yang diberikan, ia pun yakin kalau perkataan gurunya
mungkin ada benarnya. Maka bergegas diajaknya orang tua itu untuk melihat apa
yang ditemukannya.
Mendengar ucapan Palawa, Dedemit Bukit Saji lang-
sung saja mengenjot tubuhnya ke arah tempat yang
ditunjuk muridnya. Rasa ketidaksabaran, membuatnya tidak lagi mempedulikan
Palawa. Sehingga, ia langsung saja menerobos masuk ke dalam gua di balik semak
belukar. "Ha ha ha...! Tidak salah lagi, Palawa! Tempat ini memang jelas ruangan
bersemadi kakek peot itu!" seru Dedemit Bukit Saji sambil tertawa terbahak-
bahak. Sambil berdiri di ambang mulut gua, sepasang mata tokoh sesat itu
berputar merayapi daerah sekeliling ruangan gua.
Dedemit Bukit Saji sama sekali tidak kecewa meski-
pun ruangan gua itu terlihat kosong. Langkahnya segera diteruskan memasuki
ruangan gua yang terdiri dari dinding-dinding batu alam. Udaranya terasa lembab.
Sambil mengerahkan tenaga, setiap jengkal dinding mulai dite-kan-tekannya.
Melihat dari apa yang dilakukannya, jelas kalau Dedemit Bukit Saji tengah
mencari-cari sesuatu.
Tapi mendadak tokoh sesat berwajah brewok itu
mcnghentikan pencariannya. Kepalanya kemudian menoleh ke arah Palawa yang masih
berdiri di ambang mulut gua. Kening Dedemit Bukit Saji berkerut melihat Palawa
hanya berdiri memperhatikan perbuatannya.
"Mengapa hanya berdiam diri saja, Palawa" Bantu aku mencari ruangan rahasia
tempat kakek peot itu menyimpan kitabnya!" Bentak Dedemit Bukit Saji kesal.
Dengan malas-malasan, Palawa melangkahkan kaki-
nya ke arah Dedemit Bukit Saji. Sepertinya, pemuda itu tidak menyetujui
perbuatan gurunya, karena menurutnya hanya membuang-buang waktu saja.
"Aku pun tadi sudah meraba-raba seluruh dinding gua ini. Tapi, tak ada satu pun
yang dapat kutemukan.
Nampaknya tempat ini bukan seperti yang kita kehendaki, Guru," bantah Palawa
dengan wajah cemberut.
"Ohhh.... Jadi, itukah sebabnya mengapa kau seperti tidak suka dengan apa yang
kuperintahkan tadi" Coba tunjukkan, bagaimana caramu meraba dinding gua ini,"
perintah Dedemit Bukit Saji, mengejek. Sepertinya lelaki berperut buncit itu
merasa pasti kalau apa yang dilakukan muridnya adalah salah.
Mendengar perintah gurunya, maka Palawa bergegas
mendekati dinding gua dan mulai meraba-raba. Secara sepintas saja, dapat
terlihat kalau cara yang dilakukan pemuda itu sangat berbeda dengan Dedemit
Bukit Saji. "Hra... Begitukah caramu memeriksa" Jelas, kau tidak akan menemukan apa-apa.
Coba kerahkan tenagamu
melalui tekanan telapak tangan. Dengan begitu, kau akan segera mengetahui
apabila terdapat pintu-pintu rahasia.
Dan memang bukan tidak mungkin kalau di dalam salah satu dinding gua Ini
terdapat sebuah pintu rahasia," jelas Dedemit Bukit Saji.
Setelah mendengar apa yang dikatakan gurunya,
maka Palawa mulai mengerti. Kini ia tidak lagi hanya sekadar meraba-raba saja,
melainkan menggunakan tekanan-tekanan menggunakan kekuatan tenaga saktinya.
Dan, mulailah terasa ada perbedaan dengan apa yang di-perbuatnya tadi. Diam-diam
pemuda itu harus mengakui, biar bagaimanapun pengalamannya masih terlalu mentah
bila dibandingkan gurunya. Dengan cerdik, disimpannya pengetahuan itu dalam
otaknya. Siapa tahu, kelak pengalaman ini berguna bagi pengembaraannya.
"Hm.... Lihat ini, Palawa. Apa yang telah kutemukan,"
tiba-tiba terdengar suara penuh kegembiraan yang memecah kesunyian ruangan gua
itu. Palawa cepat menoleh ke arah gurunya. Tampak
orang tua itu tengah membungkuk seperti memperhatikan sesuatu yang menarik di
bawahnya. Maka, ia pun segera mendekat. Dan apa yang dltemukan gurunya ternyata
benar-benar membuat wajah pemuda itu berseri-seri. Jadi, apa yang diduga gurunya
itu ternyata memang tidak meleset.
Setelah Palawa tiba di dekatnya, barulah Dedemit
Bukit Saji memutar sebuah batu yang berada dekat mata kakinya. Hal itu pun
dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam. Jadi, tidak setiap orang bisa
melakukannya. Dan itu menandakan, betapa cerdiknya Dewa Tangan Api dalam membuat ruang semadi.
Gerrrggg...! Terdengar suara berderak diiringi bergetamya dinding binding gua yang berada
didepan Dedemit Bukit Saji dan Palawa. Debu mengepul disertai terbukanya sebuah
pintu batu yang cukup lebar.
"Ha ha ha...! Akhirnya kutemukan juga tempat per-sembunyianmu, Tua Bangka Peot!"
Kata Dedemit Bukit Saji sambil tertawa penuh kepuasan.
Wajahnya yang semula keruh, mendadak berseri gem-
bira. Dan, tanpa membuang-buang waktu lagi, kakinya langsung melangkah masuk ke
dalam mangan itu.
Begitu masuk ke dalam ruangan, sepasang mata De-
demit Bukit Saji langsung membentur sebuah kotak kayu jati yang tergeletak di
atas sebuah batu pipih. Tanpa ragu-ragu lagi, tangannya langsung terulur
mengambil peti itu.
Dengan wajah tegang karena perasaan gembira tak
terkira, dibukanya penutup peti itu. Dan apa yang dilihat-nya di dalam peti itu,
benar-benar membuat sepasang mata tokoh sesat itu terbelalak lebar.
"Lihat! Apa yang kutemukan ini, Palawa! Inilah Kitab Telapak Darah yang selama
ini kuidam-tdamkan. Ha ha ha...! Akhirnya apa yang kucari-cari selama lima tahun
ini dapat juga kutemukan! Sebentar lagi, dunia persilatan akan kubuat guncang!"
Tawa Dedemit Bukit Saji berkumandang bagai hendak
meruntuhkan langit-langit gua. Didekapnya kitab lusuh bersampul kulit kayu itu
dengan wajah mengadah.
"Ha ha ha..! Benar, Guru. Dunia persilatan akan guncang dengan kemunculan kita.
Tak ada seorang pun yang perlu ditakuti lagi setelah ilmu 'Telapak Darah' dapat
kita kuasai!" kata Palawa.
Pemuda itu ikut merasa gembira dengan apa yang
ditemukan gurunya itu. Tawanya pun berkumandang me-ningkahi suara tawa Dedemit
Bukit Saji. "Mari kita tinggalkan tempat ini, Palawa! Aku yakin, tidak lama lagi dunia
persilatan akan heboh!" kata Dedemit Bukit Saji sambil berkelebat meninggalkan
tempat itu. "Hei"! Siapa lagi yang akan membuat heboh, Guru...?"
Tanya Palawa ketika melihat sinar aneh di mata gurunya.
Jelas bukan mereka berdua yang dimaksudkan Dedemit Bukit Saji.
"Tunggu sajalah...," sahut Dedemit Bukit Saji tanpa mempedulikan keheranan
muridnya. *** Malam sudah cukup larut. Cahaya bulan sepotong
yang menggantung di langit pekat, tampak redup bagai tak bergairah. Suara
binatang malam menyemarak ditingkahi hembusan angin semilir yang melenakan.
Saat itu, dalam keremangan cahaya rembulan tampak
sesosok bayangan hitam bergerak cepat bagai hantu. Ju-bahnya yang lebar dan
berwarna hitam berkibar karena gerakannya demikian cepat.
Sosok itu terus berlari melintasi jalan lebar yang berhubungan dengan Desa
Pejagal. Begitu tiba di mulut desa, sosok tubuh tinggi kurus itu menghentikan
larinya secara mendadak. Rimbun pepohonan menyembunyikan
tubuhnya dari pandangan.


Pendekar Naga Putih 23 Dewa Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He he he...!"
Terdengar suara tawa terkekeh perlahan, meluncur
dari bibir sosok tubuh itu. Setelah beberapa saat merayapi daerah sekitarnya,
dia kembali melesat memasuki desa. Tiba pada sebuah rumah yang terletak di mulut
desa, kakinya dijejakkan di tanah. Seketika itu juga, tubuhnya langsung
melenting dan mendarat ringan di atap rumah.
Perlahan-lahan dan tanpa menimbulkan suara yang
mencurigakan, tangan berjari-jari kurus dan runcing itu membuka beberapa buah
genteng rumah. Sepasang
matanya yang berkilat tajam langsung merayapi keadaan di sekitar ruangan di
bawahnya. Sesaat kemudian, tubuh tinggi kurus itu langsung
melayang turun dan hinggap di atas tanah tanpa suara sedikit pun. Melihat dari
caranya melompat turun dan mendarat, jelas kalau sosok tinggi kurus itu memiliki
kepandaian tinggi dan sulit dicari tandingannya. Entah apa yang dicarinya di
rumah salah seorang penduduk Desa Pejagal itu.
Kemudian, tanpa menghiraukan keadaan di sekeli-
lingnya, sosok tubuh kurus itu langsung mendekati
sebuah dipan yang terletak di sudut ruangan. Wajahnya tampak menyeringai penuh
nafsu ketika melihat sosok tubuh ramping yang terbaring dengan kain tersingkap
sebatas paha. "He he he.... Haluuus...," desah sosok tubuh itu sambil mengelus tembut kulit
paha sosok tubuh ramping yang tengah terlelap.
Makin lama, gerakan tangannya tampak semakin liar
ditingkahi dengan napasnya yang berpacu. Karena gerakan tangannya semakin tak
terkendali, maka wanita
muda yang tengah terlelap itu tersentak bangkit dari tidurnya.
"Oh... ufs..."!"
Seruan tertahan wanita muda itu langsung terhenti
karena mulutnya telah tertutup tangan sosok tinggi kurus ini. Dan sekali sentak
saja, tubuh ramping itu pun telah berada dalam pondongannya.
"Hei...! Siapa kau..."!"
Terdengar teguran yang tersendat-sendat. Rupanya
lelaki muda yang tidur di samping istrinya terbangun akibat seruan tertahan
tadi. Begitu melihat istrinya telah berada dalam pondongan sosok tubuh tinggi kurus
yang tak dikenal, lelaki muda itu langsung menyambar sebatang golok di dinding.
Seketika, dihunusnya golok berwarna putih yang mengeluarkan cahaya berkilat itu.
"Mau apa kau..." Hayo, lepaskan istriku!" bentak lelaki muda Itu sambil
menudingkan ujung goloknya ke arah sosok tinggi kurus di depannya.
Melihat ujung golok yang ditudingkan ke arahnya,
sosok tinggi kurus yang ternyata seorang lelaki tua itu tampak memandang marah.
Sepasang matanya menyiratkan sinar tajam yang menggetarkan hati lelaki muda itu.
Kemudian disertai geram kemarahannya, lelaki tua itu mengibaskan lengan kanannya
secara serampangan.
Jelas, gerak yang dilakukannya bukan gerak silat.
Desss! "Hegkh...!"
Dan akibat yang ditimbulkan gerakan tangan seram-
pangan itu ternyata sangat parah. Tubuh lelaki muda itu langsung terpelanting
deras. Padahal, jelas sekali kalau lengan lelaki tua itu tidak sampai menyentuh
tubuhnya Tapi anehnya, tubuh yang terbanting jatuh itu langsung saja diam tak
bergerak. Lapat lapat tercium bau amis darah yang mengalir di sekitar kepala
lelaki muda itu.
Rupanya, lelaki malang itu langsung tewas tanpa sempat merasakan sakit lagi.
Setelah melihat sasarannya diam tak bergerak, sosok tubuh berambut putih riap-
riapan itu kembali melambung ke arah atap rumah. Dia terus melesat meninggalkan
desa, lenyap di dalam kepekatan malam dan bayang pepohonan.
"He he he...!" Sambil terkekeh parau, lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh
tahun itu merebahkan tubuh wanita muda yang dibawanya di atas rerumputan tebal.
Dan tanpa malu-malu lagi, diciuminya wajah wanita
muda yang bersimbah air mata karena ketakutan. Bahkan tangan berjari-jari kurus
dan runcing itu mulai merayap bagaikan seekor ular.
"Ohhh..., jangan..., kasihanilah saya, Tuan....n." Terdengar rintihan lemah dari
mulut wanita muda Itu setelah totokan pada lehemya dibebaskan. Gerakan
perlawanan-nya pun terlihat demikian lemah. Seolah-olah ia memang tidak berdaya
menghadapi kebuasan lelaki tua bertubuh tinggi kurus itu.
Rintihan memelas yang keluar dari mulut wanita
muda itu sama sekali tidak menimbulkan perasaan iba di hati-lelaki tua itu.
Bahkan gerakannya semakin liar bagaikan seekor binatang buas kelaparan. Sehingga
lama kelamaan perlawanan wanita muda itu tidak ada gunanya lagi. Yang terdengar
hanyalah deru napas lelaki tua itu yang bagaikan kuda pacu.
Setelah puas melampiaskan nafsu binatangnya, lelaki tua bertubuh tinggi kurus
ltu kembali mengenakan
pakaiannya diiringi suara kekeh parau yang mendirikan bulu roma.
Sedangkan wanita muda yang menjadi korban kebia-
dabannya, hanya dapat menangis menyesali nasib buruk yang menimpa. Tapi sayang,
isak tangis lirih yang me-milukan itu sama sekali tidak menimbulkan perasaan iba
sedikit pun. Bahkan tangisan lirih itu membuat lelaki tua itu menatap penuh
kemarahan. "Hei! Mengapa kau menangis" Kau tidak suka" Atau ingin kepalamu kupukul hancur"
Hayo, jawab!" Bentak laki-laki tua itu tanpa perasaan iba sedikit pun.
Sepertinya, hati orang tua itu terbuat dari batu. Hingga tangisan itu sama
sekali tidak mampu melunakkan hatinya.
Bentakan yang menggelegar tentu saja membuat
wanita muda itu pucat wajahnya. Bentakan keras yang laksana ledakan petir di
telinga itu membuat tangisnya terhenti. Meskipun demikian, masih juga tersisak-
isak sesekali. "Nah, begitu. Kau benar-benar menggairahkan. Malam ini harus kita nikmati
bersama. Ayo, tersenyumlah. Lihat sang bulan di atas itu. Bukankah ia tengah
tersenyum melihat kita...?" Ujar lelaki tua itu yang sepertinya merasa gembira
karena hasratnya sudah terlampiaskan. Sambil terkekeh gembira, tangan kanannya
terulur membelai wajah manis wanita muda itu.
Dengan tubuh yang semakin gemetar karena rasa
takut yang hebat, wanita muda itu perlahan mengegos-kan wajahnya. Sehingga,
belaian tangan sosok tinggi kurus itu hanya mengenai angin saja. Melihat
kenyataan ini, kemarahan sosok tinggi kurus itu pun kembali terbangkit.
"Kurang ajar! Kau berani menolak, ya" Kau memang
tidak patut disayang! Rasanya, kau sudah tidak berguna lagi!" bentak lelaki tua
itu. Langsung telapak tangannya diayunkan ea rah
kepala wanita muda itu. Maka....
Wuttt! Prakkk! Terdengar suara keras yang menandakan pecahnya
kepala wanita muda itu! Darah segar yang bercampur cairan putih, menyembur
keluar dan membasahi rerumputan di bawahnya. Tubuh wanita muda yang malang itu
terkulai rebah dan diam tak bergerak-gerak lagi. Ia tewas di tangan lelaki tua
yang seperti orang kurang waras itu.
Di sini, kembali lelaki berambut putih dan bertubuh Gnggi kurus itu
memperlihatkan kekuatannya. Tamparan yang kelihatannya perlahan, ternyata
sanggup meremuk-kan batok kepala manusia. Benar-benar hebat kepan-
daian yang dimiliki sosok tubuh tinggi kurus itu
Sementara, malam semakin merayap mendekati fajar.
Suara binatang malam masih menyemarak Tak berapa
lama kemudian, suara kukuruyuk a yam jantan hutan
mulai terdengar bersahut-sahutan. Suatu pertanda bah-wa sebentar lagi pagi akan
segera tiba. *** 3 Pagi hari itu, Desa Jagalan dilanda kegemparan. Para penduduk berkerumun didepan
sebuah rumah yang
letaknya di mulut desa. Pada wajah-wajah mereka tergambar perasaan marah dan
penasaran. "Minggir...! Minggir...!"
Seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh
tahun melangkah lebar sambil mengibaskan tangannya ke kiri kanan. Beberapa orang
penduduk yang semula menoleh marah, langsung membungkukkan tubuhnya
begitu mengenali lelaki gagah berwajah kokoh itu.
"Oh! Kiranya, Kakang Turangga yang datang. Silakan, Kakang...," sambut salah
seorang penduduk yang semula memandang marah karena tubuhnya didorong begitu
saja. Wajahnya yang semula berang, berubah hormat terhadap lelaki gagah yang
mendorong tubuhnya ke pinggir tadi.
"Apa sebenarnya yang terjadi di sini...?" Gumam lelaki gagah yang dipanggil
Turangga itu pelan.
Melihat dari sinar matanya yang tidak ditujukan kepada salah seorang penduduk,
jelas kalau ia tidak begitu memerlukan jawaban atas pertanyaannya.
Tapi, salah seorang penduduk berusia sekitar lima
puluh tahun, langsung saja mendekati Turangga dan melaporkan mengenai apa yang
diketahuinya. "Barta tewas..." Siapa yang telah berani membunuhnya" Lagi pula, kita semua tahu
kalau ia memiliki kepandaian silat yang cukup tangguh. Jadi, siapa yang
membuatnya sampai tewas secara mendadak" Lalu, bagai-
mana istrinya" Apakah selamat?" Tanya Turangga berun-tun kepada lelaki setengah
baya yang melaporkan kejadian itu kepadanya.
"Tidak ada seorang pun yang mengetahui kejadiannya, Kakang. Dan mengenai
istrinya, kami belum tahu.
Sebab, yang kami temukan hanya mayat Barta," sahut lelaki berkumis tipis itu.
Rupanya, jawaban itu tidak memuaskan Turangga.
Maka lelaki gagah itu bergegas meninggalkannya dan langsung masuk ke dalam rumah
yang tertimpa musibah.
Begitu tiba di dalam ruangan, Turangga langsung
membuka kain putih yang menutupi sekujur tubuh ma-
yat itu. Setelah meneliti sejenak, pandangannya dialih-kan kepada orang desa
yang berkumpul di dalam rua-
ngan tengah itu.
"Hm.... Siapa yang paling dulu menemukan mayat Barta ini..?" Tanya Turangga
sambil mengedarkan pandangannya berkeliling. Dirayapinya wajah belasan laki-laki
yang berada di ruangan itu dengan sinar mata lajam menusuk.
"Aku yang lebih dulu melihatnya, Kakang. Seperti biasanya, kami selalu berangkat
ke sawah bersama-sama.
Pagi tadi, ketika mengetuk pintu dan tidak ada sahutan sama sekali, aku segera
ke pintu belakang yang biasanya memang tidak terkunci. Tapi yang kudapati,
ternyata hanya mayat Barta. Tubuhnya telah terbujur kaku di dekat
pembaringannya. Sedangkan istrinya, entah pergi ke mana. Tak ada seorang pun
yang mengetahuinya, Kakang," sahut salah seorang lelaki pendek gemuk berwajah
putih. "Jadi, belum ada seorang pun yang melihat istri Barta pagi ini?" Turangga
kembali menegasi dengan suara berat dan berwibawa.
Lelaki gagah itu memang sangat disegani para pen-
duduk Desa Jagalan. Jabatannya di desa ini memang
pembantu kepercayaan kepala desa, merangkap sebagai kepala keamanan. Sikapnya
sama sekali tidak pernah sombong. ltulah salah satu alasan, mengapa para
penduduk menyenanginya. Maka ketika la bertanya tadi, para penduduk langsung
mengerumuninya. Sepertinya
mereka merasa yakin kalau Turangga akan dapat menyelesaikan masalah yang tengah
terjadi di desa itu. Sebab biasanya segala urusan yang dipegang lelaki berusia
empat puluh tahun itu selalu saja menemukan titik terang, dan akhirnya selesai.
"Belum, Kakang. Kami tidak tahu harus mencari ke mana. Kalau mereka bertengkar
dan istri Barta melarikan din dari rumah, jelas tidak mungkin. Sebab, selama ini
mereka terlihat rukun-rukun saja. Apalagi masih pasangan baru. Dan lagi, tidak
ada teriakan apa-apa yang ku-dengar semalam. Maka aku pun merasa terkejut ketika
melihat tubuh Barta sudah menjadi mayat di atas gena-ngan darahnya sendiri.
Karena merasa khawatir, aku pun membawa beberapa orang teman untuk membantu
mengangkat mayatnya," kembali lelaki pendek gemuk itu men-ceritakan apa-apa yang
diketahuinya. "Hm.... Peristiwa ini harus segera kukabarkan kepada Pimpinan Perguruan Golok
Perak Aku yakin, Pendekar Golok Sakti bersedia membantu kita untuk menyelidik
kejadian ini. Sebagai ketua partai, ia tentu tidak akan tinggal diam melihat
salah seorang anggotanya mati secara menyedihkan," kata Turangga yang kemudian
kembali melangkah ke luar.
Sebelum meninggalkan tempat kediaman Barta, Tura-
ngga memerintahkan kepada para penduduk yang ber-
kumpul agar segera mengurus dan merapikan mayat
Barta. Paling tidak, apabila Pendekar Golok Sakti atau wakilnya yang datang
menjenguk tidak kecewa.
"Panjawa... Balung! Kemari kalian...!" Panggil Turangga kepada kedua orang
pembantunya. Dua orang laki-laki yang dipanggi] Panjawa dan
Balung bergegas menghampirinya. Setelah menerobos di antara kerumunan penduduk,
mereka tiba didepan
Turangga. Keduanya kemudian langsung membungkuk
memberi hormat kepada laki-laki gagah itu.
"Ada apa, Kakang...?" Lelaki botak bertubuh gempal yang bemama Balung langsung
saja menanyakan maksud laki-laki gagah itu memanggilnya.
"Hm... Kalian berdua pergi ke Perguruan Golok Perak.
Sampaikan kepada salah seorang pimpinan perguruan
tentang peristiwa yang menimpa salah seorang muridnya yang bernama Barta.
Ceritakan apa adanya dan jangan dilebih-lebihkan," perintah Turangga kepada
kedua orang pembantunya.
"Baik. Kami pergi, Kakang," pamit Balung dan Panjawa berbarengan.
"Jangan lupa! Sampaikan salam hormatku kepada Pendekar Golok Sakti," pesan
Turangga mengingatkan.
"Baik, akan kami sampaikan," kali ini yang menyahut adalah Panjawa, lelaki
berusia tiga puluh tahun berwajah kecoklatan.
Sebentar kemudian, Balung dan Panjawa telah berada di atas punggung kuda masing-
masing. Mereka bergegas meninggalkan Desa Pejagal dengan memacu cepat kuda
masing-masing. Sepeninggal kedua orang pembantunya itu, Turangga
bergegas menuju tempat kediaman kepala desa untuk
melaporkan mengenai peristiwa ini. Begitu berada di punggung kuda, lelaki gagah
itu langsung membedal
binatang tunggangannya yang segera melesat bagai anak panah.
*** "Heya.... Heya...!"
Terdengar teriakan-teriakan nyaring yang ditingkahi derap kaki kuda yang
bergemuruh. Debu mengepul tinggi membentuk bulatan-bulatan pekat di angkasa. Di
antara kepulan debu, tampak lima orang gagah memacu cepat kuda masing-masing.
Tak berapa lama kemudian, lima orang penunggang kuda itu melintas cepat di jalan
utama yang nenuju Desa Pejagal. Saat itu hari sudah menjelang siang. Meskipun
sinar matahari tidak terlalu menyengat kulit, tapi tubuh para penunggang kuda
itu telah basah bersimbah peluh. Tampaknya perjalanan yang mereka
tempuh cukup jauh dan melelahkan.
Lima orang yang di antaranya terdapat Balung dan
Panjawa, mulai memperlambat lari kudanya. Dan
memang, beberapa tombak di depan mereka adalah mulut Desa Pejagal. Untuk tidak
mengganggu para penduduk dengan kepulan debu yang bergulung-gulung, maka kelima
orang itu hanya menjalankan kudanya lambat-
lambat. "Kami ingin langsung melihat mayat yang kau ceritakan itu, Kisanak," ujar salah
seorang penunggang kuda kepada Balung.
Ucapan yang dikeluarkannya lebih tepat sebuah per-
mintaan daripada sebuah perintah. Sehingga, Balung tidak keberatan untuk
mengantarkan mereka melihat
mayat Barta. "Baik, mari ikut aku...," ajak Balung yang kemudian segera menolehkan kepalanya
kepada Panjawa. "Kakang, sebaiknya kau laporkan perihal kedatangan tlga orang
utusan Perguruan Golok Perak ini kepada Kakang Turangga. Aku akan mengantarkan
mereka dulu untuk melihat mayat Barta."
Setelah mengangguk sebagai jawaban atas yang di-
berikan Balung, Panjawa segera membedal kudanya menuju tempat kediaman Kepala


Pendekar Naga Putih 23 Dewa Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Desa Jagalan. Sementara, Balung mengantarkan ketiga orang utusan Perguruan
Golok Perak untuk melihat mayat anggota perguruannya.
Dan kini Balung dan ketiga orang utusan Perguruan
Golok Perak telah tiba didepan halaman rumah Barta.
Balung segera melompat turun dari atas punggung kudanya, diikuti ketiga orang
utusan itu. "Marl! Silakan masuk, Kisanak...," ajak Balung mem-persilakan ketiga orang
utusan itu. Lelaki berkepata botak dan bertubuh gempal ini me-
nyingkir sejenak dari ambang pintu ketika ketiga orang itu melangkah masuk.
Begitu tiba di dalam mangan, mereka langsung me-
langkah ke arah jenazah Barta yang ditutupi sehelai kain berwarna putih. Salah
seorang yang berkumis lebat dan berwajah keras, bergegas menyingkap kain penutup
jenazah. "Hm...."
Laki-laki berkumis lebat itu hanya bergumam dengan rahang mengeras. Ditutupnya
kain itu kembali dan melangkah mendekati Balung.
"Maaf, Kisanak. Apakah sudah ada usaha untuk mencari istri murid kami ini" Baru
sekitar satu bulan mereka menikah. Jadi, tidak mungkin kalau di antara mereka
terjadi pertengkaran. Oh, ya. Boleh aku tahu, apakah ada keterangan lain selain
dari ceritamu tadi?" Tanya lelaki berkumis lebat itu yang jelas-jelas merasa
tidak senang melihat kematian salah seorang anggota perguruannya.
Cara dan sikap yang ditunjukkan orang itu sedemi-
kian sombong dan memandang rendah Balung. Sehingga, laki-laki berkepala botak
itu sempat tersinggung karena-nya.
Balung menarik napas dalam-dalam untuk menen-
teramkan kegusarannya yang terbangkit atas sikap dan ucapan lelaki berkumis
lebat itu. Setelah merasa agak tenang, maka ditatapnya tajam-tajam orang itu.
"Kisanak. Rasanya tidak ada untungnya aku menyembunyikan cerita. Kalau kalian
memang kurang percaya, silakan tanyakan sendiri kepada mayat Barta. Mungkin ia
bisa memberi jawaban yang Iebih memuaskan," sahut Balung. Kata-katanya demikian
tajam, sehingga langsung memukul balik hinaan lelaki berkumis lebat itu.
Dua orang kawan lelaki berkumis lebat itu tersentak kaget ketika mendengar suara
yang bernada tidak meng-enakkan. Bergegas keduanya mendekat untuk menge-
tahui, apa gerangan yang tengah terjadi antara kawan mereka dengan lelaki botak
itu. "Hm.... Ada apa ini..." Mengapa kalian berdua sepertinya tengah bersitegang"
Tidakkah kalian bisa menghormat sedikit kepada orang yang tengah mendapatkan
musibah?" Sergah lelaki tegap berusia sekitar tiga puluh tahun.
Orang Itu memiliki wajah gagah, dan tampaknya cu-
kup berpengaruh. Meskipun ucapannya jelas ditujukan kepada dua orang yang tengah
adu urat itu, tapi sepasang matanya lebih tepat menghunjam ke wajah Balung.
Seolah-olah, secara sembunyi ia sengaja menyalahkan Balung.
Merah selebar wajah Balung ketika mendengar sindi-
ran yang membuat telinganya panas. Namun karena
orang-orang yang menurutnya sangat sombong itu masih menyindir, maka ia pun
tidak berani marah secara
terang-terangan. Ditelannya kemarahan itu, seraya men-dinginkan otaknya agar
dapat mencari jawaban untuk memukul balik sindiran orang-orang angkuh itu.
"Hhh.... Sayang kami belum menemukan istri dari anggota perguruanmu itu,
Kisanak. Ahhh..., aku menyesal sekali. Padahal, Barta seorang yang baik dan
sopan. Jarang aku menemukan orang seperti dia. Biasanya
orang yang memiliki sedikit kepandaian silat, akan mengangkat dada dan memandang
rendah orang lain. Hhh....
Sayang sekali kalau orang sepertinya harus menerima kematian secara
mengenaskan," kata Balung yang saat itu sudah berada di dekat jenazah Barta.
Perkataan yang dikeluarkannya itu sengaja ditujukan untuk memukul hati ketiga
orang tokoh Perguruan Golok Perak yang bersikap angkuh dan seperti tidak
memandang sebelah mata kepada orang lain. Dan ternyata memang sangat mengena.
Lelaki bertampang beringas dan berkumis lebat itu
dah tak dapat lagi menahan kegeramannya. Sepasang
matanya tampak menyorot tajam, menyiratkan kemara-
han yang tidak bisa lagi disembunyikan. Kalau ta|a lelaki tegap berwajah gagah
yang sepertinya bertindak sebagai pemimpin itu tidak keburu mencegah, mungkin
perke-lahian tidak bisa dihindari lagi. Padahal, saat itu Balung sudah meraba
gagang pedangnya. Dan memang, dari ekor matanya ia sempat rnenangkap gerakan
lelaki berkumis lebat ltu.
Di saat ketegangan sudah semakin memuncak, tiba-
tiba muncul Turangga di ambang pintu. Sehingga, Balung dan ketiga orang itu
sama-sama menganggukkan kepala ke arah Turangga. Dan dalam sekejap saja,
ketegangan di antara mereka lenyap seperti tersaput angin.
"Hm.... Saudara Turangga. Rasanya sudah cukup Iama kami berada di sini. Karena
tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, maka lebih baik kami pamit sekaligus untuk
mencari istri anggota perguruan kami. Siapa tahu nanti kami bisa mendapatkan
sedikit petunjuk," kata lelaki tegap berwajah gagah itu lantang.
Dari nada ucapannya, terlihat jelas kalau ia menyalahkan Turangga dan kawan-
kawannya yang tidak ber-
usaha mencari istri Barta. Dan sindiran itu juga dirasakan Turangga.
"Baiklah, Kisanak. Kami memang sengaja belum melakukan penyelidikan atas
kejadian ini. Sebab, kami masih memandang Pendekar Golok Sakti. Maka, aku
langsung memerintahkan Balung dan Panjawa untuk segera menyampaikan berita duka
Ini kepada beliau. Setelah beliau mengetahuinya, barulah kami akan mengambil
tindakan. Sebenarnya, kami hanya takut dikatakan lancang dan juga tidak
melangkahi beliau," sahut Turangga.
Rupanya, Turangga dapat bersikap tenang dan sabar
dalam menghadapi ucapan-ucapan yang jelas-jelas me-nyinggung perasaannya itu.
"Hm.... Kami pamit dulu...," ucap laki-laki tegap itu kemudian.
Dan tanpa berkata apa-apa lagi, ketiga utusan Per-
guruan Golok Perak itu segera beranjak meninggalkan Desa Jagalan.
Turangga mengantarkan kepergian ketiga orang utu-
san Perguruan Golok Perak itu dengan senyum dan ang-gukan kepala. Wajahnya sama
sekali tidak memancar-
kan kemarahan meskipun ketiga orang itu tidak menoleh lagi kepadanya.
Dipandanginya punggung ketiga orang itu yang mem-
bedal kudanya meninggalkan kepulan debu yang mem-
bumbung ke angkasa.
"Orang-orang Perguruan Golok Perak itu sombong-sombong sekali, Kakang. Hampir-
hampir saja aku bertarung dengan mereka tadi. Untunglah Kakang Turangga keburu
datang. Sepertinya, ketiga orang itu masih memandang Kakang," Balung yang masih
mrasa sebal dengan tingkah laku dan sikap sombong ketiga orang itu, mengadu
kepada Turangga.
"Maklumilah perasaan mereka, Balung. Mungkin kejadian yang menimpa Barta sangat
memukul hati dan
kewibawaan Perguruan Golok Perak. Jadi, maklum saja kalau mereka tidak dapat
menahan diri dengan melontarkan ucapan-ucapan yang memanaskan telinga," sahut
Turangga. Laki-laki itu tidak menyalahkan atau membela kedua belah pihak. Dilihat dari
caranya saja, sudah dapat ditebak kalau dia tentu bukan orang sembarangan.
Pandangan dan sikapnya jelas menunjukkan kematangan
jiwanya. Dan kedua hal itu biasanya hanya dimiliki oleh orang yang kepandaiannya
telah cukup tinggi.
Baik Balung maupun Panjawa sama sekali tidak
berani membantah nasihat Turangga. Mereka hanya berdiri membisu dengan kepala
tertunduk. Jelas kalau kedua orang pembantunya itu sangat menyegani plmpinannya.
"Lebih baik, sekarang kalian berdua ikut bersamaku.
Aku sudah meminta izin kepada kepala desa untuk mencari istri Barta. Menurut
dugaanku, ada seseorang yang dengan sengaja menculiknya. Sedangkan tempat
persem-bunyian satu-satunya, aku yakin adalah hutan lebat di sebelah Barat desa
kita ini," ujar Turangga.
Setelah berkata demikian, lelaki gagah itu melangkah lebar menuju kuda
tunggangannya. Sekali melompat saja, tubuhnya telah mendarat ringan di atas
punggung kuda. Perbuatannya diikuti Balung dan Panjawa.
Sebentar kemudian, ketiga binatang beserta penung-
gangnya itu melesat meninggalkan Desa Jagalan.
*** Turangga terus menyelusuri hutan lebat dengan
diiringi Balung dan Panjawa. Semak belukar diterobos, karena hutan ini memang
jarang didatangi manusia. Bahkan tidak terdapat jalan setapak sedikit pun. Jadi
mereka harus membuat jalan sendiri untuk melakukan pencarian itu.
Para Ksatria Penjaga Majapahit 15 Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Undangan Maut 2
^