Pencarian

Dewi Baju Merah 1

Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah Bagian 1


DEWI BAJU MERAH oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Dalam episode Dewi Baju Merah
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Matahari baru saja menampakkan
kekuasaannya di muka bumi. Dari cakrawala Timur, sinarnya yang hangat men-jilati
pucuk-pucuk dedaunan yang ber-goyang-goyang lembut tertiup angin pa-gi. Seorang
bocah lelaki berusia sekitar sepuluh tahun lebih, tengah melangkahkan kakinya
yang kecil kurus di atas tanah berumput. Sesekali kepalanya mendongak memandang
cakrawala yang jernih.
Setelah berhenti sejenak, bocah
laki-laki itu melanjutkan langkahnya ke arah jalan utama yang menuju Desa
Tunjung. Meskipun kakinya kurus, namun langkahnya nampak gesit dan kokoh.
Sepertinya, dia memang sudah terbiasa berjalan jauh. Wajahnya yang berkulit agak
gelap itu telah dibasahi keringat yang mengalir turun ke leher dan pakaian
kumalnya. Begitu memasuki desa, dihampi-
rinya sebuah kedai makan yang cukup ramai. Bocah itu berdiri di depan pintu
kedai, memperhatikan orang-orang yang sedang menikmati hidangan. Tampak lehernya
seperti turun naik karena me-neguk air liur ketika melihat orang-orang yang
demikian nikmatnya melahap hidangan. Sepasang matanya menatap sayu membayangkan
nikmatnya bila men-cicipi hidangan itu.
Seorang pelayan yang berusia se-
kitar tiga puluh tahun, bergegas menghampiri bocah itu. Wajahnya tampak ma-sam
dan keningnya berkerut dalam.
"Hei! Kalau hendak mengemis, nanti saja. Hayo pergi sana! Bikin orang kehilangan
selera saja!" bentak pelayan itu sambil mendorong tubuh si bocah.
"Paman, aku bersedia mengerjakan apa saja asalkan diberi makan. Aku lapar
sekali, Paman," ratap bocah laki-laki itu memandang dengan penuh permo-honan.
"Huh! Anak sekecil kau bisa
apa"!" hardik pelayan itu, sinis. Hatinya sama sekali tidak tergerak melihat
tatapan memelas bocah bertubuh kumal itu.
"Aku bisa mengerjakan apa saja, Paman. Sungguh!" sahut bocah itu ber-semangat.
Sepasang matanya bersinar penuh harap.
"Sudah, sudah! Pergi sana! Baumu sudah tidak sedap!" maki si pelayan seraya
menggerakkan tangannya mengusir.
Bocah itu tetap tak bergeming
sedikit pun. Hal ini membuat pelayan itu naik darah. Maka....
"Hayo, pergi! Atau kau kupukul!"
Bocah itu sama sekali tidak ber-
gerak. Bahkan menatap tajam tanpa gentar.
Plakkk! Pelayan itu menampar wajah si
bocah hingga terpelanting jatuh ke tanah. Namun tanpa mengeluh sedikit pun,
bocah itu langsung bangkit sambil men-gusap darah pada bibirnya. Sepasang
matanya yang bening berkilat, menatap penuh dendam.
"Bocah setan! Apa minta kupukul lagi?" pelayan itu semakin naik pitam melihat
pancaran tantangan pada mata si bocah. Tangan kanannya kembali te-rangkat, siap
melakukan tamparan yang kedua.
Tanpa berkata sepatah kata pun,
bocah kurus bertubuh kumal itu berbalik dan melangkah meninggalkan kedai makan.
Sesekali kepalanya menoleh memandangi si pelayan yang masih menatapi
kepergiannya. "Bocah sial! Pagi-pagi sudah membikin orang marah," pelayan itu melangkah masuk
sambil bersungut-sungut tak puas. Kemudian pekerjaannya kembali diteruskan.
Bocah laki-laki itu meneruskan
langkahnya menyusuri jalan utama Desa Tunjung. Bibirnya digigit kuat-kuat
menahan rasa perih pada perutnya yang sudah beberapa hari tidak dimasuki
makanan. Sepanjang perjalanan sebelum memasuki Desa Tunjung, ia hanya makan
dedaunan muda dan minum air sungai yang ditemui.
*** "Hei, Teman-Teman! Lihat, ada anak jembel gila!" teriak seorang bocah laki-laki
berumur sekitar tiga belas tahun. Tubuhnya lebih jangkung daripada si bocah
kurus berpakaian kumal yang terus saja melangkah tanpa mempedulikan teriakan
itu. "Hayo, kita lempari batu!" sambut bocah yang lain sambil berlari mendekati anak
lelaki jangkung yang menjadi teman sepermainannya. Lima orang lainnya langsung
bersorak sambil berlarian mengitari si bocah jembel.
"Heh, Anak Jembel! Siapa namamu"
Mau apa kau datang ke desa ini?" tanya seorang bocah gemuk sambil mendorong
bocah jembel kurus itu.
"Mungkin hendak mencari sisa-sisa makanan. Lihat saja, tubuhnya begitu kurus. Ia
pasti tengah kelaparan," timpal anak jangkung itu, yang kemudian tertawa keras.
Teman-temannya yang berjumlah
enam orang itu serentak tertawa-tawa.
Telunjuk mereka ditudingkan ke arah si bocah jembel yang hanya terpaku menatap
anak-anak nakal itu.
"Heh! Mengapa kau melotot padaku" Marah, ya" Mau menantang berkelahi?" bentak
anak jangkung itu sambil mendorong-dorong tubuh bocah jembel ke belakang.
Sementara seorang anak lain-
nya sudah berjongkok di belakang tubuh bocah jembel kurus itu. Akibatnya, tubuh
bocah itu terjatuh karena kakinya terlanggar anak gemuk yang berjongkok di
belakangnya. "Ha ha ha...!"
Ketujuh orang anak nakal itu
tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perut yang mendadak mules melihat
adegan yang dianggap sangat menggelikan itu.
Si bocah jembel bangkit dan ber-
diri tegak memandang anak-anak yang mengganggunya itu. Sinar matanya berkilat
memancarkan amarah yang masih ditahan. Rupanya dia sama sekali tidak merasa
gentar meskipun anak-anak yang mengganggunya itu berjumlah banyak.
"Mengapa kalian menggangguku"
Apa salahku kepada kalian?" tegur bocah jembel itu, bernada menuntut.
Mendengar teguran si bocah jem-
bel, ketujuh orang anak nakal itu menghentikan tawanya. Kemudian si jangkung
melangkah, mendekatinya dengan mata melotot marah.
"Salahmu karena lewat di depan kami tanpa permisi! Apa kau kira kami ini
patung?" jawab anak jangkung itu sambil mendorong hingga tubuh kurus itu
terhuyung ke belakang dan hampir jatuh.
"Hm.... Apakah orang-orang yang lewat di jalan ini harus meminta izin-
mu dulu" Memangnya kau raja?" bantah bocah jembel itu tanpa rasa takut sedikit
pun. Padahal lawannya jauh lebih besar darinya.
"Kurang ajar! Kau berani menan-tangku, ya!" bentak anak jangkung itu marah.
Tangan kanannya langsung melancarkan pukulan ke wajah bocah jembel.
Digkh! Si bocah jembel mengaduh kesaki-
tan. Tubuhnya terjerembab ke atas tanah. Cepat ia bergerak bangkit dan bersiap
melawan. "Ayo, pukul lagi! Jangan dikasi-hani anak jembel gila itu!" teriak salah seorang
anak memberi semangat kepada kawannya yang segera disambut sorak-sorai oleh yang
lainnya. Anak jangkung itu kembali memu-
kul dan menendang sekuat tenaganya.
Rupanya semangatnya benar-benar ter-bangkit setelah mendapat dukungan teman-
temannya. Namun bocah jembel itu melakukan perlawanan tanpa merasa takut sedikit
pun. Meskipun tubuhnya lebih kecil, namun tampak kokoh dan kekar. Apalagi dia
terbiasa hidup liar dan keras, sehingga membentuk anak la-ki-laki yang kuat dan
tabah. Pukulan dan tendangan lawannya
yang bertubuh lebih besar itu berkali-kali mendarat di tubuh dan wajahnya.
Tapi setiap kali terjatuh, ia langsung bangkit dan melakukan perlawanan sen-
git. Sepertinya, bocah jembel itu tidak pernah jera dan tidak merasa lelah. Ini
karena semangat dan ketaba-hannya yang tinggi. Dan lama kelamaan pukulan dan
tendangannya mulai mendarat di tubuh dan wajah lawannya.
Ketika mendapat pukulan di wa-
jahnya sebanyak tiga kali, anak jangkung itu pun terjatuh sambil menjerit
kesakitan. Sebelum anak jangkung itu sempat berdiri, si bocah jembel sudah
melompat dan menduduki perutnya. Bahkan kedua tangannya memukul berganti-ganti
ke wajah anak jangkung itu hingga matang biru.
Melihat perkembangan yang mende-
barkan itu, enam orang lainnya serentak berlari dan menyerang si bocah jembel.
Pukulan-pukulan dan tendangan keenam anak nakal itu langsung mendarat di wajah
dan seluruh tubuhnya.
Akibatnya tubuh dan wajah bocah jembel itu kini bengkak-bengkak.
"Curang! Pengecut! Kalian bera-ninya main keroyok!" teriak bocah jembel itu
sambil berlari menghindar.
Otaknya yang cerdik berputar ce-
pat untuk menghadapi keroyokan itu. Ia memang tidak mau melarikan diri. Dia
yakin lawan-lawannya pasti akan terus mengejar. Dan kalau tertangkap, pasti akan
dipukuli habis-habisan.
Bocah jembel yang tabah dan cer-
dik karena kepahitan hidup yang dija-
laninya itu, bergegas mengambil sepotong kayu yang tergeletak di tepi jalan.
Kemudian tubuhnya berbalik menghadapi anak-anak nakal itu sambil menggenggam
kayu erat-erat Wajah ketujuh orang anak itu me-
mucat ketika melihat lawannya telah menggenggam sepotong kayu sebesar lengan.
Mereka pun segera menghambur ber-pencar meninggalkan tempat itu ketika si bocah
jembel maju sambil mengayun-ayunkan kayu di tangannya.
"He he he...! Dasar laki-laki pengecut! Baru melihat sepotong kayu saja sudah
terbirit-birit"
Luar biasa sekali bocah jembel
itu. Dalam keadaan tubuh dan wajah yang bengkak-bengkak, ia masih dapat tertawa
melihat tingkah lawan-lawan yang terbirit-birit meninggalkannya.
Sambil tetap menggenggam kayu,
si bocah jembel melangkah meninggalkan tempat itu, menuju luar desa. Ia merasa
kalau desa itu tidak sudi menerima kehadirannya. Dan untuk itu ia harus pergi.
Dan apabila masih tetap berada di desa itu, sudah pasti cemoohan dan gangguanlah
yang bakal didapat
*** "Itu orang gila itu, Ayah!" seru seorang bocah yang bertubuh gemuk sambil
menudingkan jari telunjuk ke arah
si bocah jembel. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh
tahun dengan wajah marah.
"Hei, Anak Jembel! Mau ke mana kau"!" teriak laki-laki berkumis tebal itu sambil
berlari menyusul si bocah jembel.
Si bocah kurus itu tertegun ke-
tika melihat ketujuh anak nakal yang tadi mengeroyoknya kini telah kembali
sambil membawa orang tua masing-masing. Karena merasa tidak bersalah, maka ia
pun berdiri menunggu dengan hati tabah.
"Bocah gila! Mengapa kau memukuli anak kami!" bentak lelaki berkumis lebat itu,
geram. Rupanya ketujuh anak-anak nakal
itu telah mengadu kepada orang tuanya masing-masing. Entah apa yang
dikatakannya, sehingga para orang tua itu mau saja dibawa menemui si bocah
jembel. "Aku tidak berbuat apa-apa, Paman. Merekalah yang telah mengganggu dan
mengeroyokku. Paman semua bisa lihat buktinya di sekujur tubuhku," sahut bocah
jembel itu mengatakan kejadian yang sesungguhnya.
"Dia bohong, Ayah! Ketika kami bertujuh tengah bermain-main, tiba-tiba saja dia
datang dan mengganggu kami. Lalu, kami pun segera melawan-nya. Tapi kemudian ia
mengambil kayu,
lalu memukuliku," kilah anak bertubuh jangkung sambil memperlihatkan bukti
berupa bengkak-bengkak di wajahnya.
Jelas dia berdusta.
"Keparat! sudah membuat keonaran, masih juga berdusta!" bentak la-ki-laki
berkumis tebal itu sambil me-layangkan tangannya menampar kepala si bocah
jembel. Plakkk! Bocah jembel itu langsung menga-
duh kesakitan. Tubuhnya terpelanting dan jatuh berdebuk. Bibirnya kembali pecah
dan mengeluarkan darah. Namun tanpa mengeluh sedikit pun, ia merang-kak bangkit.
Belum lagi tubuhnya sempat berdiri tegak, tamparan lainnya sudah datang menyusul
Wuuut! Plakkk! Tamparan yang meluncur ke arah
kepala bocah jembel itu tiba-tiba terpental balik diiringi teriakan laki-laki
berkumis tebal. Ternyata tubuhnya terlempar sejauh dua batang tombak.
Sesaat orang itu menggelepar, kemudian diam tak bergerak lagi dengan wajah
hitam. Rupanya laki-laki itu tewas seketika itu juga!
"He he he...! Anak baik, lihatlah. Orang yang hendak memukulimu itu sudah
kukirim ke neraka!"
Entah dari mana datangnya, tahu-
tahu di samping bocah jembel itu sudah berdiri seorang kakek-kakek. Jenggot-
nya panjang hingga melewati dadanya.
Tangannya tak henti-henti mengelus jenggot putihnya itu. Sikapnya demikian
tenang, tanpa merasa telah melakukan pembunuhan. Tentu saja hat itu membuat
orang-orang yang ada di situ terkejut. Mereka benar-benar ngeri, sehingga tanpa
sadar mundur beberapa langkah.
Bocah jembel itu memandangi wa-
jah kakek tua di sebelahnya dengan wajah bingung. Sama sekali sulit dimengerti,
mengapa laki-laki berkumis lebat yang kembali hendak menamparnya itu tahu-tahu
telah terbanting roboh dan tidak bergerak-gerak lagi.
"Hahhh! Pembunuh...!"
Salah seorang dari keenam orang
laki-laki lainnya berteriak keras ketika melihat kawannya telah menjadi mayat
"Pasti kakek itu yang melakukannya! Buktinya, tidak ada orang lain lagi di
tempat ini!" tuduh yang lain sambil menuding. Namun kakek itu hanya terkekeh
tanpa mempedulikan teriakan-teriakan ribut dari keenam orang laki-laki
berpakaian petani itu.
"He he he...! Rupanya kalian ingin mendapat bagian juga! Nih, terimalah!"
Belum lagi gema suaranya lenyap,
tahu-tahu saja tubuh kakek itu telah melesat cepat seraya mengibaskan tan-
gannya. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan yang disusul robohnya keenam orang
tua anak-anak nakal itu. Mereka tewas seketika dengan kepala retak.
Seketika kepala mereka mengeluarkan darah, bercampur cairan putih kental.
Sementara itu si kakek telah me-
lesat semakin jauh sambil membawa tubuh bocah jembel. Sedangkan di belakangnya
para penduduk yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu tampak berteriak-teriak
marah sambil berusaha mengejar.
*** Si bocah jembel benar-benar ter-
kejut Karena tahu-tahu saja tubuhnya telah seperti terbang meninggalkan tempat
itu. Sepasang matanya terbelalak kaget melihat pepohonan di sekitarnya terasa
berlarian. Ketika menoleh, ia semakin kaget. Ternyata dirinya berada dalam
pondongan kakek yang tadi berada di sampingnya. Kakek itu memang berlari sambil
mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang telah begitu sempurna.
Setelah cukup jauh, kakek itu
pun menghentikan larinya. Mereka kini telah tiba di sebuah mulut hutan yang
cukup lebat, di sebelah Timur Desa Tunjung. Segera diturunkannya bocah yang


Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada dalam pondongan. Dengan
sepasang mata berbinar, tangan kakek itu meraba-raba sekujur tubuh si bocah.
"Hei! Apa yang kau lakukan kepadaku, Kakek?" tanya bocah jembel itu, bingung.
Dia berusaha melepaskan tubuhnya
dari cengkeraman kakek itu. Namun bocah itu menjadi heran ketika tubuhnya terasa
bagai patung, tak bisa digerakkan. Akhirnya ia hanya bisa memandang terbelalak.
"He he he.... Dugaanku ternyata tidak meleset!" ujar kakek itu seraya terkekeh-
kekeh. "Susunan tulang bocah ini ternyata sangat baik dan sempurna!"
Kakek itu kemudian melepaskan
tubuh si bocah, lalu menari-nari bagaikan orang kurang ingatan.
Bocah jembel itu semakin kehera-
nan ketika menyadari kalau seluruh lu-ka memar di tubuh dan wajahnya sudah tidak
terasa sakit lagi. Bahkan warna biru kehitaman bekas pukulan anak-anak nakal
tadi sudah mulai memudar war-nanya. Matanya merayapi seluruh badan yang mulai
pulih itu. Tentu saja ia merasa bersyukur dan gembira sekali.
Lalu pandangannya kembali dialihkan kepada kakek yang masih menari-nari gembira.
"Aku sangat berterima kasih sekali atas pertolonganmu, Kek. Mudah-
mudahan suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi agar aku dapat membayar hutangku
ini. Sekarang aku harus pergi untuk meneruskan perjalananku," pamit bocah jembel
itu. Dia segera mengayunkan langkah
meninggalkan si kakek yang menjadi terkejut dan menghentikan tariannya.
"Hei, hei.... Tunggu dulu! Enak saja pergi. Kalau memang merasa berhu-tang,
sekarang juga aku minta diluna-si," tegas si kakek. Kemudian dia berkelebat, dan
tahu-tahu sudah berdiri menghadang jalan si bocah.
"Maaf, Kek. Aku tidak bisa melu-nasinya sekarang. Aku tidak punya apa-apa
sebagai pembayar hutangku," jawab si bocah sambil memandang wajah si kakek penuh
selidik. Kini bocah itu semakin yakin ka-
lau kakek berjenggot panjang itu memang kurang waras. Hal itu terlihat jelas
dari tingkah laku dan kata-katanya yang seenak perutnya sendiri.
"Kau punya, Bocah. Jika ingin membayar hutangmu itu, ikutlah bersa-maku untuk
menjadi muridku selama sepuluh tahun. Bagaimana, kau bersedia?"
tanya si kakek seraya terkekeh gembira.
"Kau ingin mengambilku sebagai murid" Apa yang akan kau ajarkan padaku, Kek"
Kalau hanya menari-nari seperti yang kau lakukan tadi, aku tidak
sudi! Tanpa diajarkan pun aku bisa melakukannya," tolak bocah jembel itu.
"Eh, apa betul kau bisa" Coba, ayo tirukan aku," ujar kakek itu dengan wajah
gembira. Lalu, kakek berjenggot putih
yang panjangnya melewati dada itu menggerak-gerakkan tubuh. Pantatnya lenggak-
lenggok seperti bebek berjalan. Kakek itu terus berputar-putar sambil tak henti-
hentinya terkekeh.
Aneh sekali! Meskipun hatinya
tidak bersedia mengikuti gerakan si kakek, tapi secara tiba-tiba tubuh bocah itu
sudah bergerak-gerak mengikuti tarian yang aneh dan lucu. Si bocah berusaha
sekuat tenaga menahan. Namun, tetap saja tidak mampu menghentikan lenggak-
lenggok tubuhnya. Dia terus saja berputar mengikuti gerakan kakek gila itu.
"Hei" Kakek gila! Kau apakan aku" Mengapa aku tidak bisa menghentikan gerakan
tubuhku?" si bocah berteriak-teriak ngeri melihat tubuhnya bergerak semakin
cepat mengikuti tarian kakek gila itu.
"He he he.... Bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau bisa meniru tarianku"
Nah, itu sudah bagus dan sudah betul!" sahut si kakek sambil terkekeh semakin
gembira. "Sudah, Kek. Hentikan! Aku sudah tidak tahan!" pinta bocah jembel itu.
Meskipun hatinya diam-diam mera-
sa ngeri, namun bocah jembel yang keras hati dan angkuh itu sama sekali tidak
mau memperlihatkannya di hadapan kakek gila itu.
Ketika kakek yang aneh itu meng-
hentikan gerakannya, secara aneh pula gerakan tubuh si bocah berhenti. Karena
tidak menduga tarian itu akan berhenti secara mendadak, tentu saja si bocah
menjadi hilang keseimbangan tubuhnya. Akibatnya dia terjatuh.
"He he he...!"
Melihat tubuh bocah jembel itu
terhuyung-huyung dan terjatuh, si kakek gila tertawa terpingkal-pingkal sambil
memegangi perutnya. Sedang tangan yang satunya lagi menuding-nuding ke arah si
bocah. "Huh! Dasar kakek sinting!" maki si bocah bergumam, lalu bergerak bangkit
berdiri dengan wajah berang. "Aku mau pergi!"
Bocah jembel itu lalu melangkah
hendak pergi dari situ. Tapi, bukan main terkejut hatinya ketika seluruh tubuh
terasa kejang hingga tidak bisa digerakkan. Sedangkan saat itu si kakek masih
saja terpingkal-pingkal.
Bahkan tubuhnya yang tinggi ku-
rus itu jadi terbungkuk-bungkuk. Namun tiba-tiba, kakek itu menghentikan tawanya
secara mendadak.
"Bagaimana" Apakah kau suka men-
jadi muridku?" tanya kakek itu sambil melangkah menghampiri tubuh si bocah yang
tahu-tahu sudah bisa bergerak seperti biasa kembali.
"Hei, Kakek Gila! Apa sih, kehe-batanmu" Mengapa kau begitu bersemangat hendak
mengambilku sebagai murid"
Dan mengapa tidak mencari anak-anak yang lain saja" Mungkin mereka akan suka
menjadi muridmu."
"He he he.... Hei, Bocah Jembel!
Tahukah, kau. Beribu-ribu bocah lain akan berlutut selama tiga hari tiga malam
agar dapat menjadi muridku. Tapi aku tidak mau menerima mereka. Dan ki-ni aku
telah jatuhkan pilihan kepadamu. Perlu diketahui, kalau orang yang akan menjadi
gurumu ini adalah tokoh besar dalam dunia persilatan. Aku berjuluk Dewa Gila
Jenggot Putih. Aku me-milihmu, karena kulihat adanya bakat yang amat baik dalam
dirimu. Dan apabila kau menjadi muridku, kujamin dalam jangka waktu sepuluh
tahun, kau akan menjadi seorang pendekar hebat yang sulit dari tandingannya.
Nah! Apakah kau bersedia?" kata kakek bertubuh kurus itu.
Ternyata kakek itu merupakan
seorang tokoh besar yang berjuluk Dewa Gila Jenggot Putih. Diam-diam kakek itu
pun merasa heran kepada dirinya sendiri. Mengapa ia begitu suka kepada bocah
jembel itu" Bahkan sampai-sampai
harus menyebutkan nama besarnya untuk dapat mengambil bocah itu sebagai murid.
Benar-benar kejadian yang sulit dimengerti walau oleh kakek itu sendiri.
Bocah jembel yang memiliki ke-
cerdikan luar biasa itu memutar otak-nya begitu mendengar ucapan kakek yang
berjuluk Dewa Gila Jenggot Putih itu.
Bibirnya yang kecil namun memiliki ta-rikan keras itu tersenyum tipis.
Sepertinya, hatinya merasa tertarik mendengar kata-kata 'pendekar' yang disebut-
sebut kakek berjenggot putih itu.
Meskipun usianya baru sepuluh
tahun, namun dari pengalaman-
pengalaman hidupnya yang selalu ber-pindah-pindah, bocah itu sudah dapat
mengerti apa yang disebut sebagai pendekar. Kata-kata itulah yang membuatnya
tertarik. "Benarkah kau bisa menjadikan diriku sebagai seorang pendekar yang hebat, Kek"
Aku pernah melihat seorang laki-laki kekar mampu memukul roboh sebatang pohon
yang sangat besar hanya dengan telapak tangannya. Kalau kau bisa melakukannya
seperti itu, mungkin aku akan mempertimbangkan tawaranmu,"
kata bocah jembel itu seraya tersenyum cerdik
"Ha ha ha...!"
Meledak tawa si kakek setelah
mendengar ucapan si bocah jembel. Ke-
kagumannya terhadap bocah itu semakin bertambah. Bagaimana tidak geli" Sebab
biasanya seorang gurulah yang akan menguji calon muridnya. Tapi kali ini justru
sebaliknya. Dewa Gila Jenggot Putih dalam dunia persilatan sudah sangat terkenal
dan ditakuti. Tapi ki-ni malah akan diuji calon muridnya.
Maka hal itu membuat kakek berjenggot putih itu semakin bertambah rasa kein-
ginannya untuk mengambil bocah itu sebagai murid.
"Hm.... Perhatikanlah pohon besar di depanmu itu. Aku bukan saja me-robohkannya
seperti orang yang pernah kau lihat. Bahkan akan merobohkan pohon itu tanpa
harus menyentuhnya,"
ujar Dewa Gila Jenggot Putih seraya tersenyum gembira.
Setelah berkata demikian, kakek
itu melangkah mundur sejauh empat batang tombak lebih. Dan bersiap melancarkan
pukulan. Bocah jembel itu menatap si ka-
kek tanpa berkedip sekejap pun. Keningnya berkerut melihat kedua tangan kakek
itu berputar bagai baling-baling. Si bocah membelalakkan mata ketika serangkum
angin keras menerpa tubuhnya. Padahal tempatnya berdiri sudah terpisah sejauh
lima batang tombak dari kakek itu. Dan...
Wusss! Brakkk! Dengan gerakan yang seperti ter-
lihat perlahan, kakek itu mendorongkan tangan kiri dengan telapak tangan
terbuka. Akibatnya hebat sekali! Pohon besar itu langsung tumbang sehingga
menimbulkan suara berderak keras.
2 "Wah! Kau hebat sekali, Kakek!"
seru bocah kurus dan kumal itu dengan wajah berseri-seri.
Ia benar-benar merasa puas sete-
lah menyaksikan kehebatan kakek yang dianggapnya gila itu. Dia mampu memukul
roboh sebatang pohon besar tanpa menyentuhnya.
"Huh! Apa sih, hebatnya pukulan seperti itu! Anak-anak kecil pun tentu bisa
melakukannya!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara
berat, bernada mengejek. Berbarengan dengan itu, muncul seorang kakek jangkung
berpakaian serba putih. Dia kini melangkah lebar mendekati mereka. Wajahnya yang
berkeriput itu melemparkan senyum sinis dan memandang rendah. Sekali melihat
saja, orang sudah dapat menilai kalau kakek itu memiliki sifat sombong dan
jumawa. "He he he.... Pendekar Pedang Kembar, apa maksudmu mengganggu kese-nangan orang"
Pergilah. Jangan campuri urusan kami," ujar Dewa Gila Jenggot Putih lembut,
namun mengandung anca-
man. Rupanya Dewa Gila Jenggot Putih
tidak suka dengan kedatangan orang yang mengganggunya. Kemudian kepalanya
menoleh ke arah si bocah.
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini," ajak Dewa Gila Jenggot Putih sambil mencekal
tangan si bocah dan siap meninggalkan tempat itu.
Kakek jangkung berusia sekitar
tujuh puluh tahun yang mengenakan pakaian mewah dari sutra putih itu tertegun
mendengar orang telah mengetahui julukannya. Sepasang matanya menatap tajam
penuh selidik pada kakek berjenggot putih itu. Diperhatikannya orang di depannya
dari kaki sampai kepala. Keningnya tampak berkerut seolah tengah mengerahkan
ingatan untuk mengenali kakek itu,
"Hm... Kalau tak salah, kau Dewa Gila Jenggot Putih...!" tebak orang yang
dipanggil Pendekar Pedang Kembar itu agak terkejut ketika melihat pe-nampilan
kakek gila yang terkekeh me-mandangnya.
"Hm.... Ternyata ingatanmu belum pikun, Pendekar Pedang Kembar. Mengapa kau
tinggalkan rumah mewahmu" Apakah sudah bosan dengan kehidupan yang kau jalani
selama ini?" ejek Dewa Gila Jenggot Putih.
Dia tidak jadi pergi karena ka-
kek jangkung itu mengenalinya. Sepa-
sang matanya menatap tajam, seolah-olah ingin mengetahui maksud pendekar
jangkung itu mendatangi mereka.
"Ha ha ha.... Meskipun sudah hampir sepuluh tahun kita tidak ber-jumpa, ternyata
ingatanmu masih sangat kuat, Dewa Gila. Aku benar-benar kagum kepadamu. Tapi,
apa maksudmu memamerkan ilmu pukulan jelek tadi?" tanya Pendekar Pedang Kembar
dengan nada menghina.
"He he he.... Semula aku merasa kasihan untuk memukul roboh pohon yang tidak
berdosa itu. Tapi hal itu terpaksa kulakukan untuk memancing keluar monyet buruk
yang semenjak tadi men-gintai kelakuanku. Apakah itu salah?"
ejek Dewa Gila Jenggot Putih yang rupanya sudah kumat kegilaannya.
Merah seluruh wajah Pendekar Pe-
dang Kembar mendengar jawaban itu. Sekilas terlihat sinar berkilat pada sepasang
bola matanya yang tajam itu.
"Jangan berlagak bodoh, Dewa Gi-la! Aku tahu, pukulan itu sengaja kau pamerkan
di hadapan bocah yang tidak suka menjadi muridmu itu," balas kakek jangkung itu,
tak mau kalah. Pendekar Pedang Kembar kemudian
memandang bocah laki-laki yang berdiri di sebelah kakek gila itu. Dia berpikir,
kalau Dewa Gila Jenggot Putih sampai bersedia memamerkan ilmunya di depan si
bocah, pastilah anak laki-
laki kecil kurus itu memiliki kelebi-han. Maka Pendekar Pedang Kembar semakin
menatap bocah itu tajam-tajam, seolah-olah hendak menilai bocah itu dengan
pandang matanya.
"Anak baik. Maukah kau ikut ber-samaku" Kau akan kubawa ke tempat tinggalku, dan
akan kulatih ilmu silat tingkat tinggi. Kau akan kujadikan seorang pendekar
digdaya. Ayolah. Ke-timbang, kau ikut kakek miskin itu yang untuk makan saja
harus mengemis,"
bujuk Pendekar Pedang Kembar sambil menatap wajah si bocah, lembut
"Kurang ajar kau, Pedang Kembar!
Sadarkah, kalau ucapanmu itu bisa men-gakibatkan kematianmu"!" ancam Dewa Gila
Jenggot Putih, geram.
Sudah susah-susah dia membujuk
bocah itu dengan berbagai cara agar mau menjadi muridnya, kini tahu-tahu ada
orang datang hendak merebut. Tentu saja hati kakek gila itu menjadi berang bukan
kepalang. Dewa Gila Jenggot Putih langsung membanting-banting kaki kanannya
dengan gerakan tangan mencak-mencak.
"Hei" Kenapa kau jadi marah-
marah, Dewa Gila" Aku kan hanya menawarkan" Kalau memang ia lebih suka ikut aku,
bukankah hidupnya akan lebih terjamin?" sahut Pendekar Pedang Kembar yang merasa
girang karena telah berhasil memancing kemarahan Dewa Gila
Jenggot Putih. Lalu, kembali dipandan-ginya bocah itu. "Ayo jawab, Bocah.
Kau lebih suka ikut denganku atau dengan kakek gila yang tidak menentu hidupnya
itu?" Bocah jembel bertubuh kurus itu
tidak segera menjawab. Otaknya yang cerdik kembali berputar mencari jawaban.
Kalau melihat Dewa Gila Jenggot Putih yang sepertinya tidak berani bersikap
sembarangan terhadap kakek jangkung itu, sudah jelas kalau orang itu memiliki
ilmu yang hebat juga. Sulit rasanya untuk mengetahui, siapa yang lebih lihai di
antara kedua kakek sakti itu. Maka satu-satunya jalan adalah bertarung. Berarti
mereka berdua harus diadu.
"Hm.... Aku tidak tahu, siapa yang lebih sakti di antara Kakek berdua. Tapi aku
sudah mengambil keputusan. Aku hanya suka menjadi murid orang yang paling sakti.
Dan untuk itu, kalian harus membuktikannya," sahut bocah jembel itu dengan
sepasang mata bersinar cerdik,
Dewa Gila Jenggot Putih dan Pen-
dekar Pedang Kembar langsung tersentak mendengar jawaban yang keluar dari mulut
bocah laki-laki berusia sepuluh tahun itu. Mereka semakin bertambah kagum dengan
kecerdikannya. Hal itu justru semakin membuat hasrat mereka bertambah untuk
memiliki bocah yang
cerdik luar biasa itu. Bocah seperti itulah yang akan dapat mengangkat nama
besar mereka kelak.
"He he he.... Betul sekali ucapanmu itu, Bocah. Ayo, Pedang Kembar.
Kita bertarung untuk memperebutkan bocah yang luar biasa ini!" tantang Dewa Gila
Jenggot Putih yang sudah melompat maju dan terkekeh gembira. "Aku pun ingin
melihat, sampai di mana kemajuan yang kau peroleh selama kurang lebih sepuluh
tahun kau mendekam di gedung mewahmu itu!"
*** Dewa Gila Jenggot Putih telah
melintangkan tongkat bambu kuning di depan dadanya. Tongkat bambu itu tidak
dapat disamakan dengan tongkat lainnya, karena telah direndam dalam ra-muan obat
selama bertahun-tahun. Sehingga, kekuatannya tak ubahnya sebatang besi. Apalagi
tongkat itu berada di dalam genggaman tokoh sakti seperti Dewa Gila Jenggot


Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putih. Sudah pasti, kehebatannya menjadi berlipat-lipat Pendekar Pedang Kembar
yang berasal dari keluarga bangsawan memang jarang sekali keluar meninggalkan
rumahnya. Tidak heran kalau tidak begitu mengenal tokoh-tokoh persilatan. Namun
terhadap kakek gila, ia cukup menge-nalnya. Pada pertemuan pertama tadi,
ia tidak begitu mengenalinya. Sebab sepuluh tahun yang lalu, tubuh Dewa Gila
Jenggot Putih itu gemuk dan tegap. Sedangkan sekarang yang tampak adalah seorang
kakek kurus berjenggot panjang hingga melewati dada. Tentu saja ia agak
pangling. Meskipun kakek gila itu pada beberapa tahun yang lalu pernah
mengalahkan 'Ilmu Pedang Kembar'nya, namun ia tidak menjadi gentar. Ilmu
pedangnya sekarang sudah me-ningkat jauh. Sehingga, ia merasa yakin akan dapat
menundukkan Dewa Gila Jenggot Putih.
Setelah termenung beberapa saat
lamanya, Pendekar Pedang Kembar mengangkat kepala menatap Dewa Gila Jenggot
Putih. Sambil mengedikkan kepala, kakek itu menjawab tantangan musuh lamanya.
"Hm.... Jangan merasa gembira dulu, Dewa Gila. Jangan harap 'Ilmu Tongkat
Delapan Penjuru'mu sekarang mampu menghadapi 'Ilmu Pedang Kembar'
yang telah kusempurnakan," sahut kakek jangkung itu, sombong.
Meskipun kakek itu seorang pen-
dekar, namun jiwa kebangsawanannya yang selalu memandang rendah orang lain tidak
pernah hilang. Sehingga, jarang sekali orang yang menyukainya.
"Menyingkirlah jauh-jauh, Bocah.
Akan kuhancurkan kesombongan pendekar bangsawan ini," ujar Dewa Gila Jenggot
Putih seraya mengulapkan tangannya mengusir si bocah jembel.
Tanpa banyak bicara lagi, bocah
jembel itu segera melangkah kan kakinya menjauhi tempat yang akan dijadikan
arena pertarungan. Sepasang mata bocah itu kini berbinar-binar. Karena dengan
kecerdikannya, ia akan menonton pertarungan mengasyikkan. Sekaligus dia bisa
mengetahui, siapa di antara kedua orang kakek itu yang lebih tinggi
kepandaiannya. Bocah itu duduk menonton di atas sebongkah batu besar yang cukup
jauh dari arena pertarungan.
"He he he.... Bersiaplah, Pendekar Pedang Kembar!" ancam Dewa Gila Jenggot Putih
seraya terkekeh.
Selesai berkata demikian, kakek
itu memutar tongkat bambu kuningnya dengan gerakan cepat dan kuat
Wuuuk! Wuuuk! Bentuk tongkat bambu kuning di
tangan kakek gila itu lenyap, dan kini menjadi gulungan sinar kuning yang
menimbulkan deru angin keras.
Sring! Sring! Sinar putih menyilaukan mata
berpendar ketika sepasang pedang yang tergantung di punggung kakek itu ter-cabut
keluar. "Yeaaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan nyar-
ing, tubuh Pendekar Pedang Kembar me-
lesat disertai ayunan pedang yang mengaung dahsyat. Sepasang pedang kembar-nya
yang membentuk gulungan sinar putih itu menyambar-nyambar bagai cahaya kilat di
angkasa. Hebat dan ganas sekali serangan
kakek jangkung itu, seperti hendak menghabisi lawan dengan sekali serang.
Dengan sebuah gerakan aneh dan
lucu, tubuh kakek gila itu bergerak ke samping menghindari sebuah tusukan pedang
yang mengarah leher. Sambil melompat berputar, tongkat bambu di tangan kanannya
menyambar ke kepala lawan. Gerakannya demikian cepat tak terduga, sehingga kakek
jangkung itu menjadi terkejut melihat serangan balasan yang hebat itu.
Namun Pendekar Pedang Kembar bu-
kanlah tokoh kemarin sore. Meskipun serangan lawan sempat membuatnya terkejut,
tidak menjadikannya gugup. Cepat kaki kanannya bergeser sambil merendahkan kuda-
kuda dan memiringkan kepalanya. Begitu serangan itu lewat, pedang di tangan
kirinya bergerak me-nyilang dari bawah ke atas, menyambar tubuh lawan.
Wuuut! Dewa Gila Jenggot Putih melompat
ke belakang menghindari sambaran pedang yang membawa hawa maut itu. Tapi dia
menjadi terkejut, ketika pedang itu tiba-tiba berputar dan menyambar
pinggangnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, bambu kuning di tangannya diputar
untuk menyambut sambaran pedang lawan.
Trakkk! Bertemunya dua senjata itu seke-
tika menimbulkan suara berdentang nyaring bagai dua batang besi yang di-
benturkan. Tubuh Pendekar Pedang Kembar terjajar mundur sejauh setengah tombak.
Hatinya terkejut bukan main ketika telapak tangan kirinya terasa panas dan
kesemutan. Tahulah kakek jangkung itu kalau dalam hal tenaga dalam masih berada
di bawah lawannya.
Maka ia harus mencari cara lain untuk menutupi kekalahannya itu. Tubuhnya
kembali berkelebat menerjang lawan.
"Hm.... Ia benar-benar telah memperoleh kemajuan pesat!" gumam Dewa Gila Jenggot
Putih ketika sempat tangannya bergetar akibat menangkis pedang lawan tadi.
Dan memang pada sepuluh tahun
yang lalu, kakek jangkung itu tidak mampu menahan hantaman tongkatnya. Ta-pi
kali ini ia hanya terjajar mundur tanpa mengalami luka sedikit pun. Jelas, hal
itu membuktikan kalau musuh lamanya itu telah berlatih keras untuk
menyempurnakan ilmu-ilmunya. Rupanya kesombongannya kali ini cukup berala-san.
Pada saat itu, sepasang pedang
kembar di tangan kakek jangkung sudah menyambar-nyambar hebat Dewa Gila Jenggot
Putih yang tidak mau tubuhnya dijadikan sasaran pedang lawan, cepat menyambut
dengan putaran tongkat bambu kuningnya. Maka pertarungan pun berlangsung semakin
sengit. Ilmu 'Pedang Kembar' yang di-
mainkan Pendekar Pedang Kembar benar-benar hebat. Sepasang pedang di tangannya
menyambar ganas mengincar titik-titik kelemahan di tubuh lawan.
Setiap kali senjata itu menyambar, terdengar suara mengaung tajam yang
memekakkan telinga. Maka lawannya harus semakin berhati-hati dalam menang-
gulanginya. Selama lima puluh jurus, kedua
tokoh sakti itu masih terlihat berim-bang. Meskipun Dewa Gila Jenggot Putih
hanya bersenjatakan sebatang bambu, namun serangan-serangan balasannya tidak
bisa dianggap ringan. Tongkat di tangannya berputar dan bergerak aneh sehingga
membuat lawannya kebingungan.
Jurus 'Tongkat Delapan Penjuru' yang digunakannya memang mengandung banyak
sekali perubahan yang tidak terduga.
Bahkan terkadang aneh dan lucu.
Wuuut! Wuuut..!
Memasuki jurus yang keenam pu-
luh, Pendekar Pedang Kembar melancarkan serangan dengan gerakan menggunting.
Sepasang pedangnya meluncur cepat
ke arah leher lawan. Sudah dapat di-pastikan, apabila serangannya itu berhasil,
maka kepala lawan pasti akan menggelinding putus. Sebuah serangan yang keji dan
ganas. Menghadapi serangan lawannya
kali ini, Dewa Gila Jenggot Putih kembali membuat gerakan yang lucu dan
mengejutkan. Begitu sepasang pedang lawan menggunting leher, mendadak tubuhnya
berjongkok sambil menyodokkan ujung senjatanya ke ulu hati Pendekar Pedang
Kembar. Tentu saja hal itu membuat lawan terkejut dan terpaksa melempar tubuhnya
ke belakang. Sepasang mata Pendekar Pedang
Kembar membelalak dengan wajah pucat.
Karena pada saat kedua kakinya baru saja menjejak tanah, ujung tongkat lawan
masih saja mengincarnya. Dan hatinya semakin terkejut melihat gerakan lawan yang
terlihat asing dan aneh.
Tampak tubuh lawan yang masih dalam keadaan berjongkok, melompat-lompat bagai
seekor katak. Sedangkan tongkat bambu di tangan kakek gila itu melakukan
totokan-totokan menyerang bagian tubuhnya yang lemah.
Jelas kalau untuk menghindar,
sudah tidak mungkin lagi. Maka kakek jangkung itu segera menggerakkan pedang
untuk memapak serangan tongkat yang membingungkan itu. Pendekar Pedang Kembar
semakin tercekat hatinya.
Karena setiap kali pedangnya menyambar, selalu saja tongkat bambu itu berkelit
bagaikan memiliki mata. Bahkan gerakan tongkat itu semakin liar dan cepat.
Akibatnya, ketika tongkat bambu itu kembali menyambar untuk yang kesekian
kalinya, Pendekar Pedang Kembar tidak mampu lagi menghindar.
Tukkk! Bukkk! Kakek jangkung itu menjerit ke-
ras. Seketika tubuhnya terlempar akibat totokan dan hantaman tongkat yang
mengenai paha dan dada. Meskipun terasa sesak, pendekar itu bergerak bangkit.
Dari sudut bibirnya terlihat cairan merah mengalir. Itu menandakan kalau
tubuhnya telah terluka dalam akibat pukulan lawan.
"He he he...! Kau masih harus belajar selama tiga puluh tahun lagi untuk dapat
mengalahkanku, Pedang Buntung," ejek Dewa Gila Jenggot Putih seraya terkekeh
gembira. "Jangan tertawa dulu, Dewa Gila!
Aku belum mengaku kalah!" geram Pendekar Pedang Kembar yang kembali sudah
bersiap hendak menyerang.
"Hm..., apakah aku harus membunuhmu, baru kau mengaku kalah?"
Dewa Gila Jenggot Putih berkerut
keningnya melihat lawan sudah bersiap hendak melanjutkan pertarungan. Sepasang
matanya berkilat menyiratkan nafsu membunuh.
"Kalau memang mampu, lakukanlah!" sahut kakek jangkung itu yang masih saja
menunjukkan ketinggian hatinya meskipun sudah terluka dalam.
"Hm.... Jangan salahkan aku jika tubuhmu akan tergeletak tanpa nyawa!"
ancam Dewa Gila Jenggot Putih.
Ternyata di balik kegilaannya,
kakek berjenggot putih itu memang me-nyimpan sifat kejam. Sehingga dalam dunia
persilatan ia tidak diakui golongan putih. Padahal dia juga bukan dari golongan
hitam. Kali ini sifat kejamnya pun kembali muncul setelah melihat kebandelan
lawan yang tidak mau mengaku kalah.
"Hmh...!"
Pendekar Pedang Kembar sama se-
kali tidak menyahut. Terdengar gera-mannya yang disertai gerakan sepasang
senjata yang bergerak di kiri-kanan tubuhnya. Tanpa banyak cakap lagi, tubuhnya
segera meluncur menerjang lawan.
Dewa Gila Jenggot Putih mengges-
er tubuhnya ke kiri-kanan untuk menghindari sambaran pedang lawan. Sesekali
tongkat bambunya bergerak menangkis, apa bila serangan itu sudah tidak bisa
dielakkan. Dan setiap kali menangkis, selalu saja senjata lawan dibuat terpental
balik. Lalu, disusu-linya dengan totokan ujung tongkat ke jalan darah kematian
di tubuh lawan.
Serangan-serangan balasan yang
dilancarkan kakek gila itu benar-benar membuat kewalahan Pendekar Pedang Kembar.
Apalagi keadaan tubuhnya memang sudah terluka. Sehingga setiap kali pedangnya
membentur tongkat lawan. Dadanya terasa semakin sesak dan nyeri.
Dan hal itu membuatnya semakin terdesak hebat
"Hiaaat...!"
Pada jurus keempat puluh, tiba-
tiba Dewa Gila Jenggot Putih berteriak nyaring. Akibatnya, tubuh lawan langsung
bergetar. Saat itu juga ujung tongkatnya meluncur, menotok pelipis lawan
sebanyak dua kali.
Tukkk! Tukkk! "Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh
kakek jangkung itu terbanting ke tanah. Setelah berkelojotan sesaat tubuh itu
pun diam tak bergerak-gerak lagi.
Mati. Pada kedua pelipisnya terdapat tanda kebiruan bekas totokan ujung tongkat
bambu Dewa Gila Jenggot Putih.
"Huh! Salahmu sendiri yang sengaja mencari kematian!" sambil bersungut-sungut,
Dewa Gila Jenggot Putih melangkah meninggalkan mayat lawannya.
"Wah! Kau hebat sekali, Kek!"
sorak si bocah sambil berlari menghampiri Dewa Gila Jenggot Putih, Meskipun
bocah itu tidak memperhatikan jalannya pertarungan secara keseluruhan, tapi
melihat tubuh Pendekar Pedang Kembar telah roboh dan tak bergerak lagi. Ma-ka
dia berlari menyambut kakek gila itu.
"He he he.... Apalah, hebatnya si Pedang Kembar itu" Ia hanya besar mulut saja.
Tapi kepandaiannya, nih,"
sahut Dewa Gila Jenggot Putih seraya menjentikkan ibu jarinya ke jari ke-
lingking. "Tapi, mengapa dia tidak bangun lagi, Kek" Apakah dia telah mati?"
tanya bocah jembel itu ketika melihat tubuh Pendekar Pedang Kembar tidak
bergerak-gerak lagi.
"Sudahlah. Jangan kau pikirkan manusia sombong itu. Biar dia bawa kesombongannya
itu ke akhirat. Ayo, kita pergi," ajak Dewa Gila Jenggot Putih sambil menarik
tangan si bocah untuk dibawa meninggalkan tempat itu.
"Kalau dia sudah mati, mengapa tidak dikuburkan?" tanya bocah itu sambil
memandang wajah si kakek gila dengan kening berkerut
"Ah, biarkan saja. Nanti kalau ada orang yang melihat pasti mayatnya akan
dikuburkan," sahut Dewa Gila Jenggot Putih. Tanpa berkata apa-apa lagi, kakek
itu langsung membawa si bocah pergi. Namun baru beberapa langkah berjalan, kakek
gila itu menoleh ke arah si bocah.
"Oh, ya. Siapa namamu, Bocah?"
"Pandu. Itulah namaku, Kek."
"Nah! Kalau begitu, mulai saat ini kau harus memanggilku eyang, mengerti?"
"Baik, Kek... eh, Eyang," sahut bocah yang ternyata bernama Pandu.
3 "Hiaaat..!"
Terdengar teriakan-teriakan
nyaring memecahkan kesunyian pagi di atas puncak Gunung Pancar. Teriakan itu
berasal dari mulut seorang pemuda bertubuh sedang, namun nampak sehat dan kuat.
Dadanya yang bidang sudah dibanjiri peluh. Itu terlihat jelas karena tubuh
bagian atasnya tidak tertutup pakaian.
Pemuda itu memainkan jurus yang
gerakan-gerakannya aneh, namun terlihat cepat dan mengandung tenaga dalam kuat.
Kedua kakinya bergerak lincah dengan langkah-langkah yang terlihat aneh dan
lucu. Tapi jelas kalau itu gerakan-gerakan ilmu silat tinggi yang jarang ada
duanya. Wuuut! Wuuut! Pukulan dan tendangannya melun-
cur deras membelah udara hingga menimbulkan angin berkesiutan. Dari langkah kaki
dan sambaran pukulannya, jelas sekali kalau pemuda berwajah tampan itu telah
menguasai baik ilmu-ilmunya.
"Cukup, Pandu. Sekarang aku ingin melihat kau memainkan 'Ilmu Tongkat Delapan
Penjuru' yang merupakan ilmu inti perguruan kita," ujar seorang kakek yang
usianya kurang lebih sekitar delapan puluh tahun.
Kakek itu cepat melemparkan se-
batang bambu yang berwarna kuning mengkilat dan terlihat sangat kuat Kemudian,
kakek yang tak lain dari Dewa Gila Jenggot Putih, mengelus-elus jenggot putihnya
yang sudah semakin panjang.
Pemuda tampan berdada bidang itu
ternyata Pandu, yang sepuluh tahun la-lu dibawa Dewa Gila Jenggot Putih. Bocah
jembel berpakaian kumal itu kini telah menjelma menjadi seorang pemuda tampan.
Sepasang matanya tampak memancarkan kecerdikan. Wajahnya yang bulat telur dan
beralis tebal hitam itu, membuatnya semakin gagah dan jantan.
Pandu benar-benar telah menjelma menjadi seorang pemuda hebat.
Begitu mendengar perintah gu-
runya, pemuda itu segera menghentikan gerakan. Tubuhnya melambung ke atas
setinggi dua tombak ketika mendengar suara berdesing dari belakangnya. Dengan
sebuah gerakan indah, tubuh pemuda itu berputar sambil mengulur tangan menangkap
tongkat yang dilemparkan gurunya. Kemudian, ia kembali berputar sebanyak dua
kali sebelum kakinya men-
darat di tanah.
"Haiiit..!"
Begitu kedua kakinya menyentuh
tanah, pemuda itu berseru nyaring sambil memutar bambu yang sudah tergenggam


Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

erat di tangan.
Wuuut! Wuuut! Bambu kuning yang panjangnya
hampir mencapai satu batang tombak itu lenyap, karena telah membentuk sinar
kuning hingga menimbulkan deruan angin tajam. Dari gulungan sinar itu kadang-
kadang ujung bambu menyembul, melakukan totokan-totokan yang menimbulkan suara
mencicit nyaring. Ini menandakan kalau tenaga dalam yang dimiliki pemuda tampan
itu cukup tinggi. Dan memang, hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam
tinggi sajalah yang mampu menimbulkan suara itu.
"Cukup!" perintah Dewa Gila Jenggot Putih yang tersenyum-senyum puas melihat
betapa hasil didikannya selama ini tidak mengecewakan.
Pandu menutup gerakannya ketika
mendengar seruan gurunya. Kemudian tubuhnya berbalik, lalu melangkah menghampiri
tempat gurunya berada. Meskipun telah berlatih cukup lama, namun sama sekali
pemuda itu tidak nampak lelah. Hanya keringatnya saja yang mengalir turun,
menandakan kalau telah cukup lama berlatih. Kulitnya yang kecoklatan tampak
berkilatan, karena ke-
ringatnya terjilat pantulan cahaya matahari.
"Duduklah, Cucuku," ujar Dewa Gila Jenggot Putih sambil menepuk batu pipih di
sebelahnya. "Bagaimana latihanku tadi,
Eyang" Apakah sudah terlihat baik?"
tanya Pandu setelah duduk di sebelah gurunya.
Setiap kali habis berlatih, Pan-
du selalu meminta pendapat gurunya.
Kali ini pun demikian.
"Hm.... Kau selalu menanyakan pendapatku setelah selesai berlatih.
Apakah kau sendiri tidak mengeta-
huinya?" tanya Dewa Gila Jenggot Putih.
Dia kemudian memandang wajah mu-
ridnya sambil terkekeh gembira. Diam-diam kakek itu merasa kagum melihat wajah
muridnya yang gagah dan tampan itu.
Sama sekali tidak dikira kalau
bocah kurus dan kumal yang dulu diba-wanya itu ternyata telah menjadi seorang
pemuda berwajah jantan dan bertubuh tegap. Tersirat rasa bangga di matanya,
melihat keadaan muridnya yang telah jauh berubah itu. Dan ia langsung tersenyum
bila mengingat hal itu.
"Sebenarnya aku juga mengetahui dan merasakan kemajuan yang kuperoleh, Eyang.
Tapi rasanya masih belum merasa puas kalau belum mendengar pendapat
Eyang," sahut Pandu sambil menyusut peluh yang membasahi wajah dengan pa-
kaiannya. Ketika berlatih tadi, pakaian itu diletakkan di atas batu yang
sekarang didudukinya.
"Hm.... Kau harus percaya kepada dirimu sendiri, Cucuku. Sekarang bagaimana
kalau kau meminta pendapat kepada orang lain, sedangkan orang itu justru mencela
permainanmu" Lalu, apakah penilaiannya akan kau percayai"
Padahal kau sendiri tahu kalau permainanmu itu sudah baik dan sempurna.
Nah, apa yang akan kau perbuat?" tanya Dewa Gila Jenggot Putih seraya tersenyum
lucu. "Yah, kutinju saja wajahnya. Sebab apa yang dikatakannya itu bohong.
Dan orang berbohong harus dihukum,"
sahut Pandu seenaknya.
Mendengar jawaban muridnya yang
sembarangan itu, Dewa Gila Jenggot Putih tertawa terbahak-bahak. Kakek sakti itu
merasa harus tertawa mendengar jawaban lucu muridnya yang memang ber-watak
gembira dan bicara seenaknya itu. Tapi di balik semua sifat itu, ia tahu kalau
muridnya cerdik dan penuh perhitungan dalam menghadapi sesuatu.
Dan semua itu sudah dibuktikan Pandu dengan melatih secara sempurna semua ilmu-
ilmu yang telah diturunkan.
Sebentar kemudian, suara tawa
kakek itu pun lenyap. Lalu ditatapnya
Pandu dengan wajah sungguh-sungguh.
"Pandu! Tahukah kau, sudah berapa lama kau tinggal di tempat ini?"
tanya Dewa Gila Jenggot Putih tanpa senyum di wajahnya.
"Hm... Kurang lebih sepuluh tahun, Eyang. Memangnya ada apa, Eyang?"
tanya Pandu. Pemuda itu merasa aneh melihat
kesungguhan di wajah gurunya, sehingga menimbulkan rasa heran dalam dirinya.
Dan memang, tidak biasanya kakek itu bersikap demikian sungguh-sungguh. Padahal
dalam menurunkan ilmu kepadanya pun, dia tidak pernah kelihatan sungguh-sungguh
seperti sekarang.
"Selama ini aku tidak pernah menanyakan riwayatmu, karena merasa belum menemukan
waktu yang cocok. Tapi sekarang setelah pelajaranmu tamat, kuminta agar kau sudi
menceritakan-nya," pinta kakek itu seraya menatap wajah muridnya lekat-lekat
"Jadi ilmu-ilmu yang kupelajari sudah sempurna, Eyang?" tanya Pandu.
"Bukan sempurna, Cucuku. Tapi sudah cukup sempurna. Karena tidak ada satu pun di
dunia ini yang sempurna.
Dan, jangan sekali-kali menganggap il-mu yang kau miliki itu paling tinggi di
dunia." Dewa Gila Jenggot Putih selan-
jutnya memberi nasihat pada Pandu jika nanti terjun dalam rimba persilatan.
Pemuda itu kelihatan sungguh-sungguh mendengarnya.
"Oh, ya. Sekarang ceritakanlah riwayatmu. Apakah kau sudah tidak mempunyai orang
tua lagi?" tanya Dewa Gi-la Jenggot Putih, menutup nasihatnya.
Pandu tercenung sejenak. Matanya
menerawang jauh ke masa silam.
*** Kadipaten Panjalu yang semula
damai dan tenteram, tiba-tiba berubah kacau oleh adanya perang saudara. Perang
yang memakan banyak korban jiwa itu merembet sampai ke Desa Surungan.
Suasana yang kacau itu membuat
orang tidak tahu, mana lawan dan mana kawan. Demikian pula di Desa Surungan.
Setiap orang saling bunuh, bila satu sama lain saling mencurigai. Rumah-rumah
penduduk dibakar. Demikian pula rumah Kepala Desa Surungan. Bahkan Ki Sumareja
yang menjadi kepala desa di situ harus kehilangan rumahnya.
Orang-orang berbondong-bondong
mengungsi. Di antaranya ada Ki Sumareja dan keluarganya.
"Ayah, aku takut..," ratap seorang bocah perempuan berusia sekitar tujuh tahun.
"Tenanglah, Ratih. Aku ada ber-samamu," hibur seorang bocah laki-laki berusia
sembilan tahun. Dia adalah ka-
kak dari bocah perempuan itu.
"Cepat sedikit, Pandu! Gerombolan pemberontak itu sebentar lagi akan datang!"
ujar Ki Sumareja kepada bocah laki-laki yang bernama Pandu.
Sementara itu, istri Ki Sumareja
berjalan cepat tersuruk-suruk mengikuti suami dan dua anaknya. Sedangkan,
penduduk yang mengungsi semakin ramai saja. Masalahnya, ketika sampai di jalan
utama, mereka bercampur baur dengan penduduk desa-desa lain.
Dan belum lagi seluruh pengungsi
itu sampai di tempat tujuan, gerombolan pemberontak telah datang lagi. Mereka
datang menggunakan kuda sambil mengacung-acungkan senjata. Maka seketika seluruh
pengungsi semakin berce-rai-berai. Mereka kocar-kacir, tak ta-hu harus berbuat
apa. "Ayah!" teriak Pandu, ketika pe-gangannya terlepas dari tangan ayahnya karena
terdorong oleh orang-orang yang berlarian bingung.
"Pandu!"
Ki Sumareja berusaha meraih
anaknya, tapi tak berhasil karena terdorong oleh orang lain. Sementara Ratih
masih dalam genggaman tangan satunya. Sedangkan istrinya juga entah berada di
mana. Makin lama, jarak mereka semakin
jauh. Apalagi para pemberontak telah membantai satu persatu para penduduk.
*** Perang saudara telah usai. Pihak
pemberontak telah berhasil dipadamkan.
Namun Ki Sumareja masih berada di tempat pengungsian bersama anak perempuannya,
Ratih. "Ayah, di mana Kakang Pandu?"
tanya Ratih, sedih.
"Entahlah, Anakku. Ayah telah memerintahkan pamanmu untuk menca-rinya. Tapi, tak
berhasil. Kalau dia mati, tapi mayatnya tidak ditemukan,"
desah Ki Sumareja.
Laki-laki berusia empat puluh
tahun itu tampak tabah menghadapi ben-cana yang menimpa keluarga dan de-sanya.
Bahkan istrinya yang terpisah saat mengungsi, telah ditemukan tewas.
Dan kini, mayatnya telah dikuburkan
"Oh, Tuhan! Selamatkanlah Pandu.
Biarlah dia berpisah denganku, asalkan tetap hidup. Suatu saat nanti, pasti dia
akan mencariku."
*** "Hm.... Jadi waktu aku menolong-mu di Desa Tunjung itu, kau dalam perjalanan
mencari keluargamu?" tanya De-wa Gila Jenggot Putih ketika Pandu telah
menyelesaikan ceritanya.
Kakek itu tampak terharu menden-
gar cerita muridnya. Itulah sebabnya,
mengapa Pandu demikian tabah dan keras hati. Rupanya jiwanya telah terbentuk
oleh penderitaan hidup yang dijalani.
Betapa kagum hati kakek berjenggot putih itu terhadap Pandu. Bocah jembel dan
kurus itu telah melakukan perjalanan dari satu desa ke desa lain untuk mencari
keluarganya. Pantas saja tubuhnya demikian kuat meskipun kurus.
"Benar, Eyang. Aku bertanya ke sana kemari, namun tidak ada satu pun yang
mengenal ayahku. Lalu, aku singgah di sebuah kedai. Di sana tenagaku kutawarkan
dengan harapan akan memperoleh imbalan makanan untuk mengisi perutku yang lapar.
Tapi, yang kudapat dari mereka hanyalah hinaan dan pukulan," teringat akan
kejadian itu, timbul rasa geram di hati Pandu.
"Hm.... Lalu, apakah sekarang kau masih ingin mencari kedua orang tua dan adik
perempuanmu itu?" tanya Dewa Gila Jenggot Putih lagi.
"Kalau Eyang mengizinkan, aku masih akan berusaha mencari. Aku harus mengetahui
nasib mereka, Eyang."
"Tidak ada lagi yang dapat kau pelajari dariku. Semua ilmu yang kumi-liki sudah
kuturunkan kepadamu. Dan sudah waktunya kau turun gunung untuk mencari
pengalaman, sekaligus mema-tangkan ilmu-ilmu yang telah kau pelajari di sini,"
jelas Dewa Gila Jenggot Putih tersenyum melihat wajah muridnya
yang berseri gembira mendengar ucapan-nya.
"Terima kasih.... Terima kasih, Eyang. Tapi.., bagaimana dengan Eyang"
Siapa yang akan melayani segala keper-luan Eyang selama aku pergi nanti?"
Wajah Pandu yang semula berseri
mendadak muram begitu teringat keadaan gurunya yang sudah sangat tua. Tentu
setelah kepergiannya nanti, kakek itu akan merasa kesepian karena tidak ada lagi
yang menemaninya. Mengingat hal itu, hati Pandu terasa berat meninggalkan
gurunya. "Jangan pikirkan aku, Pandu.
Apakah kau kira aku sudah sedemikian lemah hingga harus selalu diurusi!
Huh! Seperti anak kecil saja! Sudahlah. Besok pagi-pagi sekali kau boleh
berangkat untuk menambah pengalaman dan mencari kedua orang tua dan adik-mu,"
tegas kakek itu yang dari nada suaranya jelas tidak ingin mendengar bantahan
muridnya. Lalu Dewa Gila Jenggot Putih itu
pun memberi wejangan-wejangan yang dianggap perlu. Setelah matahari sudah naik
tinggi, barulah mereka beranjak meninggalkan tempat itu dan menuju pondoknya.
*** 4 Pada saat cahaya kemerahan mulai
nampak di kaki langit sebelah Timur, Pandu berpamitan kepada gurunya. Kini dia
telah berjalan agak jauh meninggalkan pondok. Pemuda tampan berkulit kecoklatan
itu bergegas berlari-lari kecil menuruni lereng gunung. Sesekali ia melompat
dengan wajah riang melewati sebongkah batu cukup besar yang menghalangi jalan.
Sudah cukup jauh juga Pandu ber-
lari-lari kecil sambil mengerahkan il-mu meringankan tubuh. Dan kini dia sudah
berada di sebelah Barat kaki Gunung Pancar. Pemuda itu terus berlompatan
melewati aliran sungai yang mem-bentang di depannya. Kemudian perjala-nannya
dilanjutkan dengan menggunakan ilmu lari cepat, sekaligus untuk menguji ilmu
yang diturunkan gurunya. Tubuh pemuda itu berkelebat cepat bagaikan bayang-
bayang, untuk kemudian lenyap di mulut sebuah hutan.
Ketika matahari sudah berada di
atas kepalanya, Pandu sudah jauh meninggalkan tempat kediaman gurunya.
Kepalanya menoleh ke belakang memandangi puncak Gunung Pancar yang terlihat
samar karena tertutup kabut. Hati pemuda tampan itu sempat terharu ketika
teringat gurunya kini hanya tinggal seorang diri.
Pandu melangkahkan kakinya me-
Pendekar Mata Keranjang 9 Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung Bara Diatas Singgasana 9
^