Pencarian

Dewi Baju Merah 2

Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah Bagian 2


nyusuri tepian sungai. Ketika melihat betapa jernihnya aliran sungai yang
bergemericik, timbul niatnya untuk mandi.
"Hm.... Segar rasanya bila dapat merendam tubuh di air yang jernih dan sejuk
itu," gumam Pandu.
Pemuda itu segera melangkahkan
kakinya menuju tepian sungai. Ia menyusuri tepian sungai dan mencari tempat yang
kira-kira mudah untuk turun ke bawah.
Mata Pandu merayapi sekitarnya,
mencari tempat yang baik. Pemuda tampan itu kemudian melangkahkan kakinya ke
tempat yang dimaksud. Karena letak tempatnya berdiri lebih tinggi dari aliran
sungai itu, maka wajah pemuda itu menunduk karena jalan ke arah itu sangat becek
dan licin. "Hei, kurang ajar kau! Mau mengintip orang mandi, ya! Keparat, kubu-nuh kau!"
Bukan main terkejutnya hati Pan-
du ketika mendengar suara bernada sangat marah. Matanya masih sempat melihat
sesosok bayangan yang berkelebat ke balik batu besar yang berada di tengah
sungai. Pemuda itu menengok ke sekitarnya, seolah-olah ingin mencari orang yang
membuat gadis itu marah.
Sudah dapat diterka kalau si empunya suara itu pasti seorang gadis, karena
terdengar nyaring dan kecil.
"Hei, siapa yang kau cari"! Dasar pemuda kurang ajar! Mata keranjang! Hayo,
cepat pergi!" teriak gadis itu.
Dia memang bersembunyi di balik
batu besar. Sepasang matanya yang men-gintai dari balik batu itu tampak
menyiratkan kemarahan yang ditujukan kepada Pandu.
"Aku...?" gumam Pandu sambil menunjuk dadanya karena memang benar-benar tidak
tahu, siapa yang dimaki gadis itu.
"Ya! Kau, pemuda tidak tahu so-pan! Memangnya kau pikir siapa lagi yang berada
di tempat ini selain kau dan aku!" bentak gadis itu.
Tampaknya dia semakin gemas me-
lihat tingkah Pandu yang seperti berpura-pura tolol. Padahal, memang
sesungguhnya pemuda itu sama sekali tidak tahu kalau makian itu ditujukan kepada
dirinya. Dengan wajah masih dilanda ke-
bingungan, akhirnya Pandu kembali naik ke atas. Selebar wajahnya merah menahan
malu karena dikira mengintip orang mandi.
"Kurang ajar! Memangnya dikira aku ini apanya" Enak saja memaki-maki orang!
Huh...! Siapa yang sudi mengintip-intip orang mandi! Dasar perempuan binal!"
sambil melangkah naik, Pandu
tak henti-hentinya mengomel.
Pemuda itu benar-benar merasa
tersinggung mendengar dirinya dimaki-maki seperti itu. Karena dia merasa tidak
berbuat apa-apa. Ingin rasanya membalas memaki-maki gadis itu.
Pandu melangkahkan kakinya men-
jauhi sungai. Hilang sudah keinginannya untuk berendam di air sungai yang jernih
itu. "Huh, harus kubalas makian gadis binal itu! Enak saja memaki orang!"
umpat Pandu tanpa disadari kalau uca-panya keluar agak keras.
"Apa"! Siapa yang ingin kau balas"! Siapa yang binal" Hayo, jawab?"
Entah dari mana datangnya, tahu-
tahu saja di depan Pandu telah berdiri seorang gadis cantik mengenakan baju
warna merah. Wajahnya tampak segar kemerahan dengan rambut masih agak basah.
Jelas kalau gadis itu baru turun dari sungai
Kaget bukan main Pandu ketika
mendengar suara ketus gadis itu. Semua makian yang semula sudah berada di ujung
lidahnya terbang entah ke mana.
Pemuda tampan itu berdiri bengong memandangi seraut wajah cantik di hadapannya.
Cantik sekali! Sepasang matanya yang membelalak lebar itu demikian indah
bagaikan bintang pagi. Kedua pipinya yang halus dan berwarna kemerahan
membuatnya semakin cantik.
Hidungnya yang kecil mancung membuat orang gemas untuk mencubitnya. Benar-benar
gadis yang mempesona.
"Hei! Kau tuli, ya! Kau bisu, ya! Hayo! Bukankah kau ingin membalas makianku"
Kenapa kau diam saja?" gadis cantik yang galak itu kembali melontarkan kata-kata
makian kepada Pandu.
Bukannya menjawab, Pandu malah
semakin melongo bagai orang yang hilang ingatan. Sepasang matanya terpaku
menatap bibir tipis berbentuk indah dan segar kemerahan itu. Hati pemuda itu
bagai diaduk-aduk melihat bibir yang merah basah bergerak-gerak membetot-betot
jiwanya. Begitu terpesonanya hati Pandu sehingga sama sekali tidak mendengar
makian yang meluncur dari bibir gadis jelita itu.
Gadis berbaju merah itu menjadi
semakin berang melihat sikap pemuda itu yang seperti orang tolol. Kemarahannya
pun semakin memuncak, dan tahu-tahu saja tangan kanannya bergerak menampar wajah
Pandu. Plakkk! Tamparan telapak tangan halus
itu membuat Pandu tersadar dari rasa terpesona yang membuatnya terlena. Pi-pi
kiri pemuda itu memerah akibat tamparan tangan cukup keras dari gadis galak itu.
Meskipun memiliki sifat galak, namun ia ternyata bukan orang yang kejam. Sebab
tamparan itu sama
sekali tidak mengandung tenaga dalam.
Padahal menilik dari gerakannya, jelas dia memiliki kepandaian yang tidak
rendah. "Oh! Eh! Apa..., apa...?" kata Pandu gugup dengan wajah yang semakin ketakutan.
Hampir saja gadis itu tertawa
geli melihat sikap pemuda yang semakin linglung. Itu terlihat jelas dari ta-
rikan bibirnya yang turun naik. Namun gadis itu berusaha untuk tidak tertawa,
setelah mengingat perbuatan pemuda tampan yang mengintipnya ketika sedang
membersihkan tubuh di sungai
"Kau..., kau pemuda tolol! Kurang ajar! Mengapa hanya memandangku"
Bukankah kau hendak membalas makianku?" bentak gadis jelita itu berusaha
menutupi kegelian hatinya.
"Ahhh! Kau..., kau pasti seorang dewi!" desah Pandu melihat kecantikan gadis
berbaju merah itu.
Pandu berpikir, bagaimana mung-
kin ia bisa berada di tempat sepi seperti itu. Sedangkan tempat itu sangat jauh
dari pedesaan. Dan lagi, mana mungkin seorang gadis yang demikian cantik jelita
seperti itu bisa terbe-bas dari laki-laki jahil" Rasanya tidak mungkin kalau
gadis itu hanya seorang wanita desa biasa"
*** Pandu yang sudah merasa yakin
kalau gadis jelita berbaju merah itu adalah seorang dewi dari kahyangan,
langsung menjatuhkan dirinya berlutut di depan gadis itu.
"Ampunkan aku, Dewi. Aku sama sekali tidak bermaksud berbuat buruk terhadap
Dewi. Dan sama sekali tidak mengetahui kalau saat itu Dewi tengah membersihkan
diri. Sekali lagi, aku mohon ampun," ucap Pandu sambil mengangguk-anggukkan
kepala, takut akan kemarahan gadis jelita yang dianggap sebagai dewi dari
kahyangan. Mula-mula gadis jelita itu mera-
sa terkejut dan heran melihat betapa tiba-tiba pemuda itu berlutut di depannya.
Hampir saja kakinya bergerak menendang karena menyangka pemuda itu hendak
berbuat kurang ajar lagi. Cepat gerakannya ditahan begitu mendengar ucapan
pemuda itu yang terlihat sungguh-sungguh.
Gadis jelita berbaju merah itu
tak dapat lagi menahan kegelian hatinya, melihat sikap pemuda yang dianggapnya
sangat lucu. Terdengarlah suara tawanya yang merdu dan berkepan-jangan. Kalau
saja si gadis tidak teringat akan perbuatan kurang ajar pemuda itu, mau rasanya
ia tertawa se-puas-puasnya. Maka seketika timbul niatnya untuk mempermainkan
pemuda yang nampak tolol itu.
"Hm.... Tahukah kau, kesalahanmu itu sangat besar dan tidak mungkin mendapat
ampunan!" kata gadis jelita itu.
Dia sengaja menyembunyikan se-
nyumnya dengan mengeluarkan suara yang terdengar halus dan mengandung perbawa
kuat. Untunglah pemuda itu sedang berlutut sambil menundukkan wajah, sehingga
tidak dapat melihat roman wajahnya yang mati-matian menahan tawanya.
"Ampun, Dewi. Aku sama sekali tidak bermaksud buruk. Dan aku... aku pun belum
sempat melihatnya," sahut Pandu sambil tetap menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Terbersit harapan di hati pemuda
itu ketika mendengar suara sang Dewi yang sudah tidak segalak pada waktu pertama
tadi. Meskipun demikian, wajahnya sama sekali tidak berani diang-kat. Karena
menurut apa yang didengar dari ayahnya dulu, adalah dosa besar dan tidak
terampuni apabila berani menatap wajah seorang dewi secara langsung. Rupanya
cerita-cerita ayahnya semasa kecillah yang membuat Pandu begitu yakin kalau
gadis jelita yang saat itu berada di hadapannya adalah seorang dewi.
"Hm.... Meskipun hal itu dilakukan tanpa sengaja, kau harus tetap
mendapat hukuman!" bentak gadis jelita itu berusaha sekuat tenaga agar tawanya
tidak meledak "Ampun, Dewi. Hukuman apa pun, aku akan rela menerimanya. Aku..., bersedia
menebus dosa," sahut Pandu kembali mengangguk-anggukkan kepalanya penuh hormat
Pemuda itu mau menerima hukuman
yang akan dijatuhkan sang Dewi, karena merasa yakin kalau hukuman itu tidak
sampai membuatnya terluka parah. Apalagi sampai tewas. Sebab, seorang dewi pasti
memiliki hati yang bijak dan lembut. Sudah pasti hukuman yang akan dijatuhkan
hanya sekadar membuatnya jera, namun tidak akan sampai menyakitkan.
"Bagus! Sekarang kau harus menampar kedua pipimu sendiri sebanyak masing-masing
lima kali. Nah, lakukan-lah!" perintah gadis jelita itu seraya tersenyum penuh
kemenangan melihat betapa dengan mudah kekurangajaran pemuda itu dapat
dibalasnya. "Tapi... Tapi, Dewi..."
Pandu hendak membantah demi men-
dengar hukuman yang aneh itu. Sebab menurut cerita yang di dengarnya, hukuman
yang dijatuhkan sang Dewi selalu yang baik-baik. Seperti nasihat atau-pun berupa
pekerjaan. Tapi mengapa hukuman yang dijatuhkan kepadanya agak lain" Mungkin
karena kesalahan yang
dilakukan terlalu berat!
"Hm... Kau ingin membantah?"
bentak sang Dewi lagi dengan suara yang terdengar marah.
"Tidak, tidak. Mana mungkin aku berani membantah perintah Dewi," sahut Pandu
tanpa berani mengangkat kepalanya.
Setelah berkata demikian, kedua
tangannya digerakkan untuk menampar mukanya sendiri berkali-kali. Hal itu
dilakukannya sambil tetap merunduk.
"Hi hi hi... Dasar pemuda bodoh berotak kerbau," gumam gadis jelita berbaju
merah itu yang segera melesat cepat meninggalkan Pandu yang tengah menampari
mukanya. Setelah memukuli wajahnya seba-
nyak lima kali, Pandu masih tetap menunduk. Pemuda itu baru berani mengangkat
kepala setelah merasa yakin kalau dewi berbaju merah itu sudah pergi jauh dan
tidak mungkin terlihat lagi. Wajah pemuda itu terlihat agak sedikit membengkak,
karena tamparannya yang cukup keras tadi.
Pandu bangkit berdiri memandang
ke arah perginya gadis jelita berbaju merah yang dianggapnya seorang dewi itu.
Sampai saat itu ia memang masih belum sadar kalau dirinya telah diper-mainkan
gadis galak yang cerdik itu.
"Dewi... Ah, betapa cantiknya wajahmu. Betapa beruntungnya aku kare-
na telah sempat berlama-lama memandang dan mengagumi wajahmu. Untunglah aku
terlambat menyadari kalau kau sebenarnya adalah seorang dewi. Kalau tidak, tentu
aku tidak pernah akan dapat melihat kecantikan yang demikian agung dan
mempesona," gumam Pandu yang pikirannya jadi melantur tidak karuan.
Tiba-tiba di pikirannya timbul
untuk memberontak terhadap peraturan-peraturan dari cerita yang tersebar tentang
seorang dewi. Bukankah setiap orang bisa saja menikahi seorang dewi, apabila
memang saling menyukai" Biar-pun belum pernah ada cerita tentang seorang manusia
yang menikah dengan seorang dewi, tapi itu belum tentu berarti tidak boleh!
Jadi, mengapa hal itu tidak dicoba" Segala hukuman akan diterimanya, asal dapat
mempersunting dewi yang jelita itu.
Setelah berpikir demikian, pemu-
da itu pun kembali melangkahkan kakinya menuju aliran sungai
*** Tak lama kemudian, Pandu pun su-
dah melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Matahari sudah mulai naik.
Sinarnya yang kuning keemasan terasa hangat menyentuh tubuh.
Mendadak, baru saja beberapa
langkah berjalan, pendengarannya yang
tajam menangkap denting senjata beradu. Sejenak pemuda itu menghentikan langkah
dan semakin mempertajam pendengarannya. Pandu langsung melesat setelah
memastikan kalau suara itu pasti berasal dari suatu pertempuran yang cukup seru.
Karena selain denting senjata berada juga tertangkap teriakan-teriakan nyaring.
Sudah pasti suara itu bukan berasal dari seseorang yang tengah berlatih silat.
Jelas itu sebuah pertempuran sengit.
Tubuh pemuda tampan itu terus
melesat menuju asal suara pertempuran yang semakin jelas terdengar. Begitu tiba
di dekat pertempuran, dada pemuda itu berdebar keras. Sepasang matanya
membelalak lebar bagaikan tidak mempercayai penglihatannya! Betapa tidak!
Sebab yang dilihatnya kini adalah seorang gadis berbaju merah yang tengah
dikeroyok belasan orang laki-laki berseragam biru gelap.
"Mungkinkah dia si dewi jelita"
Tapi mengapa berada di tempat ini"
Dan, mengapa pula dikeroyok" Ah, mus-tahil! Gadis itu sudah pasti orang lain
yang kebetulan mengenakan pakaian sama. Tapi, siapa pun gadis berbaju merah itu,
yang jelas aku harus menolongnya!"
Setelah mengambil keputusan de-
mikian, tubuh pemuda itu pun segera melesat ke arah pertarungan. Dia hanya
menggunakan sepotong ranting sebagai senjata.
"Hiaaat..!"
Disertai sebuah lengkingan nyar-
ing, Pandu langsung mengayunkan poton-gan ranting itu ke arah salah seorang
laki-laki berwajah brewok yang tampak tengah mendesak gadis itu.
Wuuut! Wuuut! Ranting kayu di tangan Pandu
berputar cepat dan bergerak mematuk-matuk mengincar jalan darah pada tubuh laki-
laki berwajah brewok itu. Tentu saja serangan yang hebat dan cepat itu membuat
si brewok terkejut. Cepat tubuhnya melompat mundur, meninggalkan gadis berbaju
merah yang hampir dapat ditaklukkannya. Tubuhnya terus berputar beberapa kali di
udara sebelum mendarat di atas tanah.
Pandu tidak berusaha mengejar si
brewok. Ranting kayunya kembali meluncur mematuk ke arah seorang lawan lain yang
tengah menyerang gadis berbaju merah itu. Sedangkan yang seorang lagi sudah
melompat mundur begitu melihat seorang pemuda bersenjatakan sebatang ranting
kayu ikut-ikutan menyerang.
Rupanya ia merasa gentar melihat serangan ujung ranting kayu yang menotok-notok
menimbulkan suara berkesiutan.
Sedangkan pengeroyok lainnya,
menjadi tersentak ketika merasakan
sambaran angin tajam dari arah belakangnya. Cepat kakinya bergeser dan melangkah
ke samping sebanyak dua langkah. Namun sebuah tendangan kilat pemuda itu yang
sama sekali tidak diduga oleh seorang pengeroyok. Akibatnya tubuhnya terlempar
dan terbanting keras.
Desss! Tubuh kurus berwajah pucat itu
terus bergulingan hingga dua tombak jauhnya. Namun, ternyata kekuatan tubuh
orang tinggi kurus itu hebat sekali. Dia langsung melenting bangkit, seolah-olah
tendangan yang cukup keras tadi sama sekali tidak ada artinya.
Tapi dari seringainya yang ngeri, jelas kalau tendangan Pandu telah membuatnya
sedikit menderita.
Si gadis berbaju merah ternyata
juga merasa terkejut atas kehadiran seorang pemuda yang menggunakan ranting


Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai senjatanya. Begitu mengenali wajah si pemuda, matanya terbelalak lebar
bagai melihat hantu. Namun hal itu hanya berlangsung sesaat dan wajah wanita itu
kembali seperti biasa. Bahkan pura-pura tidak mengenalinya.
Pandu yang sempat beradu pandang
dengan gadis itu, terbelalak kaget.
Sesaat kemudian wajah pemuda itu menjadi cerah bagaikan seorang anak kecil yang
telah menemukan mainannya kemba-
li. "Kau... kau, Dewi...!" sebut Pandu dengan suara bergetar.
Ingin rasanya pemuda itu melom-
pat memeluk untuk menyatakan betapa besar rasa rindu yang dipendamnya. Untung
saja ia bisa menahan dirinya. Kalau tidak, bisa-bisa ia dimaki-maki kembali oleh
gadis jelita berbaju merah itu.
Baik Pandu maupun si gadis, tak
sempat bercakap meskipun sekejap. Karena pada saat itu, belasan orang berseragam
biru gelap yang dipimpin tiga orang tokohnya, telah bergerak mengepung. Beberapa
orang di antaranya bahkan sudah melompat menerjang dengan senjata terhunus.
"Hiaaat..!"
Wuuut! Wuuut..!
Si gadis berbaju merah dan Pandu
bergerak menghindari serangan enam batang senjata yang berkelebat ke arah
mereka. Pemuda tampan berwajah jantan itu marah bukan main ketika teringat kalau
gadis baju merah itu hampir dibuat celaka oleh para pengeroyoknya tadi. Tanpa
tanggung-tanggung lagi, ranting kayunya segera diputar hingga menimbulkan angin
menderu tajam. "Manusia pengecut! Rasakan ke-rasnya tongkatku ini!" bentak Pandu gusar.
Bettt! Bukkk! Tukkk!
Dua orang di antara mereka ter-
jengkang akibat hantaman dan totokan ujung ranting kayu di tangan Pandu.
Mereka langsung ambruk tak berkutik lagi!
Rupanya dalam kemarahannya, Pan-
du telah mengerahkan hampir sepertiga tenaganya dalam melancarkan serangan.
Empat orang lainnya meloncat
mundur dengan wajah pucat. Benar-benar tidak disangka kalau pemuda itu dapat
menjatuhkan dua orang kawan mereka hanya sekali serang. Benar-benar sebuah
kepandaian yang tidak bisa dipan-dang ringan.
Namun keempat orang itu tidak
sempat berpikir lebih jauh. Karena pa-da saat itu juga, ranting kayu di tangan
Pandu telah menyambar dengan kecepatan menggetarkan.
Bukkk! Bekkk! Terdengar teriakan-teriakan nge-
ri ketika tubuh keempat orang itu terkena hantaman ranting kayu di tangan Pandu.
Mereka langsung bertumbangan karena hantaman ranting kayu itu tepat mengenai
jalan darah kematian.
"Bangsat! Kubunuh kau...!" teriak lelaki brewok yang merupakan salah satu
pimpinan belasan orang itu Disertai teriakan murka, tubuh
laki-laki brewok itu melesat menerjang Pandu dengan ayunan senjatanya. Pemuda
bertubuh sedang itu hanya perlu meng-
geser kaki kanannya sedikit, maka serangan lawan hanya menyambar tempat kosong.
Sebelum orang itu sempat menarik pulang pedangnya, ranting kayu di tangan Pandu
bergerak cepat ke arah ubun-ubun lawan.
Namun Pandu cepat mengurungkan
serangan karena pada saat yang sama telinganya mendengar suara berdesing tajam
dari arah samping kiri. Secara tak terduga, ranting kayu itu berputar setengah
lingkaran dan langsung menotok pergelangan tangan si kurus pucat yang memegang
golok besar. Laki-laki tinggi kurus berwajah
pucat seperti mayat itu, terlihat semakin pucat wajahnya. Cepat-cepat
pergelangan tangannya diputar ke atas.
Dan kini golok besar itu berputar menyambar leher Pandu. Benar-benar sebuah
gerakan yang lihai dan berbahaya.
Namun Pandu bukanlah pemuda sem-
barangan. Sebagai murid kesayangan tokoh sakti yang berjuluk Dewa Gila Jenggot
Putih, ia pun telah dibekali ilmu-ilmu tinggi. Maka menghadapi serangan yang tak
terduga itu, ia pun bersikap tenang. Kaki kanannya segera bergeser melebar
dengan kuda-kuda rendah. Pada saat golok besar itu menyambar leher, kepala
pemuda tampan itu sudah meliuk dan berputar menggunakan jurus 'Harimau Keluar
Gua' yang telah dipelajarinya secara sempurna. Dan ta-
hu-tahu saja, tangan kiri pemuda itu bergerak naik melakukan tusukan ke arah
tenggorokan lawan.
Cuiiit..! "Aaah...!"
Dua buah jari tangan yang keras
bagai batang besi itu meluncur deras tak terduga. Orang berwajah pucat itu
menjerit tertahan, dan sebisa-bisanya tubuhnya mengegos ke kiri untuk
menghindari tusukan yang bisa menamatkan jiwanya. Namun sayang, gerakannya masih
kalah cepat dibanding gerakan lawan. Sehingga tusukan jari-jari seke-ras besi
itu sempat pula mengenai pundak kanannya, meskipun tidak terlalu telak
Brettt! Tubuh tinggi kurus itu terjajar
mundur beberapa langkah ke belakang.
Baju pada bagian bahunya robek, dan kulit dagingnya sedikit mengelupas akibat
tusukan jari-jari Pandu. Orang itu meringis sambil menekap luka yang terasa
panas dan nyeri. Diam-diam hatinya merasa terkejut melihat kehebatan lawan yang
entah muncul dari mana.
Sedangkan gadis berbaju merah
itu sudah terlibat pertarungan sengit melawan lima orang yang dipimpin seorang
laki-laki bertubuh gemuk. Namun, laki-laki gemuk itu memiliki kecepatan yang
tidak terduga. *** Lima orang berseragam biru gelap
itu terus mendesak gadis berbaju merah dengan serangan-serangan cepat dan ganas.
"Yeaaat..!"
Dibarengi teriakan keras, tiba-
tiba tubuh gadis itu melompat ke samping kiri sambil menyabetkan pedangnya.
Salah seorang pengeroyok yang berada di samping kiri tersentak kaget, sehingga
wajahnya berubah pucat. Karena pada saat pedangnya tengah ditarik pulang, pedang
di tangan gadis itu telah berkelebat menyambar tubuhnya.
Brettt! "Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, orang
yang malang itu melintir akibat sambaran pedang lawan. Tubuhnya terbanting di
atas tanah disertai semburan darah segar dari luka menganga di perutnya.
Setelah berkelojotan meregang nyawa, tubuh lelaki malang itu pun diam tak
bergerak. Mati.
"Setan betina keparat! Kubunuh kau...!" teriak laki-laki pendek gemuk yang
langsung memutar pedangnya hingga membentuk gulungan sinar yang meluncur
mengincar tubuh si gadis.
Wuttt! Namun gadis itu tidak gugup.
Dengan gerakan indah, tubuhnya melom-
pat ke kanan dan pedang di tangannya kembali berkelebat menyambar pengeroyoknya
yang lain. Hebat sekali perhitungan gadis
berbaju merah itu! Dengan cerdiknya, serangan si gemuk berhasil dihindari dan
kini malah mengancam yang lainnya.
Kembali terdengar teriakan ngeri
ketika pedang di tangan gadis itu kembali menelan korban. Tubuh salah seorang
pengeroyok itu kembali terjungkal mandi darah, dan langsung tewas dengan leher
berlubang. Tentu saja hal itu semakin menambah kemarahan laki-laki gemuk itu.
"Hi hi hi...! Jangan terlalu sering mengumbar kemarahan, Paman Gendut. Aku
khawatir nanti perutmu jadi kempes, dan tubuhmu terbang ke neraka.
Kalau sudah begitu, bukankah kau akan menjadi susah sendiri?" ejek gadis jelita
itu seraya tertawa lucu.
Hampir meledak rasanya dada le-
laki gemuk itu ketika mendengar ejekan lawan. Dengan tatapan bagaikan hendak
menelan gadis itu bulat-bulat, pedangnya langsung digerakkan secara bersi-langan
dengan seluruh tenaganya.
"Hm.... Kalau tadi kau dapat mendesakku, itu karena kalian melakukan
pengeroyokan secara curang! Tapi, kali ini jangan harap akan dapat menyentuh
tubuhku!" geram gadis berbaju merah itu yang sama sekali tidak mera-
sa gentar melihat kemurkaan lawan.
Lelaki gemuk pendek yang sudah
tidak dapat menahan amarahnya, langsung melesat cepat disertai tusukan
pedangnya. Senjata di tangannya yang berupa pedang itu berkelebat cepat
mengancam titik-titik kelemahan di tubuh lawan.
Namun, si gadis jelita itu pun
sudah mempersiapkan ilmu pedang untuk menghadapinya.
Meskipun tiga orang
berseragam biru gelap lainnya ikut mengeroyok, namun dia sama sekali tidak
nampak terdesak. Sinar pedangnya tampak bergulung-gulung melindungi sekujur
tubuhnya. Dan setiap kali pedang di tangannya menangkis, seketika senjata lawan
terpental balik. Hal ini membuktikan kalau tenaga dalam yang dimiliki gadis itu
masih di atas para pengeroyoknya. Sehingga meskipun pertarungan sudah melewati
dua puluh jurus, namun belum ada tanda-tanda yang mampu mendesak gadis jelita
berbaju merah yang memang sangat lihai itu.
"Haiiit..!"
Memasuki jurus yang kedua puluh
lima, tiba-tiba gadis itu berseru nyaring hingga membuat pengeroyoknya terkejut.
Berbarengan dengan itu, pedang di tangannya menyambar cepat ke arah dua orang
pengeroyok yang mendadak pucat
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!"
Dua orang berseragam biru gelap
yang menjadi anak buah si gemuk pendek, terlempar ke kiri dan ke kanan akibat
sambaran pedang yang didorong kekuatan hebat itu. Keduanya langsung ambruk dan
menggelepar bagai ayam dis-embelih. Darah segar memancur keluar dari luka
menganga di perut mereka.
Gerakan pedang si gadis, ternya-
ta tidak hanya sampai di situ saja.
Pedang yang telah dibasahi darah itu berputar dan menyambar pengeroyok yang kini
tinggal dua orang lagi.
Sadar kalau sambaran pedang itu
tidak mungkin dapat dielakkan, lelaki gemuk itu tak punya pilihan lain lagi.
Dia langsung berbuat nekat memapak dengan pedangnya.
Trangngng! Terdengar benturan keras yang
menimbulkan pijaran api di udara. Tubuh laki-laki gemuk itu terjajar mundur, dan
matanya membelalak lebar. Pedang di tangannya ternyata hanya tinggal separuh
akibat terpapas pedang gadis berbaju merah itu. Sadar kalau tidak mungkin akan
menang melawan gadis itu, ia pun berteriak dan melompat jauh meninggalkan arena
pertempuran. "Lari...!"
Melihat sang Pemimpin melarikan
diri, anak buahnya yang hanya tinggal seorang itu pun bergegas meninggalkan
tempat itu. Sedangkan si gadis berbaju merah hanya berdiri memandang sambil
tersenyum mengejek.
Pada saat yang hampir bersamaan,
terdengar teriakan ngeri yang disusul terlemparnya tiga sosok tubuh yang
berlumuran darah. Dua di antaranya langsung diam tak berkutik lagi. Mati.
Sedangkan seorang lagi yang wajahnya ditumbuhi brewok, merintih dan berkelojotan
sesaat, sebelum akhirnya menghembuskan napas yang terakhir. Ketiga orang itu
tewas akibat totokan ranting kayu di tangan Pandu yang tepat mengenai di tengah-
tengah kedua alis mereka. Dan kini di tempat itu hanya tinggal seorang
pengeroyok yang bertubuh tinggi kurus.
"Gila!" teriak si tinggi kurus berwajah pucat membelalak ngeri.
Keberanian orang itu kontan le-
nyap melihat kehebatan pemuda yang menjadi lawannya itu. Ranting kayu di tangan
pemuda itu benar-benar menjadi senjata ampuh, sehingga dapat meluban-gi
tengkorak kepala ketiga orang kawannya. Merasa tidak akan mampu untuk menghadapi
lawannya, laki-laki tinggi kurus itu segera melompat jauh ke belakang.
"Anak muda! Hari ini kau boleh tertawa karena telah mengalahkan kami!
Tapi, ingat! Di lain kesempatan, hutang ini akan kami balas!" ancam si
tinggi kurus sambil melesat pergi.
5 "Kau... tidak apa-apa, Dewi?"
tanya Pandu yang tetap menyebut gadis berbaju merah itu sebagai dewi. Sekarang
pemuda itu memang telah tahu kalau gadis itu bukanlah seorang dewi, melainkan
seorang pendekar wanita yang lihai."
"Hm... Apa maksudmu mencampuri-urusanku"! Apakah dikiranya aku tidak mampu
mengalahkan mereka"!" dengus gadis itu ketus sambil bertolak pinggang,
Tidak sedikit pun rasa terima
kasih terlihat di wajah gadis itu.
Meskipun hati kecilnya mengakui kalau pemuda itu telah menyelamatkan nyawanya,
namun sepertinya ia tidak mau mengakuinya. Benar-benar seorang gadis cantik yang
angkuh. "Aku... aku sama sekali tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya tidak su-ka melihat
belasan orang laki-laki itu mengeroyok seorang gadis sepertimu"
sahut Pandu, agak gugup melihat sambu-tan tak menyenangkan dari gadis itu.
Diakui, sejak melihat gadis itu hatinya sudah berbunga-bunga. Dan hara-pannya
untuk memiliki gadis jelita itu pun kembali muncul.
Namun bukan main sedihnya hati
Pandu ketika melihat kenyataan kalau gadis itu justru tidak menyukainya.
Pandu menarik napas panjang, menahan kenyerian dalam dadanya yang seperti
ditusuk-tusuk duri tajam.
"Betul, kau tidak bermaksud apa-apa" Hm... Sulit dipercaya kalau kau
melakukannya tanpa pamrih tersembunyi"
Bagaimana kalau orang lain yang menga-laminya" Apakah kau akan menolongnya?"
tanya si gadis sinis. Pandangan matanya yang mengandung cemooh itu, benar-benar
membuat jiwa Pandu terpukul.
"Aku pasti akan menolongnya, se-kalipun tidak kukenal. Ah! Mengapa ki-ta harus
meributkan hal yang tidak ada artinya itu" Mengapa pertemuan kita selalu
diwarnai pertengkaran?" keluh Pandu lirih dan hampir tak terdengar.
"Ooo.... Jadi kau ingin kita berpegangan tangan atau bermesraan"
Begitu?" ejek gadis berbaju merah itu mencibir.
"Oh, tidak. Sama sekali aku tidak ada pikiran begitu!" sentak Pandu dengan wajah
agak pucat. Benar-benar tidak disangka kalau gadis itu akan berkata-kata
demikian. "Lalu, apa maumu" Apakah aku harus menyembah-nyembah karena telah kau tolong"
Atau aku harus mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya sampai bibirku dower"
Begitu maumu?" ujar gadis itu dengan nada yang makin tinggi.
"Ahhh...!"
Lagi-lagi Pandu harus menahan
rasa nyeri di dalam dadanya. Hatinya benar-benar terpukul mendapat kenyataan
kalau gadis yang diam-diam dicintainya ternyata demikian angkuh dan tidak
mempunyai perasaan sedikit pun.
Pandu menunduk dalam-dalam, me-
nyembunyikan luka hati yang terpancar di matanya. Seperti inikah gadis yang
telah merenggut seluruh perasaan cintanya" Benarkah gadis yang cantik seperti
dewi itu memiliki sifat angkuh dan tak berperasaan" Apa yang telah
menyebabkannya sehingga bersikap begitu"
"Hhh...."
Pandu menghembuskan napasnya
kuat-kuat. Disadari kalau perasaan cintanyalah yang membuatnya tidak tega untuk
menyakiti gadis jelita itu. Dan perasaan itu pulalah yang telah membuatnya harus
menerima perlakuan gadis itu.
"Hei" Mengapa diam saja" Apakah mulutmu sudah tidak bisa dipakai bicara lagi?"
bentak gadis jelita itu.
Seketika Pandu tersadar kalau
masih berhadapan dengan si jelita yang galak dan angkuh. Dalam dunia persilatan,


Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis itu dijuluki sebagai Dewi Baju Merah. Sepak terjangnya cukup membuat tokoh
persilatan berpikir dua kali dalam menghadapinya.
Dewi Baju Merah tertegun ketika
melihat si pemuda mengangkat kepalanya. Hatinya sangat tergetar melihat sinar
mata Pandu yang terlihat sayu dan menyiratkan luka hati.
"Dewi.... Mengapa kau begitu membenciku" Apakah kesalahan yang tak pernah
kulakukan itu, tak dapat diam-puni?" tanya Pandu berdesah dan bergetar mewakili
jiwanya yang terpukul.
Dewi Baju Merah melengos meng-
hindari tatapan yang membuat pikirannya kacau. Nampaknya, gadis itu baru
menyadari sikapnya yang telah melewati batas. Meskipun demikian,, ia sama sekali
tidak sudi menunjukkan perasaan hatinya. Bahkan tetap saja memasang wajah galak.
"Sudahlah. Terima kasih atas pertolonganmu! Aku pergi...!" ujar gadis jelita itu
agak lunak. Tubuhnya pun segera berkelebat meninggalkan tempat itu.
Pandu hanya berdiri terpaku,
tanpa tahu harus berbuat apa. Tangannya sudah siap menggapai tergantung diudara.
Kata-kata cegahan yang sudah berada di ujung lidahnya, terpaksa di-telan
kembali. Karena, ia tidak ingin mendapat makian lagi dari gadis galak itu.
"Hhh...."
Pandu menghembuskan napasnya
kuat-kuat. Tubuhnya disandarkan di se-
batang pohon dengan tatapan mata kosong. Tiba-tiba pemuda itu merasakan dunia
begitu sunyi dan kosong. Semangat hidupnya mendadak lenyap bersama kepergian
Dewi Baju Merah. Hatinya terasa sangat sakit mengingat, betapa gadis yang telah
membetot seluruh jiwa dan perasaan cintanya justru memben-cinya. Mampukah ia
menjalani hidup ini tanpa kehadiran si jelita di sisinya"
Dan apa yang harus dilakukannya sekarang"
"Ohhh...," desah pemuda tampan itu, lirih. Perasaan hatinya yang patah semakin
terungkap. Sepintas ter-bayang kedua orang tua dan adik perempuannya. Semakin
berdarahlah luka di hati pemuda yang biasanya keras dan tabah dalam menjalani
hidup itu. Tanpa disadari, rasa cinta telah
membuatnya menjadi lemah dan cengeng.
Pada saat senja mulai menapak,
Pandu bangkit dengan satu keputusan yang telah diambil. Ia bertekad untuk
mencari kedua orang tua dan adiknya.
Setelah itu, mungkin akan menyepi menemani gurunya di puncak Gunung Pancar.
Pandu melangkah gontai mening-
galkan tempat itu. Hembusan angin senja yang sejuk mengiringi langkah kakinya.
*** "Kita singgah dulu di desa itu, Kakang. Rasanya perutku sudah minta diisi,"
pinta seorang gadis jelita berpakaian serba hijau. Wajahnya yang putih, nampak
segar dengan sepasang pipi kemerahan. Mau tak mau, orang seperti tak puas-
puasnya menikmati keje-litaannya itu.
Pemuda tampan berjubah putih
yang berjalan di sebelahnya, menoleh sambil tersenyum lembut. Dari sepasang
matanya, terpancar jelas sinar kasih yang dalam.
"Ha ha ha.... Aku juga. Sejak tadi malam, perut kita memang belum kemasukan apa-
apa," sahut pemuda berjubah putih itu tertawa ketika mendengar suara berkeruyuk
dari perut gadis di sampingnya.
"Ih, tidak tahu malu!" omel gadis berbaju serba hijau itu sambil menepuk
perutnya perlahan.
Bibir gadis itu tampak segar ke-
merahan, namun seketika cemberut setelah mendengar tawa pemuda tampan yang
semakin keras. Dicubitnya pangkal lengan pemuda itu dengan lagak manja.
Pemuda tampan itu bergegas meng-
hindar dan berlari menjauhi. Namun ketika si gadis tidak mengejar, ia pun
menghentikan larinya. Lalu, dihampirinya gadis jelita yang tengah membanting-
banting kakinya karena kesal.
"Ampun, Tuan Putri. Hamba mengaku salah. Dan hamba berjanji tidak akan
mengulanginya lagi," ujar pemuda itu dengan mimik wajah yang lucu.
Sambil berkata demikian, pemuda
itu membuat gerakan sebagaimana seorang abdi yang menghadap junjungannya.
Tentu saja gadis itu menjadi geli dibuatnya. Namun, ia berusaha menahan
ketawanya. "Baiklah. Kesalahanmu kuampuni.
Tapi kau harus menebusnya dengan mem-bawaku ke kedai makan. Nah, laksanakan!"
perintah gadis jelita itu dengan nada dibuat sungguh-sungguh.
"Baik, Tuan Putri."
Setelah berkata demikian, si pe-
muda berjubah putih yang tak lain Panji itu, berkelebat cepat menyambar tubuh si
gadis jelita. "Ihhh...!"
Gadis jelita yang sudah pasti
Kenanga itu terpekik halus. Sepasang tangannya segera merangkul leher Panji.
Karena saat itu juga tubuh pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih sudah
melesat cepat menuju mulut desa.
Beberapa puluh tombak sebelum
mencapai mulut desa, Panji menghentikan larinya. Lalu, diturunkannya tubuh
Kenanga sebelum mereka terlihat penduduk.
"Kau jahat, Kakang. Hampir saja jantungku copot," rengek Kenanga sam-
bil memonyongkan mulutnya yang indah itu. Namun sinar matanya jelas memancarkan
kebahagiaan yang dalam.
Panji tertawa lembut melihat wa-
jah kekasihnya yang terlihat agak pucat. Mungkin gadis itu terkejut, karena
gerakannya demikian cepat dan tak terduga. Tanpa berkata apa-apa lagi, diajaknya
Kenanga memasuki desa.
*** Pendekar Naga Putih dan Kenanga
sudah duduk di sebuah kedai dan memesan makanan. Panji mengedarkan pandangan ke
sekitar ruangan yang hanya terdapat beberapa pengunjung. Saat itu pelayan sudah
datang membawa pesanan mereka.
"Aden berdua bukan penduduk sekitar sini, rupanya," sapa si pelayan setengah
berbisik sambil mengatur makanan di atas meja. "Sebaiknya selesai makan nanti,
cepat-cepatlah meninggalkan desa ini."
"Eh! Mengapa, Paman?" tanya Panji seraya mengerutkan keningnya mendengar ucapan
pelayan setengah baya yang terlihat agak pucat itu.
Pemuda itu bertanya dengan suara
rendah, sehingga tidak sampai terdengar orang lain. Karena dari suara pelayan
itu, jelas tertangkap sesuatu yang tidak wajar.
Belum lagi pelayan itu sempat
menjawab pertanyaan Panji, tiba-tiba terdengar suara yang berat dan kasar.
Suara itu berasal dari seorang laki-laki tinggi besar berperut buncit.
"Cepat sediakan makanan yang paling enak dan dua guci arak!"
Sambil berkata demikian, pandan-
gannya beredar ke seluruh ruangan kedai. Sepasang mata galak itu menyipit ketika
melihat seraut wajah cantik jelita milik Kenanga. Kakinya yang sudah hendak
melangkah, tampak meragu ketika melihat gadis jelita itu ditemani seorang pemuda
berjubah putih.
Sementara itu, pemilik kedai ma-
kan dan pelayannya tengah sibuk me-nyiapkan pesanan lelaki tinggi besar berperut
gendut itu. Wajah mereka nampak pucat dan agak gemetar. Sepertinya mereka sudah
mengenal lelaki tinggi besar yang diiringi enam orang berseragam biru gelap itu.
Lelaki tinggi besar berperut
gendut itu sudah melangkah ke meja yang berdekatan dengan Panji dan Kenanga.
Enam orang lelaki berseragam biru gelap itu juga mengiringinya. Ma-ta mereka
bagai hendak melompat keluar ketika melihat wajah Kenanga. Tampak jakun mereka
turun naik, menelan air liur ketika melihat wajah yang demikian cantik dan
mempesona. "Mana pesananku"! Cepat..!" te-
riak lelaki tinggi besar itu sambil menggebrak meja kuat-kuat
Brakkk! Meja yang terbuat dari kayu mu-
rahan itu berderak dan bergetar keras.
Untung orang itu memang tidak berniat mematahkannya. Kalau tidak, pasti sudah
hancur berantakan dibuatnya.
Seorang pelayan datang tergopoh-
gopoh membawakan pesanan lelaki tinggi besar itu. Setelah meletakkan hidangan di
atas meja, ia kembali masuk untuk mengambil dua guci arak yang diminta.
"Mari minum, Ni sanak."
Sambil terkekeh menyebalkan, le-
laki tinggi-besar itu menoleh ke arah Kenanga. Sedikit pun Panji tidak
diliriknya. Padahal pemuda itu tepat berada di sampingnya.
Namun Panji bersikap tenang,
seolah-olah tidak mendengar ucapan orang itu. Pemuda itu tetap menikmati
hidangannya tanpa merasa terganggu sedikit pun.
*** Kenanga yang memang sudah mendu-
ga kalau orang itu pasti akan mencari gara-gara, terpaksa menoleh dan menekan
perasaannya. "Terima kasih. Aku tidak biasa minum arak," sahut Kenanga mencoba tersenyum
ramah. Gadis jelita itu cepat-cepat me-
malingkan wajah, dan kembali meneruskan makannya. Hidangannya dinikmati lambat-
lambat karena selera makannya telah lenyap atas kehadiran orang-orang kasar itu.
Lelaki tinggi besar berperut
gendut itu menoleh ke arah enam orang kawannya yang tertawa terbahak-bahak.
Selebar wajahnya menjadi merah karena merasa dipermalukan di depan mereka.
"Kakang, aku yakin gadis jelita itu sebenarnya bersedia menerima tawaranmu.
Hanya saja cara kau menawarkan tadi salah," salah seorang kawannya yang berwajah
bopeng memanas-manasi.
"Hm.... Apa maksudmu?" tanya lelaki tinggi besar itu menahan kegera-mannya.
"Seharusnya Kakang tarik saja.
Aku rasa gadis jelita itu pasti tidak akan menolak. Dan soal kawannya, biar-lah
kami yang akan mengurusnya," sahut orang berwajah bopeng itu setengah berbisik
sambil menggerak-gerakkan
alis matanya. Meskipun pembicaraan orang-orang
kasar itu tidak terlepas dan pendengaran Panji, namun pemuda berjubah putih itu
tetap tenang saja meneruskan makannya. Karena sekali pandang saja, ia tahu kalau
orang-orang itu tidak dapat berbuat banyak terhadap kekasihnya.
Sehingga, nasib Kenanga rasanya tidak
perlu dikhawatirkan lagi.
Saat itu si lelaki tinggi besar
sudah bangkit dan menghampiri Kenanga.
Dengan lagak menyebalkan, tangannya diulurkan dengan maksud mengelus pipi
Kenanga. "Ayolah, Manis. Tidak usah malu-malu," ucapnya seraya terkekeh.
Kenanga yang melihat gerakan
orang itu melalui sudut mata, menjadi marah bukan main. Selebar wajahnya menjadi
merah melihat sikap kurang ajar orang itu. Dengan gerakan yang hampir tidak
terlihat mata, tangan ki-ri gadis itu melayang ke arah pipi si lelaki tinggi
besar yang tidak sempat menghindar.
Plakkk! Lelaki tinggi besar itu menjerit
keras. Tubuhnya langsung terpelanting, jatuh menimpa meja tempat keenam orang
kawannya berada. Meja itu hancur berantakan. Sedangkan keenam lelaki berseragam
biru gelap sudah melompat ber-pencar.
"Bangsat! Perempuan sundal! Kau harus membayar mahal perbuatanmu ini!"
bentak lelaki tinggi besar itu kalap.
Wajahnya yang hitam dan berkulit kasar tampak membengkak.
Tangan kanannya
berkelebat mencabut golok besar yang terselip di pinggangnya.
Demikian pula dengan keenam
orang lainnya. Mereka sudah bergerak
mengepung Kenanga dengan senjata terhunus. Meskipun demikian, wajah mereka
tampak bingung. Mereka memang tidak tahu, apa sebenarnya yang dilakukan gadis
itu terhadap lelaki tinggi besar yang memang pemimpin mereka. Namun melihat
sikap dan wajah pemimpinnya yang bengkak, jelas kalau gadis jelita itu telah
menyerangnya. "Kenanga, mari kita keluar!" se-ru Panji.
Pendekar Naga Putih langsung me-
lompat melalui jendela di sebelah kirinya yang terbuka lebar. Perbuatan pemuda
itu diikuti Kenanga. Mereka memang sadar, kalau pertarungan yang akan terjadi
bisa merusak seluruh isi ruangan kedai itu.
"Mau lari ke mana kau, Perempuan Liar!" bentak lelaki tinggi besar itu sambil
melompat mengejar.
"Hati-hati, Kakang Wangga! Nampaknya mereka bukan orang sembarangan," salah
seorang dan keenam lelaki berpakaian biru gelap itu memperin-gatkan pemimpinnya.
Tubuhnya sudah melesat, diikuti lima orang lainnya.
Begitu tiba di luar, ketujuh la-
ki-laki telengas itu tertegun. Gadis jelita yang diduga hendak melarikan diri,
ternyata telah berdiri bertolak pinggang seperti menanti kedatangan mereka.
Sedangkan pemuda berjubah putih itu nampak berdiri tenang dekat
sebatang pohon. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan kekhawatiran meskipun
Kenanga sudah dikepung lawan-
lawannya. "Heaaat..!"
Tanpa banyak bicara lagi, lelaki
tinggi besar itu sudah melompat disertai ayunan goloknya mengancam leher
Kenanga. Rupanya ia benar-benar marah karena dipermalukan di depan kawan-
kawannya. Tekadnya, leher gadis itu harus putus dengan sekali serang
Enam orang kawannya pun sudah
menerjang dari segala arah. Senjata-senjata mereka terayun dan menusuk ke
seluruh bagian tubuh Kenanga. Dua orang di antaranya, telah mengayunkan pedang
disertai cengkeraman ke arah dada gadis berpakaian serba hijau itu.
Namun sayang, yang kali ini me-
reka hadapi bukan seorang gadis sembarangan. Dia adalah seorang dara digdaya,
murid Raja Pedang Pemutus Urat.
Hampir seluruh kepandaian tokoh sakti itu telah dikuasainya. Apalagi setelah
melakukan perjalanan bersama Panji, yang tidak pernah bosan memberi petunjuk-
petunjuk untuk menyempurnakan kepandaiannya. Maka sudah pasti kemajuan yang
didapat sangatlah pesat
Maka dalam menghadapi keroyokan
tujuh orang laki-laki kasar itu, Kenanga sama sekali tidak gugup. Gadis jelita
itu berdiri tenang sambil ter-
senyum manis. Sedikit pun tidak ada hasrat untuk menggunakan pedangnya.
Karena gerakan orang-orang itu sudah dapat diukur, sampai di mana kepandaian
yang dimiliki lawan-lawannya.
Ketika sambaran golok lelaki
tinggi besar itu tiba, Kenanga melangkah ke kanan. Maka, sambaran golok yang
mengarah lehernya itu pun luput.
Kemudian, tubuhnya direndahkan menghindari dua buah sambaran pedang lain.
Berbarengan dengan gerakan itu, kedua tangannya bergerak melakukan sodokan siku
ke arah dua orang yang membacok dari belakang.
Wuuut! Wuuut! Dugkh! Bughk! Dua orang pembokong itu berte-
riak keras. Tubuh mereka terpental ke belakang, lalu terbanting jatuh dengan
dada serasa remuk akibat sodokan siku gadis itu. Dari sudut bibir mereka tampak
mengalir cairan merah. Jelas sekali kalau hantaman itu sangat keras. Akibatnya
untuk beberapa saat kedua orang itu tidak mampu bangkit Sedangkan dua pengeroyok
lain yang melancarkan bacokan sambil bermaksud meremas buah dada Kenanga, di-
hadapinya dengan egosan ke arah kiri.
Kemudian secara berbarengan kaki dan tangannya bergerak melancarkan pukulan dan
tendangan. Gerakan yang demikian cepat dan tak terduga itu, membuat ke-
dua lawan. Kenanga tercekat dan tak sempat mengelak.
Desss! Jrottt! Keduanya terbanting roboh akibat


Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukulan dan tendangan yang sangat keras itu. Yang seorang merintih kesakitan
sambil menekap wajahnya yang berdarah akibat pukulan keras gadis itu.
Ketika meludah, yang keluar adalah cairan merah, disertai beberapa buah giginya
yang tanggal. Sedangkan yang seorang lagi,
bergulingan sambil memegangi perutnya yang terkena tendangan Kenanga. Orang itu
merintih-rintih tanpa mampu bangkit kembali.
Wuuut! Wuuut! Kenanga menggeser kakinya tiga
langkah ke belakang menghindari sambaran senjata dua orang lainnya. Tangan dan
kakinya kembali melancarkan serangan balasan, namun cepat ditarik pulang
kembali. Karena saat itu, golok si tinggi besar kembali menyambar ke arah perut
Wuuuk! Gadis jelita itu melompat ke
atas, lalu berputaran menghindari sambaran golok lawan. Selagi tubuhnya
berputar, kedua tangannya melancarkan tamparan ke pelipis dua orang berpakaian
biru gelap yang berada di bawah.
Tubuh kedua orang itu pun terbanting pingsan diiringi jerit kesakitan.
"Bangsat! Kubunuh kau, Setan Betina!" maki lelaki tinggi besar itu.
Dia benar-benar murka melihat
enam orang kawannya sudah tergeletak tak berdaya. Golok di tangannya menyambar
dan menusuk berkali-kali. Ke-murkaannya semakin menjadi-jadi, karena serangan
goloknya selalu saja dapat dielakkan gadis itu secara mudah.
"Haiiit..!"
Setelah lewat lima jurus, Kenan-
ga berteriak nyaring disertai gerakan tubuhnya yang menyelinap di antara
serangan golok lawan. Kedua tangannya langsung melancarkan pukulan dan tamparan.
Tamparan tangan kanannya meluncur deras mengarah pelipis, sedangkan tangan
kirinya memukul dada lawan.
Plakkk! Bugkh! Tamparan dan pukulan keras itu
tepat menghantam sasarannya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh lelaki tinggi besar
itu melintir dan langsung ambruk ke tanah. Pingsan. Dari mulutnya, mengalir
darah segar. Sedangkan pelipisnya tampak membengkak. Kenanga memang tidak
berniat membunuh lawan-lawannya, sehingga tidak mengeluarkan tenaga se-penuhnya
saat bertarung.
Kenanga berdiri tegak menatapi
lawan-lawannya. Tiga orang, termasuk lelaki tinggi besar itu tergeletak pingsan.
Sedangkan empat orang lainnya menatap gadis jelita itu dengan wajah
pucat. Sesekali masih terdengar suara rintihan dari mulut mereka.
Panji melangkah tenang mengham-
piri orang-orang itu. Terlebih dahulu, diperiksanya tiga orang yang pingsan.
Kemudian didekatinya empat orang lainnya yang masih merintih kesakitan.
"Hm.." Siapa sebenarnya kalian"
Dan apa yang kalian lakukan di desa ini?" tanya Pendekar Naga Putih dengan sorot
mata tajam. Pemuda tampan ini mulai curiga.
Dan memang, mungkin saja ketujuh orang itu ada hubungannya dengan nasihat
pelayan kedai yang menyuruhnya cepat-cepat meninggalkan desa itu. Jiwa ke-
pendekaran Panji seketika tergerak untuk menyelidiki, apa sebenarnya yang tengah
terjadi di desa ini.
"Ampunkan kami, Tuan Pende-
kar.... Kami..., kami tidak tahu apa-apa..," sahut salah seorang dari mereka
dengan wajah yang semakin pucat.
Sedangkan tiga orang lainnya menundukkan kepala, seolah-olah takut dengan
pertanyaan pemuda tampan itu.
"Kalian akan kubebaskan, asal menceritakan siapa sebenarnya kalian"
Dan apa yang tengah terjadi di desa ini" Kalau tidak, maka terpaksa kalian akan
kukirim ke akhirat!" ancam Panji yang menjadi semakin curiga.
Jelas, rasa takut mereka bukan
ditujukan kepada Pendekar Naga Putih.
Mungkin ada sesuatu yang lebih hebat dan sangat mereka takuti. Tentu saja hal
itu membuat Panji semakin ingin mencari jawabnya.
Mendengar ancaman pemuda itu
yang sepertinya tidak main-main, wajah keempat orang itu terlihat semakin pucat
dan gelisah. Beberapa kali mereka menoleh ke kiri-kanan, seperti ada yang
ditakuti. "Hm.... Rupanya kalian lebih su-ka mati daripada menjawab pertanyaan-ku! Baiklah
kalau itu yang kalian inginkan!" ujar Pendekar Naga Putih, siap membuktikan
kata-katanya. "Ampunkan kami..... Ampunkan ka-mi..., kami akan menga...."
Belum lagi kata-kata orang itu
selesai, terdengar suara berdesing halus. Pendekar Naga Putih, yang
pendengarannya sudah sangat tajam, cepat bergerak. Sambil berbalik, tangan
kanannya dikibaskan dengan pengerahan tenaga dalam.
Terdengar suara berdenting keti-
ka senjata rahasia yang berupa paku-paku berwarna hitam berjatuhan ke tanah.
Panji yang berhasil menyampok runtuh paku-paku itu langsung tersentak kaget
ketika mendengar teriakan ngeri di belakangnya.
"Biadab!" maki Panji gusar.
Hati Pendekar Naga Putih menjadi
marah melihat empat orang berseragam
biru gelap itu sudah tergeletak tak bernyawa. Pada kening mereka masing-masing
tertancap dua batang paku beracun.
"Kakang!" teriak Kenanga.
Saat itu, Kenanga melihat tubuh
kekasihnya sudah berkelebat ke depan.
Samar-samar gadis jelita itu sempat menangkap tiga sosok bayangan yang melarikan
diri ke arah semak-semak. Hatinya merasa khawatir mengingat orang-orang itu
menggunakan senjata rahasia yang mengandung racun ganas.
Kenanga berpaling kepada tiga
sosok tubuh yang semula tergeletak pingsan. Gadis jelita itu menghela napas
kecewa karena tubuh orang-orang itu mulai kehitaman. Jelas, mereka telah tewas.
Dan pada kening masing-masing telah menancap dua batang paku beracun. Dengan
perasaan geram, disim-pannya pedang yang tadi digunakan untuk menghalau paku-
paku beracun. Rupanya bukan hanya Panji yang mendapat serangan gelap itu.
Kenanga pun mengalami hal serupa.
"Uruslah ketujuh mayat ini baik-baik. Jangan takut. Aku yang akan ber-tanggung
jawab atas kejadian ini,"
ujar Kenanga kepada penduduk desa yang berkerumun di tempat itu.
Meskipun agak takut-takut, para
penduduk desa segera melaksanakan perintah gadis jelita itu.
Tak berapa lama kemudian, Panji
pun muncul seorang diri. Pemuda itu melangkah lesu dengan wajah kecewa.
"Bagaimana, Kakang" Kau tidak berhasil menangkap ketiga orang pembunuh itu?"
tanya Kenanga, menyongsong kedatangan Panji.
"Tidak. Selain gerakan mereka cukup cepat, kebun itu pun banyak ditumbuhi semak-
semak liar. Sehingga aku kehilangan jejak," sahut Panji sambil menggerakkan
bahunya. "Hei" Apakah ketiga orang yang pingsan itu juga tewas?"
Pemuda itu mengerutkan kening-
nya. Pendekar Naga Putih memang curiga ketika melihat para penduduk sibuk
mengangkat tubuh ketujuh orang itu.
"Begitulah, Kakang. Salah seorang dari penyerang gelap itu melemparkan senjata
rahasia kepadaku dan juga kepada ketiga orang yang tengah tergeletak pingsan
itu. Meskipun aku berhasil menyelamatkan diri, namun ketiga orang itu dapat
mereka bunuh,"
jawab Kenanga, singkat.
Sepertinya, gadis itu merasa me-
nyesal atas tewasnya ketiga orang yang mungkin akan dapat memberikan keterangan.
Dan kini, mereka terpaksa harus menyelidikinya sendiri.
"Tapi, bagaimana mereka tahu kalau ketiga orang itu hanya pingsan?"
tanya Panji heran.
"Aku yakin, mereka tidak tahu tentang hal itu, Kakang. Mungkin hanya berjaga-
jaga saja. Sepertinya, para penyerang gelap itu takut kalau rahasia mereka
terbongkar," jelas Kenanga yang membuat pemuda berjubah putih itu mengangguk-
anggukkan kepala.
"Hm.... Kita harus menyelidiki hal ini, Kenanga. Kita harus tahu, apa yang
menyebabkan penyerang gelap itu membunuhi mereka. Sayang, ketujuh orang itu
keburu tewas sebelum bisa kita korek keterangannya. Entah dari mana kita harus
memulainya?" ujar Panji, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri.
Kematian ketujuh orang itu, mem-
buat pemuda ini semakin penasaran.
Pendekar Naga Putih bertekad akan menyelidiki rahasia di balik semua kejadian
yang bam saja dialaminya itu.
Kenanga termenung dan melangkah
bolak-balik untuk mencari keputusan memulai penyelidikan. Ternyata bukan hanya
Panji saja yang merasa tertarik atas kejadian aneh penuh rahasia itu.
Hati gadis jelita ini rupanya sudah tergerak untuk mengungkapnya.
"Hai!"
Tiba-tiba saja gadis jelita ber-
pakaian serba hijau itu menjentikkan jarinya dengan wajah berseri. Langkahnya
berhenti, lalu menatap Panji dengan sepasang mata berbinar.
"Ada apa" Kau sudah mendapat jawabannya?" tanya Panji memandangi wajah
kekasihnya penuh harap.
Tentu saja Pendekar Naga Putih
menjadi gembira melihat Kenanga. Wajahnya jelas-jelas menggambarkan kalau gadis
itu telah menemukan jawaban
"Bagaimana kalau kita kembali ke kedai tadi, Kakang" Perutku masih terasa lapar.
Aku tidak sempat menikmati hidanganku, karena ketujuh orang tadi telah membuat
selera makanku hilang.
Ayolah kita kembali ke sana, Kakang,"
ajak gadis jelita itu sambil menarik tangan Panji dengan manja.
"Ah! Kau ini ada-ada saja, Kenanga. Kukira kau sudah menemukan jawaban agar
penyelidikan kita dimulai.
Eh, tak tahunya hanya soal perut," keluh Panji sambil tersenyum melihat
kegembiraan kekasihnya. Meskipun agak kecewa, tapi hatinya merasa senang melihat
kegembiraan yang terpancar di wajah jelita itu.
"Tenang saja, Kakang. Kujamin kita pasti segera dapat memulai penyelidikan ini.
Dan bukan tidak mungkin kalau akan langsung menemukan jawabannya tanpa harus
melakukan penyelidikan terlebih dahulu," sahut gadis jelita itu tersenyum penuh
rahasia. "Hei" Jadi kau benar-benar sudah mendapatkan jawabannya" Tapi, mengapa tidak
segera kau katakan padaku?" hati
Panji semakin penasaran terhadap tingkah kekasihnya yang seperti sengaja
menggoda. "Hi hi hi..! Kau tidak sabar amat, sih?" ledek Kenanga malah mener-tawakan
kekasihnya. "Ah! Kau nakal, Kenanga. Senang ya, melihat aku kebingungan seperti orang
tolol?" Sambil berkata demikian, Panji mencubit pipi kekasihnya yang halus dan
lembut bagai sutra. Hati pemuda itu menjadi gemas karena Kenanga belum juga mau
memberitahukan apa yang telah didapatnya itu.
"Ihhh! Kakang genit, ah! Tidak malu ya, dilihat orang banyak?"
Meskipun berkata demikian, tapi
jelas gadis itu sangat gembira. Karena, cubitan Panji sama sekali tidak
menimbulkan rasa sakit. Bahkan terasa kalau bukan dicubit, melainkan malah lebih
tepat dikatakan sebagai belaian.
Hal itu tentu saja mendatangkan perasaan tersendiri yang tak dapat diukur
nikmatnya. "Biar saja," sahut Panji memban-del. "Mereka pasti merasa iri denganku, sebab
hanya dapat mencubit wajahmu dalam mimpi. Sedangkan aku dapat mencubit, bahkan
membelainya secara nyata. Malah aku yakin, kau akan minta tambah."
"Uh, enak saja! Siapa yang sudi minta tambah cubitan. Kau pikir aku
sudah tidak waras?" rungut gadis jelita itu seraya memonyongkan bibirnya
berpura-pura marah.
"Justru karena masih waras, maka kau minta dicubit lagi. Tapi, aku juga tidak
akan menolak bila diminta?" sahut Panji tersenyum.
Kenanga tidak menanggapi ucapan
Panji. Tanpa berkata apa-apa, tangan gadis itu sudah bergerak mencubit pinggang
kekasihnya hingga pemuda itu agak meringis juga. Tentu saja Kenanga tahu kalau
itu hanya pura-pura. Sebab cubitannya memang tidak menyakitkan.
Canda keduanya terhenti ketika
tiba di depan pintu kedai. Mereka bergegas masuk. Kenanga langsung mengulapkan
tangannya memanggil pelayan.
Gadis jelita itu hanya memesan teh hangat dan penganan kecil, karena memang
tidak sungguh-sungguh untuk makan.
Tak berapa lama kemudian, pe-
layan itu pun sudah kembali membawa pesanan Kenanga.
"Sebentar, Paman!" cegah Kenanga ketika pelayan itu hendak melangkah
meninggalkan mereka.
"Ada apa, Ni sanak?" tanya pelayan berusia setengah baya itu seraya mengerutkan
keningnya. Dia memang mengenali kalau kedua
orang muda itu adalah tamu yang datang ke kedainya tadi. Dia memang sempat
menyaksikan sewaktu Kenanga dan Panji berkelahi, sehingga mampu mengalahkan
ketujuh orang lelaki kasar yang mengganggu gadis itu.
"Duduklah bersama kami, Paman.
Kami ingin menanyakan sesuatu," ujar Kenanga lagi.
Setelah menoleh ke sekitar ruan-
gan yang sepi karena tidak ada pengunjung lain, barulah lelaki setengah baya itu
Jodoh Rajawali 4 Pendekar Sakti Dari Lembah Liar Karya Liu Can Yang Rahasia Kampung Garuda 2
^