Pencarian

Gendruwo Rimba Dandara 1

Pendekar Naga Putih 70 Gendruwo Rimba Dandara Bagian 1


GENDRUWO RIMBA DANDARA
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy
atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Gendruwo Rimba Dandara
128 hal ; 12 x 18 cm
1 "Hiii...!"
Terdengar lengkingan tinggi menusuk telinga, seiring dengan terlihatnya titik-
titik kecil bergerak di keremangan senja itu. Semakin dekat makin terlihat
jelas. Titik-titik kecil yang bergerak cepat itu adalah sosok-sosok tubuh kerdil
yang hanya mengenakan cawat sebagai penutup tubuhnya. Kepala mereka gundul
pelontos, berkilat tertimpa cahaya bulan yang mulai muncul di langit kelam.
Sosok-sosok tubuh aneh dan tidak lumrah!
Beberapa waktu kemudian, sosok-sosok kerdil itu menghentikan larinya di depan
sebuah bangunan perguruan. Bangunan itu berdiri tegak diselimuti kegelapan
malam. Pada bagian sudut bangunan terlihat cahaya samar yang berasal dari obor di
dinding kayu. Selebihnya gelap, hanya diterangi cahaya bulan.
Setelah beberapa saat memperhatikan sosok bangunan itu, tubuh-tubuh kerdil itu
bergerak mendekat. Cara mereka mendekati bangunan tampak aneh dan tidak wajar.
Satu persatu bergerak maju berurutan, membentuk barisan yang agak panjang.
Karena jumlah mereka kurang lebih tiga belas orang. Dan...
Hebat dan aneh sekali cara tubuh-tubuh kerdil itu memasuki bangunan! Mereka
berloncatan dengan menggunakan tubuh kawannya sebagai landasan. Sosok pertama
yang tiba lebih dulu di atas pagar bangunan menangkap kedua pergelangan kaki
kawannya. Gerakan itu terus dilakukan secara berurutan sampai pada giliran terakhir. Sosok
kerdil yang berada paling bawah dilemparkan ke atas!
"Hiii...!"
Terdengar lengkingannya yang panjang dan mendirikan bulu roma. Sosok kerdil itu
berjumpalitan dan meluncur turun dengan ringan di halaman sebelah dalam bangunan
perguruan. Begitu mereka lanjutkan sampai ketiga belas manusia kerdil itu dapat
memasuki tempat itu dengan selamat.
Tubuh-tubuh kerdil dengan kulit hitam dan sinar mata mencorong tajam
menggetarkan melangkah tenang melewati pekarangan yang tampak sepi. Suasana di
dalam bangunan agak terang oleh cahaya obor yang terdapat di beberapa buah
tiang. Kelihatannya penghuni bangunan itu sengaja menempatkan obor agak banyak untuk
menerangi sekitar tempat itu.
"Hei..."!"
Belum lagi ketiga belas manusia kerdil tiba di depan pintu bangunan utama, tiba-
tiba terdengar bentakan. Disusul dengan munculnya murid-murid perguruan. Rupanya
mereka murid-murid yang tengah meronda. Jumlah mereka enam orang. Dua di
antaranya membawa obor.
Kemunculan enam orang murid perguruan tidak membuat sosok-sosok kerdil itu
terkejut. Kendati langkah mereka terhenti, namun sikap orang-orang cebol itu
tetap tenang, bagai orang yang tidak bersalah. Bahkan menyiratkan kesan dingin
dan meremehkan keenam peronda itu.
"Anak-anak... siapa kalian" Mengapa bermain di tempat ini...?" tegur pemimpin
peronda merendahkan suaranya.
Ketiga belas sosok kerdil itu memang seperti bocah-bocah tanggung, berusia
sepuluh tahun. Hanya saja sikap maupun cara berpakaian mereka jauh berbeda
dengan anak-anak seusianya. Sikap dan pandangan mereka sangat aneh, mengundang
rasa seram bagi yang melihatnya. Perasaan itu juga dialami keenam murid-murid
perguruan yang tengah meronda dan memergoki bocah-bocah aneh itu.
Pimpinan ronda malam itu, yang bertubuh tegap dan berdada, bidang, tampak
menunggu jawaban bocah-bocah aneh itu. Tapi sudah cukup lama menunggu, tak satu
pun dari ketiga belas bocah itu kelihatan akan menjawab. Sepertinya mereka tidak
berniat menjawab pertanyaan itu.
"Hei, apakah kalian tuli?" karena tidak sabar, lelaki tegap berdada bidang itu
berkata setengah membentak "Hayo, kalian pergi dari sini! Tidak baik anak-anak
seusia kalian bermain di malam selarut ini...."
Tapi, untuk kedua kalinya para peronda itu kembali dibuat jengkel. Selain tidak
memperoleh tanggapan, sikap bocah-bocah aneh itu pun membuat bulu tengkuk mereka
meremang. Ketiga belas pasang mata itu menatap wajah-wajah para peronda dengan
tatapan dingin dan sorot mata kehijauan. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan!
"Eh..."! Mungkinkah mereka bocah-bocah keturunan setan yang tersesat.."!" desis
lelaki tegap melangkah mundur dengan wajah berubah tegang. Rupanya ia baru
menyadari keanehan bocah-bocah itu setelah melihat sinar kehijauan pada mata
mereka. "Sebaiknya kita usir saja mereka dari tempat ini, Kakang. Aku merasa seram
melihat sinar mata mereka yang aneh dan tidak lumrah itu...," salah seorang
peronda berbisik kepada pimpinannya. Orang itu rupanya merasakan juga adanya
ketidakwajaran pada bocah-bocah berkulit hitam yang hanya mengenakan cawat itu.
"Ya, terpaksa aku harus bersikap agak kasar pada bocah-bocah aneh itu...," sahut
lelaki tegap. Kemudian melangkah maju sambil melintangkan tombak di tangannya.
Agaknya ia hendak mendorong keluar bocah-bocah ftu dengan gagang tombaknya.
Tapi, apa yang dialami oleh pemimpin peronda itu membuat yang lainnya tercengang
dengan mata melotot seperti hendak keluar! Tubuh bocah-bocah itu tidak bergerak,
meski lelaki tegap itu telah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk mendorong
mereka! "Uuuhhh...!"
Merasa penasaran dan menganggap hal itu mustahil, lelaki tegap itu kembali
mengerahkan tenaganya sampai terdengar suara ah-uh dari mulutnya. Wajahnya
tampak dibanjiri keringat!
Apa yang terjadi selanjutnya lebih sukar lagi untuk diterima akal. Salah seorang
bocah aneh, yang berdiri paling depan, mengulurkan tangannya memegang batang
tombak. Kemudian mengangkatnya ke atas. Perbuatan itu kelihatan tidak sulit dan
tanpa pengerahan tenaga sedikit pun. Akibatnya benar-benar menakjubkan!
"Heiii..."!"
Lelaki tegap itu berteriak kaget merasakan kedua kakinya tidak lagi menginjak
tanah! Tubuhnya terangkat dan mengambang di udara. Karuan saja ia berteriak-
teriak ketakutan. Kejadian itu sangat mengejutkan dan sulit dipercaya!
Tapi sebelum lelaki tegap berdada bidang dan kawan-kawannya menyadari sepenuhnya
kejadian itu, tiba-tiba....
"Hiii...!"
Diiringi lengkingan tinggi yang aneh, bocah mengerikan itu mengayun tangannya
melemparkan tubuh yang tengah diangkatnya.
"Aaa...!"
Sebenarnya lelaki tegap itu bukanlah seorang penakut. Tapi karena kejadiannya
terlalu mengejutkan, teriakannya pun terdengar saat tubuhnya melayang dan jatuh
menimpa kelima orang kawannya. Sehingga, keenam peronda itu jatuh terjerembab
saling tumpang tindih!
"Bangsat! Bocah keparat..! Iblis gundul...!"
Lelaki tegap itu memaki geram! Sumpah serapahnya meluncur karena kemarahan yang
menggumpal di dadanya. Ia bangkit dengan wajah terbakar! Sepasang matanya
menyala murka dan dendam!
"Kita hajar saja bocah-bocah kurang ajar itu, Kakang! Kalau sudah begini, kita
tidak bisa mendiamkan saja!" geram peronda lainnya yang sudah mengepalkan tinju,
dan siap menghajar bocah-bocah aneh itu.
Tanpa peduli kalau yang diserangnya bocah-bocah berusia sepuluh tahun, seorang
peronda melancarkan kepalanya ke tubuh bocah terdepan.
Bukkk! "Aaakh..."!"
Kepalan itu tepat menghantam dada. Tapi, yang terjadi kemudian benar-benar
membuat peronda itu terkejut bukan main. Tubuh bocah itu sedikit pun tidak
bergeming. Kepalannya seperti menghantam besi! Karuan saja peronda bertubuh gemuk itu
menjerit kesakitan!
"Bocah iblis...!"
"Anak setan.."!"
Setelah kejadian itu, barulah keenam peronda itu sadar bocah-bocah yang tengah
mereka hadapi bukan hanya berpenampilan aneh dan mengerikan! Mereka ternyata
memiliki kekuatan yang hampir tidak masuk akal! Bocah-bocah gundul berkulit
hitam itu bukan anak-anak sembarangan. Kemungkinan besar mereka anak-anak
siluman atau sebangsanya yang kesasar ke tempat itu. Anehnya, bocah-bocah itu
tidak bergerak ketika diserang. Mereka tetap diam seperti patung.
"Pukul tanda bahaya! Yang lainnya ikut aku menangkap bocah-bocah setan itu...!"
perintah lelaki tegap berdada bidang kepada kawan-kawannya. Kemudian bergerak
maju memimpin empat orang kawannya untuk meringkus bocah-bocah aneh itu. Tapi
sebelum murid-murid perguruan memulai serangannya, tiba-tiba....
"Hua ha ha...!"
Terdengar suara tawa menggelegar diiringi hembusan angin keras hingga kelima
murid perguruan itu terjajar mundur! Dan ketika suara tawa itu masih terus
berkepanjangan, mereka terguling jatuh. Suara tawa itu berisi serangan tenaga
dalam yang hebat! Sehingga mereka tidak sanggup mempertahankan diri. Untungnya
tidak berapa lama kemudian, suara tawa itu lenyap secara mendadak. Kalau tidak,
kelima murid perguruan itu pasti tidak akan sanggup bertahan, dan terpaksa harus
merelakan nyawanya terbang ke alam baka.
Sesaat setelah tawa yang menggetarkan itu lenyap, angin berhembus semakin keras.
Disusul dengan melayangnya sesosok bayangan hitam. Sosok itu meluncur turun
beberapa langkah di depan bocah-bocah aneh itu.
Lima orang murid perguruan yang tengah merangkak bangkit dengan wajah pucat
menatap heran. Ketiga belas bocah menyeramkan itu tampak membungkukkan tubuh
dengan penuh hormat kepada bayangan yang baru tiba.
"Hm...."
Sosok bayangan hitam itu ternyata seorang lelaki gemuk pendek dengan kepala
gundul mengkilat, terkena cahaya obor. Raut wajahnya tidak lumrah. Kendati
terlihat seperti wajah seorang bocah, namun jelas lelaki itu berusia sekitar
lima puluh tahun.
Sungguh tidak sepadan dengan suara tawanya yang berat dan parau, la mendengus
sebagai balasan atas penghormatan bocah-bocah aneh itu.
"Sssiapa..., kau...?" tanya lelaki tegap menatap penuh selidik. Akhirnya ia
menyerah karena sepanjang hidupnya belum pernah berjumpa dengan sosok lelaki
gemuk berkepala gundul pelontos itu.
"Hm.... Cecunguk-cecunguk seperrimu tidak pantas mengenai aku! Sebaiknya lekas
kau beritahu Ki Parwana! Katakan kalau Gendruwo Rimba Dandara hendak menagih
hutang sepuluh tahun yang lalu...!" ujar lelaki gemuk pendek dengan suara berat
dan dalam. Sinar matanya yang kehijauan tampak sangat berpengaruh, membuat
lelaki tegap tanpa sadar menganggukkan kepala.
"Kakang, untuk apa mengikuti ucapan manusia jelek itu" Sebaiknya kita hajar saja
dan usir dari tempat ini...!" seorang kawannya mengingatkan lelaki tegap berdada
bidang. Sehingga, pengaruh yang menguasai pikirannya lenyap seketika. Ia kembali sadar
seperti sediakala.
"Kurang ajar...! Iblis gundul itu pasti menggunakan ilmu siluman untuk
mempengaruhi pikiranku...!" geram lelaki tegap berdada bidang marah.
"Hm...!"
Mendengar ucapan itu, Gendruwo Rimba Dandara mendengus kasar. Entah siapa yang
memberikan julukan demikian seram kepada lelaki berkepala gundul itu. Sebab,
seharusnya julukan itu dimiliki oleh seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk
yang menyeramkan. Tidak seperti sosok lelaki itu, yang pendek gemuk dan
berkepala botak.
Tanpa berkata apa-apa, lelaki gundul itu maju dengan langkah perlahan. Tatapan
matanya yang bersinar kehijauan memandang lurus lima orang murid perguruan yang
kini telah meloloskan pedang. Tampaknya mereka telah siap menghadapi Gendruwo
Rimba Dandara. "Kemari kau...!" ujar Gendruwo Rimba Dandara kepada lelaki tegap yang tadi
memakinya. Tangannya terjulur dan berangkat sejajar dengan wajahnya. Suaranya
hanya perlahan, namun mengandung kekuatan aneh yang sulit dilawan!
Tampak, lelaki tegap berdada bidang itu melangkah maju mematuhi perintah
Gendruwo Rimba Dandara. Sikapnya sepera kerbau dicucuk hidungnya.
"Kau telah berkata kurang ajar kepada Gendruwo Rimba Dandara! Sebagai
hukumannya, goroklah lehermu sendiri...!" kembali suara dingin berkekuatan aneh
itu terdengar. "Aaah..."!"
Empat orang kawan lelaki tegap berseru kaget! Pemimpinnya hendak mematuhi
perintah Gendruwo Rimba Dandara!
"Lakukan...!"
Dengan perlahan, lelaki tegap berdada bidang mengangkat pedangnya dan
menempelkan di tenggo-rokan. Kemudian....
Srattt...! Darah segar mengucur deras dari luka memanjang di lehernya. Tubuh lelaki tegap
melorot jatuh. Nyawanya telah melayang meninggalkan raga!
"Iblis..."!"
Keempat orang lawannya terpekik dengan wajah terlihat pucat! Mereka sungguh
tidak menyangka pemimpinnya akan mematuhi segala perintah Gendruwo Rimba
Dandara. Karuan saja mereka menjadi gentar. Sebab, bukan mustahil mereka akan menjadi
korban berikut dari lelaki gemuk berkepala gundul pelontos itu.
"Berhenti...!"
Gendruwo Rimba Dandara berkata mencegah ketika keempat orang peronda hendak
meninggalkan tempat itu. Langkah mereka seketika tertunda, seperti tertahan oleh
suatu kekuatan yang tidak nampak. Kenyataan itu membuat hati mereka menjadi
takut bukan main!
"Kembali...!"
Bagai pesuruh-pesuruh yang patuh, keempat lelaki itu membalikkan tubuh. Dan
melangkah menghampiri Gendruwo Rimba Dandara.
"Sekarang angkat senjata kalian, dan lakukan perintahku untuk memenggal kepala
kalian masing-masing...!" suara aneh Gendruwo Rimba Dandara yang mengandung
pengaruh gaib kembali terdengar menggeletar.
Tanpa banyak tanya, keempat orang yang telah terpengaruh kekuatan gaib lelaki
gundul itu, segera menjambak rambutnya dan siap memenggal kepalanya sendiri.
"Tahan...!"
Sebelum keempat orang itu sempat melaksanakan perintah Gendruwo Rimba Dandara,
tiba-tiba terdengar bentakan keras yang mengejutkan. Keempat lelaki itu
tersentak kaget, dan terbelalak pucat saat menyadari ujung pedang mereka telah
berada di tengkuk masing-masing. Mereka tidak sadar kalau perbuatan itu terjadi
karena pengaruh kekuatan gaib Gendruwo Rimba Dandara.
Belum lagi suara bentakan itu lenyap, sesosok bayangan meluncur turun. Kedua
kakinya menjejak tanah di depan empat lelaki yang nyaris kehilangan kepala.
"Guru...."
Melihat siapa lelaki tinggi kurus itu, keempatnya langsung menekuk lutut
bersujud di hadapan gurunya. Lelaki tinggi kurus itu adalah Ki Parwana, Ketua
Perguruan Kepalan Sakti. Rupanya dia yang menyelamatkan nyawa murid-muridnya
dari kematian yang mengerikan!
"He he he...!"
Gendruwo Rimba Dandara memperdengarkan kekehnya yang parau ketika melihat orang
yang baru datang. Memang lelaki tinggi kurus itulah yang dicarinya.
Ki Parwana menatap sosok di depannya dengan pandangan penuh selidik.
Keningnya berkerut dalam pertanda ia tengah menguras ingatannya untuk mengenali
siapa lelaki gemuk pendek berkepala gundul itu.
"Siapakah kau, Kisanak" Apa maksudmu datang mengacau di tempatku ini...?"
tegur Ki Parwana setelah gagal untuk mengenali tamu tidak diundangnya itu.
"Guru, iblis itu mengaku berjuluk Gendruwo Rimba Dandara. Ia telah melakukan
pembunuhan keji tanpa sebab yang jelas...," lapor salah seorang dari keempat
murid Perguruan Kepalan Sakti.
"Gendruwo Rimba Dandara..."!" gumam Ki Parwana dengan kening berkerut mengulang
julukan itu. Kembali ia berpikir keras untuk mengingat julukan yang rasanya
tidak asing di telinganya. Sayang ia masih belum juga ingat di mana pernah


Pendekar Naga Putih 70 Gendruwo Rimba Dandara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar julukan itu.
"He he he...! Meskipun kau telah lupa kepadaku, tapi aku tidak akan melupakan
peristiwa sepuluh tahun silam di Bukit Mata Setan! Kau ingat apa yang terjadi di
puncak bukit itu, Parwana...?" ujar Gendruwo Rimba Dandara, memberikan gambaran
untuk membantu ingatan Ki Parwana.
"Aaah"! Aku bani mengingatnya sekarang!" ujar Ki Parwana agak tersentak. Tetapi
seingatku orang yang berjuluk Gendruwo Rimba Dandara tidak sepertimu, Kisanak"
Apa hubunganmu dengan tokoh sesat itu" Kalau tidak salah, manusia sesat itu
tinggal di daerah utara. Apakah kau juga datang dari daerah itu...?"
"Hua ha ha...!"
Gendruwo Rimba Dandara tertawa berkakakan. Kepalanya mendongak menatap langit
kelam yang ditaburi gemintang. Entah apa yang membuatnya demikian gembira.
"Jadi kau benar-benar telah lupa padaku, Parwana" Baiklah. Itu bisa kumaklumi.
Wajah dan kepalaku memang telah berubah. Tapi, perlu kau ketahui aku adalah
Gendruwo Rimba Dandara yang sebenarnya...," jelas lelaki gundul itu.
"Tapi...?"
"Rambut, kumis, dan jenggotku telah rontok semua, Parwana. Semua itu karena aku
harus menyiapkan diri untuk menghadapi musuh-musuhku. Salah satu di antaranya
adalah kau. Jelasnya, perubahan ini karena ilmu yang sekarang kuanut dan
kuyakini."
Ki Parwana kelihatan agak kaget mendengar penjelasan itu. Sekarang ia benar-
benar yakin lelaki gundul itu Gendruwo Rimba Dandara, musuh lama yang
dianggapnya telah tewas di dalam jurang. Ki Parwana sadar kalau kemunculan tokoh
sesat itu tentu ingin membalas dendam.
"Hm.... Jadi pekerjaan sepuluh tahun silam itu belum tuntas! Tidak kusangka kau
masih hidup meski terjatuh ke dalam jurang tak berdasar itu...," ujar Ki Parwana
tidak habis mengerti bagaimana manusia sesat itu dapat lolos dari kematian.
Padahal menurut perhitungan, tubuh Gendruwo Rimba Dandara remuk di dasar jurang
berbatu cadas di Bukit Mata Setan. Tapi, kenyataannya tokoh itu masih segar-
bugar. "He he he..! Pekerjaanmu tidak akan pernah selesai, Parwana! Sebentar lagi kau
akan menerima kematian sebagai balasan perbuatanmu sepuluh tahun silam. Kuharap
kau sudah mempersiapkan segala perlengkapan kematianmu..," ujar Gendruwo Rimba
Dandara dengan sombongnya. Tokoh sesat itu merasa yakin akan dapat menundukkan
Ki Parwana. "Jangan mengumbar kesombongan dulu, Genderuwo Rimba Dandara! Mari kita buktikan,
siapa yang akan pergi ke neraka...!"
Selesai berkata, Ki Parwana menggeser mundur langkahnya. Dengan kedua tangan
terkepal di atas kepala dan di depan dada, lelaki tinggi kurus itu siap
menghadapi lawan.
2 "He he he...!"
Gendruwo Rimba Dandara hanya tertawa. Diperintahkannya bocah-bocah aneh di
belakangnya untuk menjauh. Kemudian langkahnya digeser ke kanan. Sikapnya
terlihat demikian sombong, sedikit pun tidak menganggap Ki Parwana. Padahal di
daerah selatan nama Ketua Perguruan Kepalan Sakti sangat terkenal dan disegani
kalangan persilatan.
Agak bangkit juga kemarahan Ki Parwana melihat sikap lawan yang jelas-jelas
sangat meremehkannya. Kendari ia sadar lawannya termasuk salah satu tokoh kaum
sesat, namun Ki Parwana telah meningkatkan ilmu-ilmunya. Ki Parwana yang
sekarang tidak bisa disamakan dengan sepuluh tahun silam. Tampaknya Gendruwo
Rimba Dandara tidak mengetahui hal itu.
"Mulailah, Gendruwo Rimba Dandara...!" ujar Ki Parwana memberi kesempatan kepada
lawan untuk mulai menyerang.
"He he he...! Sebagai tuan rumah, seharusnya kaulah yang lebih dulu memulainya,
Parwana. Silakan, kau kuberi kesempatan untuk menyerang sebanyak sepuluh jurus.
Setelah itu, kesempatan untukmu sudah habis. Kau tinggal menunggu datangnya
kematian...," tukas Gendruwo Rimba Dandara menolak. Ia mempersilakan Ki Parwana,
sebagai tuan rumah untuk memulainya.
"Kalau memang itu maumu, bersiaplah...," sahut Ki Parwana tidak ingin
berbantahan lagi. Dan...
"Haaat...!"
Disertai teriakan keras, Ki Parwana meluncur dengan kepalan-kepalannya yang
bergerak susul-menyusul. Angin pukulannya menandakan tenaga dalam lelaki tua itu
tidak bisa dipandang remeh!
Tapi, lagi-lagi Gendruwo Rimba Dandara memperdengarkan tawa mengejek.
Serangan hebat lawan sedikit pun tidak membuatnya gentar. Kesombongan tokoh
sesat itu ternyata memang bukan hanya lagak saja. Serangkaian serangan Ki
Parwana dapat diatasi dengan baik.
"Satu...!"
Gendruwo Rimba Dandara mulai menghitung serangan Ki Parwana. Rupanya tokoh sesat
itu memang hendak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerang sampai sepuluh
jurus. Mungkin ia ingin membuktikan bahwa dirinya mampu menahan serangan Ki
Parwana sampai jurus yang ditentukan.
Sikap tokoh sesat itu tentu saja membuat hari Ki Parwana panas. Sebisa mungkin
kemarahan yang menyesakkan dadanya ditahan, ia sadar kalau hal itu dibiarkan
akan membuatnya lengah. Maka meskipun Gendruwo Rimba Dandara terus melanjutkan
hitungannya, Ki Parwana berusaha untuk tidak peduli. Pikirannya tetap terpusat
pada serangan-serangannya.
"Tujuh...!"
Kembali terdengar suara hitungan Gendruwo Rimba Dandara. Sampai sejauh itu
serangan Ki Parwana dapat dipatahkannya. Gerakan tokoh sesat itu ternyata sangat
gesit. Pukulan-pukulan yang dilancarkan Ki Parwana dapat dielakkan atau ditangkis.
Hingga Ki Parwana menjadi penasaran!
"Haaat...!"
Kali ini Ki Parwana mengerahkan seluruh kecepatan dan kekuatannya, ia tidak lagi
mempedulikan pertahanan dirinya. Hitungan Gendruwo Rimba Dandara membuat Ki
Parwana mengira ia tidak memerlukan pertahanan. Karena Gendruwo Rimba Dandara
hanya mengelak dan menangkis!
Bwet bwet bwettt...!
Serangkaian serangan yang mendatangkan angin menderu tajam datang
mengancam tubuh lawan. Demikian cepat gerakan Ki Parwana, hingga kedua lengannya
terlihat seperti banyak! Perubahan geraknya sukar ditebak. Dalam jurus-jurus
terakhir itu Gendruwo Rimba Dandara agak sibuk mengatasi serangan lawan.
Tapi.... "Hiaaah...!"
Bukkk! Tanpa disangka-sangka, Gendruwo Rimba Dandara melancarkan serangan balasan!
Karena pertahanan Ki Parwana sangat lemah, maka serangan itu telak bersarang di
dada Ketua Perguruan Kepalan Sakti!
"Hukh...!"
Tubuh Ki Parwana terhuyung mundur hampir satu tombak! Darah mengalir dari sudut
bibirnya. Pukulan Gendruwo Rimba Dandara mengguncangkan bagian dalam dadanya.
"Keparat! Kau licik...!" desis Ki Parwana sambil menekan dadanya yang terasa
sesak. Lelaki tua itu kelihatan sangat geram. Kalau saja Ki Parwana tahu
lawannya akan membalas, tentu ia tidak akan melupakan pertahanan dirinya.
Sehingga tidak kecolongan seperti itu.
"He he he...!" Gendruwo Rimba Dandara tertawa serak. Sinar matanya berkilat
gembira karena berhasil memperdayai lawan, "Salahmu sendiri, Parwana. Bukankah
aku tidak berjanji tidak akan membalas seranganmu?" ujarnya penuh ejekan.
"Tapi, kau mengatakan akan memberiku kesempatan sebanyak sepuluh jurus...,"
tukas Ki Parwana terlambat menyadari dirinya telah terjebak tipuan lawannya.
"Benar, aku memang mengatakan demikian. Tapi, coba kau ingat baik-baik.
Apakah aku mengatakan tidak akan membalas seranganmu dalam sepuluh jurus...?"
bantah Gendruwo Rimba Dandara seraya memperdengarkan kekehnya yang parau dan
menyebalkan. "Keparat licik...!" maki Ki Parwana tidak bisa membantah ucapan Gendruwo Rimba
Dandara. Ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri yang mau saja dibodohi tokoh
sesat itu. "Guru...!"
Tiga orang murid utama Ki Parwana menghampiri dengan wajah cemas. Namun,
ketiganya melangkah mundur ketika melihat tangan gurunya bergerak mengusirnya.
Mereka hanya dapat menatap dari tempat yang agak jauh dengan wajah gelisah.
Sementara murid-murid Perguruan Kepalan Sakti yang berjumlah sekitar lima puluh
orang sudah menggenggam senjata erat-erat. Mereka siap mengeroyok Gendruwo Rimba
Dandara jika tadi Ki Parwana tidak segera memberi isyarat mundur dan jangan
mencampuri perkelahian itu.
Ki Parwana segera mengatur jalan napas dan mengerahkan hawa murni untuk menekan
rasa nyeri di dalam dadanya. Kemudian mengempos semangatnya dengan tarikan napas
yang panjang dan berat. Setelah merasa luka itu tidak lagi terlalu mengganggu,
lelaki tua itu kembali menyiapkan jurus-jurusnya.
Tapi, untuk kali ini Gendruwo Rimba Dandara tidak lagi tinggal diam. Mendadak
tokoh sesat itu menyilangkan kedua lengannya di depan dada dengan mata terpejam
rapat-rapat. Kemudian....
"Hah...!"
Dengan bentakan keras, Gendruwo Rimba Dandara mengibaskan lengannya ke kiri-
kanan sambil membuka kedua matanya. Sinar kehijauan semakin nyata mewarnai bola
mata tokoh sesat itu. Ada hawa dingin aneh menyebar di sekitar arena
pertarungan, membuat beberapa murid Perguruan Kepalan Saka menggigil kedinginan.
"Parwana! Kau adalah budakku, kau harus tunduk dengan perintahku!" ujar Gendruwo
Rimba Dandara dengan suara bergetar mengandung daya gaib yang sangat kuat!
Ki Parwana tersentak mendengar ucapan lawannya, yang jelas-jelas mengandung
kekuatan sihir hebat! Pengaruhnya pun langsung terlihat. Ki Parwana mendadak
menurunkan kedua tangannya dengan gerakan lemah. Kemudian berdiri tegak dengan
tatapan kosong ke depan.
"Aku adalah budakmu. Aku akan menurua semua perintahmu...," ujar Ketua Perguruan
Kepalan Saka dengan suara lemah seperti orang kehilangan semangat.
"Hm.... Sekarang kuperintahkan kepadamu! Merangkaklah seperti anjing dan
menyalaklah sekuatmu...!"
Pengaruh ucapan Gendruwo Rimba Dandara benar-benar hebat! Ki Parwana langsung
merangkak setelah sebelumnya tergetar hebat karena perlawanan lelaki tua itu.
Sesaat kemudian, terdengarlah suara menyalak keras dari mulut Ki Parwana. Ketua
Perguruan Kepalan Sakti yang dihormati dan disegani banyak orang telah berubah
menjadi anjing yang patuh.
Bukan hanya Ki Parwana yang melakukan perbuatan hina itu. Beberapa murid
Perguruan Kepalan Sakti pun tiba-tiba merasakan kedua lututnya goyah. Mereka
tidak dapat menahan keinginan untuk merangkak sambil menyalak seperti seekor
anjing! Kejadian itu jelas menandakan betapa hebatnya pengaruh sihir Gendruwo Rimba
Dandara. "Hua ha ha...!"
"Hiii...!"
Gendruwo Rimba Dandara tertawa terbahak-bahak. Diikuti bocah-bocah aneh yang
menjadi pengikutnya. Tampaknya tokoh sesat itu sangat puas dengan hasil
kerjanya. "Berhenti kalian, Anjing-anjing Goblok...!" bentak tokoh sesat itu setelah puas
mempermainkan Ki Parwana dan murid-muridnya.
Ki Parwana yang terus menyalak hingga suaranya parau segera bangkit berdiri.
Tidak ada lagi tanda-tanda perlawanan dalam dirinya Lelaki tua itu telah
sepenuhnya berada di bawah pengaruh sihir.
"Hm..., sekarang cabut pedang di pinggangmu! Penggal kepala muridmu satu
persatu...!"
Mendengar perintah itu, Ki Parwana langsung meloloskan pedangnya. Kemudian
menghampiri murid-muridnya yang hanya bisa memandang dengan wajah pucat! Mereka
tidak, tahu harus berbuat apa. Yang hendak melakukan perbuatan keji itu adalah
guru mereka, yang telah mendidik mereka dengan baik!
"Guru...!"
Tiga orang murid utama Ki Parwana bergerak mendekat. Mereka berusaha mencegah
perbuatan orang tua itu.
"Penggal kepala mereka, Parwana...!" terdengar suara Gendruwo Rimba Dandara.
Hingga langkah Ki Parwana yang semula ragu kembali bergerak maju. Dan....
Crakkk, crakkk!
Dua orang murid utama yang tidak sempat menyadari perbuatan gurunya roboh dengan
kepala putus! Yang seorang bergerak mundur dengan wajah pucat bagai mayat.
Butir-butir keringat sebesar biji jagung meluncur turun dari wajahnya.
"Guru...!"
Dengan nada putus asa, murid utama itu berusaha menyadarkan Ki Parwana. Tapi
lelaki tua yang sudah kehilangan seluruh kesadarannya itu tampak tidak peduli.
Pedang di tangannya kembali berkelebat!
"Aaah..."!"
Sadar jika dibiarkan kepalanya akan putus oleh sambaran pedang gurunya, lelaki
tegap berusia tiga puluh tahun itu melompat mundur. Sepasang matanya terbelalak
penuh ketegangan dan kegelisahan. Untuk melawan gurunya yang sangat dihormati
itu jelas ia tidak berani. Akhirnya, kesetiaannya yang tinggi harus ditebus
dengan nyawa! "Heaaah...!"
Crakkk! Serangan yang kedua tidak dapat lagi dielakkannya. Meski dalam pengaruh sihir,
kepandaian Ki Parwana tidak berkurang sedikit pun! Murid utamanya yang tinggal
seorang itu pun menyusul dua saudaranya yang telah tewas lebih dulu.
"Hua ha ha...!"
Gelak tawa Gendruwo Rimba Dandara semakin keras. Hari tokoh sesat itu benar-
benar puas dengan kejadian yang berlangsung di depan matanya.
Ki Parwana melanjutkan pembantaian terhadap murid-muridnya. Tak satu pun dari
murid-murid itu sanggup menghalangi tindakan gurunya. Korban pun semakin banyak
berjatuhan. Darah mengalir membasahi tanah lembab halaman depan Perguruan
Kepalan Sakti yang biasa digunakan untuk berlatih.
Pada saat pedang Ki Parwana siap memenggal kepala muridnya entah yang keberapa,
tiba-tiba Gendruwo Rimba Dandara menarik pengaruh sihirnya. Perbuatan tokoh
sesat itu begitu tiba-tiba datangnya. Sehingga, pedang Ki Parwana menggantung di
udara, tepat di belakang leher salah seorang muridnya.
"Aaah..."!"
Kesadaran yang tiba-tiba datangnya itu membuat Ki Parwana terbelalak pucat!
Bagaikan orang tolol, ia menatap pedang di tangannya yang masih tergantung di
udara. Darah segar melumuri senjata itu, membuat Ki Parwana menyadari apa yang telah
dilakukannya. "Hua ha ha...! Hebat sekali perbuatanmu, Parwana! Lihatlah korban-korban
kekejamanmu...!"
Ki Parwana berbalik secepat kilat! Ditatapnya Gendruwo Rimba Dandara dengan
wajah seputih kertas! Kemudian beralih pada mayat-mayat tanpa kepala yang
bergeletakan di tanah berkubang darah merah!
"Aku yang melakukannya...?" desis Ki Parwana seperti baru terbangun dari mimpi
buruk. Lalu kembali dipandangnya Gendruwo Rimba Dandara.
"Hua ha ha...!"
Gendruwo Rimba Dandara tertawa berkakakan. Itu sudah merupakan jawaban.
Mata lelaki tua itu tiba-tiba menjadi liar. Jiwa Ki Parwana terguncang hebat!
"Tidaaak...!"
Ki Parwana berteriak setinggi langit seraya melemparkan pedangnya jauh-jauh.
Seolah senjata yang berlumuran darah itu benda yang sangat menakutkannya.
"Tidak tidak tidaaak...!"
Dengan kedua tangannya, Ki Parwana menutupi telinga. Tatapan murid-muridnya yang
belum sempat terbantai membuat jiwa lelaki itu terguncang hebat! Tatapan itu
seperti tudingan atas segala perbuatannya. Lelaki tinggi kurus itu jatuh
berlutut sambil menutup wajahnya rapat-rapat. Kedua bahu Ki Parwana berguncang-
guncang keras. "Kau manusia kejam, Parwana! Mengapa murid-murid yang tak bersalah itu kau bunuh
secara keji" Seharusnya akulah yang menjadi sasaranmu, bukan mereka...."
Suara cemoohan Gendruwo Rimba Dandara merasuk telinga Ki Parwana, membuat rasa
bersalah di dalam hati lelaki tua itu semakin besar. Sehingga....
"Aaa...!"
Mendadak, tubuh Kl Parwana bangkit seiring dengan teriakannya. Setelah
memperhatikan sekelilingnya dengan mata gelisah, Ki Parwana berlari sekuat-
kuatnya meninggalkan tempat itu.
"Aku bukan pembunuuuh...!"
Gendruwo Rimba Dandara mengiringi kepergian Ki Parwana dengan gelak-tawa
berkepanjangan Kemudian bergerak meninggalkan tempat itu bersama para
pengikutnya, bocah-bocah aneh yang mengerikan itu.
***

Pendekar Naga Putih 70 Gendruwo Rimba Dandara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku Bukan pembunuh...!"
Lelaki tinggi kurus itu melangkah tertatih-tatih menyusuri jalan utama sebuah
desa. Ucapan itu mengiringi setiap langkah kakinya. Siapa lagi lelaki itu kalau
bukan Ki Parwana, yang menjadi hilang ingatan karena guncangan batin yang sangat
hebat! la meninggalkan perguruannya, dan melangkah tanpa tujuan.
Beberapa penduduk yang berpapasan dengan orang tua itu bergegas menyingkir
dengan wajah cemas. Meskipun agak takut-takut ada juga yang melemparkan pandang
penuh rasa iba. Bahkan beberapa di antaranya berani menatap langsung dengan
kepala menggeleng-geleng.
Ki Parwana yang batinnya didera rasa bersalah tak terampunkan itu tiba-tiba
menoleh. Sepasang matanya bergerak liar memperhatikan beberapa penduduk yang
berdiri menatapnya.
"Aku bukan pembunuh...," rintih Ki Parwana merasa setiap pandangan orang
menuding dirinya, ia menganggap pandangan orang-orang desa itu ikut
menyalahkannya.
Bahkan dalam bayangannya, mereka menuding dirinya dan memakinya sebagai manusia
paling jahat di dunia.
Bayangan-bayangan itu membuat Ki Parwana menjadi kalap! Sepasang matanya
bergerak semakin liar. la menggeram dan mendengus dengan mara semerah saga.
"Kau menyalahkan aku..."! Kau... kau...?" Ki Parwana menuding penduduk yang
memandangnya penuh kecemasan Kelihatannya lelaki tua itu siap mengamuk
menumpahkan kemarahannya.
Enam orang penduduk yang semula menatap Ki Parwana menjadi ketakutan.
Ketika kaki orang tua gila itu bergerak maju, mereka segera menjauhi tempat itu.
Lain yang dilakukan penduduk desa, lain pula pandangan Ki Parwana. Dalam
bayangannya, para penduduk itu kelihatan seperti hendak mengeroyok dirinya.
Karuan saja Ki Parwana melesat secepat terbang, dan menyambar leher seorang
penduduk yang tengah berlari.
"Keparat! Kalian, manusia-manusia jahat! Kalian telah membunuh orang-orang tak
bersalah...!" maki Ki Parwana. Jari-jari tangannya segera mencekik orang sial
itu. Penduduk desa itu pun tewas dengan mata melotot seperti hendak keluar dari
tempatnya. "Jahat kau...!"
Dibantingnya tubuh orang itu ke tanah dengan sekuat tenaga. Kemudian, Ki Parwana
tertawa tergelak-gelak.
"Ada orang gila mengamuuuk...!"
"Awaaas, ada pembunuh gila masuk desa...!"
Kejadian yang tidak disangka-sangka para penduduk desa itu membuat mereka
berlarian ketakutan! Terdengar teriakan-teriakan mereka memperingatkan yang
lainnya. "Hmmmrrr...!"
Seperti telah kemasukan setan liar, Ki Parwana menggeram berkali-kali. Air
liurnya menetes membasahi pakaiannya yang kotor dan robek di sana-sini. Tindakan
penduduk yang lari berserabutan justru mengundang kegilaan Ki Parwana.
Celakanya, orang gila itu bukanlah tokoh sembarangan. Ia merupakan Ketua
Perguruan Kepalan Sakti yang namanya cukup disegani kalangan persilatan.
Akibatnya, tentu saja jauh lebih hebat ketimbang orang gila yang tidak memiliki
kepandaian silat.
Untuk menaklukkannya pasti tidak mudah!
Melihat orang gila itu dapat membunuh dan mengejar dengan mudah, penduduk
semakin bertambah kalap! Tapi, semua itu justru semakin menambah kegilaan Ki
Parwana. Korban pun mulai berjatuhan!
Peristiwa yang cukup menggegerkan itu mengundang perhatian beberapa lelaki
berpakaian serba hitam. Mereka langsung berlompatan hendak mencegah jatuhnya
korban lebih banyak.
"Kurang ajar! Orang gila dari mana yang berlaku demikian kejam...!" geram salah
seorang dari enam lelaki berseragam hitam. Mereka mengepung Ki Parwana untuk
meringkus lelaki tua itu.
"Grrrngngng...!"
Ki Parwana menggeram dengan tatapan liar. Kegilaannya benar-benar sudah tidak
bisa dikendalikan lagi. Nafsu membunuhnya kian menyentak-nyentak hatinya.
"Hei..."! Bukankah ia Ketua Perguruan Kepalan Sakti"! Aku pernah bertemu
dengannya beberapa kali...!" salah seorang dari mereka berseru kaget, la
mengenali Ki Parwana. Ucapan itu tentu saja mengagetkan kawan-kawannya.
"Ketua Perguruan Kepalan Sakti..." Apa kau tidak salah" Mana mungkin ketua
perguruan yang terkenal itu tiba-tiba menjadi gila...?" bantah yang lainnya tak
percaya. Nama Perguruan Kepalan Sakti cukup terkenal di desa itu. Tentu saja mereka tidak
percaya orang gila itu Ketua Perguruan Kepalan Sakti.
"Tidak! Aku yakin orang gila itu Ketua Perguruan Kepalan Sakti! Mengenai
kegilaannya jelas aku tidak tahu! Tapi, aku merasa yakin ia ketua perguruan
itu...!" lelaki kekar berkumis lebat yang sepertinya cukup mengenal Ki Parwana
tetap mempertahankan pendiriannya. Sehingga, kawan-kawannya agak ragu.
"Mungkin orang gila itu kebetulan memiliki wajah yang serupa dengan Ketua
Perguruan Kepalan Sakti...," kawannya masih tetap membantah dan tidak percaya.
Perdebatan yang cukup seru itu membuat mereka tidak sadar orang yang tengah
dibicarakan sudah bergerak mendekat. Mereka baru tersadar ketika mendengar salah
seorang kawannya berteriak keras!
"Aaa...!"
Orang yang malang itu berteriak ketakutan, ketika Ki Parwana menangkap dan
melemparkan tubuhnya kuat-kuat hingga jatuh terjerembab ke tanah!
"Orang gila keparat...!"
Peristiwa itu tentu saja membuat yang lainnya marah. Khawatir kalau dugaan
kawannya bahwa orang gila itu seorang ketua perguruan ternyata benar, mereka
segera menghunus senjata dan mengurung Ki Parwana dari tiga arah.
"Yaaakh...!"
"Yaaakh...!" Ki Parwana yang dianggap orang gila itu mencelat dengan sepasang
tangan terulur dan mencengkeram salah seorang pengepungnya.
"Heaaah...!" Menyadari dirinya terancam, orang itu mengibaskan pedangnya.
Namun... Plakkk, kreppp! Tanpa kesulitan sedikit pun, Ki Parwana menepiskan tebasan
pedang lawan. Ki Parwana memekik aneh dan parau. Tubuhnya mencelat dengan sepasang tangan
terulur siap mencengkeram salah seorang pengepung yang ada di sebelah kanannya.
"Heaaah...!"
Sadar kalau dirinya terancam, orang itu mengibaskan pedangnya menyambut serangan
Ki Parwana. Tapi....
Plakkk, kreppp!
"Heeeah...!"
Tanpa kesulitan sedikit pun, Ki Parwana menepiskan tebasan pedang lawan.
Kemudian menjambret leher orang itu dan meremasnya tanpa ampun! Lelaki itu
menggelepar seperti ayam disembelih. Dan tewas seketika dengan tulang leher
patah! "Gila..."!"
Yang lainnya menjadi kaget bercampur gentar! Mereka berloncatan mundur dengan
wajah pucat, menatap sosok orang gila yang kembali menggeram bagai binatang
luka. 3 Empat lelaki berpakaian serba hitam yang tersisa segera bergerak mundur, ketika
Ki Parwana melangkah mendekati. Sikap orang tua itu membuat mereka gentar.
Gerakan Ki Parwana demikian cepat. Mereka segera sadar kalau orang gila itu
bukan tokoh sembarangan. Hingga mereka tidak berani bertindak gegabah lagi.
Tapi meskipun keempat lelaki itu tidak lagi menyerang, sikap Ki Parwana tidak
berubah. Kelihatannya ia tidak akan berhenti sebelum melenyapkan lawan-lawannya.
Benar-benar celaka nasib keempat orang itu. Karena untuk menundukkan tokoh
seperti Ki Parwana tentu saja tidak mudah. Sehingga, sulit dipastikan mereka
dapat selamat dari cengkeraman orang gila itu.
"Jaaakh...!"
Setelah beberapa langkah kakinya berjalan, tubuh Ki Parwana mencelat ke udara
disertai pekikan aneh. Sepasang tangannya siap merenggut korban berikutnya!
Tapi... "Haaaiiit...!"
Pada saat yang menentukan itu, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring. Sesosok
tubuh melayang dan langsung memapaki serangan Ki Parwana. Maka....
Plakkk! "Heeekh...!"
Sungguh hebat gerakan sosok tubuh itu! Ia bukan saja dapat menggagalkan serangan
Ki Parwana. Bahkan sanggup membuat tubuh Ketua Perguruan Kepalan Sakti terpental
balik! Untung Ki Parwana bukan orang gila sembarangan! Hingga dapat mengatasi
keseimbangan tubuhnya dengan baik.
"Hebat...!" seru sosok berjubah putih memuji gerakan Ki Parwana. Tentu saja
pujian itu bukan ejekan. Cara Ki Parwana mengatasi keseimbangan tubuhnya memang
sangat mengagumkan.
Helaan napas lega terdengar dari mulut keempat lelaki berpakaian serba hitam.
Mereka sungguh tidak mengira dapat lolos dari ancaman serangan orang gila yang
berkepandaian tinggi itu. Dipandanginya sosok berjubah putih yang berdiri
membelakangi mereka dengan penuh rasa terima kasih.
Sedangkan sosok berjubah putih yang ternyata seorang pemuda tampan menatap
tenang sosok Ki Parwana. Keningnya agak berkerut menyaksikan kehebatan orang
gila itu. Ia merasa heran orang gila mempunyai kepandaian sehebat itu.
"Kisanak harap berhati-hati! Dia bukan orang gila sembarangan! Entah apa yang
membuat orang sehebat Ketua Perguruan Kepalan Sakti sampai menjadi demikian...,"
ujar lelaki kekar berkumis lebat yang mengenali orang gila itu sebagai Ki
Parwana. Ia tidak mengenali namanya, hanya wajahnya.
"Ketua Perguruan Kepalan Sakti..."!" gumam pemuda tampan berjubah putih
mengulangi. "Apakah kau yakin orang gila itu ketua sebuah perguruan...?"
tanyanya berbalik menatap lelaki kekar yang tadi mengingatkannya.
"Aku yakin, Kisanak. Beberapa kali aku pernah berjumpa dengannya saat
mengantarkan surat atau pesan dari Kepala Desa Tunjil ini...," jelasnya. Pemuda
tampan itu menganggukkan kepala. Tampaknya keterangan itu dapat dipercaya.
Percakapan keduanya tertunda dengan munculnya sesosok tubuh dara jelita
berpakaian serba hijau. Ia meluncur turun di samping pemuda tampan berjubah
putih. Terdengar suaranya yang merdu dan bening.
"Diakah orang gila yang dikabarkan penduduk mengamuk dan membunuhi orang,
Kakang...?"
"Benar, Kenanga," sahut pemuda itu menatap wajah jelita di sampingnya. "Menurut
salah seorang keamanan desa, orang gila itu Ketua Perguruan Kepalan Sakti...,"
lanjutnya menjelaskan.
"Ketua Perguruan Kepalan Sakti" Bukankah nama itu cukup terkenal dan disegani
orang...?" tanya dara jelita itu lagi kelihatan belum percaya penuh dengan
keterangan pemuda tampan berjubah putih.
"Itu yang membuatku heran...," tukas pemuda tampan berjubah putih yang tidak
lain Panji, yang dalam kalangan rimba persilatan berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Kita perlu menyelidiki kebenarannya, Kakang...," tukas dara jelita yang tidak
lain adalah Kenanga. Kelihatannya ia agak penasaran dengan orang gila itu.
Panji hanya mengangguk tanpa kata. Jelas ia sangat setuju dengan usul
kekasihnya. Secara tidak langsung persoalan itu merupakan tanggung jawabnya. Ia
harus menyelidiki untuk memperoleh kepastian tentang orang gila itu.
Sementara itu, Ki Parwana bergerak menghampiri. Tubuhnya yang terpental sejauh
dua tombak lebih, membuat kemarahannya semakin menjadi-jadi. Kini ia siap
membalas perlakuan pemuda berjubah putih itu.
"Kelihatannya ia sukar dikendalikan, Kakang...," ujar Kenanga seolah hendak
mengingatkan kekasihnya agar berhati-hati menghadapi orang gila itu.
"Aku akan berusaha merobohkannya tanpa melukai...," janji Panji segera bergerak
maju untuk melumpuhkan Ki Parwana. Karena tidak ingin jatuh korban lagi.
Meskipun gila, Ki Parwana mengerti kalau yang dihadapinya tidak dapat disamakan
dengan lawan-lawan sebelumnya. Ia langsung menggunakan ilmu andalannya untuk
menyerang Panji.
Bwet bwet bwettt...!
Terdengar suara angin menderu saat Ki Parwana menggerakkan sepasang
kepalannya. Kedua lengan itu bergetar, menyimpan kekuatan tenaga dalam yang
tinggi. "Hm... Aku yakin orang gila itu memang Ketua Perguruan Kepalan Sakti. Aku
mengenali jurus-jurus yang tengah dipersiapkannya..," ujar Panji agak perlahan,
tapi tertangkap telinga Kenanga. Dara jelita itu berada setengah tombak di
belakang kekasihnya.
"Aku pun mulai percaya, Kakang..," sahut Kenanga yang juga memperhatikan gerakan
tangan Ki Parwana. Dari bentuk tangannya yang mengepal kemungkinan besar orang
gila itu merupakan orang Perguruan Kepalan Sakti. Dan melihat kekuatannya,
memang bukan mustahil ia ketua perguruan itu yang cukup terkenal di wilayah
selatan. Sementara itu, Panji sudah menggeser langkahnya ke kanan. Pemuda itu hendak
menjauhi Ki Parwana dari jalan utama Desa Tunjil. Dan membawanya ke sebuah tanah
lapang yang cukup luas.
Ki Parwana sendiri kelihatannya sudah tidak sabar ingin segera merobohkan pemuda
berjubah putih itu. Dengan sebuah lompatan panjang, lelaki tua bertubuh tinggi
kurus itu meluncur turun dalam jarak sekitar satu setengah tombak dari tempat
Panji berdiri. "Heaaakh...!"
Seraya membentak aneh, Ki Parwana meluncur dengan serangan-serangannya!
Sambaran angin keras menyertai tibanya kepalan-kepalan yang berisi kekuatan
hebat itu. Beuttt...! Panji memiringkan tubuhnya ketika pukulan lawan datang mengancam dada. Dan terus
menggeser langkahnya ke belakang menghindari serangan susulan yang datang,
bertubi-tubi. Sejauh itu Panji hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk
mengatasi sergapan lawan. Itu berlangsung sampai enam jurus.
Kegagalan serangan-serangan membuat Ki Parwana semakin bernafsu. Ia terus
menambah kecepatan dalam serangan berikutnya.
"Haaakh...!"
Bwet bwettt..! Plakkk! Dua serangan pertama dielakkan Panji dengan menggunakan kelincahan tubuhnya.
Lalu tangan kirinya diangkat memapaki pukulan ketiga yang datang mengancam
pelipisnya. Akibatnya, tubuh Ki Parwana terjajar mundur setengah tombak lebih.
Wajah orang tua itu menyeringai sambil mengusap lengannya yang terasa nyeri.
"Hyaaat...!"
Kali ini Panji tidak lagi sekadar mengelak atau menangkis. Serangan lawan
berikutnya langsung disambut dengan serangan yang tidak kalah hebatnya.
Sehingga, keduanya segera terlibat dalam sebuah perkelahian yang seru!
Jurus demi jurus berlalu cepat. Sampai akhirnya Ki Parwana kewalahan mengimbangi
permainan Panji. Beberapa kali tubuh orang tua itu nyaris menjadi sasaran
tamparan dan tendangan pemuda itu. Untung lelaki tua itu masih sempat mengelak
atau menangkis, meski lengannya terasa nyeri ketika terpaksa menangkis serangan
yang tidak sempat dielakkan.
Tapi, ketika pertarungan meningkat pada jurus keempat puluh, Ki Parwana tidak
bisa lagi membalas. Gerakannya semakin sempit. Seolah-olah lelaki tua itu
dikeroyok beberapa orang lawan. Ke mana saja tubuhnya bergerak menghindar pasti
serangan lawan datang mengejar. Lelaki tua yang tidak waras itu menggeram-geram
ribut. Sampai akhirnya....
Bukkk! Hukh...! Sebuah hantaman telapak tangan kanan Panji bersarang telak di tubuh Ki Parwana.
Akibatnya tubuh lelaki tua itu terjajar limbung. Panji memang sengaja mengurangi
tenaga pukulannya sewaktu mengenai tubuh lawan.
"Hyaaat...!"
Selagi lawannya terhuyung mencari keseimbangan, Panji melesat dengan totokan-
totokan yang cepat dan kuat. Tentu saja orang gila itu tidak sempat mengelak.
Dan... Tukkk, tukkk! "Ukh...!"
Tubuh Ki Parwana melorot ke tanah tanpa dapat dicegah lagi. Dua kali berturut-
turut totokan Panji bersarang di tubuh Ki Parwana. Lelaki tua itu mengeluh dan
tak sadarkan diri.
Robohnya orang gila itu mengejutkan keempat keamanan desa. Terlebih yang telah
mengenal siapa orang gila itu. Kemenangan pemuda berjubah putih menyadarkan
mereka bahwa kepandaian penolongnya tidak bisa diragukan lagi. Pujian pun segera


Pendekar Naga Putih 70 Gendruwo Rimba Dandara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meluncur dari mulut mereka.
"Wah, benar-benar hebat, Kisanak! Padahal kepandaian Ketua Perguruan Kepalan
Sakti sangat terkenal di daerah selatan ini. Orang-orang yang sanggup
menghadapinya bisa dihitung dengan jari. Tapi, kau ternyata mampu melumpuhkannya
tanpa terlukai.
Benar-benar sukar dipercaya...!" puji lelaki kekar berkumis lebat kagum bukan
main atas kehebatan Panji.
"Terima kasih atas pujianmu, Kisanak. Maaf, aku harus segera membawa orang gila
ini...," ujar Panji tersenyum. Kemudian mengangkat tubuh Ki Parwana ke bahunya,
dan mengajak Kenanga segera meninggalkan tempat itu. Panji melihat penduduk desa
yang semula bersembunyi dan melarikan diri telah berdatangan ke tempat itu.
Pemuda itu tidak ingin dihujani pertanyaan dan pujian penduduk Desa Tunjil.
Kenanga sedikit pun tidak membantah. Tubuhnya segera melesat mengikuti langkah
Panji yang telah berlari lebih dulu. Sebentar saja bayangan pasangan pendekar
muda itu telah jauh meninggalkan tempat itu.
Siapakah pemuda tampan berjubah putih dan gadis jelita itu..." Mereka pasti
bukan orang sembarangan! Bukan mustahil pemuda tampan itu tokoh terkenal dalam
kalangan persilatan..." Gumam lelaki kekar berkumis lebat dalam hati, yang
kelihatan sangat terkesan dengan perbuatan Panji. Terutama kehebatan pemuda itu
yang mampu merobohkan Ketua Perguruan Kepalan Sakti tanpa melukai orang gila
itu. Menurutnya itu sulit dilakukan tokoh lain.
Orang-orang Desa Tunjil masih saja memandangi sosok yang semakin kecil dan
kemudian lenyap di kejauhan itu. Baru kemudian mereka bergerak satu persatu
meninggalkan tempat itu. Mereka berbicara satu sama lain mengenai kehebatan
pemuda tampan berjubah putih. Sedangkan keempat keamanan desa mengurus mayat-
mayat korban amukan Ki Parwana, termasuk dua orang kawan mereka yang juga tewas
di tangan orang tua gila itu.
4 Dengan membawa tubuh Ki Parwana di aras bahu kanannya, Panji terus berlari
meninggalkan Desa Tunjil. Berkat ilmu lari cepatnya yang tinggi sebentar saja ia
sudah berada jauh di luar perbatasan desa. Dan bani menghentikan larinya ketika
menemui persimpangan jalan.
Kenanga yang berlari di sebelah kirinya segera menahan langkah. Dara jelita itu
kelihatan agak bingung melihat pertigaan jalan di depannya.
"Ke mana kita, Kakang...?" tanya dara jelita itu menatap wajah Panji yang tengah
memilih jalan mana yang akan dilalui.
"Aku hendak membawa orang gila ini ke Perguruan Kepalan Sakti untuk memastikan
apakah benar ia ketua perguruan itu. Tapi aku tidak tahu jalan mana yang harus
kita ambil...?" sahut Panji, kemudian melangkah dan berhenti di tengah
pertigaan, la memandang ke kiri-kanan agak lama, berharap bertemu orang yang
bisa ditanyainya.
Mendengar jawaban kekasihnya, Kenanga tidak bisa memberikan pilihan. Ia sendiri
tidak tahu di mana letak Perguruan Kepalan Sakti Gadis itu hanya bisa mengikuti
apa yang dilakukan kekasihnya.
"Hm.... Sayang tidak ada orang yang dapat kita tanyai...," desah Kenanga
menghela napas panjang. Kedua jalan itu tampak sunyi. Tak seorang pun melintas
di jalan itu. "Kalau melihat keadaan orang gila ini yang kotor dan pakaiannya robek di
beberapa tempat, jelas ia telah melakukan perjalanan yang cukup jauh. Paling
tidak untuk mencapai Desa Tunjil, ia telah berjalan sehari penuh. Itu berarti
letak Perguruan Kepalan Sakti cukup jauh...," ujar Panji mencoba mereka-reka.
"Apakah itu sudah pasti, Kakang...?" tanya Kenanga kurang setuju dengan pendapat
kekasihnya. Agaknya dara jelita itu mempunyai dugaan lain.
"Tentu saja belum. Kau mempunyai pikiran lain" Coba katakan, barangkali
perkiraanmu bisa kupertimbangkan...."
Kenanga terlihat agak merenung. Sebelum menjawab, dara jelita itu melangkah ke
tepi jalan yang cukup lebar dan berbatu-batu tak teratur. Kemudian duduk di atas
sebatang akar pohon yang menyembul dari dalam tanah.
Panji mengikuti langkah kekasihnya, dan melakukan perbuatan serupa. Sedangkan
tubuh orang gila itu tetap di bahu kanannya. Untuk meletakkan di tanah berbatu
begitu saja, Panji tidak tega. Kendati orang itu gila, tapi Panji tetap
memperlakukannya dengan baik dan tidak sembarangan.
"Menurut perkiraanku, bisa saja letak Perguruan Kepalan Saka tidak terlalu jauh
dari Desa Tunjil. Siapa tahu orang gila ini sebelumnya menyembunyikan diri di
dalam hutan, dan baru memasuki desa saat hari terang. Jelasnya, keadaan orang
gila ini yang kotor belum tentu karena melakukan perjalanan jauh...," Kenanga
mengutarakan dugaannya. Dan itu tampaknya bisa diterima Panji.
"Hm...."
Panji menghela napas panjang dan termenung memikirkan dugaan kekasihnya.
Namun itu tidak berlangsung lama. Telinganya yang tajam menangkap suara gerak
halus di kejauhan. Ia bisa memastikan dari jalan sebelah mana suara itu berasal.
"Mudah-mudahan kita bernasib baik...," gumam Panji segera bangkit dan berdiri
menatap jalan di sebelah kanannya.
Melihat sikap kekasihnya, Kenanga tidak banyak bertanya. Dara jelita itu dapat
menduga apa yang tengah dilakukan Panji dengan berdiri dan menatap jalan seperti
menunggu sesuatu.
Tidak berapa lama kemudian, dari belokan jalan yang terhalang rimbunan alang-
alang muncullah sebuah iring-iringan kuda. Semua berjumlah lima ekor. Pada
punggung kuda tidak kelihatan penunggang. Karena dipenuhi kantung-kantung yang
cukup besar dan banyak. Orang yang seharusnya berada di atas punggung kuda
berjalan di samping binatang itu, menuntunnya.
"Kelihatannya mereka rombongan pedagang keliling, Kakang...," gumam Kenanga
melihat banyaknya beban di atas lima ekor kuda itu.
"Kurasa memang demikian. Mudah-mudahan mereka dapat menunjukkan letak Perguruan
Kepalan Sake. Biasanya pedagang keliling banyak mengetahui tempat-tempat
terpencil dan jauh dari keramaian...," sahut Panji penuh harap.
Tapi pemikiran rombongan kecil pedagang keliling itu berbeda jauh dengan
pasangan pendekar muda itu. Melihat sepasang orang muda berdiri menghadang
jalan, kecurigaan pun timbul di kepala mereka. Pedagang keliling yang berjumlah
lima orang itu saling melempar pandang dengan wajah tegang. Mereka menduga
sepasang orang muda itu tidak bermaksud baik.
"Hati-hati...! Meskipun mereka mungkin akan berbicara sopan dan baik-baik, kita
harus waspada dan jangan percaya begitu saja. Siapa tahu mereka sepasang
perampok muda yang hendak menjarah barang-barang dagangan kita...!" orang
berwajah kehitaman yang berada paling depan mengingatkan kawan-kawannya. Ia
sendiri sudah meraba gagang pedang yang tersimpan di salah satu kantung besar di
atas punggung kuda, dan menampakkannya sedikit.
"Kurang ajar! Mereka mencurigai kita, Kakang. Apakah wajah kita pantas menjadi
perampok...?"
Kenanga yang rupanya dapat membaca pikiran pedagang-pedagang itu mengumpat
jengkel. Ia tidak bisa menerima dugaan orang-orang yang dianggapnya buta itu.
Untunglah Panji yang menyadari sikap kekasihnya segera mengingatkan. Kalau
tidak, bisa jadi dara jelita itu akan menunjukkan sikap kasar terhadap pedagang-
pedagang keliling itu.
"Mereka tidak bisa disalahkan, Adikku. Sebaiknya kau serahkan saja kepadaku.
Biar aku yang akan bertanya baik-baik kepada mereka...."
Kenanga menghela napas berat. Kemudian melangkah ke tepi jalan dan kembali duduk
di atas akar pohon. Ia sengaja menjauh agar tidak kelepasan bicara. Sebab, bisa
saja orang-orang itu akan menanggapi pertanyaan kekasihnya dengan sikap kasar.
"Paman sekalian, harap dimaafkan kalau keberadaanku membuat kalian
terganggu...," sapa Panji ramah dengan senyum di bibir. "Aku hanya hendak
bertanya sedikit...," lanjutnya menatap wajah-wajah kehitaman di depannya yang
sudah berdiri berjajar dengan sikap waspada.
Sikap Panji yang ramah dan tampak tidak menyembunyikan kepura-puraan membuat
orang-orang itu saling bertukar pandang. Kelihatannya mereka agak terpengaruh
dengan sikap sopan pemuda tampan berjubah putih itu Apalagi wajah Panji tidak
menggambarkan watak licik dan kejam. Mereka ragu kalau pemuda itu perampok yang
sengaja menghadang perjalanan mereka.
"Hm.... Apa yang hendak kau ketahui dari kami, Sahabat Muda...?" sambut salah
seorang dari lima lelaki yang menghadapi Panji. Agaknya orang itu pimpinan
rombongan kecil itu.
"Begini, Paman," ujar Panji melanjutkan ucapannya. "Kami hendak menuju Perguruan
Kepalan Sakti. Sayangnya letak tempat itu tidak kami ketahui. Bisakah Paman
sekalian memberi petunjuk kepada kami...?"
Untuk kesekian kalinya, para pedagang keliling itu saling bertukar pandang.
Mereka tidak menduga pemuda tampan berjubah putih itu hanya sekadar bertanya.
"Kalau benar sahabat muda hendak mencari Perguruan Kepalan Sakti, silakan
mengambil jalan yang baru saja kami lalui. Sampai di tempat yang banyak
ditumbuhi pohon bambu kuning, barulah berbelok ke kanan. Lalu ikuti jalan
setapak yang di kiri-kanannya ditumbuhi ilalang setinggi dada. Setelah itu akan
terlihat bangunan Perguruan Kepalan Sakti." Lelaki berewok pimpinan pedagang
keliling itu menjelaskan panjang lebar.
"Terima kasih, Paman. Maaf, kalau aku telah merepotkan...," ujar Panji tersenyum
sambil menganggukkan kepala. Lalu menyingkir ke tepi jalan mempersilakan mereka
melanjutkan perjalanan yang tertunda.
Para pedagang keliling itu tersenyum dan membalas anggukan kepala pemuda itu.
Hati mereka merasa lega. Sebab dugaan mereka ternyata keliru. Perjalanan pun
kembali dilanjutkan tanpa ketegangan lagi.
"Mari kita pergi, Kenanga...,"ajak Panji yang telah mendapat gambaran akan jalan
yang harus dilaluinya. Sebentar saja pasangan pendekar muda itu telah
melanjutkan perjalanannya menuju Perguruan Kepalan Sakti.
*** Bangunan Perguruan Kepalan Sakti tampak sunyi bagai tak berpenghuni. Di beberapa
bagian pagar bangunan terlihat rusak. Rupanya setelah kepergian Ki Parwana,
bangunan itu tidak terawat baik. Halaman depannya dipenuhi dedaunan kering,
membuat tempat itu kelihatan kotor dan tidak terurus.
"Aneh..."!"
Pemuda tampan berjubah putih yang pada bahu kanannya memondong sesosok tubuh itu
bergumam lirih. Sepasang matanya menatap bagian-bagian bangunan yang rusak.
Suasana sepi seperti mati itu membuat keningnya berkerut.
"Kalau melihat tempat ini, rasanya sukar dipercaya bahwa salah satu tokoh
terkemuka rimba persilatan tinggal di dalamnya...," dara jelita berpakaian serba
hijau mengutarakan keheranannya. Keningnya berkerut pertanda hatinya merasa
tidak suka dengan tempat yang kotor itu.
"Sebaiknya kita mencoba mencari keterangan. Apakah tempat ini sudah tidak
berpenghuni" Atau..., mungkin benar orang gila ini Ketua Perguruan Kepalan
Sakti. Tempat ini tidak terawat setelah ketuanya menjadi gila den meninggalkan murid-
muridnya begitu saja...," ujar pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain
Panji. Dara jelita yang sudah pasti Kenanga mengangguk setuju. Kemudian melangkah
mengikuti kekasihnya mendekati pintu gerbang perguruan. Keduanya berhenti sesaat
dan menengadah memandang sebuah papan nama yang tergantung di atas pintu
gerbang. Ukiran yang bertuliskan 'Perguruan Kepalan Sakti' tampak kotor oleh debu.
Sehingga, pasangan pendekar muda itu menggeleng tidak mengerti.
"Sahabat-sahabat yang ada di dalam bangunan, harap sudi membukakan pintu
untukku...!" Panji berseru mengerahkan tenaga dalamnya Gelombang suaranya
bergema sampai melewati bagian belakang bangunan. Sudah pasti penghuni bangunan
itu akan mendengarnya dengan jelas.
Panji menunggu ada orang yang membukakan pintu gerbang dengan sabar.
Beberapa waktu kemudian, terdengar suara langkah mendekati pintu gerbang dari
sebelah dalam. Diiringi suara berderit, pintu gerbang itu terkuak lebar.
Dua orang lelaki menatap heran. Kening mereka berkerut merasa belum pernah
mengenal Panji dan Kenanga.
"Maaf, kalau kehadiranku mengganggu ketenangan kalian...," ujar Panji
menganggukkan kepala dengan hormat.
"Ada keperluan apakah, Kisanak...?" tegur salah seorang dari kedua lelaki itu
agak ramah. Sikap sopan dan hormat Panji mendapat sambutan yang baik dari
penghuni bangunan.
"Hm.... Kalau diizinkan, aku hendak berjumpa dengan Ketua Perguruan Kepalan
Sakti...," Panji menjelaskan maksud kedatangannya.
"Ada keperluan apa kau hendak berjumpa dengan guru kami, Kisanak?" kembali
lelaki bertubuh tinggi kurus melontarkan tanya. Sesekali matanya mengerling pada
sosok tubuh yang berada di bahu Panji.
"Ada suatu keperluan yang sangat penting, dan hanya bisa kubicarakan dengan
ketua kalian. Harap kalian mau memaklumi...," ujar Panji yang tentu saja tidak
bisa mengatakan keperluannya. Niatnya datang ke tempat itu hanya untuk
memastikan kebenaran sosok tubuh yang dibawanya. Sebab ia belum yakin sepenuhnya
orang gila yang dilumpuhkannya itu Ketua Perguruan Kepalan Sakti.
"Tidak bisa! Kalau kau memang mempunyai keperluan, katakan saja kepada kami.
Beliau telah mewakilkan segala urusannya kepada kami," lelaki kurus itu
bersikeras tidak bersedia mempertemukan Panji dengan ketuanya. Tentu saja lelaki
itu berbohong. Sebab ketua perguruannya tidak berada di tempat.
Mendengar jawaban itu, Panji menghela napas panjang. Sebentar kemudian pemuda
itu termenung. Ia tahu akan percuma bila tetap memaksa.
"Perlihatkan saja orang gila itu kepada mereka, Kakang. Siapa tahu mereka dapat
mengenalinya..." Melihat kekasihnya termenung, Kenanga segera saja mengajukan
usul. Itulah jalan satu-satunya untuk meredakan ketegangan di antara mereka.
"Hm.... Baiklah Kalau begitu, coba perhatikan baik-baik. Apakah kalian mengenali
orang ini...?" akhirnya Panji menyetujui usul kekasihnya, dan memperlihatkan
wajah orang gila itu kepada kedua murid Perguruan Kepalan Sakti.
"Aaah..."!"
Kedua lelaki itu terperangah melihat raut wajah yang sangat mereka kenal dengan
baik. "Guru..."!"
Akhirnya keluar juga ucapan yang diharapkan Panji dan Kenanga. Ucapan yang
secara tidak langsung merupakan pengakuan itu membuat Panji dan Kenanga merasa
lega. "Jadi benar orang ini guru kalian...?" tanya Panji menegasi kendati telah
mendapat kepastian.
"Benar, Kisanak. Apa... apa yang telah terjadi dengan guru kami" Di mana kalian
menemukannya...?" tanya lelaki tinggi kurus membuka suara, meski dengan
kerongkongan terasa kering dan terpaksa harus menelan air liur berkali-kali.
"Jika demikian, marilah kita bicara di dalam...," usul Panji yang tanpa menunggu
jawaban langsung membawa tubuh Ki Parwana ke dalam bangunan.
Kedua murid Perguruan Kepalan Sakti tidak bisa menahan langsung pemuda tampan
berjubah putih itu. Mereka masih terkejut melihat keadaan gurunya yang nyaris
tidak bisa dikenali lagi. Setelah pasangan pendekar itu lewat beberapa tombak
dari pintu gerbang, barulah mereka berlari mengejar.
"Tolong tunjukkan kamar ketua kalian...," ujar Panji setelah memasuki bangunan
induk Perguruan Kepalan Sakti. Kemudian membawa Ki Parwana masuk ke dalam kamar
dan merebahkannya di atas pembaringan. "Biarkan beliau beristirahat. Aku telah
memberikan pel untuk menenangkan jiwanya...."
Kedua murid Ki Parwana hanya mengangguk. Lalu mengikuti langkah Panji menuju
ruangan depan. Sedangkan belasan murid lainnya hanya memandang lewat pintu tanpa
berani bertanya.
"Aku bernama Kaliawang. Sedangkan kawanku ini Balitang. Kuharap Kisanak suka
memperkenalkan diri, dan menceritakan bagaimana kalian dapat berjumpa dengan
guru kami...," ujar lelaki tinggi kurus setelah mereka duduk di ruangan depan.
Karena ingin segera mengetahui penyebab kegilaan Ki Parwana, Panji segera
menceritakan apa adanya. Kedua murid yang mengambil alih pimpinan sejak Ki
Parwana pergi, tampak terkejut dan merasa menyesal atas kejadian itu.
"Kasihan sekali penduduk Desa Tunjil. Mereka harus tewas di tangan guru kami
yang tengah terguncang jiwanya...," sesal Kaliawang menggelengkan kepala dengan
wajah keruh. Kelihatan sekali lelaki tinggi kurus itu sangat menyesalkan
perbuatan gurunya.
"Tidak perlu merasa berdosa, Kaliawang. Apa yang dilakukan gurumu jelas di luar
kesadaran. Kami pun pernah mendengar nama besar guru kalian. Apa yang kami
dengar telah membuat kami kagum. Ki Parwana terkenal berani dan tegas dalam
menindak orang-orang jahat. Itu sebabnya kami ingin mengetahui apa yang
menyebabkan beliau menjadi gila...," ujar Panji berusaha menghibur Kaliawang.
Kaliawang tidak segera memberikan tanggapan kepada Panji yang telah
memperkenalkan namanya. Lebih dahulu ditatapnya wajah dan sosok pemuda tampan
berjubah putih itu lekat-lekat. Sepertinya ia hendak mempertimbangkan apakah
Panji pantas mendapat keterangan atau tidak.
"Hhh..."
Terdengar helaan napas berat Kaliawang seraya mengalihkan pandangan ke luar
bangunan melalui jendela yang terbuka, la masih ragu untuk memberikan penjelasan


Pendekar Naga Putih 70 Gendruwo Rimba Dandara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada pasangan pendekar muda yang belum begitu dikenalnya itu.
"Kaliawang...," panggil Kenanga tidak sabar melihat keraguan lelaki tinggi kurus
itu. "Kedatangan kami ke tempat ini dengan membawa guru kalian justru hendak
memberi bantuan. Tentu saja sebatas kemampuan kami. Tapi kalau kau merasa kami
tidak pantas mengetahuinya, terserahlah...,"
"Bukan begitu, Kenanga...," bantah Kaliawang tidak enak mendapat sindiran dara
jelita itu. Tapi, ucapannya hanya berhenti sampai di situ. Wajah Kaliawang
kelihatan gelisah. Seperti ada sesuatu yang dikhawatirkan lelaki tinggi kurus
itu. "Lalu..., mengapa kau tidak segera menceritakannya kepada kami" Apa sebenarnya
yang menyebabkan guru kalian menjadi gila" Apakah kalian tidak ingin melihat Ki
Parwana sembuh seperti sediakala dan kembali memimpin perguruan ini..?" desak
Kenanga tetap dengan nada tinggi. Rupanya dara jelita itu agak, tersinggung
merasa diremehkan. Ia tidak sadar kalau Kaliawang dan Balitang tidak mengetahui
siapa mereka sebenarnya.
"Kami hanya merasa khawatir akan keselamatan kalian...," akhirnya Kaliawang
mengutarakan juga ganjalan di hatinya.
"Mengkhawatirkan keselamatan kami..."!" kali ini Panji yang menyahuti. Kening
pemuda itu tampak berkerut. Ia semakin tidak mengerti dengan sikap Kaliawang
yang dirasanya semakin aneh.
"Ya. Karena penyebab kegilaan guru kami ada hubungannya dengan seorang tokoh
sesat berhati kejam yang kepandaiannya boleh dibilang hampir menyamai datuk-
datuk sesat di empat penjuru...," ujar Kaliawang agak bergetar. Jelas kelihatan
gambaran kegelisahan di wajahnya.
"Hm...."
Panji rupanya mulai mengerti jalan pikiran Kaliawang. Pemuda itu bergumam pelan
sambil mengangguk-anggukkan kepala. Ditatapnya wajah lelaki tinggi kurus itu
lekat-lekat. "Dengarlah, Kaliawang Dan kau, Balitang!" ujar Panji dengan berwibawa. Kedua
murid Ki Parwana menundukkan kepala tidak berani menentang pandang mata pemuda
itu, yang berkilat tajam menggetarkan dada.
"Kami mau peduli dengan penderitaan Ki Parwana dan kalian semua karena kami
merasa kita orang-orang segolongan. Kalau bukan sahabat-sahabat yang mau
menolong, lalu siapa yang hendak kalian harapkan" Mengenai keselamatan kami
berdua, kalian tidak perlu khawatir. Sebagai orang-orang gagah yang menjunjung
tinggi kebenaran dan selalu menegakkan keadilan, kami jauh-jauh hari sudah
merelakan bila satu hari nanti kematian datang menjemput! Bahkan kami merasa
berharga bila mati dalam menegakkan kebenaran! Jadi, kekhawatiran kalian jelas
tidak beralasan!"
Ucapan Panji yang menunjukkan keluhuran budinya membuat Kaliawang dan Balitang
terharu. Sungguh tidak disangka, pemuda dan dara jelita yang baru mereka kenal
telah berani mempertaruhkan nyawa untuk membela Perguruan Kepalan Sakti.
Sehingga, baik Kaliawang maupun Balitang merasa malu kepada diri sendiri.
Sebagai murid-murid Ki Parwana, mereka tidak berdaya dan tidak melakukan
tindakan apa-apa. Bahkan tak seorang pun yang mencoba mencari Ki Parwana saat
beliau pergi meninggalkan perguruan.
"Maaf, kalau kami telah salah menduga...." Hanya ucapan itu yang keluar dari
mulut Kaliawang setelah keadaan sunyi beberapa saat lamanya.
"Nah, sekarang kuminta dengan sangat kalian bersedia menceritakan penyebab
kegilaan Ki Parwana. Apa pun yang akan terjadi kami tidak akan menyesal atau
menyalahkan kalian...," tegas Panji menekan kata-katanya.
"Baiklah...," Kaliawang menyerah dan bersedia menceritakan penyebab kegilaan
gurunya. Tak seorang pun dari pasangan pendekar muda itu memotong cerita Kaliawang.
Keduanya mendengarkan dengan teliti sampai lelaki tinggi kurus itu menyelesaikan
ceritanya. "Begitulah, Panji. Soal permusuhan beliau dengan tokoh sesat yang berjuluk
Gendruwo Rimba Dandara, kami tidak tahu pasti." Kaliawang mengakhiri ceritanya
dengan helaan napas panjang. Lelaki tinggi kurus itu seperti baru saja
melepaskan beban berat yang menghimpitnya selama ini.
Panji baru memaklumi penderitaan yang dialami Ki Parwana. Yang dilakukan Ketua
Perguruan Kepalan Sakti, meski tidak sadar, memang merupakan pukulan batin yang
sangat berat. Wajar saja kalau tokoh setangguh Ki Parwana sampai mengalami
goncangan batin dan menjadi tidak waras. Panji mengerti orang tua itu didera
rasa bersalah yang sangat besar. Bahkan mungkin tak berampun, menurut pikiran Ki
Parwana. "Tokoh sesat itu pasti menggunakan ilmu sihir, Kakang...," Kenanga yang ikut
menyimak penjelasan Kaliawang mengutarakan dugaannya. Apa yang dipaparkan
Kaliawang demikian jelas. Sehingga, Kenanga dapat mengambil kesimpulan mengenai
kejadian yang menimpa Ketua Perguruan Kepalan Sakti.
"Itu sudah pasti. Kalau tidak, mana mungkin Ki Parwana sampai tega membantai
murid-muridnya dengan cara yang demikian kejam. Hm..., sungguh keji perbuatan
Gendruwo Rimba Dandara...," tukas Panji yang rupanya mempunyai dugaan sama
dengan kekasihnya.
"Menurut ingatanku, tokoh yang berjuluk Gendruwo Rimba Dandara tinggal di daerah
utara. Hanya di daerah itulah ada Rimba Dandara. Apa kau mempunyai rencana,
Kang...?" tanya Kenanga.
"Mengenai hal itu, biarlah kita pikirkan nanti. Yang penting sekarang kesembuhan
Ki Parwana. Setelah mendapat penjelasan tentang permusuhan Ki Parwana dengan
tokoh sesat itu, baru kita mengatur rencana dan mencari Gendruwo Rimba
Dandara..," ujar Panji yang bermaksud mengobati Ki Parwana.
Kaliawang dan Balitang tidak berkata apa-apa. Mereka tidak berani lagi
menganggap remeh kedua orang muda itu dan mulai menduga Panji dan Kenanga bukan
orang sembarangan. Terbukti mereka berdua mengenal Gendruwo Rimba Dandara.
Bahkan tahu letak belantara itu.
"Aku akan menyiapkan kamar untuk kalian menginap...," Kaliawang bergerak bangkit
dari duduknya. Dan bergegas meninggalkan tempat itu untuk menyiapkan kamar Panji dan Kenanga.
"Jangan terlalu merepotkan Kaliawang. Kami sudah terbiasa tidur di hutan
terbuka...," ujar Panji kepada lelaki tinggi kurus itu yang menanggapi dengan
senyum. Tidak berapa lama kemudian, Kaliawang kembali muncul dengan wajah cerah.
Kelihatannya ia tidak merasa keberatan dan menerima Panji dan Kenanga dengan
hati ikhlas. "Silakan kalian melepas lelah. Setelah itu baru kita membicarakan pengobatan
guru kami...," ujar lelaki tinggi kurus itu dengan hormat.
Merasa sudah kepalang basah, Panji maupun Kenanga tidak menolak permintaan
Kaliawang. Keduanya bergerak bangkit dan mengikuti langkah lelaki tinggi kurus
itu ke kamar yang telah disediakan. Kaliawang mohon diri setelah kedua orang
muda itu memasuki kamarnya masing-masing.
5 Memang tidak mudah Panji menyembuhkan kegilaan Ki Parwana. Sebab
penyebabnya bukan racun atau yang sejenisnya. Pemuda itu memerlukan waktu yang
cukup lama dan harus menggunakan kekuatan batinnya untuk menghilangkan rasa
bersalah yang mendera jiwa Ki Parwana. Untuk menggunakan kekuatan batin, Panji
memerlukan banyak tenaga dalam.
Kaliawang dan Balitang setiap hari melihat perkembangan kesehatan gurunya.
Kedua lelaki yang mengambil alih pimpinan perguruan itu telah menaruh
kepercayaan penuh kepada Panji dan Kenanga. Mereka menyerahkan kesembuhan Ki
Parwana pada Panji. Hasilnya ternyata tidak mengecewakan. Meski tidak segera
pulih seperti sediakala, namun kemajuan Ki Parwana terlihat nyata.
"Bagaimana perkembangan guru kami, Panji...?" tanya Kaliawang mendatangi Panji
di taman belakang perguruan. Saat itu Panji baru saja selesai bersemadi untuk
memulihkan tenaga dalamnya yang banyak terkuras selama mengobati Ki Parwana.
"Saat ini beliau sedang tidur. Kuharap kalian menunggu sampai beliau terbangun.
Kelihatannya ada harapan yang cukup besar. Kemungkinan dalam beberapa hari lagi
beliau akan sembuh," jawab Panji seraya menyusut peluh yang membasahi wajah dan
tubuhnya yang bertelanjang dada.
Lega hati Kaliawang dan Balitang mendengar penjelasan Panji. Itu terlihat jelas
dari tarikan napas mereka yang panjang dan ringan.
"Entah bagaimana kami harus membalas budi haikmu, Panji. Rasanya seumur hidup
kami tidak akan sanggup membayar budi baik kalian berdua...," ujar Kaliawang.
Panji tertawa pelan. Seraya menjatuhkan tubuhnya pada sebuah batu pipih yang
dibentuk seperti kursi panjang, terdengar helaan napasnya saat tawanya berhenti.
"Kaliawang," ujar Panji kemudian. "Kalau seseorang memberikan pertolongan dengan
mengharapkan balasan, jelas itu tidak benar. Kalau memang ingin menolong harus
benar-benar ikhlas dan rela berkorban tenaga dan pikiran bahkan mungkin nyawa.
Jadi, sebaiknya kau tidak perlu memikirkan balasan untuk kami berdua. Apa yang
kami lakukan adalah hal yang wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan. Melihat Ki
Parwana sembuh saja, senang rasanya hatiku. Lagi pula, menolong sesama manusiaa
sudah menjadi kewajiban kita semua. Nah, apakah perkataanku salah?"
Kaliawang dan Balitang hanya bisa menatap kagum pemuda tampan berbudi luhur itu.
Mereka merasa sangat kecil bila dibandingkan dengan Panji. Selain kalah dalam
pengalaman, pemuda itu pun berpandangan luas dan pandai menyusun kata-kata. Itu
merupakan pengalaman baru bagi mereka. Diam-diam keduanya berjanji dalam hati
akan mencontoh sikap dan perbuatan pemuda tampan itu. Pemuda itu memang pantas
dijadikan contoh mereka, bahkan oleh tokoh-tokoh persilatan lainnya yang mengaku
pendekar pembela keadilan.
"Kami benar-benar harus belajar banyak darimu, Panji...," ujar Kaliawang
mewakili Balitang.
"Sudahlah. Kalian hanya membuatku malu saja...," elak Panji mengibaskan
Istana Yang Suram 13 Sepasang Garuda Putih Seri Keris Pusaka Sang Megatantra 5 Karya Kho Ping Hoo Petaka Cinta Berdarah 1
^