Pencarian

Goa Larangan 1

Pendekar Naga Putih 60 Goa Larangan Bagian 1


Serial Pendekar Naga Putih
GOA LARANGAN oleh T. Hidayat
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : TuH S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa Isln tertulis dari
penerbit Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert & Editor : De wi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 Cahaya kemerahan tampak menghias kaki langit sebelah timur. Tak lama kemudian,
kegelapan mulai turun perlahan merambah permukaan bumi. Dan purnama pun muncul
menghiasi langit yang kelam. Cahayanya yang kuning keperakan menebar, menguak
kegelapan malam.
"Auuung...!"
Seiring dengan munculnya purnama dan hembusan angin dingin yang bertiup keras
terdengar lolongan anjing hutan.
Gema lolongannya terbawa angin hingga jauh ke Desa Larang.
Suara lolongan yang terdengar menyayat hati dan mendirikan bulu roma itu membuat
warga Desa Larang semakin rapat memejamkan matanya.
Tapi siapa sangka dalam suasana seperti itu, yang
membuat orang enggan ke luar rumah, terlihat dua orang pengendara kuda tengah
menerobos kegelapan malam.
Dengan bantuan cahaya rembulan, kedua penunggang kuda itu bergerak perlahan
menuju Desa Larang.
"Sudah kuduga, kita pasti akan kemalaman di jalan sebelum tiba di Desa Larang.
Kalau saja Ka-kang mau mendengar nasihatku untuk berangkat esok pagi, mungkin
tidak akan begini jadinya. Apalagi suasana malam ini begitu menyeramkan. Hhh....
Entah mengapa hatiku berdebar-debar.
Mungkin karena kita masih harus melewati tepi Hutan Larangan yang angker
itu...," gumam penunggang kuda berwajah kurus dengan sebaris kumis tercukur
rapi. Nada suaranya
terdengar tak puas menyalahkan kawan seperjalanannya.
"Tapi kita tidak bisa meninggalkan tempat ini sebelum jenazah adikku dimakamkan.
Apa kata orang nanti kalau aku tidak ikut mengantar ke kuburan" Kalau saja sakit
adikku tidak terlalu parah dan utusannya tidak berpesan agar aku segera
datang, mungkin aku tidak akan menjenguknya. Sebab aku tidak suka melewati tepi
Hutan Larangan. Sayang, kita tidak bisa melewati jalan lain untuk sampai ke desa
adikku. Jadi, yahhh... Terpaksa harus kulakukan. Kuharap kau mau mengerti, Adi
Guminta,..," sahut lelaki gagah yang tampak masih diselimuti kedukaan. Rupanya
dia masih terkenang adiknya yang pergi untuk selama-lamanya.
Lelaki bertubuh kurus yang bernama Guminta hanya
menghela napas panjang. Kedukaan sahabatnya bukan tidak dimengertinya, tapi dia
tidak bisa menenteramkan hatinya yang dipenuhi rasa cemas. Karena mereka harus
melewati tepi Hutan Larangan untuk sampai ke desa tempat tinggal mereka.
"Auuung...!"
"Binatang keparat! Lolongannya membuat hatiku semakin tak tenang!" umpat Guminta
ketika serigala hutan kembali memperdengarkan suaranya yang mendirikan bulu
roma. "Tahan mulutmu, Adi! Jangan terlalu banyak mengumpat Sebaiknya kita berdoa agar
selamat sampai ke desa kita."
Lelaki gagah yang bernama Jatayu menasihati Guminta agar jangan melontarkan
makian setiap kali mendengar lolongan binatang buas.
"Bagaimana aku bisa tenang, Kakang. Lolongan binatang setan itu seolah sengaja
diperdengarkan untuk membuat kita ketakutan. Huh! Kalau saja binatang itu berani
datang mendekat, akan kuhabisi nyawanya!" geram Guminta tak mau mendengar
nasihat Ki Jatayu.
Sesungguhnya lelaki itu sengaja melontarkan kata-kata agar rasa takutnya
berkurang. Dan ternyata usahanya cukup berhasil. Sebab dengan banyak berbicara,
rasa takutnya bisa terlupakan. Sayang ucapan yang dikeluarkannya terlalu kasar,
hingga membuat Ki Jatayu tak senang.
"Biarkan binatang itu melolong sesuka hatinya, Adi. Yang penting kita tetap
menjaga sikap dan ucapan agar penghuni Hutan Larangan tidak marah. Aku khawatir
ucapanmu akan mencelakakan kita berdua...," Ki Jatayu kembali menasihati Guminta
dengan mengingatkan keangkeran Hutan Larangan.
"Kau jangan
menakut-nakuti aku, Kakang...," desis
Guminta. Wajah lelaki kurus itu berubah pucat ketika mendengar ucapan Ki Jatayu. Apalagi
saat itu mereka sudah semakin dekat dengan Hutan Larangan Guminta tidak bisa
lagi menyembunyikan rasa takutnya.
"Aku bukan ingin menakut-nakutimu, Adi Guminta. Tapi sekadar mengingatkanmu agar
bisa menjaga mulutmu," ujar Ki Jatayu seraya memperlambat lari kudanya saat tepi
Hutan Larangan tinggal beberapa tombak lagi di depan mereka.
Wajah Guminta semakin pucat ketika jarak tepi Hutan Larangan bertambah dekat.
Jelas terlihat kalau lelaki kurus berusia sekitar tiga puluh tahun itu tengah
dilanda ketakutan yang cukup hebat
"Kakang, lihat...!" Guminta berseru tertahan ketika di depan mereka terlihat dua
bulatan berwarna merah. "Itu..., itu mata setan...!"
Ki Jatayu pun sempat tergetar hatinya ketika melihat dua bulatan berwarna merah
darah menghadang perjalanan mereka. Kendati demikian, lelaki gagah itu mencoba
untuk tetap bersikap tenang, dan meneliti dengan seksama sepasang mata yang
menghadang di depan.
Angin dingin bertiup keras membuat dedaunan pohon
tersibak. Dan cahaya rembulan yang menerobos dedaunan pohon, jatuh tepat di
tempat sepasang mata merah darah itu berada.
"Hhh.... Rupanya hanya seekor serigala kesasar," gumam Ki Jatayu menghela napas
lega. Tapi rasa lega itu hanya berlangsung sekejap, karena tiba-tiba terdengar
suara aneh yang membuat dada mereka berdebar keras.
"Keaaak..., kik..., kik..., kik,..!"
Suara parau menyeramkan yang sanggup membuat putus nyawa seorang,penakut itu
terdengar bergema panjang, disertai hembusan angin dingin yang bertiup keras.
"Ssse..., se..., setaaan...!"
Guminta tidak sanggup lagi menahan rasa takut yang mendera hatinya. Bagai orang
yang kerasukan setan, kudanya segera dibedal dan melesat secepat anak panah,
menerobos kegelapan malam.
"Adi Guminta! Tahaaan...!"
Ki Jatayu berusaha mencegah Guminta. Sayang, perbuatan lelaki gagah itu sia-sia,
karena Guminta sudah tidak peduli lagi dengan keadaan di sekelilingnya.
Tapi sebelum Guminta sempat lari jauh, tiba-tiba terlihat sesosok bayangan hitam
yang mirip kelelawar raksasa, terbang mengejar lelaki kurus itu. Dan....
Breeet! Breeer!
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian panjang merobek kehenlngan malam. Tubuh Guminta
terlempar dari atas punggung kuda dengan pakaian berlumur darah.
"Adi Guminta...!"
Ki Jatayu memekik tertahan melihat kejadian itu. Lelaki itu cepat melesat dengan
pedang terhunus. Namun, sosok yang mirip kelelawar raksasa itu telah menghilang
di balik rimbunan pohon.
Dengan tangkas, Ki Jatayu melompat turun dari atas punggung kuda. Rasa takutnya
seketika lenyap, terhapus oleh rasa tanggung jawab atas keselamatan kawannya.
Tapi nyawa Guminta telah terbang. Lehernya hampir putus akibat cakaran makhluk
yang mirip kelelawar raksasa.
"Ah, Adi Guminta...," rintih Ki Jatayu sedih, menyaksikan kematian kawannya yang
begitu mengenaskan.
Ketika teringat akan bayangan hitam yang mirip kelelawar raksasa, Ki Jatayu
segera berbalik dengan sigap. Pedangnya disilangkan di depan dada. Sepasang
matanya berputar liar meneliti keadaan di sekitarnya. Tapi tak sesosok
makhlukpun yang dilihatnya. Hanya kegelapan dan hembusan angin dingin yang
didapatinya. "Hei, Makhluk Keparat! Apa kau sudah merasa puas dengan satu nyawa saja"!
Mengapa kau tidak bunuh aku juga" Ayo, tunjukkan rupamu! Aku, Ki Jatayu saat ini
menantangmu untuk bertarung mati-matian...!"
Ki Jatayu berteriak menantang, setelah beberapa saat lamanya sosok makhluk itu
tidak juga menampakkan diri.
Lelaki gagah itu sudah lupa akan Hutan Larangan yang dianggap keramat dan
ditakuti penduduk sekitarnya. Rupanya kematian Guminta membuatnya nekat, dan
tidak takut menghadapi kematian.
Tapi sosok makhluk yang ditunggu-tunggu tak kunjung muncul. Sehingga lelaki
gagah itu menjadi jengkel. Untuk menumpahkan
kemarahannya, Ki Jatayu menebaskan pedangnya ke sebatang pohon yang langsung berderak roboh!
Sesaat setelah pohon yang dipapasnya itu tumbang,
terdengar langkah-langkah kaki lunak berlarian ke arahnya.
Cepat Ki Jatayu berbalik sambil menyilangkan pedangnya, siap menghadapi segala
kemungkinan. Tidak berapa lama kemudian, sosok-sosok kecil bermunculan mengepung Ki Jatayu. Terdengar gerengan buas di sana-sini dengan
mata semerah saga dan air liur tak henti berjatuhan.
"Setan...!"
Bentak Ki Jatayu ketika melihat yang berdatangan
mengepungnya adalah belasan ekor serigala kelaparan. Tentu saja lelaki gagah Itu
marah, karena bukan binatang-binatang kelaparan itu yang ditantangnya.
"Hmmmr..., grrr...!"
Gerengan-gerengan
buas binatang kelaparan
itu membuat Ki Jatayu
sadar kalau dirinya tengah di ncar bahaya
maut. Maka pedang di
tangannya segera berkelebat saat dua ekor
serigala mener-jangnya
dari depan. "Mampus kau, Binatang Laknat...!"
maki Ki Jatayu seraya
menebaskan pedangnya
dengan pengerahan tenaga dalam. Crakkk! Crakkk!
Darah segar muncrat saat pedang Ki Jatayu merobek perut dan leher dua ekor
serigala yang menyerangnya. Tapi percikan darah segar itu tidak membuat gentar
yang lainnya. Malah serigala-serigala itu semakin bertambah buas. Sehingga Ki Jatayu kewalahan
menghadapi serbuan binatang-binatang buas yang licik itu.
"Makhluk keparat..!"
Sesekali terdengar lelaki gagah itu mengumpat ketika beberapa bagian tubuhnya
terkoyak oleh taring-taring yang runcing dan tajam. Sehingga Ki Jatayu terpaksa
harus bergerak mundur menjauhi tepi Hutan Larangan.
"Yeaaa...!"
Untuk kesekian kalinya pedang di tangan Ki Jatayu kembali menyambar, tiga kali
berturut-turut. Akibatnya, tiga ekor serigala yang berada di kanan dan kirinya
terjungkal roboh mandi darah. Pada saat yang hampir bersamaan, seekor serigala
yang berada di belakangnya melesat mengancam tengkuk Ki Jatayu dengan taringnya
yang runcing. Dan...
Crappp! "Aaa...!"
Ki Jatayu memekik kesakitan ketika taring binatang itu tertancap di belakang
lehernya. Cepat lelaki gagah itu mengulurkan tangannya mencekal leher serigala
buas itu. Kemudian membantingnya ke tanah dengan sekuat tenaga.
Bukkk! Tak puas hanya dengan bantingan, lelaki gagah itu
mengayunkan telapak kakinya menjejak tubuh binatang itu.
Sehingga serigala malang itu melolong ketika telapak kaki Ki Jatayu yang
mengandung tenaga dalam kuat itu meluluh-lantakkan tubuhnya.
"Mampus kau, Binatang Laknat...!" bantak Ki Jatayu geram.
Sayang, kemarahan yang melewati batas itu membuatnya lengah. Seekor serigala
yang berada di depannya menerkam dengan kedua kaki depan menerjang dada Ki
Jatayu. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu terjerembab ke belakang.
Menyadari kedudukannya sudah tidak dapat lagi bertahan, Ki Jatayu pun
mengayunkan pedangnya secara membabi buta.
Terdengar raungan keras berturut-turut disusul robohnya tiga ekor serigala
dengan tubuh bermandikan darah. Ki Jatayu sendiri langsung bergulingan menjauhi
tempat itu. Dengan sisa-sisa tenaganya, lelaki gagah itu berusaha bangkit dan
melarikan diri menuju desa.
Serigala-serigala kelaparan itu agaknya tidak ingin melepaskan calon korbannya
begitu saja. Dengan suara ribut, binatang-binatang kelaparan itu berserabutan
mengejar Ki Jatayu.
-odwo- Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, Ki Jatayu berlari
tersaruk-saruk menerobos kegelapan malam. Untunglah bias-bias cahaya rembulan yang menerobos dedaunan menolong pandangan
Ki Jatayu. Sehingga lelaki itu dapat menentukan arah larinya dengan tepat. Kalau
saja saat itu bulan Bdak muncul penuh, mungkin Ki Jatayu mengalami kesulitan
untuk mengenali jalan.
Napas Ki Jatayu sudah hampir putus karena pengerahan tenaga yang melewati batas.
Darah yang terus mengalir dari luka-lukanya membuat tenaga lelaki gagah itu
semakin lemah. Meski demikian, semangatnya berusaha dikempos, karena menyadari kalau binatang-
binatang buas yang mengejarnya sudah semakin dekat. Sayangnya tenaga Ki Jatayu
sudah tak sanggup lagi untuk menambah kecepatan larinya. Sehingga tak berapa
lama kemudian, seekor serigala yang berada di belakangnya melompat, menerkam
punggungnya. Brukkkl "Aaah...!"
Ki Jatayu terpekik kaget. Tubuhnya yang sudah semakin lemah terjerembab jatuh
mencium tanah berumput Untung senjatanya masih tergenggam erat Dan sambil
menggulingkan tubuh ke samping, pedangnya disabetkan ke belakang.
Sehingga serigala yang menerkamnya langsung terlempar


Pendekar Naga Putih 60 Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mandi darah. Ki Jatayu sendiri sudah melompat bangkit meski dengan terhuyung-
huyung. Disusulnya peluh yang membasahi wajah dan menghalangi pandangan matanya.
Menyadari dirinya sudah kembali terkepung, Ki Jatayu memutuskan untuk
mempertahankan selembar nyawanya sampai titik darah terakhir.
"Hm.... Majulah kalian! Aku akan mengadu nyawa dengan kalian...!" desis Ki
Jatayu seraya menyilangkan pedangnya di depan dada. Siap untuk bertarung mati-
matian! Terdengar gerengan buas di sana-sini. Mata-mata yang merah seperti darah,
menatapnya penuh hasrat Moncong-moncong bertaring runcing dengan air Hur yang
tak henti-hentinya menetes, siap mengoyak tubuh lelaki gagah itu.
Ki Jatayu menekan segala rasa takut dan ngeri yang mencekam jiwanya. Giginya
digertakkan kuatkuat untuk membangkitkan semangat dan keberanian yang masih
dimiliki. "Haaat...!"
Diawali sebuah bentakan keras, tubuh Ki Jatayu melayang ke depan mendahului
binatang-binatang buas itu. Pedang di tangannya berkelebat menerbitkan cahaya
putih, disertai suara berdesing nyaring. Sayang, sambaran pedangnya menemui
tempat kosong. "Setan alas...!"
Ki Jatayu memaki sekenanya ketika sambaran pedangnya kembali mengenai tempat
kosong. Padahal, untuk serangan itu sisa-sisa tenaganya telah dikerahkan.
Sehingga, tubuhnya agak terhuyung ketika serangan itu tidak memberi hasil
seperti yang diharapkan.
"Aaa...!"
Lelaki gagah itu menjerit kesakitan ketika salah seekor binatang itu melekat di
punggung dan menancapkan
taringnya. Kali ini Ki Jatayu tidak sempat lagi menyabetkan
pedangnya ke arah serigala itu. Karena pada saat itu juga serigala-serigala yang
lainnya sudah berlompatan menerkam tubuhnya. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu
terbanting ke atas tanah berumput. Terdengar jeritannya yang panjang merobek
kesunyian malam.
Pada saat serigala-serigala buas itu tengah berusaha mengoyak tubuh Ki Jatayu,
tiba-tiba muncul sesosok bayangan putih yang langsung saja mengibaskan kedua
tangannya. Sehingga, binatang-binatang buas itu terlempar ke kiri dan kanan.
Beberapa di antaranya langsung tewas dengan tubuh remuk karena terbentur batang
pohon. "Pergi kalian, Binatang-binatang Laknat..!" bentak sosok bayangan putih itu
sambil melemparkan serigala-serigala buas dari tubuh Ki Jatayu. Sebentar saja
tubuh Ki Jatayu telah terbebas dari keroyokan binatang-binatang buas yang licik
itu. Sosok berjubah panjang warna putih yang ternyata seorang pemuda tampan itu
berjongkok untuk memeriksa keadaan orang yang ditolongnya. Terlihat kepalanya
menggeleng ketika menyaksikan luka-luka gigitan serigala di sekujur tubuh lelaki
tua yang malang itu. Agaknya pemuda berjubah putih itu sadar kalau nyawa Ki
Jatayu sudah tidak mungkin dapat tertolong lagi.
"Ki.,.," pemuda tampan berjubah putih itu memanggil perlahan, ketika melihat
sepasang mata Ki Jatayu bergerak membuka. Sayangnya napas orang tua itu tinggal
satu-satu. Sehingga, sukar sekali untuk mengeluarkan suara.
Ketika mendengar suara gerengan di belakangnya, pemuda berjubah putih itu segera
berbalik dengan sigap. Keadaan Ki Jatayu terpaksa dilupakannya ketika melihat
enam ekor serigala berdiri di belakangnya, siap menerkam tubuhnya.
"Hm.... Rupanya kalian masih belum pergi juga!" desis pemuda berjubah putih
dengan nada geram.
Jelas sekali terlihat kalau pemuda berjubah putih itu sangat marah pada
binatang-binatang buas yang selalu bergerombol dalam mencari mangsa. Perlahan-
lahan tubuhnya bergerak bangkit, siap menghadapi serigala-serigala yang sedang
kelaparan, "Hm...."
Pemuda berjubah putih yang berperawakan sedang itu mendengus perlahan ketika
keenam serigala buas melesat menerkamnya. Dan...
"Heaaah...!"
Hebat dan sangat mengagumkan gerakan tubuh pemuda
berjubah putih itu. Sekali melesat, sepasang tangannya bergerak ke kiri dan
kanan dengan tebasan sisi telapak tangan miring. Akibatnya, keenam serigala buas
itu langsung terlempar ke kiri dan kanan dan terbanting keras ke tanah berumput
tanpa sanggup bangkit lagi. Tulang-tulang tubuh binatang itu telah remuk akibat
hantaman sisi telapak tangan miring yang dilancarkan pemuda berjubah putih.
Sungguh mengagumkan!
Setelah memperhatikan keadaan sekeliling dan memastikan serigala-serigala itu
sudah menjadi bangkai, pemuda berjubah putih itu melangkah ke arah tubuh Ki
Jatayu. Terdengar helaan napas beratnya bernada sesal, melihat lelaki tua yang
ditolongnya telah tewas.
Mendadak pemuda berjubah putih itu membalikkan
tubuhnya. Pendengarannya yang tajam menangkap ada
desiran angin di belakangnya. Sepasang matanya mencorong tajam, siap menghadapi
kemungkinan bahaya lain yang datang mengancam.
"Kau, Kenanga...?" tegur pemuda berjubah putih saat mengenali siapa yang baru
datang dan menjejakkan kakinya di atas tanah berumput
"Ya. Aku, Kakang...," sahut suara lembut seorang gadis.
Rupanya yang baru datang itu memang Kenanga Dengan demikian, pemuda berjubah
putih itupun dapat dikenali dengan mudah. Siapa lagi yang bersama Kenanga kalau
bukan Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Aku hampir kehilangan jejakmu, Kakang. Kau berlari terlalu cepat Untunglah aku
mendengar raung kematian binatang-binatang celaka ini tadi. Sehingga dapat
menentukan tempat ini dengan tepat," ujar Kenang sambil melangkah mendekati
kekasihnya. "Kita terlambat, Kenanga. Orang tua malang ini sudah tewas kehabisan darah.
Sekujur tubuhnya dipenuhi luka bekas cakaran dan gigitan binatang itu...," sahut
Panji penuh sesal.
"Mengapa kau kecewa, Kakang" Kita hanya manusia biasa.
Jadi, wajar saja jika sekali waktu kita gagal menyelamatkan orang dari
malapetaka," hibur Kenanga mencoba mengusir rasa kecewa di hati pemuda tampan
itu. "Yahhhh.... Aku pun menyadarinya. Tapi mengapa orang tua ini berada di tempat
ini" Dan, apa pula yang menyebabkan binatang-binatang buas itu sampai
menyerangnya...?" gumam Panji bertanya-tanya.
"Rasanya jawaban pertanyaanmu tidak sulit, Kakang.
Mungkin orang tua itu seorang pengembara seperti kita, yang kemalaman di jalan.
Lalu bertemu dengan serigala-serigala kelaparan yang tengah mencari mangsa.
Karena binatang yang menyerangnya terlalu banyak, orang tua itu merasa kewalahan
dan tidak bisa mempertahankan dirinya dari keroyokan gerombolan serigala buas
itu...," sahut Kenaga, menduga-duga.
"Kasihan orang tua malang ini...," gumam Panji, iba melihat cara kemarJan Ki
Jatayu yang mengenaskan. "Sebaiknya kita melewatkan malam di tempat ini. Besok
pagi kita kuburkan jenazah orang tua malang iri...."
'Terserah Kakang sajalah...,"
sahut Kenanga tak membantah usul kekasihnya.
-odwo- 2 Lima sosok tubuh bertampang kasar dengan sinar mata tajam, bergerak memasuki
mulut Desa Larang. Begitu melewati mulut desa, mereka langsung menuju sebuah
kedai yang terletak di sebelah kiri jalan utama.
"Kita beristirahat dulu di kedai itu, sambil bertanya-tanya untuk memastikan
arah tujuan kita agar tidak meleset," ujar lelaki bertubuh tinggi kurus dengan
sepasang mata cekung.
Melihat sikap dan caranya berbicara, dapat dipastikan kalau lelaki tinggi kurus
itu bertindak sebagai pimpinan dari keempat kawannya.
"Menurutku arah yang kita ambil sudah benar, Kakang.
Bukankah desa ini bernama Larang, seperti yang tertera di tiang batu perbatasan
desa...?" sahut orang bertubuh pendek gemuk dengan bagian tengah kepalanya
botak. Rambut di kepala orang itu hanya tumbuh di kedua asi samping. Dan seluruh
permukaan wajahnya dipenuhi bopeng-bopeng bekas penyakit cacar. Sehingga, tidak
sedap dipandang mata. Apalagi sepasang matanya yang terlalu besar itu
menyiratkan kekejaman. Membuat orang enggan untuk beradu pandang dengannya.
"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Adi Gumantara.
Tapi, akan lebih baik jika kita tahu secara pasti di mana letak Goa Larangan
yang kita tuju itu. Sebab, bisa saja hanya nama desa ini yang hampir mirip
dengan tempat yang kita cari,"
bantah lelaki tinggi kurus sambil mengayun langkahnya mendekati kedai yang
tampak cukup ramai oleh pengunjung.
"Perkiraan
Kakang Gontang sama persis dengan pemikiranku. Mungkin hanya namanya saja yang hampir mirip.
Tapi, siapa tahu tempatnya berjauhan. Jadi, tidak ada salahnya kita bertanya
pada pemilik atau pelayan kedai.
Dengan demikian, kita bisa mengetahui secara pasti letak Goa Larangan itu...,"
timpal yang lainnya, mendukung usul pimpinan mereka yang bernama Gontang.
"Heh, tidak kusangka hari ini otakmu bisa berpikir jernih.
Adi Kambala. Padahal biasanya kau paling bodoh di antara yang lainnya. Ada
kemajuan rupanya, heh...?" dengus Ki Gontang bernada sedikit mengejek..
Namun, lelaki bertubuh kekar yang dipanggil Kambala tidak merasa tersinggung.
Dia hanya terkekeh memamerkan giginya yang hitam dan besar-besar.
Pembicaraan kelima orang bertampang kasar itu terhenti saat mereka sudah berada
di ambang pintu kedai. Ki Gontang melangkah masuk lebih dulu. Sepasang matanya
bergerak menyapu seluruh isi ruangan. Tubuhnya tegak di ambang pintu kedai,
membuat sebagian pengunjung menoleh ke arah lelaki tinggi kurus bermata cekung
itu. Tapi pandangan mereka segera beralih ke arah hidangan di atas meja, ketika
melihat tampang Ki Gontang yang menyeramkan. Terutama tatapan matanya yang
setajam mata elang. Sehingga
beberapa orang pengunjung yang dapat menangkap gelagat tidak baik kelima
pendatang itu, cepat-cepat menyelesaikan makannya dan bergerak meninggalkan
kedai Ki Gontang hanya mendengus ketika pengunjung yang
hendak meninggalkan kedai meminta jalan kepadanya dengan tubuh terbungkuk-bung-
kuk. Kemudian lelaki itu bergerak masuk di kuti empat kawannya.
"Ambilkan kami arak terbaik dan makanan yang paling istimewa di kedai ini.
Cepat..!" pinta Ki Gontang kepada pelayan, berusia empat puluh tahun yang
kelihatan agak takut-takut menghampiri kelima lelaki berwajah garang itu.
"Baik..., baik, Tuan...," sahut pelayan itu bergegas menyiapkan pesanan Ki
Gontang. "Hei, tunggu dulu...!" seru Gumantara. ?eruan lelaki gemuk yang mukanya
bopeng-bopeng itu membuat pelayan kedai menahan langkahnya, dan berbalik.
"Ada apa, Tuan...?" tanyanya hati-hati, takut akan berbuat salah.
Agaknya, pelayan kedai itu sudah dapat meraba kalau kelima orang tamunya
kemungkinan besar bukanlah orang baik-baik. Meskipun tidak bisa menebaknya
dengan pasti, tapi sinar mata kelima orang tamunya jelas membayangkan watak yang
kejam. Dan pelayan kedai itu tidak ingin mencari penyakit.
"Desa ini bernama Desa Larang, bukan?" tanya Gumantara dengan suara kasar.
"Benar, Tuan...," sahut pelayan itu agak gugup, melihat sorot mata yang demikian
tajam menatap wajahnya
"Hm.... Apakah desa ini ada hubungannya dengan Goa Larangan" Tahukah kau, di
mana goa itu berada...?" tanya Gumantara langsung pada tujuan.
Mendengar nama Goa Larangan, wajah pelayan itu
langsung berubah pias dan tubuhnya gemetar ketakutan.
Sehingga, Ki Gontang dan kawan-kawannya merasa heran melihat perubahan yang
tiba-tiba itu. "Hei! Apa kau tidak mendengar pertanyaanku! Mengapa kau begitu ketakutan ketika
aku menyebut nama Goa
Larangan" Hayo, jawab"!" bentak Gumantara tak sabar ketika melihat pelayan kedai
belum juga menjawab pertanyaannya
"Aku..., aku...."
Ucapan pelayan kedai itu membuat Gumantara semakin tak sabar. Tangannya langsung
mengepal, siap menghajar pelayan kedai yang ketakutan.
"Sabar, Adi Gumantara," cegah Ki Gontang ketika melihat pelayan itu semakin
sulit mengeluarkan suara. "Biar aku yang bertanya padanya...."
Gumantara mendengus jengkel. Meskipun demikian, lelaki itu tidak membantah
ucapan Ki Gontang. Tapi sepasang matanya yang besar masih tetap menatap tajam
wajah pelayan kedai yang ketakutan.
Ki Gontang yang dapat menduga pelayan kedai itu pasti mengetahui perihal Goa
Larangan, bertindak lebih ramah. Itu dilakukannya untuk
menenangkan hati pelayan kedai.
Diajaknya pelayan yang gemetar itu untuk duduk di dekatnya.
Sementara dia sendiri bangkit berdiri sambil menepuk-nepuk bahu pelayan kedai
bertubuh sedang itu.
"Aku tahu kau pasti mengenal baik tempat yang bernama Goa Larangan itu, bukan"
Nah, sekarang tunjukan pada kami, di mana goa itu berada. Jangan takut, kami
tidak akan menyakitimu. Malah kami akan memberimu hadiah sebagai imbalan atas
petunjuk yang kau berikan. Tentu saja jika petunjukmu itu benar. Kalau tidak,
terpaksa aku akan memberi hadiah dalam bentuk lain yang mungkin tidak akan
menyenangkan hatimu. Nah, sekarang katakan dengan
jujur...," bujuk Ki Gontang yang meskipun suaranya berusaha ditekan selembut
mungkin, tapi tetap mengandung nada ancaman di dalamnya.
"Goa.... Larangan... terletak di.... Ah.... Maafkan aku. Tuan.
aku tidak bisa memberitahukanmu. Tempat itu dianggap keramat oleh penduduk desa
ini. Tidak ada seorang pun yang boleh menginjakkan kakinya di tempat suci itu,
kecuali pada waktu-waktu tertentu. Apalagi bagi orang luar Desa Larang ini,
kepala desa kami melarang keras....," jelas pelayan itu mengungkapkan perihal
Goa Larangan pada kelima tamunya.
"Bagus..., bagus! Memang goa itulah yang kami cari. Dan mengenai dilarang atau
tidak, kami tak peduli. Sekarang katakan, di mana letak Goa Larangan itu?" desak
Ki Gontang tanpa mempedulikan tempat itu keramat atau tidak yang di nginkannya hanyalah
keterangan tentang letak goa itu.
"Tapi..., tapi...."
"Keparat' Rupanya kau lebih suka kami menggunakan kekerasan!" Gumantara yang
memang berwatak beringas membentak marah. Tangan kanannya langsung bergerak
menampar pelipis pelayan kedai itu.
Whuuut.. tappp!
Tamparan tangan Gumantara berhenti separuh jalan,
karena jari-jari tangan Ki Gontang telah mencekal lengannya.
Sehingga, tamparan itu tidak sampai mengenai sasaran.
"Jangan bodoh. Adi Gumantara! Bersikaplah sabar sedikit.
Kita memerlukan keterangan pelayan ini tentang letak Goa Larangan!" geram Ki
Gontangj jengkel melihat perbuatan kawannya. Gumantara segera menarik lengannya
yang dicekal erat jari-jari tangan Ki Gontang.
"Ayo. Katakan, di mana letak goa itu. Kalau tidak, kawanku ini akan segera
meremukkan batok kepalamu yang keropos dan tak berguna itu!" Ki Gontang yang
mulai kehilangan kesabaran mengeluarkan ancaman, membuat pelayan itu menggigil
ketakutan. "Jangan paksa dia, Kisanak. Tempat yang kalian cari memang merupakan tempat
keramat dan suci. Tidak ada seorang pun yang boleh menginjakkan kakinya di
tempat itu, termasuk warga desa ini, kecuali pada saat-saat yang telah
ditentukan oleh nenek moyang kami yang merupakan pendiri desa ini...."
Tiba-tiba terdengar sebuah suara tenang dan berwibawa.
Membuat Ki Gontang dan yang lainnya segera menoleh ke arah sumber suara itu.
"Hm...," Ki Gontang mendengus ketika melihat seraut wajah berwibawa dengan
potongan tubuh tegap, berdiri tegap
menatap wajah Ki Gontang dan kawan-kawannya bergantian.
"Siapa kau" Mengapa mencampuri urusan kami?"
Lelaki gagah itu tersenyum mendengar pertanyaan Ki Gontang.


Pendekar Naga Putih 60 Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa bilang ini bukan urusanku" Sebagai Kepala Keamanan Desa Larang, tentu
saja aku bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi di desa ini.
Karena tempat yang kalian cari termasuk wilayah tanggung jawabku, maka sudah
sepatutnya aku mencampuri urusan ini," sahut lelaki gagah bertubuh tegap dengan
suara tenang, tanpa rasa gentar sedikit pun, kendati Ki Gontang tidak seorang
diri. Sedangkan lelaki gagah itu hanya sendiri tanpa seorang kawan pun mendampinginya.
"Ha ha ha...! Bagus..., bagus! Kalau begitu, sekarang tunjukkan di mana letak
Goa Larangan!" ujar Ki Gontang tertawa parau mendengar ucapan lelaki bertubuh
tegap itu. Ki Gontang mendorong tubuh pelayan kedai itu hingga terjatuh ke lantai bersama
kursi yang didudukinya. Lalu kakinya melangkah ke arah lelaki bertubuh tegap.
"Boleh kutahu namamu, Kepala Keamanan Gagah Perkasa...?" tanya Ki Gontang setengah mengejek.
Jelas, lelaki tinggi kurus itu memandang remeh lelaki bertubuh tegap yang
mengaku sebagai Kepala Keamanan Desa Larang. Rupanya tokoh penting desa itu
secara kebetulan sedang berada di kedai makan. Dan mencoba menengahi keributan
itu setelah mendengar Goa Larangan disebut-sebut.
"Namaku Kaliga. Aku minta dengan sangat agar kalian tidak mengganggu
tempat keramat kami...," sahut lelaki berperawakan tegap yang mengaku bernama Ki Kaliga.
Meskipun sikap dan ucapannya kelihatan tenang. Namun, Ki Kaliga telah
mempersiapkan tenaga simpanannya untuk
dipergunakan sewaktu-waktu bila diperlukan. Apalagi menghadapi Ki Gontang yang sinar matanya demikian tajam menggetarkan jantung.
"Hm.... Asal kau tahu saja, Ki Kaliga! Melarang kami pergi ke Goa Larangan, sama
artinya dengan menantang kami.
Karena kami akan melabrak siapa saja yang berani mencegah maksud kami itu. Kau
paham?" ujar Ki Gontang seraya menatap tajam wajah Ki Kaliga yang balas
menatapnya dengan sorot yang tidak kalah tajam.
"Ah, Kakang Gontang terlalu bertele-tele. Untuk apa meladeni cecunguk itu. Hajar
saja, dan paksa dia untuk menunjukkan letak Goa Larangan. Kalau masih membandel
juga, siksa saja sampai dia menyesal telah dilahirkan ke dunia ini oleh ibunya,"
ucap Gumantara tidak sabar melihat sikap Ki Gontang yang dianggapnya terlalu
sabar. Ki Kaliga segera merasakan gelagat yang tidak baik Melihat sepasang tangan Ki
Gontang mulai mengepal, kepala
keamanan desa itu segera menggenjot tubuhnya melesat ke luar kedai. Ki Kaliga
tidak ingin bertarung di dalam kedai yang nanti akan merugikan pemilik kedai
makan itu. "Hei, mau ke mana kau, Pengecut.."!"
Gumantara yang berewatak berangasan langsung melesat mengejar. Tubuh gemuk yang
kelihatan berat itu ternyata mampu bergerak cepat, seolah bukan menjadi halangan
baginya. Dari ani dapat ditebak kalau ilmu meringankan tubuhnya tidak bisa
dipandang ringan.
Jleg! Gumantara mendaratkan kedua kakinya dalam jarak satu tombak lebih di hadapan Ki
Kaliga. Kepala keamanan desa itu memang bukan ingin melarikan diri seperti yang
diduga Gumantara. Terbukti lelaki bertubuh tegap berusia sekitar empat puluh
lima tahun itu sudah berdiri menunggu di
samping kedai, yang mempunyai halaman cukup luas untuk digunakan sebagai medan
perkelahian. "He he he...! Kusangka kau sejenis ayam sayur, Ki Kaliga.
Ternyata kau termasuk pejaman jenis petarung. Aku suka dengan sikapmu...," ujar
Gumantara memperdengarkan tawa yang sumbang dan tidak enak didengar.
"Hm.... Apapun akan kuhadapi untuk mempertahankan kehormatan Desa Larang. Untuk
tugas ini, aku siap
mempertaruhkan selembar nyawaku!" tegas Ki Kaliga dengan sikap gagah dan penuh
wibawa. Bahkan kedua kakinya sudah dilebarkan, siap untuk menghadapi serangan
mendadak "Bagus! Aku ingin lihat, apakah kepandaianmu sehebat sikapmu," ejek Gumantara
segera menyiapkan jurusnya untuk menggebrak Ki Kaliga.
Kepala Keamanan Desa Larang pun sudah membuka
jurusnya, siap menyambut serangan lawan. Sikap kuda-kuda yang ditunjukkan Ki
Kaliga terlihat
kokoh, membuat Gumantara mengangguk-angguk
sebagai pertanda mengagumi kedudukan kuda-kuda lawan.
Kedua tokoh itu bergerak memutar menyiapkan gebrakan dengan menggunakan jurus
pilihan mereka Sementara, Ki Gontang dan tiga kawannya menyaksikan pertarungan
yang akan segera berlangsung dari tepi arena.
Belasan warga Desa Larang kelihatan mengintip dari rumahnya untuk menyaksikan
perkelahian itu. Beberapa di antaranya memberanikan diri menyaksikan secara
terbuka. Sehingga sebentar saja di sekeliling arena, dalam jarak dua tombak lebih, telah
cukup banyak orang yang hendak menyaksikan perkelahian itu.
-odwo- "Heaaat..!"
Gumantara berteriak keras sebagai tanda kalau serangannya akan dimulai. Tubuh lelaki gemuk pendek berwajah bopeng itu melesat
cepat, disertai pukulan susul-menyusul yang menimbulkan desiran angin
berkesiutan. Jelas kalau menunjukkan kekuatan yang tersembunyi dalam
serangan itu tidak bisa dipandang ringan.
Bettt! Betet! Serangkaian pukulan yang cepat dan kuat datang
mengancam beberapa bagian terlemah tubuh Ki Kaliga. Lelaki tegap itu pun tidak
mau tinggal diam. Dengan sebuah gerakan yang indah, tubuhnya meliuk menghindari
setiap lontaran pukulan yang dikirimkan lawan. Kemudian membalas dengan tidak
kalah hebatnya. Sebentar kemudian, keduanya telah terlibat
dalam sebuah perkelahian yang seru dan menegangkan Suara angin pukulan terdengar berkesiutan silih berganti.
Membuat arena pertempuran diselimuti kepulan debu akibat geseran kaki dan
tendangan mereka. Sehingga bagi orang yang tidak memiliki kepandaian ilmu silat,
tidak dapa membedakan antara kepala keamanan desa mereka, dan lelaki gemuk
berwajah bopeng. Kedua orang itu hanya tampak seperti dua sosok bayangan yang
saling libat dan saling terjang.
"Hiaaat..!"
Gumantara kelihatan sangat
bernafsu ingin segera
melumpuhkan lawannya. Serangannya datang bertubi-tubi bagai air bah yang
mengalir deras. Sehingga dalam jurus-jurus awal, Gumantara berada di atas angin.
Sebab, Ki Kaliga lebih banyak bertahan daripada melancarkan serangan. Agaknya
tokoh bertubuh tegap itu sengaja hendak menguras tenaga lawan, kemudian balas
menyerangnya setelah lawannya mulai kepayahan.
Siasat yang dilancarkan Ki Kaliga ternyata gagal. Meskipun Gumantara terlihat
menghambur-hamburkan tenaga, tapi sampai jurus kedua puluh, lelaki gemuk itu
masih gencar melancarkan serangannya. Bahkan makin lama kelihatan kian hebat dan
berbahaya. Ki Kaliga terkejut melihat kekuatan lawan seperti tak pernah
berkurang. Maka, kepala keamanan desa itu pun merubah siasatnya dengan balas
menggempur sesekali.
Plak! Plak! "Aihhh..."!"
Terdengar benturan keras berturut-turut, disusul pekik tertahan dari salah
seorang petarung. Terlihat tubuh Ki Kaliga terjajar mundur sejauh empat langkah.
Sedangkan tubuh lawannya hanya tergetar di tempat Itu membuktikan kalau kekuatan
tenaga dalam Ki Kaliga masih satu tingkat di bawah lawan. Demikian pula dalam
kecepatan. Gumantara masih lebih unggul dari lawannya.
Kenyataan itu membuat Ki Kaliga terperanjat Tidak
disangkanya kalau lelaki gemuk pendek berwajah bopeng itu masih lebih unggul
dalam segala hal dari dirinya. Berpikir begitu, Ki Kaliga lebih berhari-hari dan
langsung mengeluarkan jurus-jurus andalan untuk menghadapi lawan.
"Yeaaa...!"
Kembali Gumantara membuka serangan lebih dulu. Kaki dan tangan lelaki gemuk
pendek itu bergerak cepat
mengirimkan pukulan dan tendangan berbahaya. Dengan sasaran adalah bagian-bagian
terlemah tubuh lawan.
"Heaaah...!"
Ki Kaliga menggeser tubuhnya saat sebuah pukulan lawan datang
mengincar pelipisnya. Kemudian dikirimkannya serangan balasan dengan sodokan jari-jari tangan, yang bergerak dari bawah ke
atas, mengarah ulu hati lawan. Tapi,
Gumantara tampaknya telah mempersiapkan segalanya
dengan cermat Terbukti serangan itu dapat digagalkannya dengan tepisan telapak
tangan kiri. Sehingga, serangan Ki Kaliga lewat dari sasaran.
Kesempatan baik sewaktu kuda-kuda Ki Kaliga tergempur akibat tepisan tangannya,
tidak dilewatkan begitu saja oleh Gumantara.
Cepat tubuh lelaki itu berputar sambil mengirimkan sebuah tendangan kilat ke perut lawan.
Bukkk! "Aaakh...!"
Tendangan yang cepat dan kuat itu tidak sempat lagi dihindari Ki Kaliga.
Akibatnya, tubuh lelaki tegap itu terdorong ke belakang, dan nyaris jatuh kalau
tidak segera melempar tubuhnya dengan bersalto dua kali di udara.
Tapi, Gumantara seperti telah memiliki pengalaman yang sangat luas dalam
bertarung. Seperti dapat membaca gerakan lawan, tubuh lelaki gemuk pendek itu
segera melesat ke depan seraya mendorongkan telapak tangannya ke dada Ki Kaliga,
tepat pada saat tubuh lelaki tegap itu meluncur turun dan siap mendarat di atas
tanah. Sehingga.....
Desss! "Huakkkh...!"
Darah segar menyembur keluar ketika sepasang telapak tangan Gumantara singgah di
dada lelaki tegap itu. Akibatnya, tubuh Ki Kaliga terlempar ke belakang sejauh
satu tombak! Dan terus jatuh berdebuk di atas tanah berdebu, hingga menimbulkan kepulan debu
yang cukup tebal
"He he he...! Ternyata hanya begitu saja kepandaian yang dimiliki seorang
keamanan desa!" ejek Gumantara tertawa perlahan dengan sikap semakin angkuh.
Kemudian, lelaki gemuk itu melangkah satu-satu menghampiri Ki Kaliga yang tengah berusaha bangkit sambil mendekap dadanya yang
terasa panas dan sesak Lelaki bertubuh tegap itu terbatuk dan mengeluarkan
cairan merah. Rupanya hantaman sepasang telapak tangan Gumantara telah mengakibtkan luka dalam
yang tidak ringan.
Plak! Sebelum Ki Kaliga sempat menyadari datangnya serangan, tamparan keras pada
pelipisnya membuat lelaki itu tersungkur pingsan.
"Bawa dia, Gumantara...!" perintah Ki Gontang dan segera mengajak
kawan-kawannya meninggalkan tempat itu. Sebentar kemudian, tubuh mereka tinggal bayangan samar di kejauhan.
"Ayo, kita laporkan kejadian ini pada kepala desa...!" ujar seorang warga yang
segera berlari untuk melaporkan kejadian itu pada kepala desa. Beberapa orang
lainnya ikut menyertai.
-odwo- 3 "Apa"! Ki Kaliga diculik orang"!" Lelaki tua bertubuh gemuk itu terlontar dari
kursinya. Wajahnya yang kelimis dengan kumis tercukur rapi, rampak diliputi
keheranan besar. Lelaki yang memiliki sepasang mata setajam elang itu tidak
mempercayai laporan yang baru saja disampaikan seorang warganya.
Kepala Desa Larang yang bernama Ki Samiang itu tentu saja tidak bisa mempercayai
laporan warganya begitu saja.
Selain mengenal baik siapa Ki Kaliga, Ki Samiang juga Cdak mempercayai kalau
tangan kanannya itu diculik orang. Mana
mungkin Ki Kaliga yang cukup mempunyai ilmu silat itu sampai diculik orang"
"Apa kau tidak salah lihat..?" tanya lelaki gemuk itu kepada salah satu dari
tiga orang warga desanya yang datang melaporkan kejadian itu.
"Tidak, Ki. Kami menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Bahkan masih banyak warga yang menyaksikan kejadian itu.
Entah apa yang membuat Ki Kaliga berkelahi dengan salah seorang dari lima lelaki
bertampang kasar itu. Dan Ki Kaliga terpukul roboh, lalu dibawa kabur oleh
mereka...," lelaki bertubuh sedang dengan kulit muka kecoklatan melengkapi
laporannya agar Ki Samiang lebih yakin.
"Aneh"! Benar-benar sulit dipercaya. Bagaimana mungkin Ki Kaliga dapat begitu
mudah dirobohkan lawan" Lagi pula, apa keperluan kelima orang asing itu sampai
harus membawa kabur?" gumam Ki Samiang melangkah hilir-mudik sambil menggeleng
kepala dengan perasaan tak menentu.
Setelah hilir-mudik beberapa kali dengan benak dipenuhi berbagai
macam pertanyaan,
Ki Samiang mendadak menghentikan langkahnya dan kembali menatap ketiga orang warga desanya.
"Lalu, ke mana mereka membawa pergi Ki Kaliga...?" tanya kepala desa itu,
mencoba, untuk mempercayai laporan warganya.
"Mereka menuju ke selatan, Ki...," jawab lelaki yang wajahnya kecoklatan dengan
mantap. Sehingga, mau tidak mau Ki Samiang mulai mempercayai laporan itu. Karena ketiga
warganya itu terlihat sangat yakin dan tidak ragu-ragu dalam menjawab setiap


Pendekar Naga Putih 60 Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanyaan yang dilontarkannya. Kelihatannya mereka memang tahu persis dan bukan
mendengar dari orang lain.
"Baiklah. Aku akan segera menyelidiki dan mencari kelima orang asing itu.
Sekarang kalian boleh kembali ke rumah masing-masing," ujar Ki Samiang
mengucapkan terima kasih atas kesediaan mereka mau melaporkan kejadian itu
kepadanya. Setelah membungkuk hormat dan mohon diri, ketiga petani itu bergegas
meninggalkan rumah besar yang menjadi tempat tinggal kepala desanya.
"Hm.... Tunggu sebentar...!"
Tiba-tiba Ki Samiang mencegah kepergian warga desanya yang baru saja tiba di
ambang pintu. Sehingga mereka menahan langkah dan membalikkan tubuh.
"Ada yang bisa kami lakukan, Ki...?" salah seorang dari mereka menawarkan
bantuan sambil membungkuk hormat /
"Tidak..., tidak. Aku hanya ingin memastikan apakah benar mereka menuju selatan
desa ini?" tanya Ki Samiang seraya menggoyangkan telapak rangannya, menolak
dengan halus tawaran warganya
"Pasti, Ki. Kami yakin sekali...."
Kembali lelaki berwajah kecoklatan menjawab tegas, membuat Ki Samiang
mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu, mereka akan melewati Hutan Larangan"
Atau bukan mustahil mereka telah memasuki hutan itu.
Celaka! Aku harus segera mencegah orang-orang asing itu mengotori keramat dan
suci warga desa ini" Gumam Ki Samian sambil mengelus dagunya yang licin tanpa
jenggot. Wajah lelaki tua itu kelihatan agak tegang ketika teringat tempat angker yang
seringkali digunakari sebagai tempat pemujaan roh leluhur warga Desa Larang,
termasuk dirinya.
"Apakah kami masih diperlukan, Ki...?"
Seorang lelaki bertubuh sedang bertanya dengan hati-hati.
Agaknya mereka merasa risih harus berdiri seperti itu, dan menyaksikan sikap
kepala desanya yang nampak kebingungan dan tegang.
Ki Samiang tersentak dari lamunannya. Cepat kepalanya menoleh ke arah asal
suara. Dia baru menyadari ketika melihat tiga orang warganya yang melapor masih
berdiri dengan wajah resah.
"Tidak..., tidak. Kalian boleh pergi...," ujar Ki Samiang, membuat ketiga orang
itu merasa lega dan bergegas
meninggalkan tempat itu.
Tinggalan Ki Samiang berjalan hilir-mudik sambil menggendong kedua tangannya di belakang. Beberapa saat kemudian, dia berseru
memanggil para pengawalnya. Dan minta disiapkan seekor kuda serta dua belas
orang pengawal, untuk menemaninya melakukan pencarian terhadap Ki Kaliga.
Tidak berapa lama kemudian, terlihat rombongan kecil penunggang kuda bergerak
meninggalkan tempat kediaman Kepala Desa Larang. Mereka adalah Ki Samiang dan
dua belas pengawalnya.
Setelah melewati mulut desa, Ki Samiang membedal
kudanya yang segera meluncur cepat melintasi jalanan tanah berdebu. Sedangkan
kedua belas orang pengawal itu berada setengah tombak di belakangnya. Rombongan
itu terus bergerak cepat menuju arah selatan Desa Larang, yang merupakan wilayah
hutan yang sangat lebat dan dianggap sebagai tempat suci oleh penduduk Desa
Larang. Pada sebuah persimpangan jalan, Ki Samiang membawa rombongannya mengambil jalan
ke arah sebelah kiri, tepat menuju Hutan Larangan. Beberapa pengawal kepala desa
itu tampak berwajah tegang. Mereka merasa gentar harus melewati daerah hutan
angker itu. Ki Samiang sendiri berusaha menekan rasa tidak tenang di dalam hatinya. Lelaki
tua itu menghibur diri dengan meyakinkan dirinya bahwa mereka hanya akan mencari
di sekitar tepi hutan, dan tidak masuk ke dalamnya. Karena itu merupakan
pantangan yang tidak boleh dilanggar, kecuali pada waktu-waktu tertentu,
seperti.mengadakan upacara penyembahan. Dengan meyakinkan niat itu, hati Ki
Samiang sedikit agak tenang. Sehingga, kudanya terus bergerak maju semakin
mendekati tepi Hutan Larangan.
Tapi, beberapa tombak sebelum mencapai tepi hutan, Ki Samiang menarik tali
kekang kudanya. Wajahnya terlihat agak pucat, dan sepasang matanya menyipit,
seolah hendak menajamkan penglihatannya.
"Ada apa, Ki...?" tegur seorang pengawal yang berada tepat di belakangnya.
Nada bicara orang itu terdengar bergetar, menyiratkan ketegangan hati
pemiliknya. Dan, Ki Samiang tidak berkata apa-apa. Kepala Desa Larang itu maklum
akan perasaan semua penduduk desanya, jika mendekati rimba angker itu.
Pertanyaan pengawal itu tidak dijawab Ki Samiang dengan kata-kata. Laki-laki
gemuk itu hanya meluruskan jari telunjuknya ke arah sebuah benda, yang dari
kejauhan tampak seperti sesosok tubuh yang berbaring diam.
"Mungkinkah itu Ki Kaliga yang telah dianiaya, kemudian dibunuh kelima orang
asing itu, Ki...?" ujar pengawal itu lagi menduga-duga, membuat Ki Samiang
mengerutkan keningnya dalam-dalam. Di benak lelaki tua itu tidak terpikir akan
dugaan demikian.
"Hm...."
Ki Samiang hanya bergumam perlahan meski dadanya
terasa berdebar lebih cepat dari biasa. Lalu dia melompat turun dari atas
punggung kudanya
"Kalian berdua ikut aku...!" perintah lelaki gemuk itu seraya menunjuk dua
pengawal yang berada di belakangnya.
"Baik, Ki..," sahut keduanya segera bergerak turun dari atas punggung kuda
masing-masing. Kedua pengawal itu melangkah di sisi kiri dan kanan kepala desanya dengan sikap
waspada. Meskipun mereka sebenarnya merasa gentar, tapi tidak berani menunjukkannya di
depan Ki Samiang. Karena rasa malu dan hormat kepada kepala desa yang baik hati
itu. Semakin dekat dengan benda itu, Ki Samiang bertambah yakin kalau benda yang
berada tak jauh dari tepi Hutan Larangan itu adalah sesosok tubuh manusia yang
telah tewas. Itu dapat diketahui dari bercak-bercak darah yang mulai kering di seluruh
pakaian yang terkoyak-koyak itu.
"Itu memang sesosok mayat, Ki...," ujar pengawal yang berada di sebelah kanan Ki
Samiang. Sambil berkata demikian,
pengawal itu menggeser
tubuhnya ke belakang lelaki gemuk itu. Wajahnya tampak pias dan dipenuhi peluh
sebesar butir-butir jagung
"Aku tahu. Tapi kita harus memastikannya, apakah benar itu mayat Ki Kaliga.
Melihat bercak-bercak darah yang hampir kering di sekujur tubuhnya, pasti itu
bukan mayat Ki Kaliga.
Karena dia baru beberapa saat yang lalu diculik...," ujar Ki Samiang segera
dapat menebak dengan tepat, setelah menenangkan pikirannya.
"Kalau begitu, sosok mayat itu siapa, Ki...?" gumam pengawal yang berada di kiri
Ki Samiang Suaranya tampak kering dan sukar dikeluarkan. Beberapa kali pengawal itu harus
meneguk air liurnya untuk membasahi tenggorokan.
"Untuk mengetahuinya secara pasti, kita harus melihatnya dari dekat..," ujar Ki
Samiang melanjutkan langkahnya dengan sikap penuh waspada. Karena hati lelaki
gemuk itu tak lepas dari rasa tegang dan gentar.
Setelah dengan susah-payah melangkah, akhirnya ketiga orang itu tiba di dekat
mayat yang keadaannya hampir tak dapat dikenali lagi. Sekujur tubuh dan wajahnya
terkoyak-koyak seperti diserang binatang buas yang kelaparan. Bahkan beberapa
anggota tubuhnya sudah tak utuh lagi, kemungkinan besar orang malang itu telah
diserang binatang buas penghuni Hutan Larangan.
"Hei! Bukankah ini Guminta, yang beberapa hari lalu pergi bersama Ki Jatayu
untuk menengok keluarga orang tua itu di desa sebelah"! Mengapa dia tewas di
tepi Hutan Larangan"
Dan, ke mana perginya Ki Jatayu...?" ujar salah seorang pengawal. Rupanya dia
masih bisa mengenali mayat yang rusak itu.
"Guminta...?" desis Ki Samiang mencoba mengingat nama itu.
Setelah beberapa saat orang tua itu baru teringat kalau Guminta adalah salah
seorang warganya. Kalau Ki Jatayu sudah dikenalnya dengan baik. Karena nama itu
cukup terkenal di kalangan penduduk Desa Larang. Lagi pula, dia adalah seorang
guru silat di desanya.
"Rupanya Ki Jatayu dan Guminta hendak pulang ke Desa Larang Tapi, mereka
kemalaman di jalan sebelum mencapai desa. Kemungkinan besar keduanya diserang
serigala-serigala kelaparan yang seringkali terlihat di batas desa, saat hari
menjelang malam...," ujar Ki Samiang menduga kejadian yang menimpa dua warga
desanya itu. "Jika demikian, mengapa mayat Ki Jatayu tidak berada di sekitar tempat ini"
Rasanya mustahil kalau ia melarikan diri ke dalam hutan," timpal salah seorang
pengawal dengan suara
berbisik. Agaknya dia hampir tidak kuat lagi mengeluarkan suara karena
ketakutan. "Bisa saja Ki Jatayu melakukan kesalahan seperti itu.
Karena keadaan malam yang gelap maka ia tidak bisa mengenali jalan dengan baik.
Tapi, untuk mencari mayatnya ke daiam hutan jelas tidak mungkin. Itu merupakan
pantangan bagi kita," ujar Ki Samiang seraya menghela napas panjang dengan wajah
berduka. Kepala desa itu merasa terpukul dengan kejadian yang baru pertama kali dialami
penduduk desanya. Belum lagi Ki Kaliga dapat ditemukan, kini dia harus menerima
kenyataan pahit dengan tewasnya Guminta dan lenyapnya Ki Jatayu. Ini merupakan
malapeteka bagi penduduk Desa Larang yang selama ini aman dan tenteram.
"Lalu..., apakah kita tidak perlu mengetahui nasib Ki Jatayu, Ki?" tanya salah
seorang pengawal dengan muka bodoh. Pertanyaan itu sebenarnya tidak perlu
diajukan, karena Ki Samiang sudah menjelaskannya barusan.
"Bawa mayat itu, dan kita kembali ke desa. Mengenai pencarian terhadap Ki
Kaliga, biarlah kita menunggu kelanjutan sepak terjang penculik itu," ujar Ki
Samiang segera mengayunkan langkahnya pergi.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua pengawal kepala desa itu cepat-cepat mengangkat
mayat Guminta. Kemudian dinaikkan ke atas punggung kuda. Sebentar kemudian,
rombongan itu bergerak kembali ke Desa Larang.
-odwo- Pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba hijau melangkah
perlahan memasuki Desa Larang.
Pandangan penuh curiga dan tak suka dari beberapa
penduduk yang kebetulan berpapasan di jalan, tidak mereka pedulikan. Keduanya
terus bergerak maju memasuki desa.
"Hm... Nampaknya penduduk desa ini tidak bersikap ramah kepada kita, Kakang.
Mungkin desa ini jarang didatangi orang asing, atau mereka mempunyai kesan buruk
terhadap pendatang. Sehingga, mereka curiga dan tak suka melihat kedatangan kita...."
Dara jelita berpakaian serba hijau itu berkata perlahan, mengungkapkan perasaan
hatinya atas sikap dan pandang mata orang-orang desa.
"Biarlah, yang penting kita tidak melakukan kesalahan terhadap mereka. Mungkin
dugaan mu memang benar,
Kenanga. Mereka mungkin mempunyai pengalaman pahit dengan para pendatang...,"
sahut pemuda tampan berjubah putih, yang tak lain Panji.
'Tapi..., lama-lama aku jengkel juga, Kakang. Siapa yang tahan jika hampir semua
penduduk desa ini memperlihatkan sikap seperti itu...."
Dara jelita berpakaian serba hijau yang sudah pasti Kenanga, masih tak bisa
menghilangkan perasaan tidak enaknya akan sikap dan pandang mata yang seperti
membenci dan mengusir mereka dari tempat itu.
"Sudahlah, biarkan saja. Lebih baik kita singgah dulu di kedai itu, Kenanga.
Siapa tahu kita bisa mendapat keterangan dari pelayan atau pembicaraan orang-
orang yang berada di dalam kedai. Biasanya di dalam kedai sering terjadi
pembicaraan yang tanpa sengaja membuat satu kejadian tersebar luas...," ujar
Panji seraya menarik lengan kekasihnya.
"Hm.... Hendak kemana kalian...?"
Seorang lelaki kekar bercambang bauk tiba-tiba berdiri menghadang di ambang
pintu kedai. Sikapnya terlihat seperti sangat membenci kedua pendatang itu.
Pendekar Naga Putih tampak menekan telapak iangan
kekasihnya, sebagai isyarat agar persoalan itu segera diserahkan kepadanya.
Kelihatannya dara jelita itu mengerti.
Terbukti ia hanya berdiri tenang di sebelah Panji, meski dengan sinar mata
mengandung rasa penasaran yang dalam.
"Kisanak...," ujar Panji dengan suara tenang dan menyungging senyum ramah. "Kami
adalah perantau yang kebetulan melewati desa ini. Dan kami berdua hendak
melepaskan lelah di kedai ini...."
'Tidak bisa! Kedai ini sudah tutup dan tidak menerima tamu lagi!" bentak lelaki
kekar berwajah brewok itu dengan sepasang mata melotot
"Mungkin Kisanak salah. Aku lihat di dalam kedai masih banyak orang yang sedang
menikmati, hidangan atau sekadar melepaskan haus. Jelas tidak benar kalau kedai
ini sudah tutup. Lagi pula, jika memang tidak menerima tamu lagi, seharusnya
pintu kedai ini tidak dibiarkan terbuka...," bantah Panji dengan nada biasa,
tanpa kelihatan marah atau menunjukkan sikap tidak senang.
Lelaki brewok yang menyeramkan itu menjadi agak
bingung, dan menoleh ke dalam kedai yang memang tampak masih banyak orang yang
tengah bersantap.
"Meskipun kelihatannya masih buka, tapi sudah tidak ada lagi makanan yang dapat
disediakan! Semuanya sudah habis...!"
Lelaki kekar itu mengajukan alasan lain, setelah terdiam beberapa saat, mencari
jawaban yang tepat bagi pasangan pendekar muda itu.
Panji kelihatannya mengalah dengan memperdengarkan helaan napas panjang. Setelah
terdiam sesaat, terdengar kata-katanya yang membuat lelaki brewok itu
menggertakkan gigi menahan jengkel.
"Kalau begitu..., bisakah Kisanak menunjukkan kedai lain yang masih menerima
tamu dan dapat menyediakan makanan untuk kami berdua?"
"Tidak! Semua kedai di desa ini telah ditutup! Kalau kau memang hendak mencari
makanan dan tempat melepaskan lelah, silakan cari di desa lain!" geram lelaki
brewok itu. Memang, lelaki brewok itu hampir kehabisan cara untuk menghadapi pemuda tampan
yang sepertinya tidak tahu bahwa
kehadirannya tidak dikehendaki warga desa. Ketenangan dan kesabaran pemuda itu membuat dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Hm.... Kira-kira berapa lama perjalanan yang harus ditempuh agar kami dapat
tiba di desa lain yang kau maksudkan itu...?" tanya Panji, masih dengan suara
tenang dan menyunggingkan senyum.
"Keparat!"
Akhirnya lelaki kekar berwajah brewok itu tidak bisa menahan kesabarannya lagi.
Dia membentak dengan suara menggelegar pertanda kemarahan hatinya sudah
memuncak. "Kau memang tidak tahu diri, Anak Muda! Maka perlu ditindak dengan kekerasan!"
Begitu ucapannya selesai, lelaki brewok itu langsung mengayunkan kepalannya yang
besar ke dada Pendekar Naga Putih.
Whutrt! Kepalan yang besar dan kelihatan mengandung tenaga kuat itu meluncur datang.
Tapi, Panji seperti tidak menyadari datangnya bahaya. Pemuda berjubah putih itu
tetap bersikap tenang. Padahal kepalan itu tinggal setengah jengkal lagi dari
dadanya. Dan....
Bukkk! "Aaakh...!"
Lelaki brewok yang semula sudah mengembangkan senyum karena mengira kepalannya
akan mengenai sasaran, tiba-tiba memekik kesakitan! Padahal kepalannya tepat
mengenai sasaran. Tapi justru dia yang berjingkrak sambil memegangi kepalan
kanannya yang tampak membengkak. Lelaki brewok itu mengaduh-aduh tanpa menyadari
kalau perbuatannya itu terlihat
sangat lucu. Karena sambil


Pendekar Naga Putih 60 Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat-lompat,
mulutnya tak henti-hentinya meniup kepalan kanannya.
"Kurang ajar...!"
Terdengar suara geraman dari kerumunan penduduk desa yang menyaksikan kejadian
itu. Tak berapa lama kemudian, muncul seorang lelaki bei perawakan tinggi kurus
menyeruak menghampi Panji. Di belakangnya masih ada enam orang lainnya yang
mengikuti. "Hei, Orang Asing! Sudah kuduga kalau kedatanganmu ke desa ini hanya akan
menimbulkan kerusuhan. Rupanya kau sudah merasa menjadi jagoan nomor satu, hanya
karena memperlihatkan sedikit kekuatanmu itu! Huh! Orang-orang kurang ajar
seperti kalian memang perlu diajar adat Biar lain kali lebih sopan!" bentak
lelaki berperawakan kurus itu sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah
Pendekar Naga Putih, yang kelihatan tetapi tenang tanpa amarah.
Tidak demikian dengan Kenanga yang berdiri di samping kekasihnya. Kegeraman dan
kejengkelan yang sejak tadi ditahannya, tak mampu lagi dibendung ketika
mendengar makian kasar lelaki berperawakan kurus yang berlagak seperti Jagoan
kampung. "Hei, Cecak Kering! Enak saja kau menyalahkan kami! Apa kau sudah buta dan tidak
melihat siapa yang memulai pertengkaran"! Kalau saja kawanku ini menghendaki,
sekali mengibaskan tangannya kalian semua akan pindah ke akhirat,
tahu!" bentak Kenanga, tidak mau kalah gertak sambil menuding wajah seperti
tengkorak itu. Ucapan Kenanga tentu saja membuat lelaki kurus itu melangkah mundur agar tidak
tertusuk jari tangannya
"Keparat! Sombong sekali kau. Gadis Liar! Biarpun wajahmu cantik seperti
bidadari, jangan kira kami tidak tega untuk memberi pelajaran padamu! Nah,
rasakanlah ini...!"
bentak lelaki tinggi kurus Itu, langsung
melontarkan pukulannya. Agaknya lelaki itu merasa malu dituding-tuding seorang gadis di depan orang
banyak. Jika ia tidak menunjukkan siapa dirinya, pasti orang-orang akan
menertawakannya.
Tapi, dara jelita itu tidak berusaha untuk mengelak, meskipun tahu kalau pukulan
lelaki kurus itu lebih berisi daripada pukulan lelaki brewok tadi Hal itu
terbukti dari adanya hawa tenaga dalam dari pukulan lawan.
Whuttt! Kreppp!
Ketika kepalan lelaki kurus itu datang mendekat. Kenanga mengulurkan jari-jari
tangannya tanpa menggeser tubuh.
Akibatnya, kepalan itu tertangkap dan seperti melekat di telapak tangannya Tentu
saja kejadian yang tak pernah diduga itu membuat lawan kaget
"Ilmu setan...!" desis lelaki tinggi kurus itu terengah-engah dengan wajah
berpeluh. Meskipun seluruh tenagannya telah dikerahkan, tapi tetap saja
kepalannya tidak bisa dilepaskan.
"Heaaah...!"
Merasa penasaran, lelaki tinggi kurus itu rnembentak keras seraya mengerahkan
seluruh tenaj ganya untuk menarik pulang kepalannya. Sayangi justru saat itu
Kenanga sengaja mengendurkah genggamannya. Sehingga....
-odwo- 4 "Ahhh..."!"
Lelaki tinggi kurus itu terkejut bukan main. Ketika tangannya ditarik, tubuhnya
langsung jatuh terjengkang ke belakang karena Kenanga telah melepaskan
cengkeramannya.
Gusrakkk! Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki kurus itu jatuh melanggar penduduk yang
berkerumun di belakangnya. Keadaan menjadi semakin ramai, ketika beberapa
penduduk yang terlanggar tubuh lelaki kurus itu ikut terjatuh. Sehingga tubuh
mereka saling bertindihan.
Merasa telah dipecundangi di depan orang banyak, lelaki kurus itu menjadi marah.
Dicabutnya pedang yang tergantung di pinggang.
Srattt..! Secercah sinar putih berkelebat di ringi suara berdesing, ketika senjata itu
tercabut keluar dari sarungnya. Bersamaan dengan itu, beberapa orang lainnya
ikut menghunus senjata.
Jelas, tindakan mereka bukan lagi kekerasan biasa. Karena dengan menghunus
senjata, bukan tidak mungkin akan ada korban yang jatuh.
"Tahan...!"'
Panji yang sejak tadi kelihatan sabar dan selalu tersenyum, tiba-tiba
mengeluarkan bentakan keras yang membuat orang-orang Desa Larang terlompa dan
jatuh terduduk, termasuk lelaki bertubuh kurus dan kawan-kawannya yang telah
menghunus senjata. Akibatnya, mereka merasa gentar setelah merasakan kehebatan
pemuda tampan itu.
"Kisanak sekalian. Kami datang ke desa ini tanpa maksud jahat sedikitpun! Kami
hanya sekadar singgah untuk melepaskan lelah. Setelah itu, akan meninggalkan
desa ini untuk melanjutkan perjalanan. Tapi, tindakan kalian semakin menjadi-
jadi, karena kami terlalu mengalah. Untuk itu, kuharap persoalan selesai sampai
di sini, dan biarkan kami pergi.,.," ujar Panji dengan suara lantang.
"Kupikir Kakang tidak bisa naik darah...," goda Kenanga berbisik di telinga
kekasihnya, membuat Panji menahan senyum.
Tampaknya bentakan Panji barusan membunt orang-orang Desa Larang belum menyadari
sepenuhnya apa yang terjadi.
Mereka bungkam seraya menatap pemuda itu dengan sinar mata bodoh. Melihat semua
itu, Panji mengajak Kenanga untuk segera meninggalkan desa itu.
"Tunggu...!"
Baru beberapa langkah sepasang pendekar muda itu
berjalan, tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang membuat keduanya menghentikan
langkah dan berbalik.
Seorang lelaki bertubuh gemuk yang rambut di atas
telinganya sebagian memutih, bergerak menghampiri Panji dan Kenanga dengan
menunggang seekor kuda jantan
berbulu hitam. Setelah dekat, lelaki yang tidak lain Ki Samiang itu melompat
turun dari atas punggung kudanya. Beberapa orang pengawal tampak menyertai laki-
laki tua itu dengan keadaan siap tempur.
"Hm.... Kudengar ada orang asing yang mendatangi desa ini dan telah membuat
keributan. Apakah kalian berdua orangnya...?" tanya Ki Samiang yang meskipun
nadanya lembut tapi jelas menyiratkan ketidaksenangan hatinya.
Panji yang melihat wajah orang tua itu kelihatan cukup bijaksana, segera
menyentuh tangan kekasihnya agar tidak membuat persoalan baru. Kenanga mengerti
isyarat pemuda itu, hingga menahan ucapan yang sudah berada di ujung lidahnya. Dan menyerahkan
persoalan itu kepada Panji.
"Maaf, kalau kehadiran kami telah mengganggu penduduk desa ini. Tapi, kami tidak
bermaksud buruk apalagi mencari keributan. Kalau memang kedatangan kami dianggap
suatu kesalahan, harap dimaafkan. Sekarang, biarkan kami pergi tanpa diganggu,"
ujar Panji untuk menjawab pertanyaan Ki Samiang dan menunjukkan ketegasan
tindakannya. Sehingga, lelaki tua itu tertegun tak bisa berkata-kata lagi.
Melihat orang tua itu terdiam, Panji segera mengajak kekasihnya untuk
melanjutkan perjalanan.
Tapi, baru beberapa tindak mengayun langkah, kembali terdengar panggilan yang ditujukan
kepada mereka. "Kisanak, harap tunggu sebentar...," seru Ki Samiang. Nada suaranya kini
terdengar lebih lunak
Rupanya ucapan Panji tadi membuat orang tua itu
terkesan. Juga merasa yakin kalau pasangan! muda itu orang baik-baik, dan
mungkin memiliki kepandaian yang tidak rendah. Itu diduganya dari cara pemuda
itu berbicara dan bersikap, penuh keyakinan dan ketegasan membuat Ki Samiang
kagum. Semula Panji tidak mengacuhkan panggilan itu. Tapi, ketika mendengar suara
langkah orang berlari di belakangnya, akhirnya pemuda itu menghentikan
langkahnya untuk yang kedua kali, dan berbalik menghadap Ki Samiang.
"Kisanak. Setelah mendengar kata-katamu tadi, aku yakin kalau kalian berdua
orang baik-baik Untuk itu, atas nama semua warga Desa Larang, aku minta maaf
atas kejadian tidak menyenangkan yang kalian alami," ujar lelaki tua bertubuh
gemuk itu sambil menganggukkan kepala.
Panji maupun Kenanga bukanlah orang-orangi pendendam.
Mereka tentu saja merasa kagum dengan ucapan orang tua itu. Sebab, jarang orang
yang mau meminta maaf dan
mengakui kesalahannya. Apalagi mengingat umur mereka terpaut jauh, hingga
membuat Panji tidak enak.
"Kami pun minta maaf apabila ucapan atau kelakuan kami mungkin agak sedikit
kasar...," ujar Panji sambil melebarkan senyumnya dengan dada lapang, karena
merasa lega persoalan di antara mereka telah selesai.
"Nah, jika demikian, biarlah sekarang aku mengundang kalian berdua ke rumahku.
Dan kuharap kalian tidak menolak...," pinta Ki Samiang setengah memaksa.
Sehingga Panji maupun Kenanga tidak bisa menolaknya.
"Mudah-mudahan kehadiran kami tidak merepotkan...,"
ujar Panji yang disambut tawa perlahan oleh Ki Samiang.
Sehingga, suasana di antara mereka semakin akrab.
Ki Samiang melangkah mengajak kedua tamunya menuju tempat tinggalnya Saat itu
Panji dan Kenanga belum menduga kalau Ki Samiang adalah Kepala Desa Larang.
Tapi, mereka tidak terlalu terkejut, karena dari sikap dan cara berbicara orang
tua itu keduanya sudah bisa menebak.
Atas permintaan Ki Samiang, Panji dan Kenanga terpaksa harus melewatkan malam di
tempat kediaman kepala desa itu.
"Sebenarnya, apa yang membuat orang-orang desa ini tidak suka kepada pendatang,
Ki...?" Panja menyempatkan diri untuk mengorek keterangan dari Ki Samiang
tentang sikap orang-orang Desa Larang yang menurutnya agak ganjil. Saat itu
mereka bertiga tengah duduk di beranda depan sambil menikmati keindahan suasana
malam. "Hhh...!"
Ki Samiang menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Panji.
Kelihatannya orang tua itu merasa berat untuk mengingat peristiwa pahit yang
pernah dialaminya.
"Kejadiannya belum lama berlalu. Kematian ada lima orang pendatang memasuki desa
ini Mereka membuat kekacauan,
sehingga Ki Kaliga, yang menjadi kepercayaanku harus turun tangan untuk
menghentikannya. Sayang, kelima orang itu bukan tokoh sembarangan. Ki Kaliga
dapat ditundukkan oleh salah seorang dari mereka. Entah apa yang mereka inginkan
dari kepala keamanan desa itu, sampai-sampai mereka menculiknya...," jelas Ki
Samiang membuat Panji dan Kenanga mulai mengerti dan memaklumi sikap orang-orang
desa. "Apakah Ki Samiang sudah bersaha untuk mencari Ki Kaliga?" tanya Kenanga ikut
menimpali. "Kami sudah berusaha untuk mencari kelima orang asing itu. Tapi, sebelum sempat
menemukan jejak mereka, ada lagi warga desa kami yang tertimpa musibah.
Tepatnya, di dekat Hutan Larangan kami menemukan mayat salah seorang warga desa.
Tapi, orang yang satunya lagi tidak dapat kami temukan. Untuk mencarinya ke
dalam hutan, tidak mungkin, karena tidak ada seorang pun dari kami yang berani
memasuki Hutan Larangan. Itu merupakan pantangan turun-temurun,"
jelas Ki Samiang lagi.
"Hm.... Apakah orang yang tidak ditemukan mayatnya itu bertubuh gagah berusia
kira-kira enam puluh tahun?" tanya Panji saat teringat seorang lelaki tua yang
dikeroyok serigala-serigala kelaparan hingga tewas.
"Benar sekali! Apakah kalian pernah melihat atau berjumpa dengannya?"
Ki Samiang kelihatan sangat bernafsu ketika mendengar penjelasan Panji tentang
ciri-ciri Ki Jatayu. Lelaki tua itu berharap agar Panji benar-benar berjumpa
dengan Ki Jatayu.
"Kemarin malam, saat kami berdua melewatkan malam di sebuah hutan kecil, ada
seorang lelaki tua berperawakan gagah yang diserbu segerombolan serigala
kelaparan. Sayang, kami terlambat datang. Orang tua itu telah tewas karena luka-
luka di tubuhnya yang terlalu banyak mengeluarkan darah,"
jelas Panji, membuat Ki Samiang mendekap wajahnya dengan
kedua telapak tangan. Kelihatan sekali kalau orang tua itu sangat terpukul
"Lalu...," suara Ki Samiang terdengar agak parau ketika melontarkan pertanyaan
menggantung itu.
"Setelah malam berganti pagi, kami menguburkan jenazah orang tua itu di dekat
sebuah sunga kecil di selatan desa ini,"
jawab Panji lagi yang mengetahui ke mana arah pertanyaan Ki Samiang.
Kepala Desa Larang itu menarik napas berulang-ulang.
Kelihatan sekali kalau dia merasa berduka dengan kejadian yang mengerikan itu.
"Ki, apakah peristiwa seperti ini sudah sering-kali terjadi?"
Panji baru berani mengajukan pertanyaan ketika Ki
Samiang telah melepaskan kedua telapak tangannya dari wajah.
"Justru karena tidak pernah terjadi sebelumnya maka aku menjadi cemas. Sebab,
kemungkinan besar peristiwa ini akan berkelanjutan. Bahkan bukan mustahil,
serigala-serigala kelaparan itu akan berkeliaran sampai ke desa. Itu yang aku
khawatirkan, Panji," jawab Ki Samiang mengungkapkan kekhawatirannya yang selama
ini hanya dipendam dalam hati.
Lelaki itu tidak ingin menceritakan perasaannya itu kepada keluarga atau warga
Desa Larang. Baru kepada Panji diungkapkannya rasa khawatir itu.
"Kalau sampai demikian, sungguh berbahaya sekali...,"
desah Panji, memaklumi kekhawatiran Kepala Desa Larang itu.
Kecemasan lelaki itu menandakan dirinya adalah seorang kepala desa yang baik dan
penuh tanggung jawab. Kenyataan itu membuat Panji dan Kenanga bertambah hormat
padanya. "Bagaimana jika kami berdua mencegah binatang-binatang kelaparan itu, agar tidak
sampai berkeliaran ke desa ini atau
desa-desa lainnya?" usul Panji menawarkan bantuan. Rupanya pemuda itu merasa
ikut bertanggung jawab atas keselamatan orang banyak, khususnya warga Desa
Larang. "Pekerjaan itu sangat berbahaya, Panji. Bisa-bisa kau yang akan menjadi korban
kebuasan serigala-serigala kelaparan itu.
Tidak. Aku tidak ingin kau celaka hanya karena ingin membantu meringankan beban
pikiran ini," sahut Ki Samiang tidak bisa menerima usul Panji.
"Jangan pikirkan keselamatan kami, Ki. Tapi, pikirkanlah apa yang akan menimpa
warga desa ini bila serigala-serigala kelaparan itu tidak segera dicegah.
Kematian bukanlah hal yang menakutkan bagi kami berdua. Karena kami hidup
berpetualang dari satu tempat ke tempat lainnya. Sudah tidak terhitung lagi, berapa banyak kami menemui ancaman maut yang nyaris
membawa kematian. Jelasnya, kami berdua bersedia mempertaruhkan nyawa demi
kepentingan orang banyak Itu sudah menjadi kewajiban setiap orang gagah," ujar
Panji mempertahankan pendapatnya untuk membantu Ki Samiang dalam persoalan itu.
Ki Samiang terdiam ketika mendengar ucapan Panji.
Kebenaran ucapan pemuda itu memang tidt bisa dibantah.
Lelaki tua itu pun tahu kalau kedua orang tamunya benar-benar ingin membantu,
tanpa mengharapkan imbalan darinya.
"Panji, serigala-serigala itu kemungkinan besar penghuni Hutan Larangan yang
kami anggap sebagai tempat suci, dan tempat bersemayam roh para leluhur kami.
Jelas untuk mengusir pergi binatang binatang itu bertentangan dengan kepercayaan
yang kami anut Itu salah satu alasan yang membuat aku pusing."
Akhirnya Ki Samiang mengungkapkan kembali keresahan hatinya. Dan, alasan itu
membuat Panj terdiam.
"Jadi, dengan kata lain Ki Samiang hendak membiarkan saja bila serigala-serigala
buas itu memasuki desa, lalu
mencabik-cabik tubuh bocah tak berdosa dan orang-orang tua lemah, begitu?" ujar
Panji setelah beberapa saat lamanya terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk
membangkitkan semangat Ki Samiang yang telah lenyap terpengaruh
kepercayaan yang dianutnya
"Hhh.... Sebaiknya kita lihat saja kelanjutan malapetaka ini.
Jika perkiraanku benar. Terpaksa aku harus melanggar kepercayaan yang selama
turun-temurun kami anut, demi keselamatan penduduk Desa Larang yang menjadi
tanggung jawabku ini."
Karena tidak bisa membantah ucapan Panji, akhirnya Ki Samiang memutuskan untuk
melihat kelanjutan kejadian itu lebih dahulu.
"Baiklah, Ki. Aku setuju. Mudah-mudahan apa yang kita khawatirkan tidak menjadi
kenyataan...."
Panji pun akhirnya mengalah dan tidak berusaha untuk mendesak lagi. Tentu saja


Pendekar Naga Putih 60 Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda itu berharap agar apa yang mereka khawatirkan tidak akan terjadi.
Malam semakin bertambah larut ketika ketiga orang itu terdiam mengikuti arus
pikiran masing-masing. Bintang-bintang yang tampak di angkasa menjadi perhatian
mereka. Tiba-tiba.... "Auuung...!"
Lolongan serigala terdengar sayup-sayup hingga menembus pendengaran ketiga orang itu. Ki Samiang
tersentak bangkit dari duduknya. Seolah lolongan serigala tadi tidak jauh dari
tempat itu. Dari sikapnya itu dapat ditebak kalau sejak tadi Ki Samiang masih
memikirkannya. "Mungkinkah malam ini binatang-binatang kelaparan itu kembali meminta korban?"
desis Ki Samiang bertanya pada diri sendiri.
Wajah lelaki tua itu tampak tegang. Sehingga Panji merasa perlu untuk
menenangkan hatinya
"Binatang-binatang itu masih jauh berada di dalam hutan, Ki. Jadi kita tidak
perlu terlalu mengkhawatirkannya. Biarlah kami akan meronda untuk berjaga-jaga
dan sekaligus menikmati keindahan malam yang cerah ini..," ujar Panji membuat Ki
Samiang tersentak dari lamunannya.
Lelaki tua itu menganggukkan kepala, karena meronda memang perlu dilakukan untuk
berjaga-jaga. Siapa tahu, serigala-serigala itu benar-benar akan muncul untuk
memasuki Desa Larang.
"Ki Samiang tidak perlu mengkhawatirkan kami. Bukankah di luar banyak peronda
desa yang sedang berkeliling" Jadi, anggap saja kami sedang berjalan-jalan
mencari udara malam," sebelum meninggalkan orang tua itu, Panji kembali
mengingatkan agar Ki Samiang tidak terlalu dilanda ketegangan.
"Hm.... Terserah kalian. Mudah-mudahan dengan tidur aku bisa melenyapkan segala
keruwetan ini...." ujar Ki Samiang sambil melangkah masuk ke rumahnya di ringi
pandang mata Panji dan Kenanga.
Setelah sosok orang tua itu lenyap di balik pintu, Panji bergerak mengajak
kekasihnya mengelilingi desa untuk berjaga-jaga.
"Kepercayaan yang dianut Ki Samiang beserta warga desanya terasa aneh bagiku,
Kakang. Apa yang mereka harapkan dengan menganggap Hutan Larangan sebagai
tempat suci dan tempat bersemayam roh-roh leluhur mereka"
Apakah itu berarti mereka menyembah roh ieluhurnya demi maksud-maksud tertentu?"
Sambil melangkah, Kenanga mengemukakan apa uang
mengganjal harinya, sewaktu mendengar penuturan Ki Samiang tadi.
"Hm.... Di dunia ini terdapat bermacam-macam kepercayaan, Kenanga. Semua itu kebanyakan warisan dari leluhur-leluhur mereka.
Mungkin mereka mendapatkan apa yang dicarinya setelah melakukan penyembahan pada
roh nenek moyang. Kita tidak boleh mengganggunya Apalagi kalau itu sudah menjadi
keyakinan mereka dan diwariskan secara turun-temurun, rasanya sulit untuk
dirubah," timpal Panji membuat Kenanga mengangguk-angguk mengerti.
Malam semakin larut saat sepasang pendekar muda itu bergerak menerobos kegelapan
malam, yang sesekali ditingkahi hembusan angin dingin. Sejauh itu, belum tampak tanda-tanda adanya
sesuatu yang mengancam ketenteraman Desa Larang. Sehingga, kedua pendekar muda
itu menarik napas lega.
-odwo- 5 "Auuung...!"
Saat udara malam semakin dingin, lolongan serigala kembali terdengar, membuat
bulu tengkuk meremang. Panji yang sedang berjalan bersama Kenanga menghentikan
langkah. Saat itu pendengaran
mereka yang tajam
menangkap langkah-langkah lembut bergerak menuju desa.
Harpa Iblis Jari Sakti 22 Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman Dendam Manusia Kelelawar 3
^