Pencarian

Hantu Laut Pajang 1

Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang Bagian 1


HANTU LAUT PAJANG oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
Dalam episode Hantu Laut Pajang
126 Hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Hembusan angin di tepian pantai sebelah Utara
Laut Panjang terasa agak keras menerpa kulit. Sesosok tubuh tinggi tegap tampak
tengah berdiri kokoh pada bagian tebing karang pantai yang tidak begitu tinggi.
Tubuh kekar itu tak ubahnya batu karang yang tidak
pernah goyah oleh hantaman ombak. Rambutnya yang
panjang dan tebal dibiarkan tergerai, dipermainkan ti-upan angin.
Sosok itu terus menatap luas Lautan Pajang,
tanpa mempedulikan percikan ombak di bawahnya
yang sesekali membasahi pakaiannya. Tatapan ma-
tanya yang tajam, tertuju lurus bagaikan tengah menilai luasnya lautan itu.
Bahkan keindahan sinar matahari pagi yang jatuh menimpa air laut pun, juga tidak
menarik perhatiannya. Sosok tubuh lelaki kekar itu
sama sekali tidak bergerak meski cahaya matahari sudah merambat naik. Tubuhnya
tetap tegak, seolah-
olah ia bagai sebuah patung batu karang yang menjadi bagian pantai itu.
"Hhhh...."
Terdengar helaan napas panjang dan berulang-
ulang dari mulut dan hidung sosok tubuh tegap itu.
Sepasang tangannya yang semula terlipat di depan da-da, kini tersangga di kedua
pinggangnya. Entah apa, yang membuat sosok lelaki tegap itu demikian terha-nyut
alam pikirannya yang bagai tak berkesudahan
itu. Setelah beberapa saat lamanya bersikap begitu, mendadak saja sosok tegap
itu menengadahkan wajahnya, disertai tarikan napas berat. Dipandanginya langit
kebiruan yang nampak cerah di pagi ini. Cukup
lama hal itu dilakukan, seolah-olah pada awan itu ada sesuatu yang menarik
hatinya. "Bhirawa, bukan aku tidak menyetujui tekadmu
itu. Tapi, perlu kau ingat. Istana Kerajaan Bantar Gebang merupakan tempat
berkumpulnya jago-jago dari
segala penjuru rimba persilatan yang datang untuk
mengabdikan diri pada negeri ini. Tidak banyak yang dapat kulakukan selain
menasihati mu agar tidak ce-roboh dalam mengambil tindakan. Salah-salah, dirimu
sendirilah yang akan celaka. Meski semua ilmuku telah dapat kau serap secara
sempurna, tapi semua itu bukan jaminan kalau usahamu akan berhasil. Sekarang
lagi, berhati-hatilah...."
Pesan gurunya kembali mendengung memenuhi
benak Bhirawa. Semua pesan itu disampaikan gu-
runya sehari sebelum ia meninggalkan tempat kedia-
mannya selama menuntut ilmu olah kanuragan.
"Hhhh...."
Sosok lelaki tegap yang ternyata bernama Bhira-
wa itu kembali menghela napasnya.
"Guru..., percayalah. Aku akan selalu berhati-
hati dalam mengarungi kehidupan ini. Terlebih lagi, dalam menghadapi musuh-
musuhku. Meskipun kau
tidak menyertaiku, namun bekal yang telah kau beri-
kan merupakan budi baik yang tidak mungkin dapat
kulupakan begitu saja. Aku pamit, Guru...," desah Bhirawa, mantap.
Setelah membungkukkan tubuhnya sebanyak ti-
ga kali ke arah laut, lelaki tinggi tegap itu pun men-gayun langkahnya
meninggalkan Pesisir Pantai Laut
Pajang. *** Sosok lelaki tegap berambut panjang terurai itu
melangkah lambat memasuki pintu gerbang Kota Kera-
jaan Bantar Gebang. Sebuah caping bambu lebar tam-
pak menutupi wajahnya, sehingga terlindung dari te-
riknya cahaya matahari.
Keramaian Ibu Kota Kerajaan Bantar Gebang sa-
ma sekali tidak mengusik ketenangan langkahnya. Ka-
kinya terus terayun tanpa memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang di
sekelilingnya. Ia baru berhenti ketika tiba di sebuah bangunan megah milik salah
seorang pejabat kerajaan. Sepasang matanya yang terlindung
di balik caping bambu menatap tajam sekeliling ban-
gunan megah itu.
Sikap sosok pemuda tegap itu tentu saja mem-
buat dua orang prajurit penjaga pintu gerbang menjadi curiga. Keduanya meneliti
mengawasi sosok tegap yang wajahnya terlindung caping. Karena cukup lama pemuda
itu tidak juga beranjak, salah seorang prajurit segera menghampirinya
Dengan langkah yang dibuat berkesan seram,
prajurit muda bertubuh gemuk itu menghampiri pe-
muda bercaping. Tangan kanannya meremas-remas
sebatang tombak, seolah-olah hendak menakuti pe-
muda bercaping dengan senjatanya.
"Kisanak, ada yang bisa kubantu...?" tegur praju-
rit muda itu sambil mencoba menegasi wajah yang terlindung caping bambu. Namun
karena pemuda itu te-
lah menundukkan wajahnya, maka ia tidak berhasil
menegasi. "Ah! Tidak, Tuan. Aku hanya merasa kagum den-
gan bangunan yang demikian indah ini. Kalau boleh
tahu, siapakah yang menghuni bangunan besar ini,
Tuan...?" pemuda bercaping ini mengangguk sopan,
sebelum menyahuti.
"Hm.... Kau tentu bukan penduduk kota ini, dari
mana asalmu" Dan, apa tujuanmu datang ke kota
ini...?" prajurit muda itu malah balik bertanya. Sikapnya jelas menandakan kalau
pemuda bercaping itu di-
curigainya. "Benar, Tuan. Aku hanyalah orang dusun yang
kebetulan singgah di kota besar ini. Desa ku tengah dilanda kemarau yang sangat
panjang. Sehingga, para
penduduknya banyak yang pergi mencari kehidupan
yang lebih baik. Aku pun tidak berbeda dengan mere-
ka, sehingga langkahku tiba di kota ini. Terus terang di desa ku tidak ada
bangunan yang sebesar dan seindah ini. Makanya aku jadi tertarik dan merasa
kagum. Penghuni bangunan besar ini pastilah seorang pejabat kerajaan...," puji pemuda
tegap bercaping itu, seolah-olah hendak mengulangi pertanyaannya dalam bentuk
kalimat lain. Sehingga, prajurit muda itu teringat kembali akan pertanyaan yang
tadi belum dijawabnya.
"Benar! Bangunan besar ini adalah tempat ke-
diaman seorang pejabat tinggi Kerajaan Bantar Ge-
bang. Tapi, beliau jarang sekali menempatinya. Sebagai seorang senapati, tentu
saja beliau lebih banyak tinggal di istana. Sedangkan bangunan ini digunakan
hanya sebagai tempat istirahat, apabila Senapati Gada Sura sedang tidak
bertugas," jelas prajurit muda itu, penuh kebanggaan.
"Senapati Gada Sura...?" gumam pemuda bercap-
ing ini, seolah-olah tidak begitu yakin terhadap penjelasan prajurit muda itu.
"Benar. Jabatan itu baru tiga tahun dipegangnya.
Mengapa kau kelihatan heran, Kisanak" Apakah penje-
lasanku salah...?" tanya prajurit muda itu ragu. Kelihatannya pemuda bercaping
itu seperti tidak begitu
percaya dengan keterangannya.
"Ah, tidak. Keterangan Tuan sangat jelas. Aku
sangat berterima kasih atas keteranganmu. Karena
dengan begitu, aku bisa menceritakannya kepada te-
man-teman di desa nanti. Maaf. Aku permisi, Tuan...,"
pamit pemuda bercaping itu yang segera membungkuk
hormat Kemudian, dia berlalu meninggalkan bangunan
besar itu. "Ya..., ya...," sahut prajurit muda itu mengang-
guk-anggukkan kepala.
Tampaknya prajurit itu tak mengerti melihat si-
kap pemuda bercaping yang dianggapnya cukup aneh.
Begitu nama Senapati Gada Sura disebutnya, dia se-
perti terkejut. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, prajurit muda itu kembali ke
pos jaganya. "
Sementara itu si pemuda bercaping terus me-
langkah dengan kepala tertunduk. Sepertinya, ia ma-
sih memikirkan keterangan yang baru didapatnya dari prajurit muda penjaga pintu
gerbang tadi. "Hei, minggir...! Minggir...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan berulang-ulang yang
membuat pemuda bercaping itu tersentak kaget dari
lamunannya. Serentak kepalanya terangkat dan me-
mandang ke depan melalui tepi caping bambunya. Bu-
kan main terkejut hatinya ketika di depannya dalam jarak kurang dari dua tombak,
tampak tiga ekor kuda tengah berlari kencang!
"Minggir kau, Gelandangan Busuk...!" maki seo-
rang penunggang kuda yang terdepan.
Sambil berkata demikian, cambuknya dilecutkan
ke tubuh pemuda bercaping itu ketika lewat di sam-
pingnya. Sepertinya, ia merasa jengkel melihat pemuda itu seperti enggan
menyingkir! Jtarrr...! Tali cambuk kuda itu meledak ketika mengenai
punggung si pemuda bercaping. Namun, yang terjadi
selanjutnya membuat penunggang kuda itu menjadi
marah. Ternyata cambuk yang digunakan untuk men-
dera pemuda bercaping itu terlihat pecah bagian
ujungnya. Bahkan wajah penunggang kuda yang kira-
kira berusia sekitar dua puluh tahun tampak meringis seperti merasakan nyeri
pada telapak tangannya.
"Bedebah...!" maki pemuda tampan berpakaian
mewah yang menunggang kuda berbulu hitam.
Seketika, pemuda itu menarik tali kekangnya,
sehingga binatang tunggangannya berhenti dan me-
ringkik keras. Kemudian bergegas memutar kudanya
berbalik. Dua orang penunggang kuda lain yang berada di
sekitar satu tombak di belakang pemuda tampan itu,
segera saja ikut menarik tali kekang kudanya. Kemu-
dian, binatang tunggangannya ikut pula diputar balik menyertai pemuda tampan
itu. Sedangkan si pemuda bercaping yang sempat ter-
jatuh akibat serangan yang mendadak tadi, telah
bangkit sambil membersihkan debu-debu yang melekat
di jubah coklatnya. Caping yang dikenakannya tetap
bertengger di atas kepala, untuk menyembunyikan wa-
jahnya. "Hei, Orang Buta! Apa kau juga tuli, hingga tidak
mau menyingkir ke tepi" Atau sengaja hendak mema-
merkan kepandaianmu di kota ini...?" maki pemuda
tampan yang menunggang kuda hitam itu kalang ka-
but Seolah-olah, kejadian tadi bukan merupakan kesalahannya. Jelas hal itu
menandakan kesombongan dan
sikapnya yang semena-mena.
"Maaf..., maaf. Aku benar-benar tidak sempat
menyingkir, karena kuda Tuan begitu cepat berlari.
Aku mohon maaf...," ucap pemuda tegap bercaping itu sambil membungkuk-bungkuk.
Dari pakaian serta sikapnya, pemuda bercaping
itu dapat menduga kalau orang yang membentaknya
pastilah putra seorang pembesar atau juragan kaya-
raya. Dan karena tidak ingin mencari persoalan, maka pemuda bercaping itu
terpaksa mengalah.
"Hm.... Begitu caramu meminta maaf kepadaku"!
Apakah kau tidak kenal siapa aku"! Lepas capingmu,
dan menyembah sambil mengucapkan permintaan
ampun. Dan bukan maaf...!" bentak pemuda berpa-
kaian mewah itu.
Pemuda tampan yang sombong itu sepertinya ti-
dak puas atas sikap lelaki tegap berjubah coklat itu.
Permintaannya benar-benar keterlaluan!
Untuk beberapa saat lamanya, pemuda bercaping
itu terdiam. Seolah-olah dia merasa keberatan atas
permintaan pemuda tampan yang sombong itu. Tentu
saja sikapnya semakin membuat marah pemuda kaya-
raya penunggang kuda hitam itu.
"Bangsat! Kau berani membantah perintahku..."!
Kau memang patut dihajar!"
Sambil membentak marah, pemuda tampan itu
kembali melecutkan tali kekang kudanya ke tubuh
pemuda bercaping bambu.
Wuuut...! Kali ini pemuda tegap bercaping itu rupanya ti-
dak sudi menerima perlakuan kejam itu begitu saja.
Seketika tangan kanannya terulur, dan langsung me-
nangkap ujung pecut yang siap menyengat tubuhnya.
Tappp...! "Setan...! Kau ingin melawanku...!" rutuk pemuda
tampan itu. Bukan main murkanya pemuda tampan yang
sombong itu. Dengan wajah kemerahan karena hawa
marah telah naik ke kepalanya, segera saja tali pecut
itu dibetot dengan pengerahan tenaganya! Karuan saja tali pecut itu menegang,
karena pemuda bercaping itu tidak mau melepaskannya! Sehingga, terjadilah adu
tarik-menarik beberapa saat lamanya!
"Bedebah...!"
Untuk kesekian kalinya lelaki muda berwajah
tampan itu kembali melontarkan makian. Kemudian
kekuatannya untuk menarik tali kekang itu di tam-
bahnya. Akibatnya....
"Aaah...!"
Karena terlalu bernafsu untuk memenangkan
adu tarik-menarik itu, maka tanpa dapat dicegah lagi tubuh pemuda tampan itu
langsung terjatuh dari atas punggung kuda! Apalagi, pemuda bercaping itu telah
melepaskan pegangannya pada ujung tali.
Bruggg...! Tanpa ampun lagi, tubuh pemuda tampan itu
langsung terbanting di tanah! Tentu saja peristiwa lucu itu membuat orang-orang
yang menyaksikannya tertawa geli, tanpa dapat ditahan lagi.
"Tuan Muda Jata Sura...!?"


Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua orang penunggang kuda lain yang sepertinya
merupakan pengawal pemuda tampan itu, segera saja
melompat turun dari atas punggung kuda. Bergegas
mereka menolong pemuda itu bangkit.
"Huh! Benar-benar kurang ajar sekali orang
itu...!" mulut pemuda tampan itu kembali mengomel
panjang-pendek.
Ia bangkit berdiri sambil mengebut-ngebutkan
debu yang mengotori pakaian indahnya. Kemudian,
wajahnya berpaling menatapi orang-orang yang berada di sekelilingnya. Karuan
saja orang-orang itu segera beranjak pergi, melihat sinar mata penuh ancaman da-
ri pemuda tampan itu.
"Hei, tunggu...!" cegah pemuda tampan bernama
Jata Sura, keras.
Rupanya dia melihat pemuda bercaping tadi hen-
dak meninggalkan tempat itu. Kemudian, kedua ka-
kinya segera saja menjejak tanah! Seketika itu juga, tubuh pemuda tampan itu
melambung, dan berputar
melewati kepala si pemuda bercamping. Dan kini ka-
kinya mendarat di depan pemuda itu.
"Maaf, aku benar-benar tidak sengaja...," ucap
pemuda bercaping itu sambil membungkukkan tubuh-
nya. Rupanya, ia tidak ingin memperpanjang persoalan ini. 'Tidak semudah itu,
Gelandangan Busuk! Kau
sudah berani menghina putra Senapati Gada Sura.
Untuk itu, kau harus dihukum cambuk sebanyak se-
ratus kali!" ancam Jata Sura dengan wajah merah pa-
dam. Jelas sekali kalau ia sangat mendendam terhadap pemuda bertubuh tegap itu.
Sambil berkata demikian, sepasang matanya me-
natap tajam seperti hendak menilai pemuda bercaping itu. 'Tuan..., peristiwa
tadi merupakan musibah kecil yang rasanya tidak perlu diperpanjang. Kalaupun
Tuan menganggapku telah bersalah, rasanya ucapan maafku
telah cukup sebagai hukumannya. Lalu, mengapa
Tuan harus memberi hukuman sekejam itu kepada ra-
kyat yang lemah seperti aku" Apalagi, Tuan adalah putra seorang pembesar
kerajaan yang semestinya bisa
jadi contoh bagi rakyat..."
Dengan panjang-lebar pemuda bercaping itu
memberi pengertian kepada Jata Sura. Ucapannya kali ini bukan lagi menandakan
kalau ia adalah seorang
gelandangan bodoh. Dari kata-katanya yang tersusun
rapi, menandakan kalau pemuda bercaping itu meru-
pakan seorang yang terpelajar.
"Enak saja bicara, Gembel! Sadarkah kalau kau
telah menghinaku di depan umum"! Dan itu tidak bisa dibayar hanya dengan ucapan
maafmu! Mau atau tidak, kau harus menerima hukuman cambuk seratus
kali!" Jata Sura tetap berkeras dengan keinginannya.
Kemudian, ia menoleh kepada dua orang pengawalnya,
"Cambuk gelandangan ini sampai dia menjerit-jerit
minta ampun!"
Pemuda bercaping itu terdiam sejenak. Sadar ka-
lau perkelahian tidak bisa dihindarkan lagi, maka ia segera melangkah mundur
siap menghadapi segala
kemungkinan. Tampak pemuda itu menarik napas pe-
nuh sesal. Seolah-olah kejadian itu membuatnya ter-
pukul dan sangat kecewa.
"Yeaaah...!"
Jtarrr...! Ctarrr...!
Terdengar lecutan cambuk yang meledak-ledak
memekakkan telinga. Menilik dari ledakan yang keras itu, kelihatannya si
pemegang cambuk memiliki tenaga dalam yang sangat kuat!
Karena tidak rela tubuhnya dijadikan umpan
cambuk, pemuda bercaping itu segera saja berlompa-
tan mengelak. Sehingga, ujung cambuk yang melecut
dan mematuk-matuk itu hanya mengenai tempat ko-
song. Karena, sasarannya telah menghindari sebelum
ujung cambuk itu menyentuhnya.
"Danta, bantu dia...!" perintah Jata Sura.
Rupanya, pemuda tampan itu merasa penasaran
melihat pembantunya tidak juga berhasil menghajar
pemuda bercaping. Maka segera saja dia memerintah
lelaki bertubuh gempal yang berwajah kasar. Yang dipanggil Danta. Tanpa
diperintah dua kali, Danta segera
saja maju ke tengah arena.
"Yeaaat..!"
Danta rupanya bukan hanya sekadar membantu
saja. Lelaki bertubuh gempal dan berwajah kasar itu menerjang pemuda bercaping
dengan serangan pukulan-pukulan yang menimbulkan sambaran angin men-
deru tajam. Tentu saja serangan itu bukan lagi merupakan hukuman, tapi lebih
tepat seperti hendak mem-
bunuh si pemuda bercaping.
Tentu saja serangan-serangan Danta yang ganas
dan berbahaya tidak bisa dihindari terus-menerus oleh pemuda bercaping itu, dia
terpaksa melontarkan serangan balasan sesekali, untuk mencegah agar tidak
terlalu terdesak.
Malangnya, perlawanan pemuda itu malah sema-
kin menyulitkan dirinya. Jata Sura yang mulai terbuka matanya setelah melihat
kepandaian pemuda itu tentu saja semakin bertambah geram. Segera saja dia
berteriak memanggil empat orang prajurit kerajaan yang
kebetulan lewat tidak jauh dari arena perkelahian.
"Hei, Prajurit...! Cepat kalian kemari...!" panggil Jata Sura mengulapkan
tangannya memanggil keempat orang prajurit itu.
Begitu mengenali kalau yang memanggil adalah
putra seorang pembesar yang sangat dihormati, lang-
sung saja empat orang prajurit itu bergegas menghampiri. "Ada apa, Tuan
Muda...?" tanya salah seorang dari keempat prajurit itu sambil membungkuk
hormat. Sedangkan ketiga kawannya tampak memandang per-
kelahian itu dengan kening berkerut.
"Kalian tangkap pengacau yang hendak membe-
rontak itu. Cepat!" perintah Jata Sura yang langsung saja melontarkan tuduhan
berat bagi pemuda bercap-
ing bambu itu. Benar-benar licik dan keji sekali pemuda tampan
putra Senapati Gada Sura itu. Kesalahan yang kecil
saja, bisa membuatnya tega mencelakakan orang yang
sebenarnya tidak bersalah!
*** 2 Terjunnya empat orang berseragam prajurit kera-
jaan, tentu saja membuat si pemuda bercaping menja-
di terkejut. Apabila nekat melanjutkan perkelahian, bi-sa-bisa ia ditangkap.
Bahkan dituduh sebagai pembe-
rontak. Maka, begitu melihat keempat orang prajurit mulai ikut menyerang, pemuda
yang sebenarnya adalah Bhirawa itu melesat ke kanan. Dia terus melarikan diri
dari arena pertempuran.
Memang kalau didekati, pemuda bertubuh tegap
dan memiliki hidung besar, dan mempunyai tanda ke-
hitaman seperti bekas penyakit kulit pada bagian bawah matanya. Ciri-ciri itu
memang membuktikan ka-
lau dia adalah Bhirawa.
"Setan pemberontak! Mau lari ke mana kau...!"
bentak Jata Sura.
Rupanya, dia tidak rela melepaskan pemuda ber-
caping bambu itu. Maka, segera saja Jata Sura melesat dan langsung melontarkan
serangan maut ke arah lawannya.
Bettt...! "Haiiit...!"
Bacokan sisi telapak tangan Jata Sura yang men-
gancam batang leher Bhirawa dapat dielakkan dengan
melenting ke udara, dan terus kabur! Tapi Danta dan Barna Pati, dua orang
pengawal Jata Sura, tidak tinggal diam. Kedua lelaki gagah itu melesat mengejar.
Langsung mereka menghadang jalan keluar pemuda
bercaping itu. "Hm.." Apa kau pikir setelah menghina tuan mu-
da kami, lalu dapat lolos begitu saja" Kau keliru pemuda pemberontak! Lebih baik
menyerah saja dan te-
rima hukumanmu...," dengus Danta yang kini telah
meloloskan senjatanya.
Sedangkan Barna Pati memutar-mutar cambuk-
nya di atas kepala. Jelas, mereka tidak akan membiarkan Bhirawa melarikan diri.
"Hm.... Barna Pati, Danta...!" geram pemuda ber-
caping itu penuh dendam. "Rupanya kalian masih saja setia mengikuti manusia
licik dan jahat seperti Jata Sura itu!"
Pemuda bercaping itu yang bernama Bhirawa ini
seperti telah mengenal kedua orang pengawal, serta
pemuda tampan yang bernama Jata Sura. Maka tentu
saja ucapan itu membuat Jata Sura, Danta, dan Barna Pati menjadi tertegun.
"Bangsat! Siapa kau sebenarnya..."! Sepertinya
kau telah mengenal kami. Hm.... Aku semakin penasa-
ran ingin mengetahui wajah yang kau sembunyikan di
balik caping buruk itu," desis Barna Pati, mencoba
menyimak wajah yang memang sebagian terlindung
caping bambu itu.
"Hm...."
Danta pun tidak kalah terkejutnya begitu men-
dengar pemuda bercaping itu menyebut namanya begi-
tu saja. Padahal kalau diukur dari pangkat keprajuri-tan, kedua orang itu
setingkat perwira. Dan, tidak seo-
rang pun dari kalangan rakyat jelata yang berani menyebut namanya begitu saja
tanpa embel-embel 'tuan'.
Maka hal itu tentu saja membuat Danta mengerutkan
keningnya sambil menggeram marah.
Demikian pula halnya Jata Sura. Pemuda putra
Senapati Gada Sura yang selalu dihormati orang itu
kian bertambah penasaran, ketika mendengar pemuda
itu menyebut namanya. Meskipun mungkin tadi pe-
muda itu sempat mendengarnya dari prajurit-prajurit kerajaan, tapi dari cara
pengucapannya, jelas seperti orang yang telah lama mengenalnya. Dan itu membuat
Jata Sura semakin bernafsu untuk menangkap pemu-
da itu. Sedangkan Bhirawa, sudah bersiap-siap membela
dirinya mati-matian. Keadaannya yang sudah terke-
pung itu, membuatnya sulit bisa lolos, kecuali melakukan perlawanan. Tapi untuk
itu, Bhirawa terpaksa
harus berhadapan dengan prajurit-prajurit kerajaan.
Bahkan akibatnya, dia dianggap sebagai pemberontak.
"Hm...," Bhirawa menggeram ketika melihat la-
wannya yang berjumlah tujuh orang itu telah bergerak merapatkan kepungan.
"Yeaaat..!"
Barna Pati berteriak nyaring, mengambil kesem-
patan pertama untuk menyerang. Lelaki gemuk yang
wajahnya terhias cambang tipis itu melesat, disertai lecutan cambuknya yang
meledak-ledak memekakkan
telinga. Menilik dari ledakan cambuk dan sambaran
angin yang menderu tajam, tampaknya kali ini Barna
Pati bukan bermaksud sekadar memberi hajaran lagi.
Bahkan sudah seperti hendak menewaskan pemuda
bercaping itu. Danta tidak ketinggalan. Lelaki gemuk berwajah
bulat dengan sepasang mata sipit itu bergerak menyu-
sul Barna Pati, disertai pedangnya yang mengaung-
ngaung bagaikan ratusan lebah marah! Tentu saja se-
rangan senjata lelaki itu pun tidak kalah berbahayanya dengan lecutan cambuk
kawannya. Sehingga sulit sekali dinilai, apakah Bhirawa akan mampu menghadapi
keroyokan yang demikian ganas dan tidak tanggung-
tanggung" Belum lagi menghadapi empat orang praju-
rit dan juga Jata Sura. Rasanya sulit sekali bagi pemuda itu untuk selamat kalau
tidak mempunyai bekal
ilmu silat yang cukup.
Tapi, kali ini Bhirawa tidak tanggung-tanggung
lagi. Begitu melihat betapa ganasnya serangan para
pengeroyoknya, caping yang selama ini menyembunyi-
kan wajahnya dilepaskan. Dan....
"Hiaaah...!"
Berbarengan bentakan menggeledek dari mulut-
nya, pemuda itu mengibaskan lengannya disertai pen-
gerahan tenaga dalam. Langsung saja caping bambu di tangannya melesat dengan
kecepatan kilat, diiringi suara mengaung tajam. Benda itu terus berputar menge-
lilingi tempat pemuda berjubah coklat itu.
Wuuus...! Karena dilemparkan oleh sebuah kekuatan hebat,
maka caping yang hanya terbuat dari bambu itu ter-
nyata bisa menjadi sebuah senjata berbahaya! Buk-
tinya empat orang prajurit yang ikut mengeroyok dan tidak sempat menghindar,
langsung tersungkur diiringi jerit kesakitan begitu terkena ujung caping bambu.
Seketika pada dada mereka terdapat sebuah goresan
panjang, hingga mengeluarkan darah! Meskipun tidak
terlalu dalam, tapi cukup menghentikan perlawanan
keempat orang prajurit tadi.
Jdarrr...! Jtarrr...!
Bhirawa, segera menggeser tubuhnya menghin-
dari lecutan cambuk Barna Pati. Kemudian dengan se-
buah liukan indah, pemuda itu bergerak dengan lang-
kah bagaikan orang mabuk, sambil melontarkan tusu-
kan jemari tangannya yang mengancam tubuh lawan!
Sayang, saat itu Danta dan Jata Sura telah ber-
gerak memotong jalan serangannya. Sehingga, seran-
gan Bhirawa terpaksa harus ditarik mundur. Lalu, dia melompat ke belakang untuk
mengatur jurus-jurus
barunya. "Yaaat...!"
Jata Sura yang demikian bernafsu untuk segera
dapat menundukkan Bhirawa, cepat melanjutkan se-
rangannya disertai pekikan nyaring! Hebat dan berbahaya sekali serangannya.
Sambaran tangannya yang
membentuk cakar harimau, bercuitan mengancam tu-
buh pemuda berwajah kehitaman itu. Sehingga mau
tidak mau, Bhirawa terpaksa harus mengeluarkan ju-
rus-jurus andalannya pula!
"Yeaaah...!"
Didahului sebuah pekikan melengking, Bhirawa
menarik mundur kaki kanannya dengan kuda-kuda
rendah. Sepasang tangannya yang mirip kepala ular,
meliuk-liuk lincah dan luwes. Sehingga, sepasang tangannya tidak ubahnya seperti
ular hidup saja
Bettt! Bettt! Bettt!
Disertai sambaran angin tajam yang merobek
udara, sepasang tangan Bhirawa mematuk-matuk me-
nyelinap di balik sambaran cakar harimau Jata Sura.


Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda bangsawan putra Senapati Gada Sura
itu cukup terkejut melihat kelincahan permainan se-
pasang tangan lawan. Meskipun cakar harimaunya ti-
dak kalah berbahaya dari sepasang paruh ular, namun jelas kalau Jata Sura masih
lebih mentah ilmunya ketimbang Bhirawa. Dan kekurangan yang sedikit itu
membuat Bhirawa dapat mendesak lawannya, setelah
bertarung selama dua puluh jurus lebih. Hanya karena di situ masih terdapat
Danta dan Barna Pati sajalah, yang membuat Jata Sura tidak mudah ditundukkan.
Memang, setiap kali pemuda tampan itu terdesak, ke-
dua orang pembantu setianya selalu saja menyela-
matkannya. "Heyaaah...!"
Ketika pertarungan mulai menginjak jurus yang
kelima puluh, mendadak saja tubuh Bhirawa melent-
ing ke udara disertai pekikan yang mengejutkan! Sepasang tangannya kini tidak
lagi membentuk paruh ular, tapi lebih tepat seperti sayap seekor burung elang
yang tengah mengepak. Tentu saja perubahan mendadak itu
sempat membuat ketiga pengeroyoknya melompat
mundur! "Berhenti...!"
Pada saat pertarungan sudah semakin memun-
cak, tiba-tiba terdengar sebuah seruan melengking,
mirip suara seorang wanita. Karuan saja mereka yang tengah bertarung
menghentikan gerakannya sejenak,
kemudian menoleh ke arah asal suara.
Baik Bhirawa, Jata Sura, Danta, dan Barna Pati,
sama-sama mengerutkan kening ketika melihat seo-
rang wanita berpakaian biru muda tampak berlari ke
arah pertempuran.
"Winarsih...!?" Jata Sura yang memang mengenali
wanita berpakaian biru muda itu segera saja berseru.
Kemudian, dia berdiri tegak dengan kening berkerut
menanti kedatangannya.
Demikian pula halnya Bhirawa, Danta, dan Bar-
na Pati. Ketiganya menghentikan pertempuran dan
menanti tibanya gadis berpakaian biru muda. Melihat dari sikap Danta dan Barna
Pati yang agak hormat, je-
las kalau gadis yang baru datang itu juga merupakan majikannya.
"Gusti Ayu Winarsih...," sapa Danta dan Barna
Pati saat wanita yang ternyata berwajah cantik itu telah tiba di dekat mereka.
Kedua orang lelaki gagah itu mengangguk hormat, kemudian menundukkan kepala
agak takut-takut.
"Kakang! Keributan apa lagi yang kau buat kali
ini"! Kau selalu mencari-cari perkara setiap hari. Apa kau tidak merasa bosan?"
tegur dara yang ternyata
bernama Winarsih itu dengan mulut memberengut pe-
nuh kemanjaan. Melihat sikapnya, jelas kalau antara Winarsih
dan Jata Sura terdapat hubungan erat. Kalau tidak,
mana mungkin gadis itu berani menegur Jata Sura.
"Aaah...! Kau ini selalu saja mencampuri urusan-
ku, Winarsih. Tapi perlu kau tahu. Yang kali ini kuha-dapi bukan semata-mata
karena kesalahanku. Lihat-
lah sendiri keempat orang prajurit yang terluka itu.
Dan lihat pula gelandangan busuk pemberontak itu.
Tahukah kau! Gelandangan bermuka hitam itu telah
berani menghinaku di depan umum. Jadi sudah sepa-
tutnya kalau kuberi sedikit pelajaran...," ujar Jata Su-ra. Jata Sura sepertinya
mencoba membela diri den-
gan menjatuhkan fitnah kepada Bhirawa. Sedangkan
Bhirawa menatap heran, karena Jata Sura seperti ti-
dak berani bersikap keras terhadap gadis itu.
"Winarsih...?" gumam Bhirawa sambil menatap
tajam wajah gadis itu. "Hm.... Kalau tidak salah ia pun putri Gada Sura. Pantas,
Jata Sura seperti tidak berdaya menghadapinya. Rupanya rasa sayangnya mem-
buat pemuda sombong itu tidak berani bertindak keras terhadap adiknya...."
Bhirawa sepertinya juga mulai ingat, siapa gadis
cantik berpakaian biru muda itu. Sedangkan dara cantik yang bernama Winarsih itu
sudah berpaling mena-
tapnya. Kemudian Winarsih melangkah menghampiri
pemuda itu dengan menyipitkan matanya yang indah.
Sepertinya, dia hendak melakukan penilaian terhadap sosok pemuda berwajah
kehitaman dan agak buruk
itu. "Kisanak. Benarkah kau seorang pemberontak,
dan yang memulai perkelahian ini...?" tanya Winarsih tanpa seorang pun berani
mencegahnya, termasuk ju-ga Jata Sura.
Bhirawa sama sekali tidak menjawab sepatah
pun. Setelah mengangukkan kepala secara samar, pe-
muda itu pun berbalik.
"Maaf, aku harus pergi...."
Setelah mengenakan kembali caping bambunya,
pemuda berwajah buruk itu pun segera berkelebat
tanpa ada yang bergerak mencegahnya. Semua itu ter-
jadi karena adanya Winarsih di tempat itu. Sehingga, Bhirawa dapat meloloskan
diri dengan selamat tanpa
ada yang menghalang-halangi.
"Hm..., seorang pemuda yang aneh. Tapi, nam-
paknya ia tidak seburuk sangkaan Kakang Jata Su-
ra.... Entah, siapa dia" Tatapan matanya terlihat begitu aneh...," gumam
Winarsih sambil menatapi bayan-
gan Bhirawa yang semakin samar dan menjauh.
"Keparat! Lain kali kau tak akan kubiarkan lolos
dari tanganku...," geram Jata Sura.
Pemuda tampan itu hanya dapat memandang
dengan perasaan dongkol ke arah bayangan Bhirawa,
yang entah mengapa telah menimbulkan kebencian da-
lam hatinya. Maka tanpa banyak bicara lagi, pemuda
itu segera mengajak orang-orangnya untuk meninggal-
kan tempat itu. Termasuk juga, Winarsih adik perem-
puan satu-satunya yang sangat disayanginya.
*** Pemuda berjubah coklat yang mengenakan cap-
ing itu terus berlari meninggalkan Kotaraja Bantar Gebang. Kemudian, terus
dilewatinya pintu gerbang dan menuju sebelah Barat. Pemuda itu baru memperlam-
bat larinya ketika merasa telah cukup jauh meninggalkan kotaraja. Siapa lagi
pemuda bertubuh tegap itu kalau bukan Bhirawa"
"Hhh...."
Bhirawa menghempaskan pantatnya di rerumpu-
tan tebal di bawah sebatang pohon rindang. Hatinya
betul-betul kecewa atas kejadian yang baru saja dialaminya di dalam kotaraja.
Memang setelah kejadian itu, ia pasti akan sulit sekali mencari musuh-musuh di
sa-na. "Celaka...," desis pemuda itu sambil membanting caping bambunya ke
tanah," Jata Sura pasti tak akan tinggal diam. Pemuda keparat itu mungkin akan
terus mencariku. Apalagi, kini aku telah dianggap sebagai pemberontak. Kurang
ajar sekali manusia berhati busuk itu! Ia benar-benar telah mewarisi sifat-sifat
keji ayahnya!"
Bhirawa benar-benar geram dengan wajah duka.
Dengan helaan napas berat yang panjang sebagai pelepas kekecewaannnya, tubuhnya
disandarkan ke ba-
tang pohon. Terbayang kembali dalam benak pemuda itu na-
sib menyedihkan yang menimpa keluarganya pada se-
kitar empat atau lima tahun yang lewat. Semua itu
masih tergambar jelas, seperti baru saja terjadi kema-
rin. Perlahan-lahan, tanpa disadari ada butiran air bening yang mengalir turun,
membasahi pipinya yang
berkulit kehitaman.
"Ayah.... Ibu.... Bantulah aku dalam melaksana-
kan dendam keluarga kita ini. Tolonglah beri jalan kepadaku, untuk dapat
menjangkau manusia-manusia
terkutuk itu. Semuanya kini menjadi serba sulit dan kacau. Apalagi, kalau sampai
pemuda terkutuk itu
mengadukan kepada pihak kerajaan tentang kejadian
tadi. Tentu beban yang tersangga di pundakku akan
semakin berat..," desah Bhirawa dengan mata terpejam rapat Jelas peristiwa tadi
telah membuatnya berduka, karena musuh-musuh keluarganya yang kini telah
menjabat sebagai pembesar Kerajaan Bantar Gebang,
tentu akan semakin sulit diraihnya. Jangankan untuk dapat menemui mereka.
Sedangkan untuk masuk ke
dalam kotaraja pun kini hatinya merasa ragu. Sebab, bukan tidak mungkin kalau
sekarang dirinya tengah
dicari-cari pihak kerajaan. Semua pemikiran itu semakin membuatnya tenggelam
dalam lautan duka dan
keresahan. Mendadak saja, telinga Bhirawa yang tajam men-
dengar adanya suara roda kereta kuda yang berasal
dari sebelah kanannya. Bergegas pemuda itu melesat
ke atas, dan bersembunyi di dalam kelebatan pohon
besar tempatnya melepas lelah tadi
Bhirawa yang kini mudah curiga semenjak keja-
dian tadi, tidak perlu menunggu lama. Beberapa saat kemudian, di jalan yang
tidak terlalu besar berjarak sekitar dua tombak di depannya, melintas sebuah
kereta yang ditarik dua ekor kuda. Yang membuat kening pemuda itu berkerut,
ternyata kereta itu bukan merupakan kereta barang atau kereta bangsawan. Tapi,
ju- stru menyerupai sebuah kereta tawanan. Itu bisa dilihat di sekeliling kereta
yang terdapat jeruji besi dan pintunya terkunci.
Sepasang mata pemuda itu menyipit, saat meli-
hat keenam orang gadis terdapat di dalamnya. Empat
di antara mereka tampak masih terisak dengan wajah
bersimbah air mata. Hal itu tentu saja membuat hati Bhirawa dipenuhi tanda
tanya. "Mengapa gadis-gadis itu seperti tengah ditawan"
Kesalahan apa yang telah mereka buat, sampai harus
digiring dalam kerangkeng itu?" gumam Bhirawa den-
gan hati agak berdebar.
Kemudian perhatian pemuda tegap itu beralih ke
arah delapan orang prajurit di depan dan belakang kereta tawanan.
Setelah berpikir beberapa saat, Bhirawa segera
memutuskan untuk mencari penjelasan apa yang me-
nyebabkan gadis-gadis itu berada dalam kereta taha-
nan. Segera saja pemuda berkulit wajah agak kehita-
man itu meluncur turun, dan berdiri menghadang ja-
lan. Tentu saja kening empat orang prajurit yang berada di depan jadi berkerut,
melihat seorang pemuda yang tengah berdiri di tengah jalan dalam jarak tiga
tombak. Maka langsung saja mereka meraba gagang
pedang di pinggang.
Dengan berpura-pura seperti orang kurang inga-
tan, Bhirawa melangkah maju dengan kepala mengge-
leng-geleng. Sedangkan ekor matanya tetap melirik ke arah rombongan prajurit
terdepan. Meski sikapnya terlihat sembarangan, tapi pemuda itu telah memper-
siapkan ilmu-ilmunya untuk menghadapi segala ke-
mungkinan. Sedangkan kereta tawanan itu terus saja berge-
rak, meski kali ini terlihat sengaja diperlambat. Bahkan wajah-wajah para
prajurit yang mengawal kereta
tawanan, terlihat mulai menegang. Jelas mereka mera-sa curiga terhadap sosok
tubuh bertubuh tinggi tegap yang menyembunyikan wajahnya di balik caping bambu.
*** 3 Melihat adanya seorang pemuda bertingkah laku
seperti pemabuk yang melangkah di tengah jalan, sa-
lah seorang prajurit segera melangkah mendekat. Me-
nilik dari sikap dan pakaian yang dikenakan, jelas kalau prajurit itu merupakan
kepala pengawal. Dengan
lagak dibuat menyeramkan, kepala pengawal itu ber-
henti satu tombak di depan Bhirawa.
"Hei, Manusia Pemabukan! Menyingkirlah! Kami
akan lewat! Atau, kami terpaksa harus melempar mu
ke tepi jalan!" bentak kepala pengawal itu dengan suara dibesar-besarkan. Sedang
tangan kanannya meraba
gagang pedang untuk menakut-nakuti.
Mendengar teguran itu, Bhirawa mengangkat ke-
palanya dengan tubuh bergoyang-goyang. Tingkahnya
benar-benar tak ubahnya orang mabuk. Bahkan sepa-
sang matanya menatap sayu dengan sorot memancar-
kan ketidaksadaran. Kemudian, dia terus melangkah
sambil tertawa dan menuding-nudingkan telunjuknya.
"He he he.... Ada rombongan penari yang men-
gawal monyet-monyet. Lucu..., lucu...," kata pemuda itu dengan nada pelo dan tak
begitu jelas. Bahkan ketika berbicara, Bhirawa sengaja mem-
permainkan air liurnya, hingga jatuh menetes ke ta-
nah. Tentu saja tingkahnya itu membuat kepala pen-
gawal menjadi jengkel.
"Hm..., dasar pemuda pemabuk! Rupanya kau
memilih dilemparkan ketimbang menyingkir secara
baik-baik. Kalau memang begitu keinginanmu, baik-
lah...!" dengus kepala pengawal itu, geram.
Setelah berkata demikian, ia melangkah maju
dan mengulurkan tangannya hendak mencengkeram
bahu Bhirawa. "Eit..., tunggu dulu...," cegah Bhirawa terkekeh
dengan tubuh tetap bergoyang-goyang, "Ng..., bolehkah aku melihat monyet-monyet
yang kau tangkap itu..."
Siapa tahu, aku suka kepada salah satu dari hasil bu-ruanmu itu. Dengan begitu,
beban kalian akan berku-
rang...." Setelah berkata demikian, Bhirawa melangkah ke
tepi dan terus bergerak mendekati kereta berjeruji
dengan tubuh oleng.
Bhirawa rupanya cukup cerdik untuk dapat
mengetahui keadaan gadis-gadis itu. Para prajurit sa-ma sekali tidak tahu kalau
pemuda yang dianggap pe-
mabukan itu telah mengirimkan suaranya dari jarak
jauh. Karena tingkah-lakunya seperti pemabuk, maka
para prajurit itu sama sekali tidak curiga melihat bibir pemuda itu berkemak-
kemik tanpa suara.
"Nyai! Kalau kalian memang dibawa orang-orang
ini secara paksa, berteriaklah. Makilah mereka. Tapi, kalau kalian memang dibawa
secara suka rela, tak perlu kau pedulikan ucapanku. Jangan takut, aku hanya
berpura-pura mabuk untuk mengetahui keadaan ka-
lian yang sebenarnya...."
Suara yang dikirim Bhirawa terdengar jelas oleh
salah seorang dari gadis-gadis itu. Semula, ia merasa
takut karena mendengar suara tanpa wujud. Tapi setelah Bhirawa memberi
keterangan, gadis itu segera saja menatap pemuda pemabuk itu dengan kening
berkerut. Rupanya, pilihan Bhirawa tidak meleset. Gadis yang dibisikannya dari
jauh itu ternyata cukup cerdik.
Dia bisa menangkap maksud baik pemuda yang diang-


Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gapnya pemabuk itu. Sehingga setelah berpikir sejenak gadis itu pun mulai
berteriak dan memaki-maki.
"Tuan! Tolong lepaskan kami, Tuan. Kembalikan-
lah kami ke desa tempat asal kami. Kami tidak sudi
dipaksa untuk jadi pemuas nafsu pejabat-pejabat pe-
merintah. Jangan paksa kami, Tuan.... Tolonglah bebaskan kami...," gadis
berpakaian merah muda yang
rambutnya dikepang dua itu berteriak-teriak dengan
cerdiknya. Bhirawa. tersenyum dalam hati ketika melihat
kecerdikan gadis itu. Kini jelas sudah gadis-gadis itu dibawa secara paksa dari
desanya. Maka seketika itu juga, terdengarlah kekehnya yang berkepanjangan.
"He he he..., lihat. Mereka ternyata minta dibe-
baskan. Jadi, kalian sengaja mencuri monyet-monyet
ini dari hutan" Apakah kalian tidak tahu kalau perbuatan itu dilarang..." Ayo,
bebaskan mereka...," ujar Bhirawa dengan lagak masih tetap tidak berubah.
Bahkan, kali ini pemuda itu melangkah mende-
kati kereta tawanan. Tentu saja perbuatannya tidak
didiamkan begitu saja oleh para prajurit.
"Hei, mau apa kau...! Ayo menyingkir. Atau, ku-
tebas batang lehermu!" kepala pengawal itu marah bukan main melihat kelakuan
Bhirawa. Maka dia segera
saja melompat dengan pedang terhunus.
Tapi, Bhirawa tidak mau ayal-ayalan lagi. Meski-
pun untuk itu, ia akan mengalami kesukaran dalam
melaksanakan dendam keluarganya. Namun, Bhirawa
tidak peduli lagi. Sebagai orang yang memiliki kepandaian, tentu saja pemuda itu
tidak bisa berpangku
tangan melihat ketidakadilan yang terjadi di depan matanya.
"Kisanak...!"
Kali ini, Bhirawa tidak lagi berpura-pura sebagai
pemuda pemabukan. Sorot mata dan sikapnya telah
berubah bagaikan langit dan bumi. Kalau tadi berdiri kakinya goyah dan sorot
matanya sayu, kini sepasang kakinya terpancang kokoh bagaikan seekor singa yang
sedang marah. Sedangkan sepasang matanya menyorot tajam menggetarkan jantung
para prajurit. Karuan saja mereka terkejut melihat perubahan mendadak
pemuda pemabuk itu.
"Keparat! Rupanya kau memang sengaja hendak
menghadang kami dengan berpura-pura mabuk! Tapi
jangan dikira kami takut, Pemuda Jelek. Sadarkah
akibat perbuatanmu ini, kau bisa dianggap pemberon-
tak! Kau akan mendapat kesulitan seumur hidup ka-
lau sampai berani mengganggu kami...," kepala pen-
gawal itu mencoba menggertak Bhirawa.
Rupanya, ia mulai sadar kalau pemuda tinggi te-
gap yang berpura-pura mabuk itu pasti bukan orang sembarangan. Kalau tidak
mustahil berani menghadang rombongan prajurit kerajaan.
"Hm.... Jangankan baru menghadapi kalian para
prajurit recehan. Seandainya yang melakukan hal ini orang besar seperti Senapati
Gada Sura pun, aku tetap akan mencegah! Jadi, tidak ada gunanya kalian
menggertak aku...," ejek Bhirawa, gagah.
Sambil berkata demikian, pemuda tegap itu me-
langkah seperti hendak membebaskan gadis-gadis
muda yang berada dalam kerangkeng.
"Bangsat! Kau benar-benar cari mampus, Pemu-
da Gila...!"
Sambil membentak marah, kepala pengawal itu
segera saja menerjang Bhirawa. Bahkan prajurit-
prajuritnya sudah diperintah untuk mengurung pemu-
da itu. "Heaaat...!"
Wuuut...! Dengan sikap tenang, Bhirawa menggeser mun-
dur langkahnya sambil menarik tubuh ke belakang.
Begitu mata golok lawan lewat di depan tubuhnya,
tangannya bergerak cepat mencengkeram pergelangan
tangan lawan yang memegang senjata. Sayang gerakan
itu harus cepat ditarik pulang. Karena pada saat itu juga, sebilah pedang lain
datang mengancam hendak
menebas tangannya yang siap mencengkeram.
Meskipun cengkeramannya gagal, Bhirawa tidak
kehilangan akal. Cepat bagai kilat, tubuhnya berputar disertai tendangan kaki
kanannya yang langsung
menghajar perut salah seorang prajurit yang berada di kanannya!
Buggg...! "Hukhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh prajurit itu langsung
terjengkang muntah darah! Tendangan yang dialiri tenaga dalam kuat itu membuat
lawan tidak mampu
bergerak bangkit lagi. Tendangan Bhirawa langsung
membuat korbannya tewas seketika.
Lelaki gemuk berkumis tebal yang menjadi pe-
mimpin para prajurit tentu saja menjadi murka! Pe-
dang di tangannya diputar sedemikian rupa, hingga
memperdengarkan suara mengaung tajam! Kemudian,
tubuhnya meluruk deras dengan tusukan kilat ke tu-
buh Bhirawa! "Haiiit...!"
Untuk kesekian kalinya, Bhirawa kembali memu-
tar tubuhnya menghindari sambaran pedang lawan.
Kemudian, tubuhnya terus melenting ke samping den-
gan indahnya, lalu membagi dua buah pukulan telak
ke arah dada dan perut dua orang pengeroyoknya!
Tanpa ampun lagi, kedua orang prajurit itu langsung terjungkal dan tidak bangkit
lagi! Masih dengan gerakan yang sukar diikuti mata,
telapak tangan Bhirawa berkelebatan susul-menyusul
ke arah kepala dua orang pengeroyok! Dan....
Plakkk! Plakkk!
"Aaakh...!"
Dua orang prajurit bernasib malang itu langsung
terjungkal roboh dengan kepala pecah! Rupanya, Bhi-
rawa yang merasa benci dengan kelakuan prajurit-
prajurit, langsung saja menumpahkan kekesalannya.
Akibatnya dua orang prajurit itu langsung tewas seketika terhantam pukulan
kerasnya. Kematian dua orang pengawal, tentu saja mem-
buat lelaki gemuk yang memimpin pasukan kecil itu
menjadi pucat! Apalagi, melihat kesaktian pemuda
yang benar-benar mengejutkan hatinya. Kontan saja
keberanian dan kegalakannya lenyap bagaikan asap
yang tersaput angin.
"Yiaaah...!"
Bhirawa yang sudah seperti orang kesetanan, ti-
dak sudi membiarkan lolos lawan-lawannya. Merasa
telanjur basah, pemuda itu berniat menceburkan di-
rinya sekaligus. Dia berpikir, apabila ada salah seorang prajurit yang lolos,
bisa jadi ia akan semakin sulit memasuki kotaraja. Untuk itu, Bhirawa bertekad
mem- bunuh semua prajurit-prajurit
Kembali sisa prajurit yang tinggal dua orang
menjerit ngeri ketika jari-jari tangan pemuda itu menembus batok kepala mereka!
Karuan saja hal itu se-
makin membuat hati si kepala pengawal semakin ciut.
Akhirnya, ia pun menjatuhkan diri, berlutut minta
ampun kepada Bhirawa. Karena, semua prajuritnya te-
lah habis digasak pemuda itu.
"Ampun, Tuan Pendekar.... Aku hanyalah orang
suruhan yang terpaksa harus menuruti perintah maji-
kan. Kalau tidak, jabatanku bisa copot. Ampuni aku, Tuan Pendekar. Kasihan anak
istriku di rumah...," ratap lelaki gemuk itu terisak-isak.
Sepertinya, ia sudah tidak mempunyai rasa malu
lagi untuk melakukan tindakan serendah itu agar
nyawanya selamat.
"Hm.... Bangsat Tengik! Kau ingin mencari sela-
mat sendiri, ya" Orang sepertimu seharusnya tidak boleh dibiarkan hidup! Kali
ini meratap-ratap minta ampun, tapi lain kali kau kembali akan melakukannya!
Lalu, apa gunanya penyesalanmu itu...?" hardik Bhi-
rawa yang semakin bertambah geram melihat lelaki itu meratap-ratap memohon
ampun. "Ampun, Tuan Pendekar. Aku Pandara berjanji
tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi. Aku tobat, Tuan Pendekar...."
Lelaki gemuk yang mengaku bernama Pandara
itu semakin ketakutan, sampai-sampai keningnya di-
bentur-benturkan ke tanah sebagai tanda benar-benar ingin bertobat
"Hm.... Bisakah janjimu kupercaya" Bagaimana
bila kau diperintah lagi untuk melakukan kejahatan
semacam ini" Apa yang akan kau katakan apabila ma-
jikanmu menanyakan tentang prajurit-prajurit yang
tewas itu?" tanya Bhirawa.
Pemuda itu rupanya mulai tergerak hatinya meli-
hat kelakuan dan ratapan lelaki gemuk itu. Makanya, dia mencoba memancing.
"Sekarang aku tidak takut jabatanku dicopot,
Tuan Pendekar. Biarlah. Lebih baik tidak memiliki jabatan, daripada selalu
dipaksa melakukan kejahatan
seperti ini. Sedangkan mengenai kawan-kawanku, bisa saja kukatakan kalau mereka
diterkam binatang buas.
Ampunilah aku, Tuan Pendekar...," ratap Pandara ber-sungguh-sungguh ketika
mendengar pertanyaan Bhi-
rawa. Hati laki-laki gemuk itu mulai lega ketika mendengar nada ucapan Bhirawa
yang sepertinya mulai
lunak. Hatinya berdebar melihat adanya kemungkinan
ia tidak dibunuh.
"Hm..., baiklah. Untuk sekali ini, kau kube-
baskan. Tapi, ingat! Kalau lain kali kau berbuat seperti ini lagi, aku akan
datang mencabut nyawamu! Sekarang, pergilah...," ujar Bhirawa. Pandara akhirnya
memang dilepaskan, karena Bhirawa tidak tega melihat
ratapannya. Yang membuat hatinya lemah adalah, ke-
tika lelaki gemuk itu menyebutkan nasib anak istrinya.
Hal itu mengingatkan dia akan kematian kedua orang
tuanya, sehingga hatinya merasa tersentuh.
Pandara membentur-benturkan kembali kening-
nya sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih.
Kemudian, dia terus berlari meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.
Bhirawa sendiri segera menghampiri kereta ta-
wanan setelah bayangan Pandara tidak nampak lagi.
Kemudian, dibebaskannya enam orang gadis desa yang
menangis bahagia karena terlepas dari ancaman yang
lebih menakutkan daripada kematian.
"Terima kasih, Tuan Pendekar.... Kami tidak akan
melupakan budi baik Tuan," ucap gadis berpakaian
merah muda mewakili teman-temannya yang lain.
Bhirawa hanya tersenyum. Kemudian, diajaknya
gadis-gadis itu untuk kembali ke desa tempat tinggalnya. Ada sedikit penyesalan
di hati pemuda itu, karena lupa menanyakan tentang orang yang menyuruh
Pandara membawa gadis-gadis itu ke kotaraja. Namun, ia bertekad menyelidiki
masalah itu, dan ingin mem-basminya.
*** 4 Saat ini, malam sudah bertambah larut. Suara
burung malam terdengar saling bersahutan. Saat itu, pintu gerbang Kotaraja
Bantar Gebang sudah tertutup rapat Sedang para prajurit penjaga hanya berdiam di
dalam posnya di dekat gerbang.
Dalam kepekatan malam yang hanya diterangi
cahaya bulan sepotong, tampak sesosok bayangan hi-
tam bergerak melewati tembok Selatan kotaraja. Menilik dari gerakannya yang
gesit dan cekatan, jelas ilmu meringankan tubuhnya tidak bisa dipandang rendah.
Sosok tubuh tegap itu terus bergerak menuju pu-
sat kota, melalui tempat-tempat yang tersembunyi dari kilatan cahaya obor. Tidak
lama kemudian, tibalah sosok itu di bagian samping sebuah bangunan besar
yang cukup gelap.
"Huppp!"
Dengan suara halus, tubuhnya melenting dan
langsung mendarat di halaman dalam bangunan besar
itu. Kemudian, dia terus mengendap-endap ke bagian
belakang. "Hm...," gumam sosok bayangan hitam Itu perla-
han ketika melihat adanya bangunan-bangunan yang
lebih kecil, terletak di samping gedung. Sepasang mata di balik genap rambut itu
tampak berkilat seperti telah menemukan apa yang dicarinya.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia ber-
gerak mendekati dua buah bangunan kecil disamping
bagian belakang bangunan besar itu. Tubuhnya segera dirapatkan ke dinding batu
ketika mendengar suara
orang berbicara di dalam. Pendengarannya dipasang
tajam-tajam untuk dapat menangkap pembicaraan
yang diduga terdiri dari dua orang itu.
"Apa kau tidak bisa menduga, siap" pemuda ber-
wajah buruk itu, Kakang Barna" Atau mungkin, kau
bisa mengenali dasar-dasar ilmu silat yang dimili-
kinya...?"
Terdengar sebuah suara agak berbisik. Dan sosok
bayangan hitam itu dapat jelas mendengarnya.
"Sulit untuk menduga, siapa pemuda berwajah
buruk itu, Adi Danta," sahut orang yang dipanggil
Barna Pati lirih.
Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan Danta
dan Barna Pati. Mereka adalah pembantu Jata Sura,
putra Senapati Gada Sura. Rupanya, bangunan samp-
ing itu merupakan tempat tinggal mereka.
Sepertinya sosok bayangan hitam itu tengah me-
nahan napasnya, saat pembicaraan kedua orang itu
berhenti sejenak. Tindakan itu jelas menandakan sikap hati-hatinya. Apalagi,
kedua orang pembantu Jata Su-ra itu memang bukan orang-orang sembarangan. Dan
sepertinya, sosok bayangan hitam itu pun menyadari.
"Bagaimana mengenai ilmu silatnya" Aku seperti
pernah mengenalnya. Hanya saja, aku tidak bisa men-
duganya secara pasti," terdengar suara orang yang
bernama Danta kembali bergaung pelan.
"Hm.... Melihat gerak-geriknya yang kokoh, ada
kemungkinan pemuda berwajah buruk itu berasal dari
daerah Utara. Buktinya, ilmu-ilmu silat dari Utara ke-banyakan mengandalkan
kekuatan, dan bukan ke-
luwesan seperti halnya daerah Selatan. Dan menilik
pakaiannya, dapat kupastikan kalau orang itu berasal dari daerah pantai...,"
sahut Suara Barna Pati.
Nyatanya, pembicaraan itu membuat dada sosok
bayangan hitam di luar jadi bergelombang. Jelas, hatinya merasa tegang mendengar
pembicaraan itu.
"Pantai Utara...," desah Danta, mengulang kata-


Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata itu sambil mengerutkan dahinya, "Hm.... Di daerah Pantai Utara Laut Pajang,
bukankah ada seorang
tokoh yang berjuluk...."
Krakkk! Danta menghentikan ucapan ketika mendengar
suara yang mengejutkan. Serentak mereka bergerak
bangkit, dan langsung melesat keluar. Keduanya terkejut begitu melihat sesosok
bayangan hitam melesat
meninggalkan tempat itu.
"Hei...., berhenti...!" seru Barna Pati mencegah
sosok bayangan hitam yang melarikan diri.
Baru saja ia hendak bergerak mengejar, Danta
mencekal lengannya. Sehingga, lelaki itu menahan gerakannya.
"Lebih baik panggil para penjaga saja...," ujar
Danta mengusulkan.
"Tidak ada waktu lagi. Kita harus segera menge-
jar orang itu," sergah Barna Pati.
Barna Pati tidak setuju, karena hal itu hanya
akan menyebabkan sosok bayangan hitam tadi keburu
jauh. Maka, segera saja diajaknya Danta untuk menge-
jar. Kedua orang pengawal pribadi Jata Sura itu
langsung saja berkelebat mengejar. Tubuh mereka bergerak cepat, menerobos
kegelapan malam yang hanya
diterangi sinar bulan redup.
Tapi, sepertinya sosok bayangan hitam itu me-
mang tidak sungguh-sungguh hendak melarikan diri.
Buktinya dalam waktu yang tidak terlalu lama, Danta dan Barna Pati sudah berada
dalam jarak tiga tombak di belakangnya. Meski dalam keadaan agak gelap, kedua
orang lelaki gagah itu tentu saja dapat menangkap bayangan buruannya. Apalagi,
mata mereka tidak dapat disamakan dengan mata orang biasa. Sebagai seo-
rang tokoh yang memiliki kepandaian cukup tinggi,
mereka dapat mempertajam pandangan dengan penge-
rahan tenaga pada matanya.
Sosok bayangan hitam itu terus bergerak mele-
wati tembok kotaraja. Kemudian, dia terus bergerak
menuju sebuah hutan kecil di sebelah Selatan kotara-ja. Sedangkan saat itu,
jarak di antara mereka se-
makin dekat saja.
"Hm.... Jangan harap dapat lolos dari kejaran
kami, Pengecut! Lebih baik menyerahlah...!" ujar Barna Pati yang berada di depan
Danta, bernada geram.
Terlihat lelaki gagah itu menambah kekuatannya
untuk memperpendek jarak di antara mereka. Sedang-
kan Danta hanya mengikuti dari sebelah belakang, karena kepandaiannya memang
masih kalah setingkat
dibanding rekannya.
Setelah memasuki hutan kecil, sosok bayangan
itu tampak menghentikan larinya di sebuah tempat
yang agak lapang. Sinar bulan redup yang jatuh menerangi tubuh, membuat sosok
bayangan hitam yang
bertubuh tegap itu nampak angker dan memancarkan
perbawa. Jelas sudah, ia memang sengaja hendak
memancing kedua orang itu agar mengejarnya.
"Hm.... Aku tidak akan melarikan diri dari kalian,
Bangsat Terkutuk! Malam ini biarlah rembulan menja-
di saksi atas kematian kalian...!" ancam sosok tubuh tinggi tegap yang berdiri
kokoh bagaikan batu karang itu. Sorot mata orang itu tampak demikian tajam,
seolah hendak menelan tubuh kedua orang pengawal
Jata Sura. Sehingga, hati kedua orang itu sempat bergetar karenanya.
Namun sebagai orang yang mempunyai pengaruh
di dalam wilayah kotaraja, baik Danta dan Barna Pati tetap menunjukkan sikap
sombongnya. Apalagi, pihak
lawan hanya seorang diri dan tidak terlihat tanda-
tanda adanya kawan-kawannya yang lain. Tentu saja
kedua orang itu berusaha membesar-besarkan hati.
"Hm.... Jadi kau sengaja memancing kami untuk
mengejarmu" Apa sebenarnya maksudmu, Kisanak.
Dan siapa kau sebenarnya...?" geram Barna Pati yang sedikit terkejut ketika
mengenali sosok bayangan hitam itu.
"Dia pemuda yang pagi tadi membuat keributan
itu...," desis Danta ketika dapat melihat jelas wajah sosok bertubuh tinggi
tegap berambut panjang terurai
itu. "Benar! Aku sengaja datang untuk mencabut
nyawa kalian berdua! Kalian ternyata juga ikut membantu dalam menghancurkan
keluargaku! Malam ini,
dendamku harus ditebus dengan darah hitam yang
berbau busuk dari tubuh kalian berdua...!"
Terdengar suara datar sosok tubuh tegap yang
memang Bhirawa. Rupanya, kedua orang pengawal
pribadi Jata Sura itu termasuk dalam daftar musuh-
musuh keluarganya.
"Kisanak, kami tidak mengenalmu. Dan sama se-
kali tidak tahu tentang kejadian yang menimpa keluar-gamu. Meskipun begitu,
jangan dikira kami takut
menghadapimu," sahut Danta yang bergerak maju
sambil menghunus senjatanya.
"Oh.... Jadi peristiwa di Laut Pajang yang terjadi
lima tahun yang lalu, telah kalian lupakan begitu saja"
Rupanya kalian pikir semua anggota keluarga itu telah tewas, bukan" Sekarang
dengarlah baik-baik. Aku adalah Bhirawa, keturunan dari orang yang telah kalian
bunuh secara licik! Tapi, kalian tidak akan mempunyai waktu lagi untuk
memberitahukannya kepada kawan-kawanmu. Karena, setelah kalian tahu siapa aku,
be- rarti kematianlah yang akan kalian dapatkan!"
Setelah mengancam demikian, Bhirawa menca-
but keluar sebilah pedang yang mengeluarkan sinar
kebiruan. "Hantu Laut Pajang...!?" desis Barna Pati dan
Danta hampir berbarengan.
Jelas mereka telah mengenal baik senjata yang
terhunus di tangan pemuda berwajah buruk itu.
"Benar. Akulah Hantu Laut Pajang yang akan
mencabut nyawa anjing kalian, Manusia-Manusia Bu-
suk!" Setelah berkata demikian, Bhirawa menyilangkan pedangnya di depan dada.
Sorot matanya tampak demikian tajam, dan mengiriskan!
"Hiaaat..!"
Tanpa banyak bicara lagi, Bhirawa segera melesat
ke arah dua orang lawan disertai putaran senjatanya yang telah membentuk
gundukan sinar kebiruan.
Bettt! Bettt! Bettt!
Kilatan sinar kebiruan tampak berkeredep me-
nyambar-nyambar, memperdengarkan suara berdeng-
ing. Tapi, semua itu terjadi bukan karena kehebatan tenaga dalam Bhirawa,
melainkan karena senjata pu-saka di tangannya. Bahkan senjata itu memang dapat
membuat perhatian lawan terpecah. Itulah salah satu keistimewaan senjata yang
dimiliki Hantu Laut Pajang.
Hanya yang tidak habis pikir, mengapa usia tokoh itu masih sangat muda"! Padahal
pada waktu mereka
muda, nama tokoh itu telah lebih dahulu terkenal dalam dunia persilatan.
Tapi, Bhirawa tidak membiarkan dua orang la-
wannya untuk memikirkan keanehan itu. Apalagi pe-
dang di tangannya telah berkelebat mengancam tubuh
kedua orang lawan. Sehingga, baik Danta dan Barna
Pati terpaksa harus menghindari ancaman maut itu!
"Yeaaah...!"
Danta yang memang sudah siap dengan pedang-
nya, segera saja melontarkan serangan balasan yang
tidak kalah ganas. Pedang di tangannya mengaung ta-
jam, merobek kesunyian malam. Kilatan cahayanya
yang berkeredep, ditimpa sinar redup sang rembulan
menyambar-nyambar kian kemari dengan kecepatan
mengagumkan. Jelas, kepandaian yang dimiliki Danta
pun tidak bisa dipandang remeh!
Demikian pula halnya Barna Pati. Lelaki gagah
itu sudah mencabut keluar senjatanya berupa sepa-
sang trisula sepanjang satu setengah jengkal. Cara lelaki gagah itu memainkannya
pun, sangat mengagum-
kan. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, Bhirawa
tampak kerepotan dalam menghadapi gempuran dua
orang lawan. Tapi, Bhirawa malam ini tidak dapat disamakan
dengan Bhirawa yang tadi pagi. Kali ini, serangan-
serangan maupun gerakannya terlihat jauh lebih sem-
purna dan mengejutkan. Gerakannya pun banyak
memiliki perubahan mendadak yang tak terduga. Ten-
tu saja kenyataan ini membuat kedua orang lawan
menjadi terkejut, dan tak berani lagi menganggap enteng pemuda berwajah buruk
itu! Setelah pertarungan lewat dari dua puluh jurus,
terlihat Bhirawa mulai menunjukkan kehebatannya.
Serangan-serangannya semakin tajam dan berbahaya!
Bahkan beberapa kali sambaran dan tusukan senja-
tanya, nyaris membuat Danta dan Barna Pati terluka.
Karuan saja, kedua orang lelaki gagah itu semakin kerepotan!
"Haiiit...!"
Memasuki jurus yang keempat puluh lima, tiba-
tiba saja Bhirawa mengeluarkan bentakan nyaring disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. Dan pada saat kedua orang itu terkejut, tubuhnya cepat melenting ke
udara disertai sambaran pedang secara mendatar!
Wuuut..! Jrasss...! Crakkk...! Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika
mata pedang di tangan Bhirawa merobek leher dan da-
da kedua orang lawan! Darah segar langsung muncrat
dari kedua luka di tubuh Danta dan Barna Pati! Tubuh mereka terhuyung limbung,
sebelum akhirnya ambruk
tersabet pedang pemuda berwajah buruk itu!
"Aaa...!"
Barna Pati kembali menjerit panjang ketika ujung
padang Bhirawa melesak menembus jantungnya. Pa-
dahal, dia sudah tak berdaya di tanah. Tubuh lelaki gagah itu langsung
berkelojotan. Tewas!
Kematian Barna Pati masih lebih beruntung ka-
lau melihat cara kematian yang dialami Danta. Buk-
tinya, tanpa ampun lagi Bhirawa langsung menebas
putus kepala lelaki gemuk itu dengan sambaran pe-
dangnya! Danta kontan tewas tanpa sempat mengeluh
lagi, karena kepalanya telah terpisah dari badan!
Setelah yakin kalau kedua orang lawannya telah
tewas, Bhirawa menengadahkan kepalanya menatap
langit kelam. Terdengar bisikannya yang parau dan
menggeletar. "Ayah.... Ibu.... Semoga darah kedua orang ma-
nusia terkutuk ini dapat membuat arwah kalian te-
nang...," desah Bhirawa dengan wajah penuh kepua-
san. Sesaat kemudian, pemuda itu melesat mening-
galkan tempat itu, yang kemudian kembali sunyi.
*** 5 Malam ini, seorang lelaki gemuk berpakaian pra-
jurit mendatangi bangunan indah milik Senapati Gada Sura. Lelaki gemuk yang tak
lain Pandara itu minta
untuk menghadap Jata Sura yang memang mendiami
bangunan besar itu.
"Tolong katakan kepada Tuan Muda Jata Sura
bahwa Pandara ingin menghadap...," ujar lelaki gemuk itu kepada penjaga pintu
gerbang. Si penjaga mengangguk hormat kepada Pandara, karena tingkatan le-
laki gemuk itu memang lebih tinggi.
Tanpa banyak cakap lagi, salah seorang dari pen-
jaga gerbang segera saja mengantarkan Pandara ke
tempat Jata Sura berada pada setiap pagi.
Jata Sura mengangguk tipis, ketika prajurit pintu
gerbang itu melaporkan. Kemudian, disuruhnya agar
Pandara menemuinya di halaman samping.
"Hm.... Bagaimana, Pandara" Apa gadis-gadis itu
sudah kau dapatkan...?" tanya Jata Sura. Suaranya
terdengar rendah, seperti tidak ingin terdengar orang lain. "Mmm.... Begini,
Tuan Muda...," sahut Pandara takut-takut
Lelaki gemuk itu tampak gugup dalam menjawab
pertanyaan yang diajukan Jata Sura. Pandara yang
merupakan orang kepercayaan pemuda itu dalam hal
mencari gadis-gadis cantik pemuas nafsunya, terlihat agak bingung dan salah
tingkah. Sehingga, kening Jata Sura jadi berkerut tak senang.
"Mengapa kau kelihatan gelisah, Pandara" Apa
kau gagal membawa gadis-gadis itu ke sini" Sejak malam aku menunggumu. Mengapa
baru muncul seka-
rang?" suara Jata Sura mulai terdengar agak meninggi, meski masih dalam tekanan
rendah. "Kami.... Kami gagal, Tuan Muda. Kami...."
"Goblok!" Jata Sura membentak marah, memo-
tong kalimat Pandara yang belum selesai.
Lelaki muda berwajah tampan itu bangkit dari
kursinya dengan wajah memerah. Jelas sekali kalau ia merasa marah mendengar
laporan itu. "Kami telah dihadang seorang pemuda bertubuh
tegap dan bercaping, Tuan Muda. Dan gadis-gadis itu dibawanya pergi. Tujuh orang
prajurit tewas. Hanya
tinggal aku seoranglah yang masih selamat," tutur
Pandara napasnya ditarik.
"Pemuda bercaping kau bilang"! Hhh.... Lagi-lagi
dia membuat aku gila! Belum kapok rupanya bangsat
itu. Kalau begitu kerahkan lima puluh orang prajurit dan cari pemuda bercaping
itu. Rebut kembali gadis-gadis yang telah dirampas itu. Perlu kau ingat, aku
tidak sudi mendengar kegagalanmu lagi!" perintah Jata Sura dengan wajah berang.
"Tapi, Tuan Muda. Membawa prajurit sebanyak
itu bisa menimbulkan kecurigaan. Dan kalau sampai
terdengar ayah Tuan Muda atau pembesar lain, kita
bisa celaka. Sedangkan pemuda itu sendiri sudah me-
larikan diri entah ke mana...," Pandara memberi alasan yang cukup masuk akal,
sehingga Jata Sura sempat
terdiam, dan berpikir keras.
Pandara agak lega ketika melihat sikap pemuda
itu terdiam ketika mendengar alasan yang dikemukan-
nya. Tampaknya, Jata Sura tidak berani bertindak setelah mendengar nasihat
Pandara. Memang, perbua-
tannya yang menculik paksa gadis-gadis dari desa-
desa yang agak jauh letaknya dengan kotaraja, dilakukannya secara sembunyi-
sembunyi. Dan kalau renca-
nanya dilanjutkan, tentu bisa menimbulkan kegempa-


Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ran dan tanda tanya besar bagi pembesar-pembesar
kerajaan lainnya. Dan kalau kebusukannya sampai di-
ketahui orang, tentu ayahnya sendirilah yang akan
malu karena perbuatannya.
"Hm.... Lalu, apa yang harus kita lakukan, Pan-
dara" Apakah perbuatan pemuda bercaping itu harus
kita diamkan begitu saja?" tanya Jata Sura, bingung.
Tampaknya ucapan Pandara tadi telah membuatnya
tidak bisa berpikir dengan baik.
' Kembali Jata Sura berpikir keras. Dan tiba-tiba
saja bibirnya tersenyum. Ternyata sebuah rencana
mulai tersusun di benaknya.
"Hm.... Bukankah pemuda itu telah kuanggap
sebagai pemberontak" Ah.... Bodohnya aku. Biar saja
ku kerahkan prajurit, dengan alasan mencari seorang pemberontak," gumam Jata
Sura seperti berkata-kata
sendiri. "Pemberontak" Memangnya, siapa pemuda itu,
Tuan Muda?" tanya Pandara bingung.
"Pemuda itu tadi pagi memang telah membuat
masalah padaku. Aku juga tidak tahu, siapa dia se-
sungguhnya. Tapi dia telah kuanggap sebagai pembe-
rontak. Jadi dengan memakai alasan itu, tak ada yang akan mencurigai kita lagi,"
jelas Jata Sura.
"Baiklah kalau begitu, Tuan Muda. Rasanya me-
mang tak ada salahnya mengerahkan prajurit jika alasannya demikian," kata
Pandara. "O ya, Pandara, di mana Paman Danta Dan Pa-
man Barna Pati" Tolong panggilkan mereka. Aku ingin bicara."
"Baik, Tuan Muda...," sahut Pandara yang segera
saja menjura memberi hormat, dan berlalu dari situ.
*** Seorang pemuda tampan berjubah putih dan seo-
rang dara jelita berpakaian serba hijau tengah melangkah tenang, memasuki
Kotaraja Bantar Gebang.
Orang-orang yang kebetulan berpapasan, selalu saja
menoleh dengan sinar mata penuh kagum dan iri. Be-
berapa orang gadis cekikikan sambil berbisik satu sa-ma lain. Sesekali, ekor
mata mereka menyambar wajah pemuda tampan berjubah putih itu. Jelas, mereka
tengah membicarakan pasangan muda yang memang ter-
lihat sangat cocok. Sehingga, wajar saja kalau kebera-daan mereka mengundang
berbagai pendapat dari
orang-orang di sekitarnya.
Sedangkan pasangan muda itu sama sekali tidak
ambil peduli. Mereka terus melangkah lambat-lambat menyu-
suri jalan utama kota itu. Ketika melewati sebuah bangunan besar yang di
depannya bertuliskan rumah ma-
kan dan penginapan, segera saja mereka bergerak ma-
suk. Setelah memesan hidangan, pasangan muda itu
duduk sambil melepaskan pandangannya ke sekeliling
ruangan. Kedai makan itu tampak agak sepi, karena
saat itu hari baru menjelang sore. Tapi, justru suasana itulah yang mereka
inginkan. Dengan demikian, mereka bisa tenang menikmati hidangan.
"Paman...," pemuda berjubah putih itu memang-
gil pelayan setelah menyelesaikan hidangannya.
Ketika pelayan setengah baya itu datang mende-
kat, pemuda tampan ini menyatakan ingin memesan
dua buah kamar untuk mereka. Karuan saja pelayan
itu mengerutkan keningnya dengan wajah agak heran.
"Tapi, bukankah kalian suami istri" Mengapa
memesan dua kamar" Di sini, kami juga menyediakan
satu kamar yang dapat digunakan untuk pasangan
suami istri. Tuan boleh melihat kamar itu. Soal kerapian dan kebersihan, jangan
khawatir...," kata pelayan itu sambil mengacungkan ibu jarinya disertai senyum
manis. "Tidak, Paman. Kami bukan suami istri. Jadi, to-
long sediakan dua buah kamar yang berdampingan
untuk kami berdua...," jelas pemuda tampan berjubah putih ini, agar pelayan itu
tidak banyak bicara lagi.
"Ooo. Kalau begitu, baiklah.... Mari...," sahut pe-
layan itu. Segera dibawanya kedua orang tamunya ke ba-
gian belakang bangunan. Memang, letak penginapan
itu berada di bagian belakang. Sedangkan di bagian
depan merupakan kedai makan bagi tamu penginapan,
maupun orang-orang yang kebetulan lewat.
Tapi baru saja pelayan itu dan dua orang ta-
munya hendak menuju ke bagian belakang bangunan,
tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. Kemudian disusul, masuknya belasan orang
prajurit bersenjata terhunus. Tentu saja kedatangan para prajurit itu mem-
buat beberapa orang tamu yang sedang menikmati hi-
dangan menjadi ketakutan.
"Semua tetap tinggal di tempat, dan jangan coba-
coba berbuat hal-hal yang mencurigakan! Kami tidak
segan-segan menangkap dan menghukum siapa saja
yang berani membantah...!" seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk berseru
memperingatkan.
Kini orang-orang yang semula hendak mening-
galkan ruangan itu, kembali duduk di tempatnya se-
mula. Termasuk juga pasangan muda yang baru saja
hendak meninggalkan tempat itu.
"Hei, Pelayan! Coba panggil keluar semua tamu
yang saat ini masih di dalam kamarnya...!" perintah lelaki tinggi besar itu lagi
dengan suara berwibawa.
Tanpa banyak cakap lagi, pelayan setengah baya
itu segera saja mematuhinya.
"Dengar! Kami tengah mencari seorang pemuda
bercaping yang telah membunuh prajurit-prajurit pagi tadi. Dan kalau di antara
kalian ada yang melihatnya, harap segera beri tahukan kepada pihak prajurit.
Orang muda bercaping itu sangat berbahaya, dan ke-
mungkinan tidak waras...," kata lelaki tinggi besar itu kembali sambil melangkah mengitari ruangan
rumah makan. Sepasang matanya yang galak, meneliti orang-
orang di ruangan itu penuh selidik. Dia berhenti pada wajah pemuda tampan
berjubah putih yang duduk
bersama dara berpakaian hijau.
Menyadari kalau lelaki tinggi besar bercambang
bauk itu adalah seorang perwira kerajaan, maka pe-
muda tampan dan gadis jelita itu segera saja men-
gangguk hormat Kemudian, wajah mereka ditunduk-
kan, karena tidak ingin menentang pandangan mata
lelaki berpakaian perwira itu. Memang, mereka tahu
kalau menentangnya, hanya akan mencari penyakit
saja. "Hm.... Coba tegakan kepala kalian...," perintah lelaki tinggi besar yang
sudah berdiri di depan meja pasangan muda itu.
Tanpa membantah, pemuda tampan berjubah
putih itu menegakkan kepala dengan tatapan lurus ke depan. Sikapnya nampak
tenang, sama sekali tidak
menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Sehingga, per-
wira tinggi besar itu diam-diam mengagumi ketenan-
gan pemuda tampan di depannya. Tapi ketika ia bera-
lih ke arah dara jelita berpakaian serba hijau di sebelah pemuda itu. Keningnya
baru berkerut tak senang.
Ternyata gadis itu sama sekali tidak mematuhi perintahnya.
"Nisanak, angkat kepalamu. Kami hanya ingin
memastikan kalau orang yang dicurigai bukanlah ka-
lian. Untuk itu aku mengharap pengertianmu...," tegur perwira tinggi besar itu
dengan nada galak. Jelas, ia tidak suka melihat ada orang yang berani membantah
perintahnya. Mendengar teguran ini, rupanya pemuda berju-
bah putih itu baru sadar kalau kawannya tidak menu-
ruti keinginan perwira tinggi besar di depan mereka.
Segera saja disentuhnya tubuh dara jelita itu dengan ujung sikunya. Sentuhan
perlahan itu ternyata cukup ampuh. Terbukti, dara jelita itu langsung mengangkat
kepalanya meski dengan wajah cemberut. Sepertinya,
ia tidak suka mendengar perintah itu. Gadis itu mera-sa kalau dirinya dianggap
sebagai bawahan yang pan-
tas diperintah seenak perutnya.
"Bagus...," gumam perwira bercambang bauk itu
tersenyum tipis ketika dara jelita di depannya mene-gakkannya wajahnya. Kemudian
perwira itu berlalu setelah meneliti sejenak.
*** "Huh!"
Dara jelita berpakaian serba hijau itu mendengus
lirih, begitu si perwira tinggi besar tadi berlalu dari hadapannya. Rasa tidak
senang masih tergambar jelas
pada wajahnya yang cantik. Tentu saja, keinginan
perwira bercambang bauk itu dituruti hanya karena
isyarat pemuda berjubah putih di sebelahnya.
"Sombong sekali lelaki berpangkat perwira itu.
Kalau saja ia tahu kalau orang di hadapannya adalah Pendekar Naga Putih, tentu
tidak akan berani selan-cang barusan...," omel dara jelita itu.
Rupanya gadis itu tidak merasa puas sebelum
mengeluarkan perasaan tidak senangnya melalui kata-
kata. Jelas sudah, siapa dara jelita di sebelah pemuda berjubah putih yang
dikenal sebagai Pendekar Naga
Putih. "Perwira itu sama sekali tidak salah, Kenanga. Ia hanya menuruti perintah
atasannya. Kalau pun kata-katanya tadi terdengar agak kasar dan menyinggung
perasaanmu, hal itu wajar saja. Sebagai seorang perwira, ia diharuskan selalu
bertindak tegas tanpa harus mengikuti perasaan hati," pemuda berjubah putih yang
sudah pasti Panji itu, menasihati kekasihnya sambil
tersenyum. Tentu saja pembicaraan itu dilakukan secara
berbisik, agar tidak sampai terdengar orang lain. Teru-tama perwira tinggi besar
dan prajurit-prajurit kerajaan itu.
"Hm.... Boleh saja ia bertindak tegas dan berkata
kasar kepada bawahannya. Tapi, apakah terhadap seo-
rang wanita yang tidak termasuk anggota pasukannya
juga harus bertindak setegas dan sekasar itu"! Ra-
sanya tidak adil, Kakang. Coba saja kalau yang dibentak-bentak seorang wanita
tokoh sesat. Pasti perwira itu tidak akan bisa melihat matahari esok pagi...."
Kenanga masih saja mengomel karena, hatinya
masih merasa sakit dibentak-bentak seperti oleh perwira tinggi besar itu tadi.
"Sudahlah. Jangan kau turuti perasaan marah-
mu itu. Mungkin saja orang yang tengah dicari me-
mang benar-benar berbahaya, dan harus segera dite-
mukan. Kalau tidak, belum tentu ia membawa pasu-
kan yang cukup lengkap. Heran. Orang gila dari mana yang berani mengacau
kotaraja" Apa dia tidak tahu
kalau kotaraja merupakan gudangnya orang-orang
pandai...?" gumam Panji.
Pendekar Naga Putih tidak habis mengerti kalau
ada orang yang berani mengacau di kotaraja. Sebab,
pemuda itu tahu kalau kotaraja banyak terdapat orang sakti yang mengabdikan
dirinya pada kerajaan.
"Aku rasa, pengacau itu bukan orang gila, Ka-
kang. Dia pasti mempunyai alasan kuat. Atau bisa ju-ga prajurit-prajurit
kerajaan itu sendiri yang sengaja mencari perkara. Rasanya tidak mungkin bila ia
mengacau tanpa sebab. Apalagi sampai membunuh. Kalau
prajurit-prajurit itu tidak keterlaluan, aku yakin ia tak akan membunuh.
Buktinya, prajurit-prajurit barusan
sudah merasa sok kuasa saja...," bantah Kenanga.
Rupanya gadis itu malah berpihak kepada orang
buruan yang dicari-cari tentara kerajaan. Tentu saja pendapat itu dikemukakan
karena rasa ketidaksenan-gannya terhadap perwira tinggi besar tadi.
Pembicaraan pasangan pendekar muda itu ter-
henti sejenak ketika melihat si perwira tinggi besar kembali lewat di depan meja
mereka. Melihat dari raut wajahnya, jelas kalau si pengacau tidak ditemukan di
rumah penginapan ini.
"Ingat, apa yang kukatakan tadi. Siapa saja yang
melihat pemuda yang mengenakan caping, dan bertu-
buh tinggi tegap, harap segera melaporkannya kepada kami. Maaf, kalau kedatangan
kami telah membuat kalian semua terganggu...."
Setelah berkata demikian, perwira tinggi besar itu
pun meninggalkan ruangan kedai, diikuti para prajurit yang berjumlah sekitar dua
puluh orang lebih.
Setelah bayangan para prajurit dan perwira tinggi
besar itu tidak nampak lagi, barulah suasana di dalam ruang kedai menjadi
bising. Mereka saling berbicara satu sama lain, seperti kumpulan lebah dekat
sarang-nya. Dalam suasana bagai puluhan ekor lebah itu,
Panji segera mengajak Kenanga untuk menemui pe-
layan rumah penginapan. Mereka tidak segera masuk
ke kamar masing-masing, tapi Kenanga memaksa un-
tuk membicarakan soal buronan yang dicari pihak ke-
rajaan di kamar kekasihnya.
"Kakang... apa kau tidak berniat menyelidiki si
pengacau itu" Rasanya kita perlu tahu, apa alasannya si pengacau membunuh para
prajurit kerajaan pagi ta-di. Dan, menurutku, orang itu pasti mempunyai suatu
alasan yang sulit diketahui. Hm.... Aku jadi tergerak
untuk mengetahuinya...," kata Kenanga ketika mereka telah berada di dalam kamar
Panji. Pemuda tampan itu hanya tersenyum ketika me-
lihat sinar mata dara jelita itu berbinar seperti haus akan petualangan baru.
"Hm.... Menurutku, kita harus menunggu kelan-
jutannya dulu. Mungkin saja orang yang menjadi bu-
ronan pemerintah hanya kebetulan singgah di kotaraja ini. Siapa tahu, ia telah
pergi jauh dari sini untuk tidak kembali lagi. Nah! Kalau dugaanku benar, apa
yang hendak kau selidiki...?" bantah Pendekar Naga Putih.
Panji sepertinya tidak ingin bertindak, sebelum
mengetahui persoalannya secara jelas. Hal itu tentu saja bisa dimengerti
kekasihnya. "Menurutmu, kita harus tinggal untuk beberapa
hari di kotaraja ini...?" tanya Kenanga. Semangatnya tampak mulai mengendor.
Memang penjelasan Panji
itu pantas dipikirkan.
"Yah..., kira-kira begitulah.... Sekarang, sebaik-
nya kita istirahat saja dulu. Besok baru kita mengeli-lingi kotaraja ini untuk
melihat-lihat, sambil mencari keterangan tentang kelanjutan peristiwa pagi
tadi...," sahut Panji. Pendekar Naga Putih kemudian segera merebah-
kan diri di atas pembaringan. Sementara Kenanga
hanya mengangguk-anggukkan kepala dan bergegas
menuju kamarnya.
Sebentar kemudian, senja pun berganti malam.
Dan kini, rumah penginapan itu sudah mulai tampak


Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepi, karena para penghuninya telah memasuki kamar
masing-masing. Hanya satu dua orang saja yang masih terlihat di dalam ruangan
kedai. Itu pun tidak berlangsung lama. Mereka juga bergegas meninggalkan ruan-
Istana Tanpa Bayangan 3 Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung Beruang Salju 16
^