Pencarian

Hilangnya Pusaka Kerajaan 2

Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan Bagian 2


ruan. Lebih baik kalian panggil saja dari sini kuat-kuat," usul Jaya Prana yang
tidak sabar melihat keraguan kedua orang itu.
"Hoiii...! Buka pintu...! Kami, Banja dan
Gandira datang berkunjung...!"
Banja langsung berteriak begitu mendengar
usul yang diajukan pimpinannya itu. Suara lelaki berbahu lebar itu bergema
karena didorong tenaga dalam kuat.
Sampai agak lama mereka menunggu, tapi
tidak juga terdengar sahutan ataupun langkah
kaki orang mendatangi tempat itu dari dalam per-
guruan. Jaya Prana yang merasa tidak sabar itu,
segera menarik napas dalam-dalam untuk men-
gumpulkan tenaga dalamnya.
"Hoii..! Buka pintu...!
Teriakan Jaya Prana yang didorong kekua-
tan tenaga dalam itu terdengar berkumandang
jauh dan bergema. Dari suara teriakannya yang
jauh lebih kuat daripada teriakan Banja, sudah
pasti akan terdengar apabila di dalam bangunan
itu memang ada penghuninya.
Banja dan Gandira menarik napas lega ke-
tika terdengar langkah kaki mendatangi dari da-
lam bangunan itu. Tidak lama kemudian, terden-
gar derit keras yang disusul terbukanya pintu gerbang Perguruan Tinju Selatan.
"Mengapa lama sekali kalian membuka pin-
tu ini" Ke mana yang lainnya?" tegur Banja begitu melihat seorang murid berusia
sekitar dua puluh
tahun lebih, dan berwajah kehitaman. Sedangkan
seorang lagi yang bertubuh pendek gemuk, hanya
menundukkan kepala tidak berani menatap wajah
Banja dan Gandira.
Banja dan Gandira bergegas turun dari
punggung kudanya. Sementara Jaya Prana dan
lainnya tetap berada di punggung kuda masing-
masing. Setelah meneliti sejenak dan mengenali wajah! Banja dan Gandira, lelaki
berwajah kehitaman itu langsung menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis.
Perbuatannya ternyata diikuti lelaki
gemuk pendek setelah mengangkat wajahnya dan
mengenali kedua orang itu.
"Hei" Ayo bangun...! Guru akan marah be-
sar apabila melihat muridnya menangis seperti
anak kecil! Hayo, ceritakan! Ada apa ini sebenarnya" Dan ke mana murid yang
lainnya" Di mana
pula guru sekarang berada?" Banja yang bersifat lebih pemarah itu memberondong
lelaki bermuka kehitaman itu dengan pertanyaan-pertanyaan.
Lelaki berwajah kehitaman itu mengangkat
wajahnya dan menghapus air mata yang masih
mengalir turun membasahi pipi. Sejenak hatinya
bingung karena tidak tahu, pertanyaan mana yang
harus dijawabnya lebih dahulu.
"Semuanya.... Semuanya habis, Kakang
Banja.... Perguruan... kita sudah binasa.... Musnah...!" Karena tidak tahu harus
bagaimana menjawab pertanyaan Banja, akhirnya lelaki berwajah kehitaman itu
mengatakan seadanya yang saat itu
terlintas di benak. Kemudian kepalanya kembali
tertunduk sedih.
"Apa... apa maksud ucapanmu itu..." Hayo
jawab yang benar! Hentikan tangismu!" desak Banja. Banja yang mulai mendapat
firasat buruk itu menjadi kalap mendengar jawaban yang tak
berujung pangkal Dengan geram, dicekalnya leher
baju orang itu dan diangkatnya berdiri secara
paksa. Gandira yang memiliki sikap lebih tenang
dan sabar, menepuk bahu Banja perlahan dan
mencoba menenangkannya.
"Sabarlah, Banja. Kalau cara bertanyamu
seperti Itu, bagaimana mungkin dapat dijawab
dengan benar" Tidakkah kau lihat, betapa batin-
nya sangat tersiksa oleh kemarahanmu yang tidak
pada tempatnya?" tegur Gandira dengan suara halus, namun tegas.
"Benar apa yang dikatakan Gandira itu,
Banja. Kalau saja kau bersabar sedikit, aku yakin kita akan memperoleh
keterangan yang lebih lengkap dan jelas," Jaya Prana ikut pula menasihati.
"Hhh...!"
Banja menghela napas panjang, seolah-
olah ingin melepaskan seluruh kekesalan hatinya.
Dilepaskannya cekalan pada leher baju lelaki mu-
da berwajah kehitaman itu, kemudian melangkah
ke belakang dan menyerahkan persoalan itu kepa-
da Gandira. Lelaki berwajah gagah yang memiliki ben-
tuk tubuh padat berisi itu tidak menghampiri si
muka kehitaman, namun malah mendekati orang
yang satunya lagi. Dan memang lelaki bertubuh
pendek gemuk itu terlihat lebih tenang daripada
kawannya. "Siapa namamu, Kisanak" Dan apa jaba-
tanmu di Perguruan Tinju Selatan ini?" tanya Gandira dengan suara halus sambil
menepuk-nepuk bahu lelaki pendek gemuk itu perlahan.
Melihat wajah orang itu yang agak tenang,
jelas kalau cara yang dilakukan Gandira sudah tepat.
"Namaku Janaka. Sedangkan kawanku ini
bernama Santika. Kami bertugas sebagai pengurus
rumah tangga dan sekaligus murid Perguruan Tin-
ju Selatan. Meskipun Kakang berdua tidak men-
genal kami, tapi kami berdua telah mengenal Ka-
kang Banja dan Kakang Gandira."
Setelah memperkenalkan diri, lelaki pendek
gemuk bernama Janaka itu pun mulai bercerita.
Sepanjang ceritanya, seluruh anggota rombongan
termasuk juga Jaya Prana, berkali-kali mengelua-
rkan seruan terkejut. Wajah-wajah mereka nam-
pak pucat dan merah berganti-ganti. Mungkin ka-
lau orang itu tidak bersumpah kalau telah melihat dengan mata kepala sendiri,
pasti Jaya Prana dan anggota pasukannya tidak ada yang akan mempercayai cerita
Janaka itu. "Begitulah kejadian yang sebenarnya, Ka-
kang. Tidak satu pun yang kami tambah dan ku-
rangi. Semuanya lengkap dan jelas. Dan kami be-
rani bersumpah untuk mempertaruhkan kebena-
ran cerita itu, Kakang."
Janaka mengakhiri ceritanya, seraya me-
nundukkan wajah dalam-dalam. Seolah-olah dia
enggan bertemu pandang secara langsung dengan
Gandira. Apalagi sepasang mata lelaki gagah itu
nampak menyiratkan kilatan marah dan dendam.
"Kakang! Benarkah Pasukan Garuda Emas
tega melakukan perbuatan keji yang diceritakan
Janaka ini?" tanya Gandira kepada Jaya Prana.
Karena menurutnya, sebagai seorang pimpinan
tentu Jaya Prana memiliki pengetahuan yang cu-
kup luas tentang ketiga pasukan garuda itu.
"Hm.... Sebenarnya sangat sulit dipercaya.
Tapi melihat kesungguhan yang terpancar dari si-
nar mata Janaka, aku mulai percaya meskipun ti-
dak sepenuhnya. Apalagi penggambaran tentang
pemimpin yang disebutkan Janaka tadi, aku rasa
keterangannya memang benar. Hanya saja, kita ti-
dak boleh langsung terpancing dengan cerita itu....
Harus diselidiki dulu kebenarannya sebelum me-
nuduh orang," jelas Jaya Prana hati-hati.
Memang, masalah yang kini tengah diper-
bincangkan, bisa berubah menjadi masalah besar
yang akan membuat Kerajaan Cadas Putih gem-
par! Itulah, mengapa Jaya Prana lebih suka me-
nyimpannya untuk sementara.
Sedangkan Banja sudah berlari meninggal-
kan kawan-kawannya. Cerita yang didengar dari
Janaka, membuat sekujur tubuhnya gemetar ba-
gai orang terserang demam hebat. Lelaki tegap
berbahu lebar itu terus melesat ke belakang balai utama perguruan.
Gandira sama sekali tidak mencegah ke-
pergian Banja. Dia tahu, apa yang hendak dilaku-
kan saudara seperguruannya itu.
"Ia hendak membuktikan kebenaran cerita
Janaka. Marilah kita ke sana, Kakang. Di belakang balai utama itulah letak
kuburan bagi anggota
Perguruan Tinju Selatan," jelas Gandira saat melihat tatapan Jaya Prana yang
menuntut jawaban.
Memang, lelaki tegap berkumis lebat itu tidak
mengerti akan tindakan Banja.
Jaya Prana yang masih berada di atas
punggung kudanya menarik napas lega setelah
mendengar keterangan Gandira. Kemudian kepa-
lanya terangguk. Laki-Laki berkumis lebat itu lalu memberi perintah kepada
seluruh anggota pasukan untuk menjalankan kudanya lambat-lambat,
mengikuti langkah Gandira, Janaka, dan Santika.
Delapan belas orang anggota Pasukan Garuda Hi-
tam mengikuti dari belakang.
Rombongan itu pun bergerak menuju ke
belakang balai utama, tempat pemakaman murid-
murid dan gum Perguruan Tinju Selatan.
Hati Gandira bergetar menahan keharuan
yang menyeruak dalam rongga dadanya. Puluhan
gundukan tanah yang masih baru dan basah ter-
bentang di depan matanya. Setelah termenung be-
berapa saat, kakinya melangkah perlahan meng-
hampiri Banja yang saat itu tengah berlutut di
samping sebuah gundukan tanah merah. Sudah
dapat dipastikan, makam itu pasti tempat gurunya beristirahat panjang.
"Guru...," desah Gandira serak sambil menjatuhkan lututnya di sebelah Banja.
"Maafkan ke-terlambatan kami.... Akibat kelalaian kamilah,
hingga nasib buruk ini menimpa Perguruan Tinju
Selatan. Ampuni kami, Guru...."
"Guru.... Kami berjanji akan mencari pem-
bunuh keji itu walau sampai ke ujung langit sekalipun! Meskipun untuk itu harus
mengorbankan nyawa, kami tak lagi peduli. Dengarlah janji kami
ini, Guru. Seluruh arwah saudara kami menjadi
saksinya," ucap Banja bergetar penuh dendam.
Usai mengucapkan janji di hadapan ma-
kam gurunya, kedua orang lelaki gagah itu pun
bangkit dan meninggalkan gundukan tanah yang
hanya bisa diam membisu.
"Kakang, maafkan kelancanganku. Aku
dan Gandira terpaksa harus mengambil jalan ke
Selatan. Rasanya kami harus mendapat jawaban
atas kejadian ini, langsung dari pimpinan Pasukan Garuda Emas. Tapi Kakang tidak
usah cemas. Sepanjang perjalanan, tugas dari Gusti Prabu Aria Winata tetap akan
dijalankan," pinta Banja kepada Jaya Prana.
Melihat dari sikap dan tatapan matanya,
rasanya keputusan Banja sudah bulat dan tidak
mungkin dapat dirubah lagi. Meski oleh pimpi-
nannya sekalipun.
"Hm.... Sadarkah akan ucapanmu itu, Ban-
ja" Lupakah kau, siapa kita ini" Coba sebutkan,
apa bunyi ikrar kelima dari Pasukan Garuda Hi-
tam?" tegur Jaya Prana dengan kening berkerut tak senang.
Mendengar kata-kata yang jelas-jelas ber-
nada teguran keras itu, Banja maupun Gandira
sama-sama menundukkan kepala dalam-dalam.
Tak satu bantahan pun yang keluar dari mulut
mereka. "Rupanya kalian berdua benar-benar telah
lupa akan bunyi ikrar kelima itu," gumam Jaya Prana ketika melihat sikap kedua
orang anggota pasukannya itu.
"Sama sekali tidak, Kakang. Hanya saja,
kami merasa tidak enak untuk melibatkan Pasu-
kan Garuda Hitam dalam persoalan ini," sahut Gandira mewakili Banja.
"Hm.... Kalau begitu, coba sebutkan," pinta Jaya Prana bernada memerintah.
Banja dan Gandira sama-sama mengang-
kat wajah saling bertukar pandang sejenak. Sesaat kemudian, terdengarlah suara
lantang dari mulut
mereka. "Kami Pasukan Garuda Hitam, adalah satu.
Setiap persoalan yang menyangkut salah seorang
anggota, menjadi tanggung jawab seluruh anggota
yang berdiri di bawah bendera Garuda Hitam. Hi-
dup mati, suka dan duka, akan dihadapi bersa-
ma," "Hm.... Masihkah kalian tidak memahami makna yang tersirat dalam ikrar
itu?" tanya Jaya Prana lagi. Kali ini bibirnya menyunggingkan ke-menangan.
"Maafkan kami, Kakang. Hanya...."
"Ah, sudahlah! Mari kita berangkat ke Sela-
tan bersama-sama," potong Jaya Prana seraya mengulapkan tangannya. Lelaki
berkumis lebat itu mengatupkan rahangnya, pertanda tidak ingin melanjutkan
perdebatan kosong itu.
"Terima kasih atas kesediaan Kakang dan
kawan-kawan untuk membantu kami. Dengan
adanya Kakang, kami yakin persoalan ini dapat
diselesaikan dengan baik," ucap Gandira sambil membungkuk hormat kepada pimpinan
yang sangat dihormatinya itu. Perbuatannya pun diikuti
Banja. "Hm.... Kalian berdua ikut bersama kami,"
ujar Jaya Prana kepada Janaka dan Santika.
"Maaf, Tuanku. Bukannya kami menolak.
Tapi, kalau kami berdua ikut pergi, siapa yang
akan mengurus makam gum dan juga perguruan
ini. Jadi, maafkan kalau terpaksa kami menolak-
nya," sahut Janaka sambil membungkukkan tu-
buhnya dalam-dalam.
"Rasanya alasan mereka bisa diterima, Ka-
kang. Biarlah mereka tinggal untuk mengurus
makam guru dan perguruan kami," Banja ikut memperkuat alasan yang diajukan
Janaka. Maka, lelaki muda bertubuh gemuk pendek itu menjadi
agak lega. "Baiklah," Jaya Prana akhirnya mengalah.
"Ayo kita berangkat."


Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rombongan Pasukan Garuda Hitam itu
pun bergerak meninggalkan bangunan Perguruan
Tinju Selatan. *** 5 "Aaahhh...."
Gadis jelita berpakaian serba hijau itu
menggeliat sambil merentangkan kedua tangannya
ke atas. Sinar matahari pagi yang menerobos di
antara rimbunan dedaunan, tepat jatuh di wajah-
nya yang bening dan sejuk. Sejenak ia tergagap,
lalu menggosokkan telapak tangan pada sepasang
mata berbentuk bulat dan indah miliknya.
"Mengapa Kakang tidak membangunkan
aku...?" sungut gadis jelita itu kepada seorang pemuda tampan berjubah putih
yang duduk di atas
baru tak jauh di sebelahnya.
"Kulihat tidurmu begitu lelap. Jadi, aku tidak tega mengganggumu," sahut pemuda
tampan itu seraya tersenyum lembut "Sudahlah. Sekarang, bersihkanlah dirimu. Kau
lihat aku sudah menyiapkan hidangan yang istimewa untukmu."
Wajah jelita yang semula cemberut itu,
berseri seketika. Tersentuh hatinya melihat perha-
tian yang demikian besar dari pemuda tampan itu.
'Tunggulah, Kakang. Aku tidak akan la-
ma...," ujar gadis jelita itu.
Dia kemudian segera bangkit dan melesat
ke arah aliran sungai yang terletak tidak jauh dari tempat itu. Sementara,
pemuda tampan berjubah
putih itu hanya tersenyum melihat kegembiraan
yang terpancar di wajah si gadis.
Tak berapa lama kemudian, gadis jelita itu
pun kembali muncul dengan wajah yang lebih se-
gar kemerahan. Geraknya terlihat penuh keman-
jaan ketika bokongnya dijatuhkan di depan si pe-
muda. Disambarnya ayam hutan bakar yang ter-
hidang itu. Dengan senyum yang makin melebar, pe-
muda tampan itu pun mengambil ayam bakar
yang seekor lagi Kemudian, dinikmatinya sambil
tak lepas menatap wajah jelita di depannya.
Selesai menikmati hidangan, mereka mera-
pikan diri masing-masing. Kemudian meninggal-
kan tempat itu. Angin pagi bersilir lembut mengiringi langkah kaki dua orang
muda berlainan jenis itu.
"Hei" Ada apa di depan sana...?" gumam si gadis jelita ketika melihat kerumunan
orang di depan sebuah bangunan besar. Saat itu, keduanya
telah memasuki perbatasan sebelah Barat Desa
Malaju. "Entahlah! Kelihatannya orang-orang itu begitu gembira. Mungkin yang
mereka lihat itu
adalah sebuah tontonan menarik," sahut pemuda tampan berjubah putih yang tak
lain adalah Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Kemudian,
mereka mempercepat langkah ingin segera menge-
tahui, apa sebenarnya yang telah dilihat orang-
orang itu. "Ah! Rupanya hanya tukang obat yang be-
rusaha menarik perhatian pembeli dengan mem-
pertontonkan kepandaian silat," ucap gadis jelita yang sudah pasti Kenanga.
Suara gadis itu tidak terdengar jelas, kare-
na saat itu orang-orang yang menonton bersorak
gembira menyaksikan pertunjukan yang disuguh-
kan. Panji hanya tersenyum menanggapi ucapan
kekasihnya. Sepasang matanya kembali beralih ke
arena pertunjukan.
Saat itu, dua orang yang tengah bertarung
di tengah arena terlihat semakin seru dan menarik Meskipun pertunjukan itu tak
lebih hanya sekadar pertunjukan ilmu meringankan tubuh, namun
Panji sempat dibuat kagum oleh gerakan-gerakan
mereka yang berkesan indah dan menarik.
"Haiiit...!"
Orang bertubuh kurus yang saat itu tengah
ter-desak, tiba-tiba berseru nyaring sambil berkelit ke kanan seraya melepaskan
sebuah pukulan ke
iga kiri lawannya yang memiliki tubuh sedikit lebih pendek.
Mungkin karena terlalu sibuk dengan se-
rangan-serangannya, orang bertubuh gemuk pen-
dek itu tak sempat lagi menghindar dari pukulan
balasan lawan yang sama sekali tidak diduga. Dan akibatnya....
Bukkk! "Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh gemuk itu
pun terjajar ke belakang disertai jeritannya. Pada bagian iganya yang memang
tidak terlindung pakaian itu, terlihat membiru akibat pukulan si tinggi kurus
yang cukup keras tadi.
Seorang lelaki setengah baya yang merupa-
kan pimpinan kelompok penjual obat itu, bergegas melangkah ke tengah arena.
"Saudara-saudara sekalian! Pertunjukan
ini terpaksa dihentikan sejenak. Di sini, akan di-pertunjukkan khasiat obat
gosok kami. Lihatlah
luka bekas pukulan yang diderita kawan kami ini,"
ujar lelaki setengah baya itu sambil menunjukkan luka memar yang terdapat di iga
lelaki gemuk tadi.
Para penduduk Desa Malaju mengangguk-angguk-
kan kepala setelah menegasi luka yang terlihat
agak membiru itu.
"Nah! Luka memar yang telah saudara-
saudara saksikan ini, akan lenyap dan tidak lagi terasa sakit apabila sudah
diurut dengan obat gosok kami," tegas lelaki setengah baya itu lagi sambil
mengangkat botol obatnya tinggi-tinggi.
Setelah berkata demikian, dibukanya penu-
tup botol dan dioleskan cairan dari dalam botol ke tempat luka memar tadi.
Kemudian, laki-Laki setengah baya itu mengurutnya dari bawah ke atas
sebanyak tiga kali dengan menggunakan ibu jari.
Ajaib! Tak lama setelah lelaki setengah
baya itu mengoleskan obat gosoknya, luka memar
yang semula membiru itu terlihat memudar, untuk
kemudian lenyap sama sekali.
"Kemanjuran obat kami sudah terbukti.
Sekarang, kami akan mengobati dengan cuma-
cuma. Bagi saudara-saudara yang menderita luka
memar, luka bakar, dan lain-lainnya, silakan maju ke depan. Tidak usah ragu-
ragu! Kami tidak akan
memungut bayaran sepeser pun!" tegas lelaki setengah baya itu lagi sambil
memamerkan senyum-
nya. "Kisanak! Aku tidak yakin akan kemanjuran obat gosokmu itu! Kalaupun kau
telah mem- buktikannya, itu hanya karena keahlianmu memi-
jat. Jadi, bukan karena kemanjuran obat murahan
yang kau jual kepada penduduk desa ini," ujar se-seorang bertubuh kurus dan
berwajah bopeng,
bernada hina sekali Dia kemudian menghampiri si
penjual obat. Tentu saja ucapan kasar yang keluar dari
mulut lelaki tinggi kurus berwajah bopeng itu
mengejutkan semua orang. Para penduduk yang
semula mengerumuni si penjual obat, serentak
menyingkir. Sebab dari tingkah laku orang berwa-
jah bopeng itu, dapat diduga kalau ia memang
sengaja hendak mencari keributan.
Sekejapan mata saja, arena itu pun menja-
di sepi. Para penduduk kini berdiri di tepi, hendak melihat kelanjutan perbuatan
lelaki berwajah bopeng itu.
Sedangkan lelaki setengah baya yang ma-
sih berdiri di tengah arena, memandang lelaki
tinggi kurus itu dengan kening berkerut. Sepasang matanya nampak berkilat untuk
sesaat. 'Tuan," sebut lelaki setengah baya itu te-
nang. Seketika sinar matanya kembali cerah. "Apa yang Tuan tuduhkan itu sama
sekali tidak benar.
Kami hanyalah orang bodoh yang mencari nafkah
dengan mengandalkan sedikit pengetahuan ten-
tang pengobatan. Dan selama kami menjual obat
gosok ini, tak seorang pun yang mengembalikan
obat ini. Apalagi sampai menuduh kami sebagai
penipu." "Hm.... Aku tetap tidak mempercayainya!"
bentak lelaki berwajah bopeng itu semakin berla-
gak. "Saudara-saudara, marilah kita buktikan kemanjuran obat gosok tua bangka
penipu ini! Kalau obat ini tidak berhasil menyembuhkan luka
akibat pukulanku, itu berarti kalian telah tertipu
mentah-mentah!" seru lelaki berwajah bopeng itu dengan lagak sombong, seraya
kembali membalikkan tubuhnya menghadap ke arah lelaki setengah
baya yang menjadi terkejut mendengarnya.
"Kisanak" panggil lelaki setengah baya itu datar. Dan memang, ia sudah mulai
tersinggung atas sikap lelaki berwajah bopeng itu. Maka, panggilan tuan pun dirubahnya
menjadi kisanak Itu
pertanda ia tidak lagi menaruh hormat kepada
orang yang jelas-jelas hendak memancing keribu-
tan. "Apa untungnya kau mengganggu cara hidup kami" Kalau memang tidak ingin
membeli obat gosok ini, silakan pergi dan jangan mengganggu ka-
mi." "Ha ha ha.... Kau takut ketahuan belangmu
rupanya, ya" Tampaknya kau begitu khawatir ka-
lau obat gosokmu itu tidak mampu menghilang-
kan luka akibat pukulanku" Kalau begitu, kemasi-
lah barang-barangmu dan tinggalkan Desa Malaju
ini. Dan, jangan coba berani kembali lagi" si wajah bopeng berbalik mengusir
dengan lagak seperti
seorang tuan besar yang memerintah kacungnya.
"Ayah! Orang buruk ini sudah keterlaluan
menghina kita. Biarlah aku mewakilimu untuk
memberi pelajaran kepadanya," pinta seorang gadis manis.
Gadis yang semula hanya duduk memper-
hatikan perdebatan itu, rupanya menjadi tak sa-
bar. Dia segera melangkah ke tengah arena.
*** Lelaki tinggi kurus berwajah bopeng itu
menyeringai bagai serigala lapar. Sepasang ma-
tanya yang semula menyipit, terbuka lebar menje-
lajahi seluruh tubuh gadis itu.
"He he he.... Rupanya kau menyimpan ke-
linci cantik, Tua Bangka...," kata laki-Laki bopeng itu, tanpa melepaskan
tatapannya dari wajah dan
tubuh si gadis.
Merasakan betapa tatapan lelaki bopeng
bagai menelanjangi tubuhnya, seketika merah pa-
dam seluruh wajah gadis manis berpakaian merah
muda itu. Matanya yang bulat menyiratkan kema-
rahan. Srattt! Selarik sinar putih berkeredep ketika gadis
itu melolos sebilah pedang yang tergantung di
pinggang. "Manusia ceriwis! Rasakan pedangku...!"
bentak gadis berpakaian merah muda itu sambil
mengayunkan pedang dengan gerakan menyilang.
Swing! "Ah...! Galak juga rupanya kau, Ni sanak.
Coba kulihat, sampai di mana kepandaianmu!"
ujar lelaki berwajah bopeng itu pongah, sambil
menarik mundur kaki kanan dengan gerakan tu-
buh doyong ke belakang.
Begitu serangan pedang lewat di depan tu-
buhnya, tangan lelaki tinggi kurus itu bergerak
cepat melakukan cengkeraman ke arah dada kiri
gadis itu. Gerakannya terlihat ringan dan tangkas.
Jelas, lelaki berwajah bopeng itu bukan orang
sembarangan. Wuttt! Cengkeraman itu lewat ketika gadis anak
penjual obat menggeser kaki kanannya ke samp-
ing disertai gerakan tubuhnya. Berbarengan den-
gan gerakan itu, pedang di tangan kanannya ber-
balik dan menebas tangan kanan lawan.
Lagi-lagi lelaki tinggi kurus itu segera me-
nunjukkan kegesitan tubuhnya. Pedang lawan
yang bergerak mendatar, hanya lewat di atas kepa-la ketika tubuhnya meliuk
dengan kuda-kuda ren-
dah. Rasa penasaran akibat kegagalan serangan-
nya tadi, rupanya membuat orang itu penasaran.
Terbukti, tangan kirinya kembali meluncur dengan cengkeraman menuju dada kiri
gadis itu. Dari caranya menyerang ke arah sasaran
yang sama sebanyak dua kali, jelas dia memiliki
niat kotor. Gerakan yang cepat dan tak terduga, sem-
pat membuat gadis manis itu menjadi gugup.
Meskipun telah berusaha untuk menghindarinya,
namun serangan lelaki tinggi kurus itu tetap saja terarah pada sasarannya.
Maka.... Brettt! "Auw...!"
Terdengar bunyi kain sobek ketika cengke-
raman lelaki tinggi kurus itu mengenai sasaran.
Gadis itu melompat mundur sambil mene-
kap bagian dada kirinya yang terdapat lubang cu-
kup besar. Meskipun hanya sekilas, namun dada
berkulit putih yang ranum itu, sempat tertangkap sepasang mata liar milik lelaki
berwajah bopeng
itu. "Larsih.... Kau tidak apa-apa...?" tanya lelaki setengah baya itu cemas sambil
menyambar tubuh anak gadisnya yang terhuyung ke arahnya.
Gadis manis yang ternyata bernama Larsih
itu tidak menyahuti pertanyaan ayahnya. Bahkan
hampir saja tangisnya meledak karena rasa malu
yang diderita. Wajahnya semakin merah ketika te-
ringat betapa lelaki berwajah bopeng itu sempat
meremas dada kirinya Rasanya, ia lebih suka ter-
pukul daripada harus mendapat hinaan seperti
itu.

Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lelaki setengah baya yang maklum akan
perasaan anak gadisnya, segera memeluk dan
membisikkan kata-kata bernada menghibur.
"Sudahlah, Larsih. Orang itu bukan la-
wanmu. Biarlah Ayah yang akan membalasnya.
Sekarang kembalilah ke tempatmu. Salinlah pa-
kaianmu dengan yang lain."
Setelah berkata demikian, lelaki setengah
baya itu melangkah maju mendekati lelaki tinggi
kurus yang terlihat tengah menciumi sobekan pa-
kaian Larsih di tangan kirinya.
"Hm.... Bukan main harumnya tubuh anak
gadismu, Pak Tua. Rasanya aku akan senang se-
kali kalau kau bersedia memberikannya untuk
menemaniku selama beberapa malam. Bagaimana,
Orang Tua" Apakah kau bersedia?" kata lelaki berwajah bopeng itu tanpa
mempedulikan pandangan lawan yang penuh amarah.
"Jaga mulutmu, Kisanak! Meskipun hanya
seorang penjual obat jalanan, namun aku bukan-
lah seorang pengecut! Dan aku akan menjaga
anakku dengan taruhan nyawa tuaku ini!"
Setelah berkata demikian, lelaki setengah
baya itu menggeser kedua kakinya membentuk
kuda-kuda seperti tengah menunggang kuda. Tan-
gan kanannya mengepal di atas kepala. Sedang-
kan tangan kirinya berada di depan dada dengan
jari-jari lurus menghadap ke atas.
"Hm.... Rupanya kau lebih suka kalau aku
menyeret anakmu secara paksa. Kalau memang
itu yang diinginkan, baiklah! Jangan sesali nasib burukmu hari ini," ancam
lelaki tinggi kurus itu dengan sepasang bola mata berkilat tajam.
Selesai berkata demikian, lelaki berwajah
bopeng itu melemparkan sobekan kain di tangan
kirinya. Dengan lagak sombong, ia berdiri tegak
menghadapi lelaki setengah baya itu tanpa persia-
pan sedikit pun. Jelas, ia memandang rendah la-
wannya. "Haiiit...!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, lelaki
setengah baya itu membuka serangan dengan pu-
kulan-pukulan yang menimbulkan angin berkesi-
utan. Bettt! Bettt...!
Serangkaian serangan yang dilancarkan le-
laki setengah baya itu, berhasil dielakkan lawan hanya dengan geseran-geseran
kaki yang disertai
egosan tubuhnya. Sesekali lelaki tinggi kurus itu melakukan tangkisan, yang
sekaligus disusul dengan serangan balasan. Sebentar saja mereka telah terlibat
pertarungan, yang bagi penduduk Desa
Malaju lebih seru dan lebih ramai ketimbang per-
tarungan dua orang pengikut si penjual obat tadi.
Larsih dan dua orang pembantu ayahnya
hanya dapat memandang dengan wajah cemas.
Sebab melihat dari jalannya pertarungan itu, jelas kalau lelaki tinggi kurus
berwajah bopeng itu memiliki kepandaian di atas kepandaian ayahnya.
Kenyataan itu membuat hati mereka diliputi kete-
gangan. *** Sampai saat ini pertarungan telah mengin-
jak jurus yang kedua puluh satu. Dan dalam ju-
rus-jurus selanjutnya, jelas terlihat kalau lelaki setengah baya penjual obat
keliling itu terdesak oleh serangan lawan.
Bahkan ketika pertarungan mulai mengin-
jak jurus yang kedua puluh empat, serangan-
serangan lelaki berwajah bopeng itu terlihat semakin cepat dan ganas. Akibatnya,
laki-Laki setengah
baya penjual obat itu tidak lagi mempunyai pe-
luang untuk melancarkan serangan balasan. Dia
hanya dapat bertarung mundur dan berusaha
menghindari kepalan maupun tendangan lawan
yang berkali-kali hampir bersarang di tubuhnya.
Bukkk! Desss! "Hugkh...!"
Memasuki jurus yang kedua puluh lima,
sebuah pukulan dan tendangan lawan tak dapat
lagi dihindari lelaki setengah baya itu. Tubuhnya yang agak gemuk itu, terpental
ke belakang diirin-gi jeritnya.
Brukkk! Tubuh lelaki setengah baya itu terbanting
di atas tanah disertai semburan darah segar yang terlompat dari mulutnya. Sambil
mengerang lirih, ia berusaha bangkit berdiri.
"Ayah...!"
Larsih langsung menghambur ke arah
ayahnya dan berusaha membantu untuk bangkit
berdiri. Di wajah gadis manis itu tampak mengalir turun air bening. Rupanya ia
tidak sanggup menahan kesedihan melihat keadaan ayahnya yang
nampak terluka parah itu.
"Paman...!"
Dua orang lelaki muda yang menjadi pem-
bantu penjual obat pun berlari menghambur ke
arah lelaki setengah baya itu. Mereka cepat mem-
bantu Larsih yang tengah menolong ayahnya
bangkit. "He he he.... Bagaimana, Orang Tua" Apa-
kah masih tidak bersedia menyerahkan anak ga-
dismu kepadaku" Jangan khawatir.... Aku tidak
akan menyia-nyiakannya. Bahkan akan kujadikan
istriku yang tercinta," ujar lelaki tinggi kurus itu terkekeh sambil melangkah
mendekat "Cihhh! Siapa yang sudi menjadi istrimu,
Manusia Bejat! Lebih baik aku mati daripada men-
jadi pemuas nafsu iblismu!" seru Larsih sambil meludah dengan perasaan benci.
"Hm.... Kau memang harus dijinakkan le-
bih dahulu, Betina Liar. Ketahuilah! Tidak ada
seorang pun yang bisa menolak keinginan Jerang-
kong Bukit Karang! Suka atau tidak, kau akan
kubawa ke tempat tinggalku!" geram lelaki tinggi kurus yang mengaku berjuluk
Jerangkong Bukit
Karang. Rupanya, ia merasa tersinggung dengan
penolakan Larsih.
"Keparat, jangan ganggu dia...!"
Lelaki pendek gemuk yang menjadi pem-
bantu ayah Larsih seketika bergerak maju dan
menghadang di depan Jerangkong Bukit Karang.
Perbuatannya diikuti pula oleh kawannya yang
bertubuh lebih tinggi sedikit.
"Huh! Gentong-gentong kosong yang tidak
punya guna! Mau apa kalian menghadangku!
Minggir...!" sentak lelaki tinggi kurus itu.
Seketika tangannya dikibaskan secara
sembarangan. Serangkum angin kuat berhembus
mengiringi kibasan tangan kanannya.
Wuttt! Dan belum juga kibasan tangan itu meng-
hantam dua orang pembantu tukang obat menda-
dak saja sebuah bayangan hijau berkelebat cepat
Maka.... "Akh...!"
Jerangkong Bukit Karang berseru kaget ke-
tika merasa kan lengannya membentur sebuah
benda yang keras bagaikan batangan besi. Bahkan
tubuhnya pun terdorong mundur sejauh satu ba-
tang tombak. "Hei"!"
Lelaki tinggi kurus itu menarik kepalanya
dengan sepasang mata hampir terlompat ke luar.
Rasa nyeri pada lengannya seolah-olah terlupa karena pesona yang memancar dari
sosok tubuh ramping di hadapannya. Dan itu benar-benar
membuat lelaki itu bagaikan tersihir! Hingga un-
tuk beberapa saat lamanya, ia hanya dapat tern-
ganga tanpa mampu bergerak.
"Apakah kau sudah berubah menjadi mu-
rung, Jerangkong Bukit Karang?" tegur sosok tubuh ramping berpakaian serba hijau
itu sambil bertolak pinggang.
Meskipun suara itu bernada mengejek,
namun tetap saja terdengar merdu di telinga. Sia-pa lagi sosok tubuh ramping itu
kalau bukan Ke-
nanga. Rupanya ia langsung turun tangan ketika
melihat nyawa kedua orang pembantu penjual ob-
at itu terancam maut.
Jerangkong Bukit Karang tersentak kaget
dan tersadar dari keterpakuannya. Kedua matanya
langsung digosok-gosok, seolah-olah masih tidak
mempercayai kehadiran dara jelita berpakaian hi-
jau yang berdiri satu batang tombak di depannya.
"Kau.... Kau siapa, Ni sanak..?" tanya laki-Laki bopeng itu dengan suara gagap,
seraya sepa- sang matanya menjelajahi sekujur tubuh gadis je-
lita itu. "Hm.... Dasar lelaki kurang ajar! Kau memang patut diberi hajaran!"
bentak Kenanga tajam. Rupanya gadis jelita itu merasa marah me-
lihat tatapan mata lelaki tinggi kurus itu yang bagaikan menelanjangi tubuhnya.
"Eh..."!"
Lelaki tinggi kurus berwajah bopeng itu
tersentak mundur ketika pandangan matanya ber-
tumbuk dengan sepasang mata Kenanga yang
berkilat tajam penuh kemarahan. Diam-diam hati
Jerangkong Bukit Karang merasa terkejut melihat
sinar mata itu. Dia teringat akan benda sekeras
besi yang menangkis kibasan tangannya tadi.
"Gadis jelita inikah yang telah menangkis
kibasan tanganku?" pikir laki-Laki bopeng itu penuh keraguan.
Namun tanda tanya di hati Jerangkong
Bukit Karang tidak berlangsung lama, setelah ga-
dis di depannya mengeluarkan bentakan nyaring
dan mengejutkan.
"Sambut seranganku, Manusia Kurang
Ajar...! " seru gadis jelita itu sambil melompat dan melancarkan dua buah
pukulan sekaligus.
Bettt! Bettt! Sambaran angin pukulan yang menderu ta-
jam itu membuat hati Jerangkong Bukit Karang
semakin tercekat. Kini baru disadari kalau gadis jelita itu ternyata adalah
seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian tinggi. Maka cepat-cepat ia
melompat mundur dan melakukan bebe-
rapa kali salto, ketika! sepasang tangan gadis jelita itu masih juga
mengejarnya. Sadar kalau lawan
yang kali ini dihadapinya bukan orang sembaran-
gan, maka kepandaiannya segera dikerahkan un-
tuk melancarkan serangan balasan.
"Yeaaah...!"
Diiringi teriakan parau, Jerangkong Bukit
Karang] melepaskan sebuah pukulan keras setelah
berhasil mengelakkan pukulan yang dilancarkan
Kenanga. Dari suara yang ditimbulkannya, dapat
diduga kalau lelaki tinggi kurus itu telah mengerahkan hampir seluruh tenaganya
untuk mengim- bangi serangan lawan.
Melihat pukulan lawan yang meluncur
mengancam iga kirinya, Kenanga sama sekali ti-
dak berusaha mengelak. Seketika kaki kirinya
bergeser ke belakang sambil memutar tubuh me-
nyamping. Kuda-kudanya segera direndahkan se-
raya lengan kanannya bergerak melakukan tang-
kisan dengan sikap menekuk. Sadar akan kekua-
tan tenaga lawan, Kenanga pun mengerahkan
hampir sepertiga dari tenaganya dalam melakukan
tangkisan. Dukkk! Terdengar suara nyaring bagaikan dua ba-
tang besi yang sating bertumbukan keras. Tubuh
keduanya terpental balik sejauh dua batang tom-
bak. Dari sikap kuda-kuda mereka yang sama-
sama terlihat kokoh, dapat dinilai kalau perte-
muan tenaga itu ternyata memiliki kekuatan
seimbang. Jerangkong Bukit Karang yang telah men-
gerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya, tentu
saja menjadi terkejut setengah mati. Sama sekali tidak disangka kalau gadis
jelita itu ternyata memiliki tenaga dalam tinggi. Bahkan mungkin lebih kuat
daripada tenaga dalam yang dimilikinya Hal
itu dapat dilihat dari deru napas gadis itu yang sama sekali tidak memburu.
Berbeda dengan na-pasnya yang bagaikan orang habis berlari menem-
puh jarak cukup jauh. Kenyataan itu membuat
hatinya bergetar, dan wajahnya berubah mene-
gang. "Haiiit..!"
Kenanga yang sempat melihat wajah lelaki
bopeng itu meringis sambil memegangi lengan ka-
nannya, dapat menduga kalau tenaga yang dimili-
kinya masih lebih kuat. Dibarengi teriakan nyar-
ing, gadis jelita itu pun kembali mencecar lawan dengan gerakan cepat dan kuat
Dan kini Kenanga
telah mengeluarkan ilmu andalannya.
Hebat bukan main jurus 'Bidadari Menabur
Bunga' yang digunakan gadis jelita itu. Sepasang tangannya tampak bergerak cepat
hingga bentuk-nya pun lenyap. Yang tampak kini hanya bayan-
gan puluhan batang lengan mematuk-matuk me-
nimbulkan angin berkesiutan.
Wuttt! Wuttt! "Aiiih...!"
Jerangkong Bukit Karang berseru kaget
Hampir saja dada kirinya terkena pagutan jemari tangan gadis jelita itu yang
berbentuk paruh ban-gau. Untung tubuhnya masih sempat dimiringkan,
sehingga serangan gadis itu lewat beberapa jari di depan dadanya.
Tapi, rasa lega lelaki berwajah bopeng itu
rupanya tidak berlangsung lama. Sebab begitu pa-
tukan jemari tangannya berhasil dielakkan lawan, tahu-tahu saja kaki dara jelita
itu mencelat naik menghantam iganya.
Desss! "Hugkh...!"


Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh lelaki ting-
gi kurus itu pun terlempar ke belakang sejauh tiga batang tombak.
Namun, Jerangkong Bukit Karang memang
bukan tokoh sembarangan. Meskipun tendangan
telak itu membuat iganya terasa remuk, namun
kuda-kudanya masih dapat dipertahankan. Se-
hingga, tubuhnya tidak sampai terbanting jatuh.
Kenanga rupanya tidak ingin memberi ke-
sempatan kepada lawannya untuk membangun
serangan. Selagi tubuh Jerangkong Bukit Karang
terjajar mundur, gadis jelita itu membarenginya
dengan serangan cepat dan kuat
Jerangkong Bukit Karang yang belum sem-
pat mempersiapkan pertahanannya, terpaksa
menghindar sebisa-bisanya. Tapi memang dasar
nasibnya sedang sial, maka ia pun kembali harus
menelan pil pahit!
Bukkk... Desss!
Untuk kedua kalinya, tubuh tinggi kurus
itu kembali terlempar bergulingan. Jerit kesakitan terlontar dari mulut
Jerangkong Bukit Karang,
yang kemudian memuntahkan darah segar.
Kenanga melangkah perlahan menghampiri
lawannya yang masih terduduk sambil mengerang
kesakitan. Dua buah hantaman yang telak men-
genai dada dan lambung, membuat Jerangkong
Bukit Karang tidak mampu buru-buru bangkit Se-
pertinya, hantaman gadis jelita itu mendatangkan luka dalam yang cukup parah.
Jerangkong Bukit Karang memaksa bang-
kit pada saat langkah kaki gadis jelita itu tinggal beberapa belas tindak lag}.
"Hari ini aku mengaku kalah kepadamu, Ni
sanak Tapi, ingatlah! Suatu hari nanti aku akan mencarimu untuk membalas
penghinaan ini!" tandas Jerangkong Bukit Karang dengan sorot mata
penuh dendam. Kemudian, ia pun berlari tertatih-
tatih meninggalkan tempat itu.
Melihat orang itu melarikan diri, Kenanga
sudah bergerak mengejar. Namun, langkah ka-
kinya terhenti ketika terdengar seruan di bela-
kangnya. "Biarkan dia pergi...!"
Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok
bayangan putih tahu-tahu saja telah berada di belakang gadis jelita itu.
"Kakang, mengapa mencegahku" Anca-
mannya tadi, jelas membuktikan kalau orang itu
belum jera," bantah Kenanga, menuntut jawaban
sosok bayangan putih yang ternyata Panji.
"Menyiksa lawan yang sudah tidak ber-
daya, bukanlah sifat ksatria, Kenanga. Apalagi, Jerangkong Bukit Karang jelas-
jelas mengaku kalah
tadi Sedangkan ancamannya hanyalah luapan
amarah seorang pecundang. Mudah-mudahan saja
ia bisa berpikir lebih dalam dan melupakan anca-
mannya," sahut Panji sambil melebarkan senyum-nya. Kenanga hanya menghela napas,
seolah- olah ingin membuang sisa-sisa rasa tak puas yang menggumpal dalam rongga
dadanya. Sesaat kemudian, senyum manisnya pun kembali terlukis,
menghias wajahnya yang jelita.
Kedua orang pendekar muda itu sama-
sama menolehkan kepalanya ketika mendengar
langkah kaki mendatangi.
"Ni sanak! Kami mengucapkan terima kasih
atas pertolonganmu. Entah dengan apa kami da-
pat membalasnya," ucap lelaki setengah baya itu sambil membungkukkan tubuhnya
dalam-dalam kepada Panji dan Kenanga.
"Tidak perlu sungkan-sungkan, Paman.
Apa yang kulakukan tadi, hanyalah suatu kewaji-
ban. Jadi, tidak ada keharusan bagi Paman untuk
membalasnya," sahut Kenanga sambil membalas penghormatan penjual obat itu.
"Apa yang dikatakan kawan saya ini me-
mang benar, Paman. Janganlah merasa berhutang
budi karena pertolongannya tadi. Maaf, kami ha-
rus melanjutkan perjalanan. Sekarang, silakan teruskan pekerjaan Paman," timpal
Panji yang langsung berpamitan karena saat itu para penduduk
desa telah berdatangan mengerumuni.
Keempat orang itu hanya dapat meman-
dang kepergian Panji dan Kenanga penuh rasa te-
rima kasih. Setelah tubuh kedua orang pendekar
muda itu semakin menjauh, lelaki setengah baya
itu pun membalikkan tubuh dan melanjutkan pe-
kerjaannya. *** 6 Di bawah siraman cahaya matahari yang
semakin naik tinggi, nampak dua sosok tubuh me-
langkah memasuki mulut hutan. Yang seorang
memakai jubah putih, dan yang seorang lagi men-
genakan pakaian serba hijau. Dan rupanya sinar
matahari tak lagi dirasakan, karena tubuh mereka terlindungi pepohonan besar
yang tumbuh menju-lang tinggi.
Pada saat mereka hampir berada di tengah
hutan, mendadak sosok yang mengenakan jubah
putih itu menghentikan langkahnya. Kepalanya
segera dimiringkan seolah-olah hendak memasti-
kan pendengarannya.
"Ada apa, Kakang...?" tanya sosok tubuh yang berpakaian serba hijau.
Wajahnya yang putih halus menampakkan
keheranan melihat tingkah laku kawannya. Dari
suara dan kehalusan wajahnya, dapat dipastikan
kalau dia adalah seorang wanita.
"Sepertinya aku mendengar suara orang
bertengkar. Apa kau tidak mendengarnya?" sosok berjubah putih yang memang
seorang pemuda itu
balas bertanya.
"Tidak, Kakang. Aku sama sekali tidak
mendengarnya," sahut gadis jelita itu sambil menggeleng perlahan.
"Hm...," pemuda berjubah putih itu hanya
menggumam mendengar jawaban itu. "Mari ikut aku...." Tanpa menunggu jawaban
lagi, tubuhnya pun segera melesat ke depan. Dan tanpa banyak
cakap, gadis jelita yang mengenakan pakaian ser-
ba hijau itu bergegas mengerahkan ilmu larinya
mengikuti pemuda tadi.
"Aku mulai dapat menangkap suara yang
kau maksudkan itu, Kakang. Kedengarannya me-
mang seperti orang yang sedang bertengkar," kata gadis jelita itu sambil terus
mengimbangi lari kawannya. Saat itu mereka sudah semakin jauh
memasuki hutan.
"Ya! Suara itu semakin jelas terdengar,"
sahut pemuda tampan berjubah putih. "Hati-hati, jangan sampai langkah kaki kita
terdengar mereka."
Gadis jelita itu mengangguk dan menge-
rahkan ilmu meringankan tubuh, sehingga gera-
kan langkah kakinya sama sekali tidak menimbul-
kan suara sedikit pun.
Tidak berapa lama kemudian, mereka tiba
pada sebuah tempat terbuka yang cukup luas. Di
sana, tampak dua kelompok penunggang kuda
saling berhadapan dalam keadaan tegang.
"Jangan sembarangan menuduh, Jaya Pra-
na! Sadarkah kau kalau kata-katamu itu bisa
mengakibatkan perpecahan di antara kita?" bentak lelaki tinggi besar bertubuh
kokoh bagai batu karang. Suaranya terdengar berat dan kasar, sesuai bentuk
tubuhnya. Wajahnya kemerahan se-
perti menahan kemarahan.
Sebelum orang yang dipanggil Jaya Prana
itu menyahut, seorang yang berbahu lebar dan be-
rusia sekitar tiga puluh tahun, melompat turun
dari atas punggung kudanya. Begitu kedua ka-
kinya menginjak tanah, orang itu langsung menu-
dingkan telunjuknya ke wajah lelaki tinggi besar yang masih berada di atas
punggung kuda. "Hmh! Tidak kusangka kalau pimpinan Pa-
sukan Garuda Emas ternyata seorang pengecut
yang tidak berani mengakui perbuatannya. Sung-
guh memalukan!" ujar lelaki tegap berbahu lebar itu dengan suara sangat
menghina. "Jaga mulutmu, Banja! Apa kau ingin agar
aku merobek mulutmu dulu, supaya tidak sema-
kin kurang ajar!" bentak lelaki tinggi besar itu.
Wajah orang itu tampak dipenuhi cambang
bauk. Sepasang matanya tampak berkilat penuh
kemarahan. Jelas, ia tidak bisa menerima hinaan
yang dilontarkan lelaki berbahu lebar yang tak lain dari Banja.
Rupanya kedua kelompok penunggang ku-
da itu adalah Pasukan Garuda Hitam dan Pasukan
Garuda Emas yang merupakan pasukan inti Kera-
jaan Cadas Putih.
"Keparat keji! Akibat perbuatanmu terha-
dap guru dan saudara-saudara seperguruanku,
apakah kau kira aku masih sudi menghormatimu!
Tidak, Pragola. Aku tidak lagi memandangmu se-
bagai pemimpin, melainkan seorang pembunuh
keji yang berjiwa pengecut'" Banja semakin berapi-api melontarkan kata-katanya.
Jelas sekali kalau ia tidak memandang se-
belah mata pun kepada Pragola yang menjadi sa-
lah satu pimpinan Pasukan Garuda Emas.
"Kurang ajar...! Mulutmu benar-benar ha-
rus dirobek!" bentak Pragola yang melompat dari kudanya, langsung menerjang
Banja. Jaya Prana yang menjadi pimpinan dua pu-
luh orang anggota Pasukan Garuda Hitam tentu
saja tidak bisa berdiam diri melihat Banja teran-
cam. Lelaki tegap berkumis lebat itu pun melesat dari atas punggung kuda, dan
langsung memapak
serangan Pragola.
"Perlahan dulu, Pragola...!" seru Jaya Prana sambil mengibaskan lengan kanan
menyambut serangan lelaki tinggi besar itu.
Wuttt... Wuttt!
Plakkk! Terdengar benturan keras yang disusul
terpentalnya tubuh kedua orang itu ke belakang.
Namun, baik Pragola maupun Jaya Prana ternyata
dapat menguasai keseimbangan tubuh. Setelah
berjumpalitan beberapa kali, tubuh mereka jatuh
di atas tanah dalam sikap kuda-kuda kokoh dan
indah. "Kau akan membela orangmu yang kurang ajar itu, Jaya Prana" Baik! Kalau
begitu, sambut-lah seranganku ini...!" seru Pragola.
Laki-Laki itu semakin marah melihat cam-
pur tangan Jaya Prana. Maka, Pragola kembali
menerjang maju dengan serangan-serangan hebat
dan berbahaya. Jaya Prana pun tidak tinggal diam. Melihat
lawan sudah kembali menyerang, maka segera
disambut dengan tidak kalah hangatnya. Dalam
sekejap saja, kedua orang lelaki gagah itu pun terlibat perkelahian seru dan
mati-matian. Pasukan Garuda Hitam dan Pasukan Ga-
ruda Emas yang melihat pemimpin pemimpin me-
reka masing-masing sudah terlibat dalam perkela-
hian sengit, menjadi gatal tangannya. Tanpa diperintah lagi, kedua kelompok
pasukan inti Kerajaan Cadas Putih itu pun masing-masing melompat turun dari atas
punggung kuda. Tanpa banyak cakap lagi, kedua kelompok itu pun
mencabut senjata masing-masing.
"Yeaaa...!"
Disertai teriakan nyaring bergemuruh, Pa-
sukan Garuda Hiram meluruk ke arah dua puluh
orang anggota Pasukan Garuda Emas.
Sesaat sebelum pertempuran itu pecah,
mendadak dua sosok tubuh melesat ke tengah
arena. Gerakan kedua sosok tubuh itu demikian
cepat dan menimbulkan desir angin kuat
Sosok tubuh pertama yang merupakan
bayangan putih, menuju ke arah dua pasukan
yang hampir bertemu itu. Kedua tangannya men-
gibas ke kiri kanan setelah menjejakkan kakinya
di antara kedua kelompok itu.
Wusss! Serangkum angin dingin yang amat kuat
berhembus bagaikan badai salju yang menghum-
balangkan tubuh kedua pasukan kecil itu.
"Tahan...!" teriak bayangan putih itu dengan suara laksana ledakan guntur di
angkasa. Je- las, suara itu dikeluarkan dengan pengerahan te-
naga dalam tinggi.
Tak satu pun dari kedua kelompok itu yang
sanggup mempertahankan diri dari dorongan an-
gin dingin itu. Tubuh mereka bergelimpangan dan
menggigil kedinginan. Dengan demikian, pertarun-
gan kedua pasukan kecil itu jadi batal.
Sedangkan sosok tubuh lain yang merupa-
kan bayangan hijau, meluruk ke arah Jaya Prana
dan Pragola yang saat itu tengah bertarung sengit Gerakan bayangan hijau itu
ternyata sangat lincah dan gesit Sehingga, tanpa mengalami kesulitan
sedikit pun tahu-tahu saja tubuhnya telah berada di antara kedua orang lelaki
gagah itu. "Berhenti...!"
Bentakan nyaring dan merdu itu disertai
dorongan sepasang lengannya ke kiri kanan.
Wuttt! Wusss! Sambaran angin kuat yang mengancam tu-
buh Jaya Prana dan Pragola, membuat kedua
orang itu melompat ke belakang dan melakukan
beberapa kali salto di udara.
"Siapa kau, Ni sanak" Apa maksudmu
mencampuri urusan kami?" bentak Pragola setelah terdiam beberapa saat lamanya.
Laki-laki itu sama sekali tidak menduga
kalau sosok tubuh yang memisahkan mereka ter-
nyata seorang wanita muda berparas jelita. Kalau saja tidak mengalaminya
sendiri, tentu Pragola tidak akan percaya begitu saja. Apalagi ketika mendapat


Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kenyataan, betapa kuatnya tenaga yang ter-
sembunyi di balik sosok tubuh ramping itu.
Jaya Prana pun tidak kalah terkejutnya
dengan kenyataan itu. Padahal, ia adalah salah
seorang pimpinan pasukan inti Kerajaan Cadas
Putih. Tapi kenyataannya mampu didorong mun-
dur oleh seorang gadis muda berparas jelita. Untung gadis itu tidak bermaksud
jelek. Kalau tidak, mungkin ia dan Pragola sudah mengalami luka dalam yang cukup
parah. Lelaki gagah berkumis lebat itu jelas-jelas
tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Ia berdiri
tegak menanti jawaban yang keluar dari dara jelita itu.
Sebelum pertanyaan Pragola terjawab, so-
sok berjubah putih yang tak lain dari Panji atau berjuluk Pendekar Naga Putih
melangkah menghampiri mereka.
"Paman berdua harap maafkan kelancan-
gan aku dan kawanku ini. Semua ini dilakukan
semata-mata karena telah terjadi kesalahpahaman
di antara kalian. Dari sanggahan Paman Pragola
tadi, aku yakin kalau ia tidak melakukan perbua-
tan yang dituduhkan. Maka, aku terpaksa berbuat
lancang agar kesalahpahaman ini tidak berlarut-
larut," jelas Panji sambil membungkuk hormat kepada mereka.
"Hm.... Jadi kau telah lama mengintai ka-
mi?" tegur Jaya Prana, tak senang.
"Maaf, hal ini terpaksa kulakukan karena
merasa tertarik dengan pertengkaran Paman ber-
dua tadi. Karena sepintas tadi, aku mendengar
tentang pembunuhan yang dituduhkan kepada
Paman Pragola. Melihat kesungguhan dan kegaga-
hannya, aku yakin tuduhan itu sama sekali tidak
benar. Kalau boleh aku bertanya, adakah saksi
yang dapat dipercaya dalam hal ini?" tanya Panji akhirnya.
Suara dan wajah Pendekar Naga Putih ter-
lihat tenang. Dan hal ini membuat kedua orang
perwira itu bertanya-tanya, siapa gerangan pemu-
da tampan berjubah putih ini.
"Hm.... Siapa kau sebenarnya, Anak Muda"
Dari sikap dan nada bicaramu, aku yakin kau bu-
kan orang sembarangan. Sebutkan nama dan ju-
lukanmu" Dengan demikian, mungkin kami dapat
mempertimbangkan dan memaafkan perbuatan-
mu," tanya Pragola mulai menduga-duga pemuda yang memiliki ketenangan
mengagumkan hatinya
itu. Melihat dari kepandaian yang dimiliki gadis
jelita tadi, bukan tidak mungkin kalau kepandaian pemuda ini masih lebih tinggi
lagi. Atau paling tidak sejajar dengan kepandaian gadis jelita berpakaian serba
hijau yang berdiri di samping pemuda tampan itu.
"Maaf, Paman. Namaku Panji. Sedangkan
kawanku bernama Kenanga. Orang-orang rimba
persilatan memberikan julukan Pendekar Naga Pu-
tih kepadaku," sahut Panji.
Dia terpaksa memperkenalkan julukannya.
Karena, menurutnya julukan itu mungkin dapat
membuat kedua orang itu lebih mempercayainya.
"Ah.... Jadi, kaukah yang berjuluk Pende-
kar Naga Putih" Sepak terjangmu sudah lama
membuatku kagum. Tahukah kau, julukanmu itu
sempat pula menggemparkan Istana Kerajaan Ca-
das Putih?" seru Pragola. Saking kagumnya, ia sampai menyebutkan rahasia yang
seharusnya disembunyikan. "Hm.... Mengingat julukanmu yang telah
mendatangkan kekaguman, maka kami percaya
kalau kau memang pantas menjadi penengah bagi
masalah yang tengah dihadapi ini," timpal Jaya Prana. Dari nada suaranya, jelas
kalau ia tidak menyesali kata-kata Pragola yang telah membuka
rahasia penyamaran mereka. Dan memang, menu-
rutnya, julukan Pendekar Naga Putih dapat men-
jadi jaminan dan bisa dipercaya.
Panji yang semula hanya menduga-duga,
sempat terkejut mendengar pengakuan lelaki ga-
gah berwajah brewok itu. Sebagaimana sikap seo-
rang rakyat jelata terhadap pembesar kerajaan,
maka kedua orang muda itu menjatuhkan dirinya
memberi hormat "Maafkan kalau sikap kami kurang hormat
terhadap Tuan Perwira berdua," ucap Panji.
Pendekar Naga Putih segera menekuk lutut
sambil merangkapkan telapak tangannya sebagai
penghormatan. Hal yang sama dilakukan pula oleh
Kenanga. "Bangkitlah kau, Pendekar Naga Putih dan
Kenanga. Janganlah terlalu banyak peraturan.
Apalagi tempat ini bukanlah istana kerajaan," kata
Pragola sambil membungkuk dan mengangkat tu-
buh Panji. Diam-diam hati perwira berusia empat pu-
luh lima tahun ini semakin kagum atas sikap yang ditunjukkan pemuda yang
berjuluk Pendekar Naga
Putih itu. "Nah! Sekarang katakan, apa usulmu agar
persoalan ini dapat kita selesaikan?" tanya Jaya Prana yang percaya penuh
setelah melihat sikap
pemuda itu. "Kembali kepada pertanyaanku tadi, Pa-
man Perwira. Adakah saksi yang bisa membukti-
kan kalau pembunuhan itu memang dilakukan
Tuanku Pragola?" tanya Panji yang merubah panggilannya begitu mengetahui kalau
kedua orang di depannya adalah perwira kerajaan.
"Tidak usah terlalu sungkan, Pendekar Na-
ga Putih. Sebut saja kami dengan panggilan pa-
man tanpa embel-embel perwira segala macam,"
tegas Pragola ketika mendengar panggilan pemuda
itu berubah. "Betul, Panji Dan mengenai pertanyaanmu
itu, kami memang mempunyai dua orang saksi
mata. Dari merekalah didapatkan keterangan ten-
tang pelaku perbuatan itu. Bahkan mereka mem-
berikan gambaran jelas mengenai raut wajah dan
bentuk tubuh si pembunuh. Dan keterangan itu
jelas-jelas menggambarkan sosok Kakang Pragola
ini," Jaya Prana memberi keterangan kepada Panji, karena tidak ingin dituduh
melemparkan fitnah
tanpa bukti jelas.
"Kedua orang saksi mata itu dapat diper-
caya, karena mereka adalah murid Perguruan Tin-
ju Selatan sendiri! Aku tidak percaya kalau keterangan mereka hanya sekadar
fitnah! Sebab kalau
tidak menyaksikan sendiri, dari mana mereka
mendapat gambaran tentang bentuk tubuh dan
raut wajah pembunuh keji itu!"
Mendengar ucapan keras yang berapi-api
itu, Panji, Kenanga, Jaya Prana, dan Pragola me-
nolehkan kepala. Kening Pragola terkejut, dan wajahnya kembali gelap ketika
melihat Banja dan
Gandira datang menghampiri. Rupanya kedua
orang itu dan anggota yang lainnya sudah terlepas dari pengaruh 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' yang
dikerahkan Pendekar Naga Putih tadi.
"Tenanglah, Banja. Kami telah berembuk
untuk memecahkan masalah pembunuhan guru
dan saudara-saudara seperguruanmu itu. Tahan
amarahmu kalau ingin masalah ini segera. sele-
sai," ujar Jaya Prana.
Laki-laki berkumis lebat itu memang mera-
sa tidak enak terhadap Pragola. Maka, bergegas
dia menghampiri Banja dan menepuk-nepuk bahu
lelaki itu. "Benar, Banja. Dan kalau memang ternyata
aku yang melakukan perbuatan keji itu, aku tidak akan lari dari tanggung jawab,"
sahut Pragola penuh ketegasan.
"Kalau boleh kuusulkan, dapatkah kedua
orang saksi mata itu dihadapkan kemari," pinta Pendekar Naga Putih ketika
keadaan sudah kembali tenang. Bahkan kini mereka telah duduk di
atas rumput membuat lingkaran.
"Sayang kedua orang saksi itu tidak bisa
menyertai kami, karena harus merawat perguruan
dan makam guru mereka. Sebab, hanya kedua
orang murid itulah yang saat ini tinggal di dalam bangunan Perguruan Tinju
Selatan," jelas Jaya Prana. Laki-Laki berkumis lebat itu sedikit kecewa, karena
kedua orang saksi itu tidak ada. Dan
kalau ada, sudah pasti masalahnya dapat cepat
diselesaikan. "Ah, sayang sekali. Padahal tanpa mereka,
kita tidak bisa memutuskan apa-apa. Saat ini,
hanya kedua orang saksi itulah yang menjadi
kunci untuk memecahkan persoalan ini," sesal Panji, seraya menghela napas
kecewa. "Kakang, bagaimana kalau kita datangi
Perguruan Tinju Selatan bersama-sama. Bukan-
kah itu lebih baik, daripada persoalan ini menjadi tertunda dan tetap gelap?"
Kenanga yang semen-jak tadi hanya diam mendengarkan, tiba-tiba
mengajukan usul
Pragola, Jaya Prana, Banja, dan Gandira
mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya, usul
gadis Jelita itu bisa dipertimbangkan. Sedangkan Panji hanya menatap wajah
keempat orang lelaki
gagah itu berganti-ganti. Menurut perkiraannya,
apa yang diusulkan Kenanga itu merupakan jalan
satu-satunya untuk memecahkan masalah yang
tengah dihadapi.
Setelah semuanya menyetujui usul yang
diajukan Kenanga, berangkatlah dua rombongan
pasukan itu disertai Kenanga dan Pendekar Naga
Putih. *** Saat matahari sudah meratakan sinarnya
ke seluruh permukaan bumi. Rombongan dua pa-
sukan itu pun tiba di depan pintu gerbang Pergu-
ruan Tinju Selatan.
Panji dan Kenanga yang juga mengendarai
kuda, bergegas melompat turun mengikuti dua
orang pimpinan pasukan itu.
Banja yang merasa paling penasaran, ber-
gegas menggedor pintu gerbang sambil berteriak-
teriak me-manggil. Kekesalan yang menggumpal di
dada, membuatnya menjadi tidak sabar ketika
panggilannya tidak juga disahuti.
"Kurang ajar! Ke mana pula perginya Jana-
ka dan Santika" Mengapa mereka belum juga ke-
luar?" omel Banja dengan wajah gelap.
"Sabarlah. Mungkin saat ini mereka berada
jauh di belakang. Jadi, wajar saja kalau belum
mendengar panggilanmu," bujuk Gandira sambil menepuk-nepuk punggung saudara
seperguruannya. "Biarlah aku yang akan memanggil mere-ka," pinta Pragola
menyelak. Sebagai seorang tertuduh, lelaki bercam-
bang bauk ini pun tidak kalah penasarannya den-
gan Banja. Pragola ingin melihat, bagaimana rupa orang yang telah menjatuhkan
fitnah keji terha-dapnya. "Silakan, Kakang Pragola...," sahut Gandira, terpaksa.
Sementara Banja telah menekuk wajahnya
ketika melihat Pragola mendekati mereka. Melihat sikapnya, jelas kalau ia masih
tetap menyalahkan Pragola atas kejadian yang menimpa guru dan
saudara-saudara seperguruannya.
"Hei! Siapa pun yang berada di dalam ban-
gunan Perguruan Tinju Selatan, harap keluar!
Banja dan Gandira datang berkunjung...!"
Hebat sekali teriakan Pragola yang dido-
rong tenaga dalam kuat itu. Beberapa orang ang-
gota pasukan yang paling lemah kepandaiannya,
terpaksa harus menutup telinga sambil menge-
rahkan hawa murni untuk melindungi bagian da-
lam dada mereka. Dan memang teriakan itu sem-
pat pula mengguncangkan dada.
Panji sendiri tidak menyembunyikan rasa
kagum-nya. Hal itu terlihat dari pancaran sinar matanya ketika memandang
Pragola. Diam-diam
pemuda itu semakin bertambah kagum melihat
kekuatan tenaga dalam laki-laki bercambang bauk
Rahasia Kunci Wasiat 13 Golok Maut Tjan Tjie Leng Karya O P A Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan 3
^