Pencarian

Hilangnya Pusaka Kerajaan 3

Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan Bagian 3


itu. Hanya Banja yang terlihat agak sinis. Ke-
kesalan hatinya membuat lelaki gagah berbahu le-
bar itu menganggap Pragola sengaja menyom-
bongkan kekuatan tenaga dalam. Pikiran itu
membuat rasa tak suka di hati Banja semakin
menebal. Meskipun berwatak berangasan, namun
Pragola memiliki pandangan sangat luas. Dan ia
bukan tidak tahu akan cibiran sinis bibir Banja
yang tertuju kepadanya. Tapi dengan kematangan
jiwa, sikap Banja dapat dimakluminya.
Sayang apa yang dilakukan Pragola itu sia-
sia Meskipun teriakan tadi sangat kuat, tapi Jana-ka dan Santika belum juga
muncul. Tentu saja hal itu menimbulkan berbagai pertanyaan di hati mereka. Panji
yang memiliki pengalaman luas ten-
tang dunia persilatan, segera bisa menebak pe-
nyebab ketidakmunculan orang yang bernama Ja-
naka dan Santika. Maka seketika kecurigaannya
timbul. "Aku akan mencoba masuk untuk membu-ka pintu dari dalam," usul pemuda
berjubah putih itu.
Tanpa menunggu jawaban dari yang lain-
nya, Pendekar Naga Putih langsung melesat me-
lompati dinding pagar setinggi tiga batang tombak.
Semua orang yang berada di tempat itu,
membelalak kagum melihat tubuh pemuda tam-
pan itu melayang bagaikan seekor burung besar.
"Hm.... Pantas saja dunia persilatan dapat
dibuat gempar. Kepandaian yang dimilikinya be-
nar-benar hebat! Rasanya sukar sekali mencari
orang yang dapat menandinginya pada masa ini.
Untunglah kepandaian sehebat itu dimiliki pemu-
da seperti dia. Entah apa jadinya kalau dimiliki seorang pemuda berwatak bejat
Mungkin dunia persilatan akan kacau dibuatnya," gumam Jaya Prana pelan sambil menggelengkan
kepala. "Kalau saja pemuda seperti dia sudi men-
gabdikan diri untuk Kerajaan Cadas Putih, bukan
main gembiranya hati Gusti Prabu," desah Pragola yang juga semakin kagum oleh
Pendekar Naga Putih.
"Yah.... Aku pun berpendapat demikian,"
Jaya Prana yang mendengar ucapan Pragola, me-
nyahuti Laki-Laki berkumis tebal itu agak me-
nyesal, karena sadar kalau harapan mereka ber-
dua tidak mungkin akan dapat terpenuhi. Sebab,
mereka tahu kalau seorang pendekar petualang
seperti Pendekar Naga Putih akan lebih suka hi-
dup bebas tanpa ikatan apa pun.
Jaya Prana, Pragola, dan yang lainnya,
bam tersadar ketika mereka mendengar derit pintu gerbang yang bergerak karena
telah dibuka Pendekar Naga Putih. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, mereka pun bergegas masuk.
Banja sudah lebih dulu melesat masuk,
dan langsung berlari menuju halaman belakang
balai utama. Tak lama setelah tubuh pemuda ber-
bahu lebar itu menghilang di balik bangunan be-
sar itu, terdengar hiruk-pikuk yang disertai ma-
kian marah. "Biadab! Manusia iblis!" terdengar makian Banja yang mengejutkan semua orang
yang berada di halaman depan Perguruan Tinju Selatan.
"Ada apa, Ban.... Ahhh...!?"
Gandira yang tiba lebih dulu di halaman
belakang bangunan perguruan, membelalak pucat
tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Lelaki ga-
gah itu hanya dapat berdiri memandang dua buah
tiang, dua depa di hadapannya.
Seruan-seruan terkejut bercampur kema-
rahan seketika bersahutan saat seluruh rombon-
gan telah berada di tempat itu. Sebab apa yang
mereka saksikan, benar-benar membuat darah
mereka mendidih.
Panji yang tidak tega melihat pemandangan
mengerikan itu, bergegas menghampiri. Diturun-
kannya dua sosok tubuh yang tak lain dari Janaka dan Santika. Tubuh mereka
terpentang di tiang
berbentuk salib. Tubuh keduanya yang tanpa pa-
kaian dan dipenuhi luka bakar maupun sayatan
pisau itu ditutupi Panji dengan menggunakan pa-
kaian cadangan dalam buntalannya. Tampak da-
rah masih membasahi luka-luka di tubuh mereka,
membuktikan kalau kejadian penyiksaan itu be-
lum lama berlangsung.
"Kedatangan kita ternyata telah terlambat.
Ini membuktikan kalau gerakan kita telah diketa-
hui lawan," jelas Pendekar Naga Putih yang membuat orang-orang di sekitarnya
terperangah den-
gan wajah menegang.
"Aku akan mencari manusia-manusia keji
itu! Dan aku tidak akan pernah berhenti, sebelum tubuh iblis-iblis itu kukuliti
dengan tanganku!" teriak Banja bagai orang kesetanan.
Sebelum semua orang yang berada di tem-
pat itu menyadari, tubuh lelaki tegap berbahu lebar itu sudah melesat
meninggalkan tempat itu.
"Banja, tunggu...!" teriak Jaya Prana.
Laki-Laki berkumis tebal itu berlari cepat menge-
jar anggota pasukannya. Karena kepandaiannya
masih lebih tinggi, dalam beberapa kali loncatan saja tubuhnya sudah dapat
menangkap lengan
Banja. "Lepaskan aku! Akan kucari iblis-iblis keji itu walau sampai ke ujung
langit sekalipun!" teriak Banja sambil berusaha melepaskan pegangan Jaya
Prana. "Manusia dungu!" bentak Jaya Prana, gusar melihat keadaan Banja. "Siapa
yang akan kau cari"! Apa kau tahu, siapa manusia biadab itu"
Dasar bodoh! Perbuatan tololmu yang tanpa perhi-
tungan ini hanya akan menambah kerumitan saja,
tahu!" Mendengar bentakan kasar dari pimpinannya, baru terbuka pikiran Banja.
Memang benar apa yang dikatakan pimpinannya itu. Siapa yang
harus dicarinya" Dan bagaimana dapat menemu-
kan orang itu, kalau ia sendiri belum mengenal-
nya. Pikiran itu membuat Banja jatuh terduduk
lemas dan menekap wajah dengan kedua tangan-
nya. "Maafkan aku, Kakang.... Aku terlalu me-nuruti amarah," rintih Banja serak
dan penuh pe-nyesalan.
"Sudahlah, Banja. Kau tidak perlu menye-
sali diri. Lebih baik kita cari jalan, bagaimana caranya agar dapat menemukan
pembunuh biadab
itu," hibur Pragola yang sudah berada di dekat Jaya Prana.
"Maafkan aku, Kakang Pragola. Betapa bo-
dohnya aku telah menuduhmu yang melakukan
perbuatan ini," ucap Banja yang jadi lega ketika melihat anggukan dan senyum di
wajah lelaki kekar berotot itu.
"Bangkitlah. Mari kita pecahkan masalah
ini bersama Pendekar Naga Putih," hibur Pragola mengajak Banja menemui Panji.
*** 7 "Tangkap dan bunuh pendekar sombong
itu!" teriak lelaki brewok bertubuh kekar tiba-tiba.
Seketika dia melakukan pengejaran. Golok
besar berkilat di tangan kanannya diacung-
acungkan di atas kepala.
Di sebelah kanannya, seorang lelaki gagah
berkumis tebal ikut menyertainya. Sementara be-
berapa langkah di belakang, tampak puluhan laki-
laki berusia sekitar tiga puluh tahun berlari cepat mengikuti langkah kedua
orang itu. Namun, dua sosok tubuh yang dikejar itu
ternyata memiliki ilmu lari cepat yang tinggi. Sehingga, jarak di antara mereka
semakin bertam-
bah jauh saja. Sadar kalau kedua sosok tubuh itu me-
mang memiliki ilmu lari yang demikian tinggi, ma-ka ketika melewati pintu
gerbang, lelaki brewok
yang tak lain Pragola itu bergegas melompat ke
atas punggung kuda. Dan langsung dibedalnya
kuda itu untuk melakukan pengejaran.
Perbuatan Pragola diikuti yang lainnya.
Terdengarlah suara derap bergemuruh yang me-
ninggalkan kepulan debu tebal.
"Hiya.... Hiya...!"
Bentakan-bentakan nyaring yang disertai
ledakan cambuk, ikut mewarnai suara bergemu-
ruh derap kaki kuda.
Pengejaran dengan menunggang kuda ter-
nyata mulai menampakkan hasilnya. Dan me-
mang, jarak antara dua sosok tubuh itu dengan
mereka semakin bertambah dekat saja. Tentu saja
hal itu membuat Pragola, Jaya Prana, dan seluruh anggota pasukannya makin
bersemangat. Tapi, kedua sosok tubuh itu pun ternyata
cukup cerdik. Sadar kalau para pengejarnya su-
dah semakin dekat maka mereka berlari menuju
sebuah hutan lebat.
Pohon-pohon besar yang tumbuh tak bera-
turan itu, membuat gerak langkah kaki kuda agak
terhambat Beberapa kali rombongan pengejar itu
harus menghentikan lari kuda karena terhalang
pohon besar yang tumbuh rapat
Sedangkan dua orang yang dikejar itu enak
saja menyelinap di antara batang-batang pohon.
Maka sebentar saja para pengejar sudah tertinggal jauh di belakang. Dan tak lama
kemudian, kedua
sosok tubuh itu pun lenyap ditelan keremangan
hutan. "Kurang ajar kau, Pendekar Naga Putih!
Tunggulah! Lain waktu jangan harap berhasil lolos dari tanganku!" teriak Pragola
disertai pengerahan tenaga dalam, hingga suaranya terdengar jauh ke
dalam hutan. Setelah berkata demikian, lelaki kekar ber-
wajah brewok itu membalikkan kudanya yang saat
itu terperangkap di tengah semak belukar.
"Bagaimana ini, Kakang" Hari sudah se-
makin gelap. Sedangkan untuk keluar dari hutan
ini, sudah tidak mungkin. Yang jelas, kita akan kemalaman di jalan," tanya Jaya
Prana ketika Pragola menjalankan kudanya menghampiri.
"Kita terus saja. Siapa tahu ada tempat
terbuka yang cukup baik untuk melewatkan ma-
lam," sahut Pragola setelah terdiam beberapa saat lamanya. Kemudian, ia pun
memberi aba-aba ke-
pada seluruh rombongan untuk melanjutkan per-
jalanan. Tanpa diperintah dua kali, seluruh rom-
bongan berkuda itu mulai bergerak mengikuti Pra-
gola dan Jaya Prana. Semak belukar yang meng-
halangi jalan, diterobos seenaknya.
Tak berapa lama kemudian, Pragola dan
Jaya Prana sama-sama mengangkat tangan ka-
nannya ke atas. Kemudian mereka melambai per-
lahan sebagai tanda agar lari kuda diperlambat
"Kita istirahat di sini...!"
Kembali terdengar suara Pragola yang ke-
ras. Kemudian, ia melompat turun dari atas pung-
gung kuda dan berjalan memeriksa daerah seki-
tarnya. Perbuatan Pragola diikuti Jaya Prana. Lelaki berkumis tebal itu pun
melangkah mengelilin-gi sisi sebelah kiri. Itu sudah menjadi kebiasaan Pasukan
Garuda apabila hendak bermalam di suatu tempat asing.
Demikian pula dengan anggota pasukan
mereka. Begitu tiba, kedua pasukan itu memecah
dan menyiapkan tenda-tenda darurat dan ranting-
ranting kering untuk membuat api unggun.
Ketika kegelapan sudah mulai turun me-
nyelimuti seluruh permukaan bumi, di sekitar la-
pangan berumput itu telah berdiri sepuluh buah
tenda. Lidah api unggun tampak menjilat-jilat,
menerangi sekitar perkemahan darurat kedua Pa-
sukan Garuda itu.
*** "Hm.... Tidak kusangka kalau orang yang
berjuluk Pendekar Naga Putih demikian angkuh
dan sombong! Ucapannya tadi benar-benar keter-
laluan dan sangat merendahkan kita semua. He-
ran! Mengapa orang-orang persilatan demikian
memujanya" Tak habis pikir aku," dengus lelaki tinggi kekar. Suaranya seperti
bernada sangat penasaran. Dia tampak berdiri tegak, memandangi
api unggun di bawahnya.
"Sebagai seorang pendekar yang sangat di-
kagumi seluruh tokoh persilatan, seharusnya ia
berhati-hati dalam setiap mengucapkan kata-kata.
Bahkan tidak boleh sembarangan menghina orang.
Lenyap sudah seluruh kekagumanku padanya.
Pendekar muda itu benar-benar mengecewakan.
Kalau suatu saat nanti aku kembali berjumpa
dengannya, akan kuberi pelajaran pemuda som-
bong itu!" sambut laki-laki berkumis tebal Dia tak lain dari Jaya Prana.
Ucapannya diakhiri perasaan geram. Banja dan Gandira yang saat itu ikut me-
riting mengelilingi api unggun, sama-sama me-
nundukkan wajah dalam-dalam. Sepertinya, ke-
dua lelaki gagah itu masih teringat akan kematian gurunya yang tidak sempat
mereka saksikan. Dan
yang membuat hati bertambah penasaran adalah,
tidak diketahuinya siapa orang yang telah mem-
bantai guru dan saudara-saudara seperguruan
mereka. "Istirahatlah dulu, Banja, Gandira. Aku
dan Jaya Prana menyusul nanti."
Hanya itu yang bisa diucapkan Pragola.
Karena, ia pun maklum kalau sampai saat itu be-
lum satu pun yang dapat diperbuatnya untuk me-
ringankan kesedihan kedua orang lelaki gagah itu.
"Biarlah, Kakang. Kami berdua sudah se-


Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pakat untuk melakukan penjagaan malam ini. Ka-
lau memang Kakang berdua sudah merasa lelah,
silakan beristirahat," sahut Gandira.
Laki-laki ini tidak enak, karena telah me-
nuduh Pragola sebagai pembunuh guru dan sau-
dara-saudara seperguruannya. Untunglah Pragola
tidak sampai sakit hati karenanya. Dan tentu saja hal itu membuat hati Gandira
sedikit lega. Maka, ia pun semakin menaruh hormat kepada lelaki
bertubuh tinggi kekar itu.
"Baiklah kalau begitu. Aku istirahat dulu,"
ujar Pragola yang segera berpamitan dan mema-
suki tenda yang paling bagus di antara tenda-
tenda lain. Sepeninggal Pragola, Jaya Prana juga ber-
gegas bangkit dari duduknya. Setelah menghela
napas sejenak, kakinya melangkah menuju ten-
danya setelah meninggalkan pesan kepada kedua
orang anak buahnya itu agar berhati-hati.
Kedua lelaki gagah itu sama-sama men-
gangguk hormat kepada pimpinannya. Kemudian
mereka kembali duduk sambil menggosok-
gosokkan telapak tangan di dekat api unggun. Hal itu dilakukan untuk mengusir
hawa dingin. Malam pun semakin larut. Beberapa orang
anggota Pasukan Garuda Hitam dan Pasukan Ga-
ruda Emas yang berjaga-jaga mulai terserang rasa kantuk. Hawa yang kian
bertambah dingin, membuat mereka berkali-kali menguap.
Banja dan Gandira yang berjaga di dekat
tenda kedua orang pemimpin Pasukan Garuda itu
mendadak bangkit sambil mengedarkan mata ke
sekitarnya. Wajah mereka terlihat menegang.
"Kau dengar suara-suara itu, Gandira...?"
tanya Banja, suaranya terdengar pelahan sambil
meraba gagang pedang yang terselip di pinggang
kanannya. "Benar! Aku pun mendengarnya. Suara itu
memang seperti suara binatang hutan. Tapi, kalau
memang ditimbulkan binatang-binatang hutan,
mengapa terdengar saling bersahutan" Ini mencu-
rigakan! Jangan-jangan, itu adalah sandi rahasia dari musuh-musuh kita," timpal
Gandira. Lelaki gagah bertubuh padat berisi ini pun meraba gagang pedang dengan
wajah tegang. "Yaaaooouuu....!"
Kedua orang lelaki gagah itu semakin ber-
tambah curiga ketika kembali dengan jelas me-
nangkap suara-suara mencurigakan itu. Tapi yang
membuat sulit dimengerti, mengapa Pragola dan
Jaya Prana tidak segera keluar dari tendanya. Rasanya, suara itu juga terdengar
mereka. "Mungkin Kakang Pragola dan Kakang Jaya
Prana terlalu lelah, sehingga sudah tertidur sangat lelap dan kehilangan
kewaspadaan. Sebaiknya kau
pergi ke sana, dan bangunkan mereka. Biar aku
yang akan berjaga-jaga di sini," kata Gandira sambil menolehkan kepala ke arah
Banja yang saat itu juga tengah menatap ke arahnya.
"Baik. Hati-hatilah, aku akan segera kem-
bali..." Begitu ucapannya selesai, tubuh Banja langsung melesat menuju tenda
yang didiami Jaya
Prana. Sepeninggal Banja, Gandira yang sudah
bersiaga dengan senjata di tangan tiba-tiba tersentak kaget Cepat pedangnya
diputar membentuk
gulungan sinar bulat yang melindungi tubuhnya.
Trang! Tring! Paku-paku halus yang meluncur ke arah-
nya, langsung berjatuhan ke atas tanah. Sambil
tetap memutar pedang, tubuh Gandira mencelat
ke belakang dan langsung melakukan salto bebe-
rapa kali. "Ada apa, Gandira...?" tiba-tiba saja Banja
yang rupanya mendengar suara ribut itu telah me-
lesat dan berdiri di samping Gandira dengan sen-
jata terhunus. "Jelas ada orang-orang yang mengintai ki-
ta. Sepeninggalmu tadi, aku diserang senjata rahasia yang berupa paku-paku
kecil. Dan aku ya-
kin, senjata rahasia itu past! telah diolesi racun.
Kita harus berhati-hati, Banja. Bagaimana tugas-
mu" Apakah hal ini sudah kau ceritakan kepada
mereka?" tanya Gandira setelah menceritakan kejadian yang menimpanya.
"Dugaanmu ternyata meleset. Ternyata Ka-
kang Pragola dan Kakang Jaya Prana sama-sama
mendengar suara-suara itu. Tapi, mereka berdua
sengaja menunggu di dalam untuk memancing
orang-orang itu keluar dari tempat persembu-
nyiannya. Rupanya, kedua pemimpin kita itu su-
dah menduga sejak semula. Jadi, tidak perlu kha-
watir tentang keadaan ini," sahut Banja yang tidak melepaskan pandangannya dari
semak belukar di
depannya. Belum lagi ketegangan di hati mereka le-
nyap, tiba-tiba terdengar jerit kematian yang menyayat langkah mereka yang sudah
siap berlari menuju asal jeritan itu, mendadak terhenti. Sesosok bayangan Iain berkelebat
cepat mendahului,
setelah meninggalkan pesan kepada Banja dan
Gandira. 'Tetap di tempatmu! Biar aku yang akan
melihatnya...," perintah bayangan itu, yang terus berkelebat tanpa menunggu
jawaban mereka.
Selagi Banja dan Gandira tercenung, tahu-
tahu saja sesosok tubuh lain telah berdiri di belakang mereka.
"Kakang Pragola...," desah Banja dan Gandira berbarengan.
Lega hati mereka begitu mengetahui, siapa
sosok tubuh yang berdiri tegak di belakang itu.
"Tenanglah. Jangan mudah terpancing oleh
kelicikan musuh," ujar Pragola. Melihat sikap tenang yang ditunjukkan Pragola,
mau tak mau ke-
dua lelaki gagah itu mengerutkan keningnya.
"Kakang. Nampaknya kau sama sekali ti-
dak terkejut oleh kejadian ini" Mengapa?" tanya Banja menuntut Rupanya, ia tidak
bisa menyimpan keheranan dan rasa penasaran di hatinya.
"Apa kalian tidak ingat pada kematian San-
tika dan Janaka yang aneh itu" Hal itu terjadi, karena kita ingin menjumpai dan
mengorek keteran-
gan dari mereka," jelas Pragola yang membuat ke-rutan di kening Banja dan
Gandira semakin nyata.
"Maksud, Kakang...?" Gandira yang belum mengerti ke mana arah pembicaraan
Pragola, tak dapat menahan rasa ingin tahunya.
"Hm.... Kalian ini benar-benar bodoh!" um-pat Pragola tanpa maksud menghina.
"Itu tandanya, musuh-musuh selalu membayangi perjala-
nan kita. Jadi, aku tidak heran kalau malam ini
mereka akan menyerbu kita."
Mendengar keterangan itu, Banja dan
Gandira mengangguk-anggukkan kepala tanda
mengerti. Dugaan yang diajukan Pragola, mem-
buat harapan untuk berhadapan dengan pembu-
nuh guru mereka menjadi terbuka. Mengingat hal
itu, sepasang mata mereka tampak bersinar penuh
semangat. Pembicaraan mereka terhenti ketika ter-
dengar derap langkah kaki banyak orang menda-
tangi. Mereka adalah anggota Pasukan Garuda
Emas yang hendak menghadap pimpinan.
"Kakang! Para anggota Garuda Hitam yang
dipimpin Kakang Jaya Prana tengah bertarung
melawan puluhan orang-orang berpakaian serba
hitam. Kami kini menunggu perintah. Dan kini Pa-
sukan Garuda Hitam terdesak oleh orang-orang
itu," lapor salah seorang anggota Pasukan Garuda Emas, lantang.
"Hm, benarkah"! Mengapa bisa demikian"
Siapa sebenarnya musuh-musuh gelap kita ini?"
seru Pragola terkejut.
Laki-laki itu bukan tidak mendengar suara
perkelahian. Tapi, sesuai rencana yang telah di-
atur bersama Jaya Prana, maka ia pun diam saja
menanti perkembangan selanjutnya. Sebab menu-
rutnya, bukan tidak mungkin kalau pasukan mu-
suh itu masih ada yang bersembunyi, menanti me-
reka letih. Saat bantuan musuh datang, barulah ia dan pasukannya akan datang
membantu. "Kami harus pergi, Kakang Pragola...!" pamit Gandira yang tidak dapat menahan
hati meli- hat lelaki tinggi kekar itu malah termenung.
Dan tanpa menunggu jawaban lagi, kedua
lelaki gagah itu pun melesat ke tempat terjadinya pertarungan. Gerakan mereka
begitu bersemangat
karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui
pembunuh gum dan saudara-saudara sepergu-
ruan mereka. "Mari kita ke sana...!" perintah Pragola setelah tersadar dari lamunannya.
Begitu ucapannya selesai, tubuh tinggi ke-
kar itu langsung melesat menuju tempat perta-
rungan yang tengah berlangsung.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua puluh
orang anggota Pasukan Garuda Emas bergerak
mengikuti pimpinannya. Derap kaki mereka ter-
dengar bergemuruh bagai hendak merobohkan
pohon-pohon di hutan itu.
Pragola langsung menerjunkan diri ke are-
na pertempuran yang tengah berlangsung ramai
itu. Hatinya benar-benar terkejut ketika mendapat kenyataan kalau lawan-lawannya
itu ternyata ra-ta-rata memiliki kemampuan cukup tinggi. Bah-
kan boleh dikatakan seimbang dengan kemam-
puan para anggota pasukannya. Tentu saja den-
gan kenyataan itu, dia tidak merasa heran melihat Pasukan Garuda Hitam terdesak.
Karena, jumlah lawan masih lebih banyak daripada anak buah
Jaya Prana yang hanya berjumlah dua puluh
orang. Melihat kehadiran Pragola dan pasukan-
nya, Jaya Prana dan pasukannya dapat bernapas
lega. Bantuan Pasukan Garuda Emas itu membuat
lawan-lawan kini terdesak mundur. Sehingga,
keadaan pun kini berbalik.
Jaya Prana sendiri mendapat lawan seo-
rang lelaki brewok bertubuh gendut Dia ternyata
cukup tangguh dan dapat bergerak lincah tanpa
terhalang kegemukan tubuhnya. Bahkan pukulan-
pukulan yang dilontarkan sangat berbahaya, se-
hingga pimpinan Pasukan Garuda Hitam harus
mengerahkan seluruh kemampuan untuk menan-
dingi kesaktiannya.
Wuttt! Pukulan yang meluncur menimbulkan an-
gin berkesiutan itu dielakkan Jaya Prana dengan
memiringkan tubuh sambil menarik kaki kanan ke
belakang. Begitu pukulan lawan lewat, kaki yang
semula ditarik ke belakang, mendadak berbalik.
Langsung dilepaskannya tendangan berputar,
mengancam batang leher lawan.
Lelaki bertubuh gemuk dan berwajah bre-
wok yang tak lain dari Harimau Bukit Munjul,
memutar tubuh dengan kuda-kuda rendah. Ber-
barengan dengan itu, tangannya yang berbentuk
cakar terulur menangkap kaki Jaya Prana. Gera-
kan itu masih disusul dengan sodokan sikut ka-
nan yang menggedor dada lelaki berkumis lebat
itu. Bret... Desss! "Hegkh...!"
Tubuh Jaya Prana terpental mundur diba-
rengi suara kain robek. Namun, lelaki tegap itu memang tidak percuma sebagai
pimpinan Pasukan
Garuda Hitam. Maka tubuhnya cepat bergulingan
menghindari serangan susulan lawan
Setelah terbebas dari ancaman, tubuh Jaya Prana
melenting bangkit dan agak tertatih-tatih. Kaki
kanannya tampak mengalirkan darah akibat caka-
ran kuku lawan. Wajahnya pun tampak menyerin-
gai kesakitan Di sela bibirnya, mengalir cairan merah. Rupanya sodokan sikut
lawan pada dadanya,
telah mengakibatkan luka dalam yang cukup pa-
rah! *** "He he he.... Hanya sampai sedemikiankah
kepandaian yang dimiliki pimpinan Pasukan Ga-
ruda Hitam?" ejek Harimau Bukit Munjul yang bernama asli Juraga, sambil bertolak
pinggang. "Hm.... Jangan sombong dulu, Kisanak.
Boleh kau saksikan kehebatan Pasukan Garuda
Hitam sekarang," geram Jaya Prana sambil menatap lawan dengan sorot mata tajam.
Perlahan-lahan lelaki gagah berkumis lebat
itu melangkah mundur. Tiba-tiba, terdengar teriakannya yang membahana. Teriakan
itu merupa- kan perintah bagi anggota pasukannya untuk
membentuk barisan.
"Kawan-kawan, mundur...!" seru Jaya Pra-
na memerintah. "Bentuk barisan dalam jajaran
'Garuda Hitam Membentang Sayap'...!"
Setelah berkata demikian, ia sendiri sudah
berdiri tegak dengan sikap kuda-kuda bersilang.
Kedua tangannya terkembang ke kiri kanan me-
nyerupai sepasang sayap garuda.
Sedangkan para anggota pasukannya ter-
masuk Banja dan Gandira, sudah berlari ke arah
belakang Jaya Prana. Tak lama kemudian, terben-
tuklah bentuk barisan yang dimaksud.
Dua puluh orang anggota Pasukan Garuda
Hitam berbaris rapi berlapis dua di kiri kanan
Jaya Prana. Kuda-kuda maupun bentuk tangan


Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka tidak berbeda dengan pemimpinnya.
"Haaat..!"
Dibarengi teriakan keras yang merupakan
aba-aba, tubuh Jaya Prana dan sepuluh barisan
terdepan meluruk maju menyerbu lawan-
lawannya. Harimau Bukit Munjul dan kawan-
kawannya yang semula memandang rendah bari-
san itu, terkejut bukan main. Barisan terdepan
yang menerjang maju itu mendadak bergulingan
secara tak terduga. Pada saat Juraga dan kawan-
kawan belum mengerti apa yang hendak dilaku-
kan lawan, sepuluh orang yang berada di barisan
belakang melesat melampaui kepala barisan ter-
depan yang tengah bergulingan. Langsung diki-
rimkan serangan dengan menggunakan senjata
mereka. Terdengar jeritan-jeritan kematian yang
merobek udara malam itu. Jeritan itu disusul oleh robohnya delapan orang kawan
Harimau Bukit Munjul, dengan tubuh berlumuran darah.
Sedangkan tokoh sesat berwajah brewok
berperut gendut itu sendiri sudah melompat mun-
dur menghindari tebasan Banja yang mengancam
leher. Belum lagi Harimau Bukit Munjul dapat
menarik napas lega, tahu-tahu saja tubuh Jaya
Prana yang masih bergulingan itu melenting dan
langsung membabatkan senjata secara mendatar.
Wuttt! "Akh...!"
Bukan main terkejutnya hati Harimau Bu-
kit Munjul mendapat serangan tak terduga itu.
Cepat-cepat tubuhnya dilempar ke belakang dan
melakukan beberapa kali salto di udara untuk
menjauhi lawan-lawannya.
Sayang, Harimau Bukit Munjul belum
mengetahui keistimewaan pasukan inti Kerajaan
Cadas Putih itu. la yang merasa yakin bisa terbebas dari ancaman maut itu,
kembali terbelalak
pucat. Baru saja kakinya menginjak tanah, dua
batang pedang yang digerakkan Banja dan Jaya
Prana sudah mengancam dari bawah ke atas.
Wuttt... Brettt!
"Akh...!"
Meskipun Harimau Bukit Munjul telah be-
rusaha menyelamatkan diri, tak urung bahu ka-
nannya terkena sambaran ujung pedang Banja
yang berputar mengejutkan. Belum lagi rasa terkejutnya hilang, sebuah tendangan
keras membuat tubuh gendut itu terjungkal, jatuh berguling-
guling. "Bangsat..! Kubunuh kalian semua...!" teriak Harimau Bukit Munjul dengan
kemarahan yang menyesakkan dadanya.
Sepasang mata Juraga yang kemerahan itu
menatap tajam ke arah Pasukan Garuda Hitam
yang sudah membentuk barisan semula. Diam-
diam hati lelaki gendut itu sempat bergetar melihat keangkeran barisan 'Garuda
Hitam Memben- tang Sayap' yang dibentuk lawan-lawannya. Ha-
tinya masih ngeri membayangkan, betapa ia ham-
pir saja kehilangan nyawa akibat barisan itu.
Pasukan Garuda Hitam dalam bentuk
'Garuda Hitam Membentang Sayap' terlihat mulai
bergerak maju. Gerak langkah mereka terlihat te-
ratur rapi. Jelas, barisan itu memang sudah terlatih baik.
*** 8 Di arena lain, Pasukan Garuda Emas pun
sudah pula merobohkan banyak lawan. Pragola
yang juga membentuk barisan dalam posisi 'Paruh
Garuda', berhasil menguasai pertempuran. Se-
hingga, dalam waktu yang singkat kedua Pasukan
Garuda telah dapat mengendalikan lawan-
lawannya. "Mundur...!" lelaki tinggi kurus yang wajahnya dipenuhi bopeng, berteriak keras.
Setelah berteriak, ia sendiri telah melompat
mundur sejauh dua tombak. Di wajahnya tampak
seringai kesakitan. Dari gerak tangannya yang
mengurut-urut dada, jelas kalau lelaki bopeng itu telah mendapat luka. Kalau
melihat sinar matanya yang menatap Pragola, bisa ditebak, dia telah menerima
pukulan dari pemimpin Pasukan Garuda
Emas. Kawan-kawan si muka bopeng langsung
berlompatan mundur, meninggalkan kawan-
kawannya yang terluka ataupun tewas di tangan
Pasukan Garuda Emas. Belasan orang yang ter-
nyata masih berusia muda itu berkerumun di be-
lakang pemimpinnya. Siapa lag} lelaki tinggi kurus
berwajah bopeng itu kalau bukan Jerangkong Bu-
kit Karang! Rupanya tokoh ini bersekutu dengan
Harimau Bukit Munjul.
Pasukan Garuda Hitam dan Pasukan Ga-
ruda Emas yang telah membentuk posisi masing-
masing, terus bergerak maju mengurung lawan-
lawannya. Gerakan langkah kaki mereka yang ter-
lihat mantap dan ringan, membuat Harimau Bukit
Munjul dan kawan-kawan bergerak mundur den-
gan wajah tegang. Jelas, mereka merasa gentar
untuk menghadapi kedua barisan yang memang
sangat ampuh itu.
"Hm.... Jelas sudah semua persoalan ini
bagiku sekarang. Kalianlah yang telah membantai
Perguruan Tinju Selatan. Sayang, kelicikan kalian itu tidak sampai membuat kami
saling bunuh. Dan kini, kalian semua harus menerima balasan-
nya!" tegas Pragola setelah melihat bentuk tubuh dan raut wajah Harimau Bukit
Munjul. Kalau dilihat sepintas, jelas mereka me-
mang hampir mirip satu sama lain. Maka wajar
saja kalau kedua orang murid Perguruan Tinju Se-
latan salah memberi keterangan.
"Ya! Akulah yang telah menghabisi nyawa
tua bangka itu beserta murid muridnya. Sayang,
kedua orang bodoh itu tidak berhasil membuat ka-
lian saling bunuh. Jadi, nyawa mereka terpaksa
kuhabisi sekalian," sahut Harimau Bukit Munjul membeberkan persoalannya.
Dan memang, menurutnya tidak ada gu-
nanya lagi menyembunyikan perbuatan itu. Dan
keterusterangan nya itu dimaksudkan agar kema-
rahan lawannya terpancing. Siapa tahu saja den-
gan kemarahan itu, barisan lawan menjadi kacau.
Apa yang diharapkan Harimau Bukit Mun-
jul yang juga bernama Juraga, hampir menjadi
kenyataan. Banja dan Gandira yang mendengar
penuturan itu langsung saja bergerak maju den-
gan wajah penuh dendam. Kedua orang lelaki ga-
gah itu siap meninggalkan barisannya, untuk
membalas kematian guru dan saudara-saudara
seperguruan mereka.
"Banja, Gandira, mundur...!" Jaya Prana yang melihat kelakuan kedua orang
anggota pasukannya itu, cepat mencegah. "Kembali ke tempatmu, atau perjalanan
kita selama ini akan sia-sia!"
'Tapi, Kakang.... Aku..., aku harus memba-
las kematian guru dan saudara-saudara sepergu-
ruanku.... Iblis keji itu harus kucincang hancur tubuhnya...," ragu-ragu Banja
membantah perintah pimpinannya. Suaranya terdengar bergetar
dan tersendat-sendat
"Bodoh! Dia sengaja memancing amarah-
mu, agar kau meninggalkan barisan. Itu yang di-
inginkannya, Banja! Manusia itu sangat licik dan keji. Ia masih juga ingin
memancing kemarahanmu, setelah fitnah yang dilemparkan kepada Pra-
gola, tidak membuat kita saling bunuh. Jelas ma-
nusia ini sengaja mengadu domba. Aku rasa per-
buatannya ini pasti mempunyai hubungan yang
erat dengan hilangnya Tongkat Pualam Putih!" se-ru Jaya Prana tak sabar melihat
keraguan di wa-
jah Banja dan Gandira.
Harimau Bukit Munjul maupun Jerang-
kong Bukit Karang tidak ingin menyia-nyiakan ke-
sempatan baik itu. Sebab, kalau Banja dan Gandi-
ra sudah kembali memasuki barisan, akan sulit
bagi mereka untuk dapat menyelamatkan diri dari
keganasan Pasukan Garuda itu.
"Serbu...!"
Dibarengi teriakan keras dari Harimau Bu-
kit Munjul dan Jerangkong Bukit Karang, maka
puluhan pemuda di bawah pimpinannya meluruk
maju. Suara-suara teriakan mereka yang gegap-
gempita, terdengar riuh-rendah mengejutkan
penghuni hutan.
Untunglah saat itu Banja maupun Gandira
sadar akan perbuatan bodoh mereka. Maka cepat
keduanya melompat dan memasuki barisan. Begi-
tu barisan telah terbentuk seperti semula, kedua barisan itu bergerak maju
menyambut serangan
lawan-lawan. Hebatnya, meskipun menghadapi
pertempuran kacau, Pasukan Garuda tetap tersu-
sun rapi. Sehingga, lawan-lawannya hanya bisa
bermain mundur. Sebab apabila nekat maju, su-
dah pasti nyawa mereka akan melayang mening-
galkan raga. Selagi kedua Pasukan Garuda itu mende-
sak lawan, tiba-tiba bertiup angin yang amat kuat Dan belum juga ada yang
menyadari, dua sosok
tubuh berpakaian merah dan hitam telah melesat
mengiringi tiupan angin kuat itu.
"Ha ha ha...! Sungguh hebat! Pasukan Ga-
ruda ternyata memang bukan nama kosong!" seru suara menggelegar yang berasal
dari sosok berpakaian merah. Sambil berseru demikian, kedua
tangannya mengibas ke kiri kanan.
Wusss! Wusss! Hebat sekali akibat kibasan tangan yang
kelihatannya perlahan itu! Barisan Garuda Emas
yang dipimpin Pragola seketika terpukul mundur
dan berjatuhan bagai dihempas badai!
Pasukan Garuda Hitam yang dipimpin Jaya
Prana pun mengalami nasib serupa. Barisan
'Garuda Hitam Membentang Sayap'nya, kontan
kocar-kacir akibat amukan sosok berpakaian hi-
tam yang mengobat-abitkan lengan bagaikan
orang mengusir lalat.
Namun sebagai prajurit-prajurit yang terla-
tih baik, para anggota kedua Pasukan Garuda itu bergegas bangkit meskipun agak
terhuyung. Sayang, sebelum mereka sempat membentuk bari-
san lagi, kedua orang aneh itu langsung mener-
jang maju. Jelas, orang berpakaian hitam dan me-
rah itu tidak ingin memberi kesempatan kepada
kedua Pasukan Garuda untuk menyusun kekua-
tan. "Mundur...!"
Pragola yang menyadari datangnya bahaya,
cepat berteriak memperingatkan anggota pasu-
kannya. Sedangkan ia sendiri yang merasa ber-
tanggung jawab penuh atas keselamatan setiap
anggotanya, sudah melompat maju dengan kiba-
san senjatanya.
Orang berjubah merah yang mengacau-
balaukan pasukan Pragola, hanya mendengus me-
lihat serangan laki-Laki brewok itu. Tanpa mem-
pedulikan sambaran pedang yang mengancam
punggung, dia terus saja melanjutkan pukulan ke
arah dua orang anggota Pasukan Garuda Emas.
Bukkk! Desss! "Aaa...!"
Terdengar jeritan ngeri ketika pukulan
yang dilancarkan lelaki berjubah merah itu tepat menghantam dada korbannya.
Disertai semburan
darah segar yang memercik membasahi bumi, tu-
buh kedua orang malang itu terpental dan melam-
bung tinggi bagai dilempar sebuah kekuatan rak-
sasa. Setelah menyelesaikan serangannya, sosok
berjubah merah itu bam menggeser kakinya ke
samping. Langsung dilepaskannya sebuah puku-
lan dengan telapak tangan terbuka ke dada Prago-
la. Bukkk! "Hugkh...!"
Pragola terbatuk keras ketika telapak tan-
gan lawan yang bagaikan palu godam itu telak
menghajar dadanya. Bagai dihentakkan tangan
raksasa, tubuh lelaki tinggi besar itu tersentak deras ke belakang.
"Hup...!"
Tubuh Pragola yang meluncur deras itu ti-
dak sampai jatuh ke atas tanah. Tiba-tiba sepa-
sang lengan halus sosok ramping berpakaian ser-
ba hijau telah melesat dan menangkapnya di uda-
ra. "Kenanga...!" desah Pragola bersyukur melihat kedatangan wanita jelita yang
digdaya itu. "Maafkan aku, Paman. Aku datang terlam-
bat..." ucap Kenanga setelah merebahkan tubuh Pragola di atas rerumputan tebal.
'Tidak apa. Mana Pendekar Naga Putih...?"
tanya Pragola begitu tidak melihat Panji dekat gadis jelita itu.
'Tenanglah, Paman. Kakang Panji telah be-
rada di antara kita. Sekarang, ia tengah bertarung melawan lelaki tua berpakaian
hitam. Orang itu
dipanggil Paman Jaya Prana dengan nama Ki
Sempana. Apakah Paman juga mengenalnya?"
tanya Kenanga sambil menyerahkan sebutir obat
luka yang diambil dari dalam buntalan pakaian-


Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya. "Ki Sempana...!" Ah, pantas saja Tongkat Pusaka Keramat itu dapat dicuri.
Tak tahunya, dia ikut membantunya. Untunglah kalian berdua bersedia membantu
kami Kalau tidak, mungkin
hanya nama kami sajalah yang akan kembali ke
istana," kata Pragola, setelah menelan pil yang di-
berikan kepadanya.
"Hm.... Aku pun sudah mendengar hal itu
dari Paman berdua ketika merencanakan siasat ini di Perguruan Tinju Selatan.
Sayang, rencana kita tidak semulus apa yang dibayangkan. Sehingga,
beberapa orang anggota pasukan Paman dan Pa-
man Jaya Prana harus menjadi korban. Sebaiknya
Paman beristirahat saja dulu. Biar aku yang
menghadapi orang berbaju merah itu," ujar Kenanga yang segera bangkit
meninggalkan Pragola.
Setelah menoleh kepala ke arah pertarun-
gan yang tengah berlangsung antara Panji dan Ki
Sempana, Pragola memejamkan matanya untuk
memulihkan tenaga dan mengobati luka dalam-
nya. Sikapnya bersemadi, untuk menghimpun ha-
wa murni. Saat itu, pertarungan antara Panji mela-
wan Ki Sempana tengah berlangsung sengit Jaya
Prana dan sisa anggota pasukannya terpaksa
menjauhi arena pertarungan. Dan memang, angin
pukulan yang ditimbulkan kedua orang tokoh sak-
ti itu dapat menewaskan mereka. Sehingga, perta-
rungan itu terpaksa disaksikan dari tempat yang
agak jauh. Pertempuran yang sudah melewati seratus
jurus itu nampak semakin seru dan menegangkan.
Sadar kalau lawan tidak mungkin dapat ditun-
dukkan begitu saja, maka Panji pun mulai menge-
rahkan ilmu simpanannya.
"Haiiit..!"
Sebuah pukulan yang meluncur ke arah
dadanya, berhasil dihindari Pendekar Naga Putih
dengan jalan melempar tubuh jauh ke belakang.
Begitu kakinya menjejak tanah, pemuda tampan
itu langsung menggeser kakinya membentuk ku-
da-kuda bagai menunggang kuda.
"Hmh...!"
Disertai geraman yang mengguncangkan isi
dada, kedua tangan pendekar muda itu bergerak
naik dalam bentuk cakar naga. Kemudian, kedua
tangan itu mengembang di depan dada.
Ki Sempana yang melihat betapa lawannya
mulai mengeluarkan jurus-jurus andalan, segera
menarik keluar sebatang suling berwarna putih
dari selipan pinggangnya.
Swingngng! Terdengar lengkingan tinggi rendah ketika
suling di tangan kakek berusia tujuh puluh tahun itu bergerak cepat turun naik.
"Yeaaat..!"
Dibarengi teriakan dahsyat, tubuh Panji
meluruk ke arah lawannya. Sepasang tangannya
berputaran cepat saat melancarkan serangan ber-
tubi-tubi. Wuttt! Wuttt! Sambaran hawa dingin yang membuat be-
ku tubuh lawan, menyertai sambaran tangan Pen-
dekar Naga Putih. Dalam beberapa jurus saja, Ki
Sempana dibuat terkejut Karena tubuhnya terasa
bagai dikelilingi dinding-dinding salju yang amat dingin. Tentu saja keadaan itu
membuat gerakannya terhalang dan tidak bisa bergerak cepat.
"Heaaa...!"
Sadar kalau dibiarkan terlalu lama bisa
membahayakan, Ki Sempana berteriak menggun-
tur untuk mengusir hawa dingin yang mempenga-
ruhi gerakannya. Sepasang tangannya mengibas
ke kiri kanan dengan pengerahan tenaga sepe-
nuhnya. Gerakan itu dilakukan dalam sikap tu-
buh miring. Maksudnya, sekaligus untuk meng-
hindari hantaman tangan kanan lawan.
Bettt! Cakaran Pendekar Naga Putih yang lewat
sejengkal di depan tubuhnya, langsung disambut
sebuah hantaman suling di tangan kanannya.
Wuttt! Dengan menggunakan jurus 'Naga Sakti
Memutar Ekor', tubuh pemuda berjubah putih itu
meliuk rendah menghindari sambaran suling yang
memperdengarkan suara mencicit tajam. Dan se-
belum Ki Sempana sempat menarik pulang tan-
gannya, tahu-tahu saja tubuh Panji berputar dis-
ertai sebuah tendangan kilat yang meluncur men-
gancam batang leher.
Desss! "Akh...!"
Tubuh kakek itu melintir meskipun ten-
dangan Panji berhasil dielakkan, dan hanya
menghantam bahu kirinya. Kesempatan baik itu
tidak disia-siakan begitu saja oleh Pendekar Naga Putih. Saat itu juga, tubuh
Panji langsung melesat disertai dorongan sepasang telapak tangannya.
Wusss.... Desss!
"Waaa...!"
Terdengar jeritan kesakitan ketika sepa-
sang telapak tangan yang mengandung 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan' menggedor dada Ki Sempa-
na. Tubuh lelaki tua itu tersentak ke belakang
dengan amat kuatnya.
Brukkk! "Ougkh...!"
Ki Sempana mengerang kesakitan. Tubuh
tuanya yang terbanting keras di atas tanah, tam-
pak berkelojotan dengan kedua tangan menekap
dada. Dari mulutnya, mengalir darah segar yang
menggenang membasahi tanah di bawah kepala.
"Ikat orang tua itu...!" Jaya Prana cepat memerintah kepada para anggota
pasukannya un- tuk segera menangkap Ki Sempana.
Laki-laki berkumis tebal itu sendiri tidak
tinggal diam. Tubuh tegapnya berkelebat meng-
hambur ke arah Ki Sempana yang terbaring lemah
akibat luka dalam yang dideritanya.
Panji yang merasa lelah setelah melakukan
pertempuran hampir dua ratus jurus melawan Ki
Sempana, menolehkan kepala ke arah pertarun-
gan lain. Tubuhnya segera melesat ketika melihat Kenanga tengah terdesak hebat
melawan seorang
laki-laki tinggi gagah yang mengenakan pakaian
serba merah. "Haittt..!"
Begitu tiba, Panji langsung mengirimkan
pukulan telapak tangannya untuk memapak tu-
sukan jari tangan orang itu yang tengah mengan-
cam kekasihnya.
Plakkk! "Ugkh...!"
Ledakan keras yang timbul akibat perte-
muan dua gelombang tenaga sakti yang dahsyat
membuat tubuh Panji maupun orang berjubah
merah itu terpental ke belakang. Tapi, baik Panji maupun lawannya dapat
mematahkan daya luncur itu dengan bersalto di udara beberapa kali.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Pan-
ji langsung menyedot napas dalam-dalam. Kemu-
dian, dia menghembuskannya disertai dorongan
kedua telapak tangannya ke depan. Gerakan itu
dilakukan untuk menghilangkan pengaruh perte-
muan tenaga yang sempat menggetarkan bagian
dalam dadanya. Selesai berbuat demikian, Pendekar Naga
Putih berdiri tegak menatap tajam lawannya.
Sempat terlihat orang berjubah merah itu juga melakukan hal yang sama dengannya.
Jelas, orang berjubah merah itu merasakan juga akibat tangki-
san Panji tadi.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Naga Pu-
tih, Kisanak?" tanya orang berjubah merah itu memastikan.
Sambil berkata demikian, sorot matanya
yang mencorong tajam meneliti sekujur tubuh
Panji. Sepertinya, orang itu tengah menilai Pendekar Naga Putih yang telah
mengguncangkan dunia
persilatan itu.
'Tidak salah. Dan kalau boleh kutahu, sia-
pakah kau sebenarnya, Kisanak" Mengapa kau
sembunyikan wajahmu di balik kain merah itu"
Apakah kau merasa malu karena wajahmu bu-
ruk?" Panji malah balik bertanya. Sengaja dilon-tarkannya kata-kata bernada
mengejek untuk memancing lawannya agar membuka rahasia di-
rinya. "Hm.... Siapa adanya aku, itu bukan uru-sanmu! Yang perlu diketahui
adalah, aku tidak
menyukai orang yang sok pahlawan! Apa tujuan-
mu mencampuri urusan orang lain?" dengus orang berjubah merah itu tajam. Tatapan
matanya pun berubah penuh kebencian kepada pemuda tampan
di hadapannya. "Kakang, untuk apa banyak bertanya lagi"
Tangkap saja orang itu, dan serahkan kepada Pa-
man Pragola dan Paman Jaya Prana," tegur Kenanga yang merasa tidak sabar melihat
kekasih- nya malah berbincang dengan orang berjubah me-
rah yang jelas-jelas seorang tokoh sesat
Orang berjubah merah itu melirik sejenak
ke tempat Ki Sempana yang tengah terduduk le-
mah dengan tangan dan kaki terikat Sepertinya,
dia menyadari kalau keadaannya tidak mengun-
tungkan. Maka, ia pun segera melangkah mundur
perlahan-lahan.
"Hm.... Kalian akan menyesal kalau telah
mencampuri urusan ini!" ancam orang itu.
Dia terus melangkah mundur, walaupun
matanya masih menatap tajam Pendekar Naga Pu-
tih. Sepertinya perhatian Panji dan Kenanga sen-
gaja hendak dialihkan lewat ucapan-ucapannya.
Pada saat tubuhnya telah terpisah jauh da-
ri Panji, tiba-tiba orang berjubah merah itu berbalik dan melesat pergi disertai
perintahnya kepada Harimau Bukit Munjul dan kawan-kawannya.
"Tinggalkan tempat ini...!" seru orang berjubah merah itu sambil melarikan diri.
Harimau Bukit Munjul dan yang lainnya
pun sadar akan keadaan mereka. Maka tanpa di-
perintah dua kali, ia dan kawan-kawannya pun
segera berlari meninggalkan tempat itu.
"Hei, jangan lari...!" teriak Panji yang segera melesat mengerahkan ilmu lari
cepatnya untuk mengejar orang berjubah merah itu.
"Tangkap mereka...!" Pragola yang sudah sembuh dari lukanya, berseru memerintah
pasukannya untuk segera mengejar Harimau Bukit
Munjul dan kawan-kawannya.
"Cegah mereka...!" Jaya Prana pun tidak tinggal dam. Ia dan anggota pasukannya
bergegas ikut mengejar. Karena untuk menyelamatkan diri sudah
tidak mungkin, maka Harimau Bukit Munjul dan
Jerangkong Bukit Karang, memerintahkan kawan-
kawannya untuk melakukan perlawanan.
Tanpa dapat di cegah lagi, pertempuran
pun kembali berkecamuk. Denting senjata dan je-
rit kematian mewarnai pertempuran sengit itu.
Darah segar pun kembali mengalir membasahi re-
rumputan hijau.
Di tempat lain, Panji tengah mengejar
orang berjubah merah yang merupakan pimpinan
gerombolan pengacau itu. Pendekar Naga Putih
mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya untuk
dapat menyusul lawan. Diam-diam hati pendekar
muda itu merasa penasaran ketika mendapat ke-
nyataan kalau ilmu kepandaian lari lawan, ternya-ta tidak kalah dengan ilmu lari
yang dimilikinya.
Setelah agak lama kejar-kejaran yang mele-
lahkan itu berlangsung, Panji mulai dapat mem-
perpendek jarak di antara mereka. Hingga akhir-
nya, dapat menyusul orang berjubah merah itu ke-
tika mereka melintasi padang rumput yang cukup
luas. "Haiiit..!"
Dibarengi bentakan nyaring, tubuh Pende-
kar Naga Putih melambung melewati kepala lawan.
Kemudian, kakinya mendarat ringan sejauh satu
setengah tombak di hadapan lawan.
"Jangan harap dapat meloloskan diri dari
tanganku, Kisanak!" tegas Panji yang segera membalikkan tubuhnya menghadapi
orang berjubah merah itu. "Bedebah! Rupanya kau memang benar-
benar ingin mati, Pendekar Naga Putih! Sambutlah seranganku...!" bentak orang
berjubah merah itu dengan penuh kemarahan.
Berbarengan dengan suara bentakan, tu-
buhnya pun meluncur ke arah Pendekar Naga Pu-
tih dengan serangan ganas dan berbahaya.
Bettt! Bettt! Dua kali pukulan lawan dihindari Panji
dengan menarik mundur tubuhnya ke belakang.
Pemuda itu terlihat agak hati-hati ketika mendengar suara mencicit tajam yang
ditimbulkan samba-
ran pukulan lawan Sebab, orang yang sudah me-
miliki sambaran pukulan seperti itu sudah pasti
memiliki tenaga dalam tinggi dan berbahaya.
Panji masih saja mengelak ketika orang
berjubah merah itu melontarkan tendangan kilat
menuju lambungnya. Cepat pemuda itu menarik


Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mundur kaki kanannya dengan sikap tubuh
doyong ke belakang. Maka sambaran tendangan
lawan hanya lewat beberapa jengkal di atas kepa-
lanya. Belum lagi orang itu sempat menarik pu-
lang tendangannya, tiba-tiba saja tubuh Panji sudah berputar cepat disertai
tendangan berputar
yang mengancam dada orang itu.
Wuttt! Plakkk! Panji terhuyung ke belakang ketika orang
itu mengangkat tangan untuk menangkis seran-
gan kakinya. Hal itu bukan karena tenaga lawan
lebih kuat, tapi karena pada saat menendang, si-
kap kuda-kudanya lebih lemah dari lawan.
Pertarungan sengit pun kembali berlanjut
Kedua orang tokoh yang ternyata sama-sama me-
miliki kepandaian tinggi saling serang dan saling mendesak hebat Beberapa batang
pohon langsung tumbang akibat sambaran pukulan mereka yang
nyasar. Pertempuran yang terus bergeser itu mem-
buat daerah di sekitarnya porak-poranda bagaikan diamuk badai. Batu-batu besar
dan kecil beter-bangan akibat sambaran kaki mereka yang men-
gandung kekuatan hebat.
"Haaat..!"
Memasuki jurus yang kesembilan puluh
enam, tiba-tiba orang berjubah merah itu berseru keras disertai dorongan
sepasang telapak tangan
ke arah tubuh Panji.
Wusss! Darrr! Semak perdu yang berada dua tombak di
belakang pemuda itu langsung berhamburan aki-
bat hantaman pukulan orang berjubah merah. Un-
tunglah, Panji masih sempat menyelamatkan di-
rinya. Kalau tidak, tubuhnya akan luluh lantak
akibat pukulan yang mengandung kekuatan rak-
sasa itu. Buktinya, tanah tempat Pendekar Naga
Putih berpijak tadi langsung berlubang dalam.
Ketika angin pukulan yang amat kuat itu
lewat beberapa jengkal di samping tubuhnya, Pen-
dekar Naga Putih pun langsung melompat disertai
pukulan telapak tangan yang menimbulkan sam-
baran angin dingin.
Wuttt! Wuttt! Angin dingin seketika bertiup, bagai hen-
dak merobohkan pepohonan di hutan itu. Setelah
berputar, telapak tangan Pendekar Naga Putih
langsung melontarkan pukulan jarak jauh.
Wusss! Merasakan sambaran angin dingin yang
amat kuat mengancam dirinya, lelaki bertubuh
sedang yang mengenakan jubah merah itu berge-
gas menyedot udara sebanyak-banyaknya. Kemu-
dian, dengan pengerahan seluruh tenaga saktinya, orang berjubah merah itu
mendorongkan telapak
tangan ke depan menyambut serangan Pendekar
Naga Putih. Dan....
Wusss! Blarrr! Bumi di sekitar tepi hutan itu bagaikan di-
guncang gempa yang amat hebat Dua gelombang
tenaga sakti yang maha dahsyat itu saling ber-
tumbukan di udara, sehingga menimbulkan leda-
kan yang menulikan telinga.
Akibat yang dialami kedua orang itu pun
tidak kalah hebatnya. Tubuh keduanya terlempar,
bagaikan sehelai daun kering yang tertiup angin.
Tubuh Panji maupun orang berjubah merah itu
terlempar menabrak sebatang pohon besar hingga
daun-daunnya berguguran bagai dilanda seekor
gajah. Kemudian tubuh mereka melorot jatuh ba-
gaikan sehelai karung basah.
"Kau.... Kau hebat, Pendekar Naga Putih...!"
puji orang berjubah merah itu tulus.
Kemudian tangan orang berjubah merah
itu bergerak melepas kain yang menutupi sebagian wajahnya. Nampaklah wajah
seorang laki-Laki gagah berusia sekitar tiga puluh tahun. Dihapusnya lelehan
darah yang membasahi seta bibirnya.
"Kau pun hebat Kisanak," ujar Panji me-muji lawannya sungguh-sungguh.
Memang, jarang sekali Pendekar Naga Pu-
tih mendapat lawan yang benar-benar tangguh se-
perti sekarang ini. Panji jadi menyayangkan, mengapa orang yang memiliki
kepandaian setinggi itu harus melakukan kejahatan. Alangkah baiknya
kalau kepandaiannya digunakan untuk kebaikan.
Kedua laki-Laki yang terbaring lemah itu sama-
sama memalingkan wajah ketika mendengar suara
banyak langkah yang mendekati tempat itu.
Rupanya Jaya Prana dan Pragola yang
membawahi Pasukan Garuda juga telah berhasil
meringkus Harimau Bukit Munjul, Jerangkong
Bukit Karang dan kawan-kawannya. Dan sambil
membawa tawanan, mereka menghampiri Pende-
kar Naga Putih dan orang berjubah merah itu.
"Tidak usah kalian takut! Aku sudah tidak
mempunyai daya lagi untuk melakukan perlawa-
nan," ujar orang berjubah merah itu lemah.
"Kau.... Bukankah kau Pendekar Karang
Jatra yang merupakan pengawal pribadi Gusti
Pangeran Dwipa Sura?" tanya Pragola hampir tak
mempercayai pandangannya.
Rupanya baik Pragola maupun Jaya Prana
bukan terdiam karena takut, melainkan tengah
menegasi wajah lelaki gagah berjubah merah itu.
"Benar! Dan aku pulalah yang telah men-
curi Tongkat Pualam Putih atas perintah junjun-
ganku yang ingin menguasai Kerajaan Cadas Pu-
tih. Dan Tongkat Pualam Putih menurutnya dapat
membuat keinginannya cepat terlaksana. Semua
ini kukatakan bukan karena mengharap keringa-
nan hukuman. Sama sekali tidak. Tapi, aku be-
nar-benar sadar akan kesalahanku selama ini.
Dan itu semua kusadari setelah bertemu Pendekar
Naga Putih," sahut Pendekar Karang Jatra yang kemudian menolehkan kepala ke arah
Panji. "Aku iri kepadamu, Pendekar Naga Putih."
Panji yang luka dalamnya sudah tidak be-
gitu terasa setelah menelan obat yang diberi Ke-
nanga, bergegas bangkit dan tersenyum kepada
Pendekar Karang Jatra. Senyum Pendekar Naga
Putih bukan karena rasa bangga atas sanjungan
itu, melainkan karena mendengar kesadaran to-
koh itu akan kesesatannya selama ini.
Pragola dan Jaya Prana melangkah ke arah
Panji setelah mengikat tubuh Pendekar Karang Ja-
tra terlebih dahulu.
"Kami berdua mengucapkan terima kasih
atas bantuanmu yang sangat besar ini, Panji. Siasat yang kau atur, ternyata
berjalan lancar. Mere-ka benar-benar muncul setelah kau menghilang
dalam pengejaran. Bahkan bukan hanya begun-
dalnya saja. Para tokohnya pun dapat pula seka-
lian terjaring," jelas Pragola, sambil tersenyum dan mengangguk hormat pada
Panji dan Kenanga.
"Kami akan membawa para tawanan ini ke
Istana Cadas Putih. Mengenai Tongkat Pualam Pu-
tih, akan kami urus kelak bersama para pembesar
kerajaan lain Apakah kau bersedia ikut bersama
kami untuk menghadap Gusti Prabu Aria Winata"
Aku yakin, beliau pasti akan senang menerima
kedatanganmu. Dan selain itu, kau pun patut
mendapat imbalan sebagai tanda terima kasih
sang Prabu. Bagaimana, Panji?" kata Jaya Prana menawarkan.
"Terima kasih, Paman. Sayang, kami tidak
bisa meluluskan permintaan itu. Dan karena per-
soalan ini sudah selesai, maka kami berdua mo-
hon pamit".
Usai berkata demikian, Panji menggenggam
jemari kekasihnya dan mengajaknya meninggal-
kan tempat itu.
Pragola dan Jaya Prana hanya dapat mena-
rik napas melihat kepergian pasangan pendekar
muda itu. Baru setelah bayangan kedua orang
yang menimbulkan rasa kagum di hati mereka le-
nyap, keduanya pun meninggalkan tempat itu
sambil membawa para tawanan.
Angin pagi bertiup lembut mengiringi lang-
kah kaki Pasukan Garuda Hitam dan Pasukan Ga-
ruda Emas yang berhasil menunaikan tugasnya
dengan gemilang. Perlahan kemudian, sinar mata-
hari pun mulai menyeluruh menghangatkan per-
mukaan bumi. Pagi tampak cerah, diwarnai cericit burung di atas dahan-dahan
pepohonan SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Culan Ode
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Satria Gunung Kidul 2 Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 8
^