Pencarian

Iblis Angkara Murka 1

Pendekar Naga Putih 80 Iblis Angkara Murka Bagian 1


IBLIS ANGKARA MURKA Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Iblis Angkara Murka
128 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 Di bawah sinar matahari yang terik tampak dua sosok tubuh melangkah melintasi
jalanan lebar. Jalan
tanah itu biasa digunakan orang untuk menuju Desa
Palang. Tidak seperti biasanya, suasana tampak lengang dan sunyi. Namun dua
sosok tubuh itu kelihatannya tak menghiraukan keadaan. Mereka terus melangkah ke
barat dengan tenang, bahkan sambil berbincang-bincang.
"Aneh...," tiba-tiba salah seorang dari mereka bergumam seraya mengedarkan
pandangan ke persawahan yang terbentang luas di kiri dan kanan jalan.
Mendengar ucapan kawannya lelaki berusia kurang
lebih dua puluh tahun dan berwajah tampan yang berada di sampingnya menyempatkan
diri menoleh. Sepasang matanya sempat mengawasi sekitar persawahan yang terlihat
sunyi. Tak tampak seorang petani
pun bekerja di sana. Padahal biasanya siang seperti itu
masih ada satu-dua orang petani berada di sawah.
'Kesunyian inikah yang kau anggap aneh, Kenanga...?" tanya pemuda tampan
berjubah putih, yang
tentu saja dapat kita kenali dengan baik. Sebab siapa
lagi yang melakukan perjalanan bersama Kenanga kalau bukan Panji atau yang di
kalangan persilatan dikenal sebagai Pendekar Naga Putih.
Kenanga, dara jelita laksana bidadari itu tak menjawab dengan kata-kata. Dirinya
hanya mengangguk
tipis, kemudian mengedarkan pandangannya, melihat
persawahan yang terbentang luas. Namun, sejauh mata memandang, tetap tak seorang
manusia pun dilihatnya, keadaan itu membuat keningnya berkerut.
"Hm..., kalau melihat tanaman padi yang baru saja
dituai, kukira saat ini para petani tengah berpestapora. Mungkin panen musim ini
berhasil baik. Sehingga mereka enggan turun ke sawah dalam beberapa hari setelah
panen. Kurasa hal ini bukanlah sesuatu
yang aneh...," tukas Panji membuat kerutan di kening
kekasihnya lenyap. Sebab, apa yang dikatakan Panji
ada benarnya. Kenanga mengangguk beberapa kali sambil terus
melangkah mengikuti kekasihnya menuju Desa Palang.
Tak lama kemudian mereka tiba di perbatasan desa.
Itu diketahui dari adanya gapura tapal batas desa.
"Kita langsung saja ke balai desa. Biasanya di sanalah pesta diadakan...," usul
Panji setelah melihat suasana desa yang sepi bagaikan desa mati. Tak seorang
pun terlihat di sepanjang jalan.
"Kurasa kali ini dugaanmu keliru, Kakang...," tukas
Kenanga yang memperhatikan lebih teliti beberapa
rumah di dekat mulut desa itu, "Coba perhatikan rumah-rumah itu...!" lanjutnya
memberi isyarat dengan
menunjuk rumah-rumah di dekat mulut desa.
Panji tentu saja tak meremehkan ucapan kekasihnya. Pandang matanya memperhatikan
beberapa rumah terdekat Keningnya berkerut ketika melihat
rumah-rumah itu dalam keadaan rusak berat. Bahkan
dua di antaranya hangus terbakar. Tahulah Panji kalau dugaannya kali ini memang
keliru besar. "Mungkin benar, bahwa penduduk desa ini baru selesai menuai hasil sawah mereka.
Tapi melihat keadaan rumah-rumah itu, kukira di desa ini baru saja
terjadi tindak kejahatan...," ujar Kenanga ketika melihat Panji terdiam menatapi
dua rumah yang tinggal
puing-puing itu.
Pendekar Naga Putih itu pun setuju dengan pendapat dugaan Kenanga. Langsung saja
tubuhnya melesat
ke depan, setelah berpesan agar Kenanga meneliti sekitar itu. Sementara dirinya
hendak memeriksa lebih
jauh. Dan berniat untuk mencari rumah kepala desa.
Pemuda tampan berjubah putih itu terus menelusuri jalan utama desa sambil
melihat-lihat keadaan. Bukan main kaget dan marahnya hati Panji ketika masuk
lebih jauh, makin banyak terlihat rumah penduduk
yang rusak berat dan hangus terbakar. Bahkan di sana-sini dijumpai belasan sosok
mayat, bergeletakan di
sepanjang jalan. Baru terasa bau anyir darah menusuk
hidung. Jelas sudah kalau Desa Palang baru saja ditimpa malapetaka mengerikan!
"Iblis keji...!" geram Panji tanpa menghentikan langkahnya hingga sampai di
depan sebuah rumah besar,
yang dikelilingi pagar tembok tebal.
Di tempat ini pun Panji kembali dilanda kegeraman.
Karena di pekarangan rumah terlihat adanya mayat
para keamanan desa bergelimpangan dengan darah
yang mulai mengering. Melihat keadaan para mayat
Panji menduga kalau kejadiannya belum lama. Kemungkinan baru malam tadi bencana
itu terjadi. Semula Panji hendak memeriksa keadaan di dalam
rumah kepala desa itu. Namun langkahnya tertunda
ketika mendengar ada suara tindakan halus dari sebelah dalam. Dengan cepat
tubuhnya melompat ke atas
pohon besar di sebelah kiri pekarangan rumah besar
itu. Kemudian bersembunyi di rimbunan daun pohon.
Tidak lama kemudian, muncullah dua sosok tubuh
dari dalam rumah. Panji yang bersembunyi di atas pohon mengerutkan keningnya.
Karena dari cara dua sosok tubuh itu melangkah, dapat diketahui kalau mereka
bukanlah orang sembarangan. Langkah yang ringan
dan mantap itu menunjukkan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Bahkan sinar mata
keduanya mem- perlihatkan tenaga dalam yang terhimpun dalam tubuh mereka. Hal itu membuat
Panji bersikap hati-hati.
Dirinya yakin, pendengaran kedua orang itu tentu
sangat tajam. Mungkin bisa mendengar dengus napasnya. Pikiran itu membuat Panji
berusaha mengatur jalan nafasnya sehalus mungkin. Agar tidak sampai terdengar
mereka. "Setan Penasaran, rupanya manusia sombong itu
kembali menunjukkan ulahnya. Mungkin ia ingin menunjukkan kepada kita kalau
kekuasaannya telah semakin besar...," terdengar salah satu dari kedua sosok
yang bertubuh kecil kurus dengan wajah rusak bekas
penyakit cacar, berkata dengan nada meleng-king.
"Hm.... Meskipun begitu, tapi aku tetap tidak gentar
dan belum berniat untuk menjadi pengikutnya!" sosok
tinggal kulit terbalut tulang yang berjuluk Setan Penasaran menukas dengan nada
tinggi, "Setan Penasaran
tak mudah untuk ditundukkan...," lanjutnya menepuk
dadanya yang kerempeng. Matanya yang cekung ke dalam tampak menyorot tajam,
menandakan kegeraman
hatinya. "Jadi kau sudah pernah didatangi manusia
sombong itu?" Tanya sosok kecil kurus berwajah bopeng, menatap kawannya dengan
kepala menengadah.
"Belum. Manusia sombong itu cuma meninggalkan
sepucuk surat di tempat kediamanku. Meskipun perbuatan itu cukup membuktikan
kelihaiannya, tapi
aku, Setan Penasaran tetap tak sudi tunduk di bawah
kekuasaannya!" ujar Setan Penasaran dengan suara
mantap, menunjukkan kekerasan hatinya.
"Hhh.... Sayang saat ia datang mengirimkan surat
aku sedang tak ada di tempat. Jadi aku belum bisa
menebak sampai di mana kepandaian si sombong itu!
Kalau saja aku sempat bertemu muka secara langsung, akan kutunjukkan bahwa
Malaikat Kerdil pun
tak bisa dibuat main-main!"
Lelaki berwajah bopeng itu berkata geram. Kendati
wajah dan tubuhnya menunjukkan bahwa dirinya
orang lemah, namun julukan yang disandangnya benar-benar membuat Panji terkejut.
Sebab, kedua orang
tokoh itu merupakan gembong-gembong golongan hitam, yang memiliki kesaktian
setingkat dengan seorang
datuk. "Gila..."! Bagaimana kedua orang tokoh sesat itu
sampai bisa berada di tempat ini..."! Bisa celaka kalau
aku sampai diketahui mereka...!" desis Panji yang segera menahan napas saat dua
sosok tubuh itu melanjutkan langkahnya, di antara mayat-mayat yang bergeletakan
menghalang jalan.
Hati Panji berdebar ketika Setan Penasaran dan Malaikat Kerdil tiba-tiba
menghentikan langkah tepat di
bawah pohon tempatnya bersembunyi. Tentu saja hal
itu membuat pemuda berjubah putih itu sempat dilanda ketegangan. Apalagi karena
dia harus menahan napas selama kedua tokoh itu belum juga beranjak dari
tempat itu. Sebenarnya Panji tak akan sampai diketahui dua
orang tokoh sesat itu kalau saja tak ada Kenanga yang
tahu-tahu muncul dan memasuki halaman rumah besar itu. Tentu saja Panji kaget
bukan main. Terlebih
ketika Setan Penasaran dan Malaikat Kerdil sama menoleh. Dan terlihat seringai
mereka yang menyeramkan. Keadaan itu membuat Panji mencemaskan keselamatan
kekasihnya. "Heh heh heh.... Setan Penasaran! Kau lihat siapa
yang datang ke tempat ini! Seorang bidadari cantik
yang baru saja turun dari kahyangan. Rupanya sang
Bidadari hendak memberi pertolongan kepada penduduk Desa Palang yang baru saja
dilanda bencana...!"
terdengar Malaikat Kerdil berkata dengan nada tinggi
melengking. Dan seketika itu juga sosoknya langsung
bergerak menghampiri Kenanga.
Hebat bukan main cara Malaikat Kerdil menghampiri Kenanga. Kendati terlihat
hanya melangkah perlahan, tubuhnya meluncur bagaikan anak panah yang
lepas dari busur. Dari sini saja dapat dilihat betapa
hebat ilmu meringankan tubuh tokoh kerdil itu.
"Kau tentunya datang untuk menemuiku, Manis.
Nah, marilah kau ikut bersamaku...!"
Begitu ucapan itu terdengar, tahu-tahu jari-jari tangan Malaikat Kerdil sudah
menjulur ke depan hendak
mengelus bagian dada Kenanga. Tentu saja perbuatan
tak sopan dan sangat kurang ajar itu membuat Kenanga marah. Cepat tubuhnya
bergerak menghindar, kemudian membalas dengan sebuah tendangan lurus
mengancam iga Malaikat Kerdil.
Bwettt! "Haiiits...! Ternyata kau pun memiliki kepandaian
yang lumayan, Bidadari ku...!" ejek Malaikat Kerdil
sambil memiringkan tubuh dengan menggeser kaki
kanan ke belakang. Sehingga, tendangan Kenanga luput dari sasaran. Bahkan dengan
gerakan yang cepat
bukan main, tokoh sesat bertubuh kate itu merendahkan tubuh sambil mengirimkan
sapuan kakinya yang sekaligus dibarengi dorongan kedua tangan ke
dada Kenanga. "Hih...!"
Karena kaget dan ngerinya, Kenanga menjerit tertahan. Keadaannya saat itu benar-
benar dalam ancaman
bahaya. Sebab, kalau ia menghindari sapuan lawan
terhadap kaki kiri yang menjadi tumpuan beban tubuhnya, maka dorongan sepasang
tangan Malaikat
Kerdil pada dadanya pasti tak akan terelakkan. Tentu
saja gadis itu tak ingin hal tersebut sampai terjadi. Untuk itu Kenanga terpaksa
merelakan tubuhnya terbanting termakan sapuan kaki lawan. Dengan demikian,
berarti ia dapat menyelamatkan dadanya dari
terkaman jari-jari tangan tokoh kate itu.
Plak! Bruk! Tanpa ampun lagi, tubuh Kenanga terbanting jatuh
dengan keras. Wajah jelita itu tampak meringis. Karena meskipun telah dikerahkan
tenaga dalam guna melindungi tulang kakinya, tetap saja ada rasa nyeri yang
menusuk. Kenyataan itu membuat Kenanga sadar
bahwa kekuatan tenaga dalam lawan masih berada satu tingkat di atasnya.
"Hiyaaat..!"
Sebelum Kenanga sempat bergerak bangkit, Malaikat Kerdil yang merasa girang
melihat serangannya
berhasil, langsung melompat menerkam tubuh dara jelita yang masih telentang di
tanah itu. Gerakannya cepat bukan main, membuat Kenanga menjerit lirih.
Merasa bahaya yang mengerikan bakal datang menimpa dirinya, Kenanga pun berbuat
nekat. Sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam, disilangkan kedua tangan ke depan dada, dan
siap menyambut terkaman lawan dengan dorongan kedua tangannya.
Namun, pada saat yang berbahaya bagi keselamatan dara jelita itu, tiba-tiba
terdengar bentakan
keras yang menggetarkan dada. Disusul kemudian
dengan kelebatan sesosok bayangan putih yang langsung memapaki serangan Malaikat
Kerdil. Bresssh...! Tanpa dapat dicegah lagi, dua gelombang tenaga
sakti yang sangat hebat saling berbenturan keras. Akibatnya, tubuh Malaikat
Kerdil terdorong ke belakang
sejauh satu setengah tombak. Sedangkan sosok
bayangan putih itu langsung melenting ke belakang
dengan membuat dua kali putaran di udara. Kemudian
melayang turun dengan ringannya.
"Kakang...!"
Melihat sosok bayangan putih yang menyelamatkannya, Kenanga langsung berseru
girang. Rupanya gadis itu sudah dapat mengenali siapa sebenarnya sosok bayangan
putih itu, kendati belum melihat
wajahnya dengan jelas. Dan ketika sosok bayangan putih meluncur turun, senyum
dara jelita itu semakin lebar. Karena yang telah menyelamatkannya tak lain
Panji. Panji yang semula hanya menyaksikan pertarungan
itu dari atas pohon, terkejut melihat kepandaian lawan
kekasihnya. Apalagi ketika menyaksikan betapa Kenanga berada dalam ancaman
bahaya, langsung saja
ia meluncur turun dan menyambut serangan Malaikat
Kerdil. Sehingga, serangan tokoh sesat bertubuh kate
itu berhasil digagalkan.
Malaikat Kerdil tentu saja kaget bukan main ketika
ada sesosok bayangan putih yang berani memapaki serangannya. Hatinya marah.


Pendekar Naga Putih 80 Iblis Angkara Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Matanya terbelalak mengetahui sosok bayangan putih itu mampu membuat serangannya
gagal. Bahkan sanggup mengatasi kekuatan
tenaga saktinya. Sebagai seorang tokoh sakti yang selalu membanggakan kepandaian
sendiri, tentu saja
Malaikat Kerdil tak bisa menerima kenyataan pahit itu.
Maka begitu kedua kakinya telah menjejak tanah, sepasang matanya langsung
menyorot tajam sosok berjubah putih yang kini berdiri di hadapannya dalam jarak
sekitar empat tombak.
"Dia.... Pendekar Naga Putih...!" seruan itu keluar
dari mulut Setan Penasaran yang lebih dulu mengenali
siapa sebenarnya sosok pemuda tampan berjubah putih itu. Wajahnya memerah dan
berkerut-kerut seperti
tengah menahan perasaan marah bercampur rasa
benci. "Hm..., tak heran kalau dia berani main gila di depanku! Rupanya dia Pendekar
Naga Putih!"
Malaikat Kerdil pun sedikit kaget ketika mendengar
ucapan rekannya. Dirinya bisa memaklumi kalau tubuhnya sampai terpental kalah
tenaga oleh sosok
bayangan putih itu. Kenyataan itu membuat Malaikat
Kerdil tak menjadi kecil hati, karena maklum dan sadar akan kehebatan tokoh muda
itu. Sementara itu, Setan Penasaran yang melihat kemunculan Pendekar Naga Putih,
langsung saja bergerak maju dengan wajah merah padam. Sepasang matanya mencorong
tajam menyiratkan sinar dendam
yang demikian dalam.
"Pendekar Naga Putih, hutang nyawa harus dibayar
dengan nyawa...!"
Baru saja tokoh yang berjuluk Setan Penasaran itu
menggeram dengan nada penuh dendam, tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan dengan
serangan maut. "Heaaat...!"
"Heit..."!"
Panji tentu saja kaget bukan main. Karena tokoh
yang ia dengar berjuluk Setan Penasaran itu seperti
menyimpan dendam kesumat terhadap dirinya. Dan
melihat serangannya Pendekar Naga Putih sadar bahwa tokoh sesat yang
berpenampilan menyeramkan itu
menginginkan nyawanya. Hal itu tampak jelas dari
ucapannya sebelum melakukan serangan maut.
Karena tak mempunyai kesempatan untuk berbicara, Panji cepat menggeser tubuhnya
guna menghindari
serangan maut Setan Penasaran. Kemudian terus me-
lompat ke sana kemari sambil sesekali menangkis dengan kedua tangannya. Pendekar
Naga Putih belum
mau membalas, karena merasa tak mempunyai permusuhan pribadi dengan tokoh
bertubuh kurus seperti
tengkorak itu. Sambil terus menghindar serta menangkis, dirinya mencari
kesempatan untuk dapat berbicara.
Namun, Setan Penasaran rupanya tak ingin memberi kesempatan kepada Panji.
Jangankan berbicara,
untuk bernapas pun rasanya tokoh sesat itu tak mengizinkan. Dengan bentuk
serangan yang semakin hebat
dan cepat, lelaki bertubuh tinggi kurus itu terus mendesak. Tentu saja Panji pun
semakin sibuk dibuatnya.
"Setan Penasaran, tahan seranganmu...!"
Karena merasakan semakin hebat serangan yang dilancarkan lawan, akhirnya Panji
tak sabar untuk berseru keras memperingatkan.
"Aku tak akan berhenti sebelum kau menggeletak
tanpa nyawa, Pendekar Naga Putih! Hiyaaat!"
Dibarengi sebuah bentakan menggelegar, Setan Penasaran kembali melancarkan
serangannya. Tampaknya tokoh ini mulai menggunakan ilmu andalannya.
"Heaaa...!"
Wettt! Wettt...!
Pendekar Naga Putih benar-benar terkejut. Tokoh
yang berjuluk Setan Penasaran itu rupanya benarbenar hendak membuktikan
ucapannya. Terbukti jarijari tangan kurus dengan kuku-kuku runcing dan hitam itu
semakin gemas dan cepat memburu tubuh lawan. Panji pun sadar akan bahaya maut
yang senantiasa siap merenggut nyawanya. Karena dari sambaran
anginnya yang berkesiutan, menandakan bahwa dalam
jari-jari tangan Setan Penasaran ter-kandung tenaga
yang hebat Mungkin cengkeraman itu sanggup meng-
hancur-leburkan batu karang.
Sadar kalau dibiarkan dirinya bisa celaka di tangan
lawan, Pendekar Naga Putih mulai kehilangan sabar.
Saat sambaran cakar kanan lawan meluncur deras
mengancam ubun-ubunnya, Panji langsung meliukkan
tubuh. Ketika cengkeraman itu luput, dengan cepat
Panji melepaskan sebuah dorongan telapak tangan ke
tubuh lawan. "Hih...!"
Plak! Setan Penasaran yang memang telah menyiapkan
tangan kiri untuk serangan susulan, langsung mengangkat tangan itu memapaki
dorongan lawannya. Benturan keras pun tak dapat dihindarkan. Tubuh keduanya
terdorong mundur sampai empat langkah. Hal itu
menandakan kalau dalam benturan tadi kekuatan mereka seimbang.
"Jelaskan, mengapa kau menghendaki kematianku, Setan Penasaran"! Kalau tidak,
akan kubikin dirimu benar-benar menjadi setan yang penasaran di
alam baka...!" bentak Panji menuntut penjelasan dengan wajah yang menunjukkan
kejengkelan hatinya.
"Hm.... Kau hendak lari dari tanggung jawab atau
memang telah lupa dengan perbuatanmu, Pendekar
Naga Putih...?" jawab Setan Penasaran dengan senyum
penuh ejekan dan sangat merendahkan.
"Setan Penasaran, meskipun kita berdiri di jalan
yang berseberangan, seingatku belum pernah kita berurusan. Bahkan bertemu pun
baru sekali ini. Lalu
mengapa kau menuntut tanggung jawabku" Apa yang
pernah kuperbuat terhadapmu?" tukas Panji semakin
penasaran dan jengkel. Karena tokoh yang bertubuh
seperti tengkorak hidup itu belum juga menjawab pertanyaannya.
"Kau telah membunuh muridku, Pendekar Naga Putih! Dan sekarang aku akan
membalaskannya! Tapi
bukan cuma nyawamu yang harus melayang! Nyawa
kekasihmu pun harus kuhabisi sebagai bunganya...!"
bentak Setan Penasaran bengis. Lelaki kurus itu
menggeser kakinya membentuk kuda-kuda serong
yang kokoh. 'Tunggu, Setan Penasaran! Katakan, siapa nama
muridmu atau julukannya...?" cegah Panji yang tetap
belum mengerti kesalahannya.
"Muridku berjuluk Setan Bayangan Hitam! Dia telah
kau bunuh beberapa waktu lalu di sebuah hutan! Dan
untuk perbuatanmu itu, kau harus menebus dengan
nyawamu...! Hiyaaat..!"
Setelah berkata begitu, Setan Penasaran bergerak
dengan kecepatan kilat. Sepasang cakarnya yang menebarkan bau busuk karena
dilumuri racun jahat,
menyambar-nyambar dengan disertai suara berdesit.
Wuttt! Wuttt! Pendekar Naga Putih melompat ke kiri dan kanan
menghindari serangan lawan. Sambil sesekali menangkis membuat tubuh keduanya
tergetar mundur. Namun, serbuan Setan Penasaran bagaikan ombak lautan yang tak
pernah habis. Tangannya yang membentuk cakar bergerak cepat dan beruntun memburu
bagian-bagian terlemah di tubuh Pendekar Naga Putih.
Setelah sepuluh jurus Setan Penasaran mengumbar
serangan-serangan mautnya, Panji pun mulai unjuk
gigi. Disertai sebuah teriakan keras yang menggetarkan dada, tubuhnya melesat
cepat dan menyelinap di antara sambaran cakar maut lawan. Kemudian
serangan-serangan balasannya pun mulai diluncurkan
bagaikan serbuan angin puyuh!
"Heaaa...!"
Duk! Duk! Plak! Tiga kali Setan Penasaran mengangkat kedua lengannya bergantian memapaki
serangan balasan lawan.
Dan kali ini tengkorak hidup itu harus menerima kenyataan pahit. Karena dalam
tiga kali benturan itu tulang-tulang lengannya terasa nyeri dan linu. Bahkan
kuda-kudanya tergempur mundur, membuat tubuhnya
terhuyung-huyung beberapa langkah.
"Kenanga, mari kita tinggalkan orang-orang gila
itu...!" Kesempatan selagi lawannya terjajar mundur, dipergunakan Panji untuk menyambar
lengan kekasihnya. Keduanya langsung melesat meninggalkan tempat
itu. Dirinya memutuskan menghindar dari kedua tokoh sesat itu untuk sementara.
Hal itu karena dia belum ingat tentang Setan Bayangan Hitam yang merupakan murid
Setan Penasaran.
Sebagai seorang pendekar penegak keadilan yang
telah lama malang-melintang di dunia persilatan, banyak tokoh sesat yang takluk
pada Pendekar Naga Putih. Sehingga maklum kalau sulit untuk mengingat
tentang Setan Bayangan Hitam yang merupakan murid
Setan Penasaran. Untuk itulah dirinya memutuskan
melepaskan diri dari lawannya, agar bisa mengingatingat apa yang dituduhkan oleh
Setan Penasaran. Panji tak mempedulikan kedua lawan yang terus memakimaki
dirinya sebagai pengecut. Pemuda berjubah putih
terus mengerahkan ilmu kepandaiannya agar kedua
orang lawan tidak mempunyai peluang untuk mengejar.
*** 2 Desa Palang ternyata bukan merupakan satu- satunya tempat sasaran sekelompok
orang-orang jahat.
Masih ada beberapa desa, bahkan perguruan yang
menjadi korban keganasan golongan sesat itu. Kejadian-kejadian itu membuat
banyak tokoh golongan putih marah. Beberapa perguruan yang merasa bertanggung
jawab segera mengirimkan murid-murid andalan untuk menyelidiki, sekaligus
membasmi pelaku
kejahatan itu. Bahkan pendekar-pendekar tunggal
yang tak terikat partai tertentu, telah meninggalkan
tempat kediamannya guna ikut serta meng-hentikan
kejahatan itu. Sehingga, banyak orang yang membawa
senjata berkeliaran ke desa-desa atau pun kota-kota
kecil. Banyaknya tokoh persilatan dari golongan putih
yang berkeliaran, membuat warga masyarakat merasa
tenang. Mereka dapat melakukan pekerjaan seharihari tanpa merasa was-was akan
datangnya serbuan
dari para penjahat keji itu. Para penduduk merasa
aman dan terlindung oleh banyaknya tokoh persilatan
yang berkeliaran.
Lain tanggapan dan tindakan golongan putih, lain
pula yang dilakukan orang-orang dari golongan sesat.
Penjahat-penjahat
tunggal maupun perampokperampok kecil yang semula tak berani melakukan
tindak kejahatan karena adanya tekanan dari kaum
pen-dekar, kini justru berani muncul, bahkan melakukan kejahatan pada siang
hari. Tentu saja munculnya
dua golongan itu tidak jarang juga menimbulkan keresahan karena bentrokan yang
acapkali terjadi. Seperti
kata pepatah, gajah bertarung dengan gajah pelanduk
mati di tengah-tengah. Yang menanggung akibat dari
bentrokan-bentrokan itu jelas orang-orang awam, yang
sama sekali tak paham persilatan. Sehingga, tak sedikit penduduk di desa-desa
terpencil pergi mengungsi
ke tempat yang dianggap lebih aman.
Namun, para penduduk yang mengungsi dari desadesa terpencil itu sama sekali tak
menyadari bahwa
kepergian mereka dengan membawa harta benda serta
binatang ternak, justru dapat mengundang para penjahat yang kini telah membentuk
kelompok-kelompok
guna menghadapi kaum golongan putih.
"Berhentiii...!"
Serombongan penduduk yang berjumlah sekitar
empat puluh orang, terperanjat kaget dan menghentikan langkah. Mereka yang
sedianya hendak mencari
tempat tinggal yang lebih aman, justru tanpa sengaja
telah menghampiri penyakit.
Seorang lelaki tinggi kurus bermata picak sebelah
dengan menggenggam sepasang tombak pendek, berdiri menghadang jalan. Matanya
yang hanya sebelah itu
bergerak liar merayapi wajah-wajah pucat para penduduk. Lelaki itu bukanlah
seperti perampok kebanyakan. Dalam kalangan persilatan dirinya di-kenal dengan
julukan Tombak Mata Satu. Dan kepandaian ilmu
tombaknya pun tak bisa dibilang rendah.
Pada mulanya Tombak Mata Satu merupakan penjahat tunggal yang malang-melintang
dengan menggunakan sepasang tombak pendeknya. Namun, semenjak adanya peristiwa-
peristiwa pembumihangusan
terhadap beberapa desa dan perguruan silat, yang
mengundang amarah kaum golongan putih, Tombak
Mata Satu tak lagi berani bergerak sendirian. Baginya
tak sulit mencari kawan seiring. Kepandaian serta namanya yang cukup terkenal,
membuat ia dengan mu-
dah menggabungkan diri dengan sekelompok perampok. Bahkan kedatangannya disambut
hangat dan langsung diangkat sebagai pimpinan kawanan perampok yang didatanginya. Dengan
mengandalkan jumlah
cukup banyak inilah, Tombak Mata Satu melanjutkan
aksinya. Bahkan ruang geraknya semakin diperlebar.
Dirinya tak pernah merasa takut kendati harus bentrok dengan tokoh-tokoh
golongan putih.
Siang itu, secara kebetulan Tombak Mata Satu melihat serombongan penduduk yang
hendak mengungsi.
Melihat adanya binatang ternak serta buntalan yang
dibawa para pengungsi, langsung saja ia melompat ke
luar dari persembunyian, disertai bentakan keras. Tubuhnya berdiri menghadang
jalan, memperlihatkan
wajah bengisnya.
"Kalian boleh pilih! Tinggalkan barang-barang itu,
dan pergi meninggalkan tempat ini dengan selamat,
atau nyawa kalian kukirim ke neraka...!" gertak Tombak Mata Satu sengaja
mengerahkan tenaga dalam
melalui suaranya hingga terdengar keras dan menakutkan.
Para penduduk yang hendak mengungsi itu tentu
saja semakin pucat. Memang sulit. Apa yang mereka
lakukan pada saat seperti sekarang ini serba salah.
Tinggal di desa yang terpencil, sudah pasti suatu saat
perampok akan datang menjarah mereka. Mengungsi


Pendekar Naga Putih 80 Iblis Angkara Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun sama saja akibatnya. Namun mereka sengaja memilih pergi mengungsi daripada
menunggu dengan hati
selalu was-was dan ketakutan. Dan pencegatan lelaki
bermata picak itu pun sudah mereka perhitungkan.
'Tuan yang gagah perkasa dan budiman...."
Salah seorang penduduk memberanikan diri tampil
ke depan menghadang Tombak Mata Satu.
"Kasihani kami yang miskin dan menderita ini,
Tuan! Tuan boleh ambil harta kami. Tapi, sisakanlah
sedikit untuk bekal perjalanan guna menyambung hidup...!" pintanya sambil
menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki Tombak Mata Satu. Rupanya inilah pilihan
penduduk yang nekat hendak mengungsi. Berharap
mendapatkan sedikit belas kasihan dari siapa saja
yang mungkin akan menghadang perjalanan mereka.
"Hmh...!"
Tombak Mata Satu mendengus bengis. Kemudian
terdengar gelak tawanya demi melihat dirinya disembah sedemikian rupa. Akan
tetap semua itu sama sekali tak membuat hatinya tergerak. Malah ia sema-kin
congkak dan garang.
"Kau memang patut dikasihani, Kisanak. Nah, sisakanlah sedikit dari bawaanmu
itu! Dan kau boleh pergi
untuk mencari kehidupan yang lebih baik...!"
Tak seorang pun menyangka kalau lelaki picak itu
akan berkata demikian. Tentu saja pengungsi yang
berlutut merasa gembira. Tanpa banyak bicara lagi, ia
langsung saja menyisakan sedikit uang untuk dirinya.
Kemudian dengan terbungkuk-bungkuk lelaki setengah baya itu melangkah
meninggalkan Tongkat Mata
Satu. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih berkalikali. Seolah lelaki bermata
picak itu telah memberikan
kebaikan yang tak terhingga kepadanya.
Perbuatan orang pertama itu diikuti para pengungsi
lainnya. Yang berwatak curang bergegas menyembunyikan beberapa keping uang ke
dalam sabuknya. Mereka bergerak satu persatu dengan tubuh membungkuk ketika
lewat di dekat Tombak Mata Satu yang tertawa cekakakan, melihat banyaknya harta
benda yang didapat tanpa susah payah mendatangi desa. Bahkan
semua binatang ternak berkumpul di dekat-nya. Karena tak seorang pun dari
pengungsi yang berani mem-
bawanya. Mereka tentu saja lebih sayang nyawa ketimbang binatang ternaknya.
Namun, kelegaan para pengungsi itu kembali berubah kecemasan dan ketakutan.
Karena baru kurang
lebih dua tombak mereka meninggalkan si mata picak,
tiba-tiba bermunculan penghadang- penghadang lain
dengan wajah bengis dan senjata terhunus.
'Tinggalkan sisa harta yang kalian bawa...!" bentak
seorang lelaki bermuka hitam dengan perut buncit. Ia
berkata garang dengan dada dibusungkan agar terlihat
gagah dan berwibawa. Namun tingkahnya itu justru
tampak lucu. Perut buncitnya tetap saja menonjol ke
depan, hingga membuat kedudukan berdiri lelaki itu
tak ubahnya seekor bebek.
'Tapi, Tuan.... Tadi kami baru saja...."
Belum habis ucapan salah seorang pengungsi itu,
tiba-tiba golok di tangan lelaki bermuka hitam di depannya bergerak menyambar.
Wuttt! Cras! "Aaakh...!"
Darah segar menyembur keluar dari perut pengungsi itu karena terbabat golok. Dan
tanpa ampun lagi,
tubuhnya terkulai lalu menghembuskan napas terakhir.
Perbuatan lelaki bermuka hitam dan berperut buncit itu tentu saja membuat para
pengungsi lain semakin ketakutan. Karena penghadang kali ini jauh lebih
ganas dan kejam ketimbang si mata picak. Mereka sama sekali tak menyangka kalau
semua itu ternyata
merupakan permainan para perampok. Karena lelaki
bermuka hitam itu salah satu dari pengikut Tombak
Mata Satu, yang kini telah berdiri di belakang rombongan pengungsi itu. Tawanya
terdengar bergelak menge-
jutkan. "Hua ha ha...! Bagus, La Jobang! Mereka pikir aku
demikian baik hati membiarkan mereka pergi begitu
saja sebelum semua harta diserahkan kepada kita.
Mana mungkin aku tega membiarkan perempuanperempuan cantik ini ikut
mengungsi. .," ujar Tombak
Mata Satu yang kini memperlihatkan sifat aslinya.
Tanpa malu-malu lagi, ia langsung mengulurkan tangan memeluk salah seorang
wanita muda yang ikut
dengan rombongan pengungsi itu. Diciuminya pipi dan
leher wanita muda itu dengan buas sambil tertawatawa.
'Tuan, tolong jangan ganggu anakku! Dia.... dia masih terlalu kecil dan belum
tahu apa-apa...!"
Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun menyeruak dari rombongan.
Dengan suara menghiba lelaki setengah baya itu meminta Tombak Mata
Satu mau melepaskan putrinya yang baru berusia lima
belas tahun. Namun tubuh gadis itu terlihat cukup
masak dan wajahnya pun manis dengan kulit kuning
langsat Rupanya meski hanya sebelah namun Tombak
Mata Satu memiliki penglihatan tajam.
"Hua ha ha...! Jadi dia belum tahu apa-apa" Bagus,
Orang Tua! Kalau begitu ia akan segera kuberi pelajaran cuma-cuma, bagaimana
cara melayani lelaki dengan baik...!"
Tombak Mata Satu semakin keras tertawa. Diseretnya tubuh wanita desa itu ke
semak-semak terdekat.
Tak dipedulikan betapa gadis itu menangis ketakutan.
Melihat putrinya dalam ancaman bahaya mengerikan, lelaki setengah baya itu
menjadi nekat. Ia menubruk maju berusaha membebaskan sang Anak. Namun
Tombak Mata Satu tak membiarkan begitu saja. Sekali
tangan kirinya bergerak, lelaki malang itu roboh ber-
mandikan darah. Mata tombak lelaki picak itu telah
menembus dada dan mengoyak jantungnya.
"La Jobang, bereskan semuanya, dan tawan perempuan-perempuan yang dapat kita
gunakan sebagai hiburan...!"
Setelah berkata demikian, Tombak Mata Satu melanjutkan niatnya yang terkutuk
kepada gadis malang
itu. Namun, sebelum niat Tombak Mata Satu kesampaian, mendadak terdengar suara ribut-
ribut. Kemudian disusul dengan jerit kematian yang merobek udara siang ini. Ia
yang semula tak peduli karena mengira
para pengikutnya tengah menghajar para pengungsi
yang melawan, cepat bergerak bangkit ketika mendengar suara benturan senjata.
"Bedebah! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku...!" geram Tombak Mata Satu
sambil bergegas
membereskan pakaian yang sudah tak karuan. Matanya yang tinggal sebelah seakan
hendak melompat dari
tempatnya, ketika melihat sesosok bayangan ramping
tengah mengamuk menghadapi keroyokan para pengikutnya. Melihat gerakan sosok
bayangan itu yang lincah dan mengandung kekuatan hebat, Tombak Mata
Satu segera mengurungkan niatnya. Tubuhnya bergegas melompat keluar dari balik
semak-semak. Sementara itu, para pengungsi sudah ketakutan setengah mati, segera lari
bersembunyi ke balik pepohonan. Tubuh mereka gemetar menyaksikan banyaknya
darah membasahi rerumputan. Kendati demikian ada
sedikit harapan dalam hati mereka agar sosok bayangan yang tengah mengamuk dan
membunuhi para perampok itu akan memperoleh kemenangan. Harapan
itu timbul ketika melihat sudah delapan orang perampok roboh tewas bermandikan
darah. "Haits! Heaaa...! Mampuslah kalian, Manusia
Sambil berkelebat di antara sambaran golok dan
pedang pengeroyok, sosok bayangan ramping itu melontarkan makian tanda kemarahan
dan kegeraman hatinya. Kecepatan geraknya membuat seorang pengeroyok kembali terlempar dari
arena dengan tubuh
bermandikan darah. Hebat memang gerakan sosok
bayangan yang terbungkus pakaian biru tua ini. Kendati harus menghadapi belasan
pengeroyok, ia sama
sekali tidak kelihatan terdesak. Bahkan mampu merobohkan lawan satu persatu.
"Setan keparat..!"
Tombak Mata Satu menggeram gusar. Wajahnya
merah padam melihat pengikut-pengikutnya berjatuhan tersambar senjata lawan.
Tanpa banyak cakap
lagi, ia pun segera menjejak tanah. Tubuhnya melesat
ke tengah arena pertarungan.
"Hiyaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu, Tombak Mata Satu
langsung mengirimkan serangan dengan sepasang
tombak pendeknya. Gerakan yang dilakukan lelaki
bertubuh tinggi kurus itu memang mengagumkan. Sekali bergerak langsung
melancarkan dua buah serangan sekaligus. Sasaran serangannya pun merupakan
jalan darah besar yang bisa mengakibatkan kematian
bagi lawannya. Mendapat dua buah serangan yang begitu cepat dari Tombak Mata Satu, sosok
bayangan ramping terbungkus pakaian biru tua ini sama sekali tak terlihat
gugup. Pedangnya diputar sedemikian rupa hingga
membentuk gulungan sinar yang menderu-deru.
"Heaaa...!"
Trang! Trang! "Hah..."!"
Serangan sepasang tombak pendek kepala rampok
itu sama sekali tak banyak berarti. Sekali pedang lawan berkelebat menangkis,
sepasang tombak pendek
itu terpental balik. Bahkan tubuh Tombak Mata Satu
terdorong mundur empat langkah. Tentu saja tokoh
sesat yang biasa menyombongkan kepandaian sendiri
ini merasa kaget bukan main.
"Heaaa...!"
Wut! Wut! Sedangkan sosok berpakaian biru itu tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras.
Pedangnya yang baru saja
menggagalkan serangan lawan kembali bergerak dengan kecepatan mengagumkan. Kali
ini meluncur dengan tusukan mengarah perut Tombak Mata Satu.
"Ahhh..."!"
Tombak Mata Satu terpekik kaget, karena tahutahu ujung pedang lawan sudah
tinggal dua jengkal di
depan perutnya. Tak ada jalan lain bagi lelaki bermata
picak ini kecuali melempar tubuhnya ke samping. Sebab, untuk menangkis jelas tak
mungkin. Dirinya sudah pasti kalah cepat dengan gerakan senjata lawan.
Akan tetapi ke mana pun Tombak Mata Satu bergerak mengelak, pedang lawan terus
memburu. Sehingga tubuhnya terus bergulingan untuk menyelamatkan diri dari
babatan dan tusukan senjata lawan.
"Heaaa...!"
Cras! Cras...! Rumput ilalang yang setinggi lutut, terpapas putus
oleh babatan pedang sosok ramping itu. Untung saja
Tombak Mata Satu sudah lebih dulu menggulingkan
tubuhnya. Kalau tidak, bukan rumput itu yang terpapas putus, melainkan tubuh
lelaki bermata picak itulah yang harus terluka.
Tombak Mata Satu benar-benar merasa putus asa
dalam menghindari kejaran pedang lawan. Hingga akhirnya mengambil keputusan
nekat, lalu melenting
bangkit sambil menggerakkan sepasang tombak pendeknya secara ngawur.
Akibatnya.... Wut! Wut! Bret! Bret! "Aaakh...!"
Tombak Mata Satu terpekik kesakitan. Tubuhnya
terhuyung limbung, karena saat dia nekat melompat
bangkit, pedang lawan telah membeset pangkal lengan
kanan dan paha kirinya. Darah segar mengalir membasahi sebagian pakaian lelaki
bermata picak itu.
Sosok tubuh ramping berpakaian biru tua yang ternyata seorang gadis muda ini
tampaknya masih belum
puas. Terbukti dengan cepat menyusuli serangannya,
hendak menghabisi nyawa Tombak Mata Satu yang telah tak berdaya itu.
Namun, rupanya nasib lelaki bermata picak itu masih baik. Saat nyawanya tengah
terancam, sisa para
pengikutnya sudah datang membantu. Gadis muda itu
terpaksa mengurungkan niatnya untuk melenyapkan
Tongkat Mata Satu. Karena memutuskan untuk menghabisi serangan enam orang
anggota perampok yang
belum juga jera.
Gadis berpakaian biru tua itu memang mengagumkan. Kendati harus menghadapi enam
orang perampok yang kasar dan ganas, sama sekali dirinya tidak merasa gentar. Pedang di
tangannya berkelebatan laksana
sambaran kilat. Sehingga dalam waktu singkat, keenam perampok sudah menggelepar
lalu tewas dengan
tubuh bersimbah darah.
Usai menghentikan perlawanan enam anak buah
Tombak Mata Satu, gadis berpakaian biru tua itu
membalikkan tubuhnya. Kelihatannya ia tak sudi me-
lepaskan Tongkat Mata Satu, yang menjadi gembong
dari perampok itu. Namun sayang, Tombak Mata Satu
sudah tak nampak di tempat itu. Merasa penasaran,
gadis itu melesat cepat untuk memburu. Namun karena tak tahu ke mana lelaki
bermata picak itu melarikan diri, pengejarannya pun tak membuahkan hasil.
Tombak Mata Satu tidak berhasil diketemukannya.
Rombongan pengungsi yang melihat para perampok
itu sudah bergelimpangan tewas, segera keluar dari
persembunyian masing-masing. Mereka menyambut
kemenangan gadis berpakaian bini tua itu dengan wajah berbinar-binar. Bahkan
beberapa di antara mereka
sampai terbungkuk-bungkuk saat mengucap-kan terima kasih berkali-kali, membuat
gadis itu menahan
senyumnya. "Kalian ini sebenarnya sengaja mencari penyakit!
Mengapa dalam keadaan tak aman seperti ini malah
meninggalkan desa untuk pergi mengungsi! Seharusnya, apa pun yang terjadi,
kalian harus tetap tinggal di
desa masing-masing. Di sana keselamatan kalian akan
lebih terjamin. Karena masih bisa bersembunyi jika
para perampok atau sebangsanya datang mengacau
desa kalian. Tidak seperti sekarang ini. Ke mana kalian
hendak lari jika mereka sudah berdiri menghadang.
Para perampok itu tentu saja sangat senang kalian
pergi mengungsi, yang sudah pasti membawa uang
serta barang- barang yang cukup berharga!"
Gadis itu menasihati dengan nada agak keras.
Meski memaklumi bahwa orang-orang desa itu memang merasa serba salah. Namun


Pendekar Naga Putih 80 Iblis Angkara Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya sedikit merasa jengkel. Karena pengungsian seperti itu justru
semakin menambah kacau keadaan.
'Tapi.... Biar bagaimanapun kami harus tetap pergi
mengungsi, Nisanak. Di desa sudah tak ada lagi yang
kami harapkan untuk dapat menyambung hidup. Selalu saja ada pengacau yang datang
mengganggu. Maaf
kalau kami tidak bisa menuruti nasihat Nisanak. Kami
lebih baik mati dalam usaha mencari tempat yang
aman daripada tinggal di desa, menunggu datangnya
kematian. Cepat atau lambat pengacau-pengacau yang
banyak bermunculan pasti akan membunuh kami...,"
salah seorang pengungsi yang berusia paling tua, mencoba menjelaskan kepada
penolongnya. 'Terserah kalian. Aku sekadar memberi pandangan.
Kalau kalian lebih suka mengungsi, silakan! Aku tak
kuasa mencegah...!"
Melihat betapa para pengungsi tampaknya bersikeras dengan tekad yang bulat,
gadis berpakaian biru
tua itu merasa tak bisa berbuat apa-apa, selain mendoakan agar usaha mereka
dapat membuahkan hasil
yang baik. Gadis muda berwajah cantik, terutama saat tersenyum yang menampakkan lesung
pipit di pipi itu, berdiri menghantarkan kepergian rombongan pengungsi
itu dengan pandang matanya. Dan baru bergerak ketika rombongan itu sudah semakin
jauh dan lenyap. Sekali berkelebat saja, sosoknya lenyap ditelan kelebatan
pepohonan. *** 3 Wahyuni, gadis manis yang baru saja menumpas
gerombolan perampok Tombak Mata Satu, melangkah
ringan menelusuri jalan setapak. Rambut ekor kudanya terayun lembut mengiringi
gerak kaki yang lincah, menggambarkan watak periang. Gadis itu me-
mang lincah dan periang. Namun, kelincahan dan keriangan itu dapat lenyap tiba-
tiba, bahkan berubah
menjadi singa betina. Apalagi melihat ketidakadilan
berlangsung di depan matanya. Lebih- lebih terhadap
pengganggu wanita, gadis ini paling benci. Dan tak
akan berhenti kalau lelaki bejad itu belum tewas.
"Wah, memang dasar nasibku baik. Siapa nyana kalau di tempat sepi yang jauh dari
keramaian ini ada
seorang dewi yang membangkitkan selera. Sayang kalau dibiarkan lewat begitu
saja...." Ucapan yang terdengar agak keras itu berasal dari
mulut seorang lelaki tua bertubuh kecil kurus. Wajahnya pun sangat tak sedap
dipandang, karena dipenuhi
bopeng. Lelaki tua itu tengah duduk mencangkung di
atas sebatang dahan pohon, di mana Wahyuni lewat di
bawahnya. Tentu saja Wahyuni kaget Langkahnya terhenti seketika. Sepasang matanya yang
berkilat menatap tajam
sosok lelaki tua itu. Siapa lagi yang dimaksud-kan si
bopeng itu kalau bukan dirinya. Karena Wahyuni tak
melihat adanya orang lain di sekitar tempat itu, yang
memang sunyi dan jauh dari pedesaan.
Lelaki kurus kecil berwajah bopeng itu tak lain Malaikat Kerdil. Seorang tokoh
kaum sesat yang memiliki
watak mata keranjang. Ketika melihat seorang gadis
berjalan seorang diri di bawah pohon tempatnya duduk, gairah kakek ini bangkit.
Kemudian langsung melayang turun di hadapan Wahyuni.
"Heh heh heh...! Benar-benar tak mengecewakan...,"
gumam Malaikat Kerdil terkekeh sambil menjelajahi
sekujur wajah dan tubuh Wahyuni dengan pandang
matanya yang bergairah.
Bergidik hati Wahyuni melihat cara lelaki kerdil itu
memandang dirinya. Dirinya merasa seolah-olah dite-
lanjangi oleh pandang mata liar penuh nafsu bejad itu.
Hal itu membuat wajah Wahyuni merah padam seiring
dengan kebangkitan kemarahannya.
"Kakek gila! Caramu memandang diriku tak ubahnya seekor serigala buduk yang
kelaparan! Tak malu
oleh usiamu yang sudah mendekati liang kubur itu!
Dasar manusia tak tahu diri!"
Wahyuni yang sudah marah bukan main itu melontarkan makian kasar. Namun Malaikat
Kerdil justru semakin terkekeh-kekeh. Membuat dada Wahyuni terasa hendak meledak saking
marahnya. "Heh heh heh...! Aku suka sekali dengan kuda betina yang liar dan galak. Kau
benar-benar membuatku
tak sabar, Manis...!"
Sambil berkata demikian, Malaikat Kerdil mengulurkan tangan kanannya hendak
menyentuh dada gadis
itu. "Heh...!"
Wahyuni terkejut melihat kecepatan gerak tangan
lelaki kerdil itu. Belum lagi dirinya sempat menyadari,
jari-jari tangan itu sudah hampir menyentuh dadanya,
membuat Wahyuni terpekik. Cepat ditarik mundur tubuhnya menghindari tangan
kurang ajar itu. Namun
semakin cepat tangan Malaikat Kerdil mengejar, membuat Wahyuni makin gugup.
Dan.... "Auuuwww...!"
Wahyuni menjerit dengan mata terbelalak, ketika
dadanya terjamah tangan lelaki cebol itu.
"Heh heh heh...! Ada apa, Manis...?"
"Bangsat, tak tahu malu...!"
Wahyuni memaki kalap. Wajahnya sebentar merah
sebentar pucat Karena tindakan itu jelas merupakan
suatu penghinaan yang sangat besar bagi gadis seusianya. Wahyuni hampir menangis
karena merasa ter-
hina. Srat! Kemarahan yang sudah tak dapat ditahannya,
membuat Wahyuni mencabut pedang. Dan tanpa cakap lagi, langsung menerjang
Malaikat Kerdil dengan
ganasnya. Namun, Wahyuni kali ini benar-benar sial. Karena
yang dihadapinya bukan tokoh sembarangan. Hal itu
dapat dirasakan dari gerakan yang gesit. Sehingga,
meskipun ia mengerahkan seluruh kemampuan tak
satu pun dari serangannya yang membawa hasil. Bahkan setiap kali Malaikat Kerdil
memapak dengan angin
pukulan telapak tangannya, pedang itu tergetar mundur. Wahyuni merasakan
lengannya panas.
Menyadari kalau lelaki cebol yang berniat kurang
ajar terhadap dirinya itu ternyata memiliki kepandaian
tinggi, Wahyuni mulai dilanda kegelisahan. Bayanganbayangan mengerikan mulai
tercipta di benaknya.
"Hi hi hi...!"
Mengetahui kegelisahan lawannya, Malaikat Kerdil
tampak semakin gembira. Bahkan dengan menggunakan kecepatan geraknya terus
mempermainkan gadis
itu. Tampak pula dirinya mulai melakukan serangan
balasan dengan cara yang sangat kurang ajar sekali,
membuat Wahyuni semakin ngeri dibuatnya.
"Hih! He he he...!"
"Auuuwww...!"
Untuk kesekian kalinya Wahyuni terpekik dengan
wajah memerah padam menahan kemarahan dan rasa
malu. Karena dengan seenaknya, lelaki kerdil itu mengelus pinggulnya. Bahkan
perbuatan yang bagi Wahyuni merupakan penghinaan itu, terus dilakukan
sambil tertawa-tawa. Kadang dadanya disentuh. Di lain
saat wajahnya dielus. Lalu yang membuat gadis itu
hampir menangis, ketika jemari tangan lawan meremas
pantatnya. Tampak dua titik air mata mengalir di pipi
halus Wahyuni. Ia rasanya lebih baik mati daripada
mengalami hinaan seperti sekarang ini. Sungguh Wahyuni tak berdaya sama sekali
menghadapi gerak lawan yang begitu cepat dan sulit diikuti mata.
Rasa marah dan terhina yang tak kuat lagi ditahannya, membuat Wahyuni nekat.
Ketika dilihat-nya
bayangan samar lawan yang berkelebat di sebelah kanannya, Wahyuni mengeluarkan
teriakan meleng-king
tinggi. Tubuhnya menubruk sambil menusukkan pedang dengan sekuat tenaga.
"Hih...!"
Syuuttt! "Haits! Heh heh heh..., kenapa kau jatuh..." Ayo....
Bangkit lagi!"
Sayang tingkat kepandaian Wahyuni memang berada jauh di bawah Malaikat Kerdil.
Sehingga, serangan
yang sudah diperhitungkan dengan cermat, sama sekali tak mendapatkan hasil
seperti yang dibayangkan.
Bahkan karena terlalu bernafsu, luputnya serangan
barusan membuat tubuh gadis itu terjerembab jatuh
menelungkup di tanah.
"Heh heh heh...!"
Tuk! Tuk! "Aaakh...!"
Malaikat Kerdil memperdengarkan kekehnya yang
memuakkan. Sekali bergerak, jari-jemari tangannya telah melancarkan totokan yang
membuat Wahyuni
lumpuh seketika. Sambil tertawa-tawa, Malaikat Kerdil
pun membalikkan tubuh Wahyuni yang sudah tak
berdaya. Wahyuni menangis terisak dengan hati penuh kengerian. Gadis itu sadar bahwa
dirinya tengah terancam
bahaya yang lebih mengerikan daripada kematian. Ia
lebih suka ditodong dengan ujung pedang ketimbang
kejadian yang akan menimpa dirinya dan menghancurkan hidupnya itu.
Namun, tampaknya Tuhan tak menghendaki Wahyuni mengalami kejadian yang
mengerikan itu. Karena sebelum Malaikat Kerdil sempat melampiaskan nafsu
iblisnya, tiba-tiba datang angin keras menyambar
yang disertai bentakan menggelegar.
"Hei...! Iblis biadab, lepaskan gadis itu...!"
Malaikat Kerdil tentu saja kaget dan marah bukan
kepalang ada orang yang berani menghalangi perbuatannya. Namun, sebelum lelaki
bopeng itu sempat
menoleh, tiba-tiba tubuhnya disentakkan oleh suatu
kekuatan dahsyat. Tubuhnya yang kurus itu terpental
dari atas tubuh Wahyuni.
Meskipun kejadian itu sama sekali tak membuat dirinya celaka, karena berhasil
meluncur turun dengan
selamat, sempat membuat dadanya sesak oleh kemurkaan. Karena nafsu iblis yang
sudah menggelegak terbendung di dalam dadanya.
"Hmmmrrr...! Akan kuremas hancur tubuhmu, Keparat..!"
Malaikat Kerdil menggereng bagai binatang luka.
Dengan geram diangkat wajahnya untuk melihat orang
yang berani berbuat demikian terhadapnya. Tapi..., sepasang mata yang
memancarkan bola api itu mendadak berubah terbeliak. Terkejut bukan main hati
dedengkot golongan sesat itu begitu melihat wajah sosok
tubuh yang berdiri tegak menentang pandang matanya
dengan sorot mengiriskan.
"Kau.... Pendekar Naga Putih..."!" desis Malaikat
Kerdil dengan suara lirih. Seketika wajahnya berubah
tegang. Karena sebelumnya ia pernah berjumpa den-
gan pendekar muda itu di sebuah desa yang dilanda
malapetaka. Dirinya pun sudah merasakan kehebatan
Pendekar Naga Putih, meski hanya dalam beberapa jurus. Itu sebabnya mengapa pada
pertemuan yang kedua kalinya ini, membuat Malaikat Kerdil merasa tegang.
"Malaikat Kerdil!" ujar Panji merasa muak melihat
apa yang hendak dilakukan tokoh sesat itu terhadap
seorang gadis muda. "Sekarang aku mempunyai alasan
yang kuat untuk melenyapkanmu! Manusia bejad sepertimu tak boleh dibiarkan
berkeliaran di atas muka
bumi ini. Orang macam kau hanya akan menimbulkan
bencana bagi orang banyak. Terutama gadis-gadis! Jadi, bersiaplah untuk kukirim
ke ache-rat..!"
Usai berkata demikian, Panji langsung melesat dan
menerjang dengan cakar naganya. Jurus andalan ini
langsung dipergunakan karena Pendekar Naga Putih
tahu lawannya tergolong dedengkot kaum sesat. Maka
serangannya pun tidak tanggung-tanggung lagi.
Malaikat Kerdil menekan kegentarannya. Tubuh cebolnya bergerak membentuk kuda-
kuda harimau, siap
menyambut serangan lawan.
"Heaaa...!"
Bweett! Beweett!
"Haits!"
Dua kali serangan cakar naga Panji berhasil dielakkan Malaikat Kerdil yang
memang memiliki kecepatan
gerak luar biasa itu. Bahkan mampu melancarkan serangan balasan dengan pukulan
dan tamparan yang
mengeluarkan suara angin berkesiutan. Sebentar saja
keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit
dengan tempo cepat. Karena keduanya memiliki kelincahan yang tidak berselisih
jauh. *** Wahyuni yang tidak menduga kalau dirinya akan
selamat dari bahaya mengerikan, hanya memperhatikan pertarungan itu dengan tubuh
tetap terbaring miring. Setelah mendengar dari Malaikat Kerdil bahwa penolongnya
ternyata tokoh yang berjuluk Pendekar Naga
Putih, hati Wahyuni merasa lega. Nama besar dan sepak terjang Pendekar Naga
Putih sudah sering didengarnya dari cerita orang banyak. Dirinya percaya kalau
pendekar yang kabarnya masih berusia muda dan
berwajah tampan itu pasti akan dapat mengalah-kan
orang yang nyaris memperkosanya. Meski ia sendiri
sudah merasakan betapa hebat manusia bertubuh
kerdil itu. Sementara itu, pertarungan sudah berpindah agak
jauh dari tempat Wahyuni tergeletak. Sehingga gadis
itu tidak bisa menyaksikannya lagi. Sementara itu
Pendekar Naga Putih tampak sudah mendesak lawan
dengan serangan-serangan maut yang mengeluarkan
hawa dingin menusuk tulang. Hawa dingin inilah yang
membuat Malaikat Kerdil semakin tak berdaya untuk
melakukan serangan balasan. Hal itu karena dirinya
merasa seperti tengah bertarung di dalam sebuah
ruangan yang dipenuhi salju. Terpaksa Malaikat Kerdil
membuat pertahanan untuk melindungi agar tubuhnya tidak sampai terkena pukulan
lawan. Namun, sekuat apa pun benteng pertahanan yang
dibuat Malaikat Kerdil, tetap saja belum cukup untuk


Pendekar Naga Putih 80 Iblis Angkara Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membendung serangan-serangan Pendekar Naga Putih. Sepasang tangan yang membentuk
cakar naga itu terus memburu secara cepat dan beruntun. Sehingga
lelaki berwajah bopeng itu tampak kian kewalahan.
Tubuhnya melompat ke sana kemari mengelakkan serangan dahsyat lawan.
"Hyaaahh...!"
Wut! Wut! Pada suatu kesempatan, setelah dua kali serangannya berhasil digagalkan lawan,
tiba-tiba Panji membentak keras. Cakar naganya menyambar miring
menggempur pertahanan yang dilihatnya paling lemah.
Breettt! "Aakkhh...!"
Malaikat Kerdil memekik kesakitan. Sambaran cakar naga lawan merobek bagian
bawah dada kirinya,
hingga mengalirkan darah. Luka sambaran cakar itu
cukup dalam. Dirasakan dadanya sangat perih.
Ketika tubuh lawan terdorong limbung, Pendekar
Naga Putih melanjutkan serangannya. Kali ini disertai
sebuah pukulan keras terarah ke lambung Malaikat
Kerdil. "Heaa...!"
Plakkk! Bukk! Tamparan Pendekar Naga Putih yang meluncur ke
pelipis, masih sempat ditangkis tokoh sesat itu. Namun pukulan yang meluncur
deras ke arah lambung,
telak mengenai sasarannya. Seketika tubuh kerdil itu
terlempar dua tombak ke belakang. Kemudian masih
pula dilanjutkan sebuah tendangan keras yang menggedor dada kerempeng itu.
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Malaikat Kerdil terbanting
keras ke tanah. Darah segar termuntah keluar. Napasnya terengah dengan wajah
pucat Tulang dadanya terasa remuk akibat tendangan telak yang sangat keras.
Membuat tokoh kerdil ini tidak mampu buru-buru
bangkit. "Uhhh...!"
Pendekar Naga Putih telah berdiri di depan Malaikat
Kerdil dengan sorot mata tajam. Lelaki berwajah bopeng itu sudah tak berdaya dan
hanya bisa pasrah
menunggu pukulan terakhir pemuda tampan berjubah
putih itu. "Bersiaplah, Malaikat Kerdil...!" ancam Panji dengan
suara mendesis membuat bulu kuduk Malaikat Kerdil
meremang. Pendekar Naga Putih yang sudah mengangkat tangan kanan siap menjatuhkan pukulan
maut untuk mengakhiri nyawa Malaikat Kerdil, menahan geraknya.
Karena tiba-tiba telinganya menangkap desir angin
mencurigakan. "Pendekar Naga Putih, terimalah senjataku...!"
Tiba-tiba terdengar suara yang wujud pemiliknya
belum terlihat Namun Panji melihat sebuah benda bulat sebesar ibu jari meluncur
cepat memburu tubuhnya.
Melihat bentuk senjata rahasia itu Pendekar Naga
Putih teringat akan pengalaman-pengalamannya selama dalam pengembaraan.
Tampaknya dia tak ingin
bertindak ceroboh menyambut senjata yang diduga
mengandung bahan peledak itu. Saat benda itu semakin dekat, Panji segera
melempar tubuhnya ke samping.
Namun Pendekar Naga Putih merasa geram ketika
senjata rahasia itu ternyata tidak meledak seperti yang
diduga. Benda itu jatuh di dekat tubuh Malaikat Kerdil. Rupanya penyerang gelap
itu sengaja menipu Panji.
Pemuda berjubah putih itu segera mengayunkan
langkah menghampiri tubuh Malaikat Kerdil. Namun
dia terpaksa mengurungkan niat itu, karena ada lagi
suara berdesing datang ke arahnya. Dengan pandang
matanya yang tajam, Panji dapat melihat kalau senjata
gelap itu sama sekali tak berbeda dengan yang baru
saja dihindarinya.
Meskipun benda pertama yang dielakkannya ternyata berupa bola besi kecil biasa,
Panji tetap tak ingin
bertindak ceroboh. Seperti ketika menghadapi serangan gelap pertama tadi,
tubuhnya melompat ke samping sejauh satu tombak. Khawatir kalau benda kali ini
tidak sama dengan yang pertama. Sebab, mungkin saja
penyerang itu bermaksud mempermainkan dirinya
dengan melemparkan bola baja sebesar kelereng.
Swing...! Glarrr...! Apa yang diperkirakan Panji ternyata benar. Benda
bulat itu menimbulkan ledakan keras, begitu jatuh ke
tanah. Untung dirinya memutuskan untuk menghindar. Jika tidak, kecil sekali
kemungkinan dapat selamat.
"Kurang ajar...!" geram Panji seraya mengepal tinjunya erat-erat, jengkel
terhadap penyerang gelap itu.
Pendekar Naga Putih tahu apa tujuan dari serangan
itu. Maka dirinya tak ingin tinggal diam menunggu kepulan asap tebal berwarna
putih itu reda. Tubuhnya
langsung melesat menembus gumpalan asap itu. Namun bukan main terkejut hati
Panji ketika dari dalam
gumpalan asap itu terdengar suara berdesingan menyambut tubuhnya. Dengan cepat
tubuhnya melenting
ke udara melampaui gumpalan asap itu, lalu berjumpalitan ke belakang menjauhi
tempat itu. Setelah meluncur turun dengan selamat, Pendekar
Naga Putih berdiri tegak menatap gumpalan asap yang
kian menipis. Ketika asap itu lenyap, hatinya terkejut
melihat si Malaikat Kerdil telah lenyap dari tempat itu.
"Hm.... Kali ini biarlah kau lolos, Malaikat Kerdil!
Tapi, lain waktu takkan kubiarkan...," geram Panji berjanji dalam hati. Setelah
termenung sesaat, pemuda itu
membalikkan tubuhnya, melangkah menghampiri Wahyuni yang masih terkulai lemas.
Wahyuni sendiri menghela napas lega ketika melihat pemuda tampan berjubah putih
menghampirinya.
Semula dirinya mengira Pendekar Naga Putih mendapat celaka. Karena ledakan keras
yang membuat tanah sekitar tempat itu bergetar, tidak bisa dilihatnya.
Wahyuni mengucap syukur dalam hati melihat penolongnya selamat tanpa melihat
adanya tanda-tanda
mengalami cidera, seperti apa yang dicemaskan.
*** 4 Setelah merasa dirinya bebas dari pengaruh totokan, Wahyuni langsung menutup
wajah dengan kedua
telapak tangannya. Peristiwa yang nyaris merenggut
kesuciannya membuat jiwa gadis itu terguncang hebat
Meskipun sekarang bahaya itu sudah lewat, dirinya
merasa malu bukan main. Malu terhadap Pendekar
Naga Putih, yang walaupun menolongnya dengan ikhlas, pendekar muda itu sudah
menyaksikan keadaan
dirinya yang setengah telanjang tadi. Ini yang menjadi
beban pikiran dan membuatnya menangis penuh penyesalan.
Wahyuni sama sekali tak sadar betapa perbuatannya menyebabkan Panji kebingungan.
Pemuda itu tidak mengerti mengapa setelah diselamatkan dan
dibebaskan dari totokan, gadis berpakaian biru tua itu
justru menangis. Padahal sebelum ia membebaskan totokan, gadis itu sama sekali
tak menangis. "Maaf kalau perbuatanku tadi membuatmu berduka, Nisanak...!" ujar Panji dengan
suara perlahan.
Saat hendak membebaskan totokan, tubuh gadis itu
dalam keadaan setengah telanjang. Kendati telah meminta maaf sebelumnya,
kelihatannya gadis itu tetap
merasa malu hingga menangis demikian sedih.
Mendengar permintaan maaf Pendekar Naga Putih,
Wahyuni sadar akan kelakuannya yang telah membuat
orang lain kebingungan. Tangisnya agak mereda. Gadis
itu menurunkan telapak tangan dari wajahnya yang
sudah bersimbah air mata.
Panji menunduk demi melihat betapa sepasang mata gadis itu menggambarkan
kesedihan yang dalam.
Hatinya dapat mengerti bagaimana perasaan gadis itu.
'Tuan Pendekar...," ujar Wahyuni dengan suara parau di antara isaknya. "Aku sama
sekali tidak menyalahkanmu. Malah seharusnya sangat berterima kasih
atas pertolonganmu yang telah menyelamatkan-ku dari
bencana mengerikan itu. Tapi..., bagaimana-pun, aku
tak bisa menahan rasa malu di hati ini, mengingat betapa saat kau membebaskan
totokan.... Keadaanku....
Benar-benar memalukan sekali...," Wahyuni kembali
menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Aku paham apa yang kau rasakan, Nisanak. Tapi
semua itu bukanlah kesalahanmu. Jika.... Kau malu
terhadapku, ada baiknya kalau aku pergi...."
Sambil berkata begitu, Panji bangkit dari duduknya.
Kemudian membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan gadis itu.
Wahyuni tersentak kaget ketika mendengar ucapan
Pendekar Naga Putih itu. Telapak tangan yang menutupi wajahnya kembali
diturunkan. Dan ketika melihat
penolongnya sudah melangkah pergi, cepat ia melompat bangkit dan berlari
mengejar. 'Tuan Pendekar, tunggu...!" seru Wahyuni yang tentu saja menjadi serba salah.
Karena ia sama sekali ti-
dak bermaksud untuk melukai ataupun menyinggung
perasaan penolongnya. Kelihatannya pemuda yang
berjuluk Pendekar Naga Putih itu telah tersinggung
dengan sikap dan ucapannya, yang seperti tak bersyukur telah diselamatkan orang.
Panji menahan langkah dan berbalik menghadapi
gadis itu. Wajahnya tersenyum memaklumi bahwa gadis itu tentu telah menduga yang
bukan-bukan terhadap tindakannya.
"Sudahlah, Nisanak! Aku merasa bersyukur kau telah selamat dari bahaya. Kalau
aku sekarang hendak
pergi, itu bukan karena aku marah atas sikap dan
perkataan mu...," ujar Panji dengan nada lembut,
membuat Wahyuni kian merasa malu terhadap dirinya
sendiri. "Aku.... Aku memang perempuan tak tahu terima
kasih...!"
Sambil berkata demikian, Wahyuni menjatuhkan
tubuhnya bersimbah di depan Pendekar Naga Putih.
Tentu saja Panji kaget. Secepat kilat diulurkan kedua tangannya mengangkat
pundak gadis itu.
"Bangkitlah, Nisanak! Jangan bersikap seperti
ini...!" Wahyuni yang merasa betapa ada sepasang tangan
yang memegang kedua bahu dan mengangkat naik tubuhnya, menundukkan kepala dalam-
dalam. Kemudian perlahan-lahan diangkat wajahnya, hingga sepasang mata mereka
bertemu dalam jarak kurang lebih
satu jengkal. Hal itu berlangsung beberapa saat tanpa
mereka sadari. Hingga akhirnya Wahyuni menunduk,
tersipu dengan wajah kemerahan.
Panji agak kaget juga ketika menyadari apa yang
baru saja terjadi. Namun dirinya tetap berusaha bersikap wajar, agar gadis itu
tidak semakin salah tingkah.
Hanya saja pemuda itu belum sadar kalau sepasang
tangannya masih melekat di bahu Wahyuni.
Setelah agak lama dan gadis itu masih juga menundukkan wajahnya bahkan semakin
dalam, Panji baru
menyadari kesalahannya. Bagai terkena sengatan lebah, kedua tangannya
disentakkan secara tiba-tiba.
Diam-diam ia mengutuk kebodohannya itu.
"Maaf...!" ucap Panji setelah mengerti kesalahannya.
Wahyuni tentu saja tahu untuk apa Pendekar Naga
Putih meminta maaf kepadanya. Sebab, ketika sepasang tangan pemuda itu melekat
pada kedua bahunya,
dirasakan ada suatu getaran aneh yang tak dimengerti
olehnya. Yang jelas sesaat tadi dirinya merasa aman
dan terlindung. Dadanya berdebar lebih cepat dari biasa, membuat nafasnya agak
memburu. Semua keanehan yang tidak diketahui Panji inilah yang membuat
Wahyuni terus merunduk, tak berani mengangkat wajahnya.
Baru setelah sepasang tangan itu terlepas dari bahunya, Wahyuni berani
mengangkat wajah, dan menggeleng sebagai isyarat tak perlu ada kata maaf harus
diucapkan pemuda itu. Hanya saja Wahyuni merasa
kehilangan getaran-getaran aneh yang kini baru dirasakannya demikian nikmat dan
melenakan, membuat
dirinya ingin Pendekar Naga Putih mengulangi perbuatan itu. Wahyuni tentu saja
kaget Cepat diusirnya
keinginan gila itu. Gadis itu sama sekali tidak sadar
kalau kepalanya menggeleng keras saat hendak mengusir keinginan itu. Tentu saja
membuat Panji memandang heran. Tapi tak berani untuk bertanya.
"Nisanak, kau sudah terlepas dari ancaman bahaya.
Rasanya aku sudah tak diperlukan lagi di tempat
ini...." "Pendekar Naga Putih, tidakkah kau mau me-
maafkan sikap dan ucapanku?"
Wahyuni menyela cepat, dan justru membuat perasaannya terkejut. Sebab ia
kemudian tahu bahwa ucapan itu keluar karena tidak ingin berpisah dengan
sang Pemuda berwajah tampan itu. Perasaan gila yang
muncul setelah kejadian barusan, demikian kuat mencengkeram hatinya, membuat
Wahyuni sendiri tak
berdaya. "Nisanak, kau kenapa...?" Tanya Panji dengan kening berkerut keheranan mendengar
ucapan Wahyuni.
Hatinya mulai cemas, menduga kalau jiwa gadis ini
masih terguncang dengan apa yang nyaris menimpa
dirinya tadi. Pikiran itu membuat Pendekar Naga Putih
menatap sepasang mata Wahyuni untuk memastikannya.
Melihat tatapan mata Pendekar Naga Putih, Wahyuni salah paham. Gadis itu kembali
merunduk dan tersipu malu dengan sepasang pipi merona kemerahan.
Lagi-lagi sikapnya membuat Panji kebingungan.
"Aku.... Aku...."
Wahyuni mendadak merasa lidahnya kelu dan sulit
untuk mengucapkan kata-kata. Sepasang matanya
menatap lekat wajah pendekar muda tampan itu. Kemudian berpindah menekuri
rerumputan di bawah kakinya. Dan ketika gadis itu mendongakkan kepala,
menatap dengan sorot mata aneh serta senyum manis
di bibirnya, Pendekar Naga Putih tersentak kaget.
Sadar apa yang saat ini tengah terjadi dalam diri
gadis itu, Panji mengeluh dan menghela napas penuh
rasa iba. Sebab sekarang dia mengerti apa arti tatapan
mata dan sikap gadis itu. Dirinya telah berjumpa dengan banyak wanita yang bukan
hanya dari kalangan


Pendekar Naga Putih 80 Iblis Angkara Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan. Hatinya yakin gadis itu telah jatuh hati terhadapnya, Pendekar Naga
Putih sadar kalau dirinya di-
tuntut bertindak tegas untuk menepiskan perasaan
dan naluri kewanitaan gadis itu.
"Ah, aku merasa tak tahu berterima kasih karena
belum memperkenalkan nama. Padahal kau sudah
berbaik budi menyelamatkan diriku. Nah, Pendekar
Naga Putih, aku Wahyuni menghaturkan hormat kepadamu...."
Tiba-tiba saja Wahyuni yang rupanya telah menemukan sifat lincah dan periangnya
itu, langsung saja
memperkenalkan nama seraya membungkuk dan merangkap kedua tangan di depan dada.
Dengan memperkenalkan diri lebih dulu, tentu saja Wahyuni berharap Pendekar Naga
Putih akan memperkenalkan nama
kepadanya. Dan ia menunggu hal itu.
Pendekar Naga Putih yang tak ingin menyinggung
perasaan gadis itu, tersenyum dan balas menghormat.
Kemudian menyebutkan namanya.
"Panggil saja aku Panji. Nah, selamat tinggal...!"
Wahyuni membelalak kaget, ketika tahu-tahu sosok
pemuda di depannya telah lenyap. Ketika ia menoleh
ke kanan, terlihat bayangan putih yang melesat dengan kecepatan tinggi, untuk
kemudian lenyap dari
pandangan. Sepeninggal Panji, Wahyuni masih berdiri termenung, memandang ke arah sosok
penolongnya itu
menghilang. Terdengar tarikan nafasnya yang berat
dan berkepanjangan. Tak berapa lama kemudian, gadis itu pun mengayun langkah
melanjutkan perjalanan.
*** Pendekar Naga Putih terus berlari dengan kecepatan
tinggi. Dirinya sengaja mengerahkan kepandaian agar
Wahyuni tidak bisa mengejarnya. Setelah merasa yakin
kalau sudah cukup jauh meninggalkan gadis itu, barulah larinya diperlambat. Agak
menyesal memang ia melakukan hal itu. Namun tindakan ini dilakukannya
demi kebaikan mereka berdua.
Ketika melanjutkan perjalanan dengan setengah
berlari itu, tiba-tiba Panji menunda langkahnya. Telinganya yang tajam mendengar
ada suara langkah berat
seperti tersaruk-saruk, ditingkahi dengusan napas
yang memburu. "Hm.... Entah apa lagi yang akan kujumpai kali ini.
Yang jelas, dalam suasana kacau seperti sekarang ini,
aku harus selalu waspada...," gumam Panji sambil terus berkelebat menuju sumber
suara yang mengusik
telinganya itu.
Pendekar Naga Putih sudah siap melompat ke semak-semak, ketika suara langkah
berat dan napas terengah itu semakin dekat dengan tempatnya berada,
namun segera diurungkannya. Sesosok bayangan yang
sebentar lenyap sebentar terlihat di antara batangbatang pepohonan membuat
pemuda berjubah putih
itu melesat untuk menghampiri. Sebab, kendati hanya
sepintas, matanya sempat menangkap ada noda darah
pada pakaian sosok tubuh itu.
Gerakan Panji yang membawa hembusan angin keras itu, sempat membuat sosok yang
tertatih-tatih itu
terkejut. Namun ketika sambaran angin keras itu disusul dengan kemunculan
seorang pemuda tampan
berjubah putih, lelaki yang di beberapa bagian tubuhnya dipenuhi luka itu
terlihat agak tenang. Matanya
menatap sosok Panji dengan penuh selidik. Bahkan
tangannya sudah meraba gagang golok yang tergantung di pinggangnya.
"Siapa kau, Kisanak" Mengapa menghadang perjalananku?"
Meskipun dalam keadaan tubuh lemah karena terlalu banyak kehilangan darah,
lelaki itu tak ingin menunjukkan kelemahannya. Dia masih dapat ber-tanya
dengan penuh rasa curiga.
"Maaf kalau kehadiranku membuatmu terkejut Namaku Panji. Dan aku menghadang
bukan dengan maksud buruk Aku hanya merasa terusik melihat keadaan tubuhmu yang dipenuhi luka
itu, Kisanak. Kalau
boleh ku tahu, apa sebenarnya yang menimpa dirimu?"
Tanya Panji dengan tutur kata halus, setelah memperkenalkan dirinya.
"Hhh.... Dunia sekarang benar-benar sudah gila!
Tak ada lagi tempat yang dapat membuat kita hidup
tenteram. Di mana-mana terjadi kejahatan. Perampokperampok merajalela membunuh
dan merampas harta
benda sesuka hatinya. Bahkan tak segan-segan mereka memperkosa anak-istri orang!
Kalau sudah begini,
rasanya kiamat akan segera datang...," ujar lelaki berpakaian putih, yang pada
bagian kerah dan ujung lengannya dilapisi warna biru tua. Ucapan itu dikeluarkan
dengan suara bergetar penuh kekecewaan dan
keputusasaan. Dari wajahnya tampak, seolah-olah lelaki itu merasa menemukan
tempat untuk menumpahkan perasaan yang menyesakkan dadanya. Ketika
ucapannya selesai, tubuhnya melorot jatuh dengan
bertelekan kedua lutut Tampaknya penderitaan yang
dialami lelaki itu sangat berat Setelah melepas-kan segala perasaan kecewa,
kesal, dan putus asanya kepada
Panji, dia menekap wajah dan terisak.
Melihat lelaki itu jatuh terduduk dan terisak, Panji
tak berusaha untuk menghibur. Dia tetap berdiri di
tempatnya, menunggu redanya tangis dan kesedihan
lelaki itu. Sebab, sering tangisan seperti itu dapat
membantu meredakan kegalauan, kekecewaan, dan
kekesalan yang menyesakkan dada.
"Kisanak," tegur Panji ketika mendengar isak lelaki
itu terhenti, kendati masih tetap menyembunyikan wajah dengan kedua telapak
tangan. Panji tahu kalau orang itu sudah dapat mendengar
sapaannya. Maka segera dilanjutkan ucapannya.
"Ada kejahatan, pasti ada kebaikan. Ada kekacauan
jelas ada ketenangan. Ada malapetaka tentu kita akan
mendapat karunia. Begitulah Tuhan menciptakan segalanya dengan berpasang-pasang.
Satu sama lain selalu datang silih berganti...."
Panji menghentikan ucapannya dan menatap lelaki
itu. Ingin didengarnya apa tanggapan lelaki itu atas
perkataannya. "Kisanak.... Siapa sebenarnya dirimu" Tampaknya
kau telah banyak memiliki pengalaman dalam kehidupan ini. Dan kata-kata seperti
itu layak diucapkan seorang bijaksana atau seorang guru. Paling tidak orang
yang sudah lanjut usianya. Sedangkan kau kulihat
masih sangat muda" Dan..., sikapmu mencerminkan
ketenangan, sinar matamu yang tajam bagaikan sanggup menembus ke dalam hati,
menandakan bahwa
kau pastilah bukan pemuda sembarangan. Bersediakah kau memberikan jawaban yang jujur
kepadaku...?" ujar lelaki itu. Tampak matanya mulai memperhatikan sosok pemuda
tampan berjubah putih itu.
"Hm.... Seperti yang kukatakan tadi, namaku Panji.
Seorang pengembara yang tak pernah punya tempat
tinggal. Dan kalau yang kau maksudkan bahwa aku
memiliki kepandaian, tentu saja tidak salah. Meskipun
sebenarnya kurang pantas untuk dipamerkan, tapi
kuanggap cukup sekadar untuk bekal hidup. Nah, apa
kau masih menyimpan pertanyaan lagi sebelum menceritakan apa yang telah menimpa
dirimu atau keluar-
gamu" Atau mungkin juga perguruan tempatmu menimba ilmu. Sebab, kalau kulihat
dari pakaianmu, sepertinya kau murid sebuah perguruan silat," duga
Panji seraya meneliti sosok lelaki itu. Kemudian melangkah maju, dan duduk di
atas rerumputan. "Sudah
siap untuk bercerita...?" tanyanya tersenyum memandang lelaki yang kini berada
di sampingnya. Lelaki bertubuh agak gemuk, yang berusia sekitar
tiga puluh lima tahun itu tak segera menjawab. Setelah
menoleh sekilas menatap wajah Panji, ia menghela napas berat seperti hendak
melepaskan beban yang
menghimpit dadanya. Pandang matanya kini menerawang jauh ke langit cerah. Saat
itu matahari sudah
bergeser, waktu sudah lewat tengah hari.
Panji tak berkata apa-apa lagi. Bahkan ikut melemparkan pandang ke atas,
memperhatikan awan- awan
biru yang berarak. Dengan sabar dia menunggu orang
itu menceritakan peristiwa yang membuat tubuhnya
dipenuhi luka bekas senjata tajam maupun pukulan.
Setelah agak lama termenung, lelaki muda itu mulai
menceritakan kejadian yang dialaminya. Ia mengaku
sebagai salah satu murid dari Perguruan Wulung Sakti, yang bertempat di Bukit
Warangan. Perguruan yang
memiliki murid sekitar empat puluh orang itu, tibatiba didatangi sekelompok
orang dipimpin tokoh berjuluk Tengkorak Hitam. Tanpa basa-basi, mereka langsung
mengajak Perguruan Wulung Sakti bergabung
dan tunduk di bawah kekuasaan ketua dari Tengkorak
Hitam. Ketika ajakannya tidak disambut baik, Tengkorak Hitam marah dan
memerintahkan para anak
buahnya untuk menghabisi seluruh penghuni bangunan perguruan itu, termasuk
binatang peliharaan dan
ternak yang ada. Mereka pun membakar hangus rumah perguruan itu, setelah
membantai penghuninya.
"Lalu, bagaimana kau dapat selamat dan sampai ke
tempat ini...?" Tanya Panji setelah lelaki itu mengakhiri
ceritanya. Sepasang mata Pendekar Naga Putih menatap penuh selidik. Sebab menurut cerita
barusan, seluruh
penghuni rumah perguruan dibantai habis tanpa terkecuali. Kalau sekarang lelaki
itu ternyata bisa selamat
dan bertahan hidup, tentu saja menimbulkan pertanyaan di hati Panji.
"Secara kebetulan, aku selamat. Padahal aku lebih
suka tewas seperti saudara-saudaraku yang lain. Rupanya Tengkorak Hitam beserta
begundal-begundalnya mengira aku telah tewas. Tubuhku yang dipenuhi
luka tusukan senjata, tergeletak di antara sekian banyak mayat lainnya. Padahal
aku hanya pingsan. Dan
tersadar saat hari mulai gelap. Dengan hati hancur,
aku menguburkan semua mayat, termasuk guruku
dan tokoh-tokoh utama Perguruan Wulung Sakti. Kemudian aku memutuskan untuk
pergi meninggalkan
tempat itu. Aku terus berjalan mengikuti langkah kaki,
tanpa tahu ke mana dan apa yang harus kulakukan.
Tokoh-tokoh persilatan yang kukenal, serta beberapa
perguruan silat yang ku tahu, sudah kudatangi semua.
Maksudku tentu saja untuk meminta bantuan. Tapi,
mereka semua tak dapat kuharapkan. Mereka ternyata
mengalami nasib yang tak berbeda dengan perguruanku. Keadaan itu membuat aku
putus asa. Karena Iblis Angkara Murka yang menebar bencana tak ada
yang mampu menghentikannya...."
Lelaki gemuk itu menarik napas panjang lalu
menghembuskannya perlahan-lahan. Wajahnya kelam
penuh kedukaan yang dalam. Sesaat matanya tampak
memejam serta menggelengkan kepala perlahan. Seakan-akan hendak menghempaskan
kekesalannya. "Hm.... Aku telah mendengar semua kekacauan
yang akhir-akhir ini berkecamuk di berbagai tempat
Tapi, percayalah, Kisanak! Saat ini banyak pendekar
Badai Awan Angin 8 Dewi Ular 65 Misteri Gerhana Bercinta Riwayat Lie Bouw Pek 9
^