Pencarian

Kelabang Hitam 1

Pendekar Naga Putih 12 Kelabang Hitam Bagian 1


Pendekar Naga Putih:
KELABANG HITAM Ol eh T. Hidayat
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Clickers
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
1 Hari baru mulai beranjak sore ketika belasan sosok tu buh
berjalan tergesa-gesa. Di punggung pakaian mereka yang serba
m erah terdapat sulaman benang hitam bergam bar seekor
kelabang. Belasan orang itu mengh entikan langkahnya tepat di depan
bangunan kokoh yang di atas pintu gerbangnya terpam pang
papan tebal bertuliskan "Perguruan Cakar Elang".
Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus yang berada paling
depan m emalingkan wajah ke arah kawan-kawannya. Sesaat
kemudian, m engangguk kepada seorang anggota gerom bolan
yang bertu buh tinggi kekar dan berkepala botak. Dan tanpa
banyak cakap lagi si botak langsung m elangkah ke depan pintu gerbang.
"Hm !"
Sambil m enggeram lirih, si botak mengangkat kedua
tangannya ke atas kepala, untuk kemudian diturunkan di sisi
pinggang. Dan sesaat kemudian kedua tangannya didorong ke
depan dengan telapak tangan terbuka.
"Hiahhh !"
Brakkk! Pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati tebal kontan pecah
berantakan akibat hantaman sepasang telapak tangan si botak.
Serpihan-serpihan kayu beterbangan ke segala arah .
Belasan sosok serba merah serta-merta berl om patan m enerobos serpihan-serpihan kayu . Gerakannya rata-rata gesit dan terlatih
baik. "A da pengacau...!" salah seorang dari dua penjaga pintu
gerbang berteriak keras kepada kawan-kawannya.
Sedangkan penjaga yang satu lagi bergegas m enghadang
belasan tamu tak diundang sambil m enodongkan u jung tombak.
"Siapa kalian" Mengapa kalian rusakkan pintu gerbang
perguruan kami?" bentak penjaga itu sam bil m enggerak-gerakkan tombak. Sorot
matanya berputar liar m engawasi wajah belasan
orang itu . Mendengar pertanyaan penjaga pintu gerbang, si tinggi kekar
berkepala botak segera m elangkah maju.
"Hm . .. Aku adalah Tapak Baja! Kedatanganku kemari untuk
m encari gurumu. Cepat laporkan!" bentak laki-laki tinggi kekar berkepala botak
yang m engaku berjuluk Tapak Baja itu galak.
Saat itu puluhan orang murid Perguruan Cakar Elang berlarian
datang. Rupanya keributan di depan pintu gerbang telah
m engundang perhatian mereka.
"Kakang..!" tegur si penjaga kepada salah seorang kawannya
yang juga adalah kakak seperguruannya.
"Hm . .. Ada apa ini" Siapa mereka" Dan apa maksu d m ereka
m erusak pintu gerbang segala?" tanya orang itu sam bil
m emandang wajah si penjaga. Suaranya terdengar tegas dan
berwibawa. "Kakang Sadewa, orang itu m engaku berjuluk Tapak Baja. Dan
kedatangan mereka bermaksud untuk m encari guru," jawab si
penjaga sam bil m enunjuk orang tinggi kekar berkepala botak.
"Benarkan begitu , Kisanak?" tanya Sadewa yang mengalihkan
pandangan kepada Tapak Baja. Kemudian sepasang matanya
berputar m erayapi belasan sosok serba m erah lainnya.
"Tidak perlu banyak tanya lagi! Cepat panggil gurumu ! A ku
tidak ada waktu meladeni cecunguk macam kalian!" bentak si
botak sambil mel otot penuh ancaman. Seraya m engepal -
ngepalkan tinjunya sam pai m enimbulkan bunyi gem eretak
nyaring. "Hm . .. Tidak semudah itu, Kisanak. Semua urusan yang
m enyangkut perguruan kami telah dipercayakan kepadaku. Dan
kalau kau tidak mau mem beritahukan kepentinganmu, l ebih baik kau tinggalkan
perguruan kami!" tegas Sadewa tenang.
"Ha h a ha...!" Tapak Baja tertawa tergelak mendengar u capan Sadewa. Sesaat
kemudian suara tawanya l enyap dan wajahnya
pun berubah bengis. Dari buku -buku jari tangannya kem bali
terdengar suara gem eretak. Sekilas terlihat sepasang tangannya bergetar, ia
seolah -olah siap m elancarkan pukulan maut kepada Sadewa.
"A di Tapak Baja! Kau mundurlah !" kata l elaki tinggi kurus, yang meru pakan
pim pinan belasan orang berpakaian serba m erah seraya melangkah perlahan. Sang
pemim pin yang sejak tadi hanya m emandangi angkuh, m endekati Sadewa.
Tapak Baja yang semula kelihatan garang m erasa gentar
kepada si tinggi kurus. Lelaki berkepala botak itu m enyingkir m emberi jalan
kepada pemimpin yang diseganinya.
Sejenak hati Sadewa bergetar ketika bertemu pandang dengan
l elaki tinggi kurus itu . Dari sorot mata orang itu , Sadewa sadar kalau saat
ini dia tengah berhadapan dengan seorang yang
berkepandaian tinggi.
"Hm . .."
Tanpa berkata sepatah pun, tahu-tahu l elaki tinggi kurus itu m engulurkan
tangan ke depan. Gerakannya begitu cepat, dan
hampir tak dapat diiku ti mata orang awam .
"Aaah...!"
Gerakan yang seperti terlihat sem barang, ternyata telah
m engeju tkan Sadewa. Dengan cepat dia m el emparkan tu buh ke belakang, m
enghindari cengkeraman tangan si tinggi kurus yang nyaris m engancam l eher.
"Aaah...!"
Lagi-lagi terdengar seruan kaget dari mulut Sadewa! Meskipun
telah mundur sejauh tiga tom bak, namun cengkeraman l elaki
tinggi kurus itu tetap saja m embayangi dirinya. Sadewa yang
sadar kalau dia tak akan dapat m el epaskan diri dari serangan lawan, segera m
engangkat tangan kanan untuk m enangkis.
Plakkk! "Aaakh !"
Sadewa berteriak kesakitan ketika l engannya bertumbukan
dengan l engan lawan. Seketika itu juga tubuhnya terlem par dan jatuh terduduk!
Dari sela-sela bibirnya m elel eh cairan m erah .
Sungguh tidak disangkanya kalau tenaga dalam lelaki tinggi kurus itu demikian h
ebat! "Hm . .. Hanya segitu sajakah kepandaian murid utama
Pendekar Elang Sakti?" ejek laki-laki tinggi kurus itu dengan nada m enghina.
Si tinggi kurus tidak lagi m elanju tkan serangan. Dia hanya
berdiri tegak sejauh tiga tombak. Padahal kalau dia mau , batok kepala Sadewa
dapat saja dicengkeram pada saat berusaha untuk bangkit tadi.
"Siapa kau , Orang Tua" Ada keperluan apa kau m encari
guruku ?" tanya Sadewa, kepada laki-laki tinggi kurus, yang
berusia sekitar lima puluh lima tahun. Sepasang matanya
m enatap penuh selidik, seolah -olah ia berusaha m engingat-ingat barangkali
orang itu pernah datang sebelumnya. Tapi sam pai
sekian lama m eneliti, Sadewa tetap tak mengenal orang itu.
"Hm . .. Katakan kepada gurumu, Jari Penem bus Tulang ingin
berjum pa!" u jar laki-laki tinggi kurus itu dengan suara yang dalam dan berat.
"Cepatlah ! Sebelum habis kesabaranku !" ancam laki-laki tinggi kurus yang m
engaku berjuluk Jari Penem bus
Tulang. Sadewa yang sadar kalau l elaki tinggi kurus itu bukan
tandingannya, cepat berpaling kepada salah seorang kawannya.
"Laporkan kepada guru, ada tamu yang berjuluk Jari
Penembus Tulang ingin bertemu ! Cepat!" perintah Sadewa kepada salah seorang
murid yang berkerumun di belakangnya. Sedangkan dia sendiri tetap diam di tem
patnya untu k menjaga segala
kemungkinan. Meskipun tahu kalau dirinya tidak mungkin
m enang menghadapi Jari Penembus Tulang, tapi rasa tanggung
jawab yang besar m embuatnya tetap m engawasi tamu -tamu tak
diundang. Sebelum murid yang diperintah Sadewa beranjak, tiba-tiba
terdengar suara berat dan berwibawa.
"Siapa yang m encariku, Sadewa.. ?"
Belum lagi gema suara itu l enyap, sesosok bayangan pu tih
berkelebat, m endatangi halaman depan Perguruan Cakar Elang.
Dalam sekejap saja, laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun itu telah berdiri
di sam ping Sadewa. Dua orang laki-laki gagah lain telah pula berada di
belakangnya. "Hm . .. Kiranya Jari Penembus Tulang yang datang! Angin apa
yang mem bawa langkahmu sampai ke tem patku ini, Jari
Penembus Tulang?" sapa laki-laki berjenggot putih .
"He h e he.. ! Pendekar Elang Sakti! Kedatanganku kemari
m embawa angin baik untukmu. Tapi semua itu tergantung
sikapmu !" sahut Jari Penembus Tulang tak jelas, sehingga
m embuat kening kakek itu berkerut.
"Tidak perlu berbelit-belit. Katakan saja apa keperluanmu
m enemuiku ," u jar kakek itu yang ternyata adalah Ketua
Perguruan Cakar Elang. Meskipun cara berbicaranya tetap ramah , namun m
encerminkan ketegasan sikap seorang guru persilatan
besar. "Pendekar Elang Sakti, kedatanganku kemari untuk m engajakmu bergabung dengan kami. Dan sebagaimana yang
kukatakan tadi, nasibmu tergantung pada sikapmu. Kalau kau
bersedia, ku tunggu di Hutan Warangan tu juh hari setelah
kedatanganku ini. Di sana ketua kami m enunggumu!" u cap Jari Penembus Tulang
sam bil menatap tajam lawan bicaranya.
"A pa tu juanmu m engajakku bergabung" Dan siapa ketuamu?"
tanya Pendekar Elang Sakti.
"Kau tidak perlu tahu siapa ketua kami. Pokoknya kau harus
m enjawab ajakan kami sekarang juga. Dan ingat! Nasibmu dan
seluruh murid Perguruan
Cakar Elang tergantung
dari jawabanmu !" sahut Jari Penembus Tulang, kembali m engingatkan ancamannya.
Melihat dari sikap dan sinar matanya, sepertinya
laki-laki tinggi kurus ini tidak main-main.
"Dengar, Kisanak!" u jar Pendekar Elang Sakti, sambil menatap lawan bicaranya
tajam-tajam. Perasaan orang tua itu benar-benar tersinggung m endengar ancaman
Jari Penembus Tulang. "Bagaimana aku dapat bergabung dengan ketuamu, kalau kau
tidak m engatakan tu juan kel ompokmu " Dan untuk apa aku
datang kalau nama orang yang mengundangku pun tidak pula kau
beri tahu ?"
"Jadi. .," u cap Jari Penembu s Tulang m eminta ketegasan.
"Yah, aku m enolak bergabung dengan ketuamu! Lain halnya
kalau kau mem beri tahu tujuan kel om pokmu dan siapa nama
ketuamu" Mungkin aku dapat m empertimbangkannya," sahut
Pendekar Elang Sakti tegas.
"Tidak u sah bertele-tel e, Pendekar Elang Sakti. Katakan saja kau menolak! Apa
kau takut m engucapkan kata-kata itu?" ejek
Jari Penembus Tulang, sinis. Sekilas sorot matanya terlihat penuh ancaman.
"Ya!Aku m enolak!" sahut Pendekar Elang Sakti, menentang.
"Bagus! Itu baru ucapan laki-laki sejati! Nah , sekarang
bersiaplah kau m enerima hukuman!" tantang Jari Penem bus
Tulang, dengan wajah bengis.
Setelah berkata begitu , kedua tangannya dikibaskan sebagai
isyarat kepada tiga belas orang berseragam m erah yang berdiri di belakangnya.
Begitu m endapat isyarat, ketiga belas orang berseragam merah pun segera m
enyebar sam bil m encabut senjata masing-masing.
Sem entara lima puluh murid Perguruan Cakar Elang siap
m enunggu perintah guru m ereka. Tak seorang pun di antara
puluhan orang murid itu berani bertindak sendiri sebelum dapat aba-aba dari sang
Ketua. "Tunggu . .!" tiba-tiba sebelum pertempuran terjadi, Pendekar Elang Sakti
berseru lantang. Tentu saja teriakan yang disertai pengerahan tenaga dalam itu m
engeju tkan semua orang. Sesaat semua yang hadir terdiam.
"A pakah kau berubah pikiran, Pendekar Elang Sakti?" ujar Jari Penembus Tulang,
sambil m em perlihatkan senyum kemenangan.
"Tidak! Tapi aku ingin mengusulkan sesuatu padamu !"
Pendekar Elang Sakti, tetap tenang.
"Katakan! A pa usulmu?" pinta l elaki tinggi kurus itu , sam bil m engerutkan
kerung. Sikapnya tetap som bong dan m enganggap
rem eh lawan. "Aku ingin persoalan ini tidak disangkut-pau tkan dengan
murid-muridku. A ku menantangmu berkelahi satu lawan satu .
Tentu saja kalau kau berani," sindir Ketua Perguruan Cakar Elang sengaja m el
ontarkan u capan yang menyinggung harga diri l elaki tinggi kurus itu.
"A pa maksudmu , Pendekar Elang Sakti?" tanya Jari Penembus
Tulang. "Maksu dku, aku siap menantangmu bertarung. A pabila kau
kalah , kau harus m eninggalkan tempat ini dan jangan
m engganggu kami lagi!" sahut Pendekar Elang Sakti, dengan
suara dikeraskan agar belasan anak buah Jari Penembus Tulang
ikut m endengar.
"Bagaimana kalau kau yang kalah ?" tanya lelaki tinggi kurus
itu lagi. "Kalau aku yang kalah, terserah apa yang akan kau perbuat
pada perguruanku ini!" tegas Ketua Perguruan Cakar Elang, tetap tenang.
"He h e h e. . Baik! Ku terima tantanganmu!" sam but Jari
Penembus Tulang, sambil m elangkah ke tengah-tengah pelataran Perguruan Cakar
Elang. Sepasang matanya m enyorot tajam ,
seolah -olah tak ingin l epas dari wajah lawan.
"Mulailah, Kisanak!" ucap Pendekar Elang Sakti m emasang
ku da-kuda. Kedua kakinya bersilangan rendah . Sedangkan
sepasang tangannya m engembang ke samping. Inilah jurus
pem bukaan 'Elang Sakti' yang m embuat namanya terkenal di
rimba persilatan.
"Hmh . .!" Jari Penem bus Tulang menggeram . Telapak kakinya
digeser berlawanan m embentuk ku da-kuda seperti posisi orang m enunggang kuda.
Sementara sepasang telapak tangannya
bersilangan di atas kepala. Sepasang telapak itu bergetar sesaat sebelum
diturunkan perlahan-lahan ke depan dada.
"Heaaat...!"


Pendekar Naga Putih 12 Kelabang Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diiringi teriakan nyaring, tiba-tiba Jari Penem bus Tulang
m eluncur ke arah lawan. Jari-jari tangannya m enusuk berganti-gantian.
Wuttt! Wu ttt! Suara sam baran jari-jari tangan si tinggi kurus berdesing
tajam m em belah u dara. Pendekar Elang Sakti yang m emang
su dah pernah m endengar kehebatan Jari Penembus Tulang,
segera m enggeser kaki kanan
dengan posisi kuda-ku da direndahkan. Begitu jari-jari tangan lawan l ewat, tangan
kanannya m enyambar dengan kecepatan kilat.
Wukkk! Jari Penem bus Tulang bergegas m engangkat kaki kiri yang
m enjadi sasaran serangan Pendekar Elang Sakti. Secepat kilat pula tubuhnya
berputar sam bil m el epaskan tendangan ke arah l eher. Gerakan tendangan kilat
berputar ini nyaris m engenai l eh er Ketua Perguruan Elang Sakti.
"Aaah...!"
Bu kan main terkejutnya pendekar tua itu ketika melihat
tendangan kilat lawan. Untunglah dia cepat m enghindar ke
belakang. Sehingga tendangan itu hanya m engenai angin kosong.
"Heaaat...!"
Begitu kedua kakinya m enjejak tanah, Pendekar Elang Sakti
langsung melam bung ke arah lawan. Sepasang tangannya yang
m embentuk cakar elang menyam bar-nyambar tak ubahnya
burung elang mencecar mangsa.
"Hmh !"
Disertai dengusan kasar, Jari Penembus Tulang m enyambut
serangan lawan. Pertem puran kembali berlangsung. Kedua tokoh sakti yang sama-
sama m enggunakan kekuatan jari saling serang dengan hebatnya! Namun sam pai
sedemikian jauh, belum ada
tanda-tanda salah seorang di antara m ereka akan kalah.
Tak Terasa adu tanding antara dua tokoh sakti berlangsung
al ot dan lama. Tapi keadaan pertem puran sama sekali belum
berubah. Kedua orang tokoh sakti masih sama-sama kuat,
sehingga keduanya m enjadi semakin penasaran!
Tanpa disangka-sangka Jari Penembus Tulang m el om pat
mundur m eninggalkan Pendekar Elang Sakti. Tu buhnya mendarat ringan sejauh
empat tombak setelah m elakukan dua kali salto di udara.
"Hiaaah .. !"
Jari Penembus Tulang mem bentak keras sambil memutar-
mutar sepasang tangan. Ru panya masih ada lagi ilmu paling
am puh yang belum dikeluarkannya. Melihat lawannya ternyata
sangat kuat, maka dia pun segera m engeluarkan ilmu andalan
yang selama ini jarang dipakai kalau tidak terpaksa.
Pendekar Elang Sakti terkejut melihat peru bahan gerakan
lawan. Diam-diam hatinya mulai diliputi kecemasan m elihat Jari Penembus Tulang
masih punya ilmu andalan yang belum
dikeluarkan. "Yeaaat..!"
Dengan disertai teriakan nyaring, tubuh Jari Penem bus Tulang m elesat m
enyerang. Serangan kali ini terlihat l ebih cepat dan ganas! Dua buah jari
tangan yang berbentuk totokan, menderu
m engancam Pencakar Elang Sakti!
Cuittt! Cuittt!
"Aaah...!"
Pendekar Elang Sakti berseru tertahan. Untunglah dia masih
sem pat bergulingan m enjauhkan diri. Kalau tidak, niscaya
tu buhnya pasti akan tertembus jari lawan yang sekeras besi!
Setelah bergulingan sejauh lima tombak, Ketua Perguruan
Cakar Elang bergegas m el enting bangkit. Kedua tangannya
bergerak cepat m enjaga segala kemungkinan. Wajah orang tua itu terlihat agak
pucat, m embayangkan apa yang bakal terjadi kalau jari tangan lawan m enusuk tu
buhnya. "He h e h e...! Mengapa kau hanya lari-lari saja seperti anjing takut
digebu k?"
ejek lelaki tinggi kurus itu sam bil m emperdengarkan suara tawanya yang serak dan m enyebalkan.
Sadar kalau lawan berusaha memancing amarahnya, Pendekar
Elang Sakti sengaja tidak m enjawab. Sejenak dia terdiam sam bil m eneliti
langkah Jari Penem bus Tulang. Otaknya terus berpu tar m encari jalan bagaimana
m engimbangi kepandaian lawan yang
ternyata m emiliki kepandaian sukar diukur.
"Ayo, majulah ! Mengapa diam saja" A pakah keberanianmu
su dah l enyap?" orang tinggi kurus itu terus-menerus m engejek sam bil m
elangkah m endekati lawannya. Dia tidak hanya
m empunyai kepandaian yang tinggi, tapi sifat liciknya pun patu t
diperhitungkan. Tanpa kenal putus asa, dia terus berusaha
m engalihkan perhatian Ketua Perguruan Cakar Elang.
Ocehan dan ejekan si tinggi kurus tidak digubris Pendekar
Elang Sakti! Ia berdiam diri, matanya menyorot tajam gerak-gerik lawan.
Jari Penem bus Tulang penasaran. Hatinya mulai panas sampai
ke ubun-ubun. Maka, ia pun m embentak keras-keras agar
lawannya bergerak. Melalui tenaga sakti, bentakan keras itu dapat m engaburkan
pandangan lawan.
"Heaaah !"
Betapa terkejut hati Pendekar Elang Sakti m elihati gerakan
lawan. Sepasang matanya tak dapat m enangkap jelas bayangan
Jari Penem bus Tulang yang tahu -tahu su dah berkel ebat!
"Langkah Dua Belas Naga.. !" desis Pendekar Elang Sakti,
terkeju t. Sama sekali tidak disangkanya kalau lawan m emiliki ilmu langkah
-langkah ajaib yang amat langka itu . Peristiwa yang dialaminya tentu saja m
embuat dia semakin bingung!
"Yeaaat..!"
Wuttt! Brettt! "Aaakh . .!"
Pendekar Elang Sakti m enjerit kesakitan ketika m erasakan jari tangan lawan
telah menancap di lam bungnya. Tubuhnya terjajar delapan langkah ke belakang.
Seketika darah segar m erembes dari luka di lam bung yang terasa panas dan m
enyakitkan itu .
Wuttt! Cuittt! Sesaat kemu dian Jari Penem bus Tulang kembali m enerjang
dengan serangan-serangan m ematikan! Jari-jari tangannya
berkelebatan cepat m engancam berbagai bagian tubuh lawan.
Cepat Pendekar Elang Sakti mengel ebatkan pedang, yang sejak
tadi m enggantung di pinggangnya m emapak serangan lawan.
*** 2 Wukkk! Jari Penem bus Tulang m erendahkan kuda-ku da dengan kepala
m enunduk, sehingga sambaran pedang lewat setengah jengkal di atas kepalanya.
Secepat sambaran pedang l ewat, secepat itu pula jari-jari tangannya m eluncur
ke dua arah . Jari-jari tangan kiri m enusuk kening, sedangkan jari kanan mematu
k pergelangan tangan lawan, yang m em egang pedang. Dan.. .
Tukkk! Crokkk! "Aaargh . .!"
Pendekar Elang Sakti m enjerit kesakitan ketika kening dan
pergelangan tangannya dipatuk jari tangan lawan. Tubuhnya
terdorong limbung ke belakang. Dari keningnya m enyem bur
darah segar sem entara tangan kanan terkulai lumpuh. Tulang
pergelangan tangannya seketika l epas dari sambungan. Bertepatan pada saat tu buh Ketua Perguruan Cakar Elang terjajar limbung, tubuh
si tinggi kurus kem bali m eluncur.
Crabbb! Desss! Tendangan Jari Penem bus Tulang langsung m engenai tu buh
Pendekar Elang Sakti. Seketika itu juga tubuh orang tua ini
ambruk dengan napas tersengal -sengal . Darah m engalir semakin deras dari
kening dan dadanya.
"Guru . .!"
Sadewa dan dua orang murid utama lain langsung
m enghambur ke arah guru m ereka. Sem entara murid-murid yang lain hanya dapat m
emandang dengan wajah haru , dan seakan tak percaya m elihat peristiwa yang baru
saja terjadi. "Guru . .. Ahhh.. guru... "
Ketiga orang murid utama terisak sedih dan menyesali
keadaan sang guru yang terluka parah dan tidak akan ada harapan untuk hidu p l
ebih lama l agi.
"Wi... se.. sa.. . Jaga... a.. . dik.. seperguruanmu baik.. ba..
ikkk. .. Ahhh.. ," setelah berpesan demikian, kepala Pendekar Elang Sakti
langsung terkulai di atas pangkuan Wisesa. Murid
tertua itu sangat terharu m engetahui sang guru telah tiada.
"Guru . .!"
Sadewa m emanggil-manggil
nama gurunya sam bil m engguncang-guncangkan tubuh orang tua itu. Sedangkan
Wisesa hanya dapat m emandang dengan perasaan remuk-redam .
"A di, beliau . . telah tiada. .," u jar Wisesa, setelah dapat m enenangkan
perasaan hatinya. Murid tertua itu kem bali
m enundukkan kepala karena m erasa tak tahan melihat wajah adik seperguruannya
yang terlihat sangat berduka. Wisesa dapat
m emaklumi karena Sadewa m emang m erupakan murid tersayang
sang guru . Dia tak dapat berbuat apa-apa saat Sadewa masih juga m engguncang-
guncangkan tu buh Pendekar Elang Sakti yang
mulai terbujur kaku .
"He h e h e. .! Mengharukan sekali!" Jari Penem bus Tulang
tertawa mengejek melihat kesedihan dan penyesalan murid-murid Perguruan Cakar
Elang. Seketika tiga murid utama yang sedang
diselimuti rasa duka itu mengalihkan pandangan begitu tersadar kalau pembunuh
itu masih berada di depan mereka. Kemu dian
ketiganya bangkit dengan raut wajah mencerminkan rasa dendam
yang amat sangat.
"Keparat kau, Cacing Kurus! Kau harus m enebus kematian
guruku dengan nyawamu dan nyawa orang-orangmu !" bentak
Sadewa, seraya m encabu t pedang. Dengan kemarahan yang
m eluap-luap, pemuda itu langsung m el ompat dan m engayunkan pedang ke l eh er
si tinggi kurus.
Wuttt! Sabetan pedang Sadewa m engenai angin kosong karena Jari
Penembus Tulang telah m enggeser
tubuh ke belakang.
Nampaknya dia sengaja tidak ingin melayani amukan pemu da itu .
"Hm . .. Rupanya kalian lebih suka mampus! Anak-anak, habisi
orang-orang tak tahu diuntung ini!" perintah Jari Penem bus
Tulang kepada belasan orang anak buahnya yang berseragam
m erah. Tanpa banyak cakap lagi, belasan orang berseragam merah
langsung menyerbu murid-murid Perguruan Cakar Elang. Sesaat
kemudian terjadilah pertem puran yang amat seru di halaman
depan Perguruan Cakar Elang.
Puluhan murid Perguruan Cakar Elang yang dipimpin tiga
orang murid utama Perguruan Cakar Elang menerjang dengan
ganas. Mereka yang merasa marah akibat kematian sang Guru ,
m enerjang tanpa m em pedulikan keselamatan diri sendiri.
Tiga belas orang berseragam m erah sama sekali tidak m erasa
gentar m eskipun masing-masing harus m enghadapi keroyokan
tiga atau em pat orang lawan. Gerakan mereka rata-rata terlihat cepat, sehingga
tidak heran kalau dalam beberapa jurus saja
banyak murid-murid Perguruan Elang Sakti terkapar tewas!
Wisesa dan dua orang saudaranya tak dapat berbuat banyak.
Karena pada saat itu ketiganya pun harus m empertahankan
sel embar nyawa m ereka dari gempuran l elaki berkepala gundul yang berjuluk
Tapak Baja. Tiga orang murid utama Pendekar
Elang Sakti benar-benar kewalahan m engimbangi kepandaian
lawan. "Heaaah . .!"
Ketika Tapak Baja berseru keras sam bil m endorongkan telapak tangan ke dada
Sadewa, pemuda itu cepat m enangkis serangan
dengan m engayunkan pedangnya. Namun alangkah terkejutnya
pemu da itu ketika lawan mem babat pedangnya hanya dengan
tangan kosong, sedangkan tangan yang satu lagi tetap m eluncur ke arah dada.
Takkk! Bu kkk! "Ughhh.. !"
Pedang di tangan Sadewa langsung patah terbabat telapak
tangan Tapak Baja. Dan sebelum dia sem pat tersadar, tahu -tahu telapak tangan l
elaki berkepala gundul telah m enghantam
dadanya. Seketika darah segar bermuncratan dari mulut murid
utama Pendekar Elang Sakti itu. Tu buhnya terbanting keras dan tewas seketika
akibat hantaman tangan lawan yang telah
m enghantam isi dadanya.
"Keparat! Ku bunuh kau...!" bukan main marahnya Wisesa
m elihat kematian adik seperguruannya. Secepat kilat senjatanya diayunkan m
enebas leh er Tapak Baja.
Pl etakkk! "Aaah...!"
Wisesa terkejut setengah mati! Senjata di tangannya langsung
patah akibat sabetan tangan lawan sedangkan dia sendiri terjajar mundur sejauh
em pat langkah . Dan belum lagi sempat
m emperbaiki kuda-ku danya, tahu-tahu telapak tangan Tapak Baja telah m eluncur
m enghantam dada.
Wisesa yang sudah tidak berdaya hanya mem ejamkan mata
m enunggu maut datang menjem put!
Plakkk! Desss! "Ughhh.. !"
Terdengar teriakan menyayat hati yang disusul terl emparnya
sesosok tubuh berpakaian serba m erah beberapa tombak ke
belakang. Seketika darah segar bermuncratan dari mulutnya.
Wisesa yang sedang m em ejam kan mata m enjadi h eran karena
serangan orang yang m engaku berjuluk Tapak Baja tak juga
datang. Rasa heran semakin bertambah saat didengarnya jeritan orang kesakitan.
Perlahan-lahan kedua kel opak matanya dibuka untuk m elihat apa yang terjadi.
Murid tertua Perguruan Cakar Elang m elihat tubuh Tapak Baja
telah terkapar tak berdaya. Kini di depannya tam pak sesosok
tu buh berpakaian serba putih tengah berdiri tegak. Di punggung orang asing itu
terselip sebatang pedang panjang dan besar.


Pendekar Naga Putih 12 Kelabang Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapakah Kisanak?" sapa Wisesa kepada orang berpakaian
serba putih. Matanya menatap tajam, seakan-akan ingin
m engetahui dengan jelas sosok tubuh berbaju pu tih yang
m embelakanginya! Dan sebelum pertanyaannya dijawab, tiba-tiba terdengar lagi
jeritan kematian yang berasal dari arena
pertempuran di sebelah kiri Wisesa.
Segera Wisesa mengalihkan pandangan ke asal suara jeritan.
Terlihat ol ehnya seorang gadis cantik tengah bertempur dikeroyok beberapa orang
berpakaian serba m erah .
"Eh, siapa pula wanita jelita itu ?" desis murid tertua Perguruan Cakar Elang,
semakin h eran. Sepasang matanya mem belalak
l ebar-l ebar menyaksikan dua orang berbaju merah terjungkal
bersimbah darah ! Pedang yang bersinar pu tih di tangan gadis itu terlihat
berlumuran darah.
"Uruslah kawan-kawanmu. Biar aku yang menghadapi orang
itu ," u jar sosok tu buh berjubah putih itu sam bil tersenyum.
Wajahnya yang tampan terlihat semakin m enarik saat tersenyum.
Rambu tnya yang panjang bergoyang-goyang tertiup angin. Seh elai kain yang juga
berwarna pu tih menghiasi kepalanya.
Sejenak Wisesa terpana ketika m engetahui kalau orang serba
pu tih yang telah m enol ongnya ternyata masih sangat muda.
"Baik. .. Baik, Tuan Pendekar.. !" sahut Wisesa, terbata-bata.
Dengan wajah masih diliputi tanda tanya, dia pun bergegas
m embantu murid-murid lain bersama adik seperguruannya.
Sem entara itu, Tapak Baja berusaha bangkit sambil menekap
dada dengan tangan kiri. Sedang tangan kanannya terkulai
lumpuh. Dari su dut bibirnya keluar darah segar.
"Bangsat! Siapa kau" Mengapa kau campuri urusanku ?" geram
Tapak Baja, sam bil m eringis m enahan rasa sakit di dada akibat hantaman
telapak tangan pemuda berjubah putih itu.
"Hm . .. Siapa pun yang m elihat kejadian ini tidak akan bisa berpangku tangan!
Dan sudah m enjadi kewajiban, setiap
pendekar pembela kebenaran untuk m em basmi orang sekeji kau !"
sahut pemu da tampan itu dengan tenang.
"Sebutlah namamu! Atau kau akan m enjadi mayat tanpa
nama!" ancam Tapak Baja, semakin geram , mendengar jawaban
yang tak diharapkan.
"Mundur kau , Tapak Baja! Aku telah dapat m enduga siapa
pemu da usilan ini! Nah , sam butlah seranganku , Kisanak!
Haiiit...!" didahului bentakan nyaring, tu buh tinggi kurus yang tidak lain
adalah Jari Penem bus Tulang segera m elancarkan
serangan. Wettt! Wu ttt! "Hm . .."
Pemuda tampan berjubah putih hanya menggeser kaki ke
belakang, sehingga serangan itu pun hanya m engenai tempat
kosong. Secepat kilat kaki kanan telah digeser ke belakang,
kem bali terl ontar ke depan m elepaskan tendangan ke ulu hati lawan. Tendangan
itu demikian cepat, sehingga mengejutkan Jari Penembus Tulang!
Bettt! "Aaah...!"
Lelaki tinggi kurus itu cepat m elem par tu buh ke belakang dan langsung
berputaran di u dara. Kedua kakinya m endarat ringan beberapa tombak di depan
lawan. Untunglah tadi dia bertindak
cepat. Sesaat saja terlam bat, ulu hatinya pasti terkena tendangan pemu da
berjubah putih .
Jari Penem bus Tulang berusaha berdiri tegak dengan wajah
sedikit pucat, karena tak m engira akan berhasil l ol os dari tendangan
kilatnya. Sepasang mata lelaki tinggi kurus m enyorot tajam m eneliti seku jur
tu buh pemuda tampan berbaju putih .
Keningnya berkerut, karena sebelumnya tak pernah m elihat ciri-ciri manusia yang
diduganya adalah pemuda itu . Tentu saja hal itu m enimbulkan keraguan dalam
hatinya. "Siapa kau sebenarnya, Anak Mu da" Apakah kau sedemikian
pengecutnya, sehingga tidak berani m em perkenalkan diri?" u jar Jari Penem bus
Tulang, m emancing kemarahan dan harga diri
pemu da itu. "Ha ha ha. .! Orang Tua. Kalau kau m emang ingin tahu
namaku , baiklah ! Nama panggilanku adalah Panji. A ku hanya
seorang perantau yang kebetulan l ewat. Dan sebagai orang yang m emiliki sedikit
kepandaian, aku tidak bisa tinggal diam m elihat perbuatan anak buahmu yang
berlaku keji terhadap murid-murid
Perguruan Cakar Elang. Nah, sekarang kau sudah puas?" tegas
pemu da tam pan yang tidak lain adalah Panji alias Pendekar Naga Putih dengan
sikap tenang. "Hm . .. Mengapa kau tidak m enyebutkan julukanmu, agar
dapat ku pertim bangkan apakah aku pantas m enghukum atau
m emaafkan tindakanmu?" Jari Penem bus Tulang masih juga
penasaran karena pemuda berju bah putih tidak m enyebutkan
julukannya. "Ah, untuk apa segala julukan kosong itu , Orang Tua"
Su dahlah ! Sekarang kau bol eh pilih . Sekarang juga pergi dari tem pat ini
dengan m embawa pengikutmu, atau terpaksa aku
m enghukummu!" ancam Panji tanpa bersedia m enyebutkan
julukannya. "Keparat kau , Anak Muda! Kau kira kami taku t melihat
kepandaianmu"! Huh ! Jangan takabur! Aku masih belum kalah !"
bentak Jari Penembus Tulang yang m erasa marah m endengar
perkataan Pendekar Naga Putih . Kedua tangannya tahu -tahu
su dah kem bali bergerak dan siap melanjutkan pertem puran.
"Baiklah kalau itu sudah jadi keputusanmu , Orang Tua!" sahut Panji, tetap
bersikap tenang, namun penuh waspada.
"Hmh !" geram Jari Penem bus Tulang, mem buka jurus gaya
burung rajawali. Kaki kanan agak rendah ke belakang dan kaki
kiri ditekuk di depan. Jari tangan kanan yang berada di atas
kepala menunjuk ke langit. Sedangkan tangan kiri terjulur lurus m enunjuk ke
arah lawan. Itulah pem bukaan jurus kelima ilmu
'Jari Sakti' yang telah dipelajari dengan sem purna.
Sepasang mata Panji menatap tajam m eneliti gerakan l elaki
tinggi kurus di depannya. Dia m emang pernah m endengar
keh ebatan ilmu 'Jari Sakti' yang kini sedang digunakan lawan.
Dan dia pun tahu kalau kekuatan ilmu 'Jari Sakti' hanya terl etak pada jari-jari
tangan yang keras seperti besi dan dapat menem bus tu buh manusia.
"Yeaaat..!"
Diawali bentakan nyaring, Jari Penembu s Tulang meluncur
cepat secara bersilangan. Rupanya laki-laki tinggi kurus su dah m engeluarkan
langkah ajaibnya.
Panji mengerutkan kening m elihat lawan bergerak maju
dengan langkah -langkah aneh . Pemu da itu makin terkejut m elihat tu buh Jari
Penembus Tulang ham pir tak tam pak ol eh mata.
Diam -diam Panji m emuji keh ebatan lawan yang ternyata m emiliki kepandaian
beraneka ragam .
Bettt! Bettt! "Aihhh.. !"
Pendekar Naga Putih berseru tertahan Tiba-tiba saja jari-jari tangan lawan m
enyambar secara tak terduga. Untunglah pemu da itu sempat m embuang tubuh ke
samping, sehingga serangan dua
jari tangan laki-laki bertubuh tinggi kurus itu berhasil
dihindarkan. Sedikit saja terlambat, mungkin jari-jari tangan sekeras besi lawan
akan menem bus lam bung dan leh er. Kini Panji harus l ebih berhati-hati m
enghadapi Jari Penembus Tulang
dengan langkah -langkah ajaibnya.
Jari Penembus Tulang terus m encecar Panji dengan gerakan-
gerakan yang m embingungkan. Sepasang tangannya m enyambar-
nyambar ganas m enim bulkan deru angin tajam .
Wettt! Bettt! Dua serangan jari tangan lawan dapat dielakkan Panji, elakan
dengan m embuang tubuh ke kiri dan kanan. Selama dalam
beberapa jurus, Pendekar Naga Putih hanya menghindar tanpa
sekalipun berusaha m embalas. Sepasang matanya yang tajam
terus mengikuti langkah lawan yang aneh dan m em bingungkan
itu . Pemuda itu m emang sengaja tidak mem balas serangan lawan karena tengah m
encari titik kel emahan ilmu 'Langkah A jaib'
lawan yang dihadapinya.
Pertarungan terus berlangsung hingga m enginjak jurus ke
tigapuluh lima. Dan sam pai sejauh itu, Panji belum juga dapat m enemukan titik
kel emahan ilmu 'Langkah Ajaib' Jari Penem bus Tulang. Sam pai pada jurus ke
tigapuluh lima ini pun ia sama
sekali belum m elakukan serangan balasan.
"Setan! A pakah kau hanya bisa berlari-lari seperti tikus, Anak Mu da"!" Jari
Penem bus Tulang berteriak marah m elihat Panji hanya m enghindar tanpa
sekalipun balas menyerang.
Pendekar Naga Putih sama sekali tidak m enggu bris ejekan
lawan. Dia terus m em perhatikan langkah-langkah aneh Jari
Penembus Tulang. Sebenarnya dapat saja dia mematahkan
serangan lawan dengan m engandalkan keh ebatan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan'nya. Tapi hal itu tidak dilakukan, karena merasa tertarik dengan
ilmu 'Langkah A jaib' lawan. Ilmu itu baru
pertama kali ia temui setelah sekian lama malang-melintang di dalam dunia
persilatan Setelah kurang l ebih selama empat puluh jurus m emperhatikan gerak langkah Jari Penem bus Tulang, tampak
senyum gembira m enghias wajahnya. Ru panya Pendekar Naga
Putih su dah dapat menemukan titik kel emahan ilmu 'Langkah
A jaib' gaya serang burung rajawali lawan.
Bettt! Brettt! "Aaah...!"
Kegembiraan karena telah m enemukan kunci kel emahan ilmu
'Langkah A jaib' lawan m em buat Pendekar Naga Putih l engah .
Untunglah dia masih sem pat memiringkan tu buh, sehingga
tu sukan jari tangan l elaki tinggi kurus itu hanya sempat merobek baju di
bagian dada. Cepat pemuda ini m enghindar ke belakang dan dua kali bersalto di u
dara. Kedua kakinya mendarat ringan empat tom bak dari tempat lawan.
"He he h e...! Sebentar lagi bu kan hanya bajumu yang bol ong.
Tapi tubuhmulah yang akan menjadi sasaran jari-jariku ini!" Jari Penembus Tulang
tertawa gembira m eskipun tusukan jarinya
hanya sem pat m erobek baju Panji. Kejadian itu mem buat dirinya semakin yakin,
mampu m engalahkan lawan sekalipun harus
m engerahkan segenap kemam puannya.
"Hm . .. Tertawalah sepuasmu , Orang Tua. Sebentar lagi ilmu
'Langkah A jaib' yang kau banggakan akan kubuat takluk!" sahut Pendekar Naga
Putih, seraya tersenyum lebar.
"Keparat sombong! Buktikan
ucapanmu !"
teriak Jari Penembus Tulang agak terkejut Hatinya yang semula yakin
m endadak ragu ketika m endengar u capan Panji. Tapi dia
berusaha m enyembunyikan keraguannya. Sebab siapa tahu
pemu da itu hanya sekadar gertak sambal agar perhatiannya
buyar. "Heaaat...!"
Sambil berteriak keras Jari Penem bus Tulang kembali
bergerak dengan langkah -langkah
ajaib. Kedua kakinya m elangkah bersilangan, terkadang diselingi gerakan mundur dan maju secara cepat
dan aneh . Melihat lawan sudah mulai bergerak, Panji pun mulai
m enggeser telapak kaki perlahan. Makin lama gerakan kaki
pemu da itu semakin cepat, mirip dengan apa yang dilakukan laki-laki bertu buh
tinggi kurus itu. A pabila lawan bergerak mundur, maka pemu da itu pula m
elangkah mundur. Tentu saja gerakan
Panji m embuat lawan m enjadi terheran-h eran.
Wuttt! Wu ttt! Tiba-tiba saja Jari Penembus Tulang bergerak maju secara tak
terduga. Saat itu pun Panji melakukan hal yang sama, sehingga du a pasang tangan
keduanya saling dorong dan ham pir
bertumbukan. Sebelum kedua pasang l engan kekar itu saling
bertemu, mendadak laki-laki tinggi kurus itu m endoyongkan
tu buh ke sam ping kiri sambil m el ontarkan tusukan jari ke
lambung. Cuittt! Tusukan jari tangan yang mampu m enembus batu karang,
l ol os tak m engenai sasaran! Rupanya saat itu pun Panji telah m endoyongkan
tubuhnya, persis seperti yang dilakukan lawan.
Sekali lagi tusukan Jari Penembus Tulang luput, karena posisi m ereka
yang saling berhadapan, m embuat keduanya m endoyongkan tu buh ke arah berlawanan.
Wuttt! Blakkk! "Aaakh . .!"
Sebelum Jari Penembus Tulang m enyadari keadaannya, tahu-
tahu tangan kanan Pendekar Naga Putih terayun disertai dengan pu taran tubuhnya.
Tak pelak lagi hantaman sisi telapak tangan Pendekar Naga Putih tepat m engenai
lam bungnya. Disertai
l engking kesakitan, tu buh tinggi kurus itu terjajar mundur hingga beberapa
tombak ke belakang. Darah segar mulai m erembes di
su dut bibirnya. Dan sebelum Jari Penembus Tulang sempat
m engatur kuda-ku da, tahu-tahu Panji su dah melayang disertai tendangan yang
merobek u dara.
Bettt! Desss! "Hukhhh . .!"
Darah segar langsung muncrat begitu telapak kaki Panji
mampir di dada Jari Penembus Tulang. Tubuh laki-laki tinggi
kurus itu pun terjengkang dan terbanting keras di tanah .
"Kakang...!"
Tapak Baja m enghambur ke arah pemimpinnya yang tengah
berusaha bangkit.
*** 3 Sem entara itu, pertempuran yang berlangsung di tempat lain
pun su dah mulai berakhir. Para pengikut Jari Penembus Tulang yang sebelumnya
berjumlah dua belas kini hanya tinggal empat
orang. Itu pun keadaannya benar-benar tengah terancam maut!
"Hiaaa.. !"


Pendekar Naga Putih 12 Kelabang Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berteriak keras, gadis jelita berpakaian serba hijau
m embabatkan pedang secara mendatar. Siapa lagi gadis jelita itu kalau bukan
Kenanga. Dua orang berseragam m erah yang m emang sudah terdesak
berusaha mem pertahankan sel embar nyawanya mati-matian.
Bergegas keduanya m engayunkan pedang menangkis sam baran
pedang Kenanga.
Trangngng! Tringngng!
Brettt! Brettt!
"Aaakh . .!"
Terdengar suara berdentangan nyaring, ketika tiga batang
pedang saling berbenturan keras. Dua orang berseragam m erah
m embelalak, dengan wajah pu cat ketika pedang mereka terl epas dari genggaman.
Dan sebelum sempat m enyadari apa yang
m ereka alami, tahu-tahu pedang bersinar putih keperakan
berkelebat m enyambar tubuh m ereka.
Kedua orang itu pun jatuh bergulingan sambil m enekap dada
yang terdapat tanda bergaris merah sepanjang satu jengkal .
Keduanya teru s bergulingan m enjauhi gadis berpakaian serba
hijau itu . Kenanga sama sekali tidak berusaha mengejar lawannya. Gadis
jelita itu hanya berdiri tegak m emandang kedua lawannya yang tengah berusaha
bangkit. Gerakan m ereka terlihat agak limbung, m enahan rasa sakit pada luka
pada bagian atas dada masing-masing.
Sem entara itu , pertarungan satu lawan satu antara dua murid utama Perguruan
Cakar Elang dan dua orang berseragam m erah
tam pak akan segera berakhir.
Brettt! "Uhhh.. !"
Orang berpakaian serba m erah yang menjadi lawan Wisesa
langsung ambruk. Lu ka di lam bungnya bersimbah darah segar.
Dan sebelum orang itu dapat berdiri tegak, pedang di tangan
Wisesa kembali m enyambar ganas! Dendam yang m em bara
dalam dadanya mem buat murid tertua Pendekar Elang Sakti ini
bertindak kejam !
Crokkk! "Hukhhh !"
Kepala musuh langsung pu tus disam bar pedang Wisesa.
Seketika darah m enyem bur dari l eh er yang terpotong, disusul tendangan keras
hingga tu buh tanpa kepala itu tersungkur
m encium tanah ! Setelah berkel ojotan sesaat, tubuh itu pun tak bergerak untu k
selamanya. Berbarengan dengan kejadian itu, terdengar teriakan kematian
yang keluar dari mulut lawan adik seperguruan Wisesa. Suara
berdebuk keras terdengar, ketika sosok berpakaian serba m erah terbanting di
tanah dengan usu s terburai.
"Mam pus kau , bangsat!" maki adik seperguruan Wisesa yang
bernama Humbala geram sambil m enyarungkan pedang.
"Kau tidak apa-apa, A di Hum bala?"
tanya Wisesa m enghampiri adik seperguruannya yang tengah m enyarungkan
pedang ke pinggang.
"Tidak, Kakang!" sahut Hum bala seraya tersenyum getir.
Sem entara itu dua lawan Kenanga yang m enderita luka telah
bergabung dengan Tapak Baja dan Jari Penem bus Tulang. Empat
orang yang semula garang kini m emandang pu cat, m enanti apa yang bakal
dilakukan Wisesa dan kawan-kawannya terhadap
m ereka. "Bunuh saja m ereka, Tuan Pendekar!" seru Wisesa yang
m enaruh dendam kepada orang-orang itu. Teriakan Wisesa
disambu t teriakan-teriakan murid-murid Perguruan Cakar Elang lain yang masih
selamat. Keem pat orang berpakaian serba m erah telah bersimbah peluh
karena ngeri dan ketakutan, melihat orang-orang Perguruan
Cakar Elang m enatap penuh dendam. Meskipun Tapak Baja
hanya m enderita luka ringan, namun dia su dah kehilangan
keberanian m enghadapi kesaktian pemu da berjubah putih .
"Hm . . seorang pendekar tidak akan mem bunuh lawan yang
su dah tidak berdaya. Perbuatan itu akan ditertawakan tokoh -
tokoh persilatan apabila mereka dengar. Kurasa guru kalian pun akan sependapat
denganku apabila beliau masih hidup," u jar
Panji sambil m emandang murid-murid Perguruan Cakar Elang,
yang tertunduk l esu. Pemuda berjubah putih baru tahu , kalau Ketua Perguruan
Cakar Elang tewas, ketika m elihat mayat
seorang laki-laki tua, terbujur kaku dengan luka di kening dan ulu hatinya.
Begitu diingatkan tentang gurunya, Wisesa tertunduk sedih.
Apa yang dikatakan pemuda berjubah putih yang menol ong
m ereka m emang benar. Wisesa sudah sering m endengar kata-kata yang sama dari
mulut sang Guru. Setelah berusaha menekan api
dendam yang m em bara dalam dada, Wisesa pun mengangguk
l emah ke arah Panji.
"Nah, kalian su dah lihat sendiri kalau kalian telah diampuni.
Sekarang, pergilah dari tempat ini, sebelum mereka beru bah
pikiran!" ujar Panji kepada keempat orang berseragam m erah
yang ham pir-hampir tak m em percayai pendengarannya.
Dengan wajah masih diliputi tanda tanya besar, keem pat orang berseragam merah
pun bergegas meninggalkan halaman depan
Perguruan Cakar Elang. Mereka terus berlari tanpa m enol ehkan kepalanya sedikit
pun! Sampai-sam pai m ereka tidak sempat
m engetahui nama pendekar yang welas asih itu .
"Nah, sekarang giliran kami yang harus pergi. Ayo, A dik
Kenanga!" u jar Panji sam bil m enarik l engan kekasihnya.
Sekelebatan saja tu buh kedua mu da-mu di itu su dah lenyap di balik tem bok
perguruan ini. "Tuan Pendekar...!" Wisesa yang belum sempat m engetahui,
siapa penol ong m ereka berusaha mencegah. Tapi sayang kedua
pendekar muda itu telah jauh meninggalkan tem pat m ereka.
"Ah, selain kita tidak tahu siapa pendekar muda tadi, kita juga belum m
engucapkan terima kasih kepada m ereka," desah Wisesa kecewa.
"Rasanya orang-orang seperti m ereka tidak m emerlukan
ucapan terima kasih, Kakang. Mereka adalah pendekar-pendekar
pem bela kebenaran, yang m enol ong tanpa pamrih !" u jar Hum bala m
engingatkan. "Dapatkah engkau m engetahui siapa m ereka, Adi Humbala?"
tanya Wisesa kepada adik seperguruannya, yang sering keluar
untuk m elakukan tugas dari guru m ereka.
"Hm . .. Menurut dugaanku sementara, pemuda itu adalah
Pendekar Naga Putih . Tapi aku tidak tahu, siapa gadis jelita yang bersama dia.
Dugaanku belum pasti, Kakang. Karena aku tidak
m elihat lapisan kabut putih yang m enyelimuti tu buhnya.
Demikian ju ga dengan pedang yang biasanya selalu melingkar di pinggangnya,"
jawab Hum bala tak yakin.
"Kalau begitu bisa jadi, pemuda itulah yang dijuluki Pendekar Naga Putih. Siapa
lagi orang seusia dia yang m emiliki kepandaian begitu tinggi. Bahkan dapat m
enundukkan Jari Penem bus Tulang yang telah mem bunuh guru kita," u jar Wisesa,
m emastikan. "Yah, su dahlah. Siapa pun pemuda itu yang jelas dia telah
berjasa besar kepada kita. Kalau tidak, mungkin kita semua su dah habis dibantai
gerom bolan tadi. Sekarang lebih baik kita bereskan tem pat ini, Kakang!" usul
Humbala sambil m emandang kakak
seperguruannya.
"Marilah!" sahut Wisesa, seraya m enghampiri mayat yang
berserakan diiringi murid-murid Perguruan Cakar Elang l ain.
*** "A dik Kenanga, bagaimana kalau kita singgah dulu di desa
kelahiranku ?" u jar Panji kepada Kenanga ketika m ereka berdua berjalan berdam
pingan di sebuah hutan. Tiba-tiba hatinya terusik rasa rindu, ingin m enjengu k
kampung kelahirannya di Desa
Karang Jati. Memang l etak desa itu tidak terlalu jauh lagi dari tem pat mereka
berada sekarang.
"Aku setuju , Kakang. Bu kankah desa kelahiranmu tidak jauh
dari sini?" ucap Kenanga, tersenyum . Kenanga su dah dapat
m enduga, m engapa tiba-tiba saja kekasihnya teringat pada desa kelahirannya.
"Eh, dari mana kau tahu, Adik Kenanga?" tanya Panji h eran.
Memang, selama ini dia sama sekali belum pernah m enceritakan perihal Desa
Karang Jati kepada Kenanga.
"Ah, mudah sekali, Kakang. Tidakkah Kakang sadar, kalau
keinginan Kakang yang datang begitu tiba-tiba itulah jawabannya.
Selama ini Kakang tidak pernah bercerita perihal desa kelahiran Kakang
kepadaku . Nah, kalau tiba-tiba saja Kakang sangat ingin m enjenguknya, itu
berarti desa kelahiran Kakang tidak jauh dari tem pat di mana Kakang teringat
untuk m enjenguk. Bu kankah
begitu, Kakang?" jelas Kenanga, tersenyum manis.
Meskipun Panji sudah sering kali m elihat kekasihnya
tersenyum, tapi senyum di bibir Kenanga masih saja m em pesona.
Berapa saat lamanya, pendekar berjubah pu tih ini terpaku
m enatap senyum manis, yang tersungging di bibir indah sang
kekasih. "Kau . .. Kau cantik sekali, A dik Kenanga.. ," desah Panji
dengan suara bergetar. Sepasang tangannya terulur h endak
m enyentuh bahu gadis jelita itu.
Kenanga semakin m elebarkan senyum, ketika melihat Panji
terpaku m enatapnya.
"Ihhh, Kakang sekarang pintar m erayu !" ucap Kenanga,
m enggoda. Dan sebelum kedua tangan Panji menyentuh bahu ,
Kenanga berlari m enghindar.
"Ah, kau nakal
sekali, A dik Kenanga. Kau sengaja
m enggodaku ," u jar Panji, seraya m enghampiri kekasihnya, yang tertawa-tawa m
elihatnya kebingungan.
"Hi hi hi. .! Habis Kakang, genit sih !" kilah Kenanga, sam bil m encibirkan
bibir yang m em buat Panji semakin gemas. Gadis itu berlari m eninggalkan
kekasihnya, karena tahu apa yang akan
dilakukan Panji.
"Awas kau ! Kalau tertangkap, kau tidak akan kuampuni!" seru
Panji seraya m engejar sang Kekasih yang terus berlari semakin m enjauh.
"Hi hi hi...! Tangkaplah aku kalau kau m emang bisa, Kakang!"
tantang Kenanga semakin m empercepat larinya.
Hati pemu da berju bah putih semakin gemas m elihat
kekasihnya malah semakin m empercepat lari. Sekilas terlihat
senyum kemenangan di bibir pemuda itu ketika melihat di depan m ereka terbentang
rerimbunan pepoh onan l ebat.
Kenanga terus berlari memasuki rerimbunan pepoh onan lebat
itu . Tu buhnya bergerak lincah m enyelinap di antara semak-semak dan pepoh
onan. Beberapa saat kemudian, tubuh ram ping terbalut pakaian serba hijau itu
telah l enyap, ditelan keremangan hutan.
Setelah agak jauh m emasuki wilayah hutan, Kenanga
m engerutkan kening. Sepasang telinganya dipasang tajam-tajam untuk m endengar
langkah kaki Panji. Kerut di kening gadis
berpakaian serba hijau itu semakin dalam , ketika sepasang
telinganya tak juga m enangkap gerak langkah di belakang.
"Eh, ke mana perginya, Kakang Panji. .?" kata gadis jelita itu dalam hati.
Bergegas dia m enyelinap di balik sebatang poh on agak besar, m enanti
kedatangan kekasihnya.
Sepasang mata gadis jelita itu berputar m erayapi sekitar hu tan.
Hatinya semakin h eran setelah beberapa lama menanti, ternyata kekasihnya tak
juga muncul -muncul.
"Kakang! Di mana kau . ." Keluarlah ! Aku m enyerah !" seru
gadis jelita itu , yang mulai mencemaskan Panji. Meskipun tahu tingkat
kepandaian sang kekasih, namun kecemasan tetap saja
m embayang di wajahnya.
Karena tak juga m endapat jawaban, Kenanga pun keluar dari
persembunyian. Kedua kakinya m elangkah perlahan, m enyusuri
jalan yang semula dia lewati.
"Aku m enyerah, Kakang! Aku janji tidak akan menggodamu
lagi!" seru Kenanga, dengan nada m enyesal dan cemas.
Pikirannya mulai dipenuhi berbagai dugaan.
Sepasang mata indah Kenanga m embelalak l ebar! Beberapa
tombak di depannya tergeletak sesosok tubuh tak bergerak. Darah segar tam pak
berceceran, sam pai beberapa jengkal dari tubuhnya.
Bu kan main terkeju tnya Kenanga, begitu mengenali kalau
sosok itu tidak lain adalah Panji. Tanpa berpikir panjang, gadis jelita itu
segera berlari m endapatkan kekasihnya.
"Kakang...!" teriak gadis berpakaian serba hijau itu l emah. Air bening tampak m
enggenang di pelupu k matanya. Kedua tangan
gadis itu bergetar ketika m embalikkan tu buh Panji yang tak
bergerak Kenanga hampar m enjerit, ketika tahu-tahu saja tangan
pemu da itu bergerak m enangkap pergelangan tangannya.
"Hayo...! Mau lari ke mana, kau sekarang!" teriak Panji
m engeju tkan. Seraya langsung menarik tangan Kenanga, hingga terjatuh ke dalam
pelukannya. Tu buh muda-mudi itu langsung
bergulingan di atas rerumputan hijau .
Tanpa banyak cakap lagi, Panji m enghujani bibir dan wajah
kekasihnya dengan ciuman hangat. Tentu saja perbuatan Panji
m embuat Kenanga gelagapan. Meskipun demikian, Kenanga sama
sekali tidak berusaha mel epaskan pelukan kasihnya. Malah dia pun mem balas
ciuman tak kalah hangat.
"Kakang jahat...! Padahal tadi aku mengira Kakang benar-
benar terluka parah !" teriak gadis jelita itu sambil m emukul dada pendekar
berjubah serba putih perlahan. Saat itu keduanya masih rebah di atas rerumpu
tan. Wajah Kenanga tam pak m em erah
m enerima perlakuan kekasihnya.
"Habis kau mem buatku gemas sih !" sahut Panji sam bil
bangkit. Tangannya diulurkannya m embantu Kenanga bangkit.
Begitu sudah berdiri, kembali tu buh kekasihnya dipeluk erat-erat.
Rupanya pendekar berjubah putih masih belum mau m elepaskan
Kenanga dari pelukan.
"Darah itu .. ?" tunjuk Kenanga, m enuntut jawaban.
"Hm . .. Aku terpaksa harus m engorbankan seekor kelinci
untuk m enangkapmu," jawab Panji kembali m engecu p bibir gadis jelita ini
perlahan. "Kau selalu m embuat hatiku terpesona dan tergoda, A dik Kenanga."
"Ah, dasar Kakang saja yang genit! Ayolah , apakah Kakang
tidak jadi m enjengu k desa kelahiran Kakang?" u jar Kenanga, sam bil mengajak
kekasihnya m eninggalkan hutan, karena
sebentar lagi hari mulai gelap.
"Tentu saja jadi! Ayolah, mumpung hari belum gelap!" ajak
Panji, sam bil m enarik tangan kekasihnya.
Ditemani h embusan angin sore, sepasang muda-mudi itu
bergegas m eninggalkan hu tan kecil.
*** Matahari pagi mulai m emperlihatkan kekuasaan. Sinarnya
yang kuning keemasan perlahan menghangatkan permukaan
bumi. Sang em bun pun m enguap tanpa m eninggalkan bekas.
Di depan halaman sebuah bangunan tua yang hitam dan kotor,


Pendekar Naga Putih 12 Kelabang Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tam pak sepasang mu da-mu di tengah berdiri tegak. Lama mereka m enatap bangunan
tua yang kotor itu. Sesaat kemudian terdengar h empasan napas berat pemu da
berjubah serba putih .
"Inikah tem pat kediaman orang tuamu dulu, Kakang?" tanya
gadis berpakaian serba hijau yang tidak lain adalah Kenanga.
Ditatapnya wajah pemuda berjubah putih yang bukan lain adalah Panji dengan rasa
haru . "Yahhh, di tempat inilah aku dibesarkan kedua orang tuaku,"
tu tur Panji agak serak. Setelah berkata demikian, kakinya
dilangkahkan ke dalam bangunan tua.
Panji berdiri tertegun memandang bangunan tua itu , ketika
sam pai di halaman bangunan dia m elihat banyak kuburan.
Padahal seingatnya, di sana sama sekali tidak ada pekuburan.
"Eh, makam siapa sajakah ini, Kakang?" tanya Kenanga yang
juga merasa heran m elihat di halaman bangunan terdapat
pekuburan. Peku buran itu tidak terlalu besar, hanya terdapat beberapa
puluh makam. Itu pun tidak semuanya memakai batu nisan.
Pemuda itu m elangkah perlahan, m endekati dua buah nisan
paling besar di antara yang lain. Hati pendekar berjubah putih itu bergetar,
begitu m embaca nama kedua orang tuanya tertera di
batu nisan (Bagi pem baca yang belum m engetahui, silakan ikuti kisah Pendekar
Naga Putih dalam episode: "Tiga Iblis Gunung
Tandur"). "Ayah... Ibu . .!"
Pendekar Naga Pu tih langsung menjatuhkan kedua lututnya di
sisi kedua gundukan tanah , yang l etaknya berdam pingan. Hatinya agak sedikit
terhibur melihat kedua makam terawat baik.
Siapakah yang telah begitu baik m erawat kedua makam ini"
Pikirnya heran.
"Paksi Buana, Rara Ampel .. ," desah suara lirih yang keluar
dari mulut Kenanga. Gadis jelita itu pun sudah pula bersim puh di sam ping
kekasihnya. "Itukah nama kedua orang tuamu, Kakang?"
"Benar, A dikku. Merekalah kedua orang tuaku Entah siapa
yang telah begitu baik hati mengu burkan jenazah orang tuaku dan m erawat kedua
makam ini?" sahut Panji, dengan suara lirih.
Panji dan Kenanga serentak m enol eh begitu m endengar
langkah kaki m endekati m ereka. Keduanya bergegas bangkit
ketika m elihat beberapa orang laki-laki berjalan ke arah m ereka.
"Siapakah Kisanak" Dan ada keperluan apa datang ke tem pat
ini?" tanya seorang laki-laki yang berjalan paling depan. Orang itu berusia
sekitar em pat puluh tahun. Sebaris kumis tebal yang
m enghias wajahnya semakin mem buat angker. Sikapnya terlihat sopan dan ramah .
Namun di balik kata-kata orang itu
tersembunyi kesan tegas.
"Paman, namaku
Panji. Dan temanku ini Kenanga. Kedatangan kami kemari untuk m enjenguk kediaman orang
tuaku, yang bernama Paksi Buana. Kalau bol eh kutahu, siapakah Paman?" sahut
Panji ramah dan sopan, sehingga mem buat orang
itu m engangguk-anggukkan kepalanya, sam bil tersenyum l ebar.
*** 4 "Hm . . Panji...," gumam laki-laki berkumis tebal itu , seolah-olah sedang
berusaha m engingat-ingat nama itu. "Beberapa hari yang lalu pun ada laki-laki
setengah baya m enanyakan nama itu .
Kalau tidak salah namanya Ganda Buana. Kedatangannya ke
tem pat ini pun sama tu juannya dengan kalian. Sebelum pergi, dia sem pat m
enanyakan anak laki-laki Paksi Buana yang bernama
Panji. Tapi aku tidak bisa menjawab karena aku sendiri tidak
tahu -menahu perihal anak Paksi Buana."
"Ganda Buana. .," desah Pendekar Naga Pu tih dengan kening
berkerut. Sepertinya ia m emang pernah m endengar nama itu .
"A pakah ayahmu pernah menceritakan perihal orang yang
bernama Ganda Buana, Kakang?" tanya Kenanga.
"Hm . . Kalau tidak salah , orang yang bernama Ganda Buana
m engaku sebagai adik Paksi Buana," laki-laki berkumis tebal itu berusaha untuk
m em bantu m enyegarkan ingatan Panji.
"Ya.. . Ya, aku ingat sekarang! Ganda Buana memang benar
pamanku. Waktu aku masih sekitar berusia sem bilan tahun,
beliau pernah berkunjung ke tempat ini bersama keluarganya.
Apakah Paman Ganda Buana m emberitahukan
tempat tinggalnya?" tanya Panji kepada orang berkumis tebal itu .
Wajahnya kelihatan berseri-seri, karena ternyata dia masih punya seorang paman
yang masih hidu p.
"Mmm . .. Menurut pengakuan pamanmu, dia tinggal di Desa
Pegatan," jawab orang itu lagi. "Ah, apakah tidak sebaiknya kita ngobrol di
rumah saja, Panji, Kenanga" Ayolah , singgah di
rumahku barang sebentar."
"Ah, terima kasih. Mmm . .. Paman, bol ehkah aku tahu, siapa
yang telah berbaik hati m engurus kedua makam orang tuaku ini?"
tanya Panji sam bil m elangkah berdam pingan dengan laki-laki berkumis tebal .
"Ah, itu su dah m enjadi kewajiban kami, Panji. Paksi Buana
adalah orang yang sangat dih ormati di desa ini. Su dah sepatutnya kalau kami
menjaga batik-baik makam beliau," jawab si kumis
tebal tanpa merasa berjasa sedikit pun.
"Paman, kalau tidak salah , dulu yang m enjadi kepala desa di sini adalah Ki A
ji Sena. Apakah sekarang beliau masih m em egang jabatan itu ?" tanya Panji
ketika teringat nama Kepala Desa
Karang Jati sewaktu dia masih kecil .
"Hm . .. Lima tahun setelah terbunuhnya keluarga Paksi Buana, Ki A ji Sena pun
wafat. Setelah m endapat persetujuan para tetua-tetua desa, aku diberi
kepercayaan m emimpin desa ini," jawab orang berkumis tebal itu yang ternyata
adalah Kepala Desa
Karang Jati. "Ah, kalau begitu aku minta maaf, Paman. Aku telah bersikap
kurang h ormat kepada Paman," ucap Panji, terkejut. Cepat-cepat dia m
embungkukkan tubuh m emberi h ormat kepada orang itu.
"Ha ha ha...! Kurasa sejak tadi sikapmu sudah cukup
m engh ormat, Anak Mu da," u jar laki-laki berkumis tebal itu tertawa keras.
"Eh, ke mana, Sogara" Rasanya aku tidak m elihat dia sejak kita m eninggalkan
bekas kediaman Paksi Buana," tanya Kepala Desa
Karang Jati, sam bil mel epaskan pandang ke arah para
pem bantunya. Dan dia m emang tidak m enemukan Sogara di
antara m ereka.
"Ah, maaf Ki, aku lupa m enyampaikannya. Tadi sewaktu Aki
m enawarkan Sau dara Panji dan Kenanga singgah, Kakang Sogara bergegas
mendahului kita Dan ketika kutanyakan, dia bilang ingin m engunjungi salah
seorang famili di desa tetangga," jawab orang itu m enundu k h ormat.
"Hm . .. Aneh ! Tidak biasanya dia pergi begitu saja tanpa pamit padaku. Su
dahlah, mungkin dia m emang terburu-buru," u jar
l elaki berkumis tebal itu, yang juga Kepala Desa Karang Jati, kepada para
pembantunya yang m engikuti di belakang.
Panji, Kenanga bersama kepala desa, dan para pembantunya
ke rumah kepala desa.
Tidak berapa lama kemudian, rom bongan kecil itu pun tiba di
halaman sebuah rumah besar. Rumah itu terlihat paling besar, di antara rumah-
rumah pendu duk di sekitarnya. Itulah rumah
kediaman Kepala Desa Karang Jati.
"Mari, silakan, Sau dara Panji, Kenanga!" ujar l elaki berkumis tebal itu m
empersilakan kedua tamunya masuk. Sedangkan dia
sendiri masuk l ebih dahulu.
Panji dan Kenanga segera m elangkah ke ruang tengah yang
cu kup luas. Beberapa buah kursi dan m eja yang terbuat dari kayu jati teratur
rapi di ruang tengah . Keduanya lalu duduk ketika dipersilakan tuan rumah.
"Sebenarnya aku belum pernah berjumpa langsung dengan
orang tuamu , Panji. Aku datang ke desa ini, tiga tahun setelah musibah yang m
enimpa keluarga Paksi Buana," u jar sang Kepala Desa m emulai pembicaraan.
"Kalau begitu, siapa yang telah mengu burkan jenazah kedua
orang tuaku, Paman?" tanya Panji ingin tahu ikhwal orang tuanya.
"Siapa lagi kalau bukan Ki A ji Sena. Pamanku itulah yang
m enguburkan jenazah kedua orang tuamu. Ayahmu ditemukan
tewas di sekitar halaman peku buran yang sekarang. Sedangkan
ibumu ditemukan tewas di dalam rumah, dalam keadaan hangus
terbakar dan sulit dikenali lagi. Pamanku pernah bilang dia yakin kalau mayat
itu adalah ibumu. Karena beliau m enemukan gelang emas yang telah menghitam di
pergelangan kirinya," tutur laki-laki berkumis tebal itu m enerangkan.
"Paman, kira-kira berapa lama perjalanan dari sini ke Desa
Pegatan?" tanya Panji yang sudah tidak sabar ingin bertemu
dengan pamannya yang bernama Ganda Buana.
"Hm . .. Kurang lebih makan waktu sekitar dua hari, kalau kita m engendarai ku
da. Mengapa kau tanyakan hal itu, Panji?" tanya Kepala Desa Karang Jati h eran.
"Maaf, Paman. Aku terpaksa tidak bisa lama-lama di sini.
Selama ini aku benar-benar belum tahu, kalau aku masih punya
paman. Rasanya aku su dah tidak sabar lagi untuk berjum pa
dengan beliau," u jar Panji, yang m emang ingin cepat-cepat
m enjum pai orang yang bernama Ganda Buana.
"Baiklah kalau begitu, berhati-hatilah kalian di jalan. Belum lama ini kudengar
ada gerombolan penjahat berpakaian serba
m erah sedang m engganas. Mereka mendatangi beberapa pergu-
ruan, atau m em bunuh orang yang memiliki kepandaian silat.
Entah apa tu juan mereka. Memaksa orang atau pun perguruan
bergabung dengan gerom bolannya. Kalau korbannya menolak,
m ereka tidak segan-segan m embunuh !" kata laki-laki berkumis tebal itu
menerangkan panjang l ebar kepada Panji dan Kenanga.
"Terima kasih atas keterangan Paman. Dan kami akan selalu
m engingatnya. Permisi dulu, Paman," pamit Panji dan Kenanga.
Keduanya bergegas m eninggalkan rumah sang Kepala Desa.
"Hati-hatilah.. !" seru Kepala Desa Karang Jati ketika kedua
muda-mudi itu m elangkah agak jauh .
Panji dan Kenanga m enol eh dan m elem parkan senyum sam bil
m enganggukkan kepala.
*** "Berhenti...!"
Panji dan Kenanga mengh entikan langkahnya ketika dikejutkan suara bentakan. Keduanya mengedarkan pandangan
ke sekitar tempat m ereka berdiri. Namun yang terlihat hanyalah semak-semak dan
pepoh onan. "Ha ha ha. .!" terdengar suara tawa yang berkumandang
nyaring mem enuhi tem pat itu . Dari gema suaranya, dapat ditebak kalau orang
itu m emiliki kekuatan tenaga dalam tinggi.
Panji dan Kenanga m enol eh ke arah asal suara. Mereka berdua tersentak kaget m
elihat sesosok manusia berpakaian serba m erah , sedang duduk m encangkung di
atas sebatang dahan poh on. Jarak antara m ereka dan orang asing itu sekitar
enam tombak Setelah mem perhatikan keadaan di sekeliling sejenak, kedua
sejoli m elangkah hati-hati mendekati poh on. Indra pendengaran keduanya
terpusat pada keadaan sekeliling, sehingga suara sekecil apapun bisa tertangkap
telinga mereka saat ini.
Laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, di atas poh on
m enatap tajam ke arah Panji dan Kenanga. Jenggotnya yang
panjang dan berwarna putih m elambai-lambai tertiu p angin. Dan sam pai sejauh
ini, dia sama sekali tidak m em perlihatkan gerakan-gerakan mencurigakan.
"He h e h e. .. Anak Muda! Kau pasti yang dijuluki Pendekar
Naga Putih ?" u jar orang tua itu dari atas poh on seolah ingin m emastikan
kalau dia tidak salah terka.
Panji tidak m enjawab u capan orang tua itu . Dia sadar kalau laki-laki tua itu
bermaksud jahat kepada m ereka. Dari pakaiannya saja sudah dapat diduga, kalau
laki-laki tua itu ada hubungan dengan gerom bolan berseragam m erah yang pernah
dia pecundangi di Perguruan Cakar Elang tempo hari.
Setelah jarak di antara mereka hanya terpisah sekitar em pat
tombak lagi, tiba-tiba. ..
Rrrttt! "Aaah...!"
Kedua pendekar mu da berseru kaget! Sebelah kaki m ereka
tiba-tiba terangkat naik. Tubuh keduanya tersentak ke atas,
karena pergelangan kaki m ereka telah terikat seutas tali yang sengaja dipasang
untuk m enjebak.
Sebagai pendekar-pendekar yang berpengalaman, secepat kilat
Panji dan Kenanga m encabut pedang dan langsung mem babat tali yang m engikat
kaki m ereka. Tasss! Tasss! Tali yang m engikat kaki m ereka itu langsung putus oleh
tebasan pedang. Keduanya berjumpalitan turun dengan gerakan
yang indah ! Dan selagi tubuh Panji dan Kenanga melayang turun, tiba-tiba
terdengar suara berdesingan, bagai suara ratusan lebah marah !
Singngng! Singngng!
Suara berdesingan tajam, m enyertai puluhan batang senjata
rahasia yang m engancam tubuh Panji dan Kenanga.
Kedua muda-mudi itu su dah dapat m enebak, kalau saat ini
m ereka dihu jani dengan senjata rahasia. Seketika pedang di
tangan keduanya diputar cepat, m em bentuk gulungan sinar yang m enyelimuti
seluruh tubuh m ereka.
Trangngng! Tringngng! Trangngng!
Puluhan batang senjata rahasia langsung m enyebar ke segala
penjuru disusul jeritan-jeritan m engerikan. Rupanya beberapa senjata rahasia
yang terkena tangkisan pedang Panji dan Kenanga telah m emakan korban!
Enam orang sosok manusia berseragam m erah bermunculan
dari balik semak-semak. Sosok-sosok itu bergerak limbung,
dengan tu buh bersimbah darah ditem bus senjata m ereka sendiri.
"Keparat licik!" maki Kenanga, setelah m endarat di atas tanah berumput. Gadis
jelita itu marah sekali melihat kecurangan
gerom bolan berseragam m erah .
"Tenanglah, A dik Kenanga. Jangan kau m engikuti amarahmu.
Aku rasa m ereka hanya orang-orang suruhan saja," ujar Panji
m enasihati kekasihnya. Dia tahu Kenanga cepat naik darah bila dicurangi. A da
kalanya gadis itu l emah l embu t, dan tidak jarang berubah jadi macan betina,
kalau m erasa dicurangi. Itulah yang dikhawatirkan Panji.
"Hm . .. Sepertinya m ereka kawanan penjahat berseragam
m erah yang pernah mem buat keribu tan di Perguruan Cakar
Elang, Kakang. Rupanya m ereka menaruh dendam, setelah kita
m enggagalkan rencana m ereka," u cap Kenanga masih terbawa
kemarahan. "Yah, aku rasa juga begitu ," jawab Panji, yang sudah
m enyarungkan pedangnya kembali. Pendekar Naga Putih ham pir


Pendekar Naga Putih 12 Kelabang Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak pernah m enggunakan pedang pusakanya, kecuali dalam
keadaan terdesak.
Saat itu juga, laki-laki tua di atas poh on itu telah melayang turun. Begitu
kedua kakinya m enjejak tanah, puluhan orang
berseragam merah lain bermunculan dari balik semak-semak.
Rata-rata gerakannya gesit, m enandakan kalau mereka adalah
orang-orang yang terlatih baik.
"Hm . .. Tidak salah apa yang diceritakan Sogara, Ki. Mereka
itu orang yang telah m enggagalkan tugas Jari Penem bus Tulang beberapa hari
yang lalu. Kalau pemuda itu memang benar
Pendekar Naga Putih , rencana ketua bisa berantakan!" bisik
seorang laki-laki brewok kepada orang tua berjenggot putih.
"Ya! Kalau memang anak muda itu Pendekar Naga Putih, kita
akan m engalami kesulitan besar. Tapi kita harus mem buktikan terl ebih dahulu.
Sebab m enurut keterangan Jari Penem bus
Tulang, tu buh pemu da itu tak berselimut lapisan kabu t putih keperakan. Inilah
yang masih kuragukan. Siapa tahu dia hanya
pemu da biasa yang m emiliki beberapa persamaan dengan
Pendekar Naga Putih," bisik kakek itu perlahan.
"Hm . .. Kita memang harus mem buktikan terlebih dulu ! Anak-
anak, kepung kedua orang itu !" perintah si brewok yang ru panya pimpinan
rombongan penghadang.
"Hati-hati, A dik Kenanga. Nampaknya laki-laki brewok dan
kakek itu bukan orang sem barangan!" bisik Panji, di telinga
kekasihnya yang hanya m engangguk mengiyakan.
"Hei, Anak Mu da! Karena kau telah berani m encam puri
urusan kami, maka terimalah hukumanmu! Hiaaat...!" sam bil
berteriak keras, laki-laki brewok mel om pat disertai ayunan gol ok besarnya.
Wuttt! Gol ok besar yang diayunkan ke arah Pendekar Naga Pu tih
m enderu -deru , sehingga jubahnya berkibar-kibaran. Dari angin ayunan gol ok
sudah kelihatan kalau tenaga dalam si brewok amat kuat!
Panji menggeser kaki kiri ke belakang, sehingga bacokan gol ok besar l ewat di
depan tubuhnya. Begitu serangan pertama l ol os, si brewok cepat memutar gol ok
bersilangan. Gol ok besar kem bali m enderu -deru , m engancam kaki kanan
Pendekar Naga Pu tih yang berada di depan.
Wukkk! Laki-laki brewok semakin penasaran ketika serangan kedua
juga gagal. Lalu m enyusul sabetan gol oknya dengan tiga kali tendangan
beruntun. Panji m erunduk m engelak tendangan
berputar si brewok. Secepat kilat tangan kanannya m enusuk,
dengan jari-jari terbuka ke lam bung kiri lawan.
Laki-laki brewok terkejut bukan main m endapat serangan
balasan yang tak terduga-duga. Tanpa dapat dicegah lagi jari-jari yang sekeras
baja itu m endarat telak di lam bungnya.
Desss! "Hukhhh . .!"
Laki-laki brewok jatuh terdu duk sejauh enam langkah ke
belakang. Meskipun tu sukan tangan Pendekar Naga Putih tidak
terlalu keras, tapi cuku p m enyakitkan. Wajahnya m enyeringai m enahan sakit.
Sesekali diusapnya lam bung yang terkena
tam paran jari tangan pemu da berjubah putih.
"Bangsat kau , Anak Mu da! Kau betul-betul m encari mam pus!
Awas! Ku cincang tubuhmu nanti!" ku tuk laki-laki brewok itu
berang. Tiba-tiba sebuah tangan kurus, namun m enyimpan tenaga
dalam kuat menahan langkah si brewok. Terpaksa si brewok
m enahan gerakan, sekalipun dengan perasaan tak puas.
"Mundurlah, A di, biar aku yang menghadapi," ucap laki-laki
tua berjenggot putih itu tenang.
"Tapi. . Tapi aku belum kalah , Ki!" kilah laki-laki brewok itu dengan nada
lunak. Tampaknya dia m erasa segan kepada orang
tua itu. "Siapa bilang kau kalah . Aku bilang, biar aku yang akan
m encobanya," sahut laki-laki tua itu yang m erasa kesal
m endengar bantahan si brewok.
"Hm . . bersiaplah, Anak Mu da. Kali ini kau berhadapan
dengan Ki Tapak Jagad. Bila kau tidak hati-hati, jangan salahkan kalau aku yang
tua ini terpaksa m elukaimu. Atau mungkin
m enewaskanmu," ujar kakek itu yang m engaku berjuluk Ki Tapak Jagad l em but.
Tapi di balik u capannya tersem bunyi keangkuhan.
"Hiaaah !"
Wettt! Wettt! Ki Tapak Jagad m em bentak keras m embuka jurus. Sepasang
telapak tangannya dipu tar bersilangan. Gerakan yang terlihat perlahan itu
ternyata telah m enimbulkan suara bergemuruh !
Rupanya jurus itulah yang mem buat dia dijuluki Ki Tapak Jagad.
"Jaga seranganku , Anak Mu da!"
Setelah berkata demikian, tubuh kakek yang tinggi dan agak
kurus itu m elesat, sam bil m emutar kedua telapak tangannya.
Angin keras berkesiutan m enyertai serangannya yang dah syat.
Bettt! Bettt! "Aihhh.. !"
Panji berteriak sekuat-kuatnya, m enahan kekuatan yang
tersembunyi di dalam telapak tangan itu. Meskipun dua kali
serangan dapat dielakkan, namun tak urung tubuhnya sempat
terdorong, akibat sambaran angin kuat, yang keluar dari sepasang telapak tangan
lawan. Begitu m erasakan tenaga dalam si kakek, Panji segera
m el ompat ke belakang. Dan sadar kalau Ki Tapak Jagad bukanlah orang
sembarangan, dia tidak ingin berbuat setengah -tengah lagi.
Beberapa saat kemudian, selapis kabut bersinar putih keperakan mulai terlihat m
enyelimuti tu buhnya. Angin dingin berhem bus keras sebagai ciri 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' yang dahsyat
mulai bekerja. Meskipun kekuatan tenaga saktinya tidak lagi sedahsyat
sewaktu dia masih m enderita sakit, namun berkat latihan-latihan yang selama ini
dia lakukan, telah m embuat tenaga sakti dalam tu buhnya semakin bertambah
(Untuk m engetahui bagaimana
Panji dapat sembuh dari sakitnya, harap pem baca m elihat serial Pendekar Naga
Putih dalam episode: "Bunga Abadi di Gunung
Kembaran").
"Pendekar Naga Putih . ." desis Ki Tapak Jagad terkejut. Sejak semula sudah m
enduga kalau pemuda di hadapannya adalah
Pendekar Naga Putih, ternyata dia masih juga terkejut. A palagi ketika m
enyaksikan sendiri bagaimana tubuh pemu da tam pan itu terbungkus lapisan kabut
bersinar pu tih keperakan. Mau tidak mau Ki Tapak Jagad m em belalakkan matanya
dengan takjub! "Hm . .. Mengapa hanya berdiri m ematung, Orang Tu a"
Apakah kau su dah tidak ingin m elanjutkan pertarungan?" tantang Panji ketika m
elihat kakek berjenggot putih itu hanya terpaku m enatapnya.
"Eh, tentu... Tentu, Pendekar Naga Putih. Mari kita lanjutkan pertempuran!"
balas Ki Tapak Jagad agak gugup seraya mem buka kem bali serangan. Kedua
tangannya yang dipu tar bersilangan di depan dada kembali m enimbulkan angin
tajam . "Hiaaat..!"
Disertai teriakan nyaring, Ki Tapak Jagad meluncur ke arah
Pendekar Naga Putih . Sepasang tangan si kakek terus berputar-pu tar cepat disu
sul serangan bertu bi-tubi.
Panji yang kali ini tidak mau bertindak main-main lagi, cepat m enyambut
serangan. Sambaran-sam baran tangannya susul -
m enyusul dengan gerakan gesit dan lincah , tak u bahnya seekor naga sakti yang
tengah bermain-main di angkasa.
Bettt! Bettt! "Uhhh.. !"
Kali ini giliran Ki Tapak Jagad yang terkejut. Dua kali
sam baran tangan pemu da berjubah putih itu ham pir m embeset kakek itu.
Untunglah dia cepat m elem par tubuh ke belakang.
Kalau tidak, niscaya tubuh kakek sudah terl empar, dalam keadaan tak bernyawa.
"Brrr. .!"
Ki Tapak Jagad bergegas mengibaskan sepasang lengannya
ketika m erasakan hawa yang amat dingin yang m erasuk ke dalam tu buhnya. Diam
-diam kakek itu m erasa gentar! Baru terkena
sam baran angin pukulan saja tu buhnya hampir beku . A palagi kalau terkena
pukulan telak, pikir Ki Tapak Jagad agak jerih.
*** 5 Setelah berhasil mem bebaskan diri dari pengaruh hawa dingin, Ki Tapak Jagad
kembali memasang kuda-ku da. Dihelanya napas
perlahan-lahan disertai dorongan kedua tangan ke depan.
Sepasang kakinya bergerak m embentuk ku da-ku da.
"Hahhh !"
Diiringi bentakan menggel edek, kedua tangannya ditarik ke
sisi pinggang. Kemu dian kedua tangan itu digerakkan turun-naik berlawanan.
Desiran angin tajam bertiu p keras m enandakan
kuatnya tenaga sakti yang terhimpun di dalam gerakan itu. Itulah jurus andalan
Ki Tapak Jagad yang bernama 'Tapak Sakti
Penggetar Su kma'. Gerakan ini m erupakan jurus kesebelas dari ilmu 'Tapak
Jagad'yang telah lama disem purnakannya.
Pendekar Naga Pu tih semakin kagum melihat keh ebatan ilmu
si kakek ketika m erasakan sebuah gel om bang tenaga yang amat kuat menerpa
dadanya. Untunglah tubuhnya telah dilindungi
lapisan kabut yang m emancarkan hawa dingin. Kalau orang lain, mungkin su dah
akan terpengaruh ol eh gerakan Ki Tapak Jagad.
"Yeaaat...!"
Ki Tapak Jagad mem bentak nyaring. Tu buhnya segera m elesat
seraya mendorong kedua telapak dengan kekuatan tenaga dalam
penuh . Seketika angin berkesiutan keras m enyambar-nyambar ke arah Pendekar
Naga Putih . Pendekar Naga Putih berkelit ke samping disertai dengan
pu kulan gencar ke wajah. Tapak Jagad hanya m erendahkan ku da-ku da dan menarik
wajahnya ke belakang. Begitu serangan lu put, kaki kanan si kakek mel ontarkan
tendangan kilat!
Prattt! "Aaah...!"
Tu buh si kakek terpelintir ketika tangan kanan Pendekar Naga Putih menepis
pergelangan kaki. Walau pun pergelangan kakinya terasa ngilu , namun tubuh Ki
Tapak Jagad kem bali berputar cepat untuk m elancarkan serangan beruntun.
Pertem puran pun kembali berlangsung seru ! Kedua tokoh
sakti itu saling serang dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa. Tubuh m
ereka hanya kelihatan berupa bayangan m erah
dan putih, yang saling libat dan saling desak.
Sem entara itu, Kenanga pun telah berhadapan dengan si
brewok yang dibantu dua puluh anak buahnya. Tentu saja gadis
jelita itu terdesak hebat! Untunglah Pedang Sinar Rembulan yang diberikan Panji
banyak m em bantu. Sinar putih keperakan yang dipantulkan sebilah pedang m
embuat lawan tidak berani maju
terlalu dekat. Murid Raja Pedang Pemutus Urat ini m emutar
Pedang Sinar Rembulan hingga m em bentuk gulungan sinar yang
m enyelimuti seluruh tubuhnya. Dinding pertahanan yang dibuat Kenanga su dah
barang tentu m embuat lawan sulit m enembus.
"Hu jani dia dengan senjata rahasia...!" perintah si brewok
begitu melihat anak buahnya mulai putus asa. Sel esai berkata begitu, tubuhnya
bersal to beberapa kali ke belakang. Sepasang kakinya m endarat em puk di tanah
berum put. Singngng! Singngng!
Tiba-tiba belasan pisau putih beterbangan m enghujani
Kenanga. "Haiiit..!"
Wrrr! Sambil m embentak keras, Kenanga semakin m em perhebat
pu taran Pedang Sinar Rembulan. Suara putaran angin pedang
m endengung-dengung mirip suara ribuan l ebah yang keluar dari sarangnya.
Gulungan sinar putih keperakan yang m enyelimuti
seluruh tu buh gadis jelita berpakaian serba hijau itu semakin m enebal .
Trangngng! Trakkk! Tringngng!
"Aaakh . .!"
Luar biasa! Beberapa buah pisau lawan berjatuhan ke tanah
dalam keadaan patah ! Bahkan tidak sedikit pisau lain yang
berbalik m enyerang tuannya. Tiga orang berpakaian serba m erah yang l engah
terjungkal roboh dengan dada tertancap belasan
senjata rahasia
"Gila! Perempuan setan! Kuntilanak!" si brewok m emaki
kalang kabut ketika melihat anak buahnya tewas. Rasa marah dan penasaran mem
buatnya semakin kalap! Disertai bentakan
nyaring, tu buh si brewok langsung m enerjang Kenanga.
Wuttt! Wu ttt! Dua kali sam baran gol ok besar si brewok hanya m enyambar
angin ketika Kenanga keburu menghindar dengan m enggeser
tu buh ke belakang. Gadis jelita itu segera mem balas dengan
ayunan Pedang Sinar Rem bulan dengan kecepatan yang
m enggetarkan. Wukkk! Trangngng!
"Aaah...!"
Si brewok yang m erasa terlambat untuk m enghindar segera
m engel ebatkan gol ok besarnya. Terdengar suara nyaring ketika du a senjata itu
Misteri Elang Hitam 1 Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Setan Gila Lereng Ungaran 1
^