Pencarian

Pendekar Gila 2

Pendekar Naga Putih 35 Pendekar Gila Bagian 2


menghela napas panjang.
Perlahan lelaki jangkung itu mengangkat wa-
jahnya. yang cekung dan tulang-tulang pipi menonjol.
Sepasang matanya menyipit menatap lurus ke depan.
Sedang tangan kanannya mengelus permukaan tiang
batu yang pada bagian depannya terdapat tulisan be-
sar dan kokoh. "Mudah-mudahan saja Partai Siluman Baju
Kembang belum mendengar berita yang mengheboh-
kan itu. Sehingga aku mempunyai harapan untuk da-
pat bersembunyi di wilayahnya...," usai bergumam, lelaki itu kembali menggejot
tubuhnya yang langsung
melesat, dan lenyap di balik tikungan jalan.
Tidak lama kemudian, sosok jangkung berpa-
kaian serba hitam itu telah tiba di depan pintu gerbang sebuah bangunan besar.
Ditatapinya bangunan itu sejenak dari jarak empat tombak. Kemudian. Lelaki
jangkung itu segera melangkahkan kakinya menuju
pintu gerbang. Belum lagi sosok rubuh jangkung itu sempat
mendekat ke arah gerbang, tiba-tiba terdengar suara berdesing nyaring, yang
datangnya dari empat penjuru.
"Hm..."
Seperti telah diduganya, lelaki jangkung berwa-
jah cekung tidak terkejut sama sekali. Tanpa ingin
mengetahui penyebab timbulnya suara berdesingan
itu, ia segera memutar tongkat di tangan kanannya
dengan membentuk lingkaran.
Wuuuk! Wuuuk! Terdengar suara angin yang menderu ketika
tongkat hitam di tangan lelaki itu, berputaran melindungi tubuh pemiliknya.
Dengan suara berkerontan-
gan, dan disusul dengan suara gemerincing senjata-
senjata rahasia jatuh ke tanah. Rupanya senjata rahasia itu berbentuk paku,
sebesar ibu jari dengan pan-
jang sejengkal. Dan, senjata itu pula yang menimbulkan suara berdesing nyaring
Kelanjutan senjata-senjata rahasia itu seperti
telah diketahui arahnya, sehingga lelaki jangkung itu melambung ke udara dengan
disertai putaran tubuhnya. Kemudian tubuh lelaki jangkung itu hinggap di
atas ujung kayu pintu gerbang Dan pada saat bersa-
maan, beberapa sosok tubuh berkelebatan ke tempat
lelaki jangkung itu semula berada. Dengan tindakan
demikian, lelaki jangkung itu memang telah mengeta-
hui serangan sosok-sosok tubuh itu. Sehingga, ia selamat dari serangan lawannya
"He he he..., kalian salah sangka. Siluman
Tongkat Beracun tidak mudah untuk dikelabui...," terdengar suara tawa mengejek
yang berasal dari atas
pintu gerbang Partai Siluman Baju Kembang. Suara itu tentu saja berasal dari
sosok tubuh lelaki jangkung yang tengah berdiri angkuh di atas pintu gerbang
itu. "Siluman Tongkat Beracun...!" terdengar enam orang berpakaian kembang-kembang
yang warnanya aneh itu, berseru heran dan terkejut. Jelas, mereka telah mengenal baik siapa
lelaki jangkung itu sesung-
guhnya. Siluman Tongkat Beracun memang dikenal se-
bagai salah satu gembong dunia hitam, yang selalu
melakukan perbuatan jahat dan keji. Belakangan na-
manya menghilang dan tidak terdengar lagi kabar beritanya. Disebabkan beredarnya
berita tentang seorang pembunuh gila. Dan, beberapa orang tokoh yang terbunuh
dikenal oleh Siluman Tongkat Beracun.
Setelah menimbang-nimbang, lelaki jangkung
itu sadar kalau suatu hari nanti, pembunuh gila itu akan datang mencarinya.
Karena semua tokoh persilatan yang terbunuh merupakan kawan baiknya dua pu-
luh tahun yang lalu (Bagi pembaca yang belum men-
genal tokoh Siluman Tongkat Beracun, dapat diketahui lebih jelas pada episode
"Mustika Naga Hijau").
Kecurigaan Siluman Tongkat Beracun semakin
besar, ketika beberapa orang kenalannya yang juga tokoh-tokoh sesat, ternyata
tidak berani menerima ke-hadirannya. Jelas, kawan-kawannya telah menduga
kalau ia pasti akan dicari pembunuh gila itu.
Dalam usahanya mencari perlindungan, Silu-
man Tongkat Beracun tiba di daerah Utara. Di Hutan
Kembang, ia mencari salah seorang sahabat lamanya
untuk menyembunyikan diri. Itulah sebabnya kenapa
Siluman Tongkat Beracun telah berada di wilayah Hu-
tan Kembang. "Benar, akulah yang datang! Tolong beritahu-
kan Siluman Hutan Kembang kalau sahabat lamanya
datang berkunjung...," seru Siluman Tongkat Beracun sambil meluruk turun dari
atas pintu gerbang.
"Maafkan kalau kami telah bertindak lancang
menyerangmu, Ki. Kalau saja engkau tidak berbaik ha-ri, tentunya kami telah
bergeletakan menjadi mayat...,"
ujar salah seorang dari enam lelaki berpakaian kem-
bang-kembang itu. Tubuhnya yang tinggi kokoh agak
membungkuk. Sedangkan kawan-kawannya yang lain
segera mengikuti.
"Hm..., kau terlalu merendahkan kepandaian-
mu sendiri, Kisanak. Sebenarnya aku tidak bersung-
guh-sungguh, mungkin akulah yang akan menjadi
mayat oleh paku-paku kembang kalian yang memang
sangat terkenal itu...," sahut Siluman Tongkat Beracun. Meskipun terdengar
memuji lawannya, namun
dalam nada ucapannya tersirat kesombongan.
"Silakan, Ki...," ucap lelaki tinggi kokoh itu yang sepertinya pemimpin dari
keenam orang itu.
Setelah berkata demikian, ia membungkukkan
tubuhnya sambil mempersilakan Siluman Tongkat Be-
racun memasuki halaman perguruan. Sedangkan pin-
tu gerbang perguruan itu telah terbuka setengah.
Tanpa ragu-ragu lagi, Siluman Tongkat Beracun
segera melangkah lebar memasuki halaman perguruan
itu. Tawanya terdengar berkepanjangan mengiringi
langkah kakinya. Sedangkan enam orang lelaki berpa-
kaian seragam kembang-kembang itu tetap mengiringi
di belakangnya.
*** "Ha ha ha.... Selamat datang, Sahabat. Lama
sekali kita tidak berjumpa. Angin apakah yang telah membawamu ke tempatku yang
sunyi dan terpencil
ini...?" terdengar suara berat yang parau ketika Siluman Tongkat Beracun menaiki
undakan anak tangga
kedua, yang terdapat di ruangan depan bangunan
utama perguruan itu.
Siluman Tongkat Beracun memperdengarkan
suara tawanya yang berkepanjangan. Sedangkan lang-
kahnya terus saja terayun menuju ke ruang utama.
"Ha ha ha.... Selamat bertemu, Siluman Hutan
Kembang. Kau nampak tidak berubah semenjak kita
berjumpa terakhir kali. Kau masih gagah dan sehat
seperti seorang pemuda saja...," puji Siluman Tongkat Beracun yang segera
menghempaskan tubuhnya di sebuah kursi yang bergagang gading yang terletak di
depan tuan rumah.
"Hm..., tidak perlu menyembunyikan sesuatu
dariku, Siluman Tongkat Beracun. Dari raut wajahmu, aku bisa menduga kalau kau
tengah menghadapi persoalan yang berat. Kalau boleh ku tahu, apa sebenar-
nya yang telah membuat hatimu resah...," tanya Siluman Hutan Kembang yang segera
melontarkan perta-
nyaan kepada tamunya.
"Haiii..., kau benar-benar hebat, Sahabatku.
Matamu sangat tajam dan otakmu cerdik sekali," puji Siluman Tongkat Beracun.
Sepasang mata Siluman Hutan Kembang me-
rayapi tubuh sahabat lamanya.
"Aku memang tengah menghadapi persoalan
berat Sayangnya, aku tidak bisa menceritakannya kepadamu," ujar Siluman Tongkat
Beracun sambil menghela napas berat yang berkepanjangan.
"Mengapa kau tidak menceritakannya kepada-
ku" Apakah kau sudah tidak mempercayai ku lagi?"
Siluman Beracun Kembang melangkah bangkit dari
kursinya dengan wajah keruh. Jelas, kalau ia merasa tidak senang mendengar
jawaban sahabatnya itu
"Bukan aku tidak percaya kepadamu, Sahabat
Tapi, persoalan yang kini kuhadapi sangat berat sekali.
Dan, aku tidak ingin kau sampai ikut terlibat di
dalamnya," Jawab Siluman Tongkat Beracun yang merasa tidak enak demi mendengar
ucapan sahabat la-
manya itu "Apa pun yang kau hadapi, ceritakanlah kepa-
daku. Demi persahabatan kita, aku berjanji akan
membantumu, meskipun dengan taruhan nyawa. Nah,
ceritakanlah...," desah Siluman Hutan Kembang lagi sambil menepuk-nepuk bahu
sahabatnya. "Baiklah. Karena kau terlalu mendesak, aku
akan menceritakan persoalanku ini...," sambil menghela napas berat. Siluman
Tongkat Beracun melangkah
perlahan. "Sekitar dua atau tiga puluh tahun yang lalu,
aku pernah mengabdikan diri pada seorang tokoh yang
berjuluk Malaikat Gunung Naga. Di sana, aku banyak
mengenal orang lain, yang kini menjadi tokoh-tokoh
terkenal di kalangan rimba persilatan. Kami semua
memang tamak dan serakah."
Siluman Tongkat Beracun menghentikan ceri-
tanya sejenak. Mata lelaki jangkung itu nampak terpe-jam seperti ingin
mengumpulkan daya ingatannya ten-
tang peristiwa itu
Siluman Hutan Kembang diam dan memperha-
tikan cerita lelaki Jangkung di hadapannya.
"Suatu hari kami merencanakan mencuri se-
buah benda keramat yang bernama Mustika Naga Hi-
jau. Karena benda itu merupakan kunci untuk mem-
buka sebuah tempat di Gua Ular. Sedangkan letak gua itu sendiri, hanya ada dalam
peta yang selalu membungkus mustika itu."
Siluman Hutan Kembang tetap tidak menun-
jukkan perasaannya. Lelaki gagah bertubuh gemuk
dan berperut gendut itu, hanya memandangi wajah
sahabatnya. "Benda itu berhasil kami dapatkan. Sedangkan
Malaikat Gunung Naga dan seluruh keluarganya, kami
bantai habis tanpa rasa kasihan sedikit pun."
"Jadi benda itu kau pegang sekarang?" potong Siluman Hutan Kembang.
"Sayang di tengah perjalanan kami saling mem-
perebutkan benda itu. Salah seorang di antara kami
yang berjuluk Dewa Kerdil berhasil mendapatkan ben-
da mukjizat itu. Tapi, ia menyembunyikan dirinya ber-tahun-tahun. Karena kami
semua mencarinya untuk
merebut kembali benda itu dari tangannya. Dua tahun yang lalu, aku sempat
mendengar kabarnya. Berita itu ternyata didengar pula oleh Sepasang Beruang
Iblis. Tentu saja kami saling berlomba untuk merebut benda
itu (Baca "Mustika Naga Hijau").
Siluman Hutan Kembang hanya membisu.
"Belakangan ini, tiba-tiba tersiar kabar seorang pembunuh gila yang datang dari
Gua Ular. Semua itu
dapat diketahui dari cerita, salah seorang yang berhasil lolos dari amukan
pemuda gila itu. la sempat melihat 'Ilmu Langkah Malaikat' yang dipergunakan
pemu- da itu. Mereka yang terbunuh adalah orang-orang yang dulu pernah bekerja pada
Malaikat Gunung Naga, ma-ka aku pun mendapat firasat kalau pembunuh gila itu
pastilah akan mencariku. Beberapa orang temanku di
wilayah Barat sana, tidak mau menerimaku."
"Kenapa?" tanya lelaki gemuk dan berperut gendut yang berjuluk Siluman Hutan
Kembang itu. "Mereka takut akibat yang bakal mereka terima.
Itulah sebabnya, aku ke tempatmu yang sunyi dan
terpencil ini," jelas Siluman Tongkat Beracun mengak-hiri ceritanya.
"Aneh. Kenapa kau takut terhadap seorang
pembunuh yang hanya seorang pemuda ingusan itu"
la memang dapat membunuh tokoh-tokoh lainnya, tapi
siapa tahu ia menggunakan jebakan atau cara-cara
yang licik. Sehingga, kawan-kawanmu itu dapat diban-tainya," Siluman Hutan
Kembang mencoba membang-kitkan keberanian di hati sahabatnya dengan mere-
mehkan pembunuh gila itu.
"Hhh..., kau tidak tahu. Sahabatku. Pemuda itu memang masih ingusan. Tapi, ia
memiliki 'Ilmu Langkah Malaikat'. Sebuah ilmu dahsyat yang tidak mudah
dipelajari. Selain itu, orang yang berhadapan dengannya, seolah-olah tengah
berhadapan dengan malaikat
la sama sekali tidak mengetahui di mana lawan saat
itu. Nah, kau bisa bayangkan, apa yang terjadi kalau kau berhadapan dengannya?"
bantah Siluman Tongkat
Beracun yang merasa kurang senang, karena sahabat-
nya telah meremehkan ilmunya.
"Yahhh..., aku memang pernah mendengar na-
ma tokoh sakti yang berjuluk Malaikat Gunung Naga
itu. Kepandaiannya memang sangat tinggi. Hanya ada
beberapa orang tokoh yang dapat disejajarkan dengan anak muda itu. Ah, sudahlah.
Sebaiknya, kau kuantar ke tempat istirahat Kau boleh tinggal di tempat Ini
sampai bosan...," ujar Siluman Hutan Kembang sambil mengajak sahabatnya ke kamar
yang memang disedia-kan untuk tamu-tamunya.
Siluman Tongkat Beracun sama sekali tidak be-
rusaha membantah. Lelaki jangkung itu menyeret
langkahnya dan mengikuti sahabat lamanya itu
*** "Heaaah...!"
Sosok bertubuh tegap itu meraung keras, sam-
bil memijat kepalanya sendiri berulang-ulang Melihat dari raut wajahnya yang
terlihat sangat tersiksa itu, jelas kalau sosok tubuh tegap berpakaian serba
biru Itu tengah merasakan sesuatu yang menyakitkan pada
bagian kepalanya.
Tidak lama kemudian, sosok tubuh yang tidak
lain Wirya Saka itu menegang. Perlahan-lahan kedua tangannya turun ke sisi
pinggang. Tampak wajah pemuda itu pucat, dengan bilur-bilur merah di sepanjang
keningnya. Seperti orang yang hilang kesadarannya, tiba-
tiba pemuda itu melesat cepat bagaikan kilat Kecepatan ilmu lari yang dimiliki
pemuda itu luar biasa sekali, yang tampak hanya secercah sinar biru berkelebat
melintasi pepohonan.
Cukup lama Wirya Saka berlari seperti orang gi-


Pendekar Naga Putih 35 Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

la yang tidak mengenal lelah. Gerakannya baru diper-lambat ketika ia melintasi
sebuah daerah perbukitan kering. Kemudian, ia melangkah lambat tanpa semangat
"Kakang Wirya...!"
Wirya Saka menoleh ketika mendengar suara
yang memanggil namanya. Sekilas terlihat sorot ke-
gembiraan pada sepasang matanya. Namun, itu hanya
sekejap karena sinar mata pemuda itu kembali kosong, dingin dan tanpa semangat
hidup. Sosok tubuh ramping berpakaian merah darah
yang memanggil Wirya Saka, bergegas mendekati pe-
muda tampan itu Wajahnya yang cantik dengan sepa-
sang mata indah itu, nampak semakin memikat. Rasa
bahagia dan gembira berjumpa dengan pemuda tam-
pan itu, tidak disembunyikannya sama sekali.
"Winarti...," desis bibir Wirya Saka dengan wajah yang tetap tidak menunjukkan
perasaan hatinya
Pemuda itu berdiri tegak, dan menyongsong kedatan-
gan wanita berpakaian merah darah yang ternyata Wi-
narti itu. "Ke mana saja kau, Kakang" Mengapa kau tiba-
tiba mengamuk seperti orang kesetanan di rumah judi itu" Lalu lenyap begitu saja
tanpa kabar" Satu hal
yang membuatku tidak jadi marah kepadamu, yaitu,
kau ternyata telah lebih dahulu menghabisi nyawa Ki Jumali, si Juragan Keparat
itu," Winarti langsung saja bercerita panjang lebar. Bibirnya bergerak-gerak
lucu ketika ia bercerita. Sehingga, mau tidak mau, Wirya Saka terpaku
menatapnya. "Aku..., aku tidak tahu, Winarti. Sekarang pun aku tidak tahu harus ke mana...,"
desah Wirya Saka dengan suara lirih. Kemudian membalikkan tubuhnya
dan melangkah gontai menyusuri tanah bebatuan.
"Apa maksudmu, Kakang. Ada apa sebenarnya
yang terjadi dengan dirimu?" tanya Winarti yang segera menarik tangan Wirya Saka
sehingga pemuda itu terpaksa menghentikan langkahnya.
"Apa yang terjadi dengan diriku..." Aaah..., aku tidak tahu, Winarti. Sepertinya
aku telah gila. Tanpa sebab, tiba-tiba saja kepalaku terasa sakit, bagai di-
himpit oleh sesuatu yang amat kuat. Lalu, aku tiba-
tiba ingin membunuh siapa saja yang kutemui. Bah-
kan yang lebih mengerikan, kadang aku tidur di atas mayat seseorang yang baru
saja tewas. Kau tahu, Winarti" Mayat itu ternyata akulah yang membunuhnya.
Karena di tanganku masih membekas noda-noda da-
rah yang basah...," ujar Wirya Saka yang segera menutup wajahnya dengan hati
terpukul perih. Jelas, kalau pemuda tampan berwajah pucat itu sangat menderita.
"Kasihan kau, Kakang. Semenjak pertama kali
aku melihatmu, telah kuduga kalau kau tengah memi-
kul beban berat. Dan, karena aku merasa suka kepa-
damu. Aku sengaja mencari jalan untuk dapat menge-
nalmu lebih dekat. Sayang, kau menghilang begitu sa-ja, ketika kita tengah
menghancurkan rumah judi di
Desa Ampenan," gumam Winarti.
Wirya Saka tetap menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangan, dan tanpa bicara sepatah kata pun. "Ke mana saja kau
selama ini, Kakang" Apa yang telah kau alami...?" tanya Winarti dengan wajah
cemas. Dan tanpa rasa canggung lagi, gadis cantik itu langsung memegang dan
mengguncangkan bahu pemuda tampan berwajah pucat itu kuat-kuat
"Aku tidak tahu..., Winarti.... Aku tidak tahu..., sahut Wirya Saka berulang-
ulang sambil tetap menu-
tup wajahnya dengan telapak tangan.
Winarti terpaksa diam, membiarkan Wirya Saka
larut dalam kedukaannya, la hanya duduk menunggu
dengan sabar. Dan, ia berharap dengan pemuda yang
tampan berwajah pucat itu mau mencari jawaban atas
segala yang telah dilakukannya.
*** 6 "Syukurlah kau bisa mengatasi penyakit menu-
lar itu. Kenanga. Hhh..., kasihan sekali nasib penduduk desa yang terpencil itu.
Sayang, orang-orang pandai itu tidak banyak menyadari kepentingan mereka.
Kalau saja orang-orang pandai itu mau mengorbankan
tenaganya di Desa Pugar, tentu wabah penyakit menu-
lar itu tidak akan menelan korban yang begitu ba-
nyak," ujar seorang pemuda tampan berjubah putih dengan nada penuh sesal.
Gadis berpakaian serba hijau yang berjalan di
sebelah kiri pemuda berjubah putih itu memberikan
tanggapan. Wajahnya yang cantik jelita seperti bidadari itu, tengadah sejenak
dan menatapi cakrawala biru.
Terdengar helaan napasnya yang berat dan berkepan-
jangan. "Hhh..., pada masa sekarang ini, sulit sekali menemukan orang yang
berwatak jujur, Kakang. Kebanyakan mereka, lebih mementingkan keperluan pri-
badi daripada orang lain. Kalau pun .mereka mau me-
nolong, tentunya dengan imbalan yang pantas. Mereka mana mungkin mau bersusah
payah mendatangi desa
terpencil itu, hanya untuk memberikan pertolongan
tanpa imbalannya?" sahut gadis jelita itu seraya me-malingkan wajahnya dan
menatap wajah pemuda tam-
pan. Senyumnya tampak terkembang, sehingga me-
nambah kejelitaan wajahnya.
"Yahhh..., untunglah saat wabah itu terjadi, ke-betulan hadir seorang bidadari
berhati emas. Dengan kepandaian ilmu pengobatan, bidadari itu berhasil
menyelamatkan penduduk Desa Pugar dari ancaman
maut Sempat ku saksikan, betapa para penduduk desa
itu sangat berat melepaskan kepergian sang Bidadari yang telah menolong mereka.
Bahkan, beberapa di antara mereka sempat mencucurkan air mata. Benar-
benar sebuah pemandangan yang sangat mengharu-
kan...," desah pemuda tampan itu sambil melirik si gadis jelita dengan tersenyum
menggoda. "Aaah, kau terlalu berlebihan, Kakang, Tapi, bi-ar bagaimanapun, sebenarnya
kaulah yang telah me-
nolong mereka secara tidak langsung. Karena kepan-
daian yang kumiliki ini datangnya dari, Kakang," elak gadis jelita itu dengan
cerdik. "Ha ha ha..., kau pandai sekali memutar balik omongan orang. Kenanga. Rupanya
selama ku tinggalkan di Desa Pugar, banyak kemajuan yang kau da-
patkan. Benar-benar mengagumkan sekali...," puji pemuda tampan itu lagi sambil
mengulurkan tangannya,
dan langsung dipeluknya tubuh gadis jelita itu dengan penuh rasa cinta.
Gadis jelita berpakaian hijau yang bernama Ke-
nanga, sama sekali tidak mengelak pelukan pemuda
tampan itu. Malah ia merebahkan kepalanya ke bahu
pemuda itu, yang tidak lain Panji. Sambil merebahkan kepalanya, tangan kanannya
melingkar memeluk pinggang kekasihnya.
Cukup lama sepasang kekasih itu terbuai da-
lam rasa cinta dan rindu yang telah terpendam. Langkah-langkah kaki keduanya
menyusuri jalan setapak
dengan lambat Tampak di kiri dan kanan terlihat pe-
pohonan yang rimbun.
Selagi keduanya terlelap dalam rasa kasih yang
dalam, mendadak Panji menghentikan langkah. Tentu
saja membuat Kenanga tersentak kaget. Gadis jelita itu langsung mengangkat
kepalanya dari bahu Panji.
"Ada apa, Kakang.." Kau mendengar sesua-
tu...?" tanya Kenanga yang memang mengetahui keta-jaman pendengaran kekasihnya.
Kemudian gadis jelita itu mengerahkan indera pendengarannya. Meskipun ia
telah mencobanya sekuat kemampuan, tapi tidak satu
pun mencurigakan tertangkap oleh indera pendenga-
rannya. "Aku seperti mendengar suara orang yang sedang bertempur. Mungkin
jaraknya sangat jauh dari
tempat ini. Aku belum bisa memastikan di mana suara itu berasal. Tapi,
sepertinya pertarungan itu sangat hebat.," sahut Panji yang segera memejamkan
matanya dan mengerahkan kekuatan indera pendengarannya,
guna memastikan di mana pertempuran itu berlang-
sung. Kenanga yang melihat kekasihnya tengah men-
cari asal suara itu, hanya berdiri menatap Panji. Karena ia sendiri tidak bisa
menangkap suara itu, maka ia hanya menanti dan mengharapkan kekasihnya dapat
menemukan asal suara itu.
"Bagaimana, Kakang,..?" tanya Kenanga sambil mendekati Panji begitu matanya
terbuka. "Mari ikut aku...," Panji segera melesat dengan mengerahkan ilmu larinya. Pemuda
itu sengaja tidak
mengerahkan tenaga sepenuhnya. Karena ia tidak in-
gin kekasihnya tertinggal jauh.
Melihat tubuh kekasihnya sudah melesat. Ke-
nanga bergerak menyusul. Wajah gadis itu sempat berseri, ketika mengetahui kalau
kekasihnya sengaja
memberi kesempatan untuk menyusul. Sehingga, gadis
jelita itu dapat menjajari pemuda tampan itu. Namun, Kenanga harus mengerahkan
seluruh ilmu kepandaian
larinya agar dapat mengimbangi Panji.
Tidak lama kemudian, sepasang kekasih itu ti-
ba di sebuah daerah perbukitan tandus. Dari kejauhan Panji melihat dua sosok
tubuh tengah bertarung sengit Namun, Panji yang pandangan matanya lebih tajam
dan jeli dari tokoh-tokoh kebanyakan, dapat menilai dengan tepat. Panji tahu
kalau kedua orang itu bukan tengah bertempur. Lebih tepat, sosok tubuh yang
lebih pendek dan berambut lebih panjang itu, tidak mempunyai kesempatan untuk
menyerang. Sosok yang diduga
Panji sebagai seorang gadis itu, tampak tengah berusaha menyelamatkan dirinya
dari serbuan sosok yang
berpakaian biru.
Sadar kalau sosok tubuh ramping berpakaian
merah darah itu tidak mungkin dapat bertahan lama,
bergegas Panji melesat dengan kecepatan kilat, dan
langsung memapaki cengkeraman sosok berpakaian
biru itu, yang siap mencengkeram batok kepala lawannya. "Haiiit..!"
Wukkk! Begitu tiba, Panji langsung mengirimkan tam-
paran dengan telapak tangan kanannya. Serangkum
hawa dingin yang menggigit tulang berhembus mengi-
ringi lontaran telapak tangan, yang di sekelilingnya terselimut kabut putih
keperakan. Pyarrr..! "Aaah...!"
"Uhhh...!"
Benturan cengkeraman dengan telapak tangan
dari kedua sosok tubuh itu, ternyata menimbulkan
akibat yang sangat hebat sekali! Dibarengi seruan kaget dari mulut keduanya,
tubuh mereka pun terdorong kebelakang, hingga satu setengah tombak! Keduanya
segera mematahkan daya dorong itu dengan berjumpa-
litan dua kali, kemudian mendarat ringan di atas permukaan tanah.
"Hal... tidak kusangka, hebat-juga tenaga yang dimiliki sosok berpakaian biru
itu. Dia tidak hanya mampu menahan gempuran "Tenaga Sakti Gerhana
Bulan'ku Tapi, sanggup pula membuat tubuhku terdo-
rong.' Hebat...!" Panji memuji ketika merasakan hebat-nya kekuatan sosok
berpakaian serba biru itu.
Jarang tokoh yang mampu menandingi kekua-
tan tenaga Panji, sehingga buat pemuda itu kagum
terhadap orang yang mampu membuat tubuhnya ter-
dorong. Padahal, tenaga yang dikerahkannya cukup
tinggi. Dan, jarang orang yang mampu menahannya.
Kekagetan Panji yang dikenal sebagai Pendekar
Naga Putih ternyata tidak selesai sampai di situ. Bahkan, yang lebih
mengejutkannya ketika ia melihat secara jelas, sosok berpakaian serba biru itu
memiliki kekuatan .tenaga sakti yang sangat tinggi.
Wirya Saka...".'" seru Panji yang hampir tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Seorang pemuda
lugu yang mendapatkan warisan tanpa sengaja dari
seorang kakek kecil kurus yang berjuluk Dewa Kerdil (Untuk mengetahui lebih
jelas tentang perkenalan Panji dengan Wirya Saka, baca episode "Mustika Naga
Hijau"). Kenanga yang telah mengetahui dari cerita Panji, sejenak menatap lelaki
muda berwajah pucat yang
bernama Wirya Saka. Wajah jelitanya berkerut ketika melihat wajah pemuda tampan
berwajah pucat yang
tampak menderita itu.
"Kakang..., dia., dia itu sepertinya... " Kenanga tidak melanjutkan ucapannya.
Panji lebih dahulu me-motong ucapan gadis jelita itu.
"Ya. Sepertinya pemuda itu dalam keadaan ti-
dak wajar. Tapi, entah apa aku sama sekali tidak bisa menduganya secara pasti.
Perlu diteliti secara lebih dekat untuk mengetahuinya...," sahut Panji sambil
tetap menatap wajah Wirya Saka dengan penuh selidik.
"Kisanak, jangan lukai dia. Dia... dia tidak tahu dengan apa yang
dilakukannya...," tiba-tiba saja, gadis berpakaian merah darah yang diselamatkan
Panji mendekati kedua orang itu, dan memohon perlindun-
gan dengan suara bergetar.
"Hm..., jangan takut, Nisanak. Aku kenal den-
gan pemuda itu. Dan, ia pun mengenalku bila dalam
keadaan wajar. Tahukah kau, apa yang menyebabkan-
nya berbuat seperti itu kepadamu...?" tanya Panji yang berusaha mencari
keterangan dari gadis cantik berpakaian serba merah itu.
"Aku..., aku tidak tahu secara pasti Karena ka-mi belum lama berkenalan. Aku...
merasa kasihan se-
kali kepadanya. Kadang-kadang ia terlihat murung,
dan tanpa gairah hidup Tapi, bila penyakitnya kumat berubah menjadi iblis yang
tidak kenal ampun. Seperti yang kau saksikan tadi, meski aku sahabatnya, namun
tetap diserangnya seperti musuh besar yang san-
gat dibencinya...," tutur wanita cantik berpakaian merah darah yang tidak lain
dari Winarti itu
"Hm..., Wirya Saka..., apakah kau masih men-
genaliku...?" tanya Panji sambil melangkah mendekati pemuda tampan berwajah
pucat itu. Kening Panji ber-
kerut ketika melihat bilur-bilur merah yang memben-
tuk garis melengkung di kening Wirya Saka.
"Hmrrr...!"
Panji menghentikan langkahnya ketika melihat
wajah pemuda tampan berwajah pucat itu makin ber-
tambah buas. Bahkan Wirya Saka menggereng seperti
seekor harimau yang terganggu kesenangannya Jelas,
Wirya Saka tidak mengenali Panji sama sekali.
"Haaarkhhh...!"
Tiba-tiba, disertai raungan panjang yang meng-
getarkan perbukitan itu, Wirya Saka melesat dengan
kecepatan kilat Dan, langsung melancarkan serangan-
serangan maut ke arah Panji.
Wuuut! Wuuut! Wuuut!
Sambaran angin dahsyat yang bercicitan, da-
tang susul-menyusul mengancam tubuh Pendekar Na-
ga Putih. Menilik dari gerakan dan sambaran angin
pukulannya, jelas serangan Wirya Saka sangat berba-
haya dan mematikan!
"Mundur kalian...!" seru Panji kepada Kenanga dan gadis berpakaian merah darah
itu, seraya Panji
bergerak dan melompat ke samping kiri. Sengaja ia


Pendekar Naga Putih 35 Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertindak demikian untuk memancing Wirya Saka agar
mengejarnya terus, dan menjauhi kedua gadis itu.
Pendekar Naga Putih tentu saja menjadi serba
salah. Untuk menggunakan kepandaiannya, ia khawa-
tir Wirya Saka akan terluka. Sedang bila dibiarkan, la sendiri bisa celaka di
tangan pemuda tampan berwajah pucat itu yang telah berubah menjadi iblis
pembunuh itu. Panji tidak sempat berpikir panjang. Karena
Wirya Saka menggempurnya terus dengan serangan-
serangan dahsyat! Pendekar Naga Putih benar-benar
dipaksa mengerahkan kecepatan geraknya kalau ia ti-
dak ingin celaka.
"Hebat' Rupanya Wirya Saka telah menguasai
ilmu pusaka yang tersimpan di Gua Ular itu Luar biasa sekali ilmu ini. Kalau
saja aku tidak hati-hati, bukan tidak mungkin aku akan celaka di tangannya,"
desis Panji yang kagum terhadap ilmu yang dimiliki lawannya. Kekaguman Panji
berubah menjadi kaget, keti-
ka ia menyaksikan kepandaian 'Ilmu Meringankan Tu-
buh' Wirya Saka. Ternyata kepandaiannya itu tidak di bawah tingkatannya. Terus
saja Pendekar Naga Putih
semakin kagum dibuatnya.
"Yeaaat..!"
Ketika pertempuran memasuki jurus keempat
puluh, tiba-tiba saja Wirya Saka mengeluarkan suara nyaring. Bersamaan dengan
itu, tubuhnya berjumpalitan di udara, dan meluruk dengan disertai dorongan
telapak tangannya.
Wusss...! Serangkum angin dahsyat yang mengeluarkan
hawa aneh, berhembus keras mengancam jiwa Pende-
kar Naga Putih!
Panji bukan tidak sadar akan bahaya maut
yang mengancamnya, la segera melemparkan tubuh-
nya ke samping sejauh satu tombak lebih. Pendekar
Naga Putih sengaja tidak memapaki dorongan dahsyat
yang mematikan itu. Itu dilakukannya karena ia tidak ingin Wirya Saka mengalami
cedera. Karena, ia tahu
kalau tindakannya dilakukan tanpa kesadaran yang
wajar. Blarrr..."
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan dorongan
sepasang telapak tangan Wirya Saka! Tiga batang po-
hon yang besarnya dua pelukan orang dewasa, lang-
sung tumbang dan hancur berserpihan!
"Hebat..!" Panji yang merasa takjub dengan kedahsyatan pukulan yang ditunjukkan
Wirya Saka. Ke-
nyataan itu membuatnya semakin bertambah cemas!
"Kakang! Dia tidak bisa dibiarkan! Kalau kau
terus mengalah, kau sendiri yang akan celaka di tangannya...!" Kenanga merasa
terkejut melihat kedahsyatan pukulan Wirya Saka, berseru memperingatkan ke-
kasihnya. Hati gadis jelita itu diliputi rasa cemas akan keselamatan Panji.
Panji sendiri sudah mulai berpikir lain. Kedah-
syatan tenaga sakti yang ditunjukkan Wirya Saka,
mau tidak mau membuatnya semakin bertambah ce-
mas! Biar bagaimanapun, ia ingin menundukkan
Wirya Saka dengan jalan yang diyakininya tidak akan membuat pemuda tampan
berwajah pucat itu celaka.
"Hm...," Panji bergumam lirih dengan wajah yang tiba-tiba bersinar cerah. Pemuda
sakti itu tam-paknya telah menemukan jalan keluar yang dianggap-
nya sangat baik.
Setelah mendapatkan jalan untuk menunduk-
kan Wirya Saka tanpa membuatnya cedera, Panji
menggeser kedua kakinya dan membentuk kuda-kuda
menunggang kuda. Dengan sebuah gerengan lirih dan
menggetarkan, Pendekar Naga Putih merendahkan ku-
da-kudanya. Sesaat kemudian, terlihat dua buah sinar membelah tubuhnya. Kedua
sinar itu berasal dari
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', dan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'.
"Heaaah...!"
Hembusan angin dingin dan panas menyebar
ketika Panji menggerakkan kedua tangannya secara
menyilang. Meski gerakannya terlihat lambat, namun
sambaran udara yang ditimbulkannya benar-benar
menggetarkan. Kenanga dan Winarti yang menyaksi-
kan Pendekar Naga Putih, bergerak mundur tanpa sa-
dar. Bahkan wajah Winarti tampak pucat dan dilanda
kecemasan yang hebat.
Namun sebelum Panji membuka serangan, tiba-
tiba terdengar suara-suara aneh. Suara-suara seperti siulan dan rintihan itu,
terdengar bergelombang dengan membawa pengaruh yang sangat kuat
Gelombang suara yang dikirim melalui kekua-
tan tenaga sakti tingkat tinggi, terus menggeletar memenuhi arena pertarungan.
Panji sendiri terkejut dengan serangan gelom-
bang suara aneh itu, dan keningnya berkerut dalam.
Walaupun seluruh tubuhnya telah dilindungi dua te-
naga mukjizat itu, tapi Panji sempat merasakan kekuatan gelombang suara aneh
itu. Pendekar Naga Putih tahu kalau gelombang su-
ara aneh itu, bukan dimaksudkan untuk menyerang-
nya. Panji menjadi curiga. Tapi, ia tetap waspada terhadap gerakan-gerakan
pemuda berwajah pucat itu.
"Yieeehhh...!"
Mendadak saja, Wirya Saka yang mendengar
suara aneh bergelombang itu, berteriak nyaring seperti lenguhan binatang
terluka. Tampak pemuda berwajah
pucat itu meremas-remas kepalanya dengan wajah mi-
rip orang kesakitan. Kemudian, tanpa mempedulikan
Panji lagi, tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu
segera melesat dengan gerakan aneh.
"Haiii..! Ilmu apa yang dipergunakan Wirya Sa-
ka itu...?" seru Panji yang merasa heran melihat tubuh Wirya Saka yang terkadang
lenyap dari pandang matanya, tapi ketika tubuhnya muncul, bayangannya te-
lah jauh terpisah sekitar lima sampai enam tombak
dari tempatnya semula. Tentu saja Panji yang belum
mengenal ilmu itu menjadi tertegun keheranan!
Panji terkagum-kagum melihat cara Wirya Saka
melarikan diri. la tidak terpikir untuk mengejarnya.
Hanya berdiri tegak dengan sepasang matanya mena-
tap bayangan pemuda tampan berwajah pucat yang
pernah ditolongnya itu, lenyap di balik tikungan jalan yang terhalang oleh
dinding bukit "Hm.., jelas suara aneh bergelombang itu yang
menyebabkan Wirya melarikan diri. Semua itu pasti
ada hubungannya dengan ketidakwajaran sikap pe-
muda itu...," gumam Panji yang mulai dapat meme-cahkan sedikit rahasia di balik
keanehan sikap Wirya Saka.
*** "Mengapa kau tidak berusaha mengejarnya,
Kakang?" tanya Kenanga yang merasa tidak puas melihat kekasihnya diam termangu.
"Kurasa untuk sementara ini kita biarkan saja.
Kenanga. Sebab, aku ingin mengetahui lebih dahulu
apa yang menyebabkan Wirya Saka bertingkah laku
aneh seperti itu. Aku merasa curiga, jangan-jangan
ada orang di belakang layar yang menggunakan pemu-
da itu untuk mencapai maksud-maksud tertentu. Kita
harus tetap waspada. Menurutku, orang yang mengua-
sai Wirya Saka itu, pasti bukan tokoh sembarangan.
Semua itu dapat terlihat dari ilmu kepandaian yang
dimiliki Wirya Saka...," jelas Panji yang tidak melepaskan pandangannya dari
tempat Wirya Saka meng-
hilang. "Lalu, ke mana lagi kita harus mencarinya" Sedangkan Wirya Saka jelas
memerlukan pertolongan.
Dan, kita tidak tahu ke mana tujuannya sekarang...?"
Winarti yang memang sangat mencemaskan Wirya Sa-
ka bertanya dengan wajah murung dan sedih.
"Hm..., Wirya Saka pastilah orang yang dijuluki Pendekar Gila. Dan, melihat ia
pergi begitu saja setelah mendengar suara aneh. Aku menduga ia mendapat tugas
untuk membunuh musuh-musuh orang yang
mengendalikannya. Kalian tidak usah cemas. Aku
mempunyai cara, dan aku yakin dengan cara itu kita
dapat ' menemukan Wirya Saka. Mari ikut aku...," ajak Panji yang segera
melangkah perlahan.
Kenanga dan Winarti tidak berkata-kata lain.
Keduanya melangkah di belakang Pendekar Naga Putih
dengan wajah penuh tanda tanya. Karena mereka me-
mang tidak tahu apa yang akan dilakukan Panji untuk menemukan jejak Wirya Saka.
*** 7 Wirya Saka terus berlari meninggalkan Panji,
tanpa menoleh lagi. Sambil berkelebatan seperti
bayangan hantu, pemuda tampan berwajah pucat itu
terus saja meremas-remas kepalanya. Karena ia mera-
sakan denyut-denyut yang menyakitkan seperti ribuan jarum menusuk batok
kepalanya. Setelah berlari setengah harian penuh, Wirya
Saka yang dijuluki Pendekar Gila itu tiba di mulut Hutan Kembang Seperti ada
yang menuntunnya, pemuda
tampan berwajah pucat itu bergegas memasuki hutan.
Keremangan hutan tidak dipedulikan pemuda tampan
berwajah pucat itu sama sekali. Dia tetap saja melangkah hingga tiba di sebuah
tiang batu setinggi dadanya.
Untuk beberapa saat lamanya, Pendekar Gila
itu berhenti dan berdiri mengawasi sekelilingnya. Sorot mata yang dingin dan
mengerikan itu, memandang sejenak sebuah jalan kecil yang sering digunakan orang
untuk lewat Tanpa berpikir panjang lagi, tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu
terus melesat dan me-
nerobos jalan kecil yang di kiri dan kanannya ditum-buhi semak belukar.
Langkah kakinya baru terhenti, ketika tiba di
sebuah pintu gerbang yang kokoh dan kuat. Namun,
baru saja pemuda berpakaian biru itu akan melang-
kah, terdengar suara berdesing dari empat penjuru ke arah tubuhnya.
Pendekar Gila yang keadaannya sudah normal,
menggeram gusar. Sepasang matanya berkilatan ta-
jam, memandang berkeliling. Kemudian, tubuhnya me-
lenting ke udara disertai dengan kibasan tangan yang membentuk cahaya bulat dan
mengitari tubuhnya.
Wuuus! Serangkum angin keras yang mengandung ha-
wa aneh, berhembus menghantam balik senjata-
senjata beracun yang dilemparkan oleh musuhnya.
Kemudian tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu
kembali melunak turun, dan berdiri tegak dengan sikap waspada.
Baru saja sepasang kaki pemuda tampan ber-
wajah pucat itu menyentuh permukaan tanah, terden-
gar suara teriakan nyaring yang susul-menyusul. Sua-ra-suara teriakan yang ramai
dan bising itu, dimaksudkan untuk mengacaukan pemusatan pikiran Wirya
Saka. Namun, pemuda tampan berwajah pucat itu sa-
ma sekal tidak bergerak. Ia tetap tegak dan menanti datangnya serangan.
Tak lama kemudian, beberapa sosok tubuh
berkelebatan, dan langsung mengurung Pendekar Gila.
Mereka tidak lain murid-murid Perguruan Siluman
Hutan Kembang, yang memang bertugas menyambut
setiap tamu yang datang tanpa diundang. Penyambu-
tan pertama berupa serangan gelap, yang dimaksud-
kan untuk menguji kepandaian tamu yang datang. Ti-
dak mengherankan ketika pemuda tampan berwajah
pucat itu mendekati pintu gerbang, langsung disambut senjata-senjata rahasia.
"Hm..., siapa kau, Anak Muda" Apa tujuanmu
menyatroni perguruan kami?" tegur salah seorang lelaki berpakaian kembang-
kembang yang bertubuh tinggi
besar. Sorot matanya tampak bengis dan menyiratkan
ancaman. Pendekar Gila yang saat itu tengah terpengaruh
kekuatan aneh, hanya menatapi enam orang lelaki
yang menguningnya. Sedikit pun tidak terlihat kalau pemuda berpakaian biru itu
menjawab pertanyaan
yang diajukan kepadanya.
"Hei! Apakah kau tuli"!" bentak seorang lelaki bertubuh gemuk yang berjenggot
lebat Jelas kalau ia merasa marah melihat sikap Wirya Saka yang seperti
tidak peduli itu.
"Heaaah..!"
Bukannya menjawab yang diberikan pemuda
berwajah pucat itu, malah sebaliknya ia menggeram
gusar. Sepasang matanya mencorong tajam mengawasi
lelaki yang membentak durinya.
"Ehhh..."!"
Lelaki gemuk berjenggot lebat itu terkejut bu-
kan main, melihat sinar mata Pendekar Gila yang tera-rah kepadanya. Tanpa sadar,
lelaki itu melangkah
mundur dengan wajah berubah agak pucat Tentu saja
ia merasa gentar melihat sinar mata yang tajam, dan
menimbulkan perbawa maut itu.
"Keparat Rupanya kau memang minta diha-
jar...!" teriak lelaki tinggi besar yang sepertinya pimpinan lima orang lelaki
itu. Sambil membentak tubuhnya segera meluncur dengan disertai ayunan tangan
kanannya ke arah kepala Wirya Saka.
Melihat serangan itu, sepasang mata Pendekar
Gila semakin berkilat menakutkan. Tanpa menggeser
tubuhnya, pemuda tampan berwajah pucat itu mengu-
lur tangan kanannya memapak) tamparan lawan.
Dan.... Kreppp!
Terkejut bukan main lelaki tinggi kekar itu,
tanpa melihat kapan pemuda tampan berwajah pucat
itu bergerak, tahu-tahu saja telapak tangannya telah dicengkeram Wirya Saka.
Krekkk! "Aaakh...!"
Lelaki tinggi kekar yang belum menyadari aki-
bat yang akan menimpa dirinya itu. menjerit kesakitan ketika jari-jari tangannya
ditekuk dan langsung patah!
Tindakan Pendekar Gila tidak hanya berhenti di
situ. Setelah menekuk patah jemari tangan lawan, pemuda tampan berwajah pucat
itu mengirim sebuah
tendangan keras, yang mengancam dada lawannya!
Desss! "Arrrgh...!"
Hebat sekali akibat ayunan kaki pemuda tam-
pan berwajah pucat itu. Tubuh kekar yang kokoh se-
perti batu karang itu, terjungkal dengan disertai darah segar muncrat dari
mulutnya. Menilik dari suara berderak yang terdengar mengiringi tendangan pemuda
berpakaian biru itu, tentu tulang dada lawannya re-
muk! Brakkk...!

Pendekar Naga Putih 35 Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar suara berderak ribut ketika tubuh
pimpinan lima orang itu, membentur pagar kayu bulat yang berada di belakangnya.
Kemudian tubuh itu melorot jatuh, dan berkelojotan! Tidak lama kemudian, tubuh
lelaki kekar itu diam dan tidak bergerak-gerak lagi. "Gila! Dia tewas..."!"
teriak salah seorang lelaki berpakaian kembang-kembang itu seusai memeriksa
tubuh kawannya. Terkejut bukan kepalang ketika tak
dirasakannya denyut nadi di tubuh pimpinannya itu.
"Bangsat! Kucincang hancur tubuhmu...!" geram lelaki gemuk berjenggot lebat yang
segera mencabut senjatanya, dan langsung menyerang Pendekar Gi-
la. Sementara, empat orang lelaki lainnya tidak
tinggal diam. Mereka segera mencabut senjatanya.
Kemudian menyerbu pemuda berwajah pucat yang te-
lah menewaskan pimpinannya.
"Hmh...."
Melihat datangnya kilatan-kilatan senjata yang
mengancam tubuhnya, Wirya Saka menggeram gusar.
Tanpa menunggu lagi serangan lima orang lelaki itu, tubuhnya langsung berkelebat
dengan kecepatan tinggi
"Heaaah...!"
Diiringi sebuah bentakan nyaring yang mengge-
tarkan, pemuda tampan berwajah pucat itu melontar-
kan telapak tangannya susul-menyusul! Terdengar su-
ara mencicit tajam mengiringi datangnya tamparan
Wirya Saka! Dan....
Bukkk! Desss! Desss!
Hebat sekali serangan pemuda tampan itu! Tu-
buh dua orang pengeroyoknya yang terdepan, lang-
sung terjungkal akibat tamparan keras yang menghan-
tam dada dan pelipis mereka. Keduanya langsung
menggelepar dan tewas seketika! Kenyataan itu mem-
buat tiga orang rekannya terbelalak pucat!
"Iblisss...!" desis lelaki gemuk yang berjenggot lebat yang tertegun menyaksikan
peristiwa yang berlangsung sekejap mata itu. Kalau saja ia tidak melihat dengan
mata kepala sendiri, peristiwa itu tidak akan dipercayainya.
Sedang Pendekar Gila seperti iblis haus darah,
sama sekali tidak mempedulikan lawan-lawannya yang
tengah kaget. Tubuh pemuda tampan berwajah pucat
itu kembali meluruk dengan kecepatan menggetarkan!
"Haaat...!"
Wirya Saka kembali berteriak nyaring. Sepa-
sang tangannya berkelebatan seperti tangan-tangan
maut yang siap mencabut nyawa ketiga orang lawan-
nya. Jerit-jerit kematian terdengar susul-menyusul!
Berbarengan dengan tiga tubuh lelaki berpakaian
kembang-kembang itu, jatuh tersungkur dalam kea-
daan tak bernyawa! Darah segar berserakan dan mem-
basahi permukaan tanah.
Bagai seorang algojo yang baru saja menyele-
saikan tugasnya, Wirya Saka berdiri tegak mengawasi ketiga mayat yang pada
pelipisnya terdapat lubang cukup besar! Rupanya jari tangan pemuda tampan ber-
wajah pucat itu memakan korbannya.
Usai menghabisi nyawa keenam orang lawan-
nya, Pendekar Gila mengalihkan pandangannya, ke
arah pintu gerbang. Perlahan tangan kanannya diang-
kat tinggi-tinggi. Setelah menariknya ke sisi pinggang, pintu gerbang itu
didorongnya ke depan dengan gerengan kasar!
"Hiiieee...!"
*** Duarrr...! Apa yang terjadi kemudian, sungguh dahsyat
sekali! Pintu gerbang yang terbuat dari kayu bulat itu, hancur berantakan dengan
menimbulkan suara hiruk-pikuk yang mengejutkan!
Beberapa orang lelaki berpakaian kembang-
kembang yang tengah berada di depan gedung utama
perguruan itu, berlompatan dengan wajah pucat! Me-
reka langsung berserabutan ke arah pintu gerbang
perguruan. "Gila! Ada apa ini...!" seru seorang lelaki tinggi kurus dengan wajah bingung.
Sementara belasan orang murid yang lainnya,
hanya dapat saling bertukar pandang dengan wajah
ketololan. Belum sempat belasan orang murid Siluman
Hutan Kembang itu mengetahui jawabannya, tiba-tiba
dari serpihan kayu pintu gerbang yang hancur itu,
muncul sosok tubuh yang langsung berdiri tegak di
hadapan mereka.
"Heaaakh...!"
Sosok tubuh berpakaian serba biru yang tidak
lain dari Pendekar Gila itu, mengeluarkan suara gerengan seperti binatang luka.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua tangannya segera didorong ke depan dengan
kekuatan hebat!
Blarrr...! Mengerikan sekali apa yang terjadi dengan be-
lasan orang murid Siluman Hutan Kembang itu. Tu-
buh mereka terpental bercerai berai dalam keadaan tidak utuh! Darah segar
membanjir di halaman depan
perguruan itu, dan menyebarkan bau amis yang me-
nyengat. "Ada pembunuh gila mengamuk...!" seorang
murid yang baru saja melangkah keluar dari dalam
bangunan utama perguruan itu berteriak dan berlari
masuk kembali la merasa ngeri melihat belasan mayat kawan-kawannya yang
bergeletakan, dan saling tum-pang tindih dalam keadaan yang mengenaskan.
Pendekar Gila tidak peduli sama sekali dengan
korban-korban akibat amukannya itu. Ia melanjutkan
kembali langkahnya menuju bangunan utama pergu-
ruan Siluman Hutan Kembang.
Langkah Wirya Saka terhenti ketika dari dalam
bangunan utama perguruan itu, muncul seorang lelaki gemuk berperut gendut yang
ditemani dua orang lelaki kekar berwajah kembar.
"Bangsat! Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila,
Anak Muda" Mengapa kau membuat keonaran di tem-
patku" Apakah di antara kita pernah ada perselisihan.
.?" bentak lelaki gemuk yang tidak lain Siluman Hutan Kembang itu.
"Tepat sekali Akulah Pendekar Gila itu! Ha ha
ha...," sahut pemuda berpakaian biru itu seraya tertawa.
Lelaki gemuk itu melangkah menuruni unda-
kan tangga kayu, sambil meneliti sosok berwajah pucat yang berjarak satu
setengah tombak dari tempatnya.
Sementara Pendekar Gila sama sekali Sidak
bergeser dari tempatnya. Pemuda tampan yang telah
berubah menjadi iblis haus darah itu menatap tajam, tepat di kedua mata Siluman
Hutan Kembang. "Aku..., aku..., datang hendak menjemput nya-
wamu. Siluman Tongkat Beracun," terdengar jawaban terpatah-patah dan bernada
kaku dari Wirya Saka. Sepasang matanya tetap tidak beralih, menatap lekat ma-ta
Siluman Hutan Kembang.
"Aku tidak menyembunyikan Siluman Tongkat
Beracun di sini Sebaiknya kau pergilah, dan cari di tempat lain," sahut Siluman
Hutan Kembang dengan suara yang terdengar agak sumbang. Tentu saja tokoh sesat
yang itu merasa gentar dengan penampilan pemuda tampan berwajah pucat yang
berjuluk Pendekar
Gila. "Ha ha ha...."
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang parau,
namun memiliki pengaruh yang hebat sekali. Bersa-
maan dengan berkumandangnya suara tawa itu, mun-
cul sesosok tubuh kurus kering dengan pakaian awut-
awutan. Siluman Hutan Kembang dan dua orang pen-
gawal yang menjadi murid utamanya itu, gemetar keti-ka melawan pengaruh suara
tawa yang dahsyat itu.
Bahkan, wajah Siluman Hutan Kembang terlihat me-
mucat Sedangkan dua orang murid utamanya memun-
tahkan darah segar. Jelas, pengaruh tenaga dari suara itu membuat mereka terluka
dalam. "Hm..., kau tidak perlu berbohong, Cecurut Bu-
suk! Serahkan manusia bejad itu, sebelum tubuhmu
kulumat dan perguruan ini ku bakar habis!" ancam lelaki kurus kering yang
penampilannya lebih mirip seperti gelandangan itu.
"Siapa kau..." Mengapa kau memusuhi pergu-
ruanku?" tanya Siluman Hutan Kembang dengan wajah yang masih pucat.
"Aku adalah keturunan terakhir dari Malaikat
Gunung Naga. Dan, aku akan mencabut nyawa manu-
sia licik seperti Siluman Tongkat Beracun itu. Kalau kau memang masih ingin
hidup, sebaiknya menying-kirlah, dan serahkan manusia licik itu kepadaku!"
kembali lelaki kurus kering itu menyahuti dengan sua-
ra parau. Untuk beberapa saat lamanya. Siluman Hutan
Kembang terdiam, la tidak berniat sama sekali melindungi Siluman Tongkat
Beracun, meskipun tokoh itu
adalah sahabat lamanya. Sebagai seorang tokoh sesat, tentu saja ia lebih
mengutamakan kepentingan priba-dinya daripada menolong orang lain. Kalau ia
belum sempat memberitahukan tempat Siluman Tongkat Be-
racun, itu bukan karena ia ingin melindungi sahabatnya. Tapi, la merasa geram
atas perbuatan Wirya Saka yang telah membantai murid-muridnya.
Ketika melihat kemunculan lelaki kurus kering
yang mengaku sebagai keturunan terakhir dari Malai-
kat Gunung Naga, Siluman Hutan Kembang mulai me-
nyadari bahaya yang akan mengancamnya.
"Orang yang kau cari, ada di sebuah gubuk
yang terletak di belakang bangunan ini...," akhirnya Siluman Hutan Kembang
terpaksa memberitahukan
tempat Siluman Tongkat Beracun bersembunyi. Semua
itu dilakukannya demi menyelamatkan diri dan pergu-
ruannya dari kehancuran.
Terdengar lelaki kurus kering itu tertawa terba-
hak-bahak. Setelah menoleh kepada Pendekar Gila,
dan berbisik dengan suara aneh. Tubuh lelaki kurus
kering itu segera berkelebat menuju bagian belakang gedung perguruan itu.
"Hmh...!"
Sepeninggal lelaki kurus kering itu, Wirya Saka
terdengar menggeram lirih. Menilik dari sorot matanya, jelas kalau pemuda tampan
berwajah pucat itu telah siap menebarkan maut
Dengan diiringi teriakan nyaring, Pendekar Gila
memutar kedua tangannya dengan gerakan perlahan.
Sepertinya ia telah siap melontarkan pukulan maut-
nya. Namun sebelum Wirya Saka melepaskan puku-
lan mautnya, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat, disertai suara
teriakannya yang nyaring!
"Wirya Saka, tahan...!" seru sosok bayangan putih itu sambil menjejakkan kakinya
tepat di tengah-
tengah arena. Namun, saat itu Wirya Saka tidak dalam kea-
daan normal. Tentu saja ia tidak bisa lagi membedakan kawan dan lawan. Kendati
Panji berdiri menghadang-nya dengan sikap bersahabat, tapi pemuda berpakaian
biru itu tidak menghentikan gerakannya.
Panji sadar kalau Wirya Saka tidak mungkin
dapat dihentikan dengan bujukan, ia pun segera ber-
tindak cepat. Sesaat kemudian. Panji memejamkan
matanya dan mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas
Bumi'. Detik itu juga, cahaya kuning keemasan ber-
pendar menyelimuti sekujur tubuhnya. Sepertinya
Pendekar Naga Putih telah memperhitungkan secara
masak untuk menghadapi amukan Wirya Saka.
"Heaaah...!"
Tak lama kemudian, terdengar Panji mengelua-
rkan bentakan perlahan. Sungguh luar biasa sekali sinar kuning keemasan yang
semula menyelimuti tu-
buhnya, secara perlahan mengecil dan berkumpul di
kedua telapak tangannya. Laki, disertai sebuah bentakan nyaring, Panji
mendorongkan sepasang telapak
tangannya ke arah Wirya Saka.
Wuuus....' Saat itu juga, dua gulungan sinar kuning kee-
masan terlontar dari telapak tangan Panji dan meluncur dengan kecepatan kilat
menuju sasarannya.
Bleppp...! Kejadian selanjutnya benar-benar sukar diteri-
ma akal sehat! Gulungan sinar kuning keemasan itu
sama sekali tidak membuat tubuh Wirya Saka terluka.
Apalagi sampai terpental. Sebaliknya, sinar kuning
keemasan itu malah masuk ke dalam tubuh pemuda
tampan berwajah pucat itu. Kini sekujur tubuh Wirya Saka mengeluarkan sinar
berpendar kuning keemasan.
"Aaarghhh...!"
Saat berikutnya, Pendekar Gila meraung se-
tinggi langit seperti tengah menerima azab yang sangat menyakitkan. Bersamaan
dengan raungan itu, sinar
kuning keemasan yang menyelimuti sekujur tubuhnya
lenyap secara perlahan, bagaikan meresap ke dalam
tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu.
Lenyapnya sinar kuning keemasan itu, ternyata
berakibat bagi Wirya Saka. Tubuh pemuda berwajah
pucat itu tampak bergetar seperti orang yang terserang demam hebat. Dengan
diiringi raungan panjang yang
menggetarkan, tubuh pemuda tampan berwajah pucat
itu terjungkal dan bergulingan di atas tanah. Dan, tubuh pemuda tampan berwajah
pucat itu terdiam tak
bergerak-gerak lagi. Rupanya Wirya Saka pingsan ka-
rena tidak sanggup menahan rasa sakit yang luar bi-
asa itu. "Apakah dia akan sembuh seperti semula, Kakang...?" sosok berpakaian
merah darah yang tiba di tempat itu, dan sempat menyaksikan perbuatan Panji
bertanya cemas.
"Berdoalah, Winarti. Kalau dugaanku memang
benar bahwa pemuda itu menderita keracunan, maka
ada harapan akan sembuh seperti sediakala, tanpa harus kehilangan kepandaiannya.
Hanya saja tenaga sak-tinya akan berkurang," Panji menghentikan sejenak
penjelasannya dan menghela napasnya.
Sementara dengan rasa cemas Winarti tetap
mengamati wajah Panji, harinya tak sabar ingin men-
dengar kelanjutan cerita Pendekar Naga Putih.
"Bukan mustahil tenaga yang dimilikinya telah
tercampur dengan racun jahat yang merusakkan jarin-
gan syaraf di otaknya. Seperti yang pernah kukatakan, sinar kuning keemasan itu
dapat memunahkan segala
macam jenis racun. Jadi, kuharap engkau tidak perlu terlalu cemas...," jelas
Panji melanjutkan ceritanya dengan tersenyum, meski dalam hatinya agak berde-
bar. "Benar, Winarti. Kita berdoa saja. Semoga Wirya Saka dapat sembuh seperti


Pendekar Naga Putih 35 Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semula...," hibur Kenanga yang rupanya telah tiba, dan melihat juga kejadian
yang menimpa Wirya Saka.
Sedangkan Siluman Hutan Kembang dan dua
orang murid utamanya, hanya bisa memandang bin-
gung. Mereka benar-benar hampir tidak mempercayai
apa yang disaksikannya itu.
*** 8 "Ha ha ha.... Kini tuntaslah sudah dalam ke-
luargaku! Semua manusia licik yang mengkhianati ka-
kekku, telah mendapat hukuman yang pantas!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa terbahak-
bahak, yang menggetarkan sekitar tempat tubuh Wirya Saka tergeletak. Tampak
Panji dan dua orang gadis
cantik tengah menunggui tubuh pemuda tampan pu-
cat itu. Mendengar suara tawa serak yang menyeram-
kan itu, sejenak mereka berpaling ke arah asal suara.
Tidak lama kemudian, muncul sosok tubuh ku-
rus kering. Segera ia menjejakkan kedua kakinya di
tempat itu. Sejenak sosok tubuh itu kebingungan, ketika melihat tubuh Wirya Saka
tergeletak tak berdaya, dan ditunggui oleh dua orang wanita cantik dan seorang
pemuda tampan. "Hei, apa yang telah terjadi dengan algojoku!
Hah...?" tegur sosok kurus kering itu sambil menatap tubuh Wirya Saka dengan
pandangan hampir tak percaya. "Hm..., jadi kau yang mengendalikan Wirya Sa-ka
selama ini" Siapakah kau sebenarnya, Orang Tua"
Mengapa kau begitu tega menyiksa pemuda yang tak
berdosa ini dengan tujuan jahatmu itu?" tegur Panji sambil melangkah menghampiri
lelaki bertubuh kurus
kering itu, yang berusia empat puluh tahun.
"Hm..., aku bernama Ki Gada Bumi. Dan, aku
sendiri keturunan terakhir dari Malaikat Gunung Na-
ga. Kau tentu Pendekar Naga Putih yang selama ini
namamu telah tersiar di kalangan rimba persilatan.
Hm.... Sayang, selama puluhan tahun aku tidak per-
nah melihat dunia luar. Jadi, maaf kalau aku tidak
pernah mengenalmu. Biar bagaimanapun aku merasa
beruntung berjumpa denganmu hari ini. Nah, sekarang aku tidak mempunyai
keperluan lagi. Jadi, anak muda itu ku tinggalkan saja di sini.," setelah
berkata demikian, lelaki tinggi kurus itu segera beranjak meninggalkan tempat
itu. "Hei, tunggu...!"
Panji yang masih mempunyai keperluan dengan
lelaki kurus kering yang mengaku bernama Ki Gada
Bumi itu, segera berseru mencegah. Kakinya melang-
kah cepat mendekati orang tua kumal itu.
"Hm..., ada perlu apa lagi, Pendekar Naga Pu-
tih" Apakah karena kau seorang pendekar besar, lalu bisa berbuat sekehendak
hatimu kepadaku?" ujar Ki Gada Bumi dengan wajah menyeringai seperti orang
tak waras. Jelas, otak orang tua itu agak terganggu.
Mungkin disebabkan selama puluhan tahun la hidup
menyendiri dan tak pernah melihat dunia ramai.
"Orang tua, kalau saat ini aku melarangmu
pergi, bukan karena aku merasa sebagai seorang pen-
dekar besar. Tapi, karena orang yang telah kau gunakan sebagai alat pembunuh ini
adalah sahabatku. Su-
dah sepatutnya kalau aku ingin meminta penjelasan
darimu , tentang keadaan yang menimpa Wirya Saka.
Aku harap engkau sudi menerangkannya," pinta Panji dengan suara halus dan sopan.
Tidak tampak sama
sekali kalau pemuda itu merasa tersinggung dengan
ucapan kasar Ki Gada Bumi.
"Ha ha ha..., jadi kau hendak menuntut balas
kepadaku, Pendekar Naga Putih" Boleh.., boleh saja.
Nah, siapa yang akan memulai lebih dahulu mati, kau ataukah aku?" ujar Ki Gada
Bumi yang segera membalikkan tubuhnya dan menghadapi Panji dengan sikap
siap tempur. "Bukan itu maksudku, Ki Gada Bumi. Tapi, aku
hanya ingin sedikit penjelasan mengenai Wirya Saka
yang mengalami penderitaan seperti itu" Dan, menga-
pa kau begitu tega menyiksa orang yang tak berdosa
hanya untuk membalas dendam" Bukankah kau sen-
diri mampu melakukannya?" sahut Panji yang tidak segera meladeni tantangan orang
tua itu. "Ha ha ha..., bilang saja kau takut. Pendekar
Naga Putih! Baiklah, akan kuberikan penjelasan kepadamu," akhirnya Ki Gada Bumi
mau juga memenuhi permintaan Panji.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih menatap
tajam wajah Ki Gada Bumi.
"Dengan satu syarat, kau harus menebusnya
dengan nyawamu...!" lanjut orang tua itu lagi dengan sorot mata tajam dan liar.
"Hm..., ceritakanlah...," sahut Panji tanpa mempedulikan permintaan gila Ki Gada
Bumi. Pemuda tampan itu tetap tenang, dan tanpa rasa tega sedikit pun. "Dengarlah," ujar Ki
Gada Bumi datar.
Panji berdiri tenang seraya matanya tetap me-
natap tajam wajah orang tua itu, yang mengaku ber-
nama Ki Gada Bumi.
"Mustika Naga Hijau yang ada di tangan pemu-
da Itu adalah milik kakekku. Kemudian mustika itu di-curi oleh para pembantunya.
Lalu, pusaka itu diberikan kepada Wirya Saka. Jadi, pemuda itu terlibat
pencurian juga," jelas orang tua itu.
'Tidak. Wirya Saka tidak mencurinya. Dia men-
dapatkan benda itu dari seorang kakek yang berjuluk Dewa Kerdil. Benda itu
didapatnya karena ia seorang pemuda berbudi, dan telah menolong Dewa Kerdil.
Karena benda pusaka itu, ia telah kehilangan kedua
orang tua dan saudara-saudara seperguruannya. Jadi, kalau kau mengatakan Wirya
Saka adalah seorang
pencuri. Jelas, salah besar," tegas Panji yang memang mengetahui secara jelas
Wirya Saka mendapatkan pusaka itu (Baca episode "Mustika Naga Hijau").
'Terserah kalau begitu pendapatmu," ujar Ki
Gada Bumi seperti tidak peduli dengan bantahan Pan-
ji. Pendekar Naga Putih kaget mendengar jawaban
Ki Gada Bumi. Tapi, ia tetap tenang tanpa berkata se-parah kata pun.
"Pada waktu kakekku dikeroyok oleh manusia-
manusia licik yang mencuri pusaka, aku terpaksa me-
larikan diri. Selama dua puluh tahun lebih, aku bersembunyi di dalam Gua Ular,
untuk menanti siapa
yang akan mengambil semua harta dan ilmu-ilmu pu-
saka keluarga kami. Untuk menghukum manusia-
manusia jahat itu, aku sengaja menebarkan racun di dalam Gua Ular. Jadi, bagi
siapa yang memasuki gua
itu akan mengalami keracunan hebat. Setelah lama
kutunggu, muncul pemuda itu. Begitu memasuki gua
dan menghisap hawa beracun, dia langsung roboh tak
sadarkan diri. Nah saat itulah ku tanamkan jarum-jarum di sepanjang keningnya.
Setelah la sadar, semua perintahku melalui bisikan jarak jauh, akan dikena-
kannya tanpa membantah," jelas Ki Gada Bumi yang menghentikan ceritanya dan
mengalihkan tatapan matanya ke arah tubuh Wirya Saka yang tengah terbar-
ing. 'Tapi, mengapa kau biarkan pemuda itu mem-
pelajari ilmu-ilmu yang ada di dalam Gua Ular" Bu-
kankah kalau kau mau dapat membunuhnya, dan me-
rebut mustika itu tanpa kesulitan?" selidik Panji yang merasa belum puas dengan
keterangan Ki Gada Bumi.
"Hm..., kalau aku mau tentu saja semua dapat
kulakukan sesuai keinginanku. Tapi, selama aku telah menyusun rencana untuk
menghukum manusia-manusia licik itu, termasuk Wirya Saka. Jadi, la sengaja
kubuat sebagai pembunuh gila, yang akan memba-
laskan dendam keluargaku. Nah, apakah kau sudah
puas, Pendekar Naga Putih...?" tanya Ki Gada Bumi sambil menelengkan kepalanya
dengan mimik wajah
aneh. Seperti orang yang kurang waras.
"Hhh..., yah, aku merasa semua ini sudah cu-
kup jelas sekarang. Nah, kalau kau ingin pergi, silakan Ki Gada Bumi. Aku tidak
akan mencegahmu lagi...,"
ucap Panji tersenyum bersahabat.
"Ha ha ha..., kau ternyata seorang yang ingkar.
Pendekar Naga Putih. Seperti yang kukatakan tadi,
syarat untuk menceritakannya adalah nyawamu! Nah,
sekarang kau bersiaplah. Aku akan melaksanakan jan-
jiku tadi...," Ki Gada Bumi melangkah lambat menghampiri Panji. Menilik dari
sikapnya, jelas ucapan
orang tua itu memang tidak main-main.
"Kau yang berjanji, Orang Tua. Sedangkan aku
sama sekali tidak menjanjikan apa-apa," sahut Panji dengan suara yang tetap
tenang dan senyum sabar di
wajahnya. "Licik! Kau tidak bisa berbuat semaumu di ha-
dapanku, Pendekar Naga Putih. Siapa pun yang ber-
janji, aku tidak peduli! Suka atau tidak, aku harus mengambil nyawamu!" bentak
Ki Gada' Bumi seraya bersiap untuk melaksanakan ucapannya.
Tanpa mempedulikan apakah Panji bersedia
atau tidak, Ki Gada Gumi langsung melompat dengan
disertai cengkeraman mautnya!
*** Wuuut! Wuuut! Dua kali sambaran maut Ki Gada Bumi berhasil
dihindari Panji dengan menarik mundur tubuhnya ke
belakang. Lalu, ia terus melompat ke samping kiri, dan bersiap menghadapi
serangan selanjutnya.
"Hm..., bagus! Aku lebih suka kalau kau mem-
pergunakan kepandaianmu untuk mempertahankan
nyawamu! Ha ha ha...," geram Ki Gada Bumi sambil memperdengarkan suara tawanya
yang serak. "Maaf, Ki Harap kita sudahi saja pertempuran
ini. Menurutku tidak ada gunanya sama sekali," ucap
Panji dengan wajah senyum sabar.
"Pengecut! Meskipun kau tidak bersedia, aku
tetap akan menyerangmu sampai nyawamu tercabut,
baru aku puas!" desis Ki Gada Bumi sambil menggeram gusar.
Mendengar perkataan pengecut yang dilontar-
kan Ki Gada Bumi, senyum di bibir pemuda itu lenyap seketika. Kata pengecut
merupakan pantangan bagi
seorang pendekar. Panji pun tidak bisa menerima hinaan seperti itu.
"Kau terlalu memaksa. Orang Tua. Baiklah kau
memang memaksa, apa boleh buat.," ujar Panji yang segera menyiapkan ilmu
andalannya untuk menghadapi Ki Gada Bumi. la sadar kalau yang dihadapinya
seorang keturunan manusia sakti, tentu saja memiliki kepandaian yang sangat
tinggi. Begitu siap, Panji langsung mengeluarkan ilmu andalannya.
"Sambutlah! Heaaat..!"
Dengan diiringi sebuah teriakan nyaring yang
menggetarkan, Ki Gada Bumi langsung menerjang
Panji dengan pukulan-pukulan maut yang mematikan!
Serangan yang dilancarkan Ki Gada Bumi be-
nar-benar dahsyat! Sambaran-sambaran angin puku-
lan bercicitan. bagaikan sabetan senjata tajam. Panji terpaksa mengerahkan 'Ilmu
Naga Sakti'nya.
Kenanga dan Winarti yang merasakan betapa
berbahayanya pertarungan kedua orang sakti itu, ce-
pat membawa tubuh Wirya Saka untuk menyingkir.
Angin pukulan yang ditimbulkan lontaran-lontaran
tangan Ki Gada Bumi benar-benar mengiriskan. Andai
saja mereka tidak menyingkir, bukan tidak mungkin
salah satu pukulan dari tokoh itu nyasar dan mene-
waskan mereka. Siluman Hutan Kembang dan dua orang murid
utamanya, terbelalak matanya menyaksikan pertarun-
gan yang dahsyat itu. Tokoh sesat bertubuh gemuk itu menggeleng-gelengkan
kepalanya sebagai tanda rasa
takjub. Baru kali ini selama' hidupnya menyaksikan pertarungan yang benar-benar
membuat dadanya ber-debar! "Luar biasa sekali pertarungan kedua orang sakti itu.
Ah, rasanya aku akan mati tenang setelah menyaksikan pertempuran yang selama
hidup tidak pernah terlihat dalam alam pikiranku. Benar-benar sebuah tontonan yang sangat
langka...," gumam Siluman Hutan Kembang berdecak tak henti-hentinya. Jelas,
tokoh sesat itu sangat bersyukur dapat menyaksikan
pertarungan yang tidak pernah terlintas dalam mimpi.
Sementara itu, pertarungan terus berlangsung
sengit. Jurus demi jurus telah mereka keluarkan. Tan-pa terasa pertarungan telah
menginjak jurus kesera-
tus. Panji semakin kagum dengan kehebatan la-
wannya. Ia terpaksa berjuang keras untuk menandingi kedahsyatan ilmu-ilmu Ki
Gada Bumi. Bahkan, 'Ilmu
Silat Naga Sakti' yang jarang menemui tandingan itu, harus dikerahkan sekuat
tenaga untuk mengimbangi
terjangan-terjangan maut lawannya.
"Haiit..!"
Ketika pertarungan telah menginjak jurus kese-
ratus tiga puluh, mendadak Ki Gada Bumi berseru
nyaring sambil melompat ke belakang sejauh satu se-
tengah tombak. Begitu kedua kakinya mendarat di
atas tanah, orang tua kurus kering itu langsung meli-pat kedua tangannya di depan dada.
Sedangkan kedua
kakinya membentuk kuda-kuda aneh dengan kedua
lutut saling berhimpitan.
Pendekar Naga Putih mengerutkan keningnya
ketika menyaksikan jurus yang akan dipergunakan
musuhnya. Kali ini, la benar-benar terkejut ketika melihat tubuh lawannya lenyap
dari pandangan. Belum
lagi Panji sadar, tiba-tiba tubuh lawan telah berada di hadapannya. Cepat Panji
melempar tubuhnya ke belakang, guna menghindari pukulan lawan yang datang
seperti sambaran kilat itu!
Panji terus melempar tubuhnya dan bersalto
lima kati di udara. Begitu kedua kakinya menginjak
tanah, ia langsung merendahkan tubuhnya dengan se-
pasang tangan saling berhimpitan di depan wajahnya.
Dan, berbarengan dengan terdengarnya suara bercici-
tan, kedua tangan pemuda itu terbuka lebar dalam
bentuk cakar naga. Rupanya Pendekar Naga Putih
hendak menggunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk Da-
lam Bumi*. Sebuah jurus pemungkas yang selama ini
selalu berhasil menundukkan lawannya.
Sayang, musuh yang dihadapi Panji bukanlah
seorang tokoh yang memiliki ilmu pasaran. Karena
'Ilmu Langkah Malaikat' yang merupakan warisan dari Malaikat Gunung Naga, sangat
dahsyat dan langka.
Tentu saja jurus andalan pemuda itu benar-benar me-


Pendekar Naga Putih 35 Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nemui tandingannya.
Namun, pengalaman bertarung dengan tokoh-
tokoh sakti dunia hitam yang dimiliki Panji tidaklah percuma. Karena itu ia
segera mengetahui kehebatan
ilmu yang dimilikinya. Sadar kalau ilmu lawan sangat aneh dan tidak bisa diduga
ke mana arah geraknya.
Panji pun segera menyatukan kekuatan batinnya den-
gan tenaga sakti Pedang Naga Langit yang saat itu masih mengeram dalam tubuh
Wirya Saka. Menurut perhitungan Pendekar Naga Putih
hanya tenaga sakti itulah yang dapat dipergunakan
untuk mengecoh lawannya. Tidak lama kemudian, la-
pisan kabut yang bersinar putih keperakan berkumpul di sisi kiri tubuhnya.
Sedangkan di sisi kanan tubuhnya, muncul sinar kuning keemasan yang berpendar
menyilaukan mata.
"Haiiih...!"
Melihat Ki Gada Bumi telah mulai membuka se-
rangan lagi, Panji berseru nyaring sambil melesat memapaki serangan lawannya.
Gerakan pemuda itu me-
liuk-liuk bagaikan seekor ular besar. Ki Gada Bumi
menjadi terperanjat dibuatnya.
Wuuus...!"
Dorongan sepasang tangan Ki Gada Bumi lu-
put, karena tubuh Panji meliuk dengan manis meng-
hindari hantaman maut lawannya. Dan, pukulan
orang tua kumal itu menghantam pepohonan di bela-
kang Pendekar Naga Putih. Karuan saja pohon-pohon
besar itu ambruk dengan suara ribut!
Panji sendiri tidak tanggal diam. Begitu seran-
gan lawannya luput, pemuda itu segera mengibaskan
tangan kanannya dengan kecepatan yang mengiriskan!
Bersamaan dengan kibasan tangan Pendekar Naga Pu-
tih, meluncur segulung sinar keemasan yang berpen-
dar menyilaukan mata. Melihat cara pemuda itu meng-
gunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi', jelas kepandaian yang dimilikinya
mengalami kemajuan yang san-
gat pesat Karena mampu mengatur tenaga itu sesuai
dengan kemauannya.
Akibatnya pun tidak kepalang tanggung! Gu-
lungan sinar kuning keemasan itu langsung memben-
tur tubuh Ki Gada Bumi, sehingga menimbulkan leda-
kan yang dahsyat dan menggetarkan bangunan utama
perguruan Siluman Hutan Kembang!
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ki Gada Bumi
terlempar disertai percikan darah segar yang menyem-
bur dari mulutnya.
"Aaagh...!"
Ki Gada Bumi meraung tinggi seperti ingin me-
robek langit! Tubuhnya terbaring keras menghantam
dua buah pohon sebesar dua kali tubuhnya, dan lang-
sung tumbang dengan suara hiruk-pikuk! Kemudian
tubuh tua itu melorot jatuh ke tanah dengan napas sa-tu-satu. Jelas, luka yang
dialaminya sangat parah. Sehingga tokoh itu tidak mampu bangkit lagi.
"Kau... benar-benar hebat, Pendekar Naga Pu-
tih. Aku tidak menyesal tewas di tanganmu. Jangan
kau merasa bersalah. Sebab, kalau kau tidak membu-
nuhku, akulah yang akan menghabisi nyawamu..,"
ujar Ki Gada Bumi dengan napas memburu. Sepasang
matanya menatap kagum kepada Panji, yang telah
membungkuk di sisi tubuh orang tua itu.
"Biar bagaimanapun, aku mohon maaf, Ki,"
ucap Panji tulus sambil mengulur tangannya. Digeng-
gamnya tangan orang tua itu erat-erat, karena tangan Ki Gada Bumi telah
mencekalnya dengan hangat.
Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Panji mu-
lai merasakan tangan Ki Gada Bumi telah mengeras.
Rupanya kakek itu tewas karena mengalami luka-luka
yang sangat parah.
*** Selesai menguburkan mayat Ki Gada Bumi,
Pendekar Naga Putih dan Kenanga pamit kepada Wirya
Saka dan Winarti. Kedua pasangan itu berpisah kare-
na jalan yang mereka tempuh memang berlainan.
"Hhh..., besar sekali budi yang telah kau le-
paskan kepadaku, Pendekar Naga Putih. Entah dengan
apa aku bisa membalasnya...," ucap Wirya Saka ketika
ke duanya hendak berpisah.
"Tidak ada yang perlu dibalas, Wirya. Dan, ti-
dak ada budi yang kulepaskan kepadamu. Janganlah
kau pikirkan untuk membalasnya," jawab Panji sambil memeluk dan menepuk bahu
pemuda itu perlahan.
Tidak lama kemudian, kedua pasangan muda
itu saling berpisah. Panji dan Kenanga melanjutkan
perjalanan ke arah Selatan. Sedangkan Wirya Saka
dan Winarti menuju ke arah Timur.
Tinggallah Siluman Hutan Kembang bersama
sisa-sisa muridnya. Tokoh sesat itu sadar, kepandaian yang dimilikinya tidaklah
berarti, jika dibandingkan dengan kepandaian Pendekar Naga Putih dan Ki Gada
Bumi. Kenyataan itu membuatnya berpikir lebih jer-
nih, dan ia ingin menggunakan ilmunya di jalan yang benar. Semua itu
diungkapkannya kepada Pendekar
Naga Putih dan yang lainnya, sebelum berpisah.
Sementara itu, Kenanga yang melangkah sambil
menggelayutkan lengannya di bahu Panji, berhenti secara mendadak.
"Ada apa, Kenanga...?" tanya Panji yang merasa heran melihat kekasihnya mendadak
berhenti. "Kakang, apakah Wirya Saka benar-benar telah
sembuh, dan tidak akan timbul lagi kegilaannya...?"
tanya Kenanga yang masih mencemaskan keadaan
Wirya Saka yang dijuluki Pendekar Gila.
"Hm..., kau meragukan keampuhan tenaga jel-
maan Pusaka Naga Langit" Bukankah kau melihat
sendiri, semua jarum-jarum yang tertanam di kening-
nya telah keluar. Lagi pula, pemuda itu sudah kelihatan benar-benar sehat. Apa
kau tidak lihat wajahnya yang telah segar itu...?" jelas Panji sambil membelai
rambut kekasihnya dengan lembut.
Kenanga tidak menjawab, ia kembali melang-
kahkan kakinya sambil tangannya bergelayut di bahu
Pendekar Naga Putih.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Culan Ode
Pendekar Aneh Naga Langit 26 Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Pendekar Super Sakti 20
^