Neraka Bumi 1
Pendekar Naga Putih 76 Neraka Bumi Bagian 1
NERAKA BUMI Oleh T Hidayat Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode 076 :
Neraka Bumi 128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Di bawah siraman terik sinar matahari tampak serombongan orang berkuda bergerak
memasuki per-batasan Desa Kendal. Melihat pakaian mereka, agaknya rombongan itu
adalah prajurit-prajurit kerajaan.
Penunggang kuda terdepan seorang lelaki bertubuh gemuk. Wajahnya yang bulat
terhias kumis tipis. Sorot matanya demikian angkuh dan memandang rendah orang
lain. Dan, bibirnya membentuk senyum sinis penuh ejekan. Penampilannya
menunjukkan perangai buruk lelaki gemuk yang menyandang jabatan perwira itu.
Dua penunggang kuda di kiri-kanan lelaki gemuk memiliki penampilan yang tidak
jauh berbeda. Kendati sosok keduanya, yang juga menjabat sebagai perwira,
berperawakan tegap, namun sorot mata mereka terlihat begitu garang. Bahkan kalau
diamati lebih teliti, sorot mata itu menyembunyikan kekejaman serta kelicikan.
Jelas, kedua perwira itu pun mempunyai sifat yang buruk.
Di belakang ketiga perwira itu, tampak dua belas orang prajurit berkuda.
Sebagaimana sifat ketiga pimpinannya, wajah mereka pun tidak menampilkan kesan
baik. Sikap duduk mereka terlihat demikian angkuh. Seolah mereka bukan rombongan
prajurit. Tapi, pembesar-pembesar kerajaan yang seharusnya dipandang tinggi
serta dihormati. Pemandangan itu terlihat sangat aneh. Mereka tidak menunjukkan
sikap terpuji sebagaimana abdi-abdi kerajaan pelindung rakyat. Penampilan
prajurit-prajurit
itu justru membuat orang merasa takut dan tidak suka.
Diiringi pandangan heran dan takut dari para penduduk, rombongan itu terus
bergerak menyusuri jalan utama desa. Karena mereka prajurit-prajurit kerajaan,
para penduduk bergerak menepi saat rombongan lewat.
Penduduk desa semua membungkukkan tubuh dengan sikap hormat. Orang-orang desa
memang memandang tinggi abdi-abdi kerajaan. Selain mereka terdiri dari orang-
orang pilihan, juga memang sudah sepatutnya untuk dihormati.
Rombongan itu sendiri terus bergerak tanpa membalas sikap hormat penduduk Desa
Kendal. Jangankan balas mengangguk, melirik pun tidak. Mereka malah semakin
menunjukkan sikap angkuh, agar penduduk lebih takut dan semakin menaruh hormat.
Sikap para prajurit kerajaan itu tentu saja memancing berbagai pendapat di
kalangan penduduk. Seorang pemuda yang rupanya berdarah panas merasa tersinggung
dengan sikap para prajurit. Pemuda itu mengutarakan kekesalannya.
"Tidak kusangka prajurit-prajurit kerajaan mempunyai sikap demikian angkuh!
Melihat penampilannya, aku lebih condong mengatakan mereka tak ubahnya
serombongan perampok kasar!" demikian yang dikatakan pemuda berwajah kehitaman
itu seraya mencibirkan bibir.
Penduduk di sebelah pemuda itu menjadi cemas. Sadar kalau ucapan kawannya bisa
mendatangkan celaka, cepat ia menyodok tubuh pemuda itu dengan sikutnya. Ia
bermaksud mengingatkan kawannya supaya menjaga sikap di hadapan rombongan
prajurit yang sedang lewat itu.
"Ukhhh!"
Pemuda berwajah kehitaman, karena terlalu sering terpanggang terik matahari,
mengeluh pendek. Pukulan sikut kawannya agak terlalu keras mengenai lambungnya.
Dan, keluhan pendek itu sempat tertangkap salah seorang prajurit yang berada di
barisan terakhir.
Dengan sorot mata garang, prajurit berbibir tebal itu menoleh dan menatap kedua
pemuda itu beberapa saat.
Kelihatan sekali ia tidak senang, meski yang didengarnya sama sekali tidak
mengganggu. Pemuda bertubuh kurus, agaknya tahu diri. Ia segera membungkuk hormat dan
menundukkan kepala dalam-dalam. Karena sorot mata prajurit berbibir tebal
menyiratkan ancaman.
Tapi, tidak demikian dengan pemuda berwajah kehitaman yang berperawakan tegap
dan tinggi. Ketika melihat sorot mata yang demikian angkuh dan menghina, ia
sedikit pun tidak mengangguk. Apalagi menundukkan kepala. Ditentangnya pandang
mata prajurit berbibir tebal dengan sangat berani. Sehingga, kawan di sebelahnya
menjadi pucat. Dan hanya bisa berharap agar pemuda itu tidak mendapat marah
prajurit berbibir tebal.
Tapi, harapan petani muda bertubuh kurus itu tidak terkabul. Prajurit berbibir
tebal sudah merasa tersinggung dan marah.
"Petani Keparat! Kau berani menentangku, hah!"
bentak prajurit berbibir tebal. Kawan-kawannya serempak menoleh. Ingin tahu apa
yang terjadi dengan rekannya.
Petani muda bertubuh kekar itu tidak menjawab. Sinar matanya terlihat semakin
tajam. Kelihatannya, ia tidak
merasa gentar dengan prajurit berbibir tebal. Karuan saja prajurit itu naik
pitam! "Kurang ajar! Rupanya kau merasa lebih kuat dariku, hah!" kembali prajurit
berbibir tebal itu membentak. Kali ini disusul dengan ayunan sebatang pecut yang
dicabutnya dari pelana kuda. Dan...
Ctarrr...! Ujung pecut meledak menimbulkan suara nyaring memekakkan telinga. Dan dengan
telak mencambuk tubuh petani muda berwajah kehitaman, hingga baju bagian bahunya
robek. Namun kendati cambukan itu cukup menyakitkan, petani muda itu tidak mengeluh.
Tubuhnya yang ter-huyung kembali tegak. Dan sinar matanya masih juga menyorot
tajam tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun!
"Hei, ada apa..."!"
Ledakan cambuk itu rupanya mengundang perhatian tiga orang perwira di barisan
depan. Perwira bertubuh gemuk yang menjadi pimpinan rombongan langsung bertanya.
Nada suaranya terdengar menyiratkan ketidak-senangan. Karena perjalanannya
merasa terganggu.
"Ada seorang penduduk yang kurang ajar, Kakang Lagawe...!" salah seorang
prajurit memberi tahu.
"Hm.... Apa yang diperbuatnya...?" tanya perwira gemuk itu lagi dengan nada
tetap tinggi. "Kelihatannya ia tidak menyukai kehadiran kita di desa ini!" terdengar sahutan
dari salah seorang prajuritnya.
"Kalau memang demikian, beri petani dungu dan sombong itu sedikit pelajaran.
Agar lain kali lebih
mengerti bagaimana harus bersikap terhadap tentara kerajaan!" lanjut perwira
gemuk itu. Ia menghentikan langkah binatang tunggangannya dan ikut menatap
petani muda bertubuh tinggi kokoh itu.
"Baik, Kakang Lagawe...!" yang menyahuti adalah prajurit berbibir tebal.
Wajah prajurit itu kelihatan semakin cerah setelah mendapat dukungan
pimpinannya. Tindakannya pun semakin menjadi-jadi. Pecutnya meledak berkali-kali
merobek pakaian dan menimbulkan bilur-bilur merah di tubuh petani muda, yang
jatuh bangun tersengat ujung pecut. Sampai akhirnya....
Tappp! Secara kebetulan, petani muda itu berhasil menangkap ujung pecut ketika untuk
kesekian kali menyambar tubuhnya. Kemudian, pecut itu dilibatkan ke lengannya.
Dan.... "Heahhh!"
Sambil membentak keras, petani muda yang tidak mengenal takut itu menyentakkan
ujung pecut. Kendati luka-luka di tubuhnya cukup banyak dan menyakitkan, tapi
tenaga petani muda itu masih sangat kuat. Terbukti, sentakannya membuat prajurit
berbibir tebal tertarik dan jatuh dari atas punggung kuda.
"Heiii...!"
Karena tidak menyangka tenaga petani muda itu sangat kuat, prajurit berbibir
tebal menjerit kaget saat tubuhnya meluncur ke tanah dengan kepala lebih dulu.
Dan.... Jrooottt! "Ughhh...!"
Wajah prajurit berbibir tebal menghantam sebuah batu sebesar kepalan orang
dewasa. Akibatnya, wajah yang jelek itu mengalirkan darah. Bibirnya yang tebal
semakin bertambah besar.
"Kuhrangh... ahjarrrh...!" seraya mengerang kesakitan, prajurit berbibir tebal
memaki murka. Sepasang matanya mendelik seperti hendak melompat dari tempatnya.
Perbuatan petani muda itu benar-benar membangkitkan kemaranannya.
"Jangan bunuh! Beri saja dia pelajaran seperlunya! Kita membutuhkan
tenaganya...!" perwira gemuk pimpinan rombongan berseru mencegah. Karena ia
melihat anggota rombongannya yang terjatuh itu sudah meraba gagang pedang. Siap
untuk menggunakan senjatanya.
"Tapi, Kakang. Petani itu telah melukai kawan kita!"
salah seorang prajurit yang juga merasa geram, heran dengan ucapan pimpinannya.
Ia berusaha membela temannya itu.
"Meskipun begitu, ia sangat kita perlukan. Ingat, harganya pasti cukup mahal. Ia
memiliki tenaga yang kuat," bantah perwira gemuk itu menekankan. Sehingga semua
prajurit terdiam. Tak satu pun yang berani membantah lagi.
Karena tidak diperbolehkan menggunakan senjata, terpaksalah prajurit berbibir
tebal mempergunakan tangan dan kakinya untuk menghajar petani muda itu.
"Mamphusss, khauuu...!" bentak prajurit berbibir tebal tidak jelas. Karena
bibirnya yang tebal membengkak dan berdarah. Kendati demikian, luka itu tidak
menghambat tenaga dan gerakannya. Bahkan, ia melompat maju dengan
ganasnya. Seolah petani muda itu musuh bebuyutan yang sangat dibencinya.
Petani muda itu boleh jadi memiliki tenaga alam yang kuat. Tapi, sayangnya ia
tidak bisa menandingi kecepatan gerak lawan. Sehingga, satu dua pukulan mulai
mengenai wajah dan tubuhnya.
Bukkk, desss...!
"Uuuhhh...!"
Kalau sengatan ujung cambuk tidak membuatnya mengeluh, kini pukulan dan
tendangan yang menerpa wajah dan tubuhnya membuat petani muda itu mulai
mengeluh. Tubuh kekarnya jatuh bangun dihajar prajurit berbibir tebal yang
memiliki ilmu silat cukup baik.
Terlebih ia prajurit kerajaan yang tentunya telah cukup terlatih dengan baik.
Maka, habislah petani muda itu menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangannya,
yang dilancarkan dengan sekuat tenaga.
Para penduduk yang menyaksikan kejadian itu tidak berani ikut campur. Mereka
menyeret langkah menjauhi tempat itu. Tak seorang pun ingin terlibat dan
menerima siksaan prajurit-prajurit sombong dan kejam itu.
"Mamphusss...!"
Desss...! Lagi-lagi tubuh petani muda itu terpental deras.
Tubuhnya terbanting ke tanah. Kendati tidak berusaha menangkis pukulan dan
tendangan lawan, petani muda itu bukan seseorang yang sulit dirobohkan.
Dan meskipun sekujur tubuhnya terasa nyeri dan sakit, petani itu rupanya masih
belum mau menyerah. Wajahnya yang biru sembab dan mengucurkan darah tidak mem-
buatnya takut. Dengan susah payah ia merangkak bangkit dengan sinar mata penuh
kebencian! "Hih!"
Lagi prajurit berbibir tebal melayangkan tendangannya saat lawan tengah berusaha
bangkit berdiri. Tanpa ampun lagi, tubuh petani muda itu kembali terhempas ke
tanah. Ia mengerang dan bergulungan menahan rasa sakit di perutnya yang terkena
tendangan keras itu.
Kali ini prajurit berbibir tebal tidak sampai menunggu lawannya bangkit. Dengan
langkah lebar dihampirinya petani itu. kemudian, diangkat naik dengan mencekal
leher bajunya. Dan...
Jrooottt! Kepalannya melayang deras menghajar wajah yang sudah membengkak itu. Sehingga
pecah dan mengucurkan darah segar. Hal itu dilakukan berkali-kali sampai
akhirnya tubuh petani yang malang itu terkulai pingsan. Kemudian, tubuh itu
didorongnya dengan keras hingga terbanting dengan keras ke tanah.
"Biarkan tubuh petani kurang ajar ini tetap tergeletak di tengah jalan sampai
kami kembali! Siapa yang berani menyentuhnya atau menolongnya, aku tidak akan
segan-segan memberi hukuman. Pedangku ini yang akan memutuskan hukuman bagi si
pembangkang!" ucapan itu keluar dari mulut perwira gemuk yang menjadi pimpinan
rombongan tersebut. Usai berkata demikian, ia memerintahkan prajuritnya untuk
melanjutkan perjalanan mereka kembali.
Setelah rombongan prajurit bergerak cukup jauh, barulah para penduduk berani
mendekat. Meskipun
demikian, mereka tidak berani maju lebih dari satu tombak dari tubuh petani muda
yang tak sadarkan diri itu.
Mereka hanya bisa memandang dengan hati iba.
Peringatan perwira gemuk tadi tampaknya masih terngiang di telinga mereka.
*** Tiba di halaman sebuah rumah besar perwira gemuk itu menghentikan rombongannya.
Kemudian melompat turun dari atas punggung kuda. Dua perwira lain mengikuti
perbuatannya. Demikian pula kedua belas prajurit yang menjadi anggota rombongan
kecil itu. "Selamat datang di desa kami yang kecil ini, Tuan-tuan yang gagah," seorang
lelaki tua yang menjadi Kepala Desa Kendal menyambut dengan wajah cerah dan
sikap hormat. Kendati demikian, terlihat sirat kecemasan pada sorot matanya. Tapi, perasaan
itu berusaha ditutupinya dengan menunjukkan sikap ramah dan hormat terhadap
tamu-tamunya itu.
Dua orang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun dan empat puluh tahun yang
mengapit kepala desa itu membungkuk hormat. Kelihatan sekali kalau sikap itu
dilakukannya dengan sangat terpaksa. Sepertinya kedua sesepuh Desa Kendal itu
merasa tidak suka dengan kehadiran prajurit-prajurit kerajaan itu. Namun, mereka
berusaha bersikap wajar dengan memendam perasaan tidak sukanya dalam-dalam.
Karena mereka sadar dengan siapa saat ini berhadapan.
"Hm.... Kaukah yang menjadi Kepala Desa Kendal ini,
Orang Tua?" tanpa menyambut sikap hormat lelaki tua itu, Legawa melontarkan
pertanyaan dengan sikap angkuh seraya menegakkan kepala. Seolah ia ingin
menunjukkan bahwa dirinya jauh lebih tinggi dan terhormat daripada kepala desa
itu. "Benar, Tuan. Aku Ki Sugali, yang mendapat kepercayaan penduduk untuk memimpin
desa ini," jawab Ki Sugali cepat sambil membungkukkan tubuh. "Sedangkan kedua
orang ini adalah pembantu-pembantuku.
Mereka bertugas memberikan pelayanan kepada warga desa," lanjutnya
memperkenalkan kedua sesepuh desa yang berdiri di kanan-kirinya.
"Hm.... Mengapa kalian tidak segera memperkenalkan diri...?" tegur Legawa
menunjukkan rasa tak sukanya kepada kedua pembantu Ki Sugali.
"Hamba bernama Ki Luganta," sahut lelaki gagah berusia lima puluh tahun,
menyembunyikan kejengkelan-nya mendengar nada suara yang demikian menyebalkan
itu. "Hamba, Sujanta...," sahut lelaki tegap berusia empat puluh tahun yang berdiri
di sebelah kiri Ki Sugali. Seperti halnya Ki Luganta, Sujanta pun tampak
menyimpan rapat-rapat kedongkolan hatinya. Sehingga, suara maupun sikapnya
terlihat wajar dan tidak mencurigakan.
Tapi, meskipun ketiga sesepuh desa itu memperlihatkan sikap hormat yang wajar,
Legawa tidak bisa dikibuli. Perwira gemuk yang bertubuh agak pendek itu memang
memiliki mata yang tajam. Ia dapat membaca sikap yang disembunyikan ketiga
sesepuh Desa Kendal.
Namun, hal itu tidak diutarakannya. Legawa mengambil
sikap diam dan tidak peduli. Padahal, tentu saja dalam hatinya timbul ancaman.
"Nah, Ki Sugali. Aku tidak ingin berpanjang kata lagi.
Kami membawa amanat dari kerajaan," ujar Legawa. Lalu, membuka sebuah gulungan
surat yang diterima dari rekannya.
Ki Sugali yang tahu surat itu datang dari penguasa negeri langsung menjatuhkan
diri berlutut di depan Legawa. Perbuatan itu diikuti oleh Ki Luganta dan
Sujanta.
Pendekar Naga Putih 76 Neraka Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ditujukan kepala seluruh rakyat Kerajaan Tampak Serang.
Sehubungan akan dibangunnya sebuah istana untuk tempat peristirahatan Prabu
Pungga Dewa, maka dengan ini diminta kesediaan rakyat untuk menyumbangkan
tenaga. Bagi siapa yang berani membantah akan mendapat hukuman berat. Dan bagi
yang berani menentang akan dihukum mati di tempat!
Tertanda Prabu Pungga Dewa
Legawa kembali menggulung surat itu setelah mem-bacakannya dengan terang dan
jelas. Kemudian, diserahkan kepada salah seorang dari kedua perwira di kiri-
kanannya. Ditatapnya lekat-lekat wajah Ki Sugali serta kedua sesepuh Desa Kendal
yang sudah bergerak bangkit.
"Nah, sekarang aku ingin agar selekasnya kau mengumpulkan penduduk di balai
desa...," ujar Legawa dengan tegas bernada perintah kepada kepala desa itu.
"Maaf, Tuan Perwira. Kalau diperkenankan aku
mempunyai sedikit pertanyaan...?" Ki Luganta yang menjadi tangan kanan Kepala
Desa Kendal berkata sambil membungkuk hormat.
"Hm.... Sejauh tidak menentang sabda Gusti Prabu Pungga Dewa tentu boleh-boleh
saja, Ki Luganta...,"
sahut Legawa dengan angkuh dan sinis.
"Kami memang sudah mendengar selentingan kabar itu, Tuan Perwira. Yang hendak
kami tanyakan, bagaimana bagi mereka yang sudah berkeluarga atau yang
orangtuanya sudah tak sanggup mencari nafkah.
Sedangkan ia hanya mempunyai seorang putra" Harap Tuan Perwira tidak keberatan
dengan pertanyaan kami...," ujar Ki Luganta mengutarakan ganjalan hatinya.
"Hm.... Untuk hal itu tentu saja Gusti Prabu Pungga Dewa mempunyai suatu
kebijaksanaan, Ki Luganta. Kau tidak perlu khawatir. Kami akan memberikan
tunjangan sekadarnya kepada orang-orang tersebut," jawab Legawa dengan tersenyum
sinis. Sepertinya ia tidak merasa aneh dengan pertanyaan itu.
"Terima kasih atas kebijaksanaan Gusti Prabu. Dengan begitu legalah hati kami,
Tuan Perwira," lanjut Ki Luganta dengan wajah berseri. Meski tetap tidak
melenyapkan bayangan kecemasan yang tersirat di wajahnya.
"Kalau begitu, kami tunggu di balai desa...,"
Legawa kemudian melompat ke atas punggung kuda dan bergerak bersama rombongannya
menuju balai desa.
*** 2 Tidak terlalu sulit bagi Ki Sugali untuk melaksanakan permintaan perwira gemuk
itu. Dengan mengerahkan seluruh keamanan desa, sebentar saja para penduduk telah
memadati balai desa. Termasuk para petani yang tengah bekerja di sawah dan di
ladang. "Saudara-saudara sekalian!" Legawa membuka suara setelah seluruh warga Desa
Kendal berkumpul. "Saat ini negara membutuhkan sumbangan tenaga dari rakyatnya.
Untuk itu, kepada laki-laki di Desa Kendal yang merasa dirinya kuat segera saja
mendaftarkan diri! Bagi mereka yang telah berkeluarga atau harus meninggalkan
orangtuanya yang sudah tidak mampu bekerja akan mendapatkan tunjangan dari
kerajaan. Nah, bagi yang merasa masih kuat bekerja keras, silakan maju satu
persatu...!"
Ucapan perwira gemuk itu mendapat tanggapan yang tidak begitu menyenangkan. Para
penduduk kelihatan enggan dan tidak berminat untuk mendaftarkan diri.
Melihat sikap enggan penduduk, wajah Legawa berubah kelam.
Ki Sugali yang menyadari kegusaran Legawa segera tampil di depan. Lelaki tua itu
maklum akan sikap warga desanya. Ia sudah mendengar tentang kejadian yang
menimpa salah seorang warganya. Meskipun sebenarnya merasa marah akan tindakan
para prajurit itu, Ki Sugali tetap tampil untuk membujuk warganya. Karena bila
mereka membantah, pastilah penduduk Desa Kendal akan
dituduh sebagai sarang pemberontak. Hal itu tidak diinginkan Ki Sugali.
"Saudara-saudaraku sekalian, warga Desa Kendal yang tercinta. Apa yang
disampaikan Tuan Perwira Legawa merupakan panggilan negeri! Aku telah mendengar
sendiri bunyi surat perintah dari Prabu Pungga Dewa.
Kalau kalian ingin menunjukkan bahwa kalian seorang anak negeri yang baik,
sekaranglah saatnya untuk berbakti.
Jangan membuat malu nama Desa Kendal! Tunjukkan bahwa kalian pun sanggup
berbakti kepada negeri ini!" Ki Sugali demikian bersemangat menyampaikan
ucapannya. Dan tampaknya ia mampu membangkitkan semangat mereka.
Begitu ucapan Ki Sugali selesai, satu persatu laki-laki warga Desa Kendal
bergerak maju untuk mendaftarkan diri. Tapi Legawa tidak merasa puas. Warga yang
mendaftar hanya lima belas orang. Dan kebanyakan dari mereka sudah berusia lebih
dari tiga puluh tahun. Seketika itu juga amarahnya meledak.
Ctarrr! Ctarrr...!
Suara ledakan pecut yang digerakkan dengan tenaga dalam kuat membuat semua
penduduk terkejut. Wajah mereka mendadak berubah pucat. Banyak di antaranya yang
menutup kedua telinga. Suara lecutan pecut itu terasa menyakitltan dan membuat
telinga mereka ber-dengung.
"Ini benar-benar penghinaan bagi pihak kerajaan!
Kalian semua telah memaksaku untuk bertindak keras.
Kalau cuma laki-laki jompo yang mendaftarkan diri, kami semua akan mendapat
hukuman dari Prabu Pungga Dewa.
Sekarang kuberi peringatan terakhir. Segera daftarkan diri, atau terpaksa aku
bertindak keras dan memaksa kalian ikut bersama kami!" keras dan lantang ucapan
Legawa, membuat terkejut dan kesal puluhan warga desa itu. Tapi, Legawa cukup
pintar dengan membawa-bawa nama Gusti Prabu Pungga Dewa. Sehingga, jika mereka
melawan akan dituduh sebagai pemberontak. Dan hukuman berat akan mereka terima.
Ki Sugali sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Lelaki tua yang masih gagah itu
hanya berdiri dengan wajah agak pucat. Ia tidak menentang ucapan Legawa. Tapi,
juga tidak berusaha membujuk warga desanya untuk ikut mendaftar. Dan sikap
kepala desa itu membuat Legawa tak bisa lagi mengekang kemarahannya.
Dengan langkah lebar Legawa menghampiri kerumunan penduduk. Tanpa banyak tanya,
lelaki gemuk itu mencengkeram leher baju seorang pemuda tanggung yang berusia
sekitar lima belas tahun. Dengan sekali sentak tubuh pemuda itu terlempar keluar
dari kerumunan. Dan jatuh terjerembab di tanah.
"Bangun kau pemalas!" salah seorang dari dua perwira yang berdiri tak jauh dari
tempat jatuhnya pemuda tanggung itu segera menarik bangkit dengan kasar.
Kemudian dilemparkannya ke arah barisan penduduk yang telah mendaftarkan diri.
"Tuan Perwira, harap jangan bertindak kasar!" Ki Sugali bergegas menyambut tubuh
pemuda tanggung itu.
Tapi sebelum kedua lengannya sempat menangkap tubuh pemuda itu, sebuah tendangan
keras membuatnya terhempas sejauh setengah tombak!
"Kau hendak berontak kepada kerajaan, Ki Sugali...!"
bentak perwira bertubuh tegap seraya memasang wajah garang. Sepasang alisnya
yang tebal nyaring terpaut.
Ditatapnya tajam-tajam Ki Sugali yang sudah bangkit berdiri.
"Aku tidak bermaksud memberontak, Tuan Perwira!
Tapi pemuda itu masih terlalu kecil untuk bekerja berat.
Harap Tuan Perwira sedikit bijaksana!" Ki Sugali berkata dengan wajah berkerut
menahan perasaan. Ia merasa tidak berdaya untuk membela warga desanya. Karena
yang dihadapinya prajurit-prajurit kerajaan. Kalau ia berani melawan, niscaya
Desa Kendal akan disapu bersih oleh tentara kerajaan.
"Hm.... Semua ini karena kebandelan wargamu, Ki Sugali! Mereka sendiri yang
meminta kami bertindak keras. Jadi, jangan menyalahkan kami!" tukas perwira
tegap itu keras dengan sikap mengancam.
Sementara itu, Ki Luganta dan Sujanta yang merupakan orang-orang kepercayaan Ki
Sugali bergerak maju melihat kepala desanya diperlakukan dengan kasar.
Mereka siap melindungi lelaki tua itu. Keduanya berdiri menghadang perwira tegap
itu lengan sorot mata tajam.
"Keparat! Kalian rupanya ingin melawan, hah!" bentak perwira tegap beralis
tebal. Jari-jari tangannya meraba gagang pedang yang terselip di pinggangnya.
"Tunggu...!"
Ki Sugali yang tidak menginginkan desanya tertimpa musibah bergegas mencegah.
Lelaki tua itu melesat menghadapi perwira tegap beralis tebal, terlambat sedikit
saja, kemungkinan besar darah akan mengalir di bumi
Desa Kendal yang telah dipimpinnya selama belasan tahun.
"Hm...," perwira tegap itu menggeram gusar. Jemari tangannya yang sudah siap
meloloskan pedang bergeser menjauh dari senjata maut itu. Sehingga, Ki Sugali
menarik napas lega.
"Tuan Perwira, berikanlah waktu kepada kami untuk membujuk mereka agar mau ikut
membangun istana peristirahatan itu. Tapi, kuharap Tuan Perwira tidak membawa
pemuda-pemuda tanggung. Mereka masih terlalu muda untuk melakukan pekerjaan
itu," Ki Sugali masih berusaha membela warga desanya.
"Ki Sugali!" tukas perwira tegap dengan nada tinggi,
"Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa pekerjaan yang akan mereka lakukan sangat
berat" Padahal, mereka hanya membangun sebuah istana peristirahatan" Apakah itu
kau anggap pekerjaan berat?" lanjutnya tidak senang.
"Benar, mereka hanya bekerja untuk membangun sebuah istana peristirahatan. Tapi,
bukankah sebelum itu mereka harus merobohkan bukit padas" Dan tempat mereka
bekerja adalah daerah yang panas" Harap Tuan Perwira dapat mempertimbangkannya
baik-baik...," Ki Sugali akhirnya mengutarakan berita yang tersebar luas di
luaran. Karena sudah belasan desa yang didatangi pasukan kerajaan, dan membawa
laki-laki untuk ikut bekerja di tempat yang disebutkan Ki Sugali.
Semula Ki Sugali tidak ingin membeberkan berita itu.
Tapi ketika pasukan kerajaan memaksa pemuda-pemuda tanggung, ia menjadi
keberatan dan mencoba meminta kebijaksanaan.
"Hm.... Dari mana kau mendapatkan berita tidak benar itu, Ki Sugali?" tanya
perwira tegap. Tampak jelas betapa perwira itu menyembunyikan kekagetannya.
Rupanya, ia sedikit pun tidak menduga Ki Sugali akan berkata demikian.
"Guranta! Tidak usah banyak cakap lagi. Lakukan saja semuanya seperti biasa.
Jika diberi hati mereka akan semakin kurang ajar..!" bentakan keras itu berasal
dari mulut Legawa yatig masih saja menyeret penduduk, yang menurutnya cukup
memenuhi syarat.
Mendengar ucapan itu, perwira tegap beralis tebal tidak membantah. Tanpa
mempedulikan Ki Sugali dan sesepuh Desa Kendal, ia kembali menerima dan
melemparkan pemuda-pemuda dan laki-laki yang dilemparkan Legawa kepadanya.
Melihat tindakan kasar dan bisa dikatakan kejam itu, Ki Sugali merasa sedih
sekali. Apalagi, ketika melihat semua lelaki muda desa itu dipaksa mengikuti
kemauan Legawa dan pasukannya. Menggigil tubuh Kepala Desa Kendal.
Bahkan, hampir seluruh aparat keamanan desa juga dipaksa ikut. Lepaslah
pertahanan lelaki tua yang sangat mencintai warga desanya itu. Kepercayaan yang
diberikan penduduk kepadanya memang tidak berlebihan. Ki Sugali adalah seorang
kepala desa yang bijaksana dan tidak ada duanya. Ia bersedia mempertaruhkan
nyawa demi keselamatan warganya. Gambaran seorang pemimpin sejati tercermin pada
diri lelaki tua itu.
Semula Ki Sugali memang tidak mau bertindak menentang, yang akan membuat dirinya
dituduh sebagai pemberontak. Kepala desa yang sangat mencintai tanah
kelahiran serta penduduknya itu khawatir Desa Kendal akan dihancurkan kerajaan.
Dan kekhawatiran itu bukan cuma sekadar dugaan belaka.
Sudah ada beberapa desa yang diratakan dengan tanah.
Mereka adalah orang-orang yang menentang keputusan Prabu Pungga Dewa, penguasa
Kerajaan Tampak Serang.
Tapi melihat warga desanya dipaksa dengan kekerasan, pikiran Ki Sugali pun
berubah. Karena pemaksaan dengan kekerasan sama artinya dengan menghancurkan
masa depan Desa Kendal. Semua itu membuat Ki Sugali tidak lagi mempedulikan
hukuman yang menantinya.
"Hentikan! Kalian bukan lagi abdi kerajaan yang membela kepentingan dan keamanan
rakyat. Lebih tepat bila dikatakan kalian adalah perampok-perampok kejam.
Tindakan kalian menunjukkan ke arah itu!" bentak Ki Sugali menggelegar.
Lelaki tua itu berteriak dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Jerit
kesakitan dan suara cambukan membuat Ki Sugali tidak lagi memikirkan keselamatan
dirinya. Terlebih, ketika menyaksikan tubuh warganya yang berkelojotan di tanah
karena cambukan pecut ketiga perwira kejam itu. Amarahnya tidak bisa ditahan
lagi. Bentakan Ki Sugali seketika menghentikan penyiksaan itu. Legawa dan anggota
rombongannya berpaling dengan pandangan mengancam. Bahkan, dua belas orang
prajuritnya sudah menghunus senjata. Siap digunakan demi tugas yang mereka
emban. "Hm.... Kau hendak memberontak, Ki Sugali...?"
tegur Legawa. "Jangan mengancam aku dengan kata-kata itu, Perwira
Biadab! Tindakan kalian sudah melewati batas-batas perikemanusiaan. Aku tidak
peduli dengan segala macam sebutan itu. Pemberontak atau anjing sekalipun!"
tukas Ki Sugali yang sudah mencabut pedang. Sikap lelaki tua itu tampak garang,
seperti induk harimau yang tengah melindungi induknya.
"Kurang ajar! Kau akan dihukum gantung, Ki Sugali!"
bentak Legawa tidak kalah garang. Pecut di tangannya terlihat bergetar.
"Tidak peduli!" bentak Ki Sugali. Sepasang matanya mencorong tajam. Pedangnya
melintang di depan dada.
Siap menyabung nyawa demi jabatan yang dipercayakan kepadanya.
"Keparat! Bunuh orang tua gila itu...!" Legawa segera memerintahkan pasukannya
untuk menyerang Ki Sugali.
"Yeaaa...!"
"Haaattt...!"
Dua belas orang prajurit Legawa meluruk dengan senjata di tangan. Tapi, Ki
Sugali dan dua orang kepercayaannya telah siap menyambut mereka. Bahkan, belasan
orang keamanan desa ikut meloloskan senjata.
Mereka siap mempertaruhkan nyawa demi keadilan.
Sebentar saja perang kecil pun berlangsung. Suara dentang senjata dan teriakan
mewarnai pertempuran.
Semua terjadi begitu cepat dan tanpa direncanakan.
Legawa bersama dua orang perwira lainnya ikut turun ke arena. Dengan menggunakan
pecutnya, perwira gemuk itu mengamuk hebat merobohkan siapa saja yang berada di
dekatnya. Para keamanan desa yang kebetulan menghadapi perwira gemuk itu menjadi
kalang kabut. Dalam
beberapa jurus enam orang tersungkur roboh tak sadarkan diri. Itu memang
disengaja oleh Legawa. Karena ia masih memerlukan tenaga mereka.
Guranta dan perwira lainnya juga tidak tinggal diam.
Mereka menggunakan senjata untuk menghadapi amukan warga Desa Kendal. Tampak,
penduduk desa tidak rela kepala desanya menghadapi pasukan kerajaan dan
mengalami kematian. Rasa cinta mereka membuat Ki Sugali terharu. Hingga
serangannya kian bertambah ganas.
Para prajurit kerajaan yang menghadapi orang tua itu sempat dibuat kalang kabut.
Mereka terpaksa bergerak mundur. Karena kepandaian Ki Sugali memang tidak bisa
diremehkan. Juga Ki Luganta dan Sujanta yang bahu-membahu bersama kepala
desanya. "Haaattt...!"
Melihat anggota pasukannya dibuat kocar-kacir, Legawa menjadi berang. Perwira
gemuk itu melayang diiringi teriakan yang membahana. Kemudian, meluncur turun di
dekat ketiga sesepuh Desa Kendal. Dan langsung melancarkan serangan.
Bwettt, bwettt, bwettt...!
Kali ini Legawa membuang pecutnya. Ia menghadapi ketiga pemuka desa itu dengan
pedang di tangan. Sekali menyerang Legawa melepaskan serangkaian sambaran dan
tusukan. Tentu saja Ki Sugali dan dua orang pembantunya tidak ingin mendapat
celaka. Ketiganya berlompatan mundur menyiapkan jurus-jurus barunya.
Tapi, Legawa tidak mau memberi kesempatan.
Sebelum mereka bersiap, tubuh lelaki gemuk itu udah melayang dengan kecepatan
yang mengagumkan. Memang
tidak percuma Legawa dikirim untuk melaksanakan tugas yang berbahaya. Ia telah
disiapkan dengan matang untuk menghadapi berbagai rintangan. Dan Legawa
membuktikan kalau dirinya memang patut mengemban tugas berat itu.
"Haaattt...!"
Whuuuttt...! Sambaran mata pedang Legawa mengaung keras mengancam Ki Luganta. Tapi orang tua
itu dapat mengatasinya dengan serangkaian tangkisan. Sehingga, benturan keras
pun tidak dapat dihindarkan.
Trangngng! Trangngng!
Legawa ternyata sangat licik. Tenaga tangkisan lawan digunakan untuk menyusuli
serangannya. Sengaja ia mengendurkan tenaganya saat senjata lawan membentur
pedangnya. Kemudian memutarnya dengan secepat kilat.
Dan terus meluncur deras mengancam tenggorokan Ki Luganta. Hingga....
Brettt! "Hekkkh!"
Ki Luganta tidak sempat lagi menyelamatkan diri.
Pendekar Naga Putih 76 Neraka Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambaran mata pedang lawan merobek tenggorokannya.
Diiringi menyemburnya darah segar dari luka menganga di lehernya Ki Luganta,
tubuh sesepuh Desa Kendal itu tersungkur tewas seketika itu juga.
"Yiaaattt...!"
Legawa tidak berhenti sampai di situ. Saat Sujanta terpaku melihat kematian
rekannya, pedang di tangan perwira gemuk itu kembali melesat mencari sasaran.
Whuttt, brettt...!
"Aaakh...!"
Sujanta berusaha menghindar. Namun gerakannya kalah cepat. Mata pedang Legawa
keburu datang merobek dada kanannya. Darah segar menyembur deras dari luka yang
cukup dalam itu. Dan sebelum Sujanta sempat menyadarinya, kembali pedang Legawa
berkelebat dua kali!
Tanpa ampun lagi, tubuh Sujanta tersungkur roboh.
Darah membasahi di sekujur tubuhnya. Lelaki gagah itu tewas dengan tiga luka
memanjang di bagian dadanya.
"Keparat! Kubunuh kauuu...!"
Ki Sugali kalap bukan main melihat kematian pembantu-pembantu setianya. Dengan
kemarahan yang menggelegak lelaki tua itu menerjang maju. Pedang di tangannya
berputaran menimbulkan suara mengaung keras.
Bwettt, bwettt, bwettt!
Serangan Ki Sugali menemui tempat kosong. Legawa ternyata pandai membaca
serangan lawan. Perwira gemuk itu telah bergeser mundur sebelum mata pedang Ki
Sugali melukainya. Kemudian, membalas dengan tusukan ujung pedang yang bergetar
mengaburkan pandangan lawan.
"Yaaattt...!"
Pekikan keras Legawa yang disertai suara berkesiutan angin pedang membuat Ki
Sugali sedikit gugup. Kendati demikian, lelaki tua itu masih sempat menghindari.
Bahkan, dapat menyabetkan pedangnya ke pangkal lengan lawan.
Brettt! "Aaakhhh...!?"
Legawa memekik kesakitan. Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah. Saat itu Ki
Sugali menyusuli serangannya dengan tusukan maut yang mematikan.
Tapi.... Blesss! "Aaakh...!"
Ki Sugali meraung keras. Tubuhnya tertembus ujung pedang hingga ke perut.
Rupanya, pada saat yang gawat itu Guranta dengan licik membokong Kepala Desa
Kendal. Sehingga Ki Sugali yang sangat bernafsu merobohkan Legawa tidak sempat
menyadarinya. "Mampusss...!" desis Guranta seraya mencabut pedang yang menyate tubuh lelaki
tua itu. Darah segar membanjir membasahi bumi Desa Kendal.
Tubuh lelaki tua yang gagah itu ambruk dengan nyawa melayang meninggalkan raga.
Kematian ketiga sesepuh Desa Kendal membuat perlawanan penduduk kocar-kacir.
Dalam waktu singkat mereka dapat didesak. Beberapa di antaranya berusaha mencari
selamat. Tapi, Legawa dan pasukannya tidak tinggal diam. Mereka segera mencegah
dengan sambaran pedang. Sehingga, orang-orang malang itu roboh dengan tubuh
luka. Kecuali yang muda-muda dan kuat, semua lelaki penduduk Desa Kendal
dibantai habis. Tidak peduli lelaki itu sudah berusia tua sekalipun!
Tidak berapa lama setelah kematian Ki Sugali dan dua orang kepercayaannya
perlawanan penduduk pun berakhir. Mereka menyerah dan melemparkan senjatanya.
Kemudian, berlutut di hadapan Legawa.
"Bagus. Kalian ternyata masih berpikiran waras. Kalau
sejak semula kalian bersikap seperti ini, tentu warga desa ini tidak akan
binasa," Legawa tampak puas dengan keberhasilan tugasnya. Meski, pangkal
lengannya terluka oleh sayatan pedang Ki Sugali.
Legawa kemudian memerintahkan pasukannya untuk mengumpulkan orang-orang yang
diperlukan. Tanpa kasihan para prajurit itu mengguyur mereka yang masih tak
sadarkan diri. Sehingga, orang-orang desa yang memang sengaja dibuat pingsan
tersadar. Karena saat itu matahari sudah bergeser jauh ke barat, Legawa memerintahkan
pasukannya untuk bermalam di desa itu dan mengumpulkan tawanan yang berjumlah
tiga puluh orang di balai desa dengan dijaga anggota pasukannya. Walau
kehilangan dua orang prajuritnya, Legawa tidak kecewa. Ia cukup banyak mendapat
tawanan untuk dipekerjakan membangun istana peristirahatan Prabu Pungga Dewa.
*** 3 Perbuatan Legawa dan pasukannya semakin menjadi-jadi.
Setelah mengurung semua lelaki yang akan dibawanya, ia tidak melewatkan
kesempatan selagi bermalam. Gadis-gadis desa dan janda-janda yang baru
kehilangan suami dipaksa untuk menemaninya. Seolah Legawa hendak merayakan
kemenangannya tadi siang.
Apalah daya wanita-wanita desa yang lemah itu melawan kekuatan dan keganasan
pasukan Legawa. Mereka hanya bisa menangis mengutuki nasibnya yang buruk. Tapi
semua itu tidak berani mereka tunjukkan di hadapan Legawa dan pasukannya. Karena
mereka tidak segan-segan bertindak kasar kepada wanita-wanita. Dengan kejamnya
mereka dipaksa melayani prajurit-prajurit itu secara ber-giliran. Kelihatannya,
pasukan Kerajaan Tampak Serang benar-benar telah berubah menjadi iblis keji!
"Hua ha ha...!"
Dalam salah satu ruangan balai desa yang telah dilengkapi pembaringan Legawa
tertawa-tawa penuh kepuasan. Lelaki gemuk itu terbaring bertelanjang dada dengan
ditemani dua orang gadis yang tentu saja berparas cantik. Dengan ganas Legawa
memuaskan nafsu iblisnya.
Sementara gadis-gadis malang itu hanya bisa menuruti kehendaknya. Sebab, bila
mereka berani membantah Legawa tidak segan-segan memberikannya kepada anggota
pasukannya untuk digilir. Dapat dibayangkan betapa malangnya nasib wanita-wanita
Desa Kendal, yang tidak
pernah membayangkan akan menerima nasib seburuk itu.
Pesta pora Legawa dan pasukannya berlangsung sampai jauh malam. Dan baru usai
ketika mereka mabuk karena terlalu banyak minum arak dan, kelelahan. Tubuh
mereka bergeletakan di sembarang tempat. Meskipun begitu, tak seorang pun yang
mengganggu ketenangan tidur mereka.
Selain kaum lelakinya telah dikurung dalam sebuah ruangan tertutup, wanitanya
pun mereka buat mabuk dengan menjejalkan arak secara paksa. Sehingga, malam itu
benar-benar sunyi dan sepi.
Saat sinar matahari menerobos masuk menggantikan tugas sang Rembulan, Legawa
menggeliat dari tidurnya.
Kemudian bergerak bangkit dan membangunkan pasukannya dengan kasar. Mereka
segera diperintahkan untuk bersiap meninggalkan Desa Kendal.
Tidak berapa lama kemudian terlihatlah serombongan orang berkuda keluar dari
Desa Kendal. Di belakang pasukan berkuda tampak dua puluh lima orang lelaki.
Tangan mereka terikat tali-tali kuat sebesar ibu jari, yang dikaitkan satu sama
lain dan dihubungkan ke tubuh kuda-kuda para prajurit.
Sinar matahari naik semakin tinggi saat rombongan Legawa telah cukup jauh
meninggalkan Desa Kendal.
Mereka sedikit pun tidak mempedulikan orang-orang di belakangnya, yang melangkah
terseret-seret mengikuti gerak kaki kuda. Karena betapa pun pelan langkah kaki
kuda itu tetap saja masih terlalu cepat bagi mereka.
Perjalanan yang jauh dengan medan berat dan sorotan sinar matahari garang
membuat orang-orang Desa Kendal tersiksa. Terlihat beberapa dari mereka sudah
mulai payah dan hampir tidak sanggup melangkah lagi, Kerongkongan mereka terasa kering,
kendati wajah dan tubuhnya basah oleh peluh yang tak hentinya mengalir.
"Aiiir...!" salah seorang warga Desa Kendal yang sudah tidak sanggup menahan
dahaga berteriak parau. Lidah lelaki itu menjilati bibirnya yang kering dan
mulai pecah-pecah.
Tapi, rintihan itu tidak dipedulikan prajurit-prajurit kerajaan. Bahkan mereka
malah menambah kecepatan lari kudanya. Sehingga, mereka yang sudah tidak sanggup
melangkah terjerembab jatuh dan terseret-seret di tanah.
Tampaknya mereka memang hendak menyiksa tawanan-tawanan itu.
"Biadab! Kalian benar-benar tidak berperi-kemanusiaan!" salah seorang dari
tawanan tidak dapat lagi mengendalikan diri. Sumpah-serapahnya segera meluncur.
"Salahmu sendiri, Orang-orang Tolol! Kalau saja tidak memberontak, tentu tidak
akan begini nasib kalian. Sebab, biasanya kami membawa para pekerja dengan
menggunakan pedati. Tapi karena kalian telah berani memberontak, kami tidak
segan-segan lagi untuk berlaku kejam!" prajurit berbibir tebal yang menaruh
dendam kepada warga Desa Kendal menyahuti dengan sorot mata puas. Kemudian
kembali berpaling ke depan dan tidak peduli lagi.
"Kalian benar-benar, Iblis...!" lelaki bertubuh gagah yang berusia sekitar tiga
puluh lima tahun itu kembali memaki. Karena memang cuma itu yang bisa
dilakukannya. "Hm.... Mulutmu lancang sekali...!" geram prajurit berbibir tebal. Dicabutnya
pecut dari punggung kuda.
Dan ujung pecut itu langsung berbicara.
Cletarrr, ctarrr...!
Setelah meledak-ledak beberapa kali di udara, ujung pecut meluncur turun
mengancam tubuh lelaki gagah yang barusan melontarkan makian. Tapi....
Taaappp! Entah dari mana datangnya, tahu-tahu sesosok bayangan putih mengulurkan tangan
menangkap ujung pecut. Hingga, ujung pecut yang meluncur deras itu langsung
dijepit dengan dua jari. Gagallah cambukan prajurit berbibir tebal.
"Tindakan kalian sudah melebihi batas, Tuan Prajurit yang gagah!" ujar sosok
berjubah putih, yang ternyata seorang pemuda berwajah tampan. Dan pemuda itulah
yang telah berhasil menangkap luncuran ujung pecut dari prajurit berbibir tebal
tadi. "Kurang ajar! Siapa kau" Rupanya kau pun ingin memberontak terhadap Kerajaan
Tampak Serang!" geram prajurit berbibir tebal.
Prajurit itu rupanya belum menyadari bahwa pemuda tampan berjubah putih itu
bukanlah orang sembarangan.
Ia mampu menangkap ujung cambuk hanya dengan menggunakan dua buah jari. Jelas,
pemuda itu tidak bisa disamakan dengan tawanan-tawanan itu.
"Hm.... Mudah sekali kau menuduh orang dengan sebutan pemberontak, Tuan Prajurit
yang gagah...," tukas pemuda tampan berjubah putih. Pemuda itu sengaja memanggil
dengan sebutan 'Tuan Prajurit yang gagah'.
Sebutan yang tidak cocok itu memang sengaja diucapkan-nya agar prajurit itu
malu. Perdebatan di barisan belakang rupanya menarik perhatian anggota pasukan
lainnya. Bahkan, Legawa yang berada di barisan depan menyempatkan diri menoleh
ke belakang. Keningnya berkerut melihat salah seorang anggota pasukannya
bersitegang dengan seorang pemuda tampan berjubah putih. Merasa perjalanannya
terganggu, Legawa segera mengeluarkan perintahnya.
"Siksa dan tangkap pemberontak itu!" pekik Legawa.
Perwira gemuk itu tampaknya ingin memanfaatkan tenaga pemuda tampan berjubah
putih. Itu sebabnya, ia tidak memerintahkan anggota pasukannya untuk membunuh
pemuda itu. Tapi, sebelum perintah itu dilaksanakan pemuda tampan berjubah putih telah lebih
dulu bertindak. Ujung pecut yang terjepit di antara kedua jarinya langsung
disentakkan. "Aaakh...!?"
Prajurit berbibir tebal yang masih memegang gagang cambuk memekik ngeri.
Tubuhnya tersentak dari atas punggung kuda. Dan meluncur turun dengan deras.
Tanah berbatu di bawahnya telah siap menanti tubuh prajurit naas itu.
Tanpa dapat dicegah lagi tubuh prajurit itu terbanting ke tanah. Untungnya ia
sempat melindungi wajah dengan menekuk kedua siku lengannya. Sehingga, tidak
sampai membentur bebatuan kecil yang bertebaran di jalan.
Pemuda tampan berjubah putih itu sendiri sudah tidak mempedulikan lawannya lagi.
Ia sibuk memutuskan tali
pengikat penduduk Desa Kendal yang dihubungkan ke tubuh kuda. Hanya dengan
sekali sentak, tali-tali yang kuat itu langsung putus.
Tampaknya, kemunculannya memang untuk menyelamatkan penduduk Desa Kendal.
"Keparat! Bunuh pemuda setan itu...!" Legawa berteriak kalap. Lelaki gemuk itu
kelihatan sangat terkejut melihat pemuda itu dapat dengan mudah memutuskan
tambang pengikat. Sadarlah Legawa kalau yang dihadapinya seorang tokoh
persilatan. "Kalian kembalilah ke desa. Aku yang akan menghadapi pasukan berhati iblis
ini...," ujar pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Pendekar Naga Putih.
"Tapi..., kami tidak ingin Kisanak celaka karena ingin menolong kami...!" lelaki
gagah yang tadi memaki berkata penuh kekhawatiran. Ucapan itu jelas
menggambarkan keluhuran hatinya. Karena ia mengkhawatirkan nasib pemuda tampan
berjubah putih itu.
"Tidak perlu cemas, Kisanak. Aku bisa menjaga diri.
Pergilah dan tenangkan pikiranmu...," tukas pemuda itu seraya tersenyum cerah.
Ucapan lelaki gagah itu membuat hatinya terharu. Meski hanya seorang petani,
ternyata ia tidak mementingkan keselamatan dirinya sendiri.
"Tapi...," lelaki gagah itu mencoba membantah.
"Pergilah, Kisanak yang gagah...," ujar Pendekar Naga Putih. Kemudian
didorongnya tubuh petani gagah itu.
Karena saat itu sembilan orang prajurit kerajaan sudah berlompatan dengan
senjata di tangan.
Tanpak banyak cakap, Pendekar Naga Putih segera bertindak. Sembilan orang
prajurit yang bergerak maju
tersentak kaget! Mereka mendapati sosok pemuda berjubah putih itu lenyap! Dan,
senjata mereka yang semula tergenggam erat tahu-tahu sudah berpindah tangan.
Tampak tangan kanan pemuda itu menggenggam senjata.
"Gila..."!" salah seorang prajurit berseru dengan wajah pucat. Ia tidak percaya
dengan kejadian yang dialaminya.
"Senjata bukanlah barang mainan. Terlalu berbahaya jika menggunakannya secara
sembarangan. Sebaiknya senjata-senjata ini dipergunakan dengan baik. Tapi, bukan
membunuhi orang-orang tidak berdosa...," ujar Pendekar Naga Putih yang kini
telah berdiri tegak di hadapan sembilan orang prajurit Legawa. Wajahnya tetap
tenang tanpa menyorotkan ancaman. Bahkan, senyumnya tak lepas dari bibir.
Legawa sampai terjingkat di atas punggung kuda.
Kejadian itu seperti mimpi. Kendati ia tahu dunia persilatan banyak dihuni
tokoh-tokoh berkepandaian tinggi, tetap saja ia meragukan penglihatan. Tokoh itu
demikian muda. Kalau saja yang melakukannya seorang kakek tentu ia masih bisa
percaya. Tapi seorang pemuda!
Benar-benar Legawa dibuat heran. Sehingga, untuk beberapa saat belum bisa
mengeluarkan suara sepatah pun. Kenyataan yang terpampang di depan matanya
membuat Legawa tidak habis pikir.
"Hei, mengapa berdiri saja seperti patung" Ayo, bunuh pemuda pemberontak
itu...!" Legawa berteriak memberi perintah setelah tersadar dari kekagetannya.
Cepat tubuhnya meluncur turun diikuti dua perwira pembantunya.
Teguran Legawa membuat para prajurit itu sadar dari keadaannya yang memalukan.
Serentak mereka bergerak maju mengandalkan kaki dan tangannya. Karena senjata
mereka telah direbut pemuda tampan itu.
"Hm...."
Panji bergumam perlahan. Kamudian, tangannya digerakkan ke kiri-kanan saat
serangan lawan tiba.
Meskipun gerakan tangan pemuda itu kelihatan sederhana, tapi mengejutkan Legawa
dan dua perwira lainnya. Tubuh sembilan orang prajuritnya terlempar ke kiri-
kanan seperti dilontarkan tangan-tangan raksasa yang tak tampak. Sedikit pun
tidak mereka sadari kalau Pendekar Naga Putih telah melemparkan mereka dengan
sambaran angin pukulannya. Mereka jatuh tanpa sempat memperbaiki kuda-kudanya.
Kaget bukan main hati Legawa serta dua perwira lainnya menyaksikan kejadian itu.
Bagaimana para prajuritnya dapat dibuat tunggang-langgang hanya dengan gerakan
sederhana" Legawa segera meloloskan pedang.
Lalu, memberi isyarat kepada dua perwira pendampingnya untuk mengeroyok pemuda
itu. Dengan senjata di tangan, Legawa bergerak menghampiri Pendekar Naga Putih.
Sepasang matanya menatap penuh selidik seolah hendak mengenali siapa pemuda itu.
Namun, tetap saja ia tidak bisa mengenalinya.
"Kisanak," ujar Legawa. Langkahnya berhenti satu tombak di hadapan sosok pemuda
tampan itu. "Perbuatanmu ini bisa mengakibatkan dirimu terlihat dalam kesulitan besar. Kau
bisa dituduh memberontak karena berani menghalangi tugas resmi dari Gusti Prabu
Pungga Dewa. Karena itu, kuberi peringatan kepadamu!
Berlututlah dan meminta ampunan. Mungkin aku bisa mempertimbangkan tindakanmu."
Mendengar ucapan perwira gemuk itu, Pendekar Naga Putih malah tersenyum. Meski
demikian, kilatan pada sepasang matanya tampak menyembunyikan kegusaran.
Untuk beberapa saat pemuda itu hanya menatap ketiga perwira di depannya.
Pendekar Naga Putih 76 Neraka Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian, berkata dengan suara halus dan tenang.
"Tuan-tuan Perwira yang gagah," ujar pemuda itu perlahan namun jelas terdengar,
"Mungkin benar kalian mendapat tugas resmi dari Gusti Prabu Pungga Dewa.
Tapi, beginikah cara petugas pemerintah memperlakukan rakyat" Haruskah mereka
diikat seperti binatang dan diseret sepanjang jala tanpa diberi setetes air
penghilang dahaga mereka. Tidakkah tindakan itu terlalu berlebihan"
Atau memang begitu bunyi surat perintah Gusti Prabu Pungga Dewa?" dengan
beraninya pemuda itu bertanya penuh penasaran. Kelihatan sekali Panji tidak
merasa gentar. "Seharusnya memang tidak. Tapi karena mereka berani memberontak dan
mengakibatkan dua prajurit kami tewas, terpaksa kami menyiksa mereka agar
menjadi contoh bagi penduduk desa lainnya," bantah Legawa.
Perwira gemuk itu tampak mulai merasa geram karena Panji berani menyalahkan
tindakannya. "Hm... Pasti ada alasan kuat mengapa mereka melakukan perlawanan. Mana mungkin
penduduk desa yang biasanya sangat ramah dan taat sampai mau menentang kalau
tidak ditekan dan disakiti" tukas Panji,
membuat wajah Legawa dan dua perwira lainnya merah terbakar.
"Kau semakin kurang ajar saja, Kisanak! Kalau kami berbuat kasar itu karena
mereka berani membangkang.
Semua ucapanmu membuktikan bahwa kau menyetujui tindakan mereka. Dengan demikian
kau berarti hendak memberontak terhadap kerajaan!" merasa kalah bicara, Legawa
tidak memperpanjang perdebatan itu. Tubuhnya bergerak maju beberapa langkah. Dan
pedang di tangannya diputar sedemikian rupa hingga menimbulkan deruan ingin
keras. Dua orang perwira lainnya pun melakukan hal yang sama. Mereka bergerak dari kiri
dan kanan. Tampaknya mereka hendak mengeroyok pemuda tampan itu.
"Hm..., begitu lebih baik...," ujar Panji. Sedikit pun ia tidak merasa gentar
menghadapi ketiga perwira yang jelas-jelas hendak mencelakainya.
"Haaattt...!"
Legawa membuka serangan dengan sebuah teriakan parau. Pedang di tangannya
berkelebat mendatar. Rupanya, perwira gemuk itu menyadari bahwa lawannya cukup
memiliki kemampuan. Dalam jurus pertama ia langsung mengerahkan seluruh
tenaganya. Pendekar Naga Putih tetap berdiri tegak tanpa merasa cemas. Ia menunggu sampai
mata pedang tiba. Saat itu, dua perwira dari kiri-kanannya juga melancarkan
tusukan dan sambaran pedang. Melihat jurus-jurus serangan itu, Pendekar Naga
Putih tahu mereka hendak membunuhnya.
Bweeet, bweeet!
Syuuuttt...! Tiga batang mata pedang mengancam disertai desingan tajam menusuk telinga.
Pendekar Naga Putih hanya perlu menarik mundur kaki depannya selangkah. Dengan
memiringkan badan, serangan pedang Legawa lewat satu jengkal di depan tubuhnya.
Sedangkan dua serangan dari kiri-kanannya disambut dengan mengembangkan kedua
lengan. Kemudian, lengan itu berputar dan menggedor dada dua perwira itu.
Desss, desss! "Hukhhh!"
"Uggghhh!"
Tanpa ampun lagi, tubuh kedua perwira itu terhempas deras ke belakang. Cairan
merah meleleh keluar dari sudut bibir. Agaknya, bagian dalam tubuh kedua perwira
itu terguncang oleh hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih. Mereka
menggigil untuk beberapa saat.
Karena tenaga pukulan Pendekar Naga Putih mengandung hawa sedingin es.
Dalam waktu yang hampir bersamaan Legawa mem-peroleh tendangan lurus kaki kanan
Pendeka Naga Putih.
Dengan telak tendangan itu bersaran di perutnya. Karuan saja lelaki gemuk itu
terbungkuk menahan mual.
Wajahnya seketika menjadi gelap. Dan sepasang matanya membelalak bagai hendak
terlompat keluar.
"Hiaaahhh!"
Disertai bentakan keras Pendekar Naga Putih mengibaskan tamparannya ke wajah
Legawa. Lelaki gemuk itu tidak sempat lagi menghindari. Hingga....
Prattt! Tanpa dapat dicegah Legawa terpelanting dan jatuh berdebuk. Perwira gemuk itu
tidak bisa segera bangkit.
Karena kepalanya masih terasa berat. Dan kedua telinga nya berdenging.
*** 4 "Bangsat...!" Legawa melompat bangkit dan melontarkan makian seraya menggoyang-
goyangkan kepala. Kemudian, senjatanya mengibas ke kiri-kanan menerbitkan
desingan tajam. Legawa siap melanjutkan pertarungan.
Gumantara dan temannya pun telah bangkit. Keduanya kembali membuka jurus dengan
putaran pedang. Mereka melompat maju dari samping dan belakang.
"Yeaaattt...!"
Dibarengi teriakan keras, Legawa menyabetkan pedangnya dengan gerak menyilang.
Kilatan sinar putih berkilau seiring datangnya senjata maut itu.
Dari dua jurusan lain, dua pengeroyok Pendekar Naga Putih juga telah maju
menerjang. Pedang di tangan mereka siap merenggut nyawa Pendekar Naga Putih.
Rupanya, pukulan-pukulan Pendekar Naga Putih yang singgah di tubuh mereka
membuat keduanya mendendam.
Itu terlihat dari semakin ganasnya serangan mereka.
Bwettt! Bwettt! Bweet!
Sambaran ketiga batang pedang itu sedikit pun tidak menyulitkan Pendekar Naga
Putih. Dengan mengandalkan kegesitannya, tubuhnya berkelebatan di antara pedang
lawan. Dan semua serangan itu kandas tanpa hasil.
"Haaaiiittt..!"
Sambil berseru keras Pendekar Naga Putih membalas serangan lawan. Telapak
tangannya berkelebatan menerbitkan desiran angin dingin menusuk tulang.
Kecepatan gerak pemuda itu membuat lawan-lawannya gugup.
Terutama samparan hawa dingin, yang menghambat gerak mereka. Hawa dingin itu
sanggup membekukan otot-otot tubuh mereka. Sehingga gerakan mereka jadi tak
beraturan. Kali ini Panji memang tidak ingin memberi kesempatan kepada lawan untuk
membangun serangan.
Tamparan dan pukulannya datang bagai air bah. Tentu saja ketiga perwira itu
semakin terdesak. Sampai akhirnya mereka tak sanggup lagi melindungi tubuhnya.
Dan.... Bukkk! "Aaakh...!"
Legawa mendapat bagian pertama. Perwira gemuk itu terjengkang ke belakang.
Sebuah pukulan telah menyodok iganya. Tanpa ampun lagi tubuh perwira gemuk itu
terbanting ke tanah. Dan ia tidak sanggup bangkit lagi.
Kesadarannya telah lenyap. Legawa pingsan akibat pukulan lawan.
Dua orang perwira lainnya pun tidak dapat bertahan lebih lama. Tamparan dan
tendangan Panji melemparkan tubuh keduanya sejauh dua tombak. Keduanya langsung
menggeletak pingsan. Melihat lelehan darah dari sela-sela bibir mereka, kedua
perwira itu tampaknya mengalami luka dalam. Seperti halnya Legawa.
Menyaksikan ketiga pimpinannya tak berdaya menghadapi pemuda itu, para perwira
menjadi pucat. Mereka bergerak mundur dengan wajah dibasahi keringat dingin. Jelas, mereka
merasa gentar menghadapi Panji.
"Hm..., sebaiknya bawa pergi pimpinan kalian itu. Dan kuingatkan agar kalian
tidak lagi melakukan pemaksaan
terhadap rakyat yang tak berdosa. Kalau tenaga mereka kalian perlukan, mintalah
dengan baik-baik. Aku yakin kalau demi kemajuan bangsa dan Kerajaan Tampak
Serang rakyat akan bersedia menyumbangkan tenaga dan pikirannya. Camkan itu
baik-baik!" ujar Panji pada sepuluh orang perwira Kerajaan Tampak Serang yang
hanya mengangguk dengan hati berdebar penuh rasa takut.
Setelah mengingatkan para perwira itu, Pendekar Naga Putih bergerak menghampiri
penduduk Desa Kendal.
Mereka ternyata belum juga mau pergi meninggalkan tempat itu. "Mengapa kalian
masih berada di sini?" tegur Panji.
"Kami belum mengucapkan terima kasih kepada Tuan Pendekar. Selain itu, kami
khawatir mereka akan datang lagi untuk menghukum dan menyeret kami secara
paksa...," petani bertubuh gagah yang kelihatan paling berani dan pandai
berbicara segera menyahuti.
Mendengar ucapan itu, Panji tercenung sejenak.
Dipandanginya wajah-wajah yang membayangkan kecemasan itu untuk beberapa saat.
Dan, terhenti pada seraut wajah gagah yang barusan mengutarakan kekhawatirannya.
"Aku mengerti perasaan kalian. Tapi percayalah. Aku tidak akan tinggal diam.
Kejadian ini membuatku ingin mencari tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi di
Kerajaan Tampak Serang. Aku akan menuntaskan masalah ini secepatnya. Untuk itu,
kuharap kalian tidak perlu merasa cemas," ujar Panji yang tentu saja bukan cuma
sekadar menghibur. Tapi, ia benar-benar hendak menyelidiki kejadian itu.
Janji pemuda tampan berjubah putih itu tampaknya melegakan hati penduduk Desa
Kendal. Mereka memandang wajah Panji dengan pandangan terima kasih.
"Nah, sekarang sebaiknya kalian pulang. Biar porsoalan ini aku yang
menyelesaikannya...," lanjut Panji dengan nada tidak ingin dibantah, meski tetap
sopan dan lembut.
"Tapi..., kami belum mengenal siapa Kisanak yang gagah?" tanya petani gagah
mewakili pertanyaan yang tersimpan dalam hati kawan-kawannya
"Panggil saja aku Panji...," sahut Panji tersenyum ramah. Kemudian,
menganggukkan kepala mengiringi langkah orang-orang Desa Kendal yang bergerak
meninggalkan tempat itu.
Panji baru bergerak pergi setelah rombongan penduduk Desa Kendal lenyap di
kejauhan. Demikian pula rombongan pasukan Kerajaan Tampa Serang. Tempat itu pun
kembali sepi tanpa seorang pun terlihat.
*** "Ini tidak bisa didiamkan. Kita harus meminta keadilan di kotaraja. Apa yang
dilakukan pihak kerajaan jelas tidak adil, dan menyengsarakan rakyat yang memang
kehidupannya sudah susah!"
Ucapan penuh rasa penasaran dan tak puas itu keluar dari mulut seorang lelaki
tegap. Saat itu tengah duduk di sebuah kedai bersama dua orang kawannya.
"Benar!" lelaki kedua yang sepasang matanya bersinar tajam dengan wajah terhias
kumis lebat menimpali. "Kalau cuma karena sebuah istana untuk tempat
peristirahatan Gusti Prabu Pungga Dewa, mengapa keringat rakyat harus diperas demikian kejam"
Kalau pun pihak kerajaan memang memerlukan tenaga rakyat, semestinya mereka
memberi imbalan yang pantas. Karena rakyat membutuhkan makan serta pakaian. Ini
jelas harus kita tentang!" lanjutnya tak puas.
Sedang orang ketiga yang lebih tua dari kedua temannya hanya diam mendengarkan.
Meski demikian, lelaki empat puluh lima tahun itu berpikir keras. Ia memang
bukan tidak mendengarkan ucapan kedua kawannya. Tapi, tengah berusaha mencari
jalan keluar yang baik.
"Bagaimana, Kakang Wiguna" Kalihatannya kau tidak begitu mendengarkan
pembicaraan kami?" tegur lelaki tegap yang pertama kali berbicara. Ia merasa
heran melihat tidak adanya tanggapan dari lelaki itu.
Ki Wiguna tidak segera memberikan jawaban. Ia menarik napas sebentar. Kemudian
ditatapnya wajah kedua kawannya dengan tenang. Dan kembali menarik napas. Kali
ini cukup panjang dan agak berat
"Adi Ranggala, Adi Gowanta," ujar Ki Wiguna perlahan dan tenang, tanpa terburu-
buru, "Semua yang kalian bicarakan tadi tentu saja aku dengar dengan jelas.
Masalahnya, kita tidak bisa langsung bertindak dan melaporkan hal ini. Seperti
kita semua tahu, para prajurit kerajaan memiliki surat resmi dari Gusti Prabu
Pungga Dewa. Itu berarti pihak kerajaan memang benar-benar mengutus tentaranya
untuk mencari tenaga guna membangun istana peristirahatan itu. Hanya cara kerja
mereka yang tidak bisa kita terima. Jika kita mendatangi kotaraja
dan mengadukan hal ini, kemungkinan besar kitalah yang dituduh menyebar fitnah.
Sebab, bukan tidak mungkin semua ini merupakan kerja orang-orang yang duduk di
pemerintahan. Aku khawatir mereka malah akan men-jebloskan kita ke dalam
penjara. Atau mungkin lebih buruk dari itu."
Mendengar ucapan Ki Wiguna, Ranggala dan Gowanta saling bertukar pandang dengan
kening berkerut.
Tampaknya mereka tidak berpikir ke arah itu. Keduanya kaget mendengar perkataan
Ki Wiguna. "Kalau begitu apa yang sebaiknya kita lakukan untuk menghadapi hal ini, Kakang?"
Ranggala, lelaki tegap itu membuka suara dengan agak putus asa. Apa yang baru
saja dipaparkan Ki Wiguna memang cukup masuk akal.
"Itulah yang membuatku termenung, Adi Ranggala.
Sayangnya sampai saat ini aku belum juga menemukan jalan keluar yang baik,"
sahut Ki Wiguna dengan wajah menyesal.
Ranggala dan Gowanta menarik napas panjang.
Jawaban Ki Wiguna membuat mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi. Untuk beberapa
saat, mereka termenung mengikuti arus pikiran masing masing.
"Begini saja, Kakang," tiba-tiba Gowanta memecahkan keheningan di antara mereka.
Rupanya, ia mendapatkan sebuah pemikiran yang cukup baik.
"Bagaimana...?" tanya Ki Wiguna sungguh-sungguh.
"Katakanlah, Adi Gowanta. Siapa tahu jalan pikiranmu cukup baik bagi kita,"
Ranggala kelihatan tak sabar ketika melihat Gowanta agak ragu untuk
menyampaikannya.
"Menurutku sebaiknya kita berpura-pura ikut bekerja
membangun istana peristirahatan itu. Saat para prajurit mencari pekerja ke desa;
kita ikut mendaftar. Dengan begitu kita bisa melihat bagaimana nasib para
penduduk yang bekerja di sana. Kalau memang benar para prajurit itu bertindak
kejam, tinggal kita terobos dan membebaskan rakyat yang bernasib buruk itu.
Bagaimana" Apakah kalian setuju?" tanya Gowanta setelah menjelaskan usulnya.
"Usul itu memang cukup bagus. Sayangnya mengandung resiko yang cukup besar,"
tukas Ranggala kurang setuju dengan usul Gowanta.
"Benar. Selain itu, aku telah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh persilatan
yang melakukan tindakan itu. Tapi, mereka tidak pernah dapat keluar dari tempat
itu. Karena di sana terdapat jagoan-jagoan kerajaan yang berkepandaian tinggi.
Jelas usul Adi Gowanta tidak mungkin dapat kita lakukan. Itu sama saja dengan
memasuki sarang harimau!" jelas Ki Wiguna juga kurang setuju. Ia memang lebih
banyak tahu ketimbang Ranggal dan Gowanta.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kakang. Rasanya aku tidak tega membiarkan
hal ini berlarut-larut. Apalagi menurut selentingan kabar yang terdengar sudah
cukup banyak korban berjatuhan di tempat itu. Rakyat bekerja dalam tekanan yang
berat, tak ubahnya kerja paksa! Selain tidak diberi imbalan, makan dan tidur
mereka pun tidak teratur. Bukankah ini sudah melewati batas?" Gowanta kembali
mengungkapkan rasa tidak puasnya terhadap kerajaan.
Ki Wiguna dan Ranggala tidak menyahuti.
Pembicaraan terputus karena mereka mendengar suara langkah kaki mendatangi meja
mereka. Ada sedikit ketegangan tergambar di wajah mereka. Jelas, ketiga tokoh
persilatan itu sangat berhati-hati. Mereka takut ada mata-mata yang mendengarkan
pembicaraan itu, kendati ucapan mereka dilakukan dengan hati-hati.
"Maaf, kalau kehadiranku mengganggu pembicaraan Kisanak bertiga," ucapan itu
terdengar begitu sopan, menunjukkan kehalusan budi pemiliknya. Hingga, ketiga
lelaki gagah itu menolehkan kepala dan menatap pemilik suara.
"Aku sempat mendengarkan pembicaraan sanak bertiga. Dan rasanya aku tertarik
untuk ikut bergabung.
Tentu saja kalau Kisanak tidak keberatan menerimaku,"
kembali orang itu menyambung ucapannya.
Ki Wiguna dan dua orang kawannya belum juga menyahut. Mereka meneliti orang yang
berbicara itu. Ia adalah seorang pemuda tampan dengan air muka segar penuh
senyum. Tubuhnya yang sedang namun kelihatan berisi terbungkus jubah putih
sebatas lutut. Keseluruhan penampilan pemuda itu simpatik dan menimbulkan rasa
suka bagi yang memandangnya. Tapi yang lebih menarik ketiga lelaki gagah itu
adalah tatapan mata-pemuda tampan berjubah putih. Sinar matanya terlihat
demikian tajam dan penuh perbawa. Sebagai orang-orang persilatan, ketiganya tahu
dan sekaligus terkejut. Sinar mata seperti itu hanya dimiliki tokoh-tokoh sakti,
yang tenaga dalamnya telah mencapai taraf sempurna. Mereka menjadi heran dan
tertegun beberapa saat.
"Kalian keberatan jika aku ikut bergabung...?"
Pertanyaan yang diucapkan dengan perlahan itu ternyata mengejutkan Ki Wiguna dan
kawan-kawannya.
Serentak wajah ketiganya menjadi kemerahan. Sadar akan sikapnya yang kurang
bijaksana dan seperti orang bodoh.
"Aaa.... Tidak... tidak.... Kami sama sekali tidak keberatan...," cepat-cepat Ki
Wiguna menukas seraya memperbaiki sikapnya yang kurang pantas.
Pendekar Naga Putih 76 Neraka Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, Kisanak. Kami sama sekali tidak keberatan.
Silakan...," Ranggala ikut menimpali kendati terlihat agak salah tingkah.
"Terima kasih...," ujar pemuda tampan itu tersenyum dan menarik kursi yang masih
kosong. Kemudian duduk dengan tenang sambil merayapi wajah ketiga lelaki gagah
itu. Karena masih belum mengetahui dengan jelas maksud pemuda tampan itu bergabung
dengan mereka, Ki Wiguna dan kawan-kawannya berdiam diri. Mereka tidak ada yang
berbicara. Itu berlangsung beberapa saat.
"Maaf," pemuda tampan itu akhirnya memulai percakapan. "Ada baiknya kalau aku
memperkenalkan diri. Mudah-mudahan dengan begitu kita bisa saling terbuka.
Namaku Panji. Seorang perantau miskin yang tidak mempunyai tempat tinggal
tetap." "Panji...!?"
Ki Wiguna kelihatan agak terkejut mendengar nama itu. Keningnya berkerut dalam
seperti tengah memikirkan sesuatu. Ditatapnya pemuda yang duduk di depannya
dengan penuh selidik dan dada berdebar. Sehingga, Ranggala dan Gowanta menjadi
heran melihat sikap kawannya.
"Benar. Aku bernama Panji...," jelas pemuda tampan berjubah putih menegaskan.
"Kisanak," akhirnya Ki Wiguna mengeluarkankan suara setelah membisu beberapa
saat. "Katakanlah dengan jujur.
Apakah kau berjuluk Pendekar Naga Putih?" tanya Ki Wiguna, debaran dalam dadanya
terasa semakin keras.
Rupanya, lelaki tua itu pernah mendengar nama Panji.
Meski lupa-lupa ingat tentang tempat dan waktunya.
"Begitulah orang-orang memberikan julukan kepadaku," sahut Panji membenarkan
dugaan Ki Wiguna. Ia merasa tak perlu menyembunyikan julukannya. Semua itu tentu
saja berdasarkan beberapa pertimbangan.
"Pendekar Naga Putih..."!"
Ranggala dan Gowanta berdesis dengan wajah berubah tegang! Kedua lelaki gagah
itu sedikit pun tidak menduga kalau pemuda tampan di depannya pendekar besar
yang namanya telah menggetarkan jagat.
"Benar! Kau pastilah Pendekar Naga Putih...!" seru Ranggala dengan suara ditekan
sekecil mungkin.
Tampaknya, ia tidak ingin pengunjung kedai mendengar disebutnya nama pendekar
besar itu. Ki Wiguna tersenyum lebar tak sanggup menahan luapan kegembiraan. Lelaki gagah
itu tertawa sebagai ungkapan rasa senangnya dapat berjumpa dengan tokoh muda
yang sepak terjangnya telah merepotkan golongan sesat. Sama sekali tidak
disangkanya hari ini dapat berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang tersohor
itu. "Maaf kalau sambutan kami tadi sangat tidak layak, Pendekar Naga Putih. Kami
benar-benar tidak menduga
akan kehadiranmu di kedai ini...," ucap Ki Wiguna yang segera bangkit dan
menyalami Panji dengan penuh kehangatan.
"Tidak mengapa, Kisanak. Aku maklum...," tukas Panji tersenyum menyambut uluran
tangan Ki Wiguna.
Ranggala dan Gowanta pun bergegas bangkit dan menyalami Pendekar Naga Putih.
Kelihatan sekali kegembiraan terpancar dari wajah-wajah mereka.
Agaknya, Ki Wiguna dan kawan-kawannya benar-benar merasa senang dapat berjumpa
dengan pendekar muda itu.
Panji menerima uluran tangan Ranggala dan Gowanta dengan tidak kalah hangat.
Sikapnya tetap ramah dan sopan, tidak terkesan membanggakan julukannya.
Sehingga, Ki Wiguna dan kawan-kawannya semakin menaruh rasa kagum dan hormat.
"Tentunya kau sudah mendengar semua pembicaraan kami, Panji" Nah, mungkin kau
mempunyai rencana yang bisa dijadikan jalan keluar untuk masalah itu," ujar Ki
Wiguna kemudian setelah saling memperkenalkan diri.
"Rasanya aku cukup tertarik dengan usul yang diajukan Gowanta. Karena aku
sendiri memang hendak melakukannya...," sahut Panji segera mengutarakan
pendapatnya. "Hm... Sebenarnya, terus terang aku kurang begitu setuju. Tapi, dengan adanya
kau, Panji, aku tidak lagi merasa khawatir. Aku ikut mendukung usul yang
diajukan Adi Gowanta," tandas Ki Wiguna, merubah pikirannya setelah adanya
Pendekar Naga Putih di tengah-tengah mereka. Rarena Ki Wiguna telah cukup banyak
mendengar kehebatan Pendekar Naga Putih yang meng-
gemparkan rimba persilatan.
"Ya. Aku pun setuju!" timpal Ranggala tidak mau ketinggalan. Seperti halnya Ki
Wiguna, Ranggala pun berubah pikiran setelah adanya Pendekar Naga Putih bersama
mereka. "Terima kasih atas kepercayaan kalian kepadaku. Tapi, tentunya aku membutuhkan
bantuan kalian bertiga. Aku baru saja tiba di daerah ini, dan belum tahu banyak
tentang tempat-tempat di sini. Untuk itu aku minta petunjuk dari kalian. Kuharap
kalian jangan sungkan-sungkan memberikan petunjuk kepadaku...," ujar Panji
merendah. Tapi, ucapan itu dikeluarkan dengan sungguh-sungguh. Sehingga, Ki
Wiguna dan teman-temannya merasa tersanjung.
"Kita akan saling bantu, Pendekar Naga Putih...," tukas Ki Wiguna tersenyum
lebar dengan wajah cerah. "Mari kita minum untuk merayakan pertemuan ini...!"
lanjutnya seraya mengangkat gelas bambu dan meminumnya tanpa ragu.
Pendekar Naga Putih, Ranggala, dan Gowanta mengikuti tindakannya. Pertemuan itu
terasa semakin-menggembirakan. Apalagi, ketika Ki Wiguna memanggil pelayan dan
memesan hidangan. Pesta kecil itu jadi semakin hangat. Mereka bertambah akrab
satu sama lain.
*** 5 "Hayo, bekerja yang giat! Jangan bermalas-malasan...!"
Lelaki berperawakan tinggi besar dengan cambang bauk lebat berteriak-teriak
lantang. Sikapnya terlihat garang dan bengis. Ia berdiri dengan kaki terpentang
mengawasi pekerja-pekerja yang tengah sibuk memecah batu padas, menggerogoti
sebuah bukit. Kedua tangannya bertolak pinggang. Sebuah cambuk tergenggam di
tangan kanan. Lelaki tinggi besar itu bagai seorang algojo yang siap menjatuhkan
hukuman. Sementara itu, tubuh-tubuh kotor bertelanjang baju di bawahnya tampak bercucuran
peluh. Tubuh mereka kurus dan tidak terawat baik, dengan garis-garis bawah
menggambarkan penderitaan yang tak berkesudahan. Jelas sekali mereka bekerja
dengan sangat terpaksa. Karena takut mendapat hukuman dari lelaki tinggi besar
yang selalu setia mengawasi mereka.
Saat itu matahari memancar garang, menambah beratnya pekerjaan yang harus
dilakukan. Terik sinar matahari bagai hendak membakar tubuh-tubuh hitam dan
kotor itu. Alam sedikit pun tidak menunjukkan sikap bersahabat kepada pekerja-
pekerja. Lelaki tinggi kekar yang mengawasi mereka tiba-tiba menoleh. Ia mendengar suara
langkah kaki banyak orang menghampiri tempat itu. Keningnya tampak berkerut
melihat serombongan orang berpakaian lengkap bergerak menghampiri dikawal
delapan orang prajurit bersenjata.
"Hm.... Ada orang-orang baru rupanya...?" tegur lelaki tinggi kekar dengan suara
parau dan berat. Ia bergerak menyambut dengan senyum di bibir. Kelihatannya ia
sangat gembira. Datangnya orang-orang baru, berarti tenaga-tenaga baru dan kuat.
"Ini kami membawa lima belas orang pekerja yang akan diperbantukan untuk memecah
batu padas, Jonggala...!"
ujar salah satu dari delapan prajurit yang berada di barisan depan.
"Bagus! Aku memang sudah bosan melihat pekerja-pekerja dungu yang malas itu...,"
sahut lelaki tinggi kekar bernama Jonggala sambil melemparkan pandang ke arah
pekerja-pekerjanya. Keningnya berkerut tak senang.
Ketika melihat seorang pekerja tampak berhenti dan memperhatikan rombongan yang
baru datang. "Kurang ajar! Hei, apa yang kau lihat, Pemalas...!"
Jonggala kelihatan marah sekali. Dengan wajah bengis, lelaki kekar itu melangkah
menghampiri. Kemudian..
Ctarrr! Ctarrr...!
"Aaakhhh...!"
Lelaki berusia empat puluh tahun yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan itu
menjerit kesakitan.
Tubuhnya terpelanting jatuh. Terus menggelinding ke bawah dan terbanting di
tanah keras. "Oooh...!"
Lelaki yang sebenarnya tegap itu menggeliat kesakitan.
Pada punggungnya terdapat garis merah bekas lecutan cambuk. Ia berusaha bergerak
bangkit dengan wajahnya berkerut-kerut menahan sakit.
"Manusia pemalas...!" lagi-lagi Jonggala memaki marah. Cambuk di tangannya
kembali meluncur. Tidak ada rasa iba sedikit pun di hatinya. Padahal, lelaki itu
tengah susah-payah hendak bangkit.
Terdengar jeritan kesakitan ketika ujung cambuk Jonggala menyengat tubuh kurus
itu. Sehingga, untuk kedua kalinya pekerja itu menggeliat dan terjerembab jatuh.
Kali ini ia tidak mampu segera bangkit. Dari mulutnya yang mengalirkan darah
segar terdengar erang kesakitan.
Peristiwa itu sedikit pun tidak membuat pekerja yang lainnya berhenti. Mereka
berpura-pura tidak melihat penderitaan kawannya, dan terus bekerja. Karena
Suling Emas Dan Naga Siluman 10 Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur Sepasang Pedang Iblis 13
NERAKA BUMI Oleh T Hidayat Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode 076 :
Neraka Bumi 128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Di bawah siraman terik sinar matahari tampak serombongan orang berkuda bergerak
memasuki per-batasan Desa Kendal. Melihat pakaian mereka, agaknya rombongan itu
adalah prajurit-prajurit kerajaan.
Penunggang kuda terdepan seorang lelaki bertubuh gemuk. Wajahnya yang bulat
terhias kumis tipis. Sorot matanya demikian angkuh dan memandang rendah orang
lain. Dan, bibirnya membentuk senyum sinis penuh ejekan. Penampilannya
menunjukkan perangai buruk lelaki gemuk yang menyandang jabatan perwira itu.
Dua penunggang kuda di kiri-kanan lelaki gemuk memiliki penampilan yang tidak
jauh berbeda. Kendati sosok keduanya, yang juga menjabat sebagai perwira,
berperawakan tegap, namun sorot mata mereka terlihat begitu garang. Bahkan kalau
diamati lebih teliti, sorot mata itu menyembunyikan kekejaman serta kelicikan.
Jelas, kedua perwira itu pun mempunyai sifat yang buruk.
Di belakang ketiga perwira itu, tampak dua belas orang prajurit berkuda.
Sebagaimana sifat ketiga pimpinannya, wajah mereka pun tidak menampilkan kesan
baik. Sikap duduk mereka terlihat demikian angkuh. Seolah mereka bukan rombongan
prajurit. Tapi, pembesar-pembesar kerajaan yang seharusnya dipandang tinggi
serta dihormati. Pemandangan itu terlihat sangat aneh. Mereka tidak menunjukkan
sikap terpuji sebagaimana abdi-abdi kerajaan pelindung rakyat. Penampilan
prajurit-prajurit
itu justru membuat orang merasa takut dan tidak suka.
Diiringi pandangan heran dan takut dari para penduduk, rombongan itu terus
bergerak menyusuri jalan utama desa. Karena mereka prajurit-prajurit kerajaan,
para penduduk bergerak menepi saat rombongan lewat.
Penduduk desa semua membungkukkan tubuh dengan sikap hormat. Orang-orang desa
memang memandang tinggi abdi-abdi kerajaan. Selain mereka terdiri dari orang-
orang pilihan, juga memang sudah sepatutnya untuk dihormati.
Rombongan itu sendiri terus bergerak tanpa membalas sikap hormat penduduk Desa
Kendal. Jangankan balas mengangguk, melirik pun tidak. Mereka malah semakin
menunjukkan sikap angkuh, agar penduduk lebih takut dan semakin menaruh hormat.
Sikap para prajurit kerajaan itu tentu saja memancing berbagai pendapat di
kalangan penduduk. Seorang pemuda yang rupanya berdarah panas merasa tersinggung
dengan sikap para prajurit. Pemuda itu mengutarakan kekesalannya.
"Tidak kusangka prajurit-prajurit kerajaan mempunyai sikap demikian angkuh!
Melihat penampilannya, aku lebih condong mengatakan mereka tak ubahnya
serombongan perampok kasar!" demikian yang dikatakan pemuda berwajah kehitaman
itu seraya mencibirkan bibir.
Penduduk di sebelah pemuda itu menjadi cemas. Sadar kalau ucapan kawannya bisa
mendatangkan celaka, cepat ia menyodok tubuh pemuda itu dengan sikutnya. Ia
bermaksud mengingatkan kawannya supaya menjaga sikap di hadapan rombongan
prajurit yang sedang lewat itu.
"Ukhhh!"
Pemuda berwajah kehitaman, karena terlalu sering terpanggang terik matahari,
mengeluh pendek. Pukulan sikut kawannya agak terlalu keras mengenai lambungnya.
Dan, keluhan pendek itu sempat tertangkap salah seorang prajurit yang berada di
barisan terakhir.
Dengan sorot mata garang, prajurit berbibir tebal itu menoleh dan menatap kedua
pemuda itu beberapa saat.
Kelihatan sekali ia tidak senang, meski yang didengarnya sama sekali tidak
mengganggu. Pemuda bertubuh kurus, agaknya tahu diri. Ia segera membungkuk hormat dan
menundukkan kepala dalam-dalam. Karena sorot mata prajurit berbibir tebal
menyiratkan ancaman.
Tapi, tidak demikian dengan pemuda berwajah kehitaman yang berperawakan tegap
dan tinggi. Ketika melihat sorot mata yang demikian angkuh dan menghina, ia
sedikit pun tidak mengangguk. Apalagi menundukkan kepala. Ditentangnya pandang
mata prajurit berbibir tebal dengan sangat berani. Sehingga, kawan di sebelahnya
menjadi pucat. Dan hanya bisa berharap agar pemuda itu tidak mendapat marah
prajurit berbibir tebal.
Tapi, harapan petani muda bertubuh kurus itu tidak terkabul. Prajurit berbibir
tebal sudah merasa tersinggung dan marah.
"Petani Keparat! Kau berani menentangku, hah!"
bentak prajurit berbibir tebal. Kawan-kawannya serempak menoleh. Ingin tahu apa
yang terjadi dengan rekannya.
Petani muda bertubuh kekar itu tidak menjawab. Sinar matanya terlihat semakin
tajam. Kelihatannya, ia tidak
merasa gentar dengan prajurit berbibir tebal. Karuan saja prajurit itu naik
pitam! "Kurang ajar! Rupanya kau merasa lebih kuat dariku, hah!" kembali prajurit
berbibir tebal itu membentak. Kali ini disusul dengan ayunan sebatang pecut yang
dicabutnya dari pelana kuda. Dan...
Ctarrr...! Ujung pecut meledak menimbulkan suara nyaring memekakkan telinga. Dan dengan
telak mencambuk tubuh petani muda berwajah kehitaman, hingga baju bagian bahunya
robek. Namun kendati cambukan itu cukup menyakitkan, petani muda itu tidak mengeluh.
Tubuhnya yang ter-huyung kembali tegak. Dan sinar matanya masih juga menyorot
tajam tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun!
"Hei, ada apa..."!"
Ledakan cambuk itu rupanya mengundang perhatian tiga orang perwira di barisan
depan. Perwira bertubuh gemuk yang menjadi pimpinan rombongan langsung bertanya.
Nada suaranya terdengar menyiratkan ketidak-senangan. Karena perjalanannya
merasa terganggu.
"Ada seorang penduduk yang kurang ajar, Kakang Lagawe...!" salah seorang
prajurit memberi tahu.
"Hm.... Apa yang diperbuatnya...?" tanya perwira gemuk itu lagi dengan nada
tetap tinggi. "Kelihatannya ia tidak menyukai kehadiran kita di desa ini!" terdengar sahutan
dari salah seorang prajuritnya.
"Kalau memang demikian, beri petani dungu dan sombong itu sedikit pelajaran.
Agar lain kali lebih
mengerti bagaimana harus bersikap terhadap tentara kerajaan!" lanjut perwira
gemuk itu. Ia menghentikan langkah binatang tunggangannya dan ikut menatap
petani muda bertubuh tinggi kokoh itu.
"Baik, Kakang Lagawe...!" yang menyahuti adalah prajurit berbibir tebal.
Wajah prajurit itu kelihatan semakin cerah setelah mendapat dukungan
pimpinannya. Tindakannya pun semakin menjadi-jadi. Pecutnya meledak berkali-kali
merobek pakaian dan menimbulkan bilur-bilur merah di tubuh petani muda, yang
jatuh bangun tersengat ujung pecut. Sampai akhirnya....
Tappp! Secara kebetulan, petani muda itu berhasil menangkap ujung pecut ketika untuk
kesekian kali menyambar tubuhnya. Kemudian, pecut itu dilibatkan ke lengannya.
Dan.... "Heahhh!"
Sambil membentak keras, petani muda yang tidak mengenal takut itu menyentakkan
ujung pecut. Kendati luka-luka di tubuhnya cukup banyak dan menyakitkan, tapi
tenaga petani muda itu masih sangat kuat. Terbukti, sentakannya membuat prajurit
berbibir tebal tertarik dan jatuh dari atas punggung kuda.
"Heiii...!"
Karena tidak menyangka tenaga petani muda itu sangat kuat, prajurit berbibir
tebal menjerit kaget saat tubuhnya meluncur ke tanah dengan kepala lebih dulu.
Dan.... Jrooottt! "Ughhh...!"
Wajah prajurit berbibir tebal menghantam sebuah batu sebesar kepalan orang
dewasa. Akibatnya, wajah yang jelek itu mengalirkan darah. Bibirnya yang tebal
semakin bertambah besar.
"Kuhrangh... ahjarrrh...!" seraya mengerang kesakitan, prajurit berbibir tebal
memaki murka. Sepasang matanya mendelik seperti hendak melompat dari tempatnya.
Perbuatan petani muda itu benar-benar membangkitkan kemaranannya.
"Jangan bunuh! Beri saja dia pelajaran seperlunya! Kita membutuhkan
tenaganya...!" perwira gemuk pimpinan rombongan berseru mencegah. Karena ia
melihat anggota rombongannya yang terjatuh itu sudah meraba gagang pedang. Siap
untuk menggunakan senjatanya.
"Tapi, Kakang. Petani itu telah melukai kawan kita!"
salah seorang prajurit yang juga merasa geram, heran dengan ucapan pimpinannya.
Ia berusaha membela temannya itu.
"Meskipun begitu, ia sangat kita perlukan. Ingat, harganya pasti cukup mahal. Ia
memiliki tenaga yang kuat," bantah perwira gemuk itu menekankan. Sehingga semua
prajurit terdiam. Tak satu pun yang berani membantah lagi.
Karena tidak diperbolehkan menggunakan senjata, terpaksalah prajurit berbibir
tebal mempergunakan tangan dan kakinya untuk menghajar petani muda itu.
"Mamphusss, khauuu...!" bentak prajurit berbibir tebal tidak jelas. Karena
bibirnya yang tebal membengkak dan berdarah. Kendati demikian, luka itu tidak
menghambat tenaga dan gerakannya. Bahkan, ia melompat maju dengan
ganasnya. Seolah petani muda itu musuh bebuyutan yang sangat dibencinya.
Petani muda itu boleh jadi memiliki tenaga alam yang kuat. Tapi, sayangnya ia
tidak bisa menandingi kecepatan gerak lawan. Sehingga, satu dua pukulan mulai
mengenai wajah dan tubuhnya.
Bukkk, desss...!
"Uuuhhh...!"
Kalau sengatan ujung cambuk tidak membuatnya mengeluh, kini pukulan dan
tendangan yang menerpa wajah dan tubuhnya membuat petani muda itu mulai
mengeluh. Tubuh kekarnya jatuh bangun dihajar prajurit berbibir tebal yang
memiliki ilmu silat cukup baik.
Terlebih ia prajurit kerajaan yang tentunya telah cukup terlatih dengan baik.
Maka, habislah petani muda itu menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangannya,
yang dilancarkan dengan sekuat tenaga.
Para penduduk yang menyaksikan kejadian itu tidak berani ikut campur. Mereka
menyeret langkah menjauhi tempat itu. Tak seorang pun ingin terlibat dan
menerima siksaan prajurit-prajurit sombong dan kejam itu.
"Mamphusss...!"
Desss...! Lagi-lagi tubuh petani muda itu terpental deras.
Tubuhnya terbanting ke tanah. Kendati tidak berusaha menangkis pukulan dan
tendangan lawan, petani muda itu bukan seseorang yang sulit dirobohkan.
Dan meskipun sekujur tubuhnya terasa nyeri dan sakit, petani itu rupanya masih
belum mau menyerah. Wajahnya yang biru sembab dan mengucurkan darah tidak mem-
buatnya takut. Dengan susah payah ia merangkak bangkit dengan sinar mata penuh
kebencian! "Hih!"
Lagi prajurit berbibir tebal melayangkan tendangannya saat lawan tengah berusaha
bangkit berdiri. Tanpa ampun lagi, tubuh petani muda itu kembali terhempas ke
tanah. Ia mengerang dan bergulungan menahan rasa sakit di perutnya yang terkena
tendangan keras itu.
Kali ini prajurit berbibir tebal tidak sampai menunggu lawannya bangkit. Dengan
langkah lebar dihampirinya petani itu. kemudian, diangkat naik dengan mencekal
leher bajunya. Dan...
Jrooottt! Kepalannya melayang deras menghajar wajah yang sudah membengkak itu. Sehingga
pecah dan mengucurkan darah segar. Hal itu dilakukan berkali-kali sampai
akhirnya tubuh petani yang malang itu terkulai pingsan. Kemudian, tubuh itu
didorongnya dengan keras hingga terbanting dengan keras ke tanah.
"Biarkan tubuh petani kurang ajar ini tetap tergeletak di tengah jalan sampai
kami kembali! Siapa yang berani menyentuhnya atau menolongnya, aku tidak akan
segan-segan memberi hukuman. Pedangku ini yang akan memutuskan hukuman bagi si
pembangkang!" ucapan itu keluar dari mulut perwira gemuk yang menjadi pimpinan
rombongan tersebut. Usai berkata demikian, ia memerintahkan prajuritnya untuk
melanjutkan perjalanan mereka kembali.
Setelah rombongan prajurit bergerak cukup jauh, barulah para penduduk berani
mendekat. Meskipun
demikian, mereka tidak berani maju lebih dari satu tombak dari tubuh petani muda
yang tak sadarkan diri itu.
Mereka hanya bisa memandang dengan hati iba.
Peringatan perwira gemuk tadi tampaknya masih terngiang di telinga mereka.
*** Tiba di halaman sebuah rumah besar perwira gemuk itu menghentikan rombongannya.
Kemudian melompat turun dari atas punggung kuda. Dua perwira lain mengikuti
perbuatannya. Demikian pula kedua belas prajurit yang menjadi anggota rombongan
kecil itu. "Selamat datang di desa kami yang kecil ini, Tuan-tuan yang gagah," seorang
lelaki tua yang menjadi Kepala Desa Kendal menyambut dengan wajah cerah dan
sikap hormat. Kendati demikian, terlihat sirat kecemasan pada sorot matanya. Tapi, perasaan
itu berusaha ditutupinya dengan menunjukkan sikap ramah dan hormat terhadap
tamu-tamunya itu.
Dua orang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun dan empat puluh tahun yang
mengapit kepala desa itu membungkuk hormat. Kelihatan sekali kalau sikap itu
dilakukannya dengan sangat terpaksa. Sepertinya kedua sesepuh Desa Kendal itu
merasa tidak suka dengan kehadiran prajurit-prajurit kerajaan itu. Namun, mereka
berusaha bersikap wajar dengan memendam perasaan tidak sukanya dalam-dalam.
Karena mereka sadar dengan siapa saat ini berhadapan.
"Hm.... Kaukah yang menjadi Kepala Desa Kendal ini,
Orang Tua?" tanpa menyambut sikap hormat lelaki tua itu, Legawa melontarkan
pertanyaan dengan sikap angkuh seraya menegakkan kepala. Seolah ia ingin
menunjukkan bahwa dirinya jauh lebih tinggi dan terhormat daripada kepala desa
itu. "Benar, Tuan. Aku Ki Sugali, yang mendapat kepercayaan penduduk untuk memimpin
desa ini," jawab Ki Sugali cepat sambil membungkukkan tubuh. "Sedangkan kedua
orang ini adalah pembantu-pembantuku.
Mereka bertugas memberikan pelayanan kepada warga desa," lanjutnya
memperkenalkan kedua sesepuh desa yang berdiri di kanan-kirinya.
"Hm.... Mengapa kalian tidak segera memperkenalkan diri...?" tegur Legawa
menunjukkan rasa tak sukanya kepada kedua pembantu Ki Sugali.
"Hamba bernama Ki Luganta," sahut lelaki gagah berusia lima puluh tahun,
menyembunyikan kejengkelan-nya mendengar nada suara yang demikian menyebalkan
itu. "Hamba, Sujanta...," sahut lelaki tegap berusia empat puluh tahun yang berdiri
di sebelah kiri Ki Sugali. Seperti halnya Ki Luganta, Sujanta pun tampak
menyimpan rapat-rapat kedongkolan hatinya. Sehingga, suara maupun sikapnya
terlihat wajar dan tidak mencurigakan.
Tapi, meskipun ketiga sesepuh desa itu memperlihatkan sikap hormat yang wajar,
Legawa tidak bisa dikibuli. Perwira gemuk yang bertubuh agak pendek itu memang
memiliki mata yang tajam. Ia dapat membaca sikap yang disembunyikan ketiga
sesepuh Desa Kendal.
Namun, hal itu tidak diutarakannya. Legawa mengambil
sikap diam dan tidak peduli. Padahal, tentu saja dalam hatinya timbul ancaman.
"Nah, Ki Sugali. Aku tidak ingin berpanjang kata lagi.
Kami membawa amanat dari kerajaan," ujar Legawa. Lalu, membuka sebuah gulungan
surat yang diterima dari rekannya.
Ki Sugali yang tahu surat itu datang dari penguasa negeri langsung menjatuhkan
diri berlutut di depan Legawa. Perbuatan itu diikuti oleh Ki Luganta dan
Sujanta.
Pendekar Naga Putih 76 Neraka Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ditujukan kepala seluruh rakyat Kerajaan Tampak Serang.
Sehubungan akan dibangunnya sebuah istana untuk tempat peristirahatan Prabu
Pungga Dewa, maka dengan ini diminta kesediaan rakyat untuk menyumbangkan
tenaga. Bagi siapa yang berani membantah akan mendapat hukuman berat. Dan bagi
yang berani menentang akan dihukum mati di tempat!
Tertanda Prabu Pungga Dewa
Legawa kembali menggulung surat itu setelah mem-bacakannya dengan terang dan
jelas. Kemudian, diserahkan kepada salah seorang dari kedua perwira di kiri-
kanannya. Ditatapnya lekat-lekat wajah Ki Sugali serta kedua sesepuh Desa Kendal
yang sudah bergerak bangkit.
"Nah, sekarang aku ingin agar selekasnya kau mengumpulkan penduduk di balai
desa...," ujar Legawa dengan tegas bernada perintah kepada kepala desa itu.
"Maaf, Tuan Perwira. Kalau diperkenankan aku
mempunyai sedikit pertanyaan...?" Ki Luganta yang menjadi tangan kanan Kepala
Desa Kendal berkata sambil membungkuk hormat.
"Hm.... Sejauh tidak menentang sabda Gusti Prabu Pungga Dewa tentu boleh-boleh
saja, Ki Luganta...,"
sahut Legawa dengan angkuh dan sinis.
"Kami memang sudah mendengar selentingan kabar itu, Tuan Perwira. Yang hendak
kami tanyakan, bagaimana bagi mereka yang sudah berkeluarga atau yang
orangtuanya sudah tak sanggup mencari nafkah.
Sedangkan ia hanya mempunyai seorang putra" Harap Tuan Perwira tidak keberatan
dengan pertanyaan kami...," ujar Ki Luganta mengutarakan ganjalan hatinya.
"Hm.... Untuk hal itu tentu saja Gusti Prabu Pungga Dewa mempunyai suatu
kebijaksanaan, Ki Luganta. Kau tidak perlu khawatir. Kami akan memberikan
tunjangan sekadarnya kepada orang-orang tersebut," jawab Legawa dengan tersenyum
sinis. Sepertinya ia tidak merasa aneh dengan pertanyaan itu.
"Terima kasih atas kebijaksanaan Gusti Prabu. Dengan begitu legalah hati kami,
Tuan Perwira," lanjut Ki Luganta dengan wajah berseri. Meski tetap tidak
melenyapkan bayangan kecemasan yang tersirat di wajahnya.
"Kalau begitu, kami tunggu di balai desa...,"
Legawa kemudian melompat ke atas punggung kuda dan bergerak bersama rombongannya
menuju balai desa.
*** 2 Tidak terlalu sulit bagi Ki Sugali untuk melaksanakan permintaan perwira gemuk
itu. Dengan mengerahkan seluruh keamanan desa, sebentar saja para penduduk telah
memadati balai desa. Termasuk para petani yang tengah bekerja di sawah dan di
ladang. "Saudara-saudara sekalian!" Legawa membuka suara setelah seluruh warga Desa
Kendal berkumpul. "Saat ini negara membutuhkan sumbangan tenaga dari rakyatnya.
Untuk itu, kepada laki-laki di Desa Kendal yang merasa dirinya kuat segera saja
mendaftarkan diri! Bagi mereka yang telah berkeluarga atau harus meninggalkan
orangtuanya yang sudah tidak mampu bekerja akan mendapatkan tunjangan dari
kerajaan. Nah, bagi yang merasa masih kuat bekerja keras, silakan maju satu
persatu...!"
Ucapan perwira gemuk itu mendapat tanggapan yang tidak begitu menyenangkan. Para
penduduk kelihatan enggan dan tidak berminat untuk mendaftarkan diri.
Melihat sikap enggan penduduk, wajah Legawa berubah kelam.
Ki Sugali yang menyadari kegusaran Legawa segera tampil di depan. Lelaki tua itu
maklum akan sikap warga desanya. Ia sudah mendengar tentang kejadian yang
menimpa salah seorang warganya. Meskipun sebenarnya merasa marah akan tindakan
para prajurit itu, Ki Sugali tetap tampil untuk membujuk warganya. Karena bila
mereka membantah, pastilah penduduk Desa Kendal akan
dituduh sebagai sarang pemberontak. Hal itu tidak diinginkan Ki Sugali.
"Saudara-saudaraku sekalian, warga Desa Kendal yang tercinta. Apa yang
disampaikan Tuan Perwira Legawa merupakan panggilan negeri! Aku telah mendengar
sendiri bunyi surat perintah dari Prabu Pungga Dewa.
Kalau kalian ingin menunjukkan bahwa kalian seorang anak negeri yang baik,
sekaranglah saatnya untuk berbakti.
Jangan membuat malu nama Desa Kendal! Tunjukkan bahwa kalian pun sanggup
berbakti kepada negeri ini!" Ki Sugali demikian bersemangat menyampaikan
ucapannya. Dan tampaknya ia mampu membangkitkan semangat mereka.
Begitu ucapan Ki Sugali selesai, satu persatu laki-laki warga Desa Kendal
bergerak maju untuk mendaftarkan diri. Tapi Legawa tidak merasa puas. Warga yang
mendaftar hanya lima belas orang. Dan kebanyakan dari mereka sudah berusia lebih
dari tiga puluh tahun. Seketika itu juga amarahnya meledak.
Ctarrr! Ctarrr...!
Suara ledakan pecut yang digerakkan dengan tenaga dalam kuat membuat semua
penduduk terkejut. Wajah mereka mendadak berubah pucat. Banyak di antaranya yang
menutup kedua telinga. Suara lecutan pecut itu terasa menyakitltan dan membuat
telinga mereka ber-dengung.
"Ini benar-benar penghinaan bagi pihak kerajaan!
Kalian semua telah memaksaku untuk bertindak keras.
Kalau cuma laki-laki jompo yang mendaftarkan diri, kami semua akan mendapat
hukuman dari Prabu Pungga Dewa.
Sekarang kuberi peringatan terakhir. Segera daftarkan diri, atau terpaksa aku
bertindak keras dan memaksa kalian ikut bersama kami!" keras dan lantang ucapan
Legawa, membuat terkejut dan kesal puluhan warga desa itu. Tapi, Legawa cukup
pintar dengan membawa-bawa nama Gusti Prabu Pungga Dewa. Sehingga, jika mereka
melawan akan dituduh sebagai pemberontak. Dan hukuman berat akan mereka terima.
Ki Sugali sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Lelaki tua yang masih gagah itu
hanya berdiri dengan wajah agak pucat. Ia tidak menentang ucapan Legawa. Tapi,
juga tidak berusaha membujuk warga desanya untuk ikut mendaftar. Dan sikap
kepala desa itu membuat Legawa tak bisa lagi mengekang kemarahannya.
Dengan langkah lebar Legawa menghampiri kerumunan penduduk. Tanpa banyak tanya,
lelaki gemuk itu mencengkeram leher baju seorang pemuda tanggung yang berusia
sekitar lima belas tahun. Dengan sekali sentak tubuh pemuda itu terlempar keluar
dari kerumunan. Dan jatuh terjerembab di tanah.
"Bangun kau pemalas!" salah seorang dari dua perwira yang berdiri tak jauh dari
tempat jatuhnya pemuda tanggung itu segera menarik bangkit dengan kasar.
Kemudian dilemparkannya ke arah barisan penduduk yang telah mendaftarkan diri.
"Tuan Perwira, harap jangan bertindak kasar!" Ki Sugali bergegas menyambut tubuh
pemuda tanggung itu.
Tapi sebelum kedua lengannya sempat menangkap tubuh pemuda itu, sebuah tendangan
keras membuatnya terhempas sejauh setengah tombak!
"Kau hendak berontak kepada kerajaan, Ki Sugali...!"
bentak perwira bertubuh tegap seraya memasang wajah garang. Sepasang alisnya
yang tebal nyaring terpaut.
Ditatapnya tajam-tajam Ki Sugali yang sudah bangkit berdiri.
"Aku tidak bermaksud memberontak, Tuan Perwira!
Tapi pemuda itu masih terlalu kecil untuk bekerja berat.
Harap Tuan Perwira sedikit bijaksana!" Ki Sugali berkata dengan wajah berkerut
menahan perasaan. Ia merasa tidak berdaya untuk membela warga desanya. Karena
yang dihadapinya prajurit-prajurit kerajaan. Kalau ia berani melawan, niscaya
Desa Kendal akan disapu bersih oleh tentara kerajaan.
"Hm.... Semua ini karena kebandelan wargamu, Ki Sugali! Mereka sendiri yang
meminta kami bertindak keras. Jadi, jangan menyalahkan kami!" tukas perwira
tegap itu keras dengan sikap mengancam.
Sementara itu, Ki Luganta dan Sujanta yang merupakan orang-orang kepercayaan Ki
Sugali bergerak maju melihat kepala desanya diperlakukan dengan kasar.
Mereka siap melindungi lelaki tua itu. Keduanya berdiri menghadang perwira tegap
itu lengan sorot mata tajam.
"Keparat! Kalian rupanya ingin melawan, hah!" bentak perwira tegap beralis
tebal. Jari-jari tangannya meraba gagang pedang yang terselip di pinggangnya.
"Tunggu...!"
Ki Sugali yang tidak menginginkan desanya tertimpa musibah bergegas mencegah.
Lelaki tua itu melesat menghadapi perwira tegap beralis tebal, terlambat sedikit
saja, kemungkinan besar darah akan mengalir di bumi
Desa Kendal yang telah dipimpinnya selama belasan tahun.
"Hm...," perwira tegap itu menggeram gusar. Jemari tangannya yang sudah siap
meloloskan pedang bergeser menjauh dari senjata maut itu. Sehingga, Ki Sugali
menarik napas lega.
"Tuan Perwira, berikanlah waktu kepada kami untuk membujuk mereka agar mau ikut
membangun istana peristirahatan itu. Tapi, kuharap Tuan Perwira tidak membawa
pemuda-pemuda tanggung. Mereka masih terlalu muda untuk melakukan pekerjaan
itu," Ki Sugali masih berusaha membela warga desanya.
"Ki Sugali!" tukas perwira tegap dengan nada tinggi,
"Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa pekerjaan yang akan mereka lakukan sangat
berat" Padahal, mereka hanya membangun sebuah istana peristirahatan" Apakah itu
kau anggap pekerjaan berat?" lanjutnya tidak senang.
"Benar, mereka hanya bekerja untuk membangun sebuah istana peristirahatan. Tapi,
bukankah sebelum itu mereka harus merobohkan bukit padas" Dan tempat mereka
bekerja adalah daerah yang panas" Harap Tuan Perwira dapat mempertimbangkannya
baik-baik...," Ki Sugali akhirnya mengutarakan berita yang tersebar luas di
luaran. Karena sudah belasan desa yang didatangi pasukan kerajaan, dan membawa
laki-laki untuk ikut bekerja di tempat yang disebutkan Ki Sugali.
Semula Ki Sugali tidak ingin membeberkan berita itu.
Tapi ketika pasukan kerajaan memaksa pemuda-pemuda tanggung, ia menjadi
keberatan dan mencoba meminta kebijaksanaan.
"Hm.... Dari mana kau mendapatkan berita tidak benar itu, Ki Sugali?" tanya
perwira tegap. Tampak jelas betapa perwira itu menyembunyikan kekagetannya.
Rupanya, ia sedikit pun tidak menduga Ki Sugali akan berkata demikian.
"Guranta! Tidak usah banyak cakap lagi. Lakukan saja semuanya seperti biasa.
Jika diberi hati mereka akan semakin kurang ajar..!" bentakan keras itu berasal
dari mulut Legawa yatig masih saja menyeret penduduk, yang menurutnya cukup
memenuhi syarat.
Mendengar ucapan itu, perwira tegap beralis tebal tidak membantah. Tanpa
mempedulikan Ki Sugali dan sesepuh Desa Kendal, ia kembali menerima dan
melemparkan pemuda-pemuda dan laki-laki yang dilemparkan Legawa kepadanya.
Melihat tindakan kasar dan bisa dikatakan kejam itu, Ki Sugali merasa sedih
sekali. Apalagi, ketika melihat semua lelaki muda desa itu dipaksa mengikuti
kemauan Legawa dan pasukannya. Menggigil tubuh Kepala Desa Kendal.
Bahkan, hampir seluruh aparat keamanan desa juga dipaksa ikut. Lepaslah
pertahanan lelaki tua yang sangat mencintai warga desanya itu. Kepercayaan yang
diberikan penduduk kepadanya memang tidak berlebihan. Ki Sugali adalah seorang
kepala desa yang bijaksana dan tidak ada duanya. Ia bersedia mempertaruhkan
nyawa demi keselamatan warganya. Gambaran seorang pemimpin sejati tercermin pada
diri lelaki tua itu.
Semula Ki Sugali memang tidak mau bertindak menentang, yang akan membuat dirinya
dituduh sebagai pemberontak. Kepala desa yang sangat mencintai tanah
kelahiran serta penduduknya itu khawatir Desa Kendal akan dihancurkan kerajaan.
Dan kekhawatiran itu bukan cuma sekadar dugaan belaka.
Sudah ada beberapa desa yang diratakan dengan tanah.
Mereka adalah orang-orang yang menentang keputusan Prabu Pungga Dewa, penguasa
Kerajaan Tampak Serang.
Tapi melihat warga desanya dipaksa dengan kekerasan, pikiran Ki Sugali pun
berubah. Karena pemaksaan dengan kekerasan sama artinya dengan menghancurkan
masa depan Desa Kendal. Semua itu membuat Ki Sugali tidak lagi mempedulikan
hukuman yang menantinya.
"Hentikan! Kalian bukan lagi abdi kerajaan yang membela kepentingan dan keamanan
rakyat. Lebih tepat bila dikatakan kalian adalah perampok-perampok kejam.
Tindakan kalian menunjukkan ke arah itu!" bentak Ki Sugali menggelegar.
Lelaki tua itu berteriak dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Jerit
kesakitan dan suara cambukan membuat Ki Sugali tidak lagi memikirkan keselamatan
dirinya. Terlebih, ketika menyaksikan tubuh warganya yang berkelojotan di tanah
karena cambukan pecut ketiga perwira kejam itu. Amarahnya tidak bisa ditahan
lagi. Bentakan Ki Sugali seketika menghentikan penyiksaan itu. Legawa dan anggota
rombongannya berpaling dengan pandangan mengancam. Bahkan, dua belas orang
prajuritnya sudah menghunus senjata. Siap digunakan demi tugas yang mereka
emban. "Hm.... Kau hendak memberontak, Ki Sugali...?"
tegur Legawa. "Jangan mengancam aku dengan kata-kata itu, Perwira
Biadab! Tindakan kalian sudah melewati batas-batas perikemanusiaan. Aku tidak
peduli dengan segala macam sebutan itu. Pemberontak atau anjing sekalipun!"
tukas Ki Sugali yang sudah mencabut pedang. Sikap lelaki tua itu tampak garang,
seperti induk harimau yang tengah melindungi induknya.
"Kurang ajar! Kau akan dihukum gantung, Ki Sugali!"
bentak Legawa tidak kalah garang. Pecut di tangannya terlihat bergetar.
"Tidak peduli!" bentak Ki Sugali. Sepasang matanya mencorong tajam. Pedangnya
melintang di depan dada.
Siap menyabung nyawa demi jabatan yang dipercayakan kepadanya.
"Keparat! Bunuh orang tua gila itu...!" Legawa segera memerintahkan pasukannya
untuk menyerang Ki Sugali.
"Yeaaa...!"
"Haaattt...!"
Dua belas orang prajurit Legawa meluruk dengan senjata di tangan. Tapi, Ki
Sugali dan dua orang kepercayaannya telah siap menyambut mereka. Bahkan, belasan
orang keamanan desa ikut meloloskan senjata.
Mereka siap mempertaruhkan nyawa demi keadilan.
Sebentar saja perang kecil pun berlangsung. Suara dentang senjata dan teriakan
mewarnai pertempuran.
Semua terjadi begitu cepat dan tanpa direncanakan.
Legawa bersama dua orang perwira lainnya ikut turun ke arena. Dengan menggunakan
pecutnya, perwira gemuk itu mengamuk hebat merobohkan siapa saja yang berada di
dekatnya. Para keamanan desa yang kebetulan menghadapi perwira gemuk itu menjadi
kalang kabut. Dalam
beberapa jurus enam orang tersungkur roboh tak sadarkan diri. Itu memang
disengaja oleh Legawa. Karena ia masih memerlukan tenaga mereka.
Guranta dan perwira lainnya juga tidak tinggal diam.
Mereka menggunakan senjata untuk menghadapi amukan warga Desa Kendal. Tampak,
penduduk desa tidak rela kepala desanya menghadapi pasukan kerajaan dan
mengalami kematian. Rasa cinta mereka membuat Ki Sugali terharu. Hingga
serangannya kian bertambah ganas.
Para prajurit kerajaan yang menghadapi orang tua itu sempat dibuat kalang kabut.
Mereka terpaksa bergerak mundur. Karena kepandaian Ki Sugali memang tidak bisa
diremehkan. Juga Ki Luganta dan Sujanta yang bahu-membahu bersama kepala
desanya. "Haaattt...!"
Melihat anggota pasukannya dibuat kocar-kacir, Legawa menjadi berang. Perwira
gemuk itu melayang diiringi teriakan yang membahana. Kemudian, meluncur turun di
dekat ketiga sesepuh Desa Kendal. Dan langsung melancarkan serangan.
Bwettt, bwettt, bwettt...!
Kali ini Legawa membuang pecutnya. Ia menghadapi ketiga pemuka desa itu dengan
pedang di tangan. Sekali menyerang Legawa melepaskan serangkaian sambaran dan
tusukan. Tentu saja Ki Sugali dan dua orang pembantunya tidak ingin mendapat
celaka. Ketiganya berlompatan mundur menyiapkan jurus-jurus barunya.
Tapi, Legawa tidak mau memberi kesempatan.
Sebelum mereka bersiap, tubuh lelaki gemuk itu udah melayang dengan kecepatan
yang mengagumkan. Memang
tidak percuma Legawa dikirim untuk melaksanakan tugas yang berbahaya. Ia telah
disiapkan dengan matang untuk menghadapi berbagai rintangan. Dan Legawa
membuktikan kalau dirinya memang patut mengemban tugas berat itu.
"Haaattt...!"
Whuuuttt...! Sambaran mata pedang Legawa mengaung keras mengancam Ki Luganta. Tapi orang tua
itu dapat mengatasinya dengan serangkaian tangkisan. Sehingga, benturan keras
pun tidak dapat dihindarkan.
Trangngng! Trangngng!
Legawa ternyata sangat licik. Tenaga tangkisan lawan digunakan untuk menyusuli
serangannya. Sengaja ia mengendurkan tenaganya saat senjata lawan membentur
pedangnya. Kemudian memutarnya dengan secepat kilat.
Dan terus meluncur deras mengancam tenggorokan Ki Luganta. Hingga....
Brettt! "Hekkkh!"
Ki Luganta tidak sempat lagi menyelamatkan diri.
Pendekar Naga Putih 76 Neraka Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambaran mata pedang lawan merobek tenggorokannya.
Diiringi menyemburnya darah segar dari luka menganga di lehernya Ki Luganta,
tubuh sesepuh Desa Kendal itu tersungkur tewas seketika itu juga.
"Yiaaattt...!"
Legawa tidak berhenti sampai di situ. Saat Sujanta terpaku melihat kematian
rekannya, pedang di tangan perwira gemuk itu kembali melesat mencari sasaran.
Whuttt, brettt...!
"Aaakh...!"
Sujanta berusaha menghindar. Namun gerakannya kalah cepat. Mata pedang Legawa
keburu datang merobek dada kanannya. Darah segar menyembur deras dari luka yang
cukup dalam itu. Dan sebelum Sujanta sempat menyadarinya, kembali pedang Legawa
berkelebat dua kali!
Tanpa ampun lagi, tubuh Sujanta tersungkur roboh.
Darah membasahi di sekujur tubuhnya. Lelaki gagah itu tewas dengan tiga luka
memanjang di bagian dadanya.
"Keparat! Kubunuh kauuu...!"
Ki Sugali kalap bukan main melihat kematian pembantu-pembantu setianya. Dengan
kemarahan yang menggelegak lelaki tua itu menerjang maju. Pedang di tangannya
berputaran menimbulkan suara mengaung keras.
Bwettt, bwettt, bwettt!
Serangan Ki Sugali menemui tempat kosong. Legawa ternyata pandai membaca
serangan lawan. Perwira gemuk itu telah bergeser mundur sebelum mata pedang Ki
Sugali melukainya. Kemudian, membalas dengan tusukan ujung pedang yang bergetar
mengaburkan pandangan lawan.
"Yaaattt...!"
Pekikan keras Legawa yang disertai suara berkesiutan angin pedang membuat Ki
Sugali sedikit gugup. Kendati demikian, lelaki tua itu masih sempat menghindari.
Bahkan, dapat menyabetkan pedangnya ke pangkal lengan lawan.
Brettt! "Aaakhhh...!?"
Legawa memekik kesakitan. Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah. Saat itu Ki
Sugali menyusuli serangannya dengan tusukan maut yang mematikan.
Tapi.... Blesss! "Aaakh...!"
Ki Sugali meraung keras. Tubuhnya tertembus ujung pedang hingga ke perut.
Rupanya, pada saat yang gawat itu Guranta dengan licik membokong Kepala Desa
Kendal. Sehingga Ki Sugali yang sangat bernafsu merobohkan Legawa tidak sempat
menyadarinya. "Mampusss...!" desis Guranta seraya mencabut pedang yang menyate tubuh lelaki
tua itu. Darah segar membanjir membasahi bumi Desa Kendal.
Tubuh lelaki tua yang gagah itu ambruk dengan nyawa melayang meninggalkan raga.
Kematian ketiga sesepuh Desa Kendal membuat perlawanan penduduk kocar-kacir.
Dalam waktu singkat mereka dapat didesak. Beberapa di antaranya berusaha mencari
selamat. Tapi, Legawa dan pasukannya tidak tinggal diam. Mereka segera mencegah
dengan sambaran pedang. Sehingga, orang-orang malang itu roboh dengan tubuh
luka. Kecuali yang muda-muda dan kuat, semua lelaki penduduk Desa Kendal
dibantai habis. Tidak peduli lelaki itu sudah berusia tua sekalipun!
Tidak berapa lama setelah kematian Ki Sugali dan dua orang kepercayaannya
perlawanan penduduk pun berakhir. Mereka menyerah dan melemparkan senjatanya.
Kemudian, berlutut di hadapan Legawa.
"Bagus. Kalian ternyata masih berpikiran waras. Kalau
sejak semula kalian bersikap seperti ini, tentu warga desa ini tidak akan
binasa," Legawa tampak puas dengan keberhasilan tugasnya. Meski, pangkal
lengannya terluka oleh sayatan pedang Ki Sugali.
Legawa kemudian memerintahkan pasukannya untuk mengumpulkan orang-orang yang
diperlukan. Tanpa kasihan para prajurit itu mengguyur mereka yang masih tak
sadarkan diri. Sehingga, orang-orang desa yang memang sengaja dibuat pingsan
tersadar. Karena saat itu matahari sudah bergeser jauh ke barat, Legawa memerintahkan
pasukannya untuk bermalam di desa itu dan mengumpulkan tawanan yang berjumlah
tiga puluh orang di balai desa dengan dijaga anggota pasukannya. Walau
kehilangan dua orang prajuritnya, Legawa tidak kecewa. Ia cukup banyak mendapat
tawanan untuk dipekerjakan membangun istana peristirahatan Prabu Pungga Dewa.
*** 3 Perbuatan Legawa dan pasukannya semakin menjadi-jadi.
Setelah mengurung semua lelaki yang akan dibawanya, ia tidak melewatkan
kesempatan selagi bermalam. Gadis-gadis desa dan janda-janda yang baru
kehilangan suami dipaksa untuk menemaninya. Seolah Legawa hendak merayakan
kemenangannya tadi siang.
Apalah daya wanita-wanita desa yang lemah itu melawan kekuatan dan keganasan
pasukan Legawa. Mereka hanya bisa menangis mengutuki nasibnya yang buruk. Tapi
semua itu tidak berani mereka tunjukkan di hadapan Legawa dan pasukannya. Karena
mereka tidak segan-segan bertindak kasar kepada wanita-wanita. Dengan kejamnya
mereka dipaksa melayani prajurit-prajurit itu secara ber-giliran. Kelihatannya,
pasukan Kerajaan Tampak Serang benar-benar telah berubah menjadi iblis keji!
"Hua ha ha...!"
Dalam salah satu ruangan balai desa yang telah dilengkapi pembaringan Legawa
tertawa-tawa penuh kepuasan. Lelaki gemuk itu terbaring bertelanjang dada dengan
ditemani dua orang gadis yang tentu saja berparas cantik. Dengan ganas Legawa
memuaskan nafsu iblisnya.
Sementara gadis-gadis malang itu hanya bisa menuruti kehendaknya. Sebab, bila
mereka berani membantah Legawa tidak segan-segan memberikannya kepada anggota
pasukannya untuk digilir. Dapat dibayangkan betapa malangnya nasib wanita-wanita
Desa Kendal, yang tidak
pernah membayangkan akan menerima nasib seburuk itu.
Pesta pora Legawa dan pasukannya berlangsung sampai jauh malam. Dan baru usai
ketika mereka mabuk karena terlalu banyak minum arak dan, kelelahan. Tubuh
mereka bergeletakan di sembarang tempat. Meskipun begitu, tak seorang pun yang
mengganggu ketenangan tidur mereka.
Selain kaum lelakinya telah dikurung dalam sebuah ruangan tertutup, wanitanya
pun mereka buat mabuk dengan menjejalkan arak secara paksa. Sehingga, malam itu
benar-benar sunyi dan sepi.
Saat sinar matahari menerobos masuk menggantikan tugas sang Rembulan, Legawa
menggeliat dari tidurnya.
Kemudian bergerak bangkit dan membangunkan pasukannya dengan kasar. Mereka
segera diperintahkan untuk bersiap meninggalkan Desa Kendal.
Tidak berapa lama kemudian terlihatlah serombongan orang berkuda keluar dari
Desa Kendal. Di belakang pasukan berkuda tampak dua puluh lima orang lelaki.
Tangan mereka terikat tali-tali kuat sebesar ibu jari, yang dikaitkan satu sama
lain dan dihubungkan ke tubuh kuda-kuda para prajurit.
Sinar matahari naik semakin tinggi saat rombongan Legawa telah cukup jauh
meninggalkan Desa Kendal.
Mereka sedikit pun tidak mempedulikan orang-orang di belakangnya, yang melangkah
terseret-seret mengikuti gerak kaki kuda. Karena betapa pun pelan langkah kaki
kuda itu tetap saja masih terlalu cepat bagi mereka.
Perjalanan yang jauh dengan medan berat dan sorotan sinar matahari garang
membuat orang-orang Desa Kendal tersiksa. Terlihat beberapa dari mereka sudah
mulai payah dan hampir tidak sanggup melangkah lagi, Kerongkongan mereka terasa kering,
kendati wajah dan tubuhnya basah oleh peluh yang tak hentinya mengalir.
"Aiiir...!" salah seorang warga Desa Kendal yang sudah tidak sanggup menahan
dahaga berteriak parau. Lidah lelaki itu menjilati bibirnya yang kering dan
mulai pecah-pecah.
Tapi, rintihan itu tidak dipedulikan prajurit-prajurit kerajaan. Bahkan mereka
malah menambah kecepatan lari kudanya. Sehingga, mereka yang sudah tidak sanggup
melangkah terjerembab jatuh dan terseret-seret di tanah.
Tampaknya mereka memang hendak menyiksa tawanan-tawanan itu.
"Biadab! Kalian benar-benar tidak berperi-kemanusiaan!" salah seorang dari
tawanan tidak dapat lagi mengendalikan diri. Sumpah-serapahnya segera meluncur.
"Salahmu sendiri, Orang-orang Tolol! Kalau saja tidak memberontak, tentu tidak
akan begini nasib kalian. Sebab, biasanya kami membawa para pekerja dengan
menggunakan pedati. Tapi karena kalian telah berani memberontak, kami tidak
segan-segan lagi untuk berlaku kejam!" prajurit berbibir tebal yang menaruh
dendam kepada warga Desa Kendal menyahuti dengan sorot mata puas. Kemudian
kembali berpaling ke depan dan tidak peduli lagi.
"Kalian benar-benar, Iblis...!" lelaki bertubuh gagah yang berusia sekitar tiga
puluh lima tahun itu kembali memaki. Karena memang cuma itu yang bisa
dilakukannya. "Hm.... Mulutmu lancang sekali...!" geram prajurit berbibir tebal. Dicabutnya
pecut dari punggung kuda.
Dan ujung pecut itu langsung berbicara.
Cletarrr, ctarrr...!
Setelah meledak-ledak beberapa kali di udara, ujung pecut meluncur turun
mengancam tubuh lelaki gagah yang barusan melontarkan makian. Tapi....
Taaappp! Entah dari mana datangnya, tahu-tahu sesosok bayangan putih mengulurkan tangan
menangkap ujung pecut. Hingga, ujung pecut yang meluncur deras itu langsung
dijepit dengan dua jari. Gagallah cambukan prajurit berbibir tebal.
"Tindakan kalian sudah melebihi batas, Tuan Prajurit yang gagah!" ujar sosok
berjubah putih, yang ternyata seorang pemuda berwajah tampan. Dan pemuda itulah
yang telah berhasil menangkap luncuran ujung pecut dari prajurit berbibir tebal
tadi. "Kurang ajar! Siapa kau" Rupanya kau pun ingin memberontak terhadap Kerajaan
Tampak Serang!" geram prajurit berbibir tebal.
Prajurit itu rupanya belum menyadari bahwa pemuda tampan berjubah putih itu
bukanlah orang sembarangan.
Ia mampu menangkap ujung cambuk hanya dengan menggunakan dua buah jari. Jelas,
pemuda itu tidak bisa disamakan dengan tawanan-tawanan itu.
"Hm.... Mudah sekali kau menuduh orang dengan sebutan pemberontak, Tuan Prajurit
yang gagah...," tukas pemuda tampan berjubah putih. Pemuda itu sengaja memanggil
dengan sebutan 'Tuan Prajurit yang gagah'.
Sebutan yang tidak cocok itu memang sengaja diucapkan-nya agar prajurit itu
malu. Perdebatan di barisan belakang rupanya menarik perhatian anggota pasukan
lainnya. Bahkan, Legawa yang berada di barisan depan menyempatkan diri menoleh
ke belakang. Keningnya berkerut melihat salah seorang anggota pasukannya
bersitegang dengan seorang pemuda tampan berjubah putih. Merasa perjalanannya
terganggu, Legawa segera mengeluarkan perintahnya.
"Siksa dan tangkap pemberontak itu!" pekik Legawa.
Perwira gemuk itu tampaknya ingin memanfaatkan tenaga pemuda tampan berjubah
putih. Itu sebabnya, ia tidak memerintahkan anggota pasukannya untuk membunuh
pemuda itu. Tapi, sebelum perintah itu dilaksanakan pemuda tampan berjubah putih telah lebih
dulu bertindak. Ujung pecut yang terjepit di antara kedua jarinya langsung
disentakkan. "Aaakh...!?"
Prajurit berbibir tebal yang masih memegang gagang cambuk memekik ngeri.
Tubuhnya tersentak dari atas punggung kuda. Dan meluncur turun dengan deras.
Tanah berbatu di bawahnya telah siap menanti tubuh prajurit naas itu.
Tanpa dapat dicegah lagi tubuh prajurit itu terbanting ke tanah. Untungnya ia
sempat melindungi wajah dengan menekuk kedua siku lengannya. Sehingga, tidak
sampai membentur bebatuan kecil yang bertebaran di jalan.
Pemuda tampan berjubah putih itu sendiri sudah tidak mempedulikan lawannya lagi.
Ia sibuk memutuskan tali
pengikat penduduk Desa Kendal yang dihubungkan ke tubuh kuda. Hanya dengan
sekali sentak, tali-tali yang kuat itu langsung putus.
Tampaknya, kemunculannya memang untuk menyelamatkan penduduk Desa Kendal.
"Keparat! Bunuh pemuda setan itu...!" Legawa berteriak kalap. Lelaki gemuk itu
kelihatan sangat terkejut melihat pemuda itu dapat dengan mudah memutuskan
tambang pengikat. Sadarlah Legawa kalau yang dihadapinya seorang tokoh
persilatan. "Kalian kembalilah ke desa. Aku yang akan menghadapi pasukan berhati iblis
ini...," ujar pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Pendekar Naga Putih.
"Tapi..., kami tidak ingin Kisanak celaka karena ingin menolong kami...!" lelaki
gagah yang tadi memaki berkata penuh kekhawatiran. Ucapan itu jelas
menggambarkan keluhuran hatinya. Karena ia mengkhawatirkan nasib pemuda tampan
berjubah putih itu.
"Tidak perlu cemas, Kisanak. Aku bisa menjaga diri.
Pergilah dan tenangkan pikiranmu...," tukas pemuda itu seraya tersenyum cerah.
Ucapan lelaki gagah itu membuat hatinya terharu. Meski hanya seorang petani,
ternyata ia tidak mementingkan keselamatan dirinya sendiri.
"Tapi...," lelaki gagah itu mencoba membantah.
"Pergilah, Kisanak yang gagah...," ujar Pendekar Naga Putih. Kemudian
didorongnya tubuh petani gagah itu.
Karena saat itu sembilan orang prajurit kerajaan sudah berlompatan dengan
senjata di tangan.
Tanpak banyak cakap, Pendekar Naga Putih segera bertindak. Sembilan orang
prajurit yang bergerak maju
tersentak kaget! Mereka mendapati sosok pemuda berjubah putih itu lenyap! Dan,
senjata mereka yang semula tergenggam erat tahu-tahu sudah berpindah tangan.
Tampak tangan kanan pemuda itu menggenggam senjata.
"Gila..."!" salah seorang prajurit berseru dengan wajah pucat. Ia tidak percaya
dengan kejadian yang dialaminya.
"Senjata bukanlah barang mainan. Terlalu berbahaya jika menggunakannya secara
sembarangan. Sebaiknya senjata-senjata ini dipergunakan dengan baik. Tapi, bukan
membunuhi orang-orang tidak berdosa...," ujar Pendekar Naga Putih yang kini
telah berdiri tegak di hadapan sembilan orang prajurit Legawa. Wajahnya tetap
tenang tanpa menyorotkan ancaman. Bahkan, senyumnya tak lepas dari bibir.
Legawa sampai terjingkat di atas punggung kuda.
Kejadian itu seperti mimpi. Kendati ia tahu dunia persilatan banyak dihuni
tokoh-tokoh berkepandaian tinggi, tetap saja ia meragukan penglihatan. Tokoh itu
demikian muda. Kalau saja yang melakukannya seorang kakek tentu ia masih bisa
percaya. Tapi seorang pemuda!
Benar-benar Legawa dibuat heran. Sehingga, untuk beberapa saat belum bisa
mengeluarkan suara sepatah pun. Kenyataan yang terpampang di depan matanya
membuat Legawa tidak habis pikir.
"Hei, mengapa berdiri saja seperti patung" Ayo, bunuh pemuda pemberontak
itu...!" Legawa berteriak memberi perintah setelah tersadar dari kekagetannya.
Cepat tubuhnya meluncur turun diikuti dua perwira pembantunya.
Teguran Legawa membuat para prajurit itu sadar dari keadaannya yang memalukan.
Serentak mereka bergerak maju mengandalkan kaki dan tangannya. Karena senjata
mereka telah direbut pemuda tampan itu.
"Hm...."
Panji bergumam perlahan. Kamudian, tangannya digerakkan ke kiri-kanan saat
serangan lawan tiba.
Meskipun gerakan tangan pemuda itu kelihatan sederhana, tapi mengejutkan Legawa
dan dua perwira lainnya. Tubuh sembilan orang prajuritnya terlempar ke kiri-
kanan seperti dilontarkan tangan-tangan raksasa yang tak tampak. Sedikit pun
tidak mereka sadari kalau Pendekar Naga Putih telah melemparkan mereka dengan
sambaran angin pukulannya. Mereka jatuh tanpa sempat memperbaiki kuda-kudanya.
Kaget bukan main hati Legawa serta dua perwira lainnya menyaksikan kejadian itu.
Bagaimana para prajuritnya dapat dibuat tunggang-langgang hanya dengan gerakan
sederhana" Legawa segera meloloskan pedang.
Lalu, memberi isyarat kepada dua perwira pendampingnya untuk mengeroyok pemuda
itu. Dengan senjata di tangan, Legawa bergerak menghampiri Pendekar Naga Putih.
Sepasang matanya menatap penuh selidik seolah hendak mengenali siapa pemuda itu.
Namun, tetap saja ia tidak bisa mengenalinya.
"Kisanak," ujar Legawa. Langkahnya berhenti satu tombak di hadapan sosok pemuda
tampan itu. "Perbuatanmu ini bisa mengakibatkan dirimu terlihat dalam kesulitan besar. Kau
bisa dituduh memberontak karena berani menghalangi tugas resmi dari Gusti Prabu
Pungga Dewa. Karena itu, kuberi peringatan kepadamu!
Berlututlah dan meminta ampunan. Mungkin aku bisa mempertimbangkan tindakanmu."
Mendengar ucapan perwira gemuk itu, Pendekar Naga Putih malah tersenyum. Meski
demikian, kilatan pada sepasang matanya tampak menyembunyikan kegusaran.
Untuk beberapa saat pemuda itu hanya menatap ketiga perwira di depannya.
Pendekar Naga Putih 76 Neraka Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian, berkata dengan suara halus dan tenang.
"Tuan-tuan Perwira yang gagah," ujar pemuda itu perlahan namun jelas terdengar,
"Mungkin benar kalian mendapat tugas resmi dari Gusti Prabu Pungga Dewa.
Tapi, beginikah cara petugas pemerintah memperlakukan rakyat" Haruskah mereka
diikat seperti binatang dan diseret sepanjang jala tanpa diberi setetes air
penghilang dahaga mereka. Tidakkah tindakan itu terlalu berlebihan"
Atau memang begitu bunyi surat perintah Gusti Prabu Pungga Dewa?" dengan
beraninya pemuda itu bertanya penuh penasaran. Kelihatan sekali Panji tidak
merasa gentar. "Seharusnya memang tidak. Tapi karena mereka berani memberontak dan
mengakibatkan dua prajurit kami tewas, terpaksa kami menyiksa mereka agar
menjadi contoh bagi penduduk desa lainnya," bantah Legawa.
Perwira gemuk itu tampak mulai merasa geram karena Panji berani menyalahkan
tindakannya. "Hm... Pasti ada alasan kuat mengapa mereka melakukan perlawanan. Mana mungkin
penduduk desa yang biasanya sangat ramah dan taat sampai mau menentang kalau
tidak ditekan dan disakiti" tukas Panji,
membuat wajah Legawa dan dua perwira lainnya merah terbakar.
"Kau semakin kurang ajar saja, Kisanak! Kalau kami berbuat kasar itu karena
mereka berani membangkang.
Semua ucapanmu membuktikan bahwa kau menyetujui tindakan mereka. Dengan demikian
kau berarti hendak memberontak terhadap kerajaan!" merasa kalah bicara, Legawa
tidak memperpanjang perdebatan itu. Tubuhnya bergerak maju beberapa langkah. Dan
pedang di tangannya diputar sedemikian rupa hingga menimbulkan deruan ingin
keras. Dua orang perwira lainnya pun melakukan hal yang sama. Mereka bergerak dari kiri
dan kanan. Tampaknya mereka hendak mengeroyok pemuda tampan itu.
"Hm..., begitu lebih baik...," ujar Panji. Sedikit pun ia tidak merasa gentar
menghadapi ketiga perwira yang jelas-jelas hendak mencelakainya.
"Haaattt...!"
Legawa membuka serangan dengan sebuah teriakan parau. Pedang di tangannya
berkelebat mendatar. Rupanya, perwira gemuk itu menyadari bahwa lawannya cukup
memiliki kemampuan. Dalam jurus pertama ia langsung mengerahkan seluruh
tenaganya. Pendekar Naga Putih tetap berdiri tegak tanpa merasa cemas. Ia menunggu sampai
mata pedang tiba. Saat itu, dua perwira dari kiri-kanannya juga melancarkan
tusukan dan sambaran pedang. Melihat jurus-jurus serangan itu, Pendekar Naga
Putih tahu mereka hendak membunuhnya.
Bweeet, bweeet!
Syuuuttt...! Tiga batang mata pedang mengancam disertai desingan tajam menusuk telinga.
Pendekar Naga Putih hanya perlu menarik mundur kaki depannya selangkah. Dengan
memiringkan badan, serangan pedang Legawa lewat satu jengkal di depan tubuhnya.
Sedangkan dua serangan dari kiri-kanannya disambut dengan mengembangkan kedua
lengan. Kemudian, lengan itu berputar dan menggedor dada dua perwira itu.
Desss, desss! "Hukhhh!"
"Uggghhh!"
Tanpa ampun lagi, tubuh kedua perwira itu terhempas deras ke belakang. Cairan
merah meleleh keluar dari sudut bibir. Agaknya, bagian dalam tubuh kedua perwira
itu terguncang oleh hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih. Mereka
menggigil untuk beberapa saat.
Karena tenaga pukulan Pendekar Naga Putih mengandung hawa sedingin es.
Dalam waktu yang hampir bersamaan Legawa mem-peroleh tendangan lurus kaki kanan
Pendeka Naga Putih.
Dengan telak tendangan itu bersaran di perutnya. Karuan saja lelaki gemuk itu
terbungkuk menahan mual.
Wajahnya seketika menjadi gelap. Dan sepasang matanya membelalak bagai hendak
terlompat keluar.
"Hiaaahhh!"
Disertai bentakan keras Pendekar Naga Putih mengibaskan tamparannya ke wajah
Legawa. Lelaki gemuk itu tidak sempat lagi menghindari. Hingga....
Prattt! Tanpa dapat dicegah Legawa terpelanting dan jatuh berdebuk. Perwira gemuk itu
tidak bisa segera bangkit.
Karena kepalanya masih terasa berat. Dan kedua telinga nya berdenging.
*** 4 "Bangsat...!" Legawa melompat bangkit dan melontarkan makian seraya menggoyang-
goyangkan kepala. Kemudian, senjatanya mengibas ke kiri-kanan menerbitkan
desingan tajam. Legawa siap melanjutkan pertarungan.
Gumantara dan temannya pun telah bangkit. Keduanya kembali membuka jurus dengan
putaran pedang. Mereka melompat maju dari samping dan belakang.
"Yeaaattt...!"
Dibarengi teriakan keras, Legawa menyabetkan pedangnya dengan gerak menyilang.
Kilatan sinar putih berkilau seiring datangnya senjata maut itu.
Dari dua jurusan lain, dua pengeroyok Pendekar Naga Putih juga telah maju
menerjang. Pedang di tangan mereka siap merenggut nyawa Pendekar Naga Putih.
Rupanya, pukulan-pukulan Pendekar Naga Putih yang singgah di tubuh mereka
membuat keduanya mendendam.
Itu terlihat dari semakin ganasnya serangan mereka.
Bwettt! Bwettt! Bweet!
Sambaran ketiga batang pedang itu sedikit pun tidak menyulitkan Pendekar Naga
Putih. Dengan mengandalkan kegesitannya, tubuhnya berkelebatan di antara pedang
lawan. Dan semua serangan itu kandas tanpa hasil.
"Haaaiiittt..!"
Sambil berseru keras Pendekar Naga Putih membalas serangan lawan. Telapak
tangannya berkelebatan menerbitkan desiran angin dingin menusuk tulang.
Kecepatan gerak pemuda itu membuat lawan-lawannya gugup.
Terutama samparan hawa dingin, yang menghambat gerak mereka. Hawa dingin itu
sanggup membekukan otot-otot tubuh mereka. Sehingga gerakan mereka jadi tak
beraturan. Kali ini Panji memang tidak ingin memberi kesempatan kepada lawan untuk
membangun serangan.
Tamparan dan pukulannya datang bagai air bah. Tentu saja ketiga perwira itu
semakin terdesak. Sampai akhirnya mereka tak sanggup lagi melindungi tubuhnya.
Dan.... Bukkk! "Aaakh...!"
Legawa mendapat bagian pertama. Perwira gemuk itu terjengkang ke belakang.
Sebuah pukulan telah menyodok iganya. Tanpa ampun lagi tubuh perwira gemuk itu
terbanting ke tanah. Dan ia tidak sanggup bangkit lagi.
Kesadarannya telah lenyap. Legawa pingsan akibat pukulan lawan.
Dua orang perwira lainnya pun tidak dapat bertahan lebih lama. Tamparan dan
tendangan Panji melemparkan tubuh keduanya sejauh dua tombak. Keduanya langsung
menggeletak pingsan. Melihat lelehan darah dari sela-sela bibir mereka, kedua
perwira itu tampaknya mengalami luka dalam. Seperti halnya Legawa.
Menyaksikan ketiga pimpinannya tak berdaya menghadapi pemuda itu, para perwira
menjadi pucat. Mereka bergerak mundur dengan wajah dibasahi keringat dingin. Jelas, mereka
merasa gentar menghadapi Panji.
"Hm..., sebaiknya bawa pergi pimpinan kalian itu. Dan kuingatkan agar kalian
tidak lagi melakukan pemaksaan
terhadap rakyat yang tak berdosa. Kalau tenaga mereka kalian perlukan, mintalah
dengan baik-baik. Aku yakin kalau demi kemajuan bangsa dan Kerajaan Tampak
Serang rakyat akan bersedia menyumbangkan tenaga dan pikirannya. Camkan itu
baik-baik!" ujar Panji pada sepuluh orang perwira Kerajaan Tampak Serang yang
hanya mengangguk dengan hati berdebar penuh rasa takut.
Setelah mengingatkan para perwira itu, Pendekar Naga Putih bergerak menghampiri
penduduk Desa Kendal.
Mereka ternyata belum juga mau pergi meninggalkan tempat itu. "Mengapa kalian
masih berada di sini?" tegur Panji.
"Kami belum mengucapkan terima kasih kepada Tuan Pendekar. Selain itu, kami
khawatir mereka akan datang lagi untuk menghukum dan menyeret kami secara
paksa...," petani bertubuh gagah yang kelihatan paling berani dan pandai
berbicara segera menyahuti.
Mendengar ucapan itu, Panji tercenung sejenak.
Dipandanginya wajah-wajah yang membayangkan kecemasan itu untuk beberapa saat.
Dan, terhenti pada seraut wajah gagah yang barusan mengutarakan kekhawatirannya.
"Aku mengerti perasaan kalian. Tapi percayalah. Aku tidak akan tinggal diam.
Kejadian ini membuatku ingin mencari tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi di
Kerajaan Tampak Serang. Aku akan menuntaskan masalah ini secepatnya. Untuk itu,
kuharap kalian tidak perlu merasa cemas," ujar Panji yang tentu saja bukan cuma
sekadar menghibur. Tapi, ia benar-benar hendak menyelidiki kejadian itu.
Janji pemuda tampan berjubah putih itu tampaknya melegakan hati penduduk Desa
Kendal. Mereka memandang wajah Panji dengan pandangan terima kasih.
"Nah, sekarang sebaiknya kalian pulang. Biar porsoalan ini aku yang
menyelesaikannya...," lanjut Panji dengan nada tidak ingin dibantah, meski tetap
sopan dan lembut.
"Tapi..., kami belum mengenal siapa Kisanak yang gagah?" tanya petani gagah
mewakili pertanyaan yang tersimpan dalam hati kawan-kawannya
"Panggil saja aku Panji...," sahut Panji tersenyum ramah. Kemudian,
menganggukkan kepala mengiringi langkah orang-orang Desa Kendal yang bergerak
meninggalkan tempat itu.
Panji baru bergerak pergi setelah rombongan penduduk Desa Kendal lenyap di
kejauhan. Demikian pula rombongan pasukan Kerajaan Tampa Serang. Tempat itu pun
kembali sepi tanpa seorang pun terlihat.
*** "Ini tidak bisa didiamkan. Kita harus meminta keadilan di kotaraja. Apa yang
dilakukan pihak kerajaan jelas tidak adil, dan menyengsarakan rakyat yang memang
kehidupannya sudah susah!"
Ucapan penuh rasa penasaran dan tak puas itu keluar dari mulut seorang lelaki
tegap. Saat itu tengah duduk di sebuah kedai bersama dua orang kawannya.
"Benar!" lelaki kedua yang sepasang matanya bersinar tajam dengan wajah terhias
kumis lebat menimpali. "Kalau cuma karena sebuah istana untuk tempat
peristirahatan Gusti Prabu Pungga Dewa, mengapa keringat rakyat harus diperas demikian kejam"
Kalau pun pihak kerajaan memang memerlukan tenaga rakyat, semestinya mereka
memberi imbalan yang pantas. Karena rakyat membutuhkan makan serta pakaian. Ini
jelas harus kita tentang!" lanjutnya tak puas.
Sedang orang ketiga yang lebih tua dari kedua temannya hanya diam mendengarkan.
Meski demikian, lelaki empat puluh lima tahun itu berpikir keras. Ia memang
bukan tidak mendengarkan ucapan kedua kawannya. Tapi, tengah berusaha mencari
jalan keluar yang baik.
"Bagaimana, Kakang Wiguna" Kalihatannya kau tidak begitu mendengarkan
pembicaraan kami?" tegur lelaki tegap yang pertama kali berbicara. Ia merasa
heran melihat tidak adanya tanggapan dari lelaki itu.
Ki Wiguna tidak segera memberikan jawaban. Ia menarik napas sebentar. Kemudian
ditatapnya wajah kedua kawannya dengan tenang. Dan kembali menarik napas. Kali
ini cukup panjang dan agak berat
"Adi Ranggala, Adi Gowanta," ujar Ki Wiguna perlahan dan tenang, tanpa terburu-
buru, "Semua yang kalian bicarakan tadi tentu saja aku dengar dengan jelas.
Masalahnya, kita tidak bisa langsung bertindak dan melaporkan hal ini. Seperti
kita semua tahu, para prajurit kerajaan memiliki surat resmi dari Gusti Prabu
Pungga Dewa. Itu berarti pihak kerajaan memang benar-benar mengutus tentaranya
untuk mencari tenaga guna membangun istana peristirahatan itu. Hanya cara kerja
mereka yang tidak bisa kita terima. Jika kita mendatangi kotaraja
dan mengadukan hal ini, kemungkinan besar kitalah yang dituduh menyebar fitnah.
Sebab, bukan tidak mungkin semua ini merupakan kerja orang-orang yang duduk di
pemerintahan. Aku khawatir mereka malah akan men-jebloskan kita ke dalam
penjara. Atau mungkin lebih buruk dari itu."
Mendengar ucapan Ki Wiguna, Ranggala dan Gowanta saling bertukar pandang dengan
kening berkerut.
Tampaknya mereka tidak berpikir ke arah itu. Keduanya kaget mendengar perkataan
Ki Wiguna. "Kalau begitu apa yang sebaiknya kita lakukan untuk menghadapi hal ini, Kakang?"
Ranggala, lelaki tegap itu membuka suara dengan agak putus asa. Apa yang baru
saja dipaparkan Ki Wiguna memang cukup masuk akal.
"Itulah yang membuatku termenung, Adi Ranggala.
Sayangnya sampai saat ini aku belum juga menemukan jalan keluar yang baik,"
sahut Ki Wiguna dengan wajah menyesal.
Ranggala dan Gowanta menarik napas panjang.
Jawaban Ki Wiguna membuat mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi. Untuk beberapa
saat, mereka termenung mengikuti arus pikiran masing masing.
"Begini saja, Kakang," tiba-tiba Gowanta memecahkan keheningan di antara mereka.
Rupanya, ia mendapatkan sebuah pemikiran yang cukup baik.
"Bagaimana...?" tanya Ki Wiguna sungguh-sungguh.
"Katakanlah, Adi Gowanta. Siapa tahu jalan pikiranmu cukup baik bagi kita,"
Ranggala kelihatan tak sabar ketika melihat Gowanta agak ragu untuk
menyampaikannya.
"Menurutku sebaiknya kita berpura-pura ikut bekerja
membangun istana peristirahatan itu. Saat para prajurit mencari pekerja ke desa;
kita ikut mendaftar. Dengan begitu kita bisa melihat bagaimana nasib para
penduduk yang bekerja di sana. Kalau memang benar para prajurit itu bertindak
kejam, tinggal kita terobos dan membebaskan rakyat yang bernasib buruk itu.
Bagaimana" Apakah kalian setuju?" tanya Gowanta setelah menjelaskan usulnya.
"Usul itu memang cukup bagus. Sayangnya mengandung resiko yang cukup besar,"
tukas Ranggala kurang setuju dengan usul Gowanta.
"Benar. Selain itu, aku telah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh persilatan
yang melakukan tindakan itu. Tapi, mereka tidak pernah dapat keluar dari tempat
itu. Karena di sana terdapat jagoan-jagoan kerajaan yang berkepandaian tinggi.
Jelas usul Adi Gowanta tidak mungkin dapat kita lakukan. Itu sama saja dengan
memasuki sarang harimau!" jelas Ki Wiguna juga kurang setuju. Ia memang lebih
banyak tahu ketimbang Ranggal dan Gowanta.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kakang. Rasanya aku tidak tega membiarkan
hal ini berlarut-larut. Apalagi menurut selentingan kabar yang terdengar sudah
cukup banyak korban berjatuhan di tempat itu. Rakyat bekerja dalam tekanan yang
berat, tak ubahnya kerja paksa! Selain tidak diberi imbalan, makan dan tidur
mereka pun tidak teratur. Bukankah ini sudah melewati batas?" Gowanta kembali
mengungkapkan rasa tidak puasnya terhadap kerajaan.
Ki Wiguna dan Ranggala tidak menyahuti.
Pembicaraan terputus karena mereka mendengar suara langkah kaki mendatangi meja
mereka. Ada sedikit ketegangan tergambar di wajah mereka. Jelas, ketiga tokoh
persilatan itu sangat berhati-hati. Mereka takut ada mata-mata yang mendengarkan
pembicaraan itu, kendati ucapan mereka dilakukan dengan hati-hati.
"Maaf, kalau kehadiranku mengganggu pembicaraan Kisanak bertiga," ucapan itu
terdengar begitu sopan, menunjukkan kehalusan budi pemiliknya. Hingga, ketiga
lelaki gagah itu menolehkan kepala dan menatap pemilik suara.
"Aku sempat mendengarkan pembicaraan sanak bertiga. Dan rasanya aku tertarik
untuk ikut bergabung.
Tentu saja kalau Kisanak tidak keberatan menerimaku,"
kembali orang itu menyambung ucapannya.
Ki Wiguna dan dua orang kawannya belum juga menyahut. Mereka meneliti orang yang
berbicara itu. Ia adalah seorang pemuda tampan dengan air muka segar penuh
senyum. Tubuhnya yang sedang namun kelihatan berisi terbungkus jubah putih
sebatas lutut. Keseluruhan penampilan pemuda itu simpatik dan menimbulkan rasa
suka bagi yang memandangnya. Tapi yang lebih menarik ketiga lelaki gagah itu
adalah tatapan mata-pemuda tampan berjubah putih. Sinar matanya terlihat
demikian tajam dan penuh perbawa. Sebagai orang-orang persilatan, ketiganya tahu
dan sekaligus terkejut. Sinar mata seperti itu hanya dimiliki tokoh-tokoh sakti,
yang tenaga dalamnya telah mencapai taraf sempurna. Mereka menjadi heran dan
tertegun beberapa saat.
"Kalian keberatan jika aku ikut bergabung...?"
Pertanyaan yang diucapkan dengan perlahan itu ternyata mengejutkan Ki Wiguna dan
kawan-kawannya.
Serentak wajah ketiganya menjadi kemerahan. Sadar akan sikapnya yang kurang
bijaksana dan seperti orang bodoh.
"Aaa.... Tidak... tidak.... Kami sama sekali tidak keberatan...," cepat-cepat Ki
Wiguna menukas seraya memperbaiki sikapnya yang kurang pantas.
Pendekar Naga Putih 76 Neraka Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, Kisanak. Kami sama sekali tidak keberatan.
Silakan...," Ranggala ikut menimpali kendati terlihat agak salah tingkah.
"Terima kasih...," ujar pemuda tampan itu tersenyum dan menarik kursi yang masih
kosong. Kemudian duduk dengan tenang sambil merayapi wajah ketiga lelaki gagah
itu. Karena masih belum mengetahui dengan jelas maksud pemuda tampan itu bergabung
dengan mereka, Ki Wiguna dan kawan-kawannya berdiam diri. Mereka tidak ada yang
berbicara. Itu berlangsung beberapa saat.
"Maaf," pemuda tampan itu akhirnya memulai percakapan. "Ada baiknya kalau aku
memperkenalkan diri. Mudah-mudahan dengan begitu kita bisa saling terbuka.
Namaku Panji. Seorang perantau miskin yang tidak mempunyai tempat tinggal
tetap." "Panji...!?"
Ki Wiguna kelihatan agak terkejut mendengar nama itu. Keningnya berkerut dalam
seperti tengah memikirkan sesuatu. Ditatapnya pemuda yang duduk di depannya
dengan penuh selidik dan dada berdebar. Sehingga, Ranggala dan Gowanta menjadi
heran melihat sikap kawannya.
"Benar. Aku bernama Panji...," jelas pemuda tampan berjubah putih menegaskan.
"Kisanak," akhirnya Ki Wiguna mengeluarkankan suara setelah membisu beberapa
saat. "Katakanlah dengan jujur.
Apakah kau berjuluk Pendekar Naga Putih?" tanya Ki Wiguna, debaran dalam dadanya
terasa semakin keras.
Rupanya, lelaki tua itu pernah mendengar nama Panji.
Meski lupa-lupa ingat tentang tempat dan waktunya.
"Begitulah orang-orang memberikan julukan kepadaku," sahut Panji membenarkan
dugaan Ki Wiguna. Ia merasa tak perlu menyembunyikan julukannya. Semua itu tentu
saja berdasarkan beberapa pertimbangan.
"Pendekar Naga Putih..."!"
Ranggala dan Gowanta berdesis dengan wajah berubah tegang! Kedua lelaki gagah
itu sedikit pun tidak menduga kalau pemuda tampan di depannya pendekar besar
yang namanya telah menggetarkan jagat.
"Benar! Kau pastilah Pendekar Naga Putih...!" seru Ranggala dengan suara ditekan
sekecil mungkin.
Tampaknya, ia tidak ingin pengunjung kedai mendengar disebutnya nama pendekar
besar itu. Ki Wiguna tersenyum lebar tak sanggup menahan luapan kegembiraan. Lelaki gagah
itu tertawa sebagai ungkapan rasa senangnya dapat berjumpa dengan tokoh muda
yang sepak terjangnya telah merepotkan golongan sesat. Sama sekali tidak
disangkanya hari ini dapat berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang tersohor
itu. "Maaf kalau sambutan kami tadi sangat tidak layak, Pendekar Naga Putih. Kami
benar-benar tidak menduga
akan kehadiranmu di kedai ini...," ucap Ki Wiguna yang segera bangkit dan
menyalami Panji dengan penuh kehangatan.
"Tidak mengapa, Kisanak. Aku maklum...," tukas Panji tersenyum menyambut uluran
tangan Ki Wiguna.
Ranggala dan Gowanta pun bergegas bangkit dan menyalami Pendekar Naga Putih.
Kelihatan sekali kegembiraan terpancar dari wajah-wajah mereka.
Agaknya, Ki Wiguna dan kawan-kawannya benar-benar merasa senang dapat berjumpa
dengan pendekar muda itu.
Panji menerima uluran tangan Ranggala dan Gowanta dengan tidak kalah hangat.
Sikapnya tetap ramah dan sopan, tidak terkesan membanggakan julukannya.
Sehingga, Ki Wiguna dan kawan-kawannya semakin menaruh rasa kagum dan hormat.
"Tentunya kau sudah mendengar semua pembicaraan kami, Panji" Nah, mungkin kau
mempunyai rencana yang bisa dijadikan jalan keluar untuk masalah itu," ujar Ki
Wiguna kemudian setelah saling memperkenalkan diri.
"Rasanya aku cukup tertarik dengan usul yang diajukan Gowanta. Karena aku
sendiri memang hendak melakukannya...," sahut Panji segera mengutarakan
pendapatnya. "Hm... Sebenarnya, terus terang aku kurang begitu setuju. Tapi, dengan adanya
kau, Panji, aku tidak lagi merasa khawatir. Aku ikut mendukung usul yang
diajukan Adi Gowanta," tandas Ki Wiguna, merubah pikirannya setelah adanya
Pendekar Naga Putih di tengah-tengah mereka. Rarena Ki Wiguna telah cukup banyak
mendengar kehebatan Pendekar Naga Putih yang meng-
gemparkan rimba persilatan.
"Ya. Aku pun setuju!" timpal Ranggala tidak mau ketinggalan. Seperti halnya Ki
Wiguna, Ranggala pun berubah pikiran setelah adanya Pendekar Naga Putih bersama
mereka. "Terima kasih atas kepercayaan kalian kepadaku. Tapi, tentunya aku membutuhkan
bantuan kalian bertiga. Aku baru saja tiba di daerah ini, dan belum tahu banyak
tentang tempat-tempat di sini. Untuk itu aku minta petunjuk dari kalian. Kuharap
kalian jangan sungkan-sungkan memberikan petunjuk kepadaku...," ujar Panji
merendah. Tapi, ucapan itu dikeluarkan dengan sungguh-sungguh. Sehingga, Ki
Wiguna dan teman-temannya merasa tersanjung.
"Kita akan saling bantu, Pendekar Naga Putih...," tukas Ki Wiguna tersenyum
lebar dengan wajah cerah. "Mari kita minum untuk merayakan pertemuan ini...!"
lanjutnya seraya mengangkat gelas bambu dan meminumnya tanpa ragu.
Pendekar Naga Putih, Ranggala, dan Gowanta mengikuti tindakannya. Pertemuan itu
terasa semakin-menggembirakan. Apalagi, ketika Ki Wiguna memanggil pelayan dan
memesan hidangan. Pesta kecil itu jadi semakin hangat. Mereka bertambah akrab
satu sama lain.
*** 5 "Hayo, bekerja yang giat! Jangan bermalas-malasan...!"
Lelaki berperawakan tinggi besar dengan cambang bauk lebat berteriak-teriak
lantang. Sikapnya terlihat garang dan bengis. Ia berdiri dengan kaki terpentang
mengawasi pekerja-pekerja yang tengah sibuk memecah batu padas, menggerogoti
sebuah bukit. Kedua tangannya bertolak pinggang. Sebuah cambuk tergenggam di
tangan kanan. Lelaki tinggi besar itu bagai seorang algojo yang siap menjatuhkan
hukuman. Sementara itu, tubuh-tubuh kotor bertelanjang baju di bawahnya tampak bercucuran
peluh. Tubuh mereka kurus dan tidak terawat baik, dengan garis-garis bawah
menggambarkan penderitaan yang tak berkesudahan. Jelas sekali mereka bekerja
dengan sangat terpaksa. Karena takut mendapat hukuman dari lelaki tinggi besar
yang selalu setia mengawasi mereka.
Saat itu matahari memancar garang, menambah beratnya pekerjaan yang harus
dilakukan. Terik sinar matahari bagai hendak membakar tubuh-tubuh hitam dan
kotor itu. Alam sedikit pun tidak menunjukkan sikap bersahabat kepada pekerja-
pekerja. Lelaki tinggi kekar yang mengawasi mereka tiba-tiba menoleh. Ia mendengar suara
langkah kaki banyak orang menghampiri tempat itu. Keningnya tampak berkerut
melihat serombongan orang berpakaian lengkap bergerak menghampiri dikawal
delapan orang prajurit bersenjata.
"Hm.... Ada orang-orang baru rupanya...?" tegur lelaki tinggi kekar dengan suara
parau dan berat. Ia bergerak menyambut dengan senyum di bibir. Kelihatannya ia
sangat gembira. Datangnya orang-orang baru, berarti tenaga-tenaga baru dan kuat.
"Ini kami membawa lima belas orang pekerja yang akan diperbantukan untuk memecah
batu padas, Jonggala...!"
ujar salah satu dari delapan prajurit yang berada di barisan depan.
"Bagus! Aku memang sudah bosan melihat pekerja-pekerja dungu yang malas itu...,"
sahut lelaki tinggi kekar bernama Jonggala sambil melemparkan pandang ke arah
pekerja-pekerjanya. Keningnya berkerut tak senang.
Ketika melihat seorang pekerja tampak berhenti dan memperhatikan rombongan yang
baru datang. "Kurang ajar! Hei, apa yang kau lihat, Pemalas...!"
Jonggala kelihatan marah sekali. Dengan wajah bengis, lelaki kekar itu melangkah
menghampiri. Kemudian..
Ctarrr! Ctarrr...!
"Aaakhhh...!"
Lelaki berusia empat puluh tahun yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan itu
menjerit kesakitan.
Tubuhnya terpelanting jatuh. Terus menggelinding ke bawah dan terbanting di
tanah keras. "Oooh...!"
Lelaki yang sebenarnya tegap itu menggeliat kesakitan.
Pada punggungnya terdapat garis merah bekas lecutan cambuk. Ia berusaha bergerak
bangkit dengan wajahnya berkerut-kerut menahan sakit.
"Manusia pemalas...!" lagi-lagi Jonggala memaki marah. Cambuk di tangannya
kembali meluncur. Tidak ada rasa iba sedikit pun di hatinya. Padahal, lelaki itu
tengah susah-payah hendak bangkit.
Terdengar jeritan kesakitan ketika ujung cambuk Jonggala menyengat tubuh kurus
itu. Sehingga, untuk kedua kalinya pekerja itu menggeliat dan terjerembab jatuh.
Kali ini ia tidak mampu segera bangkit. Dari mulutnya yang mengalirkan darah
segar terdengar erang kesakitan.
Peristiwa itu sedikit pun tidak membuat pekerja yang lainnya berhenti. Mereka
berpura-pura tidak melihat penderitaan kawannya, dan terus bekerja. Karena
Suling Emas Dan Naga Siluman 10 Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur Sepasang Pedang Iblis 13