Pencarian

Partai Rimbah Hitam 2

Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam Bagian 2


tidak dapat mendesak lawan yang memang berkepandaian jauh lebih tinggi darinya.
Orang tua bertubuh jangkung yang menyamar sebagai Ki Ageng Sampang itu bergerak
lincah menghindari setiap serangan yang dilancarkan Pendekar Tangan Sakti dengan
mulus. Bahkan sesekali masih sempat melontarkan pukulan berbahaya ke arah
pendekar itu. Sementara itu, delapan orang Pendekar Gunung Salaka lain sudah pula terlibat
dalam pertarungan yang berat sebelah. Mereka harus mengerahkan seluruh kemampuan
untuk membendung serangan Ular Muka Kuning dan Setan Cantik yang dibantu delapan
orang penghadang tadi.
Tentu saja keadaan itu membuat delapan orang Pendekar Gunung Salaka terdesak
hebat! Kalau saja Ular Muka Kuning dan Setan Cantik tidak dibantu delapan orang
lainnya, tentu delapan Pendekar Gunung Salaka itu masih dapat mengimbanginya.
Namun sekarang" Maka, keadaannya pun kini menjadi terbalik.
Pada jurus kesembilan belas, tiga orang dari para Pedekar Gunung Salaka itu
menjerit tinggi. Tubuh mereka terlempar akibat pukulan yang dilontarkan Ular
Muka Kuning dan Setan Cantik. Tiga orang pendekar itu terbanting dengan isi
perut hancur. Tewas seketika.
Melihat keadaan itu, bukan main marahnya hati para Pendekar Gunung Salaka! Tapi
biar menggunakan seluruh tenaga dan kepandaian, tetap saja keadaan mereka tidak
berubah! Bahkan lebih buruk dalam menghadapi lawannya.
Brettt! Brettt!
"Aaakh.!"
Kembali terdengar jerit kematian yang dibarengi melambungnya dua orang Pendekar
Gunung Salaka yang lainnya. Ternyata mereka tersambar pedang lawan dan tewas
seketika dengan luka memanjang di tubuh. Tiga orang lainnya yang tersisa
seketika tersentak mundur disertai wajah pucat. Hati mereka benar-benar terpukul
menyaksikan kawan-kawannya dibantai di depan mata tanpa mampu berbuat apa-apa
Di arena lain, keadaan Pendekar Tangan Sakti pun tidak berbeda jauh. Keadaannya,
bagai telur di ujung tanduk yang sewaktu waktu jatuh dan hancur. Diam-diam hati
Pendekar Tangan Sakti mengeluh ketika merasakan kalau kepandaian lawannya
ternyata sangat tinggi. Apalagi ketika mendengar suara jerit kematian kawan-
kawannya. Hati Pendekar Tangan Sakti bagaikan teriris. Memang mereka sama sekali tidak
mengetahui apa sebabnya hingga orang-orang itu sampai menyerang mereka.
Desss! "Aaahhhkkk...!"
Tubuh Pendekar Tangan Sakti terjungkal ketika sebuah tendangan sangat keras dari
lawannya telah menghantam dadanya! Darah segar menyembur diiringi teriakannya
yang parau. Ternyata Pendekar Tangan Sakti harus membayar mahal akibat
kelalaiannya itu! Di saat tubuhnya masih bergulingan, serangan lawannya kembali
datang untuk segera membinasakan Pendekar Tangan Sakti.
Wuttt! Plakkk! "Aihhh...!"
Pukulan maut yang semula hendak menghabisi nyawa Pendekar Tangan Sakti itu,
berhasil disampok oleh sesosok bayangan merah yang tiba-tiba saja melesat di
antara keduanya. Namun, bayangan merah itu menjerit tertahan dan tubuhnya
terpelanting akibat menangkis pukulan yang bertenaga dalam kuat itu! Meskipun
demikian, bayangan merah itu telah berhasil menyelamatkan nyawa Pendekar Tangan
Sakti dari kematian!
Berbarengan dengan kejadian itu, ditempat Iain, tiga orang Pendekar Gunung
Salaka tengah terdesak hebat.
Mereka tak dapat lagi menyelamatkan diri dari sabetan senjata tiga orang
lawannya. Brettt! Brettt!
"Aaahk...!"
Bresss! "Wuaaa...!"
Tubuh ketiga orang Pendekar Gunung Salaka itu terpelanting tersabet senjata
lawan-lawannya! Darah segar menghambur keluar dari luka yang menganga di tubuh
mereka. Ketiganya terbanting tewas seketika tanpa ampun lagi.
Pada saat ketiga orang Pendekar Gunung Salaka itu terpelanting, mendadak
meluncur ke tengah arena sesosok tubuh yang mengeluarkan sinar berwarna putih
keperakan. Kedua telapak tangannya didorongkan ke depan. Seketika serangkum
angin yang berhawa dingin luar biasa berhembus keras, bagaikan badai salju yang
menggetarkan udara di sekitar arena pertarungan itu.
Ular Muka Kuning, Setan Cantik, dan kedelapan orang lainnya, langsung
terjengkang bagaikan diterpa angin
topan dahsyat! Tiga orang terdepan yang telah menewaskan tiga Pendekar Gunung
Salaka, kontan tewas dengan tubuh kebiruan! Sedangkan lima orang lainnya
bergelimpangan pingsan, akibat dorongan dahsyat itu.
Hanya dua orang yang masih dapat bertahan akibat dorongan luar biasa tadi.
Mereka adalah Ular Muka Kuning dan Setan Cantik! Namun, Keduanya tetap saja tak
luput dari serangan pukulan berhawa dingin luar biasa itu.
Tubuh dua tokoh itu menggigil bagaikan terserang demam tinggi! Cepat-cepat
mereka mengatur pernapasan untuk mengusir hawa dingin yang mengeram dalam tubuh.
"Pendekar Naga Putih...!" teriak Ular Muka Kuning dan Setan Cantik berbarengan,
dengan wajah memucat!
Keduanya tersentak mundur dengan gerakan limbung.
Pandangan mata mereka terpancar rasa gentar yang tak dapat disembunyikan.
*** 4 Memang tidak salah apa yang diteriakkan Ular Muka Kuning dan Setan Cantik itu.
Di hadapan mereka berdiri sesosok tubuh yang terselimut selapis kabut putih
keperakan! Siapa lagi kalau bukan Pendekar Naga Putih, yang datang bersama Dewi
Tangan Merah. "Kakang Panji, mereka itu tokoh-tokoh sesat yang berjuluk Ular Muka Kuning dan
Setan Cantik! Sedangkan orang tua bertubuh jangkung itu kalau tidak salah si
Setan Muka Seribu!" kata Dewi Tangan Merah yang tahu-tahu saja sudah berada di
samping Panji, bersama Pendekar Tangan Sakti yang telah ditolong oleh bayangan
merah, dan ternyata Sundari. Dan memang tidak mampu kalau untuk melindungi
Pendekar Tangan Sakti terus-menerus dari ancaman Setan Muka Seribu yang memiliki
kepandaian lebih tinggi darinya.
"Eh! Bagaimana kau bisa mengenali mereka, Adik Sundari" Apakah kau pernah
bertemu atau mengenal mereka sebelumnya?" tanya Panji sambil menolehkan kepala
menatap gadis jelita berbaju merah itu. Masalahnya, dalam usia semuda itu
Sundari sudah memiliki pengetahuan luas tentang tokoh-tokoh rimba per silatan.
Benar-benar seorang gadis hebat!
"Tentu saja mengenal mereka. Bahkan pernah merasakan kelihaian masing-masing!
Dan di antara mereka bertiga, hanya Setan Muka Seribu-lah yang paling tinggi
kepandaiannya. Rasanya aku pun tidak akan sanggup untuk menghadapinya, Kakang,"
jawab Dewi Tangan Merah sejujurnya.
"Tapi, bagaimana kau bisa mengenali Setan Muka Seribu yang kini menyamar sebagai
Algojo Gunung Sutra?" tanya Panji penasaran.
"Benar! Sedangkan aku saja masih dapat ditipuya, hingga tidak mengenali sama
sekali!" timpal Pendekar Tangan Sakti juga merasa heran, kerena ia sendiri tidak
dapat membedakannya.
"Semula aku memang menganggap orang tua itu sebagai Algojo Gunung Sutra. Tapi
ketika menangkis pukulannya yang diarahkan kepada Pendekar Tangan Sakti, aku
baru dapat mengenali. Sebab pukulan yang digunakannya sudah pernah membuatku
terluka dalam! Bahkan mungkin akan tewas, kalau saja pada saat itu guruku tidak datang
menyelamatkanku. Itulah sebabnya, Kakang. Mengapa aku dapat mengenali manusia
busuk yang sangat berbahaya itu. Rasanya aku tak sabar ingin melihat dia pergi
ke neraka!" Dewi Tangan Merah mengakhiri cerita. Kata-katanya yang terlontar
memang mengandung kegemasan.
"Hm..., berarti satu teka-teki terjawab sudah. Pantas saja Paman Ranjita sampai
tidak dapat membedakan antara Algojo Gunung Sutra yang asli dan yang tiruannya.
Bahkan aku sendiri pun tidak dapat membedakan, apabila tidak bertanding dulu
sebelumnya atau melihat gerakannya!"
ujar Panji. Setelah berkata demikian, kembali dilayangkan pandangannya ke arah
tiga tokoh sesat yang juga telah berkumpul itu.
"Huaaakkk...!" tiba tiba Pendekar Tangan Sakti kembali memuntahkan darah
berwarna agak kehitaman!
"Uh, rupanya pukulan iblis itu telah mengakibatkan luka cukup parah dalam
dadaku," keluh Pendekar Tangan Sakti yang wajahnya agak memucat. Sementara kedua
tangan menekap dadanya yang terasa nyeri dan sesak
"Cepatlah telan obat ini, Paman. Obat ini manjur sekali untuk menyembuhkan luka
dalam akibat pukulan-pukulan beracun," Pendekar Naga Putih, menyerahkan sebutir
pil berwarna hijau.
Pendekar Tangan Sakti segera menerima pil itu, dan tanpa ragu-ragu lagi segera
dimasukkan ke dalam mulutnya. Beberapa saat setelah menelan pil yang berwarna
hijau itu, Pendekar Tangan Sakti mulai merasakan keampuhan obat yang diberikan
Pendekar Naga Putih.
Hawa hangat mulai menebar dari bawah pusarnya dan terus mendorong ke dada. Tidak
lama kemudian, Pendekar Tangan Sakti kembali memuntahkan segumpal darah kental
berwarna kehitaman. Dan kini berangsur-angsur tubuhnya segar dan ringan. Dengan
penuh rasa heran segera dicobanya untuk mengerahkan hawa murni.
Dan kembali pendekar itu merasa terheran-heran, ketika merasakan aliran hawa
murninya lebih kuat dari semula.
"Wah! Obat ini sungguh hebat, Panji! Terima kasih atas pertolongan memberikan
obat itu kepadaku," ucap Pendekar Tangan Sakti sambil berkali-kali membungkukkan
tubuhnya kepada Panji, dengan wajah berseri-seri
"Ah! Sudahlah, Paman. Di antara kawan sendiri mengapa harus sungkan-sungkan,"
ujar Pendekar Naga
Putih yang bersikap wajar, seolah-olah sama sekali tidak ingin dipuji.
Setelah berkata demikian, Panji segera melangkah mendekati tiga tokoh sesat yang
telah membuat geger dunia persilatan. Bahkan sepak terjangnya telah meresah-kan
dua buah partai besar yaitu Perguruan Gunung Salaka dan Perguruan Gunung Sutra.
Akibatnya kedua pertai besar itu saling memusuhi satu sama Iain. (Untuk lebih
jelas, baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode:
"Algojo Gunung Sutra").
"Hm.... Setan Muka Seribu, apa maksudmu membuat kemelut dalam rimba hijau"
Akibatnya kau tahu"! Telah terjadi permusuhan antara tokoh-tokoh golongan putih
dari dua partai terbesar pada saat ini" Tidakkah kau sadar bahwa perbuatanmu itu
telah memecah belah rimba persilatan golongan putih" Dan kau tahu, hukuman apa
yang pantas untukmu apabila kau kuhadapkan kepada mereka?" ancam Panji dengan
sinar mata berkilat penuh kemerahan. Meskipun demikian, sikap pemuda digdaya itu
masih saja terlihat tenang. Kalau saja sinar mata itu tidak berkilat, pasti
ketiga tokoh sesat itu akan terbahak-bahak mendengar pertanyaan yang bernada
bodoh itu. "Huh! Pendekar Naga Putih. Janganlah kau kira kami takut pada ilmu-ilmumu yang
mengerikan itu! Ketahuilah, bahwa pada saat ini kau tengah berhadapan dengan
orang-orang Partai Rimba Hitam! Dan akan kau rasakan akibatnya, karena berani
mencampuri urusan kami," ujar Setan Muka Seribu disertai tawa yang tidak enak
didengar telinga.
"Partai Rimba Hitam...! Bagus! Memang aku sudah
lama ingin mengetahui macam apa partai yang kau sebutkan Itu. Dan aku harus
dapat menyeretmu menghadap Ketua Perguruan Gunung Salaka dan Gunung Sutra untuk
memperjelas persoalannya. Nah! Bersiaplah!"
belum lagi gema suaranya hilang, tiba-tiba tubuh pemuda sakti itu sudah melesat
ke arah tiga orang tokoh sesat yang memang sudah bersiap sejak tadi.
Wuttt! Serangkum angin dingin berhembus keras mendahului serangan yang dilancarkan
Panji. Selapis kabut tipis putih keperakan sudah pula menyelimuti sekeliling
tubuhnya. Suatu tanda bahwa pendekar muda itu telah mengerahkan lebih dari separuh tenaga
saktinya. Betapa hebat serangan yang dilancarkan Pendekar Naga Putih itu.
Ketiga orang tokoh sesat yang sudah memiliki pengalaman bertanding dan selama
malang melintang dalam rimba persilatan, merasa terkejut sekali ketika merasakan
hawa di sekitarnya menjadi sangat dingin.
Seolah-olah mereka bertiga dikelilingi dinding-dinding salju yang tak tampak.
Sehingga untuk beberapa saat lamanya, mereka hanya dapat terpaku kebingungan.
Dan ketiganya baru tersentak pucat, ketika serangan Panji hampir saja merenggut
nyawa mereka. Dengan gerakan terburu-buru, mereka segera berlompatan mundur
untuk menghindari serangan yang mengandung hawa maut itu! Setelah berhasil
menghindari serangan Panji, ketiganya segera menyebar dan menyerang pemuda
digdaya itu dari tiga jurusan.
Menghadapi keroyokan Ular Muka Kuning, Setan Cantik, dan Setan Muka Seribu,
bukanlah suatu hal yang
mudah. Sebab ketiganya adalah tokoh golongan hitam yang memiliki kepandaian
tinggi. Rasanya jarang orang yang dapat menghalangi kejahatan mereka. Sehingga,
nama ketiga tokoh sesat itu, bukanlah nama asing bagi dunia rimba hijau. Tak
heran kalau Panji menjadi sibuk menghadapinya. Sehingga untuk beberapa jurus
lamanya, ia masih belum dapat mendesak lawan lawannya itu.
Bahkan setelah melewati belasan jurus, beberapa serangan lawan-lawannya hampir
mengenai tubuhnya. Tentu saja hal itu sangat mengagetkan hati Pendekar Naga
Putih itu. Panji memang mengetahui kalau tiga orang lawannya adaiah tokoh-tokoh sesat
berkepandaian tinggi. Namun yang dialami justru di luar dugaannya sama sekali.
Sehingga, hampir saja tubuhnya terluka oleh pukulan-pukulan lawan yang memang
berbahaya itu. Dan hal itu merupakan suatu pelajaran yang sangat berharga bagi
Panji! Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti yang melihat keadaan Panji, segera
melesat dan langsung memasuki arena pertempuran. Mereka segera memilih lawan
masing-masing. Dewi Tangan Merah segera menghadang serangan Setan Cantik. Dalam beberapa saat
saja kedua orang wanita yang sama-sama cantik dan berilmu tinggi itu, segera
teriibat dalam pertarungan sengit!
Serangan-serangan yang dilancarkan Setan Cantik, memang tidak bisa dianggap
remeh! Jari-jari kedua tangannya yang berkuku runcing itu benar-benar merupakan
senjata yang sangat ampuh dan berbahaya.
Kecepatan gerakan kedua tangannya memang patut dipuji!
Di saat kedua tangan Setan Cantik berputar, Dewi Tangan Merah membungkukkan
tubuhnya sambil merendahkan kuda-kudanya. Sehingga, kedua tangan yang saling susul menyusul itu lewat di atas kepalanya. Namun tanpa disangka-sangka
tahu-tahu saja tangan kanan Setan Cantik hampir mencapai lehernya!
Tidak percuma kalau Sundari dijuluki Dewi Tangan Merah. Karena meskipun dalam
keadaan sulit, dia masih dapat menyelamatkan lehernya dari cengkraman kuku-kuku
lawan. Denyan sebuah hentakan keras, tubuh Sundari melambung ke atas, setelah
terlebih dahulu mengegoskan tubuhnya ke kiri. Hasilnya, cakaran Setan Cantik
lolos, bahkan Sundari berhasil keluar dari kurungan sepasang tangan yang
memiliki kecepatan mengejutkan itu.
"Huh! Setan belang! Rupanya kau tidak tahu dikasihi orang, heh! Kalau begitu
terimalah hukuman dariku ini!
Bersiaplah!" Dewi Tangan Merah segera mengeluarkan ilmu andalannya, 'Tangan
Pasir Merah', yang telah mengangkat namanya dalam dunia persilatan! Pelahan-
lahan kedua tangannya mulai memerah hingga sebatas siku.
Hawa panas pun mulai menebar dari kedua belah lengan yang memerah itu.
"Haittt...!" dibarengi sebuah teriakan nyaring. Dewi Tangan Merah segera
melancarkan serangan yang mengandung hawa panas.
Setan Cantik ternyata sudah pula mempersiapkan ilmu andalan untuk menghadapi
lawan yang sudah beberapa kali bentrok dengannya itu. Dengan jurus 'Setan Cantik
Menolak Rayuan', tubuhnya segera melesat memapak
serangan lawan. Dan tanpa dapat dicegah lagi, kedua pasang tangan mungil namun
berhawa maut itu pun berbenturan di udara.
Dubbb! "Aihhh...!"
Terdengar suara bagaikan api disiram air, berbareng terpentalnya dua sosok tubuh
ramping beberapa tombak ke belakang. Juga, terdengar jeritan tertahan yang
keluar dari mulut Setan Cantik. Tubuhnya terbanting ke tanah, namun dengan
gerakan gesit segera melenting berdiri.
Meski gerakannya tedihat sedikit limbung, tapi sama sekali tidak mengalami luka
di tubuhnya. Hanya tangan bajunya yang hancur, akibat benturan tadi.
Dewi Tangan Merah yang tidak kurang suatu apa itu, kembali menyerang ganas Setan
Cantik itu. Maka wanita dari golongan sesat itu segera menyambutnya. Seketika
pertarungan dua wanita yang sama-sama cantik itu kembali terjadi. Semakin sengit
dan mendebarkan!
Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan tanpa disadari keduanya, mereka telah
bertempur lebih dari lima puluh jurus. Dan setelah melewati jurus kelima puluh


Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lima, jelas terlihat bahwa Dewi Tangan Merah mulai dapat menguasai lawannya.
Gadis yang bernama Sundari itu memaksa lawannya untuk bermain mundur, tanpa
sekali pun memberi kesempatan membalas. Hingga satu ketika, Setan Cantik
terpaksa harus merelakan hantaman mengandung tenaga 'Pasir Merah' mampir di
punggungnya. Bukkk! "Aughhh...!" tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Setan
Cantik terpelanting keras. Tokoh sesat itu langsung memuntahkan darah agak
kehitaman akibat pukulan yang dilontarkan Dewi Tangan Merah. Belum lagi Setan
Cantik berhasil memperbaiki kuda kudanya, tahu-tahu tubuh Dewi Tangan Merah
sudah melayang ke arahnya disertai sebuah tendangan maut!
Desss! "Ngkkk...!" tubuh Setan Cantik terjerembab ke belakang, ketika tendangan terbang
yang dilakukan Sundari tepat bersarang di dadanya! Setelah menggeliat sejenak,
tubuh molek itu pun diam tak bergerak lagi. Dia tewas di tangan Sundari setelah
melalui pertempuran melelahkan.
Baru saja Sundari dapat menarik napas lega, tiba-tiba terdengar sebuah jeritan
keras. Di susul kemudian dengan jatuhnya sesosok tubuh tegap di samping Dewi
Tangan Merah. Gadis itu segera memburunya dengan wajah cemas.
"Kakang Wija, kau tidak apa-apa?" seru Dewi Tangan Merah sambil mengangkat tubuh
yang tergolek di sampingnya itu.
Orang yang di panggil Wija itu segera berusaha bangkit dengan susah payah.
Rupanya, dia adalah Pendekar Tangan Sakti yang bernama Wijasena. Memang, dia
tadi memilih lawan Ular Muka Kuning untuk bertarung. Dan laki-laki bermuka
kuning itu memang masih sedikit lebih unggul dari Pendekar Tangan Sakti. Pada
kenyataannya, dia telah berhasil mendaratkan pukulan pada lambung Pendekar
Tangan Sakti pada saat memasuki jurus keempat puluh sembilan.
Dewi Tangan Merah yang tengah berusaha menolong Pendekar Tangan Sakti, merasa
terkejut sekali ketika merasakan sambaran angin tajam menuju ke arahnya.
Cepat dikerahkan 'Tenaga Sakti Pasir Merah' yang disertai dorongan telapak
tangannya sambil mengerahkan jurus
'Tangan Pasir Merah', ke arah sambaran angin keras itu.
Bresss! "Aiii...!" Dewi Tangan Merah berseru tertahan ketika merasakan betapa kuatnya
tenaga yang terkandung dalam serangan lawan. Tubuhnya terdorong sejauh tujuh
langkah. Lengannya terasa bergetar dan nyeri akibat benturan itu.
Sedangkan Ular Muka Kuning hanya terdorong sejauh empat langkah. Dari sini saja
sudah dapat dinilai bahwa kepandaian laki-laki bermuka kuning itu lebih tinggi
setingkat daripada Dewi Tangan Merah. Dan tentu saja hal itu membuat Ular Muka
Kuning semakin berani melontarkan serangan-serangan, sehingga membuat Dewi
Tangan Merah kewalahan.
Di arena lain, Setan Muka Seribu tengah berusaha mati-matian menyelamatkan diri
dari ancaman cakar naga yang dilancarkan Pendekar Naga Putih. Gerakan pemuda
sakti itu, benar-benar membuatnya kelabakan. Sebab ke mana saja tubuhnya
mengelak, selalu saja tangan pemuda itu seolah-olah berada dekat tubuhnya.
Sehingga Setan Muka Seribu merasa seperti bertarung melawan bayangannya sendiri.
Tidak bisa dipungkiri, betapa ngeri hatinya menghadapi kenyataan seperti itu.
Hingga pada jurus yang ketiga puluh satu, Setan Muka Seribu tidak dapat lagi
menghindari sebuah hantaman ke
arah lambungnya. Kedua tangan Pendekar Naga Putih dengan jari-jari terbuka itu
berkesiut membeset udara, dan kecepatannya sukar ditangkap mata biasa.
Wukkk! Tasss! "Aughhh...!"
Tubuh Setan Muka Seribu terguling ketika jari-jari tangan Panji yang dialiri
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', tepat menghantam lambungnya. Untunglah tenaga
dalam yang dikerahkan Panji hanya separuhnya. Tubuh Jangkung itu terbungkuk-
bungkuk menahan rasa nyeri yang luar biasa pada lambungnya. Giginya
bergemeletukkan bagai orang kedinginan! Rupanya hawa dingin dari tenaga sakti
Panji, ikut pula menambah beban orang tua yang menyamar sebagai Algojo Gunung
Sutra itu. Dan sebelum Setan Muka Seribu dapat mengatasi keadaan, sebuah totokan maut telah
melumpuhkan seluruh urat saraf di tubuhnya. Seketika tokoh itu ambruk bagaikan
sehelai karung basah, akibat totokan Panji.
Namun baru saja Pendekar Naga Putih akan membawanya, tiba-tiba terdengar suara
mencicit tajam, dan dibarengi lesatan sesosok tubuh kurus ke arah Panji.
Menghadapi serangan yang mengandung tenaga dahsyat itu, Panji tidak ingin
menanggung resiko. Cepat-cepat kedua tangannya bergerak disertai pengerahan
tenaga saktinya. Serangkum angin dingin menebar menyongsong angin tajam tadi.
Dan.... Blarrr! Hebat luar biasa akibat benturan dua gelombang tenaga sakti yang dahsyat itu!
Ular Muka Kuning, Dewi Tangan
Merah, dan Pendekar Tangan Sakti yang bertarung tidak jauh dari tempat benturan
tadi, langsung terjengkang ke belakang. Memang, secara tiba-tiba saja dirasakan
sesuatu yang tak tampak telah menggetarkan dada mereka.
Sehingga, jalan napas seolah-olah tertutup getaran udara yang ditimbulkan
benturan dua gelombang tenaga dahsyat tadi. Sejenak ketiganya sama-sama terdiam
dengan wajah memucat!
Sedangkan kedua orang yang mengalaminya secara langsung, tentu saja akibatnya
lebih hebat lagi. Tubuh mereka masing-masing terpental ke belakang bagai sehelai
daun kering tertiup angin. Dan masing-masing pula menabrak sebatang pohon hingga
tumbang! Dengan gerakan limbung, keduanya segera bangkit dan sating menatap
tajam. Di mata mereka masing-masing terpancar rasa kagum yang tak dapat
disembunyikan "Bocah setan! Gila! Tidak kusangka tenaga dalammu ternyata begitu kuat! Huh!
Hampir saja aku dipecundangi dalam segebrakkan tadi."
Terdengar umpatan dari sosok bertubuh kurus dengan suara yang melengking tinggi.
Tubuhnya yang hanya setinggi telinga Panji itu, tampak telah bongkok. Dari ciri-
cirinya saja sudah dapat diduga kalau sosok itu adalah seorang nenek tua yang
usianya sekitar enam puluhan tahun. Nenek itu terus mengomel panjang pendek
tanpa mempedulikan yang lainnya.
"He he he.... Tidak percuma kau berjuluk Pendekar Naga Putih, bocah! Tenagamu
lumayan. Eh murid siapakah kau, bocah?" tanya nenek bongkok itu sambil
tersenyum. Namun senyum yang menurutnya adalah
senyum yang paling manis itu, tidak lebih dari sebuah seringai yang membuat
wajahnya semakin tak sedap dipandang.
"Hm.... Kau sudah mengenalku sebagai Pendekar Naga Putih, itu sudah cukup. Dan
tidak perlu lagi bertanya-tanya tentang guruku! Sebaiknya segeralah kau sebutkan
namamu, dan apa maksudmu mencampuri urusanku?"
ucap Panji yang tidak menanggapi pertanyaan nenek bongkok itu, tanpa rasa gentar
sedikit pun! "Kurang ajar, bocah sombong! Apa dikira setelah kau mendapat julukan Pendekar
Naga Butut dapat berbuat sesuka hati di hadapan Nyai Serondeng"! Huh! Kau memang
harus merasakan kerasnya tongkat hitamku. Nah, bersiaplah bocah!" dengus nenek
bongkok yang mengaku bernama Nyai Serondeng itu, sambil melintangkan tongkatnya
di depan dada. Terdengar angin berkesiutan ketika nenek itu menggerakkan
tongkatnya secara mendatar. Tentu saja hal itu semakin membuat Panji terkejut
dan berhati-hati. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dicabut pedang yang
selalu melilit di pinggangnya.
Singgg! Suara pedang di tangan Panji mengaung membelah udara. Panji yang telah merasakan
kelihaian lawannya, rupanya tidak ingin mau main-main lagi. Kini dengan pedang
di tangan, Pendekar Naga Putih siap-slap menghadapi serangan lawan.
Sementara itu, Nyai Serondeng sudah memutar-mutar tongkatnya di atas kepala.
Hebat, luar biasa! Tiba tiba saja arena pertempuran, bagaikan dilanda angin
topan dahsyat! Daun-daun kering dan debu beterbangan akibat angin yang ditimbulkan putaran
tongkat Nyai Serondeng. Benar-benar seorang lawan yang tangguh buat Panji!
"Hebat! Siapakah sebenarnya nenek ini" Dan apa hubungannya dengan Setan Muka
Seribu" Mengapa setiap kali Setan Muka Seribu dalam bahaya, ia selalu muncul
untuk menolongnya?" gumam Panji, dalam hati.
"Kakang Panji, berhati-hatilah. Kepandaian nenek itu sangat tinggi. Bahkan
menurut guruku, kepandaiannya lebih tinggi dari beliau sendiri!" Dewi Tangan
Merah memperingatkan Panji, sambil menggenggam tangan pemuda digdaya itu.
Sementara itu, Pendekar Tangan Sakti yang juga telah berada dekat Panji, menjadi
heran sekali. Karena, dalam seharian ini saja, ia telah bertemu tokoh-tokoh
sakti yang jarang dilihatnya. Sejenak ia termenung memikirkan kejadian
sebenarnya yang telah menimpa Perguruan Gunung Salaka, sehingga melibatkan
sedemikian banyak orang berkepandaian tinggi"!
*** 5 "Yeaaattt...!"
Diiringi sebuah pekikan panjang yang melengking nyaring, tubuh Nyai Serondeng
melayang cepat bagai kilat ke arah Panji. Tongkat kepala ularnya menderu-deru
dan berputar membentuk gulungan sinar yang berwarna kehitaman. Dan tahu-tahu
saja, ujung tongkat itu telah meluncur ke dada Panji disertai suara mencicit
tajam. Pendekar Naga Putih yang telah menduga kehebatan lawannya, melenting ke atas
dibarengi tusukan pedangnya yang mengancam ubun-ubun lawan. Namun dengan gerakan
cepat luar biasa, tahu-tahu tongkat di tangan lawan telah berputar menangkis
tusukan pedangnya. Panji yang mengetahui kalau posisinya sangat lemah dalam adu
tenaga, segera menarik pulang senjatanya. Tubuhnya langsung berputar melampaui
kepala lawan sambil melepaskan tiga buah tendangan berturut-turut Plak! Plak!
Plak! Hebat! Dengan gerakan mengagumkan, Nyai Serondeng menggerakkan tangan sebanyak
tiga kali. Maka serangan Panji kandas akibat tangkisan nenek sesat itu.
Diam-diam perempuan itu terkejut juga ketika tangannya yang dipakai menangkis
tadi terasa kesemutan.
"Hm.... Pemuda ini benar-benar berisi," puji Nyai Serondeng dalam hati.
Sedangkan Panji yang menerima tangkisan itu menjadi kaget ketika dari telapak
tangan si nenek berhembus
serangkum angin yang berhawa panas. Dan ini sempat membuat kakinya terasa nyeri
untuk beberapa saat.
"Gila! Tenaga nenek itu ternyata lebih hebat dari dugaanku semula!" gerutu Panji
bernada penasaran.
Namun di balik rasa penasarannya, timbul pula kegembiraan karena saat ini telah
menemukan lawan yang benar-benar tangguh. Dan sebagaimana sifat-sifat ahli silat
pada umumnya, rupanya Panji pun telah pula bersifat demikian. Dia selalu ingin
mencoba apabila ada orang yang memiliki kepandaian silat sebanding, atau bahkan
lebih darinya. Dan untuk pertama kalinya, Panji telah pula terbawa sifat seperti
itu tanpa disadarinya. Maka ketika merasakan kepandaian Nyai Serondeng yang
belum tentu berada di bawah kepandaiannya, timbullah semangat Panji untuk
menguji ilmunya.
Sementara itu, Nyai Serondeng kembali sudah menerjang mempergunakan tongkat
kepala ularnya.
Gagang tongkat itu berkelebat menyambar-nyambar tubuh lawan. Udara di sekitar
arena pertarungan bagaikan bergetar, setiap kali tongkat berkepala ular itu
bergerak bersilangan.
Hawa sedingin salju berhembus bila Panji mengibaskan pedangnya. Namun di lain
saat, hawa di arena pertarungan segera berubah panas, karena hawa yang keluar
dari sambaran-sambaran tongkat berkepala ular milik Nyai Serondeng!
Setelah merasakan kelihaian perempuan tua itu, kini Panji tidak ingin main-main
lagi. Dengan mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya, pemuda itu segera
menyambut dan membalas serangan Nyai Serondeng.
Maka terjadilah pertarungan dahsyat dan mendebarkan.
Kabut putih keperakan yang selalu menyelimuti tubuh Panji, semakin melebar
karena pengerahan tenaga dalam yang hampir sepenuhnya itu. Hawa sedingin salju
berhembus di sekitar arena pertarungan. Namun di lain saat, hawa di arena
pertarungan segera berubah panas, karena hawa yang keluar dari sambaran-sambaran
tongkat berkepala ular milik Nyai Serondeng.
Lima puluh jurus telah terlewati. Sampai saat ini, sama sekali belum terlihat
siapa yang akan memenangkan pertarungan tingkat tinggi itu. Sedangkan arena
pertarungan sudah porak-poranda akibat terlanggar senjata senjata mereka. Daun-
daun pohon di sekitarnya berjatuhan karena pukulan maupun sambaran senjata
masing-masing. Pada jurus yang kelima puluh delapan, Panji mulai melihat kelemahan pertahanan
lawan. Segera saja ditusukkan pedangnya dengan penuh tenaga!
Siiinggg! Suara angin pedang Pendekar Naga Putih mencicilt tajam disertai hembusan angin
yang menggigilkan tubuh.
Dan kalau saja serangan itu mengenai sasaran dapat dipastikan akan tamatlah
riwayat Nyai Serondeng!
Namun, Nyai Serondeng bukanlah tokoh sembarangan.
Kepandaian nenek kurus ini, hebat sekali. Sehingga, tokoh-tokoh sesat seperti
Ular Muka Kuning atau Setan Muka Seribu, sangat takut dan tunduk kepadanya. Dan
selama puluhan tahun Nyai Serondeng berkeliaran di rimba hijau, entah telah
berapa ratus nyawa yang telah direnggutnya secara kejam. Memang, karena
kepandaiannya yang tidak lumrah itu, sehingga nenek kurus itu di-
juluki Nenek Tongkat Maut. Bahkan telah diangkat sebagai datuk sesat di wilayah
Selatan. Jadi tidak heran kalau ia dapat mengimbangi permainan Panji. Bahkan
bukan tidak mungkin kalau kepandaian keduanya berimbang!
Nyai Serondeng terkejut ketika melihat pedang lawannya meluncur cepat ke
arahnya. Karena tidak melihat jalan lain, perempuan itu segera menyabetkan
tongkatnya memapak pedang Panji.
Tranggg! Bunga api berpijar ketika dua buah senjata yang sama-sama dialiri tenaga dalam
tinggi itu, saling berbenturan di udara. Tubuh Panji dan Nyai Serondeng
terpental akibat benturan yang maha dahsyat itu! Kedua orang sakti itu langsung
berputaran beberapa kali di udara untuk mematahkan daya dorong benturan itu.
Begitu mendarat di tanah, mereka segera memeriksa senjata masing-masing. Setelah
memastikan kalau tidak mengalami kerusakan, kedua orang itu kembali saling
bertatapan bagaikan dua ekor ayam jantan yang hendak berlagak.
"Hm.... Sayang, aku tidak mempunyai banyak waktu, bocah! Biarlah lain waktu kita
lanjutkan permainan yang menyenangkan ini," begitu ucapnya selesai, Nyai
Serondeng melemparkan sebuah benda sebesar telur puyuh.
Darrr! Pendekar Naga Putih Panji segera melenting ke belakang untuk menghindari asap
pembius yang dilemparkan perempuan itu. Demikian pula Dewi Tangan Merah dan
Pendekar Tangan Sakti yang sudah melompat jauh ke belakang, menghindari gulungan
asap tebal yang
berwarna putih.
Panji mengerutkan keningnya. Ketika asap itu hilang, hilang pula tiga orang
musuhnya. Dan itu berarti lenyap pula petunjuk yang semula berada di depan mata.
Pemuda sakti itu merasa terpukul, karena untuk kedua kalinya kembali terkecoh
oleh Nyai Serondeng. Dengan diikuti Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti,
Panji mengayunkan langkahnya meninggalkan bekas arena pertarungan. Kini di
tempat itu kembali sunyi, seperti tidak pernah terjadi apa apa. Yang ada kini
hanya mayat Setan Kali Gantang dan anak buahnya, ditambah murid murid Perguruan
Gunung Salaka Bau anyir darah mulai menyebar ke sekitarnya.
*** Pendekar Naga Putih, Dewi Tangan Merah, dan Pendekar Tangan Sakti berjalan
memasuki sebuah mulut desa. Jalan utama desa itu, tampak agak sepi. Di kanan
kiri jalan, teriihat kedai-kedai makan yang hanya dikunjungi beberapa orang
saja. Maklumlah hari mulai beranjak sore, sehingga para petani dan pedagang
belum lagi menyelesaikan tugasnya. Masing-masing masih disibuki pekerjaannya.
Ketiga orang pendekar itu melangkah memasuki sebuah kedai makan yang letaknya
agak di sudut jalan.
Mereka sengaja memilih kedai yang terlihat agak sepi, agar dapat menikmati
hidangan dengan tenang.
Setelah mengambil tempat, ketiganya segera memesan makanan. Sebentar kemudian
makanan tiba, dan mereka segera menyantapnya pelahan-lahan. Tidak satu pun dari
ketiganya yang mengeluarkan suara. Entah sedang menikmati hidangan yang terasa
lezat, atau tengah melamun. Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.
Setelah menyelesaikan makan, Panji menggerakan tangannya memanggil pelayan yang
tadi mengantarkan makanan untuk mereka.
"Paman, apakah kedai ini juga menyediakan kamar menginap?" tanya Panji kepada
pelayan setengah tua.
"Oh! Ada... ada, Tuan Muda. Apakah Tuan bertiga ingin menginap di sini?" sahut
palayan tua itu dengan wajah gembira. Wajarlah kalau dia merasa gembira sebab


Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jarang sekali orang yang mau menginap di tempatnya.
Pedagang-pedagang keliling atau pun pelancong, lebih suka memilih penginapan
yang besar dan bagus.
Panji memesan dua buah kamar. Satu untuk Sundari dan satu lagi untuk dirinya dan
Pendekar Tangan Sakti atau yang bernama Wijasena. Begitu selesai makan,
ketiganya segera beranjak dari meja. Dan memasuki kamar yang telah disediakan.
Di dalam kamar penginapan, Wijasena yang semula hendak bertanya pada Panji
segera mengurungkan niatnya.
Ternyata dia melihat pemuda sakti itu tengah melakukan semadi. Dari desah
napasnya yang halus, Wijasena tahu kalau pemuda itu telah tenggelam dalam
semadinya. Maka segera diurungkan niatnya semula. Terdengar helaan napas
beratnya. Sesaat kemudian, Pendekar Tangan Sakti pun merebahkan tubuhnya di atas
balai-balai yang beralaskan tikar pandan.
Pikiran Wijasena mengembara, mengingat kejadian-kejadian yang baru saja
dialaminya. "Mengapa para penghadang itu tahu kalau aku adalah salah seorang murid Gunung
Salaka" Dan mengapa pula mereka mengetahui bahwa aku berniat mengunjungi
perguruan" Apakah betul kalau merekalah yang membunuh Ki Surya Kencana" Kalau
benar, mengapa Ki Tunggul Jagad dan Ki Sukma Kelana mendiamkan saja hal Itu" Apa
sebenarnya di balik semua peristiwa Ini?"
Berbagai pertanyaan tanpa jawaban, terus terngiang di telinga Pendekar Tangan
Sakti yang masih belum mengerti sesuatu yang telah terjadi di perguruannya. Dan
hal itu semakin menambah penasaran hati Pendekar Tangan Sakti.
"Hm.... Apa pun yang terjadi, aku akan berusaha menyelidiki hal ini sampai
tuntas!" janji Pendekar Tangan Sakti dalam hati.
Sementara di luar malam semakin larut. Angin berhembus sepoi-sepoi. Pendekar
Naga Putih Panji yang semula tengah bersemadi, telah tertidur pulas di atas
balai. Demikian pula halnya Wijasena.
Sedangkan Dewi Tangan Merah Sundari yang berada di kamar sebelah, tampak tengah
mondar-mandir seperti memikirkan sesuatu. Entah mengapa, Sundari merasa gelisah
sekali malam ini. Sebentar-sebentar terdengar helaan napasnya yang berat dan
panjang. Kedua tangannya diremas-remas tanpa sebab. Gadis itu coba merapatkan
telinganya ke dinding untuk mendengar suara suara dari kamar sebelah yang
ditempati dua orang kawannya.
Namun, ia kecewa ketika telinganya hanya menangkap tarikan napas halus dari
Panji dan Wijasena.
"Hm... Apakah mereka tidak merasa gelisah sepertiku,
hingga berdua dapat terlelap seenaknya," gumam Dewi Tangan Merah heran. Memang
baik Panji maupun Wijasena sama sekali tidak merasakan kegelisahan seperti yang
dialaminya saat ini. Karena tidak tahu harus berbuat apa, maka Sundari
memutuskan untuk bersemadi agar tenaganya tidak terbuang percuma.
Lewat tengah malam, terdengar suara anjing hutan bersahut-sahutan. Suara salakan
anjing hutan yang meramaikan suasana malam itu, terasa bagaikan suara-suara
iblis yang bergentayangan mencari mangsa. Angin dingin berkesiur membawa titik-
titik air, sehingga suasana malam semakin menyeramkan.
Di tengah kegelapan malam yang hanya diterangi cahaya bulan sabit itu, tampak
lima sosok bayangan hitam mengendap-endap menuju penginapan Panji dan dua orang
rekannya. Gerakan kelima bayangan hitam itu nampak lincah dan gesit. Langkah-
langkah kaki mereka ringan, pertanda ilmu meringankan tubuh mereka terlatih
baik. Kelima sosok bayangan hitam itu terus bergerak menuju kamar Panji dan Sundari.
Salah seorang dari mereka menggerak-gerakkan tangannya sebagai isyarat agar
memecah menjadi dua kelompok. Ketika cahaya bulan sedikit menerangi wajah mereka
sekilas, tampak kain hitam menutupi wajah masing-masing lima bayangan hitam itu,
sehingga sulit dikenali.
Kelompok pertama yang terdiri dari tiga orang itu melangkah hati-hati ke arah
kamar yang dihuni Panji dan Wijasena. Sedangkan sisanya, menuju kamar Sundari.
Seorang dari tiap kelompok telah menggenggam sebuah
benda yang mirip pipa.
Tiga orang yang menuju kamar Panji, berhenti dan menempelkan telinganya di
dinding kamar. Beberapa saat kemudian ketika tidak terjadi sesuatu yang
mencurigakan, salah seorang dari mereka, segera memasukkan benda sejenis pipa
tadi melalui sebuah lubang di sela-sela jendela.
Setelah benda itu masuk, orang itu segera meniupkan sesuatu ke dalam kamar
Panji. Panji yang semula tengah terlelap itu, tersentak bangun ketika telinganya yang
tajam menangkap sesuatu yang mencurigakan. Dan pemuda itu menjadi terkejut
ketika melihat segumpal asap berwarna merah menerobos metalui sela-sela jendela
kamarnya. Tanpa berkata apa-apa, tangannya bergerak memasukkan sebutir pil ke
dalam mulutnya. Kemudian, Panji segera membangunkan Wijasena sambil menulup
mulut pendekar itu.
Diberikannya sebuah pil lain kepada pendekar itu sambil mengisyaratkan dan
menunjuk-nunjuk ke jendela.
Pendekar Tangan Sakti kaget ketika mendapati kamarnya telah dipenuhi asap
berwarna merah, dan berbau wangi yang memabukkan. Kedua orang pendekar itu
kembali merebahkan diri di atas tempat tidur masing-masing untuk mengetahui
maksud orang-orang yang mencoba membius mereka.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara jendela yang dibuka. Saat pintu
jendela terbuka, tiga sosok tubuh yang mengenakan pakaian berwarna hitam hingga
ke kepala berloncatan masuk tanpa menimbulkan suara yang mengejutkan. Diam-diam
Panji mengagumi ilmu meringankan tubuh ketiga tamu tak diundang itu.
Tiba tiba hati Panji dan Wijasena tersentak kaget ketika melihat orang-orang
bertopeng itu mencabut senjata berupa sebatang pedang panjang melengkung.
Kedua orang pendekar itu berusaha menahan diri untuk mengetahui apa yang
diperbuat tiga orang bertopeng itu selanjutnya.
Ketiga manusia bertopeng itu menggerak-gerakkan pedangnya di atas tubuh kedua
orang pendekar yang pura-pura telah terbius itu. Setelah tidak melihat adanya
reaksi, ketiga orang bertopeng itu kembali menyarungkan senjatanya masing-
masing. Dan tentu saja hal ini membuat kedua orang pendekar itu menjadi lega.
Dan selagi ketiga menusia bertopeng itu menyarungkan senjatanya, tiba-tiba
Pendekar Naga Putih dan Pendekar Tangan Sakti bergerak secara berbarengan dan
tidak terduga sama sekali! Mereka segera melompat secepat kilat sambil
melepaskan totokan ke arah dua di antara tiga orang bertopeng itu.
Tentu saja ketiga orang bertopeng itu terkejut setengah mati! Buru-buru
ketiganya berusaha menghindari totokan yang melumpuhkan itu. Namun biar
bagaimanapun berusaha menghindar, tetap saja dua di antara ketiga tamu tak
diundang itu ambruk terkena totokan Panji dan Wijasena.
Sedangkan yang seorang lagi langsung melesat ketika menyadari kalau tak mungkin
dapat menghadapi dua pendekar itu
Pendekar Naga Putih langsung menghentakkan kakinya ke lantai, maka seketika
tubuhnya melambung melampaui kepala lawannya. Begitu dua kakinya mendarat di
tanah, tubuh pemuda itu sudah menghadang jalan orang
bertopeng yang hendak melarikan diri.
Bukan main terperanjatnya orang bertopeng itu ketika melihat mangsanya tahu-tahu
telah berada di depannya.
Merasa tidak mungkin lolos, maka dia segera menerjang Panji dengan ganasnya.
Dibarengi sebuah bentakan nyaring, tubuh manusia bertopeng itu meluncur ke depan
sambil membabatkan pedang.
Wuttt! Panji merendahkan kuda-kudanya sehingga pedang lawan lewat hanya beberapa rambut
di atas kepalanya.
Sebelum lawannya sempat merubah posisi, tangan Panji telah mencengkram ke arah
bahu lawan. Namun meskipun kalap, rupanya orang bertopeng itu masih juga mampu
mengontrol dirinya. Maka bergegas ditarik kaki kanannya ke belakang dibarengi
gerakan tubuh, sehingga bobot tubuhnya ke belakang. Untunglah, serangan Panji
pun berhasil dielakkannya
Tapi kegembiraan orang bertopeng itu rupanya tidak berlangsung lama. Sebab,
Panji sudah dapat menduga gerakan lawan. Maka ketika orang bertopeng itu
menggeser tubuhnya ke belakang, tahu-tahu saja tangan kin Panji telah menotok
dadanya secara cepat luar biasa.
Tukkk! Tukkk! "Aaaahkkk...!"
Orang bertopeng itu mengeluh pendek ketika totokan Panji mengenai tubuhnya. Dan
tanpa dapat dicegah lagi, tubuh yang terbungkus pakaian hitam itu ambruk dalam
keadaan lumpuh. Mata di balik kain hitam itu bergerak liar, sekejap kemudian
memerah seperti darah! Terdengar suara mengorok dibarengi keluarnya darah
berwarna hitam dari mulut si orang bertopeng yang telah lumpuh.
Bukan main terkejutnya Panji melihat kejadian yang sama sekali tidak disangka
itu. Bergegas pemuda sakti itu mendekati lawannya yang dalam keadaan sekarat
itu. Sekali pandang saja Panji tahu kalau nyawa orang itu sudah tidak mungkin dapat
diselamatkan lagi.
"Gila! Ia lebih suka menelan racun ganas daripada rahasianya diketahui. Hm...,
siapakah mereka dan apa maksud sebenarnya" Mengapa tidak langsung membunuh-ku
saja tadi" Atau kah mereka ditugaskan untuk menangkapku hidup-hidup?" desah
Panji tak mengerti.
Dan begitu Pendekar Naga Putih teringat kepada dua orang yang telah dilumpuhkan
tadi, bergegas pemuda itu berlari ke arah kamarnya. Dua orang tawanan tadi
memang masih ditunggui Pendekar Tangan Sakti Tetapi apa yang dilihat Panji
adalah dua sosok mayat yang telah menghitam tengah dipandangi Pendekar Tangan
Sakti. Wajah Wijasena membayangkan penasaran yang mendalam. Memang, baik Panji
maupun Wijasena sama sekali tidak mengetahui apa dan siapa mereka sebenarnya"
"Mereka telah tewas beberapa saat yang lalu setelah kau pergi, Panji. Maafkanlah
aku, karena tidak sempat mencegah perbuatan mereka," ucap Pendekar Tangan Sakti
dengan wajah murung.
"Ah! Semua ini bukan kesalahanmu, Wijasena. Aku pun mengalami kejadian seperti
itu, mereka lebih suka man daripada rahasianya diketahui," sahut Panji, pelan.
"Oh! Bagaimana dengan Dewi Tangan Merah" Ah, mengapa aku telah
melupakannya..."!"
Tiba-tiba Panji teringat akan Sundari. Tanpa berkata apa-apa lagi, pemuda itu
segera menggenjot tubuhnya ke arah kamar gadis jelita itu.
Pendekar Naga Putih tercekat hatinya ketika mendapati kamar Sundari ternyata
telah kosong. Panji berdiri tegak memperhatikan setiap sudut kamar ini.
Tampaklah buntalan pakaian gadis itu masih tergeletak di atas tempat tidurnya.
"Mana Sundari, Panji?" tanya Pendekar Tangan Sakti begitu tiba di situ.
"Entahlah. Tapi aku yakin, ia masih berada di sekitar penginapan ini. Rasanya
tidak mungkin ia..., Hei!
Wijasena! Tidakkah kau mendengar suara orang bertempur"!" seru Panji tiba-tiba
sehingga Pendekar Tangan Sakti sampai terlonjak kaget. Tanpa menunggu kawannya.
Panji segera melesat cepat luar biasa, menuju suara pertempuran tadi berasal.
Beberapa saat kemudian, Pendekar Naga Putih sudah tiba di tempat Dewi Tangan
Merah tengah bertarung melawan dua orang bertopeng. Dari kejauhan, teriihat
kalau kedua orang bertopeng itu mulai terdesak oleh pedang yang bersinar
kehijauan di tangan Dewi Tangan Merah. Gulungan sinar kehijauan makin lama
semakin mempersempit ruang gerak dua orang lawannya Brettt!
"Aaakkkhhh...!" salah seorang dari dua orang bertopeng itu tidak sempat
menghindari sambaran pedang gadis itu. Orang itu menjerit kesakitan dan tubuhnya
pun terguling, menyemburkan darah segar yang keluar dari luka di perutnya.
Sebentar dia meregang nyawa, lalu
tewas dengan mata mendelik!
"Sundari, jangan bunuh...!" teriak Panji yang disertai luncuran tubuhnya menuju
arah pertempuran! Selagi tubuhnya mengudara, pemuda itu langsung melancarkan
totokan ke arah leher lawan Sundari.
Dewi Tangan Merah segera menarik pulang senjatanya ketika mendengar teriakan
Panji. Dan begitu melihat sesosok bayangan putih melesat ke arena pertempuran,
gadis itu pun menggeser tubuhnya untuk memberi peluang kepada pemuda itu.
Tukkk! Tubuh orang bertopeng itu kontan ambruk ketika totokan tangan Panji mengenai
leher dan tubuhnya. Dan dengan sigap, Panji segera memburu ke arah orang itu.
Segera dibukanya mulut orang bertopeng itu secara paksa.
Dari mulut orang itu, Panji menemukan racun yang tertanam di gusi. Cepat-cepat
Panji mengeluarkan racun dengan mengerahkan tenaga saktinya, sehingga orang itu
tidak merasa sakit.
Begitu racun yang berada di mulut orang itu telah dibuang, bergegas pemuda itu
membebaskan totokan pada leher lawan.
"Hm.... Sekarang tidak akan lolos lagi dari tanganku!
Katakan apa tujuanmu memasuki kamarku?" tanya Panji setelah membebaskan totokan
pada leher manusia bertopeng itu. Ternyata biarpun sudah tidak berdaya, namun
orang itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan Panji. Pendekar Naga Putih itu
kembali mengulang per-tanyaannya. Tapi, orang bertopeng itu tetap saja membisu.
"Hm..., baiklah! Apakah kau pikir kami tidak bisa menyiksamu?"
Setelah berkata demikian, tangan Panji bergerak melakukan totokan kembali. Tiba-
tiba orang bertopeng itu berteriak setinggi langit untuk kemudian bergulingan ke
tanah. Rupanya totokan yang dilakukan Panji barusan menimbulkan rasa sakit luar
biasa pada diri orang itu.
"Oh... aduuuh... ampuuun... tobaaattt...!" beberapa waktu kemudian, orang
bertopeng itu sudah tidak sanggup lagi menahan rasa sakit yang menyiksanya.
Akhirnya, dia bersedia untuk memberikan keterangan yang diperlukan Panji.
"Nah! Begitu kan, lebih baik! Sekarang katakan, siapa yang telah menyuruhmu
untuk menawan kami?" tanya Pendekar Naga Putih, tegas.
"Kami... kami... ouuuggghhh...!"
Orang bertopeng Itu belum lagi sempat memberikan jawaban, tiba-tiba sepasang
matanya mendelik dan tubuhnya mengejang! Beberapa saat kemudian, ambruk dalam
keadaan tak bernyawa. Dan ketika Panji memeriksa ditemukannya tiga batang jarum
halus berisi racun ganas yang tertancap di belakang tubuh orang itu. Alangkah
kecewanya Panji karena sama sekali tidak menduga kalau akan berakhir demikian.
Sedang pada saat itu, ia tengah mencurahkan perhatian kepada jawaban orang
bertopeng itu maka, sia-sialah usahanya itu.
"Hei, lihat!" tiba tiba Pendekar Tangan Sakti yang juga telah tiba di tempat itu
menjadi terkejut. Ternyata ketika memeriksa tubuh orang bertopeng itu, ia
menemukan rajahan di dada orang itu yang bertuliskan 'PARTAI
RIMBA HITAM". Selain itu juga terdapat rajahan yang menggambarkan lambang Partai
Rimba Hitam. "Hm.... Orang-orang bertopeng ini pastilah anggota partai itu. Dan mungkin ada
kaitannya dengan kemelut yang dihadapi Gunung Salaka," ujar Pendekar Tangan
Sakti pelan, seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri.
"Hhh.... Kemanakah kita harus mencari keterangan tentang partai yang penuh
rahasia itu?" desah Panji penasaran.
"Benar, memang sulit sekali! Dan petunjuk itu ada pada Ular Muka Kuning, Setan
Muka Seribu, dan Nyai Serondeng. Hei...! Mengapa tidak didatangi saja kediaman
nenek itu!" seru Dewi Tangan Merah tiba-tiba.
"Eh! Maksudmu, kau mengetahui siapa nenek tua itu, Sundari!" tanya Panji penuh
harap. "Benar! Aku baru teringat, kalau nenek itu adalah seorang datuk golongan sesat
yang amat ditakuti di dunia persilatan. Dan ia kini menguasai daerah Selatan.
Nah! Bukankah tidak terlalu sulit untuk mencarinya?" ujar Dewi Tangan Merah, berseri.
"Kalau begitu, ayolah! Tunggu apa lagi...!" sahut Pendekar Tangan Sakti sambil
mengayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu.
Dewi Tangan Merah dan Panji ikut pula meninggalkan mayat orang bertopeng itu!
*** 6 Keesokan paginya, setelah membayar ongkos penginapan, Panji, Wijasena dan
Sundari bergegas meninggalkan tempat itu. Dan dari keterangan beberapa orang
yang ada di penginapan, Panji menarik kesimpulan bahwa kediaman Nyai Serondeng
yang berjuluk Nenek Tongkat Maut itu tidak berada di sekitar daerah itu. Memang
tidak ada seorang pun yang pernah mendengar tentang nenek tersebut.
Ketiga pendekar itu meneruskan langkahnya menuju perbatasan desa. Mereka
bermaksud mencari keterangan dari desa-desa yang dilalui. Dan kalau perlu, akan
mendatangi perguruan-perguruan yang ditemui dalam perjalanan mereka.
Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih setengah hari, di hadapan
mereka terbentang sebuah pedesaan diramaikan kesibukan para warganya. Mereka
bergegas memasuki mulut desa, tanpa berkata sepatah pun. Ketika melihat kedai,
Panji melangkahkan kakinya memasuki kedai makan yang terletak di tepi jalan.
Sedangkan Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti segera mengikuti langkah
kaki pemuda itu dari belakang.
"Hm.... Desa ini tampak cukup ramai. Siapa tahu kita dapat mencari keterangan di
tempat ini," ujar Dewi Tangan Merah ketika mereka telah duduk di satu meja


Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil menikmati hidangan.
"Sabarlah, Sundari. Biasanya di desa yang cukup ramai seperti ini, banyak orang
usil yang selalu mencari-cari keributan. Maka kita harus bisa menjaga sikap agar
tidak menarik perhatian," sahut Panji mengingatkan.
"Hm... Bagaimanapun kita bertiga tetap akan menjadi perhatian orang. Coba
perhatikan sekelilingmu, Panji,"
tegas Pendekar Tangan Sakti merendahkan suaranya, agar tidak terlalu keras
terdengar. Panji segera mengedarkan pandang matanya ketika mendengar ucapan Wijasena. Dan
apa yang dilihatnya benar-benar membuat terkejut. Ternyata hampir semua mata
para pengunjung kedai makan tengah menatap ke arah mereka bertiga. Puluhan
pasang mata itu kontan menunduk ketika bertemu pandang dengan pemuda itu.
Karena biar bagaimanapun, pandangan mata Panji tetap berbeda daripada pandangan
mata orang pada umurnya.
Di dalam sinar mata pemuda itu seolah-olah mengandung suatu pengaruh yang sulit
dijabarkan. "Mengapa mereka... aaahhh. Betapa bodohnya, aku!"
Panji tidak meneruskan kata-katanya ketika secara tak sengaja memandang wajah
Sundari. Dan pada saat itu ia langsung mengerti, mengapa puluhan pasang mata itu
menatap ke arahnya. Sehingga tanpa sadar, Panji menepuk dahinya.
"Ada apa, Kakang Panji?" tanya Dewi Tangan Merah keheranan. Melihat sikap
Pendekar Naga Putih yang tiba-tiba aneh itu.
"Ah! Tidak, tidak ada apa apa," jawab Panji, segera menyadari perbuatannya.
Cepat Panji mengalihkan perhatiannya pada hidangan di atas meja untuk
menghindari pertanyaan Sundari lebih lanjut.
Mendadak, para pengunjung kedai makan yang sedang menikmati hidangan itu
serentak menolehkan kepalanya ke arah pintu, ketika terdengar suara ribut. Tidak
lama kemudian terlihat belasan orang melangkah memasuki kedai. Sikap mereka
tampak sangat kasar.
"Ha ha ha...! Rupanya langgananmu banyak juga, Gatar! Ayo, cepat. Sediakan
uangnya untukku!" bentak salah seorang dari belasan laki-laki itu.
Setelah berkata demikian, laki-laki itu menarik sebuah kursi di dekatnya dan
langsung menginjakkan sebelah kaki di atasnya. Sikap laki-laki itu terlihat
seperti sudah terbiasa bertindak demikian. Tampaknya, dia seorang pemungut upeti
bagi para pedagang di desa itu.
"Oh, Tuan Gambalang kiranya. Silakan..., silakan, Tuan!" seorang laki-laki yang
berusia sekitar lima puluh tahun berlari tergopoh-gopoh menyambut laki-laki yang
dipanggil Gambalang itu. Di tangannya tampak beberapa keping uang yang rupanya
sudah disediakan untuk orang yang bernama Gambalang itu.
"Hhh! Mengapa hanya segini, Gatar! Bukankah kedai-mu sudah maju" Mengapa kau
semakin pelit saja"! Ayo, tambah lima keping lagi!" bentak Gambalang dengan
suara mengguntur.
"Tapi..., tapi... Saya betul-betul tidak mempunyai..."
Brakkk! Sebuah meja di samping Gambalang, langsung hancur berantakan ketika telapak
tangan Gambalang yang kokoh itu menghantam meja itu dengan kerasnya. Tubuh
pemilik kedai yang bernama Gatar itu menggigil ketakutan.
Wajahnya pucat pasi, bagaikan tak dialiri darah.
"Huh! Dasar orang tidak tahu diuntung! Sekarang, cepat berikan padaku sepuluh
keping lagi! Dan permintaan akan semakin bertambah setiap kali kau membantah.
Tahu"!" bentak Gambalang dengan wajah merah padam.
Beberapa pengunjung yang semula sedang menikmati hidangan, cepat-cepat bangkit
dan meninggalkan kedai itu lewat pintu belakang. Sebentar saja kedai makan
berubah menjadi sepi. Hanya tinggal beberapa orang saja yang masih bertahan,
termasuk Pendekar Naga Putih, Dewi Tangan Merah, dan Pendekar Tangan Sakti.
"Hm.... Tampaknya keadaan akan semakin memburuk, Panji! Jangan-jangan malah akan
menular ke sini!" ujar Pendekar Tangan Sakti sambil melirik ke arah Sundari yang
juga sedang memperhatikannya. Mata gadis itu langsung melotot ketika mendengar
godaan yang ditujukan kepadanya.
"Huh! Hanya seekor cacing tanah, mengapa harus ribut!" tegas Sundari tanpa
mempedulikan kedipan mata kedua orang temannya yang berusaha untuk mencegah.
Terlambat! Ternyata Gambalang yang memang pada saat itu tengah memandang ke arah
mereka, segera bangkit ketika mendengar suara Sundari yang memang ditujukan
kepadanya. Dengan langkah lebar, Gambalang menghampiri meja tempat duduk Panji,
Sundari dan Wijasena.
"Hhh.... Untunglah kau yang mengucapkannya tadi, Bidadari Cantik! Kalau saja
salah satu dari mereka, pastilah gigi salah satunya sudah tidak di tempatnya
lagi!" gertak Gambalang. Suaranya sengaja diseram-seramkan sambil
menunjuk ke arah Panji dan Wijasena. Sikap yang ditunjukkan Gambalang itu
sebenarnya telah cukup membuat telinga Pendekar Tangan Sakti memerah, tapi
kemerahannya masih berusaha ditekan, memang dia tidak ingin mengecewakan
Pendekar Naga Putih yang masih tetap tenang, seolah-olah sama sekali tidak
terpengaruh ejekan-ejekan yang dilontarkan Gambalang. Diam-diam Wijasena
Dewi Penyebar Maut I X 1 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Alap Alap Liang Kubur 2
^