Pencarian

Pembunuh Berdarah Dingin 1

Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin Bagian 1


PEMBUNUH BERDARAH DINGIN
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode : Pembunuh Berdarah Dingin
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Bangunan itu tidak terlalu besar, namun terlihat apik
dan terawat dengan baik. Letaknya agak terpencil di lereng sebelah tenggara
Gunung Bakau dan jauh dari pedusunan.
Menandakan bahwa pemilik bangunan itu, adalah orang yang menginginkan
ketenangan. Dan orang yang menjalani hidup seperti itu, biasanya sudah berumur
ataupun karena suatu alasan tertentu. Dan, memang Ki Arja Wiguna, pemilik serta
penghuni bangunan itu, mempunyai alasan tersendiri.
Ki Arja Wiguna memang bukan orang sembarangan.
Bagi kalangan persilatan, namanya sudah tidak asing lagi.
Menimbulkan rasa jerih di hati kaum golongan hitam. Akan tetapi, bagi kaum
golongan putih, nama Ki Arja Wiguna
mendatangkan perasaan segan dan hormat. Memang, tidak
banyak yang mengetahui nama sebenarnya. Kebanyakan
hanya tahu julukannya, Dewa Mata Seribu.
Akan tetapi, sejak lebih dari lima belas tahun silam,
sepak-terjang Dewa Mata Seribu tidak lagi santer terdengar.
Sejak kematian istrinya, akibat terjangkit wabah penyakit menular, Ki Arja
Wiguna meninggalkan desa kelahirannya.
Memboyong keluarganya ke sebuah tempat terpencil. Dan
karena sepak-terjangnya tak lagi terdengar, maka namanya pun jarang dibicarakan
orang. Bahkan beberapa tahun
kemudian, nama besar Dewa Mata Seribu, telah nyaris
dilupakan orang. Tentunya, kalangan rimba persilatan
merupakan kekecualian. Lebih-lebih mereka yang terhitung merupakan tokoh-tokoh
kelas atas. Dewa Mata Seribu masih tetap mereka perhitungkan keberadaannya.
Di tempat tinggalnya yang baru, yang jauh dari
pedusunan, Ki Arja Wiguna menggembleng dua orang
anaknya laki-laki dan perempuan dan seorang murid laki-laki. Dan ketika melihat
anak laki-lakinya sangat berbakat dalam
ilmu meringankan tubuh, maka setelah menggemblengnya selama lebih dari sepuluh tahun, segera saja dititipkan kepada
sahabatnya, yang ilmu meringankan tubuhnya telah sangat terkenal. Sedangkan
putri dan murid laki-lakinya, tetap ia sendiri yang mendidiknya.
Seperti apa yang biasa dilakukannya pada setiap pagi,
Ki Arja Wiguna tampak tengah duduk bersemadi di bagian belakang bangunan di
udara terbuka. Namun, pagi ini
semadinya terusik oleh kehadiran seseorang. Pada mulanya Ki Arja Wiguna tidak
ambil peduli, mengira kalau yang
datang itu putrinya atau mungkin juga muridnya. Akan
tetapi, ketika telinganya menangkap suara langkah yang berbeda, karena ia telah
hafal suara langkah putrinya dan juga muridnya, maka segera saja Ki Arja Wiguna
menyudahi semadinya. Dan... alangkah terkejut hatinya sewaktu melihat si
pendatang. "Siapakah Tuan" Apakah Tuan bermaksud mencariku?"
tanya Ki Arja Wiguna sambil berusaha mengenali si pendatang, yang menyembunyikan wajahnya di balik kerudung hitam.
Ada kecurigaan dalam nada suara Ki Arja Wiguna. Karena, dengan menyembunyikan
wajah di balik kerudung, si pendatang telah membuat kesan yang
kurang baik. Orang berkerudung nampak kaget. Karena Ki Arja
Wiguna sudah bangkit dan memutar tubuh sebelum ia
sempat tiba dekat. Maksudnya semula mungkin hendak
membokong Ki Arja Wiguna selagi bersemadi. Sayang,
meskipun ia datang, dengan berindap-indap, melangkah
dengan sangat hati-hati sekali, pendengaran Ki Arja Wiguna tetap dapat menangkap
suara langkahnya. Pikiran itu
melintas di kepala Ki Arja Wiguna sewaktu tegurannya
mendapat jawaban yang cukup mengagetkan hatinya. Si
orang berkerudung menjawab tegurannya dengan serangkaian serangan maut! Serangan-serangan keji, yang biasanya hanya digunakan
oleh kaum golongan hitam. Tentu saja Ki Arja Wiguna tidak mau tubuhnya dijadikan
sasaran. Cepat ia menggeser langkahnya untuk menghindari serangan maut itu.
"Tahan seranganmu, Tuan?" Ki Arja Wiguna mencoba untuk mencegah seraya
mengulurkan telapak tangan, yang diangkat setinggi dada. Ki Arja Wiguna tentu
saja tidak menghendaki pertempuran yang tanpa sebab yang jelas. Ia harus tahu
dulu duduk perkaranya. Baru setelah itu ia bisa meng ambil keputusan.
Akan tetapi, manusia berkerudung hitam itu sama
sekali tidak mengindahkan ucapan Ki Arja Wiguna. Serangannya kembari dilanjutkan. Bahkan setelah serangan pertamanya digagalkan
Ki Arja Wiguna, dia melanjutkan
dengan serangan yang lebih hebat lagi. Lebih ganas!
Akan tetapi, tidak percuma Ki Arja Wiguna mendapat
julukan Dewa Mata Seribu. Benar serangan si orang
berkerudung itu sangat cepat dan kuat, membuatnya kagum kendati tidak
diucapkannya lewat sebuah pujian. Namun
semua serangan itu dapat dihindarinya dengan tanpa
kesulitan yang berarti. Setiap anggota tubuhnya yang
dijadikan sasaran serangan, tak ubahnya memiliki mata.
Meliuk lincah bagai ular, hingga serangan lawan selalu saja luput. Dan ketika si
orang berkerudung semakin bertambah penasaran, Ki Arja Wiguna segera memapak
serangan berikutnya. Dukkk! Plakkk! "Uuhhh...!"
Terdengar si orang berkerudung mengeluh pendek.
Tubuhnya terjajar sebanyak enam langkah. Kibasan lengan Ki Arja Wiguna, yang
mengandung tenaga dalam kuat itu, bukan
saja telah menggagalkan serangannya, malah membuat dua lengannya terasa nyeri- dan linu.
"Sebaiknya kau jelaskan alasanmu menyerangku." Ki Arja Wiguna menatap si orang
berkerudung dengan mata
disipitkan. Seolah hendak menembus kerudung hitam yang menutupi kepala dan wajah
orang itu. Akan tetapi, Ki Arja Wiguna tetap tidak bisa mengenalinya. Apalagi
orang berkerudung itu selalu menggerak-gerakkan
kepalanya seperti tahu jalan pikiran Ki Arja Wiguna, dan ia berusaha agar dirinya tidak
dikenali. Si orang berkerudung masih tetap bungkam, menundukkan kepala sambil memijat-mijat kedua lengannya bergantian. Tampaknya
dia masih belum bisa melenyapkan rasa nyeri dan linu akibat tangkisan Ki Arja
Wiguna tadi. "Nampaknya kau sengaja menunggu kesabaranku
habis," lanjut Ki Arja Wiguna ketika si orang berkerudung belum menjawab
pertanyaannya. Dan wajah Ki Arja Wiguna mulai mengelam ketika si orang
berkerudung masih saja
menunduk. Emosi Ki Arja Wiguna terpancing. Dan setelah menunggu beberapa saat
namun si orang berkerudung masih juga belum merubah sikap, Ki Arja Wiguna
melangkah maju.
"Aku menginginkan pusaka-pusaka warisan le- luhurmu, Ki Arja Wiguna!" Tiba-tiba saja si orang berkerudung membuka suara, tegas dan lantang. Dan Ki Arja Wiguna tersentak
kaget. Bukan ucapan si orang berkerudung yang membuatnya terkejut, melainkan
suaranya. Suara itu membuat paras Ki Arja Wiguna memucat, karena ia kenal
betul dengan suara si orang berkerudung. Suara yang selama puluhan tahun telah
begitu lekat dengan telinganya.
"Kau..."!"
Akan tetapi, Ki Arja Wiguna tidak sempat untuk
menyelesaikan kalimatnya. Pada saat ia tengah terkejut, terkesima,
tertegun-tegun,
belum percaya dengan pendengarannya sendiri, tiba-tiba saja si orang berkerudung melompat dan
menerjangnya dengan ganas! Sebuah serangan licik
yang hanya pantas dilakukan manusia-manusia
berakhlak rendah!
Suara sambaran angin yang berkesiutan, menandakan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung, membuat Ki Arja Wiguna
maklum akan bahayanya serangan
itu. Dua kepalan yang meluncur datang dan mengancam
bagian kepalanya, membuat Ki Arja Wiguna bertindak cepat.
Dengan geram, diangkatnya dua lengannya yang segera
dikibaskan kuat-kuat. Tampaknya Ki Arja Wiguna hendak
memberi pelajaran kepada si orang berkerudung.
Namun, apa yang dilakukan si orang berkerudung
ternyata di luar dugaan Ki Arja Wiguna. Serangannya yang ganas itu ternyata cuma
berupa tipuan belaka, karena
semasih di tengah udara sebelum sampai pada sasaran si orang berkerudung membuka
kepalannya yang segera
dikibaskan ke muka Ki Arja Wiguna. Terkejut hati Ki Arja Wiguna ketika sadar
bahwa si orang berkerudung ternyata telah menebarkan bubuk beracun ke arah
wajahnya. "Aaakhh...!" jerit Ki Arja Wiguna yang tak sempat lagi untuk mengelak. Perbuatan
si orang berkerudung memang
tidak pernah diduganya, sehingga ia tidak sempat mengelak lagi. Apalagi saat itu
hatinya tengah terguncang oleh dugaan bahwa si orang berkerudung bukanlah orang
yang asing baginya. Semua itulah yang membuat Ki Arja Wiguna lalai.
"Ha ha ha...! Racun itu akan membuat ilmu 'Mata
Seribu'-mu lumpuh!" si orang berkerudung tertawa penuh kemenangan. Dan selagi Ki
Arja Wiguna sibuk mengucak-ucak kedua matanya yang kemasukan bubuk beracun, si
orang berkerudung melompat cepat sambil melepaskan
sebuah tendangan keras.
Desss...! Ki Arja Wiguna menjerit keras, terjungkal ke tanah.
Demikian keras tendangan yang menerpa dadanya iiu, hingga membuat tubuhnya jatuh
terguling-guling muntah darah.
Si orang berkerudung mengejar, dan langsung menginjak dada Ki Arja Wiguna, yang belum sempat bangkit berdiri. Akan tetapi,
kendati dari kedua matanya yang
kemasukan bubuk beracun telah mengeluarkan darah, Ki
Arja Wiguna masih juga memberikan perlawanan yang cukup berarti. Saat telapak
kaki lawan menginjak dadanya, Ki Arja Wiguna menyentakkan dua kakinya menendang
punggung si orang berkerudung, hingga terjurunuk dan nyaris jatuh
tersungkur di tanah.
Terdengar si orang berkerudung menggereng marah.
Memutar tubuhnya secepat kilat. Sorot matanya laksana


Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kobaran api yang seolah hendak membakar hangus tubuh Ki Arja Wiguna. Dan dengan
sebuah lengkingan panjang,
dilontarkannya dua pukulan maut. Ki Arja Wiguna menjerit, terjungkal roboh dan
muntah darah. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya ketika kaki si orang
berkerudung kembali
menginjak dadanya.
"Katakan, di mana kitab-kitab berisikan ilmu-ilmu rahasia leluhurmu itu kau
simpan, Orang Tua keparat?"
bentak si orang berkerudung sambil memutar telapak
kakinya, hingga membuat Ki Arja Wiguna meringis kesakitan.
Dan darah segar semakin banyak yang merembes keluar
lewat celah-celah bibirnya yang terkatup rapat.
"Kau... kau..., mengapa kau lakukan semua ini,
Malintang" Apa... apa sebenarnya yang sudah terjadi
denganmu?" tanya Ki Arja Wiguna dengan suara bergetar menahankan kedukaan dan
hati yang penasaran.
Sepasang mata si orang berkerudung menunjukkan
kekagetan hatinya. Terkejut ketika mendengar Ki Arja Wiguna telah dapat
mengenali siapa dirinya. Si orang berkerudung seketika menjadi gelisah. Menoleh
ke kiri-kanan seolah takut ada yang mendengar perkataan Ki Arja Wiguna dan juga
melihat apa yang dilakukannya itu. Dan sikapnya baru kembali tenang setelah
merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang menyaksikan semua kejadian itu.
"Cepat katakan, Orang Tua keparat! Atau... kuremukkan saja tulang-tulang dadamu ini!" si orang berkerudung yang disebut Ki
Arja Wiguna dengan nama
Malintang itu mengancam tak sabar. Kemudian kembali
menekan dan memutar telapak kakinya yang berada di atas dada Ki Arja Wiguna.
"Terkutukkah kau, Malintang! Manusia tidak tahu
balas budi! Kau... kau... Entah iblis dari mana yang telah menghasut dan
merasuki pikiranmu itu. Tapi..., jangan
mimpi kalau aku akan memenuhi permintaanmu itu,
meskipun sebenarnya semua itu kelak akan kuwariskan
kepadamu," ujar Ki Arja Wiguna dengan napas terengah-engah.
Malintang, si orang berkerudung kain hitam, tampak
tertegun. Akan tetapi cuma sesaat. Saat berikutnya ia
mengeluarkan dengusan mengejek sambil membuka kerudung yang menutupi kepalanya.
Ternyata, Malintang adalah seorang pemuda yang
sebenarnya cukup menarik. Wajahnya bersih dan tampan.
Paling jauh usianya baru sekitar dua puluh dua tahun.
Tubuhnya jangkung dan agak kurus, namun terlihat cukup kokoh. Terlebih dalam
balutan pakaian serba hitam yang saat itu dikenakannya.
' Huh, apa kau kira aku akan percaya begitu saja
dengan bualanmu itu, Orang Tua keparat!" Malintang tampak semakin beringas.
"Sekali lagi kuberi kau kesempatan.
Katakan di mana pusaka-pusaka leluhurmu itu kau simpan, atau tulang-tulang
dadamu kubikin remuk!"
Ki Arja Wiguna menyeringai, menahan rasa nyeri yang
menyerang dadanya. Bukan karena luka-luka yang dideritanya, melainkan perbuatan Malintang-lah penyebabnya. Sakit bukan main hati Ki Arja Wiguna dengan perbuatan Malintang
yang tega mengkhianati dirinya itu.
Padahal apa yang dikatakannya adalah yang sebenarnya.
Tapi, setelah apa yang sekarang dilakukan Malintang
terhadap dirinya, telah membuat Ki Arja Wiguna merubah keputusannya.
"Kau telah mengecewakan aku, Malintang," ujar Ki Arja Wiguna serak, karena
menahankan kepedihan hatinya.
"Nah, sekarang lakukanlah apa yang hendak kau lakukan kepadaku," lanjutnya
pasrah. Malintang menggereng marah, karena ia tahu betul
bagaimana watak Ki Arja Wiguna. Memaksa pun akan
percuma saja, sebab Ki Arja Wigura tidak akan merubah
keputusannya. "Baiklah kalau memang itu yang kau inginkan, Orang Tua
bodoh!" Sembari berkata demikian, Malintang mengangkat telapak kakinya yang kemudian dijejakkan kuat-kuat ke dada Ki Arja
Wiguna. Terdengar suara berderaknya tulang-tulang yang patah. Ki Arja Wiguna
menjerit ngeri.
Darah menyembur dari mulutnya. Dan, setelah berkelojotan beberapa saat, Ki Arja
Wiguna pun diam tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya telah melayang meninggalkan
raganya yang rusak itu.
"Salahmu sendiri, Orang Tua goblok!" desis Malintang, yang kemudian segera
melesat pergi. *** Pemuda yang tengah melangkah dengan wajah
berseri-seri ini tiba-tiba tertegun. Ayunan langkahnya seketika terhenti. Suara jerit kematian yang melengking tinggi itu membuat
parasnya berubah tegang. Pandangannya segera ditujukan ke arah bangunan tempat
tinggal Ki Arja Wiguna tempat di mana selama ini ia juga tinggal.
Rakai, demikian nama pemuda ini. Ia adalah satu-
satunya orang luar yang sangat beruntung, karena Ki Arja Wiguna mau mendidiknya
dan mengangkatnya menjadi
murid. Itu sebabnya mengapa pemuda ini bisa berada di
sekitar ternpat tinggal Ki Arja Wiguna.
Pagi itu seperti yang biasa dilakukannya Rakai pergi
berlatih di hutan. Setelah merasa puas, baru ia pulang.
Kebiasaan seperti itu sudah cukup lama dijalaninya. Sejak Ki Arja Wiguna
menurunkan dua macam ilmu pilihan, menurut bakat yang ada padanya. Dan sejak itu
pula Rakai semakin giat berlatih, karena ia tidak ingin mengecewakan hati
gurunya. Setelah hampir satu tahun giat melatih diri di dalam
hutan pada setiap pagi, Rakai merasa telah memperoleh
kemajuan yang pesat. Tentu saja ia sangat gembira sekali, dan ingin menunjukkan
selekasnya kepada gurunya. Akan
tetapi, kegembiraannya seketika lenyap. Rakai kenal betul kalau jerit kematian
yang didengarnya itu adalah suara gurunya, suara Ki Arja Wiguna. Apalagi
datangnya dari arah bangunan.
Karuan saja Rakai menjadi tegang. Dan, meskipun ada rasa kurang percaya kalau jeritan itu benar-benar suara gurunya,
tapi Rakai sudah melesat berlari
secepat terbang.
Sebagai orang yang selama belasan tahun berada
dalam asuhan gurunya. Rakai tahu betul apa yang selalu dilakukan gurunya pada
tiap-tiap pagi. Itu salah satu alasan mengapa setiap pagi berlatih di hutan. Tak
lain karena ia tidak
ingin mengganggu ketenangan gurunya dalam bersemadi. Dan Rakai hafal betul di mana tempat gurunya biasa bersemadi. Maka,
Rakai langsung saja menuju bagian belakang bangunan, tanpa merasa perlu untuk
memeriksa bagian dalam bangunan lagi.
Dan..., alangkah terkejutnya hati Rakai sewaktu
menemukan gurunya tergeletak di tanah dengan tubuh
bersimbah darah. Rakai menubruk tubuh Ki Arja Wiguna,
dan baru menyadari kalau gurunya itu ternyata sudah tidak bernyawa lagi.
Kenyataan itu membuat hatinya terguncang hebat. Lebih-lebih keadaan mayat
gurunya itu sangat
mengenaskan. Tewas dengan dada remuk dan kedua mata
buta. Rakai merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas
bagai tak bertenaga, ia jatuh terduduk di samping mayat gurunya. Hatinya belum
bisa menerima kenyataan itu.
Kenyataan bahwa Ki Arja Wiguna, tokoh yang sangat terkenal dan jarang menemui
tanding, dan bahkan sampai mendapat julukan Dewa Mata Seribu itu, mati terbunuh.
Cukup lama Rakai berada dalam keadaan seperti itu,
duduk di tanah sambil memeluk mayat gurunya, sampai
akhirnya sebuah ingatan menyadarkannya. Akan tetapi,
sebelum ia melompat bangkit untuk mengejar pembunuh
gurunya, yang menurut perkiraannya pasti belum pergi jauh, tiba-tiba saja
terdengar sebuah bentakan yang mengagetkan hatinya, membuat Rakai nyaris
berjingkrak saking kagetnya.
"Manusia biadab, apa yang kau lakukan terhadap
ayahku?" Pucat paras Rakai seketika. Suara itu tidaklah asing
bagi telinganya. Suara yang dikenalnya dengan baik yang selama belasan tahun
sangat akrab dengan telinganya. Rakai tahu betul siapa pemilik suara itu. Maka,
cepat ia melompat bangkit dan langsung memutar tubuhnya. Dan wajah
pucatnya seketika berseri.
"Kakang Malintang!" seru Rakai dengan penuh luapan kegembiraan, yang seketika
menjadi lupa dengan kematian gurunya. Akan tetapi, kegembiraan itu seketika
lenyap tanpa bekas, dan berganti dengan keheranan besar. Orang yang membentaknya
itu memang Malintang. Rakai sama sekali
tidak keliru. Yang keliru adalah perkiraannya. Kalau semula ia membayangkan
pertemuan yang sangat menggembirakan,
yang Malintang juga akan menunjukkan wajah berseri-seri, ternyata
Rakai salah besar. Malintang, yang berdiri menatapnya itu, sama sekali tidak menunjukkan wajah
ramah, apalagi gembira. Sebaliknya malah menatapnya
dengan sorot mata berapi-api, dengan wajah merah-padam.
Maklumlah Rakai kalau Malintang telah salah menilai apa yang dilihatnya.
"Kau telah salah menyimpulkan apa yang barusan
kau saksikan, Kakang Malintang," ujar Rakai mencoba untuk menjelaskan.
"Sebenarnya..."
"Cukup!" menggelegar suara bentakan Malintang.
"Tidak ada gunanya kau membela diri, manusia rendah! Apa yang telah kusaksikan
sudah merupakan bukti yang lebih dari cukup! Entah mengapa kau sampai tega
mengkhianati orang yang selama belasan tahun mendidikmu dengan penuh kasih-
sayang. Siapa sangka kalau yang kami pelihara selama belasan tahun ternyata
adalah seekor serigala. Dosamu tidak mungkin bisa kumaafkan, Rakai. Bahkan
kematian pun rasanya masih belum cukup untuk menebus dosamu. Akan
tetapi, biarlah. Paling tidak, kematian akan mengurangi dosamu itu."
"Tunggu, Kakang Malintang, jangan salah mengerti!
Jangan cepat mengambil keputusan, yang kelak aku yakin pasti akan kau sesali
seumur hidup. Sebaiknya dengar dulu penjelasanku, Kakang. " Rakai berusaha untuk
mencegah. Namun, Malintang, yang sebenarnya cuma bersandiwara itu, sama sekali tidak
menggubris. Malah ia langsung menerjang Rakai dengan serangan-serangan yang
ganas. Rakai tidak mempunyai pilihan lagi. Meskipun Malintang adalah putra gurunya, namun bukan berarti boleh memukuli dirinya
sesuka hati. Tidak, Rakai tidak mau
tubuhnya dijadikan sasaran pukulan-pukulan ganas itu.
Akan tetapi ia tidak ingin melawan, karena ia maklum kalau hal
itu hanya akan semakin menambah kemarahan Malintang saja. Maka yang dilakukan hanyalah mengelak.
Menghindari pukulan-pukulan
maut itu sambil terus berusaha memberikan penjelasan yang sebenarnya.
2 Akan tetapi, sikap menghindar tanpa memberikan
perlawanan yang dilakukan Rakai, ternyata masih juga
disalah tafsirkan Malintang. Malintang merasa disepelekan.
Tentu saja Malintang tidak bisa menerima sikap Rakai itu. Ia marah
besar dan semakin memperhebat serangan- serangannya tanpa mempedulikan teriakan-teriakan Rakai.
"Pasti ada musuh yang hendak mengadu domba kita,
Kakang Malintang! Mungkin pembunuh guru itu tahu
tentang kepulanganmu, dan ia mempergunakan kesempatan
ini untuk memecah-belah ki... "
Desss...! Rakai tak sempat lagi untuk menyelesaikan ka-
limatnya. Salah satu pukulan yang dilontarkan Malintang membuat Rakai menjerit
keras, terpelanting jatuh ke tanah.


Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rakai memang tidak sempat lagi untuk menghindar, karena sebagian
perhatiannya terpecah untuk memberikan penjelasan. Dan Malintang telah mempergunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.
Rakai belum sempa bangkit, dan ia memang tidak
berusaha, hingga Malintang yang langsung memburunya,
sudah berdiri di samping tubuhnya. Dan Rakai memang
sudah pasrah. "Kalau kau memang tidak lagi mempercayaiku,
lakukanlah apa yang kau kehendaki," ujar Rakai yang tidak berusaha melawan lagi.
Membiarkan tangan Malintang
mencengkeram leher bajunya. Mengangkat tubuhnya dengan tangan kiri, sementara
tangan kanan Malintang yang terkepal erat, sudah siap untuk memukul remuk batok
kepalanya. "Tapi aku bersumpah bahwa aku tidak melakukan seperti apa yang kau tuduhkan."
Malintang, yang sudah siap melontarkan pukulannya
untuk mengakhiri hidup Rakai, tiba-tiba saja tertegun.
Dengan tangan kiri yang masih tetap mencengkeram leher baju Rakai, ditatapnya
murid ayahnya itu dalam-dalam.
Tampak jelas betapa wajah Malintang menunjukkan keraguan. Membuat hati Rakai berdebar tegang, dan segera saja mempergunakan
kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.
"Kakang Malintang,"
ucap Rakai hati-hati. "Pi- kirkanlah hal ini dengan kepala dingin. Mungkinkah aku, yang selama belasan
tahun dididik dan diasuh ayahmu
dengan penuh kaslh-sayang akan tega berkhianat dan
bahkan sampai membunuh beliau. Dan, kalaupun itu benar kulakukan, apa alasanku"
Untuk apa aku melakukan semua kekejian itu?"
Malintang tidak menjawab, hanya menarik napas
panjang beberapa kali. Keraguan di wajah dan bahkan di matanya semakin tampak
jelas. Sungguh pandai sekali
Malintang bersandiwara, hingga sampai-sampai Rakai tertipu oleh permainannya
yang begitu sempurna.
"Berani kau bersumpah atas nama arwah kedua
orangtuamu?" tiba-tiba saja Malintang bertanya kepada Rakai. Tentu saja ini pun
hanya sandiwaranya belaka.
Malintang tahu persis bahwa Rakai memang tidak membunuh ayahnya. Karena dialah yang sebenarnya telah
membunuh ayahnya itu. Dan ia sengaja menjebak Rakai,
yang menurutnya mungkin saja tahu tentang pusaka-pusaka leluhur yang disimpan
ayahnya. Menurutnya kemungkinan
itu bisa saja ada, mengingat Rakai adalah murid kesayangan ayahnya.
Malintang memang sengaja bersandiwara. Sengaja
berpura-pura menuduh Rakai sebagai pembunuh ayahnya.
Berpura-pura marah, lalu menyerangnya habis-habisan.
Menurut perkiraannya, Rakai pasti tidak akan melawan, dan berusaha
untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya kepadanya, yang kemudian akhirnya akan
menyerah, pasrah dengan apa yang akan dilakukannya. Dan perkiraannya memang
tidak meleset, itu karena Malintang telah cukup mengenal bagaimana watak Rakai
sebenarnya. "Bukan saja demi arwah kedua orangtuaku, bahkan
demi nama Tuhan pun aku berani bersumpah!" jawab Rakai tegas dan lantang, sambil
menentang tatapan Malintang. Dan Malintang
mengangguk-angguk.
Melepaskan cengkeramannya pada leher baju Rakai. Bahkan kemudian
mengangkat Rakai bangkit berdiri.
"Maafkan sikapku yang terburu nafsu, Rakai," ucap Malintang seraya menepuk-nepuk
bahu Rakai. "Sebenarnya aku pun ragu. Akan tetapi, pemandangan yang kusaksikan
telah membuat pikiranku buntu. Aku benar-benar khilaf,"
lanjutnya mengakui kesalahannya.
Rakai menarik napas lega. Tersenyum lebar sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Malintang telah menarik tuduhannya serta
mengakui kekhilafannya. Rakai menerima permintaan maaf Malintang. Sama sekali
tidak merasa dendam ataupun sakit hati. Rakai maklum betul dengan apa yang dirasakan
Malintang. Karena jika itu terjadi pada dirinya, ia pun pasti akan melakukan
tindakan serupa.
*** "Aku masih penasaran, bagaimana Ayah sampai bisa
terbunuh" Padahal, orang yang bisa mengalahkan Ayah
sangat sedikit sekali jumlahnya" Dan lagi, apa sebenarnya alasan
si pembunuh itu?" Malintang mengungkapkan perasaan hatinya kepada Rakai, selesai memakamkan mayat ayahnya.
"Menurutku, Guru dibunuh dengan cara yang sangat
licik, yang hanya dilakukan oleh manusia-manusia
pengecut!" timpal Rakai, yang menilai dari keadaan mayat gurunya.
"Si pembunuh itu pastilah salah seorang musuh yang menaruh dendam terhadap Guru.
Hal itu sangat mungkin
sekali, mengingat sepak-terjang Guru di masa lalu."
"Tapi menurutku, si pembunuh itu kemungkinan
besar juga mempunyai maksud lainnya, seperti mengincar pusaka-pusaka leluhur
Ayah," lanjut Malintang, yang mulai mengarahkan pembicaraan pada sasarannya.
Rakai menoleh, menatap Malintang sesaat, lalu
mengangguk-angguk. "Mengapa kau menduga demikian, Kakang Malintang?" tanyanya
kemudian, karena Rakai memang tidak pernah berpikir ke arah itu.
"Kalau memang si pembunuh itu cuma bertujuan
membalas dendam, kurasa bukan cuma Ayah saja yang akan dibinasakannya, tapi kita
pun pasti ditumpasnya juga. Sebab jika tidak demikian, hidupnya pasti akan
selalu dibayang-bayangi kecemasan akan pembalasan dendam dari kita, "
jawab Malintang memberikan alasan atas dugaannya itu. Dan tiba-tiba ia menjadi
tertegun, seperti baru teringat sesuatu.
"Eh, mengapa sejak tadi aku tidak melihat Suranti, adikku"
Ke mana dia, Rakai?" Dalam nada ucapannya terkandung kecemasan. Tapi tentu saja
sikap itu cuma sandiwara
Malintang saja. Sebab, dalam hatinya, saat ini ia justru tidak menghendaki
kehadiran Suranti, adiknya itu.
Seperti juga baru teringat, Rakai pun tersentak. Akan
tetapi, ia tidak kelihatan gelisah ataupun cemas. Malah ketidakberadaan Suranti,
justru membuat Rakai nampak
lega. Tentu saja Malintang jadi lebih ingin tahu, ke mana adiknya
itu, dan apa yang sudah terjadi semenjak kepergrannya yang lebih dari satu tahun itu.
"Sudah hampir satu bulan ini atas kehendak Guru,
Suranti tinggal di tempat kediaman seorang pujangga,
sahabat beliau. Di tempat kediaman pujangga itu, Suranti mempelajari hurup-hurup
kuno, agar bisa membaca serta
lebih memahami kitab-kitab peninggalan leluhur kita, " jelas Rakai, yang diam-
diam telah membuat hati Malintang lega.
Tapi tentu saja Malintang menyembunyikan perasaannya itu dalam-dalam. Di luarnya ia cuma mengangguk anggukkan kepala saja.
"Hm..., dulu Ayah seringkali menyinggung tentang
pusaka-pusaka leluhur kita itu kepadaku, namun belum
sekali pun aku melihatnya. Bahkan aku tidak tahu di mana Ayah menyimpannya.
Sedangkan sekarang, setelah Ayah
tiada, semua itu akan menjadi tanggung jawabku. Aku harus menyelamatkannya agar
tidak terjatuh ke tangan orang-orang sesat.
Tapi..., sayangnya Ayah belum sempat mem- beritahukan tempat penyimpanan pusaka-pusaka itu." Ada nada sesal dalam ucapan
Malintang, yang lebih mirip sebuah keluhan itu.
"Aku tahu di mana Guru menyimpan pusaka-pusaka
leluhur kita itu," ujar Rakai, yang membuat Malintang menoleh cepat, dan
menatapnya dalam-dalam.
"Kau tahu?" tanyanya setengah tidak percaya. "Mengapa kau diberitahu tapi aku tidak?" ada nada penasaran dalam ucapan
Malintang. Kening Rakai berkerut. Ia heran dan agak kurang
percaya kalau Malintang tidak diberitahu tempat penyimpanan pusaka. Padahal semestinya Malintanglah yang lebih tahu, karena
Malintang adalah putra Ki Arja Wiguna.
Sedangkan dirinya cuma murid, yang biar bagaimanapun
termasuk orang luar. Akan tetapi, Rakai tidak terlalu
memikirkan hal itu. Sebab mungkin saja Ki Arja Wiguna
mempunyai rencana tertentu untuk Malintang. Sayangnya
segala sesuatunya terjadi di luar dugaan. Ki Arja Wiguna tewas
tanpa disangka-sangka,
hingga tak sempat menyampaikan segala rencananya kepada putra-putrinya.
"Rakai," suara Malintang membuat Rakai tersentak dari lamunan. Rakai menoleh dan
balas menatap Malintang.
"Sebaiknya pusaka-pusaka itu segera kita amankan. Aku khawatir..." Tiba-tiba
saja raut wajah Malintang menegang.
Ada sesuatu yang saat itu melintas dalam pikirannya.
Rakai pun ternyata tidak berbeda. Ucapan Malintang
yang tak selesai itu, seketika membuat parasnya berubah.
Rakai maklum apa yang ada dalam pikiran Malintang, karena ia pun memikirkan hal
serupa. "Ayo, kita lihat!" Rakai segera melompat bangkit. Dan tanpa menunggu persetujuan
Malintang, Rakai langsung saja berlari masuk ke dalam bangunan. Bergegas
Malintang mengikuti dengan hati berdebar. Dan tanpa setahu Rakai, Malintang tersenyum
penuh kemenangan. Sudah terbayang
dalam benaknya betapa sebentar lagi seluruh pusaka-pusaka langka peninggalan
leluhur Ki Arja Wiguna akan segera
menjadi miliknya. Dan bayangan itu membuat angan-angan Malintang melambung
tinggi. Merasa pasti bahwa tidak lama lagi, ia akan membuat rimba persilatan
geger, ia akan segera menjadi penguasa rimba persilatan. Menjadi jago nomor satu
yang tak terkalahkan!
Rakai berhenti di ruangan tempat Ki Arja Wiguna
biasa berlatih. Sebuah ruangan yang cukup luas, yang di kiri-kanannya
terdapat rak-rak senjata, yang terdiri dari bermacam-macam jenis. Tapi Rakai tidak memperhatikan
semua itu. Ia langsung menuju ke sebuah lemari kayu jati yang cukup tebal dan
kelihatan berat. Dan Rakai menoleh sekilas ke arah Malintang yang berada di
belakangnya, sebelum akhirnya ia menggeser lemari itu ke samping kanan.
Tampaklah sebuah ruangan di balik lemari itu.
Malintang menahan napasnya yang dirasakannya
menjadi berat. Ruangan itu memang menjadi sangat sempit.
Tapi bukan itu yang membuat napas Malintang mendadak
memburu, melainkan peti-peti kuno di dalam ruangan itulah yang menjadi
penyebabnya. Malintang merasa pasti bahwa di dalam peti-peti kuno itulah pusaka-
pusaka leluhur Ki Arja Wiguna berada. Maka seketika itu juga, suatu rencana


Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melintas di benaknya.
Rakai menoleh sekilas, dan tersenyum kepada Malintang, "Inilah tempat penyimpanan pusaka-pusaka itu.
Guru yang menunjukkannya kepadaku, termasuk isi peti-peti kuno itu," katanya,
yang kemudian segera melangkah ke dalam ruangan.
Malintang cuma mengangguk-angguk saat mendengar
penjelasan Rakai. Akan tetapi, ketika Rakai berbalik dan melangkah
memasuki ruangan sempit itu, Malintang langsung melompat. Cepat bukan main dan begitu tiba-tiba, yang
langsung menghunjamkan ujung pedangnya ke punggung Rakai.
Cappp! "Akkhh...!?" Rakai menjertt kesakitan. Meskipun ia sempat mendengar sambaran
angin pedang dan gerakan
Malintang, namun apa yang dilakukan Malintang sungguh
tidak pernah dibayangkannya. Sehingga, serangan licik yang begitu dekat itu tak
dapat dielakkannya lagi.
Dan perbuatan Malintang ternyata tidak cuma sampai
di situ saja. Jerit kesakitan dan lelehan darah di punggung Rakai
malah membuatnya semakin beringas. Sebuah tendangan dilontarkannya, hingga membuat tubuh Rakai
terjerembab jatuh. Tapi itu pun belum membuatnya puas.
Sekali lagi pedangnya diayunkan. Kali ini batang leher Rakai yang dijadikan
sasaran. Dan tidak ada lagi yang bisa
dilakukan Rakai. Tidak sempat menjerit ataupun mengutuk.
Rakai terkulai. Bukan cuma lehernya saja yang putus, tapi napasnya pun putus
seketika itu juga.
*** Perempuan muda itu duduk bersimpuh di tengah dua
buah gundukan tanah yang masih baru. Wajahnya pucat dan bersimbah air mata. Dua
gundukan tanah itu bukan lain
adalah makam Ki Arja Wiguna dan Rakai. Sedangkan
perempuan muda ini adalah Suranti, putri Ki Arja Wiguna.
Suranti, yang meskipun belum merampungkan pelajarannya, minta izin kepada gurunya untuk menjenguk ayahnya. Hatinya merasa
tidak enak sekali. Bayangan wajah ayahnya dan wajah Rakai, membuat hatinya tidak
bisa tenang. Mulanya ia tidak terlalu ambil pusing, karena
mengira semua itu cuma karena kerinduan hatinya saja.
Akan tetapi, setelah dua hari berusaha menahan diri, dan bayangan kedua orang
yang dicintainya itu tidak juga lenyap, akhirnya Suranti memutuskan untuk pulang
menjenguk ayahnya dan Rakai, tunangannya.
Antara Suranti dan Rakai memang telah terjalin
hubungan asmara. Dan Ki Arja Wiguna yang menyadari hal itu merasa tidak
keberatan. Menurut penilaiannya. Rakai tidak terlalu buruk untuk putrinya.
Meskipun Rakai anak yatim-piatu anak yang ditemukannya dalam perjalanan
unluk mencari tempat tinggal baru namun merupakan seorang anak yang baik, patuh
dan sopan. Maka, ketika
mengetahui hubungan antara putrinya dengan muridnya itu, Ki Arja Wiguna pun
menyetujuinya. Bahkan ia yang
mengusulkan agar mereka segera bertunangan.
Setelah mendapat restu gurunya, Suranti pun segera
bergegas. Jarak antara tempat tinggal gurunya dengan
rumahnya tidaklah terlalu jauh, cuma membutuhkan waktu setengah hari lamanya.
Dan karena Suranti berangkat pagi-pagi sekali, maka saat menjelang tengah hari
ia pun tiba di tempat kediamannya.
Kesunyian dan hamparan sampah dedaunan pohon
yang menumpuk menyambut kedatangannya. Suranti merasa
hatinya semakin tidak enak. Suranti tahu betul bahwa Rakai tidak pernah
membiarkan sampah menumpuk seperti itu.
Semua itu membuat Suranti tiba-tiba saja menjadi gelisah.
Dengan setengah berlari, Suranti menerobos masuk ke dalam bangunan. Sunyi dan
hening. Itulah yang ditemukan Suranti di dalam rumahnya, membuat kegelisahannya
semakin menjadi-jadi. Suranti mulai kalap. Firasatnya mengatakan adanya sesuatu yang
tidak beres. Apalagi ketika suara
panggilannya tidak ada yang menyahuti, semakin gelisah saja hati Suranti.
Bayangan-bayangan buruk pun mulai bermain-main di benaknya. Membuat Suranti
kalap dan berteriak-
teriak memanggil ayahnya, memanggil Rakai. Namun, tidak ada sahutan kecuali
gaung suara teriakannya.
Kegelisahan, ketegangan dan kecemasan, membuat
Suranti mulai berkeringat. Napasnya mulai memburu, hingga membuatnya agak
terengah. Dan, ketika ia memeriksa
ruangan tempat ayahnya biasa berlatih di satu sudut
ruangan dekat lemari. Suranti melihat adanya sesosok tubuh yang telah menjadi
mayat, dan mulai membusuk. Suranti
merasakan kepalanya pening. Sekujur tubuhnya lemas,
hingga membuat kedua kakinya menjadi goyah. Akan tetapi, Suranti memaksa diri,
menguatkan hatinya untuk melihat sosok yang menelungkup dengan kepala terpisah
itu lebih dekat lagi.
Dengan kedua kaki gemetar, mata membelalak dan
hati berdebar, Suranti melangkah lambat-lambat. Sebenarnya ia sudah dapat
menduga-duga siapa adanya sosok mayat itu.
Akan tetapi, dugaan itu berusaha ditepiskannya. Membuangnya jauh-jauh, berharap dugaannya keliru. Akan tetapi, setelah semakin
dekat, Suranti pun tak dapat lagi menahan jeritannya. Suranti menutup wajah
dengan kedua belah tangannya. Jatuh terduduk di lantai. Menangis
mengguguk, sementara air mata mengalir melalui celah-celah jari tangannya.
Suranti tidak ingat lagi, berapa lama sudah ia
menangisi mayat Rakai, tunangannya, yang tewas dengan
sangat mengenaskan itu, sampai akhirnya ia teringat dengan ayahnya.
Dengan langkah terhuyung-huyung,
Suranti bergerak menuju bagian belakang bangunan. Cuma bagian
itu yang belum di periksanya. Meskipun merasa ragu, Suranti berharap akan
menemukan ayahnya dalam keadaan sehat.
Akan tetapi, harapan Suranti lenyap sewaktu ia
melihat adanya gundukan tanah yang masih baru. Urat-urat di sekujur tubuh
Suranti menegang seketika. Namun,
meskipun dengan langkah tertatih, Suranti mencoba untuk melihat gundukan tanah
itu lebih dekat lagi.
"Ayaaah...!" Dan, Suranti menjerit pilu. Hancur hatinya
sewaktu melihat guratan-guratan
kasar pada permukaan batu nisan. Guratan-guratan itu dibuat dengan jari jari tangan dengan
menggunakan tenaga dalam. Suranti tidak
sempat lagi untuk memikirkan siapa yang memakamkan dan membuat guratan nama ayahnya itu,
karena ia telah terguling ke tanah, roboh tak sadarkan diri.
Suranti tak sanggup menerima semua kenyataan itu,
membuat jiwanya terguncang hebat, hingga membuatnya roboh pingsan.
Suara kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan,
terdengar sayup-sayup memasuki telinganya, membuat Suranti mengeluh tersadar dari pingsannya. Suranti tidak segera berdiri.
Diingat-ingatnya segala apa yang telah dialaminya, berharap semua itu hanyalah
mimpi buruk yang menakutkan. Namun, ketika ia menoleh, pandangannya
tertumbuk pada gundukan tanah tempat ayahnya dimakam-
kan. Tahulah Suranti kalau semua itu bukanlah sekadar
mimpi, tapi sebuah kenyataan yang mau tidak mau harus
diterimanya. Kalau saja tidak ingat bahwa ia harus membalas
dendam atas kematian ayah dan tunangannya, mau rasanya Suranti mengakhiri
hidupnya saat itu juga. Namun, luapan gejolak api dendam yang seolah membakar
hangus seluruh tubuhnya, membuat Suranti bangkit. Ia harus tetap hidup untuk
membalas semua kebiadaban itu. Akan ia cari
pembunuh laknat itu kendati sampai ke ujung dunia sekali pun! Ya, ia harus tetap
hidup. Ia harus mencari manusia laknat keparat yang telah menghancurkan
kebahagiaannya itu.
Gelora api dendam membuat semangat Suranti
terbangkit. Perlahan ia berdiri. Dan yang pertama-tama hendak
dilakukannya adalah memakamkan mayat tunangannya. Setelah itu, ia akan menjelajah setiap penjuru untuk mencari si
pembunuh keji itu. Memang bukan
pekerjaan yang mudah. Alon tetapi, Suranti yakin akan bisa menemukannya kelak.
Dan ia akan bisa mengenali si
pembunuh itu melalui ilmu silatnya. Karena sewaktu hendak menguburkan mayat
tunangannya, Suranti mendapat kenyataan bahwa si pembunuh juga membawa lari
pusaka-pusaka leluhurnya. Hanya itu satu-satunya petunjuk baginya untuk bisa
menemukan si pembunuh.
*** "Hoiii..., Arja Wiguna, keluar kau! Kami datang
memenuhi janji...!"
Suara teriakan yang menggema hingga ke bagian
belakang bangunan tempat tinggal Ki Arja Wiguna itu,
membuat Suranti yang tengah tenggelam dalam kedukaan,
seketika tersentak. Detak jantungnya berdentam keras.
Darahnya mengalir cepat dan menimbulkan amarah yang
menggelegak. Suranti menggeram. Kedukaan membuat amarahnya cepat sekali bangkit. Dan, tanpa berpikir dua kali, segera saja
Suranti melompat bangkit. Bergegas
menghambur menuju ke halaman depan.
Di halaman depan, Suranti menemukan adanya tiga
orang lelaki. Mereka nampak tertegun sewaktu melihat
dirinya. Saling berpandangan satu sama lain dengan penuh tanda tanya. Namun,
masing-masing menggeleng, karena tak satu pun dari mereka yang merasa mengenal
gadis muda itu.
"Mana Ki Arja Wiguna" Mengapa dia tidak keluar
untuk menemui kami" Apakah Dewa Mata Seribu sudah
berubah menjadi seorang lelaki pengecut, hingga menyuruh perempuan muda macam
kau untuk menghadapi kami?"
salah satu dari ketiga lelaki itu, yang bagian tengah
kepalanya botak, menatap Suranti dari ubun-ubun sampai ke ujung jempol kaki.
Tapi wajah Suranti tetap membeku. Tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
Tanpa mempedulikan pertanyaan itu, dengan matanya yang masih sembab, Suranti mengawasi dua lelaki yang berdiri di kiri-
kanan orang yang bertanya itu. Yang di sebelah kiri, adalah seorang lelaki
bertubuh jangkung. Sikap berdirinya agak bongkok seperti udang. Menggenggam
sebatang tongkat besi kuning di tangan kanan. Suranti mengerutkan kening sewaktu
melihat mata lelaki itu. Mata lelaki itu jereng, hingga sulit bagi Suranti untuk
menebak, ke mana sebenarnya lelaki itu memandang. Dan Suranti menaksir usia
lelaki itu sedikitnya enam puluh lima tahun.
Sedangkan yang berdiri paling kanan, tidak begitu
jauh berbeda dengan si mata jereng. Sosoknya sama persis, dan juga memegang
tongkat dari besi kuning. Pakaian
keduanya pun tidak berbeda, sama-sama mengenakan jubah berwarna kuning gading,
yang panjangnya selutut. Dan..., kalau saja saat itu ia tidak sedang dalam
kedukaan, mungkin ia akan tertawa melihat mata lelaki itu. Mata itu... juga
jereng! Akan tetapi, ada sedikit perbedaan di antara
keduanya, yaitu adanya codet (bekas luka) di pipi kiri.
"Cukup sudah kau menilai kami, perempuan!" si codet berkata kepada Suranti.
Suaranya pecah seperti kaleng
rombeng dipukul. Membuat Suranti menyeringai, karena
suara itu membuat telinganya sakit.
"Dan sebaiknya cepat kau suruh keluar Ki Arja
Wiguna, sebelum kesabaran kami habis," lelaki jereng di sebelah kanan
menyambung. Suaranya tidak sember, tapi
besar seperti gema, hingga tak begitu jelas terdengar. Akan tetapi, telinga
Suranti dapat menangkapnya dengan baik.
"Sebaiknya jelaskan dulu siapa kalian, dan ada
urusan apa dengan Ki Arja Wiguna?" Suranti malah balik bertanya, tanpa
mempedulikan ancaman itu. Ia tidak
menjelaskan siapa dirinya, dan sengaja menyebut 'ayah', tapi
'Ki Arja Wiguna'. Suranti ingin tahu jelas dulu siapa merela dan ada keperluan
apa dengan ayahnya.
Sikap keras kepala Suranti membuat ketiga lelaki itu jadi saling bertukar
pandang antara satu dengan yang lain.
Nampaknya

Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka merasa heran dengan keberanian Suranti. Akan tetapi, mereka segera menjadi maklum
mengingat gadis itu masih muda dan mungkin belum pernah terjun ke dunia
persilatan, hingga tidak mengenal siapa adanya mereka bertiga.
3 "Baiklah, jika memang itu yang kau inginkan, Nona,"
lelaki yang di tengah akhirnya berkata. "Kau boleh sebut aku Penyabit Kepala,"
lanjutnya memperkenalkan diri seraya mengangkat
dan menggerak-gerakkan
arit di tangan kanannya. Rupanya senjata yang biasanya digunakan untuk menyabit rumput itulah
yang membuatnya mendapat julukan Penyabit Kepala.
"Aku Malayo," ujar lelaki bermata jereng, di sebelah kiri Penyabit Kepala.
"Dan aku Maloya," lelaki yang berada di sebelah kanan Penyabit Kepala, juga
memperkenalkan diri. Ia juga bermata jereng, namun mempunyai codet di pipi kiri.
"Kami berdua di juluki Iblis Kembar Tongkat Kuning!"
Seperti telah bersepakat, Malayo dan Maloya menyebut
julukannya bersama-sama, dan sambil menyeringai.
"Hm..., sepantasnya kalian berdua memakai julukan Tua Bangka Kembar Bergigi
Kuning!" tukas Suranti seraya tersenyum mengejek, membuat paras Malayo dan
Maloya menjadi merah seketika. Keduanya menggereng marah,
namun Suranti menanggapinya dengan dengusan yang
penuh ejekan. Malayo dan Maloya tak dapat menahan diri lagi.
Keduanya mendengus-dengus marah bagaikan banteng-
banteng liar. Belum pernah selama hidup ada orang yang berani menghina dan
mempermainkan mereka seperti itu.
Bahkan tokoh-tokoh yang telah mempunyai nama besar pun tidak berani sembarangan
kepada mereka, apalagi ini cuma seorang gadis muda. Karuan saja mereka
berjingkrak-jingkrak seperti cacing kepanasan.
"Kucopot mulutmu, perempuan lancang!" Malayo menggereng seraya melompat ke depan
sambil mengulur
cengkeraman tangan kirinya.
"Kurontokkan gigi-gigimu, anak setan!" Maloya pun tidak mau ketinggalan. Seperti
berlomba saja, Maloya juga melompat dengan kepalan yang siap merontokkan gigi
Suranti. Dan barulah Suranti terkejut! Serangan Iblis Kembar
Tongkat Kuning itu begitu cepat, hingga membuat pandangannya kabur. Sambaran anginnya pun memperdengarkan suara mencicit, tanda bahwa tenaga
dalam yang terkandung dalam serangan itu sangatlah
kuatnya. Dan Suranti menjadi pucat sewaktu merasakan
tubuhnya bergoyang-goyang. Padahal dua serangan itu masih satu tombak dari
tubuhnya, dan ia cuma baru terkena sambaran anginnya saja. Maklumlah Suranti
kalau ke dua orang kakek
kembar itu adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi. Cemaslah Suranti. Maklum kalau ia tidak mungkin dapat
menandingi kakek kembar itu. Akan tetapi, semua sudah
telajur, dan ia harus berusaha untuk menyelamatkan dirinya.
Dengan mengerahkan seluruh kecepatannya, Suranti
berusaha menghindari dua serangan dahsyat itu dengan
lompatan ke belakang. Akan tetapi bukan main kaget hatinya sewaktu melihat dua
serangan itu masih terus mengejarnya.
Bahkan daya luncurnya semakin cepat. Suranti pun maklum akan percuma saja jika
ia menghindar. Maka ia pun menjadi nekad. Ditunggunya dua serangan itu dengan
berdiri tegak sambil menyalurkan seluruh tenaga dalamnya ke kedua
tangan. Dan ketika dua serangan itu tiba, sambil membentak Suranti mengangkat
kedua lengannya. Nekad memapak
serangan Iblis Kembar Tongkat Kuning!
Plakkk! Plakkk!
Dan sebagai akibatnya Suranti menjerit. Tangkisan itu
membuat tulang-tulang lengannya terasa seperti patah-
patah. Dan ia pun terlempar ke belakang. Jatuh terguling-guling di tanah tanpa
dapat ia cegah lagi.
Iblis Kembar Tongkat Kuning mengeluarkan dengusan
keras. Lalu, berbarengan mereka melompat mengejar Suranti Saling berebut untuk
bisa lebih dulu menangkap gadis itu.
Dan Suranti, yang saat itu masih rebah telentang di tanah, hanya bisa memandang
dengan mata terbelalak dan wajah
pucat! Terbayang di benaknya betapa ia akan segera menjadi seorang perempuan
yang tidak bermulut dan tidak bergigi.
Ngeri hati Suranti membayangkan nasib yang sebentar lagi bakal menimpa dirinya
itu. Dan kengerian itu membuat
Suranti memejamkan matanya erat-erat.
Suranti masih tetap memejamkan matanya erat-erat,
kendati merasa heran sewaktu telinganya menangkap suara benturan yang cukup
keras. Dan ia juga mendengar pekik-pekik kaget dari mulut Iblis Kembar Tongkat
Kuning yang tertahan. Akan tetapi, ia masih belum berani membuka
matanya, meskipun ia ingin tahu apa sebenarnya yang sudah terjadi. Dan selelah
menunggu agak lama, tapi mulutnya belum juga tersentuh cengkeraman dan kepalan
Iblis Kembar Tongkat
Kuning, barulah Suranti memberanikan diri membuka kedua matanya. Itu pun dilakukannya dengan
hati-hati dan perlahan-lahan.
*** Hampir Suranti tidak percaya dengan apa yang
disaksikannya. Takut kalau-kalau semua itu cuma khayalannya belaka, Suranti mengerjap beberapa kali. Baru setelah apa yang
terpampang di depan matanya tidak juga berubah, Suranti pun sadar bahwa semua
itu memang benar-benar nyata!
Suranti melihat Iblis Kembar Tongkat Kuning berada
agak jauh di depannya, kira-kira dua tombak. Sementara, kira-kira empat langkah
di depannya, ada sesosok tubuh berpakaian serba putih berdiri membelakangi
dirinya. Melihat kenyataan itu, maklumlah Suranti kalau dirinya telah
diselamatkan orang. Diselamatkan lelaki berpakaian serba putih, yang ia tidak
tahu kapan dan darimana datangnya.
Tapi yang jelas ia merasa sangat berterima kasih sekali kepada lelaki berpakaian
serba putih itu.
Suranti tengah meneliti sosoknya ketika lelaki berpakaian serba putih ini menoleh. Untuk sesaat, mereka saling bersitatap.
"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanyanya kemudian.
Membuat Suranti agak tergagap. Sebab lelaki yang telah menyelamatkan nyawanya
ini adalah seorang pemuda
berwajah tampan. Bersikap gagah dan juga sopan tutur
katanya. Suranti jadi agak kikuk. Karena penolongnya itu begitu memperhatikan
dan mencemaskan keadaannya.
"Tidak, aku tidak apa-apa," geleng Suranti kemudian, setelah ia menyadari dan
menguasai dirinya. "Terima kasih atas
pertolonganmu, Tuan," sambungnya seraya melemparkan senyum sebagai tanda rasa terima kasihnya.
Si pemuda berpakaian serba putih mengangguk lega,
dan membalas senyum Suranti.
"Apa sebenarnya..."
"Hei, badut konyol tak tahu penyakit! Siapa kau" Apa kau sudah bosan hidup?"
suara bentakan Malayo, orang tertua dari Iblis Kembar Tongkat Kuning, membuat
kalimat pertanyaan
pemuda berpakaian serba putih terputus. Pemuda itu cepat memutar tubuh. Menghadapi Iblis Kembar Tongkat Kuning dan
Penyabit Kepala.
"Namaku Panji," pemuda berpakaian serba putih ini menjawab dengan sikap tenang
dan tutur kata yang sopan.
"Tapi aku bukan badut konyol, dan juga masih ingin hidup.
Kalau bisa sampai seribu tahun lagi," lanjutnya berkilah.
Jawaban pemuda berpakaian serba putih, yang
ternyata adalah Panji ini, membuat Iblis Kembar Tongkat Kuning dan Penyabit
Kepala sama mendengus geram.
Jawaban yang sama sekali tidak mereka harapkan itu,
semakin membangkitkan kejengkelan dan juga kemarahan
mereka. "Bagus... bagus," Malayo mengangguk-angguk sambil melangkah maju beberapa
tindak. "Aku suka jawabanmu, Anak
Muda. Tampaknya kau begitu mengandalkan kepandaianmu, hingga dengan sengaja telah berani lancang mencampuri urusan kami.
Rupanya kau belum mengenal
kami, heh! Sudah merasa bangga karena bisa menggagalkan serangan kami?"
"Tidak juga," kilah Panji seraya menggeleng pelan.
"Kalaupun aku berani lancang mencampuri urusan kalian, itu
karena menyangkut soal nyawa manusia. Soal ketidakadilan, yang memang harus ditentang oleh setiap orang. Tapi tentu saja
yang kumaksud adalah mereka yang menjunjung tinggi keadilan serta kebenaran.
Kalian telah berlaku tidak adil. Itu sebabnya aku memberanikan diri untuk
meluruskannya," lanjutnya, yang meskipun tidak langsung, namun jelas merupakan
tantangan bagi Iblis
Kembar Tongkat Kuning dan Penyabit Kepala.
"Heh heh heh...!" Malayo terkekeh demi mendengar ucapan Panji. Suaranya bergema
hingga getarannya sampai menyelusup ke dalam dada Panji. Bukan sembarang kekeh,
karena Malayo sengaja mengerahkan tenaga dalamnya. Dan Panji pun harus
mengerahkan tenaga dalamnya untuk
meredam getaran dalam dadanya.
"Kau jangan cari-cari alasan, Anak Muda," lanjut Malayo, setelah mengakhiri
kekehnya. "Bilang saja kalau kau memang sengaja hendak menantang kami. Itu lebih
baik daripada segala macam omongan plintat-plintut!"
"Itu tidak benar," Panji menyanggah tuduhan Malayo.
"Di antara kita tidak ada persoalan apa-apa. Kita tidak saling kenal. Bahkan
baru kali ini bertemu. Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk menantang kalian. Aku
cuma kebetulan lewat, dan mendengar teriakan. Lalu, ketika aku melihat kalian
berdua, yang sudah kakek-kakek, menyerang seorang gadis, maka aku mencoba untuk
mencegah perbuatan kalian.
Karena perbuatan kalian jelas tidak adil!"
"Karena gadis itulah yang telah memaksa kami!"
Maloya, si pipi codet, orang kedua dari Iblis Kembar Tongkat Kuning, berkata
untuk membela diri. "Kalau tidak, mana sudi kami mengotori tangan untuk
menghadapi gadis sok tahu
tapi tak bisa apa apa itu!"
"Enak saja menuduh orang!" Suranti, yang tidak terima tuduhan Maloya, langsung
saja menyanggah. Bahkan, tanpa merasa gentar sedikit pun ia balik menuding.
"Kalianlah yang tidak tahu diri! Datang ke tempat orang tanpa permisi.
Berteriak-teriak seperti orang hutan kesasar.
Tentu saja aku menjadi berang. Aku tidak suka tempatku diinjak-injak dan dirusak
manusia-manusia kasar seperti kalian!"
"Huh... kami tidak akan bertindak kasar kepadamu
apabila kau menuruti permintaan kami untuk memanggil Ki Arja Wiguna keluar,"
Maloya masih juga tak mau kalah.
"Kami cuma perlu kepada Ki Arja Wiguna. Denganmu kami tidak mempunyai urusan.
Jadi, sebaiknya kau panggil Ki Arja Wiguna. Katakan kepadanya bahwa Iblis Kembar
Tongkat Kuning dan Penyabit Kepala sudah datang memenuhi janji."
Suranti kelihatan jengkel sekali. Tapi ia berusaha
menahan diri. Keningnya kelihatan berkerut Suranti tengah berpikir. Dan sesaat
kemudian, ia mengangguk-angguk
sambil mempelihatkan senyum mengejek.
"Jadi kalian benar-benar ingin bertemu dengan
ayahku?" tanyanya tiba-tiba, yang membuat kening Penyabit Kepala dan Iblis
Kembar Tongkat Kuning berkerut. Mereka kelihatan kaget sewaktu mendengar bahwa
gadis itu ternyata adalah putri Ki Arja Wiguna. Akan tetapi kekagetan itu cuma
berlangsung sesaat. Saat berikutnya mereka sama menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, silakan kalian temui ayahku di
belakang bangunan ini," kata Suranti kemudian. "Silakan kalian katakan kepada
beliau mengenai maksud kedatangan kalian. Dan seperti yang kalian kehendaki, aku


Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak akan ikut campur lagi!" lanjutnya tandas.
"Nah, kalau dari tadi kau bilang begitu, segala
sesuatunya kan jadi lancar," kata Penyabit Kepala sambil mengangguk-anggukkan
kepala. Lalu, mengisyaratkan Iblis Kembar Tongkat Kuning untuk segera
mengikutinya. Sikap Suranti tentu saja membuat Panji menjadi
heran. Dalam hatinya ia menjadi ragu akan kewarasan
pikiran gadis itu. Padahal jelas-jelas ketiga kakek itu datang bukan dengan
maksud baik. Tapi mengapa gadis itu
membiarkan dan bahkan ringan saja menyuruh mereka
untuk menemui ayahnya. Dan Panji menjadi semakin tidak mengerti sewaktu
dilihatnya gadis itu malah tersenyum-senyum.
"Tenang saja, Panji," kata Suranti, yang seperti dapat membaca pikiran Panji.
"Sebentar lagi mereka pasti akan kembali menemuiku. Kau tidak perlu khawatir.
Ayahku tidak akan bisa mereka lukai," lanjutnya sambil tersenyum-senyum, yang
kemudian memperkenalkan dirinya kepada
Panji. Meskipun sebenarnya masih merasa penasaran, dan
hatinya dipenuhi bermacam pertanyaan, namun Panji tidak berkata apa-apa.
Ditunggunya kebenaran kata-kata Suranti.
*** Tidak berapa lama kemudian, apa yang dikatakan
Suranti pun terbukti. Dari bagian samping bangunan, Panji melihat Penyabit
Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning sudah muncul kembali dan tengah
menghampiri mereka
berdua. Akan tetapi, kening Panji berkerut ketika melihat wajah ketiga kakek
itu, yang rata-rata gelap dan menggam-barkan kemarahan yang siap meledak.
"Kurang ajar!" Belum lagi tiba dekat, Penyabit Kepala sudah mengumpat kasar.
"Berani kau mempermainkan kami, perempuan sundal!"
Tapi Suranti tetap bersikap tenang. Sebaliknya,
Panjilah yang merasa cemas. Cemas akan keselamatan
Suranti. Karena Panji maklum betul kalau ketiga kakek itu bukanlah orang-orang
sembarangan. Ia sudah merasakan
sendiri betapa kuatnya tenaga dalam kakek kembar yang
bersenjata tongkat dari kuningan itu.
"Hm..., mengapa kalian kelihatannya tidak merasa
senang?" Suranti malah bertanya dengan nada mengejek.
"Bukankah kalian sudah bertemu dengan ayahku?"
"Perempuan setan!" Malayo menyambut pertanyaan Suranti dengan makian. Nampaknya
ia benar-benar marah
kepada Suranti, sampai-sampai gigi-giginya bergemeretak.
"Rupanya kau memang sengaja hendak mempermainkan
kami! Untuk itu kau akan merasakan akibatnya!"
"Dan kami juga masih belum percaya kalau ayahmu
itu benar-benar sudah tewas," Maloya ikut angkat bicara.
"Jangan kira dengan makam itu kau bisa mengelabuhi kami."
"Apa untungnya aku mengelabuhi kalian?" lontar Suranti. "Ayahku memang sudah
tewas. Aku sendiri belum tahu siapa yang telah membunuhnya, dan kapan
terjadinya. Kemarin pun, saat aku baru kembali dari tempat kediaman sahabat Ayah, makam itu
sudah ada. Dan aku yakin kalau itu
memang benar-benar makam ayahku. Karena tunanganku pun kudapati sudah menjadi mayat. Dia dibu-
nuh dengan cara yang sangat kejam sekali. Dan saat kalian datang,
aku baru saja selesai memakamkan mayat tunanganku, yang juga merupakan murid ayahku satu-
satunya itu," jelas Suranti kemudian. Ia merasa perlu untuk memaparkan semua itu
kepada ketiga orang kakek, yang
diduganya adalah musuh-musuh lama ayahnya itu.
Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning
tampak saling bertukar pandang. Mereka menilai bahwa apa yang dikatakan gadis
itu bukanlah sekadar siasat. Mereka tahu kalau gadis itu bersungguh-sungguh.
Apalagi mereka kenal betul siapa adanya Ki Arja Wiguna. Seorang tokoh berwatak
jantan, yang mustahil akan tega membiarkan putrinya untuk menghadapi mereka,
sementara Ki Arja Wiguna
sendiri pergi bersembunyi. Itu bukan watak Ki Arja Wiguna.
Bukan watak seorang tokoh besar yang bahkan telah
mendapat julukan Dewa Mata Seribu.
Akan tetapi, bagaimanapun mereka tetap merasa
tidak puas. Merasa kecewa. Mereka telah jauh-jauh datang untuk menemui Ki Arja
Wiguna. Telah bersusah-payah
bertahun-tahun melatih diri untuk membalas kekalahan
mereka. Ya, mereka memang pernah dipecundangi Ki Arja
Wiguna. Dipecundangi Dewa Mata Seribu. Dan mereka tidak dibunuh
karena telah mengakui kekalahan mereka. Kemudian, di hadapan Dewa Mata Seribu mereka bersumpah untuk membalas kekalahan.
Kelak, mereka akan datang
untuk menantang Dewa Mata Seribu. Untuk mengulangi
pertarungan, yang apa bila mereka masih juga dapat
dikalahkan, mereka berjanji akan meninggalkan jalan sesat, yang selama ini
mereka jalani. Dewa Mata Seribu tidak merasa keberatan. Justru
merasa lega. Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat
Kuning bukanlah tokoh-tokoh sembarangan. Ketiganya merupakan gembong-gembong
golongan sesat. Untuk membunuh mereka saat itu memang mudah saja baginya.
Akan tetapi, merupakan pantangan baginya untuk membu-
nuh lawan yang telah mengaku kalah. Dewa Mata Seribu
lebib suka apabila mereka meninggalkan dunia sesat atas kesadaran sendiri. Maka
diterimanya tantangan itu. Apalagi, setelah mengucapkan sumpah, Penyabit Kepala
dan Iblis Kembar Tongkat Kuning berjanji untuk tidak melakukan
kejahatan dulu. Mereka akan bersembunyi untuk memperdalam ilmu silat mereka, yang kelak setelah siap, baru mereka akan menemui
Dewa Mata Seribu. Dan tentu
saja mereka sangat kecewa sekali ketika setelah sekian tahun lamanya melatih
diri, yang mereka temui ternyata cuma
gundukan tanah. Dewa Mata Seribu sudah tewas. Dan
kenyataan itu sulit untuk mereka terima.
"Hm..., sulit bagi kami untuk bisa menerima bahwa ada orang yang bisa membunuh
Dewa Mata Seribu," kata Penyabit Kepala, memecah keheningan yang cukup lama
berlangsung. "Hal itu memang bukan tidak mungkin terjadi.
Akan tetapi, siapa orang yang telah membunuhnya"
Mungkinkah orang itu juga menaruh dendam kepadanya,
atau ada alasan lain?" lanjutnya sambil menatap wajah Suranti dalam-dalam.
Suranti tidak segera menjawab. Memang ia tahu kalau
pembunuh ayahnya itu mempunyai juga alasan lain. Pusaka-pusaka leluhurnya telah
lenyap. Dan Suranti yakin kalau si pembunuh itulah yang mencuri pusaka-pusaka
leluhurnya. Akan tetapi, tidak mungkin baginya untuk mengatakan hal itu. Kalau hal itu
dikatakannya, mungkin saja ketiga musuh ayahnya itu akan tertarik, dan ikut
mencari pusaka-pusaka leluhurnya
itu. Bukan untuk diserahkan kepadanya, melainkan untuk memilikinya. Suranti tentu saja tidak ingin hal itu sampai
terjadi. "Entahlah," geleng Suranti. Mengambil keputusan untuk merahasiakan hal itu.
"Tapi yang jelas, apa pun alasan manusia durjana itu, aku akan tetap mencarinya.
Aku harus membalas perbuatan manusia biadab itu agar arwah Ayah
dan tunanganku dapat tenang di alam baka."
Selesai Suranti berkata, keheningan kembali tercipta
di antara mereka. Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning kelihatan
bingung sekali. Padahal mereka harus
melaksanakan sumpah yang telah mereka ucapkan pada
beberapa tahun silam itu. Tapi Dewa Mata Seribu sudah
tewas. Mereka merasa tidak puas. Masih tetap merasa
penasaran. Sumpah itu harus merela lunasi. Tapi kepada siapa" Putri Dewa Mata
Seribu" Tidak mungkin! Kepandaian putri Dewa Mata Seribu tidak ada apa-apanya
dibanding mereka. Menghadapi gadis itu cuma hanya akan semakin
menambah rasa penasaran dan tidak puas di hati mereka
saja. Tapi, untuk pulang dengan membawa kekecewaan,
mereka juga tidak mau. Sumpah itu tetap harus mereka penuhi!
Cukup lama keheningan itu berlangsung. Dan kalau
Suranti maupun Panji berbeda terbawa alir pikirannya
masing-masing, sebaliknya dengan tiga kakek ini. Meskipun tidak ada kata sepakat
di antara mereka, namun baik
Penyabit Kepala maupun Iblis Kembar Tongkat Kuning,
mempunyai pikiran yang serupa. Mereka sama-sama memikirkan bagaimana cara untuk memenuhi sumpah
mereka itu. Dan meskipun tidak ada kata sepakat antara satu dengan yang lain,
tapi ternyata mereka menemukan
satu jawaban. Dan seperti telah mengetahui pikiran masing-masing saja, secara
bersamaan mereka menatap ke arah
Panji. Mendapat tatapan dari ketiga kakek itu, Panji jadi
mengerutkan kening. Dan diam-diam Panji merasa berdebar hatinya
sewaktu ia mulai dapat menduga-duga dan merasakan apa arti tatapan mereka itu.
"Anak Muda," tiba-tiba saja Penyabit Kepala berkata sambil tetap menatap Panji.
"Dengan sengaja kau telah mencampuri urusan kami. Itu artinya kau telah ikut
melibatkan diri ke dalam persoalan antara kami dengan Ki Arja Wiguna. Dan karena
sekarang Ki Arja Wiguna telah
tiada, maka mau tidak mau kau harus menggantikan
Kisah Dua Naga Di Pasundan 7 Kisah Tiga Kerajaan Sam Kok Romance Of The Three Kingdom Karya Luo Guan Zhong Pendekar Latah 22
^