Pembunuh Berdarah Dingin 3
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin Bagian 3
"Aku sadar sepenuhnya, dan tidak bisa terlalu
berharap kau akan mempercayai semua kata-kataku, Suranti," suara Malintang terdengar lagi. Begitu sedih kedengarannya. Seperti
orang yang putus harapan. Penuh dengan getaran perasaan hatinya yang menderita.
Membuat Suranti mendesah pelan. Perasaannya sebagai wanita,
sebagai adik, merasa tersentuh. Suranti dapat merasakan dan membayangkan, betapa
menderitanya hidup kakaknya
selama ini. Suranti jadi tertarik, ingin melihat seperti apa kakaknya sekarang,
yang setelah hampir tiga tahun tak
pernah dilihatnya itu.
Perlahan, Suranti bergerak turun dari atas pem-
baringan. Dan, meskipun ada sedikit keraguan dalam
harinya, namun kakinya tetap dilangkahkan mendekati
jendela. Laiu, dengan dada berdebar, dengan kedua tangan gemetar, diraihnya daun
jendela. Perlahan, dibukanya jendela kamarnya itu.
Dan, Suranti menutup mulutnya, menahan jeritnya.
Seraut wajah pucat dengan sorot mata sayu, benar-benar membuat hati Suranti
seperti ditusuk. Membuat bibirnya gemetar,
sementara air bening mulai menggenang di matanya, yang kemudian meluncur perlahan membasahi
kedua belah pipinya. Dan Suranti terisak.
Keadaan kakaknya benar-benar menusuk pera- saannya. Membuat hatinya iba, terharu, hingga tak dapat lagi menahan isak.
Kakaknya kelihatan sangat menderita sekali.
Menatapnya seperti seorang anak kecil yang minta perlindungan ibunya. Suranti merasa kerongkongannya
seperti tersumbat. Kering, membuatnya harus menelan ludah beberapa kali.
"Kakak Malintang...," akhirnya dapat juga Suranti mengeluarkan suara. Parau dan
bergetar. Tapi ia tidak
bergerak dari tempatnya berdiri. Begitu juga dengan Malintang. Malintang seperti ragu. Seperti masih belum percaya bahwa adiknya
akan mau mempercayainya. Suranti dapat merasakan apa yang sedang dirasakan
kakaknya itu. "Suranti, Adikku...," sambut Malintang, juga dengan, suara parau, seperti
tersekat di tenggorokan. Tapi Malintang masih tetap berdiri di luar jendela.
Belum berani mendekati Suranti. Dari sinar matanya, Suranti dapat mengetahui
bahwa kakaknya masih takut kalau ia akan menghindar.
"Dari mana kau tahu kalau aku berada di penginapan ini, Kak Malintang?" tiba-
tiba saja, seperti baru teringat, Suranti menanyakan hal itu. Dan dengan tiba-
tiba pula, kecurigaannya bangkit. Membuat Suranti undur dua tindak.
Suranti berusaha menekan rasa iba dan keharuan yang
menyeruak, sewaktu didapatinya betapa kesedihan semakin terpancar jelas dari
sorot mata kakaknya.
Malintang menarik napas berat. "Tidak sulit, Adikku,"
ujar Malintang seraya tersenyum sedih "Raja Sesat mempunyai banyak sekali pengikut yang tersebar di mana-mana. Dari mereka itulah
Raja Sesat mengetahui tentang kau dan pemuda berpakaian serba putih yang
belakangan ini selalu bersamamu. Dan kalau aku tidak salah dengar,
pemuda yang bersamamu itu berjuluk Pendekar Naga Putih.
Seorang tokoh muda berkepandaian tinggi yang berasal dari tanah Jawa. Tanpa
sepengetahuan kalian, kaki-tangan Raja Sesat selalu membayangi perjalanan
kalian. Bahkan saat ini pun Raja Sesat sudah mengetahui bahwa Pendekar Naga
Putih hendak menyatroni tempat kediamannya. Dan ia sudah mempersiapkan
penyambutan, yang kalau aku tidak salah
dengar, Raja Sesat bahkan akan menggunakan putrinya
untuk menjebak Pendekar Naga Putih."
Suranti menahan jeritnya. Kaget bukan main hatinya
sewaktu mendengar penuturan kakaknya itu. "Lalu... lalu apa yang akan mereka
lakukan terhadap Panji?" tanya Suranti, saking bingung dan cemasnya.
"Tentu saja Pendekar Naga Putih akan dibunuhnya,"
jawab Malintang.
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan?"
"Kita"!" Malintang menegasi dengan harap-harap cemas. Takut kalau-kalau ia salah
dengar. "Ya, kita," tegas Suranti, yang membuat Malintang membelalakkan matanya.
"Jadi... maksudmu... Kau... kau masih mem- percayaiku"!" Seperti masih belum percaya, Malintang berkata terbata-bata.
Sambil berkata demikian, ditatapnya wajah adiknya dengan sorot mata bersinar-
sinar. Suranti tidak segera menjawab. Sebenarnya, ia belum
percaya sepenuhnya dengan kakaknya itu. Akan tetapi,
bayangan bayangan buruk yang mungkin akan terjadi
dengan Panji, membuat Suranti menganggukkan kepala.
"Aku akan lebih percaya lagi apabila kau mau
membantuku untuk menyusul Panji..., maksudku Pendekar
Naga Putih. Aku akan merasa berdosa sekali jika sampai terjadi apa-apa
dengannya, Kak Malintang. Panji orang baik.
Ia mau membantu aku tanpa mengharapkan imbalan. Malah
ia tidak segan-segan untuk menyelidiki Raja Sesat, meskipun sadar bahwa dengan
perbuatannya itu nyawanya akan
terancam."
Malintang mengangguk-anggukkan kepala. Tapi tentu
saja ia tidak memperlihatkan perasaan hatinya yang
sesungguhnya, ia yakin Suranti sudah termakan siasatnya.
Sudah masuk ke dalam perangkapnya. Malintang tahu betul bagaimana watak adiknya
itu. Sejak kecil, Suranti memang berhati lembut. Suranti mudah merasa iba. Mudah
terbawa perasaannya yang halus. Itu sebabnya, mengapa begitu
melihat Pendekar Naga Putih pergi, Malintang segera
mendatangi Suranti untuk menjalankan siasatnya.
Malintang memang tidak berdusta sewaktu me-
ngatakan bahwa perjalanan Panji dan Suranti selalu diawasi kaki-tangan Raja
Sesat. Gerak-gerik dan semua rencana
mereka dapat diketahui oleh Raja Sesat, yang mendapat
laporan dari kaki-tangannya itu. Panji dan Suranti memang tidak menyadari, dan
tidak tahu kalau hampir seluruh
daerah itu berada dalam kekuasaan Raja Sesat. Tak seorang pun yang berani
menentang Raja Sesat. Baik itu tokoh-tokoh persilatannya, maupun mereka yang
cuma penduduk biasa.
Tidak terkecuali para petani, pemilik kedai sampai kepala desa. Semua berada di
bawah pengaruh Raja Sesat. Dan dari mereka itulah Raja Sesat bisa mengetahui
siapa Panji dan siapa Suranti, termasuk tujuan perjalanannya. Itu sebabnya
mengapa Panji sampai tidak mengetahui bahwa selama
perjalanan, mereka tidak mengetahui dari pengawasan Raja Sesat. Dan itu pula
sebabnya, mengapa Malintang bisa
mengetahui tempat Panji dan Suranti menginap. Kemudian mendatangi Suranti
sewaktu Panji pergi.
Dan, seperti yang sudah diduganya, siasatnya berjalan mulus. Meskipun belum sepenuhnya Suranti percaya kepadanya, namun Malintang sudah merasa girang sekali. Apalagi ketika
Suranti mengajaknya untuk menyusul Pendekar Naga Putih. Tanpa ragu-ragu lagi,
Malintang mengangguk. Tapi anggukkan kepala Malintang belum membuat
Suranti puas. Ditatapnya wajah Malintang lekat-lekat.
"Berjanjilah, Kak," pintanya, yang lebih mirip merupakan tuntutan.
Malintang tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Permintaan itu jelas menunjukkan bahwa Suranti belum percaya
sepenuhnya kepadanya. Hal itu membuat
Malintang diam-diam berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati.
Malintang maklum, sedikit saja kesalahan dalam sikap ataupun ucapannya, bukan
mustahil Suranti
akan merubah pendiriannya.
"Baiklah," ujarnya sambil menghela napas. "Aku berjanji akan membantumu untuk
mencari Pendekar Naga
Putih." Setelah mendengar janji Malintang, barulah Suranti
merasa lega. Dan tanpa ragu-ragu lagi ia segera melompat keluar jendela. Lalu,
diayunkan langkahnya mengikuti
Malintang, yang sudah bergerak meninggalkan tempat itu.
7 Selama dalam perjalanan menuju tempat kediaman
Raja Sesat, ada sikap dan ucapan Maliani yang kurang
disukai Panji. Bagi seorang gadis, menurut Panji, sikap dan kata-kata Maliani
terlalu bebas. Tidak seperti layaknya seorang gadis yang baru terjun ke rimba
persilatan. Bagi Panji, sikap dan kata-kata Maliani mencerminkan watak
seorang gadis binal. Maliani tidak ragu-ragu untuk memegang ataupun menarik tangannya sewaktu berjalan.
Malah tidak jarang Maliani berjalan terlalu merapat kepadanya, hingga sampai-
sampai siku Panji menyentuh buah dada gadis itu. Tapi Maliani tidak kelihatan
risih. Sebaliknya, justru Panji-lah yang merasa risih, hingga dengan tidak
kentara Panji menggeser tubuhnya agar mereka tidak terlalu rapat.
Dalam pengembaraannya,
tidak jarang, bahkan hampir seringkali Panji berhadapan dengan perempuan. Dan meskipun
kelihatannya ia tidak menaruh perhatian, sesungguhnya diam-diam Panji selalu menilai dalam hati.
Dan dari semua pengalamannya itu, sedikit banyak Panji jadi dapat menilai dan
dapat membedakan mana perempuan
baik-baik, dan mana perempuan yang tidak benar. Dan,
menurut pengamatan Panji, Maliani termasuk dalam golong-an perempuan yang tidak
benar. Paling tidak, Maliani
termasuk jenis perempuan mata keranjang. Malah mungkin lebih dari sekedar mata
keranjang saja. Dan rasanya, kalau ia tidak salah menilai, andaikata ia mau
meladeni sikap Maliani, mau menunjukkan sikap kurang ajar, bukan tidak mungkin gadis itu akan
menyerahkan dirinya bulat-bulat.
Ah! Panji menepiskan penilaiannya yang terlalu kasar
itu. Akan tetapi, Panji malah menjadi penasaran. Benar sikap Maliani kadang
selalu berlebihan. Terlalu menjurus sikap genit dan menantang. Tapi, itu bisa
saja cuma kelihatannya.
Sedangkan yang sebenarnya, mungkin tidak demikian. Begitu bantahan sisi lain
hati Panji. Dan karena bantahan itu pula ia
menjadi penasaran. Merasa tertantang untuk membuktikan benar tidaknya penilaiannya, ia akan mencoba untuk
melayani sikap genit Maliani. Hitung-hitung pengalaman. Begitu pikirnya.
"Panji," panggil Maliani dengan sikap dan suara manja. Dan sambil berkata
Maliani menaruh tangannya di bahu kanan Panji. Menggelayut manja. Sedikit pun
tidak kelihatan risih. "Kalau kita berhasil membasmi Raja Sesat, apa yang akan
kau lakukan selanjutnya?" tanya Maliani kemudian.
Panji membalas senyum gadis itu. Ini kesempatan
yang kutunggu-tunggu. Begitu kata hati Panji. Kemudian, tidak seperti sebelum-
sebelumnya, kali ini Panji menaruh tangannya di atas punggung tangan Maliani.
Ditepuk-tepuknya perlahan-lahan. Hendak dilihatnya bagaimana
tanggapan gadis itu.
"Kau sendiri, apa yang akan kau lakukan se-
lanjutnya?" Panji mengembalikan pertanyaan gadis itu. Dan sambil masih tetap
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersenyum, Panji mulai meningkatkan usahanya.
Kalau tadi baru sebatas menepuk-nepuk, sekarang Panji mulai berani mengelus-elus punggung...
tangan Maliani.
Perbuatan Panji, yang diluar dugaan itu, karena
sebelumnya selalu menghindar, membuat senyum di bibir
Maliani semakin merekah. Sepasang matanya berbinar.
Kelihatan sekali betapa Maliani sangat gembira. Panji sudah mulai terpengaruh!
Begitu pikirnya. Maka, Maliani pun
semakin berani mengirimkan tantangan.
"Kawin!" jawab Maliani sambil mengerjap ngerjapkan matanya. "Itulah yang akan
kulakukan, Panji. Kalau kau?"
Mendengar jawaban Maliani, Panji tertawa pelan.
Begitu juga hatinya, ikut tertawa. Karena, setelah berkata demikian, Maliani
membalikkan tangannya yang dielus-elus Panji.
Dan tanpa ragu-ragu lagi, digenggamnya dan diremasnya tangan Panji. Dan Panji pun tidak mau kalah.
Remasan tangan gadis itu segera dibalas kontan.
"Aku juga mau kawin," jawab Panji seraya tertawa pelan. Kemudian Panji
menghentikan langkahnya. Karena
jawabannya telah membuat Maliani berhenti melangkah.
Sehingga, sekarang mereka berdiri berhadap-hadapan. Dekat sekali, cuma terpisah
satu jengkalan tangan!
Maliani mengangkat
kepalanya, sementara Panji
terpaksa agak menunduk. Karena tinggi Maliani cuma
sampai telinganya. Dan mereka saling tatap. "Kau sudah punya pilihan?" tanya
Maliani sambil terus menatap mata Panji.
"Kau sendiri?" Kembali Panji memancing Maliani untuk menjawab lebih dulu.
Meskipun sudah ada dugaan,
namun ia ingin tahu apa jawaban gadis itu.
"Mmm... sudah, tuh!"
"Siapa?" desak Panji lagi, sementara Madani semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh
Panji. Dan Panji tidak
menghindar. Malah, ketika gadis itu melingkarkan lengan di bahunya, Panji segera
meraih pinggang gadis itu.
"Kau, Panji," jawab Maliani, yang kemudian menjatuhkan kepalanya di dada Panji. "Kaulah pilihanku, Panji."
"Tapi, bagaimana kalau kita berdua tewas di tangan Raja Sesat?" tiba-tiba saja
pertanyaan itu melintas di benak Panji.
Dan tanpa perlu berpikir lagi, segera saja dilontarkannya pertanyaan itu.
"Tidak akan, Panji, tidak akan!" jawab Maliani sambil mengangkat kepalanya, yang
kemudian digelengkannya
keras-keras. Tentu saja Panji merasa agak heran.
"Mengapa?" tanya Panji lagi. "Raja Sesat sangat tinggi sekali kepandaiannya.
Belum lagi pengikut-pengikutnya.
Lalu, mengapa kau bisa begitu yakin kalau kita tidak akan mati di tangannya.
Padahal aku tidak merasa punya nyawa cadangan."
"Aku juga tidak punya nyawa cadangan, Panji," tukas Maliani, yang kembali saling
tatap dengan Panji. Kemudian hening sesaat. Dan secara perlahan namun pasti,
Maliani mendekatkan wajahnya ke wajah Panji. Dan untuk bisa
mencapainya Maliani mengangkat tumitnya.
Panji tahu apa yang diinginkan Maliani. Maka, tanpa
merasa ragu lagi, segera saja Panji menundukkan kepalanya.
Dan, Maliani yang merasa tidak sabar, langsung menyergap bibir Panji. Melumatnya
dengan lahap. Memang pada mulanya Panji cuma sekadar ingin
membuktikan penilaiannya saja lapi, ketika ia merasakan ciuman gadis itu, Panji
seperti lupa dengan tujuannya
semula. Maliani bukan saja tidak jelek, malah bisa dibilang sangat cantik.
Lebih-lebih bentuk bibirnya sangat bagus dan seperti selalu menantang siapa
saja. Jadi, tidak heran kalau Panji sampai terangsang. Dan ia pun segera
membalas dengan tidak kalah hangatnya. Bibir gadis itu digasaknya habis-habisan.
*** Akan tetapi, betapapun rangsangan itu menuntutnya,
namun Panji tahu batas. Dan ia tidak ingin melewati batas-batas itu. Maka,
ketika dirasakannya Maliani semakin gila, semakin memperturutkan tuntutan nafsu
yang menyentak-nyentak, Panji segera melepaskan pelukannya. Perlahan
dijauhkannya tubuh gadis itu.
"Mengapa, Panji, mengapa"!" Dengan napas terengah-engah, Maliani bertanya tak
mengerti. "Kita tidak boleh melakukannya, Maliani," jawab Panji tegas. "Ada batas-batas
yang harus dijaga kecuali mereka yang sudah menjadi suami-istri."
"Tapi kau suka kepadaku, bukan" Kau... kau mau
menjadi suamiku, bukan?" kata Maliani sambil menatap Panji dengan sorot penuh
tuntutan. Panji tidak segera menjawab. Ditariknya napas untuk
sesaat. "Lalu bagaimana dengan Raja Sesat" Bukankah kau harus menuntut balas
kematian keluargamu?" ujar Panji mengingatkan Maliani. Dan dengan pertanyaannya
itu, Panji bermaksud untuk mengalihkan pembicaraan. Karena jika ia menjawab,
bukan mustahil kalau Maliani akan mengamuk.
Malah mungkin akan menuduhnya sebagai lelaki hidung
belang. Maliani tertegun, ia kelihatan bingung, seperti kehilangan kata-kata. Cuma menatap Panji dengan sorot
mata yang sulit ditebak. Dan itu berlangsung cukup lama.
"Maliani" Kau kenapa?" Merasa khawatir ketika melihat gadis itu masih juga
membisu seperti patung, Panji pun segera menegurnya. Membuat Maliani tersentak.
Lalu Panji mendengar gadis itu menarik napas, yang kemudian membuang
pandangannya ke arah lain.
"Panji," ujar Maliani sambil kembali menatap Panji.
"Apakah kau mempunyai persoalan dengan Raja Sesat?" "
"Kau sudah tahu jawabannya, Maliani. Aku cuma
membantu," jawab Panji sambil membalas tatapan gadis itu.
Sengaja Panji tidak menyebutkan membantu siapa. Kalau ia menyebutkan membantu
Maliani saja, berarti ia telah
berdusta. Dan Panji tidak ingin berdusta, karena ia juga membantu
Suranti. Itu sebabnya mengapa ia cuma mengatakan 'membantu' saja. Dengan begitu jawabannya
mempunyai dua pengertian. Bisa berarti membantu Maliani, dan juga bisa berarti
membantu Suranti. Tapi tentu saja yang Panji maksud sebenarnya adalah membantu
keduanya. "Artinya kau sendiri tidak mempunyai persoalan apa-apa dengan Raja Sesat?"
Maliani masih juga menegasi.
Tampaknya ia kurang puas.
"Mengapa kau malah mendesak aku, Maliani" Ada apa sebenarnya" Nada suaramu
kedengarannya agak aneh"
Kau... seperti berpihak kepada Raja Sesat?" kilah Panji, yang menjadi heran
ketika merasakan seperti ada perubahan pada diri Maliani.
Maliani jadi kelihatan bimbang. Sebenarnya ia hendak
menjebak Panji. Dan cerita tentang keluarganya maupun
pengeroyokan empat lelaki terhadapnya, adalah bagian dari rencana yang
disusunnya bersama ayahnya dan Malintang.
Maliani tahu kalau ayahnya merasa jerih kepada Pendekar Naga Putih. Apalagi
setelah mendengar sendiri cerita
Malintang, yang dipecundangi Pendekar Naga Putih. Ayahnya semakin yakin kalau
berita tentang Pendekar Naga Putih, yang telah banyak merobohkan tokoh-tokoh
kelas atas, bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Ayahnya semakin jerih saja. Maliani tahu
itu, kendati ayahnya berusaha menyembunyikannya rapat-rapat, yang lalu bersama
Malintang, merencanakan untuk menjebak Pendekar Naga Putih.
Tapi sekarang, setelah bertemu dan berhadapan
langsung, setelah mengetahui bagaimana watak dan sikap Pendekar Naga Putih, dan
setelah melakukan perjalanan
bersama-sama, hati Maliani menjadi goyah. Maliani bukanlah seorang gadis
ingusan, bukan gadis kemarin sore, dan bukan baru pertama kail berjumpa dengan
pemuda yang tampan
dan gagah. Bukan, bukan dan bukan! Pemuda-pemuda
seperti itu telah banyak yang dijumpainya. Sudah banyak yang masuk ke dalam
kehidupannya. Dari mereka adalah
perayu-perayu, penjilat-penjilat, yang begitu melihatnya langsung tergila-gila
kepadanya. Mereka tidak segan-segan untuk berlutut di bawah kakinya demi untuk
mengemis cintanya. Bahkan kalaupun ia menyuruh mereka untuk menjilati telapak kakinya, mereka pasti akan melakukannya.
Dan Maliani sudah muak dengan pemuda-pemuda seperti
itu. Sedangkan terhadap Panji...
Sejak Panji menolongnya dan menyatakan kesediaannya untuk membantunya membalaskan dendam
keluarganya, Mallani sudah merasa tertarik. Apalagi Panji ternyata tidak
mengharapkan imbalan apa-apa darinya.
Hendak menolongnya dengan tulus. Padahal Panji tahu
bahwa dengan menolongnya, bukan tidak mungkin dirinya
akan menjadi korban. Dan itu sungguh berbeda sekali
dengan apa yang ditanamkan ayahnya kepadanya sejak ia
kecil. Menurut ayahnya, kaum golongan putih adalah
kelompok orang-orang sombong. Orang-orang yang sok suci.
Kelompok orang-orang yang selalu memusuhi kaum golongan hitam. Merasa benar
sendiri, meremehkan dan menghina
kaum golongan hitam, yang menurut mereka hanyalah
kelompok orang-orang kotor berhati busuk, yang sudah
semestinya dibasmi habis. Akan tetapi, pada diri Panji, Maliani
tidak menemukan semua itu. Panji tidaklah sombong, kendati memiliki kepandaian yang tinggi. Tidak sembarangan
membunuh. Itu sudah terbukti dengan membiarkan empat pengeroyoknya pergi. Malah Panji tidak memusuhi Raja Sesat
secara langsung. Padahal Raja Sesat jelas-jelas merupakan tokoh golongan hitam
yang sangat berbahaya. Dan kalau pun Panji memusuhi Raja Sesat, itu disebabkan
karena hendak membantunya.
Tapi bukan hanya cuma karena itu saja yang
menyebabkan Mallani tertarik. Panji ternyata tidak terpesona dengan
kecantikannya. Tetap berusaha menjaga kesopanan kendati ia telah berulangkali
memancingnya. Dan Panji
ternyata bukanlah termasuk lelaki yang mau memanfaatkan kesempatan. Padahal ia
sudah pasrah. Menyerahkan dirinya bulat-bulat. Dan meskipun jumlah kekasihnya
sudah tidak terhitung lagi, namun Maliani tetap menjaga kesuciannya.
Tapi Panji ternyata menolaknya. Padahal laki-laki lain pasti akan berebutan
untuk memilikinya. Tapi Panji ternyata tidak.
Dan itulah sebabnya mengapa hati Maliani sampai menjadi goyah. Maliani sadar
bahwa ia telah jatuh cinta kepada Panji.
Kepada Pendekar Naga Putih! Orang yang dimusuhi ayahnya.
Baginya, Panji adalah seorang pemuda pilihan yang tidak ada duanya!
*** "Raja Sesat adalah Ayahku...."
Kalau saja saat itu ada petir menggelegar di te-
linganya, mungkin Panji tidak akan sekaget mendengar
pengakuan yang keluar dari mulut Maliani! Padahal Maliani mengucapkannya dengan
suara yang nyaris berupa bisikan lirih dan bergetar. Malah wajah Maliani tampak
pucat. Tapi, Panji tetap saja kaget bukan main. Dan saking kagetnya, Panji
sampai tersurut ke belakang. Memandang Maliani dengan mata terbelalak. Dengan
wajah memucat! "Kami merencanakan untuk menjebakmu, Pendekar
Naga Putih!" lanjut Maliani. "Dan aku adalah umpannya."
Panji cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sulit baginya untuk menerima pengakuan Maliani. Bukannya ia
tidak percaya, tapi bagaimana mungkin Maliani menceritakan semua itu kepadanya" Mengapa Maliani
menjadi berubah pikiran" Padahal dia sudah masuk ke
dalam perangkap gadis itu" Ban kalau Maliani tetap
melanjutkan sandiwaranya, bukan mustahil kalau rencana itu akan berhasil dengan
baik. Tapi, Maliani malah menghancurkan rencananya sendiri. Sungguh Panji jadi
tidak habis mengerti.
"Mengapa kau menceritakan semua ini kepadaku,
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maliani?" tanya Panji setelah dapat menguasai perasaannya.
Ditatapnya wajah gadis itu dengan penuh keheranan.
"Setelah aku melihatmu dan mengetahui watak serta pendirianmu, terus-terang aku
tidak bisa melanjutkan
rencana ini. Aku... tidak mau kau sampai celaka. Panji,"
jawab Maliani dengan suara serak. Semula Maliani hendak mengatakan "Aku telah
jatuh cinta kepadamu, Panji." Tapi diurungkannya. Maliani takut jika Panji akan
memandang rendah dirinya, meremehkannya, karena ia adalah putri seorang
dedengkot golongan sesat.
Lagi-lagi Panji menggeleng. Menarik napas berulang-
ulang. Tidak mendesak, meskipun sedikit banyak ia dapat menduga apa yang
menyebabkan Maliani mengungkapkan
rencana itu kepadanya. Akan tetapi, apa pun alasan Maliani, Panji merasa sangat
berterima kasih sekali. Membuat
penilaiannya berubah. Karena ia tahu sekarang, mengapa Maliani begitu jinak
kepadanya, sampai-sampai hendak
menyerahkan kehormatannya.
"Sadarkah kau bahwa perbuatanmu ini akan membuat ayahmu murka?" ujar Panji yang malah jadi mencemaskan nasib gadis itu.
"Aku sudah siap untuk menanggung semua akibatnya," begitu tegas dan mantap suara Maliani. Membuat Panji terharu.
Sungguh tidak disangkanya kalau putri
seorang dedengkot golongan sesat, yang kekejamannya telah sangat terkenal,
ternyata memiliki hati yang mulia. Rela berkorban untuk dirinya, orang yang baru
dikenalnya. "Tidak,"
geleng Panji tegas. "Aku tidak bisa membiarkan hal itu sampai terjadi. Kau tidak ingin melihat aku celaka. Demikian
juga dengan aku, Maliani. Sebaiknya, lanjutkan saja apa yang sudah menjadi
rencana ayahmu.
Biarlah nasib yang akan menentukan, apakah aku akan
selamat atau tidak "
"Tidak!" bantah Maliani dengan tidak kalah tegasnya.
"Aku tidak akan melanjutkannya. Kalaupun Ayah akan murka kepadaku, paling jauh
aku cuma dihukum. Beda
dengan kau, Panji. Jika sampai tertangkap, kau akan
dibunuhnya!"
"Tapi..."
"Tidak ada tapl-taplan!"
sergah Maliani cepat "Mungkin saat ini sudah terlambat, dan aku sangat menyesal sekali," lanjutnya,
yang kemudian menceritakan tentang Malintang dan apa yang akan diperbuatnya
terhadap Suranti.
Dijelaskannya juga, mengapa Malintang sampai melakukan semua kejahatan itu.
Panji tentu saja menjadi kaget bukan main. Ia menjadi
gelisah, karena masih mencemaskan nasib Maliani, yang
mungkin saja akan disiksa Raja Sesat. Sementara, ia juga mengkhawatirkan
keselamatan Suranti.
"Pergilah, Panji," ujar Maliani yang dapat menebak kebingungan
Panji. "Terima kasih kau masih peduli kepadaku. Tapi, temanmu itu harus segera diselamatkan.
Nah, selamat tinggal...."
Panji mengangkat tangan kanannya hendak mencegah. Akan tetapi, Maliani sudah melesat pergi tanpa menoleh lagi.
Terpaksalah Panji memutar tubuhnya, berlari secepat-cepatnya untuk segera tiba
dipenginapan. *** "Apa kita tidak salah jalan, Kak Malintang?" Suranti menghentikan langkahnya,
menatap wajah Malintang dengan kening berkerut. Kelihatan sekali betapa sorot
mata Suranti memancarkan kecurigaan.
"Tentu saja tidak, Suranti," jawab Malintang yang segera
menghentikan langkah dan memutar tubuh menghadapi Suranti. Suranti memang berlari di belakang Malintang, kira-kira
empat langkah jaraknya. Itu karena Suranti belum percaya sepenuhnya kepada
Malintang, dan merasa perlu untuk terus waspada.
"Bukankah tempat kediaman Raja Sesat berada di
sebelah barat di dekat anak bukit?" bantah Suranti seraya menunjuk ke sebelah
kirinya. "Sepertinya kau sengaja hendak menyesatkan aku?"
"Suranti," ujar Malintang lemah. Lalu melangkah maju. "Dengar, Adikku manis..."
"Berhenti!" Suranti membentak seraya melangkah mundur dua tindak. Kemudian
terdengar suara mendesing.
Dan tahu-tahu, tangan kanan Suranti telah menggenggam
pedang. "Rupanya kau memang berniat jahat kepadaku. Kau hendak memisahkan aku
dari Panji. Sekarang aku benar-
benar yakin bahwa kau memang benar-benar sudah berubah.
Kau... kau... pastilah kau yang telah membunuh Ayah dan Rakai!
Mengakulah, Malintang! Kau akan menerima pembalasan dariku!"
"Ha ha ha...!" tiba-tiba Malintang tertawa berkakakan.
Sikapnya berubah seketika. Tidak lagi tampak memelas.
Malah kelihatan garang. Sorot matanya pun tidak lagi sayu, malah
tajam berkilat-kilat.
Membuat Suranti tersurut mundur. Hatinya bergidig ngeri demi melihat sikap dan
tatapan Malintang. Tatapan itu begitu mengerikan. Tak ubahnya tatapan binatang
buas yang kelaparan. Dan sebagai
perempuan, Suranti sadar apa arti tatapan mata Malintang itu.
"Kau sama saja dengan ayahmu, Gadis tolol! Kalian menyisihkan aku. Tidak
mempedulikan aku. Kalian berdua lebih menyayangi si bedebah Rakai daripada aku.
Aku memang anak gelandangan yang dipungut ayahmu, yang
kemudian diangkatnya sebagai anak. Tapi aku tahu kalau sesungguhnya Orang Tua
keparat itu tidak menyayangiku.
Kenyataannya aku malah dibuang! Diberikan kepada orang lain, sementara si
bedebah Rakai dididiknya dengan ilmu-ilmu tinggi. Bahkan ia malah memilihnya
untuk menjadi jodohmu! Padahal dia tahu kalau aku sangat mencintaimu.
Bukan sebagai kakak, tapi sebagai laki-laki. Dan aku merasa lebih berhak
mencintaimu ketimbang si bedebah Rakai, yang cuma murid itu!" Malintang
berteriak-teriak dengan berapi-api. Menumpahkan semua perasaannya yang
dipendamnya selama bertahun-tahun.
Suranti tentu saja merasa terkejut bukan main.
Sungguh tidak pernah disangkanya kalau Malintang ternyata mempunyai pikiran yang
salah. "Apa yang kau katakan itu sama sekali tidak benar, Malintang!" Suranti
menyanggah tuduhan itu dengan tidak kalah kerasnya. "Aku sendiri tidak pernah
tahu kalau kau bukanlah
kakak kandungku. Ayah tidak pernah menceritakannya kepadaku. Aku cuma tahu bahwa kau
adalah kakakku. Dan kalaupun Ayah memilih Rakai untuk
menjadi jodohku, itu karena kami memang saling mencintai.
Aku memang mencintai Rakai, dan bukan karena Ayah yang memilihkannya
untukku. Sedangkan terhadapmu, aku menyayangimu sebagai kakakku. Dan kalau pun kau
dititipkan kepada Camar Laut, itu karena Ayah ingin agar kau bisa lebih pandai
daripada Ayah!"
"Bohong!"
sentak Malintang dengan suara menggeledek. "Kalau benar dia menyayangiku, seharusnya ia tahu perasaanku, tahu
kalau aku menginginkan dirimu
untuk menjadi istriku. Bukankah kita tidak sedarah" Tidak ada larangan bagiku
untuk menikahimu, bukan" Lalu
mengapa Rakai yang dipilih" Padahal aku sangat mencintaimu, Suranti. Dan aku tidak sudi kau diperistri orang lain, sekalipun
oleh si bedebah Rakai! Aku benci si bedebah Rakai yang telah merebutmu dariku!
Aku benci ayahmu yang telah memisahkan kita! Dan, aku juga benci dengan Camar Laut, yang
mengekang kebebasanku, selama
satu tahun lebih! Itu sebabnya kubunuh si keparat Camar Laut
dan semua pelayannya. Kemudian aku pergi mengembara untuk mempelajari ilmu-ilmu
silat tinggi lainnya. Tidak perduli kendati yang kupelajari adalah ilmu dari golongan sesat.
Bahkan aku lalu menjadi pengikut dan murid Raja Sesat, yang kelak setelah
ilmunya kuserap habis, kakek jelek itu pun akan kuhabisi! Dan aku akan menjadi
penguasa rimba persilatan. Menjadi jago nomor satu yang tak terkalahkan! Ha ha
ha...!" "Bedebah kau, Malintang! Kau manusia durhaka yang tidak tahu balas budi! Kau...
manusia serakah! Keinginanmu itu telah membuatmu menjadi gila! Kau... iblisss!
Kau harus membayar nyawa Ayah dan Rakai!" Suranti tak dapat lagi menahan
kemarahannya. Menurutnya Malintang memang
benar-benar telah menjadi gila. Otaknya sudah dirusak oleh keinginan gilanya
itu. Dan di saat Malintang masih tertawa-tawa seperti orang gila, Suranti
langsung melompat sambil menusukkan pedangnya ke tenggorokan Malintang.
Siingng...! Suara desing pedang menyadarkan Malintang dari
kegilaannya. Dan begitu dilihatnya Suranti menyerang
tenggorokannya, segera saja Malintang menggeser tubuhnya satu langkah ke kanan.
Dan begitu sambaran pedang lewat di sampingnya, dua tangannya langsung bergerak
susul-menyusul, melepaskan totokan-totokan untuk melumpuhkan Suranti.
Cepat bukan main serangan balasan yang dilontarkan
Malintang, hingga membuat Suranti menjadi terkejut. Segera saja Suranti melempar
tubuhnya ke belakang. Berjumpalitan beberapa kali, sebelum akhirnya melayang
turun ke tanah.
Akan tetapi, Malintang ternyata tidak tinggal diam
begitu saja. Pada saat Suranti melempar tubuh ke belakang, Malintang langsung
memburunya dengan serangan-serangan yang tetap dimaksudkan untuk melumpuhkan
Suranti. Malintang memang tidak bermaksud untuk membunuh
Suranti. Ia sangat mencintai adik angkatnya itu. Ingin memilikinya tanpa ada
yang mengganggu. Demikian hebat
rasa cinta yang meracuni hati dan pikiran Malintang, hingga membuat jiwanya
terganggu. Apalagi ketika Ki Arja Wiguna, ayah angkatnya, malah menjodohkan
Suranti dengan Rakai.
Jiwanya semakin terganggu. Sehingga ia membenci dan
menaruh dendam terhadap ayah angkatnya dan juga kepada Rakai. Itu salah satu
alasan mengapa Malintang sampai tega membunuh Rakai dan ayah angkatnya.
8 Melihat betapa Malintang sudah memburunya dengan
serangkaian totokan, Suranti yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah, segera
membabatkan pedangnya dengan
gerak menyilang. Namun, dengan menggunakan kelincahan
tubuhnya, Malintang dapat mengelakkan sambaran pedang
Suranti. Kemudian, dengan tidak terduga, Malintang menjatuhkan tubuhnya
bergulingan di tanah. Dua totokannya
menderu datang, mengancam bagian belakang lutut Suranti.
Cwit! Cwit! Namun Suranti bertindak cepat untuk segera memindahkan kedua kakinya dengan langkah-langkah yang
cukup ampuh. Dua totokan Malintang kembali menemui
kegagalan. Malintang rupanya sudah memperhitungkan
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tindakan Suranti itu. Dan tahu-tahu saja, tubuh Malintang melambung tinggi
dengan gerak menyamping. Saat itu juga, dua jari tangannya bergerak cepat
menotok dua jalan darah di dekat bahu Suranti.
Pucatlah selebar paras Suranti. Tidak mungkin lagi
baginya untuk menghindari dua totokan itu.
Tukkk! Tukkk! Dan Suranti cuma bisa memekik dengan mata
terbelalak. Dua totokan Malintang tepat mengenai sasaran di tubuhnya, yang
seketika itu juga melorot jatuh bagaikan sehelai kain basah. Dan Malintang
tertawa berkakakan,
sementara Suranti yang rebah di tanah, cuma bisa mengigit bibir. Dua titik air
bening terlompat dari matanya. Hatinya sudah
ngeri membayangkan apa yang bakal terjadi kemudian. Dari tatapan Malintang yang menjelajah sekujur tubuhnya, Suranti
memang sudah bisa menebak apa yang
dikehendaki Malintang pada dirinya.
"Ha ha ha...! Malam ini juga kau akan kujadikan
pengantinku, Suranti. Kita akan bersenang-senang, adikku yang manis. Lalu
kemudian, kau akan melahirkan anak-anak kita. Mereka pasti akan segagah aku dan
secantik kau. Ha ha ha...!" Malintang tertawa-tawa seperti orang gila. Dan
begitu tawanya terhenti, Malintang berjongkok di samping Suranti.
Dirabanya wajah cantik yang berkulit halus itu. Dicubitnya bibir Suranti dengan
gemas. "Binatang, pergi kau! Jangan sentuh aku! Aku lebih baik mati daripada
bersuamikan orang gila sepertimu!"
Suranti cuma bisa berteriak-teriak tanpa bisa menggerakkan tubuhnya yang telah
dilumpuhkan oleh totokan Malintang.
Malintang cuma terkekeh. Tidak peduli dengan segala
makian maupun sumpah serapah yang dilontarkan Suranti.
Dan setelah puas meraba wajah serta sekujur tubuh Suranti, diraihnya tubuh gadis
malang itu. Dipondongnya dan
diciuminya habis-habisan. Dan sambil tertawa-tawa, dibawanya Suranti pergi meninggalkan tempat itu.
Langkah Malintang yang tergesa-gesa akhirnya terhenti. Belum lagi jauh ia berjalan, baru sekitar empat puluh tombak, namun
sesosok tubuh yang terselimut
keremangan malam telah menghadang perjalanannya.
"Lepaskan gadis itu, Malintang!" terdengar suara si penghadang. Malintang
mengerutkan kening. Menajamkan
pandangannya karena suara itu seperti tidak asing bagi telinganya.
Dan, ketika samar-samar ia mulai dapat mengenali siapa adanya penghadang itu, Malintang pun
tertawa berkakakan.
"Ha ha ha...! Kau cemburu rupanya, ya?" kata Malintang yang disambut si
penghadang dengan sebuah
dengusan kasar.
"Lepaskan kataku, atau aku harus memaksamu!"
sosok penghadang kembali membentak. Kali ini sambil
bergerak maju mendekati Malintang. Ternyata sosok ini
adalah seorang perempuan cantik dengan sorot mata setajam mata pedang. Menikam
langsung ke mata Malintang.
"Jangan takut, Maliani. Aku tetap mencintaimu. Kau akan kujadikan istri pertama.
Sedangkan gadis tolol ini biar jadi istri kedua saja," ujar Malintang sambil
terkekeh-kekeh.
Malintang sama sekali tidak mempedulikan perintah si
penghadang yang ternyata adalah Maliani itu. Mungkin ia menganggap ancaman
Maliani itu cuma main-main. Maka,
ketika Maliani melangkah maju, Malintang pun bergerak
menyambut. *** Sringng! "Eh!?" Malintang baru merasa kaget ketika Maliani mencabut pedang. Kekehnya
seketika lenyap. Keningnya
berkerut-kerut.
Kemudian ditentangnya pandang mata Maliani. Sorot mata gadis itu demi kian tajam. Wajahnya dingin menyiratkan
ancaman. Tahulah Malintang kalau Maliani memang tidak main
main. "Jadi kau sungguh-sungguh?" tanyanya sekadar untuk meyakinkan hatinya.
"Ini permintaanku yang terakhir." Maliani sama sekali tidak mempedulikan
pertanyaan Malintang. "Lepaskan gadis itu!" pintanya sembari menyilangkan
pedangnya di depan dada.
"Tidak!" Kali ini Malintang berkata tegas. "Malah kau pun akan kulumpuhkan! Kau
sudah berani membentak-bentak dan memerintahku. Kemarin-kemarin memang aku
mengalah dan tidak pernah memaksa untuk menjamah
tubuhmu. Tapi sekarang, kau pun akan mengalami nasib
seperti perempuan tak tahu diuntung ini. Kalian berdua akan kulahap sepuas-
puasnya. Setiap waktu, setiap hari kalian akan kupaksa untuk melayaniku sampai
kalian mengandung dan melahirkan anak-anakku!"
"Bangsat!" Maliani menjadi marah bukan main.
Selebar parasnya menjadi merah.
Ancaman Malintang
memang kedengarannya sangat mengerikan. Akan tetapi
Maliani sama sekali tidak menjadi gentar. Sebaliknya ia malah ingin segera
memenggal batang leher Malintang.
"Haiiittt...!
Dengan sebuah bentakan melengking, Maliani menerjang maju. Pedang di tangannya berkelebatan cepat, hingga yang nampak
hanyalah kilatan-kilatan sinar putih yang membelah keremangan malam. Cepat dan
kuat bukan main serangan yang dilancarkan Maliani itu. Akan tetapi, Malintang menyambutnya
dengan tawa ganda.
Tanpa melepaskan Suranti yang masih tetap berada
dalam pondongannya, Malintang menggeser langkahnya
dengan lincah menghindari setiap sambaran pedang Maliani.
Dan bukan cuma itu saja, malah Malintang sempat juga
mengirimkan tendangan-tendangan
pendek sebagai balasannya. Maliani menjadi penasaran bukan main, meskipun ia tahu bahwa kepandaian Malintang masih berada di atas kepandaiannya.
Dan yang membuatnya jengkel,
ayahnya juga telah menurunkan beberapa macam ilmu
kepada Malintang, termasuk ilmu pedang yang sekarang
digunakannya. Sehingga, Malintang dapat dengan mudah
mematahkan setiap serangannya. Karena Malintang telah
mengetahui ke mana pedangnya akan bergerak.
Karena dengan ilmu pedang itu ia tidak dapat berbuat
banyak, maka Maliani segera merubah jurus-jurus serangannya. Digunakannya ilmu tangan kosong dengan
menggunakan pedang. Ilmu-ilmu yang tidak diketahui
Malintang. Untuk beberapa jurus lamanya, Malintang memang menjadi sibuk oleh serangan-serangan Maliani.
Akan tetapi, setelah lewat dari dua puluh jurus, Malintang mulai dapat
mengatasinya dengan baik. Malah serangan-serangan balik yang mulai dilancarkan
Malintang, beberapa di antaranya nyaris mengenai tubuhnya.
"Setaaan!" Maliani mengumpat seraya menggertakkan giginya dengan penuh
kegeraman. Dan dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya, Maliani
mencoba untuk mendesak Malintang. Namun, Malintang bertindak lebih
sigap. Dua di antara tiga sambaran pedang Maliani
dielakkannya dengan liukan tubuhnya. Sedangkan yang
ketiga, segera dipapakinya dengan kibasan tangannya.
Plakkk! Kibasan lengan Malintang membentur lengan Maliani.
Cukup keras, hingga membuat Maliani menahan pekik
kesakitannya. Tubuhnya terjajar mundur sampai empat
langkah. Kesempatan itu tidak disia-siakan Malintang, yang segera melompat
dengan sebuah tendangan menyamping.
Maliani terbelalak, karena pada saat itu ia masih belum sempat untuk memperbaiki
kuda-kudanya. Bukkk! Maliani tak dapat menghindar lagi. Maliani menjerit
keras ketika tendangan Malintang bersarang telak di
perutnya. Membuat tubuhnya terpental deras, untuk kemudian jatuh terjengkang ke tanah. Dan selagi Maliani merasakan perutnya mulas
bukan main, Malintang sudah
kembali menyerbu datang. Kali ini ia melepaskan totokan dengan menggunakan jari-
fari tangan kirinya, sementara yang kanan menyangga tubuh Suranti, yang tetap
dalam pondongannya. Maliani membelalakkan matanya dengan wajah ngeri.
Bukan karena totokan yang tengah dilancarkan Malintang.
Akan tetapi, ancaman mengerikan yang tadi diucapkan
Malintang. Bergidig hatinya teringat ancaman yang ia tahu pasti akan segera
dilaksanakan Malintang.
Namun, sebelum jari-jari tangan Malintang me-
lumpuhkan tubuh Maliani, sesosok bayangan putih berkelebat cepat dan langsung menyambut totokan itu.
Demikian cepat gerakan sosok bayangan putih itu, yang
kemunculannya disertai dengan hamparan hawa dingin
menusuk tulang.
Kali ini Malintang yang menjerit kesakitan, tubuhnya
tertolak balik. Terhuyung-huyung sampai hampir dua tombak jauhnya. Sedangkan
sosok bayangan putih itu tidak tinggal diam. Cepat bergerak memburu Malintang.
Dua tangannya bergerak susul-menyusul. Yang kiri mendorong bahu kanan Malintang, sedangkan
yang kanan digunakan untuk merebut tubuh Suranti.
Malintang memaki kalang-kabut. Perbuatan sosok
bayangan putih itu tidak bisa dicegahnya lagi. Sementara tubuhnya terpelanting
jatuh ke tanah, tubuh Suranti pun lepas dari pondongannya.
"Keparat busuk, akan kucincang hancur tubuhmu!"
Sambil berteriak-teriak kalap, Malintang melompat bangkit.
Mencabut pedangnya yang segera saja memperdengarkan
suara sambaran angin mendesing-desing. Akan tetapi, begitu ia memandang sosok
bayangan putih yang dimakinya dan
hendak dicincang tubuhnya, mata Malintang terbeliak. Wajahnya seketika menjadi
pucat. Dan, dengan bibir gemetar terdengar ia berucap, "Pendekar... Naga...
Putih...!?"
Sosok bayangan putih yang kemunculannya tepat
pada saat Maliani terancam itu, ternyata adalah Panji atau yang lebih dikenal
dengan julukan Pendekar Naga Putih.
Tidak heran kalau Malintang sampai sedemikian terkejutnya.
Karena ia pernah dipecundangi Panji, yang kemudian
membebaskan Empu Dama, sastrawan tua yang dipaksa ikut dengannya untuk
membacakan kitab-kitab kuno yang
dicurinya dari ayah angkatnya.
*** Dukkk! Panji merasa bersyukur dapat menemukan Malintang
pada saat yang tepat. Bukan saja ia dapat merebut Sutanti, akan tetapi, juga
telah menyelamatkan Makani, yang ia tidak tahu bagaimana caranya tahu tahu
didapatinya sudah
berada di bawah ancaman serangan Malintang.
Ketika kembali ke penginapan, Panji tidak me-
nemukan Suranti di kamarnya. Bukan main cemas hatinya
ketika ia melihat pintu jendela yang terbuka. Tahulah Panji bahwa Maliani memang
tidak berdusta. Akan tetapi ia
menjadi bingung karena tidak tahu ke mana harus mencari Suranti. Untung-untungan
dijelajahinya sekitar penginapan.
Terus melebar hingga beberapa ratus tombak. Namun jejak Suranti tetap tidak bisa
diketemukannya. Membuat Panji nyaris putus asa.
Panji sudah merasa seluruh tubuhnya lemas, ketika
tiba-tiba-ia menangkap suara teriakan melengking
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di kejauhan. Sebuah teriakan seorang perempuan yang sedang marah. Tanpa berpikir
dua kali, langsung Panji berlari secepat-cepatnya. Sama sekali tidak pernah
disangkanya kalau teriakan itu berasal dari mulut Maliani sewaktu
bertarung melawan Malintang. Beruntung ia datang pada
saat yang tepat, hingga dapat menyelamatkan Maliani dan Suranti dari ancaman
malapetaka yang mengerikan.
"Kejahatanmu-lah yang telah mempertemukan kita
kembali, Malintang," ujar Panji, setelah membebaskan Suranti dari pengaruh
totokan, dan menyuruhnya untuk
memeriksa keadaan Maliani. Dan Panji merasa lega ketika Suranti mengatakan bahwa
luka Maliani tidak terlalu
mengkhawatirkan.
Maka dihadapinya Malintang, yang menatapnya dengan penuh kebencian.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Malintang tertawa berkakakan. Panji mengerutkan
kening, khawatir kalau-kalau Malintang terganggu ingatannya "Aku tahu sekarang,"
lanjut Malintang sambil menatap Panji dengan penuh ejekan.
"Kau hendak mengangkangi kedua perempuan itu sendirian, bukan" Berpura-pura sok
pahlawan, sok suci, padahal dalam hatimu terkandung niat yang sama buruknya
denganku."
"Jangan dengarkan mulutnya yang kotor itu. Panji!"
Suranti berseru mengingatkan Panji. Tampaknya gadis ini khawatir kalau-kalau
Panji akan terpancing oleh ejekan Malintang yang memang sangat tajam sekali.
Panji menoleh kepada Suranti dan memberikan
senyumnya agar Suranti tidak perlu khawatir. Kemudian, kembali di hadapinya
Malintang. Dihampirinya dengan
langkah perlahan. Malintang menjadi kelabakan, karena ia sadar betul bahwa
kepandaiannya masih belum mampu
untuk mengimbangi Pendekar Naga Putih. Kecuali...
Tiba-tiba saja satu siasat licik melintas di benak
Malintang. "Pendekar Naga Putih," katanya sambil mengangkat dada. "Jika kau memang benar-benar seorang jantan, aku menantangmu
bertarung pada tiga tahun
mendatang. Hari ini aku sedang tidak berselera. Bagaimana, apakah kau mau
menerima tantanganku?"
"Kau mau menungguku selama itu?" Panji malah balik bertanya, hingga membuat
Malintang menjadi tertegun.
"Asalkan kau bersedia menerima tantanganku, aku
akan menunggumu. Tiga tahun bukanlah waktu yang lama,"
jawab Malintang, yang diam-diam berdebar girang karena ia bisa mengelabuhi
Pendekar Naga Putih.
Suranti dan Maliani sudah merasa cemas. Mereka
tahu betul kalau semua itu cuma siasat Malintang untuk menyelamatkan diri. Akan
tetap, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, karena Panji melarang mereka dengan
memberikan isyarat dengan goyangan tangan. Meskipun sebenarnya tidak mengerti
maksud Panji, namun baik Suranti maupun Maliani mematuhi isyarat Panji.
"Bagaimana kalau kau kuberi waktu yang lebih lama lagi?" tanya Panji lagi, tapi
Malintang malah kebingungan, kendati ia mengangguk juga.
"Kalau begitu, silakan kau tunggu aku di...," Panji menunda kalimatnya. Lebih
dulu ia menoleh ke arah Suranti dan Maliani. Panji memberikan senyumnya demi
melihat wajah-wajah penuh kecemasan. Setelah itu, Panji kembali menghadapi Malintang.
"Di mana?" Malintang tak sabar ketika melihat Pendekar Naga Putih masih juga
belum menyebutkan
tempatnya. "Di pintu... neraka!"
Mendengar jawaban Panji, Maliani dan Suranti tak
dapat lagi menahan kegelian hatinya. Mereka terkekeh-kekeh sambil menunjuk-
nunjuk muka Malintang, yang sebentar
merah sebentar pucat. Malu bukan main hatinya. Pendekar Naga Putih ternyata
tidak sebodoh perkiraannya. Sudah
siasatnya tidak berhasil, malah menjadi bahan tertawaan.
"Keparat kau, Pendekar Naga Pulih!". Dari malu, Malintang menjadi marah.
"Biarpun kesaktianmu setinggi langit, aku, Malintang tidak merasa gentar secuil
pun!" Dan Malintang benar-benar membuktikan bahwa
dirinya tidak gentar menghadapi Pendekar Naga Putih.
Dengan sebuah teriakan membahana, Malintang melompat
maju dengan babatan pedangnya yang berdesing-desing
bagaikan lebah-lebah yang marah. Begitu hebat serangan yang dilancarkan
Malintang, hingga Panji tidak berani
memandang rendah.
Dengan menggunakan geseran-geseran dan langkah-
langkah pendek, serangkaian serangan Malintang dapat
dihindari Panji. Dan sebagai balasannya, Panji melontarkan pukulan-pukulan yang
tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan Malintang. Akan tetapi, Malintang
bukan saja bisa menghindari
semua serangan balasan Panji, malah serangkaian babatan dan tusukan pedangnya langsung
dilontarkan, membuat Panji merasa kagum dan menyayangkan kalau pemuda setangguh Malintang sampai
memilih jalan sesat.
"Jiahhh...!"
Berkali-kali Malintang membentak sambil mem- barenginya dengan sambaran pedangnya. Malah, setelah
lewat tiga puluh jurus, Malintang menyelingi dengan pukulan tangan kiri dan
tendangan tendangan kilat.
Perubahan serangan Malintang membuat Panji bergerak mundur. Bukan terdesak, melainkan untuk memancing rasa penasaran Malintang. Dan perhitungan
Panji memang cukup jitu. Malintang, yang serangan-
serangannya selalu saja kandas, memang menjadi geram dan penasaran bukan main.
Ia menjadi kalap, menerjang Panji habis-habisan, hingga melupakan pertahanan
dirinya. Dan memang itulah yang tengah ditunggu-tunggu Panji. Begitu melihat
pertahanan Malintang mengedur, dua telapak tangannya langsung dilontarkan ke dada dan perut Malintang. Bukkk! Desss...!
"Arrghhh...!" Malintang menjerit parau karena pada saat yang bersamaan darah
termuntah dari mulutnya.
Gedoran dua telapak tangan Panji membuat tubuhnya
terpental deras, melayang-layang di udara sebelum akhirnya terbanting ke tanah
dengan kerasnya.
Tubuh Malintang jatuh tidak jauh dari tempat Suranti
dan Maliani berada. Dan Panji terkejut ketika melihat kedua gadis itu melompat
bangkit. Saling berlomba mendatangi Malintang dengan senjata terhunus.
"Suranti, Maliani, tahaaan...!"
Panji berteriak mencegah, karena ia maklum apa yang akan dilakukan
kedua gadis itu. Akan tetapi, dua gadis itu seperti tidak mendengar teriakan
Panji. Dua pedang mereka menderu.
Malintang, yang baru saja merangkak bangkit, langsung pucat selebar wajahnya. Terbelalak ketika menyaksikan Suranti dan Maliani sama mengayunkan
pedang ke tubuhnya. Dan, seiring dengan memerciknya
darah, terdengarlah jerit kematian dari mulut Malintang.
Tubuh pemuda jangkung itu kembali roboh. Menggelepar
beberapa saat untuk kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Malintang tewas dengan dada dan perut tertembus pedang.
Panji cuma bisa menghela napas. Ia sadar kalau
semua itu memang sudah menjadi takdir Malintang, tewas di tangan dua orang
perempuan yang dicintainya.
*** "Maliani!"
Suara bentakan yang menggelegar itu sampai membuat Suranti dan Maliani berjingkrak saking kagetnya.
Panji pun tidak kalah kagetnya. Tapi tidak sampai berjingkrak, karena tenaga dalamnya langsung bergolak
melindungi dada dan telinga. Cuma saja Panji sempat
bergetar hatinya, karena ia tidak mendengar adanya suara langkah kaki orang yang
mendatangi. Dan tahu-tahu, entah dari mana datangnya, seorang lelaki tua
bertubuh kurus kering seperti orang penyakitan, sudah melangkah ke arah Maliani
dan Suranti. "Ayah"!" Maliani kelihatan kaget dengan kemunculan ayahnya. Wajahnya agak pucat
seperti orang yang merasa bersalah. Dan bersama Suranti, Maliani menggeser
tubuhnya mendekati Panji.
Seperti baru sadar, lelaki tua yang ternyata adalah
Raja Sesat ini menatap Panji dengan mata disipitkan.
Terdengar gumaman tak jelas dari mulutnya.
"Kau pastilah pemuda yang berjuluk Pendekar Naga
Putih," kata Raja Sesat sambil mendongakkan kepala dengan sikap angkuh. Raja
Sesat memang tidak memerlukan
jawaban, karena ia sudah menjawab sendiri pertanyaannya itu.
"Selamat bertemu Raja Sesat." Tanpa memperdulikan sikap angkuh Raja Sesat, Panji
menyapa seraya tersenyum.
"Sungguh suatu kebetulan yang sangat menyenangkan, karena
aku bermaksud untuk mengunjungi tempat kediamanmu," lanjut Panji, yang tentu saja belum lupa dengan perbuatan Raja
Sesat yang menangkapi para
sastrawan. Raja Sesat cuma bergumam tak jelas. Sombong sekali
sikapnya. Malah, seolah tidak mendengar perkataan Pendekar Naga Putih, tatapannya segera dialihkan ke arah Maliani, putrinya.
"Kemari kau!" dengan setengah menghardik, Raja Sesat memanggil Maliani. Ada
gambaran ancaman dalam
sorot matanya. Sikap Maliani, yang seperti berpihak kepada Panji, telah membuat
Raja Sesat maklum bahwa rencana
yang disusunnya pasti telah dirusak putrinya.
"Tidak, Ayah," Maliani menggeleng, membuat Raja Sesat sampai tertegun. Maliani
sudah berani membantah
perintahnya. Seperti jelas-jelas hendak menunjukkan bahwa putrinya itu sudah
berpihak kepada Pendekar Naga Putih.
"Hm, rupanya kau sudah termakan hasutan Pendekar
Naga Putih," ujar Raja Sesat seraya mengangguk-anggukkan kepala. Lalu tatapannya
beralih ke Pendekar Naga Putih.
"Apa yang sudah kau lakukan terhadap putriku?"
'Tidak ada," geleng Panji, yang dengan tenang
ditentangnya pandang mata Raja Sesat. "Putrimu telah sadar akan kesesatannya
selama ini. Dan kesadaran itu tidak bisa dipaksakan, sebab akan percuma. Lain
halnya jika datang dari hati sendiri," lanjut Panji yang disambut Raja Sesat
dengan dengusan kasar.
"Hm..., kalau begitu, kau dan gadis itu menyingkirlah.
Biar kuselesaikan dulu urusan antari ayah dan anak," kata Raja Sesat dengan
suara geram. Setelah berkata demikian, Raja Sesat mengayun langkah menghampiri
Maliani.
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak bisa. Raja Sesat!" ujar Panji sambil melangkah maju untuk mencegah
tindakan Raja Sesat. "Aku tidak akan membiarkan kejahatan berlangsung di depan
mataku, apa pun alasannya!"
Begitu lantang dan tegas kata-kata yang diucapkan
Panji, hingga membuat Raja Sesat menunda langkahnya.
Raja Sesat menggeram marah. Namun, darahnya menjadi
berdesir, mengalir lebih cepat sewaktu dilihatnya betapa sepasang mata Pendekar
Naga Putih menyorot tajam dan
berkilat-kilat. Raja Sesat segera mendesah untuk menekan debaran di dadanya.
"Aku pun tidak akan membiarkan kau mencelakai
Maliani, kendati dia adalah anakmu sendiri!" yang berkata adalah Suranli. Dan
gadis ini melangkah maju, siap untuk melindungi Maliani.
"Aku juga tidak akan pasrah begitu saja," Maliani juga menentang ayahnya. "Ini
bukan lagi persoalan ayah dan anak, tapi antara kebaikan dan kejahatan!"
Raja Sesat tambah terperanjat saja. Dan sorot
matanya yang semula garang, tampak mulai meredup. Dan
Raja Sesat tidak berhasil menutupi rasa jerihnya. Terhadap Pendekar Naga Putih
saja sebenarnya Raja Sesat sudah
merasa jerih. Dan itu bukan tanpa alasan kuat. Raja Sesat mendengar bahwa
Pendekar Naga Putih telah merobohkan
beberapa orang tokoh yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi darinya.
Kabar itu bukanlah isapan jempol belaka.
Bukan kabar burung. Karena Raja Sesat sudah mengirimkan kaki-tangannya untuk
menyelidiki kebenaran berita itu. Dan tokoh-tokoh sesat itu ternyata memang
telah tewas di tangan Pendekar Naga Putih. Dan kalau menghadapi Pendekar Naga
Putih saja ia sudah merasa ragu untuk bisa menang, apalagi jika ditambah dengan
putri Ki Arja Wlguna dan Maliani, putrinya sendiri. Dan lagi, sebenarnya ia
sangat menyayangi putrinya. Lalu, apa artinya hidupnya jika putrinya yang cuma
semata wayang itu tak lagi mau dekat dengannya"
"Sudahlah," desah Raja Sesat seraya menepiskan tangannya di udara. "Mari kita
pulang, Maliani, " lanjutnya seraya menatap putrinya dengan bibir tersenyum.
"Tidak, sebelum Ayah berjanji akan memenuhi permintaan Pendekar Naga Putih," kata Malinai sambil menentang pandang mata
ayahnya. Raja Sesat tertegun untuk beberapa saat lamanya.
Lalu terdengar helaan napasnya sebagai tanda bahwa ia
menyerah Dan Raja Sesat mengangguk lemah.
"Apa yang kupinta tidaklah berat bagimu, Raja Sesat,"
kata Panji. "Kuharap kau mau membebaskan pujangga-pujangga yang kau culik."
"Sebenarnya semua itu bukanlah sepenuhnya atas
keinginanku. Tapi, karena Malintang berjanji akan memperbolehkan aku untuk ikut mempelajari ilmu-ilmu
dalam kitab apabila aku mau menyediakan penterjemahnya,"
kata Raja Sesat seolah hendak mengatakan bahwa ia tidak bersalah dalam hal itu.
"Sekarang Malintang sudah binasa. Kelihatannya kau tidak keberatan untuk
melepaskan pan sastrawan yang kau culik, termasuk kitab-kitab hasil curian
Malintang," kata Panji lagi, yang didukung oleh Maliani.
Raja Sesat menghela napas berulang-ulang. "Baiklah, baiklah. Tapi aku tidak
menyimpan kitab-kitab milik Ki Arja Wiguna," katanya menyerah, karena ia tidak
ingin kehilangan putrinya.
"Aku tahu di mana Malintang menyimpannya," kata Maliani seraya menoleh kepada
Suranti. "Akan kuantarkan kau untuk mengambilnya, Suranti. Tidak jauh dari sini
ada sebuah gubuk. Dan kitab-kitab itu disembunyikan Malintang di tanah tepat di
bawah dipan bambu." Maliani berhenti sesaat, menatap ayahnya dan berkata, "Ayah
aku pergi dulu untuk mengantarkan Suranti!"
Dan tanpa menunggu lagi, Maliani langsung menarik
lengan Suranti. Raja Sesat cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Luar biasa
sekali putrinya itu. Baru saja tadi bersikap memusuhinya, tapi dalam sekejap
sudah berubah lagi.
"Ayo, ikut aku, Pendekar Naga Putih. Bocah bengal itu pasti akan menyusul," ajak
Raja Sesat seolah tidak menyimpan perasaan apa-apa kepada Pendekar Naga Putih.
Panji mengangguk. Lalu mengikuti langkah Raja
Sesat, ia sendiri tidak menyimpan perasaan apa-apa, karena memang tidak ada
permusuhan pribadi di antara mereka.
Dan pada dasarnya Panji tidak membenci dan memusuhi
orang-orang golongan sesat, tapi golongan mana pun jika melakukan kejahatan
tetap akan ditentangnya. Karena tugas yang diberikan mendiang Eyang Tirta Yasa
adalah mene-gakkan keadilan dan menentang perbuatan-perbuatan jahat.
Siapa pun pelakunya. Jadi, bukan orangnya yang dimusuhi dan harus ditumpas,
melainkan perbuatannya.
SELESAI Pendekar Super Sakti 8 Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga Putri Ular Putih 2
"Aku sadar sepenuhnya, dan tidak bisa terlalu
berharap kau akan mempercayai semua kata-kataku, Suranti," suara Malintang terdengar lagi. Begitu sedih kedengarannya. Seperti
orang yang putus harapan. Penuh dengan getaran perasaan hatinya yang menderita.
Membuat Suranti mendesah pelan. Perasaannya sebagai wanita,
sebagai adik, merasa tersentuh. Suranti dapat merasakan dan membayangkan, betapa
menderitanya hidup kakaknya
selama ini. Suranti jadi tertarik, ingin melihat seperti apa kakaknya sekarang,
yang setelah hampir tiga tahun tak
pernah dilihatnya itu.
Perlahan, Suranti bergerak turun dari atas pem-
baringan. Dan, meskipun ada sedikit keraguan dalam
harinya, namun kakinya tetap dilangkahkan mendekati
jendela. Laiu, dengan dada berdebar, dengan kedua tangan gemetar, diraihnya daun
jendela. Perlahan, dibukanya jendela kamarnya itu.
Dan, Suranti menutup mulutnya, menahan jeritnya.
Seraut wajah pucat dengan sorot mata sayu, benar-benar membuat hati Suranti
seperti ditusuk. Membuat bibirnya gemetar,
sementara air bening mulai menggenang di matanya, yang kemudian meluncur perlahan membasahi
kedua belah pipinya. Dan Suranti terisak.
Keadaan kakaknya benar-benar menusuk pera- saannya. Membuat hatinya iba, terharu, hingga tak dapat lagi menahan isak.
Kakaknya kelihatan sangat menderita sekali.
Menatapnya seperti seorang anak kecil yang minta perlindungan ibunya. Suranti merasa kerongkongannya
seperti tersumbat. Kering, membuatnya harus menelan ludah beberapa kali.
"Kakak Malintang...," akhirnya dapat juga Suranti mengeluarkan suara. Parau dan
bergetar. Tapi ia tidak
bergerak dari tempatnya berdiri. Begitu juga dengan Malintang. Malintang seperti ragu. Seperti masih belum percaya bahwa adiknya
akan mau mempercayainya. Suranti dapat merasakan apa yang sedang dirasakan
kakaknya itu. "Suranti, Adikku...," sambut Malintang, juga dengan, suara parau, seperti
tersekat di tenggorokan. Tapi Malintang masih tetap berdiri di luar jendela.
Belum berani mendekati Suranti. Dari sinar matanya, Suranti dapat mengetahui
bahwa kakaknya masih takut kalau ia akan menghindar.
"Dari mana kau tahu kalau aku berada di penginapan ini, Kak Malintang?" tiba-
tiba saja, seperti baru teringat, Suranti menanyakan hal itu. Dan dengan tiba-
tiba pula, kecurigaannya bangkit. Membuat Suranti undur dua tindak.
Suranti berusaha menekan rasa iba dan keharuan yang
menyeruak, sewaktu didapatinya betapa kesedihan semakin terpancar jelas dari
sorot mata kakaknya.
Malintang menarik napas berat. "Tidak sulit, Adikku,"
ujar Malintang seraya tersenyum sedih "Raja Sesat mempunyai banyak sekali pengikut yang tersebar di mana-mana. Dari mereka itulah
Raja Sesat mengetahui tentang kau dan pemuda berpakaian serba putih yang
belakangan ini selalu bersamamu. Dan kalau aku tidak salah dengar,
pemuda yang bersamamu itu berjuluk Pendekar Naga Putih.
Seorang tokoh muda berkepandaian tinggi yang berasal dari tanah Jawa. Tanpa
sepengetahuan kalian, kaki-tangan Raja Sesat selalu membayangi perjalanan
kalian. Bahkan saat ini pun Raja Sesat sudah mengetahui bahwa Pendekar Naga
Putih hendak menyatroni tempat kediamannya. Dan ia sudah mempersiapkan
penyambutan, yang kalau aku tidak salah
dengar, Raja Sesat bahkan akan menggunakan putrinya
untuk menjebak Pendekar Naga Putih."
Suranti menahan jeritnya. Kaget bukan main hatinya
sewaktu mendengar penuturan kakaknya itu. "Lalu... lalu apa yang akan mereka
lakukan terhadap Panji?" tanya Suranti, saking bingung dan cemasnya.
"Tentu saja Pendekar Naga Putih akan dibunuhnya,"
jawab Malintang.
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan?"
"Kita"!" Malintang menegasi dengan harap-harap cemas. Takut kalau-kalau ia salah
dengar. "Ya, kita," tegas Suranti, yang membuat Malintang membelalakkan matanya.
"Jadi... maksudmu... Kau... kau masih mem- percayaiku"!" Seperti masih belum percaya, Malintang berkata terbata-bata.
Sambil berkata demikian, ditatapnya wajah adiknya dengan sorot mata bersinar-
sinar. Suranti tidak segera menjawab. Sebenarnya, ia belum
percaya sepenuhnya dengan kakaknya itu. Akan tetapi,
bayangan bayangan buruk yang mungkin akan terjadi
dengan Panji, membuat Suranti menganggukkan kepala.
"Aku akan lebih percaya lagi apabila kau mau
membantuku untuk menyusul Panji..., maksudku Pendekar
Naga Putih. Aku akan merasa berdosa sekali jika sampai terjadi apa-apa
dengannya, Kak Malintang. Panji orang baik.
Ia mau membantu aku tanpa mengharapkan imbalan. Malah
ia tidak segan-segan untuk menyelidiki Raja Sesat, meskipun sadar bahwa dengan
perbuatannya itu nyawanya akan
terancam."
Malintang mengangguk-anggukkan kepala. Tapi tentu
saja ia tidak memperlihatkan perasaan hatinya yang
sesungguhnya, ia yakin Suranti sudah termakan siasatnya.
Sudah masuk ke dalam perangkapnya. Malintang tahu betul bagaimana watak adiknya
itu. Sejak kecil, Suranti memang berhati lembut. Suranti mudah merasa iba. Mudah
terbawa perasaannya yang halus. Itu sebabnya, mengapa begitu
melihat Pendekar Naga Putih pergi, Malintang segera
mendatangi Suranti untuk menjalankan siasatnya.
Malintang memang tidak berdusta sewaktu me-
ngatakan bahwa perjalanan Panji dan Suranti selalu diawasi kaki-tangan Raja
Sesat. Gerak-gerik dan semua rencana
mereka dapat diketahui oleh Raja Sesat, yang mendapat
laporan dari kaki-tangannya itu. Panji dan Suranti memang tidak menyadari, dan
tidak tahu kalau hampir seluruh
daerah itu berada dalam kekuasaan Raja Sesat. Tak seorang pun yang berani
menentang Raja Sesat. Baik itu tokoh-tokoh persilatannya, maupun mereka yang
cuma penduduk biasa.
Tidak terkecuali para petani, pemilik kedai sampai kepala desa. Semua berada di
bawah pengaruh Raja Sesat. Dan dari mereka itulah Raja Sesat bisa mengetahui
siapa Panji dan siapa Suranti, termasuk tujuan perjalanannya. Itu sebabnya
mengapa Panji sampai tidak mengetahui bahwa selama
perjalanan, mereka tidak mengetahui dari pengawasan Raja Sesat. Dan itu pula
sebabnya, mengapa Malintang bisa
mengetahui tempat Panji dan Suranti menginap. Kemudian mendatangi Suranti
sewaktu Panji pergi.
Dan, seperti yang sudah diduganya, siasatnya berjalan mulus. Meskipun belum sepenuhnya Suranti percaya kepadanya, namun Malintang sudah merasa girang sekali. Apalagi ketika
Suranti mengajaknya untuk menyusul Pendekar Naga Putih. Tanpa ragu-ragu lagi,
Malintang mengangguk. Tapi anggukkan kepala Malintang belum membuat
Suranti puas. Ditatapnya wajah Malintang lekat-lekat.
"Berjanjilah, Kak," pintanya, yang lebih mirip merupakan tuntutan.
Malintang tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Permintaan itu jelas menunjukkan bahwa Suranti belum percaya
sepenuhnya kepadanya. Hal itu membuat
Malintang diam-diam berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati.
Malintang maklum, sedikit saja kesalahan dalam sikap ataupun ucapannya, bukan
mustahil Suranti
akan merubah pendiriannya.
"Baiklah," ujarnya sambil menghela napas. "Aku berjanji akan membantumu untuk
mencari Pendekar Naga
Putih." Setelah mendengar janji Malintang, barulah Suranti
merasa lega. Dan tanpa ragu-ragu lagi ia segera melompat keluar jendela. Lalu,
diayunkan langkahnya mengikuti
Malintang, yang sudah bergerak meninggalkan tempat itu.
7 Selama dalam perjalanan menuju tempat kediaman
Raja Sesat, ada sikap dan ucapan Maliani yang kurang
disukai Panji. Bagi seorang gadis, menurut Panji, sikap dan kata-kata Maliani
terlalu bebas. Tidak seperti layaknya seorang gadis yang baru terjun ke rimba
persilatan. Bagi Panji, sikap dan kata-kata Maliani mencerminkan watak
seorang gadis binal. Maliani tidak ragu-ragu untuk memegang ataupun menarik tangannya sewaktu berjalan.
Malah tidak jarang Maliani berjalan terlalu merapat kepadanya, hingga sampai-
sampai siku Panji menyentuh buah dada gadis itu. Tapi Maliani tidak kelihatan
risih. Sebaliknya, justru Panji-lah yang merasa risih, hingga dengan tidak
kentara Panji menggeser tubuhnya agar mereka tidak terlalu rapat.
Dalam pengembaraannya,
tidak jarang, bahkan hampir seringkali Panji berhadapan dengan perempuan. Dan meskipun
kelihatannya ia tidak menaruh perhatian, sesungguhnya diam-diam Panji selalu menilai dalam hati.
Dan dari semua pengalamannya itu, sedikit banyak Panji jadi dapat menilai dan
dapat membedakan mana perempuan
baik-baik, dan mana perempuan yang tidak benar. Dan,
menurut pengamatan Panji, Maliani termasuk dalam golong-an perempuan yang tidak
benar. Paling tidak, Maliani
termasuk jenis perempuan mata keranjang. Malah mungkin lebih dari sekedar mata
keranjang saja. Dan rasanya, kalau ia tidak salah menilai, andaikata ia mau
meladeni sikap Maliani, mau menunjukkan sikap kurang ajar, bukan tidak mungkin gadis itu akan
menyerahkan dirinya bulat-bulat.
Ah! Panji menepiskan penilaiannya yang terlalu kasar
itu. Akan tetapi, Panji malah menjadi penasaran. Benar sikap Maliani kadang
selalu berlebihan. Terlalu menjurus sikap genit dan menantang. Tapi, itu bisa
saja cuma kelihatannya.
Sedangkan yang sebenarnya, mungkin tidak demikian. Begitu bantahan sisi lain
hati Panji. Dan karena bantahan itu pula ia
menjadi penasaran. Merasa tertantang untuk membuktikan benar tidaknya penilaiannya, ia akan mencoba untuk
melayani sikap genit Maliani. Hitung-hitung pengalaman. Begitu pikirnya.
"Panji," panggil Maliani dengan sikap dan suara manja. Dan sambil berkata
Maliani menaruh tangannya di bahu kanan Panji. Menggelayut manja. Sedikit pun
tidak kelihatan risih. "Kalau kita berhasil membasmi Raja Sesat, apa yang akan
kau lakukan selanjutnya?" tanya Maliani kemudian.
Panji membalas senyum gadis itu. Ini kesempatan
yang kutunggu-tunggu. Begitu kata hati Panji. Kemudian, tidak seperti sebelum-
sebelumnya, kali ini Panji menaruh tangannya di atas punggung tangan Maliani.
Ditepuk-tepuknya perlahan-lahan. Hendak dilihatnya bagaimana
tanggapan gadis itu.
"Kau sendiri, apa yang akan kau lakukan se-
lanjutnya?" Panji mengembalikan pertanyaan gadis itu. Dan sambil masih tetap
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersenyum, Panji mulai meningkatkan usahanya.
Kalau tadi baru sebatas menepuk-nepuk, sekarang Panji mulai berani mengelus-elus punggung...
tangan Maliani.
Perbuatan Panji, yang diluar dugaan itu, karena
sebelumnya selalu menghindar, membuat senyum di bibir
Maliani semakin merekah. Sepasang matanya berbinar.
Kelihatan sekali betapa Maliani sangat gembira. Panji sudah mulai terpengaruh!
Begitu pikirnya. Maka, Maliani pun
semakin berani mengirimkan tantangan.
"Kawin!" jawab Maliani sambil mengerjap ngerjapkan matanya. "Itulah yang akan
kulakukan, Panji. Kalau kau?"
Mendengar jawaban Maliani, Panji tertawa pelan.
Begitu juga hatinya, ikut tertawa. Karena, setelah berkata demikian, Maliani
membalikkan tangannya yang dielus-elus Panji.
Dan tanpa ragu-ragu lagi, digenggamnya dan diremasnya tangan Panji. Dan Panji pun tidak mau kalah.
Remasan tangan gadis itu segera dibalas kontan.
"Aku juga mau kawin," jawab Panji seraya tertawa pelan. Kemudian Panji
menghentikan langkahnya. Karena
jawabannya telah membuat Maliani berhenti melangkah.
Sehingga, sekarang mereka berdiri berhadap-hadapan. Dekat sekali, cuma terpisah
satu jengkalan tangan!
Maliani mengangkat
kepalanya, sementara Panji
terpaksa agak menunduk. Karena tinggi Maliani cuma
sampai telinganya. Dan mereka saling tatap. "Kau sudah punya pilihan?" tanya
Maliani sambil terus menatap mata Panji.
"Kau sendiri?" Kembali Panji memancing Maliani untuk menjawab lebih dulu.
Meskipun sudah ada dugaan,
namun ia ingin tahu apa jawaban gadis itu.
"Mmm... sudah, tuh!"
"Siapa?" desak Panji lagi, sementara Madani semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh
Panji. Dan Panji tidak
menghindar. Malah, ketika gadis itu melingkarkan lengan di bahunya, Panji segera
meraih pinggang gadis itu.
"Kau, Panji," jawab Maliani, yang kemudian menjatuhkan kepalanya di dada Panji. "Kaulah pilihanku, Panji."
"Tapi, bagaimana kalau kita berdua tewas di tangan Raja Sesat?" tiba-tiba saja
pertanyaan itu melintas di benak Panji.
Dan tanpa perlu berpikir lagi, segera saja dilontarkannya pertanyaan itu.
"Tidak akan, Panji, tidak akan!" jawab Maliani sambil mengangkat kepalanya, yang
kemudian digelengkannya
keras-keras. Tentu saja Panji merasa agak heran.
"Mengapa?" tanya Panji lagi. "Raja Sesat sangat tinggi sekali kepandaiannya.
Belum lagi pengikut-pengikutnya.
Lalu, mengapa kau bisa begitu yakin kalau kita tidak akan mati di tangannya.
Padahal aku tidak merasa punya nyawa cadangan."
"Aku juga tidak punya nyawa cadangan, Panji," tukas Maliani, yang kembali saling
tatap dengan Panji. Kemudian hening sesaat. Dan secara perlahan namun pasti,
Maliani mendekatkan wajahnya ke wajah Panji. Dan untuk bisa
mencapainya Maliani mengangkat tumitnya.
Panji tahu apa yang diinginkan Maliani. Maka, tanpa
merasa ragu lagi, segera saja Panji menundukkan kepalanya.
Dan, Maliani yang merasa tidak sabar, langsung menyergap bibir Panji. Melumatnya
dengan lahap. Memang pada mulanya Panji cuma sekadar ingin
membuktikan penilaiannya saja lapi, ketika ia merasakan ciuman gadis itu, Panji
seperti lupa dengan tujuannya
semula. Maliani bukan saja tidak jelek, malah bisa dibilang sangat cantik.
Lebih-lebih bentuk bibirnya sangat bagus dan seperti selalu menantang siapa
saja. Jadi, tidak heran kalau Panji sampai terangsang. Dan ia pun segera
membalas dengan tidak kalah hangatnya. Bibir gadis itu digasaknya habis-habisan.
*** Akan tetapi, betapapun rangsangan itu menuntutnya,
namun Panji tahu batas. Dan ia tidak ingin melewati batas-batas itu. Maka,
ketika dirasakannya Maliani semakin gila, semakin memperturutkan tuntutan nafsu
yang menyentak-nyentak, Panji segera melepaskan pelukannya. Perlahan
dijauhkannya tubuh gadis itu.
"Mengapa, Panji, mengapa"!" Dengan napas terengah-engah, Maliani bertanya tak
mengerti. "Kita tidak boleh melakukannya, Maliani," jawab Panji tegas. "Ada batas-batas
yang harus dijaga kecuali mereka yang sudah menjadi suami-istri."
"Tapi kau suka kepadaku, bukan" Kau... kau mau
menjadi suamiku, bukan?" kata Maliani sambil menatap Panji dengan sorot penuh
tuntutan. Panji tidak segera menjawab. Ditariknya napas untuk
sesaat. "Lalu bagaimana dengan Raja Sesat" Bukankah kau harus menuntut balas
kematian keluargamu?" ujar Panji mengingatkan Maliani. Dan dengan pertanyaannya
itu, Panji bermaksud untuk mengalihkan pembicaraan. Karena jika ia menjawab,
bukan mustahil kalau Maliani akan mengamuk.
Malah mungkin akan menuduhnya sebagai lelaki hidung
belang. Maliani tertegun, ia kelihatan bingung, seperti kehilangan kata-kata. Cuma menatap Panji dengan sorot
mata yang sulit ditebak. Dan itu berlangsung cukup lama.
"Maliani" Kau kenapa?" Merasa khawatir ketika melihat gadis itu masih juga
membisu seperti patung, Panji pun segera menegurnya. Membuat Maliani tersentak.
Lalu Panji mendengar gadis itu menarik napas, yang kemudian membuang
pandangannya ke arah lain.
"Panji," ujar Maliani sambil kembali menatap Panji.
"Apakah kau mempunyai persoalan dengan Raja Sesat?" "
"Kau sudah tahu jawabannya, Maliani. Aku cuma
membantu," jawab Panji sambil membalas tatapan gadis itu.
Sengaja Panji tidak menyebutkan membantu siapa. Kalau ia menyebutkan membantu
Maliani saja, berarti ia telah
berdusta. Dan Panji tidak ingin berdusta, karena ia juga membantu
Suranti. Itu sebabnya mengapa ia cuma mengatakan 'membantu' saja. Dengan begitu jawabannya
mempunyai dua pengertian. Bisa berarti membantu Maliani, dan juga bisa berarti
membantu Suranti. Tapi tentu saja yang Panji maksud sebenarnya adalah membantu
keduanya. "Artinya kau sendiri tidak mempunyai persoalan apa-apa dengan Raja Sesat?"
Maliani masih juga menegasi.
Tampaknya ia kurang puas.
"Mengapa kau malah mendesak aku, Maliani" Ada apa sebenarnya" Nada suaramu
kedengarannya agak aneh"
Kau... seperti berpihak kepada Raja Sesat?" kilah Panji, yang menjadi heran
ketika merasakan seperti ada perubahan pada diri Maliani.
Maliani jadi kelihatan bimbang. Sebenarnya ia hendak
menjebak Panji. Dan cerita tentang keluarganya maupun
pengeroyokan empat lelaki terhadapnya, adalah bagian dari rencana yang
disusunnya bersama ayahnya dan Malintang.
Maliani tahu kalau ayahnya merasa jerih kepada Pendekar Naga Putih. Apalagi
setelah mendengar sendiri cerita
Malintang, yang dipecundangi Pendekar Naga Putih. Ayahnya semakin yakin kalau
berita tentang Pendekar Naga Putih, yang telah banyak merobohkan tokoh-tokoh
kelas atas, bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Ayahnya semakin jerih saja. Maliani tahu
itu, kendati ayahnya berusaha menyembunyikannya rapat-rapat, yang lalu bersama
Malintang, merencanakan untuk menjebak Pendekar Naga Putih.
Tapi sekarang, setelah bertemu dan berhadapan
langsung, setelah mengetahui bagaimana watak dan sikap Pendekar Naga Putih, dan
setelah melakukan perjalanan
bersama-sama, hati Maliani menjadi goyah. Maliani bukanlah seorang gadis
ingusan, bukan gadis kemarin sore, dan bukan baru pertama kail berjumpa dengan
pemuda yang tampan
dan gagah. Bukan, bukan dan bukan! Pemuda-pemuda
seperti itu telah banyak yang dijumpainya. Sudah banyak yang masuk ke dalam
kehidupannya. Dari mereka adalah
perayu-perayu, penjilat-penjilat, yang begitu melihatnya langsung tergila-gila
kepadanya. Mereka tidak segan-segan untuk berlutut di bawah kakinya demi untuk
mengemis cintanya. Bahkan kalaupun ia menyuruh mereka untuk menjilati telapak kakinya, mereka pasti akan melakukannya.
Dan Maliani sudah muak dengan pemuda-pemuda seperti
itu. Sedangkan terhadap Panji...
Sejak Panji menolongnya dan menyatakan kesediaannya untuk membantunya membalaskan dendam
keluarganya, Mallani sudah merasa tertarik. Apalagi Panji ternyata tidak
mengharapkan imbalan apa-apa darinya.
Hendak menolongnya dengan tulus. Padahal Panji tahu
bahwa dengan menolongnya, bukan tidak mungkin dirinya
akan menjadi korban. Dan itu sungguh berbeda sekali
dengan apa yang ditanamkan ayahnya kepadanya sejak ia
kecil. Menurut ayahnya, kaum golongan putih adalah
kelompok orang-orang sombong. Orang-orang yang sok suci.
Kelompok orang-orang yang selalu memusuhi kaum golongan hitam. Merasa benar
sendiri, meremehkan dan menghina
kaum golongan hitam, yang menurut mereka hanyalah
kelompok orang-orang kotor berhati busuk, yang sudah
semestinya dibasmi habis. Akan tetapi, pada diri Panji, Maliani
tidak menemukan semua itu. Panji tidaklah sombong, kendati memiliki kepandaian yang tinggi. Tidak sembarangan
membunuh. Itu sudah terbukti dengan membiarkan empat pengeroyoknya pergi. Malah Panji tidak memusuhi Raja Sesat
secara langsung. Padahal Raja Sesat jelas-jelas merupakan tokoh golongan hitam
yang sangat berbahaya. Dan kalau pun Panji memusuhi Raja Sesat, itu disebabkan
karena hendak membantunya.
Tapi bukan hanya cuma karena itu saja yang
menyebabkan Mallani tertarik. Panji ternyata tidak terpesona dengan
kecantikannya. Tetap berusaha menjaga kesopanan kendati ia telah berulangkali
memancingnya. Dan Panji
ternyata bukanlah termasuk lelaki yang mau memanfaatkan kesempatan. Padahal ia
sudah pasrah. Menyerahkan dirinya bulat-bulat. Dan meskipun jumlah kekasihnya
sudah tidak terhitung lagi, namun Maliani tetap menjaga kesuciannya.
Tapi Panji ternyata menolaknya. Padahal laki-laki lain pasti akan berebutan
untuk memilikinya. Tapi Panji ternyata tidak.
Dan itulah sebabnya mengapa hati Maliani sampai menjadi goyah. Maliani sadar
bahwa ia telah jatuh cinta kepada Panji.
Kepada Pendekar Naga Putih! Orang yang dimusuhi ayahnya.
Baginya, Panji adalah seorang pemuda pilihan yang tidak ada duanya!
*** "Raja Sesat adalah Ayahku...."
Kalau saja saat itu ada petir menggelegar di te-
linganya, mungkin Panji tidak akan sekaget mendengar
pengakuan yang keluar dari mulut Maliani! Padahal Maliani mengucapkannya dengan
suara yang nyaris berupa bisikan lirih dan bergetar. Malah wajah Maliani tampak
pucat. Tapi, Panji tetap saja kaget bukan main. Dan saking kagetnya, Panji
sampai tersurut ke belakang. Memandang Maliani dengan mata terbelalak. Dengan
wajah memucat! "Kami merencanakan untuk menjebakmu, Pendekar
Naga Putih!" lanjut Maliani. "Dan aku adalah umpannya."
Panji cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sulit baginya untuk menerima pengakuan Maliani. Bukannya ia
tidak percaya, tapi bagaimana mungkin Maliani menceritakan semua itu kepadanya" Mengapa Maliani
menjadi berubah pikiran" Padahal dia sudah masuk ke
dalam perangkap gadis itu" Ban kalau Maliani tetap
melanjutkan sandiwaranya, bukan mustahil kalau rencana itu akan berhasil dengan
baik. Tapi, Maliani malah menghancurkan rencananya sendiri. Sungguh Panji jadi
tidak habis mengerti.
"Mengapa kau menceritakan semua ini kepadaku,
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maliani?" tanya Panji setelah dapat menguasai perasaannya.
Ditatapnya wajah gadis itu dengan penuh keheranan.
"Setelah aku melihatmu dan mengetahui watak serta pendirianmu, terus-terang aku
tidak bisa melanjutkan
rencana ini. Aku... tidak mau kau sampai celaka. Panji,"
jawab Maliani dengan suara serak. Semula Maliani hendak mengatakan "Aku telah
jatuh cinta kepadamu, Panji." Tapi diurungkannya. Maliani takut jika Panji akan
memandang rendah dirinya, meremehkannya, karena ia adalah putri seorang
dedengkot golongan sesat.
Lagi-lagi Panji menggeleng. Menarik napas berulang-
ulang. Tidak mendesak, meskipun sedikit banyak ia dapat menduga apa yang
menyebabkan Maliani mengungkapkan
rencana itu kepadanya. Akan tetapi, apa pun alasan Maliani, Panji merasa sangat
berterima kasih sekali. Membuat
penilaiannya berubah. Karena ia tahu sekarang, mengapa Maliani begitu jinak
kepadanya, sampai-sampai hendak
menyerahkan kehormatannya.
"Sadarkah kau bahwa perbuatanmu ini akan membuat ayahmu murka?" ujar Panji yang malah jadi mencemaskan nasib gadis itu.
"Aku sudah siap untuk menanggung semua akibatnya," begitu tegas dan mantap suara Maliani. Membuat Panji terharu.
Sungguh tidak disangkanya kalau putri
seorang dedengkot golongan sesat, yang kekejamannya telah sangat terkenal,
ternyata memiliki hati yang mulia. Rela berkorban untuk dirinya, orang yang baru
dikenalnya. "Tidak,"
geleng Panji tegas. "Aku tidak bisa membiarkan hal itu sampai terjadi. Kau tidak ingin melihat aku celaka. Demikian
juga dengan aku, Maliani. Sebaiknya, lanjutkan saja apa yang sudah menjadi
rencana ayahmu.
Biarlah nasib yang akan menentukan, apakah aku akan
selamat atau tidak "
"Tidak!" bantah Maliani dengan tidak kalah tegasnya.
"Aku tidak akan melanjutkannya. Kalaupun Ayah akan murka kepadaku, paling jauh
aku cuma dihukum. Beda
dengan kau, Panji. Jika sampai tertangkap, kau akan
dibunuhnya!"
"Tapi..."
"Tidak ada tapl-taplan!"
sergah Maliani cepat "Mungkin saat ini sudah terlambat, dan aku sangat menyesal sekali," lanjutnya,
yang kemudian menceritakan tentang Malintang dan apa yang akan diperbuatnya
terhadap Suranti.
Dijelaskannya juga, mengapa Malintang sampai melakukan semua kejahatan itu.
Panji tentu saja menjadi kaget bukan main. Ia menjadi
gelisah, karena masih mencemaskan nasib Maliani, yang
mungkin saja akan disiksa Raja Sesat. Sementara, ia juga mengkhawatirkan
keselamatan Suranti.
"Pergilah, Panji," ujar Maliani yang dapat menebak kebingungan
Panji. "Terima kasih kau masih peduli kepadaku. Tapi, temanmu itu harus segera diselamatkan.
Nah, selamat tinggal...."
Panji mengangkat tangan kanannya hendak mencegah. Akan tetapi, Maliani sudah melesat pergi tanpa menoleh lagi.
Terpaksalah Panji memutar tubuhnya, berlari secepat-cepatnya untuk segera tiba
dipenginapan. *** "Apa kita tidak salah jalan, Kak Malintang?" Suranti menghentikan langkahnya,
menatap wajah Malintang dengan kening berkerut. Kelihatan sekali betapa sorot
mata Suranti memancarkan kecurigaan.
"Tentu saja tidak, Suranti," jawab Malintang yang segera
menghentikan langkah dan memutar tubuh menghadapi Suranti. Suranti memang berlari di belakang Malintang, kira-kira
empat langkah jaraknya. Itu karena Suranti belum percaya sepenuhnya kepada
Malintang, dan merasa perlu untuk terus waspada.
"Bukankah tempat kediaman Raja Sesat berada di
sebelah barat di dekat anak bukit?" bantah Suranti seraya menunjuk ke sebelah
kirinya. "Sepertinya kau sengaja hendak menyesatkan aku?"
"Suranti," ujar Malintang lemah. Lalu melangkah maju. "Dengar, Adikku manis..."
"Berhenti!" Suranti membentak seraya melangkah mundur dua tindak. Kemudian
terdengar suara mendesing.
Dan tahu-tahu, tangan kanan Suranti telah menggenggam
pedang. "Rupanya kau memang berniat jahat kepadaku. Kau hendak memisahkan aku
dari Panji. Sekarang aku benar-
benar yakin bahwa kau memang benar-benar sudah berubah.
Kau... kau... pastilah kau yang telah membunuh Ayah dan Rakai!
Mengakulah, Malintang! Kau akan menerima pembalasan dariku!"
"Ha ha ha...!" tiba-tiba Malintang tertawa berkakakan.
Sikapnya berubah seketika. Tidak lagi tampak memelas.
Malah kelihatan garang. Sorot matanya pun tidak lagi sayu, malah
tajam berkilat-kilat.
Membuat Suranti tersurut mundur. Hatinya bergidig ngeri demi melihat sikap dan
tatapan Malintang. Tatapan itu begitu mengerikan. Tak ubahnya tatapan binatang
buas yang kelaparan. Dan sebagai
perempuan, Suranti sadar apa arti tatapan mata Malintang itu.
"Kau sama saja dengan ayahmu, Gadis tolol! Kalian menyisihkan aku. Tidak
mempedulikan aku. Kalian berdua lebih menyayangi si bedebah Rakai daripada aku.
Aku memang anak gelandangan yang dipungut ayahmu, yang
kemudian diangkatnya sebagai anak. Tapi aku tahu kalau sesungguhnya Orang Tua
keparat itu tidak menyayangiku.
Kenyataannya aku malah dibuang! Diberikan kepada orang lain, sementara si
bedebah Rakai dididiknya dengan ilmu-ilmu tinggi. Bahkan ia malah memilihnya
untuk menjadi jodohmu! Padahal dia tahu kalau aku sangat mencintaimu.
Bukan sebagai kakak, tapi sebagai laki-laki. Dan aku merasa lebih berhak
mencintaimu ketimbang si bedebah Rakai, yang cuma murid itu!" Malintang
berteriak-teriak dengan berapi-api. Menumpahkan semua perasaannya yang
dipendamnya selama bertahun-tahun.
Suranti tentu saja merasa terkejut bukan main.
Sungguh tidak pernah disangkanya kalau Malintang ternyata mempunyai pikiran yang
salah. "Apa yang kau katakan itu sama sekali tidak benar, Malintang!" Suranti
menyanggah tuduhan itu dengan tidak kalah kerasnya. "Aku sendiri tidak pernah
tahu kalau kau bukanlah
kakak kandungku. Ayah tidak pernah menceritakannya kepadaku. Aku cuma tahu bahwa kau
adalah kakakku. Dan kalaupun Ayah memilih Rakai untuk
menjadi jodohku, itu karena kami memang saling mencintai.
Aku memang mencintai Rakai, dan bukan karena Ayah yang memilihkannya
untukku. Sedangkan terhadapmu, aku menyayangimu sebagai kakakku. Dan kalau pun kau
dititipkan kepada Camar Laut, itu karena Ayah ingin agar kau bisa lebih pandai
daripada Ayah!"
"Bohong!"
sentak Malintang dengan suara menggeledek. "Kalau benar dia menyayangiku, seharusnya ia tahu perasaanku, tahu
kalau aku menginginkan dirimu
untuk menjadi istriku. Bukankah kita tidak sedarah" Tidak ada larangan bagiku
untuk menikahimu, bukan" Lalu
mengapa Rakai yang dipilih" Padahal aku sangat mencintaimu, Suranti. Dan aku tidak sudi kau diperistri orang lain, sekalipun
oleh si bedebah Rakai! Aku benci si bedebah Rakai yang telah merebutmu dariku!
Aku benci ayahmu yang telah memisahkan kita! Dan, aku juga benci dengan Camar Laut, yang
mengekang kebebasanku, selama
satu tahun lebih! Itu sebabnya kubunuh si keparat Camar Laut
dan semua pelayannya. Kemudian aku pergi mengembara untuk mempelajari ilmu-ilmu
silat tinggi lainnya. Tidak perduli kendati yang kupelajari adalah ilmu dari golongan sesat.
Bahkan aku lalu menjadi pengikut dan murid Raja Sesat, yang kelak setelah
ilmunya kuserap habis, kakek jelek itu pun akan kuhabisi! Dan aku akan menjadi
penguasa rimba persilatan. Menjadi jago nomor satu yang tak terkalahkan! Ha ha
ha...!" "Bedebah kau, Malintang! Kau manusia durhaka yang tidak tahu balas budi! Kau...
manusia serakah! Keinginanmu itu telah membuatmu menjadi gila! Kau... iblisss!
Kau harus membayar nyawa Ayah dan Rakai!" Suranti tak dapat lagi menahan
kemarahannya. Menurutnya Malintang memang
benar-benar telah menjadi gila. Otaknya sudah dirusak oleh keinginan gilanya
itu. Dan di saat Malintang masih tertawa-tawa seperti orang gila, Suranti
langsung melompat sambil menusukkan pedangnya ke tenggorokan Malintang.
Siingng...! Suara desing pedang menyadarkan Malintang dari
kegilaannya. Dan begitu dilihatnya Suranti menyerang
tenggorokannya, segera saja Malintang menggeser tubuhnya satu langkah ke kanan.
Dan begitu sambaran pedang lewat di sampingnya, dua tangannya langsung bergerak
susul-menyusul, melepaskan totokan-totokan untuk melumpuhkan Suranti.
Cepat bukan main serangan balasan yang dilontarkan
Malintang, hingga membuat Suranti menjadi terkejut. Segera saja Suranti melempar
tubuhnya ke belakang. Berjumpalitan beberapa kali, sebelum akhirnya melayang
turun ke tanah.
Akan tetapi, Malintang ternyata tidak tinggal diam
begitu saja. Pada saat Suranti melempar tubuh ke belakang, Malintang langsung
memburunya dengan serangan-serangan yang tetap dimaksudkan untuk melumpuhkan
Suranti. Malintang memang tidak bermaksud untuk membunuh
Suranti. Ia sangat mencintai adik angkatnya itu. Ingin memilikinya tanpa ada
yang mengganggu. Demikian hebat
rasa cinta yang meracuni hati dan pikiran Malintang, hingga membuat jiwanya
terganggu. Apalagi ketika Ki Arja Wiguna, ayah angkatnya, malah menjodohkan
Suranti dengan Rakai.
Jiwanya semakin terganggu. Sehingga ia membenci dan
menaruh dendam terhadap ayah angkatnya dan juga kepada Rakai. Itu salah satu
alasan mengapa Malintang sampai tega membunuh Rakai dan ayah angkatnya.
8 Melihat betapa Malintang sudah memburunya dengan
serangkaian totokan, Suranti yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah, segera
membabatkan pedangnya dengan
gerak menyilang. Namun, dengan menggunakan kelincahan
tubuhnya, Malintang dapat mengelakkan sambaran pedang
Suranti. Kemudian, dengan tidak terduga, Malintang menjatuhkan tubuhnya
bergulingan di tanah. Dua totokannya
menderu datang, mengancam bagian belakang lutut Suranti.
Cwit! Cwit! Namun Suranti bertindak cepat untuk segera memindahkan kedua kakinya dengan langkah-langkah yang
cukup ampuh. Dua totokan Malintang kembali menemui
kegagalan. Malintang rupanya sudah memperhitungkan
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tindakan Suranti itu. Dan tahu-tahu saja, tubuh Malintang melambung tinggi
dengan gerak menyamping. Saat itu juga, dua jari tangannya bergerak cepat
menotok dua jalan darah di dekat bahu Suranti.
Pucatlah selebar paras Suranti. Tidak mungkin lagi
baginya untuk menghindari dua totokan itu.
Tukkk! Tukkk! Dan Suranti cuma bisa memekik dengan mata
terbelalak. Dua totokan Malintang tepat mengenai sasaran di tubuhnya, yang
seketika itu juga melorot jatuh bagaikan sehelai kain basah. Dan Malintang
tertawa berkakakan,
sementara Suranti yang rebah di tanah, cuma bisa mengigit bibir. Dua titik air
bening terlompat dari matanya. Hatinya sudah
ngeri membayangkan apa yang bakal terjadi kemudian. Dari tatapan Malintang yang menjelajah sekujur tubuhnya, Suranti
memang sudah bisa menebak apa yang
dikehendaki Malintang pada dirinya.
"Ha ha ha...! Malam ini juga kau akan kujadikan
pengantinku, Suranti. Kita akan bersenang-senang, adikku yang manis. Lalu
kemudian, kau akan melahirkan anak-anak kita. Mereka pasti akan segagah aku dan
secantik kau. Ha ha ha...!" Malintang tertawa-tawa seperti orang gila. Dan
begitu tawanya terhenti, Malintang berjongkok di samping Suranti.
Dirabanya wajah cantik yang berkulit halus itu. Dicubitnya bibir Suranti dengan
gemas. "Binatang, pergi kau! Jangan sentuh aku! Aku lebih baik mati daripada
bersuamikan orang gila sepertimu!"
Suranti cuma bisa berteriak-teriak tanpa bisa menggerakkan tubuhnya yang telah
dilumpuhkan oleh totokan Malintang.
Malintang cuma terkekeh. Tidak peduli dengan segala
makian maupun sumpah serapah yang dilontarkan Suranti.
Dan setelah puas meraba wajah serta sekujur tubuh Suranti, diraihnya tubuh gadis
malang itu. Dipondongnya dan
diciuminya habis-habisan. Dan sambil tertawa-tawa, dibawanya Suranti pergi meninggalkan tempat itu.
Langkah Malintang yang tergesa-gesa akhirnya terhenti. Belum lagi jauh ia berjalan, baru sekitar empat puluh tombak, namun
sesosok tubuh yang terselimut
keremangan malam telah menghadang perjalanannya.
"Lepaskan gadis itu, Malintang!" terdengar suara si penghadang. Malintang
mengerutkan kening. Menajamkan
pandangannya karena suara itu seperti tidak asing bagi telinganya.
Dan, ketika samar-samar ia mulai dapat mengenali siapa adanya penghadang itu, Malintang pun
tertawa berkakakan.
"Ha ha ha...! Kau cemburu rupanya, ya?" kata Malintang yang disambut si
penghadang dengan sebuah
dengusan kasar.
"Lepaskan kataku, atau aku harus memaksamu!"
sosok penghadang kembali membentak. Kali ini sambil
bergerak maju mendekati Malintang. Ternyata sosok ini
adalah seorang perempuan cantik dengan sorot mata setajam mata pedang. Menikam
langsung ke mata Malintang.
"Jangan takut, Maliani. Aku tetap mencintaimu. Kau akan kujadikan istri pertama.
Sedangkan gadis tolol ini biar jadi istri kedua saja," ujar Malintang sambil
terkekeh-kekeh.
Malintang sama sekali tidak mempedulikan perintah si
penghadang yang ternyata adalah Maliani itu. Mungkin ia menganggap ancaman
Maliani itu cuma main-main. Maka,
ketika Maliani melangkah maju, Malintang pun bergerak
menyambut. *** Sringng! "Eh!?" Malintang baru merasa kaget ketika Maliani mencabut pedang. Kekehnya
seketika lenyap. Keningnya
berkerut-kerut.
Kemudian ditentangnya pandang mata Maliani. Sorot mata gadis itu demi kian tajam. Wajahnya dingin menyiratkan
ancaman. Tahulah Malintang kalau Maliani memang tidak main
main. "Jadi kau sungguh-sungguh?" tanyanya sekadar untuk meyakinkan hatinya.
"Ini permintaanku yang terakhir." Maliani sama sekali tidak mempedulikan
pertanyaan Malintang. "Lepaskan gadis itu!" pintanya sembari menyilangkan
pedangnya di depan dada.
"Tidak!" Kali ini Malintang berkata tegas. "Malah kau pun akan kulumpuhkan! Kau
sudah berani membentak-bentak dan memerintahku. Kemarin-kemarin memang aku
mengalah dan tidak pernah memaksa untuk menjamah
tubuhmu. Tapi sekarang, kau pun akan mengalami nasib
seperti perempuan tak tahu diuntung ini. Kalian berdua akan kulahap sepuas-
puasnya. Setiap waktu, setiap hari kalian akan kupaksa untuk melayaniku sampai
kalian mengandung dan melahirkan anak-anakku!"
"Bangsat!" Maliani menjadi marah bukan main.
Selebar parasnya menjadi merah.
Ancaman Malintang
memang kedengarannya sangat mengerikan. Akan tetapi
Maliani sama sekali tidak menjadi gentar. Sebaliknya ia malah ingin segera
memenggal batang leher Malintang.
"Haiiittt...!
Dengan sebuah bentakan melengking, Maliani menerjang maju. Pedang di tangannya berkelebatan cepat, hingga yang nampak
hanyalah kilatan-kilatan sinar putih yang membelah keremangan malam. Cepat dan
kuat bukan main serangan yang dilancarkan Maliani itu. Akan tetapi, Malintang menyambutnya
dengan tawa ganda.
Tanpa melepaskan Suranti yang masih tetap berada
dalam pondongannya, Malintang menggeser langkahnya
dengan lincah menghindari setiap sambaran pedang Maliani.
Dan bukan cuma itu saja, malah Malintang sempat juga
mengirimkan tendangan-tendangan
pendek sebagai balasannya. Maliani menjadi penasaran bukan main, meskipun ia tahu bahwa kepandaian Malintang masih berada di atas kepandaiannya.
Dan yang membuatnya jengkel,
ayahnya juga telah menurunkan beberapa macam ilmu
kepada Malintang, termasuk ilmu pedang yang sekarang
digunakannya. Sehingga, Malintang dapat dengan mudah
mematahkan setiap serangannya. Karena Malintang telah
mengetahui ke mana pedangnya akan bergerak.
Karena dengan ilmu pedang itu ia tidak dapat berbuat
banyak, maka Maliani segera merubah jurus-jurus serangannya. Digunakannya ilmu tangan kosong dengan
menggunakan pedang. Ilmu-ilmu yang tidak diketahui
Malintang. Untuk beberapa jurus lamanya, Malintang memang menjadi sibuk oleh serangan-serangan Maliani.
Akan tetapi, setelah lewat dari dua puluh jurus, Malintang mulai dapat
mengatasinya dengan baik. Malah serangan-serangan balik yang mulai dilancarkan
Malintang, beberapa di antaranya nyaris mengenai tubuhnya.
"Setaaan!" Maliani mengumpat seraya menggertakkan giginya dengan penuh
kegeraman. Dan dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya, Maliani
mencoba untuk mendesak Malintang. Namun, Malintang bertindak lebih
sigap. Dua di antara tiga sambaran pedang Maliani
dielakkannya dengan liukan tubuhnya. Sedangkan yang
ketiga, segera dipapakinya dengan kibasan tangannya.
Plakkk! Kibasan lengan Malintang membentur lengan Maliani.
Cukup keras, hingga membuat Maliani menahan pekik
kesakitannya. Tubuhnya terjajar mundur sampai empat
langkah. Kesempatan itu tidak disia-siakan Malintang, yang segera melompat
dengan sebuah tendangan menyamping.
Maliani terbelalak, karena pada saat itu ia masih belum sempat untuk memperbaiki
kuda-kudanya. Bukkk! Maliani tak dapat menghindar lagi. Maliani menjerit
keras ketika tendangan Malintang bersarang telak di
perutnya. Membuat tubuhnya terpental deras, untuk kemudian jatuh terjengkang ke tanah. Dan selagi Maliani merasakan perutnya mulas
bukan main, Malintang sudah
kembali menyerbu datang. Kali ini ia melepaskan totokan dengan menggunakan jari-
fari tangan kirinya, sementara yang kanan menyangga tubuh Suranti, yang tetap
dalam pondongannya. Maliani membelalakkan matanya dengan wajah ngeri.
Bukan karena totokan yang tengah dilancarkan Malintang.
Akan tetapi, ancaman mengerikan yang tadi diucapkan
Malintang. Bergidig hatinya teringat ancaman yang ia tahu pasti akan segera
dilaksanakan Malintang.
Namun, sebelum jari-jari tangan Malintang me-
lumpuhkan tubuh Maliani, sesosok bayangan putih berkelebat cepat dan langsung menyambut totokan itu.
Demikian cepat gerakan sosok bayangan putih itu, yang
kemunculannya disertai dengan hamparan hawa dingin
menusuk tulang.
Kali ini Malintang yang menjerit kesakitan, tubuhnya
tertolak balik. Terhuyung-huyung sampai hampir dua tombak jauhnya. Sedangkan
sosok bayangan putih itu tidak tinggal diam. Cepat bergerak memburu Malintang.
Dua tangannya bergerak susul-menyusul. Yang kiri mendorong bahu kanan Malintang, sedangkan
yang kanan digunakan untuk merebut tubuh Suranti.
Malintang memaki kalang-kabut. Perbuatan sosok
bayangan putih itu tidak bisa dicegahnya lagi. Sementara tubuhnya terpelanting
jatuh ke tanah, tubuh Suranti pun lepas dari pondongannya.
"Keparat busuk, akan kucincang hancur tubuhmu!"
Sambil berteriak-teriak kalap, Malintang melompat bangkit.
Mencabut pedangnya yang segera saja memperdengarkan
suara sambaran angin mendesing-desing. Akan tetapi, begitu ia memandang sosok
bayangan putih yang dimakinya dan
hendak dicincang tubuhnya, mata Malintang terbeliak. Wajahnya seketika menjadi
pucat. Dan, dengan bibir gemetar terdengar ia berucap, "Pendekar... Naga...
Putih...!?"
Sosok bayangan putih yang kemunculannya tepat
pada saat Maliani terancam itu, ternyata adalah Panji atau yang lebih dikenal
dengan julukan Pendekar Naga Putih.
Tidak heran kalau Malintang sampai sedemikian terkejutnya.
Karena ia pernah dipecundangi Panji, yang kemudian
membebaskan Empu Dama, sastrawan tua yang dipaksa ikut dengannya untuk
membacakan kitab-kitab kuno yang
dicurinya dari ayah angkatnya.
*** Dukkk! Panji merasa bersyukur dapat menemukan Malintang
pada saat yang tepat. Bukan saja ia dapat merebut Sutanti, akan tetapi, juga
telah menyelamatkan Makani, yang ia tidak tahu bagaimana caranya tahu tahu
didapatinya sudah
berada di bawah ancaman serangan Malintang.
Ketika kembali ke penginapan, Panji tidak me-
nemukan Suranti di kamarnya. Bukan main cemas hatinya
ketika ia melihat pintu jendela yang terbuka. Tahulah Panji bahwa Maliani memang
tidak berdusta. Akan tetapi ia
menjadi bingung karena tidak tahu ke mana harus mencari Suranti. Untung-untungan
dijelajahinya sekitar penginapan.
Terus melebar hingga beberapa ratus tombak. Namun jejak Suranti tetap tidak bisa
diketemukannya. Membuat Panji nyaris putus asa.
Panji sudah merasa seluruh tubuhnya lemas, ketika
tiba-tiba-ia menangkap suara teriakan melengking
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di kejauhan. Sebuah teriakan seorang perempuan yang sedang marah. Tanpa berpikir
dua kali, langsung Panji berlari secepat-cepatnya. Sama sekali tidak pernah
disangkanya kalau teriakan itu berasal dari mulut Maliani sewaktu
bertarung melawan Malintang. Beruntung ia datang pada
saat yang tepat, hingga dapat menyelamatkan Maliani dan Suranti dari ancaman
malapetaka yang mengerikan.
"Kejahatanmu-lah yang telah mempertemukan kita
kembali, Malintang," ujar Panji, setelah membebaskan Suranti dari pengaruh
totokan, dan menyuruhnya untuk
memeriksa keadaan Maliani. Dan Panji merasa lega ketika Suranti mengatakan bahwa
luka Maliani tidak terlalu
mengkhawatirkan.
Maka dihadapinya Malintang, yang menatapnya dengan penuh kebencian.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Malintang tertawa berkakakan. Panji mengerutkan
kening, khawatir kalau-kalau Malintang terganggu ingatannya "Aku tahu sekarang,"
lanjut Malintang sambil menatap Panji dengan penuh ejekan.
"Kau hendak mengangkangi kedua perempuan itu sendirian, bukan" Berpura-pura sok
pahlawan, sok suci, padahal dalam hatimu terkandung niat yang sama buruknya
denganku."
"Jangan dengarkan mulutnya yang kotor itu. Panji!"
Suranti berseru mengingatkan Panji. Tampaknya gadis ini khawatir kalau-kalau
Panji akan terpancing oleh ejekan Malintang yang memang sangat tajam sekali.
Panji menoleh kepada Suranti dan memberikan
senyumnya agar Suranti tidak perlu khawatir. Kemudian, kembali di hadapinya
Malintang. Dihampirinya dengan
langkah perlahan. Malintang menjadi kelabakan, karena ia sadar betul bahwa
kepandaiannya masih belum mampu
untuk mengimbangi Pendekar Naga Putih. Kecuali...
Tiba-tiba saja satu siasat licik melintas di benak
Malintang. "Pendekar Naga Putih," katanya sambil mengangkat dada. "Jika kau memang benar-benar seorang jantan, aku menantangmu
bertarung pada tiga tahun
mendatang. Hari ini aku sedang tidak berselera. Bagaimana, apakah kau mau
menerima tantanganku?"
"Kau mau menungguku selama itu?" Panji malah balik bertanya, hingga membuat
Malintang menjadi tertegun.
"Asalkan kau bersedia menerima tantanganku, aku
akan menunggumu. Tiga tahun bukanlah waktu yang lama,"
jawab Malintang, yang diam-diam berdebar girang karena ia bisa mengelabuhi
Pendekar Naga Putih.
Suranti dan Maliani sudah merasa cemas. Mereka
tahu betul kalau semua itu cuma siasat Malintang untuk menyelamatkan diri. Akan
tetap, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, karena Panji melarang mereka dengan
memberikan isyarat dengan goyangan tangan. Meskipun sebenarnya tidak mengerti
maksud Panji, namun baik Suranti maupun Maliani mematuhi isyarat Panji.
"Bagaimana kalau kau kuberi waktu yang lebih lama lagi?" tanya Panji lagi, tapi
Malintang malah kebingungan, kendati ia mengangguk juga.
"Kalau begitu, silakan kau tunggu aku di...," Panji menunda kalimatnya. Lebih
dulu ia menoleh ke arah Suranti dan Maliani. Panji memberikan senyumnya demi
melihat wajah-wajah penuh kecemasan. Setelah itu, Panji kembali menghadapi Malintang.
"Di mana?" Malintang tak sabar ketika melihat Pendekar Naga Putih masih juga
belum menyebutkan
tempatnya. "Di pintu... neraka!"
Mendengar jawaban Panji, Maliani dan Suranti tak
dapat lagi menahan kegelian hatinya. Mereka terkekeh-kekeh sambil menunjuk-
nunjuk muka Malintang, yang sebentar
merah sebentar pucat. Malu bukan main hatinya. Pendekar Naga Putih ternyata
tidak sebodoh perkiraannya. Sudah
siasatnya tidak berhasil, malah menjadi bahan tertawaan.
"Keparat kau, Pendekar Naga Pulih!". Dari malu, Malintang menjadi marah.
"Biarpun kesaktianmu setinggi langit, aku, Malintang tidak merasa gentar secuil
pun!" Dan Malintang benar-benar membuktikan bahwa
dirinya tidak gentar menghadapi Pendekar Naga Putih.
Dengan sebuah teriakan membahana, Malintang melompat
maju dengan babatan pedangnya yang berdesing-desing
bagaikan lebah-lebah yang marah. Begitu hebat serangan yang dilancarkan
Malintang, hingga Panji tidak berani
memandang rendah.
Dengan menggunakan geseran-geseran dan langkah-
langkah pendek, serangkaian serangan Malintang dapat
dihindari Panji. Dan sebagai balasannya, Panji melontarkan pukulan-pukulan yang
tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan Malintang. Akan tetapi, Malintang
bukan saja bisa menghindari
semua serangan balasan Panji, malah serangkaian babatan dan tusukan pedangnya langsung
dilontarkan, membuat Panji merasa kagum dan menyayangkan kalau pemuda setangguh Malintang sampai
memilih jalan sesat.
"Jiahhh...!"
Berkali-kali Malintang membentak sambil mem- barenginya dengan sambaran pedangnya. Malah, setelah
lewat tiga puluh jurus, Malintang menyelingi dengan pukulan tangan kiri dan
tendangan tendangan kilat.
Perubahan serangan Malintang membuat Panji bergerak mundur. Bukan terdesak, melainkan untuk memancing rasa penasaran Malintang. Dan perhitungan
Panji memang cukup jitu. Malintang, yang serangan-
serangannya selalu saja kandas, memang menjadi geram dan penasaran bukan main.
Ia menjadi kalap, menerjang Panji habis-habisan, hingga melupakan pertahanan
dirinya. Dan memang itulah yang tengah ditunggu-tunggu Panji. Begitu melihat
pertahanan Malintang mengedur, dua telapak tangannya langsung dilontarkan ke dada dan perut Malintang. Bukkk! Desss...!
"Arrghhh...!" Malintang menjerit parau karena pada saat yang bersamaan darah
termuntah dari mulutnya.
Gedoran dua telapak tangan Panji membuat tubuhnya
terpental deras, melayang-layang di udara sebelum akhirnya terbanting ke tanah
dengan kerasnya.
Tubuh Malintang jatuh tidak jauh dari tempat Suranti
dan Maliani berada. Dan Panji terkejut ketika melihat kedua gadis itu melompat
bangkit. Saling berlomba mendatangi Malintang dengan senjata terhunus.
"Suranti, Maliani, tahaaan...!"
Panji berteriak mencegah, karena ia maklum apa yang akan dilakukan
kedua gadis itu. Akan tetapi, dua gadis itu seperti tidak mendengar teriakan
Panji. Dua pedang mereka menderu.
Malintang, yang baru saja merangkak bangkit, langsung pucat selebar wajahnya. Terbelalak ketika menyaksikan Suranti dan Maliani sama mengayunkan
pedang ke tubuhnya. Dan, seiring dengan memerciknya
darah, terdengarlah jerit kematian dari mulut Malintang.
Tubuh pemuda jangkung itu kembali roboh. Menggelepar
beberapa saat untuk kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Malintang tewas dengan dada dan perut tertembus pedang.
Panji cuma bisa menghela napas. Ia sadar kalau
semua itu memang sudah menjadi takdir Malintang, tewas di tangan dua orang
perempuan yang dicintainya.
*** "Maliani!"
Suara bentakan yang menggelegar itu sampai membuat Suranti dan Maliani berjingkrak saking kagetnya.
Panji pun tidak kalah kagetnya. Tapi tidak sampai berjingkrak, karena tenaga dalamnya langsung bergolak
melindungi dada dan telinga. Cuma saja Panji sempat
bergetar hatinya, karena ia tidak mendengar adanya suara langkah kaki orang yang
mendatangi. Dan tahu-tahu, entah dari mana datangnya, seorang lelaki tua
bertubuh kurus kering seperti orang penyakitan, sudah melangkah ke arah Maliani
dan Suranti. "Ayah"!" Maliani kelihatan kaget dengan kemunculan ayahnya. Wajahnya agak pucat
seperti orang yang merasa bersalah. Dan bersama Suranti, Maliani menggeser
tubuhnya mendekati Panji.
Seperti baru sadar, lelaki tua yang ternyata adalah
Raja Sesat ini menatap Panji dengan mata disipitkan.
Terdengar gumaman tak jelas dari mulutnya.
"Kau pastilah pemuda yang berjuluk Pendekar Naga
Putih," kata Raja Sesat sambil mendongakkan kepala dengan sikap angkuh. Raja
Sesat memang tidak memerlukan
jawaban, karena ia sudah menjawab sendiri pertanyaannya itu.
"Selamat bertemu Raja Sesat." Tanpa memperdulikan sikap angkuh Raja Sesat, Panji
menyapa seraya tersenyum.
"Sungguh suatu kebetulan yang sangat menyenangkan, karena
aku bermaksud untuk mengunjungi tempat kediamanmu," lanjut Panji, yang tentu saja belum lupa dengan perbuatan Raja
Sesat yang menangkapi para
sastrawan. Raja Sesat cuma bergumam tak jelas. Sombong sekali
sikapnya. Malah, seolah tidak mendengar perkataan Pendekar Naga Putih, tatapannya segera dialihkan ke arah Maliani, putrinya.
"Kemari kau!" dengan setengah menghardik, Raja Sesat memanggil Maliani. Ada
gambaran ancaman dalam
sorot matanya. Sikap Maliani, yang seperti berpihak kepada Panji, telah membuat
Raja Sesat maklum bahwa rencana
yang disusunnya pasti telah dirusak putrinya.
"Tidak, Ayah," Maliani menggeleng, membuat Raja Sesat sampai tertegun. Maliani
sudah berani membantah
perintahnya. Seperti jelas-jelas hendak menunjukkan bahwa putrinya itu sudah
berpihak kepada Pendekar Naga Putih.
"Hm, rupanya kau sudah termakan hasutan Pendekar
Naga Putih," ujar Raja Sesat seraya mengangguk-anggukkan kepala. Lalu tatapannya
beralih ke Pendekar Naga Putih.
"Apa yang sudah kau lakukan terhadap putriku?"
'Tidak ada," geleng Panji, yang dengan tenang
ditentangnya pandang mata Raja Sesat. "Putrimu telah sadar akan kesesatannya
selama ini. Dan kesadaran itu tidak bisa dipaksakan, sebab akan percuma. Lain
halnya jika datang dari hati sendiri," lanjut Panji yang disambut Raja Sesat
dengan dengusan kasar.
"Hm..., kalau begitu, kau dan gadis itu menyingkirlah.
Biar kuselesaikan dulu urusan antari ayah dan anak," kata Raja Sesat dengan
suara geram. Setelah berkata demikian, Raja Sesat mengayun langkah menghampiri
Maliani.
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak bisa. Raja Sesat!" ujar Panji sambil melangkah maju untuk mencegah
tindakan Raja Sesat. "Aku tidak akan membiarkan kejahatan berlangsung di depan
mataku, apa pun alasannya!"
Begitu lantang dan tegas kata-kata yang diucapkan
Panji, hingga membuat Raja Sesat menunda langkahnya.
Raja Sesat menggeram marah. Namun, darahnya menjadi
berdesir, mengalir lebih cepat sewaktu dilihatnya betapa sepasang mata Pendekar
Naga Putih menyorot tajam dan
berkilat-kilat. Raja Sesat segera mendesah untuk menekan debaran di dadanya.
"Aku pun tidak akan membiarkan kau mencelakai
Maliani, kendati dia adalah anakmu sendiri!" yang berkata adalah Suranli. Dan
gadis ini melangkah maju, siap untuk melindungi Maliani.
"Aku juga tidak akan pasrah begitu saja," Maliani juga menentang ayahnya. "Ini
bukan lagi persoalan ayah dan anak, tapi antara kebaikan dan kejahatan!"
Raja Sesat tambah terperanjat saja. Dan sorot
matanya yang semula garang, tampak mulai meredup. Dan
Raja Sesat tidak berhasil menutupi rasa jerihnya. Terhadap Pendekar Naga Putih
saja sebenarnya Raja Sesat sudah
merasa jerih. Dan itu bukan tanpa alasan kuat. Raja Sesat mendengar bahwa
Pendekar Naga Putih telah merobohkan
beberapa orang tokoh yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi darinya.
Kabar itu bukanlah isapan jempol belaka.
Bukan kabar burung. Karena Raja Sesat sudah mengirimkan kaki-tangannya untuk
menyelidiki kebenaran berita itu. Dan tokoh-tokoh sesat itu ternyata memang
telah tewas di tangan Pendekar Naga Putih. Dan kalau menghadapi Pendekar Naga
Putih saja ia sudah merasa ragu untuk bisa menang, apalagi jika ditambah dengan
putri Ki Arja Wlguna dan Maliani, putrinya sendiri. Dan lagi, sebenarnya ia
sangat menyayangi putrinya. Lalu, apa artinya hidupnya jika putrinya yang cuma
semata wayang itu tak lagi mau dekat dengannya"
"Sudahlah," desah Raja Sesat seraya menepiskan tangannya di udara. "Mari kita
pulang, Maliani, " lanjutnya seraya menatap putrinya dengan bibir tersenyum.
"Tidak, sebelum Ayah berjanji akan memenuhi permintaan Pendekar Naga Putih," kata Malinai sambil menentang pandang mata
ayahnya. Raja Sesat tertegun untuk beberapa saat lamanya.
Lalu terdengar helaan napasnya sebagai tanda bahwa ia
menyerah Dan Raja Sesat mengangguk lemah.
"Apa yang kupinta tidaklah berat bagimu, Raja Sesat,"
kata Panji. "Kuharap kau mau membebaskan pujangga-pujangga yang kau culik."
"Sebenarnya semua itu bukanlah sepenuhnya atas
keinginanku. Tapi, karena Malintang berjanji akan memperbolehkan aku untuk ikut mempelajari ilmu-ilmu
dalam kitab apabila aku mau menyediakan penterjemahnya,"
kata Raja Sesat seolah hendak mengatakan bahwa ia tidak bersalah dalam hal itu.
"Sekarang Malintang sudah binasa. Kelihatannya kau tidak keberatan untuk
melepaskan pan sastrawan yang kau culik, termasuk kitab-kitab hasil curian
Malintang," kata Panji lagi, yang didukung oleh Maliani.
Raja Sesat menghela napas berulang-ulang. "Baiklah, baiklah. Tapi aku tidak
menyimpan kitab-kitab milik Ki Arja Wiguna," katanya menyerah, karena ia tidak
ingin kehilangan putrinya.
"Aku tahu di mana Malintang menyimpannya," kata Maliani seraya menoleh kepada
Suranti. "Akan kuantarkan kau untuk mengambilnya, Suranti. Tidak jauh dari sini
ada sebuah gubuk. Dan kitab-kitab itu disembunyikan Malintang di tanah tepat di
bawah dipan bambu." Maliani berhenti sesaat, menatap ayahnya dan berkata, "Ayah
aku pergi dulu untuk mengantarkan Suranti!"
Dan tanpa menunggu lagi, Maliani langsung menarik
lengan Suranti. Raja Sesat cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Luar biasa
sekali putrinya itu. Baru saja tadi bersikap memusuhinya, tapi dalam sekejap
sudah berubah lagi.
"Ayo, ikut aku, Pendekar Naga Putih. Bocah bengal itu pasti akan menyusul," ajak
Raja Sesat seolah tidak menyimpan perasaan apa-apa kepada Pendekar Naga Putih.
Panji mengangguk. Lalu mengikuti langkah Raja
Sesat, ia sendiri tidak menyimpan perasaan apa-apa, karena memang tidak ada
permusuhan pribadi di antara mereka.
Dan pada dasarnya Panji tidak membenci dan memusuhi
orang-orang golongan sesat, tapi golongan mana pun jika melakukan kejahatan
tetap akan ditentangnya. Karena tugas yang diberikan mendiang Eyang Tirta Yasa
adalah mene-gakkan keadilan dan menentang perbuatan-perbuatan jahat.
Siapa pun pelakunya. Jadi, bukan orangnya yang dimusuhi dan harus ditumpas,
melainkan perbuatannya.
SELESAI Pendekar Super Sakti 8 Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga Putri Ular Putih 2