Pencarian

Perantauan Ke Tanah India 1

Pendekar Naga Putih 104 Perantauan Ke Tanah India Bagian 1


PERANTAUAN KE TANAH INDIA
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekat Naga Putih
dalam episode: Perantauan ke Tanah India
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Dua sosok bayangan bergerak mengendap-endap menerobos keremangan malam.
Yang dituju adalah bagian belakang sebuah bangunan besar berbentuk istana.
Mereka terus bergerak mendekati sebuah gerumbulan semak-semak.
" Kise waha (siapa di situ)" "
Tiba-tiba terdengar sebuah suara bertanya dari dalam gerumbulan semak-semak,
membuat sosok bayangan itu serentak menahan langkah. Sebentar mereka saling
bertukar pandang.
" Basera (keluarga)! " jawab salah satu sosok bayangan dengan nada agak ditekan.
Jawaban itu sepertinya adalah kata sandi, yang digunakan untuk mengetahui apakah
yang datang kawan atau lawan.
Suasana hening sejenak. Sesaat kemudian, dari dalam gerumbul semak
berloncatan empat sosok bayangan dan langsung menyambut kedatangan dua sosok
itu. " Me sat (ikut aku)! Batsa (raja) memang sudah menunggu-nunggu kedatangan
kalian," kata salah satu dari empat penyambut. Nadanya terdengar ramah.
Dua pendatang itu sama-sama mengeluarkan gumaman tak jelas, namun nadanya
terkesan meremehkan.
Sementara empat orang penyambut buru-buru menyisi, saat dua pendatang itu
melangkah menuju gerumbutan semak. Kemudian, barulah mereka mengiringi dengan
menjaga jarak. Dan mereka semua terus menerobos gerumbulan semak dan menghilang
di dalamnya. Di balik gerumbulan semak, ternyata berupa sebuah gua kecil yang tersembunyi.
Dan gua itu sebenarnya adalah terowongan rahasia yang menuju ke dalam salah satu
bangunan istana. Jarang ada yang tahu jalan rahasia itu, kecuali orang-orang
tertentu dan merupakan kepercayaan raja.
"Tuan-tuan silakan menunggu di ruangan ini. Me (aku) akan melaporkan kedatangan
Tuan-tuan kepada Batsa," ujar lelaki berwajah galak, yang mengantarkan dua orang
tamu ini ketika mereka telah tiba di salah satu ruangan dalam istana.
Dua tamu itu tidak menjawab, dan hanya mengangguk tipis dengan sikap angkuh.
Tapi lelaki berwajah galak, yang merupakan orang kepercayaan raja, tidak ambil
peduli. Tubuhnya sudah berputar meninggalkan tempat ini.
*** Lelaki bertampang galak ini kini sudah kembali bersama dua lelaki tua yang
mengapit seorang lelaki berusia empat puluh tahun dengan kumis dan jenggot
tercukur rapi. Raut wajah dan sorot matanya menunjukkan perbawa kuat. Sehingga
membuat orang akan enggan untuk lama-lama menatapnya. Hal itu tidak heran karena
lelaki setengah baya ini adalah Raja Godwana, sang penguasa Kerajaan Mahadur.
"Aha! Nameste (ucapan salam ketika bertemu) Raj Badur, Raj Sagar!" sambut Raja
Godwana seraya mengembangkan kedua lengan sambil tersenyum lebar. "Bagaimana?"
Raja Godwana memandang wajah dua tamu yang ternyata Raj Badur dan Raj
Sagar, dua tokoh sesat dari India Selatan. Merekalah yang telah berhasil menipu
Pendekar Naga Putih dengan menyamar sebagai pendeta, hingga memperoleh Sepasang
Intan Biru, dan membawanya pulang ke negeri India (Baca serial Pendekar Naga
Putih dalam episode: Sepasang Intan Biru).
"Hamba berdua sudah berhasil memperolehnya, Paduka," jawab Raj Badur, mewakili.
" Kahe... kahe (bagus)! Cepat berikan padaku!"
Raja Godwana semakin berseri wajahnya. Tangannya diulurkan untuk menerima
Sepasang Intan Biru.
"Tapi..., bagaimana dengan hadiah yang Paduka janjikan untuk kami berdua?"
tanya Raj Badur terdengar ragu-ragu. Wajahnya membayangkan kekhawatiran yang
tidak bisa disembunyikan.
Begitu juga Raj Sagar. Apalagi mereka menyadari kalau saat ini berada di dalam
kandang macan. Dan dikhawatirkan, jika Sepasang Intan Biru sudah berada di
tangan Raja Godwana, keselamatan mereka tidak akan terjamin.
"Ha ha ha...!"
Keraguan serta kecemasan Raj Badur dan Raj Sagar membuat Raja Godwana
terbahak. "Bukan sifatku untuk mengingkari janji yang pernah kuucapkan, Raj Badur dan Raj
Sagar! Hadiah pasti akan kalian terima. Apalagi, kalian berdua memang pantas
dijadikan Guru Negara. Kecemasan kalian sama sekali tidak beralasan. Nah!
Sekarang, serahkan Sepasang Intan Biru itu kepadaku."
"Lalu..., kapan pengangkatan kami berdua akan diumumkan, Paduka?" tanya Raj
Badur masih juga menaruh curiga. Sementara Sepasang Intan Biru belum diserahkan.
"Yang pasti tidak bisa malam ini, Raj Badur," sahut Raja Godwana, dengan senyum
mulai samar. Rupanya sikap Raj Badur telah membuatnya agak gusar. "Tapi besok
upacara pengangkatan kalian akan segera kupersiapkan."
"Kalau begitu, malam ini kami menginap?" tanya Raj Badur, meminta ketegasan.
"Tentu saja," tukas Raja Godwana. Aku sudah menyiapkan bandh (kamar) untuk
kalian berdua."
Raj Badur menoleh kepada Raj Sagar, kemudian kembali kepada Raja Godwana seraya
memasukkan tangannya ke balik pakaian.
Baik Raj Badur maupun Raj Sagar saat itu sudah tidak mengenakan pakaian pertapa
lagi. Keduanya telah melepaskan penyamaran, setelah kembali ke Tanah India.
Raja Godwana sampai terbeliak, sewaktu Raj Badur menyerahkan Sepasang Intan Biru
ke atas dua telapak tangannya. Kemilau cahaya biru yang indah gemerlap, benar-
benar membuatnya ternganga takjub. Demikian pula tiga orang kepercayaannya.
Sehingga, sampai beberapa saat mereka tidak mampu berkata apa-apa. Demikian
menakjubkan pesona Sepasang Intan Biru, sehingga membuat mereka seperti terkena
pengaruh sihir saja.
*** Raj Badur dan Raj Sagar yang berada di dalam kamar bersisian, sama-sama tidak
bisa memicingkan mata. Kenyamanan tempat tidur yang indah dan harum berlapis
sutera halus, ternyata tidak dapat dinikmati. Berkali-kali keduanya bergulir ke
kiri-kanan, sesekali ditingkahi desah napas gelisah. Sepertinya, mereka sudah
tidak sabar menunggu hari esok.
Tengah termenung resah sambil menatap langit-langit kamar, tiba-tiba saja
telinga Raj Badur mendenngar sesuatu yang mencurigakan. Bergegas, ditiupnya
penerangan di dalam kamar. Maka seketika ruangan menjadi gelap. Lalu dengan
hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, ia bergerak turun dari atas pembaringan,
setelah menyusun bantal dan diselimuti hingga menyerupai orang tidur lelap.
Sedang, ia sendiri sudah berjingkat mendekati jendela.
Tapi alangkah terkejutnya hati Raj Badur, merasakan adanya suara mendesis halus,
yang disusul bau harum memabukkan. Saat itu juga, sadarlah Raj Badur bahwa ada
orang sengaja meniupkan asap beracun ke dalam kamarnya.
"Keparat busuk...!" dengus Raj Badur, menggeram gusar.
Tanpa, berpikir dua kali, lelaki ini menerjang pintu jendela kamar hingga pecah
berantakan. Tubuhnya langsung melesat keluar, menjatuhkan diri dan bergulingan
di atas tanah. Namun, belum lagi sempat melompat bangkit, dari kiri-kanannya
terdengar suara mendesing senjata tajam ke arahnya. Tentu saja Raj Badur semakin
terkejut dan gusar bukan kepalang.
"Bangsat tengik!" maki Raj Badur kalang-kabut.
Secepat sambaran kilat, tubuh Raj Badur melesat ke udara. Gerakan itu masih
dibarengi kembangan dua lengannya ke kiri dan kanan, disertai bentakan
kemarahannya. Empat sosok-bayangan yang membokong Raj Badur dari kiri-kanan terdengar sama
mengeluarkan pekikan kaget. Kibasan kedua lengan Raj Badur ternyata berisi
tenaga dalam tinggi. Sehingga, empat batang senjata yang digunakan untuk
menyerang, terasa seperti tertahan dinding kokoh! Bahkan kemudian menyentakkan
lengan mereka ke belakang. Akibatnya tubuh mereka nyaris terpelanting mencium
tanah. Tapi keempat penyokong itu ternyata terlatih dengan baik. Bahkan dapat menahan
dorongan tenaga kibasan lengan Raj Badur, sehingga dengan cepat mereka kembali
mempersiapkan serangan berikut.
Rupanya, bukan Raj Badur saja yang mengalami kejadian itu. Raj Sagar pun tidak
luput dari ancaman maut. Tidak berapa jauh dari arena pertarungan, Raj Sagar
tampak tengah dikeroyok empat orang lawan. Yang rata-rata berkepandaian tinggi.
Setelah belasan jurus bertarung, Raj Sagar mulai terdesak hebat. Bahkan beberapa
jurus berikutnya, salah satu pengeroyok berhasil menyarangkan senjata menusuk
mata kanan Raj Sagar.
Crap! "Aaa...!"
Raj Sagar meraung setinggi langit, namun masih sempat membarengi dengan sebuah
pukulan maut. Des! Pukulan maut Raj Sagar berhasil menggedor dada orang yang menyerangnya
hingga terpelanting deras.
Raj Sagar kini terhuyung sambil menekap mata kanannya yang mengucurkan
darah. Sementara orang yang melukainya menggeloso tewas dengan dada hangus.
Rupanya dalam kemarahannya, Raj Sagar telah mengeluarkan 'Ilmu Tapak Api' yang
dahsyat dan mengerikan. Hanya sekali pukul saja, dapat membuat nyawa lawan
melayang ke akhirat.
"Raj Sagar, lari...!"
Teriakan Raj Badur terdengar, selagi Raj Saga menyiapkan jurus-jurus mautnya.
Kalau saja Raj Badur tidak terlihat sudah terluka kehilangan lengan kirinya
belum tentu Raj Sagar mau mendengarkan teriakan rekannya. Maka setelah
melepaskan pukulan jarak jauh yang menerbitkan hawa panas membakar, tubuh Raj
Sagar segera melesat mengikuti Raj Badur.
Sedangkan Raj Badur sendiri sudah meninggalkani lawan-lawannya, setelah
melemparkan segenggam daun pohon, yang dijadikan sebagai senjata-senjata rahasia
mematikan. Bahkan seorang lawan telah terpelanting tewas dengan tiga helai daun
menancap di keningnya.
"Kejar...!" teriak salah seorang pengeroyok. "Jangan biarkan pemberontak-
pemberontak busuk itu sampai meloloskan diri!"
Tapi Raj Badur dan Raj Sagar sudah tidak mempedulikan lawan-lawannya lagi.
Mereka terus berlompatan melalui atap-atap bangunan.
Ketika berlarian di atas pagar yang mengelilingi bangunan istana dan melihat
riak air di bawahnya, tanpa pikir panjang lagi Raj Badur dan Raj Sagar segera
melompat. Istana Kerajaan Mahadur memang terletak di dekat tepi Sungai Jumna. Ke dalam
sungai itulah kedua tokoh sesat ini terjun dalam upayanya meloloskan diri dari
kejaran. Mereka khawatir kalau Raja Godwana keburu mengerahkan prajurit-prajurit untuk
mengeliling seluruh penjuru istana. Untungnya Raja Godwana terlalu memandang
remeh Raj Badur dan Raj Sagar. Sehingga hanya mengerahkan beberapa jago-jago
andalan saja untuk melumpuhkan mereka.
*** Dua sosok tubuh tampak tengah bergerak mendaki salah satu lereng Pegunungan
Windiya. Pegunungan panjang yang membujur dari barat ke timur, memisahkan India
Utara dan selatan. Lereng gunung ini sebenarnya sangat sukar didaki. Tapi dua
sosok tubuh itu tampaknya merupakan pengecualian. Meskipun dengan langkah tidak
tetap, namun mereka dapat menempuh perjalanan yang sukar itu. Sampai akhirnya,
mereka sampai di sebuah lembah.
"Hm.... Besar sekali nyali kalian masih juga berani datang menemuiku?"
Begitu dua sosok itu berada di depan sebuah gubuk kecil yang reot, terdengar
teguran yang suaranya seperti kaleng dipukul.
Dua sosok yang ternyata Raj Badur dan Raj Sagar langsung saja menjatuhkan diri,
berlutut di atas tanah menghadap ke arah pintu gubuk. Padahal saat itu jarak
mereka dengan gubuk masih terpisah sekitar enam tombak. Tapi, suara seperti
kaleng dipukul tadi terdengar jelas, seolah orangnya berada di dekat mereka.
Jelas, betapa dahsyatnya kekuatan tenaga dalam si pemilik suara. Wujudnya belum
nampak, namun suaranya sudah terdengar.
"Ampuni kami jika memang telah membuat dosa yang tidak disengaja, Guru. Jika
Guru berkenan, jelaskanlah kepada kami. Agar kami tahu, kesalahan apa yang telah
kami lakukan hingga membuat Guru murka," ucap Raj Badur dengan suara terengah.
Wajah lelaki ini tampak pucat sekali. Karena di samping merasa takut mendengar
kemarahan dalam suara gurunya, ia pun dalam keadaan terluka. Sebelah tangannya
telah hilang akibat ditipu mentah-mentah oleh Raja Godwana.
Di sebelah kiri Raj Badur, tampak Raj Sagar yang berlutut dengan sebelah tangan
menekap mata kanan. Dari celah-celah jari tangannya tampak darah mengalir
bercampur nanah. Bisa diperkirakan kalau luka pada mata kanan Raj Sagar
nampaknya malah bertambah parah.
Begitu juga lengan kiri Raj Badur. Bekas luka di tangannya tampak membengkak dan
dikerumuni lalat, karena sudah mengeluarkan bau busuk yang memualkan perut.
Luka itu tidak kering tapi basah dan mengandung nanah. Dan melihat dari raut
wajah mereka, tampak jelas kalau luka itu membuat Raj Badur dan Raj Sagar sangat
menderita. Dua tokoh sesat dari India Selatan ini masih herlutut dengan kepala tertunduk,
ketika terdengar derit daun pintu yang dibuka. Mereka masih juga belum berani
mengangkat kepala, saat penghuni gubuk keluar dan melangkah.
"Jadi, kalian tidak tahu?"
Dalam pertanyaan penghuni gubuk yang ternyata seorang nenek kurus, bongkok, dan
berwajah buruk, terkandung nada ancaman. Sehingga, tubuh Raj Badur dan Raj Sagar
menjadi gemetar.
" Nehi malum (tidak tahu), Guru..."
Raj Badur dan Raj Sagar sama-sama menggeleng seraya menjunjung telapak
tangan masing-masing, yang dirangkapkan di atas kepala.
"Hi hi hi...!"
Nenek bongkok berwajah buruk itu memperdengarkan tawa sember dan
menyakitkan gendang telinga, membuat Raj Badur dan Raj Sagar semakin ketakutan.
Bahkan sekujur tubuh mereka telah dibanjiri keringat dingin.
Rasa takut yang dialami Raj Badur dan Raj Sagar memang tidak mengherankan, sebab
nenek bongkok berwajah buruk yang menjadi guru mereka itu adalah salah satu
tokoh sesat berwatak aneh dan berdarah dingin. Nama besar dan kekejamannya sudah
sangat terkenal di seluruh India Selatan. Dengan julukan Ratu Iblis Tangan
Darah, ia merupakan momok paling menakutkan bagi seluruh tokoh silat di kawasan
India Selatan. Untungnya Ratu Iblis Tangan Darah lebih banyak bertapa di tempat tinggalnya,
sehingga kaum rimba persilatan di kawasan India Selatan, khususnya kaum golongan
putih, merasa agak lega. Meskipun begitu, tetap saja terkadang ada rasa cemas.
Karena Ratu Iblis Tangan Darah bisa saja muncul sewaktu-waktu. Dan setiap
kemunculannya, sudah pasti tangannya akan berlumur darah.
Selain itu, Ratu Iblis Tangan Darah ternyata seorang tokoh berwatak sangat
ganjil. Tangan kejinya tidak akan segan-segan diturunkan terhadap siapa saja tidak
peduli kawan atau lawan. Bahkan, terhadap murid-muridnya sekalipun!
Raj Badur dan Raj Sagar kenal betul watak gurunya. Itu sebabnya, mengapa mereka
sangat ketakutan begitu mendengar nada kemarahan dalam suara Ratu Iblis Tangan
Darah. " Khuda kasam (sumpah demi Tuhan), Guru," kata Raj Badur dan Raj Sagar sambil
membentur-benturkan keningnya ke tanah.
"Jangan bawa-bawa nama Tuhan dalam hal ini Raj Badur! Kau tidak pantas menyebut-
nyebut nama-Nya, tahu!" hardik Ratu Iblis Tangan Darah, membuat Raj Badur dan
Raj Sagar sampai terjingkat.
" Mera tujhe (maafkan aku), Guru...."
Raj Badur menyembah-nyembah dengan tubuh menggigil. Sementara Raj Sagar semakin
menundukkan kepala dalam-dalam, hingga nyaris menyentuh tanah.
" Acca (baik)," kata Ratu Iblis Tangan Darah sambil mengangguk-anggukkan kepala.
" Hatse kaho (sekarang katakan)! Mana Sepasang Intan Biru yang kudengar telah
jatuh ke tangan kalian itu?"
" Batsa telah mengambilnya dari kami dengan cara sangat licik, Guru," tukas Raj
Badur tanpa berani mengangkat kepala.
"Semula Batsa berjanji hendak memberi kami kedudukan sebagai Guru Negara,
apabila dapat membawa Sepasang Intan Biru itu. Tapi nyatanya, Batsa ingkar.
Malah kami berdua hendak dibunuh demi meenjaga rahasia keberadaan Sepasang Intan


Pendekar Naga Putih 104 Perantauan Ke Tanah India di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biru di tangannya. Untung, kami berhasil menyelamatkan diri," tambah Raj Sagar
buru-buru ketika Raj Badur terdiam.
"Hih hih hih...!"
Ratu Iblis Tangan Darah malah terkekeh-kekeh dengan kepala menengadah. Saat itu,
matahari sudah naik semakin tinggi. Sinarnya memancar garang, seolah hendak
menghanguskan seluruh penghuni bumi.
"Kalian benar-benar anari (bodoh) dan memalukan!" Ratu Iblis Tangan Darah
mengakhiri tawanya dengan kata-kata penuh ejekan.
"Sebagai Guru kalian, aku merasa malu! Bagaimana mungkin murid-murid Ratu Iblis
Tangan Darah sampai bisa ditipu orang mentah-mentah, sekalipun orang itu adalah
Batsa!." dengus wanita berwajah buruk itu.
"Itulah sebabnya, mengapa kami berani datang menemui Guru," timpal Raj Badur
merasa mendapat angin.
"Dengan menipu kami, itu sama artinya Batsa tidak memandang muka Guru,"
tambah Raj Sagar sengaja nama gurunya dilibatkan agar mau membalaskan sakit
hatinya terhadap raja.
"Bagus kalau kalian mengerti."
Wajah buruk Ratu Iblis Tangan Darah menyunggingkan senyum dingin.
"Nah, hatse (sekarang) kuperintahkan kepada kalian berdua untuk mengambil
kembali Sepasang Intan Biru itu di tangan Batsa! " lanjut Ratu Iblis Tangan
Darah, membuat paras Raj Badur dan Raj Sagar seketika menjadi pucat pasi!
"Tapi, Guru...,'' elak Raj Badur terputus. Wajahnya yang pucat diangkat.
Raj Sagar juga ikut mendongak. Mereka sama-sama memandang wajah Ratu Iblis
Tangan Darah dengan sorot mata penuh pertanyaan.
"Turut perintahku, atau kupecahkan kepala kalian sekarang juga!" tukas wanita
berwajah buruk ini masih dengan bibir menyunggingkan senyum dingin.
Raj Badur dan Raj Sagar buru-buru menundukkan kepala kembali. Dari sorot mata
wanita itu, mereka maklum kalau perintah barusan sudah tidak bisa ditawar lagi.
Tidak ada pilihan lain bagi mereka, kecuali mengangguk meski dengan hati penuh
penasaran. "Enyahlah sebelum pikiranku berubah!"
Ratu Iblis Tangan Darah mengibaskan pergelangan tangannya perlahan. Tapi,
akibatnya bagi Raj Badui dan Raj Sagar sungguh mengejutkan. Tubuh mereka kontan
terangkat naik walau masih dalam sikap bersujud. Bahkan mereka langsung
terlempar deras, jatuh bergulingan sejauh hampir tiga tombak!
Sungguh sukar dibayangkan, betapa dahsyatnya tenaga dalam Ratu Iblis Tangan
Darah. Baru menggerakkan pergelangan tangan perlahan saja, sudah sedemikian
hebat akibatnya.
Meskipun telah diperlakukan demikian, begitu dapat menguasai diri masing-masing,
Raj Badur dan Raj Sagar kembali berlutut. Sementara, Ratu Iblis Tangan Darah
sudah bergerak menuju gubuknya. Baru setelah nenek bongkok itu lenyap di balik
pintu, Raj Badur dan Raj Sagar bergegas meninggalkan tempat ini.
"Haruskan kita menuruti perintah gila itu, Raj Badur?" tanya Raj Sagar ketika
telah tiba di kaki gunung.
"Apakah kau sudah bosan hidup, Raj Sagar?" Raj Badur malah balik bertanya. Tapi
kata-kata itu jelas menunjukkan bagaimana sikap Raj Badur.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang" Jika Guru sampai mendengar bahwa
kita tidak mematuhi perintahnya, beliau pasti akan mencari-cari kita, Raj
Badur," ungkap Raj Sagar.
"Kita sembunyi saja di markas pasukan Ardhana. Mudah-mudahan beliau memaklumi
kegagalan usaha kita," kata Raj Badur seraya meringis menahan rasa sakit pada
lengan kiri. Bekas luka bacok yang membuat lengannya putus sebatas siku, tampak
kembali meneteskan darah bercampur nanah. Demikian pula Raj Sagar. Rongga mata
kanannya yang menggembung kembali mengeluarkan darah bercampur nanah,
menimbulkan bau busuk.
8 " Aya mubarak (selamat datang) di Tanah India, Pendekar Naga Putih,"
Di Bandar Teluk Benggala, seorang gadis berlari, menyambut seorang pemuda
berpakaian serba putih yang dipanggil Pendekar Naga Putih.
" Nameste... nameste, "lanjut gadis itu, seraya membungkuk dengan sikap sungguh-
sungguh dan bibir tersenyum.
Demikian sungguh-sungguh gadis ini berlagak, seperti sedang menyambut seorang
sahabat yang berkunjung ke negerinya. Sehingga mau tidak mau pemuda tampan yang
memang Pendekar Naga Putih itu tersenyum geli melihat sikapnya.
Dan kesungguhan gadis ini membuat Panji buru-buru menyembunyikan
senyumnya, kemudian membungkuk. Dibalasnya penyambutan itu.
" Nameste..., nameste, Nagina," kata Panji seraya memasang senyum seperti
lagaknya seorang pelancong sungguhan. "Kalau tidak salah, bukankah saat ini me
berada di Bandar Teluk Benggala?"
Panji mengedarkan pandangan ke sekeliling sambil mengangguk-angguk. Seolah ia
tengah mengagumi sekitar tempat itu.
Mendengar Pendekar Naga Putih menggunakan kata-kata yang diajarkannya
selama dalam perjalanan, mau tidak mau gadis yang ternyata Nagina menjadi geli.
Karena, logat pemuda ini terdengar kaku dan lucu. Apalagi, Panji seolah-olah
telah mengetahui nama tempat itu. Padahal, Naginalah yang memberitahukan,
sewaktu kapal hendak berlabuh di dermaga. Maka, meledaklah tawa gadis itu tanpa
dapat ditahan lagi.
Bahkan, Badundy, pembantu setia Nagina yang menyertai mereka juga terbahak
sambil memegangi perut.
Pendekar Naga Putih sendiri hanya tersenyum kecut, tapi akhirnya tawanya pun
meledak, malah paling keras, menindih suara tawa Nagina dan Badundy. Maka kini
ganti gadis itu dan pembantunya yang keheranan dan saling bertukar pandang satu
sama lain. "Mengapa kau ikut-ikutan tertawa, Panji?" tanya Nagina, ingin tahu apa yang
membuat Pendekar Naga Putih tertawa sedemikian keras.
"Eh! Jadi, di negeri ini orang asing tidak boleh tertawa?" Pendekar Naga Putih
malah balik bertanya dengan raut wajah lucu. "Atau..., cara tertawaku salah?"
"Tidak... tidak," kata Nagina menggeleng sambil menahan senyumnya. "Dan cara
tertawamu juga tidak salah. Cara tertawa di Tanah India maupun di Tanah Jawa
sama saja."
"Ah! Kalau cara tertawaku sudah betul, aku mau melanjutkannya lagi... "
"Cukup..., cukup," cegah Nagina buru-buru sewaktu melihat Pendekar Naga Putih
siap melanjutkan tawanya. "Bisa-bisa kita dikira palki diwana (orang gila),"
Buru-buru gadis ini menyeret Pendekar Naga Putih untuk segera meninggalkan
bandar itu. Karena sikap mereka telah mengundang perhatian orang-orang di
sekitar bandar.
" Ye kaha agee ham (ke mana kita akan pergi)?" tanya Panji dengan terpatah-
patah, membuat Nagina kembali tersenyum geli.
" Prem Nagar" jawab Nagina asal jadi seraya menahan senyum.
"Tempat macam apa itu?" tanya Panji lagi dengan kening berkerut. Sementara
Nagina cuma menoleh sekilas dan tersenyum tanpa menghentikan langkahnya.
" Prem Nagar itu artinya Desa Cinta. Dan itu hanya bisa-bisanya Nona Nagina
saja," Badundy yang menjelaskan, sambil memandang Pendekar Naga Putih dengan senyum
menggoda. "Hussy...!" hardik Nagina pada Badundy yang buru-buru menutup mulut dengan
telapak tangan, walau kikiknya masih terdengar. Badundy tidak bisa menahan geli
hatinya melihat wajah Pendekar Naga Putih aaak kemerahan.
" Sonie (tunggu)...! "
Tiba-tiba saja terdengar sebuah bentakan, membuat kegembiraan Nagina, Pendekar
Naga Putih, dan Badundy terganggu. Ternyata, empat lelaki bertampang bengis
telah menghadang di hadapan mereka. Salah seorang yang sepertinya mengepalai
rombongan kecil ini, bertindak maju.
" Tum kise (siapa kau)?"
Nagina mengerutkan kening, menunjukkan ketidaksenangannya. Ia pun melangkah
maju, menghadapi lelaki bertubuh pendek bulat berperut buncit.
" Meranam (namaku) Pathar," jawab lelaki pendek bulat itu sambil memilin kumis
lebatnya. Sementara kedua bola matanya turun-naik merayapi wajah dan tubuh
Nagina dengan sangat kurang ajar. Sehingga, sempat membuat paras gadis itu
memerah, marah, dan jengah.
" Me, Sheru," kata orang yang bertubuh kekar dan kokoh sambil melangkah maju.
Nama Sheru yang berarti macan, memang sesuai dengan tubuhnya. Sepasang
mata, bentuk hidung, dan cambangnya pun agak mendekati sorot wajah seekor macan.
Tanpa terasa Badundy sampai bergetar hatinya. Buru-buru dirinya disembunyikan di
belakang Pendekar Naga Putih.
" Me, Kaalja," sambung orang yang bertubuh seperti beruang, ikut memperkenalkan
diri. Seperti halnya Sheru, orang ini pun bertubuh tinggi besar dengan cambang bauk.
Kedua tangan, dada, dan bagian tengah perutnya ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat.
Melihat dari perawakannya yang cuma mengenakan rompi, sudah terkesan kalau
tenaga yang dimilikinya sangat besar.
"Sekarang giliranku," serobot orang yang memiliki sorot mata buas dan beringas
sambil menepuk dadanya yang tipis.
Berbeda dengan tiga lainnya, orang ini bertubuh tinggi kurus dengan punggung
agak melengkung ke depan seperti udang.
" Meranam Jackal," kata orang ini memperkenalkan diri. Nama itu berarti
serigala, dan memang sangat cocok dengan sorot matanya yang menyembunyikan
kelicikan. Ditambah perawakannya yang seperti serigala lapar.
"Ooo.... Jadi, kalian rupanya yang disebut-sebut sebagai Algojo Empat Serangkai,
yang menguasai hampir sepertiga bagian India Selatan ini?" tanya Nagina sambil
mengangguk-anggukkan kepala, sementara bibirnya yang menggiurkan menyunggingkan
senyum mengejek.
Nagina yang berjuluk Putri Ular ini memang sudah pernah mendengar nama besar
empat orang tokoh sesat itu, meski baru kali ini berhadapan. Tak seorang pun
yang tahu asal-usul Algojo Empat Serangkai yang telah mencengangkan dunia
persilatan di Tanah India. Dalam waktu kurang dari setahun, mereka telah
merobohkan jago-jago silat kawakan di sepertiga bagian wilayah India Selatan.
Sehingga, membuat nama mereka langsung naik ke permukaan.Tapi semua itu sama
sekali tidak membuat Nagina menjadi gentar. Terlebih, bagi Pendekar Naga Putih
yang sama sekali buta terhadap tokoh-tokoh silat di negeri itu.
"Sangat betul tebakanmu, Nona Cantik," sahut Pathar yang sosoknya sangat jauh
dari kesan seram. Malah, justru menimbulkan kesan lucu. Ia tersenyum-senyum
penuh kebanggaan. Sepasang bola matanya masih belum berhenti bergerak turun-
naik. Sepertinya gerak bola mata itu merupakan ciri khususnya. Tapi, meskipun raut
wajah, perawakan, dan sikapnya terkesan lucu, namun sesungguhnya Pathar inilah
yang justru jauh lebih kejam dan lebih berbahaya. Salah satu bukti nyata adalah
kedudukannya sebagai pimpinan dari tiga rekannya ini.
Dan sebagai orang-orang yang berpengalaman, baik Nagina maupun Pendekar Naga
Putih memang lebih menaruh perhatian terhadap Pathar. Naluri mereka mengatakan,
kemungkinan besar Pathar-lah yang paling berbahaya, kendati tidak meremehkan
tiga orang lainnya.
Dan sikap permusuhan yang ditunjukkan Algojo Empat Serangkai, membuat
Nagina maupun Pendekar Naga Putih bersikap waspada. Terlebih Panji, yang telah
memiliki cukup pengalaman terhadap ketangguhan tokoh-tokoh silat Negeri India.
*** "Lalu, apa mau kalian menghadang kami?" tanding Nagina bertolak-pinggang seraya
menentang pandang mata Pathar.
"Hm... Kalau sudah tahu siapa kami, semestinya kau juga sudah tahu maksud tujuan
kami," kali ini Sheru yang menjawab, langsung bergerak maju mendampingi Pathar.
"Siapa yang mengharuskan begitu?" tanya Nagina ambil mengangkat dagunya.
Seolah hendak ditunjukkan kalau nama besar Algojo Empat Serangkai sama sekali
tidak membuatnya gentar.
"Ini daerah kekuasaan kami. Dan kami berhak berbuat apa saja. Terlebih dengan
adanya Pardesi (orang asing) yang datang bersama kalian itu," sahut Sheru,
seraya menggerakkan sudut matanya ke arah Pendekar Naga Pulih. "Jika ingin
lewat, kalian harus membayar upeti kepada kami. Bagi Pardesi, besarnya tiga kali
lipat!" "Hm.... Mengapa tidak terus-terang saja kalau kailan sebenarnya perampok-
perampok yang bertindak dengan menggunakan kepandaian, tanpa segala macam alasan
tai kucing seperti yang kalian pergunakan. Jelasnya, aku tidak sudi memberi
sepeser pun kepada kailan!" tegas Putri Ular, merasa geram ketika mendengar
besarnya jumlah upeti yang diminta Pathar dan kawan-kawannya.
Jawaban Nagina rupanya sama sekali tidak diduga Algojo Empat Serangkai. Mereka
kelihatan kaget heran. Kalau orang berani melawan karena belum mengenal, itu
masih bisa diterima. Tapi kalau sudah mengenal dan masih berani melawan, itu
merupakan kejadian baru! Sehingga untuk sesaat, Algojo Empat serangkai saling
bertukar pandang.
"Karena telah berani menentang peraturan yang telah kami buat, maka kau harus
membayar tiga kali lipat!. Itu pun masih belum cukup. Karena, masih harus
ditambah dirimu. Kau harus melayani kami selama satu bulan! Tapi, layananmu
harus membuat kami puas. Jika tidak, waktunya akan diperpanjang!" tandas Jackal,
yang sejak tadi diam saja. Kata-katanya malah jauh lebih tajam dan tidak sopan.
Sehingga, membuat selebar wajah Nagina merah terbakar amarah.
"Baik! Sekarang juga aku akan melayani kalian!" sambut Nagina, tersenyum dingin.
"Kau yang pertama, Jackal. Nah! Sambutlah layananku dengan hangat."
Baru saja mulutnya selesai bicara, tahu-tahu Nagina menghentakkan telapak
tangannya. Seketika terdengar suara menderu, siap menghajar mulut Jackal.
Tapi Jackal terlalu memandang remeh. Ia teramat yakin dengan kecepatan
geraknya. Ilmu meringankan tubuhnya memang paling unggul ketimbang ketiga
kawannya. Namun sayang, kali ini Jackal terlalu ceroboh.
Dan Jackal baru merasa kaget, sewaktu merasakan betapa berbahayanya tenaga dalam
yang terkandung pada telapak tangan mungil dan halus itu. Karena meskipun
serangan itu belum tiba, namun sambaran anginnya sudah membuat wajahnya pedih.
Kini baru disadari kalau serangan telapak tangan halus dan mungil itu sangatlah
berbahaya! Jika tidak buru-buru dielakkan, dikhawatirkan tamparan itu akan merontokkan
giginya. Maka bergegas tubuhnya ditarik ke belakang.
Sementara, Nagina malah mendengus dingin. Ia sudah dapat membaca gerakan lawan.
Maka sebelum tamparannya tiba pada sasaran, kaki kanannya sudah mencuat naik
menuju dada kiri Jackal. Dan....
Desss! "Aaah...!"
Kendati masih sempat memiringkan tubuhnya sedikit, namun tetap saja tendangan
itu mengenai tulang iga Jackal. Karuan saja tubuhnya melintir bagai kitiran
disertai keluhan tertahan merasakan tulang iganya seperti patah.
"Bagaimana layananku, Jackal" Sangat memuaskan, bukan?" ejek Nagina, tertawa
lirih. Jackal merasakan selebar wajahnya panas. Hampir tidak dipercaya kalau dirinya
bisa kecolongan hanya dalam segebrakan saja. Oleh seorang wanita muda lagi!
Tentu saja ia merasa malu dan marah!
Sementara, Nagina berdiri menatap sambil bertolak pinggang.
"Ular betina keparat...!" dengus Jackal laksana serigala lapar. Sorot matanya
mencorong, semakin tajam berkilat-kilat.
"Aha! Rupanya kau sudah tahu namaku."
Makian Jackal malah membuat Nagina tersenyum. Namanya memang bisa
diartikan Putri Ular atau Betina.
" Kya (apa)?" seru Jackal dengan kening berkerut, Gerakannya cepat ditunda.
"Maksudmu..., kau... nama mu Nagina?"
"Itu memang namaku," sahut Nagina tersenyuM dingin. " Kyo (kenapa)" Heran?"
"Apakah kakekmu bernama Garmanu?"
Pertanyaan itu diajukan Pathar. Rupanya, ia juga merasa tertarik dan ingin
mengetahuinya. "Tepat sekali!" jawab Nagina cepat.
Sikap Algojo Empat Serangkai yang sepertinya sudah mengenal atau mendengar nama
kakeknya, membuat Nagina menjawab tanpa ragu-ragu. Ia penasaran dan ingin tahu,
apa kira-kira yang akan dilakukan Algojo Empat Serangkai setelah mengetahui
kalau dirinya cucu Garmanu.
Dan yang terjadi kemudian, benar-benar membuat Nagina melenggak kaget.
Bagaimana tidak" Algojo Empat Serangkai yang semula bersikap garang, mendadak
saja langsung menjatuhkan diri berlutut ketika mengetahui siapa nama kakeknya.
"Kami pernah berhutang budi kepada kakekmu, Nona Nagina," jelas Pathar. "Harap
kau suka memaafkan Kami benar-benar tidak tahu. Dan kami menyesal telah
membuatmu marah."
Nagina mengangguk-angguk. Kemarahannya perlahan-lahan lenyap, kendati masih
nampak sisa-sisa rasa penasaran dan tidak puas pada sorot matanya.
"Kami mengaku salah, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan seperti ini
lagi," tambah Pathar yang rupanya sadar makna tatapan mata Nagina. "Dan mulai


Pendekar Naga Putih 104 Perantauan Ke Tanah India di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat ini, kami menyerahkan diri kami sebagai budak-budak Nona."
"Tidak perlu sampai seperti itu, Pathar," ujar Nagina, menarik napas lega.
"Dengan janji untuk merubah jalan hidup kalian saja, aku sudah merasa
gembira..."
"Tapi kami sudah bersumpah, Nona Nagina. Dan karena Garmanu sudah tidak ada,
maka kepada keturunannyalah kami akan mengabdikan diri. Nona adalah keturunan
Tuan Garmanu. Harap, Nona Nagina tidak membuat kami mengingkari sumpah yang
sudah terlanjur terucap," ungkap Pathar sambil meminta kesediaan Nagina untuk
menerima mereka berempat menjadi pembantunya.
Melihat kesungguhan Pathar dan kawan-kawannya, Nagina merasa tidak tega membuat
kecewa. "Baiklah," desah Nagina, mengalah. "Tapi kalian tetap merupakan orang-orang
bebas. Dan kalian boleh pergi kapan saja kalian suka."
" Sukriya (terima kasih), Nona Nagina. Sukriya..."
Pathar, Sheru, Kaalja, dan Jackal sama-sama menganggukkan kepala berulang-ulang.
Wajah mereka tampak menggambarkan kelegaan dan kegembiraan yang sangat.
Sehingga Nagina sempat terharu menyaksikannya.
"Mulai hari ini kami akan menyertai ke mana Nona pergi!"
Algojo Empat Serangkai sama-sama mengucapkan janji setia. Mereka mengangguk
beberapa kali dengan kedua tangan dirangkapkan dan dijunjung di atas kepala.
"Terserah kalian," kata si Putri Ular, menyadari kalau penolakannya cuma buang-
buang tenaga saja. Maka tanpa berkata apa-apa lagi, diajaknya Pendekar Naga
Putih dan Badundy untuk melanjutkan perjalanan.
Saat Nagina, Pendekar Naga Putih, dan Badundy bergerak meninggalkan tempat ini,
Pathar dan kawan-kawannya bergegas mengikuti di belakang.
*** "Heh heh heh...! Algojo Empat Serangkai memang pemain-pemain sandiwara yang
mengagumkan! Tampaknya, rencana kita berjalan sesuai rencana, Darmandu!"
Perkataan itu diucapkan seorang kakek tinggi kurus bermata cekung dan
berhidung besar. Jubahnya panjang berwarna merah. Paras mukanya bergerinjul
seperti jalanan berbatu. Raut wajahnya terkesan membayangkan watak licik dan
bengis. Di sebelah kiri tampak seorang kakek lain yang dipanggil Darmandu. Dia juga
bertubuh kurus. Malah sangat kurus, sehingga tulang-tulang pipinya menonjol
nyata. Dan ia juga mengenakan jubah panjang berwarna merah darah.
"Memang tidak percuma mereka mendapat kepercayaan untuk tugas-tugas seperti itu,
Arkham," timpal Darmandu bernada memuji. "Sekarang tinggal tugas kita berdua
yang harus melengkapi sandiwara Algojo Empat Serangkai."
"Itu bukan soal sulit" tukas kakek yang dipanggil Arkham. Kepalanya berpaling
disertai senyum tipis, yang membuat sorot licik pada wajahnya semakin tampak
nyata. Usai berkata demikian, Arkham memberikan isyarat dengan gerakan kepalanya.
Kemudian, mereka bergerak keluar dari kerumunan pedagang, sewaktu sosok Nagina
dan rombongan telah berada jauh dan terlihat samar.
13 Langkah Raj Badur dan Raj Sagar yang menggilas dedaunan kering, membuat burung-
burung di atas pohon-pohon terkejut dan beterbangan. Mereka sendiri tidak
peduli, dan terus mengayun langkah menerobos semak-belukar Hutan Kakaala. Sebuah
belantara yang ditumbuhi pepohonan rapat, hingga bagian dalamnya nyaris tidak
tertembus sinar matahari. Sehingga membuat suasana di dalam hutan agak gelap dan
menebarkan udara lembab.
Kakaala dalam bahasa setempat berarti hitam. Nama itu diberikan orang, karena
suasana di dalam hutan, yang dalam cuaca bagaimanapun, tetap saja agak gelap.
Kendati demikian, tampaknya Raj Badur dan Raj Sagar sudah terbiasa. Mereka terus
saja menerobos masuk tanpa merasa khawatir oleh kemungkinan adanya bahaya.
Tidak berapa lama kemudian, setelah melalui jalanan sukar, Raj Badur dan Raj
Sagar tiba di sebuah tempat yang sekitarnya dikelilingi pagar kayu bulat. Di
dalam pagar, terdapat belasan rumah-rumah kayu. Tempat itulah yang dituju Raj
Badur dan Raj Sagar.
Tapi untuk dapat tiba di tempat yang mirip sebuah perkampungan kecil itu pun,
tidaklah mudah. Selain letaknya di dataran agak tinggi, dan terlebih dulu harus
menyeberangi sebatang anak sungai, di kedua sudut pagar kayu bulat itu pada
bagian atasnya terdapat pos-pos penjagaan. Tak heran kalau orang-orang yang
mendatangi tempat itu akan selalu diketahui penjaga.
Sementara Raj Badur dan Raj Sagar memang tidak bermaksud datang dengan
sembunyi-sembunyi. Dalam jarak puluhan tombak saja, kedatangan mereka berdua
sudah terlihat para penjaga yang bertugas di kedua pos itu. Karena di sekililing
pagar luar, sejarak kira-kira tiga puluh tombak, sengaja dijadikan daerah
terbuka, tanpa pepohonan atau pun semak-belukar. Kecuali, rerumputan setinggi
mata kaki. "Cepat laporkan kepada Maharaj! " ujar salah seorang penjaga di pos kanan kepada
kawannya. "Katakan bahwa Tuan Raj Badur dan Raj Sagar sudah kembali!" Sementara
penjaga yang diperintah beranjak, sook kedua pendatang itu sudah semakin dekat
dan jelas. Dua penjaga yang membukakan pintu gerbang sempat tertegun dengan
wajah membayangkan rasa jijik dan ngeri. Bau busuk memualkan yang keluar dari
luka Raj Badur dan Raj Sagar, membuat mereka terpaksa menahan napas. Karena,
untuk menutup hidung jelas tidak berani, khawatir Raj Badur dan Raj Sagar
tersinggung. Dan akibatnya, bisa membuat mereka berdua celaka.
Tapi meskipun begitu, tetap saja Raj Badur dan Raj Sagar dapat tahu dari sikap
mereka. Dan kalau saja penjaga yang melapor kepada orang yang disebut Maharaj
tidak segera datang, bukan mustahil nyawa kedua orang penjaga gerbang itu akan
dicabut Raj Sagar yang berwatak berangasan dan mudah tersinggung.
" Maharaj dan Maharani telah menunggu kedatangan Tuan berdua di ruangan utama,"
jelas penjaga yang baru datang menyambut Raj Badur dan Raj Sagar.
Raj Badur mengangguk tipis. Sedangkan Raj Sagar mendengus, seraya
melemparkan lirikan tajam kepada dua penjaga gerbang yang buru-buru menundukkan
wajah yang merah. Apalagi, sampai saat itu mereka masih menahan napas.
Mereka baru berani melepaskan napas setelah Raj Badur dan Raj Sagar
meninggalkan tempat itu, menuju ruangan utama. Di sana, Maharaj dan Maharani
telah menunggu kedatangan mereka.
*** Di ruangan utama seorang lelaki bertubuh tinggi besar dengan perut buncit
terbungkus pakaian merah, memandang Raj Badur dan Raj Sagar dengan matanya yang
setajam elang. Kelihatan sekali perasaan kecewa dan ketidaksenangan hatinya pada
raut wajahnya. Lelaki inilah yang disebut Maharaj, yang berarti Dewa. Sedang
nama sebenarnya adalah Ardhana.
Sementara sosok wanita cantik berusia sekitar tiga puluh tahun, tetap duduk di
kursinya dengan wajah dan sorot mata dingin. Sikap wanita menggiurkan yang
dipanggil Maharani atau Dewi itu, sama sekali tidak mengurangi kecantikan dan
pesonanya. Malah sikapnya menimbulkan kesan perbawa yang menggetarkan hati.
Raj Badur dan Raj Sagar tadi sudah menuturkan apa yang telah menimpa mereka
berdua. Dan berita itu telah membuat penasaran Maharaj dan Maharani.
" Kyo, Raj Badur, Raj Sagar?" Maharaj menatap Raj Badur dan Raj Sagar
bergantian. Dalam ucapan Maharaj sama sekali tidak menunjukkan kemarahan hatinya. Namun
meskipun begitu, nada suaranya terkandung perbawa yang membuat hati siapa saja
akan merasa bergetar.
" Kahahe vada (mana janjimu) yang pernah kalian ucapkan?" lanjut Maharaj.
"Ampun dan maafkan kegagalan kami, Maharaj, Maharani."
Raj Badur dan Raj Sagar merangkapkan dua telapak tangan di atas kepala dengan
wajah menunduk.
"Semua benar-benar di luar dugaan. Dan sampai saat ini pun kami berdua masih
belum mengerti, alasan apa yang membuat Batsa hendak membunuh kami," sambung Raj
Badur yang dari nadanya jelas bermaksud membela diri.
"Kami bukan hendak membela diri atau mencari-cari alasan, Maharaj, Maharani,"
dukung Raj Sagar. "Luka-luka yang kami derita, merupakan bukti dari kebenaran
cerita kami itu."
Mereka berdua segera memperlihatkan luka menjijikkan, membuat Maharaj dan
Maharani menunjuk rasa ngeri.
"Hm... Lalu, mengapa kalian berani datang tempat ini untuk menemui kami"
Padahal, kalian telah gagal menjalankan tugas," desak Maharani, yang sejak tadi
cuma diam mendengarkan. Nada suaranya mencurigai Raj Badur dan Raj Sagar.
" Maharani...."
Raj Badur mengangkat kepala dengan kedua tangan tetap ditangkapkan di atas
kepala. Ketidaksenangan hatinya terpancar jelas pada sorot matanya. Ia jelas
tidak suka dengan nada suara yang mengandung curiga itu.
"Selama ini telah banyak bukti yang menunjuk kesetiaan kami. Pengabdian dan
kesetiaan kami terhadap gerakan, tidak perlu diragukan lagi...." sambung Raj
Badur. "Tapi kedatangan kalian ke tempat ini, bukan tidak mungkin merupakan awal dari
bencana!" tukas Maharani dingin menggetarkan. "Aku khawatir kalian telah
dikuntit musuh tanpa disadari. Dan itu sangat berbahaya! Begawat (pemberontakan)
yang telah kami susun selama bertahun-tahun, bisa hancur akibat kecerobohan
kalian. Sebab bisa saja perbuatan Batsa dilakukan karena telah menaruh curiga
terhadap kalian berdua. Sehingga rencana kami untuk menyusupkan kalian ke dalam
istana jadi hancur berantakan. Jangan lupa, Batsa mempunyai mata dan telinga di
mana-mana."
"Jika benar demikian, berarti ada orang dalam ynng membocorkan rahasia kami
berdua," kilah Raj Badur, masih juga tidak mau disalahkan.
"Itu tidak mungkin!" tukas Maharaj seraya menggeleng pelan. "Sebab cuma kita
berempat dan Khar Najad yang tahu rencana penyusupan kalian."
"Mungkin Batsa khawatir, kalau keberadaan Sepasang Intan Biru di tangannya
sampai diketahui orang banyak. Kekhawatiran itulah yang membuat Batsa bermaksud
menyingkirkan kalian."
Seorang lelaki tua bermata putih yang sejak tadi berdiri di samping Maharaj,
mengemukakan dugaannya. Dialah Khar Najad, yang merupakan penasihat dan juga
Guru Maharaj dan Maharani.
"Atau..., mungkin juga karena kutuk yang melekat pada Sepasang Intan Biru itu,"
sambung Khar Najad setelah termenung sesaat.
"Kutuk yang melekat pada Sepasang Intan Biru?"
Raj Badur dan Raj Sagar mengulang kata-kata terakhir Khar Najad disertai seruan
kaget. "Kami sengaja tidak memberitahukan hal ini kepada kalian," timpal Maharaj datar.
Tapi Raj Badur dan Raj Sagar tidak memperhatikan ucapan Maharaj. Saat itu,
mereka menatap Khar Najad dengan sorot mata menuntut penjelasan.
"Pada Sepasang Intan Biru melekat satu kutukan yang mengerikan," jelas Khar
Najad, yang tinggi tubuhnya separuh ukuran manusia biasa. "Siapa saja yang
memiliki atau pun bermaksud hendak menguasai Sepasang Intan Biru, termasuk yang
hanya memegangnya untuk beberapa waktu tertentu, menurut hikayat yang kutahu
akan menemui kematian yang tidak disangka-sangka. Dan nampaknya, kalian berdua
telah terkena kutuk itu."
Raj Badur dan Raj Sagar sama melengak dengan raut wajah pucat Keduanya saling
bertukar-pandang. Pada sorot mata masing-masing terlihat kegelisahan dan
ketakutan. Apalagi sewaktu menyeberang ke Tanah Jawa, mereka mendengar dan menyaksikan
Sepasang Intan Biru telah merenggut banyak nyawa. Teringat akan hal itu, semakin
gelisah dan ngerilah hati Raj Badur dan Raj Sagar. Terlebih setelah merasakan
adanya keanehan pada luka di tubuh mereka, yang bukannya sembuh tapi malah
bertambah parah dan sangat menyiksa.
"Lalu apa yang harus kami lakukan, Khar Najad" Bisakah..., bisakah kutuk itu
dibuang dari diri kami?" tanya Raj Badur dengan suara terdengar memelas. Perbawa
kegarangan, dan ketangguhannya seketika itu juga lenyap dari dirinya. Yang ada
hanyalah ketakutan dan kengerian.
"Ada satu jalan," kata Khar Najad setelah terdiam cukup lama. Sementara, wajah
dan tubuh Raj Badur serta Raj Sagar sudah dibasahi keringat dingin.
"Katakan pada kami, Khar Najad!" Raj Badur dan Haj Sagar setengah berseru.
"Bagaimana cara membuang kutuk itu?"
"Tapi sangat sulit dan berbahaya...." Khar Najad yang saat itu memejamkan
matanya, menggeleng perlahan. Raut wajahnya tampak menegang.
"Katakanlah, Khar Najad. Betapa pun sulit dan besar bahaya itu, kami akan
berusaha. Tolong katakan, apa yang harus kami perbuat?" desah Raj Sagar semakin
tak sabar. Khar Najad dianggap terlalu bertele-tele.
"Kalian harus mendapatkan Cermin Ajaib!"
"Cermin Ajaib"!"
Raj Badur dan Raj Sagar saling bertukar pandang tak mengerti. Sebab, mereka
belum pernah mendengar tentang benda itu.
"Memang sangat sedikit orang yang tahu tentang benda itu. Karena, merupakan
Pusaka Negeri Siluman..."
"Pusaka Negeri Siluman"!" sela Raj Badur dan Raj Sagar dengan seruan heran.
"Benar. Cermin Ajaib hanya bisa ditemukan di Negeri Siluman. Bukan julukan, tapi
benar-benar Negeri Siluman! Dan untuk bisa mendapatkannya, bahayanya sangat
besar. Karena kalian harus masuk ke alam siluman!" jelas Khar Najad, yang sampai saat
itu masih tetap memejamkan kedua matanya.
Mendengar keterangan itu, sekujur tubuh Raj Badur dan Raj Sagar menjadi lemas.
Jelas hal itu tidak mungkin dapat mereka lakukan.
"Aku akan memberikan petunjuk, yang akan membawa kalian masuk ke dalam alam
siluman..., " kata Khar Najad seraya membuka kedua matanya perlahan.
Raj Badur dan Raj Sagar mengangkat kepala, menatap wajah Khar Najad penuh
tuntutan. Terpancar sedikit harapan dalam sorot mata keduanya. Dengan wajah
penuh harap dan dada berdebar tegang, mereka segera mengikuti mantera-mantera
yang dibacakan Khar Najad. Dan mereka harus bisa menghapal, tanpa boleh
menulisnya. "Nah! Sekarang aku akan mengantarkan kalian ke tempat Negeri Siluman yang
memiliki Cermin Ajaib itu. Setetah mendapatkannya, bawalah benda itu kepadaku.
Dan dengan bantuan Cermain Ajaib, aku akan membuang kutuk yang melekat pada diri
kalian," jelas Khar Najad memberi petunjuk.
*** Di bawah cuaca yang masih remang-remang, serombongan kecil penunggang kuda
bergerak menyusuri Sungai Indus. Pada salah satu lembah yang terdapat air
terjun, rombongan yang terdiri dari tiga orang penunggang kuda itu menghentikan
perjalanan. Dua di antaranya, mendahului melompat turun dari atas punggung kuda. Baru
kemudian penunggang kuda terakhir.
Salah satu dari mereka yang dari sikapnya kelihatan sangat menaruh hormat pada
penunggang kuda yang baru turun, bergegas menambatkan tiga ekor kuda itu pada
batang-batang pohon di tempat yang cukup tersembunyi. Kemudian, kembali
ditemuinya kedua penunggang kuda lainnya.
"Mahendharata," penunggang kuda yang terakhir turun menoleh kepada orang di
sebelah kanannya.
"Hamba, Paduka."
Orang yang dipanggil Mahendharata membungkukkan tubuh sambil merangkapkan kedua
tangan di depan wajah.
"Pergilah lebih dulu. Periksa keadaan di sekitar air terjun itu," ujar orang
yang dipanggil 'paduka'. Ia ternyata Raja Godwana.
Orang bernama Mahendharata langsung bergegas menjalankan perintah itu.
Raja Godwana sendiri dan seorang pengawal kepercayaannya yang bernama Rajmid
Singh berjalan lambat-lambat, sementara Mahendharata melakukan pemeriksaan di
sekitar air terjun.
Ketika Mahendharata memberi isyarat bahwa keadaan di sekitar tempat itu aman,
Raja Godwana dan Rajmid Singh mempercepat langkahnya. Mereka kini menyeberangi
sungai, menggunakan permukaan batu-batu yang bersembulan diatas permukaan air,
sebagai pijakan. Dan sebentar kemudian, mereka lenyap di balik air terjun, yang
rupanya terdapat sebuah mulut gua.
Sepasang tiang yang bagian atasnya berupa patung kepala berbentuk menyeramkan
dengan sepasang taring mencuat di kedua sisi mulutnya, merupakan pintu gerbang
masuk ke Kerajaan Siluman. Kerajaan itulah yang dituju Raja Godwana bersama
Mahendharata dan Rajmid Singh, yang merupakan pengawal-pengawal pribadi penguasa
Kerajaan Mahadur.
Gaung tawa ramai yang mendirikan bulu roma langsung menyambut kedatangan Raja
Godwana, Mahendharata, dan Rajmid Singh. Meskipun mereka sepenuhnya sadar akan
tempat yang didatangi, tak urung suara-suara tawa itu membuat bulu tengkuk
memang. Dan mereka tak kuasa menahan gigilan pada tubuh-masing-masing, sewaktu
udara dingin menusuk tulang sumsum. Malah gigi Raja Godwana sendiri sampai
bergemeletuk. Dan mereka tidak melanjutkan langkah sewaktu terpaan hawa dingin
semakin kuat. "Hawa dingin ini merupakan pertanda kalau Putra Cande Galia akan segera
menyambut kedatangan kita," bisik Raja Godwana berbisik kepada dua pengawalnya
dengan pandangan tertuju lurus ke depan, di mana kegelapan seolah membutakan
mata.

Pendekar Naga Putih 104 Perantauan Ke Tanah India di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahendharata dan Rajmid Singh tidak berkata apa-apa. Karena saat itu, hati
mereka merasa tegang bukan main. Dan mereka cuma bisa mengangguk tipis sebagai
tanda telah mendengar bisikan itu.
Beberapa saat setelah Raja Godwana selesai berbisik, pada kepekatan di depan
mereka, tiba-tiba muncul sebentuk sinar putih menyilaukan mata. Raja Godwana,
Mahendharata, dan Rajmid Singh terpaksa harus memalangkan lengan untuk
melindungi mata masing-masing.
"Selamat datang Paduka Yang Mulai Raja Godwana..."
Suara bening merdu dan mendayu-dayu laksana nyanyian itu, membuat Raja
Godwana, Mahendharata, dan Rajmid Singh sama-sama menurunkan lengan masing-
masing. Mahendharata dan Rajmid Singh sampai terbeliak dengan mulut ternganga,
menyaksikan apa yang terlihat di depan mata. Saking kagum dan terpesona, dua
pengawal pribadi Raja Godwana itu sampai bisu mendadak. Darah mereka mengalir
cepat, sulit dikuasai.
Ternyata sosok yang berdiri berjarak kurang dari satu tombak di depan telah
membuat kegairahan kelakian mereka bergolak laksana ombak di lautan. Padahal,
usia Mahendharata dan Rajmid Singh sudah mencapai enam puluh lima tahun!
Memang sosok yang berdiri di hadapan mereka sanggup meluluhkan hati setiap
lelaki bagaimanapun kuatnya. Sosok wanita yang disebut Raja Godwana sebagai
Cande Galia itu luar biasa. Kulitnya yang putih dan bening, tampak seperti
bersinar. Belum lagi bentuk tubuhnya yang molek, terbungkus sutera tipis
berwarna putih yang tembus pandang. Sehingga, Cande Galia seolah berdiri tanpa
pakaian. Tidak mengherankan kalau pemandangan itu sampai membuat lutut
Mahendharata dan Rajmid Singh terasa lemas dan gemetar.
"Dinda Cande Galia," sebut Raja Godwana dengan suara seperti bisikan parau.
Seperti halnya Mahendharata dan Rajmin Singh, Raja Godwana pun mengalami
perasaan serupa. Malah saking tak sabar, dengan napas tersengal Raja Godwana
mengayun langkah menghampiri Putri Cande Galia. Kedua tangannya dikembangkan,
siap memeluk tubuh molek yang menggiurkan itu.
"Tunggu dulu, Kanda Godwana...!" cegah Putri Cande Galia seraya mengangkat
tangan kanan dengan telapak terbuka.
Raja Godwana terpaksa harus menahan gejolak api birahi yang seolah telah
membakar hangus sekujur tubuhnya. Sebenarnya Penguasa Kerajaan Mahadur itu bukan
tidak berusaha untuk maju. Tapi karena gerakan tangan Putri Cande Galia, membuat
langkahnya tidak bisa maju dan juga tidak bisa mundur. Tubuhnya seolah telah
dikunci gerakan tangan wanita cantik itu.
"Apakah Kanda sudah membawa benda yang merupakan syarat utama untuk dapat
mempersunting diriku?" tanya Putri Cande Galia sambil mengembangkan senyum
mautnya. Dan itu cukup membuat Raja Goddwana, Mahendharata, dan Rajmin Singh
tersengal-senggal dengan dada terasa sesak!
"Aku bawa, Dinda! Aku bawa...!" jawab Raja Godwana susah-payah dan napas
tersengal. Kemudian kepalanya menoleh kepada Mahendharata. "Kemarikan Sepasang
Intan Biru itu!"
Tapi baik Mahendharata maupun Rajmid Singh seperti tidak mendengar perintah
junjungannya. Rupanya, pesona Putri Cande Galla telah merampas hati dan pikiran,
sehingga sampai-sampai telinga mereka mendadak tuli.
"Mahendharata!" hardik Raja Gpdwana saking jengkel karena Mahendharata tidak
mendengar perintahnya.
"Oh! Eh, apa..., apa.... Oh! Ampunkan hamba, Paduka," ucap Mahendharata
gelagapan dengan wajah ketololan.
"Berikan Sepasang Intan Biru itu kepadaku, Guoblok!" bentak Raja Godwana dengan
sorot mata menunjukkan kemurkaan.
Karuan saja Mahendharata gemetar ketakutan. Buru-buru Sepasang Intan Biru
Pendekar Patung Emas 8 Golok Maut Tjan Tjie Leng Karya O P A Lencana Pembunuh Naga 15
^