Pencarian

Pengantin Ratu Pesolek 1

Pendekar Naga Putih 92 Pengantin Ratu Pesolek Bagian 1


Abu Keisel T. Hidayat PENGANTIN RATU PESOLEK
CINTAMEDIA penerbit buku silat bermutu
PENGANTIN RATI) PESOLEK
oleh T. Hidayat Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S. Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh ia buku ini tarsia ian tertulis dari penerbit T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih dalam episode:
Pengantin Ratu Pesolek
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Kakek itu duduk bersandar pada sebatang pohon.
Matanya terpejam rapat. Kedua tangannya terlipat
menyilang ke atas perut, mengempit sebatang tongkat kayu butut berwama hitam
pekat. Pakaian yang
dikenakannya berupa lembaran kain putih yang dilibat-libatkan di sekujur tubuh.
Tampaknya, kakek itu seorang pertapa. Usianya sukar ditaksir. Karena, meski
kumis dan jenggotnya telah berwarna putih dan panjang menjuntai ke dada, namun
wajahnya masih terlihat segar. Kakek itu memang tengah beristirahat. Belaian
angin yang lembut membuatnya terlena.
Keberadaan kakek pertapa itu, yang tertidur di
tengah hutan sunyi, telah menarik perharian seorang pemuda tampan yang kebetulan
melintas di hutan itu.
Melihat betapa kakek pertapa tertidur dengan pulasnya, pemuda berjubah putih itu
memperingan langkahnya.
Sepertinya, ia tidak ingin menggannggu ketenangan tidur kakek pertapa.
Tapi, sewaktu hendak melintas di depan kakek
pertapa, tiba-tiba si pemuda mengerutkan kening dengan wajah keheranan. Ada
suatu gelombang aneh yang
menahan tubuhnya. Ia tidak dapat bergerak maju. Tentu saja pemuda itu merasa
heran. Bergegas kepalanya menoleh ke arah kakek itu. Ia
merasa curiga. Kejadian itu dialaminya tepat sewaktu ia berjalan di hadapan
kakek pertapa. "Kakek. Kalau memang sikapku yang lewat tanpa
permisi kau anggap tidak sopan, harap maafkan aku."
Pemuda tampan itu berkata dengan sopan. Setelah
memperhatikan sekeliling, ia tidak melihat orang lain kecuali kakek itu. la
merasa kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dan, ia tidak benar-benar sedang
tidur. Pemuda tampan berjubah putih itu kemudian
menunggu beberapa saat. Tapi, yang ditunggu kelihatannya tidak tahu apa-apa dan tetap tertidur pulas.
Malah, suara dengkurnya terdengar semakin keras.
Merasa perkataannya tidak ditanggapi, pemuda itu hanya bisa mengangkat bahu. la
kembali mengayun langkah
hendak melanjutkan perjalanannya. Tapi, lagi-lagj ia merasakan hal yang sama!
Bahkan, gelombang tenaga yang tak tampak itu semakin kuat Sehingga, meskipun ia
memaksa maju, tetap saja tubuhnya tertahan. Sampai
akhirnya pemuda itu menghela napas jengkel, setelah berkali-kali mencoba tapi
tetap gagal. Sekali lagj pemuda berjubah putih itu menoleh ke
arah kakek pertapa. Wajahnya yang semula putih kini tampak kemerahan. Butir-
butir keringat menghiasi
keningnya. "Baiklah, aku menyerah...." Akhirnya, pemuda tampan itu berkata sambil menghela
napas berat Karena, kakek pertapa itu tetap tidak menggubrisnya dan tetap tertidur dengan wajah tanpa dosa.
Tanpa menoleh lagi, pemuda itu memutar tubuhnya.
Ia bermaksud mengambil Jalan lain.
"Eh..."!"
Pemuda tampan itu tak dapat menahan seruan
kagetnya. Dinding tenaga gaib itu sekarang bukan cuma berada di depannya. Di
belakangnya pun terdapat dinding serupa.
Tentu saja ia merasa dipermainkan! Keheranannya berbuah menjadi kejengkelan.
"Seingatku tidak ada kesalahan yang kuperbuat
terhadapmu, Kakek Pertapa. Tapi, kalau kau mempermainkan diriku seperti ini dan tetap berpura-pura tidur bagai orang mati,
aku tidak bisa terlma...," usai berkata, pemuda tampan yang tidak lain Panji
atau Pendekar Naga Putih, segera mengerahkan 'Tenaga Sakii Gerhana Bulan'-nya yang
ter-kenal. Sekejap saja, sekujur tubuhnya telah terbungkus lapisan kabut
bersinar putih keperakan yang menyebarkan hawa dingin menusuk.
"Oaahemmm...."
Tapi, sebelum Panji mendorongkan kedua telapak
tangannya untuk menggempur dinding gaib, tiba-tiba
kakek pertapa itu menguap panjang seraya menggeliatkan tubuhnya.
"Wah... Pantas saja tiba-tiba udara di tempat inl berubah dingin. Kiranya kau
penyebabnya, Orang Muda.
Hahh. .. Keterlaluan sekali. Apa kau sengaja hendak mengganggu tidurku?" Kakek
pertapa itu bersungut-sungut seraya bergerak bangkit.
Panji bergegas menarik kembali tenaga saktinya.
Diputarnya tubuhnya menghadap kakek itu. Panji tak
dapat menyembunyikan kekagumann ketika melihat sosok pertapa itu. Mereka berdiri
berhadap-hadapan dalam
jarak setengah tombak. Kakek itu bertubuh tinggi besar.
Panji sendiri cuma setinggi bahunya. Menurut penglihatan Panji, kakek itu sekitar enam puluh tahun.
"Maaf, Kakek Pertapa." Sekali lagi Panji meminta maaf seraya membungkukkan
tubuhnya "Sebenamya aku tidak bermaksud mengganggu tidurmu, Kek. Tapi,
dinding-dinding gaib yang sengaja kau ciptakan untuk menghalangi jalanku membuat
aku tidak mempunyai
pilihan lain."
Kakek pertapa itu tidak berkata apa-apa. Ditelitinya sekujur tubuh
Panji. Panji terpaksa diam saja
Ditunggunya kakek itu selesai menilai dirinya.
"Cocok!" Tiba-tiba kakek itu berkata seraya mengangguk-anggukkan kepala.
"Sekarang kau bersiaplah untuk mati, Orang Muda...!"
Whuttt..! Begitu ucapannya selesai, kakek itu membabatkan
tongkatnya memenggal leher Panji. Beruntung, sejak
semula Panji sudah menaruh curiga. Sambaran tongkat itu dapat dihindarinya
dengan melempar tubuh ke
belakang. "Bagus...!" Kakek pertapa itu memuji kesigapan Panji.
Ia tidak melanjutkan serangannya. Setelah melemparkan tongkatnya, kakek itu
melangkah menghampiri sebatang pohon yang cukup besar. dipeluknya batang pohon
itu. Lalu, dengan sebuah hentakan keras, disentakkannya
pohon itu. Brol l...!
Hebat bukan main kekuatan yang dimiliki kakek itu.
Sekali sentak saja batang pohon besar itu tercabut
hingga ke akar-akarnya! Panji sampai terbengong-bengong menyaksikan kedahsyatan
tenaga dalam itu. Terlebih
ketika kakek itu memondong batang pohon dan
melangkah menghampirinya.
"Lakukan seperti apa yang kuperbuat, Orang Muda.
Terserah bagaimana cara kau melakukannya..," ujar kakek itu. Batang pohon
dipondongnya dengan kedua tangan.
"Apa... apa maksudmu, Kakek Pertapa...?" tanya Panji tidak mengerti.
"Tidak perlu banyak tanya! Lakukan saja apa yang kukatakan tadl Kecuali, kalau
kau memang ingln menjadi mayat di pulau yang masih asing bagimu ini!" Kakek
pertapa itu membentak dengan sorot mata tajam
menusuk. Sadar kalau kakek itu bersungguh-sungguh, Panji
segera melakukan keinginannya. Untuk mencabut pohoh beserta akar-akarnya seperti
yang dilakukan kakek
pertapa itu, jelas tidak mungkin. Selain ia tidak memiliki dasar tenaga luar
yang besar, sepasang lengannya pun tak cukup panjang untuk memeluk batang pohon
sebesar itu. Tapi, Panji tidak kehilangan akal. Dengan tenaga
gabungannya, digedornya pohon besar itu hingga patah dan ro-boh.
"Bagus!" Kakek pertapa itu kembali memuji. "Kau cukup cerdik, meski tidak
memiliki kekuatan seperti yang kumiliki. Nah, sekarang marilah kita bertarung
dengan menggunakan batang pohon ini. Anggap saja sebagai
tongkat...."
"Kau ini benar-benar aneh, Kakek Pertapa," ujar Panji heran bukan main. Tapi,
Panji tidak mempunyai pilihan lain. Ia juga merasa penasaran dan ingin tahu apa
sebenarnya yang diinginkan kakek pertapa itu.
"Jaga seranganku, Orang Muda! Hyaaatt. !"
Whuukkk.. ! Hampir bersamaan dengan seruannya, kakek itu
mengayunkan batang pohonnya ke arah Panji Menghindari serangan itu jelas tidak mungkin, Panji tak mungkin melompat sambil
memondong batang pohon.
Sedangkan untuk bergerak mundur, akan sangat
berbahaya. Dengan membawa-bawa batang pohon,
gerakannya pasti lebih lambat. Sementara, serangan itu sudah semakin dekat ke
arahnya. Satu-satunya jalan, Panji harus melakukan hal yang sama seperti kakek
pertapa itu. Batang pohon di tangannya segera diayunkan untuk menghalau serangan
maut itu. Derrr...! Untuk menangkis serangan kakek pertapa, Panji pun
terpaksa harus mengayunkan batang pohon yang berada di tangannya.
Derrr...! Benturan keras yang tak terhindarkan lagi membuat
tubuh Panji dan kakek pertapa terhuyung mundur!
Benturan keras yang tak terhindarkan lag membuat
tubuh Panji terhuyung mundur hampir satu tombak.
Kakek pertapa itu pun mengalami hal serupa. Hanya
jaraknya lebih pendek. Kenyataan itu jelas menunjukkan tenaga kakek itu masih
satu tingkat di atas Panji.
Pertarungan unik itu kembali berlanjut. Serangan-
serangan kakek pertapa demikian gencar dan ganas. Panji yang semula bertahan
kini mulai melancarkan serangan balasan. Meskipun agak sulit karena harus
menggunakan batang pohon sebaga senjata, namun karena kakek
pertapa itu seperti menghendaki kematiannya, Panji
berusaha membiasakan din.
Cukup lama pertarungan unik itu berlangsung
Sejauh itu belum terlihat tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Sedangkan tubuh keduanya
sudah bermandi peluh. Terlebih Pargi, yang selama
hidupnya baru pertama kali mengalami pertempuran unik seperti ini. Tidak aneh
kalau Panji terlihat kepayahan.
Deru napasnya mendengus-dengus bagai kuda pacu. la
harus mengerahkan tenaga gabungannya terus-menerus.
Tentu saja dengan begitu ia menjadi cepat lelah. Tapi, untuk mengalah terhadap
kakek pertapa itu Panji tidak sudi. Menyerah kalah sama saja dengan menyerahkan
nyawanya. Panji tidak ingin mati percuma tanpa sebab-sebab yang jelas. Terlebih
di pulau yang asing dan baru pertama kali didatanginya ini.
Hampir seratus jurus sudah pertempuran itu
berlangsung. Pagi telah berganti siang. Sementara, baik Panji maupun kakek
pertapa itu sudah semakin lelah.
Tubuh dan pakaian mereka basah kuyup oleh peluh,
seperti habis tercebur di sungai. Kuda-kuda mereka
semakin goyah, hampir tak kuat memondong batang
pohon. "Hh... hh... hh.. ! Kau benar-benar tidak mengecewakan, Orang Muda...."
Setelah lewat seratus jurus, kakek pertapa itu tiba-tiba melempar batang pohon
di tangannya, kemudian
melompat jauh ke belakang. Ia jatuh terduduk dengan napas terengah-engah.
Panji tidak saja terkejut. Batang pohon yang
dilemparkan kakek pertapa itu melayang deras ke
arahnya. Panji tahu kakek itu mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Panji pun sadar ia tidak akan kuat menahannya.
Maka, sambil membentak keras, dilemparkannya batang pohon di tangannya. Lalu,
melempar tubuh bergulingan ke samping.
Di udara, dua batang pohon itu saling bertumbukan
keras. Kemudian, jatuh berdebum menggetarkan tanah
sekitar tempat itu. Sementara, Panji dan kakek itu
terduduk di tanah dengan napas tersengal-sengal.
Keduanya saling berpandangan.


Pendekar Naga Putih 92 Pengantin Ratu Pesolek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah agak lama, kakek pertapa itu mengulapkan
tangannya kepada Panp. Panji tidak segera menuruti
permintaan kakek itu untuk maju mendekatinya. Tapi, setelah kakek itu memintanya
beberapa kali, akhirnya Panji merangkak menghampiri dengan hati curiga.
"Siapa kau sebenamya, Kakek Pertapa" Mengapa kau hendak mencelakaiku?" tanya
Panji setelah mereka duduk berdekatan.
"Orang Muda." Kakek pertapa itu berkata dengan wajah semakin pucat dan napas
satu-satu. "Aku tahu kedatanganmu ke Pulau Bali ini dengan tujuan untuk
menghentikan keganasan Ratu Pesolek. Untuk itu, dari daerah Tirtaempul ini, kau
berjalanlah ke arah timur laut Kelak kau akan tiba di Gunung Abang. Di lereng
gunung itulah Ratu Pesolek dapat kau temui.. ."
Panji tertegun mendengar ucapan kakek pertapa itu
Dugaannya memang tepat. "Siapa kau sebenarnya, Kek?"
Pertanyaan Panji tidak mendapat jawaban. Kakek
pertapa itu tidak membuka matanya lagi, yang dipejamkan setelah memberikan
keterangan pada Panji. Setelah
mengulangi pertanyaan dan tidak juga mendapat jawaban, Panji menjadi heran. Dan
keheranannya berubah menjadi kekagetan.
Kakek pertapa itu ternyata telah menghembuskan napasnya yang terakhir dengan masih
duduk bersila! "Siapa pun kau adanya, aku percaya kau tidak
bermaksud buruk terhadapku, Kek," desah Panji usai menguburkan mayat kakek
pertapa itu. "Aku mengucapkan terima kasih atas petunjukmu...,"
Panji kemudian bergerak bangkit, dan melesat ke arah timur laut sesuai petunjuk
kakek pertapa yang misterius itu.
*** Bayangan samar sebuah puncak gunung yang
membentang jauh di depan membuat Pendekar Naga
Putih semakin mempercepat langkahnya.
"Itu pasti puncak Gunung Abang, desis Panji dengan desahan napas lega. "Kakek
misterius itu memang tidak berdusta...," lanjutnya sambil terus bergerak
mendekati bayangan pucak gunung.
'Tahan langkahmu, Orang Muda!"
Sebuah seruan halus yang disertai berkelebatnya
sesosok bayangan hitam memaksa langkah Panji terhenti.
Sementara sosok bayangan itu sudah mendaratkan
kakinya satu tombak lebih dari hadapan Panji. Gerakan sosok itu membuat Panji
ternganga kagum. Itu adalah ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Panji segera
tahu kepandaian ilmu meringankan tubuh sosok bayangan
hitam itu. Paling tidak satu tingkat berada di atasnya.
Tentu saja kenyataan itu mengejutkan Panji.
"Hm.... Lagi-lagi seorang kakek-kakek.. ," Panji bergumam dengan kening berkerut
ketika wajah sosok
bayangan hitam itu terlihat jelas. "Heran, bagaimana mungkin Ratu Pesolek dapat
merajalela di pulau ini"
Padahal, melihat gerakan yang diperlihatkan kakek itu, aku sendiri ragu akan
dapat mengunggulinya" Tapi,
mengapa mereka membiarkan Ratu Pesolek berbuat
seenaknya" Atau... jangan-jangan kakek ini dan kakek yang kemarin merupakan kaki
tangan Ratu Pesolek yang sengaja dikirim untuk membunuhku" Jika benar begitu,
artinya kedatanganku di pulau ini telah tercium oleh Ratu Pesolek..."!"
"Tentunya kau bukan penduduk asli pulau ini,
bukan" Jelaskan, siapa namamu dan dari mana kau
berasal, Orang Muda?" Kakek kurus yang mengenakan pakaian
pertapa itu segera bertanya setelah memperharikan sekujur tubuh Panji. Sikap dan nada
suaranya tidak ramah. Bahkan menunjukkan kesan slnis dan meremehkan.
Panji tidak menjadi gusar. Sebagai orang asing di
pulau itu, ia harus menunjukkan sikap yang ramah.
Maka,sambil tersenyum, Panji merangkapkan kedua
tangan dengan tubuh sedikit membungkuk.
"Orang Tua... "
Bwettt! Meski dalam posisi agak membungkuk, Panji tidak
kehilangan kewaspadaannya. Suara sambaran angjn yang menderu ke arah batok
kepalanya cepat dihindari dengan lompatan panjang ke belakang.
"Orang Tua, mengapa kau menyerangku tanpa
sebab"!" Panji menegur dengan wajah gusar.
"Dunia persilatan penuh dengan tipu muslihat,
Orang Muda. Siapa lengah, ia akan celaka...."
'Tapi.. , apa salahku..."!"
"Kedatanganmu ke pulau ini untuk mencari Ratu
Pesolek, bukan?" Bukannya menjawab, kakek kurus itu malah bertanya.
Meskl kaget dan heran, Panji mengangguk juga
"Jika demikian, langkahi dulu mayatku...," Ianjut kakek kurus itu tanpa
mempedulikan keheranan I'anji.
"Tapi... "
'Tidak ada tapi-tapian! Ayo, ikut aku!" tukas kakek kurus itu. Ia memberikan
isyarat agar Panji mengikuti.
Semula Panji tidak mau. Tapi, melihat sikap dan
kesungguhan kakek itu, akhirnya Panji terpaksa
mengikuti. Ia juga ingin mengetahui apakah antara kakek pertapa kurus ini dengan
kakek pertapa bertubuh tinggi besar mempunyai hubungan. Mungkinkah keduanya
utusan Ratu Pesolek yang ditugaskan untuk membunuhnya"
Alasan-alasan itu memaksa Panji mengikuti kakek ini.
Keheranan Panji semakin menjadi-jadi. Kakek
pertapa kurus ini membawanya ke sebuah tanah lapang yang dipenuhi tonggak-
tonggak kayu runcing. Tonggak-tonggak kayu itu disusun sedemikian rupa dengan
ukuran panjang yang berbeda-beda.
"Tonggak-tonggak itu seperti sebuah arena maut..,"
ujar Panji setelah memperharikan beberapa saat lamanya.
Kakek pertapa kurus itu menoleh sekilas ke arah
Panji. Tanpa berkata apa-apa, ia segera melenting ke udara. Setelah berputar
beberapa kali dengan gerakan yang mengagumkan, tubuhnya meluncur ringan dan
mendarat di atas dua batang tonggak yang paling tinggl
"Hebat...!" Pertunjukan itu membuat Panji berdesis kagum. Meski ia mampu
melakukannya, tapi gerakan yang diperlihatkan kakek kurus itu memang benar-benar
luar biasa. "Kau boleh pilih, Orang Muda," Kakek kurus itu berkata seraya berdiri di atas
tonggak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Menerima tantanganku.
Atau, segera angkat kaki dari Pulau Bali ini..."
Panji menghela napas sesaat Ditatapnya wajah kakek
itu lekat-lekat. "Jelaskan alasanmu, Orang Tua?"
"Cerewet! Sudah kukatakan kalau kau hanya bisa menjumpai Ratu Pesolek setelah
melangkahi mayatku!
Apa alasan itu belum cukup"!" Kakek pertapa kurus itu menghardik tak sabar.
"Hm. Baiklah...," Panji mengalah. Pemuda itu segera melayang naik dan hinggap
pada dua batang tonggak yang sedikit lebih pendek dari tonggak yang dipijak
kakek pertapa. *** 2 "Hyaaat...!"
Bwet! Bwettt! Baru saja Panji menempatkan kedua kakinya di
batang tonggak berujung runcing itu, kakek pertapa itu sudah melontarkan dua
buah serangan berbahaya!
"Licik.. !" Panji mengumpat geram. Pemuda itu segera melompat ke samping. Kedua
serangan Itu berhasil dielakkannya. Tapi, karena kedudukannya belum mantap,
lompatannya pun tidak begitu terarah. Pijakan kaki
kanannya pada salah satu mata tonggak meleset!
Brettt! "Akh...!"
Panji menjerit kesakitan. Kaki kanannya tergelincir dan termakan mata tonggak.
Celana bagian bawah
berikut kulitnya terkoyak ujung tonggak. Luka seperti torehan mata pisau itu
cukup dalam. Darah mehgalir
deras.Sambil menggigit bibir menahan nyeri, Panji bergegas menotok kakinya untuk
menghentikan darah yang keluar.
Kemudian, ia melenting ke belakang. Berputar dua kali di udara sebelum mendarat
di ujung-ujung tonggak yang
lain. "Hmh...!"
Panji mendengus geram. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Sepasang matanya nyorot
tajam menatap wajah lawannya yang melontarkan
serangan berikutnya.
Dibarengi bentakan keras, kakek pertapa kembali
menerjang maju. Langkah-langkahnya tampak gesit dan ringan. Tidak terlihat ia
mengalami kesulitan meski yang dipijaknya ujung-ujung tonggak yang runcing.
"Hm.... Nampaknya ia telah terbiasa bergerak di ujung-ujung tonggak ini. Pantas
ilmu meringankan
tubuhnya sangat tinggi. Rupanya, bertarung di atas
tonggak-tonggak runcing ini merupakan keahliannya. Aku harus hatl-hati
menghadapinya. Sedikit saja lengah, ujung-ujung tonggak ini akan memangang
tubuhku..," gumam Panji. Pemuda tampan itu segera mempersiapkan 'Ilmu Silat Naga
Saktl'-nya untuk menghadapi serangan kakek pertapa kurus.
Bed! Bed! Dua pukulan pertapa itu menderu mengancam
kepala dan dada. Bergegas Panji memiringkan tubuh
seraya mendorongkan kedu lengannya untuk mematahkan serangan itu. Tap gerakan
itu rupanya hanya tipuan
belaka. Sebelum tiba, kedua serangan itu sudah ditarik pulang. Dan sebagai
gantinya, kakek pertapa kurus
menggeser langkah dan melepaskan tendangan lurus yang mengarah ulu hati. Dukkk!
Lengan dan kaki saling berbenturan keras. Panji
merasakan tubuhnya bergetar. Benturan itu membuat
beban tubuhnya bertambah.
Ujung-ujung tonggak
tempatnya berpijak menembus alas kaki dan melukal
telapak kakinya. Bergegas Panji menggeser langkah dan memindahkan kedua kakinya
mencari pijakan lain.
Sementara, kakek pertapa kurus itu menggunakan
tenaga benturan untuk melempar tubuhnya ke udara.
Cara kakek itu bertarung jelas menunjukkan kecerdikan dan pengalamannya. Ia
lebih mengandalkan keringanan tubuh daripada kekuatan. Berbeda dengan Panji yang
memang baru pertama kali Ini merasakan bertarung di atas tonggak-tonggak bermata
runcing. "Heh heh heh. .! Kalau kau bertarung dengan
mengandalkan ilmu silat dan tenaga dalam saja, Jangan harap akan dapat selamat
dari arena maut ini, Orang Muda.. ." Kakek pertapa kurus itu mengejek Panji.
Pemuda itu cuma mendengus. Kemudian, mempersiapkan jurus-jurus serangannya. Tidak dipedulikannya rasa nyeri dan lelehan darah yang keluar dari luka di kedua
telapak kakinya. Ketika kakek pertapa kurus kembali melancarkan serangan, Panji
segera menyambut dengan jurus-jurus andalannya.
Pertarungan berlangsung cepat dan seru. Jurus
demi jurus berlalu. Tubuh keduanya bergerak dengan
keeepatan yang sulit ditangkap mata. Hanya tampak
bayangan-bayangan hitam dan putih yang saling desak dan gempur dengan hebatnya.
Bagi Panji, pertarungan ini terasa berat, meski
kepandaiannya tidak kalah dengan kakek pertapa kurus itu. Bertarung di atas
tonggak-tonggak kayu berujung runcing seperti ini memang bukanlah hal yang mudah
bagi Panji. Ia tidak terbiasa. Untuk melakukan pertarungan, ia harus membagi
perhatian. Di satu pihak ia menghadapi gempuran-gempuran lawan, sementara di
pihak lain ia harus mengatur kakinya sewaktu melangkah. Sebab, salah melangkah
bisa berakibat kemanan baginya.
Keadaan itu membuat Panji tidak selincah dan
segarang di tanah. Ia lebih banyak menghindar daripada menyerang. Bertarung di
tempat seperti ini diperlukan pembagian tenaga.
Untuk menyerang
dan untuk meringankan bobot tubuh. Itu semua memerlukan
pemusatan pikiran yang tinggi. Kesulitan-kesulitan itu membuat Panji kian lama
kian terdesak. Beberapa kali pijakannya meleset, hingga celananya sudah tidak
karuan. Terkoyak-koyak dan dipenuhi noda darah dari luka-luka di kakinya.
Bukkk! Pada jurus keenam puluh, kembali salah satu
kepalan kakek pertapa singgah di dada Panji. Tanpa
ampun lagi, tubuh pemuda itu melambung terpental ke belakang.
Sementara, ujung-ujung tonggak sudah menunggu. Siap memanggang tubuh Pendekar Naga
Putih. "Haii tt...!"
Pada saat tubuhnya meluncur ke bawah, Panji
membentak nyaring. Tubuhnya berputar. Kini ia meluncur dengan kepala di bawah.
Kedua tangannya segera
mencengkeram dua batang tonggak, tepat di bawah
ujungnya yang runcing. Untuk sesaat, Panji berdiri
dengan kedua kaki di atas.
Beeddd! Merasakan ada angin keras menerpa punggungnya,
bergegas Panji menekuk kedua kakinya ke belakang
dengan kedudukan menyilang.
Dukkk! Gerakan kedua kaki menyilang yang dilakukan Panji


Pendekar Naga Putih 92 Pengantin Ratu Pesolek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang sangat tepat Ia berhasil menggagalkan tendangan lawan yang mengancam
punggungnya. Bahkan, dengan
menggunakan tenaga benturan itu, Panji melenting
berputar. Dari udara ia mendorongkan kedua telapak
tangannya ke depan.
Bresssh...! "Aaakh.,.!"
Tubuh kurus kakek pertapa itu tersentak deras.
Pukulan udara kosong Panji telah menghantamnya. Tapi, meskipun sempat
memuntahkan darah, dengan gerakan
berputar yang mengagumkan, kakek pertapa itu dapat
menyelamatkan tubuhnya dari rajaman ujung-ujung
tonggak. Tubuhnya mendarat ringan berpijak pada dua batang tonggak setinggi
setengah tombak.
Pukulan udara kosong yang dilancarkan Panji
memang tidak membahayakan nyawa lawan. Pukulan itu
dilepaskan menggunakan kurang dari separo tenaganya.
Itu dilakukan Panji karena ia telah menemukan jawaban atas ejekan yang tadi
dilontar-kan lawan. Ejekan pertapa kurus itu membuat Panji sadar bahwa bertarung
di atas tonggak-tonggak lebih menitikberatkan pada keringanan tubuh.
Jawaban itu baru didapatkan Panji ketika ia
memutar tubuh dan menahan jatuh tubuhnya dengan
mencengkeram bagian bawah mata tonggak. Panji sadar sesungguhnya kakek itu telah
memberikan petunjuk
kepadanya, tentang bagaimana seharusnya bertarung di atas tonggak. Tapi, Panji
tidak bisa berpikir lebih jauh mengapa ia seperti
memberitahukan rahasia itu
kepadanya. Sebelum ia sempat bertanya, kakek pertapa kurus itu sudah
menerjangnya kembali.
Tapi, pada pertempuran kali ini Panji tidak lagi
kerepotan. Dua puluh jurus setelah pertarungan
berlanjut, Panji mulai dapat mendesak lawan. Itu karena dasar atau inti 'Ilmu
Silat Naga Sakti' memang
menitikberatkan pada kekuatan dan keringanan tubuh.
Dalam memainkan 'Ilmu Silat Naga Sakti' haruslah
memusatkan pikiran pada keringanan tubuh. Sementara, tenaga dipusatkan pada
kedua lengan. Sehingga, setiap serangan yang
dilontarkan, mengandung kekuatan dahsyat yang tersembunyi. Itulah yang dilakukan Panji kali ini.
Meskipun serangan-serangannya selalu menemui
kegagalan, namun kakek pertapa itu tidak menjadi putus asa. Ia terus berusaha
bertahan seraya sesekali membalas.
Tapi, usahanya untuk melepaskan diri dari kepungan
gempuran-gempuran lawan tidak berhasil dengan baik.
Dalam hal kekuatan, kakek pertapa itu masih berada satu tingkat di bawah Panji.
Sehingga, setiap kali lengan mereka berbenturan, tubuh kakek pertapa itu selalu
terpental mundur. Akibatnya, kakek pertapa itu pun
semakin terdesak hebat!
"Hyaaatt..!"
Lewat lima puluh Jurus kemudian, saat kakek
pertapa itu sudah tidak sanggup lagi untuk membalas, tiba-tiba Panji
mengeluarkan bentakan mengejutkan.
Tubuhnya melesat cepat
Whuttt, whuttt!
Sambaran angin menderu keras mengiringi dua buah
tamparan Panji. Kakek pertapa itu tampak sedikit gugup.
Tamparan yang mengarah kepala dan dada itu berusaha dielakkan sebisa-bisanya.
Kepala dan tubuhnya diliukkan ke kiri-kanan. Kedua tamparan" Itu memang berhasil
dihindarinya. Tapi, bukan berarti bahaya telah lewat.
Saat itu juga Panji sudah menyusuli serangannya dengan sebuah hantaman telapak
tangan kanan. Bresssh...! "Hukh. .!"
Dorongan telapak tangan Panji memang terlihat
hanya mengandung kecepatan saja. Tapi, begitu singgah pada sasarannya, Panji
segera menambahkan kekuatan
pukulannya. Tubuh kurus lawannya pun terjungkal
muntah darah! Melihat lawannya melayang tanpa daya, sementara
ujung-ujung tonggak yang runcing di bawahnya siap
menanti tubuh kurus itu, bergegas Pendekar Naga Putih melesat dan menyambar
tubuh kakek pertapa itu.
Kemudian meluncur turun di atas tanah setelah
berputaran di udara lima kali. Direbahkannya tubuh
lemah itu di atas tanah berumput tebal
"Maafkan aku, Kek...," desah Panji iba melihat wajah tua yang pucat itu.
Kakek pertapa itu terlihat berusaha tersenyum.
Kepalanya menggeleng. Ditariknya napas dalam-dalam.
"Kau... tidak.. pedu menyesal, Orang Muda," ujar kakek itu terputus-putus karena
harus menarik napas berulang-ulang
untuk menyelesaikan bicaranya. "Lanjutkan... perjalananmu.... Nanti... kau akan... me. .
ne... mui ssse. . buah... da.. nau.. ," suara kakek itu kian melemah. Perlahan
kemudian matanya terpejam rapat
"Kek...!" Panji mengguncang-guncangkan tubuh kurus pertapa itu. Tapi, nyawa
kakek itu telah pergj meninggalkan raga. Panji hanya bisa menghela napas
*** Selesai menguburkan mayat kakek pertapa itu, Panji
tidak langsung melanjutkan perjalanan. Dipandanginya sosok samar puncak gunung
di depannya lama-lama.
Sementara keningnya berkerut memikirkan dua kakek
pertapa misterius yang telah tewas di tangannya.
"Kejadian ini pasti bukan suatu kebetulan...," gumam PanjL "Pertama, kakek
pertapa bertubuh tinggi besar yang memiliki tenaga luar biasa. Lalu, kakek
pertapa bertubuh kurus yang memiliki keahlian dalam hal ilmu meringankan tubuh.
Keduanya seperti sengaja menunggu kedatanganku. Mereka memaksaku untuk
bertarung. Tampaknya keduanya memang menginginkan kematianku.
Tapi anehnya, mereka malah seperti hendak mengujiku.
Pertama kekuatan, lalu yang kedua kecepatan!" sampai di sini Panji terdiam.
Dadanya tiba-tiba te-rasa berdebar tegang.
"Mungkinkah meraka sengaja mengujiku" Jika benar demikian, mengapa sampai harus
mengorbankan" nyawa?"
Pertanyaan itu membuat Panji termenung. Pikiranhya kembali menerawang pada kejadian pertama sewaktu ia dihadang di
sebuah hutan di daerah
Tirtaempul. Kakek pertapa bertubuh tinggi besar itu tewas. Padahal, kakek itu
tidak teruka sedikit pun! Panji memang belum sempat menyarangkan satu pukulan
pun! "Hiu.. Eenar-benar aneh dan tidak masuk di akaL..!"
Panji berdesis dengan hati penasaran la tetap tidak dapat menemukan jawaban.
Kedua kakek pertapa itu masih
tetap merupakan misteri yang belum terpecahkan. Tapi meskipun begitu, Panji
merasa yakin mereka bukanlah utusan Ratu Pesolek.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, Panji tiba di sebuah danau yang terletak di kaki gunung. Seraya
melangkah perlahan, ditelitinya sekitar danau itu. Seluruh tepian danau telah
dikelilingjnya, tapi Panji tidak menemukan satu bangunan pun. Panji tidak habis
pikir. "Hm.... Mungkinkah kakek pertapa kurus Itu
membohongiku...?" gumam Panji. Ia tidak mengerti mengapa seorang pertapa seperti
kakek kurus itu sampai bisa berbohong. Tapi setelah dipikir-pikir, Panji tidak
dapat menyalahkan pertapa itu. Kakek itu cuma
mengatakan ia akan menemui sebuah danau, bukan
tempat tinggal Ratu Pesolek!
"Kakek pertapa itu tidak bohong. Aku saja yang bodoh, kurang memperhatikan
perkataannya...," Panji mendesah. Dihelanya napas kuat-kuat
"Apa yang kau lakukan di tempat ini, Orang Muda?"
Sebuah teguran halus membuat Panji tersentak dari
lamunan. Dengan sigap Panji memutar tubuh penuh
kewaspadaan. "Ditanya baik-balk kok begitu kagetnya," ujar seorang
kakek bertubuh sedang, yang lagi-lagi mengenakan pakaian seperti seorang pertapa. Kakek itu tersenyum tipis seolah
menertawakan kekagetan Panjt Tapi, meskipun sikap kakek itu berbeda dengan
kedua pertapa sebelumnya, Panji tetap menatap dengan penuh curiga.
"Hm.... Lagi-lagi seorang kakek pertapa...," Gumam Panji. Diperhatikannya sosok
kakek itu. Kemudian, Panji menggeser
tubuhnya empat langkah. Sementara pandangannya tetap tertuju kepada kakek itu
Sama seperti yang dilakukan Panji, pertapa itu pun
menatap sosok Panji dengan teliti. Sebentar kemudian, kepalanya mengangguk-
angguk. "Pasti Inilah orangnya...,"
gumamnya pelan.
"Apa maksudmu,
Orang Tua...?" Panji
yang mendengar gumaman kakek itu langsung saja bertanya
penasaran. Ditentangnya pandang mata kakek itu dengan sorot curiga.
"Dengan sampainya kau ke tempat ini, berartl kau telah bertemu dengan kedua
saudaraku, bukan" Dan, kau berhasil mengalahkan mereka." Kakek pertapa itu
berkata lembut seraya mengelus Jenggotnya yang panjang
menjuntai hingga ke da da.
"Tepat seperti yang kuduga!" Panji menukas dalam hati. Ditatapnya wajah kakek
pertapa di depannya lekat-lekat. "Jawablah pertanyaanku, Orang Tua. Siapa
sebenamya kau dan dua orang saudaramu itu" Apa
maksud kalian terhadapku" Kalau memang hendak
sekadar menguji kepandaian, mengapa sampai mempertaruhkan nyawa" Jawablah, Orang Tua. Jangan
buat kepalaku pusing memikirkannya!"
"Kau pasti bukan penduduk asli pulau ini.
Kedatanganmu pasti ada hubungannya dengan kejahatan yang dilakukan Ratu Pesolek.
Aku tahu itu. Dan, itu pasti!"Panji membanting kakinya ke tanah dengan kesal.
Lagi-lagi ia tidak mendapat jawaban yang memuaskan.
Seperti dua pertapa lainnya, pertapa ini pun tidak
menjawab pertanyaannya.
"Ketahuilah, Orang Muda." Kakek pertapa itu kembali
berkata. "Saudaraku
memang sengaja menunjukkan jalan yang salah kepadamu. Baik Kakek
Tenaga Gajah maupun Kakek Tanpa Bayangan. Keduanya
adalah saudara-saudaraku. Aku sendiri dijuluki Kakek Tanpa Tanding. Kami berttga
dikenal sebagai Tiga Kakek Gunung Batur, tempat kau sekarang berada. Inilah
Danau dan Gunung Batur. Itu sebabnya mengapa kau
tidak menemukan tempat tinggal Ratu Pesolek. Tokoh
wanita sesat itu memang tidak bermarkas di sekitar
tempat ini."
"Mengapa... mengapa kalian berbuat demikian" Apa maksud kalian sebenamya?" Panji
semakin tidak mengerti.
"Tentu saja untuk mencegahmu bertemu dengan
Ratu Pesolek. Daripada kau tertangkap dan dijadikan korban oleh Ratu Pesolek,
lebih baik kami membunuhmu.
Sayang, kedua saudaraku gagal melenyapkanmu. Tapi, aku tidak akan membiarkanmu
bertemu dengan wanita sesat yang keji dan bladab Itu. Kecuali kalau kau bisa
mengalahkanku!" Kakek pertapa yang mengaku berjuluk Kakek Tanpa Tanding itu
berkata kandas. Sikapnya
berubah sungguh-sungguh.
"Tidak!" Panji menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan melayani kesintinganmu,
Orang Tua! Aku lebih baik mati di tangan Ratu Pesolek daripada melayani
kegilaanmu. Aku tidak ingin membunuh tanpa alasan yang kuat Dan, aku tidak ingin
kejadian yang dialami dua orang saudaramu terulang lagi!" Panji kemudian
bergegas memutar tubuhnya hendak meninggalkan Kakek Tanpa
Tanding. "Bukan kau yang membunuh mereka, Orang Muda.
Mereka mati karena memang sudah waktunya!"
Ucapan Kakek Tanpa Tanding membuat Panji
menahan langkah. Tubuhnya berbalik menghadar kakek
itu "Apa maksudmu, Orang Tua?" Panji menuntut penjelasan. Ia belum mengerti ke
mana arah perkataan Kakek Tanpa Tanding.
"Maksudnya..., kau tidak punya pilihan lain selain menghadapiku!"
Belum lagi gema suaranya lenyap, Kakek Tanpa
Tanding sudah melesat dan melancarkan serangkaian
pukulan maut ke arah Panji.
"Gila...!" Panji berteriak mengumpat. Ia melompat mundur menjauhi Kakek Tanpa
Tanding! Diputarnya
tubuhnya dan berlari meninggalkan Gunung Batur.
"Langkahi dulu mayatku, baru kau bisa meninggalkan tempat ini...!" Kakek Tanpa
Tanding melesat mengejar seraya melepaskan pukulan jarak jauhnya.
Merasakan ada deruan angin keras di belakangnya,
Panji bergegas berlompatan menyelamatkan diri. Kesempatan itu dipergunakan Kakek Tanpa Tanding
untuk melesat ke udara. Kemudian, meluncur turun di hadapan Panji.
"Sudah kubilang bahwa untuk meninggalkan tempat in! kau harus melangkahi mayatku
dulu...," ujar Kakek Tanpa Tanding. Tampak ia segera mempersiapkan
serangan berikutnya.
Merasa tidak mempunyai pilihan lain, Panji bergegas melompat mundur. Panji pun
langsung menyiapkan 'Ilmu Silat Naga Sakti'-nya menghadapi pertapa itu.
*** 3 "Hiyaaa.. !"
Kakek Tanpa Tanding membuka serangan dengan


Pendekar Naga Putih 92 Pengantin Ratu Pesolek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiga buah pukulan berturut-turut. Satu mengarah leher, sedang lainnya mengancam
dada kiri dan lambung.
Kecepatan gerak dan deruan angin keras yang
menyertai serangan beruntun itu mengejutkan Panji. Ia segera tahu kalau
kepandaian Kakek Tanpa Tanding
berada di atas Kakek Tenaga Gajah dan Kakek Tanpa
Bayangan! Tapi, karena ia tidak ingin menjadi mayat, dihadapinya serangkaian
serangan hebat itu.
Pukulan pertama dielakkan Panji dengan memiringkan kepalanya. Sementara dua lainnya dipatahkan dengan menyusupkan kedua lengannya yang
dirangkapkan di antara serangan itu. Kemudian, dengan dibarengi bentakan
nyaring, Panji membuka kedua
lengannya. Kuda-kuda direndahkan dengan kedudukan
agak doyong ke belakang
Plakk! Plakkk! Tidak percuma pertapa itu mendapat julukan Kakek
Tanpa Tanding. Tangkisan Panji malah digunakan untuk melanjutkan
serangannya! Kakek Tanpa Tanding membiarkan kedua lengannya terpental. Lalu, diputar cepat dan langsung mengancam
ke arah kedua sisi kepala Panji. Sebuah serangan maut yang mematikan! Karena,
pada dua sisi kepala manusia merupakan Jalan darah
kematian! Untuk mematahkan serangan maut itu Panji
menjatuhkan tubuhnya. Dan, dilanjutkan dengan mengirimkan tendangan lurus yang menderu ke arah
perut lawan. Kakek Tanpa Tanding terpaksa melompat ke belakang untuk menghindari
serangan Itu. "Pantas kedua saudaraku dapat kau lewati. ternyata kau memang memiliki
kepandaian yang tinggi, Orang
Muda.. ." Kakek Tanpa Tanding memuji kehebatan lawannya. "Tapi, Jangan besar
kepala dulu. Kau harus berjuang keras untuk dapat meninggalkan tempat ini...."
Panji mengurungkan niatnya untuk menyahuti.
Karena begitu selesai berkata, Kakek Tanpa Tanding
kembali menerjang dengan serangan-serangan yang lebih hebat dan lebih ganas!
Pertarungan kembali berlanjut, lebih
seru dari semula. Kakek Tanpa Tanding
mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menggempur
Panji. Lima puluh jurus berlalu cepat. Menginjak pada
Jurus keenam puluh, Kakek Tanpa Tanding semakin
memperhebat gempurannya. Panji dipaksa bermain
mundur dan tidak diberikan kesempatan untuk balas
menyerang! Sekarang Panji baru mengerti mengapa pertapa itu
dijuluki Kakek Tanpa Tanding. Ilmu kakek ini memang hebat dan banyak sekali
ragamnya. Perubahan-perubahan gerak yang dilakukan demikian tiba-tiba dan sukar
ditebak. Tapi, Panji tidak kehilangan akal serta patah semangat Dibiarkannya
kakek itu terus menggempurnya, sementara ia hanya bertahan sambil mencari-cari
kesempatan untuk mengirimkan balasan.
Pada jurus kedelapan puluh, tiba-tiba Kakek Tanpa
Tanding membentak nyaring. Tubuhnya melompat ke
udara disertai dorongan kedua tangan nya.
"Haahhh. .!" Bresssh...!
Perbuatan Kakek Tanpa Tanding sedikitpun tidak
diduga Panji. Akibatnya, gelombang pukulan yang
menderu itu menghantam tubuhnya. Panji terpental
memuntahkan darah segar. Ia terbanting dan jatuh
terguling-guling sejauh lima tombak.
"Tamat riwayatmu, Orang Muda.. !"
Kakek Tanpa Tanding menyusuli dengan ayunan
telapak tangan kanan. Sebentuk gelombang angin dahsyat menderu bagai amukan
topan! Blarrr...! Debu dan batu batuan kecil beterbangan seiring
dengan ledakan keras itu. Tapi sebelum pukulan maut itu tiba, Panji sudah lebih
dulu melempar tubuhnya ke
samping. Dan, terus bergulingan menjauhi lawan.
Dengan kuda-kuda yang agak goyah dan napas ter
engah, Panji bergegas bangkit. Ngeri hatinya melihat tanah bekas tempat ia
berpijak. Di tempat itu tercipta sebuah lubang seperti kubangan kerbau. Debu
tipis tampak mengepul hangat. Itulah akibat pukulan yang
dilontarkan Kakek Tanpa Tanding.
"Hm.... Untung kau masih sempat mengelak, Orang Muda. Kalau tidak, sekarang kau
pasti sudah menjadi orang panggang!" Kakek Tanpa Tanding tertawa
mengejek. Panji tidak meladeni. la tengah mengerahkan 'Tenaga Inti Panas Bumi' untuk
membakar luka di bagian dalam tubuhnya. Setelah rasa nyeri di dalam dadanya agak
berkurang, Panji segera menggabungkan kedua tenaga
mukjizatnya. "Ah.... Benar-benar cocok!" Kakek Tanpa Tanding berseru kaget bercampur takjub.
"Sekarang aku semakin yakin kaulah orang yang kami tunggu-lunggu.. !"
Panji tertegun sesaat. Ditatapnya wajah Kakek
Tanpa Tanding dengan sorot mata bingung.
"Apa maksudmu, Orang Tua.. ?"
"Artinya, perkelahian ini
harus segera kita
selesaikan!"
Begitu ucapannya selesai, Kakek Tanpa Tanding
kembali melesat dengan serangan-serangannya. Panji
benar-benar geram dan jengkel! Ia merasa dipermainkan!
Pikiran dan hatinya seperti sengaja dibuat kacau oleh kakek itu.
"Kurang ajar! Sungguh licik sekali pertapa palsu ini"
Ia sengaja hendak mengganggu pemusatan pikiranku agar gerakanku kacau dan tidak
terarah. Dengan begitu ia akan dapat mengalahkanku. Benar-benar keparat..!"
Panji mengutuk dan menyumpah-nyumpah kelicikan lawannya.
Pikiran itu membuat Panji mengempos semangatnya.
Kalau sejak semula ia merasa enggan melayani kakek
pertapa itu, kini ia bertekad untuk mengalahkannya.
Dengan melenyapkan segala gangguan pada pikiran
maupun hatinya, Panji menghadapi serangan-serangan
maut Kakek Tanpa Tanding. Pemusatan pikirannya yang kuat membuat Panji
memperoleh kembali ketenangannya.
Hasilnya pun segera terlihat Perlahan tapi pasti Panji mulai dapat mendesak
lawannya. Sikap tenang membuat lontaran-lontaran pukulannya terarah dengan baik.
Dan, setiap serangan lawan dapat dipatahkannya dengan
langsung mengirimkan balasan. Tapi anehnya, Kakek
Tanpa Tanding malah terlihat berseri-seri wajahnya.
Padahal, serangan-serangan Panji yang membawa deruan angin panas dan dingin
sangat membahayakan jiwanya.
Tapi, Kakek Tanpa Tanding udak kelihatan gentar sedikit pun!
"Yeahhh.. !"
Lewat tiga puluh jurus setelah pertempuran
berlanjut, Kakek Tanpa Tanding kembali membentak.
Tamparan ke arah telinga dan pukulan lurus ke ulu hati segera dilancarkannya.
Kedua serangan itu menderu
menuju sasaran. Namun Panji tetap bersikap tenang.
Ditunggunya sampai serangan itu tiba dekat, "Hyahhh!"
Begitu serangan Kakek Tanpa Tanding tinggal satu
jengkal lagi dari telinga dan ulu hatinya, Panji membentak seraya menjatuhkan
tubuhnya. Gerakan itu dibarengi
dengan tendangan kedua kakinya.
Desss...! Demikian cepat dan tak terduga gerakan yang
dilakukan Panji. Kakek Tanpa Tanding tak mempunyai
kesempatan untuk menghindar. Tendangan itu telak
menggedor perutnya. Tubuh Kakek Tanpa Tanding pun
tersentak deras ke belakang. Darah menyembur keluar.
Tubuh kakek itu jatuh berdebuk di tanah.
Panji bergegas menyusul. Kakek Tanpa Tanding yang
mengira Panji hendak menyusuli serangannya segera
mengangkat tangan kanannya tinggi-tlnggi.
"Cukup... cukup.. ," ujar kakek itu. Ia kemudian bangkit duduk bersila.
"Aku bukanlah manusia keji yang tega menghabisi lawan yang terluka, Orang
Tua...," tukas Panji tersenyum getir.Aku bermaksud ingin mengobati lukamu...."
"Tidak pedu. . tidak periu.. ," Kakek TanpaTanding menggoyang-goyangkan
telapak tangannya. "Kemunculanmu merupakan tanda bahwa hidupku akan berakhir."
Panji mengerutkan kening mendengar ucapan itu.
Tapi, ia tidak berkata apa-apa. Dilihatnya Kakek Tanpa Tanding hendak
melanjutkan ucapannya.
"Coba kau terka, berapa kira-kira umurku?" Kakek Tanpa Tanding menatap Panji
dengan mata sayu.
"Mungkin delapan puluh lebih...," tebak Panji setelah memperhatikan wajah Kakek
Tanpa Tanding beberapa
saat Kakek Tanpa Tanding menggeleng lemah.
"Usiaku sudah seratus dua puluh tahun, Pendekar Naga Putih. Jangan kaget kalau
aku tahu julukanmu,"-
ujar Kakek Tanpa Tanding dengan tersenyum tipis.
"Demikian pula dengan kedua saudaraku. Mereka berusia lebih dari seratus tahun.
Kami tidak tahu mengapa umur kami demikian panjang. Rahasia itu baru terungkap
ketika sepuluh tahun silam kami bertiga mendapat mimpi yang sama. Dalam mimpi
itu datang seorang kakek berpakaian serba putih. Kakek itu mengatakan bahwa ajal
kami akan datang apabila kami telah berjumpa dengan seorang
pemuda yang berjuluk Pendekar Na?ga Putih," Kakek Tanpa Tanding berhenti
sebentar untuk mengambil
napas.Panji menganggukkan kepala. Sekarang ia baru
mengerti, mengapa Kakek Tenaga Gajah tewas meski ia tidak melukainya. Dan,
mengapa Kakek Tanpa Bayangan bisa menemui ajal meski lukanya tidak terlalu
parah. "Pendekar Naga Putih." Kakek Tanpa Tanding kembali berkata. "Tahukah kau berapa
usia Ratu Pesolek"
Dan, siapa tokoh wanita sesat itu sebenarnya?" tanyanya seraya menatap wajah
Panji lekat-lekat
Panji menggeleng. Jangankan usia, bertemu dengan
tokoh sesat itu pun ia belum pemah.
"Ratu Pesolek adalah seorang perempuan yang
usianya tidak berselisih jauh dengan kami bertiga. Tapi, tubuh maupun wajahnya
tak ubahnya seorang wanita
berusia dua puluh tahun. Ia adalah adik seperguruanku!"
"Mengapa Kakek bertiga tidak berusaha mencegah perbuatannya...?" tanya Panji
heran. "Itulah yang membuat hati kami susah," Kakek tanpa Tanding menggeleng seraya
menghela napas berat
"Sebenarnya sangat memalukan sekali untuk diceritakan.
Tapi, biarlah kau ketahui aib yang telah kami perbuat di masa lalu...." Lagi-
lagi kakeh itu menghela napas.
Tampaknya, apa yang akan disampaikannya itu sangatlah berat."Waktu itu kami
sama-sama masih muda. Guru kami berjuluk Dewa Gunung Batur. Beliau menurunkan
semua kepandaiannya kepada kami berempat. Segala macam ilmu boleh kami pelajari,
kecuali satu. Kitab yang berisikan Ilmu Lebah Hitam. Beliau melarang dengan
keras, setelah menunjukkannya kepada kami dan menceritakan tentang bahayanya
mempelajari kitab itu. Dewa Gunung Batur
sengaja tidak memusnahkan kitab itu. Karena, dalam
kitab itu juga terkandung ilmu pengobatan yang sangat langka. Sedangkan salah
satu keistimewaan Ilmu Lebah Hitam, dapat membuat orang yang meyakininya menjadi
tetap muda dan segar. Siapa sangka kalau Diah, adik seperguruan kami yang paling
bungsu, ternyata sangat tertarik dengan kitab itu. Rupanya ia ingin tetap
kelihatan muda dan cantik. Tapi, untuk meminta atau mencuri kitab itu ia tidak
berani. Guru kami bisa murka.
Padahal, keinginannya untuk mempelajari Ilmu Lebah
Hitam sangat besar." Kakek Tanpa Tanding berhenti sebentar.
Ditariknya napas berat berulang-ulang.
Wajahnya membayangkan kedukaan yang dalam.
'Terus terang, aku maupun kedua adik seperguruanku menaruh hati kepadanya. Diah memang
sangat cantik dan begitu sempurna sebagai seorang
perempuan. Kepada kami bertiga dia sangat manja.
Mungkin ia mengetahui perasaan kami kepadanya.
Sikapnya semakin manis dan sangat menggoda. Kami
sungguh tidak menduga kalau Diah sengaja hendak
menjebak kami bertiga. Kami semakin tergila-gila, dan saling bersaing untuk
merebut cinta Diah. Rupanya itulah yang di nginkan Diah. Dia buat kami tergila-
gila. Lalu, satu persatu kami dijebaknya. Malam terkutuk itu pun datang. Diah
datang kepadaku saat diriku tengah
membayangkan dirinya. Aku tidak begitu ingat awal
mulanya. Tapi, yang jelas malam itu Diah menyerahkan dirinya kepadaku. Mulanya
aku memang sangat bahagia sekali. Tapi, ternyata bukan cuma aku seorang yang
pemah berhubungan dengannya. Kedua adik seperguruanku pun berhubungan dengan Diah. Semua
itu baru terbongkar ketika guru kami pergi mengunjungi salah seorang sahabatnya
di pulau seberang."
Panji tidak berusaha memotong. Dibiarkannya Kakek
Tanpa Tanding menunda ceritanya yang belum selesai
"Diah mengambil Kitab Ilmu Lebah Hitam. Kami
bertiga tidak bisa berbuat apa-apa. Diah meng-ancam akan membeberkan rahasia
kami kepada guru. la


Pendekar Naga Putih 92 Pengantin Ratu Pesolek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengingatkan akan sumpah yang kami ucapkan sewaktu
berhubungan dengannya. Aku dan kadua adik seperguruanku ternyata telah mengucapkan sumpah yang sama. Kami akan menuruti
segala permintaan Diah, apa pun bentuknya. Saat l ulah kami baru sadar kalau
Diah telah menjebak kami! Dengan membawa kitab itu, Diah pergi meninggalkan
Gunung Batur. Sebelum pergi, ia meminta kepada kami agar menutup mulut Baik
tentang kitab, maupun dirinya. Sepulang dari kepergiannya, guru marah besar. Kami yang
sudah terikat sumpah. terpaksa berbohong.
Kami dihukum dan dipaksa untuk memberitahukan ke mana perginya Diah dan Kitab Ilmu Lebah Hitam. Tapi kami tetap
bungkam. Karena, kami
memang tidak tahu ke mana perginya Diah. Guru merasa putus asa dan berduka
sekali. Beliau jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Sebelum menghembuskan
napas terakhir, beliau sempat mengutuk kami bertiga.
Kaml akan menanggung derita berkepanjangan. Kutuk
guru kami kini terbukti. Untuk menebus dosa, kami lalu menjadi pertapa. Tapi,
dosa di malam terkutuk itu tidak pemah lepas dari pikiran kami. Dan, meski usia
kami telah mencapai seratus tahun lebih, kematian masih juga belum datang
menjemput Sampai akhirnya kami mendapat mimpi seperti yang kuceritakan kepadamu
tadi." Kakek Tanpa Tanding mengakhiri ceritanya dengan helaan napas berat dan
panjang. "Jadi, itukah sebabnya mengapa kalian bertiga tidak mencegah perbuatan Ratu
Pesolek?" tanya Panji setelah agak lama Kakek Tanpa Tanding terdiam.
"Kami terikat sumpah dan juga kutukan. Namun
kedatanganmu membuat hatiku lega, Pendekar Naga
Putih. Itu berarti ajalku sudah tiba. Aku akan segera terlepas dari belenggu
dosa yang tak berkesudahan ini.. ," usai berkata, Kakek TanpaI Tanding memejamkan kedua ma tanya
"Kek, tunggu...!" Panji yang sudah menduga apa yang akan terjadi dengan Kakek
Tanpa Tanding, berseru
seraya mengguncangkan tubuh kakek itu.I
"Dari sini, kau berjalan ke arah tenggara." Tanpa membuka matanya, Kakek Tanpa
Tanding berkata.
"Pertama, kau akan menemui Gunung Danang Setelah itu, barulah kau akan melihat
Gunung Abang."
"Terima kasih, Kek...," ucap Panji lega. la telah mendapat petunjuk jalan yang
benar untuk dapat
menemui Ratu Pesolek
Tidak seperti sewaktu menyaksikan kematian Kakek
Tenaga Gajah dan Kakek Tanpa Bayangan, kematian
Kakek Tanpa Tanding tidak membuat Panji bersedih atau menyesal Malah, ia merasa
lega. Kematian itu telah
membuat Kakek Tanpa Tanding menemukan ketenangan
hidup di alam lain.
*** Gunung Abang menjulang megah, mengalahkan
gunung-gunung yang terdapat di Pulau Bali, Gunung
Abang memang merupakan gunung tertinggi di pulau itu.
Di kaki gunung itulah Ratu Pesolek mendirikan
markasnya. Nama Ratu Pesolek telah sangat dikenal dan menjadi
momok yang menakutkan bagi seluruh penduduk di Pulau Bali. Sudah sejak puluhan
tahun silam nama besarnya bergaung di seluruh penjuru pulau. Ratu Pesolek bukan
saja melakukan penculikan terhadap pemuda-pemuda
tampan. Tapi, gadis-gadis muda dan cantik pun tidak luput dari incarannya, meski
tidak sesering lenyapnya pemuda pemuda tampan. Perbuatan Ratu Pesolek banyak
ditentang oleh kaum golongan putih. Tapi, sampai
sebegitu jauh belum ada seorang pun yang sanggup
menghentikan kejahatannya. Jangankan menghadapi Ratu Pesolek, melawan pembantu-
pembantunya saja sudah
banyak tokoh-tokoh persilatan yang bertumbangan.
Sehingga, sampai puluhan tahun Ratu Pesolek tetap
berkuasa. Bahkan, kuku-kukunya semakin mencengkeram seluruh daratan Pulau i
Bali. Usaha tokoh-tokoh golongan putih untuk me
numpasnya masih terus dilakukan, Walau Ratu Pesolek maupun
pembantu-pembantunya
tidak segan-segan membunuh setiap tokoh yang berani datang mengusik
ketenangannya. Terutama kaum golongan tua. Mereka
akan dibunuh tanpa ampun. Lain halnya dengan
pendekar-pendekar muda. Terlebih yang memiliki wajah tampan. Ratu Pesolek tidak
akan membunuh begitu saja.
Mereka akan mendapatkan perlakuan yang istimewa, dan ditempatkan di kamar-kamar
mewah. Pada setiap bulan pumama barulah mereka dikeluarkan satu persatu untuk
melayani keinginan Ratu Pesolek, setelah melalui sebuah upacara dan pesta
semalam suntuk Setelah itu, korban akan dibunuh. Perbuatan Ratu Pesolek memang
tidak berbeda dengan lebah-lebah ratu yang membunuh
pejantannya setelah masa kawin.
Saat itu hari masih pagi. Dua sosok tubuh bergerak
hati-hati mendekati sebuah bangunan megah yang mirip istana raja. Itulah tempat
kedjaman Ratu Pesolek dan para pengikutnya. Tampaknya, hari ini Ratu Pesolek
kedatangan tamu yang tak diundang!
"Hih hih hih.. ! Apa yang sedang kalian intip, hah?"
Dua orang lelaki berusia sekitar empat puluh dan
lima puluh tahun, yang tengah mengintai tempat
kediaman Ratu Pesolek dari balik rimbunan semak,
berjingkrak kaget. Cepat bagai kilat keduanya memutar tubuh. Namun, si pemilik
suara yang mereka cari tidak dapat mereka temukan! Karuan saja keduanya saling
bertukar pandang dengan penuh heran.
"Kau mendengar suara tadi, Narottama...?" Laki-laki yang berusia lima puluh
tahun bertanya kepada kawannya.
Sepertinya, ia meragukan pendengarannya.
"Ya. Aku memang mendengar suara tawa mengikik...!" Meskipun ucapannya tandas, namun nada suaranya terdengar agak
bimbang. Jelas, Narottama pun meragukan pendengarannya. Karena, mereka tidak
menemukan seorang manusia pun disekitar tempat itu.
"Hih hih hih.. ! Dasar kampret-kampret tolol! Ditanya bukannya menjawab malah
celingak-celinguk seperti
orang hendak buang ingus!"
Narottama dan Udayana berjingkrak mundur.
Mereka mendongakkan kepala. Suara itu terdengai jelas di atas kepala mereka.
Tampaklah sesosok tubuh
terbungkus pakaian hitam yang bergantung dengan kepala di bawah. Narottama dan
Udayana tidak bisa mengenali sosok itu.
*** 4 "Hih hih hih.. !"
Sekali lagi sosok yang bergelantungan itu memperdengarkan tawanya. la melayang turun dan
mendarat ringan di hadapan Narottama dan Udayana.
"Hei, mengapa bengong" Kalian lupa ya denganku?"
Sosok yang ternyata seorang nenek buruk berkulit hitam legam menegur dengan
suaranya yang seperti kaleng
rombeng, Ia menuding-nuding kening Narottama dan
Udayana yang masih terbengong-bengong di tempatnya.
"Maaf, Nek. Seingatku kita belum pernah bertemu, apalagi berkenalan...."
Udayana, yang lebih tua dan lebih berpengalaman daripada Narottama,
sudah dapat menguasai kekagetannya. Ia melangkah maju dan
membungkuk hormat. Kata-katanya pun sopan dan
lembut "Nak:nek-nak-nek! Kapan aku pernah kawin dengan kakekmu" Lagipula, siapa yang
bilang kalau kita pernah berkenalan" Kau kira aku perempuan muraham. Huh,
tidak sudi aku berkenalan dengan kalian!" Nenek muka hitam menghardik dan
mencibirkan bibimya. Kemudian, tubuhnya diputar seperti jual mahal. Karuan saja
sikap nenek itu membuat Narottama dan Udayana keheranan.
"Sinting...!" Narottama berdesis pelan.
"Apa katamu" Apa perempuan tidak boleh memakai anting-anting" Itu sudah kodrat,
tahu! Dasar lelaki sinting! Biar wajahmu gagah tapi kalau otakmu kurang beres,
mana ada perempuan yang sudj mendekatimu!"
Nenek muka hitam mengomel panjang lebar, membentak-
bentak Narottama.
"Dasar gendeng...!" Udayana bergumam menahan rasa geli.
"Kau suka, ya?" Nenek muka hitam memandang Udayana dengan mata berbinar. Dielus-
elus-nya andeng-andeng (tahi lalat besar) yang melekat di cuping
hidungnya sebelah kanan. "Ini namanya pemanis, tahu,"
lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan badannya, persis gadis remaja yang maki-
malu karena ditegur pemuda
idamannya. "Ya... ya... ya... .Aku suka dengan andeng-andengmu itu. Wajahmu memang
kelihatan jadi lebih manis. .."
Merasa nenek itu agak tuli, Udayana pun mengalah. Ia mengangguk-angguk dan
mengikuti ucapan nenek muka
hitam. Padahal dalam hatinya ia berkata, "Suka dengkulmu peyot! Andeng-andeng
hitam, wajahmu juga
hitam, mana bisa dibilang pemanis. Wajah hangus seperti pantat dandang begitu
dibilang manis."
"Nenek ini memang manis, Udayana." Narottama berbisik di telinga Udayana. "Tapi,
kalau memandangnya dari atas puncak gunung...," sambungnya tak dapat menahan
kegelian hatinya. Narrottama menahan kekehnya. Ditutupnya mulutnya dengan telapak tangan.
"Apa bisik-bisik! Menceritakan aku, ya" Mentertawakan aku, ya?"
"Tidaaak.. !" Narottama dan Udayana menyahut bersamaan seraya menggeleng keras-
keras. "Lalu, bisik-bisik itu apa yang kalian bicarakan?"
Nenek muka hitam mendesak curiga.
"Kawanku bilang kau cantik..."
Udayana berbohong. Bukan karena ia takut nenek
muka hitam akan marah.
Tapi, Udayana telah menyaksikan bagaimana tadi nenek itu meluncur turun dengan sangat ringannya. la
menduga nenek muka hitam ini pasti bukan orang sembarangan. Ia lebih suka tidak
mencari penyakit yang akan menyusahkan diri sendiri.
Bahkan, Udayana berpikir akan menarik nenek itu ke
pihaknya. Ini akan menguntungkannya.
"Benar." Narottama segera dapat membaca maksud kawannya. la pun menambahi.
"Dengan andeng-andeng itu, kau kelihatan semakin manis.. ," pujinya, meski dalam
hati tertawa terbahak-bahak.
"Kurang ajar! Celaka dua ratus! Rupanya kalian berdua tukang merayu perempuan,
ya" Dasar buaya-buaya darat keparat! Sudah jelek dan melarat masih juga
mencari sekarat!" Nenek muka hitam membanting-banting kaki kanannya ke tanah. la
menuding-nuding hidung
Narottama dan Udayana.
"Wah, celaka! Susah juga kalau menghadapi orang gila. Tidak diikuti salah. Di
kuti juga salah." Di tengah kecemasan dan keheranannya, Udayana menggerutu
jengkel. "Dasar nenek-nenek jelek Sudah hitam, peot,
keriting, hidup lagi!" Dari heran, Narottama menjadi jengkel. Ia mengumpat tak
karuan. "Hayo, pergi.. pergi kalian...!" Kemarahan nenek muka hitam masih
berkepanjangan.
Ia mengusir Narottama dan Udayana seraya mengebut-ngebutkan
telapak tangannya.
Gerakan nenek itu kelihatan sembarangan saja. Tapi, Udayana dan Narottama kaget
setengah mati. Dari
kebutan tangan nenek muka hitam, menyambar deruan
angin keras. Bergegas Narottama dan Udayana melompat mundur.
"Kita harus menjauhi nenek sinting itu, Narottama.
Kalau tidak, bisa-bisa kedatangan kita akan diketahui pengikut-pengikut Ratu
Pesolek.. " Udayana berbisik kepada Narottama tanpa melepaskan pandangannya dari
sosok nenek muka hitam.
"Sebaiknya memang begitu. Nenek sinting itu bisa membuat kita celaka...."
Narottama langsung setuju.
Diputamya tubuhnya dan berlari mengikuti Udayana yang sudah bergerak
meninggalkan tem?pat itu lebih dulu.
"Hei, mau ke mana kalian.. " Pegang... pegang...! Hih hih hih...!" Melihat
Udayana dan Narottama meninggalkan tempat itu, nenek muka hitam berteriak-teriak
sambil tertawa.
"Benar-benar kurang ajar nenek jelek itu...!"
Narottama menggerutu dengan hati cemas. Ia khawatir teriakan nenek muka hitam
sampai terdengar orang-orang Ratu Pesolek
"Jangan pedulikan nenek sinting itu, Narottama.
Menuruti dia bisa-bisa kita celaka... " Udayana segera mengingatkan ketika
melihat Narottama hendak berbalik arah.Narottama menggerutu tak jelas. Tinjunya
dike-palkan erat-erat Niatnya terpaksa diurungkan. Ia. terus berlari mengikuti
Udayana menerobos semak-semak.
Mereka menjauhi bangunan markas Ratu Pesolek
Gangguan nenek muka hitam itu membuat mereka
terpaksa menangguhkan rencana semula Dan, bersepakat untuk menyelundup ke dalam
pada waktu malam.
Kekhawatiran Narottama dan Udayana memang
beralasan. Teriakan nenek muka hitam telah menarik
perhatian orang-orang Ratu Pesolek. Sebentar saja, enam orang perempuan muda
yang rata rata berwajah canb'k sudah bedarian mendatangi tempat itu
"Hei, siapa kau, Nenek Hitam" Apa yang sedang kau lakukan di daerah kekuasaan


Pendekar Naga Putih 92 Pengantin Ratu Pesolek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami?" Salah satu dari enam perempuan cantik itu menegur nenek muka hitam. Ujung
tombaknya ditodongkan ke wajah nenek muka hitam.
"Setan, mengapa aku yang kalian tanya?" Nenek muka hitam tidak kalah gertak
"Seharusnya kalian can dua orang telaki buaya darat yang lari ke sana itu. Aku
sudah capek-capek teriak, eh, malah aku yang disalahkan. Dasar perempuan jelek!
Pakaian saja sepotong-sepotong,
bertingkah seperti penguasa lagi!"
Nenek muka hitam memang tidak salah bicara.
Keenam perempuan cantik itu hanya mengenakan
pelindung dada dan kain yang tingginya satu jengkal lebih di atas lutut Berbeda
dengan nenek muka hitam yang; mengenakan pakaian lengkap dan agak kebesaran.
"Jangan sembarangan bicara kau, Nenek Muka
Arang! Tahukah kau bahwa yang kau hadapi adalah
orang-orang kepercayaan Ratu Pesolek" Atau, kau
memang sengaja mencari maut?" Perempuan yang ada tahi lalat di pipi kanannya
mengancam. "Ratu Pesolek..."!" Nenek muka hitam mengulang nama itu dengan kening berkerut
"Jadi kalian ini tengah mencari madu, ya" Apa sudah dapat" Boleh aku cicipi
sedikit saja. Ingat madu, air liurku jadi keluar.. ."
Keenam perempuan itu menarik wajah ke belakang.
Diperhatikannya sosok nenek muka hitam dengan sorot curiga. Mereka menduga nenek
itu hanya berpura-pura gila untuk mengelabui mereka. Perempuan yang bertahi
lalat di pipi kanan memberi isyarat dengan anggukkan kepala. Sebentar saja,
nenek muka hitam terkepung
rapat."Benar, kau mau mencicipi madu, Nek?" Perempuan bertahi lalat bertanya
menegasi. "Mau... mau...." Nenek muka hitam mengangguk-angguk dengan mata berbinar.
Bibirna dijilat-jilat seolah ia merasakan kelezatan madu itu.
"Nih, kau cicipilah sepuasmu!"
Whuttt..! "Aiii. ."!"
Nenek muka hitam terpekik kaget Dengan sangat
ketakutan, ia berlari ke depan menyambut datangnya
ujung tombak Brettt..! "Aaa...!"
Terdengar suara kain robek dan jerit kesakitan
nenek muka hitam. Aneh, meskipun mata tombak lelah
menembus tubuh nenek itu, tak setetes darah pun yang keluar.
Kenyataan itu sangat mengherankan penyerangnya. Kepalanya bergerak ke kil ka?nan mencari-cari tetesan darah. Tapi,
sulit sekali untuk "melihatnya.
Nenek muka hitam menggerak-gerakkan tubuhnya sambil mendekap perut
Tapi sesaat kemudian, perempuan muda bertahi lalat
itu melenggak kaget Ketika nenek itu melepaskan
dekapan tangan pada perutnya, ternyata tusukan tombak hanya merobek pakaiannya
yang kebesaran. Sedang kulit tubuhnya tidak terluka sedikit pun!
"Hih hih hih.. ! Kaget, ya" Nih, tombakmu
kukembalikan...!" sambil berkata demikian, nenek muka hitam memutar tombak dan
mengarahkan matanya ke
tubuh pemiliknya. Lalu, dilemparkannya tombak itu
dengan gerakan sembarangan.
Cappp! Mata tombak meluncur deras dan langsung
menembus tubuh mulus perempuan itu hingga ke
punggung. Tentu saja keberhasilan serangan itu bukan karena kepandaian nenek
muka hitam sangat tinggi.
Atau, karena kepandaian perempuan bertahi lalat itu rendah. Tapi, orang
kepercayaan Ratu Pesolek itu terlalu memandang remeh. Akibatnya sikap itu harus
djtebus dengan nyawanya!
"Nenek keparat!"
"Bedebah...!"
Lima perempuan cantik lainnya memaki dengan
wajah merah padam. Tanpa ada yang memerintah, karena perempuan bertahi lalat
yang tewas itu adalah pimpinan mereka, kelima perempuan cantik itu menyerbu
nenek muka hitam dengan tombak di tangan.
"Hei hei hei.. ! Ini tidak adil. . tidak adil...! Kalian beraninya cuma main
keroyok! Kalau memang betina, ayo maju satu-satu.. !"
Nenek muka hitam berteriak-teriak. Ia melompat ke
sana kemari dengan gerakan asal-asalan. Tapi hebatnya, tak satu pun dari
serangan lima batang lombak itu yang dapat
menyentuh tubuhnya. Bahkan, mengenai pakaiannya pun tidak. Padahal, tombak-tombak itu
djgerakkan dengan kecepatan cukup tinggi. Karuan saja orang-orang Ratu Pesolek
semakin marah dan penasaran!
Mereka semakin memperhebat serangan-serangannya.
"Wah, celaka...!" Nenek muka hitam mengeluh seraya terus berlompatan menghindari
ujung-ujung tombak yang mengancamhya. Ia kemudian berteriak-teriak berlari
meninggalkan arena pertarungan. "Tolong... tolong.. !"
Nenek muka hitam terus berlari. Sesekali ia berhenti dan berjingkrak-jingkrak.
"Kejar...!" Salah satu dari kelima perempuan cantik itu memberi perintah. Ia
melesat mengejar nenek muka hitam dengan di kuti keempat kawannya.
*** "Narottama, dengar! Bukankah itu suara jeritan
minta tolong nenek muka hitam" Mungkin ia dalam
kesulitan. Ayo kita tolong...!" Udayana berkata kepada Narottama. Dan, tanpa
menunggu jawaban lagi, langsung saja ia memutar tubuh dan melesat ke arah suara
jeritan itu. "Ah, jangan pedulikan nenek gila itu, Udayana!"
Narottama tidak sependapat dengan Udayana.
Narottama memang ikut menghentikan larinya. Tapi,
ia tidak bergerak mengikuti. Udayana terpaksa menunda maksudnya.
"Siapa tahu nenek itu memang benar-benar dalam kesulitan, Narottama. Benar ia
cuma seorang nenek
sinting. Tapi siapa pun dia, kita harus melihatnya dulu."
Udayana bersikeras mempertahankan pendapatnya.
"Hm.... Kita sudah cukup jauh berputar, Udayana.
Beberapa tombak lagi kita akan segera tiba di bagian belakang markas Ratu
Pesolek, Untuk apa bersusah
payah kembali lagi hanya karena ingin menolong seorang nenek-nenek jelek berotak
miring?" Narottama juga mempertahankan pendapatnya. Ia merasa tidak ada
perlunya menyusahkan diri menolong nenek muka hitam.
"Sudahlah, kita tidak perlu bertengkar." Udayana merendahkan suaranya.
Diangkatnya kedua tangannya di depan dada. "Menurutku, sebaiknya kita lihat saja
apa yang terjadi dengan nenek itu. Kalau memang ia tidak memerlukan bantuan,
kita bisa melanjutkan rencana kita.
Ingat, Narottama! Kita adalah orang-orang gagah yang mempunyai kewajiban untuk
menolong kaum lemah!"
"Hhh.. . Baiklah. Mari kita lihat. ." Narottama akhirnya mengalah. la bergerak
mengikuti Udayana.
Tidak berapa lama kemudian, mereka melihat nenek
muka hitam tengah berlari dikejar lima orang perempuan cantik yang bersenjata
tombak Melihat cara nenek itu berlari dengan sesekali
berhenti jika pengejamya
tertinggal agak jauh, Udayana langsung tahu nenek muka hitam sengaja
mempermainkan para pengejamya. Entah
apa maksud nenek Itu. Udayana tidak mau ambil pusing.
Yang pasti keselamatan nenek muka hitam tidak perlu dikhawatirkan.
"Mari kita pergi," ajak Udayana kepada Narottama yang tersenyum penuh
kemenangan, karena dugaannya
lebih benar. "Perbuatan nenek itu malah
akan menguntungkan kita. Apalagi, kalau pengikut-pengikut Ratu Pesolek yang lainnya
berdatangan dan ikut mengejar nenek sinting itu."
Narottama tidak menanggapi Diam-diam ia pun
mengliarapkan hal yang sama. Tanpa berkata apa-apa lagi, keduanya segera melesat
meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, sepeninggal Udayana dan Narottama,
nenek muka hitam menghentikan larinya.
Sambil mengekeh senang, ia membalikkan tubuh. Ditunggunya
kedatangan para pengejamya seraya berkacak pinggang dan tertawa berkepanjangan.
Gigi nenek itu tampak
masih lengkap dan putih. Tidak seperti gigi nenek-nenek sewajarnya.
"Serbuuu...!"
Salah seorang dari kelima pengejar nenek muka
hitam memberi perintah. Kelimanya segera meluruk maju dengan memutar tombak di
tangan masing-masing. Tapi, sambil terkekeh-kekeh, nenek muka hitam malah
bergerak maju. Disambutnya, datangnya serangan itu. Sekali
mengibaskan kedua tangannya, dua batang tombak
penyerangnya terpental patah menjadi dua. Kemudian, nenek itu menjatuhkan tubuh
menelungkup di depan
kedua perempuan yang kehilangan senjata. Seperti seekor kuda binal, nenek muka
hitam menyentakkan kakinya
telak mengenai dada mereka.
"Hih hih hih...! Bagus tidak jurus 'Kuda Binal' ku?"
ejek nenek itu kepada dua orang lawannya yang
terpelanting jatuh terguling-guling. Dan, tidak dapat buru-buru bangkit
Nenek muka hitam masih saja terkekeh memandangi
korban tendangannya. Ia seperti tidak sadar betapa tiga lawan lainnya tengah
bergerak mengancam tubuhnya dari tiga arah.
Bed! Bed! Bed! Tiga batang tombak itu menusuk tengkuk dan kiri
kanan lehernya. Tapi, dengan gerakan yang manis, nenek muka hitam membungkukkan
tubuh. Ia menekuk
kepalanya ke depan dan mengembangkan kedua lengannya ke kiri-kanan. Ketiga mata
tombak itu pun lewat di atas tengkuk dan kedua bahunya. Lalu, dengan gerakan
yang tak terduga, nenek muka hitam memutar kedua lengannya dari belakang ke
depan, dibarengi dengan putaran
tubuhnya setengah lingkaran ke belakang.
Trak trak! Des! Des! Des!
Hebat dan mengagumkan sekali gerakan nenek muka
hitam. Dua batang tombak yang dikempitnya langsung
patah seketika. Dan, tendangan berantai yang dilepaskan pada saat bersamaan
telak menghajar ketiga wajah
pengeroyoknya. Ketiga perempuan cantik itu pun
terpelanting. Mereka mengaduh-aduh memegangi sebelah pipinya yang be-ngap!
"Hih hih hih.. ! Wajah kalian jadi kelihatan lucu!
Persis monyet yang sedang makan!" Nenek muka hitam tertawa kegirangan sambil
berjingkrak-jingkrak.
"Nenek Keparat! Perbuatanmu ini kelak akan kau sesali seumur hidup!" Salah satu
dari ketiga perempuan yang pipinya biru sembab mengancam nenek muka hitam.
"Eh, betulkah itu..."!" Nenek muka hitam memasang wajah bodoh dan ngeri.
Wajahnya yang sudah jelek
kelihatan semakin jelek.
Sikap nenek muka hitam membuat lawan-lawannya
bungkam. Mereka tidak mau menanggapi. Orang-orang
Ratu Pesolek itu hanya bisa mendengus dan'mengutuk
dalam hati. Kelimanya kemudian bergerak bangkit.
Tampaknya, mereka hendak nekat menghadapi nenek
muka hitam dengan menggunakan tangan kosong.
"Hei, mengapa kalian mendadak bisu seperti kerbau kekenyangan" Hayo, tidak
berani berkelahi lagi?" Nenek muka hitam menantang. Mulutnya tersenyum-senyum
mengejek. Tiba-tiba nenek itu menelengkan kepalanya. Mulutnya dimonyongkan sambil mengangguk-angguk.
Telinganya yang tajam menangkap suara derap orang
berlari menuju ke tempat itu.
"Wah, sayang aku terpaksa meninggalkan permainan yang menyenangkan ini...,"
sesal nenek muka hitam seraya menggelengkan kepalanya "Lain waktu kita ketemu
lagi, ya..."
Usai berkata, nenek muka hitam memutar tubuh dan
berlari meninggalkan tempat itu. Lawan-lawannya hanya bisa saling bertukar
pandang. Mereka tidak berani
mencegah kepergian nenek sinting itu.
Beberapa saat setelah sosok nenek muka hitam
lenyap, muncul ah serombongan pengikut Ratu Pesolek.
Karena nenek muka hitam sudah pergi jauh, kepala
rombongan segera mengajak kelima perempuan itu
kembali ke markasnya.
*** 5 "Gusti Yang Mulia Ratu Pesolek."
Tiga orang perempuan cantik segera menjatuhkan
diri berlutut di atas hamparan permadani. Perempuan cantik yang duduk di atas
singgasana bergagang gading membalas dengan anggukan tipis.
Wanita cantik itu adalah Ratu Pesolek. Tokoh
wanita sesat nomor satu di Pulau Bali. Melihat kulitnya yang masih kencang dan
halus, sungguh sukar dipercaya kalau ia telah berusia seratus tahun lebih!
Bentuk tubuh maupun paras Ratu Pesolek seperti gadis dua puluh
tahunan. Itulah kemukjizatan yang didapat Diah, nama asli Ratu Pesolek, setelah
ia mempelajari Kitab Ilmu Lebah Hitam.
"Ada keperluan apa kalian datang menghadapku
sesore ini?" Ratu Pesolek yang selalu mengenakan pakaian sutera serba merah
menegur ketiga pembaritunya.
"Hamba bertiga mohon ampun, Ratu," Salah seorang dari tiga wanita cantik itu,
yang bermata bulat dan jernih, menghaturkan sembah mewakili kedua kawannya.
Ratu Pesolek hanya bergumam tak jelas. Ia
memberikan isyarat dengan gerakan tangan agar
pembantunya itu segera mengutarakan maksud kedatangannya. "Kami memergoki dua orang lelaki menyelundup
masuk melalui taman belakang, Ratu. Kedua orang itu mempunyai kepandaian tinggi.
Beberapa kawan kami
menjadi korban keganasan mereka. Tapi, sekarang mereka sudah terkepung. Kami
mohon Ratu sudi memberi
petunjuk, apa yang harus kami lakukan terhadap kedua penyelundup itu," lapor
perempuan bermata bulat itu. la kemudian kembali bergerak mundur dan menundukkan
wajahnya, setelah menghaturkan sembah lebih dulu.
"Berapa usia mereka" Dan, bagaimana paras mereka?"
suara Ratu Pesolek terdengar angkuh. Padahal,
pertanyaan itu jelas menunjukkan wataknya yang cabul.


Pendekar Naga Putih 92 Pengantin Ratu Pesolek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka berusia empat puluh dan lima puluh tahun.
Yang lebih muda memiliki bentuk wajah ga.. .
"Cukup!" Ratu Pesolek langsung memotong. "Bunuh mereka!" titahnya kemudian.
"Baik, Ratu.. ."
Ketiga perempuan cantik itu menjawab bersamaan
Mereka bergerak mengundurkan diri dari tempat itu
setelah menghaturkan sembah.
*** Di taman belakang markas Ratu Pesolek tampak dua
orang lelaki tengah berusaha keras melepaskan diri dari kepungan belasan
perempuan cantik. Namun setiap kali mencoba menerobos, mereka terpaksa harus
berlompatan mundur kembali. Ujung-ujung tombak di tangan para
pengepung itu datang mengancam dari sekeliling tubuh mereka.
"Celaka kita, Udayana!" Lelaki berwajah gagah yang tidak lain Narottama mengeluh
cemas. "Sungguh tidak disangka penjagaan di tempat kediaman Ratu Pesolek
ternyata sangat ketat Kemungkinan untuk selamat dari tempat ini jelas sangat
kecil." "Selain itu, lata tidak mungkin melukai perempuan-perempuan ini. Mereka adalah
gadis-gadis tak berdosa yang diperalat Ratu Pesolek. Mereka pasti telah dicekoki
semacam ramuan yang menghilangkan ingatan tentang diri mereka. Dan, hanya
menurut perintah Ratu Pesolek
laknat itu," ujar Udayana yang sudah mengetahui dari mana asal pengjkut-pengikut
Ratu Pesolek. Mereka adalah gadis-gadis yang diculik Ratu
Pesolek, kemudian dijadikan pembantunya. Alasan itu membuat Udayana dan
Narottama tidak sampai hati
melukai gadis-gadis itu. Kalaupun sudah ada beberapa orang yang mereka robohkan,
itu pun tidak sampai
teriuka. Udayana maupun Narottama telah memilih
sasaran yang tepat. Korban-korban serangannya hanya mereka buat tak sadarkan
diri Tapi, kesempatan untuk melakukan hal itu sekarang sudah tertutup. Kedua
lelaki gagah itu menjadi bingung, bagaimana cara menghadapi para pengepungnya.
Tengah Udayana dan Narottama mencari-cari cara
untuk dapat lolos dari kepungan itu, tiga orang
perempuan cantik yang selesai menghadap Ratu Pesolek telah tiba di tempat itu.
Udayana dan Narottama saling bertukar pandang dengan sorot mata gelisah. Mereka
dapat menduga ketiga perempuan yang baru tiba itu
pastilah pembantu-pembantu utama Ratu Pesolek. Dan, mereka sudah
pasti memiliki kepandaian tinggi.
Kedatangan ketiga perempuan itu membuat Udayana dan Narottama semakin merasa
tidak dapat meloloskan diri.
"Biar aku yang menghadapi kedua cecunguk tak
tahu diri itu." Perempuan cantik bermata bulat berkata kepada dua orang
temannya. Lalu, tanpa menunggu
jawaban lagi, tubuhnya segera melayang ke tengah arena.
"Kemani, mundur kau...!"
Selagi tubuh perempuan bermata bulat yang bemama
Kemani melayang di udara, tiba-tiba terdengar bentakan halus dan merdu. Disusul
dengan berkelebatnya sesosok bayangan merah yang rrendahului Kemani. Bayangan
merah itu melayang turun di hadapan Udayana dan
Narottama. Sosok itu ternyata Ratu Pesolek. Rupanya, ia telah berubah pikiran
dan hendak menghadapi sendiri kedua penyelundup itu.
Melihat kemunculan pimpinannya, Kemani yang
sudah menjejakkan kaki di tanah segera bergerak
mundur. "Hm...." Ratu Pesolek menggumam pelan. Ditatapnya wajah Udayana dan Narottama
lekat-lekat. Sikap tokoh wanita sesat itu terlihat sangat tenang. Ia melangkah
mondar-mandir meneliti sosok kedua musuhnya tanpa merasa khawatir akan diserang secara tiba-tiba.
"Atas kehendak siapa kalian datang ke tempat ini?"
tanya Ratu Pesolek setelah puas menaksir-naksir kedua musuhnya.
Udayana dan Narottama terlihat agak gugup. Sorot
mata indah dan paras yang cantik luar biasa, serta bentuk tubuh menggiurkan di
balik pakaian ketat Ratu Pesolek, membuat Udayana dan Narottama kehilangan
suara. Kelihatan sekali betapa kedua lelaki itu terpesona oleh sosok Ratu Pesolek.
Mereka memang sudah mendengar tentang kecantikan Ratu Pesolek. Tapi, sungguh tidak disangka kalau kenyataannya
ternyata jauh lebih cantik dari yang mereka bayangkan. Meskipun usia mereka
sudah cukup tua, namun sebagai laki-laki normal, pesona Ratu Pesolek membuat pikiran mereka
melayang membayangkan yang
tidak-tidak. Melihat kedua musuhnya sangat terpesona dengan
dirinya, Ratu Pesolek tersenyum sinis. Tatapan rtata Narottama dan Udayana yang
seperti harimau lapar itu tentu saja mendatangkan kebanggaan di hati Ratu
Pesolek Itu berarti dirinya masih tetap cantik dan
mempesona. "Kalian tidak pantas menjadi pengantinku! Jadi, sebaiknya buang saja jauh-jauh
pikiran kotor yang ada dalam kepala kalian!"
Suara sinis dan angkuh Ratu Pesolek membuat
kesadaran Udayana dan Narottama tergugah. Wajah
keduanya merah bagai terbakar. U capan Ratu Pesolek seolah menelanjangi hasrat
mereka. "Ratu Pesolek!" Udayana yang sudah mencabut pedangnya, menyilangkan senjata itu
di depan dada. "Kami datang untuk menumpasmu! Bersiaplah...!"
Begitu ucapannya selesai, Udayana menerjang maju
disertai bentakan mengguntur. Senjata di tangannya
"berkelebatan membentuk kilatan-kilatan cahaya putih yang diiringi suara
mengaung tajam. Rupanya, dalam jurus pertama Udayana langsung mengerahkan
Bara Diatas Singgasana 20 Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Tersiksa Seperti Di Neraka 2
^