Pengemban Dosa Turunan 2
Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan Bagian 2
Surni. Sehingga, mereka menerima Surni sebagai wakil dari Elang Laut Utara
selama tokoh sesat itu belum kembali.
*** 5 Saat itu, selagi Wilang berhadapan dengan ketu-
runan Elang Laut Utara, terdengar suara orang ber-
larian mendatangi tempat ini. Hati Wilang bertambah lega ketika tahu kalau yang
datang ternyata rombongan Ki Lunggara.
Baru saja Ki Lunggara hendak mengucapkan sesua-
tu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan kematian yang susul menyusul. Laki-
laki gagah itu kontan menoleh ke arah asal jeritan-jeritan tadi. Demikian pula
Wilang dan kelima orang tokoh yang baru tiba itu. Mereka ju-
ga menoleh ke arah yang sama.
"Aaahhh..."! Apa yang terjadi terhadap mereka...?"
desah Ki Lunggara.
Wajah laki-laki gagah itu pucat saat melihat tiga
orang rekan Wilang menggelepar di atas tanah sambil melolong mengerikan. Jelas,
mereka tengah mengalami suatu penderitaan yang mengerikan!
"Racun Ubur-Ubur Laut...!"
Wilang yang melihat ketiga rekannya tengah meng-
garuki sekujur tubuh, segera saja dapat menebak pe-nyebabnya.
"Hm.... Jadi, racun jahat itu pulalah yang telah menyebabkan kematian Ketua Ular
Perak Jantan...?" desah Ki Lunggara, teringat akan mayat Ular Perak Jantan yang
sekujur kulit dan daging tubuhnya terkelupas.
"Penderitaan mereka harus dihentikan...,"
Tiba-tiba saja, Wilang mendesis sambil melangkah
menghampiri ketiga rekannya yang tengah mengalami
penderitaan mengerikan. Lelaki bertubuh sedang itu terlihat menggigit bibirnya
kuat-kuat, dengan wajah berkerut-kerut seperti tengah menahan perasaan.
"Adi Wilang! Apa yang hendak kau lakukan...?" te-
gur Ki Lunggara.
Dia memang curiga melihat sikap Wilang. Maka se-
gera saja dia berdiri menghadang jalan. Sehingga mau tidak mau, Wilang harus
menghentikan langkah-nya.
"Menyingkirlah, Ki. Apakah kau tega melihat pen-
deritaan rekan-rekan kita...?" tandas Wilang tanpa tekanan. Sedangkan sorot
matanya lurus ke depan, me-
lewati bahu Ki Lunggara. Jelas, Wilang tidak ingin di-halangi.
"Tapi...."
Ki Lunggara yang semakin sadar akan apa yang
hendak dilakukan Wilang, suaranya jadi tercekat di kerongkongan. Lelaki gagah
itu tidak bisa berkata-kata lagi. Memang tidak ada jalan lain yang dapat
dilakukan untuk melenyapkan penderitaan rekan-rekan mereka,
kecuali dengan cara segera membunuh ketiga tokoh
persilatan itu. Tentu saja untuk melaksanakannya,
bukan suatu pekerjaan mudah bagi perasaan mereka.
"Arrrkkkhhh...!"
Raung kesakitan penuh kesengsaraan dari ketiga
orang tokoh itu, kembali merasuki telinga Wilang dan Ki Lunggara. Sementara Ki
Lunggara sendiri tertunduk lesu, tanpa mengerti harus berbuat apa. Sedangkan
Wilang segera melanjutkan langkahnya dengan pedang telanjang.
Dengan wajah tengadah dan sepasang mata dilu-
ruskan ke langit, Wilang berdiri tegak di hadapan ketiga orang rekannya. Pedang
telanjang di tangannya
tampak bergetar keras. Jelas, lelaki itu tengah ber-juang keras mengalahkan
perasaannya. Perlahan-
lahan, pedang berkilat itu terangkat. Dan....
Whukkk! Jrasss! Crasss! Cappp!
"Aaarggghhh...!"
Terdengar lengking kematian yang memilukan sal-
ing susul. Darah segar kontan berhamburan mem-
basahi tanah. Seiring tetesan darah yang jatuh satu persatu dari badan pedang di
tangan Wilang, ketiga sosok tubuh yang tengah sekarat itu pun ambruk hampir
bebarengan. Sebentar mereka kelojotan, lalu diam untuk selamanya. Mati.
"Ooohhh...!"
Empat orang rekan Ki Lunggara, termasuk Langga,
sama-sama memalingkan wajah. Mereka seperti ikut
larut dalam kepedihan hati Wilang yang terpaksa ha-
rus membunuh ketiga rekannya demi menolong dari
penderitaan. "Biadab...! Kucincang tubuh kalian semua, manusia
keji..." Kemarahan dan kesedihan yang meledak-ledak da-
lam dada Wilang, ditumpahkannya kepada delapan
orang lelaki berpakaian hitam yang telah menebarkan racun-racun keji kepada
ketiga rekannya. Empat sosok mayat lawan tidak dipedulikannya lagi. Yang
terlintas dalam pikirannya saat itu hanyalah membunuh lawan
sebanyak-banyaknya untuk menebus nyawa ketiga re-
kannya. "Hm...."
Amukan Wilang seketika membuat delapan orang
sisa pengikut Elang Laut Utara kalang kabut. Dan hal ini juga membuat Surni
menatapnya dengan kilatan
mata tajam. Sesaat kemudian, tubuh rampingnya telah melesat ke arena
pertempuran. "Hiaaahhh...!"
Begitu tiba, Surni langsung melontarkan serang-
kaian pukulan maut dari jurus 'Elang Sakti' warisan ayahnya. Tentu saja hal ini
membuat Wilang kelaba-kan! Apalagi, tenaga yang mengiringi sambaran cakar elang
gadis remaja itu demikian kuat dan mengejutkan. Sehingga dalam beberapa jurus
saja, Wilang hanya bermain mundur saja.
Ki Lunggara melihat betapa Wilang terdesak hebat
oleh gempuran seorang gadis remaja, maka tentu saja dia menjadi terkejut bukan
main. Sadar kalau rekannya tidak segera ditolong bisa celaka. Sehingga, langsung
saja Ki Lunggara melesat ke arena pertempuran, seraya melontarkan serangan-
serangan cepat untuk
membendung serangan gadis remaja itu.
Plakkk! Plakkk!
"Aaahhh..."!"
Dua kali tamparan Ki Lunggara yang dilontarkan
lewat pengerahan tenaga dalam tinggi, bertumbukan
dengan serangan Surni. Seketika terdengar ledakan
yang cukup keras! Tapi hal itu justru membuat Ki
Lunggara memekik kaget, ketika telapak tangannya terasa panas. Bahkan kuda-
kudanya pun ikut pula ter-
gempur! "Gila..."! Siapa sebenarnya gadis muda itu..." Ke-
pandaiannya hebat sekali. Rasanya sangat sulit untuk menundukkannya dalam waktu
singkat...," desah Ki
Lunggara sambil menatap tajam wajah dara remaja
cantik itu. Ia benar-benar kagum. Dalam usianya yang masih
sangat muda, gadis itu telah berhasil menghimpun kekuatan tenaga sakti yang
mungkin tidak di bawah tenaga dalamnya. Bahkan bisa jadi jauh lebih kuat dari
padanya. Namun, Ki Lunggara tidak dapat berpikir lebih lama lagi. Masalahnya, Wilang yang
masih terus digempur Surni segera berseru mengingatkan rekannya. Dia
memang sempat mendengar gumaman yang keluar da-
ri mulut Ki Lunggara.
"Jangan heran, Ki. Gadis itu putri Elang Laut Uta-
ra...!" seru Wilang yang saat itu tengah bergerak ke kanan mendekati Ki
Lunggara. Maksudnya tentu saja
dapat ditebak. Wilang ingin mengajak Ki Lunggara untuk menggempur Surni.
"Hm.... Pantas, kepandaiannya demikian tinggi. Ki-
ranya ia pewaris Elang Laut Utara. Tidak heran...," desis Ki Lunggara yang
segera saja mencabut pedang-
nya, setelah mengetahui siapa adanya gadis remaja itu.
"Kalau begitu, gadis itupun harus dilenyapkan. Biarlah, dia yang memikul semua
dosa yang telah dilaku-
kan Ayahnya...."
Usai berkata demikian, Ki Lunggara segera melesat
menggempur Surni. Sementara pada saat itu, Wilang
yang benar-benar sudah kehabisan akal dalam meng-
hadapi gempuran lawan, terpaksa bertindak nekat.
Sadar kalau untuk dapat mengalahkannya adalah sua-
tu hal yang mustahil, maka Wilang kali ini tidak berusaha menghindari serangan
Surni. Senjatanya segera diputar, membentuk gulungan sinar yang membenten-gi
sekujur tubuhnya. Kemudian, dicobanya untuk bertahan dengan benteng sinar pedang
itu. Sayangnya, Surni tidak kehilangan akal. Pengala-
man yang didapatnya selama perjalanan maupun di
dalam Pulau Elang Hitam, membuatnya mulai bisa
menilai keadaan. Maka ketika melihat tindak upaya
Wilang, gadis remaja itupun segera mencecar dengan pukulan-pukulan jarak jauh.
Whuuuk...! Deeebbb! Deeebbb! "Akkkhhh...!"
Karuan saja Wilang yang kekuatan tenaga dalam-
nya memang kalah jauh langsung terjengkang ketika
pukulan-pukulan jarak jauh yang dilontarkan Surni
membentur benteng sinar pedangnya. Dan kalau saja
Ki Lunggara tidak segera menolongnya, mungkin tu-
buhnya akan terbanting di atas tanah.
"Terima kasih, Ki...," ucap Wilang.
Napas laki-laki bertubuh sedang itu tampak mem-
buru dan wajahnya agak pucat. Bahkan pada sela-sela bibirnya tampak ada cairan
merah meleleh. Jelas, Wilang menderita luka akibat pukulan-pukulan yang
dilontarkan Surni tadi.
"Aaakkkhhh...!"
Jerit kematian dari arena pertempuran yang berada
beberapa tombak di belakang membuat terkejut Wilang dan Ki Lunggara. Cepat
mereka menoleh, memastikan
jerit kematian tadi. Dan untuk kesekian kalinya, kedua orang lelaki gagah itu
kembali dilanda rasa geram serta penasaran! Dan ternyata, empat orang rekan
mereka terlihat menggelepar terkena 'Racun Ubur-Ubur Laut'.
"Bedebah...!"
Hampir berbarengan, Ki Lunggara dan Wilang men-
desis geram. Namun pada saat hendak melompat ke
arah keempat rekan mereka, gadis remaja ber-
kepandaian tinggi itu sudah bergerak lebih dulu dan berdiri menghadang jalan.
"Biarkan mereka dengan kesenangannya sendiri.
Urusan kita di sini belum selesai...," ujar Surni dengan tatapan mata sedingin
es. Sehingga, kedua orang tokoh persilatan itu menjadi jengkel.
"Keparat kau, Iblis cilik! Kau benar-benar menuruni sifat jahat Ayahmu.
Seharusnya kau memang dilenyapkan agar tidak membuat keresahan di kemudian
hari...!" Sambil berkata demikian, Ki Lunggara memutar pe-
dangnya sekuat tenaga. Melihat dari sikapnya, jelas kalau orang tua itu siap
bertarung mati-matian!
"Wilang...," sebelum menerjang Surni, Ki Lunggara
mendekat dan berbisik kepada rekannya dengan tata-
pan tetap lurus ke wajah Surni, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan. "Jika aku
sudah mulai berge-
rak menerjang iblis cilik itu, tinggalkanlah pulau celaka ini. Kalau tidak,
kawan-kawan kita di daratan sana nanti bakal celaka, apabila gadis itu sampai
meninggalkan tempat ini. Jangan bantah ucapanku! Semua
ini kulakukan demi kita semua...!"
Wilang hanya terpaku pucat mendengar permintaan
Ki Lunggara. Namun karena disadari ada kebenaran
pada ucapan lelaki gagah itu, maka Wilang tidak
membantah. Dan ketika Ki Lunggara melesat ke arah
Surni dengan pekikan keras, Wilang pun ikut melesat meninggalkan pulau itu.
"Yiaaahhh...!"
Bweeettt! Swinggg!
Ki Lunggara menerjang dengan serangkaian sam-
baran pedangnya, untuk mengalihkan perhatian Surni dari Wilang. Usahanya memang
tidak sia-sia. Untuk
beberapa saat lamanya, Surni mau tidak mau memang
harus menghadapi sambaran pedang lawan yang se-
perti hendak merencah dirinya.
Surni benar-benar telah jauh berubah dalam bebe-
rapa hari ini. Gadis remaja itu tidak lagi merasa khawatir, meskipun kilatan
pedang lawan seperti mengu-rungnya. Keyakinan terhadap ilmu-ilmu warisan orang
tuanya, membuatnya tidak gugup walau menghadapi
serangan sehebat apapun.
Begitupun dalam menghadapi gempuran Ki Lung-
gara. Dengan menggunakan geseran-geseran ringan,
gadis remaja itu selalu saja berhasil menghindari sambaran pedang lawan. Bahkan
setelah beberapa jurus, sudah bisa melontarkan serangan sesekali. Malah,
serangannya terus semakin dipergencar. Sehingga, kini Ki Lunggara lah yang
menjadi kewalahan.
"Heeeaaahhh...!"
Pada suatu kesempatan, Surni tiba-tiba menge-
luarkan bentakan keras! Dan berbarengan dengan itu, tangan kanannya terulur
melepaskan sebuah pukulan
maut! Ki Lunggara yang memang sudah tidak bisa
mempertahankan dirinya lagi, tak sempat lagi meng-
hindari. Dan....
Beggg! "Huakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, kepalan mungil itu telah meng-
hajar dada Ki Lunggara! Tubuh lelaki gagah itu ter-
jengkang ke belakang disertai semburan darah segar dari mulutnya! Kemudian,
tubuhnya terhuyung limbung hingga satu setengah tombak lebih jauhnya.
Surni sendiri tidak mau bertindak kepalang tang-
gung. Saat itu juga, tubuhnya melesat melepaskan sebuah tendangan terbang!
"Yeaaa...!"
Deeesss...! Ki Lunggara menjerit ngeri! Tubuhnya kontan ter-
pental deras bagai dilemparkan tangan raksasa yang tak tampak, kemudian terus
melaju membentur dind-ing karang. Tanpa ampun lagi, remuklah tubuh lelaki gagah
yang malang itu. Ki Lunggara tewas dengan tubuh hampir hancur!
"Hm...," Surni hanya bergumam sambil meng: ulas
senyum iblis. Sejenak ia menoleh ke arah pembantu-pembantu
ayahnya yang telah tidak tampak lagi, karena tengah melakukan pengejaran
terhadap Wilang. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Surni bergerak meninggalkan
tempat itu. *** Lelaki berperawakan sedang itu dan berusia sekitar
empat puluh tahun, mendayung perahunya sekuat te-
naga. Sehingga, perahu yang ditumpanginya melaju
cepat membelah air laut. Siapa lagi lelaki itu kalau bukan Wilang yang melarikan
diri ke daratan.
Beberapa belas tombak di belakang Wilang, tampak-
lah dua buah perahu lain yang masing-masing ditum-
pangi empat orang lelaki berseragam hitam. Melihat adanya lelaki tinggi besar
berwajah brewok yang me-
mimpin orang-orang itu, jelaslah sudah kalau mereka adalah orang-orang Pulau
Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Elang Hitam. Me-reka memang tengah melakukan pengejaran terhadap Wilang.
Wilang sendiri terus mengayuh perahunya mati-
matian. Untunglah tenaga dalamnya kuat, sehingga jaraknya semakin bertambah jauh
dari para penge-
jarnya. Sayangnya, Wilang hanya seorang manusia biasa yang mempunyai
keterbatasan. Sehingga pada saat tenaganya mulai melemah, jarak di antara mereka
pun bertambah dekat. Apalagi, para pengejarnya berjumlah banyak dan mendayung
secara berganti-ganti.
Sadar kalau jaraknya semakin bertambah dekat,
maka Wilang mengempos semangatnya. Kembali pera-
hunya didayung mati-matian. Begitu tiba di daratan, ia langsung melompat dan
berlari dengan langkah terhuyung-huyung.
"Kejar...! Bunuh orang itu...!"
Lelaki tinggi besar berwajah brewok yang memimpin
pengejaran itu langsung saja melompat ke air. Meskipun perahunya masih beberapa
tombak lagi dari pan-
tai, sama sekali tidak dipedulikannya. Sehingga, kawan-kawannya pun ikut
berlompatan dan mengejar
Wilang. Sambil berteriak-teriak ribut untuk melemaskan
semangat lawan, lelaki brewok itu memimpin kawan-
kawannya mengejar Wilang. Sehingga dalam waktu
yang tidak terlalu lama, jarak di antara mereka hanya tinggal tiga tombak lagi.
"Heeeaaa...!"
Ketika jaraknya semakin bertambah dekat, lelaki
brewok itu tiba-tiba berteriak sambil melemparkan pisau-pisau terbang untuk
menewaskan buruannya!
Ziiing! Ziiinggg!
Suara berdesing tajam merobek udara, seketika
membuat Wilang sadar kalau dirinya berada dalam ancaman maut! Maka, meskipun
tubuhnya sangat lemah,
dia berusaha menghindar dengan melompat ke bela-
kang! Cappp! "Aaakhhh...!"
Wilang menjerit kesakitan ketika kaki kanannya ter-tancap sebilah pisau terbang
lawan. Gerakannya yang jelas telah jauh berkurang, membuatnya tidak sanggup lagi
menyelamatkan diri dari salah sebuah pisau yang dilepaskan lelaki brewok itu.
Akibatnya, begitu turun, Wilang langsung terjatuh menimbulkan suara berdebuk
keras. "Hua ha ha...!" lelaki brewok itu tertawa terbahak-bahak melihat Wilang sudah
hampir tidak berdaya.
Langsung saja Wilang itu jadi terkurung oleh dia dan rekan-rekannya.
"Bangsat keji...!"
Meski telah terkepung dan tidak mungkin dapat se-
lamat, Wilang sama sekali tidak gentar. Dengan sorot mata tajam berkilat,
bibirnya mendesis memaki lawan-lawannya. Sehingga, lelaki brewok itu jadi sempat
berang. "Setan! Kau memang perlu diberi sedikit pelaja-
ran...!" Sambil menggeram marah, lelaki brewok itu men-
gayunkan kakinya langsung dihantamnya tubuh Wi-
lang yang terlihat hendak bangkit!
Buuukkk! "Uuuggghhh...!"
Wilang memekik dengan tubuh sedikit terangkat
akibat kerasnya tendangan lawan. Darah segar segera mengucur dari sudut
bibirnya. Juga, terdengar erangan lirih dari mulurnya. Kini Wilang sibuk memijat
kaki dan lambungnya yang sama-sama terasa sakit.
"Hm.... Bangkitlah, orang gagah! Apakah golongan
pendekar memang terdiri dari orang-orang ce-
ngeng...?"ejek lelaki brewok itu dengan kata-kata tajam dan menyakitkan.
Sehingga, meskipun saat itu Wilang merasakan se-
kujur tubuhnya sakit-sakit, ia berusaha bangkit. Ingin ditunjukkannya kalau
golongan putih bukanlah orang-orang cengeng dan lemah seperti yang dikatakan
lelaki brewok itu.
"Bagus...," puji lelaki brewok itu dengan senyum
sangat menyakitkan.
Ia bergerak maju dua tindak, kemudian siap meng-
ayunkan pukulan ke wajah Wilang yang berdiri tidak tetap, karena kedua kakinya
memang dirasakan bagaikan tidak memiliki tulang lagi.
"Tahan...! Menyiksa seorang lawan yang sudah ti-
dak berdaya, bukanlah suatu perbuatan terpuji...."
Tiba-tiba saja, saat pukulan lelaki brewok itu siap menghajar wajah Wilang,
terdengar teguran halus namun mengandung perbawa amat kuat. Maka, baik Wi-
lang maupun lawan-lawannya sama-sama menoleh ke
arah datangnya suara teguran tadi.
*** 6 Wilang dan kedelapan orang lelaki berseragam hi-
tam itu sama-sama menatap heran. Dari arah asal suara, muncullah seorang pemuda
tampan yang memi-
liki senyum penuh kesabaran. Sepasang matanya yang bulat, tampak memancarkan
sinar berkilat. Sehingga,
membuat orang bergetar apabila bertatapan dengan-
nya. Penampilannya terlihat demikian sederhana. Ju-bahnya berwarna putih,
melekat di tubuhnya. Perawakannya pun tidak terlalu kekar, namun terlihat padat
Bahkan seperti menyembunyikan kekuatan menggetarkan. Dan karena penampilannya
terkesan ramah dan lembut, maka pandangan kesembilan orang lelaki itupun terlihat sedikit
melecehkan. Tetapi begitu melihat sosok lain yang berada di sebelah kanan pemuda tampan itu,
maka tatapan men-
gejek mereka berubah seketika! Bahkan sama-sama
membelalakkan mata!
"Siapa..., kalian...?" tegur lelaki brewok itu begitu dapat menguasai
keterpanaannya terhadap dara jelita berpakaian serba hijau.
"Hm.... Kami berdua adalah perantau yang kebetu-
lan lewat di tempat ini. Dan karena kalian telah men-ganiaya orang tak berdaya,
tentu saja kami tidak bisa berdiam diri. Itu sama saja tindakan tak berperi-
kemanusiaan, maka harap sobat sudi melepaskan le-
laki itu...," jawab pemuda tampan berjubah putih itu, ringan dan tenang.
Sehingga, si brewok dan kawan-kawannya saling bertukar pandangan penuh kehera-
nan. "Hm...," gumam lelaki brewok sambil menatap wa-
jah sepasang anak muda itu.
Jelas, ia tengah menilai pasangan itu. Apalagi, ketika matanya kembali melahap
wajah dara jelita berpakaian hijau. Maka, hatinya pun semakin kuat men-
duga kalau mereka pasti bukan orang sembarangan.
Sebab bukan mustahil pemuda itu akan aman dengan
gadis cantik di sampingnya dalam perantauannya. Dan tentu telah banyak penjahat
yang telah ditaklukkan-nya, karena berani mengganggu gadis di sampingnya.
Mendadak saja, lelaki brewok itu menotok lumpuh
tubuh Wilang. Kemudian, diberikannya isyarat terhadap ketujuh orang kawannya
untuk mengurung pasa-
ngan anak muda itu. Rupanya, nafsu birahi lelaki brewok itu sudah bergejolak
melihat gadis jelita di depannya. Pikiran untuk memiliki, membuatnya segera saja
melumpuhkan Wilang. Kemudian, dia ikut ber-gerak
mengepung pasangan muda itu.
"Hm...."
Pemuda tampan berjubah putih itu terlihat hanya
tersenyum menyaksikan tingkah calon lawan-lawan-
nya. Melihat dari cara mereka memandang yang ter-
tuju ke arahnya, mengertilah pemuda itu kalau mereka ingin merebut gadis cantik
di sampingnya. Itulah yang membuatnya tersenyum.
"Kakang, serahkan mereka padaku...," ujar gadis
berpakaian hijau di samping pemuda itu.
"Hm.... Menyingkirlah, Kenanga. Untuk kali ini, biar aku yang akan memberi
pelajaran...," jawab pemuda
tampan berjubah putih itu dengan suara lembut Nada suaranya jelas menyembunyikan
ketegasan yang tidak bisa dibantah. Sehingga, dara jelita yang dipanggil Kenanga
itu bergerak menyingkir. Dan sudah pasti, pemuda tampan itu adalah Panji, yang
berjuluk Pen- dekar Naga Putih.
"Heeeaaa...!"
Baru saja dara jelita itu bergerak mundur, salah
seorang dari pengepungnya telah berseru untuk me-
mulai serangan. Tubuhnya meluncur ke depan, den-
gan tusukan pedang yang mengancam tubuh Panji.
Pendekar Naga Putih sendiri sama sekali tidak be-
rusaha bergerak dari tempatnya berdiri. Tubuhnya
hanya meliuk sedikit, ketika ujung pedang lawan datang mengancam. Dan begitu
lewat satu jari di sisi tu-
buhnya, tangan Panji langsung saja mencekal per-
gelangan yang memegang pedang!
Clappp! "Uuuhhh...!"
Gerakan Panji yang memang demikian cepat, mem-
buat lawan tidak sempat lagi melihat Lelaki berse-
ragam hitam itu tentu saja kaget bukan main, ketika tahu-tahu pergelangan
tangannya telah tercekal lawan.
Dan sebelum sempat disadari, tahu-tahu saja tubuh-
nya terasa seperti terbang ke atas sebuah pohon.
Gusraaakkk! "Tolooong...!"
Lelaki berseragam hitam itu berteriak-teriak minta tolong, ketika tubuhnya
tersangkut di salah satu ranting pohon.
"Keparat...!"
Lelaki brewok yang bertubuh tinggi besar itu meng-
geram marah melihat kawannya diperlakukan demi-
kian. Dengan teriakan nyaring, tubuhnya lang-sung
melesat diiringi sambaran pedangnya. Serangan-nya
diikuti pula oleh keenam kawannya yang lain.
"Yeaaahhh...!"
Beeettt! Beeet! Beeet!
Ketujuh batang pedang lelaki berseragam hitam itu
menyambar mengincar tubuh Pendekar Naga Putih.
Namun dengan ringannya, tubuh Panji bergerak kian
kemari di antara sambaran sinar pedang pengeroyoknya. Sehingga, tak satu pun
senjata lawan yang mam-pu melukai tubuhnya. Bahkan untuk menyentuh ju-
bahnya pun tidak mampu. Tentu saja, kenyataan itu
membuat para pengeroyoknya menjadi semakin pena-
saran. Namun, Pendekar Naga Putih tidak mau berlama-
lama dalam menghadapi mereka. Ketika merasa telah
cukup, mulai dilepaskannya tamparan-tamparan ke
arah para pengeroyok. Karuan saja, keadaan langsung berubah. Bahkan para
pengeroyok itu semakin bertambah terkejut!
Tanpa dapat dicegah lagi, satu persatu para penge-
royok mulai berjatuhan. Dan dalam waktu singkat,
hanya tinggal lelaki brewok itu yang masih bertahan.
Itupun nampak sudah tidak mungkin bertahan lama.
Buktinya, kini tamparan yang dilontarkan Panji sangat sulit dihindari. Hingga,
akhirnya.... Whuuut... Plakkk!
"Aaakkkhhh...!"
Tamparan yang cukup keras dan cepat, telah
menghantam sisi kepala lelaki brewok itu. Tanpa ampun lagi, tubuhnya yang tinggi
besar berputar bagaikan gangsing. Dan tidak lama kemudian, dia ambruk
ke tanah. Kepala laki-laki itu kontan terasa pusing, dan perut terasa mual.
"Hm.... Pergilah!. Aku tidak punya urusan pribadi dengan kalian, dan kuharap
jangan mengulangi perbuatan-perbuatan jahat seperti ini lagi...," ujar Pendekar
Naga Putih dingin dan menggetarkan.
Setelah berkata demikian, Panji melangkah meng-
hampiri Wilang yang kali ini menatap penuh kekagu-
man. Namun, si brewok rupanya masih belum menerima
kekalahannya. Dengan gerak perlahan, lelaki tinggi besar itu bangkit berdiri.
Dengan licik, tubuhnya melesat sambil mengayunkan senjatanya ke leher pemuda
itu, hendak membokong lawannya.
"Kakang awaaas...!"
Kenanga yang sempat melihat perbuatan lelaki bre-
wok itu, hanya bisa memperingatkan kekasihnya. Si-
kapnya hanyalah merupakan kekhawatiran seorang
wanita terhadap keselamatan pemuda yang disayangi-
nya. Meskipun, hal itu sebenarnya tidak perlu. Apalagi, buat Pendekar Naga Putih
yang kepandaiannya sudah
sangat tinggi. Suara desingan pedang jelas tertangkap oleh telinga Pendekar Naga Putih.
Jangankan, suara sambaran pedang yang sekeras itu. Bahkan yang sepuluh kali
lebih halus pun masih dapat tertangkap oleh indra penden-garannya!
Beeeuuuttt! Panji menundukkan kepala sambil memasang ku-
da-kuda rendah. Hatinya sempat merasa geram meli-
hat kelicikan lawannya. Maka begitu mata pedang lewat, cepat dia berbalik dan
langsung menggedor dada lawan dengan telapak tangan terbuka!
Blaaaggg...! "Hukhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi besar itu langsung
saja tersentak deras ke belakang. Darah segar kontan menyembur keluar dari
mulutnya. Kemudian, tubuh si brewok jatuh berdebuk nyaring, dan tak bergerak-
gerak lagi. Tampaknya dia telah tewas akibat hantaman telapak tangan Panji tadi.
Melihat pimpinannya tewas hanya sekali pukul, tu-
juh orang berseragam hitam lainnya sama-sama ter-
belalak dengan wajah pucat! Kemudian, berlangsung-
lah peristiwa yang sama sekali tidak diduga Pendekar Naga Putih!
"Heaaahhh...!"
Orang pertama yang mengambil senjata dari atas
tanah, membentak keras. Kemudian, dia menggorok
lehernya sendiri. Darah segar kontan memancur deras dari sayatan mata pedang.
Setelah menggelepar sesaat, orang itu pun ambruk dengan napas putus!
Kematian orang yang menggorok urat nadi di leher-
nya sendiri, masih disusul enam orang lainnya. Mereka seperti telah sepakat
membunuh diri, setelah melihat kematian pemimpinnya.
Tentu saja kejadian itu membuat Panji terkejut, dan tidak mampu mencegah. Selain
jarak terpisah cukup
jauh, orang-orang berseragam hitam itu memang telah meletakkan mata pedang di
kulit lehernya.
"Hm,... Bagus, mereka telah mengambil keputusan
sendiri...," terdengar gumaman Kenanga yang mem-
buat Panji tersentak dari lamunan. Terdengar helaan napas berat Pendekar Naga
Putih ketika melanjutkan langkahnya menghampiri Wilang.
*** Panji segera memeriksa luka di kaki kanan Wilang,
setelah membebaskan totokannya. Kemudian, ditabur-
kannya obat bubuk pada luka yang terkena pisau terbang tadi. Sedangkan untuk
luka-luka memar akibat
siksaan lawan, Panji memberikan sebuah obat pulung berwarna putih.
"Terima kasih, Kisanak. Entah apa jadinya kalau
saja kau tidak keburu datang menolong. Mudah-
Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mudahan, di satu hari kelak aku bisa melunasi hutang budi ini...," ucap Wilang
sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
Lelaki itu diam-diam kagum terhadap kemanjuran
obat yang diberikan Panji. Hanya saja, Wilang sama sekali tidak mengucapkannya.
Hanya gerak dan wajahnya saja yang jelas-jelas mencerminkan kalau kesehatannya
sudah mulai pulih.
"Tidak perlu merasa berhutang budi, Kisanak. Aku
sendiri hanya kebetulan lewat. Jadi, rasanya tidak perlu membalasnya...," tukas
Pendekar Naga Putih mem-
balas hormat sambil tersenyum. Dan justru, sikap itu semakin menimbulkan rasa
hormat di hati Wilang. Dia sampai bingung, harus berkata apa. Hanya pancaran
wajahnya saja yang mencerminkan rasa hormat-nya.
"Kalau boleh ku tahu, apa sebenarnya yang telah
terjadi...?" tanya Panji.
Semenjak tadi, Pendekar Naga Putih memang me-
rasa penasaran setelah menyaksikan orang-orang berseragam hitam itu melakukan
bunuh diri secara berturut-turut. Maka ingin diketahuinya latar belakang
kejadian yang sebenarnya.
Wilang tentu saja tidak berkeberatan untuk men-
ceritakan kejadian yang dialaminya. Namun, sebelum lelaki itu sempat bercerita,
tiba-tiba terdengar lengki-ngan panjang yang mengandung kemarahan. Serentak,
Panji, Wilang, dan Kenanga sama-sama menolehkan
kepala memandang ke satu arah.
"Kurang ajar...! Siapa yang telah berani mati mem-
bantai murid-murid Ayahku" Hayo, jawab"! Kalau ti-
dak, nyawa kalian bertiga yang akan menjadi ganti-
nya...!" bentak seorang gadis berparas cantik dan manis. Sepasang matanya yang
bulat, menyorot tajam ke arah tiga wajah di depannya. Terlihat api kebencian
terpancar di sepasang matanya.
Kenanga yang merasa tertantang oleh kata-kata ka-
sar gadis remaja itu, langsung saja bergerak bangkit.
Bahkan dengan sorot mata tidak kalah tajam dan me-
nakutkan. Dihadapinya dara remaja itu sambil berka-cak pinggang.
"Hei, nenek-nenek bawel! Mengapa berteriak-teriak
tanpa sebab di tempat ini" Apakah kehilangan sirih?"
tanya Kenanga. Melihat dari ucapannya jelas-jelas Ke-
nanga merasa jengkel terhadap dara yang begitu da-
tang langsung marah-marah.
Lain halnya Wilang. Ternyata, nyalinya langsung
ciut begitu mengenali dara remaja itu. Perlahan dia be-ringsut mundur menjauhi
gadis yang ternyata putri
Elang Laut Utara. Dan rupanya, gadis itu telah tiba pula di tempat ini. Bagi
Wilang yang kenal tentu saja tidak aneh melihat gadis itu begitu datang langsung
marah-marah. Tentu saja, gadis remaja itu pasti menyangka kalau murid-murid
ayahnya telah dibunuh
mereka. Sehingga, Wilang yang sudah merasakan ke-
hebatan gadis remaja itu berniat hendak menghindar.
Paling tidak, agar tidak sampai terkena amarah gadis remaja yang berkepandaian
tinggi itu. Pendekar Naga Putih sendiri langsung sudah bisa
menduga hubungan antara gadis remaja itu dengan
orang-orang berseragam hitam yang telah bunuh diri.
Tentu saja semua itu diketahui dari ucapan-ucapan-
nya yang baru saja dilontarkan tadi. Maka, Pendekar Naga Putih segera saja
bangkit agar tidak terjadi per-tumpahan darah di antara kedua orang gadis itu.
Sedangkan putri Elang Laut Utara yang bernama
Surni tentu saja semakin mengkelap marah dimaki-
maki seperti itu. Dengan bergetar, jari telunjuknya di-tudingkan ke wajah
Kenanga. "Setan! Siapa kau"! Apakah kau yang telah mem-
bela keparat busuk itu dan membantai murid-murid
Ayahku" Kalau begitu, kau harus bertanggung jawab
atas nyawa mereka...!" dengus Surni sambil menoleh ke arah Wilang yang makin
ciut nyalinya. Sebenarnya rasa takut yang dialami Wilang, bukan
karena takut. Justru rasa khawatir akan keselamatan kawan-kawannyalah, yang
membuatnya jadi takut.
"Nisanak! Bersabarlah sedikit...," Panji segera saja
menimpali ketika melihat gadis remaja itu sudah siap menyerang Kenanga. "Harap
kau ketahui, kematian
orang-orangmu itu sebenarnya karena mereka telah
bunuh diri. Semua itu dapat dilihat dari senjata-
senjata yang bergeletakan di dekat mayat mereka."
Surni menoleh ke arah Panji, menatap penuh seli-
dik. Kilatan kekaguman terlihat, meskipun hanya sekilas memancar di mata gadis
remaja itu. Kemudian,
terdengar suaranya tanpa menoleh ke arah mayat mu-
rid-murid ayahnya.
"Alasan! Pasti kau ingin membela kekasihmu yang
cantik jelita ini, bukan" Pantas saja! Apalagi, tampaknya kekasihmu itu cukup
cantik dan genit," dengus Surni.
Entah mengapa, tiba-tiba saja Surni merasa panas
hatinya melihat pemuda tampan berjubah putih itu
berdiri di pihak lawan. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, ucapan-ucapannya
keluar begitu saja. Padahal, jelas kata-katanya mengungkapkan apa yang
terkandung dalam hatinya saat itu. Dan, Kenanga yang langsung dapat menangkap
maksudnya jadi tersenyum si-
nis. "Hm..., tentu saja akulah yang akan dibelanya. Apa kau cemburu" Sayang sekali.
Carilah laki-laki lain agar kelak ada orang yang membelamu...."
Tanpa peduli perasaan Surni, Kenanga langsung sa-
ja memojokkannya dengan ucapan yang tajam dan te-
pat. Akibatnya, wajah Surni memerah karena rahasia hatinya dapat diketahui gadis
jelita berpakaian hijau itu. "Keparat! Apa kau kira aku naksir dengan
kekasihmu"! Huh! Mulutmu jahat sekali, dan perlu diberi pelajaran!"
Setelah berkata demikian, Surni segera saja melesat
menerjang Kenanga!
*** 7 "Hiaaattt..!"
Surni yang merasa terhina oleh ucapan Kenanga,
langsung saja melancarkan serangkaian pukulan dan
tendangan yang menimbulkan angin berkesiutan. Nya-
ta sekali sifat kejam gadis remaja itu. Dalam serangan pertama saja, pukulan-
pukulan dan tendangannya telah terisi oleh hawa maut Sehingga, Pen-dekar Naga
Putih sendiri sempat mengerutkan kening-nya melihat keganasan gadis remaja itu.
Kenanga tentu saja tidak tinggal diam, dan segera
mengimbangi dengan jurus-jurus andalannya. Apalagi, sekali mendengar angin
pukulan lawan, segera saja
dapat dinilainya kehebatan tenaga sakti yang dimiliki Surni. Jelas, Kenanga
tidak mau tanggung-tanggung
lagi. "Haiiittt..!"
"Heaaattt..!"
Kedua orang wanita itu saling terjang menggunakan
jurus-jurus ampuhnya. Tubuh mereka berkelebatan
menyerupai dua sosok bayangan samar yang saling libat, teriakan dan sambaran
angin pukulan menderu
tajam. "Hebat... Siapa sebenarnya gadis remaja itu" Kepandaiannya sangat tinggi dan
ganas. Ilmu-ilmu yang dimilikinya jelas-jelas dari aliran hitam. Entah, murid
siapa gadis remaja itu...?" desis Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya merasa kagum me-
lihat gadis remaja itu sanggup menghadapi Kenanga
dalam dua puluh jurus lebih. Padahal, kepandaian Kenanga sendiri sudah sangat
tinggi, dan jarang tandi-ngannya.
Sedangkan Wilang sudah bergerak semakin men-
jauhi tempat itu. Lelaki yang usianya hampir separuh baya ini sepertinya telah
bertekad meninggalkan tempat itu untuk mengabarkan kepada kawan-kawannya
tentang kemunculan seorang gadis remaja keturunan
Elang Laut Utara. Namun, ketika Wilang membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan
tempat itu, ia terkejut bukan main. Ternyata pada saat berbalik, tubuhnya
hampir bertabrakan dengan sosok berjubah putih.
"Aaahhh"!"
Wilang langsung melompat mundur, dan bersiap
menyerang. Tapi ketika mengenali sosok berjubah putih itu, hatinya kontan merasa
takut, heran, dan ngeri.
Ternyata, sosok berjubah putih itu tak lain dari Pendekar Naga Putih.
"Panji..."!" desis Wilang.
Laki-laki itu hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Padahal sebelum
berbalik tadi, jelas-jelas Panji terlihat masih berdiri membelakanginya sambil
menyaksikan pertarungan. Untuk memastikannya, Wilang mencoba menoleh ke
belakang. Namun, sosok
pemuda berjubah putih itu memang sudah tidak ada
lagi di tempatnya semula. Tentu saja kenyataan itu membuat Wilang bergidig.
Selama hidupnya, belum
pernah ia menyaksikan atau mendengar kehebatan il-
mu meringankan tubuh yang telah begitu tinggi.
"Mengapa hendak pergi secara diam-diam, Wi-
lang..." Apakah hendak melarikan diri dari kesala-
han...?" tegur Pendekar Naga Putih dengan suara ber-wibawa. Sehingga, Wilang
sempat gugup oleh perta-
nyaan pemuda itu.
"Sungguh, Panji. Aku sama sekali tidak salah. Kalau kau ingin tahu, gadis remaja
itu adalah keturunan
Elang Laut Utara. Beberapa hari yang lalu, ayahnya telah membunuh ketua
perguruan kami yang berjuluk
Sepasang Ular Perak. Begitu kami menemukan mayat-
nya, Elang Laut Utara telah lenyap entah ke mana per-ginya. Lalu aku dan
sembilan orang tokoh lain mendatangi pulau tempat tinggal Elang Laut Utara.
Tapi, semua kawanku telah dibantai secara keji oleh iblis beti-na itu bersama
pengikutnya. Hanya aku sendiri yang selamat. Lalu, aku melarikan diri untuk
mengabarkan kawan-kawan yang lain, agar tidak sampai celaka di tangan gadis
iblis itu. Hal ini kulakukan, karena selain aku, tidak ada seorang pun yang tahu
kalau Elang Laut Utara mempunyai seorang pewaris yang tidak kalah kejam...," jelas Wilang
panjang lebar kepada Panji dengan terpaksa, karena tidak ingin dituduh yang
bukan-bukan. "Maaf, Wilang. Kalau memang demikian, tentu saja
aku tidak bisa mencegahmu. Silakan...," ucap Panji seraya memberi jalan kepada
lelaki gagah itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Wilang segera
bergegas meninggalkan tempat itu.
"Sekali lagi, terima kasih atas pertolonganmu, Pan-ji...," ucap Wilang sebelum
tubuhnya lenyap di kejau-han.
Lelaki gagah bertubuh sedang itu sama sekali tidak tahu kalau pemuda tampan yang
dihadapinya adalah
Pendekar Naga Putih. Panji sejak tadi memang belum menunjukkan 'Tenaga Gerhana
Bulan'nya. Dan lagi,
dia dan Kenanga juga tidak memperkenalkan diri ke-
pada Wilang. *** Sepeninggal Wilang, Panji kembali mengalihkan per-
hatian ke arena pertarungan. Saat itu tampak Kenanga sudah mulai mempergencar
serangan-serangannya.
Maka meskipun Surni mencoba bertahan, tetap saja
dapat didesak gadis jelita itu. Selain lebih berpengalaman, kepandaian Kenanga
juga masih berada di atas lawannya.
"Hiaaattt.!"
Dalam kemarahannya, Surni memekik keras. Tu-
buhnya yang tengah didesak tiba-tiba melambung.
Kemudian, putri Elang Laut Utara itu menukik cepat dengan sepasang tangan
membentuk cakar elang. Siap merencah tubuh lawannya!
Kenanga tentu saja tidak tinggal diam, menyadari
kedahsyatan serangan lawan. Cepat-cepat tubuhnya
bergeser dengan kuda-kuda rendah, kemudian melam-
bung disertai teriakan nyaring mengejutkan. Itulah jurus 'Bidadari Menabur
Bunga' warisan gurunya. Be-
danya, ilmu pedangnya kali ini dipergunakan de-ngan tangan kosong. Meskipun
begitu, kehebatannya tidak berkurang.
"Yeaaahhh...!"
Dua sosok tubuh yang saling melenting di udara
tampaknya telah berniat adu nyawa. Ini terlihat dari jurus-jurus pamungkas yang
sama-sama digunakan.
Melihat kenyataan itu, Panji tidak tinggal diam. Maka tubuhnya cepat melesat dan
langsung menerjang tepat di tengah keduanya. Dengan mempergunakan 'Tenaga
Inti Panas Bumi', Panji mendorongkan telapak tangannya ke kiri dan ke kanan.
Tentu saja, dorongan itu hanya sekedar untuk mencegah agar kedua wanita itu
tidak terluka. Tentu saja hal itu dapat dilakukannya, karena tena-ga jelmaan Pedang Naga Langit
yang dapat diguna-kan
sesuai keinginan.
Bressshhh...! "Uuuhhh..."!"
"Aaahhh...!?"
Baik Kenanga maupun Surni sama-sama terkejut
ketika merasakan sesuatu kekuatan aneh yang amat
kuat. Bahkan kekuatan itu telah memaksa tenaga me-
reka jadi tersedot, untuk kemudian berbalik. Akibatnya mereka jadi terjatuh ke
tanah. Untungnya, mereka dapat bertindak sigap sehingga jatuh dengan kedua kaki
terlebih dahulu.
"Kakang..."! Apa-apaan ini..."!" sentak Kenanga
yang tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Panji.
"Kenanga, tenanglah. Untuk apa saling membunuh
tanpa alasan kuat" Rasanya terlalu terburu-buru kalau berniat mengadu nyawa
dalam pertarungan ini...,"
sahut Panji dengan tatapan mohon pengertian dari kekasihnya. Mau tidak mau,
Kenanga bungkam tidak
membantah lagi.
Lain halnya Surni. Perbuatan Panji yang sebenar-
nya malah menyelamatkan dirinya, dianggap sebagai
suatu penghinaan. Bahkan juga keroyokan. Sehingga, sepasang matanya yang penuh
kebencian menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih.
"Hmh! Walaupun kepandaian kalian kuakui sangat
hebat, tapi jangan sombong dulu! Jangan sukanya
main keroyok. Huh! Kalau saja Ayahku masih hidup,
rasanya kalian tidak akan selamat dari hukuman.
Hm.... Hari ini aku mengaku kalah. Tapi, ingat Sebagai putri Elang Laut Utara,
aku yang bernama Surni tidak akan pernah lupa atas penghinaan ini...!"
Usai berkata demikian, Surni segera meninggalkan
tempat itu tanpa memberi kesempatan kepada Panji
dan Kenanga untuk membantah kata-katanya.
"Hei..., tunggu...!"
Panji yang masih merasa penasaran, segera men-
jejak tanah. Tubuhnya langsung melambung dan ber-
putar beberapa kali di udara. Kemudian, ke dua kakinya mendarat ringan beberapa
langkah di depan Surni.
"Hm.... Rupanya kau masih belum puas, pemuda
curang"! Baiklah! Kalau memang menghendaki nyawa-
ku, hari ini juga kita mengadu nyawa...!" tandas Surni sambil menggeser kuda-
Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kudanya. Sikap gadis itu jelas tidak main-main. Sehingga,
Panji yang semula hendak menjelaskan kepada gadis
itu, terpaksa menyingkir memberi jalan. Tampaknya
keputusan gadis remaja itu memang tidak bisa di rubah lagi.
"Hh.... Sayang sekali kau terlalu keras kepala, Nisanak. Kalau memang hendak
pergi, pergilah. Aku tidak akan menahanmu...,"
Setelah berkata demikian, Panji menyingkir dan
bergerak menghampiri Kenanga. Tidak dipedulikannya lagi ketika Surni melesat
dengan memendam sakit ha-ti.
*** Dara itu berdiri lesu di bibir sungai. Pandang ma-
tanya menerawang jauh, bagai tak bertepi. Dari raut wajahnya yang masam, jelas
kalau perasaannya tengah semrawut.
"Ayah.... Kalau saja kau masih ada di sampingku,
rasanya tidak mungkin aku akan mengalami peng-
hinaan seperti kemarin. Mereka pasti akan kau hajar habis-habisan, karena berani
menghinaku...," desah gadis remaja itu dengan suara bergetar, menyimpan
kedukaan. Perlahan kepala yang semula tegak itu tertunduk
lesu. Kemudian kepala gadis itu kembali tegak, seraya membalikkan tubuhnya dan
melangkah meninggalkan
sungai. Gadis remaja yang tak lain Surni itu rupanya san-
gat terpukul sekali atas penghinaan Panji. Itulah yang membuatnya berduka.
Apalagi ketika teringat ayahnya yang semenjak kecil telah mendidiknya.
Sehingga menurut anggapannya, kepandaian ayah-
nya paling hebat Dan memang, sejak kecil hanya
ayahnyalah yang bersamanya. Dan yang diketahuinya, ayahnya sangat sakti. Semua
itu sering diperlihatkan ayahnya untuk memancing semangatnya agar giat berlatih.
"Hhh...," kembali terdengar helaan napas berat,
yang mengungkapkan betapa hati gadis remaja itu
tengah gundah. Dengan langkah agak gontai, Surni melangkah me-
nyusuri sebuah perkebunan karet. Kepala yang ter-
tunduk itu baru terangkat tegak saat terdengar suara langkah kaki dari depannya.
Dengan penuh kecurigaan, Surni menatap enam orang lelaki gagah yang
berjalan dari arah yang berlawanan.
"Eh..."!"
Surni yang sejak semula memang merasa curiga
deh rombongan enam orang lelaki gagah itu, meng-
angkat alisnya dengan raut wajah terkejut Betapa tidak" Salah seorang dari
keenam lelaki gagah itu dike-nalinya betul. Memang, orang yang dilihatnya adalah
Wilang. "Lihat..! Itu dia gadis kejam putri Elang Laut Uta-ra...!" seru lelaki gagah
bertubuh sedang yang memang Wilang, sambil menunjuk ke arah Surni.
Sedangkan lima orang lelaki gagah kawan Wilang,
langsung berlompatan dengan gerakan ringan dan gesit Dalam beberapa lompatan
saja, mereka telah rapat mengurung Surni. Melihat bentuk kepungan itu, Surni
sadar kalau lawan menggunakan jurus gabungan untuk melumpuhkannya.
"Ha ha ha...! Kali ini kau tak akan lolos, wanita iblis...!"
Wilang tertawa keras seraya melesat dan bergabung
bersama kelima rekannya. Melihat dari raut wajahnya yang penuh keyakinan,
rupanya Wilang sudah dapat
memastikan kalau Surni tidak akan mampu meng-
hadapi kelima orang lelaki gagah temannya.
Surni berdiri tenang, meski hatinya sedikit tegang.
Sejak menyadari kalau kepandaiannya bukan yang
paling hebat di kolong jagad, keyakinan gadis remaja itu sedikit berkurang.
Perasaan itu membuatnya menjadi mudah tegang dalam menghadapi perkelahian.
Padahal kalau saja tahu siapa pasangan pendekar
yang mengalahkannya kemarin, belum tentu akan me-
rasa berduka seperti itu. Karena memang wajar kalau kalah oleh Pendekar Naga
Putih atau Kenanga yang
memiliki kepandaian sangat tinggi.
Demikian pula dalam menghadapi kelima orang le-
laki gagah yang mulai berputar mengepungnya. Hati
Surni sedikit tegang, takut mengalami kekalahan lagi.
Padahal, keyakinan hati sangat berperan dalam se-
buah perkelahian. Makin tinggi keyakinan seseorang, akan semakin tenanglah dalam
menghadapi dan mencari kelemahan lawan.
Dalam ketegangan dan rasa takut akan kekalahan,
Surni menjadi jengkel. Rasa jengkel itu membuat nafsu membunuhnya menjadi
semakin berlipat
"Bangsat kau, lelaki pengecut! Rupanya ini maksud-
mu melarikan diri! Mengapa hanya lima orang yang
kau bawa" Apakah kau yakin mereka mampu menun-
dukkanku...?" terdengar suara Surni yang bernada
mengejek. Sambil berkata demikian, dara remaja itu menarik
keluar sebilah pedang yang selama ini jarang dipergunakan, dan hanya menghias
punggungnya saja.
Sriiinggg...! Kilatan merah berkeredep ketika Surni menggerak-
kan senjatanya secara bersilangan, sebelum dilintangkan di depan dada. Sorot
matanya yang tajam, me-
nyiratkan tekad untuk bertarung sampai mati.
Wilang yang memang sangat mendendam atas ke-
matian kawan-kawannya di Pulau Elang Hitam, me-
langkah maju dua tindak sambil menudingkan telun-
juk ke wajah Surni.
"Dengar, gadis keparat! Selain telah mengakibatkan kawan-kawanku terbunuh, kau
juga pengemban dosa
dari semua kejahatan yang dilakukan Elang Laut Uta-ra selama hidupnya! Dan, dosa
itu hanya dapat dicuci dengan darahmu! Untuk itu, kau harus mati di tangan
kami...," dengus Wilang yang jelas-jelas memancarkan dendam dan rasa sakit
hatinya. Suaranya terdengar
lantang dan menggetarkan.
Tapi, Surni bukannya takut mendengar ucapan itu.
Rasa jengkel dan nafsu membunuh yang telah me-
nguasai hatinya, membuatnya semakin merasa benci
terhadap lelaki bertubuh sedang itu. Maka....
"Yeaaattt..!"
Tanpa banyak ribut lagi, langsung saja Surni me-
luncur dengan tusukan pedang ke tubuh Wilang. Se-
pertinya, hal itu sengaja dilakukan selagi Wilang belum siap. Bahkan pedangnya
telah tertuju lurus ke jantung Wilang.
Namun, kelima orang lelaki gagah yang mengurung
Surni tentu saja tidak tinggal diam. Seiring teriakan nyaring yang melengking,
dua dari kelima pengepung langsung melesat disertai putaran pedangnya yang
menimbulkan angin menderu tajam. Keduanya langsung
memapak serangan Surni
"Haiiittt..!"
Serangan dari dua arah oleh dua orang pengepung
membuat Surni terpaksa harus menunda serangan-
nya. Memang, meskipun serangannya mungkin bisa
melukai Wilang, tapi dia sendiri juga tidak akan terle-pas dari ancaman kedua
bilah pedang pengepung-nya.
Dan, Surni lebih utama memilih keselamatan dirinya.
"Yiaaahhh...!"
Sambil mengeluarkan bentakan keras, Surni memu-
tar pedangnya merubah serangan. Kali ini pedangnya diputar sedemikian rupa
mengelilingi tubuhnya. Hingga, terbentuklah sinar merah yang bergulung-gulung
bagaikan gelombang angin puyuh!
Traaang! Traaang!
Tanpa dapat dicegah lagi, ketiga bilah pedang itu
saling berbenturan keras disertai percikan bunga api yang berpencaran!
Surni seketika merasakan telapak tangannya agak
bergetar akibat benturan tadi. Maka, tentu saja dia cukup dibuat terkejut. Hal
itu menandakan kalau tenaga dalam lawan-lawannya hanya berselisih sedikit di ba-
wahnya. Akibatnya, kini hatinya semakin resah. Tam-bahan lagi, lawannya
berjumlah lima orang, di-tambah Wilang yang belum ikut terjun mengeroyoknya.
Tentu saja jumlah dan kekuatan lawan membuat Surni seperti tidak mempunyai
kesempatan untuk menang.
"Hmhhh! Biar bagaimanapun, aku harus mem-
bunuh mereka sebanyak-banyaknya sebelum tubuhku
dirajam mereka...," tekad Surni, yang membuat ha-
tinya menjadi mantap.
"Hiaaattt..!"
Kembali Surni memekik nyaring sambil memutar
pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sehingga, gundukan sinar merah semakin melebar
menyelimuti tubuh gadis remaja itu.
Tapi, lawan Surni kali ini bukan orang sembara-
ngan. Kelima lelaki gagah yang berusia rata-rata sekitar empat puluh tahun itu
dalam kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Algojo Dari Timur. Maka sudah
tentu kepandaian yang mereka miliki tidak bisa dipan-dang remeh. Bahkan Sepasang
Ular Perak sendiri me-
rasa hormat dan cukup segan terhadap kelima lelaki gagah yang juga wakil-
wakilnya itu. Jelas, kali ini Surni benar-benar menghadapi kesulitan besar!
Dengan teriakan-teriakan nyaring yang susul me-
nyusul, kelima lelaki gagah itu satu persatu melesat disertai putaran senjata
untuk menggempur Surni.
Tentu saja dengan bertarung seperti itu, Algojo Dari Timur tidak pernah merasa
kelelahan. Apalagi untuk kehabisan tenaga. Setiap kali seorang maju menyerang,
yang lainnya hanya menunggu, untuk kemudian
menggantikannya. Hal itu membuat Surni jadi ke-
bingungan dan terdesak hebat!
"Bangsat...!"
Kejengkelan yang menggumpal di dalam dada,
membuat Surni melontarkan makian dengan teriakan
melengking. Serangan lawan yang berganti-ganti selain membuat pusing, juga
jengkel. Semua itu membuat gerakannya menjadi tidak teratur dan sering kacau.
Sehingga, semakin bertambah payahlah keadaannya.
"Haaattt...!"
"Haaattt...!"
Secara susul menyusul, kelima lelaki gagah itu
kembali berlompatan dengan putaran pedang men-
deru-deru! Surni yang sudah terdesak dan gerakannya semakin kacau, sepertinya
tidak mungkin lagi menyelamatkan diri dari kelima bilah pedang yang berkeredep
menyilaukan mata!
Breeet! Breeet!
"Aaakkkhhh...!"
Surni yang berusaha untuk menghindari sambaran
kelima bilah senjata lawan, tak urung harus menerima dua di antara kelima bilah
pedang yang menggores tubuhnya. Meskipun luka sambaran kedua bilah pedang
itu tidak sampai menewaskannya, namun cukup
membuatnya semakin sulit melakukan perlawanan.
Sementara itu, darah terus mengalir seiring rasa perih yang terasa menggigit
tubuhnya. "Ooohhh...," keluh Surni, lirih sambil menggigit bibirnya kuat-kuat Wajah
cantiknya tampak mulai me-
mucat. Memang, darah yang keluar cukup banyak, se-
hingga membuatnya semakin bertambah lemas.
"Hm.... Terimalah hukuman atas dosa-dosa yang te-
lah diperbuat Ayahmu, wanita sesat..!"
Begitu suara salah seorang dari mereka lenyap, ke-
lima orang lelaki gagah kembali berlompatan disertai kilatan-kilatan pedang yang
susul-menyusul. Akibatnya, Surni yang sudah goyah kuda-kudanya, hanya bi-sa
menunggu datangnya maut yang segera menjem-
put "Hiaaattt...!"
Pekikan yang susul-menyusul itu semakin menga-
caukan jalan pikiran Surni. Seperti tidak tahan akan siksaan itu, akhirnya Surni
menjatuhkan senjatanya.
Seketika kedua telinganya ditutup dengan tangannya.
Terdengar rintihan putus asa dari kerongkongannya.
"Ayaaah...," dalam keputusasaannya, Surni me-
manggil nama ayahnya untuk yang terakhir kali. Na-
mun.... Tranggg! Traaang! Traaang!
"Aaakhhh...!"
"Uuughhh...!"
Pada saat ajal Surni sudah hampir tiba, tahu-tahu
saja sesosok bayangan hitam berkelebat bagai kilat, langsung memapak pedang
kelima lelaki gagah itu.
Seiring benturan yang memekakkan telinga dan teriakan-teriakan kesakitan, tubuh
kelima Algojo Dari Timur berpentalan hingga sejauh dua tombak lebih! Ten-tu saja
kenyataan itu mengejutkan Wilang yang semula tersenyum melihat keadaan Surni.
*** 8 "Elang Laut Utara..."!"
Wilang berseru dengan wajah berubah tegang ketika
mengenali sosok bertubuh gemuk dan berkulit hitam.
Meskipun wajah lelaki itu agak pucat, namun kehadirannya benar-benar
menggetarkan! Wajar saja kalau mereka terkejut, sebab telah per-
caya kalau Elang Laut Utara telah tewas. Tapi pada kenyataannya, mereka harus
menelan bulat-bulat kenyataan itu. Elang Laut Utara benar-benar masih hidup.
"Benar! Akulah yang datang, manusia-manusia
pengecut! Kalian yang mengaku sebagai golongan pendekar, ternyata tak lebih dari
pengecut-pengecut rendah! Untuk menghadapi seorang gadis remaja saja, kalian
ternyata harus main keroyok! Benar-benar tak ta-
hu malu...!" dengus sosok bertubuh gemuk yang me-
mang Elang Laut Utara, dengan suara parau.
"Oh..., Ayah...!"
Surni yang untuk beberapa saat lamanya sempat
terpaku menatap sosok ayahnya hampir tak percaya.
Segera saja dia berlari menghambur ke dalam pelukan lelaki gemuk berkulit hitam
itu. Betapa tidak" Selama ini ayah yang telah dianggap tewas, ternyata masih
hidup. "Hm.... Enak saja kau menuduh kami sebagai pen-
gecut, Elang Laut Utara. Sadarkah kau dengan uca-
panmu itu" Mengapa selama ini kau menghilang dan
melepaskan tanggungjawabmu"! Apakah kau pikir
kami akan melupakan kebejatanmu begitu saja" Huh!
Tidak mungkin! Meskipun kami tidak bisa menemu-
kanmu selama beberapa bulan ini, tapi keturunanmu
harus menanggung semua dosa atas perbuatanmu.
Untuk itulah kami harus membunuhnya...," timpal
orang tertua dari Algojo Dari Timur.
"Dengar, manusia-manusia sombong! Kalau selama
ini aku menghilang, itu karena mengalami luka dalam yang cukup parah akibat
bertempur dengan Sepasang
Ular Perak. Dan setelah luka-lukaku sembuh kini aku kembali muncul untuk
membantai kalian satu persatu. Terutama orang-orang yang telah menyakiti
putriku.... Nah, bersiap-siaplah...."
Setelah berkata demikian, Elang Laut Utara mem-
bawa putrinya ke sebuah pohon, dan menyandar-
kannya. Kemudian, lelaki gemuk itu sendiri kembali menghampiri Wilang dan Algojo
Dari Timur. Sorot matanya demikian tajam dan bengis, membayangkan naf-
Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
su membunuh yang menggetarkan!
"Hm...."
Sambil mengeluarkan geraman lirih, Elang Laut
Utara yang telah melepaskan pedang merah milik pu-
trinya, menyilangkan lengan di depan dada. Jari-jari tangannya yang telah
membentuk cakar elang, tampak bergetar karena dialiri tenaga sakti yang maha
dahsyat! Sadar kalau lawan yang kali ini dihadapi me-
rupakan tokoh puncak golongan sesat, Lima Algojo Da-ri Timur segera menyebar
dengan pedang di tangan.
Demikian pula halnya Wilang. Lelaki gagah bertubuh sedang itu telah mencabut
pedang di pinggangnya.
"Haiiittt...!"
Disertai pekik elang luka, tubuh tokoh sesat ber-
kulit hitam itu bergerak maju dengan langkah-langkah pendek. Gerakannya yang
terlihat cepat dan sukar di-tangkap mata biasa, sempat membuat lawan-lawan-
nya sesaat kebingungan. Namun, begitu sambaran an-
gin tajam telah tiba semakin dekat, baik Wilang dan Lima Algojo Dari Timur sama-
sama bergerak menggempur Elang Laut Utara!
"Haaattt...!"
"Haaattt...!"
Terdengar pekikan nyaring susul-menyusul. Seiring
pekikan itu, kelima lelaki gagah yang mengepung
Elang Laut Utara bergerak berturut-turut disertai putaran senjata. Sedangkan
Wilang hanya mengikuti paling belakang. Rupanya, dia memilih menggabung-kan
diri dengan Lima Algojo Dari Timur dalam menggempur Elang Laut Utara.
Tanpa dapat dicegah lagi, pertempuran berlangsung
sengit! Baik Lima Algojo Dari Timur maupun Wilang
benar-benar penasaran melihat tokoh sesat Pulau
Elang Hitam itu ternyata sangat gesit dan sukar sekali disentuh. Apalagi,
sambaran-sambaran cakar elang
datuk sesat itu sangat berbahaya dan berbau maut
Akibatnya, cukup sulit bagi Wilang dan rekan-rekannya dalam mendesak lawan.
Bahkan justru mereka
sendirilah yang terlihat mulai terdesak, meskipun secara perlahan.
"Heaaahhh...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang kedua
puluh lima, tiba-tiba Elang Laut Utara memekik me-
ngejutkan! Lawan yang tidak menyangka bakal men-
dapat serangan suara itu, sempat terlonjak mundur
beberapa langkah. Dan pada kesempatan itulah, Elang Laut mengibaskan tangan
kanannya ke arah para pengeroyoknya! Seketika, berhamburan jarum-jarum ha-
lus berwarna keperakan dari tangannya.
Weeettt! "Awaaasss...!"
Wilang benar-benar menyadari ancaman kematian
dari kibasan tangan tokoh sesat itu. Maka, segera saja dia memperingatkan rekan-
rekannya. Sementara, ia
sendiri telah melompat menghindar sejauh-jauhnya,
sambil memutar pedang untuk melindungi diri dari
ancaman jarum-jarum halus yang mengerikan.
"Aaakkkhhh...!"
"Aaaa...!"
Namun, dua orang dari Lima Algojo Dari Timur tak
sempat menangkap arti peringatan Wilang. Akibatnya, tanpa dapat dicegah lagi
mereka menjerit kesakitan.
Mereka kemudian ambruk dan menggelepar di atas ta-
nah dengan mulut mendesis-desis dan mengaduh-
aduh. Memang, rasa gatal yang hebat telah mulai menyiksa kedua orang gagah itu.
"Hua ha ha...! Lihatlah kedua kawanmu itu, manu-
sia-manusia sombong! Sebentar lagi, kalian juga akan mengalami nasib serupa...!"
Elang Laut Utara yang merasa puas melihat hasil kerja jarum-jarum beracunnya,
disertai tawa meremehkan.
"Bedebah kau, manusia iblis...!" desis Wilang.
Wajah Wilang langsung berubah duka. Ia memang
sudah beberapa kali menyaksikan kawan-kawannya
tewas akibat kekejaman 'Racun Ubur-Ubur Laut', Se-
mua itu membuatnya tidak lagi memikirkan kesela-
matan diri lagi. Dengan serangan bagai gelombang lautan, digempurnya Elang Laut
Utara yang tengah terta-wa berkakakan.
Tiga orang dari Lima Algojo Dari Timur yang ter-
paku beberapa saat menyaksikan dua orang rekannya
yang bergulingan sambil mendesis-desis dan meng-
garuki sekujur tubuh, segera saja ikut menyerbu. Kali ini pertempuran berjalan
mati-matian, sehingga serangan-serangan mereka sangat hebat dan mengerikan!
Tapi bagi tokoh sesat kawakan seperti Elang Laut
Utara, semua itu sama sekali tidak membuatnya gen-
tar. Dengan jurus-jurus andalan, datuk sesat itu dapat mengimbangi dan bahkan
sanggup mendesak keempat
pengeroyoknya lewat jurus 'Elang'nya yang memang
sangat hebat. "Yeaaattt...!"
Untuk kesekian kalinya, ketika memasuki jurus
yang ketiga puluh, Elang Laut Utara kembali memekik mengejutkan! Dan berbarengan
dengan itu, disusulinya dengan sebuah sambaran cakar elangnya yang
mengancam Wilang. Karena, saat itu Wilang memang
yang terdekat dengannya.
Breeettt! Breeettt!
"Aaakkkhhh...!"
Sambaran cakar elang datuk sesat itu langsung me-
robek bahu dan lambung Wilang tanpa ampun. Darah
segar segera mengalir dari luka yang cukup dalam dan terasa perih. Dan selagi
tubuh Wilang terjajar limbung,
Elang Laut Utara kembali melesat hendak menghabisi riwayatnya.
"Mampus kau...!" geram Elang Laut Utara seraya
menjulurkan cakar-cakar elangnya, hendak mencabik-
cabik tubuh lawan.
"Heeeaaa...!"
Tepat pada saat sepasang cakar elang datuk sesat
itu siap mencabik-cabik tubuh lawan, tiba-tiba saja terdengar seruan nyaring
seiring berkelebatnya sesosok bayangan putih.
Plakkk! Plakkk!
"Uuuhhh..."!"
Begitu tiba, sosok bayangan putih itu langsung
memapak serangan Elang Laut Utara. Seketika ter-
dengarlah benturan keras, tak ubahnya ledakan petir di angkasa!
Tubuh Elang Laut Utara tampak terdorong balik,
hingga satu tombak lebih. Karuan saja kenyataan itu membuatnya terkejut. Maka
begitu mendaratkan kakinya di atas tanah, sepasang matanya langsung me-
nyorot tajam ke arah sosok berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawa Wilang.
Sedangkan sosok itu
tetap tenang, tanpa mempedulikan sinar kemarahan
yang terbersit pada sepasang mata Elang Laut Utara.
*** "Keparat! Siapa kau..."!" tegur Elang Laut Utara
dengan tatapan menyelidik.
Nada ucapan tokoh sesat itu jelas menandakan ke-
raguan hatinya. Memang, datuk sesat itu merasa ragu, meski telah terlintas dalam
pikirannya tentang sosok pemuda tampan berjubah putih itu.
"Hm..., Elang Laut Utara! Masih belum cukupkah
korban kekejamanmu selama ini" Apakah kau masih
tetap ingin menebarkan bencana dengan tanganmu
yang sudah berlumuran darah itu" Tidakkah ada nia-
tan untuk meninggalkan semua kejahatan dalam ha-
timu?" tegur sosok berjubah putih tanpa memper-
dulikan pertanyaan lawannya. Sepertinya, dia hendak membiarkan Elang Laut Utara
memastikan dugaannya
sendiri. Sementara itu, Wilang yang tampak masih belum
hilang rasa terkejutnya tampak telah berada di luar arena bersama seorang dara
jelita berpakaian serba hijau dan tiga orang rekannya. Mereka semua menatap
ke arah pemuda berjubah putih dan Elang Laut Utara yang tengah berhadapan.
Sebagai seorang datuk sesat kawakan yang selama
ini malang-melintang menebar bencana tanpa ada
yang berani mencegah, apalagi menasihati, tentu saja Elang Laut Utara menjadi
terbahak begitu pemuda berjubah putih itu menasehatinya. Sedangkan pemuda
tampan yang memang Pendekar Naga Putih, hanya
menatap dengan sorot mata tenang. Panji sama sekali tidak tersinggung atau
merasa terhina karena diterta-wakan seperti itu.
"Hua ha ha...! Dengarlah, bocah. Meskipun mung-
kin kau pendekar muda yang berjuluk Pendekar Naga
Putih, tapi untuk menasehati Elang Laut Utara, jangan terlalu gegabah. Tapi,
baiklah. Aku bersedia menuruti nasihatmu dengan satu syarat Dan kalau kau
menerima syaratku, hari ini juga dunia sesat akan kutinggalkan. Kalau tidak,
hm..., aku terpaksa memotes batang lehermu...!" ancam Elang Laut Utara, sungguh-
sungguh. Sehingga, Panji mengerutkan keningnya
dengan tatapan curiga.
"Katakan, apa syaratmu" Kalau memang dapat ku-
lakukan, akan kupenuhi. Tapi kalau tidak, aku siap bertarung denganmu demi
kebenaran...," tegas Panji.
Tatapan matanya mengandung kecurigaan, karena sa-
dar kalau lawannya seorang datuk sesat yang mengha-lalkan segala cara.
"Hm.... Lihatlah gadis yang tengah terduduk tak
berdaya di bawah pohon itu. Dia adalah putriku. Namanya, Surni. Kalau kau
bersedia mengambilnya se-
bagai istri, dunia sesat yang selama ini kugeluti akan kutinggalkan.
Bagaimana...?" tanya Elang Laut Utara.
Syarat itu tentu saja sangat mengejutkan hati Panji.
Memang tidak mungkin Pendekar Naga Putih dapat
memenuhi permintaan gila itu. Lantas, bagaimana
dengan Kenanga"
"Maaf, Elang Laut Utara, Syaratmu terlalu berat bagiku...," jawab Pendekar Naga
Putih dengan suara agak perlahan. Panji tidak ingin gadis bernama Surni itu
sampai mendengarnya, karena tentu perasaannya dapat terpukul dan merasa terhina.
"Bangsat! Sudah kuduga kau tidak akan sudi me-
menuhinya. Untuk itu, hanya kematianlah yang pan-
tas bagimu...!"
Usai berkata demikian, Elang Laut Utara langsung
menerjang Pendekar Naga Putih dengan jurus-jurus
andalan. Bahkan saking marah dan terhinanya, tokoh sesat itu mengumbar 'Racun
Ubur-Ubur Laut' yang
akibatnya sangat berbahaya dan mengerikan!
"Jeaaahhh...!"
Whuuut! Whuuuttt!
Panji yang langsung dapat menduga kedahsyatan
racun yang terkandung dalam jarum-jarum halus itu, langsung saja mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan' untuk melindungi tubuhnya. Sehingga, jarum-
jarum itu langsung berjatuhan ketika menyentuh dinding lapisan kabut bersinar
putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya.
Namun, datuk sesat dari Pulau Elang Hitam itu sa-
ma sekali tidak merasa putus asa. Sambaran cakar
elangnya langsung bergerak susul menyusul, meng-
incar bagian-bagian terlemah di tubuh Pendekar Naga Putih. Sayang, gempuran-
gempuran hebat Elang Laut
Utara selalu saja kandas, karena tubuh lawannya telah lenyap sebelum serangannya
sempat menyentuh. Semua itu terjadi karena ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Panji masih lebih tinggi daripada lawannya.
Akibatnya, kerapkali Elang Laut Utara terdengar
menggeram gusar karena selalu terkecoh.
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keenam
puluh tiga, tiba-tiba saja Panji mulai merubah ge-
rakannya. Pendekar Naga Putih terlihat mulai memainkan 'Jurus Naga Sakti' yang
menjadi andalannya.
Elang Laut Utara yang memang telah lama men-
dengar tentang kehebatan Pendekar Naga Putih, kali ini benar-benar dibuat
terkagum-kagum. Memang, apa yang selama ini didengarnya ternyata masih belum ada
apa-apanya dibanding yang disaksikannya sekarang.
"Gila..."!" desis Elang Laut Utara.
Saat itu terlihat tubuh Pendekar Naga Putih ber-
gerak luwes, namun jelas mengandung tenaga dalam
tinggi. Semua itu dapat dirasakan melalui sambaran angin dingin yang terasa
menusuk tulang sum-sum.
"Yeaaattt...!"
Bweeettt...! "Aiiihhh...!"
Bukan main terperanjatnya Elang Laut Utara ketika
tahu-tahu cakar lawan telah mendekati tubuhnya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera saja tu-
buhnya dilempar ke belakang, dan terus berjumpalitan menjauhi Pendekar Naga
Putih. Panji yang ingin menyelesaikan pertarungan secepat mungkin, langsung saja
melesat cepat bagai kilat! Bagaikan sebatang tombak, tubuh Pendekar Naga Putih
meluncur lurus disertai putaran sepasang cakarnya!
Dan tentu saja Elang Laut Utara sadar akan bahaya
yang mengancam.
"Haiiittt..."
Disertai pekikan nyaring, Elang Laut Utara mengi-
baskan tangannya. Seketika itu juga, puluhan batang jarum beracun langsung
beterbangan ke arah Pendekar Naga Putih. Jelas, maksudnya hendak mencegah
serangan lawan.
Tapi apa yang terjadi kemudian, benar-benar ham-
pir tidak bisa dipercaya datuk sesat itu. Puluhan batang jarum beracun yang
dilepaskannya malah da-pat ditahan angin pukulan lawannya. Bahkan, Pen-dekar
Naga Putih dapat mengendalikan, dan memutar balik
jarum-jarum beracun itu yang kini mengancam maji-
kannya. "Gila..."!"
Untuk kesekian kalinya, Elang Laut Utara kembali
terbelalak menyaksikan kesaktian lawan. Ternyata jarum-jarum yang semula
dilepaskan secara berpencar, kini malah berkumpul dan meluncur ke arah dirinya.
Dan ketika jaraknya sudah tinggal dua tombak lagi, ti-ba-tiba saja jarum-jarum
itu memecah membentuk ti-
ga kelompok. "Aaahhh"!"
Elang Laut Utara tidak sanggup lagi mengelakkan
luncuran jarum beracun miliknya. Rasa terkejut dan terkesima oleh keanehan yang
disaksikan, membuatnya terpaksa harus merasakan jarum-jarum beracun-
nya sendiri. "Aaarrrghhh...!"
Elang Laut Utara memekik tinggi ketika tiga ke-
lompok jarum beracunnya malah menembus tubuhnya
sendiri. Bahkan kelompok yang terbawah seperti se-
ngaja memecahkan obat penawar yang berada di ping-
gang kirinya. Tentu saja, musnahnya obat penawar itu membuat Elang Laut Utara
melolong dengan wajah ke-takutan!
"Ayaaahhh...!" pekik Surni di tengah ketidakber-
dayaannya. Surni yang melihat tubuh ayahnya ambruk dan
langsung menggelepar bagaikan ayam di sembelih, berusaha menghambur. Namun
Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena keadaannya me-
mang masih lemah, akhirnya malah terjatuh sebelum sampai ke tempat ayahnya
berada. "Ayaaahhh...."
Surni hanya bisa merintih sambil menggapaikan
tangannya, melihat ayahnya tengah sekarat. Memang, gadis remaja itu sadar akan
keganasan 'Racun Ubur-Ubur Laut' yang khusus diciptakan ayahnya untuk
membunuh lawan. Tapi, siapa sangka kalau akhirnya
datuk sesat itu sendiri yang harus merasakan akibat racun kejinya.
Surni hanya bisa meneteskan air mata saat me-
nyaksikan tubuh ayahnya dilumuri darah, dan tidak bergerak-gerak lagi. Elang
Laut Utara tewas akibat racun yang dibuatnya sendiri, tanpa sempat meng-ambil
obat penawarnya.
Panji bergerak menghampiri Surni. Tanpa berkata
sepatah kata pun, segera dibawanya tubuh gadis re-
maja itu ke tempat yang lebih baik. Dengan penuh
perhatian, diobatinya luka-luka Surni yang hanya menatap kosong akibat pukulan
bathin atas kematian
ayahnya. "Surni...," sapa Panji saat gadis remaja itu sudah mulai pulih tenaganya.
"Kuharap kau tidak mengikuti jejak kesesatan ayahmu. Kalau ingin berbakti
kepadanya, tebarkanlah benih-benih kebaikan di dunia ini.
Aku yakin, hal itu akan membuat ayahmu mendapat
ketenangan di alam sana...," ujar Pendekar Naga Putih.
Namun, nasihat itu sama sekali tidak ditanggap
Surni. Namun demikian, Panji tahu kalau Surni cukup mengerti dan mendengar
segala yang disampaikannya
barusan. Surni yang memang pada dasarnya berhati lembut
dan penuh kasih, menyadari sepenuhnya akan kejaha-
tan ayahnya. Dan segala nasihat Pendekar Naga Putih yang tadi didengarnya,
memang suatu kebenaran mut-lak.
Panji, Kenanga, Wilang, dan tiga orang Lima Algojo Dari Timur, hanya berdiri
dengan tatapan iba ketika Surni bersimpuh di samping makam ayahnya yang di-
buatkan Pendekar Naga Putih tadi.
"Ayah.... Mudah-mudahan di alam sana kau dapat
bersatu lagi dengan ibu. Sayang, aku belum sempat
menyampaikannya, tapi Ayah keburu meninggal. Se-
moga Ayah dan Ibu bahagia, dapat berkumpul lagi.
Sedangkan aku, akan mencoba meringankan dosa-
dosamu dengan berbuat kebaikan. Selamat tinggal,
Ayah...." Selesai mengucapkan kalimat itu, Surni mem-
balikkan tubuhnya. Sebelum pergi, masih disempat-
kannya untuk menoleh ke arah Panji, Kenanga, dan
yang lain. Kemudian, gadis itu melangkah perlahan
tanpa salam perpisahan.
"Hm.... Semoga saja dia selalu dilindungi Tuhan...,"
desah Panji yang diam-diam merasa iba terhadap gadis
remaja yang telah sebatang kara itu.
Silir angin lembut menyapu hati para tokoh persilatan itu. Mereka merasa lega,
karena Surni ternyata dapat mengerti. Bahkan tidak melanjutkan kesesatan
Elang Laut Utara.
SELESAI Scan: Clickers Edit: Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** *** 5 *** *** 6 *** *** 7 *** *** *** 8 *** SELESAI Pendekar Bloon 19 Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah Kitab Pusaka 8
Surni. Sehingga, mereka menerima Surni sebagai wakil dari Elang Laut Utara
selama tokoh sesat itu belum kembali.
*** 5 Saat itu, selagi Wilang berhadapan dengan ketu-
runan Elang Laut Utara, terdengar suara orang ber-
larian mendatangi tempat ini. Hati Wilang bertambah lega ketika tahu kalau yang
datang ternyata rombongan Ki Lunggara.
Baru saja Ki Lunggara hendak mengucapkan sesua-
tu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan kematian yang susul menyusul. Laki-
laki gagah itu kontan menoleh ke arah asal jeritan-jeritan tadi. Demikian pula
Wilang dan kelima orang tokoh yang baru tiba itu. Mereka ju-
ga menoleh ke arah yang sama.
"Aaahhh..."! Apa yang terjadi terhadap mereka...?"
desah Ki Lunggara.
Wajah laki-laki gagah itu pucat saat melihat tiga
orang rekan Wilang menggelepar di atas tanah sambil melolong mengerikan. Jelas,
mereka tengah mengalami suatu penderitaan yang mengerikan!
"Racun Ubur-Ubur Laut...!"
Wilang yang melihat ketiga rekannya tengah meng-
garuki sekujur tubuh, segera saja dapat menebak pe-nyebabnya.
"Hm.... Jadi, racun jahat itu pulalah yang telah menyebabkan kematian Ketua Ular
Perak Jantan...?" desah Ki Lunggara, teringat akan mayat Ular Perak Jantan yang
sekujur kulit dan daging tubuhnya terkelupas.
"Penderitaan mereka harus dihentikan...,"
Tiba-tiba saja, Wilang mendesis sambil melangkah
menghampiri ketiga rekannya yang tengah mengalami
penderitaan mengerikan. Lelaki bertubuh sedang itu terlihat menggigit bibirnya
kuat-kuat, dengan wajah berkerut-kerut seperti tengah menahan perasaan.
"Adi Wilang! Apa yang hendak kau lakukan...?" te-
gur Ki Lunggara.
Dia memang curiga melihat sikap Wilang. Maka se-
gera saja dia berdiri menghadang jalan. Sehingga mau tidak mau, Wilang harus
menghentikan langkah-nya.
"Menyingkirlah, Ki. Apakah kau tega melihat pen-
deritaan rekan-rekan kita...?" tandas Wilang tanpa tekanan. Sedangkan sorot
matanya lurus ke depan, me-
lewati bahu Ki Lunggara. Jelas, Wilang tidak ingin di-halangi.
"Tapi...."
Ki Lunggara yang semakin sadar akan apa yang
hendak dilakukan Wilang, suaranya jadi tercekat di kerongkongan. Lelaki gagah
itu tidak bisa berkata-kata lagi. Memang tidak ada jalan lain yang dapat
dilakukan untuk melenyapkan penderitaan rekan-rekan mereka,
kecuali dengan cara segera membunuh ketiga tokoh
persilatan itu. Tentu saja untuk melaksanakannya,
bukan suatu pekerjaan mudah bagi perasaan mereka.
"Arrrkkkhhh...!"
Raung kesakitan penuh kesengsaraan dari ketiga
orang tokoh itu, kembali merasuki telinga Wilang dan Ki Lunggara. Sementara Ki
Lunggara sendiri tertunduk lesu, tanpa mengerti harus berbuat apa. Sedangkan
Wilang segera melanjutkan langkahnya dengan pedang telanjang.
Dengan wajah tengadah dan sepasang mata dilu-
ruskan ke langit, Wilang berdiri tegak di hadapan ketiga orang rekannya. Pedang
telanjang di tangannya
tampak bergetar keras. Jelas, lelaki itu tengah ber-juang keras mengalahkan
perasaannya. Perlahan-
lahan, pedang berkilat itu terangkat. Dan....
Whukkk! Jrasss! Crasss! Cappp!
"Aaarggghhh...!"
Terdengar lengking kematian yang memilukan sal-
ing susul. Darah segar kontan berhamburan mem-
basahi tanah. Seiring tetesan darah yang jatuh satu persatu dari badan pedang di
tangan Wilang, ketiga sosok tubuh yang tengah sekarat itu pun ambruk hampir
bebarengan. Sebentar mereka kelojotan, lalu diam untuk selamanya. Mati.
"Ooohhh...!"
Empat orang rekan Ki Lunggara, termasuk Langga,
sama-sama memalingkan wajah. Mereka seperti ikut
larut dalam kepedihan hati Wilang yang terpaksa ha-
rus membunuh ketiga rekannya demi menolong dari
penderitaan. "Biadab...! Kucincang tubuh kalian semua, manusia
keji..." Kemarahan dan kesedihan yang meledak-ledak da-
lam dada Wilang, ditumpahkannya kepada delapan
orang lelaki berpakaian hitam yang telah menebarkan racun-racun keji kepada
ketiga rekannya. Empat sosok mayat lawan tidak dipedulikannya lagi. Yang
terlintas dalam pikirannya saat itu hanyalah membunuh lawan
sebanyak-banyaknya untuk menebus nyawa ketiga re-
kannya. "Hm...."
Amukan Wilang seketika membuat delapan orang
sisa pengikut Elang Laut Utara kalang kabut. Dan hal ini juga membuat Surni
menatapnya dengan kilatan
mata tajam. Sesaat kemudian, tubuh rampingnya telah melesat ke arena
pertempuran. "Hiaaahhh...!"
Begitu tiba, Surni langsung melontarkan serang-
kaian pukulan maut dari jurus 'Elang Sakti' warisan ayahnya. Tentu saja hal ini
membuat Wilang kelaba-kan! Apalagi, tenaga yang mengiringi sambaran cakar elang
gadis remaja itu demikian kuat dan mengejutkan. Sehingga dalam beberapa jurus
saja, Wilang hanya bermain mundur saja.
Ki Lunggara melihat betapa Wilang terdesak hebat
oleh gempuran seorang gadis remaja, maka tentu saja dia menjadi terkejut bukan
main. Sadar kalau rekannya tidak segera ditolong bisa celaka. Sehingga, langsung
saja Ki Lunggara melesat ke arena pertempuran, seraya melontarkan serangan-
serangan cepat untuk
membendung serangan gadis remaja itu.
Plakkk! Plakkk!
"Aaahhh..."!"
Dua kali tamparan Ki Lunggara yang dilontarkan
lewat pengerahan tenaga dalam tinggi, bertumbukan
dengan serangan Surni. Seketika terdengar ledakan
yang cukup keras! Tapi hal itu justru membuat Ki
Lunggara memekik kaget, ketika telapak tangannya terasa panas. Bahkan kuda-
kudanya pun ikut pula ter-
gempur! "Gila..."! Siapa sebenarnya gadis muda itu..." Ke-
pandaiannya hebat sekali. Rasanya sangat sulit untuk menundukkannya dalam waktu
singkat...," desah Ki
Lunggara sambil menatap tajam wajah dara remaja
cantik itu. Ia benar-benar kagum. Dalam usianya yang masih
sangat muda, gadis itu telah berhasil menghimpun kekuatan tenaga sakti yang
mungkin tidak di bawah tenaga dalamnya. Bahkan bisa jadi jauh lebih kuat dari
padanya. Namun, Ki Lunggara tidak dapat berpikir lebih lama lagi. Masalahnya, Wilang yang
masih terus digempur Surni segera berseru mengingatkan rekannya. Dia
memang sempat mendengar gumaman yang keluar da-
ri mulut Ki Lunggara.
"Jangan heran, Ki. Gadis itu putri Elang Laut Uta-
ra...!" seru Wilang yang saat itu tengah bergerak ke kanan mendekati Ki
Lunggara. Maksudnya tentu saja
dapat ditebak. Wilang ingin mengajak Ki Lunggara untuk menggempur Surni.
"Hm.... Pantas, kepandaiannya demikian tinggi. Ki-
ranya ia pewaris Elang Laut Utara. Tidak heran...," desis Ki Lunggara yang
segera saja mencabut pedang-
nya, setelah mengetahui siapa adanya gadis remaja itu.
"Kalau begitu, gadis itupun harus dilenyapkan. Biarlah, dia yang memikul semua
dosa yang telah dilaku-
kan Ayahnya...."
Usai berkata demikian, Ki Lunggara segera melesat
menggempur Surni. Sementara pada saat itu, Wilang
yang benar-benar sudah kehabisan akal dalam meng-
hadapi gempuran lawan, terpaksa bertindak nekat.
Sadar kalau untuk dapat mengalahkannya adalah sua-
tu hal yang mustahil, maka Wilang kali ini tidak berusaha menghindari serangan
Surni. Senjatanya segera diputar, membentuk gulungan sinar yang membenten-gi
sekujur tubuhnya. Kemudian, dicobanya untuk bertahan dengan benteng sinar pedang
itu. Sayangnya, Surni tidak kehilangan akal. Pengala-
man yang didapatnya selama perjalanan maupun di
dalam Pulau Elang Hitam, membuatnya mulai bisa
menilai keadaan. Maka ketika melihat tindak upaya
Wilang, gadis remaja itupun segera mencecar dengan pukulan-pukulan jarak jauh.
Whuuuk...! Deeebbb! Deeebbb! "Akkkhhh...!"
Karuan saja Wilang yang kekuatan tenaga dalam-
nya memang kalah jauh langsung terjengkang ketika
pukulan-pukulan jarak jauh yang dilontarkan Surni
membentur benteng sinar pedangnya. Dan kalau saja
Ki Lunggara tidak segera menolongnya, mungkin tu-
buhnya akan terbanting di atas tanah.
"Terima kasih, Ki...," ucap Wilang.
Napas laki-laki bertubuh sedang itu tampak mem-
buru dan wajahnya agak pucat. Bahkan pada sela-sela bibirnya tampak ada cairan
merah meleleh. Jelas, Wilang menderita luka akibat pukulan-pukulan yang
dilontarkan Surni tadi.
"Aaakkkhhh...!"
Jerit kematian dari arena pertempuran yang berada
beberapa tombak di belakang membuat terkejut Wilang dan Ki Lunggara. Cepat
mereka menoleh, memastikan
jerit kematian tadi. Dan untuk kesekian kalinya, kedua orang lelaki gagah itu
kembali dilanda rasa geram serta penasaran! Dan ternyata, empat orang rekan
mereka terlihat menggelepar terkena 'Racun Ubur-Ubur Laut'.
"Bedebah...!"
Hampir berbarengan, Ki Lunggara dan Wilang men-
desis geram. Namun pada saat hendak melompat ke
arah keempat rekan mereka, gadis remaja ber-
kepandaian tinggi itu sudah bergerak lebih dulu dan berdiri menghadang jalan.
"Biarkan mereka dengan kesenangannya sendiri.
Urusan kita di sini belum selesai...," ujar Surni dengan tatapan mata sedingin
es. Sehingga, kedua orang tokoh persilatan itu menjadi jengkel.
"Keparat kau, Iblis cilik! Kau benar-benar menuruni sifat jahat Ayahmu.
Seharusnya kau memang dilenyapkan agar tidak membuat keresahan di kemudian
hari...!" Sambil berkata demikian, Ki Lunggara memutar pe-
dangnya sekuat tenaga. Melihat dari sikapnya, jelas kalau orang tua itu siap
bertarung mati-matian!
"Wilang...," sebelum menerjang Surni, Ki Lunggara
mendekat dan berbisik kepada rekannya dengan tata-
pan tetap lurus ke wajah Surni, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan. "Jika aku
sudah mulai berge-
rak menerjang iblis cilik itu, tinggalkanlah pulau celaka ini. Kalau tidak,
kawan-kawan kita di daratan sana nanti bakal celaka, apabila gadis itu sampai
meninggalkan tempat ini. Jangan bantah ucapanku! Semua
ini kulakukan demi kita semua...!"
Wilang hanya terpaku pucat mendengar permintaan
Ki Lunggara. Namun karena disadari ada kebenaran
pada ucapan lelaki gagah itu, maka Wilang tidak
membantah. Dan ketika Ki Lunggara melesat ke arah
Surni dengan pekikan keras, Wilang pun ikut melesat meninggalkan pulau itu.
"Yiaaahhh...!"
Bweeettt! Swinggg!
Ki Lunggara menerjang dengan serangkaian sam-
baran pedangnya, untuk mengalihkan perhatian Surni dari Wilang. Usahanya memang
tidak sia-sia. Untuk
beberapa saat lamanya, Surni mau tidak mau memang
harus menghadapi sambaran pedang lawan yang se-
perti hendak merencah dirinya.
Surni benar-benar telah jauh berubah dalam bebe-
rapa hari ini. Gadis remaja itu tidak lagi merasa khawatir, meskipun kilatan
pedang lawan seperti mengu-rungnya. Keyakinan terhadap ilmu-ilmu warisan orang
tuanya, membuatnya tidak gugup walau menghadapi
serangan sehebat apapun.
Begitupun dalam menghadapi gempuran Ki Lung-
gara. Dengan menggunakan geseran-geseran ringan,
gadis remaja itu selalu saja berhasil menghindari sambaran pedang lawan. Bahkan
setelah beberapa jurus, sudah bisa melontarkan serangan sesekali. Malah,
serangannya terus semakin dipergencar. Sehingga, kini Ki Lunggara lah yang
menjadi kewalahan.
"Heeeaaahhh...!"
Pada suatu kesempatan, Surni tiba-tiba menge-
luarkan bentakan keras! Dan berbarengan dengan itu, tangan kanannya terulur
melepaskan sebuah pukulan
maut! Ki Lunggara yang memang sudah tidak bisa
mempertahankan dirinya lagi, tak sempat lagi meng-
hindari. Dan....
Beggg! "Huakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, kepalan mungil itu telah meng-
hajar dada Ki Lunggara! Tubuh lelaki gagah itu ter-
jengkang ke belakang disertai semburan darah segar dari mulutnya! Kemudian,
tubuhnya terhuyung limbung hingga satu setengah tombak lebih jauhnya.
Surni sendiri tidak mau bertindak kepalang tang-
gung. Saat itu juga, tubuhnya melesat melepaskan sebuah tendangan terbang!
"Yeaaa...!"
Deeesss...! Ki Lunggara menjerit ngeri! Tubuhnya kontan ter-
pental deras bagai dilemparkan tangan raksasa yang tak tampak, kemudian terus
melaju membentur dind-ing karang. Tanpa ampun lagi, remuklah tubuh lelaki gagah
yang malang itu. Ki Lunggara tewas dengan tubuh hampir hancur!
"Hm...," Surni hanya bergumam sambil meng: ulas
senyum iblis. Sejenak ia menoleh ke arah pembantu-pembantu
ayahnya yang telah tidak tampak lagi, karena tengah melakukan pengejaran
terhadap Wilang. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Surni bergerak meninggalkan
tempat itu. *** Lelaki berperawakan sedang itu dan berusia sekitar
empat puluh tahun, mendayung perahunya sekuat te-
naga. Sehingga, perahu yang ditumpanginya melaju
cepat membelah air laut. Siapa lagi lelaki itu kalau bukan Wilang yang melarikan
diri ke daratan.
Beberapa belas tombak di belakang Wilang, tampak-
lah dua buah perahu lain yang masing-masing ditum-
pangi empat orang lelaki berseragam hitam. Melihat adanya lelaki tinggi besar
berwajah brewok yang me-
mimpin orang-orang itu, jelaslah sudah kalau mereka adalah orang-orang Pulau
Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Elang Hitam. Me-reka memang tengah melakukan pengejaran terhadap Wilang.
Wilang sendiri terus mengayuh perahunya mati-
matian. Untunglah tenaga dalamnya kuat, sehingga jaraknya semakin bertambah jauh
dari para penge-
jarnya. Sayangnya, Wilang hanya seorang manusia biasa yang mempunyai
keterbatasan. Sehingga pada saat tenaganya mulai melemah, jarak di antara mereka
pun bertambah dekat. Apalagi, para pengejarnya berjumlah banyak dan mendayung
secara berganti-ganti.
Sadar kalau jaraknya semakin bertambah dekat,
maka Wilang mengempos semangatnya. Kembali pera-
hunya didayung mati-matian. Begitu tiba di daratan, ia langsung melompat dan
berlari dengan langkah terhuyung-huyung.
"Kejar...! Bunuh orang itu...!"
Lelaki tinggi besar berwajah brewok yang memimpin
pengejaran itu langsung saja melompat ke air. Meskipun perahunya masih beberapa
tombak lagi dari pan-
tai, sama sekali tidak dipedulikannya. Sehingga, kawan-kawannya pun ikut
berlompatan dan mengejar
Wilang. Sambil berteriak-teriak ribut untuk melemaskan
semangat lawan, lelaki brewok itu memimpin kawan-
kawannya mengejar Wilang. Sehingga dalam waktu
yang tidak terlalu lama, jarak di antara mereka hanya tinggal tiga tombak lagi.
"Heeeaaa...!"
Ketika jaraknya semakin bertambah dekat, lelaki
brewok itu tiba-tiba berteriak sambil melemparkan pisau-pisau terbang untuk
menewaskan buruannya!
Ziiing! Ziiinggg!
Suara berdesing tajam merobek udara, seketika
membuat Wilang sadar kalau dirinya berada dalam ancaman maut! Maka, meskipun
tubuhnya sangat lemah,
dia berusaha menghindar dengan melompat ke bela-
kang! Cappp! "Aaakhhh...!"
Wilang menjerit kesakitan ketika kaki kanannya ter-tancap sebilah pisau terbang
lawan. Gerakannya yang jelas telah jauh berkurang, membuatnya tidak sanggup lagi
menyelamatkan diri dari salah sebuah pisau yang dilepaskan lelaki brewok itu.
Akibatnya, begitu turun, Wilang langsung terjatuh menimbulkan suara berdebuk
keras. "Hua ha ha...!" lelaki brewok itu tertawa terbahak-bahak melihat Wilang sudah
hampir tidak berdaya.
Langsung saja Wilang itu jadi terkurung oleh dia dan rekan-rekannya.
"Bangsat keji...!"
Meski telah terkepung dan tidak mungkin dapat se-
lamat, Wilang sama sekali tidak gentar. Dengan sorot mata tajam berkilat,
bibirnya mendesis memaki lawan-lawannya. Sehingga, lelaki brewok itu jadi sempat
berang. "Setan! Kau memang perlu diberi sedikit pelaja-
ran...!" Sambil menggeram marah, lelaki brewok itu men-
gayunkan kakinya langsung dihantamnya tubuh Wi-
lang yang terlihat hendak bangkit!
Buuukkk! "Uuuggghhh...!"
Wilang memekik dengan tubuh sedikit terangkat
akibat kerasnya tendangan lawan. Darah segar segera mengucur dari sudut
bibirnya. Juga, terdengar erangan lirih dari mulurnya. Kini Wilang sibuk memijat
kaki dan lambungnya yang sama-sama terasa sakit.
"Hm.... Bangkitlah, orang gagah! Apakah golongan
pendekar memang terdiri dari orang-orang ce-
ngeng...?"ejek lelaki brewok itu dengan kata-kata tajam dan menyakitkan.
Sehingga, meskipun saat itu Wilang merasakan se-
kujur tubuhnya sakit-sakit, ia berusaha bangkit. Ingin ditunjukkannya kalau
golongan putih bukanlah orang-orang cengeng dan lemah seperti yang dikatakan
lelaki brewok itu.
"Bagus...," puji lelaki brewok itu dengan senyum
sangat menyakitkan.
Ia bergerak maju dua tindak, kemudian siap meng-
ayunkan pukulan ke wajah Wilang yang berdiri tidak tetap, karena kedua kakinya
memang dirasakan bagaikan tidak memiliki tulang lagi.
"Tahan...! Menyiksa seorang lawan yang sudah ti-
dak berdaya, bukanlah suatu perbuatan terpuji...."
Tiba-tiba saja, saat pukulan lelaki brewok itu siap menghajar wajah Wilang,
terdengar teguran halus namun mengandung perbawa amat kuat. Maka, baik Wi-
lang maupun lawan-lawannya sama-sama menoleh ke
arah datangnya suara teguran tadi.
*** 6 Wilang dan kedelapan orang lelaki berseragam hi-
tam itu sama-sama menatap heran. Dari arah asal suara, muncullah seorang pemuda
tampan yang memi-
liki senyum penuh kesabaran. Sepasang matanya yang bulat, tampak memancarkan
sinar berkilat. Sehingga,
membuat orang bergetar apabila bertatapan dengan-
nya. Penampilannya terlihat demikian sederhana. Ju-bahnya berwarna putih,
melekat di tubuhnya. Perawakannya pun tidak terlalu kekar, namun terlihat padat
Bahkan seperti menyembunyikan kekuatan menggetarkan. Dan karena penampilannya
terkesan ramah dan lembut, maka pandangan kesembilan orang lelaki itupun terlihat sedikit
melecehkan. Tetapi begitu melihat sosok lain yang berada di sebelah kanan pemuda tampan itu,
maka tatapan men-
gejek mereka berubah seketika! Bahkan sama-sama
membelalakkan mata!
"Siapa..., kalian...?" tegur lelaki brewok itu begitu dapat menguasai
keterpanaannya terhadap dara jelita berpakaian serba hijau.
"Hm.... Kami berdua adalah perantau yang kebetu-
lan lewat di tempat ini. Dan karena kalian telah men-ganiaya orang tak berdaya,
tentu saja kami tidak bisa berdiam diri. Itu sama saja tindakan tak berperi-
kemanusiaan, maka harap sobat sudi melepaskan le-
laki itu...," jawab pemuda tampan berjubah putih itu, ringan dan tenang.
Sehingga, si brewok dan kawan-kawannya saling bertukar pandangan penuh kehera-
nan. "Hm...," gumam lelaki brewok sambil menatap wa-
jah sepasang anak muda itu.
Jelas, ia tengah menilai pasangan itu. Apalagi, ketika matanya kembali melahap
wajah dara jelita berpakaian hijau. Maka, hatinya pun semakin kuat men-
duga kalau mereka pasti bukan orang sembarangan.
Sebab bukan mustahil pemuda itu akan aman dengan
gadis cantik di sampingnya dalam perantauannya. Dan tentu telah banyak penjahat
yang telah ditaklukkan-nya, karena berani mengganggu gadis di sampingnya.
Mendadak saja, lelaki brewok itu menotok lumpuh
tubuh Wilang. Kemudian, diberikannya isyarat terhadap ketujuh orang kawannya
untuk mengurung pasa-
ngan anak muda itu. Rupanya, nafsu birahi lelaki brewok itu sudah bergejolak
melihat gadis jelita di depannya. Pikiran untuk memiliki, membuatnya segera saja
melumpuhkan Wilang. Kemudian, dia ikut ber-gerak
mengepung pasangan muda itu.
"Hm...."
Pemuda tampan berjubah putih itu terlihat hanya
tersenyum menyaksikan tingkah calon lawan-lawan-
nya. Melihat dari cara mereka memandang yang ter-
tuju ke arahnya, mengertilah pemuda itu kalau mereka ingin merebut gadis cantik
di sampingnya. Itulah yang membuatnya tersenyum.
"Kakang, serahkan mereka padaku...," ujar gadis
berpakaian hijau di samping pemuda itu.
"Hm.... Menyingkirlah, Kenanga. Untuk kali ini, biar aku yang akan memberi
pelajaran...," jawab pemuda
tampan berjubah putih itu dengan suara lembut Nada suaranya jelas menyembunyikan
ketegasan yang tidak bisa dibantah. Sehingga, dara jelita yang dipanggil Kenanga
itu bergerak menyingkir. Dan sudah pasti, pemuda tampan itu adalah Panji, yang
berjuluk Pen- dekar Naga Putih.
"Heeeaaa...!"
Baru saja dara jelita itu bergerak mundur, salah
seorang dari pengepungnya telah berseru untuk me-
mulai serangan. Tubuhnya meluncur ke depan, den-
gan tusukan pedang yang mengancam tubuh Panji.
Pendekar Naga Putih sendiri sama sekali tidak be-
rusaha bergerak dari tempatnya berdiri. Tubuhnya
hanya meliuk sedikit, ketika ujung pedang lawan datang mengancam. Dan begitu
lewat satu jari di sisi tu-
buhnya, tangan Panji langsung saja mencekal per-
gelangan yang memegang pedang!
Clappp! "Uuuhhh...!"
Gerakan Panji yang memang demikian cepat, mem-
buat lawan tidak sempat lagi melihat Lelaki berse-
ragam hitam itu tentu saja kaget bukan main, ketika tahu-tahu pergelangan
tangannya telah tercekal lawan.
Dan sebelum sempat disadari, tahu-tahu saja tubuh-
nya terasa seperti terbang ke atas sebuah pohon.
Gusraaakkk! "Tolooong...!"
Lelaki berseragam hitam itu berteriak-teriak minta tolong, ketika tubuhnya
tersangkut di salah satu ranting pohon.
"Keparat...!"
Lelaki brewok yang bertubuh tinggi besar itu meng-
geram marah melihat kawannya diperlakukan demi-
kian. Dengan teriakan nyaring, tubuhnya lang-sung
melesat diiringi sambaran pedangnya. Serangan-nya
diikuti pula oleh keenam kawannya yang lain.
"Yeaaahhh...!"
Beeettt! Beeet! Beeet!
Ketujuh batang pedang lelaki berseragam hitam itu
menyambar mengincar tubuh Pendekar Naga Putih.
Namun dengan ringannya, tubuh Panji bergerak kian
kemari di antara sambaran sinar pedang pengeroyoknya. Sehingga, tak satu pun
senjata lawan yang mam-pu melukai tubuhnya. Bahkan untuk menyentuh ju-
bahnya pun tidak mampu. Tentu saja, kenyataan itu
membuat para pengeroyoknya menjadi semakin pena-
saran. Namun, Pendekar Naga Putih tidak mau berlama-
lama dalam menghadapi mereka. Ketika merasa telah
cukup, mulai dilepaskannya tamparan-tamparan ke
arah para pengeroyok. Karuan saja, keadaan langsung berubah. Bahkan para
pengeroyok itu semakin bertambah terkejut!
Tanpa dapat dicegah lagi, satu persatu para penge-
royok mulai berjatuhan. Dan dalam waktu singkat,
hanya tinggal lelaki brewok itu yang masih bertahan.
Itupun nampak sudah tidak mungkin bertahan lama.
Buktinya, kini tamparan yang dilontarkan Panji sangat sulit dihindari. Hingga,
akhirnya.... Whuuut... Plakkk!
"Aaakkkhhh...!"
Tamparan yang cukup keras dan cepat, telah
menghantam sisi kepala lelaki brewok itu. Tanpa ampun lagi, tubuhnya yang tinggi
besar berputar bagaikan gangsing. Dan tidak lama kemudian, dia ambruk
ke tanah. Kepala laki-laki itu kontan terasa pusing, dan perut terasa mual.
"Hm.... Pergilah!. Aku tidak punya urusan pribadi dengan kalian, dan kuharap
jangan mengulangi perbuatan-perbuatan jahat seperti ini lagi...," ujar Pendekar
Naga Putih dingin dan menggetarkan.
Setelah berkata demikian, Panji melangkah meng-
hampiri Wilang yang kali ini menatap penuh kekagu-
man. Namun, si brewok rupanya masih belum menerima
kekalahannya. Dengan gerak perlahan, lelaki tinggi besar itu bangkit berdiri.
Dengan licik, tubuhnya melesat sambil mengayunkan senjatanya ke leher pemuda
itu, hendak membokong lawannya.
"Kakang awaaas...!"
Kenanga yang sempat melihat perbuatan lelaki bre-
wok itu, hanya bisa memperingatkan kekasihnya. Si-
kapnya hanyalah merupakan kekhawatiran seorang
wanita terhadap keselamatan pemuda yang disayangi-
nya. Meskipun, hal itu sebenarnya tidak perlu. Apalagi, buat Pendekar Naga Putih
yang kepandaiannya sudah
sangat tinggi. Suara desingan pedang jelas tertangkap oleh telinga Pendekar Naga Putih.
Jangankan, suara sambaran pedang yang sekeras itu. Bahkan yang sepuluh kali
lebih halus pun masih dapat tertangkap oleh indra penden-garannya!
Beeeuuuttt! Panji menundukkan kepala sambil memasang ku-
da-kuda rendah. Hatinya sempat merasa geram meli-
hat kelicikan lawannya. Maka begitu mata pedang lewat, cepat dia berbalik dan
langsung menggedor dada lawan dengan telapak tangan terbuka!
Blaaaggg...! "Hukhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi besar itu langsung
saja tersentak deras ke belakang. Darah segar kontan menyembur keluar dari
mulutnya. Kemudian, tubuh si brewok jatuh berdebuk nyaring, dan tak bergerak-
gerak lagi. Tampaknya dia telah tewas akibat hantaman telapak tangan Panji tadi.
Melihat pimpinannya tewas hanya sekali pukul, tu-
juh orang berseragam hitam lainnya sama-sama ter-
belalak dengan wajah pucat! Kemudian, berlangsung-
lah peristiwa yang sama sekali tidak diduga Pendekar Naga Putih!
"Heaaahhh...!"
Orang pertama yang mengambil senjata dari atas
tanah, membentak keras. Kemudian, dia menggorok
lehernya sendiri. Darah segar kontan memancur deras dari sayatan mata pedang.
Setelah menggelepar sesaat, orang itu pun ambruk dengan napas putus!
Kematian orang yang menggorok urat nadi di leher-
nya sendiri, masih disusul enam orang lainnya. Mereka seperti telah sepakat
membunuh diri, setelah melihat kematian pemimpinnya.
Tentu saja kejadian itu membuat Panji terkejut, dan tidak mampu mencegah. Selain
jarak terpisah cukup
jauh, orang-orang berseragam hitam itu memang telah meletakkan mata pedang di
kulit lehernya.
"Hm,... Bagus, mereka telah mengambil keputusan
sendiri...," terdengar gumaman Kenanga yang mem-
buat Panji tersentak dari lamunan. Terdengar helaan napas berat Pendekar Naga
Putih ketika melanjutkan langkahnya menghampiri Wilang.
*** Panji segera memeriksa luka di kaki kanan Wilang,
setelah membebaskan totokannya. Kemudian, ditabur-
kannya obat bubuk pada luka yang terkena pisau terbang tadi. Sedangkan untuk
luka-luka memar akibat
siksaan lawan, Panji memberikan sebuah obat pulung berwarna putih.
"Terima kasih, Kisanak. Entah apa jadinya kalau
saja kau tidak keburu datang menolong. Mudah-
Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mudahan, di satu hari kelak aku bisa melunasi hutang budi ini...," ucap Wilang
sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
Lelaki itu diam-diam kagum terhadap kemanjuran
obat yang diberikan Panji. Hanya saja, Wilang sama sekali tidak mengucapkannya.
Hanya gerak dan wajahnya saja yang jelas-jelas mencerminkan kalau kesehatannya
sudah mulai pulih.
"Tidak perlu merasa berhutang budi, Kisanak. Aku
sendiri hanya kebetulan lewat. Jadi, rasanya tidak perlu membalasnya...," tukas
Pendekar Naga Putih mem-
balas hormat sambil tersenyum. Dan justru, sikap itu semakin menimbulkan rasa
hormat di hati Wilang. Dia sampai bingung, harus berkata apa. Hanya pancaran
wajahnya saja yang mencerminkan rasa hormat-nya.
"Kalau boleh ku tahu, apa sebenarnya yang telah
terjadi...?" tanya Panji.
Semenjak tadi, Pendekar Naga Putih memang me-
rasa penasaran setelah menyaksikan orang-orang berseragam hitam itu melakukan
bunuh diri secara berturut-turut. Maka ingin diketahuinya latar belakang
kejadian yang sebenarnya.
Wilang tentu saja tidak berkeberatan untuk men-
ceritakan kejadian yang dialaminya. Namun, sebelum lelaki itu sempat bercerita,
tiba-tiba terdengar lengki-ngan panjang yang mengandung kemarahan. Serentak,
Panji, Wilang, dan Kenanga sama-sama menolehkan
kepala memandang ke satu arah.
"Kurang ajar...! Siapa yang telah berani mati mem-
bantai murid-murid Ayahku" Hayo, jawab"! Kalau ti-
dak, nyawa kalian bertiga yang akan menjadi ganti-
nya...!" bentak seorang gadis berparas cantik dan manis. Sepasang matanya yang
bulat, menyorot tajam ke arah tiga wajah di depannya. Terlihat api kebencian
terpancar di sepasang matanya.
Kenanga yang merasa tertantang oleh kata-kata ka-
sar gadis remaja itu, langsung saja bergerak bangkit.
Bahkan dengan sorot mata tidak kalah tajam dan me-
nakutkan. Dihadapinya dara remaja itu sambil berka-cak pinggang.
"Hei, nenek-nenek bawel! Mengapa berteriak-teriak
tanpa sebab di tempat ini" Apakah kehilangan sirih?"
tanya Kenanga. Melihat dari ucapannya jelas-jelas Ke-
nanga merasa jengkel terhadap dara yang begitu da-
tang langsung marah-marah.
Lain halnya Wilang. Ternyata, nyalinya langsung
ciut begitu mengenali dara remaja itu. Perlahan dia be-ringsut mundur menjauhi
gadis yang ternyata putri
Elang Laut Utara. Dan rupanya, gadis itu telah tiba pula di tempat ini. Bagi
Wilang yang kenal tentu saja tidak aneh melihat gadis itu begitu datang langsung
marah-marah. Tentu saja, gadis remaja itu pasti menyangka kalau murid-murid
ayahnya telah dibunuh
mereka. Sehingga, Wilang yang sudah merasakan ke-
hebatan gadis remaja itu berniat hendak menghindar.
Paling tidak, agar tidak sampai terkena amarah gadis remaja yang berkepandaian
tinggi itu. Pendekar Naga Putih sendiri langsung sudah bisa
menduga hubungan antara gadis remaja itu dengan
orang-orang berseragam hitam yang telah bunuh diri.
Tentu saja semua itu diketahui dari ucapan-ucapan-
nya yang baru saja dilontarkan tadi. Maka, Pendekar Naga Putih segera saja
bangkit agar tidak terjadi per-tumpahan darah di antara kedua orang gadis itu.
Sedangkan putri Elang Laut Utara yang bernama
Surni tentu saja semakin mengkelap marah dimaki-
maki seperti itu. Dengan bergetar, jari telunjuknya di-tudingkan ke wajah
Kenanga. "Setan! Siapa kau"! Apakah kau yang telah mem-
bela keparat busuk itu dan membantai murid-murid
Ayahku" Kalau begitu, kau harus bertanggung jawab
atas nyawa mereka...!" dengus Surni sambil menoleh ke arah Wilang yang makin
ciut nyalinya. Sebenarnya rasa takut yang dialami Wilang, bukan
karena takut. Justru rasa khawatir akan keselamatan kawan-kawannyalah, yang
membuatnya jadi takut.
"Nisanak! Bersabarlah sedikit...," Panji segera saja
menimpali ketika melihat gadis remaja itu sudah siap menyerang Kenanga. "Harap
kau ketahui, kematian
orang-orangmu itu sebenarnya karena mereka telah
bunuh diri. Semua itu dapat dilihat dari senjata-
senjata yang bergeletakan di dekat mayat mereka."
Surni menoleh ke arah Panji, menatap penuh seli-
dik. Kilatan kekaguman terlihat, meskipun hanya sekilas memancar di mata gadis
remaja itu. Kemudian,
terdengar suaranya tanpa menoleh ke arah mayat mu-
rid-murid ayahnya.
"Alasan! Pasti kau ingin membela kekasihmu yang
cantik jelita ini, bukan" Pantas saja! Apalagi, tampaknya kekasihmu itu cukup
cantik dan genit," dengus Surni.
Entah mengapa, tiba-tiba saja Surni merasa panas
hatinya melihat pemuda tampan berjubah putih itu
berdiri di pihak lawan. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, ucapan-ucapannya
keluar begitu saja. Padahal, jelas kata-katanya mengungkapkan apa yang
terkandung dalam hatinya saat itu. Dan, Kenanga yang langsung dapat menangkap
maksudnya jadi tersenyum si-
nis. "Hm..., tentu saja akulah yang akan dibelanya. Apa kau cemburu" Sayang sekali.
Carilah laki-laki lain agar kelak ada orang yang membelamu...."
Tanpa peduli perasaan Surni, Kenanga langsung sa-
ja memojokkannya dengan ucapan yang tajam dan te-
pat. Akibatnya, wajah Surni memerah karena rahasia hatinya dapat diketahui gadis
jelita berpakaian hijau itu. "Keparat! Apa kau kira aku naksir dengan
kekasihmu"! Huh! Mulutmu jahat sekali, dan perlu diberi pelajaran!"
Setelah berkata demikian, Surni segera saja melesat
menerjang Kenanga!
*** 7 "Hiaaattt..!"
Surni yang merasa terhina oleh ucapan Kenanga,
langsung saja melancarkan serangkaian pukulan dan
tendangan yang menimbulkan angin berkesiutan. Nya-
ta sekali sifat kejam gadis remaja itu. Dalam serangan pertama saja, pukulan-
pukulan dan tendangannya telah terisi oleh hawa maut Sehingga, Pen-dekar Naga
Putih sendiri sempat mengerutkan kening-nya melihat keganasan gadis remaja itu.
Kenanga tentu saja tidak tinggal diam, dan segera
mengimbangi dengan jurus-jurus andalannya. Apalagi, sekali mendengar angin
pukulan lawan, segera saja
dapat dinilainya kehebatan tenaga sakti yang dimiliki Surni. Jelas, Kenanga
tidak mau tanggung-tanggung
lagi. "Haiiittt..!"
"Heaaattt..!"
Kedua orang wanita itu saling terjang menggunakan
jurus-jurus ampuhnya. Tubuh mereka berkelebatan
menyerupai dua sosok bayangan samar yang saling libat, teriakan dan sambaran
angin pukulan menderu
tajam. "Hebat... Siapa sebenarnya gadis remaja itu" Kepandaiannya sangat tinggi dan
ganas. Ilmu-ilmu yang dimilikinya jelas-jelas dari aliran hitam. Entah, murid
siapa gadis remaja itu...?" desis Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya merasa kagum me-
lihat gadis remaja itu sanggup menghadapi Kenanga
dalam dua puluh jurus lebih. Padahal, kepandaian Kenanga sendiri sudah sangat
tinggi, dan jarang tandi-ngannya.
Sedangkan Wilang sudah bergerak semakin men-
jauhi tempat itu. Lelaki yang usianya hampir separuh baya ini sepertinya telah
bertekad meninggalkan tempat itu untuk mengabarkan kepada kawan-kawannya
tentang kemunculan seorang gadis remaja keturunan
Elang Laut Utara. Namun, ketika Wilang membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan
tempat itu, ia terkejut bukan main. Ternyata pada saat berbalik, tubuhnya
hampir bertabrakan dengan sosok berjubah putih.
"Aaahhh"!"
Wilang langsung melompat mundur, dan bersiap
menyerang. Tapi ketika mengenali sosok berjubah putih itu, hatinya kontan merasa
takut, heran, dan ngeri.
Ternyata, sosok berjubah putih itu tak lain dari Pendekar Naga Putih.
"Panji..."!" desis Wilang.
Laki-laki itu hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Padahal sebelum
berbalik tadi, jelas-jelas Panji terlihat masih berdiri membelakanginya sambil
menyaksikan pertarungan. Untuk memastikannya, Wilang mencoba menoleh ke
belakang. Namun, sosok
pemuda berjubah putih itu memang sudah tidak ada
lagi di tempatnya semula. Tentu saja kenyataan itu membuat Wilang bergidig.
Selama hidupnya, belum
pernah ia menyaksikan atau mendengar kehebatan il-
mu meringankan tubuh yang telah begitu tinggi.
"Mengapa hendak pergi secara diam-diam, Wi-
lang..." Apakah hendak melarikan diri dari kesala-
han...?" tegur Pendekar Naga Putih dengan suara ber-wibawa. Sehingga, Wilang
sempat gugup oleh perta-
nyaan pemuda itu.
"Sungguh, Panji. Aku sama sekali tidak salah. Kalau kau ingin tahu, gadis remaja
itu adalah keturunan
Elang Laut Utara. Beberapa hari yang lalu, ayahnya telah membunuh ketua
perguruan kami yang berjuluk
Sepasang Ular Perak. Begitu kami menemukan mayat-
nya, Elang Laut Utara telah lenyap entah ke mana per-ginya. Lalu aku dan
sembilan orang tokoh lain mendatangi pulau tempat tinggal Elang Laut Utara.
Tapi, semua kawanku telah dibantai secara keji oleh iblis beti-na itu bersama
pengikutnya. Hanya aku sendiri yang selamat. Lalu, aku melarikan diri untuk
mengabarkan kawan-kawan yang lain, agar tidak sampai celaka di tangan gadis
iblis itu. Hal ini kulakukan, karena selain aku, tidak ada seorang pun yang tahu
kalau Elang Laut Utara mempunyai seorang pewaris yang tidak kalah kejam...," jelas Wilang
panjang lebar kepada Panji dengan terpaksa, karena tidak ingin dituduh yang
bukan-bukan. "Maaf, Wilang. Kalau memang demikian, tentu saja
aku tidak bisa mencegahmu. Silakan...," ucap Panji seraya memberi jalan kepada
lelaki gagah itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Wilang segera
bergegas meninggalkan tempat itu.
"Sekali lagi, terima kasih atas pertolonganmu, Pan-ji...," ucap Wilang sebelum
tubuhnya lenyap di kejau-han.
Lelaki gagah bertubuh sedang itu sama sekali tidak tahu kalau pemuda tampan yang
dihadapinya adalah
Pendekar Naga Putih. Panji sejak tadi memang belum menunjukkan 'Tenaga Gerhana
Bulan'nya. Dan lagi,
dia dan Kenanga juga tidak memperkenalkan diri ke-
pada Wilang. *** Sepeninggal Wilang, Panji kembali mengalihkan per-
hatian ke arena pertarungan. Saat itu tampak Kenanga sudah mulai mempergencar
serangan-serangannya.
Maka meskipun Surni mencoba bertahan, tetap saja
dapat didesak gadis jelita itu. Selain lebih berpengalaman, kepandaian Kenanga
juga masih berada di atas lawannya.
"Hiaaattt.!"
Dalam kemarahannya, Surni memekik keras. Tu-
buhnya yang tengah didesak tiba-tiba melambung.
Kemudian, putri Elang Laut Utara itu menukik cepat dengan sepasang tangan
membentuk cakar elang. Siap merencah tubuh lawannya!
Kenanga tentu saja tidak tinggal diam, menyadari
kedahsyatan serangan lawan. Cepat-cepat tubuhnya
bergeser dengan kuda-kuda rendah, kemudian melam-
bung disertai teriakan nyaring mengejutkan. Itulah jurus 'Bidadari Menabur
Bunga' warisan gurunya. Be-
danya, ilmu pedangnya kali ini dipergunakan de-ngan tangan kosong. Meskipun
begitu, kehebatannya tidak berkurang.
"Yeaaahhh...!"
Dua sosok tubuh yang saling melenting di udara
tampaknya telah berniat adu nyawa. Ini terlihat dari jurus-jurus pamungkas yang
sama-sama digunakan.
Melihat kenyataan itu, Panji tidak tinggal diam. Maka tubuhnya cepat melesat dan
langsung menerjang tepat di tengah keduanya. Dengan mempergunakan 'Tenaga
Inti Panas Bumi', Panji mendorongkan telapak tangannya ke kiri dan ke kanan.
Tentu saja, dorongan itu hanya sekedar untuk mencegah agar kedua wanita itu
tidak terluka. Tentu saja hal itu dapat dilakukannya, karena tena-ga jelmaan Pedang Naga Langit
yang dapat diguna-kan
sesuai keinginan.
Bressshhh...! "Uuuhhh..."!"
"Aaahhh...!?"
Baik Kenanga maupun Surni sama-sama terkejut
ketika merasakan sesuatu kekuatan aneh yang amat
kuat. Bahkan kekuatan itu telah memaksa tenaga me-
reka jadi tersedot, untuk kemudian berbalik. Akibatnya mereka jadi terjatuh ke
tanah. Untungnya, mereka dapat bertindak sigap sehingga jatuh dengan kedua kaki
terlebih dahulu.
"Kakang..."! Apa-apaan ini..."!" sentak Kenanga
yang tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Panji.
"Kenanga, tenanglah. Untuk apa saling membunuh
tanpa alasan kuat" Rasanya terlalu terburu-buru kalau berniat mengadu nyawa
dalam pertarungan ini...,"
sahut Panji dengan tatapan mohon pengertian dari kekasihnya. Mau tidak mau,
Kenanga bungkam tidak
membantah lagi.
Lain halnya Surni. Perbuatan Panji yang sebenar-
nya malah menyelamatkan dirinya, dianggap sebagai
suatu penghinaan. Bahkan juga keroyokan. Sehingga, sepasang matanya yang penuh
kebencian menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih.
"Hmh! Walaupun kepandaian kalian kuakui sangat
hebat, tapi jangan sombong dulu! Jangan sukanya
main keroyok. Huh! Kalau saja Ayahku masih hidup,
rasanya kalian tidak akan selamat dari hukuman.
Hm.... Hari ini aku mengaku kalah. Tapi, ingat Sebagai putri Elang Laut Utara,
aku yang bernama Surni tidak akan pernah lupa atas penghinaan ini...!"
Usai berkata demikian, Surni segera meninggalkan
tempat itu tanpa memberi kesempatan kepada Panji
dan Kenanga untuk membantah kata-katanya.
"Hei..., tunggu...!"
Panji yang masih merasa penasaran, segera men-
jejak tanah. Tubuhnya langsung melambung dan ber-
putar beberapa kali di udara. Kemudian, ke dua kakinya mendarat ringan beberapa
langkah di depan Surni.
"Hm.... Rupanya kau masih belum puas, pemuda
curang"! Baiklah! Kalau memang menghendaki nyawa-
ku, hari ini juga kita mengadu nyawa...!" tandas Surni sambil menggeser kuda-
Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kudanya. Sikap gadis itu jelas tidak main-main. Sehingga,
Panji yang semula hendak menjelaskan kepada gadis
itu, terpaksa menyingkir memberi jalan. Tampaknya
keputusan gadis remaja itu memang tidak bisa di rubah lagi.
"Hh.... Sayang sekali kau terlalu keras kepala, Nisanak. Kalau memang hendak
pergi, pergilah. Aku tidak akan menahanmu...,"
Setelah berkata demikian, Panji menyingkir dan
bergerak menghampiri Kenanga. Tidak dipedulikannya lagi ketika Surni melesat
dengan memendam sakit ha-ti.
*** Dara itu berdiri lesu di bibir sungai. Pandang ma-
tanya menerawang jauh, bagai tak bertepi. Dari raut wajahnya yang masam, jelas
kalau perasaannya tengah semrawut.
"Ayah.... Kalau saja kau masih ada di sampingku,
rasanya tidak mungkin aku akan mengalami peng-
hinaan seperti kemarin. Mereka pasti akan kau hajar habis-habisan, karena berani
menghinaku...," desah gadis remaja itu dengan suara bergetar, menyimpan
kedukaan. Perlahan kepala yang semula tegak itu tertunduk
lesu. Kemudian kepala gadis itu kembali tegak, seraya membalikkan tubuhnya dan
melangkah meninggalkan
sungai. Gadis remaja yang tak lain Surni itu rupanya san-
gat terpukul sekali atas penghinaan Panji. Itulah yang membuatnya berduka.
Apalagi ketika teringat ayahnya yang semenjak kecil telah mendidiknya.
Sehingga menurut anggapannya, kepandaian ayah-
nya paling hebat Dan memang, sejak kecil hanya
ayahnyalah yang bersamanya. Dan yang diketahuinya, ayahnya sangat sakti. Semua
itu sering diperlihatkan ayahnya untuk memancing semangatnya agar giat berlatih.
"Hhh...," kembali terdengar helaan napas berat,
yang mengungkapkan betapa hati gadis remaja itu
tengah gundah. Dengan langkah agak gontai, Surni melangkah me-
nyusuri sebuah perkebunan karet. Kepala yang ter-
tunduk itu baru terangkat tegak saat terdengar suara langkah kaki dari depannya.
Dengan penuh kecurigaan, Surni menatap enam orang lelaki gagah yang
berjalan dari arah yang berlawanan.
"Eh..."!"
Surni yang sejak semula memang merasa curiga
deh rombongan enam orang lelaki gagah itu, meng-
angkat alisnya dengan raut wajah terkejut Betapa tidak" Salah seorang dari
keenam lelaki gagah itu dike-nalinya betul. Memang, orang yang dilihatnya adalah
Wilang. "Lihat..! Itu dia gadis kejam putri Elang Laut Uta-ra...!" seru lelaki gagah
bertubuh sedang yang memang Wilang, sambil menunjuk ke arah Surni.
Sedangkan lima orang lelaki gagah kawan Wilang,
langsung berlompatan dengan gerakan ringan dan gesit Dalam beberapa lompatan
saja, mereka telah rapat mengurung Surni. Melihat bentuk kepungan itu, Surni
sadar kalau lawan menggunakan jurus gabungan untuk melumpuhkannya.
"Ha ha ha...! Kali ini kau tak akan lolos, wanita iblis...!"
Wilang tertawa keras seraya melesat dan bergabung
bersama kelima rekannya. Melihat dari raut wajahnya yang penuh keyakinan,
rupanya Wilang sudah dapat
memastikan kalau Surni tidak akan mampu meng-
hadapi kelima orang lelaki gagah temannya.
Surni berdiri tenang, meski hatinya sedikit tegang.
Sejak menyadari kalau kepandaiannya bukan yang
paling hebat di kolong jagad, keyakinan gadis remaja itu sedikit berkurang.
Perasaan itu membuatnya menjadi mudah tegang dalam menghadapi perkelahian.
Padahal kalau saja tahu siapa pasangan pendekar
yang mengalahkannya kemarin, belum tentu akan me-
rasa berduka seperti itu. Karena memang wajar kalau kalah oleh Pendekar Naga
Putih atau Kenanga yang
memiliki kepandaian sangat tinggi.
Demikian pula dalam menghadapi kelima orang le-
laki gagah yang mulai berputar mengepungnya. Hati
Surni sedikit tegang, takut mengalami kekalahan lagi.
Padahal, keyakinan hati sangat berperan dalam se-
buah perkelahian. Makin tinggi keyakinan seseorang, akan semakin tenanglah dalam
menghadapi dan mencari kelemahan lawan.
Dalam ketegangan dan rasa takut akan kekalahan,
Surni menjadi jengkel. Rasa jengkel itu membuat nafsu membunuhnya menjadi
semakin berlipat
"Bangsat kau, lelaki pengecut! Rupanya ini maksud-
mu melarikan diri! Mengapa hanya lima orang yang
kau bawa" Apakah kau yakin mereka mampu menun-
dukkanku...?" terdengar suara Surni yang bernada
mengejek. Sambil berkata demikian, dara remaja itu menarik
keluar sebilah pedang yang selama ini jarang dipergunakan, dan hanya menghias
punggungnya saja.
Sriiinggg...! Kilatan merah berkeredep ketika Surni menggerak-
kan senjatanya secara bersilangan, sebelum dilintangkan di depan dada. Sorot
matanya yang tajam, me-
nyiratkan tekad untuk bertarung sampai mati.
Wilang yang memang sangat mendendam atas ke-
matian kawan-kawannya di Pulau Elang Hitam, me-
langkah maju dua tindak sambil menudingkan telun-
juk ke wajah Surni.
"Dengar, gadis keparat! Selain telah mengakibatkan kawan-kawanku terbunuh, kau
juga pengemban dosa
dari semua kejahatan yang dilakukan Elang Laut Uta-ra selama hidupnya! Dan, dosa
itu hanya dapat dicuci dengan darahmu! Untuk itu, kau harus mati di tangan
kami...," dengus Wilang yang jelas-jelas memancarkan dendam dan rasa sakit
hatinya. Suaranya terdengar
lantang dan menggetarkan.
Tapi, Surni bukannya takut mendengar ucapan itu.
Rasa jengkel dan nafsu membunuh yang telah me-
nguasai hatinya, membuatnya semakin merasa benci
terhadap lelaki bertubuh sedang itu. Maka....
"Yeaaattt..!"
Tanpa banyak ribut lagi, langsung saja Surni me-
luncur dengan tusukan pedang ke tubuh Wilang. Se-
pertinya, hal itu sengaja dilakukan selagi Wilang belum siap. Bahkan pedangnya
telah tertuju lurus ke jantung Wilang.
Namun, kelima orang lelaki gagah yang mengurung
Surni tentu saja tidak tinggal diam. Seiring teriakan nyaring yang melengking,
dua dari kelima pengepung langsung melesat disertai putaran pedangnya yang
menimbulkan angin menderu tajam. Keduanya langsung
memapak serangan Surni
"Haiiittt..!"
Serangan dari dua arah oleh dua orang pengepung
membuat Surni terpaksa harus menunda serangan-
nya. Memang, meskipun serangannya mungkin bisa
melukai Wilang, tapi dia sendiri juga tidak akan terle-pas dari ancaman kedua
bilah pedang pengepung-nya.
Dan, Surni lebih utama memilih keselamatan dirinya.
"Yiaaahhh...!"
Sambil mengeluarkan bentakan keras, Surni memu-
tar pedangnya merubah serangan. Kali ini pedangnya diputar sedemikian rupa
mengelilingi tubuhnya. Hingga, terbentuklah sinar merah yang bergulung-gulung
bagaikan gelombang angin puyuh!
Traaang! Traaang!
Tanpa dapat dicegah lagi, ketiga bilah pedang itu
saling berbenturan keras disertai percikan bunga api yang berpencaran!
Surni seketika merasakan telapak tangannya agak
bergetar akibat benturan tadi. Maka, tentu saja dia cukup dibuat terkejut. Hal
itu menandakan kalau tenaga dalam lawan-lawannya hanya berselisih sedikit di ba-
wahnya. Akibatnya, kini hatinya semakin resah. Tam-bahan lagi, lawannya
berjumlah lima orang, di-tambah Wilang yang belum ikut terjun mengeroyoknya.
Tentu saja jumlah dan kekuatan lawan membuat Surni seperti tidak mempunyai
kesempatan untuk menang.
"Hmhhh! Biar bagaimanapun, aku harus mem-
bunuh mereka sebanyak-banyaknya sebelum tubuhku
dirajam mereka...," tekad Surni, yang membuat ha-
tinya menjadi mantap.
"Hiaaattt..!"
Kembali Surni memekik nyaring sambil memutar
pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sehingga, gundukan sinar merah semakin melebar
menyelimuti tubuh gadis remaja itu.
Tapi, lawan Surni kali ini bukan orang sembara-
ngan. Kelima lelaki gagah yang berusia rata-rata sekitar empat puluh tahun itu
dalam kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Algojo Dari Timur. Maka sudah
tentu kepandaian yang mereka miliki tidak bisa dipan-dang remeh. Bahkan Sepasang
Ular Perak sendiri me-
rasa hormat dan cukup segan terhadap kelima lelaki gagah yang juga wakil-
wakilnya itu. Jelas, kali ini Surni benar-benar menghadapi kesulitan besar!
Dengan teriakan-teriakan nyaring yang susul me-
nyusul, kelima lelaki gagah itu satu persatu melesat disertai putaran senjata
untuk menggempur Surni.
Tentu saja dengan bertarung seperti itu, Algojo Dari Timur tidak pernah merasa
kelelahan. Apalagi untuk kehabisan tenaga. Setiap kali seorang maju menyerang,
yang lainnya hanya menunggu, untuk kemudian
menggantikannya. Hal itu membuat Surni jadi ke-
bingungan dan terdesak hebat!
"Bangsat...!"
Kejengkelan yang menggumpal di dalam dada,
membuat Surni melontarkan makian dengan teriakan
melengking. Serangan lawan yang berganti-ganti selain membuat pusing, juga
jengkel. Semua itu membuat gerakannya menjadi tidak teratur dan sering kacau.
Sehingga, semakin bertambah payahlah keadaannya.
"Haaattt...!"
"Haaattt...!"
Secara susul menyusul, kelima lelaki gagah itu
kembali berlompatan dengan putaran pedang men-
deru-deru! Surni yang sudah terdesak dan gerakannya semakin kacau, sepertinya
tidak mungkin lagi menyelamatkan diri dari kelima bilah pedang yang berkeredep
menyilaukan mata!
Breeet! Breeet!
"Aaakkkhhh...!"
Surni yang berusaha untuk menghindari sambaran
kelima bilah senjata lawan, tak urung harus menerima dua di antara kelima bilah
pedang yang menggores tubuhnya. Meskipun luka sambaran kedua bilah pedang
itu tidak sampai menewaskannya, namun cukup
membuatnya semakin sulit melakukan perlawanan.
Sementara itu, darah terus mengalir seiring rasa perih yang terasa menggigit
tubuhnya. "Ooohhh...," keluh Surni, lirih sambil menggigit bibirnya kuat-kuat Wajah
cantiknya tampak mulai me-
mucat. Memang, darah yang keluar cukup banyak, se-
hingga membuatnya semakin bertambah lemas.
"Hm.... Terimalah hukuman atas dosa-dosa yang te-
lah diperbuat Ayahmu, wanita sesat..!"
Begitu suara salah seorang dari mereka lenyap, ke-
lima orang lelaki gagah kembali berlompatan disertai kilatan-kilatan pedang yang
susul-menyusul. Akibatnya, Surni yang sudah goyah kuda-kudanya, hanya bi-sa
menunggu datangnya maut yang segera menjem-
put "Hiaaattt...!"
Pekikan yang susul-menyusul itu semakin menga-
caukan jalan pikiran Surni. Seperti tidak tahan akan siksaan itu, akhirnya Surni
menjatuhkan senjatanya.
Seketika kedua telinganya ditutup dengan tangannya.
Terdengar rintihan putus asa dari kerongkongannya.
"Ayaaah...," dalam keputusasaannya, Surni me-
manggil nama ayahnya untuk yang terakhir kali. Na-
mun.... Tranggg! Traaang! Traaang!
"Aaakhhh...!"
"Uuughhh...!"
Pada saat ajal Surni sudah hampir tiba, tahu-tahu
saja sesosok bayangan hitam berkelebat bagai kilat, langsung memapak pedang
kelima lelaki gagah itu.
Seiring benturan yang memekakkan telinga dan teriakan-teriakan kesakitan, tubuh
kelima Algojo Dari Timur berpentalan hingga sejauh dua tombak lebih! Ten-tu saja
kenyataan itu mengejutkan Wilang yang semula tersenyum melihat keadaan Surni.
*** 8 "Elang Laut Utara..."!"
Wilang berseru dengan wajah berubah tegang ketika
mengenali sosok bertubuh gemuk dan berkulit hitam.
Meskipun wajah lelaki itu agak pucat, namun kehadirannya benar-benar
menggetarkan! Wajar saja kalau mereka terkejut, sebab telah per-
caya kalau Elang Laut Utara telah tewas. Tapi pada kenyataannya, mereka harus
menelan bulat-bulat kenyataan itu. Elang Laut Utara benar-benar masih hidup.
"Benar! Akulah yang datang, manusia-manusia
pengecut! Kalian yang mengaku sebagai golongan pendekar, ternyata tak lebih dari
pengecut-pengecut rendah! Untuk menghadapi seorang gadis remaja saja, kalian
ternyata harus main keroyok! Benar-benar tak ta-
hu malu...!" dengus sosok bertubuh gemuk yang me-
mang Elang Laut Utara, dengan suara parau.
"Oh..., Ayah...!"
Surni yang untuk beberapa saat lamanya sempat
terpaku menatap sosok ayahnya hampir tak percaya.
Segera saja dia berlari menghambur ke dalam pelukan lelaki gemuk berkulit hitam
itu. Betapa tidak" Selama ini ayah yang telah dianggap tewas, ternyata masih
hidup. "Hm.... Enak saja kau menuduh kami sebagai pen-
gecut, Elang Laut Utara. Sadarkah kau dengan uca-
panmu itu" Mengapa selama ini kau menghilang dan
melepaskan tanggungjawabmu"! Apakah kau pikir
kami akan melupakan kebejatanmu begitu saja" Huh!
Tidak mungkin! Meskipun kami tidak bisa menemu-
kanmu selama beberapa bulan ini, tapi keturunanmu
harus menanggung semua dosa atas perbuatanmu.
Untuk itulah kami harus membunuhnya...," timpal
orang tertua dari Algojo Dari Timur.
"Dengar, manusia-manusia sombong! Kalau selama
ini aku menghilang, itu karena mengalami luka dalam yang cukup parah akibat
bertempur dengan Sepasang
Ular Perak. Dan setelah luka-lukaku sembuh kini aku kembali muncul untuk
membantai kalian satu persatu. Terutama orang-orang yang telah menyakiti
putriku.... Nah, bersiap-siaplah...."
Setelah berkata demikian, Elang Laut Utara mem-
bawa putrinya ke sebuah pohon, dan menyandar-
kannya. Kemudian, lelaki gemuk itu sendiri kembali menghampiri Wilang dan Algojo
Dari Timur. Sorot matanya demikian tajam dan bengis, membayangkan naf-
Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
su membunuh yang menggetarkan!
"Hm...."
Sambil mengeluarkan geraman lirih, Elang Laut
Utara yang telah melepaskan pedang merah milik pu-
trinya, menyilangkan lengan di depan dada. Jari-jari tangannya yang telah
membentuk cakar elang, tampak bergetar karena dialiri tenaga sakti yang maha
dahsyat! Sadar kalau lawan yang kali ini dihadapi me-
rupakan tokoh puncak golongan sesat, Lima Algojo Da-ri Timur segera menyebar
dengan pedang di tangan.
Demikian pula halnya Wilang. Lelaki gagah bertubuh sedang itu telah mencabut
pedang di pinggangnya.
"Haiiittt...!"
Disertai pekik elang luka, tubuh tokoh sesat ber-
kulit hitam itu bergerak maju dengan langkah-langkah pendek. Gerakannya yang
terlihat cepat dan sukar di-tangkap mata biasa, sempat membuat lawan-lawan-
nya sesaat kebingungan. Namun, begitu sambaran an-
gin tajam telah tiba semakin dekat, baik Wilang dan Lima Algojo Dari Timur sama-
sama bergerak menggempur Elang Laut Utara!
"Haaattt...!"
"Haaattt...!"
Terdengar pekikan nyaring susul-menyusul. Seiring
pekikan itu, kelima lelaki gagah yang mengepung
Elang Laut Utara bergerak berturut-turut disertai putaran senjata. Sedangkan
Wilang hanya mengikuti paling belakang. Rupanya, dia memilih menggabung-kan
diri dengan Lima Algojo Dari Timur dalam menggempur Elang Laut Utara.
Tanpa dapat dicegah lagi, pertempuran berlangsung
sengit! Baik Lima Algojo Dari Timur maupun Wilang
benar-benar penasaran melihat tokoh sesat Pulau
Elang Hitam itu ternyata sangat gesit dan sukar sekali disentuh. Apalagi,
sambaran-sambaran cakar elang
datuk sesat itu sangat berbahaya dan berbau maut
Akibatnya, cukup sulit bagi Wilang dan rekan-rekannya dalam mendesak lawan.
Bahkan justru mereka
sendirilah yang terlihat mulai terdesak, meskipun secara perlahan.
"Heaaahhh...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang kedua
puluh lima, tiba-tiba Elang Laut Utara memekik me-
ngejutkan! Lawan yang tidak menyangka bakal men-
dapat serangan suara itu, sempat terlonjak mundur
beberapa langkah. Dan pada kesempatan itulah, Elang Laut mengibaskan tangan
kanannya ke arah para pengeroyoknya! Seketika, berhamburan jarum-jarum ha-
lus berwarna keperakan dari tangannya.
Weeettt! "Awaaasss...!"
Wilang benar-benar menyadari ancaman kematian
dari kibasan tangan tokoh sesat itu. Maka, segera saja dia memperingatkan rekan-
rekannya. Sementara, ia
sendiri telah melompat menghindar sejauh-jauhnya,
sambil memutar pedang untuk melindungi diri dari
ancaman jarum-jarum halus yang mengerikan.
"Aaakkkhhh...!"
"Aaaa...!"
Namun, dua orang dari Lima Algojo Dari Timur tak
sempat menangkap arti peringatan Wilang. Akibatnya, tanpa dapat dicegah lagi
mereka menjerit kesakitan.
Mereka kemudian ambruk dan menggelepar di atas ta-
nah dengan mulut mendesis-desis dan mengaduh-
aduh. Memang, rasa gatal yang hebat telah mulai menyiksa kedua orang gagah itu.
"Hua ha ha...! Lihatlah kedua kawanmu itu, manu-
sia-manusia sombong! Sebentar lagi, kalian juga akan mengalami nasib serupa...!"
Elang Laut Utara yang merasa puas melihat hasil kerja jarum-jarum beracunnya,
disertai tawa meremehkan.
"Bedebah kau, manusia iblis...!" desis Wilang.
Wajah Wilang langsung berubah duka. Ia memang
sudah beberapa kali menyaksikan kawan-kawannya
tewas akibat kekejaman 'Racun Ubur-Ubur Laut', Se-
mua itu membuatnya tidak lagi memikirkan kesela-
matan diri lagi. Dengan serangan bagai gelombang lautan, digempurnya Elang Laut
Utara yang tengah terta-wa berkakakan.
Tiga orang dari Lima Algojo Dari Timur yang ter-
paku beberapa saat menyaksikan dua orang rekannya
yang bergulingan sambil mendesis-desis dan meng-
garuki sekujur tubuh, segera saja ikut menyerbu. Kali ini pertempuran berjalan
mati-matian, sehingga serangan-serangan mereka sangat hebat dan mengerikan!
Tapi bagi tokoh sesat kawakan seperti Elang Laut
Utara, semua itu sama sekali tidak membuatnya gen-
tar. Dengan jurus-jurus andalan, datuk sesat itu dapat mengimbangi dan bahkan
sanggup mendesak keempat
pengeroyoknya lewat jurus 'Elang'nya yang memang
sangat hebat. "Yeaaattt...!"
Untuk kesekian kalinya, ketika memasuki jurus
yang ketiga puluh, Elang Laut Utara kembali memekik mengejutkan! Dan berbarengan
dengan itu, disusulinya dengan sebuah sambaran cakar elangnya yang
mengancam Wilang. Karena, saat itu Wilang memang
yang terdekat dengannya.
Breeettt! Breeettt!
"Aaakkkhhh...!"
Sambaran cakar elang datuk sesat itu langsung me-
robek bahu dan lambung Wilang tanpa ampun. Darah
segar segera mengalir dari luka yang cukup dalam dan terasa perih. Dan selagi
tubuh Wilang terjajar limbung,
Elang Laut Utara kembali melesat hendak menghabisi riwayatnya.
"Mampus kau...!" geram Elang Laut Utara seraya
menjulurkan cakar-cakar elangnya, hendak mencabik-
cabik tubuh lawan.
"Heeeaaa...!"
Tepat pada saat sepasang cakar elang datuk sesat
itu siap mencabik-cabik tubuh lawan, tiba-tiba saja terdengar seruan nyaring
seiring berkelebatnya sesosok bayangan putih.
Plakkk! Plakkk!
"Uuuhhh..."!"
Begitu tiba, sosok bayangan putih itu langsung
memapak serangan Elang Laut Utara. Seketika ter-
dengarlah benturan keras, tak ubahnya ledakan petir di angkasa!
Tubuh Elang Laut Utara tampak terdorong balik,
hingga satu tombak lebih. Karuan saja kenyataan itu membuatnya terkejut. Maka
begitu mendaratkan kakinya di atas tanah, sepasang matanya langsung me-
nyorot tajam ke arah sosok berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawa Wilang.
Sedangkan sosok itu
tetap tenang, tanpa mempedulikan sinar kemarahan
yang terbersit pada sepasang mata Elang Laut Utara.
*** "Keparat! Siapa kau..."!" tegur Elang Laut Utara
dengan tatapan menyelidik.
Nada ucapan tokoh sesat itu jelas menandakan ke-
raguan hatinya. Memang, datuk sesat itu merasa ragu, meski telah terlintas dalam
pikirannya tentang sosok pemuda tampan berjubah putih itu.
"Hm..., Elang Laut Utara! Masih belum cukupkah
korban kekejamanmu selama ini" Apakah kau masih
tetap ingin menebarkan bencana dengan tanganmu
yang sudah berlumuran darah itu" Tidakkah ada nia-
tan untuk meninggalkan semua kejahatan dalam ha-
timu?" tegur sosok berjubah putih tanpa memper-
dulikan pertanyaan lawannya. Sepertinya, dia hendak membiarkan Elang Laut Utara
memastikan dugaannya
sendiri. Sementara itu, Wilang yang tampak masih belum
hilang rasa terkejutnya tampak telah berada di luar arena bersama seorang dara
jelita berpakaian serba hijau dan tiga orang rekannya. Mereka semua menatap
ke arah pemuda berjubah putih dan Elang Laut Utara yang tengah berhadapan.
Sebagai seorang datuk sesat kawakan yang selama
ini malang-melintang menebar bencana tanpa ada
yang berani mencegah, apalagi menasihati, tentu saja Elang Laut Utara menjadi
terbahak begitu pemuda berjubah putih itu menasehatinya. Sedangkan pemuda
tampan yang memang Pendekar Naga Putih, hanya
menatap dengan sorot mata tenang. Panji sama sekali tidak tersinggung atau
merasa terhina karena diterta-wakan seperti itu.
"Hua ha ha...! Dengarlah, bocah. Meskipun mung-
kin kau pendekar muda yang berjuluk Pendekar Naga
Putih, tapi untuk menasehati Elang Laut Utara, jangan terlalu gegabah. Tapi,
baiklah. Aku bersedia menuruti nasihatmu dengan satu syarat Dan kalau kau
menerima syaratku, hari ini juga dunia sesat akan kutinggalkan. Kalau tidak,
hm..., aku terpaksa memotes batang lehermu...!" ancam Elang Laut Utara, sungguh-
sungguh. Sehingga, Panji mengerutkan keningnya
dengan tatapan curiga.
"Katakan, apa syaratmu" Kalau memang dapat ku-
lakukan, akan kupenuhi. Tapi kalau tidak, aku siap bertarung denganmu demi
kebenaran...," tegas Panji.
Tatapan matanya mengandung kecurigaan, karena sa-
dar kalau lawannya seorang datuk sesat yang mengha-lalkan segala cara.
"Hm.... Lihatlah gadis yang tengah terduduk tak
berdaya di bawah pohon itu. Dia adalah putriku. Namanya, Surni. Kalau kau
bersedia mengambilnya se-
bagai istri, dunia sesat yang selama ini kugeluti akan kutinggalkan.
Bagaimana...?" tanya Elang Laut Utara.
Syarat itu tentu saja sangat mengejutkan hati Panji.
Memang tidak mungkin Pendekar Naga Putih dapat
memenuhi permintaan gila itu. Lantas, bagaimana
dengan Kenanga"
"Maaf, Elang Laut Utara, Syaratmu terlalu berat bagiku...," jawab Pendekar Naga
Putih dengan suara agak perlahan. Panji tidak ingin gadis bernama Surni itu
sampai mendengarnya, karena tentu perasaannya dapat terpukul dan merasa terhina.
"Bangsat! Sudah kuduga kau tidak akan sudi me-
menuhinya. Untuk itu, hanya kematianlah yang pan-
tas bagimu...!"
Usai berkata demikian, Elang Laut Utara langsung
menerjang Pendekar Naga Putih dengan jurus-jurus
andalan. Bahkan saking marah dan terhinanya, tokoh sesat itu mengumbar 'Racun
Ubur-Ubur Laut' yang
akibatnya sangat berbahaya dan mengerikan!
"Jeaaahhh...!"
Whuuut! Whuuuttt!
Panji yang langsung dapat menduga kedahsyatan
racun yang terkandung dalam jarum-jarum halus itu, langsung saja mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan' untuk melindungi tubuhnya. Sehingga, jarum-
jarum itu langsung berjatuhan ketika menyentuh dinding lapisan kabut bersinar
putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya.
Namun, datuk sesat dari Pulau Elang Hitam itu sa-
ma sekali tidak merasa putus asa. Sambaran cakar
elangnya langsung bergerak susul menyusul, meng-
incar bagian-bagian terlemah di tubuh Pendekar Naga Putih. Sayang, gempuran-
gempuran hebat Elang Laut
Utara selalu saja kandas, karena tubuh lawannya telah lenyap sebelum serangannya
sempat menyentuh. Semua itu terjadi karena ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Panji masih lebih tinggi daripada lawannya.
Akibatnya, kerapkali Elang Laut Utara terdengar
menggeram gusar karena selalu terkecoh.
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keenam
puluh tiga, tiba-tiba saja Panji mulai merubah ge-
rakannya. Pendekar Naga Putih terlihat mulai memainkan 'Jurus Naga Sakti' yang
menjadi andalannya.
Elang Laut Utara yang memang telah lama men-
dengar tentang kehebatan Pendekar Naga Putih, kali ini benar-benar dibuat
terkagum-kagum. Memang, apa yang selama ini didengarnya ternyata masih belum ada
apa-apanya dibanding yang disaksikannya sekarang.
"Gila..."!" desis Elang Laut Utara.
Saat itu terlihat tubuh Pendekar Naga Putih ber-
gerak luwes, namun jelas mengandung tenaga dalam
tinggi. Semua itu dapat dirasakan melalui sambaran angin dingin yang terasa
menusuk tulang sum-sum.
"Yeaaattt...!"
Bweeettt...! "Aiiihhh...!"
Bukan main terperanjatnya Elang Laut Utara ketika
tahu-tahu cakar lawan telah mendekati tubuhnya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera saja tu-
buhnya dilempar ke belakang, dan terus berjumpalitan menjauhi Pendekar Naga
Putih. Panji yang ingin menyelesaikan pertarungan secepat mungkin, langsung saja
melesat cepat bagai kilat! Bagaikan sebatang tombak, tubuh Pendekar Naga Putih
meluncur lurus disertai putaran sepasang cakarnya!
Dan tentu saja Elang Laut Utara sadar akan bahaya
yang mengancam.
"Haiiittt..."
Disertai pekikan nyaring, Elang Laut Utara mengi-
baskan tangannya. Seketika itu juga, puluhan batang jarum beracun langsung
beterbangan ke arah Pendekar Naga Putih. Jelas, maksudnya hendak mencegah
serangan lawan.
Tapi apa yang terjadi kemudian, benar-benar ham-
pir tidak bisa dipercaya datuk sesat itu. Puluhan batang jarum beracun yang
dilepaskannya malah da-pat ditahan angin pukulan lawannya. Bahkan, Pen-dekar
Naga Putih dapat mengendalikan, dan memutar balik
jarum-jarum beracun itu yang kini mengancam maji-
kannya. "Gila..."!"
Untuk kesekian kalinya, Elang Laut Utara kembali
terbelalak menyaksikan kesaktian lawan. Ternyata jarum-jarum yang semula
dilepaskan secara berpencar, kini malah berkumpul dan meluncur ke arah dirinya.
Dan ketika jaraknya sudah tinggal dua tombak lagi, ti-ba-tiba saja jarum-jarum
itu memecah membentuk ti-
ga kelompok. "Aaahhh"!"
Elang Laut Utara tidak sanggup lagi mengelakkan
luncuran jarum beracun miliknya. Rasa terkejut dan terkesima oleh keanehan yang
disaksikan, membuatnya terpaksa harus merasakan jarum-jarum beracun-
nya sendiri. "Aaarrrghhh...!"
Elang Laut Utara memekik tinggi ketika tiga ke-
lompok jarum beracunnya malah menembus tubuhnya
sendiri. Bahkan kelompok yang terbawah seperti se-
ngaja memecahkan obat penawar yang berada di ping-
gang kirinya. Tentu saja, musnahnya obat penawar itu membuat Elang Laut Utara
melolong dengan wajah ke-takutan!
"Ayaaahhh...!" pekik Surni di tengah ketidakber-
dayaannya. Surni yang melihat tubuh ayahnya ambruk dan
langsung menggelepar bagaikan ayam di sembelih, berusaha menghambur. Namun
Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena keadaannya me-
mang masih lemah, akhirnya malah terjatuh sebelum sampai ke tempat ayahnya
berada. "Ayaaahhh...."
Surni hanya bisa merintih sambil menggapaikan
tangannya, melihat ayahnya tengah sekarat. Memang, gadis remaja itu sadar akan
keganasan 'Racun Ubur-Ubur Laut' yang khusus diciptakan ayahnya untuk
membunuh lawan. Tapi, siapa sangka kalau akhirnya
datuk sesat itu sendiri yang harus merasakan akibat racun kejinya.
Surni hanya bisa meneteskan air mata saat me-
nyaksikan tubuh ayahnya dilumuri darah, dan tidak bergerak-gerak lagi. Elang
Laut Utara tewas akibat racun yang dibuatnya sendiri, tanpa sempat meng-ambil
obat penawarnya.
Panji bergerak menghampiri Surni. Tanpa berkata
sepatah kata pun, segera dibawanya tubuh gadis re-
maja itu ke tempat yang lebih baik. Dengan penuh
perhatian, diobatinya luka-luka Surni yang hanya menatap kosong akibat pukulan
bathin atas kematian
ayahnya. "Surni...," sapa Panji saat gadis remaja itu sudah mulai pulih tenaganya.
"Kuharap kau tidak mengikuti jejak kesesatan ayahmu. Kalau ingin berbakti
kepadanya, tebarkanlah benih-benih kebaikan di dunia ini.
Aku yakin, hal itu akan membuat ayahmu mendapat
ketenangan di alam sana...," ujar Pendekar Naga Putih.
Namun, nasihat itu sama sekali tidak ditanggap
Surni. Namun demikian, Panji tahu kalau Surni cukup mengerti dan mendengar
segala yang disampaikannya
barusan. Surni yang memang pada dasarnya berhati lembut
dan penuh kasih, menyadari sepenuhnya akan kejaha-
tan ayahnya. Dan segala nasihat Pendekar Naga Putih yang tadi didengarnya,
memang suatu kebenaran mut-lak.
Panji, Kenanga, Wilang, dan tiga orang Lima Algojo Dari Timur, hanya berdiri
dengan tatapan iba ketika Surni bersimpuh di samping makam ayahnya yang di-
buatkan Pendekar Naga Putih tadi.
"Ayah.... Mudah-mudahan di alam sana kau dapat
bersatu lagi dengan ibu. Sayang, aku belum sempat
menyampaikannya, tapi Ayah keburu meninggal. Se-
moga Ayah dan Ibu bahagia, dapat berkumpul lagi.
Sedangkan aku, akan mencoba meringankan dosa-
dosamu dengan berbuat kebaikan. Selamat tinggal,
Ayah...." Selesai mengucapkan kalimat itu, Surni mem-
balikkan tubuhnya. Sebelum pergi, masih disempat-
kannya untuk menoleh ke arah Panji, Kenanga, dan
yang lain. Kemudian, gadis itu melangkah perlahan
tanpa salam perpisahan.
"Hm.... Semoga saja dia selalu dilindungi Tuhan...,"
desah Panji yang diam-diam merasa iba terhadap gadis
remaja yang telah sebatang kara itu.
Silir angin lembut menyapu hati para tokoh persilatan itu. Mereka merasa lega,
karena Surni ternyata dapat mengerti. Bahkan tidak melanjutkan kesesatan
Elang Laut Utara.
SELESAI Scan: Clickers Edit: Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** *** 5 *** *** 6 *** *** 7 *** *** *** 8 *** SELESAI Pendekar Bloon 19 Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah Kitab Pusaka 8