Pencarian

Petualangan Di Alam Roh 1

Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh Bagian 1


PETUALANGAN DI ALAM ROH
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku M tenpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Dalam episode: Petualangan di Alam Roh
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Malam baru saja berganti pagi. Cahaya kemerahan matahari pagi sudah tampak
menyemburat di kaki langit sebelah Timur.
Kicau burung saling bersahutan, seiring makin terbukanya mata sang raja siang.
Perlahan sinar kuning keemasan menyirami tubuh bumi. Tanda kehidupan kembali
dimulai. Di bawah siraman sinar matahari pagi yang hangat menyentuh kulit, tampak sesosok
lelaki gagah tengah melangkah ringan. Kaki-kakinya tampak kokoh, menyibak
ilalang agak tergesa-gesa. Kelihatannya, tengah terburu-buru.
Lelaki gagah berperawakan gemuk itu tampaknya bukan orang sembarangan. Dalam
kalangan persilatan, ia termasuk salah seorang tokoh tingkat menengah. Namanya,
Gala Campa. Dia adalah murid tertua Ki Raksa Mala. Malah lelaki gagah itu kini telah
mewarisi Perguruan Cakar Besi, karena Ki Raksa Mala sendiri telah tewas di
tangan pembunuh yang masih terselimut kabut kegelapan (Baca serial Pendekar Naga
Putih dalam episode: Badai Rimba Persilatan). Gala Campa memang habis dari Hutan
Grambang bersama para tokoh lain. Dia kini tengah bergegas menuju perguruan yang
didirikan Ki Raksa Mala.
Setelah berpisah dengan para tokoh lain, termasuk Pendekar Naga Putih, timbul
rasa khawatir di hati lelaki gemuk itu terhadap perguruan yang telah cukup lama
ditinggalkannya. Itu sebabnya, mengapa sepagi itu ia terlihat demikian tergesa-
gesa melakukan perjalanan.
Tidak berapa lama, tibalah Gala Campa di tepi sebuah sungai lebar yang
memisahkan dua desa. Cepat tangannya diulapkan ke arah tukang perahu yang saat
itu di tengah sungai. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Gala Campa langsung
melompat ke atasnya, begitu perahu telah dekat dengan jangkauan lompatannya.
"Tuan tampaknya sangat tergesa-gesa. Apakah hendak mengunjungi kerabat yang
sakit di Desa Kemang?" tanya tukang perahu berusia setengah baya itu.
Rupanya, dia melihat kegelisahan di wajah Gala Campa.
Meski hanya bermaksud untuk melenyapkan kesunyian di antara mereka, tapi
sepertinya Gala Campa tidak begitu suka dengan pertanyaan itu.
"Ya! Percepatlah sedikit laju perahumu...," sahut Gala Campa singkat dan cepat.
Seolah-olah dengan jawaban itu ia ingin menunjukkan keengganan untuk melanjutkan
pembicaraan. Namun sayangnya, tukang perahu itu seperti tidak peduli dengan
jawaban ketus Gala Campa. Setelah mengangguk-angukkan kepala sejenak, lelaki tua
itu mempercepat laju perahunya.
"Siapa yang hendak Tuan jenguk" Saudara kandung, ataukah hanya seorang kerabat
jauh...?" "Hhh...."
Gala Campa menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sepasang matanya
yang berkilat dengan wajah siap mendamprat, langsung sirna begitu terbentur
seraut wajah tua yang tampak penuh penderitaan. Hingga, Gala Campa terpaksa
hanya bisa menyabarkan diri.
"Tidak. Aku tidak hendak menjenguk siapa-siapa. Aku hanya ingin mengunjungi
Perguruan Cakar Besi, karena telah cukup lama kutinggalkan...," kata Gala Campa,
mengatakan hal yang sebenarnya.
Selain tidak biasa berbohong, wajah tukang perahu itu mendatangkan perasaan iba
di hatinya. Hal itulah yang membuatnya seperti harus berkata jujur.
"Perguruan Cakar Besi...!?" tukang perahu itu seperti agak terkejut mendengar
Gala Campa menyebut nama
perguruannya, "Kemarin sore, ada delapan orang lelaki berpakaian kembang-kembang
penuh tambalan yang juga memiliki tujuan sama dengan Tuan. Hm..., Ada keramaian
apa sebenarnya di tempat itu...?"
"Apa..."! Delapan orang berpakaian kembang-kembang penuh tambalan hendak menuju
ke Perguruan Cakar Besi..."!"
sentak Gala Campa, sehingga tanpa sadar mencengkeram erat pangkal lengan tukang
perahu. Karuan saja, lelaki setengah baya yang tidak mengerti ilmu silat itu menjerit
kesakitan. "Aku mengatakan yang sebenarnya, mengapa Tuan kelihatan begitu ketakutan,.."
Apakah ucapanku salah...?" ujar tukang perahu itu sambil memijat-mijat pangkal
lengan yang terasa remuk tulang-tulangnya. Untunglah Gala Campa keburu sadar.
Kalau tidak, bukan tidak mungkin lengan orang tua itu benar-benar remuk
dibuatnya. "Maaf, Paman. Maaf.... aku jadi benar-benar terkejut mendengar cerita Paman.
Sekarang, katakanlah kepadaku.
Apakah tambal-tambalan yang kau maksud seperti pengemis..."
Benar begitu, Paman...?" tanya Gala Campa, sambil berusaha menenangkan diri.
"Ya, ya. Kira-kira begitulah, meskipun pakaian mereka tampak masih bagus.
Sepertinya hal itu disengaja, agar orang-orang mengira mereka sebagai pengemis
sungguhan. Aaahhh..., dasar orang-orang itu saja yang kurang waras. Aku saja ingin memiliki
pakaian yang bagus tidak tambal-tambalan
seperti yang kupakai ini. Eh, orang-orang itu malah sengaja menambal-nambal
pakaiannya. Dasar dunia memang sudah terbalik...," kata tukang perahu itu,
sambil sedikit mengomel.
Tapi, Gala Campa sudah tidak mendengar ucapan tukang perahu selanjutnya. Begitu
mendengar kepastian kalau delapan orang berpakaian kembang-kembang benar
pengemis, langsung saja dayung di tangan lelaki setengah baya itu disambarnya.
Dan tanpa memperdulikan tukang perahu yang membelalak dengan wajah pucat karena
mengira perahunya hendak dicuri, lelaki gagah yang merebut dayung perahu itu
segera mendayung dengan menggunakan tenaga dalam.
Hasilnya tentu saja sangat mengejutkan tukang perahu.
Hampir napas lelaki tua itu putus seketika merasakan perahu yang dinaikinya
meluncur demikian cepat.
Bahkan hembusan angin terasa demikian keras menerpa tubuhnya. Akhirnya, orang
tua itu terpaksa memejamkan mata dengan mulut komat-kamit memanjatkan doa.
Sepasang kaki yang sudah tidak sanggup menahan berat tubuhnya, terpaksa harus di
tekuk. Sehingga, dia berdiri hanya menggunakan kedua lututnya.
Sedangkan Gala Campa sendiri yang tengah dalam kecemasan luar biasa, mendayung
perahu bagaikan orang kesetanan. Seluruh tenaganya dikerahkan agar segera tiba
di seberang sungai. Memang dia seperti mendapat firasat buruk kalau akan terjadi
sesuatu di perguruannya.
"Heaaah...!"
Ketika jarak antara perahu dengan tepian sungai tinggal kira-kira tiga tombak
lagi, Gala Campa kembali mengerahkan tenaganya. Kemudian, dia membentak keras
disusul lesatan tubuhnya yang melayang di atas permukaan air sungai.
Namun Gala Campa telah meninggalkan kepingan uang di atas perahu.
Jelg! Begitu kedua kakinya menginjak permukaan tanah, tubuh Gala Campa kembali
melenting dan berjumpalitan beberapa kali di udara. Kemudian, tubuhnya langsung
melesat mengerahkan ilmu lari cepatnya begitu kakinya mendarat di atas tanah.
Bagaikan dikejar setan, lelaki gagah itu berlari menuju perguruannya yang
terletak di luar perbatasan Desa Kemang.
Rasa khawatir akan nasib murid-murid perguruannya, membuatnya seperti memiliki
tenaga cadangan yang berlipat-lipat.
*** Gala Campa terus melesat dengan mengambil jalan pintas.
Bagaikan bayangan setan, tubuhnya berkelebat di antara pepohonan. Hingga,
terkadang tubuhnya lenyap di balik sebatang pohon, kemudian tahu-tahu muncul di
balik pohon lain yang terpisah beberapa tombak. Dari sini saja dapat diukur
tingkat ilmu kepandaiannya, betapa hebatnya ilmu lari cepat yang dimilikinya.
"Eh...!?"
Meskipun dalam keadaan berlari, namun sepasang mata Gala Campa ternyata cukup
awas. Ternyata kelebatan empat sosok tubuh di depannya, membuat langkahnya
terhenti seketika.
Dengan wajah tegang, tubuhnya cepat menyelinap di balik sebatang pohon besar.
Tapi, begitu keempat sosok tubuh yang berlari dari arah berlawanan itu dekat,
Gala Campa segera melesat dari tempat persembunyiannya. Melihat pakaian keempat
orang yang serba coklat tua, segera saja lelaki gagah itu mengenali. Keempat
orang itu ternyata murid perguruannya juga.
"Berhenti...!"
Bentakan keras yang disusul berkelebatnya sesosok bayangan dari balik pohon
besar, membuat keempat lelaki yang tengah berlari tersentak kaget. Wajah mereka
nampak pucat bagaikan tak dialiri darah. Senjata-senjata yang masih tergenggam
erat di tangan, langsung saja disilangkan di depan dada, siap menghadapi
perkelahian mati-matian.
Tapi, wajah-wajah pucat itu segera saja berseri menampakkan kelegaan hatinya.
Memang setelah melihat jelas, mereka segera dapat mengenali sosok lelaki gagah
berpakaian coklat yang berdiri menghadang jalan.
"Kakang Gala Campa..."!" Seruan itu serentak terucap dari mulut keempat orang
lelaki yang dihadang Gala Campa. Mereka menghembuskan napas kuat-kuat penuh
kelegaan. "Surangga, apa yang telah terjadi terhadap saudara-saudara kita yang lain" Dan,
kalian hendak pergi ke mana...?" tegur Gala Campa. Suaranya tegas dan menuntut
jawaban sejujurnya dari lelaki bertubuh kurus yang bernama Surangga.
"Hhh.... Maaf, Kakang. Kalau tindakan kami salah, kami siap menerima
hukuman...," kata Surangga, sambil menjatuhkan tubuhnya di depan Gala Campa.
Demikian pula halnya tiga orang temannya.
"Aku hanya tanya, dan bukan ingin menghukum kalian!
Jelaskan sikap kalian ini..."!" bentak Gala Campa, jengkel
melihat sikap murid-muridnya. Memang, dia masih merasa cemas terhadap nasib
murid-murid yang lain.
"Semua habis, Kakang. Delapan orang pengemis berpakaian kembang-kembang, begitu
datang langsung mengamuk dan membunuhi murid-murid perguruan kita. Apalagi,
kepandaian mereka ternyata rata-rata sangat tinggi. Sehingga, banyak saudara
kita yang tewas di tangan mereka. Maka, kami terpaksa memutuskan melarikan diri
dengan jalan berpencar.
Sampai akhirnya, aku dan kawan-kawan berjumpa Kakang di sini...," tutur
Surangga. Memang, tingkat kepandaian Surangga paling tinggi di antara ketiga orang
rekannya. Makanya, dia merasa paling bertanggung jawab dalam masalah itu.
"Apakah mereka menggunakan senjata rahasia beracun...?"
tanya Gala Campa ingin memastikan lebih dalam lagi Gala Campa menduga, pengemis
berpakaian kembang-kembang yang mengacau perguruannya ada hubungannya dengan
orang-orang yang hampir menewaskannya di tempat pertemuan, di luar Desa Lintang
beberapa waktu lalu.
"Benar, Kakang.... Bagaimana Kakang bisa menduga demikian" Dan, mengapa Kakang
tidak bersama guru, serta Kakang Sentaji...?" tanya Surangga sambil mengedarkan
pandangannya. Seolah-olah, ia mengharapkan dapat berjumpa orang-orang yang
disebutkannya. "Aku hanya tinggal seorang diri, Adi Surangga. Guru dan Sentaji tidak akan
pernah kembali lagi. Mereka sudah tewas di tangan orang-orang jahat. Dan ada
kemungkinan, pembunuh-pembunuh itu juga orang-orang yang mengacau di rumah
perguruan kita...," jawab Gala Campa dengan wajah menengadah dan tatapan mata
kosong jauh ke depan. Tampaknya
jelas lelaki gagah itu tidak ingin melanjutkan percakapan tentang guru dan adik
seperguruannya.
"Aaahhh...!?"
Surangga dan ketiga rekannya sama-sama menundukkan wajah duka disertai desahan
napas panjang dan berat. Mereka juga mengerti kalau Gala Campa tidak ingin
percakapan itu diteruskan lagi. Dan kini Surangga dan tiga orang lainnya tidak
lagi membuka suara.
Cukup lama keheningan itu melingkupi lima orang murid Perguruan Cakar Besi.
Mereka tertunduk lesu dengan jalan pikiran masing-masing.
"Kakang...,"
Setelah agak lama dicekam keheningan, Surangga memberanikan diri membuka suara.
Meskipun hanya perlahan, namun cukup merubah suasana.
"Hm...," sahut Gala Campa menggumam malas. Sebenarnya, laki gagah itu tengah
mencari cara terbaik untuk kembali ke perguruan. Dengan terpaksa, ia menoleh
juga ke arah Surangga.
"Apa yang harus kita perbuat sekarang, Kakang. Aku khawatir, pengemis-pengemis
berhati iblis itu masih terus mencari-cari kami. Sebab salah seorang dari mereka
sempat mengucapkan kata-kata kalau tidak seorang pun murid Cakar Besi yang
dibiarkan hidup," ujar Surangga.
Wajah Gala Campa terlihat agak tegang ketika mendengar penjelasan Surangga.
Memang disadari betul kalau ia dan keempat orang saudara seperguruannya tidak
akan mampu menghadapi pengemis-pengemis baju kembang itu.
"Lebih baik kita cari tempat persembunyian yang aman untuk sementara waktu. Saat
hari gelap nanti, kita baru mendatangi perguruan secara diam-diam. Mudah-mudahan
saja masih ada saudara kita yang selamat...," ujar Gala Campa.
Surangga dan yang lain menjawab dengan anggukan kepala saja.
Tampaknya keempat orang murid itu memiliki pikiran yang sama dengan kakak
seperguruannya.
"Ayolah...!" ajak Gala Campa, segera saja memutar rubuhnya. Mereka kini telah
siap bergerak ke arah Selatan.
Tapi..., "Hua ha ha...!"
Tiba-tiba saja, terdengar suara tawa nyaring saling bersambungan. Seketika
suasana yang semula sunyi, berubah bising oleh suara tawa yang jelas berasal
dari banyak orang.
"Keparat! Rupanya mereka telah tiba di tempat ini. Tidak ada waktu lagi untuk
menghindari, Kakang. Sebaiknya kita hadapi saja iblis-iblis itu sampai titik
darah penghabisan!" geram Surangga yang segera saja menghunus senjatanya.
Demikian pula halnya keempat orang lainnya. Mereka tampaknya siap menghadapi
pertarungan mati-matian dengan lawan-lawannya.
"Keluar kalian, iblis-iblis pengecut! Kami orang-orang Cakar Besi tidak akan
gentar menghadapi kalian...!"
Sambil berkata demikian, Gala Campa mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat
itu. Satu persatu, ditelitinya pohon besar yang banyak tumbuh di tempat itu.
Namun, tidak ditemukannya tanda-tanda kalau lawan berada di sekitar tempat itu.
Tiba-tiba... Seeerrr! Seeerrr!
Berbarengan desiran lembut, terlihatlah kilatan-kilatan benda halus yang
berpijaran mengancam kelima orang murid Perguruan Cakar Besi.
"Jarum-jarum beracun...!" Surangga mendesis ngeri melihat senjata-senjata
rahasia mengincar mereka.
"Awaaasss...!"
Gala Campa yang sadar akan keganasan jarum-jarum beracun itu, segera saja
mengingatkan kawan-kawannya.
Sedangkan dia sendiri telah melompat ke samping sambil memutar senjata untuk
melindungi tubuhnya.
"Yeaaattt..!"
Surangga dan ketiga orang murid lain segera saja berseru nyaring, seraya memutar
pedang. Dengan berlindung di balik gundukan sinar pedang, mereka bergerak ke
samping untuk menghindari jarum-jarum beracun lawan.
"Bedebah curang...!" maki Gala Campa.
Gala Campa merasa geram bukan main, karena tanpa menampakkan diri lawan-lawan
telah dapat membuat kalang kabut dengan senjata-senjata rahasia.
"Hua ha ha...!"
Baru saja ucapan Gala Campa selesai, suara tawa yang susul-menyusul kembali
berkumandang. Belum lagi keterkejutan lenyap, dari sekeliling tempat itu
bermunculan pengemis-pengemis berpakaian kembang-kembang yang langsung mengurung
kelima orang murid Ki Raksa Mala itu.
"Hua ha ha...! Senang rasanya melihat kalian melompat-lompat seperti monyet
kelaparan. Bukankah begitu, kawan-kawan...?" ejek seorang pengemis bertubuh
jangkung yang pada pipi kirinya terdapat bekas koreng berkata penuh ejekan.
"Betul... Betul.... Aku pun suka menyaksikan pertunjukan itu.


Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana kalau kita buat pertunjukan yang lebih menarik lagi, Kakang
Benggala...?" sahut pengemis lain yang juga bertubuh kurus. Tawanya kembali
terdengar menyakitkan telinga Gala Campa dan kawan-kawannya.
"Hm...."
Gala Campa sendiri bagai mendidih darahnya mendengar ejekan pengemis-pengemis
berbaju kembang itu. Dengan wajah merah padam, lelaki gagah itu menudingkan
pedangnya ke wajah para pengemis itu.
"Dasar kalian manusia-manusia pengecut yang bisanya hanya main sembunyi dalam
bertindak! Beberapa waktu yang lalu, kalian telah mengeroyok aku dan kawan-
kawanku dari Perguruan Ular Emas! Kali ini, kalian muncul dengan pakaian lain
agar tidak bisa dikenali orang. Begitu maksud kalian, bukan" Dan itu suatu tanda
kalau kalian sebenarnya hanya anjing-anjing penakut!" dengus Gala Campa dengan
kemarahan hampir-hampir membakar tubuhnya.
"He he he...! Ternyata kau bisa marah juga, Kisanak. Lalu, kalau kami sengaja
menyembunyikan diri, kau mau apa"
Apakah hanya ingin memaki-maki seperti barusan itu" Kalau begitu, lanjutkanlah.
Kami suka sekali mendengarnya...," sahut pengemis tinggi kurus yang dipanggil
Benggala. Kelihatannya, dia tidak merasa marah mendengar makian tadi, sehingga membuat
Gala Campa semakin bertambah dongkol.
"Setan...! Kubeset bacotmu...!"
Karena tidak bisa menahan kemarahannya lagi, Gala Campa langsung saja melesat
disertai sambaran pedang ke tubuh lawan!
Bweeettt! "Haitt...!"
Pengemis tinggi kurus bernama Benggala itu sepertinya semakin sengaja memancing
kemarahan lawan. Ketika mata pedang Gala Campa hampir mengenai tubuhnya, ia
cepat berputar dengan langkah terhuyung. Padahal, jelas-jelas serangan Gala
Campa bisa dihindari dengan baik. Tentu saja hal itu semakin mengobarkan api
kemarahan di hati Gala Campa.
"Yeaaattt...!"
Beeettt! Beeettt! Beeettt!
Dalam kemarahannya yang tidak bisa ditakar lagi, Gala Campa langsung melancarkan
serangkaian serangan maut ke arah Benggala. Sayangnya, serangannya selalu kandas
di tangan lawan. Tampaknya kepandaian pengemis tinggi kurus itu memang tidak di
bawah Gala Campa. Bahkan mungkin masih lebih tinggi.
"Awaaasss...!"
Ketika pertempuran memasuki jurus yang kesepuluh, tiba-tiba Benggala membentak
keras mengejutkan. Seiring bentakannya, tongkat hitam di tangannya menyambar
mengancam lambung Gala Campa!
Whuuukkk! Terkejut bukan main hati Gala Campa merasakan sambaran angin keras dari hantaman
tongkat hitam itu. Hal itu
membuatnya tidak berani memandang enteng lagi. Cepat langkahnya bergeser dan
terus bergerak ke belakang secara bersilangan. Guna menjaga kemungkinan serangan
susulan lawan, pedangnya dikibaskan membentuk lingkaran yang melindungi sekujur
tubuh. "Hua ha ha...!"
Benggala rupanya sama sekali tidak mengejar. Dan sebenarnya, serangan tadi
sengaja dilakukan hanya untuk melihat tanggapan Gala Campa. Pengemis tinggi
kurus itu tertawa puas melihat lawan kelabakan setengah mati.
"Bangsat...!" maki Gala Campa dengan hati jengkel, karena telah kena
dipermainkan lawan.
"Hm...,"
Benggala melemparkan senyum tipis mendengar makian lawan. Kelihatan sekali kalau
ia seperti menganggap enteng murid utama Ki Raksa Mala. Sedangkan Gala Campa
sudah kembali bersiap melanjutkan pertarungan.
2 "Kang Benggala...," sebut salah seorang dari pengemis-pengemis seraya datang
menghampiri Benggala, yang memang menjadi ketua rombongan. "Sebaiknya segera
habisi saja mereka. Dengan begitu, bukankah tugas kita yang satu ini selesai.
Kalau terlalu lama mengulur waktu, aku khawatir guru akan marah nanti....''
Benggala yang semula masih ingin mempermainkan Gala Campa dam lawan-lawannya,
menoleh sejenak. Ditatapnya wajah pengemis muda bertubuh kurus yang
mengingatkannya tadi. Sebentar kemudian, sepasang mata tajamnya berubah lunak.
"Hm.... Sebenarnya aku masih ingin mempermainkan orang-orang bodoh dan tolol
ini, tapi mengingat tugas-tugas kita masih banyak, tidak ada salahnya kalau
nasihatmu kuturuti, Adi Wungga...."
Usai berkata demikian, Benggala kali ini mendahului melangkah ke arah Gala Campa
dan kawan-kawannya. Tongkat hitamnya ditimang-timang, seolah sengaja hendak
menakut-nakuti lawan-lawan.
Sedangkan tujuh orang pengemis lain termasuk yang bernama Wungga, ikut pula
bergerak merapat. Hingga, keadaan para murid Perguruan Cakar Besi semakin
terjepit. Ruang gerak mereka juga semakin terbatas.
"Hm...,"
Gala Campa menoleh ke arah kawan-kawannya dengan sorot mata tajam. Sepertinya,
lelaki gagah itu ingin menunjukkan kalau ia sama sekali tidak takut menghadapi
keroyokan lawan.
Hal itu sengaja dilakukan untuk membangkitkan semangat Sunggara dan yang lain.
Pancingan Gala Campa memang tidak sia-sia. Tatapan penuh semangat Gala Campa
memang membangkitakan keberanian Surangga kembali. Mereka kemudian bergerak
mendekati kakak seperguruannya, dan siap bertarung sampai mati.
"Hua ha ha...! Bagus..., bagus.... Rupanya murid Cakar Baja memang gagah-gagah
dan tidak mengenal takut. Mari..., mari anak manis. Majulah...," ejek Benggala
sehingga benar-benar membuat telinga menjadi merah.
Untungnya baik Gala Campa maupun kawan-kawannya telah menyadari kalau tidak
boleh terpancing oleh ejekan lawan.
Memang, kemarahan hanya akan mendatangkan kerugian serta membuat mereka lengah.
"Hm.... Tertawa dan mengejeklah sepuasmu, gembel-gembel bau! Sampai berbusa
mulut kalian, kami tidak akan memperdulikannya lagi...," sambut Gala Campa
disertai senyum sinis mengandung kecerdikan. Sehingga, Benggalalah yang kini
menjadi jengkel karenanya.
"Kalau begitu, terimalah kematianmu...!"
Usai berkata demikian, tubuh Benggala melayang sambil membabatkan tongkat
hitamnya dengan kecepatan tinggi.
Sasarannya, kepala Gala Campa.
Whuuukkk...! Untungnya Gala Campa cepat sadar akan datangnya serangan maut itu. Dengan
menarik kaki kanannya ke belakang, selamatlah kepalanya dari kehancuran.
Kemudian cepat bagai kilat, senjata di tangannya langsung berkeredep membeset
tubuh lawan! Beuuuttt! Menilik kuatnya desingan dari angin pedang, dapat ditebak kalau Gala Campa telah
mengerahkan seluruh kekuatan dalam serangannya. Tapi, Benggala ternyata tidak
berusaha menghindari. Pengemis tinggi kurus itu cepat menyilangkan tongkat
hitamnya untuk memapak sambaran pedang lawan.
Traaang! Benturan keras terjadi, sehingga menimbulkan suara yang memekakkan telinga.
Bunga api juga berpijar ketika kedua senjata yang dialiri tenaga dalam itu
saling bertemu di satu titik tadi.
"Uuuhhh...!"
Gala Campa mengeluh pendek. Benturan keras tadi ternyata telah membuat kuda-
kudanya tergempur. Bahkan selain langkahnya terjajar mundur, lengan kanannya
juga terasa bergetar kuat, hingga tulang-tulangnya terasa linu. Jelas, itu
menandakan kekuatan Gala Campa masih di bawah lawannya.
"Mampusss...!"
Benggala rupanya benar-benar tidak ingin mengulur waktu lagi. Terbukti, ujung
tongkatnya langsung ditusukkan pada saat Gala Campa masih belum dapat menguasai
keseimbangan. Melihat serangan susulan lawan, Gala Campa tentu saja terkejut bukan main.
Karena untuk menyelamatkan diri jelas tidak keburu, lelaki gemuk itu pun nekat
menggerakkan bahu untuk menyambut datangnya ujung tongkat, demi menyelamatkan
tenggorokannya. Karena yang jelas, dia tidak akan sanggup menerima totokan ujung
tongkat itu. Dan....
Tuuuggg...! "Aaakhhh...!"
Totokan ujung tongkat itu telak menghantam bahu Gala Campa yang ternyata telah
dilindungi tenaga dalam. Meskipun demikian, masih juga ia tidak mampu menahan
akibatnya. Tubuhnya kontan terhuyung disertai semburan darah segar dari mulut. Meskipun
darah yang keluar tidak terlalu banyak, tapi pukulan ujung tongkat tadi telah
menimbulkan luka dalam di tubuhnya.
Belum lagi Gala Campa sempat memperbaiki keadaannya, sambaran tongkat hitam
lawan kembali datang berdesing-desing!
Deeerrr...! Debu mengepul disertai pecahan batu yang beterbangan.
Rupanya, hantaman tongkat lawan yang berikut masih sempat dielakkan Gala Campa.
Sehingga, bumi tempatnya berpijak tadi menjadi sasaran.
"Aaa...!"
Saat tubuh Gala Campa tengah bergulingan, terdengarlah jerit kematian yang
membuat jantung bagaikan terhenti berdetak untuk beberapa saat. Memang, jeritan
itu disusul terbangnya dua sosok berpakaian coklat.
Pucat selebar wajah murid tertua Perguruan Cakar Besi begitu melihat kematian
saudara-saudara seperguruannya.
Harinya benar-benar sedih dan terpukul. Dia memang tidak mampu berbuat apa-apa
untuk menyelamatkan mereka dari kematian, karena juga dalam keadaan diserang.
"Bedebah..!" geram Gala Campa sambil terus bergulingan dengan wajah berduka.
Sepasang matanya merah menyala penuh api dendam dan penasaran.
Maka bagaikan orang yang kehilangan ingatan. Gala Campa bangkit dan langsung
menerjang Benggala dengan serangkaian
serangan maut. Sayangnya, serangannya tidak lagi dengan jurus-jurus miliknya.
Memang, gerakan Gala Campa sudah ngawur dan tidak beraturan.
"Eit.., eit... Monyet gendut ini ternyata bisa juga bersikap galak. Benar-benar
menakjubkan...."
Sambil berlompatan menghindari sambaran pedang lawan, mulut Benggala tak henti-
hentinya mengejek. Tentu saja semua itu semakin membuat Gala Campa kalap.
"Makan ini..!"
Lewat beberapa jurus kemudian, tiba-tiba Benggala membentak keras! Seiring
bentakan itu, ujung tongkatnya meluncur ke arah dada kiri lawan. Dan...
Duuuggg...! "Huuukkkh...!"
Tanpa ampun lagi. Gala Campa yang tidak sempat mengelak, langsung terjungkal ke
belakang. Darah segar kembali mengucur dari sudut bibirnya. Meski demikian dia
segera melompat bangkit. Seperti tidak merasakan akibat hantaman tongkat lawan,
kembali diterjangnya lawan dengan putaran pedangnya.
Belum lagi lima jurus Gala Campa melancarkan serangan, kembali jerit kematian
terdengar susul menyusul.
"Surangga...!"
Teriakan Gala Campa yang seharusnya melengking nyaring, itu terdengar parau dan
tercekat di tenggorokan. Wajah lelaki gemuk itu berkerut-kerut menahan pukulan
pada batinnya. Hingga ia hanya berdiri bengong tanpa kata, saat melihat tubuh kedua orang
saudaranya kembali ambruk dan tidak bergerak-gerak lagi untuk selamanya.
"Ooohhh...."
"Makan ini...!"
Seiring bentakan itu, ujung tongkat Benggala meluncur ke arah dada kiri Gala
Campa. Dan.... Duuuggg...! "Huuukkkh...!" Tanpa
sempat mengelak lagi, Ga-
la Campa terkena sodokan
tongkat itu. Gala Campa merasakan
seluruh tubuhnya lemas
bagaikan tidak bertulang.
Kematian demi kematian
yang disaksikannya
membuatnya terguncang.
Belum lagi kematian
gurunya terbalaskan, kini
harus menyaksikan
kematian saudara-
saudaranya dengan mata kepala sendiri. Dan yang lebih mengguncangkan jiwanya, ia
sama sekali tidak mampu mencegah.
Sedangkan Benggala sama sekali tak peduli terhadap keadaan lawan. Tanpa rasa iba
sedikit pun, tongkat hitamnya meluncur ke punggung Gala Campa!
Buuukkk! "Huaaakhhh..!"
Darah segar langsung menyembur ketika batang tongkat itu menghajar telak
punggungnya! Tubuh lelaki gemuk itu
terguling-guling menggilas rerumputan kering. Wajah dan pakaiannya juga telah
dipenuhi noda darahnya sendiri.
"Bangun...!" bentak Benggala sambil mengayunkan kaki ke tubuh Gala Campa yang
tengah berusaha merangkak bangkit.
Sementara senjata lelaki gagah itu sendiri sudah terlepas dari genggaman.
Deeesss...! Untuk kesekian kalinya, tubuh Gala Campa kembali harus menerima tendangan keras!
Tubuhnya kontan tersentak, untuk kemudian kembali terbanting ke atas tanah
dengan lelehan darah yang semakin banyak membasahi pakaian. Namun demikian, Gala
Campa tetap berusaha berdiri, walaupun agak sempoyongan.
"Rasakan...!"
Plaaaggg! "Ouuughhh...!
Kali ini telapak tangan Benggala yang berbicara. Tamparan yang dikerahkan lewat
tenaga dalam kuat itu telak menghajar wajah Gala Campa. Akibatnya, tubuh lelaki
itu kembali terlempar disertai lelehan darah segar. Wajahnya tampak membengkak,
bahkan bagian sudut bibir sobek! Tubuhnya sudah menggeloso, terduduk di tanah
berumput. "Eeekhhh...!"
Gala Campa yang rupanya sudah sulit dikenali, meludahkan darah kental yang
bercumpur beberapa buah giginya yang tanggal. Jelas tamparan barusan memang
begitu keras, sehingga membuat beberapa buah giginya rontok.
"Jangan dibunuh orang itu, Benggala...."
Tiba-tiba terdengar sebuah suara berat, mengandung perbawa kuat Benggala yang
sedianya hendak melanjutkan penyiksaan, terpaksa menunda langkahnya.
"Ketua...."
Baik Benggala maupun pengemis berbaju kembang-kembang lain segera saja berlutut
di depan sosok tinggi besar itu.
"Hm...."
Sosok tinggi besar brewokan yang hanya mengenakan rompi coklat itu mendengus
perlahan. Pada sepasang lengannya tampak beberapa buah gelang menghias
pergelangan. Telinga kirinya terdapat anting-anting bulat yang besarnya separuh
gelang di tangannya. Tampak juga sebuah ikat kepala dari tengkorak kepala yang
berukuran kecil. Satu agak besar di tengah keningnya, sedangkan yang empat
tersusun di kiri kanannya.
Sosok tinggi besar berpenampilan angker itu memang bukan tokoh baru dalam
kalangan persilatan. Pada dua puluh tahun yang lalu, sepak terjangnya pernah
membuat gempar rimba persilatan. Namun pada sepuluh tahun belakangan, namanya
lenyap dan tidak pernah terdengar lagi. Sehingga, orang-orang pun mulai
melupakannya, ia adalah Setan Tenaga Gajah.
"Tinggalkan saja dia. Kelihatannya kita tidak perlu lagi membunuhnya. Tekanan
batin dalam dirinya demikian parah.
Tanpa membunuh pun, perlahan-lahan akan mati sengsara...,"
ujar Setan Tenaga Gajah berkata dengan suara penuh kepuasan.
"Baik, Ketua...," sahut Benggala.
Setelah berkata demikian. Setan Tenaga Gajah segera saja angkat kaki dan lenyap,
sebelum pengikutnya sempat menoleh.
Hal itu menandakan betapa tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.
"Ayo kita pergi...,"


Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah ketuanya lenyap, Benggala segera mengajak kawan-kawannya meninggalkan
tempat itu. Sedangkan tubuh Gala Campa dibiarkannya terbaring pingsan di atas
rerumputan kering.
Hembusan angin silir-silir lembut mengiringi langkah dua sosok tubuh. Menilik
buntalan pakaian di bahu kanan sosok berjubah putih, jelas mereka adalah
pengembara yang tidak memiliki tempat tinggal tetap.
Sosok bertubuh sedang namun padat itu ternyata masih muda usianya. Melihat dari
raut wajahnya yang bersih, tampan, dan menampilkan keramahan, paling jauh
usianya baru dua puluh satu tahun. Namun apabila orang melihat sinar matanya,
pasti tidak akan sanggup beradu pandang berlama-lama dengannya. Sorot matanya
demikian tajam, dan memancarkan perbawa amat kuat. Jelas, pemuda tampan berjubah
putih itu bukan orang sembarangan.
Sedangkan sosok ramping berpakaian serba hijau yang melangkah di samping
kirinya, juga tidak kalah menarik. Raut wajahnya yang berbentuk bulat telur itu
nampak demikian halus kulitnya. Hidungnya kecil mancung, dengan sepasang bibir
indah yang merah basah. Sepasang alis matanya yang tebal, tampak melindungi dua
bola mata hitam nan cemerlang.
Benar-benar luar biasa pasangan muda itu. Satu tampan dan gagah, satunya lagi
cantik jelita bagaikan bidadari dari kayangan.
Sepasang anak muda itu terus mengayun langkahnya di bawah siraman cahaya
matahari yang mulai beranjak naik.
Setelah melewati sebuah padang rumput yang cukup luas,
tibalah mereka di tepian sungai. Pandangan mereka dilayangkan ke sekitar sungai
seperti tengah mencari sesuatu.
"Hm..., aneh. Mengapa perahu itu dibiarkan terapung-apung di tengah sungai..."
Apa yang dilakukan tukang perahu itu di sana...?" gumam gadis berpakaian serba
hijau. Sambil melindungi matanya dari sinar matahari, gadis itu memandang ke tengah
sungai. Memang, di sana ada perahu yang biasa digunakan untuk menyeberang, dan
di dalamnya ada orang yang tengah terapung-apung.
Pemuda tampan berjubah putih itu pun segera saja melayangkan pandangannya ke
tengah sungai. Tampak, sesosok tubuh tengah rebah di lantai perahu.
"Mungkinkah ia tertidur demikian lelap di pagi seperti ini?"
desah pemuda tampan itu ketika melihat si tukang perahu tidak bergerak-gerak.
Mendengar ucapan tadi, gadis berpakaian hijau itu menoleh ke arah kawannya.
Kemudian, kembali dia memandang ke tengah sungai.
"Hoooiii.... Tukang perahu..., bangunlah! Tolong antarkan kami ke seberang...!"
teriak dara jelita itu disertai pangerahan sedikit tenaga dalam.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka berdiri tegak menanti perahu itu datang
mendekat. Tapi jangankan bangkit. Malah, sepertinya si tukang perahu tidak
mendengar. Tentu saja hal itu membuat si gadis jengkel.
"Hm.... Orang malas seperti dia harus diberi pelajaran...,"
desis dara jelita itu mengancam.
Setelah berkata demikian, ditariknya napas dalam-dalam.
Kemudian..., "Hoooiii.... Tukang perahu pemalas, bangunlah! Atau perahumu ingin
kutenggelamkan!"
Hebat sekali teriakan dara jelita itu kali ini. Hembusan angin bertiup keras
seiring terdengarnya teriakannya. Bahkan beberapa ekor burung yang sedang
terbang dalam jarak yang cukup jauh, langsung berjatuhan. Memang getaran suara
yang mengandung tenaga dalam tadi telah melemahkan sayap-sayap binatang kecil
itu. Tapi teriakan yang begitu hebatnya, ternyata masih belum mampu juga untuk
membangunkan tukang perahu. Orang itu tetap saja rebah miring di atas lantai
perahunya tanpa merasa terganggu sedikitpun.
"Tunggu, Kenanga...," kata pemuda tampan itu, mencegah ketika kawannya hendak
mengulang perbuatannya barusan.
"Tukang perahu itu benar-benar kurang ajar dan membinggungkan, Kakang. Padahal,
suaraku tadi kukira sanggup membuatnya terlompat bangkit dari tidur yang
bagaimana pulas sekalipun...," kata dara jelita itu tak puas.
"Sabar, Kenanga. Sepertinya ada sesuatu yang tidak wajar pada tukang perahu itu.
Tidak mungkin ia masih bisa terlelap setelah mendapat tekanan suara yang
mengandung tenaga dalam. Pasti ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya...,"
ujar pemuda tampan itu.
Pemuda itu segera mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Kemudian, dia
melangkah dan mengambil beberapa batang ranting pohon yang cukup besar.
"Untuk apa kayu-kayu itu, Kakang..."! tanya gadis itu, yang memang Kenanga.
Sementara, pemuda tampan berjubah putih itu tak lain dari Panji, yang berjuluk
Pendekar Naga Putih.
Rupanya, Kenanga masih belum mengerti melihat apa yang diperbuat Pendekar Naga
Putih. Sehingga, ia hanya dapat memandang bingung.
"Tunggulah di sini sebentar. Aku hendak melihat, apakah dugaanku benar...,"
sahut Panji sambil melemparkan sebuah ranting di tangannya ke tengah sungai. Dan
sebelum ranting itu jatuh ke air, tiba-tiba....
"Haaaiiittt...!"
Pendekar Naga Putih berseru nyaring. Seketika tubuhnya melambung. Lalu,
digunakannya ranting yang jatuh ke air itu sebagai landasannya. Demikian pula
ranting lain di tangannya.
Begitu kakinya menyentuh ranting, tubuhnya kembali melambung. Kali ini kedua
kakinya langsung mendarat di lantai perahu. Hebatnya, sedikit pun perahu itu
sama sekali tidak bergoyang, pada saat tubuh Pendekar Naga Putih meluncur turun
di atasnya. Jelas, hal itu menunjukkan kalau ilmu meringankan tubuhnya telah
sangat tinggi. "Bagaimana, Kakang..." Apa yang terjadi dengan tukang perahu itu?" tanya Kenanga
dari seberang. Dia sepertinya tidak dapat menahan sabar untuk segera mengetahui
apa yang ditemukan Panji.
Sedangkan Pendekar Naga Putih yang kini berada di atas perahu itu sama sekali
tidak segera menyahut. Dikayuhnya perahu itu ke tepian, mendekati Kenanga.
"Aaah"! Siapa yang telah melakukan kekejaman ini terhadap seorang tukang perahu
seperti dia..." Apa kesalahannya...?"
desis Kenanga ketika melihat apa sebenarnya yang telah terjadi terhadap tukang
perahu. "Hm.... Kalau melihat dari pakaian yang dikenakan, ia memang tukang perahu.
Tapi..., apa yang menyebabkannya"
Hm.... Pasti ada sebab lain yang membuatnya tewas...,"
gumam Panji sambil menatap sosok mayat lelaki setengah baya berpakaian lusuh,
dan ada beberapa tambalan pada pakaiannya itu.
Lelaki malang itu mati dengan sebuah tusukan senjata tajam tepat di jantungnya.
Hal itu bisa dilihat dari adanya sebuah lubang yang cukup besar di tubuhnya.
"Bagaimana kalau orang yang membunuhnya sama sekali tidak mempunyai alasan,
Kakang. Bukankah sifat kaum sesat banyak yang tidak lumrah. Mereka bisa saja
membunuh tanpa alasan jeias! Bahkan ada beberapa di antaranya yang melakukannya
hanya untuk kesenangan. Sekarang, apa yang akan kita lakukan terhadap tukang
perahu itu?" kata dara jelita berpakaian hijau itu.
"Yah..., sebaiknya kita kuburkan saja mayat orang tua malang ini. Baru setelah
itu kita gunakan perahunya untuk menyeberang...," usul Pendekar Naga Putih.
Sementara itu Kenanga hanya menganggukkan kepala tanda menyetujui. Sepertinya,
ia pun enggan berpikir lama-lama tentang pembunuhan yang jelas-jelas masih
sangat gelap. Usai menguburkan mayat tukang perahu itu sebagaimana layaknya seorang manusia,
Panji dan Kenanga berdiri tegak menatap gundukan tanah merah itu.
"Orang tua! Siapa pun kau adanya, semoga dapat tenang kembali ke alam yang kekal
sana. Selain itu, kami pun mengucapkan terima kasih, karena perahumu akan kami
gunakan untuk menyeberang. Selamat tinggal, Orang tua...,"
Setelah berkata demikian, Panji dan Kenanga mengangguk hormat, lalu bergegas
menyeberangi sungai.
Kematian penuh teka-teki dari tukang perahu itu sepertinya masih juga membayangi
sepasang anak muda ini. Terbukti, mereka masih tetap bungkam selama menyeberangi
sungai. Jelas, pikiran mereka masih melayang kepada kejadian barusan.
Tidak berapa lama kemudian, perahu itu pun merapat di sebuah jembatan kayu yang
sepertinya sengaja dipasang untuk merapatnya perahu. Setelah menambatkan perahu.
Panji dan Kenanga bergerak menaiki tangga-tangga tanah. Memang tanah tepian
sungai itu agak tinggi.
"Hm.... Nampaknya di depan sana ada sebuah desa, Kakang...," kata Kenanga ketika
sepasang matanya sempat menangkap adanya atap-atap rumah penduduk.
"Sepertinya begitu. Dan mungkin juga, sungai ini merupakan pemisah dengan desa
seberang sana yang kemarin kita lewati...," sahut Panji sambil mengayun
langkahnya tanpa terburu-buru.
Dugaan dara jelita itu memang tidak salah. Tidak jauh dari sungai memang ada
perkampungan penduduk yang bernama Desa Kemang. Mulut desa itu baru dijumpai,
tidak lama setelah beberapa waktu menyusuri jalan lebar.
"Uhhh..., tidak tahu diri. Siapa pula yang memanggang ayam di siang hari begini.
Membuat orang lapar saja...," omel Kenanga, tiba-tiba.
Bau harum dan gurih yang menyerang hidung saat ini memang membuat perut gadis
itu berkeruyuk. Karuan saja hal itu membuatnya merutuk. Sementara, Panji hanya
menoleh dan tersenyum.
"Hm.... Karena kita sama-sama orang-orang kelaparan, tidak ada salahnya kalau
memesan dua ekor ayam panggang, bukan...?"
Setelah berkata demikian, Panji segera saja memasuki desa dan langsung mencari
kedai makan. "Kakang, tunggu...!" seru Kenanga, segera berlari menyusul Pendekar Naga Putih.
*** Tapi, baru saja Pendekar Naga Putih dan Kenanga memasuki mulut kedai, tampak
para penduduk yang kebanyakan wanita tengah berduyun-duyun menuju balai desa.
Tentu saja hal itu membuat mereka saling bertukar pandang sesaat. Seperti telah
mendapat kata sepakat, bergegas arus penduduk Desa Kemang itu diikuti.
"Maaf, Paman...," tegur pemuda tampan berjubah putih itu menyentuh lengan
seorang lelaki berusia enam puluh tahun.
"Kalau boleh tahu, ada apakah sebenarnya?"
Orang tua itu bukannya menjawab, tapi malah sebaliknya menatap sosok pemuda itu
dengan kening berkerut. Namun, Pendekar Naga Putih tetap bersikap tenang meski
jelas-jelas tatapan orang tua itu menyiratkan kecurigaan.
"Kau siapa, Kisanak" Aku baru kali ini melihatmu. Apa kerjamu di desa ini..?"
Pertanyaan yang tidak menyenangkan meluncur begitu saja dari mulut orang tua
itu. Ternyata bukan hanya tatapannya saja yang menyiratkan kecurigaan. Bahkan
suaranya pun jelas-jelas mencerminkan ketidaksenangan.
Tampak pemuda tampan itu menghela napas sejenak.
Ditundanya niat untuk meninggalkan orang tua itu begitu saja, karena mungkin
akan lebih menimbulkan rasa curiga. Hanya saja, dia tidak mengerti apa yang
membuat orang tua itu menaruh kecurigaan kepadanya" Lalu, apa sebenarnya yang
tengah terjadi di desa itu"
"Paman, aku bernama Panji. Ini temanku Kenanga. Kami berdua memang bukan orang
desa ini. Kami hanyalah pengembara. Apakah ada larangan untuk singgah atau
menginap di desa ini bagi para pengembara...?" tanya Panji setelah menjawab
semua pertanyaan yang barusan diajukan kepadanya.
Sepertinya, pertanyaan Pendekar Naga Putih membuat lelaki tua itu merasa sedikit
tidak enak hati. Semua itu kelihatan dari sikapnya yang agak berubah, dan
tatapan matanya yang juga menyiratkan sedikit keramahan.
"Tentu saja tidak, Nak... Panji. Maaf kalau pertanyaanku barusan kurang
menyenangkanmu. Masalahnya, kudengar ada beberapa orang desa kami telah
menemukan empat sosok mayat dan satu orang lelaki yang menderita luka parah.
Lelaki bertubuh gemuk itu kedapatan masih hidup, dan dalam keadaan pingsan,
itulah sebabnya, mengapa aku langsung merasa curiga ketika melihatmu...," jelas
orang tua itu yang kembali mengayun langkahnya menuju balai desa.
"Tidak mengapa, Paman. Kecurigaan Paman itu tentu saja cukup beralasan. Apalagi,
kedatanganku sangat bertepatan dengan adanya kejadiaan itu...," kata Panji.
Pendekar Naga Putih sengaja juga tidak menceritakan tentang mayat tukang perahu
di sungai. Dia khawatir, kalau-kalau sikap lelaki tua itu akan berubah lagi
kalau hal itu diceritakannya. Hanya saja, diam-diam Panji mencoba menghubungkannya dengan apa
yang ditemukan di sungai.
Setelah mendengar keterangan orang tua itu, Panji dan Kenanga semakin lebih
tertarik untuk mengikuti rombongan orang-orang desa. Sayangnya, pada saat
keduanya tiba di balai desa, sekeliling tempat itu telah dipenuhi penduduk desa.
Bahkan beberapa di antara mereka ada yang masih dilumuri lumpur atau pun tanah
merah. Kelihatan, mereka memang habis dari sawah dan ladang, dan merasa tertarik
dengan kejadian itu.
Menyadari kesukaran untuk ikut melihat apa yang telah diceritakan orang tua tadi
kepadanya, Panji melangkah mendekati keamanan-keamanan desa yang berbaris
membentuk pagar.
"Kisanak. Tolong sampaikan kepada kepala desamu kalau aku mungkin mengenali
mayat-mayat itu. Tolong beri kami kesempatan untuk melihatnya...," pinta Panji
kepada salah seorang keamanan Desa Kentang yang secara kebetulan juga salah
seorang pimpinannya.
"Hm.... Kau siapa, Kisanak" Benarkah apa yang kau katakan barusan" Tahukan kau,
siapa orang-orang yang tewas dan yang terluka parah itu...?" tanya kepala
keamanan berperut gendut dengan sebaris kumis tebal melintang menghias wajahnya.
Orang itu berbicara sambil mempermainkan kumisnya. Jelas, hal itu dimaksudkan
agar orang yang berbicara kepadanya merasa takut.
"Aku Panji. Benar tidaknya perkataanku, tergantung jawabanku setelah melihat
mereka. Sekarang, tentu saja aku belum tahu siapa mereka, karena belum
melihatnya sedikit
pun...," sahut Panji tetap tenang tanpa memperlihatkan rasa tersinggung atau
jengkel oleh sikap kepala keamanan desa itu.
"Hm..., Perlu kau tahu, Anak Muda...,"
Bicara lelaki berperut gendut dan berkumis tebal ini terhenti seketika, ketika
sepasang matanya sempat menatap sesuatu yang mengejutkan di belakang tubuh
pemuda berjubah putih itu. Segera saja kepalanya berusaha untuk melihat secara
jelas lewat bahu Panji.
"Hm...."
Panji yang langsung tahu penyebab kelakuan aneh itu, sengaja berpura-pura bodoh.
Kepalanya ikut bergerak-gerak mengikuti gerakan kepala lelaki gendut itu.
Sehingga, pandangan keamanan desa itu tetap saja terhalang kepala Panji.
"Hei, minggir kau...!"
Masih tetap tidak menyadari kesengajaan pemuda tampan itu, lelaki berperut
gendut ini menggeram sambil mengulurkan tangannya. Maksudnya, untuk
menyingkirkan tubuh Panji agar pandangannya tidak terhalang. Tapi...,
"Ehhh"!"
Keamanan desa itu tersentak kaget ketika tubuhnya hampir terjerunuk ke depan.
Tatapan matanya segera beralih ke wajah Panji. Memang, tarikan tangannya tadi
sama sekali tidak membuat tubuh pemuda itu bergeser sedikit pun. Bahkan tubuhnya
sendiri nyaris terjatuh ke depan.
"Kurang ajar! Apa maksudmu sebenarnya, Kisanak...?"
hardik kepala keamanan desa itu dengan wajah gelap.
Jelas ia merasa marah kepada pemuda itu. Tapi meskipun dalam keadaan marah,
sepasang matanya sempat melirik ke
belakang Pendekar Naga Putih. Sekilas, kembali terlihat apa yang membuatnya
penasaran untuk menegasi.
"Paman ini bagaimana?" tukas Panji dengan wajah berpura-pura tak tahu. "Bukankah
sejak pertama tadi sudah kukatakan.
Apa Paman sudah lupa keinginanku tadi?"
"Apa..., apa yang kau minta kepadaku tadi...?" tanya lelaki gendut itu yang
sepertinya benar-benar lupa kata-kata Panji.
Memang otaknya jelas dipenuhi sesosok bayangan penuh pesona yang belum juga
sempat jelas dilihatnya.
"Aku ingin bertemu kepala desa, dan melihat mayat-mayat itu. Bagaimana" Apakah
Paman mengizinkannya..." tanya Panji dengan tubuh tetap bergerak-gerak
menghalangi pandangan lelaki gendut yang masih juga mencari-cari sosok di
belakangnya. "Ya..., ya. Pergilah. Aku memperbolehkanmu melihat mayat-mayat itu dan menemui
kepala desa. Cepatlah pergi...."
Tanpa berpikir panjang lagi, lelaki gendut itu langsung saja mengizinkan Panji.
Hal itu dilakukan semata-mata hanya untuk dapat melihat sosok yang sejak tadi
membuatnya penasaran.
Dan satu-satunya jalan untuk dapat melihat jelas, hanyalah dengan menyuruh
pemuda berjubah putih itu cepat-cepat pergi.
"Eh...!?"
Untuk kesekian kalinya, lelaki gendut itu kembali terperangah dengan wajah
ketololan. Ternyata sosok yang dicarinya tidak bisa ditemukannya. Tentu saja ia


Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi keheranan setengah mati. Padahal, jelas-jelas tadi ia melihatnya di
belakang pemuda berjubah putih itu.
"Mungkinkah yang kulihat tadi sebangsa peri" Kalau memang manusia..., mengapa
bisa menghilang begitu cepat...?" gumam
lelaki gendut itu dalam hati sambil menggaruk-garuk kepalanya meski tidak gatal.
Kemudian, tubuhnya berbalik ke arah pemuda berjubah putih yang barusan diberi
jalan untuk lewat.
"Hah..."!"
Hampir copot jantung lelaki gendut itu ketika melihat sosok ramping terbungkus
pakaian serba hijau, tampak tengah melangkah tenang di samping pemuda berjubah
putih yang diizinkan masuk barusan. Tentu saja ia terkejut bukan main, karena
sosok berpakaian hijau itulah yang sejak tadi membuatnya penasaran.
"Aneh.... Bagaimana tahu-tahu ia bisa berjalan bersama pemuda itu" Ataukah semua
ini hanya pandanganku saja...?"
desis lelaki berperut gendut itu ragu-ragu.
Rasa penasaran membuatnya menggosok kedua mata dengan punggung tangan. Namun
meski telah beberapa kali menggosok, sosok ramping berpakaian serba hijau itu
tetap saja terlihat. Baru disadari kalau semua itu bukan permainan lamunannya
belaka. Tapi, memang benar-benar nyata.
"Hei, tunggu...!"
Begitu tersadar, lelaki berperut gendut itu segera saja berseru mencegah langkah
Panji dan Kenanga yang hendak memasuki pintu balai desa.
"Kita sudah terlanjur. Lebih baik terus saja masuk...," bisik Panji, seraya
segera menarik lengan kekasihnya memasuki bangunan itu.
"Hei, siapa kalian"! Siapa yang menyuruh kalian masuk ke ruangan ini"!"
Terdengar teguran ketika Panji dan Kenanga telah melewati pintu depan. Bahkan
teguran itu langsung disusul
berlompatannya beberapa sosok tubuh, dan langsung mengurung dengan senjata
terhunus! "Tahan...! Kami sama sekali tidak bermaksud jahat. Lagi pula, kami sudah
mendapatkan izin untuk memasuki tempat ini dari kepala keamanan yang berjaga di
luar...," jelas Panji.
Baru saja ucapan Panji selesai, dari belakang melesat sosok tubuh berperut
gendut yang tak lain kepala keamanan desa yang bermaksud mengejar Kenanga.
Karena memang, gadis jelita itulah yang membuatnya penasaran dan tergila-gila.
Padahal, wajah dara jelita itu, belum terlihat jelas.
"Bohong! Pemuda sialan itu bohong! Dia menerobos masuk ketika aku lengah berjaga
tadi...," sanggah lelaki berperut gendut itu, begitu tiba.
Rupanya, ia takut disalahkan. Sehingga tanpa ragu-ragu lagi, dilemparkannya
kesalahan itu kepada Panji dan Kenanga.
"Hm.... Betulkah itu, Kisanak...?" tegur Panji dengan sepasang mata berkilat
tajam menggetarkan jantung.
Hati Pendekar Naga Putih benar-benar muak melihat lelaki berperut gendut yang
sepertinya hanya merupakan seorang penjilat dan penggoda wanita. Bukan tidak
mungkin kalau sudah banyak gadis Desa Kemang yang dijadikan istrinya.
"Eh..., aaa... anuuu...,"
Lelaki berperut gendut itu mendadak gagap melihat sinar mata Panji serasa
membetot-betot sukmanya. Sehingga, ia tidak tahu lagi apa yang harus
diucapkannya. Tentu saja sikapnya membuat yang lain menjadi keheranan. Termasuk
juga, Kepala Desa Kemang dan pembantu utamanya.
"Kenapa kau, Sungga..." Mengapa tidak menjawab pertanyaan pemuda itu?" tanya
Kepala Desa Kemang yang
bernama Ki Senta Raga disertai kerutan di kening. Dia memang tak senang melihat
sikap bawahannya, sehingga terpaksa menegurnya.
"Anu, Ki. Aku...,"
"Sudahlah! Lebih baik kembali berjaga di luar sana. Biar pemuda dan gadis ini
aku yang urus...," potong Ki Senta Raga, tak sabar menunggu jawaban lelaki
gendut bernama Sungga.
"Baik..., baik..,"
Tanpa banyak membantah lagi, kepala keamanan bernama Sungga itu bergegas
meninggalkan ruangan untuk kembali berjaga-jaga di luar.
Sepeninggal Sungga, Ki Senta Raga mengalihkan perhatian kepada kedua orang muda
di depannya. Sekali melihat saja, lelaki tua bertubuh tegap itu dapat menilai
kalau Panji dan Kenanga bukanlah orang-orang yang pantas dicurigai.
"Hm..., siapakah kalian sebenarnya..." Dan, apa tujuan kalian memasuki tempat
ini...?" tanya Ki Senta Raga.
Meskipun tidak menaruh kecurigaan terhadap sepasang anak muda itu, tapi jelas
sekali kalau kewaspadaannya tetap tidak ditinggalkan.
"Maaf kalau kedatangan kami teiah membuat terkejut.
Namaku Panji. Dan kawanku Kenanga. Kedatangan kami ke tempat ini untuk melihat
mayat-mayat dan korban lain yang tengah menderita luka. Karena, mungkin saja
kami bisa mengenali orang-orang itu...," jelas Panji, sehingga membuat Ki Senta
Raga mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau kalian benar mengenalnya, lalu bagaimana" Apakah kau bisa memastikan
pembunuh mereka, Anak Muda?" tanya Ki Senta Raga tanpa maksud menyindir.
Sepertinya, orang tua itu mulai menduga kalau pemuda tampan berjubah putih itu
bukan orang sembarangan. Penilaian Ki Senta Raga, memang berdasarkan sikap
tenang dan tutur kata halus pemuda itu.
"Kami memang tidak bisa memastikannya, Ki. Yang jelas, kami pun menemukan korban
lain yang mungkin ada hubungannya dengan kejadian di desa ini...," sahut Panji.
Pendekar Naga Putih segera saja menyinggung sedikit tentang apa yang diketahui.
Sehingga, Ki Senta Raga dan dua belas orang keamanan desa sama-sama mengerutkan
kening mendengar ucapan pemuda itu.
"Apa maksudmu, Panji..." Mengapa kau menduga demikian...?" tanya Ki Senta Raga
lagi dengan nada menuntut jawaban segera. Kaki lelaki gagah itu bahkan sudah
melangkah mendekat.
"Ketika menyeberangi sungai yang merupakan pemisah Desa Kemang dengan desa
sebelah, kami menemukan mayat tukang perahu yang biasa menyeberangkan orang.
Karena tidak bisa mengetahui penyebab serta pembunuhnya, mayatnya kami kuburkan
di seberang sungai. Kemudian, kami menyeberang ke desa ini dan mendengar adanya
kejadian di balai desa...," jelas Panji secara singkat, namun cukup dimengerti
Ki Senta Raga dan para bawahannya.
Untuk beberapa saat lamanya, keadaan di dalam ruangan itu mendadak senyap.
Masing-masing dari mereka sama terbawa pikiran sendiri-sendiri.
"Hm..., Panji. Kalau memang ingin mengetahuinya, mari ke dalam. Aku sudah tahu,
siapa mayat-mayat itu. Juga, dengan lelaki gemuk yang menderita luka parah dan
tengah dalam perawatan kami. Kalau memang kalian benar orang-orang persilatan,
tentu akan mengenal mereka...," ujar Ki Senta Raga
membuyarkan keheningan, seraya mengajak Panji dan Kenanga ke sebuah ruangan
lain. "Terima kasih, atas kepercayaan kalian...," ucap Panji segera mengikuti langkah
kaki orang tua bertubuh tegap itu.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di sebuah ruangan lain yang cukup
luas. Di tengah-tengah ruangan tampak terdapat empat sosok mayat yang ditutupi
tikar pandan. "Periksalah...," Ki Senta Raga mempersilakan pemuda tampan itu untuk
memeriksanya. "Hm...."
Panji melangkah mundur setelah melihat sosok mayat yang terdekat dengannya.
"Meskipun tidak mengenal namanya, tapi aku tahu kalau mereka adalah murid-murid
Perguruan Cakar Besi yang dipimpin Ki Raksa Mala. Salah seorang murid utamanya
yang bernama Gala Campa adalah sahabat kami. Aaahhh..., betapa akan terpukul
hatinya jika mengetahui hal ini...," desah Panji setelah menjelaskan siapa
adanya mayat-mayat itu.
Sementara, Ki Senta Raga terangguk-angguk semakin menaruh kepercayaan kepada
pemuda yang senantiasa tenang dan halus tutur katanya.
"Aku pun telah tahu siapa dan berasal dari mana mereka.
Apalagi, hampir semua penduduk desa ini dan juga desa-desa lain di sekitar
wilayah ini, mengenal perguruan itu dengan baik.
Secara tidak langsung, merekalah pelindung desa-desa di sekitar wilayah ini dari
gangguan orang-orang jahat. Satu hal yang mungkin akan mengejutkan bagi kalian
berdua, orang yang menderita luka parah dan tengah kami rawat, tak lain dari
Gala Campa, murid tertua Ki Raksa Mala...," jelas Ki Senta Raga yang membuat
Panji dan Kenanga terkesiap mendengarnya.
"Bagaimana keadaannya, Ki" Apakah masih bisa diselamatkan" Boleh kami
melihatnya...?" Kenanga yang sejak tadi hanya ikut mendengarkan, langsung
memberondong Ki Senta Raga dengan serangkaian pertanyaan. Sehingga, orang tua
itu tersenyum dibuatnya.
"Tentu saja boleh. Sekarang, aku sudah percaya penuh kepada kalian. Mari...,"
ajak Ki Senta Raga membawa kedua pasangan pendekar muda itu ke tempat lainnya.
Tanpa banyak bicara lagi, Panji dan Kenanga segera saja bergerak mengikuti
Kepala Desa Kemang. Bermacam pertanyaan memenuhi benak Pendekar Naga Putih.
Karena, setelah berpisah dengan Gala Campa dan para tokoh lainnya di dalam Hutan
Grambang, sampai saat itu Panji sama sekali belum bisa menemukan orang yang
telah mengadu domba Perguruan Ular Emas dan Perguruan Cakar Besi dengan
Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Usaha adu domba itu berhasil baik, karena
perkumpulan kaum gembel itu telah kehilangan beberapa orang tokohnya. Sedangkan
kedua perguruan golongan putih itu telah kehilangan guru-guru mereka, (baca
episode: Badai Rimba Persilatan).
"Nah. Saudara Gala Campa tengah terbaring di dalam. Maaf, hanya sampai sebatas
itu saja yang dapat kami lakukan terhadapnya. Karena, di desa kami tidak ada
tabib." ujar Ki Senta Raga, sehingga membuyarkan lamunan Panji. Segera saja
Pendekar Naga Putih dan Kepala Desa mendorong daun pintu kamar tempat Gala Campa
dirawat. Dengan langkah perlahan, pasangan pendekar itu bergerak mendekati pembaringan
Gala Campa. Hati Pendekar Naga Putih langsung merasa iba terhadap murid tertua
Ki Raksa Mala yang
wajahnya sukar dikenali, karena bengkak dan luka di sana-sini.
Sebagai seorang yang juga ahli pengobatan, pemuda itu segera saja mengetahui
sampai di mana parahnya keadaan Gala Campa.
Tanpa berkata sepatah pun, Panji menurunkan buntalan pakaiannya. Dikeluarkannya
jenis obat yang sekiranya diperlukan untuk mengobati luka-luka Gala Campa. Juga,
dikeluarkannya sejenis minyak gosok, karena pada tubuh telanjang itu terlihat
ada luka memar yang juga agak membengkak. Panji menduga, kemungkinan tulang-
tulang iga lelaki itu ada yang retak atau patah.
Kenanga cukup teliti memperhatikan ketika kekasihnya tengah mengobati luka-luka
Gala Campa. Karena pemuda itu melakukannya dengan cekatan dan sangat ahli, maka
sebentar saja pengobatan telah dapat diselesaikan.
"Untuk satu dua hari, kita terpaksa harus tinggal di sini, Kenanga. Setelah Gala
Campa sehat seperti sediakala, barulah kita bisa mendapat keterangan darinya.
Memang agak sulit, karena selain luka-luka luar, dia juga mengalami guncangan
batin yang cukup parah...," jelas Panji. Rupanya Pendekar Naga Putih juga dapat
mengetahui keadaan Gala Campa secara keseluruhan.
"Maksudmu.., Gala Campa menjadi gila...!?" seru Kenanga, perlahan.
"Tidak sampai seperti itu. tapi, tingkahnya mungkin agak aneh dan ngawur.
Yahhh..., kita lihat saja nanti. Mudah-mudahan saja ia bisa sembuh seperti yang
diharapkan." desah Panji.
Pendekar Naga Putih kemudian segera melangkah ke luar kamar, setelah memasukkan
kembali semua obat-obatan ke dalam buntalan pakaiannya.
Ki Senta Raga menyambut kemunculan pasangan pendekar muda itu dengan senyum. Dan
Pendekar Naga Putih kemudian langsung saja menyampaikan keinginannya kepada
orang tua itu. Memang, Ki Senta Raga-lah yang paling berkuasa di Desa Kemang.
"Aaah.... Syukurlah, Panji. Sekarang, lega rasanya hatiku.
Kalau begitu, selama kalian tinggal di desa ini, aku akan menyediakan tempat
beristirahat di sebelah rumahku untuk kalian...," desah Ki Senta Raga.
Kepala Desa Kemang itu tentu saja menjadi gembira ketika mendengar Panji
ternyata juga pandai mengobati dan telah mengurus luka-luka Gala Campa. Bahkan
orang tua itu menyambut gembira usul pasangan muda itu untuk menginap.
Maka Ki Senta Raga langsung menyediakan tempat beristirahat.
"Waaah...! Kami terlalu merepotkan...," desah Panji.
Tentu saja Pendekar Naga Putih agak risih mendapat tanggapan serta sambutan Ki
Senta Raga yang terlihat benar-benar tulus. Tapi, pemuda itu tidak dapat
menolaknya. Maka, terpaksa menerima segala kebaikan Kepala Desa Kemang serta
para pengikutnya yang juga menaruh hormat kepadanya.
*** "Kami harus pergi sekarang, Ki.... Karena masih banyak persoalan yang harus
diurus. Selain itu. Gala Campa juga kelihatan sudah mulai pulih. Kami
mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Ki Senta Raga serta semua warga
Desa Kemang ini...," Panji dan Kenanga berpamitan setelah beberapa hari menginap
di Desa Kemang.
Sedangkan lelaki gemuk yang berada di dekat pemuda itu tampak hanya terpaku
dengan tatapan mata kosong. Ia tak lain dari Gala Campa, yang telah sembuh dari
luka-lukanya. Sayangnya, guncangan batin yang diterima, membuatnya agak goyah pikirannya, ia
jarang sekali bicara kalau tidak ditanya lebih dahulu.
"Baiklah, kalau memang keputusanmu sudah tidak bisa diundur lagi. Dan kami hanya
bisa mendoakan semoga kau berhasil membekuk orang-orang kejam itu, Panji.
Menyesal sekali baru kemarin aku mengetahui siapa kau sebenarnya.
Tapi meskipun demikian, aku tetap merasa bangga. Kuharap lain kali kau bersedia
singgah jika kebetulan lewat di dekat Desa Kemang...," ucap Ki Senta Raga.
Memang, baru kemarin ini Ki Senta Raga mengetahui kalau Panji sebenarnya adalah
Pendekar Naga Putih. Kakagumannya yang selama ini hanya mendengar namanya saja,
semakin bertambah-tambah setelah mengenal pendekar muda itu lebih dekat.
Sehingga, tidak heran kalau orang tua itu kelihatan sekali merasa berat atas
kepergian Pendekar Naga Putih.
Selesai berpamitan, Panji, Kenanga, dan Gala Campa melangkah menyusuri jalan
lebar yang membelah Desa Kemang menjadi dua bagian. Kemudian, mereka terus ke
sebelah Barat menuju matahari terbenam.
Saat itu, hari masih pagi. Udara yang masuk melalui pernapasan terasa sejuk dan
melegakan dada sehingga menyegarkan tubuh. Langit nampak cerah dengan warna biru
yang terang. Cahaya matahari pagi terasa demikian hangat, menyirami ketiga sosok
tubuh manusia yang tengah melintasi daerah bebatuan.
"Gala Campa, dapatkah perjalanan ini dipersingkat" Aku khawatir, kita keduluan
pengemis-pengemis laknat itu. Menurut
dugaanku, mereka pasti juga akan menyerang dan membinasakan murid-murid
Perguruan Ular Emas, seperti halnya yang terjadi dengan perguruanmu. Untuk itu,
kita tidak boleh terlambat tiba di sana. Sedikit saja terlambat, rasanya nasib
Perguruan Ular Emas pun tidak akan berlanjut lagi...,"
kata Panji. Menilik dari pembicaraannya, dapat diduga, ke mana tujuan ketiga
orang pendekar itu kali ini.
"Pengemis-pengemis laknat... Ya, benar. Kita harus mempercepat perjalanan.
Pembunuh-pembunuh itu tidak bisa dibiarkan berkeliaran bebas semaunya...," sahut
Gala Campa dengan suara mendesah, seolah-olah bicara kepada diri sendiri dan
bukan menjawab ucapan Panji.
Kemudian tanpa berbicara sepatah pun, laki-laki gemuk itu langsung mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya. Sebentar saja, bayangan Gala Campa telah berada
beberapa tombak di depan Panji dan Kenanga.
Bagaikan diberi aba-aba, sepasang pendekar muda itu segera saja menggenjot
tubuhnya mengejar Gala Campa.
Karena kepandaian mereka memang sangat tinggi, dalam waktu yang tidak terlalu
lama saja Gala Campa telah dapat dibarengi. Secara bersamaan, ketiganya bergerak
bagaikan bayang-bayang hantu yang tengah berkeliaran.
Selama perjalanan itu, Gala Campa hampir tidak pernah berbicara. Dia lebih
banyak termenung dengan sepasang mata kosong. Untungnya, kedua orang pendekar
itu telah mengetahui penyebabnya.
*** "Gala Campa, masih berapa jauh lagikah letak Perguruan Ular Emas?" tanya Panji
suatu malam ketika melihat Gala Campa duduk termenung menatapi bintang yang
bertaburan di angkasa raya. Langit memang nampak cerah, meski bulan muncul hanya
sepotong. "Tidak lama. Besok siang kita sudah bisa tiba di sana. Hm..., akan kuhajar
habis-habisan pengemis-pengemis laknat itu dengan tanganku sendiri...!"
Terdengar desisan geram keluar dari mulut Gala Campa setelah menjawab pertanyaan
Panji. Begitulah yang selalu diucapkan Gala Campa, yang selalu diakhiri dengan
kata-kata yang menyiratkan dendam. Selalu begitu, meski ucapan pertamanya tidak
bisa dibilang sebagai jawaban orang gila.
Jelas, dendam itu tetap membayangi ke mana saja Gala Campa pergi.
"Hm.... Kalau begitu, tidurlah. Biar aku yang jaga malam ini,"
ujar Panji sambil menepuk perlahan bahu lelaki gemuk itu.
Dan tanpa berkata sepatah pun, Gala Campa bangkit terus merebahkan dirinya di


Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rerumputan yang beralaskan selembar kain. Sebentar saja, terdengar dengkurnya
yang cukup keras.
Panji hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Gala Campa. Pemuda
itu bertekad memulihkan kesehatan dan pikiran lelaki gagah itu kelak, karena
memang tidak bisa dilaksanakan sekaligus. Dan untuk mengembalikannya secara utuh
seperti sediakala, Panji harus melakukannya secara perlahan-lahan.
4 "Heeeaaattt..!"
"Yiaaattt..!"
Keheningan pagi yang indah tiba-tiba saja dirusak teriakan-teriakan yang
diselingi jerit kematian. Suara denting senjata yang meningkahi teriakan serta
jerit kematian, jelas menandakan telah terjadi pertempuran berdarah pagi ini.
Dugaan itu memang tidak berlebihan. Di balik sebuah bangunan perguruan, tampak
pertarungan tengah berlangsung sengit. Sebenarnya, keadaan itu tidak bisa
disebut pertempuran, dan lebih tepat kalau dikatakan sebagai pembantaian. Memang
orang-orang berpakaian kembang-kembang dan penuh tambalan itu sepertinya sama
sekali tidak mendapat perlawanan berarti. Lawannya yang mengenakan pakaian
kuning cerah, satu persatu bertumbangan dan bermandikan darah!
"Hua ha ha...! Sebentar lagi, nama Perguruan Ular Emas akan hilang dari dunia
persilatan, seperti halnya Perguruan Cakar Besi yang telah musnah...,"
Terdengar tawa membahana di sela-sela jeritan dan dentang senjata. Kemudian,
kembali diperintahkannya pengemis-pengemis berbaju kembang-kembang itu untuk
segera mempercepat pekerjaannya.
Untuk kesekian kalinya, jerit kematian pun kembali bergema susul-menyusul. Darah
segar kembali menyirami bumi yang sudah lembab, dan basah oleh darah. Tapi, para
pengemis berpakaian kembang itu sepertinya tidak pernah mengenal puas. Mereka
terus saja membantai murid-murid Perguruan Ular Emas tanpa ampun!
"Heaaattt..!"
Pada saat nyawa murid-murid Perguruan Ular Emas sudah tidak mungkin dapat
terselamatkan lagi, tiba-tiba saja terdengar teriakan keras susul-menyusul.
Berbarengan teriakan itu, lima sosok bayangan tiba-tiba berkelebat cepat
memasuki arena pertempuran. Begitu tiba, mereka langsung menyabetkan pedang ke
arah para pengemis berpakaian kembang yang ber-jumlah sekitar belasan orang.
Kehadiran kelima sosok bayangan itu rupanya mampu merubah suasana. Buktinya
sebentar saja, tampak belasan orang pengemis sama-sama bergerak mundur, melihat
permainan pedang kelima sosok bayangan yang benar-benar mengagumkan.
Terutama sekali, permainan pedang seorang lelaki setengah baya yang berkumis
tebal. Gerakannya menunjukkan kalau ia merupakan seorang ahli pedang pilih
tanding. Bahkan angin sambaran pedangnya saja mampu merobek pakaian lawan.
Tentu saja tenaga dalam yang terkandung dalam permainan pedangnya tidak bisa
dipandang remeh. Dan sebagai bukti kehebatannya, lelaki gagah bertubuh agak
kurus itu telah membenamkan senjata di tubuh salah seorang lawan!
Cappp! "Aaakhhh...!"
Jeritan kematian langsung saja bergema seiring ujung pedang yang menancap tepat
di jantung lawan. Darah segar langsung memercik membasahi tanah! Tubuh seorang
pengemis kurus tampak terjerembab tewas dengan tubuh mandi darah!
"Mundur...!"
Tiba-tiba saja, terdengar perintah menggelegar yang membuat para pengemis
berbaju kembang-kembang serentak bergerak mundur. Tak seorang pun yang berani
membantah perintah itu. Jelas, lelaki tinggi besar brewokan yang mengenakan
rompi coklat dan dengan sepasang lengan terhias gelang itu merupakan pemimpin
para pengemis. Dia tak lain dari Setan Tenaga Gajah. Rupanya, kali ini dia
sendiri yang langsung memimpin pengikutnya untuk membantai Perguruan Ular Emas.
Mundurnya para pengemis berbaju kembang-kembang itu tentu saja juga membuat
kelima sosok bayangan tadi segera bergerak mundur. Termasuk juga, lelaki
setengah baya yang masih tampak gagah itu.
"Hm..., kau pasti orang yang bernama Ki Damang, bukan"
Ilmu pedangmu ternyata tidak mengecewakan. Sayangnya, masih banyak sekali
kelemahan di dalamnya...," kata Setan Tenaga Gajah memberi tanggapan tentang
permainan pedang lelaki berkumis tebal yang ternyata Ki Damang itu.
Tapi, orang tua itu sama sekali tidak kelihatan tersinggung atau marah. Sikapnya
malah nampak agak tegang sambil meneliti sosok tinggi besar berbulu-bulu di
depannya. "Siapa kau, Kisanak"! Dan mengapa demikian kejam membantai orang-orang tak
berdosa...?" tanya Ki Damang tanpa mempedulikan pendapat Setan Tenaga Gajah.
Setan Tenaga Gajah hanya tertawa gelak mendengar pertanyaan Ki Damang. Tanpa
mempedulikan orang tua itu, pandangannya diedarkan kepada empat orang lelaki
gagah lainnya. Kelihatan sekali kalau sinar mata lelaki tinggi besar menakutkan
itu sangat memandang remeh.
"Hua ha ha.... Bagus...., bagus. Ternyata kedua orang murid Ki Jasminta juga
telah ada di sini. Demikian juga dengan murid-
muridmu, Ki Damang. Nah! Karena kalian sekarang sudah lengkap, maka sudah
waktunya nyawa kalian kucabut satu-persatu...," ancam Setan Tenaga Gajah.
Tentu saja ancaman ini membuat kelima orang lelaki gagah menjadi geram bukan
main. Karena, lelaki tinggi besar menakutkan itu jelas-jelas tidak memandang
sebelah mata pun kepada mereka.
"Tunggu dulu...!" seru Ki Damang seraya mengangkat tangan kirinya. Jelas, lelaki
tua yang masih nampak gagah itu tengah memedam rasa penasaran.
"Hm.... Kau ingin mengatakan sesuatu sebelum kematianmu, Orang Tua...?" ejek
Setan Tenaga Gajah dengan sunggingan senyum sinis.
Ki Damang menarik napas berulang-ulang untuk menenteramkan hatinya yang
bergemuruh. Sikap Setan Tenaga Gajah memang benar-benar keterlaluan sekali.
Akibatnya, orang seperti Ki Damang hampir-hampir terpancing amarahnya.
"Kisanak. Tanpa sebab yang berarti, kau tega membunuh murid-murid Perguruan Ular
Emas. Seolah-olah, nyawa mereka sama sekali tidak ada artinya bagimu. Nah! Kalau
memang bukan seorang pengecut, katakanlah terus terang. Mengapa kau memusuhi dan
ingin melenyapkan kami?" tanya Ki Damang, seperti mewakili pertanyaan kawan-
kawannya yang lain.
Setan Tenaga Gajah kembali memperdengarkan tawanya yang berkepanjangan. Setelah berhenti sejenak, lelaki tinggi besar
menakutkan itu segera mengeluarkan suitan panjang disertai kekuatan tenaga dalam
tinggi. "Kau..."!"
Dua orang lelaki gagah yang datang bersama Ki Damang, sama-sama melangkah maju
dengan wajah pucat! Mereka tak lain Wira Yudha dan Waluja, dua orang murid utama
Ki Jasminta. "Hua ha ha..! Ya! Akulah yang memiliki suitan itu. Mengapa kalian terkejut..?"
bernada mengejek sahutan Setan Tenaga Gajah. Kelihatan sekali kalau lelaki
tinggi besar itu berpura-pura bodoh, padahal memang sengaja hendak mempermainkan
lawan-lawannya.
Sedangkan tubuh Wira Yudha dan Waluja sama-sama menggigil mendengar suitan itu.
Memang, hal itu mengingatkan mereka pada kematian Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala
yang penuh teka-taki. Dan munculnya suitan, memang sangat bertepatan dengan
kematian kedua tokoh sakti itu. (Untuk lebih jelas mengenai kematian Ki Jasminta
dan Ki Raksa Mala, silakan baca: Badai Rimba Persilatan).
"Setan Tenaga Gajah..."! Ya. Kau pastilah manusia laknat yang telah membunuh
guru kami dan memfitnah Ki Parewang sebagai pelakunya! Bangsat keji! Rupanya kau
memang manusia biadab yang tidak mengenal puas! Setelah tidak berhasil mengadu
domba kami, lalu kau datang hendak membantai murid-murid perguruan kami!
Biadab...!"
Karena tidak bisa lagi menahan dendam dan kemarahan di dalam dadanya. Wira
Yudha, murid tertua Perguruan Ular Emas, langsung saja menerjang maju disertai
putaran pedang.
Swiiittt...! Cwiiittt...!
Sambaran angin pedang yang bergulung-gulung itu benar-benar mengagumkan.
Kilatan-kilatan cahaya putih berkeredep mengincar tubuh Setan Tenaga Gajah yang
masih tetap tegak seperti memandang remeh serangan lawan.
Waluja murid kedua Ki Jasminta yang berjuluk si Pendekar Ular Emas, rupanya
tidak mau ketinggalan. Sesaat setelah tubuh kakak seperguruannya melesat
menerjang pembunuh gurunya, dia juga berseru keras menyusuli. Bahkan putaran
senjatanya terlihat lebih indah dan menyembunyikan kekuatan mengagumkan!
"Yeaaattt...!"
Wueeettt! Cwiiittt...!
Dibarengi pekikan nyaring, Wira Yudha membabatkan senjatanya dua kali berturut-
turut. Namun kaki dan tubuh lawan yang menjadi sasaran, ternyata mampu
menghindar. Padahal, saat itu ujung pedangnya hampir menyentuh sasaran.
Tentu saja ia terkejut, karena cara menghindar lawan sama sekali tidak
tertangkap mata!
Rupanya, Setan Tenaga Gajah tidak hanya menghindar.
Tahu-tahu saja, kepalan tangannya yang sebesar kepala bayi telah meluncur ke
arah kepala Wira Yudha yang memang belum terbebas dari keheranannya. Sehingga,
nyaris kepalan itu meremukkan kepalanya.
Untunglah pada saat yang sangat gawat, Waluja telah datang dengan serangannya
yang menderu-deru. Akibatnya Setan Tenaga Gajah terpaksa harus menarik pulang
kepalannya. Bahkan malah berbalik mengincar pergelangan tangan Waluja dengan
cengkraman mautnya!
Wira Yudha yang tersadar dari keterpakuannya, segera saja mengibaskan senjata di
tangannya. Pedang itu langsung meluncur dengan kecepatan kilat menuju bagian
tengah dada Setan Tenaga Gajah!
Traaang...! "Aaahhh...!"
Meskipun berhasil membebaskan Waluja dari ancaman cengkeraman lawannya, namun
tak urung Wira Yudha harus menerima kenyataan akan kehebatan lawannya. Tubuh
lelaki gagah itu terjajar mundur, dan hampir jatuh terlentang akibat sentilan
jari-jari tangan lawan pada badan pedangnya. Tentu saja tindakan Setan Tenaga
Gajah membuatnya terkejut, sekaligus juga menyadari kesaktian lawan.
Memang, kalau Setan Tenaga Gajah mau, mudah saja kedua orang itu dilumpuhkannya.
Hanya saja, dia ingin memanas-manasi lebih dahulu. Begitulah sifatnya. Dia ingin
agar lawan semakin terumbar hawa amarahnya. Dengan demikian, lawan secara tak
langsung telah mendapat serangan batin, sehingga jiwanya goyah.
"Gila...!" desis Wira Yudha.
Segera laki-laki gagah itu mengulurkan tangan kirinya, sehingga menggenggam
pedang dengan kedua tangan. Sebab, meskipun telah agak lama, tapi getaran akibat
sentilan jari tangan tokoh menyeramkan itu masih tetap terasa hingga ke pangkal
lengan. Akibatnya untuk beberapa saat, lelaki gagah itu hanya berdiri terpaku
sambil berusaha menenangkan getaran pada lengannya.
"Baiklah. Batin kalian berdua yang akan kuhancurkan lebih dahulu..."
Setelah berkata demikian. Setan Tenaga Gajah melangkah mendekati Wira Yudha dan
Waluja yang saling berdampingan.
Cepat keduanya mengelebatkan pedang di depan dada, siap menghadapi perkelahian
maut! Sedangkan Ki Damang dan kedua orang muridnya, segera saja bergerak maju untuk
melindungi kedua orang murid sahabatnya. Mereka kini berhadapan dengan Setan
Tenaga Gajah yang terus melanjutkan langkah, tanpa perduli kalau akan dikeroyok.
Majunya kelima orang lelaki gagah itu, membuat Benggala dan Wungga, melangkah
maju bersama dua belas orang pengemis lain. Maka suasana pun semakin memanas.
"Yeaaattt...!"
Setan Tenaga Gajah membuka serangan dengan teriakan parau yang mengejutkan. Saat
itu juga, kedua tangannya bergerak susul-menyusul membawa serangan-serangan
maut! Kuku-kuku jari tangannya yang panjang dan hitam, meluncur ke arah Wira Yudha dan
Waluja. Tapi baik Wira Yudha maupun Waluja bukanlah orang-orang pengecut yang takut
mati. Sebagai orang-orang gagah yang telah terdidik sejak kecil, mereka sama
sekali tidak gentar dalam menghadapi serangan lawan. Maka begitu cengkeraman
lawan datang mendekat, keduanya bergerak memecah. Dengan kibasan senjatanya,
dipapaknya cengkeraman cakar-cakar maut itu!
Whuuuttt! Whuuuttt..!
Pedang di tangan Wira Yudha dan Waluja menyambar-nyambar hendak menebas putus
lengan yang berbulu itu.
Namun dengan kecepatan dan keluwesan mengagumkan, lengan Setan Tenaga Gajah
meliuk menghindari sambaran kedua batang pedang lawan. Kemudian, dia kembali
meluncur mengancam tubuh Wira Yudha dan Waluja. Tentu saja kedua orang lelaki
itu menjadi terkejut setengah mati! Cepat-cepat tubuh mereka dilempar ke
belakang untuk menghindari cengkeraman cakar-cakar maut lawan.
Tapi Setan Tenaga Gajah sepertinya memang tidak ingin melepaskan kedua orang
lawannya. Buktinya, ia terus saja
mengejar Wira Yudha dan Waluja dengan cakar-cakar mautnya.
Sehingga, keduanya mati-matian menyelamatkan diri.
Untunglah, baik Wira Yudha maupun Waluja dapat bekerja sama dengan baik.
Sehingga meskipun pertarungan telah lewat dari jurus kedua puluh, kedua orang
murid Ki Jasminta itu masih tetap dapat bertahan.
Sebenarnya, hal itu memang disengaja Setan Tenaga Gajah.
Dia memang ingin membuat lawan terpecah jiwanya. Dan ketika dirasakan telah
cukup, maka keputusannya adalah mencabut nyawa kedua orang lawannya.
Di tempat lain, Ki Damang bersama kedua orang muridnya telah pula bertempur
melawan Benggala dan Wungga. Kedua orang pengemis berbaju kembang-kembang itu
memimpin enam orang rekannya untuk menggempur lawan. Maka, pertarungan sengit
pun tak terhindari lagi.
Sedangkan murid-murid Perguruan Ular Emas yang hanya tersisa beberapa belas
orang, telah pula bertarung mati-matian menghadapi gempuran enam orang pengemis
yang mengamuk dengan tongkat hitamnya. Meskipun mereka jelas-jelas bukan lawan
para pengemis, tapi tetap gigih dalam melakukan perlawanan. Sepertinya, mereka
lebih baik mati di tangan musuh ketimbang menyerah, atau mati sebagai pengecut.
Pikiran itulah yang membuat para murid Perguruan Ular Emas tetap gigih
mengadakan perlawanan.
Sementara, pertarungan antara Setan Tenaga Gajah yang melawan Wira Yudha dan
Waluja telah lewat dari dua puluh jurus. Dan rupanya, tokoh sesat itu kini jadi
tidak sabar. Maka, serangan-serangannya pun semakin dipercepat. Akibatnya, tentu
saja membuat Wira Yudha maupun Waluja semakin kelabakan.
Mati-matian kedua orang lelaki gagah itu menyelamatkan diri sebisa-bisanya.
Meskipun mereka telah mengeluarkan seluruh kemampuan, tapi terap saja serangan
Setan Tenaga Gajah, bagaikan bayangan yang selalu menyertai ke mana tubuh mereka
berkelebat. "Yeaaattt...!"
Dua puluh dua jurus telah lewat. Dan, tiba-tiba saja, Setan Tenaga Gajah
mengeluarkan bentakan menggelegar! Seiring teriakan itu, sepasang tangannya
bergerak ke depan dengan pukulan jarak jauh!
Whuuusss...! Serangkum angin yang amat kuat berhembus ke arah tubuh Wira Yudha dan Waluja.
Kontan, kedua orang lelaki gagah itu terkejut setengah mati. Padahal, saat itu
Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara 5 Joko Sableng Neraka Pulau Biru Raja Silat 28
^