Pencarian

Perempuan Lembah Hitam 1

Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam Bagian 1


PEREMPUAN-PEREMPUAN LEMBAH HITAM
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A.Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Perempuan-Perempuan Lembah Hitam
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Sepasang burung murai berlompatan riang di atas dahan. Kicauannya terdengar
menyambut bias cahaya merah di kaki langit sebelah timur. Unggas-unggas kecil
yang lucu itu nampak demikian gembira menyambut datangnya sang surya. Suasana
yang sejuk dan semilir angin lembut yang menyapa dedaunan, membuat pagi itu
serasa indah dan hidup.
Namun suasana damai seperti itu ternyata tak berlangsung lama. Suara bentakan-
bentakan kasar dan keras, serta dentangan senjata yang menusuk telinga, telah
merusak keindahan dan keheningan pagi itu. Dapat dipastikan kalau perusak
keindahan itu makhluk-makhluk yang bernama manusia. Dan suara-suara itu jelas
bersumber dari sebuah pertempuran.
Ternyata benar, pada sebuah tepian sungai, terlihat suatu pertempuran sengit
tengah berkecamuk. Mereka inilah yang telah membuat suasana pagi menjadi rusak.
"Yeaaat...!"
Suara teriakan keras kembali terdengar memekakkan telinga. Terlihat seorang
lelaki bertubuh kekar bersenjatakan sebatang pedang tengah melesat ke udara.
Pedang di tangannya berputaran cepat menimbulkan suara mengaung tajam, membelah
keheningan pagi hari itu.
"Hmh...!"
Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian merah muda, mengeluarkan suara mendengus
bernada mengejek. Hanya dengan geseran langkahnya, sambaran pedang lelaki
bertubuh kekar itu luput, sehingga hanya menyambar tempat kosong.
"Perempuan setan...!"
Gagalnya serangan itu membuat lelaki bertubuh kekar tampak kian penasaran.
Terdengar umpatannya yang kasar meningkahi suara berdesingan. Sementara pedang
di tangannya terus bergerak dengan serangkaian serangan yang berbahaya. Melihat
dari gerakannya yang cepat dan kuat, dapat diduga kalau ielaki itu bukanlah
orang sembarangan.
"Makilah sepuasmu. Orang Gagah! Sebentar lagi kau akan bertekuk lutut di tangan
kami...!" sahut sosok bertubuh ramping terbungkus pakaian merah muda itu. Nada
suaranya mengandung ejekan yang disertai senyum sinis. Sambil berkata demikian,
tubuhnya bergerak ke kiri dan ke kanan dengan langkah-langkah ringan dan mantap.
Sehingga, tak satu pun dari serangan lawan yang mengenai sasaran. Karuan saja
lelaki bertubuh kekar itu semakin marah. Dengan geram terus dilancarkan
serangan-serangannya yang semakin cepat dan kuat.
Namun wanita yang diserangnya tak kalah gesit. Bahkan terlihat dia mulai
membalas serangan lawan dengan tamparan dan tusukan jemari tangannya. Kendati
hanya bertangan kosong, serangan yang dilancarkan wanita itu ternyata jauh lebih
berbahaya ketimbang serangan pedang lawan. Sehingga pertarungan pun berjalan
semakin seru dan mendebarkan.
Perusak suasana pagi itu ternyata bukan hanya mereka berdua. Sebab, tak jauh
dari tempat pertarungan itu, terlihat dua pertempuran lain yang tidak kalah
seru. Anehnya, pertarungan itu seperti sengaja telah diatur. Karena pihak-pihak yang
bertarung antara lelaki melawan perempuan! Entah persoalan apa yang membuat
mereka sepagi itu telah terlibat dalam perkelahian mati-matian.
Seperti yang pertama, dua pertempuran lainnya pun kelihatan masih berjalan
seimbang. Meski demikian, tampak jelas betapa pihak lelaki berusaha keras untuk
segera merobohkan lawannya masing-masing. Hal itu terbukti dari serangan-
serangan mereka yang cepat dan bertubi-tubi datangnya. Seakan-akan ketiga orang
lelaki itu demikian membenci perempuan-perempuan yang menjadi lawan mereka.
Ketika tiga pertarungan itu berlangsung seru, tiba-tiba terdengar sebuah seruan
bernada dingin.
"Robohkan mereka...!"
Seruan bernada perintah itu membuat suasana pertarungan berubah seketika.
Perempuan-perempuan berpakaian merah muda yang semula hanya mengelak dan
sesekali melancarkan serangan balasan, kini merubah gaya permainan mereka.
"Haiiit..!"
"Heaaa...!"
Diiringi pekikan merdu yang susul-menyusul, ketiga perempuan itu mulai membangun
serangan. "Hahhh..."!" pekik ketiga lelaki bertubuh kekar hampir bersamaan.
Tampak rasa keterkejutan melanda wajah mereka yang berubah agak pucat.
Dengan mata terbelalak nanar ketiganya menyaksikan serangan-serangan lawan yang
berubah dahsyat. Setiap kali tangan dan kaki mereka meluncur, diikuti
serangkaian angin keras menderu. Gempuran yang cepat dan beruntun itu membuat
ketiga lelaki tampak tak mendapat kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.
Bahkan... "Hiaaa...!"
Bukkk, "Aaakh...!"
Pekikan keras terdengar ketika salah seorang dari ketiga lelaki itu terhantam
serangan lawan. Pukulan telapak tangan halus yang mendarat di dadanya, membuat
tubuh tegap terbungkus pakaian putih itu terjerembab mencium tanah. Darah segar
langsung muntah dari mulutnya. Sesaat kemudian tanpa menggelepar-gelepar lelaki
itu tergeletak pingsan.
Kedua kawannya yang saat itu masih bertahan mati-matian, tentu saja tersentak
kaget menyaksikan kejadian itu. Akibatnya, dalam sesaat mereka lengah. Kedua
perempuan yang tengah dihadapi tampaknya mengetahui peluang itu. Hingga....
"Hiaaat..!"
Bluk! Plak! Dengan cepat kedua perempuan itu melantarkan serangan dahsyat.
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan susul-menyusul. Tubuh kedua lelaki kekar yang
terbungkus pakaian putih itu seketika terjungkal. Setelah memuntahkan darah
segar, keduanya terkapar lemas di tanah. Ternyata tangan-tangan yang tampak
halus dan mulus milik kedua perempuan itu menyimpan suatu kekuatan tenaga dalam
kuat. Terbukti dalam sekali pukulan telapak tangan saja, telah membuat lawan
terkapar tak sadarkan diri.
Sejenak suasana berubah sepi. Tampak senyum sinis di bibir ketiga perempuan itu,
sambil menatap tubuh lawan yang telah ambruk di tanah basah.
"Sadarkan mereka...!"
Terdengar sebuah perintah dengan suara datar. Serentak ketiga perempuan
berpakaian merah muda itu menolehkan wajahnya menatap sebuah tandu yang diusung
empat laki-laki muda bertubuh kekar.
"Baik, Ketua...," sahut salah seorang dari ketiga perempuan itu dengan penuh
hormat. Kemudian segera memberikan isyarat dengan gerakan kepala kepada kedua
temannya. Tanpa diperintah dua kali, ketiga perempuan yang rata-rata berwajah cantik itu
segera menghampiri lawan masing-masing. Mereka langsung menotok bagian tubuh
lawan. Seketika terdengarlah keluhan-keluhan lirih dari mulut ketiga lelaki yang masih
terkulai lemas itu.
"Bangun kau, Lelaki Pemalas...!"
Bluk! Perempuan cantik yang mempunyai tahi lalat di tepi bibir kanannya, membentak
halus, seraya mengayunkan kaki kanan, menendang tubuh lelaki di bawahnya.
"Ugkh...!"
Kendati tendangan kaki mungil itu dilakukan tanpa pengerahan tenaga dalam,
lelaki itu tampak merasa kesakitan. Bahkan tendangan itu bagaikan mengandung
tenaga yang kuat. Terbukti tubuh lelaki berkumis tipis yang ditendangnya
terangkat dari tanah.
Seketika dari mulutnya mengalir darah kental, karena luka dalam yang diderita
bertambah parah.
"Perempuan iblis...!" desis lelaki berkumis tipis ini penuh dendam. Sorot
matanya menyiratkan kebencian yang dalam. Sayang, dia sudah tak mampu berbuat
sesuatu. Luka dalam dadanya terasa nyeri saat dia berusaha mengerahkan tenaga.
Sehingga, lelaki bertubuh kekar itu hanya bisa pasrah terhadap perlakuan
lawannya. "Hmh...!" dengus perempuan cantik berwajah dingin yang mempunyai tahi lalat itu,
ketika mendengar umpatan lawannya. Seketika itu juga jemari tangannya terulur
menjambak rambut lelaki tegap berkumis tipis di hadapannya. Kemudian ditariknya
denngan sentakan kasar.
"Aaakh...!"
Perlakuan perempuan berwajah dingin itu tentu saja membuat lawannya menjerit
kesakitan. Dan mau tak mau laki-laki itu tersentak bangkit dengan mulut meringis
menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Namun tak tampak perasaan gentar sedikit
pun di wajahnya. Bahkan kembali memaki dengan kasar.
"Perempuan durjana! Kalian tak lebih dari iblis-iblis keparat yang berkedok
wajah cantik! Hhh..., tapi jangan dikira aku sudi menyerah! Lebih baik aku mati,
daripada harus ikut dengan kalian...!" geram lelaki kekar berkumis tipis itu.
Sorot matanya tajam menentang tatapan mata wanita itu. Sekilas matanya melirik
pada tandu yang berada sekitar lima tombak di depannya.
"Hi hi hi...! Makilah sepuasmu, Orang Gagah. Sebentar lagi kau akan merasakan
siksaan yang menyakitkan..!" sahut perempuan bertahi lalat itu tertawa penuh
ejekan yang menyakitkan.
"Ningrum! Ikat kedua tangan mereka, dan seret dengan kuda!" Kembali suara dingin
yang datang dari dalam tandu terdengar memerintah.
"Baik, Ketua...," sahut wanita bertahi lalat di tepi bibir, yang ternyata
bernama Ningrum. Tangannya menyeret tubuh lawan yang masih terkulai tak berdaya.
Lalu diikat kedua tangannya dengan seutas tali yang terbuat dari anyaman kulit
binatang. Kendati tak terlalu besar, tali itu sangat kuat dan tak mudah diputuskan.
Dua orang lelaki lainnya juga mengalami nasib serupa. Mereka tak mampu berbuat
apa-apa. Karena luka dalam akibat pukulan lawan telah membuat tubuh mereka lemas
tiada berdaya. Sehingga, semua perlakuan perempuan-perempuan berpakaian merah
muda itu hanya bisa diterima dengan pasrah.
"Jalan...!"
Suara perintah kembali terdengar dari dalam tandu. Seketika itu juga rombongan
pun bergerak meninggalkan tepian sungai.
Tiga perempuan berbaju hijau, yang juga rata-rata berwajah cantik, berada di
depan. Mereka bertiga menunggang kuda yang di belakangnya melangkah tiga orang
lelaki muda dengan kedua tangan terikat. Rupanya bukan hanya ketiga lelaki muda
berpakaian putih yang ditawan perempuan-perempuan itu. Ternyata tiga orang
lelaki yang berada di belakang kuda perempuan berpakaian hgau itu pun merupakan
tawanan. Mereka dipaksa melangkah tersaruk-saruk. Karena kalau sampai terjatuh,
tubuh mereka akan terus terseret-seret di atas tanah.
Sedangkan tiga perempuan berpakaian merah muda, berada di belakang
rombongan. Mereka pun memperlakukan para tawanan seperti tiga lelaki di depan.
Tak sedikit pun rasa kasihan di hati ketiganya, kendati tiga orang lelaki di
belakang mereka melangkah tersaruk-saruk dengan kedua tangan terikat pada
punggung kuda. Seakan-akan ketiga perempuan itu tak peduli terhadap luka dalam
yang diderita para tawanan.
Sementara itu tandu yang diusung empat orang laki-laki kekar berwajah dingin,
berada di tengah rombongan. Meskipun sosok di dalam tandu itu belum terlihat,
dapat dipastikan kalau dia pun seorang wanita. Karena suaranya yang dingin tak
bisa menyembunyikan ciri suara seorang wanita. Dialah pimpinan rombongan kecil
itu. Rombongan itu terus bergerak perlahan menyusuri jalan selebar dua tombak yang
diapit pepohonan. Semilir angin lembut dan terpaan sinar matahari pagi
mengiringi langkah mereka.
*** "Kakang Gupta...! Aku... tak sanggup lagi...," keluh lelaki bertubuh tegap yang
wajahnya terhias kumis tipis seraya menoleh pada kawannya. Wajahnya yang sudah
dibanjiri peluh tampak berkerut-kerut. Bibirnya yang terkatup rapat dan kering,
terlihat bergetar sesaat. Sinar matanya menatap penuh kecemasan. Sementara
sekujur tubuhnya tampak lemah dan kelelahan.
"Kuatkan dirimu, Adi! Tunjukkan bahwa siksaan ini sama sekali tidak berarti bagi
kita...!" ujar lelaki berhidung mancung yang dipanggil Kakang Gupta. Ucapan itu
pun tampaknya tak mudah dikeluarkan. Suara kering dan pelan itu baru terlontar
setelah lebih dahulu bibirnya yang kering dijilat-jilat.
Namun, pancaran sinar matahari yang sangat garang menyengat tubuh, membuat
lelaki tegap berahang kokoh itu tak bisa menuruti nasihat Gupta. Kedua kakinya
yang lemas dan tak mampu lagi menahan tubuh, langsung menekuk. Lelaki itu pun
roboh terguling ke tanah, dan terseret kuda di depannya.
"Adi...!" Gupta terpekik dengan suara parau. Dia mencoba untuk menolong.
Namun, apa yang dapat dilakukan Gupta dengan kedua tangan terikat seperti itu.
Bahkan saat langkahnya tersaruk hendak mendekati kawannya, tiba-tiba....
Ctarrr...! "Aaakh...!"
Gupta terpekik ketika cambuk di tangan perempuan bernama Ningrum yang duduk di
punggung kuda menyengat tubuhnya. Tak ampun lagi, lelaki bertubuh gagah itu
terhuyung limbung, lalu jatuh ke tanah. Sadar kalau tak segera bangkit akan
mengalami siksaan yang lebih menyakitkan, Gupta pun menguatkan hatinya. Kendati
sempat terseret beberapa tombak, Gupta dapat mengeraskan hatinya, dan bangkit
berdiri. Pakaiannya yang putih kini kotor terkena tanah agak basah yang telah
terinjak-injak kaki kuda.
"Uhhh...!"
Terdengar keluhan pendek dari mulut lelaki tegap itu. Ketika pakaiannya
tersingkap, tampak bilur merah di dadanya yang bidang. Goresan merah akibat
lecutan cambuk itu memanjang sampai ke leher. Bahkan mungkin kalau tak tertutup
pakaian, perutnya pun tergambar bekas sabetan itu. Sambil merintih, Gupta tampak
menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Dia tak ingin rintihan itu terdengar siapa
pun. Sehingga hanya dalam hati rintihan itu dikeluarkan. Dan ketika keringat
mulai menyusup pada goresan merah itu, dengan sekuat tenaga ditahannya rasa
pedih yang mendera.
"Aaakh...!"
Tiba-tiba kawan Gupta yang terseret memekik keras. Gupta pun serta merta
menolehkan wajahnya. Betapa geram hati lelaki itu ketika melihat tubuh kawannya
terseret-seret. Luka-luka goresan yang meneteskan darah, membuat sosok kawannya
yang telah kotor tampak begitu mengenaskan. Dan pemandangan itu membuat Gupta
tak mampu menahan kemarahan.
"Iblis...! Kalian benar-benar biadab! Tak berperasaan! Bunuh saja kami, daripada
kalian siksa seperti binatang yang tak berharga...!"
Pada puncak kemarahannya, Gupta berteriak-teriak keras. Tubuhnya yang dipaksa
melangkah tersaruk-saruk itu tampak menegang. Dia mencoba memberontak untuk
melepaskan kedua tangan yang terikat kuat. Namun hal itu hanya merupakan
tindakan yang sia-sia. Bahkan akhirnya harus menanggung akibat yang mengerikan.
Cambuk di tangan Ningrum kembali melecut tubuhnya diiringi tawa mengejek
perempuan-perempuan tak berperasaan itu.
Ctarrr! Ctarrr...!
"Aaakh...!"
Gupta meraung-raung keras karena merasakan sakit yang mendera tubuhnya.
Darah segar pun meleleh keluar dari luka sayatan akibat cambuk yang dilecutkan
beberapa kali. "Perempuan-perempuan setan..! Lepaskan aku...! Ayo kita bertarung sampai seribu
jurus...!" teriak Gupta menantang karena marah dan tak tahan merasakan sakit di
sekujur tubuhnya. Matanya terbelalak merah menatap tajam perempuan itu.
"Hik hik hik...!"
Terdengar tawa mengejek di sana-sini yang membuat dada Gupta terasa meledak.
Mulutnya kembali terpekik ketika merasakan seretan itu semakin cepat. Ternyata
perempuan itu melarikan kudanya. Sehingga, tak ada kesempatan sama sekali bagi
Gupta untuk bangkit berdiri. Darah segar semakin banyak mengalir, turun
membasahi tubuhnya.
Jalan terjal berbatu yang dilalui rombongan itu membuat sekujur tubuh Gupta
dipenuhi luka. Betapa sakit dan perihnya luka-luka di tubuhnya!


Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakang...!" teriak kawannya yang masih berdiri melangkah tersaruk-saruk.
Suaranya kering dan parau. Sungguh, kalau saja tidak merasa malu, ingin sekali
dia menangis, melihat penderitaan Gupta. Kendati demikian, matanya tidak bisa
menahan air yang mulai mengalir keluar. Apalagi kawannya yang seorang sudah tak
bergerak lagi, dan terus terseret lari kuda. Dia tak tahu apakah kawannya
pingsan atau sudah tewas karena siksaan.
Gupta sendiri sudah tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya yang terlonjak-lonjak
karena jalan yang mereka lalui tidak rata, semakin menambah berat deritanya.
Sekujur tubuhnya dirasakan nyeri dan linu. Goresan bebatuan membuat pakaiannya
terkoyak. Gupta hanya mampu memejamkan kedua matanya sambil menggigit bibir kuat-kuat,
bahkan sampai mengeluarkan darah. Namun, semua itu sama sekali tidak membuat
hati perempuan-perempuan kejam itu tergerak untuk menghentikan siksaannya.
Sementara itu ketiga tawanan yang diseret penunggang-penunggang kuda
berpakaian serba hijau, hanya bisa menarik napas panjang, dan mengatupkan
rahangnya kuat-kuat. Mereka bukan tak tahu dengan apa yang menimpa tiga orang
tawanan di rombongan belakang. Namun, karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk
menolong, akhirnya mereka hanya bisa mengutuk dalam hati atas kekejaman
perempuan-perempuan berhati iblis itu. Tak satu pun dari mereka yang berani
menoleh. Karena hal itu bisa mendatangkan bencana yang mengerikan. Hanya
sesekali mereka memejamkan mata sambil menghela napas dalam-dalam.
"Heaaa...!"
Gupta yang merasa tidak sanggup lagi untuk menahan semua penderitaan itu, tiba-
tiba memekik sekuat tenaga. Kemudian menyentakkan tali yang mengikat kedua
tangannya. Gupta nekat hendak melepaskan dirinya dari ikatan itu. Tapi....
"Aaakh...!"
Gupta melolong kesakitan. Tali pengikat yang hanya sebesar jari kelingking itu
ternyata sangat kuat. Sentakannya barusan membuat tali itu terbenam ke dalam
pergelangan tangan. Darah mengalir karena kulit di pergelangan tangan Gupta
sobek sampai ke tulang.
Rasa sakit yang dirasakannya membuat Gupta jatuh tak sadarkan diri. Sehingga,
tubuhnya terseret tanpa daya. Untung saja saat itu rombongan telah melewati
jalan berbatu, dan mulai memasuki daerah padang rumput yang luas. Sehingga,
penderitaan yang dirasakan Gupta tidak semakin parah.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar suara perintah dari dalam tandu. Seketika itu juga,
rombongan pun terhenti. Hal itu tentu saja membuat para tawanan merasa sedikit
lega. Karena mereka dapat beristirahat, meski dalam keadaan berdiri dan di dalam
sinar matahari yang terik. "Ningrum. Tinggalkan bangkai tak berguna itu..!"
Mendengar perintah ketuanya, sepasang mata dingin Ningrum menoleh ke
belakang. Dilihatnya tubuh lelaki di samping kanan Gupta sudah tidak bergerak
lagi. Rupanya nyawa lelaki berahang kokoh, kawan Gupta itu telah melayang. Dia sudah
tak sanggup untuk menahan penderitaan itu lebih lama.
Tanpa banyak cakap lagi, Ningrum langsung melompat turun dari punggung kudanya.
Kemudian melepaskan tali pengikat kedua lengan lelaki yang telah menjadi mayat
itu. Setelah menyelesaikan tugasnya, Ningrum kembali melompat ringan ke atas
punggung kudanya. Dari gerakan yang dilakukan, menunjukkan kalau ilmu
meringankan tubuhnya telah mencapai tingkat tinggi. Hanya sekali menggenjot,
tubuhnya telah berada di atas punggung kuda.
"Lanjutkan perjalanan...!"
Perintah dari dalam tandu yang tertutup kain sutera merah muda itu kembali
terdengar. Rombongan bergerak serentak. Tak satu pun dari anggota rombongan yang
mempedulikan Gupta. Padahal tubuh lelaki kekar berkumis tipis itu sudah sangat
mengenaskan. Tampak tubuhnya yang luka-luka berlumuran darah bercampur tanah,
terseret-seret terus tanpa ampun.
Sementara itu, kawan Gupta yang tinggal seorang hanya mampu menatap iba.
Untuk mengeluarkan suara saja mulutnya seperti tak kuasa. Terasa kelu, getir,
dan pahit, karena kerongkongannya kering kerontang. Selain itu sekujur tubuhnya
dirasakan seperti telah kehabisan tenaga. Matanya mulai berkunang-kunang seiring
dengan rasa kesemutan dan gemetaran di sekujur tubuh.
Perempuan-perempuan cantik berhati iblis itu terus bergerak dengan kuda mereka.
Tentu saja perjalanan yang agak cepat itu membuat keempat pemikul tandu harus
berlari-lari kecil. Tampaknya keempat pemikul tandu itu pun tidak berbeda jauh
keadaannya dengan para tawanan. Keringat yang meleleh membasahi tubuh telanjang
itu sudah tak ubahnya orang yang baru saja berendam di sungai.
Namun anehnya, mereka seakan-akan tak merasa kelelahan sedikit pun. Entah apa
yang telah membuat tenaga mereka bagaikan tak pernah habis.
2 Seorang pemuda tampan bertubuh sedang mengenakan jubah panjang berwarna putih
berdiri tegak di tengah jalan. Dengan kening berkerut matanya menatap tajam ke
depan. Kedua kakinya terpentang menghadang jalan. Senyum sinis di wajahnya
menyiratkan rasa ketidaksenangan dengan apa yang terlihat di depan.
"Celaka...!"
Suara berdesis itu terdengar dari dalam tandu yang diusung empat orang lelaki
kekar. Nadanya jelas menggambarkan kekhawatiran. Karena dari balik sutera merah
muda yang menutupi bagian depan tandu, matanya melihat sosok yang menghadang
perjalanan rombongannya. Rupanya rombongan kecil inilah yang membuat pemuda
tampan berjubah putih itu merasa terusik jiwanya dan menghadang di tengah jalan.
"Kita mendapat halangan besar...!" desis orang di dalam tandu, membuat enam
orang wanita di depan dan belakang tandu mengerutkan kening serentak.
Karena menangkap adanya nada khawatir dalam suara ketuanya, keenam
perempuan cantik itu pun berusaha menegasi sosok bertubuh sedang yang berdiri
menghadang jalan. Namun mereka tetap belum mengerti, mengapa suara itu terdengar
penuh kecemasan. Padahal yang menghadang jalan mereka seorang pemuda tampan dan
menarik. Dan tak ada orang lain kecuali pemuda berjubah putih Itu. Tentu saja
mereka merasa penasaran.
"Pemuda tampan berjubah putih itukah yang Ketua maksud sebagai halangan besar?"
tanya Ningrum karena tak dapat menahan rasa penasaran di hatinya. Dia tidak
melihat sesuatu yang perlu ditakutkan dari pemuda berjubah pulih itu. Ningrum
sendiri justru sempat tergetar hatinya, melihat ketampanan dan sikap pemuda
berjubah putih itu.
"Bodoh kau, Ningrum! Tidakkah kau kenali siapa sebenarnya yang menghadang
perjalanan kita?" terdengar suara dari dalam tandu setengah membentak.
Bentakan itu membuat Ningrum agak pucat. Matanya lalu memperhatikan lebih teliti
sosok pemuda tampan berjubah putih yang berdiri menghadang di tengah jalan itu.
Wajah perempuan itu semakin pucat pasi. Dan hatinya yang semula tergetar karena
ketampanan pemuda itu, seketika berubah getar kecemasan.
"Apakah..., apakah Ketua hendak mengatakan kalau pemuda itu Pendekar Naga
Putih...?" desis Ningrum dengan suara kering. Kekagumannya langsung berubah rasa
khawatir, ketika teringat dan mulai menebak siapa sesungguhnya pemuda tampan
berjubah putih yang menghadang jalan mereka itu.
"Itulah sebabnya mengapa aku bilang celaka, Bodoh...!" maki orang dalam tandu
yang kedengarannya semakin menggambarkan kecemasan hatinya. Apalagi ketika dari
balik tirai dilihatnya pemuda berjubah putih itu melangkah lebar menghampiri
rombongannya. Tentu saja dia tahu apa yang diinginkan pemuda berjubah putih itu.
"Kalau begitu, kita benar-benar mendapat halangan besar kali ini, Ketua...!"
desis Ningrum mulai ikut cemas. "Apa yang harus kita lakukan, Ketua...?"
"Tidak ada yang bisa kita lakukan, kecuali melawannya sekuat tenaga. Bersiaplah
untuk menyambutnya...!" sahut orang dari dalam tandu yang kini nada suaranya
mulai tegang. Kalau para perempuan cantik berhati kejam itu merasa tegang dan cemas, lain
halnya dengan tawanan-tawanan mereka. Wajah para tawanan yang semula berkerut
melihat sosok pemuda tampan berjubah putih itu, seketika berubah cerah setelah
mendengar pembicaraan Ningrum dengan perempuan yang berada dalam tandu. Seketika
itu juga timbul harapan di hati para tawanan untuk dapat terbebas dari siksaan
perempuan-perempuan keji itu.
"Pendekar Naga Putih, tolonglah kami...!"
Salah seorang tawanan yang berada di depan, langsung berteriak kepada pemuda
tampan berjubah putih yang tak lain Panji atau Pendekar Naga Putih. Namun tiba-
tiba... Ctarrr...! Suara ledakan cambuk terdengar disusul pekik kesakitan lelaki tawanan itu,
ketika perempuan berpakaian serba hijau melecutkan cambuknya. Tubuh lelaki itu
menggeliat-geliat kesakitan. Bilur merah memanjang terlihat membelah sebagian
wajahnya, dan meneteskan darah segar.
Seorang pemuda tampan berjubah putih berdiri tegak menghadang halan.
"Celaka...!" terdengar seruan dari dalam tandu. "Kita mendapat halangan
besar...!"
Menangkap nada khawatir dalam suara ketuanya, keenam perempuan cantik itu pun
berusaha menegasi sosok lelaki yang menghadang jalan!
"Tahan...!" teriak Panji, ketika melihat perempuan berpakaian hijau itu hendak
mengangkat cambuknya. Bahkan tubuh pemuda berjubah putih itu langsung melesat
dengan kecepatan yang sukar untuk diikuti mata. Tangan kanannya terulur hendak
merebut cambuk di tangan kanan perempuan itu. Tapi....
"Haiiit..!"
Wuttt! Perempuan berpakaian hijau yang bermata lebar dan bening itu memekik keras.
Cambuk di tangannya langsung digerakkan dengan pengerahan tenaga dalam,
menyambut datangnya tubuh Pendekar Naga Putih.
Namun, Panji bukanlah orang yang mudah untuk dijadikan korban cambuk itu.
Melihat gerakan perempuan itu, tangannya langsung terulur dengan kecepatan
kilat. Sehingga, ujung cambuk lawan dapat ditangkapnya dengan mudah.
"Hih...!"
Tappp! "Hah...!"
Perempuan cantik bermata lebar itu tersentak kaget. Matanya terbelalak. Dia sama
sekali tak menyangka kalau pemuda berjubah putih itu dapat bergerak begitu
cepat. Sehingga, ujung cambuknya dengan mudah dapat ditangkap.
Pendekar Naga Putih yang sudah melihat betapa ganasnya perempuan itu, langsung
menyentakkan cambuk di tangannya. Gerakan itu dilakukan dengan cepat dan kuat.
Sehingga.... "Hih...!"
Wrettt! "Aaakh...!"
Perempuan cantik yang duduk di atas punggung kuda itu terpekik ngeri. Karena
tubuhnya tiba-tiba tersentak keras dan terlontar ke udara.
"Haits...! Heaaa...!"
Panji sempat dibuat kagum melihat gerakan lawan. Perempuan berpakaian hijau itu
ternyata mampu menguasai diri. Dengan bersalto beberapa kali di udara, tubuh
ramping itu meluncur dengan manis dan mendarat ringan di atas tanah.
"Hih!"
Jliggg! "Hebat..!" puji Panji yang tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Karena
gerakan perempuan itu jelas menunjukkan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi.
Namun, pujian itu bukan berarti Panji menunda gerakannya. Tubuhnya terus
meluncur ke depan. Maksudnya tentu saja hendak membebaskan para lelaki yang
ditawan perempuan-perempuan kejam itu.
Melihat lawan melesat dengan serangan lanjutan, tiba-tiba dua perempuan cantik
berpakaian serba hijau lainnya melontarkan serangan dengan cambuk di tangan
masing-masing. Sehingga, Pendekar Naga Putih terpaksa mengurungkan serangannya.
Ctarrr! Ctarrr...!
Patukan ujung cambuk yang meliuk dan mengeluarkan suara memekakkan telinga itu,
membuat Pendekar Naga Putih harus bergerak mengelak. Sambil memiringkan tubuh,
tangan kanannya bergerak cerat untuk menangkap ujung cambuk lawan.
Tampaknya kali ini Pendekar Naga Putih tidak mudah untuk melakukan hal itu.
Kedua orang lawan yang telah mengetahui gerakannya, langsung menarik senjatanya.
Kemudian dengan cepat pula dilecutkan kembali dengan pengerahan tenaga dalam
yang lebih kuat. Bahkan tubuh kedua perempuan itu sudah melayang ke udara dengan
ringannya. Ctarrr...! "Haiiit...!"
"Ciaaat..!"
Terdengar pekik melengking susul-menyusul disertai ledakan cambuk yang
memekakkan telinga. Mau tidak mau Pendekar Naga Putih harus melayani serangan
dua orang perempuan berpakaian hijau itu. Dengan gerakan meliuk ke sana kemari
menghindari patukan ujung-ujung cambuk yang terus memburu. Namun, bersama
gerakan mengelak, pendekar muda itu sempat melakukan serangan dengan tamparan-
tamparan beruntun. Kecepatan gerak Pendekar Naga Putih membuat kedua orang
lawannya sulit untuk bergerak. Seolah tangan pemuda itu berubah menjadi banyak,
yang menyerang dari tiap penjuru. Sehingga, perempuan-perempuan berpakaian serba
hijau itu pun tampak mulai terdesak.
"Haaat...!"
Ctarrr! Ctarrr...!
"Haiiit...!"
Ketika Pendekar Naga Putih tengah mendesak dan siap merobohkan lawan-
lawannya, tiba-tiba terdengar teriakan melengking susul-menyusul. Tiga sosok
bayangan merah muda dan sesosok bayangan hijau melesat cepat memasuki kancah
pertempuran. Ledakan-ledakan cambuk pun terdengar setiap kali sosok-sosok cantik itu
melecutkan cambuk mengincar tubuh Pendekar Naga Putih.
Kehadiran empat orang itu tampaknya tak banyak berarti bagi Pendekar Naga Putih
yang tengah meningkatkan serangannya. Bahkan tubuh pemuda itu sudah terlapisi
kabut bersinar putih keperakan yang mengandung hawa dingin menggigit.
Karuan saja keenam orang perempuan kejam itu tersentak kaget bukan kepalang.
Sebab, pengaruh hawa dingin yang keluar dari setiap serangan Pendekar Naga Putih
seolah membekukan urat-urat di tubuh mereka. Serangan-serangan keenam perempuan
itu tampak mulai mengendur, karena perhatian mereka seketika terpecah. Tampak
keenam perempuan cantik itu lebih banyak memusatkan pikiran untuk mengatasi
pengaruh hawa dingin menggigit itu. Tentu saja hal itu membuat gerakan mereka
kacau dan tak terarah.
Pendekar Naga Putih mulai memperoleh kedudukan yang menguntungkan. Dua serangan
yang dilontarkannya mendarat telak di tubuh dua orang lawan.
"Heaaa...!"
Plakkk! Bukkk...!
"Akh...!"
Pekikan tertahan terdengar. Dua tubuh ramping yang terbungkus pakaian hijau,
terlempar sampai di luar arena pertempuran dan jatuh terguling di tanah. Pukulan
dan tamparan keras Pendekar Naga Putih yang mendarat di punggung kedua perempuan
itu membuat bagian dalam tubuh mereka terguncang. Sehingga, darah segar pun
merembes dari sudut bibir-bibir tipis yang selalu menunjukkan senyum sinis itu.
Tampaknya tamparan itu sempat menimbulkan luka dalam tubuh kedua lawan.
"Heaaa...!"
Ctarrr...! Ctarrr...!
"Haits...!"
Diiringi pekikan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih melesat cepat ke atas.
Pemuda itu berusaha menyambut serangan dua cambuk yang meliuk mengincar
tubuhnya. Dengan mengerahkan kekuatan tenaga angin pukulannya, Panji telah membuat ujung-
ujung cambuk itu membalik dan balik mengancam tubuh pemiliknya. Karuan saja
kedua perempuan berpakaian merah muda itu kaget bukan kepalang. Karena luncuran
ujung cambuk itu menjadi dua kali lebih cepat. Serta merta mereka berusaha
mengelak agar tak termakan senjatanya sendiri.
"Heaaa...!"
Namun tanpa diduga dengan cepat sosok bayangan putih berkelebat mendahului
datangnya ujung cambuk. Kedua perempuan berpakaian merah muda itu tersentak
kaget. Sungguh, mereka tak menyangka kalau Pendekar Naga Putih akan bergerak demikian
cepat. Sehingga....
Plakkk! Bukkk! "Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh dua orang perempuan itu terlempar deras,
kemudian jatuh terbanting ke tanah dengan kerasnya. Untuk beberapa saat mereka
tidak mampu bangkit. Pandangan mereka berkunang-kunang, hingga sulit untuk
melihat jelas keadaan di sekitar. Darah segar yang keluar dari mulut keduanya
menandakan kalau pukulan Pendekar Naga Putih telah membuat luka dalam tubuh
mereka. "Kurang ajar...!" terdengar suara menggeram dari dalam tandu. Seketika itu juga


Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tirai penghalangnya tersibak. Dan....
Siiing! Siiing...!
Seiring dengan suara berdesingan tajam yang membelah udara siang, melesat cepat
lima larik cahaya putih menyilaukan, memburu mangsa. Sasarannya ternyata lima
jalan darah di tubuh Pendekar Naga Putih.
Lesatan lima cahaya putih yang begitu cepat itu membuat Pendekar Naga Putih
sesaat tersentak kaget. Keningnya mengerut, menyadari kalau senjata gelap itu
sangat berbahaya. Apalagi dilontarkan oleh seorang yang memiliki tenaga dalam
tinggi. "Hebat...!" gumam Panji mengeluarkan pujian setulusnya. Namun, bukan berarti
Pendekar Naga Putih menyerah dan menerima saja serangan-serangan berbahaya itu.
Bahkan serangan yang ditujukan kepada dua orang lawan terakhirnya tetap
dilanjutkan, meski hanya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya
dikibaskan dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', yang sulit dicarikan
tandingannya. Bukkk! "Aaakh...!"
Dua orang lawan terakhirnya langsung terpekik keras. Tubuh mereka terjungkal ke
tanah, lalu terguling-guling sejauh dua tombak lebih. Dapat dipastikan kalau
pukulan itu telah menghentikan perlawanan mereka.
Sementara lima bentuk sinar putih yang ternyata berasal dari pisau terbang,
terpental balik akibat sampokan tenaga dalam Pendekar Naga Putih. Kelima pisau
terbang itu meluncur cepat dengan dua kali lebih cepat, memburu ke arah tandu.
"Gila...! Benar-benar luar biasa sekali!"
Terdengar perempuan di dalam tandu bergumam penuh rasa terkejut, sambil
tangannya dengan cepat bergerak melolos selendang merah muda yang melilit
pinggangnya. Kemudian...
"Haiiit!"
Seiring dengan terdengarnya pekikan nyaring, tirai penutup tandu tersibak.
Selarik sinar merah melesat keluar dan langsung mematahkan serangan balik kelima
pisau bercahaya putih itu.
Wuttt! Trakkk...! Terdengar suara keras ketika sinar dari selendang merah menghantam pisau-pisau
itu. Seketika benda-benda yang tengah meluncur cepat itu berpatahan dan
berpentalan ke tanah. Selendang merah muda itu jelas digerakkan dengan kekuatan
tenaga dalam yang hebat.
"Tak kusangka orang di dalam tandu itu memiliki kepandaian yang hebat! Tenaga
dalam dan kecepatan geraknya benar-benar mengagumkan! Menilik dari senjata yang
digunakan, aku yakin kalau orang di dalam tandu itu pastilah seorang perempuan
cantik. Para anak buahnya saja sudah sedemikian cantik. Apalagi majikannya...," gumam
Panji penuh rasa kagum terhadap kesaktian perempuan di dalam tandu itu.
Pendekar Naga Putih berdiri tegak menunggu kemunculan perempuan di dalam tandu
itu. Namun, tidak sedikit pun sutera merah penutupnya terbuka. Nampaknya
penghuni tandu itu memang tak bermaksud menampakkan diri di hadapan Pendekar
Naga Putih. Panji semakin tak sabar, dan melangkah perlahan menghampiri tandu yang tetap
berada di atas pundak empat lelaki kekar. Keempat pengusung tandu itu rata-rata
berusia tiga puluh tahun.
"Berhenti...!"
Terdengar bentakan dari dalam tandu. Langkah Panji pun terhenti. Kendati
demikian dia tetap tidak mengalihkan pandangan dari tirai merah muda penutup
tandu itu. "Mengapa kau mencampuri urusan kami, Pendekar Naga Putih...?" tanya perempuan
dari dalam tandu penuh ketidaksenangan.
"Siapa bilang aku mencampuri urusanmu, Nisanak" Setiap kekejaman di atas
permukaan bumi ini merupakan urusan semua orang yang menjunjung tinggi keadilan.
Jadi jelas, persoalan ini juga merupakan urusanku...," sanggah Panji dengan
suara lantang. Tentu saja jawaban tak terduga itu mengejutkan perempuan yang berada di dalam
tandu. Terbukti beberapa saat tidak ada sahutan. Rupanya perempuan tua itu
tengah mencari jawaban atas sanggahan Pendekar Naga Putih.
"Apakah ucapanmu itu memiliki arti bahwa kau mengetahui latar belakang tindakan
kami..?" tanya perempuan di dalam tandu, agak ragu-ragu. Hatinya seakan-akan
ingin mengetahui sampai seberapa jauh Pendekar Naga Putih mengetahui sepak
terjangnya. "Hm..., sekalipun aku belum tahu persoala sebenarnya, tapi ketidakadilan yang
terjadi di depan mataku, tak bisa kudiamkan begitu saja. Dan kalau tidak merasa
keberatan, silakan jelaskan duduk perkaranya kepadaku...," ujar Panji lagi yang
membuat perempuan di dalam tandu menggeram jengkel. Seakan-akan dia merasa kalah
bicara dengan pemuda tampan berjubah putih itu.
Sejenak keadaan berubah hening. Perempuan di dalam tandu itu sepertinya tengah
berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih. Tidak terdengar
suara sampai beberapa saat lamanya. Namun pemuda tampan itu tetap menunggu,
hendak mendengar bagaimana tanggapan perempuan di dalam tandu itu.
Sementara itu keenam perempuan cantik pengikut tokoh yang belum jelas jati
dirinya itu, sudah berkumpul di kedua sisi tandu. Mereka hanya menatap sosok
Pendekar Naga Putih dengan wajah menyiratkan kegentaran. Dengan sabar mereka
menunggu tindakan yang akan diambil sang Ketua.
Tidak berapa lama kemudian, tirai penutup tandu mendadak tersibak. Dari dalam
tampak keluar sesosok tubuh ramping dengan kepala tertunduk. Separo wajahnya
tertutup cadar berwarna merah muda yang tipis dan menyamarkan raut wajah di
baliknya. Panji sempat tertegun seraya menyembunyikan kekagetannya. Sosok yang berada di
dalam tandu ternyata berbeda jauh dengan dugaannya. Wajah perempuan bertubuh
ramping itu bukan saja tidak cantik. Bahkan bisa dibilang menyeramkan. Karena
wajah yang tersembunyi di balik cadar tampak demikian rusak, seperti luka bakar.
Keningnya mengerut tajam dengan kulit yang terkelupas. Menimbulkan pemandangan
yang menjijikkan. Hanya sepasang mata yang bening dan menyiratkan bahwa pada
mulanya wajah itu mungkin sangat cantik. Sayang, luka bakar di wajahnya telah
melenyapkan kecantikan perempuan itu. Kalau semula orang akan bertekuk lutut di
bawah kakinya, memohon agar cinta mereka terbalas, tapi kini dengan luka bakar
yang mengerikan seperti itu, para pemuda akan lari tunggang-langgang ketakutan.
Sambil menenangkan perasaannya, Panji memperhatikan perempuan berpakaian merah
muda itu. Dari keadaan tubuhnya dapat diduga kalau usia perempuan buruk itu
tidak lebih dari dua puluh tahun. Kulitnya halus, putih, dan tampak lembut di
balik pakaian merah muda yang tipis. Agak iba juga hati pendekar muda itu
melihat keadaan perempuan yang selalu menyembunyikan dirinya di dalam tandu.
Namun, semua itu bukan berarti bahwa Panji mundur dari niatnya semula. Tidak.
Panji tetap menginginkan lima lelaki tawanan mereka dilepaskan. Apa pun duduk
persoalannya. Karena siksaan yang dijalani lima orang lelaki itu telah melampaui
batas-batas kemanusiaan.
"Pendekar Naga Putih...," ujar perempuan buruk rupa itu dengan suara dingin dan
mendesah. "Bukankah kau ingin membebaskan tawanan-tawanan kami...?"
"Memang itu keinginanku...," sahut Panji tanpa keraguan sedikit pun.
"Hm..., kalau begitu keinginanmu, maukah kau menukar mereka dengan diri
kami...?" tanya perempuan buruk itu lagi, berdesah.
"Apa maksudmu, Nisanak...?" tanya Panji seraya mengerutkan kening, karena belum
bisa memastikan ke mana arah pembicaraan perempuan buruk rupa itu.
"Biarkan kami pergi tanpa diganggu! Dan kau boleh ambil semua tawanan kami...,"
pinta perempuan buruk rupa itu mengajukan syarat kepada Pendekar Naga Putih.
"Hm..., aku bukanlah orang buas yang haus darah. Kalau itu yang kau inginkan,
baiklah...," sahut Panji seraya memalingkan wajahnya kepada lima tawanan.
Pendekar Naga Putih menggerakkan tangannya mencegah salah seorang dari tawanan
itu yang hendak berbicara. Kelihatannya lelaki itu hendak membantah, karena tak
menyetujui usul perempuan berwajah menjijikkan itu.
"Hm...."
Perempuan buruk itu seperti menyunggingkan senyum puas. Kemudian bergerak naik
ke dalam tandu dan memerintahkan para pengikutnya agar segera pergi dari tempat
itu. Panji sama sekali tidak bergerak. Ditatapnya kepergian perempuan-perempuan itu
dengan mata tak berkedip. Baru kemudian berpaling setelah rombongan kecil itu
semakin jauh. *** "Terima kasih, Pendekar Naga Putih! Kemunculanmu benar-benar membuat kami merasa
bebas dari lubang kubur...," ucap salah seorang dari tiga lelaki yang ditawan
perempuan berpakaian hijau. Usia lelaki itu sekitar dua puluh tujuh tahun.
Wajahnya tampak ramah, membuat orang mudah menyukainya. Dia benar-benar merasa
bersyukur dengan kemunculan Pendekar Naga Putih menyelamatkan mereka dari
siksaan. Panji hanya tersenyum seraya menganggukkan kepala. Kendati tak diutarakan, dia
tahu kalau pemuda gagah itu memendam rasa penasaran atas tindakannya melepaskan
perempuan-perempuan kejam itu begitu saja. Padahal untuk semua itu Panji tentu
mempunyai alasan yang kuat.
Setelah ketiga orang itu terbebas dari ikatan, Pendekar Naga Putih bergegas
menghampiri lelaki berkumis tipis, yang masih tergeletak pingsan. Dilepaskannya
tali pengikat pergelangan tangan lelaki yang tak lain Gupta itu. Segera
ditotoknya beberapa bagian tubuh berlumuran darah itu untuk menghentikan
pendarahan. Karena luka yang cukup dalam pada pergelangan tangan Gupta tampak
masih mengeluarkan darah.
Kemudian dibawanya tubuh tegap itu ke tepi jalan, setelah membebaskan kawan
Gupta. Dengan penuh ketelitian, Pendekar Naga Putih merawat luka-luka di sekujur tubuh
Gupta. Untung di dalam buntalan pakaiannya, Panji masih menemukan obat luka.
Segera dibalurkan ke tubuh Gupta, setelah melepaskan pakaian sebelah atas lelaki
itu. Gupta yang disadarkan Panji dari pingsannya, membuka pelupuk mata perlahan.
Ada kilatan terkejut ketika mendapati dirinya telah rebah dengan sekujur tubuh
terasa hangat. Terlebih ketika melihat seorang pemuda tampan telah berada di
sampingnya dan tersenyum. Gupta mengawasi sekitar dengan ekor matanya. Bibirnya
tampak bergerak-gerak ketika melihat wajah kawannya yang juga tersenyum.
"Kita telah diselamatkan Pendekar Naga Putih dari keganasan perempuan-perempuan
iblis itu, Kakang...," ujar lelaki bertubuh kekar itu, seakan hendak menjelaskan
kepada Gupta yang baru siuman. Mendengar ucapan kawannya itu wajah Gupta tampak
terkejut. "Tetaplah beristirahat, Kisanak! Luka-lukamu masih menghambat gerakan dan
mungkin masih agak nyeri...," cegah Panji seraya menekan kedua bahu Gupta
perlahan ketika melihat lelaki tegap itu memaksa hendak bangkit "Atur jalan
napas agar kesehatanmu semakin membaik..."
"Te... terima., kasih, Tuan Pen.. dekar..., ucap Gupta dengan susah-payah.
Pendekar Naga Putih hanya mengangguk, lalu bangkit berdiri setelah melihat kedua
mata Gupta terpejam. Rupanya lelaki tegap itu langsung mengikuti petunjuk yang
diberikannya. Panji bergerak menjauh dari tempat Gupta terbaring, dijaga kawannya. Ketiga
lelaki lain tampak mengikuti dari belakang. Mereka pun duduk di bawah pohon
besar, berhadapan dengan Pendekar Naga Putih.
"Perselisihan apa yang membuat kalian sampai disiksa oleh perempuan-perempuan
tadi...?" tanya Panji setelah menarik napas dalam-dalam. Dirayapinya satu-
persatu wajah ketiga lelaki yang bertubuh gagah itu.
"Pendekar Naga Putih...," sahut lelaki bertubuh tegap dan berwibawa. Lelaki
berwajah tampan ini tampak lebih pandai berbicara ketimbang dua orang kawannya.
"Aku bernama Rancaka. Kami bertiga merupakan saudara seperguruan yang telah
setahun lebih melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman."
Lelaki bertubuh tegap itu memperkenalkan diri dan menjelaskan kepada Panji.
Kemudian terdiam sesaat seperti hendak melihat tanggapan pendekar muda yang
sebenarnya telah lama menimbulkan kekaguman di dalam hati mereka.
Panji hanya menganggukkan kepala perlahan. Tak sepatah kata pun tanggapan keluar
dari mulutnya, seakan-akan masih menunggu kelanjutan cerita lelaki bernama
Rancaka itu. "Belakangan ini kami mendengar tentang adanya pembunuhan dan penculikan.
Yang membuat kami merasa penasaran dan ingin menyelidiki, adanya keanehan dalam
setiap kejadian. Karena selain korbannya terdiri dari kaum lelaki yang
kebanyakan masih berusia muda hampir semua yang terbunuh dan hilang tanpa jejak
adalah orang-orang dari rimba persilatan. Sayang, si pembuat keonaran itu
ternyata rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari kami.
Mereka tak lain perempuan-perempuan kejam yang tadi kau lepaskan begitu saja,
Pendekar Naga Putih...," Rancaka menghentikan ceritanya. Dalam sorot matanya
tersirat rasa penasaran yang menuntut penjelasan dari Pendekar Naga Putih.
"Hm...," Panji bergumam pelan, seraya melemparkan pandangannya menatap rimbun
pepohonan. Sedang Rancaka dan kedua kawannya menunggu ucapan yang akan keluar
dari mulut pendekar muda itu.
"Kau tentu merasa penasaran karena aku telah membebaskan mereka, bukan...?"
tanya Panji seraya menatap wajah Rancaka, yang serta-merta menundukkan kepala,
tak sanggup menentang tatapan mata tajam Pendekar Naga Putih.
"Maaf, kalau rasa penasaranku membuatmu terganggu, Pendekar Naga Putih...,"
ujar Rancaka perlahan. Tampak jelas betapa lelaki kekar itu menaruh hormat
kepada pemuda tampan berjubah putih di depannya. Kareha sikap maupun tatapan
Pendekar Naga Putih demikian kuat mengandung kewibawaan.
"Jangan meminta maaf atas sikapmu yang benar itu, Rancaka!" tukas Panji cepat,
yang membuat Rancaka berani mengangkat kepalanya. "Kalaupun tadi kubiarkan
mereka pergi begitu saja, itu karena ada beberapa pertimbangan yang telah
kuperhitungkan masak-masak..."
Rancaka dan kedua kawannya tampak menganggukkan kepala, kendati belum mengetahui
alasan Pendekar Naga Putih. Sementara Panji tak segera melanjutkan
penjelasannya. Wajahnya menyunggingkan senyum simpul seraya menatap ketiga
lelaki gagah itu. Sehingga, Rancaka dan kedua orang kawannya menunggu dengan
sabar. Mereka belum bisa menduga apa alasan Pendekar Naga Putih melepaskan perempuan-
perempuan biadab itu.
"Pertama," ujar Panji tiba-tiba. "Aku mengkhawatirkan keselamatan kalian
berlima. Karena, bisa saja aku bertarung, perempuan-perempuan itu akan berlaku licik.
Misalnya menunggunakan kalian sebagai pelindung. Bila aku melanjutkan
pertarungan, mereka akan membantai kalian satu-persatu..."
Rancaka dan kawan-kawannya tersentak kaget. Sungguh mereka tak sampai berpikir
kalau perempuan-perempuan kejam itu akan bertindak demikian untuk melumpuhkan
perlawanan Pendekar Naga Putih. Rancaka pun sadar akan keterbatasan pikirannya.
"Kedua...," Panji melanjutkan setelah Rancaka dan kedua kawannya kembali
memandang ke arahnya. "Perempuan berwajah buruk itu bukan orang sembarangan.
Mungkin aku pun belum tentu mampu mengalahkannya dalam lima puluh jurus. Mungkin
memerlukan seratus jurus atau lebih untuk dapat merobohkannya. Dengan begitu,
kecil kemungkinan bagi kalian masih bisa hidup, kendati aku memenangkan
perkelahian. Nah, kedua alasan itulah yang membuatku menyetujui usul perempuan
sakti berwajah cacat itu...."
"Hhh...," Rancaka menghela napas panjang dengan wajah penuh sesal. Karena semula
disangkanya Pendekar Naga Putih merasa tak tega menghukum perempuan-perempuan
kejam yang memang rata-rata berwajah cantik itu, kecuali pemimpinnya.
"Maafkan kebodohanku, Pendekar Naga Putih! Berhadapan denganmu, kami merasa
seperti anak-anak kecil yang tak tahu persoalan...," tukas Rancaka dengan suara
pelan. "Tidak perlu meminta maaf, Rancaka! Aku memahami apa yang ada dalam pikiranmu.
Terus terang, aku pun merasa tak tega melukai atau membunuh mereka.
Selain wajah mereka rata-rata cantik, tampaknya mereka menyembunyikan luka di
balik sikap dingin dan kejam. Aku pun belum mengetahui secara jelas tentang
sepak terjang mereka. Jadi, kau tak perlu merasa bersalah kepadaku, Rancaka...,"
tukas Panji seraya menepuk perlahan bahu Rancaka.
Rancaka hanya bisa tersenyum dengan kepala tertunduk. Hatinya merasa agak risih
karena Pendekar Naga Putih ternyata dapat menebak jalan pikirannya. Dan sikap
serta ucapan pendekar muda itu semakin mendatangkan rasa hormat dan kagum di
hatinya. "Hm..., sudah cukup lama kita bercakap-cakap...," desah Panji seraya bergerak
bangkit dari duduknya. Kemudian melemparkan pandang ke arah matahari yang sudah
mulai tergelincir ke barat "Hari sudah semakin sore. Mudah-mudahan lelaki yang
terluka parah itu sudah dapat mengembalikan tenaganya," lanjurnya sambil
melangkah mendekati tempat Gupta berada.
Rancaka dan kedua kawannya bergegas mengikuti langkah Pendekar Naga Putih.
Mereka pun ingin mengetahui bagaimana hasil pengobatan yang dilakukan pendekar
muda itu. Sebab, melihat dari cara Pendekar Naga Putih melakukan pengobatan,


Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka menganggap kalau pemuda berjubah putih itu demikian sigap, tak ubahnya
seorang ahli. Apa yang disaksikan Rancaka dan kedua kawannya, benar-benar menimbulkan rasa
kagum. Sebab, lelaki tegap berkumis tipis yang semula terluka parah itu, kini
tengah duduk bersila ditemani kawannya. Perubahan yang begitu cepat itu jelas
menandakan betapa mujarabnya hasil pengobatan yang dilakukan Pendekar Naga
Putih. "Pendekar Naga Putih...," sambut Gupta, menyapa Panji sambil tetap bersila.
"Rasanya tubuhku sudah semakin membaik. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih
atas pertolonganmu..."
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum dan mengangguk. Melihat lelaki tegap itu
sudah membaik pun merupakan hal yang menyenangkan baginya. Sehingga hatinya
merasa lega. Dan bisa melanjutkan perjalanan tanpa khawatir lagi akan keadaan
Gupta. "Senang sekali melihat kau sudah mulai membaik, Kisanak. Sayang sekali, aku tak
bisa tinggal lebih lama untuk menemani kalian," ujar Panji seraya mengambil
buntalan pakaiannya. Kemudian bergerak meninggalkan tempat itu setelah
berpamitan kepada Gupta, Rancaka dan tiga orang lainnya.
"Pendekar Naga Putih...!" Panji menolehkan wajah ketika mendengar panggilan itu.
Ditatapnya wajah Rancaka. Karena lelaki itulah yang memanggilnya.
"Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan kepadaku, Rancaka...?" tanya Panji ketika
melihat Rancaka ragu-ragu untuk mengatakan apa yang saat itu ada dalam benaknya.
"Bagaimana dengan perempuan-perempuan kejam itu...?" Akhirnya Rancaka
memberanikan diri, setelah melihat senyum di wajah Pendekar Naga Putih.
"Hm..., aku akan menyelidiki penyebab kejahatan mereka. Kalau bisa sekaligus
menghentikan perbuatan mereka untuk selamanya...," sahut Panji tanpa keraguan
sedikit pun. Dan dia tahu jawaban itu telah membuat Rancaka maupun empat orang
lainnya tersenyum puas.
"Semoga kau berhasil, Pendekar Naga Putih...," ujar Rancaka yang tak lagi
mencegah langkah Panji. Hanya pandang matanya yang mengiringi kepergian sosok
pendekar muda itu.
Namun, baru saja beberapa tombak Pendekar Naga Putih melangkah, tiba-tiba
tubuhnya berbalik. Kemudian ditatapnya wajah kelima lelaki gagah itu satu-
persatu. "Harap kalian berhati-hati jika berjumpa lagi dengan perempuan-perempuan kejam
itu...!" seru Panji sekadar mengingatkan kalau perempuan-perempuan itu sangat
berbahaya. "Kami akan mengingatnya...!" sahut Rancaka agak keras. Namun, saat itu sosok
Pendekar Naga Putih sudah berkelebat begitu cepat, lenyap dari pandangan mereka.
"Aku yakin Pendekar Naga Putih akan dapat menghentikan keganasan perempuan-
perempuan kejam itu...," desah Gupta yang menatap lurus ke arah pepohonan tempat
sosok Pendekar Naga Putih lenyap.
*** "Kakang Panji...!"
Sebuah seruan merdu membuat langkah Pendekar Naga Putih tertahan seketika.
Kemudian wajahnya ditolehkan ke tempat datangnya suara panggilan itu. Keningnya
tampak berkerut ketika melihat seorang gadis cantik berkulit halus tengah
berdiri sekitar sepuluh tombak dari tempatnya. Matanya menangkap sorot kemesraan
dan kerinduan dalam mata bening gadis cantik itu.
"Kakang lupa padaku..?" tegur gadis cantik itu ketika melihat pendekar muda itu
belum juga bersuara.
Pendekar Naga Putih tidak segera menjawab. Ditatapnya lekat-lekat wajah gadis
cantik itu. Karena dia merasa pernah mengenal raut wajah cantik itu, tapi lupa
entah kapan dan di mana. Sementara si gadis cantik sudah melangkah semakin
dekat. "Apakah sang Waktu telah merubah wajahku hingga Kakang tidak mengenali
diriku...?" tanya gadis cantik itu setelah menghentikan langkahnya satu tombak
di depan Pendekar Naga Putih. Mata beningnya tak berkedip memandang wajah pemuda
di hadapannya tanpa rasa malu. Seakan-akan gadis cantik itu pernah mengenal
bahkan akrab dengan Panji. Sehingga pertemuan itu membuatnya tampak sangat
bahagia. "Kau...," Panji tak melanjutkan ucapan itu karena merasa agak ragu untuk menebak
siapa sebenarnya gadis cantik itu
"Ya...," sahut gadis cantik dengan kulit bersinar bagaikan rembulan itu. Seakan-
akan dia memberi kesempatan kepada pemuda berjubah putih itu untuk menebak siapa
Renjana Pendekar 2 Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Perawan Lembah Wilis 21
^