Pencarian

Perempuan Lembah Hitam 2

Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam Bagian 2


dirinya. Kelihatannya gadis cantik itu ingin tahu apa Pendekar Naga Putih masih
dapat mengingatnya.
"Benarkah kau..., Suntini...?" tebak Panji, agak ragu. Dirasakan wajah gadis
cantik itu jauh lebih matang daripada Suntini yang pernah dikenalnya. Meskipun
ada beberapa bagian yang masih dikenalnya, raut wajah itu tampak telah jauh
berubah. "Tidak salah lagi, Kakang!" tukas Suntini terlonjak seperti anak kecil. "Rupanya
kau ingat padaku...!"
Gadis cantik itu langsung memegang kedua tangan Panji erat-erat. Seolah hal itu
merupakan ungkapan perasaan hatinya yang sangat gembira karena perjumpaan itu.
"Aku tak langsung dapat mengenali karena banyak perubahan pada dirimu, Suntini.
Waktu setahun ternyata telah membuatmu tampak semakin matang dan...," Panji
terpaksa menghentikan ucapannya. Karena apa yang akan dikatakan dirasa agak
kurang pantas. Tentu saja menurut pikirannya sendiri.
"Dan apa, Kang" Mengapa tak kau lanjutkan...?" tanya Suntini agak mendesak
dengan sepasang mata berbinar. Sepertinya gadis cantik itu sudah dapat menduga
kelanjutan dari ucapan Panji yang terpotong. Namun ingin mendengarnya dari mulut
pemuda tampan berjubah putih itu.
"Kau hendak ke mana, Suntini...?"
Panji mencoba mengalihkan perhatian gadis cantik itu dengan pertanyaan itu.
Namun, Suntini tak bisa dipancing begitu saja. Gadis itu tetap ingin mendengar
kelanjutan ucapan Panji. Sepasang matanya yang bening dan indah tampak
menyiratkan keinginan itu.
"Aku tak akan menjawab sebelum Kakang menyelesaikan ucapan yang tadi...,"
desak gadis cantik itu memonyongkan bibirnya dengan sikap manja. Sementara
tangannya tetap menggenggam kedua lengan Panji erat-erat.
Pendekar Naga Putih terpaksa menyunggingkan senyum. Padahal saat itu dia tengah
memutar otak untuk mencari jawaban yang kira-kira tepat untuk disampaikan kepada
gadis cantik itu. Dan senyumnya semakin lebar karena Panji telah mendapatkan
jawabannya. "Mengapa kau ingin mengetahui kelanjutan ucapanku yang terpotong tadi,
Suntini...?" tanya Panji tetap tersenyum agar tak menimbulkan kecurigaan di hati
gadis itu. "Sudah kubilang aku tak akan menjawab sebelum Kakang menyelesaikan kalimat
tadi...!" tukas Suntini tetap merajuk
"Baiklah, akan kulanjutkan...," akhirnya Panji mengalah.
"Katakanlah, Kang" Aku ingin mendengarnya...."
"Aku tadi hendak mengatakan bahwa kau semakin matang dan dewasa. Nah, apa kau
puas sekarang...?" ujar Panji tersenyum menatap wajah cantik di depannya.
"Kakang bohong!" sentak Suntini yang langsung melepaskan pegangannya pada tangan
pemuda itu. Kemudian tubuhnya berbalik, seolah hendak menunjukkan kepada
Pendekar Naga Putih kalau hatinya merasa marah dengan jawaban yang tidak benar
itu. "Mengapa kau bisa berkata begitu, Suntini" Apa yang kukatakan itu sama sekali
tidak salah. Kau memang terlihat semakin dewasa dibanding setahun yang lalu,"
Panji berusaha meyakinkan Suntini bahwa apa yang dikatakannya adalah kebenaran.
"Tidak! Aku tak percaya...!" sentak gadis cantik yang mengaku Suntini tetap
membelakangi Pendekar Naga Putih.
"Menurutmu apa sebenarnya yang hendak kukatakan tadi...?" akhirnya Panji
mengalah dan ingin mengetahui apa yang menjadi dugaan gadis cantik itu.
"Aku tahu, Kakang ingin mengatakan bahwa aku semakin matang dan cantik, bukan"
Mengapa Kakang tak langsung saja mengatakannya" Atau aku memang bertambah
jelek...?" tanya Suntini yang membuat Panji merasa risih. Karena gadis cantik
itu mengetahui kalimat yang sengaja tak diucapkannya tadi.
"Siapa bilang kau jelek, Anak Manis" Hanya orang buta yang akan mengatakan
begitu," ujar Panji seraya menyunggingkan senyumnya.
"Tidak! Aku memang bertambah jelek! Buktinya Kakang tak mau mengatakan aku
cantik," tukas Suntini yang telah membalikkan tubuhnya. Kemudian ditatapnya
kedua bola mata pemuda tampan itu.
"Kalau sudah tahu bahwa dirimu cantik, mengapa harus diributkan lagi" Sudahlah,
lupakan saja persoalan sepele itu! Sekarang ceritakanlah padaku, bagaimana kau
bisa berada di daerah ini" Bukankah tempat tinggal orangtuamu berada di
selatan?" tanya Panji, kembali mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
"Hhh...!" Suntini menghela napas panjang, seraya melepaskan pandang ke langit
yang mulai teduh. Kakinya melangkah perlahan, kemudian menjatuhkan tubuh di
bawah pepohonan rindang.
Pendekar Naga Putih tidak mendesak. Diikutinya langkah gadis cantik itu.
Kemudian ikut duduk di samping Suntini, yang kelihatan wajahnya agak muram.
Ditatapnya wajah cantik itu dari samping. Dia mulai menduga, bahwa ada sesuatu
yang telah terjadi dengan keluarga gadis itu.
"Ceritanya panjang sekali, Kakang...," desah Suntini menatap ke depan dengan
sinar mata berkabut. Jelas kalau hati gadis cantik itu tengah dilanda kesedihan.
"Kalau kau tak keberatan, ceritakanlah! Aku siap mendengarnya...," pinta Panji,
tetap tidak melepaskan pandangannya dari wajah Suntini yang kelihatan semakin
berduka itu. Dengan sabar ditunggunya gadis cantik itu melanjutkan ceritanya.
4 "Kakang tentu masih ingat peristiwa setahun yang silam. Kakang menolong
keluargaku ketika dihadang perampok," ujar Suntini, berusaha mengingatkan
Pendekar Naga Putih saat mereka pertama kali berjumpa. Gadis cantik itu menoleh,
seperti hendak meminta kepastian dari pemuda di sebelahnya.
"Ya, aku ingat...," sahut Panji meyakinkan Suntini.
"Dan Kakang masih ingat juga bukan, kalau perampok-perampok laknat itu telah
membuat ibuku tewas?" tanya Suntini lagi.
"Ya, aku ingat..."
"Nah, setelah peristiwa itu, ayahku pun menyusul sebulan kemudian. Kematian ibu
telah mendatangkan penderitaan dalam batinnya. Dengan kematian mereka, tak ada
lagi tempatku untuk bergantung. Lalu aku teringat dengan Kakang. Dengan berbekal
sedikit ilmu yang kupelajari dari ayah, aku nekat mencari Kakang Panji. Karena
hanya Kakanglah satu-satunya yang bisa kupercaya selain kedua orangtuaku yang
telah tiada."
Sampai di situ Suntini menghentikan ceritanya. Sepasang mata beningnya menatap
wajah Pendekar Naga Putih. Terdengar tarikan napasnya mendesah. Sementara pemuda
tampan berjubah putih itu diam tanpa sahutan.
"Sebenarnya sudah beberapa bulan lalu aku melihat Kakang. Tapi, karena Kakang
selalu melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang memiliki kecantikan luar
biasa, aku tak berani mengganggu. Padahal aku ingin sekali dapat berbicara
berdua dengan Kakang seperti sekarang ini...," sambung Suntini seraya menatap
wajah Pendekar Naga Putih dengan mata sayu. Seolah gadis itu tengah mengalami
suatu tekanan dalam batinnya.
"Seharusnya kau langsung menemui aku, Suntini. Gadis yang kau maksudkan itu
pasti Kenanga. Tapi, tak ada salahnya kalau kau menemui kami berdua...," ujar
Panji ketika melihat gadis itu terdiam dan menatapnya dengan mata sayu. Ada
kecemasan yang berusaha disembunyikan, karena dia mulai dapat meraba tatapan
mata Suntini. "Siapa gadis jelita yang bernama Kenanga itu, Kakang" Kekasihmu...?" tanya
Suntini dengan nada aneh seperti menyimpan rasa cemburu yang besar. Bahkan
pendekar muda itu menemukan sinar kemarahan dalam sorot mata gadis cantik itu.
"Gadis yang bernama Kenanga itu memang kekasihku, Suntini..," karena tak ingin
sesuatu di dalam hati Suntini kian berkembang, Panji berkata terus terang.
"Sudah kuduga...," desis Suntini dengan suara bergetar, menyiratkan adanya rasa
kecewa dalam hati gadis itu. Bahkan kemudian terdengar helaan napasnya yang
berat. "Bukankah Kakang pernah berjanji akan singgah ke tempat tinggal kami suatu
waktu" Tapi, mengapa Kakang ingkar" Padahal aku yakin Kakang tahu, bagaimana
perasaanku saat itu...?" suara Suntini mirip sebuah desahan menyimpan isak.
Rupanya gadis itu tak pernah melupakan janji yang pernah diucapkan Panji saat
setelah menolong keluarganya.
"Maafkan aku, Suntini. Kalau saja aku mempunyai kesempatan, tentu akan singgah
ke tempat tinggalmu. Maaf, kalau aku telah membuatmu kecewa...," ujar Panji
dengan perasaan yang mulai tak karuan, karena Suntini semakin berani menuntut
banyak darinya. Padahal dia tak ingin menemui gadis itu lagi. Sesungguhnya
hatinya tak memberikan harapan kosong kepada Suntini, yang sejak semula disadari
kalau gadis cantik itu telah terpikat kepadanya. Entah karena kesaktian atau
ketampanannya. Namun, yang jelas Pendekar Naga Putih tahu perasaan gadis itu
terhadap dirinya.
"Tapi secara tak langsung Kakang telah memberikan harapan kepadaku" Padahal
Kakang tahu, bagaimana perasaanku yang sesungguhnya. Terus terang, semenjak
berjumpa dengan Kakang, aku telah memutuskan untuk tak menerima lelaki lain,
seorang pangeran sekalipun! Dan janji itu pula yang telah membuatku mengambil
keputusan untuk mencari Kakang. Tapi..., yang kuterima justru kehancuran!
Mengapa waktu itu tak berterus terang kalau Kakang telah punya kekasih?"
Suntini mengungkapkan semua perasaan yang telah lama terpendam dalam
hatinya. Tentu saja pengakuan itu membuat Panji tersentak kaget. Dia sama sekali
tak menyangka kalau gadis itu menaruh harapan sedemikian besar. Bahkan kini
berani mengutarakannya secara terbuka. Jelas di matanya Suntini merupakan
seorang gadis yang keras kepala dan mau menang sendiri. Padahal seharusnya gadis
itu tahu kalau sejak semula Panji telah menolak secara halus.
Pendekar Naga Putih terdiam dengan helaan napas panjang yang berat. Sama sekali
tidak disangka kalau Sutini ternyata seorang gadis yang buta hatinya. Kebaikan
dan sikap halus yang ditunjukkan Panji telah disalahtafsirkan. Bahkan kini
berani menuntut secara terus terang. Tentu saja hal itu membuat hati pendekar
muda itu susah, serba salah, dan bingung. Dia tak ingin menyakiti hati siapa
pun. Apalagi seorang gadis seperti Suntini.
"Suntini...," ujar Panji perlahan. "Sebagai seorang wanita, seharusnya kau
mempunyai perasaan yang lebih peka ketimbang lelaki. Dan tak seharusnya kau
berjanji untuk menolak lelaki lain. Semestinya kau memahami perasaan hatiku.
Selain itu, aku percaya, bahwa kelak kau akan mendapatkan pemuda yang jauh lebih
baik dariku. Dan, kalaupun semua sikapku kau anggap suatu kesalahan, biarlah aku
meminta maaf kepadamu! Lupakan aku, dan bukalah hatimu untuk dapat menerima
kehadiran pemuda lain yang akan mencintaimu dengan sepenuh hati....!"
Ucapan Panji justru membuat air mata gadis itu mengalir turun di pipinya yang
halus. Bibirnya yang merah tampak bergetar. Jelas bahwa sehalus apa pun ucapan
yang dikeluarkan pemuda itu tetap membuat hati Suntini hancur. Sehingga, hati
pemuda tampan itu iba melihat penderitaan gadis di depannya.
"Maafkan aku, Suntini...!" ucap Panji penuh sesal. Kemudian bangkit berdiri dan
menyentuh bahu gadis itu yang mulai terguncang menahan isak.
"Kakang...," Suntini berdesah pilu. Disambarnya kedua tangan Panji. Kemudian
dilekatkannya ke wajah yang basah oleh air mata. Tangis gadis itu pun semakin
menjadi-jadi. "Suntini..., kau masih muda dan memiliki paras yang cantik. Rasanya tidak sulit
bagi pemuda-pemuda gagah untuk jatuh cinta kepadamu. Bahkan aku yakin mereka
akan rela mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan cintamu," Panji berusaha
menghibur dan menyadarkan Suntini dari kedukaannya. "Kalau saja aku belum
memiliki Kenanga, tak sulit rasanya bagiku membalas cintamu. Namun, aku telah
memiliki seorang kekasih dan aku sangat mencintainya...."
"Tapi, aku rela kau duakan, Kakang! Bagiku asal kau terima perasan hatiku, itu
sudah cukup. Kendati hanya menerima sedikit cinta darimu. Aku tak akan menuntut
terlalu banyak, Kakang. Percayalah!"
Suntini tetap tidak bisa menerima nasihat dan kata-kata hiburan dari Panji.
Bahkan bersikeras mengemis cinta kasih pemuda itu, dengan merelakan dirinya
sebagai kekasih kedua. Pendekar Naga Putih rupanya telah merebut seluruh cinta
di hati gadis cantik itu.
"Aku tidak bisa, Suntini.... Maafkan aku...!" ujar Panji yang semakin iba
melihat betapa gadis cantik seperti Suntini sampai mempermalukan diri sendiri
demi mendapatkan cintanya. Ucapan itu membuat Pendekar Naga Putih sadar, kalau
cinta kasih Suntini ternyata sudah sedemikian dalam. Sampai-sampai rela
diduakan. "Kalau diriku tak cukup pantas menerima cintamu, biarlah aku menjadi budakmu,
Kakang! Asal diperbolehkan ikut ke mana kau pergi, aku sudah merasa bahagia!
Apakah untuk menjadi budakmu pun, aku masih belum pantas...?" desak gadis cantik
itu yang kali ini memeluk kaki Pendekar Naga Putih dengan kuatnya.
Dapat dibayangkan, betapa hebat perasaan cinta di dalam hati Suntini. Sehingga
rela merendahkan dirinya berlutut di depan Panji demi bisa selalu berdekatan
dengan pemuda yang telah membuatnya jatuh ke dalam perangkap asmara itu.
Sikap Suntini itu tentu saja membuat Panji kaget bukan kepalang. Cepat
disambarnya tubuh gadis itu. Dan dipaksanya bangkit berdiri. Namun, apa yang
selanjutnya dilakukan gadis itu, membuat Panji hampir terlompat kaget. Karena
begitu dipaksa bangkit dan berdiri dalam Jarak yang sangat dekat, Suntini
langsung saja menjatuhkan kepala di dada pendekar muda itu. Kemudian menangis
terisak di dada bidang pemuda itu. Sedang kedua tangannya telah melingkar ketat
di tubuh Panji.
Karena tak ingin membuat hati gadis itu semakin hancur, akhirnya Pendekar Naga
Putih hanya bisa menghela napas panjang. Dia khawatir kalau tubuh ramping itu
ditelakkan, kendati dengan perlahan, hati Suntini tentu akan semakin sakit.
Terpaksalah pemuda berjubah putih itu membiarkan Suntini menumpahkan air mata di
dadanya. Panji berharap gadis itu akan segera berlapang dada, setelah tangisnya
terhenti nanti. Kemudian menyadari kekeliruannya terhadap sikap baik Pendekar
Naga Putih. "Sudahlah, Suntini, hentikan tangismu! Anggaplah aku kakakmu! Aku tentu akan
suka sekali mempunyai adik secantik dirimu."
Setelah menunggu cukup lama Suntini tak juga melepaskan pelukannya, akhirnya
Panji mengambil keputusan untuk menganggap gadis itu sebagai saudara. Hanya
itulah jalan satu-satunya yang paling baik, menurut pikirannya.
"Tidak, Kakang!" bantah Suntini dengan suara terisak dan masih tetap
menyembunyikan wajahnya di dada pemuda itu. "Rasa cintaku tidak bisa berubah!
Aku lebih suka menjadi budakmu ketimbang menjadi adikmu!"
"Celaka...!" gumam Panji dalam hati. Benar-benar tak disangka kalau Suntini
tetap bersikeras memilih menjadi budak ketimbang menjadi adik angkatnya. Sikap
gadis itu benar-benar membuat Panji kehilangan akal. Dia tak tahu lagi apa yang
harus dilakukan agar gadis itu menyadari kekeliruannya.
"Sudahlah, Suntini! Jangan siksa dirimu dengan mengharapkan sesuatu, yang kau
tahu, tak mungkin bisa aku lakukan. Mari kita bicarakan hal ini baik-baik, dan
mencari jalan keluarnya...!" bujuk Panji karena semakin terdorong rasa iba.
Dibelainya rambut gadis itu dengan penuh perasaan sayang. Tentu saja rasa sayang
itu bukan berarti dirinya membalas dan menerima cinta Suntini. Hatinya memang
lebih condong mengasihi gadis itu sebagai saudara.
Namun perlakuan Panji diartikan lain oleh Suntini. Merasakan belaian lembut
tangan pemuda itu, perlahan wajahnya terangkat dari dada Panji. Kemudian
wajahnya didongakkan, menatap wajah di atasnya. Sehingga ujung hidung gadis itu
menyentuh dagu Panji. Serta merta Panji menarik wajah ke belakang dengan halus.
Entah karena sudah terlarut belaian tangan Pendekar Naga Putih, Suntini
melakukan tindakan yang sangat mengejutkan Panji. Bagai kerasukan setan,
mulutnya menciumi sekujur wajah pemuda yang sangat dicintai itu. Karuan saja
pemuda tampan itu kelabakan. Dengan cepat ditolaknya tubuh gadis itu, hingga
pelukan Suntini terlepas dan terdorong mundur beberapa langkah.
Suntini tersentak kaget merasakan perlakuan Pendekar Naga Putih. Sepasang
matanya terbelalak memancarkan rasa terkejut. Seolah gadis itu sama sekali tak
menyangka kalau Panji akan berbuat seperti itu terhadapnya.
"Kau kejam sekali, Kakang...!" rintih gadis dengan suara parau, menggambarkan
perasaan hatinya yang tercampakkan. "Padahal aku rela menyerahkan segalanya
kepadamu, termasuk hidupku. Tidak sadarkah kalau apa yang baru Kakang lakukan
semakin membuat hatiku hancur...!"
Pendekar Naga Putih mengatupkan rahangnya kuat-kuat ketika melihat kilatan mata
Suntini yang menyiratkan perasaannya. Namun dia mencoba menguatkan hati, karena kalau
dibiarkan berlarut-larut, Suntini akan semakin sakit hati.
"Maaf, kalau perlakuanku kau anggap terlalu kasar, Suntini! Tapi, sadarlah kalau
aku tidak bisa membalas perasaan cintamu. Sampai kapan pun aku tetap tak
bisa...," tegas Panji yang membuat wajah gadis cantik itu memucat bagaikan tak berdarah.
Bahkan tubuh ramping itu sampai bergetar. Sepertinya penolakan secara tegas itu
telah menimbulkan goncangan batinnya.
Dengan wajah yang masih pucat, Suntini terlihat menarik napas panjang berulang-
ulang. Seakan-akan gadis itu tengah berusaha untuk menahan rasa sakit di dada.
Wajah cantiknya berkerut-kerut. Seolah siksaan dalam batinnya demikian nyeri dan
menyakitkan. "Kalau keputusanmu memang sudah tak bisa berubah, baiklah, aku terima dengan
hati pasrah, Kakang! Tapi, sebelum kita berpisah, aku mempunyai satu permintaan.
Ini yang terakhir kali aku meminta kepadamu...," ujar Suntini dengan suara
bercampur isak tertahan, hingga terdengar parau.


Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katakan, apa permintaanmu itu, Suntini" Jika aku sanggup, tentu akan
kukabulkan...," sahut Panji sambil menduga-duga apa permintaan yang akan
diajukan gadis cantik itu.
"Tidak sulit apa yang akan kuminta, Kakang. Dan kau pasti bisa memenuhinya...,"
ujar Suntini seraya menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih di hadapannya.
"Katakanlah...!"
"Sekarang aku sadar, bahwa kau memang tak mungkin dapat kumiliki, Kakang.
Tapi, paling tidak aku ingin memilikimu untuk beberapa saat. Dan aku akan
mengenangnya seumur hidup, jika kau mau memenuhinya...."
Sambil berkata begitu, Suntini meraba sabuk yang melilit pinggangnya. Kemudian
melepaskannya tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah Panji.
Pendekar Naga Putih mulai dapat menduga apa permintaan gadis cantik itu. Wajah
tampannya berubah kemerahan ketika Suntini hendak melepaskan pakaian yang
dikenakan. Karuan saja pemuda itu kaget bukan kepalang. Sungguh tak disangkanya
kalau Suntini akan nekat berlaku seperti itu.
"Lakukanlah, Kakang...! Kalau ini pun masih juga kau tolak, kau benar-benar
menghancurkan seluruh kehidupanku...," desis Suntini yang mulai memperlihatkan
tubuh bagian atasnya.
Tentu saja Pendekar Naga Putih tidak mungkin dapat memenuhi permintaan gila itu.
"Berhenti...!" bentaknya dengan suara keras menggelegar.
Suntini tersentak kaget.
"Kau gila, Suntini...!"
Setelah berkata demikian, tubuh Pendekar Naga Putih langsung berkelebat lenyap
meninggalkan tempat itu. Dia tak peduli bagaimana perasaan gadis itu
sepeninggalnya.
Pemuda itu benar-benar tak menyangka, kalau perasaan cinta telah membuat Suntini
sampai tersesat sedemikian jauh. Sehingga, akal sehatnya tak lagi dapat
membedakan mana baik dan buruk.
"Ohhh...!"
Melihat betapa tubuh pemuda yang telah merebut seluruh cintanya berkelebat
pergi, Suntini jatuh terduduk. Gadis itu merasa malu sekali, dan menangis sedih
seraya menutup wajah dengan kedua tangannya. Pendekar Naga Putih telah menolak
permintaan terakhirnya. Padahal semua itu dilakukan Suntini karena perasaan
cintanya yang sangat besar. Tentu saja kepergian pemuda pujaannya, membuat
hatinya kian hancur.
*** "Aaakh...!"
Suara teriakan keras terdengar dan kejauhan. Pendekar Naga Putih yang tengah
berlari meningyalkan Suntini, langsung menghentikan gerakannya. Suara jeritan
perempuan itu membuat keningnya berkerut. Dia tahu jeritan itu datang dari
belakang. Tempat Suntini berada.
"Entah pikiran apa lagi yang ada di dalam kepala gadis itu" Mungkin dia hendak
mengecoh dengan teriakannya...?" gumam Panji seraya membalikkan tubuh, dan
menatap lurus ke tempat Suntini ditinggalkan.
Untuk beberapa saat lamanya, Pendekar Naga Putih tetap tegak dengan tatapan mata
lurus ke depan. Hatinya hendak memastikan apa jeritan itu akan terdengar lagi,
kalau dia belum muncul" Dan...
"Auw...! Tolong...!"
Pendekar Naga Putih terkejut ketika teriakan itu kembali terdengar. Dari
suaranya, Panji menangkap getar ketakuan. Pikirannya melayang, menduga-duga apa
kira-kira yang tengah dialami gadis cantik itu.
"Hm..., sebaiknya kulihat dulu. Siapa tahu Suntini benar-benar tengah menghadapi
kesulitan...."
Panji langsung mengerahkan ilmu lari cepatnya. Seketika itu juga, tubuhnya
melesat cepat, menuju tempat Suntini berada.
Pendekar Naga Putih yang semula berniat hanya untuk mengintai, langsung
membatalkannya. Karena dilihatnya Suntini tengah dikepung sosok-sosok lelaki
kasar, yang tertawa-tawa penuh gejolak nafsu. Kegeraman pendekar muda itu muncul
ketika melihat pakaian yang melekat di tubuh Suntini telah terkoyak-koyak. Tanpa
pikir panjang, tubuhnya melesat untuk menyelamatkan gadis cantik itu.
"Haiiit! Heaaa....!"
Begitu tiba, Pendekar Naga Putih langsung melepaskan tiga kali pukulan berturut-
turut. Akibatnya tiga lelaki kasar yang saat itu hendak menerkam tubuh Suntini,
jatuh terjengkang memuntahkan darah segar. Mereka tewas seketika itu juga.
"Kakang...!"
Melihat munculnya sosok bayangan putih yang langsung merobohkan ketiga lelaki
itu, Suntini tersentak gembira. Kemudian menyeret langkah kakinya sambil
menutupi seluruh bagian tubuh yang terlihat.
"Perampok kurang ajar...! Kalian boleh cicipi kepalanku!" geram Panji kembali
melesat dengan pukulan dan tendangannya.
"Hih!"
Bukkk! Plakkk! Serangan cepat yang dilancarkan Pendekar Naga Putih mendarat telak di tubuh
empat laki-laki yang tengah berusaha menangkap tubuh Suntini.
"Aaa...!"
"Akh...!"
Teriakan keras terdengar ketika keempat lelaki berwajah kasar itu terhantam
serangan Pendekar Naga Putih. Seketika tubuh mereka berpentalan dan menyemburkan
darah segar dari mulut.
Srat! Srat! Dua perampok lain yang merasa penasaran, segera melolos pedang sambil menerjang
Panji. Dengan cepat mereka mengayunkan senjata memburu tubuh lawan.
Namun... "Hihhh...!"
Trak! Dengan cepat Pendekar Naga Putih menyampok tangan mereka seraya
mengirimkan pukulan keras. Tak ampun lagi kedua lelaki berwajah kasar itu
terjungkal dan mencium tanah.
"Lariii...!" teriak leiaki bermuka codet yang rupanya pimpinan perampok itu. Dan
tanpa berpikir dua kali, kawan-kawannya langsung berlari kabur meninggalkan
tempat itu. Tampaknya mereka menyadari kalau lawan terlalu berat. Tak mungkin mengadakan
perlawanan. "Kakang...!"
Suntini langsung menghambur ke dalam pelukan Pendekar Naga Putih. Tubuh setengah
telanjang itu memeluk erat pemuda berwajah tampan itu Panji tak mampu berbuat
apa-apa mendengar tangis gadis itu. Dia memahami kalau Suntini masih dalam
keadaan ketakutan. Hanya dengan membiarkannya menangis dalam pelukan,
kemungkinan besar Suntini bisa tenang kembali.
"Bahayanya sudah lewat, Suntini...," bisik Panji menenangkan hati Suntini seraya
mengelus rambutnya. Rasa ibanya kembali muncul melihat betapa gadis cantik itu
harus mengarungi kehidupan yang ganas seorang diri. Namun, tak ada satu pun yang
bisa dilakukannya untuk membuat gadis itu terbebas dari kehidupan yang memang
diwarnai kekerasan itu.
5 Suntini masih terisak dalam pelukan Panji. Hal itu cukup lama berlangsung,
sampai akhirnya Panji mendorong perlahan tubuh gadis cantik itu. Sebab, kendati
bahu Suntini masih terguncang sesekali, dia merasakan betapa debaran jantung
gadis cantik itu sudah pulih seperti biasa.
"Siapa mereka, Kakang" Mengapa mereka kelihatan demikian buas...?" tanya Suntini
menatap wajah Panji yang begitu dekat dengan wajahnya. Sehingga, sepasang mata
bening yang masih basah itu menjelajah sekujur wajah tampan di depannya.
"Hhh..., orang-orang kasar yang biasa mengganggu orang dengan kekerasan.
Mungkin mereka hanya kebetulan lewat di tempat ini. Dan ketika melihat gadis
cantik seperti dirimu berada seorang diri di tempat ini, mereka tentu saja tidak
akan membiarkan...," sahut Panji yang berusaha bersikap wajar, meskipun tahu
kalau Suntini kembali tergoda gejolak cintanya. Hal itu bisa dirasakan dari
tatapan mata gadis cantik itu yang berbicara banyak meski tanpa kata.
"Kakang Panji, mengapa, tak kau biarkan saja aku hancur di tangan mereka"
Untuk apa aku hidup dengan hati yang remuk-redam seperti ini" Rasanya aku lebih
baik mati daripada hidup tanpa dirimu, Kakang...," ucap Suntini seraya
mendekatkah wajah dan menatap wajah Panji dengan sinar mata redup. Bibirnya yang
merah basah tampak setengah terbuka, memberikan tantangan.
Wajah cantik dengan sepasang mata sayu menghiba dan bibir merah menantang itu
nyaris menyeret hati Pendekar Naga Putih. Namun, bayangan gadis jelita
berpakaian hijau yang melintas di benaknya, membuat pendekar muda itu menarik
wajahnya. Bayangan wajah Kenanga yang melintas sekilas, membuat Panji tersadar. Biar
dengan alasan apa pun, dia tidak mungkin akan mengkhianati cinta Kenanga.
"Maafkan aku, Suntini...!" desah Panji dengan suara perlahan. Karena dilihatnya
kilatan marah dalam pancaran mata gadis cantik itu. Panji bergegas bangkit
berdiri. "Kau benar-benar tak sudi menerima cintaku, Kakang...?" tanya Suntini dengan
suara bergetar. Sorot matanya menampakkan perasaan sakit dalam hati gadis cantik
itu. Beberapa kali dia memohon kesediaan Pendekar Naga Putih menerima cintanya, tapi
pemuda itu tetap tak berubah dengan keputusan semula.
Pendekar Naga Putih hanya mampu menghela napas panjang. Hatinya dapat merasakan
apa yang bergejolak dalam hari Suntini saat itu.
"Tidak jauh dari tempat ini ada sebuah pedesaan. Aku tidak bisa menemanimu lebih
lama lagi, Suntini. Sekali lagi, harap kau maafkan aku...," ujar Panji dengan
nada penuh sesal. Dan tanpa menunggu jawaban lagi, tubuhnya langsung berkelebat
lenyap dari hadapan Suntini.
"Kakang...!" Suntini hanya bisa mengeluh dengan air mata yang kembali mengalir
menuruni pipinya yang halus.
*** "Hm..., adanya peristiwa penculikan terhadap tokoh-tokoh muda rimba persilatan,
akan membuat perjalananku tertunda. Mudah-mudahan Kenanga bisa mengerti akan
keterlambatanku...!" gumam Panji yang saat itu tengah menyusuri jalanan berbatu
kecil. Pendekar Naga Putih tengah dalam perjalanan menuju Kadipaten Tumapel. Dengan
adanya peristiwa penculikan aneh itu, telah membuatnya merasa berkewajiban untuk
menyelidiki dan mengatasi. Namun, karena pamannya Kenanga yang menjadi perwira
di Kadipaten Tumapel, meminta mereka datang secepatnya, akhirnya Pendekar Naga
Putih meminta pengertian Kenanga. Disuruhnya gadis itu melanjutkan perjalanan.
Sementara dia ingin menyelidiki kejadian itu, dan berjanji akan segera menyusul
Kenanga. Namun siapa kira kalau setelah peristiwa yang satu tuntas, muncul lagi peristiwa
lain. Karena Pendekar Naga Putih merasa wajib untuk menghentikan penculikan dan
pembunuhan terhadap tokoh-tokoh muda rimba persilatan itu.
Kepasrahan sikap Suntini yang nyaris menyeretnya, membuat Pendekar Naga Putih
tiba-tiba dilanda kerinduan terhadap kekasihnya. Bayangan kemesraan yang
ditawarkan Suntini, memang sempat membuat benteng pertahanannya runtuh, karena
didorong rasa iba terhadap gadis itu. Untunglah pada saat-saat terakhir,
bayangan Kenanga melintas di benaknya. Sehingga, terlepas dari cengkeraman dewi
asmara yang nyaris membuat dirinya terlena. Pendekar Naga Putih hanya bisa
menghela napas penuh sesal, ketika teringat Suntini. Apalagi gadis itu kini
hidup sebatang kara. Panji pun sadar, betapa berat perjalanan hidup yang harus
dilalui gadis cantik itu. Karena sebelumnya Suntini merupakan putri seorang
hartawan. Tentu saja kehidupan yang kali ini harus dijalani seorang diri, akan
semakin terasa sangat berat baginya. Mengingat semua itulah, timbul perasaan
kasihan dalam hati pemuda itu. Sama sekali tak disangka kalau justru perasaan
itu pula yang nyaris membuatnya berkhianat terhadap Kenanga. Namun sekarang dia
boleh merasa lega karena semua itu tak sampai terjadi. Disadari kalau Suntini
menjadi semakin sakit hati terhadapnya.
"Hhh...," Panji kembali menghela napas mengingat Suntini. Dia hanya bisa berdoa
agar Suntini mendapatkan seorang pelindung yang lebih baik. Selain itu, tak ada
lagi yang bisa dilakukannya.
Namun, tiba-tiba Pendekar Naga Putih menahan langkahnya. Seketika lamunannya
buyar. Sesuatu yang mengusik pendengarannya, membuat kepala pemuda itu
menengadah dengan kening berkerut. Seakan-akan hendak memastikan suara itu.
"Hm..., mungkinkah yang kudengar barusan suara binatang buas...?" gumam Panji
dengan kening berkerut. Telah dikerahkan ilmu pendengarannya, tapi tak ada
sesuatu pun yang tertangkap. Pendekar Naga Putih mulai meragukan apa yang
barusan mengusik telinganya.
Setelah agak lama berpikir, akhirnya Panji memutuskan untuk segera melanjutkan
perjalanan. Namun, ketika kakinya baru maju selangkah, tiba-tiba....
"Aaa...!"
Lengkingan panjang mirip jerit kematian, membuat Pendekar Naga Putih tersentak.
Meskipun suara itu masih agak samar terdengar telinga, hatinya dapat memastikan
kalau pemilik jeritan itu tengah menghadapi kematian. Atau paling tidak tengah
berhadapan dengan sesuatu yang mengerikan.
"Untuk mengetahuinya secara pasti, aku harus mencari sumber jeritan itu..,"
gumam Panji, mengambil keputusan. Kemudian langsung melesat ke hutan kecil di
sebelah kiri jalan yang dilaluinya.
Ketika Pendekar Naga Putih tengah bingung karena belum tahu pasti tempat asal
jeritan, tiba-tiba terdengar lagi suara itu. Kali ini terdengar lebih jelas dan
keras. Langkahnya segera dipercepat.
Namun sayang, kedatangan Pendekar Naga Putih terlambat! Dari jarak sekitar dua
puluh tombak di depannya, dilihatnya ada sesosok bayangan berkelebat pergi.
Kemudian di dekat tempat itu tampak empat sosok tubuh tergeletak di atas
rerumputan. Tanpa buang-buang waktu segera kedua kakinya dihentakkan dan melesat
menuju tempat itu.
Bagaikan seekor burung besar, tubuh Pendekar Naga Putih melayang di udara.
Setelah bersalto beberapa kali tubuhnya melucur ke bawah. Tak terdengar suara
sedikit pun saat kedua telapak kakinya menjejak permukaan tanah berumput.
Panji yang semula berniat untuk memeriksa empat sosok tubuh di atas tanah itu,
membatalkan niatnya. Karena dilihatnya ada darah segar berceceran di atas
rerumputan. Juga pada tubuh keempat orang yang tak dikenalnya itu.
"Hhh.... Lengkingan kematian tadi berasal dari keempat lelaki malang ini...,"
gumam Panji, setelah melihat empat sosok tubuh terkapar berlumuran darah itu
sudah tak bernyawa. Sehingga dia tak sempat mengorek keterangan, apa sebenarnya
yang menyebabkan mereka terbunuh.
Setelah berpikir sejenak, Pendekar Naga Pulih segera melesat cepat meninggalkan
tempat itu. Pikirannya menyimpulkan, kematian keempat lelaki itu pasti ada
hubungannya dengan sosok bayangan yang tadi dilihatnya berkelebat dari tempat
itu. Maka pemuda itu memutuskan untuk segera mengejarnya.
Tubuh Pendekar Naga Putih terus melesat dengan ilmu meringankan tubuhnya yang
telah sempurna. Dalam sekejap saja sosok bayangan putih itu telah berada jauh
dari tempat terbunuhnya keempat lelaki tadi. Sejauh itu belum juga ditemukan
adanya jejak sosok bayangan yang dicurigainya itu.
"Hm..., pembunuh itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Kalau tidak,
mana mungkin bisa menghilang begitu cepat. Hhh.... Siapa manusia keji itu"
Mungkinkah dia salah seorang dari perempuan-perempuan cantik yang kutemukan
beberapa hari lalu?"
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di kepala Pendekar Naga Putih dalam keadaan
tetap berlari. Sampai akhirnya larinya dihentikan karena sampai di dekat sebuah
pedesaan. Dia mengetahui hal itu ketika melihat tak jauh di depan ada seorang
lelaki pencari kayu.
Melihat pencari kayu itu, timbul keinginan Panji untuk bertanya. Bergegas
dihampirinya lelaki bertelanjang dada itu.
"Maaf, Kisanak! Aku ingin bertanya sedikit...," sapa Panji setelah menjajari
langkah pencari kayu bakar itu.
"Eh, silakan...," sambut lelaki separo baya yang kulit wajahnya agak kehitaman.
Sepasang matanya agak menyipit meneliti sosok pemuda tampan di sampingnya.
Wajahnya agak tertegun sesaat ketika membentur mata pemuda berjubah putih itu.
Segera wajahnya dipalingkan, karena merasa ada suatu perbawa kuat dalam sorot
mata pemuda tampan itu.
"Mmm..., apakah Kisanak melihat ada orang yang barusan berlari melewati jalan
ini...?" tanya Panji dengan sikap ramah. Karena sempat dilihatnya dari sorot
mata lelaki setengah baya itu perasaan curiga.
"Saya tak melihat, Tuan...," jawab lelaki separuh baya itu dengan jujur.
Kemudian menatap Panji sesaat, seperti menunggu kalau-kalau pemuda itu
melontarkan pertanyaan lain.
"Terima kasih, Kisanak! Maaf, aku telah mengganggu pekerjaanmu...!" ucap Panji
yang tidak ingin mengganggu orang tua itu lebih lama lagi. Dan dia percaya
dengan jawaban orang tua itu.


Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Naga Putih masih tetap berdiri sambil mengawasi sekitarnya. Sedangkan
pencari kayu bakar itu sudah melanjutkan perjalanannya. Panji sempat menghela
napas ketika melihat pencari kayu bakar itu sesekali menoleh ke arahnya. Orang
tua itu sepertinya belum yakin betul kalau Panji tak akan mengikuti langkahnya.
"Mungkin dia mengira aku orang jahat yang pura-pura bertanya kepadanya...,"
gumam Panji seraya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
Pendekar Naga Putih tidak lagi mempedulikan pencari kayu bakar yang melangkah
tergesa meninggalkan tempat itu. Sekejap kemudian, tubuh pemuda itu sudah
melesat bagaikan terbang. Gagal menemukan sosok bayangan yang dicari, dia
berniat kembali ke tempat kejadian.
Keadaan empat sosok mayat itu belum berubah. Begitu tiba di tempat itu, Panji
segera memeriksa satu persatu. Maksudnya hendak mencari tahu kalau-kalau
mengenal ilmu pukulan yang menewaskan keempat orang itu. Namun, lagi-lagi Panji
harus menelan kekecewaan. Karena keempat mayat itu terbunuh oleh tusukan pedang.
Sehingga, sulit diduga siapa pelaku pembunuhan itu.
Akhirnya Pendekar Naga Putih memutuskan untuk memakamkan mayat-mayat itu.
Sementara itu, dugaannya mulai mengarah pada perempuan-perempuan cantik yang
pernah bentrok dengannya. Karena, dari salah seorang lelaki yang pernah
diselamatkannya, tercetus keterangan bahwa perempuan-perempuan berwajah dingin
itu merupakan kelompok penculik dan pembunuh. Sehingga tuduhan lebih kuat jatuh
kepada mereka. Selesai menguburkan keempat mayat itu, Pendekar Naga Putih melesat pergi.
Kecepatan gerakannya membuat tubuh pemuda itu tampak seperti tak menapak di atas
tanah. Dalam sekejap dia telah sampai di perbatasan sebuah desa. Jalan yang
dilaluinya memang tampak sepi. Sehingga, Pendekar Naga Putih dapat mempercepat
larinya. Pendekar berjubah putih itu baru berhenti ketika memasuki mulut desa.
"Desa Lengser...," gumam Panji membaca huruf-huruf yang tertera pada tugu di
sebelah kanan jalan yang dilaluinya. Kemudian baru melangkah memasuki mulut desa
itu. Matahari sudah bergeser jauh ke barat saat Panji melintas di jalan utama desa.
Langkahnya menuju sebuah kedai makan yang tak jauh dari mulut desa itu. Kedai
kecil itu tampak tidak begitu ramai.
"Pendekar Naga Putih...!?"
Baru saja langkahnya sampai di depan kedai, terdengar seruan kaget sekaligus
gembira. Pendekar Naga Putih yang semula agak kaget mendengar orang menyebut
julukannya, tersenyum lebar ketika menoleh tempat asal suara. Terlihat salah
satu dari beberapa orang lelaki yang duduk mengelilingi sebuah meja, bergerak
bangkit menyambut kedatangannya.
"Gupta..."!" seru Pendekar Naga Putih, menyebut nama lelaki gagah berkumis tipis
yang melangkah lebar menyambutnya dengan penuh kegembiraan.
Lelaki gagah berkumis tipis itu ternyata Gupta, salah seorang tokoh persilatan
yang pernah diselamatkan Pendekar Naga Putih dari kematian. Gupta tampaknya sama
sekali tak menyangka akan berjumpa lagi dengan Pendekar Naga Putih. Seorang
pendekar besar yang namanya telah tersohor. Tampak di wajahnya rasa gembira
begitu melihat dan mengenali pemuda tampan berjubah putih yang datang ke kedai
itu. "Senang sekali dapat bertemu lagi denganmu, Pendekar Naga Putih!" ucap Gupta
menyatakan kegembiraannya seraya menyalami pemuda itu. "Marilah bergabung dengan
kami..!" "Terima kasih...!" sahut Pendekar Naga Putih yang juga gembira dapat
bertemu Gupta di Desa Lengser itu. Tanpa ragu lagi, kakinya mengikuti langkah
Gupta. Enam orang lelaki yang rata-rata bertubuh tegap, serentak bangkit berdiri.
Bahkan delapan orang di meja sebelah kanan pun ikut menyambut kedatangan
pendekar muda itu. Sorot mata mereka memancarkan kekaguman terhadap sosok
pendekar muda yang namanya sangat tersohor di rimba persilatan.
Empat belas orang lelaki itu tampak saling berebutan menyalami Pendekar Naga
Putih, yang tampak tersenyum penuh persahabatan. Hatinya pun gembira melihat
sikap para lelaki gagah yang bersikap tulus dan bukan hanya sekadar basa-basi.
Baru kemudian dia duduk di bangku yang telah disediakan Gupta.
Gupta langsung memanggil pelayan kedai. Kemudian memesan hidangan untuk Panji.
Lelaki itu tak mampu menyembunyikan kegembiraan hatinya. Wajahnya tampak cerah
dan penuh senyum. Seolah menganggap Pendekar Naga Putih sebagai seorang tokoh
yang harus dihormati dan dilayani sebaik-baiknya.
"Hm..., kelihatannya kesehatanmu sudah pulih benar, Gupta...," ujar Pendekar
Naga Putih seraya menatap lelaki gagah berkumis tipis itu untuk beberapa saat.
"Semua ini berkat pertolonganmu Pendekar Naga Putih. Kabar yang selalu kudengar
tentang namamu tampaknya, tak berlebihan. Selain terkenal ilmu kedigdayaan,
kiranya kau memang seorang ahli pengobatan yang sukar dicari bandingannya.
Beruntung sekali aku mendapatkan pertolonganmu saat itu. Kalau tidak, mungkin
hari ini aku masih terbaring di tempat tidur sembari merintih-rintih kesakitan.
He he he...!" Gupta mengakhiri ucapannya dengan tawa panjang, yang juga disambut
kawan-kawannya.
Panji hanya tersenyum mendengar ucapan Gupta. Kemudian matanya menatapi empat
belas wajah tokoh-tokoh persilatan yang tadi menyambut kedatangannya.
"Mereka saudara-saudara seperguruanku, Pendekar Naga Putih. Dan kami telah
bertekad untuk memberantas para perempuan keparat itu. Perjalanan kami terpaksa
tertahan di Desa Lengser ini, karena ada berita yang tak kalah mengejutkan
dengan perbuatan iblis-iblis itu...," jelas Gupta tanpa diminta.
"Hm... Apa yang telah terjadi di desa ini, Gupta..."* tanya Panji dengan kening
berkerut. Tampak dia sangat tertarik untuk mengetahui berita yang dimaksud
Gupta. "Wah..., lagi-lagi kau ketinggalan berita, Pendekar Naga Putih," tukas Gupta
tertawa perlahan. "Yang kami dengar, belakangan ini telah terjadi penculikan
terhadap wanita-wanita muda. Dan, baru semalam Desa Lengser dijarah penculik-
penculik itu. Kami telah mendapatkan keterangan langsung dari Ki Lengser, kepala
desa ini."
"Ki Lengser...?" desis Panji agak heran mendengar nama penguasa yang sama dengan
desanya. "Benar. Namanya sendiri sudah dilupakan orang. Menurut sebagian penduduk, lelaki
tua yang bijaksana itu sudah tiga puluh tahun menjadi kepala desa. Di bawah
pimpinannya, desa yang semula kecil ini berkembang pesat dan cukup makmur.
Sehingga, penduduk memberikan nama Lengser untuk desa ini. Barangkali hal itu
sebagai ungkapan rasa terima kasih mereka. Dengan demikian, para warga tak akan
pernah melupakan kepala desa mereka, meskipun telah wafat nanti...," Gupta
memberi penjelasan kepada Pendekar Naga Putih, sehubungan dengan nama kepala
desa itu. "Hm...," Panji mengangguk-anggukkan kepala. Diam-diam dia merasa kagum terhadap
Gupta. Padahal lelaki gagah berkumis tipis itu baru setengah hari berada di Desa
Lengser. Namun telah demikian banyak keterangan yang didapatnya. Itu yang
membuat Pendekar Naga Putih kagum terhadap Gupta.
"Jadi, kau telah berbicara banyak dengan Ki Lengser...?" tanya Panji kemudian.
"Benar. Itu sebabnya kami berniat untuk bermalam di desa ini. Kami khawatir
kalau para penculik itu akan datang lagi," sahut Gupta dengan mata berapi-api.
Tampak Gupta sangat geram terhadap para pelaku penculikan itu.
"Hm..., jadi selain harus memberantas para perempuan keji itu, kita pun harus
menghadapi pelaku penculikan itu,.?" ujar Panji sambil menatap tajam wajah
Gupta. "Yah, begitulah...," sahut Gupta cepat.
Pendekar Naga Putih terdiam. Pandangannya dilemparkan ke luar kedai melalui
jendela yang terbuka lebar. Suasana hening seketika. Semua terdiam mengikuti
jalan pikiran masing-masing.
6 Perempuan muda itu berlari tersaruk-saruk. Langkahnya yang tidak tetap,
menandakan bahwa kaki-kaki mungil itu telah kelelahan karena berlari terlalu
jauh. Sehingga, ketika kaki kanannya terantuk batu kecil, tubuh ramping itu terhuyung
limbung. Akhirnya jatuh tersungkur mencium tanah.
Blukkk! "Ohhh...!"
Terdengar keluhan kecil dari mulutnya. Perempuan muda itu tak berusaha bangkit.
Wajahnya yang kotor tampak meringis-ringis menahan sakit. Air matanya meleleh di
pipi, sepertinya ada kesedihan yang melanda hatinya.
"Ya, Tuhan...! Kenapa tak kau cabut saja nyawaku! Aku tak sanggup menanggung
beban derita ini..," rintihan pilu yang menggambarkan penderitaan, terucap dari
mulut perempuan muda itu. Kedua tangannya memukul tanah berkali-kali. Wajahnya
menelungkup tanpa peduli tanah berdebu di jalanan itu. Entah penderitaan apa
yang membuat gadis itu demikian sedih dan putus asa.
Setelah puas menumpahkan tangis dan kegundahannya, gadis itu pun bangkit dengan
perlahan. Sepasang matanya tampak sangat sayu tanpa gairah untuk hidup.
Kakinya yang lemah itu kembali melangkah gontai tanpa semangat.
Di tepi sebuah sungai yang menjorok, langkah gadis muda itu terhenti. Wajahnya
yang basah air mata itu menengadah, menatap langit. Kemudian menatap arus air
sungai yang bergemuruh di bawahnya.
"Tidak ada gunanya lagi aku hidup...! Biarlah derita ini kubawa ke alam
keabadian..!" desis gadis itu dengan wajah pucat dan tatapan kosong.
Lama gadis berwajah cantik itu menatap sungai berarus deras di bawahnya, batu-
batu besar yang menyembul di atas permukaan air, seakan telah siap menyambut
tubuh ramping itu. Namun, gadis itu kelihatannya tak merasa gentar. Dia telah
mengambil keputusan bulat untuk mengakhiri penderitaan di tempat itu.
"Ayah...! Ibu...!" desahnya dengan air mata bercucuran. "Ampunilah anakmu...!"
Usai berkata demikian, matanya dipejamkan rapat-rapat. Seakan-akan dirinya telah
siap untuk melompat ke bawah, tempat batu-batu besar itu siap menyambut
tubuhnya. "Jangan lakukan perbuatan bodoh itu, Adik Manis...!"
Tiba-tiba terdengar suara teguran halus. Belum juga gadis itu menoleh, tubuhnya
tertarik ke belakang. Sepasang tangan halus terasa menyentaknya dengan kuat.
Sehingga tubuh gadis itu terhempas ke atas rerumputan.
"Akh...!"
Gadis muda berwajah manis itu menjerit kecil. Sepasang matanya tampak
menyiratkan keterkejutan dan marah. Sebelum bangkit, kepalanya didongakkan
menatap sosok yang telah berani mencegah perbuatannya.
Kilat kemarahan di mata gadis itu seketika berubah keheranan. Karena dilihatnya
ada dua orang wanita cantik berpakaian merah muda tengah berdiri tegak di
sampingnya. Wajah kedua wanita itu tampak sangat ramah dan terhias senyum manis.
"Siapa kalian..." Mengapa menghalangiku...?" tanya gadis manis itu dengan mata
menatap keduanya. Setelah itu dia bangkit tanpa melepaskan pandang matanya dari
wajah kedua perempuan cantik berpakaian merah muda itu.
"Kau tidak perlu takut kepada kami, Adik Manis! Kami berdua justru hendak
menolongmu. Ceritakanlah, apa yang membuatmu berduka hati, lalu hendak bunuh
diri seperti itu" Kami siap membantumu...."
Salah seorang dari wanita muda berwajah cantik itu menyahuti. Suaranya terdengar
lembut. Seolah dia benar-benar hendak menolong dengan hati yang tulus.
"Kalian hendak menolongku" Mengapa..." Untuk apa kalian tahu tentang
penderitaanku...?" tukas gadis itu dengan nada melecehkan. Seakan-akan hatinya
tak percaya ada orang yang peduli dengan penderitaannya. Lebih-lebih kedua orang
itu wanita, seperti dirinya.
"Kami berdua merasa iba melihat kesedihanmu. Dan untuk menolongmu, tentu saja
kami harus mengetahui penyebab penderitaanmu itu," sahut perempuan berpakaian
merah muda yang memiliki tahi lalat di tepi bibir kanannya. Sedang perempuan
yang satu lagi hanya diam mendengarkan.
"Bagaimana kalian dapat menolongku?" tanya gadis itu masih tidak percaya.
Kemudian ditatapnya kedua perempuan berpakaian merah muda itu dengan penuh
selidik. "Apakah kalian peri sungai ini?"
Mendengar pertanyaan itu, perempuan cantik yang bertahi lalat tertawa perlahan.
Sedangkan perempuan yang lain menahan senyum. Pertanyaan itu mereka anggap lucu.
"Dengarlah, Adik Manis," ujar perempuan cantik bertahi lalat yang ternyata
Ningrum. "Hhh..., kami bukan peri sungai ini, tapi percayalah, kami dapat
menolongmu! Katakan apa yang harus kami lakukan untuk melenyapkan penderitaanmu?"
"Hm..., apa yang dapat dilakukan perempuan-perempuan cantik dan lemah seperti
kalian...?" tanya gadis muda itu dengan senyum tipis di mulutnya. Tampaknya dia
belum percaya kemampuan kedua perempuan cantik di hadapannya.
"Banyak yang bisa kami lakukan," sahut Ningrum tersenyum. "Contohnya ini...!"
Setelah berkata demikian, Ningrum mengayunkan lengannya. Dan....
Whuuut! Crab...!
Seketika beberapa batang pohon pisang yang berada sekitar tiga tombak dari
mereka bertumbangan laksana tertebas pedang.
"Akh..."!"
Gadis desa yang berwajah manis itu terpekik kaget. Matanya terbelalak hampir tak
percaya menyaksikan kejadian itu. Betapa tidak! Tangan halus lembut perempuan
berpakaian merah muda itu ternyata mampu menebas beberapa batang pohon dalam
sekali gerakan cepat.
"Bagaimana" Apa kau masih belum percaya kalau kami dapat menolongmu...?"
tanya Ningrum seraya tersenyum sinis.
"Tapi..., dengan apa nanti aku harus membalas pertolongan yang kalian
berikan...,"
tanya gadis desa itu bimbang. Hatinya sudah percaya penuh, kalau kedua perempuan
itu dapat menolongnya. Hanya dia masih meragukan balasan atas jasaa perempuan-
perempuan cantik itu kelak.
"Hi hi hi...!" Ningrum tertawa perlahan, membuat gadis manis itu heran. "Kenapa
harus membalas, Adik Manis" Hm.... Jika segalanya telah selesai, ikutlah
bergabung dengan kami..!"
"Bergabung...?" tanya gadis desa itu agak heran.
"Benar, Adik Manis. Dan aku yakin kau pasti akan senang. Karena di tempat
tinggal kami, kau akan mempunyai banyak teman. Mereka perempuan-perempuan seusia
kita. Selain itu pada mulanya mereka mempunyai penderitaan sama seperti dirimu.
Bagaimana" Bersedia...?" tanya perempuan cantik, kawan Ningrum.
"Mereka semuanya perempuan...?" tanya gadis desa itu menegasi. Karena seakan
belum percaya kalau di dunia ini begitu banyak wanita yang menderita dan
berkumpul di suatu tempat.
"Benar. Apa yang dikatakan Wilasih benar...," sahut Ningrum menimpali ucapan
kawannya yang ternyata bernama Wilasih.
"Dan tempat tinggal kami berada di sebuah lembah yang bernama Lembah Hitam,"
Wilasih kembali menyahut sebelum gadis desa itu menanyakannya. "Tapi jangan kau
salah mengartikan Lembah Hitam yang kami maksud, bukanlah tempat perempuan-
perempuan kotor."
"Pada mulanya kami pun merupakan perempuan-perempuan lemah yang
menderita. Namun, setelah sekian tahun dididik tetua kami, hasilnya seperti yang
kau saksikan tadi. Padahal itu belum seberapa. Masih banyak yang dapat kami
perbuat selain mematahkan batang pohon itu," jelas Ningrum menambahkan.
Mendengar penjelasan kedua perempuan cantik berpakaian merah muda itu, gadis
desa itu jadi tertarik.
"Eh, apakah kalian berdua juga disakiti laki-laki...?" tanya gadis desa itu
seraya menatap wajah Ningrum dan Wilasih yang juga menatapnya.
"Benar," sahut Ningrum cepat "Dan pertanyaanmu itu secara tak sengaja telah
menjawab pertanyaan kami tadi. Sekarang ceritakanlah! Bagaimana sampai kau bisa
disakiti laki-laki...?"
"Mulanya aku tidak menyangka kalau Sidanta akan sejahat itu. Kebusukan hatinya
baru kuketahui setelah dia mengambil dan menikmati tubuhku. Padahal aku begitu
mencintainya. Tapi, setelah kesucianku dilahapnya dengan rakus, tahu-tahu dia
akan menikah dengan seorang putri juragan kaya di desa lain.... Aku hanya bisa
menangis ketika mendengar berita itu. Diriku dicampakkan begitu saja bagai
seonggok sampah!"
jelas gadis desa yang malang itu membeberkan penyebab penderitaannya. Air
matanya kembali mengalir ketika teringat pengkhianatan kekasihnya.
"Hm.... Sungguh malang nasibmu. Adik Manis! Sekarang, katakan di mana pemuda
keparat bernama Sidanta itu tinggal" Kami akan menyeretnya ke hadapanmu! Setelah
puas menyiksanya, baru kita membunuhnya..!" tukas Ningrum dengan mata berapi-
api. Tampak sinar dendam dalam tatapan matanya yang tajam. Wanita cantik itu berubah
dingin dan seakan menebarkan hawa maut.
"Sidanta tinggal satu desa denganku. Dia anak seorang juragan kaya yang banyak
mempunyai tukang pukul. Mereka bengis-bengis dan memiliki kepandaian silat..,"
jawab gadis desa itu menerangkan dengan suara takut-takut. Seakan hatinya merasa
gentar ketika melihat wajah kedua perempuan cantik itu berubah bengis dan
menyeramkan. "Hm..., kau tunggulah di sini! Kami akan segera menyeret pemuda keparat itu ke


Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat ini..," ujar Ningrum yang segera memberikan isyarat kepada Wilasih untuk
segera pergi. "Tapi, bagaimana denganku" Aku takut ditinggal sendiri di tempat ini..?" ujar
gadis desa itu sembari mengawasi sekelilingnya yang sepi.
Semula Ningrum dan Wilasih agak kebingungan. Namun wajah mereka berubah ketika
melihat adanya sesosok bayangan merah tengah bergerak menuju tempat itu.
"Jangan khawatir! Kau akan ditemani kawan kami. Itu dia datang!" ujar Ningrum
sambil menunjuk sosok bayangan itu.
Tidak lama kemudian, sosok bayangan merah muda itu tiba. Kelihatannya perempuan
itu sama sekali tak merasa heran menemukan adanya seorang gadis desa berwajah
manis. "Jagalah gadis ini! Kami berdua melakukan 'tugas'," ujar Ningrum setengah
memerintah. "Baik," sahut perempuan cantik yang baru tiba itu. Seakan dia telah mengerti apa
yang dimaksud 'tugas' oleh Ningrum. Sehingga tidak banyak bertanya lagi.
Setelah berpesan, Ningrum mengajak Wilasih segera meninggalkan tempat itu.
Dengan mengerahkan ilmu lari cepat yang tinggi, kedua perempuan cantik itu
melesat. Sebentar saja yang tampak hanya dua soosk bayangan kemerahan di kejauhan.
*** Desa Tiram tampak tidak begitu ramai ketika Ningrum dan Wilasih melintas di
jalan utama yang membelah desa itu. Beberapa penduduk yang sempat berpapasan
dengan mereka menggeleng-geleng kagum. Hal itu tak aneh. Kedua perempuan itu
memang cantik. Apalagi pakaian merah muda yang dikenakan, membuat kulit lengan
dan wajah mereka tampak semakin putih. Sehingga, sosok kedua perempuan itu cukup
menarik perhatian kaum lelaki.
Ningrum dan Wilasih sama sekali tidak peduli. Mereka terus melangkah dengan
tatapan lurus ke depan. Wajah-wajah dingin tanpa senyum itu membuat orang merasa
segan untuk menegur. Sehingga, keduanya tak mendapat hambatan untuk segera
Suramnya Bayang Bayang 32 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Iblis Pulau Hantu 2
^