Terjebak Di Perut Bumi 1
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi Bagian 1
TERJEBAK DI PERUT BUMI Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Terjebak di Perut Bumi
136 hal. ; 12 x 18 cm
1 "Hua ha ha...!"
Terdengar suara tawa berat yang menggema dan
memenuhi wilayah Hutan Sindang. Di antara derai ta-
wa yang bagaikan tak pernah habis, terselip isak tan-
gis seorang wanita yang terdengar demikian lemah dan
tak berdaya. "Cup..., cup.... Sudah jangan menangis lagi, manis.
Jangan khawatir, kau akan kujadikan anakku yang
paling tersayang... "
Kembali suara berat yang parau itu terdengar ber-
gema memenuhi daerah Barat Hutan Sindang.
"Nah, kita sudah sampai...," kata seorang lelaki berwajah brewok dengan dada
telanjang. Rambut laki-laki itu panjang, hingga melewati ba-
hu. Bahkan dibiarkan menjuntai, hingga menutupi se-
bagian wajahnya. Di bahu kanannya tampak sesosok
tubuh ramping tak berdaya dalam dekapan tangannya
yang berbulu kasar.
"Jangan...! Aku tidak mau...! Tolooong...!"
Ketika mendengar lelaki brewok itu berkata telah
sampai di tempatnya, gadis desa yang hanya me-
ngenakan kain sebatas dada itu kembali meronta.
Bahkan berteriak-teriak ketakutan.
"Hus..., hus.... Jangan ribut. Nanti kalau sampai anakku yang lain melihat,
mereka tentu akan merasa
iri dan marah kepadamu," desis bibir tebal yang tersembunyi di balik brewok tak
terurus itu. Nada bicara dan tingkah laki-laki kasar itu persis
seperti seorang bapak yang tengah membujuk anak-
nya. Tangan yang kekar, dan berbulu menepuk lembut
pantat gadis itu. Sepertinya lelaki brewok itu tidak wa-
ras. Namun, gadis desa itu sama sekali tidak perduli. la malah semakin keras
berteriak-teriak ketakutan. Rasa
takut yang hebat dalam dirinya, membuatnya nekad
menggigit bahu lelaki raksasa itu.
"Hihhh...!"
"Aakkhh...!?"
Terkejut juga lelaki kasar itu, karena tidak me-
nyangka kalau tangkapannya akan melakukan hal itu
terhadapnya. Kekagetan itu, membuat dekapannya se-
ketika mengendor. Wajahnya tampak agak meringis,
merasakan nyeri akibat gigitan gadis desa itu.
"Haii..."!"
Rasa terkejut lelaki brewok yang persis orang hu-
tan itu semakin bertambah-tambah. Sebab pada saat
dekapannya mengendor, tahu-tahu saja gadis desa
yang nekad itu melorot turun. Begitu merasa terbebas, gadis berkulit kuning
langsat itu bergerak melarikan
diri ke dalam hutan.
"Hua ha ha... Bagus.... Aku suka sekali main petak umpet. Ayo, anakku cantik.
Bersembunyilah. Nanti
aku akan mencarimu sampai ketemu...."
Dasar orang gila! Melihat tawanannya lari, lelaki
brewok itu malah tertawa-tawa kegirangan. Bahkan
menganggap gadis desa itu sengaja mengajaknya ber-
main petak umpet. Benar-benar sinting!
Tanpa memperdulikan gadis desa yang terus me-
larikan diri menyusup semak-semak, lelaki kasar ber-
usia sekitar lima puluh tahun itu meraba pinggang-
nya. Sebentar kemudian, tampaklah sebuah guci kecil
tempat menyimpan arak. Semakin jelas sudah. Selain
sinting, lelaki kasar itu pun seorang pemabukan.
Cegluk... cegluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak di dalam guci
kecil itu masuk melewati kerongkongannya. Sepasang
mata orang tua gila dan pemabukan itu tampak me-
rem-melek, seperti tengah menghayati nikmatnya bu-
tir-butir arak yang melintasi kerongkongan.
"He he he he.... Nikmaaattt...."
Sambil menjilati bibir, orang tua itu terkekeh. Ke-
mudian dia melangkah bergoyang-goyang. Sepertinya,
ia telah lupa pada tawanannya yang melarikan diri itu.
Tapi ternyata meskipun terlihat agak sinting, pe-
mabukan, dan sedikit pikun, orang tua brewokan ber-
penampilan kumuh itu sama sekali tidak lupa pada
tawanannya yang kabur. Buktinya, dia mulai melang-
kah ke dalam hutan setelah mengembalikan guci arak
ke pinggangnya. Meskipun langkahnya terlihat agak
sempoyongan seperti orang akan jatuh, tapi dia terus
saja melangkah ke dalam hutan.
"Yaaahhh.... Cah ayo cah, di mana kau sembu-
nyi..." Dasar sinting! Sambil melangkah diselingi lom-
patan-lompatan kecil, orang tua itu bernyanyi-nyanyi
sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan ting-
kah lucu. Bahkan terkadang berhenti, hanya untuk
memutar badannya seperti seorang penari. Benar-
benar edan! Setelah kurang lebih dua puluh lima tombak, men-
dadak orang tua sinting itu menghentikan langkahnya
dengan kening berkerut. Kemudian dengan lagak se-
perti seekor anjing, hidungnya mengendus-endus.
"Hayaaa...! Dasar binatang kurang ajar, tidak tahu diri. Apa tidak ada tempat
lain untuk membuang kotoran...."
Orang tua sinting itu mengomel panjang-pendek
sambil berjingkat-jingkat, sambil memijat hidungnya
yang berbentuk seperti tomat. Rupanya, telapak kaki-
nya yang telanjang menginjak kotoran binatang yang
kebetulan masih baru dan hangat. Sambil tidak henti-
hentinya mengomel, dia kembali melanjutkan pencari-
annya dengan tidak terburu-buru. Sepertinya, ia sama
sekali tidak merasa khawatir akan kehilangan bu-
ruannya. *** Sementara itu, gadis desa yang terus melarikan diri
tanpa tujuan, sudah tidak karuan lagi kain yang dike-
nakannya. Di sana-sini telah robek, tersangkut dahan
atau semak berduri. Meskipun kakinya ter-gores di sa-
na-sini hingga meneteskan darah, tapi gadis desa itu
tidak memperdulikannya. Yang ada dalam pikirannya
saat itu adalah melarikan diri sejauh-jauhnya.
"Ooohhh...."
Untuk yang kesekian kalinya, gadis desa itu kem-
bali terhumbalang jatuh akibat akar pohon yang mun-
cul di permukaan tanah. Tubuhnya terguling-guling ke
bawah, karena tanah di depannya agak menurun.
Begitu luncuran tubuhnya terhenti, gadis desa
yang keras hati itu berusaha bangkit, meski dengan
wajah menyeringai. Tak diperdulikannya tambahan lu-
ka memar yang diderita, dan kembali berlari dengan
napas bagaikan kuda pacu.
Graauurrhhh...!
Tiba-tiba saja terdengar raungan keras yang bagai
hendak merontokkan jantung. Suara auman harimau
yang menggetar di tengah hutan, membuat langkah
gadis itu terhenti seketika. Dia menoleh ke kiri-kanan dengan wajah pucat, dan
tubuh menggigil ketakutan!
"Ohhh..."!"
Gadis desa itu menyumbat mulutnya dengan jari-
jari tangan, sehingga pekikan suaranya agak tertahan.
Wajahnya tampak sudah demikian pucat, bagai tak di-
aliri darah. Sedangkan kedua kakinya menggigil, se-
perti tak sanggup menahan bobot tubuhnya.
Graurhhh...! Harimau belang yang tiba-tiba saja muncul di de-
pan gadis itu dalam jarak lima tombak lebih, benar-
benar membuat nafasnya seperti putus. Dan ketika
harimau buas itu kembali mengaum sambil memper-
lihatkan taring-taringnya, gadis desa itu sudah tidak sanggup berdiri lagi.
Tubuhnya melorot jatuh, ber-sandarkan sebatang pohon sambil memandang dengan
tubuh gemetaran.
Dengan langkah satu-satu, harimau berumur cu-
kup tua itu melangkah ke arah mangsanya. Sesekali
langkahnya terhenti, lalu menggereng memperlihatkan
taringnya. Sikapnya jelas sangat waspada, dan penuh
kehati-hatian. Sepertinya, harimau itu hendak melihat apa yang akan diperbuat
calon korbannya.
Grrrhhh....! Setelah jarak antara mereka tinggal kira-kira dua
tombak, harimau itu tampak berhenti. Kemudian bina-
tang buas itu, duduk menatap gadis desa yang hampir
mati karena ketakutan. Dan diiringi raungan panjang,
tubuh harimau itu melesat dengan kuku kaki depan
siap merencah tubuh korbannya.
Graunggg...! "Auuuwww....!"
Gadis desa itu berteriak ngeri ketika terkaman ha-
rimau belang datang mengancamnya. Dan karena rasa
ngeri yang hebat, gadis desa itu menyembunyikan wa-
jahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya merungkut
dengan kedua kaki terlipat.
Deeesss! Graunggg...! Gusraaakkk...! Tiba-tiba saja, gadis itu merasa heran ketika men-
dengar raung kesakitan dari si raja hutan. Bahkan da-
danya sempat berdebar tegang, ketika juga ter-dengar
suara berdebuk yang menandakan jatuhnya sebuah
benda berat. Namun, gadis desa yang semula ingin mengetahui
apa sebenarnya yang telah terjadi terhadap harimau
buas tadi, jadi terpekik kaget. Hal itu terjadi ketika terdengar suara terkekeh
yang teramat dikenalnya.
"He he he...! Ayo, Belang. Kau ingin bermain-main dengan majikanmu. He he he....
Jangan takut. Aku tidak suka dagingmu yang alot itu. Tapi yang ku ingin-
kan justru daging muda yang hendak kau santap. Ta-
hukah kau, daging muda itu milikku...?"
Seorang lelaki tua brewokan yang berdirinya ber-
goyang-goyang, mengomel panjang-pendek kepada ha-
rimau itu. Rupanya, orang tua sinting inilah yang me-
nyelamatkan nyawa gadis desa itu dari kematian.
Harimau jantan berumur tua itu menggerang,
memperlihatkan taringnya yang tajam berkilat. Wa-
laupun begitu, si Raja Hutan ini sama sekali tidak berusaha maju. Sepertinya,
hajaran orang tua sinting
pemabukan tadi cukup dirasakannya. Sehingga bina-
tang buas ini agak berhati-hati dalam menerima tan-
tangan orang tua sinting itu.
"He he he,..! Kau takut, Belang" Atau ingin minta bagian dariku...?" tanya orang
tua sinting itu yang kini malah berjongkok sambil mengganjal dagunya dengan
sebelah tangan.
Sikap orang itu benar-benar berbahaya sekali. Se-
bab, apabila Si Raja Hutan itu menerkam, akan sulit
rasanya untuk menghindar dalam keadaan seperti itu.
Tapi, nampaknya orang tua sinting itu sama sekali ti-
dak merasa khawatir.
Harimau jantan bertubuh besar ini menjilat-jilat
bibirnya, seolah-olah tengah memikirkan tawaran lela-
ki brewok yang tidak waras itu. Kemudian dia mengge-
reng dengan kepala tegak.
"Eh" Kau ingin merebutnya..." Oho..., tentu saja boleh. Tapi, kau harus
merebutnya secara jantan,
ya....?" ujar orang tua sinting itu, seolah-olah mengerti isyarat sang Raja
Hutan. Tampak orang tua itu bangkit berdiri, dan memun-
gut sebatang ranting sebesar ibu jari tangan.
Wuuut! Wuuuttt..!
Bagaikan orang yang tengah mencoba kekuatan-
nya, si pemabuk sinting itu memukul-mukulkan rant-
ing kayu yang dipungutnya ke udara berkali-kali.
"He he he.... Bagus.... Cukup baik, cukup baik...,"
desis orang tua sinting itu berulang-ulang sambil kembali mengebut-ngebutkan
ranting kayu di tangannya.
Kemudian, dia berdiri tegak menanti harimau itu ber-
gerak maju. Tapi sampai beberapa saat lamanya, Raja Hutan
itu sama sekali tidak menampakkan tanda-tanda me-
nyerang. Binatang buas itu hanya berputar-putar ke
kiri dan kanan, sambil menggereng mempertunjukkan
taringnya yang runcing.
"Oooh! Rupanya kau tidak ingin memulai" Baiklah.
Kalau begitu, aku yang akan membuka serangan. Ber-
siaplah, Belang...," ujar orang tua sinting itu. Rupa-nya dia memang telah cukup
mengerti tingkah laku para
penghuni Hutan Sindang. Apalagi, ia pun merupakan
salah satu penghuni hutan itu.
Sebenarnya orang tua gila pemabukan yang terlihat
lucu itu tidaklah semenarik tingkahnya. Pada dasar-
nya, sifatnya keji dan tidak mengenal kasihan dan am-
pun. Meskipun tingkahnya terlihat lucu dan aneh, tapi orang tua itu adalah
seorang tokoh sesat yang sangat
ditakuti. Banyak sudah perbuatannya yang dikutuk
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaum rimba persilatan. Tapi, siapa pula yang berani
mencegah kekejamannya" Bahkan tidak sedikit pen-
dekar tua dan muda yang datang hanya untuk men-
gantar nyawa kepada orang tua itu. Sehingga lama-
kelamaan, nyali kaum persilatan pun mulai mengen-
dor. Jarang ada yang berani menghalangi per-buatan
tokoh sinting pemabukan itu.
Belakangan ini, tokoh sinting yang dijuluki Pema-
buk Berhati Iblis itu kembali melakukan serangkaian
kejahatan. Entah, sudah berapa puluh nyawa yang
terbang akibat tangannya yang telengas. Dan, gadis
desa itu merupakan kejahatan terakhir yang baru saja
dilakukannya. "Hiaaahhh...!"
Orang tua sinting yang berjuluk si Pemabuk Berha-
ti Iblis tampak bergerak maju dengan langkah goyah.
Tapi, gerakannya justru sangat hebat dan membin-
gungkan. Tubuh dan kakinya yang bergoyang-goyang
membuat orang sulit menebak, apakah orang sinting
itu hendak maju atau mundur.
Demikian pula halnya si Raja Hutan. Melihat tubuh
lawannya yang bergerak maju bagaikan malas-
malasan, membuat kepala binatang itu menggeleng
seolah merasa pusing melihat tingkah lawannya.
"He he he...! Bodoh kau, Belang. Awas kepala-
mu...." Sambil bergerak mundur maju dengan langkah
goyah, Pemabuk Berhati Iblis menggerakkan ranting
kayu di tangan kanannya dengan kecepatan meng-
getarkan. Bukkk! Grauuung. .! Sang Raja Hutan meraung kesakitan! Lecutan rant-
ing sebesar ibu jari tangan itu terasa bagaikan hantaman sebatang besi pada
kepalanya. Karuan saja bina-
tang buas itu langsung menggelepar dengan ke-pala
retak. Benar-benar ganas serangan yang dilancar-kan
orang tua sinting itu. Sekali hajar saja, langsung membuat harimau tewas!
"He he he...! Lihat, anakku. Binatang yang mena-
kut-nakuti mu itu sudah tidur pulas. Rupanya, ia lelah dan mengantuk setelah
menggerung-gerung kelaparan.
Ayo, bangun manis. Man kita pulang...," ujar Pemabuk Berhati Iblis itu melangkah
maju dan berjongkok
membelai punggung gadis desa yang ketakutan.
"Ohhh...!"
Gadis desa itu merenggutkan tubuhnya ketika me-
rasakan jari-jari tangan kasar itu merayap ke belahan dadanya yang membusung
indah. Segera saja ia bangkit, dan berlari tanpa memperdulikan arah yang di-
tempuh. "He he he.... Jadi kau hendak kembali ke tempat-
ku...?" Suara Pemabuk Berhati Iblis membuat langkah ga-
dis itu langsung terhenti. Jelas, ia merasa terkejut
mendengar ucapan tadi. Dan apa yang dikatakan
orang tua sinting itu memang benar. Dia justru berlari ke arah semula
"Ohhh..." desah gadis desa itu, menahan tangisnya.
Ia berdiri menatap Pemabuk Berhati Iblis dengan sinar mata memelas mohon
diampuni dan dilepaskan.
"He he he.... Kau benar-benar binal dan meng-
gairahkan, Anakku. Ayo, kemarilah. Jangan takut...,"
rayu Pemabuk Berhati Iblis.
Kini orang tua sinting itu bergerak maju mendekati
si gadis. Dan gerakannya yang sempoyongan itu benar-
benar hebat dan mengejutkan. Sebab, tahu-tahu saja
sepasang lengannya telah memeluk tubuh gadis desa
itu. Padahal, jarak di antara mereka tadi masih sekitar dua tombak lebih. Tentu
saja hal itu menunjukkan kalau ilmu meringankan tubuh si Pemabuk Berhati Iblis
memang sangat hebat.
Gadis desa ini hanya bisa menangis saat lelaki
berwatak sinting itu mencium wajahnya. Sepertinya,
semua tingkah dan kenekatannya tadi semakin mem-
buat Pemabuk Berhati Iblis merasa semakin terang-
sang. Sehingga, tanpa sabar lagi segera saja diterkamnya tubuh gadis itu.
Namun, nasib baik rupanya masih tetap menaungi
gadis desa itu. Pada saat lelaki sinting itu semakin
buas, terdengar sebuah bentakan nyaring yang me-
ngejutkan. Bahkan bentakan itu masih dibarengi se-
buah tangan yang mencengkram. Malah tubuh lelaki
bercambang bauk yang tengah menggumuli gadis itu
langsung dilemparkan.
"Ahhh...!?"
Tentu saja kejadian yang sangat tiba-tiba itu mem-
buat Pemabuk Berhati Iblis terpekik kaget! Sebab sebelum ia menyadari, tahu-tahu
saja tubuhnya terasa me-
layang ke udara! Untunglah orang tua sinting itu san-
gat sigap. Maka segera saja ia berputar beberapa kali di udara, sebelum mendarat
selamat di tanah.
"Setan alas! Dedemit busuk! Hantu sundal...!" Pemabuk Berhati Iblis mencak-
mencak bagaikan cacing
kepanasan. Kali ini ia benar-benar marah, karena ada
orang yang berani mengganggu kese-nangannya.
*** 2 Sementara, di depan gadis desa itu telah berdiri
seorang pemuda tampan berjubah putih. Dengan sikap
tenang tanpa memperdulikan kemarahan lelaki brewok
sinting di hadapannya, gadis desa itu ditarik agar
bangkit. Sebenarnya bukan main dongkolnya hati Pemabuk
Berhati Iblis. Tapi karena tingkahnya seperti orang
mabuk, atau tidak waras, maka kemarahan yang di-
perlihatkannya nampak lucu.
Pemuda tampan berjubah putih yang melihat lelaki
sinting pemabuk itu seperti tengah bersiap untuk me-
nyerang, segera saja mengangkat tangan kanannya
sambil berseru nyaring.
'Tunggu...!"
"Ehhh..."!" lelaki sinting berperawakan gemuk seperti orang hutan itu menahan
langkah dengan wajah
bingung. "Apa..., apa kau bilang barusan...?"
"Kubilang tunggu dulu. Pemabuk. Apa kau sudah
tuli, karena jarang bergaul dengan manusia...?" tegas pemuda tampan berjubah
putih dengan wajah tetap
tenang. Tenang sekali pemuda itu melepaskan jubah luar-
nya, lalu diserahkan kepada gadis desa yang kainnya
memang sudah tidak patut dikenakan ini.
"Aku..." Berhenti...?" ulang Pemabuk Berhati Iblis sambil menunjuk ujung
hidungnya sendiri dengan wajah ketololan.
Sepertinya, ia merasa heran karena ada seorang
pemuda yang pantas menjadi anaknya, begitu berani
mati menyuruhnya berhenti.
"Ya. Kau, orang tua sinting! Bukankah kau yang
berjuluk Pemabuk Berhati Iblis" Nah! Kalau benar,
berhentilah. Aku ingin bicara denganmu...," tegas pemuda tampan itu lagi tanpa
memperdulikan sikap lucu
dan ketololan lelaki sinting dihadapannya.
"He he he.... Lucu! Benar-benar lucu. Padahal, aku seorang iblis kejam yang
banyak ditakuti orang-orang
sakti. Tapi ternyata masih ada yang berani memerin-
tah. Benar-benar aneh dunia ini. Padahal para tokoh
tua banyak yang lari terbirit-birit bila bertemu denganku. Tapi ternyata pemuda
yang pantas menjadi anakku
ini, memiliki hati macan...."
Pemabuk Berhati Iblis tergelak-gelak sambil meme-
gangi perutnya. Dalam keadaan seperti itu, orang tentu tidak akan percaya kalau
orang tua ini memiliki otak
yang tidak waras. Sebab, ucapannya demikian rapi ti-
dak ubahnya orang waras.
Pemuda berjubah putih itu sendiri sempat me-
ngerutkan kening mendengar ucapan Pemabuk Berhati
Iblis. Dengan pandangan curiga, ditatapnya wajah Pe-
mabuk Berhati Iblis dengan teliti. Seolah-olah ingin diketahui apakah orang tua
itu memang tidak waras,
atau sengaja berpura-pura gila"
"Pemabuk Berhati Iblis, dengarlah kata-kataku,"
ujar pemuda berjubah putih itu bernada agak keras.
Hal itu dilakukan untuk memancing perhatian orang
sinting ini. "Perbuatanmu selama ini sudah keter-laluan, dan tidak bisa lagi
dimaafkan! Tanganmu telah dilumuri darah korban-korbanmu yang. tidak berdosa.
Sekarang kuminta ketegasan mu. Hentikan perbuatan-
perbuatan jahatmu, atau terpaksa aku yang harus
menghentikannya...."
"Ha..."!"
Pemabuk Berhati Iblis terbelalak kaget bagai tidak
percaya dengan apa yang didengarnya. Dengan lagak
bodoh, dia pura-pura mengorek telinganya seolah-olah
ucapan pemuda tampan berjubah putih itu kurang be-
gitu jelas. "Coba ulangi ucapanmu tadi, Bocah bagus?" pinta
Pemabuk Berhati Iblis sambil menelengkan kepalanya
seperti ingin mendengarkan lebih jelas. Tentu saja hal itu dilakukan hanya untuk
mengejek. "Hm..., dengarlah baik-baik. Aku, Pendekar Naga Putih memperingatkan agar kau
menghentikan semua
perbuatan jahatmu selama ini. Jika tidak, akulah yang akan menghentikan mu!"
Terdengar jawaban tegas dan mengandung per-
bawa menggetarkan dari pemuda tampan itu. Rupa-
nya, pemuda tampan yang mengaku berjuluk Pendekar
Naga Putih tidak suka dipandang rendah sedemikian
rupa oleh Pemabuk Berhati Iblis. Sehingga julukannya
terpaksa disebutkan untuk memancing perhatian to-
koh sesat itu. Pengakuan pemuda berjubah putih berwajah tam-
pan itu, ternyata sangat manjur. Mendengar julukan
Pendekar Naga Putih, Pemabuk Berhati Iblis langsung
saja terbelalak. Jelas sekali wajah orang sinting itu menampilkan keterkejutan
yang sangat "Benar.... Kau pastilah Pendekar Naga Putih...," desis lelaki tua pemabukan itu
sambil menatap Panji
dengan sepasang mata yang bergerak liar.
"Hm..,. Hari ini kau telah membantai habis sebuah keluarga petani yang tak
berdosa hanya untuk menculik anak gadisnya. Sadarkah kau, bahwa perbuatan
itu sangat keji dan dikutuk orang...?" lanjut Panji. Suaranya yang mantap dan
mengandung perbawa, mem-
buat orang tua sinting itu segera tersadar.
"He he he.... Ya..., ya. Aku memang selalu me-
lakukan perbuatan jahat. Karena semakin banyak ber-
buat kejahatan, tentu orang akan semakin takut kepa-
daku. Ya... ya.... Aku adalah Pemabuk Berhati Iblis si Raja Kejahatan...."
Kegilaan lelaki pemabuk itu rupanya timbul kem-
bali. Terdengarlah ucapan-ucapan ngawur yang tidak
beraturan. Panji yang sudah tidak ingin memper-
panjang urusan pembicaraan kosong itu, segera saja
melompat ke arah lawannya. Kedua kakinya meng-
injak tanah, tepat satu tombak di hadapan orang tua
itu. Pemabuk Berhati Iblis yang mengira pemuda itu telah mulai membuka serangan,
segera saja merendah-
kan tubuhnya sambil mendorong sepasang telapak
tangannya ke depan.
"Whuttt...!"
Serangkum angin kuat, berhembus seiring ter-
dorongnya sepasang telapak Pemabuk Berhati Iblis.
"Hm...," gumam Panji tak jelas. Segera Pendekar Naga Putih menggeser tubuhnya ke
samping kanan dengan kuda-kuda rendah, sehingga angin pukulan
berbau amis itu lewat di sampingnya.
"Ilmu 'Pukulan Katak Beracun'...!" desis Pendekar Naga Putih. Panji memang
langsung mengenali ilmu
pukulan tenaga dalam orang tua sinting itu. Diam-
diam Pendekar Naga Putih terkejut juga melihat orang
tua sinting itu memiliki ilmu pukulan hebat, dan ja-
rang terdapat dalam dunia persilatan.
Pemabuk Berhati Iblis rupanya tidak hanya ber-
henti sampai di situ saja. Begitu melihat Pendekar Na-ga Putih dapat menghindari
pukulan jarak jauh-nya,
tokoh berotak miring itu segera saja melesat seperti
seekor katak melompat.
Bweeettt...! . Pemabuk Berhati Iblis segera menyambar seperti
seekor katak melompat.
Bweeettt...! Pendekar Naga Putih pun menggeser tubuhnya ke
kiri, menghindari sambaran cakar lawan yang me-
ngandung racun itu!
Pendekar Naga Putih kembali menggeser tubuh-
nya, menghindari sambaran cakar lawan yang me-
ngandung racun. Hal itu baru disadari ketika merasa-
kan hawa yang menyambar lewat dekat tubuhnya.
"Yiaaahhh...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, bergegas pe-
muda itu memutar tubuhnya dengan sebuah lom-
patan. Bahkan sekaligus melepaskan sebuah tenda-
ngan kilat! Sehingga, Pemabuk Berhati Iblis yang baru saja menjejakkan kaki dan
tangannya di tanah langsung kembali melompat menghindar. Pertarungan pun
semakin seru ketika Pemabuk Berhati Iblis mulai me-
lancarkan serangan-serangan gencar. Tapi, Pendekar
Naga Putih hanya melayani dengan 'Ilmu Naga Sakti'
yang juga menjadi andalannya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Ketika pertaru-
ngan menginjak jurus yang keempat puluh, terlihat Pe-
mabuk Berhati Iblis mulai merubah gerakan-gerakan-
nya. Gerak langkahnya tampak tidak teratur dan ber-
goyang-goyang. Sesekali orang tua sinting itu meneguk araknya, sambil terus
mengelak dan membalas serangan Pendekar Naga Putih dengan gerakan terpatah-
patah dan perubahan-perubahan yang mengejutkan!
"Hiaikkkhhh...!"
Tak ubahnya seperti seorang pemabuk tulen, ter-
kadang orang sinting itu seolah-olah bergerak seperti hendak terjatuh. Namun
dalam gerakan-gerakan itu
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersembunyi serangan-serangan cepat dan mengejut-
kan! Sehingga, Pendekar Naga Putih yang baru kali ini
menghadapi ilmu itu, cukup dibuat kerepotan untuk
beberapa jurus lamanya.
Tapi sebagai seorang pendekar yang telah banyak
mengalami pertempuran maut, tentu saja Pendekar
Naga Putih segera dapat menemukan kelemahan ilmu
silat lawannya. Dengan cerdiknya, Panji ikut bergerak mengikuti irama langkah
dan tubuh lawannya. Sehingga, Pemabuk Berhati Iblis sempat dibuat ter-
cengang oleh kecerdikan pemuda itu dalam mencari
kelemahan ilmunya.
"Heaaahhh...!"
Ketika pertarungan mulai menginjak jurus yang ke-
lima puluh lima, terlihat Pendekar Naga Putih mulai
melakukan tekanan-tekanan berat pada lawan. Lapi-
san kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti
tubuhnya selalu dapat memukul balik lontaran puku-
lan beracun lawan. Tentu saja racun Pemabuk Berhati
Iblis yang memang bersifat dingin, tidak mampu me-
nembus pertahanan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
yang juga memiliki sifat dingin. Bahkan hawa yang
terpancar dari tubuh pemuda itu masih jauh lebih
kuat daripada racun katak miliknya.
Mendekati jurus yang ke enam puluh, terlihat Pe-
mabuk Berhati Iblis mulai kewalahan. Gerakan-
gerakannya pun mulai melambat, karena terganggu
pancaran hawa dingin dari tubuh dan sambaran puku-
lan lawan. Hal Ini membuat lelaki tua berotak miring
itu menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kotor.
"Bangsat! Kunyuk bau tengik...!"
Sambil berlompatan dan menggeser langkah untuk
menghindari serangan-serangan Pendekar Naga Putih,
mulut lelaki berotak miring itu tak henti-hentinya
mengomel. "Hiattt..!"
Saat lawan sudah benar-benar tak mampu lagi ber-
tahan lebih lama, tiba-tiba saja Pendekar Naga Putih
berseru keras sambil melontarkan dua buah hantaman
telapak tangan secara berturut-turut ke tubuh lawan!
"Aaahhh..."!"
Bukan main terkejutnya hati tokoh sesat pe-
mabukan itu. Maka tanpa dapat dihindari lagi, dua
buah hantaman telapak tangan pemuda berjubah pu-
tih itu langsung mencapai sasarannya!
Buuukkk! Deeesss!
"Huakhhh...!"
Darah segar langsung menyembur dari mulut Pe-
mabuk Berhati Iblis. Tubuh lelaki brewokan itu ter-
lempar bagaikan selembar daun kering yang
diterbangkan angin! Kemudian, tubuh tinggi kekar itu
terbanting jatuh setelah membentur sebatang pohon
yang bergerak bagaikan hendak roboh!
Panji melangkah lambat ketika melihat tubuh la-
wannya tidak dapat bangkit lagi. Tampak Pemabuk
Berhati Iblis terlihat menggigil hebat bagaikan orang menderita demam tinggi.
Jelas, tokoh sesat yang menggiriskan itu mengalami luka dalam yang sangat parah!
Namun, Pendekar Naga Putih benar-benar tidak
menyangka sama sekali kalau tokoh itu ternyata me-
miliki daya tahan tubuh yang luar biasa. Tepat pada
saat Panji berdiri membungkuk dekat tubuh lelaki itu, tiba-tiba saja Pemabuk
Berhati Iblis mendorong sepasang telapak tangannya dengan sisa-sisa tenaga yang
masih dimiliki! Karuan saja serangan mendadak dalam
jarak dekat itu sangat mengejutkan Panji!
Whuuusss...! Sebagai seorang pendekar yang sering mene-
mukan lawan berat bersifat licik, tentu saja Panji tidak mudah dikelabuhi.
Meskipun kelihatannya tidak
siap, tapi nyatanya Pendekar Naga Putih dapat meng-
hadapi serangan licik dengan baik. 'Tenaga Sakti Ger-
hana Bulan' nya langsung bangkit seiring kibasan len-
gan pemuda itu untuk melumpuhkan pukulan bera-
cun lawannya. Dan...,
Blaaarrr...! "Hukkkh...!"
Benturan dahsyat pun tidak bisa terelakan lagi.
Pemabuk Berhati Iblis mengeluarkan keluhan bagai-
kan orang tercekik. Bahkan tubuhnya kontan melesak
ke dalam bumi, hingga satu jengkal dalamnya. Napas
orang tua gila itu langsung putus seketika itu juga!
Pendekar Naga Putih sendiri terjajar mundur dua
langkah. Sebab biar bagaimanapun hawa beracun pu-
kulan yang dilepaskan dalam jarak dekat dan tiba-tiba, sedikit banyak telah
mempengaruhi tubuhnya pula.
Cepat pemuda itu menarik napas beberapa kali sambil
mengerahkan hawa murni untuk mengusir pergi hawa
beracun yang sempat menyerap ke dalam tubuhnya.
Beberapa saat kemudian, baru Panji dapat menarik
napas lega setelah terbebas dari hawa be-racun puku-
lan Pemabuk Berhati Iblis.
Sementara itu gadis desa yang diselamatkan lang-
sung memeluk tubuh Pendekar Naga Putih karena ra-
sa tegang dan bersyukurnya. Panji sendiri membelai
punggung gadis desa itu, dan menghiburnya ketika
mendengar isak tangis lirih.
"Sudahlah, Nisanak. Bahaya telah lewat. Sebaiknya kau tunggu sebentar. Aku
hendak menguburkan mayat tokoh sesat itu...," ujar Panji, seraya melepaskan
pelukan wanita itu dengan gerakan lembut
"Tapi, bagaimana dengan gadis-gadis lain yang di-
tawan di tempat kediaman orang tua jahat itu" Apakah
tuan Pendekar tidak ingin menolongnya...?" tanya ga-
dis desa itu. Mata basah gadis itu menatap wajah tampan pe-
nolongnya. Rupanya, dia masih teringat ucapan Pema-
buk Berhati Iblis sebelum melarikan diri.
"Aku sudah mendatangi kediaman tokoh pemabu-
kan ini sebelum menemukan dan mendengar teriakan-
mu. Di sana, aku hanya menemukan kerangka ma-
nusia yang berserakan. Menurutku, Pemabuk Berhati
Iblis ini juga pemakan daging manusia...," jelas Panji.
Seketika, gadis desa itu membelalak terkejut Se-
bab, semula hanya diduga kalau Pemabuk Berhati Iblis
itu hanya hendak merampas keperawanan saja.
Melihat gadis itu jatuh terduduk setelah mende-
ngar keterangannya, Panji bergegas menguburkan
mayat Pemabuk Berhati Iblis. Memang, meskipun se-
masa hidupnya orang tua itu sangat jahat, tapi tetap
saja mayatnya harus dikuburkan secara layak. Setelah
selesai menanam mayat Pemabuk Berhati Iblis, Pende-
kar Naga Putih mengajak gadis malang itu kembali ke
desa tempat tinggalnya.
*** "Dari mana saja kau, Kakang" Pantas sejak tadi
aku mencarimu, tidak juga ketemu...,"
Dara berparas jelita yang mengenakan pakaian
serba hijau itu langsung menyambut kedatangan pe-
muda tampan berjubah putih dengan pertanyaan-
pertanyaan. Sedang pemuda tampan berjubah putih yang baru
saja tiba di ambang pintu kamar penginapan, hanya
tersenyum. Kemudian, dia melangkah masuk dan du-
duk di tepi pembaringan di samping data jelita itu.
"Aku pikir kau sengaja meninggalkan aku karena
sudah merasa bosan...," rungut gadis jelita itu dengan wajah agak mendung.
Memang hatinya sempat merasa
nelangsa ketika pemuda itu pergi tanpa pamit.
Pemuda berjubah putih itu semakin melebarkan
senyumnya. Perlahan tangannya melingkar, memeluk
tubuh gadis jelita itu dengan lembut. Dikecupnya ken-
ing gadis itu penuh kasih sayang.
"Sebenarnya aku hendak mengajakmu serta, Ke-
nanga. Tapi ketika aku masuk ke kamarmu, ternyata
kau masih tertidur pulas. Jadi, terpaksa aku pergi
tanpa memberitahukan mu terlebih dahulu," jawab pemuda tampan berjubah putih
yang ternyata memang
Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.
Rupanya pemuda itu telah kembali setelah me-
ngantarkan gadis desa yang ditolongnya dari ceng-
kraman Pemabuk Berhati Iblis. Dan kini dia berusaha
menjelaskan duduk perkaranya.
"Mengapa kau tidak membangunkan aku, Ka-
kang...?" masih dengan nada kurang puas, gadis jelita yang memang Kenanga
kembali bertanya sambil menatap wajah Panji.
"Hmmm... Aku tidak ingin mengganggu istirahat-
mu. Lagi pula, aku pergi hanya sebentar. Jadi, kupikir tidak pamit pun tak
apalah. Eh, mengapa kau tidak
mengunci pintu kamarmu sebelum tidur, Kenanga"
Bagaimana kalau yang masuk itu bukan aku. Bisa-
bisa celaka...," tanya Panji ketika teringat saat masuk ke dalam kamar gadis
itu, pintu memang tidak dikun-ci. "Mungkin aku lupa, Kakang. Tapi, aku tak
khawatir. Kalau memang ada orang jahat hendak meng-
ganggu ku, tentu aku segera tahu...," elak Kenanga sambil menyandarkan kepalanya
ke dada bidang pemuda tampan itu. Sepertinya, gadis jelita itu sudah ti-
dak merajuk lagi.
"Tapi ketika aku masuk, kenapa kau tidak tahu...?"
desak Panji lagi, seolah hendak mengetahui apa kira-
kira jawaban kekasihnya. .
"Mmm.... Mungkin sukma ku tahu kalau orang
yang masuk ke dalam kamarku adalah Kakang. Tentu
saja aku tidak segera terbangun, karena sukma ku ti-
dak takut meskipun kakak akan berbuat macam-
macam," sahut Kenanga, seenaknya, sambil tersenyum menggoda.
"Sukma mu mungkin percaya denganku. Tapi ba-
gaimana dengan kau sendiri" Apakah kau tidak takut
bila aku berbuat macam-macam terhadapmu?" panc-
ing Panji lagi, seperti ingin mengetahui isi hati dara jelita yang sangat
dicintainya. "Mengapa harus takut" Selain aku sangat yakin
terhadap kebersihan hati mu aku pun tidak takut di-
apa-apakan. Bukankah kalau kau ingin berbuat yang
tidak-tidak, sudah dari dulu-dulu dapat melakukan-
nya. Nyatanya, kau tidak pernah. Kau tetap meng-
hormati ku, meskipun aku sendiri telah menyerahkan
diriku bulat-bulat untuk mengabdi kepadamu. Jadi,
apa lagi yang harus ku takutkan...?" elak Kenanga.
Gadis itu kini semakin merapatkan tubuhnya ke
dalam pelukan kekasihnya. Lama gadis itu menikmati
kedamaian dalam pelukan pemuda pujaannya. Sejak
dulu ia memang sudah pasrah, karena tahu kalau
Panji tidak akan pernah mau menodai cinta kasih me-
reka. Kenanga percaya penuh akan hal itu.
"Terima kasih, Kenanga. Aku benar-benar bahagia
menerima kepercayaan dan cinta kasih yang tulus da-
rimu...,"desah Panji sambil menunduk perlahan.
Segera dikecupnya bibir indah kekasihnya penuh
perasaan. "Nah, sekarang ceritakanlah. Ke mana kau pergi
dari pagi hingga siang ini...?" tanya Kenanga, setelah pemuda itu melepaskan
pelukannya. "Baiklah...," desah Panji.
Segera saja Pendekar Naga Putih menceritakan
pengalamannya. Sedang Kenanga hanya mendengar-
kan tanpa memotong cerita kekasihnya sedikitpun.
*** Malam mulai jatuh. Kegelapan yang merambat me-
nyelimuti permukaan bumi, membuat suasana Desa
Jipang menjadi sepi. Penduduk desa yang ke-
banyakan petani penggarap, sejak tadi telah mering-
kuk di atas pembaringan. Mereka beristirahat untuk
menyediakan tenaga, setelah bekerja keras seharian
penuh. Pendekar Naga Putih saat ini juga, telah terbaring
di atas pembaringan. Dia yang bersama kekasihnya
menginap di salah satu rumah penginapan desa itu, te-
lah pula berada di dalam kamar masing-masing. Be-
danya, Kenanga telah tertidur lelap setelah men-dengar cerita Panji tentang
pengalamannya dalam menumpas
tokoh sesat yang berjuluk Pemabuk Ber-hati Iblis. Se-
dangkan saat ini Panji masih belum bisa memejamkan
mata. Pemuda itu rebah telentang, menatap langit-
langit kamar dengan pikiran tak menentu.
"Aneh...,"
Bibir pemuda tampan itu menggerimit perlahan,
sambil menghela napas beberapa kali dengan perasaan
tak menentu. Kemudian, Pendekar Naga Putih bangkit
perlahan dan duduk bersila di atas pembaringan. Se-
bentar kemudian, dia telah terlelap dalam semadi-nya.
Rupanya, Panji memutuskan untuk bersemadi daripa-
da termenung dengan pikiran mengembara.
Keanehan yang dialami Pendekar Naga Putih rupa-
nya mempunyai hubungan erat dengan keadaan di
luar penginapan. Memang pada saat menjelang tengah
malam, tampak sosok-sosok bayangan hitam bergerak
gesit mengepung rumah tempat Panji dan Kenanga
menginap. Dari sikap yang mencurigakan, jelas kalau
mereka mempunyai maksud tidak baik.
Panji yang tengah tenggelam dalam semadinya, ter-
sadar seketika. Pendengarannya yang tajam dan san-
gat terlatih, menangkap adanya langkah-langkah men-
curigakan di luar kamar. Maka, semadinya cepat-cepat
diselesaikan. Dalam kegelapan kamar, karena sejak tadi sudah
memadamkan pelita, Panji bergerak perlahan me-
rebahkan dirinya kembali. Ia pura-pura terlelap untuk mengetahui kelanjutan dari
langkah-langkah mencurigakan yang didengarnya di luar kamar. Sekejap
pemuda itu teringat Pemabuk Berhati Iblis yang tewas
di tangannya. Maka, langsung timbul dugaan kalau
suara langkah kaki yang mendekati kamarnya pasti
mempunyai hubungan dengan tindakannya pagi tadi.
Pendekar Naga Putih menahan nafasnya ketika
mendengar daun jendelanya dibuka dari luar. Meski-
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun orang yang melakukannya sangat lihai dan hati-
hati, tapi tetap saja semua itu tidak terlepas dari pendengaran Pendekar Naga
Putih. Malah Panji tetap ter-
baring tenang, seolah tidak mengetahui hal itu.
Rupanya, sosok-sosok bayangan hitam yang men-
datangi kamar Pendekar Naga Putih tidak bodoh. Tan-
pa melompat masuk, dua diantara mereka lang-sung
melemparkan senjata rahasia berupa jarum-jarum ha-
lus yang menebarkan bau harum memabukkan.
Panji yang semula mengira kalau orang-orang yang
mendekati kamarnya pasti akan melompat masuk, ten-
tu saja menjadi terkejut. Apalagi, serangan senjata rahasia itu sama sekali
tidak diduga sebelumnya. Dan
karena untuk melindungi tubuhnya dengan tenaga
sakti yang dapat mengeluarkan kabut bersinar jelas
dapat diketahui, maka Panji memutuskan untuk sege-
ra melompat bangkit. Tubuh Pendekar Naga Putih
langsung melayang secepat kilat, menuju jendela ka-
mar yang sedikit terbuka.
Braaakkk...! Jendela kamar penginapan itu langsung jebol keti-
ka Panji menerobos sambil mendorongkan telapak tan-
gannya ke depan!
"Aaahhh..."!"
Enam sosok tubuh yang berada di luar kamar,
menjadi terkejut bukan main. Cepat mereka ber-
lompatan mundur sambil memberondong senjata ra-
hasia ke arah pemuda itu.
Whuuut! Whuuut!
Siuttt..! Senjata-senjata rahasia yang diduga mengandung
racun dielakkan Pendekar Naga Putih dengan berjum-
palitan ke atas setinggi beberapa tombak. Kemudian,
tubuhnya meluncur turun setelah senjata-senjata ge-
lap itu lewat di bawah kakinya.
Pendekar Naga Putih yang baru saja meluncur tu-
run dari udara, langsung disambut kembali oleh se-
rangan-serangan enam sosok bayangan hitam yang ra-
ta-rata memiliki ilmu meringankan tubuh hampir sem-
purna. Tentu saja, hal itu membuatnya menjadi terhe-
ran-heran! "Heaaahhh...!"
Dibarengi bentakan nyaring, tubuh Pendekar Naga
Putih kembali berputar cepat ke depan. Begitu men-
jejak tanah, sebuah tendangan kaki kanan Panji lang-
sung menghajar salah seorang lawan di belakangnya!
Bukkk! "Uhhh...!"
Sosok berpakaian serba hitam yang terkena ten-
dangan keras pemuda itu langsung terjungkal ke bela-
kang! Tapi, Panji kembali mengerutkan keningnya
dengan wajah setengah tak percaya. Memang begitu
terjatuh, sosok berpakaian hitam yang terkena ten-
dangan keras itu langsung bangkit dengan sigapnya.
Seolah, orang itu sama sekali tidak merasakan keras-
nya tendangan Pendekar Naga Putih!
"Tahannn...!"
Panji berseru sambil mengangkat tangannya untuk
menghentikan pertarungan. Bentakannya yang keras
dan menggetarkan isi dada, langsung menghentikan
gerakan lawan-lawannya. Bahkan beberapa di antara-
nya tampak terjajar mundur diiringi keluhannya. Je-
las, Panji mengerahkannya dengan tenaga dalam ting-
gi. "Siapa kalian..."! Dan mengapa menyerangku tanpa sebab?" tanya Panji.
Langsung dirayapinya wajah-wajah yang tersem-
bunyi di balik kain hitam itu. Namun, tak seorang pun yang menjawab pertanyaan
pemuda itu. Mereka saling
menatap satu sama lain. Kemudian, salah seorang di
antaranya menggerakkan kepala sebagai isyarat.
Bagaikan diberi aba-aba, enam sosok berpakaian
hitam yang wajahnya terlindungi selembar kain hitam
langsung berlompatan ke belakang secara bersamaan.
Melihat sikap dan cara mereka, tahulah Panji kalau
enam orang pengeroyoknya merupakan sebuah ke-
satuan yang kompak dan telah terlatih baik.
"Hmmm.... Siapa orang-orang tak dikenal ini..."
Nampaknya mereka orang-orang terlatih yang sengaja
dipersiapkan untuk membunuh. Gerakan mereka de-
mikian rapi dan kompak...," gumam Pendekar Naga
Putih seraya mengerutkan keningnya ketika melihat
enam orang itu melompat mundur.
Panji yang tengah sibuk memikirkan apa yang
hendak dilakukan orang-orang itu selanjutnya, me-
noleh terkejut mendengar adanya suara pertempuran
di tempat lain.
"Kenanga...!" seru Panji, perlahan.
Pendekar Naga Putih langsung teringat gadis jelita
kekasihnya yang tadi kelihatannya telah tertidur. Tan-pa membuang-buang waktu
lagi, pemuda itu segera
saja melesat menuju kamar kekasihnya yang terletak
di sebelah kamarnya.
Usaha Pendekar Naga Putih ternyata tidak di-
biarkan begitu saja. Enam sosok berpakaian hitam
yang semula berlompatan mundur itu bergerak ber-
barengan, untuk mencegah pemuda itu.
"Haiiittt...!"
"Yeaaattt...!"
Karuan saja perbuatan keenam sosok bayangan hi-
tam yang mencegahnya membuat Panji menjadi geram.
Langsung saja tubuhnya berbalik dan me-nyambut se-
rangan keenam orang itu!
"Hm... Kalian terlalu memaksa! Jangan sesali perbuatan kalian ini...!" geram
Pendekar Naga Putih.
Whuuut! Whuuut!
Dua orang di antara mereka bergerak melontarkan
pukulan-pukulan yang menimbulkan desir angin ta-
jam! Langsung saja Panji memiringkan tubuhnya, ke-
mudian langsung mengibaskan lengan kirinya meng-
gunakan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Breeeshhh...! Akibatnya tentu saja cukup hebat! Meskipun Panji
tidak menggunakan tenaga sepenuhnya, namun kiba-
san tangannya tentu saja sanggup meremukkan batu
sebesar perut kerbau bunting sekalipun!
"Akhhh...!"
Dua orang berpakaian serba hitam yang terkena
samburan angin dari kibasan tangan pemuda itu lang-
sung terlempar deras ke belakang. Untunglah bukan
tangan itu yang sampai mengenai tubuh me-reka, ka-
rena keduanya sempat mundur ke belakang. Tapi
meskipun hanya terkena sisa angin pukulan Panji, tak
urung keduanya hampir terjungkal mencium tanah!
"Gila...."!" Terdengar dengusan salah seorang dari kedua sosok berpakaian hitam
yang menandakan ke-terkejutannya begitu merasakan kelihaian pemuda
tampan berjubah putih yang menjadi lawan mereka.
Bersamaan terdorongnya kedua orang sosok ber-
pakaian hitam, empat lainnya segera bergerak mun-
dur. Mereka seolah-olah sengaja memancing Panji un-
tuk menjauhi kamar kekasihnya.
Panji yang sudah terlanjur geram, sama sekali ti-
dak berpikir demikian. Hal itu karena ia telah percaya terhadap Kenanga. Gadis
itu pasti bisa menjaga harga
dirinya baik-baik. Memang, melihat kepandaian enam
orang yang mengeroyoknya, Panji yakin gadis jelita itu pasti dapat mengatasinya,
meskipun jumlah pengeroyok Kenanga mungkin juga sama dengan jumlah pa-
ra pengeroyoknya.
Pikiran itu membuat Panji segera memutuskan un-
tuk menggempur lawan-lawannya. Segera saja tubuh-
nya bergerak dengan jurus-jurus 'Ilmu Naga Sakti'nya.
Karuan saja, gempuran Panji kali ini mem-buat enam
orang laki-laki berpakaian serba hitam itu kelabakan!
Untungnya, mereka memiliki ilmu meringankan tubuh
yang rada tinggi juga. Sehingga meskipun agak terde-
sak, mereka masih juga sempat menyelamatkan diri
dari sambaran cakar naga Panji!
Keenam sosok berpakaian serba hitam itu terus
berlompatan secara bergantian ke belakang. Sehingga
secara perlahan, pertarungan itu terus menjauhi ka-
mar Kenanga. Bahkan telah pula keluar dari ling-
kungan rumah penginapan itu.
Ketika desakan-desakan Pendekar Naga Putih se-
makin menghebat, mendadak keenam sosok tubuh itu
meleset menggunakan ilmu larinya. Mereka segera
meninggalkan Pendekar Naga Putih yang hanya terlon-
gong heran. "Hei, berhenti...!"
Pendekar Naga Putih tidak bisa terpaku dalam ke-
heranannya. Maka diputuskannya untuk menang-kap
salah seorang dari mereka. Maksudnya untuk mencari
keterangan, apa maksud orang-orang itu me-
nyerangnya. Segera saja Pendekar Naga Putih melesat
melakukan pengejaran! Meskipun ilmu lari lawannya
rata-rata sangat mengagumkan, tapi bagi Panji tidak
menjadi masalah.
"Haiiittt...!"
Hanya beberapa kali lompatan saja, tubuh Pen-
dekar Naga Putih telah cepat melayang. Kemudian, dia
meluncur turun sejauh satu tombak di hadapan enam
orang yang hendak melarikan diri.
"Hahhh..."!"
Keenam orang itu seperti belum mengenal betul,
siapa pemuda tampan berjubah putih dihadapan me-
reka kini. Buktinya, mereka sangat terkejut melihat
pemuda itu dapat mengejar dalam waktu singkat. Kini
sadarlah keenam orang itu pemuda yang dihadapi bu-
kanlah orang sembarangan.
"Hm.... Kalian datang tanpa diundang, dan lang-
sung mencari keributan tanpa sebab. Lalu kini mau
pergi begitu saja..." Huh! jangan harap dapat lolos sebelum menjelaskan apa
maksud kalian hendak men-
celakai ku?" desis Panji sambil melangkah lambat dengan tatapan tajam mencorong,
menggetarkan dada la-
wan-lawannya. Tanpa sadar, keenam orang lelaki berseragam hi-
tam itu bergerak mundur karena perbawa yang timbul
dari wajah maupun tatapan mata pemuda tampan di
hadapan mereka demikian menggetarkan!
Tapi dengan gerak tak terduga, tiba-tiba saja ke-
enam sosok tubuh terbungkus pakaian hitam itu sama
menggerakkan tangan secara berbarengan. Kemudian
mereka langsung melemparkan benda-benda bulat se-
besar telur burung puyuh ke arah Panji!
Wheeesss! Wheeesss...!
Sekali lihat saja, Panji langsung dapat menduga
kalau senjata yang dilontarkan merupakan peledak
yang bisa menewaskannya. Cepat-cepat diambilnya
keputusan untuk menghindarinya dengan lentingan
tinggi ke depan menuju ke arah enam orang berse-
ragam hitam itu. Kemudian, tubuhnya berputar dan
meluncur turun dengan kecepatan bagai seekor elang
menyambar mangsa!
Namun, gerakan Pendekar Naga Putih ternyata
masih kalah cepat. Begitu selesai melemparkan benda-
benda bulat itu, keenam lawannya langsung melempar
tubuh ke semak-semak yang banyak terdapat di seki-
tarnya. Bahkan kegelapan malam telah membantu me-
reka untuk meloloskan diri.
"Kurang ajar...!" desis Panji geram. Kemudian, pemuda itu kembali melenting
ketika terdengar ledakan
susul-menyusul di belakangnya.
Setelah mendaratkan kakinya di atas tanah, Panji
mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya. Be-
gitu ledakkan itu lenyap, keadaan pun sunyi seketika.
Namun pemuda itu tetap bermaksud menangkap gera-
kan-gerakan di sekitarnya. Ia, memang merasa yakin
kalau musuh-musuhnya pasti belum lari terlalu jauh.
"Haiiittt...!"
Ketika mendengar langkah yang sangat ringan di
sebelah kirinya, cepat Panji berseru keras diiringi lesa-tan tubuhnya. Jarak
sejauh tiga tombak lebih itu ter-
nyata dapat dicapainya dengan sekali lompatan saja.
"Hei"! Mau lari ke mana kau, Pengecut..!" bentak Panji saat melihat sesosok
bayangan hitam bergerak
hendak melarikan diri.
Cepat bagai kilat, tubuh Pendekar Naga Putih
kembali melenting dan berjumpalitan beberapa kali se-
belum meluncur turun.
Sosok berpakaian hitam yang hanya seorang itu je-
las kelihatan sangat kaget melihat kehadiran Panji.
Tanpa banyak bicara lagi, segera saja Panji diberon-
dong dengan senjata-senjata rahasianya.
Tapi, Pendekar Naga Putih yang sudah mengambil
keputusan untuk menawan orang itu hidup-hidup, se-
gera saja bergerak ke samping. Kemudian dia terus
melesat dengan cengkeraman kedua tangan siap me-
lumpuhkan lawan.
Kepandaian orang itu ternyata tidak begitu tinggi.
Nyata sekali kelemahannya saat hanya seorang diri.
Jelas, kehebatan serta keuletannya hanya karena kerja sama yang serempak dengan
kawan-kawannya. Sedangkan kalau sendiri, sepertinya orang itu sama se-
kali tidak berarti apa-apa bagi Panji.
Kreeeppp! Tuggg...!
"Uhhh...!"
Lelaki berpakaian serba hitam yang naas itu tak
sanggup lagi menghindari serangan Pendekar Naga Pu-
tih. Tubuhnya langsung melorot jatuh seketika itu juga akibat totokan yang
dilakukan Panji.
Tapi sebelum Pendekar Naga Putih sempat mencari
keterangan dari mulut orang itu, terdengar desingan-
desingan senjata rahasia yang mengancam keduanya.
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cepat-cepat Panji membalikkan tubuh sambil mengi-
baskan tangannya, untuk menghalau pergi senjata-
senjata yang mengancam nyawanya. Tapi....
"Akhhh...!"
Lelaki yang tertotok lumpuh oleh Panji, terdengar
mengeluh tertahan. Tak lama kemudian, kepalanya
langsung tergolek lemah. Jelas, kalau senjata rahasia yang mengenai orang itu
mengandung racun mematikan!
"Bangsat licik...!" dengus Panji geram.
Pendekar Naga Putih benar-benar menjadi marah
ketika melihat orang yang telah dilumpuhkannya te-
was, dengan tiga buah jarum halus menancap dalam
di bagian lehernya.
Dengan perasaan geram serta penasaran, pemuda
itu bergerak bangkit. Namun, ia kembali menunduk
memeriksa mayat orang itu ketika teringat orang yang
terkena tendangan kerasnya ketika bertarung di pengi-
napan tadi. Pendekar Naga Putih ingin tahu, apa gerangan
yang membuat tendangannya bagai tidak berarti bagi
orang-orang itu, melalui mayat laki-laki yang baru saja tewas oleh jarum-jarum
beracun. Dan pemuda itu
menjadi kecewa ketika tidak menemukan apa-apa di
balik pakaian lelaki berseragam hitam yang tewas itu.
Kini, Panji bergegas kembali ke penginapan, karena jelas tidak mungkin.
*** Tiba di tempat penginapan, kening Panji jadi ber-
kerut ketika tidak melihat pertempuran lagi. Segera sa-ja pemuda itu berlari ke
kamar kekasihnya. Namun,
kamar telah kosong tanpa penghuninya.
"Paman.... Apakah di antara para tamu disini ada yang melihat seorang gadis
berpakaian serba hijau...?"
tanya Panji, menghampiri salah seorang tamu pengi-
napan yang tengah berkerumun dekat kamar kekasih-
nya. "Aku tidak tahu, Anak Muda. Ketika mendengar suara ribut-ribut tadi, aku
tidak berani keluar dari
kamar. Baru setelah keributan tidak terdengar lagi,
aku berani keluar kamar. Namun aku tidak melihat
siapa-siapa lagi. Apalagi gadis berpakaian hijau ka-
wanmu itu...," jawab lelaki setengah baya yang rupanya tahu kalau Kenanga adalah
kawan pemuda itu.
"Kisanak. Aku tadi melihat kawanmu mengejar
orang-orang berseragam hitam yang melarikan diri ke
arah Selatan. Sepertinya, orang-orang jahat itu merasa gentar terhadap kawanmu
yang ternyata sangat hebat
ilmu silatnya. Aku sempat melihat ketika ia dikeroyok.
Tapi..., aku hanya mengintainya dari balik jendela kamar...," ujar seorang
lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun tersenyum malu-malu.
Tapi, Panji sendiri sudah tidak memperdulikan
ucapan orang itu selanjutnya. Pemuda itu langsung
kabur ketika mendengar Kenanga mengejar lawannya
ke arah Selatan. Tentu saja lenyapnya pemuda itu
membuat para tamu menjadi gempar!
"Celaka...! Jangan-jangan tadi itu arwahnya yang merasa penasaran...,
hiiiyyy...!"
Sambil merinding ketakutan, lelaki berusia tiga pu-
luh tahun itu langsung berlari masuk ke dalam ka-
marnya. Memang, setelah bicaranya selesai tadi, ia tidak lagi menemukan pemuda
tampan berjubah putih
itu di hadapannya. Padahal sejak tadi tak seorang pun yang mengalihkan pandangan
dari wajah pemuda
tampan itu. Tentu saja sebagai orang awam terhadap
ilmu silat, mereka menyangka pemuda itu pandai
menghilang. Bahkan dianggap sebagai arwah!
*** 4 Menjelang pagi, Panji kembali ke tempat pengi-
napannya. Pemuda itu gagal mencari kekasihnya.
Meski semalaman telah menjelajahi seluruh daerah di
sekitar Desa Jipang, namun jejak Kenanga tetap tidak
ditemukan. Gadis jelita itu seperti lenyap ditelan bumi.
Tanpa sepengetahuan para tamu lain yang juga
menginap di penginapan itu, Panji menyelinap masuk
ke dalam kamarnya. Dari raut wajahnya, jelas sekali
kalau pemuda itu merasa cemas terhadap keselamatan
kekasihnya. Mengingat kelicikan lawan-lawannya se-
malam, dikhawatirkan kekasihnya terjebak. Bahkan
ada kemungkinan ditangkap gerombolan orang-orang
tak dikenal berpakaian serba hitam. Hanya itu du-
gaannya dan Panji merasa yakin kalau kekasihnya be-
lum tewas. Pendekar Naga Putih termenung di atas pembari-
ngannya menghadap langit-langit kamar. Sejauh itu,
belum juga ditemukan jawaban tentang orang-orang
yang menyatroninya semalam. Meskipun pikirannya
telah terkuras, tapi tetap saja jalan itu masih terlalu
gelap. Selain itu iapun merasa, sebagai orang yang selalu terlibat kekerasan,
pasti banyak orang dari kalangan sesat yang mengincarnya untuk membalas den-
dam. Ataupun, melenyapkannya agar perbuatan jahat
mereka tidak ada lagi yang menghalangi.
Ketika kamar-kamar penginapan mulai sunyi saat
penghuninya tengah menikmati hidangan di kedai de-
pan penginapan, Panji bergegas menuju kamar keka-
sihnya. Diambilnya buntalan pakaian Kenanga dan
disatukan dengan pakaian-pakaiannya. Kemudian, dia
menuju ruang makan.
Tapi baru saja Panji merapatkan pintu kamarnya,
seorang pelayan bergegas menghampirinya. Meski den-
gan kening agak berkerut, Panji menghadapi pelayan
itu dengan wajah tetap tenang.
Setelah menyapa ramah, pelayan itu memperhati-
kan wajah serta pakaian yang dikenakan Panji. Puas
meneliti, pelayan setengah baya itu bertanya ragu-
ragu. "Tuan! Benarkah Tuan yang dijuluki orang sebagai Pendekar Naga Putih...?"
Panji tidak segera menjawab pertanyaan pelayan
itu. Sejenak ditatapnya wajah pelayan setengah baya
itu dengan sorot mata tajam. Tentu saja pelayan ini
menjadi salah tingkah.
"Benar, Paman. Ada apa...?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih menghubungkan pertanyaan
pelayan itu dengan kejadian semalam, sehingga mem-
buat kekasihnya lenyap.
"Oooh.... Anu, Tuan pendekar...," sahut lelaki itu dengan sikap berubah jauh.
Kali ini, setelah mengetahui kalau pemuda itu ada-
lah seorang pendekar, iapun terlihat agak ber-lebihan dalam menghormat.
"Ya, Paman. Katakanlah, ada perlu apa...?" desak Panji yang menjadi tak sabar
melihat sikap berlebihan orang tua itu.
Jelas sikap pemuda itu agak berubah akibat le-
nyapnya gadis jelita yang sangat dicintainya. Ke-
sabarannya yang selama ini selalu tergambar jelas pa-
da wajah dan senyumnya, mendadak lenyap. Hati-nya
benar-benar cemas akan nasib Kenanga.
"Ng..., anu.... Di depan ada Tuan Pendekar Garuda Sakti yang hendak bertemu
Tuan...," jelas pelayan setengah baya itu sambil membungkuk-bungkuk penuh
hormat. "Pendekar Garuda Sakti...?" gumam Panji agak merenung.
Setelah mengingat sejenak, namun tak juga me-
ngenali orang yang berjuluk Pendekar Garuda Sakti
itu, Panji mengangguk mengiyakan.
"Orang itu menunggu di ruang makan, Tuan Pen-
dekar...," jelas pelayan setengah baya itu lagi, ketika melihat pemuda yang
berjuluk Pendekar Naga Putih
termenung. "Baik. Aku akan segera menemuinya...," sahut Panji, segera melangkah menuju
ruang makan mengikuti
pelayan itu. Panji terdiam sesaat ketika pelayan penginapan itu
menunjuk ke arah seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh tahun. Dia
tampak tenang di sebuah su-dut yang agak ke depan. Perlahan, pemuda itu me-
langkah mendekat.
Lelaki gagah yang wajahnya terhias kumis tebal itu
bangkit, ketika melihat seorang pemuda tampan ber-
jubah putih menghampirinya. Segera saja tubuhnya
membungkuk hormat kepada Panji.
"Pendekar Naga Putih..., benar-benar suatu karu-
nia besar karena aku dapat bertemu denganmu. Begitu
mendengar khabar adanya seorang pemuda tampan
berjubah putih bersama seorang dara jelita berpakaian hijau menginap di salah
satu penginapan Desa Jipang
ini, aku langsung saja bergegas ke sini. Sudah lama
aku mengagumi sepak terjang mu dalam memerangi
kaum sesat, Pendekar Naga Putih. Ah..., benar-benar
beruntung sekali aku dapat bertemu lang-sung dengan
pendekar besar yang menggemparkan dunia persila-
tan...." Lelaki gagah yang mengaku sebagai Pendekar Ga-
ruda Sakti itu langsung saja nyerocos sebelum Panji
bertanya. Sehingga, pemuda itu merasa sedikit curiga terhadap sikapnya yang
seperti terlalu berlebihan.
"Terima kasih atas pujian mu yang rasanya terlalu tinggi untukku itu, sahabat.
Tapi, akupun sangat senang berjumpa denganmu. Sayang, aku hanya seorang
pengembara yang kebetulan singgah di desa ini. Jadi,
maaf kalau belum begitu mendengar tentang Pendekar
Garuda Sakti...," ucap Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya menjadi mudah
curiga sejak kejadian semalam, yang menyebabkan hi-
langnya Kenanga.
"Ah.... Tidak mengapa, Pendekar Naga Putih. Aku
memang kurang begitu terkenal di kalangan rimba
persilatan. Tapi di daerah sekitar Desa Jipang, boleh dibilang akulah orang
nomor satu. Maaf, bukannya
bermaksud sombong. Apalah artinya seorang pendekar
sepertiku bila dibandingkan nama besarmu, Pendekar
Naga Putih. Mmm..., oh! Panggil saja aku Gumang. Ra-
sanya, kita akan lebih akrab bila hanya memanggil
nama saja...," ujar Pendekar Garuda Sakti lagi sambil mempersilakan pemuda. itu
duduk. "Aku Panji," balas Pendekar Naga Putih, pendek.
Panji mulai melenyapkan rasa curiganya terhadap
Gumang. Pemuda itu tersenyum dan segera duduk
menghadapi lelaki gagah yang mengaku bernama Gu-
mang. Kemudian Pendekar Naga Putih memesan mi-
numan kepada salah seorang pelayan.
"Mmm.... Kalau boleh aku tahu, kira-kira apa
keperluan mu denganku, Gumang?" tanya Panji.
"Tidak ada yang khusus, Panji," sahut Gumang.
"Jelasnya, aku hanya ingin berjumpa dan agar dapat mengenal lebih jauh denganmu
saja. Mmm..., apakah
kau tidak ingin memperkenalkan aku dengan tu-
nangan mu" Kudengar, gadis jelita berpakaian hijau
yang selalu bersamamu adalah calon istrimu. Betul
demikian...?" Lanjut Gumang sambil melirik ke arah pintu yang menghubungkan
ruang makan itu dengan
kamar-kamar penginapan.
Panji tidak segera menjawab pertanyaan atau per-
mintaan Gumang. Dia malah meneguk airnya agar ti-
dak kelihatan sedang termenung. Setelah beberapa
saat kemudian, Panji menurunkan minumannya dan
menatap wajah Pendekar Garuda Sakti di depannya.
"Gumang..." Panggil pemuda itu perlahan, "Sebagai orang nomor satu di daerah
ini, pernahkah kau berjumpa orang-orang berseragam hitam, yang kemuncu-
lan mereka selalu berkelompok serta memiliki ilmu
meringankan tubuh tinggi...?"
Pendekar Naga Putih mencari kesempatan untuk
memperoleh keterangan tentang orang-orang yang se-
malam menyatroninya. Pertanyaan itu baru terpikir
saat ia merenung tadi.
"Hm.... Orang-orang berseragam hitam yang mun-
cul berkelompok, dan memiliki ilmu meringankan tu-
buh sangat tinggi..," Gumang bergumam sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Kelihatan sekali kalau lelaki gagah itu berusaha
berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Panji. Keli-
hatannya Pendekar Garuda Sakti hendak mem-bantu
pemuda itu. "Kau pernah berjumpa orang-orang seperti yang
kusebutkan itu...?" desak Panji lagi, tak sabar menunggu jawabannya.
"Mmm..., belum. Tapi, aku pernah mendengar ten-
tang orang-orang itu. Kalau tidak salah, mereka meru-
pakan pembunuh bayaran yang kabarnya sangat dita-
kuti kalangan persilatan. Mengapa kau tanyakan itu,
Pendekar Naga Putih...?" tanya Gumang dengan kening berkerut.
Mau tidak mau, Panji terpaksa menjelaskannya.
Sedangkan Pendekar Garuda Sakti mendengarkan pe-
nuh perhatian. "Ah..., benar-benar cari penyakit!" geram Gumang setelah mendengarkan keterangan
Panji. Jelas, lelaki
gagah itu merasa marah sekali.
"Jadi, mereka berhasil menculik kekasihmu se-
malam...?" tanya Pendekar Garuda Sakti masih tidak percaya.
"Begitulah. Dan aku akan mencari, ke manapun
mereka pergi...!" tegas Panji sambil mengepalkan tin-junya kuat-kuat.
"Jangan khawatir, Pendekar Naga Putih. Aku akan
mencoba mencari keterangan tentang tempat sem-
bunyinya manusia-manusia laknat itu. Setelah itu, ba-
rulah kita bersama-sama menggempurnya!" ujar Gu-
mang dengan semangat menyala-nyala.
Kelihatan sekali kalau lelaki gagah itu sangat me-
naruh perhatian terhadap kejadian yang menimpa diri
kekasih Pendekar Naga Putih.
Setelah berkata demikian, Gumang pamit. Dia ber-
niat menanyakan sahabat-sahabatnya, tentang orang-
orang berpakaian hitam yang menculik tunangan Pen-
dekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih yang semula hendak mening-
galkan penginapan untuk mencari kekasihnya, ter-
paksa harus menunda niatnya. Karena, Gumang yang
berjuluk Pendekar Garuda Sakti menjanjikan untuk
mencari keterangan tentang orang-orang yang men-
culik Kenanga. Sehingga, dia terpaksa menunggu di
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penginapan itu.
*** Pendekar Garuda Sakti yang sepertinya sangat
bangga dapat melakukan pekerjaan untuk Pendekar
Naga Putih, beberapa hari kemudian telah kembali
mengunjungi tempat penginapan Panji. Kabar yang di-
bawanya pun cukup melegakan perasaan pemuda itu.
"Hm.... Jadi mereka memiliki perkumpulan yang
cukup kuat?" tegas Panji setelah mendengar kete-
rangan Gumang. "Benar, Panji. Perkumpulan itu sendiri sangat rahasia. Jarang ada tokoh
persilatan yang tahu, di mana sarang perkumpulan pembunuh bayaran yang bernama
Naga Hitam itu. Untunglah, ada salah seorang ka-
wanku yang secara tak sengaja pernah tersesat di dae-
rah perkumpulan itu. Sayang, ia tidak mengetahui
orang yang menjadi pimpinan perkumpulan pembunuh
bayaran itu...," jelas Gumang lagi. Nada suaranya ter-sirat kebanggaan karena
dapat membantu pendekar
muda itu. "Kalau begitu, sekarang juga aku harus menemui
mereka," ujar Panji.
Pendekar Naga Putih segera saja hendak me-
nyatroni markas kelompok pembunuh bayaran yang
telah menculik kekasihnya itu. Tapi, Gumang segera
mencegahnya. Sehingga, kening pemuda itu sempat
berkerut heran.
"Mengapa, Gumang" Bukankah lebih cepat akan
lebih baik?" tanya Panji, seolah tak mengerti apa maksud Gumang sebenarnya
sehingga mencegah kepergi-
annya. "Maaf, Pendekar Naga Putih. Bukan maksudku
mencegah keinginanmu itu. Tapi, aku merasa ragu.
apakah mereka benar-benar telah menculik kekasih-
mu...?" ucap Gumang, menjelaskan duduk per-
karanya. "Sebenarnya aku juga kurang yakin, Gumang. Se-
bab, kalau benar mereka menculik kekasihku, pasti
akan menghubungi ku" Tapi sampai hari ini, mereka
ternyata sama sekali tidak menghubungi ku. Bukan-
kah ini aneh...," Panji yang rupanya juga berpikiran sama dengan Pendekar Garuda
Sakti, segera saja mengung-kapkan rasa penasarannya.
"Itulah yang ingin kukatakan padamu, Panji. Tapi kalau memang mereka tidak
menculiknya, mengapa
pula kekasihmu tidak kembali ke penginapan...?"
tanya Gumang, mengerutkan keningnya seperti tengah
berpikir keras untuk memecahkan masalah yang ma-
sih gelap itu. Pada saat kedua orang itu tengah termenung me-
ngikuti arus pikiran masing-masing, tiba-tiba seorang pelayan datang tergopoh-
gopoh menghampiri.
'Tuan..., Tuan...!"
Pelayan setengah baya itu berteriak-teriak berlari
ke arah mereka. Tentu saja Panji dan Gumang ter-
sentak kaget, dan menoleh dengan kening berketut.
"Seorang pedagang keliling mengantarkan surat ini.
Katanya surat ini untuk Tuan Pendekar Naga Putih...,"
lapor pelayan setengah baya itu sambil menyodorkan
sepucuk surat kepada Panji.
Gumang tidak berkata sepatah pun pada saat Panji
tengah membaca gulungan surat itu. Hanya saja, ke-
ning lelaki gagah itu agak berkerut melihat ketegangan dan kegusaran di wajah
Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Rupanya mereka benar menculik Kenanga.
Perkumpulan pembunuh bayaran Naga Terbang meng-
undangku untuk datang ke Lembah Bintang. Mereka
akan membebaskan Kenanga, apabila aku menyerah-
kan diri...," gumam Panji menjelaskan isi surat itu. Sehingga, wajah Gumang
tampak menegang.
"Lembah Bintang...?" desis Gumang dengan wajah agak pucat.
Jelas lelaki gagah itu telah mengetahui lembah
yang dimaksudkan kelompok pembunuh bayaran yang
bernama Naga Hitam.
"Mengapa, Gumang" Apakah ada sesuatu yang
menakutkan di lembah itu..." Apa kau sudah pernah
mendatangi tempat itu sebelumnya?" tanya Panji. Pendekar Naga Putih memang
merasa heran melihat wajah
sahabat barunya tampak pucat.
"Aku belum pernah ke lembah itu. Tapi kalau boleh ku nasehati, sebaiknya jangan
datang ke lembah celaka itu, Panji....." ujar Gumang menjelaskan
kekhawatirannya. Semua itu tergambar jelas baik
dari wajah maupun ucapannya.
"Hm.... Tidak mungkin, Gumang. Apapun yang
akan dihadapi nanti, aku tetap harus datang me-
menuhi undangan mereka!" tegas Panji dengan suara mantap.
Pendekar Garuda Sakti menatap wajah Panji penuh
kecemasan. Berkali-kali terdengar helaan napas berat-
nya yang berkepanjangan. Beberapa saat lamanya,
Gumang terdiam tanpa kata.
"Aku yakin, mereka pasti akan menjebakmu. Se-
pertinya, mereka telah diperalat orang lain untuk
membunuhmu. Dan umpannya adalah kekasihmu
yang sekarang di tangan mereka...," desah Gumang tanpa semangat
Wajah Pendekar Garuda Sakti tampak demikian
kuyu. Sehingga, Panji semakin merasa suka dan ber-
syukur mendapatkan seorang kawan sebaik laki-laki
gagah itu. "Meskipun benar begitu, aku tetap akan me-
menuhi undangan mereka. kalau tidak, apa jadinya
nasib kekasihku" Atau, kau mempunyai pikiran lain
yang mungkin dapat dijadikan pilihan...?" tanya Panji, hendak mengetahui
pendapat Gumang.
Lelaki gagah berkumis tebal itu hanya meng-
gelengkan kepala tak. bergairah. Sepertinya Gumang
ikut merasa susah memikirkan masalah yang dihadapi
Pendekar Naga Putih.
"Kalau begitu, tidak ada jalan lain. Aku harus pergi untuk menukar diriku dengan
Kenanga. Atau kalau
mungkin, aku akan menghadapi mereka untuk mem-
bebaskan kekasihku," kembali Panji menandaskan
ucapannya yang sepertinya tidak mungkin dapat beru-
bah lagi. "Hhh.... Kalau saja ada yang bisa kulakukan untuk meringankan persoalanmu,
senang sekali rasanya.
Sayang, aku hanyalah orang bodoh yang tidak mem-
punyai pendapat lain...," desah Gumang disertai helaan napas beratnya yang
berkepanjangan.
"Terima kasih, Gumang. Kau tidak perlu berkecil
hati. Apa yang selama beberapa hari ini kau lakukan
untukku, itu rasanya sudah lebih dari cukup. Entah,
bagaimana aku dapat membayar lunas hutang budi
ini..,," kata Panji sambil menepuk-nepuk bahu Gumang.
Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang lelaki
gagah itu sama terdiam tanpa kata. Mereka kembali
termenung mengikuti arus pikiran masing-masing.
Panji yang merasa tidak enak melihat wajah pendekar
itu agak gelap, terpaksa menunda kepergiannya. Dan
lagi waktu yang ditentukannya adalah tengah malam.
Jadi rasanya masih banyak waktu bagi pemuda itu un-
tuk memikirkan cara terbaik untuk membebaskan ke-
kasihnya. "Gumang...," panggil Panji dengan suara perlahan.
Namun, lelaki gagah itu tersentak kaget, karena
terlalu tenggelam dalam lamunannya.
"Ada apa, Panji...?" tanya Pendekar Garuda Sakti dengan mata berbinar. Seolah,
ia mengharapkan Pendekar Naga Putih akan memintanya untuk ikut serta
memenuhi undangan itu.
"Kira-kira berapa lama untuk bisa mencapai Lem-
bah Bintang itu...?" tanya Panji, sekedar untuk melenyapkan kekakuan di antara
mereka. "Hm.... Untuk mendatangi Lembah Bintang dari
Desa Jipang ini, mungkin hanya beberapa jam kalau
dilakukan olehmu. Tapi kalau orang lain yang me-
lakukannya termasuk aku, mungkin bisa satu hari sa-
tu malam...," jawab Gumang, singkat.
"Kalau begitu, aku harus segera berkemas. Sebab, waktu yang diberikan hanya
sampai tengah malam...,"
kata Panji, segera bangkit dari duduknya.
'"Panji...," panggil Gumang menahan langkah pemuda tampan itu, "Hati-hatilah.
Maaf, aku tidak bisa membantumu lebih jauh. Kalaupun aku me-maksa
ikut untuk menambah pengalaman, itu hanya akan
menyusahkanmu saja. Jadi, sebaiknya aku pergi dulu.
Semoga kau dapat menyelamatkan kekasih-mu...."
Gumang akhirnya berpamit kepada Panji, karena
memang tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk
pemuda itu. "Baiklah. Terima kasih atas segala bantuanmu...,"
ucap Panji tanpa berusaha mencegah kepergian lelaki
gagah yang begitu mau bersusah payah membantunya.
Setelah kepergian Pendekar Garuda Sakti, Panji
bergegas ke dalam kamarnya dan membuntal pa-
kaiannya. Usai membayar sewa penginapan, dia be-
rangkat menuju Lembah Bintang.
*** Panji bergerak cepat meninggalkan Desa Jipang
dengan mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Pe-
muda itu berniat tiba lebih awal, agar bisa menyelidiki daerah sekitar Lembah
Bintang. Karena diduga, bukan
tidak mungkin musuh-musuhnya telah memasang pe-
rangkap atau jebakan untuk menewaskannya. Pikiran
itulah yang membuat Panji berlari bagaikan orang di-
kejar setan. Menjelang senja, Panji telah tiba beberapa puluh
tombak di bawah kaki Gunung Burangkang. Memang,
di bawah kaki gunung itulah Lembah Bintang terletak.
Dengan memperlambat gerak langkah larinya, Pen-
dekar Naga Putih terus mendekati kaki Gunung Bu-
rangkang melalui jalan yang agak tersembunyi. Ketika
bulan telah menampakkan wajahnya yang bulat, Panji
pun telah berada di daerah sekitar Lembah Bintang.
"Aneh.... Lembah yang terdiri dari batu-batu ber-lumut inikah yang menurut
Gumang menyeram-
kan..." Lalu, di mana letak keangkerannya...?" gumam
Panji menatapi lembah di bawahnya dari balik rimbu-
nan semak belukar.
Kening Pendekar Naga Putih berkerut agak heran
melihat Lembah Bintang. Karena sejauh mata me-
mandang, tak satu pun yang bisa menimbulkan kese-
raman. Sehingga, pemuda itu menjadi tak me-ngerti
ketika dengan rasa takut dan dengan wajah pucat
Pendekar Garuda Sakti membicarakan lembah itu.
Ketika malam sudah mulai larut, Panji bergerak
hati-hati menuruni lembah. Ilmu meringankan tu-
buhnya dikerahkan hingga puncaknya. Pendengar-
annya dipasang tajam-tajam untuk mendengar suara-
suara yang bisa menimbulkan kecurigaan. Sepasang
matanya mencorong tajam, bagaikan mata seekor naga
di kegelapan. Sedangkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
nya, siap menyebar melindungi tubuhnya.
"Hua ha ha...! Untuk apa mengendap-endap seperti maling yang hendak mencuri,
Pendekar Naga Putih!
Kau tidak perlu khawatir. Tempat ini tidak ada jebakan atau perangkap
satupun...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa bergema meme-
nuhi Lembah Bintang, yang disusul suara parau dan
berat. Pendekar Naga Putih benar-benar terkejut, ka-
rena sama sekali tidak mengetahui di mana musuh-
musuhnya bersembunyi.
Sadar kalau kedatangannya sudah diketahui la-
wan, Panji pun menegakkan tubuhnya. Sambil me-
langkah penuh waspada, dikitarinya sekitar Lembah
Bintang dengan sorot mata yang bagaikan menyala di
kegelapan. Sementara sinar bulan yang semula me-
mancar, telah tertutup awan hitam, membuat suasa
Lembah Bintang menjadi gelap. Apalagi, hembusan
angin demikian keras hingga membuat jubahnya ber-
kibar. Tapi, Pendekar Naga Putih terus bergerak maju
tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Hei, mengapa kalian bersembunyi" Aku sudah da-
tang memenuhi undangan kalian! Bebaskan kawan-
ku, atau kuhancurkan lembah ini...!"
Panji berteriak disertai pengerahan tenaga sak-
tinya. Tentu saja suaranya menimbulkan gaung yang
menggetarkan. Suasana kembali sunyi ketika gema suara pemuda
perkasa itu lenyap ditelan hembusan angin yang san-
gat keras. Beberapa saat kemudian, telinga Pen-dekar
Naga Putih mendengar banyak suara langkah kaki
orang dari depannya.
Panji termenung sambil mencoba menghitung jum-
lah lawan melalui langkah-langkah kaki. Kemudian
kepalanya diangkat setelah dapat menebak jumlah la-
wan. "Hm..., dua belas orang rasanya tidak terlalu banyak. Aneh, mengapa mereka tidak
membawa jumlah yang lebih banyak" Ataukah semua yang datang me-
rupakan pentolan pembunuh bayaran perkumpulan
Naga Hitam...?" gumam Panji seperti bicara sendiri. Selain itu, Pendekar Naga
Putih juga menangkap adanya
langkah yang terseret-seret dengan paksa. Berdebar
hati Panji, karena diduga langkah terseret itu pastilah langkah kekasihnya yang
ditawan mereka.
Panji tidak perlu menunggu lama, karena bebe-
rapa saat kemudian tampaklah belasan sosok tubuh
yang berlarian menuju ke arah aliran sungai yang
membentang di bawahnya. Bergegas pemuda itu men-
gikutinya, dan baru berhenti dalam jarak tiga tombak.
Dan kini tampaklah belasan sosok tubuh terbungkus
pakaian hitam. "Nah, Pendekar Naga Putih! Sekarang kau boleh pilih. Menyerahkan diri agar
nyawamu bisa kami cabut,
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau terpaksa dara jelita ini kami lemparkan ke sun-
gai...." Terdengar salah seorang dari sosok-sosok tubuh
itu berteriak memberikan pilihan kepada Pendekar Na-
ga Putih. Panji melangkah beberapa tombak lagi untuk me-
negasi raut wajah sosok yang berbicara itu. Tampak
seorang lelaki tua berpakaian serba hitam, berusia sekitar enam puluh tahun.
Sepasang matanya tampak
menyorot tajam menggetarkan jantung. Jelas, hal itu
menandakan kalau lelaki tua itu bukan orang semba-
rangan. Di sebelah kanan lelaki tua itu berdiri seorang lela-
ki tinggi kurus. Tingginya hampir satu setengah kali
tinggi manusia biasa. Sepasang mata lelaki jangkung
berusia lima puluh tahun lebih itu pun menimbulkan
perbawa menggetarkan. Tahulah Panji, ia kini berha-
dapan dengan datuk-datuk golongan hitam. Memang
hanya orang-orang tingkat tinggilah yang memiliki si-
nar mata demikian tajam!
Sedangkan sepuluh orang lainnya tidak begitu di-
perhatikannya. Karena wajah mereka terlindung kain
hitam. Pendekar Naga Putih pun menduga, mereka itu-
lah orang-orang yang menyatroninya di penginapan.
Sepasang mata Panji semakin mencorong ketika
melihat adanya sesosok tubuh ramping terbungkus
pakaian hijau yang tubuhnya terikat tali. Dua orang
berpakaian hitam tampak memegangi sosok yang jelas
seorang wanita itu. Sayang, wajah sosok ramping itu
tidak begitu jelas karena terhalang rambutnya yang jatuh menutupi sebagian
wajahnya. Kepala gadis itu ter-
tunduk seperti tidak sadarkan diri.
"Kenanga...!" desis bibir Pendekar Naga Putih dengan hati berdebar.
Hati Panji bagaikan teriris melihat kekasihnya san-
gat menderita, seperti itu. Terdengar suara ber-
kerotokan dari buku-buku jari tangannya ketika tin-
junya dikepalkan erat-erat.
Pandangan Panji kembali beralih ke arah dua so-
sok tubuh yang diduga merupakan pimpinan musuh-
musuhnya. Setelah menarik napas untuk menente-
ramkan hatinya, pemuda tampan itu menatap tajam ke
arah musuh-musuhnya.
"Rasanya dapat kuduga, siapa kalian berdua,
Orang Tua. Kalian adalah Datuk Naga Hitam dan Peta-
pa Gunung Kulon. Tapi, tak kusangka datuk-datuk
terhormat seperti kalian demikian bersifat merendah
dengan melakukan perbuatan selicik ini. Menurutku,
kalian berdua lebih pantas menjadi pen-jahat-penjahat rendah yang tidak patut
untuk men-jadi seorang datuk....," geram Panji sambil menatap tajam kedua orang
Kisah Para Penggetar Langit 8 Dewa Linglung 1 Raja Raja Gila Pendekar Guntur 9
TERJEBAK DI PERUT BUMI Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Terjebak di Perut Bumi
136 hal. ; 12 x 18 cm
1 "Hua ha ha...!"
Terdengar suara tawa berat yang menggema dan
memenuhi wilayah Hutan Sindang. Di antara derai ta-
wa yang bagaikan tak pernah habis, terselip isak tan-
gis seorang wanita yang terdengar demikian lemah dan
tak berdaya. "Cup..., cup.... Sudah jangan menangis lagi, manis.
Jangan khawatir, kau akan kujadikan anakku yang
paling tersayang... "
Kembali suara berat yang parau itu terdengar ber-
gema memenuhi daerah Barat Hutan Sindang.
"Nah, kita sudah sampai...," kata seorang lelaki berwajah brewok dengan dada
telanjang. Rambut laki-laki itu panjang, hingga melewati ba-
hu. Bahkan dibiarkan menjuntai, hingga menutupi se-
bagian wajahnya. Di bahu kanannya tampak sesosok
tubuh ramping tak berdaya dalam dekapan tangannya
yang berbulu kasar.
"Jangan...! Aku tidak mau...! Tolooong...!"
Ketika mendengar lelaki brewok itu berkata telah
sampai di tempatnya, gadis desa yang hanya me-
ngenakan kain sebatas dada itu kembali meronta.
Bahkan berteriak-teriak ketakutan.
"Hus..., hus.... Jangan ribut. Nanti kalau sampai anakku yang lain melihat,
mereka tentu akan merasa
iri dan marah kepadamu," desis bibir tebal yang tersembunyi di balik brewok tak
terurus itu. Nada bicara dan tingkah laki-laki kasar itu persis
seperti seorang bapak yang tengah membujuk anak-
nya. Tangan yang kekar, dan berbulu menepuk lembut
pantat gadis itu. Sepertinya lelaki brewok itu tidak wa-
ras. Namun, gadis desa itu sama sekali tidak perduli. la malah semakin keras
berteriak-teriak ketakutan. Rasa
takut yang hebat dalam dirinya, membuatnya nekad
menggigit bahu lelaki raksasa itu.
"Hihhh...!"
"Aakkhh...!?"
Terkejut juga lelaki kasar itu, karena tidak me-
nyangka kalau tangkapannya akan melakukan hal itu
terhadapnya. Kekagetan itu, membuat dekapannya se-
ketika mengendor. Wajahnya tampak agak meringis,
merasakan nyeri akibat gigitan gadis desa itu.
"Haii..."!"
Rasa terkejut lelaki brewok yang persis orang hu-
tan itu semakin bertambah-tambah. Sebab pada saat
dekapannya mengendor, tahu-tahu saja gadis desa
yang nekad itu melorot turun. Begitu merasa terbebas, gadis berkulit kuning
langsat itu bergerak melarikan
diri ke dalam hutan.
"Hua ha ha... Bagus.... Aku suka sekali main petak umpet. Ayo, anakku cantik.
Bersembunyilah. Nanti
aku akan mencarimu sampai ketemu...."
Dasar orang gila! Melihat tawanannya lari, lelaki
brewok itu malah tertawa-tawa kegirangan. Bahkan
menganggap gadis desa itu sengaja mengajaknya ber-
main petak umpet. Benar-benar sinting!
Tanpa memperdulikan gadis desa yang terus me-
larikan diri menyusup semak-semak, lelaki kasar ber-
usia sekitar lima puluh tahun itu meraba pinggang-
nya. Sebentar kemudian, tampaklah sebuah guci kecil
tempat menyimpan arak. Semakin jelas sudah. Selain
sinting, lelaki kasar itu pun seorang pemabukan.
Cegluk... cegluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak di dalam guci
kecil itu masuk melewati kerongkongannya. Sepasang
mata orang tua gila dan pemabukan itu tampak me-
rem-melek, seperti tengah menghayati nikmatnya bu-
tir-butir arak yang melintasi kerongkongan.
"He he he he.... Nikmaaattt...."
Sambil menjilati bibir, orang tua itu terkekeh. Ke-
mudian dia melangkah bergoyang-goyang. Sepertinya,
ia telah lupa pada tawanannya yang melarikan diri itu.
Tapi ternyata meskipun terlihat agak sinting, pe-
mabukan, dan sedikit pikun, orang tua brewokan ber-
penampilan kumuh itu sama sekali tidak lupa pada
tawanannya yang kabur. Buktinya, dia mulai melang-
kah ke dalam hutan setelah mengembalikan guci arak
ke pinggangnya. Meskipun langkahnya terlihat agak
sempoyongan seperti orang akan jatuh, tapi dia terus
saja melangkah ke dalam hutan.
"Yaaahhh.... Cah ayo cah, di mana kau sembu-
nyi..." Dasar sinting! Sambil melangkah diselingi lom-
patan-lompatan kecil, orang tua itu bernyanyi-nyanyi
sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan ting-
kah lucu. Bahkan terkadang berhenti, hanya untuk
memutar badannya seperti seorang penari. Benar-
benar edan! Setelah kurang lebih dua puluh lima tombak, men-
dadak orang tua sinting itu menghentikan langkahnya
dengan kening berkerut. Kemudian dengan lagak se-
perti seekor anjing, hidungnya mengendus-endus.
"Hayaaa...! Dasar binatang kurang ajar, tidak tahu diri. Apa tidak ada tempat
lain untuk membuang kotoran...."
Orang tua sinting itu mengomel panjang-pendek
sambil berjingkat-jingkat, sambil memijat hidungnya
yang berbentuk seperti tomat. Rupanya, telapak kaki-
nya yang telanjang menginjak kotoran binatang yang
kebetulan masih baru dan hangat. Sambil tidak henti-
hentinya mengomel, dia kembali melanjutkan pencari-
annya dengan tidak terburu-buru. Sepertinya, ia sama
sekali tidak merasa khawatir akan kehilangan bu-
ruannya. *** Sementara itu, gadis desa yang terus melarikan diri
tanpa tujuan, sudah tidak karuan lagi kain yang dike-
nakannya. Di sana-sini telah robek, tersangkut dahan
atau semak berduri. Meskipun kakinya ter-gores di sa-
na-sini hingga meneteskan darah, tapi gadis desa itu
tidak memperdulikannya. Yang ada dalam pikirannya
saat itu adalah melarikan diri sejauh-jauhnya.
"Ooohhh...."
Untuk yang kesekian kalinya, gadis desa itu kem-
bali terhumbalang jatuh akibat akar pohon yang mun-
cul di permukaan tanah. Tubuhnya terguling-guling ke
bawah, karena tanah di depannya agak menurun.
Begitu luncuran tubuhnya terhenti, gadis desa
yang keras hati itu berusaha bangkit, meski dengan
wajah menyeringai. Tak diperdulikannya tambahan lu-
ka memar yang diderita, dan kembali berlari dengan
napas bagaikan kuda pacu.
Graauurrhhh...!
Tiba-tiba saja terdengar raungan keras yang bagai
hendak merontokkan jantung. Suara auman harimau
yang menggetar di tengah hutan, membuat langkah
gadis itu terhenti seketika. Dia menoleh ke kiri-kanan dengan wajah pucat, dan
tubuh menggigil ketakutan!
"Ohhh..."!"
Gadis desa itu menyumbat mulutnya dengan jari-
jari tangan, sehingga pekikan suaranya agak tertahan.
Wajahnya tampak sudah demikian pucat, bagai tak di-
aliri darah. Sedangkan kedua kakinya menggigil, se-
perti tak sanggup menahan bobot tubuhnya.
Graurhhh...! Harimau belang yang tiba-tiba saja muncul di de-
pan gadis itu dalam jarak lima tombak lebih, benar-
benar membuat nafasnya seperti putus. Dan ketika
harimau buas itu kembali mengaum sambil memper-
lihatkan taring-taringnya, gadis desa itu sudah tidak sanggup berdiri lagi.
Tubuhnya melorot jatuh, ber-sandarkan sebatang pohon sambil memandang dengan
tubuh gemetaran.
Dengan langkah satu-satu, harimau berumur cu-
kup tua itu melangkah ke arah mangsanya. Sesekali
langkahnya terhenti, lalu menggereng memperlihatkan
taringnya. Sikapnya jelas sangat waspada, dan penuh
kehati-hatian. Sepertinya, harimau itu hendak melihat apa yang akan diperbuat
calon korbannya.
Grrrhhh....! Setelah jarak antara mereka tinggal kira-kira dua
tombak, harimau itu tampak berhenti. Kemudian bina-
tang buas itu, duduk menatap gadis desa yang hampir
mati karena ketakutan. Dan diiringi raungan panjang,
tubuh harimau itu melesat dengan kuku kaki depan
siap merencah tubuh korbannya.
Graunggg...! "Auuuwww....!"
Gadis desa itu berteriak ngeri ketika terkaman ha-
rimau belang datang mengancamnya. Dan karena rasa
ngeri yang hebat, gadis desa itu menyembunyikan wa-
jahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya merungkut
dengan kedua kaki terlipat.
Deeesss! Graunggg...! Gusraaakkk...! Tiba-tiba saja, gadis itu merasa heran ketika men-
dengar raung kesakitan dari si raja hutan. Bahkan da-
danya sempat berdebar tegang, ketika juga ter-dengar
suara berdebuk yang menandakan jatuhnya sebuah
benda berat. Namun, gadis desa yang semula ingin mengetahui
apa sebenarnya yang telah terjadi terhadap harimau
buas tadi, jadi terpekik kaget. Hal itu terjadi ketika terdengar suara terkekeh
yang teramat dikenalnya.
"He he he...! Ayo, Belang. Kau ingin bermain-main dengan majikanmu. He he he....
Jangan takut. Aku tidak suka dagingmu yang alot itu. Tapi yang ku ingin-
kan justru daging muda yang hendak kau santap. Ta-
hukah kau, daging muda itu milikku...?"
Seorang lelaki tua brewokan yang berdirinya ber-
goyang-goyang, mengomel panjang-pendek kepada ha-
rimau itu. Rupanya, orang tua sinting inilah yang me-
nyelamatkan nyawa gadis desa itu dari kematian.
Harimau jantan berumur tua itu menggerang,
memperlihatkan taringnya yang tajam berkilat. Wa-
laupun begitu, si Raja Hutan ini sama sekali tidak berusaha maju. Sepertinya,
hajaran orang tua sinting
pemabukan tadi cukup dirasakannya. Sehingga bina-
tang buas ini agak berhati-hati dalam menerima tan-
tangan orang tua sinting itu.
"He he he,..! Kau takut, Belang" Atau ingin minta bagian dariku...?" tanya orang
tua sinting itu yang kini malah berjongkok sambil mengganjal dagunya dengan
sebelah tangan.
Sikap orang itu benar-benar berbahaya sekali. Se-
bab, apabila Si Raja Hutan itu menerkam, akan sulit
rasanya untuk menghindar dalam keadaan seperti itu.
Tapi, nampaknya orang tua sinting itu sama sekali ti-
dak merasa khawatir.
Harimau jantan bertubuh besar ini menjilat-jilat
bibirnya, seolah-olah tengah memikirkan tawaran lela-
ki brewok yang tidak waras itu. Kemudian dia mengge-
reng dengan kepala tegak.
"Eh" Kau ingin merebutnya..." Oho..., tentu saja boleh. Tapi, kau harus
merebutnya secara jantan,
ya....?" ujar orang tua sinting itu, seolah-olah mengerti isyarat sang Raja
Hutan. Tampak orang tua itu bangkit berdiri, dan memun-
gut sebatang ranting sebesar ibu jari tangan.
Wuuut! Wuuuttt..!
Bagaikan orang yang tengah mencoba kekuatan-
nya, si pemabuk sinting itu memukul-mukulkan rant-
ing kayu yang dipungutnya ke udara berkali-kali.
"He he he.... Bagus.... Cukup baik, cukup baik...,"
desis orang tua sinting itu berulang-ulang sambil kembali mengebut-ngebutkan
ranting kayu di tangannya.
Kemudian, dia berdiri tegak menanti harimau itu ber-
gerak maju. Tapi sampai beberapa saat lamanya, Raja Hutan
itu sama sekali tidak menampakkan tanda-tanda me-
nyerang. Binatang buas itu hanya berputar-putar ke
kiri dan kanan, sambil menggereng mempertunjukkan
taringnya yang runcing.
"Oooh! Rupanya kau tidak ingin memulai" Baiklah.
Kalau begitu, aku yang akan membuka serangan. Ber-
siaplah, Belang...," ujar orang tua sinting itu. Rupa-nya dia memang telah cukup
mengerti tingkah laku para
penghuni Hutan Sindang. Apalagi, ia pun merupakan
salah satu penghuni hutan itu.
Sebenarnya orang tua gila pemabukan yang terlihat
lucu itu tidaklah semenarik tingkahnya. Pada dasar-
nya, sifatnya keji dan tidak mengenal kasihan dan am-
pun. Meskipun tingkahnya terlihat lucu dan aneh, tapi orang tua itu adalah
seorang tokoh sesat yang sangat
ditakuti. Banyak sudah perbuatannya yang dikutuk
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaum rimba persilatan. Tapi, siapa pula yang berani
mencegah kekejamannya" Bahkan tidak sedikit pen-
dekar tua dan muda yang datang hanya untuk men-
gantar nyawa kepada orang tua itu. Sehingga lama-
kelamaan, nyali kaum persilatan pun mulai mengen-
dor. Jarang ada yang berani menghalangi per-buatan
tokoh sinting pemabukan itu.
Belakangan ini, tokoh sinting yang dijuluki Pema-
buk Berhati Iblis itu kembali melakukan serangkaian
kejahatan. Entah, sudah berapa puluh nyawa yang
terbang akibat tangannya yang telengas. Dan, gadis
desa itu merupakan kejahatan terakhir yang baru saja
dilakukannya. "Hiaaahhh...!"
Orang tua sinting yang berjuluk si Pemabuk Berha-
ti Iblis tampak bergerak maju dengan langkah goyah.
Tapi, gerakannya justru sangat hebat dan membin-
gungkan. Tubuh dan kakinya yang bergoyang-goyang
membuat orang sulit menebak, apakah orang sinting
itu hendak maju atau mundur.
Demikian pula halnya si Raja Hutan. Melihat tubuh
lawannya yang bergerak maju bagaikan malas-
malasan, membuat kepala binatang itu menggeleng
seolah merasa pusing melihat tingkah lawannya.
"He he he...! Bodoh kau, Belang. Awas kepala-
mu...." Sambil bergerak mundur maju dengan langkah
goyah, Pemabuk Berhati Iblis menggerakkan ranting
kayu di tangan kanannya dengan kecepatan meng-
getarkan. Bukkk! Grauuung. .! Sang Raja Hutan meraung kesakitan! Lecutan rant-
ing sebesar ibu jari tangan itu terasa bagaikan hantaman sebatang besi pada
kepalanya. Karuan saja bina-
tang buas itu langsung menggelepar dengan ke-pala
retak. Benar-benar ganas serangan yang dilancar-kan
orang tua sinting itu. Sekali hajar saja, langsung membuat harimau tewas!
"He he he...! Lihat, anakku. Binatang yang mena-
kut-nakuti mu itu sudah tidur pulas. Rupanya, ia lelah dan mengantuk setelah
menggerung-gerung kelaparan.
Ayo, bangun manis. Man kita pulang...," ujar Pemabuk Berhati Iblis itu melangkah
maju dan berjongkok
membelai punggung gadis desa yang ketakutan.
"Ohhh...!"
Gadis desa itu merenggutkan tubuhnya ketika me-
rasakan jari-jari tangan kasar itu merayap ke belahan dadanya yang membusung
indah. Segera saja ia bangkit, dan berlari tanpa memperdulikan arah yang di-
tempuh. "He he he.... Jadi kau hendak kembali ke tempat-
ku...?" Suara Pemabuk Berhati Iblis membuat langkah ga-
dis itu langsung terhenti. Jelas, ia merasa terkejut
mendengar ucapan tadi. Dan apa yang dikatakan
orang tua sinting itu memang benar. Dia justru berlari ke arah semula
"Ohhh..." desah gadis desa itu, menahan tangisnya.
Ia berdiri menatap Pemabuk Berhati Iblis dengan sinar mata memelas mohon
diampuni dan dilepaskan.
"He he he.... Kau benar-benar binal dan meng-
gairahkan, Anakku. Ayo, kemarilah. Jangan takut...,"
rayu Pemabuk Berhati Iblis.
Kini orang tua sinting itu bergerak maju mendekati
si gadis. Dan gerakannya yang sempoyongan itu benar-
benar hebat dan mengejutkan. Sebab, tahu-tahu saja
sepasang lengannya telah memeluk tubuh gadis desa
itu. Padahal, jarak di antara mereka tadi masih sekitar dua tombak lebih. Tentu
saja hal itu menunjukkan kalau ilmu meringankan tubuh si Pemabuk Berhati Iblis
memang sangat hebat.
Gadis desa ini hanya bisa menangis saat lelaki
berwatak sinting itu mencium wajahnya. Sepertinya,
semua tingkah dan kenekatannya tadi semakin mem-
buat Pemabuk Berhati Iblis merasa semakin terang-
sang. Sehingga, tanpa sabar lagi segera saja diterkamnya tubuh gadis itu.
Namun, nasib baik rupanya masih tetap menaungi
gadis desa itu. Pada saat lelaki sinting itu semakin
buas, terdengar sebuah bentakan nyaring yang me-
ngejutkan. Bahkan bentakan itu masih dibarengi se-
buah tangan yang mencengkram. Malah tubuh lelaki
bercambang bauk yang tengah menggumuli gadis itu
langsung dilemparkan.
"Ahhh...!?"
Tentu saja kejadian yang sangat tiba-tiba itu mem-
buat Pemabuk Berhati Iblis terpekik kaget! Sebab sebelum ia menyadari, tahu-tahu
saja tubuhnya terasa me-
layang ke udara! Untunglah orang tua sinting itu san-
gat sigap. Maka segera saja ia berputar beberapa kali di udara, sebelum mendarat
selamat di tanah.
"Setan alas! Dedemit busuk! Hantu sundal...!" Pemabuk Berhati Iblis mencak-
mencak bagaikan cacing
kepanasan. Kali ini ia benar-benar marah, karena ada
orang yang berani mengganggu kese-nangannya.
*** 2 Sementara, di depan gadis desa itu telah berdiri
seorang pemuda tampan berjubah putih. Dengan sikap
tenang tanpa memperdulikan kemarahan lelaki brewok
sinting di hadapannya, gadis desa itu ditarik agar
bangkit. Sebenarnya bukan main dongkolnya hati Pemabuk
Berhati Iblis. Tapi karena tingkahnya seperti orang
mabuk, atau tidak waras, maka kemarahan yang di-
perlihatkannya nampak lucu.
Pemuda tampan berjubah putih yang melihat lelaki
sinting pemabuk itu seperti tengah bersiap untuk me-
nyerang, segera saja mengangkat tangan kanannya
sambil berseru nyaring.
'Tunggu...!"
"Ehhh..."!" lelaki sinting berperawakan gemuk seperti orang hutan itu menahan
langkah dengan wajah
bingung. "Apa..., apa kau bilang barusan...?"
"Kubilang tunggu dulu. Pemabuk. Apa kau sudah
tuli, karena jarang bergaul dengan manusia...?" tegas pemuda tampan berjubah
putih dengan wajah tetap
tenang. Tenang sekali pemuda itu melepaskan jubah luar-
nya, lalu diserahkan kepada gadis desa yang kainnya
memang sudah tidak patut dikenakan ini.
"Aku..." Berhenti...?" ulang Pemabuk Berhati Iblis sambil menunjuk ujung
hidungnya sendiri dengan wajah ketololan.
Sepertinya, ia merasa heran karena ada seorang
pemuda yang pantas menjadi anaknya, begitu berani
mati menyuruhnya berhenti.
"Ya. Kau, orang tua sinting! Bukankah kau yang
berjuluk Pemabuk Berhati Iblis" Nah! Kalau benar,
berhentilah. Aku ingin bicara denganmu...," tegas pemuda tampan itu lagi tanpa
memperdulikan sikap lucu
dan ketololan lelaki sinting dihadapannya.
"He he he.... Lucu! Benar-benar lucu. Padahal, aku seorang iblis kejam yang
banyak ditakuti orang-orang
sakti. Tapi ternyata masih ada yang berani memerin-
tah. Benar-benar aneh dunia ini. Padahal para tokoh
tua banyak yang lari terbirit-birit bila bertemu denganku. Tapi ternyata pemuda
yang pantas menjadi anakku
ini, memiliki hati macan...."
Pemabuk Berhati Iblis tergelak-gelak sambil meme-
gangi perutnya. Dalam keadaan seperti itu, orang tentu tidak akan percaya kalau
orang tua ini memiliki otak
yang tidak waras. Sebab, ucapannya demikian rapi ti-
dak ubahnya orang waras.
Pemuda berjubah putih itu sendiri sempat me-
ngerutkan kening mendengar ucapan Pemabuk Berhati
Iblis. Dengan pandangan curiga, ditatapnya wajah Pe-
mabuk Berhati Iblis dengan teliti. Seolah-olah ingin diketahui apakah orang tua
itu memang tidak waras,
atau sengaja berpura-pura gila"
"Pemabuk Berhati Iblis, dengarlah kata-kataku,"
ujar pemuda berjubah putih itu bernada agak keras.
Hal itu dilakukan untuk memancing perhatian orang
sinting ini. "Perbuatanmu selama ini sudah keter-laluan, dan tidak bisa lagi
dimaafkan! Tanganmu telah dilumuri darah korban-korbanmu yang. tidak berdosa.
Sekarang kuminta ketegasan mu. Hentikan perbuatan-
perbuatan jahatmu, atau terpaksa aku yang harus
menghentikannya...."
"Ha..."!"
Pemabuk Berhati Iblis terbelalak kaget bagai tidak
percaya dengan apa yang didengarnya. Dengan lagak
bodoh, dia pura-pura mengorek telinganya seolah-olah
ucapan pemuda tampan berjubah putih itu kurang be-
gitu jelas. "Coba ulangi ucapanmu tadi, Bocah bagus?" pinta
Pemabuk Berhati Iblis sambil menelengkan kepalanya
seperti ingin mendengarkan lebih jelas. Tentu saja hal itu dilakukan hanya untuk
mengejek. "Hm..., dengarlah baik-baik. Aku, Pendekar Naga Putih memperingatkan agar kau
menghentikan semua
perbuatan jahatmu selama ini. Jika tidak, akulah yang akan menghentikan mu!"
Terdengar jawaban tegas dan mengandung per-
bawa menggetarkan dari pemuda tampan itu. Rupa-
nya, pemuda tampan yang mengaku berjuluk Pendekar
Naga Putih tidak suka dipandang rendah sedemikian
rupa oleh Pemabuk Berhati Iblis. Sehingga julukannya
terpaksa disebutkan untuk memancing perhatian to-
koh sesat itu. Pengakuan pemuda berjubah putih berwajah tam-
pan itu, ternyata sangat manjur. Mendengar julukan
Pendekar Naga Putih, Pemabuk Berhati Iblis langsung
saja terbelalak. Jelas sekali wajah orang sinting itu menampilkan keterkejutan
yang sangat "Benar.... Kau pastilah Pendekar Naga Putih...," desis lelaki tua pemabukan itu
sambil menatap Panji
dengan sepasang mata yang bergerak liar.
"Hm..,. Hari ini kau telah membantai habis sebuah keluarga petani yang tak
berdosa hanya untuk menculik anak gadisnya. Sadarkah kau, bahwa perbuatan
itu sangat keji dan dikutuk orang...?" lanjut Panji. Suaranya yang mantap dan
mengandung perbawa, mem-
buat orang tua sinting itu segera tersadar.
"He he he.... Ya..., ya. Aku memang selalu me-
lakukan perbuatan jahat. Karena semakin banyak ber-
buat kejahatan, tentu orang akan semakin takut kepa-
daku. Ya... ya.... Aku adalah Pemabuk Berhati Iblis si Raja Kejahatan...."
Kegilaan lelaki pemabuk itu rupanya timbul kem-
bali. Terdengarlah ucapan-ucapan ngawur yang tidak
beraturan. Panji yang sudah tidak ingin memper-
panjang urusan pembicaraan kosong itu, segera saja
melompat ke arah lawannya. Kedua kakinya meng-
injak tanah, tepat satu tombak di hadapan orang tua
itu. Pemabuk Berhati Iblis yang mengira pemuda itu telah mulai membuka serangan,
segera saja merendah-
kan tubuhnya sambil mendorong sepasang telapak
tangannya ke depan.
"Whuttt...!"
Serangkum angin kuat, berhembus seiring ter-
dorongnya sepasang telapak Pemabuk Berhati Iblis.
"Hm...," gumam Panji tak jelas. Segera Pendekar Naga Putih menggeser tubuhnya ke
samping kanan dengan kuda-kuda rendah, sehingga angin pukulan
berbau amis itu lewat di sampingnya.
"Ilmu 'Pukulan Katak Beracun'...!" desis Pendekar Naga Putih. Panji memang
langsung mengenali ilmu
pukulan tenaga dalam orang tua sinting itu. Diam-
diam Pendekar Naga Putih terkejut juga melihat orang
tua sinting itu memiliki ilmu pukulan hebat, dan ja-
rang terdapat dalam dunia persilatan.
Pemabuk Berhati Iblis rupanya tidak hanya ber-
henti sampai di situ saja. Begitu melihat Pendekar Na-ga Putih dapat menghindari
pukulan jarak jauh-nya,
tokoh berotak miring itu segera saja melesat seperti
seekor katak melompat.
Bweeettt...! . Pemabuk Berhati Iblis segera menyambar seperti
seekor katak melompat.
Bweeettt...! Pendekar Naga Putih pun menggeser tubuhnya ke
kiri, menghindari sambaran cakar lawan yang me-
ngandung racun itu!
Pendekar Naga Putih kembali menggeser tubuh-
nya, menghindari sambaran cakar lawan yang me-
ngandung racun. Hal itu baru disadari ketika merasa-
kan hawa yang menyambar lewat dekat tubuhnya.
"Yiaaahhh...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, bergegas pe-
muda itu memutar tubuhnya dengan sebuah lom-
patan. Bahkan sekaligus melepaskan sebuah tenda-
ngan kilat! Sehingga, Pemabuk Berhati Iblis yang baru saja menjejakkan kaki dan
tangannya di tanah langsung kembali melompat menghindar. Pertarungan pun
semakin seru ketika Pemabuk Berhati Iblis mulai me-
lancarkan serangan-serangan gencar. Tapi, Pendekar
Naga Putih hanya melayani dengan 'Ilmu Naga Sakti'
yang juga menjadi andalannya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Ketika pertaru-
ngan menginjak jurus yang keempat puluh, terlihat Pe-
mabuk Berhati Iblis mulai merubah gerakan-gerakan-
nya. Gerak langkahnya tampak tidak teratur dan ber-
goyang-goyang. Sesekali orang tua sinting itu meneguk araknya, sambil terus
mengelak dan membalas serangan Pendekar Naga Putih dengan gerakan terpatah-
patah dan perubahan-perubahan yang mengejutkan!
"Hiaikkkhhh...!"
Tak ubahnya seperti seorang pemabuk tulen, ter-
kadang orang sinting itu seolah-olah bergerak seperti hendak terjatuh. Namun
dalam gerakan-gerakan itu
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersembunyi serangan-serangan cepat dan mengejut-
kan! Sehingga, Pendekar Naga Putih yang baru kali ini
menghadapi ilmu itu, cukup dibuat kerepotan untuk
beberapa jurus lamanya.
Tapi sebagai seorang pendekar yang telah banyak
mengalami pertempuran maut, tentu saja Pendekar
Naga Putih segera dapat menemukan kelemahan ilmu
silat lawannya. Dengan cerdiknya, Panji ikut bergerak mengikuti irama langkah
dan tubuh lawannya. Sehingga, Pemabuk Berhati Iblis sempat dibuat ter-
cengang oleh kecerdikan pemuda itu dalam mencari
kelemahan ilmunya.
"Heaaahhh...!"
Ketika pertarungan mulai menginjak jurus yang ke-
lima puluh lima, terlihat Pendekar Naga Putih mulai
melakukan tekanan-tekanan berat pada lawan. Lapi-
san kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti
tubuhnya selalu dapat memukul balik lontaran puku-
lan beracun lawan. Tentu saja racun Pemabuk Berhati
Iblis yang memang bersifat dingin, tidak mampu me-
nembus pertahanan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
yang juga memiliki sifat dingin. Bahkan hawa yang
terpancar dari tubuh pemuda itu masih jauh lebih
kuat daripada racun katak miliknya.
Mendekati jurus yang ke enam puluh, terlihat Pe-
mabuk Berhati Iblis mulai kewalahan. Gerakan-
gerakannya pun mulai melambat, karena terganggu
pancaran hawa dingin dari tubuh dan sambaran puku-
lan lawan. Hal Ini membuat lelaki tua berotak miring
itu menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kotor.
"Bangsat! Kunyuk bau tengik...!"
Sambil berlompatan dan menggeser langkah untuk
menghindari serangan-serangan Pendekar Naga Putih,
mulut lelaki berotak miring itu tak henti-hentinya
mengomel. "Hiattt..!"
Saat lawan sudah benar-benar tak mampu lagi ber-
tahan lebih lama, tiba-tiba saja Pendekar Naga Putih
berseru keras sambil melontarkan dua buah hantaman
telapak tangan secara berturut-turut ke tubuh lawan!
"Aaahhh..."!"
Bukan main terkejutnya hati tokoh sesat pe-
mabukan itu. Maka tanpa dapat dihindari lagi, dua
buah hantaman telapak tangan pemuda berjubah pu-
tih itu langsung mencapai sasarannya!
Buuukkk! Deeesss!
"Huakhhh...!"
Darah segar langsung menyembur dari mulut Pe-
mabuk Berhati Iblis. Tubuh lelaki brewokan itu ter-
lempar bagaikan selembar daun kering yang
diterbangkan angin! Kemudian, tubuh tinggi kekar itu
terbanting jatuh setelah membentur sebatang pohon
yang bergerak bagaikan hendak roboh!
Panji melangkah lambat ketika melihat tubuh la-
wannya tidak dapat bangkit lagi. Tampak Pemabuk
Berhati Iblis terlihat menggigil hebat bagaikan orang menderita demam tinggi.
Jelas, tokoh sesat yang menggiriskan itu mengalami luka dalam yang sangat parah!
Namun, Pendekar Naga Putih benar-benar tidak
menyangka sama sekali kalau tokoh itu ternyata me-
miliki daya tahan tubuh yang luar biasa. Tepat pada
saat Panji berdiri membungkuk dekat tubuh lelaki itu, tiba-tiba saja Pemabuk
Berhati Iblis mendorong sepasang telapak tangannya dengan sisa-sisa tenaga yang
masih dimiliki! Karuan saja serangan mendadak dalam
jarak dekat itu sangat mengejutkan Panji!
Whuuusss...! Sebagai seorang pendekar yang sering mene-
mukan lawan berat bersifat licik, tentu saja Panji tidak mudah dikelabuhi.
Meskipun kelihatannya tidak
siap, tapi nyatanya Pendekar Naga Putih dapat meng-
hadapi serangan licik dengan baik. 'Tenaga Sakti Ger-
hana Bulan' nya langsung bangkit seiring kibasan len-
gan pemuda itu untuk melumpuhkan pukulan bera-
cun lawannya. Dan...,
Blaaarrr...! "Hukkkh...!"
Benturan dahsyat pun tidak bisa terelakan lagi.
Pemabuk Berhati Iblis mengeluarkan keluhan bagai-
kan orang tercekik. Bahkan tubuhnya kontan melesak
ke dalam bumi, hingga satu jengkal dalamnya. Napas
orang tua gila itu langsung putus seketika itu juga!
Pendekar Naga Putih sendiri terjajar mundur dua
langkah. Sebab biar bagaimanapun hawa beracun pu-
kulan yang dilepaskan dalam jarak dekat dan tiba-tiba, sedikit banyak telah
mempengaruhi tubuhnya pula.
Cepat pemuda itu menarik napas beberapa kali sambil
mengerahkan hawa murni untuk mengusir pergi hawa
beracun yang sempat menyerap ke dalam tubuhnya.
Beberapa saat kemudian, baru Panji dapat menarik
napas lega setelah terbebas dari hawa be-racun puku-
lan Pemabuk Berhati Iblis.
Sementara itu gadis desa yang diselamatkan lang-
sung memeluk tubuh Pendekar Naga Putih karena ra-
sa tegang dan bersyukurnya. Panji sendiri membelai
punggung gadis desa itu, dan menghiburnya ketika
mendengar isak tangis lirih.
"Sudahlah, Nisanak. Bahaya telah lewat. Sebaiknya kau tunggu sebentar. Aku
hendak menguburkan mayat tokoh sesat itu...," ujar Panji, seraya melepaskan
pelukan wanita itu dengan gerakan lembut
"Tapi, bagaimana dengan gadis-gadis lain yang di-
tawan di tempat kediaman orang tua jahat itu" Apakah
tuan Pendekar tidak ingin menolongnya...?" tanya ga-
dis desa itu. Mata basah gadis itu menatap wajah tampan pe-
nolongnya. Rupanya, dia masih teringat ucapan Pema-
buk Berhati Iblis sebelum melarikan diri.
"Aku sudah mendatangi kediaman tokoh pemabu-
kan ini sebelum menemukan dan mendengar teriakan-
mu. Di sana, aku hanya menemukan kerangka ma-
nusia yang berserakan. Menurutku, Pemabuk Berhati
Iblis ini juga pemakan daging manusia...," jelas Panji.
Seketika, gadis desa itu membelalak terkejut Se-
bab, semula hanya diduga kalau Pemabuk Berhati Iblis
itu hanya hendak merampas keperawanan saja.
Melihat gadis itu jatuh terduduk setelah mende-
ngar keterangannya, Panji bergegas menguburkan
mayat Pemabuk Berhati Iblis. Memang, meskipun se-
masa hidupnya orang tua itu sangat jahat, tapi tetap
saja mayatnya harus dikuburkan secara layak. Setelah
selesai menanam mayat Pemabuk Berhati Iblis, Pende-
kar Naga Putih mengajak gadis malang itu kembali ke
desa tempat tinggalnya.
*** "Dari mana saja kau, Kakang" Pantas sejak tadi
aku mencarimu, tidak juga ketemu...,"
Dara berparas jelita yang mengenakan pakaian
serba hijau itu langsung menyambut kedatangan pe-
muda tampan berjubah putih dengan pertanyaan-
pertanyaan. Sedang pemuda tampan berjubah putih yang baru
saja tiba di ambang pintu kamar penginapan, hanya
tersenyum. Kemudian, dia melangkah masuk dan du-
duk di tepi pembaringan di samping data jelita itu.
"Aku pikir kau sengaja meninggalkan aku karena
sudah merasa bosan...," rungut gadis jelita itu dengan wajah agak mendung.
Memang hatinya sempat merasa
nelangsa ketika pemuda itu pergi tanpa pamit.
Pemuda berjubah putih itu semakin melebarkan
senyumnya. Perlahan tangannya melingkar, memeluk
tubuh gadis jelita itu dengan lembut. Dikecupnya ken-
ing gadis itu penuh kasih sayang.
"Sebenarnya aku hendak mengajakmu serta, Ke-
nanga. Tapi ketika aku masuk ke kamarmu, ternyata
kau masih tertidur pulas. Jadi, terpaksa aku pergi
tanpa memberitahukan mu terlebih dahulu," jawab pemuda tampan berjubah putih
yang ternyata memang
Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.
Rupanya pemuda itu telah kembali setelah me-
ngantarkan gadis desa yang ditolongnya dari ceng-
kraman Pemabuk Berhati Iblis. Dan kini dia berusaha
menjelaskan duduk perkaranya.
"Mengapa kau tidak membangunkan aku, Ka-
kang...?" masih dengan nada kurang puas, gadis jelita yang memang Kenanga
kembali bertanya sambil menatap wajah Panji.
"Hmmm... Aku tidak ingin mengganggu istirahat-
mu. Lagi pula, aku pergi hanya sebentar. Jadi, kupikir tidak pamit pun tak
apalah. Eh, mengapa kau tidak
mengunci pintu kamarmu sebelum tidur, Kenanga"
Bagaimana kalau yang masuk itu bukan aku. Bisa-
bisa celaka...," tanya Panji ketika teringat saat masuk ke dalam kamar gadis
itu, pintu memang tidak dikun-ci. "Mungkin aku lupa, Kakang. Tapi, aku tak
khawatir. Kalau memang ada orang jahat hendak meng-
ganggu ku, tentu aku segera tahu...," elak Kenanga sambil menyandarkan kepalanya
ke dada bidang pemuda tampan itu. Sepertinya, gadis jelita itu sudah ti-
dak merajuk lagi.
"Tapi ketika aku masuk, kenapa kau tidak tahu...?"
desak Panji lagi, seolah hendak mengetahui apa kira-
kira jawaban kekasihnya. .
"Mmm.... Mungkin sukma ku tahu kalau orang
yang masuk ke dalam kamarku adalah Kakang. Tentu
saja aku tidak segera terbangun, karena sukma ku ti-
dak takut meskipun kakak akan berbuat macam-
macam," sahut Kenanga, seenaknya, sambil tersenyum menggoda.
"Sukma mu mungkin percaya denganku. Tapi ba-
gaimana dengan kau sendiri" Apakah kau tidak takut
bila aku berbuat macam-macam terhadapmu?" panc-
ing Panji lagi, seperti ingin mengetahui isi hati dara jelita yang sangat
dicintainya. "Mengapa harus takut" Selain aku sangat yakin
terhadap kebersihan hati mu aku pun tidak takut di-
apa-apakan. Bukankah kalau kau ingin berbuat yang
tidak-tidak, sudah dari dulu-dulu dapat melakukan-
nya. Nyatanya, kau tidak pernah. Kau tetap meng-
hormati ku, meskipun aku sendiri telah menyerahkan
diriku bulat-bulat untuk mengabdi kepadamu. Jadi,
apa lagi yang harus ku takutkan...?" elak Kenanga.
Gadis itu kini semakin merapatkan tubuhnya ke
dalam pelukan kekasihnya. Lama gadis itu menikmati
kedamaian dalam pelukan pemuda pujaannya. Sejak
dulu ia memang sudah pasrah, karena tahu kalau
Panji tidak akan pernah mau menodai cinta kasih me-
reka. Kenanga percaya penuh akan hal itu.
"Terima kasih, Kenanga. Aku benar-benar bahagia
menerima kepercayaan dan cinta kasih yang tulus da-
rimu...,"desah Panji sambil menunduk perlahan.
Segera dikecupnya bibir indah kekasihnya penuh
perasaan. "Nah, sekarang ceritakanlah. Ke mana kau pergi
dari pagi hingga siang ini...?" tanya Kenanga, setelah pemuda itu melepaskan
pelukannya. "Baiklah...," desah Panji.
Segera saja Pendekar Naga Putih menceritakan
pengalamannya. Sedang Kenanga hanya mendengar-
kan tanpa memotong cerita kekasihnya sedikitpun.
*** Malam mulai jatuh. Kegelapan yang merambat me-
nyelimuti permukaan bumi, membuat suasana Desa
Jipang menjadi sepi. Penduduk desa yang ke-
banyakan petani penggarap, sejak tadi telah mering-
kuk di atas pembaringan. Mereka beristirahat untuk
menyediakan tenaga, setelah bekerja keras seharian
penuh. Pendekar Naga Putih saat ini juga, telah terbaring
di atas pembaringan. Dia yang bersama kekasihnya
menginap di salah satu rumah penginapan desa itu, te-
lah pula berada di dalam kamar masing-masing. Be-
danya, Kenanga telah tertidur lelap setelah men-dengar cerita Panji tentang
pengalamannya dalam menumpas
tokoh sesat yang berjuluk Pemabuk Ber-hati Iblis. Se-
dangkan saat ini Panji masih belum bisa memejamkan
mata. Pemuda itu rebah telentang, menatap langit-
langit kamar dengan pikiran tak menentu.
"Aneh...,"
Bibir pemuda tampan itu menggerimit perlahan,
sambil menghela napas beberapa kali dengan perasaan
tak menentu. Kemudian, Pendekar Naga Putih bangkit
perlahan dan duduk bersila di atas pembaringan. Se-
bentar kemudian, dia telah terlelap dalam semadi-nya.
Rupanya, Panji memutuskan untuk bersemadi daripa-
da termenung dengan pikiran mengembara.
Keanehan yang dialami Pendekar Naga Putih rupa-
nya mempunyai hubungan erat dengan keadaan di
luar penginapan. Memang pada saat menjelang tengah
malam, tampak sosok-sosok bayangan hitam bergerak
gesit mengepung rumah tempat Panji dan Kenanga
menginap. Dari sikap yang mencurigakan, jelas kalau
mereka mempunyai maksud tidak baik.
Panji yang tengah tenggelam dalam semadinya, ter-
sadar seketika. Pendengarannya yang tajam dan san-
gat terlatih, menangkap adanya langkah-langkah men-
curigakan di luar kamar. Maka, semadinya cepat-cepat
diselesaikan. Dalam kegelapan kamar, karena sejak tadi sudah
memadamkan pelita, Panji bergerak perlahan me-
rebahkan dirinya kembali. Ia pura-pura terlelap untuk mengetahui kelanjutan dari
langkah-langkah mencurigakan yang didengarnya di luar kamar. Sekejap
pemuda itu teringat Pemabuk Berhati Iblis yang tewas
di tangannya. Maka, langsung timbul dugaan kalau
suara langkah kaki yang mendekati kamarnya pasti
mempunyai hubungan dengan tindakannya pagi tadi.
Pendekar Naga Putih menahan nafasnya ketika
mendengar daun jendelanya dibuka dari luar. Meski-
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun orang yang melakukannya sangat lihai dan hati-
hati, tapi tetap saja semua itu tidak terlepas dari pendengaran Pendekar Naga
Putih. Malah Panji tetap ter-
baring tenang, seolah tidak mengetahui hal itu.
Rupanya, sosok-sosok bayangan hitam yang men-
datangi kamar Pendekar Naga Putih tidak bodoh. Tan-
pa melompat masuk, dua diantara mereka lang-sung
melemparkan senjata rahasia berupa jarum-jarum ha-
lus yang menebarkan bau harum memabukkan.
Panji yang semula mengira kalau orang-orang yang
mendekati kamarnya pasti akan melompat masuk, ten-
tu saja menjadi terkejut. Apalagi, serangan senjata rahasia itu sama sekali
tidak diduga sebelumnya. Dan
karena untuk melindungi tubuhnya dengan tenaga
sakti yang dapat mengeluarkan kabut bersinar jelas
dapat diketahui, maka Panji memutuskan untuk sege-
ra melompat bangkit. Tubuh Pendekar Naga Putih
langsung melayang secepat kilat, menuju jendela ka-
mar yang sedikit terbuka.
Braaakkk...! Jendela kamar penginapan itu langsung jebol keti-
ka Panji menerobos sambil mendorongkan telapak tan-
gannya ke depan!
"Aaahhh..."!"
Enam sosok tubuh yang berada di luar kamar,
menjadi terkejut bukan main. Cepat mereka ber-
lompatan mundur sambil memberondong senjata ra-
hasia ke arah pemuda itu.
Whuuut! Whuuut!
Siuttt..! Senjata-senjata rahasia yang diduga mengandung
racun dielakkan Pendekar Naga Putih dengan berjum-
palitan ke atas setinggi beberapa tombak. Kemudian,
tubuhnya meluncur turun setelah senjata-senjata ge-
lap itu lewat di bawah kakinya.
Pendekar Naga Putih yang baru saja meluncur tu-
run dari udara, langsung disambut kembali oleh se-
rangan-serangan enam sosok bayangan hitam yang ra-
ta-rata memiliki ilmu meringankan tubuh hampir sem-
purna. Tentu saja, hal itu membuatnya menjadi terhe-
ran-heran! "Heaaahhh...!"
Dibarengi bentakan nyaring, tubuh Pendekar Naga
Putih kembali berputar cepat ke depan. Begitu men-
jejak tanah, sebuah tendangan kaki kanan Panji lang-
sung menghajar salah seorang lawan di belakangnya!
Bukkk! "Uhhh...!"
Sosok berpakaian serba hitam yang terkena ten-
dangan keras pemuda itu langsung terjungkal ke bela-
kang! Tapi, Panji kembali mengerutkan keningnya
dengan wajah setengah tak percaya. Memang begitu
terjatuh, sosok berpakaian hitam yang terkena ten-
dangan keras itu langsung bangkit dengan sigapnya.
Seolah, orang itu sama sekali tidak merasakan keras-
nya tendangan Pendekar Naga Putih!
"Tahannn...!"
Panji berseru sambil mengangkat tangannya untuk
menghentikan pertarungan. Bentakannya yang keras
dan menggetarkan isi dada, langsung menghentikan
gerakan lawan-lawannya. Bahkan beberapa di antara-
nya tampak terjajar mundur diiringi keluhannya. Je-
las, Panji mengerahkannya dengan tenaga dalam ting-
gi. "Siapa kalian..."! Dan mengapa menyerangku tanpa sebab?" tanya Panji.
Langsung dirayapinya wajah-wajah yang tersem-
bunyi di balik kain hitam itu. Namun, tak seorang pun yang menjawab pertanyaan
pemuda itu. Mereka saling
menatap satu sama lain. Kemudian, salah seorang di
antaranya menggerakkan kepala sebagai isyarat.
Bagaikan diberi aba-aba, enam sosok berpakaian
hitam yang wajahnya terlindungi selembar kain hitam
langsung berlompatan ke belakang secara bersamaan.
Melihat sikap dan cara mereka, tahulah Panji kalau
enam orang pengeroyoknya merupakan sebuah ke-
satuan yang kompak dan telah terlatih baik.
"Hmmm.... Siapa orang-orang tak dikenal ini..."
Nampaknya mereka orang-orang terlatih yang sengaja
dipersiapkan untuk membunuh. Gerakan mereka de-
mikian rapi dan kompak...," gumam Pendekar Naga
Putih seraya mengerutkan keningnya ketika melihat
enam orang itu melompat mundur.
Panji yang tengah sibuk memikirkan apa yang
hendak dilakukan orang-orang itu selanjutnya, me-
noleh terkejut mendengar adanya suara pertempuran
di tempat lain.
"Kenanga...!" seru Panji, perlahan.
Pendekar Naga Putih langsung teringat gadis jelita
kekasihnya yang tadi kelihatannya telah tertidur. Tan-pa membuang-buang waktu
lagi, pemuda itu segera
saja melesat menuju kamar kekasihnya yang terletak
di sebelah kamarnya.
Usaha Pendekar Naga Putih ternyata tidak di-
biarkan begitu saja. Enam sosok berpakaian hitam
yang semula berlompatan mundur itu bergerak ber-
barengan, untuk mencegah pemuda itu.
"Haiiittt...!"
"Yeaaattt...!"
Karuan saja perbuatan keenam sosok bayangan hi-
tam yang mencegahnya membuat Panji menjadi geram.
Langsung saja tubuhnya berbalik dan me-nyambut se-
rangan keenam orang itu!
"Hm... Kalian terlalu memaksa! Jangan sesali perbuatan kalian ini...!" geram
Pendekar Naga Putih.
Whuuut! Whuuut!
Dua orang di antara mereka bergerak melontarkan
pukulan-pukulan yang menimbulkan desir angin ta-
jam! Langsung saja Panji memiringkan tubuhnya, ke-
mudian langsung mengibaskan lengan kirinya meng-
gunakan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Breeeshhh...! Akibatnya tentu saja cukup hebat! Meskipun Panji
tidak menggunakan tenaga sepenuhnya, namun kiba-
san tangannya tentu saja sanggup meremukkan batu
sebesar perut kerbau bunting sekalipun!
"Akhhh...!"
Dua orang berpakaian serba hitam yang terkena
samburan angin dari kibasan tangan pemuda itu lang-
sung terlempar deras ke belakang. Untunglah bukan
tangan itu yang sampai mengenai tubuh me-reka, ka-
rena keduanya sempat mundur ke belakang. Tapi
meskipun hanya terkena sisa angin pukulan Panji, tak
urung keduanya hampir terjungkal mencium tanah!
"Gila...."!" Terdengar dengusan salah seorang dari kedua sosok berpakaian hitam
yang menandakan ke-terkejutannya begitu merasakan kelihaian pemuda
tampan berjubah putih yang menjadi lawan mereka.
Bersamaan terdorongnya kedua orang sosok ber-
pakaian hitam, empat lainnya segera bergerak mun-
dur. Mereka seolah-olah sengaja memancing Panji un-
tuk menjauhi kamar kekasihnya.
Panji yang sudah terlanjur geram, sama sekali ti-
dak berpikir demikian. Hal itu karena ia telah percaya terhadap Kenanga. Gadis
itu pasti bisa menjaga harga
dirinya baik-baik. Memang, melihat kepandaian enam
orang yang mengeroyoknya, Panji yakin gadis jelita itu pasti dapat mengatasinya,
meskipun jumlah pengeroyok Kenanga mungkin juga sama dengan jumlah pa-
ra pengeroyoknya.
Pikiran itu membuat Panji segera memutuskan un-
tuk menggempur lawan-lawannya. Segera saja tubuh-
nya bergerak dengan jurus-jurus 'Ilmu Naga Sakti'nya.
Karuan saja, gempuran Panji kali ini mem-buat enam
orang laki-laki berpakaian serba hitam itu kelabakan!
Untungnya, mereka memiliki ilmu meringankan tubuh
yang rada tinggi juga. Sehingga meskipun agak terde-
sak, mereka masih juga sempat menyelamatkan diri
dari sambaran cakar naga Panji!
Keenam sosok berpakaian serba hitam itu terus
berlompatan secara bergantian ke belakang. Sehingga
secara perlahan, pertarungan itu terus menjauhi ka-
mar Kenanga. Bahkan telah pula keluar dari ling-
kungan rumah penginapan itu.
Ketika desakan-desakan Pendekar Naga Putih se-
makin menghebat, mendadak keenam sosok tubuh itu
meleset menggunakan ilmu larinya. Mereka segera
meninggalkan Pendekar Naga Putih yang hanya terlon-
gong heran. "Hei, berhenti...!"
Pendekar Naga Putih tidak bisa terpaku dalam ke-
heranannya. Maka diputuskannya untuk menang-kap
salah seorang dari mereka. Maksudnya untuk mencari
keterangan, apa maksud orang-orang itu me-
nyerangnya. Segera saja Pendekar Naga Putih melesat
melakukan pengejaran! Meskipun ilmu lari lawannya
rata-rata sangat mengagumkan, tapi bagi Panji tidak
menjadi masalah.
"Haiiittt...!"
Hanya beberapa kali lompatan saja, tubuh Pen-
dekar Naga Putih telah cepat melayang. Kemudian, dia
meluncur turun sejauh satu tombak di hadapan enam
orang yang hendak melarikan diri.
"Hahhh..."!"
Keenam orang itu seperti belum mengenal betul,
siapa pemuda tampan berjubah putih dihadapan me-
reka kini. Buktinya, mereka sangat terkejut melihat
pemuda itu dapat mengejar dalam waktu singkat. Kini
sadarlah keenam orang itu pemuda yang dihadapi bu-
kanlah orang sembarangan.
"Hm.... Kalian datang tanpa diundang, dan lang-
sung mencari keributan tanpa sebab. Lalu kini mau
pergi begitu saja..." Huh! jangan harap dapat lolos sebelum menjelaskan apa
maksud kalian hendak men-
celakai ku?" desis Panji sambil melangkah lambat dengan tatapan tajam mencorong,
menggetarkan dada la-
wan-lawannya. Tanpa sadar, keenam orang lelaki berseragam hi-
tam itu bergerak mundur karena perbawa yang timbul
dari wajah maupun tatapan mata pemuda tampan di
hadapan mereka demikian menggetarkan!
Tapi dengan gerak tak terduga, tiba-tiba saja ke-
enam sosok tubuh terbungkus pakaian hitam itu sama
menggerakkan tangan secara berbarengan. Kemudian
mereka langsung melemparkan benda-benda bulat se-
besar telur burung puyuh ke arah Panji!
Wheeesss! Wheeesss...!
Sekali lihat saja, Panji langsung dapat menduga
kalau senjata yang dilontarkan merupakan peledak
yang bisa menewaskannya. Cepat-cepat diambilnya
keputusan untuk menghindarinya dengan lentingan
tinggi ke depan menuju ke arah enam orang berse-
ragam hitam itu. Kemudian, tubuhnya berputar dan
meluncur turun dengan kecepatan bagai seekor elang
menyambar mangsa!
Namun, gerakan Pendekar Naga Putih ternyata
masih kalah cepat. Begitu selesai melemparkan benda-
benda bulat itu, keenam lawannya langsung melempar
tubuh ke semak-semak yang banyak terdapat di seki-
tarnya. Bahkan kegelapan malam telah membantu me-
reka untuk meloloskan diri.
"Kurang ajar...!" desis Panji geram. Kemudian, pemuda itu kembali melenting
ketika terdengar ledakan
susul-menyusul di belakangnya.
Setelah mendaratkan kakinya di atas tanah, Panji
mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya. Be-
gitu ledakkan itu lenyap, keadaan pun sunyi seketika.
Namun pemuda itu tetap bermaksud menangkap gera-
kan-gerakan di sekitarnya. Ia, memang merasa yakin
kalau musuh-musuhnya pasti belum lari terlalu jauh.
"Haiiittt...!"
Ketika mendengar langkah yang sangat ringan di
sebelah kirinya, cepat Panji berseru keras diiringi lesa-tan tubuhnya. Jarak
sejauh tiga tombak lebih itu ter-
nyata dapat dicapainya dengan sekali lompatan saja.
"Hei"! Mau lari ke mana kau, Pengecut..!" bentak Panji saat melihat sesosok
bayangan hitam bergerak
hendak melarikan diri.
Cepat bagai kilat, tubuh Pendekar Naga Putih
kembali melenting dan berjumpalitan beberapa kali se-
belum meluncur turun.
Sosok berpakaian hitam yang hanya seorang itu je-
las kelihatan sangat kaget melihat kehadiran Panji.
Tanpa banyak bicara lagi, segera saja Panji diberon-
dong dengan senjata-senjata rahasianya.
Tapi, Pendekar Naga Putih yang sudah mengambil
keputusan untuk menawan orang itu hidup-hidup, se-
gera saja bergerak ke samping. Kemudian dia terus
melesat dengan cengkeraman kedua tangan siap me-
lumpuhkan lawan.
Kepandaian orang itu ternyata tidak begitu tinggi.
Nyata sekali kelemahannya saat hanya seorang diri.
Jelas, kehebatan serta keuletannya hanya karena kerja sama yang serempak dengan
kawan-kawannya. Sedangkan kalau sendiri, sepertinya orang itu sama se-
kali tidak berarti apa-apa bagi Panji.
Kreeeppp! Tuggg...!
"Uhhh...!"
Lelaki berpakaian serba hitam yang naas itu tak
sanggup lagi menghindari serangan Pendekar Naga Pu-
tih. Tubuhnya langsung melorot jatuh seketika itu juga akibat totokan yang
dilakukan Panji.
Tapi sebelum Pendekar Naga Putih sempat mencari
keterangan dari mulut orang itu, terdengar desingan-
desingan senjata rahasia yang mengancam keduanya.
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cepat-cepat Panji membalikkan tubuh sambil mengi-
baskan tangannya, untuk menghalau pergi senjata-
senjata yang mengancam nyawanya. Tapi....
"Akhhh...!"
Lelaki yang tertotok lumpuh oleh Panji, terdengar
mengeluh tertahan. Tak lama kemudian, kepalanya
langsung tergolek lemah. Jelas, kalau senjata rahasia yang mengenai orang itu
mengandung racun mematikan!
"Bangsat licik...!" dengus Panji geram.
Pendekar Naga Putih benar-benar menjadi marah
ketika melihat orang yang telah dilumpuhkannya te-
was, dengan tiga buah jarum halus menancap dalam
di bagian lehernya.
Dengan perasaan geram serta penasaran, pemuda
itu bergerak bangkit. Namun, ia kembali menunduk
memeriksa mayat orang itu ketika teringat orang yang
terkena tendangan kerasnya ketika bertarung di pengi-
napan tadi. Pendekar Naga Putih ingin tahu, apa gerangan
yang membuat tendangannya bagai tidak berarti bagi
orang-orang itu, melalui mayat laki-laki yang baru saja tewas oleh jarum-jarum
beracun. Dan pemuda itu
menjadi kecewa ketika tidak menemukan apa-apa di
balik pakaian lelaki berseragam hitam yang tewas itu.
Kini, Panji bergegas kembali ke penginapan, karena jelas tidak mungkin.
*** Tiba di tempat penginapan, kening Panji jadi ber-
kerut ketika tidak melihat pertempuran lagi. Segera sa-ja pemuda itu berlari ke
kamar kekasihnya. Namun,
kamar telah kosong tanpa penghuninya.
"Paman.... Apakah di antara para tamu disini ada yang melihat seorang gadis
berpakaian serba hijau...?"
tanya Panji, menghampiri salah seorang tamu pengi-
napan yang tengah berkerumun dekat kamar kekasih-
nya. "Aku tidak tahu, Anak Muda. Ketika mendengar suara ribut-ribut tadi, aku
tidak berani keluar dari
kamar. Baru setelah keributan tidak terdengar lagi,
aku berani keluar kamar. Namun aku tidak melihat
siapa-siapa lagi. Apalagi gadis berpakaian hijau ka-
wanmu itu...," jawab lelaki setengah baya yang rupanya tahu kalau Kenanga adalah
kawan pemuda itu.
"Kisanak. Aku tadi melihat kawanmu mengejar
orang-orang berseragam hitam yang melarikan diri ke
arah Selatan. Sepertinya, orang-orang jahat itu merasa gentar terhadap kawanmu
yang ternyata sangat hebat
ilmu silatnya. Aku sempat melihat ketika ia dikeroyok.
Tapi..., aku hanya mengintainya dari balik jendela kamar...," ujar seorang
lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun tersenyum malu-malu.
Tapi, Panji sendiri sudah tidak memperdulikan
ucapan orang itu selanjutnya. Pemuda itu langsung
kabur ketika mendengar Kenanga mengejar lawannya
ke arah Selatan. Tentu saja lenyapnya pemuda itu
membuat para tamu menjadi gempar!
"Celaka...! Jangan-jangan tadi itu arwahnya yang merasa penasaran...,
hiiiyyy...!"
Sambil merinding ketakutan, lelaki berusia tiga pu-
luh tahun itu langsung berlari masuk ke dalam ka-
marnya. Memang, setelah bicaranya selesai tadi, ia tidak lagi menemukan pemuda
tampan berjubah putih
itu di hadapannya. Padahal sejak tadi tak seorang pun yang mengalihkan pandangan
dari wajah pemuda
tampan itu. Tentu saja sebagai orang awam terhadap
ilmu silat, mereka menyangka pemuda itu pandai
menghilang. Bahkan dianggap sebagai arwah!
*** 4 Menjelang pagi, Panji kembali ke tempat pengi-
napannya. Pemuda itu gagal mencari kekasihnya.
Meski semalaman telah menjelajahi seluruh daerah di
sekitar Desa Jipang, namun jejak Kenanga tetap tidak
ditemukan. Gadis jelita itu seperti lenyap ditelan bumi.
Tanpa sepengetahuan para tamu lain yang juga
menginap di penginapan itu, Panji menyelinap masuk
ke dalam kamarnya. Dari raut wajahnya, jelas sekali
kalau pemuda itu merasa cemas terhadap keselamatan
kekasihnya. Mengingat kelicikan lawan-lawannya se-
malam, dikhawatirkan kekasihnya terjebak. Bahkan
ada kemungkinan ditangkap gerombolan orang-orang
tak dikenal berpakaian serba hitam. Hanya itu du-
gaannya dan Panji merasa yakin kalau kekasihnya be-
lum tewas. Pendekar Naga Putih termenung di atas pembari-
ngannya menghadap langit-langit kamar. Sejauh itu,
belum juga ditemukan jawaban tentang orang-orang
yang menyatroninya semalam. Meskipun pikirannya
telah terkuras, tapi tetap saja jalan itu masih terlalu
gelap. Selain itu iapun merasa, sebagai orang yang selalu terlibat kekerasan,
pasti banyak orang dari kalangan sesat yang mengincarnya untuk membalas den-
dam. Ataupun, melenyapkannya agar perbuatan jahat
mereka tidak ada lagi yang menghalangi.
Ketika kamar-kamar penginapan mulai sunyi saat
penghuninya tengah menikmati hidangan di kedai de-
pan penginapan, Panji bergegas menuju kamar keka-
sihnya. Diambilnya buntalan pakaian Kenanga dan
disatukan dengan pakaian-pakaiannya. Kemudian, dia
menuju ruang makan.
Tapi baru saja Panji merapatkan pintu kamarnya,
seorang pelayan bergegas menghampirinya. Meski den-
gan kening agak berkerut, Panji menghadapi pelayan
itu dengan wajah tetap tenang.
Setelah menyapa ramah, pelayan itu memperhati-
kan wajah serta pakaian yang dikenakan Panji. Puas
meneliti, pelayan setengah baya itu bertanya ragu-
ragu. "Tuan! Benarkah Tuan yang dijuluki orang sebagai Pendekar Naga Putih...?"
Panji tidak segera menjawab pertanyaan pelayan
itu. Sejenak ditatapnya wajah pelayan setengah baya
itu dengan sorot mata tajam. Tentu saja pelayan ini
menjadi salah tingkah.
"Benar, Paman. Ada apa...?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih menghubungkan pertanyaan
pelayan itu dengan kejadian semalam, sehingga mem-
buat kekasihnya lenyap.
"Oooh.... Anu, Tuan pendekar...," sahut lelaki itu dengan sikap berubah jauh.
Kali ini, setelah mengetahui kalau pemuda itu ada-
lah seorang pendekar, iapun terlihat agak ber-lebihan dalam menghormat.
"Ya, Paman. Katakanlah, ada perlu apa...?" desak Panji yang menjadi tak sabar
melihat sikap berlebihan orang tua itu.
Jelas sikap pemuda itu agak berubah akibat le-
nyapnya gadis jelita yang sangat dicintainya. Ke-
sabarannya yang selama ini selalu tergambar jelas pa-
da wajah dan senyumnya, mendadak lenyap. Hati-nya
benar-benar cemas akan nasib Kenanga.
"Ng..., anu.... Di depan ada Tuan Pendekar Garuda Sakti yang hendak bertemu
Tuan...," jelas pelayan setengah baya itu sambil membungkuk-bungkuk penuh
hormat. "Pendekar Garuda Sakti...?" gumam Panji agak merenung.
Setelah mengingat sejenak, namun tak juga me-
ngenali orang yang berjuluk Pendekar Garuda Sakti
itu, Panji mengangguk mengiyakan.
"Orang itu menunggu di ruang makan, Tuan Pen-
dekar...," jelas pelayan setengah baya itu lagi, ketika melihat pemuda yang
berjuluk Pendekar Naga Putih
termenung. "Baik. Aku akan segera menemuinya...," sahut Panji, segera melangkah menuju
ruang makan mengikuti
pelayan itu. Panji terdiam sesaat ketika pelayan penginapan itu
menunjuk ke arah seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh tahun. Dia
tampak tenang di sebuah su-dut yang agak ke depan. Perlahan, pemuda itu me-
langkah mendekat.
Lelaki gagah yang wajahnya terhias kumis tebal itu
bangkit, ketika melihat seorang pemuda tampan ber-
jubah putih menghampirinya. Segera saja tubuhnya
membungkuk hormat kepada Panji.
"Pendekar Naga Putih..., benar-benar suatu karu-
nia besar karena aku dapat bertemu denganmu. Begitu
mendengar khabar adanya seorang pemuda tampan
berjubah putih bersama seorang dara jelita berpakaian hijau menginap di salah
satu penginapan Desa Jipang
ini, aku langsung saja bergegas ke sini. Sudah lama
aku mengagumi sepak terjang mu dalam memerangi
kaum sesat, Pendekar Naga Putih. Ah..., benar-benar
beruntung sekali aku dapat bertemu lang-sung dengan
pendekar besar yang menggemparkan dunia persila-
tan...." Lelaki gagah yang mengaku sebagai Pendekar Ga-
ruda Sakti itu langsung saja nyerocos sebelum Panji
bertanya. Sehingga, pemuda itu merasa sedikit curiga terhadap sikapnya yang
seperti terlalu berlebihan.
"Terima kasih atas pujian mu yang rasanya terlalu tinggi untukku itu, sahabat.
Tapi, akupun sangat senang berjumpa denganmu. Sayang, aku hanya seorang
pengembara yang kebetulan singgah di desa ini. Jadi,
maaf kalau belum begitu mendengar tentang Pendekar
Garuda Sakti...," ucap Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya menjadi mudah
curiga sejak kejadian semalam, yang menyebabkan hi-
langnya Kenanga.
"Ah.... Tidak mengapa, Pendekar Naga Putih. Aku
memang kurang begitu terkenal di kalangan rimba
persilatan. Tapi di daerah sekitar Desa Jipang, boleh dibilang akulah orang
nomor satu. Maaf, bukannya
bermaksud sombong. Apalah artinya seorang pendekar
sepertiku bila dibandingkan nama besarmu, Pendekar
Naga Putih. Mmm..., oh! Panggil saja aku Gumang. Ra-
sanya, kita akan lebih akrab bila hanya memanggil
nama saja...," ujar Pendekar Garuda Sakti lagi sambil mempersilakan pemuda. itu
duduk. "Aku Panji," balas Pendekar Naga Putih, pendek.
Panji mulai melenyapkan rasa curiganya terhadap
Gumang. Pemuda itu tersenyum dan segera duduk
menghadapi lelaki gagah yang mengaku bernama Gu-
mang. Kemudian Pendekar Naga Putih memesan mi-
numan kepada salah seorang pelayan.
"Mmm.... Kalau boleh aku tahu, kira-kira apa
keperluan mu denganku, Gumang?" tanya Panji.
"Tidak ada yang khusus, Panji," sahut Gumang.
"Jelasnya, aku hanya ingin berjumpa dan agar dapat mengenal lebih jauh denganmu
saja. Mmm..., apakah
kau tidak ingin memperkenalkan aku dengan tu-
nangan mu" Kudengar, gadis jelita berpakaian hijau
yang selalu bersamamu adalah calon istrimu. Betul
demikian...?" Lanjut Gumang sambil melirik ke arah pintu yang menghubungkan
ruang makan itu dengan
kamar-kamar penginapan.
Panji tidak segera menjawab pertanyaan atau per-
mintaan Gumang. Dia malah meneguk airnya agar ti-
dak kelihatan sedang termenung. Setelah beberapa
saat kemudian, Panji menurunkan minumannya dan
menatap wajah Pendekar Garuda Sakti di depannya.
"Gumang..." Panggil pemuda itu perlahan, "Sebagai orang nomor satu di daerah
ini, pernahkah kau berjumpa orang-orang berseragam hitam, yang kemuncu-
lan mereka selalu berkelompok serta memiliki ilmu
meringankan tubuh tinggi...?"
Pendekar Naga Putih mencari kesempatan untuk
memperoleh keterangan tentang orang-orang yang se-
malam menyatroninya. Pertanyaan itu baru terpikir
saat ia merenung tadi.
"Hm.... Orang-orang berseragam hitam yang mun-
cul berkelompok, dan memiliki ilmu meringankan tu-
buh sangat tinggi..," Gumang bergumam sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Kelihatan sekali kalau lelaki gagah itu berusaha
berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Panji. Keli-
hatannya Pendekar Garuda Sakti hendak mem-bantu
pemuda itu. "Kau pernah berjumpa orang-orang seperti yang
kusebutkan itu...?" desak Panji lagi, tak sabar menunggu jawabannya.
"Mmm..., belum. Tapi, aku pernah mendengar ten-
tang orang-orang itu. Kalau tidak salah, mereka meru-
pakan pembunuh bayaran yang kabarnya sangat dita-
kuti kalangan persilatan. Mengapa kau tanyakan itu,
Pendekar Naga Putih...?" tanya Gumang dengan kening berkerut.
Mau tidak mau, Panji terpaksa menjelaskannya.
Sedangkan Pendekar Garuda Sakti mendengarkan pe-
nuh perhatian. "Ah..., benar-benar cari penyakit!" geram Gumang setelah mendengarkan keterangan
Panji. Jelas, lelaki
gagah itu merasa marah sekali.
"Jadi, mereka berhasil menculik kekasihmu se-
malam...?" tanya Pendekar Garuda Sakti masih tidak percaya.
"Begitulah. Dan aku akan mencari, ke manapun
mereka pergi...!" tegas Panji sambil mengepalkan tin-junya kuat-kuat.
"Jangan khawatir, Pendekar Naga Putih. Aku akan
mencoba mencari keterangan tentang tempat sem-
bunyinya manusia-manusia laknat itu. Setelah itu, ba-
rulah kita bersama-sama menggempurnya!" ujar Gu-
mang dengan semangat menyala-nyala.
Kelihatan sekali kalau lelaki gagah itu sangat me-
naruh perhatian terhadap kejadian yang menimpa diri
kekasih Pendekar Naga Putih.
Setelah berkata demikian, Gumang pamit. Dia ber-
niat menanyakan sahabat-sahabatnya, tentang orang-
orang berpakaian hitam yang menculik tunangan Pen-
dekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih yang semula hendak mening-
galkan penginapan untuk mencari kekasihnya, ter-
paksa harus menunda niatnya. Karena, Gumang yang
berjuluk Pendekar Garuda Sakti menjanjikan untuk
mencari keterangan tentang orang-orang yang men-
culik Kenanga. Sehingga, dia terpaksa menunggu di
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penginapan itu.
*** Pendekar Garuda Sakti yang sepertinya sangat
bangga dapat melakukan pekerjaan untuk Pendekar
Naga Putih, beberapa hari kemudian telah kembali
mengunjungi tempat penginapan Panji. Kabar yang di-
bawanya pun cukup melegakan perasaan pemuda itu.
"Hm.... Jadi mereka memiliki perkumpulan yang
cukup kuat?" tegas Panji setelah mendengar kete-
rangan Gumang. "Benar, Panji. Perkumpulan itu sendiri sangat rahasia. Jarang ada tokoh
persilatan yang tahu, di mana sarang perkumpulan pembunuh bayaran yang bernama
Naga Hitam itu. Untunglah, ada salah seorang ka-
wanku yang secara tak sengaja pernah tersesat di dae-
rah perkumpulan itu. Sayang, ia tidak mengetahui
orang yang menjadi pimpinan perkumpulan pembunuh
bayaran itu...," jelas Gumang lagi. Nada suaranya ter-sirat kebanggaan karena
dapat membantu pendekar
muda itu. "Kalau begitu, sekarang juga aku harus menemui
mereka," ujar Panji.
Pendekar Naga Putih segera saja hendak me-
nyatroni markas kelompok pembunuh bayaran yang
telah menculik kekasihnya itu. Tapi, Gumang segera
mencegahnya. Sehingga, kening pemuda itu sempat
berkerut heran.
"Mengapa, Gumang" Bukankah lebih cepat akan
lebih baik?" tanya Panji, seolah tak mengerti apa maksud Gumang sebenarnya
sehingga mencegah kepergi-
annya. "Maaf, Pendekar Naga Putih. Bukan maksudku
mencegah keinginanmu itu. Tapi, aku merasa ragu.
apakah mereka benar-benar telah menculik kekasih-
mu...?" ucap Gumang, menjelaskan duduk per-
karanya. "Sebenarnya aku juga kurang yakin, Gumang. Se-
bab, kalau benar mereka menculik kekasihku, pasti
akan menghubungi ku" Tapi sampai hari ini, mereka
ternyata sama sekali tidak menghubungi ku. Bukan-
kah ini aneh...," Panji yang rupanya juga berpikiran sama dengan Pendekar Garuda
Sakti, segera saja mengung-kapkan rasa penasarannya.
"Itulah yang ingin kukatakan padamu, Panji. Tapi kalau memang mereka tidak
menculiknya, mengapa
pula kekasihmu tidak kembali ke penginapan...?"
tanya Gumang, mengerutkan keningnya seperti tengah
berpikir keras untuk memecahkan masalah yang ma-
sih gelap itu. Pada saat kedua orang itu tengah termenung me-
ngikuti arus pikiran masing-masing, tiba-tiba seorang pelayan datang tergopoh-
gopoh menghampiri.
'Tuan..., Tuan...!"
Pelayan setengah baya itu berteriak-teriak berlari
ke arah mereka. Tentu saja Panji dan Gumang ter-
sentak kaget, dan menoleh dengan kening berketut.
"Seorang pedagang keliling mengantarkan surat ini.
Katanya surat ini untuk Tuan Pendekar Naga Putih...,"
lapor pelayan setengah baya itu sambil menyodorkan
sepucuk surat kepada Panji.
Gumang tidak berkata sepatah pun pada saat Panji
tengah membaca gulungan surat itu. Hanya saja, ke-
ning lelaki gagah itu agak berkerut melihat ketegangan dan kegusaran di wajah
Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Rupanya mereka benar menculik Kenanga.
Perkumpulan pembunuh bayaran Naga Terbang meng-
undangku untuk datang ke Lembah Bintang. Mereka
akan membebaskan Kenanga, apabila aku menyerah-
kan diri...," gumam Panji menjelaskan isi surat itu. Sehingga, wajah Gumang
tampak menegang.
"Lembah Bintang...?" desis Gumang dengan wajah agak pucat.
Jelas lelaki gagah itu telah mengetahui lembah
yang dimaksudkan kelompok pembunuh bayaran yang
bernama Naga Hitam.
"Mengapa, Gumang" Apakah ada sesuatu yang
menakutkan di lembah itu..." Apa kau sudah pernah
mendatangi tempat itu sebelumnya?" tanya Panji. Pendekar Naga Putih memang
merasa heran melihat wajah
sahabat barunya tampak pucat.
"Aku belum pernah ke lembah itu. Tapi kalau boleh ku nasehati, sebaiknya jangan
datang ke lembah celaka itu, Panji....." ujar Gumang menjelaskan
kekhawatirannya. Semua itu tergambar jelas baik
dari wajah maupun ucapannya.
"Hm.... Tidak mungkin, Gumang. Apapun yang
akan dihadapi nanti, aku tetap harus datang me-
menuhi undangan mereka!" tegas Panji dengan suara mantap.
Pendekar Garuda Sakti menatap wajah Panji penuh
kecemasan. Berkali-kali terdengar helaan napas berat-
nya yang berkepanjangan. Beberapa saat lamanya,
Gumang terdiam tanpa kata.
"Aku yakin, mereka pasti akan menjebakmu. Se-
pertinya, mereka telah diperalat orang lain untuk
membunuhmu. Dan umpannya adalah kekasihmu
yang sekarang di tangan mereka...," desah Gumang tanpa semangat
Wajah Pendekar Garuda Sakti tampak demikian
kuyu. Sehingga, Panji semakin merasa suka dan ber-
syukur mendapatkan seorang kawan sebaik laki-laki
gagah itu. "Meskipun benar begitu, aku tetap akan me-
menuhi undangan mereka. kalau tidak, apa jadinya
nasib kekasihku" Atau, kau mempunyai pikiran lain
yang mungkin dapat dijadikan pilihan...?" tanya Panji, hendak mengetahui
pendapat Gumang.
Lelaki gagah berkumis tebal itu hanya meng-
gelengkan kepala tak. bergairah. Sepertinya Gumang
ikut merasa susah memikirkan masalah yang dihadapi
Pendekar Naga Putih.
"Kalau begitu, tidak ada jalan lain. Aku harus pergi untuk menukar diriku dengan
Kenanga. Atau kalau
mungkin, aku akan menghadapi mereka untuk mem-
bebaskan kekasihku," kembali Panji menandaskan
ucapannya yang sepertinya tidak mungkin dapat beru-
bah lagi. "Hhh.... Kalau saja ada yang bisa kulakukan untuk meringankan persoalanmu,
senang sekali rasanya.
Sayang, aku hanyalah orang bodoh yang tidak mem-
punyai pendapat lain...," desah Gumang disertai helaan napas beratnya yang
berkepanjangan.
"Terima kasih, Gumang. Kau tidak perlu berkecil
hati. Apa yang selama beberapa hari ini kau lakukan
untukku, itu rasanya sudah lebih dari cukup. Entah,
bagaimana aku dapat membayar lunas hutang budi
ini..,," kata Panji sambil menepuk-nepuk bahu Gumang.
Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang lelaki
gagah itu sama terdiam tanpa kata. Mereka kembali
termenung mengikuti arus pikiran masing-masing.
Panji yang merasa tidak enak melihat wajah pendekar
itu agak gelap, terpaksa menunda kepergiannya. Dan
lagi waktu yang ditentukannya adalah tengah malam.
Jadi rasanya masih banyak waktu bagi pemuda itu un-
tuk memikirkan cara terbaik untuk membebaskan ke-
kasihnya. "Gumang...," panggil Panji dengan suara perlahan.
Namun, lelaki gagah itu tersentak kaget, karena
terlalu tenggelam dalam lamunannya.
"Ada apa, Panji...?" tanya Pendekar Garuda Sakti dengan mata berbinar. Seolah,
ia mengharapkan Pendekar Naga Putih akan memintanya untuk ikut serta
memenuhi undangan itu.
"Kira-kira berapa lama untuk bisa mencapai Lem-
bah Bintang itu...?" tanya Panji, sekedar untuk melenyapkan kekakuan di antara
mereka. "Hm.... Untuk mendatangi Lembah Bintang dari
Desa Jipang ini, mungkin hanya beberapa jam kalau
dilakukan olehmu. Tapi kalau orang lain yang me-
lakukannya termasuk aku, mungkin bisa satu hari sa-
tu malam...," jawab Gumang, singkat.
"Kalau begitu, aku harus segera berkemas. Sebab, waktu yang diberikan hanya
sampai tengah malam...,"
kata Panji, segera bangkit dari duduknya.
'"Panji...," panggil Gumang menahan langkah pemuda tampan itu, "Hati-hatilah.
Maaf, aku tidak bisa membantumu lebih jauh. Kalaupun aku me-maksa
ikut untuk menambah pengalaman, itu hanya akan
menyusahkanmu saja. Jadi, sebaiknya aku pergi dulu.
Semoga kau dapat menyelamatkan kekasih-mu...."
Gumang akhirnya berpamit kepada Panji, karena
memang tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk
pemuda itu. "Baiklah. Terima kasih atas segala bantuanmu...,"
ucap Panji tanpa berusaha mencegah kepergian lelaki
gagah yang begitu mau bersusah payah membantunya.
Setelah kepergian Pendekar Garuda Sakti, Panji
bergegas ke dalam kamarnya dan membuntal pa-
kaiannya. Usai membayar sewa penginapan, dia be-
rangkat menuju Lembah Bintang.
*** Panji bergerak cepat meninggalkan Desa Jipang
dengan mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Pe-
muda itu berniat tiba lebih awal, agar bisa menyelidiki daerah sekitar Lembah
Bintang. Karena diduga, bukan
tidak mungkin musuh-musuhnya telah memasang pe-
rangkap atau jebakan untuk menewaskannya. Pikiran
itulah yang membuat Panji berlari bagaikan orang di-
kejar setan. Menjelang senja, Panji telah tiba beberapa puluh
tombak di bawah kaki Gunung Burangkang. Memang,
di bawah kaki gunung itulah Lembah Bintang terletak.
Dengan memperlambat gerak langkah larinya, Pen-
dekar Naga Putih terus mendekati kaki Gunung Bu-
rangkang melalui jalan yang agak tersembunyi. Ketika
bulan telah menampakkan wajahnya yang bulat, Panji
pun telah berada di daerah sekitar Lembah Bintang.
"Aneh.... Lembah yang terdiri dari batu-batu ber-lumut inikah yang menurut
Gumang menyeram-
kan..." Lalu, di mana letak keangkerannya...?" gumam
Panji menatapi lembah di bawahnya dari balik rimbu-
nan semak belukar.
Kening Pendekar Naga Putih berkerut agak heran
melihat Lembah Bintang. Karena sejauh mata me-
mandang, tak satu pun yang bisa menimbulkan kese-
raman. Sehingga, pemuda itu menjadi tak me-ngerti
ketika dengan rasa takut dan dengan wajah pucat
Pendekar Garuda Sakti membicarakan lembah itu.
Ketika malam sudah mulai larut, Panji bergerak
hati-hati menuruni lembah. Ilmu meringankan tu-
buhnya dikerahkan hingga puncaknya. Pendengar-
annya dipasang tajam-tajam untuk mendengar suara-
suara yang bisa menimbulkan kecurigaan. Sepasang
matanya mencorong tajam, bagaikan mata seekor naga
di kegelapan. Sedangkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
nya, siap menyebar melindungi tubuhnya.
"Hua ha ha...! Untuk apa mengendap-endap seperti maling yang hendak mencuri,
Pendekar Naga Putih!
Kau tidak perlu khawatir. Tempat ini tidak ada jebakan atau perangkap
satupun...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa bergema meme-
nuhi Lembah Bintang, yang disusul suara parau dan
berat. Pendekar Naga Putih benar-benar terkejut, ka-
rena sama sekali tidak mengetahui di mana musuh-
musuhnya bersembunyi.
Sadar kalau kedatangannya sudah diketahui la-
wan, Panji pun menegakkan tubuhnya. Sambil me-
langkah penuh waspada, dikitarinya sekitar Lembah
Bintang dengan sorot mata yang bagaikan menyala di
kegelapan. Sementara sinar bulan yang semula me-
mancar, telah tertutup awan hitam, membuat suasa
Lembah Bintang menjadi gelap. Apalagi, hembusan
angin demikian keras hingga membuat jubahnya ber-
kibar. Tapi, Pendekar Naga Putih terus bergerak maju
tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Hei, mengapa kalian bersembunyi" Aku sudah da-
tang memenuhi undangan kalian! Bebaskan kawan-
ku, atau kuhancurkan lembah ini...!"
Panji berteriak disertai pengerahan tenaga sak-
tinya. Tentu saja suaranya menimbulkan gaung yang
menggetarkan. Suasana kembali sunyi ketika gema suara pemuda
perkasa itu lenyap ditelan hembusan angin yang san-
gat keras. Beberapa saat kemudian, telinga Pen-dekar
Naga Putih mendengar banyak suara langkah kaki
orang dari depannya.
Panji termenung sambil mencoba menghitung jum-
lah lawan melalui langkah-langkah kaki. Kemudian
kepalanya diangkat setelah dapat menebak jumlah la-
wan. "Hm..., dua belas orang rasanya tidak terlalu banyak. Aneh, mengapa mereka tidak
membawa jumlah yang lebih banyak" Ataukah semua yang datang me-
rupakan pentolan pembunuh bayaran perkumpulan
Naga Hitam...?" gumam Panji seperti bicara sendiri. Selain itu, Pendekar Naga
Putih juga menangkap adanya
langkah yang terseret-seret dengan paksa. Berdebar
hati Panji, karena diduga langkah terseret itu pastilah langkah kekasihnya yang
ditawan mereka.
Panji tidak perlu menunggu lama, karena bebe-
rapa saat kemudian tampaklah belasan sosok tubuh
yang berlarian menuju ke arah aliran sungai yang
membentang di bawahnya. Bergegas pemuda itu men-
gikutinya, dan baru berhenti dalam jarak tiga tombak.
Dan kini tampaklah belasan sosok tubuh terbungkus
pakaian hitam. "Nah, Pendekar Naga Putih! Sekarang kau boleh pilih. Menyerahkan diri agar
nyawamu bisa kami cabut,
Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau terpaksa dara jelita ini kami lemparkan ke sun-
gai...." Terdengar salah seorang dari sosok-sosok tubuh
itu berteriak memberikan pilihan kepada Pendekar Na-
ga Putih. Panji melangkah beberapa tombak lagi untuk me-
negasi raut wajah sosok yang berbicara itu. Tampak
seorang lelaki tua berpakaian serba hitam, berusia sekitar enam puluh tahun.
Sepasang matanya tampak
menyorot tajam menggetarkan jantung. Jelas, hal itu
menandakan kalau lelaki tua itu bukan orang semba-
rangan. Di sebelah kanan lelaki tua itu berdiri seorang lela-
ki tinggi kurus. Tingginya hampir satu setengah kali
tinggi manusia biasa. Sepasang mata lelaki jangkung
berusia lima puluh tahun lebih itu pun menimbulkan
perbawa menggetarkan. Tahulah Panji, ia kini berha-
dapan dengan datuk-datuk golongan hitam. Memang
hanya orang-orang tingkat tinggilah yang memiliki si-
nar mata demikian tajam!
Sedangkan sepuluh orang lainnya tidak begitu di-
perhatikannya. Karena wajah mereka terlindung kain
hitam. Pendekar Naga Putih pun menduga, mereka itu-
lah orang-orang yang menyatroninya di penginapan.
Sepasang mata Panji semakin mencorong ketika
melihat adanya sesosok tubuh ramping terbungkus
pakaian hijau yang tubuhnya terikat tali. Dua orang
berpakaian hitam tampak memegangi sosok yang jelas
seorang wanita itu. Sayang, wajah sosok ramping itu
tidak begitu jelas karena terhalang rambutnya yang jatuh menutupi sebagian
wajahnya. Kepala gadis itu ter-
tunduk seperti tidak sadarkan diri.
"Kenanga...!" desis bibir Pendekar Naga Putih dengan hati berdebar.
Hati Panji bagaikan teriris melihat kekasihnya san-
gat menderita, seperti itu. Terdengar suara ber-
kerotokan dari buku-buku jari tangannya ketika tin-
junya dikepalkan erat-erat.
Pandangan Panji kembali beralih ke arah dua so-
sok tubuh yang diduga merupakan pimpinan musuh-
musuhnya. Setelah menarik napas untuk menente-
ramkan hatinya, pemuda tampan itu menatap tajam ke
arah musuh-musuhnya.
"Rasanya dapat kuduga, siapa kalian berdua,
Orang Tua. Kalian adalah Datuk Naga Hitam dan Peta-
pa Gunung Kulon. Tapi, tak kusangka datuk-datuk
terhormat seperti kalian demikian bersifat merendah
dengan melakukan perbuatan selicik ini. Menurutku,
kalian berdua lebih pantas menjadi pen-jahat-penjahat rendah yang tidak patut
untuk men-jadi seorang datuk....," geram Panji sambil menatap tajam kedua orang
Kisah Para Penggetar Langit 8 Dewa Linglung 1 Raja Raja Gila Pendekar Guntur 9