Pencarian

Ratu Maksiat Telaga Warna 2

Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna Bagian 2


makin besar, ngidamnya bukanlah ngidam yang
wajar. Ningrum mengidam sesuatu yang mungkin
dirasa aneh. Bayi dalam kandungannya meminta
senjata laki-laki. Sungguh keterlaluan dan me-
nyedihkan bagi laki-laki yang mendengarnya.
"Aku juga heran, Nek. Mengapa sejak pe-
rutku membesar aku ingin sekali selalu bersama
laki-laki?" keluh Ningrum seakan menyesali keadaan dirinya. "Aku hamil, manalah
mungkin aku akan bertualang, Nek?"
"Jangan khawatir. Akulah yang akan men-
carikan mangsa."
Si nenek kedipkan mata dengan bibir ter-
senyum, yang lalu di sahuti oleh Ningrum dengan
tersenyum pula. Setelah begitu, keduanya kemba-
li melangkah menuju ke gubug. Dan kembali te-
pian pulau di Tengah Telaga pun sunyi-senyap.
* * * Malam itu nampak di rumah kediaman
seorang pendekar yang namanya sudah cukup
kondang berkelebat sesosok bayangan. Bayangan
itu milik seorang yang berpakaian serba hitam
dengan tali kepala yang sengaja diikat dengan
warna putih. Di tengah tali pengikat kepala, nampak sebuah gambar seekor
kelabang berwarna
merah. Bayangan tersebut sesaat berhenti, me-
nyembunyikan dirinya di balik pepohonan yang
rimbun. Perlahan dengan langkah ringan bayan-
gan tersebut melayang ke udara dan hinggap di
atas sebuah wuwungan rumah tersebut.
"Tampaknya Pramana belum tidur. Hem,
akan aku gunakan ajian penyirepku," bisik hati wanita pemilik tubuh tersebut,
lalu dengan segera wanita itu pun mengheningkan cipta, dan...!
"Aji Sirep Sukma Tirep. Hiat...!"
"Oauh...!" terdengar suara seseorang men-guap, sesaat lalu tak terdengar kata-
kata lagi. Per-lahan tubuh terbungkus pakaian serba hitam
itu membuka satu persatu genting yang ada di
bawah pijakan kakinya. Dan dengan tubuh ringan
wanita itu melayang ke bawah. Matanya meman-
dang sekeliling sesaat, lalu bergegas wanita itu melompat ke sebuah ruangan di
mana biasanya Pramana menyimpan pedang pusakanya, yaitu
pedang Sukma Layung.
Wanita itu tertegun di kamar tempat pe-
nyimpanan pusaka-pusaka milik Pramana. Di
kamar tersebut banyak terdapat lemari, namun di
lemari yang manakah senjata pusaka tersebut
disimpan" Mata wanita yang hanya nampak da-
lam lobang kain hitam penutup mukanya jalang
mengawasi satu persatu almari tersebut.
"Mungkin ini," gumamnya.. Segera ia pun menghampiri lemari yang berada paling
ujung. Perlahan lemari itu dibongkarnya. Namun tidak
urung bunyi congkelan itu pun menggema. Be-
runtung semua yang ada di rumah itu telah terle-
lap tidur akibat aji sirep yang dilontarkannya, kalau tidak. Sungguh sebuah
petaka bagi dirinya.
Kembali wanita bercadar hitam itu men-
congkel pintu lemari tersebut. Dan dengan sege-
nap susah payah, akhirnya wanita itu pun berha-
sil juga membongkar lemari tersebut. Sejenak di-
pandanginya segala macam senjata yang ada. Ma-
tanya seketika menghunjam pada sebuah pedang
yang memancarkan sinar kuning.
"Ini dia!" pekiknya dalam hati. Tanpa banyak memilih lagi, diambilnya pedang
tersebut. "Aku harus segera pergi dari sini."
Dengan hasil sebuah pedang pusaka Suk-
ma Layung, segera maling tersebut mencelat lewat pintu belakang dan pergi
meninggalkan rumah
tersebut. * * * Betapa alang kepalang kagetnya Pramana,
manakala melihat pintu lemari pedang pusakanya
telah terbongkar. Tanpa banyak tanya, segera
Pramana menghambur dan mencari-cari gerangan
apa yang telah hilang.
"Maling bangsat! Rupanya Pedang Pusaka
Sukma Layung yang digondolnya! Awas kalau aku
tahu, jangan harap akan dapat aku maafkan!"
memaki dan mengumpat Pramana penuh amarah.
"Ada apa, Kang mas?" tanya sang istri, yang terjaga dari tidurnya demi mendengar
suaminya mencak-mencak. "Mengapa sepagi ini engkau marah-marah, Kakang?"
"Kau lihat sendiri."
Melotot mata istri Pramana melihat apa
yang telah terjadi di rumahnya. Rupanya maling
semalam telah masuk dan membobol lemari tem-
pat menyimpan barang-barang pusaka.
"Sudah pasti, malingnya tak lain orang-
orang persilatan juga, Kakang?"
"Memang, Dinda. Malingnya memang
orang-orang persilatan. Tapi siapa?" Pramana berkata seakan hendak menangis.
Bagaimana tidak, senjata tersebut adalah warisan kakek gu-
runya yang harus dijaga baik-baik. Kembali Pra-
mana teringat akan pesan gurunya, manakala
kakek gurunya hendak menyerahkan pedang ter-
sebut padanya. "Pramana, pedang ini jangan sampai bera-
da di tokoh sesat, sebab tidak mungkin kalau pe-
dang pusaka ini akan mereka gunakan untuk ke-
baikan. Dan bila pedang pusaka ini untuk ber-
buat jahat, niscaya dia akan meminta korban,
yaitu korban dari keluarga yang memegangnya.
Ingat pesanku baik-baik! Bila pedang ini hilang
dan digunakan untuk kejahatan, maka salah seo-
rang keluargamu akan menjadi korbannya."
"Oh, bencana apa lagi yang akan menimpa
keluargaku?" keluh Pramana, menjadikan sang istri seketika tersentak kaget. Ia
yakin bahwa ucapan suaminya bukanlah ucapan sembaran-
gan, namun ucapan seorang yang benar-benar
mendalami arti sesungguhnya benda pusaka.
"Sudahlah, Kang mas. Janganlah kakang
terlalu memikirkannya. Bukankah lebih baik ka-
kang mencarinya?" istrinya berkata mencoba
menghibur. "Kalau kakang hanya merenung dan menyesali, manalah benda tersebut
akan pulang dengan sendirinya?"
Pramana tak dapat berkata, ia diam me-
maku berdiri. Omongan istrinya dirasa benar
adanya. Ya, kalau dia hanya merenung dan me-
mikir saja, manalah pedang tersebut akan kemba-
li. Dia harus mencarinya, mencari siapa adanya
yang telah mencuri pedang miliknya.
"Baiklah, Dinda. Kakang akan mencoba
mencarinya. Kakang minta do'a darimu."
"Dinda selalu berharap kang mas dalam
kebaikan."
Setelah mencium istrinya, dengan diiringi
istrinya sampai di pintu rumah Pramana pun me-
ninggalkan rumah untuk mencari orang yang be-
lum diketahui siapa adanya. Namun tekadnya
membulat, bisa atau tidak ia harus menemukan
pedang tersebut walau nyawanya sebagai taru-
hannya. *** 5 Setiap hal yang nantinya buruk, tentunya
awal mulanya akan baik dan menyenangkan
hingga orang yang tak sadar akan terlarut di da-
lamnya. Semua itu hanyalah perbuatan setan be-
laka, yang ingin menjerat manusia agar turut ber-samanya....
Begitu juga halnya yang dialami oleh Kam-
to, seorang warga desa Kemanyar yang telah ber-
guru pada Ratu Telaga Warna. Kamto berguru
pada Ratu tersebut, semata-mata mendengar be-
rita bahwa Ratu itu mampu memberikan sebuah
ajian yang sangat hebat dengan cara yang meng-
giurkan. Sebagai seorang pemuda normal, jelas
Kamto pun ingin membuktikan kebenaran apa
yang dijadikan dengang dengung kabar burung.
Maka dengan bekal semangat untuk dapat men-
jadi orang sakti mandra guna, Kamto pun be-
rangkat menuju tempat yang telah diketahui
olehnya melalui tanya sana tanya sini.
"Betapa aku akan menjadi orang sakti den-
gan cara yang nikmat. Sungguh sebuah kesempa-
tan yang tak akan ada lagi," gumam Kamto sembari terus melangkahkan kakinya
menuju ke- tempat yang telah dijadikan tujuannya, yaitu Te-
laga Warna. Sebenarnya Kamto mendengar kabar terse-
but, manakala ia tengah melamun seorang diri
memikirkan keadaan kampungnya yang kini ma-
kin rawan oleh perampokan dan begal. Hampir
setiap malam kampungnya di jarah oleh rampok
dan begal. Sebagai warga yang baik, ingin sekali Kamto dapat menunjukkan darma
baktinya pada desa. Namun ternyata garong-garong tersebut bu-
kanlah orang sembarangan, mereka hampir selu-
ruhnya menguasai ilmu silat. Bila hanya ilmu si-
lat saja yang dia miliki, jelas sia-sia. Terbukti Ki Kamsin, ia memiliki ilmu
beladiri, namun ternyata ia tak mampu menghadapi kesepuluh garong
yang menjarah rumahnya. Dan sudah tentu dike-
tahui hasilnya. Tubuh Ki Kamsin bagaikan se-
buah daging cincang, rapat dengan bacokan-ba-
cokan golok dan tusukan-tusukan keris.
Bukan hanya Ki Kamsin saja yang mempu-
nyai ilmu beladiri namun akhirnya mati di tangan para garong. Bapaknya juga,
mati digorok oleh
para garong. Juga pamannya, Suroso mati oleh
kekejaman para garong tersebut.
"Garong-garong biadab! Tunggulah nanti
pembalasanku!" pekik Kamto penuh kebencian, sambil terus melangkah Kamto terus
menghayal bagaimana jika ia telah memperoleh ajian yang
mampu menahan segala bacokan atau hantaman
lawan. Bila ingat semuanya, seketika Kamto
menggeretak penuh amarah. Dikepalkannya tan-
gan, meninju tangan sebelahnya.
Perjalanan dari rumahnya ke Telaga Warna
bukanlah jarak yang pendek. Namun karena di-
dasari oleh semangat yang tinggi, menjadikan
Kamto bagaikan tak mengenal rasa capai sedikit
pun. Tak hiraukan semak berduri yang mengha-
langinya, ia terus saja mantapkan langkah. Ketika sore telah tiba, Kamto pun
sampailah pada tempat yang dituju. Namun seketika hatinya bim-
bang, bagaimana mungkin dirinya akan mampu
menyeberangi telaga yang begitu luas" Salah-
salah dirinya tak jadi berhasil malah akan mati.
Kamto bermaksud membalikkan tubuhnya hen-
dak kembali, manakala terdengar seruan seorang
wanita yang diseru dari jarak yang jauh, tempat-
nya di tengah telaga warna.
"Anak muda, kenapa engkau urungkan
niatmu" Apakah engkau akan menyia-nyiakan
segala apa yang menjadi tujuanmu"!"
"Heh, benar juga apa yang diserukan oleh
wanita tua itu," gumam Kamto. "Tapi, aku tak mampu untuk mengarungi telaga yang
begini luas." "Kenapa engkau terdiam, Anak muda! Cepatlah kemari! Turunkan tubuhmu ke
air, pasti kau akan mampu menuju ke sini!" kembali wanita tua itu berteriak, menjadikan
Kamto terbengong.
Bagaimana mungkin nenek itu berkata seenak-
nya. Ia mencebur" Ya kalau dangkal, tapi kalau
dalam" Apakah tidak namanya dia sengaja bunuh
diri" "Bagaimana aku dapat menuju ke situ, Nek?"
"Gampang! Terjunkan dirimu, air itu tak
akan mau menenggelamkan tubuhmu!"
"Ah...!" Kamto memekik, nampak masih ra-gu. "Kau jangan bercanda, Nek!"
"Hi, hi, hi...!" nenek itu cekikikan. "Percaya-lah pada Ratu yang hendak
menjadikan dirimu
pendampingnya. Dengan ilmu yang dimiliki oleh
sang Ratu, kau tak akan tenggelam. Nah, boleh
kau coba sekarang."
Dengan setengah takut-takut Kamto segera
menurunkan dirinya untuk mencebur. Dalam be-
naknya hanya ada satu pilihan, ia harus mampu
sampai dan dapat mengeloni tubuh Ratu Telaga
Warna yang menurut kabar cantik jelita. Dan
sungguh-sungguh membuat Kamto seketika
membelalakkan mata. Bagaimana tidak! Air telaga
itu dirasakannya sangat keras menopang tu-
buhnya, sehingga tubuh Kamto pun seperti berja-
lan biasa. Kamto malah kini berlari, sepertinya ia merasakan sebuah pengalaman
yang baru kali ini
ia alami. "Aneh. Mengapa air ini tak ubahnya seperti
tanah?" bertanya-tanya Kamto pada diri sendiri.
Dicobanya menyauk dengan tangan, dan ternyata
memang benar-benar air adanya. "Heh, apakah aku tidak sedang bermimpi?"
"Jangan kaget, Anak muda. Itu semua ka-
rena Sri Ratu menghendaki dirimu. Jika Sri Ratu
tidak menghendakimu, niscaya sudah dari semu-
la kau akan tenggelam!" nenek tua itu kembali berseru.
Kamto yang tengah tercengang makin ter-
cengang saja demi mendengar ucapan si nenek
yang mengatakan bahwa Sri Ratu memang meng-


Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendaki dirinya. Jadi kalau begitu ia tak akan
mengalami kesusahan lagi untuk mendapatkan
segala apa yang diimpikannya. Kamto tak me-
nyangka bahwa suara gaib itu memang benar
adanya. Tengah Kamto masih terbengong dalam
ketidak mengertiannya, kembali terdengar si ne-
nek berkata: "Cepatlah datang, sungguh engkau lelaki
yang menjadi pilihan Sri Ratu. Dan engkaulah
yang menjadi pemuda paling beruntung."
Kini makin terlintas saja khayalan-
khayalan indah di benak Kamto. Khayalan bagi-
mana ia akan menggulati tubuh Sri Ratu yang
cantik jelita. Tubuh Sri Ratu yang sudah pasti
mulus dan elok. Ah, sungguh dirinya memang be-
runtung. Sudah akan mendapatkan kenikmatan,
ia juga akan mendapatkan ilmu yang sangat ting-
gi. Tak berapa lama kemudian Kamto pun te-
lah mendarat di pulau, dimana berada di tengah-
tengah tegalan tersebut. Kehadirannya di sambut
hangat oleh si nenek yang langsung membawanya
menuju ke dalam bangunan yang cukup besar.
Seketika mata Kamto melotot bagaikan mau ke-
luar saja layaknya, manakala keduanya masuk
lebih dalam dan menemui sang ratu. Bagaimana
mata Kamto sebagai seorang anak muda tidak
melotot" Bagaimana darah lelakinya tidak mendi-
dih saat itu juga" Dihadapan Kamto kini terpapar sesosok tubuh indah menggiurkan
tanpa menge- nakan sehelai benangpun, tersenyum ke arahnya.
"Tuan Putri, inilah pemuda tersebut," si nenek berkata setelah terlebih dahulu
menjura hormat. "Semoga Tuan Putri berkenan meneri-
manya." "Aku menerimanya, dan tinggalkan kami
berdua, Nek."
"Daulat, Tuan Putri, hamba mohon pamit
undur." Si nenek untuk kedua kalinya menghormat, lalu setelah begitu ia pun
meninggalkan wa-
nita cantik tersebut bersama Kamto yang masih
terpaku ditempatnya dengan tubuh bagaikan dis-
erang demam yang hebat.
Kamto makin menggigil tatkala tubuh wa-
nita cantik jelita itu bangun dari tempat tidurnya, melangkah menuju ke arahnya
dengan bibir masih menggerai senyum. Tubuh wanita itu benar-
benar sempurna, tanpa cacat cela sedikit pun.
Tubuh tanpa tertutup sehelai kain pun kini me-
langkah ringan, berlenggak lenggok mendekati
Kamto. Namun seketika mata Kamto mengarah
pada perutnya. Perut itu melenting bagaikan
orang bunting. Kamto ingin bertanya, namun se-
ketika hatinya menolak. Dia takut kalau-kalau
nantinya Sri Ratu akan marah besar padanya.
Tak disadari oleh Kamto, Sri Ratu Telaga Warna
tiba-tiba menggelantungkan tangannya di leher
Kamto. "Siapa namamu, pemuda ganteng?"
"Nama hamba, Sukamto."
"Kau ingin menjadi seorang yang sakti
mandra guna, Kamto?"
Kamto tak segera menjawabnya. Kini ia be-
nar-benar telah terlelap dalam pelukan mesra
yang dilakukan oleh Sri Ratu. Kamto kini benar-
benar terhanyut dalam khayal-khayal yang indah.
Khayalan seorang pemuda yang baru pertama ka-
linya melakukan apa yang seharusnya dilakukan
oleh seorang suami istri. Tangan Sri Ratu Telaga Warna bergerak, dan dengan
perlahan satu persatu pakaian Kamto pun melesat jatuh ke bawah.
* * * "Bagaimana, Kamto" Apakah kau ingin
menjadi seorang yang sakti mandra guna?" kembali Sri Ratu berkata, kali ini
sangat lembut sua-ranya. Tubuh Sri Ratu menggelinjang-gelinjang
penuh kenikmatan, bergesek dengan tubuh Kam-
to yang juga telah telanjang bulat. Bagai disengat aliran listrik jutaan volt,
tubuh Kamto seketika turut tersedot oleh irama permainan yang. dilakukan oleh
Sri Ratu Telaga Warna. "Kenapa engkau terdiam, Kamto" Tidakah engkau menghen-
daki ilmu yang sangat tinggi?"
"Sa-saya, menginginkannya, Sri Ratu,"
Kamto berkata terbata-bata. Matanya terus
menghunjam liar, menyelusuri tubuh Sri Ratu
yang berdiri telanjang di depan matanya. Tubuh
yang sepertinya hendak memberikan segala apa
saja pada Kamto. Ya, ilmu yang akan menjadikan
dirinya sakti, juga kenikmatan yang tanpa batas
akan dapat Kamto renggut.
"Menginginkan apa, sayang?" Sri Ratu ber-
kata manja. Tubuhnya bergerak liar, kekanan dan
kekiri, sepertinya tubuh Sri Ratu menari, sehing-ga Kamto yang tergesek pun
seketika merasakan
kenikmatan yang tiada tara. Kenikmatan yang ba-
ru sekali ini dirasakan oleh Kamto.
Mata Sri Ratu yang tajam, seketika beradu
pandang dengan mata Kamto. Kamto merasakan
sebuah letupan-letupan timbul di dalam sanuba-
rinya. Letupan itu menggejolak, menjadikan na-
fas Kamto seketika menggerek bagaikan berat. Sri Ratu tersenyum, dan masih dalam
gerakan-gerakan yang liar, yang mampu menjadikan Kam-
to memejamkan dan memelekkan mata merasa
nikmat. "Kamto, kalau kau ingin mendapatkan apa
yang engkau mau, maka kau harus mau menuru-
ti segala apa yang menjadi aturankau di sini. Bagaimana, apakah kau akan
sanggup?" tanya Sri Ratu masih terus berbuat begitu, menggoyangkan
tubuhnya melenggak lenggok bergesek dengan
tubuh Kamto. Perlahan dibimbingnya tubuh Kam-
to, melangkah menuju ke tempat di mana tadi di-
rinya berbaring. Kamto tetap saja diam, menuruti apa yang dihendaki oleh Sri
Ratu. "Apa yang harus hamba lakukan, Tuan Pu-
tri?" tanya Kamto dengan napas memburu. "Demi Sri Ratu, hamba akan menjalankan
segalanya asalkan hamba diberi bekal ilmu yang mampu
untuk hamba pergunakan."
"Benar, Kamto?" tanya Sri Ratu manja.
"Adakah hamba dirasa berdusta?" Kamto
balik bertanya. Kini tangannya yang kokoh dan
kekar telah mendekap erat tubuh Sri Ratu yang
menggelinjang-gelinjang di bawah dekapan Kam-
to. Sri Ratu tersenyum, lalu katanya: "Aku
percaya, Kamto. Nah, dengarlah. Sejak saat ini,
kau dalam kuasaku. Kau harus menuruti apa ka-
taku. Seminggu kau harus di sini dulu, agar ilmu yang engkau inginkan dapat
segera engkau dapatkan."
"Seminggu, Sri Ratu?" tanya Kamto setengah heran.
"Ya, kenapa?" Sri Ratu balik bertanya.
"Apakah engkau keberatan bila harus di tempat ini seminggu. Apakah engkau tak
suka untuk memberikan kepuasan padaku selama seming-
gu?" "Bu-bukan itu. Hamba akan mau dan dengan senang hati akan memberikan segala
kenik- matan yang Sri Ratu kehendaki sampai kapan-
pun. Jadi, jelasnya hamba tidak menolak untuk
tinggal di sini selama seminggu."
"Lalu, mengapa engkau seperti keheranan,
Kamto?" "Hamba tadinya mengira kalau hamba
akan diberikan waktu yang lamanya 40 hari, se-
perti orang-orang lain melakukan tapa Brata."
Sri Ratu Telaga Warna tersenyum, men-
dengar ucapan Kamto.
"Padaku, tidak! Kau cukup melayani saja
apa yang aku inginkan hanya dalam waktu se-
minggu. Setelah itu, kau akan mendapatkan apa
yang engkau cita-citakan," Sri Ratu berkata: "Ah,
sudahlah, yang penting kita nikmati dulu sega-
lanya dalam seminggu. Setelah itu, kau harus
mampu menarik pemuda-pemuda kampungmu
dan pemuda kampung lain ke mari. Kau sanggup,
Kamto?" "Sanggup, Sri Ratu," Kamto menjawab.
"Apapun akan hamba lakukan demi Sri Ratu,
asalkan hamba selalu dapat menjadi pendam-
pingmu. Hamba sungguh mencintai Sri Ratu."
Tersentak Ratu Telaga Warna mendengar
ucapan Kamto. Bagaimanapun juga ia tidak me-
nyangka kalau Kamto akan berkata terus terang
begitu. Namun demi membahagiakan Kamto, Ra-
tu Telaga Warna pun mengangguk dan berkata:
"Baiklah, aku akan mengangkatmu sebagai pen-dampingku, tapi kau harus
menjalankan tugasmu
terlebih dahulu. Dan setelah anak dalam kandun-
ganku ini lahir, Kau mau?"
Kamto tak berkata menjawab pertanyaan
yang diajukan oleh Ratu Telaga Warna. Ia hanya
mengeratkan dekapannya, lalu mendenguskan
napasnya dengan tajam, seakan mengisyaratkan
pada Ratu Telaga Warna untuk segera memulai.
Sri Ratu nampak masih tersenyum, lalu dengan
penuh semangat membalas dekapan Kamto den-
gan diikuti oleh tarian pantatnya. Tak ayal lagi, Kamto seketika menggigit
bibirnya menahan gejolak nafsu yang menggebu-gebu.
"Sri Ratu, Oah...!"
"Kau sudah bersedia, Kamto?"
"Apapun hamba telah bersedia, Sri Ratu."
"Baiklah, Kamto. Ingat! Kalau kau bermak-
sud membantah, maka kau akan tahu sendiri apa
akibatnya!" Ratu Telaga Warna akhirnya terdiam membisu, seperti juga Kamto.
Kedua mahluk yang dinamakan manusia itu akhirnya saling me-
macu dalam segalanya. Kamto melototkan mata,
lalu mengerang bagaikan disetrom oleh ribuan
watt arus. Tubuh Kamto sejenak terdiam, lalu
terkulai di sisi tubuh Sri Ratu yang tak mau
membiarkan Kamto terkulai begitu saja. Rupanya
Sri Ratu belum mendapatkan kepuasan. Maka
dengan segera ditubruknya tubuh Kamto yang
terkangkang, dan dengan liar Ratu Telaga Warna
segera menggoyangkan tubuhnya. Sungguh ade-
gan yang mendirikan bulu kuduk. Walau pun
adegan tersebut bukan adegan horor, tapi cara
Ratu Telaga Warna mencari kepuasan mampu
menjadikan pemuda Kamto terintih-rintih mena-
han segala siksa.
*** 6 Tujuh hari sudah Kamto menghilang, se-
hingga orang-orang desanya menyangka bahwa
Kamto telah menjadi korban Ratu Telaga Warna.
Tapi ternyata dugaan semua pemuda di kam-
pungnya seketika meleset, manakala sore itu
Kamto nampak berjalan dengan lesu pulang ke
desanya. "Kamto...! Hai itu Kamto datang!" seru seo-
rang rekannya pada temannya yang lain, yang se-
gera mengalihkan pandangannya ke arah di mana
Kamto muncul. "Benar! Itu Kamto. Ayo kita sambut!"
Dengan penuh rasa bangga seluruh pemu-
da yang sore itu tengah nongkrong segera ber-
hamburan menghampiri Kamto yang tersenyum
menyambut kedatangan rekan-rekannya.
"Wah, Kam. Sudah kami kira engkau men-
jadi korban," seorang temannya langsung membuka kata.
"Ya, kami kira engkau telah mati, sebab
kau lama benar menghilang. Bagaimana, apakah
engkau telah mendapatkan ilmu yang engkau in-
ginkan tersebut?"
"Kalian nanti malam boleh menyaksikan-
nya. Kamto sekarang bukanlah Kamto yang dulu.
Kamto sekarang adalah Kamto yang mempunyai
ilmu yang tinggi. Hua, ha, ha...!" Kamto berkata menyombong, menjadikan semua
rekannya seketika kerutkan kening. "Kalian akan tahu kehebatan ilmuku. Nanti
malam, para garong itu akan
menerimanya. Hua, ha, ha...!"
"Kau tidak berdusta, Kam?" tanya temannya penuh keheranan.
"Hem, Jupri. Apakah kau tak yakin?" Kam-to balik bertanya, menjadikan Jupri
terdiam. "Kau ikutlah denganku, biar nanti malam engkau dapat melihatnya. Dan
kalian semua pun dapat ikut
denganku."
"Baik! Kami akan mengikutimu!" serentak semuanya menjawab.
Dengan tenang diiringi oleh puluhan pe-
muda kampungnya Kamto melangkah menuju ke
rumahnya. Rumah yang sudah seminggu diting-
galkannya. Pemuda-pemuda desa itu pun mengi-
kuti, bahkan kini bertambah banyak pemuda itu.
Mereka ingin mendengarkan apa yang telah di-
alami Kamto selama seminggu.
"Kalian tahu, heh. Bagaimana mulusnya
seorang gadis cantik" Jauh lebih mulus milik Sri Ratu." Semua tercengang
mendengar penuturan Kamto. Dalam benak semua pemuda itu terpampang bayangan
indah yang menjadikan diri mere-
ka seketika terhanyut. Tak terasa lidah mereka
melelet, menahan kelu yang terjadi akibat rang-
sangan cerita Kamto.
"Kalian akan memiliki ilmu yang seperti
aku miliki, hanya dengan cara kalian mau mela-
kukan persetubuhan dengan sang Ratu selama
seminggu."
"Ah...!" mereka memekik tertahan.


Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa?" Kamto menanya.
"Enak benar" Sudah mendapatkan kepua-
san dari seorang cewek cakep, kita mendapatkan
ilmu yang tinggi," gumam seorang pemuda yang nampak meleletkan lidahnya terus
menerus, sampai-sampai air liurnya meleleh.
"Ya! Kalian boleh membuktikan sendiri, ba-
gaimana nanti ilmu yang aku miliki!" Kamto masih mencerca cerita, sehingga makin
menjadikan semua pemuda desanya seketika makin terjeru-
mus masuk ke dalam khayal. "Kalian akan aku
antar bila ada yang hendak mendapatkan dua
keuntungan sekaligus. Keuntungan pertama, ka-
lian dapat merasakan nikmat surga dunia. Keun-
tungan kedua, kalian akan sendirinya mampu
memiliki ilmu yang sungguh hebat."
"Aku mau!"
"Aku mau!"
"Aku ikut, Kam!"
"Aku juga!"
Riuh seketika rumah Kamto oleh pekikan
pemuda-pemuda itu yang telah tertarik oleh cerita Kamto. Dan memang nampaknya
semua pemuda tersebut menuruti apa yang saat itu telah meng-
gelegar di hati mereka. Dalam benak mereka
hanya ada bayangan-bayangan keindahan.
"Baiklah, kalian akan aku antar satu per-
satu ke sana. Maka itu kalian harus aku urut,"
Kamto berkata: "Warna...!"
"Saya Kam!" Warna menyahut.
"Surip...!"
"Ya...!"
"Gempol...!"
"Saya...!"
"Enteng...!"
"Saya, Kam!"
... Dan lain-lainnya pun dengan segera me-
nyambut setiap seruan yang dilakukan oleh Kam-
to. Lengkap sudah seratus pemuda yang telah
mendaftarkan. Kini tugasnya telah selesai, tugas yang dibebankan oleh Ratu
Telaga Warna untuk
mencari pemuda sebanyak-banyaknya. Kamto
sunggingkan senyum, sebetulnya senyum itu ada-
lah senyum sinis, namun karena mereka dalam
luapan khayalan yang indah menjadikan mereka
seketika lupa pada keadaan.
* * * Malam pun kini mendendang, tiba dengan
segala kepekatan yang menyelimuti desa tersebut.
Keadaan seketika sunyi bagaikan mati, hanya di
rumah Kamto saja yang tampak masih ramai. Tak
seorang pemuda pun yang berkeinginan pulang,
sebab mereka ingin menyaksikan bagaimana ilmu
yang dimiliki oleh Kamto, dan bagaimana pula
Kamto akan membekuk semua garong yang sering
menjarah kampungnya. Semuanya tampak tak
seorang pun tidur, mereka asyik main gaple cepe-
cepe. Setiap bantingan kartu, seketika meledaklah tawa ria semuanya.
"Wah, sudah malam para garong itu belum
nongol juga, Kam?"
"Mungkin mereka takut kali melihat keda-
tangan Kamto." timpal yang lainnya seraya membanting gaple. "Atau barang kali
mereka tak berani karena melihat kita berkumpul."
"Ah, aku rasa tidak. Aku merasa garong-
garong itu memang benar-benar takut melihat ke-
datangan Kamto."
Tengah mereka bercakap-cakap dengan
main gaple, seketika terdengar dari kejauhan se-
seorang menabuh kentongan. Sementara yang
lainnya berteriak-teriak.
"Tolong...! Garong datang...!"
"Tong, tong, tong!
Mata keseratus teman Kamto seketika
membelalak kaget. Ada rasa ngeri terlintas di wajah mereka, apa lagi di lihatnya
Kamto masih te-
nang-tenang saja.
"Kam, bagaimana ini?"
"Tenang sajalah, Juf. Nanti mereka akan
tahu siapa aku," jawab Kamto masih tenang, sementara keseratus pemuda itu nampak
sudah blingsatan ketakutan. "Apakah kalian tak mau percaya padaku" Biarkan saja
garong-garong itu
menjarah rumah orang, toh nanti mereka datang
ke mari, bukan?"
"Tapi kasihan Mang Kimpul, Kam" Diakan
sudah tua," yang bicara Jufri. Mendengar nama Mang Kimpul disebut-sebut,
seketika Kamto segera bangkit, lalu dengan lagak seorang pimpinan ia pun
mengajak keseratus temannya berangkat.
"Ayo kita ke sana!"
Dengan langkah pasti bagaikan tak men-
genal rasa takut Kamto berjalan paling depan,
mendahului keseratus rekannya yang nampak
menyurut di belakangnya ketakutan. Wajah Kam-
to bagaikan tiada reaksi, beda dengan wajah re-
kan-rekannya yang tegang dan diselimuti oleh ra-
sa ketakutan yang teramat sangat. Langkah Kam-
to begitu tegap, matanya tajam memandang ke
muka, seakan ingin menghujamkan pandangan
matanya pada para garong yang selalu saja men-
jarah kampungnya.
* * * "Jangan tuan, jangan!" memekik seorang gadis terseret paksa oleh seorang garong
yang memiliki tubuh kekar. "Lepaskan!"
"Hua, ha, ha...! Kau harus ikut denganku,
manis! Kau harus mau melayani diriku," garong itu menyeringai, menjadikan sang
gadis makin tampak ketakutan. Namun sang garong tak mau
ambil peduli, ia kini dengan paksa menggendong
tubuh gadis tersebut yang meronta-ronta minta
dilepaskan. "Diamlah!"
"Tidak! Aku tidak mau menjadi istrimu!"
gadis itu kini nampak nekad, memberontak dan
meludahi muka orang yang membopong tubuh-
nya. "Cuh...! Tak sudi aku menjadi istri garong!"
"Bangsat! Aku bunuh kau!" maki marah
garong itu, seraya tangannya mengelap ludah
yang gelepotan di mukanya. Tanpa mengenal ka-
sihan, dilemparkan tubuh si gadis ke rerumpu-
tan. Dan bagaikan seekor serigala kelaparan, sang garong segera menubruk tubuh
gadis itu yang ki-ni tersentak dan segera beringsut mencoba meng-
hindar. Namun rupanya tubrukan sang garong
lebih cepat, sehingga si gadis tak mampu lagi
mengelakannya. Tubuh si gadis akhirnya tertin-
dih oleh tubuh besar si garong.
Kedua tubuh tersebut saling berusaha me-
rangsek. Si garong berusaha membuka pakaian
yang dikenakan si gadis, sementara si gadis berusaha menendang dan mencakar sang
garong den- gan harapan dapat terlepas dari dekapannya.
Namun rupanya dekapan sang garong lebih kuat
dibandingkan dengan berontakan sang gadis, se-
hingga kini si gadis pun akhirnya terdiam. Mana-
kala lelaki tersebut hendak melampiaskan naf-
sunya, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat
menghantam tubuhnya. Tanpa ampun lagi, tubuh
si garong pun seketika berguling-guling menahan
rasa sakit. "Bangsat! Siapa kunyuk yang hendak ber-
lagu dengan gerombolan garong Munik Wangi,
hah!" bentaknya marah.
Pemuda yang tak lain Kamto nampak ter-
senyum menyeringai, lalu dengan sinis berkata:
"Minggatlah kalian dari desa ini! Dan jangan sekali-kali berusaha menginjakkan
kaki di sini selama masih ada aku!"
"Cuih...! Pantang bagiku untuk menyerah!"
"Hem, begitukah?" Kamto berkata sinis. Se-nyumnya mengembang.
"Sudah, Kam. Jangan diberi hati, beri saja
rempela!" pekik teman-temannya.
"Hai, garong tengik! Katakan pada ketua
kalian, bahwa kami akan menjerat lehernya bila
berani lagi pada warga desa ini, mengerti! Kau lihat, keempat rekanmu telah
menjadi bangkai,
mati oleh Kamto!" Pak Lurah turut berkata.
"Bohong!"
"Hem, kau memang ingin digorok rupanya!"
Pak Lurah yang melihat Kamto ada di situ timbul
keberaniannya. "Lihat dengan matamu, noh di so no!" Sang garong segera mengikuti
arah yang ditunjuk oleh Pak Lurah. Dan manakala ia sudah
pasti bahwa rekan-rekannya telah mati, maka
tanpa banyak kata lagi ia pun melesat dengan di-
ikuti ancaman yang ditujukan pada warga desa
tersebut, kususnya Kamto yang dirasa telah
mampu membuat rekan-rekannya tak berdaya.
"Kalian tunggulah pembalasan ketua ka-
mi!" "Katakan pada ketuamu, bahwa aku Kamto masih menunggu kedatangannya secepat
mungkin!" Kamto tak kalah berseru.
"Ayo Kamto, kita adakan syukuran atas ke-
berhasilanmu mendapatkan ilmu yang tinggi ter-
sebut," Pak Lurah mengajak, lalu dengan diikuti warga desa lainnya yang seketika
mengelu-elukan nama Kamto mereka pun meninggalkan batas de-
sa. Dengan penuh kegembiraan semuanya segera
menuju ke rumah kepala desa.
*** 7 Ancaman garong tersebut rupanya bukan
main-main, terbukti esok malamnya datang se-
rombongan garong yang langsung dipimpin oleh
ketuanya. Mereka datang bukan untuk mengga-
rong, melainkan untuk membalas dendam atas
kematian empat orang anak buahnya.
"Mana yang namanya Kamto. Keluarlah ku-
nyuk kecil!"
Kamto yang mendengar seruan ketua ga-
rong, dengan gagah berani berkelebat diikuti seluruh warga desa menemui pimpinan
garong dan anak buahnya yang jumlahnya banyak tersebut.
"Aku yang bernama Kamto. Siapa kau
adanya, hah!"
"Hua, ha, ha...! Ternyata orang yang berla-
gak itu hanyalah seekor tikus kecil bau busuk!"
Ketua garong itu menggeretak penuh kebencian.
Matanya menghujam pandang pada Kamto yang
tampak masih tersenyum tenang. "Hanya dengan tikus bau ini kalian tak berani"
Bodoh!" "Hai, monyet jelek! Kalau kau masih saja
berani menyuruh anak buahmu menjarah ke ma-
ri, jangan harap kami akan membiarkannya. Ka-
mi akan menggantung anak buahmu satu persa-
tu!" Kepala desa tampil dengan segala keberanian.
"Setan bangkotan! Selama engkau masih
menjadi kepala desa, tak akan aku biarkan kau
tenang! Kau licik! Kau manusia yang tidak tahu
malu!" ketua garong itu membentak bengis. "Kau telah menjadikan hidupku
terlunta. Cincang tua
bangka licik itu!"
Kamto tersentak bingung harus bagaimana
ia berbuat. Ia merasa bahwa ucapan ketua garong
itu benar adanya. Namun sebagai seorang warga,
ia harus membelanya. Tak ayal lagi, pertarungan
pun seketika meledak.
"Turunlah kau, Monyet!" bentak Kamto pa-da ketua garong yang masih bertengger di
atas kudanya. "Apakah kau takut menghadapi diriku?"
Betapa gusarnya hati ketua garong terse-
but, demi mendengar ejekan yang dilontarkan
oleh Kamto. Napasnya seketika mendengus penuh
marah, lalu sekali genjot ia pun melesat turun da-ri kudanya dan menghadapi
Kamto. "Tikus busuk! Apakah kau sudah punya
taring, sehingga berani berkoar di hadapanku.
Hah!" "Janganlah kau terlalu berkoar! Kalau kau memang lelaki, maka hadapilah
aku! Aku bukan membela kepala desaku, namun aku hanya ingin
membasmi kejahatan yang telah sekian tahun
menteror warga desaku!"
"Dungu! Kau ternyata dungu! Kepala de-
samu, tak lain hanyalah seorang bajingan yang
bertampang baik. Dia adalah lebih jahat dari diri-ku! Dia telah menghancurkan
kehidupanku. Dia
rebut istriku dengan rayuan-rayuan gombalnya.
Nah, apakah engkau masih saja akan membe-
lanya"!"
"Sekali lagi aku katakan, aku bukan hen-
dak membela dia. Kalau kau memang ada masa-
lah dengan dirinya, mengapa engkau mesti mem-
bawa bencana bagi rakyat yang tidak berdosa"
Aku tak akan ikut campur, asalkan engkau tidak
membawa bencana bagi warga di sini!"
Pimpinan garong itu mendengus marah,
rupanya ia sudah tak dapat lagi menenangkan
hatinya. Ucapan Kamto dirasakannya adalah se-
buah tantangan, tantangan yang menyuruhnya
untuk membuktikan siapa adanya Munik Wangi.
Seorang pimpinan garong yang namanya telah
disegani oleh orang-orang persilatan. Maka den-
gan didahului dengusan marah, Munik Wangi


Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkelebat menyerang Kamto.
Pertarungan pun seketika menjalar cepat.
Pertarungan antara warga desa yang menghenda-
ki keamanan dan ketentraman dirinya dengan pa-
ra garong yang tidak ingin mata pencahariannya
terputus. Dalam beberapa gebrak saja, para warga
yang tak memiliki ilmu tersebut dengan mudah
dapat dijatuhkan. Jeritan-jeritan akibat tebasan golok di tangan para garong itu
menggema, dis-elingi dengan bergedebugnya tubuh korban.
"Lurah bejad! Kau harus mati, Hiat...!" ma-ki sang garong yang menghadapi Kepala
Desa. "Jangan harap semudah itu kau berbuat
padaku!" "Hem, aku akan membuktikan dan mem-
buat matamu melotot siapa adanya aku. Ten-
tunya kau masih mendengar suaraku, bukan!"
"Kau... kau Rastini"!" terbata Kepala Desa menyebut nama seorang garong yang
mukanya tertutup dengan kain, yang dengan gencar me-
nyerangnya. "Rupanya kau masih belum pikun! Nah,
kini bersiaplah kau menerima kematianmu yang
busuk! Kau harus mati di tanganku, sebab kau
dulu pernah membuatku merana oleh rayuan be-
jadmu! Kau rebut diriku dari tangan kakang Mu-
nik Wangi, tapi setelah kau nodai diriku, kau telantarkan diriku begitu saja."
"Aku tidak bermaksud menelantarkan di-
rimu. Kaulah yang lari meninggalkan diriku!"
Rastini cibirkan mulut, demi mendengar
ucapan Kepala Desa, yang sangat bertentangan
dengan hal yang pernah terjadi sebenarnya.
"Manusia pengecut! Dulu engkau menyia-
nyiakan diriku, tapi kini setelah maut diambang
pintu, kau berusaha merayuku lagi. Huh, tak
akan aku berikan ampun padamu. Nah, bersiap-
lah kau untuk mati, Hiat...!"
Secepat kilat tubuh Rastini berkelebat. Go-
lok di tangannya seketika berselewangan bagai-
kan mempunyai mata. Golok tersebut dilihat oleh
Kepala Desa bagaikan sebuah maut yang siap me-
rajah dirinya. Dan memang benar, golok itu ak-
hirnya bergerak cepat, menghujam ke kepala Ke-
pala Desa. "Aaah...!" Kepala Desa memekik sesaat, lalu ambruk dengan nyawa terputus dari
raga. Kepa-lanya pecah menjadi dua, terbelah menyembur-
kan darah yang seketika membanjir berbaur den-
gan otaknya yang meleleh putih.
"Kakang...! Aku telah membunuhnya!" Rastini memekik histeris, menjadikan
semuanya se- ketika terhenti diam. Mata mereka seketika meli-
hat ke tempat di mana tubuh Lurah desanya ter-
geletak tanpa nyawa dengan darah berbaur otak
keluar dari belahan kepala yang menganga ter-
pancong golok. "Kini dendamku sudah terlunasi, kita pergi kakang! Kita pergi,
hi, hi, hi...!"
Tanpa memeperdulikan warga desa yang
masih terbengong-bengong dalam keterkejutan-
nya, para garong itu pun segera minggat mening-
galkan desa itu. Tinggallah semua warga yang
menghampiri tubuh kepala desanya yang sudah
menjadi mayat. "Hem, semua adalah ulahnya sendiri," gumam Kamto dalam hati. Ia telah mendengar
sen- diri siapa adanya kepala desanya. Kini tugasnya
telah selesai, dia hanya memerlukan pemuda-
pemuda desa untuk menjadi pengikutnya sebagai
pemuas nafsu Sang Ratu Telaga Warna.
* * * Pagi masih begitu cerah, mentari pun ma-
sih samar-samar menampakan dirinya untuk
kembali mengedarkan dirinya ke orbitnya. Dari
perbatasan desa, nampak serombongan anak
muda berjalan meninggalkan desanya menuju ke
arah Barat. Paling depan berjalan seorang pemu-
da yang tidak lain Kamto adanya.
"Kita akan berkemah di pinggir Telaga,"
Kamto berkata. "Kenapa tidak sekalian kita menuju ke
tempat tersebut?" tanya salah seorang dari temannya.
"Bukankah aku tidak mengijinkan kalian
semua datang bareng, tapi kalau Sri Ratu tidak
berkenan, bagaimana?"
"Iya, ya...!"
"Bagaimana?" kembali Kamto bertanya.
"Akur, deh!" jawab mereka serempak.
Semua pemuda itu akhirnya dengan mem-
bisu kembali berjalan, menuju ke tempat di mana
Kamto mendapatkan ilmu yang tinggi. Tak be-
rapa lama antaranya, mereka pun akhirnya sam-
pailah di tempat yang dituju. Tempat yang indah
dan asri, di mana terpampang luas sebuah telaga
yang airnya beraneka warna.
"Kalian di sini dulu, dirikan kemah!"
"Kau mau kemana, Kam?" tanya Jufri.
"Aku hendak menemui Sri Ratu," jawab
Kamto singkat. "Nah, aku harap kalian bersabar di sini."
Dengan segera Kamto pun berkelebat me-
nuju ke Telaga Warna, lalu dengan tanpa merasa
takut akan tenggelam Kamto pun turun ke per-
mukaan air. Seketika mata keseratus temannya
membelalak kaget. Mereka baru tahu, kalau Kam-
to mampu berjalan di atas air.
"Wah! Apakah aku tak salah lihat?" tanya Jufri terheran-heran.
"Atau barangkali aku bermimpi?"
"Iya-ya. Mengapa Kamto mampu melaku-
kan itu semua" Sungguh Ratu itu sakti bukan
alang kepalang," gumam yang lainnya.
Mata mereka terus memandang ke arah
Kamto yang berjalan dengan santainya, seperti
Kamto berjalan di atas tanah saja. Malah semua-
nya makin membelalak kaget, tatkala Kamto dili-
hat oleh mereka berlari. Makin percaya saja me-
reka pada kehebatan ilmu Sri Ratu. Bayangan
mereka kini tertuju pada bayangan segala kein-
dahan yang bakal didapat oleh mereka dari Sri
Ratu. Kepuasan batin, juga ilmu yang sungguh-
sungguh luar biasa.
* * * "Kau telah datang, Kamto?" terdengar sua-ra seorang wanita menyambut kedatangan
Kamto. "Benar, Sri Ratu. Hamba telah membawa
apa yang dipesankan oleh Sri Ratu."
"Hi, hi, hi...! Kau ternyata benar-benar setia padaku, sayang" Kaulah seorang
calon suami yang baik, yang mengerti akan apa yang menjadi
keinginan istrinya." Sri Ratu Telaga Warna seketika manja, bergayut di pundak
Kamto yang me- nyambutnya dengan penuh bara nafsu.
"Demi engkau, apa pun akan aku penuhi,"
bisiknya di telinga Sri Ratu mesra, menjadikan Sri Ratu kembali tersenyum.
"Seandainya kau minta nyawaku pun, aku akan memberikannya untukmu, asal kau
benar-benar setia dan cinta pada-
ku." "Aku tidak memerlukan itu, Kamto. Aku hanya minta pengertianmu untuk selalu
memberikan padaku kebebasan dalam melaksanakan
niat yang telah terpendam di hati."
"Aku juga mengerti apa yang sebenarnya
terkandung dalam tubuh sang bayi. Aku rela tu-
buhmu di jamah oleh lelaki lain, asalkan hati dan cintamu hanya untukku."
"Ooh... sungguh kau seorang lelaki yang
penuh pengertian," lenguh Sri Ratu. "Mana pemuda-pemuda itu, Kamto?"
"Bukankah aku belum mendapat jatah -
darimu, sayang?"
Tanpa meghiraukan Sri Ratu yang melen-
guh-lenguh penuh rasa dahaga, Kamto terus
mencerca sekujur tubuh Sri Ratu dengan ciuman-
ciuman yang mampu membuat mabuk bagi Sri
Ratu. Sri Ratu menggelinjang, dan tak lama ke-
mudian satu persatu pakaian yang dikenakan
oleh mereka pun lepas menggelorot ke bawah tu-
buh keduanya. Kini tubuh keduanya tak tertutup
sehelai benang pun, polos. Keduanya kembali
bergulat, saling serang dan terjang dengan sege-
nap nafsu membara di dalam benak mereka. Tak
lama kemudian, Kamto pun meregang, lalu meng-
gelo-sot rebah terlentang di samping Sri Ratu,
yang dengan buas tak menyia-nyiakan kesempa-
tan itu. Bagaikan orang kelaparan saja Sri Ratu Telaga Warna kembali mencerca
tubuh Kamto dan menggulatinya dengan disertai erangan-
erangan yang menyayat.
Satu persatu dari keseratus anak muda itu
berdatangan menuju ke pulau di tengah Telaga.
Pulau yang bagi mereka yang tidak tahu adalah
pulau Surga. Ya, memang di situlah pulau Surga,
dimana mereka akan mendapatkan kepuasan ba-
tin yang tak pernah mereka temukan di alam
yang bebas. Jufri kini yang melesat menuju ke tempat
di mana pulau itu berada. Mulanya Jufri takut,
tatkala Kamto mengajaknya turun dan melangkah
di atas air. Namun setelah dirasakannya mampu,
secepat kilat Jufri pun tertawa bergelak-gelak ke-girangan.
"Hai...! Lihat Kam, aku ternyata dapat ber-
jalan sepertimu."
Kamto hanya tersenyum-senyum.
"Itu karena Sri Ratu berkenan menerima
kehadiranmu, Juf."
"Oh, betapa bahagianya aku, ternyata Sri
Ratu mau menerima kedatanganku. Benarkah
apa yang engkau katakan, Kam?" Jufri yang hatinya berbunga-bunga bertanya ingin
memasti- kan. "Kalau aku tidak benar, niscaya tubuhmu telah amblas ke dalam air ini dan
dimakan oleh hiu-hiu dan buaya-buaya Iblis yang ada di dalam-
nya." Bergidik juga Jufri mendengar Kamto berkata bahwa di dasar telaga warna
tersebut ada binatang-binatang buas yang setiap kali mampu
mencincang tubuhnya. "Hiiii...!"
"Kenapa, Juf?" Kamto bertanya. "Kau takut?" Jufri tak dapat berkata, ia hanya
mengang-gukan kepala saja.
"Jangan takut, semua hiu dan buaya di si-
ni akan tunduk dengan perintah Sri Ratu," Kamto kembali berkata, mencoba
menenangkan Jufri.
"Ayo Jufri, kita sebentar lagi nyampai."
Digeretnya tangan Jufri, berlari dengan ce-
patnya, menjadikan Jufri hanya mampu meme-
jamkan mata rapat-rapat. Ia takut kalau-kalau
tubuhnya amblas ke dasar telaga. Sungguh tak
dapat di bayangkan bagaimana jadinya tubuhnya
bila harus menjadi santapan lezat ikan-ikan dan
buaya-buaya liar tersebut.
Kamto tak hiraukan Jufri yang masih keta-
kutan, ia terus menggeret tangan Jufri berlari melintasi jalan air dengan
kencangnya, sehingga keduanya bagaikan terbang. Jufri sendiri kini makin
merapatkan pejaman matanya, tak berani membuka barang sekejap pun untuk
menyaksikan apa
yang tengah terjadi dengan dirinya.
"Juf, bukalah matamu, kita telah sampai."
Perlahan Jufri membuka matanya, dan be-
tapa tersentaknya dia demi melihat apa yang dilihatnya. Di hadapannya kini
terpampang sebuah
rumah yang besar, mirip seperti istana. Hal itu
menjadikan Jufri kembali terbengong-bengong,
tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Belum juga Jufri hilang dari keterbengon-
gannya, tiba-tiba ketujuh puluh lima temannya
datang dan menghampirinya. Namun sungguh
menjadikan Jufri tak mengerti, sebab ketujuh pu-
luh lima temannya ternyata kini tak mengenal di-
rinya lagi. "Kenapa mereka" Sepertinya mereka som-
bong padaku. Apakah karena mereka telah memi-
liki ilmu tersebut?" hati Jufri bertanya-tanya penuh keheranan.
"Ayo Jufri, Sri Ratu telah menunggumu."
Jufri tersentak dari terbengongnya, mana-
kala terdengar suara Kamto berkata mengejutkan
dirinya. Dengan masih menyimpan rasa bingung
Jufri pun akhirnya menuruti ajakan Kamto. Ma-
tanya masih terus memandang pada ketujuh pu-
luh lima temannya yang tampak diam tak hirau-
kan dirinya. "Hem, apa yang sebenarnya mereka
lakukan?" gumam hatinya masih bertanya-tanya.
Kamto telah menarik tangannya, mengajak
Jufri untuk terus menuruti langkahnya. Jufri se-
ketika makin tersentak, lidahnya melelet tatkala melihat apa yang tengah ada di
hadapannya. Seorang wanita cantik jelita, memandang ke arahnya
dengan pandangan seakan meminta. Tubuh wani-
ta itu polos, tiada sehelai benang pun yang menu-tupinya.
"Ini Sri Ratu," Kamto berkata.
"Kemari sayang... bukankah engkau meng-
hendaki ilmu dariku?" suara Sri Ratu begitu men-dayu, mampu menggetarkan hati
Jufri. Sorot ma-
ta Sri Ratu seketika menyentakkannya untuk
mau menuruti apa saja yang hendak diminta oleh
Sri Ratu darinya. Kamto segera meninggalkan-
nya. Perlahan Sri Ratu bangkit, menghampiri
Jufri yang nampak masih terdiam tanpa reaksi.
Dan manakala tangan Sri Ratu membuka pa-
kaiannya, Jufri pun hanya diam dan diam. Ma-


Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya terus memandang ke arah bawah tubuh Sri
Ratu yang tak tertutup sehelai benangpun.
Tak berapa lama kemudian, kedua manu-
sia itu pun akhirnya terlibat pergumulan. Baru
kemudian terdengar erangan menyayat yang ke-
luar dari mulut Jufri. Dan manakala Jufri meng-
gelosot ke samping, sungguh telah berubah kea-
daan fisiknya. Kini Jufri bukanlah seorang lelaki lagi, sebab miliknya telah
hilang terbetot entah kemana. Namun anehnya, dari pangkal itu tak
keluar darah setetespun. Sri Ratu hanya terse-
nyum, senyum kecut melihat Jufri terkapar den-
gan merintih-rintih.
Sri Ratu tercenung, bangkit duduk dari ti-
durnya. Entah perasaan apa, tiba-tiba ia menyes-
al telah melakukan segala desakan yang mengge-
bu-gebu dari dalam rahimnya. Dari luar si nenek
masuk, hanya tersenyum pada Ningrum yang
hanya mendesah berat.
"Nek, sampai kapankah aku harus me-
nanggung semua ini?"
"Sampai bayi itu lahir, Anakku," jawab si nenek kalem. Si nenek sejenak
memperhatikan tubuh Jufri, dan si nenek pun seketika tersenyum penuh kemenangan. Dendamnya
pada lelaki telah
dapat terbalas.
Apa yang sebenarnya dikandung oleh Nin-
grum atau Ratu Maksiat Telaga Warna, sehingga
mengidam milik semua pria. Lalu kemana hilang-
nya barang antik Jufri dan rekan-rekannya" Apa
sebenarnya yang ada di rahim Ningrum" Untuk
mejawabnya, silahkan kalian ikuti serial Jaka
Ndableg Pendekar Pedang Siluman Darah selan-
jutnya, dalam judul "Bocah Kembaran Setan."
*** 8 Jaka yang saat itu sedang berjalan-jalan,
seketika nalurinya mengajak dirinya untuk men-
gawasi perut yang nampaknya memang ingin di-
isi. "Wah, rupanya cacing-cacing ini tidak mau
diajak kompromi," keluh Jaka. "Baiklah, aku sekaligus hendak istirahat dulu."
Segera Jaka pun berkelebat menuju ke se-
buah kedai, di mana tampak tak begitu jauh dari
tempatnya berjalan. Kedai itu bukan kedai biasa, besar dan penuh pelayan yang
cantik. Rupanya
kedai itu tidak hanya dijadikan tempat makan be-
laka, namun dijadikan pula tempat yang lainnya.
Jaka perlahan memasuki kedai tersebut,
seketika matanya melihat beberapa wanita peng-
hibur sedang bercanda ria dengan laki-laki hi-
dung belang. Hem, jelas ini bukan kedai biasa,
tapi kedai maksiat! Heran, mengapa baru seka-
rang aku menemukan kedai ini?" Jaka terus melangkah berat, memasuki ruangan
kedai. Serta merta seorang gadis cantik berkelebat dan lang-
sung menubruk dirinya.
"Oh, inikah dewa yang baru turun dari
kayangan?" gadis itu merajuk. "Sungguh tampan wajahmu, sayang?"
Jaka tak hiraukan belaian-belaian tangan
gadis tersebut, dia tetap saja melangkah mencari tempat duduk. Matanya seketika
memandang pa-da seorang pemuda yang benar-benar ia kenal
benar. "Tegalaras...!"
Orang yang merasa disebut namanya seke-
tika menengok, dan nampak Tegalaras tersentak
demi melihat Jaka pun ada di tempat maksiat ini.
"Jaka...! Oh, tak aku sangka kalau aku ak-
hirnya dapat menemukan dirimu di sini!" pekik Tegalaras yang dengan segera
bangkit dari du-duknya, menghambur ke arah Jaka. "Kapan kau tiba di daerah ini,
Jaka?" "Aku datang secara tak sengaja, Tega.
Kau...?" Jaka balik menanya.
Tegalaras tak segera menjawab, ditariknya
lengan Jaka keluar dari kedai. Jaka yang tadinya perutnya sudah keroncongan,
akhirnya menuruti
juga apa yang menjadi ajakan Tegalaras.
Sesampai di luar, Tegalaras segera menga-
jak Jaka untuk beristirahat di bawah sebuah po-
hon beringin yang cukup rindang. Kemudian Te-
galaras pun menceritakan maksud kedatangan-
nya ke tempat tersebut, yang tak lain untuk
membuktikan desas-desus adanya Ratu Maksiat
Telaga Warna, yang mencari korbannya semua
pemuda. "Kau tahu Jaka, bahwa kedai ini baru ber-
diri sejak Ratu Maksiat Telaga Warna berkuasa."
"Hem, begitu?" Jaka bertanya. "Lalu, apakah selama ini belum ada yang tahu di
mana ke- beradaan Ratu Maksiat tersebut?"
"Itulah, Jaka. Aku sendiri datang ke mari
atas seruan ayahku untuk mencarikan Pedang-
nya, yang katanya hilang dicuri oleh seseorang.
Dan menurut pendapatku, orang tersebut ten-
tunya ada sangkut pautnya dengan Ratu Maksiat
ini." "Kau yakin, Tega?"
"Ya!" jawab Tegalaras pendek dan pasti.
"Darimana kau dapat keyakinan tersebut?"
Jaka kembali bertanya.
"Aku mendengar dari seseorang yang me-
nyebutkan dirinya Ki Gedong Wulung."
"Ki Gedong Wulung!' Jaka memekik kaget,
menjadikan Tegalaras kembali bertanya.
"Kenapa Jaka, sepertinya kau telah men-
genal adanya siapa Ki Gedong Wulung?"
"Ya! Dia adalah tokoh tua yang sakti. Kalau begitu, jelas benar adanya. Kini
kita tinggal bagaimana caranya mendapatkan keberadaan Ratu
Maksiat tersebut!" Jaka berkata. "Mari kita mencoba mengoreknya dari pemilik
kedai itu."
Dengan segera kedua pendekar itu pun
berkelebat kembali masuk ke dalam kedai. Kedu-
anya dengan tenang duduk di sebuah kursi, lalu
menyantap makanan yang dihidangkan. Sementa-
ra dari arah lain dua gadis cantik datang meng-
hampiri mereka, menggelayutkan tubuh mereka
pada pundak Jaka dan Tegalaras.
Jaka dan Tegalaras yang memang bermak-
sud mencari informasi adanya Ratu Maksiat Tela-
ga Warna, kini dengan pura-pura melayani kedua
gadis tersebut. Dibiarkan kedua gadis itu menja-
rahkan bibir-bibir mereka keseluruh tubuh dan
muka. "Siapakah namanu, manis?" Jaka merayu.
"Kau ingin tahu?" tanya gadis itu manja.
"Tentu! Untuk apa aku bergaul dengan
orang yang tidak aku ketahui namanya?"
"Boleh!"
"Siapa...?"
"Namaku...?" gadis itu balik menanya. "Ya,
namamu," jawab Jaka meyakinkan. "Namaku, Ayu Sari."
"Wow, nama yang indah. Ayu berarti can-
tik, persis orang yang memilikinya. Sedangkan sa-ri, berarti inti. Jadi Ayu
Sari, bermakna Kecantikan yang lestari, pusat dari segala kecantikan."
Jaka ngegombal dengan seenaknya, men-
jadikan Ayu Sari merona merah pipinya. Makin
bertambahlah keanggunan gadis itu, manakala
pipinya merona merah.
"Kau sendiri, siapa namamu Dewa?" Ayu
Sari makin manja.
"Aku bukan Dewa, aku manusia biasa."
"Kau tampan, melebihi tampannya manu-
sia." Jaka tak mampu berkata-kata mendengar penuturan Ayu Sari yang polos
tentang dirinya.
Jaka hanya dapat menunduk, sembunyikan se-
nyumnya yang dalam.
"Kenapa?" Ayu Sari kembali menanya.
"Siapakah namamu, Dewa?"
Jaka tercenung memikirkan siapa kira-kira
nama untuk dirinya agar tidak dikenal pada se-
tiap orang yang datang. Setelah berpikir sesaat, Jaka pun akhirnya berkata
menjawabnya. "Namaku yang telah engkau sebut."
"Kau bohong," Ayu Sari kembali merajuk.
"Aku tidak berbohong, Ayu."
"Benar?" Ayu Sari masih belum mau per-
caya, Jaka segera menganggukinya. "Aku cinta padamu, Dewa."
"Ah...."
"Kenapa, Dewa?" Ayu Sari kerutkan ke-
ningnya demi mendengar desahan Jaka. "Apakah kau tidak suka padaku?"
"Bukan itu, aku suka padamu. Tapi aku
ingin menanya padamu, tahukah engkau di mana
adanya Ratu Telaga Warna?"
Mendengar pertanyaan Jaka, seketika Ayu
Sari terdiam. Matanya yang lentik memandang
pada Jaka, sehingga Jaka mau tak mau harus
menerima pandangan tersebut. Tangan Ayu Sari
perlahan menjalar, lalu dengan lembut mengusap
dada Jaka yang bidang. Tangan itu begitu lembut, menyelusup dengan mesra
kesegenap dada Jaka.
"Kau ingin kesana, Dewa?" tanya Ayu Sari, nadanya seakan gelisah. Ya, Ayu Sari
merasa gelisah, kasihan bila Jaka yang tampan itu harus
menjadi korban Ratu Maksiat Telaga Warna.
"Ya!" jawab Jaka singkat.
"Jangan, Dewa."
"Kenapa...?" Jaka menanya tak mengerti.
"Kau tahu mengapa di sini banyak wanita-wanita seperti diriku?" tanya Ayu Sari
kembali, yang di-jawab oleh Jaka dengan gelengan kepala. "Itu semua karena kaum
lelakinya jadi korban."
"Korban...!" Jaka dan Tegalaras memekik kaget. "Korban bagaimana, Ayu?" Jaka
kembali menanya.
"Setiap orang lelaki yang menuju ke Telaga
Warna, ia akan tak pernah kembali. Kalau pun
kembali, keadaannya sungguh mengerikan. Ba-
rang miliknya buntung, menjadikan lelaki terse-
but harus mengalami goncangan jiwa yang berat
hingga akhirnya gila."
"Oh, Gusti Allah. Bencana apa yang akan
melanda dunia!" Jaka mengeluh, tak sadar ia ber-ucap menyebut nama Tuhan.
"Katakanlah di ma-na tempatnya, Ayu"!"
Ayu memandang pada temannya sesaat, la-
lu setelah temannya mengangguk, Ayu Sari pun
akhirnya dengan nada berbisik menunjukkan
tempat di mana Sri Ratu Maksiat berada.
"Dia sesuai dengan julukannya, berada di
Telaga Warna."
Jaka saling pandang dengan Tegalaras se-
saat, lalu kembali memandang pada Ayu Sari dan
katanya kemudian: "Ayu, aku harus ke sana.
Maafkan aku tak bisa lama-lama menemanimu.
Kalau memang umur kita panjang, kita akan ber-
temu lagi. Ayo Tegalaras, kita segera ke sana!"
Setelah membayar makanan yang mereka
makan, serta memberikan uang tip pada kedua
gadis tersebut, segera kedua pendekar itu me-
lesat pergi meninggalkan kedai.
*** 9 Ratu Maksiat Telaga Warna nampak ter-
baring dengan lesu di atas pembaringannya. Ke-
hamilannya yang telah sampai masanya di rasa-
kan telah melilit-lilit. Mungkin bayi yang akan di-
kandung akan keluar. Di situ nampak pula nenek
Racun Iblis, juga keseratus lelaki yang telah menjadi abdinya.
"Nek, mengapa perutku terasa sakit?" keluh Ningrum atau Ratu Maksiat Telaga
Warna sembari meringis-ringis.
"Tenanglah, Nak. Mungkin sebentar lagi
anakmu akan lahir," si nenek mencoba menghibur. "Benar Sri Ratu, mungkin bayi
Sri Ratu akan lahir," keseratus abdinya yang telah menjadi orang-orang tak
berarti itu turut menghibur. "Walau kami laki-laki, namun kami sering mendengar
bahwa kelahiran bayi pertama memang terasa sa-
kit." Ratu Maksiat Telaga Warna masih terus merintih-rintih kesakitan, perutnya
dirasa melilit bukan alang kepalang, sepertinya perut tersebut
hendak meledak-ledak saja.
Tengah sang Ratu dalam keadaan merin-
gis-ringis kesakitan, tiba-tiba terdengar suara seseorang kakek dari luar
berseru memanggil nama
si nenek. "Nenek Iblis Racun! Keluar, kau!"
"Bangsat! Siapa yang telah lancang men-
gumbar mulut seenaknya di sini!" si nenek menggeretak penuh marah. "Ayo, kalian
semua ikut aku, biar Ratu kalian ditunggui oleh Kamto."
Dengan bergegas mereka pun berlari ke-
luar, menemui asal suara yang ternyata milik seorang kakek tua renta berjanggut
panjang putih. Si nenek cibirkan mulutnya, manakala melihat siapa
adanya orang yang datang.
"Mau apa kau datang kemari, Ki?"
Ki Gedong Wulung tampak tenang, lalu
menjawab berkata.
"Aku ingin menghentikan sepak terjangmu,
Iblis!" "Hi, hi, hi...! Apa pedulimu, kakek peot!"
"Karena kau telah mengambil korban
kaumku, maka aku pun tak akan membiarkan
hal ini berlarut-larut. Kau harus mengakhiri se-
pak terjangmu yang sudah kelewatan!" Ki Gedong Wulung nampak mendengus. Tasbih
di tangannya berputar-putar.
Bersamaan dengan ketegangan yang me-
muncak antara dua tokoh tua beda aliran terse-
but, serombongan orang persilatan yang dari ali-
ran lurus tiba. Mereka terdiri dari tokoh-tokoh
persilatan yang sudah tak sabar menerima berita-
berita tentang hilangnya para lelaki muda yang


Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya hilang di pulau Telaga Warna.
"Suruh keluar Ratu kalian. Biar kami men-
cincangnya!" orang-orang tersebut tak mampu re-dakan amarah, dan berseru-seru
dengan dilanda-
si kemarahan. "Tenang saudara-saudara. Kalian jangan
terburu emosi. Kalian tak tahu sebenarnya siapa
yang berada di balik ini semua." Ki Gedong Wulung mencoba menyabarkan para tokoh
persilatan yang nampaknya sudah tak dapat lagi menahan
amarah. "Kenapa kami harus tenang, Ki" Bukankah
kalau dibiarkan berlarut akan mengakibatkan
tindakan Ratu Maksiat itu menjadi-jadi?" salah seorang dari pendekar tersebut
memprotes. "Aku tahu. Tapi janganlah kalian sebagai
seorang pendekar menuduh pada hal yang belum
kalian ketahui benar. Anak Pramana sebenarnya
tak salah, ia sebenarnya telah sadar. Tapi karena nenek Iblis Racun inilah ia
jadi seorang wanita
liar. Kandungannya yang tadinya tidak apa-apa,
kini meminta korban banyak pria. Kalian tahu,
bayi apa yang kini terkandung oleh Ningrum si
Penguasa Bukit Karang Bolong?"
Semua yang ada di situ terdiam, tak ada
yang berani menjawab pertanyaan yang dilontar-
kan oleh Ki Gedong Wulung. Demi melihat hal
tersebut, segera Ki Gedong Wulung kembali me-
neruskan ucapannya sekaligus menjawab perta-
nyaan yang dilontarkan oleh dirinya sendiri.
"Bayi yang ada dalam rahim Ningrum, kini
telah dipengaruhi oleh nenek Iblis ini. Bayi itu sungguh sangat disayangkan,
harus mau menuruti apa kata si nenek Iblis. Dendamnya pada Eka Bilawa ternyata
telah menjadikan dia dendam pa-da lelaki. Dan tubuh anak Pramana yang cantik
itulah yang dijadikan simbol dari kejahatannya."
"Bohong!" si nenek membentak marah.
"Siapa yang bohong!" tanya. Ki Gedong Wulung. "Sebagai prang tua, pantang bagiku
untuk mendusta. Kecuali kau!"
"Bedebah! Jangan kira kalian akan mampu
berbuat sesuka kalian di sini, Tua bangka!" nenek Iblis Racun nampak menggeretak
marah. Dan tanpa di duga sebelumnya, tangannya telah men-
gisyaratkan pada keseratus anak buahnya untuk
menyerang. Dan bagaikan sebuah robot saja ke-
seratus lelaki malang itu pun segera berkelebat
menyerang para tokoh persilatan.
Pertarungan pun terjadi, kini pekikan-
pekikan pun menggema mewarnai suasana pulau
Telaga Warna. Si nenek Iblis Racun segera berke-
lebat menyerang membabi buta pada Ki Gedong
Wulung. Tangannya yang tampak berkuku pan-
jang dan beracun mencerca pada Ki Gedong Wu-
lung bagaikan tak menghendaki lelaki tua renta
tersebut dapat membalasnya.
"Mengapa mereka tak dimangsa binatang
peliharaanku?" tanya si nenek dalam hati bimbang. "Apakah mungkin binatang-
binatang tersebut telah dibunuh oleh mereka?"
Belum juga si nenek mampu menjawabnya,
tiba-tiba Ki Gedong Wulung telah berkelebat me-
nyerang balik dengan tasbih saktinya. Mau tak
mau si nenek harus dengan cepat menghindari
serangan tersebut kalau dirinya tak ingin hancur seperti batu yang terkena
serangan tersebut. Melihat dirinya tak mampu mencerca si Kakek den-
gan mengandalkan racunnya, segera si nenek ca-
but pedang yang sedari tadi tergantung di pun-
daknya. Seketika semua pendekar yang berada di
situ memekik manakala tahu pedang apa yang
kini berada di tangan si nenek.
"Pedang Sukma Layung!"
"Pencuri Busuk!" maki Ki Gedong Wulung marah bercampur geram. Serangannya kini
makin ditingkatkan. Walaupun si nenek mengguna-
kan pedang pusaka yang sudah terkenal, namun
karena ia tak memiliki dasar-dasarnya, sehingga
pedang tersebut bagaikan tak ada arti sama sekali di tangannya. Malah Tasbih
maut yang berada di
tangan Ki Gedong Wulung dapat dengan segera
mencercanya. Tengah tubuh si nenek terdesak,
tiba-tiba dari dalam rumahnya terdengar jeritan
yang menyayat. "Aaah...!"
"Tidak...! Tidak...!" suara Ningrum memekik. Tanpa hiraukan mereka yang sedang
ber- tempur, segera mereka yang bertempur hentikan
pertempuran. Serentak mereka pun berkelebat
menuju ke arah suara Ningrum menjerit.
"Bayi Kembaran Setan...!"
Memekik semua yang ada di situ, manaka-
la melihat sesosok bayi yang berwajah sangat me-
nakutkan dengan taring panjang tengah mengge-
rogoti tubuh Kamto yang sudah acak-acakan. Te-
tapi anehnya sang bayi tidak jahat pada ibunya.
Bahkan matanya seketika menyala-nyala, mana-
kala melihat orang-orang datang.
"Oaaar...!" bayi itu memekik, lalu bagaikan terbang melesat kearah mereka yang
ada di situ. Tanpa ayal lagi, semua seketika dibikin repot. Mereka berusaha menghindar, tapi
tak ayal ge-rakan bayi tersebut begitu cepatnya, menjadikan mereka tak kuasa
untuk mengelakannya.
Satu persatu dari orang-orang hamba Ratu
Maksiat Telaga Warna meninggal dengan darah
terhisap oleh sang bayi. Dan setelah melihat kese-
ratus orang itu mati, sang bayi kini mencerca pa-da para tokoh persilatan.
Gerakannya begitu liar dan ganas, hampir menyerupai gerakan tokoh silat kelas
tinggi. Kembali korban berjatuhan, salah seorang
tokoh persilatan berusaha menghadangnya den-
gan pedang. Tapi sungguh tak disangka, kalau
pedangnya bahkan seketika patah menjadi dua
tatkala menghantam tubuh sang bayi.
Tanpa banyak kesulitan BAYI KEMBARAN
SETAN tersebut memuaskan nafsunya dengan
membunuh satu persatu dari tokoh-tokoh persila-
tan yang bagaikan tak berarti apa-apa.
Kini mata sang Bayi Kembaran Setan yang
bagaikan menyala memandang pada nenek Iblis
Racun dan Ki Gedong Wulung.
"Itulah akibat ulahmu, Nenek busuk!"
menggeretak marah Ki Gedong Wulung.
"Enak saja kau menuduhku!" balas mem-
bentak si nenek. Namun hanya sesaat mereka to-
koh tua itu bersitegang, sebab Bayi Kembaran Se-
tan telah berkelebat menyerang mereka.
"Anak Setan!" maki si nenek menghindar.
"Anak Iblis!" si kakek pun tak kalah kaget.
"Kita bekerja sama untuk menghadapinya,
Ki." "Ya! Tanpa kerja sama, kita sendiri yang akan menjadi korbannya."
Akhirnya kedua tokoh tua yang beda ha-
luan itu pun saling bahu membahu untuk meng-
hadapi Bayi Kembaran Setan yang tak mengenal
kompromi. Serangan bayi itu begitu ganas, ham-
pir saja kedua tokoh tua tersebut kalang kabut.
Ternyata segala ilmu yang dimiliki oleh ke-
dua tokoh tua tersebut bagaikan tiada arti. Maka dalam sekejap saja, sang Bayi
Kembaran Setan telah mampu membuat keduanya terkapar ber-
mandikan darah.
"Hoaar...!" bayi itu menggelegar, sepertinya penuh kemenangan, lalu dengan cepat
melesat pergi entah ke mana.
Tak lama setelah kepergian bayi tersebut,
Jaka dan Tegalaras tiba di tempat tersebut. Mata mereka seketika menyipit,
manakala ia melihat
tubuh berlumuran darah tergeletak tanpa nyawa.
Mata Jaka yang tajam seketika melihat desah na-
pas seorang yang sudah ia kenal benar.
"Ki Gedong Wulung!" Jaka segera meng-
hampiri tubuh tersebut, lalu dengan segera men-
gangkat tubuh itu. "Ki, apa yang telah terjadi?"
"Bayi Kembaran Setan telah lahir. Semua
telah menjadi korbannya." Ki Gedong Wulung terbata menceritakan apa yang
terjadi, yang telah
menimpa dirinya, juga diri semua orang yang
tampak tergeletak.
"Hem, kalau begitu bayi yang diramalkan
tersebut telah lahir. Aku harus segera mengejar-
nya." Jaka tiba-tiba berkelebat ke arah Timur, di mana bayi tersebut minggat.
"Tegalaras, kau te-mui saja adikmu, biar aku yang mengejar bayi Ib-
lis tersebut...!"
Tegalaras melangkah pelan, meninggalkan
mayat-mayat yang tercecer di sana-sini, masuk ke dalam rumah. Matanya seketika
melihat tubuh adiknya terkulai pingsan. Dengan penuh haru,
dibopongnya tubuh Ningrum. Dan setelah men-
gambil Pedang milik ayahnya Tegalaraspun segera
membawa tubuh Ningrum berlalu dari tempat itu.
Ikuti kisah Jaka Ndableg Pendekar Pedang
Siluman Darah selanjutnya, dalam judul: "Ni-san Untuk Jaka Ndableg!"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Pedang Inti Es 2 Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Racun Kecantikan 1
^