Pencarian

Bocah Kembaran Setan 2

Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan Bagian 2


mampu berjalan. Kini bocah tersebut tidak lagi
menengkurap, namun berjalan dalam udara. Ka-
ki-kakinya yang kecil, bergerak cepat laksana lari di atas angin. Kaki-kaki
kecil itu tak menapak tanah barang sekalipun.
"Menurutlah, Bocah! Menurutlah kau pa-
daku!" Laksa Tuah menggemakan suaranya.
Nampak Bocah Kembaran Setan tercenung diam,
seakan ucapan telah mampu menguasai dirinya.
"Kau harus menurut padaku. Nurut... kalau tidak, maka aku akan menjadikan dirimu
kodok." Bocah Kembaran Setan benar-benar me-
nurut, namun kembali tiba-tiba selarik sinar berkelebat ke arah tubuh si bocah
yang menjadikan
si Bocah Kembaran Setan tersentak sadar. Betapa marahnya si bocah manakala
dirinya merasa telah tersihir, serta merta ia menggerang kembali marah:
"Oaaar...!"
"Bedebah! Orang itu harus dibunuh du-
lu!" bentak marah Laksa Tuah pada teman-
temannya, memerintahkan agar mereka menyele-
saikan dulu Begong Damar yang telah selalu
menggagalkannya. "Kalau Begong kunyuk itu tak mati, maka gagallah kita. Bahkan
diri kita yang akan menjadi korban."
"Setan Tengkorak dan kau, Iblis Sepuh,
bunuh dia!" perintah Kumilir Seta dengan nada geram. Tanpa banyak kata lagi,
kedua tangan kanan Kumilir Seta berkelebat ke arah Begong Da-
mar. "Begong Damar keparat! Kau harus
mampus!" bentak Setan Tengkorak Darah gusar, lalu dengan tanpa menunggu jawaban
dari Begong Damar ia pun berkelebat menyerang.
"Kalianlah yang keparat! Kalian telah ber-
laku licik!" balas Begong Damar tak mau kalah.
"Bangsat! Kau telah banyak membuang-
buang waktu! Kaulah yang licik, hiat...!" Tengkorak Darah dengan sengitnya
menyerang Begong
Damar. Sementara Iblis Sepuh kini menghadapi
adik seperguruan Begong Damar yaitu Sungil
Sumur. Maka pertarungan keempat tokoh aliran
sesat itu pun tak dapat dihindari, sementara yang lainnya nampak hanya menonton
tak ada yang ikut campur. Mereka rupanya menunggu, siapa
yang akan menjadi pemenangnya yang akan me-
reka hadapi. Melihat pimpinan-pimpinan mereka ber-
tarung, seketika para anak buahnya pun tak mau
ketinggalan. Serentak tanpa dikomando mereka
pun saling serang. Makin bertambah serulah per-
tarungan kedua Persekutuan Sesat tersebut. Jerit kematian para anak buah mereka
menggema, seakan nyawa mereka sudah tiada arti sama se-
kali. Hanya karena memperebutkan hal yang be-
lum tentu mereka dapati, mereka telah mem-
buang-buang nyawa.
* * * Laksa Tuah dibantu dengan Kumilir Seta
terus berusaha menjinakkan Bocah Kembaran
Setan. Laksa Tuah merasa bahwa usahanya men-
dekati hasil kalau saja tidak diganggu oleh Be-
gong Damar tak mau putus asa. Kembali Laksa
Tuah dengan mengandalkan Tuah ucapannya be-
rusaha mendapatkan sang bocah.
"Bocah... kau dengar ucapanku" Menu-
rutlah! Menurutlah...!"
Mendengar suara Laksa Tuah yang
menggema, seketika Bocah Kembaran Setan ter-
sentak diam. Matanya yang tadinya menyala be-
rapi-api memendam sinar kematian, kini nampak
agak redup. "Oaar...! Oaar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, suaranya tidak segarang tadi,
tapi suaranya kini makin melembut seakan menuruti apa
kata Laksa Tuah.
"Bagus! Kau memang harus menurut pa-
daku. Mari... marilah ke sini! Aku adalah rajamu, aku adalah sahabatmu! Kau
harus menuruti segala perintahku."
Betapa girangnya Kumilir Seta melihat
Bocah Kembaran Setan nampak menurut. Bocah
tersebut berjalan mengambang di udara, mende-
kat ke arah Laksa Tuah berada. Makin lama ma-
kin mendekat, dan dekat...!
"Oar....!"
Bocah Kembaran Setan terus melangkah,
dan...! "Wuss...!"
Tersentak Laksa Tuah, manakala tiba-
tiba Bocah Kembaran Setan garang menyerang ke
arahnya. Ternyata ajiannya yaitu Tuah Sakti tak ada fungsi sama sekali bagi si
bocah. Tak alang kepalang kagetnya Laksa Tuah juga Kumilir Seta.
Laksa Tuah berusaha mengelak. Namun...!
"Oaaaar...!"
Gerakan Bocah Kembaran Setan begitu
cepat, sehingga sulit bagi Laksa Tuah untuk da-
pat menghindari serangannya. Tanpa ampun lagi,
tangan Bocah Kembaran Setan yang berkuku
panjang hitam dan runcing itu mencengkeram le-
hernya. Laksa Tuah berusaha melepaskannya
dengan hantamkan tangan ke arah tangan si bo-
cah, tapi malah cengkeraman tangan Bocah Kem-
baran Setan makin keras menghunjam lehernya.
Laksa Tuah tak mau mengalah begitu saja, ia
kembali hantamkan tangan ke kepala si bocah.
"Dug!"
Tangan Laksa Tuah mendarat telak di
kepala botak si bocah. Kalau kepala orang biasa, tentunya akan pecah berantakan
seperti batu granit bila dihantam tangan Laksa Tuah. Tapi kepala si Bocah Kembaran Setan
tiada apa-apa, bahkan kini tangan Laksa Tuahlah yang hancur
dengan tulang-tulang remuk.
"Oaaar...! Nyit...! Nyit....!"
Melihat tangan kanannya terancam ba-
haya, dengan segera Kumilir Seta berkelebat me-
nyerang tubuh si bocah. Namun sungguh terke-
jutnya Kumilir Seta, manakala melihat serangan-
nya tak ada arti sama sekali bagi si bocah. Bahkan kini tangannya yang melepuh
bagaikan diba- kar oleh api yang beribu-ribu panasnya.
"Oaar...!" kembali Bocah Kembaran Setan mengoar.
"Aaaah...!" menjerit seketika Laksa Tuah, manakala taring Bocah Kembaran Setan
menghunjam di lehernya. Jeritan Laksa Tuah hanya
sesaat, lalu hilang dengan terdengarnya suara de-sisan darah yang terhisap.
"Bocah Iblis! Aku bunuh kau!" menggeretak marah Kumilir Seta. Segera ia rapalkan
ajiannya Iblis Tangan Seribu. Dengan ajian tersebut, yang menjadikan tangan
Kumilir Seta berubah
menjadi banyak, Kumilir Seta dengan garang me-
nyerang. "Hiat...!"
Bocah Kembaran Setan menyeringai, le-
paskan mangsa yang sudah kering darahnya ter-
hisap. Segera Kumilir Seta bergerak, menyerang
dengan Tangan Seribunya. Tangan itu begitu ba-
nyak, menjadikan si bocah nampak kebingungan.
Namun ternyata Bocah Kembaran Setan kebin-
gungan untuk sementara, kemudian dengan ga-
nas bocah tersebut segera menyerang.
Pertarungan dua mahluk yang sama-
sama memiliki kesaktian lebih itu terus berjalan.
Dua mahluk yang berbentuk manusia, dengan
yang satu berbentuk bocah dan yang lainnya ber-
bentuk orang tua. Serangan-serangan mereka be-
gitu cepat, laksana kilatan-kilatan cahaya yang menerangi gelapnya malam.
Tertegun semuanya melihat pertarungan
keduanya, sebab belum pernah mereka menyak-
sikan pertarungan yang dilandasi dengan semua
ilmu-ilmu Iblis. Maka mereka yang dari tadi bertarung, seketika hentikan
pertarungan dan men-
galihkan pandangan mereka pada dua mahluk
tersebut yang kini tengah terlibat pertempuran
satu lawan satu.
Bocah Kembaran Setan terus merangsek
dengan cepat, namun begitu Kumilir Seta pun tak mau mengalah. Kini kedua mahluk
itu makin me-ningkatkan serangannya, lalu keduanya bagaikan
terbang saling memapaki dengan ilmu-ilmu mere-
ka. "Oaar...!"
"Hiat...!"
"Duar...!"
Dua tangan yang berbeda keadaannya itu
saling beradu, melontarkan segenap ilmu yang
mereka miliki hingga menjadikan sebuah ledakan
yang sangat dahsyat. Dan tubuh itu terpelanting ke belakang. Tubuh Kumilir Seta
sepuluh tombak mental, sementara Bocah Kembaran Setan nam-
pak hanya berjumpalitan di udara hingga dengan
entengnya mengambangkan tubuhnya tanpa
menginjak tanah. Ya, kaki Bocah Kembaran Setan
tak pernah sekali pun menginjak tanah. Mungkin
itu kelemahannya. Bila ia menginjak tanah, pastilah segala kekuatannya akan
hilang. Namun ru-
panya Kumilir Seta dan yang lainnya tidak me-
nyadari hal itu, sehingga mereka pun tak begitu menghiraukan. Kalau mereka
menghiraukan, niscaya mereka akan menyadari bahwa kaki si
Bocah Kembaran Setan ada di atas tanah setinggi satu meter.
"Oaar...! Nyit, nyit, nyit...!" Bocah Kembaran Setan kembali keluarkan suara
mengoarnya yang diikuti dengan suara aneh. Sementara Ku-
milir Seta nampak terduduk bersilah, dan dari
tubuhnya keluar sebuah bayangan yang tak
mampu dilihat oleh mata biasa.
Melihat hal tersebut, nampak si Bocah
Kembaran Setan pun tak mau mengalah begitu
saja. Bocah kecil berumur kira-kira setahun itu pun segera melakukan meditasi
dengan tubuh masih mengambang. Dari tubuh Bocah Kembaran
Setan, keluar sebuah bayangan pula. Bayangan
tersebut menyerupai seorang pemuda tampan,
menghambur menghadapi bayangan yang keluar
dari tubuh Kumilir Seta.
"Genjati, menyingkirlah engkau dari sini!"
bentak bayangan yang keluar dari tubuh Kumilir
Seta. "Hua, ha, ha...! Wumo Geran, kaulah yang harus menyingkir! Kedudukanmu
jauh berada di bawahku. Ilmumu pun jauh berada di ba-
wahku. Akulah yang akan mampu mengatasi ja-
gad raya ini."
"Tidak bisa! Kau terlalu telengas! Kau
akan menjadikan cita-cita Ratu berantakan!"
kembali Wumo Geran membentak.
"Apa perdulimu! Aku kini bukan pengikut
Ratumu! Aku kini pengikut Ratu Sanca!"
"Bedebah! Rupanya kau telah berkhianat!
Kau harus mati, Genjati! Kau akan menerima hu-
kuman dari Sang Ratu!" marah dan gusar ber-aduk pada diri Wumo Geran, manakala
menden- gar penuturan Genjati yang mengakui bahwa di-
rinya kini telah bersekutu dengan Ratu Sanca
yang menjadi musuhnya. "Pengkhianat! Jangan kira aku takut menghadapimu!"
"Hua, ha, ha...! Kau tak akan mampu,
Wumo Geran! Kau tak akan mampu mengalahkan
aku!" "Kita buktikan! Hiat...!" Wumo Geran yang sudah marah, dengan segera
berkelebat menyerang Genjati. Keduanya tak lain Iblis-iblis
Penghuni Kawah Draka, di mana berdiri kerajaan
iblis bernama Kercaka Maruta yang dipimpin oleh Raja Gelerang Sengger.
Pertarungan dua iblis yang telah kembali
dalam bentuk ujud mereka, yaitu dengan cara
meninggalkan raga-raganya terus berjalan dengan serunya. Namun tampaknya memang
Genjati jauh berada dua tingkat ilmunya bila dibanding-
kan dengan ilmu yang dimiliki oleh Wumo Geran.
Maka dalam beberapa jurus saja, Genjati dapat
segera mendesak Wumo Geran.
"Wumo Geran, terimalah kehancuranmu!
Ajian Kilat Senggana, hiat...!"
Larikan sinar biru berkelebat cepat meng-
arah ke Wumo Geran keluar dari telapak tangan
Genjati. Segera Wumo Geran pun membalasnya
dengan ajian yang ia miliki. Namun ternyata dengan ilmu yang ada pada Genjati
lebih tinggi di-
bandingkan dengan ilmu yang ada pada diri Wu-
mo Geran. Maka tak ayal lagi, sirnalah Wumo Ge-
ran manakala larikan sinar biru yang bernama
Ajian Kilat Senggana menghantam tubuhnya.
Bersamaan dengan sirnanya sukma Wu-
mo Geran, tubuh Kumilir Seta pun seketika itu
meledak dahsyat.
"Duar! Dum...!"
Terbelalak semua mata melihat kejadian
tersebut, sehingga dengan seketika mereka pun
melompat menghindari ledakan tersebut. Dan
tanpa banyak membuang waktu, mereka yang ta-
dinya berkeinginan mendapatkan Bocah Kemba-
ran Setan segera lari serabutan tanpa hiraukan
bayi tersebut. 6 Melihat musuh-musuhnya berlarian me-
ninggalkannya, Genjati yang saat itu belum kem-
bali masuk ke dalam tubuh si bocah tak dapat
berbuat apa-apa. Akhirnya ia pun tak menghi-
raukan mereka yang berlarian meninggalkannya.
Memang tujuan sebenarnya bukan untuk meng-
hisapi darah mereka, tetapi tujuan sebenarnya
adalah mencari Kitab Banyu Geni yang berada di
situ.

Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Genjati segera kembali ke tempatnya, yai-
tu tubuh bayi yang nampak masih mengambang
di udara. Setelah ia kembali pada tubuh bayi tersebut, Genjati segera melesat ke
bawah di mana Lingkaran Kematian berada.
Mata Iblisnya seketika tersentak kaget,
manakala melihat ratusan mahluk-mahluk jin
Marakayangan nampak berjaga-jaga mengelilingi
sebuah batu yang berdiri kokoh di tengah-tengah para Jin yang berjumlah banyak
tersebut. "Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, seakan membentak pada para jin
Marakayangan yang tampak tenang dan setia menjaga apa yang
telah diperintahkan oleh tuannya. Ya, keempat
puluh Jin tersebut adalah utusan Resi Kumara
Geni. Para Jin tersebut adalah prajurit-prajurit sang Resi, dan para Jin
tersebut memiliki ilmu
yang tiada taranya. Jin itu telah dipesan, agar jangan sekali-kali meninggalkan
tempat tersebut sebelum orang yang dimaksud oleh sang resi datang. Para Jin itu
juga tak tahu siapa adanya
orang yang akan mengambil kitab Banyu Geni
yang mereka jaga. Resi Kumara Geni hanya men-
gatakan, bahwa dirinya akan memberitahukan
pada mereka bila orang tersebut datang. Maka
para Jin penjaga yang setia itu tak mau memberikan pada pendekar-pendekar yang
bermaksud mengambilnya dikarenakan belum ada kabar dari
Sang Resi. Dan bagi mereka yang berani mende-
kat lebih dari dua tombak, maka kematianlah
yang mereka peroleh.
Kini Bocah Kembaran Setan telah men-
dekat. Jaraknya dengan para Jin penjaga Lingka-
ran Maut makin lama makin mendekat. Para Jin
tersebut masih tampak tenang, sedangkan Bocah
Kembaran Setan nampak mengerang marah se-
perti membentak agar para Jin itu mau menying-
kir dan membiarkan dirinya dapat mengambil ki-
tab tersebut. "Oar...!"
Bocah Kembaran Setan nampak menge-
rang, lalu dengan cepat tubuhnya berkelebat me-
nuju di mana para Jin itu berada. Bocah Kemba-
ran Setan dengan nekad berusaha menerobos pu-
taran jin-jin tersebut, namun sungguh bukanlah
hal yang mudah untuk melakukannya.
Manakala tubuh Bocah Kembaran Setan
hendak menerobos, secepat kilat salah seorang
Jin yang dekat dengannya hantamkan pukulan.
"Bug!"
Tubuh Bocah Kembaran Setan mental, la-
lu jatuh melayang di udara. Namun Bocah Kem-
baran Setan tak mau mengalah begitu saja, dan
kembali ia pun bangkit. Dengan mengerang ma-
rah, Bocah Kembaran Setan berkelebat kembali
menyerang. "Oar...!"
Mata Jin-jin penunggu itu melotot marah,
lalu salah satu Jin itu dengan gusar membentak:
"Genjati, minggat kau dari sini!"
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, yang dimengerti oleh Jin tersebut
sebagai kata-kata penolakan.
"Genjati! Kalau kau menolak, maka jan-
ganlah menyesal bila aku akan menghukummu.
Minggat dari sini, atau dengan terpaksa aku akan
menjadikan sukmamu sengsara seumur-umur!"
bentak Jin yang mungkin pimpinan para Jin ter-
sebut. Genjati tampak terdiam dengan mata
memandang tak berkedip pada Raja Jin, seper-
tinya ia hendak memberikan isyarat bahwa di-
rinya tak akan mau mengakui kekalahan terse-
but. Namun ketika ia hendak mengadakan seran-
gan lagi, tiba-tiba terdengar desahan angin me-
nerpa tubuhnya. Angin tersebut datangnya dari
seorang kakek tua yang berpakaian serba putih
dengan janggut dan rambut putih pula.
"Bocah iblis! Apakah engkau akan terus
memaksa!" orang tua renta itu membentak, suaranya begitu menggelegar laksana
badai prahara yang mampu meruntuhkan gunung batu. "Kalau kau tak mau minggat, maka jangan
salahkan kalau kau akan menjadi sukma layangan!"
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.
"Bocah dungu! Iblis dungu! Kau akan
mampus bila Pendekar tersebut datang ke mari!
Kau akan mampus, iblis sombong!" kembali lelaki tua renta itu membentak.
Ternyata bentakan lelaki tua renta itu
berpengaruh juga, sebab Bocah Kembaran Setan
kembali mengoar. "Oar...!"
"Aku tidak mendustaimu! Pendekar Pe-
dang Siluman Darah akan datang ke mari untuk
mengusirmu dari dunia ini!"
Bersamaan dengan habisnya suara lelaki
tua renta itu, terdengar derap langkah kaki dua orang manusia berlari bagaikan
kilat menuju ke
tempat tersebut. Dua orang lelaki yang satu muda belia dan satunya lagi tua
renta, berlari dengan cepatnya laksana kelebatan angin menuju ke
tempat di mana Bocah Kembaran Setan dan lelaki
tua renta berpakaian serba putih juga keempat
puluh Jin itu berada.
"Itu Bocah Kembaran Setan tersebut!"
pemuda yang tak lain Pendekar Pedang Siluman
Darah, menunjukkan telunjuknya ke arah Bocah
Kembaran Setan pada Pendekar Bedah Jagad
yang diketahui adalah kakak seperguruannya.
"Ayo kita cepat ke sana."
Kedua pendekar tersebut makin memper-
cepat larinya menuju ke Lembah Bangkai yang ja-
raknya tidak begitu jauh lagi. Hanya karena mata Jaka yang tajam, sehingga ia
mampu memandang
jarak yang masih agak jauhan.
"Apakah engkau akan tetap membandel,
Bocah Iblis!" kembali lelaki tua serba putih itu membentak. "Kalau kau membandel
inginkan Kitab ini, maka kau akan berhadapan dengan Pen-
dekar Pedang Siluman Darah. Dialah pewaris Ki-
tab Banyu Geni milikku, yang sesungguhnya mi-
lik kakeknya Paksi Anom"
"Jadi Pendekar itukah yang kami dengar
anak angkat Ratu Siluman Darah, Tuan?" tanya Raja Jin pada lelaki tua renta
serba putih yang tak lain Resi Kumala Geni.
"Benar! Dialah anak angkat Ratu Siluman
Darah." Tersentak Bocah Kembaran Setan, manakala mendengar penuturan Resi Kumala
Geni yang mengatakan bahwa pemuda yang kini me-
nuju ke arahnya adalah anak angkat Ratu Silu-
man Darah, Ratu kehidupan bagi para siluman
dan roh-roh halus macamnya. Mata Bocah Kem-
baran Setan seketika meredup, hatinya seketika
itu pula bergumam. "Bahaya! Sungguh bahaya kalau memang ia anak angkat Ratu
kehidupan umat siluman. Tapi aku belum percaya! Aku tak
akan mau percaya sebelum aku membuktikan-
nya!" "Kau belum minggat! Hem, rupanya kau hendak menantangnya. Jangan kira kau
akan menang, Bocah Iblis!" Resi Kumala Geni membentak. Sebagai Resi, ia sebenarnya
tak ingin mahluk apapun akan binasa di hadapannya. Tapi rupanya Bocah Kembaran
Setan telah nekad dan
berani menghadang Pendekar Pedang Siluman
Darah yang sudah kesohor tersebut. "Kenapa kau begitu nekad, Bocah Iblis!"
"Oaar...!" Bocah Kembaran Setan men-
goar, yang dimengerti oleh sang Resi arti koaran tersebut. Koaran itu adalah
bentakan agar sang
Resi diam. Bukan alang kepalang marahnya para Jin
anak buah sang Resi mendengar bentakan yang
dilontarkan oleh Bocah Kembaran Setan yang me-
reka kenal dengan nama Genjati.
Hampir saja keempat puluh Jin itu
menghajar Bocah Kembaran Setan, kalau saja
sang Resi tidak segera mencegahnya dan berkata,
"Biarkan dia dengan kemauannya! Dia sendiri yang akan menerima hasilnya!"
Jaka Ndableg dan Pendekar Bedah Jagad
telah sampai di tempat Lembah Bangkai, manaka-
la secara tiba-tiba Bocah Kembaran Setan berke-
lebat menyerang mereka.
"Awas Kakang...! Bocah itu menyerang!"
Jaka berteriak mengingatkan Pendekar Bedah Ja-
gad. Dengan segera keduanya berkelebat meng-
hindari serangan Bocah Kembaran Setan. Kedua-
nya lemparkan tubuh ke samping, sehingga lolos
dari cakaran kuku-kuku sang bocah yang hitam
panjang dan tajam.
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.
Matanya memandang penuh berapi-api, seperti-
nya ada kemarahan yang mendalam pada kedua
pendekar tersebut.
"Bocah iblis!" bentak Pendekar Bedah Jagad. "Aku tahu siapa adanya engkau!
Mengapa engkau mesti menggunakan bocah yang tidak
berdosa"! Keluarlah kau dengan ujud aslimu."
"Oaar...!"
"Bocah iblis! Kalau kau tak mau menye-
rah, jangan salahkan aku Jaka Ndableg menghu-
kummu!" Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah pun membentak. "Sebenarnya
aku tak tega untuk menyakitimu, namun tindakanmu sudah tak dapat dibiarkan. Kau
telah membuat bencana di dunia ini. Tapi jika kau mau menye-
rah maka aku akan mengampunimu!"
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan kembali mengoar, lalu dengan cepat kembali
berkelebat menyerang kedua pendekar kakak beradik seper-
guruan. "Awas, Kakang! Bocah itu menyerang!"
Dengan cepat keduanya kiblatkan tangan mereka
ke arah datangnya Bocah Kembaran Setan, yang
saat itu tengah melayang menuju ke arah mereka.
"Ajian Petir Sewu, hiat...!" Jaka mengeluarkan Petir Sewu.
"Ajian Bedah Sukma, hiat...!" Pendekar Bedah Jagad pun tak mau tinggal diam. Ia
keluarkan ajian andalannya yaitu Bedah Sukma me-
nyerang ke arah tubuh Bocah Kembaran Setan.
"Duar...!"
"Bletar! Bletar! Bletar...!"
Petir Sewu membahana, membentuk kila-
tan-kilatan yang seketika menerangi tempat ter-
sebut. Tubuh Bocah Kembaran Setan terhantam
dua ajian dahsyat hingga terpental ke belakang.
Namun tubuh itu bagaikan tak mengalami apa-
apa. Petir Sewu dan Bedah Sukma, tak ada ar-
tinya sama sekali bagi tubuh Bocah Kembaran
Setan. Bahkan bocah tersebut kini menyeringai
penuh ejekan, lalu dengan cepat berkelebat me-
nyerang keduanya yang tengah terbengong-
bengong tak yakin pada apa yang mereka lihat.
Jaka tersentak, lalu berseru memperingatkan pa-
da Pendekar Bedah Jagad.
"Awas, serangan...!"
Kembali keduanya berjumpalitan, meng-
hindari serangan Bocah Kembaran Setan yang
makin mengganas dengan penuh amarah. Bocah
itu sepertinya tak takut pada Jaka Ndableg, dan menganggap bahwa ucapan Resi
Kumala Geni hanyalah omong kosong.
"Tuan, nampaknya Pendekar muda itu
kewalahan," Raja Jin yang merasa khawatir bermaksud membantu Jaka dan Pendekar
Bedah Ja- gad. Namun, dengan segera sang Resi mencegah-
nya. "Kalian tidak perlu turut campur. Kalian
tak usah mengkhawatirkan diri mereka khusus-
nya pendekar muda itu. Mungkin ilmu dan kesak-
tian yang kalian miliki masih jauh bila dibandingkan dengan ilmu dan kesaktian
yang pemuda itu
miliki," Resi Kumala Geni menuturkan. "Percaya-lah, bahwa pendekar muda itu tak
akan dapat di- kalahkan oleh Genjati. Ilmu Genjati belum se-
berapa dengan ilmu yang dimiliki oleh keduanya."
Jaka Ndableg dan Pendekar Bedah Jagad
masih terus berusaha mengelakan serangan yang
dilancarkan oleh Bocah Kembaran Setan. Namun
nampaknya Bocah Kembaran Setan yang merasa
ajian yang dilancarkan Jaka tak berarti apa-apa bagi dirinya, terus merangsek
keduanya. Jaka yang tak ingin kakak seperguruannya akan men-
jadi korban segera berseru: "Kakang Bedah Jagad, aku minta kakang minggirlah
dulu, biar aku yang menghadapinya."
"Baiklah Jaka."
Bedah Jagad segera mencelat meninggal-
kan Jaka yang terus melesat membawa tubuh
Bocah Kembaran Setan untuk mengikutinya me-
nuju ke tanah yang agak rata. Dan ternyata pan-
cingan Jaka mengena, sebab Bocah Kembaran Se-
tan yang merasa bahwa dirinya akan mampu
mengalahkan Jaka Ndableg terus mengejarnya.
Jaka segera berbalik, lalu dengan cepat
memapaki serangan Bocah Kembaran Setan itu
dengan ajian Tapak Praharanya. "Tapak Prahara, hiat...!" Tangan Jaka seketika
membara bagaikan berapi, melesat tubuh Jaka menghadang serangan Bocah Kembaran
Setan. Tersentak Bocah Kembaran Setan dan
berusaha mengelak, namun serangan Jaka ter-
nyata datangnya lebih cepat. Maka tak ayal lagi, ajian Tapak Prahara yang
dilancarkan Jaka pun
menderu dan telak menghantam tubuh Bocah
Kembaran Setan. Api berkorbar, melalap tubuh


Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bocah Kembaran Setan. Api tersebut adalah api
intinya, yang mampu membuat tubuh yang ter-
kena hancur menjadi abu. Tapi...! Mata Jaka
kembali tersentak tak percaya, sebab ternyata tubuh Bocah Kembaran Setan tak
mengalami apa- apa. Jangankan lebur jadi abu, gosong pun tidak.
Bahkan Bocah Kembaran Setan kini nampak ma-
kin melebarkan seringaiannya, menunjukkan ta-
ringnya yang panjang dan runcing. "Oar...!"
"Gusti Allah, ternyata bukan sembaran-
gan iblis!" Jaka membatin. "Apakah aku harus mengeluarkan ajian yang mampu
mengundang para siluman panik" Hem, kalau aku gunakan
Ajian Jamus Kalimusada, tentulah aku telah me-
rusak alam ini dengan ketidak tentraman. Tidak!
Lebih baik aku menggunakan Pedang Siluman
Darah. Ya! Aku akan memanggil Ratu Siluman
Darah." Tubuh Bocah Kembaran Setan melaju
menuju ke arah Jaka dengan mata menyorot beri-
ngas penuh api kematian. Jaka nampak masih
tenang, diam mengheningkan cipta. Dan manaka-
la tubuh Bocah Kembaran Setan hampir sampai...
"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"
Melompat mundur Bocah Kembaran Se-
tan, demi mendengar ucapan Jaka menyebut na-
ma ibu angkatnya. Dan lebih-lebih kagetnya Bo-
cah Kembaran Setan, manakala secara tiba-tiba
di tangan Jaka Ndableg telah tergenggam sebilah pedang yang menyala terang
kuning kemerah-merahan. Dari ujung pedang itu, mengalir darah
membasahi batang pedang tersebut.
"Oar...!" memekik Bocah Kembaran Se-
tan, lalu dengan ketakutan melesat terbang me-
ninggalkan Jaka Ndableg yang segera mengejar.
Namun belum juga Jaka jauh, tiba-tiba seorang
lelaki tua renta berjanggut serta berpakaian serba putih berseru memanggilnya.
"Jaka Ndableg!"
Jaka yang bermaksud mengejar, segera
menghentikan langkah dan menengokkan kepa-
lanya ke arah suara tersebut. Pedang Siluman
Darah masih tergenggam di tangannya, lalu den-
gan ringan Jaka pun melangkah menuju ke orang
tua renta berpakaian putih yang mengawehnya
dengan tangan. "Kau memanggilku, Ki" Siapakah engkau
adanya?" tanya Jaka setelah mendekat ke arah lelaki tua renta tersebut, yang
tersenyum ramah.
"Ya! Aku memang memanggilmu," jawab
Resi Kumala Geni.
"Heh, bukankah tadi aku tak melihatmu,
Ki?" Jaka terheran-heran sendiri. "Kenapa
engkau tiba-tiba muncul" Dari manakah engkau
datang?" Resi Kumala Geni lebarkan senyum, lalu dengan nada suara yang masih
ramah berkata: "Namaku Resi Kumala Geni...."
"Apa..."!" tersentak Jaka dan Pendekar Bedah Jagad demi mendengar lelaki tua
renta itu menyebutkan namanya.
"Ya, akulah Resi Kumala Geni. Akulah
teman kakekmu, Jaka. Dulu aku dititipi oleh ka-
kekmu sebuah kitab pusaka, yang kini menjadi
bahan rebutan para tokoh persilatan. Karena kau telah dewasa, maka kitab ini aku
serahkan kembali padamu. Gunakanlah kitab Banyu Geni ini
baik-baik, sebab kitab ini akan mendatangkan
bahaya bila berada di tangan orang-orang jahat.
Maka itu, aku sengaja menjaganya dengan me-
nyuruh keempat puluh Jinku."
Makin terheran-heran Jaka dan Bedah
Jagad mendengar penuturan Resi Kumala Geni.
Keheranan Jaka dan Bedah Jagad ternyata dike-
tahui oleh sang Resi yang kembali berkata: "Kalau kalian tak percaya, kalian
mungkin sering mendengar banyak para pendekar yang mati manaka-
la hendak mencari kitab tersebut, bukan?"
"Benar," jawab Jaka.
"Nah, kalian akan tahu siapa yang telah
berkorban untuk menjaga kitab tersebut:" Resi Kumala Geni segera sapukan tangan
ke depan mata Jaka dan Bedah Jagad, seketika itu kedua
pendekar kakak beradik seperguruan mampu me-
lihat alam gaib. Keduanya kini melihat empat puluh jin tengah mengelilingi
sebuah batu yang berdiri menjulang di tengah-tengah. "Apakah kalian yakin?" Jaka
dan Bedah Jagad tak berkata. Keduanya hanya mampu menganggukkan kepala.
Resi Kumala Geni pun segera melangkah menuju
ke tempat di mana keempat puluh jin tersebut
masih berdiri, diikuti oleh Jaka dan Bedah Jagad.
Sang Resi segera mencabut batu itu dengan rin-
gan, padahal batu tersebut dalam menghujam ke
tanah. Dari batu itu, tampak sinar menyala. Ternyata kitab Banyu Geni disimpan
oleh sang Resi di dalam batu tersebut.
"Ini kitabnya. Kembali aku minta, kau
harus mampu mempertahankan kitab ini dari
tangan orang-orang jahat. Karena aku telah me-
nemukan dirimu, maka aku dan keempat puluh
kadangku ini minta pamit padamu, Jaka." Disodorkannya kitab Banyu Geni itu
kepada Jaka yang menerimanya dengan rasa haru.
"Terima kasih atas jasa Bapak Resi yang
sudi menjaga milik kakek dalam jangka waktu
yang begitu lama. Dengan apakah aku nanti
mampu membalas budi baik ini."
"Jaka, aku tidak meminta balas jasa. Aku
hanya minta padamu agar engkau mau selalu
menjaga kitab tersebut dan mempelajarinya, se-
bab kitab itu akan makin menambah ilmu yang
engkau miliki sebagai bekal dirimu untuk mene-
gakkan kebenaran dan keadilan. Di dalam kitab
ini, kau akan mendapatkan ajian dan jurus-jurus
yang belum ada tandingannya di jagad raya ini."
Resi Kumala Geni menerangkan. "Pelajarilah baik-baik, sebab kelak ada manfaatnya
untukmu. Ka- lau engkau sudah mempelajari, maka aku mohon
simpanlah di tempat yang tidak mudah dijamah
oleh orang jahat atau kau bakar."
"Baiklah Bapak Resi, segala petuahmu
akan menjadi guru bagi diriku," jawab Jaka hormat, tangannya mendekap erat kitab
Banyu Geni. "Nah Jaka, aku akan pergi. Kau cepatlah
menghentikan sepak terjang Bocah Kembaran Se-
tan tersebut, yang kini telah dalam kuasa seorang wanita jahat bernama Nok
Jenah." Tersentak Bedah Jagad mendengar nama
murid durhakanya diucapkan oleh sang Resi. Ia
bermaksud bertanya, namun tubuh sang Resi te-
lah menghilang entah ke mana. "Ayo Jaka, kita mencari Bocah durhaka itu yang
kini telah menguasai Bocah Kembaran Setan. Kalau kita ter-
lambat, entah bencana apa lagi yang bakal terja-di."
Dengan tanpa menolak lagi, Jaka segera
mengikuti kakak seperguruannya setelah me-
nyimpan kitab Banyu Geni dalam bajunya di an-
tara ikat pinggangnya. Hari telah berganti, dari malam beranjak menuju pagi.
Dari kejauhan ko-kok ayam jantan menggema, bersamaan dengan
menyingsingnya sinar mentari. Dan Lembah
Bangkai pun kembali senyap, hanya bangkai-
bangkai manusia korban Bocah Kembaran Setan
saja yang masih bergelimpangan di atas tanah.
7 Nok Jenah dan Bocah Kembaran Setan
nampak berlari menerabas malam yang pekat.
Nok Jenah yang kini telah menguasai Bocah
Kembaran Setan, bermaksud memperalat bocah
tersebut untuk kepentingannya membalas den-
dam pada para tokoh aliran lurus yang telah
membuatnya menderita terutama Pramana. Tapi
Nok Jenah tak melakukan pada Pramana, dikare-
nakan ia mungkin akan menemui kesulitan.
Bukankah ibu Bocah Kembaran Setan itu
anak dari Pramana sendiri" Secara tidak lang-
sung, bila ia menyerang keluarga Pramana tentu-
lah ia akan mengalami kesulitan. Bocah Kemba-
ran Setan pasti akan membela keluarga tersebut, di mana ibunya berada.
"Bocah, kita akan berpesta sesaat lagi,"
Nok Jenah berkata pada si Bocah Kembaran Se-
tan yang terbang di sampingnya dengan cepat,
mengimbangi langkah lari Nok Jenah yang mele-
sat bagaikan terbang. "Sudah siapkah engkau?"
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.
"Bagus! Kau akan pesta darah! Kita akan
menuju Perguruan Gunung Muria. Di sana kau
akan mendapatkan darah yang engkau inginkan,
Bocah." "Ngik, ngik, ngik! Oar...!"
Keduanya kembali berlari merambah ma-
lam, memotong semak belukar di depannya.
Langkah keduanya begitu cepat, melesat laksana
terbang. Tengah keduanya berlari menuju ke arah Wetan, tiba-tiba Nok Jenah
hentikan langkah dan miringkan kepala ke kiri.
"Rupanya ada cecunguk yang ingin
mengganggu ketenangan kita nantinya," Nok Jenah bergumam. "Hem, ini kesempatan
bagimu. Lakukan apa yang dapat engkau lakukan. Ada ki-
ra-kira dua puluh orang, kiranya cukup untukmu
minum, bukan?"
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.
"Bagus! Kau laksanakan segera!" Bocah Kembaran Setan melesat menuju ke arah
datangnya gemerisik di balik semak-semak.
Matanya berkilat membara, lalu dengan
cepat melesat ke arah datangnya suara gemerisik.
Walau dalam gelapnya malam, tetapi mata Bocah
Kembaran Setan tampak tajam hingga mengeta-
hui di mana adanya orang tersebut.
"Aaaah...!" memekik salah seorang yang bersembunyi di balik semak-semak,
manakala tangan kecil si Bocah Kembaran Setan menceng-
keramnya. Dan dengan ganas Bocah Kembaran
Setan tancapkan gigi taringnya, menghisap darah orang tersebut.
"Oar...!"
Tersentak yang lainnya, demi melihat te-
mannya menjadi korban. Dengan segera orang-
orang yang tadinya bersembunyi, melompat ke
luar dari persembunyiannya dengan golok siap di tangan masing-masing.
Bocah Kembaran Setan yang telah me-
nyelesaikan tugasnya menyedot darah salah seo-
rang dari kedua puluh orang begal itu segera
kembali melesat ke arah orang-orang lainnya,
yang seketika membelalakan mata kaget demi apa
yang mereka lihat.
"Bocah Kembaran Setan!" pekik mereka.
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, lalu dengan gesit mengelakan hantaman
golok kedua puluh orang yang mengeroyoknya. Kemu-
dian dengan secepat kilat pula, bocah Kembaran Setan pun menyerang ke arah
mereka. "Bug, bug, bug!"
Terdengar bunyi beradunya golok-golok
mereka dengan tubuh Bocah Kembaran Setan.
Bukannya tubuh sang Bocah yang patah tertebas
golok mereka, tetapi sebaliknya golok merekalah yang poil dan patah. Mereka
terkesima diam,
menjadikan kesempatan Bocah Kembaran Setan
untuk menyerang.
Tubuh Bocah Kembaran Setan melesat
cepat, lalu dengan beringas ditangkapnya leher
salah seorang dari mereka. Dan dengan segera digigitnya leher orang tersebut,
darahnya pun seketika muncrat. Melihat darah muncrat, Bocah
Kembaran Setan nampak makin bernafsu. Dihi-
sapnya darah yang keluar dari leher orang tersebut, kemudian setelah di leher
habis Bocah Kem-
baran Setan menyedot darah di tubuh orang ter-
sebut. "Hi, hi, hi...! Bocah, kau ternyata hebat!"
terdengar suara seorang wanita tertawa cekiki-
kan, menjadikan kedelapan belas para begal alihkan mata mereka memandang ke arah
datangnya suara wanita tersebut. "Lakukan dengan cepat, biar kita cepat sampai pada tujuan
kita, bocah!"
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, sepertinya mengiyakan apa kata Nok
Jenah. Kemudian dengan mata tajam menghujam, Bocah
Kembaran Setan secepat kilat kembali menerkam
salah seorang dari mereka.
"Bocah Iblis! Mampus kau, hiat...!" Pimpinan begal nampak begitu marah. Dengan
cepat ia hantamkan pukulan tenaga dalamnya ke arah
tubuh Bocah Kembaran Setan.
"Bug! Bug! Bug!"
Tubuh Bocah Kembaran Setan hanya ter-
goncang sesaat, lalu Bocah Kembaran Setan me-
nyeringai, menunjukkan taringnya yang bergele-
potan darah. Terbelalak pimpinan begal, demi di-lihatnya ajian yang ia miliki
tak berarti sama sekali bagi Bocah tersebut.
Nok Jenah tampak mengulum senyum
melihat Bocah Kembaran Setan terus menyerang
mereka. Namun ketika mereka tinggal beberapa
orang saja, Nok Jenah nampak was-was dan
mengeluh sendiri. "Sayang... sayang bila kesempatan ini tidak aku pergunakan
sebaik-baiknya.
Hem, bukankah pimpinan begal itu tampan juga,
walau mukanya tertutup oleh cambang bawuk
awut-awutan?"
Segera Nok Jenah yang sudah kehausan
akan kebutuhan biologisnya berkelebat cepat,
menotok pimpinan begal dengan gerakan yang
cepat hingga sukar untuk dielakan.


Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tok, tok, tok!"
"Bocah, kau selesaikan kelima orang itu,
biar aku menyelesaikan orang ini dulu." Habis berkata begitu pada Bocah Kembaran
Setan, segera Nok Jenah melesat pergi dengan membawa
tubuh pimpinan begal yang dalam keadaan ping-
san. Bocah Kembaran Setan masih terus me-
nyerang tanpa mengenai ampun bagi kelima
orang yang tersisa. Maka dalam sekejap mata sa-
ja, kelima orang begal-begal tersebut akhirnya sa-tu persatu menemui ajal dengan
darah kering terhisap dari tubuhnya dan mata melotot.
Bareng dengan orang yang terakhir me-
mekik, terdengar pula lenguhan panjang dari ba-
lik semak-semak. Lenguhan kenikmatan yang ke-
luar dari mulut Nok Jenah yang saat itu entah
sedang berbuat apa.
Mendengar lenguhan panjang, seketika
Bocah Kembaran Setan melesat ke arah datang-
nya suara tersebut. Nampak oleh Bocah Kemba-
ran Setan pemandangan yang begitu mengesan-
kan dirinya. Pemandangan yang belum pernah ia
lihat sebelumnya, di mana tubuh mulus nan in-
dah milik seorang wanita selain ibunya terpam-
pang di depan matanya.
"Bocah! Mengapa engkau ke mari"!" tanya Nok Jenah kaget sambil berusaha menutupi
auratnya dengan kedua tangannya.
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, lalu dengan cepat menuju ke arah Nok
Jenah berdiri mematung. Setelah jaraknya agak dekat,
Bocah Kembaran Setan tiba-tiba berubah menjadi
seorang pemuda tampan yang tak lain Genjati
adanya. Mata Genjati memandang nanar pada tu-
buh Nok Jenah yang telanjang, napasnya mem-
buru. "Kau...! Kaukah bocah itu?" Nok Jenah terpana, demi melihat seorang pemuda
tampan tiba-tiba muncul di hadapannya. Karena saking
kagetnya Nok Jenah pun lupa pada keadaan tu-
buhnya. Kedua tangan yang menutupi auratnya
terbuka, sehingga kini Genjati makin nampak me-
lototkan mata dengan meleletkan lidah.
"Nok Jenah, kau cantik sekali," puji Genjati seraya mendekat ke arah Nok Jenah
yang ma- sih terpana dalam diam. Ia tak menyangka kalau
Bocah Kembaran Setan, ternyata seorang pemuda
tampan. Kini Nok Jenah tak dapat berkata-kata,
dirinya terpaku diam dengan sesekali melenguh.
Genjati yang kini menjadi ujud seorang
dewasa, tak dapat lagi menahan nafsunya. Begitu pula dengan Nok Jenah, ia nampak
dengan senang menerima kemesraan yang dilancarkan oleh
Genjati. Tak lama kemudian, kedua tubuh itu te-
lah menjadi satu saling gumul dalam keheningan.
Dan akhir dari semuanya, adalah erangan dan
lenguhan nikmat Nok Jenah.
* * * "Orang ini harus aku bunuh, Jenah,"
Genjati berkata setelah kembali ke asalnya Bocah Kembaran Setan. Dan Nok
Jenahpun kini telah
kembali mengenakan pakaiannya.
"Memang, Genjati. Kalau ia tidak dibu-
nuh, aku takut dia akan membocorkan rahasia
kita." "Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, lalu tubuhnya melesat
mencengkeram tubuh
pimpinan begal diangkatnya tubuh pimpinan beg-
al yang masih dalam keadaan tertotok, dan den-
gan cepat digigitnya leher orang tersebut hingga tembus. "Crooot...!"
Darah segar muncrat dari leher pimpinan
begal, yang segera disambut dengan cepat oleh
Bocah Kembaran Setan. Dalam sekejap saja, tu-
buh pimpinan begal itu lemas dengan darah ker-
ing dari tubuhnya.
"Bagus!" Nok Jenah berseru girang.
"Nok Jenah, aku minta kau jangan mela-
kukan apa yang engkau inginkan dengan orang
lain," terdengar suara Genjati berkata, sepertinya ia cemburu bila melihat Nok
Jenah mengadakan
persetubuhan dengan lelaki Iain. "Aku mengin-ginkan hanya padaku saja kau
pasrahkan sega-
lanya, Jenah."
"Baik, aku akan memasrahkan segalanya
padamu. Asalkan engkau pun berjanji padaku
pula." "Janji apakah itu, Jenah?"
"Kau harus mau membantuku."
"Oh, bukankah aku selalu membantu-
mu?" "Ya! Tapi ini masalah yang menyangkut kakek bocah yang engkau tumpangi,"
Nok Jenah menerangkan. "Aku memendam sakit hati pada kakeknya bocah yang engkau tumpangi.
Kakeknya bayi itu bernama Pramanayuda, seorang pen-
dekar yang sakti dengan senjatanya berupa pe-
dang bernama Sukma Layung. Karena kehebatan
pedang tersebut, Pramana digelari Pendekar Pe-
dang Sukma Layung."
Bocah Kembaran Setan terdiam menden-
garkan penuturan Nok Jenah. Matanya berbinar-
binar, sepertinya ia merasakan adanya sesuatu
getaran hebat dalam hatinya. Getaran pertarun-
gan antara rasa harus berterima kasih pada ke-
luarga si bocah yang tubuhnya digunakan untuk
sukmanya, dengan getaran cinta yang dilandasi
nafsu menggebu pada seorang wanita cantik Nok
Jenah yang telah ia setubuhi.
"Haruskah aku memilih di antara kedua-
nya," gumam Bocah Kembaran Setan dalam hati.
Matanya masih memandang redup pada Nok Je-
nah. "Kalau aku tak mengikuti kehendaknya, pastilah aku tak akan mendapatkan apa
yang aku inginkan. Tapi jika aku mengikuti kemauannya,
tentunya aku sebuah mahluk yang tak mengerti
balas budi."
"Sebenarnya pada siapa dendammu itu,
Jenah?" tanya Genjati setelah lama terdiam merenung. "Apakah hanya pada Pramana
saja?" "Sebenarnya aku ingin semua keluarga
Pramana. Tetapi mungkin kau tidak tega dengan
ibu angkatmu yang bergelar Ratu Maksiat Telaga
Warna atau Penguasa Bukit Karang Bolong, bu-
kan?" "Ya! Dia telah mengandung diriku selama
sembilan bulan."
"Baiklah! Aku hanya minta nyawa Pra-
manayuda saja."
"Hem, begitu?" tanya Genjati ingin kepas-tian.
Nok Jenah menganggukinya.
"Kalau hanya itu, ayo kita segera ke sa-
na!" ajak Genjati.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, ke-
dua manusia beda bentuk itu melesat dengan ce-
patnya laksana terbang. Bocah Kembaran Setan
terbang, menjajari diri Nok Jenah yang berlari
dengan cepatnya. Cambuk Perak Seribu masih
tergenggam di tangannya. Dan cambuk itulah
yang bakal mengalahkan Pedang Sukma Layung.
Kedua tubuh itu melesat, menerobos malam yang
pekat. Angin malam pun berderak, menerpa anta-
ra pepohonan. 8 Rumah Pramanayuda kini nampak berse-
ri dengan kembalinya dua anak-anaknya. Rumah
yang dulu sepi dan senyap, dan hanya ada suara-
suara murid-murid Pramanayuda yang berlatih
kini terpecah dengan gelak tawa keluarga Prama-
nayuda. Tegalaras dan Ningrum atau si Penguasa
Bukit Karang Bolong telah kembali berkumpul
dengan keluarganya.
Malam itu nampak di ruang tamu, selu-
ruh keluarga Pramanayuda berkumpul. Duduk di
kursi besar Pramanayuda, di sampingnya duduk
pula sang istri. Sementara kedua anak-anaknya
yang tidak lain Tegalaras dan Ningrum duduk di
depan mereka. "Ningrum, bagaimana dengan Bocah ter-
sebut" Apakah engkau akan membiarkan bocah
tersebut berbuat semaunya?" Pramana berlanjut setelah untuk sekian lama hanya
diam duduk merenung. "Benar adikku. Kalau bocah terus dibiar-
kan, niscaya korban akan terus berjatuhan," Tegalaras turut menyambungi ucapan
ayahnya. "Namun aku belum berani bertindak, sebab semuanya telah ditangani oleh Jaka."
"Siapa Jaka itu, Kakang?" Ningrum yang bertanya. Ia sepertinya pernah mendengar
nama tersebut. Ia lupa-lupa ingat, di mana ia pernah bertemu dengan orang yang
bernama Jaka" "Apakah dia seorang pemuda, Kakang?"
Mata Tegalaras membeliak, begitu juga
mata ayah dan ibunya. Mereka tersentak kaget
demi mendengar Ningrum menebak siapa adanya
pendekar muda sakti. Sebenarnya Ningrum sendi-
ri tengah memikirkan di mana dirinya pernah
mendengar nama Jaka. (Baca Penguasa Bukit Ka-
rang Bolong) di mana Ningrum pernah bersua
dengan Jaka manakala ia dengan gurunya meng-
hajar paman gurunya, yang tak lain guru Tiga Iblis Kelangit.
"Kau seperti telah mengetahuinya, adik-
ku?" "Ya! Aku memang pernah berjumpa den-
gan pemuda tampan yang menyebut dirinya Ja-
ka... Jaka Ndableg, bukan?" Ningrum balik bertanya "Eh rupanya kau mengenal nama
pan- jangnya Adikku," terheran-heran Tegalaras mendengar ucapan Ningrum yang telah
menerka na- ma Jaka Ndableg. "Bagaimana kau mengenalnya, Adikku" Sedangkan di Bukit Karang
Bolong kau dalam keadaan tak sadar manakala pendekar itu
menghancurkan suamimu si Setan Rambut Putih
yang tak lain iblis tersebut?"
"Aku mengenalnya bukan di Bukit Karang
Bolong, Dan waktu itu pun aku dalam keadaan
sadar sepenuhnya." Ningrum kembali merenung, berpikir di mana dia pernah
menjumpai Jaka Ndableg yang kini ia ketahui adalah sahabat ka-
kaknya. Sesaat setelah tercenung Ningrum pun.
berkata kembali: "Ya, aku ingat sekarang. Aku mengenalnya dan sekaligus
merasakan jatuh cinta manakala aku dengan guruku Ratu Kelabang
Ungu menggempur paman guruku yang ternyata
guru dari Serangkai Iblis Kelangit yang telah
memperkosaku. Oh, aku lupa tidak menghukum
Rengkana biadab itu."
"Dia sudah mendapatkan hukumannya,
Adikku," Tegalaras menghibur adiknya yang tiba-tiba kembali sedih. "Kini mukanya
telah hancur terkena oleh pukulanku."
"Benarkah itu kakang?"
"Benar, adikku."
Kembali ruangan itu hening untuk se-
saat, lalu kembali terdengar suara Pramanayuda
berkata: "Kini pendekar muda itu di mana, Tegal?"
"Entahlah, Ayah," jawab Tegalaras . "Dia hanya berpesan padaku waktu kejadian
gegernya Ratu Maksiat Telaga Warna, agar aku mengurusi
Ningrum dan dia akan memburu Bocah Kemba-
ran Setan tersebut."
"Hem, sungguh dia seorang pendekar se-
jati, Anakku. Dia tanpa pamrih dalam menjalan-
kan tugasnya. Ilmunya sungguh tiada tanding un-
tuk sekarang ini, atau di masa-masa kemudian,"
Pramanayuda menggumam sendiri.
"Sungguh aku ingin sekali berkenalan
dengannya. Aku memang telah mendengar na-
manya, namun aku belum dapat melihat pemuda
itu dalam arti wajahnya."
"Dia berwajah tampan ayah," Ningrum
yang menjawab, menjadikan Pramanayuda dan
anak lelakinya Tegalaras serta ibunya meman-
dang terbengong ke arahnya. Ningrum tersipu-
sipu malu. "Maafkan Ningrum. Ningrum me-
mang...." Ningrum tak meneruskan ucapannya.
Seketika Ningrum tundukkan kepala, tak berani
memperlihatkan roman merah dan binar-binar
keceriaan di wajahnya.
Pramanayuda yang memahami hati
anaknya, nampak menarik napas panjang. Dita-
tapnya lekat sesaat Ningrum yang tertunduk, lalu berpindah ke arah Tegalaras.
Kemudian berganti
pada istrinya, dan berkata: "Kau mencintainya, Anakku?"
Ningrum terjengah, tengadahkan wajah.
Dari kedua matanya seketika melelehkan air ben-
ing. Ningrum menangis, menjadikan kakak dan
kedua orang tuanya tersentak kaget. Tegalaras
yang tak tega bertanya menghiburnya.
"Adikku, kenapa engkau menangis?"
"Aku sedih, kenapa diriku hancur" Mana-
lah mungkin Jaka mau menerima diriku?" Ningrum makin mengeraskan isak tangisnya.
"Kau tidak boleh berkata begitu, Adikku.
Itu namanya putus asa. Dan bila orang telah pu-
tus asa, bukankah engkau pernah mengalaminya
sendiri" Iblis akan dengan mudah merasuki ji-
wamu. Janganlah kau bersedih, aku akan beru-
saha agar Jaka mau menerima dirimu."
"Benarkah itu, Kakang?" Ningrum sedikit tenang mendengar ucapan kakaknya.
"Benarkah engkau akan meminta pada Jaka agar dia mau
menerima diriku?"


Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan aku lakukan, Ningrum."
Tanpa sadar Ningrum yang diliputi rasa
gembira segera menghambur memeluk tubuh Te-
galaras. Keceriaan kembali tergambar di wajah-
nya. Keceriaan Ningrum, menjadikan keceriaan di wajah seluruh keluarganya.
* * * Tengah keluarga Pramana dalam luapan
kegembiraan, tiba-tiba di luar terdengar keributan. Pramana dan seluruh anaknya
nampak ter- sentak, apalagi ketika terdengar jeritan dari mu-
rid-muridnya. "Aaaah...!"
"Guru...! Bencana datang...!"
"Ada apakah di luar"!"
Pramana segera berkelebat ke luar diikuti
oleh kedua anak-anaknya. Betapa terkejutnya
Primanayuda, manakala melihat dua orang ma-
nusia yang telah ia kenal benar siapa adanya tengah melakukan pengacauan. Salah
seorang dari manusia tersebut, tak lain Nok Jenah. Sedangkan yang satunya adalah Bocah
Kembaran Setan.
"Hentikan!" bentak Pramanayuda.
Seketika semua yang tengah bertarung
menghentikan pertarungannya. Mata mereka se-
ketika memandang ke arah di mana datangnya
suara bentakan tersebut. Nok Jenah yang tahu
Pramana nampak cibirkan bibir sinis, lalu dengan congkaknya ia bergelak tawa dan
berkata. "Hua, ha, ha...! Pramanayuda, dua puluh
lima tahun aku mendekam dalam himpitan batu.
Dua puluh lima tahun pula aku mencari ilmu dan
senjata yang mampu menghadapi senjata milik-
mu. Kini aku datang untuk menuntut hutangmu
padaku, sekaligus bunganya."
"Perempuan Iblis! Rupanya engkau tiada
jemu melakukan keonaran. Apakah engkau masih
penasaran dengan penolakan cintaku?" Pramanayuda balik sinis berkata: "Aku sudah
tua, untuk apa lagi engkau mendendam. Bukankah den-
gan ilmu iblismu engkau mampu mendapatkan
pria yang engkau kehendaki?"
Merah seketika wajah Nok Jenah men-
dengar sindiran Pramanayuda. Matanya tajam
memandang bengis ke arah Pramanayuda dan
dua orang anaknya yang sudah kesohor na-
manya. Tapi dengan Cambuk Perak Seribu di tan-
gannya, seakan kebesaran nama Pramanayuda
dan kedua orang anaknya bagaikan tiada arti.
Sepertinya Cambuk Perak Seribu akan mampu
menghadapi mereka semuanya.
Sementara itu Bocah Kembaran Setan
nampak terdiam mengambang di angkasa. Ia mu-
lai meragu, manakala melihat Ningrum yang me-
rupakan ibu angkatnya berdiri memandang ke
arahnya dengan pandangan sayu. Tak terasa Bo-
cah Kembaran Setan seketika menangis, layaknya
tangisan seorang bocah yang rindu pada ibunya.
"Cuih! Aku datang ke sini bukan untuk
mengemis cinta bulukan darimu! Aku datang ke
sini untuk mengambil nyawamu yang telah tua
dan rapuh itu, Pramana!" bentak Nok Jenah sengit.
"Hem, begitu?" Pramanayuda masih
nampak tenang. "Kalau itu yang engkau mau, mengapa engkau membawa-bawa bocah itu
ke mari dan mesti membunuh anak muridku yang
tiada dosa!"
"Hi, hi, hi...! Kau rupanya takut pada cu-
cumu sendiri, Pramana. Baik! Aku tak akan me-
nyuruhnya menyerangmu. Mari kita lanjutkan ke-
jadian dua puluh lima tahun yang silam."
"Apa maumu aku turuti, iblis!"
Pramana segera melompat masuk ke ru-
mah, sementara kedua anaknya nampak masih
berjaga-jaga. Sebenarnya Tegalaras sudah tak sabar hendak menghajar perempuan
iblis tersebut,
begitu juga halnya dengan Ningrum si Penguasa
Bukit Karang Bolong. Tapi karena ia menyadari
bahwa si nenek yang cantik itu menghendaki
ayahnya, maka sebagai anak dan sebagai seorang
pendekar ia tidak mau gegabah turut campur
dengan urusan orang tua mereka.
Tak lama kemudian dari dalam rumah
Pramanayuda kembali melompat ke luar. Pedang
Sukma Layung telah tergenggam di tangannya.
Dengan pedang tersebut, kini Pramanayuda telah
siap menghadapi segala resiko apapun.
"Mari kita mulai!" Pramanayuda mence-
lat, pergi menjauh menuju ke lapangan yang bi-
asanya digunakan untuk berlatih murid-
muridnya diikuti oleh Nok Jenah yang tangannya
sudah siap dengan Cambuk Perak Seribunya.
Dua orang musuh bebuyutan karena cin-
ta itu kini berhadap-hadapan dengan senjata
masing-masing. Sejenak keduanya saling pan-
dang, seakan ingin menjajagi ilmu yang mereka
miliki masing-masing.
"Siapa yang akan mendahului, Jenah?"
"Kau! Sebab kaulah tuan rumahnya," jawab Jenah menyombong.
"Baik! Bersiaplah! Jangan sampai kau ka-
lah untuk yang kedua kalinya, sebab sia-sia engkau menimba ilmu pada Ratu
Siluman Ular San-
ca." Nok Jenah mendengus marah, manakala
Pramanayuda menyebut nama Ratu Siluman Ular
Sanca. Ternyata Pramanayuda telah mengetahui
siapa adanya orang yang kini mendampinginya.
Maka untuk menutupi kekagetannya Nok Jenah
membentak: "Diam! Jangan engkau sebut Ratu-ku! Apakah engkau takut, Pramana?"
"Pantang bagiku untuk mengenal takut,
Jenah." Setelah berkata begitu, segera Pramanayuda dengan pedang pusaka Sukma
Layung berkelebat, menyerang ke arah Nok Jenah. Seran-
gannya begitu cepat, tak ubahnya manakala ma-
sih remaja saja. Hal itu menjadikan Nok Jenah
terkesiap kaget, hampir pedang Layung Sukma
menghantam dirinya kalau saja Nok Jenah tidak
segera mencelat menghindar.
"Edan! Ternyata ilmu Pramana makin
bertambah," gumam Nok Jenah membatin. Segera ia kibaskan Cambuk Perak Seribunya,
yang tiba-tiba berubah menjadi ular kecil-kecil beracun.
"Pramana, terimalah kematianmu,
hiat...!" Nok Jenah berkelebat dengan Cambuk Perak Seribunya yang telah berubah
menjadi ular berjumlah ribuan. Ular-ular itu mendesis-desis, menyerang ke arah
Pramana. Pramana yang sudah banyak makan garam, tak mau begitu saja
mengalah. Segera ia kibaskan Pedang Sukma
Layung. Asap keluar mengepul, bergulung-gulung
menutupi dirinya.
Ular-ular kecil berjumlah seribu itu teriak
kaget, mendesis panjang dan akhirnya lenyap.
Hal itu menjadikan Nok Jenah kaget bukan alang
kepalang, ternyata asap yang keluar dari Pedang Sukma Layung mampu menghilangkan
ilmu si-hirnya. Namun Nok Jenah tak mau mengalah be-
gitu saja, kini tangannya yang sebelah kiri berubah menjadi seekor ular besar
dan panjang. Ular tersebut mendesis-desis, mematuk-matuk ke arah
Pramanayuda. Pramanayuda kembali kibaskan pedang
nya, kali ini makin cepat. Asap hitam legam kembali mengepul, makin banyak
hingga menyerupai
benteng yang sukar untuk ditembus. Hal itu men-
jadikan Ular yang terjadi dari tangan Nok Jenah tak mampu menembus kabut tebal
itu, bahkan kini ulat tersebut merasakan adanya sesuatu ke-
anehan. Ular itu menggelepar-gelepar dan hilang berubah kembali pada asalnya.
"Bedebah! Jangan kira kau akan menang,
Pramana!" bentak Nok Jenah marah. Segera ia sabetkan Cambuk Perak Seribunya,
menjadikan kabut penghalang itu seketika hilang.
Nok Jenah tak hanya sampai di situ. Ia
segera kembali hantamkan Cambuk Perak Seribu
ke arah Pramana. Larikan jarum-jarum kecil
menderu, menyeruak ke arah Pramanayuda.
"Ah...!" Pramanayuda tersentak dan berusaha menghindar. Namun jarum-jarum
beracun itu melesat dengan cepatnya. Dan manakala ja-
rum-jarum itu hendak menghantam tubuh Pra-
mana, tiba-tiba sebuah petir menggelegar berkali-kali. Petir itu seketika
meluluh lantakan jarum-jarum tersebut.
"Bangsat! Siapa yang telah berani kurang
ajar!" maki Nok Jenah marah. Nok Jenah lemparkan tubuh ke belakang, hindari
serangan petir yang menyala. "Duar! Bletar, bletar! Bletar!"
"Keluar kau, kunyuk!" Nok Jenah mema-
ki-maki. Akan tetapi orang yang dimaksudkannya
tak segera menampakkan dirinya. Betapa gusar
Nok Jenah seketika, yang dengan segera hantam-
kan ajiannya ke asal suara petir.
"Wuuut...!"
Angin pukulan yang dilontarkan Nok Je-
nah menderu, melesat dengan cepatnya ke arah
sebuah pohon yang rindang. Dan sesaat kemu-
dian, terdengar ledakan dahsyat yang menjadikan pepohonan itu hancur berantakan.
"Duar...! Bum...!"
"Hua, ha, ha...! Ternyata kalian harus
mampus juga!" Nok Jenah bergelak tawa, me-
nyangka kalaulah orang tersebut telah binasa
bersama hancurnya pepohonan itu. "Bocah! Cari kedua kunyuk-kunyuk pengecut itu!"
Bocah Kembaran Setan yang adalah Gen-
jati adanya segera melesat menuju di mana pepo-
honan itu hancur berantakan. Namun seketika
Bocah Kembaran Setan mental kembali sebelum
tubuhnya sampai ke tempat tersebut bagaikan
ada yang mendorongnya. Marahlah Bocah Kem-
baran Setan bukan alang kepalang. "Oar...!"
Bocah Kembaran Setan kembali melesat
menuju ke tempat yang telah mengeluarkan do-
rongan angin besar, yang telah mampu melontar-
kan tubuhnya. "Bocah iblis! Rupanya kau masih berani
menuju ke mari!" terdengar bentakan seorang pemuda. "Terimalah ini untukmu, Bayu
Dewa. Hiat...!" Wut...! kembali angin menderu dengan kencang dan besar, menerpa tubuh
Bocah Kembaran Setan yang saat itu tengah melayang menu-
ju ke arah datangnya angin tersebut. Tak ayal la-gi, tubuh Bocah Kembaran Setan
kembali balik mental ke belakang. Hampir saja tubuh bocah
tersebut jatuh ke tanah, kalau saja tidak segera Nok Jenah menangkapnya.
"Kunyuk-kunyuk pengecut, keluar ka-
lian!" Nok Jenah tak hiraukan lagi Pramanayuda.
Ia dengan geram kembali hantamkan pukulannya
ke arah datangnya angin topan yang mampu me-
nerpa tubuh Bocah Kembaran Setan.
"Wut...! Duar..!"
Kembali pohon yang terkena hantaman
meledak, lalu tumbang dengan keadaan hancur
berkeping-keping. Tapi ternyata orang yang dituju tak terkena, malah kini
terdengar gelak tawa dari seorang pemuda.
"Hua, ha, ha...! Perempuan tolol! Kenapa
kau rusak pepohonan yang tidak bersalah! Aku
ada di belakangmu!"
Tersentak semua yang ada di situ terma-
suk Nok Jenah, manakala dengan secara tiba-tiba di belakang tubuhnya telah
berdiri seorang pemuda yang tidak lain Jaka Ndableg adanya. Jaka
Ndableg tersenyum, seakan ingin menunjukkan
kendablegannya.
"Siapa kau, anak muda!" bentak Nok Jenah setengah kaget.
"Aku... ha, ha, ha...! Aku adalah Jaka
Ndableg. Seorang pemuda klontang klantung,
yang suka usilan pada orang-orang usil seperti-
mu." Mata Bocah Kembaran Setan yang berada
dalam gendongan Nok Jenah nampak ketakutan.
Dia telah tahu sendiri siapa adanya pemuda ter-
sebut. Seorang pemuda yang merupakan anak
angkat Ratu Kehidupan bangsa lelembut.
"Oaar....!"
"Jangan takut, bocah! Aku akan meng-
hancurkannya."
"Oaar..!" Bocah Kembaran Setan kembali mengoar, sepertinya memberitahukan bahwa
pemuda itu bukanlah musuh mereka. Tapi Nok Je-
nah yang sudah marah tak mau perduli.
"Ayo kita serang dia!" perintah Nok Jenah. Dengan agak takut-takut Bocah
Kembaran Setan pun segera melesat berbareng dengan Nok
Jenah menyerang Jaka Ndableg. Namun belum
juga tubuh mereka sampai, sebuah bayangan
berkelebat menghadangnya. Tak ayal lagi tubuh
keduanya mental ke belakang, tertimpa oleh an-
gin yang besar dari tangan orang yang baru da-
tang. Mata Nok Jenah seketika membelalak kaget, manakala tahu siapa adanya yang
datang. "Guru...! Ayah...!"
"Aku bukan ayahmu, iblis!" menderak lelaki tua tersebut.
"Ki Bedah Jagad!" Pramana tak kalah kagetnya. "Ah, rupanya kabar itu hanya isu
belaka. Ternyata engkau masih hidup, Ki" Sungguh aku
merasa bersyukur."
"Saudara Pramana, biarkanlah kami ber-
dua menangani mahluk-mahluk iblis ini," meminta Bedah Jagad. "Ayo, Jaka...!"
Tanpa menunggu jawaban dari Prama-
nayuda, segera keduanya berkelebat menyerang.


Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jaka Ndableg menyerang Bocah Kembaran Setan,
sementara Bedah Jagad yang sudah merasa ma-
rah pada bekas anak angkatnya menyerang Nok
Jenah. Serangan kedua pendekar kakak beradik
seperguruan itu begitu cepat, menjadikan kedua
iblis berbentuk manusia tak mampu untuk mem-
balas menyerang.
"Ayah! Kalau engkau terus menyerang,
jangan salahkan aku bertindak!" ancam Nok Jenah marah.
"Lakukan bila kau mampu!" balas Bedah Jagad. "Kau lihat ini, bukan"!"
Tersentak Bedah Jagad, manakala meli-
hat senjata milik istrinya. Ia tahu, kalau dirinya tak akan mampu menghadapi
senjata tersebut.
"Cambuk Perak Sewu! Dari mana kau
mendapatkannya, iblis!"
"Hi, hi, hi...! Aku mendapatkannya dari
istrimu. Istrimu sebenarnya akulah yang meracu-
ni. Hi, hi, hi....! Tapi waktu itu dia tidak memberitahukan di mana adanya
cambuk ini," Nok Jenah cekikikan, mengacungkan cambuk tersebut ke
arah Bedah Jagad yang segera mundur. "Kini cambuk ini akan menghabiskan
nyawamu!" "Kakang, minggirlah! Biarkan aku meng-
hadapi kedua-duanya!"
Jaka Ndableg segera mencelat, mengha-
dang Nok Jenah yang telah siap dengan cambuk-
nya. Sementara Bedah Jagad yang mengerti kea-
daan tidak mau mengotot. Segera ia pun berkele-
bat mencelat ke belakang dan berdiri di samping Pramanayuda menonton.
"Ayo kalian berdua majulah, biar aku
dengan segera membereskan tikus-tikus busuk
macam kalian!"
Gusar dan marah Nok Jenah dan Bocah
Kembaran Setan demi mendengar nama mereka
disebut oleh Jaka Ndableg tikus-tikus busuk.
Dengan menggeram, keduanya berkelebat menye-
rang Jaka berbarengan. Diserang begitu rupa, tidak menjadikan Jaka kebingungan.
Malah den- gan gelak tawa Jaka menghindar dan balik me-
nyerang. "Oar...!"
"Aku hancurkan tubuhmu pemuda som-
bong!" bentak Nok Jenah.
Dengan bareng kedua mahluk iblis ber-
bentuk manusia itu berkelebat menyerang Jaka.
Jaka segera lemparkan tubuh ke angkasa, me-
lenting bersalto. Kemudian setelah dirinya tinggi di angkasa, Jaka segera
hantamkan ajiannya.
"Tapak Prahara, hiat...!"
Kedua musuhnya hanya tersenyum men-
dengar Jaka lontarkan ajiannya yang dahsyat ter-
sebut. Bahkan keduanya kini bergelak tawa.
"Hua, ha, ha...! Keluarkan ribuan ajian
macam itu, anak sombong!"
"Oar...!"
Bocah Kembaran Setan nekad mengha-
dang laju gumpalan api yang keluar dari tangan
Jaka Ndableg, hingga dalam sekejap saja tubuh
Bocah tersebut terkurung oleh api yang menyala-
nyala. Mata semua yang ada di situ terperanjat melihat Jaka telah mengeluarkan
ajiannya. Lebih terperanjat lagi manakala melihat api inti itu menyelimuti tubuh
Bocah Kembaran Setan yang
nampaknya tidak mengalami apa-apa.
Manakala kesemuanya dalam keterkeju-
tan, tiba-tiba Jaka berseru: "Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!" Sebuah
Pedang bersinar kuning kemerah-merahan tiba-tiba telah berada di
tangan Jaka Ndableg.
"Hiat...!" Jaka Ndableg berkelebat dengan Pedang Siluman Darah siap menyerang.
Tubuh Jaka melompat bagaikan terbang, lalu dengan ce-
pat babatkan pedang Siluman Darah ke arah gu-
lungan api tersebut,
"Aaaah....!" terdengar lengkingan me-
nyayat bersamaan dengan musnahnya api. Tubuh
Bocah itu tidak mengalami apa-apa, namun kini
tubuh bocah tersebut merosok turun ke bawah.
Jaka dengan segera menyambar dan memba-
wanya ke arah keluarga Pramana masih tegak
berdiri. "Bocah sombong! Kau telah membunuh
kekasihku!" Nok Jenah mencak-mencak marah, lalu berkelebat dengan Cambuk Perak
Sewunya menyerang Jaka yang tengah menuju ke keluarga
Pramanayuda. Jaka yang tidak ingin orang lain menjadi
sasaran, segera berkelebat menghindar. Jaka
urungkan menyerahkan bayi itu ke Ningrum, dan
kini ia masih membopong bayi dengan tangan ki-
rinya sementara tangan kanannya menggenggam
Pedang Siluman Darah. Jaka segera berkelebat
cepat memapaki serangan jarum-jarum yang akan
mengancam orang-orang yang berada di bela-
kangnya. Wuuut...! Jaka babatkan pedang. Seketi-
ka luluh lantahlah jarum-jarum maut yang keluar dan Cambuk Perak Sewu. Hal itu
menjadikan Nok Jenah membeliakkan mata kaget, tak percaya
bahwa senjata yang sangat diagung-agungkan
ternyata tak berarti apa-apa bila harus berhadapan dengan Pedang Siluman Darah
di tangan Ja- ka. "Nok Jenah, bersiaplah. Hiat...!"
Dengan tangan kiri membopong bayi dan
tangan kanan menggenggam pedang Jaka berke-
lebat kiblatkan Pedang Siluman Darah ke arah
Nok Jenah. Laju Pedang Siluman Darah yang be-
rada di tangan Jaka begitu cepat, sehingga Nok
Jenah yang bermaksud menghindar tak mampu
bergerak. Nok Jenah mati langkah, sehingga tan-
pa ampun lagi...
"Aaaaah...!" Nok Jenah menjerit, tubuhnya terpangkal jadi dua. Darahnya
mengering terhisap dari tubuhnya oleh Pedang Siluman Da-
rah. Tubuh itu seketika mengepulkan asap.
Setelah asap menghilang, tampaklah wajah keri-
put yang menakutkan. Itulah wajah asli Nok Je-
nah, yang tidak lain Iblis Ular Sanca.
Jaka melangkah lemah menuju ke Nin-
grum. Bayi dalam gendongannya tertidur pulas,
sepertinya sang bayi tengah mengalami mimpi
yang panjang. "Ini anakmu," Jaka sodorkan bayi dalam dukungannya ke ibunya yang memandang
dengan mata penuh arti. Jaka tersentak kaget meli-
hat tatapan mata Ningrum yang kini menjadi seo-
rang gadis cantik jelita, bukan Ningrum Penguasa Bukit Karang Bolong atau
Ningrum Ratu Maksiat
Telaga Warna. "Kau...?" lidah Jaka kelu.
Ningrum hanya mampu menundukkan
kepala, tak berani memandang Jaka. Suasana ha-
ru dan sendu pun seketika menyelimuti mereka.
Semuanya diam, membisu bagaikan menghayati
diri mereka sendiri.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Titisan Ilmu Setan 3 Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek Hong Lui Bun 14
^